BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA · PDF filePustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 1...

13
BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA KEHADIRAN AUSTRONESIA DI KEPULAUAN INDONESIA 1 Sofwan Noerwidi 2 /i sěděng wwang těkan hanyar makadrěwya sarwawidya… (PRiBN, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2) 3 Austronesia Dari Perspektif Linguistik Rumpun bahasa Austronesia merupakan salah satu rumpun bahasa terbesar yang digunakan di lebih dari separuh belahan dunia, membentang dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur serta membujur dari Formosa dan Hawaii di utara hingga Selandia Baru di selatan. Luas sebarannya menjadikan rumpun bahasa Austronesia sebagai bahasa terbesar sebelum masa kolonialisme bangsa Eropa. Turunan rumpun bahasa Austronesia beranggotakan sekitar 1200 bahasa yang berkerabat, serta digunakan oleh lebih dari 350 juta penutur, dengan jumlah penutur terbesar terdiri dari bahasa Melayu-Indonesia, Jawa dan Tagalog. Saat ini, bahasa Austronesia secara mayoritas digunakan di negara-negara; Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Brunei, serta oleh komunitas tertentu di Formosa, Vietnam, Kamboja, Birma dan Pantai Utara Papua (Tryon, 1995: 17-19). Persebaran Rumpun Bahasa Austronesia (Tryon, 1995) 1 Makalah disampaikan dalam rangka Lustrum ke-9 Jurusan Arkeologi, FIB, UGM, September 2007. 2 Staf Balai Arkeologi Yogyakarta, Jl. Gedongkuning No. 174, Kotagede, Yogyakarta. 3 Terjemahan: “sedangkan orang pendatang baru memiliki berbagai pengetahuan…” Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2. Catatan sejarah Keraton Cirebon (abad 17) mengenai kedatangan orang-orang dari negeri di Asia Tenggara Daratan menuju kepulauan Nusantara pada 1600 SM. Diantara beberapa keahlian yang mereka miliki adalah membuat perahu yang sangat bagus dan menanam padi (Atja &Ekajati, 1987).

Transcript of BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA · PDF filePustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 1...

Page 1: BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA · PDF filePustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2. Catatan ... Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang),

BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA

KEHADIRAN AUSTRONESIA DI KEPULAUAN INDONESIA1

Sofwan Noerwidi2

/i sěděng wwang těkan hanyar

makadrěwya sarwawidya…

(PRiBN, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2)3

Austronesia Dari Perspektif Linguistik

Rumpun bahasa Austronesia merupakan salah satu rumpun bahasa terbesar yang

digunakan di lebih dari separuh belahan dunia, membentang dari Madagaskar di barat hingga

Pulau Paskah di Timur serta membujur dari Formosa dan Hawaii di utara hingga Selandia

Baru di selatan. Luas sebarannya menjadikan rumpun bahasa Austronesia sebagai bahasa

terbesar sebelum masa kolonialisme bangsa Eropa. Turunan rumpun bahasa Austronesia

beranggotakan sekitar 1200 bahasa yang berkerabat, serta digunakan oleh lebih dari 350 juta

penutur, dengan jumlah penutur terbesar terdiri dari bahasa Melayu-Indonesia, Jawa dan

Tagalog. Saat ini, bahasa Austronesia secara mayoritas digunakan di negara-negara;

Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Brunei, serta oleh komunitas tertentu di Formosa,

Vietnam, Kamboja, Birma dan Pantai Utara Papua (Tryon, 1995: 17-19).

Persebaran Rumpun Bahasa Austronesia (Tryon, 1995)

                                                            1 Makalah disampaikan dalam rangka Lustrum ke-9 Jurusan Arkeologi, FIB, UGM, September 2007. 2 Staf Balai Arkeologi Yogyakarta, Jl. Gedongkuning No. 174, Kotagede, Yogyakarta. 3 Terjemahan: “sedangkan orang pendatang baru memiliki berbagai pengetahuan…” Pustaka Rajya Rajya i

Bhumi Nusantara, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2. Catatan sejarah Keraton Cirebon (abad 17) mengenai kedatangan orang-orang dari negeri di Asia Tenggara Daratan menuju kepulauan Nusantara pada 1600 SM. Diantara beberapa keahlian yang mereka miliki adalah membuat perahu yang sangat bagus dan menanam padi (Atja &Ekajati, 1987).

Page 2: BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA · PDF filePustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2. Catatan ... Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang),

Istilah Austronesia pada awalnya diberikan oleh ahli linguistik untuk menyebut suatu

rumpun bahasa yang hampir secara mayoritas dituturkan di Asia Tenggara Kepulauan dan

Oseania. Pada perkembangannya, istilah Austronesia juga digunakan untuk menyebut suatu

komunitas yang berbudaya dan menuturkan bahasa Austronesia. Perhatian terhadap kajian

rumpun bahasa Austronesia dapat dirunut hingga awal abad 16, ketika para pengelana

mengumpulkan daftar kosa kata bahasa Austronesia dari tempat-tempat yang mereka

kunjungi, seperti misalnya Antonio Pigafetta (seorang berkebangsaan Italia) yang ikut dalam

ekspedisi Magellan 1519-1522 (Ardika, 2006:99). Cornelis de Houtman seorang kapten kapal

Belanda yang berlayar menuju Banten melalui Madagaskar pada tahun 1596, mengamati

kemiripan antara bahasa Malagasy dan bahasa Melayu (Tanudirjo, 2001:9).

William von Humboldt adalah tokoh yang pertama kali mengajukan istilah “Malayo-

Polynesia” untuk menyebut bahasa-bahasa di kawasan Malayan sampai Polynesia yang

memiliki kemiripan. Pada tahun 1889, berdasarkan pada kajian linguistik yang detail dan

sistematis, Hendrik Kern membagi rumpun bahasa “Malayo-Polynesia” menjadi “Malayo-

Polynesia Barat” yang terdiri dari bahasa-bahasa di Kepulauan Nusantara dan “Malayo-

Polynesia Timur” yang terdiri dari bahasa-bahasa di Melanesia dan Polynesia. Kemudian

pada tahun 1906 Wilhelm Schmidt memperkenalkan terminology “Austronesia”, untuk

menyebut bahasa “Malayo-Polynesia”. Selain itu beliau juga mengajukan hipotesis bahwa

pada masa lampau di Asia daratan terdapat bahasa Austric yang merupakan nenek moyang

bahasa Austronesia dan Austroasiatic. Bahasa Austronesia kemudaian menurunkan bahasa-

bahasa di Asia Tenggara Kepulauan dan Pasifik, sedangkan bahasa Austroasiatic berkembang

menjadi bahasa Mon-Khmer di Indochina dan bahasa Munda di India bagian timur (Anceaux,

1991:73).

Robert von Heine Geldern adalah ahli arkeologi yang pertama kali mengadopsi

konsep budaya Austronesia dari para linguis. Beliau berpendapat bahwa luas persebaran

budaya Austronesia ditunjukkan dengan persebaran kompleks budaya Vierkantbeil Adze,

dengan ciri utamanya adalah kehadiran beliung persegi. Roger Duff kemudian melakukan

kajian berdasarkan hasil penelitian Geldern. Beliau melakukan klasifikasi tipologi beliung

persegi berdasarkan bentuk irisan, bentuk tajaman dan bentuk pangkal (Duff, 1970:8).

Akhirnya Duff sampai pada kesimpulan bahwa persebaran Austronesia di Kepulauan

Indonesia (kecuali Papua) yang didukung dengan pola subsistensi pertanian berasal dari

Semenanjung Malaya bagian selatan. Hal tersebut tercermin oleh persebaran beliung paruh

(Malayan Beacked Adze) dan belincung (Indonesian Pick Adze) (Duff, 1970:14). Ahli lainnya

Page 3: BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA · PDF filePustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2. Catatan ... Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang),

adalah Wilhelm G. Solheim II yang mengajukan teori bahwa wilayah geografis persebaran

gerabah Sa-Huynh-Kalanay di Asia Tenggara dan Lapita di Melanesia barat memiliki

hubungan dengan persebaran orang Austronesia. Beliau mengajukan istilah Nusantau4 untuk

menyebut kelompok manusia dan budayanya tersebut.

Persebaran Rumpun Bahasa Austronesia

Sangat mengagumkan melihat persebaran bahasa Austronesia yang dituturkan hampir

di seluruh kawasan kepulauan Indo-Pasifik. Banyak ahli yang berpendapat bahwa persebaran

rumpun bahasa Austronesia yang luas disebabkan oleh proses ekspansi komunitas penutur

rumpun bahasa tersebut ke luar dari daerah asalnya. Hendrik Kern mencoba untuk mencari

daerah asal persebaran bahasa Austronesia menggunakan metode pemilihan kosa kata sebagai

bentuk bahasa Austronesia purba dari kosa kata yang maknanya bersangkutan dengan unsur-

unsur flora, fauna dan lingkungan geografis. Hasil kajian tersebut membawa Kern pada suatu

kesimpulan bahwa tanah asal nenek moyang rumpun bahasa Austronesia terletak di suatu

pantai daerah tropis (Anceaux, 1991: 74-75, Blust, 1984-1985:47-49).

Silsilah Rumpun Bahasa Austronesia (Blust, 1978)

                                                            4 Nusantau, dari kata Nusa: pulau dan tau: orang, sehingga Nusantau bermakna orang-orang yang

tinggal di daerah kepulauan.

Page 4: BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA · PDF filePustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2. Catatan ... Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang),

Robert Blust (1984-1985) berusaha menyusun silsilah kekerabatan bahasa

Austronesia dengan menggunakan metode “Wörter und Sachen Technique”, yaitu dengan

menggunakan kosa kata sebagai dasar untuk menyimpulkan berbagai referensi yang diketahui

oleh penutur bahasa yang direkonstruksi. Kosa kata tersebut juga digunakan sebagai dasar

untuk merekonstruksi budaya dan lingkungan alam penutur bahasa yang direkonstruksi. Hasil

reksonstruksi Blust adalah; nenek moyang bahasa Austronesia dituturkan di sekitar daerah

yang tidak jauh dari Pulau Taiwan (Formosa) pada kurun sebelum 4500 SM. Kemudian

bahasa tersebut memisahkan diri menjadi bahasa Austronesia Formosa (Atayal, Tsou dan

Paiwan) dan Proto Melayu-Polynesia (seluruh bahasa Austronesia di luar Taiwan) pada 4500

SM. Melayu-Polynesia kemudian berkembang menjadi Melayu-Polynesia Barat dan Melayu-

Polynesia Timur-Tengah pada 3500 SM. Pada 3000 SM, bahasa Melayu-Polynesia Barat

berkembang menjadi bahasa-bahasa Austronesia di kawasan antara Filipina Selatan,

Sumbawa bagian Barat dan Sumatra, sedangkan Melayu-Polynesia Timur-Tengah

berkembang menjadi Melayu-Polynesia Tengah dan Melayu-Polynesia Timur. Akhirnya,

pada 2500 SM bahasa Melayu-Polynesia Timur berkembang menjadi bahasa Halmahera

Selatan-Nugini Barat dan bahasa Oseania.

Saat ini berkembang beberapa teori persebaran Austronesia yang diajukan oleh para

ahli dari berbagai sudut pandang yang berbeda, diantaranya adalah; The Express Train from

Taiwan to Polynesia (Bellwood), The Taiwan Homeland concept (Reed), Island Southeast

Asia Origin (Solheim), From South America via Kon Tiki (Heyerdahl), An Entangled Bank

(Terrell), The Geneflow Model (Devlin), The Genetic Bottleneck in Polynesia (Flint), The

Eden in the East concept (Oppenheimer), Voyaging Corridor Triple I account (Green) (lihat

Chambers, 2006:303). Berdasarkan beberapa teori yang berkembang tersebut, pada intinya

terdapat tiga kubu model persebaran Austronesia yang berbeda, yaitu; (1) Austronesia berasal

dari Pulau Taiwan, (2) dari kawasan Asia Tenggara Kepulauan dan (3) dari kawasan

Melanesia. Diantara beberapa teori tersebut, salah satunya yang terkuat dan mendapat banyak

dukungan dari berbagai sudut pandang keilmuan adalah model yang diajukan oleh Peter

Bellwood. Beliau menyarankan bahwa Austronesia berasal dari Taiwan dan Pantai Cina

bagian selatan. Kawasan tersebut oleh berberapa ahli linguistik dianggap sebagai tempat asal

bahasa proto-Austronesia. Disamping itu, secara arkeologis daerah tersebut menghasilkan

bukti pola subsistensi bercocok tanam dan aspek budaya Austronesia lainnya yang paling tua

di kawasan ini berupa beliung persegi dan gerabah, seperti yang ditemukan di situs Hemudu

di Teluk Hangzou, Propinsi Zhejiang yang berumur 7000 tahun (Bellwood, 1995:97-98).

Page 5: BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA · PDF filePustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2. Catatan ... Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang),

Hipotesis mengenai pertanggalan kolonisasi Austronesia

Dari Taiwan menuju Asia Tenggara Kepulauan dan Pasifik (Bellwood, 1995)

Seni Kriya dan Kajian Migrasi-Kolonisasi

Dalam ilmu demografi, perpindahan penduduk (migrasi) merupakan salah satu

komponen yang dikaji selain kelahiran (fertilitas) dan kematian (mortalitas). Migrasi adalah

mobilitas penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu menuju wilayah lain dalam periode

waktu tertentu (Mantra, 2000:224-225). Kolonisasi berarti proses penghunian suatu wilayah

oleh suatu komunitas tertentu. Proses penghunian yang dimaksud meliputi: penghunian,

perkembangan, dan kejenuhan penduduk. Jika suatu komunitas sudah mengalami kejenuhan

penduduk, maka terdapat kemungkinan sebagian dari komunitas tersebut akan, memisahkan

diri dari komunitas intinya. Oleh karena itu, kajian migrasi berhubungan erat dengan

kolonisasi (Noerwidi, 2003: 13-14).

Dalam kajian migrasi-kolonisasi manusia pada masa prasejarah, artefak memainkan

peran yang sangat penting karena di dalamnya terkandung informasi mengenai aspek kognisi

dan tingkah laku manusia pendukung budaya yang bersangkutan. Pentingnya pembicaraan

mengenai data artefaktual pada kajian perpindahan manusia karena, manusia membawa

unsur-unsur budayanya ketika mereka bermigrasi, dan dengan memperhatikan distribusi

karakteristik budayanya maka dapat diketahui persebaran manusia pendukungnya (Rouse,

1986:4). Dalam tulisan ini, pembahasan mengenai artefak dalam hubungannya dengan kajian

migrasi-kolonisasi manusia adalah artefak yang berkaitan dengan seni kriya.

Page 6: BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA · PDF filePustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2. Catatan ... Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang),

Seni kriya adalah semua hasil karya manusia yang memerlukan keahlian khusus yang

berkaitan dengan tangan, sehingga seni kriya sering juga disebut kerajinan tangan. Seni kriya

dihasilkan melalui keahlian manusia dalam mengolah bahan mentah, sehingga ruang

lingkupnya dapat ditelusuri melalui jenis bahan yang digunakan untuk menghasilkan

kerajinan tangan tersebut. Jenis-jenis bahan yang dimaksud antara lain adalah; batu, tanah

liat, tulang, cangkang kerang, kayu, logam, kulit, kaca, benang, dan sebagainya. Selain itu,

seni kriya juga dapat dikelompokan berdasarkan tujuan penciptaannya atau pengunaannya

menjadi kriya yang mempunyai fungsi praktis, estetis, dan simbolis (religius) (Atmosudiro

ed., 2001:107-110).

Paket Budaya Austronesia

Berdasarkan model yang diajukan Bellwood (2000), para penutur bahasa Austronesia

yang berekspansi menuju Asia Tenggara Kepulauan membawa pola subsistensi pertanian

serta masih memiliki kemahiran berburu dan mengumpulkan makanan baik di darat maupun

di laut. Mereka memperkenalkan seni kriya baru yaitu tembikar dan alat batu berupa beliung

batu bertajaman satu sisi yang diupam (Bellwood, 2000: 299). Berdasarkan bukti arkeologi,

situs masa neolitik yang paling awal di kawasan Asia Tenggara adalah situs-situs budaya

Tapenkeng di Taiwan (5000 BP). Selain itu, di Taiwan pada masa yang hampir bersamaan

juga berkembang dua kompleks budaya lainnya, yaitu budaya Yuanshan dan budaya Peinan

(4000-5000 BP) (Spriggs, 2000:62).

Ciri khas utama kompleks budaya neolitik Taiwan antara lain adalah; beliung persegi,

mata panah dari tulang dan batu sabak, dan tradisi tembikar yang cenderung berkembang dari

dominasi tembikar berhias pola tera tali menuju tembikar polos atau berpoles merah (pada

kasus budaya Yuanshan dan Peinan), sementara tembikar dengan motif hias gores, tera

bulatan dan tusukan, serta kaki melingkar berlubang terus berlanjut. Benda seni kriya lainnya

adalah bandul pemberat jaring dari batu, cangkul batu, alat pemukul kulit kayu, aksesoris

(manik-manik dan gelang) dari cangkang kerang, beliung dan kail dari cangkang kerang, alat

memanen padi (ani-ani) dan kumparan tenun dari tanah liat. Selain itu, ciri kompleks budaya

Austronesia lainnya yang dibawa serta pada saat mereka berekspansi adalah; domestikasi

babi, anjing, ayam, dan kadang-kadang ikut terangkut juga tikus besar (Bellwood, 2000:321-

322, Spriggs, 1989:587, 2000:62-63).

Page 7: BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA · PDF filePustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2. Catatan ... Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang),

Persebaran Seni Kriya Austronesia di Indonesia

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa ada banyak hasil seni kriya

sebagai elemen penanda kehadiran Ausronesia dengan budaya neolitiknya di Asia Tenggara

Kepulauan dan Pasifik. Namun tulisan ini hanya akan membatasi pada pembahasan dua unsur

penandanya saja, yaitu beliung persegi dan tembikar. Beliung batu yang diupam merupakan

faktor intrusi yang di bawa oleh arus budaya baru yaitu Austronesia, karena pada masa

sebelumnya komunitas Non-Austronesia yang telah mengkoloni kepulauan Indonesia tidak

mengenal seni kriya tersebut.

H.R van Heekeren telah mencatat persebaran berbagai macam tipologi beliung

persegi di Indonesia, seperti misalnya; pesisir pantai barat, Bengkulu, Palembang, Lampung

dan Assam di Sumatra, Banten, Kelapa Dua, Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta

dan Tangerang), Pasir Guda (Bogor), Cibadak, Cirebon, Tasikmalaya (Priangan),

Pekalongan, Gunung Karangbolang (Banyumas), Semarang, Yogyakarta, Punung dan

Wonogiri, Madiung, Surabaya, Madura, Malang, Kendeng Lembu dan Pager Gunung

(Besuki) di Jawa, Tondano, Minahasa, Sungai Sario (Manado), Bulukumba, Sempaga,

Kalumpang dan Minanga Sipakko di Sulawesi, Dumahang di Sangir, Ennawira, Rainis, dan

Essang di Talaud Bali, Flores, Adonara, Leti, Tanimbar, Maluku, Solor, Kalimantan

(Heekeren, 1974:168-170).

Typologi Beliung Asia Tenggara (Duff, 1970), 1A. Beling Tangga (Luzon), 1B. Beliung Bahu (Kalumpang), 2A. Beliung Persegi (Jawa), 2G. Kapak Lonjong (Vietnam), 3G. (Luzon), 5D. Pisau Tembeling (Pahang), 7A. Belincung (Sumatra), 7D. Beliung Paruh (Semenanjung Malaysia), 8A. Beliung Bahu (Indocina), dan Mata Cangkul jenis Patu (Taiwan). (Bellwood, 2000: 339).

Page 8: BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA · PDF filePustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2. Catatan ... Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang),

Ada pendapat bahwa kehadiran beliung persegi merupakan indikasi adanya

subsistensi pertanian. Akan tetapi keberadaan suatu artefak sangat dipengaruhi oleh konteks

ruang, waktu serta bentuk budaya manusia pendukungnya, sehingga belum berarti temuan

beliung persegi langsung berhubungan dengan subsistensi pertanian. Kemungkinan lainnya,

kehadiran beliung persegi dapat juga berhubungan dengan aktivitas pengerjaan kayu.

Berdasarkan bukti linguistik terdapat beberapa kosa kata proto-Austronesia yang

berhubungan dengan pengerjaan tanah dan pertanian, antara lain adalah; *tanoq (tanah)

*qumaH (huma, kebun, lahan pertanian), *tanem (tanam), *Semay (semai), *pajay (padi),

*zawa (padi-padian), *lesuŋ (lesung), *tapeS (tapis), *beRas (beras) dan *ZaRami (jerami).

Selain itu juga terdapat kosa kata yang berhubungan dengan pengerjaan kayu dan perahu,

antara lain adalah; *waŋkaŋ dan baŋkaq (perahu), *Rakit (rakit) *layaR (layar), *baban dan

bapan (papan), *jau(q) (sauh), *kiRam dan *taRaq (ketam) (Blust, 1984:220-221, Pawley &

Ross, 1995:46-48).

Seperti halnya beliung persegi, kehadiran tembikar juga merupakan penanda utama

kehadiran budaya neolitik di kepulauan Indonesia yang dibawa oleh komunitas penutur

bahasa Austronesia. Berdasarkan teknik dan pola motif hias yang terdapat pada tembikar,

dapat disimpulkan bahwa di Indonesia terdapat empat macam style motif hias tembikar,

yaitu; (1) tembikar slip merah, (2) tembikar tera tatap pelandas, (3) tembikar tera gores, dan

(4) tembikar upam hitam. Studi mengenai penarikhkan yang dilakukan terhadap empat

macam style motif hias tersebut menghasilkan tahapan perkembangan seni kriya tembikar

yang muncul di Indonesia, yaitu;

1. Fase I (sekitar 4000 BP) adalah masa awal kehadiran Austronesia di Asia Tenggara

Kepulauan yang ditandai oleh tembikar slip merah.

2. Fase II (sekitar 2500 BP) adalah masa puncak perkembangan tembikar tera tatap

pelandas.

3. Fase III (sejak 1000 BP) adalah masa perkembangan tembikar motif hias geometris

yang dikombinasikan dengan tembikar teknik tera tatap pelandas, slip merah dan

upam hitam.

(lihat Wibisono, 2006:107-118)

Tembikar banyak tersebar pada situs-situs neolitik di kepulauan Indonesia, namun

beberapa situs dengan pertanggalan paling awal yang cukup baik antara lain adalah; Leang

Tuwo mane’e (4500 BP), Lie Siri (4000 BP), Uai Bobo 1 (3700 BP), Uai Bobo 2 (4100 BP),

Leang Burung 1 (2900 BP), Ulu Leang (3800 BP), (Gua Golo (2000 BP), Buwawansi (1400

Page 9: BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA · PDF filePustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2. Catatan ... Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang),

BP), Um Kapat Papo (1500 BP), Daeo 2 (2000 BP), di Situs Tanjung Pinang (2000 BP),

Sambiki Tua (700 BP) dan Situs Siti Nafisah (2000 BP), Pejaten (2700 BP) (Bellwood dkk,

2000:233-234, Spriggs, 1989:595-596). Di sekitar kepulauan Indonesia, tembikar juga hadir

di Filipina Selatan dan Indocina (Sahuyn-Kalanay, 4500 BP), Asia Tenggara Daratan dan

Serawak (Bau Malayu, 3000 BP), Pasifik Barat (Lapita, 3500 BP), serta Mariana, Mikronesia

(Tarague, 3500 BP).

Motif hias tembikar Kalumpang, kiri (Heekeren, 1972) dan Lapita, kanan (Bellwood, 1975).

Kemiripan motif hias keduanya mengindikasikan kedekatan asal usul mereka

Di Pulau Jawa, tembikar slip merah muncul pada beberapa situs Sampung Bone

Industry di kawasan Tuban (seperti misalnya Song Perahu) dan pada beberapa gua yang

belum diberi nama di Kompleks Semanding (lihat: Nitihaminoto, 1983 dan Suhartono, 2000).

Selain itu juga pada kompleks budaya Buni di sekitar Jakarta dan Tangerang, seperti; Kelapa

Dua, Pejaten, Kampung Keramat, Condet, Tanjung Barat, Serpong dan Buni (lihat: Akbar,

2006:212-222). Temuan yang cukup menarik berasal dari situs pemukiman neolitik Kendeng

Lembu dan Pager Gunung, Glenmore, Besuki di Jawa Timur. Situs tersebut pernah di gali

oleh Heekeren sebelum Perang Dunia II yang kemudian digali lagi oleh R.P Soejono pada

1968 (Heekeren, 1972:173-184). Situs ini menghasilkan pecahan periuk berdasar membulat

berpoles merah dan tepiannya melipat keluar. Berdasarkan pengamatan Bellwood, artefak

tersebut memiliki keterkaitan dengan tembikar awal berpoles merah dari Filipina dan

Indonesia Timur (Bellwood, 2000:338).

Page 10: BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA · PDF filePustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2. Catatan ... Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang),

Pada seluruh tinggalan tersebut terdapat suatu kesamaan, yaitu penggunaan slip merah

pada penyelesaian akhir pengerjaan permukaan gerabah tersebut. Disamping berbagai

kesamaan yang terdapat pada seni kriya tembikar dari berbagai situs tersebut, juga ada

beberapa ciri perbedaan yang kemungkinan disebabkan oleh faktor inovasi lokal.

Berdasarkan pada perbandingan tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh tinggalan seni

kriya tembikar dari situs-situs tersebut memiliki akar budaya yang berdekatan dan saling

berhubungan. Persebaran gerabah di situs-situs tersebut mengindikasikan adanya persebaran

Austronesia di sekitar kawasan yang bersangkutan. Selain itu, berdasarkan bukti linguistik

terdapat beberapa kosa kata proto-Austronesia yang berhubungan dengan tembikar antara lain

adalah; *kuron (wadah memasak), *palaŋa (penggorengan), *bwaŋa (belanga), *tupa((n,ŋ))

(tutup), *buli (terakota), *tunu (tanak), *nasu (merebus), *napu (rebus), *tapi (tatap), dan

*pilit (pilin) (Pawley & Ross, 1995:49).

Implikasi

Dalam kajian migrasi-kolonisasi manusia pada masa prasejarah, bukti-bukti etnografi,

linguistik dan genetik memiliki peranan yang penting dalam memberikan gambaran

mengenai persebaran Austronesia secara geografis dan proses adaptasi mereka terhadap

lingkungan barunya. Namun, bukti-bukti tersebut tidak dapat memberikan pertanggalan

secara mutlak atau menggambarkan corak budaya material mereka secara terperinci. Artefak

sebagai hasil seni kriya yang merupakan salah satu kajian ilmu arkelogi, tentunya juga dapat

memberikan informasi penting seperti halnya bukti etnografi, linguistik dan genetik. Dalam

tulisan ini telah dibahas hasil seni kriya berupa beliung persegi dan tembikar yang

diindikasikan sebagai elemen penanda kehadiran Austronesia di kepulauan Indonesia.

Namun, beliung persegi dan gerabah tidak dapat langsung memberikan makna berbeda

dengan kosa kata dalam kajian linguistik. Walaupun demikian, budaya materi beliung persegi

dan gerabah sebagai hasil seni kriya suatu komunitas budaya tertentu (Austronesia), dapat

dilakukan kajian pertanggalannya, memiliki ciri-ciri tipologi tertentu, dan pola distribusi

spasial yang dapat ditafsirkan. Oleh karena itu, kajian seni kriya sebagai salah satu hasil

budaya materi masih perlu banyak dilakukan guna membantu merekonstruksi sejarah budaya

manusia masa lampau.

Page 11: BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA · PDF filePustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2. Catatan ... Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang),

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Ali. 2006. “Prehistoric Artifacts in Java and Nearby”, dalam Truman Simanjuntak,

dkk. ed. Archaeology: Indonesian Perspective, R.P. Soejono’s Festschrift,

Jakarta: LIPI Press. hlm. 212-222.

Anceaux, J.C. 1991, “Beberapa Teori Linguistik Tentang Tanah Asal Bahasa Austronesia”,

dalam Harimurti Kridalaksana, ed. Masa Lampau Bahasa Indonesia:

Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 72-92.

Ardika, I Wayan. 2006. “Austronesian Prehistory and Ethnogeneses: a Cross Disciplinary

Perspectives”, dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian

Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago,

Jakarta: LIPI Press. hlm. 99-106.

Atja dan Edi S. Ekajati. 1987. Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara, Suntingan Naskah

dan Terjemahannya, Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian

Kebudayan Sunda.

Atmosudiro, Sumijati, ed. Jawa Tengah: Sebuah Potret Warisan Budaya, Yogyakarta:

SPSP Prov. Jawa Tengah dan Jur. Arkeologi, FIB-UGM

Bellwood, Peter. 1975. Man’s Conquest of the Pacific, Auckland: Collins Publisher.

_______________. 1995. “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and Transformation”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU, hlm. 96-111.

_______________. 2000. Prasejarah kepulauan Indo-Malaysia, edisi revisi, Jakarta:

PT.Gramedia Pustaka Utama.

Bellwood, Peter, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin. 2000. “The

Northern Molluccas as A Crossroads between Indonesia and the Pacific”,

dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan

Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, Yogyakarta: PSAP-

UGM, hlm. 231-254.

Blust, Robert. 1984. “Austronesian culture history: some linguistic inferences and their

relations to the archaeological record”, dalan Peter Van de Velde, eds.,

Prehistoric Indonesia, USA: Foris Publications, hlm. 218-241.

Page 12: BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA · PDF filePustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2. Catatan ... Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang),

______________. 1984-1985. “The Austronesian Homeland: A Linguistic Perspective”,

Asian Perspectives 26 (1), hlm. 45-68.

Chambers, Geoffrey K. 2006. “Polynesian Genetic and Austronesian Prehistory”, dalam

Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian Diaspora and the

Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press.

hlm. 299-319.

Duff, Roger. 1970. Stone Adze of Southeast Asia, New Zealand: Centerbury Museum

Heekeren, H.R. Van. 1972. The Stone Age of Indonesia, VKI No. 61, The Hague: Martinus

Nijhoff

Mantra, Ida Bagoes. 2000. Demografi Umum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nitihaminoto, Goenadi. 1983. “Hasil Analisis Sementara Kereweng Song Prahu, Tuban,

Pertemuan Ilmiah Arkeologi III, Jakarta: Puslit Arkenas.

Noerwidi, Sofwan. 2003. “Keterkaitan Kronologi Budaya Situs Uattamdi dengan Proses

Migrasi-Kolonisasi Manusia di Maluku Utara”, Skripsi Sarjana,

Yogyakarta: FIB-UGM

Pawley, Andrew dan Malcolm Ross. 1985. “The Prehistory of the Oceanic Language: a

Current View”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds.),

The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra:

ANU, hlm. 39-74.

Suhartono, Didik. 2000. “Site Catchment Analysis pada Penghunian Gua di Kawasan Tuban”,

Skripsi Sarjana, Yogyakarta: Fak. Sastra Univ. Gadjah Mada.

Tanudirjo, Daud Aris. 2001. “Island In-Between: the Prehistory of Northeastern Indonesia.

Ph.D. Thesis, Canberra: ANU.

Tryon, Darrel, “Proto-Austronesian and the Major Austronesian Subgroup”, dalam Peter

Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds.), The Austronesians:

Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU, hlm. 17-38.

Rouse, Irving. 1986. Migrations In Prehistory, Inferring Population Movement From

Cultural Remains, New Haven: Yale University Press.

Page 13: BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA · PDF filePustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2. Catatan ... Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang),

Spriggs, Matthew. 1989. “The Dating of the Island Southeast Asian Neolithic: an attempt at

chronometric hygiene and linguistic correlation”, Antiquity 63, hlm. 587-

613.

______________. 2000. “Out of Asia: The Spread of Southeast Asian Pleistocene and

Neolithic maritime culture in Island southeast Asia and Western Pacific”,

dalam Sue O’Connor dan Peter Veth eds., East of Wallace’s Line, Studies

of Past and Present maritime culture of the Indo-Pacific Region,

Rotterdam: A.A. Balkema, hlm.51-76.

Wibisono, Sonny Chr. 2006. ”Stylochronology of Early Pottery in Island of Southeast Asia: a

Reassessment of Archaeological Evidence of Austronesian”, dalam Truman

Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of

People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press. hlm. 107-118.