Berita DIRGANTARA

47
Berita DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER VOL. 14 NO. 1 MARET 2013 ISSN 1411-8920 PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK ESTABLISHMENT (ALE) NASIONAL Varuliantor Dear DAMPAK AEROSOL TERHADAP LINGKUNGAN ATMOSFER Saipul Hamdi KAJIAN PENGEMBANGAN KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM (KMS) UNTUK LITBANG KEDIRGANTARAAN PADA LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL (LAPAN) Fahmi Alusi MAKNA PUSAT PELUNCURAN ROKET DI PULAU MOROTAI: TINJAUAN ASPEK PERTAHANAN DAN KEAMANAN Euis Susilawati PROSES MANUFAKTUR DAN INTEGRASI STRUKTUR INASAT-1 LAPAN Widodo Slamet DITERBITKAN OLEH: LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA BERITA DIRGANTARA VOL. 14 NO. 1 HLM. 1 - 43 JAKARTA, MARET 2013 ISSN 1411-8920

Transcript of Berita DIRGANTARA

Page 1: Berita DIRGANTARA

Berita

DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

VOL. 14 NO. 1 MARET 2013 ISSN 1411-8920

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI

RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK

ESTABLISHMENT (ALE) NASIONAL Varuliantor Dear

DAMPAK AEROSOL TERHADAP LINGKUNGAN ATMOSFER Saipul Hamdi

KAJIAN PENGEMBANGAN KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM

(KMS) UNTUK LITBANG KEDIRGANTARAAN PADA LEMBAGA

PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL (LAPAN) Fahmi Alusi

MAKNA PUSAT PELUNCURAN ROKET DI PULAU MOROTAI:

TINJAUAN ASPEK PERTAHANAN DAN KEAMANAN Euis Susilawati

PROSES MANUFAKTUR DAN INTEGRASI STRUKTUR INASAT-1

LAPAN Widodo Slamet

DITERBITKAN OLEH:

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA

BERITA DIRGANTARA VOL. 14 NO. 1 HLM. 1 - 43 JAKARTA, MARET 2013 ISSN 1411-8920

Page 2: Berita DIRGANTARA

Berita

DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

VOL. 14 NO. 1 MARET 2013 ISSN 1411-8920

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI

RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK

ESTABLISHMENT ALE) NASIONAL ....................................................... Varuliantor Dear

1 – 8

DAMPAK AEROSOL TERHADAP LINGKUNGAN ATMOSFER ............. Saipul Hamdi

9 – 16

KAJIAN PENGEMBANGAN KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM

(KMS) UNTUK LITBANG KEDIRGANTARAAN PADA LEMBAGA

PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL (LAPAN) .................. Fahmi Alusi

17 – 24

MAKNA PUSAT PELUNCURAN ROKET DI PULAU MOROTAI:

TINJAUAN ASPEK PERTAHANAN DAN KEAMANAN ..................... Euis Susilawati

25 – 34

PROSES MANUFAKTUR DAN INTEGRASI STRUKTUR INASAT-1

LAPAN ................................................................................................... Widodo Slamet

35 – 43

DITERBITKAN OLEH:

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA

BERITA DIRGANTARA VOL. 14 NO. 1 HLM. 1 - 43 JAKARTA, MARET 2013 ISSN 1411-8920

Page 3: Berita DIRGANTARA

Berita

DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

SUSUNAN DEWAN PENYUNTING BERITA

DIRGANTARA

Keputusan Kepala LAPAN

Nomor: 98 Tahun 2013

Tanggal: 22 April 2013

Pembina:

Drs. Sri Kaloka Prabotosari

Pemimpin Umum:

Dra. Ratih Dewanti, M.Sc

Pemimpin Redaksi:

Dra. Elly Kuntjahyowati, MM

Redaksi Pelaksana:

Adhi Pratomo, S.Sos

Dra. Sri Rahayu

Yudho Dewanto, ST

Zubaedi Muchtar

Haryati, SAP

Penyunting:

Ketua

Dra. Euis Susilawati, M.Si

Anggota

Ir. Widodo Slamet, MT

Gathot Winarso, ST, M.Sc

Ir. Timbul Manik, M.Eng

Dra. Sumaryati, MT

Ir. Ediwan, MT

Drs. Agus Harno N., M.Sc

Tata Letak

M. Luthfi

VOL.14 NO.1 MARET 2013 ISSN 1411-8920

DARI MEJA PENYUNTING

Sidang pembaca yang terhormat,

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, Berita Dirgantara Vol. 14, No. 1, Maret 2013 dapat hadir kembali ke hadapan para pembaca sekalian. Berita Dirgantara edisi kali ini memuat 5 (lima) artikel yaitu, “Penentuan Rentang Frekuensi Kerja Sirkuit Komunikasi Radio Hf Berdasarkan Data Jaringan Automatic Link Establishment ALE) Nasional” ditulis oleh Varuliantor Dear. Pada makalah ini disajikan metode penentuan rentang frekuensi kerja suatu sirkuit komunikasi radio HF dengan memanfaatkan data dari jaringan Automatic Link Establishment (ALE) nasional. Dengan jaringan ALE yang saat ini sedang dikembangkan oleh LAPAN, penentuan rentang frekuensi kerja dari sebuah sirkuit komunikasi radio HF dapat dilakukan berdasarkan rujukan data yang diperoleh. Rujukan tersebut berupa informasi dari rentang frekuensi yang berhasil digunakan oleh suatu sirkuit komunikasi pada jaringan ALE dalam periode harian maupun bulanan; “Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer” ditulis oleh Saipul Hamdi. Aerosol yang dilepaskan ke atmosfer melalui proses letusan gunung berapi dapat tersebar ke tempat yang jauh dan berpotensi memberikan dampak langsung dan tak langsung terhadap iklim. Selain menyebabkan terjadinya pendinginan global, aerosol juga mengubah sifat optis awan sehingga meningkatkan albedo awan dan berpotensi mengurangi jumlah curah hujan; “Kajian Pengembangan Knowledge Management System (KMS) untuk Litbang Kedirgantaraan pada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan)” ditulis oleh Fahmi Alusi. Tulisan ini menjelaskan gagasan mengenai pengembangan Knowledge Management System di Lapan agar knowledge yang tercipta dalam kegiatan penelitian dapat terpelihara serta dapat mendukung terbentuknya budaya knowledge sharing guna meningkatan kinerja Lembaga; “Makna Pusat Peluncuran Roket di Pulau Morotai: Tinjauan Aspek Pertahanan Dan Keamanan” ditulis oleh Euis Susilawati. Pusat peluncuran roket di Pameungpeuk saat ini tidak lagi memenuhi syarat untuk digunakan meluncurkan roket-roket besar yang mampu membawa satelit (RPS). Kajian awal yang dilakukan Lapan merekomendasikan beberapa lokasi baru yang dapat dijadikan pusat peluncuran RPS; Artikel terakhir ditulis oleh Widodo Slamet dengan judul “Proses Manufaktur dan Integrasi Struktur Inasat-1 Lapan”. Struktur satelit memiliki fungsi sebagai pengikat dan pelindung muatan-muatan yang dibawa oleh satelit tersebut. Inasat-1 merupakan satelit nano yang digunakan sebagai sarana penelitian untuk meningkatkan kemampuan para peneliti di bidang teknologi satelit. Demikian makalah-makalah yang dapat kami sajikan dalam edisi kali ini, semoga sidang pembaca dapat mengambil manfaatnya. Penyunting

Alamat Penerbit/Redaksi :

LAPAN, JL. Pemuda Persil No. 1

Rawamangun, Jakarta Timur 13220 Telepon : 4892802 (Hunting)

Fax : (012) 4894815

Email : [email protected] [email protected]

Milis : [email protected]

Berita Dirgantara merupakan terbitan ilmiah semi poluler di bidang

kedirgantaraan.

Terbit setiap 3 bulan, memuat tulisan yang bersifat ilmiah semi populer mengenai hasil-hasil penelitian, tinjauan atau pandangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan bidang kegiatan

kedirgantaraan dari para peneliti dan staf LAPAN maupun non LAPAN. Setiap orang dapat mengutip terbitan LAPAN dengan menyebutkan

sumbernya.

Page 4: Berita DIRGANTARA

Penentuan Rentang Frekuensi Kerja Sirkuit..…….(Varuliantor Dear)

1

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI

RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK

ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL

Varuliantor Dear

Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi,Pusat Sains Antariksa, Lapan

e-mail: [email protected]

RINGKASAN

Penentuan frekuensi kerja dari sebuah sirkuit komunikasi radio HF untuk

menjamin keberhasilan komunikasi erat kaitannya dengan kondisi lapisan ionosfer

yang dinamis. Salah satu cara yang telah banyak digunakan hingga saat ini adalah

berdasarkan hasil perhitungan nilai frekuensi kerja yang dapat dipantulkan oleh

lapisan ionosfer dari variasi nilai frekuensi plasma lapisan ionosfer yang terendah

(fmin) maupun yang tertinggi (foF2). Pada makalah ini disajikan metode penentuan

rentang frekuensi kerja suatu sirkuit komunikasi radio HF dengan memanfaatkan data

dari jaringan Automatic Link Establishment (ALE) nasional. Dengan jaringan ALE yang

saat ini sedang dikembangkan oleh LAPAN, penentuan rentang frekuensi kerja dari

sebuah sirkuit komunikasi radio HF dapat dilakukan berdasarkan rujukan data yang

diperoleh. Rujukan tersebut berupa informasi dari rentang frekuensi yang berhasil

digunakan oleh suatu sirkuit komunikasi pada jaringan ALE dalam periode harian

maupun bulanan. Dengan menggunakan data periode harian, rujukan dapat

digunakan untuk menentukan frekuensi kerja pada hari berikutnya. Sedangkan

dengan menggunakan data periode bulanan, perencanaan frekuensi kerja untuk bulan

berikutnya dapat dilakukan berdasarkan data satu bulan sebelumnya. Dengan kedua

jenis periode data tersebut, informasi yang diperoleh akan dapat digunakan untuk

perencanaan penentuan nilai rentang frekuensi kerja suatu sirkuit komunikasi radio HF.

1 PENDAHULUAN

Propagasi yang sangat dominan

terjadi pada komunikasi radio HF (3-30

MHz) adalah propagasi angkasa (skywave

propagation) (Collin, 1995). Oleh karena

itu keberhasilan komunikasi radio HF

sangat erat kaitannya dengan kondisi

lapisan ionosfer yang merupakan media

utama dari perambatan gelombang radio

propagasi angkasa.

Dikarenakan kondisi lapisan

ionosfer yang sangat dinamis, penentuan

frekuensi kerja komunikasi radio HF

yang bertujuan untuk menjamin

keberhasilan komunikasi, dilakukan

berdasarkan penelitian frekuensi plasma

lapisan ionosfer yang menentukan

frekuensi terendah dan tertinggi dari

pemantulan gelombang radio yang dapat

terjadi (Mc Namara, 1991). Dari hasil

penelitian yang diperoleh tersebut,

rentang nilai frekuensi kerja komunikasi

radio HF yang berupa batas frekuensi

terendah (LUF) dan tertinggi (MUF),

serta nilai frekuensi yang optimal (OWF),

diaplikasikan ke dalam bentuk per-

hitungan prediksi frekuensi. Parameter

yang digunakan dalam perhitungan

tersebut adalah jarak suatu sirkuit

komunikasi dan kondisi parameter

lapisan ionosfer seperti ketinggian (h)

dan frekuensi kritis (fmin atau fo) (Jiyo,

2005). Metoda ini dinyatakan cukup

efektif digunakan secara praktek dengan

tingkat keberhasilan mencapai 80%

(Dear et.al, 2012a).

Saat ini LAPAN telah membangun

stasiun komunikasi radio HF di beberapa

lokasi di Indonesia, yakni Bandung,

Pontianak, Watukosek, Manado, dan

Kototabang, yang disebut sebagai jaringan

Automatic Link Establishment (ALE)

Nasional (Dear, 2012b). Jaringan ini

dirancang untuk keperluan kegiatan

Page 5: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:1-8

2

riset dinamika ionosfer yang terkait

dengan kondisi propagasi komunikasi

radio HF dan hal-hal lain yang terkait.

Pada makalah ini dibahas tentang

penentuan rentang frekuensi kerja

komunikasi radio HF dengan memanfaat-

kan data jaringan ALE nasional

tersebut. Tujuan dari makalah ini

adalah untuk memperkenalkan metode

awal dari salah satu pemanfaatan data

jaringan ALE nasional yang dapat

digunakan pada aplikasi komunikasi

radio HF.

2 JARINGAN ALE NASIONAL

Automatic Link Estabilshment (ALE)

merupakan salah satu teknologi terkini

dari komunikasi radio HF(HFlink, 2010).

ALE dirancang sebagai solusi dari

adanya permasalahan perubahan

frekuensi kerja akibat kondisi lapisan

ionosfer yang cukup dinamis. Dengan

teknologi sistem ALE yang diterapkan

pada perangkat komunikasi radio,

operator radio dapat lebih mudah

melakukan komunikasi yang dikehendaki.

Hal ini dapat terwujud dikarenakan

sistem ALE mampu mengevaluasi kondisi

propagasi secara real time.

Dikarenakan perangkat ALE

masih dikategorikan relatif mahal, maka

penggunaan teknologi ini sangat jarang

dimanfaatkan oleh operator radio secara

umum. Hanya beberapa institusi dengan

dana yang cukup besar yang mampu

menyediakan perangkat ini (Basarnas,

2011). Selain harga perangkat yang

cukup mahal, operasional sistem ALE

ternyata juga membutuhkan keahlian

dan pemahaman khusus oleh operator

radio yang melakukan. Sehingga dengan

kondisi tersebut perangkat ALE cukup

lama untuk dapat diterapkan di

masyarakat.

LAPAN saat ini telah mampu

menerapkan stasiun ALE dengan meng-

gunakan perangkat radio konvensional.

Dengan stasiun-stasiun ALE tersebut,

LAPAN telah membangun dan terus

mengembangkan jaringan ALE nasional

yang diperuntukkan untuk kegiatan

penelitian dan pengamatan. Beberapa

stasiun yang telah dibangun dan juga

direncanakan akan diterapkan dalam

waktu dekat disajikan pada Gambar 2-1.

Dari stasiun-stasiun ALE tersebut,

data yang dihasilkan berupa informasi

frekuensi kerja dan waktu komunikasi

seperti yang disajikan pada Gambar 2-2.

Data yang disajikan pada Gambar 2-2

tersebut kemudian diolah kembali untuk

kepentingan penelitian yang dilakukan.

Keteranga:

Telah dibangun Perencanaan KTB = Kototabang

BDG = Bandung PTK = Pontianak WTK = Watukosek

MDC = Manado BIK = Biak KOE = Kupang

Gambar 2-1: Peta stasiun ALE Lapan

Page 6: Berita DIRGANTARA

Penentuan Rentang Frekuensi Kerja Sirkuit..…….(Varuliantor Dear)

3

Gambar 2-2: Data yang diperoleh dari stasiun Bandung pada jaringan ALE nasional

3 PENGOLAHAN DATA JARINGAN ALE

UNTUK PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA

Data yang diperoleh dari jaringan

ALE dapat diolah menjadi informasi

frekuensi kerja suatu sirkit komunikasi

berdasarkan waktu yang digunakan.

Data ini pertama kali di kelompokan

berdasarkan sumber sinyal atau stasiun

yang diterima (Callsign ID). Dari kelompok

sumber sinyal tersebut data yang

diperoleh kemudian disaring (filter) guna

menghilangkan data yang tidak valid

sesuai dengan metode verifikasi

berdasarkan urutan waktu penerimaan

data dan kesalahan sistem (Dear, 2012c ).

Setelah data tersebut disaring (filter)

maka data yang diperoleh dapat

disajikan dalam bentuk informasi

frekuensi kerja berdasarkan waktu

komunikasi suatu sirkit komunikasi

dengan periode harian maupun

bulanan. Pada Gambar 3-1 disajikan

diagram alur pengolahan data yang

dilakukan.

Dari proses yang dilakukan sesuai

diagram alur Gambar 3-1, maka akan

diperoleh data seperti pada contoh

Gambar 3-2. Pada Gambar 3-2 (a)

disajikan data teks yang berisikan

frekuensi berdasarkan waktu komunikasi

dari sebuah sumber stasiun yang

kemudian dapat diubah ke dalam

bentuk grafik seperti yang disajikan

pada Gambar 3-2(b). Pada Gambar 3-2(b)

tersebut disajikan informasi frekuensi

kerja rujukan sebuah sirkuit komunikasi

radio HF sesuai dengan periode data

yang digunakan.

Gambar 3-1: Diagram alur pengolahan data

ALE

MULAI

Klasifikasi Sumber

Sinyal (Stasiun)

Filter data yang

valid (Dear, 20123)

Frekuensi Harian,

dan Bulanan per

sirkuit komunikasi

SELESAI

Data ALE

per Stasiun

Page 7: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:1-8

4

(a)

(b)

Gambar 3-2: Data hasil pengolahan dalam bentuk (a) teks, dan (b) dalam bentuk grafik

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Gambar 4-1 disajikan contoh

hasil pegolahan data ALE selama 3 hari

untuk sirkuit komunikasi Bandung-

Watukosek, dan Pontianak-Watukosek

yang menunjukkan data dalam periode

harian. Berdasarkan data tersebut,

terlihat bahwa perbedaan frekuensi

kerja yang dapat digunakan setiap

harinya tidak terlalu jauh berbeda.

Terlihat kemiripan pola keberhasilan

penggunaan frekuensi antara hari yang

satu dengan hari lainnya dengan batas

nilai frekuensi tertinggi dan terendah

yang tidak jauh berbeda.

Pada Gambar 4-1(a) terlihat bahwa

rentang frekuensi yang dapat digunakan

antara pukul 13 hingga 23 WIB untuk

sirkuit komunikasi Bandung-Watukosek

adalah antara 7 hingga 18 MHz. Data

tersebut terlihat pada tanggal 22, 23,

dan 24 Oktober 2012. Dari hasil yang

disajikan, terdapat beberapa plot data

disekitar frekuensi 18 MHz. Kendatipun

demikian dalam rentang waktu tersebut

frekuensi yang dominan dapat digunakan

adalah frekuensi 18 MHz.

Dari Gambar 4-1(a) terlihat

bahwa antara pukul 00 hingga 06 WIB

pada tanggal 22 dan 24 Oktober 2012,

frekuensi yang dominan tercatat berada

pada rentang frekuensi 7 hingga 10 MHz.

Namun, pada tanggal 23 Oktober 2012

diperoleh hasil yang berbeda, dimana

frekuensi yang dominan tercatat adalah

pada rentang 7 MHz. Hal ini menunjukkan

bahwa data harian dapat digunakan,

akan tetapi cukup signifikan untuk

mengalami fluktuasi perubahan yang

terjadi secara seketika. Perubahan

tersebut dapat disebabkan oleh adanya

fenomena kondisi cuaca antariksa yang

mempengaruhi ionosfer (McNamara,1991).

Page 8: Berita DIRGANTARA

Penentuan Rentang Frekuensi Kerja Sirkuit..…….(Varuliantor Dear)

5

(a)

(b)

Gambar 4-1: Hasil pengolahan data ALE selama 3 hari dari sirkuit (a) Bandung-Watukosek, dan (b)

Pontianak-Watukosek

Hal yang serupa juga ditunjukkan

pada data dari sirkuit Pontianak-

Watukosek seperti yang disajikan pada

Gambar 4-1(b). Pada rentang waktu

antara pukul 00 hingga 07 WIB,

frekuensi kerja yang berhasil digunakan

dominan berada pada rentang 7-10 MHz

baik pada tanggal 22, 23, maupun 24

Oktober 2012. Sedangkan pada pukul

14 sampai 23 WIB, rentang frekuensi

yang dominan tercatat berada pada

frekuensi 7 – 21 MHz hanya terjadi

pada tanggal 23 dan 24 Oktober 2012

saja. Pada tanggal 22 Oktober 2012

terlihat bahwa rentang frekuensi yang

dominan tercatat hanya berada pada

kisaran yang lebih rendah, yakni 7-15

MHz . Hal ini menunjukkan bahwa ada

perbedaan yang signifikan antara

tanggal 22 apabila digunakan sebagai

rujukan untuk tanggal 23. Frekuensi

yang dapat digunakan pada hari

berikutnya ternyata memiliki rentang

frekuensi kerja yang lebih luas untuk

dapat digunakan. Hal ini menunjukkan

bahwa peluang penggunaan frekuensi

kerja yang dirujuk pada tanggal 22 tidak

100% sesuai untuk digunakan pada

tanggal 23 Oktober 2012 namun masih

bisa untuk digunakan.

Penggunaan hasil pengamatan

frekuensi kerja dalam periode harian

untuk digunakan pada hari berikutnya

perlu untuk selalu mempertimbangkan

kondisi cuaca antariksa seperti

fenomena tertentu pada matahari atau

fenomena cuaca antariksa lainnya.

Salah satu contoh yang terjadi adalah

Page 9: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:1-8

6

pada rentang waktu antara pukul 09-12

WIB untuk tanggal 22 hingga 24 Oktober

2012. Terlihat tidak diperolehnya suatu

nilai frekuensi kerja yang dapat digunakan

pada rentang waktu tersebut yang

kemungkinan disebabkan oleh adanya

kemunculan lapisan E Sporadis.

Lapisan E Sporadis dapat memiliki sifat

sebagai efek screening (penghalang) dari

propagasi yang terjadi (Suhartini, 2010).

Berdasarkan hasil tersebut,

rentang frekuensi kerja yang dapat

digunakan pada hari berikutnya tidak

akan jauh berbeda dengan kondisi pada

hari sebelumnya. Pola dan nilai dari

rentang frekuensi kerja yang dapat

digunakan untuk sirkuit komunikasi

Bandung-Watukosek maupun Watukosek-

Pontianak pada hari berikutnya memiliki

pola dan nilai yang hampir sama dengan

hari sebelumnya. Namun untuk

penggunaan informasi frekuensi kerja

tersebut perlu memperhatikan kondisi

cuaca antariksa yang mempengaruhi

ionosfer di hari berikutnya. Salah satu

informasi cuaca antariksa yang paling

dominan adalah kondisi aktifitas Matahari.

Untuk antisipasi serta berdasarkan

pertimbangan teknis perencanaan

komunikasi yang umum digunakan

dalam komunikasi radio HF, penentuan

suatu frekuensi kerja umumnya dapat

dilakukan untuk skala periode bulanan.

Hal ini ditunjukkan seperti hasil yang

disajikan dari keluaran prediksi frekuensi

yang menyatakan bahwa nilai-nilai

frekuensi tersebut merupakan nilai

median bulanan dengan tingkat

keberhasilan mencapai 90% dalam satu

bulan (Lianne, 2010). Oleh karena itu,

dalam pemanfaatan data jaringan ALE

yang digunakan, nilai rentang frekuensi

kerja rujukan suatu sirkuit komunikasi

juga dapat dibuat dalam skala bulanan.

Data frekuensi harian dapat dikompilasi

ke dalam data frekuensi bulanan yang

akan menunjukkan frekuensi kerja yang

dapat digunakan setiap jamnya dalam

periode bulanan.

Pada Gambar 4-2 disajikan hasil

pengolahan data ALE untuk sirkuit

komunikasi Bandung-Watukosek pada

bulan Agustus, September, dan Oktober

2012. Data yang dipilih untuk disajikan

merupakan data modus setiap

waktunya dalam satu bulan. Hal ini

dilakukan agar data yang mewakili data

bulanan merupakan data yang sering

muncul sesuai dengan intepretasi dari

modus suatu data statistik.

Berdasarkan Gambar 4-2 terlihat

bahwa pola yang serupa dominan terjadi

setiap jamnya dalam ketiga bulan data

yang diperoleh. Batas frekuensi tertinggi

tercatat dominan berada pada rentang

15 MHz. Sedangkan batas frekuensi

terendah yang dominan tercatat berada

pada nilai 7 MHz. Dari data yang

diperoleh tersebut, hanya terdapat

beberapa waktu dengan nilai frekuensi

yang lebih tinggi (18-28 MHz) dan

rendah (3 MHz) dalam setiap bulannya.

Fenomena ini dapat terjadi dikarenakan

pada beberapa hari dalam satu bulan,

tercatat keberhasilan menggunakan

frekuensi–frekuensi tersebut dan

dikategorikan sebagai suatu hal yang

wajar. Keberhasilan tersebut dapat terjadi

karena adanya faktor kemunculan

lapisan E sporadis ionosfer dan juga

meningkatnya nilai foF2 pada beberapa

waktu maupun adanya fluktuasi

ketinggian lapisan ionosfer. Dengan

kondisi tersebut, dari ketiga bulan data

yang diperoleh, data yang diperoleh

menunjukkan bahwa rentang frekuensi

kerja yang dapat digunakan selama tiga

bulan tersebut adalah sama, yakni

berada pada rentang 7 hingga 15 MHz.

Informasi ini memiliki makna bahwa

rujukan rentang frekuensi kerja dari

data satu bulan sebelumnya juga dapat

digunakan untuk penentuan frekuensi

kerja di bulan berikutnya. Kendatipun

demikian, apabila periode bulanan

digunakan untuk periode lebih dari 3

bulan ke depan, maka informasi aktifitas

matahari khususnya tren dari siklus

matahari perlu diperhatikan sebagai

informasi tambahan. Hal ini terkait

dengan proses ionisasi yang memiliki

kesesuaian dengan pola bilangan bintik

hitam matahari sebagai indikasi dari

siklus aktifitas matahari (McNamara,1991).

Page 10: Berita DIRGANTARA

Penentuan Rentang Frekuensi Kerja Sirkuit..…….(Varuliantor Dear)

7

Gambar 4-2: Hasil pengolahan data ALE untuk sirkuit komunikasi Bandung-Watukosek pada bulan Agustus, September, dan Oktober 2012

5 PENUTUP

Penentuan rentang frekuensi

kerja komunikasi radio HF dapat

dilakukan dengan memanfaatkan data

dari jaringan ALE nasional. Penentuan

dilakukan dengan merujuk pada data

pencatatan frekuensi kerja sistem ALE

dalam periode harian maupun bulanan.

Berdasarkan analisa dari contoh data

yang diperoleh, penggunaan data pada

skala periode harian memungkinkan

untuk digunakan sebagai rujukan

penentuan rentang frekuensi kerja pada

hari berikutnya. Sedangkan data periode

bulanan memungkinkan untuk

dimanfaatkan dalam perencanaan

penggunaan rentang frekuensi kerja

pada satu bulan berikutnya. Namun,

Page 11: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:1-8

8

berdasarkan hasil yang diperoleh,

penentuan dengan menggunakan data

harian masih harus disertai dengan

catatan bahwa nilai tersebut dapat

digunakan pada saat kondisi cuaca

antariksa berada pada kondisi normal.

Hal ini dikarenakan kondisi cuaca

antariksa dapat mempengaruhi respon

ionosfer secara seketika yang juga

mempengaruhi propagasi komunikasi

radio HF. Dengan kondisi tersebut,

solusi penggunaan data periode bulanan

untuk merujuk perencanaan rentang

frekuensi kerja dalam satu bulan ke

depan merupakan pilihan yang dapat

dilakukan. Data periode bulanan yang

digunakan juga perlu memperhatikan

kondisi aktifitas matahari terutama dari

aspek tren siklus aktifitas matahari. Hal

ini juga sesuai dengan aplikasi secara

nyata dalam suatu perencanaan

komunikasi radio HF yang juga

dilakukan pada layanan prediksi

frekuensi komunikasi radio HF secara

umum.

DAFTAR RUJUKAN

BASARNAS, 2011. Kunjungan dan

Diskusi dalam Rapat Kerja

BASARNAS April 2011, Ciloto,

Bogor, 2011).

Collin, R.E, 1995. Antennas & Radiowave

Propagation. Mc Graww Hill,

1985, ISBN 0-0711808-6.

Dear, V., Syamsudin, S., Syidik, I.,F.,

Nurmali, D., Siradj, A.,M., 2012a.

Laporan Triwulan 2 Kegiatan

Penelitian Tahun 2012 Bidang

Ionosfer dan Telekomunikasi

Pusat Sains Antariksa, LAPAN,

2012.

Dear, V., 2012b. Pengamatan Propagasi

Komunikasi Radio HF Mengguna-

kan jaringan Automatic Link

Establishment (ALE) Nasional dan

Pemanfaatannya. Workshop

Kerjasama LAPAN-UNSRAT,

Manado 22 November 2012.

Dear, V., 2012c. Hasil Awal Uji Indeks T

Ionosfer Regional Menggunakan

Jaringan Stasiun Automatic Link

Establishment (ALE), Berita

Dirgantara, Vol.13 No.3 halaman

102-111.

Hflink, 2010. ALE Handbook for

Government Chapter 3. http://

hflink.com/standards/ download

April 2011.

Jiyo, Yatini, C. 2005. Pengaruh Badai

Antariksa Oktober-November 2003

Terhadap Lapisan Ionosfer dan

Komunikasi Radio, Warta LAPAN

Vol 7 No.3.

Lianne, 2010. WASAPS Version 5.3

Tutorial, IPS Radio and Space

Services, 2010.

McNamara, L.F. 1991. The Ionosphere:

Communications, Surveillance,

and Direction Finding, Krieger

Publishing Company.

Suhartini S, 2007. Komunikasi Jarak

Jauh menggunakan 2 Meteran,

Berita Dirgantara, Vol. 8 No. 3,

halaman 68-71.

Page 12: Berita DIRGANTARA

Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi)

9

DAMPAK AEROSOL TERHADAP LINGKUNGAN ATMOSFER

Saipul Hamdi

Peneliti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lapan

e-mail: [email protected]

RINGKASAN

Aerosol yang dilepaskan ke atmosfer melalui proses letusan gunung berapi

dapat tersebar ke tempat yang jauh dan berpotensi memberikan dampak langsung dan

tak langsung terhadap iklim. Selain menyebabkan terjadinya pendinginan global,

aerosol juga mengubah sifat optis awan sehingga meningkatkan albedo awan dan

berpotensi mengurangi jumlah curah hujan. Di lapisan troposfer, aerosol khususnya

aerosol sulfat yang terdeposisi ke permukaan melalui proses deposisi basah berpotensi

menyebabkan terjadinya hujan asam yang dapat mengganggu keseimbangan zat gizi di

dalam tanah bahkan mengancam kehidupan tumbuh-tumbuhan. Dalam kaitannya

dengan penipisan lapisan ozon, khususnya di belahan bumi utara, aerosol

mengganggu lapisan ozon melalui reaksi denitrifikasi yang menguraikan molekul ozon

menjadi oksigen. Reaksi ini terjadi pada musim panas yang menyediakan banyak

energi matahari untuk memulai reaksi tersebut. 1 PENDAHULUAN

Aerosol memainkan peranan

penting dalam iklim global melalui dua

mekanisme, yaitu dampak langsung dan

dampak tak langsung. Dampak langsung

aerosol terhadap iklim adalah dengan

cara menyerap dan menghamburkan

radiasi matahari sehingga dapat

menyebabkan terjadinya pendinginan

global, dan juga meningkatkan albedo

awan. Dampak aerosol secara tidak

langsung adalah dengan cara memodifi-

kasi sifat optis awan. Keberadaan

aerosol di stratosfer banyak disebabkan

oleh letusan gunung berapi yang

dahsyat, misalnya Gunung Pinatubo

(1991) di Filipina, sedangkan sumber

aerosol di lapisan troposfer didominasi

oleh aktivitas manusia khususnya

dalam penggunaan bahan bakar fosil.

Indonesia yang memiliki 400

gunung berapi dan 130 di antaranya

merupakan gunung berapi aktif tentu

saja memiliki peluang menjadi

penyumbang aerosol yang potensial di

lapisan stratosfer. Dengan letak geografis

yang sangat representatif di khatulistiwa

menjadikan gunung api aktif tersebut

akan memainkan peranan penting

dalam iklim global jika terjadi letusan

yang dahsyat. Berton-ton aerosol sulfat

yang dilepaskan dalam letusan gunung

berapi masuk ke dalam lapisan

stratosfer dapat mencapai ribuan

kilometer jauhnya, serta memberikan

kontribusi yang nyata dalam perubahan

iklim global.

Dalam skala global, aerosol yang

dikeluarkan oleh letusan Gunung

Pinatubo telah menyebabkan pendinginan

global (global cooling) dengan penurunan

suhu sebesar 0,5-0,7 °C di troposfer

bawah dan belahan bumi utara pada

September 1992 (Dutton and Christy,

1992). Selain berdampak pada iklim

global, aerosol juga diyakini dapat

menyebabkan hujan asam, bahkan

penipisan lapisan ozon melalui proses

heterogeneous reaction, khususnya di

daerah kutub utara. Makalah ini

disusun untuk menguraikan sumber

aerosol di lapisan toposfer dan stratosfer,

dampak aerosol terhadap iklim global

baik langsung maupun tidak langsung,

maupun dampaknya terhadap ozon

stratosfer, serta kaitan aerosol dengan

proses terjadinya hujan asam.

Page 13: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:9-16

10

2 AEROSOL DI LAPISAN TROPOSFER DAN STRATOSFER

2.1 Aerosol di Lapisan Troposfer

Aerosol adalah kumpulan dari

partikel-partikel padat yang tersuspensi

di dalam medium gas dalam waktu yang

cukup lama dan memungkinkan untuk

diamati dan diukur. Pada umumnya,

partikel aerosol berukuran 0,001-100 µm

sehingga kasat mata namun keberadaan-

nya tidak dapat dipungkiri. Aerosol

terdapat di atmosfer, dari permukaan

hingga ketinggian stratosfer. Bahkan

tanpa disadari, aerosol pun banyak

terdapat di dalam ruangan, terutama

ruangan tertutup dengan ukuran yang

sangat halus (nano aerosol).

Aerosol dapat terbentuk melalui

dua cara, yaitu proses buatan dan

proses alami yang berasal dari aktivitas

makhluk hidup. Pembakaran bahan

bakar fosil, umpamanya untuk kegiatan

industri dan transportasi, dipercaya

memberikan sumbangan yang cukup

besar terhadap peningkatan jumlah

aerosol atmosfer, khususnya di lapisan

troposfer bawah. Kandungan sulfur pada

bahan bakar fosil akan menghasilkan

aerosol sulfat ke udara. Hampir sebagian

besar jumlah aerosol yang terdapat di

lapisan troposfer bawah merupakan

turunan dari sulfurdioksida yang

dihasilkan dari pembakaran bahan bakar

fosil. Demikian juga dengan kebakaran

hutan yang sering terjadi di beberapa

negara, termasuk Indonesia, menghasilkan

aerosol dalam jumlah yang sangat

banyak dan terdistribusi hingga ke

tempat yang sangat jauh (remote area).

Aerosol yang dihasilkan dalam persitiwa

kebakaran hutan lebih dikenal dengan

istilah aerosol organis ataupun black

carbon.

Aerosol juga dihasilkan oleh

tumbuh-tumbuhan berupa senyawa

organis tidak stabil (VOC: volatile organics

compounds). Informasi mengenai

mekanisme pelepasan VOC ini masih

sangat sedikit yang diketahui mengingat

sangat beragamnya jenis vegetasi yang

dikenal. Salah satu jenis VOC yang

sangat dikenal adalah Dimethyl Sulfide

(DMS), yaitu jenis VOC utama yang

dilepaskan oleh phytoplankton di lautan

dan berperan penting dalam siklus

sulfur di atmosfer. Selain itu, laut juga

menghasilkan aerosol melalui mekanisme

bursting bubbles pada permukaan laut.

Dengan demikian maka lautan merupakan

sumber aerosol yang sangat luas bagi

atmosfer bumi (Warneck, 1988). Aerosol

yang berasal dari laut utamanya

merupakan aerosol garam laut misalnya

Cl, Na, dan Ca.

Ditinjau dari segi ukuran maka

aerosol dapat dibagi menjadi tiga, yaitu

inti aitken, inti besar, dan inti raksasa.

Namun, klasifikasi terhadap ukuran ini

sangat bergantung pada tujuannya

(Kumar et al., 2010). Misalnya untuk

tujuan kedokteran (toksikologi), aerosol

diklasifikasikan menjadi ultrafine (< 100

nm), fine (< 1000 nm), dan coarse (> 1000

nm). Namun demikian, pembatasan

klasifikasi tersebut tidaklah disepakati

secara tegas, dan sangat bergantung

pada tujuan dan penggunaannya.

Tabel 2-1: KLASIFIKASI AEROSOL BERDASARKAN DIAMETERNYA, SERING DIGUNAKAN OLEH METEOROLOGIST

Ukuran (diameter) Sumber

Inti Aitken < 0,001-0.1 µ Dihasilkan dari pembakaran, dan

konversi gas-partikel

Inti besar 0,1 – 1,0 µ Garam, spora halus, hasil pembakaran,

penggumpalan inti Aitken

Inti raksasa > 1 µ Garam, spora kasar, hasil dari proses

industri

Page 14: Berita DIRGANTARA

Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi)

11

2.2 Aerosol di Lapisan Stratosfer

Munculnya aerosol di lapisan

stratosfer didominasi kuat oleh letusan

gunung berapi yang menyemburkan

ribuan ton sulfur dioksida (SO2) ke

atmosfer di samping material debu

lainnya, bahkan mencapai lapisan

stratosfer. Gas SO2 dapat berubah

menjadi H2SO4/H2O langsung melalui

konversi gas ini ke partikel serta reaksi

heterogen dengan uap air melalui bantuan

radiasi matahari pada ketinggian tertentu

(McCormick et al., 1995). Di lapisan

stratostefer, aerosol sulfat ini dapat

menyebar hingga ke daerah yang sangat

jauh, bergantung pada keadaan meteo

makro dan sirkulasi global atmosfer.

Letusan gunung berapi yang dahsyat

akan meningkatkan secara cepat jumlah

aerosol sulfat di lapisan stratosfer.

Aerosol sulfat di lapisan stratosfer ini

memiliki waktu hidup yang lebih lama

dibandingkan dengan waktu hidupnya

di lapisan troposfer, khususnya troposfer

bawah.

Salah satu letusan gunung berapi

yang cukup dahsyat dan tercatat dalam

sejarah adalah letusan Gunung Pinatubo

di Philipina pada tanggal 15 Juni 1991.

Dunia ilmu pengetahuan mencatat

bahwa letusan ini telah mengeluarkan

sulfurdioksida yang sangat banyak

jumlahnya, dari 500 ton (13 Mei) menjadi

5.000 ton (28 Mei) atau meningkat

sebanyak 10 kali lipat dalam 2 minggu

pertama setelah letusan (Wikipedia, 2013).

Jumlah sulfurdioksida yang dilepaskan

selama terjadinya letusan adalah

sebanyak 30 juta ton (McCormick et al.,

1995). Gas sulfurdioksida akan bercampur

dengan air dan oksigen di atmosfer dan

berubah menjadi asam sulfat yang akan

mempercepat proses penipisan lapisan

ozon. Letusan ini juga menjadi salah

satu letusan yang mendapatkan perhatian

penuh dari seluruh ilmuwan dunia.

Beberapa perkembangan ilmu

pengetahuan yang diperoleh dari letusan

Mt. Pinatubo antara lain berkaitan

dengan proses-proses dinamika awan

dan aerosol, proses-proses radiatif bumi,

dan proses-proses kimia yang terjadi di

atmosfer. Selain berasal dari letusan

gunung berapi yang dahsyat, aerosol di

lapisan stratosfer juga berasal dari

debu-debu meteorit di lapisan mesosfer,

dan masuk ke dalam lapisan stratosfer

melalui proses pengendapan.

Gambar 2-1: Sumber aerosol di stratosfer (http://noaanews.noaa.gov)

Page 15: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:9-16

12

3 DAMPAK AEROSOL TERHADAP IKLIM GLOBAL

3.1 Dampak Langsung

Dampak aerosol secara langsung

terhadap sistem iklim bumi dapat dibagi

menjadi dua yaitu (i) meningkatkan proses

absorpsi (penyerapan) dan scattering

(penghamburan) radiasi matahari, dan

(ii) menghamburkan, menyerap, dan

memancarkan radiasi panas (Lohmann,

U. and J. Feichter, 2005). Adanya

aerosol di dalam atmosfer bumi akan

meningkatkan Aerosol Optical Depth (AOD)

dan memperluas penutupan awan yang

berakibat pada menurunnya radiasi net

matahari pada puncak awan sehingga

terjadilah pendinginan (Lohmann U. and

J. Feichter, 2005). Selain itu, aerosol-

aerosol karbon dan debu akan menambah

positive forcing pada puncak atmosfer,

setidaknya di daerah dengan albedo

permukaan yang tinggi, dan juga secara

langsung menghangatkan atmosfer. Efek

ini dapat diperkuat jika penyerapan

radiasi matahari dari partikel-partikel

aerosol ini terjadi di dalam tetes awan

(Chÿlek, et al., 1996). Peningkatan

temperatur ini akan mengurangi

kelembapan relatif dan bisa juga

menurunkan evaporasi tetes awan.

Pengurangan penutupan awan dan AOD

awan selanjutnya akan memperkuat

pemanasan sistem atmosfer bumi.

Akibat penyerapan energi matahari

oleh aerosol yang ada di atmosfer bumi

maka sebagian energi sinar matahari

akan tersimpan di atmosfer dan

berpotensi untuk memanaskan atmosfer

bumi. Sementara itu, penghamburan

radiasi matahari yang disebabkan oleh

aerosol menyebabkan radiasi matahari

terpantulbalikkan ke luar atmosfer

bumi. Dampak aerosol secara langsung

ini sangat bergantung pada sifat fisis

aerosol tersebut dan disebut sebagai single

scattering albedo, yaitu perbandingan

antara radiasi yang dihamburkan dengan

yang diserap oleh aerosol. Dalam hal ini,

aerosol yang berukuran 0,1-1 µm (inti

Aitken) merupakan partikel yang paling

efektif dalam menghamburkan radiasi

matahari sehingga memegang peranan

penting dalam iklim global. Karena

ukurannya yang sangat kecil dan

memiliki bobot yang sangat ringan maka

inti aitken berpotensi untuk ditemukan

pada ketinggian yang sangat tinggi

(lapisan stratosfer).

Sebagai gambaran, aerosol yang

bersumber dari letusan Gunung

Pinatubo pada tahun 1991 berdampak

langsung pada menurunnya intensitas

radiasi matahari langsung (direct solar

radiation) sebesar 25-30 % pada lokasi

pengamatan yang disebar pada 4 lintang

yang berbeda. Jumlah rata-rata Aerosol

Optical Depth (AOD) total yang dihitung

pada 10 bulan pertama setelah letusan

adalah sebesar 1,7 kali lebih besar

daripada yang teramati mengikuti letusan

gunung El Chichon pada tahun 1982.

Sementara itu, pada bulan September

1992 temperatur troposfer bawah global

dan pada troposfer telah mengalami

penurunan (global cooling) masing-masing

sebesar 0,5 dan 0,7 °C dibandingkan

dengan sebelum terjadinya letusan.

Terjadinya global cooling ini dikaitkan

dengan berkurangnya jumlah konsentrasi

uap air di troposfer (Soden B.J. et al.,

2002).

3.2 Dampak Tidak Langsung

Selain berdampak langsung

terhadap iklim, aerosol juga

memberikan dampak tidak langsung.

Dampak tidak langsung aerosol dapat

didefinisikan sebagai proses-proses yang

disebabkan oleh aerosol dan berdampak

pada gangguan keseimbangan radiasi

atmosfer bumi dengan cara memodulasi

albedo awan ataupun jumlah awan,

yaitu bertindak sebagai inti kondensasi

awan (CCN: cloud condensation nuclei)

dan inti es (IN: ice nuclei). Adanya

aerosol yang tersuspensi ke dalam awan

akan menyebabkan semakin banyaknya

inti awan (CN: cloud nuclei) sehingga

albedo awan menjadi meningkat dan

waktu hidup awan juga menjadi lebih

lama. Hal ini dapat menyebabkan

berkurangnya jumlah curah hujan.

Page 16: Berita DIRGANTARA

Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi)

13

Gambar 3-1: Dampak tidak langsung aerosol terhadap iklim global adalah dengan cara memodifikasi

sifat-sifat fisis awan

Dampak tidak langsung aerosol

terhadap iklim lainnya adalah

berkurangnya ukuran butiran awan

(cloud droplet). Butiran awan yang

terdapat di atas samudera atlantik

memiliki ukuran yang lebih kecil untuk

awan yang terpolusi dibandingkan dengan

awan yang bersih (Breguier et al, 2000;

Schwartz et al., 2002). Pengamatan

jangka panjang menggunakan satelit

untuk daerah China dan Eropa

menujukkan dampak tidak langsung

aerosol yaitu menurunkan planetary

albedo yang dapat dihubungkan dengan

penyerapan aerosol pada musim dingin

(Krüger and Graßl, 2002, 2004; Krüger

et al., 2004). Dengan demikian maka

butiran awan yang lebih kecil akan

mengurangi efisiensi presipitasi dan

sekaligus menambah waktu hidup awan

dan reflektivitasnya.

4 DAMPAK AEROSOL TERHADAP HUJAN ASAM

Aerosol yang berada di lapisan

troposfer, akan terdeposisi ke permukaan

bumi melalui proses deposisi basah dan

kering. Deposisi basah terjadi jika

aerosol terlarut ke dalam air hujan dan

turun bersama-sama dengan hujan.

Sebaliknya, deposisi kering terjadi

melalui proses pengendapan yang tidak

melibatkan kejadian hujan. Jika aerosol

yang terlarut ke dalam air hujan

merupakan senyawa yang bersifat asam

(misalnya turunan dari SO2 dan NOx)

maka pH air hujan akan mengarah

kepada pH yang bersifat asam. Dalam

hal ini, kemampuan tanah dalam

menetralisir senyawa yang bersifat asam

akan sangat menentukan kelestarian

lingkungan hidup. Tanah yang bersifat

asam cenderung akan kehilangan zat

gizi yang dibutuhkan oleh tetumbuhan

yang akhirnya akan menurunkan jumlah

tetumbuhan yang dapat tumbuh. Tentu

saja ini akan mengganggu keseimbangan

alam.

Efek hujan asam berbeda-beda

terhadap lokasi. Rusaknya permukaan

dedaunan ataupun batang pohon akan

menurunkan kemampuannya dalam

beradaptasi dengan iklim yang ekstrim

(panas atau hujan) dan juga mem-

pengaruhi kesuburannya. Hutan-hutan

dataran tinggi sangat mudah terkena

serangan penyakit karena mereka

dikelilingi oleh awan ataupun kabut

yang bersifat lebih asam. Tetumbuhan

juga menderita karena pengaruh hujan

asam terhadap tanah. Kontaminasi

hujan asam yang berlebihan pada tanah

akan cenderung menghilangkan zat gizi

yang penting, dan ini akan menurunkan

kandungan aluminium di dalam tanah.

Kekurangan senyawa alumunium

menyebabkan pertumbuhan tumbuhan

menjadi lebih lambat atau bahkan mati

sama sekali.

Page 17: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:9-16

14

Gambar 4-1: Proses deposisi basah dan kering yang mencuci atmosfer dari senyawa-senyawa aerosol

yang bersifat asam

5 DAMPAK AEROSOL TERHADAP

PENIPISAN LAPISAN OZON

Pemantauan aerosol stratosfer

secara rutin dilakukan sejak Oktober

1978 menggunakan sensor Stratospheric

Aerosol Measurement II (SAM II) yang

ditumpangkan pada Satelit NIMBUS 7.

Proyek penelitian ini mengarahkan

kepada penemuan PSCs dan diketahui

bahwa PSCs ini memiliki siklus musiman

di kedua belahan kutub dunia. Sifat-

sifat PSCs ini diketahui dari pengamatan

menggunakan sensor tersebut. Diketahui

bahwa koefisien peluruhan (extinction)

PSCs berkisar antara 10-3/km hingga

10-2/km. meskipun tidak ditemukan

awan dengan koefisien ekstingsi yang

lebih besar daripada 10-2/km namun

ada indikasi bahwa hampir sebagian

besar awan memiliki indikasi optical

depth. Ini penting karena meskipun

suhu di stratosfer mencapai -80°C

hingga -85°C, namun air murni akan

terkondensasi (dengan asumsi bahwa

kandungan air 5 ppmv). Jika setiap

partikel aerosol stratosfer ambient

menjadi tetes awan (water cloud droplet)

maka awan akan terkomposisikan dari

tetes dengan jejari 2-3 mikron dan awan

akan memiliki ekstingsi yang lebih besar

daripada 10-1/km.

Gambar 5-1: NIMBUS 7 dan SAM II yang

menempel (http://sage.nasa.Gov SAM/

Polar Stratospheric Clouds (PSCs)

merupakan awan stratosfer yang tersusun

atas larutan asam nitrit dengan

sejumlah kecil HCl dan H2SO4. PSCs

dapat juga terkomposisi dari campuran

bahan-bahan kimia yang lainnya,

terutama N2O5, ClO, dan ClNO3, dan

merupakan unsur penting dalam

peristiwa terjadinya lubang ozon. PSCs

memiliki efek yang tidak baik terhadap

Page 18: Berita DIRGANTARA

Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi)

15

ozon, yaitu (i) memisahkan oksida nitrat

(misalnya asam nitrit, NO2) yang dapat

bereaksi dengan klorin monoksida (ClO)

untuk membentuk klorin nitrat

(ClONO2), dan (ii) bertindak sebagai

tempat terjadinya reaksi fase gas yang

lambat menjadi sangat cepat secara

heterogen (gas yang bereaksi pada

permukaan benda padat). Efek yang

kedua ini dapat digambarkan sebagai

berikut,

HCl + ClONO2 --- pada permukaan es -- Cl2 (gas) dan HNO3

Reaksi tersebut dapat berlangsung

secara cepat pada permukaan butiran

awan cirrus stratosfer yang berwujud

kristal. Adanya SO2 di dalam butiran

awan akan mengubah sifat optis awan

sehingga berwujud sebagai kristal es

pada lapisan stratosfer. Selanjutnya,

klorin akan mempercepat proses

perusakan ozon melalui reaksi sebagai

berikut.

(1) Cl + O3 ClO + O2

(2) ClO + O Cl + O2

Hasil dari rangkaian reaksi tersebut

adalah O3 + O 2O2, yaitu berubahnya

satu molekul ozon menjadi 2 molekul

oksigen akibat adanya senyawa klorin.

SO2 gunung berapi dapat

mengurangi lapisan ozon dengan cara

menyerap radiasi matahari pada panjang

gelombang 180 – 390 nm, yaitu panjang

gelombang yang bersesuaian dengan

proses fotolisis O2 (diperlukan saat

pembentukan molekul ozon). Karena

terjadi pengurangan proses fotolisis

maka berakibat juga pada berkurangnya

proses pembentukan ozon. Selain

mengurangi proses pembentukan molekul

ozon, SO2 juga dapat menambah

konsentrasi ozon stratosfer, yaitu

dengan cara menyerap radiasi ultraviolet

matahari untuk menghasilkan precursor

ozon (atom O). Dengan kata lain, SO2

mengkatalisis proses pembentukan

ozon, seperti ditunjukkan pada persamaan

reaksi berikut ini:

SO2 + hν SO + O (λ < 220nm) (5-1)

SO + O2 SO2 + O (5-2)

2(O + O2 + M O3 + M) (5-3)

3O2 2O3 (5-4)

Pada panjang gelombang kurang

dari 220 nm, SO2 akan terurai menjadi

satu molekul SO dan satu atom O yang

bersifat tidak stabil. Molekul SO kemudian

akan bereaksi dengan molekul oksigen

lainnya untuk menghasilkan molekul

SO2 kembali dan satu atom O.

Selanjutnya atom oksigen dan molekul

oksigen akan bergabung kembali menjadi

molekul O3 . Akhirnya, dengan bantuan

molekul SO2 dan radiasi matahari (λ <

220nm) maka 3 molekul oksigen akan

diubah menjadi 2 molekul ozon pada

lapisan stratosfer.

6 PENUTUP

Aerosol stratosfer memiliki peran

yang sangat kuat dalam proses terjadinya

perubahan iklim. Dampak langsung

yang berkaitan dengan radiasi matahari

adalah terjadinya pendinginan global

atau global cooling, dan dampak tak

langsungnya adalah berkurangnya

intensitas hujan (curah hujan) karena

berubahnya sifat-sifat fisika awan.

Berubahnya sifat fisika awan bisa

terjadi dengan semakin mengecilnya

diameter butiran awan, ataupun

berubahnya titik leleh dan titik beku

awan.

Di lapisan troposfer dan per-

mukaan, aerosol sulfat banyak dihasilkan

dari aktivitas manusia khususnya

dalam pemakaian bahan bakar fosil.

Melalui deposisi basah maka aerosol

sulfat akan terlarut ke dalam air hujan

Page 19: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:9-16

16

dan jatuh ke permukaan bumi dalam

bentuk hujan asam. Hujan yang bersifat

asam tentu saja akan mengganggu

keseimbangan lingkungan. Dampak

langsung hujan asam terhadap

tumbuhan adalah menyebabkan

tumbuhan menjadi kering dan

selanjutnya mati, sedangkan dampak

jangka panjangnya adalah mengurangi

tingkat kesuburan tanah sehingga

mengganggu pertumbuhan tanaman.

SO2 yang dihasilkan dari letusan

gunung berapi dapat berperan sebagai

penghambat proses pembentukan ozon

di stratosfer dengan cara menyerap radiasi

matahari (λ 180-390 nm) sehingga

mengurangi proses fotolisis yang

diperlukan dalam pembentukan ozon,

dan secara bersamaan dapat pula

mengkatalisis proses pembentukan ozon

dengan cara menyerap radiasi matahari

lainnya (λ < 220 nm).

DAFTAR RUJUKAN

Breguier, J.L.; Pawlowska, H.; Schuller,

L.; Preusker, R.; Fischer, J.; and

Fouquart, Y., 2000. Radiative

Properties of Boundary Layerclouds:

Droplet Effective Radius Versus

Number Concentration, J. Atmos.

Sci., 57, 803-821.

Chÿlek, P.; G.B. Lesins; G. Videen;

J.G.D. Wong; R.G. Pinnick; D.

Ngo; J.D. Klett, 1996. Black

Carbon and Absorption of Solar

Radiation By Clouds. J. Geophys.

Res., 101, 23 365–23 371.

Dutton, E.G.; J.R. Christy, 1992. Solar

Radiative Forcing at Selected

Locations and Evidence for Global

Lower Tropospheric Cooling

Following the Eruptions of El

Chichón and Pinatubo.

Geophysical Research Letters,

Volume 19, p. 2313-2316.

Kumar, P; A. Robins; S. Vardoulakis; R.

Britter, 2010. A Review of the

Characteristics of Nanoparticles in

the Urban Atmosphere and the

Prospects for Developing Regulatory

Controls. Atmospheric Environment,

44.

Krüger, O.; Graßl, H., 2002. The Indirect

Aerosol Effect Over Europe.

Geophys. Res. Lett., 29.

Krüger, O.; Graßl, H., 2004. Albedo

Reduction by Absorbing Aerosols

Over China”. Geophys. Res. Lett.

Krüger, O.; R. Marks; H. Graßl, 2004.

Influence of Pollution on Cloud

Reflectance. J. Geophys. Res., 109.

Lohmann, U.; J. Feichter, 2005. Global

Indirect Aerosol Effets: a Review.

Atmospheric Chemistry and

Physics, 5, 715-737.

McCormick, M.P.; L.W. Thomason; C.R.

Trepte, 1995. Atmospheric Effects

of the Mt Pinatubo Eruption.

Nature, 373, 399-404.

McElroy, M.B.; R.J. Salawitch; S.C.

Wofsy; J.A. Logan, 1986. Reduction

of Antarctic Ozone Due to Synergistic

Interactions of Chloride And

Bromine. Nature, 321, 759-762.

Schwartz, S. E.; Harshvardhan;

Benkovitz, C., 2002. Influence of

Anthropogenic Aerosol on Cloud

Optical Depth and Albedo Shown

by Satellite Measurements and

Chemical Transport Modeling. Proc.

Nat. Acad. Sciences, 99, 1784–

1789.

Soden, B.J.; R. T. Wetherald; G. L.

Stenchikov; A. Robock, 2002.

Global Cooling After Eruption of

Mount Pinatubo: a Test of Climate

Feedback by Water Vapor.

Science, 297, 727-730.

Solomon, S.; R. R. Garcia; F. S. Rowland;

D. J. Wuebbles, 1986. On The

Depletion of Antarctic Ozone.

Nature, 321, 755–758.

Warneck, P., 1988. Chemistry of the

Natural Atmosphere. San Diego

Academic Press.

Wikipedia, 2013. http://en.wikipedia. org/

wiki/Mount_Pinatubo, diunduh

pada tanggal 21 Juni 2013 pukul

10:10 WIB.

Page 20: Berita DIRGANTARA

Kajian Pengembangan Knowledge Management...... (Fahmi Alusi)

17

KAJIAN PENGEMBANGAN KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM

(KMS) UNTUK LITBANG KEDIRGANTARAAN PADA LEMBAGA

PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL (LAPAN)

Fahmi Alusi

Pranata Komputer Pertama, Biro Kerjasama dan Humas, Lapan

e-mail: [email protected]

RINGKASAN

Lapan adalah lembaga pemerintah yang bertugas melakukan penelitian dan

pengembangan kedirgantaraan dan pemanfaatannya. Sejak didirikan pada tahun 1963

hingga saat ini sudah banyak karya penelitian dan pengembangan yang dihasilkan.

Pengetahuan yang tercipta selama proses penelitian hendaknya dapat disimpan dan

dikelola dengan baik untuk dapat dijadikan best practice dikemudian hari. Seringkali

pengetahuan tidak terdokumentasi sehingga ketergantungan pada satu orang yang

menguasai bidang pekerjaan spesifik sangat tinggi. Supaya penyebaran pengetahuan

dapat merata dan kinerja dapat ditingkatkan perlu adanya peran aktif pegawai dalam

berbagi pengetahuan. Tulisan ini menjelaskan gagasan mengenai pengembangan

Knowledge Management System di Lapan agar knowledge yang tercipta dalam kegiatan

penelitian dapat terpelihara serta dapat mendukung terbentuknya budaya knowledge

sharing guna meningkatkan kinerja Lembaga. Metode penelitian yang digunakan

bersifat kualitatif deskriptif dengan melakukan kajian terhadap dokumen renstra,

analisis strategi sistem informasi dan pengembangan konsep KMS. Hasil penelitian

menyimpulkan bahwa kebutuhan pengembangan KMS berada pada kuadran high

potential. Adapun fitur KMS yang diusulkan terdiri dari taxonomy, search, publishing,

personalization, integration, collaboration, web service, security, scalability dan

extendibility. Diharapkan dengan menerapkan fitur dan elemen KMS ini dapat

menumbuhkan budaya knowledge sharing guna mendukung peningkatan kinerja

lembaga.

1 PENDAHULUAN

Lembaga Penerbangan dan

Antariksa Nasional adalah lembaga

pemerintah non kementerian yang

bertugas melaksanakan penelitian dan

pengembangan (litbang) kedirgantaraan

beserta pemanfaatannya. Sebagai

lembaga penelitian pastilah sangat

banyak pengetahuan yang sudah

tercipta dalam kegiatan penelitian.

Namun seringkali pengetahuan tersebut

tidak terdokumentasi sehingga keter-

gantungan pada satu orang yang

menguasai bidang pekerjaan spesifik

sangat tinggi. Supaya penyebaran

pengetahuan dapat merata dan kinerja

dapat ditingkatkan perlu adanya peran

aktif pegawai dalam berbagi pengetahuan.

Saat ini Lapan telah memiliki sistem

perpustakaan online (perpustakaan.lapan.

go.id) yang berfungsi sebagai sistem

informasi transaksi perpustakaan serta

sarana dokumentasi koleksi perpusta-

kaan. Koleksi ini berupa buku dan

publikasi ilmiah baik terbitan Lapan

maupun luar. Selain itu Lapan juga

telah memiliki sistem jurnal online

(jurnal.lapan.go.id) yang berfungsi sebagai

sarana dokumentasi khusus publikasi

ilmiah terbitan Lapan. Kedua sistem

informasi tersebut hanya mendokumen-

tasikan pengetahuan berupa hasil

litbang yang sudah terpublikasi secara

resmi dalam bentuk terbitan, sedangkan

pengetahuan yang tercipta dari proses

pelaksanaan kegiatan belum terdokumen-

tasi. Pengetahuan yang dimaksud

contohnya adalah best practice suatu

Page 21: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:17-24

18

pelaksanaan kegiatan, panduan

penggunaan alat yang spesifik, tahapan

instalasi sistem, dan pengetahuan

lainnya yang biasanya tersimpan pada

seseorang yang menguasai pekerjaan

spesifik namun pengetahuan tersebut

sangat diperlukan untuk diketahui orang

lain demi menjaga kesinambungan

jalannya sistem.

Untuk mengatasi permasalahan

tersebut diperlukan adanya suatu sistem

yang dapat mendukung dalam proses

penciptaan knowledge, penangkapan

knowledge, penyimpanan knowledge,

penyebaran knowledge, dan pemanfaatan

knowledge. Sistem tersebut dinamakan

Knowledge Management System (KMS).

Tulisan ini bertujuan mengkaji mengenai

pengembangan KMS untuk litbang

kedirgantaraaan di Lapan agar

knowledge yang tercipta pada kegiatan

penelitian dapat terpelihara serta dapat

membentuk budaya knowledge sharing

guna mendukung peningkatan kinerja

Lapan. Metode yang digunakan bersifat

kualitatif deskriftif dengan teknik

pengambilan data melalui studi dokumen.

2 KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM

Knowledge adalah informasi yang

memiliki nilai dan dapat digunakan

untuk pengambilan keputusan dengan

tujuan tertentu (Becerra et al, 2004).

Kebanyakan organisasi belum

atau tidak mengetahui potensi knowledge

tersembunyi yang dimiliki oleh

anggotanya. Hal ini juga dapat terjadi di

Lapan. Riset Delphi Group menunjukkan

bahwa knowledge dalam organisasi

tersimpan dalam struktur berikut

(Setiarso, 2007):

- 42% dipikiran (otak) pegawai

- 26% dokumen kertas

- 20% dokumen elektronik

- 12% knowledge base elektronik.

Data ini menunjukan bahwa porsi

knowledge terbesar (42%) tersimpan

dalam pikiran/otak manusia saja.

Knowledge yang semacam ini disebut

tacit knowledge, yaitu pengetahuan yang

tersembunyi. Sedangkan explicit

knowledge berbentuk dokumen kertas

(26%), dokumen elektronik (20%) dan

benda elektronik berbasis knowledge

(12%). Potensi tacit knowledge harus

digali lalu dieksplisitkan, disimpan,

diorganisir bersama komponen knowledge

lainnya untuk kemudian di sharing

sehingga dapat dimanfaatkan oleh orang

lain. Proses tersebut dapat dilakukan

melalui knowledge management.

Knowledge Management adalah

sebuah teori manajemen yang diperkenal-

kan pada tahun 1990-an dan definisi

yang diberikan oleh beberapa ahli

memiliki makna yang berbeda bergantung

pada sudut pandang masing-masing ahli

tersebut. Gottschalk (2005) mendefinisi-

kan knowledge management sebagai

metode untuk mensimplifikasi dan

meningkatkan, menciptakan, menangkap,

proses membagi, mendistribusi, dan

memahami knowledge organisasi.

Sedangkan sistem yang mendukung dalam

proses siklus pengetahuan tersebut

dinamakan Knowledge Management

System (KMS).

KMS yang akan dibangun

hendaklah memenuhi kebutuhan

Knowledge Management proses yang

akan berjalan. Menurut Davenport et.al

(1988) sasaran umum dari KMS adalah:

a. menciptakan knowledge: knowledge

diciptakan begitu manusia

menentukan cara baru untuk

melakukan sesuatu atau menciptakan

know-how. Kadang-kadang knowledge

eksternal dibawa ke dalam

organisasi/institusi;

b. menangkap knowledge : knowledge

baru diidentifikasi sebagai nilai dan

direpresentasikan dalam suatu cara

yang masuk akal;

c. menjaring knowledge : knowledge

baru harus ditempatkan dalam

konteks agar dapat ditindaklanjuti.

Hal ini menunjukkan kedalaman

manusia (kualitas tacit) yang harus

ditangkap bersamaan dengan fakta

explicit;

Page 22: Berita DIRGANTARA

Kajian Pengembangan Knowledge Management...... (Fahmi Alusi)

19

d. menyimpan knowledge: knowledge

yang bermanfaat harus disimpan

dalam format yang baik dalam

penyimpanan knowledge, sehingga

orang lain dalam organisasi dapat

mengaksesnya;

e. mengolah knowledge: seperti perpus-

takaan, knowledge harus dibuat up-

to-date. Hal tersebut harus di review

untuk menjelaskan apakah relevan

atau akurat.

f. menyebarluaskan knowledge:

knowledge harus tersedia dalam

format yang bermanfaat untuk semua

orang dalam organisasi yang

memerlukan, dimanapun dan tersedia

setiap saat.

Analisa Critical Succes Factor (CSF)

adalah sebuah teknik yang tidak hanya

digunakan untuk mengembangkan

strategi sistem informasi tetapi juga

untuk pengembangan strategi bisnis.

Hasil dari analisis CSF adalah berupa

kebutuhan informasi yang dibutuhkan

oleh organisasi untuk kemudian

direkomendasikan sistem informasi apa

yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan

informasi tersebut. (Bui Ho, 2008).

Gambar 2-1: Kerangka pikir kegiatan

3 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

3.1 Analisis Strategi Sistem Informasi

Analisis strategi sistem informasi

dilakukan dengan menggunakan teknik

Critical Success Factor dengan merujuk

pada tujuan organisasi dalam dokumen

Renstra Lapan, sebagaimana tertera

pada Tabel 3-1. Untuk mewujudkan

tujuan organisasi yang tertera pada

kolom tujuan dibutuhkan suatu kondisi

tertentu yang menjadi faktor pendukung

kesuksesan pencapaian tujuan (kolom

CSF). Untuk mewujudkan faktor kesuk-

sesan tersebut dibutuhkan adanya

strategi sistem informasi (kolom strategi

SI). Pelaksanaan strategi sistem informasi

direalisasikan dengan membangun

Sistem Informasi yang menjadi Solusi SI.

Tabel 3-1: ANALISIS CRITICAL SUCCESS

FACTOR

Tujuan CSF Strategi

SI Solusi

SI

Mening

katkan

Kapasi

tas

Penguasa

an

Teknologi

Roket,

Satelit

dan

Penerban

gan

Ada

nya

akses

infor

masi

dan

penge

tahu

an

bidang

tekno

logi

roket,

satelit

dan

pener

bang

an

Mengelola

dan

menyedia

kan

informasi

penelitian

bidang

Teknologi

Roket,

Satelit dan

Penerbang

an

SI

Peneliti

an

bidang

Tekno

logi

Dirgan

tara

KMS

BI

Mening

katnya

Kapasitas

Kemandiri

an dan

Produksi

dan

Layanan

Data/

Informasi

Penginde

raan

Ada

nya

akses

infor

masi

dan

penge

tahu

an

bidang

Tekno

logi

Mengelola

dan

Menyedia

kan

Informasi

mengenai

penelitian

di bidang

teknologi

dan Data

pengindera

an jauh

SI

Peneliti

an

bidang

teknolo

gi dan

Data

pengin

deraan

jauh

KMS

BI

CSF

Renstra

Port Folio

Aplikasi

User Requirement

and Behaviour Analysis

Fitur dan Elemen

KMS LAPAN

Improve Knowledge Sharing Culture

Page 23: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:17-24

20

Jauh

Untuk

Pengguna

Berbagai

Sektor

dan

Data

pengin

deraan

jauh

Mening

katnya Kapasitas Produksi, Layanan dan Peman faatan Data/Info Sains

Atmosfer dan Antariksa Serta Bahan Kebijakan Nasional Kedirgan taraan

Ada

nya akses infor masi dan penge tahu an bidang

Sains Tekno logi Atmos fer dan Anta riksa

Mengelola

dan Menyedia kan Informasi mengenai penelitian di bidang Sains Teknologi

Atmosfer dan Antariksa

SI Peneliti

an bidang Sains Tekno logi Atmos fer dan Antarik sa KMS BI

Mening katnya Kualitas Dukung

an Manaje men bagi Koordi nasi dan Pelayanan Perenca naan, Kepega waian, Aset, Keuangan, Pengawa san dan Komuni kasi/ Pelayanan

Masyara kat Untuk Mendu kung Kinerja LAPAN

Ada nya proses penge

lolaan infor masi dan penge tahu an mengenai Mana jemen bagi Koordinasi dan Pela yanan,

Peren cana an, Kepe gawai an, Aset, Ke uang an,

Pengawasan dan Komunikasi/ Pela yanan Masyarakat

Mengelola dan Menyedia kan

Informasi mengenai Manaje men bagi Koordinasi dan Pelayanan, Perenca naan, Kepegawaian, Aset, Keuangan, Pengawasan dan Komunikasi/ Pelayanan

Masya rakat

SI Forenmonev SI

Kepega waian SI Aset SI Audit Portal Web SI Keuang an SI e-arsip SJDIH Online Library KMS BI

Keterangan:

SI = Sistem Informasi KMS = Knowledge Management Sistem BI = Business Inteligent

Analisis CSF menghasilkan

beberapa Solusi SI. Solusi SI ini

kemudian dikelompokkan dalam suatu

tabel yang disebut portfolio aplikasi

dimana dalam tabel ini Solusi SI yang

dihasilkan dikelompokkan menjadi 4

kategori, yaitu High Potensial (aplikasi

yang kemungkinan penting dikemudian

hari), Strategic (aplikasi yang kritis

terhadap strategi bisnis di masa datang),

Key Operational (aplikasi yang digunakan

saat ini oleh organisasi dan menentukan

keberhasilan bisnisnya), Support (aplikasi

yang bermanfaat tetapi tidak kritis

terhadap keberhasilan bisnis).

Tabel 3-2: PORTFOLIO APLIKASI LAPAN

Strategic High Potential

1. Portal Web

1. Business

Inteligence 2. Knowledge

Management System (KMS)

Key Operational Support

1. SI Lit Tekgan 2. SI Lit Inderaja 3. SI Lit Sains

Atmosfer dan Antariksa

4. SI Lit Kebijakan Kedirgantaraan

1. Siforenmonev 2. Online Library 3. JDIH 4. SI Keuangan 5. SI e-arsip 6. SI aset 7. SI Kepegawaian

Berdasarkan analisis CSF dan

portfolio aplikasi di atas dapat disimpulkan

bahwa LAPAN memerlukan adanya

Knowledge Management System, dan

posisinya berada pada kuadran high

potential hal ini karena implikasi yang

ditawarkan dari penerapan KMS cukup

tinggi terhadap peningkatan kinerja

organisasi. Contohnya, knowledge yang

sudah tercipta dapat terdokumentasi

dan disebarkan dengan baik untuk

kemudian dapat dimanfaatkan sebagai

referensi kegiatan penelitian selanjutnya

sehingga proses penelitian dapat

Page 24: Berita DIRGANTARA

Kajian Pengembangan Knowledge Management...... (Fahmi Alusi)

21

berjalan berkesinambungan. Hal ini

dapat meningkatkan efektifitas dalam

kegiatan penelitian yang akan berujung

pada peningkatan kinerja lembaga.

3.2 Konsep Knowledge Management System

Berdasarkan analisis kebutuhan

pengguna, knowledge management

system LAPAN hendaknya memiliki 7

(tujuh) fitur dan 2 (dua) fitur penunjang.

Ketujuh fitur dimaksud adalah sebagai

berikut:

Taxonomy

Search

Publishing

Personalization

Integration

Collaboration

Web Service

Dan fitur penunjang:

Security

Scalability dan extensibility

Taxonomy: pengelompokkan,

klasifikasi dan kategorisasi dari isi KMS

dilakukan secara hirarkis, artinya item-

item yang sama dikelompokkan ke

dalam wadah dengan kategori tertentu,

kemudian kategori-kategori yang sama

dikelompokkan lagi ke dalam wadah yang

lebih besar. Dengan demikian akan

memudahkan dalam pengelompokan dan

penyampaian informasi, dan memudahkan

user dalam mencari dan menggali isi

sistem.

Searching: fitur ini memfasilitasi

pencarian informasi dan pengetahuan

yang diinginkan dalam KMS. Dengan

fitur ini user akan diantar dan

ditunjukkan dimana dan bagaimana

pengetahuan dapat diperoleh.

Publishing: fitur ini memfasilitasi

penyampaian informasi, pengetahuan

dan dokumen lain sebagai isi KMS

kepada seluruh pengguna dengan

menggunakan format seperti HTML,

PDF, XML dan lain-lain. Dengan fitur ini

dimungkinkan user menciptakan

pengetahuannya dan kemudian men-

distribusikan pengetahuannya tersebut

kepada seluruh user yang mengaksesnya.

Personalization: fitur ini berkaitan

dengan sistem identifikasi user dan

sistem update informasi user. Sistem

identifikasi user adalah sistem yang

memiliki kemampuan untuk menampilkan

informasi sesuai dengan status user.

Status user dibedakan berdasarkan

batasan/wewenang dari user, yaitu:

administrator, manajer dan user. Karena

perbedaan wewenang tersebut maka

digunakan sistem pembeda dalam

mengakses KMS. Sistem pembeda

menggunakan user identification (user ID)

dan password, yang akan selalu

ditanyakan di setiap awal penggunaan

KMS. Sistem update informasi user

adalah sistem yang memberikan fasilitas

kepada user untuk meng-update data

pribadi user, seperti perubahan alamat,

nomor telepon, jadwal, diklat atau seminar

yang telah diikuti, memilih menu yang

disajikan KMS sesuai kesukaan dan

sebagainya.

Integration, fitur ini merupakan

kemampuan sistem menggabungkan

data atau aplikasi-aplikasi yang berbeda

dalam KMS. Untuk melakukan hal ini

KMS dilengkapi dengan software yang

dapat mencari dan dapat menjadi

tempat penggabungan data/aplikasi

yang ada. Fitur ini berperan sebagai

combination pada proses pembentukan

pengetahuan (konsep SECI). Melalui

fitur ini, dimungkinkan penciptaan

pengetahuan baru, modifikasi atau

inovasi-inovasi baru sesuai dengan

pemahaman dan interpretasi user

terhadap pengetahuan.

Collaboration, fitur ini memfasilitasi

user untuk melakukan komunikasi,

koordinasi, diskusi dan bebagi

pengetahuan secara on-line. Untuk

memenuhi fungsi ini KMS dapat

digunakan software seperti Groupware.

Web Service, KMS juga dilengkapi

dengan fitur dimana user dapat menggali

pengetahuan di luar organisasi, dengan

menghubungkan/menghantarkan user

ke dalam dunia internet. World Wide Web

Page 25: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:17-24

22

merupakan tempat penyimpanan dinamis

dengan jutaaan dokumen dan

pengarang/penulis dari seluruh dunia.

Security, sistem keamanan KMS,

selain dilakukan pembatasan akses

melalui sistem user ID dan password

untuk menghindari pengguna-pengguna

yang tidak berwenang (unauthorized user),

dapat dilakukan dengan mengaplikasikan

software pengamanan sistem seperti

firewall, untuk memblok baik informasi

yang keluar dari organisasi maupun

informasi masuk yang akan meng-

kontaminasi data-data organisasi.

Scalability dan Extensibility:

skalabilitas berhubungan dengan

penambahan atau pengurangan jumlah

akses sesuai dengan perubahan jumlah

pengguna. Pada umumnya akses lebih

besar akan diberikan kepada pegawai

yang jabatannya lebih tinggi dan atau

yang diberi kewenangan tertentu.

Ekstensibilitas berhubungan dengan

update pengetahuan/informasi dalam

KMS. Dengan fitur ini KMS mempunyai

kemampuan untuk menambah dan

mengembangkan pengetahuan atau

aplikasi-aplikasi baru sesuai perkem-

bangan pengetahuan dan teknologi yang

dibutuhkan oleh organisasi.

Dari 7 (tujuh) fitur yang diusulkan

tersebut di atas, 4 (empat) fitur seperti

Taxonomy, Search, Publishing dan Web

Service sudah dimiliki oleh Sistem

Informasi Lapan saat ini khususnya

Aplikasi Perpustakaan Online namun

fungsi dasar Perpustakaan Online berbeda

dengan Knowledge Management System.

Sehingga pengembangan Knowledge

Management System sangat penting

untuk dilakukan.

3.3 Pengembangan Aplikasi

Pengembangan aplikasi KMS

dilakukan melalui dua tahap yaitu:

Memilih penggunaan teknologi untuk

pengembangan aplikasi. Berdasarkan

observasi penggunaan teknologi di

Lapan sebagian besar aplikasi berbasis

website dengan menggunakan database

MySQL, oleh karena itu untuk

kemudahan perawatan dan standarisasi

teknologi disarankan untuk mengguna-

kan aplikasi Apache sebagai web server,

MySQL sebagai database server dan

PHP sebagai bahasa pemrogramannya.

Hal ini dilakukan juga karena Aphace

dan MySQL cukup mudah dalam

implementasi dan pengelolaannya selain

itu merupakan aplikasi opensource

yang tidak berbayar sehingga dapat

menghemat anggaran dalam imple-

mentasinya.

Membuat aplikasi sesuai rancangan

proses, kebutuhan dan kondisi

organisasi. Untuk hal ini agar mem-

permudah dalam proses pengembangan

dan efisiensi biaya disarankan untuk

menggunakan software Content

Management System (CMS) yang

bersifat opensource.

3.4 Menumbuhkan Budaya Knowledge Sharing

Knowledge management system

merupakan strategi untuk meningkatkan

efektifitas dan peluang/kesempatan

pengembangan kompetensi. Beberapa hal

yang perlu dilakukan untuk menumbuh-

kan budaya berbagi pengetahuan

diantaranya (Munir dkk, 2001):

Menciptakan know-how dimana setiap

pegawai berkesempatan dan bebas

menentukan cara baru untuk

menyelesaikan tugas dan berinovasi

serta peluang untuk mensinergikan

pengetahuan eksternal ke dalam

institusi.

Menangkap dan mengidentifikasi

pengetahuan yang dianggap bernilai

dan direpresentasikan dengan cara

yang logis.

Penempatan pengetahuan yang baru

dalam format yang mudah diakses

oleh seluruh pegawai dan pejabat.

Pengelolaan pengetahuan untuk

menjamin kekinian informasi agar

dapat direview untuk relevansi dan

akurasinya.

Format pengetahuan yang disediakan

di KMS adalah format yang user

Page 26: Berita DIRGANTARA

Kajian Pengembangan Knowledge Management...... (Fahmi Alusi)

23

friendly agar semua pegawai dapat

mengakses dan mengembangkan setiap

saat.

Knowledge Management System

yang dirancang sudah memperhatikan

hal-hal yang dapat menumbuhkan

budaya knowledge sharing tersebut,

sehingga dengan implementasi KMS ini

diharapkan dapat menumbuhkan budaya

knowledge sharing di Lingkungan Lapan

dalam rangka mendukung peningkatan

kinerja Lembaga.

Gambar 3-1: Elemen Knowledge Management

System LAPAN (mengadopsi dari model Setiarso, (2007))

4 PENUTUP

Berdasarkan Analisis Strategi

Sistem Informasi, Lapan memerlukan

adanya Knowledge Management System

yang berada di kuadran high potential,

hal ini berarti dengan menerapkan

knowledge management system dapat

berpotensi tinggi untuk meningkatkan

kinerja Lembaga.

Dengan mengembangkan

knowledge management system inovasi

di Lapan, maka perkembangan Lapan

sebagai lembaga penelitian menjadi

lebih cepat karena dengan pola siklus

knowledge management, setiap knowledge

yang tercipta dapat terpelihara dengan

baik, sehingga dapat dimanfaatkan

sebagai best practice dalam penelitian

selanjutnya. Dengan menerapkan

knowledge management system, juga

diharapkan dapat menumbuhkan budaya

knowledge sharing di lingkungan Lapan

guna mendukung peningkatan kinerja

Lembaga.

Fitur knowledge management

system yang diusulkan meliputi:

Taxonomy, Seacrh, Publishing, Personali-

zation, Integration, Collaboration,dan

Web Service.

Sedangkan elemen knowledge

management system Lapan yang

diusulkan terdiri dari: aspek teknologi,

aktivitas, komponen dan interface.

DAFTAR RUJUKAN

Becerra–Fernandez, I., Avelino Gonzalez,

Rjiv Sabherwal, 2004. Knowledge

Management: Challenges, Solutions,

and Technologies, Pearsons

Education Inc., Upper Siddle

River, New Jersey.

Bui Ho, Lim, Bawa Wuryaningtyas,

Ronald, 2008. Penerapan

Knowledge Management System

Pada Perusahaan Bisnis

Konsultansi PT Piramida Sejahtera

Abadi (Red Piramid): Jurnal

Piranti Warta Vol11 No.3 Agustus

2008.

Knowledge Management System LAPAN

Technology

1. RDMS2. Client Server3. Web Service A.I/ES

Activity

1. Web Browsing2. Computer based colaboration3. Search4. Data Mining

Component

1. Database

2. Web Platform

3. Data Management Tools

4. Massenging Engine

5. Search engine

6. Web service

7. Document management

8. Interface engine

Interface

1. Web base Application

2. Mailling list

3. Web Forum

4. C/S Application

Page 27: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:17-24

24

Davenport, Thomas H and Prusak,L, 1998.

Working Knowledge, McGraw-Hill,

Singapore.

Gottschalk, Peter, 2005. Strategic

Knowledge Management Technology

Hersey: Idea Group Publishing.

Munir, Ningky, 2001. Proses Penciptaan

Pengetahuan di perusahaan.

Jakarta: Seminar Ikatan

Pustakawan Indonesia.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa

Nasional, Rencana Strategis

LAPAN 2010 – 2014, Jakarta.

Setiarso, Bambang, 2007. Penerapan

Knowledge Management pada

Organisasi: Studi Kasus Salah Satu

Unit Organisasi LIPI. http://ilmu

komputer.org/wp-content/uploads/

2007/04/bse-ksni.pdf, diakses

tanggal 14 Oktober 2012.

Page 28: Berita DIRGANTARA

Makna Pusat Peluncuran Roket di Pulau ..... (Euis Susilawati)

25

MAKNA PUSAT PELUNCURAN ROKET DI PULAU MOROTAI:

TINJAUAN ASPEK PERTAHANAN DAN KEAMANAN

Euis Susilawati

Peneliti Pusat Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan (Pusjigan), Lapan

e-mail: [email protected]

RINGKASAN

Pusat peluncuran roket di Pameungpeuk saat ini tidak lagi memenuhi syarat

untuk digunakan meluncurkan roket-roket besar yang mampu membawa satelit (RPS).

Kajian awal yang dilakukan Lapan merekomendasikan beberapa lokasi baru yang

dapat dijadikan pusat peluncuran RPS. Salah satunya adalah Pulau Morotai,

Halmahera Utara dengan pertimbangan geografis di mana peluncuran dari lokasi ini

akan secara bebas diarahkan ke arah Timur menuju Samudera Pasifik tanpa melewati

negara tetangga. Namun untuk menetapkan layak tidaknya sebuah lokasi sebagai

Pusat Peluncuran perlu dikaji dari berbagai aspek. Makalah ini menguraikan makna

pusat peluncuran roket apabila dibangun di Pulau Morotai yang ditinjau dari aspek

pertahanan dan keamanan. Dengan pemahaman bahwa teknologi roket adalah

teknologi guna ganda di mana roket dapat digunakan untuk kepentingan sipil dan

militer (antara lain digunakan sebagai misil balistik), maka apabila Indonesia mampu

meluncurkan satelit ke orbit rendah (LEO), mengandung makna bahwa Indonesia

mempunyai kemampuan membuat misil balistik dengan jangkauan antara 2500 km -

3500 km. Apabila roket atau misil ini diluncurkan dari Pulau Morotai, diperkirakan

menjangkau ke beberapa negara antara lain Republik Palau, Vietnam, Kamboja,

Malaysia, Filipina, Australia dan kawasan konflik Laut China Selatan. Dengan

demikian keberadaan pusat peluncuran roket ini akan memberikan efek deterrence

(penangkal) atau efek penggetar bagi negara-negara yang berada pada jangkauan

tersebut. Effek deterrence ini merupakan sebuah elemen pertahanan dan keamanan

yang mendukung wilayah perbatasan Indonesia bagian Timur dan eksistensi

kedaulatan NKRI.

1 PENDAHULUAN

Saat ini Indonesia (dalam hal ini

Lapan) sedang mengembangkan roket

pengorbit satelit (RPS) untuk membawa

satelit sekelas nano ke orbit ekuator

dengan ketinggiaan 300 km dan dapat

diluncurkan dari bumi Indonesia (Lapan,

2008). Indonesia telah memiliki stasiun

peluncuran roket di Pameungpeuk,

Garut, Jawa Barat. Namun keberadaan

stasiun peluncuran roket di Pameungpeuk

saat ini sudah tidak memenuhi syarat

lagi baik dari sisi lokasi maupun dari

sisi kapasitasnya sebagai sebuah tempat

peluncuran, apalagi untuk meluncurkan

roket yang besar seperti RPS. Dengan

demikian diperlukan stasiun peluncuran

baru yang memenuhi persyaratan dari

berbagai aspek untuk digunakan

meluncurkan RPS. Dari hasil kajian

awal yang dilakukan Lapan terdapat

beberapa lokasi yang dapat dipertimbang-

kan untuk dijadikan sebuah stasiun

peluncuran baru, salah satunya adalah

Pulau Morotai (Lapan, 2008).

Kajian awal tersebut baru

melihat dari aspek geografis Pulau

Morotai yang berdekatan dengan

Page 29: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:25-34

26

Samudera Pasifik dan berada di wilayah

ekuator. Secara teknis apabila lokasi

peluncuran di Pulau Morotai, maka arah

peluncuran ke orbit geostasioner dapat

diarahkan secara bebas ke arah Timur

menuju samudera Pasifik, sehingga

peluncuran roket bisa dilakukan secara

langsung tanpa melewati negara tetangga.

Sedangkan secara ekonomis peluncuran

dari lokasi yang berada di ekuator akan

lebih murah.

Kajian awal tersebut kemudian

ditindaklanjuti pada tahun 2011 dengan

Tim Lapan melakuan survey ke Pulau

Morotai. Dari survey awal ini dihasilkan

beberapa lokasi alternatif yang dapat

dipertimbangkan dan dikaji lebih lanjut

menjadi pusat peluncuran RPS. Untuk

menentukan layak tidaknya suatu

tempat menjadi pusat peluncuran roket

yang mampu meluncurkan satelit

tentunya tempat ini tidak hanya

memenuhi persyaratan dari sisi letak

geografis, tetapi juga harus memenuhi

persyaratan lainnya baik teknis maupun

non-teknis. Dengan demikian diperlukan

pengkajian yang lebih mendalam yang

ditinjau dari berbagai aspek seperti

politik, pertahanan dan keamanan

negara, ekonomi, sosial,dan budaya.

Makalah ini membahas makna

pembangunan pusat peluncuran roket

di Pulau Morotai yang dilihat dari aspek

pertahanan dan keamanan. Teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah

metode kepustakaan (library research)

melalui berbagai referensi baik buku,

jurnal ilmiah, prosiding, maupun sumber-

sumber lain yang dinilai relevan.

Referensi kepustakaan tersebut diperoleh

dari perpustakaan dan situs internet.

Dalam membahas aspek pertahanan

dan keamanan pusat peluncuran roket

di Pulau Morotai ini, pertama diuraikan

mengenai Pulau Morotai secara geopolitik

dan geostrategi termasuk potensi

ancaman keamanan di Pulau Morotai.

Kemudian diuraikan bagaimana makna

pusat peluncuran roket di Morotai

dalam kaitannya dengan pertahanan

dan keamanan.

2 GEOPOLITIK DAN GEOSTRATEGI PULAU MOROTAI

Geopolitik merupakan suatu ilmu

penyelenggaraan negara, yang mengkaji

pengambilan kebijakan suatu negara

yang didasarkan pada keadaan geografis

negara bersangkutan. Geopolitik memiliki

empat unsur yang menjadi prasyarat

doktrin suatu negara yakni antara lain

konsepsi ruang, konsepsi frontier,

konsepsi politik kekuatan, dan konsepsi

keamanan negara dan bangsa

(Yudhoyono, n.y). Ruang merupakan inti

dari geopolitik, sehingga senantiasa ada

upaya untuk memperluas wilayah

pengaruh tiap-tiap bangsa yang jauh

melampaui kedaulatannya.

Sedangkan geostrategi merupakan

pelaksanaan dari geopolitik atau

memanfaatkan konstelasi geografis negara

dalam menentukan kebijakan, tujuan,

sarana-sarana untuk mencapai tujuan

negara. Geostrategi ini diperlukan untuk

mewujudkan dan mempertahankan

integrasi bangsa yang majemuk

berdasarkan pembukaan dan Undang-

Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan

dan mempertahankan integrasi bangsa

adalah dengan memperkuat dalam segala

bidang pembangunan salah satunya

pembangunan kekuatan pertahanan.

Dengan demikian geopolitik dan

geostrategi sangat erat kaitannya,

dimana kedua-duanya berupaya untuk

mempertahankan wilayah, dan mencapai

tujuan nasional.

Dalam kaitannya dengan geopolitik

yaitu terkait ruang, Pulau Morotai

merupakan daerah yang masih alami

dan banyak menyimpan kekayaan alam

seperti emas, pasir besi, tembaga, nikel

dan bahan galian lainnya, tetapi baru

sedikit yang sudah dikelola atau

dikembangkan. Pulau Morotai walaupun

bukan termasuk pulau-pulau kecil terluar,

tetapi merupakan pulau terdepan di

wilayah NKRI, terutama di kawasan Asia

Page 30: Berita DIRGANTARA

Makna Pusat Peluncuran Roket di Pulau ..... (Euis Susilawati)

27

Pasifik. Secara geografis Pulau Morotai

terletak antara 20º0' LU – 2º40' LU dan

128º15' BT – 129º08'BT dengan luas

keseluruhan 2.314,90 km2 (BPS, 2012).

Kabupaten Pulau Morotai terdiri dari 5

(lima) kecamatan, yaitu Morotai Jaya,

Morotai Selatan, Morotai Utara, Morotai

Selatan Barat, dan Morotai Timur.

Jumlah penduduk Kabupaten Pulau

Morotai ini sebanyak 53.968 jiwa, di

mana kecamatan Morotai Selatan

mempunyai penduduk terbanyak yaitu

17.930 jiwa, dan Morotai Timur

mempunyai penduduk yang paling

sedikit yaitu 7.237 jiwa (BPS,2012). Pulau

Morotai yang terletak dikawasan Timur

Indonesia ini berbatasan dengan

Samudera Pasifik dan Laut Halmahera

di sebelah Utara; Laut Halmahera di

sebelah Timur; Selat Morotai di sebelah

Selatan; Laut Sulawesi dan Laut

Halmahera di sebelah Barat, serta

berbatasan dengan negara tetangga

Filipina dan Republik Palau (berada di

bawah kekuasaan Amerika Serikat) yang

berada di Samudera Pasifik (Utara

Indonesia).

Dengan demikian secara geo-

strategis Pulau Morotai berada pada

posisi strategis karena merupakan Pulau

yang secara maritim berada di kawasan

perbatasan dan juga termasuk pulau

terdepan di kawasan timur Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Posisi strategis ini menjadikan Morotai

sebagai pintu gerbang untuk berinteraksi

langsung dengan Negara tetangga, serta

memiliki nilai strategis terhadap

kedaulatan Negara, Pertahanan dan

Keamanan. Laut Pulau Morotai

merupakan pintu pertahanan dan

keamanan NKRI yang harus diperkuat

oleh seluruh elemen bangsa, terutama

masyarakat sebagai Komponen Dasar

Sishankamrata (Sitem Pertahanan dan

Keamanan Rakyat Semesta) dalam

memperjuangkan dan mempertahankan

Pulau Morotai sampai kapanpun, tetap

dalam bingkai NKRI.

Posisi strategis Morotai ini juga

dapat dilihat dari sejarah di mana pada

Perang Dunia II (1939-1945) Morotai

telah dijadikan basis camp oleh tentara

Sekutu dan Australia untuk menyerang

balik tentara Jepang, terutama di

kawasan Asia Pasifik. Pada saat Perang

Dunia II Pulau Morotai pernah dua kali

dikuasai oleh tentara asing. Yang

pertama angkatan bersenjata Jepang

melakukan invasi ke Morotai dan

menjadikan Pulau Morotai sebagai basis

militer untuk masuk lebih dalam ke

wilayah-wilayah lain di Asia Tenggara.

Kemudian angkatan bersenjata sekutu

terutama Amerika Serikat (AS) dan

Australia, mengusir kehadiran militer

Jepang dari wilayah Asia Tenggara, dan

menekannya untuk masuk kembali ke

Jepang (Nainggolan, 2011).

Sebagai pusat konsolidasi militer

AS untuk menaklukkan Jepang, Mac

Arthur pemimpin angkatan bersenjata

AS membawa 3.000 pesawat tempur

sekutu, yang terdiri dari pesawat angkut,

pengebom, dan 63 batalion tempur ke

Morotai (Majalah Tempo, 2012). Untuk

ini AS membangun pangkalan udara Pitu

yang dilengkapi dengan 7 (tujuh) landasan

dengan masing-masing mempunyai

panjang 3.000 m. Pangkalan Udara Pitu

ini sampai sekarang masih ada di Pulau

Morotai. Dengan demikian baik Jepang

maupun AS menggunakan Pulau Morotai

sebagai batu loncatan untuk menguasai

Asia Pasifik dan Asia Tenggara.

Bagi Indonesia sendiri Pulau

Morotai yang merupakan pulau terdepan

kawasan Indonesia Timur berpotensi

untuk dikembangkan menjadi gerbang

utama baru Indonesia dengan negara-

negara di kawasan Asia Pasifik sebagai

sabuk keamanan nasional (national

security belt).

3 POTENSI ANCAMAN KEAMANAN DI PULAU MOROTAI

Sebagaimana telah diuraikan

bahwa Pulau Morotai terletak di kawasan

Page 31: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:25-34

28

perbatasan dan juga merupakan pulau

terdepan di kawasan Timur NKRI.

Tempat-tempat yang berada pada posisi

seperti ini biasanya mempunyai potensi

ancaman keamanan yang besar. Secara

umum ancaman keamanan di wilayah

perbatasan Indonesia dapat dibagi ke

dalam 2 (dua) kategori, yaitu ancaman

yang berasal dari aktor non-negara dan

aktor negara. Ancaman yang berasal

dari aktor non negara antara lain

penyelundupan, pencurian sumber daya

alam, dan perompakan. Sedangkan

ancaman yang berasal dari aktor negara

antara lain agresi, konflik perbatasan,

dan pelanggaran kedaulatan.

Dari sisi ancaman faktor non-

negara, hingga saat ini pencurian ikan

(illegal fishing) oleh nelayan asing dan

masuknya imigran gelap masih terjadi di

Pulau Morotai. Wilayah perbatasan laut

dikawasan Pulau Morotai masih menjadi

pintu keluar masuk yang paling bebas

sehingga berbahaya. Banyak penyelun-

dupan senjata api dari luar yang masuk

melalui perbatasan Morotai. Senjata api

yang diselundupkan melalui wilayah

perbatasan ini tidak menutup kemung-

kinan akan digunakan untuk kepentingan

jaringan internasional teroris. Selain itu

nelayan Pilipina dan China hampir setiap

bulannya tertangkap karena mencuri

ikan di Pulau Morotai (Kompas, 2010).

Dari sisi ancaman aktor negara,

persoalan perbatasan Indonesia didomi-

nasi oleh masalah sengketa perbatasan

dan pelanggaran kedaulatan oleh negara

asing. Indonesia setidaknya berbatasan

dengan 10 (sepuluh) negara tetangga

yaitu Thailand, Malaysia, Singapura,

Papua Nugini, Palau, India, Timor Leste,

Filipina, Australia, dan Vietnam. Sampai

saat ini Indonesia masih memiliki

sejumlah sengketa perbatasan yang belum

terselesaikan dengan negara-negara

tetangga tersebut. Masalah perbatasan

Indonesia di wilayah utara yang belum

terselesaikan antara lain perbatasan

antara Morotai dengan Filipina dan

Republik Palau (Kementerian Luar Negeri,

2011).

Perbatasan Morotai-Filipina ini

rentan akan masuknya berbagai ancaman

karena pengamanan di wilayah utara

Indonesia itu sangat lemah. Akibatnya

praktik penyelundupan barang, orang,

dan pencurian ikan oleh kapal asing

terus berlangsung. Para nelayan asing

dengan leluasa masuk ke wilayah

Morotai dan dengan mudah melarikan

diri ke wilayah Filipina apabila dihalau.

Sedangkan sengketa perbatasan

Indonesia dengan Republik Palau yaitu

mengenai tumpang tindih antara Zona

Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia

dengan Zona Perikanan yang diperluas

Republik Palau (Kementerian Luar

Negeri, 2011). Sengketa yang terjadi

karena penarikan zona perikanan yang

dilakukan oleh Palau akan merugikan

negara Indonesia karena mengambil

bagian ZEE Indonesia. Kedua negara

juga memiliki ambisi untuk mengambil

keuntungan di perbatasan wilayah ini

karena terdapat banyak peninggalan

benda-benda sejarah sebagai asset

penting.

Potensi ancaman di Pulau Morotai

tidak hanya ancaman yang berasal dari

sekitar Morotai, tetapi juga berasal dari

berbagai masalah atau konflik di kawasan

Asia Pasifik yang akan berpengaruh

kepada keamanan Indonesia. Konflik

dimaksud seperti konflik Laut China

Selatan (LCS). Konflik LCS merupakan

konflik klaim kepemilikan terhadap

suatu wilayah dan adanya tumpang

tindih yurisdiksi nasional atau ZEE oleh

6 (enam) negara yaitu China, Malaysia,

Taiwan, Vietnam, Brunei, dan Philippines,

bahkan oleh Indonesia. Kawasan LCS ini

juga menjadi jalur lintas perdagangan

internasional dan rute armada militer

negara-negara. Sampai sekarang konflik

LCS ini masih berlangsung, bahkan

cenderung memanas (Antara, 2013).

China mengklaim seluruh laut di China

Selatan yang berada di kawasan Asia

Page 32: Berita DIRGANTARA

Makna Pusat Peluncuran Roket di Pulau ..... (Euis Susilawati)

29

Gambar 3-1: Posisi Indonesia (Pulau Morotai) di Kawasan Asia Pasifik

Tenggara merupakan wilayah China.

Sebagaimana diketahui bahwa wilayah

Natuna (berbatasan dengan LCS)

memiliki cadangan gas 14 juta barel dan

gas bumi diperkirakan 1,3 milyar kubik.

Jika tidak dijaga dengan baik Pulau

Natuna ini, maka kemungkinan akan

diklaim negara lain (Jakarta Greater,

2012). Kondisi ini cukup rawan bagi

Indonesia dan akan mudah terimbas

bila terjadi konflik regional Asia Pasifik.

Demikian juga dengan Pulau Morotai

sebagai salah satu pulau terdepan

Indonesia di wilayah perbatasan Indonesia

dengan negara-negara tetangga yang

berkonflik di LCS tentunya juga tidak

akan terlepas dari dampak ancaman

keamanan. Posisi Pulau Morotai di

kawasan Asia pasifik sebagaimana

terlihat dalam Gambar 3-1.

4 MAKNA PUSAT PELUNCURAN ROKET DI PULAU MOROTAI TERKAIT PERTAHANAN KEAMANAN

Terhadap kondisi adanya potensi

berbagai ancaman di Morotai tersebut,

salah satunya adalah mengantisipasi

dengan melakukan upaya menangkal

terlebih dahulu terhadap potensi

ancaman. Upaya penangkalan ini adalah

dengan cara menekan kadar potensi

melalui pengerahan kekuatan baik

kekuatan lunak (soft power) maupun

kekuatan keras (hard power) sehingga

tidak menjadi sebuah ancaman nyata.

Pada kondisi ini seringkali yang berlaku

adalah mewujudkan penangkalan dengan

pengerahan kekuatan keras. Konsep

penangkalan inilah yang dalam konteks

keamanan internasional kemudian

dikenal dengan deterrence. Deterrence

atau penangkalan adalah ancaman

dengan menggunakan offensive attack

sebagai pertahanan dengan menangkal

suatu serangan dan menimbulkan efek

penggentar.

Secara teknis pusat peluncuran

roket digunakan untuk meluncurkan

roket baik roket-roket kecil maupun

roket besar yang mampu menempatkan

satelit ke orbitnya sesuai dengan

kebutuhan. Pusat peluncuran roket

terdiri dari berbagai fasilitas strategis

Page 33: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:25-34

30

yang secara keseluruhan saling

menunjang dalam peluncuran roket.

Konfigurasi teknis sebuah pusat

peluncuran roket setiap negara berbeda-

beda, namum pada umumnya secara

garis besar terdiri dari landasan pacu

(launching pads), gedung assembly, gedung

kendali peluncuran, gedung pelacak

untuk roket dan satelit, dan fasilitas

lainnya yang mendukung peluncuran.

Gambar 4-1 adalah contoh sebuah

komplek pusat peluncuran Naro di

Korea Selatan. Pusat peluncuran Naro

ini terletak di sebuah pulau Oenaro

(Oenaro Island) yang kemudian dikenal

dengan Pulau Naro, Goheung County,

Provinsi Jeollanam (Global Post, 2013)

dan berada sekitar 485 Kilometer di

bagian Selatan Seoul (Korea Times,

2009). Pulau Naro ini terpilih menjadi

pusat peluncuran pertama Korea Selatan

pada tahun 1999 dengan pertimbangan

bahwa lokasi ini berada di pantai Timur

Laut sehingga arah lintasan roket ke

Samudera Pasifik dan tidak akan

melewati negara terdekatnya yaitu

Jepang. Sebenarnya pada awal studi

kelayakan, secara ekonomi pembangunan

pusat peluncuran di Pulau Naro ini

tidak begitu baik, namun pemerintah

Korea Selatan memutuskan untuk

membangun pusat peluncuran di Pulau

Naro ini dengan alasan keamanan

(English.chosun.com, 2001). Sebagaimana

diketahui Korea Selatan telah berhasil

meluncurkan roket KSLV-1 dengan

membawa satelitnya dari pusat

peluncuran Naro pada tanggal 30

Januari 2013 (Bergin, 2013).

Gambar 4-1: Komplek Pusat Peluncuran Roket Naro (Sumber: Bergin, 2013)

Page 34: Berita DIRGANTARA

Makna Pusat Peluncuran Roket di Pulau ..... (Euis Susilawati)

31

Keberadaan berbagai fasilitas

strategis dalam sebuah pusat peluncuran

tersebut tentunya diperlukan upaya

untuk mengamankan fasilitas ini oleh

berbagai pihak yang terkait, termasuk

melibatkan masyarakat setempat. Dengan

demikian secara internal keberadaan

pusat peluncuran roket di sebuah lokasi

tertentu, akan menimbulkan efek

deterrence terhadap ancaman keamanan

yang berasal dari sekitar lokasi tersebut.

Selain itu keberadaan sebuah

tempat peluncuran di sebuah negara

baik digunakan untuk meluncurkan

roket kecil maupun yang mampu

membawa satelit juga mempunyai

makna lain, mengingat teknologi roket

merupakan teknologi dual use (guna

ganda). Guna ganda artinya bahwa roket

tersebut dapat digunakan membawa

satelit untuk berbagai kepentingan sipil

atau untuk kepentingan militer.

Secara teknis teknologi roket

mempunyai banyak kesamaan dengan

teknologi balistik misil. Perbedaan yang

sangat mendasar adalah bahwa roket

mempunyai kemampuan untuk meng-

ubah trayektorinya pada saat roket

mencapai kecepatan mengorbit. Sedang-

kan misil balistik, meskipun dapat

mencapai kecepatan mengorbit, tidak

dapat mengubah lintasannya untuk

mengitari Bumi, tetapi akan mengikuti

lintasan parabola kembali ke Bumi.

Dalam perkembangannya misil balistik

ini kemudian digunakan untuk tujuan

sebagai sistem penghantar hulu ledak,

dan merupakan suatu bentuk sistem

persenjataan modern (Kadri, 2006).

Sebuah negara yang mempunyai

kemampuan dalam peroketan yang dapat

meluncurkan satelit ke orbit rendah

Bumi (Low Earth Orbit atau LEO ) dan

orbit menengah Bumi (Medium Earth

Orbit atau MEO) menunjukkan bahwa

negara tersebut mempunyai kemampuan

untuk membuat Intermediate-Range

Ballistic Missile (IRBM) yang mempunyai

jangkauan antara 2.500-3.500 km.

Sedangkan apabila mampu meluncurkan

satelit ke Geostationary Orbit (GSO)

artinya negara tersebut mempunyai

kemampuan untuk membuat misil

Intercontinental Ballistic Missile (ICBM)

yang mempunyai jangkauan lebih dari

3.500 km (Sitindjak, 2002).

Apabila Indonesia mempunyai

kemampuan dalam peroketan dengan

membawa satelit ke orbit rendah (LEO)

maka mengandung arti bahwa Indonesia

mempunyai kemampuan untuk membuat

misil balistik dengan jangkauan antara

2500 km - 3500 km. Apabila roket ini

diluncurkan dari Pusat Peluncuran Roket

di Pulau Morotai, dengan menggunakan

perhitungan jarak pada google map (Free

Map Tools, 2013), akan mengandung

arti bahwa jangkauan misil balistiknya

diperkirakan mencapai ke beberapa

negara misalnya Republik Palau (sekitar

850 km), Vietnam/Kamboja (2.750 km),

Malaysia/Filipina (sekitar 1.700 km),

Laut China Selatan (2200 km), dan

Australia (2.750 km). Dengan demikian

Pusat Peluncuran Roket di Morotai

kaitannya dengan sistem pertahanan

keamanan Indonesia akan memberikan

efek deterrence (penangkal) bagi negara

lain. Selain itu juga sekaligus dapat

memberikan efek penangkal untuk

menjaga keamanan pulau terluar

Indonesia lainnya. Pulau terluar

Indonesia yang berada di wilayah

Samudera Pasifik adalah Pulau Fani

dan berbatasan dengan negara Palau.

Ilustrasi jangkauan roket yang juga

dapat mengandung makna jangkauan

misil balistik dari Pulau Morotai

sebagaimana dilihat dalam Gambar 4-2.

Page 35: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:25-34

32

Gambar 4-2: Ilustrasi Jangkauan Misil Balistik dari Pulau Morotai

Keterangan Gambar 4-2: Pulau Morotai ke: 1 Pulau Palau – sekitar 867 km 2 Filipina –sekitar 1.700 km

3 Malaysia- sekitar 1.700 km 4 Laut China Selatan-sekitar 2200 km 5 Kamboja/Vietnam-sekitar 2.750 km

5 PENUTUP

Pulau Morotai secara geopolitik dan

geostrategis merupakan pintu gerbang

pertahanan dan keamanan untuk

wilayah Indonesia bagian Timur. Dari

pembahasan dapat disimpulkan bahwa

apabila pusat peluncuran roket yang

mampu meluncurkan satelit dibangun

di Pulau Morotai, maka akan memberikan

kontribusi terhadap pertahanan dan

keamanan wilayah Indonesia bagian

Timur. Hal ini didasarkan pada

pemahaman bahwa teknologi roket

merupakan teknologi guna ganda, yaitu

dapat digunakan untuk kepentingan

sipil dan militer. Secara teknis teknologi

roket mempunyai banyak kesamaan

dengan teknologi balistik misil, dengan

modifikikasi maka roket ini dapat

menjadi misil balistik dan digunakan

untuk kepentingan militer. Roket yang

mampu meluncurkan satelit ke orbit

rendah Bumi (LEO) mengandung arti

bahwa Indonesia mempunyai kemampuan

untuk membuat misil balistik dengan

jangkauan antara 2500 km - 3500 km.

Apabila roket ini diluncurkan dari Pulau

Morotai, akan mengandung arti bahwa

jangkauan misil balistiknya diperkirakan

mencapai ke beberapa negara yang

berada dalam jangkauan tersebut antara

lain Pulau Palau, Filipina, Malaysia,

Kamboja, Vietnam, Laut China Selatan,

dan Australia. Kemampuan jangkauan

inilah yang akan memberikan efek

deterrence atau efek penggetar bagi

negara-negara yang berada di area

jangkauan tersebut. Effek deterrence

Arah ke Australia

1 2

3

4

5

Page 36: Berita DIRGANTARA

Makna Pusat Peluncuran Roket di Pulau ..... (Euis Susilawati)

33

atau efek penggetar merupakan sebuah

elemen pertahanan dan keamanan yang

dapat berkontribusi dalam mendukung

pertahanan dan keamanan wilayah

perbatasan Indonesia bagian Timur dan

eksistensi kedaulatan NKRI.

DAFTAR RUJUKAN

Antara, 2013. China kerahkan armada

intai ke Laut China Selatan, http://

www.antaranews.com/berita/357

588/china-kerahkan-armada-intai-

ke-laut-china-selatan, 10 Februari

2013.

Bergin, 2013. South Korea launch STSAT-

2C via KSLV-1, http://www.nasa-

spaceflight.com/2013/01/south-

korea-stsat-2c-via-kslv-1/,

January 30, 2013.

BPS, 2012. Pulau Morotai Dalam Angka,

Badan Pusat Statistik Kabupaten

Halmahera Utara, Katalog BPS

No: 1102001.8207.

English.chosun.com, 2001. Oenaro Island

Picked for First Space Center,

http://english.chosun.com/site/d

ata/html_dir/2001/01/30/20010

13061192.html.

Free Map Tools, 2013. Measure a distance,

http://www.freemaptools.com/

measure-distance.htm.

Jakarta Greater, 2012. Pangkalan Miter

Natuna, http://jakartagreater.com/

2012/06/pangkalan-militer-natu-

na.

Kementerian Luar Negeri RI, 2011.

Wilayah Perbatasan NKRI, Tabloid

Diplomasi Media Komunikasi dan

Interaksi, No. 48 Tahun IV, 15

Oktober - 14 Nopember 2011.

Kompas, 2010. Morotai-Filipina Minim

Pengamanan, http://regional.

kompas.com/read/2010/07/16/

08410259/Morotai-Filipina. Minim.

Pengamanan.

LAPAN, 2008. Ringkasan Eksekutif,

Road-Map Pembangunan Sistem

Roket Pengorbit Satelit Indonesia.

Majalah Tempo, 2012. Morotai, Saksi

Sejarah Perang Dunia II, http://

www.tempo.co/read/news/2012/

03/20/204391498/Morotai-Saksi-

Sejarah-Perang-Dunia-II.

Nainggolan, 2011. Ancaman Keamanan

Non-Konvensional di Pulau Terluar

Indonesia:Kasus Kepulauan Morotai,

Jurnal Politica, Vol.2, No.2,

November 2011.

Sitindjak, Alfred, 2002. Kajian Peman-

faatan Teknologi Antariksa Untuk

Maksud Militer dan Implikasinya,

Hasil Litbang Pusat Analisis dan

Informasi Kedirgantaraan LAPAN

2002, Publikasi Ilmiah LAPAN,

ISBN: 979-8554-59-0.

Susilo Bambang Yudhoyono, n.y,

Geopolitik Kasawan Asia Tenggara:

Persfektif Maritim, binkorpspelaut.

tnial.mil.id/index.php?option=com_

docman.

Toto Marnanto Kadri, 2006. Analisis

Perkembangan Misil Balistik,

Jurnal Analisis dan Informasi

Kedirgantaraan, Vol.3. No.2,

Desember 2006, Lembaga

Penerbangan dan Antariksa

Nasional (LAPAN).

Page 37: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:25-34

26

Page 38: Berita DIRGANTARA

Proses Manufaktur dan Integrasi Struktur ..... (Widodo Slamet)

35

PROSES MANUFAKTUR DAN INTEGRASI STRUKTUR INASAT-1

LAPAN

Widodo Slamet

Peneliti Pusat Teknologi Satelit, Lapan

e-mail: [email protected]

RINGKASAN

Struktur satelit memiliki fungsi sebagai pengikat dan pelindung muatan-muatan

yang dibawa oleh satelit tersebut. Inasat-1 merupakan satelit nano yang digunakan

sebagai sarana penelitian untuk meningkatkan kemampuan para peneliti di bidang

teknologi satelit. Inasat-1 telah diuji fungsional sebagai Enginering Model. Tujuan

penulisan ini adalah untuk menunjukkan bahwa proses desain hingga manufaktur

telah menghasilkan struktur satelit yang lolos uji getar. Proses manufaktur struktur

Inasat-1 diawali dengan perancangan untuk menentukan model dan komponen-

komponen struktur, dengan material aluminium AL-7075-T6. Manufaktur dilakukan

dengan berbagai peralatan yang ada, seperti CNC dan milling. Integrasi dilakukan

dengan menerapkan peta operasi yang menggambarkan aliran proses dari berbagai

jenis pekerjaan yang berhubungan secara logis. Pengujian dilakukan dengan cara

simulasi dan uji getar secara fisik. Hasil perancangan berupa struktur segi enam atau

heksagonal. Sedangkan hasil uji getar menunjukkan bahwa struktur Inasat-1

memenuhi persyaratan roket yaitu frekuensi natural > 45 Hz pada sumbu x dan y,

serta >90 Hz pada sumbu z.

1 PENDAHULUAN

Indonesia nano satellite-1 (Inasat-1)

merupakan satelit nano untuk

penelitian sistem satelit di Lapan. Misi

Inasat-1 adalah misi ilmiah untuk

mengukur kuat medan magnet orbit.

Satelit ini telah selesai hingga Engineering

Model. Untuk bisa diterbangkan perlu

satu langkah lagi yaitu Flight Model.

Untuk meningkatkan Inasat-1 hingga

Flight model dan diluncurkan, diperlukan

kebijkasanaan pimpinan Lapan.

Sistem satelit terdiri dari banyak

sub sistem, salah satunya adalah

struktur. Struktur merupakan sub sistem

yang mengikat dan melindungi semua

muatan yang dibawa satelit (Wijker,

2008). Struktur dirancang dan dibuat

sendiri karena tidak diperjualbelikan.

Berbeda halnya dengan sub sistem yang

lain yang bisa dibeli di komunitas

satelit. Oleh karena itu diperlukan

manufaktur di bengkel-bengkel yang ada,

baik di Lapan maupun di luar Lapan.

Sebelum dimulainya proses manufaktur,

diperlukan perancangan struktur.

Perancangan ini harus menghasilkan

desain yang bisa dimanufaktur (Shingley,

2004).

Proses manufaktur dilakukan

dengan menggunakan berbagai peralatan

seperti alat pembentuk (machining, sheet

metal forming, forging dan sebagainya).

Perancangan dilakukan dengan mem-

perhatikan berbagai faktor, misalnya

persyaratan lingkungan roket dan

antariksa, mesin-mesin yang akan

digunakan, dan kemudahan integrasinya.

Sebelum proses manufaktur dilakukan,

rancangan struktur perlu diuji meng-

gunakan software untuk memudahkan

analisa rancangan dan menghemat

waktu dan biaya jika analisa rancangan

menghasilkan struktur yang tidak

memenuhi persyaratan. Uji fisik dilakukan

setelah proses manufaktur dan integrasi

selesai. Tujuan penulisan ini adalah

untuk menunjukkan bahwa proses desain

hingga manufaktur telah menghasilkan

struktur satelit yang lolos uji getar.

Page 39: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:35-43

36

2 PERANCANGAN STRUKTUR INASAT-1

2.1 Alur Perancangan

Untuk merancang sebuah struktur

satelit diperlukan berbagai langkah yang

terintegrasi dengan sub sistem yang lain

(Griffin, 2004). Selain itu diperlukan

pula masukan dari roket peluncurnya

mengenai persyaratan properties satelit,

misalnya batasan dimensi dan massa,

frekuensi natural, dan posisi Center of

Gravity (CoG) yang harus dipenuhi.

Yang tidak kalah pentingnya adalah

mengakomodasi solar panel yang

menjadi sumber energi bagi seluruh sub

sistem yang memerlukan catu daya.

Alur perancangan struktur Inasat-1

diperlihatkan pada Gambar 2-1.

Dalam alur perancangan tersebut,

persyaratan roket berupa dimensi dan

bobot maksimum yang diijinkan, posisi

pusat massa satelit, dan frekuensi

natural satelit. Sedangkan misi satelit

adalah untuk keperluan apa satelit ini

dibuat sehingga struktur satelit harus

mampu mendukung misi tersebut,

dalam hal ini misi Inasat-1 adalah misi

ilmiah. Semua sub sistem satelit harus

mampu ditampung oleh struktur dengan

persyaratan-persyaratan tertentu,

misalnya posisi antena, baterai, komputer

dan sebagainya.

Dengan persyaratan-persyaratan

tersebut maka dibuatlah model struktur

yang akan dianalisa menggunakan

software, misalnya nastran atau software

yang lain. Analisa yang dilakukan

adalah analisa dinamik, statik, dan

termal. Jika hasil analisa menyatakan

memenuhi syarat maka dibuatlah cetak

biru yang selanjutnya akan dilakukan

proses manufaktur.

Persyaratan

RoketMisi satelit

Konfigurasi

struktur

Sub sistem

Model Struktur

Analisa statik,

dinamik, dan

thermal

Data engineering

Blue print

struktur satelit

Pemilihan material

dan proses

manufaktur

Gambar 2-1: Alur perancangan struktur Inasat-1

Page 40: Berita DIRGANTARA

Proses Manufaktur dan Integrasi Struktur ..... (Widodo Slamet)

37

2.2 Material

Kriteria umum yang digunakan

sebagai pertimbangan untuk memilih

material terbaik sebagai bahan struktur

Inasat-1 adalah (Sarafin, 1997)

Stiffness to Mass Ratio

Manufacturing Time

Uniformity (Kerataan Permukaan)

Durability (Daya tahan)

Stiffness to Mass Ratio merupakan

ukuran kekakuan dan kekuatan terhadap

masa. Sifat ini sangat penting dalam

memilih material struktur satelit sehingga

diberi bobot 40%. Manufacturing Time

adalah sifat yang berhubungan dengan

lamanya waktu yang diperlukan untuk

mengubah sebuah raw material menjadi

suatu bentuk yang diinginkan. Bobot

dari sifat ini adalah paling rendah, yaitu

15%, karena satelit memerlukan

kesempurnaan dalam pembuatannya

waktu menjadi tidak sepenting kriteria

yang lain. Suatu material yang tidak

rata pada permukaannya akan

menjadikan instrumen yang menempel

pada permukaan itu cepat rusak. Oleh

karena itu kerataan permukaan cukup

penting, dan diberi bobot 25%, lebih

besar dari pada Manufacturing Time.

Daya tahan (Durability) material diberi

bobot 20%, lebih rendah dari pada

kerataan permukaan. Seperti diketahui,

instrumen elektronik akan ditempelkan

pada permukaan material struktur

sehingga kerataan memiliki peran lebih

besar dibandingkan dengan durability.

Bedasarkan kriteria-kriteria di atas

maka disusunlah tabel bobot terhadap

kriteria material struktur.

Uji terhadap kriteria tersebut di

atas dilakukan terhadap aluminium Al

7075-T6 dan Al 6061-T6 dengan

ketebalan 2,54 cm. Hasil uji, dengan

memberikan pembobotan, ditunjukkan

oleh Tabel 2-1. Dari Tabel 2-1 tersebut,

aluminium 7075-T6 memiliki sedikit

kelebihan dari pada Al6061-T6. Inilah

alasan mengapa Al 7075-T6 lebih dipilih

dari pada Al6061-T6.

2.3 Model Struktur

Berbagai model struktur satelit

telah dibuat oleh para pendesain satelit,

antara lain kubus, balok, silinder, segi

enam atau heksagonal, bola, peluru,

dan sebagainya (Sarafin, 1997). Tidak

semua model akan dijadikan per-

timbangan karena kesulitan dalam proses

manufakturnya maupun kesulitan dalam

hal pengendaliannya. Hanya model-

model struktur yang umum, yaitu

bentuk kubus, balok, silinder, dan

heksagonal saja yang akan dijadikan

pertimbangan. Bentuk-bentuk yang lain

misalnya pensil, bola dan corong tidak

dibahas.

Tabel 2-1: PEMILIHAN MATERIAL BERDASARKAN PEMBOBOTAN PADA KRITERIA MATERIAL

Kriteria

Bobot

Al 7075-T6 Al 6061-T6

Nilai Bobot nilai

Nilai Bobot nilai

Stiffness to Mass Ratio

40 10 400 9 360

Manufacturing Time 15 10 150 10 150

Kerataan (Uniformity) Permukaan

25 10 250 10 250

Durability 20 10 200 10 200

Total 1000 960

Prioritas 1 2

Page 41: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:35-43

38

Pertimbangan utama dalam

menentukan model adalah jumlah solar

sel yang harus bisa ditampung oleh

struktur. Jumlah solar sel akan

menentukan daya maksimum yang akan

digunakan oleh semua sub sistem.

Selanjutnya adalah pertimbangan

kemudahan manufaktur. Perbandingan

model-model struktur ditunjukkan oleh

Tabel 2-2.

Sesuai dengan Tabel 2-2, maka

model yang dipilih adalah bentuk struktur

heksagonal atau segi enam. Heksagonal

memiliki luas yang cukup untuk

menampung jumlah solar sel dan stabil

dilihat dari geometrinya, serta mudah

dimanufaktur. Secara visual, model

struktur ditunjukkan oleh Gambar 2-2.

Model struktur Inasat-1 diperkirakan

memiliki 10 kg dengan diameter kurang

dari 300 mm, sedangkan tingginya kurang

dari 350 mm.

Tabel 2-2: PEMILIHAN MODEL STRUKTUR DENGAN KRITERIA LUAS PERMUKAAN DAN KEMUDAHAN MANUFAKTUR

Bentuk (model) Kestabilan Luas

permukaan

Kemudahan manufaktur

Kubus Tidak stabil Kurang Mudah

Balok Stabil Kurang Mudah

Silinder Stabil Cukup Sulit

Heksagonal Stabil Cukup Mudah

Panel luar

Rangka (frame)

Kolom 2 Kolom 1Panel dalam

Tutup bawah

Tutup atasTatakan antena

Interface

ke adapter roket

Gambar 2-2: Model struktur Inasat-1 berbentuk heksagonal

Page 42: Berita DIRGANTARA

Proses Manufaktur dan Integrasi Struktur ..... (Widodo Slamet)

39

3 PROSES MANUFAKTUR DAN INTEGRASI

3.1 Proses Manufaktur

Proses manufaktur adalah proses

untuk mengubah bahan baku (raw

material) menjadi suatu bentuk yang

sesuai dengan keinginan dengan mem-

pertimbangkan berbagai aspek, antara

lain adalah kebutuhan, teknologi, dan

ekonomi. Proses manufaktur untuk

sebuah struktur satelit, aspek ekonomi

dikesampingkan karena faktor jumlah

yang terbatas, dan mengutamakan

keamanan karena sekali diluncurkan

tidak bisa diperbaiki lagi.

Untuk mempermudah manufaktur,

struktur satelit ini harus dipisah-

pisahkan sesuai dengan fungsinya

(Shingley, 2004). Yang pertama adalah

kelompok struktur primer yang

merupakan tulang punggung struktur

satelit. Sedangkan yang kedua adalah

struktur sekunder yang terdiri dari boks

yang menampung rangkaian elektronik

atau instrumen lain, misalnya sensor

dan aktuator. Struktur tersier belum

perlu dibicarakan mengingat tulisan ini

membahas konsep rancangan. Struktur

tersier berupa konektor-konektor dan

pengkabelan sub-sub sistem. Tabel 3-1

menunjukkan bagian atau komponen

utama struktur Inasat-1. Hampir semua

bagian struktur Inasat-1 terbuat dari

logam dan didominasi oleh logam

aluminium. Pada umumnya pengolahan

logam terdiri dari proses machining,

chemical milling, sheet metal forming,

casting, forging, dan extruding.

Dari komponen atau bagian-

bagian struktur dapat dikelompokkan

berdasarkan posisi pendukung struktur,

yaitu struktur utama (primer), struktur

sekunder, dan struktur tersier (Ulrich,

2000). Tabel 3-2 menunjukkan bagian-

bagian struktur (parts) beserta pabrikasi

yang dibutuhkan, sedangkan Gambar 3-1

menunjukkan salah satu proses

manufaktur struktur Inasat-1.

Tabel 3-1: BAGIAN-BAGIAN STRUKTUR PRIMER INASAT-1

Jenis Fungsi Material Jumlah

Panel luar Meletakkan solar sel

Melindungi boks muatan

Al 7075 T6 6

Rangka (frame) Penguat struktur Al 7075 T6 6

Penopang 1 Penyangga struktur

Penyambung antar frame Al 7075 T6 4

Penopang 2

Penyangga struktur

Penyambung antar frame

Tempat melekatkan

panel dalam

Al 7075 T6 2

Panel dalam Tempat menempelnya

boks muatan Al 7075 T6 2

Tutup bawah

Pelindung boks muatan

Penyambung dengan

interface roket

Al 7075 T6 1

Tutup atas

Pelindung boks muatan

Tempat meletakkan

antena

Al 7075 T6 1

Tatakan antena Memegang antena Al 7075 T6 4

Page 43: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:35-43

40

Tabel 3-2: BAGIAN-BAGIAN (PART) STRUKTUR INASAT-1

(a)

(b)

Gambar 3-1: Salah satu proses manufaktur Inasat-1 (a) dan mesin CNC (b)

3.2 Integrasi

Sistem Inasat-1 diuraikan menjadi

sub sistem, sub sistem diuraikan

menjadi komponen, komponen menjadi

part (Kazanas,1999). Oleh karena itu

integrasi diawali dari penggabungan

beberapa part menjadi komponen,

beberapa komponen digabungkan menjadi

sub sistem, dan terakhir sub sistem

menjadi sistem satelit. Proses integrasi

akan dipandu dengan petunjuk integrasi

sehingga dapat dilakukan oleh teknisi,

siapapun teknisinya.

Untuk memudahkan pembuatan

pekerjaan perlu dibuat peta operasi

yang sangat berguna dalam melakukan

pekerjaan integrasi. Peta operasi meng-

gambarkan aliran proses dari berbagai

jenis pekerjaan yang berhubungan

secara logis hingga menghasilkan suatu

produk yang sesuai dengan apa yang

diinginkan atau dikehendaki (Campbell,

1996). Gambar 3-2 menunjukkan aliran

proses integrasi sistem satelit Inasat-1.

Komponen Part Pabrikasi

Struktur Primer

Panel CNC, drilling, tab, coating

Frame CNC, drilling, tab, coating

Penopang CNC, drilling, tab, coating

Struktur

Sekunder

Boks miling, drilling, tab, coating

Antena, dudukan integrasi, bubut dan tab

Solar panel integrasi

Adapter integrasi

Struktur Tersier

Fasterner pabrikan

Konektor pabrikan

Pengkabelan integrasi

CNC: Computer Numerical Control

Page 44: Berita DIRGANTARA

Proses Manufaktur dan Integrasi Struktur ..... (Widodo Slamet)

41

A B C D

E

F

G

H

ISub

assy

Assy 1

Assy 2

Assy 3

Nama proses

Perakitan/assembly

Gambar 3-2: Peta operasi aliran proses integrasi sistem satelit Inasat-1. Proses A dan proses B

menghasilkan sub assembly. Proses C digabung dengan hasil sub assembly menghasilkan assembly 3, dan seterusnya akan menghasilkan sebuah sistem, dalam hal

ini sistem satelit

Gambar 3-3: Menunjukkan struktur Inasat-1 yang telah dirakit namun belum terpasang panel

luarnya

4 UJI GETAR

Setelah selesai diassembly atau

dirakit, struktur perlu diuji getar dengan

standar uji yang ditentukan oleh

peluncurnya. Struktur harus mampu

bertahan pada hentakan (shock) 20 G

pada frekuensi 100 Hz hingga 1000 G

(satuan gravitasi) pada frekuensi di atas

1000 Hz untuk semua sumbu. Pada

getaran random struktur harus mampu

bertahan pada 6,7 GRMS (G root mean

square) pada Power Spectral Density

(PSD) roket (India Space Research

Organisation (ISRO), 2004). PSD roket

PSLV untuk meluncurkan Inasat-1

diperlihatkan oleh Gambar 4-1. Tabel 4-1

menunjukkan tingkat uji getar random,

sedangkan Tabel 4-2 menunjukkan hasil

uji getar moda random. Tingkat kelolosan

uji getar adalah jika frekuensi natural

sumbu x dan sumbu y lebih besar dari

45 Hz, sumbu z lebih besar dari 90 Hz.

Sumbu z adalah sumbu satelit yang

sejajar dengan arah roket, sedangkan

sumbu x dan sumbu y adalah sumbu

lateral yang tegak lurus dengan sumbu z.

Page 45: Berita DIRGANTARA

Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:35-43

42

0,001

0,002

0,01

0,03

0,1

10 100 1000 10000

Frekuensi (Hz)

G2 /Hz

Gambar 4-1: Power spektal density (PSD) roket PSLV untuk meluncurkan Inasat-1

Tabel 4-1: Tingkat uji getar random

Frekuensi Kualifikasi PSD (g2/Hz)

Akseptansi PSD (g2/Hz)

20 0,002 0,001

110 0,002 0,001

250 0,034 0,015

1000 0,034 0,015

2000 0,009 0,004

Grms 6,7 4,47

Durasi 2 min/aksis 1 min/aksis

Tabel 4-2: Hasil pengukuran frekuensi natural

Frekuensi Natural

Uji getar random (Hz)

Sumbu x 155,259

Sumbu y 122,951

Sumbu z 225,172

Page 46: Berita DIRGANTARA

Proses Manufaktur dan Integrasi Struktur ..... (Widodo Slamet)

43

5 PENUTUP

Struktur Inasat-1 berfungsi untuk

mengikat dan melindungi muatan-

muatan yang dibawanya. Struktur

Inasat telah dirancang dengan alur

perancangan yang diawali dari misi dan

persyaratan roket. Dari berbagai

persyaratan, terutama jumlah solar sel,

batasan dimensi dan bobot serta

kestabilan pengendalian maka diputuskan

struktur Inasat-1 berbentuk segi enam

(hexagonal).

Struktur Inasat-1 juga telah

dimanufaktur yang menghasilkan struktur

yang mampu berfungsi sesuai dengan

tujuannya. Proses manufaktur struktur

Inasat_1 dilakukan dengan berbagai

mesin seperti CNC, milling, tab dan

drilling.

Sedangkan proses integrasi

dilakukan dari penyambungan komponen-

komponen hingga menjadi bentuk

struktur Inasat-1. Struktur ini juga

disimulasi menggunakan software nastran

dan diuji getar dengan menghasilkan

frekuensi natural yang memenuhi syarat

peluncurnya, yaitu frekuensi natural

> 45 Hz pada sumbu x dan y, serta >90

Hz pada sumbu z.

Pelajaran terpenting dari proses

manufaktur struktur Inasat-1 adalah

pengalaman lapangan dan mengetahui

mitra kerja yang memiliki fasilitas

permesinan dan pengujian di Indonesia,

yang dapat dimanfaatkan oleh Lapan.

Pelajaran berikutnya adalah proses yang

harus diikuti secara terurut untuk

dijadikan SOP perancangan, pembuatan

dan pengujian struktur satelit.

DAFTAR RUJUKAN

Campbell, James S., 1996. Principles of

Manufacturing and Processes, Mc-

Graw Hill Book Co., New York.

Griffin, Michael, D., 2004. Space Vehicle

Design 2nd, AIAA Educations

Series, Virginia.

Kazanas, H. C., 1999. Basic Manufacturing

Processes, Macmillan, New York.

Manual user guide polar satellite launch

vehicle (PSLV), Indian space

researh organisation (ISRO), 2004.

Sarafin, Thomas P., 1997. Spacecraft

Structurees and Mechanisms,

Microcosm Press, Torrance,

California.

Shingley, Joshep E., 2004. Mechanical

Engineering Design 7th Edition,

Mc-Graw Hill Book Co., Singapore.

Ulrich, Karl T., 2000. Product Design and

Development 2nd Edition, Mc-Graw

Hill Book Co., Singapore.

Wijker, Jakob Job, 2008. Spacecraft

Structure, Springer, Leiden,

Netherlands.

Page 47: Berita DIRGANTARA

PEDOMAN BAGI PENULIS

BERITA DIRGANTARA

Berita Dirgantara adalah majalah ilmiah semi populer bersifat nasional untuk pemasyarakatan hasil penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah di bidang sains, teknologi, dan pemanfaatan dirgantara serta kebijakan kedirgantaraan yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sifat semi populer berarti istilah teknis dijelaskan secara lebih populer dan tidak menggunakan rumus-rumus, kecuali rumus sederhana yang mudah dipahami awam. Gambar dan ilustrasi yang lebih menjelaskan isi karya tulis ilmiah sangat diharapkan.

Berita Dirgantara mengundang para penulis untuk mengirimkan naskah atau karya asli hasil penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah yang belum dipublikasikan atau dikirimkan ke media publikasi manapun. Naskah yang dikirim akan dievaluasi Dewan Penyunting dari segi keaslian (orisinalitas), kesahihan (validitas) ilmiah, dan kejelasan pemaparan. Penulis berhak menanggapi hasil evaluasi. Dewan Penyunting berhak menyempurnakan naskah tanpa mengurangi isi/maknanya. Naskah yang tidak dimuat, dikembalikan kepada penulis dengan alasan penolakannya. Penulis yang naskahnya dimuat mendapat 3 eksemplar dari nomor yang diterbitkan. Bagi naskah yang ditulis kolektif, hanya disediakan 2 eksemplar untuk masing-masing penulis. Ketentuan bagi penulis pada Berita Dirgantara ini adalah sebagai berikut.

a. Pengiriman naskah

Naskah dikirim rangkap 4 (empat), ditujukan ke Sekretariat Dewan Penyunting Berita Dirgantara dengan alamat, Bagian Publikasi dan Promosi LAPAN Jalan Pemuda Persil No. 1, Jakarta Timur 13220. Naskah diketik dengan MS Word dengan Bookman Old Styles font 11 pt pada kertas A4 dengan spasi ganda. Khusus untuk judul naskah ditulis huruf besar dengan font 16 pt. Penulis yang naskahnya diterima untuk dipublikasikan, diminta menyerahkan file dalam disket, atau dikirim melalui e-mail ke Sekretariat Dewan Penyunting ([email protected]; [email protected]).

b. Sistematika penulisan

Naskah terdiri dari halaman judul dan isi karya tulis ilmiah. Halaman judul berisi judul yang ringkas tanpa singkatan, nama (para) penulis tanpa gelar, instansi/perguruan tinggi, dan e-mail penulis utama. Halaman isi karya tulis ilmiah terdiri dari (a) judul, (b) ringkasan dalam bahasa Indonesia tidak lebih dari 200 kata dan tersusun dalam satu alinea, (c) batang tubuh naskah yang terdiri dari 1. Pendahuluan, 2. Bab-bab bahasan, 3. Penutup, dan (d) daftar rujukan.

c. Gambar dan Tabel

Gambar atau foto harus dapat direproduksi dengan tajam dan jelas. Gambar atau foto warna hanya diterima dengan pertimbangan khusus. Gambar dan tabel dapat dimasukkan dalam batang tubuh atau dalam lampiran tersendiri. Untuk kejelasan penempatan dalam jurnal, gambar dan tabel harus diberi nomor sesuai nomor bab dan nomor urut pada bab tersebut, misalnya Gambar 2-2 atau Tabel 2-1 yang disertai keterangan singkat gambar dan judul dari tabel yang bersangkutan.

d. Persamaan, Satuan, dan Data Numerik

Persamaan sederhana diketik atau ditulis tangan (untuk simbol khusus) dan diberi nomor di sebelah kanannya sesuai nomor bab dan nomor urutnya, misalnya persamaan (1-2). Satuan yang digunakan adalah satuan internasional (CGS atau MKS) atau yang lazim pada cabang ilmunya. Data numerik menggunakan ejaan Bahasa Indonesia dengan menggunakan koma untuk angka desimal.

e. Rujukan

Rujukan di dalam naskah ditulis dengan (nama, tahun) atau nama (tahun), misalnya (Hachert and Hastenrath, 1986). Lebih dari dua penulis ditulis “et al.”, misalnya Milani et al. (1987). Daftar rujukan hanya mencantumkan makalah/buku atau literatur lainnya yang benar-benar dirujuk di dalam naskah. Daftar rujukan disusun secara alfabetis tanpa nomor. Nama penulis ditulis tanpa gelar, disusun mulai dari nama akhir atau nama keluarga diikuti tanda koma dan nama kecil, antara nama-nama penulis digunakan tanda titik koma. Rujukan tanpa nama penulis, diupayakan tidak ditulis ‘anonim’, tetapi menggunakan nama lembaganya, termasuk rujukan dari internet. Selanjutnya tahun penerbitan diikuti tanda titik. Penulisan rujukan untuk tahun publikasi yang sama (yang berulang dirujuk) ditambahkan dengan huruf a, b, dan seterusnya di belakang tahunnya. Rujukan dari situs web dimungkinkan dengan menyebutkan tanggal pengambilannya. Secara lengkap contoh penulisan rujukan adalah sebagai berikut.

Donald, McLean,1990. “Automatic Flight Control System”, Prentice Hall International (UK) Ltd. Hachert, E. C. and S. Hastenrath, 1986.”Mechanisms of Java Rainfall Anomalies”, Mon Wea. Rev. 114, 745-757. Martinez, I. 2011, “Aircraft Enviromental Control”; http:// webserver.dtm. upm.es/~isidoro/tc3/ Aircraft ECS.htm;

download Agustus 2011.Adam Higler Bristol Publishing, Ltd. Wu L.; F.X. Le Dimet; B.G. Hu; P.H. Cournede; P. De Reffye, 2004. “A Water Supply Optimization Problem for

Plant Growth Based on Green Lab Model”, Cari 2004-Hammamet. p: 101-108.