Benign Prostatic Hyperplasia

34
BAB I PENDAHULUAN Prostat merupakan salah satu organ genitalia pria yang merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari jaringan glandular dan stroma fibromukular. Prostat terletak dibawah kandung kemih. Pembesaran kelenjar prostat akan menyebabkan uretra pars prostatika menjadi menyempit dan akan menghambat aliran dari urin dari kandung kemih.1,2 Benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah proses patologis yang memberikan kontribusi, tapi bukan satu- satunya penyebab, dari timbulnya gejala pada saluran kemih bagian bawah pada pria usia lanjut.1 Pembesaran kelenjar prostat dianggap sebagai bagian dari proses pertambahan usia. Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai Benign prostate hyperplasia (BPH) dialami oleh sekitar 20% pada pria usia 41-50, menjadi 50% pada pria usia 51-60, dan sampai >90% pada pria diatas usia 80. Meski bukti klinis dari penyakit lebih jarang muncul, gejala obstruksi prostat juga berkaitan dengan usia. Pada usia 55 tahun, sekitar 25% pria dilaporkan mengalami gejala obstruksi.2 Sebelumnya beberapa ide menyatakan bahwa gejala klinis BPH hanya karena peningkatan massa yang terkait dengan resistensi pada uretra. Sekarang jelas bahwa sebagian besar LUTS adalah karena disfungsi detrusor yang berkaitan dengan usia dan kondisi lain seperti poliuria,

Transcript of Benign Prostatic Hyperplasia

Page 1: Benign Prostatic Hyperplasia

BAB I

PENDAHULUAN

Prostat merupakan salah satu organ genitalia pria yang merupakan suatu

kelenjar yang terdiri dari jaringan glandular dan stroma fibromukular. Prostat terletak

dibawah kandung kemih. Pembesaran kelenjar prostat akan menyebabkan uretra pars

prostatika menjadi menyempit dan akan menghambat aliran dari urin dari kandung

kemih.1,2

Benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah proses patologis yang memberikan

kontribusi, tapi bukan satu-satunya penyebab, dari timbulnya gejala pada saluran

kemih bagian bawah pada pria usia lanjut.1

Pembesaran kelenjar prostat dianggap sebagai bagian dari proses pertambahan

usia. Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai Benign prostate

hyperplasia (BPH) dialami oleh sekitar 20% pada pria usia 41-50, menjadi 50% pada

pria usia 51-60, dan sampai >90% pada pria diatas usia 80. Meski bukti klinis dari

penyakit lebih jarang muncul, gejala obstruksi prostat juga berkaitan dengan usia.

Pada usia 55 tahun, sekitar 25% pria dilaporkan mengalami gejala obstruksi.2

Sebelumnya beberapa ide menyatakan bahwa gejala klinis BPH hanya karena

peningkatan massa yang terkait dengan resistensi pada uretra. Sekarang jelas bahwa

sebagian besar LUTS adalah karena disfungsi detrusor yang berkaitan dengan usia

dan kondisi lain seperti poliuria, tidur gangguan, dan berbagai kondisi medis sistemik

terkait dengan prostat dan kandung kemih.1

Gejala berkemih telah berhubungan dengan obstruksi dari kandung kemih.

Namun, diakui juga bahwa gejala berkemih berkorelasi dengan patofisiologi yang

mendasari. Gejala yang sama juga dapat ditimbulkan oleh bentuk obstruksi lainnya,

seperti striktur uretra atau, oleh penurunan fungsi dari saluran kemih bagian bawah

dalam keadaan gangguan kontraktilitas detrusor.1

Hal ini telah menunjukkan bahwa, meskipun umum nya LUTS berhubungan

dengan obstruksi kandung kemih (BOO) sebagai akibat dari obstruksi prostat jinak

(BPO), yang sering dikaitkan dengan pembesaran prostatic hyperplasia (BPE) akibat

kondisi histologis BPH. Sebagai contoh, wanita juga dapat mengalami gejala

berkemih.1

Page 2: Benign Prostatic Hyperplasia

Terapi untuk BPH ini dibagi berdasarkan terapi medikamentosa dan terapi

operatif. Pemilihan terapi didasarkan pada komplikasi yang diderita pasien, sarana

atau ketersediaan alat untuk operasi dan juga bergantung pada pilihan dari pasien.

Page 3: Benign Prostatic Hyperplasia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Prostat

Berat prostat normal adalah 18 gram, ukuran panjang 3 cm, lebar 4 cm

dan kedalaman 2 cm dan menempel pada uretra pars prostatika.

Prostat mendapatkan suplai darah melalui arteri prostatika yang

merupakan percabangan dari arteri iliaka interna yaitu arteri rektalis media dan

arteri vesicalis inferior. Drainase vena melalui kompleks vena dorsal yang

menerima vena dorsalis dalam penis dan dari percabangan vesika sebelum

masuk ke vena iliaka interna.

Inervasi dari saraf simpatis dan parasimpatis kelenjar prostat berasal

dari plexus pelvivalis melalui nervus kavernosus.

2. Insidensi dan Epidemiologi

BPH adalah tumor jinak yang paling umum terjadi pada pria, dan

insidensinya terkait dengan usia. Prevalensi histologi BPH pada kajian autopsi

meningkat dari sekitar 20% pada pria usia 41-50, menjadi 50% pada pria usia

51-60, dan sampai >90% pada pria diatas usia 80. Meski bukti klinis dari

penyakit lebih jarang muncul, gejala obstruksi prostat juga berkaitan dengan

usia. Pada usia 55 tahun, sekitar 25% pria dilaporkan mengalami gejala

obstruksi. Pada usia 75, 50% pria mengeluhkan peningkatan usaha berkemih

dan kaliber sistem urin mereka.

Faktor risiko pada perkembangan BPH belum dimengerti seutuhnya,

beberapa kajian mengemukakan predisposisi genetik, dan beberapa

menyatakan perbedaan ras. Sekitar 50% pria dibawah usia 60 yang menjalani

pembedahan untuk BPH dapat mewariskan penyakit ini. Bentuk yang paling

sering adalah autosomal dominan, dan keluarga pria derajat pertama dari

pasien seperti ini diperkirakan dapat memiliki peningkatan risiko relatif.

3. Etiologi

Histopatologi BPH ditandai dengan peningkatan jumlah sel epitel dan

stroma di daerah periurethral prostat dan dengan demikian tepat disebut

sebagai hiperplasia dan bukan hipertrofi, istilah sering ditemukan dalam

Page 4: Benign Prostatic Hyperplasia

literatur lama. Pada pengamatan kelenjar epitel baru, pembentukan biasanya

terlihat hanya pada perkembangan janin dan memberikan potensi induktif dari

peningkatan konsep kebangkitan embrional dari sel stroma.1

Penyebab pasti secara molekuler dari proses hiperplastik ini tidak pasti.

Peningkatan jumlah sel kemungkinan karena proliferasi epitelial dan stroma

atau gangguan kematian sel menyebabkan akumulasi sel.1

Etiologi BPH tidak benar-benar dipahami, tetapi tampaknya

multifaktorial dan dikendalikan oleh endokrin. Prostat terbentuk dari elemen

epitel dan stroma, yang masing-masing, secara sendiri ataupun bersamaan,

dapat meningkatkan hiperplasi nodul dan gejala yang berhubungan dengan

BPH.2

Androgen, estrogen, interaksi stroma-epitel, pertumbuhan faktor, dan

neurotransmitter mungkin memainkan peran, baik secara tunggal atau

kombinasi, dalam penyebab proses hiperplastik.1

Diagram yang menunjukkan hubungan antara hiperplasia histologis dari

(BPH), saluran kemih prostat lebih rendah gejala (LUTS), pembesaran prostat

jinak (BPE), dan obstruksi kandung kemih (BOO). (Dari Roehrborn CG.

Patologi benign prostatic hyperplasia. int J Impot Res 2008; 20 [Suppl. 3]:

S11-8).

HIPERPLASIA

Dalam organ tertentu, jumlah sel, dan volume organ, tergantung pada

keseimbangan antara proliferasi sel dan kematian sel. Organ dapat

Page 5: Benign Prostatic Hyperplasia

memperbesar tidak hanya dengan peningkatan proliferasi sel tetapi juga oleh

penurunan kematian sel. Meskipun androgen dan faktor pertumbuhan

merangsang proliferasi sel secara ekperimental, hubungan proliferasi sel pada

BPH manusia dipertanyakan karena tidak ada bukti yang jelas proses

proliferasi aktif. Meskipun ada kemungkinan bahwa fase awal BPH

berhubungan dengan proliferasi sel yang cepat, pada penyakit ini

dipertahankan dengan cara menyamakan atau mengurangi tingkat replikasi sel.

Peningkatan ekspresi gen antiapoptosis (misalnya, Bcl2) mendukung hipotesis

ini. Androgen tidak hanya diperlukan untuk proliferasi dan differensiasi sel

normal di prostat tetapi juga secara aktif menghambat kematian sel (Isaacs,

1984). Hormon berpengaruh atas sel induk, tidak hanya pada usia lanjut tetapi

juga selama perkembangan embrio dan neonatal.

PERANAN ANDROGEN

Meskipun androgen tidak menyebabkan BPH, perkembangan BPH

membutuhkan kehadiran androgen selama pertumbuhan prostat, pubertas, dan

penuaan. Pasien dikebiri sebelum pubertas atau yang dipengaruhi oleh

berbagai penyakit genetic yang mengganggu kerja atau produksi androgen

tidak mengalami BPH. Hal ini juga diketahui bahwa tingkat dari

dihidrotestosteron (DHT) serta reseptor androgen (AR) tetap tinggi pada

proses penuaan meskipun fakta bahwa tingkat testosteron perifer menurun.

4. Patologi

Pembesaran nodul BPH di zona transisi, terjadi penekanan zona luar

prostat, sehingga terbentuk formasi yang disebut kapsul bedah. Batas ini

memisahkan zona transisi dan perifer dan bertindak sebagai celah untuk

enukleasi prostat selama dilakukannya prostatektomi terbuka sederhana untuk

BPH.

McNeal telah mempopulerkan konsep zona anatomis prostat. Telah

ditentukan zona yang jelas. Zona perifer menempati 70 % volume dari prostat

dewasa muda, zona sentral menempati 25 %, dan zona transisi menempati

sebeanyak 5%. Zona anatomis tersebut memiliki sistem pembuangan yang

baik, tetapi berbeda perjalanannya pada proses neoplasma. Enam puluh

sampai tujuh puluh persen karsinoma prostat (CaP) berasal dari zona perifer,

Page 6: Benign Prostatic Hyperplasia

10-20% dari zona transisi, dan 5-10% dari zona sentral. Benigna prostat

hiperplasia (BPH) secara seragam berasal dari zona transisi.

5. Patofisiologi

Gejala BPH dapat dikaitkan dengan komponen obstruksi prostat

maupun respon sekunder dari resistensi kandung kemih. Obstruksi komponen

dapat dibagi menjadi obstruksi dinamis dan mekanis.

Dengan membesarnya prostat, obstruksi mekanis dapat terjadi karena

intrusi dari lumen uretra atau leher kandung kemih, sehingga terjadi resistensi

kandung kemih yang lebih besar. Merujuk kepada klasifikasi zona dari prostat

sendiri, para urolog seringkali menyebut dengan ‘3 lobus’ prostat, yang

disebut 1 medial, dan 2 lateral. Ukuran prostat pada pemeriksaan rektal digital

(DRE) berhubungan buruk dengan gejala yang muncul karena lobus median

belum siap dipalpasi.

Komponen dinamis dari obstruksi prostat menjelaskan bermacam

gejala alami yang dirasakan oleh pasien. Stroma prostat, tersusun atas otot

polos dan kolagen, kaya akan sokongan syaraf adrenergik. Tingkat stimulasi

otonom memberikan tonus kepada uretra prostat. Penggunaan terapi alpha-

blocker menurunkan tonus tersebut sehingga menyebabkan penurunan

resistensi outlet.

Keluhan nyeri berkemih (lihat bawah) pada BPH terjadi karena respon

sekunder kandung kemih terhadap peningkatan resistensi outlet. Obstruksi

kandung kemih menyebabkan hipertrofi dan hiperplasi otot detrusor dan juga

deposisi kolagen. Meskipun yang terakhir disebut lebih bertanggung jawab

atas penurunan tahanan kandung kemih, instabilitas detrusor juga merupakan

salah satu faktor. Pada inspeksi besar, penebalan simpul otot detrusor terlihat

seperti trabekulasi pada pemeriksaan sistoskopi. Jika dibiarkan tidak diperiksa,

herniasi mukosa antara simpul otot detrusor akan menyebabkan bentuk

divertikel (disebut divertikel palsu yang tersusun hanya dari mukosa dan

serosa).

6. Temuan Klinis

A. Gejala

Page 7: Benign Prostatic Hyperplasia

Gejala BPH dapat dibagi menjadi keluhan obstruksi dan iritasi. Gejala

obstruksi mencakup hesitansi, penurunan kemampuan dan kaliber pancuran,

sensasi pengosongan kendung kemih yang tidak lampias, keinginan berkemih

lebih dari satu kali (berkemih untuk kedua kalinya dalam 2 jam setelah

berkemih yang pertama kali), tahanan berkemih, dan menetes diakhir. Gejala

iritasi mencakup urgensi, frekuensi, dan nokturia.

Kuisioner isian sendiri yang dikembangkan oleh American Urological

Association (AUA) adalah valid dan dapat diandalkan dalam identifikasi

kebutuhan penanganan pasien dan dalam meninjau respon terapi. Kuisioner

skor gejala oleh AUA (Tabel 1) mungkin adalah satu-satunya alat yang paling

berguna untuk mengevaluasi pasien dengan BPH dan disarankan untuk semua

pasien sebelum memulai terapi. Pengerjaan berfokus pada 7 pertanyaan untuk

menentukan kuantitas keparahan keluhan obstruksi atau iritasi yang mereka

alami pada skala 0-5. Sehingga, skor dapat memiliki rentang 0- 35. Skor gejala

0- 7 dikatakan ringan, 8- 9 dikatakan sedang, dan 20- 35 dikatakan berat.

Distribusi skor relatif pada pasien BPH dan subjek kontrol, diperkirakan, 20%

dan 83% pada mereka dengan skor ringan, 57% dan 15% pada mereka dengan

skor sedang, dan 23% dan 2% pada mereka dengan skor berat (McConnell et

al, 1994).

Riwayat lengkap yang menitikberatkan pada traktus urinarius tidak

termasuk penyebab lain yang mungkin tidak disebabkan oleh prostat, seperti

infeksi traktus urinarius, kendung kemih neurogenik, striktur uretra, dan

kanker prostat.

B. Tanda

Pemeriksaan fisik, DRE, dan pemeriksaan neurologis terpusat

dilakukan terhadap semua pasien. Ukuran dan konsistensi prostat diperhatikan,

meskipun ukuran prostat, sebagaimana menurut DRE, tidak berhubungan

dengan dengan keparahan gejala ataupun derajat obstruksi. BPH biasanya

menyebabkan pembesaran prostat elastis, teraba, dan lunak. Jika terdapat

indurasi, dokter harus mewaspadai adanya kanker dan perlu evaluasi lebih

lanjut (misalnya prostat spesific antigen [PSA], transrectal ultrasound

[TRUS], dan biopsi).

Page 8: Benign Prostatic Hyperplasia

C. Temuan Laboratorium

Urinalisis perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi

atau hematuria dan penghitungan kreatinin serum guna meninjau fungsi ginjal.

Insufisiensi renal dapat ditemukan pada 10% pasien dengan pencitraan prostat

dan saluran atas. Pasien dengan insufisiensi renal berada pada peningkatan

risiko berkembangnya komplikasi postoperasi pembedahan intervensi untuk

BPH.

Serum PSA dipertimbangkan sebagai pilihan, tetapi kebanyakan

dokter akan memasukkannya pada pemeriksaan awal. PSA, jika dibandingkan

dengan DRE sendiri, pasti meningkatkan kemampuan untuk mendeteksi CaP,

tetapi kerena masih banyaknya tumpang tindih diantara level yang terlihat

pada BPH dan CaP, sampai saat ini penggunaannya masih dianggap

kontroversional.

D. Pencitraan

Pencitraan saluran atas (pielogram intravena atau ultrasound ginjal)

hanya direkomendasikan jika ada keterlibatan penyakit traktus urinarius atau

komplikasi dari BPH (misalnya hematuria, infeksi saluran kemih, insufisiensi

renal, riwayat penyakit batu).

E. Sistoskopi

Sistoskopi tidak disarankan untuk menentukan kebutuhan penanganan,

tetapi dapat mendampingi dalam pemilihan pendekatan bedah pada pasien

yang memilih terapi invasif.

F. Uji Tambahan

Sistomerogram dan tampilan urodinamik dibutuhkan untuk pasien-

pasien dengan dugaan penyakit neurologis atau mereka yang telah gagal dalam

operasi prostat. Pengukuran aliran, residu urin setelah berkemih, dan tekanan

aliran dinilai sebagai pilihan.

Page 9: Benign Prostatic Hyperplasia

Tabel Kuisioner skor gejala American Urological Association

Page 10: Benign Prostatic Hyperplasia

7. Diagnosis Banding

Kondisi obstruksi saluran urin bawah lainnya, seperti striktur uretra,

kontkraktur leher kandung kemih, batu saluran kemih, atau CaP harus

dipikirkan saat mengevaluasi pria dengan dugaan BPH. Riwayat instrumentasi

uretra sebelumnya, uretritis, maupun trauma harus dipikirkan kearah adanya

kemungkinan striktrur uretra atau kontraksi otot kandung kemih. Hematuria

dan nyeri umumnya dihubungkan dengan batu kandung kemih. CaP dapat

dideteksi dari abnormalitas DRE atau peningkatan level PSA.

Infeksi saluran kemih, yang mana dapat menyerupai gejala iritasi BPH,

dapat dikenali melalui urinalisa dan kultur; meskipun begitu, infeksi saluran

kemih juga dapat merupakan komplikasi dari BPH. Meskipun keluhan iritasi

saat berkemih juga dikaitkan dengan karsinoma kandung kemih, terutama

carcinoma in situ, urinalisa umumnya menunjukkan bukti adanya hematuria.

Pasien dengan kelainan kandung kemih neurogenik dapat memiliki banyak

tanda dan gejala dari BPH, tetapi dapat juga diikuti riwayat penyakit

neurologis, stroke, diabetes mellitus, maupun cedera tulang punggung.

Sebagai tambahan, pemeriksaan dapat menunjukkan penurunan sensasi

ekstremitas bawah atau perineal atau pengalihan tonus sfingter rektalis atau

refleks bulbokavernosa. Pengalihan simultan pada fungsi usus (konstipasi)

dapat dijadikan penanda adanya kemungkinan yang asalnya neurologik.

8. Pengobatan

Setelah pasien dievaluasi, mereka harus diberitahu mengenai pilihan

terapi BPH yang bervariasi. Dapat disarankan kepada pasien agar

berkonsultasi dengan dokternya untuk dapat membuat keputusan yang telah

dipikirkan berdasarkan keuntungan relatif dan efek samping dari pilihan

penanganan tersebut.

Rekomendasi penanganan spesifik dapat disarankan untuk pasien-

pasien tertentu. Bagi mereka yang dengan gejala ringan (skor gejala 0-7),

hanya disarankan perhatian yang seksama. Pada akhir spektrum terapi yang

lain, indikasi pembedahan absolut mencakup retensi refraktori urin (gagal

dalam setidaknya satu percobaan pelepasan kateter), infeksi saluran kemih

berulang akibat BPH, gross hematuria berulang karena BPH, batu kandung

Page 11: Benign Prostatic Hyperplasia

kemih karena BPH, insufisiensi renal karena BPH, atau diverkel kandung

kemih luas.

A. “Watchful Waiting”

Sangat sedikit sekali riwayat alami BPH yang dilaporkan. Risiko

progresi atau komplikasi tidak dapat dipastikan. Meski begitu, pada pria

dengan BPH simtomatik, jelas bahwa progresi tidak dapat dihindari dan

beberapa pria mengalami perkembangan spontan atau resolusi dari gejala yang

mereka alami.

Kajian retrospektif terhadap riwayat alami BPH seringkali menjadi

bias terkait pilihan pasien serta tipe dan lamanya tindak lanjut. Sangat sedikit

uji prospektif yang mengalamatkan riwayat alami BPH yang perah dilaporkan.

Akhir-akhir ini, kajian acak luas yag membandingkan finasterida dengan

placebo pada pria dengan gejala BPH sedang sampai berat dan pembesaran

prostat pada DRE (McConnell et al, 1998). Pasien dengan plasebo memiliki

7% risiko mengalami retensio urin dalam 4 tahun kedepan.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, perhatian yang seksama

merupakan tatalaksana yang memadai untuk pria dengan skor gejala ringan (0-

7). Pria dengan gejala sedang atau berat dapat juga melaksanakan metode ini

jika menginginkannya. Belum ada interval optimal untuk tindak lanjut maupun

titik akhir spesifik untuk intervensi yang telah ditetapkan.

B. Terapi Medis

1. Alpha-bloker

Prostat manusia dan dasar kandung kemih mengandung

adrenoreseptor alpha- 1, dan prostat menunjukkan respon kontraktil dalam

merespon agonis. Bagian kontraktil dari prostat dan leher kandung kemih

tampak dimediasi sejak awal oleh reseptor subtipe alpha- 1a. Blokade

alpha telah menunjukkan hasil baik pada derajat objektif maupun subjektif

dalam perkembangannya pada tanda dan gejala BPH di beberapa pasien.

Alpha blocker dapat diklasifikasikan menurut pemilihan reseptornya dan

juga waktu paruhnya (Tabel 22-2).

Page 12: Benign Prostatic Hyperplasia

Kemanjuran phenoxybenzamine dan prazosin telah dibandingkan

terhadap perbaikan gejalanya, tetapi efek samping dari phenoxybezamine

terlihat lebih besar, terkait dengan kurangnya spesifitas reseptor alpha

sehingga tidak digunakan pada pasien BPH. Dosis titrasi diperlukan

dengan prazosin, dengan tipikal terapi dimulai dari 1 mg sebeum tidur

selama 3 malam, kemudian dilanjutkan menjadi 1 mg dua kali sehari, lalu

titrasi dilanjutkan 2 mg dua kali sehari jika diperlukan. Pada dosis yang

lebih tinggi, diamati sedikit peningkatan perbaikan gejala dan perburukan

efek samping. Efek samping umumnya mencakup hipotensi ortostatik,

pusing, kelelahan, ejakulasi retrograde, rhinitis, dan nyeri kepala.

Alpha blocker kerja panjang memungkinkan pemberian dosis satu

kali sehari, namun tetap diperlukan dosis titrasi. Terazosin dimulai 1 mg

sekali sehari selama 3 hari dan ditingkatkan menjadi 2 mg perhari selama

11 hari dan sampai 5mg/ hari. Dosis dapat dtingkatkan sampai  10 mg/ hari

jika diperlukan. Terapi dengan doxazosin dimulai dari 1mg perhari selama

7 hari dan dinaikkan menjadi 2 mg perhari selama 7 hari, lalu sampai 4 mg

perhari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 8 mg/ hari jika diperlukan. Efek

samping yang timbul serupa dengan mereka yang diberikan prasozin.

Terapi alpha blocker andalan terbaru yang terkait dengan identifikasi

subtipe reseptor alpha 1. Reseptor blokade selektif alpha-1a yang

terlokalisir di prostat dan leher kandung kemih menyebabkan efek

samping yang lebih sedikit (hipotensi ortostatik, pusing, kelelahan, rhinitis,

dan nyeri kepala), sehingga tidak perlu dosis titrasi. Tamsulosin dimulai

pada 0.4 mg perhari dan dapat dinaikkan sampai 0.8 mg perhari jika

diperlukan. Alfuzosin adalah uroselektif alpha-1-adrenergic agonis

fungsional. Sama halnya dengan tamsulosin, tidak diperlukan dosis titrasi

untuk preparat lepas lambat (10 mg), dan agen ini memiliki efek

kardiovaskular yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan terapo alpha-

blocker non-spesifik.

Beberapa percobaan acak, buta-ganda, yang dikontrol plasebo yang

masing-masing membandingkan alpha-blockers dengan plasebo, telah

menunjukkan keamanan dan khasiat semua agen tersebut.

Page 13: Benign Prostatic Hyperplasia

Tabel. Klasifikasi Terapi Medis dan Dosis yang Direkomendasikan untuk

BPH

Klasifikasi Dosis oral

Alpha – blockers

Nonselektif

Phenoxybenzamine

Alpha-1, kerja pendek

Prazosin

Alpha-2, kerja panjang

Terazosin

Doxasozin

Alpha-1a seletif

Tamsulosin

Alfuzosin

5-alpha reductase inhibitor

Finasteride

Dutasteride

Implan subkutan

Triotorelin pamoat

10 mg, dua kali sehari

2 mg, dua kali sehari

5 atau 10 mg perhari

4 atau 8 mg perhari

0,4 atau 0,8 mg perhari

10 mg perhari

5 mg perhari

0,5 mg perhari

Pertahun

3.75 mg setiap bulan

2. 5-Alpha-reductase inhibitor

Finastreride adalah 5- alpha reductase inhibitor yang menutup

konversi dari testosteron menjadi dihidrotestosteron. Obat ini

mempengaruhi komponen epitel prostat, sehingga terjadi reduksi ukuran

dan perbaikan gejala. Diperlukan enam bulan terapi untuk melihat melihat

efek maksimum terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan perbaikan

gejala.

Beberapa percobaan acak, buta-ganda, yang dikontrol plasebo yang

masing-masing membandingkan finasteride dengan plasebo. Khasiat,

keamanan, dan ketahanan telah ditetapkan dengan baik. Meski begitu,

perbaikan gejala hanya tampak pada pria dengan pembesaran prostat

(>40cm3). Efek samping mencakup penurunan libido, penurunan volume

ejakulasi, dan impotensi. Serum PSA diturunkan dengan sekitar 50%

pasien yang ditangani dengan finasteride, tetapi nilai individu dapat

beragam.

Page 14: Benign Prostatic Hyperplasia

Dutasteride dibedakan dari finasteride karena dutasteride

menghambat kedua isoenzim dari 5-alpha reductase. Sama dengan

finasteride, dutasteride menurunkan serum antigen spesifik prostat dan

volume prostat total. Secara acak, percobaan terkontrol plasebo telah

menunjukkan khasiat dutasteride pada pemulihan gejala, skor gejala,

rentang aliran puncak urin, dan menurunkan risiko retensi urin akut dan

kebutuhan dilakukan pembedahan. Efek samping utama adalah disfungsi

ereksi, peurunan libido, ginekomastia, dan gangguan ejakulasi.

3. Terapi kombinasi

Kombinasi alpha-blocker dan 5-alpha-reductase melalui percobaan

acak, buta-ganda, yang dikontrol plasebo adalah empat sisi Veteran

Administration Cooperative Trial membandingkan plasebo, finasteride

sendiri, terazosin sendiri, serta kombinasi dari finasteride dan terazosin

(Lepor et al, 1996). Ada lebih dari 1200 pasien yang ikut ambil bagian,

dan didapatkan penurunan skor gejala yang signifikan serta peningkatan

rentang pancaran urin hanya terlihat pada sisi yang melibatkan terazosin.

Meski begitu, perlu diperhatikan bahwa pembesaran bukanlah satu-satunya

masukan kriteria; pada kenyataannya, prostat pada kajian ini masih jauh

lebih kecil dibandingkan pada uji sebelumnya yang menggunakan

finasteride (32 melawan 52 cm3). McConnell dan rekan menjalankan

percobaan buta ganda jangka panjang melibatkan 2047 pasien untuk

membandingkan efek dari plasebo, doxasozin, finasteride, dan terapi

kombinasi dalam pengukuran progresi klinis BPH (McConnell et al,

2003). Risiko dari kesemua progresi klinis—dinyatakan sebagai

peningkatan diatas garis dasar setidaknya 4 poin dalam skor gejala AUA,

retensi urin akut, inkontinensia urin, insufisiensi renal, atau infeksi saluran

kemih berulang— menurun secara signifikan dengan penggunaan

doxasozin (39% penurunan risiko) dan finasteride (34% penurunan risiko),

dibandingkan dengan plasebo. Penurunan risiko tersebut terkait dengan

terapi kombinasi (66% penurunan risiko) lebih besar secara signifikan

dibanding penggunaan doxasozin atau fiasteride sendirian. Pasien yang

lebih diuntungkan dengan kombinasi terapi adalah mereka yang progresi

Page 15: Benign Prostatic Hyperplasia

risiko dasarnya sangat tinggi, biasanya pasien dengan nilai PSA lebih

tinggi dan kelenjar yang lebih besar.

4. Fitoterapi

Fitoterapi merujuk kepada penggunaan tanaman maupun ekstraknya

dalam tujuan pengobatan, penggunaan fitoterapi dalam BPH sudah populer

di Eropa selama bertahun-tahun, dan kini digunakan di Amerika Serikat

dan semakin berkembang seiring dengan meningkatnya antusiasme pasien.

Beberapa ekstrak tanaman telah populer, seperti saw palmetto berry,

(Serenoa repents) kulit pohon Pygeum africanum, akar Echinacea

purpuea dan Hypoxis rooperi, ekstrak pollen, serta daun trembling poplar.

S. repens adalah agen yang paling dikaji dengan baik, umumnya 320 mg/

hari. Meskipun efek yang diinginkan dari skor gejala rentang aliran telah

diperhatikan pada beberapa kajian, penemuannya belum ditunjukkan

secara konsisten (Wilt et al, 2002). Kajian prospektif terbaru yang telah

diterbitkan melalui uji klinis acak menunjukkan tidak ada manfaat plasebo

dalam perbaikan gejala ataupun pancaran urin. Mekanisme aksi dari

fitoterapi tersebut tidak diketahui, dan khasiat serta keamanan agen-agen

tersebut belum dicoba secara benar-benar baik di berbagai pusat penelitian

acak buta ganda yang dikontrol plasebo.

C. Terapi Bedah Konvensional

1. Reseksi prostat transuretra

Sembilan puluh lima persen prostatektomi sederhana dapat

dikerjakan dengan endoskopi. Kebanyakan prosedur tersebut

melibatkan anestesi spinal dan membutuhkan rawat inap sekitar 1- 2

hari di rumah sakit. Skor gejala dan perbaikan pancuran dengan

reseksi prostat transuretra (TURP) lebih unggul dibandingkan terapi

invasif minimal lainnya. Meski begitu, pasien yang menjalani TURP

memerlukan waktu rawat inap yang lebih panjang. Kontroversi yang

lebih besar lagi terjadi antara kemungkinan tingginya angka morbiditas

Page 16: Benign Prostatic Hyperplasia

dan mortalitas terkait TURP jika dibandingkan dengan operasi

terbuka, tetapi rentang lebih tinggi yang diselidiki pada satu uji

mungkin terkait dengan lebih dari satu komorbid pada pasien TURP

dibandingkan dengan pasien yang menjalani bedah terbuka. Beberapa

uji lainnya tidak dapat memastikan perbedaan mortalaitas jika

hasilnya dikendalikan oleh usia dan penyakit komorbid lain. Risiko

TURP mencakup ejakulasi retrograde (75%), impotensi (5- 10%), dan

inkontinensia (<1%). Komplikasinya mencakup perdarahan, striktur

uretra, atau kontraktur leher kandung kemih, perforasi kapsul prostat

dengan ekstravasasi, dan jika parah, sindroma TUR terjadi karena

hipervolemik, keadaan hipovolemik karena penyerapan cairan irigasi

hipotonik. Manifestasi klinik sindroma TUR mencakup mual, muntah,

bingung, hipertensi, bradikardia, dan gangguan visual. Risiko TUR

meningkat dengan reseksi >90menit. Penanganan mencakup diuresis,

dan pada beberapa kasus yang berat, diberikan administrasi cairan

hipertonik.

2. Insisi prostat transuretra

Pria dengan gejala sedang sampai berat dan prostat kecil

umumnya memiliki hiperplasia komisura posterior (naiknya leher

kandung kemih). Pasien-pasien seperti ini akan diuntungkan dengan

dilakukannya tindakan insisi prostat. Prosedur ini lebih sering dan

lebih aman daripada TURP. Hasilnya pada pasien terpilih dapat

dibandingkan, meskipun ada sedikit laporan mengenai ejakulasi

retrograde akibat insisi transuretra (25%). Teknik ini melibatkan dua

insisi menggunakan pisau Collins pada posisi pukul 5 dan pukul 7.

Insisi dimulai dari distal orificium uretra dan dilanjutkan hingga keluar

verumontanum.

3. Prostatektomi terbuka sederhana

Page 17: Benign Prostatic Hyperplasia

Ukuran prostat terlalu besar untuk dikeluarkan dengan

endoskopi, maka diperlukan enukleasi terbuka. Yang disebut “terlalu

besar” masih subjektif dan bervariasi tergantung pada pengalaman

dokter bedah dalam TURP. Kelenjar > 100 gram umumnya akan

dinilai memenuhi untuk dilakukannya enukleasi terbuka. Prostatektomi

terbuka juga dapat dilakukan jika terdapat divertikel kandung kemih

maupun batu kandung kemih atau jika posisi dorsal litotomi tidak

memungkinkan.

Prostatektomi terbuka dapat menggunakan pendekatan

suprapubik maupun retropubik, prostatektomi terbuka yang sederhana

dilakukan transvesika dan pilihan operasi dengan patologi kandung

kemih yang menyertainya. Setelah kandung kemih trbuka, dilakukan

insisi semisirkuler di mukosa kandung kemih, distal dari trigonum.

Diseksi awal harus tajam, lalu diseksi tumpul dilakukan menggunakan

jari untuk mengeluarkan adenoma. Diseksi apikal harus tajam untuk

menghindari cidera mekanisme sfingter distal. Setelah adenoma

dikeluarkan, dilakukan penjahitan jelujur untuk menutup, setelah

sebelumnya dipasangkan kateter uretra dan suprapubik.

Pada prostatektomi terbuka sederhana, kandung kemih tidak

dimasuki. Tetapi, dibuat insisi transversa di kapsula prostat yang akan

dibedah kemudian adenoma dikeluarkan seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya. Hanya dibutuhkan sebuah kateter uretra pada akhir

prosedur.

D. Terapi invasif minimal

1. Terapi laser

Terdapat banyak teknik berbeda untuk bedah laser prostat yang

telah dijelaskan. Dua sumber energi laser utama yang dipakai—

Nd:YAG dan holmium:YAG.

Beberapa teknik nekrosis koagulasi telah dijelaskan.

Transurethral laser- induced prostatectomy (TULIP) telah dilakukan

Page 18: Benign Prostatic Hyperplasia

dibawah pengawasan TRUS. Alat TULIP diletakkan didalam uretra

dan TRUS digunakan untuk mengarahkan alat saat ditarik perlahan

dari leher kandung kemih ke arah apex. Dalamnya tindakan dipantau

dengan gelombang ultra sonik.

Beberapa urolog memillih menggunakan teknik laser yang

diatur secara visual. Dibawah kendali sistoskopi, serat fiber

dimasukkan ke prostat melalui beberapa daerah yang telah

direncanakan, tergantung ukuran dan konfigurasi prostat itu sendiri.

Pendekatan empat kuadran telah dijelaskan untuk lobus lateral, dengan

tambahan terapi yang ditujukan kepada lobus media yang membesar.

Teknik koagulatif tidak menyebabkan kerusakan uretra prostat dengan

segera, tetapi jaringannya perlahan rusak dalam beberapa minggu

hingga tiga bulan setelah dilakukan prosedur.

Teknik ablasi visual merupakan prosedur yang lebih memakan

waktu karena seratnya harus diletakkan langsung bersentuhan dengan

jaringan prostat sehingga menguap. Kerusakan segera yang terjadi di

uretra prostat serupa dengan yang tampak pada prosedur TURP.

Terapi laser interstitial diletakkan langsung di prostat, biasanya

dibawah pengawasan kendali sistoskopi. Laser ditembak di beberapa

titik sehingga terjadi nekrosis koagulasi di submukosa. Teknik ini akan

mengurangi beberapa gejala iritasi berkemih karena mukosa uretra

aman dan jaringan prostat diserap kembali oleh tubuh, tidak terkelupas.

Keunggulan bedah laser antara lain (1) kehilangan darah dalam

jumlah minimal, (2) jarang timbul sindroma TUR, (3) mampu

menangani pasien dengan terapi koagulasi, (4) dapat ditangani dengan

prosedur rawat jalan. Kekurangannya antara lain (1) minim jaringan

untuk pemeriksaan patologi, (2) waktu pemakaian kateter postoperasi

yang lebih panjang, (3) lebih banyak keluhan iritasi dalam berkemih,

(4) biaya serat laser dan generator yang tinggi.

Dibutuhkan uji acak jangka panjang di beberapa pusat

penelitian yang ditindak-lanjuti dalam waktu lama untuk

Page 19: Benign Prostatic Hyperplasia

membandingkan bedah laser dengan TURP dan bentuk bedah invasif

minimal lainnya.

2. Elektrovaporisasi prostat transuretra

Elektrovaporisasi transuretra menggunakan standar

resektoskop, tetapi menggantikan ujung konvensional dengan roll bola

beralur. Kepadatan yang tinggi membuat uap panas jaringan sehingga

timbul lubang di uretra prostat. Karena alat ini butuh sapuan lambat

sepanjang uretra prostat, dan kedalaman uap kurang lebih sepertiga

ujung biasa, prosedur ini umumnya memakan waktu lebih panjang dari

TURP. Dibutuhkan perbandingan data jangka panjang.

3. Hipertermia

Gelombang mikro suhu tinggi biasanya dialirkan melalui

kateter uretra. Beberapa alat mendinginkan mukosa uretra untuk

mengurangi risiko cidera. Bagaimanapun juga, jika suhu tidak lebih

dari 45 derajat Celcius, tidak perlu dilakukan pendinginan. Dibutuhkan

perbaikan skor gejala dan pancaran urin, tetapi sama seperti pada

bedah laser, perlu ada studi acak skala besar dengan tindak lanjut

jangka panjang untuk mengetahui daya tahan dan biaya efektif.

4. Ablasi Jarum Prostat Transuretra

Ablasi jarum prostat transuretra menggunakan kateter uretra

yang telah dirancang secara khusus agar dapat melewati uretra. Jarum

interstisial dengan frekuensi radio disebarkan dari ujung kateter,

menembus mukosa uretra prostat. Kegunaan frekuensi radio dalam

memanaskan jaringan menyebabkan nekrosis koagulasi. Teknik ini

bukanlah penanganan yang memadai untuk leher kandung kemih dan

pembesaran lobus media. Tampak ada perbaikan berkemih secara

Page 20: Benign Prostatic Hyperplasia

subjektif maupun objektif, tetapi seperti yang telah disebutkan diatas,

masih kurang sekali uji acak jangka panjang sebagai pembanding.

5. Gelombang ultra fokus intensitas tinggi

Gelombang ultra fokus intensitas tinggi adalah nama lain untuk

ablasi jaringan. Sebuah probe gelombang ultra dwifungsi yang telah

dirancang khusus akan ditempatkan di rektum. Probe ini

memungkinkan pencitraan transrektal prostat sekaligus mengirimkan

energi bakaran pendek gelombang ultra fokus intensitas tinggi yang

memanaskan jaringan prostat sehingga terjadi nekrosis koagulasi.

Pembesaran lobus media dan leher kandung kemih tidak memadai jika

ditangani dengan teknik ini. Meskipun uji coba klinik yang sedang

berjalan menunjukkan perbaikan skor gejala dan pancaran, respon daya

tahannya masih belum diketahui.

6. Intraurethral stents

Intraurethral stents adalah alat yang diletakkan di fossa

prostatica dengan endoskopi dan dirancang untuk menjaga uretra

prostat agar tetap ditempatnya. Alat tersebut biasanya ditutupi oleh

urothelium dalam 4-6 bulan setelah peletakan. Alat-alat tersebut

umumnya digunakan oleh pasien dengan angka harapan hidup terbatas

yang dinilai tidak layak menjalani pembedahan ataupun pembiusan.

Dengan kemajuan teknik invasif minimal lain yang juga membutuhkan

teknik bius minimal (bius sadar atau blok prostat), pengaplikasiannya

menjadi semakin terbatas.

Page 21: Benign Prostatic Hyperplasia

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

BPH adalah tumor jinak yang paling umum terjadi pada pria, dan insidensinya

terkait dengan usia. Faktor risiko pada perkembangan BPH belum dimengerti

seutuhnya, beberapa kajian mengemukakan predisposisi genetik, dan beberapa

menyatakan perbedaan ras. Etiologi BPH tidak benar-benar dipahami, tetapi

tampaknya multifaktorial dan dikendalikan oleh endokrin. Gejala yang timbul pada

penderita BPH merpakan gejala obstruksi dan gejala iritasi. Diagnosis BHP

didasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan DRE, Laboratorium dan pemeriksaan

penunjang berupa pemeriksaan urinalisis, PSA, sistoskopi, dll. Terapi untuk BPH

terbagi menjadi 4, yaitu: watchful waiting, medikamentosa, fitoterapi, dan terapi

invasif maupun pembedahan.

Page 22: Benign Prostatic Hyperplasia

DAFTAR PUSTAKA

Tanagho, Emil A. Anatomy of the Genitourinary Tract. In: Smith’s General Urology.

Seventeenth Edition. New York: McGraw Hill. Page: 11-12.

Joseph C, Presti, Jr, Christopher J. Kane, Katsuto Shinohara, Peter R. Carroll.

Neoplasms of the Prostate Gland. In: Smith’s General Urology. Seventeenth

Edition. New York: McGraw Hill. Page: 348-355.

Anderson J, Jeffrey C. Anatomy In : Campbell-Walsh Urology. Tenth Edition.

Philadelphia: Elseviere Saunders. Page 78-82.

Roehrborn G Claus. Benign Prostatic Hyperplasia In : Campbell-Walsh Urology.

Tenth Edition. Philadelphia: Elseviere Saunders. Page 2556-2689.