bilmbing wuluh

47
POTENSI EKSTRAK ETANOL BUAH BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) SEBAGAI ALTERNATIF SEDIAAN DIURETIKA ALAMI FITRIYAH YUSKHA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Transcript of bilmbing wuluh

POTENSI EKSTRAK ETANOL BUAH BELIMBING WULUH

(Averrhoa bilimbi L.) SEBAGAI ALTERNATIF SEDIAAN

DIURETIKA ALAMI

FITRIYAH YUSKHA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

ABSTRAK

FITRIYAH YUSKHA. Potensi Ekstrak Etanol Buah Belimbing Wuluh(Averrhoa bilimbi L) sebagai Alternatif Sediaan Diuretika Alami. Dibimbing olehNastiti Kusumorini dan Andriyanto.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data potensi ekstrak etanolbuah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) sebagai diuretika alami. Penelitiandilakukan di laboratorium Bagian Farmakologi dan Toksikologi, FakultasKedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian menggunakan mencitjantan sebagai hewan coba dan ekstrak etanol buah belimbing wuluh sebagaibahan uji. Tiga puluh ekor mencit jantan dibagi menjadi 6 kelompok, yaitukelompok 1 (diperlakukan dengan larutan salin tween 80 sebagai kontrol negatif1), kelompok 2 (diperlakukan dengan larutan urea dosis 500 mg/kg BB sebagaikontrol positif 1), kelompok 3 (diperlakukan dengan larutan furosamide dosis 3mg/kg BB sebagai kontrol positif 2), kelompok 4 (ekstrak etanol buah belimbingwuluh dosis 2.5g/kg BB ), kelompok 5 (ekstrak etanol buah belimbing wuluhdosis 5g/kg BB) dan kelompok 6 (diperlakukan dengan aquades sebagai kontrolnegatif 2). Aktivitas diuretika diperoleh dari pengukuran volume urin setiap jamselama 5 jam pengamatan. Hasil penelitian menunjukan bahwa ekstrak etanolbuah belimbing wuluh pada dosis 2.5g/kg BB dapat memberikan aktivitasdiuretika kuat pada jam ke-2 dan mencapai maksimum pada jam ke-3pengamatan. Sebaliknya, dosis 5g/kg BB menunjukan aktivitas diuretika yangtidak teratur sehingga dapat dikatakan pada dosis 5g/kg BB sudah tidak efektifdigunakan sebagai diuretika alami. Data aktivitas diuretika dari ekstrak etanolbuah belimbing wuluh berperan penting dalam pengaturan dosis pemakaian buahbelimbing wuluh sebagai bahan diuretika.

Kata kunci: Averrhoa bilimbi L, Aktifitas diuretika

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Potensi Ekstrak Etanol Buah

Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) sebagai Alternatif Sediaan Diuretika

Alami adalah hasil karya saya dengan arahan pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2008

Fitriyah Yuskha

NIM B04104043

POTENSI EKSTRAK ETANOL BUAH BELIMBING WULUH(Averrhoa bilimbi L.) SEBAGAI ALTERNATIF SEDIAAN

DIURETIKA ALAMI

FITRIYAH YUSKHA

SkripsiSebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokeran Hewan padaFakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWANINSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

Judul Penelitian : Potensi Ekstrak Etanol Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa

bilimbi L.) sebagai Alternatif Sediaan Diuretika Alami

Nama : Fitriyah Yuskha

Nrp : B04104043

Disetujui

Dr. Nastiti KusumoriniPembimbing I

Drh. AndriyantoPembimbing II

Diketahui

Dr. Nastiti KusumoriniWakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal lulus:

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmatnya penulis dapat

menyusun dan menyelesaikan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk

menyelesaikan studi sarjana kedokteran hewan di Fakultas Kedokteran Hewan,

Institut Pertanian Bogor.

Dalam skripsi ini, penulis melakukan penelitian tentang potensi ekstrak

etanol buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) sebagai diuretika alami.

Dengan dilakukan penelitian ini, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan

buah belimbing wuluh sebagai bahan diuretika alami.

Selesainya penyusunan skripsi ini tidak terlepas oleh adanya bantuan dan

kerjasama yang baik dari berbagai pihak. Ucapan terimakasih penulis ucapkan

kepada:

1. Dr. Nastiti Kusumorini dan drh. Andriyanto selaku pembimbing skripsi.

2. Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih Apt. Msc selaku penguji.

3. Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt, Msi selaku penilai seminar skripsi.

4. drh. Isdoni M.Biomed selaku moderator pada seminar skripsi.

5. Bapak Edi serta staf Laboratorium Bagian Farmakologi dan Toksikologi

atas kerjasama dan bantuannya selama penelitian.

6. Gestar Rheido, Gusmayanti, R. Enen Rosi Manggung, Yulia Suci, Sugi,

dan Gugi atas kerjasama dan bantuannya dalam penelitian.

7. Teman-teman RC (Wahyu, Betty, Mungky, Ana, Puput, Yus, dan Getri)

yang telah banyak mendukung.

8. Seluruh Asteroidea ’41 yang sangat dibanggakan.

9. Ungkapan terimakasih yang terdalam disampaikan kepada kedua orangtua,

adik-adikku (Ijat, Imil, Fauzi) serta seluruh keluarga, atas segala doa dan

kasih sayangnya.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2008

Fitriyah Yuskha

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Balai Selasa Kec. Ranah Pesisir Kab. Pesisir Selatan

Prov. Sumatera Barat, pada tanggal 19 Februari 1986 dari ayah yang bernama Drs.

Khairuman dan ibu yang bernama Yusniar. Penulis merupakan anak pertama dari

empat bersaudara.

Tahun 2004 penulis lulus SMU Negeri 1 Ranah Pesisir Kab. Pesisir

Selatan Prov. Sumatera Barat dan pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi

masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB

(USMI) dan memilih Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti beberapa organisasi

internal kampus seperti Himpunan Minat Profesi Ruminansia, dan Himpunan

Minat Profesi Ornithologi. Selain itu penulis juga aktif dalam Forum Komunikasi

Mahasiswa Pesisir Selatan (FKMPS).

DAFTAR ISI

HalamanDAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix

DAFTAR TABEL.......................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. xi

PENDAHULUAN ......................................................................................... 1Latar belakang.................................................................................... 1Tujuan ................................................................................................ 2Manfaat .............................................................................................. 2

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3Ginjal dan Perannya dalam Pembentukan Urin ................................. 3

Tubulus Proksimal ................................................................. 4Ansa Henle ............................................................................. 4Tubulus Distalis ..................................................................... 5Tubulus Koligentes ................................................................ 6

Diuretika............................................................................................. 7Diuretik Osmotik.................................................................... 7Diuretik Penghambat Karbonik Anhidrase ............................ 8Diuretik Tiazid ....................................................................... 8Diuretik Hemat Kalium.......................................................... 9Diuretik Lengkung (Loop diuretik)...................................... 10

Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) .......................................... 11Klasifikasi Belimbing Wuluh............................................... 11Kandungan Kimia Belimbing Wuluh................................... 13Ekstrak Etanol Buah Belimbing Wuluh............................... 13

Biologi Mencit (Mus musculus) ....................................................... 14

METODOLOGI PENELITIAN................................................................... 16Tempat dan Waktu Peneliitian......................................................... 16Alat dan Bahan................................................................................. 16Persiapan Penelitian ......................................................................... 16

Aklimasi Hewan Coba ......................................................... 16Pelaksanaan Penelitan ...................................................................... 17

Pengelompokan Hewan coba ............................................... 17Pengambilan Data ................................................................ 18

Analisis Data .................................................................................... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................... 20Volume Urin .................................................................................... 20Persentase Ekskresi Urin.................................................................. 21Kerja Diuretika................................................................................. 22Aktivitas Diuretika ........................................................................... 23

KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................... 27Kesimpulan ...................................................................................... 27Saran................................................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 28

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Mekanisme aliran darah pada nefron ........................................... 3Gambar 2 Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L)..................................... 12Gambar 3 Mencit (Mus musculus) .............................................................. 14Gambar 4 Kandang Metabolisme................................................................ 18Gambar 5 Diagram Pelaksanaan penelitian ................................................ 18

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Data rataan volume urin (ml) kumulatif mencit............................. 20Tabel 2 Hasil perhitungan ekskresi urin (%) mencit................................... 21Tabel 3 Hasil perhitungan kerja diuretika mencit ....................................... 22Tabel 4 Hasil perhitungan aktivitas diuretika ............................................. 23

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Komposisi pakan mencit (Mus musculus) ............................... 32Lampiran 2 Perhitungan dosis..................................................................... 33Lampiran 3 Aktivitas diuretika berdasarkan skala Gujral........................... 34Lampiran 4 Grafik aktivitas diuretika ekstrak etanol buah

belimbing wuluh ..................................................................... 35

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah negara tropis dengan keanekaragaman hayati yang tinggi.

Hal tersebut dibuktikan dari sekitar 40.000 spesies tanaman obat di seluruh dunia,

30.000 spesies diantaranya terdapat di Indonesia. Sayangnya sejauh ini, Indonesia

baru memanfaatkan sekitar 180 spesies sebagai bahan baku obat tradisional dari

sekitar 950 spesies yang sudah teridentifikasi berkhasiat sebagai obat (Anonimus

2006).

Penggunaan tanaman obat sudah dikenal dan digunakan sejak nenek

moyang kita. Sebagian besar dari tanaman obat yang digunakan masyarakat

sekarang ini adalah warisan turun temurun dari nenek moyang yang kemudian

dikenal sebagai obat tradisional. Obat tradisional biasanya digunakan berdasarkan

pengalaman empiris. Salah satu diantara tumbuhan yang berkhasiat secara

empiris adalah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.). Masyarakat mempercayai

buah belimbing wuluh berkhasiat untuk memperlancar pengeluaran air kencing

(diuretika). Selain itu, belimbing wuluh juga dipercaya berkhasiat untuk

mengatasi batuk rejan, gusi berdarah, sariawan, sakit gigi berlubang, jerawat,

panu, tekanan darah tinggi, kelumpuhan, dan memperbaiki fungsi pencernaan

yang disebabkan oleh radang rektum (Anonimus 2005).

Diuretika merupakan sediaan obat yang penting dalam dunia kedokteran.

Diuretika adalah salah satu obat yang digunakan untuk mengatasi hipertensi

(Benowitz 2001). Diuretika sebaiknya digunakan sebagai pengobatan pertama

dalam mengatasi hipertensi sebelum diberikan obat antihipertensi lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Gupta dan Neyses (2005) mengungkapkan bahwa

obat diuretika ini bekerja lebih baik dibandingkan obat antihipertensi lainnya dan

menurunkan resiko untuk penderita penyakit jantung.

Pengobatan menggunakan tanaman obat lebih dianjurkan mengingat

tanaman obat memiliki efek samping relatif rendah dibanding obat sintetik.

Selain itu, obat tradisional memiliki ketersediaan yang melimpah, murah, hanya

saja dosis, waktu, dan cara penggunaan perlu diperhatikan. Hal tersebut perlu

dipertimbangkan karena beberapa tanaman mempunyai ambang batas dosis yang

memberikan khasiat tertentu, sehingga dengan menkonsumsi dosis optimal, suatu

tanaman mampu mengatasi kelainan fisiologis yang muncul. Namun demikian,

bukan berarti jika dosis ditambah secara otomatis juga berdampak positif

melainkan dapat menimbulkan efek toksik (Duryatmo 2003).

Mengingat pentingnya diuretika ini maka perlu dilakukan eksplorasi

sediaan untuk membuktikan secara ilmiah penggunaan ekstrak etanol buah

belimbing wuluh sebagai sediaan diuretika. Selain itu, penelitian ini diharapkan

akan memperoleh dosis optimal ekstrak etanol buah belimbing wuluh sebagai

diuretika alami.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah

1. Memperoleh data awal potensi ekstrak etanol buah belimbing wuluh

(Averrhoa bilimbi L.) sebagai diuretika.

2. Meningkatkan nilai ekonomi buah belimbing wuluh sebagai obat diuretika

dalam meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Manfaat

Secara empiris buah belimbing wuluh sudah diketahui memiliki efek

diuretika, akan tetapi belum memiliki bukti ilmiah yang akurat dan dosis yang

tepat dalam penggunaannya. Penelitian ini akan memberikan informasi tentang

dosis optimal dalam penggunaan belimbing wuluh, sehingga masyarakat dapat

memanfaatkannya dengan baik dan benar.

Penggunaan tanaman obat sebagai obat diuretika juga relatif lebih murah

dibandingkan obat sintetik dan memiliki efek samping yang rendah. Dengan

demikian masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya yang terlalu besar untuk

memperoleh obat diuretik. Selain itu penelitian ini juga akan meningkatkan nilai

ekonomi dan manfaat buah belimbing wuluh.

TINJAUAN PUSTAKA

Ginjal dan Perannya dalam Pembentukan Urin

Ginjal merupakan organ tubuh yang berperan penting untuk membuang

sisa metabolisme yang diangkut dalam sirkulasi darah. Bersama dengan paru-

paru, ginjal juga berperan penting dalam menjaga homeostasis tubuh. Unit

fungsional ginjal yang terdiri dari tubulus dan glomerolus akan membentuk satu

kesatuan yang disebut nefron. Ukuran ginjal berbagai spesies hewan ditentukan

oleh jumlah nefron yang membentuknya (Ganong 2002).

Proses pembentukan urin oleh ginjal terjadi dalam tiap nefron. Secara

garis besar proses tersebut berlangsung melalui tiga tahap, yaitu filtrasi

glomerulus, reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus. Pembentukan urin dimulai

dengan filtrasi sejumlah besar cairan melalui kapiler glomerulus ke dalam kapsula

bowman. Reabsorbsi dan sekresi terjadi sewaktu filtrat glomerulus memasuki

tubulus ginjal. Filtrat ini mengalir melalui bagian-bagian tubulus sebagai berikut,

tubulus proksimalis, ansa henle, tubulus distalis, tubulus koligentes dan duktus

koligentes sebelum diekskresikan sebagai urin. Mekanisme aliran darah pada

nefron dapat disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Mekanisme aliran darah pada nefron (Colville et al. 2002)

Adapun mekanisme transport pada tubulus proksimalis, ansa henle,

tubulus distalis, dan tubulus koligentes dapat disajikan sebagai berikut.

Tubulus Proksimal

Tubulus proksimalis merupakan tubulus nefron pertama yang dilewati oleh

filtrat glomerulus setelah proses filtrasi dari glomerulus. Tubulus proksimal akan

mereabsorbsi elektrolit, air dan mereabsorbsi sekitar 65% natrium, klorida,

bikarbonat, dan kalium yang difiltrasi serta semua glukosa dan semua asam amino

yang telah difiltrasi secara aktif (Guyton 1997). Umumnya glukosa dan asam

amino akan direabsorbsi secara sempurna. Akan tetapi pada keadaan jumlah zat-

zat tersebut dalam filtrat glomerulus melampaui nilai ambang tertentu maka akan

diekskresikan melalui urin. Tubulus proksimal juga mensekresikan asam-asam

organik, basa, dan ion hidrogen ke dalam lumen tubulus (Guyton 1997).

Dari berbagai larutan yang direabsorbsi dalam tubulus proksimal, yang

paling relevan terhadap kerja diuretikanya adalah natrium bikarbonat (Katzung

2001). Sekitar 90% bikarbonat direabsorbsi secara tidak langsung dari tubulus

proksimal melalui pertukaran Na+/H+. H+ yang disekresi ke dalam lumen tubulus

(sebagai penukar Na+) akan berikatan dengan HCO3- yang terdapat dalam filtrat

glomerulus sehingga terbentuk asam karbonat (H2CO3). Asam karbonat (H2CO3)

akan berdisosiasi menjadi air (H2O) dan karbondioksida (CO2). H2O dan CO2

akan berdifusi keluar lumen tubulus, masuk ke sel tubulus. Dalam sel tubulus,

karbonik anhidrase akan mengatalisis kembali reaksi H2O dan CO2 membentuk

H2CO3. Disosiasi H2CO3 menghasilkan HCO3- dan H+. H+ Disekresi kembali dan

HCO3- akan masuk ke dalam darah peritubular bersama dengan Na+ (Wilson

2005).

Ansa Henle

Ansa henle merupakan lanjutan dari nefron tubulus proksimalis. Ansa

henle nefron jukstamedularis memanjang sampai ke piramis medula ginjal

sebelum mengalirkan cairannya ke tubulus kontortus distalis di korteks (Ganong

2002). Ansa henle memiliki tiga segmen fungsional yaitu segmen tipis desenden,

segmen tipis asenden, dan segmen tebal asenden.

Bagian desenden segmen tipis sangat permiabel terhadap air dan sedikit

permiabel terhadap kebanyakan zat terlarut, termasuk ureum dan natrium. Fungsi

segmen nefron ini terutama untuk memungkinkan difusi zat-zat secara sederhana

melalui dindingnya. Sekitar 20% dari air yang difiltrasi akan direabsorbsi di ansa

henle, dan hampir semuanya terjadi dilengkung tipis desenden karena lengkung

asenden, dan segmen tebal asenden tidak permiabel terhadap air (Sirupang 2007).

Segmen tebal asenden ansa henle mereabsorbsi sekitar 25% dari muatan

natrium, klorida, dan kalium yang difiltrasi, serta sejumlah besar kalsium

bikarbonat, dan magnesium (Guyton 1997). Akan tetapi pada segmen tebal

asenden ansa henle tidak mereabsorbsi air, sehingga cairan pada lumen berubah

menjadi hipotonis (Septi et al. 2007).

Sistem transport ion-ion pada sel epitel ansa henle terdiri dari kotransport

Na+/K+/2Cl- pada membran apikal lumen, pompa Na+/K-ATPase pada membran

basolateral, dan kotransport K+/Cl- pada membran basolateral. Reabsorbsi ion

Na+, K+, dan Cl- pada lumen ansa henle diperantarai oleh kotransporter

Na+/K+/2Cl-. Walaupun transporter Na+/K+/2Cl- secara elektris netral (dua kation

dan dua anion bersama-sama ditransport), kerja transporter menimbulkan

akumulasi K+ berlebihan di dalam sel, karena Na+/K-ATPase juga memompa

kalium ke dalam sel. Tingginya K+ di dalam sel mengakibatkan K+ berdifusi ke

lumen. Hal ini menyebabkan perkembangan potensial elektris positif lumen.

Potensial elektris positif lumen akibat kelebihan ion K+ akan mengakibatkan

reabsorbsi ion-ion kation divalen seperti Mg2+ dan Ca2+ (Katzung 2001).

Tubulus Distalis

Tubulus distalis merupakan lanjutan ansa henle asenden bagian tebal.

Segmen tubulus distalis relatif tidak permiabel terhadap air, sehingga berperan

dalam pengenceran urin. Reabsorbsi NaCl pada tubulus distalis lebih sedikit

jumlahnya dibanding tubulus proksimal dan ansa henle. Mekanisme transport

NaCl dalam tubulus distal terjadi melalui kotransport Na+/Cl- dan merupakan

kotransport netral. Sama halnya dengan semua sel tubulus, pompa Na+/K+ATPase

terdapat pada membran basolateral, namun transporter tersebut tidak

menimbulkan akumulasi ion K+ berlebih pada tubulus distal. Kalium pada

tubulus distal tidak didaur ulang sehingga tidak terdapat potensial positif lumen

pada segmen tersebut, dan ion Ca2+ sarta Mg2+ tidak digerakan keluar lumen

tubulus (Katzung 2001).

Tubulus Koligentes

Tubulus koligentes terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kortikal dan

bagian medula yang mengalirkan cairan filtrat dari daerah korteks menuju pelvis

renalis. Sel-sel pada epitel tubulus koligentes terdiri atas dua tipe sel, yaitu sel

utama (principal cell) dan sel interkalasi (intercalated cell). Sel utama akan

mereabsorbsi ion Na+ dari lumen dan mensekresi ion-ion K+ ke dalam lumen. Sel

interkalasi berperan dalam mereabsorbsi HCO3- dari lumen dan mensekresikan ion

H+ ke dalam lumen (Guyton 1997).

Perubahan-perubahan osmolalitas dan volume di duktus koligentes

bergantung pada banyaknya vasopresin yang bekerja pada duktus. Hormon

antidiuretik ini berasal dari kelenjar hipofise dan akan meningkatkan permiabilitas

duktus koligentes terhadap air. Cairan lumen tubulus yang awalnya hipotonis

maka dengan adanya vasopresin dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan

berpindahnya cairan lumen tubulus ke interstisium kortek, sehingga cairan lumen

tubulus kembali isotonik. Dengan cara ini, sebanyak 10% air yang difiltrasi akan

direabsorbsi pada tubulus koligentes (Ganong 2002).

Tubulus koligentes merupakan tempat terakhir penentuan konsentrasi ion

Na+ dalam urin. Hormon aldosteron memiliki peranan dalam meningkatkan

reabsorbsi ion Na+ dan sekresi ion K+ pada tubulus koligentes. Hormon

aldosteron meningkatkan reabsorbsi ion Na+ dengan cara meningkatkan aktivitas

kanal ion pada membran apikal tubulus. Semakin banyak aldosteron dibebaskan

maka semakin banyak kanal ion natrium yang tersedia (Mutschler 1991).

Banyaknya air yang diabsorbsi pada bagian tubulus ini tergantung pada

permiabilitas membran sel lumen terhadap air yang nantinya akan menentukan

konsentrasi akhir urin.

Diuretika

Diuretika adalah suatu zat yang meningkatkan pembentukan urin. Istilah

diuretika mempunyai dua pengertian, pertama menunjukan peningkatan

persentase volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukan jumlah

pengeluaran atau ekskresi zat-zat yang terlarut dan air. Fungsi utama diuretika

adalah untuk memobilisasi cairan udema, yang berarti mengubah keseimbangan

cairan sehingga cairan ekstrasel kembali normal (Ganiswarna et al. 1995).

Sebagian besar diuretika yang dipakai secara klinik bekerja dengan cara

menurunkan laju reabsorbsi natrium dari tubulus, yang kemudian akan

menyebabkan natriuresis (peningkatan keluaran natrium) dan kemudian

menimbulkan diuresis, yaitu peningkatan keluaran air (Guyton 1997).

Pengaruh diuretika terhadap ekskresi zat terlarut penting artinya untuk

menentukan tempat kerja diuretik. Berdasarkan cara kerjanya, diuretik dapat di

golongkan menjadi 4 golongan, yaitu diuretik osmotik, diuretik penghambat

karbonik anhidrase, diuretik tiazid, dan diuretik hemat kalium.

Diuretik Osmotik

Diuretik osmotik merupakan diuretik yang bekerja menurunkan reabsorbsi

air dengan meningkatkan tekanan osmotik cairan tubulus (Katzung 2001). Suatu

zat bertindak sebagai diuretik osmotik apabila (a) difiltrasi secara bebas oleh

glomerulus; (b) tidak atau hanya sedikit direabsorbsi sel tubuli ginjal; (c) secara

farmakologis merupakan zat yang inert (zat yang tidak bereaksi dengan unsur

lain); dan (d) umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan metabolik.

Sediaan yang termasuk golongan ini diantaranya manitol, urea, gliserin, dan

isosorbid (Ganiswarna et al. 1995).

Keberadaan zat yang tidak dapat direabsorbsi di dalam lumen tubulus

seperti manitol, urea, gliserin, dan isosorbid dapat menghambat absorbsi normal

air. Hal ini disebabkan oleh tekanan osmotik lumen tubulus menjadi meningkat

sehingga air akan terdifusi dari dalam sel menuju lumen. Kejadian ini akan

menyebabkan peningkatan volume air dalam urin. Peningkatan yang cukup besar

pada laju aliran urin akan menurunkan waktu kontak antara cairan dan epitel

tubulus, sehingga menurunkan reabsorbsi Na+. Namun demikian, natriuresis yang

dihasilkan lebih kecil dari pada diuresis air (Katzung 2001).

Diuretik osmotik bekerja pada tubulus proksimal, ansa henle, dan duktus

koligentes. Pada tubulus proksimal, diuretik osmotik bekerja dengan cara

menghambat reabsorbsi natrium dan air melalui daya osmotiknya. Pada ansa

henle, diuretik osmotik bekerja dengan menghambat reabsorbsi natrium dan air

oleh karena hiperosmolaritas daerah medula menurun, sedangkan pada duktus

koligentes diuretik osmotik bekerja dengan menghambat reabsorbsi natrium dan

air akibat adanya kecepatan aliran filtrat yang tinggi (Sirupang 2007).

Diuretik Penghambat Karbonik Anhidrase

Golongan diuretik ini bekerja pada tubulus proksimalis dengan cara

menghambat aktivitas enzim karbonik anhidrase. Karbonik anhidrase adalah

enzim yang mengkatalis reaksi CO2 + H2O ↔ H2CO3 (Guyton 1997). Enzim

karbonik anhidrase dapat dihambat oleh sianida, azida, dan sulfida. Derifat

sulfonamid yang juga dapat menghambat kerja enzim ini adalah asetazolamid dan

diklorofenamid (Sirupang 2007).

Penghambatan aktivitas enzim karbonik anhidrase mengakibatkan sekresi

H+ oleh tubuli berkurang karena pembentukan H+ dan HCO3- yang berkurang

dalam sel tubuli. Berkurangnya sekresi H+ mengakibatkan pertukaran Na+ dan H+

terhambat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya ekskresi bikarbonat, natrium

dan kalium melalui urin. Bertambahnya ekskresi kalium disebabkan oleh

pertukaran Na+ dan K+ menjadi lebih aktif menggantikan pertukaran dengan H+.

Meningkatnya ekskresi elektrolit menyebabkan meningkatnya tekanan osmotik

pada cairan lumen sehingga terjadi difusi air ke dalam lumen mengakibatkan

bertambahnya ekskresi air (Sirupang 2007).

Diuretik Tiazid

Golongan diuretik tiazid secara formal disebut benzotiazid, yang lazim

disingkat dengan tiazid. Efek farmakodinamik tiazid yang utama adalah

meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan sejumlah air. Efek natriuresis dan

kloruresis ini disebabkan oleh penghambatan kotransport ion Na+ dan Cl- pada

awal tubuli distal (early distal tubuli). Golongan diuretik tiazid antara lain

klorotiazid, hidroklorotiazid, klortalidon, indapamid, dan hidroflumetiazid (Brater

1998)

Laju ekskresi Na+ maksimal yang ditimbulkan oleh tiazid relatif lebih

rendah dibandingkan dengan yang dicapai oleh beberapa diuretik lain. Hal ini

disebabkan karena 90% Na+ dalam cairan filtrat telah direabsorbsi lebih dahulu

sebelum mencapai tubulus distalis. Efek kaliuresis disebabkan oleh bertambahnya

natriuresis sehingga pertukaran antara Na+ dan K+ menjadi lebih aktif pada tubuli

distal (Ganiswarna et al. 1995).

Pertukaran Na+ dengan K+ juga menjadi lebih aktif pada penderita udema

karena sekresi aldosteron bertambah. Ekskresi natrium yang berlebihan tanpa

disertai jumlah air yang sebanding dapat menyebabkan hiponatremia dan

hipokloremia, terutama bila penderita tersebut mendapat diet rendah garam.

Namun demikian secara keseluruhan golongan tiazid cenderung menimbulkan

gangguan komposisi cairan ekstrasel yang ringan bila dibandingkan dengan

diuretik kuat, karena intensitas diuresis yang ditimbulkannya relatif lebih rendah

(Sirupang 2007).

Diuretik Hemat Kalium

Diuretik hemat kalium merupakan golongan diuretik yang bekerja

menghambat reabsorbsi natrium dan sekresi kalium pada hilir tubuli distal dan

duktus koligentes daerah korteks. Penghambatan reabsorbsi ion natrium oleh

kompetitif aldosteron dapat terjadi dengan antagonisme langsung dan tidak

langsung. Penghambatan langsung terjadi pada reseptor aldosteron dalam sel

tubulus, seperti pada jenis diuretik spirolonakton sedangkan penghambatan aliran

ion natrium melalui kanal ion pada membran luminal, seperti jenis diuretik

triamteren (Katzung 2001).

Aldosteron adalah mineralkortikoid endogen yang paling kuat. Peranan

utama aldosteron adalah memperbesar reabsorbsi Na+ dan Cl- di tubuli serta

memperbesar ekskresi K. Jadi pada hiperaldosteronisme, akan terjadi penurunan

kadar kalium dan alkalosis metabolik karena reabsorbsi HCO3- dan sekresi H+

yang bertambah. Mekanisme kerja antagonis aldosteron adalah penghambatan

kompetitif terhadap aldosteron. Jadi dengan pemberian antagonis aldosteron,

reasorbsi Na+ dihilir tubuli distal dan duktus koligentes dikurangi, dengan

demikian ekskresi K+ juga berkurang (Sirupang 2007).

Berbeda dengan spironolakton, triamteren tidak didasarkan pada antagonis

aldosteron. Triamteren bekerja dengan memblok saluran natrium dalam tubulus

distal akhir dan tubulus koligentes. Terbloknya saluran natrium mengakibatkan

reabsorbsi natrium menurun. Berkurangnya reabsorbsi natrium mengakibatkan

turunnya perbedaan potensial listrik transtubular, yang selanjutnya akan

menghambat sekresi K+ (Mutschler 1991).

Diuretik hemat kalium merupakan diuretik lemah. Penggunaannya

terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah atau mengurangi

hipokalemia dari diuretik lain karena diuretik hemat kalium dapat menyebabkan

hiperkalemia (Ganiswarna et al. 1995).

Diuretik Lengkung (Loop diuretik)

Diuretik lengkung merupakan golongan diuretik yang bekerja dengan

menghambat reabsorbsi elektrolit di bagian epitel tebal ansa henle asendens

dengan menghambat ko-transport 1-natrium, 2-klorida, 1-kalium yang terletak di

membran luminal sel-sel epitel tubulus. Sediaan yang termasuk golongan ini,

yaitu furosemid, asam etakrinat, dan bumetanid. Golongan ini merupakan diuretik

terkuat yang dipakai secara klinis (Mutschler 1991).

Penghambatan kotransport 1-natrium, 2-klorida, 1-kalium akan

menurunkan reabsorbsi NaCl pada tubulus yang selanjutnya akan dikeluarkan

bersama urin. Penghambatan reabsorbsi NaCl akan menurunkan reabsorbsi kation

divalen seperti Mg2+ dan Ca2+ yang menyebabkan peningkatan ion-ion divalen

tersebut di dalam lumen (Katzung 2001). Peningkatan jumlah zat terlarut dalam

lumen mengakibatkan meningkatnya tekanan osmotik lumen. Hal ini

menyebabkan berdifusinya air dari dalam sel menuju lumen sehingga ekskresi air

dalam urin akan meningkat (Guyton 1997).

Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L)

Klasifikasi Belimbing Wuluh

Belimbing wuluh adalah sejenis belimbing yang diperkirakan berasal dari

kepulauan Maluku, yang kemudian dikembangbiakkan serta tumbuh bebas di

Indonesia, Filipina, Sri Lanka dan Myanmar (Inyu 2006). Buahnya yang

memiliki rasa asam sering digunakan sebagai bumbu masakan dan campuran

ramuan jamu.

Belimbing wuluh di Indonesia dikenal dengan pohon buah, dan terkadang

tumbuh liar pada tempat yang tidak ternaungi dan cukup lembab. Tumbuhan ini

tumbuh di daerah dengan ketinggian hingga 500 meter di atas permukaan laut.

Menurut Inyu 2006, klasifikasi tanaman belimbing wuluh dapat diuraikan sebagai

berikut.

Regnum : Plantae

Divisio : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Oxalidales

Familia : Oxalidaceae

Genus : Averrhoa

Spesies : Averrhoea bilimbi Linn

Adapun morfologi dari tumbuhan ini, memiliki batang yang tidak begitu

besar, mempunyai garis tengah sekitar 30cm, dan tinggi mencapai 10m.

Belimbing wuluh mempunyai batang kasar berbenjol-benjol dan memiliki

percabangan sedikit. Cabang muda berambut halus seperti beludru, warnanya

coklat muda. Daun berupa daun majemuk menyirip ganjil dengan 21 sampai

dengan 45 pasang anak daun. Anak daun bertangkai pendek, bentuknya bulat

telur, ujung runcing, pangkal membundar, tepi rata, panjang 2 sampai dengan

10cm, lebar 1 sampai dengan 3cm, warnanya hijau, permukaan bawah hijau muda.

Perbungaan belimbing wuluh ini berkelompok, keluar dari batang atau

percabangan yang besar, bunga kecil-kecil berbentuk bintang, warnanya ungu

kemerahan (Wijayakusuma 2005).

Bentuk buah belimbing wuluh adalah bulat lonjong bersegi (gambar 2),

panjang 4 sampai dengan 6,5 cm, warnanya hijau kekuningan, bila masak berair

banyak, rasanya asam. Buah belimbing wuluh sering digunakan sebagai sirup

penyegar, bahan penyedap masakan, membersihkan noda pada kain,

mengkilapkan barang-barang yang terbuat dari kuningan, membersihkan tangan

yang kotor atau sebagai bahan obat tradisional (Inyu 2006).

Gambar 2 Belimbing Wuluh (Anonimus 2005)

Menurut Wijayakusuma 2005, belimbing wuluh di Indonesia memiliki

nama berbeda-beda tiap daerahnya, seperti di Aceh belimbing wuluh dikenal

dengan limeng, selimeng, thlimeng, di Batak dikenal dengan Asom, belimbing,

balimbingan, di Nias dikenal dengan malimbi, di Minangkabau dikenal dengan

balimbieng, di Lampung dikenal dengan Balimbing, di Sunda dikenal dengan

calincing, balingbing, di Jawa dikenal dengan belimbing wuluh, di Madura

(bhalingbhing bulu), di Bali (blimbing buloh), di Bugis (celene).

Penyakit yang dapat diobati dengan pemanfaatan belimbing wuluh

diantaranya batuk, sariawan (stomatitis), sakit perut, gondongan (parotitis)

rematik, batuk rejan, gusi berdarah, sariawan, sakit gigi berlubang, jerawat, panu,

tekanan darah tinggi (hipertensi), kelumpuhan, memperbaiki fungsi pencernaan,

radang rektum (Anonimus 2005).

Kandungan Kimia Belimbing Wuluh

Sifat kimia dan efek farmakologis tumbuhan belimbing wuluh adalah

buahnya berasa asam, menghilangkan sakit (analgetik), memperbanyak

pengeluaran empedu, anti radang, peluruh kencing, dan sebagai astringent

(Wijayakusuma 2005). Artsringen adalah obat yang bekerja lokal dengan

mengendapkan protein darah sehingga pendarahan dapat dihentikan (Ganiswarna

et al. 1995). Kandungan zat aktif pada belimbing wuluh diantaranya saponin,

tanin, flavonoid, glukosida, asam formiat, asam sitrat, dan beberapa mineral

terutama kalsium dan kalium (Mursito 2005).

Flavonoid adalah golongan fenol alam terbesar yang diketahui mempunyai

berbagai khasiat, seperti antiradang, memperlancar pengeluaran air seni, antivirus,

anti jamur, antibakteri, antihipertensi, mampu menjaga dan meningkatkan kerja

pembuluh darah kapiler (Anonimus 2007).

Saponin merupakan glikosida yang memiliki sifat khas membentuk busa.

Saponin terdiri atas aglikon polisiklik yang disebut sapogenin dan gula sebagai

glikon. Sapogenin hadir dalam dua bentuk yaitu steroid dan triterpenoid. Adanya

saponin dalam tanaman diindikasikan dengan adanya rasa pahit, bila dicampur

dengan air akan membentuk busa stabil serta membentuk molekul dengan

kolesterol (Cheek 2005).

Ekstrak Etanol Buah Belimbing Wuluh

Ekstraksi adalah proses pemisahan kandungan aktif dari simplisia

menggunakan cairan penyari yang cocok (DEPKES 1979). Prinsip ekstraksi

adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar

dalam senyawa non polar. Simplisia adalah sediaan bahan alami yang digunakan

untuk bahan obat dan belum mengalami perubahan proses apapun. Simplisia

umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Menurut Gunawan dan Mulyadi

(2004), simplisia dibedakan menjadi 3 golongan yaitu simplisia nabati, simplisia

hewani, dan simplisia mineral.

Penggunaan etanol dalam pembuatan ekstrak simplisia buah belimbing

wuluh adalah sebagai bahan pelarut. Alasan pemilihan etanol sebagai pelarut

adalah ekstraknya lebih selektif; kapang dan jamur sulit tumbuh dalam etanol 20%

keatas; dan tidak beracun sehingga proses absorbsi akan lebih baik. Keuntungan

lain dari penggunaan etanol sebagai pelarut adalah dapat bercampur dengan air

dalam segala perbandingan sehingga dapat melarutkan senyawa polar dan non

polar (Anonimus 2007).

Biologi Mencit (Mus musculus)

Mencit (Gambar 3) merupakan salah satu hewan percobaan yang sering

digunakan dalam penelitian. Mencit dipilih sebagai hewan coba karena cepat

berkembang biak, mudah dipelihara, tidak memerlukan tempat yang luas, waktu

kebuntingan yang singkat, dan banyak memiliki anak perkelahiran. Sistem

taksonomi mencit menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) termasuk golongan

seperti yang tercantum di bawah ini.

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

Hewan coba tersebut dapat disajikan pada gambar berikut,

Gambar 3. Mencit (Mus musculus)

Secara biologis mencit dapat hidup 1 sampai dengan 2 tahun, lama

produksi ekonomis 9 bulan, lama bunting 19 sampai dengan 21 hari, jumlah rata-

rata anak yang lahir 6 ekor, kawin sesudah beranak 1 sampai dengan 24 jam, umur

disapih 21 hari. Umur dewasa mencit 35 hari, dan berat dewasanya 20 sampai

dengan 40g jantan; 18 sampai dengan 35g betina. Secara fisiologis suhu (rectal)

mencit 35 sampai dengan 39°C, pernapasan 140 sampai dengan 180 per menit,

denyut jantung 600 sampai dengan 650 per menit (Smith dan Mangkoewidjojo

1988).

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Bagian Farmakologi dan Toksikologi,

Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan,

Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai pada Bulan September sampai

dengan Oktober 2007.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian terdiri atas peralatan pemeliharaan

mencit dan peralatan penelitian. Peralatan pemeliharaan mencit adalah kandang

mencit, timbangan mencit, dan botol minum. Peralatan yang digunakan saat

penelitian adalah kandang metabolisme, timbangan mencit, gelas ukur, labu takar,

erlenmeyer, batang pengaduk, pipet kaca, dan sonde lambung.

Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah mencit (Mus

musculus) jantan, dengan berat badan rata-rata 25g sebanyak 30 ekor. Pakan yang

diberikan selama penelitian berupa pelet dengan komposisi pakan dapat dilihat

pada Lampiran1. Bahan uji yang digunakan adalah ekstrak etanol buah belimbing

wuluh. Ekstrak etanol buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) diperoleh dari

penelitian Manggung RE (2008). Ekstrak tersebut kemudian dicekok ke mencit

berdasarkan penghitungan LD50. Bahan kimia yang digunakan adalah

furosamide, urea, saline tween 80, dan aquades.

Persiapan Penelitian

Aklimasi Hewan Coba

Mencit diaklimasikan (adaptasi lingkungan) dengan lingkungan kandang

selama 2 minggu. Mencit ditempatkan dalam kandang yang diberi alas sekam

padi yang berfungsi untuk menyerap kotoran mencit. Bagian atas kandang

ditutupi menggunakan anyaman kawat. Masing-masing kandang berisi 5 ekor

mencit yang diberi pakan dan minum ad libitum. Kandang diletakkan di dalam

Laboratorium Hewan Coba, Rumah Sakit Hewan FKH IPB. Suhu di dalam

ruangan (27-28°C). Penerangan ruang laboratorium menggunakan lampu 20 watt.

Pertukaran aliran udara dibantu dengan exhaust fan.

Tujuan aklimasi adalah mengadaptasikan/menyesuaikan kondisi tubuh

hewan coba dengan kondisi lingkungan yang dianggap baru oleh hewan coba.

Dimana pada masa aklimasi terjadi perubahan kompleks dalam tubuh hewan yang

terjadi pada kondisi alamiah yang berkaitan dengan perubahan berbagai faktor

lingkungan abiotik, misalnya perubahan suhu lingkungan. Dengan adanya

perubahan suhu lingkungan dari kisaran suhu tempat awal suatu hewan maka

terjadi penyesuaian produksi hormon serta penyesuaian aktivitas enzim sehingga

tubuh dapat beradaptasi dengan lingkungan baru.

Pelaksanaan Penelitian

Pengelompokan Hewan Coba

Mencit yang akan diamati dibagi menjadi 6 kelompok, masing-masing

kelompok terdiri atas 5 ekor mencit. Kelompok percobaan tersebut terdiri dari:

Kelompok I : Mencit diberikan saline tween 80, dengan tujuan

sebagai kontrol negatif yang pertama pada percobaan ini.

Kelompok II : Mencit diberikan larutan urea dengan dosis

500mg/kgBB sebagai kontrol positif yang pertama.

Kelompok III : Mencit diberikan obat furosemide dengan dosis

3mg/kgBB sebagai kontrol positif yang kedua.

Kelompok IV : Mencit diberikan ekstrak etanol buah belimbing wuluh

dengan dosis 2.5g/kg BB.

Kelompok V : Mencit diberikan ekstrak etanol buah belimbing wuluh

dengan dosis 5g/kg BB.

Kelompok VI : Mencit diberikan aquades sebagai kontrol negatif yang

kedua.

Perhitungan dosis dari tiap kelompok dapat dilihat pada Lampiran 2.

Hewan coba yang sudah dikelompokan dimasukkan ke dalam kandang

metabolisme (Gambar 4) sesuai dengan kelompoknya.

Gambar 4 Kandang metabolisme

Pengambilan Data

Sehari sebelum perlakuan, mencit yang sudah diadaptasikan sesuai

kelompoknya dipindahkan ke kandang metabolisme. Pencekokan diberikan

setelah mencit dipuasakan selama 12 jam. Setelah pencekokon, volume urin dari

setiap kelompok perlakuan yang terdiri dari 5 ekor mencit ditampung secara

kumulatif. Volume urin yang tertampung dari setiap kelompok dilakukan

pencatatan setiap jamnya. Pengambilan data dari pelaksanaan penelitian dapat

disajikan sebagai mana pada Gambar 5.

Gambar 5 Diagram pelaksanaan penelitian

2 minggu 12 jam 0 1 2 3 4 5

adaptasi puasa cekok

Pengambilan datavolume urin jam ke-

Analisis Data

Parameter yang diamati dari percobaan ini adalah volume urin, ekskresi

urin, kerja diuretika, dan aktifitas diuretika yang ditimbulkan dari masing-masing

kelompok. Data volume urin yang diperoleh, digunakan untuk menghitung

persentase ekskresi urin, kerja diuretika, dan aktifitas diuretika sesuai metode

penelitian yang dilakukan oleh Mamun et al. (2003) dan Mahmood et al. (2004).

Adapun rumus yang digunakan untuk masing-masing variabel dapat disajikan

sebagai berikut.

Ekskresi Urin (%) = x 100%

Kerja Diuretika =

Aktivitas Diuretika =

Aktivitas diuretika yang diperoleh dibandingkan dengan skala diuretika

Gujral et al. (1955) dalam Mahmood et al. 2004 (Lampiran 3). Skala diuretika

Gujral menyatakan, bahwa aktivitas diuretika dengan nilai kurang dari 0.72

dinyatakan belum memiliki aktivitas diuretika; 0.72 sampai dengan 1.0 adalah

diuretika dengan aktivitas lemah; 1.0 sampai dengan 1.5 adalah diuretika dengan

aktivitas diuretika sedang; dan jika lebih dari 1.5 berati memiliki aktivitas

diuretika kuat.

Ekskresi urin (%) kelompok bahan uji

Ekskresi urin (%) kelompok kontrol (salin)

Kerja diuretika kelompok bahan uji

Kerja diuretika urea

Total volume urin (ml)

Total cairan yang masuk (2 mL)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan dilakukan terhadap volume urin, persentase ekskresi urin,

kerja diuretika, dan aktivitas diuretika pada tiap kelompok. Selanjutnya hasil

pengamatan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.

Volume Urin

Rataan volume urin kumulatif per jam selama 5 jam pada setiap kelompok

pengamatan dapat disajikan pada Table 1.

Tabel 1 Data rataan volume urin (ml) kumulatif mencit

Volume Urin (mL) Kumulatif pada jam ke-Kelompok

1 2 3 4 5

Jumlah

Kelompok 1 0.05 0.2 0.2 0.1 0.65 1.2

Kelompok 2 0.1 0.18 0.1 0.5 0.65 1.53

Kelompok 3 2.05 1.08 0.35 0.4 0.48 4.36

Kelompok 4 0.05 0.3 0.75 0.25 0.3 1.65

Kelompok 5 0.1 0.15 0.3 0.25 0.35 1.15

Kelompok 6 0.1 0.45 0.28 0.3 0.5 1.63Keterangan: Kelompok 1 (kontrol negatif, larutan salin tween 80), kelompok 2 (kontrol positif 1, larutan ureadosis 500 mg/kg BB ), kelompok 3 (kontrol positif 2, larutan furosamide dosis 3 mg/kg BB), kelompok 4(ekstrak etanol buah belimbing wuluh dosis 2.5g/kg BB ), kelompok 5 (ekstrak etanol buah belimbing wuluhdosis 5g/kg BB) dan kelompok 6 (aquades)

Jumlah volume urin tertinggi dari 5 jam pengamatan terdapat pada mencit

yang diberi larutan furosamide. Secara berurutan jumlah volume urin dari tiap

kelompok dapat diurutkan dari yang tertinggi ke yang terendah adalah kelompok

3, kelompok 4, kelompok 6, kelompok 2, kelompok 1, dan terakhir kelompok 5.

Mencit yang diberi larutan furosamide memiliki volume urin yang paling

tinggi, ini disebabkan adanya zat aktif pada sediaan yang dapat memicu terjadinya

diuresis sehingga sediaan ini dapat berkhasiat sebagai diuretika. Kelompok 4

sebagai bahan uji pada penelitian ini memiliki nilai tertinggi kedua dalam

meningkatkan volume urin mencit. Hal ini membuktikan bahwa sediaan ekstrak

etanol buah belimbing wuluh berpotensi sebagai diuretika alami. Sehingga

pengalaman empiris masyarakat yang menyatakan buah belimbing wuluh dapat

digunakan sebagai diuretika adalah benar.

Persentase Ekskresi Urin

Berdasarkan data rataan volume urin, maka persentase ekskresi urin per

jam selama 5 jam dari tiap kelompok pengamatan dapat dihitung. Hasil yang

diperoleh dapat disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil perhitungan ekskresi urin (%) mencit

Eksresi Urin (%) Mencit jam ke-Kelompok

1 2 3 4 5

Kelompok 1 2.5 10 10 5 32.5

Kelompok 2 5 9 5 25 32.5

Kelompok 3 102.5 54 17.5 20 24

Kelompok 4 2.5 15 37.5 12.5 15

Kelompok 5 5 7.5 15 12.5 17.5

Kelompok 6 5 22.5 14 15 25Keterangan: Kelompok 1 (kontrol negatif, larutan salin tween 80), kelompok 2 (kontrol positif 1, larutan ureadosis 500 mg/kg BB ), kelompok 3 (kontrol positif 2, larutan furosamide dosis 3 mg/kg BB), kelompok 4(ekstrak etanol buah belimbing wuluh dosis 2.5g/kg BB ), kelompok 5 (ekstrak etanol buah belimbing wuluhdosis 5g/kg BB) dan kelompok 6 (aquades)

Sesuai dengan metode yang digunakan oleh Mamun et al. (2003) dan

Mahmood et al. (2004), persentase ekskresi urin diperoleh dengan membagi

volume urin yang didapat dengan total cairan yang dicekokkan dikali dengan

100%. Persentase ekskresi urin yang paling tinggi diperoleh dari larutan

furosamide. Furosamide mempunyai persentase ekskresi urin tertinggi pada jam

pertama pemberian yaitu sebesar 102.5%. Hal ini berarti senyawa aktif

furosamide ini mampu mengekskresikan 100% cairan yang dimasukan dan

ditambah penarikan sebesar 2.5% cairan tubuh dari jumlah cairan yang dimasukan

pada jam pertama pengamatan.

Persentase ekskresi urin tertinggi setelah pemberian furosamide adalah

pemberian ekstrak etanol buah belimbing wuluh dengan dosis 2.5g/kg BB.

Persentase ekskresi urin dari kelompok ini maksimum pada jam ketiga dari

pemberian yaitu sebesar 37.5%. Hal ini berarti senyawa aktif pada ekstrak etanol

buah belimbing wuluh dengan dosis 2.5g/kg BB mampu mengekskresikan 37.5%

dari cairan yang dimasukan pada jam ketiga pengamatan. Secara berurutan total

persentase ekskresi urin dari tiap kelompok dapat diurutkan dari yang tertinggi ke

yang terendah adalah kelompok 3, kelompok 4, kelompok 6, kelompok 2,

kelompok 1 dan terakhir kelompok 5.

Kerja Diuretika

Berdasarkan persentase ekskresi urin yang diperoleh sebelumnya, maka

kerja diuretika dari masing-masing kelompok pengamatan dapat dihitung, dengan

hasil dapat disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil perhitungan kerja diuretika mencit

Kerja Diuretik jam ke-Kelompok

1 2 3 4 5

Kelompok 2 2 0.9 0.5 5 1

Kelompok 3 41 5.4 1.75 4 0.74

Kelompok 4 1 1.5 3.75 2.5 0.46

Kelompok 5 2 0.75 1.5 2.5 0.54

Kelompok 6 2 2.25 1.4 3 0.77Keterangan: Kelompok 2 (kontrol positif 1, larutan urea dosis 500 mg/kg BB ), kelompok 3 (kontrol positif 2,larutan furosamide dosis 3 mg/kg BB), kelompok 4 (ekstrak etanol buah belimbing wuluh dosis 2.5g/kg BB ),kelompok 5 (ekstrak etanol buah belimbing wuluh dosis 5g/kg BB) dan kelompok 6 (aquades)

Kerja diuretika diperoleh dengan membagi persentase ekskresi urin

kelompok bahan uji dengan persentase ekskresi urin kelompok kontrol (salin).

Hasil perbandingan yang didapat digunakan sebagai ukuran tingkat diuresis yang

ditimbulkan dari kelompok bahan uji (Mamun et al. 2003). Kelompok yang

memiliki kerja diuretika paling tinggi adalah kelompok yang diberi larutan

furosamide. Kerja diuretika oleh furosamide maksimum sebesar 41 pada jam

pertama pengamatan. Hal ini berarti bahwa, kerja diuretika senyawa aktif pada

furosamide mampu bekerja 41 kali lebih besar dari kelompok kontrol negatif.

Tingginya kerja diuretika oleh furosamide disebabkan furosamide itu sendiri

merupakan zat aktif diuretika yang memiliki kemampuan sebagai diuretika kuat

(Katzung 2001).

Kerja diuretika dari ekstrak etanol buah belimbing wuluh diperoleh hasil

yang efektif dengan memberikan dosis 2.5g/kg BB yaitu pada kelompok 4. Pada

kelompok 4 diperoleh kerja diuretika maksimum pada jam ketiga pengamatan

yaitu sebesar 3.75. Hal ini berarti kerja diuretika senyawa aktif pada kelompok ini

mampu bekerja 3.75 kali lebih besar dari kelompok kontrol negatif. Data ini

memperkuat pengalaman empiris masyarakat bahwa buah belimbing wuluh

memiliki khasiat sebagai diuretika. Untuk mengetahui seberapa besar kekuatan

diuretika yang ditimbulkan oleh ekstrak etanol buah belimbing wuluh dapat

dilihat dari aktivitas diuretikanya.

Aktivitas Diuretika

Aktivitas diuretika bertujuan untuk menentukan kekuatan sediaan yang

digunakan sebagai diuretika. Dari perhitungan sebelumnya, maka aktifitas

diuretika dari tiap kelompok dapat dihitung dan hasil yang diperoleh dapat dilihat

pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil perhitungan aktivitas diuretika

Aktivitas Diuretika jam ke-Kelompok

1 2 3 4 5

Kelompok 3 20.5 6 3.5 0.8 0.74

Kelompok 4 0.5 1.67 7.5 0.5 0.46

Kelompok 5 1 0.83 3 0.5 0.54

Kelompok 6 1 2.5 2.8 0.6 0.77Keterangan: Kelompok 3 (kontrol positif 2, larutan furosamide dosis 3 mg/kg BB), kelompok 4 (ekstraketanol buah belimbing wuluh dosis 2.5g/kg BB ), kelompok 5 (ekstrak etanol buah belimbing wuluh dosis5g/kg BB) dan kelompok 6 (aquades)

Aktivitas diuretika diperoleh dengan membagi kerja diuretika kelompok

bahan uji dengan kelompok kerja diuretika urea. Larutan urea digunakan sebagai

pembanding dalam penentuan aktivitas diuretika karena kerja diuretika urea

memiliki aktivitas diuretika sebesar 1 (Lipschitz 1943). Urea merupakan zat yang

mudah larut dalam air. Urea dalam cairan tubuli akan meningkatkan tekanan

osmotik sehingga jumlah air dan elektrolit yang diekskresikan akan bertambah

besar (Ganiswarna et al. 1995).

Berdasarkan skala Gujral et al. (1955), larutan furosamide memiliki

aktivitas diuretika paling tinggi. Aktivitas diuretika dari furosamide menunjukan

aktifitas diuretika kuat mulai jam pertama pengamatan sampai jam ke-3

pengamatan. Aktifitas diuretika maksimum pada jam pertama pengamatan dan

menurun pada jam berikutnya. Pada jam ke-4 menunjukan aktivitas diuretika

lemah sampai jam ke-5 pengamatan. Hal ini sesuai dari pernyataan Brater (1998)

bahwa furosamide bekerja optimum pada jam ke-1 sampai dengan jam ke-2

pengamatan. Furosamide merupakan diuretika kuat dengan mekanisme kerja

senyawa pada membran luminal cabang asenden ansa henle memblok pembawa

Na+/K+/2Cl-. Dengan menghambat transporter tersebut, maka reabsorbsi NaCl

akan menurun dan akan dieksresikan bersama urin (Katzung 2001).

Hasil uji aktivitas diuretika ekstrak etanol buah belimbing wuluh

(kelompok 4) dosis 2.5g/kg BB pada mencit menunjukan aktivitas diuretika kuat

pada jam ke-2, mencapai maksimum pada jam ke-3 dan mulai menurun pada jam

ke-4 sampai jam ke-5 pengamatan. Kelompok 5 (ekstrak etanol buah belimbing

wuluh dosis 5g/kg BB) menunjukan aktivitas diuretika yang tidak teratur, ini

dapat dilihat pada Tabel 5. Pada jam ke-1 menunjukan aktivitas diuretika

menengah, pada jam ke-2 menurun namun masih menunjukan aktivitas diuretika

menengah. Sedangkan pada jam ke-3 meningkat dan menunjukan aktivitas

diuretika kuat. Pada jam ke-4 dan jam ke-5 pengamatan tidak menunjukan adanya

aktivitas diuretika.

Berdasarkan data yang diperoleh, dosis 5g/kg BB ekstrak etanol buah

belimbing wuluh tidak efektif dijadikan sebagai diuretika karena pada dosis ini

menimbulkan ketidakstabilan dari tubuh walaupun dosis yang digunakan lebih

tinggi. Hal ini membuktikan pernyataan dari Duryatmo 2003, bahwa dengan

menkonsumsi suatu tanaman obat dengan jumlah yang banyak tanpa

memperhitungkan dosis yang optimal tidak memberikan suatu manfaat yang

diinginkan akan tetapi dapat membahayakan tubuh penkonsumsi.

Dari hasil penghitungan aktivitas diuretika, maka dapat dikatakan bahwa

ekstrak etanol buah belimbing wuluh memiliki aktivitas diuretika pada dosis

2.5g/kg BB. Adanya kerja diuretika dari ekstrak etanol buah belimbing wuluh

disebabkan zat aktif yang terkandung di dalamnya, akan tetapi dalam penelitian

ini zat aktif yang berperan sebagai diuretika dari ekstrak etanol buah belimbing

wuluh serta mekanisme kerjanya sebagai diuretika belum diketahui secara pasti.

Demikian pula golongan diuretika dari ekstrak etanol buah belimbing wuluh

belum dapat dipastikan. Namun diketahui di dalam 100g buah belimbing wuluh

terkandung air 94.2-94.7g; protein 0.61; abu 0.31-0.4g; serat kasar 0.6g; fospor

11.1mg; Ca 3.4mg; iron 1.01mg; thiamin 0.01mg; riboflavin 0.026mg; karotin

0.035mg; asam askorbat 15.5mg; niacin 0.302mg (Anonimus 2008). Selain itu,

buah belimbing wuluh juga mengandung ion oksalat 0.58g/100g; NaCl 0.12%

(Aisyah 2007), serta saponin, tanin, flavonoid, glukosida, asam formiat, asam

sitrat, dan beberapa mineral terutama kalsium dan kalium (Mursito 2005).

Banyaknya kandungan zat yang terdapat dalam buah belimbing wuluh,

maka pemberian ekstrak etanol buah belimbing wuluh akan mengubah

keseimbangan cairan tubuh. Hal ini akan memicu ginjal untuk malakukan

mobilisasi cairan sehingga keseimbangan cairan tubuh kembali normal

(Ganiswarna et al. 1995). Peningkatan tekanan osmotik lumen tubulus akibat

pemberian ekstrak etanol buah belimbing wuluh mengakibatkan difusi air dari

dalam sel menuju lumen. Kejadian ini akan menyebabkan peningkatan volume

air dalam urin (Katzung 2001). Dengan demikian diduga, bahwa ekstrak etanol

buah belimbing wuluh tergolong diuretik osmotik.

Data yang diperoleh dari perlakuan 6 (aquades) menunjukan adanya

peningkatan aktivitas urin sampai jam ke-3 pengamatan dan menurun pada jam

berikutnya. Berdasarkan pengolahan data, sesuai dengan metode yang sudah

dilakukan oleh Mahmood et al. (2004), aquades memiliki kemampuan untuk

memicu timbulnya diuresis, akan tetapi jika dibandingkan dengan perlakuan

furosamide dan ekstrak etanol buah belimbing wuluh dosis 2.5g/kg BB, aktivitas

diuretika dengan perlakuan aquades memberikan hasil lebih rendah.

Aquades dapat menimbulkan aktifitas diuretika karena, ginjal normal

memiliki kemampuan untuk mengatur osmolaritas cairan ekstraselular tubuh.

Bila terdapat air yang berlebihan di dalam tubuh dan osmolaritas cairan

ekstraselular menurun, sekresi ADH oleh hipofise posterior menjadi menurun, dan

mengurangi permeabilitas tubulus distal serta duktus koligentes terhadap air

sehingga akan mereabsorbsi zat terlarut dan tidak mereabsorbsi kelebihan air yang

menghasilkan jumlah urin encer dalam jumlah yang banyak. Jadi setelah minum

air yang banyak, ginjal akan mengeluarkan kelebihan air tetapi tidak

mengeluarkan kelebihan zat terlarut.

Menurut Ganong 2002, diuresis air yang timbul oleh banyaknya cairan

hipotonik yang diminum menyebabkan penurunan osmolaritas plasma akibat

absorbsi air. Diuresis osmotik dan diuresis air dapat dibedakan dari efek yang

ditimbulkannya terhadap kerja tubulus proksimalis. Diuresis air ditandai dengan

reabsorbsi air di bagian tubulus proksimal normal, dan kecepatan pembentukan

urin dapat mencapai 16 ml/menit (pada manusia). Sebaliknya, pada diuresis

osmotik, peningkatan pembentukan urine disebabkan oleh penurunan reabsorbsi

air di tubulus proksimal dan ansa henle, serta jumlah urin yang dibentuk sangat

besar dengan peningkatan beban zat terlarut yang diekskresikan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol buah

belimbing wuluh pada dosis 2.5g/kg BB memiliki potensi sebagai diuretika alami.

Ekstrak etanol buah belimbing wuluh pada dosis 2.5mg/kg BB menunjukan

aktivitas diuretika kuat pada jam ke-2, mencapai maksimum pada jam ke-3 dan

mulai menurun pada jam ke-4 sampai dengan jam ke-5 pengamatan.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui kandungan bahan

aktif dalam buah belimbing wuluh yang menyebabkan ekstrak etanol buah

belimbing wuluh berpotensi sebagai diuretika.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kondisi dan

kandungan urin akibat pemberian ekstrak etanol buah belimbing wuluh.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah Y. 2005. Belimbing Wuluh dan Asam sunti.http://www.iptek.net.id/sunti.index.php.htm (18 Juli 2008).

Anonimus. 2007. Ekstraksi Padat Cair. http://www.che.itb.ac.id. 2008

Anonimus. 2005. Tanaman Obat. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id. 11 Februari 2008.

Anonimus. 2006. Penggunaan Obat Tradisional Minim. http://www.compas. 11Februari 2008.

Anonimus. 2008. Averrhoa bilimbi. http://en.wikipedia.org/wiki/bilimbi. 18 Juli2008.

Benowitz N L. 2001. Obat Antihipertensi. Di dalam: Bertram G. Katzung. BukuAjar Farmakologi Dasar dan Klinik. Sjabana D, et al. Penerjemah. Jakarta.Penerbit Selemba Medika. Terjemahan dari: Basic dan ClinicalPharmakologi.

Brater D C. 1998. Diuretic Therapy. The New England Journal of Medicine isowned. 6(339):387-395

Cheek P R. 2005. Applied Animal Nutrition: Feeds and Feeding Third Edition.Upper Sadle River, United States of America.

Colville T, dan Joanna BM. 2002. Clinical Anatomi and Physiology forVeterinary Technican. Saint Louise: Mosby.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia Edisi keTiga. Jakarta: Korpri Sub Unit Direktorat Jendral Pengawasan Obat danMakanan.

Duryatmo S. 2003. Aneka Ramuan Berkhasiat dari Temu-Temuan. Jakarta: PuspaSwara.

Ganiswarna S G, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nefrialdi. 1995.Farmakologi dan Terapi Edisi empat. Jakarta: Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia.

Gunawan D dan Mulyani. 2004. Ilmu Obat Alam Farmakonosi. Depok: PenebarSwadaya.

Ganong W. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. widjajakusuma M,Irawati D, Siagian M, Moeloek D, Pendit BU, penerjemah.Widjajakusumah M, Editor. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran ECG.Terjemahan dari: Medical Physiologi edition 20. Jakarta: UI Press.

Gupta S, dan Neyses L. 2005. Diuretic usage in heart failure. European HeartJournal 26(7):644-649.

Guyton AC, dan Hall JE. 1997. Buku Ajar fisiologi Kedokteran Hewan EdisiSembilan. Tengadi KA, Santoso A, Penerjemah: Setiawan I, Editor.Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Terjemahan dari: Textbook ofMedical Physiology.

Inyu. 2006. Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi). http://inyu.multiply.com/journal/item/3. 23 Agustus 2008.

Katzung, B. G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi ke-1. Sjabana D,Rahardjo W, Sastrowardoyo, Hamzah E, Isbandiati I, Uno danPurwaningsih. Penerjemah. Jakarta. Penerbit Salemba Medika.Terjemahan dari: Basic dan Clinical Pharmakology.

Lipschitz W L, Zareh H, Andrew K. 1943. Bioassay of Diuretics. Journal ofPharmacology And Experimental Therapeutics. 2 (79); 97-110.http://jpet.aspetjournals.org/cgi/content/abstract/79/2/97. 26 Juli 2008.

Mahmod H, Bachar SC, Saiful M, Ali MS. 2004. Analgesik and DiuretikActivityof Curcuma Xantorrhiza. J. Pharmacautikal Sciences. 1-2 (3).

Mamun MM, Billah MM, Aschek MA, Ahasan MM, Hossain MJ, Sultana T.2003. Evaluation of Diuretik Activity of Ipomea quatica (kalmisak) inMice Model Study. J. Med. Sci., 3 (5-6): 395-400.

Manggung RE. 2008. Pengujian Toksisitas Akut Lethal Dose 50 (LD50) EkstrakEtanol Buah Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) pada Mencit (Musmusculus). (Skripsi) Bogor: FKH IPB. Unpubliscation.

Mursito B. 2005. Ramuan Tradisional untuk Gangguan Ginjal. Jakarta: PenebarSwadaya.

Mutschler E. 1991. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi edisi ke Lima.Mayhida B, widianto, Penerjemah. Bandung. Penerbit ITB. Terjemahandari: Arzneimittelwirkungen, 5 vollig Neubearbeitee und ErweiterteAuflage.

Septi I A et al. 2007. Mekanisme Aksi Hidroklorotiazid sebagai Diuretik.Yogyakarta. FM Universitas Sanata Dharma. www. ilmu-kedokteran.blogspot.com/2007/11/mekanisme-aksi-hidroklorotiazid-sebagai.html - 97k -25 Juli 2008.

Sirupang Y. 2007. Pola Perubahan Elektrolit pada Pemberian Obat-ObatDiuretik. www.javedsirupang.wordpress.com/2007/08/05/pola-perubahan-elektrolit-pada-pemberian-obat-obat-diuretik/ - 112k. 25 Juli 2008.

Smith J B, dan Mangkoewidjojo, soesanto. 1988. Pemeliharaan Pembiakan danPenggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI press.

Wijayakusuma H. 2005. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Darah Tinggi.Jakarta: Penebar Swadaya.

Wilson L M. 2005. Anatomi dan Fisiologi Ginjal dan Saluran Kemih. Di dalamPrica S A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi keenam. Pendit B U, Hartanto H, Wulansari P, Mahanani D A & Susi N,Editor. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Terjemahan dari:Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Processes, 6/E.

LAMPIRAN

LAMPIRAN 1

Komposisi pakan mencit (Mus musculus)

Komposisi pakan mencit Persentase (%)/ 100g

Protein

Lemak

Serat kasar

Abu

Air

17

4

10

10

12

Bahan dasar pakan mencit

Bungkil kedele

Tepung ikan

Jagung

Beras menir

Dedak padi

Dedak gandum

Minyak nabati

Minyak ikan

[Sumber: PT Cargill Indonesia]

LAMPIRAN 21R

Perhitungan Dosis

a. Larutan saline tween 80

Larutan saline dicampur dengan tween 80 dengan ukuran yang

sama. Larutan ini digunakan untuk mengikat zat aktif dalam obat karena

obat dalam bentuk serbuk di dalam air tidak akan larut, tetapi dapat larut

dengan saline tween 80.

Pada kelompok kontrol negative, larutan ini dicekokan ke masing-

masing mencit sebanyak 0.4ml. Sedangkan pada kelompok lain

digunakan sebagai pelarut kecuali pada kelompok 6 (aquades).

Penambahan larutan salin tween 80 pada kelompok lain juga bertujuan

untuk menambah jumlah cairan yang dicekok ke mencit sehingga masing-

masing mencit mendapat cairan dalam jumlah yang sama.

b. Larutan urea 500mg/kg BB

500mg → 1000g

50mg → 100g

12.5mg → 25g

12.5mg urea ditambahkan larutan saline tween 80 sampai 0.4ml

(untuk seekor mencit).

c. Larutan furosamide 3mg/kg BB

Berat satu tablet furosamid = 169.5mg

Kandungan furosamid dalam satu tablet = 40mg

169.5mg x 3mg /kg BB = 12.7mg furosamide40mg

12.7mg → 1000g

1.27mg → 100g

0.32mg → 25g

0.32mg furosamide ditambahkan larutan saline tween 80 sampai

0.4ml (untuk seekor mencit).

d. Aquades

Setiap mencit dicekokan aquades sebanyak 0.4ml aquades.

LAMPIRAN 3

Aktivitas diuretika berdasarkan skala Gujral

Aktivitas Nilai

Kuat

Menengah

Lemah

Tidak ada

> 1.50

1.00 – 1.50

0.72 -1.00

< 0.72

[Sumber: Mahmood et al. 2004]

LAMPIRAN 4

Grafik 1 Aktivitas diuretika ekstrak etanol buah belimbing wuluh.

0

5

10

15

20

25

1 2 3 4 5

Waktu (jam ke-)

Akti

vit

as

diu

reti

k

Kelompok 3

Kelompok 4

Kelompok 5

Kelompok 6

Keterangan: Kelompok 3 (kontrol positif 2, yaitu larutan furosamide dosis 3 mg/kg BB), kelompok 4 (ekstraketanol belimbing wuluh dosis 2.5g/kg BB ), kelompok 5 (ekstrak etanol belimbing wuluh dosis 5g/kg BB)dan kelompok 6 (aquades)