Bioenergi dari Hutan Tingkatkan Emisi Gas Rumah Kaca · nyak 80 jenis hutan di wilayah Oregon,...

1
SISKA NURIFAH S EBUAH ironi yang masih menjadi dilema besar. Kesadaran ter- hadap memburuknya bumi akibat pemakaian bahan bakar fosil masih belum didu- kung kebijakan energi alter- natif yang tepat guna. Para ahli sepertinya tidak punya solusi terhadap pemanfaatan energi dan dampak lingkungannya. Baru-baru ini beberapa ilmu- wan dari Universitas Oregon yang didukung Departemen Energi AS dan beberapa lem- baga lainnya di Jerman dan Prancis seakan mengoreksi keyakinan terhadap pemanfaa- tan bioenergi. Semula, sumber energi terbarukan ini diyakini ramah lingkungan dan menjadi solusi ketergantungan pada minyak bumi. Hal ini karena belum ada cara yang jitu tentang produksi bioenergi yang masih mengan- dalkan hasil hutan. “Penekanan pada bioenergi dari produksi hutan akan meningkatkan emisi karbon dioksida lebih besar 14% ketimbang pengelo- laan hutan lainnya,” kata para ilmuwan. Temuan yang dipublikasikan di Sciencedaily.com itu tentu saja sangat bertentangan dengan studi-studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa bioenergi dari hutan akan mengurangi gas emisi rumah kaca karena bersifat karbon netral. Selama empat tahun terakhir, para ilmuwan meneliti seba- nyak 80 jenis hutan di wilayah Oregon, Washington, dan Ca- lifornia, AS, yang mencakup lahan publik dan swasta. “Kami menemukan bahwa penghilangan biomassa hutan yang diproyeksikan dan digu- nakan untuk bioenergi dalam bentuk apa pun akan merilis lebih banyak karbon dioksida ke atmosfer daripada praktik pengelolaan hutan saat ini,” ungkap Dr Tara Hudiburg, salah satu peneliti dari Univer- sitas Oregon. Kebanyakan masyarakat, paparnya, berasumsi bahwa kayu-kayu tersebut akan men- jadi karbon netral bioenergi karena hutan akan kembali tumbuh, tidak seperti energi fosil yang hilang. Selain itu, bioenergi menjadi kesempatan tersendiri untuk melindungi hutan terhadap emisi karbon dari kebakaran hutan. Namun, penelitian mereka justru menunjukkan bahwa emisi dari kegiatan produksi bioenergi justru menciptakan emisi yang lebih besar. Beverly Law, Profesor De- partemen Ekosistem Hutan dan Masyarakat dari Univer- sitas Oregon, mengungkap- kan bahwa sampai sekarang ada banyak kesalahpahaman tentang dampak pencegahan penipisan hutan, kebakaran, dan produksi bioenergi ter- kait dengan emisi karbon dari hutan. “Jika tujuan akhir kita untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ialah menghasilkan bio- energi dari hutan, yang didapat akan menjadi kontraproduk- tif,” ujar Law. Studi itu sendiri meneliti ribuan plot hutan dengan data terperinci dan observasi. Ter- masuk, peran kebakaran hu- tan, emisi penghematan lewat penggunaan bioenergi, peng- gantian produk kayu, populasi serangga, hutan yang menipis, energi dan proses yang diper- lukan untuk memproduksi bioenergi, dan lainnya. Berdasarkan faktor terse- but, dengan tingkat efisiensi yang lebih realistis, mereka memproyeksikan bahwa peng- gunaan hutan untuk produksi bioenergi akan menciptakan emisi karbon yang tinggi, me- ningkat 17% dari tingkat emisi karbon saat ini. Diperkirakan, sekitar 98% dari hutan di ka- wasan yang diteliti tersebut sekarang berfungsi sebagai penyerap karbon. Namun, studi tersebut me- nunjukkan bahwa peningkatan volume panen hutan-hutan tersebut, dengan alasan apa pun, akan mengakibatkan pe- ningkatan emisi rata-rata di atas level saat ini. Monokultur Temuan para ahli tersebut memang beralasan. Bioenergi sebagai basis energi alternatif hanya bisa dilakukan jika ba- han dasarnya, yang dihasilkan dari kawasan hutan, dipro- duksi secara massal. Jika itu yang dilakukan, konsekuensinya ialah penghi- langan keragaman tanaman lantaran diganti dengan tanam- an lain sebagai bahan dasar bioenergi. Menurut Direktur Pusat Teknologi Konversi dan Kon- servasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Andhika Prastawa, budi daya tanaman bioenergi menyebab- kan banyak hutan berbentuk monokultur. Hal itulah yang justru menyebabkan pengu- rangan penyerapan karbon. “Budi daya tanaman bioener- gi merupakan hutan-hutan monokultur yang membuat penyerapan karbon yang lebih sedikit daripada hutan-hutan heterokultur,” jelas Andhika. Di Indonesia sendiri, lanjut- nya, perkembangan penggu- naan bioenergi memang masih dalam tahap pilot project alias belum dikomersialkan secara besar-besaran. Jika potensi bio- energi di Jerman berasal dari minyak rapeseed dan di AS ada- lah kedelai, di Indonesia yang berpotensi digunakan sebagai bahan baku ialah crude palm oil (CPO) atau kelapa sawit. BPPT saat ini masih dalam tahap desain pabrik pengola- han untuk CPO, dan bahan ba- kunya didapat dari perkebun- an-perkebunan yang sudah ada. Selain itu, menurutnya, masih ada potensi besar bio- energi lainnya, yakni minyak jarak pagar (Jathropa curcas). Saat ini, hasil dari energi al- ternatif itu belum dikomersial- kan dan masih dibuat untuk kepentingan perusahaan ma- sing-masing. Harga yang belum stabil juga menjadi kendala bagi masa depan dan perkembangan proyek bioenergi. Selain itu, penggunaan CPO untuk bioener- gi masih kalah bersaing dengan kepentingan pangan. (M-1) [email protected] 24 SELASA, I NOVEMBER 2011 P OP LINGKUNGAN DI tengah ketergantungan dunia terhadap energi fosil, kemunculan bioenergi dianggap menjadi salah satu solusi terbaik bagi lingkungan. Namun, produksi bioenergi dari hutan justru meningkatkan emisi gas rumah kaca yang lebih besar. MI/TRI HANDIYATNO HUTAN KONSERVASI: Seorang pekerja memanen tandan buah segar sawit di perkebunan kelapa sawit PT Sukses Tani Nusasubiur, Desa Labangka, Penajam Paser utara, Kaltim. Bioenergi dari Hutan Tingkatkan Emisi Gas Rumah Kaca ANTARA/SAPTONO SAWIT: Pengunjung sedang memperhatikan sebuah mesin pemanas minyak dari kelapa sawit dalam pameran industri kelapa sawit di Plenary Hall JCC, Jakarta.

Transcript of Bioenergi dari Hutan Tingkatkan Emisi Gas Rumah Kaca · nyak 80 jenis hutan di wilayah Oregon,...

Page 1: Bioenergi dari Hutan Tingkatkan Emisi Gas Rumah Kaca · nyak 80 jenis hutan di wilayah Oregon, Washington, dan Ca-lifornia, AS, yang mencakup lahan publik dan swasta. “Kami menemukan

SISKA NURIFAH

SEBUAH ironi yang masih menjadi dilema besar. Kesadaran ter-hadap memburuknya

bumi akibat pemakaian bahan bakar fosil masih belum didu-kung kebijakan energi alter-natif yang tepat guna. Para ahli sepertinya tidak punya solusi terhadap pemanfaatan energi dan dampak lingkungannya.

Baru-baru ini beberapa ilmu-wan dari Universitas Oregon yang didukung Departemen Energi AS dan beberapa lem-baga lainnya di Jerman dan Prancis seakan mengoreksi keyakinan terhadap pemanfaa-tan bioenergi. Semula, sumber energi terbarukan ini diyakini ramah lingkungan dan menjadi solusi ketergantungan pada minyak bumi.

Hal ini karena belum ada cara yang jitu tentang produksi bioenergi yang masih mengan-dalkan hasil hutan. “Penekanan

pada bioenergi dari produksi hutan akan meningkatkan emisi karbon dioksida lebih besar 14% ketimbang pengelo-laan hutan lainnya,” kata para ilmuwan.

Temuan yang dipublikasikan di Sciencedaily.com itu tentu saja sangat bertentangan dengan studi-studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa bioenergi dari hutan akan mengurangi gas emisi rumah kaca karena bersifat karbon netral.

Selama empat tahun terakhir, para ilmuwan meneliti seba-nyak 80 jenis hutan di wilayah Oregon, Washington, dan Ca-lifornia, AS, yang mencakup lahan publik dan swasta.

“Kami menemukan bahwa penghilangan biomassa hutan yang diproyeksikan dan digu-nakan untuk bioenergi dalam bentuk apa pun akan merilis lebih banyak karbon dioksida ke atmosfer daripada praktik pengelolaan hutan saat ini,” ungkap Dr Tara Hudiburg,

salah satu peneliti dari Univer-sitas Oregon.

Kebanyakan masyarakat, paparnya, berasumsi bahwa kayu-kayu tersebut akan men-jadi karbon netral bioenergi karena hutan akan kembali tumbuh, tidak seperti energi

fosil yang hilang. Selain itu, bioenergi menjadi kesempatan tersendiri untuk melindungi hutan terhadap emisi karbon dari kebakaran hutan.

Namun, penelitian mereka justru menunjukkan bahwa emisi dari kegiatan produksi

bioenergi justru menciptakan emisi yang lebih besar.

Beverly Law, Profesor De-partemen Ekosistem Hutan dan Masyarakat dari Univer-sitas Oregon, mengungkap-kan bahwa sampai sekarang ada banyak kesalahpahaman tentang dampak pencegahan penipisan hutan, kebakaran, dan produksi bioenergi ter-kait dengan emisi karbon dari hutan.

“Jika tujuan akhir kita untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ialah menghasilkan bio-energi dari hutan, yang didapat akan menjadi kontraproduk-tif,” ujar Law.

Studi itu sendiri meneliti ribuan plot hutan dengan data terperinci dan observasi. Ter-masuk, peran kebakaran hu-tan, emisi penghematan lewat penggunaan bioenergi, peng-gantian produk kayu, populasi serangga, hutan yang menipis, energi dan proses yang diper-lukan untuk memproduksi bioenergi, dan lainnya.

Berdasarkan faktor terse-but, dengan tingkat efisiensi yang lebih realistis, mereka memproyeksikan bahwa peng-gunaan hutan untuk produksi bioenergi akan menciptakan emisi karbon yang tinggi, me-ningkat 17% dari tingkat emisi karbon saat ini. Diperkirakan,

sekitar 98% dari hutan di ka-wasan yang diteliti tersebut sekarang berfungsi sebagai penyerap karbon.

Namun, studi tersebut me-nunjukkan bahwa peningkatan volume panen hutan-hutan tersebut, dengan alasan apa pun, akan mengakibatkan pe-ningkatan emisi rata-rata di atas level saat ini.

MonokulturTemuan para ahli tersebut

memang beralasan. Bioenergi sebagai basis energi alternatif hanya bisa dilakukan jika ba-han dasarnya, yang dihasilkan dari kawasan hutan, dipro-duksi secara massal.

Jika itu yang dilakukan, konsekuensinya ialah penghi-langan keragaman tanaman lantaran diganti dengan tanam-an lain sebagai bahan dasar bioenergi.

Menurut Direktur Pusat Teknologi Konversi dan Kon-servasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Andhika Prastawa, budi daya tanaman bioenergi menyebab-kan banyak hutan berbentuk monokultur. Hal itulah yang justru menyebabkan pengu-rangan penyerapan karbon.

“Budi daya tanaman bioener-gi merupakan hutan-hutan monokultur yang membuat penyerapan karbon yang lebih sedikit daripada hutan-hutan heterokultur,” jelas Andhika.

Di Indonesia sendiri, lanjut-nya, perkembangan penggu-naan bioenergi memang masih dalam tahap pilot project alias belum dikomersialkan secara besar-besaran. Jika potensi bio-energi di Jerman berasal dari minyak rapeseed dan di AS ada-lah kedelai, di Indonesia yang berpotensi digunakan sebagai bahan baku ialah crude palm oil (CPO) atau kelapa sawit.

BPPT saat ini masih dalam tahap desain pabrik pengola-han untuk CPO, dan bahan ba-kunya didapat dari perkebun-an-perkebunan yang sudah ada. Selain itu, menurutnya, masih ada potensi besar bio-energi lainnya, yakni minyak jarak pagar (Jathropa curcas).

Saat ini, hasil dari energi al-ternatif itu belum dikomersial-kan dan masih dibuat untuk kepentingan perusahaan ma-sing-masing. Harga yang belum stabil juga menjadi kendala bagi masa depan dan perkembangan proyek bioenergi. Selain itu, penggunaan CPO untuk bioener-gi masih kalah bersaing dengan kepentingan pangan. (M-1)

[email protected]

24 SELASA, I NOVEMBER 2011POP LINGKUNGAN

DI tengah ketergantungan dunia terhadap energi fosil, kemunculan bioenergi dianggap menjadi salah satu solusi terbaik bagi lingkungan. Namun, produksi bioenergi dari hutan justru meningkatkan emisi gas rumah kaca yang lebih besar.

MI/TRI HANDIYATNO

HUTAN KONSERVASI: Seorang pekerja memanen tandan buah segar sawit di perkebunan kelapa sawit PT Sukses Tani Nusasubiur, Desa Labangka, Penajam Paser utara, Kaltim.

B i o e n e r g i d a r i H u ta n

Tingkatkan Emisi Gas Rumah Kaca

ANTARA/SAPTONO

SAWIT: Pengunjung sedang memperhatikan sebuah mesin pemanas minyak dari kelapa sawit dalam pameran industri kelapa sawit di Plenary Hall JCC, Jakarta.