Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

25
Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga Sukarela Batunanggar * Abstrak Artikel ini menilai kebijakan dalam penanganan krisis perbankan di Indonesia dan menimba pelajaran berharga untuk masa mendatang. Krisis perbankan Indonesia merupakan krisis yang terdahsyat – terutama dari jumlah biaya penanganan dan dampaknya - dalam seperempat abad terakhir. Resolusi krisis perbankan Indonesia menanggung dua masalah utama yakni: (i) kurangnya pemahaman dari IMF dan sebagian dari otoritas terkait yang menimbulkan kesalahan strategi baik di tingkat makro maupun mikro; dan (ii) kurangnya komitmen pemerintah untuk mengambil kebijakan yang obyektif dan konsisten. Agar efektif, proses resolusi krisis harus dilaksanakan secara obyektif, transparan dan kosnsisten untuk menyehatkan kembali sistem keuangan dan perekonomian. JEL classification: F34, G18, G21, G28, E44 Keywords: financial crises, banking crisis, crisis management, financial safety nets, lender of last resort, government guarantee, deposit insurance. * Peneliti Bank Senior di Bank Indonesia. Penulis berterima kasih pada Peter Sinclair dan Glenn Hoggarth, atas masukan berharga selama penyusunan draft awal paper ini di Centre for Banking Studies, Bank of England, Oktober s/d November 2001. Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan bukan pandangan Bank Indonesia. Semua kesalahan menjadi tanggungjawab penulis. Alamat e-mail: [email protected]

description

Artikel ini menilai kebijakan dalam penanganan krisis perbankan di Indonesia dan menimbapelajaran berharga untuk masa mendatang. Krisis perbankan Indonesia merupakan krisis yangterdahsyat – terutama dari jumlah biaya penanganan dan dampaknya - dalam seperempat abad terakhir. Resolusi krisis perbankan Indonesia menanggung dua masalah utama yakni: (i)kurangnya pemahaman dari IMF dan sebagian dari otoritas terkait yang menimbulkan kesalahan strategi baik di tingkat makro maupun mikro; dan (ii) kurangnya komitmenpemerintah untuk mengambil kebijakan yang obyektif dan konsisten. Agar efektif, prosesresolusi krisis harus dilaksanakan secara obyektif, transparan dan kosnsisten untuk menyehatkan kembali sistem keuangan dan perekonomian.JEL classification: F34, G18, G21, G28, E44

Transcript of Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Page 1: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia:

Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

Sukarela Batunanggar*

Abstrak

Artikel ini menilai kebijakan dalam penanganan krisis perbankan di Indonesia dan menimba pelajaran berharga untuk masa mendatang. Krisis perbankan Indonesia merupakan krisis yang terdahsyat – terutama dari jumlah biaya penanganan dan dampaknya - dalam seperempat abad terakhir. Resolusi krisis perbankan Indonesia menanggung dua masalah utama yakni: (i) kurangnya pemahaman dari IMF dan sebagian dari otoritas terkait yang menimbulkan kesalahan strategi baik di tingkat makro maupun mikro; dan (ii) kurangnya komitmen pemerintah untuk mengambil kebijakan yang obyektif dan konsisten. Agar efektif, proses resolusi krisis harus dilaksanakan secara obyektif, transparan dan kosnsisten untuk menyehatkan kembali sistem keuangan dan perekonomian.

JEL classification: F34, G18, G21, G28, E44

Keywords: financial crises, banking crisis, crisis management, financial safety nets, lender of last resort, government guarantee, deposit insurance.

*Peneliti Bank Senior di Bank Indonesia. Penulis berterima kasih pada Peter Sinclair dan Glenn Hoggarth, atas masukan berharga selama penyusunan draft awal paper ini di Centre for Banking Studies, Bank of England, Oktober s/d November 2001. Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan bukan pandangan Bank Indonesia. Semua kesalahan menjadi tanggungjawab penulis.

Alamat e-mail: [email protected]

Page 2: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 1

I. Pengantar

Krisis Asia tercatat dalam sejarah sebagai salah satu krisis terbesar dalam abad ini. “Krisis kembar” – krisis mata uang dan krisis perbankan – telah menghantam Indonesia bersama Thailand dan Korea Selatan yang menderita lebih parah dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Krisis perbankan di Indonesia adalah yang terparah di Asia Tenggara jika diukur dari biaya fiskal penanganannya dan lamanya waktu pemulihannya.

Selama enam tahun terakhir, telah begitu banyak kajian tentang penyebab dan pengalaman krisis Asia termasuk Indonesia1. Studi-studi sebelumnya tentang krisis Asia dan khususnya Indonesia umumnya difokuskan pada penyebab krisis perbankan. Studi-studi tersebut menguraikan penyebab dan juga pelajaran berharga, namun kurang memberikan perhatian pada masalah resolusi krisis perbankan. Tingginya intervensi politik dan kurangnya komitmen pemerintah untuk mengambil kebijakan yang obyektif dan konsisten dipandang sebagai penyebab utama ketidak-efektifan resolusi krisis perbankan Indonesia. Disamping itu, ketiadaan mekanisme yang jelas mengenai resolusi krisis telah menimbulkan mahalnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) selama krisis tahun 1997 yang akhirnya menorehkan kasus yang menyakitkan dan kontroversial.

Sistem perbankan Indonesia telah mengalami perubahan yang struktural dalam tiga dekade terakhir. Sebelum krisis 1997, perbankan Indonesia telah berevolusi dalam lima periode: (i) periode rehabilitasi (1967-1973) untuk menyehatkan perekonomian dari inflasi tinggi; (ii) periode pembatasan (ceiling) (1974–1983) dimana batasan suku bunga diterapkan; (iii) periode pertumbuhan (1983–1988) setelah deregulasi perbankan Juni 1983 yang menghilangkan batasan suku bunga; (iv) periode akselerasi (1988–1991) sebagai dampak reformasi perbankan yang ekstensif pada Oktober 1988; dan (v) periode konsolidasi (1991–1997) dimana prinsip-prinsip perbankan prudensial diterapkan termasuk kecukupan modal penilaian kualitas aktiva produktif dan tingkat kesehatan2.

Setelah implementasi deregulasi perbankan Oktober 1988, industri perbankan tumbuh pesat baik dalam jumlah bank maupun total asset. Dalam dua tahun Bank Indonesia memberikan izin kepada 73 bank umum baru dan 301 kantor cabang bank umum. Namun, kurang efektifnya pengawasan telah menimbulkan prilaku yang tidak berhati-hati industri perbankan. Pada bulan Februari 1991, prinsip-prinsip perbankan prudensial diperkenalkan dan bank-bank didorong untuk merger atau berkonsolidasi. Sayangnya, konsolidasi perbankan yang menyeluruh tiada pernah terjadi hingga krisis melanda. Hal itu terjadi karena kurangnya komitmen pemilik bank-bank untuk memperkuat bank-banknya dan kurangnya penegakan hukum dari Bank Indonesia selaku otoritas pengawas. Di bawah Undang-undangnya yang lama No.14 tahun 1967 Bank Indonesia kurang memiliki independensi dan tidak mampu mengambil tindakan yang tegas terhadap bank-bank yang terkait erat dengan politisi (penguasa)3.

Kebanyakan ahli, termasuk IMF dan World Bank, terlalu optimistik tentang prospek perkonomian Indonesia4. Hanya sedikit pengamat, seperti Cole dan Slade (1996), yang

1Kebanyakan studi tentang krisis perbanbkan Indonesia dilakukan oleh staf IMF; lihat sebagai contoh Enoch et. all (2001) and (2002); atau lihat paper dengan muatan yang hamper sama oleh Pangestu dan Habir (2002). 2Untuk penjelasan yang lebih rinci lihat Batunanggar (1996) dan Djiwandono (1997). 3Lihat Cole dan Slade, (1998), Aziz (1999). 4Lihat misalnya laporan World Bank tentang Indonesia yang dipublikasikan pada pertengahan 1997.

Page 3: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 2

memberikan perhatian tentang kelemahan sistem keuangan Indonesia. Mereka mengemukakan kehawatiran atas adanya korupsi dan kronisme serta pengaruhnya terhadap kesehatan dan masa depan sistem keuangan5. Sebelum terjadinya krisis, industri perbankan telah menghadapi sejumlah permasalahan mendasar. Masalah tersebut meliputi lemahnya corporate governance, buruknya manajemen risiko, besarnya eksposur pinjaman valuta asing dan tingginya kredit bermasalah (non-performing loans) yang timbul akibat pemberian pinjaman yang tidak berhati-hati khususnya kepada kelompok bisnis terkait dan sektor properti. Disamping itu, juga terdapat pinjaman luar negeri sektor swasta dalam jumlah besar dan tidak dilindung-nilai (unhedged) dan tidak dipantau dengan baik.

Artikel ini berupaya untuk menganalisa proses dan masalah resolusi krisis perbankan di Indonesia yang disajikan dalam dua bagia utama. Bagian pertama menjabarkan proses dan permasalahan dalam penanganan krisis perbankan di Indonesia termasuk aspek kritis dari program yang didukung IMF di Indonesia. Bagian kedua menjelaskan pelajaran kebijakan yang berharga sebagai bagian dari kerangka resolusi krisis perbankan yang efektif di masa mendatang.

II. Overview Krisis 1997

Setelah baht Thailand dan peso Philippina diambangkan pada awal July 1997, rupiah menghadapi tekanan berat. Pada awalnya, Bank Indonesia mencoba mempertahankan rupiah dari serangan spekulatif dengan mengintervensi pasar dan meningkatkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan melebarkan intervention bands dari 8% menjadi 12%. Tindakan serupa diambil lima kali dalam kurun 1994 - 1997. Namun karena tingginya tekanan pasar, pada 14 August 1997 Bank Indonesia menghilangkan intervention bands dan rupiah menjadi mengambang bebas (freely floated). Untuk membatasi depresiasi rupiah, Bank Indonesia terus mengintervensi pasar.

Salah satu kelemahan ekonomi Indonesia sejak 1990 adalah besarnya pinjaman luar negeri sektor swasta yang tidak dilindung nilai. Meskipun Bank Indonesia cukup efektif dalam membatasi pinjaman luar negeri bank umum yang mencapai US$12.8 milyar pada tahun 1997, namun tidak demikian halnya dengan pinjaman sektor swasta non-bank (SSNB). Selama lima tahun sebelum krisis 1997, pinjaman luar negeri SSNB meningkat dari US$28.2 milyar pada 1992 menjadi US$78.1 milyar pada 1997, melebihi pinjaman luar negeri pemerintah sebesar US$59.9 milyar pada 1997. Terbatasnya cadangan devisa di Bank Indonesia dan usulan untuk penerapan currency board system menimbulkan ekspektasi pasar bahwa pemerintah akan menerapkan kontrol devisa (capital controls).

Hal tersebut menciptakan pasar satu sisi (one-sided market) dengan permintaan yang besar namun tidak terdapat penawaran untuk US dollars. Dengan sistem kurs mengambang bebas (free floating exchange rate) dan sistem devisa bebas (free capital controls), rupiah menjadi rentan terhadap serangan spekulatif. Hal ini menimbulkan panik, yang kemudian mendorong depresiasi rupiah lebih besar (self-fulfilling prophecy).

5Dalam kata-kata mereka, “Meningkatnya politisasi invetasi-investasi besar dan keputusan-keputusan keuangan mempertinggi tingkat risiko. Umumnya sistem keuangan mengalami krisis keuangan cepat atau lambat, dan Indonesia tidak terkecuali. Jika dan bila krisis tersebut terjadi, akan menguji seberapa kuat ketahanan dari struktur sistem keuangan yang telah dibangun”.

Page 4: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 3

Selama periode krisis, selain memiliki kelemahan governance dan manajemen, industri perbankan juga mengalami kelemahan manajemen likuiditas yang mendasar yang ditunjukkan oleh: (i) besarnya porsi simpanan yang volatile dalam komposisi pendanaan bank-bank; (ii) tingginya loan to deposit ratio (LDR) dan risiko eksposur valuta asing6. Begitu krisis mata uang mewabah, hal ini menimbulkan risiko-risiko lainnya. Pertama, terjadi peningkatan risiko likuiditas karena besarnya kesenjangan maturitas asset dan kewajiban dengan beralihnya kredit valuta asing jangka pendek menjadi kredit rupiah jangka menengah dan panjang. Kedua, peningkatan risiko kredit karena ketidakmampuan debitur membayar kredit valuta asingnya akibat depresiasi rupiah yang sangat tajam.

Sementara itu, adopsi kebijakan moneter ketat oleh Bank Indonesia untuk mengurangi serangan spekulasi terhadap rupiah semakin memperketat likuiditas pasar7. Sistem perbankan segera mengalami krisis likuiditas yang parah. Suku bunga overnight meningkat tajam mencapai 300% (pertahun). Memburuknya kepercayaan terhadap sistem perbankan disertai dengan ketidakpastian politik menimbulkan migrasi dana (flight of safety) dari bank-bank swasta ke bank-bank milik pemerintah dan kantor cabang bank-bank asing serta arus modal keluar (capital flight) dari Indonesia. Sektor swasta, yang memiliki pinjaman luar negeri yang tidak dilindung-nilai, menderita kerugian akibat depresiasi tajam rupiah terhadap US dollar. Krisis kembar mata uang dan perbankan menjadi ujian nyata terhadap ketahanan sistem perbankan dan perekonomian yang sebelumnya dipandang memiliki fundamental yang kuat oleh pemerintah dan Bank Indonesia serta IMF dan World Bank.

Pada 3 Oktober 1997, pemerintah meminta bantuan IMF dan Letter of Intent yang pertama ditanda-tangani pada 31 Oktober 1997. Perjanjian tersebut mencakup program restrukturisasi ekonomi dan keuangan yang disertai dengan program moneter dan fiskal termasuk pinjaman siaga sebesar US$10 milyar.

Banyak pengamat telah mengungkapkan bahwa wabah (contagion) dari Thailand menjadi pemicu krisis Indonesia8. Irina dan Sjöholm (2001) berpendapat bahwa prilaku investor, ketimbang hubungan keuangan, yang tampaknya menjadi penyebab wabah9. Faktor-faktor politik, seperti ketidakpastian seputar pengganti Presiden, juga memperparah kepanikan investor terhadap Indonesia. Disamping itu, penutupan bank-bank tanpa adanya jaring pengaman keuangan (financial safety nets) yang memadai sehingga memicu panik dan sebagai konsekuensinya terjadi systemic bank run dan capital flight dalam jumlah besar.

McLeod (1999) dan Hill (1999) berpendapat bahwa penyebab utama dari dahsyatnya krisis 1997 adalah lemahnya manajemen krisis, yang kemudian mencerminkan sistem politik dan memicu ketegangan sosial and etnis. Hill (1999) menekankan bahwa begitu krisis terjadi, sistem politik dan sosial terbukti tidak mampu merespon secara efektif.

6Risiko eskposur valua asing tercermin pada peningkatan rasio kewajiban valuta asing terhadap to asset dalam valuta asing dan besarnya pinjaman valuta asing dalam portofolio bank-bank. 7Sachs (2000) beragumen bahwa adopsi kebijakan meonter ketat ditengah krisis perbankan memperburuk permasalahan bank-bank. Suku bunga tinggi akan menurunkan permintaan terhadap kredit bank dan juga mengurangi kemampuan debitur untuk membayar kreditnya. 8Lihat misalnya Djiwandono (1999), Anwar (2000), Irina dan Sjöholm (2001). 9Analisis eksperimental oleh Cipriani dan Guarino (2002) menunjukkan bahwa dalam suatu pasar keuangan, mekanisme pembentukan harga dapat mendorong traders mengabaikan informasi yang dimilikinya dan mengikuti trend (herd). Jika hal ini terjadi, harga tidak mencerminkan informasi traders dan nilai fundamental asset. Konsekuensinya, krisis keuangan dapat timbul bahkan ketika fundamental perekonomian sehat.

Page 5: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 4

Stiglitz (1999, 2002) berargumen bahwa IMF membuat tiga kesalahan utama dalam kebijakannya di Asia Timur yakni: (i) adopsi kebijakan moneter dan fiskal yang kontraksi bukannya ekspansi selama krisis sehingga membatasi arus kredit; (ii) kegagalan dalam memahami dampak menyeluruh dari kesalahan kebijakan yang menular dari satu negara ke negara lain; dan (iii) kelemahan restrukturisasi keuangan dan korporasi. Secara khusus, adopsi kebijakan suku bunga tinggi memaksa banyak perusahaan besar yang memiliki banyak hutang menjadi bangkrut dan mengurangi pengeluaran dan produksinya. Dan yang terpenting, dia berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan tersebut meningkatkan ketegangan sosial dan politik, yang kemudian membuat krisis lebih sulit ditangani.

III. Resolusi Krisis Perbankan: Proses dan Issu

1. Resolusi Permasalahan Perbankan – Sebelum Krisis 1997

Sebelum krisis 1997, Bank Indonesia mengadopsi strategi resolusi penyelamatan bank (open bank resolution) dalam penanganan permasalahan bank-bank melalui pemberian pinjaman darurat baik untuk kebutuhan likuiditas maupun untuk modal10. Hal itu didasarkan pada keyakinan bahwa penutupan bank akan mengurangi kepercayaan terhadap sistem perbankan, menyebabkan penarikan dana besar-besaran (bank runs) dan membahayakan stabilitas sistem perbankan. Akibat lemahnya penegakan hukum dan pengawasan bank, strategi ini terbukti inefektif dan menciptakan masalah moral hazard. Kemudahan perizinan bank sejak 1988 dan tiadanya exit policy yang disertai dengan kelemahan pengawasan dan pengaturan bank meningkatkan kerentanan sistem perbankan.

Bank Summa adalah satu-satunya bank umum yang tidak sehat yang benar-benar dilikuidasi (pada 1992) selama dua decade sebelum krisis 199711. Pada saat itu, Bank Indonesia memberikan jaminan simpanan terbatas (adhoc) Rp20 juta sedangkan pemilik bank harus menanggung sebagian biaya resolusi. Proses likuidasi Bank Summa lama terbengkalai.

Hal itu mencerminkan ketidakcukupan prosedur dan kewenangan pada Bank Indonesia dalam berhadapan dengan bank yang gagal. Pengalaman ini mengkristalkan pandangan Bank Indonesia bahwa penutupan bank harus dihindarkan berapapun biayanya.

2. Resolusi Krisis Perbankan – Periode Setelah Krisis 1997

Sejak November 1997–2000, terdapat enam ronde intervensi yang dilakukan oleh otoritas, termasuk penyelamatan bank (open bank resolutions) and penutupan bank (closures) yakni: (i) penutupan 16 bank kecil pada November 1997; (ii) intervensi terhadap 54 bank pada Februari 1998; (iii) pengambil-alihan (take over) 7 bank and penutupan 7 bank lainnya pada April 1998; (iv) penutupan 4 bank yang sebelumnya diambil-alih pada April 1998 and Agustus 1998; (v) penutupan 38 bank bersamaan dengan pengambil-alihan 7 bank dan rekapitalisasi 7 bank pada Maret 1999; dan (vi) rekapitalisasi 6 bank milik pemerintah and 12 Bank Pembangunan Daerah (BPD) dalam 1999–2000.

10Lihat Wimboh (2000) untuk beberapa kasus resolusi bank bermasalah in Indonesia selama pre krisis 1997. 11Bank Summa – bagian dari the Astra Group, salah satu kelompok konglomerat di Indonesia – telah menumpuk kredit bermasalah yang sebagian besar disalurkan pada kelompok terkait dan terkonsentrasi pada sektor property sehingga menghadapi kerugian besar pada 1991.

Page 6: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 5

2.1. Ronde pertama penutupan bank – terburu-buru dan terlalu sedikit?

Situasi pada awal krisis ditandai dengan beberapa kendala yakni: kurangnya data dan informasi mikroekonomi yang akurat dan lengkap khususnya tentang kondisi individual bank dan pinjaman luar negeri sektor swasta, keterbatasan kemampuan institusional, dan lemahnya infrastruktur hukum dan regulasi. Namun demikian, penilaian awal oleh Bank Indonesia, yang dibantu oleh ahli dari IMF dan World Bank, menunjukkan bahwa terdapat banyak bank yang insolven. Banyak bank diantaranya yang melanggar prinsip-prinsip prudensial dan sudah dilanda rush.

Berdasarkan rekomendasi IMF, pada 1 November 1997, Bank Indonesia penutup 16 bank kecil yang insolven (3% dari total asset sistem perbankan) dan menempatkan lebih banyak bank bermasalah lainnya dalam pengawasan intensif. Pemerintah hanya mengganti simpanan terbatas maksimal Rp20 juta per nasabah per bank. Jumlah tersebut mencakup sekitar 90% jumlah penyimpan, namun hanya 20% dari total nilai simpanan (dana pihak ketiga). Sebelum krisis, Indonesia tidak memiliki asuransi simpanan eksplisit. Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia juga mengumumkan kepada publik bahwa tidak akan ada lagi likuidasi bank.

Dampak lebih luas penutupan bank tersebut sama sekali tidak diantisipasi. Kebijakan yang ditujukan untuk memulihkan kepercayaan dalam sistem perbankan, dalam kenyataannya, berdampak sebaliknya. Ketiadaan pedoman yang jelas mengenai pengembalian simpanan dan kebijakan likuiditas yang lemah disertai dengan ketidakpastian politik, keputusan penutupan bank tersebut menimbulkan kepanikan pasar dan penarikan simpanan besar-besaran (systemic bank runs). Deposan menarik sebagian besar danaya dam mengalihkannya dari bank-bank yang dianggap tidak sehat ke bank-bank milik Pemerintah yang dinilai akan didukung oleh Pemerintah, dan sebagian ke kantor cabang bank-bank asing dan ke luar negeri.

Gambar 1. Simpanan Bank Umum: 1997 – 1999 (milyar rupiah)

-5 0 , 0 0 0

1 0 0 , 0 0 01 5 0 , 0 0 02 0 0 , 0 0 02 5 0 , 0 0 03 0 0 , 0 0 03 5 0 , 0 0 04 0 0 , 0 0 04 5 0 , 0 0 05 0 0 , 0 0 05 5 0 , 0 0 06 0 0 , 0 0 0

Feb-97

Apr-97

Jun-97

Aug-97

Oct-97

Dec-97

Feb-98

Apr-98

Jun-98

Aug-98

Oct-98

Dec-98

Feb-99

Apr-99

Jun-98

Aug-99

Oct-99

Dec-99

Rp

billio

n

S t a t e B a n k s R e g io n a l D e v . B a n k s P r iv a t e B a n k sF o r e ig n & J V B a n k s T o t a l

Sumber: Bank Indonesia

Disesuaikan atas pengaruh revaluasi simpanan dalam valuta asing

Sebagai konsekuensinya, sejumlah bank mengalami kesulitan likuiditas sehingga saldo rekening gironya di Bank Indonesia menjadi negatif. Untuk mencegah dampak mewabah (contagion effect) Bank Indonesia memberikan pinjaman darurat dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank yang illiquid. Hingga December 1997, bantuan likuiditas tersebut mencapai Rp62,9 triliun (10.1% dari PDB tahunan).

Closure of 16 banks with a limited guarantee

Introduction of blanket guarantee

Intervention on 14 banks

Ethnic riots tk over BCA

Closure of 38 banks

Page 7: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 6

‘Flight to safety’ tersebut menciptakan segmentasi besar dalam pasar uang antar bank (PUAB) yang ditunjukkan oleh konsentrasi likuiditas pada segelintir bank dan melebarnya kisaran suku bunga overnight (antara tertinggi dan terendah). Bank run selama TWIV-1997 menyebabkan turunnya simpanan bank-bank swasta nasional sekitar Rp34,7 triliun. Sedangkan, simpanan bank-bank milik negara dan kantor cabang bank-bank asing termasuk bank campuran meningkat masing-masing Rp12,3 triliun dan Rp1,5 triliun (lihat Gambar 2).

Gambar 2. Arus Dana selama Krisis 1997 Crisis (triliun rupiah)

Bank Indo-nesia

State-owned Banks

Foreign & Joint Venture Banks

Private National Banks

Regi-onal

Develop-ment

Banks

Off-shore banks

+ 25.0 +12.3 +1.5 -34.7 +0.5

+20.0*

#1. October to December 1997 (Limited Guarantee)

Indonesian banking system

Indonesian financial system

Emergency liquidity supports

Flight to safety of deposits

Capital Flight

Bank Indo-nesia

State-owned Banks

Foreign & Joint Venture Banks

Private national banks

Regi-onal

Develop-ment

Banks

Off-shore banks

+118.5 +83.4 +4.7 +8.4 +0.5

-97.0*

Indonesian financial system

Indonesian banking system

#2. February to August1998 (Blanket Guarantee)

*

Emergency Liquidity Supports

Flight to safety of deposits

Inflow

• Pergerakan dana dalam sistem perbankan ditunjukkan dengan tanda: “+ “ sebagi masuk; and “-“ sebagai keluar.

• Pengaruh nilai tukar (depresiasi Rp terhadap USD) dinetralisasi dengan menggunakan kurs IDR/USD Rp2,559 per July 1997 sebagai kurs konstan; sedangkan simpanan dalam rupiah tidak disesuaikan.

• Arus modal keluar (capital flight) selama November - December 1997 tercermin dari penurunan total simpanan sedangkan sebaliknya arus modal masuk (capital inflow) selama Februari - August 1998 ditunjukkan oleh peningkatan total simpanan.

• 83% dari BLBI yang disalurkan selama February - Agustus 1998 diberikan kepada 4 bank swasna nasional yang sangat insolvent dan kepada Bank Exim yang menderita kerugian transaski valu asing Rp20 triliun.

Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia

Secara menyeluruh, terjadi arus modal keluar (capital flight) atas asset rupiah, termasuk simpanan bank yang turun sekitar Rp20 triliun selama Oktober - December 199712. Serupa dengan Thailand, Malaysia, Philippina dan Korea Selatan, Indonesia diperkirakan menderita pelarian modal keluar (net-capital outflow) US$12 milyar pada 1997 setelah menikmati arus modal masuk (private net capital inflows) mencapai US$11,5 milyar sebelum krisis pada 1996. Pada TWI-1998, terdapat tambahan arus modal keluar US$6,2 milyar tetapi kemudian hingga akhir tahun tersebut terjadi arus modal masuk US$7.8 milyar.

Penutupan bank tahap awal, tidak seperti di Korea dan Thailand, gagal mengembalikan kepercayaan terhadap Pemerintah dan sektor perbankan dan bahkan menimbulkan bank run yang lebih luas. Lindgren et al. (1999), dari IMF, berargumen bahwa alasan utama kegagalan tersebut adalah kurangnya komitmen Pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan pokok reformasi dalam program yang dudukung oleh IMF. Intervensi politik pada

12Jika pengarus kurs dimasukkan, simpanan bank swasta nasional turun Rp14,7 triliun sedangkan simpanan bank-bank milik negara dan bank-bank asing dan bank-bank campuran naik masing-masing Rp21,6 triliun dan Rp10,8 triliun selama Oktober - Desember 1997.

Page 8: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 7

awal krisis juga merusak ekfektivitas proses likuidasi13. Kepercayaan pasar menurun drastis akibat kurangnya transparansi dan komitmen otoritas melaksanakan program yang disepakati dengan IMF. Beberapa bank yang terkait dengan politisi yang sudah insolven tetap dibiarkan beroperasi. Berdasarkan rekomendasi pengawas Bank Indonesia dan pejabat IMF, setidaknya terdapat 34 bank yang terkait dengan politik sudah insolven yang seharusnya juga ditutup pada waktu itu.

Sebenarnya secara tehnis, penutupan bank ditangani secara efisien oleh pengawas Bank Indonesia bekerja sama dengan bank-bank. Namun, penutupan bank-bank tersebut tidak disertai dengan strategi yang terancang baik dan kebijakan yang mendukung. Hal tersebut mencerminkan kurangnya pemahaman otoritas terkait dan IMF atas permasalahan dan interpretasi yang terlalu optimistik atas fundamental perekonomian Indonesia. Nasution (1999) berargumen bahwa terdapat inkonsistensi kebijakan dalam program stabilisasi. Hal itu ditandai oleh penutupan 16 bank pada November 1997, diikuti dengan kebijakan moneter ketat. Otoritas terkait bahkan mengurangi likuiditas pasar dengan mengalihkan dana perbankan ke bank sentral ketimbang menambah likuiditas kedalam sistem perbankan. Karena bank-bank tidak diawasi secara memadai, publik tidak dapat membedakan antara bank-bank yang sehat dan bank-bank yang sakit.

Radelet and Sachs (1999) mengemukakan bahwa pendekatan awal IMF di Indonesia dengan menutup 16 bank pada November 1997 merupakan ide yang keliru, sehingga akhirnya gagal. Mereka berargumen bahwa penutupan bank adalah sinyal bagi investor asing namun seyogianya tidak dilakukan di tengah krisis tanpa suatu rencana rinci untuk restrukturisasi sistem keuangan. Program awal IMF gagal karena tidak memuat kebijakan asuransi simpanan, pengelolaan asset yang baik dan yang bermasalah dari bank-bank yang ditutup, atau pengamanan dan penguatan sistem perbankan yang ada. Hal ini tampaknya diakui kemudian oleh IMF dalam dokumen internal mereka14.

Senada dengan itu, Stiglitz (1999, 2002) berargumen bahwa kebijakan IMF dalam penutupan bank-bank Indonesia gagal. Enam belas bank ditutup dengan indikasi bahwa bank-bank lainnya mungkin akan ditutup kemudian. Berita ini, terkait dengan begitu terbatasnya skim penjaminan simpanan, mendorong perpindahan dana (flight to safety), khususnya ke bank-bank milik pemerintah, karena penabung memperkirakan potensi kerugian tambahan akibat penutupan bank-bank lainnya.

2.2. Ronde pertama penutupan bank (April 1998 - Agustus 1998) – Terlambat?

Pada akhir 1997, rupiah terus melemah menjadi Rp4,650 per dollar Amerika (USD). Hal ini terutama bersumber dari peningkatan permintaan dari sektor korporasi untuk membayar pinjaman luar negeri mereka dan juga mencerminkan serangan spekulasi terhadap rupiah. Penurunan tajam rupiah yang berlanjut dan penarikan dana yang berskala sistemik menguras likuiditas dan ekuitas sebagian besar bank. Pada awal 1998, kondisi moneter semakin memburuk. Pengumuman anggaran baru yang tidak realistis pada 6 Januari 1998 dan

13Pemilik dua bank kecil yang ditutup (Bank Djakarta yang dimiliki oleh saudara tiri Suharto dan Bank Andromeda yang dimiliki oleh Putra Suharto) menggugat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia di pengadilan dan akhirnya menang. Bank Indonesia menghadapi tekanan politis untuk mengizinkan pembelian Bank Andromeda. Bank tersebut akhirnya diizinkan untuk dibuka kembali dengan nama baru yakni Bank Artamedia dalam beberapa minggu kemudian. 14“IMF Now Admits Tactics in Indonesia Deepened the Crisis”, New York Times, 14 January 1998.

Page 9: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 8

pencalonan Dr. B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden juga menimbulkan reaksi negative dari pasar. Penurunan kepercayaan dalam sistem perbankan dan peningkatan permintaan terhadap valuta asing menimbulkan penarikan dana besar-besaran dari sistem perbankan nasional. Sebagai konsekuensinya, jumlah uang yang beredar meningkat secara dramatis. Kurangnya komoditi pokok akibat kemarau panjang dan peningkatan harga bahan baku yang amat mahal serta aksi borong (panic buying) menimbulkan peningkatan inflasi bulanan dari 5.7% pada 1997-T4 menjadi 25.1% pada 1998-T1.

Sementara itu, tampaknya Bank Indonesia mengadopsi kebijakan moneter yang kurang tepat. Intervensi Bank Indonesia pada pasar uang antar bank dalam jumlah signifikan menimbulkan terkurasnya likuiditas dan peningkatan suku bunga overnight menjadi 80% (per tahun). Bank Indonesia kemudian merespon situasi ini dengan meningkatkan penawaran likuidtas melalui operasi pasar terbuka dan mengizinkan semua bank untuk menarik dananya di Bank Indonesia. Hal ini memberikan sinyal keliru kepada pasar dan diikuti oleh aksi borong (panic buying) dollar Amerika. Pada Januari nilai tukar anjlok menjadi Rp16,000 per USD sedangkan tingkat inflasi bulanan meningkat tajam menjadi 6,9%.

Pemerintah mempercepat dan memperluas cakupan program stabilitasi dan reformasi ekonomi. Pada 15 Januari 1998 perjanjian kedua dengan IMF ditanda-tangani, diikuti dengan pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai badan di bawah Departemen Keuangan15. Pemerintah berupaya untuk mengembalikan kepercayaan pasar terhadap sistem perbankan dan menstabilkan rupiah dengan mengadopsi kebijakan moneter ketat. Pada 27 Januari 1998, Pemerintah mengumumkan program penjaminan (blanket guarantee) yang mencakup seluruh kewajiban dan aset bank dari semua bank nasional. BPPN juga diberi tanggung-jawab untuk mengadministrasikan program penjaminan Pemerintah untuk seluruh kewajiban bank.

Langkah tersebut diikuti oleh BPPN dengan mengambil-alih 14 bank bermasalah dengan kondisi terburuk dan menempatkannya dalam pengawasannya pada 4 April 1998. Tujuh bank terbesar dari 14 bank tersebut telah meminjam masing-masing lebih dari Rp2 triliun dari Bank Indonesia dan jumlahnya mencapai 75% dari total Bantuan Likuiditas Bank Indonesia kepada sistem perbankan. BPPN mengabil-alih bank-bank tersebut dan membekukan hak-hak pemegang sahamnya. Kegiatan tujuh bank take over (BTO) lainnya yang telah meminjam dari Bank Indonesia lebih dari 500% dari ekuitas mereka dan 75% dari asset mereka dibekukan. Dana pihak ketiga ketujuh bank tersebut dipindahkan ke bank-bank milik pemerintah16. Pada 21 Agustus 1998, BPPN membekukan usaha tiga bank yang diambil alih sebelumnya17.

2.3. Ronde Ketiga Penutupan Bank– Maret 1999

Setelah mereview kondisi keuangan (due diligence) semua bank umum selama paruh kedua tahun 1998, BPPN menutup lagi 38 bank insolven pada 13 Maret 199818. Penutupan bank tersebut tertunda karena intervensi politik. Beberapa bank insolven namun terkait secara

15There was no institution formally responsible for financial restructuring in Indonesia until the IBRA was established. 16Disebut sebagai bank-take over (BTO) dan Bank Beku Operasi (BBO), see Lampiran (Tabel 2). 17Bank Umum Nasional (BUN), Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan Bank Modern. 18Kali ini, otoritas terkait menggunakan istilah lain (namun bermakna sama) yakni “Bank Beku Kegiatan Usaha” (BBKU).

Page 10: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 9

politis tidak ditutup namun di ambil alih oleh BPPN untuk diawasi secara khusus (special surveillance).

Terdapat tiga masalah pokok dalam penutupan bank ronde kedua dan ketiga ini. Pertama, penutupan bank tersebut tidak terencana dan terlaksana dengan baik karena kurangnya keahlian operasional19. Proses penutupan bank ronde kedua bahkan lebih buruk dari penutupan pertama karena kurangnya keahlian operasional khususnya dari petugas yang direkrut dari perusahaan akunting. Proses penutupan tersebut juga tertunda sekitar dua minggu karena adanya aksi mogok pegawai bank-bank yang ditutup yang menuntut persyaratan pemutusan hubungan kerja yang lebih baik.

Kedua, penutupan tersebut tertunda karena intervensi politik dan ketidakmampuan otoritas terkait untuk mengambil keputusan secara cepat. Awalnya, hanya 7 dari 14 bank ditutup. Tujuh bank yang lebih besar lainnya – yang telah meminjam dari Bank Indonesia masing-masing Rp2 triliun – dan diambil alih sebelumnya oleh BPPN pada 4 April 1998 dan baru ditutup pada 21 Agustus 1998. Karena keempat belas bank tersebut telah sangat insolven sejak awal krisis seharusnya mereka ditutup lebih awal pada November 1997.

Ketiga, penutupan bank ronde ketiga akan dapat dilakukan lebih dini jika otoritas terkait memiliki pemahaman yang lebih mendalam atas krisis sehingga mereka dapat menyusun strategi resolusi yang lebih jelas. Penutupan bank yang berulang tidak hanya meningkatkan biaya fiskal untuk penanganan krisis tetapi juga merusak kepercayaan investor yang, pada akhirnya, memperburuk situasi.

2.4. Program Restrukturisasi Bank

Sasaran utama program restrukturisasi bank adalah untuk membenahi sistem perbankan dan untuk memulihkan kemampuan bank agar berfungsi sebagai perantara keuangan seefisien dan sesegera mungkin. Langkah-langkah penanganan krisis keuangan umumnya mencakup tiga kegiatan yakni : (i) penilaian diagnostik (due diligence); (ii) resolusi lembaga keuangan yang tidak layak dan rekapitalisasi yang masih layak; dan (iii) penanganan kredit bermasalah (non-performing loans).

Pada dasarnya, restrukturisasi bank meliputi dua elemen yakni: (i) restrukturisasi keuangan mencakup tambahan modal dan restrukturisasi kredit; dan (ii) restrukturisasi operasional mencakup perbaikan organisasi internal bank seperti efisiensi operasional, corporate governance, manajemen risiko dan kontrol internal. Umumnya, pendekatan yang ditempuh di Korea, Thailand, Indonesia dan Malaysia adalah serupa. Restrukturisasi keuangan difokuskan pada penutupan lembaga keuangan yang sangat insolven, pengambil-alihan, perbaikan dan pengalihan asset bermasalah ke badan khusus, dan tambahan modal dari sumber swasta dan pemerintah. Lindgren et al. (1999) mengidentifikasi bahwa tehnik-tehnik untuk mengkonsolidasikan sektor keuangan yang digunakan di kebanyakan negara mencakup penutupan, merger, purchase and assumption, and bridge banks.

19Bila penutupan ronde pertama dilakukan sendiri oleh by Bank Indonesia, penutupan rode kedua dilakukan oleh BPPN. Karena keterbatasan personil, BPPN merekrut kantor akuntan publik untuk melaksanakan penutupan bank dibantu oleh pengawas bank dari Bank Indonesia.

Page 11: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 10

Sejak pendirian BPPN pada Januari 1998, Pemerintah menempuh program restrukturisasi bank sebagai bagian dari program resolusi menyeluruh termasuk pengambil-alihan, merger dan rekapitalisasi bank.

Boks 1. Review Diagnostik – Bank Baik , Bank Buruk Sebagai langkah awal dalam program restrukturisasi bank, Bank Indonesia, dibantu oleh auditor internasional, melakukan review keuangan (due diligence) terhadap seluruh bank umum nasional untuk menetapkan solvensi dan biaya rekapitalisasi. Review diagnostik tersebut dilakukan pada Agustus 1998 dan selesai pada Desember 1998. Pemeriksaan terhadap bank devisa termasuk bank milik pemerintah dilakukan oleh auditor internasional, sedangkan bank non-devisa diperiksa oleh pengawas/pemeriksa Bank Indonesia. Penilaian tersebut difokuskan pada portofolio bank untuk menentukan bank yang solven (baik) and insolven (buruk) berdasarkan kriteria kualitas kredit dan pembentukan provisi yang ketat. Kegiatan ini diikuti dengan diskusi dengan Dewan Komisaris dan Direksi bank untuk mengkominikasikan temuan dan status bank serta tindak lanjut yang harus dilakukan oleh bank sehubungan dengan program rekapitaliasasi.

Due diligence tersebut mengelompokkan bank-bank kedalam tiga kategori sesuai dengan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR)nya yakni: (i) bank-bank “A” (solven) dengan CAR 4% atau lebih; (ii) bank-bank “B” (insolvent) dengan CAR dari–25% hingga kurang dari 4%; and (iii) bank-bank “C” (sangat insolven) dengan CAR kurang dari–25%. Bank-bank B dan C banks diharuskan untuk menyusun dan menyampaikan rencana bisnis kepada Bank Indonesia sebagai bagian dari program rekapitalisasi Pemerintah. Di samping itu, pemegang saham bank-bank tersebut juga diharuskan untuk menambah modal minimal 20% dari jumlha modal yang dibutuhkan untuk mencapai CAR 4%. Sedangkan bank-bank “A” dapat beroperasi secara normal namun mereka harus menyusun rencana bisnis untuk meningkatkan kinerjanya. Kelayakan suatu bank untuk program rekapitalisasi ditetapkan oleh Komite-Komite yang anggotanya mewakili Bank Indonesia, BPPN dan Departemen Keuangan.

Hasil Due Diligence terhadap Bank Umum (13 Maret 1999) Kelompok Bank Kategori A

CAR > 4% Kategori B

-25% < CAR < 4% Kategori C

CAR < -25% Total

1. State-owned banks 2. Regional Development Banks 3. National Private Banks 4. Joint-venture Banks

- 15 74 30

- 8

16 -

7 4

38 2

7 27

128 32

Total 119 24 51 194

Sumber: Bank Indonesia

2.4.1. Pengambil-alihan Bank

Selama tahun 1998 BPPN mengambil-alih 13 bank insolven tetapi dinilai “penting” (Lampiran/Tabel 2). Disamping ketidak-mampuan dan atau keengganan pemegang sahamnya untuk merekapitalisasi bank-bank tersebut, pertimbangan utama untuk mengambil-alihnya adalah potensi ancaman sistemik bank-bank tersebut terhadap perekonomian.

BPPN kurang memiliki suatu kriteria yang obyektif, jelas dan tegas mengenai bank-bank yang harus diambil-alih. Alasan klasik Pemerintah untuk mengambil-alih bank adalah peran penting bank tersebut terhadap sistem perbankan (systemically important). Pada praktenya di Indonesia, kriteria tersebut sering kabur. Pada kebanyakan kasus terdapat intervensi politik agar beberapa bank tidak dibekukan atau ditutup. Sasaran dan strategi dalam penanganan krisis perbankan juga kurang jelas. Hal ini tercermin dari penutupan dan pengambil-alihan bank yang berulang-ulang, yang seharusnya dilakukan sekaligus pada awal krisis. Kredibilitas otoritas terkait menurun karena keengganan untuk mengambil keputusan yang tegas.

Page 12: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 11

2.4.2. Merger dan Rekapitalisasi

Sebagai bagian dari program restrukturisasi bank, pada 21 Agustus 1998 Pemerintah mengumumkan program rekapitalisasi (lihat Lampiran/Boks 3). Terdapat dua jenis rekapitalisasi bank yakni: (i) swa-rekapitalisasi yang dilaksanakan oleh pemilik bank dan atau investor; dan (ii) rekapitalisasi Pemerintah. Rekapitalisasi Pemerintah mensyaratkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh bank termasuk kewajiban untuk menambah modal minimal 20% dari kebutuhan modal untuk mencapai rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) 4%, kelayakan rencana bisnis dan kemampuan dan kepatutan (fit and proper) dari pemegang saham pengendali dan pengurus bank (lihat Boks 2).

Boks 2. Kiteria Program Rekapitalisasi

Kelayakan bank dalam program rekapitalisasi pemerintah didasarkan pada dua aspek yakni: (i) kelayakan dari rencana bisnis bank; dan (ii) kompetensi dan integritas dari pengurus dan pemegang saham pengendali bank. Kriteria lainnya adalah kontribusi bank terhadap perekonomian yang diukur dengan jaringan dan jumlah nasabah bank. Secara khusus, bank kategori “C” harus meningkatkan modalnya sehinga minimal menjadi bank kategori “B” dalam 30 hari. Penilaian kelayakan tersebut dilakukan oleh beberapa komite (Komite Tehnis, Komite Evaluasi, and Komite Kebijakan) yang mewakili Bank Indonesia, Departemen Keuangan dan BPPN. Untuk meyakinkan transparansi dan obyektivitas, diundang pengamat independen dari IMF, World Bank, dan ADB dalam pertemuan namun mereka tidak memiliki wewenang dalam proses pengambilan keputusan.

Penilaian Rencana Bisnis

a. Kriteria utama, mencakup : – kemampuan pemegang saham dan/atau investor baru untuk menambah modal minimal 20%

dana untuk mencapai CAR 4%, – kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku (BMPK, PDN, dsb.), – viabilitas bank untuk mencapai CAR 8% per Desember 2001. Proyeksi CAR bank per

December 2001 didasarkan pada model stress test (worst case scenerio) yang dikembangkan oleh konsultan internasional.

b. Kriteria tambahan, mencakup:

– asset rehabilitation plan, business development plan, franchise values (networks, IT/IS) dan peran terhadap perekonomian, proyeksi ROE 15% per Desember 2001.

Suatu bank akan lulus dalam penilaian rencana bisnis jika setidaknya memenuhi seluruh

kriteria pokok.

Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test)

Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan terhadap pemegang saham pengendali (yang memiliki lebih dari 25% saham bank), dewan komisaris, dan dewan direksi bank. Uji kemampuan dan kepatutan mencakup:

a. Uji kemampuan (fitness test) – penilaian terhadap kompetensi dan independensi dewan komisaris, dan dewan direksi bank.

b. Uji kepatutan (proper test) – penilaian terhadap integritas dan pemenuhan komitmen kepada BI, keterlibatan dalam daftar kredit macet dan atau daftar orang tercela di bidang perbankan, serta pelanggaran dan tindakan pidana lainnya baik terhadap pengurus maupun pemegang saham pengendali bank.

Di samping itu, bank insolven yang dinilai memiliki peran penting dalam perekonomian (umumnya didasarkan pada jumlah nasabah penyimpan) diambil-alih oleh Pemerintah (BPPN), dan atau dimerger dengan bank lain. Namun demikian, dalam prakteknya sasaran dari kriteria

Page 13: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 12

tambahan ini menjadi perdebatan. Bank-bank insolven yang gagal memenuhi kriteria tersebut dibekukan dan kemudian dilikuidasi.

Dua minggu kemudian, tepatnya pada 13 Maret 1999 Pemerintah mengumumkan hasil due diligence dan penilaian atas kelayakan rencana bisnis bank-bank yang akan disertakan dalam program rekapitalisasi Pemerintah.

Hasilnya adalah sebagai berikut: (i) 74 bank solven; (ii) 38 bank insolven dan akan ditutup; (iii) 7 bank insolven diambil alih dan akan dimerger dan direkapitalisasi; and (iv) 9 bank akan direkapitaliasi. Sementara itu bank-bank milik pemerintah (semuanya insolven) dan 12 Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang insolven juga akan direkapitalisasi. Tertundanya pengumuman dimaksud menimbulkan penarikan simpanan (deposits runs) pada bank-bank yang dianggap tidak sehat dan beralih ke bank-bank yang dianggap sehat (flight to quality). Sebagai dampaknya, Bank Indonesia harus memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank yang di-run oleh nasabahnya tersebut.

Bank-Bank Pemerintah – Too Big to Fail?

Sebelum krisis 1997, bank-bank Pemerintah merupakan pemain dominan dalam sistem perbankan dengan pangsa sekitar 50% dari sisi total asset. Sebelumnya Bank-bank Pemerintah tidak dikelola dengan baik karena intervensi politik dari Pemerintah antara lain untuk mengucurkan kredit ke perusahaan-perusahaan yang terkait secara politis atau ke sector-sektor tertentu yang diprioritaskan. Tidak mengherankan bila bank-bank Pemerintah memiliki kredit bermasalah yang tinggi yakni 16,6% per Desember 1996. Sebelum terjadinya krisis, semua bank-bank Pemerintah sedang dalam program restrukturisasi yang dibantu oleh World Bank. Di samping itu, pengawasan terhadap bank-bank Pemerintah oleh Bank Indonesia kurang begitu intensif dan pemeriksaan agak jarang dilakukan.

Otoritas terkait memutuskan untuk merekapitalisasi semua bank-bank pemerintah pada 21 Agustus 1998. Bank Mandiri didirikan pada 30 September 1998 sebagai penggabungan dari empat bank Pemerintah20. Bank Mandiri berfungsi sebagai universal bank dan fokus pada pasar korporasi. Sejalan dengan strategi ini, sebagian fortofolio kredit korporasi dari bank Pemerintah lainnya, yakni Bank Rakyat Indonesia (BRI), ditransfer ke Bank Mandiri. Penyelesaian rekapitalisasi Bank Mandiri dan bank-bank Pemerintah lainnya direncanakan pada Maret 2000 namun tertunda hingga Oktober 2000. Akibatnya, biaya rekapitalisasi meningkat secara signifikan.

Masalah lain yang dihadapi oleh Bank Mandiri pada tahap awal merger adalah kesulitan dalam mengintegrasikan sistem informasi dan budaya yang berbeda dari empat bank. Integrasi penuh operasi, sistem dan sumber daya manusia terus berlangsung. Semua pengurus bank Pemerintah mengikuti uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) oleh Bank Indonesia. Pengurus bank yang tidak lulus diganti. Namun, pemilihan pengurus Bank Rakyat Indonesia mendapat intervensi politik setelah salah seorang Direksi yang diusulkan gagal melewati ujian tersebut.

Keputusan untuk merekapitalisasi semua bank Pemerintah didasarkan pada argument ‘too big to fail’ bahwa bank-bank tersebut semuanya merupakan systemically important banks, dab karenanya direkapitalisasi terlepas dari kelayakannya. Kebijakan ini mendapat kritik karena

20Bank Export Import Indonesia, Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara dan Bank Pembangunan Indonesia.

Page 14: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 13

semua bank tersebut sangat insolven dan beberapa diantaranya tidak mungkin direkapitalisasi.

Bank-Bank Swasta Nasional –Rekapitalisasi yang Tidak Selektif?

Rekapitalisasi bank swasta nasional ronde pertama dilaksanakan untuk 7 bank take over (BTO) pada 28 Mei 1999, diikuti oleh 12 BPD. Ronde kedua rekapitalisasi bank swasta nasional direncanakan pada akhir November 1999 dan proses legalnya diperkirakan akan selesai pada triwulan I 2000. Ketujuh BTO tersebut dimerger dengan Bank Danamon dan diikuti oleh dua BTO lainnya (lihat Lampiran/Tabel 2). Diantara masalah pokok merger tersebut adalah besarnya kredit bermasalah dari masing-masing BTO yang perlu dialihkan kepada BPPN. Oleh karena itu, merger tersebut cenderung menggabungkan semua kewajiban, bukan asset dari bank-bank tersebut.

Rekapitalisasi 7 bank swasta nasional tersebut dilakukan secara cukup obyektif dan transparan. Sebaliknya, rekapitalisasi 12 BPD dilaksanakan tanpa mempertimbangkan kelayakannya, tetapi hanya berdasarkan pertimbangan bahwa bank-bank tersebut berperan penting dalam perekonomian daerah. Kebanyakan BPD tidak dikelola dengan baik, karena kekurangan sumberdaya manusia yang bermutu dan intervensi dari Pemerintah Daerah (pemegang saham).

Bentuk resolusi krisis perbankan di Indonesia yang direkomendasikan oleh IMF cenderung parsial (piecemeal) dan reaktif, bukan pendekatan terintegrasi. Hal ini adalah karena kurangnya pemahaman mereka atas kedalaman krisis. Review diagnostik – langkah awal yang penting untuk menetapkan kedalaman krisis perbankan dan untuk merumuskan strategi resolusi – terlambat dilakukan yakni baru pada pertengahan krisis. Otoritas juga enggan untuk mengambil tindakan tegas dan efektif karena adanya kepentingan kelompok atao intervensi politik.

Stiglitz (1999, 2002) berargumen bahwa model ekonomi IMF, yang lebih focus pada variabel keuangan gagal untuk menangkap dampak negative dari kebijakan tersebut terhadap perekonomian dan konsekuensi social yang timbul. Dia menyarankan bahwa strategi untuk menangani restrukturisasi keuangan harus dirancang untuk mengantisipasi, bukannya memperparah, krisis ekonomi. Sasaran utama haruslah memelihara arus kredit dalam perekonomian.

De Luna-Martinez (2000) berargumen bahwa kendala politik dan sosial yang dihadapi oleh pengambil kebijakan untuk menangani krisis, cenderung diabaikan dalam kajian terkini tentang krisis perbankan. Mempertimbangkan kedalaman krisis perbankan sistemik, pada prakteknya seluruh proses resolusi krisis, termasuk desain strategi dan kebijakan, penetapan waktu dan urutan reformasi serta hasil akhirnya, dapat dipengaruhi oleh kendala politik dan sosial yang dihadapi oleh pengambil kebijakan. Berbeda dengan Korea, yang mengadopsi pendekatan “big bang” yang cepat, Indonesia lebih serupa dengan Meksiko, yang mengadopsi pendekatan bertahap dalam krisis.

Secara umum, strategi Indonesia dalam resolusi krisis dihambat oleh ketidak-mampuan dan keengganan otoritas terkait untuk menerima lebih awal mengenai kedalaman permasalahan bank-bank ketika krisis terjadi. Mereka lebih suka untuk menerapkan kebijakan sementara sebagai pemecahan “cepat”. Fenomena ini serupa dengan pengamatan Kiggundu (1996)

Page 15: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 14

bahwa pengambil kebijakan di negara-negara berkembang sering ditandai dengan tanggapan reaktif terhadap krisis dan pemadam api ketimbang tindakan preventif21. Sikap reaktif ini dapat diubah jika para pemimpin dan pejabat menerapkan konsep dan tehnik manajemen strategis ke dalam langkah-langkah implementasinya.

3. Perbaikan Regulasi dan Pengawasan Prudensial

Lemahnya pengawasan sering disitir sebagai salah satu penyebab kelemahan sistem keuangan. Seperti yang dikemukakan oleh Mishkin (2001), informasi asimetrik mendorong timbulnya masalah adverse selection dan moral hazard yang berdampak penting terhadap sistem keuangan dan karenanya perlu dilakukan pengawasan prudensial.

Sejak 1991, Bank Indonesia telah mulai menyempurnakan regulasi dan Pengawasan prudensial. Namun, kemajuannya agak lamban. Kelemahan utama Pengawasan bank di Indonesia adalah: (i) liberalisasi perbankan yang prematur; konsolidasi perbankan yang tidak berjalan sesuai harapan; (iii) lemahnya pengembangan kemampuan organisasional (termasuk sumber daya manusia). Rencana tindak untuk mengatasi permasalahan tersebut telah dimulai sejak pertengahan tahun 1990-an namun kurang efektif karena kurang tepatnya strategi pengawasan dan ketidak-konsistenan kebijakan dalam implementasi rencana perbaikan tersebut. Akar permasalahannya adalah tingginya intervensi politik dan kurangnya kepemimpinan yang kuat dan visioner serta kurangnya penegakan hukum dalam industri perbankan.

Seperti dimuat dalam “Master Plan” yang disepakati dengan IMF pada Juli 1999, Bank Indonesia berusaha untuk meningkatkan efektivitas regulasi dan pengawasan bank agar memenuhi standar internasional, khususnya Basel Core Principles for Effective Banking Supervision. Hal tersebut akan dicapai dengan mengadopsi tigra strategi yakni : (i) tanggung jawab yang jelas atas fungsi pengaturan dan pengawasan bank di tingkat Dewan Gubernur; (ii) standar pengawasan yang seragam untuk seluruh bank umum; dan (iii) pengawasan berbasis risiko (risk-based supervision). Pada intinya, rencana tersebut mencakup kebijakan entry and exit, koordinasi antar otoritas pengawas, adopsi Pengawasan berbasis risiko dan Pengawasan konsolidasi, memasukkan risiko pasar dalam perhitungan kecukupan modal, meningkatkan disiplin pasar melalui peningkatan transparansi bank-bank. Sejak Juli 2000, Bank Indonesia juga melaksanakan Pengawasan intensif dengan menempatkan Tim On-site Supervisory Presence (OSP) pada masing-masing bank besar yang berperan signifikan untuk meyakinkan agar bank-bank tersebut dikelola dengan baik dan tidak menimbulkan risiko terhadap stabilitas sistem perbankan.

Masalah penting lainnya adalah rencana pengalihan fungsi pengawasan bank kepada lembaga pengawas jasa sektor keuangan (“LPJK”) yang akan didirikan selambat-lambatnya pada 31 Desember 2010. LPJK akan berperan sebagai “mega” regulator dan mengawasi semua lembaga keuangan (kecuali Bank Perkreditan Rakyat) and pasar modal. Dua isu penting terkait dengan pendirian “LPJK” adalah: (i) statusnya mungkin tidak benar-benar independent karena berada di bawah Presiden; dan (ii) kendala anggaran mengingat bahwa “LPJK” akan dibiayai hanya dengan jasa penagawasan yang dipungut dari industri keuangan. Oleh karena itu, permasalahan ini menuntut pertimbangan seksama dari otoritas terkait. Di samping itu,

21Lihat Batunanggar (1996) untuk kasus Bank Indonesia.

Page 16: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 15

proses pengalihan tersebut harus direncanakan dengan baik dan ditangani secara hati-hati untuk meminimalkan risiko-risikonya22.

4. Biaya Fiskal Penanganan Krisis

Biaya fiskal penanganan krisis perbankan Indonesia yang mencapai Rp654 triliun atau 51% dari GDP tahunan menempati posisi tertinggi di antara Negara-negara Asia23. Indonesia menempati posisi tertinggi kedua di dunia selama seperempat abad terakhir setelah Argentina dengan biaya 55,1% dari PDB tahunan ketika krisis tahun 1980-1982. Dengan asumsi bahwa tingkat pengembalian kredit macet di bawah BPPN sekitar 25%, biaya fiskal akhir yang menjadi beban pembayar pajak sedikit lebih rendah yakni 45,3%. Sebagian besar biaya tersebut adalah biaya rekapitalisasi dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yakni masing-masing sebesar 65% dan 22% dari total biaya fiskal tersebut.

Awalnya, jumlah biaya resolusi untuk seluruh bank, termasuk untuk rekapitalisasi dan pembayaran untuk simpanan nasabah bank-bank yang ditutup diperkirakan Rp238,8 triliun. Namun, biaya sesungguhnya rekapitalisasi dan pembayaran untuk deposan bank-bank yang ditutup adalah Rp425,5 triliun (Juni 2000) atau meningkat sebesar 78%. Peningkatan biaya rekapitalisasi tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya kerugian bank-bank.

Setidaknya terdapat lima faktor utama yang menyebabkan tingginya biaya resolusi krisis tersebut yakni: (i) penundaan yang lama dalam penanganan krisis perbankan, khususnya penutupan ban dan program rekapitalisasi; (ii) kurangnya pemahaman mengenai penyebab dan kedalaman krisis yang menghasilkan adopsi strategi yang keliru (misalnya pendekatan parsial dalam penutupan bank); (iii) kurang efektifnya koordinasi dan konsensus antara otoritas terkait dalam menangani krisis; (iv) kurangnya komitmen untuk mengambil kebijakan yang tegas untuk memecahkan krisis sebagai contoh menutup seluruh bank insolven dan bank yang tidak layak pada awal krisis dan menghindarkan intervensi politik; dan (v) kurangnya penegakan hukum dan kelemahan hukum serta pengawasan yang mendorong moral hazard.

Dalam dekade terakhir, sebagian besar negara yang mengalami krisis perbankan sistemik memerlukan biaya yang mahal – dan tidak terhindarkan – untuk memulihkan sistem perbankan. Pemegang saham bank-bank yang ditutup jelas harus bertanggung jawab, tetapi masalahnya adalah jika mereka tidak mampu dan atau tidak mau melakukannya. Di banyak negara, beban tersebut terpaksa ditanggung oleh pembayar pajak 24.

Pengalaman Indonesia dalam restrukturisasi perbankan mendukung kajian empiris oleh Honohan dan Klingebiel (2000, 2002) yang mengungkapkan bahwa jaminan simpanan yang tidak terbatas, bantuan likuiditas yang longgar (open-ended), rekapitalisasi yang berulang,

22Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No.23 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia pasal 34. Abram dan Taylor (2000) dan Goodhart (2001) mengemukakan pembahasan yang bagus tentang masalah-masalah seputar penggabungan pengawasan sektor keuangan. Goodhart berargumen bahwa pengawasan perbankan di negara-negara berkembang lebih baik dipertahankan di bank sentral karena memiliki anggaran yang lebih memadai, lebih independen dan lebih ahli serta terpercaya. 23Dibandingkan dengan Thailand 32.8%, Korea Selatan 26.5%, Jepang 20%, Malaysia 16,4%, and Philippina 0.5% (1998) and 13.2% (1983 – 1987), lihat Honohan dan Klingebiel (2000). 24Lihat Hohonan dan Klingebiel (2000, 2002); Hoggarth dan Saporta (2001); Hoggarth et al. (2002) untuk bukti empiris cross-country.

Page 17: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 16

debitur bail-out dan pelonggaran regulasi meningkatkan biaya fiskal penanganan krisis secara signifikan. Indonesia seyogianya memilih pendekatan yang lebih ketat dari pada yang akomodatif dalam penanganan krisis. Namun, dalam kenyataannya pendekatan ini sulit diambil di Indonesia karena intervensi politik.

III. Pelajaran Berharga dari Krisis

Terkait dengan pencegahan dan resolusi krisis, setidaknya terdapat sepuluh pelajaran yang dapat diambil dari krisis perbankan Indonesia.

1. Pendekatan resolusi bank terbuka (open bank resolution) dan jamian implisit (implicit guarantees) tidak efektif sebagai kebijakan resolusi dalam kasus Indonesia. Pendekatan tersebut menimbulkan moral hazard dan biaya resolusi yang lebih tinggi. Kebijakan tersebut tidak didukung dengan persyaratan yang memadai terutama majemen yang sehat dan pengawasan yang ketat. Hal ini diperburuk oleh kelemahan dalam sistem hukum dan peradilan.

2. Penutupan bank harus dilaksanakan secara cepat disertai dengan strategi yang tepat termasuk rencana kontijensi yang memuat skenario terburuk (worst case) dan strategi mitigasi risiko yang dibutuhkan untuk mencegah dan atau untuk menangani masalah. Penetapan waktu penutupan adalah penting – semakin besar masalah, semakin sulit ditangani. Penutupan bank yang sering dan atau tertunda merusak kepecayaan masyarakat dan meningkatkan biaya fiskal secara signifikan. Penutupan bank secara serentak (big bang) cenderung meraih sukses dibandingkan dengan pendekatan gradual, meskipun mungkin lebih sulit diimplementasikan, khususnya pada permulaannya. Apabila terdapat bank insolvensi secara meluas, kunci untuk memulihkan kepercayaan adalah untuk meyakinkan bahwa semua bank yang tidak sehat ditutup atau ditangani, dan bank-bank yang ada sehat, dan nasabah kecil setidaknya dijamin sebagian.

3. Blanket guarantee adalah penting tetapi harus digunakan sebagai kebijakan sementara dalam resolusi krisis. Waktu penerapannya sangat penting. Blanket guarantee dibutuhkan pada awal krisis ketika terjadi penutupan bank, jaminan implisit telah diberikan, dan kondisi politik dan social tidak stabil. Dalam jangka panjang, blanket guarantee yang di dalamnya melekat moral hazard, kemungkinan besar dapat menimbulkan krisis perbankan di masa depan. Oleh karena itu, blanket guarantee harus digantikan dengan skim asuransi simpanan jika sistem perbankan telah stabil.

4. Kebijakan dan prosedur lender of last resort yang jelas dan transparan dibutuhkan untuk manajemen krisis khususnya dalam kondisi krisis sistemik. Kebijakan tersebut dapat berfungsi sebagai alat manajemen krisis yang efektif jika dirumuskan dengan jelas dan diumumkan kepada publik. Tidak adanya kebijakan lender of last resort yang jelas dapat menimbulkan moral hazard dan tidak dapat meyakinkan akuntabilitas.

5. Kebijakan restrukturisasi bank harus transparan, berlaku umum dan diimplementasikan secara konsisten. Rekapitalisasi bank harus selektif dan mendorong partisipasi sector swasta khususnya pemegang saham. Jika solusi berbasis pasar sulit ditempuh, strategi resolusi harus lebih difokuskan pada penutupan bank-bank yang sangat insolven dan

Page 18: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 17

memaksa pemagang saham bank, bila mungkin, kreditur terbesar untuk sama-sama menanggung kerugian.

6. Kombinasi kebijakan mikro dan makroekonomi dibutuhkan untuk manajemen krisis yang efektif, khususnya jika krisis mata uang dan krisis perbankan terjadi bersamaan. Kegagalan menstabilkan nilai tukar dan memulihkan kepercayaan pasar dapat memperparah krisis perbankan. Dengan sistem nilai tukar yang mengambang bebas dan sistem devisa bebas, Bank Indonesia menghadapi kesulitan untuk menstabilkan rupiah dari serangan spekulatif. Sejak mengadopsi pembatasan transaksi valuta asing pada Januari 2001, tampaknya Bank Indonesia cukup efektif dalam menangani serangan spekulatif terhadap rupiah. Disamping itu, adopsi kebijakan moneter ketat terbukti memperparah ketimbang memecahkan krisis keuangan.

7. Kerja sama yang efektif antar lembaga terkait diperlukan untuk pencegahan dan resolusi krisis yang efektif. Efektivitas manajemen krisis tergantung pada respon dan hubungan baik pejabat tinggi dari otoritas terkait. Krisis dapat ditangani dengan baik jika perbedaan politik dan kepentingan kelompok dapat dikesampingkan untuk mengutamakan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Harus terdapat pembagian tugas yang jelas dan mekanisme koordinasi antar lembaga terkait.

8. Kemampuan kelembagaan merupakan salah satu aspek penting manajemen krisis. Kemampuan untuk memahami kedalaman krisis secara dini dan untuk menyusun strategi resolusi yang tepat sangat penting. Kurangnya keahlian manajemen krisis dapat diatasi dengan menugaskan team khusus manajemen krisis yang anggotanya dipilih dari lembaga terkait untuk menangani krisis dengan bantuan lembaga internasional atau pakar jika perlu.

9. Intervensi politik dan kurangnya komitmen untuk menangani krisis merusak proses resolusi dan memperparah sistuasi. Kebijakan yang tidak konsisten dan keengganan untuk mengatasi akar masalah serta untuk mengambil keputusan yang sulit menghambat efektivitas resolusi krisis.

10. Regulasi dan pengawasan perbankan prudensial merupakan elemen pokok dalam menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Regulasi perbankan prudensial yang tidak efektif dan kurangnya kemampuan pengawasan dibarengi dengan kurangnya kewenangan dan independensi pengawasan memperlemah kerentanan sistem perbankan. Dua penyebab utama kelemahan pengawasan perbankan di Indonesia sebelum krisis 1997 adalah lemahnya pengembangan organisasional dan kelembagaan serta tingginya campur tangan politik.

IV. Penutup

Krisis perbankan Indonesia merupakan salah satu krisis termahal dan terparah selama seperempat abad terakhir. Krisis tersebut telah menjadi sedemikian kompleks dan menorehkan pengalaman yang begitu pahit karena intervensi politik dan salah kelola (mismanagement). Kurangnya pemahaman atas krisis telah menghasilkan strategi yang tidak tepat di tingkat mikro maupun tingkat makro. Kurangnya komitmen dari otoritas terkait untuk menempuh kebijakan yang tegas serta besarnya intervensi politik membuat resolusi krisis

Page 19: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 18

kurang efektif dan lebih mahal. Namun demikian, krisis juga membawa pelajaran penting untuk manajemen krisis yang lebih efektif di masa mendatang. Agar efektif dalam memulihkan kesehatan sistem keuangan dan perekonomian, resolusi krisis perbankan harus dilaksanakan secara obyektif, transparan dan konsisten.

Untuk menyempurnakan mekanisme resolusi krisis di Indonesia, disarankan untuk menempuh dua kebijakan pokok. Pertama, mengganti program penjaminan pemerintah (blanket guarantee) dengan skim asuransi simpanan yang eksplisit dan terbatas secara bertaha. Kedua, merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan lender of last resort yang lebih jelas dan transparan baik untuk kondisi normal maupun dalam krisis sistemik. Namun demikian, keduanya harus diimplementasikan secara terintegrasi dengan kebijakan lainnya khususnya pengawasan prudensial perbankan dan disiplin pasar untuk mencegah krisis perbankan25.

Pengalaman berbagai Negara dalam dua abad terakhir memberikan kepada kita dua pelajaran penting: pertama, bahwa krisis keuangan sering terjadi berulang; dan kedua, krisis keuangan sulit diprediksi, dan karenanya, juga sulit dihindarkan. Oleh karena itu, adalah lebih baik mencegah dari pada mengobati. Sejalan dengan prinsip itu, adalah penting untuk meningkatkan ketahanan sistem perbankan melalui pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan adopsi manajemen risiko dan kontrol internal yang efektif sebagai benteng pertama pada industri perbankan. Sebagai refleksi, adalah penting untuk dipahami bahwa krisis keuangan tidak semata-mata fenomena ekonomi, tetapi juga mengenai manusia. Salah satu penyebab utama krisis adalah karena moral hazard dan keserakahan manusia sebagai pelaku pasar. Karenanya, dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan adalah penting juga untuk meningkatkan integritas (moral) dan akuntabilitas dari pelaku pasar melalui perbaikan corporate governance dan disiplin pasar. [0]

25Untuk rekomendasi lebih detail lihat Batunanggar (2003).

Page 20: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 19

Boks 3. Proses Restrukturisasi Bank di Indonesia Review Diagnostik

Sebagai langkah awal, Bank Indonesia (BI) dan auditor internasional melaksanakan review keuangan (“due diligence”) untuk menetapkan kecukupan modal bank dan biaya rekapitalisasi berdasarkan kriteria yang kebih ketat. Berdasarkan hasil due diligence tersebut, bank-bank dikelompokkan sesuai dengan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/(CAR) yakni: bank “A” dengan CAR 4% atau lebih, bank “B” dengan CAR –25% s/d kurang dari 4%, dan bank “C” dengan CAR kurang dari–25%. Bank kategori “A” tidak diharuskan untuk mengikuti program rekapitalisasi, namun mereka harus menyusun rencana bisnis dan rencana tindak (action plans) untuk meningkatkan kinerjanya. Sedangkan bank-bank “B” harus meningkatkan modalnya untuk mencapai CAR minimal 4% baik melalui penambahan modal sendiri (self-recapitalisation) atau permohonan untuk program rekapitalisasi dengan pemerintah.

Program Rekapitalisasi Kelayakan bank dalam program rekapitalisasi pemerintah didasarkan pada dua aspek yakni: (i) kelayakan dari rencana bisnis bank; dan (ii) kompetensi dan integritas dari pengurus dan pemegang saham pengendali bank. Kriteria lainnya adalah kontribusi bank terhadap perekonomian yang diukur dengan jaringan dan jumlah nasabah bank. Secara khusus, bank kategori “C” harus meningkatkan modalnya sehinga minimal menjadi bank kategori “B” dalam 30 hari. Penilaian kelayakan tersebut dilakukan oleh beberapa komite (Komite Tehnis, Komite Evaluasi, and Komite Kebijakan) yang mewakili Bank Indonesia, Departemen Keuangan dan BPPN. Untuk meyakinkan transparansi dan obyektivitas, diundang pengamat independen dari IMF, World Bank, dan ADB dalam pertemuan namun mereka tidak memiliki wewenang dalam proses pengambilan keputusan.

Persiapan Rencana Bisnis Rencana bisnis bank mencakup: a. Kondisi saat ini - identifiksi permasalah pokok bank dan bidang-bidang yang perlu diperbaiki. b. Asumsi ekonomis yang digunakan untuk proyeksi keuangan. c. Asset Rehabilitation Plan – rencana tindak untuk menurunkan kredit bermasalah (non-performing loans/NPLs). d. Compliance Plan – rencana tindak penyelesaian pelanggaran atau pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)

dan Posisi Devisa Neto (PDN), dan peningkatan kualitas kredit kepada pihak terkait. e. Business Development Plan – strategi peningkatan kinerja dan kesehatan bank yang meliputi risk management, governance,

dan efisiensi operasional. f. Settlement Plan – rencana penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) g. Divestment Plan kepemilikan Pemerintah dalam tiga tahun h. Financial Projections - proyeksi keuangan rinci mencakup target keuangan: CAR minimum 8% and RoE minimum 15% per 31

December 2001. Review Rencana Bisnis

a. Kriteria utama, mencakup : – kemampuan pemegang saham dan/atau investor baru untuk menambah modal minimal 20% dana untuk mencapai CAR 4%, – kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku (BMPK, PDN, dsb.), – viabilitas bank untuk mencapai CAR 8% per Desember 2001. Proyeksi CAR bank per December 2001 didasarkan pada model

stress test (worst case scenerio) yang dikembangkan oleh konsultan internasional. b. Kriteria tambahan, mencakup: – asset rehabilitation plan, business development plan, franchise values (networks, IT/IS) dan peran terhadap perekonomian,

proyeksi ROE 15% per Desember 2001. Suatu bank akan lulus dalam penilaian rencana bisnis jika setidaknya memenuhi seluruh kriteria pokok.

Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan terhadap pemegang saham pengendali (yang memiliki lebih dari 25% saham bank), dewan komisaris, dan dewan direksi bank. Uji kemampuan dan kepatutan mencakup: a. Uji kemampuan (fitness test) – penilaian terhadap kompetensi dan independensi dewan komisaris, dan dewan direksi bank. b. Uji kepatutan (proper test) – penilaian terhadap integritas dan pemenuhan komitmen kepada BI, keterlibatan dalam daftar

kredit macet dan atau daftar orang tercela di bidang perbankan, serta pelanggaran dan tindakan pidana lainnya baik terhadap pengurus maupun pemegang saham pengendali bank.

Rekapitalisasi Rekapitalisasi meliputi beberapa langkah pokok yakni:

Pengalihan kredit bermasalah kepada BPPN; Penanda-tanganan perjanjian rekapitalisasi antara between Pemerintah, BI dan pengurus bank; dan Penambahan modal tambahan oleh pemilik bank (tunai) dan Pemerintah dengan penerbitan obligasi.

Page 21: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 20

Tabel 1. Hasil Review Keuangan Bank Swasta Nasional Capital Adequacy Ratio

Jlh Status Rata-rata (%)

Ter-tinggi (%)

Terendah (%)

Kebutuhan modal, CAR

4% (Rp tln)

Total Asset

(Rp tln)

Dana Pihak Ketiga (Rp tln)

Jumlah nasabah

Jumlah karyawan

74 Kategory A (CAR >4%)

15.4 148.0 4.0 - N/a N/a N/a N/a

7 Diambil alih oleh BPPN

-21.1 -15.6 -24.6 5.21 21.62 15.45 1,051,084 10,314

9 Direkapitalisasi -16.1 -8.2 -23.1 20.12 98.36 76.59 6,115,289 24,488

38 Dilikuidasi -40.2 -10.9 -101.8 23.13 49.47 N/a 1,147,495 16,463

Sumber: Bank Indonesia

Tabel 2. Kondisi Keuangan 9 Bank Swasta Nasional yang akan Direkapitalisasi

(31 Desember 1998)

No Bank

Total Kewajiban

(Rp tln)

Kewajiban kepada BI

(Rp tln)

Kredit Bermasalah

(Rp milyar)

CAR

(%)

Kebutuhan Modal

(Rp milyar)

Proyeksi CAR 2001

(%)

1 Bukopin 5.48 1.10 630.5 -17.2 767.2 4.1

2 Bank Bali 9.99 0.01 1,663.4 -8.2 1,821.8 6.1

3 Bank Arta Media N/a 69.2 -9.3 150.0 4.5

4 Bank Patriot 0.15 3.9 -23.1 32.1 6.0

5 Bank Universal 8.89 0.14 1,097.5 -21.8 2,421.9 4.7

6 Bank Lippo 20.13 81.1 -16.1 3,356.7 5.4

7 Bank Internasional Indonesia 40.06 4,922.6 -15.9 7,612.5 5.0

8 Bank Prima Express 1.84 16.5 -15.6 252.7 5.2

9 Bank Niaga N/a 0.70 728.2 -17.4 3,700.0 6.4

Total 2.05 9,212.9 - 20,114.9 -

Sumber: Bank Indonesia

Tabel 3. Biaya Fiskal Resolusi Krisis Perbankan Indonesia (dalam triliun rupiah)

Bank Jlh. Bank Total Biaya Fiskal

BLBI Credit program

Jaminan Pemerintah

Rekapi-talisasi

Liquidated banks 16 11.89 11.89

BPD 12 1.23 1.23

Bank milik Pemerintah 4 302.32 20 282.32

Lainnya 63.75 9.97 53.78

Bank Beku Kegiatan Usaha 38 17.32 17.32

Bank Beku Operasi (BBO) 1 7 6.02 6.02

Bank Beku Operasi (BBO) 2 3 51.67 51.67

Bank taken-over (BTO) 1 4 163.97 54.62 109.35

Bank taken-over (BTO) 2 2 17.8 3.02 14.78

Bank Rekapitalisasi (Bank Swasta Nasional) 7 17.86 17.86

Total 653.83 144.54 9.97 73.78 425.54

Sumber: BPPN, Laporan Tahunan 2000

Page 22: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 21

Tabel 4. Daftar Bank dalam Likuidasi (BDL), Bank Take-Over (BTO), Bank Beku Operasi (BBO) dan Bank Rekapitalisasi

Ronde I Penutupan - Bank dalam Likuidasi (16): 1 November 1997

Ronde II Penutupan – Bank Beku Operasi (10)

Ronde I Take-over (8)

1. Bank Andromeda 2. Bank Anrico 3. Bank Astria Raya 4. Bank Harapan Sentosa 5. Bank Citrahasta 6. Bank Dwipa Semesta 7. Bank Guna Int’l 8. Bank Industri

9. Bank Majapahit 10. Bank Mataram 11. Bank Jakarta 12. Bank Kosagraha 13. Bank Pacific 14. Bank Pinaesaan 15. Bank SEAB 16. Bank SBU

4 April 1998 1. Bank Centris 2. Bank Deka 3. Bank Hokkindo 4. Bank Istimarat 5. Bank Pelita 6. Bank Subentra 7. Bank Surya

21 August 1998 8. Bank Umum Nasional* 9. Bank Dagang Nasional Ind.* 10. Bank Modern*

4 April 1998 1. Bank Danamon 2. Bank FDFCI 3. Bank Tiara 4. Bank Umum Nasional* 5. Bank Dagang Nasional Ind.* 6. Bank Modern* 7. Bank Ekspor Impor Ind

29 Mei 1998 8. Bank Central Asia

Ronde III Penutupan – Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) (38): 13 Maret 1999

Ronde II dan III Bank Take-over (BTO) (9)

1. Bank Sewu 2. Bank Papan Sejatera 3. Bank Indonesia Raya 4. Bank Ficorinvest 5. Bank Central Dagang 6. Bank Dharmala 7. Bank Ciputra 8. Bank Sembada

Artanugroho 9. Bank Aken 10. Bank Intan 11. Bank Alfa 12. Bank Dewa Rutji 13. Bank Kharisma

14. Bank Umum Servetia 15. Bank Arya Panduarta 16. Bank Sino 17. Bank Danahutama 18. Bank Budi Internasional 19. Bank Orient 20. Bank Sahid Gajah Perkasa 21. Bank Dana Asia 22. Bank Yakin Makmur 23. Bank Asia Pacific 24. Bank Putra Surya Perkasa 25. Bank Pesona Kriyadana 26. Bank Bepede Indonesia

27. Bank Mashil Utama 28. Bank Dagang Industri 29. Bank Indotrade 30. Bank Bumiraya Utama 31. Bank Baja 32. Bank Tata 33. Bank Lautan Berlian 34. Bank Uppindo 35. Bank Metropolitan

Raya 36. Bank Hastin Int’l. 37. Bank Namura

Internusa 38. Bank Bahari

Ronde II 13 Maret 1999

1. Bank Duta 2. Bank Nusa Nasional 3. Bank Pos Nusantara 4. Bank Jaya 5. Bank Tamara, 6. Bank Rama 7. Bank Risyad Salim Int’l

Ronde III 21 April 1999

8. Bank Niaga 23 Juli 1999

9. Bank Bali

Rekapitalisasi Bank Swasta Nasional

Rekapitalisasi Bank Pembangunan Daerah dan Bank Milik Pemerintah

Ronde I (7) 21 April 1999

1. Bank Lippo, Tbk. 2. Bank Int’l Indonesia 3. Bank Bukopin 4. Bank Universal 5. Bank Prima Ekspress 6. Bank Artamedia 7. Bank Patriot

Ronde IV (3) Maret 2000

1. Bank Danamon, Dimerger dengan 7 BTO:

• Bank Duta

• Bank Nusa Nasional

• Bank Pos Nusantara

• Bank Jaya

• Bank Tamara,

• Bank Rama

• Bank Risyad Salim Int’l Juni 2000

1. Bank Bali 2. Bank Niaga

Ronde II (12) 28 Mei 1999

BPD 1. BPD DI Aceh 2. Bengkulu 3. BPD Sumatera Utara 4. BPD Lampung 5. BPD DKI Jakarta 6. BPD Jawa Tengah 7. BPD Jawa Timur 8. BPD NTB 9. BPD NTT 10. BPD Kalimantan Barat 11. BPD Sulawesi Utara 12. BPD Maluku

Ronde III (4) (Maret – Juli 2000) Bank Pemerintah

1. Bank Mandiri* 2. Bank BNI 3. Bank BRI 4. Bank BTN *bank baru yang didirikan sebagai hasil merger emapt bank: Bank Ekspor Impor Indonesia Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara Bank Pembangunan Indonesia

Sumber: Bank Indonesia

Page 23: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 22

Referensi Abrams, Richard K., and Michael W. Taylor (2000) ‘Issues in the Unification of Financial Sector Supervision, IMF Working Paper, No.00/213, December.

Agenor, Pierre-Richard and Joshua Aizenman (1999) ‘Financial Sector Inefficiencies and Coordination Failures: Implications for Crisis Management’, World Bank Policy Research Paper No.2185, September.

Agung, Juda et al. (2000) Credit Crunch in Indonesia in the Aftermath of the Crisis: Facts, Causes and Policy Implications, Bank Indonesia.

Aziz, Iwan J. (1999) ‘Institutional Factors and Politics in the Indonesian Crisis’, paper prepared for a conference on “The Politics of Reform in Asia”, organised by The Carnegie Endowment for International Peace, Bangkok, Thailand, June 3-4.

Bank Indonesia, various publications.

Batunanggar, Sukarela, (2002), Redisigning Indonesia’s Crisis Management: Lender of Last Resort and Deposit Insurance Scheme, Financial Stability Review, Bank Indonsia, June 2003.

_______ , (2002), Indonesia’s Banking Crisis Resolution: Lessons and the Way Forward, paper prepared as part of the financial stability research project at the Centre for Central Banking Studies (CCBS), Bank of England.

_______ , (1996) ‘Strategic Management in Action: The Case of Bank Indonesia’, unpublished MBA Dissertation, University of Nottingham, England.

Boorman, Jack, et al. (2000) Managing Financial Crisis: The Experience in East Asia, Carnegie-Rochester Conference Series on Public Policy No. 53.

Brealey, Richard et al. (2001) Financial Stability and Central Banks: A Global Perspective, Routledge and CCBS, Bank of England.

Caprio, Gerard, Jr., and Daniela Klingebiel (1996) ‘Bank Insolvencies, Cross-country Experience’, World Bank Policy Research Paper No.1620, July.

Caprio, Gerard, Jr., and Patrick Honohan (2002) ‘Banking Policy and Macroeconomic Stability: An Exploration’, World Bank Policy Research Paper No.2856, June.

Choi, Jang-Bong (1999) ‘Structuring a Deposit Insurance System from Asian Perspective’, in Rising to the Challenge in Asia: A Study of Financial Markets, Vol.6, Asian Development Bank.

Claessens, S., and T. Glaessner (1997) ‘Are Financial Sector Weaknesses Undermining the East Asian Miracle?’, The World Bank, Direction for Development, The International Bank for Reconstruction.

Claessens, S. (1998) Systemic Bank and Corporate Restructuring: Experience and Lessons for East Asia (Washington: World Bank).

Claessens, S., S. Djankov and L. Klapper (1999) ‘Resolution of Corporate Distress in East: Asia’, World Bank Policy Research Paper.

Cole David C. and Betty F. Slade (1996) Building a Modern Financial System: The Indonesian Experience, Cambridge University Press.

_____ (1998) ‘Why has Indonesia’s Financial Crisis been so Bad?, Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol.34 No.2, August pp. 61-6.

Cipriani, Marco and Antonio Guarino (2002) ‘Social Learning and Financial Crisis, BIS CGFS Conference Vol. No.2 Part 6, October.

Cosetti, G., P. Pesenti and N. Roubini (1999) ‘What Caused the Asian Currency and Financial Crisis?, Japan and the World Economy No. 11, pp. 305–373.

Crockett, Andrew (1997) ‘Why is Financial Stability a Goal of Public Policy?’, paper presented at Maintaining Financial Stability in a Global Economy Symposium, the Federal Reserve Bank of Kansas City, August 28-30.

_____ (1997) ‘The Theory and Practice of Financial Stability’ Essays in International Finance’ International Finance Section, Department of Economics, Princeton University, New Jersey, March.

Cull, Robert, L.W. Senbet, and M. Sorge (2001) ‘Deposit Insurance and Financial Development’, World Bank Policy Research Paper No. 2682, September.

De Luna-Martinez (2000) ‘Management and Resolution of Banking Crises: Lessons from the Republic of Korea and Mexico’, World Bank Discussion Paper No. 43, March.

Demiguc-Kunt, Asli, E. Detragiache (1999) ‘Does Deposit Insurance Increase Banking System Stability’, World Bank Policy Research Paper No.2247, November.

Page 24: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 23

Demirguc–Kunt, Asli, and Harry Guizinga (1999) ‘Market Discipline and Financial Safety Net Design’, World Bank Policy Research Paper No.2183, September.

Demirguc–Kunt, Asli, Enrica Detragiache, and Poonam Gupta (2000) ‘Inside the Crisis: An Empirical Analysis of Banking Systems in Distress’, World Bank Policy Research Paper No. 2185, August.

Djiwandono, J. Soedradjat (1997) ‘The Banking Sector in Emerging Markets: The Case of Indonesia’ in Banking Soundness and Monetary Policy”, edited by Charles Enoch and John Green , Washington: IMF).

_____ (1998) ‘Banking System Soundness and Macroeconomic Management: The Recent Indonesian Experience’, presented at symposium” ‘Towards the Restoration of Sound Banking Systems in Japan and its Implication’, July, Kobe.

_____ (2000) ‘Bank Indonesia and the Recent Crisis’, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol.36 No.1, April.

Enoch, Charles (2000) ‘Interventions in Banks during Banking Crisis, The Experience of Indonesia’, IMF Policy Discussion Paper No. 00/2, March.

Enoch, Charles et al. (2001) ‘Indonesia: Anatomy of a Banking Crisis, Two Years Living Dangerously 1997–1999’, IMF Working Paper No. 01/52, May.

Enoch, Charles, D. Marston and M. Taylor (Eds.) (2002) Building Strong Banks through Surveillance and Resolutio, International Monetary Fund, Washington.

Freixas, Xavier, C. Gianini, G. Hoggarth and F. Soussa (2002) ‘Lender of Last Resort: A Review of the Literature’ in Goodhart, Charles and Gerhard Illing (eds.) (2002) Financial Crises, Contagion, and the Lender of Last Resort: A Reader, Oxford University Press.

Furman, J. and J.E. Stiglitz (1998) ‘Economic Crisis: Evidence and Insights from East Asia”, Brooking Papers on Economic Activity.

Goodhart, Charles (2001) ‘The Organisational Structure of Banking Supervision’ in Brealey, Richard et al., Financial Stability and Central Banks : A Global Perspective, Routledge and CCBS, Bank of England.

Goodhart, Charles and Gerhard Illing (2002), Financial Crises, Contagion, and the Lender of Last Resort: A Reader, Oxford University Press.

Goldstein, Morris (2000) ‘IMF Structural Programs’, paper prepared for NBER Conference on “Economic and Financial Crises in Emerging Market Economies”, Vermont, October.

Hal, Hill (1999) The Indonesian Economy in Crisis: Causes, Consequences and Lessons, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore.

Hoggarth, Glenn and F. Soussa (2001) ‘Crisis Management, Lender of Last Resort and the Changing Nature of the Banking Industry’, in Brealey, Richard et al., Financial Stability and Central Banks : A Global Perspective, Routledge and CCBS, Bank of England.

Hoggarth, Glenn, Peter Sinclair, and Jack Reidhill (2002) ‘Resolution of Bank Failures: Theory and Evidence’ paper presented at the Crisis Resolution Conference, Bank of England, December, 9.

Hoggarth, Glenn, Ricardo Reis and Victoria Saporta (2001) ‘Costs of Banking System Instability: Some Empirical Evidence’, Journal of Banking and Finance No.26 pp. 825–855.

Honohan, Patrick and Daniella Klingebiel (2000) ‘Controlling Fiscal Costs of Banking Crisis’, Policy Research Paper No.2441, The World Bank, September.

Honohan, Patrick and Daniella Klingebiel (2002) ‘The Fiscal Costs Implications of an Accommodating Approach to Banking Crisis’, Journal of Banking and Finance (forthcoming).

Hutchison, Michael (2001) ‘A Cure Worse than the Disease? Currency Crises and the Output Costs of IMF-Supported Stabilization Programs’, National Bureau of Economic Research Working Paper No.8305, May.

Indrawati, Sri Mulyani (2002) ‘Indonesian Economic Recovery Process and the Role of Government’, Journal of Asian Economics pp. 577–596.

International Monetary Fund (2000), ‘Indonesia, Selected Issues’, IMF Staff Country Report No. 00/132, August.

Kenward, Llyoid R. (1999) ‘Assessing Vulnerability to Crisis Evidence from Indonesia’, Bulletin of Indonesia Economic Studies Vol. 35 No.3, pp. 71–95, December.

Kiggundu, Mosses N. (1996) ‘Integrating Strategic Management Task into Implementing Agencies: From Firefighting to Prevention’, World Development Vo.24 No.9, pp 1417 – 1430.

Krugman, P. (1998) ‘What Happened to Asia’, mimeo, Massachussets Institute of Technology.

Page 25: Batunanggar, Resolusi Krisis Perbankan Indonesia

Resolusi Krisis Perbankan Indonesia: Proses, Issu dan Pelajaran Berharga

© S. Batunanggar, Januari 2005 24

Laker, John F. (1999) ‘The Reserve Bank of Australia – Post Wallis’, Keynote Lecture to Monash University Law School Foundation, Melbourne, 28 October.

Lindgren, C.J., T.J.T. Balino, C. Enoch, A.-M. Gulde, M. Quintyn and L.Teo (1999) Financial Sector Crisis and Restructuring: Lessons from Asia, IMF Occasional Paper No.188 (Washington: International Monetary Fund).

McFarlane, I.J. (1999) ‘The Stability of Financial System’ Reserve Bank of Australia Bulletin, August.

McHale, John (2000) ‘A Report on the Fifth Country Meeting of the National Bureau of Economic Research (NBER) Project on Exchange Rate Crisis in Emerging Market Countries’, NBER.

McLeod, Ross H. (1998) ‘From Crisis to Cataclysm? The Mismanagement of Indonesia’s Economic Ailments’, World Economy, Blackwell Publishers, London.

_____ (1999) ‘Indonesia’s Crisis and Future Prospects’, in Karl D. Jackson (ed), Asian Contagion: The Causes and Consequences of a Financial Crisis, Institute of Southeast Asian Studies Singapore pp. 209–240.

Mishkin, Frederick (1999) ‘Lessons From the Asian Crisis. Journal of International Money and Finance, No.18 pp 709–723.

_____ (2001) ‘Financial Policies and the Prevention of Financial Crises in Emerging Market Countries’, NBER Working Paper No. 8087, January.

Nakaso, Hiroshi (2001) ‘The Financial Crisis in Japan during the 1990s: How the Bank of Japan Responded and the Lessons Learnt’, BIS Papers No.6, October.

Nasution, Anwar (1999) ‘Recent Issues in the Management of Macroeconomic Policies in Indonesia in Rising to the Challenge in Asia: A Study of Financial Markets, Vol.6, Asian Development Bank.

_____ (2000) ‘The Meltdown of the Indonesian Economy: Causes, Responses and Lessons’, ASEAN Economic Bulletin, August.

_____ (2002) ‘The Indonesian Economic Recovery from Crisis in 1997–1998, Journal of Asian Economics No. 13 pp 157–180.

Pangestu, Mari, and Habir Manggi (2002) ‘The Boom, Bust and Restructuring of Indonesian Banks’, IMF Working Paper No. 02/56, April.

Radelet, S. and J. D. Sachs (1998) ‘The East Asian Financial Crisis: Diagnosis, Remedies, Prospects’, Brooking Papers on Economic Activity, 1.

_____ (1999) ‘What Have We Learned, So Far, From the Asian Financial Crisis?’, CAER II Project, Next Steps in the Asian Financial Crisis.

Sabirin, Syahril (2002) ‘Bank Indonesia’s Role in Financial Stability’, Paper presented at the seminar on Financial Services Authority, Jakarta, February 27.

Sanger, David E. (1998) ‘IMF Now Admits Tactics in Indonesia Deepened the Crisis’, New York Times, January 14.

Santoso, Wimboh (2000) ‘Indonesia’s Financial and Corporate Sector Reform’, Bank Indonesia Working Paper, No. 4.

Scott, David (2002) ‘A Practical Guide to Managing Systemic Financial Crises, A Review of Approaches Taken in Indonesia, the Republic of Korea, and Thailand’, World Bank Policy Research Paper No.2843, May.

Sinclair, P. J. N. (2000) ‘Central Banks and Financial Stability’, Bank of England Quarterly Bulletin, Vol.40, No.4, November.

_____ (2002) ‘International Financial Architecture: The Central Bank Governors’ Symposium 2002, Bank of England Quarterly Bulletin, Vol.42, No.3, Autumn.

Stiglitz, Joseph (1999) ‘Lesson from East Asia’, Journal of Policy Modeling 21(3) pp. 311–330.

_____ (1999) ‘Introduction’, Conference on “The East Asian Crisis: Lessons for Today and for Tomorrow, Economic Notes No.3.

_____ (2002), Globalization and Its Discontents, W.W. Norton & Co.

World Bank (1993) The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy, New York: Oxford Univeristy Press.

_____ (1997) ‘World Development Report 1997: The State in a Changing World’, World Bank, Washington, DC