BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA · PDF filePustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 1...
Transcript of BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA · PDF filePustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 1...
BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA
KEHADIRAN AUSTRONESIA DI KEPULAUAN INDONESIA1
Sofwan Noerwidi2
/i sěděng wwang těkan hanyar
makadrěwya sarwawidya…
(PRiBN, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2)3
Austronesia Dari Perspektif Linguistik
Rumpun bahasa Austronesia merupakan salah satu rumpun bahasa terbesar yang
digunakan di lebih dari separuh belahan dunia, membentang dari Madagaskar di barat hingga
Pulau Paskah di Timur serta membujur dari Formosa dan Hawaii di utara hingga Selandia
Baru di selatan. Luas sebarannya menjadikan rumpun bahasa Austronesia sebagai bahasa
terbesar sebelum masa kolonialisme bangsa Eropa. Turunan rumpun bahasa Austronesia
beranggotakan sekitar 1200 bahasa yang berkerabat, serta digunakan oleh lebih dari 350 juta
penutur, dengan jumlah penutur terbesar terdiri dari bahasa Melayu-Indonesia, Jawa dan
Tagalog. Saat ini, bahasa Austronesia secara mayoritas digunakan di negara-negara;
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Brunei, serta oleh komunitas tertentu di Formosa,
Vietnam, Kamboja, Birma dan Pantai Utara Papua (Tryon, 1995: 17-19).
Persebaran Rumpun Bahasa Austronesia (Tryon, 1995)
1 Makalah disampaikan dalam rangka Lustrum ke-9 Jurusan Arkeologi, FIB, UGM, September 2007. 2 Staf Balai Arkeologi Yogyakarta, Jl. Gedongkuning No. 174, Kotagede, Yogyakarta. 3 Terjemahan: “sedangkan orang pendatang baru memiliki berbagai pengetahuan…” Pustaka Rajya Rajya i
Bhumi Nusantara, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2. Catatan sejarah Keraton Cirebon (abad 17) mengenai kedatangan orang-orang dari negeri di Asia Tenggara Daratan menuju kepulauan Nusantara pada 1600 SM. Diantara beberapa keahlian yang mereka miliki adalah membuat perahu yang sangat bagus dan menanam padi (Atja &Ekajati, 1987).
Istilah Austronesia pada awalnya diberikan oleh ahli linguistik untuk menyebut suatu
rumpun bahasa yang hampir secara mayoritas dituturkan di Asia Tenggara Kepulauan dan
Oseania. Pada perkembangannya, istilah Austronesia juga digunakan untuk menyebut suatu
komunitas yang berbudaya dan menuturkan bahasa Austronesia. Perhatian terhadap kajian
rumpun bahasa Austronesia dapat dirunut hingga awal abad 16, ketika para pengelana
mengumpulkan daftar kosa kata bahasa Austronesia dari tempat-tempat yang mereka
kunjungi, seperti misalnya Antonio Pigafetta (seorang berkebangsaan Italia) yang ikut dalam
ekspedisi Magellan 1519-1522 (Ardika, 2006:99). Cornelis de Houtman seorang kapten kapal
Belanda yang berlayar menuju Banten melalui Madagaskar pada tahun 1596, mengamati
kemiripan antara bahasa Malagasy dan bahasa Melayu (Tanudirjo, 2001:9).
William von Humboldt adalah tokoh yang pertama kali mengajukan istilah “Malayo-
Polynesia” untuk menyebut bahasa-bahasa di kawasan Malayan sampai Polynesia yang
memiliki kemiripan. Pada tahun 1889, berdasarkan pada kajian linguistik yang detail dan
sistematis, Hendrik Kern membagi rumpun bahasa “Malayo-Polynesia” menjadi “Malayo-
Polynesia Barat” yang terdiri dari bahasa-bahasa di Kepulauan Nusantara dan “Malayo-
Polynesia Timur” yang terdiri dari bahasa-bahasa di Melanesia dan Polynesia. Kemudian
pada tahun 1906 Wilhelm Schmidt memperkenalkan terminology “Austronesia”, untuk
menyebut bahasa “Malayo-Polynesia”. Selain itu beliau juga mengajukan hipotesis bahwa
pada masa lampau di Asia daratan terdapat bahasa Austric yang merupakan nenek moyang
bahasa Austronesia dan Austroasiatic. Bahasa Austronesia kemudaian menurunkan bahasa-
bahasa di Asia Tenggara Kepulauan dan Pasifik, sedangkan bahasa Austroasiatic berkembang
menjadi bahasa Mon-Khmer di Indochina dan bahasa Munda di India bagian timur (Anceaux,
1991:73).
Robert von Heine Geldern adalah ahli arkeologi yang pertama kali mengadopsi
konsep budaya Austronesia dari para linguis. Beliau berpendapat bahwa luas persebaran
budaya Austronesia ditunjukkan dengan persebaran kompleks budaya Vierkantbeil Adze,
dengan ciri utamanya adalah kehadiran beliung persegi. Roger Duff kemudian melakukan
kajian berdasarkan hasil penelitian Geldern. Beliau melakukan klasifikasi tipologi beliung
persegi berdasarkan bentuk irisan, bentuk tajaman dan bentuk pangkal (Duff, 1970:8).
Akhirnya Duff sampai pada kesimpulan bahwa persebaran Austronesia di Kepulauan
Indonesia (kecuali Papua) yang didukung dengan pola subsistensi pertanian berasal dari
Semenanjung Malaya bagian selatan. Hal tersebut tercermin oleh persebaran beliung paruh
(Malayan Beacked Adze) dan belincung (Indonesian Pick Adze) (Duff, 1970:14). Ahli lainnya
adalah Wilhelm G. Solheim II yang mengajukan teori bahwa wilayah geografis persebaran
gerabah Sa-Huynh-Kalanay di Asia Tenggara dan Lapita di Melanesia barat memiliki
hubungan dengan persebaran orang Austronesia. Beliau mengajukan istilah Nusantau4 untuk
menyebut kelompok manusia dan budayanya tersebut.
Persebaran Rumpun Bahasa Austronesia
Sangat mengagumkan melihat persebaran bahasa Austronesia yang dituturkan hampir
di seluruh kawasan kepulauan Indo-Pasifik. Banyak ahli yang berpendapat bahwa persebaran
rumpun bahasa Austronesia yang luas disebabkan oleh proses ekspansi komunitas penutur
rumpun bahasa tersebut ke luar dari daerah asalnya. Hendrik Kern mencoba untuk mencari
daerah asal persebaran bahasa Austronesia menggunakan metode pemilihan kosa kata sebagai
bentuk bahasa Austronesia purba dari kosa kata yang maknanya bersangkutan dengan unsur-
unsur flora, fauna dan lingkungan geografis. Hasil kajian tersebut membawa Kern pada suatu
kesimpulan bahwa tanah asal nenek moyang rumpun bahasa Austronesia terletak di suatu
pantai daerah tropis (Anceaux, 1991: 74-75, Blust, 1984-1985:47-49).
Silsilah Rumpun Bahasa Austronesia (Blust, 1978)
4 Nusantau, dari kata Nusa: pulau dan tau: orang, sehingga Nusantau bermakna orang-orang yang
tinggal di daerah kepulauan.
Robert Blust (1984-1985) berusaha menyusun silsilah kekerabatan bahasa
Austronesia dengan menggunakan metode “Wörter und Sachen Technique”, yaitu dengan
menggunakan kosa kata sebagai dasar untuk menyimpulkan berbagai referensi yang diketahui
oleh penutur bahasa yang direkonstruksi. Kosa kata tersebut juga digunakan sebagai dasar
untuk merekonstruksi budaya dan lingkungan alam penutur bahasa yang direkonstruksi. Hasil
reksonstruksi Blust adalah; nenek moyang bahasa Austronesia dituturkan di sekitar daerah
yang tidak jauh dari Pulau Taiwan (Formosa) pada kurun sebelum 4500 SM. Kemudian
bahasa tersebut memisahkan diri menjadi bahasa Austronesia Formosa (Atayal, Tsou dan
Paiwan) dan Proto Melayu-Polynesia (seluruh bahasa Austronesia di luar Taiwan) pada 4500
SM. Melayu-Polynesia kemudian berkembang menjadi Melayu-Polynesia Barat dan Melayu-
Polynesia Timur-Tengah pada 3500 SM. Pada 3000 SM, bahasa Melayu-Polynesia Barat
berkembang menjadi bahasa-bahasa Austronesia di kawasan antara Filipina Selatan,
Sumbawa bagian Barat dan Sumatra, sedangkan Melayu-Polynesia Timur-Tengah
berkembang menjadi Melayu-Polynesia Tengah dan Melayu-Polynesia Timur. Akhirnya,
pada 2500 SM bahasa Melayu-Polynesia Timur berkembang menjadi bahasa Halmahera
Selatan-Nugini Barat dan bahasa Oseania.
Saat ini berkembang beberapa teori persebaran Austronesia yang diajukan oleh para
ahli dari berbagai sudut pandang yang berbeda, diantaranya adalah; The Express Train from
Taiwan to Polynesia (Bellwood), The Taiwan Homeland concept (Reed), Island Southeast
Asia Origin (Solheim), From South America via Kon Tiki (Heyerdahl), An Entangled Bank
(Terrell), The Geneflow Model (Devlin), The Genetic Bottleneck in Polynesia (Flint), The
Eden in the East concept (Oppenheimer), Voyaging Corridor Triple I account (Green) (lihat
Chambers, 2006:303). Berdasarkan beberapa teori yang berkembang tersebut, pada intinya
terdapat tiga kubu model persebaran Austronesia yang berbeda, yaitu; (1) Austronesia berasal
dari Pulau Taiwan, (2) dari kawasan Asia Tenggara Kepulauan dan (3) dari kawasan
Melanesia. Diantara beberapa teori tersebut, salah satunya yang terkuat dan mendapat banyak
dukungan dari berbagai sudut pandang keilmuan adalah model yang diajukan oleh Peter
Bellwood. Beliau menyarankan bahwa Austronesia berasal dari Taiwan dan Pantai Cina
bagian selatan. Kawasan tersebut oleh berberapa ahli linguistik dianggap sebagai tempat asal
bahasa proto-Austronesia. Disamping itu, secara arkeologis daerah tersebut menghasilkan
bukti pola subsistensi bercocok tanam dan aspek budaya Austronesia lainnya yang paling tua
di kawasan ini berupa beliung persegi dan gerabah, seperti yang ditemukan di situs Hemudu
di Teluk Hangzou, Propinsi Zhejiang yang berumur 7000 tahun (Bellwood, 1995:97-98).
Hipotesis mengenai pertanggalan kolonisasi Austronesia
Dari Taiwan menuju Asia Tenggara Kepulauan dan Pasifik (Bellwood, 1995)
Seni Kriya dan Kajian Migrasi-Kolonisasi
Dalam ilmu demografi, perpindahan penduduk (migrasi) merupakan salah satu
komponen yang dikaji selain kelahiran (fertilitas) dan kematian (mortalitas). Migrasi adalah
mobilitas penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu menuju wilayah lain dalam periode
waktu tertentu (Mantra, 2000:224-225). Kolonisasi berarti proses penghunian suatu wilayah
oleh suatu komunitas tertentu. Proses penghunian yang dimaksud meliputi: penghunian,
perkembangan, dan kejenuhan penduduk. Jika suatu komunitas sudah mengalami kejenuhan
penduduk, maka terdapat kemungkinan sebagian dari komunitas tersebut akan, memisahkan
diri dari komunitas intinya. Oleh karena itu, kajian migrasi berhubungan erat dengan
kolonisasi (Noerwidi, 2003: 13-14).
Dalam kajian migrasi-kolonisasi manusia pada masa prasejarah, artefak memainkan
peran yang sangat penting karena di dalamnya terkandung informasi mengenai aspek kognisi
dan tingkah laku manusia pendukung budaya yang bersangkutan. Pentingnya pembicaraan
mengenai data artefaktual pada kajian perpindahan manusia karena, manusia membawa
unsur-unsur budayanya ketika mereka bermigrasi, dan dengan memperhatikan distribusi
karakteristik budayanya maka dapat diketahui persebaran manusia pendukungnya (Rouse,
1986:4). Dalam tulisan ini, pembahasan mengenai artefak dalam hubungannya dengan kajian
migrasi-kolonisasi manusia adalah artefak yang berkaitan dengan seni kriya.
Seni kriya adalah semua hasil karya manusia yang memerlukan keahlian khusus yang
berkaitan dengan tangan, sehingga seni kriya sering juga disebut kerajinan tangan. Seni kriya
dihasilkan melalui keahlian manusia dalam mengolah bahan mentah, sehingga ruang
lingkupnya dapat ditelusuri melalui jenis bahan yang digunakan untuk menghasilkan
kerajinan tangan tersebut. Jenis-jenis bahan yang dimaksud antara lain adalah; batu, tanah
liat, tulang, cangkang kerang, kayu, logam, kulit, kaca, benang, dan sebagainya. Selain itu,
seni kriya juga dapat dikelompokan berdasarkan tujuan penciptaannya atau pengunaannya
menjadi kriya yang mempunyai fungsi praktis, estetis, dan simbolis (religius) (Atmosudiro
ed., 2001:107-110).
Paket Budaya Austronesia
Berdasarkan model yang diajukan Bellwood (2000), para penutur bahasa Austronesia
yang berekspansi menuju Asia Tenggara Kepulauan membawa pola subsistensi pertanian
serta masih memiliki kemahiran berburu dan mengumpulkan makanan baik di darat maupun
di laut. Mereka memperkenalkan seni kriya baru yaitu tembikar dan alat batu berupa beliung
batu bertajaman satu sisi yang diupam (Bellwood, 2000: 299). Berdasarkan bukti arkeologi,
situs masa neolitik yang paling awal di kawasan Asia Tenggara adalah situs-situs budaya
Tapenkeng di Taiwan (5000 BP). Selain itu, di Taiwan pada masa yang hampir bersamaan
juga berkembang dua kompleks budaya lainnya, yaitu budaya Yuanshan dan budaya Peinan
(4000-5000 BP) (Spriggs, 2000:62).
Ciri khas utama kompleks budaya neolitik Taiwan antara lain adalah; beliung persegi,
mata panah dari tulang dan batu sabak, dan tradisi tembikar yang cenderung berkembang dari
dominasi tembikar berhias pola tera tali menuju tembikar polos atau berpoles merah (pada
kasus budaya Yuanshan dan Peinan), sementara tembikar dengan motif hias gores, tera
bulatan dan tusukan, serta kaki melingkar berlubang terus berlanjut. Benda seni kriya lainnya
adalah bandul pemberat jaring dari batu, cangkul batu, alat pemukul kulit kayu, aksesoris
(manik-manik dan gelang) dari cangkang kerang, beliung dan kail dari cangkang kerang, alat
memanen padi (ani-ani) dan kumparan tenun dari tanah liat. Selain itu, ciri kompleks budaya
Austronesia lainnya yang dibawa serta pada saat mereka berekspansi adalah; domestikasi
babi, anjing, ayam, dan kadang-kadang ikut terangkut juga tikus besar (Bellwood, 2000:321-
322, Spriggs, 1989:587, 2000:62-63).
Persebaran Seni Kriya Austronesia di Indonesia
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa ada banyak hasil seni kriya
sebagai elemen penanda kehadiran Ausronesia dengan budaya neolitiknya di Asia Tenggara
Kepulauan dan Pasifik. Namun tulisan ini hanya akan membatasi pada pembahasan dua unsur
penandanya saja, yaitu beliung persegi dan tembikar. Beliung batu yang diupam merupakan
faktor intrusi yang di bawa oleh arus budaya baru yaitu Austronesia, karena pada masa
sebelumnya komunitas Non-Austronesia yang telah mengkoloni kepulauan Indonesia tidak
mengenal seni kriya tersebut.
H.R van Heekeren telah mencatat persebaran berbagai macam tipologi beliung
persegi di Indonesia, seperti misalnya; pesisir pantai barat, Bengkulu, Palembang, Lampung
dan Assam di Sumatra, Banten, Kelapa Dua, Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta
dan Tangerang), Pasir Guda (Bogor), Cibadak, Cirebon, Tasikmalaya (Priangan),
Pekalongan, Gunung Karangbolang (Banyumas), Semarang, Yogyakarta, Punung dan
Wonogiri, Madiung, Surabaya, Madura, Malang, Kendeng Lembu dan Pager Gunung
(Besuki) di Jawa, Tondano, Minahasa, Sungai Sario (Manado), Bulukumba, Sempaga,
Kalumpang dan Minanga Sipakko di Sulawesi, Dumahang di Sangir, Ennawira, Rainis, dan
Essang di Talaud Bali, Flores, Adonara, Leti, Tanimbar, Maluku, Solor, Kalimantan
(Heekeren, 1974:168-170).
Typologi Beliung Asia Tenggara (Duff, 1970), 1A. Beling Tangga (Luzon), 1B. Beliung Bahu (Kalumpang), 2A. Beliung Persegi (Jawa), 2G. Kapak Lonjong (Vietnam), 3G. (Luzon), 5D. Pisau Tembeling (Pahang), 7A. Belincung (Sumatra), 7D. Beliung Paruh (Semenanjung Malaysia), 8A. Beliung Bahu (Indocina), dan Mata Cangkul jenis Patu (Taiwan). (Bellwood, 2000: 339).
Ada pendapat bahwa kehadiran beliung persegi merupakan indikasi adanya
subsistensi pertanian. Akan tetapi keberadaan suatu artefak sangat dipengaruhi oleh konteks
ruang, waktu serta bentuk budaya manusia pendukungnya, sehingga belum berarti temuan
beliung persegi langsung berhubungan dengan subsistensi pertanian. Kemungkinan lainnya,
kehadiran beliung persegi dapat juga berhubungan dengan aktivitas pengerjaan kayu.
Berdasarkan bukti linguistik terdapat beberapa kosa kata proto-Austronesia yang
berhubungan dengan pengerjaan tanah dan pertanian, antara lain adalah; *tanoq (tanah)
*qumaH (huma, kebun, lahan pertanian), *tanem (tanam), *Semay (semai), *pajay (padi),
*zawa (padi-padian), *lesuŋ (lesung), *tapeS (tapis), *beRas (beras) dan *ZaRami (jerami).
Selain itu juga terdapat kosa kata yang berhubungan dengan pengerjaan kayu dan perahu,
antara lain adalah; *waŋkaŋ dan baŋkaq (perahu), *Rakit (rakit) *layaR (layar), *baban dan
bapan (papan), *jau(q) (sauh), *kiRam dan *taRaq (ketam) (Blust, 1984:220-221, Pawley &
Ross, 1995:46-48).
Seperti halnya beliung persegi, kehadiran tembikar juga merupakan penanda utama
kehadiran budaya neolitik di kepulauan Indonesia yang dibawa oleh komunitas penutur
bahasa Austronesia. Berdasarkan teknik dan pola motif hias yang terdapat pada tembikar,
dapat disimpulkan bahwa di Indonesia terdapat empat macam style motif hias tembikar,
yaitu; (1) tembikar slip merah, (2) tembikar tera tatap pelandas, (3) tembikar tera gores, dan
(4) tembikar upam hitam. Studi mengenai penarikhkan yang dilakukan terhadap empat
macam style motif hias tersebut menghasilkan tahapan perkembangan seni kriya tembikar
yang muncul di Indonesia, yaitu;
1. Fase I (sekitar 4000 BP) adalah masa awal kehadiran Austronesia di Asia Tenggara
Kepulauan yang ditandai oleh tembikar slip merah.
2. Fase II (sekitar 2500 BP) adalah masa puncak perkembangan tembikar tera tatap
pelandas.
3. Fase III (sejak 1000 BP) adalah masa perkembangan tembikar motif hias geometris
yang dikombinasikan dengan tembikar teknik tera tatap pelandas, slip merah dan
upam hitam.
(lihat Wibisono, 2006:107-118)
Tembikar banyak tersebar pada situs-situs neolitik di kepulauan Indonesia, namun
beberapa situs dengan pertanggalan paling awal yang cukup baik antara lain adalah; Leang
Tuwo mane’e (4500 BP), Lie Siri (4000 BP), Uai Bobo 1 (3700 BP), Uai Bobo 2 (4100 BP),
Leang Burung 1 (2900 BP), Ulu Leang (3800 BP), (Gua Golo (2000 BP), Buwawansi (1400
BP), Um Kapat Papo (1500 BP), Daeo 2 (2000 BP), di Situs Tanjung Pinang (2000 BP),
Sambiki Tua (700 BP) dan Situs Siti Nafisah (2000 BP), Pejaten (2700 BP) (Bellwood dkk,
2000:233-234, Spriggs, 1989:595-596). Di sekitar kepulauan Indonesia, tembikar juga hadir
di Filipina Selatan dan Indocina (Sahuyn-Kalanay, 4500 BP), Asia Tenggara Daratan dan
Serawak (Bau Malayu, 3000 BP), Pasifik Barat (Lapita, 3500 BP), serta Mariana, Mikronesia
(Tarague, 3500 BP).
Motif hias tembikar Kalumpang, kiri (Heekeren, 1972) dan Lapita, kanan (Bellwood, 1975).
Kemiripan motif hias keduanya mengindikasikan kedekatan asal usul mereka
Di Pulau Jawa, tembikar slip merah muncul pada beberapa situs Sampung Bone
Industry di kawasan Tuban (seperti misalnya Song Perahu) dan pada beberapa gua yang
belum diberi nama di Kompleks Semanding (lihat: Nitihaminoto, 1983 dan Suhartono, 2000).
Selain itu juga pada kompleks budaya Buni di sekitar Jakarta dan Tangerang, seperti; Kelapa
Dua, Pejaten, Kampung Keramat, Condet, Tanjung Barat, Serpong dan Buni (lihat: Akbar,
2006:212-222). Temuan yang cukup menarik berasal dari situs pemukiman neolitik Kendeng
Lembu dan Pager Gunung, Glenmore, Besuki di Jawa Timur. Situs tersebut pernah di gali
oleh Heekeren sebelum Perang Dunia II yang kemudian digali lagi oleh R.P Soejono pada
1968 (Heekeren, 1972:173-184). Situs ini menghasilkan pecahan periuk berdasar membulat
berpoles merah dan tepiannya melipat keluar. Berdasarkan pengamatan Bellwood, artefak
tersebut memiliki keterkaitan dengan tembikar awal berpoles merah dari Filipina dan
Indonesia Timur (Bellwood, 2000:338).
Pada seluruh tinggalan tersebut terdapat suatu kesamaan, yaitu penggunaan slip merah
pada penyelesaian akhir pengerjaan permukaan gerabah tersebut. Disamping berbagai
kesamaan yang terdapat pada seni kriya tembikar dari berbagai situs tersebut, juga ada
beberapa ciri perbedaan yang kemungkinan disebabkan oleh faktor inovasi lokal.
Berdasarkan pada perbandingan tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh tinggalan seni
kriya tembikar dari situs-situs tersebut memiliki akar budaya yang berdekatan dan saling
berhubungan. Persebaran gerabah di situs-situs tersebut mengindikasikan adanya persebaran
Austronesia di sekitar kawasan yang bersangkutan. Selain itu, berdasarkan bukti linguistik
terdapat beberapa kosa kata proto-Austronesia yang berhubungan dengan tembikar antara lain
adalah; *kuron (wadah memasak), *palaŋa (penggorengan), *bwaŋa (belanga), *tupa((n,ŋ))
(tutup), *buli (terakota), *tunu (tanak), *nasu (merebus), *napu (rebus), *tapi (tatap), dan
*pilit (pilin) (Pawley & Ross, 1995:49).
Implikasi
Dalam kajian migrasi-kolonisasi manusia pada masa prasejarah, bukti-bukti etnografi,
linguistik dan genetik memiliki peranan yang penting dalam memberikan gambaran
mengenai persebaran Austronesia secara geografis dan proses adaptasi mereka terhadap
lingkungan barunya. Namun, bukti-bukti tersebut tidak dapat memberikan pertanggalan
secara mutlak atau menggambarkan corak budaya material mereka secara terperinci. Artefak
sebagai hasil seni kriya yang merupakan salah satu kajian ilmu arkelogi, tentunya juga dapat
memberikan informasi penting seperti halnya bukti etnografi, linguistik dan genetik. Dalam
tulisan ini telah dibahas hasil seni kriya berupa beliung persegi dan tembikar yang
diindikasikan sebagai elemen penanda kehadiran Austronesia di kepulauan Indonesia.
Namun, beliung persegi dan gerabah tidak dapat langsung memberikan makna berbeda
dengan kosa kata dalam kajian linguistik. Walaupun demikian, budaya materi beliung persegi
dan gerabah sebagai hasil seni kriya suatu komunitas budaya tertentu (Austronesia), dapat
dilakukan kajian pertanggalannya, memiliki ciri-ciri tipologi tertentu, dan pola distribusi
spasial yang dapat ditafsirkan. Oleh karena itu, kajian seni kriya sebagai salah satu hasil
budaya materi masih perlu banyak dilakukan guna membantu merekonstruksi sejarah budaya
manusia masa lampau.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Ali. 2006. “Prehistoric Artifacts in Java and Nearby”, dalam Truman Simanjuntak,
dkk. ed. Archaeology: Indonesian Perspective, R.P. Soejono’s Festschrift,
Jakarta: LIPI Press. hlm. 212-222.
Anceaux, J.C. 1991, “Beberapa Teori Linguistik Tentang Tanah Asal Bahasa Austronesia”,
dalam Harimurti Kridalaksana, ed. Masa Lampau Bahasa Indonesia:
Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 72-92.
Ardika, I Wayan. 2006. “Austronesian Prehistory and Ethnogeneses: a Cross Disciplinary
Perspectives”, dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian
Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago,
Jakarta: LIPI Press. hlm. 99-106.
Atja dan Edi S. Ekajati. 1987. Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara, Suntingan Naskah
dan Terjemahannya, Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayan Sunda.
Atmosudiro, Sumijati, ed. Jawa Tengah: Sebuah Potret Warisan Budaya, Yogyakarta:
SPSP Prov. Jawa Tengah dan Jur. Arkeologi, FIB-UGM
Bellwood, Peter. 1975. Man’s Conquest of the Pacific, Auckland: Collins Publisher.
_______________. 1995. “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and Transformation”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU, hlm. 96-111.
_______________. 2000. Prasejarah kepulauan Indo-Malaysia, edisi revisi, Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama.
Bellwood, Peter, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin. 2000. “The
Northern Molluccas as A Crossroads between Indonesia and the Pacific”,
dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan
Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, Yogyakarta: PSAP-
UGM, hlm. 231-254.
Blust, Robert. 1984. “Austronesian culture history: some linguistic inferences and their
relations to the archaeological record”, dalan Peter Van de Velde, eds.,
Prehistoric Indonesia, USA: Foris Publications, hlm. 218-241.
______________. 1984-1985. “The Austronesian Homeland: A Linguistic Perspective”,
Asian Perspectives 26 (1), hlm. 45-68.
Chambers, Geoffrey K. 2006. “Polynesian Genetic and Austronesian Prehistory”, dalam
Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian Diaspora and the
Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press.
hlm. 299-319.
Duff, Roger. 1970. Stone Adze of Southeast Asia, New Zealand: Centerbury Museum
Heekeren, H.R. Van. 1972. The Stone Age of Indonesia, VKI No. 61, The Hague: Martinus
Nijhoff
Mantra, Ida Bagoes. 2000. Demografi Umum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nitihaminoto, Goenadi. 1983. “Hasil Analisis Sementara Kereweng Song Prahu, Tuban,
Pertemuan Ilmiah Arkeologi III, Jakarta: Puslit Arkenas.
Noerwidi, Sofwan. 2003. “Keterkaitan Kronologi Budaya Situs Uattamdi dengan Proses
Migrasi-Kolonisasi Manusia di Maluku Utara”, Skripsi Sarjana,
Yogyakarta: FIB-UGM
Pawley, Andrew dan Malcolm Ross. 1985. “The Prehistory of the Oceanic Language: a
Current View”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds.),
The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra:
ANU, hlm. 39-74.
Suhartono, Didik. 2000. “Site Catchment Analysis pada Penghunian Gua di Kawasan Tuban”,
Skripsi Sarjana, Yogyakarta: Fak. Sastra Univ. Gadjah Mada.
Tanudirjo, Daud Aris. 2001. “Island In-Between: the Prehistory of Northeastern Indonesia.
Ph.D. Thesis, Canberra: ANU.
Tryon, Darrel, “Proto-Austronesian and the Major Austronesian Subgroup”, dalam Peter
Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds.), The Austronesians:
Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU, hlm. 17-38.
Rouse, Irving. 1986. Migrations In Prehistory, Inferring Population Movement From
Cultural Remains, New Haven: Yale University Press.
Spriggs, Matthew. 1989. “The Dating of the Island Southeast Asian Neolithic: an attempt at
chronometric hygiene and linguistic correlation”, Antiquity 63, hlm. 587-
613.
______________. 2000. “Out of Asia: The Spread of Southeast Asian Pleistocene and
Neolithic maritime culture in Island southeast Asia and Western Pacific”,
dalam Sue O’Connor dan Peter Veth eds., East of Wallace’s Line, Studies
of Past and Present maritime culture of the Indo-Pacific Region,
Rotterdam: A.A. Balkema, hlm.51-76.
Wibisono, Sonny Chr. 2006. ”Stylochronology of Early Pottery in Island of Southeast Asia: a
Reassessment of Archaeological Evidence of Austronesian”, dalam Truman
Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of
People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press. hlm. 107-118.