Bisnis Indonesia “S -...

1
Surat Kabar 1. Harian Kompas 2. Tribun Pekanbaru 3. Bangka Pos 4. Banjarmasin pos 5. Surya 6. Sriwijaya Pos 7. Serambi Indonesia 8. Pos Kupang 9. Warta Kota 10. Tribun Batam 11. Tribun Jabar 12. Tribun Kaltim 13. Tribun Timur Majalah dan Tabloid 1. National Geographic 2. Bobo 3. Hai 4. Kawanku 5. Nova 6. Info Komputer 7. Angkasa 8. Kontan 9. PC Plus 10. Bola 11. Soccer 12. Motorplus 13. Otomotif Net 14. Idea 15. Sinyal 16. Nakita 17. Gaya Hidup Sehat Penerbit 1. Elex Media Komputindo 2. Gramedia Majalah 3. Gramedia Pustaka Utama 4. Grasindo 5. Kepustakaan Populer Gramedia 1. KOMPAS.COM 2. Sonora 3. Motion FM Media Elektronik Industri 1. Bentara Budaya 2. Dyandra Promosindo 3. PT Gramedia Printing Group 4. PT Graha Kerindo Utama 5. Toko Buku Gramedia Pendidikan Universitas Multimedia Nusantara Ket: data dikutip dari www.kompas.com dan wikipedia edia edia K e l o m p o k U s a h a K o m p a s G r a m e d i a BISNIS/ILHAM NESABANA Hotel: 1. Amaris Hotel 2. Santika Indonesia 3. The Kanaya 4. The Samaya OLEH SETYARDI WIDODO Wartawan Bisnis Indonesia “S aya ini hanya seorang guru yang belajar sejarah dan belajar jur- nalistik sehingga akhirnya, karena berkat, dapat membawa dan mengorganisasi rekan-rekan untuk bekerja dalam sebuah media massa sampai sekarang ini.” Begitulah cara Jakob Oetama, pendiri Kompas Gramedia, dalam menggambarkan dirinya, seperti dikutip Kompas.com bulan lalu. Jakob Oetama menyampaikan hal itu dalam sambutannya di suatu acara yang dihadiri Wakil Presiden Boediono. Ada nada rendah hati dan se- derhana di sana. Tidak tampak kesan jumawa. Siapa pun yang berkesempatan berbicara langsung dengan Jakob Oetama hampir pasti akan mendapatkan kesan serupa tentang sosok wartawan sekaligus pengusaha senior itu. Begitu pula kesan yang kami tangkap ketika mewawancarai pendiri Kompas Gramedia itu. Di ruang kerjanya, Jakob Oetama men- jawab pertanyaan Bisnis dengan didampingi Agung Adiprasetyo, CEO Kompas Gramedia. Jakob menyebut apa yang di- hasilkannya di Kompas Gramedia dengan kata “lumayan”. Namun, “lumayan” dalam konteks ini ter- nyata sulit untuk sekadar dikatakan lumayan oleh orang lain. Lumayan di sini agaknya bisa pula dimaknai sebagai luar biasa. Dalam grup yang disebutnya lu- mayan itu ada koran terbesar di Indonesia dengan oplag di atas 400.000 eksemplar, ada toko buku Gramedia (singkatan dari Graha Media) yang kini jum- lahnya 98 buah dan tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu, grup ini juga mengelola belasan koran lokal serta 70 majalah dan tabloid (lihat ilustrasi). Kompas Gramedia juga memiliki penerbitan, di antaranya Elex Media Komputindo, Gramedia Majalah, Gramedia Pustaka Utama, Grasindo, dan Kepustakaan Populer Gramedia. Grup ini juga mengelola sekitar 26 hotel dan vila, antara lain Amaris Hotel, Santika Indonesia, The Kanaya, serta The Samaya. Di sektor lainnya ada Bentara Budaya, Dyandra Promosindo, PT Gramedia Printing Group, PT Graha Kerindo Utama, dan di bidang pen- didikan kini Grup Kompas Gramedia memiliki Universitas Media Nusantara. Pada 2012, kelompok usaha itu menargetkan penambahan hotel hingga 62, toko buku 120 dan koran menjadi 26. Begitulah “lumayan” versi rendah hati Jakob Oetama. Namun, rendah hati bukan berarti tidak percaya diri. Sepeninggal sohibnya, Petrus Kanisius Ojong pada 1980, Jakob Oetama seolah menjadi tumpuan utama bagi biduk konglomerasi yang sedang tumbuh itu, dan men- jadi tumpuan semacam itu tentu memerlukan kepercayaan diri yang kuat. “Saya nggak tahu bisnis. Tapi saya tahu diri kalau saya nggak tahu. Cuma barangkali otak saya dikaruniai kecerdasan yang memadai sehingga dengan kemauan belajar ya bisa menangkap apa yang diperlukan,” katanya menggam- barkan apa yang dilakukannya sepen- inggal mitranya dalam membangun Kompas Gramedia. Dengan merendah dia mengaku basis bagi pembangunan grup sudah cukup kokoh ketika di- tinggal oleh mitranya itu. “Saya melanjutkan saja,” paparnya. Gayanya yang lembut, rendah hati, dan santun itu selalu dikaitkan dengan gaya seorang guru. Pria kelahiran Borobudur, 27 September 1931, agaknya tidak ingin melepas- kan diri dari sosoknya sebagai se- orang (mantan) guru. Sebelum ter- jun ke dunia jurnalistik, Jakob muda memang per- nah menjadi seorang guru. Dia pernah menjadi guru SMP Mardiyuana di Cipanas pada 1952 dan guru SMP Van Lith di Jakarta pada 1953, sebelum bergabung menjadi redaktur mingguan Penabur di Jakarta sejak 1955. Dari sanalah kariernya sebagai wartawan bermula. Pada 1963 Jakob Oetama diper- caya menjadi Pemimpin Redaksi Intisari, majalah yang polanya meniru Reader’s Digest. Dua tahun kemudian dimulailah kiprah- nya sebagai pemimpin Redaksi Kompas. Dari titik itulah namanya kemudian melambung ke jagat media di Indonesia serta men- jadi seorang pengusaha yang diakui konglomerasinya. Jakob menempuh pendidikan sebagian besar di Yogyakarta. Dari SD hingga SMA (seminari) dilalui- nya di Kota Gudeg itu. Kemudian dia melanjutkan pendidikan ke BI Ilmu Sejarah P & K, di Jakarta pada 1956, serta Perguruan Tinggi Publisistik, Jakarta. Pada 1961, Jakob masuk ke Fakultas Sosial Politik Universitas Gadjah Mada. Empat puluh dua tahun kemudian, perguruan tinggi itu memberinya gelar Doktor Honoris Causa karena pencapaiannya yang dianggap luar biasa di bidang jurnalistik Indonesia. Sulastomo pernah menulis bahwa semula Jakob Oetama ragu-ragu untuk menerima gelar dari almamaternya itu. ”Jakob Oetama tidak silau oleh pujian yang diberikan kepadanya,” begitu komentarnya dalam sebuah artikel tentang gelar Dr (HC) untuk Jakob Oetama. Organik dan organis Jakob Oetama merumuskan apa yang dibangunnya di Kompas de- ngan istilah “organik sekaligus organis”. Lembaga pers, katanya, haruslah organik sekaligus organis. Dia menggambarkan lembaga yang organik itu seperti tubuh manusia yang terdiri dari macam- macam bagian, tetapi merupakan kesatuan. Ada tangan, kaki, mata, tapi semua merupakan kesatuan dan kesatuan yang organik ini lalu karena bersatu saling tergantung menjadi or- ganis. “Organik itu ya lebih ke sosoknya yang tampak, yang lahiriah. Organis itu kesatuan- nya, yang lalu mempunyai fungsi, mempunyai peran. Organik ben- tuknya konkret, organis menjadi satu karena mempunyai fungsi bersama. Sesuatu yang berbeda tetapi bersama,” begitu paparnya. Lembaga pers seperti Kompas, terdiri atas bagian redaksi, bagian percetakan, ada distribusi yang me- ngedarkan, ada keuangan, ada yang berhubungan dengan agen. “Ba- gian-bagian redaksi dengan perce- takan, dengan bagian manajemen, bisnis, harus kerja sama. Kalau ti- dak, omong kosong bisa maju. Ya itulah organik yang organis.” Lembaga organik yang tidak organis, katanya, tidak bisa berjalan serempak. Dia memberikan contoh media yang dari sisi redaksinya hebat, tapi distribusinya tidak karu- an, percetakannya jelek dan tidak tepat waktu, akan sulit untuk suk- ses. Keseimbangan ini, katanya, tidak mudah terwujud mengingat wartawan umumnya ‘cerewet’. Lalu apa yang dianggap sebagai kunci keberhasilan yang harus ada dalam individu-individu? Menurut Jakob, salah satu yang terpenting adalah semangat untuk bekerja dengan all out alias tidak setengah- setengah. Berkali-kali Jakob Oetama menekankan perlunya all out dalam bekerja baik oleh wartawan, pemasaran, bagian yang berurusan dengan agen, maupun bagian lain- nya. Semangat kerja all out ini, menu- rut dia, kurang ada pada bangsa Indonesia. “Kita ini perlu mengubah karakter bangsa kita yang baik, rajin, tapi kurang all out dan kurang konsisten,” begitulah dia menggambarkan peran all out dalam kesuksesan. Khusus untuk pengelolaan bagian keuangan, Jakob Oetama punya resep tambahan. Orang yang diper- caya mengelola uang, selain cakap dan andal juga harus pandai menja- ga mulut, harus tutup mulut. “Misalnya orang yang pegang bis- nis ya orang yang tahu bisnis. Saya ambil contoh, yang pegang uang bukan hanya perlu jujur, perlu tutup mulut. Kelihatannya sepele ya. Tapi coba orang yang pegang uang itu tidak tutup mulut. Nah itu keliatannya sepele, tapi itu etika profesi yang sangat diperlukan.” Penyesalan Berdasarkan pengalamannya lebih dari 4 dekade mengelola media, Jakob Oetama percaya bahwa koran tak akan mati kendati serbuan dari medium lain seperti televisi dan Internet kian gencar. Dia menyebut apa yang disajikan televisi dan Internet itu sebagai ton- tonan. Dan itu tak cukup. Surat kabarlah yang mengisi kekosongan itu dengan sajian yang lebih men- dalam, tetapi juga dengan formula yang tetap menghibur. Kendati begitu, Jakob mengakui peran penting televisi. Dia juga mengaku menyesal telah melepaskan TV7, yang awalnya dimiliki Kompas Gramedia, terlalu cepat. Pada masa kini, katanya, un- tuk menjangkau seluruh masya- rakat mau tak mau harus melalui televisi. Dalam soal Internet, Kompas telah mengembangkan Kompas Cyber Media. Belakangan, layanan blog Kompasiana semakin populer. Grup itu bahkan mengantisipasi hadirnya era multimedia dengan membangun Universitas Multime- dia Nusantara. Agaknya, meskipun Jakob Oetama percaya koran tidak akan mati, grup tersebut juga all out dalam menyongsong era multi- media. ([email protected]) Apa yang membuat Grup Kompas Gramedia begitu dinamis? Yang pertama dan faktual betul, menang umur, atau menurut saya, kita ini ada falsafah, punya pandangan yang kami rumuskan sebagai kemanu- siaan yang beriman. Iman terserah masing-masing. Kita justru tegaskan kemanusiaan itu kare- na yang kita layani adalah persoalan kita, persoalan manusia. Ini barangkali yang menyebabkan kita mencoba, de- ngan demikian maka lembaga ini menjadi terbuka. Keterbukaanlah yang bisa menghim- pun segala macam potensi dan suku bangsa dan agama dalam bangsa ini ru- panya merupakan potensi kemampuan yang sangat kreatif. Ini yang saya syukuri karena ini lalu ingin kita reflek- sikan bangsa ini yang majemuk. Ini terus terang ya, saya refleksi, ini suatu kontribusi yang besar dari grup ini. Bahwa kalau kita bersatu, ya kita punya paham yang sama dan falsafah. Kemudian kita terjemahkan lebih lanjut kerja sama itu, sinergi itu, falsafah itu, ke dalam semangat bekerja. Semangat bekerja yang kita alami, yang sejak Pak Ojong [pendiri Kompas bersama Jakob Oetama] kembangkan, bekerja itu jangan setengah-setengah. Bekerja itu all out. Apalagi wartawan. Wartawan itu pekerjaan yang menun- tut, keseluruhan tenaga, daya, pikiran, ndak kenal jam. Melihat dinamika industri media yang begitu pesat, apakah media di Indonesia on the right track? Yang kita cemaskan dengan timbul- nya multimedia, televisi, dan media yang lain, kita bertanya apakah media cetak itu masih punya hak hidup. Atau dia tidak hanya disaingi oleh lembaga media elektronik yang sekarang marak di negeri ini atau dia akan bertahan. Empiris di beberapa negara di Eropa itu surut, tapi di Asia, seperti ditun- jukkan oleh India dan China, masih subur. Saya pribadi berpendapat masa orang cari pengetahuan, cari berita yang benar, lengkap, itu hanya dengan nonton? Atau per- lu membaca? Nonton itu istilah saya carried away, kita ter- bawa arus. Pe- ngetahuan sehari- hari, informasi sehari-hari yang bermanfaat, yang memiliki keda- laman, yang memiliki dimensi lebih lengkap masih perlu dibaca tidak ha- nya dengan ditonton. Saya termasuk yang tadi: masa sih orang hanya nonton dan membaca singkat-singkat. Ya, menurut saya tetap perlu membaca koran. Tapi saya juga suka menggugat diri, wah ini menghi- bur diri (tertawa). Bagaimana selaraskan idealisme media dengan bisnis? Katanya ada satu dua koran yang gratis, tapi even that toh dia perlu orang yang mendistribusikan. Demi- kian pula medium yang lain. Itu perlu organisasi, perlu pembagian tugas. Karena misalnya di Eropa Utara mulai ada koran yang dibagikan gratis toh tetap dia harus hidup dari iklan, tetap ada yang ngurus, dan tetap terikat oleh aturan, kode etik perilaku. Saingan memang akan makin keras, seperti yang kita alami sekarang di Indonesia. Kombinasi suatu lembaga yang punya sikap, kepribadian, tapi juga menarik dan memberi manfaat. Media apa pun pilihan kita, seperti Anda, media bisnis, pasti harus melakukan itu. Kalau isinya hanya serius membo- sankan, yah bagaimanapun seriusnya, media itu melekat secara inheren fung- si entertainment, fungsi yang menarik dan menghibur. Tentu bentuknya dise- suaikan dengan sosok dari koran itu masing-masing. Kalau mengenai values sebuah me- dia itu kan hidup di masyarakatnya. Di Indonesia, Kompas sebagai koran ter- besar memiliki pe- ran untuk me- nyumbangkan se- suatu values kepada masyarakat demi kebaikan pada masa depan. Bagaimana mempertahankan Kompas hingga berusia 45 tahun sekarang ini? Saya rasa yang penting manajemen. Sebagai orang beriman, apa pun iman kita, ini rahmat dari atas. Tapi rakhmat itu juga turun karena ada usaha manu- sia, usaha yang all out, ikhlas, dan sejauh mungkin lurus. Lalu manpower penting. Pak Ojong me- mahami betul dan pekerja keras, ju- jur, do care, peduli terhadap sesama dan karyawan. Saya rasa ini mengendap menjadi salah satu butir strategi yang kita usahakan. Lalu kita berusaha, sekalipun asal mula Partai Katolik, ti- dak mungkin koran tidak untuk umum, sekalipun editorial policy-nya berbeda-beda. Saya nggak tahu bisnis, tapi saya tahu diri kalau saya nggak tahu. Cuma barang kali otak saya dikaruniai kecer- dasan memadai, sehingga dengan kemauan belajar ya bisa menangkap apa yang diperlukan. Misalnya, orang yang pegang bisnis ya harus tahu bis- nis. Saya ambil contoh, yang pegang uang bukan hanya perlu jujur, perlu tutup mulut. Itu etika profesi yang sa- ngat diperlukan. Bapak mengenal filosofi orang kepercayaan? Ya, artinya orang kepercayaan yang didasarkan pada kriteria. Misalnya untuk saya, ka- rena di sini ada- lah kelemahan kita pada umumnya, [orang] yang pe- gang duit. Ke- cuali jujur dan cerdas, ya itu tadi [bisa tutup mulut]. Jadi kita berusaha the right man on the right place, tidak hanya skill-nya atau pengetahuan tapi karakter. Ba- rangkali di sini karakter itu merupa- kan salah satu unsur yang menyebab- kan kita lumayan. Karakter kuat tapi juga bisa bekerja sama. Itu juga pen- ting, memegang etik dari profesinya. Peran keluarga? Contoh saja, saya suka menyesal kok anak saya dan anak Pak Ojong nggak ada yang disekolahkan dalam jurusan jurnalistik. Baru sekarang ini saya ka- dang-kadang menyesal. Karena waktu itu kita tidak merasakan ini harus menjadi perusahaan keluarga. Anak-anak tidak terlibat? Saya itu tetap (percaya) profesional. Itu tulang punggung. Tapi anak ya bo- leh saja. Lalu kalau anak juga profesio- nal, itu pengalaman kita di sini. Kecua- li skill dan ilmu, tidak kalah penting karakter, kepribadian. Itu penting. Jadi tidak menyiapkan putra mahkota? Tidak. Tidak. Tetapi ya ada yang ya saya nggak mau sebut. Tapi kelihatan- nya ada yang bisa, karena juga punya kepribadian yang diterima. Hotel tuh kebetulan anak saya. Tapi kok menurut saya tetap nggak bisa meninggalkan [sikap] profesional. Pewawancara: RATNA ARIYANTI/ SETYARDI WIDODO/NENENG HERBAWATI/LINDA TANGDIALLA/ ARIEF BUDISUSILO Jakob Oetama: Bekerja itu all out! Lahir di Borobudur, Magelang, 27 September 1931 Pendidikan • SMA Seminari Yogyakarta • Sekolah Guru Sejarah B1 (1956) • Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta (1959) • Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gadjah Mada (1961) Pekerjaan • Guru SMP Mardiyuana (1952) • Guru SMA Van Lith Jakarta (1953) • Editor Majalah Penabur (1955) • Mengelola Majalah Intisari (1963) • Mendirikan Harian Kompas (1965) Bisnis Indonesia, dalam rangka HUT ke-25, me- nampilkan sejum- lah tokoh bisnis yang inspiratif. Tulisan pertama tentang Jakob Oetama, pendiri Kompas Grame- dia, pemain uta- ma di industri media yang ke- mudian meram- bah ke bidang lain. Berikut pe- nuturannya me- ngenai kiat dan prinsip-prinsip dalam berbisnis. “... Kompas sebagai koran terbesar memiliki peran untuk menyumbangkan sesuatu values kepada masyarakat demi kebaikan pada masa depan.” Biografi Jakob Oetama FOTO-FOTO: BISNIS/YAYUS YUSWOPRIHANTO I NSPIRASI BISNIS 6 Bisnis Indonesia, Rabu, 18 Agustus 2010 Merajai bisnis media tanpa jumawa

Transcript of Bisnis Indonesia “S -...

Surat Kabar1. Harian Kompas2. Tribun Pekanbaru3. Bangka Pos4. Banjarmasin pos

5. Surya6. Sriwijaya Pos7. Serambi Indonesia8. Pos Kupang9. Warta Kota10. Tribun Batam11. Tribun Jabar12. Tribun Kaltim13. Tribun Timur

Majalah dan Tabloid

1. National Geographic

2. Bobo3. Hai4. Kawanku5. Nova6. Info Komputer

7. Angkasa8. Kontan9. PC Plus10. Bola11. Soccer12. Motorplus

13. Otomotif Net

14. Idea15. Sinyal16. Nakita17. Gaya Hidup Sehat

Penerbit1. Elex Media Komputindo2. Gramedia Majalah3. Gramedia Pustaka Utama4. Grasindo5. Kepustakaan Populer Gramedia

1. KOMPAS.COM2. Sonora3. Motion FM

Media Elektronik

Industri1. Bentara Budaya2. Dyandra Promosindo 3. PT Gramedia Printing Group4. PT Graha Kerindo Utama5. Toko Buku Gramedia

Pendidikan

UniversitasMultimediaNusantara

Ket: data dikutip dari www.kompas.com dan wikipedia

ediaedia

Kelompok Usaha Kompas Gramedia

BISNIS/ILHAM NESABANA

Hotel:

1. Amaris Hotel2. Santika

Indonesia3. The Kanaya4. The Samaya

OLEH SETYARDI WIDODOWartawan Bisnis Indonesia

“Saya ini hanya seorangguru yang belajarsejarah dan belajar jur-nalistik sehingga

akhirnya, karena berkat, dapatmembawa dan mengorganisasirekan-rekan untuk bekerja dalamsebuah media massa sampaisekarang ini.”

Begitulah cara Jakob Oetama,pendiri Kompas Gramedia, dalammenggambarkan dirinya, sepertidikutip Kompas.com bulan lalu.Jakob Oetama menyampaikan halitu dalam sambutannya di suatuacara yang dihadiri Wakil PresidenBoediono.

Ada nada rendah hati dan se-derhana di sana. Tidak tampakkesan jumawa. Siapa pun yangberkesempatan berbicara langsungdengan Jakob Oetama hampir pastiakan mendapatkan kesan serupatentang sosok wartawan sekaliguspengusaha senior itu.

Begitu pula kesan yang kamitangkap ketika mewawancaraipendiri Kompas Gramedia itu. Diruang kerjanya, Jakob Oetama men-jawab pertanyaan Bisnis dengandidampingi Agung Adiprasetyo,CEO Kompas Gramedia.

Jakob menyebut apa yang di-hasilkannya di Kompas Gramediadengan kata “lumayan”. Namun,“lumayan” dalam konteks ini ter-nyata sulit untuk sekadar dikatakanlumayan oleh orang lain. Lumayandi sini agaknya bisa pula dimaknaisebagai luar biasa.

Dalam grup yang disebutnya lu-mayan itu ada koran terbesar diIndonesia dengan oplag di atas400.000 eksemplar, ada toko bukuGramedia (singkatan dari GrahaMedia) yang kini jum-lahnya 98 buah dantersebar di seluruhIndonesia.

Selain itu, grup inijuga mengelola belasan

koran

lokal serta 70 majalah dan tabloid(lihat ilustrasi).

Kompas Gramedia juga memilikipenerbitan, di antaranya Elex MediaKomputindo, Gramedia Majalah,Gramedia Pustaka Utama, Grasindo,dan Kepustakaan Populer Gramedia.Grup ini juga mengelola sekitar 26hotel dan vila, antara lain AmarisHotel, Santika Indonesia, TheKanaya, serta The Samaya.

Di sektor lainnya ada BentaraBudaya, Dyandra Promosindo, PTGramedia Printing Group, PT GrahaKerindo Utama, dan di bidang pen-didikan kini Grup KompasGramedia memiliki UniversitasMedia Nusantara.

Pada 2012, kelompok usaha itumenargetkan penambahan hotelhingga 62, toko buku 120dan koran menjadi 26.

Begitulah “lumayan” versirendah hati Jakob Oetama.Namun, rendah hati bukanberarti tidak percaya diri.Sepeninggal sohibnya, PetrusKanisius Ojong pada 1980, JakobOetama seolah menjadi tumpuanutama bagi biduk konglomerasiyang sedang tumbuh itu, dan men-jadi tumpuan semacam itu tentumemerlukan kepercayaan diri yangkuat.

“Saya nggak tahu bisnis. Tapisaya tahu diri kalau saya nggaktahu. Cuma barangkali otak sayadikaruniai kecerdasan yangmemadai sehingga dengankemauan belajar ya bisamenangkap apa yang diperlukan,”

katanya menggam-barkan apa yangdilakukannya sepen-inggal mitranyadalam membangunKompas Gramedia.

Dengan merendahdia mengaku basisbagi pembangunan

grup sudah cukup kokoh ketika di-tinggal oleh mitranya itu. “Sayamelanjutkan saja,” paparnya.

Gayanya yang lembut, rendahhati, dan santun itu selalu dikaitkandengan gaya seorang guru. Priakelahiran Borobudur, 27 September1931, agaknya tidak ingin melepas-kan diri dari sosoknya sebagai se-orang (mantan) guru. Sebelum ter-jun ke dunia jurnalistik, Jakob

muda memang per-nah menjadi seorang guru.

Dia pernah menjadi guru SMPMardiyuana di Cipanas pada 1952dan guru SMP Van Lith di Jakartapada 1953, sebelum bergabungmenjadi redaktur mingguanPenabur di Jakarta sejak 1955. Darisanalah kariernya sebagai wartawanbermula.

Pada 1963 Jakob Oetama diper-caya menjadi Pemimpin RedaksiIntisari, majalah yang polanyameniru Reader’s Digest. Duatahun kemudiandimulailah kiprah-nya sebagai

pemimpin

Redaksi Kompas. Dari titik itulahnamanya kemudian melambung kejagat media di Indonesia serta men-jadi seorang pengusaha yang diakuikonglomerasinya.

Jakob menempuh pendidikansebagian besar di Yogyakarta. DariSD hingga SMA (seminari) dilalui-nya di Kota Gudeg itu. Kemudiandia melanjutkan pendidikan ke BIIlmu Sejarah P & K, di Jakarta pada1956, serta Perguruan TinggiPublisistik, Jakarta.

Pada 1961, Jakob masuk keFakultas Sosial Politik Universitas

Gadjah Mada. Empat puluh duatahun kemudian, perguruantinggi itu memberinya gelarDoktor Honoris Causa karenapencapaiannya yang dianggapluar biasa di bidang jurnalistikIndonesia.

Sulastomo pernah menulisbahwa semula Jakob Oetamaragu-ragu untuk menerimagelar dari almamaternya itu.”Jakob Oetama tidak silau oleh

pujian yang diberikan kepadanya,”begitu komentarnya dalam sebuahartikel tentang gelar Dr (HC) untukJakob Oetama.

Organik dan organisJakob Oetama merumuskan apa

yang dibangunnya di Kompas de-ngan istilah “organik sekaligusorganis”. Lembaga pers, katanya,haruslah organik sekaligus organis.

Dia menggambarkan lembagayang organik itu seperti tubuhmanusia yang terdiri dari macam-macam bagian, tetapi merupakankesatuan. Ada tangan, kaki, mata,tapi semua merupakan kesatuandan kesatuan yang organik ini

lalu karena bersatusaling tergantungmenjadi or-ganis.

“Organik itu

ya lebih ke sosoknya yang tampak,yang lahiriah. Organis itu kesatuan-nya, yang lalu mempunyai fungsi,mempunyai peran. Organik ben-tuknya konkret, organis menjadisatu karena mempunyai fungsibersama. Sesuatu yang berbedatetapi bersama,” begitu paparnya.

Lembaga pers seperti Kompas,terdiri atas bagian redaksi, bagianpercetakan, ada distribusi yang me-ngedarkan, ada keuangan, ada yangberhubungan dengan agen. “Ba-gian-bagian redaksi dengan perce-takan, dengan bagian manajemen,bisnis, harus kerja sama. Kalau ti-dak, omong kosong bisa maju. Yaitulah organik yang organis.”

Lembaga organik yang tidakorganis, katanya, tidak bisa berjalanserempak. Dia memberikan contohmedia yang dari sisi redaksinyahebat, tapi distribusinya tidak karu-an, percetakannya jelek dan tidaktepat waktu, akan sulit untuk suk-ses. Keseimbangan ini, katanya,tidak mudah terwujud mengingatwartawan umumnya ‘cerewet’.

Lalu apa yang dianggap sebagaikunci keberhasilan yang harus adadalam individu-individu? MenurutJakob, salah satu yang terpentingadalah semangat untuk bekerjadengan all out alias tidak setengah-setengah.

Berkali-kali Jakob Oetamamenekankan perlunya all outdalam bekerja baik oleh wartawan,pemasaran, bagian yang berurusandengan agen, maupun bagian lain-nya.

Semangat kerja all out ini, menu-rut dia, kurang ada pada bangsa

Indonesia. “Kita iniperlu mengubah

karakterbangsakitayang

baik,

rajin, tapi kurang all out dankurang konsisten,” begitulah diamenggambarkan peran all outdalam kesuksesan.

Khusus untuk pengelolaan bagiankeuangan, Jakob Oetama punyaresep tambahan. Orang yang diper-caya mengelola uang, selain cakapdan andal juga harus pandai menja-ga mulut, harus tutup mulut.

“Misalnya orang yang pegang bis-nis ya orang yang tahu bisnis. Sayaambil contoh, yang pegang uangbukan hanya perlu jujur, perlututup mulut. Kelihatannya sepeleya. Tapi coba orang yang peganguang itu tidak tutup mulut. Nah itukeliatannya sepele, tapi itu etikaprofesi yang sangat diperlukan.”

PenyesalanBerdasarkan pengalamannya

lebih dari 4 dekade mengelolamedia, Jakob Oetama percayabahwa koran tak akan mati kendatiserbuan dari medium lain sepertitelevisi dan Internet kian gencar.

Dia menyebut apa yang disajikantelevisi dan Internet itu sebagai ton-tonan. Dan itu tak cukup. Suratkabarlah yang mengisi kekosonganitu dengan sajian yang lebih men-dalam, tetapi juga dengan formulayang tetap menghibur.

Kendati begitu, Jakob mengakuiperan penting televisi. Dia jugamengaku menyesal telahmelepaskan TV7, yang awalnyadimiliki Kompas Gramedia, terlalucepat. Pada masa kini, katanya, un-tuk menjangkau seluruh masya-rakat mau tak mau harus melaluitelevisi.

Dalam soal Internet, Kompastelah mengembangkan KompasCyber Media. Belakangan, layananblog Kompasiana semakin populer.

Grup itu bahkan mengantisipasihadirnya era multimedia denganmembangun Universitas Multime-dia Nusantara. Agaknya, meskipunJakob Oetama percaya koran tidakakan mati, grup tersebut juga allout dalam menyongsong era multi-media. ([email protected])

Apa yang membuat GrupKompas Gramedia begitu dinamis?

Yang pertama dan faktual betul,menang umur, atau menurut saya, kitaini ada falsafah, punya pandanganyang kami rumuskan sebagai kemanu-siaan yang beriman.

Iman terserah masing-masing. Kitajustru tegaskan kemanusiaan itu kare-na yang kita layani adalah persoalankita, persoalan manusia. Ini barangkaliyang menyebabkan kita mencoba, de-ngan demikian maka lembaga inimenjadi terbuka.

Keterbukaanlah yang bisa menghim-pun segala macam potensi dan sukubangsa dan agama dalam bangsa ini ru-panya merupakan potensi kemampuanyang sangat kreatif. Ini yang sayasyukuri karena ini lalu ingin kita reflek-sikan bangsa ini yang majemuk.

Ini terus terang ya, saya refleksi, inisuatu kontribusi yang besar dari grupini. Bahwa kalau kita bersatu, ya kitapunya paham yang sama dan falsafah.Kemudian kita terjemahkan lebih lanjutkerja sama itu, sinergi itu, falsafah itu,ke dalam semangat bekerja.

Semangat bekerja yang kita alami,yang sejak Pak Ojong [pendiri Kompasbersama Jakob Oetama] kembangkan,bekerja itu jangan setengah-setengah.Bekerja itu all out. Apalagi wartawan.Wartawan itu pekerjaan yang menun-tut, keseluruhan tenaga, daya, pikiran,ndak kenal jam.

Melihat dinamika industri mediayang begitu pesat, apakah media diIndonesia on the right track?

Yang kita cemaskan dengan timbul-nya multimedia, televisi, dan mediayang lain, kita bertanya apakah mediacetak itu masih punya hak hidup. Ataudia tidak hanya disaingi oleh lembaga

media elektronik yang sekarang marakdi negeri ini atau dia akan bertahan.Empiris di beberapa negara di Eropaitu surut, tapi di Asia, seperti ditun-jukkan oleh India dan China, masihsubur.

Saya pribadi berpendapat masaorang cari pengetahuan, cari beritayang benar, lengkap, itu hanya dengannonton? Atau per-lu membaca?Nonton itu istilahsaya carriedaway, kita ter-bawa arus. Pe-ngetahuan sehari-hari, informasisehari-hari yangbermanfaat, yangmemiliki keda-laman, yang memiliki dimensi lebihlengkap masih perlu dibaca tidak ha-nya dengan ditonton.

Saya termasuk yang tadi: masa sihorang hanya nonton dan membacasingkat-singkat. Ya, menurut saya tetapperlu membaca koran. Tapi saya jugasuka menggugat diri, wah ini menghi-bur diri (tertawa).

Bagaimana selaraskan idealismemedia dengan bisnis?

Katanya ada satu dua koran yanggratis, tapi even that toh dia perluorang yang mendistribusikan. Demi-kian pula medium yang lain. Itu perluorganisasi, perlu pembagian tugas.Karena misalnya di Eropa Utara mulaiada koran yang dibagikan gratis tohtetap dia harus hidup dari iklan, tetapada yang ngurus, dan tetap terikatoleh aturan, kode etik perilaku.

Saingan memang akan makinkeras, seperti yang kita alamisekarang di Indonesia. Kombinasisuatu lembaga yang punya sikap,kepribadian, tapi juga menarik danmemberi manfaat. Media apa punpilihan kita, seperti Anda, mediabisnis, pasti harus melakukan itu.

Kalau isinya hanya serius membo-sankan, yah bagaimanapun seriusnya,media itu melekat secara inheren fung-si entertainment, fungsi yang menarikdan menghibur. Tentu bentuknya dise-suaikan dengan sosok dari koran itumasing-masing.

Kalau mengenai values sebuah me-dia itu kan hidup di masyarakatnya. Di

Indonesia, Kompassebagai koran ter-besar memiliki pe-ran untuk me-nyumbangkan se-suatu values kepadamasyarakat demikebaikan padamasa depan.

Bagaimanamempertahankan Kompas hinggaberusia 45 tahun sekarang ini?

Saya rasa yang penting manajemen.Sebagai orang beriman, apa pun imankita, ini rahmat dari atas. Tapi rakhmatitu juga turun karena ada usaha manu-sia, usaha yang all out, ikhlas, dansejauh mungkin lurus. Lalu manpowerpenting.

Pak Ojong me-mahami betul danpekerja keras, ju-jur, do care, peduliterhadap sesama dankaryawan. Saya rasaini mengendap menjadisalah satu butir strategiyang kita usahakan.

Lalu kita berusaha,

sekalipun asal mula Partai Katolik, ti-dak mungkin koran tidak untukumum, sekalipun editorial policy-nyaberbeda-beda.

Saya nggak tahu bisnis, tapi sayatahu diri kalau saya nggak tahu. Cumabarang kali otak saya dikaruniai kecer-dasan memadai, sehingga dengankemauan belajar ya bisa menangkapapa yang diperlukan. Misalnya, orangyang pegang bisnis ya harus tahu bis-nis. Saya ambil contoh, yang peganguang bukan hanya perlu jujur, perlututup mulut. Itu etika profesi yang sa-ngat diperlukan.

Bapak mengenal filosofi orangkepercayaan?

Ya, artinya orangkepercayaan yangdidasarkan padakriteria. Misalnyauntuk saya, ka-rena di sini ada-lah kelemahankita padaumumnya,[orang] yang pe-gang duit. Ke-cuali jujur dancerdas, ya itutadi [bisa

tutup mulut]. Jadi kita berusaha the right man on

the right place, tidak hanya skill-nyaatau pengetahuan tapi karakter. Ba-rangkali di sini karakter itu merupa-kan salah satu unsur yang menyebab-kan kita lumayan. Karakter kuat tapijuga bisa bekerja sama. Itu juga pen-ting, memegang etik dari profesinya.

Peran keluarga?Contoh saja, saya suka menyesal kok

anak saya dan anak Pak Ojong nggakada yang disekolahkan dalam jurusanjurnalistik. Baru sekarang ini saya ka-dang-kadang menyesal. Karena waktuitu kita tidak merasakan ini harusmenjadi perusahaan keluarga.

Anak-anak tidak terlibat?Saya itu tetap (percaya) profesional.

Itu tulang punggung. Tapi anak ya bo-leh saja. Lalu kalau anak juga profesio-nal, itu pengalaman kita di sini. Kecua-li skill dan ilmu, tidak kalah pentingkarakter, kepribadian. Itu penting.

Jadi tidak menyiapkan putramahkota?

Tidak. Tidak. Tetapi ya ada yang yasaya nggak mau sebut. Tapi kelihatan-

nya ada yang bisa, karena juga punyakepribadian yang diterima. Hoteltuh kebetulan anak saya. Tapi kokmenurut saya tetap nggak bisameninggalkan [sikap] profesional.

Pewawancara: RATNA ARIYANTI/

SETYARDI WIDODO/NENENG

HERBAWATI/LINDA

TANGDIALLA/

ARIEF BUDISUSILO

Jakob Oetama:Bekerja itu all out!

Lahir di Borobudur, Magelang, 27 September 1931

PPeennddiiddiikkaann• SMA Seminari Yogyakarta

• Sekolah Guru Sejarah B1 (1956)

• Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta (1959)

• Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gadjah Mada (1961)

PPeekkeerrjjaaaann• Guru SMP Mardiyuana (1952)

• Guru SMA Van Lith Jakarta (1953)

• Editor Majalah Penabur (1955)

• Mengelola Majalah Intisari (1963)

• Mendirikan Harian Kompas (1965)

Bisnis Indonesia,dalam rangka

HUT ke-25, me-nampilkan sejum-

lah tokoh bisnisyang inspiratif.

Tulisan pertamatentang Jakob

Oetama, pendiriKompas Grame-dia, pemain uta-

ma di industrimedia yang ke-mudian meram-

bah ke bidanglain. Berikut pe-nuturannya me-ngenai kiat dan

prinsip-prinsipdalam berbisnis.

“...Kompas sebagai koranterbesar memiliki peranuntuk menyumbangkansesuatu values kepada

masyarakat demi kebaikanpada masa depan.”

Biogra f i

JJaakkoobb OOeettaammaa

FOTO-FOTO: BISNIS/YAYUS YUSWOPRIHANTO

INSPIRASI BISNIS6 Bisnis Indonesia, Rabu, 18 Agustus 2010

Merajai bisnis media tanpa jumawa