Belajar dari Lomba Baca Puisi PORSENI MI se-Jawa Timur Ke...

2
36 MPA 305 / Februari 2012 Belajar dari Lomba Baca Puisi PORSENI MI se-Jawa Timur Ke-3 di Jombang Oleh Chamim Kohari *) Porseni MI se-Jawa Timur ke-3 yang digelar pada 24-26 Desember 2011 di Jombang itu, masih menyisa- kan catatan. Sebab masih tak sedikit guru yang salah dalam memposisikan peserta didiknya. Sehingga ba- nyak guru pelatih/guru pen- damping yang memaksakan “keakuan” nya kepada anak di- dik peserta lomba. Tak ayal para murid peserta lomba seakan di- paksa menampilkan gaya guru pelatihnya. Di sisi lain, puisi-puisi yang dilombakan juga agak ku- rang selektif. Di antara puisi yang dipilih (Buku karya Har- jono WS, Senja Hari di Pema- tang karya Anis Failala, Merapi Abu-abu karya Susan Sutarjo dan Palestina karya Syahida, yang layak untuk Porseni MI hanya puisi yang berjudul “Buku” karya Harjono WS. Se- mentara karya yang lainnya, kuranglah pas bagi pemaham- an bocah-bocah seusia MI. Bercermin Kepada Anak Dunia anak adalah dunia yang penuh fantasi dan imajinasi. Peserta Porseni MI se-Jawa Timur ke-3 ini juga anak-anak. Usia mereka yang ikut lomba antara 8 tahun sampai 12 tahun. Suasananya sangat menye- nangkan. Mereka berbaur bersama teman-temannya, berkenalan dan bercanda. Cita-cita mereka juga tinggi-tinggi. Ketika anak-anak itu ditanya tentang cita-citanya, ada yang ingin jadi Presiden, ada yang ingin jadi Jenderal, ada yang ingin jadi dokter. Sementara official pen- damping mereka, guru-guru mereka sudah tidak berani lagi mencanang- kan cita-cita yang tinggi seperti mere- ka. Kejujuran anak perlu diteladani. Ketika anak sudah tampil di atas pang- gung perlombaan, penuh keberanian, atau “berani” yang diberani- beranikan, maka di saat mereka turun dari panggung, tidak per- lu ada yang marah atas keku- rangannya. Sebab mungkin ke- mampuannya dengan jujur di- tampilkannya masih sebatas itu. Guru pendamping/pelatih sebaiknya tetap memberikan dorongan positif atas kekura- ngan atau kesalahan yang me- reka lakukan. Guru pelatih yang marah, yang tak sanggup me- ngendalikan dirinya, justru me- nunjukkan ketidakmampuan- nya menghadapi dan membina anak didiknya. Guru pelatih yang berhasil adalah yang mampu menge- tahui kelemahan, kelebihan dan potensi anak didiknya, kemu- dian mengembangkannya ke arah yang lebih baik. Perlom- “Bapakku ingin aku seperti dia, Ibuku ingin aku seperti dia, Guru bahasa Indonesiaku ingin aku seperti dia, Guru bahasa Inggrisku ingin aku seperti dia, Guru matematikaku ingin aku seperti dia, Ternyata aku enak di sini, di rumah sakit jiwa” (Penyair)

Transcript of Belajar dari Lomba Baca Puisi PORSENI MI se-Jawa Timur Ke...

Page 1: Belajar dari Lomba Baca Puisi PORSENI MI se-Jawa Timur Ke ...jatim.kemenag.go.id/file/file/mimbar305/uvkm1328596854.pdf · Belajar dari Lomba Baca Puisi PORSENI MI se-Jawa Timur Ke-3

36 MPA 305 / Februari 2012

Belajar dari Lomba Baca PuisiPORSENI MI se-Jawa Timur Ke-3di JombangOleh Chamim Kohari *)

Porseni MI se-Jawa Timur ke-3yang digelar pada 24-26 Desember2011 di Jombang itu, masih menyisa-kan catatan. Sebab masih tak sedikitguru yang salah dalam memposisikanpeserta didiknya. Sehingga ba-nyak guru pelatih/guru pen-damping yang memaksakan“keakuan” nya kepada anak di-dik peserta lomba. Tak ayal paramurid peserta lomba seakan di-paksa menampilkan gaya gurupelatihnya.

Di sisi lain, puisi-puisiyang dilombakan juga agak ku-rang selektif. Di antara puisiyang dipilih (Buku karya Har-jono WS, Senja Hari di Pema-tang karya Anis Failala, MerapiAbu-abu karya Susan Sutarjodan Palestina karya Syahida,yang layak untuk Porseni MIhanya puisi yang berjudul“Buku” karya Harjono WS. Se-mentara karya yang lainnya,kuranglah pas bagi pemaham-an bocah-bocah seusia MI.

Bercermin Kepada AnakDunia anak adalah dunia yang

penuh fantasi dan imajinasi. PesertaPorseni MI se-Jawa Timur ke-3 inijuga anak-anak. Usia mereka yang

ikut lomba antara 8 tahun sampai 12tahun. Suasananya sangat menye-nangkan. Mereka berbaur bersamateman-temannya, berkenalan danbercanda. Cita-cita mereka jugatinggi-tinggi. Ketika anak-anak ituditanya tentang cita-citanya, adayang ingin jadi Presiden, ada yangingin jadi Jenderal, ada yang inginjadi dokter. Sementara official pen-damping mereka, guru-guru merekasudah tidak berani lagi mencanang-kan cita-cita yang tinggi seperti mere-ka.

Kejujuran anak perlu diteladani.Ketika anak sudah tampil di atas pang-gung perlombaan, penuh keberanian,

atau “berani” yang diberani-beranikan, maka di saat merekaturun dari panggung, tidak per-lu ada yang marah atas keku-rangannya. Sebab mungkin ke-mampuannya dengan jujur di-tampilkannya masih sebatasitu. Guru pendamping/pelatihsebaiknya tetap memberikandorongan positif atas kekura-ngan atau kesalahan yang me-reka lakukan. Guru pelatih yangmarah, yang tak sanggup me-ngendalikan dirinya, justru me-nunjukkan ketidakmampuan-nya menghadapi dan membinaanak didiknya.

Guru pelatih yang berhasiladalah yang mampu menge-tahui kelemahan, kelebihan danpotensi anak didiknya, kemu-dian mengembangkannya kearah yang lebih baik. Perlom-

“Bapakku ingin aku seperti dia, Ibuku ingin aku seperti dia,Guru bahasa Indonesiaku ingin aku seperti dia, Guru

bahasa Inggrisku ingin aku seperti dia,Guru matematikaku ingin aku seperti dia, Ternyata aku

enak di sini, di rumah sakit jiwa” (Penyair)

Page 2: Belajar dari Lomba Baca Puisi PORSENI MI se-Jawa Timur Ke ...jatim.kemenag.go.id/file/file/mimbar305/uvkm1328596854.pdf · Belajar dari Lomba Baca Puisi PORSENI MI se-Jawa Timur Ke-3

37MPA 305 / Februari 2012

baan-perlombaan yang diikuti ituhanya bagian dari proses untuk me-ngantarkan anak didiknya menemu-kan jatidirinya. Maka kalah-menangdalam suatu perlombaan bukanlahsatu-satunya tujuan. Oleh karenanyaguru pelatih tidak perlu memaksakan“keinginan” yang di luar batas ke-mampuan anak didiknya.

Anak Didik Itu Subjek BukanObjek

Dari 76 anak putra-putri pesertalomba, sebagian besar yang tampildi atas panggung perlombaan ituseperti bukan anak didiknya, tetapicermin dari pelatihnya. Seyogyanyaguru pelatih tidak mengintervensi dantidak memaksakan kemauannya ter-hadap anak didiknya; seperti kamu“harus” begini, atau “harus” begitu.Sampai-sampai ada peserta yangdipaksa tampil seperti ibu-ibu, adayang dipaksa tampil dewasa sepertimahasiswi, bahkan ada peserta lombayang dicat pakaiannya menyerupaiwarna debu-debu vulkanik.

Sebaiknya guru pelatih tidakmemaksa dalam menghayati danmenginterpretasikan isi puisi. Biarkananak didik kita tampil wajar dan tidakperlu berlebih-lebihan. Guru pelatihharus pandai-pandai menangkap po-

tensi yang dimiliki oleh anak didiknya.Untuk itu guru pelatih tidak selayak-nya memosisikan anak didiknya se-bagai objek penderita, tetapi posisi-kan mereka sebagai subjek dalam

proses pelatihan dan proses belajarmengajar – agar murid tidak menjadikorban “ego” gurunya.

Rasulullah SAW bersabda:Kullu mauludin Yuuladu ‘Alal Fith-rah, “Setiap anak yang dilahirkan itusesuai dengan fithrahnya....”. Fithrahdi sini sepatutnya dipahami sebagaipotensi dasar, bukan sebagai kertasputih seperti yang diyakini oleh parapendukung teori tabula rasa yang ba-nyak dipengaruhi oleh John Lockepada abad ke-17. Ia menganggapanak itu seperti kertas putih yangakan terwarnai sesuai dengan keingi-nan yang mewarnai.

Perlu diingat bahwa anak itu bu-kan kertas. Maksudnya, anak itu ben-da hidup dan bukan benda matiseperti kertas. Anak itu memiliki hati

dan pikiran. Tanpa dicoret pun ia akanberkembang sendiri sesuai denganpotensi dasarnya. Di sinilah guru pe-latih dituntut mampu mencermati po-tensi dasar itu kemudian membina

dan mengembangkannya.Jadikan anak didik menjadi diri-

nya sendiri, tumbuhkan dan kem-bangkan potensinya. Anak didik ja-ngan dianggap seperti gelas kosongyang harus di isi ini-itu sampai tum-pah-tumpah. Coba renungkan apakata penyair di atas, yang membuatanak lebih memilih: Ternyata akuenak di sini, di rumah sakit jiwa.

Sungguh ironis, kebanyakanyang tampak di atas panggung per-lombaan dan yang seharusnya jauhapi dari panggang, bahkan cende-rung hipokrit. Mungkin niatnya be-nar tetapi cara pelaksanaannya salah.Keinginan guru pelatihnya benar,tetapi cara melatihnya yang salah.

Bukankah sangat memprihatin-kan ketika di tengah-tengah lomba

baca puisi berlangsung,dewan juri sempat duakali menghentikan lombagara-gara guru pendam-pingnya gaduh bicarasendiri-sendiri di kursibelakang? Apalag de-wan juri sudah meng-ingatkan; agar paraguru pendampingmencermati perkem-bangan anak didik-

nya yang sedang ber-juang “mati-matian” di

atas panggung perlom-baan.

Barangkali sudah wak-tunya, para guru pendam-

ping perlu belajar bagaima-na menghargai anak-

anak bangsa itu ber-proses dan

b e r j u -

ang untuk menemukan jati dirinya!*) Sekretaris Dewan Kesenian

Mojokerto dan Ketua Dewan JuriLomba Baca Puisi Porseni MI se-Jawa Timur ke-3.