Bermain atau Dimainkan Gadget? Oleh Edy Suhardono. Diunggah oleh Arfan La Angka

13
Bermain atau Dimainkan Gadget? Oleh: Edy Suhardono Talkshow “Gadget: Kebutuhan Dan Resiko Kecanduan” Seksi Kerasulan Keluarga, Seksi Kepemudaan, dan Seksi Komunikasi Sosial Paroki Santo Stefanus Cilandak, Jakarta Selatan, 14 Juni 2014. 14 Juni 2014

Transcript of Bermain atau Dimainkan Gadget? Oleh Edy Suhardono. Diunggah oleh Arfan La Angka

Bermain atau Dimainkan Gadget?

Oleh: Edy Suhardono

Talkshow “Gadget: Kebutuhan Dan Resiko Kecanduan” Seksi Kerasulan Keluarga, Seksi Kepemudaan, dan Seksi Komunikasi Sosial Paroki Santo Stefanus Cilandak, Jakarta Selatan, 14 Juni 2014.

14 Juni 2014

Keluhan Umum

1. Isolasi sosial pada anak

2. Mengurangi kesempatan anak untuk melakukan kegiatan di luar ruangan → obesitas dan penurunan kesehatan fisik

3. Meningkatkan pembelajaran anak tentang kekerasan

"kekerasan video game" → perilaku antisosial seperti agresi 1).

anak-anak usia 4-6 tahun mengalami peningkatan agresi dan penurunan perilaku prososial setelah bermain video game yang bertemakan kekerasan 2)

Game jenis ini diyakini meningkatkan gelombang otak, denyut jantung, tekanan darah, juga konduktansi kulit. Dengan habituasi yang berlanjut ke tingkat tertentu, pemain menjadi kurang peka dan mulai membutuhkan tingkatan perangsangan yang lebih tinggi. Di sini overexposuremembangkitkan agresi 1)

"Model Agresi Umum" → pemain video game kekerasan cenderung mengembangkan keyakinan agresif dan pikiran yang gilirannya mempengaruhinya untuk berperilaku agresif di masa depan dalam kehidupan nyata 2)

Permainan agresif justru membuat pemain tenang 3).

Terjadi penurunan perasaan agresif setelah orang bermain game bertema kekerasan. Game kekerasan dalam tingkat tertentu memiliki efek prososial, terutama karena menyediakan sarana yang aman untuk melampiaskan agresi 4).

Jika yang dimainkan adalah game non-kekerasan dengan fokus pada strategi dan hiburan ringan, lebih mungkin terbentuk perilaku prososial dalam kelompok gamer.

Isolasi sosial nampak tidak terjadi manakala anak bermain dalam game kelompok;

Dengan game kelompok, anak justru mengalami peningkatan pembelajaran tentang kerjasama.

1) Anderson dan Bushman (2001); 2) Silvern dan Williamson (1987); 3) Kestenbaum dan Weinstein (1985), 4) Scott (1995)

Game: Mempengaruhi atau Dipengaruhi?

• Setiap orang memiliki “budaya pribadinya sendiri” → membentuk pandangan dan keputusan tentang dan terhadap dunia.

GAME

Permainan

Hiburan Rekreasi

Olahraga

Keterampilan

Pengetahuan

Oposisi “Pemenang” & “Pecundang”

Anda dan Anak: Benarkah berbeda?

Overlapping memahami GSP:

Game, Sport, Play

Orangtua Penggila Kerja

Anak Penggila Game

“aholic”

DIRI?1. Dalam DIRI, sebenarnya tersedia energi luar biasa, tetapi Anda tidak tahu untuk apa.

Meski energi luar biasa ini terbatas, sayangnya Anda justru sering kehilangan motivasi untuk memanfaatkannya.

2. Kedua, ketakberdayaan untuk memungkinkan sesuatu yang Anda anggap tak mungkin direalisasikan mengakibatkan Anda terperosok ke dalam perilaku menghindar dan melarikan diri. Di sinillah awal Anda mulai gila kerja .

3. Anda rajin merasionalisasi keadaan “biasa-biasa saja” dan menyikapinya dengan “apa boleh buat”. Dari sini Anda mulai menuding, biang kerok dari masalah Anda adalah pekerjaan, kemacetan di jalan, ketiadaan waktu luang, ketakharmonisan relasi keluarga, anak yang tidak berhenti main game, bahkan pasangan yang kian membosankan.

4. Keempat, intuisi Anda ngadat. Anda mulai “mati rasa”. Hidup tak mau, mati tak hendak.

5. Kelima, Anda mulai marah menghadapi perkara kecil yang paling tidak penting. Pola tindakan Anda menjadi sarat pelampiasan, sarat displacement.

“sebenarnya, apakah kecanduan game yang terjadi pada anak-anak Anda merupakan SEBAB dari persoalan Anda, atau sebaliknya, justru AKIBAT dari persoalan Anda?”

Keluar dari KemelutAnda perlu merumuskan prioritas terkait beberapa hal:

1. Keluarga Anda. Apa yang akan Anda peroleh lebih dari pekerjaan Anda sementara Anda ber-risiko pertengkaran dengan pasangan dan rusaknya hubungan Anda dengan anak-anak Anda?

2. Kesehatan Anda. Siapkan Anda untuk mendapatkan penyakit yang terkait dengan stres dan mungkin Anda akan meninggal sebelum pensiun karena mementingkan pekerjaan Anda?

3. Kenikmatan dan ketenangan pikiran. Anda mungkin mengklaim telah bekerja keras karena menikmati pekerjaan Anda. Tetapi sempatkah Anda berpikir bahwa Anda akan kehilangan kebahagiaan dan ketenangan pikiran jika Anda hanya berfokus pada satu jenis kenikmatan?

4. Uang. Apa gunanya memiliki begitu banyak aset dan tabungan jika Anda tidak punya waktu untuk menikmatinya? Dengan melakukan sesuatu demi orang yang Anda cintai, tidakkah karunia waktu lebih berharga daripada hadiah uang?

sasaran pemecahan masalah → melakukan perubahan pola/irama hidup melalui “deroutinization”.

1. Potong pekerjaan yang relatif memberikan sedikit manfaat untuk waktu yang Anda investasikan.

2. Batasi jumlah tugas dalam pekerjaan yang harus Anda selesaikan.

3. Batasi jumlah waktu yang Anda habiskan untuk bekerja. Sisihkan satu hari dalam seminggu, seperti Minggu, benar-benar sebagai hari istirahat. Berdisiplinlah dengan diri sendiri untuk tidak bekerja pada hari itu. Agendakan jadwal untuk bermain bersama anak dan pasangan, termasuk bermain game (Edy Suhardono, 2013). Dari sini Anda akan memahami, Anda tak akan mampu menghentikan anak-anak bermain game kecuali Anda paham game yang mereka mainkan. Kecuali Anda pernah menyelami bagaimana nikmatnya memainkan game yang digemari anak-anak.

4. Canangkan fleksibelitas dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan. Anda boleh menetapkan tenggat waktu untuk Anda jika orang lain –atasan atau pelanggan Anda—meminta. Tapi Anda tak perlu menetapkan tenggat waktu untuk diri sendiri.

5. Anda tidak harus menjadi seorang perfeksionis, karena ini merupakan penyebab paling signifikan dari terbentuknya pada penggila kerja.

6. Jadilah efisien dalam pekerjaan yang Anda lakukan. Jika Anda dapat produktif dalam waktu yang relatif singkat, Anda dapat bersantai di luar set waktu kerja Anda.

Silahkan Mencoba

Di saat Anda berangkat tidur setelah doa malam, dengungkan ke diri sendiri: "Aku telah menghabiskan banyak waktu di kantor." Lontarkan pertanyaan pada diri sendiri, "Jika aku dipanggil Tuhan dalam tidur saya malam ini, apakah saya senang dengan cara saya menghabiskan hari ini?"

.