BIOSOLUBILISASI BATUBARA HASIL IRADIASI GAMMA...
Transcript of BIOSOLUBILISASI BATUBARA HASIL IRADIASI GAMMA...
BIOSOLUBILISASI BATUBARA HASIL IRADIASI GAMMA
DALAM BERBAGAI DOSIS OLEH KAPANG Penicillium sp.
ASTRI ANA
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M/1431 H
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur dengan tulus dipersembahkan kehadirat Allah SWT. Dia-lah
Tuhan yang menurunkan agama melalui Wahyu yang disampaikan kepada Rasul
pilihan-NYA Muhammad SAW. Melalui agama ini terbentang luas jalan lurus
yang dapat mengantar manusia kepada kehidupan di dunia. Atas berkah dan
Hidayah-NYA penulis dapat membuat dan menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa
pula shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW,
semoga kita tetap beristiqamah mengikuti ajarannya.
Skripsi ini berjudul “Biosolubilisasi Batubara Hasil Iradiasi Gamma
Dalam Berbagai Dosis Oleh Kapang Penicillium sp.”, yang disusun dengan tujuan
untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana sains (S1) pada program studi
Biologi Fakultas Sains dan Teknologi di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Dalam kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih
kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuannya baik berupa material
maupun moril. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih
sebesar-besarnya kepada:
1. DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. DR. Lily Surayya Eka Putri, M,Env, Stud selaku Ketua Program Studi Biologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
3. Priyanti, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Program Studi Biologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Irawan Sugoro, M.Si dan Megga Ratnasari Pikoli, M.Si selaku Dosen
Pembimbing. Penulis mengucapkan banyak terimakasih atas kesediaan dan
kesabaran Bapak dan Ibu dalam menuntun, membimbing, serta nasihat yang
membangun semangat dan pendirian penulis selama berlangsungnya penelitian.
5. Dra. Nani Radiastuti, M.Si dan Reno Fitri, M.Si selaku dosen penguji,
terimakasih penulis ucapkan atas saran, masukan, serta nasihat yang
membangun semangat bagi penulis.
6. Ayah dan Mama tersayang dan tercinta yang selalu membuat penulis semangat,
terimakasih atas doa dan dukungannya, kasih sayang, kesabaran, kepercayaan,
pengertian, motivasinya, dan juga materi yang diberikan kepada anakmu ini
yang belum dapat membahagiakan dan mewujudkan impian kalian. “Ayah
tetesan keringatmu selalu membuatku semangat dan bangkit akan hidup disaat
aku sedang merasa gagal, Mama kelelahanmu membuatku selalu ingin menjadi
yang lebih baik lagi dalam kehidupan. Kalian adalah bagian dari jiwaku dan
harta yang paling berharga bagiku saat ini dan untuk selamanya, semoga Allah
selalu menyertai kalian dan memberikan kesehatan selalu untuk kalian. Amin..
Tak lupa pula ucapan terimakasih dan ucapan tersayang kepada kakakku Uwie
yang baik hatinya, Ade-adeku Dinda, Bilal, Fira, dan Alung, dan untuk seluruh
keluarga besar ku, aba dan umiku, tante-tanteku (Ci Tata, Tante, dan Ci Yanti),
pamanku, dan lain-lain yang tak bisa disebutkan satu persatu.
iii
7. Untuk yang terspesial Abang Ryan yang selalu ada untukku, yang
menemaniku dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Terimakasih banyak
ku ucapkan untuk semua nasehat, masukan, saran, dan ketulusan hatimu
untukku.Kasih sayangmu tak akan ku lupakan.
8. Saudaraku Eka dan mama eka di Mamuju, Sulawesi Selatan.
9. Sahabatku di SMA yang selalu setia dan kusayangi Yora, Ulan, Rara, Amel,
dan Marzukoh yang selalu kurindukan serta sahabatku dari kecil Diah dan
Dian yang selalu membuatku tersenyum dan bahagia.
10. Teman-teman Biologi angkatan 2006 yang tercinta yaitu; Nita (Cinta) yang
selalu baik hati, sabar, serta memotivasiku, Hera yang selalu memberikan
nasehat untuk kemajuanku dan kebahagiaanku, Fitri dan Anggi yang selalu
buat aku rindu, Nana yang selalu membuatku bahagia dan selalu ngangenin,
Lidia yang membuatku nyaman, Zihan yang baik hati dan suka menolong,
Nunung yang buat aku mengerti arti teman, Apdus yang selalu memberi
informasi dan baik hati, Adeng dan Iis yang rendah hati, dan teman-temanku
yang lainnya yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu, terimakasih atas
dukungan, perhatian, kebaikan, kasih sayang, nasihat, kesediaan, kepeduliaan,
dan cinta kasih yang telah kalian berikan. Sampai kapanpun silahturahmi dan
doa kita jangan pernah terputus walaupun dipisahkan oleh jarak dan waktu.
Terimakasih kalian sudah menemaniku dalam susah maupun senang.
11. Untuk Yelvi, Mitha, Rizka, dan Dede yang selama penelitian ditempat yang
sama walaupun jarang bertemu, penulis ucapkan banyak terimakasih.
iv
12. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya untuk kak Melly atas kebaikan dan
ketulusan hatinya, dukungan serta informasi-informasi yang dibutuhkan yang
diberikan kepada penulis, Love u Kak…. Untuk kak Amy, kak Tiwi, kak Evi,
dan kak Bahri serta semua kakak-kakak yang tidak bisa saya sebutkan,
terimakasih atas kebaikan dan informasi yang telah diberikan.
13. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu karena
keterbatasan ruang, hanya Allah yang dapat membalasnya. Amin…
Demikianlah penyusunan laporan ini, disadari sepenuhnya bahwa laporan ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi isi, dan metodologi penulisan.
Untuk itu saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan guna penyempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis, tetapi juga bagi pembaca
pada khususnya untuk menambah wawasan, pengetahuan serta informasi dari
skripsi ini.
Jakarta, 20 Mei 2010
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR……..……………………………………………... i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………... v
DAFTAR TABEL….…………………………………………………….. viii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….. ix
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………… x
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang……………………………………………………….. 1
1.2. Perumusan Masalah…………...……………………………………… 4
1.3. Hipotesis……………………………………………………………… 4
1.4. Tujuan Penelitian…………………………………………………….. 4
1.5. Manfaat Penelitian…………………………………………………… 5
1.6. Kerangka Berpikir…………………………………………………… 5
BAB II . TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Batubara………………………………………………………………. 6
2.1.1.Pembentukan Batubara………………………………………… 7
2.1.2. Klasifikasi Batubara…………………………………………… 9
2.1.3. Batubara di Indonesia…………………………………………. 13
2.1.4. Biosolubilisasi Batubara………………………………………. 15
2.2.Kapang………………………………………………………………… 17
2.3.Kapang Penicillium sp. ……………………………………………….. 20
2.4. Biosolubilisasi Batubara Oleh Kapang………………………..……… 22
2.5.Iradiasi Gamma………….…………………………………………….. 26
2.6. Kromatografi Gas Spektroskopi Massa (GCMS).................................. 27
vi
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat…………………………………………………… 31
3.2. Alat dan Bahan….……………………………………………………. 31
3.3. Prosedur Kerja….…………………………………………………..... 32
3.3.1. Persiapan dan Sterilisasi Alat………………………………… 32
3.3.2. Persiapan Serbuk Batubara……………………………………. 32
3.3.3. Iradiasi Batubara Dengan Sinar Gamma…………….………… 33
3.3.4. Pembuatan Medium Potato Dextrose Agar…………………… 33
3.3.5. Pembuatan Medium Minimal Salt (MMS)…………………… 33
3.3.6. Pembuatan Medium Potato Dextrose Agar Medium Minimal
(PDAM)……………………………………………………….. 34
3.3.7. Pembuatan Medium Minimal Salt Sucrose (MMSS)………… 34
3.3.8. Kultur Isolat Kapang Penicillium sp. ………………………… 34
3.3.9. Biosolubilisasi Batubara…………………………………….. 35
3.3.10.Pengukuran pH, Solubilisasi, dan Kolonisasi Miselia
Kapang……………………………………………………….. 35
3.3.10.1. Pengukuran pH…………………………………….. 35
3.3.10.2. Solubilisasi Batubara……………………………….. 36
3.3.10.3. Kolonisasi Miselia Kapang Batubara……………….. 36
3.3.11. Analisis Aktivitas Enzim……………..………………………… 37
3.3.12. Analisis Hasil Solubilisasi Batubara Oleh Kapang Penicillium
sp. Dengan Menggunakan GC-MS…………………………… 37
3.3.13. Analisis Data………………………………………………….. 38
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kolonisasi Kapang Penicillium sp. Pada Substrat Batubara…………... 39
4.2. Nilai pH Medium Solubilisasi Batubara................................................. 42
4.3. Aktivitas Enzim Hasil Biosolubilisasi Batubara..................................... 46
4.4. Absorbansi Solubilisasi Pada Panjang Gelombang 250 nm
dan 450 nm............................................................................................. 49
vii
4.5. Hasil Identifikasi Senyawa Hasil Solubilisasi Kapang Penicillium sp.
Pada analisis GC-MS………………………………………………… 53
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan………………………………………………………….. 59
5.2. Saran………………………………………………………………… 59
DAFTAR PUSTAKA………..……………………………………………. 60
LAMPIRAN………………………………………………………………..64
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kandungan Unsur Karbon, Hidrogen, dan Oksigen
Pada Tahap Pembentukan Batubara…............................................ 6
Tabel 2. Bahan Mineral Yang Terdapat Dalam Batubara………………… 13
Tabel 3. Produksi dan Pemasaran Batubara di Indonesia……..…………… 15
Tabel 4. Enzim Ekstraseluler Pendegradasi Lignin Dari Kapang…………. 25
Tabel 5. Komposisi Medium Biosolubilisasi Batubara Oleh Penicillium sp.
.…………………………………………………………………… 32
Tabel 6. Perlakuan Biosolubilisasi Batubara Oleh Penicillium sp. ……… 35
Tabel 7. Senyawa Hasil GC-MS…………………………………………… 56
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Periode Pembentukan Jenis-jenis Batubara............................... 8
Gambar 2. Batubara Antrasit….……..……………………………………. 10
Gambar 3. Batubara Bituminus…………………………………………… 11
Gambar 4. Batubara Subbituminus………………………………………. 11
Gambar 5. Batubara Lignit………………………………………………… 12
Gambar 6. Peta Persebaran Cadangan Batubara di Indonesia……………. 14
Gambar 7. Batubara Cair………………………………………………….. 16
Gambar 8. Penicillium sp. ………………………………………………… 20
Gambar 9. GC-MS Shimadzu....................................................................... 28
Gambar 10. Interaksi antara batubara dengan kapang Penicillium sp.
dalam periode inkubasi dan dosis tertentu………………… 41
Gambar 11. Nilai pH Pada Berbagai Variasi Dosis Batubara....................... 44
Gambar 12. Absorbansi Aktivitas Enzim Hasil Biosolubilisasi
Batubara Pada Dosis Yang Berbeda.......................................... 47
Gambar 13. Absorbansi Pada Panjang Gelombang 250 nm Hasil
Solubilisasi Pada Berbagai Dosis Yang Berbeda…………….. 51
Gambar 14. Absorbansi Pada Panjang Gelombang 450 nm Hasil
Solubilisasi Pada Berbagai Dosis Yang Berbeda…………….. 52
Gambar 15. Produk Biosolubilisasi Batubara Pada Dosis Yang Berbeda
Oleh Kapang Penicillium sp. Hasil Analisis GC-MS……….. 57
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Komposisi Medium………………………………………….. 64
Lampiran 2. Skema Penelitian……………………………………………. 65
Lampiran 3. Uji Biosolubilisasi Batubara.................................................... 66
Lampiran 4. Uji Statistik Anova.................................................................. 67
Lampiran 5.Hasil Pengamatan Biosolubilisasi Batubara ........................... 68
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Minyak bumi merupakan Sumber Daya Alam (SDA) yang tidak dapat
diperbaharui, sedangkan kebutuhan manusia terhadap sumber daya energi akan
terus mengalami peningkatan seiring dengan berkembang pesatnya sektor industri,
transportasi dan perumahan. Telah diketahui bahwa tingkat produksi minyak bumi
di Indonesia sebesar 390 juta ton per tahun. Diperkirakan produksinya hanya
dapat bertahan dalam 11 tahun ke depan saja (Beyond Petroleum, 2006).
Menurut laporan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2008),
potensi sumber daya batubara di Indonesia pada akhir tahun 2008 sebanyak 105
miliar ton. Potensi sumber daya batubara di Indonesia sangat melimpah, terutama
di Pulau Sumatera dengan kualitas yang rendah yaitu seperti lignit (batubara
muda) dan subbituminus. Oleh karena itu, batubara merupakan sumber energi
pilihan yang dapat menggantikan minyak bumi sebagai bahan bakar utama.
Minyak bumi dan batubara memiliki kesamaan yaitu mengandung senyawa
karbon (Sebayang et al., 2008).
Salah satu usaha alternatif yang dilakukan adalah mengolah batubara padat
menjadi bahan bakar cair (BBC). Beberapa teknologi telah dilakukan untuk
mengolah batubara menjadi energi alternatif, dua cara yang dipertimbangkan
dalam hal ini adalah likuifikasi (pencairan) dan gasifikasi (penyubliman) batubara
(Calvin, 2007). Pada umumnya metode yang digunakan dalam proses pencairan
2
batubara adalah dengan metode kimia dan fisika (Natural Resources Defense
Council, 2007). Berdasarkan data statistik energi dunia, pengolahan batubara
dengan metode tersebut menghasilkan 40% dari total emisi gas rumah kaca dunia.
(International Energy Agency, 2006). Untuk itu, perlu dikembangkan suatu
teknologi pengolahan batubara menjadi energi alternatif dengan meminimalisasi
emisi gas rumah kaca. Metode yang bisa dikembangkan dalam pencairan
(liquifikasi) batubara adalah penggunaan mikroorganisme. Istilah tersebut dikenal
dengan biosolubilisasi.
Beberapa jenis fungi yang mampu mengubah batubara padat menjadi
produk cair yang lebih ekonomis karena tidak membutuhkan tekanan dan
temperatur yang tinggi, serta lebih ramah lingkungan. Cara yang digunakan dalam
biosolubilisasi ini adalah dengan memanfaatkan jamur indigenous. Sejumlah
strain jamur diketahui berinteraksi dengan batubara kualitas rendah, melalui
proses ekstraselular untuk menghasilkan medium yang lebih gelap selama proses
kultur (Cohen et al., 1990).
Menurut Kuraesin et al. (2009), kapang Penicillium sp. merupakan salah
satu kapang terseleksi yang dapat mencairkan batubara. Hasil yang didapatkan
dalam penelitiannya adalah nilai absorbansi batubara yang terlarut berbanding
terbalik dengan pH, jika pH menurun maka nilai absorbansi mengalami kenaikan.
Kapang Penicillium sp. memiliki kemampuan untuk mendegradasi batubara
karena aktivitas enzim lignoselulasenya (Cohen et al., 1990). Enzim tersebut
mampu mendegradasi polimer organik yang berasal dari karbohidrat dan
lignoselulosa yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang menyusun
3
batubara (Hatakka, 2001). Pemanfaatan kapang Penicillium sp. akan memudahkan
saat pengaplikasian, karena kapang tersebut secara alami telah teradaptasi dengan
substrat batubara.
Dalam penelitian ini digunakan pemanfaatan teknik nuklir yaitu iradiasi
gamma untuk meningkatkan solubilisasi. Iradiasi gamma merupakan sebuah
bentuk iradiasi pengion yang lebih menembus ke dalam suatu substrat daripada
iradiasi alfa atau beta. Tujuan iradiasi adalah untuk membantu memecah senyawa
kompleks menjadi senyawa sederhana (Rahayu et al., 2009), sehingga diharapkan
hasil solubilisasi batubara menjadi lebih sempurna. Dosis iradiasi gamma yang
dipakai dalam penelitian ini adalah dosis 0 kGy, 5 kGy, 10 kGy, dan 20 kGy.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Selvi et al. (2006), menggunakan
dosis 20 kGy dengan hasil bahwa dosis tersebut dapat mempercepat degradasi
produk biosolubilisasi batubara. Akan tetapi, diantara dosis iradiasi gamma yang
dipakai dalam penelitian ini belum diketahui dosis mana yang paling optimal
untuk biosolubilisasi batubara. Dengan demikian tujuan dari penelitian ini adalah
untuk memperoleh dosis yang terbaik dari iradiasi gamma dalam pencairan
batubara. Diharapkan hasil produk biosolubilisasi batubara ini dapat memperoleh
metode produksi batubara yang mampu mendegradasi batubara untuk
menghasilkan senyawa yang berpotensi sebagai bahan bakar serta dapat
meningkatkan kualitas batubara.
4
1.2. Perumusan Masalah
1. Berapakah dosis iradiasi gamma yang terbaik dalam mempercepat degradasi
proses biosolubilisasi batubara oleh kapang Penicillium sp.?
2. Apakah produk batubara cair hasil biosolubilisasi kapang Penicillium sp. dari
batubara subbituminus hasil iradiasi gamma dapat digunakan sebagai energi
alternatif?
1.3. Hipotesis
1. Terdapat satu dosis yang terbaik dari hasil iradiasi gamma dalam
mempercepat degradasi proses biosolubilisasi batubara oleh kapang
Penicillium sp.
2. Produk batubara cair hasil biosolubilisasi kapang Penicillium sp. dari batubara
subbituminus dengan pemanfaatan iradiasi gamma dapat digunakan sebagai
energi alternatif.
1.4. Tujuan Penelitian
1. Mencari dosis yang terbaik dari hasil iradiasi gamma dalam
mensolubilisasikan batubara.
2. Mengetahui karakteristik produk batubara hasil biosolubilisasi kapang
Penicillium sp. dari batubara subbituminus sehingga dapat ditentukan
fungsinya sebagai energi alternatif.
5
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan pengetahuan tentang
penggunaan dosis yang terbaik (optimal) hasil iradiasi gamma terhadap batubara
dan proses biosolubilisasinya menggunakan kapang Penicillium sp.
1.6. Kerangka Berpikir
Kebutuhan masyarakat terhadap
minyak bumi yang semakin bertambah
Melimpahnya cadangan batubara
di Indonesia dengan kualitas rendah
Biosolubilisasi batubara
untuk meningkatkan kualitas
Iradiasi gamma dengan dosis Kapang Penicillium sp.
O kGy, 5 kGy, 10 kGy, dan 20 kGy
Batubara cair
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Batubara
Batubara didefinisikan sebagai batuan sedimen yang berasal dari material
organik (organoclastic sedimentary rock), dapat dibakar dan memiliki kandungan
utama berupa karbon, hidrogen, dan oksigen. Secara proses, batubara adalah
lapisan yang merupakan hasil akumulasi tumbuhan dan material organik pada
suatu lingkungan pengendapan tertentu, sehingga menghasilkan peringkat dan tipe
tertentu (Haris, 2009). Oleh karena itu, batubara termasuk dalam kategori bahan
bakar fosil. Proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara disebut dengan
pembatubaraan (coalification).
Tabel 1. Kandungan Unsur Karbon, Hidrogen, dan Oksigen Pada Tahap
Pembentukan Batubara
Bahan C % H % O %
Kayu (Wood) 50 6 44
Gambut (Peat) 55 – 60 5.5 – 6.5 30 – 40
Lignit
(Brown Coal )
60 – 70 5.0 – 6.0 20 – 30
Bituminus
(Hard Coal)
75 – 90 4.5 – 5.5 5 – 15
Antrasit 90 – 96 2.0 – 4.5 2 – 5
Kandungan karbon, hidrogen, dan oksigen yang terkandung dalam
batubara dapat dilihat pada Tabel 1. Batubara antrasit mempunyai kandungan
karbon yang sangat tinggi dibandingkan pada tahap sebelumnya sehingga
batubara antrasit menjadi lebih keras dan berwarna hitam pekat, sedangkan
7
kandungan oksigen lebih rendah. Hal tersebut dipengaruhi oleh tekanan dan
temperatur pembentukan batubara yang terjadi (Kentucky Geological Survey,
2006).
Batubara secara umum adalah batuan organik yang memiliki sifat-sifat
fisika dan kimia yang kompleks yang dapat ditemui dalam berbagai bentuk.
Analisa unsur memberikan rumus formula empiris seperti C137H97O9NS untuk
bituminus dan C240H90O4NS untuk antrasit, selain itu batubara juga diartikan
sebagai sisa tumbuhan dari zaman prasejarah yang berubah bentuk yang awalnya
berakumulasi di rawa dan lahan gambut. Batubara adalah batuan yang mudah
terbakar yang lebih dari 50% -70% berat volumenya merupakan bahan organik
yang merupakan material karbonat (Speight, 1994).
2.1.1. Pembentukan Batubara
Periode pembentukan karbon atau batubara (Carboniferous Period)
dikenal sebagai zaman batubara pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai
290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap endapan batubara ditentukan oleh suhu
dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai ‘maturitas
organik’. Proses awal pembentukan batubara adalah gambut (peat) yang
kemudian berubah menjadi lignit (batubara muda) atau batubara coklat. Batubara
muda adalah batubara dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandingkan
dengan batubara jenis lainnya, batubara muda agak lembut dan warnanya
bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-coklatan. Setelah mendapat pengaruh
suhu dan tekanan terus menerus selama jutaan tahun, maka batubara muda akan
8
mengalami perubahan yang secara bertahap dengan menambah maturitas
organiknya, sehingga mengubah batubara muda menjadi batubara subbituminus.
Periode pembentukan jenis-jenis batubara dapat dilihat pada Gambar 1. Perubahan
kimia dan fisika terus berlangsung hingga batubara menjadi lebih keras dan
warnanya lebih hitam sehingga membentuk bituminus atau antrasit yang
merupakan jenis batubara dengan kualitas yang tinggi (Kentucky Geological
Survey, 2006).
Gambar 1. Periode Pembentukan Jenis-jenis Batubara
(Kentucky Geological Survey, 2006)
Proses pembentukan batubara secara umum dikenal terdiri dari dua tahap
yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan).
Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap di mana sisa-sisa tumbuhan
yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah rawa dengan sistem
pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 – 50 meter.
Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk
9
senyawa karbondioksida, air, dan asam nitrat untuk menjadi humus. Selanjutnya
oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut (Speight, 1994).
Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi,
kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang
menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari
gambut (Kentucky Geological Survey, 2006). Pada tahap ini prosentase karbon
akan meningkat, sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang.
Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat kematangan
material organiknya mulai dari lignit, subbituminus, bituminus, semi antrasit,
antrasit, hingga meta antrasit.
2.1.2. Klasifikasi Batubara
Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan zaman
geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi
pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi
serta perubahan geologi yang berlangsung akan menyebabkan terbentuknya
batubara yang jenisnya bermacam-macam. Oleh karena itu, karakteristik batubara
berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal
seam) (Tekmira, 2005).
Secara umum batubara diklasifikasikan menjadi empat tipe utama
berdasarkan kandungan karbon, yaitu batubara antrasit, bituminus, subbituminus,
dan lignit, sedangkan gambut (peat) biasanya tidak diklasifikasikan sebagai
batubara, sehingga tidak dimasukkan ke dalam tipe batubara (Speight, 1994).
10
Batubara antrasit merupakan batubara yang memiliki rumus molekul
C240H90O4NS, dikenal memiliki tampilan yang hitam mengkilat seperti permukaan
logam. Kandungan karbonnya mencapai 80-96 % dengan kadar air kurang dari
8% dari beratnya sehingga dapat menghasilkan energi paling tinggi dari jenis
batubara lainnya, yaitu mencapai 20-28 juta British thermal unit (Btu)/ton.
Meskipun sulit dibakar, pembakaran batubara antrasit tergolong pembakaran yang
sangat bersih dan bebas asap. Antrasit merupakan golongan batubara yang tinggi
(Tekmira, 2005).
Gambar 2. Batubara Antrasit (Myles, 2008 )
Batubara bituminus berwarna hitam dengan komposisi air sangat kecil,
mengandung bahan yang mudah menguap seperti sulfur yaitu sekitar 15-20 %,
yang memiliki rumus molekul C137H97O9NS, kandungan karbonnya sebanyak
45-80 %, dan berkadar air 8-10% dari beratnya dan energi hasil pembakarannya
mencapai 19-32 juta Btu/ton. Hasil pembakaran batubara bituminus berupa api
berwarna kuning yang berasap dan berabu. Sebagian besar penggunaan batubara
bituminus ditujukan untuk pembangkit listrik dan dikonversi menjadi arang (coke)
yang digunakan dalam industri baja. Bituminus merupakan kelas batubara yang
paling banyak ditambang di Australia (Tekmira, 2005).
11
Gambar 3. Batubara Bituminus (Departement of Geosciences, 2009)
Batubara subbituminus berwarna hitam dengan kandungan karbon sebesar
35-45 %, banyak mengandung air, dan merupakan energi yang dihasilkan berkisar
antara 16-24 juta Btu/ton. Jika dibandingkan dengan batubara bituminus, batubara
subbituminus menghasilkan pembakaran yang lebih bersih karena kandungan
sulfurnya yang lebih rendah, selain itu juga menghasilkan sumber panas yang
kurang efisien dibandingkan dengan bituminus (Tekmira, 2005).
Gambar 4. Batubara Subbituminus (Farland, 2008)
Batubara lignit merupakan jenis batubara yang secara geologis tergolong
jenis batubara paling muda, memiliki warna yang bervariasi mulai dari cokelat
hingga hitam kecokelatan. Lignit sebagian besar terdiri dari material kayu kering
12
yang terkena tekanan tinggi dan merupakan batubara yang sangat lunak.
Kandungan karbon berkisar antara 20-35 % dari beratnya dan energi yang
dihasilkan berkisar antara 9-17 Btu/ton. Kandungan airnya lebih tinggi (35-75%)
daripada batubara subbituminus sehingga perlu dikeringkan terlebih dahulu
sebelum dibakar. Sebagian besar lignit digunakan untuk keperluan pembangkit
listrik (Tekmira, 2005).
Gambar 5. Batubara Lignit (Departement of Geosciences, 2009)
Bahan mineral di dalam batubara berasal dari unsure anorganik yang terdapat
dalam tumbuhan pembentuk batubara dan dari bahan mineral yang berasal dari
luar yang tergabung dalam proses pembentukan batubara. Jumlah dan tipe mineral
yang ditemukan dalam batubara sangat bervariasi, bergantung pada sejarah
pembentukan batubara tersebut. Mineral yang ditemukan dalam jumlah yang
melimpah adalah clay mineral dengan illite, kaolinite, dan montmorillonite yang
merupakan jenis yang sering ditemukan (Speight, 1994). Mineral utama yang
ditemukan dalam batubara dapat diklasifikasikan sebagai shale, kaolin, sulfida,
karbonat, klorida atau accessory mineral (Indahwati, 2009).
13
Beberapa kelompok mineral yang terkandung dalam batubara dapat dilihat
pada tabel berikut ini.
Tabel 2. Bahan Mineral Yang Terdapat Dalam Batubara
Kelompok Senyawa Formula
Shale Muscovite
Hydromuscobite
Illite
Montmorillonite
KAl3Si3O10 (OHF)2
(AlSi)8O20 (OHF)4
(HO)4K2(Si6Al2) Al4O20
Na2 (AlMg)Si4O110(OH)2
Kaolin Kaolinite
Livesite
Metahallolysite
Al2(Si2O5)(OH)4
Al2(Si2O5)(OH)4
Al2(Si2O5)(OH)4
Sulfida Pyrite
Marcasite
FeS2
FeS2
Karbonat Ankerite
Calcite
Dolomite
Siderite
CaCO3. (Mg,Fe,Mn) CO3
CaCO3
CaCO3. MgCO3
FeCO3
Klorida Sylvire
Halite
KCl
NaCl
Accessory mineral Quartz
Feldspar
Garnet
Hornblende
Gypsum
Apatite
Zircon
Epidote
Biotite
Augite
Pro Chloride
Diaspore
Lepidocrocite
Magnetite
Kyanite
SiO2
(K,Na)2O.Al2O3.6SiO2
3CaO.Al2O3.SiO2
CaO.3FeO.4SiO2
CaSO4.2H2O
9CaO.3P2O5.CaF2
ZrSiO4
4CaO.3Al2O3.6SiO2.H2O
K2O.MgO.Al2O3.3SiO2.H2O
CaO.MgO.2SiO2
2FeO.2MgO.Al2O3.2SiO2.2H2O
Al2O3.H2O
Fe2O3.H2O
Fe3O4
Al2O3.SiO2
2.1.3. Batubara di Indonesia
Di Indonesia, endapan batubara yang bernilai ekonomis terdapat di
cekungan Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau
14
Sumatera dan Kalimantan), pada umumnya endapan batubara ekonomis tersebut
dapat dikelompokkan sebagai batubara berumur Eosen atau sekitar Tersier Bawah
(kira-kira 45 juta tahun yang lalu) dan Miosen atau sekitar Tersier Atas (kira-kira
20 juta tahun yang lalu) (Indonesian Coal Mining Association, 1998). Persebaran
cadangan batubara di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 6. Pada gambar
tersebut dapat terlihat bahwa cadangan batubara di Indonesia yang paling banyak
adalah di Sumatera dan Kalimantan.
Gambar 6. Peta Persebaran Cadangan Batubara di Indonesia
(Indonesian Coal Mining Association, 1998)
Data Statistik Beyond Petroleum (2006) mengatakan bahwa, Indonesia
saat ini hanya memiliki cadangan yang relatif terbatas, yaitu sebesar 4.968 juta ton
atau 0,55% dari total cadangan batubara dunia. Dengan tingkat produksi mencapai
120 juta ton per tahun, diperkirakan batubara di Indonesia dapat diproduksi
selama 41,43 tahun.
15
Data pada Tabel 3, dapat terlihat bahwa pada tahun 2007 dan 2008,
menunjukkan produksi tambang skala kecil ini dapat mencapai 2 juta ton dengan
harga jual internasional US $ 70-90 per ton (Firmansyah, 2010).
Tabel 3. Produksi dan Pemasaran Batubara Indonesia
Pelaku
Produksi (juta ton) Pemasaran (juta ton)
Usaha 2007 2008 2007 2008
Domestik Ekspor Domestik Ekspor
BUMN 8,609 10,138 6,879 3,808 7,980 4,079
PKP2B 167,243 176,998 38,603 132,429 40,525 135,289
KP& KUD 2,939 1,527 0,708 3,812 0,521 1,151
Total 178,791 188,663 46,190 140,049 49,020 140,519
Keterangan:
KP : Kepemilikan Kuasa Pertambangan
PKP2B: Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
2.1.4. Biosolubilisasi Batubara
Menurut Crawford and Gupta (1990), biosolubilisasi adalah proses
pelarutan batubara dalam suatu medium dengan bantuan mikroorganisme.
Biosolubilisasi dapat berupa upaya untuk mencairkan batubara yang nantinya
dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak bumi. Disamping untuk
mencairkan batubara, biosolubilisasi dapat pula digunakan untuk mengurangi
kandungan sulfur atau logam toksik pada batubara.
Terdapat beberapa jenis mikroorganisme dari jenis bakteri maupun fungi
yang dapat mengubah batubara padat menjadi produk cair, dengan minimalisasi
hilangnya kandungan energi total awal. Proses pencairan dengan memanfaatakan
16
mikroorganisme dikenal dengan biosolubilisasi atau bioliquifaksi. Sejumlah strain
jamur dan bakteri filamentous diketahui berinteraksi dengan batubara kualitas
rendah, melalui proses ekstraselular untuk menghasilkan medium yang lebih gelap
selama proses kultur atau cairan gelap pada permukaan batubara ketika
ditumbuhkan pada permukaan kultur agar (Crawford and Gupta, 1990).
Fungi yang dapat dimanfaatkan untuk proses biosolubilisasi ini diantaranya
Polyporus versicolor, Trametes versicolor, Penicillium, Streptomyces,
Phaerochaete chrysosporium, Candida sp., dan Cunninghamella sp. Pencairan
batubara dengan metode biologi relatif dapat menekan biaya operasional karena
tidak dilakukan dalam tekanan dan temperatur yang tinggi serta lebih ramah
lingkungan karena tidak menghasilkan produk sampingan yang berbahaya (Cohen
et al., 1990).
Batubara
padat yang
terlarut
Gambar 7. Batubara Cair (Dokumen Pribadi, 2010)
Batubara cair seperti yang terlihat pada Gambar 7, dihasilkan dari proses
biosolubilisasi dengan menggunakan mikroorganisme. Proses biosolubilisasi
17
adalah berupa campuran senyawa yang larut dalam air, senyawa polar dengan
berat molekul yang relatif tinggi. Tanpa adanya air atau pelarut yang cocok,
produk yang dihasilkan tetap padat. Kebanyakan mikroorganisme membutuhkan
gula untuk media pertumbuhannya (Liu et al., 1990).
Biosolubilisasi batubara dengan bantuan mikroorganisme dapat
menghasilkan produk yang biasanya setara dengan komponen minyak bumi.
Produk biosolubilisasi yang setara dengan senyawa yang terdapat dalam bensin
mempunyai rantai atom karbon yang pendek yaitu C4 sampai C12, sedangkan
untuk komponen minyak solar mempunyai atom karbon C8 sampai C25 (American
Petroleum Institute, 2001). Menurut Laboratorium Pangan PLT UIN Jakarta
(2009), senyawa solar adalah senyawa yang mempunyai rantai karbon C10 sampai
C13 dengan senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya berupa n-Dekana
(C10H22), Trans-Decahidronapthalen, Undekana (C11H24), N-Dodekana (C12H26),
dan Trigekana (C13H28).
2.2. Kapang
Kapang merupakan organisme multiseluler, eukariotik, tidak berklorofil,
dinding selnya tersusun dari kitin, bersifat heterotrof, menyerap nutrien melalui
dinding selnya, mengeksresikan enzim ekstraseluler ke lingkungan, menghasilkan
spora atau konidia, bereproduksi seksual dan atau aseksual. Tubuh kapang terdiri
dari hifa. Hifa berfungsi menyerap nutrien dari lingkungan serta membentuk
struktur reproduksi. Hifa adalah suatu struktur berbentuk tabung menyerupai
seuntai benang panjang yang terbentuk dari pertumbuhan spora atau konidia.
18
Kumpulan hifa yang bercabang-cabang membentuk suatu jala dan umumnya
berwarna putih disebut miselium. Ada beberapa kapang dengan miselia longgar
atau seperti bulu kapas sedangkan yang lainnya kompak. Penampakan miselia ada
yang seperti beludru (velvet) pada permukaan atasnya, beberapa kering seperti
bubuk (powdery), dan basah atau memiliki massa seperti gelatin (Hidayat et al.,
2006).
Diameter hifa kapang umumnya tetap, yaitu berkisar 3-30µm dan ukuran
diameter tersebut dapat juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Hifa yang tua
mempunyai tebal berkisar antara 100-150µm sedangkan tebalnya pada bagian
apeks kurang lebih 50µm. Hifa yang telah tua mempunyai tambahan bahan pada
dinding selnya yaitu senyawa melanin dan lipid. Komponen penting dalam
dinding sel sebagian besar fungi adalah kitin, suatu polisakarida yang merupakan
komponen utama dari kerangka luar serangga dan arthropoda lainnya. Kitin
adalah polimer linier dari N-asetil-glukosamin yang subunitnya dihubungkan oleh
ikatan β-(1,4)-glukosida (Gandjar et al., 2006).
Pada umumnya, kapang mengekskresikan enzim ekstraselular ke
lingkungan untuk mengurai komponen-komponen kompleks pada substrat
menjadi komponen-komponen sederhana yang dapat dengan mudah diserap
kapang untuk mensintesis berbagai bagian sel dan sebagai sumber energinya.
Keberadaan kapang pada suatu substrat dapat diketahui dengan adanya perubahan
warna atau kekeruhan pada substrat cair, timbul bau, dan substrat berubah menjadi
lunak. Hal tersebut mengindikasikan adanya pertumbuhan kapang berupa
pertambahan massa sel atau volume sel (Gandjar et al., 2006).
19
Setiap mikroorganisme memiliki fase-fase pada kurva pertumbuhannya,
fase-fase tersebut meliputi; 1) fase permulaan atau fase adaptasi; 2) fase akselerasi
atau fase pertumbuhan yang dipercepat; 3) fase eksponensial atau logaritma; 4)
fase pertumbuhan yang mulai terhambat (fase deselerasi); 5) fase stasioner yang
maksimum; dan 6) fase kematian dipercepat dan fase kematian logaritma (Hidayat
et al., 2006).
Sifat-sifat fisiologi kapang sangat penting dipenuhi agar pertumbuhan
kapang menjadi optimal. Sifat-sifat fisiologi kapang yaitu dalam kebutuhan air;
suhu; kebutuhan oksigen; derajat keasaman; substrat; dan komponen penghambat.
Kebutuhan air pada umumnya, fungi tingkat rendah seperti Rhizopus sp. dan
Mucor sp. memerlukan lingkungan dengan kelembaban nisbi 90 %, kapang
Aspergillus sp., Penicillium sp., Fusarium sp. dan banyak hypomycetes lainnya
dapat hidup pada kelembaban yang lebih rendah yaitu 80 % sedangkan kapang
xerofilik mampu hidup pada kelembaban 70 %. Kebanyakan kapang bersifat
mesofilik yaitu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk
kebanyakan kapang adalah sekitar 25-30˚ C, tetapi beberapa kapang dapat tumbuh
pada suhu 35-37˚ C atau lebih tinggi seperti Aspergillus. Beberapa kapang mampu
tumbuh pada suhu dingin (bersifat psikrotrofik) dan juga pada suhu tinggi
(termofilik). Semua kapang bersifat aerobik yaitu membutuhkan oksigen yang
cukup untuk pertumbuhannya. Kebanyakan kapang mampu tumbuh pada kisaran
pH yang luas yaitu 2-8.5, akan tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada
kondisi asam atau pH rendah. Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi
kapang. Nutrien dalam substrat baru dapat dimanfaatkan apabila kapang telah
20
mengekskresikan enzim-enzim ekstraseluler untuk menguraikan senyawa
kompleks menjadi sederhana (Gandjar et al., 2006).
2.3. Kapang Penicillium sp.
Kapang Penicillium sp. diklasifikasikan menurut sistem nama binomial,
yaitu kingdom Fungi, filum Ascomycota, class Eurotiomycetes, ordo Eurotiales,
famili Trichocomaceae, genus Penicillium, dan spesies Penicillium sp. Bentuk
spesies kapang Penicillium sp. dapat dilihat pada Gambar 8.
hifa
konidiofora
fialid
konidia
Gambar 8. Penicillium sp. (Kuraesin et al., 2009)
Penicillium sp. tergolong fungi jenis kapang. Kapang ini sering
menyebabkan kerusakan pada sayuran, buah-buahan, dan serelia. Penicillium sp.
banyak digunakan dalam industri untuk memproduksi antibiotik, misalnya
penisilin yang diproduksi oleh Penicillium notatum dan Penicillium chrysogenum
(Gandjar et al., 2006). Penicillium sp. mempunyai ciri-ciri spesifik yaitu; 1) hifa
septat, miselium bercabang biasanya tidak berwarna; 2) konidiofora septat dan
21
muncul di atas permukaan, berasal dari hifa di bawah permukaan, bercabang atau
tidak bercabang; 3) kepala yang membawa spora berbentuk seperti sapu, dengan
sterigmata atau fialida muncul dalam kelompok; 4) konidia membentuk rantai
karena muncul satu persatu dari sterigmata; 5) Konidia pada waktu masih muda
berwarna hijau, kemudian berubah menjadi kebiruan atau kecoklatan (Fardiaz,
1992). Penicillium sp. pada beberapa spesies, miselium berkembang menjadi
sklerotium (Pelczar, 2005).
Kapang Penicillium sp. mempunyai hifa vegetatif yang disebut dengan hifa
udara (aerial hyphae). Penicillium sp. berkembangbiak secara seksual dengan
membentuk spora yang dihasilkan dalam suatu kantung (askus) yang disebut
askospora dan secara aseksual dengan membentuk konidiospora, yaitu spora yang
dihasilkan secara berantai pada ujung suatu hifa (Pohan, 2009). Bentuk sel
konidiospora pada kapang Penicillium sp. adalah seperti botol dengan leher
panjang atau pendek, jamur ini berwarna hijau kebiruan. Penicillium sp. termasuk
jamur yang tidak bersifat patogen kecuali Penicillium marneffei (Gandjar et al.,
2006).
Ada dua macam bentuk Penicillium sp. yang dapat diamati, yaitu secara
makroskopis dan mikroskopis. Secara makroskopis, ciri-ciri yang dapat dilihat
adalah koloni tumbuh sekitar 4 hari pada suhu 25°C pada medium sabouraud
dextrose agar dan koloni mula-mula berwarna putih kemudian akan berwarna
kehijauan, sedangkan secara mikroskopis dengan ciri-ciri yang dapat dilihat
adalah hifa bersepta dan konidiofor mempunyai cabang yang disebut dengan
metula, di atas metula terdapat fialid (Pohan, 2009).
22
Penicillium sp. mempunyai kebutuhan akan air untuk pertumbuhannya
(water activity) yaitu 0,78-0,88. Penicillium sp. umumnya ditemukan pada
berbagai substrat, khususnya dalam debu rumah. Beberapa spesies tumbuh di
dalam ruangan yaitu di dinding, tanaman membusuk, kain lembab, dan cat. Selain
itu, ditemukan pada apel yang membusuk, makanan kering, keju, rempah-rempah,
biji-bijian kering, kacang-kacangan, bawang, dan jeruk (Gandjar et al., 2006).
Pertumbuhan kapang Penicillium sp. dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
penting, yaitu; substrat, kelembaban, suhu, dan pH (derajat keasaman). Substrat
merupakan sumber nutrien utama yang dapat dimanfaatkan sesudah fungi
mengekskresikan enzim-enzim ekstraselular, yang dapat mengurai senyawa-
senyawa kompleks menjadi senyawa yang sederhana. Kapang Penicillium sp.
dapat hidup pada kelembaban nisbi yang lebih rendah yaitu 80%. Suhu yang
optimum bagi pertumbuhan Penicillium sp. sekitar 25°C. Menurut penelitian yang
telah dilakukan oleh Indahwati (2009), pH optimum yang dihasilkan oleh kapang
Penicillium sp. berkisar 3,15 sampai 4,34. Fungi umumnya menyukai pH di
bawah 7,0 yaitu sekitar 2-8,5 (Gandjar et al., 2006).
2.4. Biosolubilisasi Batubara Oleh Kapang
Batubara mempunyai kandungan senyawa organik kompleks yang
mengandung unsur utama C, H, dan O. Penicilium sp. merupakan kapang yang
dapat mendegradasi senyawa hidrokarbon polisiklik aromatik sehingga dapat
mensolubilisasikan batubara yang mempunyai gugus hidrokarbon aromatik
(Haris, 2009).
23
Batubara diperkaya dengan berbagai macam polimer organik yang berasal
dari karbohidrat dan lignoselulosa yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan
lignin. Fungi diketahui melakukan dekomposisi selulosa secara aktif di alam
dengan menghasilkan enzim selulase ekstraselular (Zabel and Morell, 1992).
Mikroorganisme yang baik dalam mendegradasi batubara terdapat pada kelas
Basiodiomycetes dan Ascomycetes, karena dapat mendegradasi lignin secara lebih
cepat dan ekstensif dibandingkan dengan mikroorganisme lain. Kapang dari
genus-genus seperti Aspergillus, Penicillium, Trichoderma, dan sebagainya
diketahui memiliki kemampuan mendekomposisi kayu (Lynd et al., 2002).
Selulosa merupakan salah satu komponen pembangun tumbuhan. Selulosa
adalah polimer yang tersusun atas unit-unit glukosa melalui ikatan α-1,4-
glikosida. Enzim yang dapat mengurai selulosa adalah selulase dan merupakan
enzim kompleks yang terdiri dari tiga komponen. Endoglukanase, mengurai
polimer selulosa secara random pada ikatan internal α-1,4-glikosida untuk
menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai bervariasi. Eksoglukanase,
mengurai selulosa dari ujung pereduksi dan nonpereduksi untuk menghasilkan
selobiosa/glukosa. Enzim α-glukosidase, mengurai selobiosa untuk menghasilkan
glukosa (Lynd et al., 2002).
Selulosa merupakan polisakarida komplek yang tersusun dari polimer linier
ikatan glukosa melalui ikatan α-1,4- dan biasanya tersusun dalam struktur
mikrokristalin yang sangat sulit dilarutkan atau dihidrolisis pada kondisi alami.
Selulase adalah enzim komplek yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi β-
24
glukosa. Selulase tersusun dari campuran komplek protein enzim dengan
spesifitas berbeda-beda dalam menghidrolisis ikatan glikosidik. Selulase terbagi
menjadi tiga kelas; endoglukanase, eksoglukanase, dan β-glukosidase. Selulase
dari Lysobacter sp., Phaseolus vulgaris, Humicola grisea, Bacillus sp. Aspergillus
niger, dan Trichoderma viridae mempunyai kestabilan pada pH 6-10 dan suhu 25-
35°C (Kuraesin et al., 20009).
Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat
molekul rendah, relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi monomer
yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa dan arabiosa. Lignin
merupakan polimer dengan struktur aromatik yang terbentuk melalui unit-unit
penilpropan, lebih dari 30 % tanaman tersusun atas lignin yang memberikan
bentuk yang kokoh. Lignin sulit didegradasi karena strukturnya kompleks dan
heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan
tanaman. Mikroorganisme yang mampu mendegradasi lignin berarti mampu
mendegradasi batubara (Cohen et al., 1990).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa senyawa organik kompleks
dapat dihidrolisis oleh enzim menjadi senyawa organik yang lebih sederhana
sehingga lebih mudah dimetabolisme sel mikroorganisme. Menurut Laborda et al.
(1999), batubara dapat didegradasi oleh enzim sehingga menghasilkan batubara
cair. Enzim tersebut dapat mendegradasi batubara tidak hanya batubara lignit saja,
tetapi juga batubara subbituminus maupun bituminus dapat dinduksi dengan
enzim yaitu enzim; Mn-peroxidase, esterase, dan phenoloxidase. Enzim yang
dapat mendegradasi batubara adalah enzim ekstraseluler, Penicillium sp.
25
merupakan salah satu kapang yang dapat mendegradasi batubara, hal tersebut
diperkuat dengan penelitian bahwa proses solubilisasi pada batubara dikatalis
melalui aktivitas enzim ekstraseluler (Ward, 1985). Enzim ekstraseluler adalah
enzim yang diekskresikan oleh kapang ke luar tubuhnya untuk mendegradasi
substrat. Enzim ekstraseluler tersebut akan menghasilkan medium yang lebih
gelap selama proses kultur cair atau cairan gelap pada permukaan batubara ketika
ditumbuhkan pada permukaan kultur agar (Faison et al., 1989). Enzim
ekstraseluler yang dihasilkan oleh kapang dpat dilihat pada Tabel berikut ini.
Tabel 4. Enzim Ekstraseluler Pendegradasi Lignin Dari Kapang
(Akhtar et al., 1997).
Enzim Tipe enzim Peran dalam degradasi Kerja bersama
dengan
LiP Peroksidase Degradasi unit non–fenolik H2O2
MnP Peroksidase Degradasi unit fenolik dan
non-fenolik dengan lipid H2O2, lipid
Laccase Fenol oksidase
Oksidasi unit fenolik dan
non fenolik dengan
mediator
O2, mediator : 3-
hidroxybenzotriazole
Lain-lain Oksidase
penghasil H2O2 Produksi H2O2 Peroksidase
Di dalam proses solubilisasi batubara terdapat beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme yang digunakan. Faktor-
faktor tersebut dapat berupa kondisi lingkungan, nutrien, lamanya waktu proses
biosolubilisasi, perlakuan awal terhadap batubara, dan sebagainya. Faktor-faktor
tersebut memiliki efek yang bervariasi, tergantung pada jenis mikroorganisme
26
yang digunakan. Pengetahuan mengenai faktor-faktor ini diperlukan untuk
memperoleh hasil yang paling optimal (Laborda et al., 1999).
2.5. Iradiasi Gamma
Iradiasi adalah pancaran energi melalui suatu materi atau ruang dalam
bentuk panas, partikel atau gelombang elektromagnetik dari sumber iradiasi,
sedangkan secara umum iradiasi diartikan sebagai pemancaran suatu energi
elektromagnetik atau partikel-partikel dengan kecepatan tinggi (Darussalam,
1996).
Iradiasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu iradiasi panas dan
iradiasi pengion. Iradiasi panas menggunakan frekuensi rendah atau dengan
panjang gelombang, misalnya infra merah. Iradiasi pengion menggunakan
frekuensi tinggi, misalnya sinar alfa, beta, dan gamma. Iradiasi dibagi berdasarkan
bentuknya, yaitu iradiasi dalam bentuk partikel dan iradiasi dalam bentuk
gelombang elektromagnetik. Dalam bentuk partikel adalah jenis iradiasi yang
mempunyai massa terukur. Iradiasi dalam bentuk gelombang elektromagnetik atau
disebut juga dengan foton adalah jenis iradiasi yang tidak mempunyai massa dan
muatan listrik, misalnya adalah gamma (Darussalam, 1996).
Sinar gamma adalah sebuah bentuk berenergi dari radiasi elektromagnetik
yang diproduksi oleh radioaktivitas atau proses nuklir atau subatomik lainnya
seperti penghancuran elektron-positron (Hall, 1994). Sinar gamma merupakan
sebuah bentuk iradiasi pengion yang lebih menembus ke dalam suatu substrat
daripada iradiasi alfa atau beta (keduanya bukan radiasi elektromagnetik), tetapi
27
kurang mengionisasi. Sinar gamma adalah radiasi elektromagnetik berenergi
tinggi, tidak bermuatan dan tidak bermassa. Sinar gamma bermuatan netral,
panjang gelombang pendek, dan daya tembus paling tinggi sehingga energi sinar
gamma yang dipancarkan sumber terhadap target dapat menimbulkan perubahan
pada komposisinya (Darussalam, 1996).
Iradiasi pengion yang mengenai suatu medium akan menyerahkan sebagian
energinya kepada medium tersebut. Dalam kejadian ini medium menyerap
iradiasi. Untuk mengetahui banyaknya iradiasi yang terserap oleh suatu medium
digunakan satuan dosis terserap. Jadi dosis serap (absorpsi), merupakan ukuran
banyaknya energi yang diberikan oleh iradiasi pengion kepada medium. Satuan
dosis iradiasi dalam penelitian ini yang dipakai adalah Gray (Gy). Gray (Gy)
adalah satuan SI diserap dosis. Dosis iradiasi mempengaruhi pH, dimana pH
makin rendah sebanding dengan meningkatnya dosis iradiasi (Rahayu et al.,
2009). Alat iradiasi gamma yang banyak digunakan dalam penelitian adalah
iradiator gamma IRKA (Iradiasi Karet Alam) yang dipasang pada tahun 1982
dengan sumber radiasi gamma C0-60 dan volume maksimum bahan yang
diiradiasi per batch ialah + 1,2 m3
(BATAN, 1995).
2.6. Kromatografi Gas Spektroskopi Massa (GCMS)
Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa atau sering disebut GCMS (Gas
Chromatography Mass Spectrometry) adalah teknik analisis yang menggabungkan
dua metode analisis yaitu Kromatografi Gas dan Spektroskopi Massa.
Kromatografi gas adalah metode analisis, dimana sampel terpisahkan secara fisik
28
menjadi bentuk molekul-molekul yang lebih kecil (hasil pemisahan dapat dilihat
berupa kromatogram). Sedangkan spektroskopi massa adalah metode analisis,
dimana sampel yang dianalisis akan diubah menjadi ion-ion gasnya, dan massa
dari ion-ion tersebut dapat diukur berdasarkan hasil deteksi berupa spektrum
massa. Pada GC hanya terjadi pemisahan untuk mendapatkan komponen yang
diinginkan, sedangkan bila dilengkapi dengan MS (berfungsi sebagai detektor)
akan dapat mengidentifikasi komponen tersebut, karena bisa membaca spektrum
bobot molekul pada suatu komponen, juga terdapat reference pada software
(Hermanto, 2008).
Gambar 9. GC-MS Shimadzu (Dokumen Pribadi, 2010)
Pemisahan komponen senyawa dalam GCMS terjadi di dalam kolom
(kapiler) GC dengan melibatkan dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase
diam adalah zat yang ada di dalam kolom, sedangkan fase gerak adalah gas
pembawa (Helium maupun Hidrogen dengan kemurnian tinggi, yaitu ± 99,995%).
Proses pemisahan dapat terjadi karena terdapat perbedaan kecepatan alir dari tiap
29
molekul di dalam kolom. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan
afinitas antar molekul dengan fase diam yang ada di dalam kolom. Selanjutnya
komponen-komponen yang telah dipisahkan tersebut masuk ke dalam ruang MS
yang berfungsi sebagai detektor secara instrumentasi, MS adalah detektor bagi GC
(Hermanto, 2008).
Teknik sampling GC digunakan injeksi sampel berupa cairan, yaitu teknik
memasukkan sampel yang paling umum. Sampel langsung dimasukkan atau di
injeksi setelah mendapat preparasi. Direct Inlet Probe digunakan untuk sampel
yang memiliki titik uap yang lebih tinggi dari kemampuan injektor GC atau untuk
analisis sampel yang tidak stabil secara termal. Sampel langsung dimasukkan ke
dalam MS tanpa melalui GC. Teknik Headspace digunakan untuk sampel hasil
ekstraksi dari senyawa-senyawa organik yang mudah menguap. Senyawa-
senyawa tersebut terdapat di dalam produk berbentuk cair atau padat. Misalnya,
senyawa yang mudah menguap di dalam air, aroma di dalam produk makanan dan
sebagainya. Sampel dimasukkan ke dalam wadah khusus, lalu diinkubasi. Setelah
terjadi ekuilibrium gas yang berada di atas diambil oleh syringe. Lalu sampel
dimasukkan ke dalam GC. Teknik sampling ini menggunakan alat khusus yang
terpisah dari instrumen GCMS, sedangkan pirolis digunakan untuk sampel yang
tidak dapat diuapkan oleh injektor GC, misalnya polimer-polimer. Sampel
pertama kali diuraikan terlebih dahulu oleh pemanasan dalam alat khusus, hasil
dekomposisi dapat dianalisis oleh GC. Purge dan Trap, digunakan untuk sampel
hasil ekstraksi dari senyawa-senyawa organik yang mudah menguap. Zat yang
mudah menguap (zat volatil) pertama kali dikeluarkan dari sampel dengan
30
menggunakan gas inert. Kemudian zat volatil tersebut diabsorb oleh zat khusus
untuk meng-absorb seperti karbon aktif. Kemudian absorben dipanaskan untuk
melepaskan senyawa yang diinginkan ke dalam GC untuk dianalisis (Hermanto,
2008).
31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2010 sampai dengan bulan
Juni 2010. Penelitian bertempat di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)
Lebak Bulus, Jakarta Selatan dan Laboratorium Pangan Pusat Laboratorium
Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah Erlenmeyer, timbangan analitik,
mikroskop dan kamera, pH meter, corong Buchner, Laminar Air Flow Cabinet
(LAFC), Gas Chromatograph Mass Spectrometer (GC-MS) Shimadzu dan
Spektrofotometer UV-Vis Genesys 2, Shacking incubator, mortar, saringan,
mikropipet, cawan petri, tabung reaksi, vortex, penangas air, autoklaf, iradiator
IRKA (Iradiator Karet Alam), sentrifuse, oven, dan ependorf.
Bahan-bahan yang digunakan adalah batubara jenis subbituminus yang
berasal dari Sumatera Selatan yang diisolasi langsung dari pertambangan batubara
pada tahun 2009, isolat kapang Penicillium sp. hasil seleksi oleh Kuraesin tahun
2009, medium Potato Dextrose Agar (PDA), Medium Minimal Salt (MMS), agar
bakto, larutan fisiologis (NaCl 0,85 %), sukrosa, alumunium foil, akuades,
alkohol 70%, kertas parafilm, kertas Whatman No.1, heksana, benzena, dietil eter,
KH2PO4, aseton, FDA (Fluorescen Diacetat), NaOH, dan methylene blue.
32
Komposisi medium yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel
5 sebagai berikut.
Tabel 5. Komposisi Medium Biosolubilisasi Batubara Oleh Penicillium sp.
Nama
Medium
PDA
(ml)
Agar
bakto
(g)
MMS
(ml)
Sukrosa
(g)
Serbuk
Batubara
(g)
Keterangan
Potato
Dextrose
+
Medium
Minimal
Salt
(PDAM)
75 0,75 75 - -
Untuk
Peremajaan
dan media
pertumbuhan
Medium
Minimal
Salt +
Sukrosa
(MMSS)
- - 600
1% dari
volume
total
(6g)
2 % dari
volume
total
( 12g)
Untuk
solubilisasi
batubara
3.3. Prosedur Kerja
3.3.1. Persiapan dan Sterilisasi Alat
Alat-alat gelas yang akan digunakan dibersihkan, lalu disterilkan dengan
menggunakan autoklaf pada suhu 121ºC pada tekanan 1 atm selama 15 menit.
Peralatan yang tidak tahan panas disterilkan dengan menggunakan alkohol 70%.
3.3.2. Persiapan Serbuk Batubara
Batubara digerus dengan mortar, lalu disaring menggunakan penyaringan
dengan ukuran 70 mesh (kurang dari 0,2 mm) hingga menjadi serbuk batubara.
33
Sebanyak 5 g sampel batubara yang sudah halus ditimbang dan dimasukkan ke
dalam plastik polyetilen serta ditutup rapat menggunakan sealer.
3.3.3. Iradiasi Batubara Dengan Sinar Gamma
Serbuk batubara ditimbang dalam plastik polyetilen masing-masing 5 g dan
ditutup dengan menggunakan sealer, kemudian batubara diiradiasi dengan iradiasi
gamma dengan dosis 0 kGy, 5 kGy, 10 kGy, dan 20 kGy di iradiator IRKA-Pusat
Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) BATAN.
3.3.4. Pembuatan Medium Potato Dextrose Agar (PDA)
Sebanyak 2,92 g medium PDA ditimbang, lalu ditambahkan sebanyak 0,75
g agar bakto dan dilarutkan ke dalam 75 ml akuades di atas penangas air hingga
larut. Setelah larut kemudian disterilisasi ke dalam autoklaf dengan suhu 121°C
pada tekanan 1 atm selama 15 menit.
3.3.5. Pembuatan Medium Minimal Salt (MMS)
Medium Minimal Salt (MMS) dibuat dengan cara menimbang sebanyak
0,52g MgSO4.7H2O; 0,003 g ZnSO4.7H2O; 5 g K2HPO4; 0,005 g FeSO4, dan 1 g
NH4(SO4), pH 5,5. Kemudian ditambah 1 liter akuades, lalu dilarutkan sampai
homogen (Silva et al., 2007). Kemudian MMS disterilisasi dengan autoklaf pada
tekanan 1 atm selama 15 menit.
34
3.3.6. Pembuatan Medium Potato Dextrose Agar + Medium Minimal Salt
(PDAM)
Medium PDAM dibuat dengan mencampurkan medium PDA dan Medium
Minimal Salt (MMS) dengan perbandingan 1:1 dari volume medium yang telah
dibuat. Kemudian medium PDAM dihomogenkan dengan cara pengadukan.
Medium PDAM disterilisasi dengan autoklaf dengan suhu 1210C pada tekanan 1
atm selama 15 menit.
3.3.7. Pembuatan Medium Minimal Salt + Sukrosa (MMSS)
Medium MMSS dibuat sebanyak 600 ml medium MMS dengan komposisi
yang dapat dilihat pada Lampiran 1 dan ditambahkan sukrosa sebanyak 1% b/v,
lalu dihomogenkan. Setelah itu, disterilisasi dengan autoklaf dengan suhu 1210C
pada tekanan 1 atm selama 15 menit.
3.3.8. Peremajaan Kapang dan Kultur Isolat Kapang Penicillium sp.
Isolat kapang Penicillium sp. diambil sebanyak 1 ose, diremajakan pada
cawan petri untuk memperbanyak spora kapang. Setelah itu, diinkubasi pada suhu
ruang selama lima hari sampai kapang Penicillium sp. menghasilkan spora.
Sebanyak 10 ml NaCl 0,85 % dimasukkan ke dalam cawan petri. Kemudian
miselia kapang dilepaskan menggunakan ose steril sampai kapang melarut dengan
NaCl. Inokulum spora tersebut dimasukkan ke dalam tabung yang akan digunakan
untuk langkah selanjutnya.
35
3.3.9. Biosolubilisasi Batubara
Penelitian ini dilakukan duplo atau dengan pengulangan. Kultur inokulum
spora Penicillium sp. sebanyak 10 % v/v dimasukkan ke dalam 30 ml medium
MMSS dengan jumlah spora yang diinginkan 108 sel/ml, lalu dihomogenkan.
Kemudian, ditambahkan sebanyak 2% b/v serbuk batubara ke dalam tabung
dengan masing-masing dosis 0 kGy, 5 kGy, 10 kGy, dan 20 kGy, lalu diinkubasi
menggunakan shacking incubator dengan kecepatan 120 rpm, pada suhu ruang,
selama 28 hari. Pencuplikan sampel kultur dilakukan pada hari ke 0, 7, 14, 21, dan
28 untuk dilakukan pengamatan kolonisasi miselia kapang, pH medium, dan
solubilisasi terhadap batubara. Untuk perlakuan biosolubilisasi batubara dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Perlakuan Biosolubilisasi Batubara Oleh Penicillium sp.
3.3.10. Pengukuran pH, Solubilisasi, dan Kolonisasi Miselia Kapang
3.3.10.1. Pengukuran pH Sampel
Sampel diukur nilai pHnya dengan menggunakan pH meter. Selanjutnya
dibuat grafik perubahannya.
Medium Jumlah Dosis
MMSS + 2% Serbuk batubara
+ 10% inokulum spora
30 ml 0 kGy
MMSS + 2% Serbuk batubara
+ 10% inokulum spora
30 ml 5 kGy
MMSS + 2% Serbuk batubara
+ 10% inokulum spora
30 ml 10 kGy
MMSS + 2% Serbuk batubara
+ 10% inokulum spora
30 ml 20 kGy
36
3.3.10.2. Solubilisasi Batubara
Sampel diambil sebanyak 10 ml pada tiap pencuplikan, kemudian
dipisahkan antara supernatan dan pellet dengan sentrifugasi kecepatan 5400 rpm
selama 15 menit. Supernatan kemudian diukur nilai absorbansinya menggunakan
Spektrofotometer UV-Vis Genesys 2 pada panjang gelombang 250 nm dan 450
nm untuk mengetahui tingkat biosolubilisasi batubara padat yang diurai menjadi
batubara terlarut (Selvi and Banerjee, 2007). Pengukuran absorbansi pada panjang
gelombang 250 nm ini bertujuan untuk mendeteksi adanya gugus fenolik dan pada
panjang gelombang 450 nm bertujuan untuk mendeteksi gugus karbonil dan
hidroksil hasil solubilisasi batubara oleh kapang Penicillium sp. Blanko yang
digunakan adalah medium MMSS. Nilai absorbansi yang tinggi berbanding lurus
dengan tingkat solubilisasi batubara yang tinggi pula. Supernatan dengan nilai
absorbansi tertinggi akan diuji lanjut menggunakan GC-MS Shimadzu.
3.3.10.3. Kolonisasi Miselia Kapang Pada Batubara
Kumpulan miselia yang berwarna kehitaman dari sampel kultur yang
diambil pada tiap pencuplikan. Setelah itu miselia tersebut diambil menggunakan
pinset steril kemudian diletakan di atas kaca objek bersih. Pengamatan dilakukan
secara mikroskopi, yaitu dengan cara meneteskan Methylene Blue 0,1 % ke atas
kumpulan miselia kemudian diamati panjang hifa kapang Penicillium sp. yang
tumbuh pada substrat batubara. Pengamatan dilakukan dengan bantuan mikroskop
cahaya perbesaran 400 kali. Kolonisasi digunakan untuk mengetahui pertumbuhan
37
yang terjadi pada kapang sehingga dapat diketahui kapang tersebut mampu
menggunakan substrat batubara.
3.3.11. Analisis Aktivitas Enzim
Sampel sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian
ditambahkan 4 ml KH2PO4 buffer (pH 7,6) 60 mM. Reaksi dimulai dengan
menambahkan 80µg FDA (Fluorescen Diacetat). Setelah itu, Pengocokkan
dilakukan selama beberapa menit sampai terjadi reaksi yang ditandai dengan
terbentuknya warna kuning akibat reaksi penambahan FDA. Sebanyak 4 ml aseton
ditambahkan ke dalam medium untuk menghentikan reaksi, lalu suspensi disaring
dengan menggunakan kertas Whatman No.1 dan filtrat dimasukkan ke dalam
tabung lalu ditutup kertas parafilm dan disimpan di dalam lemari es selama 24 jam
untuk menguapkan aseton. Nilai OD (Optical Density) filtrat yang sudah
dipersiapkan ditera dengan menggunakan spektrofotometer Genesys 2 pada
panjang gelombang 490 nm (Breeuwer, 1996).
3.3.12. Analisis Hasil Solubilisasi Batubara oleh Kapang Penicilium sp.
Dengan Menggunakan GC-MS
Supernatan dan pelarut dicampurkan dengan perbandingan 1:1. Pelarut
yang digunakan adalah benzena : heksana : dietil eter dengan perbandingan 3:1:1.
Campuran tersebut dimasukkan ke dalam corong Buchner lalu diaduk sampai
bercampur kemudian didiamkan beberapa saat sampai terbentuk fase atas dan
bawah. Fase atas dipakai untuk identifikasi jenis senyawa produk hasil solubilisasi
38
batubara dan menentukan kadarnya dengan menggunakan GC-MS Shimadzu.
Kolom yang digunakan adalah Dimetil polysiloxana dengan kondisi suhu kolom
oven 50 0C, suhu injeksi 280
0C, laju alir 1,54 ml/menit, dan fase gerak gas
helium. Kontrol yang digunakan adalah medium MMSS yang ditambahkan serbuk
batubara yang diiradiasi dan tidak diiradiasi (Silva et al., 2007).
3.3.13. Analisis data
Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak lengkap
(RAL) yang dianalisis dengan Analisis Varian (ANOVA) satu arah untuk
mengetahui apakah ada perbedaan atau pengaruh pada tiap perlakuan. Uji Analisis
Varian ini (ANOVA) dibantu dengan bantuan program SPSS 16.
Uji Anova dengan hipotesis :
H0 : Tidak ada perbedaan antara rata-rata nilai parameter yang diuji pada tiap
dosis iradiasi.
H1 : Ada perbedaan antara rata-rata nilai pada parameter yang diuji pada tiap dosis
iradiasi.
Jika probabilitasnya (signifikansinya) > 0,05 maka H0 diterima.
Jika probabilitasnya (signifikansinya) < 0,05 maka H0 ditolak atau H1 diterima.
39
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kolonisasi Kapang Penicillium sp. Pada Substrat Batubara
Kapang Penicillium sp. dapat tumbuh pada substrat batubara yang ditandai
dengan adanya kolonisasi berupa terselimutinya substrat batubara oleh hifa
kapang Penicillium sp. Hasil pengamatan kolonisasi pada substrat batubara
memperlihatkan bagaimana hifa kapang Penicillium sp. mengkolonisasikan
dirinya pada substrat batubara dengan perlakuan dosis berbeda. Pada Gambar 10
adalah contoh hasil pengamatan yang diambil pada hari ke-0 dan hari ke-7
inkubasi. Untuk gambar selengkapnya pada setiap dosis iradiasi dan hari inkubasi
dapat dilihat pada Lampiran 5.
Pada hari ke-0 inkubasi, tampak bahwa tidak terjadinya proses kolonisasi
karena belum terjadi proses degradasi batubara oleh kapang dan kapang masih
menggunakan nutrien yang berada dalam medium. Kolonisasi miselia kapang
pada substrat batubara, baru mulai terlihat pada hari ke-7 inkubasi. Pada Gambar
10, secara kualitatif ditunjukkan bahwa pertumbuhan Penicillium sp. ditandai
dengan adanya peningkatan produksi dan kerapatan hifa yang sebanding dengan
makin tingginya dosis iradiasi serta lamanya hari inkubasi yang digunakan. Hal
ini membuktikan bahwa penggunaan iradiasi gamma dalam solubilisasi batubara
memberikan pengaruh pada cepatnya proses degradasi yang dilakukan oleh
kapang. Perbedaan panjang dan kerapatan hifa yang terjadi pada masing-masing
dosis merupakan akibat dari perbedaan setiap perlakuan dosis yang mengubah
40
senyawa kompleks menjadi senyawa yang sederhana dengan panjang rantai
karbon yang berbeda sehingga kolonisasi pun terjadi perbedaan pada tiap
perlakuan.
Pada dosis 0 kGy hari ke-7 inkubasi kolonisasi belum mengalami kerapatan
hifa dan pemanjangan hifa kapang Penicillium sp (Gambar 10), panjang hifa pun
masih dapat diukur. Pada dosis 5 kGy hari ke-7 jika dibandingkan dengan dosis 0
kGy hari ke-7 inkubasi terlihat kolonisasi kapang Penicillium sp. memperbanyak
sporanya untuk menghasilkan kolonisasi yang lebih banyak lagi, sedangkan pada
dosis 10 kGy dan 20 kGy hari ke-7 telah mengalami kolonisasi yang kerapatannya
sudah mulai padat dan panjang hifa kapang yang tidak dapat terukur (Gambar 10).
Terjadinya kolonisasi membuktikan bahwa kapang Penicillium sp. dapat
menggunakan substrat batubara untuk proses metabolismenya dan dapat
mensolubilisasi batubara dengan bantuan enzim sehingga dihasilkannya senyawa
yang lebih sederhana. Enzim-enzim yang dihasilkan oleh kapang Penicillium sp.
terikat di permukaan hifa sehingga terjadi kontak dengan lignin yang ada pada
batubara (Cathcheside and Ralph, 1994).
Menurut Selvi et al. (2006), biosolubilisasi yang dilakukan oleh kapang
sudah baik pada masa inkubasi hari ke-7, ditandai terjadinya interaksi antara
batubara yang terjebak dengan hifa kapang sehingga hifa kapang dapat
melarutkan senyawa yang terkandung dalam substrat batubara. Selama
pertumbuhannya, produksi hifa kapang semakin meningkat dan mulai
mengelilingi partikel-partikel batubara seiring dengan lamanya masa inkubasi
(Lampiran 5). Menurut Mustikasari (2009), peningkatan hifa menandakan bahwa
41
kapang makin lama dapat menjebak air serta partikel batubara yang terlarut dalam
medium.
Dosis 0 kGy H-0 Dosis 0 kGy H-7 Dosis 5 kGy H-7
Dosis 10 kGy H-7 Dosis 20 kGy H-7
Gambar 10. Interaksi antara batubara dengan kapang Penicillium sp. dalam
periode inkubasi dan dosis iradiasi yang berbeda (Pembesaran
400X). Keterangan: Tanda Panah hijau menunjukkan miselia fungi,
panah kuning menunjukkan partikel batubara, dan panah orange
menunjukkan spora fungi.
Pada gambar di atas tampak hifa sedang mengadakan kontak dengan
menyelubungi partikel batubara dihari ke-7 inkubasi. Pemberian medium sukrosa
pada penelitian ini merupakan sumber karbon yang dapat membantu dalam proses
degradasi batubara guna memberikan energi awal untuk kapang agar dapat
menggunakan substrat batubara pada proses selanjutnya. Hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh Liu et al. (1990), didapatkan hasil bahwa pertumbuhan
42
kapang dapat dipacu dengan pemberian medium yang mengandung gula sehinga
batubara dapat tersolubilisasikan. Produk hasil solubilisasi akan tetap padat tanpa
adanya medium yang cocok, sehingga pertumbuhan kapang terhambat dan
kolonisasi kapang tidak dapat terlihat.
Terjadinya kolonisasi kapang Penicillium sp. dapat juga dilihat dari
perubahan nilai pH yang menjadi lebih asam pada masa inkubasi (Gambar 11).
Telah diketahui bahwa kapang dapat tumbuh pada pH berkisar antara 2 sampai
8,5. pH yang asam menunjukkan bahwa kapang Penicillium sp. dapat tumbuh dan
dapat menggunakan substrat batubara, sehingga kapang dapat mengkolonisasi
dengan substrat batubara. Hasil yang didapatkan dari penelitian Scott and Lewis
(1990), menunjukkan bahwa terjadinya proses kolonisasi pada substrat batubara
karena kapang mampu mengkolonisasi dirinya dengan partikel batubara yang
berada pada medium. Proses pengkolonisasian yang telah dilakukan oleh kapang
Penicillium sp. merupakan cara yang dilakukan kapang agar mempermudah
proses degradasi substrat batubara sehingga terjadi pelarutan senyawa di dalam
medium.
4.2. Nilai pH Medium Solubilisasi Batubara
Nilai pH medium yang dihasilkan pada proses solubilisasi batubara pada
pengamatan cenderung menghasilkan pH yang rendah. Berdasarkan pada Gambar
11, pola perubahan nilai pH medium dari kapang Penicillium sp. memiliki pola
yang hampir sama pada masing-masing dosis iradiasi selama proses fermentasi
dengan nilai pH yang berfluktuasi antara 2,6-3,8. Nilai pH medium pada masa
43
inkubasi lebih rendah dibandingkan pada hari ke-0. Nilai pH medium pada hari
ke-0 tiap varian dosis iradiasi memiliki kesamaan derajat keasamannya, namun
pada dosis 20 kGy terjadi perbedaan nilai pH mediumnya dibandingkan dengan
dosis lainnya. Pada hari ke-7 inkubasi pH medium mengalami penurunan yang
tidak jauh berbeda dengan varian dosis lainnya, namun setelah hari ke-7 inkubasi
pH medium solubilisasi mengalami peningkatan yang cenderung stabil sehingga
tampak stasioner pada kurva. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa nilai
pH medium kapang Penicillium sp. pada seluruh varian dosis iradiasi tidak
signifikan (probabilitas > 0,05) (Lampiran 4).
Perubahan pH merupakan hal yang menjadi salah satu faktor pengukuran
dalam proses solubilisasi batubara. Proses solubilisasi yang dilakukan oleh kapang
cenderung menghasilkan pH asam. Pada penelitian yang telah dilakukan oleh
Indahwati (2009), didapatkan hasil bahwa aktivitas kapang Penicillium sp.
cenderung menghasilkan pH yang asam dengan kisaran pH 3,15 sampai 4,34.
Nilai pH yang asam menunjukkan bahwa kapang mampu tumbuh pada medium
batubara. Kebanyakan kapang mampu tumbuh pada kisaran pH yang luas yaitu 2
sampai 8,5, akan tetapi pertumbuhannya akan lebih baik lagi pada kondisi asam
atau pH rendah. pH yang optimum untuk pertumbuhan fungi pada umumnya 3,8
sampai 5,6 (Pelczar dan Chan, 2005).
Pada dosis 20 kGy hari ke-0 (Gambar 11), terjadi perbedaan nilai pH medium
bila dibandingkan dengan dosis yang lain. Hal tersebut karena adanya perbedaan
gugus yang dihasilkan dari tiap perlakuan dosis iradiasi. Menurut Selvi et al.
(2006), yang menggunakan dosis 20 kGy dalam penelitiannya mengatakan bahwa
44
iradiasi dapat menyebabkan pemecahan senyawa kompleks yang ada pada lignin
menjadi senyawa yang sederhana yang menghasilkan gugus hidroksil dan karbonil
dari pemecahan senyawa hidrokarbon. Menurut Indahwati (2009), material
organik batubara terbentuk dari makromolekul yang tersusun dari unit dasar
berupa cincin benzena dan cincin aromatik (misal gusus metil atau hidroksil).
Interaksi diantara molekul tersebut ternyata diketahui sebagai faktor yang
mempengaruhi perubahan sifat material dan karakteristik reaksi termokimia pada
batubara saat mendapat perlakuan panas sehingga iradiasi dapat mempengaruhi
perubahan dari sifat material batubara.
Gambar 11. Nilai pH Pada Berbagai Variasi Dosis Batubara
Selama masa inkubasi solubilisasi batubara terjadi perubahan nilai pH naik
dan turun, namun tidak terjadi perubahan yang terlalu tinggi. Penurunan pH
medium yang terjadi selama awal inkubasi dapat menunjukkan terjadinya proses
fermentasi sumber karbon sederhana yang terkandung dalam medium MMSS
45
yang menghasilkan asam organik. Menurut Hammel et al. (1993), nilai pH yang
menurun pada hari inkubasi merupakan hasil dari degradasi proses biosolubilisasi
batubara oleh kapang akibatnya terbentuklah asam-asam organik hasil degradasi
komponen lignin pada batubara.
Penurunan pH yang terjadi kemungkinan disebabkan pula telah terjadinya
proses desulfurisasi sehingga sulfur dalam batubara terlarut ke dalam medium cair
dalam bentuk ion sulfat (SO42-
). Batubara mengandung senyawa kompleks yang
salah satunya adalah senyawa pirit (FeS2) (Speight, 1994). Pemanfaatan
mikroorganisme dapat mempercepat reaksi oksidasi senyawa sulfur sehingga
menghasilkan pH yang asam pada medium yang mengandung senyawa terlarut.
Reaksi terjadinya proses desulfurisasi dapat dilihat dalam persamaan reaksi
berikut ini:
2FeS2+ 7O2+2H2O 2FeSO4 + 2H2SO4
Pirit as.sulfat
Pada hari inkubasi selanjutnya setelah hari ke-7 inkubasi, pH cenderung
mengalami peningkatan yang relatif stabil dengan peningkatan nilai pH yang tidak
terlalu tinggi (Gambar 11). Menurut Mustikasari (2009), kenaikan pH medium
dikarenakan terbentuknya gugus hidroksil (OH-) hasil degradasi senyawa komplek
yang merupakan komponen lignin pada batubara serta dihasilkannya protein
enzim untuk mendegradasi lignin di dalam batubara sehingga meningkatkan
kandungan hidroksil. Proses degradasi akan menurunkan kandungan gugus
metoksil (-OCH3) serta meningkatkan kandungan oksigen dan gugus hidroksil
sehingga di dapatkan meningkatnya nilai pH (Indahwati, 2009).
Penicillium sp
sp.
46
4.3. Aktivitas Enzim Hasil Biosolubilisasi Batubara
Nilai absorbansi aktivitas enzim yang didapatkan dari hasil biosolubilisasi
oleh kapang Penicillium sp. mengalami kenaikan ataupun penurunan nilai yang
berfluktuatif antara tiap varian dosis. Nilai absorbansi aktivitas enzim yang di
dapatkan dari hasil solubilisasi dengan hari ke-7, 14, 21, dan 28 inkubasi
menunjukkan nilai yang lebih tinggi aktivitas enzimnya jika dibandingkan dengan
hari ke-0 (Gambar 12). Aktivitas enzim tertinggi terjadi pada dosis 20 kGy dengan
inkubasi 14 hari. Kenaikan terjadi lebih besar bila dibandingkan dengan dosis
yang lainnya yaitu dengan nilai absorbansi sebesar 0,068. Pada hari ke-7 inkubasi
aktivitas enzim mengalami kenaikan absorbansinya dibandingkan hari ke-0. Hal
tersebut dapat terlihat pada seluruh varian dosis. Kenaikan absorbansi aktivitas
enzim tersebut terlihat pada dosis 10 kGy hari ke-7. Hasil pengujian statistik
menunjukkan bahwa nilai aktivitas enzim antara tiap dosis iradiasi tidak
signifikan (nilai probabilitas > 0,05) (Lampiran 4).
Peningkatan yang terjadi setelah hari inkubasi ke-0 kemungkinan merupakan
akibat dari penambahan buffer pada reaksi aktivitas enzim. Menurut Mustikasari
(2009), perubahan pH medium mempengaruhi aktivitas enzim. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pH yang terlalu asam akan menyebabkan
aktivitas enzim menurun, karena enzim dapat mengalami kerusakan. Jika dilihat
pada nilai pH yang dihasilkan dari fermentasi kapang Penicillium sp., pH
cenderung asam dengan kisaran 2,65-3,57 (Gambar 11), maka penambahan buffer
perlu dilakukan pada uji analisis aktivitas enzim.
47
Pada nilai absorbansi aktivitas enzim terjadi penurunan dan kenaikan yang
berfluktuatif (Gambar 12). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Laborda et al.
(1999), batubara mempunyai struktur yang kompleks dan heterogen yang tidak
diduga sehingga enzimnya pun berbeda-beda dari mikroba. Kemampuan
Penicillium sp. dalam mendegradasi batubara disebabkan oleh perbedaan sistem
enzim yang dimiliki oleh kapang. Penicillium sp. selain menghasilkan enzim
ligninolitik ekstraseluler juga menghasilkan enzim intraseluler yang merupakan
kofaktor penting untuk ligninolisis oleh enzim lignin peroksidase (Indahwati,
2009).
Gambar 12. Absorbansi Aktivitas Enzim Hasil Biosolubilisasi Batubara Pada
Dosis Yang Berbeda
Pada dosis 20 kGy nilai absorbansi aktivitas enzim tertinggi berada pada
puncak hari ke-14 inkubasi (Gambar 12). Aktivitas enzim yang meningkat
menandakan meningkatnya jumlah FDA terhidrolisis. Terhidrolisisnya FDA dapat
dilihat pada panjang gelombang 490 nm yang menunjukkan jumlah enzim
ekstraseluler seperti lipase, protease, dan esterase yang dihasilkan oleh kapang
48
(Breeuwer, 1996). Bila jumlah kapang banyak, maka enzim yang dihasilkan akan
banyak. Jika dilihat kurva nilai absorbansi aktivitas enzim tersebut berkorelasi
dengan pertumbuhan kapang dan perkembangbiakan sel kapang. Pada dosis 20
kGy tersebut menunjukkan bahwa kapang Penicillium sp. kemungkinan memiliki
kemampuan yang lebih besar dalam menghasilkan enzim ektraseluler yang
mampu mendegradasi batubara.
Enzim ekstraseluler adalah enzim yang diekskresikan oleh kapang ke luar
tubuhnya untuk mendegradasi substrat batubara. Menurut penelitian yang telah
dilakukan oleh Faison et al. (1989), enzim ekstraseluler akan menghasilkan
medium yang lebih gelap selama proses kultur cair atau cairan gelap pada
permukaan batubara ketika ditumbuhkan pada permukaan kultur agar. Enzim
ekstraseluler yang dihasilkan oleh kapang Penicillium sp. diantaranya adalah
enzim laccase (Lac) dan peroksidase yang terdiri dari lignin peroksidase (LiP) dan
mangan peroksidase (MnP). Ketiga enzim tersebut bertanggung jawab terhadap
pemecahan awal polimer lignin dan menghasilkan produk dengan berat molekul
rendah, larut dalam air dan CO2 (Kuraesin et al., 2009).
Meningkat atau menurunnya aktivitas enzim sejalan dengan hasil dari
solubilisasi yang dapat dilihat pada nilai absorbansinya (Gambar 13), maka dari
hal itu aktivitas enzim berperan penting dalam mendegradasi batubara sehingga
batubara dapat larut dalam medium. Menurut Faison et al. (1989) menyatakan
solubilisasi batubara oleh jamur melalui proses ekstraselulernya akan
menghasilkan medium yang lebih gelap dan keruh yang mengandung senyawa
terlarut didalam medium sehingga nilai absorbansi aktivitas enzim semakin tinggi.
49
4.4. Absorbansi Solubilisasi Pada Panjang Gelombang 250 nm dan 450 nm
Proses solubilisasi batubara dapat diamati tingkat solubilisasinya dengan
absorbansi pada panjang gelombang 250 nm (sinar tak tampak) dan panjang
gelombang 450 nm (sinar tampak), yang tujuannya untuk mendeteksi senyawa
fenolik, senyawa karboksil, dan senyawa karbonil hasil dari pemecahan senyawa
yang lebih sederhana dari komponen lignin. Senyawa-senyawa tersebut
merupakan produk hasil solubilisasi batubara oleh kapang Penicillium sp.
Nilai absorbansi dari supernatan hasil fermentasi kapang selama inkubasi
bernilai antara 0,21 sampai 2,744 pada panjang gelombang 250 nm (Gambar 13)
dan untuk panjang gelombang 450 nm berkisar antara 0,08 sampai 0,097 (Gambar
14). Jika dibandingkan dengan hari ke-0, hasil solubilisasi pada panjang
gelombang 250 nm mengalami kenaikan absorbansi pada masa inkubasi.
Penurunan terjadi pada hari ke-14 inkubasi pada tiap varian dosis iradiasi, namun
pada dosis 20 kGy tetap mengalami peningkatan di hari ke-14 inkubasi dan baru
mengalami penurunan nilai absorbansi pada hari ke-28. Peningkatan solubilisasi
berdasarkan nilai absorbansi pada panjang gelombang 450 nm sebanding dengan
semakin tingginya dosis iradiasi. Berdasarkan pengujian statistik menunjukkan
bahwa nilai absorbansi pada panjang gelombang 450 nm dan 250 nm adalah tidak
signifikan pada tiap dosis (nilai probabilitas > 0,05) (Lampiran 4).
Nilai absorbansi solubilisasi kapang Penicillium sp. dalam dosis iradiasi
yang berbeda, antara nilai absorbansi pada panjang gelombang 250 nm (Gambar
13) dengan panjang gelombang 450 nm (Gambar 14) terjadi perbedaan yang
sangat jelas nilai absorbansinya. Secara kualitatif terdapat perbedaan pada
50
kekeruhan supernatan pada hari ke-0 dan seterusnya. Pada hari ke-0 perbedaan
sangat jelas pada tiap dosis iradiasi yang pada umumnya supernatan berwarna
kuning bening dan pada hari inkubasi selanjutnya berubah menjadi cokelat.
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Cohen et al. (1990), perubahan
tersebut menunjukkan bahwa batubara yang terlarut bercampur dengan medium.
Perbedaan absorbansi menunjukan adanya perbedaan pada tingkat degradasi atau
solubilisasi batubara oleh kapang melalui aktivitas enzim ekstraseluler menjadi
produk yang larut dalam air.
Secara kualitatif pengujian supernatan dari hasil inkubasi diukur dengan
menentukan nilai absorbansinya. Perbedaan absorbansi menunjukkan adanya
perbedaan pada tingkat degradasi atau biosolubilisasi batubara oleh kapang
melalui aktivitas enzim ekstraselulernya menjadi sebuah produk yang mencair
(terlarut) dan dihasilkan pula gas CO2 (Ward, 1985).
Nilai absorbansi solubilisasi pada panjang gelombang 250 nm (Gambar 13),
menunjukkan bahwa pada tiap dosis mengalami penurunan nilai absorbansi pada
hari ke-28. Penurunan juga terjadi pada dosis 0 kGy, 5 kGy, dan 10 kGy pada
hari ke-14 inkubasi. Nilai absorbansi yang menurun pada hari inkubasi disebabkan
proses degradasi batubara yang sudah melarut kemudian diurai kembali menjadi
komponen yang lebih sederhana dan dihasilkan pula gas CO2. Terjadinya
penurunan absorbansi menurut Ralph (1997), produk solubilisasi memiliki potensi
untuk didekolorisasi atau dilakukan penguraian kembali sehingga memungkinkan
terjadinya penguraian senyawa yang lebih sederhana lagi yaitu turunan dari
senyawa fenolik.
51
Gambar 13. Absorbansi Pada Panjang Gelombang 250 nm Hasil Solubilisasi Pada
Berbagai Dosis Yang Berbeda
Pada dosis 20 kGy pada hari ke-14 inkubasi nilai absorbansinya mengalami
kenaikan yang sangat drastis, sehingga dapat dikatakan bahwa pada dosis 20 kGy
dapat mendegradasi batubara dengan baik. Nilai absorbansi tertinggi
menunjukkan tingkat degradasi batubara yang dilakukan oleh kapang Penicillium
sp. Kapang Penicillium sp. mampu tumbuh menggunakan substrat batubara
dengan nilai pH yang rendah dan nilai absorbansi solubilisasi yang tinggi.
Menurut Selvi and Banerjee (2007), nilai absorbansi yang tinggi berbanding lurus
dengan tingkat solubilisasi batubara yang tinggi pula.
Nilai absorbansi solubilisasi batubara pada panjang gelombang 450 nm
(Gambar 14), terjadi perbedaan yang sangat jelas nilai absorbansinya
dibandingkan dengan panjang gelombang 250 nm. Pada hari ke-7, tiap dosis
mengalami kenaikan nilai absorbansinya, begitupun pada hari ke-14 yang semakin
meningkat. Pada dosis 20 kGy hari ke-7 inkubasi mengalami kenaikan nilai
absorbansinya jika dibandingkan dengan dosis yang lainnya, namun penurunan
52
nilai absorbansi solubilisasi pada dosis 20 kGy terjadi pada hari ke-14 masa
inkubasi.
Gambar 14. Absorbansi Pada Panjang Gelombang 450 nm Hasil Solubilisasi Pada
Berbagai Dosis Yang Berbeda
Jika dicocokkan dengan data pH maka dapat dilihat adanya hubungan yang
terbalik antara pH dengan absorbansi yang terukur. Ketika pH mengalami
penurunan maka nilai absorbansi mengalami peningkatan sedangkan jika pH
meningkat, absorbansi menurun. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Selvi and Banerjee (2007), yang menghasilkan solubilisasi
tertinggi dengan pH yang rendah.
Akibat dari aktivitas solubilisasi mengakibatkan adanya perbedaan dan pola
perubahan absorbansi. Produk solubilisasi melalui depolimerisasi adalah substansi
campuran teroksidasi berwarna coklat gelap yang bersifat larut dalam air. Dengan
demikian akan terjadi peningkatan nilai absorbansi pada panjang gelombang 450
nm. Menurut Scott (1986), karakter lain dari produk solubilisasi ini adalah materi
53
yang kaya dengan gugus karbonil dan hidroksil. Degradasi yang dilakukan oleh
kapang merupakan proses oksidatif dan tidak spesifik dengan mengurangi
kandungan metoksi, fenolik, dan alifatik lignin yang memecah cincin aromatik
serta membentuk kelompok karbonil baru, hal tersebut merupakan proses
dekolorisasi. Berdasarkan data solubilisasi, maka sampel yang akan di analisis
lanjut dengan GC-MS adalah nilai absorbansi solubilisasi yang tertinggi yaitu
pada dosis 0 kGy, 5 kGy, dan 10 kGy hari ke-7 serta dosis 20 kGy hari ke-14.
4.5. Hasil Identifikasi Senyawa Hasil Solubilisasi Kapang Penicillium sp.
Pada analisis GC-MS
Persentase area senyawa dari proses solubilisasi oleh kapang Penicillium sp.
diperoleh dari hasil jumlah total sampel berupa supernatan yang telah diinjeksi,
hasil tersebut menunjukkan bahwa solubilisasi menghasilkan senyawa-senyawa
hidrokarbon yang terkandung di dalam minyak bumi. Dengan mengetahui
senyawa-senyawa yang terkandung dari hasil biosolubilisasi batubara dapat
ditentukan senyawanya dalam penggunaan sebagai sumber bahan bakar. Sampel
yang digunakan pada analisis GC-MS merupakan sampel yang diambil
berdasarkan nilai absorbansi solubilisasi tertinggi pada tiap varian dosis iradiasi.
Kemungkinan pada nilai absorbansi solubilisasi tertinggi tersebut akan di
dapatkan hasil yang optimal berupa senyawa yang dibutuhkan dalam
pembentukan bahan bakar seperti solar dan bensin. Berdasarkan hal tersebut,
maka sampel yang digunakan dalam analisis GC-MS adalah sampel dosis iradiasi
0 kGy hari ke-7 inkubasi, sampel dosis iradiasi 5 kGy hari ke-7 inkubasi, sampel
54
dosis iradiasi 10 kGy hari ke-7 inkubasi, dan sampel dosis iradiasi 20 kGy hari ke-
14 inkubasi. Hasil identifikasi senyawa dengan menggunakan GC-MS dari
ekstraksi campuran senyawa heksana, dietil eter dan benzena (Tabel 7)
menunjukkan terdeteksi 35 senyawa yang didominasi oleh struktur rantai
hidrokarbon (C7 – C22). Dengan produk yang dihasilkan adalah produk yang
setara dengan minyak solar pada dosis 5 kGy dan produk yang setara dengan
bensin pada dosis 10 kGy.
Pada puncak-puncak hasil kromatogram (Lampiran 5) jika dibandingkan
dengan kontrol, tampak adanya senyawa baru yang terbentuk dari hasil
solubilisasi batubara. Berdasarkan pada puncak kromatogram terlihat adanya
empat senyawa hidrokarbon yang mendominasi yaitu senyawa n-Nonena (C9H20),
2,4-dimetilheptana (C9H20), dan tetradekana (C14H30). Hasil identifikasi senyawa
solubilisasi telah terjadinya peningkatan persentase area pada rantai karbon
pendek dibandingkan dengan kontrol, seperti peningkatan persentase senyawa n-
Oktana (C8H18) pada dosis 10 kGy hari ke-7 menjadi 35,47 dan pada dosis 20 kGy
hari ke-14 inkubasi nampak adanya senyawa rantai pendek yaitu n-Nonena
(C9H20) dengan persentase area yang tinggi sebesar 27,26.
Senyawa solubilisasi hasil analisis GC-MS membuktikan telah terbentuknya
senyawa baru golongan senyawa hidrokarbon, seperti senyawa 2,3-
Dimetilheksana (C8H18) pada dosis 0 kGy hari ke-7 dan senyawa n-heptana pada
dosis 10 kGy hari ke-0 yaitu terbentuk. Hal ini terjadi karena selama inkubasi,
kapang menggunakan sumber karbon pada senyawa batubara tersebut untuk
proses metabolismenya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Indahwati (2009)
55
menunjukkan adanya senyawa lain yang terbentuk dan mengalami peningkatan
serta pengurangan luas area puncak dibandingkan dengan kontrol merupakan
akibat dari degradasi batubara yang dilakukan oleh kapang Penicillium sp..
Menurut hasil penelitian Selvi et al. (2006), menunjukkan bahwa kapang
dapat menggunakan senyawa karbon dengan rantai pendek dalam
mensolubilisasikan batubara. Senyawa dengan rantai karbon pendek merupakan
hasil dari pemecahan iradiasi gamma yang memecah senyawa hidrokarbon
kompleks dari batubara. Senyawa hidrokarbon adalah senyawa-senyawa organik
dimana setiap molekulnya hanya mempunyai unsur karbon dan hidrogen saja
(Indahwati, 2009).
56
Tabel 7. Senyawa Hasil GC-MS
No Nama Senyawa
%area/5 µl
Kontrol Perlakuan
0 kGy
H-0
5 kGy
H-0
10 kGy
H-0
20 kGy
H-0
0 kGy
H-7
5 kGy
H-7
10 kGy
H-7
20 kGy
H-14
1 n-Heptana (C7H16)
3,71
2 n-Oktana (C8H18) 11,07 6,26 6,28 22,16
35,47
3 2,3-Dimetilheksana (C8H18)
1,23
4 2,3,3-Trimetilpentana (C8H18)
3,33
5 3,3-Dimetilheksana (C8H18)
23,37 22,92
6 2,4-Dimetil-1-heptena (C9H18)
5,00 4,67 5,72 5,29
4,08
7 I-Iodononena (C9H19)
2,19
1,22
8 2,3,4-Trimetilheksana (C9H20)
9,53 9,67
9 2,3,5-Trimetilheksana (C9H20)
1,69
10
2,2,5-Trimetil-3,4-
Heksanadiona (C9H20)
7,38
11 2,4-Dimetilheptana (C9H20) 19,43 17,73 16,32
18,10 22,79 19,75 19,90
12 4-Metiloktana (C9H20) 4,50 4,93 4,39
4,73 4,41
3,88
13 n-Nonena (C9H20)
2,12
27,26
14 I-Iododekana (C10H21)
4,52
4,42
15 2,5,5-Trimetilheptana (C10H22)
1,08
16 Oktana, 3,3-dimetil (C10H22)
1,25
17 6-Etil-2-metiloktana (C11H24)
5,23 4,98
18 Dodekana,1,1-difloro (C12H24) 5,49
19 n-dodekana (C12H26) 29,22
25,76
30,82
20 Isododekana (C12H26)
7,14
21
2,4,6-Trimetil-1-nonana
(C12H24)
1,57
22 4-Metil-1-undekana (C12H24)
5,53
23 2,4-dimetildekana (C12H26) 6,73
10,64 6,13
24 3,7-dimetildekana (C12H26)
5,03 15,65 1,22
25 1-Tridekana (C13H26)
1,67
26 2,8 dimetilundekana (C13H28)
11,03 3,34
2,75
27 3,7 dimetilundekana (C13H28)
16,07
23,18 6,71
28 4,7 dimetilundekana (C13H28)
13,58
9,39 10,53
9,65
39 n-Tetradekana (C14H30) 18,03
2,61 11,82 16,56 18,12 15,72
30 n-Pentadekana (C15H32) 5,53 1,92 2,03
1,64
31 n-Heksadekana (C16H34)
4,01 4,68 4,69 4,59
32 n-Nonadekana (C19H40)
3,43 3,51 3,96 4,12
33 Eikosana (C20H42)
1,48
34
2,6,10,14-tetrametil
heptadekana (C21H32)
1,84
35 n-Dokosana (C22H46)
2,67
0,87
1,93
Total % area 100 100 100 100 100 100 100 100
Total senyawa 8 12 14 9 20 8 7 11
Keterangan:
Kontrol : MMSS + Serbuk batubara
Perlakuan: MMSS + Sebuk batubara + Kapang Penicillium sp.
57
Komponen utama solar adalah panjang rantai karbon 10 sampai 13 (Lampiran
5), akan tetapi hasil penelitian yang lainnya menunjukkan bahwa fraksi minyak
solar mempunyai rantai atom karbon 8 sampai 25 (American Petroleum Institute,
2001). Hasil degradasi batubara menunjukkan bahwa produk solubilisasi kapang
Penicillium sp. berpotensi sebagai energi alternatif peganti bahan bakar minyak
yang setara dengan komponen minyak solar. Berdasarkan hasil analisis GC-MS,
pada dosis 5 kGy hari ke-7 didapatkan persentase area yang tertinggi (Gambar 15)
yang setara dengan minyak solar yaitu sebesar 48,05.
Gambar 15. Produk Biosolubilisasi Batubara Pada Dosis Yang Berbeda Oleh
Kapang Penicillium sp. Hasil Analisis GC-MS
Produk solubilisasi yang dihasilkan oleh kapang Penicillium sp. tidak hanya
setara dengan minyak solar. Selain minyak solar, senyawa hasil solubilisasi oleh
kapang Penicillium sp. dari hasil analisis GC-MS juga berpotensi sebagai energi
alternatif yang setara dengan bensin (Gambar 15). Formulasi kimia yang masuk
ke dalam fraksi bensin memiliki atom karbon 4 sampai 12 (American Petroleum
58
Institute, 2001). Pada dosis 10 kGy hari ke-7 memiliki persentase area yang lebih
tinggi dibandingkan dosis yang lainnya dalam menghasilkan senyawa yang setara
dengan bensin sebesar 73,24. Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh
Kuraesin et al. (2009), juga di dapatkan hasil bahwa kapang Penicillium sp. dapat
mencairkan batubara menjadi senyawa yang setara dengan bensin.
59
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Dosis iradiasi gamma dapat meningkatkan proses biosolubilisasi batubara.
Dosis yang terbaik dalam proses solubilisasi batubara jenis subbituminus oleh
kapang Penicillium sp. adalah dosis 20 kGy pada hari ke-14 inkubasi.
2. Batubara cair hasil biosolubilisasi kapang Penicillium sp. dari batubara
subbituminus Sumatera Selatan dapat digunakan sebagai energi alternatif dari
minyak bumi. Hasil produk biosolubilisasi ini dihasilkan dengan baik pada
hari ke-7 inkubasi yang setara dengan komponen minyak solar pada dosis 5
kGy, sedangkan yang setara dengan bensin pada dosis 10 kGy.
5.2. Saran
Pengamatan yang dilakukan dalam proses solubilisasi batubara oleh kapang
Penicillium sp. dari batubara subbituminus sebaiknya pada kisaran waktu kurang
dari 7 hari. Selain itu juga untuk pengukuran sisa subtrat batubara dan biomassa
perlu di uji lagi guna untuk melihat keakuratan data, serta perlunya pengujian
karakteristik enzim pada setiap perlakuan seperti analisis profil protein kapang
untuk melihat enzim apa saja yang berperan dalam proses biosolubilisasi batubara.
60
DAFTAR PUSTAKA
Akhtar, M., R.A. Blanchette and T.K. Kirk. 1997. Fungal delignification and
biomechanical pulping of wood. Advances in Biochemical Enginering
Biotechnology. 57:138-144.
American Petroleum Institute. 2001. Properties of Fuels.
http://www.Afdc.energy.gov.pdf, 5 Mei 2010, pk 13.00 WIB.
BATAN. 1995. Kelompok Iradiasi. http://www.batan.go.id, 5 Maret 2010, pk
16.00WIB.
Beyond Petroleum. 2006. Statistic Data of Energy Source. http://www.bni.co.id,10
Februati 2010, pk. 15.00 WIB.
Breeuwer, P. 1996. Assesment of Viability of Microorganism Employing Fluorescene
Techniques. Wageningen.
Calvin, F. 2007. Cadangan Batubara Indonesia Terbukti Mencapai 5,3 Miliar Ton.
http://www.antara.co.id,10 Februari 2010, pk. 15.00 WIB.
Catcheside, D.E.A and J.P. Ralph.1994. Decolourisation and Depolymerisation of
Solubilised Low Rank Coal by The White-rot Basidiomycete Phanerochaete
chrysosporium. Appl Microbial Biotechnol. 42: 536-542.
Cohen, S.M., B.W. Wilson and R.M. Bean. 1990. Enzymatic solubilization of coal.
In: Wise, L. D (editor). Bioprocessing and Biotreatment of Coal. Marcel
Dekker Inc. New York.
Crawford, D.L., and R.K. Gupta 1990. Characterization of Extracellular Bacterial
Enzymes Which Depolymerize & Soluble Lignite Coal polimer. Appl Biochem
Biotechnol. 24: 899–911.
Darussalam, M. 1996. Radiasi dan Radioisotop. Penerbit Tarsito. Bandung.
Departement of Geosciences. 2009. Sedimentary Rocks and Associated Minerals.
http://www.uwm.edu, 21 Maret 2010, pk.13.00WIB.
Faison, B.D., C.D. Scott and B.H. Davidson. 1989. Biosolubilization of Coal In
Aqueous and Non-Aqueous Media. Abstract Paper American Chemical Society
85:196.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
61
Farland, R. 2008. Sub-bituminous Coal. http://www.rzfarland.com, 21 Maret 2010,
pk.13.30 WIB.
Firmansyah, F. 2010. Batubara Kecil Itu Emas. TEMPO 10: 1-7.
Gandjar, I., W. Sjamsuridzal dan A. Oetari. 2006. Mikologi. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Hall, E.J. 1994. Radiobiology of Radiobiologist. Lipicontt Williams and Walkin.
Philadelphia.
Hammel, KE., K.A.Jensen, M.D.Mozuch, L.L.Landucci, M.Tien, and E.A.Pease.
1993. Ligninolysis by A Purified Lignin Peroxidase. J Biol Chem. 268: 12274-
12281.
Haris, A. 2009. Ganesa Batubara. www. http:// Batubara.com, 9 Februari 2010,
pk.14.00 WIB.
Hatakka, A. 2001. Biodegradation of lignin. Biopolymers. 1: 129-180.
Hermanto, S. 2008. Mengenal Lebih Jauh Teknik Analisa Kromatografi dan
Spektrofotometri. Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Jakarta.
Hidayat, N., M.C. Padaga dan S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Penerbit
Andi. Yogyakarta.
Indahwati, E. 2009. Degradasi Batubara Subbituminus Asal Kalimantan Timur
Menggunakan Fungi Aspergillus sp. dan Penicillium sp. Skripsi Sarjana
Biologi. UIN Syahid. Jakarta.
Indonesian Coal Mining Association. 1998. Cadangan Batubara.
http://www.dtwh2.esdm.go.id, 11 Maret 2010, pk 17.00 WIB.
Kentucky Geological Survey. 2006. How Is Coal Formed?
http://www.uky.edu/KGS/coal/ coalform.htm, 10 Maret 2010, pk. 19.00 WIB.
Kuraesin, T., I. Sugoro, M.R.Pikoli, S. Hermanto dan P.Aditiawati. 2009. Isolasi dan
Seleksi Fungi Pelaku Solubilisasi Batubara Subbituminus. Jurnal Biologi
Lingkungan 3(2): 75-87.
Laborda, F., I.F. Monistrol, N. Luna and M. Fernandez. 1999. Processes of
liquefaction or solubilization of Spanish coal by microorganism. Apply
Microbiol Biotechnol. 57: 49-56.
62
Liu, R.Q., N.L. Johson, G.C.Magruder, M.D.Ackerson, J.L.Vega, E.C.Clausen, and
J.L. Gaddy. 1990. Serial Biological Conversion of Coal Into Liquid Fuels.
Biotechnol. Bioeng. 40: 1107–1114.
Lynd, L.R., P.J. Weimer., W.H. Van Zyl and I.S. Pretorius. 2002. Microbial
cellulose utilization : Fundamentals and Biotechnology. Microbiol. Mol. Biol.
Rev. 66 (3): 506-577.
Mustikasari, N.S. 2009. Pengaruh Jumlah Inokulum Phanerochaete chrysosporium
dan Konsentrasi Batubara Pada Pencairan (Solubilisasi Batubara). Skripsi
Sarjana Mikrobiologi. ITB. Bandung.
Myles, L. 2008. COAL – The Other Black Gold. http://www.larrymylesreports.com,
21 Maret 2010, pk.13.00 WIB.
Natural Resources Defense Council, Climate Fact. 2007. Why liquid coal is not
aviable option to move Amerika beyond oil?. http://www.nrdc.org, 5 Februari
2010, pk. 16.00 WIB.
Pelczar, M.J. dan E.C.S. Chan. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. UI-Press. Jakarta.
Pohan, A. 2009. Kapang Penicillium sp. www. arthur@fk. Unair.ac.id, 10 Januari
2010, pk. 15.00 WIB.
Rahayu,L.F., M. R. Pikoli dan I. Sugoro. 2009. Pengaruh Tapioka Hasil Iradiasi
Sinar Gamma Terhadap Pertumbuhan Khamir. Jurnal Radiasi 1:1-7.
Ralph, J.P. 1997. Catabolism of Brown Coal Macromolecules by The White Roi
Fungus Phanerochaete chrysosporium and Other White-rot Fungi. Fuel Process
Technol. 52:79-93.
Scott, C. 1986. Biological Coal Conversion. Biotechnol. Prog. 2:131-139.
Scott, C.D. and S.N. Lewis. 1990. Solubilization of coal by microbial action. In :
Wise, L. D (editor). Bioprocessing and Biotreatment of Coal. Marcel Dekker
Inc. New York.
Sebayang, P., K.A.Z. Thosin, dan A.P. Tetuko. 2008. Pengaruh Aditif Lempung
Terhadap Sifat Mekanik dan Nilai Kalor dalam Pembuatan Briket Batubara.
www. Lemlit.unila.ac.id, 8 Maret 2010, pk.16.00 WIB.
Selvi, V.A, R. Banerjee, and L.C.Ram. 2006. Optimization process for
biodepolimerization of lower rank Indian coals with reference to carbon and
nitrogen sources. Biosciences Biotecnology Research Asia 3(1a):51-55.
63
Selvi, V.A. and R. Banerjee. 2007. Coal Biotechnlogy : Bio-conversion of Different
Rank Indian Coal for The Extraction of Liquid Fuel and Fertilizer 25:1713–
1720.
Silva, M.E., C.J.Vengadajellum, H.A.Janjua, S.T. L. Harrison, S.G.Burton, and
D.A.Cowan. 2007. Degradation of low rank coal by Trichoderma atroviride.
Jurnal Ind Microbiol Biotechnol . 34:625–631
Speight, J.G. 1994. The Chemistry and Technology of Coal, 2nd
edition, Revised and
Expanded. Marcel Dekker Inc. New York.
Tekmira. 2005. Teknologi Mineral dan Batubara. www.tekmira.esdm.go.id, 5 Maret
2010, pk.15.00 WIB.
Ward, B. 1985. Isolation and application of coal-solubilizing microorganism. In:
Wise, L.D (editor). Bioprocessing and Biotreatment of Coal. Marcel Dekker
Inc. New York.
Zabel, R.A. and J.J. Morrell. 1992. Microbiology: Decay and Its Prevention.
Academic Press. Inc.
64
LAMPIRAN
Lampiran 1. Komposisi Medium
Medium Potato Dextrose Agar (PDA)
Bahan Jumlah
PDA
Akuades
Agar bakto
2,92 g
75 ml
1% b/v
Medium Minimal Salt (MMS)
Bahan Jumlah
MgSO4.7H2O
ZnSO4.7H2O
K2HPO4
FeSO4
NH4(SO4)
Akuades
0,039 g
0,000225 g
0,375 g
0,000375 g
0,075 g
75 ml
Medium Minimal Salt Sucrose (MMSS)
Bahan Jumlah
MgSO4.7H2O
ZnSO4.7H2O
KH2PO4
FeSO4
NH4(SO4)
Akuades
Sukrosa
0,312 g
0,0018 g
3 g
0,003 g
0,6 g
600 ml
1% b/v
Catatan: Sampel perlakuan terdapat 20 sampel @ 30 ml MMS
65
Lampiran 2. Skema Penelitian
Batubara Subbituminus Isolat kapang Penicillium sp.
Iradiasi Gamma Peremajaan
0 kGy 5 kGy 10kGy 20 kGy Inokulum Spora
Inkubasi suhu ruang,
shacking incubator 120 rpm
0 hari 7 hari 14 hari 21 hari 28 hari
Parameter
pH Solubilisasi Kolonisasi Karakterisasi senyawa Analisis aktivitas
hasil biosolubilisasi enzim (FDA)
GC-MS
250 nm 450 nm
Analisis Data
66
Lampiran 3. Uji Biosolubilisasi Batubara
No Dosis
Iradiasi
(kGy)
Hari
ke-
pH Nilai Absorbansi
Solubilisasi
Nilai
Absorbansi
Aktivitas
Enzim
250 nm 450 nm
1 0 0 3,58 0,222 0,032 0,00
7 2,65 1,753 0,044 0,009
14 2,79 1,261 0,097 0,041
21 2,88 1,067 0,053 0,023
28 2,88 1,03 0,045 0,03
2 5 0 3,57 0,224 0 0,00
7 2,65 1,688 0,052 0,009
14 2,82 1,008 0,094 0,021
21 2,91 1,054 0,08 0,045
28 2,92 0,856 0,044 0,029
3 10 0 3,55 0,244 0,007 0,00
7 2,67 1,901 0,064 0,028
14 2,84 1,334 0,082 0,036
21 2,90 1,677 0,081 0,028
28 2,95 1,023 0,085 0,045
4 20 0 3,80 0,21 0,011 0,00
7 2,70 2,225 0,071 0,011
14 2,88 2,744 0,048 0,068
21 3,01 2,042 0,066 0,027
28 2,91 1,097 0,095 0,032
67
Lampiran 4. Uji Statistik Anova
ANOVA
Parameter Sumber
Keragaman
Jumlah
kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah
F Signifikansi
pH pH 0,032 3 0,011 0,077 0,972
Galat 2,196 16 0,137
jumlah 2,227 19
250 nm Solubilisasi
250 nm
1,239 3 0,413 0,658 0,590
Galat 10,040 16 0,628
jumlah 11,279 19
450 nm Solubilisasi
450 nm
0,000 3 0,000 0,105 0,956
Galat 0,016 16 0,001
jumlah 0,016 19
aktifitas enzim Absorbansi
Aktivitas
Enzim
0,000 3 0,000 0,432 0,733
Galat 0,004 16 0,000
jumlah 0,004 19
Uji Anova dengan hipotesis :
H0 : Tidak ada perbedaan antara rata-rata nilai parameter yang diuji pada tiap
dosis iradiasi.
H1 : Ada perbedaan antara rata-rata nilai pada parameter yang diuji pada tiap dosis
iradiasi.
68
Lampiran 5. Hasil Pengamatan Biosolubilisasi Batubara
Gambar 1. Contoh Hasil Solubilisasi Batubara Oleh Kapang
Penicillium sp.
Kiri: dosis 0 kGy; Kanan: dosis 20 kGy. Tanda panah kuning
menunjukkan hifa kapang menempel dan menutupi seluruh partikel
batubara dan terlihat jelas perbedaan warna hasil solubilisasi antar
dosis. Pada dosis 20 kGy warna medium menjadi lebih keruh
dibandingkan yang tidak diiradiasi (kontrol)
Gambar 2. Solubilisasi Batubara Oleh Kapang Penicillium sp.
Kiri: dosis 0 kGy; Kanan: dosis 20 kGy. Tanda panah kuning
menunjukkan hifa kapang menempel dan menutupi seluruh partikel
batubara, terlihat jelas pada dosis 20 kGy dimana batubara menggumpal
karena diselimuti oleh hifa kapang dan terjadinya interaksi antara
partikel batubara dan hifa kapang
69
Gambar 3. Hasil Biosolubilisasi Batubara Pada 14 Hari
inkubasi.
Kiri: dosis 0 kGy; Kanan: dosis 20 kGy. Tanda panah
menunjukkan batubara yang terlarut dalam medium yang di
degradasi oleh kapang Penicillium sp. sehingga warna
berubah menjadi lebih keruh dan pada dosis 20 kGy lebih
banyak batubara yang terlarut daripada yang tidak diiradiasi
(kontrol).
Gambar 4. Hasil Analisis Aktivitas Enzim Dengan Menggunakan FDA (Fluorescen
Diacetat) Pada dosis 20 kGy. Kiri: Sebelum bereaksi; Kanan: Terjadi reaksi. Tanda
panah menunjukkan reaksi yang terjadi. Pada dosis 20 kGy cepat mengalami reaksi
dibandingkan dengan dosis yang lainnya, ditandai dengan berubahnya warna
menjadi warna kuning.
70
Gambar 5. Biomassa Hasil Biosolubilisasi Batubara Oleh
Kapang Penicillium sp. Sebelum di Oven
A: dosis 5 kGy Hari ke-28;
B: kontrol Hari ke-28;
C: dosis 20 kGy Hari ke-28;
D: dosis 10 kGy hari ke-28.
Tanda panah menunjukkan hifa yang menggumpal
(berinteraksi denga batubara)
A B
C D
71
Dosis
Inkubasi
0 kGy
5 kGy
10 kGy
20 kGy
Hari ke-0
Hari ke-7
Hari ke-14
Hari ke-21
Hari ke-28
Gambar 6. Hasil pengamatan kolonisasi yang menunjukkan adanya interaksi
antara batubara dengan kapang Penicillium sp. dalam periode
inkubasi dan dosis iradiasi. Keterangan: Tanda panah hijau
menunjukkan batubara yang terjebak dan panah kuning
menunjukkan bagian jamur yang menyelimuti batubara.
72
Gambar 7. Hasil GC-MS Kontrol 0 kGy 7. 2,4-Dimetilheptana (C9H20) 6. n-Tetradekana (C14H30)
8. 4-Metiloktana (C9H20) 7. Dodekana,1,1-difloro (C12H24F2)
9. n-dodekana (C12H26) 8. n-Pentadekana (C15H32)
10. 2,4-dimetildekana (C12H26)
11. n-Oktana (C8H18)
Gambar 8. Hasil GC-MS Solubilisasi 0 kGy H-7
1. 2,3-Dimetilheksana (C8H18) 11. 1-Tridekana (C13H26) 23. Dokosana (C22H46)
2. 2,3,5-Trimetilheksana (C9H20) 12. 1-Tridekanol (C13H28) 24. 2,6,10,14-
3. 2,4-Dimetilheptana (C9H20) 13. I-Iodononena (C9H19I) tetrametilheptadekana (C21H32)
4. 2,4-Dimetil-1-heptena (C9H18) 14. 4,7 Dimetilundekana (C13H28)
5. 4-Metiloktana (C9H20) 15. 2,8 dimetilundekana (C13H28)
6. 2,5,5-Trimetilheptana (C10H22) 17. n-Tetradekana (C14H30)
7. Oktana, 3,3-dimetil (C10H22) 18. n-Pentadekana (C15H32)
8. 3,7-dimetildekana (C12H26) 19. n-Heksadekana (C16H34
9. 3,7 Dimetilundekana (C13H28) 20. n-Nonadekana (C19H40)
10. 4,7 Dimetilundekana (C13H28) 21. Eikosana (C20H42)
73
Gambar 9. Hasil GC-MS Kontrol 5 kGy 1. 2,4-Dimetilheptana (C9H20) 7. 2,3,3-Trimetilpentana (C8H18)
2. 2,4-Dimetil-1-heptena (C9H18) 8. 4,7 Dimetilundekana (C13H28)
3. 4-Metiloktana (C9H20) 9. 6-Etil-2-metiloktana (C11H24)
4. 3,3-Dimetilheksana (C8H18) 10. I-Iododekana (C10H21I)
5. n-Oktana (C8H18) 11. n-Pentadekana (C15H32)
6. 2,3,4-Trimetilheksana (C9H20) 12. n-Nonena (C9H20)
Gambar 10. Hasil-GC-MS Solubilisasi 5 kGy H-7 1. 2,4-Dimetilheptana (C9H20) 6. n-Tetradekana (C14H30)
2. 4-Metiloktana (C9H20) 7. Heksadekana (C16H34)
3. dodekana (C12H26) 8. Nonadekana (C19H40)
4. 3,7 Dimetilundekana (C13H28) 5. 4,7 Dimetilundekana (C13H28)
74
Gambar 11. Hasil GC-MS Kontrol 10 kGy 1. 2,4-Dimetilheptana (C9H20) 8. n-Heptana (C7H16)
2. 2,4-Dimetil-1-heptena (C9H18) 9. 4,7 Dimetilundekana (C13H28)
3. 4-Metiloktana (C9H20) 10. I-Iodononena (C9H19I)
4. 3,3-Dimetilheksana (C8H18) 11. Pentadekana (C15H32)
5. n-Oktana (C8H18) 12. 6-Etil-2-metiloktana (C11H24)
6. 2,4,6-Trimetil-1-nonana (C12H24) 13. 3,7-dimetildekana (C12H26)
7. 2,3,4-Trimetilheksana (C9H20) 14. Dokosana (C22H46)
Gambar 12. Hasil GC-MS Solubilisasi 10 kGy H-7 1. 2,4-Dimetilheptana (C9H20) 9. n-Tetradekana (C14H30)
4. n-Oktana (C8H18) 11. n- Heksadekana (C16H34)
5. 2,2,5-Trimetil-3,4-Heksanadiona (C9H20) 12. n-Nonadekana (C19H40)
6. 2,4-dimetildekana (C12H26)
75
Gambar 13. Hasil GC-MS Kontrol 20 kGy 1. n-Oktana (C8H18) 7. 4-Metil-1-undekana (C12H24)
2. 2,4-Dimetil-1-heptena (C9H18) 8. I-Iododekana (C10H21I)
3. n-dodekana (C12H26)
4. Isododekana (C12H26)
5. 2,8 dimetilundekana (C13H28)
6. 3,7-dimetildekana (C12H26)
Gambar 14. Hasil GC-MS Solubilisasi 20 kGy H-14 1. 2,4-Dimetilheptana (C9H20) 7. 2,8 dimetilundekana (C13H28)
2. 2,4-Dimetil-1-heptena (C9H18) 8. n-Tetradekana (C14H30)
3. 4-Metiloktana (C9H20) 9. n-Heksadekana (C16H34)
4. n-Nonena (C9H20) 10. n-Nonadekana (C19H40)
5. 2,4-dimetildekana (C12H26) 11. n-Dokosana (C22H46)
6. 4,7 Dimetilundekana (C13H28)
76
Senyawa Hasil Biosolubilisasi Batubara Oleh Kapang Penicillium sp. Yang
Setara Dengan Komponen Minyak Solar
No Nama Senyawa
% area/ 5 µl
Perlakuan (Solubilisasi)
0 kGy
H-7
5 kGy
H-7
10 kGy
H-7
20 kGy
H-14
1 I-Iododekana (C10H21)
2 2,5,5-Trimetilheptana (C10H22) 1,08
3 Oktana, 3,3-dimetil (C10H22) 1,25
4 6-Etil-2-metiloktana (C11H24)
5 Dodekana,1,1-difloro (C12H24)
6 n-dodekana (C12H26)
30,82
7 Isododekana (C12H26)
8 2,4,6-Trimetil-1-nonana(C12H24)
9 4-Metil-1-undekana (C12H24)
10 2,4-dimetildekana (C12H26)
10,64 6,13
11 3,7-dimetildekana (C12H26) 1,22
12 1-Tridekana (C13H26) 1,67
13 2,8 dimetilundekana (C13H28) 3,34
2,75
14 3,7 dimetilundekana (C13H28) 23,18 6,71
15 4,7 dimetilundekana (C13H28) 9,39 10,53
9,65
Total % area 41,77 48,05 10,64 18,52
Gambar 15. Hasil GC-MS Solar 1. N-Dekana (C10H22)
2. Trans-Decahidronapthalen
3. Undekana (C11H24)
4. N-Dodekana (C12H26)
5. Trigekana (C13H28)
77
Senyawa Hasil Biosolubilisasi Batubara Oleh Kapang Penicillium sp. Yang Setara
Dengan Komponen Bensin
No Nama Senyawa
% area/ 5µl
Perlakuan (Solubilisasi)
0 kGy
H-7
5 kGy
H-7
10 kGy
H-7
20 kGy
H-14
1 n-Heptana (C7H16)
2 n-Oktana (C8H18)
35,47
3 2,3-Dimetilheksana (C8H18) 1,23
4 2,3,3-Trimetilpentana (C8H18)
5 3,3-Dimetilheksana (C8H18)
6 2,4-Dimetil-1-heptena (C9H18) 5,29
4,08
7 I-Iodononena (C9H19) 1,22
8 2,3,4-Trimetilheksana (C9H20)
9 2,3,5-Trimetilheksana (C9H20) 1,69
10
2,2,5-Trimetil-3,4-
Heksanadiona (C9H20)
7,38
11 2,4-Dimetilheptana (C9H20) 18,10 22,79 19,75 19,90
12 4-Metiloktana (C9H20) 4,73 4,41
3,88
13 n-Nonena (C9H20)
27,26
14 I-Iododekana (C10H21)
15 2,5,5-Trimetilheptana (C10H22) 1,08
16 Oktana, 3,3-dimetil (C10H22) 1,25
17 6-Etil-2-metiloktana (C11H24)
18 Dodekana,1,1-difloro (C12H24)
19 n-dodekana (C12H26)
30,82
20 Isododekana (C12H26)
21
2,4,6-Trimetil-1-nonana
(C12H24)
22 4-Metil-1-undekana (C12H24)
23 2,4-dimetildekana (C12H26)
10,64 6,13
24 3,7-dimetildekana (C12H26) 1,22
Total % area 36,36 58,02 73,24 61,24