BI pasca OJK

download BI pasca OJK

of 26

description

peran Bank Indonesia pasca diterapkannya OJK

Transcript of BI pasca OJK

ABSTRAKDi Indonesia mungkin kata-kata tentang OJK bagi masyarakat awam masih belum mengetahui dan kenal dengan istilah tersebut. OJK adalah singkatan dari Otorisasi Jasa Keuangan. Yang dimaksud dengan OJK sendiri dapat dilihat langsung pada UU No.21 Tahun 2011 yang menerangkan secara lengkap apa arti, maksud, serta tujuan dari pendirian OJK tersebut. Menurut Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BapepamLK) Isa Rachmatarwata, dengan pembentukan OJK diharapkan dapat berperan sebagai badan pengawas industri keuangan yang bersifat netral dan konsisten dalam menjalankan aturan yang berlaku.Pasca terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka tugas mengatur dan mengawasi bank sentral, dalam hal ini yang dimaksud adalah Bank Indonesia, akan diserahkan kepada OJK. Perbankan perlu diawasi dalam rangka untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat. Sebelum terbentuk Otoritas Jasa Keuangan, perbankan diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia sebagai Bank sentral. Sedangkan lembaga keuangan lainnya seperti Pasar modal, lembaga pensiun, pegadaian, dan pembiayaan, diatur dan diawasi oleh BAPEPAM-LK. Masing-masing lembaga fokus pada lembaga keuangan yang di awasi. Akan tetapi hal ini mengandung kelemahan, karena praktik lembaga keuangan sekarang sudah semakin komplek.

Terbentuknya lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berawal dari keinginan untuk melindungi masyarakat dan efisiensi lembaga keuangan. Krisis ekonomi tahun 1998, yang mengakibatkan rontoknya beberapa Bank, menunjukkan pengawasan perbankan tidak mampu mendeteksi secara dini potensi akan terjadinya krisis. Meskipun krisis saat itu dapat disebabkan oleh faktor eksternal maupun internal.BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangBank Indonesia merupakan Bank sentral yang ada di Indonesia. Sebagai Bank sentral, Bank Indonesia menjadi Bank sirkulasi dan induk dari Bank Bank lainnya. Bank Indonesia memiliki peran yang sangat penting untuk perekonomian Indonesia karena Bank Indonesia dapat menciptakan dan menjaga kestabilan nilai uang rupiah serta kebijakan yang dibuat bisa mempengaruhi pasar, sehingga berpengaruh dalam perekonomian di Indonesia. Selain itu, tujuan-tujuan pokok dari Bank Indonesia antara lain adalah mengatur dan mengawasi Bank Bank lainnya, mengatur dan melancarkan sistem pembayaran, serta menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang ditimbulkan akibat inflasi. Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2011, yang mempunyai fungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam sektor jasa keuangan. Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga independen dan didirikan untuk menggantikan peran Bapepam LK. Tujuan OJK adalah agar terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel dalam sektor jasa keuangan, dapat mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, dan mampu melindungi kepentingan konsumen serta masyarakat banyak. Dalam bidang pengawasan, Bank Indonesia melakukan pengawasan secara langsung dan tidak langsung. Pengawasan langsung yang dilakukan oleh Bank Indonesia berupa pemeriksaan secara berkala, sedangkan untuk pengawasan tidak langsungnya dilakukan melalui penelitian, analisis, dan evaluasi terhadap laporan yang disampaikan oleh Bank.Tugas pengawasan Bank dialihkan dari Bank Indonesia kepada jasa keuangan yang independen yaitu Otoritas Jasa Keuangan melalui UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang ditetapkan bahwa sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang dalam melakukan pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan beralih dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan. Ketentuan yang telah dibuat bersifat mengikat Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan. Dengan adanya peralihan fungsi pengawasan Bank dan Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan maka tugas yang masih megikat pada Bank sentral hanya menetapkan dan menjaga kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.Beralihnya fungsi pengawasan bukan berarti Bank Indonesia terlepas sepenuhnya dari kepentingan pengawasan terhadap Bank. Tapi dalam UU Otoritas Jasa Keuangan menegaskan bahwa Otoritas Jasa Keuangan fokus pada aspek microprudential, sedangkan Bank Indonesia fokus pada aspek macroprudential. Aspek microprudential meliputi pengaturan dan pengawasan terhadap kelembagaan, pemeriksaan Bank, kesehatan, dan aspek kehati hatian. Sedangkan aspek microprudential meliputi fokus terhadap kesehatan institusi keuangan secara individual. Pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan memiiki satu tujuan yang sama, yaitu mewujudkan stabilitas sistem keuangan Nasional. Dalam mewujudkan stabilitas keuangan, perlu untuk dijaga karena adanya peningkatan resiko terhadap perekonomian nasional, krisis lembaga, dan pasar keuangan yang berdampak terhadap perekonomian dan berbiaya besar, kegagalan pasar, kegagalan kebijakan makro, dan masih banyak lainnya.Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)Otoritas Jasa Keuangan adalah suatu lembaga pengawas jasa keuangan seperti perusahaan pembiayaan, perbankan, pasar modal, dana pensiun, dan asuransi yang sudah harus terbentuk pada tahun 2010. Adanya Otorisasi Jasa Keuangan ini sebagai lembaga pengawas sektor keuangan di Indonesia yang perlu untuk diperhatikan, karena harus dipersiapkan dengan baik segala hal untuk mendukung keberadaan OJK. Undang-Undang tentang Otorisasi Jasa Keuangan hanya mengatur mengenai pengorganisasian dan tata pelaksanaan kegiatan keuangan dari lembaga yang memiliki kekuasaan dalam pengaturan serta pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Dengan adanya Otorisasi Jasa Keuangan diharapkan bisa mencapai mekanisme koordinasi yang efektif dalam menanggani masalah yang timbul didalam sistem keuangan. Dengan demikian bisa lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan adanya pengaturan serta pengawasan yang lebih baik lagi. Jika kita menengok kebelakang tentang sejarah dibentuknya OJK ini adalah salah satu ide yang bertujuan untuk membentuk lembaga khusus yang melakukan pengawasan perbankan. Hal ini telah dicanangkan semenjak diundangkannya UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa tugas pengawasan terhadap Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Dengan melihat ketentuan tersebut, maka telah jelas tentang pembentukkan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan independen harus dibentuk. Hal tersebutlah, yang dijadikan landasan dasar bagi pembentukkan suatu lembaga independen untuk mengawasi sektor jasa keuangan.Sampai dengan tahun 2010 perintah untuk pembentukkan lembaga pengawasan ini masih belum juga terealisasi. Kondisi tersebut menyebabkan dalam kurun waktu hampir satu dekade, OJK tidah dapat menjadi pengawas perkembangan perbankan yang belakangan ini terjadi banyak fenomena fenomena negatif. Misalnya saja kasus Bank Century yang melakukan penyimpangan tanpa ada ketakutan bertindak dan dikarenakan memang tidak ada lembaga tertentu yang menjadi pengawas. OJK kini bisa menjadi penting, apabila dalam perkembangan praktek perbankan dan pengawasan perlu dilakukan dengan cara yang tepat dan sesuai dengan kepentingan.Selain itu, para pakar ekonomi-pun mengemukakan pendapat mengenai OJK. Mereka mengatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mutlak dibentuk guna mengantisipasi kompleksitas sistem keuangan global. Namun, RUU OJK harus dibahas simultan dengan paket RUU Keuangan lain, sperti RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), RUU Pasar Modal serta amandemen UU Bank Indonesia, Perasuransian, dan Dana Pensiun. Hal tersebut terungkap dalam seminar Reformasi. Sektor Keuangan memperkuat Fondasi, Daya Saing, dan Stabilitas Perekonomian Nasional. Pembentukan OJK diperlukan guna mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis. Di sisi lain, pembentukan OJK merupakan komitmen pemerintah dalam reformasi sektor keuangan di Indonesia. Pemerintah mempunyai komitmen tinggi dan menjalankan mandat untuk melakukan reformasi di sektor keuangan.Dengan melihat kehadiran OJK, dimaksudkan untuk menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang selama ini cenderung muncul. Sebab dalam OJK, fungsi pengawasan dan pengaturan dibuat terpisah. Akan tetapi meskipun OJK memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan dalam satu tubuh, fungsinya tidak akan tumpang tindih, sebab OJK secara organisatoris akan terdiri atas tujuh dewan komisioner. Ketua Dewan Komisioner akan membawahkan tiga anggota dewan komisioner yang masing-masing mewakili perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan nonbank (LKNB). Kewenangan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia akan dikurangi, namun Bank Indonesia masih mendampingi pengawasan. Kalau selama ini mikro dan makro prudensialnya di Bank Indonesia, nanti OJK akan fokus menangani mikro prudensialnya.Penolakan Bank Indonesia terhadap OJKBank Indonesia menjadi lembaga tunggal yang memiliki hak untuk mengedarkan uang di Indonesia. Dalam melaksanakan tugas serta wewenangnya tersebut, Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Gubernur. Gubernur Bank Indonesia saat ini adalah Agus Martowardojo yang telah menjabat semenjak 2013. Bank Indonesia memiliki satu tujuan utama. Tujuan utamanya adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan yang dimaksud mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Demi tercapainya tujuan utama dari Bank Indonesia tersebut, Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tuganya. Ketiga bidang tugas ini adalah (1) melaksanakan kegiatan moneter; (2) mengatur serta menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan (3) mengatur serta mengawasi perbankan di Indonesia. Namun, dengan adanya pembentukan Otorisasi Jasa Keuangan membuat tugas-tugas dari Bank Indonesia sedikit berkurang. Karena disini Otorisasi Jasa Keuangan memiliki tugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB. Dengan kata lain, Otoritas Jasa Keuangan menggantikan salah satu tugas yang selama ini Bank Indonesia jalankan.Namun dengan usulan adanya pembentukan lembaga independen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) didalam pemerintahan, sangan banyak yang pro maupun kontra atas usulan tersebut, salah satunya adalah Bank Indonesia. Bank Indonesia sendiri memiliki alasan mengapa selama ini menolak adanya rencana pembentukan Otoritas Jasa Keuangan. Salah satu yang diungkap adalah dengan adanya pembentukan Otoritas Jasa Keuangan maka pengaturan sistem di Indonesia lebih beresiko dan akan berjalan mundur. Pendirian OJK dianggap tidak relevan karena tidak ada struktur pengawasan yang dapat menjamin sistem perbankan yang sehat atau mencegah krisis keuangan sistemik.Bank Indonesia juga beranggapan bahwa lepasnya tugas Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan terhadap perbankan bisa mengganggu operasi pengendalian moneter. Hal ini disebabkan karena Bank sentral tak bisa secara otomatis mengakses data perbankan tanpa persetujuan dari pimpinan Otorisasi Jasa Keuangan. Selain itu Bank Indonesia juga mengungkapkan kegagalan atas pembentukan otorisasi jasa keuangan di negara lain dan yang bisa disimpulkan pada saat itu adalah jika pembentukan Otorisasi Jasa Keuangan itu sudah tidak relevan lagi.Bank Indonesia juga menyatakan bahwa mereka menolak adanya penggabungan sektor keuangan pada suatu badan. Penolakan tersebut antara lain dikarenakan dalam pasal 23 UUD 1945 mengamanatkan bahwa kewenangan sektor keuangan terdiri atas tiga bagian terpisah. Pertama, kewenangan fiskal dijalankan oleh kementerian keuangan. Kedua, dalam bidang moneter diamanatkan pada Bank senteral. Ketiga, audit keuangan negara yang dipegang oleh badan pemeriksa keuangan (BPK). Bank Indonesia juga beranggapan bahwa jika selama ini mereka dianggap gagal dalam mengawasi Bank dan buruk kinerjanya, namun jika dipindah alihkan tugasnya kepada Otorisasi Jasa Keuangan belum tentu juga akan menjadi baik. Selain itu juga, pegawai Bank Indonesia masih mempertanyakan apakah Otorisasi Jasa Keuangan ini bisa menjadikan perekonomian di Indonesia menjadi lebih baik dan menjamin Indonesia tidak akan terimbas krisis. Sebenarnya untuk mencegah krisis ekonomi yang tidak secara langsung berhubungan dengan perbankan, dia menjelaskan, yang dibutuhkan adalah UU Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (UU JPSK). Alasan lain adalah terkait pemenuhan Sumber Daya Manusia (SDM) OJK. Dalam RUU OJK, terkesan memaksa pegawai Bank Indonesia pindah ke institusi yang bukan menjadi keinginan dan cita-cita mereka. Survei juga menunjukkan bahwa 76,98% pengawas Bank dikantor pusat Bank Indonesia menolak bergabung dengan OJK, apabila lembaga tersebut dibentuk sesuai dengan draf RUU usulan dari pemerintah.Dan tidak hanya itu saja, sebagian dari pegawai Bank Indonesia juga menolak untuk menjadi pegawai Otorisasi Jasa Keuangan. Mereka memiliki sejumlah alasan, yaitu : 1. Pemanfaatan pegawai Bank Indonesia untuk menjadi pegawai OJK tidak relevan dengan latar belakang OJK yang menganggap pengawasan Bank Indonesia lemah.

2. Adanya chemistry culture Bank Indonesia yaitu dengan adanya dukungan governance yang baik.

3. Keraguan indepedensi OJK berhubungan dengan sumber pembiayaan operasional OJK yang berasal dari pungutan institusi yang diawasi

4. Niat awal masuk Bank Indonesia adalah menjadi pegawai Bank Indonesia dan kompetensi yang dimiliki oleh pegawai pengawasan Bank masih bisa dioptimalkan untuk mendukung pelaksanaan tugas disatuan kerja lain Bank Indonesia.

Pelaksanaan Kebijakan Pengawasan antara Bank Indonesia dan OJKBank Indonesia adalah suatu Lembaga Negara yang mempunyai satu tujuan tunggal yakni mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah. Hal ini mengandung dua aspek yakni kestabilan nilai mata uang rupiah terhadap barang dan jasa yang tercermin pada laju inflasi, serta kestabilan nilai mata uang rupiah terhadap mata uang negara lain yang tercermin pada perkembangan nilai tukar. Dari segi pelaksanaan tugas dan wewenang, Bank Indonesia menerapkan prinsip akuntabilitas dan transparansi melalui penyampaian informasi kepada masyarakat luas secara terbuka melalui media massa setiap awal tahun mengenai evaluasi pelaksanaan kebijakan moneter, dan serta rencana kebijakan moneter dan penetapan sasaran-sasaran moneter pada tahun yang akan datang. Kewajiban Bank IndonesiaBank Indonesia selaku Bank sentral memiliki tiga kewajiban dalam menjaga kestabilan rupiah yaitu:

1. Menetapkan kebijakan moneter,

2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta

3. Mengatur dan mengawasi perbankan (berdasarkan Pasal 8 UU No. 3 Tahun 2004).

Namun sejak terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan, tugas Bank Indonesia yang berupa pengaturan dan pengawasan perbankan dialihkan kepada OJK. Selama ini, fungsi pengawasan sektor keuangan dijalankan sendiri-sendiri oleh Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Dengan integrasi fungsi pengawasan sektor keuangan di OJK, publik berharap ada peningkatan koordinasi antara kedua belah pihak dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat.Akan tetapi, timbul kekhawatiran bahwa akan terjadi tumpang tindih (overlapping) dalam pelaksanaan kebijakan pengawasan makroprudensial yang dibuat oleh BI dan kebijakan pengawasan mikroprudensial rancangan OJK. Overlapping aturan merupakan salah satu kekhawatiran yang muncul akibat perpindahan wewenang pengawasan perbankan OJK yang juga dinilai dapat melemahkan efektivitas kebijakan yang ada. Kemungkinan terjadinya overlapping antara BI dan OJK tersebut akan berpengaruh pada respons kebijakan yang mungkin akan lebih lambat. Sebagai contoh, ketika BI akan memberikan bantuan pinjaman kepada perbankan yang mengalami kesulitan keuangan berupa Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP), tentu tidak dapat secara cepat untuk memberikan FPJP karena perlu melakukan konfirmasi dan peninjauan ulang kepada OJK yang nantinya memiliki kewenangan dan mengetahui serta menguasai kondisi informasi perbankan. Kekhawatiran lainnya yakni kemungkinan terjadinya rivalitas antara Bank Indonesia dengan OJK. Bank Indonesia akan tetap mempunyai wewenang memeriksa perbankan kendati OJK sudah mengambil fungsi tersebut namun dalam konteks makroprudensial. Terkait dengan hal ini, bukan tidak mungkin BI dianggap sebagai institusi kelas dua dibawah OJK dan kondisi itu tentunya akan mempengaruhi efektifitas kebijakan Bank Indonesia.Selain kedua hal tersebut, suatu hal lain yang berpotensi menjadi kekhawatiran yakni, adanya arbritrage (perbedaan) ketentuan antara Bank Indonesia dan OJK mengenai suatu hal. Sebagai contoh misalnya, ketentuan Bank Indonesia mengenai pembiayaan Bank atas kegiatan pasar modal yang selama ini dinilai sangat ketat, di mana Bank tidak diperbolehkan membiayai kegiatan pasar modal. Terkait pembagian tugas dengan OJK, antara pengawasan makroprudensial dan pengawasan mikroprudensial tidak bisa dipisahkan kendati keduanya berbeda, oleh karena itu perlu ada sinergi dimana implementasi pengawasan mikroprudensial dan makroprudensial itu perlu dilakukan dengan baik.

Pengawasan Makriprudensial dan MikriprudensialPengawasan makroprudensial dan pengawasan mikroprudensial masing-masing memang memiliki tujuan yang berbeda. Pengawasan makroprudensial bertujuan untuk mengarahkan dan mendorong Bank serta sekaligus mengawasinya agar dapat berperan dalam berbagai program pencapaian ekonomi makro. Sedangkan, pengawasan mikroprudensial bertujuan untuk mengupayakan agar setiap Bank secara individual dapat senantiasa berada dalam keadaan sehat sehingga pada akhirnya Bank mampu menjaga kepercayaan masyarakat sebagai kunci utama dalam bisnis perbankan.Selain bersinergi dengan OJK, Bank Indonesia seharusnya mampu untuk meningkatkan fokus kewajibannya dalam penetapan kebijakan moneter dan dalam pengaturan serta penjagaan kelancaran sistem pembayaran, apalagi setelah satu tugasnya dalam pengaturan dan pengawasan perbankan dilimpahkan ke OJK, tentunya dalam rangka menjaga kestabilan rupiah.Berdasarkan uraian singkat diatas, kami tertarik mengangkat permasalah tersebut untuk dilakukan penelitian dengan judul Dampak Pengalihan Fungsi Pengawasan Bank Indonesia Pasca Diterapkannya Otoritas Jasa Keuangan. B. Rumusan Masalah1. Apa saja dampak positif dan negatif diterapkannya Otoritas Jasa Keuangan?2. Bagaimana perkembangan Bank Indonesia pasca dialihkannya tugas pengawasan Bank kepada OJK?3. Bagaimana menghadapi awal masa transisi Bank Indonesia pasca diterapkannya Otoritas Jasa Keuangan?

C. Tujuan penulisan

Berdasarkan latar belakang maupun rumusan yang telah dijelaskan, tujuan karya tulis ilmiah ini dibuat untuk :1. Mengikuti lomba karya tulis yang diselenggarakan oleh pihak Bank Indonesia.2. Memberikan pengetahuan kepada para pembaca tentang isu-isu yang berkembang di Bank Indonesia pasca diterapkannya pengalihan pengawasan perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan.3. Meningkatkan pemahaman tentang dampak pengalihan pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan.4. Memberikan informasi yang aktual dan terkini mengenai peran Bank Indonesia serta Otorisasi Jasa Keuangan mengenai fungsi pengaturan dan pengawasan.5. Sebagai wahana transformasi pengetahuan mengenai perubahan beberapa peran Bank Indonesia setelah diterapkannya Otorisasi Jasa Keuangan.D. Manfaat penulisan

Manfaat penulisan karya ilmiah bagi penulis yaitu:1. Memperluas cakrawala pengetahuan;2. Sebagai bahan acuan penelitian pendahuluan untuk penelitian selanjutnya;3. Meningkatkan pengorganisasian fakta dan data secara jelas dan sistematis;4. Menumbuhkan etos ilmiah sehingga tidak hanya menjadi konsumen ilmu pengetahuan, tetapi mampu menjadi penghasil pemikiran dan karya tulis dalam bidang ilmu pengetahuan.5. Sebagai bentuk pembuktian potensi dan wawasan ilmiah yang dimiliki dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam bentuk karya ilmiah.BAB IIPEMBAHASAN

A. Dampak Penerapan OJKOtoritas Jasa Keuangan (OJK) menjalankan fungsi pengawasannya dimulai pada tanggal 1 Januari 2013. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan fungsi pengawasan sekaligus melakukan fungsi pengaturan dalam sektor keuangan mulai dari perbankan, pasar modal, asuransi dan lainnya. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan fungsi pengawasan itu tentunya memiliki dampak positif serta dampak negatif. Salah satu contoh dari dampak positif adanya Otoritas Jasa Keuangan ini adalah jika ada salah satu perusahaan asuransi yang terjadi afiliasi dengan Bank ataupun terjadi masalah terhadap perusahaan asuransi tersebut maka peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) inilah yang dapat membantu menyelesaikan dengan cara melakukan pengawasan terhadap perusahaan asuransi dan Bank tersebut agar dampak dari permasalahan tersebut tidak sampai ke Bank.

Bukan hanya sisi positif saja, melainkan sisi negatif terhadap kehadiran Otiritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan merupakan badan pengawasan besar yang dapat membuat birokrasi menjadi tidak efisien. Dengan adanya Otoritas Jasa Keuangan ini maka ditakutkan bila terjadinya birokrasi yang terlalu besar dan tidak bisa dengan cepat terdeteksi. Selain itu, OJK akan mengawasi fungsi perbankan dan otomatis Indonesia mengadopsi sistem regulasi moneter dan mikroprudensial. Seperti kita ketahui bahwa selama ini fungsi pengawasan telah dijalankan oleh Bank Indonesia sehingga ada persepsi yang berhubungan dengan terpusatnya kekuasaan dan regulasi Bank Indonesia serta konflik kepentingan. Karena itulah sebenarnya dengan adanya kehadiran OJK ini bisa mempermudah koordinasi serta pengawasan menjadi lebih efisien. Dalam hal seperti ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) haruslah siap untuk menjalankan fungsi pengawasan perbankan sesuai dengan apa yang ditugaskan.

Sebenarnya keberadaan OJK jadi penting dan perlu. Pasalnya, perkembangan industri jasa keuangan makin mengglobal, disertai munculnya gejala konglomerasi. Mereka melahirkan beragam produk dan jasa keuangan yang makin kompleks dan tak mudah dipahami publik. Pada titik ini, masuk akal kalau kita perlu memperkuat institusi regulator dan pengawas sektor keuangan, agar dapat melindungi nasabah dan publik secara luas seraya memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional. Kesepakatan lain yang terjadi dalam pembentukkan Otoritas Jasa Keuangan adalah OJK memiliki kewenangan sebatas melakukan penyelidikan hingga penyidikan terhadap kasus perbankan dan lembaga keuangan yang dapat merugikan konsumen. Sedangkan OJK tidak memiliki kewenangan dalam hal melakukan penuntutan. Selain itu juga pembentukkan Otoritas Jasa Keuangan sendiri begitu krusial karena menyangkut pembiayaan dan operasional lembaga tersebut, sehingga sempat menguatnya usulan bahwa agar mematikan saja ide OJK. Otoritas Jasa Keuangan sendiri pada awalnya dianggap tidak diperlukan. Dan permasalahan pembentukkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini bisa terselesaikan dengan penyelesaian berupa pembiayaan untuk membentuk Otoritas Jasa Keuangan diberikan melalui APBN. Lalu untuk kedepannya, diharapkan bahwa industri keuangan yang terkait bisa memberikan kontribusinya terhadap pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Disini juga terlihat dampak negatif dari pembentukkan Otoritas Jasa Keuangan yang mana terdapat keraguan atas indepedensi OJK dimana terlihat pembiayaannya yang tidak mandiri. Padahal faktor penting atas keberhasilannya sebagai pengawas jasa sektor keuangan, lembaga ini harus terbebas dari intervensi dan kepentingan pihak manapun. Namun tidak bisa kita pungkiri juga jika dengan pembentukkan Otoritas Jasa Keuangan maka sedikit banyak bisa membantu peranan serta tugas dari Bank Indonesia. Dengan adanya Otoritas Jasa Keuangan, seharusnya pengawasan terhadap Bank serta lembaga keuangan bukan Bank bisa lebih terfokus serta optimal. Dan bukan hanya itu saja tapi kebijakan dibidang moneter dan keuangan lainnya bisa menjadi lebih baik lagi. Inilah yang harus diberikan dari lembaga tersebut karena seluruh fungsi pengawasan kini menjadi lebih terarah setelah berada dalam satu tangan lembaga.

Dapat diharapkan juga bahwa Otoritas Jasa Keuangan bisa menciptakan pengawasan dalam sektor keuangan secara terintegrasi. Ini penting, karena globalisasi sistem keuangan ditambah pesatnya kemajuan teknologi informasi dan inovasi finansial telah menciptakan kompleksitas sistem keuangan, selain menjadi yang dinamis. Tidak kalah pentingnya, pembentukan OJK juga untuk menciptakan lembaga pengawas sektor keuangan independen dan kredibel. Independensi ini penting untuk mencegah benturan kepentingan antara berbagai faktor yang berinteraksi di pasar. Independensi juga diperlukan, agar dapat meminimalisasi potensi intervensi dari pihak manapun. Satu hal, yang patut ditekankan, sebagus apapun regulasi dan pengawasan, tetaplah sangat penting dan menentukan, integritas para pelaku industri perbankan dan nonbank. Ini catatan penting setelah memastikan komisioner OJK dan seluruh perangkatnya bekerja profesional. Artinya, tak ada lagi kemungkinan kongkalikong antara pengawas dan pihak yang diawasi.

Berbagai kasus yang muncul menunjukkan, penyelewengan, atau kejahatan perbankan, tak jarang karena keterlibatan orang dalam. Bercermin dari berbagai kasus yang ada, sangat penting bagi manajemen perbankan atau jasa keuangan lainnya, pintar-pintar dalam rekrutmen dan pemilihan personil. Terutama untuk posisi penting dan menentukan, karena berhubungan dengan risiko dan penanganan kepercayaan masyarakat. Perlu mengetahui latar belakang dan rekam jejak personil yang akan dipilih, atau diangkat dalam posisi menentukan. Meski begitu, tidak ada jaminan orang yang terpilih sudah ideal. Ada banyak kemungkinan orang berubah, bagaimana pun saringan penerimaan diterapkan dan diperketat. Pengawasan internal haruslah berjalan. Itu berarti semua instrumen pendukung, maupun sistemnya, dipastikan sempurna. Segala proses dalam Bank, atau nonbank harus sesuai standar prosedur. Itu artinya, proses cek dan kroscek dilaksanakan, lengkap dengan penerapan reward dan funishment tegas.

Transformasi dari Bank sentral menuju OJK, dan dari masa awal pembentukan OJK hingga perkembangan masa depannya, akan sangat ditentukan oleh naik turunnya efek neto dari analisis benefit dan biaya tersebut. Jika dalam jangka panjang keuntungannya akan lebih besar, pembentukan OJK tentu merupakan keharusan. Dalam konteks negara yang sangat bergantung pada sektor keuangan, analisis biaya dan manfaat akan sangat menentukan. Argumentasi positif bagi regulator tunggal OJK berbeda-beda. Rasionalitas dari terintegrasinya secara nasional regulator jasa keuangan OJK mencerminkan empat pertimbangan utama. Pertama, peningkatan dalam jumlah konglomerat keuangan dan semakin tidak jelasnya batas antara produk keuangan membuat regulasi sektoral menjadi semakin tidak efektif. Di London dalam jangka waktu yang lama hanya terdapat sedikit hambatan pada kebebasan bagi perusahaan keuangan untuk mengakuisisi satu dengan lainnya, melewati batas-batas sektoralnya. Dalam konteks itu, kondisi di Inggris sangat berbeda dengan AS, yang membuat argumentasi bagi regulasi yang terintegrasi semakin menguat di London ketimbang di New York. Kedua, dengan keberadaan regulator tunggal diharapkan akan terjadi skala ekonomis dan cakupan ekonomis dan memberikan kelebihan dalam mengalokasikan sumber dana regulasi yang sangat terbatas secara efisien dan efektif. Ketiga, ada keuntungan dengan membuat regulator tunggal yang memiliki tujuan yang jelas dan konsisten serta tanggung jawab yang juga jelas dan konsisten, dan menyelesaikan setiap pilihan pelik antara tujuan dan tanggung jawab tersebut dalam satu wadah. Keempat, ada argumentasi untuk membuat regulator tunggal menjadi benar-benar akuntabel bagi kinerjanya terhadap tujuan hukumnya, untuk rezim pengaturan, bagi biaya dari regulasi dan bagi kegagalan regulasi di mana mereka terjadi dan mereka akan terjadi.

Sebelumnya, perlu kita tarik ke belakang bagaimana latar belakang OJK ini berdiri serta tujuan dari OJK itu sebenarnya. Ide untuk membentuk lembaga khusus untuk melakukan pengawasan perbankan telah dimunculkan sejak diundangkannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut, disebutkan secara tegas bahwa tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-undang. Ketentuan selanjutnya disebutkan dalam pasal 34 ayat 1 UU No.23 tahun 1999 bahwa pembentukan lembaga pengawasan akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002. Inilah yang kemudian menjadi landasan utama bagi pembentukan suatu lembaga independen untuk mengawasi sektor jasa keuangan. Selain latar belakang yuridis, pembentukan UU OJK dilatarbelakangi oleh kondisi serta perkembangan sistem keuangan yang semakin kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing masing subsektor keuangan, baik dalam hal produk maupun kelembagaan dan kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan sebagai akibat dari konglomerasi pemilikan pada lembaga jasa keuangan. Pemerintah juga melihat bagaimana kurang efektifnya fungsi pengawasan yang dijalankan Bank Indonesia sehingga sering terjadi kasus yang menimpa Bank berkaitan dengan kinerja perbankan maupun moral hazard yang dilakukan oleh nasabah Bank. Seperti contoh kasus dana talangan Bank Century, pembobolan dana nasabah CitiBank, kasus Bank Mega, dan lain lain membuktikan bagaimana masih lemahnya fungsi pengawasan Bank oleh BI sehingga banyak terjadi masalah di Bank yang menimbulkan kerugian, tidak hanya bagi Bank tersebut, tetapi juga negara seperti dalam kasus Century. OJK sendiri dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, yang diwujudkan melalui adanya sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Tujuan berdirinya OJK ini menggambarkan betapa luasnya wewenang dan tanggungjawab OJK, bagaimana tidak hanya pengawasan perbankan tetapi juga keseluruhan sektor jasa keuangan berada pada pengawasan OJK. Wilayah tanggungjawab yang luas ini jugalah yang membuat OJK menjadi elemen penting dalam arah perekonomian nasional, bagaimana efektif atau tidaknya kinerja mereka menentukan perkembangan perekonomian nasional ke depannya.

OJK sebagai Solusi, mungkin dapat kita deskripsikan dari latar belakang fenomena ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini dan tantangan yang menghadang di masa depan. OJK ini patut diapresiasi positif sebagai upaya Pemerintah untuk meningkatkan kinerja fungsi pengawasan sektor keuangan yang selama ini diemban oleh Bapepam LK (Badan Pengawas Pasar Modal) ataupun BI sendiri. Refleksi 15 tahun terakhir menunjukkan masih buruknya kinerja fungsi pengawasan yang dijalankan oleh kedua lembaga tersebut. Isu pertama yang mungkin bisa diangkat adalah bagaimana GCG (Good Corporate Governance) sebagai salah satu idealisme yang saat ini masih sulit ditemui pada perusahaan di Indonesia, tak terkecuali perusahaan publik yang telah listing di BEI. Kasus insider trading pada Bank Central Asia (BCA) dan penggelembungan laba bersih pada PT. Kimia Farma menunjukkan bahwa prinsip GCG ini belum menjadi idealisme perusahaan dalam bersaing di pasar modal. Mengingat perkembangan pasar modal Indonesia yang sangat progresif, dan karakteristik produk pasar finansial yang sangat kompleks, regulator/pengawas pasar modal dituntut lebih responsif dan bekerja efektif melihat pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan dalam pasar modal. Isu kedua adalah bagaimana Indonesia tak pernah lepas dari skandal besar keuangan yang merugikan negara dalam jumlah besar. Kasus BLBI, Skandal Bank Bali, dan Bank Century adalah beberapa contoh makro skandal yang merugikan keuangan negara yang bersumber dari lemahnya kinerja pengawasan BI. Kasus Bank Bali dan BLBI terjadi pada periode 1998-1999, bagaimana ketika itu uang negara digelontorkan dalam jumlah besar, hingga triliunan untuk menyelamatkan kondisi Bank akibat adanya rush. Moral Hazard pun terjadi, triliunan uang disalahgunakan untuk kepentingan konglomerat, dan semua itu dilatarbelakangi bagaimana lemah dan tidak tanggapnya pengawasan BI pada Bank-Bank bermasalah itu sehingga merugikan negara hingga triliunan rupiah. Skandal Century pun lahir dari cuci tangan dan kerancuan cakupan pengawasan antara BI maupun Bapepam menyikapi sekuritas abal-abal dari PT Antaboga Sekuritas. Berikutnya adalah bagaimana kita melihat tantangan ke depan, bagaimana ketidakpastian kondisi perekonomian di masa depan akan selalu membayangi. Perkembangan perbankan dan pasar modal yang semakin terintegrasi menuntut fungsi pengawasan yang lebih baik. Perkembangan produk finansial secara progresif, tumbuhnya Q3, Q4, dengan jaminan aset yang semakin minim menuntut kesigapan regulator dan pengawas, dan disinilah OJK dapat hadir sebagai lembaga super-regulatory body, independen dan mengawasi secara terintegrasi antara perbankan dan sektor jasa keuangan lain, sebagai solusi, lebih baik dari yang sebelumnya.

Dalam beberapa bulan terakhir ini, salah satu isu di bidang perbankan yang sering mendapat sorotan publik ialah mengenai transisi atas pembentukan serta pemilihan pimpinan dari OJK. Tampak jelas bahwa sekumpulan elite nasional berebut kursi dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebagaimana diketahui, OJK adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan yang independen dan mengawasi antara lain industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Namun demikian, perlu dipahami bahwa sesungguhnya pembentukan lembaga sejenis OJK ini sudah banyak dipraktekkan di Negara lain dan berbagai studi dan riset perbandingan menunjukkan bahwa pembentukan OJK tidak membawa dampak signifikan terhadap kehidupan perbankan dan keuangan. Mengapa Negara-negara yang telah membentuk OJK justru membubarkannya? Untuk mengetahuinya, mari kita lihat efektivitas penerapan OJK atau FSA (Financial Supervisory Agency) di beberapa Negara di bawah ini :

INGGRIS :

Efektivitas OJK di Inggris sangat kurang, oleh karena Inggris yang menjadi pionir pembentukan lembaga sejenis OJK justru mengalami kegagalan. Sebagaimana diketahui, pembentukan OJK di Inggris dilatar belakangi oleh kasus jatuhnya beberapa bank, seperti Neal Banker dan Baring Bank sampai dengan penutupan 12 bank lain. Tepatnya pada 1 Juni 1998 dibentuklah OJK di Inggris yang dinamakan Financial Supervisory Agency (FSA). FSA ini kemudian mengemban tugas melaksanakan kegiatan pengawasan terhadap lembaga keuangan, termasuk perbankan. Kasus Northern Rock Bank pada September 2008 menjadi bom waktu yang menjadi bukti kegagalan FSAdi negara ini. Perlu diketahui bahwa kejatuhan Northern Rock Bank kemudian diikuti intitusi keuangan lain, seperti Bradford Bingley dan Royal Bank of Scotland Lloyds. (Saat ini FSA telah dibubarkan dan fungsi pengawasan bank akhirnya dikembalikan lagi ke Bank of England.)

JEPANG :

Di Jepang, pengalihan fungsi pengawasan kepada The Financial Supervision Agency (FSA) telah dilakukan sejak 22 Juni 1998. Sementara, Bank of Japan (BOJ) hanya menangani kebijakan, perumusan sistem moneter, dan implementasinya. Untuk mengetahui kondisi perbankan secara akurat dan cepat, BOJ melakukan on site examination dengan pendekatan risk based supervision terhadap lembaga keuangan dan perbankan di negara itu. Berbagai informasi tentang kondisi keuangan lembaga keuangan yang diperoleh BOJ tersebut sangat bermanfaat bagi BOJ, baik dalam hal menjaga stabilitas payment dan financial settlement system di Jepang maupun dalam hal perumusan kebijakan moneter. Hingga saat ini, kinerja FSA di Jepang belum efektif, dibuktikan karena hingga saat ini masih dihantui resiko sistemik yang tinggi,dan penerapan prinsip prudensial yang belum ketat.

AUSTRALIA :

Seperti Inggris, Negara ini memiliki Australian Prudential Regulation Authority (APRA) sejak 1 Juli1998. Tahun 2001, tiga tahun setelah APRA berdiri, konglomerat asuransi terbesar kedua di Australia (yaitu grup HIH) bangkrut karena miss management keuangan. APRA kemudian mengakui kegagalannya dalam mendeteksi dan mencegah kebangkrutan tersebut tidak lepas dari minimnya waktu untuk menuntaskan transfer di atas, termasuk penyempurnaan sistem pengawasannya.

KOREA :

Di Korea, Financial Supervisory Service (FSS) dipimpin oleh seorang Gubernur, yang juga merangkap Gubernur Komisi Jasa Keuangan bertanggung jawab kepada pemerintah. Tatanan seperti ini ternyata banyak menimbulkan banyak persoalan independensi dan kerancuan koordinasi dengan otoritas moneter.

OJK dipandang sebagai polusi, barangkali inilah yang harus menjadi catatan dari Pemerintah mengingat banyak hal juga berpotensi menjadi sisi negatif yang timbul apabila OJK ini berdiri. Sudah banyak sekali diskusi dari berbagai disiplin ilmu, menyoroti sisi negatif OJK ini dari berbagai aspek hukum, ekonomi, politik, dan lain lain. Namun semua diskusi publik itu menyoroti hal yang sama yaitu mempertanyakan esensi dari pembentukan OJK Itu sendiri. Yakinkah kita dengan OJK menjadi lebih baik? Setidaknya kita dapat berkaca dari pembentukan lembaga serupa di negara lain dan juga kesesuaian kondisi negara yang cocok untuk didirikan OJK. Melihat dengan latar belakang serupa dengan Indonesia untuk kemudian mendirikan lembaga pengawasan, dan struktur perekonomian Inggris yang lebih kokoh, Indonesia patut waspada tentang keberadaan OJK ini ke depannya. Gagal di Negara Maju, Bagaimana di Negara Berkembang? pertanyaan itu harus dijadikan catatan, bahan koreksi, dan meningkatkan kesigapan bagaimana menyikapi fenomena buruk yang akan terjadi. Selain itu, struktur keuangan dan industry finansial Indonesia yang masih didominasi oleh aset perbankan juga menjadi alasan esensi pentingnya OJK itu sendiri, karena integrasi perbankan dan pasar modal itu sendiri dapat dilakukan ketika produk dari kedua pasar tersebut sudah cukup berkembang dan kompleks. Pertimbangan secara yuridis juga dipertanyakan bagaimana prinsip hukum perbankan kehati-hatian, menjaga rahasia nasabah, akan berbenturan dengan prinsip hukum pasar modal yang menjunjung keterbukaan. Banyak alasan lain yang dapat diurai sebagai argument kontra menentang keberadaan OJK itu sendiri seperti sistem pengawasan Bank yang memungut fee dari Bank tersebut, tudingan tangan asing dan agenda IMF dibalik pembentukan, berpotensi memunculkan lahan baru korupsi dengan potensi aset tanggungan hingga 7.000 triliun, dan kekhawatiran munculnya konflik kultur antara karyawan BI dan Bapepam yang akan disatukan dalam OJK tersebut, hingga diskriminasi nyata pada sector keuangan mikro dan syariah yang tidak dijelaskan maupun diatur dalam UU OJK tersebut. Semua argument bermuara pada satu suara ketidakyakinan akan keberadaan OJK mampu membawa perekonomian lebih baik.

Bagaimanapun juga OJK telah dibentuk dan disahkan sebagai sebuah lembaga independen, pihak yang mengemban fungsi pengawasan Bank dan jasa keuangan lainnya. Pertentangan akan hadirnya OJK di Indonesia mungkin tak berguna dalam bentuk sebuah aksi, penolakan mentah-mentah, tetapi bagaimana forum kontra OJK ini didesain untuk memberi masukan, catatan penting, dan kritik serta saran akurat dan tajam bagaimana OJK ini ke depannya, sistem pengawasan yang dikembangkan seperti apa, dan bagaimana OJK ini mampu menjawab semua pandangan keraguan akan hadirnya OJK. Selain itu, satu hal yang dapat menjadi kunci bagaimana OJK ini bisa memberi perubahan positif adalah pentingnya komunikasi, serta konsolidasi antar elemen/pelaku dalam sektor keuangan. Transisi pengambil alihan fungsi pengawasan OJK ini hendaknya dilakukan konsolidasi berbagai pihak, perbankan, asuransi, industri keuangan syariah, pasar modal, dan lain-lain. Masa penyesuaian (transisi) ini penting untuk menentukan sukses OJK ke depannya. Tak lupa, yang terakhir bagaimana OJK ini mampu tak hanya menjadi penjagasector keuangan Indonesia dari potensi krisis, tetapi juga mampu menjadi jembatan interaksi dinamis dari sektor riil dan keuangan nasional. Apabila peran ini mampu dijalankan, tak diragukan lagi, layaknya sebuah bangunan, OJK ini mampu menjadi fondasi kokoh, memperkuat struktur perekonomian nasional.

Berbagai masalah senantiasa terus menghampiri Indonesia berkaitan dengan kondisi perekonomi nasional. Salah satu elemen yang berkaitan dengan kondisi perekonomian nasional adalah masalah sistem keuangan dan kegiatan industri jasa keuangan lain. Masalah ini timbul merupakan dampak dari globalisasi dan kemajuan teknologi yang berujung pada kompleksitas sistem keuangan. Pertumbuhan perekonomian yang pesat tidak lepas dari perkembangan sistem keuangan yang semakin canggih. Secara global, pentingnya stabilitas sistem keuangan dalam perekonomian didorong oleh empat hal, yaitu pertumbuhan sektor keuangan yang lebih besar dibandingkan dengan sektor riil, integrasi sistem keuangan global dan regional, kompleksitas sistem keuangan dan perubahan komposisi dalam proses sistem keuangan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dimana komposisi aset nonmoneter menjadi lebih penting (Houben, 2004). Disamping itu, adanya lembaga keuangan yang lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsector lain menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga lembaga keuangan di dalam sistem keuangan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka diperlukan suatu model pengawasan yang berfungsi mengawasi segala macam kegiatan industri keuangan tersebut. Setiap model pengawasan memang memiliki keunggulan dan kelemahan masing masing.bahkan di dunia ini belum ada sebuah model pengawasan industry keuangan yang sempurna. Tetap saja setiap model pengawasan memiliki celah untuk lahirnya suatu penyimpangan.

Di Indonesia, Bank diatur dan diawasi oleh BI, sedangkan perusahaan sektor keuangan nonbank diatur dan diawasi oleh Bapepam-LK. Kelebihan dari model ini adalah bahwa masing-masing otoritas menjadi lebih fokus dalam mengatur dan mengawasi industrinya. Namun, model ini juga memiliki kekurangan, manakala terjadi suatu aktivitas yang sifatnya bersinggungan. Bila koordinasi tidak terjalin dengan baik, model ini berpotensi menimbulkan celah yang dapat dimanfaatkan pelaku industri untuk melakukan (aji mumpung) atau moral hazard. Buruknya mutu pemeriksaan atas lembaga keuangan itu tecermin dari krisis keuangan 1997-1998 yang sangat mahal biayanya bagi perekonomian nasional. Pemeriksaan dan pengawasan lembaga keuangan tersebut tak mampu mendeteksi potensi krisis. Setelah BLBI, terus terjadi krisis lanjutan, termasuk kasus Bank Bali (1998) dan Bank Century (2008). Keterkaitan kegiatan PT Antaboga Delta Sekuritas, PT Century Mega Investindo, dan PT Century Super Investindo dengan PT Bank Century yang tak terpantau Bapepam-LK dan BI menggambarkan kurangnya koordinasi dan pertukaran informasi antar-kedua lembaga pengawas. Ketiga perusahaan reksa dana dan sekuritas itu dimiliki pemilik Bank Century dan digunakan untuk merongrong Bank ini. Belakangan terungkap, perusahaan itu tak punya surat izin operasi dari Bapepam-LK. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka munculah gagasan untuk mendirikan suatu lembaga pengawasan yang mandiri, yang dinamai Otoritas Jasa Keuangan.

Keunggulan OJK lainnya adalah sistem ini mempunyai koordinasi untuk antisipasi krisis global yang terjadi sekarang. Dia juga meyakini, dampak krisis di Eropa akan terasa tiga sampai empat bulan lagi di Indonesia. Kelebihan OJK yang kedua adalah adanya perlindungan nasabah atau konsumen yang telah diatur secara eksplisit. Selain itu, adanya koordinasi antara OJK, otoritas moneter, pemerintah dan LPS. Hal ini pun telah diatur dalam UU OJK. Beberapa kekurangan UU OJK diantaranya adalah terbatasnya cakupan OJK pada Bank, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan Lembaga Keuangan Non-Bank (LKNB). Rimawan menyayangkan, OJK tidak mencakup pada koperasi simpan pinjam, lembaga keuangan, mikro dan BMPT. Kekurangan lainnya adalah adanya pemisahan microprodensial yang dipegang OJK dan macroprudential di sektor perbankan yang dipegang oleh Bank Indonesia (BI).

Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa kelemahan dan kelebihan dari adanya Otorisasi Jasa Keuangan adalah, sebagai berikut:

Kelemahan dan Kelebihan dari Otorisasi Jasa Keuangan 1. Kelemahan Kewenangan OJK dalam hal pengaturan, pengawasan, dan pemeriksaan terhadap sektor jasa keuangan sangat luas. Kewenangan tersebut meliputi pengaturan dan pengawasan terhadap Perbankan, Perasuransian, Pasar Modal, Dana Pensiun, dan Lembaga Keuangan lainnya. Selain fungsi pengawasan dan pengaturan tersebut, OJK juga diberi kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran yang etrjadi pada sektor jasa keuangan. Kewenangan OJK yang sedemikian luasnya tersebut akan menimbulkan permasalahan birokrasi yeng semakin berbelit-belit dan kurang tanggapnya OJK (kurang peka) terhadap permaslaahan yang timbul pada salah satu sektor jasa keuangan.2. Kelebihan Kewajiban koordinasi OJK sudah diatur secara tegas di dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 Tenteng Otoritas Jasqa Keuangan. Dalam UU No 21 tahun 2011 tenteng Otoritas Jasa Keuangan sudah diatur secara tegas mengenai hubungan kelembagaan yang lain, yaitu dengan Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan dan Kementerian Keuangan. OJK, Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan wajib memebangun dan memelihara dan mengembangkan sarana pertukaran informasi sesuai denga tugas dan kewenangannya secara terintegrasi, dalam artian bahwa sistem yang dibangun OJK, Bank Indonesia dan LPS saling terhubung satu sama lain, sehingga setiap institusi dapat saling bertukar informasi dan mengakses informasi dan mengakses informasi perbankan yang dibutuhkan setiap saat. Informasi tersebut meliputi informasi umum dan khusus tentang Bank, laporan keuangan Bank, laporan hasil pemeriksaan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia, LPS atau OJK dan informasi lain dengan tetap menjaga dan mempertimbangkan kerahasiaan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Struktur Dewan Komisioner OJK mencerminkan sistem check and balances dalam melaksanakan tugas. Dewan Komisioner OJK bersifat kolektif dan kolegial, maksudnya adalah bahwa pada setiap proses pengambilan keputusan Dewan Komisioner diputuskan secara bersama-sama oleh Dewan Komisioner dan dalam pengambilan keputusan tersebut didasarkan pada musyawarah untuk mufakat dengan berasaskan kesetaraan dan kekeluargaan diantara anggota Dewan Komisioner. Mekanisme pengawasan internal dalam OJK dengan bentuk diskusi antar anggota dewan komisioner yang eksekutif dan non-eksekutif tersebut mencerminkan check and balances dalam pelaksanaan tugas dari OJK itu sendiri.

Berdasarkan kelemahan dan kelebihan yang dimiliki oleh OJK, maka dampak positif dan negatif OJK bagi Bank Indonesia yaitu sebagai berikut:

1. Dampak NegatifDalam pembentukan OJK berarti telah memangkas salah satu kewenangan Bank Indonesia, yaitu dalam fungsi pengawasann terhadap perbankan umum di Indonesia. Pemisahan wewenang tersebut berarti Bank Indonesia sudah tidak punya hak pengawasan lagi. Akibatnya, perbankan umum sudah tidak tunduk lagi terhadap kebijakan yang dibuat oleh Bank Indonesia.Selain itu juga dengan pembentukan OJK yang dianggap sebagai organisasi independen pengganti dengan mengambil alih fungsi pengawasan Bank Indonesia akan membuat Bank Indonesia terpojok karena akan bertambah dianggap gagal dalam pelaksanaan tugasnya sebagai Bank sentral dalam pelaksanaan tugas pengawasan terhadap sektor perbankan. 2. Dampak PositifSelama ini, fungsi pengawasan perbankan dijalankan oleh Bank Indonesia sehingga ada persepsi mengenai terpusatnya kekuasaan dan regulasi di Bank Indonesia serta nkonflik kepentingan. Oleh karena itu, kehadiran OJK dapat mempermudah koordinasi dan pengawasan di sektor perbankan menjadi lebih efisien.B. Perkembangan Bank Indonesia pasca dialihkannya tugas pengawasan Bank kepada OJKSaat ini Bank Indonesia sedang mereposisi perannya karena adanya lembaga baru yaitu Otorisasi Jasa Keuangan sehingga peranan Bank Indonesia saat ini perlu ditingkatkan dalam konteks pengembangan ekonomi. Bank Indonesia memindahkan fungsi pengawasan Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam kondisi perbankan yang sehat dengan aturan yang tepat. Bank Indonesia dan Otorisasi Jasa Keuangan telah melakukan koordinasi dengan sangat baik, tidak hanya mengenai persoalan pengalihan sumber daya manusia, tetapi juga berkaitan dengan pengalihan dokumen, data dan sistem informasi maupun daerah-daerah. Setelah terjadinya pengalihan tugas pengawasan dari Bank Indonesia kepada lembaga independen Otorisasi Jasa Keuangan berlangsung dengan lancar, maka proses bisnis dari Bank Indonesia tetap berjalan sebagaimana biasanya dan masyarakat khususnya nasabah dapat tetap melakukan kegiatan transaksi dengan perbankan sebagimana ketika pengawasan dilakukan oleh Bank Indonesia. Dengan adanya pengalihan tugas pengawasan dari Bank Indonesia kepada Otorisasi Jasa Keuangan ini maka diharapkan kedepannya fungsi pengawasan terhadap lembaga keuangan dapat dilakukan secara lebih terintegrasi untuk mendukung terciptanya sistem keuanganyang makin stabil dan kokoh. Bank Indonesia dan Otorisasi Jasa Keuangan akan senantiasa bekerja sama dalam menjalankan tugas sehingga diharapkan dapat diperolehnya keseimbangan yang sesuai dengan kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial dalam menjaga kestabilitasan sistem keuangan. Langkah yang diambil oleh Bank Indonesia setelah pengalihan tugas kepada Otorisasi Jasa Keuangan dalah menambah fungsi yang baru yaitu dengan memfokuskan perbankan pada kebijakan, pengaturan dan pengawasan makroprudensial. Pengawasan secara makroprudensial dilakukan untuk mewujudkan sistem keuangan yang stabil dan berkualitas. Agar semakin optimal untuk mencapai kestabilan sistem keuangan maka akan dikoordinasikan oleh forum koordinasi sistem keuangan yang beranggotakan Departemen Keuangan RI, Lembaga Penjamin Simpanan, Bank Indonesia, dan Otorisasi Jasa Keuangan.Dengan adanya fungsi baru tersebut, maka Bank Indonesia akan memperkuat fungsinya yang lain dalam mendukung pencapaian tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai, menjaga, dan memelihara kestabilan dari nilai rupiah itu sendiri. Penguatan yang dilakukan Bank Indoensia antara lain adalah dalam bidang penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Bank Indonesia akan mengoptimalkan peran Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) melalui koordinasi dengan segenap elemen daerah. Dan tidak hanya itu saja, pada bidang sistem pembayaran sendiri, Bank Indonesia akan berupaya untuk mewujudkan kemandirian Indonesia dalam memfasilitasi transaksi keuangan di masyarakat sampai kepelosok negeri. Bank Indonesia juga menyebutkan bahwa tetap akan menjalin koordinasi dengan Otorisasi Jasa Keuangan dan melakukan komunikasi secara produktif dalam pengawasan terhadap perbankan termasuk perbankan syariah. Kedepannya juga Bank Indonesia dan Otorisasi Jasa Keuanngan akan membangun sinergi yang kuat antar lembaga keuangan syariah karena lembaga keuangan syariah tidak hanya Bank tetapi juga pasar modal, pasar uang, garansi, dan lain-lain sehingga akan memberikan kontribusi yang sangat besar kepada perkembangan perekonomian nasional. Bank Indonesia menjelaskan bahwa mereka akan melakukan fungsi pengawasan dalam bidang makroprudensial sedangkan Otorisasi Jasa Keuangan akan melakukan fungsi pengawasan dalam bidang mikroprudensial. Namun, aspek dari makroprudensial dan mikroprudensial ini tidak bisa dipisahkan karena akan ada area yang saling berkaitan dan bersinggunggan satu sama lainnya sehingga Bank Indonesia danOtorisasi Jasa Keuangan akan tetap menjalin komunikasi dan melakukan koordinasi agar tidak terjadi kesalahan komunikasi.C. Awal Masa Transisi Bank Indonesia Pasca Diterapkannya Otoritas Jasa Keuangan

Awal masa transisi Bank Indonesia dimulai sejak fungsi pengawasan dialihkan ke lembaga yang dibentuk secara khusus mengawasi lembaga keuangan yaitu Otoritas Jasa Keuangan. Pada masa ini akan timbul kekhawatiran akan terjadi tumpang tindih (overlapping) dalam pelaksanaan kebijakan pengawasan makroprudensial yang dibuat oleh BI dan kebijakan pengawasan miroprudensial rancangan OJK. Kemungkinan terjadinya overlapping antara BI dan OJK tersebut akan berpengaruh pada respons kebijakan yang mungkin akan lebih lambat. Overlapping aturan merupakan salah satu kekhawatiran yang muncul akibat perpindahan wewenang pengawasan perbankan OJK yang juga dinilai dapat melemahkan efektivitas kebijakan yang ada.Selain itu akan timbul pula kemungkinan terjadinya rivalitas antara BI dengan OJK. BI akan tetap mempunyai wewenang memeriksa perbankan kendati OJK sudah mengambil fungsi tersebut namun dalam konteks makroprudensial. Terkait hal tersebut, bukan tidak mungkin BI jadi dianggap sebagai institusi kelas dua dibawah OJK dan kondisi itu tentunya akan mempengaruhi efektifitas kebijakan BI. Selain kedua hal di atas, satu hal lagi yang berpotensi menjadi kekhawatiran yakni adanya arbritrage (perbedaan) ketentuan antara BI dan OJK mengenai suatu hal. Transisi pengawasan perbankan dari BI kepada Otoritas Jasa Keuangan akan memasuki tahap paling krusial pada tahun 2013.Untuk menghadapi masa masa krusial ini setiap permasalahan yang timbul hendaknya harus diidentifikasi yang selanjutnya dikaji dan dianalisa. Selanjutnya diperlukan pula pertimbangan prinsip-prinsip untuk melakukan reformasi dan reorganisasi lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, yaitu independensi, terintegrasi, dan menghindari benturan kepentingan. Selain itu diperlukan koordinasi yang baik antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dalam fungsi pengawasan terhadap lembaga keuangan di Indonesia. Dalam hal pengawasan OJK pada industri keuangan, baik bank maupun non-bank berada pada satu atap atau sistem pengawasan terpadu, sehingga sistem pengawasan bisa bertukar informasi antara bagian pengawas bank dan non-bank yang telah ada di Indonesia sebelumnya. Sistem pengawasan terpadu dapat meminimalisasi kemungkinan berbenturannya koordinasi antar lembaga. Jika ada berbagai lembaga pengawas dalam satu sistem keuangan, akan bnyak tantangan yang harus dihadapi salah satunya adalah memastikan koordinasi antar lembaga-lembaga agar terciptanya konsistensi dalam menentukan suatu kebijakan atau menentukan siapa yang bertanggung jawab atas suatu kebijakan tersebut. Dalam proses pengawasan terpadu ini membutuhkan undangundang baru, tetapi memungkinkan menjadi kesempatan untuk kepentingan tertentu di sektor keuangan dalam membatasi proses efektifitas aturan dan pengawasan. Dengan adanya proses pengawasan terpadu akan berbenturan dengan sistem pengawasan sektoral yang sudah ada sebelumnya. Hal ini dapat menjadi kendala yang besar dalam proses pengawasan terpadu. Salah satu cara dalam mengatasi masalah tersebut adalah dengan mencabut aturan pengawasan sektoral dan melakukan pembentukan pengawasan terpadu. Tetapi yang perlu diperhatikan, dalam hal ini jangan sampai proses pembentukan aturan baru dapat di manfaatkan dan di gunakan oleh kepentingankepentingan tertentu.Dalam sistem pengawasan terpadu terdapat dua persoalan penting mengenai perubahan tata kelola yang akan dihadapi menuju sistem pengawasan terpadu yang di inginkan. Kegagalan dalam mengatasi persoalan tersebut, secara efektif akan mengurangi kemampuan lembaga pengawasan yang baru dalam kewenangannya melakukan pengawasan. Kedua persoalan tersebut adalah :1. Kesepakatan mengenai pemindahan pegawai dari lembaga pengawasan yang lama ke lembaga pengawasan yang baru. Dalam hal ini ketika sudah ada beberapa lembaga pengawas dan kemudian digabungkan menjadi satu lembaga pengawas akan memunculkan ketegangan antar keduanya. Untuk mencegah hal tersebut dapat dilakukan dengan cara pemindahan pegawai dari lembaga yang lama ke lembaga pengawas yang baru, tetapi harus di sertai dengan kesepakatan antar dua lembaga untuk meninjau dan menempatkan kedudukan ulang para pegawai dan juga membentuk struktur pengawasan yang teratur agar tidak terjadi benturan atau persaingan antar pegawai yang sebelumnya bekerja di lembaga yang berbeda.2. Perubahan budaya kerja, di setiap lembaga pengawas yang berbeda tentunya memiliki suatu budaya kerja yang beda pula. Budaya kerja dalam hal ini telah terjadi suatu kebiasaan yang di sebabkan oleh beberapa faktor seperti tata kelola dari masingmasing lembaga dan pendekatan umum pengawasan terhadap lembaga keuangan.Untuk itu dengan adanya penggabungan menjadi satu lembaga pengawas harus di ciptakan budaya kerja yang mencakup dari setiapsetiap lembaga pengawas yang sudah ada sebelumnya.Selain sinergi dengan OJK, BI tentu seharusnya mampu untuk meningkatkan fokus kewajibannya dalam penetapan kebijakan moneter dan dalam pengaturan serta penjagaan kelancaran sistem pembayaran, apalagi setelah satu tugasnya dalam pengaturan dan pengawasan perbankan dilimpahkan ke OJK, tentunya dalam rangka menjaga kestabilan rupiah.BAB IIIPENUTUP

A. KesimpulanBank Indonesia merupakan Bank sentral yang ada di Indonesia. Bank Indonesia memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian di Indonesia. Bukan hanya itu saja, Bank Indonesia memiliki tugas yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999. Tugas Bank Indonesia anatara lain menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mewajibkan penyelenggarakan jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya, serta mengatur dan mengawasi Bank. Otorisasi Jasa Keuangan adalah suatu lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Otorisasi Jasa Keuangan merupakan lembaga independen dan didirikan untuk menggantikan peran Bapepam. Otorisasi Jasa Keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal dan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Bank Indonesia sebelumnya memiliki tugas untuk melakukan pengawasan terhadap Bank, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Namun, karena telah terbentuknya Otorisasi Jasa Keuangan maka tugas pengawasan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia harus dialihkan kepada lembaga independen yaitu Otorisasi Jasa Keuangan. Dan ketentuan tersebut bersifat mengikat Bank Indonesia maupun Otorisasi Jasa Keuangan. Namun Bank Indonesia masih memiliki sedikit peran untuk melakukan pengawasan terhadap Bank. Pengawasan yang dilakukan secara bersamaan oleh Bank Indonesia dan Otorisasi Jasa Keuangan memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mewujudkan kestabilan sistem perekonomian Indonesia. Bank Indonesia sendiri sebenarnya meragukan terbentuknya Otorisasi Jasa Keuangan karena dianggap tidak relevan karena tidak adanya struktur pengawasan yang menjamin sistem perbankan yang sehat atau mencegah krisis keuangan. Bank Indonesia juga meningkatkan fokus kewajiban mereka dalam melakukan penetapan kebijakan moneter dan mengatur serta menjaga kelancaran sistem pembayaran. Sedangkan Otorisasi Jasa Keuangan sendiri memfokuskan kewajiban mereka dalam menjalankan tugas nya dalam melakukan pengawasan terhadap perbankan yang ada di Indonesia. Pasca terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan, maka tugas Bank Indonesia adalah menjaga stabilitas moneter dan mengatur sistem pembayaran. Selanjutnya untuk melaksanakan tugas menjaga stabilitas moneter dan menjaga sistem pembayaran, maka Bank Indonesia sebagai bank sentral bukan hanya mengawasi bank, tetapi juga dapat mengawasi pasar modal dan lembaga keuangan non bank. Hal ini yang selama ini tidak pernah dilakukan oleh Bank Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk meyakinkan ada atau tidaknya resiko terganggunya stabilitas sistem keuangan. Sebagai bank sentral, Bank Indonesia juga berperan sebagai lender of the last resort. Dalam hal ini apabila terdapat bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membutuhkan pinjaman, maka Bank Indonesia bertugas memberikan bantuan pinjaman dalam bentuk Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP). Akan tetapi setelah pengaturan dan pengawasan perbankan dilakukan oleh OJK maka yang mengetahui dan menguasai informasi kondisi perbankan adalah OJK. Selanjutnya OJK akan melaporkan pada BI tentang kondisi bank yang memerlukan bantuan. Tentu saja BI tidak dapat secara cepat memutuskan untuk memberikan FPJP, akan tetapi terlebih dahulu akan melakukan konfirmasi dan peninjauan ulang. Hal ini berpotensi kurang efektifnya peran BI sebagai lender of the last resort.

Sebagai lembaga yang bertugas menjaga sistem pembayaran dan mengatur kebijakan moneter, maka Bank Indonesia menjaga kestabilan nilai rupiah. Salah satu instrumen yang dapat digunakan oleh BI adalah menentukan tingkat suku bunga acuan (BI Rate), giro wajib minimum, ketentuan devisa, dan ketentuan kredit.Pelaksanaan pengaturan kebijakan moneter yang dijalankan oleh BI harusnya dapat bekerja secara efektif. BI Rate hendaknya direspon secara langsung oleh kalangan perbankan, sehingga berpengaruh terhadap masyarakat khususnya sektor riil. Masalahnya adalah selama ini pergerakan BI rate tidak serta merta diikuti oleh pergerakan bunga simpanan dan bunga kredit. Ini terjadi pada saat BI masih berwenang untuk mengatur dan mengawasi perbankan. Hal yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai pada saat fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan pindah ke OJK, fungsi ini menjadi semakin tidak efektif.Selain itu, OJK sering kali dipandang sebagai polusi, barangkali inilah yang harus menjadi catatan dari Pemerintah mengingat banyak hal juga berpotensi menjadi sisi negatif yang timbul apabila OJK ini berdiri. Sudah banyak sekali diskusi dari berbagai disiplin ilmu, menyoroti sisi negatif OJK ini dari berbagai aspek hukum, ekonomi, politik, dan lain-lain. Namun semua diskusi publik itu menyoroti hal yang sama yaitu mempertanyakan esensi dari pembentukan OJK Itu sendiri. Yakinkah kita dengan OJK menjadi lebih baik? Setidaknya kita dapat berkaca dari pembentukan lembaga serupa di negara lain dan juga kesesuaian kondisi negara yang cocok untuk didirikan OJK. Kita bisa belajar dari Inggris yang telah gagal dalam pembentukan lembaga serupa OJK. Berlatarbelakang serupa, dengan mencuatnya kasus jatuhnya beberapa bank, seperti Neal Banker dan Baring Bank sampai dengan penutupan 12 bank lain, Inggris kemudian membentuk lembaga baru yang menggantikan tugas Bank of England (BoE) yaitu Financial Supervisory Agency (FSA). FSA kemudian mengemban tugas melaksanakan kegiatan pengawasan terhadap lembaga keuangan, termasuk perbankan. Setelah sekitar 12 tahun beroperasi, FSA masih saja terkendala pada masalah internal, khususnya yang berkaitan dengan proses merger sembilan otoritas pengawasan yang tidak kunjung selesai. Kasus Northern Rock pada September 2008 menjadi bom waktu yang menjadi bukti kegagalan FSA di negara ini. Apalagi, kejatuhan Northern Rock kemudian diikuti intitusi keuangan lain, seperti Bradford Bingley dan Royal Bank of Scotland Lloyds. Melihat dengan latar belakang serupa dengan Indonesia untuk kemudian mendirikan lembaga pengawasan, dan struktur perekonomian Inggris yang lebih kokoh, Indonesia patut waspada tentang keberadaan OJK ini ke depannya. Gagal di Negara Maju, Bagaimana di Negara Berkembang? pertanyaan itu harus dijadikan catatan, bahan koreksi, dan meningkatkan kesigapan bagaimana menyikapi fenomena buruk yang akan terjadi. Selain itu, struktur keuangan dan industry finansial Indonesia yang masih didominasi oleh aset perbankan juga menjadi alasan esensi pentingnya OJK itu sendiri, karena integrasi perbankan dan pasar modal itu sendiri dapat dilakukan ketika produk dari kedua pasar tersebut sudah cukup berkembang dan kompleks. Pertimbangan secara yuridis juga dipertanyakan bagaimana prinsip hukum perbankan kehati-hatian, menjaga rahasia nasabah, akan berbenturan dengan prinsip hukum pasar modal yang menjunjung keterbukaan. Banyak alasan lain yang dapat diurai sebagai argument kontra menentang keberadaan OJK itu sendiri seperti sistem pengawasan bank yang memungut fee dari bank tersebut, tudingan tangan asing dan agenda IMF dibalik pembentukan, berpotensi memunculkan lahan baru korupsi dengan potensi aset tanggungan hingg 7.000 triliun, dan kekhawatiran munculnya konflik kultur antara karyawan BI dan Bapepam yang akan disatukan dalam OJK tersebut, hingga diskriminasi nyata pada sector keuangan mikro dan syariah yang tidak dijelaskan maupun diatur dalam UU OJK tersebut. Semua argument bermuara pada satu suara ketidakyakinan akan keberadaan OJK mampu membawa perekonomian lebih baik.B. SaranSaran yang kami buat ini adalah hasil dari analisis maupun pembuatan karya tulis ini yang kami kerjakan. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa saran yang kami berikan yaitu:1. Agar tidak terjadi overlapping aturan kebijakan antara Bank Indonesia dan OJK, maka kedua belah pihak harus saling menjaga komunikasi dengan baik, serta saling mendukung satu sama lain agar terciptanya keadaan yang harmonis diantara keduanya.

2. Kedua belah pihak, baik Bank Indonesia maupun OJK harus menghindari rasa iri atas tugas yang telah diberikan. Serta menjauhi sikap keraguan satu sama lain.

3. Struktur BI dan OJK yang telah ada dipertahankan. BI yang telah memiliki tenaga ahli pengawasan dan teknologi meningkatkan transparansi dalam hal pengawasan, terutama transparansi pelanggaran. Di lain pihak, OJK diharapkan terus membangun sistem pengawasan lembaga keuangan nonbank yang mapan.4. BI dan OJK membangun sistem informasi sebagai sarana koordinasi dan penyusunan kebijakan bersama. Sistem informasi tersebut menjadi prioritas utama untuk menghindari risiko krisis yang timbul karena kegagalan antisipasi dan miskoordinasi lembaga pengawas.5. BI dan OJK, maupun BI dan Kementrian Keuangan hendaknya menyusun kebijakan koordinasi. Koordinasi kedua lembaga ditujukan untuk kemanfaatan masyarakat secara keseluruhan tanpa ada insentif untuk mengutamakan kepentingan masing-masing lembaga.

Karya Tulis Bank Indonesia1