Basic Accountancy

82
Harga Pokok Produksi Perusahaan Manufaktur Harga Pokok Produksi Perusahaan Manufaktur. Dalam perusahaan dagang di kenal dengan istilah Harga Pokok Penjualan (HPP) sedangkan dalam perusahaan manufaktur di kenal dengan Harga Pokok Produksi. Cara menyusun Harga pokok Produksi perusahaan manufaktur, sedikit ada perbedaan. Dalam perusahaan dagang, yang ada hanya pembelian barang yang langsung di jual kembali dengan mengambil selisih harga sebagai pendapatan. Berbeda dengan perusahaan manufaktur (Produksi) adalah dengan mengolah bahan baku menjadi bahan jadi yang siap di jual. Makanya dalam perusahaan manufaktur terdapat banyak akun persediaan. Beberapa akun persediaan dari Perusahaan manufaktur adalah sebagai berikut : Persediaan Bahan Baku Persediaan Barang Dalam Proses Persediaan Bahan Jadi Persediaan Bahan Pembantu Akun-akun persediaan tersebut di atas adalah yang mempengaruhi laporan HPP dari perusahaan manufaktur di tambahkan dengan Biaya Produksi. Untuk melihat gambaran lebih jelas bisa melihat pada format Harga Pokok Produksi (HPP) Perusahaan Manufaktur Berikut : CV. Akuntansi ID Konveksi Laporan Harga Pokok Produksi Per 31 Desember 2012 No Keterangan PEMBELIAN DAN BIAYA i BAHAN BAKU Persediaan Awal Rp. xxx.xxx Pembelian Bahan Baku Rp. xxx.xxx Return Pembelian Rp. xxx.xxx + Total Bahan Baku Rp. xxx.xxx Persediaan Akhir Rp. xxx.xxx - Bahan Baku terpakai Rp. xxx.xxx ii BAHAN PEMBANTU Persediaan Awal Rp. xxx.xxx Pembelian Bahan Pembantu Rp. xxx.xxx + Total Bahan Pembantu Rp. xxx.xxx Persediaan Bahan Baku Ahir Rp. xxx.xxx - Bahan Baku Terpakai Rp. xxx.xxx iii TENAGA KERJA

description

It's all about basic in accounting practical.

Transcript of Basic Accountancy

Page 1: Basic Accountancy

Harga Pokok Produksi Perusahaan Manufaktur

Harga Pokok Produksi Perusahaan Manufaktur. Dalam perusahaan dagang di kenal dengan istilah Harga Pokok Penjualan (HPP) sedangkan dalam perusahaan manufaktur di kenal dengan Harga Pokok Produksi. Cara menyusun Harga pokok Produksi perusahaan manufaktur, sedikit ada perbedaan. Dalam perusahaan dagang, yang ada hanya pembelian barang yang langsung di jual kembali dengan mengambil selisih harga sebagai pendapatan. Berbeda dengan perusahaan manufaktur (Produksi) adalah dengan mengolah bahan baku menjadi bahan jadi yang siap di jual. Makanya dalam perusahaan manufaktur terdapat banyak akun persediaan. Beberapa akun persediaan dari Perusahaan manufaktur adalah sebagai berikut :

Persediaan Bahan Baku Persediaan Barang Dalam Proses Persediaan Bahan Jadi Persediaan Bahan Pembantu

Akun-akun persediaan tersebut di atas adalah yang mempengaruhi laporan HPP dari perusahaan manufaktur di tambahkan dengan Biaya Produksi. Untuk melihat gambaran lebih jelas bisa melihat pada format Harga Pokok Produksi (HPP) Perusahaan Manufaktur Berikut :

CV. Akuntansi ID KonveksiLaporan Harga Pokok Produksi

Per 31 Desember 2012No Keterangan

PEMBELIAN DAN BIAYA i BAHAN BAKU

Persediaan Awal Rp. xxx.xxx Pembelian Bahan Baku Rp. xxx.xxx Return Pembelian Rp. xxx.xxx +Total Bahan Baku Rp. xxx.xxx Persediaan Akhir Rp. xxx.xxx -Bahan Baku terpakai Rp. xxx.xxx

ii BAHAN PEMBANTU Persediaan Awal Rp. xxx.xxx Pembelian Bahan Pembantu Rp. xxx.xxx +Total Bahan Pembantu Rp. xxx.xxx Persediaan Bahan Baku Ahir Rp. xxx.xxx -Bahan Baku Terpakai Rp. xxx.xxx

iii TENAGA KERJA Gaji Karyawan Rp. xxx.xxx Tunjangan Rp. xxx.xxx Bonus Rp. xxx.xxx +Total Biaya Tenaga Kerja Rp. xxx.xxx

iv BIAYA PRODUKSI PABRIK Biaya ……….. Rp. xxx.xxx Biaya ……….. Rp. xxx.xxx Biaya ……….. Rp. xxx.xxx Biaya ……….. Rp. xxx.xxx Total Biaya Produksi Rp. xxx.xxx

JUMLAH BIAYA PRODUKSI ( I + ii + iii + iv ) Rp. xxx.xxx

Page 2: Basic Accountancy

v BARANG DALAM PROSES Barang Dalam Proses Awal Rp. xxx.xxx Jumlah Biaya Produksi Rp. xxx.xxx +

Rp. xxx.xxx Barang Dalam Proses Akhir Rp. xxx.xxx -Barang Jadi Setelah Proses

Rp. xxx.xxxvi BARANG JADI

Persediaan Barang Jadi Awal Rp. xxx.xxx Barang Jadi Setelah Proses Rp. xxx.xxx +Total Persediaan Barang Jadi Rp. xxx.xxx Persediaan Barang Jadi Akhir Rp. xxx.xxx -

Harga Pokok Produksi (HPP) Rp. xxx.xxx

Dengan melihat format tersebut maka kita sudah bisa melihat bagaimana sebuah proses perhitungan untuk HPP perusahaan manufaktur yang berbeda dengan perusahaan dagang.

Page 3: Basic Accountancy

Harga Pokok Penjualan Perusahaan Manufaktur

Bagimana caranya menghitung harga pokok penjualan? Pertanyaan ini sering saya gunakan untuk test penerimaan calon pegawai di bagian accounting. Melalui tulisan ini saya ingin share cara mudah menghitung harga pokok penjualan, beserta alurnya, dengan bagan grafis sederhana (agar mudah diingat). Mungkin tidak applicable untuk segala kondisi, tetapi (mudah-mudahan) bisa menjadi awal pemahaman yang tentunya masih perlu dilengkapi dengan panduan-panduan dari buku dan literature. Kembali ke pertanyaan yang sering saya ajukan dalam test penerimaan staf accounting. Jawaban mereka, bervariasi. Tentu saja ada yang benar dan ada yang salah. Tak sedikit juga jawaban yang membuat saya tersenyum kecut—prihatin persisnya.

Bagaimana tidak prihatin, suatu ketika, seorang kandidat yang melamar posisi cost accountant tidak tahu caranya menghitung harga pokok penjualan—padahal perhitungan harga pokok penjualan adalah fundamentalnya akuntansi biaya (cost accounting). Yang lebih memperihatinkan lagi, salah seorang kandidat yang melamar posisi chief accountant dengan penuh percaya diri bertanya:“Apakah perusahaan bapak menerapkan sistim persediaan periodik?”Saya jawab, ‘Tidak. Kami menerapkan sistim perpetual”“Oh. Kalau begitu tidak perlu menghitung HPP, pak. Kan sudah dijurnal saat terjadi penjualan,” dia menyampaikan pandangannya.Betul. Dalam sistim persediaan perpetual, harga pokok penjualan diakui saat barang laku terjual. Tetapi saya tidak terlalu yakin jika dia benar-benar memahami konsep harga pokok penjualan dengan baik. Untuk itu saya meminta dia membuat satu contoh.“Misalnya, Pak. Terjadi penjualan barang persediaan maka dijurnal:[Debit]. Piutang Dagang[Kredit]. PenjualanDan;[Debit]. Harga Pokok Penjualan[Kredit]. Persediaan Barang Jadi”Jurnalnya sudah benar. Lalu saya minta dia mengisikan angka di masing-masing jurnalnya. Dan, dia memasukan angka (saya tidak ingat persisnya), tetapi kurang-lebih sbb:[Debit]. Piutang Dagang = Rp 20[Kredit]. Penjualan = Rp 20Dan;[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 15[Kredit]. Persediaan Barang Jadi = Rp 15Saya bertanya lagi, “Mengapa kalau penjualannya Rp 20 trus HPP-nya jadi Rp 15? Apakah boleh jika angka 15 itu saya ganti dengan angka 5 atau 1,000,000 atau angka apa saja yang saya suka?”Melihat dia cuma diam dan nampak bingung, saya ganti pertanyaanya dengan ekspresi yang lebih tegas, “Saat anda membuat jurnal transkasi penjualan, dari mana anda tahu harga pokok penjualan sebesar angka yang anda masukan dalam jurnal?”“Biasanya sudah ada di system, pak,” dia menjawab dengan jujur.Mendapat jawaban seperti itu, lalu saya mendesak dia dengan pertanyaan, “Dan, anda PERCAYA dengan angka yang di sistem itu?”“Kan sudah dihitung oleh cost accountant, pak. Bukan tanggungjawab saya.”

Dari sana saya mengambil kesimpulan bahwa kandidat tidak sungguh-sungguh memahami teknis perhitungan harga pokok penjualan. Dan dia bukan orang yang tepat untuk berada dalam team saya. Yang mungkin luput dari pertimbangannya adalah: seorang cost accountant berada di bawah tanggungjawabnya—sebagai seorang chief accountant. Lepas dari itu semua, khususnya chief accountant, harus bisa menjamin akurasi setiap digit angka yang tersaji dalam laporan keuangan—termasuk harga pokok penjualan yang “muncul di system.” Nah, jika darimana datangnya (teknis

Page 4: Basic Accountancy

perhitungannya) saja tidak tahu, bagaimana bisa menjamin angka yang dihasilkan sudah akurat atau belum.

Mengenai angka harga pokok penjualan satuan yang suda ada di sistem (software) akuntansi perusahaan, TIDAK muncul begitu saja, melainkan melalui perhitungan teknis—entah itu dilakukan secara manual (lalu diinput ke sistem) atau melalui proses otomatisasi dengan menggunakan variable-variable data yang dimasukan saat proses produksi berlangsung.

Pada perushaan-perusahaan yang menerapkan “standard costing”, perhitungan harga pokok penjualan biasanya diotomatisasi dengan menggunakan input data yang dimasukan pada saat suatu product (barang) dirancang di bagian Research and Development. Unit cost (harga pokok satuan) suatu produk terdiri dari berbagai element cost (yang sudah distandarisasi) yang kemudian membentuk apa yang disebut dengan ‘Bill of Materials” (BOM). Bagimanapun juga, tetap melalui alur pehitungan yang menggunakan konsep dasar harga pokok penjualan.

Yang ingin saya sampaikan (melalui ilustrasi kasus di atas) adalah: “Mampu menghitung harga pokok penjualan adalah wajib bagi seorang akuntan—terlepas apakah dia seorang cost accountant atau bukan.”Bahkan seorang auditor—yang nota benanya lebih banyak menggeluti akuntansi keuangan (dibandingkan akuntantansi biaya/akuntansi manajemen)—pun wajib tahu. Tidak menutup kemungkinan, seorang auditor perlu menguji akurasi angka-angka yang ada di Laporan Laba Rugi yang pastinya mengandung harga pokok penjualan. Melalui tulisan ini saya ingin share cara mudah menghitung harga pokok penjualan, sekaligus alurnya. Jika tertarik, silahkan ikuti sampai selesai.Perhitungan Harga Pokok Penjualan SederhanaPerhitungan Harga Pokok Penjualan yang paling sederhana adalah sbb: Saldo Awal Persediaan + Pembelian (atau penambahan persediaan) – Saldo Akhir Persediaan = Harga Pokok PenjualanPerhitungan sederhana itu bisa diterapkan pada jenis perusahaan dagang yang jenis persediaannya hanya berupa barang jadi—yang dibeli dari pemasok. Misalnya: Data persediaan UD. JAK (pedagang eceran beras) untuk tahun 2012 adalah sbb: Saldo awal persediaan = Rp 5,000,000 Pembelian beras dari 1 Januari s/d 31 Desember 2012 = Rp 85,000,000 Saldo Akhir Persediaan per 31 Desember 2012 = Rp 3,000,000

Harga Pokok Penjualan 2012 = 5,000,000 + 85,000,000 – 3,000,000 Harga Pokok Penjualan 2012 = 87,000,000

Itu perhitungan harga pokok penjualan beras pada perusahan dagang beras. Perhitungan menjadi agak rumit untuk perusahan manufaktur—yang barang persediaannya dibuat sendiri (baik itu sebagian atau keseluruhan). Bagaimana menghitung harga pokok penjualan perusahaan manufaktur?Alur Perhitungan Harga Pokok Penjualan Perusahaan Manufaktur

Menghitung harga pokok penjualan untuk perusahaan manufaktur menjadi sedikit lebih rumit, jika dibandingkan dengan perusahaan dagang, karena adanya “persediaan bahan baku” (raw materials) yang diolah menjadi “persediaan barang dalam proses” (work in process—biasanya disingkat WIP), lalu barang jadi (finished goods—biasa disingkat FG). Proses pengolahan dari bahan baku menjadi barang dalam proses lalu barang jadi menimbulkan cost-cost lain, diantaranya: “biaya tenaga kerja langsung” (labor cost) dan “overhead produksi” (production overhead). Secara garis besar alur proses produksi adalah sbb: Bahan Baku (raw materials) dikeluarkan dari gudang ==> Bahan baku diolah menjadi barang dalam proses (work in process) ==> Barang dalam proses diolah lagi menjadi barang jadi (finished goods). Nah, perhitungan harga pokok penjualan mengikuti alur produksi di atas. Berikut adalah bagan alur perhitungan yang saya buat sedemikian rupa sehingga menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami:

Page 5: Basic Accountancy

Cara Menghitung Harga Pokok PenjualanDari bagan di atas jelas terlihat bahwa, alur penghitungan “Harga Pokok Penjualan” perusahaan manufaktur melalui 4 tahapan, mengikuti alur produksi, yang terdiri dari: Tahap-1. Perhitungan “Bahan Baku Yang Digunakan” Tahap-2. Perhitungan “Total Biaya Produksi” Tahap-3. Perhitungan “Harga Pokok Produksi” Tahap-4. Pergitungan “Harga Pokok Penjualan”Tahap-1. Perhitungan BAHAN BAKU YANG DIGUNAKAN:

Saldo Awal Persediaan Bahan Baku – Yang dimaksud dengan “saldo awal persediaan bahan baku” adalah total nilai persediaan bahan baku di awal periode yang dihitung (awal bulan untuk bulanan dan awal tahun untuk tahunan). Saldo awal periode yang dihitung sama dengan saldo akhir periode sebelumnya yang secara global bisa dilihat di Neraca, sedangkan per jenis bahan baku bisa dilihat di buku persediaan (inventory ledger) dan kartu stock. Cakupan “bahan baku” dalam hal ini termasuk: bahan penolong/pembantu/apapun namanya.

Pembelian Bahan Baku – Yang dimaksud dengan “pembelian bahan baku” dalam hal ini adalah total pembelian bahan baku (termasuk bahan penolong) NETO selama periode yang dihitung. Misalnya: “Perhitungan HPP untuk bulan Juni 2012”, berarti total pembelian bahan baku dari 1 s/d 30 Juni 2012. Jika “Perhitungan HPP untuk Tahun 2012”, berarti total pembelian bahan baku dari 1 Januari s/d 31 Desember 2012. Bisa dilihat di buku besar persediaan. Dan “NETO” dalam hal ini artinya: sudah memperhitungkan pengurangan dan penambahan akibat adanya discount, rabat, dan retur.

Saldo Akhir Persediaan Bahan Baku – Yang dimaksud dengan “saldo akhir persediaan bahan baku” adalah total nilai persediaan bahan baku (yang tersisa) pada akhir periode yang dihitung—setelah dilakukan penghitungan fisik dan penyesuaian-penyesuaian.

Bahan Baku yang Digunakan – Yang dimaksud dengan “bahan baku yang digunakan” dalam hal ini adalah total bahan baku yang diolah (diproduksi) untuk menghasilkan produk yang diinginkan. Angka ini (Rp 67,000 dalam contoh) diperoleh dengan menggunakan formula perhitungan seperti yang terlihat pada bagan: saldo awal persediaan bahan baku + pembelian bahan baku – saldo akhir persediaan bahan.Tahap-2. Perhitungan TOTAL BIAYA PRODUKSIBahan Baku yang Digunakan – Ini pindahan dari perhitungan tahap-1

Biaya Tenaga Kerja Langsung – Yang dimaksud dengan “biaya tenaga kerja langsung” adalah total upah karyawan/buruh yang pekerjaannya berimplikasi langsung terhadap volume output produk yang dihasilkan. Angkanya bisa dilihat dari daftar pembayaran gaji untuk karyawan yang masuk dalam kelompok “tenaga kerja langsung”. Yang masuk dalam kelompok tenaga kerja langsung adalah pegawai yang dibayar berdasarkan jumlah jam kerja (yang ada rate per jamnya) atau berdasarkan volume pekejaan yang diselesaikan (biasa disebut borongan). Sedangkan pegawai bagian produksi di luar kriteria itu, tidak ikut dihitung.

Overhead Produksi – Overhead ini sering menjadi sumber kebingungan dan simpang-siur. Begini saja, yang dimaksud dengan “overhead produksi” adalah segala biaya yang berhubungan dengan aktivitas produksi SELAIN bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung (lihat bahan penjelasan mengenai bahan baku di tahap-1). Termasuk dalam kelompok ini adalah biaya yang timbul dari aktivitas packaging, pengiriman barang, biaya pemeliharaan mesin dan peralatan, biaya pemeliharaan gedung pabrik dan gudang, penyusutan mesin dan peralatan, penyusutan gedung pabrik dan gudang.

Total Biaya Produksi – Yang dimaksud dengan “total biaya produksi” dalam hal ini adalah semua biaya yang timbul akibat aktivitas produksi yang berlangsung selama periode yang dihitung—termasuk bahan baku yang digunakan (itu sebabnya mengapa “biaya bahan baku yang digunakan” dari perhitungan tahap-1 diikutsertakan) ditambah biaya tenaga kerja langsung dan overhead produksi.

Page 6: Basic Accountancy

Note: Sampai pada tahap ini, perhitungan telah mencerminkan segala biaya/cost yang timbul dari aktivitas produksi selama periode yang dihitung, TETAPI belum mengikutsertakan penggunaan “persediaan barang dalam proses” yang merupakan SISA (saldo akhir) periode sebelumnya. Itu sebabnya mengapa hasil perhitungan sampai pada tahap-2 ini disebut “Biaya produksi” saja—BELUM disebut Harga Pokok Produksi. Lanjut ke tahap-3…Tahap-3. Perhitungan HARGA POKOK PRODUKSITotal Biaya Produksi – Ini pindahan dari perhitungan tahap-2 (baca note di tahap-1)

Saldo Awal Persediaan Barang Dalam Proses – Yang dimaksud dengan “saldo awal persediaan barang dalam proses” adalah total nilai persediaan barang dalam proses di awal periode yang dihitung. Saldo awal periode yang dihitung sama dengan saldo akhir periode sebelumnya yang secara global bisa dilihat di Neraca, sedangkan rincian per item/jenis barang bisa dilihat di buku persediaan (inventory ledger) persediaan barang dalam proses.

Saldo Akhir Persediaan Barang Dalam Proses – Yang dimaksud dengan “saldo akhir persediaan barang dalam proses” adalah total nilai persediaan barang dalam proses (yang tersisa) pada akhir periode yang dihitung—setelah dilakukan penghitungan fisik dan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan.

Harga Pokok Produksi – Yang dimaksud denga “harga pokok produksi” adalah segala biaya/cost yang timbul dari aktivitas produksi pada masa yang dihitung (itu sebabnya mengapa total biaya produksi dari hasil perhitungan tahap-2 diikutsertakan) ditambah dengan saldo awal persediaan barang dalam proses, lalu dikurangi saldo akhirnya.

Note: Ketiga tahap (dari tahap-1 s/d tahap-3) ini sudah mewakili semua biaya/cost yang timbul dari aktivitas suatu proses manufaktur (pabrikan). Dengan kata lain, mencerminkan semua biaya/cost yang timbul akibat proses pengolahan dari bahan baku menjadi barang yang siap untuk dijual. Kasarannya, angka ini mewakili nilai persediaan barang jadi yang berhasil dibuat selama periode yang dihitung. TETAPI belum mengikutsertakan penggunaan persediaan barang jadi SISA dari periode sebelumnya. Itu sebabnya mengapa hasil perhitungan sampai tahap-3 ini disebut “Harga Pokok Produksi” saja—BELUM disebut Harga Pokok Penjualan. (Untuk menentukan HARGA POKOK PRODUKSI SATUAN, perhitungan dibuat ditahap ini dengan cara membagi total nilai harga pokok produksi dengan jumlah output produk yang dihasilkan selama periode tersebut, dibuat per jenis/item produk.)Tahap-4. Pergitungan HARGA POKOK PENJUALAN (HPP)Harga Pokok Produksi – Ini pindahan dari perhitungan tahap-3 (baca note di tahap-3)

Saldo Awal Persediaan Barang Jadi – Yang dimaksud dengan “saldo awal persediaan barang jadi” adalah total nilai persediaa barang jadi di awal periode yang dihitung. Saldo awal periode yang dihitung sama dengan saldo akhir periode sebelumnya yang secara global bisa dilihat di Neraca, sedangkan rincian per jenis/item barang bisa dilihat di buku persediaan (inventory ledger) barang jadi dan kartu stock.

Barang Tersedia Untuk Dijual – Yang dimaksud dengan “barang tersedia untuk dijual” adalah total nilai persediaan barang jadi—yaitu: barang jadi yang dihasilkan selama periode yang dihitung ditambah dengan saldo awal persediaan barang jadi (alias sisa barang jadi dari periode sebelumnya)—yang tersedia atau siap untuk dijual.

Saldo Akhir Persediaan Barang Jadi – Yang dimaksud dengan “saldo akhir barang jadi” adalah nilai persediaan barang jadi (yang tersisa) di akhir periode yang dihitung—tentunya setelah melalui penghitungan fisik dan rekonsiliasi (antara fisik barang dan catatan), serta adjustments yang diperlukan telah dimasukan.

Harga Pokok Penjualan (HPP) – Inilah hasil (angka) yang diperoleh diujung alur proses—setelah melalui empat tahap penghitungan—untuk menentukan harga pokok penjualan perusahaan manufaktur.

Page 7: Basic Accountancy

LAPORAN KEUANGAN

Baiklah. Laporan Keuangan yang lengkap terdiri dari 4 macam laporan PLUS 1 Catatan atas Laporan Keuangan, yaitu:

1. Laporan Posisi Keuangan (=Neraca), contohnya seperti di bawah ini (diadaptasi dari Bappepam):

2. Laporan Laba Rugi, contohnya seperti di bawah ini (diadaptasi dari Bappepam):3. Laporan Arus Kas, contoh seperti di bawah ini (diadaptasi dari Bappepam):4. Laporan Perubahan Ekuitas, contoh seperti di bawah ini (diadaptasi dari Bappepam. Klik

gambar untuk memperbesar):5. Catatan Atas Laporan Keuangan.

Berikut adalah penjelasan dari masing-masing elemen (kelompok akun dan masing-masing akun). Dimulai dari Laporan Posisi Keuangan.Laporan Posisi Keuangan

Seperti terlihat pada contoh di atas, Laporan Posisi Keungan yang dahulu pernah disebut “Neraca” terdiri dari 3 kelompok akun. Kelompok pertama adalah “ASET” (dahulu disebut aktiva). Kelompok kedua adalah “LIABILITAS” (dahulu disebut kewajiban). Dan kelompok ketiga adalah “EKUITAS.”A. Kelompok ASET, terdiri dari 2 sub-kelompok, yakni:1. ASET LANCAR – Suatu Aset diklasifikasikan sebagai Aset lancar, jika Aset tersebut memenuhi salah satu dari kriteria berikut ini: (a) Berupa kas atau setara kas yang penggunaannya tidak dibatasi; (b) Diperkirakan akan direalisasi atau dimiliki untuk dijual atau digunakan dalam jangka waktu siklus operasi normal perusahaan; dan (c) Dimiliki untuk diperdagangkan atau untuk tujuan jangka pendek dan diharapkan akan direalisasi dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dari tanggal Laporan Posisi Keuangan. Sub-kelompok “Aset Lancar” terdiri dari bebarapa akun, yaitu:a. Kas dan Setara Kas – Kas merupakan alat pembayaran yang siap dan bebas dipergunakan untuk membiayai kegiatan Perusahaan. Sedangkan Setara Kas adalah investasi yang sifatnya sangat likuid, berjangka pendek dan yang dengan cepat dapat dijadikan kas dalam jumlah tertentu tanpa menghadapi risiko perubahan nilai. Instrumen yang dapat diklasifikasikan sebagai setara kas meliputi: (a) Deposito berjangka yang akan jatuh tempo dalam waktu 3 bulan atau kurang dari tanggal penempatannya serta tidak dijaminkan; (b) Instrumen pasar uang yang diperoleh dan akan dicairkan dalam jangka waktu tidak lebih dari 3 (tiga) bulan; Kas dan setara kas yang telah ditentukan penggunaanya atau yang tidak dapat digunakan secara bebas tidak diklasifikasi dalam kas dan setara kas.b. Investasi Jangka Pendek – Akun ini merupakan bentuk investasi yang dimaksudkan untuk pemanfaatan dana perusahaan dalam jangka pendek. Investasi jangka pendek antara lain adalah deposito dan efek yang jatuh tempo atau pemilikannya dimaksudkan tidak lebih dari 12 (dua belas) bulan. Investasi Jangka Pendek dalam efek yang nilai wajarnya tersedia dapat berupa efek hutang (debt securities) dan efek ekuitas (equity securities) yang dapat digolongkan dalam 3 (tiga) kategori yaitu: Diperdagangkan (trading) -Yang termasuk dalam kategori ini adalah efek yang dibeli dan dimiliki untuk menghasilkan keuntungan dari perbedaan harga jangka pendek. Efek untuk “Diperdagangkan” disajikan di Laporan Posisi Keuangan sebesar nilai wajar, dan keuntungan atau kerugian yang belum direalisasi diakui dalam Laporan Laba Rugi. Dimiliki hingga jatuh tempo (held to maturity) – Kategori ini merupakan Aset keuangan dengan kepastian pembayaran dan kepastian tanggal jatuh tempo, dimana perusahaan bermaksud dan mampu memilikinya hingga jatuh tempo. Efek yang dimiliki hingga jatuh tempo disajikan di Laporan Posisi Keuangan sebesar biaya perolehan setelah diperhitungkan amortisasi premi atau diskonto. Perusahaan harus secara konsisten menggunakan metode amortisasi yang menghasilkan penyajian wajar dalam laporan keuangan.

Page 8: Basic Accountancy

Tersedia untuk dijual (available for sale) – Efek yang termasuk dalam kategori ini adalah efek yang tidak memenuhi kriteria “Diperdagangkan” atau “Dimiliki hingga jatuh tempo”. Efek ini disajikan sebesar nilai wajarnya. Sedangkan keuntungan/kerugian yang belum direalisasi diakui sebagai komponen ekuitas, sampai Efek tersebut dijual atau dilepas, dan pada saat tersebut keuntungan atau kerugian yang belum direalisasi diakui dalam Laporan Laba Rugi.c. Wesel Tagih – Akun ini merupakan piutang usaha yang didukung janji tertulis. Wesel tagih disajikan terpisah antara pihak ketiga dan pihak yang mempunyai hubungan istimewa apabila wesel tagih tersebut berkaitan dengan kegiatan normal perusahaan. Wesel Tagih disajikan sebesar jumlah yang dapat direalisasi, setelah memperhitungkan penyisihan porsi yang diperkirakan tidak dapat ditagih.d. Piutang Usaha – Akun ini merupakan piutang yang berasal dari kegiatan normal perusahaan. Piutang usaha disajikan terpisah antara pihak ketiga dan pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Piutang ini disajikan sebesar jumlah yang dapat direalisasikan, setelah memperhitungkan penyisihan porsi yang diperkirakan tidak dapat ditagih.e. Piutang Lain-lain – Akun ini tiada lain dari tagihan perusahaan pada pihak ketiga yang menurut sifat dan jenisnya tidak dapat dikelompokkan dalam akun-akun pada piutang jenis c dan d di atas. Piutang Lain-lain disajikan sebesar jumlah yang dapat direalisasi, setelah dikurangi penyisihan porsi yang diperkirakan tidak dapat ditagih.f. Persediaan – Persediaan adalah Aset perusahaan yang: tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal; dalam proses produksi; atau dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa; atau dalam perjalanan. Persediaan disajikan sebesar biaya perolehan atau nilai realisasi bersih, mana yang lebih rendah (the lower of cost or net realizable value).g. Pajak Dibayar Dimuka – Akun ini bisa jadi berupa: (1) kelebihan pembayaran pajak (misalnya PPN masukan atau lebih bayar) yang akan ditagih kembali atau dikompensasikan terhadap liabilitas pajak masa berikutnya; atau (2) kelebihan jumlah PPh yang telah dibayar pada periode berjalan dan periode sebelumnya dari jumlah pajak yang terhutang untuk periode-periode tersebut (misal: PPh Pasal 25). “Aset Pajak Kini” harus dikompensasikan (offset) dengan “Liabilitas Pajak Kini” dan nilai bersihnya harus disajikan pada Laporan Posisi Keuangan.h. Biaya Dibayar Dimuka – Akun ini merupakan biaya yang telah dibayar namun pembebanannya baru akan dilakukan pada periode yang akan datang, pada saat manfaat diterima, misal: premi asuransi dibayar di muka dan sewa dibayar di muka. Biaya dibayar dimuka disajikan sebesar nilai yang belum terealisasi.i. Aset Lancar Lain-lain – Akun ini mencakup Aset lancar yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam point a hingga h di atas disajikan sebagai “aset lancar lain-lain”, termasuk pembayaran di muka untuk memperoleh barang/jasa yang akan digunakan dalam satu tahun buku. Aset lancar lain-lain disajikan sebesar nilai tercatat.2. ASET TIDAK LANCAR – Masuk dalam sub-kelompok ini adalah semua Aset yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai Aset lancar. Sub-kelompok aset tidak lancar terdiri dari:a. Piutang Hubungan Istimewa – Akun ini merupakan piutang yang timbul sebagai akibat dari transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, selain untuk akun yang telah ditentukan penyajiannya pada Kas dan Setara Kas, Investasi Jangka Pendek dan Piutang Usaha. Piutang Hubungan Istimewa disajikan sebesar jumlah yang dapat direalisasi.b. Aset Pajak Tangguhan – Akun ini merupakan jumlah PPh yang diperkirakan akan terpulihkan pada periode mendatang. “Aset pajak tangguhan” bisa timbul karena 2 penyebab berikut. Penyebab pertama adalah adanya perbedaan temporer yang boleh dikurangkan. Sedangkan penyebab kedua adalah berupa sisa kompensasi “kerugian konsekuensi pajak” dimana dari saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi diakui sebagai aset pajak tangguhan apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa yang akan datang memadai untuk dikompensasi. Aset pajak tangguhan disajikan sebesar jumlah yang dapat dipulihkan kembali. Aset Pajak Tangguhan harus dikompensasi (offset) dengan “Liabilitas Pajak Tangguhan,” dan nilai bersihnya disajikan pada Laporan Posisi Keuangan.

Page 9: Basic Accountancy

c. Investasi pada Perusahaan Asosiasi – Akun ini merupakan investasi pada perusahaan asosiasi yang dimaksudkan untuk dimiliki oleh perusahaan dalam jangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan. Investasi pada perusahaan asosiasi (=perusahaan memiliki 20% sampai dengan 50% bagian ekuitas perusahaan investee), harus disajikan menggunakan metode ekuitas sebesar biaya perolehan dan selanjutnya disesuaikan untuk bagian pemilikan perusahaan atas perubahan nilai buku perusahaan asosiasi.d. Investasi Jangka Panjang Lain – Akun ini merupakan investasi yang dimaksudkan untuk dimiliki oleh perusahaan dalam jangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan. Investasi ini dapat berbentuk investasi dalam efek hutang dan efek ekuitas, investasi dalam properti dan investasi lainnya.e. Aset Tetap – Aset tetap adalah “aset berwujud” yang diperoleh dalam bentuk siap pakai, baik melalui pembelian maupun dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam kegiatan usaha perusahaan serta tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal perusahaan dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Aset tetap dapat berupa: Pemilikan Langsung – Akun ini merupakan aset tetap yang siap pakai, transaksinya telah selesai, dan menjadi hak perusahaan secara hokum, dicatat sebesar biaya perolehan. Aset Sewa Guna Usaha – Akun ini merupakan Aset tetap yang diperoleh melalui transaksi sewa guna usaha yang memenuhi kriteria “capital lease.” Aset sewa guna usaha dicatat sebesar nilai tunai (present value) dari seluruh pembayaran sewa guna usaha ditambah nilai sisa (harga opsi) yang harus dibayar oleh penyewa guna usaha pada akhir masa sewa. Aset dalam Penyelesaian – Akun ini merupakan Aset yang masih dalam proses pembangunan dan belum siap untuk digunakan, serta dimaksudkan untuk dipergunakan oleh perusahaan dalam kegiatan usahanya. Aset ini dicatat sebesar biaya yang telah dikeluarkan. Dalam hal proses pembangunan Aset tersebut terhenti dan tidak mungkin dilanjutkan, maka harus dikeluarkan dari komponen Aset tetap.Catatan: Aset tetap disajikan sebesar biaya perolehannya dikurangi dengan akumulasi penyusutannya. Tanah pada umumnya tidak disusutkan, KECUALI: kondisi kualitas tanah tidak lagi digunakan dalam operasi utama perusahaan ATAU prediksi manajemen atau kepastian bahwa perpanjangan atau pembaharuan hak kemungkinan besar atau pasti tidak diperoleh. Biaya perolehan Aset tetap harus memperhitungkan hal-hal sebagai berikut (jika ada): biaya pinjaman yang secara langsung dapat diatribusikan dengan perolehan atau konstruksi Aset tetap yang memenuhi syarat untuk dikapitalisasi, penurunan dan pemulihan kembali nilai aset tetap, serta penilaian kembali (revaluasi), sekalilagi BILA ADA.f. Aset Tidak Berwujud – Akun ini merupakan Aset non-moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak memiliki wujud fisik, serta dimiliki untuk: digunakan dalam menghasilkan dan/atau menyerahkan barang/jasa, untuk disewakan kepada pihak lainnya, untuk tujuan administratif. Akun ini antara lain terdiri dari hak paten, merek dagang, goodwill, dan biaya pengembangan. Aset Tidak Berwujud disajikan sebesar nilai tercatat, yaitu biaya perolehan dikurangi dengan akumulasi amortisasi dan akumulasi rugi penurunan nilai Aset tidak berwujud setelah revaluasi.g. Aset Lain-lain – Akun-akun yang tidak dapat digolongkan dalam kelompok Aset tetap, Aset lancar, investas maupun Aset tidak berwujud, disajikan dalam kelompok “Aset Lain-lain”. Akun ini antara lain mencakup: aset tetap yang tidak digunakan lagi, aset dari segmen usaha yang telah diputuskan oleh manajemen untuk dihentikan atau akan dijual, atau beban tangguhan (misal: biaya yang timbul untuk pengurusan legal tanah dan biaya perluasan usaha). Aset lain-lain disajikan sebesar nilai tercatat, yaitu biaya perolehan setelah dikurangi dengan amortisasi dan penurunan nilai (jika ada).B. Kelompok LIABILITAS, terdiri dari 2 sub-kelompok, yaitu:1. LIABILITAS JANGKA PENDEK – Suatu liabilitas diklasifikasikan sebagai “liabilitas jangka pendek” jika diperkirakan akan diselesaikan (dilunasi) dalam jangka waktu 12 bulan dari tanggal Laporan Posisi Keuangan. Akun-akun yang masuk ke dalam sub-kelompok LIABILITAS JANGKA PENDEK antara lain:a. Pinjaman Jangka Pendek – Akun ini merupakan liabilitas perusahaan kepada bank atau lembaga

Page 10: Basic Accountancy

keuangan lainnya. Bunga yang telah jatuh tempo disajikan sebagai Hutang Bunga.b. Wesel Bayar – Akun ini merupakan hutang usaha pada pihak ketiga yang didukung janji tertulis untuk membayar dalam jangka waktu kurang dari 12 bulan dari tanggal Laporan Posisi Keuangan atau satu siklus operasi normal perusahaan (mana yang lebih lama).c. Hutang Usaha – Akun ini merupakan liabilitas yang timbul dalam rangka kegiatan normal operasi Perusahaan, baik liabilitas kepada pihak ketiga maupun pihak yang memiliki hubungan istimewa.d. Hutang Pajak – Akun Hutang Pajak dapat berupa: liabilitas pajak perusahaan dan pajak lainnya yang belum dibayar, liabilitas pajak kini (jumlah Pph terutang atas penghasilan kena pajak pada periode berjalan). “Liabilitas Pajak Kini” harus dikompensasi (offset) dengan “Aset Pajak Kini” dan nilai bersihnya disajikan pada Laporan Posisi Keuangan.e. Beban Masih Harus Dibayar – Akun ini merupakan beban yang telah menjadi liabilitas perusahaan namun belum jatuh tempo.f. Pendapatan Diterima Dimuka – Akun ini merupakan penerimaan pembayaran dari pelanggan yang belum dapat diakui sebagai pendapatan karena penyerahan jasa belum diselesaikan.g. Bagian Liabilitas Jangka Panjang yang Jatuh Tempo dalam Waktu Satu Tahun – Akun ini merupakan bagian liabilitas jangka panjang yang akan jatuh tempo dalam waktu 12 (dua belas) bulan dari tanggal Laporan Posisi Keuangan. Akun ini disajikan dalam Laporan Posisi Keuangan dengan cara merinci jenis liabilitas jangka panjang yang akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun (misal: Pinjaman Jangka Panjang, Hutang Sewa Guna Usaha, Hutang Obligasi).h. Liabilitas jangka pendek Lain-Lain – Akun ini merupakan liabilitas jangka pendek yang tidak dapat diklasifikasikan dalam akun-akun liabilitas jangka pendek di atas.2. LIABILITAS JANGKA PANJANG – Semua liabilitas lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai liabilitas jangka pendek merupakan LIABILITAS JANGKA PANJANG. Masuk ke dalam sub-kelompok ini adalah akun:a. Hutang Hubungan Istimewa – Akun ini merupakan hutang yang timbul dari transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, selain untuk akun hutang usaha yang telah ditentukan penyajiannya.b. Liabilitas Pajak Tangguhan – Akun ini merupakan jumlah PPh terutang untuk periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak. “Liabilitas Pajak Tangguhan” harus dikompensasi (offset) dengan “Aset Pajak Tangguhan” dan nilai bersihnya disajikan pada Laporan Posisi Keuangan.c. Pinjaman Jangka Panjang – Akun ini merupakan liabilitas perusahaan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya yang jatuh tempo dalam jangka waktu lebih dari satu tahun.d. Hutang Sewa Guna Usaha – Akun ini merupakan liabilitas perusahaan kepada perusahaan sewa guna usaha (leasing company) sehubungan dengan perolehan aset perusahaan. Hutang Sewa Guna Usaha disajikan sebesar nilai tunai dari seluruh pembayaran sewa guna usaha ditambah nilai sisa (harga opsi) dikurangi angsuran pokok.e. Keuntungan Tangguhan Aset Dijual dan Disewa Guna Usaha Kembali – Jika perusahaan melakukan penjualan dan penyewagunausahaan kembali (istilahnya “sales and lease-back”), maka transaksi tersebut harus diperlakukan sebagai dua transaksi yang terpisah, yaitu: (1) transaksi penjualan; dan (2) transaksi sewa guna usaha. Selisih antara harga jual dan nilai buku aset yang dijual harus diakui dan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan. Keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan ini harus diamortisasi.f. Hutang Obligasi – Akun ini merupakan liabilitas perusahaan kepada pemegang obligasi sehubungan dengan penerbitan obligasi perusahaan. Hutang obligasi disajikan sebesar nilai nominal setelah memperhitungkan amortisasi premium atau diskonto.g. Liabilitas jangka panjang Lainnya – Akun ini mencakup liabilitas jangka panjang yang tidak dapat dikelompokkan dalam butir a sampai dengan f di atas. Liabilitas jangka panjang Lainnya di dalam Laporan Posisi Keuangan disesuaikan dengan urutan jatuh temponya.

Page 11: Basic Accountancy

h. Hutang Subordinasi – Akun ini merupakan pinjaman yang diperoleh berdasarkan suatu perjanjian subordinasi, dengan ketentuan pinjaman tersebut baru dapat dibayar kembali apabila perusahaan telah melunasi seluruh liabilitasnya atau liabilitas tertentu.C. Kelompok EKUITAS, umumnya terdiri akun-akun sebagai berikut:1. Modal Saham – Pada akun ini disajikan nilai nominal untuk setiap jenis saham. Disamping itu, pada akun ini disajikan:a. Modal Dasar, yakni jumlah saham untuk setiap jenis saham sesuai dengan anggaran dasar perusahaan.b. Modal Ditempatkan dan Disetor Penuh, yakni jumlah dari bagian dari modal dasar yang telah ditempatkan dan disetor penuh untuk tiap jenis saham.2. Tambahan Modal Disetor Bersih – Tambahan Modal Disetor disajikan pada Laporan Posisi Keuangan dengan menjumlahkan akun-akun berikut ini:a. Agio Saham – Akun ini merupakan kelebihan setoran pemegang saham di atas nilai nominalb. Biaya Emisi Efek Ekuitas – Akun ini merupakan biaya yang berkaitan dengan penerbitan efek ekuitas perusahaan (mencakup fee dan komisi yang dibayarkan kepada penjamin emisi, lembaga dan profesi penunjang pasar modal, serta biaya pencetakan dokumen pernyataan pendaftaran, biaya pencatatan efek ekuitas di bursa efek, dan biaya promosi).c. Selisih Modal dari Perolehan Kembali Saham – Akun ini merupakan selisih antara jumlah yang dibayarkan pada saat perolehan kembali saham dengan (1) jumlah yang diterima pada saat pengeluaran saham jika menggunakan cost method; atau (2) nilai nominal jika menggunakan par value methodd. Selisih Kurs atas Modal yang Disetor – Akun ini merupakan selisih kurs mata uang asing yang timbul sehubungan dengan transaksi modal.e. Modal Sumbangan – Akun ini merupakan modal yang berasal dari sumbangan yang diperoleh perusahaan dari pemerintah, pemegang saham dan atau pihak lain;f. Modal Disetor Lainnya – Akun ini antara lain terdiri dari: (1) setoran modal yang belum dapat dibukukan sebagai modal disetor penuh karena masih menungggu pengesahan peningkatan modal dasar dari instansi yang berwenang; (2) nilai waran pisah (detachable warrants) yang belum dan tidak dilaksanakan; dan (3) selisih kurs atas penjabaran laporan keuangan3. Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Perusahaan Asosiasi – Akun ini merupakan perbedaan antara nilai investasi perusahaan pada perusahaan asosiasi sebagai akibat adanya perubahan ekuitas perusahaan asosiasi yang bukan berasal dari transaksi antara perusahaan dengan perusahaan asosiasi tersebut.4. Keuntungan atau Kerugian yang belum Direalisasi dari Efek yang Tersedia untuk Dijual – Akun ini merupakan keuntungan atau kerugian yang belum direalisasi dari efek ekuitas dan efek hutang yang tersedia untuk dijual.5. Selisih Penilaian Kembali Aset Tetap – Akun ini merupakan tambahan nilai Aset tetap sebagai hasil penilaian kembali sesuai ketentuan Pemerintah, setelah memperhitungkan pajak yang terkait. Akun ini disajikan apabila perusahaan memilih untuk membukukan hasil penilaian kembali Aset tetap.6. Waran – Akun ini merupakan nilai efek yang diterbitkan perusahaan yang memberi hak kepada pemegangnya untuk memesan saham perusahaan pada harga dan periode waktu tertentu.7. Opsi Saham – Akun ini merupakan nilai efek yang menjadi basis kompensasi pemerian saham kepada karyawan perusahaan.8. Saldo Laba – Akun ini merupakan akumulasi hasil usaha periodik setelah memperhitungkan pembagian dividen dan koreksi laba rugi periode lalu. Dalam hal dilakukan kuasi reorganisasi, jumlah saldo laba negatif (defisit) yang dieliminasi harus disajikan selama tiga tahun berturut-turut sejak tahun kuasi reorganisasi dilakukan.9. Modal Saham yang Diperoleh Kembali – Akun ini merupakan nilai saham perusahaan yang diperoleh kembali dan disajikan sebagai berikut: (1) Pengurang ekuitas jika menggunakan cost method. (2) Pengurang modal saham jika menggunakan par value method.

Page 12: Basic Accountancy

Laporan Laba RugiKomponen utama Laporan Laba Rugi terdiri dari:1. Pendapatan Usaha – Akun ini merupakan pendapatan yang berasal dari penjualan produk utama perusahaan. Pendapatan usaha disajikan bersih setelah dikurangi potongan penjualan, retur penjualan dan lain-lain.2. Beban Pokok Penjualan – Akun ini merupakan nilai tercatat dari persediaan yang dijual.3. Laba/Rugi Kotor – Akun ini merupakan selisih antara Pendapatan Usaha dengan Beban Pokok Penjualan.4. Beban Usaha – Akun ini merupakan beban kegiatan utama perusahaan yang dilaporkan dalam dua kategori yaitu: (a) Beban penjualan; dan (b) Beban umum dan administrasi.5. Laba/Rugi Usaha – Akun ini merupakan selisih antara Pendapatan Usaha dengan Beban Usaha.6. Penghasilan/Beban Lain-lain – Akun ini merupakan penghasilan/beban yang tidak dapat dihubungkan langsung dengan kegiatan usaha utama perusahaan. Penghasilan/beban lain-lain disajikan dengan cara merinci penghasilan (beban) lain-lain, setidak-tidaknya meliputi: bagian laba/rugi perusahaan asosiasi, penghasilan bunga, beban bunga, laba/rugi kurs, dll7. Bagian Laba/Rugi Perusahaan Asosiasi – Akun ini merupakan laba atau rugi perusahaan asosiasi pada periode berjalan yang diakui oleh perusahaan sesuai dengan persentase pemilikannya. Akun ini disajikan tersendiri jika nilainya material. Jika tidak material maka disajikan sebagai bagian penghasilan/beban lain-lain.8. Laba/Rugi Sebelum Pajak Penghasilan – Akun ini merupakan laba/rugi usaha setelah memperhitungkan “penghasilan/beban lain-lain dan porsi “laba/rugi perusahaan asosiasi.9. Beban/Penghasilan Pajak – Akun ini merupakan jumlah agregat pajak kini (current tax) dan pajak tangguhan (deferred tax) yang diperhitungkan dalam perhitungan laba/rugi pada periode berjalan, antara pajak kini dantangguhan biasanya dipisah.10. Laba/Rugi dari Aktivitas Normal Perusahaan – Akun ini merupakan laba/rugi setelah dikurangi dengan “beban/penghasilan pajak” di atas dan sebelum “akun-akun luar biasa” di bawah ini.11. Pos Luar Biasa – Akun ini merupakan akun-akun yang berasal dari kejadian atau transaksi yang tidak biasa (unusual) dan tidak sering terjadi (infrequent). Akun luar biasa disajikan bersih setelah memperhitungkan pajak.12. Laba/Rugi Bersih – Akun ini merupakan laba/rugi dari aktivitas perusahaan setelah memperhitungkan “beban/penghasilan pajak” dan “akun luar biasa” di atas.13. Laba/Rugi Per Saham Dasar – Akun ini merupakan jumlah laba/rugi bersih yang tersedia bagi setiap saham biasa yang beredar selama periode pelaporan. Dalam hal perusahaan mencatatkan efeknya di bursa lain dalam bentuk Sertifikat Penitipan Efek (SPE), maka disajikan juga laba/rugi per SPE dasar.14. Laba/Rugi Per Saham Dilusian – Akun ini merupakan jumlah laba/rugi pada suatu periode yang tersedia bagi setiap saham biasa yang beredar selama periode pelaporan dan saham biasa yang diasumsikan telah diterbitkan bagi semua efek berpotensi saham biasa yang bersifat dilutif yang beredar selama periode pelaporan. Jumlah saham biasa yang akan diterbitkan saat konversi efek berpotensi saham biasa ditentukan sesuai persyaratan efek berpotensi saham tersebut. Perhitungan ini mengasumsikan: nilai konversi atau harga pelaksanaan yang paling menguntungkan dari sudut pandang pemegang efek berpotensi saham biasa. Dalam hal perusahaan mencatatkan efeknya di bursa lain dalam bentuk Sertifikat Penitipan Efek (SPE), maka disajikan juga laba (rugi) per SPE dilusian.Laporan Perubahan EkuitasSeperti nampak pada contoh di atas, laporan ini menyajikan:1. Laba (rugi) bersih periode bersangkutan.2. Setiap akun yang berdasarkan PSAK terkait diakui secara langsung dalam ekuitas. Contoh akun ini antara lain keuntungan/kerugian yang belum direalisasi dari efek tersedia untuk dijual.3. Pengaruh kumulatif dari perubahan kebijakan akuntansi dan koreksi atas kesalahan mendasar, yaitu

Page 13: Basic Accountancy

berupa:a. Efek Kumulatif atas Perubahan Kebijakan Akuntansi, yakni pengaruh kumulatif yang bersifat retrospektif terhadap laba rugi perusahaan sebagai akibat dari suatu perubahan kebijakan akuntansi yang diterapkan perusahaan.b. Koreksi atas Kesalahan Mendasar, entah itu berupa kesalahan perhitungan matematis, kesalahan dalam penerapan kebijakan akuntansi, kesalahan interpretasi fakta, termasuk kecurangan (fraud) atau kelalaian.4. Transaksi modal dengan pemilik dan distribusi kepada pemilik5. Saldo laba/rugi pada awal dan akhir periode, yang dibagi dalam:a. Yang Telah Ditentukan Penggunaannya – Akun ini merupakan saldo laba yang ditentukan penggunaannya dan disajikan terpisah antara jumlah yang telah ditentukan penggunaannya oleh perusahaan dan yang diwajibkan oleh peraturan yang berlaku.b. Yang Belum Ditentukan Penggunaannya – Akun ini merupakan saldo laba yang belum ditentukan penggunannya oleh perusahaan.6. Rekonsiliasi antara nilai tercatat dari masing-masing jenis modal ditempatkan dan disetor penuh, tambahan modal disetor dan akun-akun ekuitas lainnya pada awal dan akhir periode yang mengungkapkan secara terpisah setiap perubahan.Laporan Arus KasLaporan Arus Kas menyajikan arus kas selama periode tertentu dan dikelompokkan menurut klasifikasi aktivitas sebagai berikut:A. ARUS KAS DARI AKTIVITAS OPERASI – Arus Kas dari Aktivitas Operasi merupakan indikator yang menentukan apakah dari operasinya perusahaan dapat menghasilkan arus kas yang cukup untuk melunasi pinjaman, memelihara kemampuan operasi perusahaan, membayar dividen, dan melakukan investasi baru tanpa mengandalkan pada sumber pendanaan dari luar. Arus Kas dari Aktivitas Operasi terutama diperoleh dari aktivitas penghasil utama pendapatan perusahaan. Oleh karena itu, arus kas tersebut pada umumnya berasal dari transaksi dan peristiwa lain yang mempengaruhi penetapan laba (rugi) bersih. Arus Kas dari Aktivitas Operasi antara lain dapat berupa: Penerimaan kas dari penjualan barang dan jasa. Penerimaan kas dari royalti, fees, komisi dan pendapatan lain. Pembayaran kas kepada pemasok barang dan jasa. Pembayaran kas kepada karyawan. Pembayaran kas atau penerimaan kembali (restitusi) pajak penghasilan kecuali jika dapat diidentifikasikan secara khusus sebagai bagian dari aktivitas pendanaan atau investasi. Penerimaan dan pembayaran kas dari kontrak yang diadakan untuk tujuan transaksi usaha dan perdagangan. Bunga yang dibayarkan dan bunga serta dividen yang diterima, diklasifikasi sebagai arus kas operasi karena mempengaruhi laba (rugi) bersih. Hasil penjualan atau jatuh tempo atas efek yang diperdagangkan dan kas yang dikeluarkan untuk pembelian efek yang diperdagangkan termasuk dalam aktivitas operasi. Arus kas yang berkaitan dengan pajak penghasilan.Catatan: Oleh regulator, perusahaan diwajibkan untuk menyajikan arus kas dari aktivitas operasi dengan menggunakan “metode langsung” (direct method).B. ARUS KAS DARI AKTIVITAS INVESTASI – Arus Kas dari Aktivitas Investasi mencerminkan penerimaan dan pengeluaran kas sehubungan dengan sumber daya yang bertujuan untuk menghasilkan pendapatan dan arus kas masa depan. Arus Kas dari Aktivitas Investasi antara lain dapat berupa: Pembayaran kas untuk membeli aset tetap, aset tak berwujud, dan sset jangka panjang lain, termasuk biaya pengembangan yang dikapitalisasi dan sset tetap yang dibangun sendiri. Penerimaan kas dari penjualan tanah, bangunan dan peralatan, aset tidak berwujud, dan aset jangka panjang lain.

Page 14: Basic Accountancy

Perolehan saham atau instrumen keuangan perusahaan lain. Uang muka dan pinjaman yang diberikan kepada pihak lain beserta pelunasannya. Pembayaran kas sehubungan dengan futures contracts, forward contracts, option contracts dan swap contracts, KECUALI bila kontrak tersebut dilakukan untuk tujuan perdagangan atau apabila pembayaran tersebut diklasifikasikan sebagai aktivitas pendanaan. Hasil penjualan atau jatuh tempo atas efek yang tersedia untuk dijual dan efek yang dimiliki hingga jatuh tempo merupakan arus kas dari aktivitas investasi. Kas yang dikeluarkan untuk pembelian efek yang tersedia untuk dijual dan efek yang dimiliki hingga jatuh tempo termasuk dalam aktivitas investasi.C. ARUS KAS DARI AKTIVITAS PENDANAAN – Arus kas dari aktivitas pendanaan adalah arus kas yang timbul dari penerimaan dan pengeluaran kas sehubungan dengan transaksi pendanaan jangka panjang dengan kreditur dan pemegang saham perusahaan. Arus Kas dari Aktivitas Pendanaan antara lain dapat berupa: Penerimaan kas dari emisi saham atau instrumen modal lainnya. Pembayaran kas kepada para pemegang saham untuk menarik atau menebus saham perusahaan. Penerimaan kas dari emisi obligasi, pinjaman, wesel, hipotik, dan pinjaman lainnya. Pelunasan pinjaman. Dividen yang dibayar dapat diklasifikasikan sebagai arus kas pendanaan karena merupakan biaya perolehan sumber daya keuangan. Pembayaran hutang sewa guna usaha.Catatan: Pengungkapan Aktivitas yang Tidak Mempengaruhi Arus KasTransaksi investasi dan pendanaan yang tidak memerlukan penggunaan kas atau setara kas harus disajikan dalam kelompok AKTIVITAS YANG TIDAK MEMPENGARUHI ARUS KAS dalam Laporan Arus Kas. Selain itu, transaksi-transaksi ini (lihat pada contoh Laporan Arus Kas) mesti diungkapkan pada CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN, sehingga dapat memberikan semua informasi yang relevan mengenai aktivitas investasi dan pendanaan tersebut. Transaksi-transksi pendanaan yang dimaksud dapat berbentuk:1. Perolehan aset secara kredit atau melalui sewa guna usaha (finance lease).2. Akuisisi perusahaan melalui penerbitan saham.3. Konversi hutang menjadi modal.4. Kapitalisasi biaya pinjaman.Karena keterbatasan ruang dan waktu, komponen “CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN” dengan terpaksa akan disampaikan di kesempatan lain. Yang pasti, komponen yang satu ini sangat vital. Seperti nampak pada contoh, setiap lembar “Laporan Posisi Keuangan” dan “Laporan Laba Rugi” disertai kolom “Catatan” sebelum kolom nilai (Rupiah) yang berupa kode indeks yang merujuk pada penjelasan mengenai angka yang tercantum dalam laporan.

Page 15: Basic Accountancy

JURNALKOREKSI vs JURNAL PENYESUAIAN

Dengan logika umum, yang namanya “disesuaikan” dengan “dibetulkan/dikoreksi” memang mirip-mirip. Ahli bahasa mungkin menyebut kata “disesuaikan” sebagai bentuk eufimisme atau penghalusan dari istilah “koreksi”. Inilah yang sering membuat masyarakat umum menjadi bingung ketika mencoba memahami akuntansi.

Masyarakat umum bingung, mungkin tidak apa-apa, toh mereka tidak bekerja di bidang akuntansi. Namun menjadi repot ketika kebingungan yang sama terjadi pada mereka yang bekerja di bidang akuntansi. Kebingungan yang sama lumrah terjadi pada pelajar/mahasiswa jurusan Akuntansi—terutama di tahun-tahun pertama belajar.

Agar terbebas dari kebingungan ini, hal pertama yang perlu disadari adalah: Akuntansi menggunakan istilah teknis tersendiri yang berbeda dengan istilah umum.“Penyesuaian” dan “Pembetulan/Koreksi”, dalam akuntansi, adalah dua hal yang samasekali berbeda, tidak bisa dicampuradukkan. Dan memahami perbedaannya, sangat mendasar bagi siapapun yang ingin menguasai akuntansi.Bisa dibilang, mampu atau tidaknya menjawab pertanyaan ini dengan baik, mencerminkan: apakah seseorang sudah paham prosedur debit-credit (double-entry) atau belum; dan apakah sudah menguasai teknik dasar menjurnal atau belum.Sebab, mustahil bisa membuat jurnal pembetulan dan penyesuaian jika belum paham prosedur debit-credit dan menjurnal. (CATATAN: Yang belum paham teknik dasar menjurnal dan prosedur debit-credit silahkan baca “Cara Mudah Membuat Jurnal Akuntansi”)Lebih jauh lagi, mampu tidaknya seseorang menjawab pertanyaan yang sama juga mencerminkan apakah dia paham konsep dasar akrual dan deferal atau belum.“Okay. Lalu, apa beda jurnal penyesuaian dengan pembetulan?” mungkin ada yang sudah tak sabar.Kalau saya jawab “Jurnal penyesuaian untuk menyesuaikan saldo akun agar mewakili kondisi sebenarnya dan Jurnal pembetulan untuk memperbaiki kesalahan jurnal,” apakah cukup?Jika memang cukup, berarti itulah jawabannya. Jika belum cukup, maka perlu membahas jurnal pembetulan dan jurnal penyesuaian terlebih dahulu. Silahkan lanjutkan membaca.Jurnal Pembetulan (Correction Entry)Jurnal pembetulan adalah jurnal yang dipergunakan untuk membetulkan jurnal yang terlanjur salah dibuat—entah itu salah angka atau salah akun.“Untuk melakukan koreksi (pembetulan), mengapa perlu membuat jurnal?” Mungkin ada yang berpikir demikian. Jawabannya, karena asumsinya: Pertama, pencatatan transaksi dilakukan secara manual (di atas kertas/buku jurnal). Kedua, pencoteran atau type-x ditabukan dalam akuntansi. Ditabukan karena disamping terlihat tidak rapih juga menimbulkan keragu-raguan.Misalnya: Pada tanggal 10 Januari 2014 Annie menerima slip tunai pembayaran upah buruh. Untuk itu Annie membuat jurnal sbb:[Debit]. Upah Buruh = Rp 25,070,000,-[Kredit]. Kas = Rp 25,070,000,-Pagi-pagi, keeskokan harinya, tiba di kantor Annie sudah menemukan memo kecil dari Chief Accountant tertempel di atas mejanya dengan pesan, “Annie, kamu salah masukkan jurnal untuk pembayaran upah buruh, tolong buat koreksi.”Selesai membaca “surat cinta” itu, Annie mencari slip pembayaran upah buruh yang dimaksud dan membandingkannya dengan jurnal yang dimasukkan ke buku. Pada slip pembayaran Annie menemukan angka 27,700,000. Namun pada jurnal yang Annie masukkan angkanya Rp 27,070,000. Jadi ada KESALAHAN ANGKA, sehingga terjadi selisih Rp 630,000 (=27,700,000 – 27,070,000).Atas kesalahan tersebut, Annie tidak mencoret atau men-typeX jurnal yang salah, karena hal itu ditabukan dalam Akuntansi. Sebagai gantinya, Annie memasukkan JURNAL PEMBETULAN

Page 16: Basic Accountancy

(correction entry), sbb:[Debit]. Upah Buruh = Rp 630,000,-[Kredit]. Kas = Rp 630,000,-Setelah jurnal pembetulan di masukkan maka total upah buruh yang diakui menjadi benar, yakni Rp 27,070,000 + Rp 630,000 = Rp 27,700,000, sesuai dengan angka yang tertera pada slip pembayaran upah buruh.Begitu selesai memasukkan jurnal koreksi, Chief Accountant sudah ada di meja Annie. Dan mengatakan bahwa Annie juga salah memasukkan Pendapatan Bunga Jasa Giro dari bank. Oleh Annie, pendapatan bunga dari bank dimasukkan ke akun Pendapatan dengan jurnal:[Debit]. Kas = Rp 750,000[Kredit]. Pendapatan = Rp 750,000Seharusnya, pendapatan bunga dari bank dipisahkan dari pendapatan utama (hasil penjualan) dan dimasukkan ke akun “Pendapatan Jasa Giro.” Artinya, telah terjadi kesalahan akun. Untuk itu Annie harus membuat JURNAL PEMBETULAN sbb:[Debit]. Pendapatan = Rp 750,000[Kredit]. Pendapatan Bunga Jasa Giro = Rp 750,000CATATAN KHUSUS: Pendapatan bunga pada rekening giro perusahaan di bank TIDAK DIGABUNG dengan Pendapatan utama dari hasil penjualan. Sebab pendapatan ini sudah dikenakan “pajak bersifat final” oleh pihak bank, sehingga tidak dikenakan pajak lagi pada PPh perusahaan. Oleh sebab itu harus dipisahkan. Untuk pendapatan ini, biasanya perusahaan membuat akun khusus yang disebut “Pendapatan Bunga Jasa Giro.”Kesalahan akun juga disebut “salah klasifikasi akun,” oleh sebab itu jurnal pembetulan atas kesalahan akun sering disebut “jurnal reklasifikasi” (reclassification entry). Di tempat kerja, jika atasan mengatakan “tolong reclass” artinya anda diminta untuk membuat jurnal pembetulan atas kesalahan akun.“Pada jurnal reklasifikasi di atas, mengapa akun KAS tidak ikut di reklasifikasi?” mungkin ada yang berpikir seperti itu.Jawabannya: Sebab, yang salah klasifikasi hanya akun pendapatan saja, sedangkan akun kasnya sudah benar, sehingga tak perlu direklasifikasi lagi. Ini versi saat kita belajar di sekolah atau kampus. Dalam pekerjaan sesungguhnya, terutama jika menggunakan software akuntansi, prosedurnya sedikit berbeda (baca “Membuat Jurnal Pembetulan Dengan Software Akuntansi” setelah yang di bawah ini)Bagaimana jika kesalahan diketahui setelah tutup buku (saldo pendapatan dan beban telah di nol-kan)? Bagaimana membuat jurnalnya? Pertama, pertimbangkan, apakah perlu dibuatkan jurnal pembetulan atau tidak. Dasar pertimbangannya: Apakah bisa terkoreksi dengan sendirinya (self-corrected) atau tidak. Jika bisa terkoreksi dengan sendirinya maka tak perlu dibuatkan jurnal koreksi. Jika sebaliknya maka jurnal koreksi diperlukan. Untuk lebih lengkapnya silahkan baca “Salah Jurnal, Apakah Perlu Koreksi?”Terutama adik-adik pelajar dan mahasiswa, perlu menyadari bahwa contoh-contoh kasus jurnal pembetulan yang disajikan di sekolah/kampus—entah atas kesalahan angka atau kesalahan akun—selalu menggunakan asumsi: PROSES PENCATATAN TRANSAKSI DILAKUKAN SECARA MANUAL (di atas kertas buku jurnal). Contoh kasus di atas pun, juga, menggunakan asumsi bahwa Annie melakukan pekerjaannya di atas kertas (buku jurnal).Pada kenyataannya, di era komputer sekarang ini, sudah hampir semua perusahaan menggunakan software akuntansi. Sehingga, staf accounting pemula (fresh graduate) di perusahaan sering bingung ketika berhadapan dengan pekerjaan yang sesungguhnya.Dengan software akuntansi (termasuk Excel), staf accounting bisa memperbaiki kesalahan dengan cara melakukan editing (perbaikan) langsung pada jurnal yang salah saja, atau dengan cara menghapus transaksi yang salah untuk kemudian diganti dengan jurnal yang benar. Sehingga, TIDAK PERLU memasukkan jurnal pembetulan/koreksi lagi.

Page 17: Basic Accountancy

Pada kasus Annie yang pertama (salah angka transaksi) di atas misalnya, dia bisa langsung mencari jurnal yang salah, lalu mengganti angka yang salah (27,070,000) dengan angka yang benar (27,700,000). Sedangkan pada kasus kedua, Annie bisa menghapus jurnal yang salah (pada akun Pendapatan) dan membuat jurnal baru pada akun yang benar (Pendapatan Jasa Giro) dengan tanggal yang dimajukan agar sesuai dengan transaksi aslinya.Namun hal itu tergantung pada kebijakan perusahaan masing-masing yang bisa jadi berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Perbedaan kebijakan terletak pada penentuan saat kapan system (software) dikunci (locked).Pada umumnya, perusahaan melakukan penguncian system untuk membatasi tindakan mengubah data tanpa seijin yang punya otorisasi. Begitu system dikunci, staf accounting tidak bisa lagi:1. melakukan editing langsung pada jurnal;2. menghapus catatan transaksi (jurnal); atau3. termasuk mengubah tanggal.Sekedar informasi. Perusahaan-perusahaan yang saya kendalikan, melakukan penguncian system setiap hari, yakni setelah pukul 6 sore. Tujuannya? Membuat staf accounting terbiasa untuk selalu fokus dan berhati-hati dalam bekerja. Pendekatan yang sama juga—secara sistemik—memaksa semua Chief Accountant untuk selalu melakukan ledger detail review setiap hari dan harus kelar sebelum pukul 6 sore.Jika ditemukan kesalahan pada transaksi yang telah lewat, setelah system dikunci, staf accounting harus memasukkan JURNAL PEMBETULAN/KOREKSI lewat modul khusus yang biasanya bisa dibuka oleh orang yang punya otoritas (Chief Accountant dan Controller). Yang artinya juga, jurnal koreksi hanya boleh dilakukan dengan seijin (approval) orang yang berwenang. Tujuannya? Jelas untuk pengendalian intern—atasan menjadi selalu tahu setiap ada kesalahan.Membuat jurnal koreksi dengan menggunakan software akuntansi juga agak berbeda jika dibandingkan manual. Untuk contoh kasus kedua misalnya, Annie tidak bisa membuat jurnal dengan cara melawankan Akun pendapatan dengan akun pendapatan lainnya (karena sama-sama bersaldo kredit). Akun Pendapatan hanya bisa dilawankan dengan akun Piutang atau Kas (dan akun Biaya hanya bisa dilawankan dengan akun Utang atau Kas).Untuk melakukan reklasifikasi, bila bekerja menggunakan software, Annie harus membuat jurnal pembalik (reversal entry) terlebih dahulu, sbb:[Debit]. Pendapatan = 750,000[Kredit]. Kas = 750,000Dengan jurnal pembalik di atas maka posisi saldo masing-masing akun kembali ke posisi semula. Setelah itu baru membuat jurnal dengan akun yang benar, yakni:[Debit]. Kas = Rp 750,000[Kredit]. Pendapatan Bunga Jasa Giro = Rp 750,000Jurnal Penyesuaian (Adjustment Entry)Jurnal Penyesuaian (Adjustment Entry) adalah jurnal yang dibuat untuk menyesuaikan nilai saldo akun-akun tertentu agar sesuai dengan kondisi sebenarnya.Bagaimana caranya membuat jurnal penyesuaian? Tergantung saldo akun mana yang akan disesuaikan. Akun yang saldonya perlu disesuaikan biasanya akun yang timbul akibat adanya pengakuan biaya yang disegerakan (=diakrualkan) atau ditunda (=dideferalkan). Beberapa contoh akun yang biasanya memerlukan jurnal penyesuaian, antara lain:1. Deposit Supplier dan Biaya Dibayar Di Muka (Prepaid)Prinsip Kesesuaian (Matching Principle) menganjurkan agar setiap “Beban/Biaya” dan “Pendapatan” saling bersesuaian (matched). Konkretnya, dalam konteks ini, beban/Biaya yang timbul di suatu periode hanya diakui sejumlah yang bisa dihubungkan dengan pendapatan yang bisa dihasilkan pada periode yang sama.Untuk memenuhi prinsip ini maka, beban/biaya yang kemanfaatannya diperkirakan lebih dari satu

Page 18: Basic Accountancy

periode TIDAK diakui secara sekaligus pada saat timbul, melainkan dialokasikan dan diakui secara bertahap sesuai dengan manfaat yang ditimbulkan per periodenya.CONTOH KASUS:Untuk rencana penjualan Januari 2014, PT. JAK memesan barang di UD Makmur senilai Rp 100,000,000 pada tanggal 20 Desember 2013. Barang rencananya akan diterima secara bertahap mulai tanggal 5 hingga 10 Januri 2014. Untuk pemesanan itu, tanggal 22 Desember 2013 PT JAK membayar UD makmur sebesar nilai pesanan.Atas pengaluaran tersebut PT JAK tidak mencatatnya sebagai persediaan. Sebagai gantinya PT. JAK memasukkan jurnal sbb:[Debit] Deposit Supplier = Rp 100,000,000 (masuk ke Neraca)[Kredit]. Kas = Rp 100,000,000 (mengurangi saldo Kas di Neraca)Nah, akun “Deposit Supplier” inilah yang harus disesuaikan dengan kondisi sebenarnya, yakni setiap kali barang persediaan diterima. Misalnya, ketika barang tahap pertama diterima senilai Rp 40 juta pada tanggal 5 Januari 2014, PT JAK membuat JURNAL PENYESUAIAN sebagai berikut:[Debit]. Persediaan Barang Jadi = Rp 40,000,000 (saldo persediaan di Neraca bertambah 40 juta)[Kredit]. Deposit Supplier = Rp 40,000,000 (saldo Desposit Supplier di Neraca berkurang 40 juta)Ketika barang tahap 2 diterima senilai Rp 60 jutaTanggal 8 Januari 2014, PT JAK membuat JURNAL PENYESUAIAN lagi sbb:[Debit]. Persediaan Barang Jadi = Rp 60,000,000 (total saldo persediaan menjadi 40+60 juta)[Kredit]. Deposit Supplier = Rp 60,000,000 (sisa saldo Desposit Supplier di Neraca nol)(Catatan: Deposit Supplier di atas bisa juga disebut “Persediaan Dibayar Dimuka”, esensinya sama saja)Pengakuan bertahap juga diterapkan pada transaksi Sewa yang manfaatnya lebih dari satu periode.CONTOH KASUS:Untuk mengantisipasi pemadaman listrik yang kerap terjadi, tanggal 15 Desember 2013 PT JAK menyewa mesin Genset senilai Rp 75 juta untuk penggunaan hingga 15 Maret 2014.Saat Sewa dibayar, PT JAK tidak membebankan biaya sewa seketika di bulan Desember 2013. Sebagai gantinya, PT JAK mencatat dengan jurnal sbb:[Debit]. Sewa Dibayar Di Muka = Rp 75,000,000 (masuk Neraca)[Kredit]. Kas = Rp 75,000,000 (mengurangi saldo Kas di neraca)Nah, saldo “Sewa Dibayar Di Muka” inilah yang terus disesuaikan setiap periodenya berdasarkan penggunaannya sehingga mencerminkan kondisi sebenarnya. Jelang tutup buku 31 Desember 2013 misalnya, PT JAK membuat JURNAL PENYESUAIAN sebagai berikut:[Debit]. Biaya Sewa = Rp 12,500,000 (dibiayakan dan mengurangi Laba Des 2013)[Kredit]. Sewa Dibayar Di Muka = Rp 12,500,000 (mengurangi saldo Sewa Dibayar Dimuka di Neraca)(Catatan: Rp 12,500,000 adalah porsi biaya sewa untuk Desember 2013 (=75 juta:3)/2)Pada tanggal 31 Januari 2014 nanti, PT JAK akan membuat penyesuaian saldo Sewa Dibayar Di Muka lagi, sbb:[Debit]. Biaya Sewa = Rp 25,000,000 (mengurangi Laba Januari 2014)[Kredit]. Sewa Dibayar Di Muka = Rp 25,000,000 (mengurangi saldo Sewa Dibayar Dimuka di Neraca)(Catatan: Rp 25,000,000 (=75 juta:3) adalah porsi biaya sewa untuk Januari 2014.)Pada tanggal 28 Februari 2014 nanti, PT JAK akan membuat penyesuaian saldo Sewa Dibayar Di Muka lagi, sbb:[Debit]. Biaya Sewa = Rp 25,000,000 (mengurangi Laba Februari 2014)[Kredit]. Sewa Dibayar Di Muka = Rp 25,000,000 (mengurangi saldo Sewa Dibayar Dimuka di Neraca)(Catatan: Rp 25,000,000 (=75 juta:3) adalah porsi biaya sewa untuk Februari 2014).

Page 19: Basic Accountancy

Pada saat ini saldo Sewa Dibayar Di Muka akan menunjukkan angka Rp 12,500,000 (=75 juta – 12,500,000 – 25,000,000 – 25,000,000). Sehingga, pada tanggal 31 Maret 2014 PT JAK akan memasukkan jurnal penyesuaian terakhir untuk saldo Sewa Dibayar Di Muka, sbb:[Debit]. Biaya Sewa = Rp 12,500,000 (mengurangi Laba Maret 2014)[Kredit]. Sewa Dibayar Di Muka = Rp 12,500,000 (mengurangi saldo Sewa Dibayar Dimuka di Neraca)(Catatan: Rp 12,500,000 ((=75 juta:3)/2) adalah porsi biaya sewa untuk Maret 2014).Setelah jurnal penyesuaian ini dimaksukkan maka saldo Sewa Dibayar Dimuka akan menunjukkan angka 0 (nol) alias habis.Catatan: Tidak hanya “Deposit Supplier” dan “Sewa Dibayar Di Muka” saja, pada adasarnya setiap biaya yang memiliki kemanfaataan lebih dari 1 periode diperlakukan seperti di atas, sehingga membutuhkan jurnal penyesuaian di setiap akhir periodenya.2. Akumulasi Penyusutan/AmortisasiSaldo akun “Akumulasi Penyusutan” (kontra akun Aset Tetap) dan “Akumulasi Amortisasi” (kontra akun Aset Tak berwujud) juga memerlukan penyesuaian di akhir periode. Sebab saldo kedua akun ini meningkat seiring dengan semakin berkurangnya nilai manfaat atau nilai buku Aset.CONTOH KASUS:Tanggal 1 Januari 2013 PT. JAK membeli Aset berupa mesin produksi senilai Rp 25,000,000 secara tunai dan langsung dioperasikan. Umur Ekonomis mesin di perkirakan mencapai 8 tahun. Atas mesin ini, PT JAK tidak mencadangkan nilai residu. Untuk menyusutan nilai Aset, PT JAK menggunakan Metode Garis Lurus. Penutupan Buku PT JAK dilakukan secara tahunan, yakni setiap tanggal 31 Desember.Untuk mengakui aset Mesin Produksi, tangal 1 Januari 2013 PT JAK membuat jurnal sbb:[Debit]. Mesin = Rp 25,000,000[Kredit]. Kas = Rp 25,000,000Atas penggunaan mesin tersebut PT. JAK menghitung penyusutan per tahun sbb: Tarif Penyusutan Per Tahun = (1/Umur Ekonomis) x 100% = (1/8) x 100% = (100/8)% =12, 5% per tahun. Penyusutan Per Tahun = (Nilai Perolehan-Nilai Residu) x Tarif = 25,000,000 x 12,5% = Rp 3,125,000/tahun.Sehingga jadwal penyusutan mesin menjadi sbb:Penyusutan MesinPada jadwal penyusutan di atas terlihat bawa, akumulasi penyusutan—yang mengurangi nilai buku atau nilai manfaat—terus meningkat seiring dengan lamanya penggunaan mesin. Oleh sebab itu, PT JAK perlu melakukan PENYESUAIAN saldo “Akumulasi Penyusutan” setiap akhir periode buku (seperti nampak dalam jadwal di atas) yang dimulai tanggal 31 Desember 2013.Sehingga, pada tanggal 31 Desember 2013 PT JAK mengakui “Beban Penyusutan Mesin Produksi” di satu sisinya (Laba/Rugi) dan Akumulasi Penyusutan Mesin di sisi lainnya, dengan jurnal sbb:[Debit]. Beban Penyusutan Mesin Produksi = Rp 3,125,000 (masuk L/R)[Kredit]. Akumulasi Penyusutan Mesin produksi = Rp 3,125,000 (Masuk Neraca)Sejak saat itu, PT JAK terus membuat JURNAL PENYESUAIAN atas saldo akun “Akumulasi Penyusutan Mesin Produksi “ setiap tanggal 31 Desember, hingga saldonya sama dengan “Nilai Perolehan Mesin” (Rp 25 Juta) dan Nilai Buku (=Nilai Perolehan Mesin – Akumulasi Penyusutan) sama dengan nol alias habis, yang menurut jadwal akan terjadi pada tanggal 31 Desember 2019.Jurnal penyesuaian juga diperlukan untuk saldo akun aset tetap lainnya dan semua saldo akun “Akumulasi Amortisasi” aset tak berwujud, dengan cara yang sama.3. Deposit Pelanggan dan Pendapatan Diterima Di MukaPendapatan yang diterima di suatu periode, oleh perusahaan hanya boleh diakui sejumlah yang bisa dihubungkan dengan beban/biaya yang timbul di periode yang sama. Sedangkan selisihnya diakui

Page 20: Basic Accountancy

entah sebagai “Deposit Pelanggan” atau “Pendapatan Diterima Di Muka”. Saldo akun inilah yang disesuaikan setiap akhir periodenya.CONTOH KASUS:Pada tanggal 25 November 2013 PT JAK menerima pesanan dari True Company Inc sebesar Rp 750 Juta. Karena keterbatasan kapasitas produksi, maka pengiriman barang disepakati secara bertahap, dengan jadwal sbb: Tanggal 25 Januari 2014, senilai Rp 250 Juta; Tanggal 25 Februari 2014, senilai Rp 250 Juta; dan Tanggal 25 Maret 2014, senilai Rp 250 Juta.Dari transaksi tersebut, pada tanggal 1 Desember 2013 PT JAK menerima pembayaran penuh sebesar Rp 750 Juta. Atas pembayaran yang diterima, oleh PT JAK belum boleh diakui sebagai Pendapatan.Sebab belum timbul beban dan biaya sehubungan dengan pemesanan barang tersebut. Untuk sementara, uang yang diterima diakui sebagai “Deposit Pelanggan” dengan jurnal sbb:[Debit]. Kas = Rp 750,000,000 (masuk ke Neraca)[Kredit]. Deposit Pelanggan = Rp 750,000,000 (masuk ke kelompok Liabilitas di Neraca)Nah saldo “Deposit Pelanggan” inilah yang memerlukan JURNAL PENYESUAIAN setiap kali PT JAK mengakui “Pendapatan” di satu sisinya dan pengakuan “Harga Pokok Penjualan” di sisi lainnya, yakni saat pengiriman barang.Sesuai jadwal, PT JAK mengirimkan barang tahap pertama pada tanggal 25 Januari 2014 senilai Rp 250 Juta dengan Harga Pokok Penjualan sebesar Rp 150 juta, dan memasukkan JURNAL PENYESUAIAN sbb:[Debit]. Deposit Pelanggan = 250,000,000 (mengurangi saldo Deposit pelanggan)[Kredit]. Penjualan = Rp 250,000,000 (masuk Laba/Rugi Januari 2014)Dan:[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 150,000,000 (masuk Laba/Rugi januari 2014)[Kredit]. Persediaan = Rp 150,000,000 (mengurangi saldo Persediaan di Neraca)PT. JAK akan terus membuat JURNAL PENYESUAIAN atas saldo Depostit Pelanggan hingga nilainya mencapai nol alias habis, yang dijadwalkanakan terjadi pada tanggal 25 Maret 2014.Disamping akun “Deposit Pelanggan”, akun lain yang perlu penyesuaian adalah akun “Penadapatan Diterima Di Muka.”CONTOH KASUS:PT JAK menyewakan salahsatu ruang kantornya senilai Rp 100 juta kepada PT Maju Jaya selama 5 tahun. Atas Sewa tersebut PT JAK menerima pembayaran penuh.Sama seperti Deposit Pelanggan, penerimaan pembayaran sewa ini juga tidak diakui sebagai pendapatan, melainkan sebagai “Pendapatan Sewa Diterima Di Muka” yang saldonya akan disesuaikan setiap akhir periode dengan memasukkan JURNAL PENYESUAIAN.4. Biaya DiakrualkanSuatu biaya diakrualkan apabila biaya tersebut sudah harus diakui sementara angka pastinya belum diketahui. Kondisi ini lumrah terjadi pada biaya listrik, biaya telepon dan biaya gaji.CONTOH KASUS:Sesuai dengan prinsip kesesuaian (matching principle), pengunaan listrik PT. JAK untuk bulan Januari 2014 harus diakui di bulan yang sama, sementara tagihan dari PLN biasanya baru diterima sekitar tanggal 15-20 Februari 2014—sehingga angka “Biaya Listrik” belum diketahui secara pasti.Agar biaya listrik Januari bisa diakui di bulan Januari maka menjelang penutupan buku (31 Januari 2014) PT JAK mengakrualkan Biaya Listrik dengan menggunakan tagihan bulan sebelumnya sebagai patokan. Sehingga pengakuan “Biaya Listrik” diakrualkan dengan jurnal sbb:[Debit]. Biaya Listrik = Rp 50,500,000 (masuk ke Laba/Rugi)[Kredit]. Biaya Diakrualkan = Rp 50,500,000 (Masuk ke Liabilita di Neraca)(Catatan: Angka Rp 50,500,000 diambil dari tagihan listrik bulan sebelumnya).

Page 21: Basic Accountancy

Disamping itu, PT JAK juga mengakrualkan “Biaya Telpon” untuk Januari 2014, karena kondisi yang sama dengan Biaya Listrik. Menggunakan biaya telepon bulan sebelumnya, pada tanggal 31 Januari PT JAK mengakrualkan pengakuan biaya telepon dengan jurnal sbb:[Debit]. Biaya Telepon = Rp 7,500,000 (masuk ke Laba/Rugi)[Kredit]. Biaya Diakrualkan = Rp 7,500,000 (Masuk ke Liabilita di Neraca)(Catatan: Angka Rp 7,500,000 diambil dari tagihan telepon bulan sebelumnya).PT JAK bayar gaji setiap tanggal 5, sehingga untuk Biaya Gaji bulan Januari 2014 angka pastinya baru bisa diketahui antara tanggal 2-3 Februari 2014. Agar biaya gaji bulan Januari bisa diakui diakui di bulan yang sama, maka tanggal 31 Januari 2014 PT JAK mengakrualkan biaya gaji sbb:[Debit]. Biaya Gaji = Rp 125,800,000 (masuk ke Laba/Rugi)[Kredit]. Biaya Diakrualkan = Rp 125,800,000 (Masuk ke Liabilita di Neraca)(Catatan: Angka Rp 125,800,000 diambil dari catatan Biaya Gaji bulan sebelumnya).Yang paling penting untuk disadari dalam hal ini adalah: biaya listrik, biaya telepon dan biaya gaji PT JAK belum mewakili kondisi sebenarnya. Sehingga, pengakuan “Laba/Rugi” PT JAK untuk periode Januari 2014 bisa jadi lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya. Artinya juga, akun “Laba Ditahan” PT JAK di Neraca juga belum mewakili nilai sebenarnya. Untuk itu perlu di sesuaikan ketika tagihan masing-masing biaya dketahui secara pasti.Misalnya:Tanggal 3 Februari 2014, Bagian HRD PT. JAK mengajukan Biaya Gaji untuk Januari 2014 sebesar Rp 128,000,000. Dari sini staf accounting PT JAK mengetahui bahwa Biaya Gaji yang dibebankan di Januari 2014 lebih kecil Rp 2,200,000 (=128,000,000 – 125,800,000) diabandingkan biaya sebenarnya. Berarti pengakuan “Laba” PT JAK untuk Januari 2014 menjadi lebih diakui Rp 2,200,000—thus saldo “Laba Ditahan” juga menjadi lebih diakui sejumlah yang sama. Untuk itu perlu disesuaikan agar mewakili kondisi sebenaranya dengan memasukkan JURNAL PENYESUAIAN sbb:[Debit]. Laba Ditahan = Rp 2,200,000 (Saldo Laba Ditahan berkurang 2,200,000)[Debit]. Biaya Diakrualkan = Rp 125,800,000 (Saldo Biaya Diakrualkan menjadi nol)[Kredit]. Utang Gaji = Rp 128,000,000 (Sesuai yang diajukan HRD)Saat gaji dibayarkan (Tanggal 5 Februari 2014), PT. JAK memasukkan Jurnal sbb:[Debit]. Utang Gaji = Rp 128,000,000 (saldo Utang Gaji menjadi nol)[Kredit]. Kas = Rp 128,000,000 (saldo Kas berkurang Rp 128,000,000)Pada tanggal 15 Februari 2014 PT JAK menerima tagihan dari PLN untuk penggunaan Listrik Januari 2014 sebesar Rp 49,000,000. Sehingga pengakuan Biaya Listrik Januari lebih besar Rp 1,500,000 (=50,500,000 – 49,000,000) dibandingkan tagihannya. Artinya saldo Laba Ditahan kurang diakui sebesar yang sama. Agar mewakili kondisi sebenarnya, maka PT. JAK memasukan JURNAL PENYESUAIAN sbb:[Debit]. Biaya Diakrualkan = Rp 50,500,000 (Saldo Biaya Diakrualkan menjadi nol)[Kredit]. Laba Ditahan = Rp 1,500,000 (Saldo Laba Ditahan bertambah 1,500,000)[Kredit]. Utang – PLN = Rp 49,000,000 (Sesuai tagihan dari PLN)Saat Listrik di bayar (Tanggal 18 Februari 2014), PT. JAK memasukkan Jurnal sbb:[Debit]. Utang – PLN = Rp 49,000,000 (saldo Utang-PLN menjadi nol)[Kredit]. Kas = Rp 49,000,000 (saldo Kas berkurang Rp 49,000,000)Pada tanggal 17 Februari 2014 PT JAK menerima tagihan dari PT TELKOM INDONESIA untuk penggunaan telepon Januari 2014 sebesar Rp 7,000,000. Sehingga pengakuan Biaya Telepon Januari lebih besar Rp 500,000 (=7,500,000-7,000,000) dibandingkan tagihannya. Artinya saldo Laba Ditahan juga kurang diakui sebesar Rp 500,000. Supaya mewakili kondisi sebenarnya, maka PT. JAK memasukan JURNAL PENYESUAIAN sbb:[Debit]. Biaya Diakrualkan = Rp 7,500,000 (Saldo Biaya Diakrualkan menjadi nol)[Kredit]. Laba Ditahan = Rp 500,000 (Saldo Laba Ditahan bertambah 500,000)[Kredit]. Utang – PT TELKOM = Rp 7,000,000 (Sesuai tagihan dari PT TELKOM)

Page 22: Basic Accountancy

Saat Telepon di bayar (Tanggal 19 Februari 2014), PT. JAK memasukkan Jurnal sbb:[Debit]. Utang – PT TELKOM = Rp 7,000,000 (saldo Utang – PT TELKOM menjadi nol)[Kredit]. Kas = Rp 7,000,000 (saldo Kas berkurang Rp 49,000,000)Itulah yang disebut jurnal penyesuaian (adjustment entry).Kesimpulan: Jurnal Pembetulan vs PenyesuaianJurnal pembetulan dan jurnal penyesuaian, 2 jenis jurnal yang dibuat untuk maksud berbeda.“Jurnal Pembetulan/Koreksi” (Correction Entry), adalah jurnal khusus yang dibuat untuk memperbaiki keslahan jurnal. Perbaikan atas kesalahan akun sering disebut “reklasifikasi.” Kesalahan jurnal bisa terjadi pada akun mana saja. Bila kesalahan terjadi pada transaksi di periode yang sama, jurnal pembetulan selalu dianjurkan. Namun bila kesalahan terjadi di periode berbeda, maka perlu mempertimbangkan apakah kesalahan tergolong self-corrected atau tidak. Jurnal koreksi diperlukana pada transaksi yang tidak self-corrected.Sedangkan “Jurnal Penyesuaian” (Adjustment Entry) adalah jurnal yang dibuat untuk menyesuaikan nilai saldo akun-akun tertentu agar sesuai dengan kondisi sebenarnya. Akun yang saldonya perlu disesuaikan biasanya akun yang timbul akibat adanya pengakuan biaya yang disegerakan (=diakrualkan) atau ditunda (=dideferalkan). Beberapa contoh akun yang biasanya memerlukan jurnal penyesuaian, antara lain: Deposit Supplier, Biaya Dibayar Di Muka (Prepaid), Akumulasi Penyusutan/Amortisasi, Deposit Pelanggan dan Pendapatan Diterima Dimuka, Biaya Diakrualkan.

Page 23: Basic Accountancy

REKONSILIASI BANK

Di tulisan ini saya akan tunjukan cara membuat rekonsiliasi bank selangkah demi selangkah, disertai dengan contoh kasus dan contoh format rekonsiliasi bank. Sebenarnya tidak sesulit yang dibayangkan jika konsep dasarnya sudah dipahami (jika belum, silahkan baca “Konsep Rekonsiliasi Bank“). Tidak ada aturan baku (standar) untuk melakukan proses rekonsiliasi. Setiap pegawai akuntansi atau pembukuan mungkin memili tehnik yang berbeda dalam melakukan rekonsiliasi bank. Ada yang memulai proses rekonsiliasi dengan mengidentifikasi dan mengumpulkan semua perbedaan. Lalu semua perbedaan itu dituangkan ke dalam lebar kerja rekonsiliasi. Baru dilakukan penjurnalan sekaligus. Persis seperti apa yang diajarkan saat di bangku kuliah dahulu. Saya sendiri, di awal-awal karir juga melakukan rekonsiliasi bank dengan cara seperti itu.

Seiring bertambahnya pengalaman, saya menemukan bahwa menelusuri transaksi baris-per-baris sangat memakan waktu. Jika jumlah transaksinya kurang dari 20 baris mungkin bisa dilakukan dengan cepat. Bayangkan jika jumlah transaksinya 300 an lebih. Mungkin akan butuh waktu berhari-hari. Kebetulan jumlah transaksi yang saya tangani selalu banyak. Dan diakhir penelusuran, seringkali saya menemukan perbedaan yang sangat kecil. Sehingga usaha menelusuri satu-satu sejak di awal rasanya terlalu banyak buang waktu. Saya meninggalkan cara klasik yang diajarkan di kampus itu dan lebih suka melakukan identifikasi dan penjurnalan secara bertahap. Disamping lebih efesien waktu, lemabaran kerja rekonsiliasi juga menjadi lebih ringkas. Berikut adalah langkah-langkah yang biasa saya lakukan untuk mempercepat proses rekonsiliasi bank:Langkah-1: Bandingkan Saldo Rekening Koran Vs Buku Kas PerusahaanSama atau berbeda? Kemungkinan untuk persis sama sangatlah kecil. Biasanya selalu ada perbedaan. Misalnya ditemukan Saldo Rekening Koran Rp 8,550,000, sementara saldo Buku Kas Perusahaan Rp 36,380,000. Perbedaan yang lumayan besar. Lanjutkan ke Langkah-2.Langkah-2. Cari Transaksi Yang Bersifat ‘Auto’Transaksi bersifat ‘Auto’ yang saya maksudkan di sini adalah biaya yang dikenakan oleh bank dengan langsung mendebit (memotong saldo) dan pendapatan yang diberikan oleh bank dengan langsung mengkredit (menambah saldo) rekening perusahaan, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, antara lain: biaya admin bank, bea meterai, biaya buku cek, bunga jasa giro, pajak atas bunga. Karena bank langsung melakukan transaksi tanpa pemberitahuan ke pihak perusahaan terlebih dahulu, maka perusahaan biasanya belum mencatat transaksi tersebut di dalam buku kas perusahaan.Jenis transaksi ini rutin terjadi setiap bulannya, jumlahnya relatif sama dari bulan-ke-bulan, kisaran tanggal transaksinyapun lebih banyak terjadi mendekati akhir-akhir bulan (kecuali biaya buku cek—tergantung tanggal pengambilan). Cari jenis transaksi ini di dalam rekening koran. Biasanya antara tanggal 25 hingga 31 untuk setiap bulannya. Misalnya ditemukan: Biaya admin bank Rp 500,000, belum dicatat ke dalam buku kas perusahaan Biaya buku cek Rp 300,000, belum dicatat ke dalam buku kas perusahaan Bea materai Rp 50,000, belum dicatat ke dalam buku kas perusahaan Bunga jasa giro Rp 215,000, belum dicatat ke dalam buku perusahaan Pajak atas bunga Rp 15,000, belum dicatat ke dalam buku perusahaan.Masukan transaksi-transaksi tersebut ke dalam buku kas perusahaan dengan jurnal, sbb:[Debit]. Biaya Admin Bank = Rp 850,000[Credit]. Kas – Bank Mandiri = Rp 850,000(Biaya admin bank 500,000 + buku cek 300,000 + bea materai 50,000)[Debit]. Kas – Bank Mandiri = Rp 200,000[Debit]. Biaya Pajak atas bunga = Rp 15,000[Credit]. Pendapatan Jasa Giro = Rp 215,000(Untuk mencatat bunga jasa giro dan pajak atas bunga)

Dengan selesainya penjurnalan di atas berarti jenis biaya dan pendapatan auto telah dimasukan,

Page 24: Basic Accountancy

dan saldo kas perusahaan akan berubah menjadi: 36,380,000 – 500,000 – 300,000 – 50,000 + 200,000 = Rp 35,730,000.Dibandingkan dengan saldo dalam rekening koran yang hanya Rp 8,550,000, berarti masih ada selisih Rp 27,180,000, bukan? Lanjutkan ke Langkah-3.Langkah-3. Buat ‘Lembar Kerja Rekonsiliasi’Buat lembar kerja rekonsiliasi yang sederhana saja, lalu masukan saldo Buku Kas Perusahaan Rp 35,730,000 di ujung atas, dan saldo rekening koran sebesar Rp 8,550,000 di bagian bawah lembaran kerja, seperti berikut ini:Langkah-4. Temukan Setoran Dalam Perjalanan‘Setoran Dalam Perjalanan’ atau ‘Deposit in Transit’ yang dimaksudkan adalah cek (umumnya pembayaran dari pelanggan) yang sudah dicatat sebagai kas masuk akan tetapi belum disetorkan ke bank, atau sudah disetorkan tetapi belum berhasil di kliring sampai bank tutup buku, sehingga di rekening koran tidak muncul.Kumpulkan semua setoran untuk bulan itu (di dalam buku perusahaan pasti di sisi debit, terutama pada tanggal-tanggal menjelang tutup buku), cari setoran itu di dalam rekening koran satu-per-satu (biasanya di sisi credit rekening koran, dari tanggal 20 ke atas). Setoran manapun yang tidak muncul di rekening koran, masukan ke dalam ‘Lembaran Kerja Rekonsiliasi’ di bagian “Setoran Dalam Perjalanan”. Lalu Jumlahkan. Misalnya ditemukan 3 setoran dalam perjalanan, sbb:Setoran tanggal 29-Aug-2011 = Rp 15,000,000Setoran tanggal 30-Aug-2011 = Rp 25,000,000Setoran tanggal 31-Aug-2011 = Rp 10,000,000Setoran Dalam Perjalanan = Rp 50,000,000(Catatan: Ini tidak perlu di jurnal, cukup di masukan ke dalam lembar kerja rekonsiliasi saja).Langkah-5. Temukan Cek Beredar‘Cek Beredar’ atau ‘Outstanding Check‘ yang dimaksudkan di sini adalah cek keluar yang sudah dicatat sebagai kas keluar (biasanya pembayaran kepada pihak luar) tetapi belum dicairkan oleh si penerima cek hingga bank tutup buku, sehingga saldo buku kas perusahaan sudah berkurang tetapi saldo kas di rekening koran belum berkurang.

Kumpulkan semua cek keluar bulan itu (di dalam buku perusahaan pasti di sisi kredit terutama pada tanggal-tanggal menjelang tutup buku), cari cek keluar tersebut di dalam rekening koran satu-per-satu (biasanya di sisi debit rekening koran). Setoran manapun yang tidak muncul di rekening koran, masukan ke dalam ‘Lembaran Kerja Rekonsiliasi’ di bagian “Cek Beredar”. Lalu Jumlahkan. Misalnya ditemukan 5 cek beredar, sbb:Cek No. 389900 = Rp 3,500,000Cek No. 389905 = Rp 5,200,000Cek No. 389910 = Rp 2,000,000Cek No. 389912 = Rp 8,000,000Cek No. 389917 = Rp 4,300,000Cek Beredar = Rp 23,000,000(Catatan: Ini tidak perlu di jurnal, cukup di masukan ke dalam lembar kerja rekonsiliasi saja).Setelah langkah-4 dan 5 di atas dilakukan, maka anda seharusnya akan menghasilkan lembar kerja seperti di bawah ini:Masih ada selisih Rp 180,000. Yang seperti ini, meskipun tidak terlalu sering, bisa saja terjadi. Dimanakah selisih ini? Cari! Caranya?Langkah-6. Periksa Ulang Dan TelusuriPertama pastikan semua biaya-biaya bank dan pendapatan jasa giro (termasuk pajaknya) sudah dijurnal dan dimasukan ke dalam buku kas perusahaan. Jika tidak ada yang ketinggalan dan semuanya sudah dijurnal dengan benar. Lanjutkan periksa ulang ke lembaran kerja rekonsiliasi, pastikan semua setoran dalam perjalanan dan cek beredar sudah dimasukan ke dalam lembar kerja rekonsiliasi dengan benar.

Page 25: Basic Accountancy

Jika semuanya sudah dimasukan dengan benar, berarti anda perlu melakukan penelusuran satu-per-satu.Banyak? Lha wong pekerjaan satu bulan harus diperiksa ulang satu per satu, ya jelas buuaaanyak. Tidak usah stress, santai saja. Mungkin perlu minum dulu, luruskan badan, sambil bersihkan meja hingga benar-benar rapi. Setelah ketegangan mulai turun, duduk relax, pikirkan bagaimana caranya melakukan penelusuran dengan cepat?Bagi para pemula, menelusuri transaksi satu-per-satu memang bukan pekerjaan yang bisa dilakukan dengan cepat. Apalagi jika jumlah transaksi cukup banyak. Tetapi ini adalah hal biasa bagi mereka yang sudah berpengalaman—bisa melakukan penelusuran dengan cepat, karena mereka biasanya sudah memiliki ‘sense’ (semacam instinct) yang bisa mengendus dari mana asal selisih itu. Oke. Saya kasih clue-nya: Jika selisihnya kecil (di bawah Rp 1,000,000), kemungkinan besar disebabkan oleh salah input angka. Artinya, kemungkinan semua cek dan slip setoran sudah terinput, hanya saja diinput lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya. Jika selisihnya besar (di atas Rp 1,000,000), kemungkinan besar disebabkan oleh: (a) adanya cek keluar/slip setoran yang belum terinput; atau (b) ada cek keluar/slip setoran diinput duakali; atau (c) ada cek batal (kembali) yang lupa dijurnal pembalik (reversal journal).Yang manapun dari kemungkinan di atas, mau-tidak-mau anda harus melakukan penelusuran transaksi-per-transaksi. Supaya tidak pusing lompat sana lompat sini, lakukan penelusuran dengan menggunakan nomor cek dan nomor slip setoran yang ada di rekening koran (setiap transaksi pasti ada nomor cek/nomor slip-nya). Mulai dari transaksi yang paling atas, misalnya nomor cek 389815.Jika buku kas perusahaan menggunakan Excel, anda tinggal tekan Ctrl + F, masukan nomor cek tersebut. Jika menggunakan software akuntansi yang memiliki fitur pencarian nomor cek, anda bisa menggunakan itu, masukan nomor cek tersebut. Perhatikan jumlah (amount)-nya. Terus lakukan hingga transaksi terakhir di rekening koran. Saya yakin anda akan menemukannya.Dalam contoh kasus ini misalnya anda menemukan Cek No. 389825 di rekening koran menunjukan nominal Rp 1,200,000 tetapi di buku kas perusahaan menunjukan nominal Rp 1,020,000. Mungkin cashier ngantuk saat input cek tersebut. Apa yang harus dilakukan dengan ini?Ambil dokumen terkait dengan transaksi tersebut, misalnya nota tagihan dari PT. XYZ atas pemebelian bahan baku. Periksa nominal tagihannya; apakah memang Rp 1,200,000 atau hanya Rp 1,020,000? Jika memang Rp 1,200,000 berarti hanya kasus salah input—anda cukup menegur data entry kas. Lalu buat jurnal penyesuaian:[Debit]. Utang pada PT. XYZ = Rp 180,000[Credit]. Kas = Rp 180,000Setelah jurnal ini dimasukan, maka saldo buku kas perusahaan akan berkurang sebesar Rp 180,000, sehingga menjadi Rp 35,550,000. Ganti saldo akhir buku kas di lembar kerja rekonsiliasi (ujung atas) dari Rp 35,730,000 menjadi Rp 35,550,000, sehingga ‘Saldo Akhir Buku Kas Perusahaan Setelah Rekonsiliasi’ akan menjadi sama persis dengan ‘Saldo Akhir Kas Bank Mandiri, yaitu Rp 8,550,000.Jika sudah sama, berarti pekerjaan rekonsiliasi bank sudah selesai. Print “Lembaran Kerja Rekonsiliasi” lalu arsipkan bersama-sama dengan rekening koran untuk bulan yang sama.Note: Jika ternyata nota tagihan dalam kasus selisih di atas hanya Rp 1,020,000 berarti ini bukan sekedar kasus salah input, melainkan kasus lebih bayar! Bicarakan dan minta approval dari atasan sebelum memasukan jurnal penyesuaian.

Page 26: Basic Accountancy

HPP/COGS

Setelah Standard Cost & Variance dibahas, sekarang lanjut lagi mengenai Harga Pokok Penjualan (HPP/COGS) perusahaan manufaktur. Yang sering menjadi sumber kesulitan dalam memahami Harga Pokok Produksi dan Harga Pokok Penjualan perusahaan manufaktur adalah alur dan jurnalnya. Sekarang akan dibahas khusus alur dan jurnalnya.

Beberapa bulan yang lalu, friend’s of my friend mengalami kesulitan mengenai alur dan jurnal harga pokok produksi dan harga pokok penjualan, padahal dia sudah pernah menangani accounting sebuah pabrik sebelumnya. Hanya saja sebelumnya, pabrik yang ditangani tidak mengakui adanya persediaan barang dalam proses, sementara perusahaannya yang sekarang mengakui.Ok, let’s keep it short and quick……

alur harga pokok produksi sebagian sudah saya bahas di Standard Cost, hanya saja, karena di topic itu focus pada standard cost & variance, maka pembicaraan lebih banyak di sekitar bagaimana penentuan standard cost, terjadinya variance, perlakuan dan approach yang dipergunakan. Sehingga alurnya kurang difocuskan. Sekarang saya akan berfocus pada alur dan jurnalnya hingga terbentuknya Harga Pokok Penjualan (tanpa memperhitungkan adanya standard cost maupun variance).Jika saya gambarkan dengan diagram, kurang-lebih seperti ini:Masih memakai kasus PT. Royal Bali Cemerlang, produsen produk dasi, dimana perusahaan menerima pesanan product dasi sebanyak 20,000 pcs. Pada neraca periode sebelumnya diketahui saldo akhir persediaan sebagai berikut:[-]. Raw Material (persediaan bahan baku) = Rp 2,000,000[-]. Work In Process (persediaan barang dalam proses) = Rp 5,000,000[-]. Inventory (persediaan barang jadi) = Rp 3,000,000Untuk memenuhi pesanan, pada tanggal 01 April, PT, Royal Bali Cemerlang membeli kain sebanyak 3000 meters, dengan harga satuan Rp 25,000/meter secara kredit. Atas pembelian tersebut dicatat dengan jurnal:[Debit]. Raw Material = Rp 75,000,000[Credit]. Account Payable = Rp 75,000,000Jurnal di atas, akan membuat nilai raw material di gudang penyimpanan bahan baku bertambah sebanyak Rp 75,000,000.Tanggal 05 April, raw material (kain) di keluarkan dari gudang penyimpanan bahan baku sebanyak 2800 meters, atas pengeluaran kain tersebut dicatat dengan jurnal:[Debit]. WIP – Raw Material = Rp 70,000,000[Credit]. Raw Material = Rp 70,000,000( Rp 25,000 x 2800 meters = Rp 70,000,000)Jurnal pengeluaran raw material di atas akan membuat nilai raw material di gudang penyimpanan berkurang sebanyak Rp 70,000,000Dari kedua jurnal di atas, Buku Besar “Raw Material” akan menjadi sebagai berikut:01 April, Saldo awal, Debit = Rp 2,000,00001 April, Raw Material, Debit = Rp 75,000,00005 April, Raw Material, Credit = (Rp 70,000,000)------------------------------------------------------------Saldo, Raw Material, Debit = Rp 7,000,000Sedangkan Buku Besar “Work In Process (WIP)”, menjadi sebagai berikut:01 April, Saldo awal, Debit = Rp 5,000,00001 April, WIP – Raw Material, Debit = Rp 70,000,000-----------------------------------------------------------------Saldo, Raw Material, Debit = Rp 75,000,000Pada tanggal 10 April dibayar ongkos perbaikan mesin produksi sebesar Rp 1,000,000 secara tunai,

Page 27: Basic Accountancy

dicatat dengan jurnal:[Debit]. WIP - Overhead Cost (Maintenance) = Rp 1,000,000[Credit]. Cash = Rp 1,000,000Pada tanggal 16 April dibayar listrik untuk pabrik sebesar Rp 850,000, untuk itu dicatat denga jurnal :[Debit]. WIP - Overhead Cost (Electricity) = Rp 850,000[Credit]. Cash = Rp 850,000Pada tanggal 29 April dibayarkan upah buruh sebesar Rp 27,000,000 secara tunai. Atas pembayaran upah tersebut dicatat dengan jurnal:[Debit]. WIP – Direct Labour Cost = Rp 27,000,000[Credit]. Cash = Rp 27,000,000Ketiga transaksi di atas, akan membuat Buku Besar “Work In Process” berubah menjadi sebagai berikut:01 April, Saldo awal, Debit = Rp 5,000,00001 April, WIP – Raw Material, Debit = Rp 70,000,00010 April, WIP - Overhead Cost (Maintenance), Debit = Rp 1,000,00016 April, WIP - Overhead Cost (Electricity), Debit = Rp 850,00029 April, WIP – Direct Labour Cost = Rp 27,000,000-----------------------------------------------------------------------------------Saldo, Work In Process (WIP), Debit = Rp 103,850,000Keseluruhan Cost yang masuk ke Work In Process (WIP) di ataslah disebut dengan HARGA POKOK PRODUKSI (Manufacturing Cost), yaitu sebesar Rp 70,000,000 + Rp 1,000,000 + Rp 850,000 + Rp 27,000,000 = Rp 98,850,000. Sehingga Harga Pokok Produksi untuk setiap unit product dasi adalah sebesar 98,850,000/20000 = Rp 4,943Pada tanggal 30 April, barang sebanyak 15000 pcs telah dirampungkan dan diserahkan ke gudang penyimpanan barang jadi. Atas pemasukan barang jadi ke gudang penyimpanan di catat dengan jurnal:[Debit]. Inventory = ?[Credit]. WIP – Raw material = ?[Credit]. WIP – Overhead Cost = ?[Credit]. WIP – Overhead Cost = ?[Credit]. WIP – Direct Labor Cost = ?Masalahnya sekarang; berapakah besarnya nilai inventory diakui?, berapakah besarnya persediaan Work In Process di convert menjadi inventory?Jika dilakukan secara manual, dapat dihitung dengan cara:Inventory = Total Unit Barang Jadi yang dihasilkan x Harga Pokok ProduksiInventory = 15000 x Rp 4,943 = Rp 74,137,500Demikian juga dengan WIP yang diconvert menjadi inventory dihitung dengan cara yang sama. Sehingga jurnal-nya menjadi seperti dibawah ini:[Debit]. Inventory = Rp 74,137,500[Credit]. WIP – Raw material = 52,500,000[Credit]. WIP – Overhead Cost = 750,000[Credit]. WIP – Overhead Cost = 637,500[Credit]. WIP – Direct Labor Cost = 20,250,000Dari jurnal ini, akan menghasilkan buku besar sebagai berikut:Buku Besar “Inventory”:01 April, Saldo Awal, Debit = Rp 3,000,00030 April, Inventory, Debit = Rp 74,137,500----------------------------------------------------Saldo, Inventory, Debit = Rp 77,137,500Sedangkan Buku Besar “Work In Process” berubah menjadi:

Page 28: Basic Accountancy

01 April, Saldo awal, Debit = Rp 5,000,00001 April, WIP – Raw Material, Debit = Rp 70,000,00010 April, WIP - Overhead Cost (Maintenance), Debit = Rp 1,000,00016 April, WIP - Overhead Cost (Electricity), Debit = Rp 850,00029 April, WIP – Direct Labour Cost = Rp 27,000,00030 April, WIP – Raw material, Credit = (52,500,000)30 April, WIP – Overhead Cost, Credit = (750,000)30 April, WIP – Overhead Cost, Credit = (637,500)30 April, WIP - Direct Labor Cost, Credit = (20,250,000)-----------------------------------------------------------------------------------Saldo, Work In Process, Debit = Rp 29,712,500Sampai pada tanggal 30 April barang yang sudah laku terjual baru sebanyak 14950 pcs dengan unit price Rp 12,000/pc. Atas penjualan tersebut dicatat dengan jurnal:[Debit]. Cost Of Goods Sold = Rp 73,890,375[Credit]. Inventory = Rp 73,890,375(Rp 4,943 x 14950 pcs = Rp 73,890,375)Dan untuk mengakui penjualan dimasukkan jurnal:[Debit]. Account Receivable = Rp 105,509,625[Credit]. Sales = Rp 105,509,625( Rp 12,000 x 14950 pcs)Jurnal di atas akan menyebabkan Buku Besar “Inventory” berubah menjadi:01 April, Saldo Awal, Debit = Rp 3,000,00030 April, Inventory, Debit = Rp 74,137,50030 April, Inventory, Credit = (Rp 73,890,375)------------------------------------------------------Saldo, Inventory, Debit = Rp 3,247,125Saldo Buku Besar “Raw Material”, “Work In Process” dan “Inventory” akan masuk ke "BALANCE SHEET", sedangkan “Cost Of Goods Sold” dan “Sales” akan masuk ke “PROFIT & LOST STATEMENT”.Secara umum seperti itulah alur Harga Pokok Produksi (Manufacturing Cost) dan Harga Pokok Penjualan (Cost Of Goods Sold/HPP) perusahaan Manufactur.

Page 29: Basic Accountancy

HPP/COGS

Akhirnya topic COST OF GOODS SOLD (COGS) bisa saya lanjutkan lagi setelah sempat diselingi oleh topic-topic yang lain, kali ini adalah HARGA POKOK PRODUKSI – COST OF GOODS SOLD untuk perusahaan manufaktur.

Perlu diketahui, mengenai Harga Pokok Penjualan untuk perusahaan manufaktur, scoop-nya sangat luas, meng-cover semua cost accounting (Akuntansi Biaya) mulai dari awal siklus hingga terbentuknya harga pokok penjualan. Obviously saya akan post di sini secara bertahap (baca: serial), jika tidak maka satu artikel mengenai harga pokok penjualan saja bisa menjadi giga article, yang page loadnya mungkin akan sangat lama. Tetapi jangan khawatir, kita akan lewati itu semua pelan-pelan, kita bahas satu persatu, bertahap tentunya.

Pada kesempatan kali ini kita akan bahas basicnya dahulu. Jangan under-estimate dahulu, basic is always the heart of the whole knowledge. Tanpa penguasaan dasar-dasarnya, saya khawatir akan membuat kebingungan (bahkan tersesat) ditengah jalan nanti.

Bagi rekan-rekan yang kebetulan saat ini sedang bekerja di perusahaan yang tanpa aktifitas produksi (non-manufacturer), mungkin perusahaan dagang, jasa, atau bahkan di koperasi, yayasan, LSM (NGO) atau bentuk organisasi nir-laba (non-profit organization), saya bisa mengerti jika anda tidak terlalu tertarik dengan topic ini. Tetapi saya ingin argue anda untuk tetap mengikutinya, kenapa?

Sebagai orang accounting (apalagi sarjana akuntansi), sungguh lucu jika anda tidak menguasai cost accounting (akuntansi biaya). Akuntansi biaya hampir mendominasi seluruh masalah di dalam akuntansi. Lagipula puncak career dari accounting adalah menjadi seorang CFO (Chief Financial Officer), atau mungkin menjadi partner di accounting firm (KAP), dan untuk mencapai jenjang itu harus menguasai semua masalah accounting (the whole circumstances and its all miscellaneous). Hanya karena saat ini anda tidak bekerja di perusahaan manufaktur (mungkin anda tidak akan pernah ingin bekerja di pabrik) trus anda jadi tidak menguasai cost accounting? “a-a, that is not cool”.“Saya cuma pengen jadi konsultan pajak, asal saya menguasai akuntansi in general plus rajin-rajin mengikuti update peraturan/UU perpajakan, beres sudah”Oh ya?, tahukah anda bahwa anak-anak STAN yang nota bena-nya calon pegawai pajak-pun mendalami cost accounting. Bagaimana bisa melakukaan assessment (pemeriksaan) pajak jika tidak menguasai cost accounting which is bagian terpenting dari aktivitas usaha manufaktur.

Sedikit mengenai perkembangan dunia konsultasi pajak (walaupun saya bukan konsultan pajak), dahulu, di era tahun 2000 ke bawah, iya konsultan pajak cukup menguasai undang-undang dan tehnis pelaksanaan perpajakan, bisa setting pajak menjadi lebih kecil. Iya sudah cukup ampuh, bahkan tidak sedikit yang berhasil creating wealth dari sana. Tetapi di tahun 2001 kebelakang ini, hmmm… sepertinya sudah tidak semudah itu lagi. Perpajakan semakin transparent, ruang seperti dulu makin sempit. So, konsultan yang dibutuhkan di era sekarang dan seterusnya adalah konsultan yang bisa membuat usaha menjadi effisien lebih profitable dan menguasai perpajakan in the same time. Masalah pajak bagaimana?, itu sudah ada aturannya, tidak perlu trick untuk itu, anda tidak perlu jadi ahli pajak untuk bisa mengikuti aturan perpajakan. Jikapun mengelami proses pemeriksaan pajak yang berliku-liku proposed or un-proposed), toh pada akhirnya yang berlaku adalah substansi hukum pajaknya. Bukan trick-trick-nya, bukan brabe-nya, bukan juga black mailing-nya. Setidaknya itulah point view saya.Ok, saya rasa cukup preamble -nya, sekarang kita ke topic-nya.Harga Pokok Produksi (Manufacturing/Production Cost)Ada 3 (tiga) hal yang obviously membedakan HPP (COGS) manufaktur dengan bentuk-bentuk usaha lainnya, antara lain:[-]. Adanya “Bahan Baku” (Raw Material) yang di dalamnya termasuk juga bahan penolong atau bahan pembantu atau apalah istilahnya lagi.[-]. Adanya “Barang Dalam Proses” (Work In Process).

Page 30: Basic Accountancy

[-]. "Tenaga Kerja Langsung" (Direct Labor) biasanya dapat dibebankan dengan sempurna[-]. Adanya Depreciation Cost atas penggunaan mesin dan peralatan produksi lainnya yang masuk dalam kelompok Overhead Cost/Indirect Cost.Akumulasi dari ke-empat elemen cost tadi disebut dengan harga pokok produksi (Manufacturing Cost/Production Cost).A question: “Mengapa Inventory tidak termasuk ke dalam harga pokok produksi?”

Inventory atau persediaan barang jadi (merchandize) adalah persediaan yang sudah tidak melalui proses produksi lagi, tidak melalui pengolahan lagi. Artinya, pada saat persediaan diakui sebagai persediaan barang jadi (inventory), maka sudah tidak diperlukan penglohan lagi Jikapun barang masih harus melalui proses pengemasan (packaging), proses tersebut tidaklah membuat barang jadi menjadi bertambah (meningkat) fungsionalnya. Artinya, tanpa dikemaspun sesungguhnya barang tersebut sudah dapat berfungsi sebagaimana yang seharusnya.Misalnya: Barang jadi sepatu, tanpa di masukkan ke delam carton box, sepatu sudah befungsi sebagmana layaknya fungsi sepatu.“Bagaimana dengan bottling & pengalengan?”Bottling ataupun pengelengan dan proses-proses pengemasan lain untuk barang yang tidak wajar dijual dalam keadaan tidak terbungkus, maka proses packaging maupun bahan packing-nya digolongankan kedalam bahan baku.Misalnya: Beer.Botol maupun proses memasukkan cairan beer ke dalam botolnya hingga botolnya di tutup, adalah direct cost bukan indirect cost. Sedangkan carton box dan proses memasukkan botol beer ke dalam carton box hingga carton box di seal-tape, adalah indirect cost.Dari penjelasan di atas maka production cost dapat dihitung dengan menjumlahkan ke-empat unsur cost diatas:Harga Pokok Produksi (Production/Manufacturing Cost):Raw Material Usage+Work In Process Usage+ Direct Labour Cost+Overhead Costdimana :* Raw Material Usage dihitung dengan :Opening Balance + Purchase – Closing Balance* Work In Process dihitung dengan:Opening Balance – Closing Balance* Direct Labor Cost = Upah buruh dan tenaga kerja harian di produksi*Over Head Cost : Indirect cost yang terkait dengan production activity.Kaitan Harga Pokok Produksi dengan Harga Pokok PenjualanHarga Pokok Penjualan :Inventory Usage + Production CostSo, production cost adalah salah satu elemen dari Harga Pokok Penjualan usaha manufaktur.Catatan :Proses pembentukan harga pokok produksi dan harga pokok penjualan pada perusahaan manufactur mengalami transformasi seiring dengan proses pembentukan barang (product), ada siklusnya. Disinilah biasanya cost accounting menjadi bagian yang sulit untuk dipahami. Nanti akan kita bahas di posting-posting berikutnya.Up-coming topic : Standard Cost & VarianceStandard Cost memainkan peranan yang penting di dalam cost accounting, mengingat sebagian besar pabrik (manufacturer) menerapkan standard cost dalam penghitungan production cost maupun cost of goods sold-nya. Apa perlu-nya mengetahui standard cost?, bagaimana model penerapan standard cost?, apa itu variance?, mengapa timbul variance? Bagaimana perlakuan akuntansi untuk variance dalam harga pokok produksi?, akan ada di topic yang akan kita bahas di posting saya berikutnya.Sampai ketemu di COST OF GOODS SOLD – Standard Cost & Variance

Page 31: Basic Accountancy

Sebagai pengantar pembahasan Harga Pokok Penjualan (Cost Of Goods Sold) kita akan mulai dasar-dasarnya terlebih dahulu, gambaran umum mengenai Harga Pokok Penjualan. Dengan pengetahuan dasar ini, saya berharap anda bisa memperoleh fundament yang cukup untuk melangkah ke pembahasan dan kasus yang lebih berkembang. Sehingga di akhir serie nanti anda bisa mendapatkan gambaran yang utuh dan penuh mengenai Harga Pokok Penjualan dan Harga Pokok Produksi. Sehingga tidak akan pernah bingung lagi walau dibolak balik bagaimanapun juga kasus-nya, berhadapan dengan jenis usaha apapun, dengan elemen cost yang bermacam-macam, anda akan tetap bisa memperlakukannya dengan benar dan akurat.Difinisi Dasar Harga Pokok PenjualanPada dasarnya Harga Pokok Penjualan (istilah yang dipakai IAI) adalah segala cost yang timbul dalam rangka membuat suatu produk menjadi siap untuk dijual. Atau dengan kalimat lain, Harga Pokok penjualan adalah cost yang terlibat dalam proses pembuatan barang atau yang bisa dihubungkan langsung dengan proses yang membawa barang dagangan siap untuk dijual.Struktur Harga Pokok PenjualanDengan difinisi di atas, dapat kita peroleh struktur dasar harga pokok penjualan. Harga pokok Penjualan pada dasarnya terdiri dari dari 3 (tiga) element besar saja:[-]. Persediaan (Inventory)[-]. Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost)[-]. Overhead CostPersediaanUntuk peruhaan dagang, elemen persediaan hanya terdiri dari “Persediaan Barang Jadi” saja, atau yang dikenal dengan “Inventory”.Sedangkan perusahaan manufaktur persediaannya terdiri dari:[-]. Persediaan Bahan Baku (Raw Materials)[-]. Persediaan Barang Dalam Proses (WIP = Work In Pocess)[-]. Persediaan Barang Jadi (Inventory)Elemen “Persediaan” yang dimaksudkan dalam hal ini adalah besarnya “Persediaan Terjual”. Dan untuk mengetahui nilai persediaan yang terjual maka perlu mengetahui unsur-unsur dibawah ini terlebih dahulu :[-]. Persediaan Awal[-]. Pembelian (Untuk perusahaan dagang)[-]. Harga Pokok Produksi (Untuk perusahaan manufaktur)[-]. Persediaan Akhir[-]. Persediaan digunakan (IAI menyebutnya “Barang Tersedia Untuk Dijual”)Persediaan Awal:Adalah besarnya (nilai) persediaan yang sudah kita miliki sebelum proses di periode ini dimulai. Artinya, persediaan tersebut telah ada sebelum aktivitas periode ini dimulai.Pembeliaan:Jangan lupa yang kita akui adalah “cost yang terjadi”, sehingga besarnya nilai pembelian yang kita akui hanya sebesar cost yang timbul saja, yang diwujudkan dengan “Pengeluaran Kas (cash disbursement)” atau pengakuan “Utang Dagang”. Sehingga nilai pembelian yang kita akui adalah sebesar nilai bersihnya (net purchase) saja. Hal ini perlu ditegaskan karena dalam praktek bisnis, seringkali sebagai perusahaan sebagai pembeli, baik itu pembelian barang jadi (untuk perusahaan dagang) maupun pembelian bahan baku (perusahaan manufaktur) memperoleh potongan harga (discount), bisa juga terjadi pengembalian barang kepada pihak penjual (Return). Untuk memperoleh nilai net purchase, maka kita perlu struktur menjadi:[-]. Gross Purchase (biasa ditulis “Purchase” saja)[-]. Discount[-]. Return

Page 32: Basic Accountancy

[-]. Net Purchase

Persediaan Akhir:Adalah besarnya persediaan yang kita bukukan sebagai “persediaan” diakhir periode.Persediaan Digunakan/Terjual (Persediaaan Tersedia Untuk Dijual):Adalah besarnya persediaan:[-]. Barang dagangan yang terjual (untuk perusahaan dagang)[-]. Besarnya Bahan Baku yang digunakan & barang dagangan yang terjual (untukperusahaan manufaktur).Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost)Direct Labor Cost adalah upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja yang langsung terlibat pada proses pengolahan barang dagangan. Dikatakan Direct Labor Cost hanya jika besarnya upah yang dibayarkan tergantung pada jumlah output product yang dihasilkan.Yang termasuk ke dalam kelompok tenaga kerja langsung adalah tenaga kerja yang dibayar berdasarkan: “Upah Satuan” atau “Upah Harian/Jam”.Dalam hal tenaga kerja dibayar dengan upah satuan, tentu dengan jelas bisa kita lihat bahwa upah tenaga kerja tersebut dapat dibebankan langsung pada product yang dihasilkan.Jika upah yang dibayarkan berdasarkan jumlah jam kerja, maka biasanya perusahaan telah menentukan jumlah (satuan) yang harus dihasilkan untuk tengang waktu tertentu (per jam atau perhari). Sehingga pada akhir perhitungan, dapat diketahui berapa direct labor cost yang akan di bebankan untuk 1 satu unit product, dan total direct labor cost untuk akumulasi product yang dihasilkan.Pada perusahaan pedagang kecil (small wholesaler atau retailer), direct labor cost sulit untuk bisa di alokasikan dengan semestinya. Sehingga Direct Labor Cost hanya bisa kita temukan pada perusahaan-perusahaan manufaktur atau pertambangan.Overhead CostAdalah cost yang timbul selain dari ketiga kedua elemen tersebut diatas, yang biasanya disebut dengan indirect cost, jenisnya tentu saja bervariasi, tergantung jenis usaha, sekala usaha dan jenis sumberdaya yang dipakai oleh perusahaan. Yang jamak kita temui pada usaha manufaktur atau dagang adalah :[-]. Sewa (Rental Cost)[-]. Penyusutan Mesin & Peralatan (Depreciation on Machineries & Equipment)[-]. Penyusutan Bangunan Pabrik (Factory’s Building Depreciation)[-]. Listrik, Air untuk pabrik (Factory’s Utilities)[-]. Pemeliharaan Pabrik & mesin (Factory & Machineries Maintenance)[-]. Pengemasan (Packaging/Bottling & labor cost-nya)[-]. Gudang (Warehousing Cost)[-]. Sample produksi (Pre-production sampling)[-]. Ongkos kirim (Inbound & Outbound deliveries)[-]. Container (Continer)Siklus dan Alur Jurnal Harga Pokok PenjualanInventoryInventory (yang tercantum di dalam neraca pada periode sebelumnya), akan menjadi persediaan awal pada periode sekarang (current period). Jika persediaan tersebut terjual pada periode ini, maka persediaan tersebut di biayakan (expensed) dan diakui sebagai Harga Pokok Penjualan.Proses pembebanan inventory dilakukan pada saat barang terjual (diserahkan) dengan jurnal:[Debit]. Harga Pokok Penjualan (Inventory terjual)[Credit]. InventoryCatatan: untuk membebankan inventory terjual ke dalam harga pokok penjualan, jurnal di atas:Sisi debit akan menambah harga pokok penjualan pada laporan laba rugiSisi kredit akan mengurangi nilai inventory pada neraca di akhir periode nanti

Page 33: Basic Accountancy

Jurnal tersebut berpasangan dengan:[Debit]. Kas (atau piutang)[Credit]. PenjualanCatatan: untuk mengakui penjualan dan piutang (penerimaan kas) di periode tersebutJika pada periode yang sama terjadi penambahan inventory akibat pembelian barang dagangan, maka pembelian tersebut akan menambah nilai persediaan barang dagangan (inventory), atas pembelian tersebut di jurnal dengan:[Debit]. Inventory[Credit]. Cash (atau Utang Dagang)Catatan: Jurnal diatas:Sisi debit akan menambah nilai inventory pada neracaSisi kredit akan mengurangi kas atau menambah utang dagang pada neracaSelanjutnya jika sebagaian dari barang tersebut laku terjual maka bagian yang laku terjual tersebut akan dibebankan ke dalam harga pokok penjualan seperti pada alur pertama tadi, dengan jurnal yang sama (tentu saja dengan nilai yang sesuai)Work In Process & Raw MaterialUntuk perusahaan manufaktur, disamping persediaan barang jadi, juga terdapat persediaan barang dalam proses (work in process) dan persediaan bahan baku.Persediaan barang dalam proses & bahan baku pada neraca periode sebelumnya akan menjadi persediaan awal pada periode berjalan. Jika terpakai dalam proses produksi periode berjalan maka persediaan yang terpakai dibebankan ke dalam harga pokok penjualan dengan jurnal :Untuk Bahan Baku:[Debit]. Persediaan Barang Dalam Proses (WIP-Raw Material)[Credit]. Persediaan Bahan Baku (Raw Material)Untuk Barang dalam proses:[Debit]. Inventory[Credit]. Persediaan Barang Dalam ProsesJika terjadi pembelian bahan baku, maka nilai pembelian tersebut akan menambah persediaan bahan baku pada neraca, atas pembelian bahan baku tersebut di jurnal:[Debit]. Bahan Baku (Raw Material)[Credit]. Cash (Utang Dagang)Selanjutnya jika sebagian dari bahan baku yang dibeli tersebut dipakai, maka dilakukan penjurnalan seperti saat pembebanan persediaan bahan baku ke dalam Persediaan Work In Process di atas.Direct Labor Cost & Over Head CostDirect Labor Cost aiakumulasikan dengan Raw Material Usage dan Work In Process Usage akan menghasilkan HARGA POKOK PRODUKSI, selanjutnya Harga Pokok Produksi dan Inventory akan membentuk Harga Pokok Penjualan.Perhitungan Dasar Harga Pokok PenjualanJika kita buatkan formulasi dasar maka perhitungan Harga Pokok Penjualan dapat dirumuskan dengan:HPP = Inventory Usage + Direct Labour Cost + Overhead CostInventory Usage dapat kita turunkan menjadi :Saldo Awal(+)Pembelian atau Penambahan(–)Saldo AkhirPembelian itu sendiri dapat kita turunkan menjadi:Purchase atau invoice (-) Discount (-) ReturnFormat Pelaporan Harga Pokok PenjualanDengan Struktur, Alur dan perhitungan Harga Pokok Penjualan seperti di atas, maka format laporan harga pokok penjualan dapat kita construct. Hanya saja, contoh bentuk laporan akan saya berikan pada session berikutnya.

Page 34: Basic Accountancy

Sekarang kita memasuki Harga Pokok Penjulana (COGS) untuk Usaha Dagang (Trading). Di artikel ini akan dibahas mengenai alur, jurnal, perhitungan, dan pelaporan Harga Pokok Penjualan (COGS). Inventory Valuation akan menjadi salah satu topic penting. Kajian perpajakan terkait dengan COGS akan menjadi penutup artikel ini.

Seperti telah disebutkan pada artikel sebelumnya: Harga Pokok Penjualan (COGS) – Basic, bahwa untuk usah dagang (trading), entah itu wholesaler maupun retailer, perhitungan harga pokok penjualannya lebih sederhana dibandingkan dengan usaha manufaktur (Industry), namun demikian usaha dagang memiliki characteristic yang khas, antara lain :[-]. Tidak menggunakan mesin produksi, oleh karenanya tidak akan ada depreciation cost atas mesin. Mungkin ada depreciation cost atas peralatan. Misal : peralatan vacuum untuk packing.[-]. Tidak ada Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost), jikapun ada tenaga kerja yang terlibat dalam membawa barang tersebut menjadi siap untuk dijual, cost-nya sulit untuk dialokasikan sebagai Upah Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost), oleh karenanya upah tenaga kerja seperti ini biasanya dibebankan sebagai bagian dari “Overhead Cost” i.e.: Ongkos packing.[-]. Cost perusahaan dagang siklusnya lebih pendek.[-]. Menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan dagang yang menjual barang yang relative sama dalam jenis, ukuran dan kwalitas, oleh karenanya diperlukan penerapan methode tertentu untuk menilai barang persediaannya (Inventory Valuation) yang tentunya juga akan berpengaruh langsung terhadap pembebanan inventory cost-nya.Struktur Harga Pokok Penjualan (COGS) Usaha DagangHarga Pokok Penjualan usaha dagang terdiri dari 2 kelompok besar yaitu: Persediaan Barang (Inventory ) dan Overhead saja.A. Inventory :Adalah persediaan barang dagangan yang diperoleh dari sisa persediaan periode sebelumnya yang dalam akuntansi kita sebut sebagai saldo awal persediaan (opening balance) ditambah dengan pembelian pada periode yang sama, dikurangi dengan sisa persediaan di akhir periode (Saldo Akhir = Closing Balance), itulah inventory Cost yang dibebankan sebagai Harga Pokok Penjualan.Jika kita konstruksi,maka struktur lengkap inventory-nya akan seperti dibawah ini:A.1. Opening BalanceA.2. Purchase:A.2.a. PurchaseA.2.b. Freight InA.2.c. DiscountA.2.d. ReturnA.3. SalesA.4. Closing Balance

B. Overhead:Elemen HPP (COGS) usaha dagang yang kedua adalah overhead, yaitu cost yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap harga pokok penjualan, berikut adalah overhead cost yang biasa muncul pada usaha dagang:B.1. PackingB.2. WarehousingB.3. Freight OutAkumulasi semua element cost diatas itulah Total Harga Pokok Penjualan usaha dagang.Detail dari masing-masing elemen di atas akan kita bahas pada sub-topic berikut ini.Alur, Siklus Transaksi dan JurnalnyaSeperti telah disampaikan sebelumnya bahwa elemen COGS perusahaan dagang terdiri dari kelompok besar yaitu: Inventory dan Overhead Cost.

Page 35: Basic Accountancy

Alur dan siklus Transaksi Inventory Cost:Setiap proses akuntansi yang terkait dengan Neraca selalu berawal dari: Neraca berupa saldo awal (Opening Balance), dilanjutkan dengan Current Activities (Transaksi Debit [minus] Transaksi Credit), yang pada akhirnya akan bermuara ke Neraca kembali berupa saldo akhir (Closing Balance).Demikian halnya dengan Inventory, Inventory adalah bagian dari Neraca. Maka alur inventory juga berawal dari saldo awal inventory, selanjutnya:Jika terjadi pembelian barang dagangan, maka saldo inventory akan bertambah juga.Jurnalnya:[Debit]. Inventory à Menambah saldo inventory di Neraca[Credit]. Cash / Utang à Mengurangi saldo Kas di NeracaDan jika terjadi penjualan barang dagangan , maka saldo inventory akan berkurang. Pada saat terjadi penjualan inilah Inventory Cost diakui:Jurnalnya:[Debit]. Cost of Goods Sold à Menambah Saldo COGS di Laba Rugi[Credit]. Inventory à Mengurangi saldo Inventory di NeracaCatatan: COGS adalah cost yang akan menjadi faktor pengurang Laba, seperti kita ketahui Laba adalah element Neraca. Berkurangnya inventory pada aktiva di seimbangkan oleh berkurangnya laba pada pasiva. Sehingga Neraca akan tetap dalam kondisi balance.Karena ini transaksi penjualan, maka penjualan diakui di saat yang samaJurnalnya:[Debit]. Cash/Piutang à Menambah Saldo Cash atau Piutang di Neraca[Credit]. Sales à Menambah saldo penjualan di Laba RugiCatatan: Sales adalah revenue yang akan menjadi faktor penambah Laba, Laba adalah element Neraca. Berkurangnya Cash/Piutang pada aktiva di seimbangkan oleh bertambahnya laba pada pasiva.Jika kita gambarkan dalam bentuk diagram, maka alur transaksi harga pokok penjualan akan menjadi seperti dibawah ini:Perhitungan COGS Usaha DagangPerhitungan Harga Pokok Penjualan usaha dagang sederhana saja :HPP (COGS) = Inventory Cost + OverheadInventory Cost :Opening Balance + Purchase - Closing BalancePurchase:Purchase + Freight In – Discount - ReturnCase:UD. Sinar Kasih, pedagang kain di Pasar Tanah Abang , pada tanggal 01 Maret memiliki persediaan kain dengan nilai Rp 1,000,000,- Selama bulan Maret UD. Sinar Kasih, untuk bisa melayani semua pesanan dan penjualan, UD Sinar Kasih membeli kain dari Bandung senilai Rp 48,000,000 ditambah ongkos kirim sebanyak Rp 1,000,000. Selama bulan Maret UD Sinar kasih berhasil melakukan penjualan sebesar Rp 65,000,000. pada tanggal 31 Maret UD. Sinar Kasih membayar Listrik Rp 350,000, PAM Rp 50,000, Sewa toko Rp 10,000,000, Gaji pegawai toko Rp 800,000 dan ongkos kirim barang ke pelanggan sebesar Rp 500,000. Setelah dihitung fisik kainnya, diketahui saldo akhir persediaan kain adalah Rp 300,000 saja.Problems:[1]. Berapa Harga Pokok Penjualan UD Sinar Kasih untuk periode Maret?[2]. Berapa Laba Kotor UD. Sinar Kasih untuk Maret?Solving:[1]. Harga Pokok Penjualan:HPP = Inventory Cost + OverheadInventory Cost = Opening Balance + Purchase – Closing Balance

Page 36: Basic Accountancy

Inventory Cost = 1,000,000 + (48,000,000+1,000,000) – 300,000Inventory Cost = 49,700,000Overhead Cost :Apakah listrik termasuk? Tidak karena berapapun jumlah transaksi biaya listrik tetapApakah PAM termasuk? TidakSewa Toko termasuk? TidakGaji pegawai toko termasuk? TidakOngkos kirim kain ke pelanggan? Termasuk, Rp 500,000Overhead Cost = Rp 500,000Harga Pokok Penjualan = Rp 49,700,000 + 500,000 = Rp 50,200,000[2]. Laba Kotor : Sales – Harga Pokok PenjualanLaba Kotor = Rp 65,000,000 – 50,200,000 = Rp 14,800,000,-Mudah bukan?Begitulah typically contoh kasus yang biasa kita jumpai, semudah itu.Pernahkah berpikir: Darimana Saldo Akhir persediaan sebesar Rp 300,000 ribu di atas diperoleh?. Ini kuncinya!Inventory Valuation & Penentuan COGSMenilai persediaan barang gampang-gampang susah.Gampangnya?Kalau barang tersebut sifatnya unique (berbeda antara barang yang satu dengan yang lainnya, dari: harganya, ukuran, kwalitas, warna, unit price) tentu mudah untuk kita manage, apalagi jika barangnya sedikit. Tinggal pasang sticker/hanging tag pada masing-masing barang (per batch), isi specification & unit price di masing-masing sticker. Trus di akhir periode lakukan PHYSICAL COUNT…. Bang ! dapat sudah. Itu namanya menggunakan PHYSICAL COUNT METHOD.Susahnya?Bagaimana jika barangnya tunggal, dan tidak unique, fisiknya semua sama, warna sama, bentuk sama, ukuran sama, kwalitas juga sama atau relative sama, yang dijual barang itu-itu saja dari periode ke periode, tetapi harga belinya variatif, beda-beda, harga jualpun beda-beda tentunya. Bagaimana menghitungnya? Begaimana menentukan Inventory-nya, Bagaimana menentukan Inventory Cost-nya?. Bukankah harga beli diketahui, seharusnya bisa menentukan berapa inventory costnya. Tetapi kadang-kadang sisa barang 2 hari yang lalu harganya Rp 5/biji sebanyak 5 biji, trus tadi beli sebanyak 10 biji harganya Rp 6, sementara tadi laku 11 biji. Trus harga pokoknya dihitung berapa? Rp 5/biji atau Rp 6 per biji?.Okay, kita punya 3 pilihan methode untuk menentukan Harga Pokok sekaligus nilai persediaan di akhir periode nanti, yaitu:[1]. Average Method[2]. FIFO Method[3]. LIFO MethodCase:UD. Cahaya Murni adalah toko yang menjual gula tebu. Pada tanggal 01 Maret diketahui Jumlah persediaan sebanyak 100 Kg, dengan nilai Rp 300,000. Dan dari buku catatan nampak transaksi seperti dibawah ini:Jika kita summarize maka menjadi:Problem:Berapa Inventory Cost UD. Cahaya Murni di akhir periode Maret?Berapa Nilai Persediaan UD. Cahaya Murni di akhir periode Maret?Berapa Laba Kotor UD. Cahaya Murni jika tidak ada Overhead Cost?Seperti saya sebutkan di atas, bahwa persediaan type ini dapat kita ukur hitung dengan menggunakan 3 methode. Kita akan coba hitung dengan menggunakan masing-masing methode di atas:

Page 37: Basic Accountancy

[1]. Metode Rata-rata (Average Method)Harga Pokok (Inventory Cost) Barang yang terjual per unit-nya ditentukan dengan menjumlahkan saldo awal dengan nilai pembelian, lalu dibagi dengan Quantity saldo akhir ditambah dengan Quantity barang yang dibeli. Formulasinya:HPP/Unit = (Rp Saldo awal + Rp Pembelian) : (Qty Saldo Awal + Qty pembelian)Total HPP terjual = HPP/Unit x Qty terjualSaldo Akhir = Saldo Awal + Pembelian - PenjualanPada contoh kasus di atas:HPP/Unit penjualan 01-Mar:HPP/Unit = (Rp 300,000+0) : (100+0)HPP/Unit = Rp 300,000 : 100 = Rp 3,000,-Total HPP terjual = Rp 3,000 x 40 = Rp 120,000Saldo Akhir = Rp 300,000 + 0 – 120,000 = Rp 180,000Demikian setrusnya hingga akhir periode.Jika saya teruskan semua transaksi maka tabelnya akan seperti dibawah ini:Catatan : Perhatikan summaryCOGS = Rp 396,565Closing Balance = Rp 206,435Kita uji dengan rumus:Closing Balance = Opening Balance + Purchase - COGSClosing Balance = 300,000 + 303,000 - 396,565Closing Balance = Rp 206,435,-[2]. FIFO MethodFIFO acronym dari “First In First Out” maksudnya, barang yang masuk duluanlah yang dijual terlebih dahulu.Transaksi 1 Maret:Karena barang yang ada hanya saldo awal 100 kg, maka yang dijual sebanyak 40 kg menggunakan unit cost saldo awalnya = 300,000 : 100 = Rp 3,000Total HPP 1 Maret = Rp 3,000 x 40 kg = Rp 120,000Closing Balance = Rp 300,000 – 120,000 = Rp 180,000Transaksi 10 Mar:Pembelian 30 kg seharga Rp 3,100/kg, total pembelian = Rp 93,000,-Terjual 65 kg, menggunakan unit cost yang mana?Karena tanggal 1 Mar sudah laku 40 kg, maka sisa barang yang menggunakan unit price sebelumnya tinggal 60 kg, tidak cukup untuk menutup penjualan yang 65 kg, maka:60 kg menggunakan unit price Rp 3,0005 kg menggunakan unit price Rp 3,100Total HPP 10 Maret:60 x 3,000 = 180,0005 x 3,100 = 15,500----------------------- (+)Total HPP = 195,500,-Jika dimasukkan ke dalam table maka akan menjadi seperti dibawah ini:Catatan : Perhatikan juga summaryJika mau uji, silahkan gunakan formula COGS seperti yang saya lakukan di average method.[3]. LIFO MethodLIFO stand for “Last In First Out”. Maksudnya “Barang yang masuk belakangan dijual terlebih dahulu”. Kedengarannya aneh. Memang aneh karena cara ini akan membuat HPP menjadi tidak realistic. Pikirkan, cost yang dibebankan menggunakan cost dari pembelian terakhir, tanpa

Page 38: Basic Accountancy

memperhitungkan adanya kemungkinan barang yang terjual tercampur antara persediaan yang menggunakan harga lama ditambah dengan barang baru dengan harga baru. Di negara luar (misalnya USA) methode ini sangat tidak dianjurkan, bahkan dianggap praktek illegal, jikapun ada yang mengguanakan methode ini, maka akan diawasi sangat ketat oleh pemerintahnya.Ok, kita coba hitung dengan methode ini seperti apa hasilnya?Transaksi tanggal 01 maret bisa kita ketahui hasilnya akan sama dengan methode yang lainnya, so tidak perlu kita coba.Langsung ke transaksi tanggal 10 Maret:Saldo awal 60 kg dengan unit cost 3,000Pembelian 30 kg seharga Rp 3,100/kg, total pembelian = Rp 93,000,-Terjual 65 kg, menggunakan unit cost yang mana?Sesuai konsepnya: Last In First Out, maka:30 kg x Rp 3,100 = 93,00035 kg x Rp 3,000 = 105,000---------------------------- (+)Total HPP = 198,000,-Tabelnya menjadi seperti ini:Kesimpulan :Menggunakan masing-masing method di atas hasilnya (perhatikan summary di masing-masing tabel):Opening Balance tetap sama :Qty = 100 kg, Rp 300,000Purchase tetap sama :Qty = 95 kg, Rp 303,000COGS quantity sama 135 kg, tapi value-nya berbeda:Average = 396,565FIFO = 393,000LIFO = 398,000Closing Balance, Qty sama 65 kg, tetapi value berbeda-beda:Average = 206,435FIFO = 210,000LIFO = 205,000Kajian PerpajakanCOGS atau Harga Pokok Penjualan adalah vital dalam perhitungan pajak, tinggi rendahnya PPh sangat dipengaruhi oleh Harga Pokok Penjualan. Untuk nilai penjualan yang sama, semakin tinggi Harga Pokok Penjualannya, maka semakin rendahlah labanya, sudah tentu pajaknya juga akan makin rendah, and vice versa.Hal-hal yang perlu diperhatikan:[1]. Freight: freight adalah elemen COGS, pengakuan biaya freight harus sesuai.[2]. Discount & Return atas pembelian :Perhitungkanlah discount dengan semestinya. Lupa memperhitungkan discount akan mengakibatkan pembebanan COGS menjadi lebih besar dari yang seharusnya, jika tidak ketahuan oleh Ditjend pajak, tentu itu bagus, artinya COGS lebih tinggi, artinya laba lebih rendah, pajak lebih rendah. Tetapi jika ketahuan, maka ini akan menjadi koreksi saat pemeriksaan.[3]. Metode Penentuan HPP & Inventory Valuation.Jika kita perhatikan dari kesimpulan di atas, jelas bisa kita lihat bahwa menggunakan LIFO method akan menghasilkan COGS paling tinggi. Mengapa? Karena trend harga pembelian terus meningkat. Ingat konsep LIFO, unit cost yang dipakai sebagai dasar penghitung HPP adalah harga pembelian yang the most recent (terkini?). Kita tahu di negara kita tercinta ini Inflasi cenderung meningkat dari bulan ke bulan and tahun ke tahun. Kejadian harga turun adalah langka. Menggunakan LIFO method akan

Page 39: Basic Accountancy

menghasilkan PPh paling rendah!COGS tertinggi berikutnya adalah “Average Method”, hampir mendekati LIFO, hanya saja value yang diambil adalah nilai tengahnya.FIFO, adalah yang paling rendah COGS-nya. Sekaligus yang paling realistic.Apakah anda akan beralih ke LIFO?Apapun methode yang anda gunakan boleh saja, sepanjang anda terapkan secara CONSITANT.Apakah masih mau memakai LIFO? Untuk mengurangi PPh? Mau?.Reveal this (anggap ini PR)!!!:Menggunakan LIFO, disatu sisi COGS anda saat ini akan menjadi tinggi, so anggaplah PPH menjadi lebih rendah dibandingkan 2 method lainnya. Ingat formula COGS?COGS = Saldo Awal + Purchase – Saldo AkhirSaldo Akhir periode lalu adalah saldo awal periode sekarang, so….?Saldo Akhir periode sekarang adalah saldo awal periode yang akan datang bukan?.Jika COGS periode sekarang lebih tinggi, maka saldo akhir akan menjadi lebih rendah bukan?, then? Artinya saldo awal periode yang akan datang menjadi lebih rendah dari yang seharusnya bukan?. Untuk purchase yang sama, COGS yang sama, tetapi saldo awalnya lebih rendah dari yang seharusnya, apakah yang akan terjadi?, COGS jadi lebih rendah juga!. So? COGS sekarang memang lebih tinggi, tetapi tahun depan?. Lebih rendah dari yang seharusnya bukan? Bukan? Perlu pengujian yang lebih jauh dan detail. Ada yang berminat untuk mengotak-atiknya selepas kerja?

Page 40: Basic Accountancy

STANDARD COST, VARIANCE & EFFICIENCY

Sampai saat ini STANDARD COST masih banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan manufaktur. Untuk perusahaan-perusahaan kecil (small business) di Indonesia standard cost jarang diterapkan, tetapi itu bisa dimengerti karena terbatasnya sources tenaga kerja accounting yang benar-benar bisa menguasai cost accounting, utamanya standard cost. Mengapa standard cost banyak diterapkan?, apa itu VARIANCE?, apa hubungannya dengan EFFISIENSI? lebih penting lagi bagaimana memperlakukan variance?, apa artinya?

Karena luasnya scoop pembahasan, saya tidak akan panjang lebar membahas theories maupun kajian-kajiannya, melainkan akan lebih berfocus kepada tata cara, perlakuan, dan aktifitas pengendaliannya. Tentu saja didahului oleh pemahaman logika-nya, agar tetap mudah untuk dipahami dan diterapkan.

Mudah-mudahan dengan artikel ini, cost accounting bisa lebih dipahami lagi, dannnn…. Rekan-rekan di accounting tidak hanya sekedar bisa menjurnal dan membuat laporan saja, melainkan juga bisa mengukur effisiensi cost yang timbul di produksi.Setelah bisa menilai effisiensi tentunya diharapkan bisa memberikan solusi (jalan keluar) dan menjadi:[-]. Penyedia alat ukur yang effektif (effective tools provider)[-]. Penagkap sinyal keborosan (effective lost detector)[-]. Pencegah kebocoran/pemborosan yang efektif (effective lost preventer)[-]. Pemecah masalah (trouble shooter NOT trouble maker)Yang pada akhirnya bisa:[-]. Menjadi asset sumberdaya manusia yang bisa memberikan kontribusi yang tinggi bagi perusahaan (dimanapun bekerja),[-]. Menjadi pribadi yang merupakan bagian dari jawaban (bukan bagian dari masalah)[-]. Menjadi pribadi-pribadi yang professional dan dapat dihandalkan tentunya.“Wah....hyperbola”. Tentu saja tidak. Tidak ada hal yang tak mungkin jika dilakukan dengan kesungguhan hati.Sekilas Mengenai Standard Cost & Variance[Q] = Question (pertanyaan)[A] = Answer (jawaban)[Q]. Apa itu “Standard Cost”?[A]. Standard Cost adalah Cost yang diharapkan akan terjadi (expected cost), yang ditetapkan (dipatok) oleh perusahaan.[Q]. Di dalam perusahaan, dimana standard cost diterapkan?[A]. Pada: Bahan Baku (Raw Material), Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost) dan Overhead Cost.[Q]. Mengapa Standard Cost diterapkan?[A]. Untuk mengukur effisiensi.[Q]. Bagiaman menerapkannya?[A]. "Standard Cost" dibandingkan dengan “Actual Cost”[Q]. Apa itu actual cost?[A]. Kenyataan cost yang timbul[Q]. Setelah dibandingkan?[A]. Bisa jadi timbul perbedaan[Q]. Lalu?[A]. Perbadaan itulah yang disebut “Variance” (bahasa penjajah)[Q]. Ok ada perbedaan (variance lah, apalah), so what gitu loch?[A]. Jika ada variance itu pertanda ada sesuatu (allert).[Q]. Wuihhh… masalah ya?… toloooooong…!!! by the way, masalah apa ya?

Page 41: Basic Accountancy

[A]. Ada sesuatu :P[Q]. Haaah….., Sesuatu??... sesuatu apaan?!!Sesuatunya itu, kita bahas sambil jalan, okay? :-), dari Question & Answer tadi, saya berharap anda sudah mendapat gambaran dasar, apa itu standard cost, apa itu variance. Jika belum, saya yakin itu akan menjadi lebih jelas lagi setelah melihat contoh penerapannya nanti.Penerapan – Perlakuan: Standard Cost & VarianceStandard cost adalah cost yang ditentukan terlebih dahulu oleh manajemen perusahaan, yang dalam hal ini biasanya oleh Financial Controller (jika ada) atau oleh General Manager (jika ada) atau oleh Direktur, atas dasar data-data yang disediakan oleh bagian accounting dan keuangan, yang sudah dirangkum menjadi Budget tahun tertentu.Pada pelaksanaanya biasanya akan muncul perbedaan-perbedaan, perbedaan itulah yang disebut dengan “Variance” (untuk selanjutnya kita akan selalu sebut dengan “variance” saja). Variance bisa terjadi pada bagian manapun, akan tetapi kaitannya dengan standard cost, cost yang di-standard-kan hanya berada pada cost yang terkait langsung dengan produksi saja, yaitu : Raw Material, Direct Labor dan Overhead. Sehingga, variance bisa terjadi di antara ketiga jenis cost tersebut. Jenis variance pun bisa berupa price variance, atau quantity variance, atau hour variance.Contoh:PT. Royal Bali Cemerlang, perusahaan manufactur di Tangerang yang khusus memproduksi “dasi(ties)” (mungkin dasi yang sedang anda pakai juga hasil produksi dari PT. Royal Bali Cemerlang?, kidding…..:-) ). Manajemen menginginkan agar perusahaan (bagian produksi khsusunya) disiplin dalam menjalankan budget yang telah ditentukan pada tanggal 01 January 2008, dan tidak melakukan pemborosan. Oleh sebab itu, perusahaan menentukan standard cost untuk product dasi (tie) yang dibuat sebagai berikut:Catatan : yang diatas sekaligus sebagai contoh tabel standard cost (untuk diketahui)Standard Cost & Variance pada Raw MaterialPada tanggal 25 April, diterima kain sebanyak 1000 meters dari toko kain, pada faktur yang diterima beserta kain, diperoleh data sebagai berikut:Kain, Qty = 1500 meters, Unit Price Rp 26,000/meter, Total Amount Rp 39,000,000Jika dibandingkan dengan standard cost tabel di atas, maka dapat kita temukan perbedaannya, yaitu di unit price-nya, pada standard cost Rp 25,000/mtr, sedangkan kenyataannya (actual cost di faktur) Rp 26,000, sehingga ada “variance” pada harga kain sebesar Rp 1,000/meter, dan total variance = Rp 1,500,000Maka dicatat dengan jurnal:[Debit]. Raw Material = Rp 37,500,000[Debit]. Raw Material Price Variance = 1,500,000[Credit]. Account Payable = 39,000,000Catatan: Raw Material yang dibeli tetap dicatat menggunakan “Standard Cost”, sehingga nilai persediaan raw material akan meningkat sebesar Rp 37,500,000 saja (sesuai standard Cost), meskipun tentu saja hutang tetap diakui sesuai dengan “Actual Cost”, sedangkan perbedaan pada harga raw material diakui sebagai variance yang disebut dengan “Raw Material Price Variance”.Tanggal 28 April 2008, datang pengiriman kain yang ke-2, dengan faktur sebagai berikut: Qty 1500 meters, Unit Price Rp 24,500/meter. Jika dibandingkan maka dapat kita temukan adanya perbedaan lagi, tetapi kali ini harganya lebih rendah Rp 500/meter dibandingkan standard cost.Dicatat dengan jurnal:[Debit]. Raw Material = Rp 37,500,000[Credit]. Account Payable = Rp 36,750,000[Credit]. Raw Material Price Variance = Rp 750,000Nantinya di akhir bulan (pada penutupan bulan April 2008), buku besar akan nampak sebagai berikut:Buku Besar Raw Material :

Page 42: Basic Accountancy

25 April 2008, Debit = Rp 37,500,00028 April 2008, Debit = Rp 37,500,000----------------------------------------------* Saldo, Debit = Rp 75,000,000(Catatan: sesuai dengan standard cost = 3000 pcs x 25,000 = 75,000,000)

Buku Besar Account Payable:25 April 2008, Credit = Rp 39,000,00028 April 2008, Credit = Rp 36,750,000----------------------------------------------* Saldo, Debit = Rp 75,750,000

Raw Material Price Variance:25 April 2008, Debit = Rp 1,500,00028 April 2008, Credit = Rp 750,000----------------------------------------------* Saldo, Debit = 750,000

Kesimpulan: Total Raw Material Variance, Debit= Rp 750,000Apa artinya?Artinya sejauh ini, Actual Raw Material Cost Rp 750,000 lebih tinggi dibandingkan Standard Cost, artinya cost yang ditanggung oleh perusahaan Rp 750,000 lebih tinggi dibandingkan cost yang diharapkan (expected cost), karena actual cost lebih tinggi dibandingkan standard cost, artinya sampai sejauh ini (per 31 april 2008 nanti) laba yang akan diterima oleh perusahaan nantinya akan lebih rendah Rp 750,000 dibandingkan dengan laba yang direncanakan, tentu itu pertanda buruk!,Jika accounting bisa melaksanakan fungsinya: menganalisa bukti transaksi, melakukan validasi, mencatat dengan akurat, memperlakukan transaksi dengan benar, melakukan analisa dan pelaporan dengan benar dan TEPAT WAKTU, masalah seperti ini harus langsung diketahui dan diantisipasi begitu data masuk ke accounting (saat faktur penerimaan kain dan nota pembelian diterima).Berupa apakah antisipasinya?Antisipasinya: Melakukan verifikasi ke bagian pembelian (purchasing), mengapa ada perbedaan harga?.Jika bagian purchasing tidak melakukan reaksi yang positif, apa artinya?, ada sesuatu!, jika menunjukkan reaksi yang positif (melakukan verifikasi langsung ke supplier, meminta nego harga ke harga yang dahulu, dsb), itu pertanda positif.Apa yang harus dilakukan pihak accounting?: meminta approval/validasi kepada financial controller atas transaksi tersebut.Financial Controller: memberi tanda bintang kepada accounting atas ke akuratan dan ketepatan reaksi yang ditunjukkan, dan memberi tanda Tanya “?” untuk bagian purchasing. Diberi tanda Tanya, artinya masuk dalam daftar pengawasan.Okay, anyway sudah terjadi, bagian purchasing masih melakukan langkah antisipasi, Financial Controller tetap mengawasi bagian purchasing. Sementara di accounting, apa yang harus dilakukan atas variance yang timbul?, bagaimana mencatat dan memperlakukan variances berikutnya PADA : DIRECT LABOR COST maupun PADA: OVERHEAD COST ?. Bagimana pengaruhnya terhadap Harga Pokok Produksi dan Harga Pokok Penjualan?Standard Cost dan Variance masih akan berlanjut, akan tetapi akan dilanjutkan di Standard Cost & Variance – Part 2Kita akan explore lebih jauh lagi mengenai STANDARD COST , VARIANCE dan EFFISIENSI. Di wilayah mana lagi standard cost diterapkan dan kemungkinan variance timbul akan timbul?,

Page 43: Basic Accountancy

Bagaimana perlakuannya?.Masih memakai contoh product dasi yang kita pakai di Standard Cost, Variance & Effisiensi Part 1. Untuk mengingat kembali dan supaya tidak bolak balik mencarinya, tabel standard cost-nya saya tampilkan lagi dibawah ini:Kemungkinan perbedaan (variance) bisa terjadi pada jumlah (quantity) raw material yang dipakai maupun di wilayah dan aktivitas lainnya.Kasus:Setelah product “Dasi (Tie)” selesai di kerjakan, barang dihitung, dan hasilnya:- Barang Jadi yang dihasilkan 1750 pcs- Hasil rekapitulasi upah buruh Rp 11,000,000- Penggunaan listrik Rp 656,250Hal itu juga ditunjukkan oleh nota serah terima dari bagian produksi ke gudang penyimpanan barang jadi yang sudah di validasi, Rekapitulasi upah buruh dan tagihan listrik.Lalu?Data tersebut dibandingkan dengan tabel standard cost:[1]. Penggunaan raw materialMenurut tabel standard cost dari 3000 meters material yang dipakai seharusnya bisa menghasilkan product dasi sebanyak 2000 pcs, kenyataannya barang yang dihasilkan hanya sebanyak 1750 pcs. Artinya ada perbedaan sebanyak 50 pcs.Perbedaan penggunaan raw material dihitungn dengan cara:Raw Materal Usage Variance = 50 pcs x 0.15 x 25,000 = Rp 187,500[2]. Direct Labor CostDengan jumlah barang yang dihasilkan yang hanya sebanyak 1750 pcs dimana time required per unit product-nya adalah 0.25 hour, maka total hournya hanya 437.50 hours, so total upah buruh seharunya Rp 5,495 x 437.5 hours = Rp 10,937,500. Sedangkan kenyataannya Rp 11,000,000, jadi ada selisih sebesar Rp 11,000,000 – Rp 10,937,500 = Rp 62,500.[3]. Electricity UsageMenurut tabel standard cost listrik yang seharusnya dipergunakan dihitung dengan cara:1750 pcs x 0.25 hours x Rp 1,500 = Rp 656,250, berarti tidak ada variance pada penggunaan listrik.Kita sudah mendapatkan semua angka variance. Setelah semua di verifikasi dengan semestinya, selanjutnya tinggal menjurnalnya.Ada beberapa jurnal yang diperlukan, yaitu :(a). Pengakuan terhadap pengeluaran kain dari gudang ke bagian produksi[Debit]. Work In Process (WIP) - Raw Materials = Rp 75,000,000[Credit]. Raw Materials = Rp 75,000,000(Catatan: Diakui sebesar Standard Cost-nya = 3000 meters x Rp 25,000)(b). Pengakuan pengeluaran kas atas upah buruh[Debit]. Work In Process (WIP) – Direct Labour Cost = Rp 10,937,500[Credit]. Cash = Rp 10,937,500(c). Pengakuan pengeluaran kas atas pembayaran listrik[Debit]. Work In Process (WIP) – Overhead = Rp 656,250[Credit]. Cash = Rp 656,250Catatan: sampai di sini, ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan:* Jurnal di atas dipakai untuk perusahaan manufaktur yang mengakui adanya persediaan barang dalam process (work in process inventory).* Dalam kasus ini diakui sebesar standard cost-nya.(d). Mengakui kenaikan penambahan nilai inventory (finished goods) atas penyerahan barang jadi ke gudang:

Page 44: Basic Accountancy

[Debit]. Inventory (Finished Goods) = Rp 86,343,750[Debit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500[Debit]. Direct Labour Cost Variance = Rp 62,500

[Credit]. WIP –Raw Material = Rp 75,000,000[Credit]. WIP – Direct Labour Cost = Rp 10,937,500[Credit]. WIP – Overhead (electricity) = Rp 656,250

Catatan:Sekali lagi, jurnal di atas dipakai jika perusahaan mengakui adanya persediaan barang dalam proses (WIP = Wor In Process)Jika tidak, bisa dijurnal dengan 1 tahap saja (tanpa melalui rekening barang dalam process):[Debit]. Inventory (Finished Goods) = Rp 86,343,750[Debit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500[Debit]. Direct Labour Cost Variance = Rp 62,500

[Credit]. Raw Material = Rp 75,000,000[Credit]. Cash = Rp 10,937,500[Credit]. Cash = Rp 656,250

Pengendalian CostDari semua transaksi tadi, kita menemukan adanya variance sejumlah Rp 187,500 akibat

pemborosan (in-efficiency) dalam penggunaan bahan baku, entah karena ada barang rusak atau memang kenyataan consumption-nya lebih besar dari 0.15 meters. Variance juga timbul pada total hour yang dipergunakan dalam menyelesaikan pekerjaan, sehingga upah buruh membengkak sebesar Rp 62,500. Kasus seperti ini hendaknya mendapat perhatian yang serius dari pihak manajemen, terutama yang bertugas melakukan pengawasan (pengendalian). Tentu saja melalui verifikasi yang cukup, agar ditemukan letak masalahnya.Apa kemungkinan penyebabnya? Ada beberapa kemungkinan:[-]. Variance pada penerimaan raw material (harga lebih tinggi dari standard cost):Bisa jadi karena harga raw material memang meningkat (inflasi). Jika saja; supplies contract, dan price quotation atas semua jenis supplies rutin di-review dan di-update regularly, seharusnya hal seperti tidak perlu terjadi.Kemungkinan kedua adalah “fraud (penyelewengan)” yang dilakukan oleh pihak intern perusahaan.[-]. Variance pada Raw material usage :Bisa jadi penghitungan consumption sebelum dituangkan ke dalam budget dan standard cost tidak dilakukan dengan akurat. Atau memang banyak terjadi kesalahan pada saat proses produksi.[-]. Variance pada Direct Labour Cost:Bisa jadi karena time motion test (penghitungan jam mesin/tenaga kerja) tidak dilakukan dengan akurat, sehingga data yang dimasukkan ke dalam budget dan standard cost juga tidak akurat. Atau karena pada produktifitas tenaga kerja dan mesin memang menurun (in-effisensi), entah karena kurang bagusnya production set-up atau karena miss-production management.Semua itu memerlukan verifikasi, penyidikan dan pembuktian lebih lanjut. Diperlukan follow up. Yang jelas, kemungkinan manapun nantinya yang terjadi seusungguhnya, Jika perusahaan ingin tetap survive dan sehat, maka hal seperti ini tidak boleh ditoleransi. Harus ada pihak yang bertanggung jawab. Sampai saat ini “Funsihment or Reward” approach masih terbukti yang paling effektif untuk melakukan pengendalian.Pertanyaan terakhir: lalu variance itu akan dikemanakan?, bukankah kita tidak pernah menemui adanya rekening “variance” pada Chart of Account?. Pertanyaan yang sangat bagus. Semua itu akan kita jawan

Page 45: Basic Accountancy

di Standard Cost, Variance & Effisiensi – Part 3.Masih ada satu sub topic dari serie “Standard Cost, Variance & Effisiensi” yang belum saya bahas yaitu: mengalokasikan variance. Seperti kita ketahui bahwa tidak ada rekening (account) variance di dalam laporan keuangan, jadi dibawa kemanakah variance ini? Bagaimana jurnalnya?. Yet, standard cost dan analysis variance sangat erat kaitannya dengan effisiensi, justru disinilah pembahasan Standard Cost dan Analysis Variance yang sesungguhnya. Apakah menurunnya cost sudah berarti effisiensi? Kita akan bahas sebentar lagi.Hanya untuk recall saja, jika saya summarize variances yang sudah terjadi dari topic sebelumnya (Standard Cost, Variance & Effisiensi dan Standard Cost, Variance – Part 2), ada 4 (empat) variances yang ditemukan, yaitu:[Debit]. Raw Material Price Variance = 1,500,000[Credit]. Raw Material Price Variance = Rp 750,000[Debit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500[Debit]. Direct Labour Cost Variance = Rp 62,500Dari keempat variance di atas, “Raw Material Price Variance” ada 2 (dua) debit dan kredit, bisa langsung di off-set-kan, sehingga tinggal 3 (tiga) variances saja, yitu:[Debit]. Raw Material Price Variance = Rp 750,000[Debit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500[Debit]. Direct Labour Cost Variance = Rp 62,500Selanjutnya dibawa kemanakah variance tersebut?Mengalokasikan VarianceKita tahu pada laporan keuangan tidak mengenal rekening (account) “variance”, oleh sebab itu variance harus dialokasikan sebelum buku ditutup ke laba rugi dan neraca. Perlu diketahui, bahwa variance bukanlah rekening permanent, melainkan rekening sementara yang dijadikan salah satu instrument pengukur effisiensi semata-mata.Bagaimanapun juga variance yang timbul adalah nyata dan harus diakui. Bagaimanapun juga pada akhirnya transaksi yang diakui dan dilaporkan adalah actual cost-nya (bukan standard cost-nya). Selisih antara actual cost dengan standard cost yang tadinya di post ke rekening variance masing-masing harus dikembalikan ke dalam cost-nya, sehingga nantinya cost yang di laporkan di dalam Profit & Lost Statament maupun Neraca adalah “sebesar actual cost-nya”.Kapan variance dialokasikan ke cost?Peng-alokasi-an dilakukan tentunya setelah semua variance di verifikasi, di analisa, disimpulkan dan didokumentasikan, selambat-lambatnya, sebelum proses tutup buku di laksanakan.Kemana dan bagaimana mengalokasikan variance?Variance pada raw material (either price variance or usage variance)[-]. Jika pada saat pengalokasian variance ke cost-nya, barang jadi (inventory) sudah terjual seluruhnya, maka variance langsung di alokasikan ke Cost of Goods Sold (Material Usage), dengan jurnal (sesuai dengan contoh kasus):[Debit]. Inventory Usage (COGS) = Rp 937,500[Credit]. Raw Material Price Variance = Rp 750,000[Credit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500[-]. Jika sebagian sudah terjual, sebagian belum, maka dilihat dahulu nilai variance-nya. Jika nilai variance-nya dianggap “immaterial”, maka bisa langsung dialokasikan ke COGS (Inventory usage) seperti jurnal di atas. Sedangkan jika nilai variance-nya dianggap ”material”, maka sebagian dialokasikan ke inventory, sebagian ke inventory usage (COGS) secara proportional (sesuai prosentase berapa terjual berapa yang masih berupa persediaan barang jadi), jurnalnya:[Debit]. Inventory Usage (COGS) = Rp 900,000 (misal: sudah terjual)[Debit]. Inventory = 37,500 (misal: belum terjual)[Credit]. Raw Material Price Variance = Rp 750,000

Page 46: Basic Accountancy

[Credit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500Variance pada Direct Labor CostLangsung dialokasikan ke cost asalnya (Direct Labor Cost) dengan jurnal:[Debit]. Direct Labour Cost (COGS) = Rp 62,500[Credit]. Direct Labour Cost Variance = Rp 62,500Variance pada Overhead CostWalaupun pada contoh kasus ini tidak ada variance, pada kenyataannya, tidak menutup kemungkinan variance bisa terjadi juga pada overhead cost, jika memang terjadi maka dialokasikan dengan jurnal:[Debit]. Overhead Cost (COGS)[Credit]. Overhead Cost VarianceCatatan: dengan jurnal di atas, maka rekening sementara variance sudah nol (terhapus), variance sudah dialokasikan ke cost aslinya dan cost yang diakui telah sama dengan actual costnya.“Kalau toh akhirnya dikembalikan ke actual cost-nya, buat apa mencari variance dan buat apa menerapkan standard cost?”.Tujuan utama penerapan standard cost adalah semata-mata untuk mengukur dan menjaga effisiensi. Kita lanjutkan ke variance dan effisiensi, disana kita bahas lebih mendalam lagi.

Variance dan Effisiensi

Saya tambahkan sub pokok bahasan ini dengan harapan: mudah-mudahan bisa mengasah “awareness instinct (=kewaspadaan naluriah?)” akan potensi in-effisiensi dan bentuk-bentuk kebocoran yang bisa terjadi. Ini penting bagi rekan-rekan di accounting dan keuangan, khususnya bagi mereka-mereka yang tidak merasa cukup puas dengan hanya menjadi clerk atau bookkeeper saja. So, untuk rekan-rekan yang hanya sekedar ingin tahu perlakuan dan jurnalnya saja, anda tidak perlu membaca (mengikuti) penjelasan saya lebih lanjut lagi, don’t waste your time. Tapi bagi yang suka berpikir, ingin belajar lebih mendalam, ingin mengerti managerial-nya, saya encourage untuk mengikuti (membacanya) hingga akhir. You are not going to waste your time, you are eventually about to learn a more insightful of accounting cost, it will be well worth it.

Kembali ke basic-nya, variance cost (selisih pada cost), entah itu atas raw material, direct labor maupun overhead cost, jika variance yang timbul:[-]. Bersaldo debitBerarti actual cost-nya lebih tinggi dibandingkan standard cost, jika ini yang terjadi, artinya perusahaan beroperasi di atas budget yang sudah ditetapkan. Apakah ini sudah pasti kebocoran/inefficiency?, belum tentu, tetapi sudah pasti ada yang tidak beres.[-]. Bersaldo CreditBerarti actual cost-nya lebih rendah dibandingkan standard cost, yang artinya perusahaan beroperasi dibawah budget yang telah di tetapkan. Apakah ini sudah berarti effiseinsi?, belum tentu juga.

Variance manapun yang timbul, masih memerlukan follow-up (=tindak lanjut?) dari pihak manajemen. Yang bertugas untuk melakukan verifikasi dan analisa tentunya mereka (dia) yang bertanggung jawab mengelola keuangan perusahaan, mereka (dia) yang diharapkan menjadi pengaman asset perusahaan. Pada perusahaan kecil dan menengah di Indonesia, tugas ini biasanya ditangani langsung oleh direktur, sedangkan pada perusahaan yang sudah bersekala corporation (besar) biasanya ditangani oleh Controller (Financial Controller) dan atau Chief Financial Officer (CFO).

Itulah sebabnya mengapa rekan-rekan di accounting dan keuangan (jika memang ingin mengembangkan career ke level yang lebih tinggi lagi) sebaiknya mulai pelan-pelan memahami: flow (alur), mobilty (perpindahan dan pergerakan) fisik barang sekaligus transaksinya secara terintegrasi, minimal (sekali lagi saya underline “minimal”).Catatan: (Permakluman)

Banyak cara dan tempat untuk belajar. Tentu blog ini bukanlah sesuatu yang layak untuk

Page 47: Basic Accountancy

dijadikan tempat belajar. Blog ini awalnya ingin saya jadikan sebagai wadah bagi diri saya untuk ber-ekspresi, ber-idealisme, sekaligus untuk tempat mengasah diri saya pribadi, untuk mengingat-ingat kembali apa yang telah saya kerjakan. Jikapun ada diantara rekan-rekan pengunjung menganggap blog ini sebagai alternative sarana belajar, bertukar pikiran, dan berbagi, dan lain sebagainya, saya berterimakasih dan bersukur. Amin!. Atas dasar pemikiran itulah saya merasa perlu membenahi-nya, agar bisa memberikan sumbangan yang lebih banyak dan lebih baik lagi. Dan untuk maksud tersebut, saya sadar itu butuh waktu, saya harus belajar lebih banyak hal lagi. Sekalilagi terimakasih untuk support-nya.Kembali ke topic……

Jika memiliki product knowledge yang kuat, mengetahui tehnis pelaksanaan mulai dari research & development, marketing, purchasing, production, quality management, packaging, inventory management, sales sampai ke shipping, ditambah dengan accounting, keuangan dan perpajakan, maka fungsi pengendalian (controlling) akan bisa dilaksanakan dengan sangat baik. Karena kunci dari fungsi pengendalian adalah memahami dan menguasai “the whole picture” secara terintegarsi, bukan sebagian-sebagian atau sepenggal-sepenggal, apalagi cuma setengah-setengah.Mengapa perlu?[-]. Karena tanpa menguasai flow dan mobilitas (pergerakan/perpindahan) fisik barang dari satu bagian ke bagian yang lain, dari satu section ke section yang lain, dari satu workstation ke workstation yang lain, dari hulu hingga ke hilir dan balik ke hulu lagi, maka mustahil untuk bisa meng-interpretasi-kan transaksi ke dalam pencatatan dan pelaporan dengan benar dan akurat.[-]. Karena tanpa product knowledge dan tehnis process di semua bagian, section, dan workstation, mustahil untuk bisa melakukan verifikasi dan analisa yang benar dan akurat juga.Contoh (sebagai ilustrasi saja):Ada variance bersaldo negative (note: untuk yang bersaldo positif rasanya saya tidak perlu jelaskan lagi, sudah banyak saya bicarakan), artinya actual cost lebih rendah dibandingkan standard cost-nya. Apakah itu sudah berarti effisien? Masih perlu kajian dan analisa lebih jauh lagi dibandingkan sekedar angka variance. Perlu mengetahui formula-formula dibawah ini:[-]. Secara alamiah, efficiency sering berbanding terbalik dengan quality of product.[-]. Naturally, speed (total hour dibagi oleh total quantity atau volume) sering berbanding terbalik dengan quality.Artinya apa?, jika menemukan variance negative (actual cost lebih kecil dari standard cost) maka anda sudah harus melakukan:[-]. Verifikasi antara angka-angka di buku dengan bukti transaksi dan physical count.Question: Bagaimana bisa melakukan itu jika tidak menguasai alur fisik barang dan alur transaksi secara terintegrasi?Okay, let’s say sudah diverifikasi dengan benar, memang matching and it’s confirmed, memang benar ada negative variance, apakah itu sudah cukup? Not yet….[-]. Itu merupakan another alarm bell atau red alert atau sinyal bahaya lainnya pada “quality of product”, anda sudah harus cepat-cepat periksa quality barang yang dihasilkan, tentu saja tanpa meng-intervensi kerja bagian quality control, anda hanya perlu melakukan verifikasi dan analisa, bagian keuangan berhak untuk melakukan itu, tentunya disesuaikan dengan level dan authority-nya.Question: Bagaimana bisa melakukan itu jika tidak menguasai quality management and its standard?. Mustahil bukan?Kembali ke masalah quality dan effisiensi. Ini formula selanjutnya yang perlu diketahui (di ingat baik-baik):[-]. Quality berbanding lurus dengan sales (both in volume & value). Semakin menurun qualitas, most probably sales akan turun juga.[-]. Sales sudah pasti (saya yakin anda sudah tahu) berbanding lurus terhadap revenue.[-]. Revenue berbanding lurus terhadap PROF!T.

Page 48: Basic Accountancy

So, you are questioning me “bagaimana jika produksi berdasarkan pesanan?, toh barang sudah dipesan”.Tahukah anda bahwa, purchase order tidak berarti orang tidak boleh mengembalikan barang, jika poor in quality pasti barang dikembalikan, jika quality “agak” rendah, mungkin barang tetap diterima tetapi dengan discount.Okay, let’s say, somehow, quality rendah, tetapi barang diterima dan tanpa discount. Does that sound perfect?. Belum tentu, sangat mungkin back-order atau repeat order-nya akan dikurangi, atau bahkan tidak ada repeat order lagi. Jika new customer, hampir bisa dipastikan tidak akan pernah kembali lagi, artinya conversion menurun (kesempatan untuk meng-convert new customer menjadi regular customer hilang). See, we just through the “next cash” out of the window.“Tapi, itu kan nanti, yang jelas untuk periode ini perusahaan untung”. A-a, perlu diketahui, kehilangan kesempatan memperoleh keuntungan untuk periode yang akan datang adalah bentuk lain dari cost. Namanya “Opportunity Cost”.“apakah opportunity cost dilaporkan di dalam laporan keuangan?”. Memang, tidak dilaporkan, tetapi akan muncul nanti pada laporan yang akan datang dalam wujud "pertumbuhan revenue yang menurun".Misalnya:Dua periode sebelumnya memperoleh revenue Rp 1,000,000 dan periode yang lalu memperoleh revenue Rp 1,500,000, dan periode berjalan memperoleh revenue Rp 2,250,000. Artinya rata-rata pertumbuhan revenue adalah 150%. Dengan rata-rata 150% seharusnya revenue di periode berikutnya seharusnya Rp 3,375,000, tetapi karena menurunnya quality, beberapa customer yang menerima poor quality product tidak melakukan pesanan lagi, sehingga angka Rp 3,375,000 kemungkinan besar tidak akan tercapai. In worst case, sangat mungkin revenue malah turun ke angka dibawah Rp 2,250,000.Contoh lain: (kasus yang berbeda)Terjadi variance bersaldo negative pada Direct Labour Cost, artinya upah buruh yang dibayarkan lebih rendah dibandingkan standard cost, apakah sudah berarti effisiensi? Belum tentu juga.Pada Direct Labor Cost (upah buruh) berlaku formula:[-]. "Direct Labor Cost" berbanding lurus terhadap “descent work(=tingkat kepuasan kerja?)”.[-]. "Descent work" berbanding lurus terhadap "employee loyalty"[-]. "Employee loyalty" berbanding lurus terhadap "productivity"[-]. "Productivity" berbanding lurus terhadap "Revenue"[-]. "Descent work" berbanding terbalik terhadap "Employee turnover (arus keluar masuk karyawan)".[-]. "Employee Turnover" berbanding lurus dengan "Recruitment & Training Expense"Menurunnya upah buruh sangat mungkin mengakibatkan menurunnya tingkat kepuasan kerja buruh, dan menurunnya tingkat kepuasan kerja buruh secara alamiah akan menurunkan productivity, productivity berpengaruh terhadap revenue. Tingkat kepuasan kerja yang menurun juga mengakibatkan employee turnover yang tinggi, employee turnover yang tinggi akan mengakibatkan recruitment dan training expense meningkat. Look, that’s another big potential cost.Failure dalam menentukan “employee retention policy (=kebijakan dalam pemberian kompensasi, incentive dan kesempatan berkembang)” could directly impact productivity and employee turnover.Catatan: Approach yang sesuai terhadap "Kebijakan Ketenaga Kerjaan", "Human Resource Management" adalah salah satu kunci kesuksesan aktifitas pengendalian. Dan, rasanya akan menjadi sesuatu yang berat jika kedua hal tersebut tidak dikeuasai dengan baik.Kesimpulan“Dari awal pembahasan hingga sekarang sepertinya in-efficient salah, efficient juga salah, yang benar yang mana?, mana yang lebih penting; efficient atau quality?, Direct Labor Cost efficiency atau Descent Work?”Kondisi ideal yang diharapkan tentu: Qualitas product terbaik pada tingat effisiensi yang tinggi juga, descent work tertinggi pada tingkat effisiensi direct labor cost yang tinggi juga. Goal setting yang tinggi adalah postif, tapi perlu realistis in the same time.

Page 49: Basic Accountancy

Dengan melakukan trend analysis dari satu period ke period yang lain, membandingkan unsur-unsur: variance Vs quality, variance Vs productivity, variance Vs employee turnover yang pada akhirnya membandingkan revenue Vs cost/expense secara berkesinambungan, akan dapat menentukan “Match Point (titik temu)” dan “Elasticity” antara unsur-unsur yang di bandingkan.Yang dimaksudkan dengan match point di sini adalah:“titik” dimana:[-]. Effisiensi Vs Quality, mengahasilkan profit tertinggi[-]. Effisiensi Vs Productivity, menghasilan profit tertinggi[-]. Effisiensi Vs Employee Turnover, menghasilkan profit tertinggiMatch point tersebutlah nantinya akan dijadikan acuan standard cost berikutnya, standard untuk mentukan kebijakan-kebijakan perusahaan di semua department diperiode berikutnya. Dengan usaha yang terus menerus, dari period ke periode berikutnya yang semakin ditingkatkan, suatu saat kondisi ideal yang diharapkan tentunya bisa diwujudkan.Last question:“Kalau toh pada akhirnya untuk mencari tingkat profitability maximum, bukankah cukup hanya dengan menganlisis laporan laba rugi saja?, toh sudah bisa dibandingkan antara revenue dengan cost, antara sales dengan gross margin, antara sales dengan profit margin, dan sebagainya?”Pszz…..wrong conclusion.Semua analisa perbandingan tadi adalah dengan asumsi, “NO ERROR (Zero Error)”, hanya masalah mencari titik temu saja. Pada kenyataannya, error sering terjadi, kesalahan bisa timbul dimana saja, entah karena kurangnya ketrampilan pegawai/buruh, atau adanya pegawai/buruh yang bekerja diluar system yang telah ditentukan.Salah satu fungsi pengendalian adalah menangkap sinyal error sejak dini, sehingga bisa mencegahnya (tidak membiarkan-nya terjadi). Menganalisa dan menyimpulkan apa yang telah terjadi saja bukanlah tindakan yang smart (jika tidak mau disebut bodoh). Jika pintar, maka harus bisa meng-identifikasi dan mencegahnya, jikapun tidak bisa dicegah, maka error yang timbul harus dicari akar masalahnya, lalu shutdown right on the spot (tepat d ititik dimana terjadi-nya error), jangan sampai meluas atau menjalar, dan tidak akan terjadi lagi. Itu baru smart.Jika diperusahaan anda menggunakan STANDARD COST, artinya akan ada VARIANCE, artinya perusahaan sangat care terhadap effisiensi. Semua itu membutuhkan kerja keras dan commitment yang sungguh-sungguh dari semua element di perusahaan. Jika belum, mungkin ingin mencoba menerapkan standard cost?

Page 50: Basic Accountancy

Kadang saya menemukan publikasi online yang dengan percaya-diri menyebutkan “Berikut ini adalah format satandar laporan keuangan”, menurut saya itu pernyataan yang berlebihan—mungkin dibuat sebagai bumbu daya tarik, ya tidak apa-apalah. Standar untuk si pembuat, mungkin IYA. Standar untuk perusahaan ABC, mungkin juga IYES. Tetapi standar untuk semua perusahaan? Saya rasa tidak. Yang saya tahu, tak ada yang namanya “format standar.” Seumur-umur belajar akuntansi, membaca literature terbitan lokal hingga terbitan asing, saya belum pernah menemukan kata-kata yang menyebutkan “ini adalah format standar laporan keuangan”.

Jika “format yang lumrah”, IYA, memang ada, misalnya: format yang lumrah untuk perusahaan jasa, perusahaan dagang, perusahaan manufaktur, perusahaan konstruksi dan real estate (yang biasa disebut dengan perusahaan kontraktor), pertambangan, holti kultura, perbankan, non-profit, dan lain sebagainya. Namun tetap saja TIDAK bisa disebut “FORMAT STANDAR”—yang harus diikuti bulat-bulat oleh perusahaan lain, apalagi yang jenis usahanya jelas-jelas berbeda. Oleh sebab itu, contoh format apapun yang dikeluarkan oleh JAK, saya pribadi memberikan jaminan PASTI BUKAN FORMAT STANDAR, termasuk format laba-rugi yang akan saya tampilan lewat tulisan ini. Yang akan saya sampaikan adalah format dasar. Agar bisa sungguh-sungguh digunakan perlu modifikasi-modifikasi sesuai kebutuhan.

Dan yang lebih tahu menganai apa yang anda butuhkan adalah bukan saya, bukan konsultan, bukan guru besar akuntansi dari Kellog Business School-nya North Western University sekalipun, bukan IAI, bukan FASB, bukan IASB, bukan pihak lain. Melainkan perusahaan itu sendiri, lebih persisnya ANDA sendiri yang ada di dalam perusahaan tersebut. Ketimbang sekedar menjiplak format laporan keuangan yang telah ada, menurut saya pribadi, jauh lebih masuk akal dan lebih penting untuk mengetahui teknikal dan logika-logika dari format laporan keuangan itu sendiri. Jika teknikal dan logika-logikanya sudah dipahami dengan baik, maka saya yakin anda bisa membuat format laporan keuangan untuk jenis perusahaan apapun.

Sudah pasti, untuk bisa menyajikan laporan keuangan yang sungguh-sungguh mendekati kondisi keuangan perusahaan yang sesungguhnya, seseorang harus paham (sedikit-banyaknya) alur-proses operasional perusahaan yang akan dibuatkan laporan, paham karakter dan behavior perusahaan tersebut. Sebaliknya, jika sebuah laporan menggunakan template hasil jiplak, lalu dipaksakan untuk digunakan untuk perusahaan berbeda—sementara tidak paham teknikal dan logikanya, tak paham operasional perusahaan—saya yakin tak seorangpun yang akan bisa membaca dan memahami isi laporan yang dihasilkan. Oke. Cukup. Sekedar untuk diketahui saja. Kita langsung ke topik utama…Format Laporan Laba-Rugi (Income Statements)

Dalam “Format Laporan Keuangan Bagian 1” ini saya akan menyajikan contoh format dasar “Laporan Laba-Rugi,” beserta penjelasan-penjelasan yang diperlukan:Contoh Format Laporan Laba-RugiPenjelasan:“PT. JAK” – Ini adalah nama perusahaan yang dilaporkan“LAPORAN LABA-RUGI” – Ini adalah nama laporannya, yaitu Laporan-Laba Rugi“1 – 31 Januari 2012” – Ini adalah periode laporan. Periodisasi laporan keuangan lumrahnya ada 4, sehingga format inipun ada empat macam, yaitu:(1) Bulanan (monthly), formatnya: seperti pada contoh di atas(2) Kuartalan (quarterly), fromatnya: “Kuartal I (1 Januari – 31 Maret) 2012”(3) Semesteran (semi-annually), formatnya: “Semester I (1 Januari – 30 Juni) 2012”(4) Tahunan (Annually), formatnya: “1 Januari – 31 Desember 2012”“Pendapatan” – Dalam kelompok ini lah segala macam pendapatan ditampung, yang rinciannya bisa dibuat dibawahnya (dalam contoh ini dari a hingga d).“Penjualan” – Ini adalah akun yang khusus menampung penjualan, baik itu penjualan barang maupun jasa, sepanjang itu adalah barang/jasa utama yang dijual oleh perusahaan. Bisa dibilang akun “penjualan” adalah sumber pendapatan utama perusahaan.

Page 51: Basic Accountancy

“Diskon/Potongan” – Ini adalah diskon/potongan yang diberikan kepada pelanggan sehubungan dengan penjualan barang/jasa utama yang dihasilkan oleh perusahaan. Sehingga, akun “diskon” ini bersifat mengurangi penjualan bersih perusahaan. Misal: Penjualan 3 unit monitor @800,000, dalam masa promosi perusahaan mengadakan program “Beli 2 Gratis 1.” Maka ke dalam akun “penjualan” dimasukan 2,400,000 (=3 x 800,000), tetapi 1 barang yang diberikan secara percuma 800,000 bisa dimasukkan ke akun “diskon.” Sehingga penjualan bersih menjadi hanya 1,600,000 (=2,400,000 – 800,000) saja.“Retur” – Ini akun untuk barang retur/kembali, entah karena cacat atau karena pembelian memang dibatalkan. Sifatnya sama seperti diskon, yaitu mengurangi penjualan bersih.

Catatan: Ada juga perusahaan yang laporan laba-rugi-nya tidak menampilkan diskon maupun retur. Yang disajikan dalam laporan laba-rugi hanya nilai penjualan bersih saja. Jika menggunakan contoh laba-rugi di atas, maka yang tampil hanya “Penjualan = 2,150”, sedangkan akun diskon dan retur tidak ditampilkan. Tetapi pada jurnal harian maupun buku besar (ledger), tetap saja diskon dan retur di jurnal. Hanya saja, untuk diskon dan retur dibuat kebalikan dari jurnal penjualan. Mengapa tetap dijurnal? Karena ‘Harga PokokPenjualan’ dan pengurangan nilai ‘persediaan barang’jadi’ dari barang terdiskon tetap harus diakui. Misalnya dalam kasus penjualan monitor di atas, jurnalnya menjadi: [Debit]. Piutang Dagang = Rp 2,400,000 [Kredit]. Penjualan = Rp 2,400,000 (Untuk penjualan 3 monitor @800,000) dan: [Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 1,200,000 [Kredit]. Persediaan Barang Jadi = Rp 1,200,000 (Untuk mengakui Harga Pokok Penjualan sekaligus mengurangi persediaan) Lalu discount dicatat: [Debit]. Penjualan = Rp 800,000 [Kredit]. Piutang Dagang = Rp 800,000 (Untuk diskon 1 monitor @800,000) Sehingga, setelah semua transaksi terkumpul, maka buku besar ‘Penjualan” akan nampak sbb: 3 monitor @800,000 = 2,400,000 (Di sisi kredit) 1 monitor @800,000 = (800,000) (Di sisi debit) Saldo = 1,600,000 (nilai netto penjualan setelah discount) Demikian juga kalau ada retur, misalnya: 1 monitor dikembalikan, maka dicatat: [Debit]. Penjualan = Rp 800,000 [Kredit]. Piutang Dagang = Rp 800,000 (Untuk diskon 1 monitor @800,000)“Pendapatan Lain-Lain” – Akun ini untuk menampung pendapatan-pendapatan yang berasal dari aktivitas yang BUKAN merupakan aktivitas utama perusahaan. Misalnya: hasil menjual aktiva tetap yang sudah ditarik dari opersional perusahaan, mengontrakan salah satu ruangan kantor untuk perusahaan lain, dan lain sebagainya.

Kita lanjut ke akun berikutnya, yaitu “Harga Pokok Penjualan.” Khusus mengenai Harga Pokok Penjualan—yang dalam bahasa inggrisnya disebut ‘Cost of Goods Sold’, pembahasannya sedikit agak panjang dan rumit. Untuk itu saya jadikan sub-topik khusus di bawah ini. Tetapi jangan khawatir, sepanjang anda cukup sabar, telaten—terutama sekali mau menelaah secara serius, saya yakin anda akan bisa mengikuti tanpa hambatan. Saya akan berusaha untuk menjelaskan sejelas dan segamblang mungkin. Mudah-mudahan waktu yang anda pergunakan untuk membaca di sini tidak akan sia-sia. Harga Pokok Penjualan (Cost of Goods Sold)

Yang nampak pada laporan laba-rugi, pada umumnya, hanya “harga pokok penjualan”—ditampilkan dalam satu baris saja. TETAPI, sesungguhnya, harga pokok penjualan terdiri dari beberapa

Page 52: Basic Accountancy

akun yang dikalkulasi secara terpisah. Sehingga, laporan laba-rugi disertai dengan satu lampiran yang disebut dengan “Rincian Perhitungan Harga Pokok Penjualan” yang item-itemnya bervariasi antara satu jenis perusahaan dengan perusahaan lainnya. Sebagai contoh, saya sajikan format “Rincian Perhitungan Harga Pokok Penjualan” untuk perusahaan MANUFAKTUR saja. Dengan penjelasan yang akan saya berikan, mudah-mudahan anda bisa membuat rincian perhitungan harga pokok penjualan untuk jenis usaha lainnya.Berikut adalah contoh “Rincian Perhitungan Harga Pokok Penjualan” yang saya maksudkan:Contoh Format Perhitungan Harga Pokok Produksi Dan Harga Pokok PenjualanPenjelasan:Seperti terlihat dalam contoh di atas, “Rincian Perhitungan Harga Pokok Penjualan” terdiri dari 2 komponen utama, yaitu: (I) Harga Pokok Produksi (Manufacturing Cost) ; dan (II) Persediaan Barang Jadi. Kita bahas satu-per-satu:I. Harga Pokok Produksi (‘Cost of Goods Manufactured‘ bisa juga disebut ‘Manufacturing Cost’) – Komponen ini hanya ada pada laporan laba rugi perusahaan manufaktur. Setiap cost dan biaya yang timbul akibat proses produksi (proses mengolah ‘bahan baku’ dan ‘barang dalam proses’ menjadi ‘barang jadi’) ditampung di dalam akun-akun komponen ini, itu sebabnya mengapa disebut dengan “Harga Pokok Produksi.” Komponen harga pokok produksi dibagi lagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu: Persediaan Bahan Baku – Nilai yang ditampilkan (1700 dalam contoh ini) adalah total bahan baku yang digunakan dalam periode pelaporan. Dengan kata lain, total penggunaan bahan baku adalah total bahan baku yang dioleh menjadi barang dalam proses (setengah jadi). Mengenai perhitungannya bisa dilihat dalam contoh (saldo awal persediaan ditambah pembelian lalu dikurangi saldo akhir). Persediaan Barang Dalam Proses (Work-in-Process yang sering disingkat dengan “WIP”) – Nilai yang ditampilkan dalam WIP (4000 dalam contoh ini) adalah total barang setengah jadi yang digunakan dalam periode pelaporan (1-31 januari 2012 dalam hal ini) beserta ‘Biaya Tenaga Kerja Langsung’ yang dipergunakan dalam proses pengolahan. Perhitungannya bisa dilihat di dalam contoh: ‘Persediaan awal’ ditambah ‘Mutasi dari bahan baku ke WIP’ ditambah ‘Biaya Tenaga Kerja Langsung’, lalu dikurangi Saldo akhir. Overhead – Setahu saya, overhead ini yang paling sering menimbulkan kebingungan: “pengeluaran atau biaya apa saja yang masuk ke dalam kelompok overhead?” Silahkan lihat di dalam contoh. Logika dasarnya: Aktivitas mengolah ‘bahan baku’ menjadi ‘barang dalam proses’, lalu mengolah ‘barang dalam proses’ menjadi ‘barang jadi’, tidak bisa dihindari PASTI menimbulkan cost (beban). Nah beban inilah yang disebut dengan “overhead”. Terdiri dari cost apa saja? Bisa berbeda antara suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Apa yang saya tampilkan di dalam contoh di atas hanya dasar, pada prakteknya mungkin anda perlu tambahkan atau kurangkan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Yang jelas semua biaya produksi selain bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung, masuk kelompok overhead. Catatan: Dalam perusahaan jasa, cost yang timbul karena aktivitas untuk menghasilkan jasa yang dijual juga masuk kelompok overhead.Sehingga secara kesuluruhan, “Harga Pokok Produksi” (cost of goods manufactured) adalah cost atau beban yang timbul akibat adanya aktivitas produksi, yang dalam contoh ini senilai 6700.II. Persediaan Barang Jadi – Dari penjelasan di atas, jika sungguh-sungguh mengikuti, saya yakin anda sudah bisa menemukan jawaban mengapa komponen ‘Persediaan Barang Jadi’ dipisahkan dari komponen ‘Harga Pokok Produksi’, yaitu: oleh karena ‘persediaan barang jadi’ sudah tidak memerlukan proses produksi (manufacturing) lagi. Disebut persediaan barang jadi, karena barangnya sudah jadi dan siap untuk dijual. Nila yang ditampilkan dalam komponen Persediaan barang jadi (7200 dalam contoh ini) adalah total nilai barang jadi yang siap untuk dijual, sehingga disebut “Total Barang Tersedia Untuk Dijual“. Perhitungannya bisa dilihat dalam contoh: ‘Persediaan Awal’ ditambah ‘Mutasi Dari WIP ke Barang Jadi’ (setelah ditambahkan overhead).Harga Pokok Penjualan baru bisa diketahui setelah barang terjual. Berapa harga pokok barang yang

Page 53: Basic Accountancy

terjual? Nilai ‘Total Barang Tersedia Untuk Dijual (7200)’ dikurangi ‘Saldo Akhir’ (50), yang hasilnya menunjukan angka 7150. Itulah total “Harga Pokok Penjualan“. Catatan: Yang sangat penting untuk dipahami disini adalah, bagaimana ketiga kelompok (bahan baku, barang dalam proses dan overhead) tersebut saling terkait antara yang satu dengan lainnya. Misalnya: Bagimana bahan baku dimutasikan ke barang dalam proses (work in process/WIP)? Bagimana WIP bersama-sama dengan Overhead dimutasikan ke ‘Persediaan Barang Jadi? Dan seterusnya. Dalam contoh saya sudah sertakan tanda panah berwarna biru yang menunjukan alur tersebut. Memahami hal ini, bisa menjawab berbagai ganjalan pertanyaan yang mungkin timbul di wilayah ini.Sampai pada titik ini, pertanyaan yang sering muncul: Bagaimana “Rincian Harga Pokok Penjualan” jika perusahaan saya bukan manufaktur? Bisa kasih contohnya tidak?Jika anda sudah memahami apa itu penggunaan bahan baku, apa itu penggunaan barang dalam proses, apa itu overhead, dan mengapa timbul overhead—sehingga secara keseluruhan anda memahami apa itu harga pokok produksi, apa itu penggunaan persediaan barang jadi dan bagiamana harga pokok penjualan terbentuk, saya yakin anda tidak memerlukan contoh lagi.Sebagai panduan dasar, anda bisa menggunakan check list berikut ini: Apakah ada penjualan barang jadi? JIKA TIDAK SAMASEKALI, berarti perusahaan anda murni perusahaan jasa, sehingga dalam “Rincian Perhitungan Harga Pokok Penjualan”-nya hanya ada overhead—yang timbul dari aktivitas menghasilkan jasa yang diserahkan (di jual). JIKA IYA, lanjut ke check list berikutnya Apakah barang jadi yang dijual adalah hasil pembelian dari perusahaan lain? JIKA TIDAK, berarti perusahaan anda adalah perusahaan manufaktur, sehingga “Rincian Perhitungan Harga Pokok Penjualan”-nya sama seperti contoh yang saya tampilkan (hanya perlu disesuaikan dengan kebutuhan). JIKA IYA, lanjut ke checklist berikutnya. Apakah barang jadi yang dibeli harus melalui proses tertentu lagi, sebelum dijual? JIKA IYA, berarti perusahaan anda semi-manufaktur, sehingga “Rincian Perhitungan Harga Pokok Penjualan”-nya tidak berisi kelompok “Bahan Baku”, anda bisa menggunakan contoh di atas, tinggal hilangkan kelompok ‘Persediaan Bahan Baku’ dan beberapa penyesuaian di kelompok ‘Overhead’. JIKA TIDAK SAMASEKALI, berarti perusahaan anda adalah murni perusahaan dagang, sehingga “Rincian Perhitungan Harga Pokok Penjualannya” hanya berisi kelompok ‘Persediaan Barang Jadi’ dan ‘Overhead’ saja.Catatan: Mengenai penilaian persediaan (inventory valuation) untuk menentukan harga pokok penjualan (apakah memakai metode LIFO, FIFO, Weighted Average, Dollar Value, Lower Market Value, dll), akan saya bahas secara terpisah di kesempatan lain.Biaya-BiayaTak banyak yang perlu saya jelaskan di wilayah ini, masing-masing akun biaya sudah self-explanatory. Yang jelas, dalam setiap perusahaan—apapun jenis usahanya, pasti timbul biaya-biaya, hanya saja jenisnya mungkin bervariasi.Dalam akuntansi biaya (cost accounting) kelompok biaya-biaya ini sering disebut dengan istilah “fixed cost.” Bukan berarti nilainya tetap dari waktu-ke-waktu, disebut fixed karena “Biaya-Biaya” ini adalah biaya rutin yang besar-kecilnya tidak dipengaruhi oleh volume aktivitas produksi (dalam perusahaan manufaktur), tidak dipengaruhi volume aktivitas jual-beli barang (dalam perusahaan dagang), tidak dipengaruhi oleh volume aktivitas sehubungan dengan proses pembentukan jasa yang diserahkan (dalam perusahaan jasa.)“Di tempat kerja saya, macam biayanya banyak, mengapa dalam contoh anda sangat sedikit?”; atau“Ditempat kerja saya, semua biaya penyusutan dijadikan satu, mengapa dalam contoh anda dipisah-pisah?”Pada kenyataannya, anda BISA membuat akun biaya SEBANYAK atau SESEDIKIT yang anda inginkan (lebih tepatnya yang anda butuhkan)—bebas-bebas saja, karena memang TIDAK ada aturan

Page 54: Basic Accountancy

baku untuk hal itu.Misalnya:PT. ABC mungkin memasukan pembelian tissue untuk kamar mandi kantor, kertas untuk mesin photo copy, isi staples, clip papers, dan yang sejenisnya ke dalam akun “Office Supplies” saja. Nah, jika anda mau akunnya lebih banyak lagi, anda bisa membuat akun yang berbeda-beda untuk masing-masing pengeluaran tersebut (misal: ‘Biaya Tissue Paper’, ‘Biaya Kertas Photo Copy’, ‘Biaya Isi Staples’ dan seterusnya).Sebaliknya, anda juga bisa membuat akun biaya sesedikit mungkin. Misalnya: Akun ‘Biaya Stationary, Biaya Listrik dan Biaya Telepon menjadi satu akun saja, mungkin disebut akun “Biaya Kantor”. Tak masalah. Sekalilagi, TIDAK ADA aturan baku untuk hal itu.Hal yang penting untuk dipertimbangkan adalah untung-rugi-nya bagi perusahaan dan anda sendiri sebagai orang yang menjalankan tugas tersebut sehari-hari: Di satu sisi, semakin banyak akun biaya yang anda buat, makin detail laporan yang akan anda hasilkan sehingga mendekati kondisi realnya, dan pengendalian biaya menjadi semakin efektif—karena semua pengeluaran bisa anda pantau sampai ke hal yang paling kecil. Demikian sebaliknya. Di sisi lainnya, semakin banyak akun biaya yang anda buat, kemungkinannya untuk menjadi tidak konsisten semakin tinggi—anda akan sering menemukan biaya-biaya yang sulit untuk dikelompokan ke dalam akun-aku yang spesifik. Disamping itu, dalam proses tutup buku, akan semakin banyak pula akun yang harus anda periksa (review), rekonsiliasi, lalu anda tutup satu-persatu.Saya menyebut fenomena ini dengan “account paradox”. Di sini anda harus mempertimbangkan matang-matang sejauh mana kemanfaatan yang timbul antara pilihan ‘menjadi detail’ atau ‘general.’ Setiap pilihan yang anda ambil sudah pasti ada risikonya. Tinggal pintar-pintar menentukan titik trade-off yang paling optimum bagi perusahaan dan anda.Secara keseluruhan, Format Laporan Laba-Rugi terdiri dari: Pendapatan – Harga Pokok Penjualan = Laba Kotor Laba Kotor – Biaya-biaya = Laba/Rugi Bersih Sebelum PajakSekiranya ada yang kurang atau salah, mohon dikoreksi. Di Format Laporan Keuangan bagian berikutnya saya akan bahas mengenai format Neraca, format Laporan Arus Kas, dan format Laporan Perubahan Modal, satu per-satu secara bertahap. Setelah format laporan keuangan rampung, bisa lanjut ke pembuatan badan akun (Chart of Accounts) dan prosedur tutup buku. Tanpa memahami format laporan keuangan terlebih dahulu, anda tidak akan bisa membuat bagan akun maupun melakukan prosedur tutup buku. Selamat berakhir pekan!