Biografi Sahabat Nabi Utsman Bin Affan

11
Biografi Sahabat Nabi Utsman Bin Affan : Ciri Fisik & Nasabnya (Seri 1) A. ASAL-USUL DAN GAMBARAN FISIK UTSMAN SERTA KEISLAMANNYA 1. Nama, nasab, dan gambaran fisiknya Di Mekah Al-Mukarramah tempat berdirinya Ka’bah yang mulia, kabilah Quraisy menempati posisi penting dan terhormat di Jazirah Arab karena mereka mengemban tanggungjawab pengurusan Ka’bah, tempat yang senantiasa di kunjungi oleh manusia dari berbagai penjuru. Enam tahun setelah peristiwa penyerangan tentara gajah, lahirlah Utsman bin Affan bin Abil Ash bin Umayyah bin Abdi Syam bin Abdi Manaf bin Qushay Al-Qurasyi Al-Umawi. Ayahnya Affan bin Abil Ash meninggal dunia pada masa jahiliyah dan tidak sempat mengenal Islam. Sedangkan ibunya Arwa binti Quraiz bin Rabi’ah, putri dari Ummu Hakim Al- Baidha’ binti Abdul Muththalib, bibi Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Arwa sempat memeluk Islam, ikut hijrah ke Madinah dan ikut berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Dia menetap di Madinah Al-Munawwarah hingga wafat pada masa kekhalifahan putranya, Utsman. Utsman memiliki perawakan sedang, tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu pendek. Parasnya tampan, kulitnya tipis, gigi depannya rapi, hidungnya mancung, janggutnya tebal, berkulit sawo matang, berbadan kekar, betisnya besar, lengannya panjang dan berbulu lebat, rambutnya tebal, suka mewarnai janggutnya, dan memakai gigi emas. Akhalaknya mulia, sangat pemalu, dermawan, senantiasa berkata jujur, dan selalu menjaga lisan. Abdullah bin Umar berkata, “Tiga orang dari suku Quraisy yang memiliki wajah paling tampan, akhlak paling bagus, paling pemalu, jika berbicara tidak berbohong dan jika engkau bicara maka mereka tidak mendustakanmu, adalah Abu Bakar , Utsman bin Affan, dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Radiyallahu ‘Anhum.” 2. Keislaman Utsman dan kesulitan yang dihadapinya Utsman hidup di tengah-tengah gelombang kemusyrikan dan penyembahan berhala. Dalam situasi seperti itu, dia melihat sinar yang dibawa oleh Muhammad bin Abdullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Maka dia pun cenderung untuk melepaskan diri dari keburukan Jahiliyah, sesembahan, dan kebiasaannya. Utsman pun berpaling kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam, dan dia menemukan pada diri beliau berbagai keutamaan dan kemuliaan yang tidak ada duanya, serta derajat yang sangat tinggi dalam hal kejujuran, baik pada dirinya, ucapannya, maupun pergaulannya dengan orang lain. Takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memiliki sekelompok orang dari kaum Quraisy untuk menjadi pahlawan akidah ilahiyah dan meletakkan pondasi dakwah yang penuh berkah. Utsman bin Affan merupakan salah seorang yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk bergabung pada barisan para penolong Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Mereka beriman pada beliau, menolongnya, memperkuat kedudukannya, berjihad bersamanya, dan ikut menanggung beban risalah di hari-hari pertama kemunculannya. Ketika Abu Bakar As-Shiddiq masuk Islam, dia segera mengajak orang-orang pilihan dari penduduk Mekah untuk ikut masuk Islam. Maka dia berkata kepada Utsman, “Ini adalah Muhammad bin Abdullah, telah diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada seluruh makhluk-Nya. Apakah engkau ingin menemuinya dan mendengar sesuatu darinya?” Tanpa berfikir panjang Utsman langsung mengiyakan. Keduanya lalu berangkat menemui Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Sesampainya di sana Abu Bakar pun berbicara kepada Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam tentang maksud kedatangan Utsman. Maka beliau menghadapkan wajahnya ke

description

oke

Transcript of Biografi Sahabat Nabi Utsman Bin Affan

Page 1: Biografi Sahabat Nabi Utsman Bin Affan

Biografi Sahabat Nabi Utsman Bin Affan : Ciri Fisik & Nasabnya (Seri 1)

A. ASAL-USUL DAN GAMBARAN FISIK UTSMAN SERTA KEISLAMANNYA

1. Nama, nasab, dan gambaran fisiknya

Di Mekah Al-Mukarramah tempat berdirinya Ka’bah yang mulia, kabilah Quraisy menempati posisi penting dan terhormat di Jazirah Arab karena mereka mengemban tanggungjawab pengurusan Ka’bah, tempat yang senantiasa di kunjungi oleh manusia dari berbagai penjuru. Enam tahun setelah peristiwa penyerangan tentara gajah, lahirlah Utsman bin Affan bin Abil Ash bin Umayyah bin Abdi Syam bin Abdi Manaf bin Qushay Al-Qurasyi Al-Umawi.

Ayahnya Affan bin Abil Ash meninggal dunia pada masa jahiliyah dan tidak sempat mengenal Islam. Sedangkan ibunya Arwa binti Quraiz bin Rabi’ah, putri dari Ummu Hakim Al-Baidha’ binti Abdul Muththalib, bibi Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam.

Arwa sempat memeluk Islam, ikut hijrah ke Madinah dan ikut berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Dia menetap di Madinah Al-Munawwarah hingga wafat pada masa kekhalifahan putranya, Utsman.

Utsman memiliki perawakan sedang, tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu pendek. Parasnya tampan, kulitnya tipis, gigi depannya rapi, hidungnya mancung, janggutnya tebal, berkulit sawo matang, berbadan kekar, betisnya besar, lengannya panjang dan berbulu lebat, rambutnya tebal, suka mewarnai janggutnya, dan memakai gigi emas.Akhalaknya mulia, sangat pemalu, dermawan, senantiasa berkata jujur, dan selalu menjaga lisan. Abdullah bin Umar berkata, “Tiga orang dari suku Quraisy yang memiliki wajah paling tampan, akhlak paling bagus, paling pemalu, jika berbicara tidak berbohong dan jika engkau bicara maka mereka tidak mendustakanmu, adalah Abu Bakar, Utsman bin Affan, dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Radiyallahu ‘Anhum.”

2. Keislaman Utsman dan kesulitan yang dihadapinya

Utsman hidup di tengah-tengah gelombang kemusyrikan dan penyembahan berhala. Dalam situasi seperti itu, dia melihat sinar yang dibawa oleh Muhammad bin Abdullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Maka dia pun cenderung untuk melepaskan diri dari keburukan Jahiliyah, sesembahan, dan kebiasaannya. Utsman pun berpaling kepada Nabi

Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam, dan dia menemukan pada diri beliau berbagai keutamaan dan kemuliaan yang tidak ada duanya, serta derajat yang sangat tinggi dalam hal kejujuran, baik pada dirinya, ucapannya, maupun pergaulannya dengan orang lain.

Takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memiliki sekelompok orang dari kaum Quraisy untuk menjadi pahlawan akidah ilahiyah dan meletakkan pondasi dakwah yang penuh berkah. Utsman bin Affan merupakan salah seorang yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk bergabung pada barisan para penolong Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Mereka beriman pada beliau, menolongnya, memperkuat kedudukannya, berjihad bersamanya, dan ikut menanggung beban risalah di hari-hari pertama kemunculannya.

Ketika Abu Bakar As-Shiddiq masuk Islam, dia segera mengajak orang-orang pilihan dari penduduk Mekah untuk ikut masuk Islam. Maka dia berkata kepada Utsman, “Ini adalah Muhammad bin Abdullah, telah diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada seluruh makhluk-Nya. Apakah engkau ingin menemuinya dan mendengar sesuatu darinya?”

Tanpa berfikir panjang Utsman langsung mengiyakan. Keduanya lalu berangkat menemui Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Sesampainya di sana Abu Bakar pun berbicara kepada Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam tentang maksud kedatangan Utsman. Maka beliau menghadapkan wajahnya ke Utsman dan berkata kepadanya, “Wahai Utsman, penuhi panggilan Allah untuk masuk ke dalam surga-Nya, Sesungguhnya saya adalah utusan Allah kepadamu dan kepada seluruh makhluk-Nya.”

Utsman berkata, “Demi Allah, ketika saya mendengar ucakan beliau, saya tidak bisa mengelak untuk masuk Islam. Saya langsung bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Utsman pun bergabung ke dalam barisan orang-orang yang beriman pada permulaan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam. Dia termasuk salah satu dari delapan orang yang paling pertama masuk Islam, membenarkan Rasulullah dan beriman kepada apa yang dibawanya dari sisi Allah.

Ketika kaum Quraisy mengetahui kelompok yang beriman tersebut, mereka lantas berusaha untuk menimpakan siksaan dan tekanan kepada mereka. Utsman pun mendapat bagian dari tekanan tersebut, sesuai dengan kedudukannya di kalangan kaum Quraisy. Yang bertindak dalam urusan menyiksa Utsman adalah pamannya Al-Hakam

Page 2: Biografi Sahabat Nabi Utsman Bin Affan

bin Abil Ash bin Umayyah. Dia mengikat Utsman dengan rantai dan tali lalu berteriak di wajahnya, “Apakah engkau meninggalkan agama nenek moyangmu dan beralih ke agama baru? Demi Allah saya tidak akan melepasmu selamanya sampai engkau meninggalkan apa yang engkau anut dari agama ini.”

Namun Umar menjawab dengan penuh keyakinan dan keteguhan hati, “Demi Allah, saya tidak akan meninggalkannya dan tidak akan berpisah darinya.”Ketika Al-Hakam melihat bagaimana kerasnya hati Utsman dalam mempertahankan agamanya, diapun melepaskan Utsman.

Biografi Sahabat Nabi Utsman Bin Affan : Dzun Nurain (Seri 2)

B. PEMILIK DUA CAHAYA, JULUKAN, KETENARAN, PERISTIWA YANG DISAKSIKAN, DAN PERSAHABATANNYA DENGAN NABI SHALLALLAHU ALAHI WA SALLAM

1. Pernikahan Utsman, julukan Dzun Nurain, dan hijrahnya

Pada masa Jahiliyah Utsman biasa dipanggil dengan julukan Abu Amr. Tak lama setelah masuk Islam, Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menikahkannya dengan putri beliau yang bernama Ruqayyah. Darinya dikaruniai seorang anak yang diberi nama Abdullah. Maka Utsman pun di panggil dengan julukan Abu Abdullah. Ruqayyah meninggal dunia pada saat terjadi perang Badar, pada usia dua puluh tahun.

Kemudian Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam menikahkan Utsman dengan putri beliau yang lain yaitu Ummu Kulsum yang wafat pada tahun 9 H.

Karena itulah Utsman mendapat julukan Dzun Nurain (Pemilik dua cahaya). Tidak ada seorang pun yang menikah dengan dua orang putri Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam selain Utsman.

Ketika jumlah kaum muslimin semakin bertambah, dakwah pun semakin tumbuh, dan tiangnya semakin kokoh. Di sisi lain, kemarahan

kaum Quraisy semakin menjadi, mereka pun semakin meningkatkan tekanan dan gangguannya terhadap sekelompok orang yang beriman.

Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam merasa kasihan melihat apa yang menimpah para shahabatnya. Beliau mengajukan kepada mereka untuk pergi ke suatu negeri yang dapat memberi mereka rasa aman dan tentram. Beliau pun memerintahkan mereka untuk hijrah ke negeri Habasyah. Karena di sana ada seorang raja yang adil dan tidak ada seorang pun terzhalimi di sisinya.

Kaum muslimin pun berangkat kesana. Yang paling pertama berangkat adalah Utsman bin Affanbersama istrinya Ruqayyah binti Rasulullah. Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam berkata, “Semoga Allah menyertai keduanya. Sesungguhnya Utsman adalah orang yang pertama hijrah ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama keluarganya setelah Nabi Luth Alaihissalam.”

Utsman pun ikut berangkat ke Habasyah pada hijrah yang kedua, ikut bersamanya istrinya, Ruqayyah Radiyallahu ‘Anhuma. Lalu dia kembali ke Mekah bersama rombongan yang kembali dari Habasyah, kemudian langsung hijrah ke Madinah bersama keluarganya. Sesampainya di Madinah, dia tinggal di rumah Aus bin Tsabit Al-Anshari, saudara Hassan, sang penyair Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam.

2. Berbagai peristiwa yang diikutinya bersama Rasulullah

Utsman tidak ikut dalam perang Badar, waktu itu istrinya Ruqayyah sedang sakit. Maka Utsman pun sibuk mengurus istrinya berdasarkan perintah Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Karena itulah dia tetap tinggal di Madinah. Akan tetapi Rasulullah melemparkan panah atas namanya sehingga dia pun terhitung sebagai orang yang ikut serta dalam perang tersebut.

Sedangkan dalam perang Uhud Utsman ikut perang di bawah panji Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Ketika pasukan pemanah menyalahi perintah Rasulullah dan pasukan kaum musyrikin menyerang mereka dari belakang, situasi menjadi kacau. Tersiarlah kabar bahwa Rasulullah telah terbunuh. Maka sebagian kaum muslimin lari, termasuk Utsman, karena kebingungan bukan karena takut. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memaklumi tindakan mereka dan memaafkan mereka. Sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kamu ketika terjadi pertemuan (pertempuran) antara dua pasukan itu, sesungguhnya mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan (dosa) yang telah mereka perbuat (pada masa lampau), tetapi Allah benar-benar telah memaafkan mereka.” (QS. Ali Imran [3]: 155).

Page 3: Biografi Sahabat Nabi Utsman Bin Affan

Utsman pun ikut serta dalam perang khandaq dan peristiwa Hudaibiyah. Waktu itu Rasulullah mewakili Utsman dalam berbai’at dengan salah satu tangan beliu. Utsman juga ikut dalam perang khaibar, pelaksanaan umrah pengganti (Umrah Qadha), Fathu Makkah, perang Hunain, perang Tha’if, dan perang Tabuk. Dia juga ikut melaksanakan haji bersama Rasulullah pada saat haji wada’. Ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam wafat, beliau merasa ridha terhadapnya.

Pada peristiwa Hudaibiyah, Rasulullah mengutus Utsman untuk melakukan tugas penting. Utsman segera memenuhi perintah tersebut untuk menghadapi bahaya dengan dengan keberanian dan keteguhan hatinya tanpa memperdulikan keselamatan jiwanya.

Pada tahun keenam hijriyah, Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam berangkat dari Madinah bersama para shahabatnya yang berjumlah 1500 orang menuju Mekah Al-Mukarramah untuk melaksanakan umrah dan melakukan thawaf di baitullah. Ketika kaum Quraisy mengetahui berita tersebut, mereka segera mengenakan pakaian perang lalu keluar untuk menyongsong rombongan Rasulullah dan menghalangi niat mereka.

Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam memanggil Utsman bin Affan dan menyuruhnya menemui Abu Sufyan dan pembesar Quraisy lainya untuk memeberitahu mereka bahwa beliau tidak datang untuk berperang, melainkan untuk mengunjungi baitullah dan mengagungkannya.

Utsman mengemban perintah Rasulullah tersebut tanpa merasa ragu dan takut. Dia tidak peduli apa yang akan menimpahnya nanti sesampainya di sana, pada saat kaum Quraisy sedang berada di puncak kemarahan. Dia pun berangkat ke Mekkah, disambut oleh putra pamannya, Abban bin Sa’id. Dengan membonceng kuda Abban, Utsman memasuki kota Mekkah dan menemui para pembesar Quraisy untuk menyampaikan pesan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, Mereka berkata kepada Utsman, “Jika engkau ingin melakukan thawaf, silahkan thawaf!” Namun Utsman menolak dan berkata kepada mereka, “Saya tidak akan melakukannya sebelum Rasulullah melakukan thawaf terlebih dahulu.”

Kaum Quraisy lalu menahan Utsman dan tidak mengizinkannya untuk kembali menemui Rasulullah. Tersiarlah berita dikalangan kaum muslimin, bahwa Utsman dibunuh. Dalam situasi seperti itu Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam segera memutuskan untuk memberi kaum Quraisy pelajaran atas kejahatan yang mereka lakukan dan menunjukkan kepada mereka keteguhan hatinya untuk menghentikan kesombongan

mereka, serta memberi tahu mereka betapa darah seorang muslim itu sangat berharga di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan terpelihara di sisi Rasulullah dan kaum mukminin. Maka beliau bersabda, “Kita tidak akan meninggalkan tempat ini sampai kita memerangi mereka.”

Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam lalu meminta semua orang untuk berbai’at, peristiwa itu disebut dengan bai’aturridhwan yang dilakukan di bawah pohon. Diadakanlah di sana perjanjian yang paling mengagumkan sepanjang sejarah, ketika kaum muslimin berbai’at kepada Rasulullah untuk siap menghadapi maut sekalipun.

Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Utsman membutuhkan Allah dan Rasul-Nya.” Lalu beliau mengangkat tangan kanannya seraya berkata, “Ini adalah tangan Utsman.” Lalu ditepukkannya ke tangan beliau yang lain seraya berucap, “Bai’at ini untuk Utsman.” Maka tangan Rasulullah Utsman lebih baik daripada tangan kaum muslimin untuk diri mereka sendiri.

Al-Qur’an telah mengabadikan peristiwa bai’at ini dalam firman Allah, “Sungguh, Allah telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al-Fath[48]: 18).

Tak lama datanglah berita yang sebenarnya bahwa ternyata Utsman tidak dibunuh. Lalu dia kembali ke tempat kaum muslimin dalam keadaan selamat tak kurang suatu pun.

Pada tahun 9 hijriah, Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bermaksud memerangi pasukan Romawi, karena mereka kaum yang paling dekat kepadanya dan paling berhak mendapat ajakan kepada agama Islam. Beliau lalu memerintahkan para shahabat untuk mempersiapkan diri menghadapi perang Tabuk. Peristiwa itu terjadi pada masa sulit, musim kemarau, dan cuaca sangat panas.

Beberapa orang dari shahabat Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam datang menemui beliau memohon untuk diajak ikut berperang, namun mereka tidak mendapatkan pada beliau kendaraan yang bisa membawa mereka. Dengan perasaan sedih mereka pun kembali. Mereka sangat menyesal karena kehilangan kesempatan untuk memperoleh pahala berjihad bersama Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam. Mereka pun disebut “orang-orang yang menangis”.

Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam lalu mendorong orang-orang untuk menyumbang. Para shahabat lalu menyumbang sesuai

Page 4: Biografi Sahabat Nabi Utsman Bin Affan

kemampuan mereka. Waktu itu Rasulullah menjajikan pahala yang besar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhir nanti. Beliau bersabda, “Siapa yang membantu persiapan pasukan yang sedang kesulitan akan memperoleh surga!” Utsman pun bersemangat untuk ikut menyumbang dan dia memberi sedekah dalam jumlah yang amat besar.

Abdurrahman bin Khabbab menceritakan hal tersebut, “Saya melihat Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam ,menganjurkan orang-oarang untuk membantu pasukan yang kesulitan mendapat perbekalan dan kendaraan perang. Maka Utsman bin Affan berdirih dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya akan memberikan seratus ekor unta lengkap dengan pelana muatannya.” Rasulullah lalu menganjurkan lagi. Utsman kembali berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, klau begitu saya akan menambah menjadi 200 ekor unta lengkap dengan pelana dan muatannya.” Rasulullah masih terus menganjurkan. Maka Utsman berdiri untuk ketiga kalinya dan berkata, “Wahai Rasulullah, Demi Allah saya akan memberi 300 ekor unta lengkap dengan pelana dan muatannya.” Saya melihat Rasulullah turun dari mimbar seraya berkata, “Tidak ada lagi yang menimpa Utsman setelah kebaikannya, tidak ada lagi yang menimpa Umar setelah kebaikannya ini!”

Bahkan Utsman menambah lebih banyak dari apa yang disebutkan di hadapan Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam. Dia mempersiapkan 950 unta ditambah 50 kuda untuk melengkapi menjadi seribu. Di samping itu Utsman pun menyumbang 83,3 kilogram emas ditambah seribu dinar. Semua diletakkan di kamar Rasulullah. Lalu beliau membungkusnya seraya berkata, “Tidak ada yang akan membahayakan Utsman setelah apa yang dilakukannya hari ini, Ya Allah, jangan lupakan Utsman, tidak ada yang akan membahayakan Utsman setelah apa yang dilakukan hari ini.”

3. Kecintaan, dan ketaatan Utsman kepada Nabi

Sisi lain dari sosok Utsman Radiyallahu ‘Anhu adalah dia sangat mencintai Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dan sangat patuh pada beliau. Dia selalu berusaha meladeninya dalam kondisi apapun, saat sendiri maupun di keramaian, saat susah maupun senang, tidak pernah sekalipun terlambat atau menunda jika sudah datang penggilan.

Utsman menjelaskan hal tersebut dalam salah satu pidatonya, “Amma ba’du, sesungguhnya Allah mengutus Muhammad dengan membawa kebenaran Islam. Saya termasuk salah satunya yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya, saya melaksanakan dua kali hijrah, berbai’at kepadanya. Demi Allah, saya tidak pernah sekalipun menipu atau mendurhakai beliau hingga beliau wafat.”

Ketika Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam mengutusnya menemui pembesar Quraisy pada peristiwa Hudaibiyah, dia memasuki Mekkah diiringi putra pamannya Aban lalu berkata padanya, “Wahai putra paman, saya melihatmu memperlihatkan kekhusyukan, panjangkanlah surgamu. Utsman menjawab, “Beginilah sahabat kami (yaitu Rasulullah) mengenakan sarungnya, yaitu hingga setengah betisnya.”

Ketika Abban berkata padanya, “Wahai putra paman, lakukanlah thawaf di baitullah.” Utsman menjawab, “Sesungguhnya kami tidak melakukan sesuatu samapai shahabat kami melakukannya, baru kami mengikutinya.”

Seorang shahabat bernama Ya’la bin Umayyah Radiyallahu ‘Anhu meriwayatkan, “Saya melakukan thawaf bersama Utsman, lalu kami mengusap hajar aswad, saya menarik tangan Utsman untuk mengusap. Utsman malah bertanya, “Apa yang kau lakukan?” Jawab saya, “Engkau tidak mengusap?” Utsman berkata, “Tidakkah engkau melakukan thawaf bersama Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam?” Saya megiyakan. Utsman bertanya, “Apakah engkau melihat beliau mengusap kedua pojok Ka’abh sebelah barat?” saya jawab , “Tidak.” Utsman bertanya lagi, “Bukankah beliau adalah teladan yang baik untukmu?” saya membenarkan. Utsman pun berkata, “Kalau begitu tinggalkanlah.”

Ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam wafat, seluruh shahabat merasa sangat sedih. Sedangkan Utsman merupakan orang yang paling bersedih di antara mereka. Utsman menceritakan kondisi tersebut,

“Ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam wafat, para shahabat beliau sangat bersedih sampai ucapan mereka terdengar meracau. Aku termasuk salah seorang yang sangat sedih atas wafatnya beliau. Ketika saya sedang duduk di sebuah benteng Madinah, waktu itu Abu Bakar telah dibai’at sebagai khalifah, tiba-tiba Umar lewat, sementara saya tidak merasakan kehadiran Umar akibat kesedihan yang saya alami. Maka Umar menemui Abu Bakar dan berkata, “Wahai Khalifah Rasulullah, tidakkah engkau merasa heran, saya lewat di depan Utsman, lalu mengucapkan salam padanya, namun Utsman tidak menjawab salam saya!”

Biografi Sahabat Nabi Utsman Bin Affan : Kemuliaan akhlak Utsman (Seri 3 )

Page 5: Biografi Sahabat Nabi Utsman Bin Affan

A. AKHLAK, SIFAT, ILMU, DAN KEDUDUKAN UTSMAN

1. Kemuliaan akhlak Utsman

Sifat yang paling menonjol pada diri Utsman adalah sifat malu. Sifat ini sangat mengakar pada kepribadiannya sehingga Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pernah menyatakan, “Umatku yang paling penyayang pada sesamanya adalah Abu Bakar, yang paling keras dalam persoalan agama Allah adalah Umar, dan yang paling pemalu adalah Utsman.”

Malu merupakan sifat yang mulia yang membawa seseorang menjahui sesuatu yang buruk dan mencegahnya mengabaikan kewajiban serta mendorong untuk melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat dan kemungkaran. Rasa malu juga menyemangati pemiliknya untuk melakukan segala bentuk kebaikan dan menghindari berbagai perkara yang syubhat. Untuk semua pengertian tersebut Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pernah bersabda, “Malu itu baik semuanya,” “Malu hanya akan mendatangkan kebaikan,”

Dalam pengertian seperti inilah Utsman tumbuh dan menjalani hari-harinya. Rasa malu yang ada pada dirinya menguasai kepribadiannya secara menyeluruh dan membimbingnya untuk melakukan berbagai keutamaan.

Di hari saat Rasulullah menyampaikan dakwah kepadanya, dia malu pada dirinya sendiri untuk tidak segera menjawab seruan beliau, maka dia pun segera beriman dan membenarkan kerasulan beliau.

Ketika kaum musyrikin menghalang-halangi dakwah, rasa malunya membawa dirinya mengorbankan kekayaan, keluarga, dan rumahnya, lalu memilih berhijrah. Dia merasa malu kalau samapi didahulu oleh kaum yang lemah dan parah hamba dalam berhijrah.Pada saat diserukan jihad, dia merasa malu untuk berdiam diri di rumahnya, maka dia segera memenuhi seruan tersebut.

Saat dia mendengar Rasulullah menyeruh untuk berinfak dalam rangka mempersiapkan perbekalan bagi pasukan yang tidak memiliki perbekalan dan kendaraan, rasa malunya menolak untuk bersikap kikir terhadap hartanya.

Begitu juga pada saat dia diangkat sebagai khalifah, sifat malunya semakin tumbuh dan melekat seperti rumput hijau yang terkena hujan sehingga semakin tumbuh dan menghijau.

Maka ketika dia hendak mengangkat panglima perang atau gubernur wilayah, dia memilih sosok terbaik. Dia malu kepada Allah

Subhanahu wa Ta’ala jika dia mengangkat sesorang atas kaum muslimin padahal ada orang lain yang lebih baik darinya.

Jika ada hukum Allah yang dilanggar, rasa malunya mendesak dirinya untuk segera merealisasikan hukuman had. Dia tak ingin Allah melihatnya berlambat-lambat dalam melaksanakan hukum-Nya.

Bahkan ketika para pemberontak mengepungnya dan menuntut agar dia menanggalkan jubah kekhalifahan, dia dengan tegas menolak. Karena Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam memerintahkan padanya untuk tidak menanggalkan dirinya, maka dia merasa malu untuk mendurhakai Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam meski dia harus membayar mahal untuk itu dengan darahnya.

Inilah sosok malu yang ada pada sosok Utsman, tidak seperti yang dibayangkan oleh orang-orang bahwa Utsman adalah sosok yang lemah. Sungguh tepat penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam ketika menggambarkan sosok Utsman, beliau berkata, “Umatku yang paling benar sifat malunya adalah Utsman.”

2. Kedermawanan Utsman

Terkait dengan kedermawanan dan kemurahan hati Utsman, sungguh tidak ada tandingannya. Dia telah menyumbangkan hartanya di jalan Allah di banyak kesempatan. Sehingga kedermawanannya –tentu saja beserta sifat malunya- menutupi berbagai keutamaan dan sifat malunya yang lain. Dia telah menyerahkan hartanya yang melimpah untuk kepentingan agamanya dan saudara-saudaranya seiman. Dia menginfakkanya tanpa perhitungan. Jika kita mencoba untuk mencari seseorang yang dapat menandingi kedermawanan Utsman, kita tidak akan menemukannya.

Ketika masjid Nabawi terasa sempit karena banyaknya jamaah yang ikut shalat berjamaah, Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bermaksud membeli tanah milik salah seorang shahabat untuk keperluan perluasan masjid. Maka Rasulullah menyampaikan himbauannya untuk itu dengan imbalan pahala, “Siapa yang membeli tanah keluarga fulan lalu menambahkannya ke masjid, akan memperoleh kebaikan dari tanah itu di surga.”  Utsman pun segera membelinya dari harta pribadinya seharga 25 ribu dinar.

Setelah Fathu Makkah, Utsman membeli sebuah rumah yang cukup luas yang menempel dengan Masjidil Haram seharga 10 ribu dinar. Lalu rumah itu ditambahkan ke area masjid.Dia juga membeli sebuah sumur yang disebut sumur Rumah seharga

Page 6: Biografi Sahabat Nabi Utsman Bin Affan

seribu dirham, lalu diserahkan kepad kaum muslimin, baik untuk orang kaya, miskin, maupun yang kehabisan bekal perjalanan.

Pada saat perang Tabuk, Utsman mempersiapkan untuk pasukan yang tidak memiliki bekal dan kendaraan sebanyak 950 unta ditambah 50 kuda untuk melengkapi jumlah 1000. Di samping itu dia juga menginfakkan uang sejumlah 1000 dinar dan 83,3 kilogram emas.

Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman As-Sulami, “Ketika Utsman terkepung, dia menampakkan diri pada para pengepungnya, lalu berkata, “Saya mengingatkan kalian dengan nama Allah., bukankah kalian mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pernah bersabda, “Siapa yang menggali sumur Rumah akan memperoleh surga.” Lalu saya memanggilnya. Bukankah kalian mengetahui bahwa beliau bersabda, “Siapa yang mempersiapkan bekal dan kendaraan akan mendapat surga.” Lalu saya mempersiapkannya. Abu Abdurrahman berkata, “Mereka membenarkan seluruh perkataan Utsman tersebut.”

Abu mas’ud Radiyallahu ‘Anhu meriwayatkan, “Waktu itu kami sedang bersama Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam dalam suatu peperangan, semua orang mengalami kesulitan sehingga saya melihat kesedihan di wajah-wajah mereka, sebaliknya wajah-wajah orang munafik justru menampakkan raut gembira. Ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam melihat kondisi seperti itu, beliau bersabda, “Demi Allah, sebelum matahari tenggelam akan mendatangkan rizki untuk kalian.” Utsman pun mengetahui bahwa Allah dan Rasul-Nya akan dibenarkan, maka dia membeli empat belas unta yang penuh dengan muatan makanan. Lalu Utsman mengirim sembilan unta kepada Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Ketika Rasulullah melihat kesembilan unta tersebut beliau bertanya, “Apa ini?” Orang-orang menjawab, “Utsman menghadiakannya untuk engakau.” Maka nampaklah kegembiraan di wajah kaum muslimin dan kesedihan di wajah orang-orang munafik. Saya melihat Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam mengangkat tangannya tinggi-tinggi sehingga nampak putihnya ketiak beliau, berdoa untuk Utsman dengan doa yang belum pernah saya dengar diperuntukkan pada siapa pun sebelumnya, “Ya Allah, berilah Utsman, ya Allah lakukanlah untuk Utsman.”

Kemudian pada masa kekhalifahan Abu Bakar, orang-orang mengalami masa paceklik. Abu Bakar lalu berkata, “Jika Allah menghendaki, sebelum sore besok Allah akan memberi kalian jalan keluar.” Pada keesokan paginya, datanglah kafilah dagang Utsman. Para pedagang pun bergegas mendatanginya. Ketika Utsman keluar menemui mereka, langsung diminta untuk menjual muatan kafilah dengannya kepada mereka. Namun Utsman menolak seraya berkata, “Ya Allah, saya menghibahkannya kepada orang-orang fakir Madinah tanpa harga dan tanpa perhitungan.”

Utsman sendiri pernah berkata, “Setiap kali datang hari Jum’at, saya memerdekakan seorang budak sejak saya masuk Islam. Jika saya tidak mendapatkan budak yang bisa dimerdekakan pada hari Jum’at itu, saya gabungkan ke Jum’at berikutnya.”Bahkan pada saat genting sekalipun, yaitu ketika Utsman berada dalam kepungan para pemberontak di hari-hari terakhirnya, dia masih sempat memerdekakan dua puluh orang budak.

3. Kasih sayang Utsman dan pergaulannya yang baik

Kasih sayang Utsman meliputi dirinya yang penyayang seperti air yang menyirami dahan pohon yang menghijau oleh dedaunan. Kita dapati Utsman pada malam hari bangun untuk melaksanakan shalat tahajjud, berjalan tertatih-tatih karena usianya yang lanjut, mengambil air wudlu sendiri dan membangunkan siapapun. Ada yang mempersalahkannya dalam hal itu seraya berkata, “Seandainya engkau membangunkan beberapa orang pelayan, tentu cukup bagimu!”

Utsman menjawab, “Tidak, waktu malam adalah untuk mereka agar mereka bisa beristirahat.”

Suatu kali Utsman memarahi seorang budak, sampai dia menjewer telinga budak tersebut hingga merasa kesakitan. Waktu itu Utsman segera teringat akan akhirat dan pembalasan, maka dia berkata kepada budak itu, “Saya baru saja menjewer telingamu, silakan membalasnya padaku.”

Pada kesempatan lain Utsman membeli sebidang tanah dari seseorang, namun orang itu tak kunjung datang untuk mengambil uangnya. Utsman pun mendatanginya dan bertanya, “Kenapa engkau tidak datang untuk mengambil uangmu?” Orang itu menjawab, “Engkau menipuku dalam jual beli ini.” Utsman bertanya lagi, “Itukah yang membuatmu tidak datang?” Orang itu mengiyakan. Maka Utsman berkata, “Kalau begitu silahkan pilih apakah engkau ingin mengambil tanah atau uangnya, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pernah bersabda, “Allah akan memasukkan ke dalam surga orang yang memudahkan dalam urusan jual-beli dan peradilan.”

Thalhah bin Ubaidillah pernah meminjam sejumlah uang kepada Utsman. Ketika Thalhah memiliki kelapangan rizki dari Allah, dia segera hendak membayar hutangnya kepada Utsman. Thalhah pun bertemu dengan Utsman saat keluar dari masjid. Thalha berkata, “Sesungguhnya uang yang saya pinjam darimu sejumlah 50 ribu telah ada pada saya, silahkan mengutus orang untuk mengambilnya.” Utsman berkata

Page 7: Biografi Sahabat Nabi Utsman Bin Affan

padanya, “Sesungguhnya kami telah menghibahkannya untukmu karena kebaikanmu itu.”

4. Ketaatan Utsman, ibadahnya, dan ketakwaannya

Utsman termasuk salah satu ahli ibadah. Dia gemar berpuasa di siang hari, bertahajjud di malam hari, dan banyak membaca mushaf Al-Qur’an. Kondisi itu terus bertahan sepanjang hidpnya yang lebih dari delpan puluh tahun.

Atha’ bin Abi Rabah meriwayatkan, “Sesungguhnya Utsman mengimami jamaah, kemudian dia melaksanakan shalat malam di belakang maqam Ibrahim dan menggabungkan seluruh isi Al-Qur’an dalam satu rakaat witirnya. Maka Utsman dijuluki Butiara.”

Abdurrahman bin Utsman At-Taimi berkata, “Saya melaksanakan shalat malam di belakang maqam Ibrahim, saya berharap tidak ada yang mengalahkan saya seorangpun malam itu. Tiba-tiba ada seseorang mencolek saya, tapi saya tidak menoleh. Orang itu terus mencolek, saya pun menoleh. Ternyata Utsman bin Affan. Maka saya pun mundur, dan Utsman maju lalu membaca seluruh Al-Qur’an dalam satu rakaat, kemudian pergi.”Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, dia berkata, “Ketika orang-orang mengepung Utsman dan menerobos masuk untuk membunuhnya, istrinya berkata, “Terserah, apakah kalian akan membunuhnya atau membiarkannya, sepanjang malam dia melaksanakan shalat satu rakaat membaca seluruh Al-Qur’an.”

Imam Ibnu Katsir berkata, “Diriwayatkan dari berbagai jalur bahwa Utsman membaca seluruh Al-Qur’an dalam satu rakaat di dekat hajar aswad pada musim haji. Ini merupakan ketekunan Utsman Radiyallahu ‘Anhu. Karena itu, kami meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia berpendapat mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ”(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?” (QS. Az-Zumar [39]: 9). Bahwa orang itu adalah Utsman bin Affan. Sedangkan Ibnu Abbas berpendapat mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ”Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia tidak berada di jalan yang lurus? (QS. An- Nahl [16]: 76), bahwa orang itu adalah Utsman.

Ketekunannya dalam melaksanakan puasa sunnah membuat orang-oarang yang hidup semasa dengannya menggambarkan seolah-olah Utsman berpuasa sepanjang tahun.Di samping itu, hati Utsman selalu terpaut dengan Al-Qur’an. Kitab suci

itu selalu menemani dan menyertainya. Utsman berkata, “Tidak ada yang aku sukai setiap kali datang hari baru kecuali menatap kitabullah.”

Hasan Al-Bashri meriwayatkan, “Utsman bin Affan Radiyallahu ‘Anhu berkata, “Meskipun hati kita telah bersih, kita tidak akan merasa puas dengan firman Tuhan kita.” Hasan Al-Bashri berkata, “Ketika Utsman meninggal dunia, mushafnya sobek karena sering dibaca.”

Sedangkan ibadah haji, selalu menjadi dambaan hatinya. Dia ikut melaksanakan haji wada’ bersama Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Pada masa kekhalifahan Umar dia melaksanakan haji bersama Abdurrahman bin Auf memimpin rombongan para Ummul mukminin. Sementara pada masa kekhalifahannya, dia melaksanakan haji sepuluh kali berturut-turut, kecuali pada tahun saat dia dikepung para pemberontak. Waktu itu dia mengutus Ibnu Abbas untuk memimpin orang-orang dalam pelaksanaan haji.Pelayannya bernama Hani’ menceritakan, “Apabila Umar berdiri di samping sebuah kuburan, dia selalu menangis sampai membasahi janggutnya.”

5. Keilmuan Utsman

Utsman bin Affan Radiyallahu ‘Anhu termasuk salah satu ulama di kalangan shahabat dan termasuk ke dalam kelompok kecil yang kerap memberi fatwa pada masa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam.

Al-Qasim bin Muhammad menceritakan, “Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali memberi fatwa pada masa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam.”

Diriwayatkan dari Sahal bin Abi Hatsmah, “Orang-orang yang biasa memberi fatwa pada masa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam terdiri dari tiga orang Muhajirin dan tiga orang Anshar, yaitu Umar, Utsman, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’Abu Bakar, Mu’adz bin Jabal, dan Zaid bin Tsabit.”

Utsman juga memberi fatwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Ketika Umar menjabat sebagai khalifah, yang berhak memberi fatwa adalah Utsman, Ali, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Utsman merupakan shahabat yang paling mengerti manasik haji, diikuti setelahnya oleh Abdullah bin Umar.

Di antara bukti yang jelas atas kedalaman ilmunya adalah diangkatnya Utsman sebagai khalifah ketiga. Seorang khalifah haruslah diangkat dari kalangan yang paling mengerti tentang kitabullah, yang

Page 8: Biografi Sahabat Nabi Utsman Bin Affan

paling baik bacaannya, dan yang paling banyak pengetahuannya tentang sunnah Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam.

Namun demikian, Utsman sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, khawatir hafalannya keliru lalu dia menambah atau mengurangi sesuatu dari hadits Nabi. Utsman berkata, “Yang menghalangi saya untuk menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bukanlah karena saya tidak termasuk shahabat yang paling memahami dari beliau, akan tetapi saya sungguh telah mendengar beliau bersabda, “Siapa yang mengatakan atas nama saya apa yang tidak pernah saya katakan, hendaklah bersiap-siap untuk menempati tempat duduk di neraka.”

Karena hal tersebut dan karena kesibukannya dengan urusan kekhalifahan pada masanya, serta keikutsertaannya dalam mengurus pemerintahan pada masa Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadits dari Utsman sangat sedikit. Utsman hanya meriwayatkan 146 hadits dari Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Dia meriwayatkan hadits secara lisan dari Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar.

Di antara shahabat yang meriwayatkan hadits dari Utsman adalah Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Umran bin Hushain, Abu Qatadah, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Salamah bin Al-Akwa’, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan lain-lain. Termasuk beberapa anaknya, pembantunya, dan sekelompok orang dari kalangan tabiin.

6. Termasuk ahli surga

Shahabat yang termasuk paling awal memeluk Islam ini, yang hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, pemalu yang Malaikat pun merasa malu padanya, sang dermawan yang murah hati, yang khusyu’ dalam ibadahnya, ahli puasa dan tahjjud, kira-kira di mana kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala?

Abu Musa Al-Asy’ari Radiyallahu ‘Anhu meriwayatkan, “Waktu saya sedang bersama Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam di sebuah kebun di Madinah, tiba-tiba datang seseorang meminta dibukakan pintu. Maka Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam besabda, “Bukakan pintu untuknya dan beri dia kabar gembira berupa surga.” Saya lalu membukakan pintu untuk orang itu dan orang itu ternyata Abu Bakar. Saya pun menyampaikan kabar gembira dari Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam, dan Abu Bakar langsung mengucapkan hamdalah. Tak lama kemudian datang lagi seseorang meminta dibukakan pintu. Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam besabda, “Bukakan pintu untuknya dan beri dia kabar gembira berupa surga.” Saya lalu membukakan pintu untuk orang itu dan orang

itu ternyata Umar. Saya pun menyampaikan kabar gembira dari Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam, dan Umar langsung mengucapkan hamdalah.” Kemudian datang orang ketiga yang meminta dibukakan pintu. Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam besabda, “Bukakan pintu untuknya dan beri dia kabar gembira berupa surga atas musibah yang akan menimpahnya.” Saya lalu membukakan pintu untuk orang itu dan orang itu ternyata Utsman. Saya pun menyampaikan apa yang diucapakan Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam, dan Utsman langsung mengucapkan hamdalah kemudian mengucap, “Allah-lah tempat memohon pertolongan.”

Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pernah bersabda, “Siapa yang menggali sumur Rumah akan memperoleh surga.” Maka Utsman menggalinya.

Beliau juga bersabda, “Siapa yang mempersiapkan bekal dan kendaraan untuk pasuka yang kesulitan mendapat bekal dan kendaran akan mendapat surga.” Lalu Utsman mempersiapkannya.

Karena itulah Abu Hurairah mengatakan, “Utsman membeli surga dari Rasulullah dua kali, yaitu ketika menggali sumur Rumah dan ketika mempersiapkan perbekalan pasukan yang kesulitan mendapat bekal dan kendaraan.”

Dala hadits riwayat Sa’id bin Zaid disebutkan bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Sepuluh orang dijamin masuk surga: Abu Bakar di Surga, Umar disurga, Utsman di surga, Ali.…” Rasulullah melengkapi menyebutkan sepuluh nama.

7. Kedudukannya di sisi Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam dan para shahabat

Kelebihan dan keutamaan yang dimiliki Utsman membuatnya menempati posisi terhormat dan memperoleh simpati yang lebih dari Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Maka Rasulullah menikahkannya dengan putri beliau, yaitu Ruqayyah Radiyallahu ‘Anha. Ketika Ruqayyah meninggal, Utsman dinikahkan dengan putri beliau yang lain, yaitu Ummu Kultsum yang meninggal dunia pada tahun kesembilan hijriah.

Utsman juga salah satu penulis wahyu pada masa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Dapat dikatakan bahwa Utsman bertindak sebagai sekertaris beliau. Jika Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam sedang duduk, maka Abu Bakar duduk di sebelah kanan beliau, Umar di sebelah kiri beliau, dan Utsman di hadapan beliau.

Page 9: Biografi Sahabat Nabi Utsman Bin Affan

Mu’adz bin Jabal meriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam bahwa beliau bersabda, “Saya melihat dalam mimpi bahwa saya diletakkan di salah satu sisi timbangan dan umatku di sisi satunya, maka saya menyamai mereka. Lalu Abu Bakar diletakkan di salah satu sisi timbangan dan umatku di sisi yang lainnya, maka dia menyamai mereka. Selanjutnya Utsman diletakkan disalah satu sisi timbangan dan umatku di sisi lainnya, maka dia menyamai mereka.”

Abu Sa’id Al-Khudri mengatakan, “Saya melihat Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam berdoa untuk Utsman sejak permulaan malam hingga terbit fajar. Beliau berdoa, “Ya Allah, tolonglah Utsman, saya meridhainya maka ridhailah dia!”

Para shahabat yang mulia sangat memahami kedudukan Utsman Radiyallahu ‘Anhu, maka mereka menempatkannya pada posisi terhormat sebagaimana Rasulullah menghormatinya. Mereka juga memujinya, menyiarkan berbagai keutamaannya, mencela orang-orang yang membencinya, dan memerangi orang-orang yang memusuhinya

Utsman sangat dekat dengan Abu Bakar dan Umar pada masa kekhalifahan keduanya. Dia kerap berkunjung ke tempat keduanya bersama beberapa orang shahabat untuk memberi saran terkait persoalan kaum muslimin dan urusan kenegaraan. Begitu juga sebaliknya, Abu Bakar dan Umar juga sering meminta pendapatnya.

Orang-orang masih membicarakan Utsman pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘Anhu. Hasan bin Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Sekarang datanglah Amirul mukminin. Maka Ali  datang lalu berkata, “Utsman termasuk salah satu yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, “Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, selanjutnya mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”(QS. Al-Maidah [5]: 93)

Abdullah bin Umar berkata, “Kami pada zaman Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam tidak menyamakan Abu Bakar dengan seorang pun, kemudian Umar, lalu Utsman. Selanjutnya kami meninggalkan para shahabat Nabi yang lain, tanpa membanding-bandingkan mereka satu dengan yang lainnya.”

Ketika para pembenci Utsman mengatakan bahwa kecintaan terhadap Ali dan Utsman tidak mungkin berkumpul dalam satu hati, lalu ungkapan dusta itu samapi ke telinga pelayan Rasulullah Shallallahu

Alahi wa Sallam, Anas bin Malik, dia menjawab, “Mereka bohong. Demi Allah, kecintaan kami pada keduanya berkumpul di hati kami.”