Biogas Sebagai Energi Alter Nat If

download Biogas Sebagai Energi Alter Nat If

of 22

Transcript of Biogas Sebagai Energi Alter Nat If

BIOGAS SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF

RESUME Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Bahan Bakar Pelumas & Air Ketel Semester III

Oleh : JAHRUL AULIA 21050110060028 A

PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2011

BAB I PENDAHULUAN Biogas atau sering disebut juga gas bio merupakan gas yang timbul jika bahan- bahan organik seperti kotoran hewan, kotoran manusia, atau sampah direndam dalam air dan disimpan didalam tempat tertutup atau anaerob (tanpa udara). Biogas ini sebenarnya dapat pula terjadi pada kondisi alami. Namun untuk mempercepat dan menampung gas ini, diperlukan alat yang memenuhi syarat terjadinya zat tersebut. Biogas dibentuk dari hasil fermentasi anaerobik yang merupakan proses perombakan suatu bahan menjadi bahan lain yang lebih sederhana dengan bantuan mikroorganisme tertentu dalam keadaan tidak berhubungan langsung dengan udara bebas. Biogas merupakan campuran dari metana, karbondioksida, sedikit gas hidrogen, hidrogen sulfida dan atau nitrogen. Menurut Price dan Paul (1981) gas metana atau CH4 yang terkandung dalam biogas besarnya 60 sampai dengan 70 %, sedang sisanya berupa gas CO2 , H2S, gas nitrogen dan hidrogen. Biogas mempunyai sifat mudah terbakar dengan warna nyala biru, tidak beracun dan memiliki nilai kalori 2,24 x 104 J/m3. Gas metana yang merupakan komponen gas yang paling dominan pada biogas memiliki sifat tidak berbau, tidak berwarna dan tidak berasa, adanya gas lain meyebabkan timbulnya bau. Berat jenis gas metana 0,554, kelarutannya dalam air rendah, pada suhu 20 oC dan tekanan 1 atm hanya 3 bagian gas metana yang larut dalam 100 bagian air. Gas metana termasuk gas yang stabil (Buren, 1979). Nilai energi gas metana cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti penerangan, pengeringan, memasak dan keperluan lainnya (Fauziyah, 1996) Pembakaran sempurna gas metana akan menghasilkan sejumlah besar panas. Pembakaran sempurna 1 meter kubik (0,716 kg) gas metana dapat membebaskan panas 8562 sampai 9500 kcal dan menaikkan suhu sampai 1400 OC (Buren, 1979). Reaksi kimia yang berlangsung adalah :

CH4 + 2 O2

CO2 + 2 H2O

Hc = -212 Kcal

Tabel1. Perbandingan nilai energi dari beberapa sumber energi dalam berat kering Sumber Energi Bahan bakar y y y Batubara Gasoline Gas metana y y y 3,14 x 107 4,71 x 107 5,00 x 107 Nilai Energi (J/kg)

Bahan organik y y y Kayu Kotoran sapi Sampah organik y y y 1,44 x 107 2,09 x 107 1,63 x 107

Sumber : Fauziyah (1996)

Di beberapa negara, biogas telah banyak dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk penerangan dan memasak. Menurut Buren (1979) 1 m3 biogas dapat disetarakan dengan 60 100 watt daya listrik yang dioperasikan selama 6 7 jam. Biogas juga dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk menggerakkan mesin dan generator. Nilai kesetaraan 1 m3 biogas untuk tenaga gerak adalah 1 hp selama 2 jam atau sebanding dengan 0,6 0,7 kg minyak tanah. Gas metana sendiri memiliki manfaat yang tidak kalah penting di dalam industri kimia. Penggunaannya antara lain untuk produksi monoklorometana, diklorometana, kloroform, metanol dan sebagainya.

BAB II PEMBAHASAN I. PROSES PEMBENTUKAN BIOGAS Biogas dihasilkan dari proses pembusukan bahan baku isian di dalam tangki pencerna. Biogas merupakan salah satu hasil sampingan dari pada pembusukan bahan organik. Proses pembusukan dapat bersifat aerobik atau anaerobik. Pada proses pembusukan aerobik, bakteri aerobik memanfaatkan oksigen dan menghasilkan amoniak, bakteri anaerobik merombak bahan organik menjadi biogas, kotoran, dan pupuk organik cair. Proses pembusukan bahan organik ini dilakukan oleh mikroorganisme dalam proses fermentasi. Proses kerja daripada bakteri ini dapat dibagi dalam tiga tahapan yaitu tahap pemecahan polimer (Tahap 1), tahap pembentuka asam organik (Tahap 2) dan tahap produksi metan (Tahap 3). Tahap 1 (Pemecahan polimer) Fase hidrolisis merupakan tahap awal untuk proses fermentasi, bahan bahan organik yang dicairkan dapat dihidrolisis lebih lanjut menjadi monomer sederhana oleh bakteri fermentasi. Karena beberapa limbah cair industri proses fermentasi menjadi tahap pertama dalam proses anaerob. Selain itu bahan organik dihidrolisis secara eksternal oleh enzim ektraseluler (seperti selulese, amilase, protease dan lipase). Polisakarida diubah kedalam monosakarida, protein kedalam peptida dan asam amino, dan lemak kedalam asam lemak dan gliserin. Sedangkan bahan organik polimer diubah dalam bentuk bahan mudah larut. Menurut di dalam buku bapak Sihombing (1997), pada fase hidrolisis terjadi perombakan dan pemecahan bahan bahan organik yang komplek menjadi bahan yang lebih sederhana, dan ,udah larut. Bahan polimer akan diubah menjadi mono mer, seperti polisakarida atau karbohidrat kompleks menjadi monosakarida atau berbagai gula sederhana, kemudian protein menjadi peptida-peptida, dan lipida atau lemak menjadi asam-asam lemak dan gliserida. Pada fase perombakan atau pencernaan awal ini enzim yang dihasilkan oleh berbagai bakteri seperti selulotik, lipolitik, dan protrolitik sangat berperan. Pada tahap ini sekelompok mikroorganisme akan menguraikan substrat organik. Penguraian ini dilakukan oleh berbagai jenis bakteri. Bakteri yang berperan antara lain memiliki enzim selulolitik, lipolitik dan proteolitik. Enzim yang dihasilkan ini mempercepat hidrolisa polimer menjadi monomer larut yang merupakan substrat bagi

mikroorganisme tahap kedua. Bakteri selulolitik memegang peranan dalam tahap ini. Temperatur kerja optimum adalah 50 60 oC (bakteri thermophilik) dan temperatur 30 40 oC (bakteri mesophilik). Kedua kelompok selulolitik ini bekerja pada kisaran pH enam sampai dengan tujuh. Pada proses ini kemungkinan penurunan pH bisa terjadi dikarenakan terbentuknya asam organik. Hal ini perlu distabilkan dengan penambahan larutan kapur. Apabila bakteri tahap 2 dan tahap 3 telah bekerja dan reaksi dalam kesetimbangan maka pH sistem berkisar tujuh. Kerja sinergis selalu terjadi diantara berbagai macam bakteri dalam pemecahan polimer menjadi monomer yang larut. Suatu studi menunjukkan bahwa laju pemecahan polimer lebih tinggi pada medium yang berisi campuran bakteri selulolitik dan nonselulolitik dibanding dalam medium berisi biakan murni bakteri selulolitik. Tahap pembentukan monomer ini merupakan tahap pengendali waktu dalam peruraian limbah ini. Hal ini disebabkan oleh kerja bakteri fermentor yang sangat lambat dibanding dengan kerja bakteri tahap 2 dan tahap 3. laju peruraian ini tergantung pada temperatur, jenis substrat dan pH sistem.

Reaksi (C6 H10O5 ) n (s) + n H2O (l) Tahap 2 (Pembentukan Asam Organik) Bakteri pada tahap ini menghasilkan asam-asam organik yang dibentuk dari senyawa monomer larut. Hasil terbesar dari bakteri asetogenik ini ialah asam asetat, propionat dan asam laktet. Bakteri metanogenik sebagian besar hanya manfaatkan asam asetat. Beberapa spesies bakteri metanogenik dapat memproduksi metan dari gas hidrogen dan karbondioksida, yang mana bahan ini terproduksi selama dekomposisi karbohidrat. Selain itu metan juga dapat diproduksi dengan reduksi metanol atau hasil sampingan lain selama pemecahan karbohidrat. Mikrobiologi dalam proses ditahap ini belum jelas. Beberapa spesies bakteri bekerja dalam tahap ini, dan proporsi dari asam, gas hidrogen, karbondioksida dan alkohol yang dihasilkan tergantung dari pada fra yang ada dan kondisi lingkungan. Tahap 3 (Produksi Metan) Bakteri metanogenik sangat peka terhadap lingkungan. Dikarenakan bakteri ini harus dalam keadaan anaerob, maka sejumlah kecil oksigen dapat menghalangi n C6 H12O6 (aq)

pertumbuhanny. Bukan hanya itu, bakteri ini juga kekal terhadap senyawa yang memiliki tingkat oksidasi tinggi seperti nitrit dan nitrat. Bakteri ini juga peka terhadap perubahan pH. Kisaran pH optimal untuk memproduksi metan adalah 7,0 7,2, namun gas masih terproduksi dalam kisaran 6,6 7,6. jika pH dibawah 6,6 akan menjadi faktor pembatas bagi bakteri dan pH dibawah 6,2 akan menghilangkan kemampuan bakteri metanogenik. Dalam keadaan demikian bakteri asetogenik tetap aktif hingga pH 4,5 5,0, sehingga diperlukan buffer untuk menetralkan pH. Beberapa senyawa merupakan racun bagi bakteri ini. Senyawa itu antara lain ammonia (lebih dari 1500 -3000 mg/l), dari total ammonia nitrogen pada pH diatas 7,4, ion ammonium (lebih dari 3000 mg/l dari total ammonia nitrogen pada sedmbarang pH), sulfida terlarut (lebih dari 50 100 mg/l) serta larutan garam dari beberapa logam seperti tembaga, seng dan nikel.

A. METODE PEMBUATAN BIOGAS DARI KOTORAN TERNAK 1. Biogas Dari Kotoran Sapi Alat alat yang dipergunakan dalam pembuatan antara lain: y y y y y y Bak Pengisi Bak Digester Bak Penampung Tabung Kontrol Gas Kompor Bak Output Digester

Bahan yang dipakai dalam pembuatan biogas antara lain: y y Kotoran sapi Air

Metode Pembuatan Biogas 1. Mencampur kotoran sapi dengan air sampai terbentuk lumpur dengan perbandingan 1:1 pada bak penampung sementara. Bentuk lumpur akan mempermudah pemasukan kedalam digester 2. Mengalirkan lumpur kedalam digester melalui lubang pemasukan. Pada pengisian pertama kran gas yang ada diatas digester dibuka agar pemasukan lebih mudah dan udara yang ada didalam digester terdesak keluar. Pada pengisian pertama ini dibutuhkan lumpur kotoran sapi dalam jumlah yang banyak sampai digester penuh.

3. Melakukan penambahan starter (banyak dijual dipasaran) sebanyak 1 liter dan isi rumen segar dari rumah potong hewan (RPH) sebanyak 5 karung untuk kapasitas digester 3,5 - 5,0 m2. Setelah digester penuh, kran gas ditutup supaya terjadi proses fermentasi. 4. Membuang gas yang pertama dihasilkan pada hari ke-1 sampai ke-8 karena yang terbentuk adalah gas CO2. Sedangkan pada hari ke-10 sampai hari ke-14 baru terbentuk gas metan (CH4) dan CO2 mulai menurun. Pada komposisi CH4 54% dan CO2 27% maka biogas akan menyala. 5. Pada hari ke-14 gas yang terbentuk dapat digunakan untuk menyalakan api pada kompor gas atau kebutuhan lainnya. Mulai hari ke-14 ini kita sudah bisa menghasilkan energi biogas yang selalu terbarukan. Biogas ini tidak berbau seperti bau kotoran sapi. Selanjutnya, digester terus diisi lumpur kotoran sapi secara kontinu sehingga dihasilkan biogas yang optimal. 2. Biogas Dari Kotoran Gajah Kotoran gajah dan urine gajah yang diambil berasal dari kandang gajah di Kawasan Taman Wisata Candi Borobudur. Penelitian yang dilakukan

menggunakan sampel kotoran gajah dan urine gajah dengan perbandingan 1:2 dengan variasi penambahan starter 100 gram dan 200 gram untuk variasi kelompok pertama dan untuk variasi kelompok kedua dengan perbandingan kotoran gajah, urine gajah dan air (1:1:1) dengan variasi penambahan starter 100 gram dan 200 gram. Proses pembuatan biogas dilakukan dengan sistem tumpak alami (batch, hanya sekali pengisian bahan baku pada awal percobaan). Data yang diamati dan dikumpulkan meliputi volume biogas dan nilai kalor biogas. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 21 hari, kemudian dievaluasi data hasil penelitian ini. Pada umumnya biogas masing-masing variasi mulai terbentuk pada hari pertama setelah pengisian dan terus meningkat secara signifikan hingga akhirnya mencapai kondisi statis (Anonim, 2006). Dengan mengetahui waktu pencapaian kondisi statis, maka dapat diketahui pula waktu tinggalnya (HRT). Hal ini berguna untuk jadwal pengisian substrat jika akan diaplikasikan di lapangan. Lamanya waktu bahan baku didalam reaktor biogas untuk diproses menjadi biogas disebut sebagai waktu retensi hidrolik (Hidraulic Retention Time atau HRT) (Anonim, 2006). HRT dan kontak antara bahan baku dengan bakteri metan merupakan dua faktor penting yang berperan dalam reaktor biogas.

B. METODE PEMBUATAN BIOGAS DARI SENYAWA ORGANIK 1. Biogas Dari Rumput Laut y Pembuatan biogas dengan mengggunakan metode 1 Bahan baku yang digunakan adalah rumput laut Euchema cottonii yang telah dicuci sebanyak 20 kg. Rumput laut direndam ke dalam air selama 2 hari untuk mengembalikan bentuk rumput laut. Setelah proses perendaman rumput laut selesai dilanjutkan dengan proses pengecilan ukuran bahan baku yaitu rumput laut dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil. Pengecilan ukuran dapat dilakukan dengan cara pemotongan rumput laut menjadi 0.5 cm atau

dengan cara di blender. Size reduction rumput laut dilakukan untuk memudahkan proses adaptasi bakteri dan pemanfaatan bahan baku oleh bakteri dapat berlangsung lebih sempurna. Tahapan selanjutnya adalah penyiapan starter EM yaitu dengan cara mencampurkan EM dengan gula pasir ke dalam air. Starter didiamkan selama kurang lebih 1 hari untuk membuat bakteri yang ada dalam EM berkembang dan beradaptasi. Rumput laut dimasukkan ke dalam reaktor plastik kapasitas 50 liter kemudian ditambahkan starter yang telah dibuat sebelumnya. Bahan-bahan tersebut kemudian difermentasi selama 21 hari untuk mendapatkan biogas. Parameter pengujian adalah terbentuknya biogas dalam plastik penampung biogas dan di uji coba dengan cara melakukan proses pembakaran. y Pembuatan biogas dengan mengggunakan metode 2 selama 2 hari untuk mengembalikan bentuk rumput laut. Setelah proses perendaman rumput laut selesai dilanjutkan dengan proses pengecilan ukuran bahan baku yaitu rumput laut dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil. Pengecilan ukuran dapat dilakukan dengan cara pemotongan rumput laut menjadi 0.5 cm atau dengan cara di blender. Tahapan selanjutnya adalah menyiapkan starter dari kotoran sapi. Starter diperoleh dari kotoran sapi yang telah difermentasikan terlebih dahulu dalam unit pembentukan biogas yang lain. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan starter kotoran sapi yang telah mampu menghasilkan biogas. Rumput laut sebanyak 20 kg dicampur dengan air dengan perbandingan 1 : 1 lalu di masukkan ke dalam reaktor plastik kapasitas 50 liter. Lalu ke dalam reaktor plastik tersebut ditambahkan starter kotoran sapi sebanyak 5 liter. Fermentasi bahan baku dilakukan selama 21 hari dan parameter yang

diamati adalah gas yang terbentuk dan diuji dengan percobaan pembakaran gas yang terbentuk. y Pembuatan biogas dengan menggunakan metode 3 Bahan baku yang digunakan adalah rumput laut Euchema cottonii yang telah dicuci sebanyak 20 kg. Rumput laut direndam ke dalam air selama 2 hari untuk mengembalikan bentuk rumput laut. Ke dalam reaktor plastik dimasukkan kotoran sapi dan air dengan perbandingan 1 : 1 sebanyak 45 liter. Fermentasi dilakukan selama 1 minggu untuk membuat bakteri anaerobik pembuat biogas yang terdapat dalam kotoran sapi mampu beradaptasi dengan baik. Setelah proses fermentasi awal selesai dilanjutkan dengan memasukkan rumput laut ke dalam reaktor setiap hari sebanyak 2 liter. Proses berlangsung selama 21 hari kemudian dilanjutkan dengan pengamatan pembentukan gas dan pengujian pembakaran gas. 2. Biogas Dari Limbah Tahu Proses pengolahan limbah cair berdasarkan tingkatan perlakuannya dapat dibedakan menjadi 5 golongan: 1) Pengolahan pendahuluan, dilakukan apabila di dalam limbah cair terdapat banyak padatan terapung dan melayang. 2) Pengolahan tahap pertama,dilakukan untuk memisahkan bahan-bahan padat tercampur (ukuran kecil). Dapat dilakukan melalui proses sedimentasi. 3) Pengolahan tahap kedua, dilakukan menggunakan proses biologi, yakni dengan bantuan mirorganisme seperti bakteri. 4) Pengolahan tahap ketiga, dilakukan jika ada bahan-bahan yang berbahaya, misalkan limbah cair tersebut mengandung amoniak. 5) Pengolahan tahap keempat dilakukan jika di limbah tersebut terdapat bakteri patogen. Pengolahan limbah cair secara biologi dengan menggunakan mikroorganisme dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : 1. Pengolahan limbah secara anaerob. Limbah cair mengalami proses penguraian dengan bantuan mikroorganisme anaerob, mikroorganisme yang dapat hidup tanpa memerlukan oksigen bebas. 2. Pengolahan limbah secara aerob. Limbah cair mengalami proses penguraian dengan bantuan mikroorganisme aerob, mikroorganisme yang memerlukan oksigen bebas untuk hidup.

Mikroorganisme, seperti bakteri dapat berkembang biak dengan baik menghasilkan biogas. Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses pembusukkan bahan organik oleh bakteri pada kondisi anaerob. Biogas merupakan campuran dari berbagai macam gas, diantaranya: CH4 (54-70%), CO2 (27-45%), CO (1%) dan sisanya H2S, Energi yang terkandung dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana (CH4). Semakin tinggi kandungan metana, maka semakin besar kandungan energi pada biogas. Sebaliknya, semakin kecil kandungan metana, semakin kecil nilai energinya. Pengolahan limbah cair tahu menjadi biogas dengan penambahan stater seperti kotoran hewan, memerlukan waktu 8-10 hari. 3. Biogas Dari Sampah Sampah organik yang digunakan pada penelitian ini adalah sayuran kembang kol dan mentimun yang diperoleh dari pasar tradisional di Kota Bandung, Jawa Barat. Langkah-langkah pengolahan sampah organik dengan teknologi fermentasi anaerobik adalah sebagai berikut: 1. Persiapan komposisi sampah organik (umpan) 2. Fermentasi anaerobik melalui proses hydrolisis, acidogenesis, acetogenesis, dan methanogenesis 3. Pengecekan dan menjaga kestabilan pH 4. Analisis kandungan CO2 produk biogas. Pada penelitian ini dilakukan persiapan umpan terlebih dahulu, yaitu persiapan komposisi sampah organik yang telah ditentukan sekaligus dilakukannya pemotongan. Sampah Umpan ini dibedakan menjadi 3 (tiga) variasi dan 1 (satu) sebagai pembanding, yaitu: 1) Sampah organik padat-cair dan kotoran sapi (rasio umpan 1:1). Sampah organik (sayuran) sebanyak 100 gram dipotong-potong dengan menggunakan juicer extractor. Produk yang dihasilkan dari juicer extractor ini berupa cairan dan padatan yang terpisah. Kemudian padatan dan cairan tersebut dicampurkan kembali dan campuran inilah yang dijadikan umpan. 2) Sampah organik padat dan kotoran sapi (rasio umpan 1:1) Sampah organik (sayuran) sebanyak 200 gram dipotong-potong dengan menggunakan juicer extractor. Produk yang dihasilkan berupa padatan dan cairan. Untuk variasi umpan ini, hanya padatannya yang diambil dan digunakan sebagai umpan. Padatan yang dihasilkan dari juicer extractor ini 100 gram.

3) Sampah organik cair dan kotoran sapi (rasio umpan 1:1). Sampah organik (sayuran) sebanyak 200 gram dipotong-potong dengan menggunakan juicer extractor. Produk yang dihasilkan berupa padatan dan cairan. Untuk variasi umpan ini, hanya cairannya yang diambil dan digunakan sebagai umpan. Cairan yang dihasilkan dari juicer extractor ini 100 ml.

4) Kotoran sapi tanpa sampah organik (sebagai pembanding). Kotoran sapi yang digunakan sebanyak 100 gram. Dalam prosesnya, fermentasi anaerobik terjadi di dalam botol gelas yang dilengkapi dengan selang sebagai transportasi gas yang akan dihasilkan. Masing-masing umpan diatas dimasukkan ke dalam botol gelas dan ditambahkan dengan kotoran sapi sebanyak 100 gram (kecuali untuk pembanding tidak ditambahkan lagi dengan kotoran sapi). Kemudian diencerkan dengan air sampai dengan 2/3 dari botol gelas dan 1/3 botol gelas adalah ruang kosong. Kondisi operasi kegiatan ini dilakukan secara batch dalam skala laboratorium, pH dijaga antara 6-8 dan dilakukan penambahan zat kapur Ca(OH)2 sebagai penyangga bila suatu waktu larutan menjadi asam, dan proses berlangsung pada tekanan dan temperatur ruang. Biogas yang telah dihasilkan dari setiap perlakuan variasi percobaan pada tahap akhir penelitian ini, kemudian dilakukan analisis biogas dengan menggunakan Analyzer Orsat dan dihitung komposisi CO2 dalam biogas tersebut. Selajutnya dilakukan pengukuran kadar air, perubahan Derajat Keasaman (pH) substrat dan Volatile Solid sampah organik dan Sludge.

II. HASIL PENELITIAN A. Biogas Dari Kotoran Ternak 1. Biogas Dari Kotoran Sapi Instalasi pengolahan biogas menggunakan bak digester dari kantung plastik polyethylene tubular dengan tipe pembangkit horizontal continous feed, biasa disebut tipe plug-flow, atau terkadang disebut juga sebagai model Vietnam karena dikembangkan terakhir disana (Indraswati, 2005). 1) Bak Pengisi Bak ini digunakan untuk memasukkan bahan baku berupa kotoran padat dan cair sapi. Bak pengisi merupakan silinder terbuka yang dibuat dari drum minyak, bak pengisi diberi katup outlet sederhana yang dilengkapi dengan kawat penyaring. Bahan baku kotoran sapi dicampur dengan air dan diaduk, perbandingan jumlah air dengan kotoran sapi hanya berdasarkan feeling operator secara teori perbandingan yang baik antara 7-9 % dari bahan padat. Hasil adukan dimasukkan ke dalam bak pencerna (digester) melalui katup outlet setelah melewati kawat penyaring. Tujuan penyaringan agar bahan baku tidak mengandung serat yang terlalu kasar. Serat kasar disini berarti sampah sampah atau kotoran kandang selain kotoran ternak, seperti batang dan daun keras, sisa batang rumput dan kotoran lainnya yang sebagian besar adalah sisa sisa pakan ternak yang terlalu kasar. Hal ini dapat menimbulkan buih dan residu di dalam pembangkit yang dapat mengurangi kinerja dari pembangkit itu sendiri. Penyaringan juga dimaksudkan untuk memisahkan kotoran sapi sebagai bahan baku organik pembangkit dengan bahan anorganik lain terutama pasir dan batu batu kecil. Proses ini cukup penting mengingat kandungan bahan anorganik (pasir) di dalam pembangkit tidak dapat dicerna oleh bakteri dan dapat menyebabkan residu di dasar pembangkit. 2) Bak Digester Merupakan bak pencerna yang dibuat dari kantung plastik polyethylene dengan lebar 150 cm dalam bentuk tubular memiliki diameter 95 cm. Kapasitas bak pencerna direncanakan 4000 liter, sehingga panjang kantung plastik yang dibutuhkan 5,6 meter. Tebal kantung plastik polyethylen yang berhasil didapatkan memiliki ketebalan 0,15 mm, agar diperoleh kekuatan yang lebih besar maka kantung plastik perlu dirangkap dua. Selanjutnya bak digester ditempatkan

setengah terkubur di dalam tanah. Untuk itu dibuatkan semacam parit sebagai wadah agar bak digester yang berbentuk tubular dapat dipasang dengan baik. Parit ini berukuran panjang 6 m, lebar atas 95 cm, lebar bawah 75 cm, tinggi di ujung input adalah 85 cm, dan tinggi di ujung output 95 cm. Inklinasi ini dibuat untuk memaksimalkan volume pembangkit yang dapat diisi oleh bahan baku. Lubang input dan output dibuat dibuat dari pipa PVC 4 inchi, sedangkan untuk saluran gas menggunakan selang plastik inchi dibuatkan konektor dari pelat baja dengan cara dibaut. Setelah terpasang pada tempatnya, bak digester diisi dengan sedikit air untuk menghindari terlipatnya plastik dan membuatnya menyesuaikan dengan kontur parit. Pipa inlet dipasangkan pada lubang outlet dari bak pengisi dan dipasangkan sumbat, sedangkan gas outlet dan pipa outlet dibiarkan tetap tertutup. Selanjutnya dilakukan pengisian bahan baku, sekitar 20 hari kemudian terlihat bahwa gas sudah mulai di produksi. Indikatornya plastik mulai menggelembung dan keras. 3) Bak Penampung Bak ini digunakan untuk menampung biogas sebelum digunakan. Kapasitas bak penampung dibuat 2000 liter dengan bahan yang sama dengan bak digester yang membedakan adalah lapisan yang digunakan hanya 1 lapis. Bak penampung ditempatkan di atas kandang. 4) Tabung Kontrol Gas Tabung ini merupakan tabung penjebak air hasil kondensasi air yang ikut mengalir bersama biogas. Tabung penjebak dibuat dari sambungan pipa PVC model T dengan inchi, saluran atas merupakan saluran input dan output sedangkan saluran bawah terendam dalam air. Pipa T selanjutnya ditempatkan dalam silinder berisi air yang terbuat juga dari pipa PVC 4 inchi. Tabung penjebak diletakkan pada bagian terbawah dari saluran biogas, tepat setelah bak digester untuk memudahkan uap air hasil kondensasi turun dan masuk ke dalam botol. Air yang berlebihan dalam sistem dapat memampetkan saluran biogas, selain itu adanya kandungan air dalam biogas menurunkan tingkat panas api dan membuat api berwarna kemerah merahan. Tinggi permukaan air dari batas bawah tabung dijaga, apabila terlalu rendah gas akan mudah keluar dari air sebelum mencapai tekanan yang diinginkan. Apabila muka air terlalu tinggi, tekanan yang ada membesar dan hal ini dapat menghambat proses produksi biogas itu sendiri.

Lubang air pada tabung penjebak selain berfungsi sebagai lubang pengisian juga sebagai pengatur tinggi muka air 5) Kompor penggunaan biogas yang paling adalah sebagai bahan bakar. Untuk mengetahui apakah biogas yang dihasilkan dapat terbakar atau tidak, dilakukan dengan menyambungkan pipa biogas ke pipa tembaga dengan diameter 0.5 cm. Katup gas dibuka dan ujung pipa didekatkan dengan api, maka api pun menyala. Prinsip inilah yang digunakan untuk membuat kompor. 6) Bak Output Digester pada Gambar 1. terlihat bahwa permukaan isian digester mulai lubang input sampai output menganut prinsip bejana berhubungan. Apabila lubang input terus diisi, permukaan isian akan mencapai garis tertinggi dan akhirnya akan dikeluarkan melalui lubang output. Hasil dari lubang output merupakan kotoran sapi yang telah mengalami fermentasi, sehingga tidak mengandung gas, tidak berbau menyengat dan merupakan pupuk organik (slurry). 2. Biogas dari kotoran gajah Berdasarkan analisis dapat diketahui bahwa untuk kelompok produksi biogas dengan variasi kotoran gajah : urine gajah (1:2) ditambah dengan 200 gram starter menunjukkan bahwa HRTnya lebih cepat. sedangkan untuk perbandingan kotoran gajah, urine gajah dan air (1:1:1) tanpa starter waktu tinggalnya lebih lama (HRTnya lebih lama). Hal ini disebabkan karena bakteri lebih cepat melakukan proses pembentukan biogas, sehingga HRTnya lebih cepat (Indartono, 2006), sehingga jika diaplikasikan ke lapangan dapat menghemat biaya pembuatan instalasinya. Produksi Biogas Kumulatif Untuk kelompok produksi biogas dengan variasi kotoran gajah : urine gajah : air (1:1:1) menunjukkan bahwa biogas mulai terbentuk pada umur isian bahan 2 sampai 5 hari kemudian produksi terus meningkat sampai umur isian 7 sampai 16 hari dan mulai berkurang sampai akhirnya tidak terdapat penambahan biogas lagi atau mencapai kondisi statis. Produksi biogas kumulatif yang memberikan hasil tertinggi selama 21 hari pengamatan adalah kelompok IC atau kotoran gajah, urine gajah dan air (1:1:1) + stater 200 gr yaitu sebesar 43100 ml dengan komposisi kotoran gajah 4 Kg, urine gajah 4 liter dan air 4 liter . Sedangkan untuk produksi terendah adalah kelompok IA atau perbandingan kotoran gajah, urine gajah dan air 1:1:1 tanpa penambahan stater sebesar 20907 ml, kelompok IB atau perbandingan kotoran gajah,

urine gajah dan air 1:1:1 dengan penambahan stater 100 gr sebesar 40300 ml. Berbeda dengan produksi biogas pada kelompok perbandingan kotoran gajah dan urine gajah, produksi terbesar terlihat pada kelompok IIC dengan penambahan stater 200 gr selama 21 hari menghasilkan biogas 60800 ml. sedangkan produksi terkecil pada kelompok IIA dengan variasi pencampuran kotoran gajah dan urine gajah (1:2) tanpa penambahan stater yaitu sebesar 25100 ml. Apabila dibandingkan dari kedua variasi bahan baku tersebut dengan produksi biogas secara umulatif menunjukkan bahwa kelompok variasi pencampuran kotoran gajah dan urine gajah lebih besar jika dibandingkan dengan variasi pencampuran kotoran gajah, urine gajah dan air. Tiap variasi menghasilkan volume dan HRT berbeda, sehingga dapat disimpulkan bahwa penambahan air, urine gajah dan starter mempengaruhi pembentukan biogas. Untuk penelitian ini, dengan jumlah air, urine gajah dan starter yang lebih banyak akan menghasilkan volume yang lebih banyak pula dengan waktu tinggal yang lebih singkat. Nilai Kalor Biogas Penghitungan nilai kalor biogas berdasarkan persamaan 1 dilakukan setelah volume gas bio tidak mengalami peningkatan lagi atau sudah mencapai kondisi statis. Pengukuran dilakukan pada hari ke 21 dimana semua variasi sudah mengalami kondisi statis. Perhitungan nilai kalor biogas dilakukan dengan percobaan untuk memanaskan air sebanyak 5 liter kemudian dilakukan pengukuran peningkatan suhu sampai nyala api padam, yang berarti bahwa biogas sudah habis terbakar. Nilai kalor biogas (Q) dihitung berdasarkan rumus: Q=

Dengan menggunakan metode perhitungan di atas, maka hasil perhitungan nilai kalor tiap variasi dapat dilihat pada tabel. Variasi Volume air (liter) IA IB IC IIA IIB IIC 5 5 5 5 5 5 T0 (oC) 27 27 27 27 27 27 T0 (oC) 47 68 71 52 81 92 T (oC) 20 41 44 25 54 65 volume biogas (liter) 20.9 40.3 43.1 25.1 52.5 60.8 Q (kal/lt) 4785.69 5068.85 5104.41 4980.08 5142.86 5345.39

Berdasarkan hasil penghitungan nilai kalor diatas, diperoleh rata rata nilai kalor biogas adalah sebesar 5071.21 kal/lt. Hal ini sesuai dengan Meynel (1986) yang menyatakan bahwa nilai kalor biogas berkisar antara 4785 6220 kal/lt. Biogas dengan zat penyusun yan g berbeda yaitu dengan variasi bahan baku yang berbeda akan menghasilkan nilai kalor yang berbeda pula. Hal ini dikarenakan sifat penyusun gas bio tidak sama tergantung pada mutu substrat, sehingga pada saat mengalami pembakaran akan menghasilkan nilai kalor yang berbeda. B. Biogas dari limbah organik 1. Biogas dari rumput laut Pada penelitian pendahuluan dilakukan 3 buah percobaan untuk mendapatkan teknik fermentasi yang terbaik yang akan digunakan pada penelitian utama. Percobaan dilakukan den menggunakan 3 metode yang berbeda yaitu metode 1 yaitu menggunakan starter Efektif Mikroorganisme (EM), metode 2 yaitu menggunakan starter kotoran sapi dengan jumlah 5 liter, dan metode 3 yaitu menggunakan starter kotoran sapi dengan jumlah 45 liter. Metode 1 2 3 Keterangan Hasil gas + ++ Pembakaran gas + ++

( - ) = Tidak menghasilkan gas dan tidak dapat dibakar ( + ) = Mampu menghasilkan sedikit gas dan mampu dibakar ( ++ )=Menghasilkan gas dalam jumlah besar dan mampu dibakar

Dari hasil percobaan penelitian pendahuluan dapat diketahui bahwa pemakaian starter berupa EM tidak menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Gas yang dihasilkan pada penelitian ini berupa H2S yang ditandai dengan adanya bau busuk dalam reaktor. Gas yang dihasilkan dalam proses pembentukan biogas yang dapat dimanfaatkan adalah dalam bentuk CH4 (metana). Karena tidak dapat menghasilkan gas yang sesuai maka pada uji pembakaran tidak dapat dilakukan. Percobaan kedua menggunakan starter berupa kotoran sapi dengan jumlah 5 liter. Kotoran sapi diperoleh dari unit reaktor biogas yang bahan bakunya dari kotoran sapi dan telah menghasilkan biogas. Hal ini bertujuan agar starter yang akan digunakan telah terbukti mampu menghasilkan gas sehingga diharapkan mampu beradaptasi dengan baik dengan bahan baku rumput laut. Ke dalam reaktor berukuran 50 liter dimasukkan bahan baku rumput laut yang telah dicampur dengan air dengan perbandingan 1 : 1 dengan jumlah seluruhnya 45 liter. Kemudian ke dalam reaktor tersebut ditambahkan starter sebanyak 5 liter. Proses selanjutnya adalah proses fermentasi selama 21 hari untuk melihat terbentuknya gas yang dikumpulkan ke dalam suatu plastik pengumpul gas. Dari hasil proses fermentasi selama 21 hari diperoleh hasil bahwa gas yang terbentuk dalam jumlah yang sangat sedikit. Hal ini ditandai dengan plastik pengumpul gas tidak menggelembung atau berubah bentuk yang signifikan. Hal ini disebabkan karena bakteri pembentuk gas yang ada dalam starter kotoran sapi belum mampu beradaptasi secara maksimal dengan bahan baku yang digunakan. Selain itu juga diduga karena jumlah bahan baku yang besar dalam reaktor menyebabkan proses penguraiannya tidak berlangsung dengan sempurna. Dengan banyaknya jumlah bahan baku maka komponen karbon yang ada dalam bahan baku menjadi lebih banyak sehingga komponen nitrogen akan habid terlebih dahulu dan hal tersebut menyebabkan bakteri berhenti bekerja (Fauziyah, 1996). Dalam uji coba pembakaran gas yang dihasilkan diketahui bahwa terjadi pembakaran gas ditandai dengan adanya nyala api setelah kran gas dibuka dan api dinyalakan di dekat kran gas tersebut. Namun nyala api tidak dapat berlangsung lama. Hal ini dikarenakan jumlah gas yang terbentuk hanya sedikit sehingga tidak mampu mempertahankan nyala api dalam jangka waktu yang lama. Percobaan ketiga dalam penelitian pendahuluan adalah percobaan pembuatan biogas dengan menggunakan starter kotoran sapi dalam jumlah yang lebih banyak yaitu 45 liter. Kotoran sapi juga diperoleh dari unit reaktor biogas lain yang menggunakan kotoran sapi sebagai bahan bakunya. Perbedaan antara metode 2 dan

metode 3 ini adalah dalam jumlah starter yang digunakan dimana pada metode 3 jumlah stareter yang lebih banyak sehingga mampu memanfaatkan bahan baku dengan baik. Fermentasi awal dilakukan dalam reaktor biogas selama 7 hari dengan tujuan untuk membuat bakteri yang ada dalam kotoran sapi tersebut beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang baru. Setelah proses fermentasi awal selesai dilanjutkan dengan langkah memasukkan umpan ke dalam reaktor biogas. Umpan yang diberikan adalah rumput laut yang telah dicampur dengan air hingga jumlah total seluruhnya 2 liter. Sebelum dimasukkan ke dalam reaktor, rumput laut tersebut direndam di dalam air selama 2 hari terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk membuat rumput laut kembali ke bentuk semula dan mudah untuk dilakukan penguraian oleh bakteri. Pengumpanan dilanjutkan terus hingga mencapai waktu fermentasi selama 21 hari. Hasil percobaan menunjukkan bahwa plastik penampung gas mengalami pubahan bentuk yang signifikan dimana terjadi penggembungan plastik yang diduga akibat gas yang terbentuk selama proses fermentasi. Hal ini karena starter kotoran sapi mampu memanfaatkan bahan baku rumput laut dengan baik sebagai bahan makanan dan menghasilkan gas yang diharapkan. Jumlah rumput laut yang dimasukkan dengan bertahap menyebabkan proses penguraian dapat berlangsung sempurna dan proses adaptasi bakteri anaerobik dapat berjalan baik. Komposisi karbon dan nitrogen yang ada dalam rumput laut dapat dimanfaatkan dengan baik dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan bakteri. Dari uji coba pembakaran gas yang dihasilkan ketahui bahwa gas tersebut mampu membuat nyala api dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Dari beberapa hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa metode 3 merupakan metode yang terbaik yang dapat digunakan dalam penelitian utama proses pembentukan biogas dengan bahan baku rumput laut. 2. Biogas Dari Limbah Tahu Rancangan Biogas Digester Digester merupakan wadah atau tempat berlangsungnya proses fermentasi limbah organic dengan bantuan mikroorganisme hingga menghasilkan biogas. Ada beberapa tipe digester, yaitu tipe floating dome dan fixed dome. Floating dome dapat menunjukkan penyimpan tangki ke atas jika terjadi penambahan biogas. Sedangkan digester tipe fixed dome dapat menunjukkan perubahan tekanan pada manometer jika terjadi penambahan biogas. Hal pertama yang harus diperhatikan dalam membangun

digester adalah jumlah bahan yang tersedia dan waktu proses untuk mencerna bahan. Volume digester yang dibutuhkan untuk mencerna bahan dapat dihitung sebagai berikut: Vd = Wp x Ab Selain itu, diperhitungkan ruang gas sebesar 20% dari volume total bio digester, sehingga Vt=Vd +20% Vt 80% Vt = Vd Vt = Vd / 80% Vt = (Wp x Ab) / 80% Keterangan: Vd = Volume digaster (liter) Wp = waktu proses mencerna bahan (hari) Ab = aliran bahan (liter/hari) Vt = volume total digester (liter) Jika aliran bahan atau limbah yang masuk kedalam digester 1.500 liter/hari, dan lamanya proses fermentasi 8 hari, maka didapatkan Vt = (Wp Ab) / 80% = (8 x 1.500) / 0.8 = 15.000 liter = 15 m3 Berdasarkan penelitian 100 Kg kedelai dihasilkan biogas sebanyak 1,5 m3. Biogas dengan nilai kalori 4.785 Kkal/liter, Sehingga panas dari biogas yang dihasilkan mencapai 7.177,7 Kkal Nilai kalor untuk biogas sekitar 4.785 Kkal/m3 = 4.785 kal/liter Nilai kalor untuk LPG sekitar 10.882 Kkal/m3 = 10.882 kal/liter 3. Biogas Dari Sampah Percobaan yang dilakukan untuk mengkaji produktivitas biogas dari berbagai komposisi sampah organik Pada di atas terlihat bahwa biogas yang dihasilkan terus meningkat. Proses fermentasi anaerobik berlangsung melalui tahap-tahap proses hydrolysis, acidogenesis, acetogenesis, dan methanogenesis, sehingga menghasilkan biogas dan terus bertambah setiap hari selama bakteri pengurai masih terus bertumbuh dan beraktivitas. Pada grafik di atas terlihat bahwa biogas yang dihasilkan tiap bahan memiliki volume yang berbeda-beda. Produksi biogas dari sampah organik padat berjalan lebih lambat dari pada sampah organik padat-cair dan sampah organik cair. Namun pada akhirnya produksi biogas dari sampah organik padat dapat menyusul dan

menghasilkan biogas terbanyak daripada sampah organik padat-cair dan sampah organik cair. Suatu bahan untuk dapat terdistribusi dengan air tergantung pada ukuran partikel suatu bahan. Ukuran partikel yang kecil sangat mendukung dalam proses pelarutan bahan-bahan organik guna menguraikan zat organik tersebut menjadi asam organik yang kemudian dikonversi menjadi CH4 dan CO2. Pada pengumpanan komposisi sampah organik padat memiliki ukuran partikel yang cukup besar dan densitas relatif rendah sehingga terkonsentrasi di bagian atas medium atau tidak terdistribusi dengan air secara baik serta memiliki serat-serat yang sukar larut dengan air. Pada proses disintegrasi, terjadi proses pemecahan bahan partikulat menjadi senyawa organik seperti karbohidrat, protein, dan lemak yang akan dihidrolisis. Di dalam tumbuhan terdapat selulosa dan hemiselulosa sebagai komponen karbohidrat dan bahan pembentuk dinding sel. Namun pada hari ke-44, perolehan biogas dari sampah organik padat ini dapat menyamai perolehan biogas dari sampah organik cair yaitu sebesar 5310 ml. Kemudian dapat menyusul dan mendahului perolehan biogas dari sampah organik padat-cair. Pada awalnya produksi biogas berjalan lambat, tetapi sampah organik padat relatif lebih kaya akan karbohidrat, protein, dan lemak. Hal ini karena senyawa organik makromolekul ini tidak larut di dalam air sehingga terkonsentrasi dalam fasa padat. Ketiga senyawa organik tersebut merupakan komponen penting penghasil energi yang sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme. Bahan sampah organik padat dengan kadar air sebesar 91,93% ini merupakan kondisi umpan yang cukup baik untuk menghasilkan biogas lebih banyak daripada sampah organik padat - cair dan sampah organik cair. Kadar air berpengaruh karena dapat menjamin proses dekomposisi secara biologis, menjamin pencampuran dan ketersediaan nutrisi, menstimulasi pertumbuhan bakteri dan proses methanogenesis, serta menjaga temperatur tetap konstan. III. KESIMPULAN A. BIOGAS DARI KOTORAN TERNAK 1. Biogas Dari Kotoran Sapi Produksi biogas dari kotoran sapi berkisar 600 liter s.d. 1000 liter biogas per hari, kebutuhan energi untuk memasak satu keluaraga rata-rata 2000 liter per hari. Dengan demikian untuk memenuhi kebutuhan energi memasak rumah tangga dapat dipenuhi dari kotoran 3 ekor sapi. Selain biogas pengolahan kotoran sapi juga menghasilkan pupuk padat dan pupuk cair. Pupuk dari kotoran sapi yang

telah diambil biogasnya memiliki kadar pencemar BOD dan COD berkurang sampai 90%, dengan kondisi ini pupuk dari kotoran sapi sudah tidak berbau. 2. Biogas Dari Kotoran Gajah 1) Pengaruh penambahan urine gajah, air dan starter terhadap volume produksi biogas menunjukkan nilai tertinggi sebesar 60800 ml untuk variasi pencampuran kotoran gajah dan urine gajah (1:2) dan starter 200 gram. Sedangkan produksi terendah diperoleh dari pencampuran kotoran gajah, urine gajah dan air (1:1:1) tanpa penambahan starter sebesar 20907 ml. 2) Pengaruh penambahan urine gajah, air dan starter terhadap nilai kalor menunjukkan nilai kalor biogas terbesar adalah 5345,39 kal/lt untuk variasi pencampuran kotoran gajah, urine gajah (1:2) dan penambahan starter 200 gr. Sedangkan nilai kalor terendah adalah 4785,69 kal/lt untuk variasi pencampuran kotoran gajah, urine gajah, air (1:1:1) tanpa penambahan starter. 3) Perbandingan yang tepat untuk mendapatkan produksi biogas yang maksimal adalah pencampuran kotoran gajah dan urine gajah (1:2) dengan penambahan starter 200 gram. B. BIOGAS DARI LIMBAH ORGANIK 1. Biogas Dari Rumput Laut 1) Rumput laut Euchema cottonii dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biogas karena memiliki nisbah karbon/nitrogen yang dapat digunakan dalam pembuatan biogas. 2) Jenis starter efektif mikroorganisma tidak dapat digunakan dalam pembuatan biogas dengan bahan baku rumput laut. 3) Pembuatan biogas dapat dilakukan dengan menggunakan metode 3 (Penggunaan starter kotoran sapi dalam jumlah 45 liter). 2. Biogas Dari Limbah Tahu Melalui pengolahan limbah cair tahu dengan kapasitas 283,8 m3/hari dapat diperoleh biogas dengan 442,6 m3/hari. Nilai tersebut dihitung dari tiap kg kedelai yang menghasilkan 9,46 liter limbah dan tiap kg kedelai menghasilkan 15 liter biogas. 3. Biogas Dari Sampah Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut.

1) Pada

fermentasi

anaerobik

terjadi

beberapa

tahap

proses

yaitu

hydrolysis,acidogenesis, acetogenesis, dan methanogenesis yang diikuti dengan perubahan pH. 2) Produksi biogas dari sampah organik padat lebih lambat daripada produksi biogas dari sampah organik padat-cair dan sampah organik cair. 3) Sampah organik padat memiliki potensi sebagai sumber energi alternatif yang lebih besar yaitu sebesar 56,22% dari total produksi CH4 sampah organik padat-cair. Sedangkan sampah organik cair hanya 43,45% dari total produksi CH4 sampah organik padat-cair. 4) Pada penelitian ini diperoleh konversi sampah organik padat-cair, sampah organik padat, dan sampah organik cair menjadi biogas secara berurutan adalah 43,22% ; 44,15% ; 42,42%.