Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

32
Asmirandah Rutin Menyantuni 50 Anak Yatim Babak Baru Zakat Indonesia Masih Banyak yang Ogah Bersinergi 8 PSAK Zakat, Terkendala Rumitnya Pengaturan Transaksi 10 Tiga Komite Zakat untuk Penataan Zakat Nasional 18

Transcript of Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

Page 1: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

AsmirandahRutin Menyantuni 50 Anak Yatim

Babak Baru Zakat Indonesia

Masih Banyak yang Ogah Bersinergi 8 PSAK Zakat,

Terkendala Rumitnya Pengaturan Transaksi 10 Tiga Komite Zakat

untuk Penataan Zakat Nasional 18

Page 2: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

Untuk mendapatkan informasi yang aktual tentang dunia zakat kunjungi:www.forumzakat.net dan www.asosiasizakat.blogspot.com

atas terbentuknya pengurus Baru

Forum Zakat Periode 2009-2012

Page 3: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

SuSunan PenguruS Forum ZakatPeriode 2009 - 2012

ketua umum : Ahmad Juwaini (DD)Wakil : Sri Adi Bramasetia (PKPU)

Sekretaris Jenderal : Teten Kustiawan (Baznas)Sekretaris I (Adm Kesekretariatan) : Herman Budianto (DD)Sekretaris II (Informasi & Komunikasi) : M. Anwar Sani (APU)

Hermin Rachmawantie (Baznas)

Bendahara umum : Nasir Tajang (YBM BRI)Bendahara I (Akuntansi & Treasury) : Tarmizi (PPPA DQ)Bendahara II (Dana & Usaha) : Suryaningsih (APU)

Bidang i (keanggotaan & Jaringan) Ketua : Deddy Wahyudi (Lagzis) Anggota : Athar Yusuf (Bazma)

Ade Salamun (DDII) Asep Mulyadi (RZI) Rohandi (DT) Nur Hasan (LAZ NU)

Bidang ii (Pengembangan kapasitas & advokasi) Ketua : Pamungkas Hendra Kusuma (RZI)Anggota : Isnaini (BMH) Iwan Agustiawan Fuad (BMM)

Bidang iii (Standarisasi & Pengawasan)Ketua : M. Suryani Ihsan (Bazda Jabar)Anggota : Nana Mintarti (DD)

Dyah R. Andayani (Baznas) Dodi Muhadi (Lazis GA) Intan Dwi Rahmianti (Portaq)

Bidang iV (kerjasama dan Sinergi) Ketua : Herman Susilo (YDSF)Anggota : Bambang Kusnadi (BMM) Poerwanto Barna (DPU DT)

Armen Rasyid (Bamuis) Sudirman (Bazis DKI) Tomy Hendrajati (PKPU)

Page 4: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5
Page 5: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

3

Pembaca Infoz+ yang berbahagia,

Puji syukur kehadirat Ilahi Rabbi. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepangkuan Rasulullah Muhammad SAW. Mengalir kepada ahli keluarga dan sahabatnya hingga sampai kepada kita semua.

Alhamdulillah, proses pergantian pengurus FOZ telah selesai dilalui. Acara Munas sebagai tonggak dimulainya kepengurusan baru juga berjalan lancar dan sukses. Kini, susunan pengurus juga sudah terbentuk. Banyak hal-hal baru berkembang di acara yang dihadiri 281 peserta ini, namun banyak juga kritikan ditujukan ke FOZ. Kritikan paling menohok adalah peran FOZ yang dinilai belum membumi. Praktisi zakat di Indonesia hampir semuanya mendengar nama FOZ tapi mereka yg di daerah-daerah tak pernah merasakan peran signifikannya.

FOZ dinilai tak pernah turun ke daerah-daerah. Padahal lembaga zakat di daerah, butuh diadvokasi dan diberi pelatihan-pelatihan. Mereka juga sering dihadapkan problem ketika behubungan dengan pemerintah setempat maupun problem di antara OPZ di daerah. Mereka sebetulnya rindu kordinasi, namun wadahnya tidak ada. Mereka ingin sinergi, baik dengan pemerintah maupun dengan LAZ, namun kalau yang maju hanya satu atau dua lembaga, membuat iri lembaga lainnya. Di sinilah pentingnya FOZ pusat segera membentuk dan mengoptimalkan Fozwil di daerah-daerah.

Konsep standarisasi manajemen mutu dan standarisasi laporan keuangan yg disusun FOZ periode sebelumnya, diharapkan bisa diterapkan periode sekarang. Sebab kedua hal itu sangat penting bagi upaya transparansi dan akuntabilitas lembaga zakat. Begitu juga dengan nasib amandemen UU, peserta Munas berharap dapat segera clear. Agar nasib mereka tidak terkatung-katung.

Harapan besar akan perubahan dunia zakat, berada di pundak pengurus baru yang kini terpilih. Mereka dituntut agar bisa membawa perubahan berarti. Acara Munas yang dilaksanakan di hotel mewah tak sekedar ajang curhat lembaga zakat dan eksplorasi gagasan, tapi Munas harus dapat dijadikan sebagai tonggak perubahan perzakatan nasional.

Tema yang diusung di Munas “Startegi Penguatan SInergi dalam Pengelolaan dan Pendayagunaaan Zakat diIndoenesia” adalah mimpi bersama kita. Betapa hebatnya lembaga zakat jika bisa menggapai mimpi tersebut. Begitu juga pembicara yang dihadirkan, mereka adalah tokoh-tokoh kompeten yang punya kapasitas mumpuni untuk andil memperbaiki zakat.

Infoz+ edisi perdana pengurus baru ini mengekplorasi gagasan dan pemikiran yang muncul saat Munas. Sekaligus menampilkan hasil-hasil yang dicapai saat Munas.

Selamat membaca..!

Wassalamu’alaikum wr.wb. redaksi

adalah majalah yang diterbitkan oleh Forum Zakat (FOZ) yang berfungsi sebagai jaringan informasi, komunikasi dan advokasi LAZ dan BAZ seluruh Indonesia dengan membawa misi mengembangkan perzakatan, perinfakan dan perwakafan di Indonesia.

Penanggungjawab: H. Ahmad Juwaini, SE, MM Dewan redaksi: Teten Kustiawan ; Sri Adi Bramasetia ; Herman Budianto ; Hermin Rachmawantie Pemimpin Redaksi: M. Anwar Sani Redaktur Pelaksana: Noor Aflah Distribusi: Mustain ; IvanAlamat Redaksi: Gedung BAZNAS B Lt. 1 Jl. Kebon Sirih Raya 57 jakarta 10340 Ph.: (021) 70902731, 3148444 Fax.: (021) 3148444 Web FOZ: www.forumzakat.net ; www.asosiasizakat.blogspot.com E-mail: [email protected]

Design&printing: TIGADIMENSI, 02199625969 ; 08388155781 E-mail : [email protected]

DAFTAR ISI

Fokus

4FOZ Di Tangan Pengurus Baru; Antara Harapan dan Tantangan

8 Masih Banyak yang Ogah Bersinergi 9 Sinergi, Sebuah Keniscayaan 10 PSAK Zakat, Terkendala Rumitnya

Pengaturan Transaksi

Hasil Munas Arah Kebijakan Forum Zakat periode 2009-2012

Kode Etik Amil Rekomendasi MUNAS V

Seputar FOZ

15Wajah Lama Banyak Menghiasi Pengurus Baru FOZ

18 Tiga Komite Zakat untuk Penataan Zakat Nasional

Sosok

Mukhlas ‘Mucle’; Program Zakat Perlu Diarahkan Ke Pendidikan Moral Islam

Asmirandah; Rutin Menyantuni 50 Anak Yatim

16

18

19 Belajar dari Upaya Standarisasi Pengelolaan LSM 22 Tabiat Mengeluh 23 Program Kerja Forum Zakat 2009-2012 24 Album MUNAS 28 Wawancara 30 Presiden Zakat

Page 6: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

4

Proses pergantian pengurus FOZ telah berlalu. Susunan pengurus

telah terbentuk. Munas FOZ banyak diharapkan tak sekadar seremonial tiga

tahunan yang terus bergulir, lebih dari itu banyak OPZ berharap pengurus FOZ

yang baru dapat merespon dan mampu memberikan solusi terhadap persoalan

zakat yang kian kompleks dan rumit.

Zakat merupakan bagian penting dari syariat Islam yang pertama kali dikenal di dalam

sejarah peradaban yang mampu menjamin dan memroteksi kehidupan bermasyarakat,

terutama terhadap orang-orang yang lemah, tidak memiliki penghasilan dan kehidupan yang layak. Islam mewajibkan zakat selain sebagai rukun agama juga sebagai sistem

redistribusi kekayaan dan menciptakan kesejahteraan. Bahkan zakat diyakini mampu

menjadi jembatan kekuataan persatuan (ijtima’iyyah) umat Islam.

Sebab secara prinsip Islam tidak membenarkan adanya kesenjangan di

tengah masyarakat Oleh karena itu, strategi pen-tasharrufan zakat terkait erat dengan

upaya merealisasikan fungsi zakat sebagai jaminan sosial yang terorganisir dan sampai

ke tangan yang berhak menerimanya (mustahik). Maka amil zakat harus aktif

mencari mustahik yang perlu dibantu penghidupannya.

Antara Harapan dan TantanganFOZ Di Tangan Pengurus Baru;

Sangat keliru apabila masih saja ada pelaku zakat di Indonesia yang masih memiliki cara pandang bahwa zakat adalah urusan satu dua organisasi atau satu instansi tertentu saja. Zakat adalah urusan seluruh umat. Meskipun zakat adalah urusan seluruh kaum muslimin di Indonesia itu tidak berarti bahwa setiap orang dan setiap lembaga bisa sembarangan mengelola zakat semaunya sendiri. Seluruh pelaku zakat terikat pada rangkaian yang terkait satu dengan yang lain. Pengelolaan zakat di Indonesia idealnya harus menjadi satu rangkai gerbong atau satu barisan. Harus dihindari pola interaksi antar organisasi zakat yang terpilah-pilah, terlalu menonjolkan diri masing-masing, bersaing tidak sehat, apalagi sampai terjebak pada konflik.

Maka pengelolaan zakat harus merupakan satu harmoni meski berasal dari latar belakang berbeda tetapi mampu membentuk suatu jaringan yang indah yang dapat dibanggakan oleh umat. Karena kerangka pikir zakat ini harus bermuara pada satu-kesatuan yaitu bahwa zakat harus dikhidmatkan bagi satu kepentingan mustahik. Apapun organisasinya, semua pengelola zakat harus berikhtiar agar pendayaguanaan zakat bermuara bagi perubahan nasib kaum dhuafa. Pilihan apapun yang dilakukan oleh organisasi zakat hendaknya tetap terkawal dalam rangka mencapai optimalisasi pemberdayaan zakat. Dalam jangka panjang, pengelolaan zakat di Indonesia harus terkoordinir pada satu institusi yang kredibel, kuat, dan mewakili semua kepentingan organisasi pengelola zakat.

Dengan begitu dibutuhkan fungsi koordinasi diperlukan untuk menata pola pengumpulan dan pendistribusian, sehingga tidak tumpang tidih dan diharapkan bisa mencapai optimalisasi. Pada sisi lain, di antara sesama organisasi pengelola zakata harus dirintis

berbagai bentuk kerjasama dalam rangka mengoptimalkan zakat. Kerjasama ini bisa didasarkan pada kesamaan program, kesamaan wilayah atau kesamaan mustahiq, sehingga tidak ada lagi pengelola zakat yang selalu asyik dengan mengedepankan eksistensi diri sendiri.

Semangat untuk saling memperkokoh dan memperkuat serta memberi manfaat harus terus terus diperluas kepada semua institusi pengelola zakat. “Muara dari seluruh upaya penyatuan kepentingan zakat di Indonesia adalah pemberdayaan mustahik, baik secara sosial maupun ekonomi,” tandas Nasarudin Umar, Dirjen Bimas Islam Departemen Agama. Bahkan Hidayat Nurwahid, Ketua MPR berharap jika saja cita-cita zakat benar-benar terimplementasi dengan baik akan semakin menegaskan bahwa beragama bisa membawa manfaat dan solusi. Hal semacam ini sangat penting dijelaskan terutama bagi masyarakat di tingkat akar rumput (grass root) agar menjadi perekat. “Jika amanat yang besar ini tidak terkelola dengan baik atau bertentangan dengan harapan masyarakat maka akan menjadi sesuatu yang kontraproduktif, bahkan bisa menjadi fitnah. Ini tugas yang tidak ringan bagi FOZ,” tegasnya.

Jika menilik pengalaman di beberapa negara tetangga seperti Brunei dan Malaysia dalam pengelolaan zakat Indonesia memang bisa dibilang tertinggal dari kedua negara tersebut. Meski demikian pada dasarnya tetap saja pengelolaan zakat mempunyai tujuan yang sama di negera manapun yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan kaum dhuafa. Yang berbeda hanyalah sistem pengelolaannya yang acapkali dipengaruhi oleh kondisi politik negara masing-masing, termasuk kondisi masyarakat dan perundang-undangannya.

fokus

Dialog saat Munas ; Narasumber (dari kiri) Ade Irawan (ICW), Jusuf Wibisana (IAI), M. Anwar Sani (Moderator), Bibit Samad R (KPK), Adiwarman Karim (DSN MUI)

Page 7: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

5

Kompleksitas Masalah

Di Indonesia masih banyak kompleksitas zakat yang belum terselesaikan. Menurut Ketua Dewan Zakat Mabims, Tulus sedikitnya ada empat persoalan laten yang sekarang ini masih terjadi yaitu (1) Undang-undang belum optimal dilaksanakan secara penuh (2) Budaya dan kesadaran masyarakat untuk berzakat perlu ditingkatkan (3) Kualitas dan Profesionalisme amil (4) Masih minimnya kegiatan yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Sehingga FOZ sebagai satu-satunya organisasi yang menegaskan diri sebagai wadah organisasi zakat diharapkan memiliki peran mengurai benang kusut tersebut.

Sementara Mantan Ketua FOZ periode ketiga, Naharus Surur, mencoba untuk mengajukan dua asumsi, UU Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat yang menjadi rujukan dunia perzakatan dalam dua hingga tahun kedepan akan tetap berlaku meski wacana perubahan kian menguat dan tak bisa dibantah. Tetapi fakta objektif yang terjadi tidak memungkinkan perubahan tersebut akan terjadi dalam waktu dekat. Menurtnya, jika undang-undang belum dirubah, maka peran FOZ masih sangat dominan dan strategis. “Artinya FOZ sebagai asosiasi yang harus banyak memiliki insiatif,” harapnya. Adapun asumsi kedua adalah harus terus dimunculkan sikap optimisme bahwa perubahan undang-undang bisa dilakukan. Tapi komunitas zakat harus bisa mengawal agenda tersebut hingga tuntas. Kalau tidak, akan terjadi bola liar di parlemen. Karena pada tahun-tahun lalu sempat terjadi, tiba-tiba saja DPR punya keinginan untuk merubah undang-undang dengan versinya sendiri. Sementara pemerintah memiliki versi lain. Adapun komunitas zakat sendiri ada beberapa versi yang belum disepakati di tingkat internal. “Pada intinya kita mesti kembali menengok blue print perzakatan yang pernah disepakati. Harus ada pembagian peran regulator, pengawas dan operator,” tegasnya.

Sinergi Adalah Keniscayaan

Persoalan lain yang cukup akut adalah belum adanya tradisi sinergi yang mengakar antara lembaga-lembaga zakat yang ada. Potret semacam ini bukan hanya terjadi sekarang ini bahkan terlihat sejak FOZ berdiri. “Padahal tantangan yang kita hadapi ke dpan bukannya kian sederhana, tetapi makin kompleks,” tandas Eri Sudewo, yang juga Mantan Ketua FOZ periode pertama. Banyaknya persoalan dan problematika zakat yang acapkali muncul menandakan bahwa isu-isu zakat sudah tidak dapat dianggap sebagai persoalan komplementer dalam kehidupan berbangsa dan beragama tetapi harus ditempatkan dalam ranah isu mainstream yang harus

segara dicarikan solusinya oleh stakeholders bukan sebaliknya saling mencari kelemahan.

Sehubungan dengan banyaknya organisasi zakat di Indonesia sinergi makin perlu dilakukan demi meraih kepentingan bersama atau kepentingan umat. Meski demikian hal tersebut memerlukan tahapan-tahapan, tidak mungkin sekaligus. “Sinergi bisa dimulai dalam hal informasi, karena ini yang paling mudah,” saran Ahmad Juwaini. Setelah itu barulah bisa dilanjutkan dalam hal data muzakki, yang mau tidak mau akan menyangkut ‘rahasia dapur’ masing-masing lembaga zakat. Berikutnya sinergi program, dengan saling mengutamakan atau memanfaatkan keunggulan-keunggulan di antara lembaga zakat.

Sangat disayangkan banyaknya organisasi pengelola zakat (OPZ) ini belum disertai dengan efektifitas dalam penghimpunan dan penyaluran zakat. Dari aspek penghimpunan, efektifitas dan efisensi belum tercapai karena banyak lembaga yang belum mampu melakukan penetrasi di masyarakat. Hal ini mengakibatkan penghimpunan zakat masih sangat rendah dibandingkan potensi zakat di wilayah tersebut.

Dalam aspek manajemen, salah satu hal yang membuat sebuah lembaga (perusahaan/institusi) mampu melakukan penetrasi pasar (masyarakat) adalah ketika lembaga tersebut mempunyai keunggulan tertentu. Keunggulan itulah yang membuat lembaga menarik minat sehingga mendapatkan respon dari masyarakat. Keunggulan atau dalam istilah lain komptensi inti (core competence)

adalah gabungan keahlian dan kemampuan sumberdaya OPZ yang bermanfaat bermanfaat bagi stakeholder lembaga pengelola zakat, khususnya muzaki dan mustahik yang meliputi : 1) Pelayanan prima (service excellent) dengan komitmen memberikan pelayanan yang tepat, cepat, benar (zero defect) dengan penanganan keluhan baik (zero complain), 2) Program pendayagunaan ZIS yang kreatif, inovatif namun sederhana dan memungkinkan mudah dapat diakses oleh seluruh mustahik, sesuai dengan kebutuhan, terukur serta berkelanjutan, 3) Administrasi dan laporan keuangan yang akurat, tepat waktu, transparan dan dapat diakses oleh para muzaki dan mustahik dan stakeholder lainnya. 4) Produk dan program layanan ZIS yang kreatif dan inovatif yang membuat muzaki semakin meningkat kesadaran dan kemauannya untuk menunaikan ZIS.

Pengalaman yang terjadi dalam dunia OPZ sangat banyak memiliki kemiripan dengan dunia lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dari starting point tersebut Lili Hasanudin, Direktur Eksekutif Yappika menawarkan dua pola sinergi yang disebut sinergi horizontal dan vertikal. Sinergi horizontal mengandaikan adanya kerjasama dalam hal melakukan pemberdayaan masyarakat di lapangan atau bisa disebut sebagai sinergi horizontal. Sedang sinergi vertikal dapat dilakukan melalui mempertukarkan berbagai keahlian yang berbeda atau berbagi peran antar OPZ maupun antara OPZ dengan lembaga non-OPZ. “Yang tak kalah penting juga adalah melakukan sinergi dengan pemerintah,” terangnya.

Meski sudah banyak model konsep sinergi (jama’ah) yang ditawarkan, dalam tataran praktek di lapangan sangat sulit untuk menjalankan kata indah tersebut benar-

fokus

Meski sudah banyak model konsep sinergi (jama’ah) yang ditawarkan, dalam tataran praktek di lapangan sangat sulit untuk menjalankan kata indah

tersebut benar-benar dijalankan.

Ketua Umum dan Sekjend FOZ sedang menyampaikan LPJ

Keynote Speech oleh Dirjen Bimas Islam, Nasaruddin Umar

Pembukaan Munas oleh Ketua MPR RI DR. H.M. Hidayat Nur Wahid, M.A

Page 8: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

benar dijalankan. Meski dasar pemikiran dan manfaat yang akan diperoleh sudah jelas sangat terang benderang. Hal tersebut diakui Bambang Santoso dari LAZ Baitul Ma’mur Bali dan Wawan Abdul Wahid dari Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga. “Kami meragukan sinergi itu benar-benar bisa terjadi,” tukas keduanya. Kenyataan seperti ini tentu tak bisa ditampik begitu saja dan menjadi tugas yang harus diselesaikan oleh FOZ karena Forum Zakat dianggap sebagai katalisator bagi OPZ.

Standar Mutu OPZ

Organisasi pengelola zakat di Indonesia acapkali dihadapkan pada sorotan masyarakat terutama terkait dengan tolok ukur yang digunakan dalam mencapai keberhasilan maupun kegagalan dalam menjalankan fungsinya. Umumnya pertanyaan-pertanyaan berikutnya akan merembet pada persoalan yang bersifat lebih mikro dan teknis. Misalnya terkait manajerial, pengelolaan program-programnya dan upaya untuk membangun transparansi dan akuntabilitas publik.

Suryani Ihsan menanandaskan, tantangan organisasi pengelola zakat adalah meningkatkan pelayanan bagi masyarakat, meningkatkan fungsi dan peran pranata keagamaan sehingga punya kinerja prima. Agar penjaminan kualitas pada organisasi pengelola zakat dapat dilaksanakan terdapat beberapa prasyarat yang harus dipenuhi antara lain adanya komitmen, perubahan paradigma, sikap mental dan pengorganisasian. “Standarisasi manajemen kinerja OPZ sebetulnya sudah menjadi mandatory pada Munas FOZ IV tahun 2006 lalu,” katanya mengingatkan.

Bagian yang tak terpisahkan terkait dengan manajemen adalah hal yang berhubungan dengan keuangan dan akuntansi. Dibanding dengan dunia LSM pada umumnya dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan organisasi pengelola zakat memiliki karakter yang unik.

OPZ selalu membicarakan mengentaskan kemiskinan, pemberdayaan dalam bentuk program, tetapi juga memiliki kesamaan dengan lembaga keuangan syari’ah. Aspek fikih dan manajerial saling berkait kelindan. Hal ini bisa ditemukan tatkala standar akuntansi keuangan nomor 45 tentang pelaporan keuangan organisasi nirlaba tidak terlalu banyak bicara ketika mencoba men-take over keuangan dalam zakat. Hingga akhirnya PSAK ini dalam beberapa hal tidak cocok dengan lembaga amil zakat. Misalnya dalam dana zakat, kita sepakat kalau dana zakat diterima harus langsung disalurkan tetapi di sini diatur, ada dana terikat temporer dan terikat permanen. Hal ini tidak cocok berarti harus ada modifikasi. Maka lahirlah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 109 yang masih berbentuk Eksposur Draft PSAK Nomor 109. PSAK ini didasarkan pada fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI). Apakah lantas menjawab semua persoalan? Ternyata masih jauh dari harapan karena belakangan masih butuh penyempurnaan-penyempurnaan di sana-sini.

Sebagai perbandingan, apa yang dicita-citakan Organisasi Pengelola Zakat untuk memiliki sebuah standar tersendiri, baik standar manajemen maupun standar laporan keuangan, pernah juga diuji dicoba oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Namun ternyata belum bisa berjalan mulus. Salah satu faktor yang menjadi penyebab kegagalan dari beragam upaya untuk membuat standar bagi pengelolaan LSM. menurut Direktur Pirac, Hamid Abidin adalah adanya asumsi yang salah terhadap LSM. LSM bukanlah Pemerintah dan Swasta yang memiliki kapasitas lebih untuk melengkapi dirinya dengan seperangkat struktur canggih, dengan sumber daya professional yang sesuai dengan kapasitasnya. “Jadi, tidak layak rasanya jika LSM dituntut memiliki standar sesempurna pemerintah dan swasta, karena

pada dasarnya LSM, adalah organisasi sosial yang didirikan oleh mereka yang memiliki keprihatinan,” ujar Hamid. Tak heran jika self assessment yang dilakukan Yayasan TIFA terhadap 204 organisasi di 9 propinsi di Indonesia memperlihatkan bahwa umumnya LSM memiliki seperangkat misi dan visi yang kuat, bahkan nyaris ideal, namun masih lemah dalam aspek-aspek manajemen organisasi lainnya. Kelemahan ini tentunya bukan sesuatu yang disengaja. Karena itu penyusunan standar pengelolaan LSM harus memperhatikan kemampuan dan keragaman LSM. Standar dibuat untuk membantu mereka mengoptimalkan kinerjanya, bukan untuk “menghakimi” atau menyeragamkan mereka.

Hal itulah yang juga perlu diperhatikan dalam menyusun standar bagi lembaga pengelola ZIS. Beragam kritik dan kendala yang dihadapi LSM bisa jadi pelajaran dan bisa dihindari atau diatisipasi. Penyusunan dan penerapan standar tertentu hendaklah memperhatikan ciri dan karakter ZIS yang beragam. Misalnya, tidak memaksakan adanya “audit oleh akuntan publik” bagi lembaga yang memang belum memerlukannya. Standar yang disusun juga sebisa mungkin tidak sampai mengkotak-kotakkan lembaga-lembaga ZIS menjadi “insider” dan “outsider”. Selain itu, penetapan standar juga tidak lantas membuat lembagai ZIS “sibuk berdandan” dan melupakan tugas utamanya untuk memberdayakan ummat. “Mengingat peran Lembaga ZIS yang signifikan dalam mendorong perubahan, maka sudah saatnya kita semua bekerja bersama, memampukan lembaga ZIS sehingga bisa bekerja lebih optimal, efisien dan yang terpenting efektif sesuai dengan yang dicita-citakan,” tandas Hamid Abidin mengingatkan.

fokus

6

Dialog 1 tema “Meneguhkan

Peran Strategis FOZ dalam Percaturan

Zakat di Indonesia dan Asia Tenggara”

Oleh dr.Naharus Surur, M Kes

(BAZNAS), Drs. H. Tulus (Ketua Dewan

Zakat MABIMS), Eri Sudewo (Dewan Pleno FOZ), drh.

Hamy Wahjunianto, MM (FOZ)

Page 9: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

7

Transparansi dan akuntabilitas

Kewajiban lain yang melekat pada OPZ adalah keharusan adanya transparansi dan akuntabilitas sebagai konsekwensi dari permufakatan terhadap semangat good governance. Atau dengan bahasa lain pengelola zakat harus memberi ruang sebanyak mungkin bagi publik untuk melakukukan pengawasan. Transparansi bisa mulai dari proses perencanaan, pengelolaan uang sampai distribusi kepada orang yang berhak menerima zakat. Sedang soal akuntabilitas berarti bicara dalam konteks pertanggungjawaban terhadap public yang mengharuskan adanya pelaopran yang dapat diakses secara mudah. Yang paling umum adalah laporan melalui internet, buklet, majalah dan sebagainya.

Ade Irawan dari Indonesian Cooruption Watch (ICW) mewanti-wanti, keberadaan dana zakat seperti dua mata pisau yang memiliki dua fungsi berlawan. Selain mampu menjadi salah satu instrument untuk melakukan redistribusi kesejahteraan, juga bisa menjadi instrument untuk melawan kemiskinan yang menjadi musuh kita bersama. Secara ekonomi, zakat bisa menjadi alat stimulan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperkuat solidaritas sosial. Zakat dapat pula mempersempit jurang antara kelompok kaya dengan kelompok miskin. Tetapi perlu diingat juga zakat juga bisa dijadikan sebagai wahana menjalankan money laundry (cuci uang). Hal tersebut harus diwaspadai. Lebih-lebih umumnya masyarakat enggan untuk mengawasi zakat karena uang zakat dianggap kecil. Berbeda dengan proyek-proyek pemerintah yang bernilai triliunan rupiah. Apalagi publik sudah percaya kepada lembaga pengelola zakat. Tidak mungkin para pengelola zakat menyimpangkan uang zakat. “Seharusnya akuntabilitas dan transparansi ini diatur oleh perundangan,” tambah M Jusuf Wibisana.

fokus

Sedang dari sudut lain Adiwarman Karim memaparkan, ada dua hal yang menyebabkan transparansi dan akuntabilitas menjadi penting bagi lembaga amil zakat. (1) Kalau dulu orang membayar zakat melalui masjid, sehingga jamaah masjid yang membayar zakat itu bisa langsung berinteraksi dengan pengurus masjid dan bisa melihat secara langsung penggunaan duit itu. Sehingga transparansi dan akuntabilitas melekat antara keduanya. Pada saat ini, ketika lembaga amil zakat dengan wilayah kerja nasional, maka kedekatan, transparansi dan akuntabilitas antara jamaah masjid dengan pengurusnya jadi berkurang, atau bahkan hilang. Karena sifatnya tidak lagi dalam satu lokal yang sama antara muzakki dengan amilnya. (2) Zakat berada di luar sistem keuangan negara. Tapi sekarang, zakat bersinggungan dengan sistem keuangan negara dengan diakuinya pembayaran zakat oleh undang-undang sebagai pendapatan tidak kena pajak. Maka, persinggungan pajak ini dengan sistem keuangan negara yang menyebabkan secara undang-undang organisasi pengelola zakat menjadi harus transparansi dan akuntabilitas.

Tiga agenda mendesak di atas yaitu terkait sinergi Organisasi Pengumpul Zakat (OPZ), standar mutu dan transparansi serta akuntabilitas adalah agenda yang serius. Bukan saja bagi OPZ tetapi menjadi tanggungjawab FOZ yang diharapkan menjadi katalisator LAZ yang sudah ada. Masyarakat dan OPZ sangat berharap maksimalisasi dari peranan FOZ. Lebih-lebih setelah terjadi suksesi kepemimpinan yang baru. Pengurus baru pada ghalibnya mencerminkan semangat, gairah, dan prestasi baru.

Seperti ditegaskan oleh Ketua MPR RI, keberadaan lembaga zakat adalah merupakan solusi. Ketika ada kekhawatiran tentang keberadaan krisis ekonomi global, justru dengan adanya lembaga zakat kita dapat menghadirkan solusi. Ketika ada kekhawatiran

tentang semakin keringnya modal sosial kita, dengan zakat, kita bisa menjadikan teman bagi golongan kaum dhuafa.

Dengan cara itu, kebangkitan nasional yang dimulai dari kota Surabaya, tempat dimana acara Munas FOZ dilangsungkan dan dihadiri ratusan pegiat zakat, kebangkitan zakat bisa dimulai. Dengan hadirnya salah satu tokoh besar yakni HOS Cokroaminoto, maka dari kota ini pula sangat mungkin dan sangat diharapkan melalui Forum Zakat dapat menghadirkan semangat kebangkitan bangsa ini.

Dengan pendekatan ini, maka sudah sepatutnya para pegiat zakat yang tergabung di Forum Zakat, kemudian menjadikan forum ini menjadi sesuatu yang benar-benar dapat menjawab tantangan zaman. Benar-benar menghadirkan suatu yang bisa dibanggakan oleh zaman pada periode berikutnya.

Sebagaimana HOS Cokroaminoto namanya masih sangat harum sampai saat ini karena peran-peran beliau yang amat menyejarah. Forum Zakat, di masa yang akan datang kita berharap menjadi sesuatu yang dapat diidolakan oleh bangsa Indonesia satu abad yang akan datang karena peran-perannya yang sangat signifikan dan dapat dilakukan secara bersama-sama dalam kontek Indonesia.

Forum Zakat, seperi yang dilakukan HOS Cokroaminoto, bila betul-betul bisa merealisasikan tantangan-tantangan maka ia akan bisa memberikan kontribusinya yang besar, bukan hanya bagi ummat, tapi juga bagi bangsa. [mst/naf]

Usai menyampaikan LPJ, pengurus FOZ 2006-2009 berfoto bersama di hadapan peserta

Page 10: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

8

Masih Banyak yang Ogah Bersinergi

Sampai saat ini pengelola zakat di Indonesia belum bisa menjadi satu barisan dan berjalan secara kompak. Untuk itu, kita harus menyamakan ide dan kemauan menyatukan kesamaan kebutuhan. Misalnya, lembaga yang sudah sukses, biasanya sudah enggan mau turun ke bawah. Sementara yang telah mandiri menolak untuk bekerja sama.

Jadi, sebetulnya banyak sekali problem yang kita miliki. Di antara problem-roblem tersebut menurut Eri Sudewo adalah, pertama, soal sinergi yang belum mentradisi dalam masyarakat zakat. Kedua, jika bicara zakat maka sama saja dengan basic income. Dalam dunia bisnis, kata Eri yang bertindak sebagai narasumber pada acara Munas, proses basic income sudah melalui jangka yang cukup panjang. Di mana harus profesional, menerobos berbagai tantangan, harus jatuh bangun, baru muncul yang namanya sistem franchise atau MLM (Multi Level Marketing). “Sehingga penggagas pertama atau orang-orang yang sudah berada di puncak, tinggal menerima uang,” ujar Eri menyontohkan.

Ini berbeda dengan zakat. Zakat itu labil. Tidak bisa kita hanya ongkang-ongkang kaki, terus zakat akan datang dengan sendirinya. Artinya zakat harus dijemput atau ‘ditagih’ kepada orang yang wajib mengeluarkannya. Lembaga zakat yang sekarang ada belum semuanya memiliki kemauan ke arah tersebut. Sehingga apa yang terjadi, lembaga zakat, infaq, wakaf di Indonesia kebanyakan tidak professional karena terkesan pasif menunggu bola. Maka wajar tatkala masih banyak muzakki atau waqif masih banyak bertanya, “Kemana saya akan mempercayakan harta kalau petugas zakatnya tidak ada atau tidak datang atau program pengelola zakatnya tidak jelas juntrungannya?. Tentu hal-hal semacam ini menjadi problem yang serius bagi kita”, tegas Eri

Fenomena semacam ini mengingatkan pada sebuah tulisan yang memparodikan keadaan tersebut yang membedakan antara persatuan orang kaya dengan orang miskin. “Kalau persatuan (organisasi) orang miskin begitu perutnya kenyang, setelah itu langsung bubar. Tapi jika orang kaya berkumpul mereka akan lebih awet, karena perutnya sudah kenyang maka keinginanya berubah, ingin menjelajah makanan dimana-mana,”. Dengan kata lain, kebutuhan orang kaya bukan hanya sekadar mencari target memenuhi isi perut untuk satu dua hari, tapi mereka memiliki visi ke depan yang lebih jauh.

Ini bisa menjadi ilustrasi tantangan ke depan bagi para pengelola zakat.

Adanya keengganan untuk melakukan sinergi antara lembaga zakat secara bersama-sama memang telah terjadi bukan dalam periode ini saja, tetapi sejak Forum Zakat berdiri dengan berbagai macam alasan. Makanya spirit dan semangat agar tercipta iklim kerjasama yang lebih kondusif perlu terus dipupuk. Karena persoalan-persoalan yang akan muncul di masa mendatang bukannya sederhana akan tetapi lebih kompleks. Baik yang bersifat internal maupun eksternal. Betul bahwa tugas mengurangi jumlah orang miskin itu adalah kewajiban negara, tapi kita juga secara moral dituntut ikut turut serta dalam persoalan ini dengan kapasitas masing-masing. Tinggal bagaimana dan apa pola kita gunakan. Hal semacam ini perlu diatur oleh undang-undang.

Banyaknya persoalan dan problematika zakat yang acapkali muncul menandakan bahwa isu-isu zakat sudah tidak dapat dianggap sebagai persoalan komplementer dalam kehidupan berbangsa dan beragama tetapi harus ditempatkan dalam ranah isu mainstream yang harus segara dicarikan solusinya oleh stakeholders bukan sebaliknya saling mencari kelemahan. Apa yang tengah terjadi dalam pengelolaan dunia zakat identik dengan pengeolaan perguruan tinggi. Ada peran dari pihak pemerintah dan swasta. Dalam ranah itu tidak bisa menafikan peran dari BAN (Badan Akreditasi Nasional) yang bertugas mengeluarkan penilaian bagi sebuah perguruan tinggi. Oleh karenanya jika hal tersebut menjadi acuan maka kehadiran lembaga yang bertugas sebagai operator, regulator dan pengawas juga harus segera lahir. Semua itu bertumpu pada tujuan agar lembaga zakat harus terus diberdayakan atau dikreatifkan supaya para donator semakin giat mendermakan hartanya. Bukan sebaliknya. [mst]

Dalam masyarakat zakat

terutama sejak berdirinya FOZ

kerjasama antar lembaga belum

menjadi kesadaran apalagi tradisi.

Padahal persoalan yang akan

menghadang bakal lebih kompleks

yang menuntut adanya kolektivitas.

Eri Sudewo

Jika kita sedikit mau berusaha untuk membanding-bandingkan perkembangan

pengelolaan zakat di Indonesia dengan yang terjadi di Malaysia maka kita akan

menemui banyak perbedaan yang cukup mencolok. Zakat di Malaysia relatif lebih bisa berkembang pesat. Kemajuan yang

diperolah di negeri Jiran tersebut tak dapat dilepaskan dari keseriusan mereka

dalam melakukan penataan zakat. Mereka memiliki komitmen, para pemimpin yang visioner serta pandai menjalin hubungan

dengan berbagai pihak. Termasuk pemerintah, sehingga upaya program yang

mereka tawarkan selalu mendapat respon dan menuai keberhasilan.

Sementara apa yang tengah terjadi di negara ini? Yang masih kita rasakan sampai

saat ini adalah belum mampunya kita dalam mengelola zakat dengan lebih baik. Padahal

kita memiliki potensi besar dari Sabang sampai Merauke. Salah satu alasannya adalah pemerintah ingin menerapkan

sistem sentralisasi. Akhirnya sekarang kita terjebak dalam situasi kebingungan sendiri.

Maka disinilah pentingnya semua pihak duduk bersama bagaimana harus membuat

format baru untuk mengelola zakat ke depan. Format itu tentunya tidak terlepas dari aspek koordinatif,

konsultatif dan informatif.

fokus

Mantan Ketua FOZ

Page 11: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

9

Lili Hasanudin

Sinergi,Sebuah Keniscayaan

Sinergi antar lembaga acapkali memang indah untuk diperdengarkan.

Namun sangat sulit untuk dimplementasikan. Butuh kesadaran

bersama untuk mewujudkan hal semacam ini. Sebab dengan sinergi

kelembagaan sangat banyak manfaat yang didapat terlebih tatkala sudah

menyentuh isu bersama (common issue).

Menurut Direktur Eksekutif Yappika, Lili Hasanuddin, secara praktis, ada dua penyebab kemiskinan yaitu internal dan eksternal. Secara internal kemiskinan dapat terjadi karena ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, ketidakmampuan menampilkan peran sosial dan mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Faktor ini bisa disebut sebagai kemiskinan kultural. Sementara itu, faktor eksternal atau struktural berasal dari kebijakan publik yang belum berpihak kepada masyarakat miskin, tidak tersedianya pelayanan sosial dasar, tidak dilindunginya aset-aset masyarakat (misalnya kepemilikan tanah), terbatasnya lapangan pekerjaan, kesenjangan dan ketidakadilan sosial, serta strategi pembangunan yang berorientasi kapitalistik. Dengan tidak menutup mata terhadap faktor-faktor internal, situasi kemiskinan di Indonesia seringkali disebabkan atau diperparah oleh faktor eksternal.

Maka ketika OPZ hendak menceburkan diri dalam mengentaskan kemiskinan, bukan sekedar memberikan beasiswa sekolah dan si anak agar bisa berangkat ke sekolah. Tetapi bagaimana anak itu bisa mendapatkan kesempatan yang baik sehingga dia mampu mendapatkan sesuatu yang berkualitas dari sekolahnya. Jadi bukan berhenti pada jumlah berapa orang yang disekolahkan, tetapi manfaat yang lebih jauh dari itu.

Dengan kata lain bahwa upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan OPZ harus diikuti dengan memberikan perhatian terhadap kebijakan-kebijakan yang melingkupi kehidupan masyarakat miskin. Oleh karena itu, selain terus memperkuat program pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan selama ini, sudah sepantasnya jika OPZ juga melakukan kerja-kerja advokasi kebijakan yang memiliki keterkaitan dengan isu pengentasan kemiskinan. Kerja-kerja advokasi kebijakan jangan dilihat hanya sebagai kerja-kerja politik, tetapi juga harus dilihat dalam kerangka bagaimana memberikan jaminan bagi pencapaian tujuan OPZ itu sendiri.

Maka mau tak mau harus dilakukan sinergi kerja diantara sesama OPZ maupun antara OPZ dengan lembaga non-OPZ. Sinergi yang baik diharapkan dapat memberikan manfaat dalam hal; (a) meningkatnya efisiensi pemanfaatan sumberdaya; (b) memperluas jangkauan

penerima manfaat; (c) meningkatkan efektifitas kerja melalui pertukaran keahlian yang dimiliki; dan (d) menjamin keberlanjutan manfaat (khususnya ketika isu-isu kebijakan mendapat perhatian yang serius).

Setidaknya ada dua pola yang dapat disinergikan OPZ dalam isu pengentasan kemiskinan, yakni: pertama, sinergi dalam hal melakukan pemberdayaan masyarakat di lapangan atau bisa disebut sebagai sinergi horizontal. Sinergi dapat dilakukan dengan saling berbagi pengalaman dan keahlian dalam pelaksanaan pemberdayaan. Pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan pendekatan, strategi dan metode-metode kerja merupakan sesuatu yang dapat dipertukarkan antar sesama OPZ dalam melakukan pemberdayaan masyarakat.

Kedua, sinergi dapat pula dilakukan dengan mempertukarkan berbagai keahlian yang berbeda atau berbagi peran antar OPZ maupun antara OPZ dengan lembaga non-OPZ. Sinergi ini bisa daianggap sebagai sinergi vertikal. Untuk sesama OPZ, misalnya, dapat dirumuskan secara bersama OPZ mana yang secara khusus mengembangkan keahlian tertentu, dimana keahlian tersebut kemudian dapat dipertukarkan dengan keahlian lain yang dimiliki oleh OPZ yang lain. Misal, ada OPZ yang mengembangkan pusat pelatihan penggalangan zakat, yang dapat dimanfaatkan oleh OPZ yang lain. Dengan demikian, tidak perlu setiap OPZ membuat training center dan modul-modul yang diperlukan, tetapi cukup satu OPZ yang membuatnya dan sarana ini dapat dimanfaatkan oleh OPZ yang lain.

Sinergi di atas bisa terjadi jika telah memenuhi pra syarat yaitu adanyanya keinginan mencapai tujuan bersama, kemauan untuk berbagi sumber daya yang meliputi pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan finasial. Selain itu kepercayaan (trust) menjadi kata kunci yang tak dapat ditawar. Sebab sinergi meniscayakan pembagian peran yang beda-beda. Sebaliknya sinergi jangan dipahami hanya sebagai upaya berbagi finansial. Sumber daya diartikan sebagai pengetahuan, keahlian, relasi atau segala kapasitas yang ada di lembaga yang bisa dimanfaatkan atau dipertukarkan. Sinergi akan terhenti ketika tidak ada yang merawat, mengawal dan mengorganisir.

Organisasi Pengelola zakat (OPZ) selama ini memiliki cita-cita luhur yang salah satu

dari muara tujuannya adalah berpartisipasi mengentaskan kemiskinan. Tujuan tersebut selaras dengan semangat konstitusi negara. Terlebih pemerintah juga telah menyatakan komitmennya untuk menerapkan konvensi internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial

dan Budaya serta kesepakatan internasional dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs). Namun perlu diurai terlebih

dahulu tentang definisi kemiskinan sehingga akan memudahkan pencapaian

program yang akan dilakukan oleh OPZ.

Konsep Hak dalam konteks penanggulangan kemiskinan memandang

kemiskinan tidak semata sebagai masalah tidak terpenuhinya kebutuhan

masyarakat miskin, apalagi semata-semata berbasiskan ukuran ekonomi, tetapi

lebih sebagai gagalnya pemenuhan hak-hak dasar mereka. Hak adalah sesuatu

yang melekat pada seseorang. Menurut Bappenas, Kantor Kementerian Koordinator

Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Komite Penanggulangan Kemiskinan pada bulan

Oktober 2005 telah mengeluarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan

(SNPK) tahun 2005 menegaskan bahwa kemiskinan adalah suatu peristiwa tidak

terpenuhinya hak akibat penolakan atau pelanggaran.

fokus

Direktur Eksekutif Yappika

Page 12: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

10

Lembaga zakat adalah lembaga yang berada dalam domain publik sehingga

dituntut memiliki transparansi dan akuntabiltas. Meski sudah ada PSAK

Nomor 109 tetapi masih banyak celah yang mesti segera diselesaikan dengan

fatwa yang komprehensif

M. Jusuf Wibisana;

PSAK Zakat,Terkendala

Rumitnya Pengaturan

Transaksi

Jika kita meyakini bahwa zakat harus bisa mengentaskan seseorang dari kemiskinan, maka tentu cara berfikirnya tidak sekadar

memberi lantas orang tersebut ditinggal begitu saja. Mesti ada proses pembinaan yang

berkelanjutan. Ini menjadi hal yang sangat penting. Di lain sisi, banyak orang yang hingga

kini belum mau mengeluarkan zakat dengan berbagai macam alasan antara lain ; pertama, upaya marketing dari amil zakat masih sangat

kurang maksimal. Kedua, banyak muzakki yang masih mempertanyakan tentang integritas

dan akuntabilitas dari lembaga pengelola zakat. Hal ini bisa saja terjadi akibat kurangnya

komunikasi antara pengelola zakat dengan para muzakki. Menurut penjelasan Ketua DSAK IAI

(Dewan Standarisasi Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia), M. Jusuf Wibisana, pada titik inilah ilmu akuntansi sangat dibutuhkan

sehingga memberikan pengaturan tentang bagaimana pengelolaan lembaga zakat

harus membuat laporan secara baik supaya akuntabilitasnya bisa dibaca dengan baik dan

seluruh kegiatannya transparan.

Dalam pembukaan surat At-Taubah ayat 103 menyatakan “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka….,”. Potongan Ayat ini memberikan spirit kepada amil agar mampu mengelola zakat selain amanah juga harus profesional dan meyakinkan untuk menjemput bola, mengidentifikasi muzakki. Selain itu lembaga ini seharusnya memiliki empowered by governance, semacam kekuatan yang mampu ‘memaksa’ (legal standing) yang muncul dari sebuah peraturan yang mengikat semacam perundangan, tidak hanya mengharapkan belas kasihan dari para muzakki.

Pada titik inilah peran amil harus dianggap sebagai sebuah pilihan profesional yang harus disertai niat lillahi ta’ala. Sehingga seorang amil mesti yakin bahwa langkah diambil sebagai jalan hidup. Alih-alih semua kegiatan yang dilakukan dapat menghidupi keluarga juga bisa melaksanakan syari’ah, membantu para muzakki dan fakir miskin. “Jadi amil tidak bisa menjadi kerja sampingan. Maka amil berhak mendapatkan zakat,” tegas Jusuf. Sebaliknya kalau amil dianggap hanya sebagai kerja sampingan, maka pengelolaan zakat tidak akan pernah bisa berkembang. Di sini negara harus menciptakan ruang gerak dan aturan demi mendorong terciptanya profesionalisme organisasi amil zakat, infaq dan shadaqah.

Dari sisi tugas dan tanggung jawab yang diemban amil memiliki dua pemahaman. Pertama, amil hanya sebagai agen yang fungsinya utamanya hanya menerima dan menyalurkan zakat sesuai yang diminta oleh muzakki, sistem dan peraturan yang ada. Kedua, amil sebagai pengelola zakat. Kalau pengelola, maka dia harus aktif, menjemput bola dan mengembangkannya. Jadi amil itu menghimpun, mengelola dan menginvestasikannya untuk para mustahik. “Definisi pertama relatif pasif, sedang yang kedua menuntut sikap pro aktif,” ia menambahkan.

Pentingnya Akuntabilitas dan Transparansi

Dalam penutup surat At-Taubah dinyatakan bahwa, “…Sesungguhnya Allah Maha Mendengar Dan Maha Mengetahui,” pernyataan ayat tersebut hendak menegaskan bahwa dalam mengelola zakat harus memiliki akuntabilitas dan transparansi. Artinya, semua proses di atas harus benar-benar dilakukan se cara bertanggung jawab. Allah akan mendengar keluhan para mustahik yang seharusnya menerima bagian, tapi tidak menerimanya. Allah juga mendengar keluhan para muzakki yang telah menitipkan hartanya untuk disalurkan kepada para mustahik tapi belum disalurkan. Karena itu, menjadi penting bagi lembaga pengelola zakat untuk bisa menyusun laporan keuangan yang baik dan transparan.

Terkait dengan usaha mengejewantahkan transparansi dan model pelaporan akuntabilitas amil belakangan ini telah disusun sistem pelaporan standar akuntansi keuangan yang didasarkan pada fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jadi standar akuntansi keuangan syari’ah itu murni disusun berdasarkan fatwa. Dari sanalah akhirnya konsep tersebut diterjemahkan menjadi standar pelaporan yang disebut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang kini masih dalam bentuk Eksposur Draft PSAK Nomor 109.

Meski demikian munculnya fatwa dari DSN tersebut masih saja menyisakan kerumitan. “Faktor inilah yang menurut para akuntan belum bisa memfinalkan serta merampungkan standar akuntansi untuk zakat,” ujar Jusuf yang juga terlibat

aktif dalam penyusunan PSAK Zakat. Misalnya saja tentang sumber biaya penghimpunan zakat. Kalau misalnya lembaga pengelola zakat harus melakukan perjalanan untuk menjemput zakat, memasang iklan di media massa baik cetak, online, maupun elektronik, atau dana marketing guna transportasi itu diambilkan dari mana? Apakah diambilkan dari hak amil ataukah diambilkan dari dana zakat sebelum dibagi-bagi? Lantas zakat muqoyyadah di mana muzakki telah menentukan mustahiknya, di mana peran amil? Karena di sini amil tidak perlu aktif maupun proaktif. Dengan begitu bolehkah amil mengambil sebagian dari dana itu untuk dana operasional? Hal semacam ini tentu menjadi masalah. Karena itu, zakat muqoyyadah seperti yang paling aman menggunakan sistem ujroh (ongkos/imbalan tertentu). “Peristiwa ini membutuhkan adanya fatwa,” tegas Jusuf.

Selain kendala di atas muncul pula rintangan-rintangan lain yang cukup rumit semisal apakah penyaluran zakat itu langsung berupa maal, aset atau uang yang bisa diambil lantas diberikan kepada mustahik? Bisakah dana zakat yang diterima amil digunakan membangun poliklinik? Lantas bagaimana dengan gaji perawat dan dokter di poliklinik apakah bisa diambil dari dana zakat? Masalah semacam ini juga belum jelas fatwanya. Pasalnya, jika saja hal semacam ini diizinkan, maka pengelola zakat bisa saja membeli mobil operasional yang dananya diambilkan dari dana zakat untuk tujuan menjemput dan menyalurkan zakat. Kemudian apabila lembaga pengelola zakat itu memperoleh dana atau aset non halal akan digunakan untuk apa? Bentuk hukum pengelola zakat itu apa? apakah bisa individu yang menerima izin, ataukah yayasan ataukah dapat berupa perseroan terbatas (PT)? “Semua ini perlu penjelasan rigid karena mempunyai dampak terhadap laporan transparansi,” imbuhnya.

Hal-hal yang menyangkut sektor teknis di atas sejatinya hendak menegaskan bahwa tatkala sebuah lembaga mengatasnamakan dan menamakan diri sebagai OPZ maka lembaga tersebut secara otomatis akan dianggap sebagai badan publik, karena mengelola dana dari public maka harus dikembalikan pada domain publik. Sebagai badan publik ada banyak kewajiban yang mesti dilakukan berkaitan tansparansi dan akuntabilitas yaitu informasi mengenai laporan keuangan dan kegiatan harus disediakan secara berkala yang bisa diakses. Sehingga mesti ada konsekuensi biaya apa saja yang diambil dari zakat atau sumber yang lain. Dengan begitu semua informasi mesti disediakan serta merta setiap saat. Misalnya perjanjian dengan lembaga lain, rencana tahunan, rencana program. Jadi transparansi dan akuntabilitas menjadi suatu keharusan yang tak dapat ditawar. (mst)

fokus

Ketua DSAK IAI

Allah akan mendengar keluhan para mustahik yang seharusnya

menerima bagian, tapi tidak menerimanya. Allah juga

mendengar keluhan para muzakki yang telah menitipkan hartanya

untuk disalurkan kepada para mustahik tapi belum disalurkan

Page 13: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

11

Menjadi asosiasi Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) yang amanah dan professional guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

• BerpartisipasiaktifagarterwujudrevisiUU Pengelola zakat yang lebih baik.

• Tersusundanterimplementasikannyablue print dan arsitektur zakat Indonesia

• Tersusundanterimplementasikannyastandard manajemen mutu Organisasi Pengelola Zakat

• TersusundanterimplementasikanSistem Akuntansi dan Keuangan Organisasi Pengelola zakat

• Meningkatnyakinerjamanajemenorganisasi pengelola zakat Indonesia sehingga dapat dipercaya oleh masyarakat.

• Terwujudnyasinergidankerjasamazakat nasional dan internasional

• Terwujudnyakonsolidasiorganisasi

ArAh KebijAKAn Forum ZAKAtperiode 2009-2012

• MemperkuateksistensiFOZNASdi dalam lingkup nasional dan internasional

• Membangunkemitraanstrategisditingkat nasional dan internasional.

• Melakukankerjasamadenganinstitusi yang concern di bidang pengembangan kapasitas organisasi pengelola zakat baik di Indonesia maupun di dunia.

• Melakukankoordinasidankerjasamadengan BAZ dan LAZ dalam rangka mewujudkan sinergi program zakat di Indonesia.

• Melakukankoordinasidankerjasamadengan DEPAG, BAZNAS dan DPR serta pihak lainnya dalam rangka mewujudkan cita ideal zakat Indonesia

• MembentukFOZWIL(ForumZakatWilayah) di seluruh Indonesia.

• Menyusunstrukturorganisasiyangkuatdalam rangka meningkatkan peran FOZNAS guna mencapai tujuan dan visi organisasi.

• Mengarahkanorganisasipengelolazakat sehingga mencapai optimalisasi mobilisasi dan sinergi zakat untuk mencapai positioning zakat di Indonesia yang mensejahterakan.

• Melakukancapacity building terhadap OPZ agar memenuhi standard manajemen mutu pengelola zakat baik tingkat nasional, maupun internasional

• MenjadifasilitatorOPZdidalammenjalankan fungsinya

• Melakukanadvokasidalamrangkamemperkuat OPZ dan mewujudkan cita ideal zakat di Indonesia.

• Melakukanstandardisasidanakreditasiterhadap OPZ sehingga sesuai dengan standard manajemen mutu pengelola zakat.

MISI

TUJUAN

STRATEGI

VISI

hasil munas

Page 14: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

12

PENDAHULUAN

Pemberlakuan dan Komposisi

Kode Etik Amil Zakat Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh amil, baik yang bekerja di lingkungan Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat (LAZ), dalam pemenuhan tanggung jawab profesinya.

Tujuan profesi amil zakat adalah memenuhi tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi dan mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik, baik muzaki, mustahik, mitra kerja, maupun masyarakat luas. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat empat kebutuhan dasar yang harus dipenuhi:

1. Shiddiq / Integritas; Diperlukan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh publik sebagai sosok yang berakhlakul karimah.

2. Amanah / Kredibilitas; Diperlukan kredibilitas pelayanan dan sistem pelayanan, serta terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari amil zakat diberikan dengan standar kinerja tertinggi.

3. Tabligh / Edukasi, Advokasi dan Sosialisasi ; Diperlukan individu yang dapat mengedukasikan dan menyosialisasikan tentang zakat.4. Fathanah / Profesionalisme; Diperlukan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh publik sebagai profesional di bidang

pengelolaan zakat.

Seorang Amil Zakat mempunyai kewajiban untuk menjaga disiplin dan amanah melebihi yang disyaratkan oleh hukum dan peraturan hukum positif.

Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik Profesi Amil Zakat Indonesia menyatakan pengakuan profesi akan tanggung jawabnya kepada publik, yaitu muzakki/donatur, mustahik, mitra kerja dan masyarakat luas. Prinsip ini memandu Amil Zakat dalam memenuhi tanggung jawab profesionalnya dan merupakan landasan dasar perilaku etika dan perilaku profesionalnya. Prinsip ini menuntut komitmen amil untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan mengorbankan kepentingan pribadi maupun golongan.

Prinsip Pertama:TANGGUNG JAWAB PROFESI

Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai seorang profesional, setiap Amil Zakat harus senantiasa menggunakan pertimbangan syari’ah, moral, dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukan.

Sebagai profesional, Amil Zakat mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peranan tersebut, amil mempunyai tanggung jawab kepada semua stakeholder. Amil Zakat juga harus selalu bertanggung jawab untuk bekerjasama dengan sesama Amil zakat untuk mengembangkan profesi, memelihara kepercayaan masyarakat dan menjalankan tanggung jawab profesi dalam mengatur diri dan lembaganya sendiri. Usaha kolektif semua Amil Zakat diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.

Kode Etik Amil Zakat Indonesia

Kode Etik Amil Zakat Indonesia memuat prinsip-prinsip etika dan aturan-aturan etika yang mengatur pelaksanaan pemberian pelayanan/jasa dan pengelolaan zakat oleh amil zakat.

Kode Etik Amil Zakat disahkan oleh Musyawarah Nasional V FOZ dan berlaku bagi seluruh amil zakat di Indonesia.

Kepatuhan

Kepatuhan terhadap Kode Etik, seperti juga dengan semua standar dalam masyarakat terbuka, tergantung terutama sekali pada pemahaman dan tindakan sukarela amil. Di samping itu, kepatuhan amil juga ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh sesama amil dan oleh opini publik, dan pada akhirnya oleh adanya mekanisme pemrosesan pelanggaran Kode Etik oleh organisasi, apabila diperlukan, terhadap anggota yang tidak menaatinya.

PRINSIP ETIKA

Mukaddimah

Amil Zakat merupakan profesi yang diakui dalam Al-Qur’an pada Surat At-Taubah (9) ayat 60, yang artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Profesi Amil Zakat dapat tetap berada pada posisinya dengan terus menerus memberikan pelayanan pada tingkat yang menunjukan bahwa kepercayaan masyarakat dipegang teguh.

Dalam memenuhi tanggung jawab profesionalnya, Amil Zakat mungkin menghadapi tekanan yang saling berbenturan dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam mengatasi benturan ini, Amil Zakat harus bertindak dengan penuh integritas, dengan suatu keyakinan bahwa jika Amil Zakat memenuhi kewajibannya kepada publik maka kepentingan stakeholder, terutama muzakki dan mustahik, akan terlayani sebaik-baiknya.

Prinsip Kedua:KEPENTINGAN PUBLIK

Setiap Amil Zakat berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menjaga kepercayaan publik dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.

Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung jawab kepada publik. Profesi Amil Zakat memegang peranan penting di masyarakat, di mana publik dari profesi Amil Zakat terdiri dari muzakki, mustahik, mitra kerja, pemerintah dan masyarakat secara umum bergantung kepada objektivitas dan integritas Amil Zakat dalam memelihara berjalannya fungsi pengelolaan dana masyarakat yang dilayani secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku Amil

hasil munas

Page 15: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

13

Prinsip Kelima:KOMPETENSI DAN KEHATI-HATIAN

Setiap amil harus melaksanakan tugas profesionalnya dengan kehati-hatian syari’ah, kehati-hatian profesional, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan.

Prinsip Keenam: KERAHASIAAN

Setiap amil harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan pelayanan/jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak dan kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.

Prinsip Ketujuh: PERILAKU PROFESIONAL

Setiap amil harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada muzakki, mustahiq, mitra, sesama amil, dan masyarakat pada umumnya.

ATURAN ETIKA

Penerapan

Aturan Etika ini harus diterapkan oleh Amil Zakat Indonesia dan Amil Zakat yang bekerja pada satu Organisasi Pengelola Zakat, baik BAZ maupun LAZ.

Definisi/Pengertian

• Amilin Zakat Indonesia adalah wadah organisasi profesi amil zakat Indonesia.

• Organisasi Pengelola Zakat adalah lembaga yang memiliki tugas pokok menghimpun, mengelola dan menyalurkan dana zakat dan sejenisnya.

• Badan Amil Zakat adalah lembaga pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah sesuai dengan peraturan yang berlaku.

• Lembaga Amil Zakat adalah lembaga pengelola zakat yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat.

Standar Um um

Integritas dan ObyektivitasDalam menjalankan tugasnya Amil Zakat harus mempertahankan integritas dan obyektivitas, serta harus bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest).

zakat dalam menjalankan programnya mempengaruhi kesejahteraan (ekonomi dan non-ekonomi) masyarakat dan negara.

Mereka yang memperoleh pelayanan dari Amil Zakat mengharapkan Amil Zakat untuk memenuhi tangung jawabnya dengan amanah, integritas, objektivitas dan kepentingan untuk melayani publik. Amil Zakat diharapkan untuk memberikan pelayanan dan program yang berkualitas dengan tingkat profesionalisme yang konsisten dengan Prinsip Etika Profesi ini.

Semua Amil Zakat mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, Amil Zakat harus secara terus menerus menunjukkan dedikasinya untuk mencapai profesionalisme yang tinggi. Tanggung jawab Amil Zakat tidak semata-mata untuk memenuhi kepentingan muzakki/donatur, tetapi juga harus mempertanggungjawabkan kepada Allah SWT dan kepada semua stakeholder lainnya (mustahik, mitra kerja, pemerintah, dan masyarakat luas).

Prinsip Ketiga: INTEGRITAS

Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap Amil Zakat harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.

Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasar timbulnya pengakuan profesional.

Integritas mengharuskan seorang Amil Zakat untuk antara lain, bersikap jujur dan obyektif tanpa harus mengorbankan rahasia muzakki/donatur atau mustahik.

Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Integritas dapat menerima perbedaan pendapat yang jujur dan kesalahan yang tidak disengaja, tetapi tidak dapat menerima kecurangan dan peniadaan prinsip.

Prinsip Keempat: NETRAL DAN OBYEKTIF

Setiap amil zakat harus menjaga netralitas dan obyektivitas sehingga bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.

Netralitas dan obyektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan amil. Prinsip netralitas dan obyektivitas mengharuskan amil bersikap adil, tidak memihak, jujur, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain. Amil bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan netralitas dan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi.

Kompetensi ProfesionalAmil Zakat hanya boleh melakukan aktivitasnya yang secara layak (reasonable) harus dapat dipertanggungjawabkan dengan kompetensi profesional.

Perencanaan yang MemadaiAmil Zakat wajib merencanakan aktivitasnya secara memadai dalam setiap penyelenggaraan programnya.

Tanggung Jawab kepada Muzakki

Kerahasiaan MuzakkiAmil Zakat tidak diperkenankan mengungkapkan informasi muzakki yang rahasia, tanpa persetujuan dari muzakki yang bersangkutan.

PelaporanAmil Zakat wajib memberikan pelaporan pertanggungjawaban aktivitasnya jika muzakki meminta.

Tanggung Jawab kepada Mustahik

Kerahasiaan MustahikAmil Zakat tidak diperkenankan mengungkapkan informasi mustahik yang bersangkutan, kecuali dalam rangka pemberian bantuan atau pemberdayaan mustahik yang bersangkutan.

Tanggung Jawab kepada Lembaga Sejenis

Tanggung Jawab kepada sesama Amil ZakatAmil Zakat wajib memelihara citra profesi, dengan tidak melakukan perkataan dan perbuatan yang dapat merusak reputasi rekan seprofesi.

Komunikasi antar Organisasi Pengelola ZakatAmil Zakat wajib melakukan komunikasi dengan rekan seprofesi bila melakukan aktivitas yang sama di tempat/lokasi yang sama.

Perbuatan dan Perkataan yang MendiskreditkanAmil Zakat tidak diperkenankan melakukan tindakan dan atau mengucapkan perkataan yang mencemarkan atau mendiskreditkan lembaga sejenis.

Tanggung Jawab kepada Publik

TransparansiAmil Zakat wajib menyampaikan laporan atas semua aktivitasnya, baik keuangan maupun non-keuangan, kepada publik.

hasil munas

Page 16: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

hasil munas

14

I. REKOMENDASI EKSTERNAL

Bismillahirrahmanirrahim

Musyawarah Nasional V Forum Zakat (FOZ) yang dilaksanakan pada tanggal 28 - 30 April 2009 (2 - 4 Jumadil Awal 1430 H) di Surabaya dan diikuti oleh para peserta yang mewakili Organisasi Pengelola Zakat (BAZ dan LAZ) seluruh Indonesia, menghasilkan 8 (delapan) butir rekomendasi atau himbauan yang ditujukan kepada pemerintah, lembaga legislatif, majelis ulama, Organisasi Pengelola Zakat, media massa, dan masyarakat Indonesia khususnya umat Islam sebagai berikut :

1. Himbauan Kepada Pemerintah Pusat

a. Membangun sistem, jaringan, dan menetapkan standarisasi pengelolaan zakat secara nasional dengan melibatkan FOZ.

b. Mengefektifkan fungsi pembinaan dan pengawasan pemerintah selaku regulator pengelolaan zakat.

c. Memberikan dukungan dan fasilitas yang diperlukan dalam rangka implementasi Undang-Undang dan peraturan teknis yang dikeluarkan tentang pengelolaan zakat di tingkat pusat antara lain pengangkatan pegawai BAZ dan LAZ.

d. Merealisasikan anggaran untuk operasional pengelolaan zakat bagi Badan Amil Zakat melalui APBN.

e. Mengakomodir usulan dan aspirasi yang berkembang di masyarakat berkenaan dengan substansi amandemen Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, termasuk di antaranya usulan dan aspirasi yang menginginkan zakat diakui sebagai pengurang pajak yang dituangkan dalam peraturan perpajakan.

f. Meminta Pemerintah untuk membentuk Kementerian Zakat.

g. Memasukkan kurikulum Zakat dalam Sistem Pendidikan Nasional.

h. Memberikan Instruksi kepada Instansi Pemerintah, dan BUMN untuk memotong zakat dari penghasilan pegawainya.

2. Himbauan Kepada Pemerintah Daerah

a. Membuat dan mengefektifkan Perda zakat.b. Memberikan dukungan dan fasilitas yang

diperlukan dalam rangka implementasi Undang-Undang dan peraturan teknis yang dikeluarkan tentang pengelolaan zakat di tingkat daerah.

c. Merealisasikan anggaran untuk operasional pengelolaan zakat bagi Badan Amil Zakat melalui APBD.

d. Mendorong sinergi antara BAZ dan LAZ di daerah.

e. Memberikan Instruksi kepada Instansi Pemerintah Daerah dan BUMD untuk memotong zakat dari penghasilan pegawainya (Jika telah memenuhi syarat-syaratnya)

3. Himbauan Kepada Lembaga Legislatif (DPR-RI, DPD-RI dan DPRD)

a. Menindaklanjuti aspirasi masyarakat yang menghendaki terbentuknya kerangka regulasi pengelolaan zakat di tingkat nasional dan daerah.

b. Menetapkan budgeting untuk pembiayaan operasional pengelolaan zakat ke dalam APBN/APBD.

c. Mendorong dan mengawasi kinerja pemerintah dalam melaksanakan segala ketentuan dalam Undang-Undang Pengelolaan Zakat dalam rangka perwujudan fungsi zakat sebagai obligatory system di tengah kehidupan umat, bangsa dan negara.

d. Mempercepat revisi UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

4. Himbauan kepada MUI dan Alim Ulama

a. Menetapkan fatwa tentang keutamaan berzakat melalui amil (lembaga yang memiliki kekuatan hukum secara resmi).

b. Menggalakkan keteladanan berzakat melalui amil di kalangan alim ulama dan pemimpin umat.

c. Meningkatkan pengkajian dan penulisan buku-buku mengenai zakat ditinjau dari berbagai aspeknya dalam rangka memperkaya khazanah pengetahuan dan pemahaman umat.

d. Menjadikan materi zakat, infaq dan shadaqah sebagai tema khutbah & ceramah melalui berbagai forum dan media, dalam rangka membudayakan ZIS di kalangan umat Islam.

e. Menjadikan zakat sebagai salah satu agenda utama program kerja MUI.

5. Himbauan kepada BAZ dan LAZ

a. Pengelolaan dana zakat, infaq dan shadaqah harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip Al-Quran dan as-Sunnah serta ijtihad para ulama.

b. Meningkatkan pengelolaan zakat secara amanah, profesional dan transparan serta mengutamakan kepentingan mustahik, terutama fakir dan miskin, di atas kepentingan organisasi atau lembaga.

c. Meningkatkan citra positif organisasi pengelola zakat yang profesional.

d. Organisasi pengelola zakat di semua tingkatan diharapkan meningkatkan koordinasi, kerjasama dan sinergi positif dengan Pemerintah, BAZNAS, FOZ, Ormas, lembaga ekonomi syariah, LSM dan antar sesama OPZ sendiri.

e. Mendorong LAZ dan BAZ untuk melakukan sosialisasi zakat secara spesifik dengan membuat program sinergi khusus yang dilakukan secara berkesinambungan.

f. Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas amil serta memberikan perlindungan Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi para amil sesuai peraturan yang berlaku.

6. Himbauan Kepada Media Massa

a. Berperan aktif dalam mendukung sosialisasi zakat secara nasional dan pembentukan opini publik mengenai perzakatan Nasional dan Daerah serta menunaikan zakat melalui OPZ.

b. Meningkatkan penyebaran informasi faktual mengenai kiprah organisasi pengelola zakat dan kontribusi zakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

7. Himbauan kepada Ormas Islam dan lembaga ekonomi syariah

a. Menjadikan zakat sebagai salah satu isu strategis.

b. Melakukan kajian dan sosialisasi secara intensif tentang peran strategis zakat, infak dan sedekah.

8. Himbauan Kepada Masyarakat khususnya umat Islam

a. Berbuat secara nyata untuk memperkokoh kemandirian bangsa dengan memperkuat ikatan kekeluargaan, menggalakkan ta’awun (tolong menolong), solidaritas sosial, dan kesetiakawanan dalam spirit ukhuwah Islamiyah, sebagaimana diajarkan Islam yang tercermin antara lain dalam ajaran tentang zakat, infaq dan shadaqah.

b. Senantiasa menunaikan zakat melalui organisasi pengelola zakat, mempercayai organisasi pengelola zakat yang amanah, sehingga zakat dapat dioptimalkan sebagai sumber dana untuk menekan angka kemiskinan dan meningkatkan kualitas kehidupan sesama muslim yang belum dapat memenuhi kebutuhan hidup layak.

c. Meningkatkan kepedulian secara individual maupun kolektif terhadap penanggulangan permasalahan yang mendera masyarakat dan bangsa kita dewasa ini, khususnya masalah ekonomi, seperti kemiskinan, pengangguran, dan lain-lain, masalah pendidikan, pelayanan kesehatan perlindungan hari tua bagi lansia kurang mampu, dampak bencana, dan sebagainya.

d. Mendorong untuk turut serta mengawasi pengelolaan zakat oleh LAZ dan BAZ.

e. Kepada dunia usaha untuk memotong zakat dari penghasilan karyawannya secara langsung, jika telah memenuhi persyaratan dan ketentuan zakat penghasilan.

II. REKOMENDASI INTERNAL :

1. Momentum khusus zakat bersama-sama yaitu membuat Festival Zakat Nasional.

2. Membuat Dewan Kehormatan Amil.3. Membuat standarisasi laporan kerja dan

keuangan FOZNAS dan FOZWIL.4. Penguatan FOZWIL yang ada 5. Pembentukkan FOZWIL di tiap Propinsi yang

telah memenuhi syarat pendirian FOZ (minimal 3 BAZ/LAZ).

III. CARA PENyAMPAIAN :

1. Ketua Umum terpilih beserta TIM FORMATUR mengadakan Konferensi Pers.

2. Melakukan audience kepada Presiden RI.3. Menyampaiakan rekomendasi terhadap Pihak

Terkait sesuai dengan rekomendasi eksternal.4. Menyampaikan agenda Zakat Nasional kepada

para Capres (kontrak politik).

REKOMENDASI MUSyAWARAH NASIONAL VFORUM ZAKAT

hasil munas

Page 17: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

hasil munas

Setelah melalui pertimbangan yang cukup

lama, susunan pengurus FOZ periode 2009-2012

akhirnya terbentuk. Penunjukan personel

pengurus dilakukan melalui pertimbangan

dan seleksi yang cukup matang dari Ketua Umum

dan Sekjend terpilih. Ketatnya seleksi calon

pengurus dimaksudkan agar personel yang

ditempatkan nanti sesuai dengan bidangnya, alias the right man on the right place, dan dapat bekerja

secara maksimal.

Wajah Lama Banyak Menghiasi pengurus baru FoZ

seputar FOZ

bukanlah sebagai penghalang namun justru semakin menambah harmonisnya hubungan kerjasama antar OPZ. Tinggal bagaimana mengoptimalkan potensi yang ada di dalamnya untuk mengerjakan PR yang diamanahkan Munas V FOZ tersebut.

Pelantikan dan Raker I

Pengurus yang sudah terpilih selanjutnya dilantik oleh Ketua Umum, Ahmad Juwaini, pada Selasa 26/5 di Graha Insan Cita, Depok Jawa Barat. Pelantikan ini dimaksudkan sebagai bukti telah resminya mereka menjadi pengurus FOZ.

Pelantikan dilanjutkan dengan acara Rapat Kerja I (Raker I) yang berlangsung selama dua hari mulai Selasa – Rabu, 26-27 Mei 2009. Acara pelantikan dihadiri pula oleh pejabat Departemen Agama RI, Isbir Fadli.

Dalam sambutannya Isbir berharap FOZ bisa bekerjasama dengan Depag. Mengingat peran FOZ cukup strategis bagi penataan zakat di Indonesia. “Saya kira kita (Depag) siap bekerjasama dengan FOZ. Terutama dalam hal pembinaan lembaga zakat di Indonesia,” ujar Isbir.

Depag yang memiliki fungsi sebagai regulator, motivator, kordinator bagi pengelolaan zakat di Indonesia tidak mungkin berjalan sendiri. Apalagi diakui oleh Isbir, peran Depag dalam pembinaan zakat masih sangat terbatas. Jika hal ini dilakukan secara bekerjasama dengan FOZ maka akan semakin baik. [naf]

Memang, setelah dicermati, personel yang duduk di kepengurusan periode ini bukanlah orang baru. Sebagian besar mereka adalah wajah-wajah lama yang pernah duduk di kepengurusan FOZ periode sebelumnya. Seperi Sri Adi Bramasetia (PKPU), Nana Mintarti (IMZ), Herman Susilo (YDSF), Anwar Sani (APU), Herman Budianto (DD) dan masih banyak lagi.

Di samping wajah-wajah lama, pengurus FOZ kali ini diramaikan pula oleh wajah baru. Seperti masuknya Pamungkas Hendra Kusuma (RZI), Tomy Hendrajadi (PKPU), Bambang Kusnadi (BMM) dan masih banyak lagi. Wajah yang memang jarang sekali tampil di public, terutama di acara-acara zakat tingkat nasional, namun mereka memiliki posisi strategis di lembaganya.

Baik wajah lama maupun wajah baru, mereka diharapkan dapat memberi kontribusi nyata bagi dunia perzakatan tanah air saat ini. Sebab, tantangan Forum Zakat sebagai asosiasi yang sudah resmi terdaftar di lembaran negara ke depan, tidaklah semakin ringan, melainkan semakin kompleks dan berat. Terutama tantangan bagaimana penataan zakat ke depan yang lebih baik.

Salah satu PR (pekerjaan rumah) terbesar yang diamanahkan periode saat ini adalah mendorong selesainya UU Zakat, penyusunan cetak biru zakat Indonesia, finalisasi PSAK Zakat dan aplikasi konsep standarisasi mutu OPZ. Semuanya dibebankan kepada pengurus periode 2009-2012.

Jika tantangan tersebut dapat dijalankan oleh pengurus FOZ saat ini, maka harapan kita berupa perbaikan zakat akan semakin terwujud. Variasi personel pengurus yang terdiri unsur LAZ dan BAZ

15

Ketua Umum FOZ (H. Ahmad Juwaini)

dan Isbir Fadli (Depag) saat memberikan

orasinya di acara pelantikan

pengurus FOZ

Page 18: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

16

Wajah gadis kelahiran Jakarta, 5 Oktober 1989 memang sudah tak

asing lagi. Penampilan dara berdarah campuran Indonesia-Belanda ini

kerap muncul di layar kaca dengan membintangi sejumlah produk iklan

dan sinetron yang akhirnya membuat namanya cukup populer di ranah

entertainment.

Pada mulanya keterlibatan dirinya dalam dunia hiburan bisa dibilang dari sebuah

ketidaksengajaan. Karena sering diajak ikut casting lama-lama perempuan berambut

lurus ini penasaran kepingin mencoba juga. Dia rela antri di tengah barisan

yang berjubel antre selama berjam-jam menunggu panggilan casting. Setelah

sekian lama menanti, satu dua iklan dan sinetron mulai meliriknya untuk uji coba

talenta. Sampai akhirnya pertengahan tahun 2006 namanya pelan-pelan mulai

dikenal banyak orang. “Ya itu pun setelah sekian banyak mengalami kegagalan,” kata gadis yang biasa disapa Andah ini tertawa

kecil. Sempat ada yang ragu akan semua prestasi yang diraihnya dengan menganggap

penampilannya di layar kaca tak lebih hanya jual tampang saja. Tapi dia tak peduli. Toh dalam kenyataannya ternyata banyak job

datang silih berganti, bahkan iklan berbagai merek yang mempertaruhkan nama produk

yang sudah mapan dengan citra dirinya. Anggapan modal tampang pun sirna dengan

sendirinya.

Sayang dengan Ibu

Ada dua hal yang patut menjadi teladan dari Andah. Dia tak melupakan sosok ibunya, Sani yang menurutnya memiliki peran yang sangat vital dalam perjalanan karir dan pendidikan yang selama ini ditempuh. Bahkan mamanya pula yang selalu setia dan sabar menemani Andah di kala dirinya menjalani syuting mesti harus menunggu dari pagi hingga pagi esok harinya atau bahkan harus menginap beberapa hari. Begitupun dengan urusan menomorsatukan pendidikan, sang ibu selalu mengingatkan. Hal itu yang membuatnya selalu bangga punya ibu yang sedemikian rupa sehingga segala keputusan diserahkan kepadanya. Andah kurang dekat dengan sosok bapak karena ayahnya sudah lama memilih tinggal di negeri Kincir Angin.

Selain itu, Andah tak melupakan kewajibannya sebagai anak manusia untuk berbagi kepada sesama dengan kelebihan penghasilan yang didapat dari profesi sebagai artis. Dia menyadari bahwa kesuksesan yang kini tengah diraih tak bisa dilepaskan dari peran orang lain. Meski sedari kecil dia terbiasa hidup berkecukupan, namun Andah tak pernah melupakan kewajibannya untuk berbagi dan membantu saudara yang membutuhkan. Menurutnya sejak berumur lima tahun dia sudah diajarkan oleh kedua orang tua untuk berbagi dengan cara menyumbang anak yatim di awal bulan. “Tak hanya berupa uang, kadang juga pakaian ataupun sembako. Yang penting berguna bagi mereka,” tukasnya saat dikonformasi.

Kegiatan semacam itu rupa-rupanya hingga kini terus berjalan dan tak pernah terputus. Malah setelah dia sudah bisa mencari uang sendiri hal tersebut cenderung meningkat baik dari kualitas maupun kuantitasnya. Andah kini telah memiliki 50 anak asuh yang semuanya adalah anak yatim. Setiap bulan, Andah menyisihkan penghasilannya untuk membiayai ke-50 anak asuhnya.

Tak hanya biaya hidup sehari-hari, bagi anak asuhnya yang masih sekolah, Andah juga membantu biaya sekolah mereka. Uniknya, usia anak asuh Andah bahkan ada yang berusia lebih tua darinya. “Usia mereka ada

yang masih bayi tapi ada juga yang lebih tua dari aku,” ungkapnya. “Aku cuma mencoba membantu sebisaku dan aku senang kalau bisa mengurangi penderitaan orang lain,” tambahnya.

Tak hanya setiap bulan, saat Andah ulang tahun, ia juga selalu mengundang ke-50 anak asuhnya untuk berdoa bersama di rumahnya. Saat itu pula, Andah berusaha berbagi kebahagiaan kepada mereka dengan melalui makan bersama, setelah itu memberi bingkisan yang menurut gadis yang pernah membintangi sinetron Wulan ini InsyaAllah bermanfaat bagi mereka yang menerima..

Dari rutinitas tersebut Andah kini memendam cita-cita besar, suatu hari kelak dirinya berencana mendirikan sebuah yayasan sosial yang bisa menampung orang-orang kurang beruntung seperti anak asuhnya. “Sekarang sedang cari-cari tempatnya dulu, aku pengen tempatnya jauh dari keramaian, sepi, dan tenang. Tapi beberapa kali aku nyari belum ada yang sreg,” akunya. Mudah-mudahan segera terealisir. Dia tak mau mengukur berapa persen dana yang dikeluarkan untuk kegiatan sosial tersebut. Yang jelas semua bermula dari kihlasan dan ketulusan. [mst]

Asmirandah

Rutin Menyantuni50 Anak Yatim

sejak berumur lima tahun dia sudah diajarkan oleh kedua orang

tua untuk berbagi dengan cara menyumbang anak yatim di awal bulan. “Tak hanya berupa uang, kadang juga pakaian ataupun

sembako. Yang penting berguna bagi mereka,”

Artis Sinetron

sosok

Asm

irand

ah

Page 19: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

Komedian bernama asli Mukhlas ini dalam satu tahun belakangan menjadi bahan pembicaraan banyak orang setelah keberhasilannya memerankan parodi cerdas dalam acara yang digelar rutin oleh sebuah stasiun televisi swasta bernama Democrazy. Perjalanan pria kelahiran Jakarta 25 Agustus 1969 ini dalam meniti karir cukup panjang dan berliku. Banyak suka duka diperoleh “Dulu saya pernah dibayar pake sayuran ketika pentas di Bogor bahkan cuma senyum,” kenangnya tatkala di jumpai Infoz+ di bilangan Ciputat. Namun peristiwa tersebut pelan-pelan mulai sirna seiring dengan namanya yang mulai popular.

Tak banyak yang tahu siapa jati diri komedian yang suka menirukan gaya Rhoma Irama ini. Dalam riwayat pendidikannya ternyata bapak dari tiga orang anak ini cukup lama berkecimpung di dunia pesantren. Selama enam tahun sempat menyandang predikat sebagai santri di Pesantren Modern Darunnajah Petukangan, Jakarta Selatan. “Sama ustadz Arifin Ilham saya satu angkatan. Cuma beda nasib saja,” tukasnya. Setelah itu dia melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas Syari’ah UIN Jakarta. Maka wajar tatkala ditanya terkait zakat dia terbilang artis yang sangat faham dan akrab dengan bahasa agama. Baginya komedi juga bisa dijadikan ajang dakwah. “Kalau Arifin Ilham berdakwah bikin orang memangis dengan dzikir, maka saya membuat orang tertawa dengan komedi,” kilahnya. Oleh sebab itu Mucle tak sembarang menerima tawaran karena komedi yang dia bawakan tak hanya memuat orang asal tertawa, tetapi harus memiliki muatan edukasi alias lawakan cerdas yang berisi. Bukan asal bikin orang terpingkal-pingkal padahal menyinggung pihak lain.

Kurang Kampanye

Masih minimnya nominal capaian zakat yang masih jauh dari harapan sebetulnya tak lepas dari persoalan sosialisasi yang dirasa masih minim. Hal ini terkait dengan soal transparansi dan akuntabilitas yang dimiliki oleh para amil yang selama ini menggalang dana zakat sehingga orang merasa perlu untuk berzakat. Misalnya saja terkait dengan kewajiban zakat maal, apakah semua muslim yang berduit di negeri ini

sudah tahu akan kewajiban tersebut. Bagi orang yang sudah faham hal semacam ini memang terlalu kecil untuk dibicarakan, tetapi belum tentu bagi para eksekutif yang awam. “Maka harus ada orang atau lembaga yang bertanggungjawab di sektor ini,” tukasnya dengan mimik mulai serius.

Zakat sebetulnya bagi seorang muslim bukanlah sesuatu yang asing sama sekali karena menjadi salah satu rukun Islam yang wajib untuk dilaksanakan. Akan tetapi selama ini pemahaman tentang zakat hanya terbatas pada zakat fitrah saja yang dilakukan setahun sekali.. “Memangnya kita makan beras doang. Kayak burung perkutut” ujarnya coba menyelingi dengan humor. Pengertian zakat-zakat yang lain belum terlalu membumi.

Kampanye zakat menurut mantan penyiar di Radio SK ini masih jauh dari upaya yang massif apalagi bisa menjadi trend. Apa yang dikatakannya bukan tanpa bukti. Dia coba mengilustrasikan. Dibanding berkorban untuk zakat masyarakat masih lebih memilih berduyun-duyun memamakai jas menghadiri undangan acara-acara MLM (Multi Level Marketing) yang digelar di hotel-hotel mewah meski undangannya harus ditebus dengan membayar sejumlah dana yang tidak sedikit jumlahnya. “Kapan ummat Islam mau datang menghadiri acara zakat yang digelar di ball room hotel bintang lima,” tanyanya. Sebab pada intinya semua itu terkait dengan bagaimana undangan atau kampanye yang dilakukan bisa sampai pada masyarakat, sehigga mereka tertarik dan merasa tergerak untuk datang. Selama ini hanya

satu dua lembaga yang kelihatan serius dalam kampanye sadar zakat.

Jika kampanye besar-besaran dilancarkan dan kontinyu, Mucle optimis potensi zakat yang mencapai angka triliunan rupiah bisa dicapai, sehingga bisa membantu memberdayakan masyarakat dhu’afa yang tengah berjibaku dalam kubangan kemiskinan. Dia berseloroh, “Jika saat ini mereka berada di bawah garis kemiskinan, paling tidak bisa diangkat pas nyerempet dengan garis. Syukur-syukur di atas jauh dari garis,” harapnya.

Mucle lantas coba mengajukan usul agar dana zakat yang didapat oleh para amil lebih diarahkan dengan memperbanyak program-program yang terkait dengan pendidikan, terutama pendidikan moral Islam. Sebab bangsa ini sudah terlalu kenyang dibodohi oleh bangsa-bangsa lain. Jika kaum dhu’afa mendapat pendidikan yang memadai mereka akan lebih arif dalam menyikapi hidup dan kreatif tatkala berhadapan dengan himpitan ekonomi. Tatkala disinggung berapa banyak dirinya melakukan kewajiban zakat maal dia menegaskan jika angka 2,5 persen hanya sebagai batas minimal. “Semenetra ini yang menjadi focus adalah orang-orang terdekat,” tutupnya. [mst]

Mukhlas ‘Mucle’

program Zakat perlu diarahkan ke Pendidikan Moral Islam

Jika kaum dhu’afa mendapat pendidikan yang memadai mereka

akan lebih arif dalam menyikapi hidup dan kreatif tatkala

berhadapan dengan himpitan ekonomi.

17

Komedian

sosok

Muk

hlas

‘Muc

le’ d

an is

teri

Page 20: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

18

Terobosan baru penataan zakat Indonesia diperlihatkan Pengurus FOZ periode sekarang. Hal ini dapat kita lihat dari susunan pengurus yang dibuat oleh Ketua Umum dan Sekjend terpilih. Jika kepengurusan sebelumnya pengurus hanya terdiri pengurus inti dan dewan pleno, kepengurusan FOZ sekarang lebih lengkap lagi. Yakni, ada penambahan ‘alat kelengkapan organisasi’. Alat ini non struktural FOZ, namun hampir sama fungsinya seperti Dewan Pleno pada periode-periode sebelumnya, bahkan ruang geraknya lebih luas. Mereka terdiri komite-komite perzakatan nasional. Komite-komite tersebut terdiri ; Komite Pertimbangan Zakat Nasional, Komite Pengawas Zakat, Komite Standarisasi Manajemen Zakat.

menyusun dan menetapkan sistem keuangan dan akuntansi OPZ, c) Melakukan kerjasama dengan berbagai pihak dalam rangka legalisasi, formalisasi dan penguatan sistem standarisasi manajemen OPZ, d) Menjadi wadah untuk menyusun sistem akreditasi dan sertifikasi pemenuhan standar manajemen OPZ.

Komite ini diketuai oleh Didin Hafiduddhin, dengan anggota ; Tulus (Dewan Zakat Mabims), Nasrun Harun (Direktur Pengembangan Zakat Depag), Suparman Usman (Ketua Bazda Banten), M.Amin Suma (Dekan Fak. Syariah UIN Jakart), Iskandar Zulkarnain (Baznas), Eri Sudewo,Aries Mufti, Abu Syauqie (Dewan Pembina RZI)

Kedua, Komite Pengawas Zakat. Tugas komite ini adalah ; a) Menjadi wadah untuk mengawasi kinerja OPZ sehingga tidak menyimpang dari prinsip dasar pengelolaan zakat, b) Menjadi wadah untuk mengawasi kinerja OPZ sehingga sesuai dengan standar manajemen mutu OPZ dan Sistem Akuntansi dan keuangan OPZ, 3) Menjadi wadah untuk mengawasi kinerja OPZ sehingga sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan regulasi di Indonesia.

Ketua Komite ini adalah Ahmad Subianto (Ketua Dewan Pertimbangan Baznas), sementara anggotanya terdiri Hamy Wahjunianto (Ketua Umum FOZ 2006-2009), Naharus Surur (Baznas), Ismaid A. Said (DD), Sukanta (Bazis DKI Jakarta)

Ketiga, Komite Standarisasi Manajemen Zakat. Tugas komite ini adalah ; a) Menjadi wadah untuk menyusun dan menetapkan standar manajemen OPZ, b) Menjadi wadah untuk menyusun dan menetapkan sistem keuangan dan akuntansi OPZ, c) Melakukan kerjasama dengan berbagai pihak dalam rangka legalisasi, formalisasi dan penguatan sistem standarisasi manajemen OPZ, d) Menjadi wadah untuk menyusun sistem akreditasi dan sertifikasi pemenuhan standar manajemen OPZ.

Ketua Komite ini adalah Adiwarman A. Karim (DSN MUI), dengan anggota terdiri Fuad Nasar (Depag), Setiawan Budi Utomo (DSN MUI), Agus Nurhadi, Emmy Hamidiyah (Baznas), Yusuf Wibisono (IAI), Hertanto Widodo.

Semoga dengan adanya kelengkapan alat organisasi ini dapat bekerja secara optimal sesuai tugas yang diemban. Dengan demikian penataan zakat di Indonesia dapat segera terwujud. [naf]

Tiga Komite Zakat untuk penataan Zakat nasional

seputar FOZ

Tugas komite lebih banyak menangani urusan ekternal FOZ. Sementara pengurus inti, lebih fokus kepada program-program internal kelembagaan FOZ. Langkah inovatif ini tentunya bukan tanpa alasan, namun memiliki alasan yang cukup kuat. Salah satu alasan yang disampaikan Ketua Umum FOZ adalah belum jelasnya nasib amandemen UU Pengelolaan Zakat. “Langkah ini sebagai upaya penataan kelembagaan zakat, sebelum amandemen UU-nya terlihat jelas,” kata Ahmad saat memberikan penjelasan Renstra FOZ dihadapan calon pengurus baru, akhir Mei 2009.

Bahkan jika isi amandemen-nya nanti sama seperti yang diusulkan Forum Zakat, yakni munculnya lembaga independent setingkat komisi, maka personil yang ada di komite, bisa direkomendasikan untuk duduk di komisi tersebut. “Mereka bisa kita rekomendasikan untuk menduduki jabatan di komisi zakat nasional itu,” lanjut Ahmad.

Langkah yang ditempuh pengurus FOZ periode 2009-2009 ini sekaligus menjawab pertanyaan anggota FOZ yang selama ini dialamatkan kepada Pengurus FOZ. Pertanyaan itu seputar peran FOZ yang

dirasa sangat kurang terhadap penataan zakat secara nasional. Anggota masih belum merasakan gebarakan-gebrakan yang signifikan dari FOZ terhadap permasalahan zakat di Indonesia. Oleh karena itu, harus ada yang baru di kepengurusan ini dan berbeda dengan periode sebelumnya.

Ketika periode sebelumnya telah berhasil membangun dan menyusun pondasi-pondasi zakat, seperti Standarisasi Manajemen Mutu, Standarisasi Laporan Keuangan (PSAK Zakat), mengamandemen UUPZ (meskipun masih dalam proses) maka periode sekarang tiba saatnya mengimplementasikan konsep-konsep tersebut. Melalui program kerja selama tiga tahun ke depan.

Di samping itu, munculnya komite-komite perzakatan nasional sebagai jawaban atas permasalahan perzakatan yang ada.

Tugas Komite-Komite

Komite-komite tersebut terdiri; pertama, Komite Pertimbangan Zakat Nasional. Tugas komite ini adalah ; a) Menjadi wadah untuk menyusun dan menetapkan standar manajemen OPZ, b) Menjadi wadah untuk

Pengurus FOZ 2009-2012 sedang dilantik oleh Ketua Umum disaksikan Isbir Fadli dari Depag

Page 21: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

19

oleh:Hamid Abidin (Direktur PIRAC)

belajar dari upaya StandarisasiPengelolaan LSM

Latar Belakang

Persoalan kinerja dan efektivitas program organisasi masyarakat sipil (OMS) atau LSM menjadi perdebatan dan diskusi yang hangat dalam sepuluh tahun terakhir. Gugatan dan perdebatan seputar masalah ini mengemuka seiring dengan tumbuh berkembangnya LSM pasca reformasi. Tumbangnya orde baru dan dipulihkannya kebebasan berkumpul dan bersuara di era reformasi membawa “berkah” bagi kebangkitan masyarakat sipil di Indonesia. Sejak tahun 1998, OMS tumbuh bak jamur di musim hujan. Karena belum ada aturan yang jelas, orang dengan mudah mendirikan LSM. Sepanjang dua-tiga orang yang seide bersepakat membentuk dan menjalankan sebuah LSM, maka berdirilah LSM. Karena itu, tak heran jika pertumbuhan LSM di masa reformasi ini mengalami peningkatan yang cukup pesat.

kepercayaan yang harus dibangun oleh LSM untuk menarik dukungan dari mereka. Bagi masyarakat kelas menengah ke atas, penolakan mereka untuk memberikan dukungan, khususnya pendanaan, bukan semata-mata karena mereka tidak punya uang. Penolakan mereka lebih disebabkan karena ketidakpercayaan pada orang-orang LSM, program-programnya dan organisasinya. Ini berarti keberhasilan menggalang dukungan dari kalangan ini sangat bergantung pada sejauh mana organisasi nirlaba atau LSM mampu menumbuhkan kepercayaan mereka. Ini berarti LSM harus akuntabel dan professional yang ingin meraih dukungan dana publik.

Hasil survei tersebut mengambarkan bahwa dukungan terhadap LSM, khususnya dukungan pendanaan, terkait erat dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas dan profesionalitas LSM, serta manfaat yang diperoleh masyarakat dari berbagai program dan kegiatan yang dilakukannya. Celakanya, justru factor-faktor inilah yang menjadi problem utama LSM Indonesia saat ini. Minimnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap LSM terkait dengan rendahnya akuntabilitas dan profesionalitas LSM di mata publik. Karena dianggap tidak profesional dan akuntabel, kepercayaan masyarakat kepada LSM kian menurun, yang berujung dengan memudarnya dukungan serta legitimasi sosial dan moral LSM tersebut di mata publik.

Serangkaian Ikhtiar

Fenomana-fenomena itulah yang mendorong beberapa LSM berikhtiar untuk membangun standar mengenai pengelolaan LSM guna meningkatkan kinerja dan akuntabilitas lembaganya. Standar adalah suatu pedoman atau model yang disusun dan disepakati bersama serta dapat diterima pada suatu tingkat praktek untuk mencapai tujuan yang

telah ditetapkan (Reyers, 1983). Pembuatan standar ini juga dilakukan dalam kerangka memastikan bahwa LSM bekerja secara efisien, tepat sasaran dan berdampak tinggi bagi masyarakat sebagai beneficieries atau penerima manfaatnya.. Mereka memandang, hukum dan peraturan perundang-undangan yang ada ternyata belum cukup mengatur dan mangatasi persoalan tersebut. Karena itu, LSM perlu mengatur dirinya sendiri lewat standarisasi pengelolaan LSM.

Namun, di kalangan LSM sendiri kata atau terminology “Standarisasi” kurang popular dan cenderung dihindari karena ada kesan untuk mengatur dan menyeragamkan LSM yang bersifat plural. Seperti diketahui, entitas LSM cukup beragam. Dilihat dari legal entity atau badan hukumnya, LSM ada yang berbadan hukum yayasan, perkumpulan, ormas, bahkan koperasi. Dilihat dari posisi dan pendekatannya, ada LSM yang bekerja sama dengan pemerintah dan swasta, ada yang menjadi pengontrol atau pengawas. Sementara dilihat dari posisinya dalam mobilisasi sumber daya, ada LSM yang berperan sebagai grant making, ada yang berperan sebagai intermediary dan ada pula yang menjadi implementing organization.

Karena itu, upaya untuk membuat suatu standar bagi peningkatan kinerja dan efektivitas LSM lebih banyak dilakukan lewat mekanisme pengaturan diri atau self-regulation mechanism. Ada dua bentuk self-regulation mechanism: pertama, pengaturan diri secara internal (internal self regulation), yaitu upaya yang dilakukan oleh masing-masing organisasi untuk mengatur organisasinya atau individu-individu yang menjadi anggotanya. Pengaturan semacam ini dilakukan lewat AD/ART atau statuta lembaga, SOP (Standart oprational Procedure), optimalisasi peran dewan pengurus dan pengawas, dll. Tentu saja pembuatan mekanisme pengaturan diri

artikel

Sayangnya, pesatnya pertumbuhan dan kegiatan LSM tersebut tidak diimbangi dengan upaya meningkatkan kinerja dan akuntabilitas terhadap konstituennya, yang pada akhirnya membuat citra LSM semakin terpuruk. Hasil observasi tim peneliti LP3ES di delapan propinsi pada tahun 2002 menunjukkan berbagai penyimpangan yang dilakukan LSM. Tim LP3ES mengidentifikasi sekurangnya empat bentuk aktivisme LSM “menyimpang” ini. Pertama, LSM-LSM yang terkait dengan permainan kekuasaan, yakni dalam bentuk dukung-mendukung, calon pejabat tertentu di berbagai tingkatan. Kedua, LSM yang memperebutkan proyek pemerintah (daerah). Pendirian LSM ini umumnya dilatarbelakangi oleh kebijakan baru dari negara-negara donor yang mensyaratkan peranserta masyarakat dalam pelaksanaan proyek-proyek (pembangunan). LSM semacam ini didirikan, atau melibatkan, para pegawai Pemda setempat beserta para kroninya. Ketiga, LSM yang bermain money politics atau premanisme, dengan modus investigasi, mengkritik melalui pendekatan watch dog, tetapi ujung-ujungnya melakukan deal-deal di balik layar. Kempat, ada juga fenomena kelompok yang mengidentikkan dirinya sebagai LSM, namun justru melakukan hal-hal yang antidemokrasi, seperti tindak kekerasan dan anarkhi.

Di luar kasus tersebut, LSM juga dihadapkan pada problem dependensi pada lembaga donor dan perlunya melakukan diversifikasi dengan memobilisasi dana publik. Namun, untuk melakukan mobilisasi sumber daya publik ini mereka dituntut untuk menjadi organisasi yang professional dan akuntabel. Beberapa survey yang berkaitan dengan kegiatan kedermawanan dan mobilisasi sumber daya menunjukkan bahwa semakin tinggi kelas sosial masyarakat, yang merupakan calon pendukung atau donatur potensial LSM, semakin tinggi pula tingkat

Page 22: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

20

secara internal ini dilakukan sesuai dengan kapasitas organisasi. Untuk organisasi yang yang kecil atau organisasi yang masih baru, pengaturan internal dirancang sederhana agar tidak menghambat perkembangan organisasi.

Kedua, Pengaturan diri secara eksternal (external self-regulation), yaitu pengaturan organisasi yang disusun secara bersama oleh kalangan organisasi nirlaba sendiri. Upaya semacam ini biasanya dilakukan oleh sekelompok organisasi yang tergabung dalam jaringan, asosiasi, koalisi atau perhimpunan organisasi sosial, dengan menyusun dan menyepakati aturan main bersama yang dipraktekkan dalam berinteraksi dalam interen komunitas maupun dengan pihak luar. Aturan main itu antara lain dapat berisikan dasar-dasar filosofi dan prinsip-prinsip yang dianut dalam melaksanakan kegiatannya, dalam berhubungan dengan pihak luar, seperti pemerintah dan para donatur, dan kelompok sasarannya serta prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi.

Beberapa model external self-regulation yang dipraktekkan selama ini, antara lain:

• Perumusankodeetik:

Kode Etik berasal dari kata code yang dapat berarti kumpulan aturan dan ethics yang berarti prinsip-prinsip moral. Kode Etik adalah kumpulan aturan yang berisikan prinsip-prinsip moral yang diyakini sebagai yang benar atau salah, baik atau buruk, untuk dilakukan. LSM memiliki Nilai-nilai dan prinsip moral yang luhur yang perlu dipromosikan dan diperjuangkan kepada pihak luar dan ke dalam diri LSM sendiri. Adanya kode etik yang disepakati dan diimplementasikan bersama akan membantu LSM membangun integitas dan kredibilitasnya kepada pihak luar. Sekurang-kurangnya pihak luar tidak melihat LSM peka terhadap nilai-nilai moral dan tidak menggunakan “standar ganda” dalam melaksanakan aktivitasnya.

Upaya untuk merumuskan kode etik atau semacamnya bagi LSM sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 90-an. Saat itu, Sekretariat Bina Desa bersama 12 LSM merancang “Pedoman Perilaku (Kode Etik LSM) Kemitraan Lembaga Swadaya Masyarakat”. Kode etik yang ditandatangi tanggal 28 Juli 1994 di Caringin, Bogor, ini mengatur tentang hubungan insan LSM dengan rakyat, hubungan antar sesama LSM, dan hubungan LSM dengan mitra internasional. Selain itu, kode etik tersebut dimaksudkan untuk menghindari pengaturan internal LSM oleh pihak luar, khususnya pemerintah. Sayangnya, konsep kode etik yang sudah berhasil disusun tersebut sulit untuk diimplementasikan. Selain karena masih

banyaknya pro kontra seputar kode etik, jaringan yang digunakan sebagai wadah untuk mengimplementasikan kode etik tersebut dinilai tidak tepat karena terlalu longgar dan tidak ada ikatan serupa.

LP3ES mencoba meneruskan dan meyempurnakan ikhtiar ini dengan menyusun kode etik sekaligus membentuk asosiasi LSM yang menjadi wadah bagi orang-orang yang sepakat dengan kode etik tersebut. Dengan wadah asosiasi yang lebih tegas dan formal, enforcement bagi pelaksanaan kode etik itu diharapkan lebih kuat dan lebih mengikat. Sayangnya, karena upaya ini bersifat project dan tidak didukung oleh pendanaan yang memadai untuk mendukung keberlanjutan asosiasinya, inisiatif yang baik ini juga mandeg seiring dengan kevakumnya asosiasi yang menjadi penyokongnya.

Kelompok LSM lainnya, antara lain, Sawarung (Saresehan Warga Bandung), KPMM (Konsorsium Pengembangan Masyarakat Madani) Padang , JARI Indonesia dan INFID, juga mencoba merumuskan self regulation bagi LSM-LSM atau organisasi lain yang menjadi anggotanya lewat statuta atau aturan main yang disusun dan disepakati bersama. Upaya ini diharapkan bisa memperkuat dan mengontrol internal governance yang dijalankan oleh masing-masing LSM. Dengan berjaringan, upaya peningkatan kapasitas yang berkaitan dengan good governance juga bisa lebih mudah dan lebih sistematis dilakukan. Selain itu, kelompok-kelompok LSM tersebut juga mulai melibatkan konstituen dalam pelaksanaan ketatalaksanaan lembaganya. KPMM, misalnya, melibatkan kelompok masyarakat yang lain dalam mengontrol dan menilai internal governance yang dilakukan oleh anggotanya. Mereka menyediakan ruang dan sarana bagi masyarakat untuk berdialog dengan LSM guna mempertanyakan kinerja, program dan keuangan lembaga.

• Evaluative Mechanism (Mekanisme Evaluasi)

Mekanisme evaluasi ini dirumuskan dan dilaksanakan secara bersama, atau menunjuk tim independen, untuk menilai efektivitas dan kinerja lembaga masing-masing. Evaluasi ini dimaksudkan sebagai acuan bersama dalam upaya peningkatan akuntabilitas dan kredibilitas lembaga, bukan untuk menjatuhkan organisasi atau lembaga tertentu. Justru dari hasil evaluasi inilah disusun berbagai program yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas individu maupun lembaga. Salah satu out put dari kegiatan ini berupa rating atau pemeringkatan organisasi yang menjadi pesertanya. Dengan model rating ini nantinya masyarakat akan mengetahui lembaga mana yang masuk kategori bagus, lembaga mana yang sedang, dan lembaga mana yang kurang bagus.

Upaya semacam ini sebenarnya sudah pernah dicoba IMZ (Institut Manajemen Zakat) menerapkannya dalam bentuk rating terhadap lembaga-lembaga pengelola Zakat untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai good governance itu ditegakkan. Sayangnya, tak banyak lembaga yang ikut berpartisipasi dalam program tersebut. Dari 130 Lembaga pengelola ZIS yang diminta untuk berpartisipasi, hanya 28 lembaga (21,54%) yang mau berpartisipasi. Karena kendala-kendala tersebut, sampai saat ini IMZ belum mengumumkan hasil pemeringkatan tersebut itu.

• AkreditasidanSertifikasi

Sistem akreditasi adalah penilaian oleh pihak ketiga yang sangat lazim dilakukan baik oleh kalangan profesi maupun dunia usaha. Sistem akreditasi merupakan sistem penilaian yang tidak mengandalkan peraturan negara tetapi berdasarkan aturan main yang disepakati pihak-pihak yang berkepentingan. Pemerintah, kalaupun terlibat, hanya sebatas sebagai fasilitator dalam hal penjaminan bahwa sistem yang

artikel

Page 23: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

21

dibentuk merupakan kesepakatan semua pihak. Di Indonesia sistem semacam ini sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa sektor di luar LSM. Dalam hal standarisasi kualitas produk, misalnya, tiap-tiap departemen teknis membentuk Komite Akreditasi Instansi Teknis (KAIT) dan Komite Akreditasi Nasional (KAN) pada tingkat nasional hingga menempatkan pemerintah sebagai regulator semata, sedangkan pemainnya sepenuhnya adalah swasta.

Sistem akreditasi dan sertifikasi ini dipandang lebih netral dan independen karena lewat sistem ini organisasi dinilai oleh pihak ketiga, dengan kriteria tertentu, mulai dari akuntabilitas keuangan, keterbukaan dan transparansi pengambilan keputusan, model dan tata pengelolaan internalnya, dan sebagainya. Sistem semacam ini sudah dipraktekkan di berbagai negara seperti di Filipina, India, Amerika, dan negara-negara lainnya. Di Indonesia, sistem ini baru diterapkan oleh organisasi profesi dan perguruan tinggi. Untuk organisasi nirlaba, USC Satunama di Jogjakarta bersama beberapa koalisi LSM juga pernah mencoba menjajaki penerapannya di Indonesia, namun tidak bisa diberlakukan karena banyak mendapatkan tentangan dan menimbulkan pro kontra di kalangan LSM. Akhirnya, perangkat TANGO (Transparansi NGO) yang dihasilkan dari upaya ini digunakan dengan pendekatan self evaluative mecanism.

• Ombudsment

Makanisme Ombudsman ini mirip dengan dewan etik yang menerima dan mengklarifikasi semua pengaduan yang berkaitan dengan kiprah dan kinerja organisasi nirlaba. Ombudsment umumnya didirikan jaringan organisasi atau organisasi yang besar, di mana masyarakat yang tidak puas atau menemukan penyimpangan pada perilaku individu dan kinerja organisasi dapat mengadu dan melakukan koreksi terhadap organisasi tersebut. Tentu saja Ombudsman ini harus bersifat independen, anggotanya terdiri dari berbagai pihak termasuk dari luar organisasi itu sendiri. Untuk organisasi menengah dan kecil, maka Ombudsman ini dapat dibuat secara berkelompok. Beberapa organisasi dapat bergabung dan membentuk Ombudsman mereka sendiri.

Mekanisme pemilihan dan masa kerja Ombudsman harus dibuat transparan. Demikian pula mekanisme kerjanya. Ombudsman dapat ad hoc atau dapat pula permanen untuk jangka waktu tertentu. Keputusan Ombudsman mengikat organisasi yang bersangkutan dan harus diumumkan ke publik. Apabila

pelanggaran hukum terbukti, maka segera diajukan ke pengadilan untuk diproses secara hukum. Apabila keputusannya bersifat manajerial, maka organisasi yang bersangkutan harus melaksanakannya. Mekanisme Ombudsman ini terbuka untuk dipraktekkan oleh lembaga pengelola ZIS dan bermanfaat untuk mengontrol kiprah lembaga tersebut tanpa harus membatasi dan memberatkan, khususnya lembaga-lembaga ZIS yang masih kecil.

keterlibatan masyarakat ini menimbulkan kekhawatiran bahwa peningkatan program itu hanya berdampak bagi LSM dan tak banyak berpengaruh terhadap perbaikan taraf hidup masyarakat. LSM asyik merumuskan aturan main untuk dirinya sendiri, sementara masyarakat harus terus berjuang mengatasi persoalannya yang semakin hari semakin besar.

Penutup

Salah satu faktor yang menjadi penyebab kegagalan dari beragam upaya untuk membuat standar bagi pengelolaan LSM adalah asumsi yang salah terhadap LSM. LSM bukanlah Pemerintah dan Swasta yang memiliki kapasitas lebih untuk melengkapi dirinya dengan seperangkat struktur canggih, dengan sumber daya professional yang sesuai dengan kapasitasnya. Jadi, tidak layak rasanya jika LSM dituntut memiliki standar sesempurna pemerintah dan swasta, karena pada dasarnya LSM, adalah organisasi sosial yang didirikan oleh mereka yang memiliki keprihatinan. Tak heran jika self assessment yang dilakukan Yayasan TIFA terhadap 204 organisasi di 9 propinsi di Indonesia memperlihatkan bahwa umumnya LSM memiliki seperangkat misi dan visi yang kuat, bahkan nyaris ideal, namun masih lemah dalam aspek-aspek manajemen organisasi lainnya. Kelemahan ini tentunya bukan sesuatu yang disengaja. Karena itu penyusunan standar pengelolaan LSM harus memperhatikan kemampuan dan keragaman LSM. Standar dibuat untuk membantu mereka mengoptimalkan kinerjanya, bukan untuk “menghakimi” atau menyeragamkan mereka.

Hal itulah yang juga perlu diperhatikan dalam menyusun standar bagi lembaga pengelola ZIS. Beragam kritik dan kendala yang dihadapi LSM bisa jadi pelajaran dan bisa dihindari atau diatisipasi. Penyusunan dan penerapan standar tertentu hendaklah memperhatikan ciri dan karakter ZIS yang beragam. Misalnya, tidak memaksakan adanya “audit oleh akuntan publik” bagi lembaga yang memang belum memerlukannya. Standar yang disusun juga sebisa mungkin tidak sampai mengkotak-kotakkan lembaga-lembaga ZIS menjadi “insider” dan “outsider”. Selain itu, penetapan standar juga tidak lantas membuat lembagai ZIS “sibuk berdandan” dan melupakan tugas utamanya untuk memberdayakan ummat. Mengingat peran Lembaga ZIS yang signifikan dalam mendorong perubahan, maka sudah saatnya kita semua bekerja bersama, memampukan lembaga ZIS sehingga bisa bekerja lebih optimal, efisien dan yang terpenting efektif sesuai dengan yang dicita-citakan.

(Makalah ini disampaikan pada acara Munas V FOZ)

artikel

Kritik dan Tantangan

Berbagai ikhtiar yang tengah dilakukan oleh LSM maupun beberapa komunitas LSM dalam membuat standar bagi pengelolaan LSM bukannya tanpa kendala dan tantangan. Banyak pihak yang memandang upaya semacam itu justru mengarahkan LSM menjadi lembaga konsultan. Sebagian lainnya mempertanyakan, apakah LSM yang merupakan wadah aktivisme dan idealisme memerlukan profesionalisasi semacam itu? Mereka khawatir jangan-jangan upaya tersebut justru membuat LSM menjadi terkotak-kotak. Belum lagi masalah penentuan lembaga yang dianggap layak untuk melakukan akreditasi dan sertifikasi, akan memicu kontroversi dan perdebatan sengit dikalangan LSM sendiri, seperti sudah sering terjadi. Kekhawatiran lainnya, upaya ini justru membuat LSM disibukkan oleh urusan internalnya untuk menjadi lembaga profesional dan melupakan tugas utamanya membela kepentingan rakyat. Persoalan yang terakhir memang menjadi perdebatan yang menarik dalam beberapa forum yang membahas persoalan seputar standar pengelolaan LSM.

Beberapa kalangan juga menyayangkan berbagai upaya peningkatan akuntabilitas dan transparansi di kalangan LSM ini masih dibahas dan dibicarakan di kalangan interen LSM sendiri. Masyarakat luas yang selama ini menjadi binaan dan garapan LSM, belum banyak dilibatkan dalam merumuskan konsep dan mekanisme akuntabilitas dan transparansi LSM. Dalam perumusan konsep dan mekanisme transparansi, misalnya, LSM lebih banyak menggali masukan dari kalangan mereka sendiri, tanpa banyak melibatkan unsur-unsur masyarakat. Minimnya

Page 24: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

22

Tabiat Mengeluh

Teman saya yang satu ini dikaruniai dua pasang kaki yang tidak sempurna. Suatu siang, saya berbincang dengannya tentang kehidupan. Meski sekilas orang akan mengasihaninya, bisa jadi justru kitalah yang mungkin layak dikasihani. Sebab, lelaki yang punya raut muka tegar itu, menyimpan segudang kehebatan yang kadang tak dimiliki sosok manusia yang sempurna secara fisik. Kehebatan sebagaimana yang dimaksud adala dia tidak pernah mengeluh sepanjang hidupnya.

“Mengeluh itu sifat terlemah dari manusia”, tandasnya. Karena sifat mengeluh adalah sebuah kelemahan, maka ia berjuang membunuh sifat lemah itu. Kemudian ia melihat dirinya sendiri dan memandang jauh ke depan, dengan bekal tekad yang kuat untuk menjalani kehidupan ini.

Kalau berjalan ia harus ditopang dengan tongkat. Jika pergi jauh, ia naik motor yang sudah dimodifikasi menjadi roda tiga. Kekurangan yang ada pada dirinya ia syukuri, sehingga dengan bersyukur itu justru melahirkan prasangka positif. Terutama kepada Sang Pencipta.

Dari kekurangan yang ada pada dirinya, malah membuahkan pikiran yang luas dan kreatif. Apalagi ia memiliki tanggungan keluarga, maka tuntutan untuk mencari nafkah bagi keluarganya tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, dia membuat kerupuk singkong yang dijajakan dari perkantoran ke perkantoran lainnya. Hasilnya, ia dapat menafkahi anak dan istrinya dengan cara dan jalan terhormat. Bahkan ia mampu memberi pekerjaan orang lain.

Selang beberapa jam setelah saya berguru kehidupan dengan sosok hebat itu, tak lama kemudian saya bersua lagi sahabat saya yang mengeluh karena gajinya Rp 5 juta. Dia mengaku perlu Rp 10 juta untuk dapat hidup cukup. Saya tak mampu berbagi kata dengannya. Karena rasa malu pada diri begitu kentara. Betapa kita tidak pernah mau bersyukur, dengan apa yang kita terima hari ini. Saya masih ingat, dulu ia mengeluh punya gaji Rp 2,5 juta dan ingin Rp 5 juta. Ketika Allah kabulkan keinginannya itu, sekali lagi saya mendengar dia masih mengeluh.

Saya jadi ingat ayat Allah, “Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia menjadi kikir. Kecuali orang orang yang melaksanakan sholatnya dan orang orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta dan orang orang yang mempercayai hari pembalasan dan orang-orang yang takut terhadap azab tuhannya”. Al Maarij (70, 19-27).

Ternyata Allah SWT sudah memberikan gambaran kepada kita karakter asli manusia. Bahkan, tatkala keluhan itu terjawab dengan karunia kenikmatan (harta), kecenderungan manusia menjadi kikir. Begitu banyak hikayat orang menjadi sombong, bahil dan kufur terhadap nikmat yang telah diberikan Allah. Dari zaman Musa Firaun, Qarun, Abu Lahab, Abu Jahl, hingga saat ini. Atau mari kita mulai melihat ke dalam diri kita sendiri. Benarkah sifat ini memang ada dalam lubuk hati manusia.

Saat kita merasa kekurangan, miskin atau tidak mampu dalam hal harta dan kekuasaan, kerap kita berdoa minta harta cukup dan jabatan yang pantas. Setelah semua itu terpenuhi, ternyata tidak cukup memuaskan karena tumbuh keinginan-keinginan baru yang ingin dicapainya. Lebih parahnya, sifat itu membumi pada watak amat mencintai harta dan kekuasaan. Di sinilah titik kritis seperti ditegaskan ayat di atas, bahwa seharusnya kita menyediakan dari sebagian harta kita untuk orang miskin yang meminta maupun tidak meminta. Titik kritis inilah yang akhirnya bila kita kufur, maka kita jadi buta dan menjadi sayang mengeluarkan zakat, infak, dan sedekah di jalan Allah.

Begitu juga para amilin, jangan sampai kita hanya bisa mengajak orang lain berzakat, dan melakukan sedekah dengan harta terbaik, namun kita sendiri terlalu kecil mengeluarkan zakat dan sedekah dari harta yang tersisa. Dengan berzakat dan bersedekah dari harta terbaik, maka Allah akan mengaruniakan rizki-Nya dari jalan yang tidak disangka-sangka. Jangan hanya berfikir rizki hanya dari gaji, namun Allah telah menyediakan rizki di langit dan dibumi. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah dalam mencukupkan rizki bagi para hamba-Nya.

Sungguh, jika tabiat mengeluh ini terus dipupuk, sangat membahayakan kehidupan kita di dunia dan akhirat. Maka, mari bersyukur atas apapun yang kita terima hari ini. Dalam kondisi sulit sekalipun. Wallahu’alam

*Pemimpin Redaksi Infoz+

oleh:M. Anwar Sani *)

kolom

Page 25: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

kolom

23

program Kerja Forum Zakat2009-2012

No Program1 Penyempurnaan AD dan ART

2 Penguatan Kesekretariatan FOZ

3 Konsolidasi dan optimalisasi Pengurus

4 Standarisasi Manajemen Mutu FOZNAS

5 Optimalisasi sosialisasi dan publikasi

6 Pusat Informasi Zakat

SEKRETARIS JENDERAL

No Program1 Pembenahan Akuntansi

2 Penghimpunan Dana

No Program1 Menyusun sistem keang-

gotaan / membuat panduan pembentukan FOZWIL

2 Evaluasi Sistem Keanggotaan FOZNAS dan FOZWIL

3 Menyusun database anggota yang akurat dan lengkap

4 Pemasangan Label FOZ di semua board name Anggota

5 Mengembangkan jumlah anggota FOZNAS

6 Pembentukan FOZWIL Baru

BIDANG I (KEANGGOTAAN DAN JARINGAN)

No Program1 Pembinaan FOZWIL

2 Penyusunan Cetak Biru Zakat Indonesia

3 Penyusunan Arsitektur Zakat Indonesia

4 Penguatan Revisi UUP Zakat

BIDANG II (PENGEMBANGAN KAPASITAS

DAN ADVOKASI)

No Program1 Advokasi OPZ

2 Menyempurnakan konsepsi Manajemen Kinerja Prima OPZ

3 Pelatihan pelatih Manaje-men Kinerja Prima (Training of Trainer )

4 Sosialisasi metoda Pengelo-laan kinerja prima pada OPZ

5 Upaya Pengesahan PSAK Zakat

6 Pembuatan pedoman stan-dar akuntasi zakat

BIDANG III (STANDARISASI DAN PENGA-

WASAN)

BENDAHARA UMUM

No Program1 Pemetaan Potensi OPZ

2 Pemetaan Mustahik

3 Kerjasama OPZ

4 Synergy Center

BIDANG IV (KERJASAMA DAN SINERGI)

Page 26: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

24

album munas

Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid memukul gong sebagai tanda dimulainya acara Munas selama 3 hari

Syeikhul Hadi Permono, salah satu nara sumber yang memberikan materi zakat di acara kuliah subuh Munas

Acara Munas juga diliput oleh media massa, baik cetak maupun elektronik. Tampak dalam foto saat press conference

Turut menyambut acara Munas, Kanwil Depag Jawa Timur sekaligus mewakili Pemda Jawa Timur.

Pembicara Kunci acara Munas disampaikan oleh Dirjen Bimas Islam Depag, Nasaruddin Umar, mewakili Menteri Agama yang tidak bisa hadir

Suasana panitia dan peserta Munas saat melakukan pendaftaran ulang menjalang masuk ruang acara.

Page 27: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

25

Dialog ke-3 tema “Membangun Standarisasi Pengelolaan Zakat” oleh Hamid Abdin (Pirac), M. Surjani Ichsan (BAZDA Jawa Barat), Teten Kustiawan (BAZNAS)

Dialog 1 tema “Meneguhkan Peran Strategis FOZ dalam Percaturan Zakat di Indonesia dan Asia Tenggara” Oleh dr.Naharus Surur, M Kes (BAZNAS), Drs. H. Tulus (Ketua Dewan

Zakat MABIMS), Eri Sudewo (Dewan Pleno FOZ), drh. Hamy Wahjunianto, MM (FOZ)

Dialog 4 tema “Akuntabilitas dan Transparansi Organisasi Pengelola Zakat” Oleh – Bibit Samad (ICW), Jusuf Wibisana (IAI), Ade Irawan (KPK), Adiwarman

A. Karim (Dewan Syariah Nasional MUI)

Dialog ke-2 tema “Membangun Program Sinergis Berbasis Kompetensi Lembaga” oleh Emmy Hamidiyah (BAZNAS), Ahmad Juwaini (Dompet Dhuafa),

Pamungkas Hendra Kusuma (Rumah Zakat Indonesia), Lili Hasanuddin (Yappika)

Sebanyak 291 utusan dari OPZ, Ormas, Kanwil, akademisi dan masyarakat umum hadir turut serta mengikuti acara Munas selama 3 hari di Hotel Bumi Surabaya

Hasil suara pemilihan 5 orang tim formatur. Suara terbanyak 1 adalah Ahmad Juwaini disusul Teten Kustiawan, Emmy Hamidiyah, Sri Adi Bramasetia dan

Pamungkas Hendra Kusuma

Page 28: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

26

album munas

Salah satu suasana sidang Komisi saat acara Munas. Sidang komisi terdiri 5 buah ; Arah Kebijakan, AD dan ART, Blue Print Zakat, Rekomendasi dan Kode Etik Amil

Untuk memperlancar pelaksanaan sidang-sidang, ditunjuklah 5 orang sebagai pimpinan sidang. Mereka terdiri (dari kanan ke kiri) Maigus Nasir, Pamungkas HK,

Teten Kustiawan, Herman Susilo dan Viryan Azis

Ketua Umum FOZ, Hamy Wahjunianto dan Sekjend, Sri Adi Bramasetia tengah membacakan Laporan Pertanggungjawaban pengurus FOZ 2006-2009

Seorang peserta Munas sedang memberikan tanggapan terhadap laporan pertanggungjawaban pengurus FOZ periode 2006-2009

Serah terima LPJ dari Hamy Wahjunianto (kiri) kepada Ketua Umum FOZ terpilih Ahmad Juwaini (kanan) sebagai tanda penyerahan tongkat estafet kepemimpinan

FOZ selama 3 tahun ke depan

Kantor Lagzis difungsikan sebagai base camp panitia Munas V FOZ

Page 29: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

27

Inilah wajah-wajah pengurus FOZ 2006-2009 yang mengemban estafet kepengurusan selama 3 tahun

Ahmad Juwaini dari Dompet Dhuafa, saat memberikan sambutan perdana sebagai Ketua Umum FOZ periode 2009-2012.

Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid didampingi Hamy Wahjunianto saat memberikan keterangan press kepada wartawan di Hotel Bumi Surabaya, tempat

penyelenggaraan Munas

Pada saat pembukaan, acara Munas diramaikan juga oleh pemain angklung cilik hasil binaan salah satu OPZ anggota FOZ

Acara pembukaan juga diisi dengan acara hiburan nasyid dari Surabaya

Inilah wajah-wajah di balik pelaksanaan Munas. Mereka terdiri panitia lokal dari Fozwil Jatim dan Panitia Pusat.

Page 30: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

Waktu tiga tahun melakukan pengabdian pada lembaga asosiasi semacam FOZ yang memiliki keluasan spektrum dan daya jangkau yang sangat luas dirasakan Hamy Wahjunianto begitu sangat singkat. Meski demikian ada banyak hal yang patut diapresiasi selama kepemimpinannya sebagai Ketua Umum terutama dalam menyediakan fondasi terkait dengan hal-hal yang sifatnya mendasar dan stategis. Berikut petikan tanya jawab dan pemikiran Hamy Wahjunianto yang sempat kami rekam dalam ajang Munas V FOZ beberapa waktu lalu.

Dalam acara Munas FOZ yang merupakan ujung dari kepengurusan Bapak berapa banyak peserta yang hadir?

Al hamdulillah Organisasi Pengelola Zakat, baik Badan Amil Zakat (BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) saya lihat cukup banyak yang hadir mulai dari Jakarta, pulau Dewata (baca; Bali), Kalimantan, Maluku, Aceh, Agam Sumatera Barat, mereka antusias untuk hadir. Jumlahnya hampir tiga ratusan. Saya sangat mengapresiasi kehadiran mereka.

Kedua, kami dibantu teman-teman dari IAI telah berhasil menyusun Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) Zakat yang mendapatkan nomenklatur di IAI Nomor 109. Mudah-mudahan pada tahun ini bisa dipakai oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk mengaudit lembaga zakat yang selama ini mengalami kesulitan baik oleh kita sendiri (baca; LAZ) maupun auditor guna melakukan proses audit. Sebab banyak aktivitas yang tidak mungkin diaudit berdasarkan PSAK 45, sehingga kalau opini-opini yang timbul dari proses audit itu sesunguuhnya tidak simetris dengan apa yang terjadi sesungguhnya, karena ada ijtihad-ijtihad di sana. Mudah-mudahan dengan adanya PSAK Zakat, para kantor akuntan publik yang mengaudit kita itu bisa akurat, baik dari sisi syariah maupun dari sisi akuntansi.

Lalu apa lagi?

Ketiga, kami sudah merampungkan proses penyusunan standar kinerja prima organisasi pengelola amil zakat, sehingga dengan itu diharapkan kita semua punya acuan standar untuk mengelola, baik badan maupun lembaga amil zakat agar menjadi amanah. Kemudian, FOZ bersama-sama dengan Baznas dan Depag diharapkan bisa mengeluarkan sertifikasi dari proses yang sudah ditempuh oleh lembaga dan badan amil zakat. Insya Allah kalau itu dipublikasikan ke masyarakat akan bisa meningkatkan rasa kepercayaan (trust) dari masyarakat kepada OPZ.

Keempat, kita juga telah berhasil menyusun naskah akademik dalam rangka amandemen UU Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat yang selama ini dijadikan rujukan. Di sana, kita menyepakati OPZ sangat membutuhkan adanya sebuah badan resmi yang disahkan oleh presiden RI sebagai badan regulator dan pengawas terhadap kinerja badan dan lembaga amil zakat.

Kejadian beberapa waktu lalu bisa menjadi cerminan, tatkala ada beberapa bank yang ditutup oleh BI (Bank Indonesia) karena tidak mendapat kecukupan modal yang sesuai standar yang telah ditentukan. Kemudian bank tersebut tidak bisa berbuat apa-apa. Nah, badan kita tidak akan seperti itu. Kita kemarin mendorong agar ada badan atau lembaga semacam itu yang kemudian BAZ maupun LAZ tunduk kepada aturan dan regulasi yang dikeluarkan badan tersebut. Jadi, ibaratnya, badan tersebut adalah ‘BI’-nya

drh. H. Hamy Wahjunianto

masih banyak yang harus diperjuangkan FoZ

wawancara

Sejauh mana pentingnya Musyawarah Nasional (Munas) bagi Forum Zakat (FOZ) ini dan apa agenda yang paling penting?

Munas Forum Zakat merupakan forum tertinggi dari organisasi yang menaungi Badan dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) di Indonesia. Salah satu keputusan penting dari Munas ini adalah terjadinya keberlangsungan tongkat estafet perjuangan di dunia zakat, dari kami pengurus periode 2006-2009 kepada para pengurus baru yang akan dapat amanah pada periode 2009-2012 nanti. Namun dalam proses tersebut alhamdulillah tak banyak memakan waktu berlama-lama seperti halnya pemilihan capres-cawapres.

Apakah ada pembatasan masa jabatan Ketua Umum FOZ?

Dalam konsensus yang tidak tertulis, tidak ada Ketua Umum pengurus FOZ yang dipilih sampai kali kedua, dan hal seperti ini saya harapkan dapat dipegang sebagai konsensus nasional yang tidak tertulis. Sehingga hal semacam ini tetap dipertahankan menjadi tradisi yang terus berjalan agar regenerasi tetap berjalan lancar. Alhamdulillah dalam kepengurusan saya masa pergantian kepengurusan berlangsung tepat pada waktunya. Karena dulu kami dilantik bulan Mei. Jadi, kalau Munasnya April, berarti kami tepat waktu masa kepengurusannya.

Program apa saja yang sudah dilakukan selama menjalani kepengurusan FOZ periode 2006-2009?

Pada masa-masa awal, para pengurus sepakat agar Forum Zakat kala itu difokuskan untuk membuat pijakan dan fondasi yang kami yakini akan sangat strategis dan berdampak besar terhadap advokasi kepada zakat dan organisasi pengelola zakat serta para amil zakat antara lain, Pertama, kami sudah menyelesaikan perumusan penentuan dan penetapan bahwa Forum Zakat sebagai satu-satunya organisasi yang menjadi payung dan asosiasi lembaga zakat harus berbadan hukum yang tercatat dalam lembaran negara. Dengan langkah semacam kita bisa segera

melengkapi membuat Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART)-

nya. Atas dasar itulah akhirnya pada periode berikutnya bisa dijadikan

sebagai penguatan keberadaan FOZ Wilayah (Fozwil).

28

Ketua Umum FOZ Periode 2006-2009

H. H

amy

Wah

juni

anto

Page 31: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

dunia zakat. BAZ menjadi seperti bank daerah seperti Bank Jabar atau Bank DKI. LAZ menjadi seperti bank swasta, seperti Bank Niaga, Bank Syariah Mandiri dan seterusnya.

Hal-hal semacam ini kami fokuskan pada kepengurusan kemarin dalam periode 2006-2009, dan tahapannya sudah sampai pada finalisasi, tapi kita belum sempat menguji coba dan melakukan workshop karena keburu April lalu kita harus segera melakukan Munas. Karena itu, kami harapkan pengurus yang mendapatkan amanah pada periode mendatang berkenan untuk meneruskan perjuangan yang sudah kami rintis oleh pengurus sebelum kami maupun oleh periode kami.

Jadi jika disimpulkan pada kepemimpinan anda FOZ berfokus di mana?

Fokus kami yakni berkolaborasi pada hal-hal yang sangat mendasar dan strategis.

Apa saran anda kepada para pengurus baru FOZ?

Mungkin karena masyarakat sangat membutuhkan publikasi, maka ada baiknya pada kepengurusan 2009-2012 nanti agenda utamanya adalah bersinergi dan berkolaborasi antara Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) antar anggota FOZ dalam proses pengelolaan maupun penyaluran dana zakat, infaq dan shadaqah. Sebab salah satu yang membuat saya iri dari dunia perbankan adalah mereka bisa membuat ATM Bersama, bisa mengirim uang kita ke bank yang menjadi rekening kita, di mana mengirimnya dari bank lain ke bank lain. Hal semacam itu bisa dilakukan. Mereka sangat matang dan dewasa, ATM-nya ada di mana-mana dan mempermudah masyarakat untuk melakukan transaksi.

Mudah-mudahan, contoh ini bisa kita modifikasi dalam dunia zakat, khususnya dalam pengelolaan dan penyaluran yang kalau dikelola dengan baik saya yakin akan sangat berdampak bagi branding. Alhamdulillah, organisasi pengelola zakat nanti bisa sampai sejauh itu, dan insya Allah selanjutnya jalinan ukhuwah sangat kuat dan mesra demi mendistribusikan rahmat Allah kepada alam semesta khususnya di Nusantara.

Menurut anda hal apa saja yang menjadi agenda utama FOZ kedepan ?

Memang banyak sekali hal yang harus kita renungkan. Pertama Negara kita terdiri dari 33 provinsi dengan lebih dari 400 kabupaten/kota, yang jumlah penduduknya kira-kira mencapai 220 juta orang. Apakah mungkin zakat, infaq dan shodakoh bisa diurusi atau dikelola oleh Departemen Agama saja atau perlu ada lembaga baru. Kedua relatif hampir sama umur antara Badan Amil Zakat (BAZ) dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ), kebanyakan tidak lebih dari 10 tahun.

Maksudnya?

Maksudnya, FOZ kalau ditinjau dari sudut organisasi, usianya masih kanak-kanak. Sehingga mungkin ini munas kelima yang juga kali kelima bicara soal sinergi. Faktor kesulitannya bukan semakin hari semakin kecil, tapi semakin banyak. Idealnya memang belum mungkin mandiri, sehingga ketika diajak sinergi terjadi lompatan. Jadi sebenarnya mereka masih membutuhkan empowering untuk organisasi, amil maupun sistemnya. Belum lagi keluar masuknya pengurus BAZ atau LAZ, yang berpengaruh pada cepat atau lambatnya mereka dalam berkiprah di dunia zakat.

Lalu apalagi?

Ketiga, keheterogenan pengurus, terutama BAZ, termasuk juga LAZ. Ini tantangan tersendiri ketika harus berbicara sinergi. Ada yang mantan rektor, ada yang pedagang tegel, ada yang tidak lulus SMA. Ini berberpengaruh di dalam mengambil atau melihat keputusan-keputusan. Keempat, tuntutan dari donatur (muzakki) dan mustahik agar kita selalu membuat kinerja yang prima. Hal tersebut yang menyebabkan sinergi-sinergi yang sudah digagas acapkali tidak berjalan dengan baik. Mudah-mudahan pengurus baru nanti bisa membuat standarisasi kriteria unggul mutu manajemen zakat. Harapan kami kelak FOZ bisa meningkatkan akselerasi antara BAZ dan LAZ yang notabene masih belum matang pengaturan organisasinya yang dalam tempo relatif tidak terlalu lama.

Apakah publikasi yang selama ini di tempuh FOZ maupun OPZ sudah cukup memuaskan harapan?

Sinergi untuk membuat jurnal-jurnal ilmiah tentang zakat yang jumlahnya sampai saat ini memang masih minim atau bahkan belum ada. Kalau Majalah INFO+ itu sudah bagus, hanya masih kurang ilmiah. Jadi intinya, kita semua menyempurnakan dan mengimplementasikan standarisasi kriteria

kinerja unggul atau menstandarkan operasi daripada OPZ (Organisasi Pengelola Zakat). Kemudian bersinergi dengan teman-teman IAI untuk segera me-launching secara resmi PSAK zakat. Karena terakhir kemarin bulan Januari/Februari, sebetulnya tinggal menunggu fatwa enam perkara dari MUI. Jadi enam perkara ini sudah ada, tapi IAI ingin make sure. Ternyata DSN (Dewan Syariah Nasional) tidak berani, lalu dibawa ke fatwa MUI dan sudah dibahas di Padang Panjang. Pada dasarnya hal ini tinggal dieksekusi saja.

Apakah mungkin pengelolaan zakat di Indonesia dilakukan seperti pengelolaan perguruan tinggi? Kalau mengelola perguruan tinggi, ada PTN, ada PTS. Jadi tidak saling menafikan. Pemerintah mendukung PTS, juga mendukung PTN, karena ada BAN (Badan Akreditasi Nasional) yang ada di Diknas. Sebab kalau ada undang-undang zakat menunjuk departemen keuangan/departemen agama atau departemen lain membentuk badan akreditasi zakat?

Saya sepakat bahwa zakat ini wewenangnya negara. Dalam konteks Indonesia, saya pikir tepat pada zaman H. Tulus untuk mendorong dan memperjuangkan UU No. 38 sebagai permulaan yang sangat baik. Di mana pemerintah mendelegasikan wewenangnya kepada BAZ dan LAZ /direktur pemberdayaan zakat untuk menjadi operator dari zaakat, infaq dan shodakoh yang ada di Indonesia. Menurut saya, regulator/pengawas itu harus dipisah dengan operator.

Apakah zakat lebih dulu bisa mengentaskan kemiskinan di daerah? Bagaimana pola pemberian zakat sekaligus pembentukan forum zakat di daerah (tingkat kabupaten/provinsi)? Karena mengentaskan kemiskinan secara nasional itu berat.

Untuk LAZ daerah di tingkat dua (baca; kabupaten), sekarang sudah tidak ada. LAZ hanya ada di tingkat provinsi. Itupun sangat tidak mudah untuk mendirikannya. Untuk FOZ wilayah, kita sepakat untuk punya badan hukum dulu, yaitu asosiasi. Setelah itu, karena sudah sah, baru membuat AD/ART. Adapun yang terkait dengan FOZ wilayah ada di ART (anggaran rumah tangga). Mudah-mudahan di kepengurusan mendatang, ada pendirian FOZ wilayah di daerah-daerah yang belum ada (FOZ)-nya. Sementara yang sudah ada, semoga bisa berjalan secara leluasa berikut programnya masing-masing. Saya setuju sinergi bisa dimulai dari level daerah. Seperti kerjasama yang indah antara lembaga-lembaga zakat di Surabaya. [mus]

wawancara

ada baiknya pada kepengurusan 2009-2012 nanti agenda

utamanya adalah bersinergi dan berkolaborasi antara Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) antar anggota FOZ dalam proses pengelolaan

maupun penyaluran dana zakat, infaq dan shadaqah.

29

Page 32: Binder Majalah FOZ Edisi 1 Th 5

30

Presiden Zakat

Sejak tanggal 2 Juni 2009, masa kampanye pemilihan presiden telah dimulai. Tiga pasang calon presiden dan wakil presiden terus berlaga dalam menjajakan janji-janji untuk mengurus Indonesia pada lima tahun ke depan. Banyak sektor pembangunan coba diwacanakan rencana penanganannya. Sebagian dari janji kampanye itu telah membangkitkan harapan rakyat, tapi sebagian lagi tak mampu mengubah sikap apatis dan skeptis masyarakat terhadap perubahan kondisi dan nasib rakyat.

Bagi masyarakat yang masih memiliki harapan, ada banyak keinginan yang coba diusulkan. Keinginan dan harapan rakyat ini coba dijawab dengan setumpuk janji dan konsep tentang Indonesia masa depan. Setiap calon presiden dan wakil presiden berusaha menawarkan berbagai solusi atas permasalahan di berbagai bidang pembangunan. Para calon presiden dan wakil presiden berusaha menjadi presiden ideal dalam memberikan solusi penyelesaian sektor pembangunan atau bidang kehidupan yang terkait dengan rakyat.

Dalam kaitan masalah zakat, kita sesungguhnya mengharapkan agar presiden yang terpilih nanti adalah presiden zakat. Yang dimaksud dengan presiden zakat adalah presiden yang pro pada perkembangan zakat dan menijiwai nilai-nilai zakat. Pemihakan calon presiden terhadap soal zakat ini, tentu saja bukan hanya semata-mata ditunjukkan melalui janji kampanye, tetapi yang terpenting adalah ketika terpilih nanti betul-betul mengimplementasikan gambaran seorang presiden zakat.

Untuk dapat memenuhi harapan seorang presiden zakat, maka beberapa kriteria yang seharusnya dimiliki atau ditunjukkan seorang presiden Indonesia adalah :

1. Memiliki komitmen untuk terus mengembangkan zakat sebagai salah satu rukun Islam sekaligus ibadah sosial umat Islam yang dapat dilaksanakan dengan sepenuhnya sebagai bagian dari pelaksanaan jaminan kebebasan untuk beribadah bagi umat Islam sesuai

dengan keyakinan beragama umat Islam yang bersumber dari kitab suci dan sumber pokok ajaran Islam. Komitmen pengembangan zakat adalah pemihakan terhadap salah satu fondasi ajaran Islam yang potensial, akan tetapi selama ini tidak teroptimalkan dengan sebaik-baiknya.

2. Memiliki komitmen dan kesungguhan mengimplementasikan penataan zakat melalui pembuatan regulasi dan kebijakan dalam rangka terus mengembangkan tata kelola zakat Indonesia yang sesuai dengan aspek historis, tahapan perkembangan, aspirasi pelaku zakat dan cita-cita ideal zakat di Indonesia. Komitmen ini harus diturunkan melalui upaya revisi UU No. 38/1999 tentang pengelolaan zakat, pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres) yang mendukung upaya penguatan dan perluasan pelaksanaan serta penataan zakat di Indonesia.

3. Memilih dan menetapkan personil pengambil kebijakan yang terkait dengan zakat (seperti Menteri, Dirjen dan Direktur) yaitu orang-orang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam rangka melakukan pengaturan dan pengawasan pelaksanaan tata kelola zakat Indonesia. Para personil yang ditunjuk haruslah merupakan orang-orang yang mampu melakukan kerjasama dengan berbagai pihak dan kepentingan dalam urusan zakat di Indonesia, sekaligus memiliki visi yang jelas dalam mengarahkan perkembangan zakat di Indonesia.

4. Karena persoalan zakat memiliki keterkaitan langsung dengan pemenuhan kebutuhan dasar orang miskin dan untuk mengurangi jumlah orang miskin, maka pada substansinya, seorang presiden harus memiliki komitmen untuk secara sungguh-sungguh memenuhi kebutuhan dasar orang miskin (seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan) serta melakukan kegiatan pengentasan kemiskinan secara terarah dan mendalam sehingga mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Komitmen dalam pemenuhan kebutuhan dasar orang

miskin dan pengatasan kemiskinan ini tercermin dalam proporsi alokasi anggaran yang betul-betul mengutamakan anggaran untuk sektor penanganan kemiskinan. Bila program pengatasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah berhasil baik, maka relevansinya akan sangat membantu program pemberdayaan zakat yang selaras dalam memperbaiki kehidupan masyarakat bawah.

Kepengurusan FOZ Nasional periode 2009 – 2012 yang baru terbentuk, sebagai Asosiasi Organisasi Pengelola Zakat Indonesia, memiliki harapan yang besar untuk terus memperbaiki kondisi perzakatan di Indonesia. Harapan FOZ untuk perbaikan zakat di Indonesia melingkupi aspek arah masa depan, regulasi, kelembagaan, perbaikan manajemen dan mobilisasi dan pendayagunaan zakat di Indonesia. Harapan dan rencana FOZ ini akan sangat terdukung perwujudannya, apabila Presiden Indonesia yang terpilih nanti adalah Presiden Zakat !

catatan akhir

H.Ahmad Juwaini, SE., MM.Ketua Umum FOZ Periode 2009-2012