Be&gcg, unang toto handiman, hapzi ali, philosopical ethics and business di indonesia dan kaitannya...

14
IMPLEMENTASI PHILOSOPICAL ETHICS AND BUSINESS DI INDONESIA DAN KAITANNYA DENGAN BUSINESS ETHIC DAN GOOD GOVERNANCE Penggunaan istilah filsafat (philosphy), etika (ethic), Etika Bisnis (Business Ethic) dan tata kelola yang baik (good governance) dan penerapannya di Indonesia telah banyak dibahas dan banyak dibicarakan bahkan ketiga istilah itu seringkali digunakan secara tumpang tindih. Suatu konsep moral bisa dianggap sebagai filsafat atau etika, ketika kita bicara Etika Bisnis ini ada dua kata etika dan bisnis. Serupa dengan pemahaman filsafat yang secara etimologis melan- daskan gagasannya pada filos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan), begitu pula dengan etika sebagai bagian dari filsafat itu sendiri secara umum etika dapat dijelaskan sebagai seperangakat kesepakatan untuk mengatur hubungan antar orang per orang (etika individu) atau orang per orang dengan masyarakat (etika bermasyarakat), atau masyarakat dengan masyarakat lain (etika bernegara). Etika yang kemudian dituangkan dalam bentuk tertulis, maka lahirlah kebijakan yang berupa: Undang-undang, hukum, peraturan, kode etik, dsb. Ada juga yang bersifat tak tertulis, bentuk tak tertulis tersebut berupa kesepakatan umum dalam masyarakat atau kelompok masyarakat, seperti etiket, sopan santun, dsb. Hal yang sama juga terjadi dalam dunia bisnis. Pelaku bisnis harus memperhitungkan berbagai akibat yang dapat ditimbulkan oleh keputusan maupun tindakan perusahaan terhadap para pemangku kepentingan (stakeholders). Dan didunia bisnis terdapat pula aturan yang mengatur antar pelaku hisnis. Perangkat aturan itu berupa Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, dll. Hampir seluruh masyarakat dunia sepakat bahwa perilaku berbohong, mencuri, menipu, dan menyakiti orang lain sebagai perbuatan yang tidak etis dan tidak bermoral. Sedangkan perilaku kejujuran, menepati janji, membantu orang lain, dan menghormati hak-hak orang lain, dipandang sebagai perilaku etis bermoral. Pemilahan perilaku kedalam berbagai kategori perilaku etis dan perilaku tidak etis sangat dibutuhkan untuk menjaga dan memelihara kesinambungan pelaku bisnis dimanapun didunia ini, termasuk di Indonesia. Untuk meemelihara kesinambungan bisnis perusahaan para pelaku bisnis dituntut untuk melakukan pengelolaan perusahaan yang baik dan setiap pelaku bisnis haruslah mengedepankan etika bisnis yang sehat, agar nantinya misi dan visi perusahaan yang telah ditetapkan tercapai.

Transcript of Be&gcg, unang toto handiman, hapzi ali, philosopical ethics and business di indonesia dan kaitannya...

IMPLEMENTASI PHILOSOPICAL ETHICS AND BUSINESS DI INDONESIA DAN

KAITANNYA DENGAN BUSINESS ETHIC DAN GOOD GOVERNANCE

Penggunaan istilah filsafat (philosphy), etika (ethic), Etika Bisnis (Business Ethic) dan tata

kelola yang baik (good governance) dan penerapannya di Indonesia telah banyak dibahas dan

banyak dibicarakan bahkan ketiga istilah itu seringkali digunakan secara tumpang tindih. Suatu

konsep moral bisa dianggap sebagai filsafat atau etika, ketika kita bicara Etika Bisnis ini ada dua

kata etika dan bisnis. Serupa dengan pemahaman filsafat yang secara etimologis melan-

daskan gagasannya pada filos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan), begitu pula dengan

etika sebagai bagian dari filsafat itu sendiri secara umum etika dapat dijelaskan sebagai

seperangakat kesepakatan untuk mengatur hubungan antar orang per orang (etika individu) atau

orang per orang dengan masyarakat (etika bermasyarakat), atau masyarakat dengan masyarakat

lain (etika bernegara). Etika yang kemudian dituangkan dalam bentuk tertulis, maka lahirlah

kebijakan yang berupa: Undang-undang, hukum, peraturan, kode etik, dsb. Ada juga yang

bersifat tak tertulis, bentuk tak tertulis tersebut berupa kesepakatan umum dalam masyarakat atau

kelompok masyarakat, seperti etiket, sopan santun, dsb.

Hal yang sama juga terjadi dalam dunia bisnis. Pelaku bisnis harus memperhitungkan berbagai

akibat yang dapat ditimbulkan oleh keputusan maupun tindakan perusahaan terhadap para

pemangku kepentingan (stakeholders). Dan didunia bisnis terdapat pula aturan yang mengatur

antar pelaku hisnis. Perangkat aturan itu berupa Undang-undang, peraturan pemerintah,

keputusan presiden, dll.

Hampir seluruh masyarakat dunia sepakat bahwa perilaku berbohong, mencuri, menipu, dan

menyakiti orang lain sebagai perbuatan yang tidak etis dan tidak bermoral. Sedangkan perilaku

kejujuran, menepati janji, membantu orang lain, dan menghormati hak-hak orang lain, dipandang

sebagai perilaku etis bermoral. Pemilahan perilaku kedalam berbagai kategori perilaku etis dan

perilaku tidak etis sangat dibutuhkan untuk menjaga dan memelihara kesinambungan pelaku

bisnis dimanapun didunia ini, termasuk di Indonesia.

Untuk meemelihara kesinambungan bisnis perusahaan para pelaku bisnis dituntut untuk

melakukan pengelolaan perusahaan yang baik dan setiap pelaku bisnis haruslah mengedepankan

etika bisnis yang sehat, agar nantinya misi dan visi perusahaan yang telah ditetapkan tercapai.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) dapat menjadi salah

satu satu alat untuk mencapai etika bisnis yang baik tersebut. Penerapan GCG dan

mengedepankan etika dibandingkan dengan kepentingan pemilik memang tidak mudah. Tapi

pasti ada manfaat yang diperoleh oleh perusahaan, dan bukan hanya sesaat tetapi jangka panjang.

Dengan menjalankan etika bisnis yang sehat merupakan fackor terpenting dalam upaya

penerapan GCG tersebut. Menerapkan etika bisnis secara konsisten hingga dapat mewujudkan

iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan merupakan salah satu sumbangsih besar yang

dapat diberikan oleh dunia usaha untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan

dan mampu memberikan manfaat yang besar bagi seluruh stakeholder-nya.

Pentingnya penerapan tata kelola perusahaan yang sehat bertujuan untuk menciptakan pasar yang

stabilitas dan untuk memperoleh kepercayaan pasar, penerapan GCG sebagai bagian dari etika

bisnis ini pada gilirannya dapat mempengaruhi pasar dan menjadi bahan pertimbangan yang

penting dalam proses pengambilan keputusan para investor ketika. Contoh, Investor

menanamkan modalnya untuk membiayai perusahaan, tentunya mereka mengharapkan agar

perusahaan dikelola dengan baik dan mengharapkan investasinya aman dan dapat memberikan

keuntungan dan tingkat pengembalian yang tinggi.

Penerapan GCG dan etika bisnis yang sehat dengan mengedepankan kepentingan peilik/pemegan

saham (stakeholder) memang bukanlah hal yang mudah karena masing-masing fihak memiliki

kepentingan yang berbeda. Tetapi ada manfaat yang diperoleh oleh perusahaan, dan bukan

hanya sesaat tetapi jangka panjang. Memang ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan, namun

akan sangat membantu memastikan kita untuk terus dapat mengembangkan bisnis. Jika

perusahaan tidak perlu dikelola dengan baik, siapa yang dapat memastikan bahwa ada

perlindungan kepada semua stakeholder? Kalau sudah hilang kepercayaan pasar, apakah kira-

kira masih besar kesempatan untuk berkembang.

PENGERTIAN ETIKA

Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan

bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa,

padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir.

Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan. Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi

terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi,

secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa

dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.

Etika adalah cabang filosofi yang menyatakan tentang perilaku apa yang benar atau yang

seharusnya dilakukan (Brooks & Paul, 2012:130). Etika dapat pula diartikan sebagai pandangan

hidup untuk berperilaku sesuai norma yang berlaku. Ada empat teori etika yang biasanya

digunakan yaitu utilitarianism, deontology, teori hak dan teori keutamaan.

Utilitarisme

Hapzi Ali (2017) menjelaskan, Utilitarisme berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “

bermanfaat”. Menurut teori ini, suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat

itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang saja melainkan masyarakat keseluruhan.

Pemikiran utilitarisme menekankan pada baik buruknya suatu perbuatan melalui kegiatan the

greatest happiness of the greatest number “kebahagian terbesar dari jumlah orang terbesar”.

Pada kasus ini dapat diejelaskan melalui pertanyaan, kenapa melestarikan lingkungan hidup

merupakan tanggung jawab moral kita?, Utilitarisme menjawab: karena hal ini membawa

manfaat paling besar bagi umat manusia sebagai keseluruhan, termasuk juga pada generasi

sesudahnya.

Teori Utilitarisme juga cocok sekali dengan pemikiran ekonomis, yaitu cost-benefit analysis

yang banyak dipakai dalam konteks ekonomi. Sedangkan dalam konteks bisnis dengan melihat

untung dan rugi atau kredit dan debet.

Menurut teori utilitarianism, perilaku etis akan menghasilkan kesenangan yang maksimal atau

setidaknya meminimalkan perasaan sakit. Yang perlu dipertimbangkan oleh pengambil

keputusan yang menggunakan teori utilitarianism adalah kesenangan yang didapatkan juga harus

menjadi kesenangan di dalam level masyarakat, tidak hanya level individu. Misalnya pemberian

bonus kepada CEO juga harus mempertimbangkan kepuasan tenaga kerja yang dimiliki oleh

perusahaan tersebut. Karena bisa saja dengan pemberian bonus tersebut akan mengurangi jatah

upah tenaga kerja. Jika ini dilakukan maka kesenangan yang diperoleh hanya ada pada level

CEO.

Teori Utilitarisme juga menekankan pentingnya konsekuensi keputusan memberikan dampak

atau hasilnya baik atau buruk. Kualitas moral suatu keputusan baik buruknya tergantung pada

konsekuensi atau akibat yang ditimbulkannya. Jika suatu keputusan memberikan manfaat sangat

baik, artinya keputusan tersebut memberikan kemakmuran, kesejahteraan, kebahagian

masyarakat, maka keputusan ini adalah baik. Sebaliknya jika keputusannya memberikan hasil

lebih banyak kerugian daripada manfaat, perbuatan ini harus dinilai buruk. Jika diterapkan dalam

kegiatan bisnis, kegiatan bisnis dikatakan etis apabila kegiatan yang dilakukannya dapat

memberikan sebesar-besarnya manfaat pada konsumen dan masyarakat. Jadi, kebijaksanaan atau

tindakan bisnis yang baik adalah kebijakan yang menghasilkan berbagai hal yang baik, bukan

sebaliknya menimbulkan kerugian.

Kritik terhadap teori Utilitarisme, dimana tidak berhasil dalam dua paham etis yaitu keadilan dan

hak. Sebagai contoh, jika suatu perbuatan membawa manfaat sebesar-besarnya untuk orang

banyak, maka menurut Utilitarisme perbuatan itu dianggap baik. Akan tetapi bagaimana kalau

perbuatan tersebut serentak tidak adil bagi suatu kelompok tertentu atau melanggar hak beberapa

orang? Apakah perbuatan tersebut bernilai baik. Hal ini juga terlihat dalam manfaat bisnis yang

mengutamakan kepentingan masyarakat luas merupakan sebuah konsep bernilai tinggi sehingga

dalam praktek bisnis sesungguhnya dapat menimbulkan kesulitan bagi pelaku bisnis secara

signifikan. Pebisnis dengan level intelektual dan moralitas rendah akan sulit menentukan

prioritas mana yang akan didahulukan apakah itu kepentingan konsumen, masyarakat, karyawan

atau diri pebisnis sendiri. Bila hal tersebut terjadi maka tingkat peradaban pebisnis disuatu

wilayah tersebut masih rendah sehingga sulit menentukan kepentingan siapa akan didahulukan

untuk membentuk penciptaan keuntungan sekaligus memperoleh kesejahteraan masyarakat.

Jalan keluar untuk kasus di atas, beberapa Utilitaris mengusulkan untuk membedakan dua

macam Utilitarisme yaitu:

1. Utilitarisme perbuatan (act Utilitarisnism)

Disini, prinsip dasar Utilitarisnisme (manfaat terbesar bagi sejumlah orang banyak)

diterapkan pada perbuatan. Dipakai untuk menilai kualitas moral suatu perbuatan.

2. Utilitarisme aturan ( rule Utilitarisnism)

Prinsip dasar dari Utilitarisnisme tidak harus diterapkan atas perbuatan yang kita lakukan,

melainkan atas aturan moral yang kita terima bersama dalam masyarakat sebagai pegangan

bagi perilaku kita.

Deontologi

Istilah “deontology” berasal dari kata yunani deon yang berarti kewajiban. Yang menjadi dasar

bagi baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Konsekuensi perbuatan dalam hal ini tidak

boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan tidak pernah menjadi baik karena hasilnya baik,

melainkan hanya karena wajib dilakukan. Jika kita lihat orang beragama berpegang pada

pendirian deontology ini. Untuk pertanyaan mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan lain

adalah buruk, orang beragama menjawab: karena diperintahkan atau dilarang oleh tuhan.

Deontologi tidak terpasak pada konsekuensi perbuatan, dengan kata lain deontologi me-

laksanakan terlebih dahulu tanpa memikirkan akibatnya. Hal-hal yang lain seperti kekayaan,

intelegensia, kesehatan, kekuasaan dan sebagainya disebut sebagai kebaikan yang terbatas, yang

baru memiliki arti manakala ia dipakai oleh kehendak baik manusia (Ibid, 254).

Kant menolak pandangan moral kaum utilitarianisme yang mengedepankan tujuan yang ingin

dicapai sebagai landasan moral dari suatu perbuatan. Bagi Kant, suatu perbuatan dinilai baik

manakala dilakukan atas dasar kewajiban, yang disebutnya sebagai perbuatan berdasarkan

legalitas, tidak penting untuk tujuan apa perbuatan itu dilakukan. Ajaran ini menekankan bahwa

seharusnya kita melakukan “kewajiban” karena itu merupakan “kewajiban” kita, dan untuk itu

alasan (reason) tidak diperlukan sehingga perbuatan itu dilakukan.

Franz Magnis Suseno (1992: 28) sempat memberi contoh tentang hubungan antara etika dan

norma. Dalam konteks masyarakat tradisional, orang kelihatan dengan sendirinya menaati adat-

istiadat. Sebab, mereka telah membatinkan (menginternalisasikan) norma-normanya. Mereka

menaati norma-norma tersebut, bukan karena takut dihukum, melainkan karena ia akan merasa

bersalah apabila ia tidak mentaatinya. Norma-norma penting dari masyarakat telah ditanam

dalam batin setiap anggota masyarakat itu sebagai norma moral.

Kemudian deontology menyatakan perilaku yang etis dipertimbangkan melalui motivasi

pengambil keputusan. Deontology saling melengkapi dengan utilitarianism dalam mewujudkan

perilaku etis.

Teori Hak

Teori hak paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau

perilaku. Teori hak merupakan suatu aspek dari teori deantologi, karena hak berkaitan dengan

kewajiban. Sehingga dapat dikatakan bahwa hak dan kewajiban bagaikan dua sisi mata uang

logam yang sama. Teori hak sangat cocok dengan pemikiran demokratis, yaitu hak didasarkan

atas martabat manusia dan martabat manusia itu sama. Entah seseorang itu kaya atau miskin,

atau dalam keadaan ekonomis yang sedang, dari segi martabatnya tidak ada perbedaan dan

akibatnya ia tidak boleh diperlakukan dengan cara berbeda.

Teori hak dalam etika bisnis, diterapkan lebih utama pada karyawan dengan menonjolkan hak

karyawan terhadap perusahaan. Karyawan mempunyai hak atas gaji yang adil, atau lingkungan

kerja yang sehat dan aman, dan seterusnya. Disamping itu teori hak juga diterapkan pada

konsumen, dimana konsumen berhak atas produk yang sehat serta aman dan sesuai dengan

harapannya .

Teori Keutamaan

Teori terakhir adalah teori keutamaan (virtue), yang memandang sikap atau akhlak seseorang.

Tidak ditanyakan: apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur atau murah hati, melainkan

apakah orang tersebut bersikap adil, jujur, murah hati dan sebagainya.

Keutamaan didefinisikan sebagai disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan

memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Seseorang adalah orang yang baik,

jika memiliki keutamaan. Hidup yang baik adalah hidup menurut keutamaan. Ada banyak

keutamaan dan semua keutamaan tidak sama pentingnya untuk setiap orang atau setiap bidang

kegiatan. Solomon membedakan keutamaan untuk pelaku bisnis individu dan keutamaan pada

taraf perusahaan. Keutamaan yang harus menandai pebisnis perorangan diantaranya: kejujuran,

fairness, kepercayaan, dan keuletan.

1. Keutamaan pertama: kejujuran. Orang yang mempunyai keutamaan kejujuran tidak akan

berbohong atau menipu dalam transaksi bisnis. Salah satu contohnya: pedagang mobil bekas

tidak jujur, bila ia mengatakan bahwa mesin mobil baru direvisi, padahal revisi itu tidak

pernah terjadi atau bila ia mempermainkan penghitung kilometer. Tentu saja sipembeli harus

kritis sebelum membeli. Setiap pembelian atau transaksi mengandung resiko bahwa produk

yang dibeli tidak seperti yang kita harapkan. Karena itu perlu kita periksa dulu, sebelum

pembelian menjadi final. Kejujuran menuntut adanya keterbukaan dan kebenaran. Jika mitra

bisnis ingin bertanya, pebisnis yang jujur selalu bersedia memberi keterangan. Namun

keterbukaan itu tidak berarti si pebisnis harus membuka segala kartunya.

2. Keutamaan kedua, fairness atau “keadilan”. Fairness adalah kesediaan untuk memberikan

untuk memberikan apa yang wajar kepada semua orang dan dengan “wajar” dimaksudkan apa

yang bisa disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu transaksi. Insider trading

adalah contoh cara berbisnis yang tidak fair. Yaitu menjual saham atau membeli saham

berdasarkan informasi dari dalam yang tidak tersedia bagi umum.

3. Keutamaan ketiga, kepercayaan. Pebisnis yang memiliki keutamaan ini, bersedia untuk

menerima mitranya sebagai orang yang bisa diandalkan. Ada beberapa cara untuk

mengamankan kepercayaan, salah satunya adalah memberikan garansi dan jaminan. Bila

perdagangan mobil bekas adalah salah satu sector yang dicurigai, bisnis ini bisa memberi

garansi satu tahun untuk setiap mobil yang dijualnya, guna menciptakan kepercayaan.

4. Keutamaan keempat adalah keuletan. Keuletan dalam bisnis cukup dekat dengan keutamaan

lebih umum yang disebut “ keberanian moral”.

Keutamaan lain yang perlu diterapkan dalam aktivitas bisnis diantaranya: keramahan, loyalitas,

kehormatan dan rasa malu. Keramahan tidak merupakan taktik saja dalam memikat para

pelanggan, tetapi menyangkut inti kehidupan dalam bisnis itu sendiri. Bagaimanapun juga bisnis

selalu mempunyai segi melayani sesama manusia. Loyalitas

PENERAPAN ETIKA KAITANNYA DENGAN KEGIATAN BISNIS

Etika akan memberikan panduan bagi pemegang saham, manajer, dan pekerja untuk melakukan

tindakan bisnis secara etis. Sedangkan Etika Bisnis merupakan penerapan etika secara umum

terhadap perilaku bisnis. Secara lebih khusus lagi makna etika bisnis menunjukkan perilaku etis

maupun tidak etis yang dilakukan manajer dan kaeryawan dari suatu organisasi perusahaan.

Etika Bisnis bukan merupakan suatu etika yang berbeda dari etika pada umumnya dan etika

bisnis bukan merupakan suatu etika yang hanya berlaku didunia bisnis. Sebagai contoh, apabila

ketidak jujuran dipandang sebagi perilaku yang tidak etis dan tidak bermoral, maka siapapun

didalam kegiatan usaha (manajer atau karyawan) yang tidak jujur tehadap para pekerja, para

pemegang saham, dan para pelanggan maupun para pesaing, maka mereka dipandang melakukan

tindakan yang tidak etis dan tidak bermoral. Selanjutnya, apabila perilaku mencegah pihak lain

menderita kerugian dipandang sebagai perilaku etis, maka perusahaan yang menarik kembali

produknya yang memiliki cacat produksi dan dapat membahayakan keselamatan konsumen,

dapat dipandang sebagai perusahaan yang melakukan perilaku etis dan bermoral.

Tujuan etika adalah untuk membina watak-watak dan mental sesorang agar menjadi manusia

yang baik, lahir dan batin. Etika lebih penting dari hukum, karena bagimanapun lengkapnya

hukum, tanpa adanya etika maka orang akan menemukan celah-celah hukum tersebut.

Permasalahan etika yang terjadi di perusahaan bervariasi antar fungsi perusahaan yang satu

dengan yang lainnya. Hal ini terjadi karena operasionalisasi perusahaan sangat terspesialisasi

kedalam berbagai bentuk profesi, sehingga setiap fungsi perusahaan cenderung memiliki

masalah-masalah etika tersendiri.

Pentingnya penerapan etika dibeberapa bidang fungsional diperusahaan untuk mencegah

timbulnya masalah-masalah berikut, yaitu :

1. Etika dibidang Akuntansi (Accounting Ethics)

Fungsi akuntansi merupakan komponen yang sangat penting bagi perusahaan. Para manajer

perusahaan, investor luar, pemerintah, instansi pajak, dan serikat pekerja membutuhkan data-data

akuntansi untuk membuat berbagi keputusan penting. Dengan demikian kejujuran, integritas, dan

akurasi dalam melakukan kegiatan akuntansi merupakan syarat mutlak yang harus diterapkan

oleh fungsi akuntansi.

Banyak sekali kasus di Indonesia, yang dalam realita kegiatan bisnis melakukan praktik

akuntansi yang dianggap tidak etis. Sebagai Contoh, bisa dipastikan hampir seluruh perusahaan

di Indonesia melakukan penyusunan laporan keuangan ganda atau berbeda dengan tujuan

memperoleh keuntungan dari penyusunan laporan keuangan seperti itu. Laporan keuangan yang

berbeda untuk pihak-pihak yang berbeda. Ada laporan keuangan intern perusahaan, laporan

keuangan untuk bank, dan laporan keuangan untuk kantor pajak.

Dengan melakukan praktik ini, bagian akuntansi perusahaan secara sengaja memperoleh

manfaat/ keuntungan finansial dari penyusunan laporan palsu tersebut.

Karena hal tersebut diatas di Indonesia ada suatu standar profesi yang berkaitan dengan

akuntansi yaitu Standar Akuntansi Keuangan dan Standar Profesi Akuntan Publik Indonesia.

Standar akuntansi keuangan dan standar profesi akuntansi merupakan suatu standar kerja bagi

akuntan publik di Indonesia. Aturan ini mengatur dan melindungi para akuntan publik dalam

melakukan pekerjaannya. Standar ini terdiri dari :

- Aturan Etika

- Standar Profesi Akuntan Publik

- Standar Akuntansi Keuangan

2. Etika di bidang Keuangan (Financial Ethics)

Perbuatan korupsi umumnya melibatkan bagian keuangan, banyak kejadian skandal mega

korupsi di Indonesia melibatkan petinggi-petinggi di bagian keuangan, akbiat perbuatan tidak

etis ini menimbulkan berbagai kerugian bagi para investor. Indonesia merupakan negara sarang

koruptor. Hal ini mungkin berkaitan dengan budaya indonesia yang menganggap benar apa yang

dilakukan. Perbuatan yang tidak etis dan tidak bermoral seperti inilah yang seharusnya tidak

dilakukan oleh semua komponen bangsa.

3. Etika dibidang Produksi & Pemasaran (Production & marketing ethics)

Pada bidang produksi kerap ditemukan informasi yang dimuat pada kemasan produk tidak sesuai

dengan isi produknya sendiri dan pada bidang pemasaran kerap ditemukan pesan yang

disampaikan dalam promosi untuk menarik konsumen tidak sesuai dengan informasi yang

sebenarnya, baik dari segi kwalitas produk maupun harga, akibat perbuatan tidak etis ini yang

harus menanggung kerugian adalah pelanggan. Hubungan yang dilakukan perusahaan dengan

para pelanggannya dapat menimbulkan berbagi permasalahan etika di bidang produksi dan

pemasaran. Untuk melindungi konsumen dari perlakuan yang tidak etis yang mungkin dilakukan

oleh perusahaan, pemerintah Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen.

4. Etika di bidang teknologi informasi (Information technology ethics)

Masalah etika di bidang teknologi informasi yangs angat memprihatinkan sekarang ini paling

memprihatinkan, perilaku masyarakat dalam mengekpresikan kebebasan dalam menyampaikan

pendapat sudah melewati batas-batas norma kewajaran sopan santun. Permasalahan etika

lainnya dalam bidang ini meliputi serangan terhadap wilayah privasi seseorang, menyampaikan

berita bohong, menghina kepala negara, dan akses terhadap informasi usaha terutama melalui

transaksi e-commerce.

Faktor-faktor yang mendorong timbulnya masalah etika bisnis

Faktor-faktor yang pada umumnya menjadi penyebab timbulnya masalah etika bisnis perusahaan

antara lain:

1. Mengejar keuntungan dan kepentingan pribadi (Personal Gain and selfish interest)

Pada umumnya para pelaku bisnis di Indonesia berperilaku serakah dan memementingkan

bisnisnya sendiri dengan mengejar keuntungan untuk diri sendiri, bahkan tidak memperhatikan

kepentingan karyawan, pelanggan dan lingkunagn sekitarnya. Perusahaan kadang-kadang

memperkejakan karyawan yang memiliki nilai-nilai moral tidak baik. Karyawan tersebut akan

menempatkan kepentingannya untuk memeperoleh kekayaan melebihi kepentingan lainnya

meskipun didalam melakukan akumulasi kekayaan tersebut dia merugikan karyawan lainnya,

perusahaan dan masyarakat.

2. Tekanan persaingan terhadap laba perusahaan (Competitive pressure and profits)

Ketika perusahaan berada dalam situasi persaingan yang sangat keras, perusahaan sering kali

terlibat dalam berbagi kreativitas bisnis yang tidak etis untuk melindungi tingkat profitabilitas

mereka.

3. Pertentangan antara nilai-nilai perusahaan dengan perorangan (Bussiness goals vs

personal values)

Masalah etika dapat muncul pada saat perusahaan hendak mencapaui tujuan-tujuan tertentu atau

menggunakan metode-metode baru yang tidak dapat diterima oleh pekerjanya. Sebagi contoh,

kegiatan retrukturisasi perusahaan dengan tujuan meningkatkan efesiensi dan efektifitas kinerja

perusahaan dapat menimbulkan penurunan moral karyawan yang sangat hebat.

4. Pertentangan etika lintas budaya (Cross cultural contradiction)

Masalah etis timbul ketika pada saat perusahaan melakukan kegiatan usahanya diberbagai daerah

melakukan ekspansi ke berbagai daerah, muncul perbedaan budaya standar etika. Hal ini timbul

karena adanya relativisme etis (ethical relativism), yaitu ketidaksamaan cara pandang terhadap

suatu perbuatan sebagai etis atau tidak etis yang terjadi antara masyarakat daerah satu dengan

daerah lain atau antar satu agama dengan agama lain.

PRINSIP ETIKA BISNIS

Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa

dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan

sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat.

Sonny Keraf (1998) menjelaskan, bahwa prinsip etika bisnis sebagai berikut :

1. Prinsip otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan

bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.

2. Prinsip kejujuran. Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara

jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas

kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua,

kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding.

Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.

3. Prinsip keadilan; menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan

aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung

jawabkan.

4. Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle) ; menuntut agar bisnis

dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak.

5. Prinsip integritas moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku

bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik

pimpinan/orang-orangnya maupun perusahaannya.

Sesungguhnya banyak perusahaan besar telah mengambil langkah yang tepat kearah penerapan

prinsip-prinsip etika bisnis ini, kendati prinsip yang dianut bisa beragam. Pertama-tama

membangun apa yang dikenal sebagai budaya perusahaan (corporate culture). Budaya

perusahaan ini mula pertama dibangun atas dasar Visi atau filsafat bisnis pendiri suatu

perusahaan sebagai penghayatan pribadi orang tersebut mengenai bisnis yang baik. Visi ini

kemudian diberlakukan bagi perusahaannya, yang berarti Visi ini kemudian menjadi sikap dan

perilaku organisasi dari perusahaan tersebut baik keluar maupun kedalam. Maka terbangunlah

sebuah etos bisnis, sebuah kebiasaan yang ditanamkan kepada semua karyawan sejak diterima

masuk dalam perusahaan maupun secara terus menerus dievaluasi dalam konteks penyegaran di

perusahaan tersebut.

PENERAPAN ETIKA DAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Mengacu pada teori egoism bahwa setiap manusia memiliki egoism di dalam dirinya masing-

masing, maka akan ada benturan kepentingan antara kepentingan manajemen, kepentingan

pemegang saham, dan kepentingan stakeholder lainnya. Setiap entitas tersebut memiliki

kepentingan masing-masing dalam meningkatkan keuntungan untuk dirinya sendiri.

Permasalahan muncul ketika pemenuhan kepentingan dalam mendapatkan keuntungan tersebut

merugikan hak entitas lain. Manejemen memiliki kepentingan untuk mendapatkan laba sebesar-

besarnya dari bisnis yang dijalankan. Pemegang saham dan kreditur memiliki kepentingan untuk

mendapatkan pengembalian yang maksimal dari dana yang ditanamkan atau dipinjamkan kepada

perusahaan. Begitu juga dengan stakeholder lainnya memiliki kepentingan masing-masing.

Selanjutnya lahirnya konsep good corporate governance untuk mengatasi permasalahan di atas.

Terutama pada sistem ekonomi pasar bebas, pihak yang berkepentingan sangat banyak dan

masing-masing menuntut haknya dalam memperoleh keuntungan. Good corporate governance

sebagai sebuah struktur dan proses akan mengendalikan perusahaan tentang bagaimana

seharusnya perusahaan beroperasi. Good corporate governance akan menemukan benang merah

atau titik temu antara kepentingan masing-masing entitas yang menginginkan keuntungan seperti

yang dijelaskan di atas.

Sementara itu, good corporate governance akan terlaksana jika setiap perusahaan memiliki

integritas yang tinggi dalam menjalankan usahanya. Dengan integritas yang tinggi, perusahaan

akan memperoleh kepercayaan dari para stakeholder sehingga dapat terus menjalankan usahanya

untuk jangka panjang. Misalnya dengan memberikan pengembalian yang sesuai dengan apa yang

diharapkan oleh kreditur atau pemegang saham, perusahaan akan mendapatkan kepercayaan

dalam mengelola dana sehingga mendapatkan pinjaman atau modal secara berkelanjutan. Maka

perusahaan harus juga menyediakan informasi yang akurat dan relevan. Artinya perusahaan

dituntut untuk memiliki akuntabilitas dan transparansi yang tinggi.

Untuk dapat mewujudkan integritas yang tinggi tersebut, perusahaan harus menerapkan asas-asas

etika. Apabila perusahaan menerapkan perilaku-perilaku etis dalam setiap keputusan yang

dibuatnya, integritas tinggi tersebut akan muncul secara otomatis. Ulitarianism dan deontology

dapat digunakan untuk melahirkan perilaku etis dalam pengambilan keputusan yang tidak hanya

memperhatikan kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok, melainkan kepentingan

masyarakat secara keseluruhan mencakup kepentingan perusahaan dan stakeholder.

Penerapan perilaku-perilaku etis pada perusahaan pada akhirnya akan mewujudkan good

corporate governance. Perusahaan akan mempertimbangkan kepentingan para stakeholder

sehingga perusahaan memiliki tanggung jawab yang tinggi. Dengan begitu perusahaan

mendapatkan kepercayaan dari kreditur, pemegang saham, tenaga kerja, dan stakeholder lainnya.

Penerapan perilaku etis ini akan mewujudkan integritas dan good corporate govenance secara

berkesinambungan.

PENUTUP

Dari penjelasan diatas, berikut beberapa rekomendasi pentingnya penerapan etika dalam kegiatan

bisnis :

1. Penerapan standar etika yang tinggi di perusahaan bertujuan untuk membangun corporate

image dan reputasi yang bagus, perusahaan juga bisa memandang penerapan standar etika

yang tinggi sebagai bagian dari risk management untuk mengurangi resiko jangka

panjang perusahaan. 2. Dalam penerapan etika dalam suatu perusahaan, perlu adanya

ketentuan undang-undang yang mewajibkan semua organisasi publik di Indonesia untuk

menyusun kode etik masing-masing yang selanjutnya diberlakukan secara internal, dan

membentuk Dewan Kehormatan atau Komisi Etika yang bersifat independent untuk

keperluan mengatur pemberlakuan dan menjalankan kode etik tersebut.

2. Pelaksanaan etika bisnis di Indonesia, perusahaan yang menerapkan standar etika dan

moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang dibandingkan yang tidak

menerapkan etika bisnis. Para pemilik modal harus memiliki visi jangka panjang karena

karena beretika dalam bisnis jarang memberikan keuntungan segera.

3. Pelaksanaan etika bisnis perlu dibuat sistem audit dan kontrol yang ketat agar dapat

mendeteksi sedinini mungkin setiap penyimpangan yang terjadi dan menghukum para

pelanggar etika tanpa memandang bulu.

4. Keteladan pemimpin yang menjunjung tinggi etika dan memberi teladan jelas juga sangat

dibutuhkan.

5. Perusahaan harus menerapkan perilaku-perilaku etis untuk dapat melaksanakan good

corporate governance. Dengan begitu, dapat ditentukan titik temu antara kepentingan

perusahaan (manajemen) dan kepentingan para stakeholder.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Hapzi, 2017, Business Ethics & GG : Philosopical Ethic and Business, Jakarta, Mercubuana

Suseno, Franz Magnis. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.

http://komang4d1.blogspot.co.id/2013/09/etika-bisnis-di-indonesia.html, 19 Maret 2017, 3:30

http://www.kompasiana.com/sabirinsaiga/etik-dan-good-corporate-governance-ggc-sebuah-cara-

mewujudkan-entitas-bisnis-yang-sehat_57df999e7593733941aef017, 19 Maret 2017, 3:35

http://www.globethics.net/documents/4289936/13403252/Focus_7_online_final.pdf/1cf64f1e-

3cda-4367-91df-d65a6d808d8c, 19 Maret 2017, 3:38