Bidadari Bersayap Biru

112

description

Cerita Tentang Ryan dan Maya

Transcript of Bidadari Bersayap Biru

Page 1: Bidadari Bersayap Biru
Page 2: Bidadari Bersayap Biru

Chapter 1

THE PRINCE A.K.A THE LADY KILLER & THE ROYAL BLOODS

“Ryan… Stop!!” seorang perempuan berseragam putih abu-abu berlari

mengejar laki-laki yang dari tadi melangkah santai melewati lapangan basket

outdoor dibawah terik matahari siang yang saat itu terkesan lumayan

panasnya. Laki-laki itu berhenti. “Lo mau apa lagi sih Ris? Gue kn udah

bilang kita break, lo gak ngerti bahasa inggris? Break itu maksudnya kita

putus, udah ampe disini aja!” kata laki-laki yang bernama Ryan itu dengan

suara yang agak sedikit dipertegas. “Tapi aku gak mau Yan… Aku gak mau

kita putus….!” Riska tidak mau kalah tegas. “Hah..?! Gak mau putus?! Apa

gue gak salah denger..?! Sapa lo ampe gak mau putus ama gue?!!!” kali ini

Ryan malah berteriak lumayan kencang, membuat semua mata yang ada

disekitar lapangan sekolah itu tertuju langsung dan tepat kearah mereka yang

sedang berada ditengah-tengah lapangan basket yang begitu panas. Wajah

Riska terlihat memerah karena malu. Dia melangkah lebih dekat kearah

Ryan dan berbicara setengah berbisik. “Tapi aku sudah memberikan

segalanya buat kamu Yan… tubuhku… dan aku hampir hamil bulan kemarin

itu, lalu apa kurangnya aku sampai kamu ingin pisah begini?” kata Riska

pelan. “Lalu apa yang belum aku kasi ke lo selama kita pacaran? Lo

sekarang udah tenar gara-gara pacaran ama gue, reputasi team cheerleaders

yang lo bangga-banggain ama gue selama ini juga udah naik, tinggi banget

malah yang kalo boleh jujur ni ye? Gue jijik tau gak liat team-teaman kayak

gt. Gak nafsu gue… Apa lagi?! Materi?! Uang?! Gadget?! Semuanya udah

elo dapet kan dari gue?! Apa pernah gue minta balik itu semua?! Apa

sekarang gue minta balik itu semua?! Enggak kan?! Nah kita impas dong

namanya, gue udah kasi lo segalanya, gak da salahnya kan gue nikmatin

tubuh lo sebagai timbal baliknya? Hal itu udah jadi rahasia umum disekolah

ini, siapa yang gak tau tentang hal itu?! Kalo gue mau, udah gue pajang tuh

dimading hal-hal kayak gitu!!! ” Ryan seolah-olah berusaha menusuk Riska

dengan kata-kata tajamnya yang dia lontarkan dengan keras itu. Saking

kerasnya bahkan mungkin pengeras suara yang ada disekolah itu kalah. Tapi

tidak ada satu guru pun yang berani keluar melerai mereka, bahkan mungkin

menghukum Ryan karena kata-kata yang tidak senonoh yang dia lontarkan

didepan umum itu. Jelas saja, itu karena sekolah itu bernaung dibawah nama

keluarga Ryan. Secara teori, sekolah itu adalah „milik‟ Ryan. Dengan

„serangan‟ yang membabi buta dari Ryan, kali ini Riska tidak mampu

Page 3: Bidadari Bersayap Biru

berkata apa-apa lagi untuk membela dirinya, harga dirinya sudah benar-benar

jatuh, hancur, musnah. Padahal baru saja dia tenar karena bisa macarin „sang

pangeran‟ sekolah. Tepatnya baru 3 bulan yang lalu. “Udah ya.. Gue gak

mau ngabis-ngabisin waktu gue buat lo lagi, mubazir tau gak…!” kata Ryan

dan berpaling meninggalkan Riska yang mematung ditengah-tengah

lapangan seolah-olah sudah tidak bernyawa itu lagi. Ngomong-ngomong

masalah nyawa….. “Ryan….!!! Gue bakalan bunuh diri…!! Dan semua

kesalahan atas itu bakalan gue timpain ke elo…!!!” kali ini Riska yang

berteriak mengancam Ryan sekeras-kerasnya. “Sampein salam gue ama

malaikat pencabut nyawa, nanti gue yang ngurus pemakaman meneyedihkan

lo….” Dengan sinis dan tanpa menoleh ataupun takut sedikitpun dengan

ancaman Riska itu dia melambaikan tangannya sambil terus melangkah

kearah sebuah pohon nangka yang lumayan rindang di pojokan lapangan

basket itu. Disana terlihat tiga orang siswa tengah duduk santai, sepertinya

menantikan kedatangan Ryan dari tadi.

Ryan Putra Rajasa. Putra tunggal dari pasangan konglomerat besar

sekaligus dikatakan menjadi pengusaha tersukses dalam bidang penghasil

mutiara oleh majalah Times Amerika Serikat. Henry Rajasa dan Helen

Purwaningsih. Henry dan Helen meninggalkan Ryan 10 tahun yang lalu

untuk memulai karir mereka di negri Paman Sam itu. Dan hasilnya sekarang,

dalam hal materi, posisi Ryan mungkin saja bisa disejajarkan dengan anak

presiden walaupun ayahnya itu bukan presiden. Kepribadian Ryan sangatlah

liar, sinis, angkuh, bertingkah dan bertindak seenak perutnya saja dan tidak

perduli terhadap apapun kecuali keinginan-keinginannya dan ketiga

temannya yang ada didepannya saat itu. Tapi walaupun kepribadiannya

sangatlah angkuh, otaknya tidak seperti 'tong kosong nyaring bunyinya',

percaya tidak percaya dia adalah pemegang IQ tertinggi disekolah bertaraf

internasional tempatnya sekolah sekarang ini, terlepas dari itu adalah sekolah

dengan nama keluarganya. Dia adalah anak yang bersifat bejat tapi berotak

jenius.

“Satu lage tumbaaaaannngggg……” kata salah seorang dari tiga siswa

itu sambil menepuk pundak Ryan seolah dia merasa „bangga‟ begitu Ryan

sampai didepan mereka. “Apaan sik lu Do? Minuman gue manaaa… tadi gue

kan minta dibeliin tuh es kelapa mudanya Mang Ujang ama elu… manaa…

panas niihh….” Kata Ryan sambil mengibas-ngibaskan kerah baju

seragamnya itu. “Adu mak… gue gak sengaja minum punya elu tadi abisnya

Page 4: Bidadari Bersayap Biru

'filmnya' seru banget jadi gak kerasa ngabisin dua gelas nih sob, hehehee…”

anak yang tadi itu cengingisan sambil memperlihatkan gelas air kelapa muda

pesanan Ryan yang sudah habis bersih diminumnya itu. “Allaaaaahhh…..

Gue kepret pala lo jadi buah kelapa juga nih…” Ryan mencoba menyambar

kepala Edo dengan tangan kirinya tapi dengan lincah dan ala jurus silat Edo

menghindar dari „kepretan‟ Ryan.

Edo Prasetya Negara. Sahabat Ryan sejak kecil, bahkan bisa dibilang

sahabatnya sejak masih bayi, sejak masih baru lahir. Menurut cerita dari

masing-masing orang tua mereka, Ryan dan Edo lahir pada tanggal, bulan,

tahun bahkan rumah bersalin yang sama, hanya berbeda menit saja. Karena

melahirkan dan menjalani proses pra melahirkan ditempat yang sama kedua

ibu mereka menjadi sangat akrab, sangat dekat sekali bahkan bisa dibilang

mereka sudah menjadi layaknya saudara saking dekat dan akrabnya. Orang

tua Edo sendiri adalah pengusaha textile yang saat ini berbasis di Kanada,

merekapun bisa dibilang pengusaha yang cukup besar dan sukses.

Kepribadiannya tidak kalah liar dari Ryan, tapi dia tidak sesinis Ryan,

katanya sih, dia ingin menjadi komedian handal, jadi dia selalu bertingkah

dan berkata konyol kesehariannya. Dia selalu menjadikan Ryan sebagai

bahan tertawaan dengan kata-kata atau ejekan-ejekan konyolnya. Akan tetapi

walaupun begitu, dia menaruh respect tertingginya hanya pada Ryan. Pada

saat-saat tertentu dia bisa menjadi layaknya penasehat pribadi untuk Ryan.

Mereka sudah saling mengenal dari Asampai Z dan hubungan mereka bisa

jadi lebih erat dari saudara kandung sekalipun.

“Dasar muna lu Do, bukannya tadi gue denger lu bilang enak amat

ya si Ryan nyuruh gue beliin dia es kelapa muda, dia kate gue ni

pembantunya apa, mending gue abisin sendiri aja…” salah seorang dari

mereka rupanya membeberkan kata-kata Edo dengan meniru gaya bicara

Edo pada Ryan sambil terus membaca sebuah buku. “Eh.. bo… bo‟ong

tuh…” Edo kelihatan sedikit panik. “Mulut lo ye… kayaknya perlu gue

sumpel ma ni es batu…” Ryan menjepit leher Edo di ketiaknya sambil

mencoba memasukkan es batu yang tadi dia ambil di gelas yang diberikan

Edo itu. Edo kembali meronta sambil cengingisan. “Payah lu Raf… buka

kartu sahabat lu sendiri…” kata Edo yang berhasil melepaskan diri dari

jepitan Ryan dan langsung mengacak-acak rambut Rafael.

Page 5: Bidadari Bersayap Biru

Rafael Alfariki. Adalah seorang anak pengusaha export import

barang yang cukup kaya. Orang tuanya dan orang tua Ryan sudah lama

bekerja sama dalam hal eksport import mutiara kedalam negri, tapi dia dan

Ryan baru bertemu ketika kelas 9 dulu. Kepribadian anak yang satu ini bisa

dibilang easy going terhadap hal-hal disekitarnya, tapi ketika itu menyangkut

aksi Edo buat „nginjek-injek‟ harga diri Ryan yang cukup tinggi itu, sekecil

apapun aksi Edo, dia pasti ikut campur, tapi terkadang dia juga bisa

berpindah posisi menjadi pem-back up Ryan seperti sekarang ini. Hobinya

membaca buku, terserah buku apapun itu kalau menurutnya menarik, pasti

dia baca sampai tuntas.

Rafael menyapu tangan Edo yang saat itu sedang mengacak-acak

rambutnya. Hal itu membuat tangan Edo melayang kearah anak (bule gitu

dah) yang ada disamping Rafael yang masih meminum es kelapa mudanya

sambil asik mendengarkan lagu melalui headset yang entah sejak kapan tidak

pernah lepas dari telinganya. Es kelapa muda yang sedang dia minum

seketika terjatuh habis ke baju seragamnya.

“What the fuck man…..!!” anak bule itu refleks meloncat dan

mengumpat dalam waktu yang bersamaan. “Wadduuhh…. Sori Ric, ini nih si

Rafael pake nyenggol tangan gue ke arah elu sgala… sori banget yak

hehehee…. I am sorry dah euy…” Edo mencoba membersihkan baju anak

itu yang basah akibat air es tadi. “Knock it off already will ya? I don‟t want

everyone think that I‟m a gay….” Eric malah mendorong muka Edo yang

sedang membersihkan bajunya itu. Edo jadi tersungkur dan hampir jatuh

dibuatnya. “Eh….! Dasar lu bulu leak… amit-amit dah… andai kate gua

homo nih ye? Cuiihh…. Ogah gua ama lu….” Edo malah berbalik mencibir

Eric. “Yea? Go fuck yourself then…. Yo Ryan… My uniform is all wet, lets

go home...”. Eric berpaling kearah Ryan. “Eh… enak aje, lu gak bisa baca

jam ye?! Ni masih jam setengah dua belas…. Kita baru pulang tuh jam dua

nanti.” Edo memperlihatkan jam tangannya pada Eric, menunjukkan kalau

itu bukan jam pulang. “Who cares…. You show me that just because of that

is a new watch… Pathetic comedian…”kata Eric sambil

memasukkan headsetnya kesaku celana. “Udah-udah….! Berisik amat sih

kalian… dasar pelawak amatiran… sudah ayo kita pulang aja.. panas nih…”

Ryan langsung melangkah kearah tempat parkir siswa yang ada dibasement.

Rafael dan Eric mengikutinya dari belakang. “Tapi kita belum waktunya

pulang bro…. Kita masih ada pelajaran sosiologi abis ini” Edo mengejar dari

Page 6: Bidadari Bersayap Biru

belakang. Tanpa menjawab, Ryan memutar-mutar telunjuknya di samping

kepala sebagai isyarat kalau pelajaran itu sudah diluar kepala baginya.

“Ahh…. Bolos lagi bolos lagi…. Perasaan minggu ini bolos full deh….” Edo

menghela nafas dan terpaksa ikut mereka.

Oh iya… Eric McKennedy. Dia adalah anak dari Amerika yang baru

mengenal Ryan, Edo dan Rafael, 3 tahun lalu. Ayahnya adalah partner kerja

ayah Ryan di Amerika, karena itu dia ditransfer ke sekolah milik keluarga

Rajasa itu. Sebenarnya dia mengerti dan bisa berbahasa Indonesia tapi lebih

memilih berkomunikasi dengan bahasa Inggris sejak keempat temannya itu

memang bisa sepenuhnya mengerti bahasa Inggris.

“Eh… kalian tau gak? Udah lama gua mikir… kok kita mirip itu

tu boyband Korea itu, apa si namanya.. umm…” Edo mulai membuat ulah.

“Aha…” seolah-olah dia baru mengingat sesuatu. “Ef Se namanya…. Kita

mirip tuh Ef Se yak…? Ahahahahaa….” Dia kembali cengingisan. Ryan

berhenti, diikiti Rafael dan Eric. Melihat itu, Edo seketika „ngerem‟

mendadak. Ryan melotot kearahnya. “Hihihii…” dia malah semakin

cengingisan. “Uuuurgghh…” sepertinya Ryan sudah mulai gergetan dengan

ulah Edo tadi dapi kembali melanjutkan langkahnya. “Lu nape si? Kayak

benci amat ama gua ni hari…. Lu lagi dateng bulan yak?” Edo

mengernyitkan keningnya. “Plak….” Bukan Ryan tapi malah Rafael yang

melayangkan kepretan dengan buku paket sosiologi dengan tebal 225

halaman kearah jidat Edo. Dia lagi-lagi terjerembab untuk yang kesekian

kalinya hari ini. “Apaan si..?!” Edo memoles-moles jidatnya yang kena

hantaman buku 225 halaman tadi. “Pala lu tuh Ef Se, perlu dikasi pelajaran

sosiologi extra, siapa tau bisa ngalir ke tu mulut biar gak nyeracas nyerocos

terus kayak stasiun radio yang baru lagi promosi” dengan dinginnya Rafael

trus melangkah. Sedangkan Eric hanya geleng-geleng kepala saja sambil

berlalu. “pip pip….” Sebuah Ford Fiesta ST berbunyi karena Ryan menekan

alarm mobil yang baru saja dia keluarkan dari saku seragamnya. Mobil

mewah itupun melaju kencang keluar dari area parkir tanpa memperdulikan

kalau itu belum jam pulang sekolah.

Itulah mereka. Ryan, Edo, Rafael dan Eric. Walau mereka tidak

pernah secara resmi membuat nama untuk 4 sekawan itu, tapi sebagian besar

siswa sekolah itu menyebut mereka The Royal Bloods. Tapi bagi para

„korban-korban‟ mereka yang kebanyakan adalah korban Ryan sendiri,

Page 7: Bidadari Bersayap Biru

mereka tidak ubahnya seperti malaikat pencabut nyawa. Bedanya mereka

dengan malaikat pencabut nyawa yang jelas-jelas mencabut nyawa manusia

yang menyebabkan kematian, mereka mencabut kehormatan dan harga diri

yang membuat para korban mereka „ingin‟ melihat kematian itu sendiri.

“Trrriiririiriririirriirirriittt…..!!!!!!” handphone milik Ryan berbunyi.

Dia merogoh saku baju seragamnya dan melihan nama si pemanggil.

“Mama”.

***

Page 8: Bidadari Bersayap Biru

Chapter 2

THE ROYAL BLOODS’ PLAYGROUND

Sementara itu Edo, Rafael dan Eric sedang pada ribut saling ejek satu

sama lain. Ryan sendiri tampak ragu mengangkat panggilan dari mamanya

itu. Tapi handphonenya terus saja berdering. “Eh… Kalian para cecunguk-

cecunguk bisa diem gak sih?! Gue ada telpon nih…” kata Ryan sedikit jutek.

Mereka bertiga langsung terdiam dan Ryan pun akhirnya mengangkat

panggilan itu. “Iya ma…” kata Ryan dengan nada agak malas. “Oh… Jadi

kepala sekolah itu ngadu ke mama lagi?” tampaknya ibunya menelepon

mengenai persitiwa tadi disekolah itu. “Iya ma… aku ngerti, nanti aku yang

dateng sendiri ke ruang kepala sekolah dan minta maaf…. Iya.. apapun

hukumannya aku terima… Bukan gitu ma… tadi itu aku cuman agak emosi

aja….” Tampaknya Ryan dan mamanya sedang berdebat. “Yaelah ma… itu

udah biasa kali… mama tau aku kalo lagi emosi kan? ….. Iya ma… Iya…

kan tadi aku udah bilang, aku bakalan ke ruang kepala sekolah buat minta

maaf besok…” Ryan sedikit memperjelas suaranya. “Apaaaa??!!! Minta

maaf sama Ri… Itu gak mungkin banget ma… Tuh kepsek boleh ngehukum

aku seberat-beratnya, tapi buat minta maaf ama Riska kayak yang mama

bilang, enggak deh kayaknya ma… aku gak mau…” tampaknya Ryan

menolak perintah dari mamanya yang menyuruhnya meminta maaf kepada

Riska gara-gara perkataannya tadi di sekolah. “Tapi aku udah tanggung

jawab mengenai hal itu ma… Lagian salah dia sendiri… kenapa jadi cewek

gampangan kayak yang lainnya gitu… …. Tapi maaa….. Yaelah maa….. Iya

deh iya…. Nanti aku kerumah Riska, tapi cuman buat minta maaf….

Janji….” perdebatan itu dimenangkan oleh sang ibu. “He‟eh…. Bye ma..”

Ryan memutuskan panggilan itu. “Si kepsek ngadu lagi nih…” Edo sudah

menebak dari pembicaraan Ryan tadi. “Itu mah gak masalah kalo dia mau

ngadu, tapi ini imbasnya malah gue harus minta maaf ama tuh si Riska….

Mau ditaruh dimana nih muka gue…?!” Ryan agak sedikit kesal. “Nih saku

celana gue yang bagian belakang kayaknya cukup buat muke lu Yan…” Edo

cengingisan. Tanpa menjawab, Ryan mengacungkan jari tengahnya ke depan

wajah Edo. “Lagian lo asal maen mutusin cewek mulu‟ sih Yan… Bisa jadi

ini pertanda kalo lo udah masuk zona karma…” Kali ini Rafael angkat

bicara. “That‟s right man… You used to broke one heart in 3 months, at

least. But in these past 3 months, if I‟m not mistaken you‟ve broken almost

four hearts, that‟s just too much, you know…?” tanpa diundang Eric

menambahkan. “Salah bo‟…, cuman bulan ni ja korban nih anak dapetnya

Page 9: Bidadari Bersayap Biru

atu, kemarin-kemarin kan dua ato tiga mulu‟…” Edo kembali nyerocos

dengan nada cucoknya. “Eh… Lu-lu pade denger ye…. Buat gue, cewek tu

gak da apa-apanya…. Malah menurut gue, cewek tuh kayak nih sepatu…”

Ryan mengangkat kakinya ke dashboard mobil. “Wuiiihh…” Edo berlagak

kaget. “Kalo udah butut ya tinggal diganti pake yang baru…. „Harga‟nya kan

gak seberapa…” lanjut Ryan sambil kembali menurunkan kakinya. “Yea

that‟s right… But what now? The Queen asked you to „sew up‟ this battered

shoe instead of buy a new one, it could happens anytime man…. Think about

it…” Eric mencoba menasehati Ryan. “Peduli amat…! Siapa juga yang mau

pergi minta maaf ma tuh cewek, ribet urusannya, atau ada yang mau jadi

penjilat disini kalo misalnya gue gak minta maaf ma tuh perempuan trus gue

bakalan dilaporin gitu…?!”kata Ryan dengan nada judes. Edo agak sedikit

mengangkat telunjuknya. “Elo…?!” Ryan menoleh kearah Edo yang ada di

sampingnya dengan tatapan tajam. “Hehehehee…” Edo menggelengkan

kepalanya. “Kalian…?” kali ini Ryan sedikit menoleh ke kursi penumpang

yang ada dibelakang. Rafael kembali membuka buku yang tadi dia baca,

begitu pula Eric yang kembali memasukkan headsetnya ke telinga sebagai

pertanda „tidak mungkin‟ untuk menghianati Ryan. “Nah kan? Perkara

terselesaikan…” Ryan kembali menghadap kedepan dengan tenangnya. Tapi

tidak lama kemudian… “triririiriririttt….!!!” Handphone Ryan kembali

berdering, dia melihat si pemanggil, lagi-lagi „mama‟. “Iya ma… apa lagi

sekarang…?” Ryan mengangkat panggilan itu. “Adduuhh maaa…. Mama

gak usah segitunya kali…. Lagian ngapain sih mama repot-repot nyari

nomor hape tuh perempuan, kemarin-kemarin mama gak kayak gini-gini

amat deh….” Ryan agak sedikit kesal tapi terdengar memelas. “Iya deh… I

swear under your name, that I will go to her and say sorry…. Asal mama

gak minta aku buat balikan ama dia, terus pacaran ama dia, terus me…”

omongan Ryan sepertinya terputus. Dia menghela nafas panjang. “Yes

ma‟am…. Thank you…,” entah apa yang dikatakan oleh ibunya tapi ada

sedikit nada lega pada jawaban Ryan saat itu. “Iya… nanti malem ma, mama

boleh nelpon dia kok, tanya apa aku bener-bener dateng ato gak…” kata

Ryan lagi. “……Aduuhh maaa…. Aku lagi ama anak-anak nih…” entah apa

lagi masalahnya, nada bicara Ryan kembali terdengar malas. “Mah… aku

kan udah gede… masak harus bilang itu terus sih…” Ryan agak sedikit

berbisik. “Iya deh… iya…. Aku anaknya mamah…” kata Ryan dengan suara

yang hampir tidak terdengar dan agak sedikit menyembunyikan kepalanya

dari ketiga temannya itu. “Eeee… Ryan…. Anaknya…. Mama…” Ryan

kembali mengulang kata-katanya kali ini dengan agak sedikit dieja. “Tapi

Page 10: Bidadari Bersayap Biru

ma….” Lagi-lagi omongan Ryan terputus. “Oke… oke…” kata Ryan sambil

menegakkan badannya, sesaat kemudian dia melirik ke tiga temannya yang

ada disitu. Edo sedang asyik menatap pemandangan diluar melalui jendela

mobil sambil menghisap rokok yang dari tadi ada di antara jarinya itu. Rafael

sedang membaca buku dan Eric memejamkan matanya karena asyik

mendengarkan musik. Ryan menarik nafas dalam-dalam. “Iya… Iya… Ini

mau ngomong, mama gak sabaran amat sih….” Kata Ryan yang tadi hampir

mau mengucapkan sesuatu. “Ryan…. Anak kesayangannya…. Mamah…”

dengan nada datar dan wajah memerah akhirnya Ryan mengucapkan kata-

kata yang akan menjadi bahan hinaan „tersadis‟ dari Edo untuknya. Rafael

dan Eric hampir tidak bisa menahan tawa mereka. “Bye ma…” Ryan

akhirnya menutup panggilan itu lagi. Dengan ekspresi „siap tidak siap‟ Ryan

menoleh kearah Edo. Anehnya, tidak ada reaksi apa-apa dari Edo, dia malah

semakin asyik bersiul-siul sendiri. Padahal dua anak yang ada dibelakang

sudah susah payah menahan tertawa mereka. Karena merasa „aman‟, Ryan

kembali menoleh kedepan, dan menyetir dengan tenangnya, tapi tidak lama

kemudian Edo mengambil hp dari sakunya, menekan-nekan keypad hp itu,

dan kemudian meneggerkan hpnya didepan telinga, tampaknya dia ingin

menelepon seseorang. Bertepatan dengan itu hp Rafael berdering,

pemanggilnya adalah „Edo‟. Tidak begitu lama Rafael mengangkat

panggilan dari Edo itu. “Halo…?” Edo memulai pembicaraan. “Ha…

Halo…?” Rafael menjawab dengan ragu. “Anak siapa dulu….” Kali ini Edo

menirukan suara seorang wanita. Ryan memejamkan mata tanda menahan

malu. “Aaaa…..anak kesayangan mamah….” Kata Rafael. Seketika tawa

ketiga anak itu meledak didalam mobil. Tapi Ryan tidak ingin „terinjak-

injak‟ begitu saja. “Kalian cari mati nih….” Ryan melepas stir mobil dan

langsung menyambar kerah baju Edo. “Eee… ee… stir…. stir… mobil…

mobil…” Edo sepertinya tidak perduli kalau bogeman Ryan mendarat

diwajahnya tapi terlihat sangat panik karena Ryan hanya menginjak gas

mobil tapi tidak memegang stir dan lebih-lebih tidah melihat kedepan. “What

the…..” Eric tidak kalah paniknya melihat hal itu dan langsung menyambar

stir mobil, saat itu Eric menyenggol tangan Rafael yang membuat Rafael

menjatuhkan hpnya. “Eh.. hp gue…, Adduuhh… pala gue…” Rafael yang

mencoba meraih hpnya yang terjatuh ke kolong kursi mobil membuat

jidatnya kejedot oleh kursi mobil yang ada didepannya. Tidak begitu lama

kemudian mobil itu menepi kepinggir jalan, gerbang sebuah rumah yang

sangat luas sekali terbuka dengan sendirinya layaknya difilm2 sci-fi

hollywood. Mobil mewah itu memasuki pekarangan yang sangat luas sekali,

Page 11: Bidadari Bersayap Biru

entah diatas berapa hektar are tanah rumah itu dibangun, jika bisa diukur

dengan berandai-andai, besar pekarangannya saja hampir sebesar enam

lapangan footsal bisa jadi lebih, itu baru pekarangan depan, belum

pekarangan belakang, belum lagi rumah yang begitu besarnya itu seolah-olah

seperti istana negara. Itu adalah rumah keluarga Rajasa yang konon

kekayaannya begitu tidak terhitung pada masa itu. Begitu pintu garasi

terbuka, didalamnya terlihat mobil-mobil sport keluaran luar negri

seperti Ferarri dan sejenisnya, dan itu pun tidak hanya satu, garasi itu tidak

ubahnya seperti sebuah showroom mobil-mobil elite milik seorang anak

sekolah menengah atas. “Eh… gue ampir lupa, nanti malem kan ada balap

nih, jadi besok malem gue mau ajak nginep pacar gue Yan, lo jangan ganggu

ya… udah cukup lama gue gak „have fun‟ nih…” kata Edo sambil keluar dari

mobil disusul yang lainnya. “Boleh aja, asal lo bayar kamar…” kata Ryan

agak sedikit datar. “Ah elo…. Kayak penjaga losmen segala, uang kan gak

jadi masalah buat lo, masak gue perlu bayar kamar segala?” kata Edo lagi

sambil mengikuti yang lainnya masuk keruang keluarga rumah itu di lantai

dua yang kalau dinilai dengan kata-kata, hanya ada dua patah kata saja yang

bisa diungkapkan, mewah dan luas, dengan tambahan kata super didepannya.

“Siapa bilang gue butuh uang? Gue gak bilang uang kan?” tegas Ryan sambil

duduk. “Terus..?” Edo bertanya. “Elo….” Ryan menunjuk Edo dan terdiam

sedikit lama, sepertinya dia sedang memikirkan bagaimana cara membalas

Edo. “Apa? Gue bawain atu? Tenang aja… itu mah gampil gampil

gampil…..” kata Edo sambil meniru gaya salah satu tokoh acara lawak yang

ada di tv itu. “Waaahhh….. lo ngehina gue nih kalo bilang gitu, kalo masalah

perempuan, gue gak perlu minta bantuan lo…. Gue mau lo cuciin gue semua

pakaian kotor gue..” kata Ryan sambil bersandar disebuah kursi layaknya

seorang raja. “Apaaaaa?????!!!!!!! Lo…..” … “Yoo….” belum Edo

menyelesaikan kata-katanya Eric yang baru saja memasuki ruangan itu

sehabis mengganti pakaiannya angkat bicara. “Tonight‟s race pot keeps

raising, it seems like the playground gonna be so crowded huh….” Kata Eric

memberi tahu yang lain kalau taruhan balap untuk malam itu terus naik.

“Berapa…” tanya Ryan singkat. “The bookie said it‟s around ten million

now…”jelas Eric lagi. “Sepuluh juta? Wahh… mereka cukup nekat juga…”

sambung Rafael. “Yaaahh…. Gak apa-apa lah…. Itung-itung buat beli

bensin…” kata Ryan dengan nada gampangan sambil berdiri. “Elo…” lagi-

lagi Ryan menunjuk Edo. “Kita udah deal, awas kalo elo bilang mau semedi

dulu besok…” kata Ryan sambil berlalu…. “Yann…. Jangan gitu dong….”

Edo mengejar Ryan sambil memelas.

Page 12: Bidadari Bersayap Biru

***

Malam harinya seperti yang telah “dijadwalkan” Ryan dan ketiga

temannya sampai diarena balap liar. Tempat itu terlihat sangat ramai sekali

seperti halnya sebuah pasar malam. Ya, mereka adalah para penonton yang

telah melepas uang mereka sebagai taruhan untuk balap malam ini. Ryan

membawa mobil Ferrari Scuderia yang memang dia modifikasi untuk hal-hal

seperti balap sekarang ini. Saat mereka datang, si penantang telah siap

menunggu di garis start, jadi tanpa menunggu lama, Ryan pun langsung

bersiap untuk melaju dengan kecepatan extreme. “Yan.... loe yakin gk mau

gue aja yang lawan?” kata Rafael dari luar pintu mobil. “Gak... gue lagi mau

tanding, loe tunggu aja di garis finish ama yang lain. “Loe lagi labil Yan....”

sambung Rafael tampak cemas. “Labil pala‟ loe.... Gue fine kok...” Ryan

menatap tajam Rafael. Melihat Ryan seperti itu Rafael pun mengalah dan

langsung memacu mobil yang ditumpangi Edo dan Eric ke garis finish 5

kilometer dari tempat itu. 10 menit kemudian Ryan dan lawannya

meninggalkan start dengan kecepatan tinggi. Singkat cerita, Ryan

memenangkan balapan itu, Edo, Rafael dan Eric yang sudah menunggu di

garis finish langsung menyambut Ryan dengan bangga seperti biasa, tapi

Ryan terlihat biasa-biasa saja. Tidak lama kemudian si lawan mendekati

Ryan dan kemudian... “Buuk!!” sebuah bogem mentah melayang ke wajah

Ryan yang membuatnya hampir tersungkur. Ketiga temannya langsung maju

tanpa diperintah, menghalangi sipemukul tadi agar tidak melakukan hal yang

lebih dari itu, tapi karena tidak terima dikalahkan, anak itu melayangkan

pukulannya secara membabi buta kearah Edo, Rafael dan Eric. Perkelahian

pun tidak terhindarkan, Empat orang melawan kurang lebih sepuluh orang.

Ryan and the gank tidak bisa berkutik, mereka babak belur, dan tidak lama

setelah itu.... “Anton.... stop...!!!” seorang laki-laki yang baru datang

ketempat itu menghentikan anak yang memulai perkelahian tadi. Anton pun

berbalik tapi seketika sebuah tinjuan melayang, kali ini ke wajah si Anton

itu. Anak itu tersungkur. “Loe gila....!!! Loe gak tau siapa mereka?!!!” teriak

laki-laki tadi terdengar berang. “Tapi kak... dia....”... “Bacot loe....!!!! cepet

minta maaf....!!!” kata-kata Anton tidak diindahkan oleh sang kakak. Anton

terdiam. “Cepeettt....!!!!” sang kakak memaksanya untuk minta maaf kepada

Ryan dan ketiga temannya. Maka dengan sangat terpaksa, Anton dan

kesepuluh temannya pun langsung meminta maaf saat itu juga. Melihat Ryan

dan yang lainnya babak belur, kakak si Anton tadi mendekati mereka

berempat. “Adduuhh Yan... Gue minta maaf ya... tuh curut adik gue, dia baru

Page 13: Bidadari Bersayap Biru

dateng ri luar kota, dia gak tau sapa elo.... sorry banget dah...” kata sang

kakak dengan nada memelas. “Ryan mengangguk-angguk pelan sambil

memegang pelipis bibirnya yang berdarah. “Mana taruhannya...” kata kakak

Anton. Sang bandar langsung menyerahkan setumpuk uang pada kakak

Anton itu. “Nih uang loe, sebaiknya loe langsung obatin tuh luka yah...”

katanya dengan nada menyesal. “Gak usah deh, keliatanya adik loe pengen

banget dapetin tuh uang, loe kasi aja dia...” jawab Ryan datar. “Gak...

peraturannya kan yang menang yang dapet, jadi nih uang ya milik loe...” kata

kakak Anton sambil menyerahkan uang taruhan tadi dengan sedikit

memaksa. Ryan mengambil uang itu dan langsung melangkah ke arah Anton,

dia menatap Anton dalam-dalam, dia kemudian meremas uang itu dan

melayangkan tinjuannya kearah Anton, Anton memejamkan matanya karena

melihat sebuah bogem berisi uang jutaan mungkin akan melayang kearah

wajahnya. Tapi ternyata tidak, Ryan saat itu tidak mencoba untuk

memukulnya, tapi mendaratkan tinjuannya yang berisi uang tadi ke dada

Anton dengan santai. “Lain kali, tanya kakak loe kalo mau tanding didaerah

sini, loe masih belum tau apa-apa disini jadi jangan seenaknya aja, kali ini

gue kasih loe bonus.... loe boleh ambil nih uang, buat gue uang sebanyak ini

masih belum seberapa...” kata Ryan dingin sambil meletakkan uang itu

ditelapak tangan Anton dan kemudian berbalik kembali ketempatnya yang

tadi. “Yan....” kata kakak si Anton. “Loe bawa tuh adik loe pulang, sebelum

gue berubah pikiran...” kata Ryan tetap dingin. Bertepatan dengan itu, suara

sirine mobil polisi terdengan dari jauh. Semua yang ada disana langsung

berlari kalang kabut kearah mobil masing-masing dan langsung berlalu,

ketakutan hanya karena suara sirine polisi tadi. “Yan.... C‟mon man... It‟s the

police...” teriak Eric yang sudah menyalakan mesin mobilnya, Rafael sudah

berada didalam mobil itu juga. Ryan terdiam, padahal mobilnya berada

dibelakangnya saat itu. “Ryaaannn..... Ayyooo!!!!” teriak Edo yang baru saja

memasuki mobil Eric. “Loe pada pergi aja, gue stay....” jawab Ryan. Ketiga

temannya itu terdiam sejenak, kemudian... “Sialan nih anak.... gue mau

nemenin dia, loe berdua pergi aja, nih anak gak bakalan ngelangkah kalo

udah kayak gini,” kata Edo sambil keluar dari mobil dan melangkah kearah

Ryan yang bersandar dimobilnya saat itu. Eric dan Rafael saling bertatapan

melihat Edo memilih untuk tetap tinggal bersama Ryan.

“Maaannnnn.....” Eric menghela nafas sambil ikut keluar dari mobil dan

disusul oleh Rafael.

Page 14: Bidadari Bersayap Biru

Malam itu mereka berempat membiarkan diri mereka tertangkap dan

digiring kekantor polisi. Tapi beberapa jam kemudian mereka mendapat

jaminan dan dikeluarkan dari sel. Diluar kantor polisi, seorang laki-laki dan

wanita berpakaian layaknya para sekretaris-sekretaris itu terihat berdiri

menunggu mereka. “Gue yang bawa mobil loe pulang, sebaiknya loe pulang

ama mereka aja...” kata Edo sebelum sampai didepan dua orang tadi. Ryan

terdiam saja tidak menjawab Edo. “You‟ve broke your promise.... you said

that you‟ll go to see Riska tonight...” kata wanita itu dengan bahasa Inggris.

Ryan terdiam beberapa saat. “Iya... Iya... maaf... aku nemuin Riskanya besok

aja.... inikan udah larut....” kata Ryan agak sinis. “Kamu tau kan wanita yang

satu ini paling tidak suka kalo ada yang berjanji pada dia tapi tidak

ditepatin...? Itu adalah perinsip yang dipegang mama mu dari dulu nak...”

sambut laki-laki tadi. “Iya pa.... aku tau kok.... aku kan udah minta maaf...”

jawab Ryan. “Eeee.... Om.... Tante.... aku duluan yah...? anak ni emang suka

buat onar dan ngerepotin kalian sampe harus balik jauh-jauh dari Amerika

kayak gini, padahal tadi kita-kita bisa aja pergi biar gak ketangkep..” kata

Edo sambil tersenyum. “Gak apa-apa Do.... Kamu bawa mobil Ryan pulang

yah? Nanti Ryannya pulang ama om dan tante aja...” kata wanita yang

ternyata adalah ibunya Ryan tadi sambil membalas senyuman Edo. “We‟re

off too.... Ma‟am.... Sir...” kata Eric. “Ahh.... Eric... You‟re still a polite boy

eh... Despite you‟re with this troublemaker little boy here...” jawab ibu Ryan

dengan tetap tersenyum sambil menatap Eric. Eric dan Rafael sedikit

membungkuk tanda hormat pada ayah dan ibu Ryan dan kemudian berlalu,

diikuti Edo dari belakang. “Oh... Rafael... Kami udah ngejelasin semuanya

ke ayah kamu, jadi kamu tenang aja ya....” kata ibu Ryan sedikit berteriak

karena Rafael sudah berjalan sedikit jauh dari mereka. “Iya tante...

makasi....” teriak Rafael dan kembali berjalan mengikuti Eric dan Edo ke

parkiran mobil. Setelah ketiga anak tadi berlalu dari halaman kantor polisi.....

“Dude.... You‟re grounded...” kata ibu Ryan sambil melangkah kearah pintu

mobil diikuti oleh ayahnya. “Ah... mama.... hari ini mama kok berlebihan

gini sih...? masak gara-gara gini aja aku dihukum? Kan udah biasa.... tau gini

aku tadi lari aja biar kalian gak pulang...” kata Ryan sambil ikut masuk mobil

ayahnya. Ternyata alasan Ryan tidak lari meskipun tahu polisi akan datang

karena dia tahu ketika orang tuanya mendengar Ryan bermasalah dengan

aparat berwenang, mereka pasti akan segera terbang dari Amerika untuk

menyelesaikan masalah yang dibuat oleh anaknya itu. “Mamah mu

ngehukum kamu bukan karena kamu ditangkap polisi nak.... Dia ngehukum

kamu gara-gara kamu gak tepat janji aja... Jangankan kamu, papa aja kalo

Page 15: Bidadari Bersayap Biru

gak tepat janji pasti dihukum, makanya jangan asal buat janji ama mamahmu

kalo gak mau kena hukum...” jelas papa Ryan sambil menyalakan mobil dan

akhirnya berlalu dari kantor polisi. Ryan terdiam karena tahu dirinya

memang salah, tidak ke rumah Riska dulu tadi, bukannya dia lupa akan

janjinya itu, tapi karena memang dia tidak pernah ada niat untuk menemui

Riska lagi. “Tapi papa tahu kok kelemahan mama kamu, jadi hukuman papa

gak bakalan lama, tinggal... Aww... aww.. aww..” belum Henry melanjutkan

kata-katanya, sang ibu, Helen sudah menjewer telinganya layaknya

menjewer anak kecil. “Lagi nyetir ma.... Kan bahaya....” kata ayah Ryan

sambil memegang telinganya. “Omongan papa tuh yang bahaya....” balas ibu

Ryan. Helen kemudian berbalik menatap Ryan dan menunjuk pipinya

sendiri. Ryan menghela nafas dan kemudian mencium pipi ibunya itu yang

dibalas dengan kecupan dikening oleh Helen, dan Henry yang mengusap-

usap kepala Ryan dalam waktu yang bersamaan. Sepertinya Ryan memang

benar-benar anak kesayangan orang tuanya meskipun perbuatannya

seharusnya jauh dari kata layak untuk diberikan kasih sayang. “Kamu gak

perlu membuat masalah kayak gini kalau mau kami pulang sayang... Kamu

tinggal minta aja bisa kan....?” kata Helen. “Ohh.... Jadi aku harus „minta‟

terus kalian mau pulang, gitu...?” jawab Ryan sinis. “Ya udah... kalo gitu,

kamu tinggal suruh aja, tinggal perintah aja... pokoknya masih banyak cara

yang lebih baik dari ini kan....” kata Helen sambil memberikan ayah Ryan

isyarat untuk menepi. Tidak lama kemudian mobil itupun menepi, Helen

keluar dari pintu mobil depan dan membuka pintu mobil belakang kemudian

duduk disamping Ryan, mobil itupun kembali berlalu. “Hah...! Kalian kan

sibuk... biarpun aku minta kalian pulang dengan cara memelas juga mana

mungkin kalian bisa, satu-satunya cara ya aku harus ngebuat onar biar kalian

gak punya pilihan selain pulang...” kata Ryan. Di kehidupan sehari-hari Ryan

terlihat dingin, dan tidak memiliki perasaan sama sekali, tapi didepan orang

tuanya, Ryan terdengar begitu sangat rapuh layaknya seorang anak kecil.

“Sayaaaanngg....” Helen langsung menarik Ryan ke pelukannya. “Kamu

pikir kami gak kangen ama kamu? Setiap harinya, kangen kami itu terus

menumpuk, biarpun kami sibuk, pikiran utama kami ya tetap kamu

sayang...” kata ibu Ryan dengan lemah lembut. “Bohong....” kata Ryan yang

saat itu masih tetap berada didekapan sang ibu. “Apa mama pernah bohong

ama kamu?” tanya ibunya. Ryan tidak menjawab, karena tahu Helen tidak

pernah berbohong dengan apapun yang dia katakan pada Ryan dan Ryan

memang tidak pernah mencoba cara baik-baik seperti meminta orang tuanya

untuk pulang menjenguknya dari dulu. “Lagipula.... Apa kamu pernah

Page 16: Bidadari Bersayap Biru

meminta kami untuk pulang dari dulu?” sambung ibunya lagi. Ryan

menggeleng sambil memejamkan matanya. Tidak lama kemudian dia

akhirnya terlelap didekapan sang ibu. Terlelap begitu sangat nyenyak sekali.

Jelas saja, jarang-jarang waktu seperti itu terjadi dikehidupan Ryan yang

jauh dari orang tuanya. “Sepertinya anakmu itu sudah menemukan

kelemahanmu juga ya ma...?” kata ayah Ryan sambil sedikit menoleh

kebelakang dan tersenyum. “Papa ini gimana sih? Memang sejak awal dia

adalah kelemahan mama... lebih-lebih karena kita gagal memberikan dia

hadiah ulang tahun yang udah kita rencanain tahun lalu,” kata Helen sambil

tersenyum tapi terlihat sedikit menyesal dan ada setetes air keluar dari

matanya. Henry terlihat tidak mampu berkata apa-apa mendengar kata-kata

istrinya saat itu. “Kalo Ryan tiba-tiba terbangun terus ngelihat air mata itu,

dia gak akan berhenti bertanya, mama gak mau dia tahu akan hal itu kan?”

kata Henry beberapa saat kemudian. Mendengar itu, ibu Ryan langsung

mengusap air matanya dan memandang Ryan dengan tatapan penuh kasih

sayang. “Entah sudah berapa lama mama gak ngelihat anak ini dalam

keadaan tertidur seperti ini, dia benar-benar tidak berubah dari dulu,

mencoba untuk tegar tanpa kita, padahal dia begitu rapuh...” kata Helen

sambil tersenyum tipis. “Ini semua salah kita ma, kita benar-benar adalah

orang tua yang sangat egois....” sambung Henry. “...... Mama berharap dia

bisa menemukan seorang pendamping yang bisa memberikannya kasih

sayang yang lebih dari kita, sebentar lagi dia akan lulus SMA, mama gak

mau dia terus-terusan kayak gini...” kata sang ibu lagi. “Papa juga berharap

begitu ma...” jawab Henry.

Saat itu Ryan bermimpi melihat seorang perempuan didepannya,

perempuan itu berdiri diatas sebuah tebing yang menjorok ke mulut pantai

dengan baju berwarna ungu bergaris putih. “Eh... Loe sapa? Mau bunuh diri

ya berdiri ditempet kayak gitu? Masih ada juga ya orang pake acara bunuh

diri bunuh diri segala jaman kayk gini...” kata Ryan datar. Tidak lama

kemudian perempuan itu berbalik dan tersenyum kearah Ryan, angin pantai

menyapu rambut hitamnya yang lurus sepanjang pinggang itu. Perempuan itu

mengaitkan sedikit helaian rambutnya ke telinga sambil terus memandang

Ryan dengan senyuman. Melihat perempuan itu, Ryan tidak mampu berkata

apa-apa, dia tertegun, entah disebabkan karena apa, tapi Ryan benar-benar

tidak berkedip sama sekali saat perempuan itu melayangkan senyumannya.

Akhirnya kamu datang juga.... Ryan....” kata perempuan misterius itu sambil

tetap tersenyum.

***

Page 17: Bidadari Bersayap Biru

Chapter 3

THE ASSEMBLING OF THREE COLOURS

Ryan seketika terhenyak dari tidurnya. Dia terdiam untuk sejenak dan

mengambil nafas panjang. “Mimpi macam apa itu tadi” katanya sambil

memegang kepalanya seolah-olah sedang merasa pusing, padahal tidak sama

sekali. Dia melihat sekelilingnya, ternyata dia sudah berada dikamarnya, dia

menoleh kearah jam waker yang ada di samping tempat tidurnya, jam itu

menunjukkan pukul delapan pagi. Dia kembali terdiam, entah karena masih

teringat oleh mimpi anehnya itu atau karena suasana rumah serasa sangat

sepi sekali pagi itu. Tidak lama kemudian dia beranjak dari tempat tidurnya,

keluar kamar. “Ma.... Pa...? Sarapan pagi ini apa...?” Ryan sedikit berteriak.

Tidak ada jawaban. “Tumben mereka sepi tanpa suara...” katanya dalam hati

sambil turun ke lantai bawah menuju ke arah dapur. Sepi, tidak ada siapa-

siapa. “Mustahil jam seginian mereka masih tertidur...” kata Ryan sambil

kembali naik ke lantai atas langsung menuju ke kamar orang tuanya. “Jangan

bilang kalian molor sampai jam seginian karena kecapean ya...” Ryan

langsung saja membuka pintu kamar yang ada didepannya itu. Sama seperti

keadaan didapur, suasana kamar itu sunyi senyap, tidak terasa ada orang

didalam ruangan itu. “Apa mungkin mereka di taman ya?” kata Ryan pada

dirinya sendiri. Dia kembali turun ke lantai bawah. Ketika dia melewati

ruang keluarga, dia melihat secarik kertas memo diatas meja dan sebuah

ATM di samping memo itu. Dia langsung saja mengambil dan membacanya.

“Sayang.... Maaf ya kami pergi tanpa ngebangunin kamu dulu. Ada

keperluan mendadak di Amerika yang harus kami hadiri. Sekali lagi mama

dan papa minta maaf karena gak bisa nemenin hari minggu kamu. Papamu

ninggalin ATM buat keperluan kamu, isinya cukup untuk satu tahun

kedepan. We Love You, Prince...”

Setelah membaca memo itu, kembali Ryan mengambil nafas panjang. “Gue

bodo‟ banget ngarepin mereka bisa tinggal barang 24 jam sekali pun...” kata

Ryan dalam hati. “Pake acara ninggalin ATM segala lagi, kirain mereka gue

ni pejabat korup yang bisa di sogok-sogok apa...” sambungnya dengan nada

sedikit jutek. Tanpa menghiraukan ATM itu Ryan langsung berjalan ke

kamar mandi. Tidak lama kemudian dia sudah terlihat segar kembali. Setelah

Page 18: Bidadari Bersayap Biru

mengganti pakaiannya, dia langsung ke dapur dan membuat sarapan sendiri.

Saat tengah sarapan, tiba-tiba sosok wanita yang ada didalam mimpinya tadi

itu kembali terbayang dibenaknya walaupun hanya sekilas saja. Ryan

terkejut, dia sedikit merinding karena suasana rumahnya yang sangat besar

itu sedang dalam keadaan sunyi senyap, memang jarang sekali dia hanya

sendirian dirumah itu. “Apaan si‟....” Ryan terlihat mengambil air minum

dengan tergesa-gesa padahal dia baru saja melahap suapan pertama

sarapannya dan langsung bergegas kekamarnya, menyambar jaket yang biasa

dia pakai dan sebuah boneka kecil yang terbuat dari porselin berbentuk

malaikat bersayap biru yang ada di meja belajarnya, keluar kamar dengan

berlari-lari kecil langsung menuju ke arah pintu garasi. Ternyata sebejat-

bejatnya Ryan, dia masih bisa merasa takut, lebih-lebih didalam rumahnya

sendiri, hal itu membuat Ryan terlihat sedikit lucu melihat karakternya yang

begitu dingin. Tanpa pikir panjang memilih mobil yang ada di garasinya

yang terlihat bagaikan sebuah showroom mobil itu, dia langsung memasuki

mobil New Aston Vanquish Volate yang karena nama mobil itu rumit, dia

sampai memberikan nama Summer Snow pada mobil favoritnya itu, karena

memang warna mobil itu putih bersih. Salju musim panas, nama yang aneh

memang, tapi itu adalah penomena alam yang tidak pernah terjadi didunia

sampai saat ini. Dia tidak mengambil nama Snow White karena nama itu

terdengar feminim untuk kegunaan seorang laki-laki seperti Ryan. Tunggu

dulu, kenapa malah membahas nama aneh mobil sih? Oke, kita lanjutkan

ceritanya... Ryan langsung saja joss... menarik gas mobilnya bagaikan

pencuri yang kabur membawa mobil curian karena saking ngerinya. Cukup

jauh dari lokasi rumahnya berada, dia berhenti di sebuah restauran untuk

melanjutkan sarapannya. Saat tengah melahap sarapannya, handphonenya

berdering, panggilan dari... “Mama”. Ryan langsung menekan

tombol answer sambil melahap hidangan yang ada didepannya. “Emm.... iya

tadi sekitar jam delapanan gitu... Iya... mama payah, pergi tanpa ngebuatin

aku sarapan sama sekali... kalo mau liat aku mati kelaparan kenapa gak

bilang langsung aja...” nada Ryan agak sedikit kesal, kesal banget malah.

“Iya... Iyaa..... Aku ngerti kok.... gak apa-apa kok ma.... iya.. aku liat kok....

kalian emang boros ato mau nyogok aku? Uang jajan tahun ini kan masih

lebih dari pada cukup... pake ninggalin ATM segala....” Kata Ryan sambil

terus melahap sarapannya seolah-olah belum pernah makan berhari-hari.

“Aaahh...? Papa bilang apa tuh dibelakang? Mau pamer?” Ryan sedikit

memperjelas kata-katanya setelah mendengar ayahnya ikut berbicara. “Ya

udah ma, aku udah selesai sarapannya nih... Iya.. iya... aku mau ke rumah

Page 19: Bidadari Bersayap Biru

Riska kok nih.... mama bawel banget sih....” kata Ryan sambil berdiri dan

meninggalkan meja makannya setelah menaruh uang di buku bon yang dari

tadi ada disampingnya. “Ya udah ma... aku tutup nih... bye ma....” Ryan

memasukkan handphonenya ke saku dan langsung tancap gas keluar

parkiran. Saat itu dia memang benar-benar kerumah Riska guna menepati

janjinya kepada sang ibu. Dia sampai siang duduk bersama Riska

dipekarangan rumah Riska yang memang terbilang cukup elit itu walaupun

pada dasarnya Ryan tidak pernah berharap harus menghabiskan waktunya

bersama Riska kembali. Kalau saja dia tidak mendapat panggilan dari Edo

bersama dua anak yang lainnya kalau mereka sudah menunggu Ryan

dirumahnya, mungkin Ryan benar-benar akan menghabiskan hari minggunya

bersama Riska saat itu. Tapi sesaat setelah mendapat panggilan dari Edo, dia

langsung bergegas keluar dari rumah Riska dan itu adalah terakhir kalinya

dia bersama satu-satunya perempuan yang dia putuskan secara baik-baik

karena permintaan langsung dari ibunya. Kali ini Ryan memacu mobilnya

dengan sangat santai, tidak ngebut-ngebutan seperti tadi pagi. Sepertinya dia

sudah melupakan rasa takutnya itu. Dan ketika itu dia melewati sebuah

apotik.

Ryan seketika menghentikan laju mobilnya dan menepi, dia sedikit

membuka kaca jendela pintu mobilnya dan memandang cermin spion.

Didepan apotik itu berdiri seorang perempuan, sendiri. “Bidadarikah...?”

Ryan menggumam karena melihat perempuan itu. Memang, gadis yang saat

itu sedang berdiri di trotoar depan apotik itu sangat cantik sekali,

dengan sweather berwarna ungu di tempeli syal berwarna putih melingkar di

lehernya, dia terlihat begitu sangat anggun dimata Ryan.

“Wah...Wah...Wah.... Ternyata gak cuman pejuang aja yang gugur satu

tumbuh seribu, wanita juga begitu adanya....” kata Ryan dalam hati. “Gue

harus milikin nih cewek, gak peduli gimanapun caranya, itung-itung buat

nambah koleksi, kebetulan gue lagi kosong jadi gak bakalan ada yang

gangguin....” sambungnya lagi seraya menutup kaca jendela pintu mobilnya

dan menarik perseneling mobil ke huruf R. Mobil itupun mundur mendekat

kearah gadis tadi. Didepan gadis itu, Ryan kembali menurunkan kaca jendela

mobilnya dan sedikit menurunkan kaca matanya yang berlensa biru agar

lebih jelas melihat gadis itu. “Sendirian aja neng?” kata Ryan duluan

menyapa gadis itu seperti tukang ojek saja. Gadis itu menjawab dengan

anggukan pelan. Mau pulang?” sambung Ryan. Gadis itu kembali

Page 20: Bidadari Bersayap Biru

mengangguk, kali ini ditambah dengan senyuman. “Uwalaaahhh..... tadi gue

ngeliat bidadari, kali ni dengan senyuman itu loe kayaknya berubah jadi

malaikat.... Harus... pokoknya harus gue milikin nih cewek..” kata Ryan

dalam hati setelah melihat gadis itu tersenyum. “Nunggu jemputan kah...?”

tanyanya lagi. Kali ini gadis itu menggeleng, tapi masih tetap dengan

senyumannya. “Yeeessss.....!!!!!! Kesempatan emas....!!!!” Ryan terlihat

berapi-api. “Mau gue anterin pulang...?” Ryan kembali bertanya. “Kayaknya

bakalan nolak nih... tapi bakalan gue paksain loe buat gue anterin pulang...”

kata Ryan dalam hati. Perkiraan Ryan salah. Gadis itu mengangguk dengan

manis. Seolah-olah dia memang sudah mengharapkan kedatangan Ryan.

“Serius...?! Jangan bilang loe pelacur yang lagi nunggu langganan nih....

Tapi aaahhhh.... peduli setan... mau pelacur kek, apa kek, yang jelas gue

kagak tahan liat kecantikan loe...” kata Ryan dalam hati sambil membukakan

perempuan itu pintu mobilnya dari dalam. Gadis itu melangkah memasuki

mobil Ryan. “Lavender...” kata Ryan dalam hati setelah mencium aroma

yang ikut masuk bersama si gadis itu. “Maaf-maaf kate nih ye...? Tapi kok

loe gampang banget mau gue anterin pulang? Loe gak takut kalo misalnya

gue ni perampok, ato penculik, ato apa gitu..?” tanya Ryan sambil berusaha

menggunakan kata-kata sopannya, agar si „target‟ tidak merasa tersinggung.

Gadis itu memandang ke sekeliling interior mobil. “Ada ya, perampok ato

penculik make mobil impor semewah dan semahal kayak gini...?” kali ini si

gadis akhirnya membalas kata-kata Ryan tidak dengan bahasa isyarat. Ryan

terdiam. “Alamaaaakkkk..... Gue udah gak tau lagi dah mau bandingin loe

kayak apa, normalnya loe kayak bidadari, senyum, loe kayak malaikat,

ngomong? loe kayak.... aaaaddduuuuhhhh.... apa ada maha karya Tuhan

yang lebih indah dari malaikat...?” kata Ryan dalam hati. “Tapi dia memang

terdengar cukup pintar juga, apa gue bisa ngakal-ngakalin nih cewek yak...?”

sambungnya. Gadis itu terus memandang Ryan dengan senyumannya yang

begitu sangat manis. “Hahahahahaa.... iya juga yak...?” Ryan tertawa sambil

menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sama sekali sambil

menjalankan mobilnya. “Ato jangan-jangan nih cewek ikut gue gara-gara

ngeliat mobil mewah gue.... Aaaahhhh..... Semua perempuan memang

sama....” kata Ryan kembal dalam hati. Oh iya.... aneh juga keliatannya kalo

kita gak saling kenal tapi udah semobil kayak gini.... Kenalin, gue Ryan...

Loe...?” Ryan memulai perkenalan diri. “Maya...” Jawab gadis itu singkat.

“Maya.... Nama yang cukup jarang digunakan jaman sekarang ya...” kata

Ryan. Gadis itu hanya tersenyum saja sambil terus menghadap kedepan.

Tidak lama kemudian mereka sampai didepan rumah Maya. Seorang kakek

Page 21: Bidadari Bersayap Biru

yang masih belum terlalu tua tanpa curiga langsung saja membuka pintu

gerbang yang terlihat sangat besar dan berat itu. “Wadduuhhh..... Nih cewek

ternyata cukup elit juga, dia bukan pelacur...” kata Ryan dalam hati setelah

melihat kondisi rumah Maya yang hampir sama seperti kondisi rumahnya

tapi dengan pekarangan yang tidak terlalu besar. Di samping rumah itu

terlihat seorang wanita seumuran ibu Ryan sedang menyirami berbagai jenis

bunga, tampaknya itu adalah sebuah taman bunga. Terlihat begitu sangat

indah. “Rumah loe gede juga yak...?” kata Ryan sambil terus mengikuti jalan

beraspal yang sepertinya menuju kearah garasi itu. Maya hanya tersenyum

simpul mendengar Ryan berkata seperti itu. Setelah sampai diujung jalan itu

yang ternyata memang benar adalah sebuah garasi mobil, Ryan

menghentikan dan mematikan mesin mobilnya. Wanita yang menyiram

bunga-bunga tadi mendekati mobil Ryan. Ma....” kata Maya sambil keluar

dari mobil Ryan, diikuti oleh Ryan. “Maya.. Tumben pulang dari apotik

bawa temen...” kata wanita yang ternyata adalah ibunya Maya itu sambil

tersenyum. “Tante...” Ryan sedikit membungkuk kepada ibu Maya

menandakan rasa hormatnya. “Ayoo nak... Duduk dulu... Maaf ya... Maya

jadi ngerepotin...” kata wanita itu dengan sangat ramah sekali sambil

menunjukkan tempat duduk dan meja yang terbuat dari kayu di tengah taman

bunga itu. Ryan pun melangkah mengikuti ibu Maya. “May.... minta tolong

kasi tau mbok buatin teh manis ya...?” kata wanita itu kepada Maya. Maya

pun melangkah kearah pintu samping rumah yang letaknya beberapa meter

dari depan taman bunga itu, dia menghilang dari pandangan Ryan setelah

memasuki rumah. “Waaahhh.... keluarga elit nih.... apa gue gak salah masuk

rumah..?” kata Ryan dalam hati. “Eeeee.... Maaf nak....” ibu Maya mencoba

menanyakan nama Ryan. “Ryan... Panggil aja Ryan, tante...” kata Ryan

sambil tersenyum. Seketika peringai seorang Ryan berubah drastis, sopan,

penuh senyuman, pokoknya bertolak belakang dari Ryan sehari yang lalu

dan hari-hari yang lainnya. “Ahh... Ryan ya.... Nama tante... Rani... Ibunya

Maya” kata ibu Maya memperkenalkan dirinya kepada Ryan. Tidak lama

setelah itu seorang perempuan berumuran sekitar lima puluh tahunan datang

membawa dua cangkir teh dan meletakkannya diatas meja didepan tempat

Ryan dan tante Rani duduk. “Makasi ya mbok...” tante Rani tersenyum.

“Injihh nyah...” kata si mbok sambil membungkuk dan kembali berlalu ke

arah rumah. “Ayo nak Ryan, diminum tehnya..” kata tante Rani

mempersilahkan. “Iya tan...” Ryan pun meneguk teh manis yang ada

didepannya. “Eeee.... Ngomong-ngomong tan, tadi saya ketemu Maya

didepen apotik kan tuh..., kayaknya baru abis beli obat, emangnya ada yang

Page 22: Bidadari Bersayap Biru

sakit ya..?” tanya Ryan sambil meletakkan cangkir tehnya. “Maya yang

sakit...” jawab tante Rani. “Oooohh.... Kenapa gak minta siapa kek gitu buat

pergi beli obat kalo emang Maya yang sakit tan... Masak dia harus pergi

sendiri gitu? Tante gak khawatir kalo dia kenapa-kenapa dijalan?” sambung

Ryan. Tante Rani tersenyum. “Maya itu.... Anaknya cukup tegar, menurut

tante sendiri, dia malah terlalu tegar kalo melihat penyakitnya sekarang ini,

dia tidak mau membebani orang lain termasuk tante mengenai penyakitnya

itu” kata tante Rani. “Dan tante percaya kok sama dia, tante tau dia bisa jaga

dirinya sendiri, emang dari kecil dia sudah bersifat mandiri kayak gitu,

biasanya sih tante minta pak Kosim buat ngejemput dia kalo udah terlalu

lama belum balik dari apotik, tadi juga baru aja tante mau bilang gitu sama

pak Kosimnya...” sambung tante Rani. Ryan mengangguk-angguk. “Tapi

lumayan jauh juga ya tan? Tadi saya liat banyak apotik-apotik yang lebih

deket, kenapa beli obatnya gak kesitu aja?” Ryan kembali bertanya. “Apotik

tempet nak Ryan ketemu Maya tadi itu kebetulan apotik milik keluarga, dan

obat Maya cuman ada disana karena memang langsung dikirim dari Amerika

sama papanya Maya” jawab tante Rani. “Haaahh??? Ayahnya ada di

Amerika juga? Waaahhh.... Nih cewek bukan cewek sembarangan deh

kayaknya, kalo gue jadiin maenan jadi masalah besar gak ya...?” Ryan

lumayan terkejut mendengar kondisi keluarga Maya yang bisa dibilang tidak

sembarangan seperti perempuan-perempuan yang biasa dijadikan „mainan‟

oleh Ryan itu. “Eeeemm... Emang kalo boleh tau, Maya sakit apa tan...? kok

kedengerennya obatnya khusus gitu?” Ryan kembali bertanya. Mendengar

pertanyaan itu tante Rani kali ini tidak langsung menjawab Ryan, dia

menoleh dan menatap Ryan cukup lama. “Eeee.... Ka.... Kalo gak boleh tau

juga gak apa-apa kok tan, hehehehee...” Ryan jadi salah tingkah karena baru

kali itu dia ditatap tajam oleh wanita lain selain ibunya. Tante Rani

tersenyum kearah Ryan. “Dulu...” dan memulai penjelasannya mengenai

pertanyaan Ryan tadi sambil kembali menoleh kearah pekarangan bunga

yang ada didepan mereka. “Maya biasanya punya banyak teman, ketika

masih bisa bersekolah, bisa dibilang hampir setiap hari rumah ini tidak

pernah sepi oleh teman-temannya yang datang untuk belajar kelompok kah

ato hanya sekedar berkunjung untuk bermain-main saja, agar tempat belajar

dan bermain mereka fresh, taman ini pun tante buat sedemikian rupa.” Tante

Rani sedikit bercerita kepada Ryan tentang anaknya, Maya. “Masih bisa

bersekolah? Maksud tante?” belum tante Rani menyelesaikan ceritanya,

sudah muncul pertanyaan baru dari Ryan. “Iya... Kondisi Maya mulai

menghawatirkan sejak setahun lalu, tepatnya sejak semester akhir kelas 11.

Page 23: Bidadari Bersayap Biru

Sejak lahir, Maya didiagnosis mengidap penyakit yang terbilang cukup

langka...” kata tante Rani yang tidak kalah mengejutkan Ryan. Lagi-lagi

tante Rani menatap tajam kearah Ryan, seolah-olah mengatakan “apakah

kamu sudah siap mendengarkan hal yang sebenarnya tentang

Maya?”. “Katup jantungnya tidak sempurna, yang menyebabkan

pemompaan darah ke jantungnya tidak bisa berjalan seperti semestinya...”

sambung tante Rani tidak begitu lama kemudian. “Maya... didiagnosis Aortic

Stenosis tante..? tapi bukankah penyakit itu cukup umum....” kata Ryan

mendengar penyakit yang dialami Maya itu. “Waaahhh.... Nak Ryan ternyata

punya pengetahuan tentang medis ya? Padahal sepengetahuan tante, hal-hal

seperti itu tidak dipelajari disekolah, selain di universitas kedokteran, nak

Ryan kuliah kedokteran ya?” tanya tante Rani sambil tersenyum dan terlihat

terkesan. “Ah... Nggak juga sih tan... Saya masih SMA, cuman pernah

denger aja...” Ryan jadi sedikit tersipu. “Siswa SMA tapi sudah tau tentang

Aortic Stenosis..? Waw...” lagi-lagi tante Rani tampak menyanjung Ryan.

“Ah.... Tante... Biasa aja kok...” Ryan kembali jadi salah tingkah. “Memang

sih basicnya penyakit Maya ini seperti Aortic Stenosis, tapi ini sedikit

berbeda, karena semakin dia tumbuh, katup jantungnya akan semakin

menyempit....” tante Rani kembali menjelaskan. Ryan mengernyitkan

dahinya, karena dia tahu Aortic Stenosis tidak seperti itu. “Awalnya dia

difonis tidah akan bertahan lama, paling tidak sampai berumur 15 tahun...”

sambung tante Rani. “Li.... Lima belas tahun...? Maaf... Fonis mati tan...?”

Ryan sedikit tersentak. Tante Rani mengangguk sambil tersenyum tipis.

“Tapi kepala dokter yang menangani Maya waktu itu memiliki ide lumayan

gila yang kalau gagal saat itu juga, bisa mengancam kehidupan Maya bahkan

sebelum Maya tahu apa-apa..” cerita tante Rani. “Ide gila apa tan...?” kali ini

Ryan benar-benar penasaran. “Demi membuat Maya bisa hidup setidaknya

lebih lama dari 15 tahun, dokter itu mengatakan akan mengganti jantung

Maya, ....... dengan jantung yang terbuat dari bahan kaca yang berfungsi

layaknya jantung normal, dengan kata lain..... Jantung kaca...” terang tante

Rani. Mendengar hal itu, tidak heran kalau Ryan hampir terjatuh dari kursi

tempat dia duduk. Karena memang, sepintar-pintarnya dia, baru kali itu dia

mendengar istilah jantung kaca. “Waaahhh.... gila tuh dokter tan... tapi

ngomong-ngomong masalah mengganti jantung Maya, kenapa gak di

transplansi dengan jantung asli aja tan? Itu bisa saja membuat Maya bisa

hidup normal kan?” kata Ryan lagi. Tante Rani tetap saja tersenyum tipis.

“Dokter itu bilang, Maya adalah gadis yang istimewa, yang pantas memiliki

jantungnya sendiri, bukan jantung orang lain... dan Maya yang waktu itu

Page 24: Bidadari Bersayap Biru

sudah tahu dan sepenuhnya mengerti tentang penyakitnya itu memang setuju

dengan ide tersebut” kata tante Rani. Ryan terdiam mendengar cerita tante

Rani. “Jadi Maya sekarang memiliki jantung.....” Ryan tidak mau

melanjutkan kata-katanya. “Iya... Maya bisa bertahan sampai sekarang berkat

jantung kaca itu...” tante Rani mengangguk membenarkan asumsi Ryan.

“Dan obat yang dibawa oleh Maya tadi adalah obat anti biotik yang juga

berfungsi untuk terus menopang sistem kerja jantung buatan tersebut, tapi

pada akhirnya takdir memang tidak akan bisa terus dihindari, sistem kerja

jantung kaca itu hanya bisa berjalan dalam jangka waktu 5 tahun saja, yang

artinya, umur Maya hanya bisa ditambah 5 tahun atau sampai dia tepat

menginjak usia yang ke 20 tahun,.... tepat saat dia meniup lilin yang ke dua

puluh, takdirnya sudah ditentukan...” kata tante Rani kali ini agak sedikit

pelan, dia menengadahkan wajahnya kelangit, tampak jelas dia menahan air

mata yang dari tadi ingin keluar ketika mengingat beban yang ditanggung

oleh anak gadis semata wayangnya itu. Ryan pun tidak bisa berkata apa-apa

mendengar cerita tentang Maya itu. “Maya... gue sama sekali gak pernah

nyangka kalo ada cewek sekuat dia, kalo ngelihat kondisinya saat ini,

sepertinya ide dokter gila itu memang berhasil sepenuhnya, Maya sudah

ngelewatin masa fonis 15 tahunnya, ternyata ada juga manusia yang bisa

hidup dengan jantung yang terbuat dari kaca, dia memang cewek yang

istimewa....” kata Ryan dalam hati. Bermaksud untuk mencairkan suasana...

“Tapi serius tan... tuh dokter emang gila, kok bisa buat ide kayak gitu, itu

kan bahaya kalo gagal, semua harapan tante bisa hancur hanya dalam

sekejap, siapa sih dokter gila itu tan...? Apa dia bener-bener dokter spesialis

jantung?” tanya Ryan sambil meneguk minumannya. “Dokter yang punya

ide gila itu memiliki dua gelar spesialis, dia dokter jantung sekaligus dokter

kandungan...... dokter itu... Papanya Maya...” kata tante Rani yang akhirnya

kembali tersenyum simpul. Tapi... “Bbbbbrrrrrr......!!” semua air teh yang

ada di mulut Ryan langsung menyembur keluar ketika mendengar kalau

dokter yang dia sebut gila tadi ternyata ayahnya Maya, dengan kata lain, dia

mengatakan kalau dokter itu gila didepan istri sang dokter itu sendiri. Tante

Rani malah terlihat menahan tawanya sambil memberikan Ryan tisu yang

memang sudah ada dimeja tersebut. “Pa.... Papanya Maya tan...?” kata Ryan

sambil mengambil tisu itu dan mengelap bibirnya yang hampir terlihat

belepotan air teh tadi. Tante Rani mengangguk pelan. “Ma.... Maaf ya tan...

tadi saya bilang....” Ryan terlihat benar-benar sangat malu sekali, malunya

sudah tidak ketulungan lagi karena kata-katanya sendiri. “Gak apa-apa kok

Page 25: Bidadari Bersayap Biru

nak Ryan... Tante juga mikir seperti itu dulu ketika papa Maya ngomong gitu

ama tante...” jelas tante Rani.

Karena merasa enak mengobrol dengan ibunya Maya, Ryan tidak

sadar kalau waktu sudah beranjak sore dan hampir petang. Ryan melirik jam

tangannya, ternyata sudah hampir pukul 5 sore. “Adduuhh tan... maaf ya?

Udah sore nih... Kayaknya saya harus pulang...” kata Ryan. Tante Rani

kembali mengangguk pelan sambil tersenyum. Ryan pun berdiri dan

kemudian pamit. “Maya....??? Ryan mau balik nih...” tante Rani sedikit

berteriak memanggil Maya. Ketika Ryan mulai melangkah menuju tempat

mobilnya parkir.... “Pada usianya yang ke 18 tahun, setahun yang lalu,

kondisi Maya mulai menunjukkan penurunan, dia mulai batuk darah, sering

terjadi gejala mimisan dan dia sudah tidak bisa terlalu lama berada diluar

rumah karena tubuhnya tidak akan bisa menahan udara luar jika terlalu lama,

karena itu dia tante berhentiin sekolah dan menjalani home schooling yang

tante lakukan secara pribadi, jadi maafin ya kalau dari tadi dia gak ikut

duduk sama nak Ryan...” kata tante Rani yang membuat Ryan berhenti

melangkah. “Semenjak teman-temannya mengetahui akan penyakit Maya

itu, mereka satu persatu berhenti datang kesini, bukannya berprasangka

buruk, tapi mungkin wajar saja jika mereka berfikir, percuma memiliki

teman yang hanya berumur singkat seperti Maya, ..... terkadang tante juga

berfikir... Maya mungkin tidak ubahnya seperti zombie, tubuhnya mungkin

sudah mati empat tahun lalu, yang membuatnya bisa berjalan, dan tersenyum

bebas saat ini hanyalah semangat dan ketegarannya saja...” kata tante Rani

menambahkan. Ryan tidak menjawab dan malah melanjutkan langkahnya

ketika Maya mulai terlihat keluar rumah dan melangkah kearah mamanya,

Ryan memandang Maya sambil terus melangkah, Maya pun tersenyum

simpul pada Ryan. Belum sampai didepan mobilnya, Ryan berhenti,

disampingnya tampak tumbuh bunga mawar putih yang lumayan rimbun.

Ryan terus memandang bunga itu, dan tidak begitu lama, dia kemudian

membungkuk untuk memetik setangkai dari rimbunan bunga mawar putih

tersebut. Setelah itu, dia mengambil alat yang digunakan untuk menanam

bunga yang berada tidak jauh dari sana dan kembali ketempat tante Rani dan

Maya berdiri. Setelah sampai ditempat mereka, Ryan langsung menanam

setangkai bunga mawar putih yang dia petik tadi. Dia memandang Maya

yang dari tadi tidak mengatakan sepatah kata pun itu, dan kemudian

memandang tante Rani. “Tante.... besok saya akan kembali untuk merawat

Page 26: Bidadari Bersayap Biru

bunga ini, kecuali saya atau Maya, jangan biarkan siapapun merawat bunga

ini...” kata Ryan yang membuat tante Rani sangat terkejut sekali, dia tidak

menyangka kalau Ryan akan mengatakan hal seperti itu. “Untuk jaminannya

kalo saya bakalan balik besok...” sambung Ryan sambil merogoh saku

jaketnya dan mengeluarkan sebuah boneka porselen berukuran kecil

berbentuk bidadari dengan sayap birunya, dan memandang Maya. “Boneka

ini dikasi ama mama aku di ultah aku yang pertama..” kata Ryan pada Maya.

“Dia bilang boneka ini adalah malaikat pelindung aku saat dia gak ada

disamping aku.... Dan emang bener... Bidadari Bersayap Biru ini terus

ngejaga aku selama 20 tahun ini.... May.... Aku titipin boneka ini ke kamu

ya? Aku yakin dia bisa ngejaga kamu seperti dia ngejaga aku sampai usia

aku 20 tahun, tahun ini....” kata Ryan sambil menyodorkan boneka bidadari

bersayap biru itu kepada Maya. Awalnya Maya terdiam saja, tapi akhirnya

dia kembali tersenyum sambil mengambil boneka itu. Tante Rani

terperangah melihat Ryan sampai melakukan hal tersebut untuk anaknya,

padahal mereka baru kenal hanya beberapa jam yang lalu. “Stay healthy

yoo...” kata Ryan tersenyum lebar pada Maya sambil mengacak-acak rambut

gadis itu dengan lembut seolah-olah dia telah lama akrab dengan Maya.

Maya pun mengangguk pelan. “Tante..? Saya pamit dulu...” kata Ryan. Tapi

Tante Rani saat itu tidak bisa berkata apa-apa melihat ketulusan yang

terpancar begitu jelas dari Ryan. Tanpa menunggu respon dari Tante Rani,

Ryan pun kembali melangkah menuju tempat mobilnya di parkir, dan ketika

Ryan menyalakan mesin mobilnya.... “Nak Ryan....” kata tante Rani yang

ternyata sudah berdiri didepan pintu mobil Ryan. “Maya bukan zombie ato

apapun yang tante sebut tadi, Maya itu..... Adalah bidadari.... Maha Karya

Tuhan yang terindah bagi saya.... Maya itu bukan gadis cacat, dia justru jauh

lebih sempurna dari siapapun yang ada disini sekarang ini. Mereka yang

menjauhi Maya hanya karena mengetahui Maya memiliki waktu yang

singkat, merekalah yang sebenarnya „sakit‟, mereka itu „palsu‟, mereka itu

hanyalah bibit-bibit „penjilat‟ yang biasa saya lihat dijalanan, lebih baik

mereka memang pergi ninggalin Maya daripada nantinya malah „menulari‟

Maya dengan „penyakit-penyakit‟ menyedihkan dan menjijikkan mereka itu,

dan tante.... jangan jadiin diri tante menjadi ibu yang palsu buat Maya,

karena belum tentu tante bisa seperti Maya.... Belum tentu tante bisa sekuat

Maya, yang menanggung beban berat seperti itu sendirian.... dengan

senyuman yang begitu manis dan tulus... kalo tante masih memiliki

pemikiran seperti itu, sebaiknya tante bunuh saja Maya dengan tangan tante

sendiri, daripada harus membiarkannya tersiksa menunggu ajalnya yang

Page 27: Bidadari Bersayap Biru

tinggal sebentar lagi, dia gak mau ngebebanin tante dengan keadaannya, jadi

jangan bebani dia dengan pikiran buruk tante itu...” dengan dinginnya Ryan

menusuk-nusuk tante Rani dengan kata-katanya itu, yang membuat tante

Rani tidak mampu berkata apa-apa. Ryan memang adalah anak yang tidak

memiliki hati. Tapi kali ini, dia mengatakan kata-kata sesadis itu justru

murni dengan hati dan perasaan yang begitu tulus untuk Maya. “Dan satu hal

lagi tan...” kata Ryan. “Meskipun tubuhnya mungkin gak kuat jika dibiarkan

terlalu lama diluar rumah, bukan berarti tante harus mengurungnya terus

didalam rumah, justru karena dia memiliki waktu yang singkat, biarkan dia

merasakan seperti apa suasana luar rumah yang begitu nyaman ini, saya

mungkin bakalan ngeliatin dia indahnya dunia luar, bagaimana cara hidup

orang-orang normal dan, saya „pasti‟...” Ryan memperjelas kata-kata

terakhirnya itu. “Akan terus berada disisinya demi hal-hal seperti itu, jadi...

jangan larang saya meskipun bukan hak saya untuk melakukan hal tersebut,

mungkin tadi saya mengatakan om itu gila gara-gara membahayakan Maya

agar Maya bisa hidup lebih lama lagi... dan itu terbukti berhasil... sekarang

saya mengerti kenapa om bisa segila itu.... dan saya akan melakukan hal

„gila‟ yang lainnya lagi yang mungkin akan membahayakan Maya, tapi

untuk bisa..... mengisi saat-saat yang begitu sangat berharga buat Maya ini...

dengan kebahagiaan yang pantas untuk dia dapatkan” kata Ryan tetap

dengan nada sangat dingin. Setelah berkata seperti itu pada tante Rani, dia

pamit untuk yang ketiga kalinya. Mobil Ryan akhirnya menghilang dibalik

gerbang rumah itu.

Tante Rani menghapus air mata yang dari tadi keluar dari matanya itu

dan berbalik. Saat itu dia melihat Maya menaburkan sesuatu ke bunga mawar

putih yang ditanam oleh Ryan waktu itu, dan kemudian memandang langit.

Boneka Bidadari Bersayap Biru yang diberikan Ryan tadi itu tetap berada

didekapannya, ukuran boneka itu sedikit lebih besar dari genggamannya.

Maya tersenyum sambil terus memandang langit senja yang berwarna jingga

itu, senyuman yang seolah-olah dia baru saja terbebas dari sesuatu yang

membelenggunya selama ini. Senyuman bebas yang bahkan selama 19 tahun

ini tidak pernah sama sekali dilihat oleh tante Rani. Karena itu tante Rani

benar-benar tidak bisa menahan aliran air matanya yang seketika mengalir

deras itu. Selama ini kata-kata Ryan memang selalu membuat para kaum

hawa menangis sedih, tapi kali ini tante Rani bukan dibuat menangis sedih

oleh Ryan, akan tetapi itu adalah tangisan terharu, bahagia yang begitu

Page 28: Bidadari Bersayap Biru

mendalam sekali. Semilir angin spoi-spoi saat itu menyapu rambut hitam

Maya yang lurus sepanjang pinggang itu dan terlihat begitu indah sekali, dia

kemudian mengaitkan sedikit helaian rambutnya itu ke atas telinganya

sambil terus tersenyum. “Ryan....” katanya pendek tapi begitu penuh arti.

Setelah susah payah menghapus air matanya, tante Rani kemudian mendekati

Maya dan mengajaknya memasuki rumah dengan senyuman yang terlihat

begitu lega.

***

Page 29: Bidadari Bersayap Biru

Chapter 4

THE ROYAL BLOODS AND THE PRINCESS WITH HEART OF

GLASS

Ryan mematung, tatapannya begitu kosong, menembus dinding yang

ada sekitar enam meter didepannya itu. “Woooeeee.... Pangeran....” Edo

sedikit berteriak karena dari tadi dia memanggil-manggil Ryan tapi tidak

mendapat respon. Ryan terhenyak dari lamunannya. “Apa...” jawab Ryan

pendek. “Loe nape hah? Kesambet..?! Kok jadi aneh kayak gitu, seumur-

umur gue ame loe, gue kagak pernah liat loe ngelamun ampe gak denger kiri

kanan loe...” sambung Edo sambil membelai rambut seorang perempuan

yang sedang duduk dipangkuannya saat itu. Ryan tidak menjawab, tapi

malah memandang Edo dengan tatapan kosong. Melihat hal itu, Rafael yang

dari tadi tiduran di pangkuan ceweknya, langsung mengambil posisi duduk.

“Din...? Loe kan bar tender nih, racikin minuman yah?” kata Rafael. “Tapi

kan udah tadi gue racikin Raf...” kata perempuan yang bernama Dinda itu.

“Lagi dah... Yang laen... Yah?” balas Rafael yang tampaknya „mengusir‟

Dinda dengan halus. “Mel...? Sin...? Please bantuin Dinda yah..?” sambung

Rafael sambil memandang dua perempuan lainnya yang saat itu sedang

asyik-asyiknya bersama Edo dan Eric. Kedua perempuan itu pun langsung

pergi mengikuti Dinda ke bar yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka

duduk-duduk itu. Keadaan cukup hening sejenak. “Yan...?” kali ini Rafael

yang memanggil Ryan dengan nada bertanya karena dia juga merasa kalau

sohibnya itu memang terlihat tidak seperti biasanya saat itu. Ryan terdiam

untuk beberapa saat. “..... Gue kayaknya mau udahan deh... kayak gini terus

bro...” kata Ryan pelan. Eric mengernyitkan keningnya karena tidak

mengerti. “I.... don‟t really catch your point here...” kata Eric yang memang

tidak mengerti maksud perkataan Ryan tadi. “O‟on loe bule... maksudnya

Ryan itu... dia mau berenti jadi cowok... mau ganti kelamin kali...

hahahahahahaa...” Edo tertawa sendiri bermaksud membuat lelucon. Rafael

dan Eric menatap tajam Edo, yang membuat Edo menghentikan tawanya

sedikit demi sedikit, dan akhirnya terdiam tidak berkutik. Keadaan kembali

hening, kali ini mereka bertiga menunggu Ryan untuk menjelaskan

semuanya dengan detail. “Hari ni gue ketemu seorang cewek...” kata Ryan

memulai ceritanya yang bertemu dengan Maya tadi siang. Yaelah.... Segitu

aja? Padahal gue udah ngarepin cerita yg lebih seru lagi...” Kata Edo sambil

berdiri dan berniat menyusul Dinda yang saat itu sedang meracik minuman

Page 30: Bidadari Bersayap Biru

untuk mereka di mini bar. Tapi Eric malah memegang pergelangan

tangannya ketika Edo melangkah akan melewati dia. Edo memandang Eric

yang saat itu tengah menatapnya tajam seolah-olah mengatakan “Sit down

Do.... He is your brother, so give a little respect to him...”. “Gue gak pandai

jadi pendengar setia.... Dia gak perlu cerita apa-apa ke gue, yang perlu dia

lakuin ya cuman ngajak gue ketemu langsung face to face ma tuh cewek.

Gue pengen liat gimana sih rupa cewek yang mampu ngebuat nih anak jadi

galau kayak gini....” kali ini nada bicara Edo yang berubah, sepertinya dia

tidak sedang bercanda dengan kata-katanya itu, dia terdengar sedingin Ryan

yang Rafael dan Eric saja tidak pernah melihat Edo seperti itu. Tapi Ryan

terlihat tidak terkejut sama sekali dan terus menundukkan kepalanya

mendengar kata-kata Edo tadi. “Besok sore.... Ngeliat loe kayak gini, gue

yakin loe bakalan balik lagi buat nemuin tuh cewek, jangan ampe loe

ngebawa gue ke cewek murahan yang biasa loe jadiin „gantungan kunci‟

kayak biasanya. Cewek kayak gitu-gitu gak pantes ngebuat loe jadi keliatan

bodoh kayak gini...” sambung Edo lagi sambil melangkah setelah Eric

akhirnya melepaskan pergelangan tangannya.

Edo bukannya tidak menghormati Ryan dengan bertingkah seperti

itu, justru saat-saat seperti itulah Edo menunjukkan respect tertingginya

kepada Ryan. Dia bertingkah seperti itu karena dia memang sepenuhnya bisa

membaca gelagat Ryan, bisa membaca isi hati Ryan yang tidak semua orang

bisa mengerti. Edo adalah satu-satunya anak yang bisa benar-benar mengerti

Ryan. Bukan Henry, bukan Helen, bukan Rafael, bukan Eric. Tapi anak yang

selalu bertingkah konyol, dan tidak jelas itu, Edo. Terlepas dari sikap Edo

yang selalu mengganggu Ryan, mengejek Ryan, menginjak-injak harga diri

Ryan, hati dan perasaan mereka berdua sudah singkron tanpa mereka sadari

sendiri. Ryan yang saat itu ditinggalkan oleh Edo akhirnya menceritakan

semuanya kepada Eric dan Rafael, semuanya, termasuk kekurangan yang

dimiliki oleh Maya. Eric dan Rafael tidak bisa berkata apa-apa mendengar

cerita Ryan tentang Maya. Keesokan harinya, seperti yang dikatakan Edo,

sorenya Ryan membawa ketiga temannya ke rumah Maya. “Inget... jaga

sikap, sifat, omongan dan etika kalian... Kita gak sedang di club ato dirumah

gue...” kata Ryan sebelum keluar dari mobil. Eric dan Rafael terdiam. Ryan

memandang tajam kearah Edo. “Apa...” tanya Edo. “Isn‟t it a bit hard for

you to do so....?” kata Eric. “Maksud kalian, cuman gue yang gak bisa jaga

mulut gue...?!” kata Edo yang tanpa menunggu yang lain, dia langsung saja

Page 31: Bidadari Bersayap Biru

keluar dari mobil. Saat itu tante Rani yang tengah melakukan rutinitas

sorenya di taman bunga melihat Ryan yang datang, langsung mendekati

mereka. “Nak Ryan bawa teman ya...” kata tante Rani sambil tersenyum.

“Ah... Iya tan... Ini temen-temen sekolah saya” kata Ryan. Edo sedikit

melangkah maju, sepertinya dia berniat memperkenalkan dirinya. “Nama

gu...” Edo tidak bisa melanjutkan kata-katanya, wajahnya terlihat menahan

sakit. Ternyata Ryan mencubit pinggangnya dari belakang. Edo

memandangnya sambil memegang pinggangnya karena sedikit kesakitan.

Tante Rani saat itu hanya bisa menyembunyikan senyumnya melihat gelagat

mereka. “Na... Nama saya Edo, tante.... Saya temennya Ryan dari kecil, bisa

dibilang saya udah jadi kayak saudara kadungnya Ryan gitu...” kata Edo

mengulangi kalimatnya. “Mmm... Iya, kalian memang terlihat seakur

saudara...” balas tante Rani. „Akur tan...? malah sebaliknya, kami gak pernah

akur dari dulu....” kata Edo sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sama

sekali tidak gatal itu. “Saya Rafael tante...” kata Rafael sopan sambil sedikit

membungkuk hormat. Tante Rani tersenyum simpul ke arah Rafael.

“Ahhh.... A foreigner... What‟s your name... Young boy...?” belum Eric

mencoba memperkenalkan diri, tante Rani sudah terlebih dahulu

menanyakan namanya. “It‟s Eric, Ma‟am... And it‟s okay if you use

Indonesian, I‟m completely understand...” seperti Rafael, etika Eric pun

tampaknya sudah terlatih. “Waw... Jadi nak Eric mengerti bahasa Indonesia

toh.... Well... That‟s cool....” balas tante Rani. “Yes ma‟am.... but I prefers

English in a conversation for myself...” kata Eric. “Mmmm.... Nak Eric bisa

berbahasa Indonesia..?” tanya tante Rani. “Yes, ma‟am...” jawab Eric

pendek. “Kalau begitu kenapa gak ngomong pake bahasa Indonesia aja biar

semua orang mengerti...” tante Rani kembali bertanya. Eric terlihat ingin

menjelaskan tapi... “Kalo dia ngomong pake bahasa Indo, bakalan ngondek

tan... itu tuh... kayak.. Udah ujan... jalanan becek, gak ada ojek....” kata Edo

mendahului Eric sambil menirukan gaya bicara artis Cinta Laura. Saat itu

tante Rani sudah tidak bisa menahan tawanya melihat gelagat Edo. “Mmm...

tan...? Mayanya.... Boleh keluar...?” tanya Ryan. Tante Rani langsung

menghentikan tawanya yang dari tadi tengah tertawa mendengar kata-kata

Edo itu dan langsung memandang Ryan, begitu pula dengan Ryan yang terus

menatapnya menunggu jawaban yang akan diberikannya atas pertanyaan

Ryan tadi. Keadaan menjadi hening untuk sejenak. Tidak lama kemudian

tante Rani tersenyum. “Kalian duduk-duduk aja dulu ditaman ya...? sebentar

tante panggilin Mayanya...” kata tante Rani dan kemudian berjalan kearah

rumah. Ryan langsung melangkah ke bangku taman tempat dia mengobrol

Page 32: Bidadari Bersayap Biru

dengan tante Rani kemari dan disusul oleh Rafael. “I‟ll fucking kill you...”

kata Eric berbisik di telinga Edo sambil berjalan mengikuti Ryan dan Rafael.

“Uuuu~ so scary...” jawab Edo berpura-pura ketakutan dengan ancaman Eric

tadi.

Tidak beberapa lama kemudian tante Rani keluar dari dalam rumah

diikuti oleh seorang gadis. Gadis itu menggunakan baju hangat berpola garis

ungu dan putih dengan syal yang berwarna ungu pula. Ya, gadis itu adalah

Maya. Maya berjalan kearah tiga anak yang tengah duduk sambil bercanda di

bangku taman itu sedangkan Ryan tengah menyirami sepucuk bunga mawar

putih yang kemarin dia tanam. Setelah sampai didepan ketiga anak itu...

“Hay...” kata Maya lembut sambil tersenyum. Edo, Rafael, dan Eric yang

baru kali itu melihat sosok Maya, ternganga, terbelalak, tidak mampu

berkata-apa-apa. Lumayan mereka mematung seperti itu didepan Maya, hal

itu benar-benar terlihat konyol sekali untuk ukuran anak yang memang selalu

bertingkah konyol. “May.... Taruhin tanah mulut tuh anak-anak, kalo nggak

bakalan penuh ma laler ijo....” teriak Ryan dari kejauhan yang tengah

membersihkan tangannya. “Bu.... Buju busyet dah Yan..... Ini manusia ato

bidadari sih.... baru kali ni gue liat cewek secantik ini...” kata Edo,

tampaknya dia tidak sadar berkata seperti itu didepan Maya dan tanpa

berkedip sama sekali sementara Rafael dan Eric benar-benar tidak bergerak

sama sekali. Maya hanya tertawa kecil mendengar kata-kata Edo itu.

“Bidadari mata loe peyang, mana mungkin Tuhan ngasi loe ngeliat

bidadari.... Maya ini ya manusia biasa kali....” kata Ryan yang saat itu sudah

berada disamping Maya. Maya memandangnya, begitupun Ryan yang

membalas pandangan Maya. “Hanya saja... gadis yang satu ini lebih

sempurna dari gadis-gadis lain yang selama ini kita kenal...” kata Ryan

dengan nada lembut sambil tersenyum kearah Maya. Entah sejak kapan sikap

Ryan benar-benar berubah. Terlihat jelas kalau kata-kata dia waktu itu

bukanlah kata-kata picisan yang selama ini dia gunakan untuk mengambil

hati perempuan-perempuan lainnya. Kata-kata itu benar-benar keluar dari

lubuk hati Ryan yang terdalam, bagian hati yang selama ini Ryan kunci

rapat-rapat, bagian yang sudah menjadi sebuah „tabu‟ bahkan untuk dirinya

sendiri. Sekarang terbuka lebar, debu yang sudah menumpuk di tempat itu

dalam sekejap menghilang, mendungnya dunia Ryan seketika berubah cerah,

satu warna yang Ryan selama ini kenal yaitu hitam, akhirnya berubah

menjadi seribu warna. Dan hal itu bisa terjadi dalam sekejap mata, hal yang

Page 33: Bidadari Bersayap Biru

bahkan, mungkin dunia tidak bisa rubah dari Ryan, bisa dirubah oleh sesosok

gadis biasa yang mengidap penyakit tidak tertolong lagi seperti Maya.

“Hanya saja yang perlu kamu tau Do, Maya ini punya sedikit masalah....”

kata Ryan lagi, kali ini dengan nada sedikit serius. Inilah tujuan dia

mengajak teman-temannya itu menemui Maya, bukan untuk memamerkan

kecantikan gadis yang dia temui kemarin, tapi untuk memberi tahu mereka

sesuatu yang dilihat sebagai kelemahan dari diri seorang Maya oleh orang

lain, tapi kelebihan yang sangat luar biasa dari kaca mata Ryan sendiri.

“Masalah...?” tanya Edo kali ini sedikit penasaran. Ryan memalingkan

pandangannya kearah Maya. Tapi gadis yang satu itu benar-benar tidak

pernah kekurangan senyum, padahal beban yang dia emban saat itu benar-

benar berat yang tidak semua orang bisa emban, dia mengangguk pelan

sambil memandang Ryan. Melihat hal itu, Ryan menarik nafas panjang.

“Maya gak kayak kita, dia bertahan hidup sampai sekarang dengan bantuan

alat... Dia adalah satu-satunya gadis berjantung kaca....” kata Ryan yang

membuat Edo hampir terjerembab kebelakang karena saking kaget dan tidak

percaya dengan kata-kata Ryan. “Dia difonis hanya bisa hidup sampai

umurnya mencapai 20 tahun, dan hal itu akan terjadi delapan bulan lagi,

tepat dimalam tahun baru...” Ryan melanjutkan penjelasannya tanpa

menunggu Edo merespon. Mendengar hal itu,trio kwek-kwek yang biasanya

memiliki bahan obrolan tanpa batas itu tidak mampu untuk berkomentar

sedikitpun tentang penjelasan Ryan tadi, mereka terdiam, dengan ekspresi

penuh simpati mengetahui hal seperti itu. Begitu pula dengan Ryan, dia

terdiam dan tertunduk setelah mengatakan hal tersebut. Melihat hal itu, Maya

melangkah dan menarik pergelangan tangan Ryan. “Ajak temen-temen

duduk dong Yan...? gak capek berdiri terus...?” Maya memecahkan suasana

hening itu dengan nada dan gaya bahasanya yang begitu sangat lembut itu.

Tidak lama kemudian suasana pun kembali mencair. Tante Rani melihat sore

itu benar-benar adalah sebuah anugrah, karena anaknya Maya, kembali bisa

tersenyum lepas, mengobrol dan bercanda kembali. “Maya bukan zombie

atau apapun yang tante sebut tadi.... Dia justru jauh lebih sempurna dari

siapapun yang ada disini sekarang ini” tante Rani terhenyak, dia teringat

akan kata-kata Ryan kemarin yang benar-benar sudah menyayat-nyayat,

meremas-remas perasaannya itu. “Maafin mama ya May....? Mama tidak

seharusnya mengurungmu selama ini... Dan terimah kasih... karena kamu

sudah hidup sampai sejauh ini...” kata tante Rani dalam hati sambil melihat

anak gadisnya itu sedang asyik bercanda gurau dengan anak-anak yang

diluar sana disebut-sebut sebagai sang penghancur hati, The Royal

Page 34: Bidadari Bersayap Biru

Bloods. Malam harinya setelah pulang dari rumah Maya. Ryan, Edo, Rafael,

dan Eric langsung pergi clubing. Seperti biasa mereka hura-hura, minum-

minum dan melakukan hal yang biasa mereka lakukan selama ini. Kemudian

ditengah-tengah acara hura-hura itu, tiba-tiba Edo menarik Ryan keluar dari

kerumunan. Hal itu disadari oleh Rafael dan Eric, tapi mereka tidak ikut

menyusul. “Loe serius Yan...?” nada bicara Edo saat itu berbeda dari

biasanya. “Hah..?” Ryan tidak mengerti maksud Edo. Edo tidak mengatakan

apa-apa tapi memandang Ryan dengan begitu tajam untuk beberapa saat, tapi

Ryan tidak menatap Edo saat itu, dia terus meneguk minuman yang ada

digelas yang dia pegang dari tadi itu. “Loe pikir apa yang bakalan terjadi

kalo loe nyampakin cewek dengan kondisi seperti itu... Hidupnya udah

ditentuin bakalan sampe kapan dan itu gak lama.... Apa loe bermaksud

mempercepa...” Edo tidak melanjutkan kata-katanya karena tepat saat itu

Ryan menatapnya. “Loe liat ada tanda gue bakalan nyampakin dia...?” kata

Ryan dingin. Edo tidak menjawab. “Loe serius..?” Edo mengeluarkan

pertanyaan awalnya tadi. “Loe gak bodoh Do... Gue yakin... gue tau.. loe

yang paling bisa baca jalan pikiran gue, kita tu barengan ri masih bayi, apa

yang gak loe tau ri gue...?” balas Ryan. “Dua puluh tahun kita idup bareng

seperti sodara, ini pertama kalinya gue minta jawaban loe secara langsung....

Karena ini kali pertamanya gue naruh simpati yang begitu dalem ama

seorang cewek, yang mungkin bakalan ngebuat gue lebih mihak dia daripada

loe, tergantung jawaban loe atas pertanyaan gue tadi...” kata Edo lagi.

Seolah-olah mereka saling tusuk menusuk dengan kata-kata dingin mereka.

Ryan terdiam untuk sejenak, suasana hiruk pikuk tempat itu seolah-olah

tidak mempengaruhi telinga Edo yang ingin mendengar jawaban Ryan saat

itu. “Loe masih inget pas kita masih esde kelas empat dulu, gue kelai terus

dikeroyok ama anak kelas enam terus loe tiba-tiba dateng kayak pahlawan

kesiangan gitu, abis tu loe bilang apa ma gue...?” Ryan kembali bertanya

sambil memalingkan pandangannya dari Edo. Edo yang ditanya seperti itu

oleh Ryan tiba-tiba mengalami flashback.

“Heeehh....!!!! Kalian para banci bener-bener gak punya malu ye ngeroyok

anak kecil kayak gini....” kata Edo kecil yang berdiri didepan Ryan yang

saat itu sudah tersungkur penuh luka. “Kamu siapa!!! Pergi ato kalo gak

aku pukulin juga nih...” kata salah seorang dari mereka mengancam Edo.

“Aku aduin pak guru kalian...” kata Edo yang kelihatan sedikit ciut juga

melihat beberapa anak kelas enam itu mendekati dia. “Keroyokin aja....”

kata salah seorang lagi. ...... Hari pun menjelang sore, Edo yang penuh luka

Page 35: Bidadari Bersayap Biru

disekujur tubuhnya itu memapah Ryan yang tidak kalah „rusak parah‟ itu

pulang. “Kamu kebanyakan nonton film Ultraman nih... Coba tadi kamu lari

ngadu ke pak guru, gak bakalan jadi kayak gini kan...” kata Ryan sambil

menahan sakit. “Gak bakalan keburu, kamu bakalan jadi lebih parah dari

ini kalo aku pergi ngadu, lagiyan.... aku gak mungkin ninggalin kakak aku

dikeroyok gitu aja kan?” jelas Edo. “Kakak...?” Ryan terlihat tidak

mengerti. “Iya, kamu kan kakak aku...” balas Edo. Ryan tidak menjawab.

Mereka terus berjalan. “Kamu sendiri kebanyakan nonton film Superman,

pake ngelawan anak-anak kelas enem segala...” kata Edo lagi. Dan kata-

kata itu membuat mereka tertawa terbahak-bahak sepanjang perjalanan,

yang secara alami membuat mereka tidak merasakan sakit yang mereka

rasakan bersama itu. Dan sebelum sampai didepan gerbang rumah Ryan,

mereka berhenti. Tiba-tiba Ryan menaruh tangan kanannya dikepala Edo.

“Untuk selanjutnya, aku sebagai kakak, janji bakalan ngejaga kamu ampe

orang tua kita masing-masing pulang dan ngejaga kita untuk seterusnya...”

kata Ryan polos sambil tersenyum. Mendengar hal itu Edo tidak mampu

berkata-apa-apa.

Dan setelah Edo selesai mengingat kenangan masa lalu itu, tiba-tiba saja

tangan kanan Ryan sudah ada dikepalanya. “Gue sebagai kakak loe.... janji

bakalan ngejaga Maya, sampe waktunya tiba....” kata Ryan. Edo terdiam,

seperti dulu, dia tidak mampu berkata apa-apa mendengar Ryan berkata

seperti itu. Tanpa menunggu respon dari Edo, Ryan pun kembali melangkah

ketempat dimana dia berkumpul tadi. Tidak lama kemudian, Edo tersenyum

tipis. “Akhirnya, dia kembali seperti dulu juga...” kata Edo dalam hati dan

menyusul Ryan.

Malam itu mereka berpoya-poya, berhura-hura sampai larut malam.

Tapi itu adalah malam terakhir mereka melakukan hal-hal seperti itu.

Keesokan harinya, Ryan membuka lembaran baru kehidupannya, dia

menghabiskan delapan puluh persen waktunya dalam sehari bersama Maya.

Dia meninggalkan dunia malam, meskipun terkadang dia datang dan berpacu

di arena balap liar. Tidak tanggung-tanggung terkadang dia membawa Maya

untuk hanya sekedar menonton. Dia benar-benar menunjukkan indahnya

kehidupan kepada Maya, tentunya secara positif, tidak ada lagi sisi negatif

yang tersisa dari dalam diri Ryan sejak pertemuannya dengan Maya. Putri

Jantung Kacanya itu. Tapi satu hal yang mereka lupakan, waktu itu tidak

Page 36: Bidadari Bersayap Biru

berhenti, dia terus berjalan tidak perduli situasi dan kondisi yang tengah

terjadi. Sang waktu terus berjalan menuntun Maya menuju gerbang terakhir

kehidupannya itu. Lima bulan berlalu tanpa mereka sadari. Malam itu Ryan

merebahkan diri ditempat tidur sementara ketiga temannya sedang main

game diruang tamu. Dia memandang hapenya. Tidak lama kemudian dia

memencet speed dial yang ada di keypad hapenya itu, dia memanggil nomor

seseorang. Tidak lama kemudian panggilan Ryan itu terjawab. “Mah....

Kalian bisa pulang...?” kata Ryan.

***

Page 37: Bidadari Bersayap Biru

Chapter 5

A BIG DAY FOR A LITTLE TIME

Mobil Edo memasuki pekarangan rumah Maya dan langsung saja

terparkir didepan garasi rumah itu. Edo keluar dari dalam mobil. Menoleh

kesana kemari sambil melangkah kearah Maya yang saat itu berdiri tengah

menyirami serumpun bunga mawar putih. Menyadari Edo berjalan mendekat

kearahnya dia pun menghentikan aktivitasnya itu dan tersenyum ke arah

Edo. “May... Ryannya dimana yak..? Tadi pas aku nyampe dirumahnya dia

gak ada tuh, padahal kayaknya om sama tante baru ja nyampe...” kata Edo

sambil sedikit cengingisan sambil menggaruk-garuk kepalanya. Terlihat

sekali kalau dia masih agak-agak malu berada didekat Maya seperti itu

walaupun kenyataannya mereka sudah kurang lebih lima bulan ini sering

menghabiskan waktu bersama. “Ryan pergi ke apotik Do... Gak lama lagi

balik kok, Edo tungguin aja ya..?” jawab Maya dengan begitu sangat lembut.

“Mmmm....” Edo mengangguk-angguk pelan. Maya kembali menyirami

rumpunan bunga tadi tapi kali ini dengan posisi duduk. Edo memandang

bunga itu. “Wah... mawarnya udah segini rimbun yah...? Aku baru sadar

lho...” kata Edo sambil tersenyum tipis dan melipat kedua tangannya didepan

dada. “He‟em... Ryan bener-bener ngerawat bunga ini dengan sangat baik...”

balas Maya sambil tersenyum. “Kayaknya tuh anak cocok deh jadi penjual

bunga, bener-bener bakat terpendam... Hahahahahaha...” Edo tertawa

terbahak-bahak. “Uhuk...! Uhuuk..!” saat itu Maya malah sedikit terbatuk.

Dia menutup mulutnya dengan sapu tangan putih yang dari tadi dia pegang.

Melihat hal itu Edo berhenti tertawa. “Adduuhh... Maaf, maaf May....

tertawa ku terlalu gede yah..? Maaf yah...” kata Edo kembali menggaruk-

garuk kepalanya yang tidak gatal itu. Ketika Edo melihat sapu tangan tadi

saat itulah terlihat jelas bercak warna merah menempel disana. “Darah...”

kata Edo dalam hati dengan wajah pucat. “Ma... Maya!... Kamu...!” Edo

berniat mendekati Maya tapi seketika berhenti karena Maya memberi isyarat

untuk tidak mendekat. Maya memandang Edo dengan senyuman. “Aku baik-

baik aja kok... Edo gak usah khawatir... Ini udah biasa...” kata Maya pelan.

“Ta... Tapi.... Aaahh....!! Sialan tuh anak...!! pergi ke apotik ato nongkrong

sih...?! Pake mobil ato becak sih...?! Lama amat...!! Aku telpon dia aja kali

yak biar cepetan dateng...” kata Edo masih dengan wajah pucat dan salah

tingkah karena benar-benar khawatir melihat Maya batuk darah seperti itu.

Terang saja, batuk darah dengan penyakit separah dan sebahaya itu pasti

Page 38: Bidadari Bersayap Biru

akan membuat siapa saja akan merasa khawatir bukan main sama halnya

seperti Edo saat ini. “Do.... Do.... Udah... Gak usah nelpon Ryan... dia pasti

sedang dalem perjalanan, aku gak mau dia nyetir buru-buru kalo Edo nelpon

bilang yang nggak-enggak gitu...”kata Maya sambil berdiri. “Tapi May...”

balas Edo. Saat berdiri itu pandangan Maya menjadi sedikit mengabur,

kepalanya sedikit pusing dan dia merasakan seperti rasa tusukan didada

bagian kirinya. Tapi untuk membuat Edo tidak khawatir dia tidak

mengatakan apa-apa dan berusaha untuk tetap seimbang dalam posisi berdiri

dengan keadaan seperti itu. Dia memandang Edo dan tersenyum. “Edo mau

janji kan kalo Edo gak bakalan ngasi tau Ryan tentang apa yang Edo liat hari

ini...?” kata Maya pelan. Edo tidak menjawab. “Edo janji ya...?” sepertinya

Maya memaksa Edo untuk berjanji kepadanya. “Siaaaaalllllll......!!!!!!! Gue

harus gimana kalo udah kayak gini....!!! Maya terlihat gak baik sekarang

ini...!!!!” kata Edo dalam hati, tapi akhirnya dia mengangguk pelan tanda

berjanji kepada Maya untuk tidak memberi tahu Ryan tentang apa yang dia

lihat saat itu. Maya pun membalas Edo dengan senyuman manisnya. Edo

terus menatap Maya, wajahnya masih terlihat pucat, tapi memang tidak

sepucat tadi. “Aku panggilin tante yah...” kata Edo. “Do...” balas Maya.

“Aku janji ama kamu buat gak ngasi tau Ryan. Aku gak janji buat gak ngasi

tau tante. Hal ini mungkin udah biasa buat kamu, tapi gak buat aku...” kata

Edo dingin sambil berbalik akan melangkah kearah rumah. “Do... Maaf

karena aku udah ngambil Ryan dari Edo dan yang lainnya... Tapi tolong

izinin aku ya...?” kata Maya tiba-tiba yang membuat langkah Edo terhenti.

“Tolong izinin aku buat terus berada disisi Ryan sedikit lebih lama lagi. Aku

tau waktu aku gak lama, dan aku gak bisa membahagiakan Ryan dengan

sempurna. Tapi setidaknya aku bisa terus mencoba untuk membuatnya terus

berada dijalannya yang sekarang, aku mau dia terus menjadi Ryan yang

sekarang ini...Aku gak bakalan hi...” kata-kata Maya langsung dipotong oleh

Edo. “Ryan ngabisin waktunya lebih banyak ama kamu ketimbang ama aku,

Rafael dan Eric itu gak jadi masalah buat kami, justru kalo boleh jujur aku

pribadi bersyukur dan berterima kasih ke kamu, karena kamu udah

ngembaliin Ryan yang dulu aku anggep kakak itu ke aku selama beberapa

bulan terakhir ini. Dan kamu gak perlu khawatir... Kamu udah ngebahagiain

dia lebih dari sekedar kata sempurna, dan cuman kamu yang bisa

ngelakuinnya. Karena itu aku mau kamu tetep ama dia dengan syarat kamu

harus berusaha bertahan selama mungkin, bertahan.... bertahan sampe

apapun yang menunggu kamu akhir tahun ini menyerah dan pergi dengan

sendirinya. Kamu itu gadis kuat yang mampu ngelawan takdir kamu selama

Page 39: Bidadari Bersayap Biru

empat tahun ini, jadi aku yakin kamu bisa ngelawan lagi untuk ngedapetin

tambahan empat tahun lagi.... dan empat tahun lagi... dan empat tahun lagi...

Jangan lakukan itu demi dirimu sendiri, tapi lakukan itu demi Ryan, dengan

begitu kamu gak punya alasan untuk menyerah...” kata Edo kepada Maya

dengan dinginnya dan tanpa menoleh sama sekali. Dia kembali melanjutkan

langkahnya, tapi baru beberapa langkah saja... “Do....” panggil Maya. Edo

pun berhenti dan berbalik. “Aku janji.... Aku akan mengembalikan Ryan ke

Edo... Ryan yang dulu pernah menjadi kakaknya Edo itu....” kata Maya

sambil tersenyum tipis kearah Edo, saat itu Maya terlihat menggenggam erat

patung bidadari bersayap biru yang dulu pernah diberikan oleh Ryan itu.

Melihat senyuman yang begitu manisnya dengan kata-kata yang begitu

sangat tulus itu Edo tidak mampu berkata apa-apa. Tubuhnya bergetar, dia

tidak pernah menyangka kalau akan ada seseorang yang mengatakan hal

seperti itu kepadanya. Dia mematung, tidak bisa melanjutkan langkahnya.

Tidak lama kemudian sebuah mobil New Aston Martin Vanquish

putih memasuki pekarangan rumah Maya. Itu adalah mobil Ryan. Dia

memarkir mobil Summer Snownya itu disamping mobil Edo. “Do....?” kata

Ryan sambil tersenyum dan mengacak-acak rambut Edo dari belakang dan

melangkah melewatinya kearah Maya. Edo masih terdiam. “Adduuhhh

sayaaannnggg.... Maaf aku lama ya...? Macet, ada kecelakaan tadi...” kata

Ryan sambil tersenyum kepada Maya dan memberikannya satu pak obat

yang khusus untuk Maya itu. Maya pun mengangguk sambil membalas

senyum Ryan itu dan mengambil obat yang dibawakan oleh Ryan itu. “Gak

apa-apa kok Yan... ada Edo kok yang nemenin aku dari tadi...” jawab Maya

pelan. “Oh iya.. Do...?” Ryan kembali menoleh kearah Edo. “Rafael ama

Eric mana...? Loe sendirian...?” panggil Ryan. Edo tidak menjawab, dia

masih terpaku. “Yuuuhhhuuuu~~” Ryan mengibas-ngibaskan tangannya

kearah Edo, yang membuat dia terlihat terhenyak dari lamunannya itu. “Ah...

Mmmm.... Apa...?” Edo memang terlihat seperti orang yang baru tersadar

dari lamunannya. “Wallaaahhh.... ngelindur nih anak...”kata Ryan sambil

tertawa kecil ke arah Maya dan menggandeng gadis itu. “Ahh... mmm....

Gak.... Gue gak ama mereka, tadi sih gue mau ngasi tau loe kalo gue ada

tanding nanti malem. Gue pake mobil loe aja yah....?” kata Edo lagi.

“Ohhh.... Ya udah... Loe pake aja.... Tumben loe minta izin segala, biasanya

loe kan asal sambet aja, kayak gue siapaaaaa gitu ngeliat loe pake acara

minta izin gini...” balas Ryan. Edo mengangguk-angguk kecil sambil

Page 40: Bidadari Bersayap Biru

berbalik, tapi dia menghentikan gerakannya. “Oh iya.... om ama tante baru

nyampe tuh, tadi aku mampir dulu kerumah loe...” kata Edo lagi. “Aaahh....

Pantes loe pake acara minta izin ke gue kalo mau pake mobil....

hahahahahahaa...” Ryan tertawa. “Iya.. entar aku balik buat makan malem

ama mereka kok, abis itu..... kita pergi nonton Edo yah sayang..?” kata Ryan

tiba-tiba. “Eeehh... Eehh... Gak usah bawa Maya...” sebelum Maya memberi

respon atas ajakan Ryan tadi Edo sudah terlebih dahulu buru-buru melarang

Ryan untuk membawa Maya karena dia tahu kondisi Maya saat itu. “Loe

nape....? Kayak gak pernah ngeliat Maya ikut nonton aja... Tante Rani aja

gak apa-apa, kok loe malah ngelarang gitu...?” balas Ryan. “Eeemmmm...”

Edo memandang Maya yang saat itu tengah memandangnya sambil menaruh

jari telunjuknya didepan bibirnya dan berusaha agar Ryan tidak melihat

isyarat itu. “Eeeemmm....” Edo tidak tahu harus berkata apa kepada Ryan,

dia ingin sekali mengatakan kalau Maya sudah tidak boleh keluar rumah lagi

karena kondisinya sudah tidak baik untuk itu, tapi dia saat itu sudah terikat

janji dengan Maya untuk tidak menceritakan Ryan tentang hal yang tadi.

“May....? Kamu gak apa-apa kan kalo kita pergi nonton nanti...?” Ryan

kembali bertanya kepada Maya. Maya memandangnya balik dan kemudian

tersenyum sambil mengangguk kecil. “Gak apa-apa kok Do... Mama pasti

ngizinin aku...” kata Maya sambil melemparkan senyumannya kearah Edo.

“Aduuuhhhh... Maya..... Gue minta loe buat bertahan.... Bukan bunuh diri...”

kata Edo dalam hati. Dan tanpa berkata apa-apa dia akhirnya kembali

berbalik dan melangkah kearah mobilnya. “Bunganya udah disirami

sayang..?” tanya Ryan kepada Maya. “Iya... udah kok Yan...” jawab Maya

sambil tersenyum. “Ya udah... kalo gitu sekarang kita masuk yukk? Kamu

kan harus minum obat...” kata Ryan lagi dengan lembut dan sambil

tersenyum. Maya membalas senyuman Ryan sambil mengangguk pelan.

Mereka berdua pun melangkah kearah rumah dan mobil Edo menghilang

dibalik gerbang rumah Maya itu.

Sekitar jam 07.30 petang, Ryan sampai dirumahnya dan langsung

saja kearah ruang keluarga. “Paaahh.... Maaahhh.... Aku pulang...” kata Ryan

sedikit berteriak karena tidak mendapati orang tuanya diruang keluarga. “Di

dapur sayaaanngg...” terdengar suara ibunya dari arah dapur. Ryan pun

melangkah ke arah dapur yang ada diseberang ruang keluarga. Disana dia

mendapati ayahnya yang tengah duduk didepan meja makan dan ibunya yang

tengah menyiapkan makan malam untuk mereka bertiga. “Kamu pulang lama

Page 41: Bidadari Bersayap Biru

sekali.... papa udah laper banget dari baru sampai tadi...” kata ayahnya ketika

melihat Ryan muncul dari balik pintu dapur. “Katakan itu pada diri kalian

sendiri yang waktu itu ninggalin aku tanpa membuatkan makanan untuk

sarapan....” balas Ryan terdengar sedikit jutek sambil duduk berseberangan

dengan ayahnya. Henry terlihat ciut mendengar jawaban dari anaknya itu.

“Itu kan sudah lama.... Masak kamu masih nyimpen dendam sih sama

kami...?” kata Henry lagi. “Sudah-sudah.... Dapur bukan tempat buat bales

dendem bales dendeman segala, makanan sudah jadi, ayo kalian berdua siap-

siap...” Helen menyela pembicaraan suami dan anak laki-lakinya itu sambil

meletakkan hidangan terakhir yang dia buat dan duduk didekan Henry. Di

tengah-tengah acara makan itu.... “Ma... Pa...” kata Ryan pelan sambil

menghentikan aktivitas makannya. “Iya sayang...?” jawab Helen lembut

sambil memandang Ryan, sementara Henry tidak menjawab dan terus

melahap hidangan makan malamnya. “Aku punya satu permintaan...”

sambung Ryan. Helen terlihat mengernyitkan dahinya. “Kami tau kok, ulang

tahun kamu tinggal seminggu lagi, kami udah nyiapin Lamborghini tipe

terbaru sebagai tambahan koleksi mobil kamu...” kata Henry sambil terus

melahap makanannya. “Bukan itu pah... mah.... Aku.... mau membuat sebuah

komitmen ama seseorang, bertunangan...” kata Ryan lagi. Helen

menghentikan makanannya, tapi Henry terlihat tidak merespon sama sekali

dan terus saja makan seperti orang yang tidak pernah makan selama berhari-

hari. “Sayang...? Mama.... Gak salah denger omongan kamu kan..?” Helen

balik bertanya kepada Ryan karena terkejut mendengar anaknya berkata

seperti itu kepada mereka. Ryan menggeleng pelan. “Apa gak terlalu

cepet...? kamu kan masih sekolah sayang....” Helen kembali bertanya kepada

Ryan. “Aku tau, mungkin ini terlalu cepat... Tapi gak terlalu terlambat...”

kata Ryan pelan. “Terlambat....?” Helen semakin tidak mengerti. Ryan

terdiam, dia memandang ayahnya yang dari tadi asyik sendiri dengan

makanannya. Melihat hal itu, Helen menginjak kaki suaminya itu yang

membuat Henry menghentikan makannya sambil menahan sakit. Tapi tidak

lama kemudian, Henry mengacungkan jari telunjuknya memberi isyarat

untuk menunggu. Dia meraih handphone yang ada disebelahnya dan

memencet speed dial di hape itu. Tidak lama kemudian dia mendapat

jawaban. “James... It‟s me. Looks like I can‟t come back tomorrow, maybe

for a week.... Naaahh.... it seems like the little boss here ordering me to do

something important... You take over the meeting with Mr. Yukimura

tomorrow alright...? Yea... About that, can you do it...? Good.... I‟ll leave it

to you this time...” sepertinya Henry menelepon seseorang yang ada di

Page 42: Bidadari Bersayap Biru

Amerika sana tentang sebuah pertemuan. “Oh... and hey James....”sambung

Henry sebelum menutup panggilan itu. “..... You‟re gonna meet Eric a week

later, so finish all the homework there and prepare yourself to go here

okay...? Good luck...” kata Henry dan akhirnya menutup panggilan itu.

Setelah menaruh hapenya kembali diatas meja.... “Okay prince..... I don‟t

have anything in my mouth now.... Who is this princess we‟re talking

about...” kata Henry dengan posisi siap mendengarkan pengakuan anaknya

itu. “Namanya..... Maya...” kata Ryan memulai ceritanya. “Maya.... Nama

yang indah dan terdengar anggun... Penggalan dari nama almarhum nenek

kamu, Mayang...” kata Helen sambil tersenyum dan berpangku tangan

mendengar Ryan menyebut nama Maya. Ryan menunduk mendengar kata

„almarhum‟ dari ibunya itu. “Kalau kalian ingin tau, dia dari keluarga yang

bisa dibilang sederajad dengan kita, tidak ada kelebihan apapun dari Maya

ini, hanya saja.....” kata Ryan menghentikan ceritanya sambil memandang

Helen dan Henry yang ada didepannya dengan tatapan serius. Kedua orang

tuanya itu mengernyitkan dahinya. “Ahh... kalau masalah kaya atau tidaknya

pilihanmu, kami tidak terlalu memikirkan itu nak... Kami tidak pernah

meminta kamu buat milih pasangan dari kalangan sederajad dengan kita atau

apapun yang kamu katakan itu, buat kami, materi bukalah persoalan yang

harus dibesar-besarkan dalam hal seperti ini...” kata Henry melihat Ryan

yang menghentikan kata-katanya tadi. “.... Bukan itu masalahnya pa...” balas

Ryan. “Lanjutin ceritamu sayang... Kami mau denger...” Helen lagi-lagi

menyela mereka. “Hanya saja... Dia memiliki masalah dengan waktu...”

sambung Ryan yang membuat orang tuanya semakit tidak mengerti arah

pembicaraan anaknya itu. “Waktu...? Maksud kamu...?” tanya Helen. “Maya

tidak seperti kita.... dia menjalani kehidupan yang berbeda, yang mungkin

sebagian orang mengatakan kalau dia gak normal...” jelas Ryan. “Dia ada

kelainan jiwa...?” kali ini Henry yang bertanya. “Bukan kelainan jiwa pa....

Tapi kelainan jantung... Sejak lahir jantungnya sudah gak normal, dia terkena

fonis mati ketia dia mencapai usia 15 tahun. Tapi demi memperpanjang usia

itu, ayahnya yang spesialis jantung mengganti jantungnya dengan sebuah

jantung kaca yang bisa beroperasi layaknya jantung normal pada umumnya,

tapi itu hanya bisa bekerja dalam jangka waktu 5 tahun saja, dalam arti....

hidup Maya hanya bisa diperpanjang selama 5 tahun yang akan dia capai 3

bulan mendatang....” kata Ryan menjelaskan orang tuanya panjang lebar.

Helen dan Henry terdiam mendengar penjelasan Ryan tentang Maya. “Aku

tau pasti berat buat kalian mendengar pilihanku adalah gadis yang....” kata-

kata Ryan lagi-lagi terhenti karena Henry tiba-tiba bangun dari duduknya

Page 43: Bidadari Bersayap Biru

sambil memencet-mencet keypad yang ada di hapenya, begitu pula dengan

Helen. Mereka berdua serempak berdiri dan melangkah kearah ruang tamu

meninggalkan Ryan yang belum menyelesaikan kata-katanya itu. Ryan

terlihat pasrah melihat ayah dan ibunya meninggalkan dia begitu saja setelah

mendengar cerita tentang Maya. Tapi dia samar-samar mendengar.... “Ahh....

Pak Adit.... Ini saya Henry... Ah iya... sudah cukup lama juga,

hahahahahaa...” Henry memulai pembicaraannya dengan seseorang bernama

Adit. “Iya Jeng... Ini saya Helen... Apa kabar sekarang....?” begitu pula

dengan Helen yang tampaknya sedang berbicara dengan seseorang. “Gini

pak... saya mau nanya...” sambung Henry. “Bapak punya rekomendasi

mengenai cincin tunangan yang bagus...?” “Masih bisa mendekor lokasi buat

acara-acara kayak pertunangan itu kan jeng...?” kata Henry dan Helen

hampir bersamaan mengutarakan maksud mereka menghubungi orang-orang

tersebut. Ryan tersentak mendengar orang tuanya berkata seperti itu, tapi

beberapa lama kemudian dia tersenyum tipis dan beranjak dari tempat

duduknya. “Mah... Pa... Edo ada tanding, aku udah janji mau nonton dia, abis

itu aku langsung pulang...” kata Ryan sambil melewati orang tuanya yang

masing-masing sedang asyik menelepon tadi. “Ehemm...” Helen berdehem,

Ryan berbalik memandangnya. Sambil terus berbicara melalui hape, Helen

menunjuk pipi kirinya karena menyadari Ryan yang memandangnya. Tanpa

pikir panjang pun Ryan langsung melangkah kearah ibunya itu dan pencium

pipi Helen, kemudian saling beradu tinju dengan ayahnya layaknya para

gangster-gangster diluar sana. “Kalian selalu melakukan sesuatu sesuka hati

kalian....” kata Ryan sambil kembali melangkah. “Tapi.... Terima kasih atas

semua itu...” sambungnya dengan nada dingin sebelum menghilang dibalik

pintu yang menghubungkan ruang keluarga dengan ruang tamu itu. Henry

dan Helen hanya bisa tersenyum simpul mendengar kata-kata anaknya yang

polos itu.

Ryan dan Maya baru sampai di arena balap. Disana Edo, Rafael dan

Eric sudah menunggu mereka dari tadi. “Taruhan berapa...?” tanya Ryan

kepada Edo sambil keluar dari mobilnya. Sedangkan Maya sepertinya kali

itu tidak ikut keluar. “Gak banyak...” kata Edo dingin sambil begitu saja

melewati Ryan yang saat itu justru melangkah kearahnya. “Yakin kamu gak

apa-apa May...?” tanya Edo sambil berjongkok dan menyapa Maya melalui

pintu mobil. “Maya tersenyum sambil mengangguk pasti untuk meyakinkan

Edo. Tapi waktu itu Edo tidak berhenti menatap gadis itu, terlihat jelas kalau

Page 44: Bidadari Bersayap Biru

dia benar-benar sangat menghawatirkan kondisi Maya. “Yoo... Do.... They‟ll

start the race man....” teriak Eric memanggil Edo. Edo tidak menghiraukan

kata-kata Eric yang memanggilnya tapi terus memandang Maya tajam.

“Do...? balapnya mau dimulai tuh...” kata Maya lembut. Edo tidak

menghiraukan kata-kata Maya juga, dia seperti mematung memandang gadis

itu. “Woe kampret...! Maya gak apa-apa... Loe tenang aja... Gue udah lepas

taruhan... jangan ampe uang gue melayang sia-sia gara-gara loe gak niat

tanding....” kali ini Ryan yang berteriak memanggilnya. Dan tidak beberapa

lama kemudian Edo berbalik sambil berjalan kearah Ryan, Rafael dan Eric

yang sedang berdiri menunggu disamping mobil yang akan dia gunakan

untuk balapan. “Yan.... Gue finish.... Loe anter Maya pulang...” kata Edo

sangat dingin sekali sambil memasuki mobilnya. “Hah...! Loe piki...” kata-

kata Ryan langsung disela oleh Edo. “Gue pernah bilang ke elo, tergantung

jawaban elo, gue mungkin bakalan lebih mihak Maya daripada elo....! Gue

finish.... Loe anter Maya pulang...!!” Edo kali ini sepertinya benar-benar

marah kepada Ryan karena dia meremehkan kondisi Maya. Edo menatap

Ryan begitu tajam dan terlihat seperti sedang murka. Ryan seketika terdiam.

Ada sesuatu dimata Edo yang membuat Ryan tidak bisa membalasnya kali

ini. Dia melihat sosok seorang kakak yang sangat khawatir sekali dengan

adiknya, entah sejak kapan tapi saat itu Ryan sadar kalau Edo benar-benar

sangat menyayangi Maya sebagai adiknya sendiri. Melihat hal tersebut,

Rafael dan Eric tidak mampu berkomentar apa-apa. Seumur-umur mereka

bersama, baru kali itu mereka melihat Edo benar-benar terlihat sangat marah

kepada Ryan. “Fine....” kata Ryan pelan. “Gue tau loe khawatir ama kondisi

Maya, loe tenang aja dan fokus di jalan nanti, jangan jadiin Maya bahan

fikiran loe disaat-saat kayak gini, gue ikutin kata-kata elo... Maya bakalan

gue anter pulang sesaat setelah elo finish...” sambung Ryan dengan nada

bersalah. Dan memang benar Ryan mengantar Maya pulang begitu mobil

yang dipakai Edo mencapai finish.

Keesokan harinya Ryan menyampaikan rencananya yang telah

disetujui oleh orang tuanya tadi malam itu kepada tante Rani, Maya dan

ketiga temannya itu. Mereka semua benar-benar sangat terkejut sekali

mendengan perkataan Ryan. “Nak.... Nak Ryan yakin...? .... Maya...” tante

Rani tidak melanjutkan kata-katanya yang mencoba mempertanyakan

keyakinan Ryan yang akan membawa keluarganya untuk meminang Maya

minggu depan tepat pada hari ulang tahunnya itu. “Emang saya terlihat gak

Page 45: Bidadari Bersayap Biru

yakin nih tan...?” Ryan balik bertanya sambil tersenyum kearah tante Rani.

“Udah deh tan... nih anak kalo udah bilang gitu ya gitu adanya... dia emang

kayak gitu ri dulu, saya yang paling tau sifat dia...” kata Edo meyakinkan

tante Rani akan kata-kata Ryan walaupun saat itu dia tidak kalah kagetnya

dengan tante Rani mendengan Ryan akan meminang Maya dalam jangka

waktu satu minggu dari hari itu.

Dan benar saja, satu minggu kemudian tanpa pernah terjadi

pertemuan antar keluarga, pagi itu acara pertunangan Ryan dan Maya

diselenggarakan di rumah Maya. Yang datang ke acara itu adalah keluarga

dan kerabat dari Maya dan Ryan tapi acara itu terlihat benar-benar sangat

ramai sekali seolah-olah itu adalah acara resepsi pernikahan, bukan sekedar

pertunangan. Dua mobil elit berjenis Limosin memasuki pekarangan rumah

Maya. Setelah sampai di depan pintu utama rumah, kedua mobil Limo itu

berhenti, dari mobil yang pertama keluar Henry, Helen, James dan Eric,

sedangkan dimobil yang kedua keluarlah Edo beserta kedua orang tuanya

dan Rafael beserta kedua orang tuanya pula. “Jadi ini ya rumah besan kita,

hmmm... not bad.... not bad after all... eh... Henry...” kata seorang laki-laki

yang berdiri dibelakang Edo sambil memandang sekeliling.

“Hahahahahha.... What‟s not bad my friend...? Aren‟t you used to live in such

a classic style house like this one...?” balas Henry. “Maksud ku berkata

seperti itu, aku hanya tidak menyangka kalau Ryan punya selera klasik

seperti ini juga, hahahahahaa....” kata laki-laki itu lagi. “Yea.... I wonder

myself... It‟s the first time I came here and waw...” sambung Helen yang

tidak klah takjub melihat rumah besar bergaya klasik yang ada didepan

mereka saat itu. “Kalian ini anak kecil ato orang tua sih.... Ryan tunangannya

gak ama nih rumah kali.... tapi ma isinya.... Papa juga udah ah... Malu-

maluin aja... gini dah kalo udah ketemu ama om Henry....” kata Edo jutek

sambil begitu saja melankah meninggalkan laki-laki tadi yang ternyata

adalah ayahnya itu. Bukannya apa, tapi ayah Edo dan Henry malah tertawa

terbahak-bahak mendengar Edo berkata seperti itu. “Edo sayaaannggg...

sopan sedikit sama papa kamu...” teriak seorang ibunya melihat Edo yang

berjalan begitu saja meninggalkan mereka. “Woee... Raf.... Ric... Ayok ah...

kalian gak malu apa ngedenger mereka nyeloteh kayak orang baru liat rumah

gede kayak gini, bikin selera makan ilang aja....” bukannya mengindahkan

kata-kata ibunya, Edo malah menyuruh Rafael dan Eric mengikutinya

memasuki rumah Maya. “Udah ah Erika.... namanya aja anak-anak... wajar

Page 46: Bidadari Bersayap Biru

aja mereka bertingkah seperti itu, apa lagi kalian jarang ngejenguk dia, ya

gak heran kalo dia bertingkah kayak gitu... ayo kita juga ikut masuk...” kata

Helen sambil menggandeng ibu Edo. Erika yang adalah ibu Edo hanya bisa

menghela nafas panjang melihat kelakuan anaknya itu. “James.... Clarise...

Lets get in....”kata Henry mengajak ayah dan ibu Eric menyusul istrinya

masuk. “Ram... Citra.... Kita juga ayo... jangan-jangan kalian juga takjub

sama rumah ini seperti kami ya makanya diam saja dari tadi...” teriak ayah

Edo memanggil ayah dan ibu Rafael yang dari tadi terdiam terus padahal

anak mereka Rafael sudah dari tadi meninggalkan mereka. “Oh ya Dry..

keluarga yang lain udah pada datengkan...?” tanya ayah Edo sambil menaiki

tangga-tangga kecil yang menuju pintu utama rumah itu. “Kayaknya sih

begitu, didalem keliatan sudah ramai...” balas Henry. Dan benar saja,

hampir semua keluarga dari Ryan, Edo, Rafael dan Maya sudah berkumpul

disana. Acara itu sebenarnya konyol, kenapa tidak? Keluarga Ryan saja

belum tahu siapa diantara mereka yang akan menjadi besan mereka. Dan

mereka sepertinya tidak berusaha untuk mencari tahu sama sekali dan asyik

bercampur aduk dengan para tamu undangan yang sudah ada disana terlebih

dahulu. Dan saat berkeliling menyapa keluarga yang mereka sudah lama

tidak berkumpul seperti itu, Henry dan Helen berhenti dibelakang sepasang

suami istri. “Dokter Arman...” secara spontan ibu Ryan memanggil laki-laki

yang saat itu berama istrinya didepan Helen dan Henry. Dokter Arman

berbalik karena mendengar namanya di panggil. “Ahhh.... Miss Helen.... Mr.

Henry...” kata dokter Arman karena mengenali Helen dan Henry. “Oh...

Here... Meet my wife... Rani...” kata Dokter Arman memperkenalkan istrinya

ke Helen dan Henry. Mereka pun bergantian saling berjabat tangan dengan

dokter Arman dan istrinya. “Bu Helen..? bagaimana keadaannya

sekarang...?” tanya dokter Arman. “Baik-baik aja dok, yaahhh... setidaknya

setelah menjalani rehabilitasi, keadaan kembali normal kembali...” jawab

Helen. Istri dokter Arman terlihat tidak mengerti arah pembicaraan mereka.

“Gini ma... setahun yang lalu bu Helen mengalami sedikit kecelakaan pada

saat beliau sedang hamil, dan karena kecelakaan itu beliau ini jadi

keguguran... Nahh... papa yang menangani operasinya...” jelas dokter

Arman. Istri dokter Arman terkejut mendengar hal tersebut. “Adduuhh....

maaf ya jeng...” kata Rani menunjukkan rasa bela sungkawanya pada Helen.

“Ah... itu sudah berlalu jeng...” balas Helen sambil tersenyum. “Eh... Orang-

orang pada tertawa kenapa disini malah mendung begini...? sebaiknya yang

lalu biarlah berlalu... ngomong-ngomong... Dokter Arman disini sebagai

keluarga dari si gadis ya..?” tanya Henry memecahkan suasana. “Kami

Page 47: Bidadari Bersayap Biru

bukan hanya sekedar keluarga si gadis pak... Kami... Orang tuanya Maya...”

jawab dokter Arman sambil tersenyum. Sepontan Helen dan Henry tersentak

mendengar hal itu. “Kok malah kaget begitu bu..? Pak...?” tanya Rani. Helen

ingin menjawab tapi Henry terlihat menghentikannya. “Dok... Dokter ingat

ketika saya berkata ingin menjodohkan anak perempuan dokter dengan anak

laki-laki saya dulu walaupun dokter mengatakan kalau anak dokter tersebut

tidak seperti keadaan orang pada umumnya...?” Henry malah bertanya.

Dokter Andre mengangguk. “Waaahhh..... ternyata dunia ini memang sempit

ya....?” sambung Henry. Dokter Arman mengernyitkan dahinya tapi

beberapa saat kemudian dia terhenyak. “Jangan-jangan....” kata dokter

Arman. “Iya... Ryan adalah anak kami dok...” balas Helen sambil tersenyum

ceria. Mendengar hal tersebut giliran dokter Arman dan Tante Rani yang

terkejut bukan mainnya. Mereka berdua tidak mampu berkata apa-apa saking

terkejutnya, sedangkan Henry saat itu malah tertawa terbahak-bahak saking

gembiranya mengetahui siapa yang akan menjadi besannya itu. Ya, sejak

Helen keguguran, Henry menjadi sangat dekat dengan dokter Arman yang

adalah ayahnya Maya itu karena dokter Armanlah yang menangani proses

mulai dari menarik janin dan menangani rehabilitasi Helen. Kedua ayah itu

menjadi sahabat yang cukup dekat, dan sekarang tanpa disengaja, anak-anak

mereka malah semakin mempererat hubungan itu tanpa mengetahui apa yang

terjadi diantara mereka. Setelah mengobrol panjang lebar mengenai anak

mereka masing-masing... “Oh iya bu... Apa Ryan sampai sekarang masih

belum tau tentang gagalnya bu Helen memberika seorang adik sebagai

hadiah ulang tahunnya itu...?” tanya dokter Arman. Helen langsung menaruh

telunjuknya didepan bibir memberi tanda kepada dokter Arman untuk diam.

“Sssssttt Dok... Dia bisa aja denger...” kata Helen sambil menoleh kesana

kemari mencari keberadaan Ryan. “Itu tidak mungkin jeng... Ryan dan Maya

sekarang pasti lagi di taman bunga di samping rumah. Mereka sedang

merawat bunga yang menjadi tali penghubung hati dan perasaan mereka

selama ini..” kata tante Rani. “Haahh...? Masaaakk...? Ryan...? Merawat

bunga...? Emang bisa...?” Helen tidak percaya mendengar anaknya yang

terkenal tidak perduli dengan hal-hal semacam itu ternyata bisa merawat

bunga. Tante Rani mengangguk sambil tersenyum. “Hey... Hey... Hey....”

ayah Edo tiba-tiba datang dari belakang. “Dry.... si gadis dan besan kita

dimana...? yang lainnya sudah lama nungguin acaranya dimulai....” kata ayah

Edo. “Besan kita ya ini...” jawab Henry. “Mana... ini kan dokter....

Haaahh...!!!! Seriuusss...??? Dokter Arman adalah ayahnya si gadis....?”

ayah Edo yang tampaknya sudah mengenal dokter Arman tidak kalah

Page 48: Bidadari Bersayap Biru

terkejutnya mengetahui hal tersebut. “Ya udah... saya panggil yang punya

acara dulu ya...” kata Helen sambil berlalu dari Henry, ayah Edo, dokter

Arman dan tante Rani. Dan memang benar Helen mendapati Ryan dan Maya

tengah duduk-duduk di bangku taman. “Addduuhhh.... anak-anak mama...

orang-orang udah pada nunggu didalem, malah kencan disini.... keluarga

udah gak sabar pengen acaranya dimulai sayaaanngg...” kata Helen sambil

mendekati Ryan dan Maya. “Tante....” sambut Maya sambil berdiri dan

sedikit menunduk kearah Helen. “Tante....? Tante apanya Sayaaanngg...?

Maya itu adalah anaknya mama sekarang... jadi panggil mama dong... Masak

tante...?” kata Helen sambil menggeser Ryan yang membuatnya hampir

terjerembab kebelakang dan langsung menggandeng Maya. “Walah-walah...

udah dapet anak baru, anak lama jadi dibuang-buang gitu ya...” kata Ryan

terdengar jutek sambil berjalan kearah rumah. “Yan..?” panggil Maya pelan.

“Udah... gak usah peduliin dia... ayo jalan ama mama aja...” kata Helen.

Mereka berdua pun menyusul Ryan dari belakang. “Ternyata putri jantung

kaca Ryan terlihat jauh lebih cantik dari yang ada dilukisannya ya...? Ryan

memang tidak mahir melukis..” kata Helen sambil tersenyum dan terus

berjalan bersama Maya. Dengan wajah lugunya Maya memandang Helen

karena mendengarnya berkata seperti itu. “Ma... Mama...” kata Maya pelan.

“Hihihihihi...” Helen malah cengingisan kearah Maya, itu membuatnya

terlihat begitu kekanak-kanakan kalau dilihat dari keanggunannya selama ini.

Hari itu mereka semua merayakan hari ulang tahunnya Ryan yang ke 21

sekaligus mempersatukan tali keluarga mereka. Ryan dan Maya terlihat

begitu sangat bahagia sekali. Helen menghabiskan hari itu dengan mengobrol

panjang lebar dengan Maya, mereka dalam sekejab sudah terlihat sangat

akrab sekali layaknya anak dan ibu kandung.

Hari-hari berlalu dan tidak terasa satu bulan setengah telah berlalu

sejak hari bahagia itu. Kehidupan cinta yang benar-benar sejati pada umunya

selalu mendapat sebuah cobaan, halangan dan rintangan dalam menjalaninya,

terkadang akan hadir sosok orang ketiga diantara sepasang kekasih, hal itu

adalah cobaan untuk menguji seberapa erat hubungan sebuah pasangan

dalam menjalani cerita cinta mereka. Tapi berbeda dengan kisah cinta Ryan

dan Maya, „musuh‟ cinta mereka jauh lebih berat dari hanya sekedar orang

ketiga, „musuh‟ cinta mereka tidak mengenal ampun untuk memisahkan

mereka satu dengan yang lainnya. Sang waktu.... Itulah rintangan dari

perjalanan cinta mereka yang berjalan begitu sangat mulusnya itu. Pagi hari

Page 49: Bidadari Bersayap Biru

itu Ryan tengah menjalani ujian kelulusan di hari terakhir.

“Tririririririririttt.....!!!!! hape yang ada disaku baju seragam Ryan berbunyi

sangat kencang, membuyarkan konsentrasi semua siswa yang sedang serius-

seriusnya mengerjakan soal ujian waktu itu. Tapi tidak ada yang berani

protes akan hal tersebut, bahkan para pengawas sekalipun. Memang,

disekolah itu, Ryan tidak tersentuh oleh hukum sekolah karena dia adalah

„pemilik‟ dari sekolah itu sendiri. Dia melihat nama si pemanggil. “Mama

Rani...?” kata Ryan pendek dan menekan tombol answer. “Iya ma...?” kata

Ryan memulai pembicaraan. Tapi tidak lama kemudian wajahnya berubah

pucat pasi, seketika dia terbangun dari bangkunya dan bergegas

meninggalkan ruangan ujiannya itu setelah mendapat panggilan telepon dari

tante Rani, dengan lembar jawaban yang sama sekali masih tidak tersentuh.

***

Page 50: Bidadari Bersayap Biru

Chapter 6

NIGHT OF THE NEW YEAR

Ryan memacu mobilnya begitu kencang, dia sepertinya tidak perduli

dengan rambu-rambu lalu lintas apapun. Dan tidak beberapa lama kemudian

dia memarkir mobilnya diparkiran sebuah gedung, dia keluar dan langsung

berlari memasuki gedung itu. Rumah Sakit Harapan Ibu, nama gedung itu

terpahat kokoh didepan pintu masuknya. Ryan menoleh kesana kemari

mencari keberadaan seseorang, dia mencari di ruang ICU, tidak ada, dia

mencari diruangan lain di lantai dasar, tidak ada, dia naik ke lantai dua dan

mencari diseluruh sudut ruangan itu, tidak ada, kembali dia berlari menaiki

tangga dan mencari seseorang di lantai tiga gedung rumah sakit itu masih

dengan wajah yang benar-benar terlihat sangat pucat pasi layaknya dia baru

melihat hantu. Setelah mencari kesana kemari, langkahnya terhenti, matanya

tertuju kepada seseorang dan dia berjalan kearah orang itu. “Ma...” katanya

pelan. Tante Rani berbalik dan langsung memeluk Ryan sambil menangis

tersedu-sedu, Ryan terdiam. “Mama ngeliat dia sudah tergeletak di ruang

tamu ketika mama keluar kamar tadi subuh, entah sejak kapan dia ada

disana... Mama takut Yan...” kata tante Rani sambil terus menangis. Dokter

Arman keluar dari pintu kamar pasien yang ada disamping mereka dan

langsung memegang pundak Ryan. “Pa.... Jangan bilang....” Ryan tidak mau

melanjutkan kata-katanya, dia tidak ingin pikiran buruknya itu menjadi

kenyataan yang saat itu sedang mereka alami. “Maya tidak apa-apa nak...

Dia sudah melewati masa kritisnya, hanya saja....” dokter Arman terdiam.

Ryan terus menatapnya tajam, penuh tanda tanya. “Yan.... Maya saat ini

sedang koma....” sambung dokter Arman. Lutut Ryan seketika terasa lemas,

ada sedikit kelegaan yang dia rasakan walaupun koma mungkin adalah hal

yang menandakan Maya tidaklah baik-baik saja, tapi hal itu lebih baik dari

apapun yang sedang ada didalam pikirannya saat itu. Dia melangkah kearah

kursi tunggu yang ada didepan kamar tempat Maya saat ini sedang tertidur

tidak sadarkan diri, dia berusaha untuk duduk seolah-olah dia sudah tidak

bisa menggerakkan seluruh tubuhnya itu dengan leluasa. Tante Rani tidak

berhenti-hentinya menangis sedangkan dokter Arman berusaha untuk

menenangkan istrinya itu. Ryan terdiam, dia mematung, pikirannya campur

aduk, dia tidak mengidap penyakit apapun seperti Maya, tapi saat itu dia

merasakan dadanya begitu sangat sesak, sakit, perih seolah-olah tertusuk

oleh sesuatu yang tidak terlihat. Dia meringis seperti orang kesakitan yang

Page 51: Bidadari Bersayap Biru

teramat sangat luar biasa sakitnya. Melihat itu... “Yan... sebaiknya kamu

masuk.... Temenin Maya... yah...?” pinta dokter Arman. Ryan menatap

dokter itu dan kemudian melangkah pelan, dia merasakan kakinya sudah

tidak mampu melangkah walaupun hanya untuk beberapa meter saja, tapi dia

terus memaksakan diri untuk melangkah. Dia memasuki ruangan Maya. Di

dalam, dia melihat gadis yang adalah tunangannya itu tertidur, terbujur kaku

ditemani oleh alat bantu pernapasan dan segala jenis alat penopang

kehidupan yang entah apapun namanya. Ryan berhenti didepan Maya yang

sedang tertidur dalam keadaan koma itu. Dia terus menatap gadis itu.

Walaupun dalam keadaan seperti itu, kecantikan dan keangunan Maya sama

sekali tidak hilang sedikitpun dimata Ryan. Dia membelai rambut Maya

sambil terus memandangnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Kenapa....”

kata Ryan pelan. “Kenapa May.... Ini belum waktumu....” sambungnya lagi.

“Ini belum waktunya May...” kali ini suara Ryan sedikit meninggi. “Kenapa

May...! Maya....!! Kenapa kamu tertidur...!!! Ini belum waktunya kamu

untuk tertidur...!!!! Ini belum waktumu...!! Jadi bangunlah....!!!! Maya.....!!!!

Bangun May....!!!!! Bangguunnnnn.....!!!!!!” Ryan berteriak sambil

mengguncang-guncang tubuh Maya yang tidak meresposn sama sekali itu

seperti orang yang sedang kesurupan. Dokter Arman hanya terdiam saja

melihat Ryan seperti itu sedangkan tangis tante Rani semakin menjadi-jadi.

Perasaan mereka bertiga sama, miris, sakit atau mungkin lebih parah dari itu,

tapi jika dilihat dari keadaan waktu itu, mungkin Ryanlah yang merasa

paling sakit melihat gadis yang benar-benar dia cintai itu terbujur kaku tidak

berdaya, sedangkan dia tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengubah hal

itu.

Sore harinya Henry dan Helen baru sampai dari Amerika dan

langsung menuju rumah sakit. Disana mereka mendapati Edo, Rafael dan

Eric yang sama-sama masih menggunakan seragam sekolah terduduk diam

didepan kamar Maya. Edo menyadari kedatangan mereka. “Tante... Om...”

kata Edo pelan sambil berdiri menyambut kedatangan Henry dan Helen,

begitupun Rafael dan Eric melakukan hal yang sama seperti Edo. “Ryan...?”

tanya Helen menanyakan keberadaan anaknya. Edo menoleh kearah jendela

kamar Maya. “Dari tadi pagi dia ada disini, dia langsung meninggalkan

ruang ujian hari ini begitu mendapat pemberitahuan dari tante Rani tentang

keadaan Maya. Dia tidak pernah meninggalkan Maya dari tadi, sepertinya

dia sangat syok sekali...” jawab Edo pelan. Helen melihat anak laki-lakinya

Page 52: Bidadari Bersayap Biru

tengah terduduk disamping tempat tidur Maya, dia melihat Ryan terus

memandangi Maya sambil menggenggam tangan gadis itu. Helen bermaksud

untuk masuk menemui Ryan dan melihat keadaan Maya, tapi Henry

menggenggam pergelangan tangan Helen tanda tidak memberikan istrinya

untuk memasuki ruangan itu. Helen pun mengerti dan mengurungkan

niatnya. “Pak Henry...” panggil dokter Arman dari belakang. Henry, Helen

dan yang lainnya langsung menoleh kearah dokter Arman. “Dok....

bagaimana...? Bagaimana keadaan Maya....?” Helen tidak menunggu lama

dan langsung saja menyerang dokter Arman dengan pertanyaan-pertanyaan

mengenai Maya. “Sebaiknya... kita keruangan saya saja...” kata dokter

Arman sambil mempersilahkan Henry dan Helen untuk menuju ruangannya.

“Jadi dok..? Maya baik-baik saja kan..? dia akan segera pulih kan...?” Helen

terlihat benar-benar sangat khawatir sekali. Dokter Arman menatap kedua

pasangan suami istri yang benar-benar begitu menghawatirkan kondisi

seseorang yang bahkan bukan anak kandung mereka itu sendiri. Dia

menghela nafas panjang dan kemudian menaruh sebuah gambar hasil ronsen

diatas meja. “Jantung buatan milik Maya itu mengalami keretakan....” kata

dokter Arman memulai penjelasannya. Seketika Helen menutup mulutnya

dengan telapak tangan dan meneteskan air mata sementara Henry melihat-

lihat gambar yang diletakkan oleh dokter Arman tadi. “Keretakkan itu sudah

menjalar, entah sejak kapan awalnya saya sendiri kurang tau, tapi sepertinya

selama ini Maya terus bertahan dengan keadaan jantung yang sudah retak

ini.... sepertinya jantungnya itu benar-benar sudah tidak mampu bertahan

lebih lama lagi mengikuti pertumbuhan Maya...” sambung dokter Arman.

“Dok.... Maya itu sudah seperti anak kami sendiri, dia sudah menjadi buah

hati kami sejak pertama kali melihatnya, dan sekarang.... Melihat kondisinya

yang seperti ini, perasaan kami sama perihnya seperti perasaan dokter yang

adalah ayah kandungnya sendiri.... Apa tidak ada cara untuk memperbaiki

jantung Maya itu...? Pasti ada kan...? Dokter sendiri yang menciptakan

jantung kaca itu untuk menambah usia Maya kan...? Dokter pasti bisa

memperbaiki sesuatu yang adalah buatan tangan dokter sendiri kan....?”

kehawatirannya membuat Helen begitu cerewet dan terdengar sangat bawel

sekali. “Saya bisa saja membuat seribu jantung kaca seperti itu dengan

mudah.... Tapi untuk mengganti jantungnya diusianya yang sekarang, itu

adalah sesuatu yang sangat mustahil bahkan untuk saya yang adalah

ayahnya..” kata dokter Arman pelan. “Transplansi... hal itu masih bisa

dilakukan bukan dok...?” kali ini Henry angkat bicara. Dokter Arman

terdiam. “Dulu saya membuat jantung kaca itu untuk Maya karena menolak

Page 53: Bidadari Bersayap Biru

membuat dia hidup dengan jantung orang lain.... Tapi saya pernah

mengurungkan pikiran itu dan menanyakan Maya sendiri tentang transplansi

jantung untuknya. Tapi.... dia menolak....” jawab dokter Arman. “Aku

bukannya tidak tau diuntung pa...ma... Tapi selama ini aku berfikir... jika

aku terlahir dengan keadaan seperti ini, mungkin ada sebab tertentu

didalam kehidupan ini, menurut ku sendiri, bertahan hidup dengan jantung

kaca seperti ini adalah hal yang mustahil sekali bagi orang lain, jantung itu

adalah titik tumpu kehidupan seseorang, bukan hanya sekedar gumpalan

darah seperti yang dijelaskan di bidang kedokteran, tapi jantung itu adalah

sebuah rumah bagi jiwa pemiliknya sendiri. Jantung biasa digambarkan

sebagai hati oleh orang meskipun mereka tau jantung dan hati itu berbeda,

hal itu dikarenakan setiap orang menganggap jantungnya itu adalah hal

yang paling istimewa dari semua anatomi tubuhnya, jantunglah yang

membuat mereka bisa bernafas, dan hidup dalam keadaan senang, bahagia,

sedih dan berduka. Dengan memiliki jantung normal seperti itu, mereka

mendapat banyak sekali pengalaman yang tidak terlupkan dalam hidup

mereka, pengalaman-pengalaman yang mungkin orang lain tidak pernah

alami. Masing-masing orang hidup dengan keistimewaan tersendiri,

kehidupan seseorang akan berbeda dengan kehidupan orang lain, yang

mungkin seseorang tidak ingin direnggut keistimewaannya itu oleh orang

lain. Karena itu pa... ma... aku tidak mau, hanya karena aku istimewa

dimata kalian, sehingga kalian harus menggunakan keistimewaan orang lain

untuk mempertahankan keistimewaan yang kalian miliki ini, itu

salah...” dokter Arman memberi tahu Henry dan Helen tentang kata-kata

Maya ketika dia mengusulkan transplansi jantung kepada anaknya itu.

Mendengar hal itu, Henry dan Helen terdiam. Dia tidak menyangka kalau

Maya bisa sekuat itu menjalani beratnya kehidupan yang dia miliki. “Ryan

benar....” kata Helen pelan. “Maya tidak cacat.... Maya jauh lebih sempurna

dibandingkan kita semua... karena itu dia sama sekali tidak meyembunyikan

tentang hal yang diderita Maya itu kepada siapapun, bukan untuk memberi

tau kalau gadis yang dia pilih adalah gadis cacat, akan tetapi dia ingin

mengatakan kalau gadis itu adalah gadis yang paling sempurna dan

istimewa...” sambung Helen sambil tertunduk, dia menangis tersedu-sedu

walaupun tanpa suara. “Saya pun merasa bersalah.... saya pikir jantung

buatan saya itu adalah sesuatu yang sempurna untuk Maya. Tapi.... justru

karena hal itu sendirilah, takdir Maya menjadi sudah tidak terhindarkan

lagi...” kata dokter Arman pelan. “Maksud dokter..?” tanya Henry. “Dengan

adanya jantung kaca itu, kami tidak bisa menggunakan alat kejut dan

Page 54: Bidadari Bersayap Biru

menjalankan prosedur yang semestinya kami lakukan pada orang-orang yang

mendapat serangan jantung mendadak seperti yang dialami oleh Maya,

karena prosedur-prosedur tersebut justru akan menghancurkan jantung kaca

itu dan membunuh Maya dalam sekejap....” jelas dokter Arman lagi. “Jadi...

dokter tidak melakukan apa-apa kepada Maya...?” tanya Henry lagi. Dokter

Arman menggeleng. “Saya hanya memberinya oksigen dengan alat bantu

dan cairan infus dari formula obat yang selama ini dia konsumsi, tidak

lebih...” jawab dokter Arman.

Sejak saat itu Ryan tidak pernah meninggalkan rumah sakit, dia terus

berada disisi Maya yang tengah dalam kondisi koma. Terkadang dia pulang

untuk membersihkan diri dan mengganti pakaiannya atau hanya pulang

untuk sekedar makan, tapi terkadang Edo yang datang membawakannya

pakaian ganti atau makanan. Terus seperti itu, dia benar-benar tidak bisa

pergi dari sisi Maya, dia selalu memanggil-manggil nama Maya, meminta

gadis itu untuk bangun walaupun hal itu tidak mendapat respon sama sekali.

Sudah tiga belas hari berlalu, kondisi Maya tidak menunjukkan perubahan,

hal itu membuat khawatir semua orang yang dekat dengannya, terlebih lagi

Ryan. Tapi pagi itu, pada hari yang keempat belas, dua minggu sejak Maya

mengalami koma... “Mmm...” Ryan tampak terbangun dari tidurnya yang

saat itu sedang tidur dengan posisi duduk didekat tempat tidur Maya. Dia

melihat sekelilingnya dengan kondisi yang masih setengah sadar, dia

merasakan sesuatu yang membuat dia terbangun dari tidurnya. Dan ketika

dia memalingkan pandangannya kearah Maya, dia melihat sosok gadis itu

tengah terduduk dan tersenyum manis kearahnya. Sontak dia sangat terkejut

sekali. “Ma... Maya...!!!!” katanya sambil mengusap-usap matanya. “Iya

Yan...” jawab Maya dengan nada yang masih terdengar lemas. Ryan

terbangun oleh belaian tangan Maya yang membelai kepalanya waktu itu.

Maya telah sadar dari komanya. “Sayaaanngg... Ini bener kamu kan...? Aku

gak sedang mimpi kan...?” spontan Ryan meraba-raba pipi Maya. Gadis itu

tetap tersenyum sambil menggelengkan kepalanya kearah Ryan. “Maya...

Sayanng.. Kamu bener-bener udah bangun...?” Ryan tersenyum kearah

Maya. Kali ini Maya membalas Ryan dengan anggukan pelan. “Terima kasih

ya Yan...? kamu udah ngejagain aku selama ini...” kata Maya pelan. “Terima

kasih...? untuk apa..? ngejagain kamu..? Bukannya itu yang emang harus aku

lakuin...? aku kan tunanganmu Maya sayang...” kata Ryan sambil tertawa

kecil. Terpancar sebuah kebahagianan yang luar biasa dari raut wajah Ryan

Page 55: Bidadari Bersayap Biru

melihat gadis yang begitu sangat dia cintai itu sudah tersadar dari komanya.

“A.... Aku panggilin papa ya buat meriksa kondisi kamu, tunggu bentar...”

kata Ryan berdiri, berniat ingin memanggil dokter Arman untuk memeriksa

kondisi Maya, tapi saat itu Maya memegang pergelangan tangannya. “Aku

gak apa-apa kok Yan, biarin papa istirahat dulu, ini kan masih pagi buta,

kamu juga baru bangunkan...?” kata Maya menghentikan niat Ryan itu.

“Serius kamu gak apa-apa...” tanya Ryan sambil kembali duduk. “Iya...

waktu aku tidur, aku terus ngedenger suara kamu yang nyuruh aku bangun,

aku ngedengernya berkali-kali makanya aku bangun....” sambung Maya.

“Aduuhh sayang... kamu bangunnya bener-bener kaya gak pernah terjadi

apa-apa, padahal kamu koma udah ampir dua mingguan deh kayaknya kalo

aku gak salah inget... Bikin aku khawatir aja... Emang kamu paling bisa deh

ya...” kata Ryan sambil mengacak-acak rambut Maya. Mendengar hal itu,

Maya tertawa kecil “Maaf ya sayang...? aku cuman bisa ngerepotin kamu....”

kata Maya. “Yaelah sayang.... tadi aku bilang apa coba...? ohya, aku ambilin

makan ya? Kamu pasti laper tuh gak makan-makan selama dua minggu...”

balas Ryan. Maya tersenyum sambil mengangguk pelan. Hari itu adalah

kebalikan dari hari-hari sebelumnya yang dilewati oleh orang-orang terdekat

Maya. Kebahagiaan kembali menyinari hari-hari keluarganya. Maya

memang benar-benar adalah seorang gadis yang sangat kuat, dia mampu

bertahan dengan kondisi separah itu. Sejak hari itu, Ryan selalu menemani

Maya, dia tidak pernah meninggalkan gadis itu barang sesaat, dan satu hal

yang berubah, sekarang dia tidak pernah mengajak Maya untuk keluar-keluar

rumah lagi, dia tidak lagi terlihat seperti meremehkan kondisi Maya. Tapi

terlepas dari itu semua, dari kebahagiaan mereka itu, sang waktu terus

menyeret Maya ke jurang curam kehidupannya, satu bulan lagi menjelang

ulang tahun Maya yang ke dua puluh. Dan semua orang sadar kalau satu

bulan itu pasti akan berlalu, tanpa terasa. Ryan jelas-jelas menyadari akan

hal itu. Meskipun tersenyum lebar didepan Maya, tapi dibelakang, dia

terlihat kacau, kacau sekali. Bulan itu Ryan benar-benar menghabiskan

waktunya full bersama Maya. Edo, Rafael dan Eric terkadang datang untuk

menjenguk mereka berdua, hanya sekedar untuk mengobrol, bercanda atau

apa pun yang bisa membuat mereka lupa akan waktu Maya yang semakin

sempit setiap harinya. Tapi justru hal itulah yang nantinya akan membuat

perpisahan mereka semakin sulit dan semakin sakit. Semakin dekat mereka

Dengan Maya, akan semakin sakit perasaan mereka untuk menerima

kenyataan yang akan dialami oleh Maya.

Page 56: Bidadari Bersayap Biru

Hari-hari berlalu, minggu-minggu pun berganti. Besok adalah hari

tahun baru, dalam artian nanti malam adalah hari ulang tahun Maya, malam

dimana Maya akan meniup lilin yang kedua puluhnya, malam dimana Maya

akan mengahiri perjalanan hidupnya. Helen, Henry, dokter Arman, tante

Rani, Edo, Rafael, Eric dan Ryan berkumpul dirumah Maya sejak sore hari.

Mereka mempersiapkan hari ulang tahun Maya yang akan mereka rayakan

nanti malam tepat ketika terjadinya waktu pergantian tahun. Mereka

mendekorasi ruang keluarga sedemikian rupa untuk acara itu meskipun

mereka tahu hal itu seperti seolah-olah mereka akan merayakan kematian

Maya. Tapi mereka sepertinya tidak perduli dengan kenyataan itu, mereka

sadar kalau mereka sudah tidak bisa melakukan apa pun untuk Maya, sudah

tidak ada harapan yang tersisa sedikitpun. Tante Rani sendiri terus

meneteskan air matanya ketika membuat kue ulang tahun untuk Maya, Helen

berusaha untuk menenangkan tante Rani meskipun dia sendiri tengah

menangis. Malam itu mereka semua berkumbul, berbincang-bincang tertawa

terbahak-bahak diruang keluarga rumah Maya, meskipun jauh dilubuk hati

mereka yang terdalam, mereka sama sekali tidak ingin tertawa seperti itu.

Mereka tidak sadar kalau waktu sudah menunjuk pukul 23:50. Hampir

tengah malam. Hampir...... Ryan memasuki ruang keluaga itu dengan

membawa sebuah kue ulang tahun, diatas kue itu bertengger dua lilin

berbentuk angka 2 dan 0. Ryan langsung melangkah kearah Maya yang

tengah terduduk disofa dengan mengenakan baju hangat bergaris ungu dan

putih dengan syal ungunya itu. “Oke sayang....? Malam ini kita merayakan

ulang tahun kamu yang ke dua puluh, sebutkan harapanmu dan tiuplah lilin

ini...” kata Ryan sambil tersenyum kepada Maya. Maya tersenyum dan

kemudian memejamkan matanya, membuat harapan, entah harapan seperti

apa yang dia inginkan untuk saat-saat seperti itu. Dan hal itu membuat tante

Rani tidak bisa lagi menahan pilu yang ada di lubuk hatinya, dia berlari

keluar rumah sambil terisak-isak, dia tidak mampu melihat saat-saat terakhir

anak semata wayangnya itu. Helen menyusul tante Rani berlari keluar, dan

tidak berapa lama kemudian dokter Arman dan Henry mengikuti kedua istri

mereka masing-masing itu. Maya membuka matanya dan kemudia meniup

lilin yang ada diatas kue ulang tahunnya itu dengan pelan. “Happy

Birthday ya Maya....” kata Ryan pelan sambil mencium kening Maya. Gadis

itu hanya bisa membalas dengan senyuman manisnya. Edo, Rafael, dan Eric

hanya bisa duduk, membisu seribu bahasa menyaksikan moment itu.

“Teng..... Teng..... Teng...” Jam besar yang ada diruangan itu berdentang

Page 57: Bidadari Bersayap Biru

sebanyak dua belas kali, suara jam itu menggetarkan telinga semua orang

yang ada disana, tidak lama kemudia terdengar suara-suara terompet dan

kembang api dari kejauhan. Orang-orang sedang merayakan datangnya tahun

baru dengan penuh rasa bahagia. Tapi tidak untuk enam orang yang ada

dirumah Maya itu. Tidak terpancar kebahagiaan sedikitpun di wajah mereka.

Edo berdiri dan melangkah kearah Ryan yang saat itu terus berjongkok

didepan Maya. Dia memegang pundak Ryan dengan pelan, tapi Ryan tidak

merespon sama sekali. Edo menarik nafas panjang dan mengucapkan selamat

ulang tahun kepada Maya dengan pelan. Maya tersenyum kearahnya. Setelah

itu Edo pun melangkah keluar diikuti oleh Rafael dan Eric setelah mereka

mengucapkan selamat kepada Maya. Melihat Ryan yang sama sekali tidak

merespon Edo, Maya tersenyum sambil membelai kepala tunangannya itu

dengan lembut. “Sayang...? Aku mau minta satu hal dari kamu...” kata Maya

pelan. “Mmm? Apa itu sayang...? katakan saja... Apapun yang kamu minta,

bakalan aku buat jadi kenyataan sekarang juga... Pasti...” kata Ryan sambil

tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. “Selama ini... kita udah pergi

kesegala tempat kan...?” tanya Maya. Ryan mengangguk membenarkan kata-

kata Maya. “Sejak kecil aku selalu ingin pergi ke suatu tempat, tapi dengan

kondisiku ini, aku tidak pernah bisa pergi ke tempat itu...” sambung Maya.

“Di... Dimana itu sayang...? Tempat seperti apa itu...? kalau kamu mau, kita

bisa pergi sekarang juga kok... dimana pun tempatnya aku akan

membawamu kesana...” kata Ryan sambil berdiri, siap membawa Maya

ketempat impiannya itu. Maya tersenyum dan menarik Ryan kembali untuk

duduk. “Aku tau kok... kamu pasti akan memenuhi semua keinginanku..”

kata Maya pelan. “Iya... Makanya ayo kita ketempat itu sekarang... Kamu

tinggal sebutin aja dimana...” balas Ryan. “Pantai... Sejak kecil aku tidak

pernah melihat yang namanya pantai, menginjakkan kaki aku kepasir lembut

yang ada ditempat itu, merasakan dinginnya air laut dan melihat ombak putih

yang menyapu permukaan laut....” kata Maya memberi tahu tempat impian

yang ingin dia tuju kepada Ryan sambil tersenyum. “Ya sudah... ayo... kita

kepantai sekarang juga...” kata Ryan lagi. “Karena kondisi tubuhku yang

lemah ini aku tidak bisa pergi kesana, metabolisme tubuhku tidak akan bisa

menahan kerasnya angin pantai, karena itulah aku menutup rapat-rapat

keinginan itu dari hatiku, walau bagaimanapun inginnya aku pergi ketempat

itu, aku akan menghentikan langkahku dan membiarkan keinginan itu

menjadi hanya sekedar hayalan dikepalaku saja..” kata Maya lagi. Hal itu

membuat Ryan terdiam tidak mampu menjawab. Cukup lama mereka berdua

terdiam. Pandangan Maya tiba-tiba berubah kabur, dia merasakan pusing

Page 58: Bidadari Bersayap Biru

yang begitu menusuk. Sang waktu sudah tidak bisa menunggunya lebih lama

lagi. Walaupun merasakan sakit yang luar biasa itu, dia tidak mau kalau

Ryan menyadarinya. “Besok pagi....” kata Maya. Ryan menoleh kearahnya.

“Besok pagi kamu mau kan nganter aku ke pantai Yan...?” kata Maya sambil

tersenyum. Ryan menatapnya tajam seolah-olah mengatakan “kalau saja

besok pagi itu ada untukmu, aku akan membawamu mengarungi tujuh lautan

yang ada didunia ini”. Ryan mengangguk pelan. Maya menjulurkan jari

kecilnya kearah Ryan, meminta Ryan untuk berjanji kepadanya. Lama Ryan

menatap jari Maya itu, dan akhirnya dia melingkarkan jari kecilnya dengan

jari kecil Maya tanda dia berjanji akan membawa Maya kepantai keesokan

harinya. “Yaudah.... kalo gitu aku tidur sekarang ya Yan...? Aku sudah

ngantuk sekali, aku gak sabar mau ngeliat pantai besok pagi...” kata Maya

sambil tersenyum tipis dan berusaha merebahkan badannya kesofa

tempatnya duduk itu. Ryan membantunya merebahkan badan. “Selamat

malam ya Yan...” katanya pelan. “Selamat malam tuan putri.... Selamat

tidur...” balas Ryan pelan. Maya pun langsung memejamkan matanya.

Melihat hal itu hati Ryan merasa tercabik-cabik, dadanya kembali terasa

sesak, dia ingin berteriak sekencang-kencangnya saat itu tapi suaranya tidak

bisa keluar. Terlihat air matanya menetes karena sudah tidak tertahan lagi.

Cukup lama dia merasakan penderitaan batin karena ditinggalkan oleh

kekasih yang sangat dia cintai itu. Saat itu akhirnya dia merasakan

bagaimana perasaan para gadis yang pernah dia permainkan selama ini,

bagaimana sakitnya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai dengan

ketulusan hati. Ryan merasakan rasa sakit itu ditengah kegembiraan orang-

orang yang menyambut datangnya tahun baru diluar sana. Di tengah-tengah

kepiluannya itu akhirnya dia terlelap, terlelap dengan posisi duduk dilantai

disamping Maya.

Keesokan harinya..... “Mmm...?” Ryan terbangun. Dia merasakan ada

seseorang yang membelai kepalanya, dia melirik kekiri dan kekanan dengan

keadaan masih setengah sadar. Dan begitu dia memandang kearah Maya

yang seingat dia tadi malam tertidur disofa itu, seketika dia mengusap-usap

matanya. Kesadarannya seketika kembali.

From this chapter, until the end of the story, to give the story a bit

‘soul’, the writer recomended the readers to learn some certain songs in

certain moments in the story. Itu juga kalo punya lagunya sih, kalo gak

juga gak apa-apa... :)

Page 59: Bidadari Bersayap Biru

Chapter 7

AN INEVITABLE DESTINY

“No..... Way” kata Ryan sambil terperangah. Sosok Maya terduduk

sambil tersenyum manis kearahnya, sama seperti satu setengah bulan lalu.

“Ma.... Maya.... kamu....” Ryan tidak mampu berkata apa-apa yang melihat

gadis yang dia cintai itu masih bisa tersenyum lepas seperti itu padahal

seharusnya waktu hidup Maya sudah berakhir tadi malam. “Kamu cuci muka

aja dulu ya sayang..? abis itu kita langsung pergi ke pantai, mumpung masih

pagi... masih seger.... kamu udah janji kan ama aku tadi malem...” kata Maya

pelan sambil terus tersenyum. Ryan tidak menjawab, dia terus memandang

Maya, tidak percaya melihat gadis itu masih hidup dari „fonis mati‟nya itu.

“Yan....?” Maya kembali memanggilnya. “I.... Iya... Iya May.... A.... Aku

cuci muka dulu....” jawab Ryan terbata-bata. Alasannya untuk cuci muka

bukan karena dia disuruh oleh Maya, tapi untuk meyakinkan dirinya kalau

dia sudah tersadar dari tidurnya. “Mimpikah....? Hantukah....?” katanya

dalam hati didepan kloset cuci muka yang ada di kamar mandi. Ryan

langsung saja mencuci mukanya dan menatap kaca yang ada didepannya,

masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya pagi itu. Tidak lama

kemudian dia langsung keluar menuju ke arah ruang keluarga menemui

Maya. Saat memasuki ruang keluarga itu dia mencium wangi lavender yang

begitu sangat khas. Maya sudah bersiap untuk diajak kepantai. “Tidak

mungkin.... Maya benar-benar masih hidup...” kata Ryan dalam hati.

“Udah....?” tanya Maya melihat Ryan yang hanya berdiri tanpa sepatah kata

itu. Ryan membalas dengan anggukan kecil. “Kalo gitu ayo...” sambung

Maya sambil menggandeng tangan Ryan. Mereka pun berjalan keluar rumah.

Begitu mereka keluar, disana mereka mendapati Henry, Helen, dokter

Arman, tante Rani, Edo, Rafael, dan Eric yang sama sekali tidak tertidur dari

tadi malam. Melihat Ryan dan Maya yang keluar dari dalam rumah, mereka

semua sangat terkejut sekali, spontan tante Rani berdiri dari duduknya

melihat anak gadisnya itu masih bisa berdiri. “Ma.... Aku pergi ke pantai

ama Ryan ya...? Ini dah jam tujuh, kami udah telat gak bisa liat sunrise....”

Maya meminta izin kepada ibunya yang berdiri mematung itu sambil

tersenyum, padahal pagi itu sedang mendung, sepertinya sebentar lagi hujan

akan turun. Tanpa menunggu respon ibunya, Maya menarik Ryan untuk

Page 60: Bidadari Bersayap Biru

pergi. Saat itu Ryan menatap Edo tajam. Seolah-olah mengerti akan apa yang

ingin Ryan katakan, Edo mengangguk pelan. Ryan membukakan pintu mobil

untuk Maya. Ryan masih belum menjalankan mobilnya walaupun dia sudah

menyalakan mesin „si summer snow‟. “Yan...? Ayo dong kita jalan...” kata

Maya. Saat itu Maya terlihat benar-benar bawel tidak sabaran untuk pergi

melihat pantai. Tidak seperti Maya sebelumnya yang kalem dan pendiam.

“Ntar dulu sayang...” kata Ryan sambil meraih syal ungu yang Maya pakai.

Maya mengernyitkan dahinya tidak mengerti. “Inikan hadiah ulang tahun

kamu yang kedua puluh.... jadi matamu aku tutup yah...?” kata Ryan sambil

tersenyum kearah Maya. “Mmmm.... E‟em...” Maya mengangguk tanda

setuju sambil tersenyum. Ryan pun menutup mata Maya dengan syal itu dan

kemudian mobil itu melaju keluar dari pekarangan rumah itu. “Maya masih

hidup.... Maya masih hidup....” kata Ryan dalam hati meyakinkan dirinya

sambil tersenyum. Hatinya begitu sangat gembira sekali hari itu, dia tidak

jadi berpisah dengan gadis yang dia cintai sepenuh hati itu. Suasana

menegangkan dan menyedihkan malam itu dengan sangat cepat terlupakan,

seperti niat Ryan saat baru pertama kali melihat Maya didepan apotik satu

tahun yang lalu untuk hanya memiliki dan mempermain kan gadis itu,

terlupakan, seperti tidak pernah terjadi sama sekali.

Ryan menghentikan mobilnya. Mereka sudah sampai disebuah

pantai, letaknya mungkin sekitar delapan atau sepuluh kilometer dari rumah

Ryan sendiri. “Kita berhenti, udah sampai Yan...?” tanya Maya. “Eiittt....

jangan dibuka dulu penutup matanya sayang...” kata Ryan sambil

membukakan Maya pintu mobil dari luar. Dia memapah Maya untuk keluar

dari mobil dan melangkah kearah pantai. “Gak boleh ngintip yah...” kata

Ryan lagi. Maya tersenyum sambil mengangguk. Setelah tidak jauh dari

garis pantai, mereka pun berhenti. “Udah siap...?” tanya Ryan pada Maya.

Maya tersenyum, mengangguk sambil menggigit bibirnya, benar-benar

sangat penasaran seperti apa pantai itu di kenyataan, selama ini dia hanya

melihat pantai dari tivi dan film-film saja tapi tidak pernah secara langsung,

dan sekarang inilah hal yang dia impi-impikan itu akhirnya terwujud. Ryan

pun membuka penutup mata Maya. Ketika membuka mata, Maya melihat

lautan yang tidak berujung didepannya, sebuah kolam raksasa yang airnya

tidak akan pernah habis sampai kapanpun. Entah bagaimana caranya Tuhan

menciptakan kolam itu, Maya tidak mampu membayangkannya.

“Indahnyaaaaa.........” kata Maya sambil tersenyum lebar. Dia membuka

Page 61: Bidadari Bersayap Biru

sendal yang dia pakai dan menginjakkan kakinya dipasir hitam yang dingin

dan bersih itu, pagi itu masih belum ada satu orang pun dipantai, mingkin

karena orang-orang sedang beristirahat setelah merayakan malam tahun baru

tadi malam, hanya mereka berdua yang ada ditempat seluas itu. Maya

melangkah maju kearah bibir pantai dengan bertelanjang kaki sambil

tertawa-tertawa kecil kegirangan. Saat itulah sebuah ingatan tersibak didalam

kepala Ryan. Dia mengingat mimpinya tentang seorang gadis yang sedang

berdiri diujung tebing dulu. "Akhirnya kamu datang juga... Ryan." dia

mengingat akan mimpi itu. "Maya... Gadis dimimpiku itu adalah Maya..."

kata Ryan dalam hati dan beberapa saat kemudian dia pun tersenyum tipis

sambil terus memandang Maya yang ada didepannya. Maya merentangkan

tangannya sambil berputar-putar, merasakan hembusan angin pantai yang

masih segar-segarnya pagi itu. Dia terus tertawa-tawa kecil layaknya anak

kecil yang baru saja melihat yang namanya pantai. Ryan hanya bisa

tersenyum tipis dan terduduk di atas pasir melihat kekasihnya bertingkah

seperti anak-anak itu. Ombak pantai itu menyapu kaki Maya yang membuat

tawa kecilnya semakin terdengar begitu lugu. Cukup lama Ryan membiarkan

Maya menikmati suasana pantai itu, dan akhirnya Maya mendekati Ryan

yang dari tadi terduduk tanpa mengikutinya. Dia pun duduk disamping Ryan

dan merebahkan kepalanya dipundak Ryan. (Erene – Takkan

Pisah) “Yan....” kata Maya pelan. “Mmmm?” jawab Ryan. "Makasih

ya.... With this.... You made my life perfect...” kata Maya. No... You‟re the

one who made my life perfect May....”. kata Ryan sambil merangkul Maya.

Mereka terdiam lumayan lama menikmati waktu-waktu damai itu. Tapi

damai itu hanya untuk sesaat saja.... pandangan Maya kembali memudar.

“Kamu tau, apa permintaan aku tadi malem...?” tanya Maya kepada Ryan.

“Nggak.... Emang apa sayang...?” Ryan balik bertanya. “Aku minta..... Kalau

aku diberikan waktu sedikit lagi buat sama kamu... Walaupun hanya semenit

aja gak apa-apa, hanya untuk bisa ama kamu lebih lama lagi.....” kata Maya

pelan. Mendengar kata-kata Maya itu, Ryan tidak menjawab, jantungnya

berdegup sedikit keras saat itu. “You‟re fine May..... You‟re alive...” katanya

pendek sambil memandang kearah pantai. “Sejak awal aku udah tau kalo aku

ujung-ujungnya hanya akan nyakitin kamu aja, tapi biarpun aku tau

kenyataannya bakalan kayak gitu, aku gak bisa ngelepasin kamu, aku sayang

ama kamu, aku cinta ama kamu Yan, gak perduli kalo kamu itu cowok kayak

gimana...” kata Maya lagi. Ryan tidak menjawab. “Kamu udah menuhin janji

kamu buat ngajak aku kepantai.... Tapi kamu mau gak menuhin satu janji

lagi...?” tanya Maya. “Apa...?” jawab Ryan pendek. “Apapun yang terjadi

Page 62: Bidadari Bersayap Biru

ama aku hari ini....” Maya belum melanjutkan kata-katanya, Ryan sudah

menyanggah. “You‟re fine.... You‟re alive May....!” Ryan mengulangi kata-

katanya tanpa ekspresi. “Apapun yang terjadi ama aku hari ini... Kamu janji

ya..? Gak ngelakuin hal bodoh kayak apapun... Tetaplah menjadi Ryan yang

seperti kemarin-kemarin, semua orang senang ngeliat kamu, semua orang

bahagia ada disisi kamu dengan keadaan seperti itu, karena sejak awal,

seperti itulah kamu adanya.... jangan menjadi Ryan yang palsu lagi....

biarpun mama dan papa jauh, tapi kamu gak sendirian, kamu masih punya

Edo dan yang lainnya Yan....” kata Maya. Pandangannya semakin memudar,

kepalanya kembali pusing, dadanya terasa sesak yang membuatnya sulit

bernafas. Darah sudah mulai keluar dari hidungnya, mengalir ke kaos putih

yang dikenakan oleh Ryan. Ryan merasakan cairan itu, tapi dia sudah tidak

mampu bergerak mendengar pengakuan Maya itu, tubuhnya kaku menopang

Maya yang sudah tidak mampu untuk berdiri itu. “Jangan pergi May....

Kamu tau kalo aku gak bisa kehilangan kamu... kamu tau kalo duniaku ada

ama kamu... Jiwa dan ragaku belum siap untuk kehilangan kamu... Jangan

tinggalin aku disaat-saat kayak gini.... sakiti aku dulu... buat aku benci ama

kamu... buat aku muak ama kamu...” kata Ryan sambil menggenggam pasir.

“Kamu bisa...? Kamu bisa benci ama akau...? Kamu bisa muak ama aku...?”

Maya bertanya kepada Ryan. Ryan menggigit bibirnya dengan kuat sambil

menggeleng pelan. Dia merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan oleh

Maya saat itu, dadanya terasa begitu sangat panas dan perih bukan main.

“Kalo kamu pergi... bawa aku ikut ama kamu.... Kalo nggak ak...” Ryan

belum melanjutkan kata-katanya, jari telunjuk Maya sudah menempel

dibibirnya. “Uhuk...!! Uhuukk...!!” Maya terbatuk. Ryan jelas-jelas

merasakan kalau ada sesuatu yang retak karena saat itu dada Maya

menempel ditubuhnya. Saat itu Ryan semakin merasakan kalau bajunya itu

semakin basah. Maya mengeluarkan sesuatu dari kantong baju hangat

bergaris ungu dan putihnya itu. Sebuah boneka porselen kecil berbentuk

bidadari bersayap biru. “Boneka ini udah menuhin tugasnya, ngejaga aku

ampe umur aku mencapai dua puluh seperti kata kamu dulu Yan....” kata

Maya sambil mengacungkan boneka bidadari bersayap biru itu kearah langit

yang saat itu sedang mendung. Pandangan Maya semakin memudar melihat

langit. Waktu „tambahan‟nya sudah benar-benar akan habis. “Sudah saatnya

bidadari ini kembali kepemiliknya... sudah saatnya bidadari ini kembali ke

kamu Yan...” kata Maya sambil meletakkan boneka itu didada Ryan, tapi

Ryan sama sekali tidak merespon, air matanya mengalir deras sederas darah

segar yang mengalir dari hidung dan mulut Maya waktu itu. “Kamu nangis

Page 63: Bidadari Bersayap Biru

Yan...? Jangan... Gak boleh ada yang ngeliat air mata kamu... jangan

menangis sayangku....” kata Maya lemah. Dan saat itu pandangan Maya

tidak lagi hanya sekedar memudar, perlahan-lahan pandangannya berubah

gelap dan akhirnya berubah hitam pekat. “I love you Ryan...” Boneka

bidadari yang ada didada Ryan itu terjatuh kepasir, begitu pula tangan Maya

yang terkulai lemas jatuh ke pangkuan Ryan. Akhirnya waktu yang diminta

Maya sudah habis. Dia meninggal didekapan tunangannya yang begitu

sangat dia cintai itu. Ryan terpatung, dia tidak lagi mendengar suara Maya,

tidak lagi mendengar tawa Maya, saat itu mata Maya sudah terpejam

sepenuhnya, tapi masih terlihat sebuah senyuman menempel diwajahnya,

senyuman kebahagiaan karena hidupnya yang begitu singkat itu terasa benar-

benar sempurna karena ada Ryan disisinya. Ryan terduduk lama bersama

jasad Maya, dia merasakan ada tetes air jatuh dari langit, dan tidak lama

kemudian hujan pun turun dengan derasnya, memandikan mereka berdua.

Sebuah mobil mini van datang dari kejauhan, dan berhenti setelah sampai

dibelakang mobil Ryan. Tanpa memandang Maya untuk yang terakhir

kalinya, Ryan langsung menggendong jasad Maya itu kearah mobil mini van

itu, dari dalam mobil itu keluarlah dokter Arman dan Henry, Mereka berdua

mengambil jasad Maya dari gendongan Ryan. Kali ini Ryanlah yang tampak

seperti zombie, tidak ada ekspresi sedikitpun yang terlihat di wajahnya.

Henry memandang Ryan, tapi karena dia mengerti kondisi anaknya saat itu,

dia tidak berkata apa-apa dan langsung memasuki mobil yang disopiri oleh

Rafael itu. Mereka berlalu dari Ryan, membawa jasad Maya pulang. Akan

tetapi Ryan masih terus mematung, hatinya sudah hancur luluh lantah, tidak

berbentuk lagi, tidak ada yang akan bisa mengobati perasaan Ryan yang

entah hancur seperti apa saat itu. Edo hanya bisa memandang sahabatnya

yang dalam keadaan seperti itu dari kejauhan, dia tahu kalau tidak ada yang

bisa dia lakukan untuk menenangkan Ryan yang dalam keadaan kacau

seperti itu. Setelah mini van itu melewati mobilnya, dia pun berlalu

meninggalkan Ryan, sendiri didalam kesedihannya yang teramat sangat

karena ditinggalkan oleh Maya. Setelah lama di ditinggalkan Ryan pun

menangis sejadi-jadinya ditengah derasnya hujan, langit seperti ikut

menangis bersamanya, dan seolah-olah menutupi air matanya. Ryan

menangis sambil memukul-mukul kap mobilnya sampai penyok, dia tidak

merasa sakit ditangannya yang memukul kuda besi itu, tapi jantungnya yang

normal-normal saja malah terasa begitu perih, dia masih merasakan retak

dari jantung Maya yang dia rasakan tadi itu, dan rasa itu masih terasa jelas

Page 64: Bidadari Bersayap Biru

oleh Ryan. Dia bertekuk lutut didepan „summer snow‟nya sambil terus

menangis, berteriak sekencang-kencangnya memanggil nama Maya.

Hari itu merubah kehidupan Ryan menjadi semakin kelam, dia hidup

layaknya orang yang tidak memiliki hati dan perasaan lagi, terlebih lagi dia

berubah menjadi sosok yang sentimen dan amarahnya mudah tersulut walau

untuk hal-hal yang sepele, jiwanya ikut mati bersama Maya. Dia menjadi

anak yang begitu sangat dingin sekali, walaupun Edo, Rafael dan Eric terus

mengikutinya sampai ke universitas, dan orang tuanya semakin sering pulang

karena menghawatirkan keadaannya yang seperti itu, tapi sepertinya Ryan

benar-benar sudah tidak perduli terhadap apa-apa lagi, dia sudah tidak

perduli kepada kehidupan ini. Satu setengah tahun dia menjalani

kehidupannya seperti itu. Edo dan kedua temannya yang terus menemaninya

dalam keadaan seperti apapun. Mereka sudah kehabisan akal untuk

mengubah Ryan, tidak ada yang bisa merubahnya lagi, tidak ada selain.....

“Maya...” kata Ryan yang hari itu sedang duduk di halaman kampus bersama

Edo, Rafael dan Eric. Dia melihat seorang gadis datang dari kejauhan.

“Maya...” katanya lagi sambil berdiri. Edo, Rafael dan Eric begitu sangat

terkejut setelah melihat gadis yang Ryan lihat itu. “Hell no...”kata Eric

terperangah sedangkan kedua temannya tidak mampu berkata apa-apa

melihat sosok gadis itu. “Maya...” kata Ryan untuk yang ketiga kalinya

sambil mendekati gadis itu. Gadis yang di panggil Maya oleh Ryan tadi

mengernyitkan dahinya tidak mengerti. Dia berdiri didepan gadis itu sambil

terus memandanginya. “Bukan... Kamu bukan Maya.... Kamu bukan

Mayaku...” kata Ryan sambil berbalik dan melangkah. “Umm... Excuse me...

Have we met before....? „cause I feel like I knew you....” kata gadis tadi

sambil memegang pundak Ryan dari belakang, mencoba menghentikan

langkahnya. “Kamu bukan Maya...” kata Ryan dingin tanpa ekspresi.

“Maya...? Nama aku...”

..... “Dan saat itulah kamu bertemu dengan Ryan.... Natasya....” kata

seseorang yang tengah terduduk dikap mobilnya yang mengarah kearah

pantai itu dibelakan sesosok gadis yang saat itu tengah melihat sebuah foto

yang tampak sudah lama dan sedikit usang.

***

Page 65: Bidadari Bersayap Biru

Chapter 8

THE FORGOTTEN MEMORY

Gadis yang bernama Natasya itu tetap terdiam, dia terus melihat foto

yang saat itu sedang dia pegang. “Foto ini... Diambil pada saat Maya ulang

tahun ya...?” tanya Natasya kepada laki-laki yang ada dibelakangnya itu

tanpa menoleh. “Iya... Foto itu diambil pada ulang tahun Maya yang terakhir,

dua tahun yang lalu...” jawab laki-laki itu. “Aku sama sekali gak pernah

nyangka, kalo ada orang yang bener-bener mirip sekali ama aku, dia bahkan

tidak ada hubungan darah sama sekali ama aku...” kata Natasya sambil

memandang ke arah lautan yang ada didepannya. “Kalo aja Gue, Rafael ama

Eric gak ngehadiri pemakaman Maya dulu, kami juga gak bakalan percaya

sama sekali kalo elo itu bukan Maya... Gue tau yang namanya kembar

identik dan itu kebanyakan sodara kandung semua, tapi elo ama Maya bukan

sodara sama sekali, tapi terlepas dari itu.... Elo ama Maya sama sekali gak

keliatan ada bedanya secara fisik....Nada dan gaya bicara loe aja sama sekali

gak ada bedanya ama Maya...” kata laki-laki yang ternyata adalah Edo itu.

“Terima kasih ya Do... kamu udah cerita semua tentang Maya ama Ryan dari

awal... selama ini aku bener-bener penasaran kenapa Ryan manggil aku

Maya pas pertama kali ketemu enam bulan yang lalu...” kata Natasya. “Gue

juga udah dari dulu mau ngomong ama elo, biar elo gak keliatan kayak

ngejer-ngejer dia...” balas Edo. Kelakuan Edo terlihat sudah berubah, dia

menjadi laki-laki yang tidak bertingkah konyol seperti dulu lagi, sekarang

dia terlihat sedikit dingin tapi cukup gentle. Mungkin inilah Edo yang sudah

berfikir dewasa dan tidak kekanak-kanakan seperti dulu lagi. “Aku bukannya

ngejer-ngejer dia karena apa-apa... aku cuman penasaran aja, kalo kalian

bertiga aja masih gak percaya kalo aku bukan Maya dengan segala kesamaan

aku yang bener-bener sangat identik ama Maya, kenapa dia malah bilang

kalo aku bukan Maya setelah dia manggil aku Maya dulu... Setelah ngeliat

foto Maya ini, mustahil buat siapapun tau kalo aku bukan Maya... Dan aku

juga ngerasa pernah ketemu ama dia disuatu tempat dulu, tapi aku lupa

dimana, yang jelas aku ngerasa kalo aku kenal ama dia...” kata Natasya.

“......... Mungkin karena dialah yang paling mengenal Maya, dialah yang

paling deket ama Maya sampai akhir hidup gadis itu...” jawab Edo setelah

terdiam sejenak. “Maya...... Dia pasti adalah gadis yang bener-bener sangat

istimewa buat Ryan.... Gadis berjantung kaca....” kata Natasya dengan nada

Page 66: Bidadari Bersayap Biru

tertegun. “Sekarang kamu udah tau semuanya... Gak bakalan ada yang bisa

ngubah Ryan menjadi seperti dulu lagi pas ada Maya... Ayo.... aku anter

kamu pulang... udah ampir sore...” kata Edo sambil beranjak akan memasuki

mobilnya, dan ketika dia akan membuka pintu mobilnya.... “Do...” kata

Natasya. Edo menoleh kearah Natasya. Gadis yang mirip dengan Maya itu

berbalik setelah dari tadi tidak pernah bertatap muka dengan Edo, Semilir

angin pantai menyapu rambut hitam panjangnya. “Aku janji.... Aku akan

mengembalikan Ryan ke kamu... Ryan yang dulu pernah menjadi kakaknya

kamu itu.... Tolong izinin aku memasuki kehidupan Ryan.... Bantu aku

memasuki kehidupan Ryan....” kata Natasya sambil tersenyum tipis kearah

Edo sambil mengaitkan sedikit helaian rambutnya ke pangkal telinganya.

Melihat dan mendengar Natasya mengatakan hal itu Edo terperangah, Maya

pernah mengatakan hal yang sama kepadanya dulu, dengan nada yang sama,

tulus. Saat itu Edo melihat jelas kalau sosok Maya ada pada diri Natasya,

bukan hanya karena mereka mirip, tapi hati dan perasaan kedua gadis itu pun

sama. Edo tidak mampu menjawab kata-kata Natasya itu, dia terpatung,

sampai akhirnya Natasya memasuki mobilnya dan mengajaknya pulang.

Natasya Valentijn. Awalnya dia adalah gadis dalam negeri, tapi pada

saat usianya yang ke lima tahun, ayahnya meninggal dunia dan dia hidup

berdua bersama ibunya yang seorang pengacara internasional. Kemudian

pada usianya yang ke sepuluh tahun, ibunya menikah kembali dengan

mantan clientnya yang berkebangsaan Belanda, yang membuat mereka

akhirnya berdomisili di negeri kincir angin itu, dan dari sang ayah tirilah dia

mendapat nama Valentijn, nama Belanda yang berarti kuat atau sehat.

Kemiripannya dengan Maya bisa dibilang hampir 100% sama, hanya saja

jika Maya adalah sosok gadis yang sedikit pendiam dan berbicara seadanya

saja, Natasya adalah sosok gadis yang sedikit lebih talkactive dibandingkan

dengan Maya. Walaupun tidak terlalu sering, tapi dia selalu menyempatkan

diri untuk pulang hanya untuk pergi ke makam ayahnya dan tinggal

dirumahnya yang dulu untuk sekedar satu atau dua hari saja. Terkadang dia

pulang sendiri, tapi terkadang bersama sang ibu. Dan sekarang dia kembali

ke negeri asalnya ini untuk menempuh jenjang pendidikan sarjananya yang

membuatnya bertemu dengan Ryan.

Page 67: Bidadari Bersayap Biru

Sejak saat itu Natasya berusaha untuk mendekati Ryan walaupun

Ryan selalu menolak keberadaannya. Dia terus saja berusaha untuk bisa

memasuki kehidupan Ryan seperti apapun itu. Karena mendapat bantuan dari

ketiga teman Ryan, dia tidaklah sulit untuk menemukan Ryan dimana pun

Ryan berada. Saat Ryan sedang clubing bersama ketiga temannya itu,

Natasya pun datang. “Hay guys... having fun eh... May I join....?” kata

Natasya langsung saja duduk didekat Ryan tanpa dipersilahkan. Sesaat

setelah Natasya duduk, Ryan malah berdiri dan melangkah akan

pergi. “Where are you going man... We‟re just arrived....” tanya Eric yang

melihatnya beranjak. “None of your business...” jawan Ryan dengan nada

yang begitu sangat dingin sekali. “Yan.... Natasya baru aja nyampe... loe gak

mau duduk-duduk dulu, kita kan baru aja nyampe...” Rafael berdiri

menghalangi Ryan yang akan pergi. “Loe ngalangin gue.... Minggir gak...”

balas Ryan sinis. “Kita baru aja mesen minuman Yan... gak usah kekanak-

kanakan gini....” kata Rafael lagi, kali ini dia memegang pundak Ryan. “Do

not.... Fuck with me...!!!” kali ini Ryan menjawab Rafael dengan kata-kata

kasarnya sambil menatap Rafael dengan tajam. Mendengar Ryan membalas

seperti itu, Rafael menarik tangannya dari pundak Ryan. Ryan pun kembali

melangkah sambil menyenggol pundak Rafael dengan kasarnya. Edo hanya

bisa terdiam saja melihat kelakuan Ryan yang seperti itu. Sedangkan Eric

hanya bisa mengangkat pundaknya. Natasya yang dari tadi menyaksikan

kelakuan Ryan itu menghela nafas panjang dan akhirnya mengejar Ryan.

“Yan... Gak usah gini dong... Kasian temen-temen kan...” kata Natasya

sambil berjalan mengikuti Ryan dari belakang. Ryan tidak menjawab dan

terus saja berjalan keluar. “Kalo kamu gak suka aku gabung, kamu tinggal

nyuruh aku pergi aja kan...? Gak harus ngomong kasar gitu ama mereka...”

kata Natasya lagi. Lagi-lagi Ryan tidak menjawab Natasya. “Kamu gak suka

ama aku...? Kamu gak suka ama Maya...?” Natasya tidak kehabisan kata-

kata. Mendengar Natasya berkata seperti itu, Ryan seketika menghentikan

langkahnya. Natasya pun ikut berhenti. “Mulut loe ye... Butuh dibakar...!!!”

kali ini Ryan membalas dengan sinis. “Kenapa...? Kamu gak suka ama aku

karena aku ngingetin kamu ama masa lalu kamu...? karena aku mirip ama

Ma...” Natasya belum melanjutkan kata-katanya Ryan seketika berbalik.

“Bacot loe....!!!! Jangan pernah samaain diri loe ama Maya, kuping gue sakit

ngedenger nama Maya keluar dari mulut loe....!!! Loe gak sama ama Maya....

Loe imitasi...!!!!!” bentak Ryan sambil menuding-nuding Natasya. Kata-kata

Ryan itu membuat Natasya tidak mampu membalas, gadis itu hanya bisa

menatap Ryan saja. Beberapa lama kemudian, Ryanpun berbalik dan

Page 68: Bidadari Bersayap Biru

kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Natasya yang ter‟skak mat‟

oleh kata-katanya. Tapi belum jauh Ryan melangkah.... “Aku gak bakalan

nyerah Yan.... kamu mau bilang apa aja ke aku, aku gak perduli....” kata

Natasya setengah berteriak. Ryan mengacungkan jari tengahnya kearah

Natasya tanpa menoleh sambil terus melangkah. “Ryan…” panggil Natasya

lagi sesaat sebelum Ryan memasuki mobilnya dan melaju kencang

meninggalkan Natasya setelah hampir menyerempet gadis itu tanpa perasaan

sama sekali. Ketika itu Natasya tampak terhenyak, sepertinya dia menyadari

akan sesuatu, tapi entah apa itu dia sendiri masih belum yakin. Akhirnya dia

kembali masuk untuk menemui Edo, Rafael dan Eric. Memang benar, gadis

itu tidak pernah menyerah untuk mendekati Ryan, semakin Ryan menghindar

darinya, semakin dia mengejar-ngejar Ryan, dan tanpa disadari semakin

dalam dia memasuki kehidupan Ryan. Entah sudah berapa kali Ryan

melemparkan sumpah serapahnya kepada Natasya tapi sepertinya telinga

gadis itu tidak bergeming sama sekali, apa pun yang dikatakan Ryan

padanya, dia tetap saja tersenyum manis didepan Ryan. Dan pernah suatu

hari dia datang menemui Ryan dipantai kenangan itu. Ketika dia datang, dia

mendapati Ryan tengah duduk di sebuah bangku kayu agak sedikit jauh dari

garis pantai sambil memegang sebuah gitar dan sebuah buku lirik lagu.

Natasya terus saja menatap Ryan dari belakang, dan tampaknya Ryan masih

belum menyadari kehadiran Natasya. Dan ketika Ryan akan memetik

gitarnya, Natasya melangkah kearahnya dan duduk tepat disampingnya.

“Yan…? Gimana kabarmu…?” tanya Natasya sambil menoleh kearah Ryan

sambil tersenyum manis. Ryan yang saat itu akan mendendangkan lagu yang

sudah dia baca liriknya itu mengurungkan niatnya. “Elo lagi… Elo lagi…”

kata Ryan dingin tanpa menatap Natasya. “Mau nyanyi ya…? Ayo dong…

Aku dengerin…. Gak enak lho nyanyi kalo gak ada yang dengerin…” kata

Natasya. Ryan tidak menjawab. Suasana menjadi hening, tidak ada yang

bersuara diantara mereka berdua. “Pantainya indah ya Yan…? Kita kesana

yuukk…?” Natasya akhirnya angkat bicara mengajak Ryan ke pantai. “Elo

gak capek-capeknya ya gangguin gue mulu… Gue capek tau gak…!!!”

bentak Ryan. “kalo aja kamu gak ngindarin aku terus… kamu gak bakalan

capek…” balas Natasya sambil tersenyum. Ryan terdiam. “Ayo... kita turun

ke pantai Yan..?” Natasya kembali mengajak Ryan. “Pergi gak loe....” balas

Ryan dingin. Natasya menatap Ryan. “Enggak...” jawab Natasya dengan

nada centil. “Pergi gak...?!” Ryan sedikit berteriak. “Enggak...” Natasya

malah semakin centil dan malah tersenyum pula. “Pergi gak...!!!!!” kali ini

Ryan membentak gadis itu. “Nope... I wont leave...” Natasya tetap menolak

Page 69: Bidadari Bersayap Biru

untuk pergi. “Anjinnggg....!!!!!” Ryan mengumpat sambil membuang gitar

yang dia pegang tadi itu ke pasir dan melangkah pergi dari Natasya.

Tampaknya dia benar-benar sangat marah sekali. “Yan... Tungguin...”

Natasya malah mengejarnya dan berusaha meraih pundak Ryan. Spontan

Ryan menyepak tangan Natasya sambil berbalik. “Fuck you....!!! You hear

me...?!!! Fuck you... Piece of shit...!!!” bentak Ryan dengan kata-kata kasar.

“Why Ryan.... What have I done wrong...?Why do you hate me so much...?”

kali ini Natasya yang sedikit terdengar seperti membentak Ryan. Ryan tidak

mampu menjawab pertanyaan Natasya itu dan langsung memasuki mobilnya

yang kemudian melaju kencang meninggalkan Natasya. Melihat mobil Ryan

sudah menghilang dari jangkauan pandangnya, dia kembali untuk memungut

gitar yang tadi Ryan lempar. Disamping gitar itu dia melihat sebuah kertas

dengan tulisan tangan Ryan. Tampaknya itu adalah sebuah lirik lagu.

Dapat kah kau melihat

Betapa ku kan tertatih

Mencoba tuk mengejar mu

Sribu bintang yang bersinar

Tak satu yang menyinari

Hati ku yang berlari

Dapat kah kau pahami

Arti hadir ku disini

Yang kan selalu menanti

Jejak langkah yang tertinggal

Mengharap ku kembali

Hati ku pun tetap hampa

Aku, disini

Merasakan sepinya hati

Aku, disini

Merasakan sunyinya hidup

Aku, disini

Merasakan terbang melayang

Dan tak dapat ku merasakan

Apa yang tlah terjadi

Dan tak mungkin ku melepaskan smua

Cinta yang tlah membuat ku melayang

Page 70: Bidadari Bersayap Biru

Ketika Natasya membaca lirik lagu itu, tiba-tiba sebuah ingatan

muncul dibenaknya. Sebuah ingatan yang selama ini hilang darinya. Ingatan

itu membawanya ke masa dua tahun yang lalu. Ketika itu dia baru saja

pulang dari makan ayahnya bersama sang ibu.

Saat ditengah perjalanan dia mendapat panggilan dari ayah tirinya yang

ada di Belanda sana, dia kaget dan kehilangn kendali atas mobil yang dia

kendarai. Dia hampir menabrak sebuah truk, dan untuk menghindari hal

tersebut dia membanting stir mobil terlalu kuat yang membuat mobil itu

terpontang panting ditengah jalan. Natasya dan ibunya mengalami

kecelakaan. Ibunya sudah tidak sadarkan diri ketika di naikkan ke dalam

mobil ambulan, tapi saat itu dia sendiri masih setengah sadar. Ketika dia

menoleh kearah jalan disebelah kirinya yang sedang berada diatas tandu,

dia melihat sebuah mobil New Aston Martin Vanquish yang dikendarai Ryan

lewat. Dia melihat Ryan terus saja memencet klakson mobil seperti tidak

sabar ingin melewati kemacetan karena kecelakaan yang dialami oleh

Natasya itu. “Maaf udah ngerepotin kamu...” kata Natasya pelan dan

akhirnya tidak sadarkan diri lagi. Sebenarnya saat itu entah kenapa dia

mengatakah hal seperti itu, dia sendiri pun tidak mengerti. Dan keesokan

harinya dia mengalami koma, dalam keadaan koma tersebut dia dibawa

kembali ke Belanda oleh ayah tirinya untuk mendapatkan perawatan yang

lebih baik. Dan sejak hari itu dia tidak pernah kembali lagi sampai akhirnya

dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di negara asalanya ini.

Sesaat kemudian ada setetes air yang keluar dari matanya saat itu. “Ryan...

Kalo kamu ngebenci keberadaan aku yang sekarang ini, aku akan menjadi

Maya untukmu... Kita liat apa kamu masih bisa ngebenci aku...” gumam

Natasya, kemudian dia merogoh saku celananya untuk mengambil hape. Dia

masuk ke contact list dan menekan tombol call pada nama “Edo”. Beberapa

saat kemudian, dia mendapat jawaban dari Edo. “Do.... Aku inget, dimana

aku pernah ngeliat Ryan, dan kenapa aku ngerasa kenal ama dia... Dua tahun

lalu...” Natasya mulai menceritakan Edo tentang kejadian yang menimpanya

dua tahun yang lalu yang baru saja dia ingat. Edo terkejut mendengar cerita

Natasya karena mengingat sesuatu. “Adduuhhh sayaaannnggg.... Maaf aku

lama ya...? Macet, ada kecelakaan tadi...” Edo ingat kalau Ryan pernah

menyebut sebuah kecelakaan, dulu saat dia melihat Maya muntah darah, hal

itu terjadi dua tahun lalu. “Kondisi Maya mulai memburuk sejak hari itu, hari

dimana Natasya kecelakaan, dan mereka berdua.... Koma di hari yang

sama....” kata Edo dalam hati. “Waktu itu... Berapa lama kamu dalam

Page 71: Bidadari Bersayap Biru

keadaan koma Nat...?” tanya Edo. “Dan mereka juga sama-sama koma dalam

waktu empat belas hari...” sambung Edo dalam hati setelah mendapat

jawaban dari Natasya. “Bukankah itu adalah hal yang mustahil...? dua orang

yang mirip bisa mengalami hal yang sama pada waktu yang bersamaan,

kalau mereka kembar sedarah sih mungkin saja, tapi ini kenyataannya

mereka tidak ada hubungan sama sekali. Apa mungkin bisa kehidupan

seseorang itu terhubung secara tidak sengaja...? atau mungkin...” pikir Edo.

Dia mendengar Natasya mengatakan sesuatu diujung telpon. “Do... Aku mau

minta sesuatu ama kamu.... Anter aku kerumah Maya, dan...” “Gak... Itu gak

mungkin.... Kalo cuman sekedar nganter kerumah Maya sih aku gak

masalah, tapi permintaan kamu yang satu itu aku gak mau.... Kamu bisa

dibunuh ama Ryan...!” kata Edo sedikit berteriak setelah mendengar semua

permintaan Natasya tadi. “Gak apa-apa Do... Aku yang tanggung jawab... Ini

semua demi Ryan...” balas Natasya dengan nada pasti.

***

Page 72: Bidadari Bersayap Biru

Chapter 9

LIVING LEGACY

Keesokan harinya. Benar saja, Mobil Edo berhenti didepan sebuah rumah

bergaya klasik itu, ya, rumah itu dulunya adalah rumah Maya. Sekarang

tempat itu tampak tidak terawat. Sepertinya sudah tidak ada yang tinggal

disana. “Jadi ini rumahnya Maya...?” tanya Natasya yang saat itu sedang

berada didalam mobil Edo. “Sejak dua tahun yang lalu rumah ini sudah tidak

dihuni lagi, tante Rani pindah ke Amerika ikut dengan om Arman, dia tidak

mampu tinggal ditempat dimana Maya meninggalkan begitu banyak

kenangan...” jawab Edo. “Apa kita bisa masuk Do...?” Natasya kembali

bertanya setelah melihat-lihat bagian luar rumah itu. “Edo keluar dari

mobilnya dan berjanlan menuju kearah gerbang rumah itu yang terlihat

sudah berkarat dan ditumbuhi oleh tumbuhan-tumbuhan menjalar. Dia

tampak susah payah mendorong gerbang besar itu. Setelah itu dia kembali

memasuki mobilnya dan melaju pelan kearah pekarangan rumah Maya itu.

Keadaan rumah itu tidak berubah sama sekali, hanya saja memang sudah

tidak terawat sama sekali. Rumah klasik itu berubah menjadi rumah tua yang

usang. Begitu mobil Edo berhenti, Natasya langsung saja keluar. Dia

memandang tempat luas yang dulunya adalah sebuah taman bunga tempat

Ryan dan Maya biasa menghabiskan waktu mereka bersama. Sekarang

semua bunga-bunga yang dulunya tumbuh begitu asri dan indah ditaman itu

sudah mengering, layu, dan sebagian besarnya mati. Tapi tiba-tiba

pandangan Natasya tertuju kearah sebuah rimbunan bunga yang terlihat

masih segar diantara bunga-bunga yang sudah mati itu. “Do... Kamu yakin

gak ada lagi yang pernah kesini selama dua tahun ini...?” tanya Natasya

sambil melangkah kearah bunga itu. “Kamu lihat sendiri keadaan rumah ini,

dari luar saja sudah terlihat seperti rumah angker dengan gaya klasiknya,

menurutmu siapa yang berani datang kesini..?” jelas Edo sambil melihat

sekeliling. Natasya berjongkok didepan rimbunan bunga itu, dia melihat ada

sebuah kupu-kupu berwarna biru disetangkai bunga yang tumbuh lebih

tinggi dari yang lainnya. Merasakan kehadiran Natasya, kupu-kupu itu

terbang menjauh. Kupu-kupu tadi terbang didepan Edo yang membuat Edo

sedikit terkejut karena dari tadi memandangi rumah besar yang masih berdiri

kokoh didepannya itu. Karena terkejut oleh kupu-kupu itu, dia menoleh

kearah Natasya, dan melangkah kearah gadis itu, sepertinya dia sedikit

penasaran akan apa yang saat itu Natasya sedang perhatikan. Setelah sampai

dibelakang Natasya, Edo terkejut. Dia ingat akan bunga itu. “Mawar putih....

Page 73: Bidadari Bersayap Biru

Bunga yang sangat indah sekali....” kata Natasya sambil tersenyum tipis. Edo

tidak mengatakan apa-apa. “Kamu yakin... Gak ada orang yang datang kesini

Do...? Kayaknya bunga ini sangat terawat, sedangkan bunga-bunga yang

lainnya udah mati semua...” Natasya kembali bertanya. “..... Mungkin

Ryan....” Jawab Edo. “Ryan...? Ngerawat bunga...? Kamu yakin...?”

tampaknya Natasya lupa akan cerita Edo beberapa minggu yang lalu tentang

bunga itulah yang menjadi penghubung perjalanan cinta Ryan dengan Maya.

Edo kembali tidak menjawab Natasya. Edo yang sekarang ini memang

adalah laki-laki yang tidak banyak bicara sejak dua tahun yang lalu. “Tapi

bunga ini aneh ya...?” kata Natasya. Aneh...? kamu gak pernah liat mawar

warna putih ya...?” Edo balik bertanya. “Enggak gitu Do... Maksud aku....

Selain aneh karena cuman bunga ini aja yang masih segar disini setelah

rumah ini ditinggal selama dua tahun lamanya...” kata Natasya. “Kan udah

aku bilang... Mungkin aja Ryan sering dateng kesini buat ngerawat bunga

ini, aku tau betul kalau bunga ini benar-benar sangat berarti buat dia... Udah

deh... Kamu gak usah mengada-ada... Ayo kita pergi...” jelas Edo sambil

berbalik. “Aku cuman heran aja.... Kenapa ada setangkai lavender ditengah-

tengah rimbunan mawar putih begini...” kata Natasya yang membuat langkah

Edo seketika terhenti. “Lavender...?” kata Edo dalam hati dan berbalik

melangkah kearah Natasya untuk memastikan apa yang dikatakan oleh

Natasya itu benar adanya. Dan memang, Edo melihat setangkai lavender

tumbuh didalam rimbunan mawar putih itu seperti yang dikatakan oleh

Natasya. Hal itu mustahil, lavender adalah jenis ilalang yang tidak mungkin

tumbuh hanya setangkai saja, kalaupun bisa, kenapa ditengah-tengah

rimbunan bunga yang tidak sejenis? Mungkin itulah yang terlintas dipikiran

mereka berdua saat itu. “Gadis ini.....” kata Edo dalam hati memandang

Natasya dari belakang yang masih terheran melihat keanehan itu. “Kamu

masih mau melakukan hal yang kemari kamu bilang ke aku itu...?” tanya

Edo kepada Natasya. Gadis itu seketika berdiri dan berbalik memandang Edo

kemudian mengangguk mantap. Edo menatapnya dalam, tidak tampak ada

keraguan sedikit pun di mata Natasya, tampaknya dia sudah siap menerima

konsekuensi atas apapun yang saat itu sedang dia rencanakan. Melihat hal

itu, Edo menarik nafas panjang dan menghembuskannya. “Baiklah...

Lakukan apa yang kamu bisa.... Aku yang tanggung jawab atas apapun yang

akan Ryan katakan dan lakukan setelah itu...” kata Edo sambil berbalik dan

melangkah memasuki mobilnya. Saat itu Natasya merasakan ada sedikit

kesedihan dari diri Edo, tapi pada saat yang bersamaan terpancar setitik

harapan dihati laki-laki itu, harapan yang saat itu seolah-olah diletakkan

Page 74: Bidadari Bersayap Biru

ditangan Natasya, harapan untuk mengembalikan Ryan dari keterpurukannya

yang begitu mendalam, keterpurukan yang membelenggu hati Ryan selama

dua tahun ini. “Edo....” kata Natasya dalam hati sebelum melangkah

memasuki mobil Edo. Setelah itu merekapun pergi dari rumah itu.

Beberapa lama kemudian mereka sampai disebuah yang begitu besar

seperti istana dan sangat mewah sekali, itu adalah rumah Ryan. Disana

tampaknya Eric dan Rafael sudah menunggu kedatangan mereka. Begitu Edo

dan Natasya keluar dari mobil, Eric dan Rafael mendekati mereka. “Tante

ama om kayaknya ada dirumah Do....” kata Rafael. Edo tidak menjawab.

“Are you sure about this Do...? Ryan could kill her... This is a bad idea...

You know the current Ryan, right...?” kata Eric tampaknya ragu dengan

sesuatu. “Kalian semua gak usah hawatir... aku yang nanggung apapun yang

terjadi.... Anggap ini adalah ide ku sendiri...” jawab Edo singkat. “But....”

............. “If Ryan should kill somebody because of this.... I‟m the only one

who he should kill...!! I couldn‟t let him like this forever....!! This is the only

way... This is the best for Ryan himself...” kata-kata Eric belum selesai, Edo

sudah terlebih dahulu menyanggahnya. Mereka berdua tahu, ketika Ryan dan

Edo mengungkapkan sesuatu dengan bahasa inggris, itu berarti benar-benar

sesuatu yang sudah mutlak. Eric terdiam. Keadaan menjadi hening. “Nat...

Ikut aku..” kata Edo setelah tidak lama terdiam. Natasya pun mengikuti Edo

yang berjalan kearah garasi. Edo mengajak Natasya kesebuah garasi kecil

dipojok rumah itu, Edo membuka gerbang garasi itu, didalamnya terlihat

sebuah mobil. “Mobil ini....” tampaknya Natasya mengenal mobil itu.

“Summer Snow.... Ryan menamai mobil ini Summer Snow... Saksi bisu

kisah cintanya dengan Maya. Ryan tidak pernah menggunakan mobil ini

sama sekali sejak kematian Maya dulu, seperti inilah keadaan mobil ini

dihari kematian Maya dulu...” jelas Edo. Benar saja masih terlihat bercak

lumpur yang sudah mengering dibagian-bagian tertentu mobil itu yang

menandakan kalau terakhir kali mobil itu digunakan disaat-saat jalanan

tengah basah dan berlumpur. Dan walaupun tidak terlihat jelas, tapi ada

sedikit penyok dibagian kap mobil itu. Tempat dimana tinjuan Ryan

melayang beberapa kali dulu ketika dia tidak bisa menahan perih dan

kepedihan hatinya ketika Maya pergi meninggalkannya untuk selama-

lamanya. Natasya mengintip bagian dalam mobil itu dari jendela pintunya.

Dia melihat sebuah syal berwarna ungu tergeletak di dursi penumpang. Itu

adalah syal yang digunakan untuk menutup mata Maya oleh Ryan dulu.

Page 75: Bidadari Bersayap Biru

Melihat syal itu, Natasya langsung mencoba membuka pintu penumpang,

dan memang bisa terbuka. Begitu dia memasuki mobil itu, dia mencium

sebuah aroma. “Lavender?” kata Natasya dalam hati. Dia kemudian meraih

syal itu dan duduk dikursi penumpang itu kemudian melingkarkan syal itu

dilehernya. Seketika sesuatu terjadi. (Just a Dream by Nelly, (cover) Megan

Nicole) Entah apa yang terjadi, Natasya tiba-tiba menyaksikan perjalanan

hidup Maya dan Ryan sejak mereka pertama kali bertemu didepannya,

seperti sebuah layar tiga dimensi, dia terbawa ke masa lalu pasangan itu, dia

menyaksikan semuanya, kebahagiaan yang mereka lewati, kesedihan yang

mereka alami, kenangan dimana mereka semua tertawa bersama, dimana

Maya selalu menangis ditengah malam karena tahu dia tidak bisa menjalani

kebahagiaannya itu dalam waktu yang panjang, dimana Maya harus

merasakan sakit yang teramat sangat didadanya tapi dia mencoba untuk

menyembunyikan keadaannya itu didepan Ryan, terketika Maya mulai

berdoa kepada Tuhan untuk bisa hidup lebih lama lagi setelah bertemu

dengan Ryan, hari-hari dimana Maya menyesali akan kehidupannya yang

singkat tapi harus dia terima dengan segala ketulusan dan keikhlasannya,

kemudian hari dimana semua harapannya itu dimulai, ketika Ryan menanam

setangkai bunga mawar putih dan berjanji untuk terus ada disisinya dalam

keadaan apapun, hari-hari dimana Maya merasakan sebuah kehidupan yang

begitu sempurna dengan segala kekurangan yang dia miliki. Dan Natasya

pun akhirnya tahu kenapa sebuah ilalang seperti lavender bisa tumbuh

ditengah-tengah bunga mawar yang bukan jenisnya. Hari dimana Ryan pergi

setelah menanam bunga itu, dia menaburkan sebuah bibit lavender dibunga

itu dan menatap langit, berterima kasih kepada Tuhan bahwa dia telah

dipertemukan dengan seorang yang selama ini sudah dia tunggu-tunggu

sebelum masa hidupnya berakhir. Entah bagaimana tapi tampaknya Maya

sudah menyadari kalau Ryan adalah cinta pertama dan terakhirnya, karena

itu dia begitu sangat menyayangi Ryan sampai-sampai dia tidak mampu

untuk membuat Ryan pergi darinya walaupun dia tahu semakin Ryan

menyayanginya, diujung jalan nanti akan semakin sakit perasaan Ryan ketika

dia pergi untuk selama-lamanya. Terlepas dari semua itu, Maya telah

memberikan cinta pertamanya kepada Ryan, dan itu untuk selama-lamanya.

“Nat...” Edo memegang pundak Natasya yang membuat gadis itu tersadar

dari apa yang saat itu dia „lihat‟. “Kamu nangis...? Kenapa...?” tanya Edo

heran melihat Natasya mengeluarkan air mata begitu dia duduk dan

mengenakan syal itu. “Maya....” kata Natasya pelan sambil mengusap air

Page 76: Bidadari Bersayap Biru

matanya. “Maya...?” Edo tampak semakit tidak mengerti dengan tingkah

Natasya saat itu. “Dimana pakaian itu...” tanya Natasya singkat.

Saat itu Ryan tengah duduk termenung ditempat dia dulu duduk bersama

Maya, menunggu waktu Maya berakhir. Hari itu langit tampak mendung,

begitu gelap, sama seperti hari dua tahun lalu, tampaknya hujan akan turun

dengan derasnya tidak lama lagi. Ryan duduk termenung sambil memandang

lautan luas yang seolah-olah tidak berujung itu., seperti kesedihan hatinya

yang seolah-olah tidak memiliki ujung ketika ditinggalkan oleh Maya.

“Ryan...” kata seseorang dibelakangnya. Mendengar namanya dipanggil,

Ryan menoleh kebelakang. Saat itu dia melihat sesosok gadis dengan baju

hangat berwarna ungu bergaris putih dengan syal ungu yang melingkar

dilehernya, berdiri menatapnya. Ryan begitu sangat terkejut menyaksikan hal

itu. “Ma.... Maya....?” kata Ryan pelan. Gadis itu tersenyum, tersenyum

dengan sangat manisnya. Ryan merasa mengenali senyum itu. Dia pun

berdiri. “Sayang.... Kamu ada disini...?” kata Ryan lagi sambil melangkah

mendekati Maya. Gadis itu mengangguk pelan sambil terus tersenyum

kearah Ryan. Tapi begitu Ryan sampai didepan gadis itu, tatapan Ryan

seketika berubah. Seketika tangannya melayang, menggenggam leher gadis

itu dengan begitu sangat eratnya yang membuat gadis itu tidak bisa bernafas

sama sekali. Kedengkian yang teramat sangat terpancar di mata Ryan.

“APA-APAAN LOE....!!!!!!! NGAPAIN LOE PAKE PAKEAN INI....!!!!!”

nada bicara Ryan jelas menandakan kalau saat itu dia begitu sangat murka

sekali. Entah bagaimana tapi dia sadar kalau gadis yang ada didepannya saat

itu sama sekali bukan Maya, tapi Natasya yang mengenakan pakaian favorite

Maya, pakaian yang Maya kenakan dihari-hari terakhirnya dulu, yang selama

ini Ryan simpan dikamarnya. Natasya saat itu benar-benar terlihat kesakitan,

karena tangan Ryan menggenggam lehernya dengan sangat erat dan karena

dia hampir tidak bisa bernafas sama sekali. Dia mencoba untuk berbicara tapi

suaranya tidak bisa keluar sama sekali karena cekikan Ryan. “LOE CARI

MATI...?!!!!! KALO GITU GUE MATIIN LOE SEKARANG JUGA....!!!!!

DASAR PALSU....!!!!!! PENJILAT....!!!!!! WANITA JALANG....!!!!”

teriak Ryan beringas dan semakin menambah kekuatan cekikannya.

Tampaknya ide Natasya untuk berpenampilan seperti Maya didepan Ryan

dengan menggunakan pakaian Maya sendiri agar Ryan bisa terlepas dari

kesedihannya itu malah menyulut kemurkaan Ryan dan membuat Ryan jadi

lepas kendali seperti itu. Ryan benar-benar akan membunuh Natasya,

Page 77: Bidadari Bersayap Biru

cekikannya semakin dan semakin erat. Natasya memegang pergelangan

tangan Ryan dan berusaha untuk mengatakan sesuatu kepada Ryan ditengah-

tengah keadaan itu. Saat itu mereka hanya berdua saja di pantai itu, tidak ada

orang yang bisa menyelamatkan Natasya dari kemurkaan Ryan. Pandangan

Natasya mulai memudar karena dia benar-benar sudah tidak bisa bernafas

lagi. Ryan merasakan pegangan Natasya semakin lemas. Menyadari akan hal

itu, Ryan akhirnya tersadar dari murkanya, dia melempar tubuh lemas

Natasya kepasir layaknya melempar sebuah boneka. Natasya tersungkur

lemas sambil terbatuk-batuk. “Loe gak bakalan bisa jadi kayak Maya,

apapun yang loe lakuin...” kata Ryan pelan. Natasya berusaha untuk berdiri

meskipun kepalanya sedikit pusing karena perbuatan Ryan tadi. “A.... Apa

bedanya.... aku... ama.... ama Maya Yan...?” tanya Natasya terbata-bata.

Ryan terdiam. “Apa bedanya aku ama Maya yan...? Aku mirip Maya kan...?

Kalo cuman Maya yang bisa kamu cintai, aku bisa jadi Maya buat kamu...

aku bisa ngasi kamu cinta seperti cinta yang Maya kasi ke kamu dulu, and

that‟s for real.... not a bullshit... Aku tau kayak gimana kisah kamu ama

Maya, aku tau siapa, apa dan seberapa berarti Maya buat kamu, dan kamu

buat Maya....” kata Natasya. Ryan masih terdiam seribu bahasa. Kalo kamu

pikir aku palsu fine...!! I‟ll live with it...!! Tapi tolong.... Tolong buat aku

menjadi nyata dimata kamu... Aku juga manusia Yan... Bukan boneka...!!”

sambung Natasya kali ini sambil menangis. “Tolong pahamin arti

kehadiranku disini... Arti kehadiranku dikehidupan kamu setelah Maya

pergi.... Aku ngejer-ngejer kamu bukan karena apa-apa... Itu semata-mata

karena aku ngerasa kalo aku harus ngegantiin posisi Maya dihati kamu...”

kata Natasya. “Aku gak tau gimana caranya supaya bisa ngebuat kamu jatuh

cinta ama aku karena aku sendiri emang gak pernah jatuh cinta dari dulu...

Orang tua aku ngedidik aku untuk ngutamain pelajaran aku dari pada hal-hal

seperti cinta sejak aku masih kecil... Bahkan papa aku yang sekarang pun

seperti itu... Hal itu ngebuat aku gak pernah ngalamin yang namanya

mencintai orang lain selain orang tua aku sendiri... Tapi aku ngerasain ada

hal yang beda pas kita pertama kali ketemu dulu... Pasti aneh kalo kamu

dipanggil dengan nama yang bukan nama kamu.. Itu wajar.. Tapi pas kamu

manggil aku Maya... Aku gak ngerasa aneh sama sekali... Aku ngerasa udah

terbisa ngedenger suara kamu manggil aku dengan nama itu... Itu yang

ngebuat aku heran.. Aku sendiri gak ngerti kenapa bisa jadi kayak gini Yan...

Tapi inilah kenyataan yang ada sekarang ini... Kamu gak bisa lari terus...

Kamu gak boleh lari terus...” kata Natasya panjang lebar tapi Ryan sendiri

hanya terdiam seribu bahasa. “Pasti ada maksud tertentu kenapa kita

Page 78: Bidadari Bersayap Biru

dipertemukan oleh Tuhan... Pasti ada maksud tertentu kenapa muka aku

bener-bener mirip ama Maya... Aku bisa... Jadi Maya, buat kamu...” kata

Natasya. Saat itu Ryan melangkah kedepannya dengan tatapan yang tidak

berubah sama sekali. Tatapan yang penuh kebencian dan kemurkaan. Begitu

sampai didepan Natasya, dia langsung menyambar leher baju yang dipakai

Natasya itu, Ryan sudah tidak perduli kalau yang didepannya itu adalah

seorang gadis lemah yang mencoba menyelamatkannya dari

keterpurukannya itu, bukan preman pasar yang mengajaknya untuk

berkelahi. “Loe gak bakalan bisa jadi Maya...” bentak Ryan. “Lalu aku harus

bagaimana agar bisa jadi Maya dimata kamu...” balas Natasya dengan nada

lemah. Ryan menunjuk-nunjuk dada bagian kiri atas Natasya dengan sangat

keras dan kasar. “Loe bisa nafas dengan bebas...! Jantung loe normal...! Loe

gak punya beban hidup yang berat buat loe emban...! Sedangkan Maya...

Maya harus berusaha keras... Bersusah payah walau hanya buat nafas...!

Beban hidupnya jauh lebih berat dari siapaun...! Gak bakalan ada yang bisa

nanggung rasa sakit yang dia alami selama dua puluh tahun dia hidup...! Dia

bertahan hidup dengan bantuan alat...! Loe enggak...!” kata Ryan dingin.

“Kalo kamu bakalan ngakuin aku seandainya aku hidup dengan bantuan

jantung kaca seperti Maya, baik... aku akan melakukan operasi begitu ayah

Maya selesai membuatnya untukku...” tantang Natasya. Ryan terdiam

mendengar kata-kata Natasya itu, dia sadar kalau Natasya tidak main-main

dengan kata-katanya itu, kali ini dialah yang ter‟skak mat‟ oleh Natasya.

“Gue pengen banget nyakar-nyakar muke loe ni... Gue pengen banget

nyabik-nyabik muka loe ni...” kata Ryan sambil mengibas-ngibaskan tangan

kanannya didepan wajahnya sendiri sementara tangan kirinya sedikit

mengangkat leher baju yang dikenakan Natasya itu. “Loe gak seharusnya

milikin nih muka... Gak pantes... Tau gak...!” kata Ryan dengan dinginnya.

Natasya menatap Ryan yang mengatakan hal seperti itu kepadanya. “If so...

Then do what you want to do with me... Sepertinya aku emang gak bisa

ngelakuin apa yang Maya harepin selama ini... Ada disisi kamu lebih lama

lagi...” kata Natasya dengan nada pasrah. Dia sudah siap dengan apapun

yang akan Ryan lakukan kepadanya, walaupun Ryan akan membunuhnya

sekalipun karena perbuatannya itu. Mendengar Natasya mengatakan hal

seperti itu, Ryan terlihat meringis. Dia kemudian melepaskan Natasya. “Loe

buka pakaian itu sekarang...” kata Ryan dingin. Natasya kembali menatap

Ryan. “Baik...” kata Natasya dan bersiap membuka pakaian satu-satunya

yang dia kenakan waktu itu. Jika dia membuka pakaian itu, artinya dia akan

benar-benar telanjang, tapi tampaknya dia tidak menolak perintah Ryan

Page 79: Bidadari Bersayap Biru

untuk membuka pakaian Maya itu. “Ciihh...!!!! Go the fuck away from me

before I change my mind godammit...!!.” kata Ryan sambil memalingkan

pandangannya yang melihat Natasya sama sekali tidak menolak untuk

membuka pakaian itu. “Baik... Aku akan pergi setelah ngebuka pakaian

ini...” balas Natasya sambil mengangkat bajunya. “Kembalikan pakean itu

besok.... Sekarang pergi dari sini...” kata Ryan kali ini dengan nada lemah

sambil berbalik membelakangi Natasya. Gadis itu pun tidak jadi membuka

baju yang dia kenakan itu. Dia terus menatap Ryan yang membelakanginya

dengan air mata yang tidak henti-hentinya mengalir dari tadi. Dan akhirnya

dia pergi meninggalkan Ryan. Dari kejauhan, dibawah sebuah pohon kelapa,

tampak seseorang berpakaian putih memperhatikan mereka entah sejak

kapan.Tidak beberapa lama setelah itu, Ryan pun melangkah kearah

mobilnya dan melaju pulang.

Ketika sampai dirumahnya, dia mendapati Edo, Rafael dan Eric sedang

memandikan sebuah mobil, untuk pertama kalinya dia melihat Summer

Snownya keluar dari garasi setelah dua tahun lebih lamanya. Seketika dia

keluar dari mobilnya dan melangkah kearah teman-temannya itu. “Yan…?”

sambut Edo sambil sedikit tersenyum. “Apa-apaan loe…!” kata Ryan

terdengar marah. “Mandiin si Summer Snow nih… udah lama gak loe pake

kan? Bisa-bisa rusak lho nanti…” jawab Edo. “Balikin gak..?!” kata Ryan

lagi terdengar semakin „panas‟ padahal waktu itu cuaca sedang mendung-

mendungnya. “Yan….” …. “Anjing….!!!! Balikin ke garasi gak….!!!”

Teriak Ryan. Melihat Ryan yang tampak sudah tidak bisa menahan emosinya

itu, Rafael dan Eric langsung maju mendekati Ryan. “Loe pikir loe siapa

seenaknya aja ngeluarin barang gue hah….!!!! Mau jadi pahlawan kesiangan

lagi loe…?!!!! Belagu amat….!!!!” Ryan „menggila‟ berusaha untuk

memukul Edo, tapi Rafael dan Eric menghalanginya. “Kalo gak ada gue, loe

tu bukan siapa-siapa kamprett…!!! Dari dulu loe seenaknya aja ama gue…!!!

Seenaknya aja ama barang-barang gue…!!! Loe kira gue demen…!! Gue

jijik ngeliat lagu‟ loe yang kayak gitu…. Sini loe…!! Gue matiin baru tau

rasa loe dasar babi…..!!!!” kata-kata kasar Ryan melayang bagaikan pisau

kearah Edo. Seketika hujan turun perlahan dan akhirnya mulai deras. “Stop

man… That‟s enough…. He is your brother, remember…?” kata Eric sambil

terus menahan Ryan yang dari tadi sangat ingin sekali memukul Edo.

“Sodara…?! Gue udah direpotin ama tuh cewek binal…. Sekarang am…”

kata-kata Ryan terputus, dia tersungkur ketanah yang sudah mulai basah itu

Page 80: Bidadari Bersayap Biru

dengan sedikit luka dipinggir bibirnya. Bogem mentah Edo melayang

kearahnya tanpa dia sadari. Edo mendudukinya dan terus meninjunya

bertubi-tubi. Dari dalam rumah, diruang keluarga, Henry terus melihat

anaknya yang dihajar habis-habisan oleh Edo itu dari jendela rumah sambil

melipat kedua tangannya kebelakang. “Pa…. Mereka kelai….!” Kata Helen

panik dan berlari kecil berniat untuk keluar dan melerai mereka, tapi…

“Honey… Stop right there, will ya…?” kata Henry tenang-tenang saja. “Tapi

pa….” kata Helen sambil berhenti mengikuti perintah suaminya itu.

“Terkadang…. Kita tidak harus menghentikan sesuatu yang tampaknya

buruk…” balas Henry. “Maksud papa apa…? Anak-anak papa lagi kelai….

Papa gak mau ngelerai mereka sebelum keadaan jadi tambah buruk…?” kata

Helen benar-benar panik. “Laki-laki itu…. Memiliki cara-cara tersendiri

untuk menyelesaikan sesuatu yang benar-benar rumit ma… kalo perempuan

biasanya curhat atau sejenisnya, inilah bentuk curahan hati laki-laki, yang

Edo lakukan sekarang ini tidaklah salah… Dia yang paling tau siapa Ryan,

bahkan… menurut papa, kita yang adalah orang tuanya, sebenarnya masih

belum tau siapa dan seperti apa Ryan itu, tapi Edo… Dia sudah bersama

Ryan sejak kecil, dia menghabiskan waktunya bersama Ryan jauh lebih

banyak dari pada kita…. Yang dia lakukan sekarang ini hanyalah berusaha

untuk menyadarkan Ryan, kalo bukan dia, dengan caranya sendiri, siapa lagi

yang bisa mengembalikan anak kesayangan mama itu…? Mama bisa…?”

tanya Henry masih dengan nada tenang sambil melihat Edo yang terus

memukul Ryan tanpa ampun ditengah-tengah derasnya hujan itu. Helen

terdiam, dia sadar kalau ucapan suaminya itu memang benar adanya, hanya

Edo yang tau Ryan sepenuhnya, hanya Edo yang bisa memahami Ryan. Dia

pun kembali melangkah kearah suaminya, mengurungkan niatnya untuk

keluar melerai Edo dan Ryan. Henry pun menggandeng istrinya, mencoba

untuk menenangkannya.

“Loe boleh nyaci maki gue, loe boleh ngejelek-jelekin gue, loe boleh

nganggep gue serendah-rendahnya manusia, loe boleh ngelampiasin semua

unek-unek loe ke gue…. Tapi tolong… Tolong jangan mengatakan hal-hal

kasar tentang Natasya…” kata Edo menghentikan pukulannya. “Loe gak tau

betapa susah payahnya Natasya buat nyadarin loe, buat nyelametin loe dari

kesedihan loe, terlepas dari kemiripannya ama Maya, gue berani bilang kalo

dia emang bener-bener suka ama loe, sayang ama loe, cinta ama loe, gak

perduli perasaan loe kayak gimana ke dia. Gadis yang loe sebut binal itu

Page 81: Bidadari Bersayap Biru

tulus ngasi perasaannya ke loe sebagai pengganti Maya….” Sambung Edo

sambil terduduk disamping Ryan yang masih menggelepar ditanah.

“Awalnya sih gue emang gak percaya-percaya amat kalo dia emang bener-

bener mau ngebebasin loe dari beban loe ini, gue kira itu cuman sekedar

modus doang…” kata Edo mendongakkan kepalanya kelangit, membiarkan

hujan menerpa wajahnya. “Tapi gue salah….” Sambung Edo. Saat itu Ryan

menoleh kearahnya. “Semenjak gue nyeritain kisah loe ama Maya ke dia,

ada sesuatu yang….. buat gue familiar di dia, kalo kita ngomong secara

bodonya, gue pribadi mikir kalo dia sebenernya adalah Maya, bukan orang

lain bernama Natasya. Ada Maya didalam diri gadis itu Yan…” sambung

Edo. Setelah Edo berkata seperti itu, suasana menjadi hening, yang terdengar

hanyalah rintikan hujan yang saat itu turun dengan deras, tidak

memperdulikan mereka berempat yang sudah basah kuyup. “Apa yang Edo

bilang itu bener Yan…” kali ini Rafael angkat bicara sambil melangkah

kearah Ryan dan Edo. “Awalnya gue gak percara kalo dia bener-bener mau

ngerubah loe seperti yang pernah dilakuin ama Maya, tapi…. Setiap dia abis

ketemu loe, trus ngedatengin kami dengan air matanya, gue gak bisa

ngebayangin gimana susah payahnya dia buat ngegapai loe, dia nangis

Yan… Setiap dia cerita tentang loe ke kami, dia nangis tapi tersenyum…

Seolah-olah semua sakitnya itu gak seberapa dibandingin ama sayangnya dia

ke elo…” Rafael memandang Ryan yang saat itu masih tergeletak tidak

bergerak sama sekali mendengar kedua teman baiknya memihak Natasya.

“Bangun Yan….” Kata Edo lagi. “Loe gak boleh „mimpi‟ terus kayak gini,

hadepin kenyataan kalo Maya udah pergi, loe pikir cuman elo yang ngerasa

kehilangan? Loe pikir cuman loe yang sayang ama Maya? Kami juga

ngerasa kehilangan Yan… Kami sayang ama Maya, dia udah kayak adik

buat kami, dia yang ngebuat kami berubah jadi kayak sekarang…. Ngeliat

dia yang berusaha untuk ngedapetin hidup yang penuh arti karena

keterbatasan waktu yang dia miliki, kami jadi mikir… kenapa kita yang

normal-normal kayak gini malah nyia-nyaiain waktu yang kita milikin ama

hal-hal yang gak penting? Yang gak berarti…? Kami sadar kalo kita tu

sebenernya bodo‟ Yan…” kata Edo. Tapi apapun yang dikatakan oleh

teman-temannya itu, Ryan sama sekali tidak merespon, entah dia

mendengarkan atau tidak perduli, hanya dia yang tahu. “Maya gak bakalan

seneng mengliat loe kayak gini, loe pikir dengan bertingkah kayak gini dia

bakalan tenang di alam sana? Justru loe semakin nyiksa dia, tega loe ya…?

Nyiksa gadis yang bener-bener sayang ama elo ampe dia ngehembusin nafas

terakhirnya….” Sambung Edo. “Life can only be understood backwards….

Page 82: Bidadari Bersayap Biru

Indeed…” sekarang giliran Eric yang bersuara. “But the past shouldn‟t

defined us, it shouldn‟t destroyed us, deterred us or defeated us my friend….

The past exist only to strengthened us…” kata Eric lagi. “Loe tau…?

Diantara mawar putih yang elo tanem, terus elo rawat selama ini ama Maya,

hidup setangkai lavender… Percaya gak percaya, sejak kecil Natasya emang

udah suka bunga mawar, dan gue tau gimana cara loe tau kalo Natasya bukan

Maya, stop bacot gue ni kalo gue salah, loe bisa ngebedain mana Maya dan

mana Natasya itu dari aroma tubuh mereka yang berbeda kan…? Kalo Maya

biasanya identik dengan aroma lavender, loe tau kalo Natasya bukan Maya

karena Natasya gak beraroma lavender…. Melainkan beraroma mawar...”

Jelas Edo sambil menoleh memandang Ryan. Ryan yang saat itu tidak

memalingkan pandangannya sedikit pun dari Edo masih saja membisu. “Loe

tau kenapa ada lavender di antara mawar putih itu…? Itu adalah pesan dari

Maya, kalo dia hidup didalam diri Natasya…. Cewek yang loe sebut gadis

binal itu, sebenernya bukan orang lain, tapi Maya sendiri…” kata Edo.

“Natasya adalah warisan hidup dari Maya buat loe agar loe bisa terus

ngejalanin hidup loe dengan penuh arti, gak malah kayak gini….” Kata Edo

dengan memberi tekanan di kata „warisan hidup‟ dan „penuh arti‟ sambil

berdiri. “Abis ni apa yang bakalan loe lakuin ke Natasya…? Tergantung

jawaban loe, gue mungkin bakalan lebih mihak gadis binal itu daripada

loe…” sambung Edo dingin dan melangkah meninggalkan Ryan yang dari

tadi sama sekali tidak bergerak atau mengumpat-umpat lagi seperti biasanya.

Rafael pun menyusul Edo setelah menggeleng-geleng pelan melihat Ryan

yang seperti itu. “This time I completely agreed with Edo brother… Natasya

is Maya‟s living legacy… You have to keep moving…. There‟s nothing you

can find in the past but just a sad memory that should be keep as a mere

memory, not something that you should keep living with… Open your eyes

and let the new dawn comes upon you….” kata Eric sambil berjongkok

memegang pundak Ryan dan akhirnya menyusul Edo dan Rafael.

Ditinggalkan oleh ketiga temannya, kata-kata mereka masih terngiang jelas

ditelinga Ryan, mengalahkan gaduhnya suara rintik hujan yang bercampur

petir dan guntur yang saling sambut dari tadi. Tidak ada satupun dari teman-

temannya itu yang memihak dia. Saat itu satu hal yang luput dari pandangan

Edo, Rafael dan Eric. Air mata Ryan. Lagi-lagi hujan menyembunyikan air

mata Ryan. Dari tadi mungkin mulut Ryan memang terdiam membisu

mendengar kata-kata mereka, tapi hatinya menangis sejadi-jadinya, berteriak,

menjerit, merintih karena penuh luka, bukan luka dari pukulan-pukulan yang

dia terima dari Edo tadi, tapi luka dari sayatan-sayatan sebuah pedang tajam

Page 83: Bidadari Bersayap Biru

yang disebut kehidupan. Air mata Ryan mengalir deras ditengah-tengah

hujan itu. Tidak beberapa lama kemudian dia menarik nafas dalam. Entah

kenapa, atau entah apa yang dia pikirkan saat itu, mungkin hanya dia dan

Tuhan yang tahu. Setelah itu, dia berdiri dan melangkah pelan memasuki

rumahnya, langsung menuju kekamar mandi yang ada dikamarnya melewati

Helen dan Henry yang saat itu tengah berdiri menunggunya didepan pintu

masuk tanpa sepatah katapun. Melihat anaknya yang semakin kehilangan

semangat hidupnya, bahkan melangkah saja dia seperti menyeret tubuhnya

sendiri tidak ubahnya seperti di film zombie-zombie itu, Helen menangis

tersedu-sedu sambil memeluk suaminya. Setelah hujan berhenti, Henry

kembali memandikan mobil-mobil Ryan yang dari tadi terkena air hujan itu,

begitu pula dengan Summer Snow anaknya itu, setelah itu dia memasukkan

kedua mobil itu kedalam garasi. Tapi Ryan sendiri sejak memasuki

kamarnya dan membersihkan diri itu sama sekali tidak keluar kamarnya,

bahkan untuk makan malam. “Sayang….?” Panggil Helen sambil mengetuk

pintu kamar anaknya itu. Tidak ada jawaban. “Nak…. Buka pintunya…

Mama pengen ngomong…” kata Helen lagi. Masih tidak ada jawaban. Helen

begitu sangat mengkhawatirkan keadaan Ryan, bukan karena luka-luka fisik

akibat perkelahian tadi, tapi lebih ke luka psikis anaknya itu. “Pa… Ma… I

know you both worried about me, I really appreciate it, but I‟m fine… I

just… need to be alone right now…” kali ini terdengan jawaban dari Ryan,

tapi pintu kamarnya sama sekali tidak terbuka untuk Helen dan Henry.

“Son…. If you want to talk, you have us here, not as a father or a mother, but

we can talk as friends…” balas Henry dan kemudian mengajak istrinya turun

kelantai bawah dan membiarkan Ryan sendiri untuk saat ini. Henry

bukannya tidak khawatir seperti halnya Helen, tapi dia memang sepenuhnya

mengerti dengan kondisi yang sedang dialami oleh Ryan saat ini, mungkin

karena mereka sama-sama laki-laki. Dikamarnya, Ryan hanya berbaring

diatas tempat tidurnya, menutup matanya yang terbuka dengan lengan

kanannya. “Maya gak bakalan seneng mengliat loe kayak gini, loe pikir

dengan bertingkah kayak gini dia bakalan tenang di alam sana? Justru loe

semakin nyiksa dia, tega loe ya…? Nyiksa gadis yang bener-bener sayang

ama elo ampe dia ngehembusin nafas terakhirnya….” “dia nangis tapi

tersenyum… Seolah-olah semua sakitnya itu gak seberapa dibandingin ama

sayangnya dia ke elo…” “Natasya adalah warisan hidup dari Maya buat loe

agar loe bisa terus ngejalanin hidup loe dengan penuh arti gak malah kayak

gini….” “Life can only be understood backwards…. Indeed…” sekarang

giliran Eric yang bersuara. “But the past shouldn‟t defined us, it shouldn‟t

Page 84: Bidadari Bersayap Biru

destroyed us, deterred us or defeated us my friend…. The past exist only to

strengthened us…” “Natasya is Maya‟s living legacy…” "Ada Maya

didalam diri gadis itu Yan…" Ryan mengingat kata-kata dari teman-

temannya itu, dia tahu kalau mereka melakukan segalanya bukan karena apa-

apa melainkan demi kebaikannya sendiri. Tidak lama kemudian diapun

terlelap dengan sendirinya.

Ditengah malamnya, tiba-tiba jendela kamar Ryan itu terbuka oleh

hembusan angin yang cukup kencang. Ryan terbangun karena merasakan

rambutnya dibelai oleh seseorang. Begitu dia membuka matanya, dia melihat

sosok perempuan yang begitu dia kenali, dan sebuah aroma yang begitu

sangat khas dihidungnya, aroma lavender. “Ma…. Maya…?” kata Ryan

seketika terhenyak. Dia mendapati dirinya tengah tertidur dipangkuan Maya,

bukan hanya itu, saat itu mereka sedang berada dipantai dan sepertinya itu

adalah pagi hari dengan cuaca yang mendung. Maya tersenyum kearah Ryan.

“Kamu gimana sih…? Kalo emang ngantuk, kamu gak perlu maksa-maksain

diri buat ngajak aku kepantai segalakan…? Baru aja dateng kamu udah

ketiduran gini deh jadinya…” kata Maya pelan. “Tidur…? Serius May…?”

kata Ryan yang langsung mengambil posisi duduk dan melihat sekelilingnya.

Maya membalasnya dengan anggukan pelan sambil terus tersenyum. “Jadi…

Tadi aku cuman mimpi doang…? Gitu sayang…?” kata Ryan sambil

menyentuh pipi Maya dengan lembutnya. “Yan, kamu tau…? Waktu aku

koma dulu… Aku ketemu ama kembaran aku, biarpun nyatanya aku emang

gak terlahir kembar, tapi gadis itu bener-bener mirip ama aku…” cerita

Maya. “Mmm… Mungkin aja itu emang kembaran kamu, menurut mitosnya,

masing-masing kita tercipta dengan memiliki empat puluh empat kembaran

didunia ini kan May…” balas Ryan. Maya mengangguk tanda membenarkan

kata-kata Ryan itu. “Terus….?” Tanya Ryan sedikit penasaran. “Kami

ngobrol panjang lebar tentang kehidupan kita masing-masing, tentang

pengalaman yang selama ini kita alami, dan waktu aku cerita tentang kita ke

dia, katanya dia sampai saat itu belum pernah sama sekali mengenal yang

namanya cinta…” cerita Maya. “belum pernah sama sekali…?” Ryan balik

bertanya. Maya menggeleng. “Dia kuper kali sayang… Masak umur

sembilan belas tahun gak pernah pacaran sama sekali…? Sapa sih nama anak

itu…? Pasti Juminten, hahahahaha” ejek Ryan. “Karena itu aku minta ke dia,

kalo terjadi sesuatu hal yang gak kita harepin ke aku, aku mau dia yang

ngelanjutin kisah kita ini, aku minta dia yang ngejaga kamu, dia yang

Page 85: Bidadari Bersayap Biru

ngebahagiain kamu… Aku yakin dia bisa jadi kayak aku, aku tau dia bisa

Yan… Jadi kasi dia kesempatan ya…?” sambung Maya. “Aduh sayang…?

Serius amat… Itu kan cuman mimpi doang… Lagian kamu baik-baik aja

kan…? Kamu gak butuh „peran pengganti‟ buat ngelanjutin kisah kita ini…”

kata Ryan. Maya tidak menjawab. “Oke, kita liat dari sudut pandang kamu,

seandainya… Seandainya… Seandainya nih… Hal yang „gak kita inginkan‟

itu terjadi ama kamu… Gimana dia bakalan ngegantiin kamu…? Dia ada

dimana ja kamu gak tau kan…? Dia juga gak ngenal aku secara nyata kan…?

Itu cuman mimpi sayang… Nyatanya kamu udah dapet kesempatan kedua

sekarang, dan ini „permanen‟…” kata Ryan. “Gak semua orang punya yang

namanya kesempatan kedua dalam kehidupan ini… Dan aku, udah make

kesempatan kedua itu lima tahun yang lalu Yan… Itu cuman agar aku bisa

ketemu ama kamu…” balas Maya. “Gak, kamu salah May… Kamu masih

hidup diusiamu yang udah genap dua puluh sekarang ini, itulah yang

namanya kesempatan kedua, buat kamu, dan kesempatan kedua buat aku biar

bisa terus ama kamu kan…? Jadi jangan buat aku bingung gini dong

sayaaanngg… Aku seneng banget bisa bangun… masalahnya tadi aku bener-

bener mimpi buruk banget…” kata Ryan agak sedikit cerewet. “Kamu gak

boleh terus-terusan terpuruk Yan….” Omongan Maya malah tidak

nyambung. “Yeee…. Sapa yang terpuruk sayang… Justru sebaliknya, bisa

ngeliat kamu kayak sekarang ni, bahagia aku udah gak ketulungan lagi

tau‟…” balas Ryan. “Beneran…?” kata Maya lagi. “E‟em…” jawab Ryan

tersenyum dengan gaya sedikit manja. “Baguslah…. Aku sebenernya emang

pengen ngebuat kamu bahagia, pengen ngebuat hidup kamu penuh arti,

pengen ngisi waktu-waktu kamu untuk selama-lamanya…” kata Maya kali

ini dengan menyentuh pipi Ryan. “Yaelah sayang… Ini…? Kamu udah

ngelakuin itu semua sekaligus kan…? Ngebuat aku bahagia… ngebuat idup

aku penuh arti dengan ngisi waktu-waktu aku ama kebersamaan kita…” kata

Ryan sambil memegang tangan Maya yang ada dipipinya itu dan kemudian

menciumnya dengan mesra. Maya hanya bisa tersenyum pelan melihat

kelakuan Ryan itu. “Tapi kamu harus pulang Yan… Papa, mama, Edo,

Rafael, ama Eric udah capek nungguin kamu dirumah… Kamu gak bisa

terus-terusan ada disini… Pulang ya Yan…?” kata Maya tiba-tiba.

“Hahahahahaha… Kamu ini…. Pulang kok kayak maksa gitu sih…? Tadi

kan kamu yang pengen kita cepet-cepet pergi kesini sayang…” kata Ryan

sambil tertawa menatap Maya. Tapi Maya malah terdiam saja sambil

menatap Ryan. Melihat hal itu Ryan menghentikan tawanya. “Ya udah….

Ayo kita pulang…” kata Ryan berdiri dan tersenyum manis sambil

Page 86: Bidadari Bersayap Biru

mengulurkan tangannya kearah Maya. Maya menggapi tangan Ryan dan

berdiri. “Aku heran deh ama kamu sayang… Tadi kamu minta kita cepet-

cepet pergi, sekarang kamu minta kita cepet-cepet pulang… Apa mungkin

kamu udah capek…?” tanya Ryan sambil berjalan kearah mobilnya. Setelah

berjalan beberapa langkah, dia sadar kalau Maya tidak mengikutinya, dia pun

berbalik. “Lho… katanya mau pulang… Kok malah diem disitu May…?

Ayo…” kata Ryan sambil memberi tanda untuk Maya mengikutinya. Maya

malah tersenyum tapi kali ini dibarengi dengan sebuah gelengan. “Kamu

masih punya kesempatan itu Yan… Kesempatan kedua itu… Karena itu

kamu gak boleh terus ada disini…. Aku gak bisa ikut kamu pulang karena

aku harus pergi sekarang juga, dan belum waktunya buat kamu ikut aku….

Kamu… kali ini pulang sendiri ya sayang…? Kata Maya sambil tersenyum

manis kearah Ryan. “Kenapa sih May…? Dari tadi aku gak ngerti… maksud

kamu apa…? Pergi kemana…? Kenapa…?” tanya Ryan benar-benar heran.

Maya hanya bisa tersenyum melihat Ryan yang terheran-heran itu. Melihat

itu, Ryan melangkah kembali untuk mendekati Maya, tapi Maya malah

melangkah mundur melihat Ryan yang mendekatinya. Karena melihat

tingkah aneh Maya itu, Ryan menghentikan langkahnya. “Kenapa May…?”

tanya Ryan. “Maaf ya Yan…? Aku harus pergi…. Dan kamu gak boleh ada

disini terus, kamu harus pulang….” Kata Maya.

(Daun band – Aku) Dan setelah berkata seperti itu, Maya berbalik dan

melangkah meninggalkan Ryan. “May… Gak usah becanda kayak gini ah…

gak lucu tau…” kata Ryan sambil tersenyum. Tapi Maya tidak menjawab,

menoleh pun tidak, dia terus melangkah meninggalkan Ryan, semakin jauh,

semakin jauh, dan semakin jauh. “May…. Kamu mau kemana…? Kita kan

mau pulang… Kita harus pulang bareng dong… nanti papa ama mama

marah ama aku kalo pulang sendiri…” kata Ryan melangkah pelan untuk

mengejar Maya. Tidak ada jawaban dari Maya. “May….! Maya…! Kamu

mau kemana…!! Itu bukan arah pulang…! Maya…!!!” menyadari Maya

yang tidak berhenti melangkah menjauhinya itu, Ryan berteriak

memanggilnya, dia berlari mengejar Maya, tapi semakin kencang larinya

untuk mengejar Maya, semakin jauh jaraknya dengan Maya padahal saat itu

Maya hanya berjalan biasa saja. “Mayaaaaaaa!!!!!! Tunggu May….!!!!!

Kamu gak boleh pergi ninggalin aku…!!!!! Maya….!!!!” Ryan memaksa

dirinya berlari mengejar Maya yang semakin jauh saja. Dia terus berlari,

berlari dan berlari kepayahan mengejar Maya, dan ketika nafasnya hampir

Page 87: Bidadari Bersayap Biru

habis karena memaksakan diri berlari, akhirnya Maya sudah sampai di

daerah jangkauan Ryan. Tapi ketika Ryan akan menggapai pundak Maya,

langkahnya terhenti, ada seseorang yang memegang pergelangan tangannya

dari belakang, dan gapaiannya terlepas. Seketika Ryan menoleh kebelakang.

Dia malah melihat sosok Maya dibelakangnya memegang pergelangan

tangannya, menghentikan langkahnya. “Jangan Yan… Belum waktunya

kamu ikut dia… kembalilah… Ada aku untuk kamu… Itulah yang diminta

oleh Maya…” kata sosok Maya yang menghentikan langkahnya itu dengan

berlinang air mata. “Ma…. Maya….” Kata Ryan terheran melihat gadis yang

menghentikan langkahnya itu dan kembali menoleh kearah Maya yang tadi

dia kejar tertatih-tatih. Maya yang dia kejar itu berbalik, dan kemudian

tubuhnya melayang setelah bermandikan sebuah sinar matahari yang

menembus langit mendung itu. “Namanya Natasya… kamu liat kan Yan..?

Dia udah nemuin jalannya sendiri ke kamu… Jadi aku minta kamu buat

ngasi dia kesempatan buat ngelanjutin kisah kita, jalani kesempatan kedua

kamu itu dengan penuh arti, hiduplah ama dia kayak kamu hidup ama aku

dulu, karena hatiku hidup bersama dia, untuk kamu… Ryan…” kata Maya

sambil tersenyum manis kearah Ryan yang langkahnya terhenti oleh

„kembarannya‟ yang bernama Natasya yang selama ini dihindari oleh Ryan

itu.

Seketika Ryan terhenyak dari tidurnya, nafasnya terengah-engah seperti

baru habis lari marathon dan dia bermandikan keringat dingin. Langsung saja

pandangannya mengarah kearah jendelanya yang terbuka dan ketika itu dia

melihat sesuatu seperti selendang putih melayang keluar dari jendela itu

karena tertiup angin. Dia tidak yakin melihat apa karena selendang putih itu

„sewarna‟ dengan korden jendela kamarnya yang terkibas oleh hembusan

angin malam yang lumayan kencang waktu itu. “Maya…. Natasya…”

katanya pelan ditengah-tengah keadaannya yang sedang mengatur nafasnya

agar bisa stabil kembali. Dia melihat jam dinding, jam itu menunjukkan

pukul tiga pagi. Dia tidak lagi bisa kembali tertidur, kali ini kata-kata

terakhir Maya yang ada didalam mimpinya tadi itulah yang terngiang jelas

ditelinganya. Dia bangkit dari tempat tidurnya dan duduk dilantai sambil

bersandar ditembok. Pagi itu pikiranya melayang, mencoba memahami

makna mimpinya itu, makna dari sikap dan perkataan Maya tadi, secara tidak

sadar dia masuk kedalam situasi introspeksi diri. Ingatannya kembali ke

masa lalu, sejak dia belum mengenal Maya, pertama kali mengenal Maya,

Page 88: Bidadari Bersayap Biru

jatuh cinta kepada Maya, hari-hari yang dia lewati bersama Maya, saat-saat

terakhir dia bersama Maya, hari-hari yang dia lalui ketika Maya sudah tidak

ada, hari dimana dia bertemu dengan Natasya, hari-hari dimana Natasya

selalu mencoba untuk mendekatinya. Dengan cepat nuraninya mampu

memilah semua bagian yang salah yang pernah dia lakukan, bagian yang

harus dia perbaiki, bagian yang seharusnya terjadi tapi dia hindari selama ini,

saat itu dia sadar ternyata Natasya tidak hanya mengikuti atau mendekatinya

secara sembarangan, Natasya hadir disaat-saat dimana dia sudah mulai akan

kehilangan akal sehatnya, dimana keterpurukannya sudah hampir tidak

terbendung lagi, dimana jiwanya akan hilang tertelan oleh masa lalu, disaat-

saat itu Natasya dengan sendirinya selalu ada untuk dia, menyelamatkan dia.

Dan saat itu, dia juga sadar akan suatu hal, sebenarnya dia tidak merasa ada

benci sedikitpun kepada Natasya, tapi malah sebaliknya, ada sebuah

kenyamanan, ketenangan yang dia rasakan ketika Natasya ada disisinya,

akan tetapi karena hatinya yang sudah tenggelam terlalu dalam di lautan

keterpurukannya itu, karena jiwanya yang sudah membeku karena hujan

kesedihan yang dia alami selama dua tahun lebih semenjak kematian Maya

itu, tanpa dia sadari perasaannya menjadi „self-rejected‟ terhadap apa yang

dia rasakan ketika Natasya ada untuk dia. Dan sekarang perlahan-lahan dia

mulai sadar akan semua itu, akan arti dan tujuan kehadiran Natasya didalam

hidupnya, mata hatinya sudah kembali terbuka, perasaannya kembali bekerja

„normal‟ diiringi dengan cahaya matahari yang seolah-olah mulai merangkak

keluar dari dalam laut yang gelap dan kelam, akan tetapi saat itu langit masih

terlihat mendung, seolah-olah ada hal yang masih belum terselesaikan

dikehidupan „baru‟ seorang Ryan. Tanpa disadari hari sudah semakin pagi.

Ryan berdiri seolah-olah kakinya sudah terlepas dari belenggu keterpurukan,

terlepas dari penjara masa lalu. Selesai mandi pagi, dia keluar dari kamarnya

dan mendapati orang tuanya sudah menyiapkan sarapan didapur. Setelah

selesai sarapan, dia memandang kedua orang tuanya itu. “Pah…. Mah…

Maaf atas semua tingkah laku aku yang ngebuat khawatir kalian selama ini

ya…? Maaf atas waktu kalian yang terbuang sia-sia karena tingkah-tingkah

bodoh aku…” kata Ryan sambil berdiri dan tersenyum lepas kearah Henry

dan Helen. Mendengar dan melihat prilaku anaknya itu, Helen malah

terheran-heran, sedangkan Henry tidak merespon dan terus saja membaca

koran pagi hari itu. Hari ini aku ada jam dikampus, tapi kayaknya aku

berangkat lebih awal aja, ada sesuatu yang harus aku lakukan, I‟ll see ya at

lunch time okay…?” kata Ryan meninggalkan Helen yang masih terlihat

heran itu. Tidak lama kemudian gerbang garasi mobil Ryan terbuka. Setelah

Page 89: Bidadari Bersayap Biru

sekian lama vacum, si Summer Snow akhirnya melaju keluar dari

sangkarnya. Hari itu Ryan benar-benar membuka lembaran baru

kehidupannya, tapi sebelum dia mulai menuliskan perjalanan hidupnya

dilembaran baru itu, ada sesuatu yang harus dia perbaiki dilembaran

sebelumnya, dan dia sedang dalam perjalanan untuk hal tersebut.

***

Page 90: Bidadari Bersayap Biru

Chapter 10

BLUE WINGED ANGEL

“Pa…. Ryan pa….” setelah Ryan pergi pun tampaknya Helen masih

tidak mengerti akan apa yang telah terjadi kepada anaknya pagi itu. “Kenapa

ma….? Anak kesayangan mama itu pergi karena ada jam dikampus kan…”

jawab Henry sambil terus membaca korannya. “Bukan pa… Tapi kok pagi

ini Ryan jadi aneh gitu ya…?” kata Helen lagi sambil membersihkan meja

makan. “Aneh apanya maksud mama…? Itu kan emang udah sifatnya Ryan

ma…. Mama aneh karena dia pergi tapi gak nyium mama gitu…? Mama

berlebihan deh ah…” balas Henry. “Bukan gitu pa… Aneh aja ngedenger dia

bilang kayak gitu… Sepertinya ada sesuatu yang berubah dari dia…” terang

Helen. “Berubah….? Enggak kok…. Ryan kan udah kembali… kembali ke

dirinya yang sejati sekarang… Dia udah gak lagi ngejalanin kehidupannya

dengan penuh kepura-puraan lagi, sepertinya cara Edo yang kemarin itu

memang berhasil…. Yaahh…. Itu juga karena ada Maya kan…?” kata

Henry. “Natasya pa…. Natasya…. Bukan Maya…” Helen mengkoreksi kata-

kata suaminya. “Ahh… Natasya…. Iya Natasya…. Habisnya mereka bener-

bener mirip banget terus kita udah terbiasa manggil Maya juga, papa jadi

salah sebut deh…” kata Henry sambil meletakkan korannya ke meja dan

memandang Helen sambil cengingisan.

Saat itu Ryan tengah berdiri dipantai kenangannya bersama Maya.

Dia memejamkan matanya, menghirup udara pagi pantai yang begitu

segarnya, tidak beberapa lama kemudian dia kembali memacu mobilnya

meninggalkan pantai, saat itu dia melaju menuju rumah Maya yang dulu.

Begitu dia sampai disana, dia langsung menuju kearah pekarangan bunga.

Seperti halnya Edo dan Natasya, dia melihat rimbunan bunga mawar putih

itu masih hidup dan terlihat begitu segarnya, padahal bunga-bunga yang

lainnya sudah mati kering karena tidak ada yang mengurus lagi. Hanya

mawar putih itulah yang terlihat masih berdiri kokoh, bertahan hidup, seperti

bunga yang tidak akan tumbang diterjang oleh badai. Ryan melangkah

mendekati bunga itu, dan sedikit menyibak bagian tengahnya. Saat itu dia

menyadari kalau Edo memang benar, ditengah-tengah rimbunan bunga

mawar itu, hidup setangkai lavender. Lavender yang selama ini

melambangkan seorang Maya dalam kehidupan Ryan. Melihat itu, mata

Ryan menjadi berkaca-kaca. “What I‟ve done all this time…” tanyanya pada

Page 91: Bidadari Bersayap Biru

dirinya sendiri. Kembali dia mengingat segala hal dan segala kata-kata yang

pernah dia lontarkan ke Natasya, kali ini hatinya kembali merasa sakit, sakit

karena sebuah penyesalan yang begitu mendalam karena hal-hal buruk yang

pernah dia lakukan ke Natasya, gadis yang berusaha setengah mati untuk

menyelamatkanya dari keterpurukannya, gadis yang berusaha susah payah

untuk membantunya bertahan dari sakitnya kehidupan yang dia alami selama

ini. “Apa yang harus aku lakuin buat memperbaiki semuanya May…. Kasi

tau aku… Aku harus gimana…?” kata Ryan lagi. Dia benar-benar bingung

sementara ingatannya tentang hal-hal buruk itu tidak bisa pergi dari

pikiranya. Tidak lama kemudian Ryan merasakan ada setetes air jatuh dari

langit, dia menatap keatas sambil menengadahkan tanganya, tampaknya

sebentar lagi hujan akan turun lagi. Menyadari akan hal itu, dia bergegas

menuju mobilnya, dan benar saja, begitu dia memasuki mobilnya, cuacapun

mulai berubah gerimis. Ryan pun kembali memacu mobilnya pergi dari

rumah Maya, saat itu masih terjadi „pertempuran hati‟ dalam dirinya, dia

masih bingung harus berbuat apa untuk bisa memperbaiki semuanya. Tadi

mungkin dia memang sudah punya penyelesaian, tapi semuanya seperti

menghilang dalam sekejap, Ryan kembali terlihat tidak tenang, ingatan

tentang Natasya tidak henti-hentinya mengganggu pikirannya. Ditengah-

tengah perjalanannya itu, hujan pun turun semakin deras. Sepertinya Ryan

melaju kearah kampus dengan keadaan yang terlihat masih resah seperti itu.

Tidak beberapa lama kemudian akhirnya dia sampai dikampus, ketika

melewati café kampus, dia melihat Edo, Eric dan Rafael sedang duduk-

duduk bersama Natasya. Rafael seketika berdiri tersentak karena melihat

si Summer Snow baru kali itu memasuki area parkir kampus ditengah-tengah

derasnya hujan waktu itu. Lama Ryan duduk terdiam didalam mobilnya,

sepertinya dia berusaha untuk menghayati segala apa yang telah terjadi

dikehidupannya selama beberapa tahun belakangan ini, mulai dari kenangan-

kenangan indahnya sampai kesalahan-kesalahan fatal dan bodoh yang pernah

dia lakukan, pikirannya terus menerawang ke masa lalunya, bak sebuah

perahu kecil yang terbawa arus air laut ditengah-tengah badai, pikirannya

terombang-ambing, perasaannya kembali menjadi tidak karuan, dia bingung,

harus bagaimana caranya untuk memadamkan api luka yang selama ini

membakar jiwanya. Dia berusaha untuk tetap „sadar‟ dan „bertahan‟ dengan

keadaannya yang sekarang, dimana dia sudah sepenuhnya menerima semua

kenyataan yang ada. “Maya…. For the last time…. I need you to be by my

Page 92: Bidadari Bersayap Biru

side, right now….” gumamnya. Dan setelah dia menggumam seperti itu, dia

pun akhirnya membuka pintu mobilnya. Ditengah derasnya hujan hari itu

Ryan berdiri ditengah-tengah area parkir terbuka kampus. Tepat didepan

teman-teman baiknya dan seorang gadis yang bernama Natasya. Tangannya

menggenggam begitu erat, tatapan matanya tajam menuju kearah mereka,

dan akhirnya dia berjalan pelan kearah café kampus dimana Edo, Rafael,

Eric dan Natasya berada. Melihat Ryan bertingkah seperti itu, Eric berdiri.

“Do… I got this, you stay with Natasya, in case the situation‟s going bad…”

kata Eric sambil melangkah menuju kearah Ryan menebak kalau Ryan akan

„menggila‟ karena melihat Natasya setelah apa yang terjadi kemarin, dan

karena telah meendengar cerita Natasya akan perlakuan Ryan padanya

dipantai. Tanpa berkata apa-apa Rafael menyusul Eric. Sementara itu Edo

yang tengah duduk disamping Natasya hanya terdiam saja melihat gelagat

sahabatnya yang sudah dia anggap sebagai kakaknya sendiri itu. “Kamu

tenang aja Nat…. Sebelum dia ngapa-ngapain kamu, dia harus ngelangkahin

aku dulu… Kamu beneran bawa pakaian Maya kan…?” tanya Edo dingin.

Natasya mengangguk sambil mengeluarkan pakaian Maya yang dia pakai

kemarin itu dari dalam tasnya. Mereka berfikir itulah tujuan Ryan

mendatangi mereka waktu itu. “Yan… Don‟t do it here… Please…” kata Eric

sambil sedikit menahan langkah Ryan dengan memegang pundak Ryan.

Ryan memegan pergelangan tangan Eric yang memegang pundaknya dan

sedikit menyibaknya tapi tidak dengan cara kasar seperti biasanya, dia

melewati Eric tanpa memandang laki-laki bule itu sedikitpun, pandangannya

terus tertuju pada satu titik, pada satu gadis, Natasya. “Yan… Ni kampus gak

kayak sekolah loe yang dulu, loe gak punya wewenang buat ngelakuin

apapun sesuka elo, gak usah bikin om ama tante malu cuman gara-gara ulah

kekanak-kanakan elo disini…” kata Rafael. Tapi Ryan tampaknya tidak

bergeming mendengar peringatan Rafael itu, dia terus melangkah maju

dengan satu tujuan. Dua „pertahanan‟ Natasya dilewati oleh Ryan begitu

saja, yang tertinggal hanyalah Edo satu-satunya. Tapi tidak jauh Ryan

melangkah melewati Eric dan Rafael, entah itu adalah sebuah halusinasi atau

apa, dia melihat seorang gadis didepannya, gadis yang mengenakan pakaian

hangat bergaris ungu dan putih, dengan syal berwarna ungunya, berdiri

dibawah payung sambil tersenyum menatap Ryan. (Bondan Prakoso – I

Will Survive). Melihat itu, langkah Ryan pun terhenti dia berdiri mematung,

menatap Natasya begitu dalam, saat itu ingatan Ryan lagi-lagi menerawang,

tapi kali ini ke masa dimana Natasya selalu ada untuk dia, dimana Natasya

bersusah payah hanya untuk menyadarkan dirinya, menyelamatkan dirinya

Page 93: Bidadari Bersayap Biru

dari belenggu masa lalu yang mengikat langkahnya dengan begitu erat, masa

dimana Natasya berusaha untuk membuatnya tetap berdiri, dimana Natasya

berusaha untuk membantunya tetap bertahan dan bangkit dari puing-puing

kehidupan yang menimpa dirinya, Natasya yang selalu memberikannya

kekuatan untuk melewati semua ini, dan….. ditengah-tengah derasnya hujan

hari itu, dengan disaksikan oleh begitu banyaknya mahasiswa-mahasiswa

kampus yang ada ditempat itu, Ryan Putra Rajasa, laki-laki yang sudah

terkenal dengan sifat dingin, egois, dan angkuhnya itu bertekuk lutut sambil

memandang Natasya. Sontak Edo, Eric dan Rafael sangat terkejut sekali

melihat Ryan melakukan hal itu, seumur hidup mereka tidak pernah

sedikitpun membayangkan kalau Ryan akan melakukan hal itu. Didepan

publik, The Prince, The Lady Killer menghancurkan kehormatannya,

memporak-porandakan harga dirinya yang begitu sangat tinggi sekali demi

satu hal. “Natasya….!! Maafkan aku…. Maaf atas segala hal yang pernah

aku lakuin ke kamu, maaf atas segala yang pernah aku bilang ke kamu…

Selama ini aku buta… Aku bodoh…!! Karena aku udah mungkirin

kenyataan idup aku, mungkirin arti kehadiran kamu di idup aku….” teriak

Ryan sambil bertekuk lutut, meminta maaf kepada Natasya. “Aku gak pernah

sadar kalo kamulah yang selalu ada waktu jiwa aku lagi rapuh-rapuhnya…

Aku gak pernah sadar kalo kamulah yang selalu ngulurin tangan kamu

waktu aku jatuh…Dan… Selama ini aku gak pernah mau ngakuin kalo

kamu itu sangat berarti buat aku… Selama ini aku gak pernah mau ngakuin

kalo aku….” Kata-kata Ryan terhenti untuk sejenak, dia menggigit bibirnya

sendiri, “Kalo aku MASIH…. Masih cinta ama kamu….!!!!!!” Teriakan

Ryan kali ini terdengar begitu sangat memilukan, teriakan yang untuk

beberapa saat saja bisa menelan suara gaduh hujan yang beriringan dengan

suara guntur dan petir. Disaat yang bersamaan Natasya terkejut, bukan hanya

karena mendengar pengakuan Ryan itu, tapi saat itu dia „melihat‟ sesosok

gadis yang begitu mirip sekali dengannya, mengenakan pakaian yang sama

dengan pakaian yang ada di dekapannya waktu itu. Si gadis berdiri

disamping Ryan sambil memayungi Ryan, menatapnya. Dia bisa merasakan

kalau ada sebuah harpan dimata sayu gadis itu, dan waktu itu, ketika dia

menatap Ryan yang masih bertekuk lutut itu, dia melihat air mengalir dari

mata Ryan, Natasya sadar kalau itu bukanlah air hujan. Natasya melihat air

mata Ryan, Natasya melihat kalau Ryan menangis ditengah-tengah derasnya

hujan, dan tampaknya tidak ada seorangpun yang menyadari hal itu selain

dia. Tanpa Edo sadari, Natasya sudah berlari melewatinya, berlari kearah

Ryan dan kemudian memeluknya yang masih dalam posisi bertekuk lutut itu.

Page 94: Bidadari Bersayap Biru

“Gak ada yang boleh ngeliat kamu nangis…” kata Natasya sambil memeluk

Ryan padahal waktu itu dia sendiri tengah menangis. Ryan terkejut

mendengar kata-kata Natasya itu, karena Maya juga pernah mengatakan hal

yang sama persis kepadanya. “Aku ada disini kok… I‟m still here for you… I

will never leave you…. Again…” kata Natasya dengan mempertegas kata

„again‟. “Jangan pernah tinggalin aku lagi… Aku gak bakalan bisa bertahan

kalo kamu ninggalin aku lagi… Aku gak bisa kalo gak ada kamu…” kata

Ryan sedikit terisak. “You‟ve got me, so stay calm…. Everything will be

alright…” Natasya mencoba untuk menenangkan Ryan. “Kamu gak bohong

ama aku kan…? Kamu gak bakalan pergi lagi kan? … Natasya…?” kata

Ryan pelan. Mendengar Ryan memanggil namanya untuk yang kesekian

kalinya, gadis itu tertegun. “Kamu manggil aku pake nama aku? Aku pikir

kamu nganggep aku Maya, Gak apa-apa kok Yan, Aku bisa ngerti…: kata

Natasya. Ryan menggeleng. “Maya udah ada disurga sekarang, dia minta aku

buat ngebuka hati aku sekali lagi, buat kesempatan kedua yang udah dia

siapin buat aku, yaitu kamu…. Kamu adalah Natasya, bukan Maya…. Tapi

aku tau, kamu punya hati yang sama kayak Maya, aku gak bakalan

mungkirin hal itu lagi, aku cinta ama kamu bukan karena kamu mirip ama

Maya, tapi karena kamu udah ngebuktiin kalo kamu sama seperti Maya, bisa

ngebuka pintu hati aku ama cara kamu sendiri….” kata Ryan panjang lebar.

Natasya semakin tertegun mendengar kata-kata itu keluar dari mulut seorang

Ryan, yang selama ini dia ingat hanya caci makian saja yang dia dapat dari

mulut itu. Natasya tersenyum, “Then I want you to know….” kata Natasya

pelan. Ryan tidak merespon, dia masih tenggelam didalam hangatnya

pelukan Natasya. “That I will survive…. And I will stay alive…. For you….”

Kata Natasya sambil tersenyum manis tanpa melepaskan pelukannya. Kali

ini Ryan lah yang tertegun mendengarkan kata-kata Natasya itu. Tidak lama

kemudian diapun tersenyum bebas dan membalas pelukan Natasya itu.

Seluruh isi kampus menyaksikan peristiwa dramatis itu seolah-olah mereka

sedang menonton film dibioskop, tidak ada yang bersuara sama sekali,

walaupun mereka semua menghentikan aktifitas mereka dari saat mereka

mendengar teriakan Ryan tadi. Melihat itu, Edo melangkah kearah mereka

dari café tempat dia terduduk dari tadi sambil membawa pakaian Maya yang

tergeletak di atas meja didepannya yang terbungkus rapi dengan plastik.

Ketika sampai didepan Ryan dan Natasya, dia menyodorkan pakaian itu

kedepan Ryan. Melihat itu, Ryan dan Natasya pun berdiri. “Loe bawa aja

pakaian itu Do, mulai sekarang kayaknya gue emang harus ngelupain

kenangan gue ama Maya itu…” kata Ryan didepan Natasya. Edo

Page 95: Bidadari Bersayap Biru

menatapnya tajam mendengar dia berkata seperti itu. “Buukk!!” Edo malah

meletakkan pakaian itu kedada Ryan dengan agak sedikit keras, yang

membuat Ryan spontan memegangi pakaian itu. “Orang mati itu hanya bisa

hidup didalam kenangan orang lain…, kalopun gak pernah ketemu secara

langsung, tapi Maya memiliki peran tersendiri didalam kehidupan Natasya,

dan gue tau loe sayang ama Maya lebih dari sayang kami ke dia, kami

mungkin gak bisa ngebuat dia hidup didalam kenangan kami, tapi kami

pengen Maya itu bisa tetep hidup…. Dan cuman elo yang bisa terus ngebuat

dia hidup, didalem kenangan-kenangan loe itu… Jadi teruslah mengenang

dia dengan cara yang bener…” kata Edo panjang lebar dan melanjutkan

langkahnya kearah Rafael dan Eric. Tapi baru saja dia melewati Ryan,

“Do…” kata Ryan. Edo menghentikan langkahnya, tapi tidak menoleh.

“Thanks for everything you‟ve done for me all this time, and I‟m sorry for

everything I‟ve done for you in return…” sambung Ryan. “I didn‟t do that

for you…” kata Edo setelah beberapa lama terdiam. “I did that to get my

brother back…” sambungnya lagi. Sesaat kemudian, dia merasakan tangan

Ryan mendarat dikepalanya. “I promise you…. From now on, you‟ll never

lose him anymore…. Little brother…” kata Ryan sambil meletakkan tangan

kanannya dikepala Edo tanda berjanji sedangkan tangan kirinya merangkul

Natasya. Keadaan menjadi hening, Edo tidak berkata apa-apa, tapi dia tahu

kalau Ryan serius berkata seperti itu. “Plak..!!” Edo menyepak tangan Ryan

itu tanpa menoleh. “Luka loe gak perih lagi kena air gini kayak dulu…?”

tanya Edo. “Hah..? Oh… Iya… kemarin perih banget tau‟… Lain kali gak

bakan gue diem aja loe pukulin kayak gi… Aw…. Aww… Awww…” Ryan

tiba-tiba meringis kesakitan karena tanpa dia sadari Natasya menyentuh-

nyentuh luka dipelipis alisnya itu. “Natasya… Perih tau‟…” kata Ryan

sambil menutupi lukanya itu. Bukannya merasa bersalah, Natasya malah

tertawa-tertawa kecil melihat tingkah Ryan itu. Melihat kedua pasangan baru

itu, Edo hanya tersenyum tipis sambil melanjutkan langkahnya. “Udah ah…

main ujannya, aku ada jam entar jam sepuluh, tinggal setengah jam nih…

Nat… Pulang ganti baju yook… kamu bisa pake bajunya Maya” kata Ryan

kepada Natasya. “Mmm… Gak apa-apa nih…?” Natasya terlihat ragu

mendengar Ryan menyuruhnya memakai pakaian Maya lagi. “You heard

me… C‟mon…” Ryan menarik Natasya menuju kearah mobilnya. Disaat itu,

pandangan Natasya tertuju kearah seorang gadis yang menatapnya diantara

kerumunan mahasiswa dipinggir area parkir outdoor itu. Gadis yang mirip

sekali dengannya itu tersenyum kearahnya sambil sedikit menganggukkan

kepalanya, dan kemudian menghilang dibalik kerumunan mahasiswa-

Page 96: Bidadari Bersayap Biru

mahasiswa itu. “Maya…?” gumam Natasya yang melihat hal tersebut sambil

terus mengikuti Ryan.

Sejak hari itu, kehidupan Ryan berubah kembali, dia menjalani

hidupnya bersama Natasya dengan penuh kebahagiaan, penuh arti seperti

yang diinginkan oleh Maya, tapi walaupun begitu tidak sedikitpun dia

melupakan akan Maya dan Natasya pun tampaknya bisa memaklumi akan

hal itu. Natasya menerimanya apa adanya, terlepas dari masalalunya, atau

apapun yang pernah Ryan lakukan ke dia dulunya. Satu hal yang akhirnya

Ryan sadari semenjak dia menjalani hidupnya bersama Natasya, kalau

Natasya tidaklah sepenuhnya sama seperti Maya, jika Maya adalah sosok

gadis yang memiliki hati bijak, dewasa, dan memiliki sedikit jiwa romantis

menurut Ryan, maka Natasya adalah kebalikannya, dia tidak sebijak Maya

dalam beberapa hal, lebih bersifat kekanank-kanakan dan manja kepada

Ryan, dan tidak begitu romantis. Walaupun begitu, dia sekuat dan setegar

Maya dalam menjalani kehidupannya, meskipun tidak romantis, tapi dia bisa

membuat Ryan merasa nyaman didekatnya, dengan kata-kata dan sifat-sifat

manjanya, sifat kekanak-kanakannya membuat Ryan merasa selain adalah

kekasihnya, Natasya adalah adiknya sendiri. Semua kekurangan yang ada

dalam diri Maya, adalah kelebihan yang dimiliki oleh Natasya, dan semua

kekurangan yang ada dalam diri Natasya adalah kelebihan yang dimiliki oleh

Maya, hal itu membuat Ryan berfikir kalau mereka adalah dua jiwa yang

berbeda tapi hidup untuk melengkapi satu dengan yang lainnya. Mungkin

itulah alasan kenapa mereka terlahir kembar walaupun tidak sedarah. Hidup

mereka bahagia sampai-sampai mereka tidak sadar sudah satu tahun mereka

menjalin hubungan. Sampai disuatu hari Ryan mengajak Natasya untuk

menikah. Awalnya Natasya sedikit terkejut mendengar lamaran itu, dan

mengatakan apa tidak tunangan dulu. Tapi Ryan mengatakan kalau dulu kan

„mereka‟ sudah tunangan, jadi tinggal nikahnya saja yang belum. Mendengar

alasan itu, Natasya pun menyetujui lamaran Ryan. Kebetulan orang tua dari

mereka berdua pun sudah mulai akrab dalam beberapa bulan terakhir itu, jadi

sepertinya rencana Ryan untuk menikahi Natasya itu tidak akan ada masalah

sedikitpun.

Dan pada bulan Maret di usia hubungan mereka yang sudah

mencapai satu setengah tahun akhirnya mereka pun menikah, tante Rani dan

Page 97: Bidadari Bersayap Biru

dokter Arman menghadiri pernikahan mereka tersebut. Ketika pertama kali

melihat sosok Natasya yang benar-benar sama persis dengan mendiang

anaknya, tante Rani sedikit terkejut, ekspresinya menunjukkan kalau dulu dia

pernah melihat gadis itu, dia sadar kalau gadis yang ada didepannya itu

bukan Maya tapi dia tidak bisa ingat dimana pernah melihatnya, karena itu

dulu sekali, dan akhirnya dia meneteskan air mata. Dia merasa sangat terharu

sekali karena melihat Natasya sebagai Maya, anak semata wayang yang

begitu sangat dia sayangi. Setelah menikah, Ryan meminta ayahnya untuk

membangun rumah untuknya, disebuah tebing yang menjurus kearah pantai

kenangannya dengan Maya dulu, alasannya adalah, dulu disana adalah

tempat dimana jalan kehidupannya terputus untuk sesaat karena tidak terima

dengan kematian Maya, jadi dia ingin melanjutkan jalan itu bersama Natasya

dengan terus mengenang masa lalunya bersama Maya sebagai sebuah

pelajaran dan perjalanan yang berarti. Beberapa bulan kemudian, rumah baru

yang diingankan oleh Ryan itu akhirnya rampung, berdiri dengan kokohnya

dengan sebuah beranda lebar yang langsung menjurus kearah pantai. “May…

If you still there, come here…. You can always see how beautiful the sea

from up here… I believe that you‟ll love it…” gumam Ryan yang tengah

berdiri di beranda itu sambil tersenyum. Sesaat setelah itu, dia mendapati

dirinya berada didalam pelukan istrinya Natasya. Setelah menikah,

kehidupannya dengan Natasya jauh menjadi lebih bermakna dibanding

sebelum-sebelumnya. Ryan adalah mantan playboy, jadi dia lebih

mengutamakan keromantisannya sedangkan Natasya adalah perempuan yang

penuh pengertian dan lebih mengutamakan keharmormonisan dalam

menjalani hubungan mereka. Bisa dibilang kehidupan mereka adalah

kehidupan yang sempurna, tidak akan bisa menggambarkan kebahagiaan

mereka hanya dengan sekedar kata-kata saja. Setelah hamil selama sembilan

bulan sepuluh hari, malam itu adalah malam tahun baru. Malam dimana

momongan Ryan dan Natasya akhirnya sudah siap untuk menghirup udara

segar kehidupan. Seorang bayi perempuan lahir dengan sempurna dan sehat

tepat ketika tahun berganti. Seorang bayi perempuan yang sebagian besar

mengambil sosok sang ibu. Untuk menghindari terlalu banyak pengulangan

kata „bahagia‟, kita lewati saja tentang bagaimana perasaan Ryan dan

Natasya dan semua orang yang bersangkutan dengan mereka akan kelahiran

bayi perempuan itu.

Page 98: Bidadari Bersayap Biru

Keesokan harinya, sekitar pukul sebelas pagi tante Rani tiba dari

Amerika dan langsung menuju Rumah Sakit Bersalin tempat Natasya

melahirkan. Ketika wanita paruh baya itu membuka pintu kamar Nataysa, dia

sudah menemukan Edo, Rafael, Eric bersama dengan pasangan mereka

masing-masing telah memenuhi kamar itu, kalau dilihat dari kondisinya,

sepertinya mareka semua sudah ada disana sejak tadi malam. Sementara

Ryan sedang asyik tiduran didekat istri dan bayinya sambil tersenyum-

senyum simpul. Melihat kedatangan tante Rani, Edo, Rafael dan Eric berdiri

menyambutnya. Tante Rani membalas sambutan mereka dengan senyuman

seraya menyodorkan sebuah amplop kearah Edo. Melihat dia disodorkan

sebuah amplop oleh tante Rani, Edo mengernyitkan dahinya, tidak mengerti

amplop apa itu, tapi setelah melihat namanya di amplop itu. “Tulisan tangan

Maya…?” gumamnya sambil mengambil amplop itu. Tante Rani mendekati

Ryan dan Natasya. Saat itu Ryan sudah berdiri menyambut kedatangan

„mama‟nya itu. “Mah…?” sambut Ryan. “Bayinya gimana…? Sehat…?”

tanya tante Rani. “Iya ma… Bayinya sehat, mirip banget ama mamahnya…”

jawab Ryan sambil tersenyum dan memberikan tante Rani melihat sibayi

yang masih ada didekapan sang ibu, Natasya. Tante Rani membelai si bayi

sambil tersenyum namun meneteskan air mata pada waktu yang bersamaan.

Setelah menghapus air matanya, tante Rani menyodorkan sebuah amplop

lagi ke Ryan. “Maya dulu pernah berpesan ama mama kalo mama harus

ngasi surat ini ke kamu setelah kamu nemuin kebahagiaan kamu kembali

setelah kepergiannya, dan menurut mama saat-saat seperti inilah yang

dimaksudkan oleh Maya…” kata tante Rani sambil memegang pipi Ryan.

Ryan pun mengambil sebuah amplop yang berisikan surat peninggalan Maya

itu dengan pelan. Setelah surat tadi berpindah tangan, tante Rani kembali

melangkah untuk meninggalkan ruangan itu, terlihat jelas dimatanya kalau

dia sudah tidak mampu menahan perasaan kesedihan yang sampai saat itu

masih saja menyelimuti hatinya ketika melihat Natasya. Dia melihat Natasya

sebagai Maya, dan dia sadar jika terlalu lama seperti itu, bisa-bisa dia tidak

bisa merelakan kepergian Maya lagi. “Mah…” seketika langkah tante Rani

terhenti, dia mengenal betul suara itu, dia mengenal betul nada dan gaya

bicara itu, karena kondisi Natasya masih dalam keadaan lemah, nada

bicaranya menjadi benar-benar mencerminkan suara Maya dengan sempurna,

terlepas dari kondisi Natasya yang masih lemah, panggilannya itu

menggetarkan telinga tante Rani sehingga membuatnya berbalik. “Aku boleh

manggil tante, mama kan…?” tanya Natasya dengan lemah lembut sambil

tersenyum. Tante Rani mematung, dan tidak lama kemudian dia tidak bisa

Page 99: Bidadari Bersayap Biru

membendung harunya, dia melangkah ke arah Natasya yang tengah terbaring

sambil berlinang air mata. Perempuan itu menangis terisak-isak sambil

memeluk Natasya. “Sejak kapan kamu gak boleh manggil mama, anakku…”

isak tante Rani. Melihat hal tersebut, Edo tersenyum tipis, dan tidak lama

kemudian, dia pun keluar dari ruangan itu. Di koridor depan kamar Natasya,

dia terus memandangi surat yang diberikan oleh tante Rani tadi, dengan

penuh tanda tanya, dia akhirnya membuka amplop, dan membaca isi surat

dari Maya itu.

“Do… Aku yakin, sekarang ini kalian semua sedang menikmati sebuah

kebahagiaan yang begitu berarti didalam hidup kalian…”

Itu adalah kalimat awal dari isi surat Maya. Terlepas dari kenyataan bahwa

dia sudah meninggal beberapa tahun lalu, seolah-olah dia sudah tahu, kapan

suratnya itu akan sampai ketangan Edo.

“Kamu pasti heran kenapa tiba-tiba mama ngasi kamu surat dari aku,

setelah sekian lama ini. Itu karena kamu adalah salah satu dari orang-orang

yang begitu berarti buat aku. Kamu memiliki peran yang begitu kuat

didalam kehidupan aku dulu, didalam perjalanan hidupku bersama Ryan.

Ada satu hal yang ingin aku sampaikan ke kamu Do. Kamu ingat sesuatu

gak? Kira-kira sembilan tahun yang lalu…”

“Sembilan tahun yang lalu…?” Edo mengernyitkan dahi tanda tidak

mengerti arah pembicaraan Maya didalam surat itu. Dia mencoba untuk

mengingat-ingat hal apa yang dimaksud Maya itu, dia menengadah

memandang langit-langit seolah-olah bertanya „ada apa sembilan tahun yang

lalu dan apa hubungannya dengan Maya?‟. Tapi karena tidak mendapatkan

apa-apa, dia kembali membaca isi surat Maya.

“Mungkin kamu gak bakalan bisa ingat, itu wajar… Kejadiannya juga udah

lama banget dan mungkin gak terlalu penting buat kamu. Tapi hari itu

Page 100: Bidadari Bersayap Biru

begitu sangat penting buat aku walaupun yaahh… Aku juga ingetnya pas

aku baru sadar dari koma aku kemarin.”

“Koma? Jadi surat ini ditulis Maya sekitar tiga tahun yang lalu ya…” kata

Edo dalam hati.

“Kalo seandainya kamu masih nyoba buat ngingat-ingat kejadian itu, ada

dua kata kunci yang bisa aku kasi tau… Jembatan…. Dan kucing…”

Membaca surat Maya yang aneh dan membingungkan itu, Edo seperti orang

yang sedang mengerjakan soal-soal semester. Otaknya penuh dengan tanda

tanya sedangkan pikirannya sibuk membongkar-bongkar „brangkas‟ dimana

dia menyimpan masa lalunya.

“Waktu itu… Kalo aku juga gak salah inget… Kita masih kelas empat

sekolah dasar…Kira-kira sudah lima jam berlalu setelah jam pulang

sekolah…”

Membaca kalimat itu, Edo tersentak. „Bingo!‟ Dia menemukan „file‟ masa

lalu yang sesuai dengan isi surat Maya. Dia pun kembali mengenang akan

masa itu.

“Edo yang penuh luka disekujur tubuhnya itu memapah Ryan yang tidak

kalah „rusak parah‟ itu pulang. “Kamu kebanyakan nonton film Ultraman

nih... Coba tadi kamu lari ngadu ke pak guru, gak bakalan jadi kayak gini

kan...” kata Ryan sambil menahan sakit. “Gak bakalan keburu, kamu pasti

bakalan jadi lebih parah dari ini kalo aku pergi ngadu, lagiyan.... aku gak

mungkin ninggalin kakak aku dikeroyok gitu aja kan?” jelas Edo.

“Kakak...?” Ryan terlihat tidak mengerti. “Iya, kamu kan kakak aku...”

balas Edo. Ryan tidak menjawab. “Kamu sendiri kebanyakan nonton film

Superman, pake ngelawan anak-anak kelas enem segala...” kata Edo lagi.

Dan kata-kata itu membuat mereka tertawa terbahak-bahak sepanjang

perjalanan, yang secara alami membuat mereka tidak merasakan sakit dari

Page 101: Bidadari Bersayap Biru

bekas perkelahian mereka dengan anak-anak kelas enam tadi. Tidak lama

berjalan sambil bercengkerama bersama, mereka sampai disebuah

jembatan. Disana mereka melihat seorang anak perempuan berdiri dipinggir

jembatan itu, terdiam memandang kearah sungai yang mengalir dibawah

jembatan dengan arus yang tidak begitu deras. Sepertinya anak perempuan

itu tidak satu sekolah dengan mereka berdua. “Eh… Ngapain kamu liatin

sungai kayak gitu…?” tanya Edo sambil melepaskan lengan Ryan yang dari

tadi dia papah itu. Anak perempuan itu menatapnya dengan mata berkaca-

kaca, sepertinya dia ingin menangis dan mungkin karena sesuatu yang ada

disungai dibawah jembatan itu. Karena penasaran, Edo pun mendekati anak

perempuan itu dan mencondongkan kepalanya melihat ada apa disungai itu.

“Kucing…? Itu kucing kamu…?” Edo kembali bertanya kepada anak

perempuan itu karena melihat seekor anak kucing yang sedang berusaha

untuk tidak tenggelam dan terbawa arus sungai. Anak itu tidak menjawab

dan kembali melihat kesungai. “Kalo kucing liar, sebaiknya di…” satu hal

yang membuat Edo menghentikan ucapannya. Tiba-tiba Ryan langsung

melompat bebas dari jembatan yang tingginya sekitar dua lantai itu

kesungai. Edo benar-benar terkejut karena Ryan berlali untuk melompat

dari depannya. Melihat hal itu Edo langsung memalingkan pandangannya

kearah sungai dimana Ryan mendarat dari lompatannya dengan wajah

pucat. Ryan berusaha untuk menggapai anak kucing itu dan setelah dia

mendapatkannya, dia berenang ketepian sungai yang jaraknya hampir

sekitar tujuh meteran itu. Edo yang sudah dari tadi berlari kebawah kolong

jembatan bermaksud untuk menyusul Ryan. Mendapatkan „kakak‟nya itu

sudah tergeletak dengan seekor anak kucing didadanya. “Pamer ama anak

cewek juga gak segitu-gitunya kali Yan… Itu kan bahaya banget… Mana

jembatannya juga tinggi amat lagi…” kata Edo sambil menengadah

memandang jembatan yang ada diatas mereka.Tapi karena melihat Ryan

tidak kenapa-kenapa, Edo terlihat sedikit tenang. “Nah kamu…? Ngaku

Ultraman, ikut-ikutan kelai ama anak kelas enam tapi nyelametin kucing aja

masih takut…. Cemen…” balas Ryan dengan nafas terengah-engah karena

berenang tadi. “Bukan gitu tapi….”…….. “Ultraman itu nyelametin sesuatu

gak perlu pake nanya-nanya segala… Kamu liat sendirikan tuh anak ampir

nangis ngeliatin nih kucing? Kalo bukan punya dia, ngapain ampe kayak

gitu…?” potong Ryan sambil memandang Edo dengan posisi masih

terlentang kehabisan tenaga. Mendengar perkataan Ryan itu, Edo terdiam.

Mereka memang masih anak-anak, tapi karena jauh dari orang tua mereka

hal itu membuat pandangan dan cara berfikir mereka menjadi lebih dewasa

Page 102: Bidadari Bersayap Biru

dari usia mereka sendiri. Sebagian anak memang sepeti itu, dapi

kebanyakan ada yang menjadi sombong dan salah bergaul karena

kurangnya didikan positif dari orang tua mereka, ada pula yang selalu

melow karena kurangnya kehadiran dan sosok orang tua disisi mereka. Tapi

mereka berdua tidak seperti itu, tinggal hanya dengan dampingan seorang

nenek yang sudah tua membuat sifat tegar dan mandiri mereka lebih

menonjol sejak masa kanak-kanak mereka. Setelah tenaganya agak sedikit

terkumpul, Ryan pun bangkit, dan berjalan kearah anak perempuan yang

dari tadi hanya berdiri mematung didekat tangga jembatan itu sambil

membawa kucing yang tadi dia selamatkan. “lain kali ati-ati ya? Kasian kan

kalo tenggelam…” kata Ryan sambil menyodorkan anak kucing yang masih

basah kuyup itu kearah si anak perempuan. Setelah menggendong anak

kucing itu, si anak perempuan menyodorkan sebuah sapu tangan kecil

berwarna ungu kepada Ryan, niatnya agar setidaknya Ryan bisa

mengeringkan wajahnya, tapi Ryan menggeleng sambil tersenyum tipis dan

mengajak Edo untuk pergi. “Plak…!!!” “Sok kamu… Kenapa gak sekalian

diantar pulang aja…” Edo yang berlari menyusul Ryan tiba-tiba saja

menampar pipi Ryan dari belakang. “Aduuhh…!” spontan Ryan mengaduh

sambil memegangi pipinya. “Alah….! Ngaku Batman, pake loncat setinggi-

tingginya cuman buat nyelametin kucing, ditampar aja kesakitan kayak

gitu… Cemen…” kali ini Edo mengembalikan kata-kata Ryan yang tadi.

“Kamu pikir nih luka gak perih kena air tadi…? Malah make acara nampar-

nampar segala…!! Kena bogem super power baru tau rasa‟…. Aaahhhh…..

Dasar monster….” Kata Ryan sambil menjitak kepala Edo. Buknnya

kesakitan, tapi Edo malah tertawa terbahak-bahak, begitu pula dengan

Ryan. Walaupun mandiri, tetap saja jiwa mereka masih kekanak-kanakan.

Anak perempuan itu terus saja memandang mereka yang tertawa bersama

sambil menaiki anak tangga jembatan yang tidak beberapa lama kemudian

terlepas dari pandangannya ketika mereka sampai diatas jembatan.”

Edo tersenyum tipis mengenang akan kejadian itu, matanya sedikit berkaca-

kaca karena terharu mengenang masa kanak-kanaknya bersama Ryan itu.

Dimana saat-saat itu Ryan memang benar-benar menjadi sosok seorang

kakak untuknya. “Ah… Jangan-jangan…” Edo menyadari sesuatu dan

membaca kelanjutan isi surat Maya tadi.

Page 103: Bidadari Bersayap Biru

“Kalo kamu udah inget…. Benar… Anak perempuan itu adalah aku. Dan

anak kucing itu adalah sebuah hadiah persahabatan dari seorang sahabat

aku dulu yang bernama Natalia, dia begitu istimewa buat aku. Sayangnya

kucing pemberiannya itu mati tertabrak mobil sekitar dua tahun kemudian.

Dan jujur, kenangan itulah yang membuatku semakin mencintai Ryan, dan

sepertinya aku tidak akan mampu untuk membuatnya pergi meninggalkan ku

sampai waktuku habis nanti. Kita sudah dipertemukan sejak kecil dulu, tapi

waktu seolah-olah menutupi akan kenangan itu. Tapi aku bersyukur karena

aku sudah memilih orang yang tepat sebagai seorang kekasih. Sejak awal

kami bertemu, aku memang merasa sudah mengenalnya tapi lupa kapan dan

dimana. Aku tidak sedikitpun merasakan sebuah ancaman ketika dia

pertama kali mengantarku pulang dari apotik dulu, sebaliknya entah kenapa

ada sebuah kenyamanan berada didekatnya, padahal dia adalah orang

asing buat aku waktu itu. Walaupun pergaulannya seperti itu diluar sana,

masa lalunya sebelum kita bertemu dipenuhi oleh hal-hal negatif…. Aku

percaya… Kalo Ryan sejatinya adalah anak yang baik, penuh pengertian

dan penuh kasih sayang, kamu tau? Aku juga merasa kalo dia itu memiliki

hati yang rapuh biarpun keliatan sombong seperti itu. Jika dia berubah lagi

setelah kepergian ku, aku minta maaf ke kamu karena aku gak bisa nepatin

janji aku yang beberapa minggu kemarin itu, itu semua adalah salah aku

pribadi. Tapi kalo kamu nerima surat ini, berarti kalian semua baik-baik

saja, Ryan baik-baik saja. Aku benar-benar bahagia bisa mengenal kalian

semua, kalian semua telah menyempurnakan hidup aku yang bener-bener

singkat ini, dan karena itu aku mau ngaucapi terima kasih ke kalian atas

semua pengalaman yang udah kalian kasi ke aku diakhir-akhir kehidupan

aku. Terima kasih banyak.Dan maaf atas semua kesalahan-kesalahan aku.

Salam hangat. Maya.”

Itulah isi surat dari Maya yang dibaca oleh Edo. Selesai membaca surat itu,

dia sendiri mematung. Kembali menengadah memandang langit-langit, tapi

kali ini bukan untuk berfikir, melainkan menahan aliran dari cairan yang

ingin keluar dari matanya. Dia sangat terharu karena ternyata bukan hanya

mereka saja yang menganggap Maya begitu berarti, tapi lebih-lebih arti

mereka pun sangat besar bagi diri Maya sendiri. “Nggak May…” ada sedikit

kepiluan disuara Edo. “Kamu gak salah sama sekali… Justru aku mau bilang

makasih ke kamu karena udah nyadarin kami semua, karena udah ngebuka

mata kami dari kebutaan. Terlepas dari kami semua, aku pribadi ngucapin

Page 104: Bidadari Bersayap Biru

banyak-banyak terima kasih ama kamu karena udah ngembaliin Ryan jadi

kayak dulu lagi, jadi sosok seorang kakak lagi buat aku. Semua ini karena

ada kamu, karena kehadiran kamu dikehidupan kami. Kami gak

nyempurnain idup kamu, tapi kamu yang nyempurnain idup kami. You were

live as a short-life Princess in this world…. Yet you‟re life eternally as an

angel in our memories… Rest in peace.... May…” Sambung Edo dalam hati

sambil sedikit mengusap-usap matanya. Tidak lama kemudian dia pun

memasuki kamar Natasya kembali. Saat itu dia melihat Ryan berdiri

bersandar didekat jendela sambil membuka amplop yang diberikan oleh tante

Rani tadi. Amplop berisikan surat Maya seperti yang dia dapatkan.

“Congratulation Yan….”

Kalimat awal yang cukup pendek dari surat Maya untuk Ryan, tapi cukup

mengejutkan bagi Ryan sendiri. Selamat? Selamat untuk apa?

“Kamu sekarang akan menempuh kehidupan baru yang untuk

kedepannya akan menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Kalau kamu

nerima surat ini dari mama, artinya aku sudah gak ada lagi disisi kamu.

Tapi aku senang… Karena dengan nerima surat ini, aku tahu kalau kamu

gak kembali ke kehidupan lama mu, kehidupan sebelum kita bertemu dulu.

Maafin aku kalau aku gak bisa nemenin kamu lebih lama… Maafin aku

kalau aku gak bisa ngasi kamu kebahagiaan seperti yang kamu dapet

sekarang ini… itu semua adalah kekurangan mutlak yang aku punya. Tapi

kalau aku boleh jujur, aku benar-benar sangat sayang ama kamu, aku

benar-benar sangat mencintaimu Ryan. Sejak awal kita ketemu dulu, waktu

masih kecil, aku sudah merasakan ada sesuatu yang berbeda. Suka…

Mungkin adalah kata-kata yang tepat untuk apa yang aku rasakan kepadamu

dulu, yahh… Mungkin karena kita masih kecil dan belum mengenal apa itu

sayang dan cinta…”

“Waktu kecil dulu…?” Ryan tidak kalah bingungnya dengan Edo tadi

mendengar isi surat Maya itu.

Page 105: Bidadari Bersayap Biru

“Aku yakin kamu pasti sudah lupa akan pertemuan pertama kita dulu…

Awalnya sih aku juga memang sudah lupa Yan… Tapi aku ingat kembali

disaat-saat aku terbangun dari koma ku kemarin… Kalau kamu mau tahu

akan hal itu, mungkin Edo ingat, kamu bisa menanyakannya ke Edo. Awal

aku mencintaimu…. Saat aku ngerasa benar-benar sayang sama kamu… Aku

tahu kalau itu adalah akhir dari kehidupan cintaku… Ya Yan… Kamu lah

akhir cintaku… Didalam kehidupanku yang singkat ini… Aku mungkin tidak

sepandai kamu untuk merangkai kata-kata indah mengenai cinta, tapi satu

hal yang aku ingin katakan ama kamu tentang kita…. Aku tercipta hanya

untuk kamu seorang… Jangan pernah bersedih atas kepergianku… Aku

tidak pernah pergi dari sisimu… Karena kita itu… Satu…”

Membaca itu, mata Ryan mulai tampak berkaca-kaca, dia terharu. Andai saja

dia mendapat surat itu lebih awal, setidaknya tidak lama setelah kematian

Maya, Natasya tidak akan mendapat sumpah serapah atau bersusah payah

untuk menolongnya dari keterpurukan hatinya.

“Oh iya Yan…? Aku mau ngelanjutin cerita aku yang dulu tidak bisa aku

lanjutin karena kamu dapet panggilan dari Edo mengenai balapan seminggu

sebelum kita bertunangan itu. Kalau kamu tidak ingat juga, aku ulangi saja.

Dulu pas masih SD, aku punya sahabat yang begitu sangat mirip ama aku,

temen-temen kami tidak ada yang bisa ngebedain kami, guru-guru kami juga

gitu. Nama sahabat aku itu Natalia. Aku tidak pernah bertemu dengannya

lagi semenjak lulus SD dulu, katanya sih dia pindah keluar negeri. Dan

beberapa hari sebelunya pas aku sedang cerita itu, aku ketemu ama wali

kelas aku dulu pas masih SD didepen apotik. Dia nanya tentang temen aku

itu, tapi dia salah nyebut nama. Aku nanya kenapa salah nyebut namanya.

Bu‟ guru itu malah ketawa kecil sambil mengaku kalau dulu dia salah tulis

nama untuk ijazah Natalia yang membuat Natalia terpaksa harus mengganti

identitasnya sendiri. Karena ijazah tidak bisa diganti kecuali mengulang

sekolah dari awal. Entah kenapa, tapi kalau nanti aku udah tiada, aku

sangat berharap kalau kalian berdua bisa bertemu. Bukan karena dia mirip

denganku saja, tapi karena aku tahu Natalia memiliki hati yang sama seperti

aku. Hati yang bisa sepenuhnya mencintai dan menyayangi kamu. Jika nanti

kamu berniat mencarinya, Namanya sudah bukan Natalia lagi. Sekarang

namanya Nat…..”

Page 106: Bidadari Bersayap Biru

“Sayang….?” Panggil Natasya yang seketika memotong laju mata Ryan

yang tampaknya sedang serius membaca surat dari Maya tadi. Dia menoleh

kearah istrinya yang memanggilnya dengan begitu lemah tapi lembutnya itu.

“Baca surat dari Maya nanti aja boleh kan…? Mumpung mama lagi disini…

Kita kasi si bayi nama sekarang aja ya….?” Kata Natasya sambil

memandang tante Rani dan Ryan secara bergantian. Ryan sempat ngeblank

mendengar Natasya meminta nama untuk bayi mereka, sedangkan dia belum

menyiapkan nama baik sama sekali. “Sayaaaannggg…? Kok malah

bengong…?” tanya Natasya yang melihat Ryan ngeblank itu. “Angel….”

Kata Edo singkat yang membuat Natasya sponan menoleh kearahnya. Bayi

ini mirip ibunya… Dan ibunya mirip dengan Maya… Bagi aku… nggak…

bagi kami… Maya itu layaknya seorang malaikat… Malaikat yang

menyadarkan kami akan pentingnya hidup itu, Sosok malaikat yang ngebuat

kami jadi diri kami yang sekarang ini… Dan kami bisa melihat gadis kecil

ini karena ada Maya…” sambung Edo sambil menggandeng kekasihnya

yang dari tadi duduk disampingnya. Mendengar alasan Edo itu, Natasya

tersenyum, sepertinya Natasya setuju dengan nama itu. “Maya…” kata Ryan

kali ini angkat bicara setelah terdiam dari tadi. Kembali Natasya

memandangnya. “Seperti yang Edo bilang… Gadis kecil ini adalah

penggalan dari kisah hidup Maya, ditambah lagi dia menambil paras ibunya

yang benar-benar mirip dengan Maya sendiri. Maya is a beautiful girl… A

strong girl… Friendly… And wise… This little girl will live as strong as

Maya and as cheerful as her own mother…” kata Ryan sambil membelai

lembut kepala bayinya itu. Saat itu si bayi yang tengah tertidur didekapan

sang ibu sedikit bergerak dan terlihat seperti tersenyum, seolah-olah dia

setuju dengan nama yang diberikan oleh ayahnya itu. Tante Rani yang

mendengar hal itu tersenyum sambil mengusap-usap punggung Ryan.

“Gimana ama ibunya…?” Rafael bertanya. “Iya nak… Gimana ama

kamu…?” tante Rani ikut-ikutan bertanya. Natasya yang ditanya begitu

malah terdiam sambil memandangi bayinya. “Natalia….” Katanya singkat

setelah beberapa saat terdiam. Saat itu Ryan sedikit terkejut mendengar nama

itu. “Kata mama sebenarnya dulu nama aku adalah Natalia… Tapi saat lulus

SD, guru aku salah tulis nama diijazah aku karena tidak bisa membedakan

aku ama seorang temen aku yang katanya sih bener-bener mirip ama aku,

tapi akibat gegar otak karena kecelakaan dulu, sebagian ingatanku hilang…

Aku lupa siapa nama temen aku itu dan mama juga gak tau karena gak

Page 107: Bidadari Bersayap Biru

pernah ketemu ama dia dulu…” sambung Natasya sambil tersenyum. Ryan

terus menatap istrinya setelah Natasya berkata seperti itu. “Kamu yakin…

Gak ingat sama sekali…?” tanya Ryan. Natasya menggeleng pelan. Sesaat

kemudian Ryan menyodorkan sepucuk surat dari Maya itu ke Natasya.

“Coba baca ini…” kata Ryan pendek. Natasya mengambil surat itu tapi

terlihat sdikit heran, untuk apa Ryan memberikan surat dari Maya itu ke dia.

Tante Rani juga sedikit heran. Apa hubungannya Natasya dengan surat

Maya? Surat itu kan dibuat beberapa tahun lalu, sebelum Ryan bertemu

dengan Natasya, bahkan sebelum kematian anaknya itu. Setelah beberapa

saat membaca surat itu, raut wajah Natasya berubah, matanya berkaca-kaca

dan dia menutup mulutnya seperti menahan tangis. “Huruf Y dan A dari

akhir nama kamu itu adalah „milik‟ Maya… Sahabat masa kecil kamu yang

hilang dari ingatanmu…” kata Ryan. Semua yang ada disana terkejut

mendengar kata-kata Ryan. Ternyata selama ini Natasya memiliki hubungan

dengan Maya, hubungan yang sempat hilang terbawa arus waktu yang begitu

derasnya. Tapi mungkin karena saking sejatinya persahabatan Natalia dan

Maya dulu, sampai-sampai waktu pun tidak bisa menghapus kisah mereka

berdua begitu saja. “Karena itu ya pengejaan nama kamu sedikit aneh…

Bukankah seharusnya H, A yang menjadi akhiran dari nama seperti nama

kamu itu Nat…” kata Rafael lagi. Ruangan itu berubah hening, tampaknya

ada perubahan emosi secara mendadak yang terjadi disana.“Amalia

(Emeli)…” Eric tiba-tiba angkat bicara ditengah-tengah keheningan itu yang

membuat semua mata seketika tertuju kearahnya. Angel Maya Natalia… For

short Amalia… So our new Princess‟ name is Amalia… Right…?”

sambungnya. “Yo… Dude… It‟s Maya… You got that…?!” Ryan, Edo,

bahkan Natasya, mereka bertiga secara serempak dengan nada yang hampir

berbarengan sedikit berteriak kepada Eric. Ditentang oleh tiga orang seperti

itu secara bersamaan, Eric terlihat ciut karena malu. “W… Well… That‟s just

to short it out… If… if you guys don‟t want that name, I‟ll take it for my

future child…” kata Eric gugup. “Nah lho… Gimana kalo anak kita cowok

nanti… masak namanya Amalia gitu… Bisa-bisa malah jadi rempong kayak

kamu kalo pake bahasa Indonesia…” sanggah kekasih Eric yang dari tadi

ada disebelahnya. Eric semakin terlihat malu, yang membuat semua yang ada

diruangan itu malah tertawa terbahak-bahak. Suasana ruangan itu kembali

menjadi ceria, dan begitu hangat karena dipenuhi oleh kebahagiaan yang

teramat sangatnya. Entah kenapa hanya dengan sebuah nama saja,

kebahagiaan tidak henti-hentinya mendatangi mereka semua. Orang mati

hanya meninggalkan nama untuk mereka yang sangat berarti baginya. Sudah

Page 108: Bidadari Bersayap Biru

hampir empat tahun semenjak kematian Maya, tapi dia meninggalkan

namanya untuk mereka semua, dan nama itu seolah-olah adalah „mantra‟

pemanggil kebahagiaan untuk mereka, karena mereka adalah orang-orang

yang begitu berharga dan penuh arti bagi Maya. Ditengah-tengah canda tawa

mereka itu, mereka tidak sadar bahwa ada seseorang yang memperhatikan

mereka dari luar jendela, seseorang yang mengenakan pakain putih polos itu

tampak berdiri dibawah sebuah pohon yang berdiri dengan rindangnya,

tersenyum. Ryan menoleh kebelakang, kearah pohon yang rindang itu,

tampaknya dia menyadari akan sesuatu. Tapi bersamaan dengan menolehnya

dia, berhembus angin yang sedikit kencang. Tidak ada siapa-siapa dibawah

pohon itu. Beberapa lama kemudian dia berbalik sambil melanjutkan canda

tawa mereka tadi. Tidak beberapa lama kemudian, orang tua Ryan dan

Natasya pun datang secara berturut-turut, memberi salam dan kata selamat

datang dikeluarga besar mereka itu kepada cucu pertama mereka yang begitu

sangat cantiknya itu.

Satu tahun berlalu dengan begitu singkat. Hari itu si Maya kecil

menginjak usia satu tahunnya. “May… Aku mau ngenalin kamu ama

Maya… Dia mirip sekali dengan ibunya… Dia mirip sekali dengan kamu…

Itu artinya sekarang aku punya dua Maya disini, dan aku akan menjaga

Maya-Maya ini dengan sepenuh jiwa dan raga aku… Aku yakin itu adalah

apa yang kamu harapkan… Karena mereka berdua adalah warisan hidup

kamu untuk aku. Maya kecil aku sekarang berusia genap satu tahun, dia

terlahir dengan sempurna seperti halnya kamu, dan pasti… Aku akan

menjaganya sampai dia mnginjak usianya yang kedua puluh tahun… seperti

halnya bidadari bersayap biru ini yang menjagamu sampai usiamu yang

kedua puluh dulu… bahkan sampai sekarang ini…” kata Ryan sambil

memegang sebuah boneka porselin yang tertanam permanen didekat batu

nisan Maya. Saat itu Ryan dan Natasya sedang mengunjungi makam Maya

dengan membawa Maya, bayi mereka itu. “Dan kemudian dia akan terus

menempuh kehidupannya dua puluh tahun lagi… dan dua puluh tahun lagi…

Kamu yang tenang ya disana… Kami semua disini hidup dengan bahagia…

Kami bisa seperti sekarang ini, semua berkat adanya kamu… Semuanya

berawal dari kamu… Terima kasih banyak ya May…? Karena kamu udah

ngasi kebahagiaan yang tiada habisnya dalam kehidupan kami semua…

Kami gak akan pernah melupakanmu… Jadi teruslah hidup didalam

kenangan kami…” sambung Ryan dengan mata yang berkaca-kaca.

Page 109: Bidadari Bersayap Biru

Tampaknya air matanya sudah hampir tidak tertahan lagi. “Sayaanngg…?”

kata Natasya memegang pundak Ryan yang saat itu sedang berdiri sambil

menggendong si Maya kecil disamping Ryan yang berjongkong disamping

batu nisan makam Maya. Ryan menoleh kearah istrinya. “Kamu lupa Maya

bilang apa dulu…? Dia gak mau ada orang yang ngeliat air mata kamu….”

Kata Natasya sambil menghapus setetes air yang akan jatuh dari mata Ryan

itu dengan ibu jarinya. Setelah itu Ryan memegang tangan istrinya itu seraya

berdiri. “Kamu bener juga sayang… kalo kayak gini Maya bisa marah ama

aku….” Katanya sambil meletakkan tangannya dipipi si Maya kecil yang

dari tadi hanya melongo memandang ayahnya dari gendongan ibunya itu.

Natasya pun mengangguk kecil sambil tersenyum, dan mereka pun

melangkah untuk meninggalkan makam Maya. Beberapa langkah dari

makam Maya tadi, si Maya kecil menoleh kebelakang, tiba-tiba dia bersorak

dan meloncat-loncat kegirangan sambil tersenyum lebar. Itu karena dia

melihat seseorang dengan pakaian putih polos dibawah bunga kamboja dekat

makam Maya, melambaikan tangannya kearah mereka dengan penuh

senyum yang memancarkan kedamaian.

Hari sudah menjelang sore hampir petang ketika mereka sampai

dirumah mereka dipinggir tebing yang menjorok kearah pantai itu. Si Maya

kecil tampak tertidur pulas dalam gendongan sang ibu. Ryan mengikuti

Natasya kekamar untuk menidurkan Maya ditempat tidur. “Kamu capek

sayang..?” tanya Natasya tersenyum. Ryan membalasnya dengan anggukan

sambil tersenyum pula. “Ya udah… I‟ll make something for ya…” sambung

Natasya sambil melangkah keluar kamar menuju arah dapur. Seiringan

dengan itu, Ryan melangkah kearah beranda kamar yang tepat menjurus

kearah pesisir pantai. Dia terlihat begitu sangat damai sekali waktu itu,

sedamai suasana sore hari dengan langit jingga yang begitu terangnya. Tidak

beberapa lama kemudian Natsya datang dan berdiri didekatnya memandang

kearah pantai. “Gimana…? Kamu seneng ngejalanin kisah kesempatan

kedua kamu ini Yan….?” Tanya Natasya. Ryan tersenyum seraya

mengangguk sambil terus memandang kearah pantai. “Gimana perasaan

kamu tentang semua ini…?” Natasya kembali bertanya. “Mungkin dulu aku

itu adalah tukang gombal yang handal ya…? Bisa ngegaet semua cewek

yang aku mau hanya dengan kata-kata manis aku… Tapi kalo kamu nanya

aku gimana perasaan aku tentang semua ini, aku gak punya kata-kata manis

buat ngungkapinnya sayang… Karena emang keadaan kita semua sekarang

Page 110: Bidadari Bersayap Biru

ini tidak bisa diungkapkan hanya dengan sekedar kata-kata… Tapi kalo

kamu mau aku ngejawabnya… Ini adalah kehidupan aku… Kehidupan kita

yang sekarang ini adalah kebahagiaan tertinggi yang pernah aku rasakan

seumur hidup aku… Kita hidup damai, nyaman, harmonis… Lebih-lebih

dengan hadirnya Maya didalam kisah kita ini… Jika menurut agama tidak

ada yang sempurna didalam kehidupan ini, bagi aku kehidupan kita yang

sekarang ini cukup dekat dari kata sempurna itu dan aku sangat puas sekali…

Aku sangat bersyukur bisa hidup untuk merasakan hal seindah ini, setelah

semua keburukan dan kejelekan-kejelekan yang aku perbuat dimasa lalu….”

Kata Ryan sambil terus memandang kearah laut luas yang tak berujung

didepannya. Natasya tersenyum. “Aku rasa perbuatan-perbuatan buruk kamu

dulu itu hanyalah sisi palsu kamu saja Yan… Sebenarnya kamu tidak seperti

itu… Kamu udah ingat kan pas kamu lompat dari jembatan untuk

menyelamatkan seekor anak kucing dulu…? Itulah diri kamu yang

sebenarnya, kamu adalah sosok orang yang akan berusaha keras untuk

menyelamatkan sesuatu yang berarti bagi orang lain walaupun hal itu bukan

apa-apa bagi diri kamu sendiri, kamu adalah sosok orang yang akan

menghentikan tangis kesedihan seseorang karena merasa atau telah

kehilangan sesuatu yang sangat berarti bagi orang itu… Karena itu aku tidak

mau ngeliat kamu nangis karena kehilangan sesuatu yang sangat berarti bagi

dirimu sendiri… Aku belajar akan hal itu dari kamu Yan… Belajar untuk

menghentikan tangis kesedihan seseorang dengan memberikannya

kebahagiaan dengan cara apapun…” kata Natasya. “Tumben… Kamu

biasanya gak sebijak ini sayang…” kata Ryan sambil mencoba untuk

merangkul Natasya. Tapi dalam waktu yang bersamaan Natasya menghindar,

bergeser sedikit menjauh agar Ryan tidak bisa merangkulnya. Menyadari

akan hal itu Ryan menoleh kearah istrinya itu. Dia melihat Natasya

mengenakan baju sweather ungu garis putih milik Maya lengkap dengan syal

ungunya. “Sayaaanngg…? Becanda terus ah… Kok malah ganti pakaian

pake baju Maya sih…? Bukannya tadi kamu baru aja ganti baju…?” tanya

Ryan yang melihat Natasya menggunakan pakaian milik Maya itu. “Tapi kali

ini kamu keliatan lebih muda juga ya make baju itu… Kamu kayak lebih

muda empat tahunan gitu…” kata Ryan lagi sambil memperhatikan istrinya

itu. Natasya hanya tersenyum saja tanpa menjawab sama sekali. Sesaat

kemudian, Ryan mengendus-endus sesuatu. “Waaahh… Kamu pake aroma

lavender segala…? Pasti pake punyanya Maya kecil nih… Kan udah aku

bilang… Pake parfum aroma mawar yang biasa kamu pake… Jangan pake

yang aroma lavender… karena cuman itu cara agar aku tau kalo itu kamu…”

Page 111: Bidadari Bersayap Biru

kata Ryan sambil melangkah kearah meja rias kemudian mengambil parfum

aroma lavender di laci rak itu. Saat itu Natasya muncul dari balik pintu

sambil membawa secangkir teh hangat. “Kamu ngapain pegang parfum

Maya sayang…?” tanya Natasya sambil melangkah dan meletakkan teh

hangat itu diatas meja yang ada diberanda kamar. Ryan tidak menjawab

malah mematung dengan ekspresi terkejut. Setelah meletakkan teh hangat

yang dia bawa, hidung Natasya menangkap sesuatu, dia mengendus-endus

sambil masuk kekamar. “Waaahhh… Sayang? Kamu kayak gak ada kerjaan

aja pake nyemprotin parfum kekamar, aromanya sampe ke beranda lagi…

Nih parfum habis aku suruh beli satu pack mau…?” kata Natasya ketus

sambil merebut parfum yang ada ditangannya Ryan yang masih terdiam

mematung itu. Dia heran, tadi baru saja dia berbicara dengan istrinya yang

menggunakan pakaian milik Maya diberanda, tapi dia malah muncul kembali

dari balik pintu sambil membawa teh hangat dengan pakaian yang berbeda.

“Ta… Tapi sayang…. Tadi…” kata Ryan terbata-bata sambil menunjuk

kearah beranda. “Apa… Mau buat alesan apa…? Beneran aku suruh ganti ni

parfum lho… Kalo bukan kamu, masak Maya yang…” Natasya tidak

melanjutkan kata-katanya, dia menyipitkan matanya ketika melihat Maya

kecil yang tengah tertidur pulas dari tadi. Ada sesuatu digenggaman Maya

saat itu. Karena merasa aneh, Natasya mendekati bayinya itu. “Sayang…

Kamu nyabut patung yang ada dimakamnya Maya ya…?” Natasya malah

bertanya kepada Ryan. “Hah..? Ya gak mungkinlah sayang… Patung itu kan

udah tertanem kuat disana, gak mungkin bisa dicabut pake tangan…” kata

Ryan sambil bergegas kearah Natasya yang duduk disamping Maya yang

tertidur. “Nah… Ini…?” tunjuk Natasya kearah tangan Maya yang

menggenggam patung bidadari bersayap biru itu. “Mustahil…” kata Ryan

dalam hati dengan ekspresi sangat terkejut. ( Ari Lasso – Mengejar

Matahari ) Tapi beberapa saat kemudian dia tersenyum lebar, dan kemudian

menarik tangan Natasya yang masih terlihat heran itu. “Itu karena Maya

sendiri yang ngasi dia…” kata Ryan sambil membawa Natasya keberanda.

Kata-kata Ryan tadi tidak menjawab keheranannya sama sekali. Saat keluar

dari beranda itu, Ryan melihat sebuah kupu-kupu biru tengah bertengger di

kayu palang pembatas beranda, dan karena menyadari kehadiran mereka,

kupu-kupu itu terbang kembali kearah pantai, dan berbelok kearah laut

menyongsong matahari yang mulai tenggelam sedikit demi sedikit seolah-

olah kupu-kupu itu sedang mengejar matahari tapi disaat yang bersamaan

seolah-olah mengatakan “Goodbye Ryan… From now on… Live your life

happily and meaningfully… Tomorrow awaits without sorrow, and without

Page 112: Bidadari Bersayap Biru

regret anymore…”. Melihat itu, Ryan kembali tersenyum. “Blue Winged

Angel… It is not a goodbye…. „Cause we believe for tomorrow… It‟s not a

goodbye… Until you say we‟ll be together again… It‟s not a goodbye…

We‟ll meet again…” katanya dalam hati. “Sayang…?” kata Natasya sambil

memandang Ryan. Tampaknya dia masih penasaran dengan patung bidadari

bersayap biru yang digenggam oleh Mayanya itu. “Can I hug you now

hon…?” bukannya memberi jawaban yang jelas dia malah bertanya kepada

Natasya. Masih dengan raut wajah yang penuh tanda tanya sambil sedikit

menggigit bibirnya, dia mengangguk mendengar pertanyaan Ryan

tadi. “Tomorrow… We‟ll give Maya a very meaningful life… And everything

will be just fine…” kata Ryan tersenyum seraya memeluk Natasya dengan

penuh kasih sayang.

THE END

INSPIRATION RESOURCES :

ERENE - TAKKAN PISAH

RADJA - AKU BUTUH CINTA

NELLY (COVER) MEGAN NICOLE - JUST A DREAM

DAUN BAND - AKU

BONDAN PRAKOSO - I WILL SURVIVE

BONDAN PRAKOSO & F2B - LAST BUT NOT LEAST

SHERINA MUNAF - HERE TO STAY

ARI LASSO - MENGEJAR MATAHARI