Bell's Palsy
-
Upload
agustin-dewi-pratiwi -
Category
Documents
-
view
58 -
download
3
description
Transcript of Bell's Palsy
BAB I
PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang
Kelumpuhan wajah adalah gangguan yang memiliki dampak yang besar pada
pasien. Kelumpuhan saraf wajah mungkin karena bawaan atau neoplastik atau mungkin
akibat dari infeksi, trauma, eksposur beracun, atau penyebab iatrogenik. Penyebab paling
umum dari kelumpuhan wajah unilateral Bell’s palsy, atau disebut kelumpuhan wajah
idiopatik. Bell’s palsy merupakan kekakuan akut unilateral, perifer, bersifat lower-motor-
neuron yang secara bertahap membaik pada 70-80% kasus.Penyebab Bell’s palsy masih
belum diketahui, meskipun kemungkinan etiologinya adalah virus, inflamasi, autoimun, dan
iskemik.
Bell’s palsy adalah salah satu gangguan neurologis yang paling umum yang
mempengaruhi saraf kranial, dan merupakan penyebab paling umum kelumpuhan wajah di
seluruh dunia. Bell’s palsy diperkirakan menyumbang sekitar 60-75% dari kasus kelumpuhan
wajah akut unilateral. Bell palsy lebih sering terjadi pada orang dewasa, pada orang dengan
diabetes, dan pada wanita hamil.
Untuk menentukan apakah wajah-saraf kelumpuhan perifer atau pusat adalah kunci dalam
diagnosis. Sebuah lesi yang melibatkan upper motor neuron mengakibatkan kelemahan
wajah bagian bawah,berbeda dengan lesi di lower motor neuron. Anamnesa yang cermat dan
pemeriksaan yang teliti, termasuk pemeriksaan telinga, hidung, tenggorokan, dan saraf
kranial, harus dilakukan.Kriteria diagnostik minimal termasuk kelumpuhan atau paresis dari
semua kelompok otot di satu sisi wajah,secara akut dan tiba-tiba, setelah dimastikantidak ada
penyakit sistem saraf pusat. Perhatikan bahwa diagnosis Bell’s palsy dibuat hanya setelah
penyebab lain dari kelumpuhan perifer akut telah disingkirkan.
Jika temuan klinis meragukan atau jika kelumpuhan berlangsung lebih lama dari 6-8
minggu,perencanaan lebih lanjut, termasuk pencitraan gadolinium meningkatkan resonansi
magnetik dari tulang temporal dan pons, harus dipertimbangkan. Tes Electrodiagnostic
1
(misalnya, stapedius tes refleks, membangkitkan saraf wajah-elektromiografi [EMG],
audiography) dapat membantu meningkatkan ketepatan prognosis pada kasus yang sulit.
Pengobatan Bell’s palsy harus konservatif dan dipandu oleh keparahan dan prognosis
kemungkinan dalam setiap kasus tertentu. Studi telah menunjukkan manfaat dosis tinggi
kortikosteroid untuk Bell’s palsy akut.Walaupun pengobatan antivirus telah digunakan dalam
beberapa tahun terakhir, bukti menunjukkan bahwa obat ini mungkin kurang bermanfaat.
Terapi okular topikal berguna dalam banyak kasus, dengan pengecualian orang-orang yang
kondisinya parah atau berkepanjangan. Dalam kasus ini, manajemen operasi adalah yang
terbaik. Beberapa prosedur bertujuan untuk melindungi kornea dari paparan dan mencapai
kesimetrian wajah. Prosedur ini mengurangi kebutuhan penggunaan secara konstan tetes atau
salep pelumas, dapat meningkatkan nilai estetika, dan mungkin diperlukan untuk
mengekalkan penglihatan pada sisi maa yang terkena.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Bell’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena gangguan
nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak teridentifikasi
(idiopatik) diluar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya. Sir
Charles Bell (1821), dokter ahli dari skotlandia adalah orang yang pertama meneliti beberapa
penderita dengan wajah asimetris, sejak saat itu semua kelumpuhan nervus fasialis perifer
yang tidak diketahui penyebabnya disebut bell’s palsy. Pengamatan klinik, pemeriksaan
neurologic, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa Bell’s Plasy bukan
penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat banyak faktor dan sering merupakan gejala
penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak
dibawah umur 2 tahun. Biasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas yang erat
hubungannya dengan cuaca dingin.1
2.2 EPIDEMIOLOGI
Kasus Bell’s Palsy sangat jarang ditemukan pada musim kemarau. Sebagian besar
hasil penelitian internasional menunjukkan insiden kasus Bell’s Palsy pertahun sekitar 15-30
kasus per 100.000 jumlah penduduk. Sekitar 60-75% kasus paralisis fasialis unilateral
3
disebabkan oleh Bell’s Palsy, dimana 63% kasus mengenai separuh kanan wajah. Bell’s Palsy
juga dapat mengalami rekurensi, dengan kisaran 4-14% kasus. Walaupun Bell’s Palsy
bilateral dapat terjadi, hal ini sangat langka, dengan kisaran hanya 23% dari seluruh kasus
paralisis fasialis bilateral dan dibawah 1% jika dibandingkan dengan seluruh kasus paralisis
fasialis unilateral. Mayoritas pasien yang memiliki kelumpuhan fasialis bilateral memiliki
sindrom Guillian-Barre, sarkoidosis, penyakit Lyme, meningitis (neoplastik atau infeksius),
atau neurofibromatosa bilateral (pada pasien neurofibromatosis tipe 2). Orang dengan
diabetes mellitus memiliki resiko 29% lebih tinggi untuk terkena Bell’s Palsy dibandingkan
orang yang tidak memiliki diabetes, sehingga mendeteksi kadar gula darah pada pasien Bell’s
Palsy dapat menemukan kasus diabetes yang tidak terdiagnosis. Kesembuhan parsial dan
rekurensi lebih sering dialami pasien diabetik dibandingkan non-diabetik. Bell’s Palsy juga
lebih sering didapatkan pada orang-orang dengan gangguan sistem imun dan pada wanita
dengan preeklampsia.2
2.3 ANATOMI
Nervus Fasialis : Garis Hijau menggambarkan saraf parasimpatis, garis merah saraf
motoris, dan garis ungu menggambarkan saraf viscerosensoris.
Nervus Facialis mempunyai empat buah inti yaitu :
Nukleus Facialis untuk saraf Somatomotoris
Nukleus Salivatorius Superior untuk saraf Viseromotoris
Nukleus Solitarius Untuk saraf Viserosensoris
Nukleus Sensoris Trigeminus untuk saraf Somatosensoris
Inti motorik Nervus Facialis terletak pada bagian ventolateral tegmentum Pons bagian
bawah. Dari sini berjalan kebelakang dan mengelilingi inti N VI dan membentuk genu
internal nervus facialis, kemudian berjalan ke bagian-lateral batas kaudal pons pada sudut
ponto serebelar. Saraf Intermedius terletak pada bagian diantara N VII dan N VIII. Serabut
motorik saraf Facialis bersama-sama dengan saraf intermedius dan saraf vestibulokoklearis
memasuki meatus akustikus internus untuk meneruskan perjalanannya didalam os petrosus
(kanalis facialis). Nervus Facialis keluar dari os petrosus kembali dan tiba dikavum timpani.
Kemudian turun dan sedikit membelok kebelakang dan keluar dari tulang tengkorak melalui
4
foramen stilomatoideus. Pada waktu ia turun ke bawah dan membelok ke belakang kavum
timpani di situ ia tergabung dengan ganglion genikulatum. Ganglion tersebut merupakan set
induk dari serabut penghantar impuls pengecap, yang dinamakan korda timpani. juluran sel-
sel tersebut yang menuju ke batang otak adalah nervus intermedius, disamping itu ganglion
tersebut memberikan cabang-cabang kepada ganglion lain yang menghantarkan impuls
sekretomotorik. Os petrosus yang mengandung nervus fasialis dinamakan akuaduktus fallopii
atau kanalis facialis. Disitu nervus facialis memberikan cabang untuk muskulus stapedius dan
lebih jauh sedikit ia menerima serabut-serabut korda timpani. Melalui kanalis anterior ia
keluar dari tulang tengkorak dan tiba di bawah muskulus pterigoideus eksternus, korda
timpani menggabungkan diri pada nervus lingualis yang merupakan cabang dari nevus
mandibularis.3
Sebagai saraf motorik nervus facialis keluar dari foramen stilomastoideus
memberikan cabang yakni nervus auricularis posterior dan kemudian memberikan cabang ke
otot stilomastoideus sebelum masuk ke glandula Parotis. Di dalam glandula parotis nervus
facialis dibagi atas lima jalur percabangannya yakni temporal, servical, bukal, zygomatic dan
marginal mandibularis.3
Jaras parasimpatis (General Viceral Efferent) dari intinya di nucleus salivatorius superior
setelah mengikuti jaras N VII berjalan melalui Greater petrosal nerve dan chorda Tympani.
Greater petrosal nerve berjalan ke ganglion pterygopalatina berganti neuron lalu
mempersarafi glandula lakrimal, nasal dan palatal.Chorda tympani berjalan melalui nervus
lingualis berganti neuron mempersarafi glandula sublingual dan glandula submandibular.3
5
Jaras Special Afferent (Pengecapan) : dari intinya nukeus solitarius berjalan melalui
nervus intermedius ke :
Greater petrosal Nerve melalui nervus palatina mempersarafi taste dari palatum.
Chorda Tympani melalui nervus lingualis mempersarafi taste 2/3 bagian depan lidah.
Jaras General Somatik different :
Nukleus spinalis traktus trigeminal menerima impuls melalui nervus intermedius dari Meatus
Akustikus Eksternus dan kulit sekitar telinga.3
2.4 ETIOLOGI
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s Palsy, tetapi ada 4 teori yang
dihubungkan dengan terjadinya Bell’s Palsy yaitu :
1. teori iskemik vaskuler : nervus facialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena
gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis facialis
2. Teori infeksi Virus : virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah herpes
simplex virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV.
3. teori herediter : Bell’s Palsy yang terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada
keturunan atau keluarga tersebut,sehingga menyebabkan terjadinya predisposisi untuk
terjadi paresis fasialis.
4. teori imunologi dikatakan bahwa Bell’s Palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap
infeksi virus yang timbul sebelumnya atau setelah pemberian imunisasi.4,5,6,7,8
6
PATOFISIOLOGI
Gambaran Lesi Pada Bell’s Palsy
Korteks serebri akan memberikan persaratan bilateral pada nucleus N VII yang
mengontrol otot dahi, tetapi hanya mernberi persarafan kontra lateral pada otot wajah bagian
bawah. Sehingga pada lesi Lower Motor Neuron (LMN) akan menimbulkan paralysis otot
wajah ipsilateral bagian atas bawah, sedangkan pada lesi Upper Motor Neuron (UMN) akan
menimbulkan kelemahan otot wajah sisi kontralateral.3
Pada kerusakan sebab apapun di jaras kortikobulbar atau bagian bawah korteks
motorik primer, otot wajah muka sisi kontralateral akan memperlihatkan kelumpuhan jenis
UMN. Ini berarti otot wajah bagian bawah lebih jelas lumpuh dari pada bagian atasnya, sudut
mulut sisi yang lumpuh tampak lebih rendah. Jika kedua sudut mulut disuruh diangkat maka
sudut mulut yang sehat saja yang dapat terangkat. Lesi LMN bisa terletak di pons, disudut
serebelopontin, di os petrusus, cavum tympani di foramen stilemastoideus dan pada cabang-
cabang tepi nervus facialis. Lesi di pons yang terletak disekitar nervus abducens ini bisa
merusak akar nervus facialis, inti nervus abducens dan fasikulus longitudinalis medialis.
Karena itu paralysis facialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan rektus lateris atau
gerakan melirik ke arah lesi, Proses patologi di sekitar meatus akuatikus internus akan
melibatkan nervus facialis dan akustikus sehingga paralysis facialis LMN akan timbul
7
bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa rnengecap dengan 2/3
bagian depan lidah).3
Pada Bell’s Palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang
temporal, disekitar foremen stilomastoideus. Bell’s Palsy hampir selalu terjadi secara
unilateral. Namun demikian dalam waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis
bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh. Patofisiologinya sampai saat ini belum
jelas, tapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang
menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf
tersebut pada saat melalui kanalis fasialis, dimana segmen labirin merupakan bagian
tersempit yang dilewati nervus fasialis; foramen meatal pada segmen ini hanya memilki
diameter 0,66 mm.4,5
2.5 GAMBARAN KLINIS
Biasanya hampir timbul secara mendadak, dan hampir selalu unilateral, sering kali
waktu bangun tidur pagi penderita baru mengetahui kelumpuhan otot wajah. Manifestasi
klinik Bell’s Palsy khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala kelumpuhan
yang timbul. Pada anak 73% di dahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat
hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegel linu, dan rasa tidak enak pada
telinga atau sekitarnya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala
kelumpuhan otot wajah berupa : dahi tidak dapat dikerutkan, atau lipat dahi hanya terlihat
pada sisi yang sehat, kelopak mata tidak dapat menutup pada sisi yang yang lumpuh
(lagoftalmus), gerakan bola mata pada sisi yang lumpu lambat, disertai bolam atau berputar
ke atas bila memejamkan mata (elevasi), fenomena ini disebut Bell’s sign, sudut mulut tidak
dapat di angkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang
sehat. Selain gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang menyertai antara lain :
gangguan fungsi pengecap, hiperakusis, dan gangguan lakrimasi, pebderita tidak dapat
bersiul atau meniup, atau bila berkumur air akan keluar dari sudut mulut yang lumpuh.
2.6 DIAGNOSA KLINIS
A. Anamnesa
8
Rasa nyeri
Gangguan atau kehilangan pengecapan.
Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan
terbuka atau di luar ruangan.
Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran
pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
B. Pemeriksaan Fisik
Gerakan volunter yang diperiksa:
Mengerutkan dahi
Memejamkan mata
Mengembangkan cuping hidung
Tersenyum
Bersiul
Mengencangkan kedua bibir
C. Pemeriksaan Laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bell’s
palsy.
D. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-Scan
dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke,
sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s palsy
akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada
telinga, ganglion genikulatum.4,5
2.7 DIAGNOSA BANDING
1. Herpes Zoster Opticus (Ramsay Hunt Syndrome)
Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah manifestasi dari reaktivasi virus varicella zoster
dorman pada ganglia ekstramedullar nervus cranialis pada saat terjadi penurunan
imunitas selular.5,6,9,10
Tanda dan gejala RHS meliputi:
9
Ruam merah yang menyakitkan dengan vesikel di saluran telinga eksternal,
bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-langit) atau lidah, wajah, larynx,
mukosa bucca atau leher.
Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terkinfeksi
Kesulitan menutup satu mata
Sakit telinga
Pendengaran berkurang
Dering di telinga (tinnitus)
Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)
Perubahan dalam persepsi rasa
2. Lesi struktural di dalam telinga atau kelenjar parotid
Pasien dengan tumor (seperti cholesteatoma, tumor saliva) memiliki perjalanan
penyakit yang panjang, dan berprogresif secara lambat dalam beberapa minggu atau
bulan dan gejala sering bertahan tanpa ada penyembuhan. Terlibatnya hanya satu atau
dua cabang distal dari saraf fasialis juga menduga tumor, penyakit telinga tengah yang
aktif atau suatu massa di kelenjar parotid.5,9,10
3. Miller Fisher Syndrom
Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrome yang jarang
dijumpai. Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated
Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa
opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom
didapatkan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan
kelemahan otot – otot mata . Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan
kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada
Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkan
rasa kebas, pusing dan mual.5,9,10
2.8 PENATALAKSANAAN
Algoritma Terapi Bell’s Palsy (Brackmann 2010) Ket : ENoG : Electroneurography, MCF:
Meatus Canalis Facialis
1. Istirahat terutama pada keadaan akut
10
2. Medikamentosa
Kortkosteroid
Pemberian kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi dengan sediaan prednison
dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1 mg/kgBB/hari selama 7 hari, diturunkan
perlahan-lahan selama 4 hari kemudian.
Vitamin B1, B6 dan B12
Pemberian vitamin neurotropik juga penting untuk mengembalikan fungsi saraf dan
memberikan asupan yang dibutuhkan agar dapat bekerja dengan baik.
Antivirus
Penggunaan obat- obat antivirus. Acyclovir (dosis untuk anak-anak lebih dari 2 tahun
80 mg per kg berat badan per hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian
selama 10 hari, dosis dewasa 2000-4000 mg per hari secara oral dibagi lima kali
selama 10 hari) atau Valacyclovir (dosis dewasa 1000-3000 mg per hari secara oral
dibagi dalam 2-3 kali selama 5-10 hari) dapat digunakan dalam penatalaksanaan
Bell’s palsy yang dikombinasikan dengan prednison atau dapat juga diberikan sebagai
dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi prednison. Penggunaan
Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk
mencegah replikasi virus.4,10
Akan tetapi melalui penelitian yang dilakukan oleh Sullivan et al Engstorm et al,
Cochrane 2009, dan Quant et al menemukan bahwa tidak adanya keuntungan
signifikan penggunaan antiviral dibandingkan plasebo dalam hal angka penyembuhan
inkomplit dan tidak adanya keuntungan yang lebih baik dengan penggunaan
kortikosteroid ditambah antivirus dibandingkan kortikosteroid saja. Studi lebih lanjut
diperlukan untuk menentukan keuntungan penggunaan terapi. 5,11,12
3. Menjaga kondisi mata
Obat etes mata
Digunakan untuk mengganti lakrimasi yang hilang.
Kacamata
Menggunakan kacamata sebagai pelindung mata dari trauma dan menurunkan
pengeringan dengan menurunkan paparan udara langsung terhadap kornea 5
4. Rehabilitasi
Fisioterapi
11
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, tidak dianjurkan pada stadium.
Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering
digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore.5,8
2.9 KOMPLIKASI
1. Crocodile tear phenomenon.
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan
setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom
yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di
sekitar ganglion genikulatum.
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu
timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul
gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi.
Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi
bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.
3. Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali)
dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi
wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan
psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak
sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.
2.10 PROGNOSIS
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki prognosis
yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan
12
tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi
pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa.
1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik.
Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata. 1/3 sisanya cacat seumur hidup.
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko
yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
1. Usia di atas 60 tahun
2. Paralisis komplit
3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan
5. Berkurangnya air mata.
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk
mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain. Pada
umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6
minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih,
mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa.
Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen
antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4
bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears
dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 %
kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 %
penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor
kelenjar parotis.
13
BAB III
LAPORAN KASUSSTATUS PASIEN
I. Identitas
Nama : Ny N
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 42 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Sidomukti
II. Anamnesis
A. Keluhan Utama :
Bibir kanan dirasakan tebal dan berat sejak 6 jam sebelum masuk rumah
sakit(SMRS)
B. Keluhan Tambahan :
Pilek sejak 2 hari SMRS
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan bibir kanan dirasakan berat dan tebal sejak 6 jam
SMRS.Keluhan mulai dirasakan ketika pasien merasakan sulit untuk minum air
setelah pasien bangun dari tidur.Air yang diminumnya seakan-akan tidak masuk ke
dalam mulutnya.Pada waktu bersamaan,mata kanan dirasakan sangat perih,berair dan
sulit untuk menutupinya.Pasien juga mengeluh wajah kanan terasa tebal dan kurang
terasa bila dipegang, .Pasien mengaku sewaktu tidur malam tadi,pasien mengarahkan
kipas secara statis tepat pada wajahnya.Keluhan ini baru pertama kali
dirasakan.Keluhan lain seperti mual (-), muntah (-), kejang (-), gangguan penglihatan
(-),gangguan pengecapan(-), penglihatan ganda (-), gangguan pendengaran (-), bunyi
berdenging (-), mulut mencong (+), bicara pelo (-),kelemahan tubuh sesisi (-).
14
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu dan hipertensinya
terkontrol.Riwayat DM(-),asma(-),alergi(-)
E. Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku mempunyai kebiasaaan tidur dengan mengarahkan kipas secara statis
secara langsung ke tubuhnya.Pasien juga megaku mempunyai kebiasaan merokok
pada usia remajanya(sekitar 30 tahun yang lalu),sehari 2-3 batang rokok dan sudah
berhenti setelah menikah.
F. Riwayat Penyakit Keluarga
Orang tua dan kakak pasien mengidap penyakit darah tinggi, ibu pasien meninggal
pada tahun 2006 karena stroke (+), dan diabetes mellitus (+).
III. Pemeriksaan Umum
A. Keadaan Umum
- Kesadaran : Compos mentis
- Kesan sakit : Sakit sedang
Tanda Vital
Tekanan Darah : 180/90
Nadi : 86 kali/menit
Suhu : 36,60
Pernapasan : 20 kali/menit
B. Keadaan Lokal
Trauma Stigmata : (-)
Pulsasi Aa.Carotis : equal kanan=kiri, regular, cukup
Pembuluh darah perifer : CRT <2”
15
Kelenjar Getah Bening : Tidak teraba membesar
Columna Vertebralis : lurus di tengah
Thorax
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada 1 cm medial midclavicularis kiri
ICS V
Perkusi : Batas kanan jantung ICS IV garis sternalis kanan.
Batas kiri jantung ICS V 1cm medial garis midclavicularis
kiri. Batas atas jantung ICS III garis parasternal kiri
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi : Bentuk dada dan gerak nafas simetris saat statis dan dinamis.
Palpasi : NT (-), massa (-), gerak nafas teraba simetris saat statis dan
dinamis, vokal fremitus normal
Perkusi : Sonor pada kedua hemithorax.
Auskultasi : Vesikular simetris pada kedua hemithorax, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen
Inspeksi : Datar, benjolan (-), ruam kulit (-), dilatasi vena (-),
Palpasi : Supel, defence muscular (-), hepar dan lien tidak membesar
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) normal
Ekstrimitas atas : akral hangat +/+ , edema -/-
Ektremitas bawah : akral hangat +/+ , edema -/-
IV. Pemeriksaan Neurologis
A. Rangsang Selaput Otak :-
16
B. Saraf-Saraf Kranialis
N. I : normosmia
N. II Kanan Kiri
Acies visus 6/60 6/60
Campus visus baik baik
Melihat warna baik baik
Funduskopi tidak dilakukan
N. III, N. IV, N. VI Kanan Kiri
Kedudukan bola mata ortoforia ortoforia
Pergerakan bola mata
Ke Nasal baik baik
Ke Temporal baik baik
Ke Nasal Atas baik baik
Ke Temporal Atas baik baik
Ke Temporal Bawah baik baik
Eksopthalmus (-) (-)
Ptosis (-) (-)
Pupil
Bentuk bulat bulat
Ukuran 2mm 2mm
Isokor/Anisokor isokor isokor
Reflek cahaya langsung (+) (+)
Reflek cahaya tak langsung (+) (+)
N.V Kanan Kiri
Cabang Motorik baik baik
Cabang Sensorik
Opthalmik kurang baik
Maxilla kurang baik
Mandibularis kurang baik
17
N. VII Kanan Kiri
Menutup kedua mata Sulit baik
Kembungkan pipi Pipinya tidak kuat baik
Menyeringai Mulut mencong baik
Ke kiri
Angkat alis Sulit diangkat baik
Kerutan dahi Dahi tidak baik
mengerut
Sudut mulut Hilang baik
Lagophtalmus (+) (-)
Batas kelopak mata menutupi 1mm 2mm
kornea
N.VIII
Vestibuler
Vertigo : (-)
Nistagmus : (-)
Cochlear
Tuli Konduktif : (-)
Tuli Perseptif : (-)
N. IX, X
Motorik : baik
Sensorik : baik
N. XI
Mengangkat bahu : baik / baik
Menoleh : baik / baik
N.XII
Pergerakan lidah : simetris
Tremor : (-)
Atrofi : (-)
18
Fasikulasi : (-)
C. Sistem Motorik
Ekstremitas Atas Proksimal-Distal 5 5 5 5 5 5 5 5
Ekstremitas Bawah Proksimal-Distal 5 5 5 5 5 5 5 5
Gerakan Involunter
D. Refleks-refleks Fisiologis
Kanan Kiri
Kornea : + +
Berbangkis : + +
Pharing : + +
Bisep : + +
Trisep : + +
Radius : + +
Dinding Perut : + +
Otot Perut : + +
Lutut : + +
Tumit : + +
Sfingter Ani : tidak dilakukan
E. Refleks-refleks Patologis Kanan Kiri
Hoffman Trommer : (-) (-)
Babinsky : (-) (-)
Chaddock : (-) (-)
Gordon : (-) (-)
Gonda : (-) (-)
Schaeffer : (-) (-)
Klonus Lutut : (-) (-)
Klonus Tumit : (-) (-)
19
V. Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 15 September 2011)
Darah Rutin
Hemoglobin : 14 g/dl Hematokrit : 44 %
Lekosit : 16,5/ul(↑) Trombosit : 296.000/ul
Kimia Darah
GDP : 91 mg/dl GDPP : 185(↑)
Lemak
Kolesterol Total : 270(↑) Kolesterol HDL : 49
Kolesterol LDL : 188(↑) Trigliserida : 162(↑)
Fungsi Ginjal
Asam urat : 5,4 Ureum : 31
Cretinine : 1
VI. Pemeriksaan Radiologik
Tidak dilakukan
VII. Resume
Pasien perempuan,42 tahun datang dengan keluhan bibir kanan dirasakan baal dan
tebal sejak 6 jam SMRS.Pasien juga mengeluh ,mata kanan dirasakan sangat perih
dan sulit untuk menutupinya.Selain itu,kulit diwajah kanan terasa tebal dan kurang
terasa bila dipegang.Pasien mengaku sewaktu tidur malam tadi,pasien
mengarahkan kipas secara statis tepat pada wajahnya.Keluhan ini baru pertama kali
dirasakan.Keluhan neurologis lain(-)
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan keadaan umum,tampak sakit sedang,kesadaran
compos mentis.Tanda Vital,tensi 180/90,menandakan hipertensi grade II,suhu
37,6,pasien mengalami subfebris,Nadi 86,pernapasan 20x/menit.Pada pemeriksaan
neurologis,didapatkan pada pemeriksaan N kranialis V,cabang motorik normal tapi
cabang sensorik sisi kanan NV1,NV2 dan NV3 berkurang.Pada pemeriksaan N VII
kanan didapatkan pasien sulit menutup mata kanan,FOS Oculi dextra
1mm,sulit menggembungkan pipi kanan,bila menyeringai mulutnya mening ke
20
kiri,alis kanannya suit diangkat,kerutan dahi kanan dan sudut mulut kanan
menghilang.Pada laboratorium darah didapatkan lekositosis,GDPP meningkat dan
hiperlipidemia.
VIII. Diagnosis Kerja
Neurologis:
Diagnosa Klinis: Bell’s palsy dextra
Diagnosa Etiologi:Tidak diketahui
Diagnosa Topikal:Saraf motorik NVII perifer dengan paralisis motorik dan
prosessus stylomastoideus
Diagnosis patolosis:Inflamasi
Non-neurologis:
Hipertensi grade II
Diagnosis banding:
Neuropati perifer
IX. Anjuran pemeriksaan:
EKG
Konsul ke dokter spesialis penyakit dalam karena gula darah post prandial dan
kolesterol yang meningkat
X. Penatalaksanaan
Pasien berobat jalan:
Bell’s palsy
Lamosen per oral 4-8mg/hari,
Mecobalamine tab 1500mcg dibagi 2 dosis selama 2 bulan
Lifen kapsul 300mg/hari
Amlodipin tablet 10mg 1 kali sehari
X. Prognosis
Ad Vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : dubia
Ad Sanationam : dubia
21
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Bell’s Palsy merupakan sindrom klinis gangguan saraf fasialis yang bersifat perifer.
Keterlibatan virus Herpes simplex tipe I banyak dilaporkan sebagai penyebab kerusakan saraf
tersebut, meski penggunaan preparat anti virus masih menjadi perdebatan dalam tata laksana.
Peranan dokter di pelayanan primer diharapkan dapat menegakkan diagnosis Bell’s Palsy,
menyingkirkan diagnosis banding yang ada, serta mengobati dengan tepat.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Mahar M. Neurologi Klinis Dasar. Edisi ke-5. Jakarta : Dian Rakyat, 1988 : 161-162
2. Japardi I. Nervus Facialis. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Sumatera Utara. 2004.
3. Handoko L, Gaharu MN. Bell’s Palsy, Diagnosis, dan Tatalaksana di Pelayanan Primer.
Vol.62. No.1 ,Januari 2012. Page 33-37
4. Glaser J.S. Neuro-ophtalmology, third edition. New York: Lippincott Williams &
Wilkins, 1999:305-307
5. Makishima T, Young D, Pham V. Bell’s Palsy. Grand Rounds Presentation, Dpt. of
Otolaryngology, UTMB. October 2012.
6. Kasper H, Braunwald L, Fauci J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th
edition. Mc Graw Hill, 2005: 319-321.
7. Jankovic Joseph,dkk. Neurology in Clinical Practice. Vol.2. United States of America.
2004. Page 2116-2117.
23