Blok 18 Difteri Frida Fix

download Blok 18 Difteri Frida Fix

of 23

Transcript of Blok 18 Difteri Frida Fix

Difteri pada Anak dengan Riwayat Imunisasi Tidak LengkapFakultas Kedokteran Universitas Krida WacanaJl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510.

PendahuluanDifteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara local pada membrane mukosa atau kulit yang disebabkan oleh basil gram positif, Corynebacterium diphtheriae. Infeksi ini biasanya terjadi di saluran napas bagian atas yang ditandai oleh terbentuknya pseudomembran pada tempat infeksi dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh bakteri ini. Manifestasi klinis dari difteria tergantung dari lokasi infeksi, imunitas penderita, dan ada/tidaknya toksin difteri yang beredar di dalam sirkulasi darah. Gejalanya mulai dari yang paling ringan seperti gejala influenza biasa, sampai kepada yang paling berat yang menimbulkan obstruksi saluran napas yang tidak jarang menimbulkan kematian.

Anamnesis

Keluhan Sesak NapasRiwayat penyakit sekarang Sudah berapa lama sesak napas? Bagaimana awalnya: mendadak atau bertahap? Apa yang sedang dilakukan pasien saat awal gejala: berbaring, berlari, berjalan, dan sebagainya? Apakah sesak napas semakin memburuk? Apakah yang memicunya dan apakah yang meredakannya? (postur, obat, atau oksigen) Adakah ortopnea? Adakah gejala penyerta? (nyeri dada, batuk, palpitasi, hemoptisis, dan mengi)3Riwayat penyakit dahulu Adakah episode serupa sebelumnya? Adakah riwayat penyakit kardiovaskular atau pernapasan? (khususnya gagal jantung, asma, PPOK, atau emboli paru) Adakah sebab potensial untuk asidosis? (misalnya ketoasidosis diabetikum, gagal jantung) Adakah alergi?Riwayat pengobatan Terapi apa yang pernah dilakukan pasien? Adakah pajanan pada obat dengan efek samping pernapasan (misalnya amiodaron dan fibrosis paru)? Apakah pasien menggunakan oksigen/nebiliser/inhaler di rumah?

Riwayat social Bagaimana pengaruh sesak pada aktivitas? Pernahkah ada pajanan di tempat tinggal?

Keluhan batuk Sudah berapa lama?3 Akut ( 3 minggu)Penyebabnya antara lain adalah infeksi saluran napas atas (misalnya influenza), pneumonia, oedem paru, eksaserbasi PPOK, rhinitis alergika, dan pertusis. Subakut (3-8 minggu)Penyebab di antaranya: batuk pasca infeksi, sinusitis, dan asma. Kronis ( 8 minggu)Penyebab di antaranya: postnasal drip, asma, refluks gastroesofagus, kanker paru, bronkiektasis, TB, dan PPOK. Apakah ada sputum? Apa warna dan berapa banyak sputum? Adakah darah? Apakah disertai gejala yang menunjukkan penyakit serius? (hemoptisis, sesak napas, nyeri dada, penurunan berat badan) Adakah demam, takikardi, takipnea? Adakah riwayat penyakit pernapasan kronis? Adakah tanda-tanda sinusitis (missal nyeri gigi maksilaris, secret hidung purulen, atau nyeri wajah) ? Apakah pasien terpajan penyebab infeksi khusus (misalnya pertusis, allergen, atau obat) Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit serupa? Riwayat imunisasi?

Pemeriksaan FisikKeadaan umumKeluhan sesak napas Apakah pasien sakit berat dan memerlukan resusitasi seperti intubasi dan ventilasi buatan? Apakah pasien perlu masker oksigen? (gunakan aliran oksigen terkontrol jika ada riwayat PPOK dan pantau analisis gas darah untuk hiperkapnia) Adakah takipnea, takikardia, demam, sianosis, anemia, atau syok? Adakah penggunaan otot bantu pernapasan, mengi yang terdengar jelas, atau stridor? Adakah tanda-tanda gagal jantung atau kelebihan cairan (misalnya ronki, irama gallop, peningkatan JVP, dan oedem perifer) ? Adakah tanda-tanda yang menunjukkan adanya infeksi (misalnya demam, sputum, dan tanda-tanda konsolidasi) ? Adakah tanda-tanda efusi pleura (perkusi tumpul, suara napas menurun) ? Adakah tanda-tanda pneumotoraks (perkusi hiperesonansi, suara napas menurun) ? Adakah tanda-tanda emboli paru (JVP meningkat, gesekan pleura) ? Tanda-tanda distress pernapasan ? (takipnea, penggunaan otot bantu pernapasan, takikardia, tidak mampu menyelesaikan satu kalimat karena sesak, kecemasan, sianosis, stridor, mengantuk atau bingung)3Keluhan batuk Adakah tanda-tanda konsolidasi, oedem paru, jari tabuh, atau ronkhi ?3

Pemeriksaan mulut dan faring

Pemeriksaan fisik pada kasus ini lebih difokuskan pada pemeriksaan bagian faring. Pemeriksaan faring pada anak dapat dilakukan setelah pemeriksaan fisik lainnya selesai dilakukan karena pada pemeriksaan faring ini akan membutuhkan bantuan orangtua untuk memegang dan menenangkan anaknya. Jika pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan spatel lidah, teknik yang terbaik adalah dengan mendorong spatel tersebut ke bawah dan sedikit menariknya ke depan (seraya ditekan), sementara anak mengatakan ah. Hati-hati, jangan sampai meletakkan spatel terlalu belakang pada lidah karena akan memicu refleks muntah. Kadang-kadang anak yang kecil dan merasa cemas harus dipegangi; anak ini akan mengatupkan mulutnya dan mengerutkan bibirnya. Dalam menghadapi kasus ini, spatel harus diselipkan dengan hati-hati di antara kedua baris giginya dan kemudian menekan lidahnya. Tindakan ini memungkinkan Anda mendorong lidah ke bawah atau memicu refleks muntah yang membuat Anda dapat melihat sekilas keadaan faring posterior serta tonsilnya.4 Pada pemeriksaan ini, inspeksi ukuran, posisi, kesimetrisan dan penampakan tonsil. Ukuran tonsil bervariasi cukup luas pada anak dan sering kali digolongkan dalam skala 1+ hingga 4+; angka 1+ menunjukkan adanya celah yang terlihat jelas di antara kedua tonsil dan angka 4+ memperlihatkan bahwa kedua tonsil saling menyentuh pada garis tengah ketika mulut dibuka lebar-lebar. Tonsil pada anak sering terlihat lebih obstruktif daripada kenyataan yang sebenarnya.4 Lakukan pula inspeksi pada palatum molle, uvula, dan daerah faring. Perhatikan warna serta kesimetrisannya, dan cari eksudat, pembengkakan, ulserasi, dan pembesaran tonsil. Hasil pemeriksaan fisik daerah faring pada penderita difteria menunjukkan daerah tenggorok berwarna merah gelap dan pada uvula, faring, serta lidah terdapat eksudat (pseudomembran) yang berwarna kelabu. Jalan napas pada penyakit difteria dapat tersumbat karena adanya oedem pada faring, tonsil, atau laring.4

Pemeriksaan leher (kelenjar limfe)Lakukan inspeksi leher dengan memperhatikan kesimetrisannya dan setiap massa atau jaringan parut yang ada. Cari pembesaran kelenjar ludah parotis atau submandibular dan perhatikan setiap nodus limfatikus yang terlihat.Lakukan palpasi nodus limfatikus. Gunakan permukaan ventral jari telunjuk serta jari tengah, dan gerakkan kulit di atas jaringan yang ada di bawahnya pada setiap daerah. Pasien harus berada dalam keadaan rileks dengan leher sedikit difleksikan ke depan dan jika diperlukan, agak difleksikan ke arah sisi yang hendak diperiksa. Biasanya, pemeriksaan kedua sisi leher dapat dilakukan dalam satu pemeriksaan. Namun, untuk memeriksa nodus limfatikus submental, tindakan palpasi dengan tangan yang satu sementara bagian puncak kepala pasien ditahan dengan tangan lainnya merupakan maneuver yang akan membantu pemeriksaan ini.4 Palpasi rangkaian nodus limfatikus pada daerah servikal anterior yang lokasinya di sebelah anterior dan superficial muskulus sternomastoideus. Kemudian, lakukan palpasi rangkaian nodus limfatikus pada daerah servikal posterior di sepanjang muskulus trapezius (tepi anterior) dan muskulus sternomastoideus (tepi posterior). Fleksikan leher pasien agak ke depan kea rah sisi yang hendak diperiksa.4Pada kasus ini, pemeriksaan difokuskan pada pemeriksaan nodus limfatikus submandibular dan servikal karena pada difteria, kedua kelenjar limfe ini seringkali membesar. Limfonodi yang membesar dan nyeri tekan memberi kesan adanya peradangan oleh karena infeksi virus atau bakteri, sedangkan limfonodi yang teraba keras member kesan adanya keganasan. Pembesaran limfonodus dapat terjadi bilateral maupun unilateral.

Pemeriksaan paruPemeriksaan ini lebih ditekankan pada teknik auskultasi. Jika Anda meminta anak kecil untuk menarik napasnya dalam-dalam, seringkali anak tersebut akan menahan napas, sehingga menyulitkan dalam melakukan auskultasi paru. Jadi, bagi anak prasekolah akan lebih mudah untuk membiarkannya bernapas seperti biasa. Dengarkan bunyi pernapasan dengan memperhatikan intensitasnya dan mengenali setiap variasi dari pernapasan vesikuler yang normal. Biasanya bunyi pernapasan lebih keras pada lapang paru anterior atas.4Pada keadaan terdapatnya obstruksi saluran napas atas, inspirasi akan memanjang dan disertai tanda lain seperti stridor, batuk, serta ronkhi. Stridor merupakan bunyi pernapasan yang khas pada penderita difteria. Bunyi ini seringkali terdengar lebih keras pada leher daripada pada dinding dada. Stridor menunjukkan obstruksi parsial laring atau trachea dan memerlukan tindakan segera.4

Pemeriksaan Penunjang

KulturSpesimen untuk biakan harus diambil dari hidung dan tenggorok dan salah satu tempat lesi mukokutan lain. Sebagian membran harus diambil dan diserahkan bersama eksudat di bawahnya.5 Idealnya, specimen harus diambil oleh dokter atau personel yang terlatih. Pasien harus duduk menghadap sumber cahaya. Sambil lidah ditekan dengan spatula, sebuah lidi kapas steril diusapkan dengan kuat pada setiap tonsil, melalui dinding belakang faring dan semua tempat yang meradang. Hati-hati jangan sampai menyentuh lidah atau permukaan pipi bagian dalam (bukal). Sebaiknya mengambil dua usapan dari daerah yang sama. Usapan yang satu dapat digunakan untuk membuat sediaan apus, sedangkan usapan yang lain dimasukkan ke dalam wadah kaca atau plastic dan dikirim ke laboratorium. Alternative lainnya adalah menempatkan kedua usapan dalam suatu wadah dan mengirimkannya ke laboratorium. Jika specimen tidak dapat diproses dalam 4 jam, usapan harus dimasukkan dalam media transport (misalnya Amies atau Stuart).6Walaupun basil difteri tumbuh baik pada agar darah biasa, pertumbuhannya lebih baik dengan melakukan inokulasi pada salah satu atau dua media khusus:61. Loeffler coagulated serum atau Dorset egg medium. Walaupun tidak selektif, kedua media tersebut menghasilkan pertumbuhan basil difteri yang berlimpah setelah inkubasi semalaman. Lagipula morfologi selular basil ini lebih khas, yaitu batang yang agak bengkok, terwarna tidak beraturan, pendek sampai panjang, menunjukkan granula metakromatik, dan tersusun dalam bentuk V atau palisade sejajar. Granula metakromatik lebih jelas setelah diwarnai dengan biru metilen atau pulasan Albert daripada dengan pulasan Gram.2. Agar darah telurit yang selektif. Media ini memudahkan isolasi saat bakteri berjumlah sedikit, misalnya pada kasus karier yang sehat. Pada media ini, koloni basil difteri berwarna keabuan sampai hitam dan berkembang sempurna hanya setelah 48 jam. Koloni mencurigakan, yang mengandung basil dengan morfologi coryneform pada pulasan Gram, harus disubkultur pada lempeng agar darah untuk memeriksa kemurniannya dan keberadaan morfologi yang khas. Harus diingat pula bahwa C. diphteriae biotipe mitis, yang paling banyak ditemukan, menunjukkan zona hemolisis- yang jelas pada agar darah.Suatu laporan dugaan adanya C. diphteriae seringkali dapat diberikan pada tahap ini. Walaupun demikian, ini harus dipastikan atau disingkirkan dengan beberapa uji biokimia sederhana dan dengan menunjukkan adanya toksigenesitas. Karena uji toksigenesitas mensyaratkan inokulasi pada kelinci percobaan atau suatu uji toksigenik in vitro (Elek) dan harus dilakukan di laboratorium pusat, hanya identifikasi biokimia cepat yang akan dibahas di sini. C. diphteriae bersifat katalase positif dan nitrat positif. Urea tidak dihidrolisis. Asam tanpa gas dihasilkan dari glukosa dan maltose, umumnya tidak dari sakarosa. Fermentasi glukosa dapat diuji pada media Kliger. Aktivitas urease dapat ditunjukkan pada MIU dan reduksi nitrat pada kaldu nitrat seperti pada Enterobacteriaceae. Untuk fermentasi maltose dan sakarosa, air pepton Andrade dapat digunakan sebagai pelarut dengan konsentrasi akhir 1% untuk tiap karbohidrat. Hasil biasanya dapat dibaca setelah 24 jam, walaupun kemungkinan perlu diinkubasi lagi semalaman. Harus ditekankan bahwa peran laboratorium mikrobiologi adalah untuk memastikan diagnosis klinis difteri. Terapi tidak boleh ditunda karena menunggu hasil laboratorium.6 Diagnosis klinis difteria tidak selalu mudah ditegakkan, dan oleh klinikus-klinikus berpengalaman dinyatakan sebagai salah satu penyakit yang cenderung untuk salah didiagnosis. Kesalahan yang sering terjadi ialah dalam membedakan difteria dengan infeksi-infeksi lain seperti tonsillitis, faringitis streptokokal dan infeksi Vincent. Diperlukan waktu beberapa hari bagi laboratorium mikrobiologi untuk memastikan toksigenitas kuman difteri yang diasingkan.7 Laboratorium tidak dapat menentukan diagnosis difteri hanya berdasarkan pemeriksaan mikroskopis saja karena strain C. diphteriae baik yang toksigenik maupun yang nontoksigenik tidak dapat dibedakan satu dengan lainnya secara mikroskopik, lagipula spesies Corynebacterium yang lain pun secara morfologik mungkin serupa. Oleh karena itu, apabila pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan kuman-kuman berbentuk khas difteri, maka hasil presumtif yang diberikan adalah ditemukan kuman-kuman tersangka difteri. Hal ini menunjukkan pentingnya diagnosis bakteriologik laboratorium untuk mendapatkan cara-cara yang mudah, cepat, sederhana, dan dipercaya yang dapat membantu klinikus dalam menegakkan diagnosisnya. Walaupun demikian, dalam kasus-kasus tersangka klinis difteri, janganlah hendaknya pemeriksaan laboratorium menjadi penyebab ditundanya pengobatan terhadap penyakit tersebut.7 Diagnosis bakteriologik harus dianggap sebagai penunjang dan bukan sebagai pengganti diagnosis klinik. Hapusan tenggorok atau bahan pemeriksaan lainnya harus diambil sebelum pemberian antimikroba, dan harus segera dikirim ke laboratorium.7Shick TestPemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan ada/tidaknya antibody terhadap toksin difteri (antitoksin). Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus difteri ringan dan kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga bisa diobati dengan sempurna. Untuk mendiagnosis difteri secara dini, tes ini tidak dianjurkan karena membutuhkan waktu untuk membaca hasilnya.8Reaksi Schick dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml toksin difteria 1/50 M.L.D. secara intrakutan pada lengan bagian voler. Sebagai control, dilakukan penyuntikan serupa dengan toksin yang telah dipanaskan terlebih dahulu 60C selama 30 menit untuk menghilangkan aktivitas toksinnya. Reaksi positif ditandai dengan timbulnya reaksi inflamasi setempat yang mencapai intensitas maksimum dalam 4-7 hari, untuk selanjutnya menghilang secara perlahan-lahan. Reaksi positif menunjukkan tidak adanya imunitas terhadap toksin difteri. Reaksi negative menunjukkan bahwa kadar antitoksin dalam darah sudah lebih dari 0,03 unit/ml dan berarti bahwa orang tersebut kebal terhadap difteria. Reaksi alergi kadang-kadang dijumpai pada orang dewasa dan anak-anak menjelang dewasa, terutama di daerah di mana difteria bersifat endemic.7Pemeriksaan darahPada perhitungan sel darah tepi, ditemukan leukositosis moderat dan trombositopenia.Pemeriksaan enzim jantungPemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi adanya miokarditis.

Diagnosis BandingAbses retrofaringAbses retrofaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di ruang retrofaring. Biasanya pada anak 3 bulan-5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe. Kuman penyebab infeksi biasanya merupakan campuran aerob dan anaerob. Sumber infeksi berasal dari infeksi akut saluran napas atas yang secara langsung atau secara limfogen menyebabkan infeksi kelenjar limfe retrofaring, trauma benda asing, atau tuberkulosis cervikal.Demam, leher kaku, nyeri dan sukar menelan. Posisi kepala hiperekstensi dan miring ke arah yang sehat. Anak kecil akan menangis terus dan tidak mau makan atau minum. Dapat timbul sesak napas, stridor, dan perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak benjolan hiperemis yang teraba lunak. Abses peritonsilarAbses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda.Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeru menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk (cervical muscle inflammation).Prosedur diagnosis dengan melakukan aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 1618) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.

Trakeitis bakterialisTrakeitis bakterialis merupakan infeksi akut saluran pernapasan atas, tidak melibatkan epiglottis, tetapi seperti epiglotitis dan croup, trakeitis bakterialis mampu menyebabkan obstruksi jalan napas yang mengancam jiwa. S. aureus adalah pathogen yang paling lazim diisolasi. Virus parainfluenza tipe 1, Moraxella catarrhalis, dan H. influenzae terlibat pada infeksi ini. Kebanyakan penderita berumur kurang dari 3 tahun, walaupun anak yang lebih tua kadang-kadang telah terkena. Trakeitis bakterialis biasanya terjadi pasca infeksi virus pernapasan yang jelas (terutama laringotrakeitis). Trakeitis mungkin merupakan komplikasi bakteri penyakit virus, bukannya penyakit bakteri primer. Khasnya, pada anak timbul batuk keras dan kasar, tampak sebagai bagian dari laringotrakeobronkitis. Demam tinggi dan toksisitas dengan kegawatan pernapasan dapat terjadi segera atau sesudah beberapa hari dari perbaikan yang tampak. Pengobatan yang biasa digunakan untuk croup tidak efektif. Intubasi dan trakeostomi biasanya diperlukan. Patologi utama yang tampak adalah pembengkakan mukosa yang setinggi kartilago krikoid, dikomplikasi oleh sekresi purulen, kental banyak sekali. Pengisapan sekresi ini, walaupun kadang-kadang memberikan pelegaan sementara, biasanya tidak cukup menghindarkan perlunya jalan napas buatan. Diagnosis didasarkan pada bukti adanya penyakit salauran pernapasan atas bakteri yang meliputi leukositosis sedang dengan banyak bentuk batang, demam tinggi, dan sekresi jalan napas purulen dan tidak adanya tanda-tanda klasik epiglotitis.Faringitis bakterialisFaringitis bakterialis paling sering disebabkan oleh Streptococcus hemolitikus grup A. manifestasi klinis pada anak di atas umur 2 tahun mulai dengan keluhan nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Gejala-gejala ini dapat disertai dengan demam setinggi 40C; kadang-kadang kenaikan suhu tidak tampak selama 12 jam atau lebih. Beberapa jam setelah keluhan awal, tenggorokan dapat menjadi nyeri, dan pada sepertiga penderita ditemukan pembesaran tonsil, eksudasi, dan eritema faring. Parahnya nyeri faring tidak selalu sama dan dapat bervariasi dari ringan hingga berat, sehingga anak sukar menelan. Dua pertiga penderita hanya menderita eritema ringan, tanpa pembesaran tonsil dan tanpa eksudat. Limfadenopati servikal anterior biasanya terjadi awal, dan limfonodi sering nyeri. Demam dapat berlanjut selama 1-4 hari; pada kasus yang amat berat anak dapat tetap sakit selama 2 minggu. Temuan-temuan fisik paling mungkin yang berkaitan dengan penyakit streptococcus adalah kemerahan difus pada tonsil dan dinding penyangga tonsil dengan bintik petekie palatum molle, dapat ditemukan adanya limfadenitis atau eksudasi folikuler, atau tidak. Tanda-tanda ini walaupun lazim dijumpai pada faringitis bakterialis, namun tidak bersifat diagnostic dan sering ditemukan juga pada faringitis virus. Konjungtivitis, rhinitis, batuk, dan serak jarang terjadi pada faringitis yang terbukti disebabkan streptococcus, dan adanya dua tau lebih tanda atau gejala ini member kesan diagnosis infeksi virus. Biasanya anak berumur 6 bulan sampai 3 tahun menderita sakit yang paling berat. Koriza dengan cairan (discharge) postnasal. Kemerahan faring yang difus, demam, muntah, dan anoreksia adalah gejala awal. Selama beberapa hari biasanya demam 38 39,5C yang berlanjut secara tidak teratur selama 4 8 minggu, dan secara bertahap menjadi normal. Dalam beberapa hari setelah penyakit mulai, limfonodus mulai membesar dan menjadi nyeri; perjalanan adenopati secara khas parallel dengan perjalanan demam.

Faringitis Akut (Acute Pharingitis) merupakan keradangan pada daerah faring yang terjadi kurang dari 7 hari. Di masyarakat, peradangan pada daerah ini sering dikanal denganradang tenggorokan. Proses keradangan ini dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme, salah satunya disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Karena posisinya berada dalam jalur pernafasan (hidung paru-paru) dan jalur makanan (mulut-esofagus), maka sumber pencemaran pada daerah faring dapat terjadi melalui dua jalur tersebut. Pada penderita yang mengalami pilek, faringitis dapat terjadi oleh karena lendir yang mengalir ke belakang (posterior) saluran hidung, dan jatuh ke daerah faring. Faringitis yang terjadi oleh karena aliran lendir ke belakang sering diakibatkan oleh virus influenza (contohnya rhinovirus dan adenovirus) ataupun H. Influenza.Faringitis dengan gejala batuk disertai dahak kekuningan sangat sering dikaitkan dengan sumber infeksi bakteri. Pada kasus radang tenggorokan yang sulit untuk sembuh, dan sering muncul berulang dengan, maka patut dicurigai adanya infeksi Streptokokus. Kelompok bakteri Streptokokus yang patut mendapatkan penanganan serius oleh karena komplikasinya yang berbahaya adalah Streptokokus Beta-hemolitikum grup A (Group A beta-hemolitic Streptocaccal/GAS).Faktor lain yang dapat menyebabkan peradangan faring adalah infeksi jamur, alergi, keganasan tumor, racun yang tertelan dan trauma (misalnya karena tulang ikan saat makan).

Diagnosis KerjaDiagnosis kerja kasus tersebut adalah difteria yang merupakan toksikoinfeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Etiologi

Difteria berupa infeksi akut terutama pada saluran napas bagian atas disebabkan oleh C. diphteriae yang toksigenik. Kadang-kadang kulit, konjungtiva, dan vulva dapat terinfeksi. Difteria kulit lebih sering dijumpai di daerah-daerah tropic. Penyakit difteria terutama menyerang anak-anak umur kurang dari 15 tahun yang tidak diimunisasi, terutama antara umur 1-9 tahun, tetapi mungkin pula terdapat pada orang-orang dewasa yang tidak divaksinasi atau pada bayi-bayi baru lahir. Pada saluran pernapasan, lesi primer umum dijumpai dalam tenggorok/nasofaring di mana tampak terbentuknya pseudomembran berwarna keabu-abuan. Pada kasus-kasus ringan, membrane ini mungkin tidak terbentuk. Strain-strain non-toksigenik mungkin pula membentuk membrane yang khas, hal mana menunjukkan bahwa eksotoksin agaknya bukan merupakan penyebabnya. Kuman difteri berkembang biak pada tempat tersebut, sedangkan eksotoksin yang dihasilkan terbawa oleh aliran darah ke jaringan tubuh lainnya dan menimbulkan hemoragik serta nekrotik pada berbagai macam organ.7Genus Corynebacterium meliputi banyak sekali spesies, baik yang bersifat saprofit atau yang patogen bagi tanaman, hewan, dan manusia. C. diphteriae merupakan satu-satunya spesies yang pathogen pada manusia. Ketiga biotip C. diphteriae adalah gravis, mitis, dan intermedius. Nama-nama ini diberikan berdasarkan beratnya penyakit yang ditimbulkannya. Gravis berarti berat/parah, mitis berarti lunak/ringan, dan intermedius berarti menengah. Kini nama-nama ini sudah tidak sesuai lagi mengingat terdapatnya strain-strain baik yang toksigenik maupun yang tidak pada ketiga biotip tersebut, tetapi nama-nama ini masih tetap dipergunakan karena penting dalam identifikasi seperti dalam morfologi koloni, morfologi sel, serta sifat-sifat biokimiawi yang berguna dalam epidemiologi.7Kuman difteri berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 m dan biasanya salah satu ujungnya menggembung, sehingga berbentuk gada, tidak berspora, tidak bergerak, positif Gram, dan tidak tahan asam. Di dalam preparat sering tampak membentuk susunan huruf V, L, Y, tulisan cina atau anyaman pagar (palisade). Bentuk-bentuk pleomorfik sering dijumpai terutama bila kuman dibiakkan dalam perbenihan suboptimal. Granula metakromatik Babes-Ernst dapat dilihat dengan pewarnaan menurut Neisser atau biru metilen Loeffler. Pemeriksaan terhadap granula metakromatik ini tidak spesifik.7 Meskipun C. diphteriae bersifat anaerob fakultatif, pertumbuhan optimal diperoleh dalam suasana aerob. Untuk mengasingkan dan produksi toksin kuman, diperlukan perbenihan-perbenihan kompleks. Untuk membiakkan kuman ini dapat dipergunakan perbenihan Pai, perbenihan serum Loeffler, atau perbenihan agar darah. Pada perbenihan serum, kuman ini tumbuh dengan membentuk koloni-koloni kecil mengkilap berwarna putih keabu-abuan setelah pengeraman selama 12-24 jam pada 37C. Perbenihan serum Loeffler ini juga berguna karena perbenihan ini tidak menunjang pertumbuhan Streptokokus dan Pneumokokus yang mungkin terdapat di dalam bahan pemeriksaan.7Penambahan garam-garam telurit ke dalam perbenihan seperti perbenihan agar darah telurit dan perbenihan McLeod, akan mengurangi jumlah pencemaran pada waktu pengasingan, dan juga menyebabkan koloni-koloni kuman difteri berwarna hitam/hitam kelabu. Sifat-sifat ini dapat dipakai untuk membantu diferensiasi ketiga biotip kuman difteri tersebut. Pada perbenihan-perbenihan ini, tipe mitis bersifat hemolitik, sedangkan tipe-tipe gravis dan intermedius tidak. Dalam perbenihan kaldu, tipe gravis cenderung untuk membentuk selaput (pellicle) pada permukaan perbenihan, tipe mitis tumbuh merata (difus), sedangkan tipe intermedius akan membentuk suatu endapan (sedimen). Asam tanpa gas dibentuk dari berbagai karbohidrat.7 Dibandingkan dengan kuman-kuman lain yang tak berspora, C. diphteriae lebih tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan, dan pembekuan. Dalam pseudomembran kering, tahan selama 14 hari, tetapi dalam air mendidih hanya tahan selama 1 menit, dan pada 58C tahan selama 10 menit. Kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan.7Secara imunologik, semua toksin difteri adalah identik, tetapi kumannya sendiri secara antigenic merupakan spesies heterogen. Ketiga tipe (gravis, mitis, intermedius) menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan pada permukaan sel kuman. Perbedaan dalam komponen-komponen permukaan sel dapat juga diketahui dengan bacteriophaga typing dan pembentukan bakteriosin.7 Antigen yang erat kaitannya dengan spesifisitas tipe dari strain-strain C. diphteriae adalah antigen K yang berupa protein termolabil dan terdapat pada permukaan dinding sel kuman. Antigen ini berperan penting dalam imunitas anti bakteri dan hipersensitivitas, tetapi tidak ada hubungannya dengan imunitas anti-toksin. Antigen K bersama-sama dengan glikolipid merupakan penentu-penentu utama dalam kemampuan invasi dan virulensi kuman difteri. Antigen O (suatu polisakarida) yang termostabil merupakan antigen grup yang umum dijumpai pada Corynebacteria yang bersifat parasit bagi manusia dan hewan. Selain antigen K, kuman difteri juga memiliki cord factor berupa glikolipid yang merupakan penunjang virulensi kuman. Aktivitas cord factor C. diphteriae ini mirip dengan cord factor yang terdapat pada M. tuberculosis.7Pada difteria, eksotoksin yang dihasilkan oleh C. diphteriae merupakan penentu biokimia utama dalam pathogenesis infeksi. Toksin hanya dibentuk oleh strain-strain C. diphteriae yang lisogenik bagi bakteriofaga yang membawa gen toks (tox gene). Meskipun demikian, strain-strain non-toksigenik dapat dijadikan toksigenik dan lisogenik bila diinfeksi memakai Tox + bakteriofaga yang sesuai. Toksin dihasilkan sebelum partikel-partikel faga dibentuk, dan tidak dibentuk lagi apabila sel mengalami lisis. Pembentukan toksin secara in vitro sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, terutama kadar Fe inorganic dalam perbenihan. Strain yang dipergunakan untuk pembuatan toksin guna keperluan komersial adalah strain Park Williams 8 yang mampu tumbuh dan membentuk toksin dalam perbenihan yang mengandung kadar Fe yang sangat rendah.7 Toksin difteri berupa rantai tunggal polipeptida dengan berat molekul kira-kira 62.000. toksin ini terdiri dari 2 fragmen, fragmen A dan B, dengan BM masing-masing 24.000 dan 38.000. kedua fragmen ini diperlukan dalam efek toksin pada hewan dan sel-sel biakan jaringan. Hewan berbeda-beda dalam kepekaanya terhadap toksin difteri. Toksin ini letal bagi manusia, kelinci, marmot, dan burung dalam dosis 160 nanogram/kg BB.

Epidemiologi

Difteria terdapat di seluruh dunia dan sering terdapat dalam bentuk wabah. Imunisasi aktif anak-anak pra sekolah sangat menurunkan kejadian penyakit ini. Penyakit ini terutama menyerang anak-anak usia 1-9 tahun. Manusia merupakan satu-satunya hospes alam, dan karenanya merupakan satu-satunya reservoir penting dari infeksi. Kuman kuman difteri menghuni saluran pernapasan bagian atas dan dari sini dapat menyebar ke orang lain melalui droplet. Dalam klinik, luka-luka pasca bedah kadang-kadang dapat terinfeksi oleh kuman ini. Discharge ekstra respiratorik seperti yang berasal dari ulkus pada kulit dapat juga menjadi sumber infeksi faringeal.7

Patofisiologi

Difteri merupakan penyakit infeksi yang akut dengan masa inkubasi 1-7 hari yang disebabkan oleh strain C. diphteriae yang toksigenik. Toksin yang dibuat pada lesi local diabsorpsi oleh darah dan diangkut ke bagian tubuh yang lain, tetapi efek toksin yang paling utama ialah meliputi jantung dan saraf perifer. Jalan masuk infeksi yang umum untuk C. diphteriae adalah saluran napas bagian atas, di mana organism berkembang biak pada lapisan superficial pada selaput lendir. C. diphteriae biasanya tetap pada lapisan superficial lesi kulit atau mukosa pernapasan, menginduksi reaksi radang local.5 Di sana, eksotoksinnya diuraikan, menyebabkan nekrosis pada jaringan sekitarnya. Virulensi utama organism terletak pada kemampuannya menghasilkan eksotoksin polipeptida 62-KD kuat, yang menghambat sintesis protein dan menyebabkan nekrosis jaringan local.5 Respons dari peradangan membentuk suatu pseudomembran berwarna keabuan yang terdiri dari bakteri, sel-sel epitel yang mengalami nekrotik, sel-sel fagosit, dan fibrin. Mula-mula membran tersebut tampak pada tonsil atau pada bagian posterior faring dan bisa menyebar ke atas ke bagian palatum yang lunak dan keras dan ke nasofaring, atau ke bagian bawah ke laring dan trakea. Pengambilan specimen dari daerah yang dilapisi pseudomembran ini sukar dan menampakkan perdarahan edema submukosa.7 Paralisis palatum dan hipofaring merupakan pengaruh toksin local awal. Penyerapan toksin dapat menyebabkan nekrosis tubulus ginjal, trombositopenia, miokardiopati, dan demielinasi saraf.5 Difteria laryngeal sangat berbahaya sebab kemungkinan terjadi sumbatan pada saluran napas. Difteria kulit biasa ditemukan di daerah tropic. Di Amerika Utara, luka kulit yang juga memberikan hasil C. diphteriae positif biasanya merupakan infeksi-infeksi sekunder pada luka gores atau pada gigitan serangga, di mana juga mengandung Streptococcus beta hemolyticus atau Staphylococcus aureus atau keduanya.7 Luka difteria juga terjadi pada bagian depan lubang hidung, bagian dalam hidung, mulut, mata, telinga tengah, dan pada kasus-kasus yang jarang, pada vagina. Endokarditis yang disebabkan oleh C. diphteriae yang toksik dan nontoksik juga sudah pernah dilaporkan. Beberapa Corynebacteria, seperti C. pseudodiphteriticum, C. hofmannii, C. xerosis, C. pyogenes, dan C. ulcerans, biasa disebut difteroid. Kuman ini merupakan flora normal pada selaput mukosa saluran pernapasan, saluran kencing, dan konjungtiva, kadang-kadang bisa juga menyebabkan penyakit. Sejumlah difteroid menyebabkan penyakit pada hewan, tetapi jarang menyerang manusia.7 Difteroid yang anaerob (Propionibacterium acnes) biasa terdapat pada kulit yang normal, dan sering dapat ikut berperan pada patogenitas jerawat. Beberapa Corynebacteria bisa menjadi oportunis dan menghasilkan atau menyebabkan bakteremia disertai angka kematian yang tinggi (C. xerosis, C. equi, C. matruchotii, dan C. pseudodiphteriticum) pada pasien-pasien yang imunosupresif. C. minutissimum merupakan penyebab eritrasma, suatu infeksi superficial pada daerah-daerah ketiak dan pubis.7Status kebal seseorang merupakan penentu utama apakah penyakit akan timbul atau tidak setelah invasi oleh kuman difteri. Imunitas terhadap difteria terutama tergantung pada adanya antitoksin dalam tubuh. Antitoksin ini dibentuk sebagai respon terhadap infeksi baik klinik maupun subklinik, atau sebagai akibat imunisasi aktif buatan. Antitoksin ini dapat dipindahkan secara alamiah, misalnya secara transplasental dalam uterus, atau secara buatan seperti pada transfuse. Imunisasi bayi dan anak prasekolah sangat menurunkan insiden difteria pada anak-anak, dan juga menyebabkan menurunnya jumlah karier. Kekebalan seseorang terhadap toksin difteria dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick.7

Manifestasi KlinisManifestasi klinis difteri tergantung pada lokasi infeksi, imunitas penderita, dan ada/tidaknya toksin difteri yang beredar dalam sirkulasi darah. Masa inkubasi difteri umumnya 2 5 hari. Kemudian pasien akan memperlihatkan keluhan-keluhan yang tidak spesifik, seperti:8 Demam dan kadang-kadang menggigil Kerongkongan sakit dan suara parau Perasaan tidak enak, mual dan muntah Sakit kepala Rinorea, berlendir kadang-kadang bercampur darah Teraba benjolan dan sembab pada daerah leher Fokus infeksi primer difteri adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang local. Demam jarang lebih tinggi dari 39C. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membran. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas.5 Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum, tetapi hanya setengah penderita menderita demam, dan lebih sedikit yang menderita disfagia, serak, malaise, atau nyeri kepala. Infeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring, dan daerah glottis. Oedem jaringan lunak di bawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran bull neck. Tingkat perluasan local berkorelasi secara langsung dengan kelemahan yang berat, gambaran bull neck, dan kematian karena gangguan jalan napas atau komplikasi yang diperantarai toksin.5Membrane pelekat seperti kulit meluas ke posterior daerah tenggorok, relative tidak panas, dan disfagia membantu membedakan difteri dari faringitis eksudat karena Streptococcus pyogenes dan virus Epstein-Barr. Angina Vincent, flebitis infektif dan thrombosis vena jugularis, serta mukositis pada penderita yang mengalami kemoterapi kanker biasanya dibedakan oleh keadaan klinis. Infeksi laring, trakea, dan bronkus dapat merupakan perluasan primer atau sekunder dari infeksi faring. Parau, stridor, dispnea, dan batuk radang tenggorok (croup), merupakan kunci. Perbedaan dari epiglotis bakteri, laringotrakeitis virus berat, dan trakeitis staphylococcus sebagian berhubungan relative kecil dengan tanda-tanda dan gejala-gejala pada penderita dengan difteri, dan terutama pada visualisasi perlekatan pseudomembran pada saat laringoskopi dan intubasi.5Penderita dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena oedem jaringan lunak dan penyumbatan lepas epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pembuatan saluran napas buatan dan pemotongan psudomembran menyelamatkan jiwa, tetapi sering ada komplikasi obstruktif lebih lanjut, dan komplikasi toksik sistemik tidak dapat dihindarkan. C. diphteriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif), dan saluran genital (vulvovaginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinis, ulserasi, pembentukan membrane, dan perdarahan submukosa membantu membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain.5

PenatalaksanaanAntitoksinAntitoksin spesifik merupakan terapi utama dan harus diberikan atas dasar diagnosis klinis, karena ia hanya menetralisasi toksin bebas. Antitoksin difteri yang sekarang ini tersedia adalah preparat dari serum kuda. Antitoksin diberikan sekali dengan dosis empiris didasarkan pada derajat toksisitas, tempat dan ukuran membran, serta lama sakit. Kebanyakan pakar lebih menyukai lewat intravena, dengan infuse di atas 30-60 menit. Antitoksin mungkin tidak bermanfaat untuk manifestasi local difteri kulit, tetapi penggunaannya hati-hati karena dapat terjadi sekuele toksik.

Tabel 1. Pemberian Antitoksin untuk Pengobatan Difteri.5Dasar DosisDosis Antitoksin (U)

Hanya lesi kulit20.000 40.000

Penyakit faring/laring, lamanya 48 jam20.000 40.000

Lesi nasofaring40.000 60.000

Penyakit meluas lama 72 jam80.000 100.000

Pembengkakan leher difus80.000 100.000

Sebanyak 10% individu sebelumnya menderita hipersensitivitas terhadap protein kuda, bahkan penderita yang sangat sakit pun harus diuji sebelum diinfus antitoksin. Uji intradermal yang digunakan adalah 0,02 mL antitoksin yang dilarutkan dalam garam fisiologis 1 : 100 atau antitoksin yang dilarutkan dalam garam fisiologis 1 : 1000 jika individu tersebut memiliki riwayat alergi binatang atau terpajan sebelumnya oleh serum binatang.5 Reaksi segera ditentukan sebagai indurasi dengan eritema sekitarnya sekurang-kurangnya 3 mm lebih besar daripada uji control negative, dibaca pada 15 sampai 20 menit dengan dosis sebagai berikut:8 0,1 ml larutan 1 : 20, subkutan (dalam cairan NaCl 0,9%) 0,1 ml larutan 1 : 10, subkutan 0,1 ml tanpa dilarutkan, subkutan 0,3 ml tanpa dilarutkan, intramuscular 0,5 ml tanpa dilarutkan, intramuscular 0,1 ml tanpa dilarutkan, intravenaUntuk mereka dengan hasil uji negative, dosis awal 0,5 mL antitoksin diencerkan dalam 10 mL garam fisiologis atau larutan glukosa 5% diberikan selambat mungkin dengan pengamatan 30 menit; sisanya kemudian dilarutkan 1 : 20 dan diberikan pada kecepatan tidak melebihi 1 mL/menit.5 AntimikrobaTerapi antimikroba terindikasi untuk menghentikan produksi toksin, mengobati infeksi yang terlokalisasi, dan mencegah penularan organism pada kontak C. diphteriae biasanya rentan terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampin, dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Antimikroba yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring. Terapi yang tepat adalah eritromisin yang diberikan secara oral atau parenteral (40-50 mg/kg/24 jam; maksimum 2 g/24 jam), penisilin G Kristal aqua diberikan secara intramuskuler atau intravena (100.000 150.000 U/kg/24 jam; dibagi dalam 4 dosis), atau penisilin prokain (25.000 50.000 U/kg/24 jam; dibagi dua dosis) diberikan secara intramuskuler. Terapi antibiotic bukan pengganti terapi antitoksin. Terapi diberikan selama 14 hari. Terapi diberikan selama 14 hari. Hilangnya organism harus dipantau sekurang-kurangnya 2 biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorokan (atau kulit) yang diambil dengan interval 24 jam setelah selesai terapi. Pengobatan dengan eritromisin diulangi jika hasil biakan positif.5 Terapi LainnyaPenderita dengan difteri faring ditempatkan dalam isolasi yang ketat, dan penderita dengan difteri kulit ditempatkan pada isolasi kontak sampai biakan yang diambil sesudah penghentian terapi menunjukkan hasil negative. Luka kulit dibersihkan menyeluruh dengan dengan sabun dan air. Tirah baring sangat penting pada fase akut penyakit, dengan pengembalian aktivitas fisik berpedoman pada tingkat toksisitas dan keterlibatan jantung. Komplikasi penyumbatan jalan napas dan aspirasi harus secara agresif dicegah pada penderita difteria orofaring dan laring, dengan pembentukan jalan napas artificial terlebih dahulu. Gagal jantung kongestif dan malnutrisi harus dipikirkan dan dicegah.5

KomplikasiKegagalan napasDifteri pada saluran pernapasan dapat berkembang dengan cepat, sehingga dapat menimbulkan kesulitan bernapas karena terjadi sumbatan/hambatan jalan masuknya udara.8 Sumbatan pada saluran napas terjadi karena oedem pada faring, laring, trakea, maupun bronkus oleh adanya inflamasi pada area tersebut. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesulitan bernapas, takikardi, dan pucat. Miokardiopati toksikMiokardiopati toksik terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara dapat terdeteksi pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua, tetapi risiko komplikasi yang berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring local eksudatif dan penundaan pemberian antitoksin.5 Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3 sakit ketika penyakit faring membaik, tetapi dapat muncul secara akut seawal 1 minggu bila berkemungkinan hasil akhirnya meninggal, atau secara tersembunyi lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi di luar proporsi demam lazim dan dapat merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi system saraf autonom. Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada EKG relative merupakan tanda lazim.5 Disritmia jantung tunggal atau disritmia progresif dapat terjadi, seperti blockade jantung derajat I, II, dan III, disosiasi atrioventrikuler, dan takikardi ventrikuler. Gagal jantung kongesti klinis mungkin mulai secara tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar aminotransferase aspartat serum sangat parallel dengan keparahan mionekrosis. Disritmia berat meramalkan kematian. Penemuan histologik pada kepentingan forensic menunjukkan sedikit mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Penderita yang bertahan hidup dari disritmia berat dapat memiliki efek hantaran permanen, sedangkan yang lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik biasanya sempurna.5 Neuropati toksikSecara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia dan paralisis local palatum molle. Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior dapat menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan risiko kematian karena aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang Nampak sebagai strabismus, pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris mulainya 10 hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan difisit motor dengan hilangnya reflex tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai menyebar ke distal, dan lebih sering kelemahan distal yang menyebar kea rah proksimal. Paralisis diafragma dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. Dua atau 3 minggu sesudah mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan hipotensi atau gagal jantung.5

Prognosis

Prognosis untuk penderita difteri tergantung pada virulensi organism (subspecies gravis mempunya mortalitas tertinggi), umur, status imunisasi, tempat infeksi, dan kecepatan pemberian antitoksin. Penyumbatan mekanik karena difteri laring atau difteri bull neck dan komplikasi miokarditis menyebabkan mortalitas karena difteria yang paling besar. Mortalitas hampir 10% untuk difteri saluran pernapasan. Pada penyembuhan, pemberian toksoid difteri terindikasi untuk menyempurnakan dosis imunisasi booster, karena tidak semua penderita mengembangkan antibodi pascainfeksi.5

Pencegahan

Imunisasi aktif dengan toksoid merupakan cara pencegahan terbaik. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berumur antara 2-3 bulan, biasanya berupa 2 dosis APT (alum precipitated toxoid) dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis, yang diberikan dengan interval 2, 4, dan 6 bulan.7 Dosis booster diberikan usia 18 dan 24 bulan, serta pada anak sekolah berumur 5 tahun.9-11 Imunisasi pasif dengan menggunakan antitoksin berkekuatan 1.000 - 3.000 unit dapat diberikan kepada orang tidak kebal yang sering berhubungan dengan kuman-kuman virulen. Oleh karena proteksi semacam ini berlangsung sebentar dan pemberian antitoksin ini dapat menimbulkan hipersensitivitas atau timbul reaksi anafilaktik pada orang yang sebelumnya pernah kontak dengan protein asing, maka penggunaannya harus dibatasi pada keadaan-keadaan yang memang sangat gawat.7

Kesimpulan

Pasien didiagnosa menderita difteria tonsil faring (fausial difteria) yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae dengan ditemukannya manifestasi klinik berupa sesak napas yang sebelumnya didahului dengan demam, batuk, dan nyeri menelan . Diagnosa pasti ditegakkan dengan ditemukannya psudomembran dan bull neck pada pemeriksaan fisik, serta diketahui riwayat imunisasi yang tidak lengkap melalui anamnesis.

Daftar Pustaka

1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.2. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. ed 8. Jakarta: EGC; 2009.3. Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson ilmu kesehatan anak volume 2. ed 15. Jakarta: EGC; 2000. 4. Vandepitte J, Verhaegen J, Engbaek K, Rohner P, Piot P, Heuck CC. Prosedur laboratorium dasar untuk bakteriologi klinis. ed 2. Jakarta: EGC; 2011.5. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar mikrobiologi kedokteran. ed revisi. Tangerang: Binarupa Aksara; 2012.6. Sudoyo AW. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3. Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.7. Anwar Z. Imunisasi pada bayi dan anak. Jurnal Kedokteran & Kesehatan Publikasi Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya 2007 Januari; 39(1):1605-7.8. Cahyono JBSB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Yogyakarta: Kanisius; 2010.9. Gupte S. Panduan perawatan anak. Jakarta: Pustaka Populer Obor; 2004.

6