BIDADARI DALAM AL-QUR’AN -...
Transcript of BIDADARI DALAM AL-QUR’AN -...
BIDADARI DALAM AL-QUR’AN
(Perspektif Mufassir Indonesia)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Syafa’attus Shilma
1113034000132
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2017 M.
i
ABSTRAK
Syafa’attus Shilma
Bidadari dalam al-Qur’an (Perspektif Mufassir Indonesia)
Beberapa masyarakat salah dalam memahami arti bidadari yang telah
digambarkan dalam al-Qur’an ini. Bahkan ada sebagian masyarakat yang
mempersalah gunakan janji-janji Allah tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa
salah satu kenikmatan yang telah dijanjikan Allah SWT kepada hamba-hamba
pilihan Allah ialah teman pendamping di surga, yakni bidadari. Sebagaimana yang
telah dijelaskan dalam al-Qur’an. Penciptaan bidadari dan juga sifat-sifatnya.
Namun yang sering menjadi perdebatan ialah sosok bidadari yang akan menjadi
teman pendamping di surga nanti. Sosok yang memiliki sifat dan karakter yang
sangat indah, selalu terjaga dan terciptakan hanya dari kebaikan dan keindahan.
Tetapi, seringkali kita pahami bahwa bidadari merupakan sosok perempuan yang
khusus Allah berikan kepada para penghuni surga laki-laki. Sedangkan di surga
itu tidak hanya dihuni oleh para lelaki saja. Kemudian untuk para perempuan yang
menjadi istri sholehah dan juga selalu taat beribadah kepada Allah apakah
merupakan sosok bidadari yang dimaksudkan tersebut? Kemudian sebagai
perempuan muslimah yang selalu mentaati perintah Allah akankah juga
mendapatkan bidadari dengan sosok laki-laki.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan motode penelitian Tafsir
Mawdhu’i dengan mengumpulkan ayat-ayat yang ada dalam al-Qur’an yang
memiliki tema yang serupa. Kemudian penulis menggunakan metode komparatif
untuk mengkomparasikan beberapa pendapat mufassir Indonesia mengenai makna
bidadari dalam al-Qur’an. Urgensi dari penelitian ini ialah diharapkan dapat
memberikan pemahaman secara benar mengenai bidadari surga yang telah
dijelaskan dalam al-Qur’an serta memberikan pemahaman bahwa kenikmatan
terbesar yang Allah berikan kepada hamba-Nya bukan nikmat mendapatkan
bidadari, melainkan mendapat ridha-Nya serta bertemu dengan-nya. Selain itu
juga dapat memberikan motivasi para muslimah agar menjadi pribadi yang
memiliki sifat dan karakter yang ada pada bidadari surga.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari beberapa mufassir Indonesia
memberikan penjelasan bahwasanya bidadari ialah sebutan untuk sosok
perempuan yang memiliki kepribadian baik. Mereka selalu terjaga kesuciannya,
yang tersimpan dalam khemah yang terbuat dari mutiara. Baik mereka yang
berasal dari dunia maupun yang di surga. Lebih dari itu bahwa sesunguhnya
nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada hamba-Nya ialah mendapat
keridhaan-Nya.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. Puji syukur senantiasa penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul
“Bidadari dalam Al Quran (Perspektif Mufassir Indonesia)”. Shalawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah SAW beserta sahabat, keluarga, dan
seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman.
Penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan, bimbingan
serta saran dari beberapa pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan
kepada saya mengikuti perkuliahan di Fakultas tersebut hingga akhir.
2. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A. selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah mengesahkan proposal ini sehingga diterima dalam rapat persetujuan
proposal.
3. Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang selalu mengarahkan dan memberikan kemudahan, baik dalam hal
administrasi maupun yang lainnya kepada saya.
iii
4. Bapak Dr. Mafri Amir M.A, selaku pembimbing penulis yang senantiasa
meluangkan waktunya dan sabar dalam membimbing dan banyak
memberikan saran, nasehat dan bimbingan yang sangat berarti bagi
penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, yang telah ikhlas memberikan
berbagai ilmu pengetahuan, pengalaman, serta motivasinya dan semoga
kelak memberikan manfaat bagi penulis kedepannya. Serta segenap staff
Fakultas Ushuluddin Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kedua orang tua, ayahanda tercinta Soetari dan ibunda tersayang Kasiyani
yang selalu mengalirkan do’a serta dukungan, semangat dan motivasi,
hingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.
7. Ma’rifattun Nashikhah M.Pd kaka tersayang yang bersedia membimbing
dan memotivasi terus menerus dari awal hingga selesainya skripsi ini dan
juga keluarga yang senantiasa mendo’akan dan memberikan semangat
serta dukungan.
8. Rijalul Ghifar al-Fanani S.Pd yang telah banyak membantu dan selalu
memotivasi serta memberikan semangat yang tiada henti.
9. Sahabat seperjuangan Nova, Anggi, Siska, Atina, Nur, Siti Ira serta
seluruh teman-teman jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang selalu
memberikan banyak masukan, serta motivasi dalam penelitian ini.
10. Keluarga besar IMADU, PSM, Padepokan Ayati Rahman, PPA Baitul
Qurro’, Hilda, Mawaddah, serta adik-adik pesantren yang selalu
memberikan semangat, dan juga teman seperjuangan sekamar, Alfi dan
iv
Luka yang saling memberikan semangat dalam menjalani perjuangan
mengerjakan skripsi ini.
11. Semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis
mendapat berkah dari-Nya dan semoga apa yang penulis kerjakan bisa
memberikan manfaat bagi semua pihak. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati
penulis sadar bahwa skripsi yang sederhana ini jauh dari kesempurnaan, maka dari
itu saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini.
Jakarta, 29 Juli 2017
Syafa’attus Shilma
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................................... vii
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................ 9
D. Tinjauan Pustaka.............................................................................................. 10
E. Metode Penelitian ............................................................................................ 12
1. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 12
2. Metode Analisis Data ................................................................................ 13
F. Sistematika Penelitian ...................................................................................... 14
BAB II. BIOGRAFI MUFASSIR DAN KITABNYA .................................................... 17
A. Tafsir Marah Labid ........................................................................................ 17
1. Biografi Syeikh Nawawi Banten .............................................................. 17
2. Corak dan Metode Penafsiran .................................................................. 17
3. Sistematika Penafsiran ............................................................................. 18
B. Tafsir al-Qur’an Karim .................................................................................. 18
1. Biografi Mahmud Yunus ......................................................................... 18
2. Corak dan Metode Penafsiran .................................................................. 19
3. Sistematika Penafsiran ............................................................................. 19
C. Tafsir al-Furqan .............................................................................................. 20
1. Biografi Ahmad Hassan ........................................................................... 20
2. Corak dan Metode Penafsiran .................................................................. 20
3. Sistematika Penafsiran ............................................................................. 21
D. Tafsir an-Nur .................................................................................................. 21
1. Biografi Hasbi ash-Shiddiqy .................................................................... 21
2. Corak dan Metode Penafsiran .................................................................. 22
3. Sistematika Penafsiran ............................................................................. 23
E. Tafsir al-Azhar ............................................................................................... 23
1. Biografi Buya Hamka .............................................................................. 23
2. Corak dan Metode Penafsiran .................................................................. 24
vi
3. Sistematika Penafsiran ............................................................................. 24
F. Tafsir al-Misbah ............................................................................................. 25
1. Biografi M. Quraish Shihab ..................................................................... 25
2. Corak dan Metode Penafsiran .................................................................. 26
3. Sistematika Penafsiran ............................................................................. 26
BAB III. TINJAUAN UMUM TENTANG BIDADARI ................................................ 28
A. Gambaran Umum Bidadari .......................................................................... 28
1. Pengertian Bidadari ................................................................................ 28
2. Istilah Bidadari dalam al-Qur’an ............................................................ 30
3. Kriteria Bidadari ..................................................................................... 33
4. Penciptaan Bidadari ................................................................................ 35
5. Sifat dan Karakteristik Bidadari ............................................................. 36
6. Tabel Kata Bidadari dalam al-Qur’an .................................................... 40
B. Kontekstualisasi Makna Bidadari pada Perempuan Muslimah .................... 42
BAB IV. PENAFSIRAN AYAT BIDADARI MENURUT MUFASSIR
INDONESIA ..................................................................................................... 49
A. Analisis Perbandingan Tafsir tentang Penggambaran Bidadari dalam
al-Qur’an ....................................................................................................... 49
1. Penafsiran Enam Mufassir Indonesia atas Ayat-Ayat Bidadari ............... 49
a) Qāṣirāt ṭarf ........................................................................................ 49
b) Ḥūr ‘iyn ............................................................................................. 56
c) Azwāj muṭahharah ............................................................................. 62
2. Penafsiran Enam Mufassir Indonesia atas Ayat-Ayat Penciptaan
Bidadari .................................................................................................... 67
3. Penafsiran Enam Mufassir Indonesia atas Ayat-Ayat Sifat-Sifat
Bidadari .................................................................................................... 72
a) Sifat-Sifat Bidadari yang dikiaskan ................................................... 72
b) Sifat-Sifat Bidadari yang Tidak dikiaskan ......................................... 77
B. Hidayah al-Qur’an menurut Konsep Bidadari ............................................... 81
BAB V. PENUTUP ............................................................................................................ 91
A. Kesimpulan .................................................................................................... 91
B. Saran-Saran .................................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 94
LAMPIRAN I .................................................................................................................... 100
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab-Latin pada skrpisi ini menggunakan buku
Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2015.
A. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
ḥ h dengan titik di bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
ṣ es dengan titik di bawah ص
ḍ de dengan titik di bawah ض
ṭ te dengan titik di bawah ط
ẓ zet dengan titik di ظ
viii
bawah
‘ ع
koma terbalik ke atas
menghadap ke kanan
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrof ’ ء
y ye ي
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fatḥah
i Kasrah
u Dhammah و
Adapun vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
ix
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
يai a dan i
وau a dan u
C. Vokal panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal pajang (madd) yang dalam bahsa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ā a dengan garis di atas ىا
ī i dengan garis di atas ىي
ū u dengan garis di atas ىو
D. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /i/, baik
diikuti oleh huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijāl bukan
ar-rijāl, al-dīwān bukan ad-dīwān.
E. Syaffah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandengkan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal itu tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsyiah.
x
Misalnya yang secara lisan berbunyi aṭ-aṭrf, tidak ditulis “aṭ-ṭarf”,
melainkan “al-ṭarf, demikian seterusnya.
F. Ta Marbuṯah
Mengenai alih aksara ini, apabila huruf ta marbuṯah yang terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialih aksarakan
menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah ini). Hal yang sama juga
berlaku jika ta marbuṯah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh
2). Namun, untuk huruf ta marbuṯah yang diikuti oleh kata benda (isim),
maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No. Kata Arab Alih Aksara
صفوفة .1 مmaṣfūfah
زوج .2 أ رة طه م
azwāj muṭahharah
زقا .3 منثمرة ر min tsamarat rizqā
G. Huruf Kapital
Meskipun dalam tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini, huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan memiliki
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa
Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama, tempat,
nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Kemudian jika nama didahului kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama
diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya, seperti الغفارى = al-
Ghifāri.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia pada umumnya memahami al-Qur’an hanya secara
tekstual. Mereka hanya mencerna apa yang mereka dengar, tanpa mengetahui
maksud dan tujuan dari ayat tersebut. Seperti yang terjadi pada program acara TV
“Islam itu Indah” di Trans TV yang dibawakan oleh pemuda Syamsuddin Nur yang
di share dalam NU Online, mengatakan bahwa kenikmatan terbesar yang diberikan
Allah SWT ketika di surga ialah pesta seks, hal ini karena ketika di dunia para laki-
laki disuruh untuk menahannya.1
Jika orang-orang beranggapan bahwa salah satu nikmat yang berada di surga
adalah pesta seks maka hal ini dapat merusak pemahaman mereka. Karena puncak
dari kenikmatan di surga sesungguhnya adalah dapat memandang wajah Allah.
Masalah ini telah di singgung oleh Nadirsyah Hosen yang ingin meluruskan ucapan
Syamsuddin Nur dalam acara TV tersebut. Menurut Nadirsyah bahwasannya
memahami ayat al-Qur’an jika hanya dari terjemahan harfiahnya saja maka akan
membawa seseorang kepada pemahaman zahir tentang kenikmatan surga
sebagaimana yang dikisahkan dalam al-Qur’an.
Namun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai
kenikmatan yang ada di surga, yakni nikmat bidadari. Seperti apa masyarakat
menganggap bidadari surga.
1 NU Online, Fathoni, “Pesta Seks di Surga? Nadirsyah Hosen: Pahami Konteks Ayat,” Artikel
diakses pada 26 oktober 2017 dari http://www.nu.or.id/post/read/79659/pesta-seks-di-surga-nadirsyah-
hosen-pahami-konteks-ayat
2
Allah menjanjikan berbagai kenikmatan kepada hamba-Nya yang beriman,
di antanranya adalah bidadari surga. Ada beberapa masalah yang terjadi di Indonesia
sekarang ini. Sebagian orang menggunakan janji-janji Allah itu sebagai aksi
jihadnya seperti yang diberitakan pada tribunnews.com, yakni kenikmatan yang
mendapatkan bidadari surga kelak di surga nanti. Sebagai orang beriman kita wajib
mengimaninya, namun jika kita salah memahaminya justru akan merusak aqidah
kita. Oleh sebab itu makna bidadari surga dalam al-qur’an menjadi bahasan utama
dalam penelitian ini supaya masyarakat dapat memahami makna bidadari tersebut
secara benar.
Bidadari merupakan salah satu nikmat yang akan diberikan kepada orang-
orang beriman kepada Allah SWT dan segala kenikmatan yang berada di surga itu
merupakan kenikmatan yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia.2 Namun kita
tetap wajib mempercayainya. Pada tanggal 29 Juni 2017 yang lalu telah terjadi aksi
teror di Polda Sumut. Ketika ditelusuri mereka para anggota tersebut mengikuti aksi
jihad karena mendapatkan janji bahwa mereka yang melakukan jihad akan
mendapatkan bidadari surga, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Ghazali bahwa
pemuda-pemuda yang melakukan aksi jihad tersebut direkrut dengan menggunakan
doktrin akan masuk surga. Kemudian dalam doktrin tersebut dikatakan bahwa ketika
berjihad dan melakukan penyerangan maka akan bertemu 72 bidadari disurga.3
Melihat permasalah demikian maka kita harus kembali memahami seperti
apa makna bidadari itu. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, bidadari diartikan
2 Ahzami Samiun Jazuli, Kehidupan dalam Pandangan Al-Qur’an. Penerjemah Sari Narulita
(Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h. 164. 3 Laporan Wartawan Tribun Medan, Array A Argus, “Pengakuan Mantan Teroris: Ada Janji
Bertemu Bidadari Surga di Balik Aksi Teror,” Artikel diakses pada 26 oktober 2017 dari
http://www.tribunnews.com/regional/2017/06/30/pengakuan-mantan-teroris-ada-janji-bertemu-bidadari-
surga-di-balik-aksi-teror
3
sebagai peri di keinderaan dan kayangan yang melayani dewa-dewa, dan juga
perumpamaan bagi wanita cantik.4 Kemudian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
bidadari berarti putri atau dewi dari kayangan dan perempuan yang elok.5
Sedangkan jika diartikan dalam bahasa arab bidadari berarti 6الحورية.
Ḥūr dalam al-Qur’an diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai
bidadari.7 Sedangkan menurut Raghib al-Isfahani kata ḥūr merupakan bentuk jamak
dari “ḥaura” yang berarti perempuan yang memiliki karakter kulit berwarna putih,
mata hitam, dan rambut yang hitam pekat. Sedangkan kata “aḥwar” merupakan
jenis lelaki. Berarti kata ḥūr memiliki makna kata netral gender, pertama yang
menunjukkan feminin kedua menunjukkan maskulin. Sehingga dapat diartikan laki-
laki dan juga perempuan.8
Beberapa contoh yang telah penulis jelaskan di awal paragraf merupakan
sebagian tanggapan masyarakat yang telah menyikapi akan adanya janji Allah
kepada orang-orang beriman kelak di surga nanti. Sebagian akan memandang secara
harfiahnya saja tanpa mengetahui makna yang lebih dalam. Jika sudah seperti itu,
maka perlunya kita mengetahui bagaimana pendapat para tokoh-tokoh pemuka
khususnya yang di Indonesi ini. Dengan mengetahui perkembangan para mufassir
Indonesia dari periode ke periode selanjutnya, untuk itu penulis akan meneliti
bagaimana penafsiran ayat-ayat bidadari menurut beberapa mufassir Indonesia. Di
antaranya mufassir-mufassir yang akan diteliti adalah Syeikh Nawawi al-Bantani,
4 Badudu J. S., dan Zain Sultan Muhammad, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1996), h. 180. 5 Sugono Dendy, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008), h. 188. 6 Munawwir Achmad Warson, al-Munawwir Kamus Indonesia-Arab (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2007), h. 134. 7 Zaitunah Subhan, Al-Qur’an & Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 63. 8 Zaitunah Subhan, Al-Qur’an & Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 65.
4
beliau yang merupakan salah satu tokoh mufassir yang lahir di Indonesia bahkan
sebelum Indonesia Merdeka. Meskipun beliau adalah mufassir Indonesia, namun
beliau banyak menimba ilmu di Makkah setelah beliau kembali ke Indonesia,
setelah menunaikan ibadah Haji pada usia 15 tahun karena keadaan yang genting
akibat penjajahan oleh Belanda. Berbagai ilmu yang telah beliau peroleh ketika di
Makkah kemudian lanjut ke Madinah dan juga ke Mesir, hingga akhirnya beliau
menuliskan karya terbesarnya yang populer di dunia pesantren, yaitu Tafsir Marah
Labid ini. Karena itu kondisi dan latar belakang tempat beliu tinggal akan sangat
berpengaruh dengan latar belakang penulisan tafsir.
Selain Syeikh Nawawi al-Bantani, penulis memilih lima mufassir lainnya, di
antaranya yakni Mahmud Yunus, Ahmad Hasan, Hasbi ash-Shiddieqy, Buya
Hamka, dan juga Quraish Shihab. Penulis memilih mufassir-mufassir tersebut
karena penulis mengambil penafsiran yang bercorak lughawi atau sastra dan adabi
ijtima’i. Kemudian Ahmad Hasan yang tergolong tafsir bil ar-ra’yi dan beliau yang
selaku mengikuti aliran wahabiyah. Dengan demikian maka akan berpengaruh
terhadap penafsirannya karena pemikirannya yang jauh berbeda dengan aliran
tradisional.
Penulis memilih penafsiran Mahmud Yunus karena setelah penulis telusuri
bahwa dalam kitab tafsirnya beliau menerjemahkan ayat-ayat bidadari seperti istilah
qāṣirāt ṭarf pada surah aṣ-ṣaffāt ayat 48 beliau mengartikannya sebagai beberapa
istri atau bidadari yang pendek pemandangannya. Maka dengan demikian akan
muncul permasalahan apakah istri atau bidadari itu memang akan menjadi istri para
penghuni surga atau memang mereka itu juga termasuk dengan istri-istri atau
perempuan ketika di dunia.
5
Hasbi ash-Shiddieqy dalam penafsirannya tidak menfokuskan pada salah
satu corak tertentu, sehingga penafsirnnya tidaklah condong menggunakan satu
corak saja. Selanjutnya Buya Hamka dan M. Quraish Shihab kedua mufassir sama-
sama menggunakan corak sastra dan adabi ijtima’i namun keduanya hidup di masa
dan lingkungan yang berbeda sehingga penafsiran dari keduanya akan memiliki latar
belakang yang berbeda.
Misalnya pada penafsiran Buya Hamka ayat 48 pada surah aṣ-Ṣaffāt beliau
mengatakan bahwa bidadari merupakan bangsa malaikat yang berupakan perempuan
muda dan cantik.9 Jika menyikapi penjelasan Buya Hamka yang mengatakan bahwa
bidadari merupakan bangsa malaikat yang berupakan perempuan, lalu bagaimana
mengenai malaikat yang berupakan laki-laki. Quraish Shihab menafsirkan surah ad-
Dukhān[44] ayat 54 yang jika melihat pengertian bahasa bahwa kata ḥur adalah
bentuk jamak dari kata aḥwār atau ḥaurā’. Sehingga memiliki arti netral kelamin,
bisa lelaki dan perempuan, karena yang terpenting adalah untuk menjelaskan
maksud ḥūr itu sebagai pasangan yang sangat baik dan indah dalam pandangan
pasangannya.10
Jika demikian maka bidadari bisa berupa lelaki maupun perempuan.
Ada juga istilah azwāj muṭahharah yang berarti pasangan yang disucikan, dan yang
dimaksudkan ialah bidadari surga.
Segala kenikmatan surga yang belum pernah diketahui oleh manusia
memang tidaklah bisa jika kita fahami menurut akal pikiran kita. Sebagai manusia
hanya perlu yakin bahwa Allah telah menyiapkan kepada orang-orang yang sholeh
dan sholihah yang taat kepada-Nya berbagai nikmat yang tidak bisa dibayangkan
9 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXIII (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 114.
10 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Vol. 13
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 535-537.
6
oleh akal manusia. Namun, untuk menghindari pemikiran-pemikiran yang salah
maka sangat penting untuk menggali lebih dalam demi menjauhkan kita dari
pemikiran yang menyimpang.
Apabila semua beranggapan bahwa bidadari itu hanyalah nikmat yang hanya
akan diberikan kepada lelaki yang beriman kepada Allah maka bagaimana dengan
perempuan yang telah beriman kepada Allah. Dengan demikian maka akan muncul
pemikiran bahwa di dalam surga hanya terdapat nikmat jasmani yang pernah
diperoleh ketika di dunia. Kemudian jika semua nikmat itu hanya diperuntukkan
kepada kaum laki-laki maka tidak sedikit jika kita menemukan perempuan-
perempuan yang tidak taat kepada Allah. Maka dengan demikian kita harus kembali
menelusuri bahwa kenikmatan bidadari yang telah Allah janjikan kelak di surga
nanti bukanlah nikmat yang terbesar, karena hakikat seorang hamba taat kepada
Allah SWT bukanlah hanya mendapatkan kenikmatan semata melainkan kembali
kepada-Nya dan bisa bertemu dengan-Nya, karena hal itu merupakan sebesar-
besarnya nikmat ketika di dunia.11
Penelitian sebelumnya yang dibahas oleh Nor Saidah artikel jurnal dengan
judul Bidadari dalam Konstruksi Tafsir al-Qur’an: Analisis Gender atas Pemikiran
Amina Wadud Muhsin dalam Penafsiran al-Qur’an, dalam penelitian ini Amina
Wadud ingin mencoba membaca ulang ayat-ayat mengenai teman pendamping
surga yang telah mengalami bias patriarkhi. Contohnya dalam salah satu literatur
klasik yang menjelaskan bahwa laki-laki yang beramal saleh di surga akan
mendapatkan bidadari yang cantik jelita atau yang dikenal dengan istilah al-ḥur al-
‘in, tidak cukup satu, melainkan 40 bidadari untuk setiap laki-laki. Menurut
11
Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surah Ali Imran ayat 15.
7
sumbernya, bidadari tersebut diciptakan dari minyak za’faron yang sangat harum.
Karena putihnya kulit sang bidadari, sehingga sumsum tulangnya terlihat. Karena
inilah Amina Wadud menganggap bahwa sumber-sumber yang menjadi landasan
Islam telah didominasi oleh kaum laki-laki sehingga akan menyebabkan wanita
dalam posisi yang lemah, rendah, serta kurang dalam berbagai bidang dibanding
kaum laki-laki.12
Hasil kesimpulan Nor Saidah yang menggunakan metode deskriptif, Amina
Wadud membedakan dua kata yang sering disalahpahami dan dianggap identik yaitu
kata ḥur dan azwāj. Dalam analisis tersebut Amina Wadud mencoba
mengkombinasikan bacaan-bacaan tentang gender dalam al-Qur’an dengan
pengalaman kaum perempuan Afrika-Amerika. Kemudian dalam rekonstruksi
penafsirannya, Amina Wadud menggunakan pendekatan hermeneutika dan
melibatkan pisau analisis gender untuk menunjukkan kedudukan laki-laki dan
perempuan yang setara. Karena hal ini dapat menjadi alternatif terhadap penafsiran
klasik yang cenderung mempertahankan makna literal teks-teks yang tampak
patriarkis.
Sehingga penelitian yang akan dibahas penulis dalam kajian ini adalah
Bidadari dalam al-Qur’an (Perspektif Mufassir Indonesia). Penulis akan mencari
makna bidadari yang diungkapkan dalam al-Qur’an, kemudian penulis
mengumpulkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan bidadari
menggunakan metode maudhu’i. Setelah semua ayat terkumpul kemudian penulis
12
Nor Saidah, “Bidadari dalam Kontruksi Tafsir al-Qur’an: Analisis Gender atas Pemikiran
Amina Wadud Muhsin dalam Penafsiran al-Qur’an,” PALASTREN VI, no. 2 (Desember 2013): h. 443.
8
mengkomparasikan dengan ke enam mufassir Indonesia yang telah penulis
kemukakan alasannya di paragraf sebelum-sebelumnya.
Terkait hal ini penulis memakai penafsiran para mufassir Indonesia di
antaranya yaitu Syekh Nawawi Banten, Mahmud Yunus, Ahmad Hasan, Hasbi Ash-
Shiddiqiy, Buya Hamka, dan M. Quraish Shihab. Meskipun para tokoh-tokoh
tersebut sama-sama mufassir Indonesia, namun mereka pasti memiliki perbedaan
dalam melakukan penafsiran. Baik dari latar belakang masing-masing mufassir,
pendidikan serta generasi yang melahirkan mereka tentunya memungkinkan untuk
terciptanya penafsiran yang berbeda-beda.
Dengan demikian, meskipun para mufassir tesebut adalah tokoh terkenal
Indonesia namun mereka lahir dari kondisi di lingkungan yang berbeda, dengan
kategori tokoh yang hidup dalam abad yang sama, akan tetapi mereka memiliki latar
belakang yang jelas sangat berbeda. Karena mengkomparasikan dari keenam
mufassir tersebut tidak akan bisa mengupas secara tuntas. Oleh karenanya penulis
fokuskan pada kajian tematik yakni bidadari dalam al-Qur’an perspektif mufassir
Indonesia.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka perlu
adanya batasan masalah agar penelitian ini lebih terarah dan tidak menyimpang
dari tema yang diangkat. Untuk itu penulis membatasi masalah dalam penelitian
yang akan diteliti yakni dengan mencari makna bidadari sesuai istilah-istilah
yang digunakan dalam al-Qur’an, kemudian mengkomparasikan dengan ke
enam mufassir Indonesia. Karena melihat beberapa permasalahan yang
9
khususnya pada masyarakat Indonesia yang salah mengartikan dan memahami
nikmat-nikmat yang telah Allah janjikan dalam al-Qur’an, yakni kenikmatan
dapat bertemu bidadari surga. Selain itu ada sebagian masyarakat yang
mempersalahgunakan janji-janji Allah itu demi melakukan aksi jihad dan teror
terhadap masyarakat setempat. Sehingga penulis mengambil judul “Bidadari
dalam al-Qur’an (Perspektif Mufassir Indonesia).
2. Rumusan Masalah
Melihat batasan masalah yang telah diuraikan maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut: Bagaimana penafsiran mufassir Indonesia mengenai
konsep bidadari dalam al-qur’an?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penulis melakukan penelitian dengan judul “Bidadari dalam Al-
Qur’an Perspektif Mufassir Indonesia” ini adalah untuk mengetahui makna bidadari
dalam al-Qur’an menurut penafsiran para mufassir Indonesia serta kontekstualisasi
makna bidadari terhadap perempuan muslimah.
Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah diuraikan di atas, maka penelitian
ini memiliki dua manfaat yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis:
1. Manfaat Teoritis
Menegaskan padangan bahwa tafsir patriarkhi terkait konsep bidadari itu
sebenarnya untuk menunjukkan apa petunjuk al-Qur’an yang sebenarnya.
2. Manfaat Praktis
Sebagai bahan rujukan penelitian, atau karya fiksi, seperti penulisan novel
dan pembuatan film yang terkait dengan perempuan surga, atau perempuan
ideal sesuai dengan konteksnya.
10
D. Tinjauan Pustaka
Setelah melakukan penelusuran, kajian-kajian ilmiah tentang bidadari
dalam al-Qur’an belum banyak dilakukan. Dalam proses pencarian data dan
sumber-sumber mengenai bidadari dalam al-Qur’an ini cukup sulit ditemukan.
Namun ada beberapa karya ilmiah yang penulis temukan mengenai kajian
bidadari dalam al-Qur’an, di antaranya adalah:
1. Artikel
Jurnal berjudul “Bidadari dalam Konstruksi Tafsir al-Qur’an: Analisis
Gender atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam Penafsiran al-Qur’an”
yang disusun oleh Nor Saidah, Pondok Pesantren al-Najah Kudus, Jawa Tengah,
Indonesia. Dalam penelitian Nor Saidah ini Amina Wadud mencoba membaca
ulang ayat-ayat tentang pendamping dalam surga yang menurutnya telah
mengalami bias patriarkhi ini dengan pendekatan hermeneutik berkeadilan
gender. Metode yang digunakan Nor Saidah adalah metode deskriptif, bahwa
Amina Wadud membedakan dua kata yang sering disalahpahami dan dianggap
identik yaitu kata ḥūr dan azwāj.
Menurut Nor Saidah, mengenai penafsiran ayat-ayat yang menjelaskan
tentang kenikmatan di surga, para feminis menilai bahwa menurutnya ayat-ayat
tersebut telah mengalami bias patriarkhi. Pandangan ini muncul karena selama
ini yang mendominasi sebagai landasan tradisi Islam terutama al-Qur’an dan
Hadis adalah penafsiran dari kaum laki-laki. Karena itu, kekeliruan penafsiran
mengenai ayat-ayat al-Qur’an tentang wanita ini menyebabkan wanita dalam
posisi lemah, rendah, serta kurang dalam berbagai bidang di banding kaum laki-
laki. Hal ini sangatlah jelas bertentangan dengan tujuan yang ada dalam al-
11
Qur’an. Oleh karena itu Amina Wadud ingin melakukan semacam dekostruksi
penafsiran, dengan menafsirkan dari perspektif dan optik perempuan. Untuk itu
Amina Wadud mencoba mengkombinasikan bacaan-bacaan mengenai gender
dalam al-Qur’an dengan pengalaman kaum perempuan Afrika-Amerika.
Kemudian dalam melakukan rekonstruksi penafsiran ini, Amina Wadud
menggunkan pendekatan hermeneutik dan melibatkan pisau analisis gender
untuk menunjukkan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara.
Hal ini dilakukan sebagai alternatif terhadap penafsiran klasik yang cenderung
mempertahankan makna literal teks-teks yang tampak patriarkis.
2. Skripsi
Selain menemukan artikel jurnal di atas, penulis menemukan satu skripsi
yang mirip dengan artikel sebelumya, yang berjudul “Penafsiran Amina Wadud
Muhsin tentang Bidadari dalam al-Qur’an (Kajian Hermeneutika)” yang
disusun oleh Hanik Fatmawati. Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam
Negeri Walisongo Semarang 2013. Hanik Fatmawati ingin membahas mengenai
konsep bidadari dalam al-Qur’an dengan pandangan hermeneutika dalam buku
Qur’an in Women yang diterjemahkan oleh Amina Abdullah. Dalam
penelitiannya di latar belakangi tentang dua kebutuhan manusia yakni
memahami dan menafsirkan, yang menganggap bahwa islam sebagai sebuah
politik. Sehingga menampilkan pandangan-pandangan yang berbentuk patriarki.
Oleh karena itu peneltian ini mendeskripsikan pandangan atau penafsiran Amina
Wadud Muhsin tentang ayat-ayat bidadari dalam al-Qur’an sebagaimana
pandangan Amina Wadud memahami jalan pikirannya yang secara utuh dan
berkesinambungan.
12
Metode yang digunakan Hanik adalah metode analisis isi (Content
Analysis), yang bertujuan untuk mengetahui konsep bidadari dalam al-Qur’an
dengan pandangan hermeneutika dalam buku Qur’an in Women (Peremuan
dalam al-Qur’an) yang diterjemahkan oleh Amina Abdullah. Sehingga dapat
memahami metode dan corak yag digunakan Amina Wadud Muhsin dalam
menafsiran bidadari.
3. Disertasi
Penulis juga menemukan disertasi yang berjudul “Konsep Bidadari
dalam Al-Qur’an Al-Karim: Satu Analisis Balaghah” yang disusun oleh
Abdullah bin Hamzah, Pengajian Bahasa Modern, Fakultas Bahasa dan
Linguistik Universitas Malaya Kuala Lumpur. Disertasi ini membahas ayat-ayat
bidadari dari aspek makna yang dianalisis dari aspek disiplin ilmu balaghah ilmu
al-ma’ani, ilmu al-bayan, dan ilmu badi’. Abdullah bin Hamzah ingin
menganalisis sifat-sifat bidadari yang digambarkan dalam al-Qur’an dari aspek
makna. Sehingga menghasilkan makna-makna lebih luas dan mendalam. Teknik
yang digunakan adalah kalam khabariy, al-jumlat al-ismiyyat, al-tankir, taṣbih,
dan kinayat, dengan tujuan demi menyingkap rahasia-rahasia keistimewaan al-
Qur’an dan menggali makna-makna tersirat yang terkandung dalam al-Qur’an.
E. Metode Penelitian
1. Teknik Pengumpulan Data
Dalam upaya mengumpulkan data, penulis menggunakan telaah pustaka
(library research). Penulis memperoleh data dan informasi dari buku, artikel,
jurnal, skripsi, dan literatur-literatur yang berkaitan dengan tema yang sedang
diteliti. Dengan memulai pencarian yang menggunakan kata bidadari dalam
13
Indeks al-Qur’an, kemudian penulis mengumpulkan ayat-ayat yang di pakai
untuk mengungkapkan makna bidadari dengan menggunakan kitab mu’jam
mufahharas li alfaẓ al-qur’an, fatḥul raḥman. Setelah ayat-ayat terkumpul,
kemudian penulis kelompokkan dengan menggunakan metode penelitian Metode
Tafsir Maudhu’i, yakni dengan mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan sesuai
tema yang dibahas, yaitu ayat-ayat bidadari, sifat-sifatnya dan penciptaannya.
Sesuai dengan pengertian tafsir maudhu’i, yakni menghimpun seluruh ayat al-
Qur’an yang memiliki tujuan dan tema yang sama.13
Sebagai sumber primer dalam penelitian ini penulis menggunakan kitab-
kitab tafsir Indonesia, diantaranya yaitu: Tafsir Marah Labid karaya Syekh
Nawawi Banten, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya Mahmud Yunus, Tafsir Al-
Furqan karya Ahmad Hasan, Tafsir an-Nur karya Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir
Al-Azhar karya Buya Hamka, dan Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab.
Sedangkan sumber sekundernya penulis memakai buku atau literatur-literatur
yang berkaitan dengan tema yang sedang diteliti, misalnya: Bidadari Dunia
Potret Ideal Wanita Muslimah karya Muhammad Syafi’ie el-Bantanie, Wanita-
Wanita dalam Al-Qur’an karya Abdurrahman Umairah, Bidadari Stories Kisah
Menakjubkan Para Bidadari Dunia dan Surga karyaFuad Abdurrahman, serta
beberapa sumber lain yang mendukung.
2. Metode Analisis Data
Untuk penelitian karya ilmiah ini penulis memakai metode deskrpistif-
komparatif, dengan mendeskripsikan penafsiran ayat-ayat bidadari dalam al-
Qur’an menurut ke enam mufassir Indonesia, yaitu tafsir Marah Labid, tafsir
13
Abdul Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi at-Tafsir al-Maudhu’i: Dirasah Manhajiyah
Maudhu’iyyah. Penerjemah Rosihon Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 43-44.
14
Mahmud Yunus, tafsir al-Furqan, tafsir an-Nur, tafsir al-Azhar dan tafsir al-
Misbah, kemudian penulis komparasikan dari masing-masing penafsiran ke
enam mufassir tersebut.
Teknik penulisan karya ilmiah ini penulis merujuk pada buku pedoman
penulisan skripsi, tesis dan disertasi.14
F. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penyusunan skripsi ini penulis membagi atas lima bagian,
supaya dapat mengantarkan kepada pokok permasalahan yang diajukan di atas
dengan tepat dan cepat, yang di awali bab I dan diteruskan pada bab-bab selanjutnya
hingga terakhir bab V.
Bab I, pada bab pertama ini berisi pendahuluan yang memuat latar belakang
penelitian dengan penjelasan masalah-masalah yang terjadi pada masyarakat dalam
memahami bidadari surga, terkait dengan tema yang akan diteliti oleh penulis.
Ulasan bab ini terdiri dari: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian yang
digunakan, dan sistematika penelitian. Dengan kata lain, bab ini merupakan
kerangka dari keseluruhan isi penelitian. Selanjutnya secara terperinci hasil
penelitian akan di ulas dalam bab-bab berikutnya.
Bab II, membahas seputar biografi para mufassir beserta kitabnya,
diantaranya mufassir dan kitab-kitab tafsir yang akan digunakan sebagai penelitian
adalah Tafsir Marah Labid karangan Syekh Nawawi Banten, Tafsir Al-Qur’an
Karim karangan Mahmud Yunus, Tafsir Al-Furqan karangan Ahmad Hasan, Tafsir
14
Tim Penyusun, Pedoman Akademik Program Strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta 2013-2014, (Jakarta: Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerjasama
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 378-436.
15
an-Nur karangan Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Azhar karangan Buya Hamka, dan
Tafsir al-Misbah karangan M. Quraish Shihab. Pembahasan ini penulis cantumkan
supaya dapat mengetahui latar belakang para mufassir serta karakteristik masing-
masing kitab tafsir yang akan digunakan penelitian.
Bab III, bab ini penulis akan mengulas mengenai tinjauan umum tentang
bidadari, mulai dari mencari pengertian bidadari dalam kamus, baik kamus
berbahasa Indonesia maupun kamus berbahasa Arab. Kemudian istilah-istilah
bidadari dalam al-Qur’an, kriteria bidadari yang menjadikan perempuan muslimah
mendapat julukan bidadari surga, lalu mengenai penciptaan bidadari, sifat dan
karakteristik bidadari, tabel kata bidadari dalam al-Qur’an yang memuat ayat-ayat
pembahasan bidadari dalam al-Qur’an yang penulis urutkan berdasarkan tertib
nuzul. Selain itu penulis juga mencantumkan kontekstualisasai makna bidadari pada
perempuan muslimah, khususnya muslimah-muslimah yang ada di Indonesia, dan
dalam hal ini penulis mencontohkan tokoh-tokoh dalam novel best seller seperti,
Bidadari Bermata Bening karangan Habiburrahman el Shirazi, kemudian novel
Bidadari Surga karangan Darwin atau biasa terkenal dengan nama penanya Tere
Liye.
Bab IV, bab ke empat ini berisi tentang penafsiran bidadari menurut
mufassir Indonesia, yang mana penulis akan menganalisis mengenai perbandingan
tafsirnya dengan mencari persamaan dan perbedaan, kemudian akan menganalisis
istilah-istilah bidadari yang dipakai dalam al-Qur’an berdasarkan kronologis
nuzulnya dan memasukkan ayat-ayat terkait siapa saja orang-orang yang akan
mendapatkan pahala di surga kelak.
16
Bab V, bab terakhir yakni bab penutup, merupakan kesimpulan dari hasil
penelitian yang mencakup atas keseluruhan dari isi karya ilmiah ini. Kemudian
disertai dengan saran-saran membangun, supaya dapat dijadikan bahan referensi dan
pelajaran pada penelitian selanjutnya.
17
BAB II
BIOGRAFI MUFASSIR DAN KITABNYA
A. Tafsir Marah Labid
1. Biografi Syeikh Nawawi Banten
Nawawi al-Bantani memiliki nama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi
Muhammad Nawawi bin Umar. Beliau lahir di Tanara, Tirtayasa, Serang, Banten,
Jawa Barat pada tahun 1813 M. Beliau dijuluki al-Bantani karena dinisbahkan
daerah asalnya yaitu Banten. Putra dari K.H. Umar bin Arabi, seorang pejabat
penghulu yang memimpin masjid. Dari silsilahnya beliau merupakan keturunan
ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), cucu dari
Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Tajul ‘Arsy).
Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad SAW. melalui jalur Imam Ja’far
ash-Shiddiq, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina
Husain, Fatimah az-Zahra.1
Nawawi al-Bantani wafat pada usia 94 tahun di Syeib Ali, sebuah kawasan
di pinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314 H/1897 M dan di makamkan di
Ma’la yang dekat dengan makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi.2
2. Corak dan Metode Penafsiran
Corak dari penulisan kitab tafsir Marah Labid ini adalah kebahasaan,
karena ia mengaktualisasikan penafsirannya ini dimulai dengan terlebih dahulu
bahasa yang digunakan al-Qur’an. Syeikh Nawawi sengaja menyederhanakan
1 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), h. 189. 2 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), h. 192.
18
tafsirnya supaya pembaca langsung memahami inti persoalan.3 Metodologi yang
digunakan tafsir ini adalah tahlili. Uraiannya sederhana, tapi lebih panjang dan
banyak. Kecenderungan dalam penafsiran ini coraknya menganut Ahlussunah wa
al-Jamaah dalam bidang Teologi dan Syafiiyah dalam bidang fiqh.4
3. Sistematika Penafsiran
Dalam tafsir Marah Labid ini Imam Nawawi konsisten dalam kehati-
hatiannya. Dari cover tafsir ini memiliki dua nama, pertama al-Munir dan kedua
al-tafsir Marah Labid. Jilid pertama di mulai dari surah al-fatihah sampai dengan
surah al-kahfi dan jilid dua di mulai surah maryam sampai surah an-nas. Adapun
sistematika penulisan kitab ini mengikuti sistematika urutan dalam mushaf, yakni
di mulai dari awal surat, al-fatiḥah terus berurutan hingga an-Nās.5
B. Tafsir al-Qur’an Karim
1. Biografi Mahmud Yunus
Mahmud Yunus lahir pada hari sabtu 10 Februari 1899 (30 Ramadhan
1316) di Sungayang Batusangkar, Sumatra Barat. Ayahnya bernama Yunus bin
Icek dan ibunya bernama Hafsah binti M. Thahir. Buyutnya dari pihak ibu
merupakan seorang ulama besar di Sungayang Batusangkar, bernama Muhammad
Ali gelar Angku Kolok. Pada 16 Januari 1983 ketika berumur 83 tahun, Mahmud
Yunus berpulang ke rahmatullah di kediamannya, Kelurahan Kebon Kosong
3 Ahmad Muttaqin, “Karakteristik Tafsir Marah Labid Karya Syaikh Nawawi al-
Bantani,” al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits, Vol. 8 no. 1 (Januari-Juni
2014): h. 75. 4 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Banten: Mazhab Ciputat, 2013), h. 51-54.
5 Ahmad Muttaqin, “Karakteristik Tafsir Marah Labid Karya Syaikh Nawawi al-
Bantani,” al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits, Vol. 8 no. 1 (Januari-Juni
2014): h. 71-72.
19
Kemayoran, Jakarta Pusat, dan di makamkan di pemakaman IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.6
2. Corak dan Metode Penafsiran
Tafsir Qur’an Karim karangan Mahmud Yunus ini tergolong dalam tafsir
bi al-ra’yi. Terlihat ketika beliau menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 46, pada
kalimat يظنون yang tidak diartikan dengan menyangka, melainkan “yakin” sesuai
dengan ayat 46 al-Baqarah. Sedangkan corak penafsiran tafsir ini, dalam buku
Literatur Tafsir Indonesia, di sana menyebutkan bahwa, penulis melihat corak
penafsiran dalam beberapa kosa kata yang dibilang keyword dalam ayat atau
maksud dari ayat tersebut, sehingga dengan penglihatan tersebut dapat dipahami
bahwa tafsir ini bercorak lughawi.7 Tafsir ini menggunakan metode global (ijmālī)
yang disajikan secara global dan umum, serta tidak terlampau mendetail.8
3. Sistematika Penafsiran
Sistematika dalam tafsir al-Qur’an Karim ini di awali dengan muqaddimah
pengarang yang berisi tentang: latar belakang penulis tafsir, selanjutnya langsung
masuk pada pembahasan ayat-ayat al-Qur’an. Kitab tafsir ini diawali dengan
muqaddimah. Penjelasannya bersifat umum namun terperinci dan setiap
penafsirannya di awali dengan menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia juga
ada penjelasan artikata atau mufradatnya.9
6 “Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah,” dalam Ensiklopedia Islam Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 1992), h. 592-594. 7 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Banten: Mazhab Ciputat, 2013), h. 77.
8 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), h. 200. 9 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Banten: Mazhab Ciputat, 2013), h. 76.
20
C. Tafsir al-Furqan
1. Biografi Ahmad Hasan
Ahmad Hasan merupakan nama akrab yang biasa digunakan, beliau juga
sering disebut Hasan Bandung, namun beliau juga memiliki nama asli yaitu
Hassan bin Ahmad bin Ahmad. Beliau lahir di Singapura pada tahun 1887 M.
Ibunya bernama Muznah orang Indonesia sedangkan ayahnya bernama Ahmad
orang India.10
Dalam menempuh pendidikannya ini ia belajar bahasa Arab,
Melayu, Tamil, dan Inggris. Dan keinginannya untuk menguasai bahasa Arab
sebagai jendela untuk memperdalam Islam.11
Semenjak di Singapura ayahnya bersimpati terhadap pikiran-pikiran
wahabiyah, oleh karena itu meskipun ia tinggal bersama pamannya di Surabaya
yang mengikuti aliran Tradisional, ia tetap tidak sefaham dengan pamannya.12
Pada tahun 1941 ia kembali ke Surabaya dan mendirikan pesantren Persis di
Bangil sampai wafat pada tanggal 10 November 1958 M.13
2. Corak dan Metode Penafsiran
Metode penafsiran dalam tafsir ini tergolong pada jenis tafsir bil ra’yi,
karena Ahmad Hasan lebih cenderung menafsirkan dengan rasionalitas. Lalu
metode yang digunakan yaitu metode Ijmālī, yang mana dalam penafsirannya
dijelaskan secara ringkas dan padat, akan tetapi mencakup keseluruahan (global)
metodenya yang mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa
10
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Banten: Mazhab Ciputat, 2013), h. 111. 11
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), h. 194. 12
“Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah,” dalam Ensiklopedia Islam Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 1992), h. 82. 13
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), h. 195.
21
ada upaya untuk memberikan pengkayaan wawasan lain. Kemudian ada beberapa
corak yang digunakan dalam tafsir ini, yaitu bercorak ilmi, karena terdapat tema-
tema penafsiran seperti kesehatan, botani, astronomi, fisika, geologi. Namun yang
paling mendominasi adalah corak bahasa.
3. Sistematika Penafsiran
Kitab ini di awali dengan beberapa kata dari penerbit, pengantar dari tim
penyunting, dilanjutkan oleh pendahuluan yang terbagi dalam beberapa pasal
sampai pasal 33 mengenai penafsiran. Kemudian dilanjutkan dengan Glosarium
(kosa kata). Lalu dituliskan tentang petunjuk pencarian kata dalam al-Qur’an,
yang dilanjutkan dengan keterangan mengenai penelusuran pokok-pokok ajaran
al-Qur’an baru kemudian daftar isi yang dijelaskan satu persatu dengan sub-sub
tema dalam setiap surat-surat dalam al-Qur’an.14
D. Tafsir an-Nur
1. Biografi Hasbi Ash-Shiddiqy
Tafsir an-Nur adalah kitab tafsir karangan Prof. Dr. Hasbi al-Shiddieqy.
Beliau lahir di Lhoksemawe pada 10 Maret 1904/22 Zulhijjah 1321 H dan wafat
di Jakarta, 9 Desember 1975/5 Zulhijjah 1395 H. Ayahnya bernama Teuku Qadhi
Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su’ud dan ibunya bernama
Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, yang
merupakan putri seorang Qadhi Kesultanan Aceh ketika itu.15
Hasbi Ash-Shiddiqy
tumbuh dalam keluarga ulama, pendidik, dan pejuang. Nasabnya mengalir darah
Aceh-Arab dan masih bersambung dengan Abu Bakar. Inilah sebab nama
14
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Banten: Mazhab Ciputat, 2013), h. 116-118. 15
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Banten: Mazhab Ciputat, 2013), h. 158.
22
belakangnya ditambahkan ash-Shiddiqy. Berbagai karir Akademik ia dapatkan,
mulai dari menjadi staf pengajar sekolah persiapan PTAIN sampai direkturnya.
Mengajar dan memangku jabatan-jabatan struktural di berbagai Perguruan Tinggi
Swasta dan Negeri. Sampai pada tahun 1967 ia mengajar sekaligus menjadi
Dekan Fakultas Syariah Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang,
hingga wafatnya pada 19 Desember 1975 M.16
2. Corak dan Metode Penafsiran
Dalam penyusunan kitab tafsir ini Hasbi Ash-Shiddieqy menggunakan
metode di antaranya:
1. Mengemukakan ayat-ayat yang akan ditafsirkan satu, dua, atau lebih.
Seperti tafsir al-Maraghy, al-Manar, maupun tafsir al-Wadhih.
2. Kemudian membagi ayat-ayat tersebut ke beberapa jumlah dan
menafsirkannya sendiri-sendiri.
3. Untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, beliau berpedoman
pada tafsir Abu Suud, tafsir Shiddiqy Hasan Khan, dan tafsir al-
Qasimy.
4. Dalam menafsirkan ayat beliau mensarikan dari uraian al-Maraghy dan
al-manar, lalu pada ayat-ayat yang semakna menuruti al-Imam Ibnu
Katsir.
5. Apabila terdapat atsar yang diakui keshahihannya oleh ahli atsar, beliau
juga menerangkan asbabul nuzul ayat.
16
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), h. 202-205.
23
Dengan mengetahui sumber-sumber yang dipakai Hasbi Ash-Shiddieqy
dalam penafsirannya, maka dapat diketahui bahwa pendekatan yang digunakan
dalam penafsiran ini adalah metode campuran antara metode bil Ra’yi atau bil
Ma’qul. Kemudian metode yang digunakan tafsir ini ialah metode tahlili, karena
beliau menafsirkan keseluruhan ayat al-Qur’an dari awal hingga selesai.
3. Sistematika Penafsiran
Terdapat empat tahap pembahasan dalam sistematika tafsir ini: pertama;
penyebutan ayat secara tartib mushaf tanpa diberi judul, kedua; penerjemahan
ayat kedalam Bahasa Indonesia diberi judul “Terjemahan”, ketiga; dengan
pemberian judul “Tafsirnya” yaitu penafsiran masing-masing ayat yang didukung
dengan ayat lain, hadis, riwayat sahabat, dan Tabi’in serta penjelasan yang ada
kaitannya dengan ayat tersebut, keempat; yang berjudul “Kesimpulan” berisi
tentang intisari dari kandungan ayat.17
E. Tafsir al-Azhar
1. Biografi Buya Hamka
Buya Hamka merupakan putra dari pasangan Dr. H. Abdul Karim
Amrullah (Hanji Rasul) dan Siti Safiyah Binti Gelanggar yang bergelar Bagindo
nan Batuah. Beliau lahir pada tanggal 17 Februari 1908 di Kampung Molek,
Maninjau, Sumatera Barat. Buya Hamka mewarisi darah ulama dan pejuang yang
kokoh pada pendirian dari ayahnya yang dikenal sebagai ulama pelopor Gerakan
Islah (tajdid) di Minangkabau serta salah satu tokoh utama dari gerakan
pembaruan yang membawa reformasi Islam (kaum muda). Hamka merupakan
17
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Banten: Mazhab Ciputat, 2013), h. 163-166.
24
akronim dari namanya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, sedangkan sebutan
Buya adalah panggilan khas untuk orang Minangkabau.18
Beliau merupakan
seorang yang aktif dalam organisasi masyarakat, begitu juga dalam bidang politik,
bahkan pernah dipenjara karena dituduh pro-Malaysia. Kemudian pada tanggal 24
Juli 1981 M beliau wafat di Jakarta.19
2. Corak dan Metode Penafsiran
Tafsir al-Azhar ini menggunakan sumber bi al-ra’yi, karena dalam
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an Buya Hamka sendiri yang mengemukakan
pendapat-pendapat beliau. Metode yang digunakan adalah metode Tahlili sesuai
dalam tafsir tersebut yang terlihat dari urutan suratnya yang menggunakan tartib
mushafi. Kemudian kecenderungan beliau dalam menulis tafsirnya menggunakan
contoh-contoh yang ada di sekitar masyarakat dan uraiannya yang menyentuh
sangat perasaan, karena itu corak yang beliau pakai adalah corak sastra budaya
kemasyarakatan (adabi ijtima’i).
3. Sistematika Penafsiran
Langkah pertama dalam tafsir ini beliau mengemukakan muqaddimah dan
pendahuluan pada setiap awal juz yang berisi resensi juz yang akan dibahas.
Terkadang juga beliau mencari munasabah antara juz yang sebelumnya dengan
juz yang akan dibahas. Selanjutnya disajikan beberapa ayat secara tematik di awal
pembahasan dan beliau lebih banyak menafsirkan kelompok ayat yang dianggap
memiliki satu tema untuk memudahkan penafsiran sekaligus memahami
18
Hamka, Dari Hati ke Hati (Jakarta: Gema Insani, 2016), h. 257. 19
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), h. 209-212.
25
kandungannya. Dalam tafsirannya ini beliau juga mengurangi uraiannya mengenai
pengertian kata, karena sudah tercakup dalam terjemahannya. Setelah
menerjemahkan ayat, beliau mulai menafsirkan ayat dengan luas dan terkadang
dikaitkan dengan kejadian zaman sekarang, supaya pembaca dapat menjadikan al-
Qur’an sebagai pedoman akhir zaman.20
F. Tafsir al-Misbah
1. Biografi M. Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab lahir pada 16 Februari 1944 M di Rappang,
Sulawesi Selatan. Putra dari Abdurrahman Shihab, salah satu pendiri Universitas
Muslim Indonesia di Ujungpandang sekaligus guru besar dalam bidang tafsir yang
pernah menjadi Rektor IAIN Alauddin. Pada tahun 1958 M, beliau berangkat ke
Kairo, Mesir atas bantuan beasiswa dari Pemerintah Sulawesi Selatan. Dan
menyelesaikan pendidikannya sampai program doktoral dan berhasil
merampungkannya pada tahun 1982 dengan predikat summa cumlaude.21
Pada tahun 1984 M, beliau kembali ke Indonesia dan ditugaskan di
Fakultas Ushuluddin serta program pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Di luar kampus pun, beliau dipercaya dalam berbagai jabatan. Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tahun 1984, Anggota Lajnah Pentashih al-
Qur’an Departemen Agama tahun 1989, dan Anggota Badan Pertimbangan
Pendidikan Nasional tahun 1989. Selain itu juga aktif dalam organisasi
profesional seperti: Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari’ah, Pengurus
20
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Banten: Mazhab Ciputat, 2013), h. 186-189. 21
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), h. 236.
26
Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan
Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).22
2. Corak dan Metode Penafsiran
Tafsir al-Misbah ini memiliki corak adabi ijtima’i karena dalam
penafsirannya yang tidak hanya ditekankan pada lughawi, tafsir fiqhi, tafsir ilmi,
dan tafsir isy’ari, melainkan lebih pada kebutuhan sosial masyarakat. Tafsir ini
termasuk jenis tafsir bil ra’yi, karena penafsirannya yang didasarkan pada karya-
karya ulama modern dan kontemporer, seperti Sayyid Muhammad Thanthawi,
Syeikh Mutawalli asy-Sya’rawi, Muhammad Thahir bin Asyur, dan beberapa tafsir
lainnya juga berdasarkan pada pemikiran beliau sendiri. Kemudian metodologi
yang digunakan adalah tahlii, yang menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan
susunannya dalam setiap surat.23
3. Sistematika Penafsiran
Dalam penulisan kitabnya, M. Quraish Shihab memulainya dengan
memberikan pengantar, di antaranya: nama surah dan nama lain surah, jumlah
ayat yang terkadang disertai penjelasan tentang perbedaan penghitungan, tempat
turun surah (makkiyah dan madaniyah) yang disertai pengecualian ayat-ayat yang
tidak termasuk kategori, nomor surah berdasarkan urutan mushaf dan urutan
turun, tema pokok, keterkaitan (munasabah) antara surat sebelum dan sesudahnya,
dan sebab turun ayat (asbabun nuzul). Setelah itu mulai menafsirkan dengan
menganalisis secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung
dalam ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan urutan mushaf. Hal ini dilakukan sebagai
22
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Banten: Mazhab Ciputat, 2013), h. 271-272. 23
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Banten: Mazhab Ciputat, 2013), h. 278-284.
27
bukti bahwa ayat-ayat dan surah-surah dalam al-Qur’an mempunyai keserasian
yang sempurna dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan.24
24
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), h. 241.
28
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG BIDADARI
A. Gambaran Umum Tentang Bidadari
1. Pengertian Bidadari
Dalam Kamus Bahasa Indonesia bidadari diartikan sebagai putri atau dewi
dari kayangan, atau perempuan yang elok1 yang terambil dari bahasa Sanskerta
vidyadari yang mengandung pemuasan syahwat dalam konsep Hinduisme.2
Dalam kamus Indonesia Arab maka bidadari diartikan dengan 3الحورية. Namun
dalam bahasa Arab bidadari disebut al-ḥur al-‘īn.4 yang merupakan bentuk jamak (ḥūr) حور berasal dari kata (ḥūr’ īn) حورعين
dari ءحورا (ḥaurā’) dan أحور (aḥwar). Ḥaura’ menunjukkan sebagai jenis feminin,
sedangkan aḥwar kepada jenis maskulin. Jadi kata ḥūr merupakan jamak dari
kedua kata tersebut, yaitu kata netral kelamin, yang menunjukkan sebagai lelaki
dan juga perempuan. Maka kurang tepat jika menerjemahkan bidadari dalam
pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia.5
Kata ḥūr terambil dari akar kata yang bermakna tampaknya sedikit
keputihan pada mata di sela kehitamannya (dalam arti, yang putih pada mata
sangat putih, dan yang hitam pun sangat hitam), atau bisa juga kata tersebut
diartikan bulat. Ada juga yang mengartikannya sipit. Sedangkan kata ‘in adalah
bentuk jamak dari kata ‘aina, yakni yang menunjukkan feminin dan ‘ain yang
menunjuk maskulin. Kedua kata itu berarti bermata besar dan indah. Jadi kata ḥūr
‘īn adalah kata bebas kelamin. Namun kata tersebut dapat dipahami dalam arti
hakiki misalnya seseorang (baik laki-laki maupun perempuan) yang memiliki
1 Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008), h. 188. 2 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib, cet. I (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), h. 108. 3 Achmad Warson Munawwir Muhammad Fairuz, Al-Munawwir Kamus Indonesia –
Arab (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), h. 134. 4 Fuad Abdurahman, Bidadari Stories Kisah Menakjubkan Para Bidadari Dunia &
Surga, cet. I (Jakarta: Zahira, 2015), h. 287. 5 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib, cet. 1 (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), h. 108.
29
mata lebar dan sipit. Dialah yang menjadi pasangan di surga, atau dalam arti
majazi, yakni seseorang itu adalah yang sipit matanya dalam arti kecil, sehingga
tidak akan melihat kecuali kepada pasangannya. Dapat juga dalam arti yang lebar
matanya, sehingga selalu terbuka dan memandang dengan penuh perhatian kepada
pasangannya.6
Dalam buku Bidadari Stories Kisah Menakjubkan Para Bidadari Dunia &
Surga, karangan Fuad Abdurahman, dikatakan bahwa menurut Zaid bin Aslam,
al-haura’ adalah perempuan yang mengundang kekaguman setiap orang yang
menatapnya karena kehalusan kulit dan kejernihan warnanya. Al-Bashri juga
mengatakan bahwa al-haura’ adalah perempuan yang putih matanya sangat putih
dan bulatan hitamnya sangat hitam.7
Mengenai penciptaannya, para bidadari adalah makhluk-makhluk yang
diciptakan di surga. Ada beberapa hadis lemah dan perkataan sebagian sahabat
dan tabi’in yang menjelaskan mengenai penciptaan bidadari dari minyak za’faran.
Al-Mujahid berkata: “Bidadari itu diciptakan dari minyak za’faran.” Sementara
Abu Salamah bin Abdurrahman berkata, “Sungguh, bagi kekasih Allah ada
pengantin di surga. Ia tidak dilahirkan oleh Adam dan Hawa’, tetapi diciptakan
dari minyak za’faran.”8
Dalam tafsir al-Qurthubi juga disebutkan bahwa, Anas RA. berkata,
“Rasulullah SAW. bersabda, ‘Allah menciptakan bidadari yang bermata jeli dari
za’faran’.” Menurut keterangannya, hadis ini disebutkan oleh As-Suyuṭi dalam Al
6 M. Quraish Shihab, Perjalanan Menuju Keabadian Kematian, Surga dan Ayat-Ayat
Tahlil, cet. 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 178-179. 7 Fuad Abdurahman, Bidadari Stories Kisah Menakjubkan Para Bidadari Dunia &
Surga, cet. I (Jakarta: Zahira, 2015), h. 287. 8 Fuad Abdurahman, Bidadari Stories Kisah Menakjubkan Para Bidadari Dunia &
Surga, cet. I (Jakarta: Zahira, 2015), h. 287-288.
30
Jami’ Aṣ-Ṣaghir, no. 3934, dari riwayat Ath-Thabrani, dari Abu Umamah RA dan
dia memberi kode hasan untuk hadis ini. Al-Manawi berkata, “Hadis ini juga
diriwayatkan dari Abu Umamah oleh Ad-Dailami.” As-Suyuṭi juga menyebutkan
hadis ini dalam Al Jami’ Al Kabir dari riwayat Ibnu Abi Hatim, dan Ath-Thabrani
dari Abu Umamah RA dalam Al Jami’ Al Kabir (3/1704). Kemudian diriwayatkan
dari Ibnu Abbas RA, bahwa dia berkata, “Allah SWT menciptakan bidadari
bermata jeli, dari jari-jemari kakinya sampai kedua lututnya dari za’faran, dari
kedua lututnya sampai kedua payudaranya dari misik adzfar, dari kedua
payudaranya sampai lehernya dari anbar asyhab (nama parfum), dan dari lehernya
sampai kepalanya dari kapur putih. Bidadari itu memakai 70.000 perhiasan seperti
tumbuhan Syaqa’iq An-Nu’man yang berwarna merah. Apabila bidadari itu
datang maka wajahnya bercahaya seperti matahari bagi penduduk dunia. Apabila
bidadari itu berbalik maka hatinya dapat terlihat karena begitu tipis pakaian dan
kulitnya. Di kepalanya terdapat tujuh puluh ribu kuncung (rambut di bagian depan
kepala) dari misik adzfar. Setiap kuncung ada pelayan perempuan yang
mengangkat kuncungnya. Bidadari itu berseru, ‘Inilah pahala untuk para kekasih.
“Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Waqi’ah [56]:
24).9
2. Istilah Bidadari dalam al-Qur’an
Dalam al-Qur’an ada sejumlah ayat yang diterjemahkan dengan bidadari,
penggambaran bidadari, sifat-sifat ataupun ciri-cirinya. Dari sejumlah ayat-ayat
itu ada tujuh yang menggunakan kata “ḥūr”, “’īn”, “ḥūr ‘īn”, dan “qaṣirāt ṭarfi”
yang diterjemahkan sebagai “bidadari” di surga. Di antaranya ada kata “ḥūr” yang
9 Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, Penerjemah, Akhmad Khatib Jilid 17
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 633-634.
31
disebut empat kali dalam al-Qur’an, yang ketiganya menggunakan tambahan sifat
“’īn” (ḥūr ‘īn) dan ada satu kali tanpa menggunakan tambahan (hanya dengan
kata “ḥūr”. Kemudian ada satu ayat yang menggunakan kata “’īn” dengan
susunan kata “qaṣirāt ṭarf ‘īn”. Dan dua ayat lainnya tanpa menggunakan kata
“’īn” yaitu dengan susunan “qaṣirāt ṭarf”.10
Selain itu diungkapkan dengan
“azwāj muṭahharah” yang berarti pasangan suci, namun yang dimaksudkan
adalah ungkapan untuk bidadari.11
Setelah menelusuri ayat-ayat bidadari dari berbagai kitab seperti mu’jam
mufahharas li alfaẓ al-qur’an, fatḥul raḥman, maupun buku-buku pencarian
makna al-Qur’an telah ditemukan ada 19 ayat. Dari keseluruhan ayat-ayat tersebut
ada sebagian ayat dengan susunan ayatnya menggunakan kata yang bermakna
bidadari, dan sebagiannya menerangkan sifat ataupun karakteristik tanpa memakai
kata ḥūr, ‘īn, ḥūr ‘īn, qāṣirāt ṭarf, dan juga azwāj muṭahharah. Di antara istilah itu
ada empat ayat dengan susunan kalimat ḥūr dan ḥūr ‘īn yang terdapat dalam surat
ar-raẖmān, al-wāqi’ah, ad-dukhān, serta aṭ-ṭūr.12
Di mana Satu ayat
menggunakan redaksi kata “ḥūr” dan tiga ayat lainnya memakai redaksi “ḥūr
‘īn”, di antaranya yaitu:
حور في ت قصور ٧٢ٱليي اميم“Bidadari-bidadari yang dipelihara di dalam kemah-kemah” (QS. ar-
raḥmān [55]: 72)
٢٢و حورعيي “Dan ada bidadari-bidadari yang bermata indah” (QS. al-wāqi’ah [56]: 22)
10
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an & Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam
Penafsiran Cet. 1 (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 63. 11
M. Ishom El-Saha, Saiful Hadi, Sketsa al-Qur’an, Tempat, Tokoh, Nama dan Istilah
dalam al-Qur’an (t. tp. : Lista Fariska Putra, 2005), h. 188. 12
Alamī Zādih Faidhullah Bin Musa Al Ḥusaini Al Muqdisiy, Fatḥur Raḥmān Liṭālib
Āyatil Qur’an Cet. Pertama (Libanon: Dār al kitab al’ilmiyah, 2005), h. 211.
32
يك ل ذ همك وجن ز ورعيينو ٥٤بي
“demikianlah, kemudian Kami berikan kepada mereka pasangan
bidadari yang bermata indah” (QS. ad-dukhān [44]: 54)
همي يمتكي وجن ز و صفوف ةن م رن س ورعيينلع ٢٠بي
“mereka bersandar di atas dipan-dipan yang tersusun dan Kami
berikan kepada mereka pasangan bidadari bermata indah” (QS. aṭ-ṭūr
[52]: 20)
Kemudian ada tiga ayat yang menggunakan istilah “qāṣirāt13
ṭarf14
” satu
dengan tambahan redaksi “īn” dan dua lainnya tanpa menggunakan redaksi “īn”.
Di antaranya yaitu:
هم تو عيند ر صي ق رفي ٱلط ٤٨عيي
“Di sisi mereka ada (bidadari-bidadari) yang bermata indah dan
membatasi pandangannya” (QS. aṣ-ṣaffāt [37]: 48)
هم تو عيند ر صي ق رفي ابٱلط تر ٥٢أ
“Dan di samping mereka (ada bidadari-bidadari) yang redup
pandangannya dan sebaya umurnya” (QS. ṣād [38]: 52)
تفييهين ر صي ق رفي ٱلط ان ج ل بل همو ق إينس طميثهن ٥٦ل مي
“Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang membatasi pandangan,
yang tidak pernah disentuh oleh manusia maupun jin sebelumnya” (QS. ar-
raḥmān [55]: 56)
Selain itu bidadari juga diungkapkan dengan istilah “azwāj muṭahharah”
yang diungkap dalam al-Qur’an sebanyak tiga kali pada surah.15
Diantaranya
yaitu:
ا ل همفييه ة و ر ه ط م ج زو أ ون لي اخ ٢٥و همفييه
“.....dan di sana mereka (memperoleh) pasangan-pasangan yang suci.
Mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah [1]: 25) ة ر ه ط م ج زو أ و ين م ن ريضو يهو و ٱلل يٱلل ب ي ١٥ٱلعيب اديب صي
13
Muhammad Fuād ‘Abd al Bāqī, al Mu’jam al Mufahras li al Fāẓi al Qur’an al Karīm
(Kairo: Dār al Hadits, 1996), h. 654. 14
Muhammad Fuād ‘Abd al Bāqī, al Mu’jam al Mufahras li al Fāẓi al Qur’an al Karīm
(Kairo: Dār al Hadits, 1996), h. 523. 15
Muhammad Fuād ‘Abd al Bāqī, al Mu’jam al Mufahras li al Fāẓi al Qur’an al Karīm
(Kairo: Dār al Hadits, 1996), h. 409.
33
“.....dan pasangan-pasangan yang suci serta ridha Allah. Dan Allah Maha
Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Āli ’Imran [3]: 15)
ا همفييه ل ج زو ة أ ر ه ط م لييلا ظ
ل ا لهمظي ندخي ٥٧و
“.....disana mereka mempunyai pasangan yang suci, dan Kami masukkan
mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman.” (QS. an-Nisā’ [4]: 57)
Selain ayat-ayat yang menggunakan redaksi ungkapan bidadari itu, ada
beberapa ayat yang tanpa menggunakan istilah bidadari, yaitu sebanyak 9 ayat,
yang terdapat dalam empat surah, yaitu surah al-wāqi’ah [56]: 23, 35, 36, 37,
surah aṣ-ṣafat [37]: 49, surah an-nabā’ [78]: 33, dan surah ar-raḥman [55]: 58,
70, 74. Di antara itu merupakan sifat-sifat bidadari yang berupa sifat kiasan
maupun tidak.
3. Kriteria Bidadari
Wanita merupakan mata air kebahagiaan dalam kehidupan, sumber kasih
sayang, dan kelembutan. Tiang dan rahasia kesuksesan laki-laki dalam kehidupan,
yang mampu membangkitkan keberanian dan semangatnya, melahirkan sifat yang
sabar dan tabah, melenyapkan rasa lelah dan pemilik perasaan lembut dan halus.16
Wanita17
shalihah adalah perhiasan terindah bagi suaminya, anak-anaknya,
keluarganya, kerabatnya, dan bagi masyarakat pada umumnya. Menjadi pribadi
shalihah adalah idaman setiap muslimah, karena seorang muslimah shalihah
adalah sebaik-baik perhiasan dunia. Sebagaimana seperti sabda Rasulullah SAW:
الدنيا متاع وخير متاع الدنيا المرأة الصالحة “Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia
adalah wanita shalihah”. (HR. Muslim dari Abdullah Ibn Amr).
16
Ukasyah Athibi, Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani
Pres, 1998), h. 74. 17
Wanita memang manusia mulia, menyimpan nilai kemanusiaan yang tinggi.
Sunnatullah menetapkan bahwa kemuliaannya terletak pada kesuciannya menjaga dirinya. Lihat
Abdurrahman Umairah, Wanita-Wanita dalam Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), h.
43.
34
Dalam hadis di atas dijelaskan bahwa perempuan atau istri yang sholihah
merupakan sebaik-baik perhiasan. Rasulullah sendiri menyenangi istrinya dan
segala sesuatu yang baik yang ada di dunia ini. Istri beliau turut menghibur dan
menyenangkan hati beliau pada saat beliau melaksanakan sholat. Sementara
beliau adalah suri tauladan yang baik bagi kita semua.18
Di mana pun dan kapan pun berada, perempuan muslimah akan menjadi
lentera yang selalu menyinari, pelita hidayah, suri tauladan dan menjadi aktivis
mujahidah yang terus membangun, mengupayakan perbaikan, menebar benih
persaudaraan, mengikis debu-debu permusuhan, dan menghilangkan duri
kemaksiatan dari jalan kebenaran menuju Allah Ta’ala. Segala amar ma’ruf nahi
mungkar adalah hobi yang ia lakukan dengan sepenuh hati dan keihlasan karena
Allah. Akan tetapi pada kenyataannya menjadi pribadi yang shalihah bukanlah hal
yang mudah. Membutuhkan perjuangan dan usaha yang sungguh-sungguh untuk
mencapainya. Sedangkan tantangan jahiliyah saat ini yang sangat dahsyat,
kehidupan materialistik, hedonisme19
dan berbagai penyakit sosial lainnya yang
dapat merusak fitrah seorang muslimah sejati dalam menemukan jati dirinya.
Allah memberikan gambaran mengenai perempuan shalihah sebagai perempuan
yang senantiasa mampu menjaga pandangannya, dan selalu taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Make up-nya adalah basuhan air wudhu dan lipstiknya adalah dzikir
kepada Allah. Celak matanya adalah memperbanyak bacaan al-Qur’an.20
Allah
SWT berfirman:
18
Ukasyah Abdulmannan Athibi, Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya Cet. 1 (Jakarta:
Gema Insani Pres, 1998), h. 174. 19
Diartikan sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi
sebagai tujuan utama dalam hidup dalam KBBI. 20
M. Khalilurrahman Al Mah, Wanita Idaman Surga (Jakarta: Wahyumedia, 2012), h. 3-
4.
35
و و قل هن فروج ظن ي حف و ريهين بص أ مين غضضن ي تي يلمؤمين ل ين يبدي ل
إيل زيين ت هن ين يبديل و يهين جيوب
لع مريهين بي ل ضيبن ا و مينه ر ه ظ ا م إيل زيين ت هن
يهي اب ائ وء أ يهين
عول يهينليبعول بن اءي
وأ أ يهين بن ائ
وأ أ يهين
بعول اب اءي وء أ وب ني
أ يهين ن وإيخو
أ ن وي أ نهن يم
أ ت ل ك م ا م و
أ يهين ائ يس ن و
أ يهين ت و خ
أ ب ني و
أ يهين ن بيعيي إيخو ٱلت ولي
أ يي
غ رب ٱلي مين اليةي يج ٱلر وي
فليأ ي يين ٱلط ٱل تي ور ع لع روا ظه ي يل م اءيٱلن س ي ضيبن ل و
إيل توبوا و مينزيين تيهين يفيي ا م م عل لي رجليهين
يأ يب ٱلل يه
أ ا ييعا لكمٱلمؤمينون ج ل ع
٣١تفليحون
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-
laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka
miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang
yang beriman supaya kamu beruntung”21
Perempuan shalihah sangat memperhatikan setiap tutur katanya. Ia akan
sangat menjaga setiap tutur katanya agar bernilai bagaikan untaian intan yang
penuh makna dan bermutu tinggi. Sungguh mulia perempuan shalihah. Ketika di
dunia ia akan mendapat cahaya penerang bagi keluarganya dan berperan
melahirkan generasi dambaan. Dan di akhirat Allah akan menjadikannya bidadari
di surga.
4. Penciptaan Bidadari
21
QS. an-Nur: 31.
36
Surga merupakan tempat tinggal bagi orang-orang yang akan diberikan
nikmat oleh Allah SWT, mereka ialah para Nabi, Rasul, Shiddiqun, orang-orang
yang mati dalam keadaan syahid, dan orang-orang yang sholeh. Di dalamnya
terdapat sungai yang mengalir, istana yang terbuat dari batu emas dan perak.
Berbagai buah-buahan yang bermacam, pepohonan yang bergoyang dan semerbak
harumnya. Istri-istri yang cantik, bayang-bayang yang indah memancar dan air
yang bercucuran. Mereka saling menikmati berbagai kenikmatan tersebut dengan
wajah yang berseri-seri, tertawa ringan, dan gembira ria, keindahan yang
menyejukkan, dan bidadari yang molek.22
Berikut adalah penciptaan bidadari:
Allah menciptakan bidadari dalam keadaan langsung dan penciptaan yang sangat
baik. Sesuai dalam firman Allah surah al-Wāqi’ah[56] ayat 35 sampai 37:
اءا إينش هن ن أ نش اأ هن ٣٥إين لن ع اف ج ارا بك
اباا ٣٦أ تر
٣٧عربااأ
“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari)
dengan langsun. dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. penuh
cinta lagi sebaya umurnya”. (QS. al-Wāqi’ah[56]: 35-37).
Bidadari surga diciptakan oleh Allah langsung dalam keadaan perawan.
Para bidadari itu memiliki umur yang sama sebaya. Mereka tidak lebih tua dan
tidak lebih muda. Mereka sama-sama umurnya, seumuran. Penuh cinta dan
sayang, saling mencintai dan menyayangi satu sama lainnya.
Dalam kitab al-Jami’ li Aḥkam Al-Qur’an karya al-Qurṭubi, Ibnu Abbas
menerangkan bahwa Allah menciptakan bidadari surga, mulai dari jari kaki
hingga lutunya dari za’faran, dari lutut hingga kedua dadanya dari minyak kesturi,
dari dada hingga lehernya dari minyak ambar berwarna kelabu, dan dari leher
22
Abdul Malik Ali Al-Kalib, Saat Amal Anda Berbicara. Penerjemah Hasan H. Yazid
(Jakarta: Firdaus, 1992), h. 165-166.
37
hingga kepalanya dari kapur berwarna putih. Mereka mengenakan tujuh puluh
ribu pakaian seperti bunga-bunga berwarna merah.23
5. Sifat dan Karakteristik Bidadari
Segala yang ada pada bidadari hanyalah kebaikan, Allah memberikan
sifat-sifat terindah kepada mereka dan mempercantiknya dengan perhiasan-
perhiasan yang terbaik. Tidak hanya cantik dalam fisiknya tetapi bidadari juga
memiliki akhlak dan hati yang baik.
Bidadari memiliki beberapa sifat-sifat yang baik-baik, di antaranya:
a) Berumur sebaya
Berbeda dengan kehidupan ketika di dunia, di surga tidak terjadi penuaan,
tidak ditemukan lagi wanita-wanita tua renta sehingga tidak lagi cantik dan
keriput. Ketika di surga segalanya menjadi baik.
Surah an-Nabā’[78] ayat 33:
اباا تر أ و اعيب ك ٣٣و
“dan gadis-gadis remaja yang sebaya”. (QS. an-Nabā’: 33)
Allah menggambarkan ciri-ciri bidadari surga itu sebagai kawa’ib yang
berarti bahwa gadis-gadis yang telah memasuki usia matang.24
Bidadari surga itu
merupakan gadis-gadis remaja yang umurnya sebaya. mereka tidak ada yang lebih
tua maupun lebih muda, melainkan mereka sebaya, seumuran, dan tidak akan
menjadi tua.
b) Baik lagi cantik
23
Fuad Abdurahman, Bidadari Stories Kisah Menakjubkan Para Bidadari Dunia dan
Surga (Jakarta: Zahira, 2015), h. 288. 24
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Taman Para Pecinta, Penterjemah, Emiel Ahmad (Jakarta:
Khatulistiwa Press, 2009), h. 248.
38
Allah menciptakan bidadari itu sebagai mahkluk yang memiliki sifat dan
kriteria yang mana akhlaknya yang baik dan memiliki wajah yang sangat cantik.
Firman Allah dalam surah ar-Raḥmān ayat 70, sebagai berikut:
فييهين ان تحيس ير ٧٠خ
“Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi
cantik-cantik.” (QS. ar-Raḥmān: 70)
c) Suci tidak tersentuh manusia dan jin
Bidadari memiliki sifat yang suci, sangat terjaga kesuciannya, yang tidak
pernah disentuh oleh manusia maupun jin. Firman Allah surah ar-Raḥmān ayat
74. Sebagai berikut:
ان ج ل بل همو ق إينس ٧٤ميثهن
“Mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-
penghuni surga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin.” (QS. ar-
Raḥman: 74)
Selain itu juga bidadari diperumpamakan dengan kiasan yang sangat
indah, di antaranya:
a) Mutiara yang tersimpan rapi
Bidadari surga itu memiliki karakteristik yang sangat cantik. Sifat-sifatnya
yang sangat indah sampai diperumpamakan bagaikan mutiara yang tersimpan baik
dalam lautan. Allah berfirman dalam surah al-Wāqi’ah[56] ayat 23:
لي مث أ ؤلو ك
كنونيٱلل ٢٣ٱلم
“laksana mutiara yang tersimpan baik” (QS. al-Wāqi’ah[56]: 23)
Sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Waqi’ah ayat 23, bahwa
bidadari itu seperti mutiara yang tersimpan baik. Mengapa sampai diibaratkan
seperti mutiara, maksudnya yaitu karena bersihnya bidadari itu bagaikan
39
bersihnya mutiara yang masih berada di dalam cangkangnya, yang belum pernah
tersentuh oleh tangan manusia.25
Sehingga masih tetap bersih dan suci.
b) Telur burung unta yang tersimpan baik
Bidadari surga memiliki kulit yang sangat indah, sangat lembut sehingga
Allah mengibaratkannya seperti telur burung unta. Firman Allah surah aṣ-ṣaffāt
ayat 49, berikut:
كنون م ب يض نهن أ ٤٩ك
“Seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan
dengan baik”. (QS. aṣ-Ṣaffāt: 49)
Kelembutan kulitnya seperti kulit telur bagian dalam yang terlihat, yang
tertutup oleh cangkang telur.26
c) Permata yakut dan marjan
Allah mengumpamakan para bidadari surga bagaikan mutiara yang
tersimpan rapi, telur yang tersimpan baik, dan yaqut serta marjan. Firman Allah
surah ar-Raḥmān: 58, sebagai berikut:
نهن أ انو ٱل اقوتك رج ٥٨ٱلم
“Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan”. (QS. ar-
Raḥmān: 58)
Bidadari memiliki warna indah, bagaikan permata yakut dan marjan
karena warnanya yang indah dan masih murni, merupakan warna yang bercampur
semburat warna kemerahan.27
Sebagaimana yang telah penulis tuliskan beberapa sifat dan karakter
bidadari surga sesuai dalam firman Allah yang telah digambarkan dalam al-
25
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Taman Para Pecinta, Penterjemah, Emiel Ahmad (Jakarta:
Khatulistiwa Press, 2009), h. 247. 26
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Taman Para Pecinta, Penterjemah, Emiel Ahmad (Jakarta:
Khatulistiwa Press, 2009), h, h. 247. 27
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Taman Para Pecinta, Penterjemah, Emiel Ahmad (Jakarta:
Khatulistiwa Press, 2009), h. 252.
40
Qur’an. Mulai dari kecantikan fisik yang ada pada bidadari sampai sifat dan
karakternya yang sangat sempurna. Bidadari juga memiliki mata yang indah, yaitu
mata yang jeli, yang jika diartikan secara makna hakiki mereka memiliki bentuk
fisik yang cantik. Mata mereka indah, bola matanya sangat hitam dan bagian
putihnya sangat putih. Kemudian mereka memiliki kulit yang sangat halus dan
putih bersih bagaikan mutiara yang masih bersih belum tersentuh tangan atau
sesuatu apapun.
6. Tabel Ayat Bidadari dalam al-Qur’an
Telah ditemukan ayat-ayat bidadari dalam beberapa kamus dan indeks al-
Qur’an, seperti; Fatḥ al Raḥmān li Ṭalibi Āyati al Qur’an, al Mu’jam al Mufahras
li al Faẓ al Qur’an al Karīm, dan berbagai indek al-Qur’an sejumlah 19 ayat,
yang terdapat dalam 10 surah. Di antaranya yaitu; surah al-Baqarah (2:25), surah
Āli ‘Imrān (3:15), surah an-Nisā’ (4:57), surah aṣ-Ṣaffāt (37:48), surah aṣ-Ṣaffāt
(37:49) surah Ṣād (38:52), surah ad-Dukhān (44:45), surah aṭ-Ṭur (52:20), surah
ar-Raḥmān (55:56), ar-Raḥmān (55:58), ar-Raḥmān (55:70), ar-Raḥmān (55:72),
ar-Raḥmān (55:74) surah al-Wāqi’ah (56:22), al-Wāqi’ah (56:23), al-Wāqi’ah
(56:35), al-Wāqi’ah (56:36), al-Wāqi’ah (56:37) dan surah an-Nabā’ (78:33).
Berikut adalah tabel susunan ayat-ayat bidadari berdasarkan tertib Nuzul:
Ayat-ayat Bidadari berdasarkan Tertib Nuzul
No
Ter
tib N
uzu
l
Ter
tib M
ush
afi
Nama Surat/
Ayat
Ked
uduk a
n
Ayat al-Qur’an
1 38 38 Ṣād : 52 MK هم ۞و عيند ت ر صي ق رفي ٱلط
41
اب تر ٥٢أ
2 46 56 Al-Wāqi’ah : 22 MK ٢٢حورعيي و
3 46 56 Al-Wāqi’ah : 23 MK لي مث أ ؤلو ك
كنونيٱلل ٢٣ٱلم
4 46 56 Al-Wāqi’ah : 35 MK هن ن أ نش اأ اءاإين ٣٥إينش
5 46 56 Al-Wāqi’ah : 36 MK هن لن ع اف ج ارا بك ٣٦أ
6 46 56 Al-Wāqi’ah : 37 MK اباا تر ٣٧عربااأ
7 56 37 Aṣ-Ṣaffat : 48 MK
هم و عيند ت ر صي ق رفي عيي ٱلط
٤٨
8 56 37 Aṣ-Ṣaffāt : 49 MK نهن أ كنون ك م ٤٩ب يض
9 64 44 Ad-Dukhān : 54 MK يك ل ذ ك وجن ز ورعيينهمو ٥٤بي
10 76 52 Aṭ-Ṭur : 20 MK
صفوف ةني يمتكي م رن س لع
وجن ز ورعيينهمو ٢٠بي
11 80 78 An-Nabā’ : 33 MK و اعيب ك ابااو تر ٣٣أ
12 87 2 Al-Baqarah : 25 MD
ا ل همفييه ة و ر ه ط م ج زو اأ و همفييه
ون لي ٢٥خ
13 89 3 Āli ‘Imrān : 15 MD
ا تيه ت مين رييت ت ن ج نه
رٱل
ا فييه يين لي ر ة خ ه ط م ج زو أ و
42
ين م ن ريضو يهو و ٱلل ٱلل ي ب صي
ي ١٥ٱلعيب اديب
14 92 4 An-Nisā’ : 57 MD
ا فييه هم ة ل ر ه ط م ج زو لهمأ ندخي و
لييلا ظ ل ا ٥٧ظي
15 97 55 Ar-Raḥmān : 56 MD
فييهين ت ر صي ق رفي ل مٱلط
طميثهن ي ان ج ل بل همو ق ٥٦إينس
16 97 55 Ar-Raḥmān : 58 MD نهن أ انو ٱل اقوتك رج ٥٨ٱلم
17 97 55 Ar-Raḥmān : 70 MD ان فييهين تحيس ير ٧٠خ
18 97 55 Ar-Raḥmān : 72 MD ت قصور حور م ٧٢ٱليي اميفي
19 97 55 Ar-Raḥmān : 74 MD
طميثهن ي ل م ان ج ل و بل هم ق إينس
٧٤
Catatan:
MK = Makkiyah
MD = Madaniyah
B. Kontekstualisasi Makna Bidadari pada Perempuan Muslimah
Perempuan mendapatkan perhatian yang dominan di dalam al-Qur’an.
Sebagian surah-surah dalam al-Qur’an banyak berbicara mengenai permasalahan
hukum yang berhubungan dengan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa betapa
besar perhatian al-Qur’an terhadap perempuan dan hanya al-Qur’an-lah satu-
satunya kitab suci yang memiliki misi untuk mengangkat derajat dan martabat
43
perempuan.28
Perempuan adalah makhluk Allah yang paling indah dan
mempesona di alam ini, selain itu juga dapat memberikan kenikmatan bagi siapa
saja yang bersamanya. Kebersamaan dengannya merupakan suatu keindahan dan
kenikmatan yang dijadikan perempuan sebagai senjata yang dimilikimya. Dengan
demikian, apabila senjata tersebut dimiliki oleh perempuan yang kurang beriman
ataupun yang tidak beriman, maka akan digunakannya untuk tujuan yang semena-
mena. Jika hal ini benar-benar terjadi maka kehidupan manusia di dunia ini akan
rusak.29
Padahal Allah telah menjanjikan bagi perempuan muslimah berbagai
kenikmatan yang ada di surga dan Allah pun telah memberikan gambaran dalam
al-Qur’an mengenai kecantikan serta karakteristik bidadari-bidadari dalam surga.
Bidadari-bidadari dalam surga itu adalah perempuan suci dan memiliki
perawakan cantik jelita, dan juga memiliki karakter akhlak yang mulia. Bahkan
Allah juga menyebut para perempuan surga sebagai azwāj muṭahharah, yaitu istri
yang suci.30
Seorang suami yang mukmin di dunia pun akan dipertemukan
kembali bersama istrinya ketika di surga. Apabila seorang istrinya tersebut juga
seorang istri yang shalihah. Firman Allah sebagai berikut:
ت ن و ج تيهيم يي ذر و هيم جي زو أ و يهيم ء اب ائ مين ح
ل ص ن و م ا ي دخلون ه دنن ةع ئيك ل ٱلم ب ابن ي
ينك يهيمم ل ع ٢٣ي دخلون
“(yaitu) surga ´Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama
dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak
cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua
pintu.” (QS. ar-Ra’d: 23)
28
Ibrahim Hosen dan Ahmad Munif Suratmaputra, Al-Qur’an dan Peranan Perempuan
dalam Islam (Jakarta: Institut Ilmu al-Qur’an, 2007), h. 22-23. 29
Salman Harun, Mutiara al-Qur’An Aktualisasi Pesan al-Qur’an dalam Kehidupan Cet.
III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004), h. 10. 30
Ayatullah Jawadi Amuli, Jamal al-Mar’ah wa Jalaluha Keindahan dan Keagungan
Perempuan Perspektif Studi Perempuan dalam Kajian al-Qur’an, Filsafat dan Irfan Penerjemah
Muhdhor Ahmad, Hasan Saleh, Sabar Munanto (Jakarta: Sadra Press, 2011), h. 102.
44
Mereka yang berada di surga bersama istrinya itu mendapatkan berbagai
kenikmatan. Mereka dengan suasana riang gembira bersandar di bawah naungan
surga.31
Allah berfirman:
هم للع ل ظي جهمفي زو أ يكيو ائ ر
ٱل متكي ٥٦ون
“Mereka dan istri-istri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan
di atas dipan-dipan.” (QS. Yā sīn [36]: 56)
Seperti itu yang telah Allah janjikan. Perempuan muslimah yang taat
kepada suami dan perintah Allah akan dipertemukan kembali bersama suaminya
yang shalih ketika di surga. Allah pun akan menjadikannya sebagai bidadari
surga. Betapa mulianya perempuan muslimah yang taat akan suami dan perintah
Allah.
Allah memberikan berbagai kenikmatan pada hambanya, di antaranya ada
nikmat keindahan lahir dan batin. Keindahan lahir merupakan perhiasan yang
dianugerahkan oleh Allah kepada sebagian makhluk-Nya, yang berupa kelebihan
pada fisiknya. Sesuai firman Allah pada surah Fāṭir ayat 1 yang artinya, “.....
Allah menambahkan (melebihkan) pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-
Nya....”32
Di antara tambahan (kelebihan) itu ialah memiliki suara yang merdu
dan juga rupa yang elok. Hati pun akan selalu tertambat untuk mencintainya, yang
secara fitrah akan selalu dianggap baik. Kemudian nikmat keindahan batin adalah
nikmat Allah yang terbesar yang diberikan kepada hamba-Nya. Keindahan lahir
yang juga merupakan suatu kenikmatan bagi hamba-Nya yang wajib disyukuri,
yaitu dengan bertakwa dan menjaga nikmat-nikmat-Nya tersebut. Akan tetapi jika
seseorang menggunakan keindahan itu untuk suatu hal yang tidak baik, misalnya
31
Umar Sulaiman al-Asyqor, Melongok Surga dan Neraka (T.tp.: Pustaka Mantiq, t.t.), h.
292-293. 32
اء يزيد في ٱلخلق ما يش ...... .... (QS. Fāṭir: 1).
45
keburukan dan durhaka kepada Allah, maka Allah pun akan merubahnya dan
menjadikan kejelekan dan buruk.33
Misalnya saja kebiasan buruk dan perilaku-perilaku buruk yang dilakukan
perempuan muslimah. Seperti halnya mengikuti gaya model dan tren terkini
dalam berpakaian, gaya rambut, alat-alat kecantikan, parfum, kosmetik, dan lain-
lainnya. Padahal dalam Islam telah menganjurkan dalam berpakaian hendaknya
mengenakan pakaian yang longgar, tidak menampakkan bentuk tubuh dan warna
kulit, hanya kebersihan dan warna yang tidak menarik perhatian. Tidak berhias
yang berlebihan, tetapi hanya ketika dirumah karena untuk suami dan anak-
anaknya.34
Allah telah menyamakan para bidadari dengan mutiara yang tersimpan
rapi, telur yang tersimpan rapi, yaqut dan marjan. Bagaikan mutiara yang murni,
yang berwarna cemerlang, putih berkilauan, dan lembut permukaannya.
Sedangkan yang dimaksudkan seperti telur yang tersimpan rapi dan terjaga rapat
adalah belum pernah tersentuh tangan, warnanya putih normal, dengan bercampur
warna kuning yang menambah keindahannya. Berbeda dengan warna putih pekat,
yang membuatnya berwarna lebih dominan. Kemudian dari yakut dan marjan itu
terambil karena warnanya yang indah dan murni serta campuran semburat warna
merah kemerahan.35
Sejak awal, Islam telah mengajarkan bagaimana mengantisipasi masalah
perempuan. Islam memberikan arahan serta norma-norma agar perempuan itu
33
Ibnu Qayyim al-Jauziyah Raudhah al-Muhibbin wa Nuzhah al-Musytaqin Taman Para
Pecinta. Penerjemah Emiel Ahmad (Jakarta: Khatulistiwa, 2009), h. 232-233. 34
Abu Maryam bin Zakaria, Akhthaa’ Taqa’u fiihaa An-Nisaa’ 40 Kebiasaan Buruk
Wanita. Penerjemah Ahmad Rifa’i Usman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), h. 109-114. 35
Ibnu Qayyim al-Jauziyah Raudhah al-Muhibbin wa Nuzhah al-Musytaqin Taman Para
Pecinta. Penerjemah Emiel Ahmad (Jakarta: Khatulistiwa, 2009), h. 252.
46
dapat mengatur daya tariknya sehingga akan bermanfaat dalam kehidupan
manusia. Dalam Islam menganjurkan supaya daya tarik perempuan itu tidak
dipublikasikan terlalu luas. Bahkan suara perempuan pun terdapat etika
penggunaannya.36
Allah pun memerintahkan kepada istri-istri para Nabi dan juga
perempuan Muslimah yang ingin menjadi perempuan baik-baik, agar menjaga
setiap perkataannya. Tidak membuat ucapannya terlalu dibuat-buat atau memanis-
maniskan sehingga menggelitik para lelaki yang mendengarnya.37
Menemukan sosok muslimah sejati yang benar-benar taat kepada Allah
SWT. memang tidaklah gampang. Mungkin satu diantara beberapa banyak orang
yang dapat kita temui. Dalam hal ini penulis akan memberikan contoh karakter
perempuan shalihah yang memiliki gelar bidadari surga. Penulis mengambil dari
novel inspiratif dari penulis Best Seller yang ternama, yaitu Tere Liye dan
Habiburrahman el Shirazy. Kisah ini merupakan kisah seorang perempuan yang
memiliki perilaku dan akhlaknya yang menggambarkan watak bidadari surga.
Tidak hanya memiliki wajah yang cantik, tapi dia juga memiliki hati yang mulia.
Laisa adalah sulung dari lima bersaudara. Dia bersumpah memberikan
kesempatan pada adik-adiknya untuk menjadi orang-orang yang hebat. Laisa
mengorbankan segala hidupnya hanya demi adik-adiknya. Sosok perempuan yang
banyak berkoban untuk kemajuan orang lain, keihklasan serta cinta demi keluarga
tercinta. Suatu ketika adik bungsunya pernah sakit demam, Laisa menemaninya
hingga tidak tidur, kemudian ditengah larut malam adiknya mengalami panas
36
ن ٱلنساء إن ٱتقيتن فل تخضعن بٱلقول فيطمع ٱلذ نساء ٱلنبي لستن كأحد م ا ي عروف ا ولن و ا م ٢٣ ي في لب مر
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa.
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. al-Ahzab/ 33:32). 37
Salman Harun, Mutiara al-Qur’an, Aktualisasi Pesan al-Qur’an dalam Kehidupan Cet.
III (Jakarta: Logos, 2004), h. 10.
47
yang tinggi hingga tubuhnya menggigil. Karena ada mahasiswa KKN di desanya
pada waktu itu Laisa langsung pergi menemui mereka kemudian mengajaknya ke
rumah supaya dapat memeriksa adiknya tersebut. Tak disangka malam itu hujan
deras, namun Laisa pantang menyerah, ia menerobos hujan dengan memakai
payung dari pelepah pisang. Ditengah perjalanan ia tersandung hingga kakinya
berdarah, namun sampai di rumah ia hanya diam saja dan menyembunyikan
lukanya.
Begitu ikhlasnya Laisa kepada saudaranya, ia anggap mereka seperti
saudara kandungnya sendiri meskipun Laisa bukanlah dari keluarga tersebut.
Laisa sudah seperti keluarga sendiri. Ia menggantikan wali dari keluarga tersebut,
membantu mamak untuk mengurus segalanya, merawat dan mendidik adik-
adiknya. Pernah terjadi kala itu adiknya bolos sekolah, kemudian Laisa tidak
sengaja melihatnya. Lalu Laisa memarahinya dan menyuruhnya untuk segera
pulang. Namun begitu, Dalimunte adiknya yang paling pintar di antara adik-
adiknya yang lain. Ia mengerti benar bahwa kakanya Laisa telah mengorbankan
seluruh masa kanak-kanak dan remajanya supaya bisa membantu Mamak setiap
hari tanpa lelah demi adik-adiknya.38
Selama hidupnya Laisa korbankan demi keluarganya, ia merupakan sosok
perempuan yang tidak cantik namun memiliki hati yang cantik sangat luar biasa.
Ia masih suci belum pernah menikah sama sekali, sudah beberapa kali adik-
adiknya berusa untuk mencarikan jodoh untuknya namun Allah berkehendak lain.
Bahkan sampai titik terakhirnya mengembuskan nafas ia masih dalam keadaan
suci. Meskipun ia memiliki kekurangan dalam kondisi fisiknya namun ia selalu
38
Tere Liye, Bidadari-Bidadari Surga (Jakarta: Republika, 2008), h. 62.
48
bersyukur atas apa yang telah diberikan Allah kepadanya, ia ikhlas menjalani
semuanya sampai pada akhir hayatnya ia meninggal dengan keadaan yang
bagaikan bidadari surga turun ke bumi. Auranya begitu terpancar karena
kecantikan hatinya.
Selain novel yang berjudul Bidadari-Bidadari Surga tersebut, penulis juga
mengambil contoh karakter pada novel yang berjudul Bidadari Bermata Bening
karangan Habiburrahman el Shirazy. Beda dari karakter tokoh pada novel
sebelumnya, tokoh dalam novel ini bagaikan bidadari yang tergambarkan dalam
al-Qur’an. Aina Mardliyah, sesuai dengan namanya ia adalah perempuan yang
memiliki mata yang cantik yaitu mata yang lebar dan bening. Ia merupakan
keturunan Indonesia (Jawa) dan Palestina.
Aina adalah sosok yang cerdas, memiliki kepribadian yang baik, sopan
santun dan selalu menjaga kesuciannya, baik jiwa dan raganya. Ia tinggal
dipesantren dan menjadi salah satu khadimah di pesantrennya. Pegabdiannya
kepada Bunyai dan Pak Yai, bahkan ia selalu mendahulukan kepentingan
pesantren dari pada kepentingannya sendiri. Aina seorang yatim piatu, ibunya
meninggal ketika ia masih sekolah di bangku SMP. Ayahnya meninggal ketika ia
masih di dalam kandungan ibunya, meskipun begitu ia adalah sosok perempuan
yang mandiri.
Pada saat itu Aina pernah difitnah oleh temannya sendiri. Ia dituduh
bahwa ibunya adalah seorang pezina dan ia adalah anak hasil zina, namun dengan
seperti itu Aina tetap ihlas dan sabar. Bahkan sampai Aina bersama temannya itu
dipanggil Ibu Nyai dan Pak Yai untuk diminta penjelasannya.39
39
Habiburrahman el Shirazy, Bidadari Bermata Bening (Jakarta: Republika, 2017), h. 37.
49
BAB IV
PENAFSIRAN AYAT BIDADARI MENURUT MUFASSIR INDONESIA
A. Analisis Perbandingan Tafsir Tentang Penggambaran Bidadari dalam al-
Qur’an
1. Penafsiran Enam Mufassir Indonesia atas Ayat-Ayat Bidadari
Ada tiga istilah pokok dalam al-Qur’an yang diungkapkan sebagai
bidadari, diantaranya qāṣirāt ṭarf, ḥūr ‘iyn, dan azwāj muṭahharah. Untuk qaṣirāt
ṭarf disebutkan tiga kali dalam al-Quran, terdapat dalam tiga surah, yaitu pada
surah ṣād[38]: 52, aṣ-Ṣaffāt[37]: 48, dan ar-Raḥmān[55]: 56. Kemudian ḥūr ‘iyn
disebutkan empat kali dalam al-Qur’an dengan redaksi ḥūr ‘iyn sebanyak tiga kali
dan satu kali dengan menggunakan redaksi ḥūr saja.
Selain qāṣirāt ṭarf dan ḥūr ‘iyn, ada juga azwāj muṭahharah yang diartikan
sebagai pasangan yang disucikan, namun istilah tersebut juga diungkapkan
sebagai bidadari. Jadi, dalam penelitian ini penulis akan meneliti ke tiga istilah
tersebut berdasarkan ke enam penafsiran mufassir Indonesia. Berikut penulis akan
mengelompokkan penfsiran berdasarkan istilah-istilah bidadari.
a) Qāṣrāt ṭarf
Di antara ayat-ayatnya sebagai berikut:
صرت رف ۞وعندهم ق تراب ٱلط ٥٢أ
“Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar
pandangannya dan sebaya umurnya”. (QS. Ṣād[38]: 52)
صرت وعندهم رف ق ٤٨عني ٱلط
“Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya
dan jelita matanya”. (QS. aṣ-Ṣffāt[37]: 48)
50
صرت فيهن رف ق ٱلط ٥٦لم يطمثهن إنس قبلهم ول جان
“Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan
menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum
mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka), dan tidak
pula oleh jin.” (QS. ar-Raḥmān[55]: 56)
1) Tafsir Marah Labid
Syekh Nawawi al-Bantani merupakan mufassir yang lahir di Indonesia,
namun selama penulisan tafsirnya beliau tidak berada di Indonesia, yakni
Makkah, Madinah, dan juga Mesir. Dengan demikian tafsir ini akan memiliki
perbedaan dengan tafsir karangan mufassir Indonesia lainnya, sehingga akan
mempengaruhi latar belakang penulisan tafsir.
Kata qāṣirāt ṭarf yang diartikan sebagai bidadari yang tidak liar
pandangannya, dalam kitab tafsirnya dijelaskan bahwa di dalam surga itu terdapat
bidadari-bidadari yang tidak memandang suami yang lain.1 Pandangan mereka
tidak akan tertuju kepada para suami lainnya.2 Bidadari tersebut menundukkan
pandangannya, menahan dan mencegah matanya terhadap lelaki lain yang bukan
suaminya.3
Tafsir Marah Labid ini tergolong tafsir yang lengkap, terkadang beliau
menambahkan asbabun nuzul ayat atau beberapa riwayat yang berkaitan dengan
pembahasan ayat. Namun, setelah diteliti dari ketiga ayat ini penulis tidak
menemukan penjelasan asbabun nuzul.
2) Tafsir Al-Qur’an Karim
1 Syeikh Muhammad Nawawi al-Jaawi, Marah Labiid Tafsir an-Nawawi (Dar al-Kitab
al-Islamiyyah), h. 232. 2 Syeikh Muhammad Nawawi al-Jaawi, Marah Labiid Tafsir an-Nawawi (Dar al-Kitab
al-Islamiyyah), h. 218. 3 Syeikh Muhammad Nawawi al-Jaawi, Marah Labiid Tafsir an-Nawawi (Dar al-Kitab
al-Islamiyyah), h. 343.
51
Mahmud Yunus yang merupakan pengarang tafsir al-Qur’an Karim,
beliau menulis kitab tafsir dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahkan beliau
juga memberikan terjemahan ayat sendiri. Contohnya pada surah ṣad[38] ayat 52,
beliau mengartikan bahwa "Di sisi mereka ada (istri-istri) yang rendah mata
(bukan mata keranjang) lagi sebaya”.4 Mahmud Yunus mengartikan qāṣirāt ṭarf
dengan istri-istri yang rendah mata, tetapi dalam tafsirnya beliau tidak
memberikan penafsirannya mengenai ayat ini. Karena tafsir beliau tergolong tafsir
ijmali jadi akan wajar jika beliau hanya menjelaskan ayat-ayat tertentu saja.
Kemudian pada ayat berikutnya surah aṣ-Ṣaffāt[37] ayat 48 beliau juga
mengartikan qāṣirāt ṭarf sebagai istri atau bidadari, yakni “Di sisi mereka ada
(beberapa istri atau bidadari) yang pendek pemandangannya (bukan mata
kerajang) lagi bundar matanya”. Pada ayat ini beliau hanya menjelaskan
tafsirnya secara singkat yang menyatakan bahwa hamba-hamba Allah itu
mempunyai istri (istrinya yang di dunia atau bidadari) yang cantik molek dan
putih kuning warnanya, menarik mata orang yang melihatnya.5 Sedangkan pada
surah ar-Raḥmān[55] ayat 56 beliau mengartikan qāṣirāt ṭarf sebagai perempuan-
perempuan yang pendek pemandangannya, sesuai dengan terjemahannya “Dalam
surga itu perempuan-perempuan yang pendek pemandangan (bukan bermata
keranjang), mereka belum pernah disentuh manusia dan jin sebelum mereka.6.
Dan beliau tidak menjelaskan tafsirnya.
3) Tafsir al-Furqan
4 Mahmud Yunus, Tafsir al-Qur’an Karim (Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah,
2011), h. 673. 5 Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim Bahasa Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung
Jakarta: 2002), h. 658. 6 Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim Bahasa Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung
Jakarta: 2002), h. 796.
52
Ahmad Hasan salah satu tokoh yang mengikuti aliran wahabiyah yang
sangat bertolakbelakang dengan ke lima tafsir lainnya, karena itu hal ini menjadi
alasan penulis sehingga dapat diketahui perbedaanya.
Tafsir al-Furqan ini tergolong tafsir yang sangat unik, beliau hanya
memberikan penjelasannya dengan sangat singkat sehingga berbentuk footnote.
Seperti menafsirkan surah ṣād [38] ayat 52 ini beliau menjelaskan qāṣirāt ṭarf
yakni yang tidak memandang lelaki yang bukan suami yang telah ditentukan
untuk mereka dengan perasaan cinta.7
Ahmad Hasan mengartikan qāṣirāt ṭarf sebagai bidadari-bidadari, jadi
maksud dari penafsiran tersebut bahwa bidadari itu memiliki pandangan yang
tidak liar, yakni tidak memandang kepada lelaki lain. Lalu pada surah aṣ-
Ṣaffāt[37] ayat 48 dan ar-Raḥmān[55] ayat 56 beliau juga memberikan penafsiran
yang sama.
4) Tafsir an-Nur
Surah ṣad ayat 52 dan surah aṣ-Ṣaffāt ayat 48 merupakan ayat yang sama,
hanya saja dibedakan dengan kalimat terakhirnya yaitu atrāb pada surah ṣād ayat
52 dan ‘iyn pada surah aṣ-Ṣaffāt ayat 48. Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan
qāṣirāt ṭarf pada kedua ayat ini dengan bidadari. Kemudian pada sura ṣād beliau
menjelaskan bahwa orang-orang ahli surga mempunyai istri yang selalu takzim
kepadanya, tidak berpaling kepada lelaki lainnya. Bidadari itu bagaikan mutiara
yang terpendam, yang umurnya sebanya dan saling mengasihi.8
7 Ahmad Hasan, al-Furqan Tafsir Qur’an (Jakarta: Pustaka Mantiq, Yayasan Ambadar,
2006), h. 835. 8 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur Jilid 4
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 3519-3521.
53
Selanjutnya pada surah aṣ-Ṣaffāt beliau mengatakan bahwa bidadari itu
istri yang indah jelita matanya, tidak punya nafsu selain suaminya, dan masih suci
yang belum pernah dijamah manusia ataupun jin.9 Tetapi pada surah ar-raḥmān
ayat 56 beliau mengartikan qāṣirāt ṭarf sebagai gadis-gadis. Jadi yang
dimaksudkan beliau bahwa bidadari ialah gadis-gadis yang memiliki mata yang
hanya melihat suaminya, yang masih perawan belum pernah dijamah manusia dan
jin. Setiap selesai disetubuhi oleh suaminya mereka kembali perawan.10
Sehingga qāṣirāt ṭarf menurut Hasbi ash-Shiddieqy ialah bidadari yang
berupa gadis-gadis yang selalu takzim kepada suaminya yang memiliki mata yang
indah, penuh kasih sayang dan tidak punya nafsur kepada lelaki lain.
5) Tafsir al-Azhar
Seperti mufassir Indonesia lainnya, sebelum menafsirkan ayat, Buya
Hamka menerjemahkan ayat terlebih dulu. Beliau mengartikan qāṣirāt ṭarf
sebagai bidadari yang menekur pandangannya. Kemudian dijelaskan dalam
tafsirannya bahwa bidadari tersebut tidak liar pandangannya. Cinta dan kasihnya
hanya untuk suaminya semata, dan tidak ada lelaki lain yang menarik hatinya.
Mereka berusia sebaya rata-rata 30 tahun.11
Kemudian pada surah aṣ-Ṣaffāt ayat
48 beliau mengatakan bahwa bidadari merupakan malaikat yang berupakan
perempuan.12
Selanjutnya pada surah ar-Raḥmān[55] ayat 56 beliau mengartikan qaṣirāt
ṭarf sebagai gadis-gadis perawan, bahwa Qaṣir yang artinya singkat atau terbatas
9 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur Jilid 4
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 3452-3455. 10
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur Jilid 5
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), h. 4064-4066. 11
Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar Juzu’ 23 (Jakarta: Pustaka
Panjimas, t.t.), h. 245-246. 12
Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar Juzu’ 23 (Jakarta: Pustaka
Panjimas, t.t.), h. 111-114.
54
sudut matanya. Maksudnya ialah tidak genit dan tidak liar penglihatan matanya.
Gadis-gadis surga itu masih bersih. Belum ada manusia maupun jin yang datang
menyentuhnya. Sehingga ia masih dalam keadaan bersih dan perawan. 13
6) Tafsir al-Misbah
Quraish Shihab mengartikan qaṣirāt ṭarf sebagai bidadari. Namun, beliau
tidak menjelaskan kalimat qaṣirāt ṭarf ini pada surah ṣād [38] ayat 52 melainkan
pada surah aṣ-Ṣaffāt ayat 48. Beliau hanya menafsirkan kata atrāb yang
merupakan bentuk jamak dari kata tirb yang berarti sebaya. Kata ini seakar
dengan kata turāb yang berarti tanah. Ibaratnya kulit dua orang sebaya yang sama-
sama menyentuh tanah di saat bersamaan. Sementara ada riwayat yang
menyatakan bahwa usia mereka sebaya sekitar 33 tahun.14
Kata qaṣirāt ṭarf itu terdiri dari kata qaṣirāt yang merupakan bentuk jamak
yang menunjukkan feminin. Terambil dari kata qaṣara yang jika diambil benang
merahnya berarti keterbatasan. Sedangkan kata ṭarf memiliki arti mata dan
maksudnya adalah pandangan. Jadi bidadari itu memiliki pandangan yang terbatas
hanya kepada pasangannya semata. Lalu kata ‘īn bentuk jamak dari ‘ainā’ berarti
mata yang terbuka lebar, yang dapat diartikan hakiki atau majazi yaitu yang
berwawasan luas dan tidak berpandangan sempit.15
Selanjutnya pada surah ar-Raḥmān[55] ayat 56 istilah qaṣirāt ṭarf ini
diartikan sebagai wanita-wanita yang membatasi pandangannya. Kalimat qaṣirāt
ṭarf merupakan istilah al-Qur’an yang ditujukan untuk memuji wanita-wanita
13
Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar Juzu’ XXVII (Jakarta: Pustaka
Panjimas, t.t.), h. 207-209. 14
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Volume
12 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 157-158. 15
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Volume
15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 33-34.
55
yang sangat setia, cantik, dan selalu ingin bersama pasangannya, dan disisi lain
mata pasangan-pasangannya tidak beranjak ke arah yang lain, karena senangnya
melihat wanita-wanita yang rupawan dan menyenangkan itu. Bidadari-bidadari itu
adalah wanita-wanita surgawi yang Allah ciptakan untuk penghuni surga pria,
bukan istri-istri mereka yang masuk surga. Mereka semua adalah wanita, yang
khusus untuk lelaki pilihan Allah. Dan tidak sebaliknya untuk para perempuan
penghuni surga, karena pembawaan wanita pada dasarnya adalah monogami.
Kemudian untuk istri-istri para penghuni surga yang pernah hidup bersama suami
mereka di dunia itu tidak akan merasa cemburu bahkan iri hati karena pada hari
kemudian Allah telah mencabut segala macam kedengkian dan kecemburuan dari
hati penghuni surga, sesuai dalam firman Allah QS. al-A’raf[7] ayat 43.16
Dengan demikian qāṣirāt ṭarf menurut M. Quraish Shihab ialah bidadari
yang merupakan wanita-wanita cantik, setia dan membatasi pandangannya.
Dari penjelasan ke enam mufassir, semua mengatakan bahwa
pengungkapan bidadari pada istilah qaṣirāt ṭarf adalah menunjukkan pada sosok
perempuan, bahkan dijelaskan pada penafsiran M. Quraish Shihab bahwa bidadari
adalah perempuan-perempuan surgawi yang Allah ciptakan untuk penghuni surga
pria, bukan istri-istri mereka yang masuk surga. Mereka semua adalah perempuan
khusus Allah ciptakan untuk para lelaki penghuni surga pilihan Allah. Meskipun
dalam penafsiran Buya Hamka pernah mengatakan bahwa ada bidadari yang
berupakan lelaki, yakni pada ayat 45 surah aṣ-Ṣaffāt, bahwasanya malaikat-
malaikat muda belia adalah bidadari yang merupakan laki-laki muda, yang
keadannya sama dengan mutiara yang terkurung di dalam giwang warna warni
16
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Volume
15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 530-531.
56
yang indah. Namun mereka adalah yang ditugaskan Allah untuk melayani para
penghuni surga mengedarkan minuman pada penghuni surga itu. Sedangkan pada
ayat 48 aṣ-Ṣaffāt ini Buya Hamka mengatakan bahwa yang dimaksudkan bidadari
disini ialah bangsa malaikat yang berupakan perempuan muda dan cantik. Jadi
keseluruhan penafsiran untuk istilah qaṣirāt ṭarf ini semua mufassir mengatakan
bahwa mereka adalah perempuan. Kemudian dari ketiga ayat tersebut
keseluruhannya tidak memiliki asbāb nuzul ayat, baik pada keterangan para
musaffir yang telah disebutkan maupun pada buku Lubaabun Nuquul fii Asbaabin
Nuzuul karangan Jalaluddin as-Suyuthi.
b) Ḥūr ‘iyn
Di antara ayat-ayatnya sebagai berikut:
٢٢وحور عني
“Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli”. (QS. al-Wāqi’ah[56]: 22)
٥٤وزوجنهم بور عني كذلك
“Demikianlah, kemudian Kami berikan kepada mereka pasangan
bidadari yang bermata indah”. (QS. ad-Dukhān[44]: 54)
صفوفة وزوجنهم بور عني ني متك ر م س ٢٠لع
“Mereka bertelekan di atas dipan-dipan berderetan dan Kami
kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik bermata jeli”. (QS.
aṭ-Ṭūr[52]: 20)
قصورت ف ٧٢ ٱليام حور م
“(Bidadari-bidadari) yang dipelihara di dalam kemah-kemah.” (QS.
ar-Raḥmān[55]: 72)
1) Tafsir Marah Labid
Syeikh Nawawi Banten menafsirkan bahwa bidadari merupakan budak
perempuan, yakni wanita cantik rupawan, berkulit putih dan memiliki mata yang
57
jeli (besar).17
Pada surah ad-Dukhān[44] ayat 54, Syekh Nawawi juga mengatakan
bahwa bidadari adalah perempuan berwajah putih bersih dan bermata yang
indah.18
Pada surah aṭ-Ṭūr[52] ayat 20 juga dijelaskan bahwa bidadari adalah
perempuan yang putih tur besar matanya.19
Kemudian pada surah ar-Raḥmān[55] ayat 72 Syekh Nawawi menjelaskan
bahwa bidadari yang hitam biji matanya, mengurung diri dalam rumah yang
terbuat dari mutiara-mutiara yang cekung. Bidadari itu mengurung diri untuk
suami-suaminya yang dalam rumahnya terdapat mutiara-mutiara yang cekung
yaitu satu farsakh (8 km) yang mempunyai 400 daun pintu emas.20
Dari keempat ayat yang telah dijelaskan Syeikh Nawawi di atas beliau
mengatakan bahwa bidadari adalah sosok perempuan-perempuan rupawan yang
yang memiliki mata indah dan mereka mengurung dirinya demi suami-suami
tercinta. Lalu pada surah ar-raḥmān dijelaskan bahwa bidadari itu mengurung diri
demi suaminya di dalam rumah yang terbuat dari mutiara-mutiara yang cekung
yang berukuran sekitar satu farsakh atau delapan km serta mempunyai daun pintu
yang terbuat dari emas sebanyak 4000.
2) Tafsir Al-Qur’an Karim
Kitab tafsir Mahmud Yunus tergolong tafsir ‘ijmali yang merupakan tafsir
yang singkat dan djelaskan secara global. Beliau tidak memberikan penafsiran
pada surah al-Wāqi’ah[56] ayat 22, namun mengartikan ḥūr ‘īn sebagai bidadari
17
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jāwi, Marah Labīd Tafsir an-Nawawi (Dar al-Kitab al-
Islamiyyah), h. 345. 18
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jāwi, Marah Labīd Tafsir an-Nawawi (Dar al-Kitab al-
Islamiyyah), h. 285. 19
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jāwi, Marah Labīd Tafsir an-Nawawi (Dar al-Kitab al-
Islamiyyah), h. 328. 20
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jāwi, Marah Labīd Tafsir an-Nawawi (Dar al-Kitab al-
Islamiyyah), h. 344.
58
sebagaimana dalam terjemahan ayatnya.21
Kemudian pada suraḥ ad-Dukhān[44]
ayat 54 beliau mengatakan bahwa bidadari itu ialah perempuan putih yang
memiliki mata yang bundar.22
Selanjutnya pada aṭ-Ṭūr[52] ayat 20 dan surah ar-Raḥmān[55] ayat 72
beliau tidak menafsirkan apapun. Hanya saja pada terjemahan ayat, beliau
memberikan terjemahan yakni, bidadari ialah perempuan yang putih yang tertutup
dalam khemah.23
Karena tafsir ini tergolong tafsir yang ringkas, jadi tidak heran
jika dari ke empat ayat tersebut Mahmud Yunus hanya menafsirkan satu ayat saja,
yakni surah ad-Dukhān[44] ayat 54. Meskipun demikian dengan melihat
terjemahan beliau dan penafsirnnya pada surah ad-Dukhān dapat disimpulkan
bahwa bidadari ialah perempuan yang berkulit putih dan memiliki mata yang
bundar.
3) Tafsir al-Furqan
Tafsir ini karangan Ahmad Hasan, beliau salah satu tokoh yang berfaham
wahabiyah. Tafsir ini tergolong tafsir bi al ra’yi dengan demikian diharapkan
akan ditemukan perbedaan dengan penafsiran lainnya. Namun, tafsir ini juga
tergolong tafsir yang sangat ringkas, bahkan penafsirnnya di buat seperti susunan
footnote.
21
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim cet ke 72 (Jakarta: Hidakarya Agung, 2002), h.
800. 22
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim cet ke 72 (Jakarta: Hidakarya Agung, 2002), h.
736-737. 23
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim cet ke 72 (Jakarta: Hidakarya Agung, 2002), h.
797.
59
Dari ke empat ayat dengan menggunakan redaksi ayat ḥūr ‘īn ini, Ahmad
Hasan tidak menjelaskan apapun, hanya saja melihat dari terjemahan ayatnya
beliau mengartikan ḥūr ‘īn sebagai bidadari-bidadari.24
Kemudian pada ayat yang hanya memakai redaksi ḥūr beliau
mengartikannya sebagai bidadari-bidadari yang jelita, putih bersih dipingit dalam
mahligai-mahligai.25
Dengan demikian maka dapat disipulkan bahwa ḥūr ‘īn merupakan
bidadari yang cantik jelita, yang berkulit putih dan dipingit dalam mahligai.
4) Tafsir an-Nur
Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan ḥūr ‘īn sebagai bidadari. Pada surah al-
Wāqi’ah[56] ayat 22, beliau menafsirkan bahwa di dalam surga itu mereka
mempunyai istri-istri yang cantik jelita.26
Kemudian pada surah ad-Dukhān[44]
ayat 54, beliau mengatakan Allah mengawinkan mereka dengan bidadari yang
cantik jelita, yang belum pernah disentuh oleh seorang manusia dan jin.27
Namun,
pada surah aṭ-Ṭūr[52] ayat 20 Hasbi mengartikan ḥūr ‘īn sebagai gadis-gadis
bermata jelita, dalam tafsirannya dikatakan bahwa Allah mengawinkan para
penghuni surga dengan gadis-gadis yang shaleh, yang cantik dan bermata jelita.28
Selanjutnya pada surah ar-Raḥmān[55] ayat 72 yang hanya memakai
redaksi ḥūr tanpa diikuti ‘īn, beliau juga mengartikan gadis-gadis yang bermata
jelita. Sehingga dalam tafsirannya dijelaskan bahwa gadis-gadis yang baik
24
Ahmad Hasan, al-Furqan Tafsir Qur’an (Jakarta: Pustaka Mantiq, Yayasan Ambadar,
2006), h. 996. 25
Ahmad Hasan, al-Furqan Tafsir Qur’an (Jakarta: Pustaka Mantiq, Yayasan Ambadar,
2006), h. 992. 26
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Qur’an Majid an-Nur Volume V
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), h. 4077-4080. 27
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Qur’an Majid an-Nur Volume V
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), h. 3786-3788. 28
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Qur’an Majid an-Nur Volume V
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), h. 33981-3984.
60
batinnya dan cantik wajahnya dengan mata jelita dan selalu tetap berada di dalam
kamar masing-masing, serta tidak menggelandang di jalan-jalan.29
Demikian maka yang dimaksudkan bidadari menurut Hasbi ash-Shiddieqy
ialah istri-istri berupa gadis-gadis cantik yang memiliki mata jelita dan terjaga
dalam kamarnya.
5) Tafsir al-Azhar
Buya Hamka tidak memberikan pada ke empat ayat, beliau hanya
menafsirkan dua ayat, yakni pada aṭ-Ṭūr[52] ayat 20. Bahwa Allah mengawinkan
mereka dengan bidadari yang cantik jelita sebagai pelengkap yang penting dalam
kenikmatan surga itu.30
Kemudian pada surah ar-Raḥmān[55] ayat 72, beliau
menjelaskan bahwa gadis-gadis atau bidadari cantik jelita yang menjadi teman
hidup orang-orang beriman itu tinggal di kemah-kemah yang terbuat dari permata
berlian.31
Meskipun pada surah al-Wāqi’ah[56] ayat 22 dan ad-Dukhān[44] ayat 54
Buya Hamka tidak memberikan penafsirannya namun, beliau menerjemahkan ḥūr
‘īn sebagai bidadari-bidadari yang bermata jelita.32
Jadi dapat disimpulkan bahwa
ḥūr ‘īn adalah sosok perempuan yang cantik jelita.
6) Tafsir al-Misbah
29
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Qur’an Majid an-Nur Volume V
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), h. 4068-4070. 30
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XXVII (Jakarta: Pustaka Panjimas, t.t.), h. 55-60. 31
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XXVII (Jakarta: Pustaka Panjimas, t.t.), h. 214-215. 32
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XXVII (Jakarta: Pustaka Panjimas, t.t.), h. 227.
61
Quraish Shihab tidak menjelaskan ḥūr ‘īn pada surah al-Wāqi’ah[56] ayat
22, melainkan beliau merujuknya pada surah ad-Dukhān[44] ayat 54 atau surah
ar-Raḥmān[55] ayat 72.33
Pada surah ad-Dukhān[44] ayat 54 Quraish Shihab, menjelaskan bahwa
kata ḥūr adalah bentuk jamak dari kata ḥaura’ yang pertama menunjukkan
feminin dan kedua maskulin. Hal ini berarti bahwa kata ḥūr merupakan kata netral
kelamin, bisa laki-laki juga bisa perempuan. Adapun menurut ar-Raghib al-
Ashfahani kata ḥūr berarti tampaknya sedikit keputihan pada mata disela
kehitamannya (dalam arti yang putih sangat putih dan hitam yang sangat hitam).
Bisa juga ia berarti bulat, dan ada juga yang mengartikannya sipit. Kemudian kata
‘īn adalah bentuk jamak dari kata ‘ainā’ dan ‘ain yang berarti bermata besar dan
indah. Meskipun jauh jika merujuk pada makna kebahasaan, namun dapat diambil
makna hakikinya, bahwa bidadari ialah makhluk bermata lebar dan bulat atau sipit
sebagaimana yang telah didambakan oleh para penghuni surga itu. Tetapi dapat
dipahami dalam arti majazi yakni mereka memiliki mata yang sipit dalam arti
pandangan mereka yang terbatas hanya tertuju kepada pasangannya, dan juga
dapat diartikan terbuka untuk selalu memandang dengan penuh perhatian kepada
pasangannya. Dan sepertinya mereka pun bukan berasal dari jenis makhluk
manusia yang kita kenal di kehidupan dunia.34
Dari penafsiran beliau dalam surah ad-Dukhān[44] ayat 54 ini disimpulkan
bahwa ḥūr merupakan kata netra kelamin, sehingga bisa laki-laki juga bisa
perempuan. Beliau tidak menjelaskan bahwa sosok bidadari itu merupakan
33
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Vol. 15
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 551. 34
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Vol. 13
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 25-26.
62
perempuan, namun beliau mengatakan bahwa kemungkinan mereka bukan berasal
dari kehidupan dunia atau manusia seperti kita.
Selanjutnya pada surah aṭ-Ṭūr[52] ayat 20 Quraish tidak menjelaskan
kembali kalimat ḥūr īn. Lansung pada surah ar-Raḥmān[55] ayat 72 yang hanya
menggunakan kata ḥūr tanpa di ikuti kata ‘īn. Beliau menjelaskan kembali bahwa
kata ḥur adalah bentuk jamak dari kata aḥwār atau ḥaurā’, yang menurut ar-
Raghib al-Ashfahani sebagai nampaknya sedikit warna putih pada mata di sela
kehitamannya. Sehingga hal ini menunjukan lukisan keindahan mata. Jadi yang
terpenting disini ialah untuk menjelaskan maksud ḥūr itu sebagai pasangan yang
sangat baik dan indah dalam pandangan pasangannya.35
Jadi yang membedakan penafsiran ini dengan mufassir lain, mengenai
istilah ḥūr īn ini, Quraish Shihab tidak mengatakan bahwa bidadari merupakan
sosok perempuan ataupun laki-laki, melainkan lebih mengarah pada makhluk
yang memiliki mata lebar atau sipit yang menjadi dambaan para penghuni surga.
Karena jika kembali pada pengertian bahasa bahwa kata ḥūr yang merupakan kata
netral kelamin yang bisa menunjukkan perempuan ataupun laki-laki. Jadi yang
terpenting bahwa maksud dari ḥūr ialah sebagai pasangan yang sangat baik dan
indah dalam memandang pasangannya.
c) Azwāj muṯahharah
Di antara ayat-ayat sebagai berikut:
رة طه زوج مون ولهم فيها أ ٢٥وهم فيها خل
“Dan di sana mereka (memperoleh) pasangan-pasangan yang suci.
Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah[2]: 25)
35
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Vol. 13
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 535-537.
63
ن ن م رة ورضو طه زوج مه وأ و ٱلل ٱلل ب ١٥ ٱلعباد بصي
“...dan pasangan-pasangan yang suci serta ridha Allah. Dan Allah
Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Āli ‘Imrān[3]: 15)
ظليلا وندخلهم ظل ا رة طه زوج م
هم فيها أ ٥٧ل
“Disana mereka mempunyai pasangan yang suci, dan Kami
masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman.” (QS. an-Nisā’[4]:
57)
1) Tafsir Marah Labid
Menurut Syeikh Nawawi Banten bahwa pasangan-pasangan yang suci itu
adalah bidadari-bidadari dan anak-anak adam yang suci dari segala kesakitan,
kejelekan tentang perempuan dunia, kejelekan perilaku, penyakit-penyakit
beruban dan ketuaan. Serta suci dari segala sesuatu kotoran dari kejelekan alami
dan perilaku. 36
Seperti pada surat al-Baqarah bahwa mereka itu suci dari haid, nifas, air
liur, mani, kelaianan bentuk, keburukan pergaulan dan perilaku yang jelek.
Namun dari semua kenikmatan itu, keridlaan Allah kepada mereka adalah nikmat
yang jauh lebih besar dari pada nikmat-nikmat yang mereka dapatkan tersebut.37
Sama halnya dengan surat an-Nisa’ pasangan yang suci ialah mereka yang suci
dari haid, nifas, dan seluruh kotoran dunia.38
Dari penjelasan Syekh Nawawi mengenai istilah azwāj muṭahharah beliau
mengatakan bahwa pasangan yang suci itu ialah mereka yang suci dari segala
kesakitan, kejelekan, seluruh penyakit dan kotoran yang ada pada seluruh badan
selama hidup di dunia, serta suci dari segala perilaku-perilaku yang jelek. Beliau
memang tidak menjelaskan dengan detail bahwa yang dimaksudkan dengan
36
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jāwi, Marah Labīd Tafsir an-Nawawi (Dar al-Kitab al-
Islamiyyah), h. 7-8. 37
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jāwi, Marah Labīd Tafsir an-Nawawi (Dar al-Kitab al-
Islamiyyah), h. 90. 38
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jāwi, Marah Labīd Tafsir an-Nawawi (Dar al-Kitab al-
Islamiyyah), h. 155.
64
pasangan yang suci itu hsns ditujukan kepada perempuan atau laki-laki, akan
tetapi melihat penafsiran beliau bahwa pasangan yang disucikan dari segala
kotoran seperti nifas, dan haid maka yang dimaksud beliau adalah mengarah
kepada perempuan.
2) Tafsir Al-Qur’an Karim
Mengenai ayat-ayat ini, Mahmud Yunus tidak memberikan penafsirannya.
3) Tafsir al-Furqan
Setelah mencari, ternyata Ahmad Hasan juga tidak memberikan penafsiran
tehadap ayat ini.
4) Tafsir an-Nur
Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan dalam kitabnya bahwa para penghuni
surga itu diberi pasangan yang bebas dari segala kecacatan, baik lahir maupun
batin.39
Kemudian pada surat Ali Imran beliau mengatakan bahwa pasanerpakan
pembalasan ketika di surga ialah pasangan-pasangan hidup yang bebas dari segala
keaiban, kecacatan, dan kekurangan yang terdapat pada perempuan-perempuan
dunia, baik dari segi rupa (fisik) maupun perangai (akhlak).40
Selanjutnya pada surat an-Nisa’ yang dimaksudkan pasangan yang suci
yang bebas dari cacat rupa dan cacat karakter (akhlak). Mereka (yang perempuan)
bebas dari haid dan nifas.41
Demikian penjelasan menurut Hasbi Ash-Shiddieqy bahwasanya pasangan
suci yang telah beliau jelaskan di atas ialah yang suci, terbebas dari segala
39
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Qur’an Majid an-Nur Jilid I
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), h. 60-63. 40
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Qur’an Majid an-Nur Cet.
Kedua Edisi Kedua (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), h. 542-554. 41
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Qur’an Majid an-Nur Jilid 1
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), h. 877-878.
65
kecacatan, baik fisik maupun batinnya(akhlak), dan juga untuk perempuan yang
suci dari segala kotoran fisiknya maupun akhlaknya. Jadi dalam penjelasan beliau
ini tidak cenderung mengatakan bahwa pasangan suci adalah sosok perempuan
saja maupun laki-laki juga.
5) Tafsir al-Azhar
Buya Hamka mengatakan dalam kitab tafsirnya, meskipun setengah ahli
tafsir menafsirkan pengertian suci bersih di sini ialah istri di surga tidak pernah
mengalami haid lagi, sebab haid itu kotor, namun beliau ingin memahaminya
supaya lebih tinggi dari itu. Oleh karenanya, yang dimaksudkan pasangan suci itu
adalah istri-istri suci bersih dari cacat yang menjemukan. Bukan halnya seperti
istri yang ada di dunia. Baik istri surga anak bidadari yang dijanjikan, atau istri
sendiri yang akan dipertemukan Tuhan kembali dengan kita, karena sama-sama
taat beriman dan beramal shalih. Dan segalanya yang ada dalam surga itu kekal
dan tidak ada yang mati lagi.42
Kemudian pada surat Ali Imran juga demikian,
bahwa di surga nanti orang yang beriman akan mendapatkan pasangan yang suci
dari segala penyakit dan kotoran yang pernah ada di dunia.43
Dalam tafsir al-Azhar dijelaskan bahwa maksud istri-istri yang suci ini
biasa diartikan sebagai anak bidadari. Mereka suci dari haidh dan nifas, bahkan
lebih penting lagi yang suci dari gejala-gejala hidup yang menjadi cacat daripada
orang perempuan dalam kehidupan dunia ini.44
Sehingga kesimpulannya menurut Buya Hamka bahwa azwāj muṭahharah
ia artikan sebagai istri-istri yang suci mereka adalah anak bidadari maupun istri-
istri yang telah Allah pertemukan kembali di surga maupun istri-istri bidadari.
42
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ I (Jakarta: Pustaka Panjimas, t.t.), h. 181-187. 43
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ III (Jakarta: Pustaka Panjimas, t.t.), h. 161-173. 44
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ V (Jakarta: Pustaka Panjimas, t.t.), h. 142-146.
66
Mereka bersih dari haid, nifas, dan seluruh kejelekkan yang ada di dunia baik
lahir maupun batin.
6) Tafsir al-Misbah
Dalam tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa Allah memberikan kepada
mereka pasangan-pasangan yang telah berulang kali disucikan dari segala macam
kototoran. Bukan hanya kotoran karena haid, karena itu hanya salah satu bentuk
penyucian bagi wanita. Padahal yang dimaksudkan adalah pasangan pria untuk
wanita dan pasangan wanita untuk pria, sehingga penyucian itu mencakup segala
yang mengotori jasmani dan jiwa pria yang antara lain seperti dengki, cemburu,
kebohongan, keculasan, pengkhianatan, dan lain sebagainya.45
Dalam penafsiran surat Ali Imran juga demikian, bahwa pasangan yang
suci ialah yang telah disucikan berulang-ulang dari segala macam kotoran, yang
bukan hanya dari haid karena ini salah satu bentuk penyucian terhadap
perempuan, namun dari segala hal yang mengotori jasmani dan jiwa baik lelaki
maupun perempuan yang merupakan pasangan mereka, seperti halnya dengki,
cemburu, kebohongan, keculasan, pengkhianatan, dan lain-lain.46
Dari penjelasan tafsir diatas M. Quraish Shihab hanya menafsirkan pada
dua ayat, yakni surat al-Baqarah dan an-Nisa, dan ayat yang tidak di tafsirkan
adalah surat Ali Imran. Kesimpulan dari penafsiran beliau mengenai pasangan
yang di sucikan ialah mereka yang bersih dari segala kotoran, keburukan, dan
kecacatan. Baik dalam fisiknya maupun akhlaknya. Dan mereka tidak hanya
bersih dan suci dari haid dan nifas, karena itu hanyalah berlaku untuk perempuan.
45
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Vol. 1
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 129-130. 46
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Vol. 2
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 454-455.
67
Sehingga dalam hal ini beliau mengatakan bahwa pasangan yang suci bukan
hanya pada perempuan melainkan juga pada laki-laki.
2. Penafsiran Ayat Mengenai Penciptaan Bidadari
Berikut adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang
gambaran penciptaan bidadari berdasarkan al-Qur’an:
نهن إنشاءا نشأا أ ا فجعلنهن ٣٥إن بكارا
تراباا ع ٣٦أ
٣٧رباا أ
“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan
langsun. dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. penuh cinta lagi sebaya
umurnya”. (QS. al-Wāqi’ah[56]: 35-37)
1) Tafsir Marah Labid
Setelah menganalisi ayat-ayat bidadari dengan tiga istilah di atas,
selanjutnya mengenai penciptaannya. Syeikh Nawawi Banten menafsirkan bahwa
Allah menciptakan para bidadari yang bermata jeli, yakni dengan ciptaan yang
tanpa adanya kelahiran yaitu berupa dayang-dayang yang membuat seseorang
mencintai suami-suaminya yang sama-sama umurnya. An-Nuḥas meriwayatkan
bahwa Ummu Salamah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang firman
Allah Ta’ala, “Sesungguhya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) yang
dengan langsung”, kemudian Nabi bersabda: mereka (bidadari-bidadari) yang
meninggal ketika di dunia dan menjadi wanita tua lanjut usia yang kabur
penglihatannya, kemudian Allah menjadikan mereka sebaya umurnya atas
kelahiran yang sama. Dan dari as-Sabab bin Syarik dari Nabi SAW. berkata dalam
firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-
bidadari) dengan langsung”, mereka wanita-wanita tua dunia langsung Allah
jadikan citptaan yang baru, ketika kami menjadikan mereka untuk suami-suami
mereka, mereka menemukan gadis-gadis perawan, ketika saya mendengar ‘Aisyah
68
R.A. dia berkata: kesedihan, kemudian Nabi SAW bersabda: itu bukan kesedihan,
perempuan cantik yang bagus dalam ucapannya, yang cinta kepada suami-suami
mereka yang sama dalam tahunnya kira-kira 33 tahun.47
Mengenai penciptaan bidadari, Syeikh Nawawi menjelaskan dalam
tafsirnya bahwa bidadari yang bermata jeli itu Allah ciptakan tanpa melalui
kelahiran. Mereka berupa dayang-dayang yang mampu membuat suaminya
mencintainya dan mereka saling berumuran. Pada ayat ini Syeikh Nawawi tidak
mencantumkan asbabun nuzul ayat dan setelah saya cari di dalam kitab asbabun
nuzul karangan Jalaluddin as-Suyuti, memang ayat ini tidak memiliki sebab-sebab
turunnya ayat. Namun dalam kitab tafsirnya, Syeikh Nawawi mencantumkan
hadis yang diriwayatkan oleh an-Nuḥas dari Ummu Salamah. Dalam hadis
tersebut Ummu Salamah bertanya kepada Nabi mengenai firman Allah ini,
kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa bidadari itu ialah mereka perempuan-
perempuan yang ketika di dunia telah meninggal dunia dalam keadaan tua dan
rabun penglihatannya, kemudian Allah hidupkan kembali mereka di surga dalam
keadaan sebaya.
2) Tafsir Al-Qur’an Karim
Sedangkan Mahmud Yunus tidak menafsirkan ayat-ayat mengenai
penciptaan bidadari. Wajar apabila dalam hal ini Mahmud Yunus tidak
memberikan penafsiran karena sesuai dengan kitab tafsir beliau yang tergolong
tafsir ‘ijmali yang hanya menafsirkan secara global saja.
3) Tafsir al-Furqan
47
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jaawi, Marah Labiid Tafsir an-Nawawi (Dar al-Kitab
al-Islamiyyah), h. 346.
69
Demikian halnya Mahmud Yunus, tafsir al-Furqan karangan Ahmad juga
tidak memberikan penafsirannya, hanya saja pada ayat 35, bahwasanya istri-istri
yang ada di surga itu mereka dihidupkan kembali dengan kejadian yang tidak
sama dengan kejadian yang dahulu ketika di dunia.48
Karena memang tafsir ini adalah tafsir yang unik beda dari yang lain
karena posisi penafsirannya berada paling bawah yakni tertata seperti footnote
dan Ahmad Hasan juga akan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang menurut
beliau dirasa ada kejanggalan, dan itu pun kalau ada.
4) Tafsir an-Nur
Kemudian dalam kitab an-Nur karangan Hasbi Ash-Shiddiqy disebutkan
bahwa Allah telah menyediakan gadis-gadis rupawan yang mencintai suaminya
sebagai istri-istri mereka. Para gadis itu berumur sebaya, tidak lebih tua dan tidak
ada yang lebih muda.49
Hasbi ash-Shiddieqy juga berpendapat bahwa bidadari surga itu ialah
gadis-gadis rupawan yang mencintai suaminya dan mereka berumuran sebaya
yang tidak lebih tua ataupun lebih muda. Hanya saja yang membedakan dengan
sebelumnya Hasbi ash-Shiddieqy menyebut bidadari surga itu sebagai gadis-
gadis.
5) Tafsir al-Azhar
Buya Hamka menafsirkan dalam kitab tafsirnya yaitu al-Azhar pada ayat
35 surat al-Waqiah, bahwa Allah telah menyediakan bagi hamba-hamba-Nya yang
merupakan golongan kanan itu, gadis-gadis yang cantik jelita. Ini merupakan
48
Ahmad Hassan, al-Furqan Tafsir Qur’an (Jakarta: Pustaka Mantiq, Yayasan Ambadar,
2006), h. 1001. 49
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur cet. 2
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), h. 4083.
70
bentuk janji Allah telah dengan menggembirakan dalam hati hamba Allah yang
berada dalam surga golongan kanan itu demikian. Hal ini dikarenakan karena jika
mengingat banyak orang besar-besar yang telah berjuang dalam Islam yang
selama hidupnya, sehingga mereka tidak sempat untuk menikah. Meskipun orang
besar-besar semacam ini tidak mengingat lagi kesempatan untuk menikah di dunia
ini, namun karena mereka tahu bahwa Allah menyediakan perawan-perawan suci
bagi mereka. Sehingga ayat ini dapat dipahami bahwa ayat-ayat seperti ini
bukanlah untuk menimbulkan nafsu syahwat yang tidak layak.
Selanjutnya ayat berikutnya dijelaskan bahwa sifat gadis-gadis itu
semuanya yaitu ‘Uruban, maksudnya menurut keterangan Sa’id bin Jubair yang
diterimanya dari Ibnu Abbas ialah perempuan-perempaun yang setia yang
menyelenggarakan suaminya dengan penuh setia dan kasih sayang. Zaid bin
Aslam mengatakan bahwa tutur katanya sopan-santun dan indah didengar telinga.
Perempuan-perempuan itu sebaya semua, seumur.50
Sehingga kesimpulannya adalah bahwa Allah menciptakan bidadari itu
langsung dalam keadaan gadis-gadis yang cantik jelita, dan mereka penuh setia
dan kasih sayang dan memiliki tutur kata yang sopan dan mereka berumur sebaya.
6) Tafsir al-Misbah
Lalu penjelasan M. Quraish Shihab bahwa, jika memahami kata furusy
pada ayat yang lalu dengan arti pasangan-pasangan yang menyertai di
pembaringan penghuni surga, maka hubungan ayat di atas dengan uraian ayat-ayat
yang lalu sangatlah jelas. Tetapi jika memahami kata furusy dalam arti kasur-
kasur tempat pembaringan, maka menurut sementara ulama, ketika disebut hal
50
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XXIII (Jakarta: Citra Serumpun Padi, 2005), h. 237-238.
71
tersebut muncul di dalam benak pertanyaan tentang siapa yang menjadi teman
para penghuni surga itu pada kasur-kasur yang empuk itu. Nah, ketiga ayat ini
menjawab dengan menyatakan bahwa ada teman-teman yang menyertai mereka.
Mereka adalah perempuan-perempuan surgawi yang menjadi teman dan
pasangan penghuni surga yang diciptakan dengan sempurna dan menjadi gadis-
gadis yang perawan dengan penuh cinta dan umurnya yang sebaya antara satu
dengan yang lain, maupun sebaya dengan pasangan-pasangan mereka. Kemudian
kata ‘uruban adalah bentuk jamak dari kata ‘arub yang digunakan untuk
menunjuk wanita. Namun berbeda pendapat pakar bahasa mengartikannya. Al-
Ashfahani mengartikannya dengan wanita yang suci, terhormat lagi mencintai
suaminya. Sedangkan Thabathaba’i menafsirkannya dengan wanita yang sangat
sayang kepada suaminya, atau manja dan penuh asmara terhadap suaminya. Ibnu
Asyur berpendapat bahwa kata tersebut menunjuk wanita yang menampakkan
cintanya kepada suami, atau yang mempunyai cara untuk menampakkan cinta –
walau dia tidak bermaksud mendambakan cinta – misalnya dia tertawa di hadapan
seorang pria atau bergurau atau menggunakan cara-cara tertentu dalam bercakap,
atau menampakkan kemanjaan atau mengganggu dengan tujuan bergurau dan
lain-lain. Dengan kata lain hal ini menunjuk makna keramahtamahan, kejinakan
tapi jinak merpati yang mengacu pada kegenitan, tetapi tentu saja hanya terhadap
pasangan hidupnya. Kemudian kata atrab adalah bentuk jamak dari kata tirb
yakni wanita-wanita yang sebaya umurnya dengan rekanya.51
51
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), h. 556-557.
72
Dengan demikian dapat di pahami bahwa bidadari yang Allah ciptakan
secara langsung adalah wanita yang umurnya sebaya dengan sifatnya yang manja
dan genit yang hanya mencintai suaminya.
3. Penafsiran Ayat Mengenai Sifat-Sifat Bidadari
a) Sifat-sifat bidadari yang dikiaskan
Berikut adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an mengenai sifat dan
karakteristik bidadari dengan kiasannya:
Surah al-Wāqi’ah[56] ayat 23:
مثل ؤلو كأ
٢٣ ٱلمكنون ٱلل
“laksana mutiara yang tersimpan baik” (QS. al-Wāqi’ah[56]: 23)
نهن بيض م ٤٩كنون كأ
“Seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan
dengan baik”. (QS. aṣ-Ṣāffāt: 49)
نهن ٥٨ ٱلمرجان و ٱلاقوت كأ
“Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan”. (QS. ar-
Raḥmān: 58)
1) Tafsir Marah Labid
Allah memberikan sifat-sifat bidadari itu bagaikan mutiara dan telur
burung unta yang tersimpan baik, dan bagaikan permata yakut dan marjan. Semua
itu Allah kiaskan karena sifat-sifat bidadari yang sangat indah. Syeikh Nawawi
menjelaskan dalam tafsirnya bahwa bidadari yang diibaratkan pada ayat ini ialah
seperti sebuah tempat yang tidak terletak matahari dan udara di atasnya. Hal ini
dimaksudkan adalah untuk menunjukkan tujuan dari kebersihan mereka.52
52
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jaawi, Marah Labiid Tafsir an-Nawawi (Dar al-Kitab
al-Islamiyyah), h. 218.
73
Selanjutnya pada surah aṣ-Ṣāfffāt bahwa warna kulit bidadari itu bagaikan
telur burung unta, kebersihannya yang mempunyai tempat terbatas menyerupai
telur burung unta dari debu. Warna keputihannya bercampur dengan kekuningan.
Dan sesungguhnya inilah warna yang sebagus-bagusnya warna badan.53
Penggambaran bidadari pada ayat ini Imam Nawawi menafsirkan bahwa
bidadari yang diumpamakan dalam al-Qur’an bagaikan permata yakut yang
murni, dan yang putih. Diibaratkan seperti permata yakut karena
kemerahmudahan pipi dan dengan marjan dengan arti kecilnya mutiara dalam
putihnya kulit dan kebersihannya. Sesungguhnya kecilnya mutiara dalam putihnya
salju dari pada besarnya. Dikatakan bahwa para bidadari memakai tujuh pakaian,
kemudian dia melihat intisari betisnya dari belakangnya. Seperti dia melihat
minuman warna merah dalam kaca putih.54
Demikian penjelasan menurut Syekh Nawawi sesuai dengan latar belakang
beliau yang lama menetap di Makkah dan Madinah maka, penggambaran
kecantikan sifat bidadari ini sesuai dengan kriteria wanita idaman pada
masyarakat setempat.
2) Tafsir Al-Qur’an Karim
Pada Mahmud Yunus hanya memberikan penafsiran secara singkat yang
mengatakan bahwa, dalam surga muqarrabin istri-istri atau bidadari-bidadarinya
suci bersih seperti permata yakut dan putih halus seperti mutiara.55
53
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jaawi, Marah Labiid Tafsir an-Nawawi (Dar al-Kitab
al-Islamiyyah), h. 218. 54
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jaawi, Marah Labiid Tafsir an-Nawawi (Dar al-Kitab
al-Islamiyyah), h. 344. 55
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim cet ke 72 (Jakarta: Hidakarya Agung, 2002), h.
796.
74
Tidak berbeda dengan Syekh Nawawi bahwa Mahmud Yunus
mengibaratkan kesucian bidadari bagaikan permata yakut dan sehalus mutiara.
3) Tafsir al-Furqan
A. Hassan mengatakan dalam tafsirnya yaitu, biasanya orang-orang Arab
membandingkan benda bernyawa yang sangat dijaga itu dengan telur yang
disimpan dengan hati-hati.56
Kemudian pada ayat selanjutnya dikatakan bahwa
karena kecantikan bidadari yang luar biasa itu sampai digambarkan seolah-olah
permata yaqut dan marjan.57
Demikian menurut Ahmad Hasan bahwa kebiasaan orang Arab adalah
membandingkan benda bernyawa yang sangat terjaga itu seperti telur yang
tersimpan dengan sangat hati-hati.
4) Tafsir an-Nur
Dalam tafsirannya Hasbi ash-Shiddieqy mengatakan bahwa Bidadari itu
bagaikan mutiara putih berseri yang masih tersimpan dalam kerangkanya.58
Kemudian Hasbi ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa mereka seolah-olah
adalah telur yang baru ditelurkan, putih bersih warnanya. Allah menyifati mereka
dengan warna yang indah ini adalah karena warna itulah yang paling cantik
dipandang mata.59
56
Ahmad Hassan, al-Furqan Tafsir Qur’an (Jakarta: Pustaka Mantiq, Yayasan Ambadar,
2006), h. 820. 57
Ahmad Hasan, al-Furqan Tafsir Qur’an (Jakarta: Pustaka Mantiq, Yayasan Ambadar,
2006), h. 933. 58
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur cet. 2
(Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2003), h. 4080. 59
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur cet. 2
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 3455.
75
Hasbi ash-Shiddieqy juga menjelaskan bahwa gadis-gadis surga itu
sebagai permata delima yang bening dan bagaikan marjan yang putih berseri.60
Seperti itulah menurut Hasbi ash-Shiddieqy gambaran sifat-sifat bidadari
yang dikiaskan sepeti mutiara putih berseri yang masih tersimpan dalam
kerangkanya, telur yang baru ditelurkan, putih bersih warnanya, dan sebagai
permata delima karena kulitnya yang bening dan bagaikan marjan karena putih
berseri
5) Tafsir al-Azhar
Ketika menafsirkan ayat ini dalam tafsirannya Buya Hamka dikatakan
bahwa lain halnya ketika menceritakan bidadari, yaitu gadis jelita yang tersimpan
baik, laksana mutiara yang masih tersimpan dalam lokannya.61
Kemudian pada
ayat selanjutnya bahwa lafadz ini adalah suatu kiasan tentang kesucian dan masih
perawannya bidadari-bidadari itu. Sebagaimana penjelasan pada ayat 35 dan 36,
yang ditafsirkan Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair dan as-Suddi, “Mereka
diperumpamakan dengan telur yang tersimpan, ialah sebelum telur itu tersentuh
tangan dan terpecahkan kulitnya. Salah satu tafsir dari al-Qurthubi ialah bahwa
perumpamaan dengan telur itu ialah mutiara yan tersimpan di dalam lokan giwang
yang indah. Lokannya belum pecah, mutiaranya masih suci.62
Buya Hamka menjelaskan bahwa di ayat 23 pada surah al-wāqi’ah
dimisalkan bahwa kecantikan mereka itu adalah laksana mutiara, sedang di ayat
ini dilaksanakan sebagai intan dan mutiara. Niscaya dapatlah difahami bahwa
permisalan ini ialah membandingkan dengan mahalnya mutiara dan mahalnya
60
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Qur’an Majid an-Nur Cet.
Kedua Edisi Kedua (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), h. 4066. 61
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XXIII (Jakarta: Citra Serumpun Padi, 2005), h. 233-234. 62
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ 23 (Jakarta: Pustaka Panjimas, t.t.), h. 114.
76
intan. Mutiara dan intan adalah barang-barang berharga yang tidak semua orang
akan mendapatkannya karena sukar menambangnya dan sukar mencarinya.63
Menurut Buya Hamka bahwa gadis jelita yang tersimpan baik, laksana
mutiara yang masih tersimpan dalam lokannya karena menyatakan suatu kiasan
tentang kesucian dan masih perawannya bidadari-bidadari. Kemudian
perumpamaan dengan telur karena mutiara yang tersimpan di dalam lokan giwang
yang indah. Lokannya belum pecah, mutiaranya masih suci. Dan bagaikan
mutiara dan intan karena kedua merupakan barang berharga yang tidak semua
orang akan mendapatkannya karena sukar menambangnya dan sukar mencarinya.
6) Tafsir al-Misbah
M. Quraish Shihab menjelaskan dalam tafsirnya bahwasannya kebeningan
dan kecemerlangan mata bidadari itu laksana mutiara yang tersimpan baik
sehingga tidak disentuh oleh sedikit kekeruhan pun.64
Dalam tafsir al-Misbah diterangkan bahwa kata baidh adalah bentuk
jamak dari baydhah yaitu telur. Berbeda pendapat ulama tentang maksud ayat ini.
Ada yang memahami baidh maknum dalam arti telur burung unta. Ini karena
burung unta tersebut menghamparkan bulu-bulunya yang halus di atas pasir
sebelum meletakkan telurnya. Telur itu sangat putih cemerlang, putih yang
disertai dengan warna kekuning-kuningan, bagaikan warna rembulan. Ada juga
yang memahami kata tersebut dalam arti telur yang diletakka oleh unggas di atas
tumpukan sarangnya, atau dalam arti isi telur sebelum di kuliti dan sebelum
63
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ 27 (Jakarta: Pustaka Panjimas, t.t.), h. 209. 64
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), h. 551.
77
disentuk oleh tangan. Maksudnya adalah bidadari-bidadari itu sangat terpelihara,
belum disentuh oleh siapa pun sebelum pasangannya.65
M. Quraish Shihab menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Yakut adalah batu
permata yang berwarna merah. Persamaan mereka dengan permata itu dari segi
warna pipi dan bibir mereka yang kemerah-merahan, atau dari segi warna pipi dan
bibir mereka yang kemerah-merahan, atau dari segi kecemerlangannya.66
Dengan demikian menurut M. Quraish Shihab bahwa bidadari laksana
mutiara karena kecermelagan dan kebeningannya, bagaikan telur burung unta
karena kesuciannay yang terpelihara sehingga tidak pernah tersentuh oleh tangan
manusia, serta yakut yang berarti batu permata berwarna merah, maka hal ini
bagaikan warna pipi dan bibir bidadari yang kemerah-merahan.
b) Sifat-Sifat Bidadari yang Tidak dikiaskan
Berikut beberapa penafsiran mengenai ayat-ayat yang menunjukkan sifat
dan karakter bidadari yang tanpa menggunakan kiasan, sebagai berikut:
Surah an-Nabā’[78] ayat 33:
تراباا ٣٣وكواعب أ
“dan gadis-gadis remaja yang sebaya”. (QS. an-Nabā’: 33)
٧٠خيرت حسان فيهن
“Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-
cantik.” (QS. ar-Raḥmān: 70)
٧٤لم يطمثهن إنس قبلهم ول جان
“Mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-
penghuni surga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin.” (QS. ar-
Raḥmān: 74)
65
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), h. 34. 66
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Vol. 13
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 531.
78
1) Marah Labid
Imam Nawawi al-Bantani menafsirkan dalam kitabnya bahwa yang
dimaksud dalam ayat ini ialah bidadari-bidadari itu merupakan gadis-gadis yang
montok buah dadanya dan mereka adalah sebaya dengan berumur sekitar 33
tahun.67
Bidadari itu ialah para perempuan yang berada dalam dua surga.
Keutamaan akhlak serta kecantikan wajahnya. Dalam batin mereka terdapat
kebaikan dan pada dhahirnya terdapat kecantikan. Al-Hasan meriwayatkan dari
ibunya dari Ummu Salamah dia berkata: saya bertanya kepada Rasulullah SAW:
wahai Rasulullah beritahu aku tentang firman Allah Ta’ala “khairātun hisān”,
Rasulullah bersabda: sebagus-bagusnya budi pekerti adalah kecantikan wajah.68
Imam Nawawi al-Bantani mengatakan dalam tafsirannya, dikatakan bahwa
bidadri-bidadari itu tidak pernah melakukan jima’ sebelum dengan suami
mereka.69
Menurut Syekh Nawawi bahwa sifat bidadari itu mereka yang masih gadis
yang berumur sebaya, yang memiliki budi pekerti yang bagus dan kecantikan
pada wajahnya. Serta kesuciannya yang tidak pernah tersentuh manusia dan jin.
2) Tafsir Al-Qur’an Karim
Mahmud Yunus hanya menafsirkan secara singkat bahwa bidadari adalah
wanita yang baik akhlak dan cantik parasnya.70
Jadi yang dimaksudkan beliau
67
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jaawi, Marah Labiid Tafsir an-Nawawi (Dar al-Kitab
al-Islamiyyah), h. 424. 68
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jaawi, Marah Labiid Tafsir an-Nawawi (Dar al-Kitab
al-Islamiyyah), h. 344. 69
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jaawi, Marah Labiid Tafsir an-Nawawi (Dar al-Kitab
al-Islamiyyah), h. 344. 70
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim cet ke 72 (Jakarta: Hidakarya Agung, 2002), h.
796.
79
bahwasanya sifat-sifa bidadari surga itu memiliki akhlak yang baik dan berparas
yang baik.
3) Al-Furqan
Pada ayat-ayat mengenai sifat-sifat bidadari ini Ahmad Hasan tidak
memberikan penafsiran apapun.
4) An-Nur
Kemudian Hasbi ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa mereka (para
penghuni surga) memperoleh istri-istri yang cantik dari gadis-gadis jelita yang
berumur sebaya. Tidak ada yang terlalu tua dan tidak ada yang terlalu muda.71
Mereka adalah gadis-gadis yang baik pekertinya dan cantik rupanya. Memiliki
baik batinnya dan indah lahiriahnya.72
Kemudian Hasbi ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa bidadari itu adalah
gadis-gadis perawan yang belum pernah dijamah oleh siapa pun, baik jin maupun
manusia. Mereka itu selalu perawan.73
Jadi menurut beliau bahwa sifat-sifat bidadari itu adalah gadis-gadis yang
cantik jelita yang berumur sebaya, memiliki baik batinnya dan indah lahiriahnya
dan masih suci belum pernah dijamah oleh siapa pun, baik jin maupun manusia.
5) Tafsir al-Azhar
Buya Hamka juga mengatakan bahwa bidadari itu ialah gadis-gadis
perawan muda, yang di dalam bahasa Arab disebut kawa’ib sebagai jama’ dari
ka’ib, yang berarti gadis remaja yang susunya masih tegang. Dan mereka banyak,
71
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Qur’an Majid an-Nur Jilid 5
Cet. Kedua Edisi Kedua (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), h. 4471. 72
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Qur’an Majid an-Nur Cet.
Kedua Edisi Kedua (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), h. 4070. 73
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Qur’an Majid an-Nur Cet.
Kedua Edisi Kedua (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), h. 4070.
80
sebanyak diperlukan, dan usia mereka boleh dikatakan bersamaan belaka.74
Kemudian mereka adalah perempuan yang shalih, baik budipekertinya dan cantik
wajah. Ummu Salamah istri Rasulullah SAW. meriwayatkan bahwasannya gadis-
gadis cantik di surga itu, menyanyikan ucapan-ucapan: “Kami wanita-wanita
baik-baik, kami diciptakan Tuhan untuk suami yang mulia.”75
Menurut Buya Hamka, jika membaca beberapa ayat secara berurutan maka
akan menerangkan gadis-gadis itu, atau bidadari itu, di dalam kemah yang terdiri
dari mutiara, suci bersih belum pernah disentuh oleh orang lain, disambungkan
lagi dengan penglihatannya yang terbatas, bukan mata yang genit yang menjalar
ke sana ke mari.76
Demikian gambaran sifat-sifat bidadari menurut Buya Hamka bidadari itu
adalah gadis-gadis yang masih perawan, yang berbudi pekerti yang baik, dan
memiliki wajah yang cantik.
6) Quraish
Dalam tafsir al-Misbah dijelaskan, kata kawa’ib adalah bentuk jamak dari
kata ka’ib. Ia seakar dengan kata ka’b/ tumit. Ka’ib adalah gadis remaja yang baru
tumbuh buah dadanya dalam bentuk bulat seperti ujung tumit. Sedangkan kata
atraban adalah bentuk jamak dari kata tirb, yakni sebaya. Kata ini pada umunya
hanya digunakan terhadap wanita yang sebaya. Sementara ulama berpendapat
bahwa kata tesebut terambil dari kata tara’ib, yakni tulang rusuk karena ia terdiri
dari banyak tulang yang serupa. Atau dari kata turab/ tanah karena seseorang
74
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ 30 (Jakarta: Pustaka Panjimas, t.t.), h. 20. 75
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ 27 (Jakarta: Pustaka Panjimas, t.t.), h. 214. 76
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ 27 (Jakarta: Pustaka Panjimas, t.t.), h. 214-215.
81
yang lahir dia lahir di tanah/ tumpah darahnya. Seakan-akan mereka semua lahir
pada saat yang sama.77
Kemudian kata khairāt adalah bentuk jamak dari kata khayyir dan kata ini
sering kali digunakan untuk melukiskan sesuatu yang bersifat immaterial,
sedangkan kata ḥisān sering digunakan untuk melukiskan rupa, sebagaimana pada
terjemahan beliau “disana ada yang baik-baik lagi rupawan”.78
Menurut M. Quraish Shihab bahwa mereka semua adalah perawan yang
tidak pernah disentuh oleh manusia siapa pun dia dan kapan pun sebelum mereka
yakni penghuni surga itu yang menjadi pasangan mereka dan tidak pernah pula
oleh jin.79
Bidadari-bidadari yang Allah ciptakan dalam surga itu masih suci yang
belum pernah disentuh oleh siapapun, baik mereka dari bangsa jin maupun
manusia. Dari keenam mufassir ini mereka sama-sama memberikan penafsiran
bahwasanya bidadari-bidadari di surga masih perawan yang suci bersih belum
pernah disentuh oleh siapapun. Selain itu mereka berumur sebaya dan memiliki
hati yang baik dan cantik wajahnya.
B. Hidayah al-Qur’an pada Konsep Bidadari
Bidadari merupakan istilah yang digunakan untuk mengungkapkan
perempuan yang cantik. Jika mencari pengertian dalam Kamus Bahasa Indonesia,
bidadari berati dewi dari kayangan. Kemudian jika mencari dalam Kamus Bahasa
Arab, Indonesia Arab maka bidadari diartikan dengan al-hūriyyah. Sedangkan
77
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Vol. 15
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 21. 78
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Vol. 13
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 535-536. 79
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Vol. 13
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 536.
82
jika mendengar di kalangan masyarakat kita mengenalnya sebagai ḥūr in, selain
itu juga jika melacak istilah bidadari pada Indeks al-Qur’an berdasarkan makna
terjemahnya yang ditemukan adalah qāsirāt ṭarf, ḥūr in,dan azāwj muṭahharah.
Pada ke tiga istilah tersebut perlu adanya melihat kembali historis dari
masing-masing turunya ayat. Sesuai dengan tertib nuzul, ayat-ayat yang
menggunakan redaksi qāsirāt ṭarf dan ḥūr īn, ayat-ayat tersebut turun di Kota
Makkah sehingga tergolong ayat-ayat Makkiyah. Kemudian untuk ayat-ayat yang
menggunkan redaksi azwāj muṭahharah turun di Kota Madinah, sehingga
tergolong dalam ayat-ayat Madaniyah.
Menurut para ulama, ayat-ayat Makkiyah merupakan ayat yang diturunkan
sebelum Nabi berhijrah, meskipun ayat tersebut bukan turun di Mekkah.
Kemudian Madaniyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sesudah Nabi hijrah ke
Madinah, sekalipun ayat tersebut bukan turun di daerah Madinah. Selain itu, ayat-
ayat Makkiyah biasanya seruannya ditujukan kepada penduduk Mekkah dan
Madaniyah seruannya ditujukan kepada penduduk Madinah.80
Dengan demikian, maka ayat-ayat yang mengunakan istilah qāsirāt ṭarf
dan ḥūr ‘īn yang turun di Kota Mekkah maka akan mempunyai hubungan dengan
masyarakat Mekkah pada saat itu, karena ayat-ayat yang tergolong Makkiyah
memang seruannya ditujukan kepada penduduk Makkah. Sedangkan ayat-ayat
yang menggunakan istilah azwāj muṭahharah, maka dengan kata lain seruannya
ditujukan kepada penduduk Madinah. Oleh sebab itu, maka akan diketahui sebab-
sebab adanya istilah-istilah bidadari dengan sebutan qāsirāt ṭarf, ḥūr ‘īn,dan
azwāj muṭahharah.
80
Manna’ Khalil Al-Qttan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Penerjemah Mudzakir AS. (Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa, 2013), h. 83-85.
83
Selama kurang lebih 13 periode Makkah, materi pembahasan al-Qur’an
khususnya yang ditujukan kepada pemuka patriarkhi suku dalam masyarakat
patriarkhi. Al-Qur’an mempertimbangkan perspektif mereka dengan mencoba
membujuk mereka. Karena itu istilah dan gambaran yang digunakan al-Qur’an
adalah untuk meyakinkan mereka mengenai keotentikan isi risalah yang dibawa
oleh al-Qur’an, memperlihatkan relevansi dan signifikansi, serta membujuk
mereka melalui tawaran dan memperlihatkan ancaman melalui sifat, pengalaman
dan pemahaman mereka. Berkaitan dengan akhirat, al-Qur’an mencoba
meyakinkan mereka bahwa akhirat itu benar adanya, kemudian membujuk mereka
untuk berusaha dan berjuang keras demi memperoleh surganya. Karena sulit
disangkal bahwa orang-orang yang berkuasa memiliki tujuan tertentu mengenai
pentingnya harta dan perempuan.81
Menurut Amina Wadud ada tiga tingkatan mengenai teman pendamping
surga untuk kaum beriman: pertama, konsep ḥūr al-‘ayn. Menurut tradisi orang
Arab Jahiliyyah ḥūr al-‘ayn adalah sebutan bagi perempuan yang memiliki kulit
putih bersih, tidak hanya itu, melainkan perempuan muda, perawan, bermata
gelap, dan berkulit putih. Gambaran ini serupa dengan apa yang diperlihatkan al-
Qur’an yang diimpikan dan diidamkan oleh bangsa Arab saat itu. Oleh sebab itu,
ini salah satu yang menjadikan sebab bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang
menerangkan tentang bidadari surga dengan istilah ḥūr ‘īn turun pada saat Nabi
sebelum Hijrah ke Madinah, yakni pada penduduk Makkah.
Kemudian tingkatan yang kedua, adalah konsep zawj. Sesudah periode
Makkah al-Qur’an tidak pernah lagi menggunakan istilah ini. Setelah di Madinah
81
Nor Saidah, “Bidadari dalam Kontruksi Tafsir al-Qur’an: Analisis Gender atas
Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam Penafsiran al-Qur’an,” PALASTREN VI, no. 2 (Desember
2013): h. 460-461.
84
Allah menggambarkan pendamping di surga dengan yang lebih umum lagi, yakni
azwāj. Al-Qur’an telah menyatakan bahwa balasan di akhirat berbasis individu.
Oleh karena itu kata azwāj ini mengacu pada kegunaan yang umum, tidak hanya
lelaki saja ataupun perempuan saja. Untuk itu selama periode Madinah
penggunaan kata azwāj dan zawj ditujukan sebagai teman pendamping orang
beriman di surga mencerminkan pasangan yang hakiki.
Tingkatan yang ketiga adalah kenikmatan surga di sisi Allah. Surga
menawarkan tingkatan yang jauh lebih tinggi yaitu kedekatan di sisi Allah.
Berkaitan dengan alam keabadian, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama
berpotensi untuk merasakan tingkatan tertinggi ini.82
Dengan demikian dapat diketahui, bahwa sebab-sebab yang menjadikan
perbedaan dari masing-masing istilah sehingga ayat-ayat tersebut turun di kota
Makkah dan Madinah adalah kembali melihat kronologi nuzulnya. Berdasarkan
tertib nuzulnya istilah ḥūr ‘īn digunakan pada saat periode Makkah, karena
pembahasan al-Qur’an yang ditujukan kepada pemuka patriarkhi Arab yang
menjadi audien pertama periode Makkah bahwa yang terbayang di benak mereka
pada saat itu adalah perawan muda yang berkulit putih dan bermata besar.
Kemudian istilah selanjutnya berubah menjadi azwāj muṭahharah yang dipakai
pada periode Madinah, yang menunjukkan suatu titik kemajuan dan
penyempurnaan esensi berpasangan karena manusia diciptakan selalu
berpasangan. Akan tetapi yang menjadi tujuan akhir yang lebih hakiki tetap yang
lebih tinggi.
82
Nor Saidah, “Bidadari dalam Kontruksi Tafsir al-Qur’an: Analisis Gender atas
Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam Penafsiran al-Qur’an,” PALASTREN VI, no. 2 (Desember
2013): h. 466.
85
Melihat dari kronologi nuzulnya mengenai istilah-istilah bidadari yang
mengalami perubahan, dan memiliki sebab dari masing-masing istilahnya, maka
penulis akan mengarahkan dan kembali memahami bahwa apa sebenarnya
hakikah al-Qur’an itu untuk manusia yang ada di bumi. Al-Qur’an yang kita
pahami bahwa merupakan kalam Allah yang dijadikan sebagai pedoman hidup
manusia ketika di dunia. Perlu digaris bawahi bahwa Allah menurunkan al-Qur’an
agar umat manusia dapat berusaha dan menjalani hidup dengan benar. Tidak
semata-mata sebagai manusia hanya memikirkan pahala apa yang akan diberikan
Allah kepada manusia kelak di akhirat nanti. Sebagai manusia tidak boleh lupa,
bahwa pahala dan segala kenikmatan yang telah Allah janjikan dalam firman-
firman-Nya tak lain adalah supaya setiap manusia dapat menjadi manusia yang
selalu taat pada perintah-perintah-Nya.
Selain menjalankan kewajiban manusia yakni dengan mengerjakan sholat
lima waktu maka sebagai manusia harus berbuat baik kepada sesamanya. Kembali
pada istilah bidadari yang menjadi sebab bahwa Allah akan memberikan teman
pendamping surga kelak di akhirat ialah ḥūr ‘īn. Mengenai ayat ini turun ketika
periode Makkah dimana penduduk Makkah pada waktu itu yang sangat mencintai
harta dan perempuan, sehingga Allah menggambarkan bahwa kelak di surga nanti
Allah juga menyiapkan teman pendamping surga yang kecantikan lahir dan
batinnya tidak kalah dengan perempuan di dunia. Lebih dari itu bahwa Allah
menyiapkan segala kenikmatan yang berada di surga itu tidak bisa jika
dibandingkan dengan kenikmatan yang ada di dunia.
Oleh sebab itu adanya janji-janji Allah, seperti nikmat bidadari surga, tak
lain adalah supaya manusia dapat menjalani kehidupan di dunia dengan menjadi
86
sebaik-baik manusia. Kemudian siapa yang akan mendapatkan segala kenikmatan
tersebut. Penulis akan menyebutkan beberapa ayat-ayat yang menerangkan bahwa
segala kenikmatan akan diperoleh orang-orang tertentu. Salah satu ayat yang
mengatakan bahwa Allah memberikan nikmat bidadari adalah pada surah aṣ-
Ṣaffāt ayat 48, yang artinya “disisi mereka ada (beberapa istri atau bidadari)
yang pendek pemandangannya (bukan mata kerajang) lagi bundar matanya”.
Kemudian pada ayat sebelumnya yang menerangkan bahwa kenikmatan itu tidak
diberikan kepada hamba-Nya kecuali yang bersih dari dosa karena itu sebagai
balasan dengan apa yang telah diperbuatnya, yakni pada surah aṣ-Ṣaffāt ayat 39
dan 40 sebagai berikut:
إل عباد ٣٩تزون إل ما كنتم تعملون وما ٤٠ ٱلمخلصني ٱلل“Dan kamu tidak diberi pembalasan melainkan terhadap kejahatan
yang telah kamu kerjakan. Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan
(dari dosa)”. (QS. aṣ-Ṣaffāt[37]: 39-40)
Mahmud Yunus menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa segala
kenikmatan itu hanyalah untuk hamba-hamba Allah yang tulus menyembah-Nya,
mereka adalah orang-orang sholeh dan berbudi.83
Sudahlah jelas bahwa Allah menjelaskan dalam ayat-ayat al-Qur’an
sebagai petunjuk manusia selama hidup di dunia. Sesuai dengan usahanya
masing-masing, bahwa Allah akan memberikan pembalasan kepada semua
manusia.84
Segala perbuatan baik akan mendapat balasan kebaikan, surah ar-
Raḥmān ayat 60:
٦٠ ٱلحسن إل ٱلحسن هل جزاء “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” (QS. ar-
Raḥmān[55]: 60)
83
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim (Jakarta: Hidakarya Agung, 2002), h. 658. 84
Hasbi ash-Shiddieqy, (), h. 4062.
87
Ayat ini merupakan penjelasan bahwa, nikmat kerohanian dan
kejasmanian yang diberikan oleh-Nya kepada orang-orang yang bertakwa. Salah
satunya yang telah penulis kupas secara detail, yakni bidadari dan sifat-sifatnya.
Inilah merupakan pembalasan yang diberikan oleh Allah kepada orang yang
membaguskan amalannya.85
Oleh karen itu adanya janji-janji Allah mengenai
nikmat-nikmat yang ada di surga itu merupakan formalitas supaya manusia
berbuat baik selama hidupnya di dunia, selain itu adalah tujuan utama yakni
supaya taat kepada Allah SWT.
Mamud Yunus juga menjelaskan bahwa segala kenikmatan itu diberikan
kepada orang-orang golongan kanan dan orang-orang muqarrabin. Golongan
kanan yang merupakan orang-orang terdahulu dan orang-orang muqarrabin adalah
orang-orang yang beramal dalam kebaikan86
Jika sudah mengetahui bagaimana al-Qur’an itu sebagai petunjuk hidup
manusia selama di dunia maka sebagai makhluk ciptaan Allah maka kita harus
senantiasa berusaha mengerjakan amal kebikan demi bekal kita di akhirat kelak.
Akan tetapi kita harus berhati-hati bahwa tujuan kita beramal sholih di dunia ini
bukan sekedar ingin mendapatkan pahala di surga melainkan demi mendapatkan
keridhaan Allah SWT. Dalam surah Āli ‘Imran ayat 15 Allah telah menegaskan.
ؤنب ئ ين ۞قل أ لكم لل ن ذ ي م
قوا كم ب ت تري من تتها ٱت عند رب هم جننهر
ن ٱل ن م رة ورضو طه زوج م
ه خلين فيها وأ و ٱلل ٱلل ب ١٥ ٱلعباد بصي
“Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih
baik dari yang demikian itu?". Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada
Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya
85
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 4067. 86
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim (Jakarta: Hidakarya Agung, 2002), h. 795-796
88
sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-
isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan
hamba-hamba-Nya.” (QS. Āli ‘Imrān[3]: 15)
Ayat ini menerangkan kabar baik kepada mereka orang-orang yang
bertakwa. Menurut M. Quraish Shihab ayat ini di mulai dengan sebuah pertanyaan
supaya dapat menarik perhatian mereka. Sehingga mereka akan lebih antusias
ingin mengetahui kabar tersebut. Maksud dari pertanyaan pada ayat ini masih
berhubungan dengan ayat sebelumnya yang menerangkan kecintaan orang-orang
terhadap syahwat dunia yakni, wanita, anak, harta, dan kemewahan lain yang ada
di dunia. Pada ayat lalu sebenarnya baik, karena Allah yang menghiaskan dalam
diri manusia. Akan tetapi ada yang lebih baik lagi dari pada itu. Bagi mereka yang
bertakwa yakni orang-orang yang mampu menggunakan naluri kecintaannya
kepada Allah maka akan dipersiapkan surga yang dibawahnya mengalir sungai-
sungai bahkan lebih dar itu, yang demikian itu belum pernah terlihat oleh mata.
Selain tempat tinggal yang nyaman Allah juga memberikan pasangan yang telah
disucikan dari segala macam kotoran jasmani dan rohani. Selain kenikmatan yang
dapat di rasakan oleh jasmani itu mereka yang bertakwa mendapatkan keridhaan
Allah swt.87
Jadi tujuan utama Allah memberikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup
manusia supaya selama hidup di dunia ini manusia berusaha berlomba-lomba
mencari ridha Allah. Jika seseorang telah mencapai ketakwaan tersebut dan
menjadi manusia yang senantiasa beramal baik kepada sesama dan makhluk
ciptaan Allah lainnya, maka Allah akan memberikan berbagai kenikmatan yang
berada di surga. Bahkan lebih dari itu bahwa mereka akan mendapatkan nikmat
87
M. Qurasih Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2003), h. 30.
89
yang paling besar di antara nikmat-nikmat itu yakni dapat memandang wajah
Allah.
Segala kenikmatan yang berada di surga tetap lah tidak bisa kita jangkau
dengan akal pikiran kita, bahkan tidak bisa terduga sebagaiman nikmat-nikmat
yang telah kita ketahui ketika di dunia. Nabi Muhammad bersabda:
ما ل عين رأت ول أذن سمعت ول خطر في قلب بشر “Ihwal yang belum pernah dilihat oleh mata dan belum pernah didengar
oleh telinga dan bukan sebagaimana yang terbayang dalam hati seseorang”.
Mahmud Yunus mengatakan bahwa segala apapun yang ada di sana tidak
pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar telinga dan tidak terlintas dalam
hati manusia.88
Seperti itulah gambaran surga yang tidak bisa dibayangkan oleh
hati manusia. Semua kenikmatan yang telah Allah gambarkan dalam al-Qur’an itu
segalanya tidak terduga oleh manusia.
Betapa besar kasih sayang Allah kepada hambanya, kemurahan dan
rahmatnya sehingga yang tergambar dalam al-Qur’an mengenai kenikmatan yang
berada di surga bukanlah hanya bujukan, atau rayuan semata yang tidak akan
terjadi. Melainkan segalanya itu memang benar adanya bahkan lebih dari itu,
penggambaran yang kita ketahui dari al-Qur’an itu sangatlah sukar jika sebatas
kita gambarkan sesuai pengetahuan kita.89
Untuk itu Allah tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki,
meskipun beberapa ayat mengenai pendamping surga bagi hamba-hamba pilihan
Allah, namun maksud dari ayat itu adalah supaya manusia saling berusaha untuk
bertakwa kepada Allah SWT.
88
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim (Jakarta: Hidakarya Agung, 2002), h. 658. 89
Buya Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ 27 (Jakarta: Pustaka Panjimas, t.t.), h. 216.
90
ها يأ ا وقبائل لعارفوا إن ٱنلاس ي نث وجعلنكم شعوبا
ن ذكر وأ إنا خلقنكم م
كرمكم عند أ كم إن ٱلل تقى
أ ١٣عليم خبي ٱلل
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.”( QS. al-Ḥujurāt: 13)
Ayat ini merupakan bukti bahwa Allah tidak membedakan antara
perempuan dan laki-laki, melainkan Allah hanya melihat pada derajat ketaqwaan
mereka.
91
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan atas penafsiran enam
mufassir mengenai bidadari dalam al-Qur’an dengan analisis tiga istilah yang
menunjukkan makna bidadari, maka skripsi ini menunjukkan beberapa
persamaan dan perbedaan. Berkaitannya dengan latar belakang masing-masing
biografi mufassir ditemukan beberapa perbedaan, di antaranya, menurut M.
Quraish Shihab bahwa bidadari yang diungkapkan dengan istilah ḥūr ‘īn
merupakan makhluk yang bermata lebar dan bulat atau sipit, baik dalam arti
hakiki maupun majazi, mereka itu bukan hanya perempuan atau laki-laki saja,
karena jika kembali pada pengertian bahwa ḥūr yang merupakan bentuk netral
gender. Kemudian ke lima mufassir lainnya, yakni Syekh Nawawi Banten,
Mahmud Yunus, Ahmad Hasan, Hasbi ash-Shiddieqy, dan Buya Hamka
sependapat bahwa, ḥūr ‘īn adalah sebutan untuk bidadari yang merupakan
perempuan putih, yang cantik jelita serta memiliki mata yang indah.
Selanjutnya untuk istilah qāṣirāt ṭarf ke enam mufassir ini sependapat
bahwa qāṣirāt ṭarf diartikan sebagai bidadari yang merupakan perempuan yang
berumur sebaya sekitar 33 tahun, setia kepada suami, saling mengasihi dan
menjaga pandangannya terhadap lelaki lain. Meskipun dari masing-masing
mufassir memiliki latar belakang yang berbeda, misalnya Ahmad Hasan yang
tergolong ikut dalam aliran wahabiyah, akan tetapi setelah ditelusuri tidak
ditemukan perbedaan dari penafsiran lainnya. Kemudian untuk istilah azwāj
92
muṭahharah Syekh Nawawi, Hasbi, dan Buya Hamka, sependapat bahwa
pasangan suci yang dimaksudkan adalah (bidadari atau anak adam) yang telah
disucikan dari segala kotoran jasmani dan rohani. Sedangkan M. Quraish
Shihab, mengatakan bahwa pasangan yang disucikan itu adalah laki-laki atau
perempuan yang telah disucikan dari segala kotoran jasmani maupun rohaninya.
Dari ketiga istilah yakni qāṣirāt ṭarf, ḥūr ‘īn, dan azwāj muṭahharah,
setelah diurutkan berdasarkan tertib nuzul maka ditemukannya sebab-sebab yang
menjadikan ayat-ayat tersebut turun di kota yang berbeda. Berdasarkan tertib
nuzulnya istilah ḥūr ‘īn digunakan pada saat periode Makkah, karena
pembahasan al-Qur’an yang ditujukan kepada pemuka patriarkhi Arab yang
menjadi audien pertama periode Makkah bahwa yang terbayang di benak
mereka pada saat itu adalah perawan muda yang berkulit putih dan bermata
besar. Kemudian istilah selanjutnya berubah menjadi azwāj muṭahharah yang
dipakai pada periode Madinah, yang menunjukkan suatu titik kemajuan dan
penyempurnaan esensi berpasangan karena manusia diciptakan selalu
berpasangan. Akan tetapi yang menjadi tujuan akhir yang lebih hakiki tetap yang
lebih tinggi.
Hasil dari skripsi ini yang perlu ditekankan adalah bahwa mengenai
makna bidadari yang telah di analisis berdasarkan ke enam mufassir Indonesia,
semua itu bukanlah hal yang menjadi tujuan dari penelitian ini. Karena
kenikmatan bidadari yang dapat dirasakan oleh jasmani bukan puncak dari
tujuan hidup manusia, namun lebih dari itu. Sehingga ayat ini jelas mengatakan
bahwa maksud dari ayat-ayat bidadari ini ialah Allah ingin mengarahkan bahwa
sesungguhnya nikmat yang paling utama ialah mendapat keridhaan-Nya. oleh
93
sebab itu sebagai kaum perempuan tidaklah perlu khawatir bahwa kenikmatan
bidadari yang dijanjikan Allah kepada kaum laki-laki itu bukanlah nikmat
terbesar yang diberikan Allah kepada hambanya. Oleh sebab itu sebagai kaum
lelaki bahwa nikmat yang telah dijanjikan Allah itu sebenarnya ada kenikmatan
yang lebih besar dari itu, yakni mendapat kenikmatan keridhaan Allah. Sesuai
dalam surat Āli ‘Imrān [3] : 15.
B. Saran-Saran
Sejauh ini kajian-kajian yang telah membahas mengenai bidadari dalam
al-Qur’an belum banyak dilakukan. Hanya ada beberapa orang yang telah
melakukan penelitian. Karena bidadari merupakan salah satu kenikmatan yang
berada dalam surga sehingga kita perlu untuk mempercayainya. Meskipun itu
merupakan salah satu perkara ghaib yang tidak dijangkau oleh akal, namun kita
sebagai manusia harus menelusurinya agar tidak salah dalam memahaminya.
Untuk itu kajian ini masih sangat perlu untuk dilakukan penelitian lebih
lanjut, guna menyelamatkan pemahaman yang menyimpang. Dan juga
diharapakan supaya masyarakat bisa menjadikan tauladan dari karakter-karakter
bidadari dalam al-Qur’an sehingga bisa menjadikannya menuju kepada jalan
yang benar.
94
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd al Bāqī, Muḥammad Fuād. al Mu’jam al Mufahras li al Fāẓi al Qur’an al
Karīm. Kairo: Dār al Hadits, 1996.
Abdurahman, Fuad. Bidadari Stories Kisah Menakjubkan Para Bidadari Dunia &
Surga. Cet. I. Jakarta: Zahira, t.t.
Ali Al-Kalib, Abdul Malik. Saat Amal Anda Berbicara. Penerjemah Hasan H.
Yazid. Jakarta: Firdaus, 1992.
Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. Banten: Mazhab Ciputat, 2013.
al-Asyqor, Umar Sulaiman. Melongok Surga dan Neraka. T.tp.: Pustaka Mantiq,
t.t.
Athibi, Ukasyah. Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya. Cet. 1. Jakarta: Gema
Insani Pres, 1998.
el-Bantanie, Muhammad Syafi’ie. Bidadari Dunia Potret Ideal Wanita Muslimah
Cet. I. Jakarta: Qultum Media, 2005.
Darmadji, Ahmad. “Fondasi Pendidikan Islam Multikultural di Indonesia:
Analisis Q.S. Al-Hujurat, Ayat 11-13 dalam Tafsir Marah Labid, Tafsir Al-
Azhar, dan Tafsir Al-Misbah.” Millah XIII, no. 2 (Februari 2014): h. 243.
Dheetya, “Cemburunya Bidadari Surga terhadap Wanita Sholehah.” Artikel
diakses pada 23 Januari 2017 dari http://abiummi.com/cemburunya-
bidadari-surga-terhadap-wanita-solehah/
Faidhullah Bin Musa Al-Ḥusaini Al-Muqdisiy, Alamī Zādih. Fatḥur Raḥmān
Liṭalib Āyatil Qur’an. Cet. Pertama. Libanon: Dār al kitab al’ilmiyah,
2005.
95
al-Farmawi, Abdul Ḥayy. Al-Bidayah fi at-Tafsir al-Maudhu’i; Dirasah
Manhajiyah Maudhu’iyyah. Penerjemah Rosihon Anwar. Bandung: Pustaka
Setia, 2002.
Fitriani, Siti Rohmanatin. “Perbandingan Metodologi Penafsiran A. Hassan dalam
Tafsir Al-Furqan dan H.B. Jassin dalam al-Qur’an Al-Karim Bacaan
Mulia,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2003.
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan,
2008.
Haeri, Syekh Fadlullah. Pelita Al-Qur’an Tafsir Surah al-Ankabut, ar-Rahman,
al-Waqi’ah & al-Mulk. Jakarta: Serambi, Ilmu Semesta, 2001.
Hamka. Tafsir al-Azhar Juzu’ XXIII. Jakarta: Citra Serumpun Padi, 2005.
_______. Dari Hati ke Hati. Jakarta: Gema Insani, 2016.
_______. Tafsir al-Azhar Juzu’ I. Jakarta: Pustaka Panjimas, t.t.
_______. Tafsir al-Azhar Juzu’ III. Jakarta: Pustaka Panjimas, t.t.
_______. Tafsir al-Azhar Juzu’ V. Jakarta: Pustaka Panjimas, t.t.
_______. Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXIII. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
_______. Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXVII. Jakarta: Pustaka Panjimas, t.t.
_______. Tafsir al-Azhar Juzu’ XXX. Jakarta: Pustaka Panjimas, t.t.
Harun, Salman. Mutiara al-Qur’An Aktualisasi Pesan al-Qur’an dalam
Kehidupan. Cet. III. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004.
Hasan, Ahmad. al-Furqan Tafsir Qur’an. Jakarta: Pustaka Mantiq, Yayasan
Ambadar, 2006.
96
Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad. Tafsir al-Qur’an Majid an-Nur, jilid
I. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003.
_______. Tafsir al-Qur’an Majid an-Nur, cet. Kedua Edisi Kedua. Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2003.
_______. Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur, jilid 4. Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2000.
_______. Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur, jilid 5. Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2003.
_______. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, cet. 2. Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2000.
Hosen, Ibrahim dan Suratmaputra, Ahmad Munif. Al-Qur’an dan Peranan
Perempuan dalam Islam. Jakarta: Institut Ilmu al-Qur’an, 2007.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Raudhah al-Muhibbin wa Nuzhah al-Musytaqin Taman
Para Pecinta. Penerjemah Emiel Ahmad. Jakarta: Khatulistiwa, 2009.
_______. Taman Para Pecinta, Penterjemah Emiel Ahmad. Jakarta: Khatulistiwa
Press, 2009.
Jawadi Amuli, Ayatullah. Jamal al-Mar’ah wa Jalaluha Keindahan dan
Keagungan Perempuan Perspektif Studi Perempuan dalam Kajian al-
Qur’an, Filsafat dan Irfan. Penerjemah Muhdhor Ahmad, Hasan Saleh,
Sabar Munanto. Jakarta: Sadra Press, 2011.
Jayadi, Hirman. “Perkembangan Mushaf al-Qur’an di Indonesia: Studi Mushaf al-
Qur’an Tema Perempuan.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negeri Jakarta, 2016.
97
Jazuli, Ahzami Samiun. Kehidupan dalam Pandangan Al-Qur’an. Jakarta: Gema
Insani Press, 2006.
Liye, Tere. Bidadari-Bidadari Surga. Jakarta: Republika, 2008.
al-Mahfani, M. Khalilurrahman. Wanita Idaman Surga, cet. I. Jakarta:
Wahyumedia, 2012.
Marfu’ah, Ayu Muslimatul. “Penafsiran Tiga Mufassir Indonesia Atas Surat Al-
Asr: Studi Komparasi Antara Penafsiran Mahmud Yunus, Hamka dan M.
Quraish Shihab,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.
Maryam bin Zakaria, Abu. Akhthaa’ Taqa’u fiihaa An-Nisaa’ 40 Kebiasaan
Buruk Wanita. Penerjemah Ahmad Rifa’i Usman. Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2003.
Muhammad Fairuz, Achmad Warson Munawwir. Al-Munawwir Kamus Indonesia
– Arab. Surabaya: Pustaka Progressif, 2007.
Muttaqin, Ahmad. “Karakteristik Tafsir Marah Labid Karya Syaikh Nawawi al-
Bantani.” al-Dzikra XIII, no. 1 (Januari-Juni 2014): h. 75.
Nawawi al-Jāwi, Syeikh Muhammad. Marah Labīd Tafsir an-Nawawi. T.tp.: Dar
al-Kitab al-Islamiyyah, t.t.
Octavianti, Mega Rista. “Visualisasi Surga dan Neraka: Kajian Tematik Terhadap
Ayat-Ayat al-Qur’an Tentang Surga dan Neraka,” Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2010.
al-Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al Qurthubi. Penerjemah Akhmad Khatib Jilid
17. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
98
el-Saha, M. Ishom dan Hadi, Saiful. Sketsa al-Qur’an, Tempat, Tokoh, Nama dan
Istilah dalam al-Qur’an. T. tp. : Lista Fariska Putra, 2005.
Saidah, Nor. “Bidadari dalam Konstruksi Tafsir Al-Qur’an: Analisis Gender atas
Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam Penafsiran Al-Qur’an,” Palastren
VI, no. 2 (Desember 2013): h. 449.
Shihab, M. Quraish. Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib. Bandung: Mizan Pustaka, 2007.
_______. Perjalanan Menuju Keabadian Kematian, Surga dan Ayat-Ayat Tahlil,
Cet. 2. Jakarta: Lentera Hati, 2001.
_______. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 1.
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
_______. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 2.
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
_______. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 13.
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
_______. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 12.
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
_______. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 15.
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
el-Shirazy, Habiburrahman. Bidadari Bermata Bening. Jakarta: Republika, 2017.
Subhan, Zaitunah. Al-Qur’an & Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam
Penafsiran. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedia Islam Indonesia. Jakarta:
Djambatan, 1992.
99
Tim Redaksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008.
Umairah, Abdurrahman. Wanita-Wanita dalam Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2009.
Yunus, Mahmud. Tafsir Al-Qur’an Karim. Jakarta: Mahmud Yunus Wa
Dzurriyyah, 2011.
_______. Tafsir al-Qur’an Karim. Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2011.
_______. Tafsir Qur’an Karim. Cet ke 72. Jakarta: Hidakarya Agung, 2002.
100
Tabel Persamaan dan Perbedaan ayat-ayat Bidadari
No. Tertib Nuzul/ Nama Surat/
Kedudukan/ Ayat/ terjemahan
Mu
fass
ir
Penafsiran Persamaan Perbedaan
1.
38 Shad [38] : 52 (MK)
Syek
h
Naw
awi Bidadari-bidadari di dalam surga itu
pandangannya tidak liar, hanya
memandang kepada suaminya. Usia
dan raut wajah mereka sama-sama
sebaya.
qāsirāt ṯarf diartikan sebagai
bidadari yang merupakan
perempuan yang berumur
sebaya sekitar 33 tahun, setia
kepada suami, saling mengasihi
dan menjaga pandangannya
terhadap lelaki lain.
Mah
mu
d
Yun
us
Tidak memberikan penafsiran,
namun qāsirāt ṯarf diartikan sebagai
istri-istri yang rendah mata.
تراب رف أ رت ٱلط ص ۞وع ندهم ق
٥٢
Ah
mad
H
asan
bidadari yang tidak memandang
lelaki yang bukan suaminya dengan
perasaan cinta.
Has
bi
ash
-Sh
idd
ieq
y Bidadari setia yang berumuran
sebaya dan saling mengasihi.
Dan di samping mereka (ada
bidadari-bidadari) yang redup
pandangannya dan sebaya
umurnya.
Bu
ya
Ham
ka Bidadari yang menekur
pandangannya (tidak liar
pandangannya melihat laki-laki lain).
Umurnya sebaya sekitar 30 tahun.
Qu
rais
h
Shih
ab qāsirāt ṯarf di jelaskan pada surat aṣ-
Ṣaffāt[37] ayat 48. Wanita di surga
itu tidak sebaya umurnya sekitar 33
tahun.
101
2.
46 Al-Waqi’ah [56] : 22 (MK)
Syek
h
Naw
awi Bidadari adalah budak perempuan
yang cantik rupawan dan berkulit putih serta memiliki mata besar yang cantik.
ẖūr ‘īn diartikan sebagai
bidadari: perempuan yang
cantik jelita, berkulit putih,
dan bermata besar
Mah
mu
d Y
un
us Tidak memberikan penafsiran,
namun mengartikan ayat ini sebagai bidadari.
و حور ع ين ٢٢
Ah
mad
H
asan
Tidak memberikan penafsiran dan
ẖūr ‘īn diartikan sebagai bidadari-
bidadari yang akan melayani
mereka.
Has
bi
ash
-Sh
idd
ieq
y Bidadari itu merupakan istri yang cantik jelita.
Dan ada bidadari-bidadari
yang bermata indah
Bu
ya
Ham
ka Tidak memberikan penafsiran tetapi
mengartikan ẖūr ‘īn sebagai
bidadari bermata jelita.
Qu
rais
h
Shih
ab -
3. 46 Al-Waqi’ah [56] : 23 (MK)
Syek
h
Naw
awi Kebersihannya karena tersimpan
dalam tempat yang terlindungi dari sinar matahari dan udara. Bidadari bagaikan mutiara
karena kebersihan dan kesuciannya sehingga tak
tersentuh oleh apapun
Mah
mu
d
Yun
us
-
102
مثل ؤلو كأ
٢٣ ٱلمكنون ٱلل
Ah
mad
H
asan
-
Has
bi
ash
-Sh
idd
ieq
y Bagaikan mutiara putih berseri
yang masih tersimpan dalam
kerangkanya
laksana mutiara yang
tersimpan baik.
Bu
ya
Ham
ka gadis jelita yang tersimpan baik,
laksana mutiara yang masih
tersimpan dalam lokannya.
Qu
rais
h
Shih
ab Kebeningan dan kecemerlangan
mata laksana mutiara yang tersimpan baik hingga tak tersentuh sedikitpun oleh kekeruhan.
4.
46 Al-Waqi’ah [56] : 35 (MK)
Syek
h
Naw
awi Allah menciptakan bidadari yang bermata jeli itu dengan ciptaan tanpa adanya kelahiran.
Bidadari diciptakan dalam keadaan langsung berupa gadis cantik yang sempurna. Mereka
bukan berasal dari dunia
Mah
mu
d
Yun
us
-
نهن إ نشاء ٣٥نشأا أ إ ن
Ah
mad
H
asan
Mereka istri-istri yang ada di
surga itu dihidupkan kembali
dengan kejadian yang tidak sama
dengan kejadiannya dahulu ketika
di dunia.
103
Has
bi
ash
-Sh
idd
ieq
y -
Kami menciptakan mereka
(bidadari-bidadari itu) secara
langsung,
Bu
ya
Ham
ka Gadis-gadis yang cantik jelita.
Qu
rais
h
Shih
ab Perempuan surgawi yang menjadi
teman dan pasangan penghuni surga yang diciptakan dengan sempurna.
5.
46 Al-Waqi’ah [56] : 36 (MK)
Syek
h
Naw
awi Mereka berupa dayang-dayang
(gadis-gadis yang masih perawan).
Gadis-gadis perawan suci
Mah
mu
d
Yun
us
-
بكارا ٣٦ فجعلنهن أ
Ah
mad
H
asan
-
Has
bi
ash
-Sh
idd
ieq
y Gadis-gadis rupawan yang mencintai suaminya sebagai istri-istrinya.
104
lalu Kami jadikan mereka
perawan-perawan
Bu
ya
Ham
ka Perawan-perawan suci.
Qu
rais
h
Shih
ab -
6.
46 Al-Waqi’ah [56] : 37 (MK)
Syek
h
Naw
awi
Perempuan cantik yang bagus ucapannya, yang mencintai suaminya dan membuat suaminya mencintai nya. Mereka berumur sama sekitar 33 tahun.
Gadis perawan dengan penuh cinta yag berumur sebaya
Mah
mu
d
Yun
us
-
تر اب ا ٣٧ عربا أ
Ah
mad
H
asan
-
Has
bi
ash
-Sh
idd
ieq
y Gadis yang berumuran sebaya, tidak lebih tua dan tidak lebih muda.
yang penuh cinta (dan) sebaya
umurnya
Bu
ya H
amka
Perempuan yang penuh setia dan kasih sayang kepada suaminya. Tutur katanya sopan-santun dan indah didengar telinga. Mereka seumuran sebaya semua.
105
Qu
rais
h
Shih
ab Gadis-gadis perawan dengan penuh
cinta dan berumuran satu sama yang lain atau sebaya dengan pasangannya.
7.
56 Ash-Shaffat [37] : 48 (MK)
Syek
h
Naw
awi
Bidadari-bidadari itu ialah perempuan-perempuan yang memiliki mata yang paling indah dan pandangannya hanya ditujukan pada suaminya.
Menurut Mahmud Yunus qāsirāt ṯarf adalah istri dari
dunia atau bidaari surga
Sedangkan, Buya Hamka :
malaikat yang berupakan
perempuan muda dan cantik.
Syekh Nawawi, Ahmad Hasan, Quraish Shihab: perempuan
perawan yang cantik dan jelita matanya
Mah
mu
d
Yun
us
Hamba Allah itu memiliki istri, baik istrinya di dunia atau bidadari mereka cantik menarik dan berkulit putih kuning.
رف ع ين ٤٨ رت ٱلط ص وع ندهم ق
Ah
mad
H
asan
Bidadari-bidadari itu tidak memandang selain suami mereka dengan birahi.
Has
bi
ash
-Sh
idd
ieq
y Bidadari yang takzim itu merupakan istri-istri yang indah jelita matanya, dan belum pernah dijamah manusia ataupun jin.
Di sisi mereka ada (bidadari-
bidadari) yang bermata indah
dan membatasi pandangannya.
Bu
ya
Ham
ka Bidadari merupakan bangsa malaikat
yang berupakan perempuan muda dan cantik.
106
Qu
rais
h S
hih
ab
Kata qasirāt ṯarf terdiri dari kata
qasirāt yang menunjukkan
feminin yang terambil dari kata
qasara bermakna keterbatasan.
Lalu ṯarf berarti mata atau
pandangan. Kemudian ‘īn jamak
dari ‘ainā’ yang berarti mata
terbuka lebar. Jadi bidadari
merupakan wanita cantik, setia
dan membatasi pandangannya.
8.
56 Ash-Shaffat [37] : 49 (MK) Syek
h N
awaw
i Warna kulitnya bagaikan telur burung unta. Warna keputihannya yang bercampur dengan kekuningan, karena kebersihannya yang mempunyai tempat terbatas menyerupai telur burung unta dari debu.
Wanita cantik berkulit putih bersih
Mah
mu
d
Yun
us
Mereka mempunyai istri (istrinya di dunia atau bidadari) yang cantik molek dan putih kuning warnanya, menarik mata orang orang yang melihatnya.
كنونن ٤٩ نهن بيضن م كأ
Ah
mad
H
asan
Orang Arab biasa membandingkan benda bernyawa yang sangat dijaga itu dengan telur yang disimpan dengan hati-hati.
Has
bi
ash
-Sh
idd
ieq
y Mereka seolah-olah telur yang baru ditelurkan, warnanya putih besih. Karena warna ini yang paling cantik dipandang mata.
107
seakan-akan mereka adalah
telur yang tersimpan dengan
baik
Bu
ya
Ham
ka Perumpamaan telur yang tersimpan
itu seperti telur yang belum tersentuh tangan dan terpecah kulitnya.
Qu
rais
h
Shih
ab Bidadari itu sangat terpelihara belum
disentuh oleh siapa pun sebelum pasangannya.
9.
64 Al-Dukhan [44] : 54 (MK)
Syek
h
Naw
awi Bidadari adalah perempuan
berwajah putih bersih dan bermata indah.
Semuanya mengatakan bahwa Bidadari : perempuancantik
yang bermata lebar dan berwajah putih bersih
Sedangkan Quraish Shihab:
makhluk bermata lebar dan
bulat atau sipit, tidak
menyebutkan perempuan
atau lelaki
Mah
mu
d
Yun
us
Allah memberikan nikmat orang
yang mempunyai derajat tertinggi
di surga dengan memberikan istri
bidadari, yakni perempuan putih
yang memiliki mata yang bundar.
ور ع ين ٥٤ كذل ك وزوجن هم ب
Ah
mad
H
asan
Tidak memberikan penafsiran dan
ẖūr ‘īn diartikan sebagai bidadari-
bidadari.
Has
bi
ash
-Sh
idd
ieq
y Allah mengawinkan mereka
dengan bidadari yang cantik jelita,
yang belum pernah disentuh oleh
seorang manusia dan jin.
demikianlah, kemudian Kami
berikan kepada mereka
pasangan bidadari yang
bermata indah.
Bu
ya
Ham
ka Tidak memberikan penafsiran juga
mengasrtikan ẖūr ‘īn sebagai
bidadari-bidadari.
108
Qu
rais
h S
hih
ab
ẖūr adalah bentuk jamak dari
ẖaura’ pertama menunjukkan
jenis feminin kedua menunjukkan
jenis maskulin. Bisa untuk lelaki
dan perempuan, yang berarti putih
sangat putih dan hitam yang
sangat hitam. Bisa juga berarti
bulat dan sipit. Kata ‘īn jamak
dari ‘ainā’ dan ‘ain yang berarti
bermata besar dan indah. Jadi
dapat dipahami makna hakikinya
yakni makhluk bermata lebar dan
bulat atau sipit, atau dipahami
majazi yang berarti memiliki mata
yang sipit dalam arti
pandangannya terbatas hanya
ditujukan pasangannya, dan
diartikan terbuka karena selalu
memandang penuh perhatian.
10. 76 Ath-Thur [52] : 20 (MK)
Syek
h
Naw
awi
Allah mengawinkan penghuni surga yang bertelekan di atas dipan berderet yang terdapat bantal masing-masing dengan bidadari yakni perempuan putih dan bermata besar.
Bidadari: wanita cantik berkulit putih bermata lebar
Mah
mu
d
Yun
us
Tidak diberikan penafsiran, namun
ẖūr ‘īn diartikan sebagai bidadari.
109
صفوفةن ي متك رن م س لعور ع ين ٢٠ وزوجن هم ب
Ah
mad
H
asan
Tidak diberikan penafsiran, namun
ẖūr ‘īn diartikan sebagai bidadari.
Has
bi
ash
-Sh
idd
ieq
y Allah mengawinkan para penghuni surga dengan gadis-gadis yang shaleh, yang cantik, dan bermata jelita.
mereka bersandar di atas
dipan-dipan yang tersusun dan
Kami berikan kepada mereka
pasangan bidadari bermata
indah. B
uya
H
amka
Allah mengawinkan mereka dengan bidadari yang cantik jelita.
Qu
rais
h
Shih
ab -
11.
80 Al-Naba’ [78] : 33 (MK)
Syek
h
Naw
awi Gadis-gadis yang montok buah
dadanya dan sebaya umurnya sekitar 33 tahun.
Gadis jelita berumur sebaya
Mah
mu
d
Yun
us
-
تراب ا ٣٣ وكواع ب أ
Ah
mad
H
asan
-
110
Has
bi
ash
-Sh
idd
ieq
y Gadis-gadis jelita yang berumur sebaya. tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda.
dan gadis-gadis montok yang
sebaya.
Bu
ya
Ham
ka Gadis-gadis perawan muda.
Jumlahnya sebanyak yang diperlukan, dan usianya sama.
Qu
rais
h
Shih
ab Gadis remaja yang baru tumbuh
buah dadanya yang berbentuk bulat seperti ujung tumit. Mereka berumuran sebaya.
12.
87 Al-Baqarah [2] : 25 (MD)
Syek
h
Naw
awi Bidadari-bidadari dan anak-anak
adam yang suci dari segala kesakitan, kejelekan perilaku, penyakit , dan penuaan.
Syekh Nawawi, Hasbi, dan Buya Hamka: pasangan
(bidadari atau anak adam) yang disucikan dari kotoran
jasmani dan rohani. M. Quraish Shihab: pasangan baik lelaki atau perempuan
yang telah disucikan dari segala kotoran jasmani
maupun rohaninya.
Mah
mu
d
Yun
us
-
ن وهم ف يها رة طه زوجن مولهم ف يها أ
ون ٢٥خل
Ah
mad
H
asan
-
Has
bi
ash
-Sh
idd
ieq
y Pasangan yang bebas dari segala kecacatan, baik lahir maupun batin.
111
Dan di sana mereka
(memperoleh) pasangan-
pasangan yang suci. Mereka
kekal di dalamnya.
Bu
ya H
amka
Baik istri surga anak bidadari ataupun istri ketika di dunia mereka tidak pernah mengalami haid, bersih dari segala penyakit, kecacatan, dan kotoran yang di alami di dunia.
Qu
rais
h
Shih
ab Mereka pasangan baik lelaki atau
perempuan yang telah disucikan dari segala kotoran jasmani maupun rohaninya.
13.
89 Ali ‘Imrān [3] : 15 (MD) S
yek
h
Naw
awi Mereka yang suci dari haid, nifas, air
liur, mani, kelalaian bentuk, pergaulan buruk, dan perilaku yang jelak.
Sama dengan surat al-Baqarah
Mah
mu
d
Yun
us
-
تن تر ي م ن تت ها جن نه ر ٱل
ن رة طه زوجن مخل ين ف يها وأ
نن م ن و ٱلل ه ور ضو ب ٱلل ي ٱلع باد بص ١٥
Ah
mad
H
asan
-
Has
bi a
sh-
Shid
die
qy
Pasangan-pasangan hidup yang bebas dari segala keaiban, kecacatan, dan kekurangan yang ada pada perempuan dunia, baik fisik maupun akhlaknya.
112
surga-surga yang mengalir
dibawahnya sungai-sungai,
mereka kekal didalamnya, dan
pasangan-pasangan yang suci
serta ridha Allah. Dan Allah
Maha Melihat hamba-hamba-
Nya.
Bu
ya H
amka
Di surga nanti mereka akan mendapatkan istri yang suci dari segala kecacatan dan kotoran selama di dunia.
Qu
rais
h
Shih
ab -
14.
92 Al-Nisa’ [4] : 57 (MD) S
yek
h
Naw
awi Mereka yang suci dari haid, nifas,
dan seluruh kotoran dunia. Mereka berada dalam tempat peristirahatan yang agung dan nyaman.
Sama dengan surat al-Baqarah
Mah
mu
d
Yun
us
-
لهم ن وندخ رة طه زوجن مهم ف يها أ ل
ظل ل ٥٧يل ظ
Ah
mad
H
asan
-
Has
bi
ash
-Sh
idd
ieq
y Mereka bebas dari cacat rupa dan karakter. Dan bebas dari haid dan nifas (mereka yang perempuan).
Disana mereka mempunyai
pasangan yang suci, dan Kami
masukkan mereka ke tempat
yang teduh lagi nyaman. Bu
ya H
amka
Istri yang suci itu diartikan sebagai anak bidadari. Mereka suci dari haid dan nifas, dan segala kecacatan hidup yang pernah di alami oleh perempuan ketika di dunia.
113
Qu
rais
h
Shih
ab Pasangan yang telah disucikan
berulang-ulang, baik lelaki maupun perempuan dari segala kotoran jasmani atau rohani.
15.
97 Al-Rahman [55]: 56 (MD) Syek
h N
awaw
i Perempuan yang berada dalam surga itu mencegah matanya dari laki-laki lain. Sebelumnya mereka tidak pernah berjima’ dengan siapapun baik manusia ataupun jin. Sesungguhnya mereka bukan berasal dari perempuan dunia.
qāsirāt ṯarf sebagai
perempuan yang pendek
pemandangan
Mah
mu
d
Yun
us
Tidak memberikan penafsiran, tetapi
mengartikan qāsirāt ṯarf sebagai
perempuan yang pendek
pemandangan.
رف لم يطم ثهن ر ت ٱلط ص ف يه ن قن ٥٦إ نسن قبلهم ول جان
Ah
mad
H
asan
Bidadari itu tidak pernah memandang selain suaminya, dan tidak pernah disentuh siapapun baik manusia atau jin.
Has
bi a
sh-
Shid
die
qy
Di dalam surga itu terdapat gadis-gadis yang memiliki mata yang hanya ditujukan kepada suaminya. Mereka belum pernah dijamah oleh jin maupun manusia.
Di dalam surga itu ada
bidadari-bidadari yang
membatasi pandangan, yang
tidak pernah disentuh oleh
manusia maupun jin Bu
ya H
amka
qāsirāt ṯarf merupakan gadis
perawan yang tidak genit dan
tidak liar penglihatannya. Belum
pernah disentuk manusia maupun
jin.
114
sebelumnya.
Qu
rais
h S
hih
ab
Bidadari-bidadari adalah wanita
perawan yang tidak pernah
disentuh manusia sebelumnya
atau penghuni surga itu dan tidak
pernah disentuh oleh jin. Mereka
diciptakan untuk penghuni surga
pria, bukan istri-istri mereka yang
masuk surga. Mereka semua
wanita khusus untuk lelaki pilihan
Allah.
16.
97 Al-Rahman [55] : 58 (MD) S
yek
h
Naw
awi Bagaikan permata yakut karena
kemerahanmudahan pipinya dan marjan karena putih dan kebersihan kulitnya.
Seperti permata yakut yang putih berseri
Mah
mu
d
Yun
us
Dalam surga muqarrabin para istri atau para bidadari suci bersih seperti permata yakut dan putih halus seperti mutiara.
نهن ٱلاقوت و ٱلمرجان ٥٨ كأ
Ah
mad
H
asan
Kecantikan bidadari itu luar biasa seolah-olah permata yakut dan marjan.
Has
bi
ash
-Sh
idd
ieq
y Gadis-gadis surga itu bagaikan permata delima yang bening dan seperti marjan yang putih berseri.
Seakan-akan mereka itu
permata yakut dan marjan Bu
ya
Ham
ka Diibaratkan seperti mutiara dan
intan, karena tidak sembarang orang mendapatkannya dan sukar mencarinya.
115
Qu
rais
h
Shih
ab Perumpamaan mereka seperti
permata karena warna pipi dan bibirnya yang kemerah-merahan atau kecemerlangannya.
17.
97 Al-Rahman [55] : 70 (MD)
Syek
h
Naw
awi Para perempuan yang berada dalam
dua surga, yakni keutamaan akhlak serta kecantkan wajahnya.
Gadis-gadis yang baik pekertinya dan cantik rupanya.
Mah
mu
d
Yun
us
Wanita yang baik akhlak dan cantik parasnya.
ف يه ن خيرت ح سانن ٧٠
Ah
mad
H
asan
- H
asb
i
ash
-Sh
idd
ieq
y Gadis-gadis yang baik pekertinya dan cantik rupanya.
Di dalam surga-surga itu ada
bidadari-bidadari yang baik-
baik dan jelita.
Bu
ya
Ham
ka Perempuan yang shalih, baik budi
perkertinya dan cantik wajahnya.
Qu
rais
h
Shih
ab Disana ada yang baik-baik lagi
rupawan.
116
18.
97 Al-Rahman [55] : 72 (MD)
Syek
h
Naw
awi Bidadari mengurung diri untuk
suaminya di dalam rumah yang terbuat dari mutiara cekung .
Sama dengan surat ad-Dukhan
ayat 54
Mah
mu
d
Yun
us
tidak memberikan penafsiran, lalu
ẖūr ‘īn diartikan sebagai bidadari
yakni perempuan yang putih.
قصورتن ف ٱل يام ٧٢ حورن م
Ah
mad
H
asan
Tidak diberikan penafsiran, namun
ẖūr ‘īn diartikan sebagai bidadari.
Has
bi a
sh-
Shid
die
qy
Gadis-gadis yang baik batinnya berwajah cantik dan jelita matanya, mereka selalu di dalam kamar masing-masing, dan tidak gelandangan di jalan-jalan.
Bidadari-bidadari yang
dipelihara di dalam kemah-
kemah.
Bu
ya H
amka
Di surga terdapat khemah yang terbuat dari mutiara, di sana tempat berdiam bidadari atau gadis-gadis cantik sebagai teman hidup untuk orang beriman.
Qu
rais
h S
hih
ab ẖur adalah bentuk jamak dari kata
aẖwār atau ẖaurā’. Sehingga yang
terpenting adalah untuk
menjelaskan maksud ẖūr sebagai
pasangan yang sangat baik dan
indah dalam pandangan
pasangannya.
117
19.
97 Al-Rahman [55] : 74 (MD)
Syek
h
Naw
awi Bidadari tidak pernah melakukan
jima’ sebelum dengan suami mereka.
Gadis perawan yang tidak pernah dijamah oleh siapapun
baik manusi ataupun jin
Mah
mu
d
Yun
us
-
ن ٧٤ لم يطم ثهن إ نسن قبلهم ول جان A
hm
ad
Has
an -
Has
bi
ash
-Sh
idd
ieq
y Gadis perawan yang belum pernah dijamah oleh siapapun, baik jin maupun manusia.
Mereka sebelumnya tidak
pernah disentuh oleh manusia
maupun jin.
Bu
ya
Ham
ka Gadis-gadis bersih yang belum
pernah disentuh oleh orang lain.
Qu
rais
h S
hih
ab perawan yang tidak pernah
disentuh oleh manusia siapa pun
dia dan kapan pun sebelum
mereka yakni penghuni surga itu
yang menjadi pasangan mereka
dan tidak pernah pula oleh jin