BERMAIN, CERITA, DAN MENYANYI (BCM) DALAM …
Transcript of BERMAIN, CERITA, DAN MENYANYI (BCM) DALAM …
57
BERMAIN, CERITA, DAN MENYANYI (BCM) DALAM PEMBELAJARAN
BAHASA ARAB
Dr. Hanik Mahliatussikah, M.Hum.
Universitas Negeri Malang
Abstrak: bahasa merupakan ketrampilan. Untuk menguasai bahasa tertentu,
seseorang dituntut untuk banyak berlatih menggunakan bahasa tersebut, baik secara
reseptif maupun produktif. Pembelajaran bahasa bagi penutur asing memerlukan
metode tertentu untuk memudahkan belajar. Aktivitas pembelajaran yang banyak
melibatkan panca indra atau anggota tubuh dipercaya mampu memberikan
pemerolehan bahasa lebih maksimal dibanding hanya mendengarkan atau hanya
melihat semata. Semakin banyak indra yang terlibat, maka semakin banyak pula
ingatan siswa terhadap bahasa yang dipelajari. Di antara metode yang banyak
melibatkan aktivitas indra adalah metode bermain, bernyanyi, dan bercerita. Ketiga
metode inilah yang dianjurkan penerapannya dalam pembelajaran bahasa Arab, baik
pembelajaran unsur-unsur bahasa maupun pembelajaran ketrampilan berbahasa.
Dengan ketiga metode ini, diharapkan siswa akan memperoleh bahasa secara
alamiah atau semi alamiah.
Kata Kunci: bermain, bernyanyi, bercerita,
Pendahuluan
Anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara cepat, baik aspek fisik
maupun aspek psikologis. Pertumbuhan menurut Kartono (1995) dalam bukunya
psikologi anak adalah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan
fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak yang sehat, dalam
peredaran waktu tertentu. Sedangkan perkembangan diartikan sebagai perubahan-
perubahan psiko-fisik sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan
fisik pada anak, ditunjang oleh faktor-faktor lingkungan dan proses belajar dalam
peredaran waktu tertentu menuju kedewasaan.
Perkembangan anak bergantung pada beberapa faktor, yaitu (1) keturunan, (2)
lingkungan yang menguntungkan atau yang merugikan, (3) Kematangan fungsi-fungsi
organis dan psikis, dan (4) Aktivitas anak sebagai subjek bebas yang berkemauan,
memiliki kemampuan seleksi, bisa menolak atau menyetujui, memiliki emosi, dan
berusaha membangun diri sendiri.
Menyikapi faktor penentu perkembangan anak di atas, maka setidaknya ada tujuh
aspek perkembangan anak yang harus dibina, yaitu perkembangan (1) gerakan motorik
kasar, (2) motorik halus, (3) komunikasi yang pasif, (4) komunikasi aktif, (5)
kecerdasan, yang meliputi daya ingat dan daya tangkap, (6) kemampuan menolong diri
sendiri, dan (7) tingkah laku sosial, yaitu tingkah laku yang mencerminkan kemampuan
hidup berdampingan dengan orang lain. Ketujuh aspek ini perlu mendapatkan
perhatian dari orangtua dan guru agak anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Dalam rangka memaksimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut,
metode pembelajaran untuk anak pun di arahkan pada faktor-faktor yang bisa
meningkatkan perkembangan anak, baik perkembangan motorik, komunikasi,
kecerdasan, maupun perkembangan kemampuan individu dan sosial. metode
pembelajaran yang dimaksud adalah Bermain, Cerita, dan Menyanyi (BCM).
Ketiga metode tersebut terbukti dapat secara efektif digunakan dalam
pembelajaran bahasa. Hal ini karena bermain, cerita dan menyanyi dapat menimbulkan
kesenangan. Siswa akan melakukannya dengan perasaan senang tanpa paksaan dan
58
tekanan. Ilmu yang diberikan melalui metode ini akan masuk ke benak mereka karena
ilmu diajarkan sesuai dengan dunia mereka. Kebutuhan peserta didik terhadap aktivitas
bermain, bernyanyi dan bercerita ini seperti kebutuhan manusia pada refresing setelah
capek bekerja (Al-Fauzan, 2002: 29, 42).
Permainan: pengertian, manfaat, dan langkah-langkahnya
Sudono (2000) memberikan batasan mengenai bermain sebagai suatu kegiatan
yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan
maupun mengembangkan imajinasi pada anak. Tanda dari kegiatan bermain itu adalah
tertawa. Rasa senang biasanya ditandai dengan tertawa. Menurut Sully (dalam
Tedjasaputra, 2001), suatu kegiatan dikatakan bermain jika tujuan kegiatan tersebut
untuk mendapatkan kesenangan semata. Jika permainan tersebut diarahkan untuk
mendapatkan prestasi sebagaimana bermain bola yang dipertandingkan, maka tergolong
bekerja. Kegiatan bekerja lebih mementingkan hasil akhir. Adapun permainan lebih
mengutamakan proses. Namun demikian, kedua hal ini sulit dibedakan karena dalam
permainanpun kadang diarahkan untuk mendapatkan prestasi tertentu.
Berdasarkan penelitian, ditemukan beberapa ciri kegiatan bermain, yaitu (1)
dilakukan dengan motivasi intrinsik, (2) anak yang terlibat dalam bermain diliputi
emosi-emosi positif dan memiliki nilai bagi anak, (3) lebih mementingkan proses
daripada hasil akhir, (4) anak bebas memilih, dan (5) terdapat kualitas pura-pura
(Tedjasaputra, 2001). Dengan demikian, bermain adalah kegiatan yang berlangsung
dengan menyenangkan karena dilakukan dengan motivasi sendiri tanpa paksaan
sehingga muncul imajinasi-imajinasi baru sebagai dunianya.
Bermain sambil belajar merupakan aktivitas penting dalam pembelajaran untuk
anak. Dikatakan penting karena pembelajaran dengan metode bermain sesuai dengan
minat dan tahap perkembangan anak. Permainan adalah satu kegiatan yang tidak bisa
terlepas dari kehidupan anak-anak. Segala aktivitas yang ditujukan untuk anak selalu
dibarengi dengan permainan, baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan
keluarga.
Bagi anak, bermain adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Dengan
bermain anak akan belajar dengan senang, tanpa terpaksa, dan tanpa merasa bahwa ia
sebenarnya telah belajar. Pemerolehan pengetahuan seperti inilah yang akan lebih
melekat pada diri anak-anak dibanding dengan pembelajaran yang tanpa permainan.
Metode permainan ini diakui para ahli memiliki peran penting dalam membantu
pertumbuhan dan perkembangan anak. Pendapat ini juga disepakati oleh badan asosiasi
pendidikan untuk anak-anak. Melalui permainan akan berkembang kognisi, emosi, dan
fisiknya. Bermain memiliki manfaat bagi perkembangan anak, baik aspek fisik,
motorik, sosial, emosi, kognisi, ketajaman pengindraan, dan pengembangan ketrampilan
olah raga dan menari (Mahliatussikah, 2003).
Belajar dengan bermain akan memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk
memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, bereksplorasi, mempraktekkan
dan mendapatkan bermacam-macam konsep serta pengertian yang tidak terhitung
jumlahnya. Dengan bermain, anak tidak merasa dipaksa atau terpaksa. Melalui bermain,
anak dapat memetik berbagai manfaat bagi perkembangan aspek fisik-motorik,
kecerdasan dan sosial emosional (Tedjasaputra, 2001). Permainan bahasa merupakan
aktivitas yang membuat siswa saling membantu dan saling berkompetisi untuk
mencapai tujuan pembelajaran (Abdul Aziz, 1404H: 13). Permainan merupakan
kegiatan bebas terbimbing yang melibatkan aktivitas fisik, baik dilakukan secara
59
individu maupun kelompok, serta banyak melibatkan kemampuan fisik, pikiran,
gerakan badan dan terasa ringan untuk dilakukan karena adanya dorongan internal serta
tidak merasa kecapekan (Syawahin, 2008: 1). Dengan bermain itu, siswa akan berlatih
menggunakan bahasa yang sedang dipelajari dalam berbagai situasi alamiah atau semi
alamiah (Abdul Aziz, 1401H:11)
Hughes (dalam Sudono, 2000), menegaskan bahwa bermain merupakan
pengalaman belajar yang berharga bagi anak karena dapat meningkatkan daya
kreativitas dan citra diri anak yang positif. Unsur-unsur yang merupakan daya
kreativitas adalah kelancaran, fleksibilitas, pilihan, orisinil, elaborasi dengan latihan
menjawab, luwes dalam menerima beragam beragam jawaban, mampu memilih
beragam jawaban yang paling tepat dan tidak menyontek. Permainan juga menimbulkan
motivasi untuk bekerja dengan baik sehingga akan terjadinproses belajar sampai
menghasilkan produk. Proses ini menurut munandar disebut 4P (pribadi, pendorong,
proses, dan produk).
Anak akan merasa gembira dan semakin percaya diri jika dalam sebuah
permainannya dapat menemukan penyelesaian yang tuntas. Unsur mampu menemukan
sendiri ini merupakan aspek penting bagi anak. Rasa percaya diri bahwa “aku bisa”
dapat membentuk citra yang positif. Permainan yang menyenangkan juga akan
meningkatkan aktivitas sel otak mereka. Keaktifan sel otak akan membantu
memperlancar proses pembelajaran anak. Pengalaman-pengalaman dalam permainan
merupakan dasar dari berbagai tingkat perkembangan dan dapat membantu
meningkatkan kemampuan anak.
Pada usia kanak-kanak, fungsi bermain mempunyai pengaruh besar sekali bagi
perkembangannya. Jika pada orang dewasa sebagian besar dari perbuatannya diarahkan
pada pencapaian tujuan dan prestasi dalam bentuk kegiatan KERJA, maka kegiatan
anak sebagian besar berbentuk aktivitas BERMAIN. Ada beberapa teori yang
menjelaskan arti serta nilai permainan, yaitu Teori rekreasi, pemunggahan, atavistis,
biologos, psikologi, dan fenomenologis.
Teori rekreasi yang dikembangkan oleh Schaller dan Lazarus (Jerman)
menyatakan bahwa permainan itu sebagai kesibukan rekreatif, sebagai lawan dari
KERJA dan keseriusan hidup. Teori pemunggahan yang dikemukakan Herbert Spencer
(Inggris) menyatakan bahwa permainan itu disebabkan oleh mengalir-keluarnya energi,
yaitu tenaga yang belum dipakai dan menumpuk pada diri anak yang menuntut untuk
dimanfaatkan. Teori ini disebut pula sebagai teori “kelebihan tenaga”. Permainan
merupakan katup pengaman bagi energi vital yang berlebih-lebihan. Adapun teori
atavistis yang dikemukakan oleh Stanley Hall (Amerika) dengan pandangannya yang
biogenetis menyatakan bahwa selama perkembangannya, anak akan mengalami semua
fase kemanusiaan. Permainan itu merupakan penampilan dari semua faktor hereditas
(waris, sifat keturunan), yaitu segala pengalaman jenis manusia sepanjang sejarah akan
diwariskan kepada anak keturunannya.
Teori biologis yang dikemukakan oleh Karl groos (Jerman) menyatakan bahwa
permainan itu mempunyai tugas biologis, yaitu melatih macam-macam fungsi jasmani
dan rokhani. Waktu-waktu bermain merupakan kesempatan baik bagi anak untuk
melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan hidup dan terhadap HIDUP itu sendiri.
Adapun menurut teori teori psikologi dalam, permainan merupakan penampilan
dorongan-dorongan yang tidak disadari pada anak-anak dan orang dewasa. Ada dua
dorongan yang paling penting pada diri manusia, yaitu dorongan berkuasa sebagaimana
pendapat . Adler dan dorongan seksual atau libido sexualis sebagaimana pendapat
60
Freud. Menurut Adler, permaianan memberikan pemuasan atau kompensasi terhadap
perasaan-perasaan diri-lebih atau superior. Dalam permainan tadi juga bisa disalurkan
perasaan-perasaan yang lemah dan perasaan-peraaan rendah hati atau inferior. Adapun
teori fenomenologis yang dikemukakan Kohnstamm (Belanda) menyatakan bahwa
permainan merupakan satu fenomena/gejala yang nyata, yang mengandung unsur
suasana permaianan. Dorongan bermain merupakan dorongan untuk menghayati
suasana bermain itu. Yakni, permainan tidak khusus bertujuan untuk mencapai prestasi-
prestasi tertentu, akan tetapi anak bermain untuk permainan itu sendiri. Jadi tujuan
permainan ialah permainan itu sendiri. Dalam suasana permainan itu terdapat faktor
kebebasan, harapan, kegembiraan, unsur ikhtiar, dan siasat untuk mengatasi hambatan
serta perlawanan.
Ringkasnya, menurut teori fenomenologis permainan mempunyai arti dan nilai
bagi anak yaitu (1) sarana penting untuk mensosialisasikan anak. Yaitu sarana untuk
menjadikan anak sebagai anggota suatu masyarakat, agar anak bisa mengenal dan
menghargai masyarakat manusia. Dalam suasana permainan itu tumbuhlah rasa
kerukunan yang sangat besar artinya bagi pembentukan sosial sebagai manusia budaya,
(2) dengan permainan dan situasi bermain anak bisa mengukur kemampuan serta
potensi sendiri. (3) dalam situasi bermain anak bisa menampilkan fantasi, bakat-bakat,
dan kecenderungannya. (4) di tengah permainan itu setiap anak menghayati macam-
macam emosi. Dia merasakan kegairahan dan kegembiraan; dan tidak secara khusus
mengharapkan prestasi-prestasi. Dengan demikian, permainan mempunyai nilai yang
sama besarnya dengan nilai seni bagi orang dewasa.
(5) permainan itu menjadi alat-pendidikan, karena permainan bisa memberikan
rasa kepuasan, kegembiraan dan kebahagiaan kepada diri anak. (6) permainan
memberikan kesempatan pra-latihan untuk mengenal aturan-aturan permainan,
mematuhi norma-norma dan larangan, dan bertindak secara jujur sreta loyal. Semua ini
untuk persiapan bagi penghayatan “fair play” dalam pertarungan hidup di kemudian
harinya.(7) dalam bermain anak belajar menggunakan semua fungsi kejiwaan dan
fungsi jasmaniah dengan suasana-hati kesungguhan. Hal ini penting guna memupuk
sikap serius dan bersungguh-sumgguh pada usia dewasa untuk mengatasi setiap
kesulitan hidup yang dihadapi sehari-harinya.
Bentuk permainan bisa kita bagikan dalam 3 kelompok yaitu: permainan
gerakan, memberi bentuk, dan ilusi. Frobel berpendapat, bahwa permainan bisa
memberikan pada anak kesempatan bergiat untuk memuaskan dorongan sibuk dan
melaksanakan/merealisir fantasinya. Frobel mementingkan unsur-unsur fantasi,
kegembiraan dan kebebasan, untuk waktu “sekarang”, di dalam setiap permainan. Maria
montessori paling mengutamakan kegiatan melatih pancaindera dan semua fungsi-
fungsi. Jika frobel lebih menekankan perkembangan anak pada saat sekarang dengan
jalan bergembira, berfantasi dan main dalam kebebasan, maka montessori lebih
menekankan kegiatan melatih fungsi-fungsi untuk persiapan KERJA di masa
mendatang.
Langkah-langkah utama yang bisa diambil setiap pendidik dan orang tua dalam
aktivitas bermain adalah (1) jangan mengganggu anak-anak yang tengah bermain
dengan keasyikannya. Jika terpaksa sekali, usiklah sesedikit mungkin, (2) yang penting
ialah bukannya jenis dan mahalnya alat permainan, akan tetapi berikan kesempatan
bermain yang cukup kepada anak untuk bergembira dan melatih diri, (3) memberikan
ruang bermain yang cukup luas. (4) dengan memberikan kesempatan bermain yang
kreatif, secara tidak langsung kita bisa mencegah dorongan untuk merusak dan berbuat
61
kriminil, (5) bentuk permainan yang paling ideal, terutama sekali bagi anak-anak yang
masih sangat muda, (6) dengan bertambahnya usia anak hendaknya disamping unsur
suasana permainan yang menyenangkan ditambahkan pula dimensi kerja/kesibukan
yang bermanfaat.
Bermain merupakan alat pelepas emosi, dapat mengembangkan rasa percaya diri
dan kemampuan sosial. Pelaksanaan permainan dapat dilakukan dengan bentuk
bermain bebas tanpa ikatan dan peraturan dan dapat juga dilakukan dengan terpimpin,
yaitu terikat pada peraturan tertentu yang sdh ditetapkan. Permainan ini dapat dilakukan
di dalam kelas (in door) dan di luar kelas (out door). Permainan ada yang bersifat
permainan kecerdasan, seperti puzzle dan adapula yang bersifat rekreatif seperti tepuk
tangan atau hentak kaki (Depag, 2000).
Penerapan Permainan dalam Pembelajaran Bahasa Arab
Dalam pembelajaran bahasa Arab, permainan dapat diterapkan dalam
pembelajaran unsur-unsur bahasa serta dalam pembelajaran ketrampilan berbahasa.
Dalam pembelajaran mufradat misalnya, siswa dituntut untuk bisa melafalkan huruf
dengan benar dan fasih serta memahami artinya dan mengetahui derivasinya serta
penggunaannya dalam kalimat.
Contoh permainan yang mendukung kemampuan ini adalah (1) drama gerak,
yaitu siswa mempraktekkan gerakan sesuai arti kosa kata, misalnya berdiri, duduk,
menulis, menyetrika dan lain-lain, (2) menggunakan gambar atau lukisan sesuai dengan
kosa kata ayang dipelajari, (3) tangga makna, digunakan untuk belajar nama-nama hari,
bulan, berhitung dan lain-lain yang menunjukkan bilangan atau jenjang, (4) kebalikan
dan kesamaan (Dzul Hannan, 2012: 2-6).
Dalam pembelajaran ketrampilan berbahasa, metode bermain juga dapat
diterapkan. Pembelajaran istima` misalnya bertujuan agar siswa mampu menirukan
secara langsung, mampu menghafal apa yang telah didengar kemudian mampu
meringkas ide-ide pokok serta pendalaman dan pemahaman Abdul Majid Al-Arabi,
1981:69-74). Berkaitan dengan tujuan tersebut maka permainan yang cocok adalah (1)
bisik berantai, yaitu siswa baris ke belakang dangan jarak satu meter. Kemudian
guru/dosen mengumpulkan ketua regu untuk diberi kalimat atau cerita. Masing-masing
regu membisikkan teks tersebut ke teman pada baris berikutnya dan teman tersebut
akhirnya membisikkan ke teman yang ada di belakangnya dan begitu seterusnya sampai
terakhir. Siswa yang paling akhir kemudian menuliskan hasil pendengarannya dan di
bacakan di depan kelas. Kemudian teks yang pertama kali diperdengarkan oleh ketua
regu juga dibacakan, sehingga akan diketahui apakan apa yang dibaca oleh siswa
pertama dan siswa terakhir tersebut memiliki kesamaaan.
(2) perintah bersyarat, yaitu pemain melakukan sesuatu seperti yang ada dalam
perintah yang dikuti oleh pasword tertentu yangharus dikatakan oleh pemain sebelum
melaksanakan perintah. (3) siapa yang berbicara, yaitu seorang guru menyampaikan
dialog, kemudian siswa diminta menjawab pertanyaan man al-mutahaddits. (4)
bagaimana aku pergi. Guru meminta siswa untuk menunjuk jalan yang akan menuju
pada suatu tempat tertentu dan kemudian ditanya, bagaimana pergi ke sana (kaifa
nadzhab?).
Dalam pembelajaran ketrampilan berbicara, permainan dapat dilakukan sesuai
tujuan ketrampilan ini, yaitu di antaranya untuk (1) penyampaian ucapan selamat dan
tatacara menjawabnya, (2) penyampaian perintah, arahan, petunjuk, (3) pelafalan angka,
bilangan serta penggunaannya secara benar, (4) praktek dialog bersama teman dengan
62
pelafalan yang benar, (5) menyebutkan ide-ide pokok dan menjelaskan peristiwa yang
berlangsung, serta tema-tama yang sesuai dalam berbagai bidang dengan irama bahasa
Arab yang benar, (6) menjelaskan sesuatu secara lisan dengan dibantu media yang
canggih, (7) menjelaskan kondisi yang berkaitan dengan individu, kelompok, dan
kejadian pada jam-jam tertentu secara lisan sesuai dengan nada dan intonasi yang benar
(Jafim, 2010).
Adapun jenis permainan yang cocok untuk pembelajaran ketrampilan kalam
adalah (1) aina ana. Guru mempraktekkan gerakan tertentu yang merupakan aktivitas,
misalnya minum, naik sepeda, naik mobil, menjawab telp, sms, berjalan, berlari,
memanjat, dan seterusnya kemudian guru bertanya: aina ana, man ana, wa madza
a`mal. (2) shunduq al-Asy-yaa`. Guru memasukkan tangannya ke dalam kotak, di dalam
kotak berisi berbagai benda sesuai yang diajarkan dan para siswa yang ditunjuk
menebak apa yang dipegang oleh guru. Guru bertanya: madza fii yadii. (3) maa asy-
syai` guru memperkenalkan berbagai benda yang telah disiapkan di depannya dan
mendeskripsikan benda tersebut, kemudian siswa diminta untuk mendeskripsikan
beberapa benda tersebut sebagaimana yang telah dilakukan oleh guru. (4) madzaa
a`mal. Permainan ini cocok untuk mihnah, dilakukan secara berpasangan, di awali
dengan pertanyaan hal, misalnya hal huwa mumarridhah, hal ta`mal kulla yaum, hal
ta`mal kulla shabah, hal tuhibbul amal dan begitu seterusnya. (5) fikrah bi duuni al
kalam. Metode permainannya sama dengan madza a`mal, tetapi tidak harus mihnah, dan
deskripsinya lebih luas dan kalimatnya lebih banyak, bisa tentang berbagai tema dan
tidak sekedar mihnah. (6) hal taraa bi sur`ah. Guru mengenalkan gambar yang
bertuliskan kosa kata di bawahnya secara cepat kemudian segera menutupnya. Siswa
mendeskripsikan gambar tersebut (Abdul Aziz 1401 H; Wargadinata, 2007). (7) inda
thabibil asnan/ di klinik dokter gigi. Bermain peran sebagai dokter dan pasien yang
kesakitan pada giginya. Bermain peran ini kemudian dapat juga dikembangkan oleh
guru tidak sekedar di dokter gigi saja, tetapi dapat diperluas untuk berbagai situasi lain
sesuai materi yang disampaikan.
Adapun untuk pembelajaran Qiraah, sebagaimana pembelajaran ketrampilan
berbahasa yang lain tetap mengacu pada tujuan pembelajaran yang di antaranya adalah
untuk menciptakan dan memotivasi siswa untuk berani membaca. Permainan bisa
dikaitkan dengan macam-macam membaca, seperti membaca cepat, membaca keras,
dan membaca diam. Permainan juga bisa diarahkan pada tujuan khusus membaca,
misalnya latihan memahami teks yang di baca, pemerolehan ketrampilan membaca,
penemuan ide pokok dari hasil bacaan, pengungkapan kembali hasil bacaan, atau latihan
pelafalan yang fasih dan benar secara gramatika. Permainan yang juga cocok untuk
pembelajaran Qiraah adalah: permainan angka, permainan panjat tangga, dan permainan
domino, permainan dadu, permainan berputar, dan permainan peran kondektur
(Muhammad Amin, 2013: 125-127).
Terdapat pula permainan lainnya yang cocok untuk pembelajaran qiraah, yaitu
(1) cerita pendek (al-Qish-shah al-Qashirah). Guru memberikan teks cerita pendek dan
siswa diminta membacanya. Bagi yang mampu membaca dengan benar, dialah
pemenangnya. (2) antonim (al-kalimah almutadhadah), yaitu guru menunjukan sebuah
kata dan siswa menyebutkan kata yang merupakan kebalikan dari kata tersebut, (3) uji
pengetahuan (ikhtabir ma`lumataka), yaitu guru memberikan pertanyaan atau teka-teki
kata dan siswa diminta menjawabnya. (4) bi ar-ramzi faqad, Guru menunjukkan
gambar atau simbul yang menggambarkan kata-kata atau ide atau kemudian siswa
menjelaskannya. (5) al-kalimah al-gharibah takhruju, yaitu siswa mencari kata-kata
63
yang sulit yang terdapat dalam daftar kata kemudian mencari maknanya, dengan diawali
mencari posisi kata tersebut dalam kalimat, kemudian mencari dalam kamus atau
melalui pertanyaan ke teman.
Adapun untuk pembelajaran menulis (kitabah) terdapat beberapa permainan
yang dapat diterapkan. Ketrampilan menulis ini bertujuan untuk mentransformasikan
pikiran dan perasaan penulis kepada pembaca. Di antara contoh permainan yang cocok
untuk pembelajaran kitabah adalah mencari huruf yang hilang dan mencari kata yang
hilang kemudian menuliskanya, teka teki silang, menulis sesuai gambar, mengurutkan
kata menjadi kalimat, mengurutkan kalimat menjadi alenia, mewarnai tulisan,
permainan huruf hijaiyah; mengurutkan dan menuliskannya, serta meringkas. Adapun
contoh-contoh permainan dalam pembelajaran bahasa, pembaca dapat membaca buku
1000 Permainan Penyegar Pembelajaran Bahasa Arab (2006).
Metode Cerita dalam pembelajaran
Cerita merupakan suatu metode yang menarik dalam pembelajaran bahasa
khususunya untuk anak. Mempelajari bahasa dengan metode cerita dapat meningkatkan
keterampilan menyimak siswa. Kegiatan pembelajaran metode cerita dapat berupa
membacakan cerita (Reading Stories), bercerita tanpa teks (Story Telling) dan juga
membuat cerita (Creating Stories). Cerita adalah deskripsi dari suatu kejadian atau
peristiwa tentang seseorang atau suatu peristiwa yang dapat disampaikan dengan cara
membacakan teks cerita kepada anak (Reading stories) dan mendongeng atau bercerita
tanpa teks (Story Telling). Tak hanya anak usia sekolah dasar, anak yang lebih tua pun
senang untuk mendengarkan dan menikmati cetita. Keterampilan menyimak dapat
dipadukan dengan keterampilan bercerita, setelah menyimak suatu cerita siswa dapat
diminta untuk menulis, meringkas, atau menceritakan kembali cerita dengan bahasa
mereka sendiri. Dengan demikian metode bercerita mampu meng-cover empat
keterampilan bahasa yaitu menyimak cerita (istima`), membaca cerita (qiraah), setelah
itu siswa didminta menjawab pertanyaan secara tertulis (kitabah) atau menceritakan
kembali secara lisan (kalam).
Cerita merupakan sarana yang efektif untuk pembelajaran bahasa (Abdul Majid
Al-Arabi, 1981: 39 ). Cerita merupakan pengalaman bahasa yang nyata. Seperti halnya
dengan lagu, cerita dapat dikategorikan sebagai cerita yang bertujuan untuk menghibur
atau membuat senang pendengarnya.tetapi juga dapat berdasar tujuan lain, misalnya
memberikan pesan yang dapat dipakai sebagai nasihat atau pelajaran yang baik bagi
orang lain. Cerita seperti ini memiliki unsur pendidikan atau memberi contoh yang baik.
Sarana cerita ini dapat membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir,
memperbanyak kosa kata dan gaya bahasa, serta membiasakan mereka untuk latihan
mendengar yang baik, mendalami pemahaman materi. Cerita juga merupakan saran
yang bagus untuk mendorong siswa suka membaca dan menelaah (Ibrahim, 2002:372).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan bila kita
menggunakan media cerita sebagai bahan untuk kegiatan pembelajaran, di antaranya:
(1) Apabila cerita dimaksudkan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, guru
hendaknya memilih cerita dengan pengulangan-pengulangan kosakata atau pola
kalimat ang menjadi tujuan pembelajaran.
(2) Cerita untuk anak sebaiknya berorientasi pada hal-hal yang menarik perhatian anak,
misalnya cerita tentang binatang, tentang orang yang disayangi, tentang kegiatan
anak.
64
(3) Isi cerita mudah dipahami siswa dengan alur cerita tidak terlalau rumit dan cerita
tidak terlalu panjang. Oleh sebab itu, cerita sebaiknya disesuaikan dengan usia dan
tingkat kemampuan berbahasa siswa.
(4) Guru dapat membacakan cerita dengan menggunakan alat bantu ajar berupa
Puppets, Gambar, Kaset Rekaman atau Bigbook.
(5) Cerita sebaiknya dipadukan atau ditindak lanjuti dengan kegiatan lain, seperti teka-
teki silang, kuis, bernyanyi atau bermain peran.
(6) Kata kunci, tokoh dan fokus dalam cerita diperkenalkan terlebih dahulu agar siswa
lebih mudah memahami isi cerita (Suyanto, 2008).
Pada umunya, langkah penyajian cerita sebagai berikut:
(1) Pembukaan, dengan kata-kata “pada suatu hari dzaata yaumin …”
(2) Pengenalan pelaku dalam cerita dengan menyebut nama, memperkenalkan Puppet
atau gambar pelaku.
(3) Menyebut tempat dan waktu kejadian.
(4) Guru melafalkan nama tokoh dan kata-kata kunci lalu siswa diminta melafalkan.
(5) Menyampaikan peristiwa utama bagian demi bagian, bisa diulang-ulang dalam
bentuk pertanyaan pada siswa, hal ini bertujuan untuk mengecek pemahaman siswa.
(6) Memberi kesimpulan pada akhir cerita sebagai penutup.
(7) Penutup dapat dapat berbentuk pertanyaan pada siswa tentang isi cerita atau minta
siswa melanjutkan isi cerita menurut pendapat mereka masing-masing.
Dalam bercerita, guru dapat menggunakan reading stories. Guru bercerita
dengan bantuan buku atau Big books yang dipegang atau diletakkan diatas meja, kursi
atau sebuah alat penyangga khusus. Biasanya, pada saat membaca guru menggunakan
sebuah alat petunjuk (stick) untuk menunjuk kalimat yang sedang dibaca. Guru
membaca sebagian, diulangi lagi, dan bertanya pada siswa untuk mengetahui apakah
paham atau dapat mengikuti alur cerita.
Guru membaca tidak terlalu cepat dan apabila perlu berhenti sebentar, baru
dilanjutkan membaca lagi. Selanjutnya, guru mengajukan pertanyaan untuk mengetahui
pemahaman siswa tentang isi atau alur cerita. Pada saat itu, guru dapat berhenti sebelum
selesai membaca, untuk melihat apakah siswa bisa mengikuti cerita tersebut.
Guru juga dapat bercerita tanpa buku (taqdimul qish-shah). Guru bercerita
dengan alat bantu Puppets atau gambar yang digantung di papan. Guru memanfaatkan
intonasi, gerakan tangan, demonstrasi, dan mimik wajah pada waktu dia bercerita. Pada
saat bercerita, guru dapat secara bebas menambah kata, mengubah atau mengulang
kalimat atau ungkapan yang dianggap penting.
Sebaiknya, peragaan dilakukan berulang-ulang agar siswa lebih mudah
memahami alur cerita. Pengulangan dapat berbenuk pertanyaan atau melanjutkan
kalimat guru yang belum selesai. Kegiatan ini guru tidak membaca teks, tetapi
menyampaikan isi cerita yang sudah dihafalkan sebelumnya. Dalam kegiatan ini, siswa
bisa bisa dilibatkan, misalnya diminta menerka atau meneruskan cerita sesuai dengan
daya kreasi mereka.
Dalam kegiatan bercerita tanpa membaca teks, guru dituntut benar-benar
menguasai alur cerita dan pelaku-pelakunya. Dengan mengguanakan stick puppets
sesuai pelaku cerita, guru dapat berinteraksi dengan anak-anak didiknya, bahkan anak-
anak senang sekali bila mereka ikut terlibat langsung. Bercerita memiliki tujuan, antara
lain untuk melatih keterampilan menyimak dan untuk melatih pemahaman mereka
dalam mengikuti kegiatan istima`.
65
Guru juga dapat menciptakan cerita. Kegiatan lain yang berkaitan dengan cerita
adalah kegiatan yang dapat dilakukan untuk membuat dongeng atau wacana bersama-
sama dengan siswa. Kegiatan membuat cerita bisa dilakukan secara individual atau
berkelompok. Membuat cerita bertujuan mendorong siswa untuk menulis tanpa merasa
takut berbuat salah, terutama belajar menulis pada tahap awal. Selain itu, juga untuk
menggali potensi siswa tentang pengalaman-pengalaman pribadi dan ide-idenya.
Metode bercerita merupakan salah satu metode yang benyak dipergunakan di
Taman Kanak-kanak. Metode bercerita merupakan salah satu metode pembelajaran
yang dapat memberikan pengalaman belajar bagi anak. Cerita yang dibawakan guru
secara lisan harus menarik, dan mengundang perhatian anak dan tidak lepas dari tujuan
pendidikan bagi anak TK (Moeslichatoen R, 1996). Meskipun cerita ini dinyatakan
banyak digunakan untuk pembelajaran usia kanak-kanak, namun bukan berarti tidak
cocok untuk usia dewasa. Media cerita juga cocok untuk siswan dewasa. Sarana ini
dapat menimbulkan rasa rindu membaca, membuat siswa lebih sadar dan
memperhatikan, serta dapat memperbaiki jiwa dan melembutkan rasa. Cerita juga
merupakan sarana untuk menguatkan hafalan dan ingatan. Ia memberikan pengaruh
terhadap perilaku dan akhlak karena biasanya pembaca akan meniru tokoh-tokoh baik,
tokoh hero, tokoh protagonis yang ada dalam cerita. Cerita dapat digunakan guru untuk
sarana pembelajaran membaca, baik membaca keras maupun membaca diam (
Muhammad Ali dan Al-Ummah, 2011: 399).
Dalam bercerita haruslah memperhatikan hal-hal berikut ini.
1. Isi cerita haruslah terkait dengan dunia kehidupan siswa.
2. Kegiatan mereka diusahakan dapat memberikan perasaan gembir, lucu, dan
mengasikkan sesuai dengan dunia kehidupan anak yang penuh suka cita.
3. Kegiatan bercerita harus diusahakan menjadi pengalaman bagi siswa yang bersifat
unik dan menari, yang menggetarkan perasaan anak, serta dapat memotivasi anak
untuk mengikuti cerita itu sampai tuntas.
Untuk dapat bercerita dengan baik, guru sebaiknya memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Menguasai isi cerita secara tuntas
2. Memiliki keterampilan bercerita
3. Berlatih dalam irama dan modulasi suara secara terus-menerus
4. Menggunakan perlengkapan yang menarik perhatian anak
5. Mencptakan situasi emisional sesuai dengan tuntutan cerita
Kemampuan guru bercerita dengan baik harus didukung dengan cerita yang baik
pula. Kriteria pemilihan cerita adalah sebagai berikut.
1. Cerita itu harus menarik dan memikat perhatian guru. Kalau cerita itu menarik dan
memikat perhatian, maka guru akan bersungguh sungguh dalam menceritakan
kepada anak secara mengasikkan.
2. Cerita itu harus sesuai dengan kepribadian anak, gaya dan bakat anak, supaya
memiliki daya tarik terhadap perhatian anak dan terlibat aktif dalam kegiatan
bercerita.
3. Cerita itu harus sesuai dengan tingkat usia anak dan kemampuan mereka untuk
mencerna isi cerita. Cerita itu harus cukup pendek, dalam rentangan jangkauan
waktu perhatian anak.
66
Berkaitan dengan penyampaian cerita, terdapat beberapa macam teknik bercerita
yang dapat dipergunakan. Berikut ini akan dibahas teknik-teknik yang bisa digunakan
oleh guru dalam membacakan cerita:
1. Membaca langsung dari buku cerita Bercerita dengan membacakan langsung dari buku cerita dapat dilakukan jika
guru memiliki buku cerita yang sesuai dengan anak, terutama dikaitkan dengan
pesan-pesan yang tersirat di dalam cerita tersebut.
2. Bercerita dengan menggunakan iliustrasi gambar dari buku Teknik bercerita dengan menggunakan ilustrasi gambar dari buku ini dapat dipilih
guru jika cerita yang akan disampaikan pada anak terlalu panjang terinci.
Penggunaan ilustrasi gambar dapat menarik perhatian anak, sehingga teknik
bercerita ini akan berfungsi dengan baik.
3. Menceritakan dongeng Mendongeng merupakan suatu cara untuk meneruskan warisan budaya yang
berupa nilai-nilai luhur dari satu generasi ke generasi yang berikutnya.
4. Bercerita dengan menggunakan papan flanel Teknik bercerita ini dapat dipilih jika guru ingin menekankan urutan cerita serta
karakter tokoh cerita. Untuk keperluan tersebut, guru dapat membuat papan flanel
dengan melapisi seluas papan dengan kain flannel yang berwarna netral.
5. Bercerita dengan menggunakan media boneka Pemilihan bercerita dengan menggunakan boneka akan tergantung pada usia dan
pengalaman anak. Boneka yang digunakan akan mewakili tokoh-tokoh cerita yang
disampaikan.
6. Dramatisasi suatu cerita Teknik bercerita dengan dramatisasi seperti ini adalah bercerita dengan cerita
memainkan perwatakkan tokoh-tokoh dalam suatu cerita yang disukai anak dan
merupakandaya tarik yang bersifat universal (Gordon, Browne, dalam
Moeslichatoen R, 1996). Cerita yang disampaikan adalah cerita yang disukai oleh
anak.
7. Bercerita sambil memainkan jari-jari tangan Bercerita dengan teknik ini memungkinkan guru berkreasi dengan mengguanakn
jaritangnnya sendiri. Guru dapat menciptakan bermacam-macam cerita dengan
memainkan jari tangan, sesuai dengan kreativitas guru masing-masing.
Penggunaan bercerita sebagai salah satu metode pembelajaran untuk anak.
Terlebih jika dikaji manfaat kegiatan bercerita bagi pencapaian tujuan pendidikan
Taman Kanak-kanak (Moeslichatoen R, 1996), manfaat cerita adalah sebagai
berikut.
1. Kegiatan yang mengasyikan.
2. Guru dapat memanfaatkan kegiatan bercerita untuk menanamkan kejujuran,
keberanian, kesetiaan, keramahan, ketulusan, dan sikap-sikap positif yang lain
dalam kehidupan lingkungan keluarga, sekolah, dan luar sekolah.
3. Kegiatan bercerita juga memberikan sejumlah pengetahuan sosal, nilai-niali
moral dan keagamaan.
4. Kegitan bercerita memberikan pengalaman belajar untuk berlatih mendengarkan.
5. Memungkinkan anak mengembangkan kemampuan kognitif, efektif, maupun
psikomotorik.
6. Memungkinkan pengembangan dimensi perasaan anak TK.
67
7. Metode bercerita dipergunakan guru untuk memberikan informasi tentang
kehidupan sosial anak dengan orang-orang yang ada di sekitarnya dengan
bermacam pekerjaan.
8. Membantu anak membangun bermacam peran yang memungkinkan dipilih anak,
dan bermacam layanan jasa yang ingin disumbangkan anak kepada masyarakat.
Secara umum kegiatan bercerita memiliki tujuan agar:
1. Menanmkan pesan-pesan atau nilai-nilai sosial, moral dan agama yang
terkandung dalam sebuah cerita, sehingga mereka dapat menghayatinya dan
menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Guru dapat memberikan informasi tentang lingkungan fsik dan lingkungan
sosial yang perlu diketahui oleh anak. Lingkungan fisik berkaitan dengan segala
sesuatu yang ada disekitar anak selain manusia.
Langkah-langkah yang harus ditempuh guru dalam menerapkankegiatan
bercerita di kelas.
1. Menetapkan tujuan dan tema cerita Tujuan kegiatan bercerita ada dua yaitu: memberikan informasi tentang nilai-
nilai sosial, moral atau keagamaan. Team dipilih berdasarkan pada tujuan yang
telah ditetapkan serta berdasarkan pada kehidupan anak di dalam keluarga,
disekolah, atau di masyarakat.
2. Menetapkan bentuk bercerita yang dipilih Bentuk-bentuk yng bisa dipilih, misalnya bercerit dengan membaca langsung
dari buku cerita, menggunakan ilustrasi gambar, menggunkan papan flannel,
menceritakan dongeng dan sebagainya.
3. Menetapkan bahan dan alat yang diperlukan dalam kegiatan bercerita Bahan dan alat yang diperlukan dalam kegiataan bercerita sangat tergaantung
pada bentuk bercerita yang dipilih guru.
4. Menetapkan rancanga langkah-langkah kegiatan bercerita
Mengomunikasikan tujuan dan tema cerita
Mengatur tempat duduk
Kegiatan pembukaan
Pengembangan cerita
Menatapkan teknik bertutur yang akan digunakan
Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan isi cerita
Di dalam bercerita, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang
guru, yaitu (1) cerita hendaknya berkaitan dengan materi yang disampaikan, (2) materi
cerita dan cara penceritaan hendaknya disesuaikan dengan usia mereka dan juga tingkat
kematangan akal pikirannya, (3) cerita hendaknya sesuai dengan ide-ide dan pesan yang
akan disampaikan dalam pembelajaran sehingga cerita akan ikut membantu tercapainya
tujuan pembelajaran, (4) cerita hendaknya tidak terlalu banyak, tetapi disesuaikan
dengan kebutuhan materi sehingga lebih fokuz, (5) cerita hendaknya disampaikan
dengan menggunakan bahasa yang mudah dan menarik dan yang mendorong siswa
untuk lebih bersemangat dan memperhatikan, (6) guru hendaknya tidak menggunakan
metode cerita jika hal itu tidak sesuai dengan kondisi, (7) peristiwa yang terdapat dalam
cerita hendaknya disampaikan secara runtut, (8) dalam bercerita hendaknya guru
memaksimalkan dalam menggunakan gaya bermain peran dan menggunakan media
dalam bercerita agar tujuan pembelajaran lebih dapat diwujudkan melalui cerita
(Ammar, 2011).
68
Dalam pembelajaran ketrampilan berbicara (Kalam), siswa dapat diminta untuk
menceritakan kembali suatu cerita, dan menyebutkan ide pokok cerita dengan
menggunakan bahasa mereka. Adapun dalam pembelajaran ketrampilan menulis, media
cerita ini dapat digunakan pula, yaitu dengan mengacak kalimat atau alenianya
kemudian siswa diminta untuk mengurutkannya. Guru juga dapat menampilkan
sekelompok kalimat yang tidak berkaitan kemudian siswa diminta untuk membuat
cerita berdasarkan bantuan kalimat tersebut. Pembelajaran juga dapat dilakukan dengan
menampilkan kalimat-kalimat yang telah dihilangkan beberapa katanya, kemudian
siswa diminta untuk mengisi kata yang hilang. Guru juga bisa menyampaikan cerita
kepada siswa kemudian mendiskusikan bersama mereka secara lisan dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa, kemudian meminta mereka untuk
meringkas cerita tersebut. Guru juga dapat menutup pembelajaran dengan cerita dan
siswa diminta untuk menulis cerita tersebut. Cerita itu bisa saja disampaikan hanya
sebagian saja dan siswa diminta untuk menulis sesuai keinginan masing-masing.
Metode menyanyi dalam pembelajaran
Metode menyanyi menurut Lukman Al-Hakim adalah suatu cara dalam
mengajar yang di dalamnya berisikan lagu-lagu yang berkesan dan menyenangkan.
Sedangkan metode menyanyi menurut Poerwadarminta adalah mengeluarkan bunyi
suara belagu dengan perkataan atau tidak melagukan dengan bernyanyi.
Belajar hendaknya dilakukan dengan senang karena kesenangan itu dapat
memotivasi siswa untuk melakukan yang terbaik serta mendorong untuk belajar, bekerja
kelompok, dan berkompetisi untuk melakukan yang terbaik serta dan memperhatikan
untuk lebih produktif (Ahmad Al-Yamani, 2014: 6). Menyanyi merupakan aspek
penting dalam mengembangkan kemampuan berbahasa dan untuk mengevaluasi
pelafalan serta membantu siswa untuk belajar mendengarkan, menghafal, dan
menghasilkan produk suara (Baroproh, 2010: 95).
Jadi sebuah metode menyanyi adalah bagian yang tak terpisahkan dari dunia
anak-anak. Menyenandungkan lagu, apalagi yang berirama riang, sungguh merupakan
kegiatan yang digandrunginya. Hal ini tidaklah mengherankan, karena lagu pada
dasarnya adalah bentuk dari bahasa nada. Yaitu bentuk harmoni dari tinggi rendahnya
suara. Pada insan-insan belia yang perbendaharaan bahasa masih cukup terbatas ini,
bahasa nada justru lebih mudah mereka fahami.
Ketika anak-anak beranjak lebih besar, mereka akan semakin akrab dengan lagu
atau nyanyian. Asal melodinya tidak terlalu rumit, mereka akan dengan senang hati
menyanyikannya.Mereka minta diajari menyanyi, menghafalkan syairnya, belajar
melafalkan kata-kata yang terdapat pada syair lagu itu, sibuk bergaya ketika menyanyi
dan sebagainya. Semua itu adalah bagian dari dunia keceriaan masa kanak-kanak yang
indah. Sifat-sifat lagu yang baik di antaranya mengandung nilai-nilai islami, bahasanya
indah dan mudah dimengerti, tidak terlalu panjang, iramanya mudah dicerna, syair dan
liriknya bisa melibatkan emosi.
Bernyanyi merupakan kegiatan di mana kita mengeluarkan suara secara
beraturan dan berirama baik diiringi oleh iringan musik ataupun tanpa iringan musik
(Jamalus, 1988 : 46) . Bernyanyi berbeda dengan berbicara bernyanyi memerlukan
teknik-teknik tertentu sedangkan berbicara tanpa perlu menggunakan teknik tertentu.
Bagi anak, kegiatan bernyanyi adalah kegiatan yang menyenangkan bagi mereka, dan
pengalaman bernyanyi ini memberikan kepuasan kepadanya. Bernyanyi juga
merupakan alat bagi anak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
69
Bernyanyi merupakan suatu kegiatan membaca dan membunyikan nada-nada
atau partitur musik dengan suara manusia secara baik dan benar. Untuk menjaga nada
serta suara maka bernyanyi dapat dilakukan dengan bantuan musik pengiring, terutama
bagi anak-anak. Banyak cara-cara serta langkah-langkah teknik dalam bernyanyi
dimana hal tersebut sangat penting dipahami dan alangkah baiknya dapat dikuasai oleh
seorang guru.
Agar dapat bernyanyi dengan baik, hendaknya harus mempelajari dasar-dasar
teknik bernyanyi yang mencakup sikap badan, pernafasan, pembentukan suara,
artikulasi, dan resonansi. Artikulasi suara adalah cara mengucapkan kata-kata sambil
bersuara. Dan meningkatkan artikulasi yang jelas artinya meningkatkan cara
pengucapan kata-kata agar mudah di mengerti. Pengertian serupa juga diterangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dinyatakan bahwa artikulasi adalah bunyi bahasa
yang terjadi karena gerakan alat ucap.
Resonansi adalah ikut bergetarnya sebuah benda lain akibat getaran benda yang
utama. Bila dikaitkan dengan dengan suara manusia, maka suara yang dihasilkan oleh
pita suara akan diperkuat oleh udara yang ada di dalam rongga dan dinding-dinding
resonansi itu sendiri berupa getaran-getaran pada tulang rongga resonansi tersebut.
Yang termasuk suara resonansi adalah rongga tenggorokan, rongga mulut, rongga
hidung, dan rongga dada.
Dalam bernyanyi sebaiknya kita perlu mengetahui hal-hal dalam bernyanyi, di
antaranya adalah pengetahuan tentang nada atau paham dengan nada, memahami tempo
atau ketukan lagu, dan pendengaran yang baik.
Bernyanyi dapat dilakukan sambil duduk atau berdiri. Baik dalam keadaan
berdiri maupun duduk, posisi badan harus tetap tegak dengan memperhatikan posisi
tulang punggung. Pada saat bernyanyi, kepala hendaknya direndahkan sedikit kearah
muka. Dengan demikian urat-urat leher tidak akan menjadi tegang saat bernyanyi. Pada
saat bernyanyi mesti diperhatikan tata gerakan tubuh yang tidak berlebihan. Untuk
menyalurkan berat badan agar seimbang hendaknya kedua belah kaki sedikit agak
direngganggakan satu sama lainnya. Lakukanlah bernyanyi dalam keadaan santai
dengan cara membuang semua beban yang tidak perlu, baik beban yang bersifat jasmani
(lesu, lelah, lapar) maupun beban yang bersifat rohani (takut, tegang).
Menyanyi memiliki manfaat untuk mengoksidasi darah, merangsang aktivitas
otak karena bernyanyi memerlukan pemikiran. Saat bernyanyi udara akan banyak
mengalir ke otak pada bagian neuron yang mengintegrasikan aktivitas fisik, emosional
dan psikologis untuk merasa gembira. Menyanyi juga dapat melepaskan hormon
bahagia. Hormon endorfin yang dikeluarkan saat bernyanyi bermanfaat menciptakan
rasa senang dan kebahagiaan dengan memicu saraf dan fisik. Suara indah tidak hanya
akan menghibur orang lain tetapi menciptakan rasa damai dan kebahagiaan.
Ketika merasa senang akibat bernyanyi, tingkat stres menurun. Endorfin
membantu mengurangi stres dan gelisah. Saat menyanyikan sebuah lagu dengan
perasaan mendalam, tubuh bernapas lebih dalam dan memperlambat denyut jantung
serta mengurangi kecemasan berlebihan. Menyanyi juga dapat membangun
kepercayaan diri. Bernyanyi membangun rasa percaya diri karena ia akan menjadikan
orang menjadi terbuka.
Menyanyi juga dapat meningkatkan memori dan konsentrasi serta meningkatkan
kreativitas. Ia juga mampu menciptakan suara yang bertenaga. Profesi pembicara,
presenter, guru, pendeta atau dalam bisnis terkait penjualan akan mendapatkan
keuntungan dari belajar menyanyi. Suara merupakan instrumen penting. Bernyanyi
70
menjadikan anak memiliki rasa percaya diri, memegang kendali, lebih hidup secara fisik
dan kreatif. Sehingga secara mental, fisik dan emosional anak akan merasa sangat
senang dan fantastis.
Dengan menyanyi, seorang guru dapat merealisasikan berbagai tujuan, baik
aspek akdemis, sikap, maupun bahasa. Di antara tujuan itu adalah (1) menghilangkan
rasa malu, dengan bernyanyi ia akan berani melafalkan dengan suara keras bersama
teman-temannya maupun dengan sendirian, (2) memperbaiki pelafalan, siswa dapat
melafalkan huruf sesuai dengan makhrajnya dengan jelas ketika bernyanyi, (3)
menimbulkan rasa senang pada diri siswa dan hal itu tampak pada aktivitasnya, (4)
menambah semangat dan menguatkan mentalnya, (5) pemerolehan siswa terhadap
prilaku yang cerdas dan sifat-sifat yang mulia, dan (6) pemerolehan siswa terhadap
pengetahuan dan pemahaman dengan penggambaran yang menyenangkan (Qosim,
2013).
Muhaiban (249) juga mempertegas dari pernyataan tersebut bahwa tujuan
pemanfaatan lagu dalam pembelajaran bahasa Arab, khususnya untuk anak-anak, di
antaranya adalah (1) untuk mengembangankan kepekaan anak terhadap berbagai suara,
intonasi, irama dalam bahasa Arab, (2) melatih siswa untuk pelafalan yang benar
terhadap ungkapan-ungkapan bahasa Arab sederhana dan praktek kosa kata bahasa
Arab, dan (3) memperkenalkan anak terhadap huruf hijaiyah, kosa kata dan kalimat
sederhana bahasa Arab dan kemudian menghafalkannya,
Bernyanyi merupakan salah satu unsur menciptakan situasi yang riang dan
membahagiakan. Anak -anak akan spontan menyanyi apabila anak sedang dalam
keadaan senang maupun sedih. Nyanyian dengan notasi atau nada yang sederhana
dan kata -kata yang mudah dihafal, sangat digemari oleh anak-anak. Pembelajaran
akan lebih efektif jika menggunakan media menyanyi. Terlebih lagi bila digunakan
dalam pembelajaran bahasa Arab yang sangat memerlukan daya in
gat yang tajam. Karena dalam metode ini tidak bersifat memerintah atau melarang.
Penyampaiannya pun dengan suasana riang dan mudah diingat (Theo Riyanto & Martin
Handoko, 2005: 8).
Pada saat melakukan proses pembelajaran yang menggunakan metode menyanyi
sangat jelas sekali antusias peserta didik. Diketahui pada saat menyanyi anak akan
secara reflek melakukan tepuk tangan yang mana mereka secara tidak langsung juga
ikut terlebat dalam proses belajar mengajar. Dalam melakukannya pun mereka
diselinggi dengan tawa lepas sehingga tidak ada kejenuhan sama sekali (Nusa Putra &
Ninin Dwilestari,2012: 138).
Berbeda halnya bila hanya menghafal dengan cara klasik pasti akan ada
kejenuhan karena tidak ada selingan yang membangkitkan semangat belajar mereka.
Hal ini juga berpengaruh sama seandainya diterapkan pada pembelajaran bahasa Arab
yang menuntut siswanya untuk menghafalkan kosakata bahasa Arab
Pendapat di atas dikuatkan lagi oleh Sheppard (2007:20), yang
menyatakan ketika seorang anak sedang menyanyi maka akan terjadi suatu proses
yang menyenangkan dan akan ada dorongan pada diri anak untuk mempelajari
lebih dalam lagi. Seorang guru harus cermat dalam memilih lagu agar anak tertarik
dengan lagu yang dibawakan sehingga anak akan dengan senang hati me
milih untuk mempelajarinya dan bukan berdasarkan pada tuntutan belaka. Dengan
begitu secara otomatis anak akan terpicu untuk lebih mempelajari materi yang telah
diberikan dan juga menghasilkan perasaan yang gembira ketika mempelajarinya.
71
Penutup
Metode bermain, cerita, dan menyanyi merupakan metode yang efektif untuk
menjadikan anak belajar tanpa merasa terpaksa atau dipaksa untuk belajar.
Pemerolehan pengetahuan dengan cara ini akan lebih lama berada dalam memori siswa
dibanding dengan pembelajaran yang tidak menggunakan metode BCM. Pembelajaran
dengan metode ini terbukti efektif untuk memperoleh bahasa karena metode ini
berkaitan dengan aktivitas bicara dan bekerja atau melakukan sesuatu. Semakin banyak
indra yang terlibat maka semakin kuat pula ingatan siswa terhadap suatu pelajaran.
Manusia akan mengingat sampai 90 % terhadap apa yang ia katakan dan ia lakukan.
Oleh karena itu, metode ini selalu dicobaterapkan dalam berbagai lembaga sekolah
dalam rangka memenuhi kebutuhan fisik dan mental anak dalam rangka mewujudkan
generasi Indonesia yang cerdas dan berkualitas lahir dan batin.
DAFTAR RUJUKAN
Ammar, Haris. 2011. Thariqah Al-Qish-shah wa istikhdamuha fi at-tadris ma`a dars
tathbiqi li kaifiyati istikhdami thariqah al-qish-shah fi at-tadris, via
http://kenanaonline.com .users/HaresAmmar/posts/260786 Abdul Aziz, Nashif Musthafa. 1401H. Al-Al`ab al-Lughawiyyah fi Ta`limi Al-Lughah
Al-Ajnabiyyah. Taqdim wa murajaah.
Abdul Majid Al-Arabi, Shalah. 1981. Ta`allumu al-lughah Al-Hayyat wa Ta`limuha.
Beirut: Maktabah Lubnan.
Ahmad Al-Yamani, Lumya binti Naji Ahmad Al-Yamaniy. 2014. At-Ta`allum bil
marach. Ad-Dimam: Maktabah al-Malik Fahd Al-Wathaniyyah.
Al-Fauzan, Abdur Rahman bin Ibrahim,dkk. 2002. Al-Arabiyyah baina Yadaika. Jilid 2.
Al-Mamlakah Al Arabiyyah as-Suudiyyah.
Asrori, Imam. 2006.1000 Permainan Penyegar Pembelajaran Bahasa Arab. Malang:
CV. Bintang Sejahtera.
Baroroh, Umi. 2010. Ta`lim al-Lughah Al-Arabiyyah lil mubtadiin. Maqalah
muqaddamah fi al mu`tamar ad-duali bi Jamiah Al-Azhar Indonesia.
Depag. 2000. Petunjuk teknis proses belajar mengajar di RA Bidang pengembangan
jasmani dan kesehatan. Jakarta: depag RI.
Dzul Hannan. 2012. Anashir Al-Lughah Al-Arabiyyah wa asalibu Tadrisiha. Makalah.
Lampung: Universitas Raden Intan.
Finocchiaro, Mary. 1964. Teaching Children Foreign Language.US: McGraw-Hill
Ibrohim, Abdul Alim. 2002. Al-Muwajjah Al-Fanniy limudarrisi Al-Lughah Al-
Arabiyyah. Al-Qahirah: Darul Maarif.
Jafim (anggota jurusan Tarbiyah Islamiyah dan Akhlaq). 2010. Maharatul Kalam wa
thuruqu tadrisiha. Via inovasijapim2010.blogspot. com/2010/04/blog-
post_8852.html
Jamalus, 1988. Pengajaran musik melalui pengalaman musik. Jakarta: Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi.
Kartono. 1995. Psikologi Anak (psikologi Perkembangan). Bnadung: CV Mandar Maju.
Mahliatussikah, Hanik. 2003. Bahasa Arab untuk anak, Diktat perkuliahan. Malang:
Universitas Negeri Malang
Margadinata, Wildana. 2007. Al-Wasail At-Ta`limiyyah fi ta`limi al-Lughah Al-
Arabiyyah (Al-Al`ab Al-Lughawiyyah). Diklat pengajaran bahasa Arab di UIN
Malang.
72
Moeslichatoen. 1996. Metode pengajaran di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Rineka
Cipta.
Muhaiban.2015. Al-Anashid fi ta`lim al-Lughah Al-Arabiyyah li al-Athfal nachwa al-
Arabiyyah Al-Musalliyah. Makalah disampaikan salam seminar internasional
Bahasa Arab di UIN Malang pada tanggal 27-29 Agustus 2015.
Muhammad Ali, Nur jannah wa shufi Man al-Ummah. 2011. Tadris al-Qish-shah wa
ahammiyatuha limumarasati al-Lughah Al-Arabiyyah. Makalah disampaikan
pada seminar internasional bahasa Arab di UIN Malang.
Muhammad Amin, Iman Zaki. 2013. Maharat al-qiraah wa al-kitabah li thifli ar-
Raudhah. Riyadh: Maktabah Al-Malik Fahd Al-Wathaniyyah atsna an nashr.
Nusa Putra & Ninin Dwilestari. 2012. Penelitian Kualitatif PAUD Anak Usia Dini.
Jakarta: PT Grafido Persada.
Qasim, Amjad. 2013. Ahammiyatu al Anasyid fi al-amaliyyah at ta`limiyyah wa ahdaf
tadrisiha. Jordan: At-Tarbiyyah Ats-Tsaqafah, asy-syu`un ath-thalabiyyah.
Via al3loom.com
Sheppard, Philip. 2007. Music makes your Child Smarter: Peran Musik Dalam
Perkembangan Anak. Jakarta: PT Gramedia pustaka utama.
Sudono, Anggani.2000. Sumber Belajar dan Alat Permainan. Jakarta: Grasindo.
Suyanto, Kasihani K.E. 2008. English For Young Learners. Jakarta: Bumi Aksara.
Syawahin, Khoir. 2008. Al-ab Tarbawiyah. Jordan: Jidar lil kitab al-alamiy wa alamul
kutub al hadits.
Tedjasaputra. 2001. Bermain, Mainan, dan Permainan. Jakarta: PT Grasindo.
Theo Riyanto & Martin Handoko. 2005. Pendidikan Pada Usia Dini. Jakarta: PT
Grasindo.