BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia...

41
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1126, 2015 KEMENKES. Hepatitis Virus. Penanggulangan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2015 TENTANG PENANGGULANGAN HEPATITIS VIRUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Hepatitis Virus merupakan penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat dan memerlukan upaya penanggulangan melalui pencegahan, pengendalian dan pemberantasan agar kesakitan, kematian, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan dapat ditekan serendah-rendahnya; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 44 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Penyakit Menular, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan Hepatitis Virus; Mengingat : 1.Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik www.peraturan.go.id

Transcript of BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia...

Page 1: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

BERITA NEGARAREPUBLIK INDONESIA

No.1126, 2015 KEMENKES. Hepatitis Virus. Penanggulangan.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 53 TAHUN 2015

TENTANG

PENANGGULANGAN HEPATITIS VIRUS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Hepatitis Virus merupakan penyakit menularyang menjadi masalah kesehatan masyarakat danmemerlukan upaya penanggulangan melaluipencegahan, pengendalian dan pemberantasan agarkesakitan, kematian, dan dampak sosial ekonomi yangditimbulkan dapat ditekan serendah-rendahnya;

b.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimanadimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakanketentuan Pasal 44 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor82 Tahun 2014 tentang Penanggulangan PenyakitMenular, perlu menetapkan Peraturan MenteriKesehatan tentang Penanggulangan Hepatitis Virus;

Mengingat : 1.Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang WabahPenyakit Menular (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 3273);

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentangKesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2009Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik

www.peraturan.go.id

Page 2: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 2

Indonesia Nomor 5063);

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentangPemerintahan Daerah (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimanatelah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 9Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang PemerintahanDaerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 5679);

4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang TenagaKesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 5607);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentangPenanggulangan Wabah Penyakit Menular (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor3447);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentangKesehatan Lingkungan(Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2014 Nomor 184, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 5570);

7. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2015 tentangKementerian Kesehatan (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2015 Nomor 59);

8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor1479/Menkes/SK/X/2003 tentang PedomanPenyelenggaraan Sistem Surveilans EpidemiologiPenyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu;

9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi danTata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita NegaraRepublik Indonesia Tahun 2010 Nomor 585)sebagaimana telah diubah dengan Peraturan MenteriKesehatan Nomor 35 Tahun 2013 tentang PerubahanAtas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi DanTata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita NegaraRepublik Indonesia Tahun 2013 Nomor 741);

www.peraturan.go.id

Page 3: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.11263

10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor1438/Menkes/Per/IX/2010 tentang Standar PelayananKedokteran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun2010 Nomor 464);

11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor1501/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis PenyakitMenular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah DanUpaya Penanggulangan (Berita Negara RepublikIndonesia Tahun 2010 Nomor 503);

12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013tentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita NegaraRepublik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966);

13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (BeritaNegara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 193);

14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 Tahun 2014tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan (BeritaNegara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1113);

15. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014tentang Pusat Kesehatan Masyarakat (Berita NegaraRepublik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1676);

16. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2014tentang Penanggulangan Penyakit Menular (BeritaNegara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1755);

17. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia NomorHK.02.02/Menkes/52/2015 tentang Rencana StrategisKementerian Kesehatan Tahun 2015 - 2019

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANGPENANGGULANGAN HEPATITIS VIRUS.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Hepatitis Virus adalah penyakit menular dalam bentuk peradanganhati yang disebabkan oleh virus.

2. Penanggulangan Hepatitis Virus adalah upaya kesehatan yangmengutamakan aspek promotif dan preventif yang ditujukan untukmenurunkan dan menghilangkan angka kesakitan, kecacatan, dan

www.peraturan.go.id

Page 4: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 4

kematian, membatasi penularan, serta penyebarannya tidak meluasantar daerah maupun antarnegara yang dapat berpotensimenimbulkan kejadian luar biasa (KLB)/wabah serta menimbulkandampak sosial, ekonomi, produktivitas dan angka harapan hidup.

3. Surveilans Hepatitis Virus adalah kegiatanpengamatanyang dilakukansecara sistematisdan terus menerus terhadap data dan informasitentang kejadian Hepatitis virus serta kondisi yang mempengaruhiterjadinya peningkatan dan penularan Hepatitis Virus untukmemperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakanpenanggulangan secara efektif dan efisien.

4. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegangkekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu olehWakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggaraPemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusanpemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahandi bidang kesehatan.

Pasal 2

(1) Penyelenggaraan Penanggulangan Hepatitis Virus dilaksanakan olehPemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan melibatkan peranserta masyarakat.

(2) PenyelenggaraanPenanggulanganHepatitis Virussebagaimanadimaksud pada ayat (1) dilaksanakanmelalui upaya kesehatanmasyarakat dan upaya kesehatan perorangan.

(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraanPenanggulangan HepatitisVirus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dan ayat (2) menunjuk satuan kerja atau unit pengelola programuntuk melaksanakan penanggulangan secara terencana, terarah, danberkesinambungan.

Pasal 3

(1) Jenis Hepatitis Virus terdiri atas:

a. Hepatitis A, disebabkan oleh Virus Hepatitis A (VHA);

b. Hepatitis B, disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB);

c. Hepatitis C, disebabkan oleh Virus Hepatitis C (VHC);

d. Hepatitis D, disebabkan oleh Virus Hepatitis D (VHD); dan

e. Hepatitis E, disebabkan oleh Virus Hepatitis E (VHE).

www.peraturan.go.id

Page 5: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.11265

(2) Terhadap jenis Hepatitis Virus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diselenggarakan penanggulangan berdasarkan cara penularannya,yaitu:

a. Hepatitis Virus yang penularannya melalui fecal oral untukHepatitis A dan Hepatitis E; dan

b. Hepatitis Virus yang penularannya melalui parenteral untukHepatitis B, Hepatitis C, dan Hepatitis D.

Pasal 4

Penanggulangan Hepatitis Virus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3dilakukan melalui kegiatan:

a. promosi kesehatan;

b. perlindungan khusus;

c. pemberian imunisasi;

d. surveilans Hepatitis Virus;

e. pengendalian faktor risiko;

f. deteksi dini dan penemuan kasus; dan/atau

g. penanganan kasus;

Pasal 5

Promosi kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf aditujukan untuk:

a. peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap gejala, cara penularan,cara pencegahan, penanganan penderita, dan resistensi obat HepatitisVirus;

b. menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap orang denganHepatitis Virus;

c. peningkatan pengetahuan masyarakat dalam pencegahan HepatitisVirus; dan

d. peningkatan komitmen pemangku kepentingan untuk kesinambunganpelaksanaan kegiatan Penanggulangan Hepatitis Virus.

Pasal 6

Perlindungan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf bdilakukan paling sedikit dengan penggunaan kondom, penggunaan alatpelindung diri, dan/atau mencegah penggunaan jarum suntik yangterkontaminasi.

www.peraturan.go.id

Page 6: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 6

Pasal 7

(1) Pemberian imunisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf chanya dilaksanakan untuk:

a. Hepatitis A melalui imunisasi secara aktif; dan

b. Hepatitis B melalui imunisasi secara aktif dan pasif

(2) Pemberian imunisasi Hepatitis A dianjurkan diberikan kepada pelakuperjalanan ke daerah endemis, petugas kesehatan, penjamahmakanan, atau masyarakat yang mempunyai risiko tertular danmenularkan.

(3) Pemberian imunisasi Hepatitis B aktif wajib diberikan kepada bayi barulahir segera setelah kelahirannya.

(4) Pemberian imunisasi Hepatitis B pasif diberikan kepada bayi baru lahirdari ibu dengan hepatitis B segera setelah kelahirannya.

Pasal 8

(1) Surveilans HepatitisVirussebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf ddilaksanakan berbasis faktor risiko dan berbasis kejadiandenganmelakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan melaluipenemuan penderita secara aktif dan pasif.

(2) Surveilans Hepatitis Virus dilakukan dalam rangka:

a. pemantauan wilayah setempat;

b. kewaspadaan dini; dan/atau

c. surveilans sentinel.

Pasal 9

Dalam hal terjadi KLB Hepatitis A dan Hepatitis E dilakukanpenanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 10

Pengendalian faktor risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf epaling sedikit dilakukan dengan cara:

a. peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat;

b. peningkatan kualitas lingkungan;

c. skrining darah donor;

d. skrining organ untuk transplantasi; dan

e. penggunaan alat-alat medis yang berpotensi terkontaminasi virushepatitis.

www.peraturan.go.id

Page 7: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.11267

Pasal 11

(1) Deteksi dini dan penemuan kasus sebagaimana dimaksud dalam Pasal4 huruf f dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan atau dilakukansecara khusus dilapangan secara aktif

(2) Untuk mendukung deteksi dini dan penemuan kasus sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dilakukan uji sebagai konfirmasi padalaboratorium terakreditasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal deteksi dini menunjukan hasil reaktif, wajib dilakukanrujukan kepada fasilitas pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjut.

Pasal 12

(1) Penanganan kasus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 hurufgdilakukan dengan pengobatan dan perawatan pada setiap penderita.

(2) Penanganan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukansesuai pedoman nasional pelayanan kedokteran atau standarpelayanan/tatalaksana penyakit yang berlaku.

Pasal 13

Dalam penyelenggaraan penanggulangan Hepatitis Virus harus didukungdengan:

a. ketersediaan sumber daya kesehatan yaitu sumber daya kesehatanmanusia, pendanaan, teknologi, sarana dan prasarana;

b. koordinasi, jejaring kerja dan kemitraan;

c. peran serta masyarakat;

d. penelitian dan pengembangan;

e. pemantauan dan evaluasi;

f. pencatatan dan pelaporan; dan

g. pembinaan dan pengawasan.

Pasal 14

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan PenanggulanganHepatitis Virus diatur dalam Pedoman sebagaimana tercantum dalamLampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PeraturanMenteri ini.

Pasal 15

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

www.peraturan.go.id

Page 8: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 8

Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundanganPeraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita NegaraRepublik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 15 Juli 2015

MENTERI KESEHATAN

REPUBLIK INDONESIA,

NILA FARID MOELOEK

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 13 Juli 2015

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

YASONNA H. LAOLY

www.peraturan.go.id

Page 9: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.11269

LAMPIRANPERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 53TAHUN 2015TENTANGPENANGGULANGAN HEPATITIS VIRUS

PEDOMAN PENANGGULANGAN HEPATITIS VIRUS

I. PENDAHULUAN

Hepatitis Virus merupakan salah satu penyakit menular yangmenjadi masalah kesehatan masyarakat, yang berpengaruh terhadapangka kesakitan, angka kematian, status kesehatan masyarakat, angkaharapan hidup, dan dampak sosial ekonomi lainnya.Besaran masalahHepatitis Virus di Indonesia dapat diketahui dari berbagai hasil studi,kajian, maupun kegiatan pengamatan penyakit. Menurut Riskesdastahun 2007, didapatkan hasil prevalensi HBsAg sebesar 9,4% danprevalensi Hepatitis C 2,08%, sehingga apabila diestimasi secara kasarmaka saat ini terdapat 28 juta orang terinfeksi Hepatitis B dan/atauHepatitis C. Dari jumlah tersebut 50% akan menjadi kronis (14 juta),dan 10% dari jumlah yang kronis tersebut berpotensi untuk menjadisirosis hati dan kanker hati primer (1,4juta).

Sedangkan untuk Hepatitis A dan Hepatitis E, besaran masalahtidak diketahui dengan pasti. Namun mengingat kondisi sanitasilingkungan, higiene dan sanitasi pangan, serta perilaku hidup bersihdan sehat yang belum optimal, maka masyarakat Indonesiamerupakan kelompok berisiko untuk tertular Hepatitis A danHepatitis E. Laporan yang diterima oleh Kementerian Kesehatanmenunjukkan bahwa setiap tahun selalu terjadi KLB Hepatitis A,sedangkan untuk Hepatitis E jarang dilaporkan di Indonesia.

Laporan KLB Hepatitis A yang diterima oleh KementerianKesehatan pada tahun 2014, terjadi di Kabupaten Paser (KalimantanTimur), Bengkulu (Bengkulu), Kediri (Jawa Timur) dan KabupatenSijunjung dan Pesisir Selatan (Sumatera Barat). Beberapa daerah jugamengalami KLB Hepatitis A, tetapi tidak melaporkan ke KementerianKesehatan, misalnya di Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan wilayahlainnya.

Dengan besaran masalah yang ada dan dampaknya bagi kesehatanmasyarakat, maka perlu dilakukan upaya yang terencana, fokus, danmeluas agar epidemi Hepatitis Virus ini dapat ditanggulangi.Untuk itudiperlukan payung hukum berupa Peraturan Menteri Kesehatan yangdapat dijadikan acuan bagi pelaksana kegiatan dalam melakukanpenanggulangan Hepatitis virus ini

www.peraturan.go.id

Page 10: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 10

II. PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN HEPATITIS VIRUS

Penyelenggaraan penanggulangan Hepatitis Virus dilaksanakanmelalui kegiatan promosi kesehatan, perlindungan khusus, pemberianimunisasi, surveilans Hepatitis Virus, pengendalian faktor risiko,deteksi dini dan penemuan kasus, dan/atau penanganan kasus.

A. Promosi Kesehatan

Promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkanpengetahuan, perubahan perilaku, keterampilan, dan komitmendalam penyelenggaraan penanggulangan Hepatitis Virus,sehingga masyarakat memahami Hepatitis Virus secara baik danbenar dan mampu untuk mengakses terhadap upayaperlindungan khusus, pemberian imunisasi, mengetahui danmemahami cara pencegahan untuk dirinya, orang lain, danmasyarakat luas, serta mencegah terjadinya stigma dandiskriminasi terhadap orang dengan Hepatitis Virus. Selain itu,peningkatan komitmen bagi para pemimpin diperlukan dalammendukung upaya penanggulangan Hepatitis Virus ini.

Promosi kesehatan dilakukan terhadap masing-masing jenisHepatitis Virus berdasarkan cara penularannya, melalui kegiatansebagai berikut.

1. Hepatitis A dan Hepatitis E

Upaya promosi kesehatan yang dapat dilakukan antaralain:

a. Advokasi dan sosialisasi

Advokasi dan sosialisasi dilakukan untuk memberikanpemahaman mengenai pentingnya menjaga kebersihanperorangan dan lingkungan, mengingat jenis HepatitisVirus ini dapat menimbulkan KLB. Oleh karena itu,kebiasaan cuci tangan pakai sabun (CTPS) secara benarterutama pada “saat - saat kritis”, yaitu sebelum makan,sebelum mengolah dan menghidangkan makanan,sebelum menyusui bayi, sebelum memberi makanbayi/balita, sesudah buang air besar/kecil, dan sesudahmemegang hewan/unggas, sangat penting untukmencegah penularan Hepatitis A dan Hepatitis E.

Kegiatan advokasi dan sosialisasi ini diutamakan padapara pengambil keputusan, penentu kebijakan, danpenyandang dana yang diharapkan memberikandukungan, baik secara politis, kebijakan, maupun dana,untuk mewujudkan Program Penanggulangan Hepatitisdi wilayahnya, seperti Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD

www.peraturan.go.id

Page 11: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.112611

Provinsidan Kabupaten/Kota, Bappeda Provinsi danKabupaten/Kota, Camat, pengelola media cetak danelektronika, dunia usaha, dan organisasi profesi. Selainitu, advokasi dan sosialisasi juga disampaikan kepadapemangku kepentingan lainnya, seperti guru sekolah,tokoh masyarakat/agama, pimpinan pondok pesantren,dan pengelola usaha jasa boga/katering/rumah makan.

Penyebarluasan informasi tentang penanggulanganHepatitis A dan Hepatitis E dengan memanfaatkanmedia informasi yang berbasis budaya lokal merupakanpilihan yang baik agar masyarakat semakin menyadaripentingnya memelihara kesehatan diri, keluarga, danlingkungannya, khususnya dalam pencegahan HepatitisA dan Hepatitis E.

b. Intervensi Perubahan Perilaku.

Intervensi perubahan perilaku adalah upaya yangdilakukan agar masyarakat dalam kesehariannyamelakukan perilaku hidup bersih dan sehat agarterhindar dari tertular dan menularkan hepatitis virusini.

Kegiatan dalam intervensi perubahan perilaku berupapromosi kesehatan dan bagaimana hidup sehat,difokuskan terhadap perilaku hidup bersih dan sehat,kebersihan diri, lingkungan, dan tata carapengelolaanpangan yang higienis dan saniter, dan hal-hal lain.

Dalam pengelolaan makanan yang higienis dan saniter,antara lain dengan memperhatikan bahan, alat, dantempat yang digunakan. Penjamah pangan agarsenantiasa menjaga kebersihan pangan, memisahkanbahan pangan matang dan mentah, memasak makanansampai matang, menyimpan makanan pada suhu aman,menggunakan air bersih dan bahan pangan yangbaik.Kebiasaan lain yang perlu dipelihara adalah buangair besar dengan cara-cara yang saniter, yaitumembuang tinja di jamban saniter.

Petugas kesehatan yang bertugas di fasilitas pelayanankesehatan wajib memberikan penyuluhan dankonsultasi agar masyarakat memperoleh wawasan danpemahaman yang benar dalam kegiatan mencegahpenyebaran Hepatitis A dan Hepatitis E di lingkungankeluarga maupun masyarakat.

www.peraturan.go.id

Page 12: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 12

Pendekatan sanitasi total berbasis masyarakat (STBM)merupakan alternatif yang baik dalam pembudayaanperilaku hidup bersih dan sehat agar tumbuh kembangkemandirian masyarakat guna mencegah Hepatitis A danHepatitis E.

2. Hepatitis B, Hepatitis C,dan HepatitisD

Upaya promosi kesehatan yang dapat dilakukan antaralain:

a. Advokasi dan Sosialisasi

Advokasi dan sosialisasi tentang Hepatitis B,Hepatitis C, dan Hepatitis D, yaitu upaya untukmeningkatkan pengetahuan, ketrampilan dankomitmen bagi masyarakat, petugas kesehatan,pengambil keputusan dan tokoh masyarakat;tentang cara penularan, cara pencegahan termasukperlindungan khusus dan pengurangan dampakburuk, deteksi dini, akses layanan, dan dukunganterhadap penanggulangannya, sehingga universalaccess bagi pelaksanaan penanggulangan HepatitisVirus dapat dipenuhi dan dirasakan olehmasyarakat.

Kepada para pengambil keputusan perlu dilakukanadvokasi sehingga didapatkan dukungan yangoptimal untuk mendukung upaya pengendalianHepatitis ini.Sedangkan sosialisasi dilakukankepada masyarakat agar masyarakat mengetahuidengan baik tentang Hepatitis B, Hepatitis C, danHepatitis D sertacara penularan danpencegahannya, melakukan perlindungan khusus,pengurangan dampak buruk, danimunisasi,menerapkan perilaku hidup bersih dansehat terutama pada kelompok masyarakatberisiko, seperti menghindaripenggunaan jarumsuntik, alat kesehatan, dan alat lain yangmenimbulkan luka pada tubuh, yang tidak steril,mencegah perilaku seksual berisiko, tidak bertukarsikat gigi, pisau cukur, dan alat tattoo, sertamenghindari perilaku berisiko lainnya yangberpotensi menularkan Hepatitis B dan Hepatitis C,melakukan deteksi dini, dan mengetahui apa yangharus dilakukan apabila terinfeksi atau berisiko.

www.peraturan.go.id

Page 13: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.112613

b. Intervensi Perubahan Perilaku

Intervensi perubahan perilaku dilakukan melaluipenyuluhan, pendampingan, pemberian konseling,dan penyediaan sarana dan prasarana yangdiperlukan untuk mendukung perubahan perilakuyang dilakukan. Intervensi perubahan perilakudilakukan pada kelompok populasi berisiko tinggimaupun kelompok populasi rawan tertular danmenularkan penyakit ini.

c. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat bertujuan agarmasyarakat atas kesadarannya dapat berpartisipasiaktif dalam penanggulangan Hepatitis Virus sesuaidengan kapasitas masyarakat tersebut.

Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan padaseluruh komponen masyarakat denganmembentuk kelompok sebaya (peer group)atausupporting groupsebagai motivator dan sumberinformasi untuk meningkatkan akses pelayananserta merubah perilaku, dan menjadi relawanpendamping orang dengan Hepatitis Virus.

Secara khusus, keberhasilan promosi kesehatan dalampenyelenggaraan penanggulangan Hepatitis Virus diharapkandapat menghasilkan dukungan dari berbagai pihak, seperti:

1) Pemerintah Daerah mengalokasikan sumber dayakesehatan yang memadai untuk penanggulangan Hepatitisdi wilayahnya;

2) program dan sektor terkait serta Lembaga SwadayaMasyarakat (LSM) secara bersama-sama bermitra untukmembantu Program Penanggulangan Hepatitis Virus;

3) setiap penduduk yang memiliki risiko bersedia diberikanimunisasi setelah dilakukan pemeriksaan, sesuai pedomanyang berlaku;

4) setiap penduduk memiliki PSP (Pengetahuan, Sikap danPerilaku) dan mendukung penyelenggaraanpenanggulangan Hepatitis Virus; dan

5) setiap penderita Hepatitis Virus mau memeriksakan diri kefasilitas pelayanan kesehatan dan melaksanakanpenanganan secara mandiri dan terus-menerus.

www.peraturan.go.id

Page 14: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 14

B. Perlindungan Khusus

Perlindungan khusus adalah upaya yang dilakukan agarmasyarakat dapat terlindungi dari penularan Hepatitis Virus.Perlindungan khusus dapat dilakukan melalui kegiatanpengurangan dampak buruk, seperti:

1. Penggunaan kondom

Penggunaan kondom terutama ditujukan bagi kelompokmasyarakat yang memiliki hubungan seksual berisiko.

2. Pengunaan alat pelindung diri (APD)

Penggunaan APD diwajibkan bagi petugas kesehatan ataumasyarakat yang melakukan aktifitas berisiko, sepertimemakai masker dan sarung tangan, dan baju dankacamata pelindung.

3. Menghindari penggunaan jarum suntik dan alat kesehatanperalatan lainnya yang tidak steril

Masyarakat wajib menghindari penggunaan jarum suntiksecara bergantian atau tidak steril, terutama pada kelompok

pengguna NAPZA suntik, pengguna tattoo, tindik, danakupunktur.

Peralatan lainnya seperti misalnya untuk tindik, peralatanpada kedokteran gigi, operasi, hemodialisis, dll

C. Pemberian Imunisasi

Pemberian imunisasi adalah suatu upaya yang dilakukan untukmelakukan pencegahan terjadinya penularan Hepatitis Virus.Pemberian imunisasi hanya dilaksanakan untuk Hepatitis A danHepatitis B.

1. Imunisasi Hepatitis A dilakukan dengan cara pemberianvaksin Hepatitis A sebanyak dua kali dengan jarak 6 sampai12 bulan terhadap masyarakat di atas usia 2 tahun.Imunisasi hepatitis A dilakukan secara sukarela.

2. Imunisasi Hepatitis B untuk bayi yang lahir dari ibu denganHBsAg negatif atau status HBsAg ibu tidak diketahuidiberikan vaksin hepatitis B sesegera mungkin (sangatdianjurkan imunissai Hepatitis B pada bayi baru lahirdiberikan pada bayi usia <24 jam sesudah kelahiran (HB-0)bersamaan dengan pemberian vitamin K1).Pemberianimunisasi ini kemudian dilanjutkan sesuai programimunisasi nasional, yaitu usia bayi 2 bulan, 3 bulan, dan 4bulan.

www.peraturan.go.id

Page 15: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.112615

Imunisasi Hepatitis B mampu memberikan perlindunganterhadap infeksi Hepatitis B selama lebih dari 20tahun.Keberhasilan imunisasi dinilai dari terdeteksinyaantiHBs di serum penderita setelah pemberian imunisasiHepatitis B lengkap (3-4 kali).

3. Apabila bayi lahir dari ibu dengan HBsAg positif makaimunisasi dengan immunoglobulin harus diberikan <24 jamdari kelahirannya, bersamaan dengan HB-0, dilanjutkansesuai program imunisasi nasional, yaitu usia bayi 2 bulan,3 bulan, dan 4 bulan.Selanjutnya pada saat bayi tersebutberusia 9 – 12 bulan dilakukan pemeriksaan HBsAg dantiter anti HBs.

4. Pemberian imunisasi Hepatitis B pada pada kelompokmasyarakat berisiko tinggi, seperti kelompok populasi yangmelakukan praktik seksual berisiko; pengguna NAPZAsuntik; petugas kesehatan, mahasiswa/pelajar sekolahkesehatan seperti perawat, bidan analis, laboran; orangdekat/keluarga/tinggal serumah; pasangan orang denganHepatitis B; orang dengan riwayat keluarga Hepatitis B; danorang dengan Infeksi Menular Seksual (IMS).

Dikecualikan terhadap kelompok masyarakat yang belumdan atau yang tidak lengkap mendapat imunisasi HepatitisBpada saat lahir, dilakukan pemeriksaan HBsAg dan antiHBs sebelum diberikan imunisasi. Apabila hasilpemeriksaan keduanya negatif maka dianjurkan imunisasiHepatitis B sejumlah 3 dosis dengan jadwal 0 bulan, 1bulan, dan 6 bulan.

D. Surveilans Hepatitis Virus

Surveilans Hepatitis Virus dilakukan secara aktif dan pasifdalam rangka pemantauan wilayah setempat, kewaspadaan dini,dan surveilans sentinel.

1. Pemantauan Wilayah Setempat

Pemantauan wilayah setempat dilakukan dengan carasebagai berikut.

a. Pengamatan terhadap masyarakat danlingkungan/wilayah yang berisiko melalui pendekatansentinel area

Pengamatan melalui pendekatan sentinel areadifokuskan terhadap lingkungan/wilayah yang memilikirisiko Hepatitis A dan Hepatitis E, seperti aksesterhadap air dan sanitasi yang rendah, kawasan/daerah

www.peraturan.go.id

Page 16: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 16

aliran sungai, tempat-tempat umum, serta lingkungankhusus antara lain pondok pesantren dan lembagapermasyarakatan.

b. Pengamatan di fasilitas pelayanan kesehatan untukHepatitis B dan Hepatitis C melalui pelaporan kasus.

2. Kewaspadaan Dini

Kewaspadaan dini dilakukan apabila dalam pemantauanwilayah setempat diketahui bahwa suatu wilayah berpotensitimbul KLB dengan memenuhi kriteria, antara lain:

a. kualitas kesehatan lingkungan yang buruk;

b. ditemukan virus Hepatitis A dan Hepatitis E; atau

c. ditemukan satu kasus positif Hepatitis A dan Hepatitis E.

3. Surveilans Sentinel

Surveilans sentinel dilakukan pada kelompok populasiberisiko untuk memperoleh gambaran tentang besaranmasalah, kecenderungan, pola penyebaran, faktor risikopotensial, dan infeksi silang antar jenis Hepatitis Virus,maupun infeksi lainnya seperti HIV dan Infeksi MenularSeksual lainnya.

Pelaksanaan Surveilans Sentinel Hepatitis pada kelompokberisiko tinggi ini, diintegrasikan pada Surveilans SentinelHIV

Disamping itu Surveilans Sentinel Hepatitis B dilaksanakanpada Balita di fasilitas layanan kesehatan.

Pelaksanaan Surveilans Sentinel ini dilaksanakan setahunsekali, untuk selanjutnya tatacara pelaksanaanya akandiatur lebih lanjuta pada Petunjuk Teknis PelaksanaanSurveilans/Pengamatan Hepatitis B dan C.

E. Pengendalian Faktor Risiko

1. Hepatitis A dan Hepatitis E

Pengendalian faktor risiko terhadap Hepatitis A danHepatitis E dilakukan melalui:

a. Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) secara benar pada 6saat kritis, yaitu:

1) sebelum makan;

2) sebelum mengolah dan menghidangkan makanan;

www.peraturan.go.id

Page 17: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.112617

3) sebelum menyusui;

4) sebelum memberi makan bayi/balita;

5) sesudah buang air besar/kecil; dan

6) sesudah memegang hewan/unggas

b. Pengolahan makanan yang benar, meliputi:

1) menjaga kebersihan, seperti:

mencuci tangan sebelum memasak dankeluar daritoilet

mencuci alat-alat masak dan alat-alat makan

membersihkan dapur

2) memisahkan bahan makanan mentah danmakanan matang:

menggunakan alat yang berbeda untukkeperluan dapur dan untuk makan

menyimpan bahan makanan matang danmentah di tempat yang berbeda

3) Memasak makanan sampai matang:

memasak makanan pada suhu minimal 85oC,terutama daging, ayam, telur, dan makananlaut

memanaskan makanan yang sudah matangdengan benar

4) Menyimpan makanan di suhu aman:

jangan menyimpan makanan di suhu ruangan terlalulama

memasukan makanan yang ingin disimpan ke dalamlemari pendingin

jangan menyimpan makanan terlalu lama di Kulkas

5) Menggunakan air bersih dan bahan makanan yang baik:

memilih bahan makanan yang segar (belum kadaluarsa)dan menggunakan air yang bersih

mencuci buah dan sayur dengan baik

pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga

2. Hepatitis B, Hepatitis C, dan Hepatitis D

Pengendalian faktor risiko terhadap Hepatitis B, Hepatitis C,dan Hepatitis D dilakukan melalui kegiatan:

www.peraturan.go.id

Page 18: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 18

a. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat

Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan cerminanpola hidup yang senantiasa memperhatikan dan menjagakesehatan. Mencegah lebih baik daripada mengobati,prinsip kesehatan inilah yang menjadi dasarpelaksanaan Program PHBS, khususnya dalampengendalian penularan Hepatitis B, Hepatitis C danHepatitis D diantaranya:

1) Imunisasi pada pasangan seksual penderitaHepatitis B

2) Tidak bertukar alat-alat pribadi, seperti sikat gigi,alat cukur dan gunting kuku.

3) Menutup luka yang terbuka agar darah tidak kontakdengan orang lain

4) Penggunaan alat-alat steril pada setiap praktekkecantikan yang menggunakan alat tajam, sepertialat perawatan wajah, kuku tangan, kuku kaki danalat cukur.

b. Skrining darah donor

Palang Merah Indonesia sejak tahun 1992 telahmelakukan pemeriksaan Hepatitis B dan C pada setiapkantung darah donor. Bila hasil pemeriksaan tersebutreaktif maka kantung darah tersebut tidak dipergunakanatau dimusnahkan.

c. Skrining organ untuk transplantasi

Setiap tindakan transplantasi/cangkok atau pemindahanseluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuhyang lain, atau dari suatu tempat ke tempat yang lainpada tubuh yang sama harus terlebih dahulu melaluipemeriksaan Hepatitis B, Hepatitis C dan Hepatitis D.

d. Penggunaan alat-alat medis yang berpotensi

terkontaminasi virus Hepatitis

1) penanganan limbah jarum suntik yang benar,

2) sterilisasi alat sebelum melakukan prosedur infasifmedis.

E. Deteksi Dini dan Penemuan Kasus

1. Hepatitis A

Penemuan kasus Hepatitis A dilakukan melalui orang yang

www.peraturan.go.id

Page 19: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.112619

mempunyai gejala ikterik dan urine seperti air teh.Diagnosis Hepatitis A ditegakkan selain adanya gejala klinisyang kadang tidak muncul, berdasarkan hasil pemeriksaanIgM-anti VHA serum penderita reaktif.

2. Hepatitis B dan Hepatitis C

Deteksi dini hanya dilakukan pada Hepatitis B dan HepatitisC, secara aktif dan pasif terhadap kelompok berisiko tinggi,yaitu:

a. Ibu Hamil adalah ibu yang mengandung janin di dalamrahim dari hasil pembuahan sel telur oleh sel sperma;

b. Petugas Kesehatan adalah setiap orang yangmengabdikan diri dalam bidang kesehatan, memilikipengetahuan dan/atau keterampilan melaluipendidikan di bidang kesehatan yang memerlukankewenangan dalam menjalankan pelayanan kesehatandan kontak langsung dengan darah dan cairan tubuhpasien;

c. Mahasiswa/Pelajar Kesehatan adalah orangyang belajardi perguruan tinggi atau SMK bidang kesehatankhususnya kedokteran, keperawatan, kebidanan, dananalis kesehatan;

d. Wanita Penjaja Seks (WPS) adalah wanita yangmelakukan praktek seks komersial baik secaralangsung maupun terselubung;

e. Pengguna Napza Suntik (Penasun) adalah mereka yangmenggunakan Napza (narkotika, psikotropika dan zatadiktif lain)yang disuntikkan;

f. Waria adalah kependekan dari wanita-pria, yang berartipria yang berjiwa, bertingkah laku, berpenampilanserta mempunyai perasaan seperti wanita, yangmempunyai perilaku seks berisiko;

g. Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL)/Gay adalah Laki-lakibukan waria yang mengakui dirinya pernah melakukankontak seksual dengan sesama laki-laki dan/atauwaria;

h. Warga Binaan Pemasyarakatan(WBP) adalah pria danwanita yang sudah divonis menjalani hukuman yangberada di LAPAS(Lembaga Pemasyarakatan) yang ada diIndonesia;

i. Pasien Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) adalahsetiap orang yang didiagnosis sebagai penderita IMS;

www.peraturan.go.id

Page 20: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 20

j. Orang dengan Infeksi HIV adalah orang yang telahterinfeksi HIV;

k. Penerima Layanan Hemodialisisadalah setiap orangdengan keadaan gagal ginjal menerima layananpembersihan darah dimana darah dikeluarkan daritubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesindiluar tubuh yang disebut dialyzer; dan;

l. Pasangan/Keluarga yang Tinggal Serumah denganPenderita Hepatitis B adalah apabila salah seoranganggota pasangan atau anggota keluarga ada yangmenderita hepatitis B.

m. Orang dengan riwayat keluarga terinfeksi Hepatitis B,yaitu orang dengan keluarga dekat seperti ayahkandung dan ibu kandung dengan riwayat terinfeksiHepatitis B

Deteksi dini dan penemuan kasus dilakukan berdasarkanprosedur sebagai berikut.

a. Setiap ibu hamil yang datang ke fasilitas pelayanankesehatan ditawarkan untuk melakukan pemeriksaanhepatitis B, dapat juga dengan HIV dan syphilis apabilafasilitas pelayanan kesehatan tersebut telah siap.

b. Kelompok berisiko lainnya ditawarkan pemeriksaan HepatitisB dan Hepatitis C.

c. Apabila mereka bersedia maka mereka harusmenandatangani informed consent dan wawancara untukpengisian data yang diperlukan.

d. Selanjutnya diambil darah vena sebanyak 5 ml, bila hasilpemeriksaan di puskesmas dengan metode rapid test reaktifmaka dilakukan pemeriksaan lanjutan pada fasilitas layanankesehatan yang mampu melakukan,untuk dilakukanpemeriksaan konfirmasi.

e. Penegakan diagnosis Hepatitis B dilakukan dengan metodaserologi, dengan metoda yang mempunyai spesifitas dansensitifitas lebih tinggi, setelah hasil pemeriksaanlaboratorium didapatkan, maka untukpengobatan/penanganan kasus dilakukan pemeriksaanmolekuler (PCR).

f. Untuk mendeteksi anti-HCV pemeriksaan awal dilakukandengan metodaRapid Test, lalu selanjutnya perlu dilakukanperiksaan laboratorium untuk konfirmasi, setelah didapatkan

www.peraturan.go.id

Page 21: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.112621

hasilnya untuk penanganan/pengobatan perlu dilakukanpemeriksan molekuler (PCR) dan pemeriksaan genotipe.

g. Secara teknis dan rinci diatur lebih lanjuta pada PetunjukTeknis Deteksi Dini Hepatitis B dan C; serta untuk aspeklaboratorium diatur pada Pedoman Pedoman PemeriksaanLaboratorium Hepatitis.

G. Penanganan Kasus

1. Hepatitis A

Penanganan Hepatitis A pada penderita, adalah :

a. pengobatan, tidak spesifik, utamanya meningkatkandaya tahan tubuh (istirahat dan makan makanan yanghygienis dan bergizi), rawat inap hanya diperlukan bilapenderita tidak dapat makan dan minum sertadehidrasi berat;

b. Isolasi tidak diperlukan;

Selain dilakukan pengobatan terhadap kasus Hepatitis A,perlu didukung penanganan terhadap perilaku danlingkungan, seperti:

a. disinfeksi serentak terhadap bekas cairan tubuh daripenderita;

b. imunisasi pasif pada orang yang terpajan cairan tubuhpenderita;

2. Hepatitis B

a. Penanganan pada Ibu hamil

1) bila hasil pemeriksaan laboratorium untukkonfirmasi reaktif, maka pasien dirujuk ke rumahsakit yang telah mampu melakukan tatalaksanaHepatitis B dan C terdekat.

2) penanganan selanjutnya sesuai SOP rumah sakitrujukan

3) pembiayaan secara mandiri, atau menggunakanBPJS atau asuransi lainnya.

4) hasil pemeriksaan, penanganan dan rekomendasitim ahli di rumah sakit rujukan dikirim kepuskesmas yang merujuk untuk umpan balik(feedback).

5) bila hasil deteksi dini hepatitis B di puskesmasnonreaktif, maka ibu hamil tersebut dianjurkan

www.peraturan.go.id

Page 22: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 22

pemeriksaan anti-HBs untuk mengetahui adatidaknya antibodi.

6) bila hasil pemeriksaan HBsAg dan anti-HBs non-reakif, maka dianjurkan vaksinasi hepatitis Bsebanyak 3 kali secara mandiri.

b. Penanganan bayi yang dilahirkan dari Ibu denganhepatitis B reaktif

1) bayi yang dilahirkan dari ibu yang hepatitis B(HbsAg) reaktif, maka dianjurkan agar diberikanHepatitis B Immunoglobulin (HBIg), vitamin K,vaksinasi hepatitis B hari ke-0 (HB 0) diberikansesegera mungkin kurang dari 24 jam setelahkelahiran, diikuti vaksinasi hepatitis B berikutnyasesuai jadwal program imunisasi nasional.

2) setelah bayi berusia di atas 9 bulan, perludilakukan pemeriksaan HBsAg dan anti-HBs padabayi tersebut.

c. Penanganan bayi yang dilahirkan dari Ibu denganhepatitis B non-reaktif

Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan hepatitis B non-reaktif, maka diberikan vitamin K dan HB 0 sesegeramungkin (dianjurkan agar diberikan kurang dari 24jam) setelah kelahiran, diikuti vaksinasi hepatitis Bberikutnya sesuai jadwal program imunisasi nasional.

d. Penanganan pada kelompok populasi berisiko lainnya

1) bila hasil konfirmasi menunjukkan hepatitis Breaktif, maka dirujuk ke FKTSyang mampumelakukan Tatalaksana Hepatitis B dan C.

2) penanganan selanjutnya sesuai SOP berlaku dirumah sakit

3) hasil pemeriksaan, penanganan dan rekomendasitim ahli di rumah sakit rujukan dikirim ke FKTPyang merujuk untuk umpan balik.

4) bila hasil deteksi dini hepatitis B di puskesmasnonreaktif, maka dianjurkan untuk melakukanpemeriksaan anti-HBs untuk mengetahui adatidaknya antibodi.

5) bila hasil pemeriksaan HBsAg dan anti-HBs non-reakif, maka dianjurkan vaksinasi hepatitis Bsebanyak 3 kali.

www.peraturan.go.id

Page 23: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.112623

e. Penanganan kasus terpajan Hepatitis B

Selain penanganan kasus yang ditemukan pada deteksidini Hepatitis B, maka penanganan kasus yangditemukan dapat juga dilakukan pada saat orangterpajan virus Hepatitis B, yaitu mereka yangmengalami inokulasi langsung atau kontak mukosalangsung dengan cairan tubuh penderita Hepatitis B,

maka profilaksis yang digunakan adalah HBIG singledose 0,06 mL/kg BB, yang diberikan sesegeramungkin. Penderita lalu harus menerima imunisasiHepatitis B, dimulai dari minggu pertama setelahpajanan. Bila pajanan yang terjadi adalah kontakseksual, maka pemberian dosis HBIG 0,06 mL/kg BBharus diberikan sebelum 14 hari setelah pajanan, dandiikuti dengan imunisasi. Pemberian vaksin Hepatitis Bdan HBIG bisa dilakukan pada waktu bersamaan,namun di lokasi injeksi yang berbeda

f. Pengobatan Hepatitis B

Pada pasien hepatitis B kronik yang baru terdiagnosis,beberapa pemeriksaan perlu dilakukan sebelumlangkah terapi dipertimbangkan. Hal ini bertujuanuntuk mengoptimalkan hasil terapi, apabiladiperlukan.

Tatacara pengobatan, serta jenis obat yang digunakandiatur lebih lanjut pada Buku PNPK/PedomanTatalaksana Hepatitis B.

1) Terapi Infeksi Virus Hepatitis B Akut

Sembilan puluh lima persen pasien hepatitis akutdewasa akan mengalami resolusi dan serokonversispontan tanpa terapi antiviral. Maka, pada kondisiini terapi umumnya bersifat tidak spesifik,utamanya meningkatkan daya tahan tubuh(istirahat dan makan makanan yang bergizi).Rawat inap hanya diperlukan bila pasien tidakdapat makan dan minum serta terjadi dehidrasiberat.11 Pada pasien dengan hepatitis akutfulminan, pemberian antiviral seperti lamivudinbisa memperpendek fase simtomatik danmempercepat perbaikan klinis danbiokimia,namun tidak mencegah perkembanganhepatitis B akut menjadi hepatitis B kronik.

www.peraturan.go.id

Page 24: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 24

2) Terapi Infeksi Virus Hepatitis B Kronik a) IndikasiTerapi

Terapi pada pasien hepatitis B kronik adalahsesuatu yang harus betul-betul dipertimbangkandengan matang. Beberapa faktor yang diketahuimempengaruhi hasil akhir terapi dan dijadikanindikator memulai terapi adalah:

Nilai DNA VHB serum.

Nilai DNA VHB merupakan salah satuindikator mortalitas dan morbiditas yangpaling kuat untuk hepatitis B. Banyak studitelah membuktikan bahwa nilai DNA VHBserum yang tinggi (>2.000 IU/mL) adalahprediktor sirosis dan KHS yang kuat.28,

29Makapenggunaan kadar DNA VHB sebagaiindikasi memulai terapi dan sebagai tujuanakhir terapi merupakan hal yang sangatpenting.

Status HBeAg.

Status HBeAg pasien telah diketahui memilikiperanan penting dalam prognosis pasiendengan hepatitis B kronik. Beberapa panduanyang ada telah mencoba membedakan indikasiterapi hepatitis B berdasarkan status HBeAg,dengan pasien HBeAg negatif diindikasikanmemulai terapi pada kadar DNA VHB yanglebih rendah.

Nilai ALT serum.

Kadar ALT serum telah lama dikenal sebagaipenanda kerusakan hati, namun kadar ALTyang rendah juga menunjukkan bahwa pasienberada pada fase IT dan akan mengalamipenurunan respons terapi. Telah banyakpenelitian yang menunjukkan bahwa responsobat yang lebih baik dapat ditemukan padapasien dengan ALT yang meningkat.

Derajat kerusakan hati pada pemeriksaanhistopatologis (biopsi).

Adanya tingkat kerusakan histologis yang tinggijuga merupakan prediktor respons yang baikpada pasien dengan hepatitis B. Namun,

www.peraturan.go.id

Page 25: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.112625

mengingat tindakan ini bersifat invasif,penggunaannya sebaiknya hanya pada pasienyang memiliki risiko tinggi KHS atau padapopulasi tertentu.

Pemeriksaan awal pada semua pasien yang dicurigaimenderita hepatitis B adalah pemeriksaan HBsAg.Pasien laludapat dikelompokkan berdasarkan status HBeAg-nya menjadipasien hepatitis B kronik HBeAg positif atau HBeAgnegatif.Pasien HBeAg positif lalu dapat dikelompokkan lagimenjadi 2 berdasarkan status DNA VHB-nya. Pasien yangmemiliki DNA VHB < 2 x 104 IU/mL dan memiliki kadar ALTnormal tidak memerlukan pengobatan apapun. Pasien cukupmenjalani pemantauan DNA VHB, HBeAg, dan ALT rutinsetiap 3 bulan. Demikian pula pasien yang memiliki kadarDNA VHB ≥ 2 x 104 IU/mL harus dipertimbangkan untukmendapat terapi bila nilai ALTnya lebih besar dari 2 kalibatas atas normal. Pasien dengan kadar DNA VHB tinggi danALT di bawah 2 kali batas atas normal tidak memerlukanpengobatan dan cukup menjalani pemantauan DNA VHB,HBeAg, dan

ALT rutin setiap 3 bulan. Pasien-pasien ini berada pada faseIT sehingga terapi tidak akan efektif. Pada pasienpasien ini,pemeriksaan biopsi hati atau pemeriksaan fibrosis noninvasif harus dipertimbangkan pada semua pasien yangberusia ≥ 30 tahun atau pasien yang berusia < 30 tahun namun memiliki riwayat KHS atau sirosis dalamkeluarga.Bila pada pemeriksaan ini ditemukan adanyainflamasi derajat sedang atau lebih, maka terapidiindikasikan. Pasien yang memiliki kadar DNA VHB tinggidan kadar ALT 2-5 kali batas atas normal yang menetapselama lebih dari 3 bulan atau memiliki risiko dekompensasihati harus mendapat terapi. Pemberian terapi jugadianjurkan pada pasien dengan DNA VHB tinggi dan ALT diatas 5 kali batas atas normal. Namun pada pasien dikelompok terakhir ini, bila DNA VHB masih di bawah 2 x 105

IU/mL dan tidak ditemukan tanda dekompensasi hati, makaterapi bisa ditunda 3-6 bulan untuk memantau munculnyaserokonversi HBeAg spontan. Semua pasien yang beradadalam kelompok indikasi terapi ini diduga berada di fase ICsehingga terapi bisa memberikan hasil optimal. Pada pasienyang memberikan respons baik terhadap terapi, pemantauanlebih lanjut masih tetap perlu dilakukan, sementara padapasien yang tidak respons, penggantian ke strategi terapi lainharus dipertimbangkan.

www.peraturan.go.id

Page 26: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 26

Prinsip tatalaksana pada kelompok pasien dengan HBeAgnegatif hampir sama dengan pada pasien dengan HBeAgpositif, namun batasan DNA VHB yang digunakan lebihrendah, yaitu 2 x 103 IU/mL. Pasien yang memiliki DNA VHB< 2 x 103 IU/mL dan memiliki kadar ALT normal tidakmemerlukan pengobatan apapun dan cukup menjalanipemantauan DNA VHB dan ALT rutin setiap 6 bulan.Demikian pula pasien dengan kadar DNA VHB ≥ 2 x 103

IU/mL dan ALT di bawah 2 kali batas atas normal tidakmemerlukan pengobatan dan cukup menjalani pemantauanDNA VHB dan ALT rutin setiap 6 bulan. Pada pasien-pasienini, berdasarkan konsensus Perhimpunan Peneliti HatiIndonesia (PPHI) 2012, pemeriksaan biopsi hati ataupemeriksaan fibrosis non invasif harus dipertimbangkanpada semua pasien yang berusia ≥ 30 tahun atau pasien yang berusia < 30 tahun namun memiliki riwayat KHS atau sirosisdalam keluarga.34Bila pada pemeriksaan ini ditemukanadanya inflamasi derajat sedang atau lebih, maka terapidiindikasikan.Pasien yang memiliki kadar DNA VHB tinggidan kadar ALT di atas 2 kali batas atas normal yang menetapselama lebih dari 3 bulan atau memiliki risiko dekompensasiharus mendapat terapi. Pada pasien yang memberikanrespons baik terhadap terapi, pemantauan lebih lanjut masihtetap perlu dilakukan, sementara pada pasien yang tidakrespons, penggantian ke strategi terapi lain harusdipertimbangkan. Pembahasan lebih lanjut mengenaipemantauan dan hasil akhir terapi dapat dilihat di masing-masing bagian di bawah.

Pasien-pasien hepatitis B kronik yang memiliki risiko KHSyang tinggi juga harus menjalani pemantauan (surveilans)KHS setiap 6 bulan sekali. Pasien yang termasuk dalamkelompok risiko tinggi mencakup lakilaki ras Asia denganusia>40 tahun, perempuan ras Asia dengan usia >50tahun,pasien dengan sirosis hati, dan pasien dengan riwayatpenyakit hati lanjut di keluarga. Surveilans ini dilakukandengan melakukan pemeriksaan AFP dan USG hati secaraberkala.

Terapi pada pasien hepatitis B kronik dengan sirosis sedikitberbeda dari kelompok yang belum sirosis. Pada pasiendengan sirosis kompensata, indikasi terapi masih ditentukankadar DNA VHB. Pasien dengan kadar DNA VHB < 2 x 103

IU/mL tidak perlu diterapi dan cukup menjalanipemantauan DNA VHB, HBeAg, dan ALT rutin setiap 3-6bulan. Sebaliknya, pasien yang memiliki kadar DNA VHB ≥ 2

www.peraturan.go.id

Page 27: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.112627

x 103 IU/mL harus mendapat terapi. Pilihan jenis terapi padapasien hepatitis B kronik dengan sirosis kompensataditentukan oleh kadar ALT pasien. Pada pasien yangmemiliki kadar ALT < 5 kali batas atas normal, pemberianterapi interferon maupun analog nukleos(t)ida sama-samabisa dipertimbangkan. Namun pada pasien dengan ALT ≥ 5 kali batas atas normal, terapi interferon tidak bisa diberikansehingga pilihan yang tersisa hanya analog nukleos(t)ida.Pada pasien hepatitis B kronik yang mengalami sirosisdekompensata, terapi antiviral harus segera diberikan tanpamemandang kadar DNA VHB ataupu ALT. Interferondikontraindikasikan pada kondisi ini sehingga pilihan yangtersedia tinggal analog nukleos(t)ida. Terapi suportif sirosislain juga harus diberikan dan transplantasi hati bisadipertimbangkan

b) Pilihan Terapi

Dengan pilihan yang kita miliki saat ini, eradikasi virussecara total dari tubuh masih belum bisa dilakukan.Kalaupun virus berhasil ditekan jumlahnya dalam darah,DNA virus masih dapat ditemukan di dalam sel hati dalamkondisi dorman. DNA ini bisa mengalami reaktivasi dikemudian hari. Target serokonversi HBsAg, walaumemberikan nilai prognosis yang sangat baik, juga sangatsulit dicapai. Maka terapi pada hepatitis B kronik ditujukanuntuk menekan progresivitas penyakit ke arah sirosis atauKHS. Dengan terapi saat ini, walaupun eradikasi virus tidakbisa dilakukan, pasien hepatitis B bisa bebas dari sirosisatau KHS seumur hidupnya. Inilah mengapa terapisebaiknya disarankan pada setiap pasien yang memilikiindikasi.

Pemilihan terapi yang paling sesuai dengan pasien adalahhal yang perlu diperhatikan sebelum memulai terapi.Sampai saat ini terdapat setidaknya 2 jenis obat hepatitis Byang diterima secara luas, dengan kekurangan dankelebihan masing-masing, yaitu :

(1) Terapi Interferon

Terapi dengan interferonhanya diberikan dalam jangkamaksimal 1 tahun. Terapi dengan interferon selama 1tahun secara umum lebih baik dalam hal serokonversiHBeAg dan HBsAg daripada terapi analog nukleos(t)idayang diberikan pada durasi yang sama.

www.peraturan.go.id

Page 28: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 28

(2) Terapi Analog Nukleos(t)ida

Terapi dengan analog nukleos(t)ida secara umummemiliki efektivitas yang cukup baik, walau padapemakaian 1 tahun efektivitas beberapa jenis analognukleos(t)ida masih kurang baik daripada interferon.Namun penggunaan analog nukleos(t)ida jangkapanjang memiliki efektivitas yang sebanding ataubahkan lebih baik daripada interferon. Biladibandingkan dengan interferon, terapi analognukleos(t)ida memiliki kelebihan berupa ringannya efeksamping dan cara pemberian yang oral. Obat jenis inijuga bisa digunakan pada pasien yang mengalamipenyakit hati lanjut.

Pada prinsipnya, terapi analog nukleos(t)ida harusditeruskan sebelum tercapai indikasi penghentianterapi atau timbul kemungkinan resistensi dan gagalterapi (lihat bagian kegagalan terapi). Namun

khusus untuk pasien dengan fibrosis hati lanjut, terapianalog nukleos(t)ida harus diberikan seumur hidup.

3) Sistem rujukan nasional untuk pasien dengan hepatitisB didesain melibatkan seluruh komponen kesehatanyang ada di masyarakat Indonesia, dimulai dari FKTPsebagai garda terdepan hingga Rumah Sakit UmumDaerah tipe A. Sistem rujukan nasional disusun untukmendeteksi dini masyarakat Indonesia dengan hepatitisB, memberikan tatalaksana yang adekuat sesuaidengan indikasi, memantau terapi dan progresivitaspenyakit, mencegah terjadinya perburukan kondisi, danmencegah terjadinya resistensi. Setiap komponenmemiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda untukmenjamin terlaksananya tujuan dibentuknya sistemrujukan nasional.

a) Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)

Sebagai lini terdepan, FKTP memiliki tugas untukmelakukan pemeriksaan HBsAg pada kelompokdengan risiko tinggi maupun pasien dengan tandadan gejala klinis yang sesuai.Dokter umumbertugas pada sistem rujukan ini. Apabila pasienmemiliki hasil pemeriksaan HBsAg positif, pasienkemudian segera dirujuk ke dokter spesialispenyakit dalam di Rumah Sakit Umum Daerah tipeB/C. FKTP tidak menyediakan obat-obatan

www.peraturan.go.id

Page 29: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.112629

antivirus untuk terapi hepatitis B. Pemeriksaanlaboratorium yang lebih lengkap dilakukan padainstitusi kesehatan yang lebih tinggi (FasilitasKesehatan Tingkat Sekunder/FKTS)

b) Fasilitas Kesehatan Tingkat Sekunder.

Fasilitas Kesehatan Tingkat Sekunder diperlengkapidengan pemeriksaan penunjang yang lebih lengkapdan beberapa jenis obat antivirus untukmemberikan tatalaksana kepada pasien hepatitis Byang dirujuk oleh FKTP. Pemeriksaan penunjangyang wajib disediakan oleh FKTS adalah:

USG

Biopsi hati

AFP

Pemeriksaan Laboratorium:

ALT

HBeAg

Anti-HBe

H B s A g

Pemeriksaan DNA VHB kuantitatif dilakukan denganmelibatkan laboratoriumyang terdapat di tiapprovinsi.Darah pasien diambil di FKTS ini, kemudiandikirimkan sesuai dengan 28protokol pengirimansampel.

Dokter spesialis penyakit dalam diperbolehkanmelakukan tatalaksana pada pasien dengan syarathasil pemeriksaan HBeAg positif dan nilai DNA VHByang rendah (2 x 104 IU/mL – <2 x 108 IU/mL) padapemeriksaan praterapi. Pemberian pegylatedinterferon hanya dapat dilakukan oleh dokterspesialis penyakitdalam konsultangastroenterohepatologi di Fasilitas KesehatanTingkat Tersier (FKTT).Tidak ada obat antivirus yangdisediakan untuk anak pada FKTS ini.

c) Fasilitas Kesehatan Tingkat Tersier.

FKTT memiliki obat antivirus dan pemeriksaan yanglebih lengkap dibandingkan dengan FKTS. Pasiendewasa dirujuk dari FKTS apabila terdapatresistensi, memerlukan pengobatan pegylated

www.peraturan.go.id

Page 30: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 30

interferon, nilai HBeAg negatif, atau nilai DNA VHByang tinggi (≥ 2 x 108 IU/mL) pada pemeriksaanpraterapi.Pada anak, pasien dirujuk ke FKTT danuntuk mendapatkan pemeriksaan biopsi dantatalaksana sesuai indikasi apabila terdapatpeningkatan ALT lebih dari 2 kali lipat batas atasnormal pada pemeriksaan laboratorium di FKTS.Seluruh pemeriksaan padaFKTS dan pemeriksaanDNA VHB kuantitatif tersedia pada FKTS ini. PadaFKTS ini, dokter spesialis penyakit dalam konsultangastroenterohepatologi dan dokter spesialis anakkonsultan gastroenterohepatologi bertanggung jawabdalam melakukan pemeriksaan dan tatalaksanaterhadap pasien hepatitis B yang dirujuk dari FKTS

3. Hepatitis C

Penanganan pada hasil deteksi dini Hepatitis C, adalah:

a. Bila hasil konfirmasi di laboratorium menunjukkanhepatitis C reaktif, maka dirujuk ke rumah sakit yangmampu melakukan Tatalaksana Hepatitis B dan C.

b. Penanganan selanjutnya sesuai SOP yang berlaku dirumah sakit.

c. Hasil pemeriksaan, penanganan dan rekomendasi timahli di rumah sakit rujukan dikirim ke puskesmas yangmerujuk untuk umpan balik.

d. Bila hasil pemeriksaan hepatitis C non-reaktif, makadilakukan penyuluhan (KIE).

e. Pengobatan Hepatitis C pada penderita yang telahterdiagnosis maka sebelum memulai terapi antivirushepatitis C perlu dilakukan pemeriksaan terhadapkemungkinan adanya koinfeksi dengan virus hepatitisB (VHB) dan HIV, mencari kemungkinan penyakitkomorbid lain seperti penyakit hati alkohol, penyakithati autoimun dan non-alcohol fatty liver disease(NAFLD).

f. Pengobatan Hepatitis C

Tatacara pemeriksaan, pengobatan dan obat yangdigunakan, diatur lebih lanjut dalam PNPK/PedomanTatalaksana Hepatitis C

Penatalaksanaan hepatitis C lebih tertuju padahepatitis C kronik karena seringkali pasien hepatitis C

www.peraturan.go.id

Page 31: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.112631

datang ke pusat pelayanan kesehatan sudah dalamfase kronik.

Tujuan pemberian antivirus adalah mencegahmunculnya komplikasi penyakit hati seperti fibrosis,sirosis, karsinoma hepatoselular dan kematian.Targetterapi antivirus adalah pencapaian SVR.Untukmemantau kemungkinan mencapai suatu SVR perludilakukan pemeriksaan HCV RNA secara berkala.Apabila kondisi RVR tercapai maka dapat diperkirakan72,5%-100% SVR akan tercapai tanpa memandanggenotipe.

Penelitian yang dilakukan oleh Fried dkk dari 1.383pasien hepatitis C dengan genotipe 1-4 yang diberikanterapi PegIFN/RBV, 16% pasien dengan genotipe 1mencapai RVR, 71% pasien dengan genotipe 2mencapai RVR dan 60% pasien dengan genotipe 3mencapai RVR. Faktor prediksi RVR meliputi genotipe,usia, muatan virus, kadar ALT dan derajat fibrosis.19

Sedangkan, penelitian oleh Sulkowski dkk.,menunjukkan bahwa perbedaan ras jugamempengaruhi pencapaian SVR. Dari hasil penelitiantersebut didapatkan tingkat pencapaian SVR pada rasorang kulit putih mencapai 44%, ras Afrika-Amerikamencapai 22%, ras orang Latin mencapai 38% dan rasAsia-Amerika mencapai 59%.

Pasien hepatitis C genotipe 1, SVR dapat dicapai pada46% pengguna Peg-IFNα2a dan 42% pada pengguna Peg-IFNα2b. SVR dapat dicapai pada 76% pasien genotipe 2 dan sebesar 82% pada pasien genotipe 3 baik denganmenggunakan Peg IFNα2a maupun Peg-IFNα2b. Pencapaian SVR di Asia adalah sebesar 70% padapasien dengan genotipe 1, 90% pada pasien dengangenotipe 2/3, 65% pada pasien dengan genotipe 4 dan80% pada pasien dengan genotipe 6.Pencapaian SVR diIndonesia adalah sebesar 81,5% pada pasien genotipe 1,90% pada pasien dengan genotipe 2/3, dan 85,7% padapasien dengan genotipe 4. Penelitian yang dilakukanoleh Lin dkk., pada 265 pasien hepatitis C kronikgenotipe 1 dan diterapi dengan Peg-IFN/RBVmenunjukkan bahwa tingkat SVR tertinggi ditemukanpada kelompok pasien dengan usia kurang dari 45tahun dan tingkat SVR terendah ditemukan padakelompok pasien dengan usia lebih dari 65 tahun.

www.peraturan.go.id

Page 32: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 32

Demikian juga penelitian oleh Marco dkk., yangmenganalisis perbedaan jenis kelamin terhadap SVRmenunjukkan pencapaian SVR pada pasien wanitahepatitis C genotipe 1 dengan usia lebih dari 50 tahundidapatkan lebih rendah dibandingkan usia kurang dari50 tahun. Dari hasil penelitian tersebut didapatkanbahwa menopause mempengaruhi pencapaian SVR padapasien wanita hepatitis C genotipe 1 sedangkan padapasien pria hepatitis C genotipe 1 tidak didapatkanhubungan antara usia dengan pencapaian SVR.

Pemberian terapi antivirus dapat dipertimbangkan bagipasien hepatitis C kronik naïve dengan sirosiskompensata tanpa memandang nilai ALT dan tidakmemiliki kontraindikasi terhadap interferon alfa maupunribavirin.Pasien dengan fibrosis berat (METAVIR scoreF3-F4) terapi antivirus sangat dianjurkan untuk segeradiberikan.Pasien dengan fibrosis sedang (METAVIR scoreF2) maupun fibrosis ringan pemberian terapi antivirusdapat diberikan dengan mempertimbangkan manfaatdan risiko pengobatan. Pemberian terapi antivirus padapasien dengan sirosis hati kompensata ditujukan untukmengurangi risiko komplikasi terjadinya sirosis hatidekompensata dan risiko terjadinya karsinomahepatoselular.

1) Tatalaksana Hepatitis Akut

Tatalaksana hepatitis C akut dapat ditunda sampai8-16 minggu untuk menunggu terjadinya resolusispontan terutama pada pasien hepatitis C akut yangsimptomatik.Akan tetapi, pada pasien dengangenotipe IL28B non-CC pemberian terapi antivirusdapat diberikan lebih awal yaitu 12 minggu karenakemungkinan terjadinya resolusi spontan lebihrendah.Pemberian monoterapi dengan Peg-IFN dapatdiberikan dalam tatalaksana hepatitis akut. Durasiterapi hepatitis C akut pada genotipe 1 dilanjutkanselama 24 minggu dan pada

genotipe 2 atau 3 dilanjutkan selama 12 minggu.Penambahan ribavirin tidak meningkatkanpencapaian SVR pada pasien hepatitis C akut yangsedang diterapi dengan Peg-IFN.

www.peraturan.go.id

Page 33: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.112633

2) Terapi pada Infeksi Hepatitis C Kronik

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, terapistandar untuk hepatitis C kronik adalah kombinasiantara Pegylated Interferon-α (Peg-IFNα) dan ribavirin (RBV). Terapi ini memberikan hasil yangkurang memuaskan pada pasien dengan genotipe 1karena hanya 40-50% pasien yang berhasilmencapai sustained virological response (SVR)sedangkan pada genotipe 2 dan 3 sekitar 80% dapatmencapai SVR. Kemajuan yang dicapai pada terapihepatitis C kronik adalah penemuan agen directacting antivirus (DAA) yaitu boceprevir (BOC),telaprevir (TVR), simeprevir, sofosbuvir, dll. Akantetapi sampai saat ini yang tersedia di Indonesiaadalah boceprevir. Pada pedoman ini akan dibahasmengenai panduan terapi antivirus danmonitoringnya.

g. Mekanisme Kerja Antivirus

Untuk lebih memahami cara kerja dari obat antivirusyang digunakan pada pengobatan hepatitis C kronikakan dibahas secara singkat mekanisme kerja darimasing-masing obat.

1) Mekanisme Kerja Pegylated Interferon (Peg-IFN)

Interferon merupakan protein yang dihasilkan olehtubuh dan bersifat sebagaiimunomodulator.Mekanisme kerja interferon adalahmenghambat berbagai tahap replikasi virus meliputisaat virus masuk dalam sel tubuh, uncoating,sintesis mRNA dan sintesis protein.Pegylatedditambahkan dalam formula obat untuk membuatinterferon bertahan lebih lama di dalamtubuh.Manfaat lainnya meliputi penurunantoksisitas, meningkatkan stabilitas obat,perlindungan terhadap proteolisis dan memperbaikidaya larut.Pemberian Peg-IFN 1x/minggu jugamembantu meningkatkan kepatuhan pasien danmemberikan kenyaman bagi pasien.Terdapatbeberapa tipe Peg-IFN, namun yang seringdigunakan dalam pengobatan hepatitis C adalahPeg-IFN α2a dan Peg-IFN α2b.

Perbedaan antara Peg-IFN α2a dan Peg-IFN α2b selain strukturnya adalah waktu paruh absorpsi,

www.peraturan.go.id

Page 34: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 34

waktu paruh eliminasi dan waktu konsentrasimaksimal ditemukan lebih lama pada Peg-IFN α2b.

Beberapa studi menunjukkan keunggulan Peg-IFNα2a dibandingkan Peg-IFN α2b meskipun ada juga studi yang menunjukkan tidak adanya perbedaanefektifitas keduanya dalam terapi hepatitis Ckronik.

2) Mekanisme Kerja Ribavirin

Mekanisme kerja ribavirin masih belumsepenuhnya dimengerti. Saat ini terdapat beberapahipotesis mengenai mekanisme kerja ribavirinyaitu:

Menghambat langsung replikasi VHC

Menghambat enzim inosine monophosphatedehydrogenase pada tubuh pasien

Menginduksi mutagenesis RNA virus

Imunomodulasi melalui induksi sel responsimun T-helper1 (Th1)

Ribavirin cepat diabsoprsi (waktu paruhsekitar 2 jam) dan didistribusikan secara luaske seluruh tubuh setelah pemberian oral,metabolisme utama terjadi di ginjal.

3) Mekanisme Kerja DAA1

Standar terapi dalam tatalaksana hepatitis Ckronik adalah kombinasi Peg-IFN dan Ribavirin.Seiring dengan berkembangnya penemuan directacting antiviral (DAA), untuk meningkatkan angkakeberhasilan pencapaian SVR pada genotipe 1,pada tahun 2011 FDA merekomendasikanpenggunaan triple therapy menggunakan Peg-IFN+RBV dengan boceprevir/telaprevir. Sampaisaat ini terdapat lebih dari 30 DAA antara lainsofosbuvir, simeprevir, daclatasvir, ledipasvir dll

Sofosbuvir (Sovaldi®) adalah suatu analog NS5Bnucleotide polymerase inhibitor.Sofosbuvir bekerjamenghambat kerja enzim RNA polymerase yangdibutuhkan virus hepatitis C untuk bereplikasi.Dibandingkan dengan DAA pendahulunya,sofosbuvir memiliki efek samping yang lebihsedikit, durasi terapi yang lebih pendek, danefektifitas lebih baik.

www.peraturan.go.id

Page 35: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.112635

Gane et al. melakukan sebuah studi pada 95pasien hepatitis C genotipe 1, 2, 3 naïve dangenotipe 1 yang null responders. Kemudian pasientersebut dibagi menjadi 8 kelompok (monoterapisofosbuvir, sofosbuvir + RBV dengan atau tanpaPeg-IFN selama 8 atau 12 minggu). Hasil studitersebut menunjukkan 100% pasien genotipe 2, 3naïve yang diterapi dengan sofosbuvir + RBVmencapai SVR, 84% pasien genotype 1 naïvemencapai SVR. Akan tetapi pada pasien genotipe 1null responders pencapaian SVR hanya 10%sehingga dapat disimpulkan bahwa pasiengenotipe 2, 3 naïve dapat sembuh sempurnadengan pemberian sofosbuvir + RBV selama 12minggu.

4. Terapi Menggunakan Sofosbuvir dan kombinasinya

Pada bulan Desember 2013, FDA menyetujuipenggunaan sofosbuvir sebagai DAA pertama yangdapat digunakan sebagai terapi pada seluruhgenotipe hepatitis C kronik.Dosis sofosbuvir 1 x 400mg/hari dalam kombinasinya dengan ribavirin atauPeg-IFN. Pada gangguan ginjal ringan-sedang tidakdiperlukan penyesuaian dosis sofosbuvir akan tetapitidak diperbolehkan pada pasien dengan gangguanginjal berat (eGFR <30 ml/menit/1.73m2).

Tabel. Pengaturan Penggunaan Sofosbuvir29

Genotipe Regimen terapi Durasi Terapi

Genotipe 1 atau 4 Peg-IFN + RBV + SOF 12 minggu

Genotipe 1(kontraindikasi IFN)

RBV + SOF 24 minggu

Genotipe 2 RBV + SOF 12 minggu

Genotipe 3 RBV + SOF 24 minggu

Genotype 1 sd 4 SOF+Ledipasvir 12 minggu

www.peraturan.go.id

Page 36: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 36

Tentang penggunaan obat Sofosbuvir, beserta rejimen turunan dankombinasinya, akan diatur dan disesuaikan lebih lanjut sesuaidengan perkembangan yang terjadi.

Pengobatan dan obat baru Hepatitis C, saat ini berkembang sangatpesat, ketentuan tentang obat dan pengobatan akan diatur lebih lanutdalam Buku PNPK/tatalaksana Hepatitis C dan Rujukannya.

III. PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Penelitian dan pengembangan dalam rangka penanggulanganHepatitis Virus diarahkan untuk kebijakan peningkatan aksespelayanan yang berkualitas, terjangkau, dan merata, pemberiandiagnostik dan pengobatan yang efektif dan efisien. Sesuai dengankemampuan dalam penelitian dan pengembangan, perlu pula menjadibahan pertimbangan untuk melakukan penelitian dan pengembangandi bidang lain dalam rangka penanggulangan Hepatitis Virus, sepertihepatoprotector dan penggunaan obat tradisional.

IV. KOORDINASI, JEJARING KERJA, DAN KEMITRAAN

Koordinasi, jejaring kerja, dan kemitraan dalam penyelenggaraanpenanggulangan Hepatitis Virus terutama kepada jajaran kesehatan dipusat dan daerah, organisasi profesi, para pakar terkait, lembagadonor, serta lintas sektor terkait.

Pelaksanaan koordinasi, jejaring kerja, dan kemitraan difokuskanuntuk:

1. peningkatan kemampuan deteksi dini dan kinerja surveilansantarjajaran kesehatan, organisasi profesi, dan para pakar, sertalembaga donor dengan sasaran masyarakat berisiko dan wilayahendemis; dan

2. pemberdayaan masyarakat agar semakin memahami tata carapemeliharaan kesehatan, baik untuk dirinya, keluarga, maupunmasyarakat di lingkungannya, serta untuk pendampingan bagimereka mereka dengan Hepatitis B dan atau C; dalam upayamencegah penularan Hepatitis Virus dan meningkatkan perilakuhidup bersih dan sehat sebagai budaya masyarakat, dengansasaran terutama pada pelayanan kesehatan berbasis masyarakat,seperti Posyandu, upaya kesehatan sekolah (UKS), kelompokmasyarakat berkebutuhan khusus, warga binaan pada lembagapemasyarakatan.

V. PERAN SERTA MASYARAKAT

Dalam penyelenggaraan penanggulangan Hepatitis Virus, hal yangpenting dan memerlukan peran aktif masyarakat, antara lain dalammemberikan pengetahuan melalui penyuluhan serta informasi tentang

www.peraturan.go.id

Page 37: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.112637

Hepatitis Virus secara berkelanjutan.

Peran serta masyarakat yang dapat dilakukan terutama adalahbagaimana masyarakat menjadi agen perubahan dalam rangka upayapromotif dan preventif serta penanganan kasus.

Upaya promotif yang dapat dikembangkan di lingkunganmasyarakat adalah dengan memelihara dan menjaga kebersihan diridan lingkungan, memasak makanan yang higienis dan saniter,menjaga pola makan untuk mencegah obesitas, menjagakeharmonisan keluarga dengan menghindari berganti-gantipasangan/melakukan hubungan seksual berisiko, serta tidakmenjalankan perilaku “eksklusif" yang negatif seperti penyalahgunaanNAPZA dan mengonsumsi alkohol.

Upaya preventif yang dapat dikembangkan di lingkunganmasyarakat, antara lain dengan melakukan komunikasi yang intensifagar menerima pemberian imunisasi bagi bayi, anak-anak, dan ibuhamil, menangkal isu dan kampanye negatif terhadap pemberianimunisasi, dan menganjurkan sedini mungkin untuk mengikutideteksi dini dan pengobatan sesuai dengan prosedur dan standar yangberlaku.

Dalam hal di lingkungan keluarga maupun warga masyarakatsekitar terdapat penderita Hepatitis Virus, khususnya Hepatitis B,setelah memperoleh petunjuk dari petugas kesehatan, masyarakatdapat melakukan perawatan dan mengawasi penderita agar menelanobat secara teratur dan sampai tuntas, sedangkan untuk kontakdianjurkan agar senantiasa berhati-hati dan memelihara pola hidupbersih dan sehat.

Dalam rangka penanggulangan KLB Hepatitis A dan Hepatitis E,masyarakat dapat berperan aktif untuk memutus mata rantaipenularan dengan tetap memelihara kesehatan lingkungan,menganjurkan kepada keluarga dan warga di lingkungannya untuksegera berobat agar tidak menjadi sumber penularan sehingga KLBdapat segera dihentikan.

VI. PEMANTAUAN DAN EVALUASI

Pemantauan dan evaluasi dilakukan terhadap aspek manajemendan teknis. Pemantauan dan penilaian terhadap aspek manajemendilakukan untuk memberikan gambaran aksesibilitas, kualitaspengelolaan program, permasalahan, dan dampak. Pemantauan danpenilaian terhadap aspek teknis dilakukan untuk memberikangambaran tentang keberhasilan dan resistensi penanganan kasus.

Pemantauan dilaksanakan oleh pengelola program, baik di pusatmaupun daerah, pada saat program penanggulangan sedang

www.peraturan.go.id

Page 38: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 38

berlangsung guna memberikan koreksi atau perbaikan segera terhadaprangkaian kegiatan yang dilaksanakan.Sebagai contoh, dalampemberian imunisasi Hepatitis B yang sebaiknya diberikan kepada bayisegera setelah kelahirannya, maka apabila pemberian imunisasi padabayi dilakukan di luar periode waktu segera setelah kelahiran bayipada suatu wilayah, disarankan agarselanjutnya pemberian imunisasidapat dilakukan secepatnya (segera setelah bayi lahir). Dalam konteksini pemantauan dilakukan dalam rangka memperoleh gambarantentang aksesibilitas, kualitas pengelolaan program, masalah, dandampaknya. Gambaran selengkapnya data

dan informasi yang diperoleh pada saat proses pemantauan dapatdilihat pada tabel sebagai berikut.

Aksesibilitas Kualitas Program Masalah Dampak

Jumlah bayi yang Proporsibayi yang A – B Peningkatan

diimunisasi memperoleh insidens dan

B segera setelah imunisasiHepatitis prevalens

dibagi jumlah bayi

yang lahir padaperiode yang sama

(A)

B segera setelah

lahir dibagijumlah

bayi yang

diimunisasi pada

Hepatitis B

(B)

Evaluasi dilaksanakan oleh pengelola program, baik di pusatmaupun daerah, setelah pelaksanaan penanggulangan dilakukan padasatu tahun anggaran selesai.Hasil evaluasi dimanfaatkan untukpengambilan keputusan apakah program penanggulangan HepatitisVirus dilanjutkan, dikembangkan, atau dibatasi. Sebagai contohgambaran evaluasi pada kasus pemberian imunisasi Hepatitis Bsebagaimana tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa:

a. apabila masalah yang terjadi semakin besar, maka programdipertimbangkan untuk dikaji kembali; dan

b. apabila kualitas pengelolaan program mencapai lebih dari 95%,program dipertimbangkan untuk ditingkatkan.

Dalam pemantauan dan evaluasi perlu ditetapkan indikator

www.peraturan.go.id

Page 39: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.112639

kinerja, baik untuk mengukur luaran (output) maupun dampak(outcome), sebagai berikut:

1. Indikator Kinerja Output

Indikator kinerja output diperuntukkan bagi satuan kerja yangmelaksanakan kegiatan operasional, seperti kinerja fasilitaskesehatan tingkat pertama (Puskesmas), dinas kesehatankabupaten/kota, dan unit pelaksana teknis.

Indikator kinerja output penanggulangan Hepatitis Virus antaralain:

a. Prosentase Kabupaten/kota yang melakukan advokasi dan atausosialisasi tentang Hepatitis Virus.

b. Prosentase Kabupaten/Kota yang melakukan Deteksi DiniHepatitis B pada kelompok Berisiko

c. Prosentase Kabupaten/Kota yang melakukan PengamatanHepatitis B dan atau C pada kelompok Berisiko Tinggi.

2. Indikator Kinerja Outcome

Indikator kinerja outcome penanggulangan Hepatitis Virus antaralain:

a. Prosentase Masyarakat yang mengetahui dengan benar tentangHepatitis Virus

b. Prosentase Kelompok Masyarakat Berisiko yang MendapatkanLayanan Lanjutan atas Deteksi Dini yang diikuti

c. Prosentase Kelompok Berisiko Tinggi yang MengikutiPengamatan Penyakit dan Mendapatkan Layanan Lanjutan

d. Prosentase penanggulangan KLB Hepatitis A dan E pada suatuwilayah sesuai prosedur yang berlaku

3. IndikatorKinerja Impact

Indikator kinerja Impactpenanggulangan Hepatitis Virus antaralain:

a. Prevalensi Hepatitis B pada Bayi yang Lahir dari ibu denganHBsAg positif(Zero New Infection)

b. Prevalensi Hepatitis B pada Bayi< dari 1%

c. Penurunan Prevalensi Hepatitis C sebesar 30% dari KondisiSaat ini

VII. PENCATATAN DAN PELAPORAN

Kegiatan pencatatan dan pelaporan dilaksanakan bertujuanuntuk mendokumentasikan semua tahap kegiatan pengendalian

www.peraturan.go.id

Page 40: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.1126 40

hepatitis yang sudah dilaksanakan mulai dari input, proses, output,outcome dan impact. Pencatatan berisi hal-hal yang lebih rinci danlebih detail tentang semua kegiatan (proses) yang sudah dilakukan,sedangkan pelaporan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai denganwaktu dan format yang telah ditentukan.

Secara rinci proses pencatatan dan pelaporan penyelenggaraanpenanggulangan Hepatitis Virus berdasarkan hierarki administrasipemerintahan adalah sebagai berikut.

a. Puskesmas wajib mencatat setiap kejadian Hepatitis Virus danselanjutnya dilakukan pelaporan kepada kabupaten/kota sesuaisistem pelaporan terpadu (SP2TP), dengan menggunakan formatterlampir (Form Form LB1 Data Kesakitan dan LB 4 PenyakitMenular).Dikecualikan untuk kejadian Hepatitis A dan HepatitisE yang biasanya timbul sebagai KLB, maka pelaporannyamengikutiprosedur pelaporan KLB/wabah.Dalam pelaporan rutinHepatitis Virus, selain mencantumkan data juga harus disertaianalisis dan rencana tindak lanjut penanggulangan.

b. Dinas kesehatan kabupaten/kota wajib menyampaikan laporankejadian Hepatitis Virus dari seluruh fasilitas pelayanankesehatan, termasuk rumah sakit dan klinik,secara berkalasetiap 3 (tiga) bulan sekali. Setiap laporan disertai dengananalisis situasi dan kecenderungan, pengendalian faktor risiko,dan kemajuan cakupan pemberian imunisasi.

c. Dinas kesehatan provinsi wajib menyampaikan laporan kejadianHepatitis Virus secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali, yangmerupakan hasil kompilasi dari laporan kabupaten/kota diwilayahnya disertai dengan analisis situasi dan kecenderungan,pengendalian faktor risiko, dan kemajuan cakupan pemberianimunisasi, serta potensi penyebaran antarwilayah.

d. Satuan kerja di pusat yang memiliki tugas dan fungsi di bidangpenanggulangan penyakit wajib menyampaikan laporan kejadianHepatitis Virus secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali yangmerupakan hasil kompilasi dari laporan provinsi dan UPT,disertai dengan analisis situasi dan kecenderungan,pengendalian faktor risiko, dan kemajuan cakupan pemberianimunisasi, serta potensi penyebaran antarwilayah.

VIII.PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraanpenanggulangan Hepatitis Virus dilakukan terhadap upaya untukmencegah risiko, kemampuan deteksi dini, dan penanggulangan KLB.

www.peraturan.go.id

Page 41: BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIAtentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 966); 13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang

2015, No.112641

Pembinaan penanggulangan Hepatitis Virus dilakukan melalui:

1. pemberdayaan masyarakat, dengan cara sosialisasi, kemitraan,dan advokasi;

2. peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, dengan pelatihanteknis dan manajemen, pendidikan serta penugasan khusus yangrelevan dengan upaya penanggulangan; dan

3. pembiayaan, dengan penyediaan dana untuk keseluruhankegiatan penanggulangan pada seluruh jenjang administrasipemerintahan termasuk unit pelaksana teknis sesuai denganskala prioritas yang ditetapkan oleh program.

Pengawasan terhadap penyelenggaraan penanggulanganHepatitis Virus dilaksanakan secara fungsional baik secara internalmaupun eksternal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

MENTERI KESEHATAN

EPUBLIK INDONESIA,

NILA FARID MOELOEK

www.peraturan.go.id