BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... -...
-
Upload
hoangquynh -
Category
Documents
-
view
226 -
download
2
Transcript of BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... -...
STUDI “ BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT DI PERAIRAN BINTAN TIMUR DAN SEKITARNYA,
KABUPATEN BINTAN, 2014
Disusun oleh :
Suharsono
Susetiono
Anna E.W. Manuputty
Hendrik A.W. Cappenberg
Suyarso
Agus Budiyanto
Johan Picasouw
Priti Swasti
I Wayan Eka Dharmawan
Susi Rahmawati
MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN KESEHATAN EKOSISTEM TERKAIT
DI KABUPATEN BINTAN, 2014
Studi Baseline Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Editor : Anna E.W. Manuputty Desain sampul dan tata letak : Foto-foto : Data : CRITC- Pusat Penelitian Oseanografi LIPI
Coral Reef Information and Training Center Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Gedung LIPI, Jl, Raden saleh 43,Jakarta 10330 Telepon : 021 3143080 Faximili : 021 3143082 Website : www.coremap.co.id
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Kesehatan Ekosistem Terkait di Kabupaten Bintan, 2014© 2014 CRITC COREMAP - CTI LIPI
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan karunia berupa
wilayah perairan laut Indonesia yang sangat luas dan keanekaragaman hayatinya yang dapat
dimanfaatkan baik untuk kemakmuran rakyat maupun untuk obyek penelitian ilmiah.
Sebagaimana diketahui, COREMAP yang telah direncanakan berlangsung selama 15
tahun yang terbagi dalam 3 Fase, kini telah melewati dua fase. Fase ke 3 (COREMAP CTI)
sudah dimulai, dengan diadakan studi baseline di beberapa perairan kabupten,di wilayah
ADB (Indonesia Barat). Kegiatan ini ditujukan untuk mengetahui perkembangan kondisi
karang di lokasi-lokasi dalam wilayah Kawasan Konservasi Laut Daerah, dan juga untuk
mengetahui kondisi ekosistem terkait lainnya yaitu padang lamun dan mangrove. Hasil
kegiatan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan didalam menentukan
kebijakan serta sebagai bahan evaluasi untuk terlaksananya kegiatan COREMAP-CTI .
Dalam rangka kesinambungan penelitian di perairan laut Indonesia, maka pada bulan
September 2014, telah dilakukan penelitian di daerah ekosistem terumbu karang dan
ekosistem terkait lainnya, yang mengambil lokasi di Perairan Kabupaten Bintan. Data –data
yang dikumpulkan akan disusun dalam bentuk laporan ilmiah yang akan dipakai sebagai
“database” ataupun akan disebarkan sebagai masukkan ke pemerintah daerah setempat, untuk
digunakan sebagai bahan acuan pengambil kebijakan untuk pengelolaan dan pemeliharaan
ekosistem pesisir.
Pada kesempatan ini pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
terlibat dalam kegiatan penelitian lapangan dan analisa datanya, sehingga laporan tentang
ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait ini dapat tersusun. Kami menyadari, laporan
ini masih jauh dari sempurna, untuk itu, diharapkan adanya suatu masukkan, kritik dan saran
yang membangun untuk dapat menambah kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, Desember 2014 Koordinator CRITC,
Drs. Susetiono MSc.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 i
Studi Baseline Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Editor : Anna E.W. Manuputty Desain sampul dan tata letak : Foto-foto : Data : CRITC- Pusat Penelitian Oseanografi LIPI
Coral Reef Information and Training Center Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Gedung LIPI, Jl, Raden saleh 43,Jakarta 10330 Telepon : 021 3143080 Faximili : 021 3143082 Website : www.coremap.co.id
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan karunia berupa
wilayah perairan laut Indonesia yang sangat luas dan keanekaragaman hayatinya yang dapat
dimanfaatkan baik untuk kemakmuran rakyat maupun untuk obyek penelitian ilmiah.
Sebagaimana diketahui, COREMAP yang telah direncanakan berlangsung selama 15
tahun yang terbagi dalam 3 Fase, kini telah melewati dua fase. Fase ke 3 (COREMAP CTI)
sudah dimulai, dengan diadakan studi baseline di beberapa perairan kabupten,di wilayah
ADB (Indonesia Barat). Kegiatan ini ditujukan untuk mengetahui perkembangan kondisi
karang di lokasi-lokasi dalam wilayah Kawasan Konservasi Laut Daerah, dan juga untuk
mengetahui kondisi ekosistem terkait lainnya yaitu padang lamun dan mangrove. Hasil
kegiatan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan didalam menentukan
kebijakan serta sebagai bahan evaluasi untuk terlaksananya kegiatan COREMAP-CTI .
Dalam rangka kesinambungan penelitian di perairan laut Indonesia, maka pada bulan
September 2014, telah dilakukan penelitian di daerah ekosistem terumbu karang dan
ekosistem terkait lainnya, yang mengambil lokasi di Perairan Kabupaten Bintan. Data –data
yang dikumpulkan akan disusun dalam bentuk laporan ilmiah yang akan dipakai sebagai
“database” ataupun akan disebarkan sebagai masukkan ke pemerintah daerah setempat, untuk
digunakan sebagai bahan acuan pengambil kebijakan untuk pengelolaan dan pemeliharaan
ekosistem pesisir.
Pada kesempatan ini pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
terlibat dalam kegiatan penelitian lapangan dan analisa datanya, sehingga laporan tentang
ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait ini dapat tersusun. Kami menyadari, laporan
ini masih jauh dari sempurna, untuk itu, diharapkan adanya suatu masukkan, kritik dan saran
yang membangun untuk dapat menambah kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, Desember 2014 Koordinator CRITC,
Drs. Susetiono MSc.
ABSTRAK
Kabupaten Bintan merupakan sebuah kepulauan di Propinsi Kepulauan Riau yang memiliki luas 1.318 km2 yang terletak di bagian selatan Laut Cina Selatan .Ekosistem terumbu karang, padang lamun, ekosistem mangrove tersebar hampir di seluruh area kawasan pesisir. Tahun 2009, di wilayah kabupaten ini ditetapkan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Bintan sebagai satu-satunya kawasan konservasi tingkat kabupaten ditetapkan melalui SK Bupati No. 58/II/2009 memiliki luas 472.905 ha. Dasar penetapan kawasan menjadi wilayah konservasi adalah tingginya keanekaragaman terumbu karang namun dihadapkan pada tingginya gangguan antropogenik terhadap kondisi karang tersebut. Selain karang, wilayah ini memiliki luasan mangrove dan padang lamun yang cukup tinggi khususnya diwilayah selatan Pulau Bintan. Dalam rangka pelaksanaan kegiatan COREMAP CTI, telah dilakukan penelitian untuk mengumpulkan data dasar (baseline study) , pada bulan September 2014. Kegiatan penelitian meliputi pengamatan ekosistem terumbu karang yaitu pengamatan karang, ikan karang dan biota megabentos, juga pengamatan ekosistem terkait yaitu ekosistem mangrove dan padang lamun. Lokasi yang diamati masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah, terletak di pesisir timur Pulau Bintan Kecamatan Bintan Timur, Pulau Mapur, Pulau Erapas, Pulau Numbing, yang merupakan stasiun lama pada COREMAP II, dan stasiun tambahan di Pulau Pangkil
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data dasar ekosistem terumbu karang, mengukur kesehatan hutan mangrove yang tumbuh di pesisir KKPD Kabupaten Bintan, dalam kaitannya juga dengan padang lamun .
Metode yang digunakan ialah metode transek, dan masing-masing substansi mempunyai modifikasi transek tersendiri, karang dengan “Underwater Photo Transect, ikan karang dengan “Underwater Visual Census”, megabentos, dengan “Reef Check Benthos”. Untuk mangrove dengan transek tegaklurus garis pantai, dibantu dengan pembuatan petak, untuk lamun dengan transek (50 m),sejajar garis pantai. Untuk Sistem Informasi Geografis, menggunakan data citra sebagai peta dasar dan dengan pegecekan langsung di lapangan (ground truth).
Hasil pengamatan, untuk karang, secara garis besarnya persentase tutupan karang bervariasi dari kategori jelek sampai dengan baik. Hasil sensus visual ikan karang kategori ikan indikator dan ikan target di Kabupaten Bintan pada 14 stasiun pengamatan mencatat sebany1.167 individu yang tergolong dalam 31 jenis dan suku 7 . Fauna megabentos yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan adalah sebanyak 5 jenis dengan total individu 1629 individu. Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara 63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Total lamun yang tercatat di seluruh transek permanen di Perairan Bintan adalah sembilan jenis, yaitu Enhalus acoroides (Ea), Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea rotundata (Cr), Cymodocea serrulata (Cs), Halodule uninervis (Hu), Halophila pinifolia (Hp), Syringodium isoetifolium (Si), Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis (Ho).
Hasil selengkapnya untuk masing-masing substansi penelitian , disajikan dalam bentuk peta, grafik maupun tabel.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 iii
ABSTRAK
Kabupaten Bintan merupakan sebuah kepulauan di Propinsi Kepulauan Riau yang memiliki luas 1.318 km2 yang terletak di bagian selatan Laut Cina Selatan .Ekosistem terumbu karang, padang lamun, ekosistem mangrove tersebar hampir di seluruh area kawasan pesisir. Tahun 2009, di wilayah kabupaten ini ditetapkan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Bintan sebagai satu-satunya kawasan konservasi tingkat kabupaten ditetapkan melalui SK Bupati No. 58/II/2009 memiliki luas 472.905 ha. Dasar penetapan kawasan menjadi wilayah konservasi adalah tingginya keanekaragaman terumbu karang namun dihadapkan pada tingginya gangguan antropogenik terhadap kondisi karang tersebut. Selain karang, wilayah ini memiliki luasan mangrove dan padang lamun yang cukup tinggi khususnya diwilayah selatan Pulau Bintan. Dalam rangka pelaksanaan kegiatan COREMAP CTI, telah dilakukan penelitian untuk mengumpulkan data dasar (baseline study) , pada bulan September 2014. Kegiatan penelitian meliputi pengamatan ekosistem terumbu karang yaitu pengamatan karang, ikan karang dan biota megabentos, juga pengamatan ekosistem terkait yaitu ekosistem mangrove dan padang lamun. Lokasi yang diamati masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah, terletak di pesisir timur Pulau Bintan Kecamatan Bintan Timur, Pulau Mapur, Pulau Erapas, Pulau Numbing, yang merupakan stasiun lama pada COREMAP II, dan stasiun tambahan di Pulau Pangkil
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data dasar ekosistem terumbu karang, mengukur kesehatan hutan mangrove yang tumbuh di pesisir KKPD Kabupaten Bintan, dalam kaitannya juga dengan padang lamun .
Metode yang digunakan ialah metode transek, dan masing-masing substansi mempunyai modifikasi transek tersendiri, karang dengan “Underwater Photo Transect, ikan karang dengan “Underwater Visual Census”, megabentos, dengan “Reef Check Benthos”. Untuk mangrove dengan transek tegaklurus garis pantai, dibantu dengan pembuatan petak, untuk lamun dengan transek (50 m),sejajar garis pantai. Untuk Sistem Informasi Geografis, menggunakan data citra sebagai peta dasar dan dengan pegecekan langsung di lapangan (ground truth).
Hasil pengamatan, untuk karang, secara garis besarnya persentase tutupan karang bervariasi dari kategori jelek sampai dengan baik. Hasil sensus visual ikan karang kategori ikan indikator dan ikan target di Kabupaten Bintan pada 14 stasiun pengamatan mencatat sebany1.167 individu yang tergolong dalam 31 jenis dan suku 7 . Fauna megabentos yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan adalah sebanyak 5 jenis dengan total individu 1629 individu. Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara 63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Total lamun yang tercatat di seluruh transek permanen di Perairan Bintan adalah sembilan jenis, yaitu Enhalus acoroides (Ea), Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea rotundata (Cr), Cymodocea serrulata (Cs), Halodule uninervis (Hu), Halophila pinifolia (Hp), Syringodium isoetifolium (Si), Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis (Ho).
Hasil selengkapnya untuk masing-masing substansi penelitian , disajikan dalam bentuk peta, grafik maupun tabel.
RINGKASAN EKSEKUTIF
A. PENDAHULUAN
Kabupaten Bintan terletak antara °00’ Lintang Utara 1°20’ Lintang Selatan dan
104°00’ Bujur Timur 108°30’ Bujur Barat. Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kecamatan
Bintan Timur, P. Numbing, P. Mapur dan P. Erapas, yang termasuk dalam Kabupaten
Bintan, memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan
ini memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah
ikan-ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Seiring dengan
berjalannya waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang
berkelanjutan telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya,
khususnya lingkungan perairannya.
Kabupaten Bintan merupakan sebuah kepulauan di Propinsi Kepulauan Riau yang
memiliki luas 1.318 km2 yang terletak di bagian selatan Laut Cina Selatan dan berbatasan
dengan Kabupaten Batam dan Singapura. Topografi daratan yang cukup landai, banyak
muara sungai dan teluk, membuat kawasan pesisir Kabupaten Bintan memiliki ekosistem
pantai pesisir yang lengkap. Ekosistem mangrove di Kabupaten Bintan terbilang cukup unik.
Dibandingkan dengan terumbu karang dan lamun, ekosistem mangrove tersebar hampir
diseluruh area kawasan pesisir.
Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Bintan sebagai satu-satunya
kawasan konservasi tingkat kabupaten ditetapkan melalui SK Bupati No. 58/II/2009 memiliki
luas 472.905 ha. Dasar penetapan kawasan menjadi wilayah konservasi adalah tingginya
keanekaragaman terumbu karang namun dihadapkan pada tingginya gangguan antropogenik
terhadap kondisi karang tersebut. Selain karang, wilayah ini memiliki luasan mangrove yang
cukup tinggi khususnya diwilayah selatan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kesehatan hutan mangrove yang
tumbuh di pesisir KKPD Kabupaten Bintan, dalam kaitannya dengan padang lamun dan
selanjutnya ke arah laut dengan ekosistem terumbu karang. Dengan adanya kebijakan untuk
mengelola ekosistem-ekosistem ini secara baik dan terpadu, diharapkan dapat menjaga
kelestarian ekosistem pesisir dengan sumberdaya yang ada di dalamnya, untuk kesejahteraan
masyarakat pesisir di wilayah ini.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 v
RINGKASAN EKSEKUTIF
A. PENDAHULUAN
Kabupaten Bintan terletak antara °00’ Lintang Utara 1°20’ Lintang Selatan dan
104°00’ Bujur Timur 108°30’ Bujur Barat. Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kecamatan
Bintan Timur, P. Numbing, P. Mapur dan P. Erapas, yang termasuk dalam Kabupaten
Bintan, memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan
ini memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah
ikan-ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Seiring dengan
berjalannya waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang
berkelanjutan telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya,
khususnya lingkungan perairannya.
Kabupaten Bintan merupakan sebuah kepulauan di Propinsi Kepulauan Riau yang
memiliki luas 1.318 km2 yang terletak di bagian selatan Laut Cina Selatan dan berbatasan
dengan Kabupaten Batam dan Singapura. Topografi daratan yang cukup landai, banyak
muara sungai dan teluk, membuat kawasan pesisir Kabupaten Bintan memiliki ekosistem
pantai pesisir yang lengkap. Ekosistem mangrove di Kabupaten Bintan terbilang cukup unik.
Dibandingkan dengan terumbu karang dan lamun, ekosistem mangrove tersebar hampir
diseluruh area kawasan pesisir.
Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Bintan sebagai satu-satunya
kawasan konservasi tingkat kabupaten ditetapkan melalui SK Bupati No. 58/II/2009 memiliki
luas 472.905 ha. Dasar penetapan kawasan menjadi wilayah konservasi adalah tingginya
keanekaragaman terumbu karang namun dihadapkan pada tingginya gangguan antropogenik
terhadap kondisi karang tersebut. Selain karang, wilayah ini memiliki luasan mangrove yang
cukup tinggi khususnya diwilayah selatan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kesehatan hutan mangrove yang
tumbuh di pesisir KKPD Kabupaten Bintan, dalam kaitannya dengan padang lamun dan
selanjutnya ke arah laut dengan ekosistem terumbu karang. Dengan adanya kebijakan untuk
mengelola ekosistem-ekosistem ini secara baik dan terpadu, diharapkan dapat menjaga
kelestarian ekosistem pesisir dengan sumberdaya yang ada di dalamnya, untuk kesejahteraan
masyarakat pesisir di wilayah ini.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014vi
Karang
Metode yang digunakan ialah dengan UPT (Underwater Photo Transect), dengan
bantuan bingkai (frame) ukuran 44 x 58 cm.. Pita transek dibentangkan sepanjang 50 meter,
sejajar garis pantai. Pemotretan dimulai dari meter ke 1 pada bagian sebelah kiri garis transek
(bagian yang lebih dekat dengan daratan) sebagai ”Frame 1” , dilanjutkan dengan
pengambilan foto pada meter ke-2 pada bagian sebelah kanan garis transek (bagian yang
lebih jauh dengan daratan) sebagai ”Frame 2” dan seterusnya Pemotretan dilakukan pada
panjang transek 50 m dimulai dari frame ke-1 hingga ke-50 dengan luas bidang pemotretan
minimal 1200 cm2
untuk setriap framenya. Kegiatan ini dilakukan dengan penyelaman
dengan menggunakan peralatan selam SCUBA.
Teknik analisis foto menggunakan 30 sampel titik acak dari masing=masing frame.
Luas bidang 1200 cm2
per frame dapat dihasilkan dari pemotretan menggunakan kamera SW
dengan jarak pemotretan 60 cm dari dasar dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom).
Ikan Karang
Metode yang digunakan dalam melakukan pemantauan ikan karang adalah metode
Underwater Visual Census (UVC) yang sudah dimodifikasi (Dartnall and Jones, 1986).
Pemantauan dilakukan di garis transek yang sama dengan kegiatan penelitian karang, agar
sekaligus mendapatkan data bentik yang menggambarkan habitatnya. Penamaan ikan karang
mengacu pada buku panduan ikan karang (Allen & Swainston, 1993; Allen & Steene, 1996;
Allen, 1999; Allen et al., 2003; Kuiter & Debelius, 1994).
Jenis ikan yang diamati dalam penelitian ini dibatasi pada semua jenis ikan
indikator (suku Chaetodontidae), dan ikan-ikan target (6 suku), dari suku: Haemulidae,
Lutjanidae, Lethrinidae, Scaridae, Serranidae, dan Siganidae. Hal ini lebih untuk melihat
dampak antara kedua kelompok ikan ini terhadap kondisi terumbu karang, mengingat
kelompok ikan indikator sebagian besar merupakan ikan pemakan polip karang. Sedangkan
ikan target adalah kelompok ikan pangan yang memiliki nilai ekonomis, baik itu untuk
dikonsumsi masyarakat maupun diperjual belikan. Jadi kedua kelompok ikan ini secara
langsung bisa memberi gambaran mengenai kondisi terumbu karang itu sendiri.
Sensus dilakukan pada garis transek sepanjang 70 m dengan lebar pengamatan 5 m,
sehingga total luas daerah pengamatan pada tiap stasiun adalah 350 m2. Pengamatan
B. METODE PEMANTAUAN YANG DIGUNAKAN
Lokasi yang diamati masuk dalam zona kawasan konservasi laut, terletak di pesisir
timur Pulau Bintan Kecamatan Bintan Timur, Pulau Mapur, Pulau Erapas, Pulau Numbing,
yang merupakan stasiun lama pada COREMAP II, dan stasiun tambahan di Pulau Pangkil.
Posisi stasiun ditentukan dengan menggunakan GPS.
SIG (Sistem Informasi Geografis)
Untuk keperluan peta habitat laut dangkal, data citra penginderaan jauh (indraja)
digunakan sebagai data dasar. Data citra inderaja yang dipakai dalam studi ini adalah citra
digital Landsat 8 pada saluran spektrum tampak, saluran infra-merah dekat, serta saluran
inframerah tengah (band 2, 3, 4, 5, 6, dan 7). Sedangkan saluran inframerah dekat dan tengah
(saluran 5 serta 6 dan 7) tetap dipakai karena band 5 masih berguna untuk perairan dangkal,
serta band 6 dan 7 berguna untuk membedakan ekosistim mangrove.
Pemetaan habitat laut dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan
klasifikasi multispektral. Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan
kolom air, sehingga objek dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman
yang digunakan adalah transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang
dikembangkan oleh Lyzenga (1981). Klasifikasi multispektral dilakukan untuk
mengelompokkan piksel citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi
beberapa kelompok berdasarkan objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar laut
dangkal.
Pemetaan mangrove dilakukan menggunakan citra landsat 8 liputan September 2014
melalui komposit saluran (band) 5,6 dan 3. Mangrove merupakan vegetasi yang mempunyai
kaandungan klorofil sangat tinggi dibanding vegetasi lain di sekitarnya. Pada citra komposit
tersebut akan terlihat sebaran mangrove di Pulau Bintan. Selanjutnya menggunakan metode
digitasi manual, akan diperoleh penyebaran vegetasi mangrove beserta luasannya
Survei lapangan (ground truth) diperlukan untuk mengetahui kenampakan
sebenarnya dilapangan yang terekam oleh citra satelit. Pengambilan titik pengamatan
dilakukan secara sistematis dengan membuat jalur transek mulai dari garis pantai hingga
ujung terumbu atau tubir. Pengamatan dilakukan menggunakan teknik snorkeling serta
berhenti sejenak untuk mencatat ketika terjadi perubahan kenampakan didasar perairan.
Setiap titik pengamatan dicatat lokasinya menggunakan alat receiver GPS.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 vii
Karang
Metode yang digunakan ialah dengan UPT (Underwater Photo Transect), dengan
bantuan bingkai (frame) ukuran 44 x 58 cm.. Pita transek dibentangkan sepanjang 50 meter,
sejajar garis pantai. Pemotretan dimulai dari meter ke 1 pada bagian sebelah kiri garis transek
(bagian yang lebih dekat dengan daratan) sebagai ”Frame 1” , dilanjutkan dengan
pengambilan foto pada meter ke-2 pada bagian sebelah kanan garis transek (bagian yang
lebih jauh dengan daratan) sebagai ”Frame 2” dan seterusnya Pemotretan dilakukan pada
panjang transek 50 m dimulai dari frame ke-1 hingga ke-50 dengan luas bidang pemotretan
minimal 1200 cm2
untuk setriap framenya. Kegiatan ini dilakukan dengan penyelaman
dengan menggunakan peralatan selam SCUBA.
Teknik analisis foto menggunakan 30 sampel titik acak dari masing=masing frame.
Luas bidang 1200 cm2
per frame dapat dihasilkan dari pemotretan menggunakan kamera SW
dengan jarak pemotretan 60 cm dari dasar dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom).
Ikan Karang
Metode yang digunakan dalam melakukan pemantauan ikan karang adalah metode
Underwater Visual Census (UVC) yang sudah dimodifikasi (Dartnall and Jones, 1986).
Pemantauan dilakukan di garis transek yang sama dengan kegiatan penelitian karang, agar
sekaligus mendapatkan data bentik yang menggambarkan habitatnya. Penamaan ikan karang
mengacu pada buku panduan ikan karang (Allen & Swainston, 1993; Allen & Steene, 1996;
Allen, 1999; Allen et al., 2003; Kuiter & Debelius, 1994).
Jenis ikan yang diamati dalam penelitian ini dibatasi pada semua jenis ikan
indikator (suku Chaetodontidae), dan ikan-ikan target (6 suku), dari suku: Haemulidae,
Lutjanidae, Lethrinidae, Scaridae, Serranidae, dan Siganidae. Hal ini lebih untuk melihat
dampak antara kedua kelompok ikan ini terhadap kondisi terumbu karang, mengingat
kelompok ikan indikator sebagian besar merupakan ikan pemakan polip karang. Sedangkan
ikan target adalah kelompok ikan pangan yang memiliki nilai ekonomis, baik itu untuk
dikonsumsi masyarakat maupun diperjual belikan. Jadi kedua kelompok ikan ini secara
langsung bisa memberi gambaran mengenai kondisi terumbu karang itu sendiri.
Sensus dilakukan pada garis transek sepanjang 70 m dengan lebar pengamatan 5 m,
sehingga total luas daerah pengamatan pada tiap stasiun adalah 350 m2. Pengamatan
B. METODE PEMANTAUAN YANG DIGUNAKAN
Lokasi yang diamati masuk dalam zona kawasan konservasi laut, terletak di pesisir
timur Pulau Bintan Kecamatan Bintan Timur, Pulau Mapur, Pulau Erapas, Pulau Numbing,
yang merupakan stasiun lama pada COREMAP II, dan stasiun tambahan di Pulau Pangkil.
Posisi stasiun ditentukan dengan menggunakan GPS.
SIG (Sistem Informasi Geografis)
Untuk keperluan peta habitat laut dangkal, data citra penginderaan jauh (indraja)
digunakan sebagai data dasar. Data citra inderaja yang dipakai dalam studi ini adalah citra
digital Landsat 8 pada saluran spektrum tampak, saluran infra-merah dekat, serta saluran
inframerah tengah (band 2, 3, 4, 5, 6, dan 7). Sedangkan saluran inframerah dekat dan tengah
(saluran 5 serta 6 dan 7) tetap dipakai karena band 5 masih berguna untuk perairan dangkal,
serta band 6 dan 7 berguna untuk membedakan ekosistim mangrove.
Pemetaan habitat laut dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan
klasifikasi multispektral. Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan
kolom air, sehingga objek dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman
yang digunakan adalah transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang
dikembangkan oleh Lyzenga (1981). Klasifikasi multispektral dilakukan untuk
mengelompokkan piksel citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi
beberapa kelompok berdasarkan objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar laut
dangkal.
Pemetaan mangrove dilakukan menggunakan citra landsat 8 liputan September 2014
melalui komposit saluran (band) 5,6 dan 3. Mangrove merupakan vegetasi yang mempunyai
kaandungan klorofil sangat tinggi dibanding vegetasi lain di sekitarnya. Pada citra komposit
tersebut akan terlihat sebaran mangrove di Pulau Bintan. Selanjutnya menggunakan metode
digitasi manual, akan diperoleh penyebaran vegetasi mangrove beserta luasannya
Survei lapangan (ground truth) diperlukan untuk mengetahui kenampakan
sebenarnya dilapangan yang terekam oleh citra satelit. Pengambilan titik pengamatan
dilakukan secara sistematis dengan membuat jalur transek mulai dari garis pantai hingga
ujung terumbu atau tubir. Pengamatan dilakukan menggunakan teknik snorkeling serta
berhenti sejenak untuk mencatat ketika terjadi perubahan kenampakan didasar perairan.
Setiap titik pengamatan dicatat lokasinya menggunakan alat receiver GPS.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014viii
Data vegetasi dari setiap transek dicuplik dengan menggunakan metode kuadrat (Qosting
1956) yang ukurannya sebagai berikut :
- 10 x 10 meter untuk pohon (diameter batang > 10 cm),
- 5 x 5 meter untuk anak pohon (diameter 2 - < 10 cm)
- 1 x 1 meter untuk semai (diameter 2 cm dan kurang dari 1,5 meter).
Pada setiap petak tersebut semua tegakan diidentifikasi jenisnya, diukur diameternya dan
tingginya serta dihitung jumlah individu masing-masing jenis. Data yang diperoleh dianalisa
dengan cara Cox (1967).
Lamun
Transek permanen dilakukan sepanjang 50 m, diletakkan pada padang lamun dengan
persentase penutupan yang relatif homogen. Tiga titik permanen dibuat dengan patok besi
pada titik 0 m, 25 m, dan 50 m . Posisi transek berada relatif dekat pantai. Kemudian,
koordinat setiap transek dicatat dengan menggunakan GPS. Parameter yang dihitung adalah
persentase penutupan dan panjang daun setiap jenis lamun yang dominan pada suatu transek
permanen. Frame berukuran 0,25 m2 diletakan secara acak dengan 12 kali pengulangan untuk
menentukan penutupan total lamun dan penutupan lamun perjenis.
Sampel lamun untuk pengukuran panjang diambil secara acak pada awal, tengah, dan
akhir transek. Kriteria kondisi lamun berdasarkan penutupan mengacu pada KepMenLH
nomor 200 tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status
Padang Lamun.
C. HASIL
Habitat laut dangkal yang dapat dipetakan terdiri dari tiga kelas yaitu karang,
makroalgae, dan substrat terbuka. Habitat karang pada peta ini merupakan hamparan yang
didominasi oleh karang hidup serta karang mati baik yang tertutup algae maupun tidak.
Habitat tersebut biasanya ditemui pada ujung wilayah rataan terumbu yang menghadap ke
arah laut, mulai dari reef crest, tubir (reef edge) hingga lereng terumbu (reef slope).
Makroalgae merupakan hamparan yang didominasi oleh makroalgae dengan tutupan karang
hidup yang sedikit. Substrat terbuka pada peta merupakan permukaan dasar perairan yang
tidak didominasi oleh tutupan biota maupun vegetasi, dapat berupa pasir, batu, maupun
lumpur. Habitat perairan dangkal yang diperoleh, terdiri atas 4 klas yang disajikan pada
dilakukan pada satu kedalaman berkisar antara 5 – 7 m. Pengamatan ikan karang dibagi
dalam 2 kategori yakni ikan indikator dan ikan target.
Megabentos
Pengamatan megabentos, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting dan
berperan langsung di dalam ekosistem dapat dijadikan indikator dari kesehatan terumbu
karang. Pengamatan dilakukan menggunakan metode Reef Check. Semua fauna yang berada
1 meter di sebelah kiri dan kanan pita berukuran 70 meter tadi dihitung jumlahnya, sehingga
luas bidang yang teramati per-transeknya yaitu (2 x 70 m2) = 140 m2.
Adapun fauna megabentos yang dicatat jenis dan jumlah individunya sepanjang garis
transek terdiri dari :
• Lobster (udang karang)
• ”Banded coral shrimp” (udang karang kecil yang hidup di sela cabang karang
• Acanthaster planci (bintang bulu seribu)
• Diadema setosum (bulu babi hitam)
• “Pencil sea urchin” (bulu babi seperti pensil)
• “Large Holothurian” (teripang ukuran besar)
• “Small Holothurian” (teripang ukuran kecil)
• “Large Giant Clam” (kima ukuran besar)
• “Small Giant Clam” (kima ukuran kecil)
• Trochus niloticus (lola)
• Drupella ( sejenis Gastropoda / keong yang hidup di atas atau di sela-sela karang
terutama karang bercabang)
Mangrove
Untuk mengetahui struktur dan komposisi mangrove di kawasan lokasi penelitian
akan dilakukan pencuplikan data dengan menggunakan transek. Transek dilakukan dengan
cara membuat garis tegak lurus pantai kearah darat dengan membuat petak-petak (Cox,
1969). Sebelum melakukan pencuplikan data dilakukan pengamatan lapangan yang meliputi
seluruh kawasan hutan yang bertujuan untuk melihat secara umum keadaan fisiognomi dan
komposisi tegakan hutan serta keadaan pasang surutnya.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 ix
Data vegetasi dari setiap transek dicuplik dengan menggunakan metode kuadrat (Qosting
1956) yang ukurannya sebagai berikut :
- 10 x 10 meter untuk pohon (diameter batang > 10 cm),
- 5 x 5 meter untuk anak pohon (diameter 2 - < 10 cm)
- 1 x 1 meter untuk semai (diameter 2 cm dan kurang dari 1,5 meter).
Pada setiap petak tersebut semua tegakan diidentifikasi jenisnya, diukur diameternya dan
tingginya serta dihitung jumlah individu masing-masing jenis. Data yang diperoleh dianalisa
dengan cara Cox (1967).
Lamun
Transek permanen dilakukan sepanjang 50 m, diletakkan pada padang lamun dengan
persentase penutupan yang relatif homogen. Tiga titik permanen dibuat dengan patok besi
pada titik 0 m, 25 m, dan 50 m . Posisi transek berada relatif dekat pantai. Kemudian,
koordinat setiap transek dicatat dengan menggunakan GPS. Parameter yang dihitung adalah
persentase penutupan dan panjang daun setiap jenis lamun yang dominan pada suatu transek
permanen. Frame berukuran 0,25 m2 diletakan secara acak dengan 12 kali pengulangan untuk
menentukan penutupan total lamun dan penutupan lamun perjenis.
Sampel lamun untuk pengukuran panjang diambil secara acak pada awal, tengah, dan
akhir transek. Kriteria kondisi lamun berdasarkan penutupan mengacu pada KepMenLH
nomor 200 tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status
Padang Lamun.
C. HASIL
Habitat laut dangkal yang dapat dipetakan terdiri dari tiga kelas yaitu karang,
makroalgae, dan substrat terbuka. Habitat karang pada peta ini merupakan hamparan yang
didominasi oleh karang hidup serta karang mati baik yang tertutup algae maupun tidak.
Habitat tersebut biasanya ditemui pada ujung wilayah rataan terumbu yang menghadap ke
arah laut, mulai dari reef crest, tubir (reef edge) hingga lereng terumbu (reef slope).
Makroalgae merupakan hamparan yang didominasi oleh makroalgae dengan tutupan karang
hidup yang sedikit. Substrat terbuka pada peta merupakan permukaan dasar perairan yang
tidak didominasi oleh tutupan biota maupun vegetasi, dapat berupa pasir, batu, maupun
lumpur. Habitat perairan dangkal yang diperoleh, terdiri atas 4 klas yang disajikan pada
dilakukan pada satu kedalaman berkisar antara 5 – 7 m. Pengamatan ikan karang dibagi
dalam 2 kategori yakni ikan indikator dan ikan target.
Megabentos
Pengamatan megabentos, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting dan
berperan langsung di dalam ekosistem dapat dijadikan indikator dari kesehatan terumbu
karang. Pengamatan dilakukan menggunakan metode Reef Check. Semua fauna yang berada
1 meter di sebelah kiri dan kanan pita berukuran 70 meter tadi dihitung jumlahnya, sehingga
luas bidang yang teramati per-transeknya yaitu (2 x 70 m2) = 140 m2.
Adapun fauna megabentos yang dicatat jenis dan jumlah individunya sepanjang garis
transek terdiri dari :
• Lobster (udang karang)
• ”Banded coral shrimp” (udang karang kecil yang hidup di sela cabang karang
• Acanthaster planci (bintang bulu seribu)
• Diadema setosum (bulu babi hitam)
• “Pencil sea urchin” (bulu babi seperti pensil)
• “Large Holothurian” (teripang ukuran besar)
• “Small Holothurian” (teripang ukuran kecil)
• “Large Giant Clam” (kima ukuran besar)
• “Small Giant Clam” (kima ukuran kecil)
• Trochus niloticus (lola)
• Drupella ( sejenis Gastropoda / keong yang hidup di atas atau di sela-sela karang
terutama karang bercabang)
Mangrove
Untuk mengetahui struktur dan komposisi mangrove di kawasan lokasi penelitian
akan dilakukan pencuplikan data dengan menggunakan transek. Transek dilakukan dengan
cara membuat garis tegak lurus pantai kearah darat dengan membuat petak-petak (Cox,
1969). Sebelum melakukan pencuplikan data dilakukan pengamatan lapangan yang meliputi
seluruh kawasan hutan yang bertujuan untuk melihat secara umum keadaan fisiognomi dan
komposisi tegakan hutan serta keadaan pasang surutnya.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014x
yang ditemukan sebanyak 29 jenis dari 6 suku. Penelitian di Kabupaten Bintan terbagi atas
dua lokasi yakni di lokasi Sekitar Bintan Timur (8 stasiun) dan lokasi sekitar P. Mapur (6
stasiun).
Hasil sensus visual ikan target ditemukan sebanyak 49 jenis dari 10 suku dengan total
kehadiran sebanyak 1302 individu atau kepadatan ikan mencapai 0, 2657 ekor/m2 atau
2657 ekor/ha. Suku Caesionidae memiliki kelimpahan individu tertinggi sebesar 587
individu, terdiri dari 4 jenis , diikuti suku Lutjanidae sebanyak 198 individu (6 jenis), suku
Scaridae sebanyak 125 individu dan Serranidae sebanyak 85 individu sedangkan yang
terendah adalah suku Lethrinidae sebanyak 8 individu (3 jenis) dan Haemulidae sebanyak 4
individu (2 jenis)
Fauna megabentos yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan adalah sebanyak 5
jenis dengan total individu 1629 individu. Megabenthos yang ditemukan terbagi dalam 2
kelompok, yaitu Ekinodermata terdiri dari Acanthaster planci dan Diadema sp. (2 jenis) dan
kelompok Moluska terdiri dari Drupella spp., Tridacna sp. dan Trochus sp. Jumlah jenis
terbanyak terdapat di stasiun KRIL16 (4 jenis) sedangkan yang terendah di stasiun KRIL74,
KRIL81 dan KRIL90 (masing-masing 2 jenis).
Dilihat dari jumlah individu, stasiun KRIL14 memilik jumlah individu tertinggi, yaitu
sebanyak 305 individu/m2, diikuti KRIL17 (203 individu/m2) dan KRIL85 (181 individu/m2).
Kontribusi Diadema sp. terhadap tingginya jumlah individu megabentos pada stasiun
KRIL14 sangat dominan, sebesar 92,79% dari total individu pada stasiun tersebut. Jenis ini
memiliki sebaran yang sangat luas dan hadir pada semua stasiun pengamatan. Sedangkan
jumlah individu terendah di catat pada stasiun KRIL81 (3 individu/m2) dan hanya terdiri dari
2 jenis megabentos yaitu Diadema sp. dan Drupella sp.
Hasil pengamatan menunjukkan jumlah individu dari setiap jenis yang ditemukan pada
masing-masing stasiun didominasi oleh kehadiran Diadema sp. Kehadiran jenis ini erat
kaitannya dengan substrat sebagai tempat hidup, ketersediaan makanan serta mampu
beradaptasi dengan lingkungan. Hampir semua stasiun pengamatan memiliki substrat yang
didominasi oleh pasir. Umumnya jenis ini sering ditemukan dalam jumlah individu yang
menonjol pada substrat pasir dengan kondisi perairan yang relatif tenang. Diadema termasuk
hewan herbivor, makanan utama Diadema setosum dan bintang laut lainnya adalah alga
bentik.
Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove
dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara
Tabel luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove di perairan Bintan Timur di bawah
ini.
Habitat Luas (Ha) Karang 2445.19 Pasir 3586.20 Substrat campuran: terdiri dari pasir, spot karang hidup dan karang mati, pecahan dan bongkah karang serta algae/sargasum.
3790.36
Lamun 700.13 Mangrove 2852.57
Persentase tutupan karang hidup yang dicatat di lokasi transek berkisar antara 1,20% -
54,80%, dengan tutupan tertinggi terdapat di stasiun KRIL A, yaitu 54,80% dan terendah di
KRIL17 (1,20%). Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa tutupan karang hidup berada pada
kondisi “jelek” hingga “baik”. Umumnya karang yang dicatat dalam pengamatan ini,
didominasi oleh karang jenis Non-Acropora. Pertumbuhan karang batu pada 14 lokasi transek
didominasi oleh Galaxea fascicularis dan Porites cylindrica (sub-massive), serta Porites
lobata dan Porites lutea (massive).
Dari hasil pengamatan, dicatat hanya 3 (tiga) stasiun yang kondisi karangnya masuk
dalam kategori “baik” (50 % - 74,99%) yaitu stasiun KRIL 77, KRIL 81 dan KRIL A. Untuk
kategori “sedang” (25 % - 49,99 %) ditemukan di 7 (tujuh ) stasiun, berturut-turut di stasiun
KRIL 92, KRIL18, KRIL B, KRIL 90, KRIL 13, KRIL 15 dan KRIL 74.Sisanya ada 4
(empat) stasiun dalam kondisi “jelek”. Persentase tutupan DCA ( karang mati beralga) dicatat
tertinggi di stasiun KRIL17 (80,80 %). Stasiun ini terletak di bagian timur Pulau Mapur dan
berhadapan dengan laut lepas yang sering menerima tekanan ombak yang besar.yang menarik
di lokasi ini didominasi oleh karang dengan bentuk pertumbuhan bercabang. Jenis karang
yang dominan di lokasi ini yaitu dari jenis Caulastrea furcata dan dari marga Acropora
terutama A. brueggemanni, dan marga Montipora yaitu M.foliosa. Kelompok Acropora
diketahui untuk tumbuh baik, memerlukan sirkulasi arus yang juga baik.
Hasil sensus visual ikan karang kategori ikan indikator dan ikan target di Kabupaten
Bintan pada 14 stasiun pengamatan mencatat sebany1.167 individu yang tergolong dalam
31 jenis dan suku 7 . Ikan indikator yang ditemukan sebanyak 2 jenis yakni dari suku
Chaetodontidae yaitu Chaetodon oktofasciatus dan Chelmon rostratus, sedangkan ikan target
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 xi
yang ditemukan sebanyak 29 jenis dari 6 suku. Penelitian di Kabupaten Bintan terbagi atas
dua lokasi yakni di lokasi Sekitar Bintan Timur (8 stasiun) dan lokasi sekitar P. Mapur (6
stasiun).
Hasil sensus visual ikan target ditemukan sebanyak 49 jenis dari 10 suku dengan total
kehadiran sebanyak 1302 individu atau kepadatan ikan mencapai 0, 2657 ekor/m2 atau
2657 ekor/ha. Suku Caesionidae memiliki kelimpahan individu tertinggi sebesar 587
individu, terdiri dari 4 jenis , diikuti suku Lutjanidae sebanyak 198 individu (6 jenis), suku
Scaridae sebanyak 125 individu dan Serranidae sebanyak 85 individu sedangkan yang
terendah adalah suku Lethrinidae sebanyak 8 individu (3 jenis) dan Haemulidae sebanyak 4
individu (2 jenis)
Fauna megabentos yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan adalah sebanyak 5
jenis dengan total individu 1629 individu. Megabenthos yang ditemukan terbagi dalam 2
kelompok, yaitu Ekinodermata terdiri dari Acanthaster planci dan Diadema sp. (2 jenis) dan
kelompok Moluska terdiri dari Drupella spp., Tridacna sp. dan Trochus sp. Jumlah jenis
terbanyak terdapat di stasiun KRIL16 (4 jenis) sedangkan yang terendah di stasiun KRIL74,
KRIL81 dan KRIL90 (masing-masing 2 jenis).
Dilihat dari jumlah individu, stasiun KRIL14 memilik jumlah individu tertinggi, yaitu
sebanyak 305 individu/m2, diikuti KRIL17 (203 individu/m2) dan KRIL85 (181 individu/m2).
Kontribusi Diadema sp. terhadap tingginya jumlah individu megabentos pada stasiun
KRIL14 sangat dominan, sebesar 92,79% dari total individu pada stasiun tersebut. Jenis ini
memiliki sebaran yang sangat luas dan hadir pada semua stasiun pengamatan. Sedangkan
jumlah individu terendah di catat pada stasiun KRIL81 (3 individu/m2) dan hanya terdiri dari
2 jenis megabentos yaitu Diadema sp. dan Drupella sp.
Hasil pengamatan menunjukkan jumlah individu dari setiap jenis yang ditemukan pada
masing-masing stasiun didominasi oleh kehadiran Diadema sp. Kehadiran jenis ini erat
kaitannya dengan substrat sebagai tempat hidup, ketersediaan makanan serta mampu
beradaptasi dengan lingkungan. Hampir semua stasiun pengamatan memiliki substrat yang
didominasi oleh pasir. Umumnya jenis ini sering ditemukan dalam jumlah individu yang
menonjol pada substrat pasir dengan kondisi perairan yang relatif tenang. Diadema termasuk
hewan herbivor, makanan utama Diadema setosum dan bintang laut lainnya adalah alga
bentik.
Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove
dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara
Tabel luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove di perairan Bintan Timur di bawah
ini.
Habitat Luas (Ha) Karang 2445.19 Pasir 3586.20 Substrat campuran: terdiri dari pasir, spot karang hidup dan karang mati, pecahan dan bongkah karang serta algae/sargasum.
3790.36
Lamun 700.13 Mangrove 2852.57
Persentase tutupan karang hidup yang dicatat di lokasi transek berkisar antara 1,20% -
54,80%, dengan tutupan tertinggi terdapat di stasiun KRIL A, yaitu 54,80% dan terendah di
KRIL17 (1,20%). Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa tutupan karang hidup berada pada
kondisi “jelek” hingga “baik”. Umumnya karang yang dicatat dalam pengamatan ini,
didominasi oleh karang jenis Non-Acropora. Pertumbuhan karang batu pada 14 lokasi transek
didominasi oleh Galaxea fascicularis dan Porites cylindrica (sub-massive), serta Porites
lobata dan Porites lutea (massive).
Dari hasil pengamatan, dicatat hanya 3 (tiga) stasiun yang kondisi karangnya masuk
dalam kategori “baik” (50 % - 74,99%) yaitu stasiun KRIL 77, KRIL 81 dan KRIL A. Untuk
kategori “sedang” (25 % - 49,99 %) ditemukan di 7 (tujuh ) stasiun, berturut-turut di stasiun
KRIL 92, KRIL18, KRIL B, KRIL 90, KRIL 13, KRIL 15 dan KRIL 74.Sisanya ada 4
(empat) stasiun dalam kondisi “jelek”. Persentase tutupan DCA ( karang mati beralga) dicatat
tertinggi di stasiun KRIL17 (80,80 %). Stasiun ini terletak di bagian timur Pulau Mapur dan
berhadapan dengan laut lepas yang sering menerima tekanan ombak yang besar.yang menarik
di lokasi ini didominasi oleh karang dengan bentuk pertumbuhan bercabang. Jenis karang
yang dominan di lokasi ini yaitu dari jenis Caulastrea furcata dan dari marga Acropora
terutama A. brueggemanni, dan marga Montipora yaitu M.foliosa. Kelompok Acropora
diketahui untuk tumbuh baik, memerlukan sirkulasi arus yang juga baik.
Hasil sensus visual ikan karang kategori ikan indikator dan ikan target di Kabupaten
Bintan pada 14 stasiun pengamatan mencatat sebany1.167 individu yang tergolong dalam
31 jenis dan suku 7 . Ikan indikator yang ditemukan sebanyak 2 jenis yakni dari suku
Chaetodontidae yaitu Chaetodon oktofasciatus dan Chelmon rostratus, sedangkan ikan target
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014xii
memiliki hutan mangrove yang cukup lebar, dengan substrat bervariasi dari pasir lumpuran
sampai berlumpur menyebabkan keanekaragaman jenisnya yang cukup tinggi. Kondisi
komunitas mengrove pada stasiun tersebut juga paling baik diantara ketiga stasiun lainnya.
Jenis yang mendominasi pada kawasan ini berasal dari kelompok Rhizophora, baik R.
apiculata maupun R. mucronata.
Total lamun yang tercatat di seluruh transek permanen di Perairan Bintan adalah
sembilan jenis, yaitu Enhalus acoroides (Ea), Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea
rotundata (Cr), Cymodocea serrulata (Cs), Halodule uninervis (Hu), Halophila pinifolia
(Hp), Syringodium isoetifolium (Si), Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis (Ho) (Tabel
1). Dari ketiga lokasi, Pantai Trikora memiliki jumlah jenis lamun terbanyak (9 jenis),
sedangkan daerah Numbing dan Pulau Pangkil memilik jenis lamun paling sedikit (2 dan 3
jenis lamun).
Berdasarkan persentase penutupan, jenis T. hemprichii dan E. acoroides paling
melimpah pada semua transek permanen di stasiun monitoring (dengan total lebih dari 50%).
Jenis lainnya yang cukup mendominasi adalah C. rotundata dan C. serrulata, sedangkan jenis
yang lain memiliki kelimpahan yang rendah.
Stasiun monitoring dikelompokan menjadi tiga berdasarkan arah mata angin dan
jarak. Nilai penutupan lamun terlihat jelas berbeda. Lokasi Pantai Trikora dan P. Beralas
Pasir memiliki lamun yang padat dan kondisi yang baik, sedangkan rata-rata di kedua sub-
lokasi memiliki nilai lamun yang kurang baik (jarang). Rata-rata lamun secara keseluruhan
pada transek permanen monitoring lamun di Peraiaran Bintan menunjukkaan nilai 38,38 %
dengan jenis dominan Thalasi hemprichii dan Enhalus. acoroides. Berdasarkan KepMEnLH
No 200 Tahun xxx, kondisi lamun di Perairan Bintan kurang sehat, namun berbeda halnya
apabila dilihat per sub- lokasi.
63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Pulau Numbing memiliki persentase tutupan
mangrove yang paling tinggi di dua stasiun penelitiannya BINM01 dan BINM02 yang tidak
berbeda secara statistik (P<0.05). Persentase tutupan mangrove yang paling rendah
ditemukan di Pulau Pangkil, stasiun BINM03. Berdasarkan data kerapatan pohon, stasiun
BINM10 di Pulau Mapur memiliki kerapatan pohon tertinggi, yaitu 4.200,00 ± 1.449,14
pohon/ha sedangkan terendah di stasiun BINM03, Pulau Pangkil dengan kerapatan pohon
lebih kecil dari 1000. Berdasarkan hal tersebut kawasan hutan mangrove pada stasiun
BINM03 termasuk dalam kategori kurang baik/jarang.
Dua stasiun di Pulau Pangkil, BINM03 dan BINM04 memiliki perbedaan pada
kondisi substrat dan arus. Stasiun BINM03 didominasi oleh substrat pasir berbatu dan
merupakan wilayah dengan arus yang cukup kuat. Oleh karena itu, kawasan BINM03
memiliki substrat yang padat dan tidak berlumpur sehingga rendah organik. Jenis yang
mendominasi di kawasan ini adalah Bruguierra gymnorrhiza. Kawasan BINM04 memiliki
substrat yang yang lebih berlumpur dan sedikit lebih terlindung dibandingkan dengan
BINM03. Jenis yang mendominasi di kawasan ini adalah Rhizophora stylosa dengan indeks
nilai penting 127.87%. Kawasan BINM03 yang lebih dinamis dibandingkan dengan BINM04
memiliki keanekaragaman jenis lebih tinggi.
Satu stasiun di kawasan muara Sungai Kawal, BINM05, merupakan salah satu
wilayah yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Pada kawasan ini ditemukan enam
jenis mangrove, yang mendominasi di kawasan ini berasal dari kelompok Rhizophora.
Kawasan Sungai Kawal memiliki keragaman substrat yang cukup tinggi. Pada transek yang
dekat dengan muara sungai, substrat didominasi oleh lumpuran sedangkan pada wilayah yang
lebih jauh dari sungai memiliki substrat berpasir. Hal ini yang menyebabkan keanekaragaman
jenis mangrove cukup tinggi. Persentase tutupan mangrove di kawasan ini mencapai 75.07 ±
7.07% dengan kerapatan 1188.89 ± 483.33 pohon/ha. Nilai ini menunjukkan bahwa kondisi
komunitas mangrove di muara Sungai Kawal termasuk dalam kategori baik.
Stasiun Pulau Beralas Bakau, merupakan satu-satunya stasiun penelitian di wilayah
utara kawasan konservasi. Pulau ini memiliki substrat pasir dengan kondisi perairan yang
cukup dinamis. Stasiun BINM06 didominasi dengan baik oleh R. mucronata dengan nilai
INP 125.95%. Kondisi komunitas mangrove di stasiun BINM06 tergolong baik dengan
persentase tutupan 71.34 ± 14.89% dan kerapatan pohon 1333.33 ± 321.46 pohon/ha.
Lokasi di Pulau Mapur, terdiri dari empat stasiun penelitian dimana semuanya
difokuskan pada wilayah selatan dan timur pulau. Stasiun di wilayah timur pulau, BINM10
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 xiii
memiliki hutan mangrove yang cukup lebar, dengan substrat bervariasi dari pasir lumpuran
sampai berlumpur menyebabkan keanekaragaman jenisnya yang cukup tinggi. Kondisi
komunitas mengrove pada stasiun tersebut juga paling baik diantara ketiga stasiun lainnya.
Jenis yang mendominasi pada kawasan ini berasal dari kelompok Rhizophora, baik R.
apiculata maupun R. mucronata.
Total lamun yang tercatat di seluruh transek permanen di Perairan Bintan adalah
sembilan jenis, yaitu Enhalus acoroides (Ea), Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea
rotundata (Cr), Cymodocea serrulata (Cs), Halodule uninervis (Hu), Halophila pinifolia
(Hp), Syringodium isoetifolium (Si), Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis (Ho) (Tabel
1). Dari ketiga lokasi, Pantai Trikora memiliki jumlah jenis lamun terbanyak (9 jenis),
sedangkan daerah Numbing dan Pulau Pangkil memilik jenis lamun paling sedikit (2 dan 3
jenis lamun).
Berdasarkan persentase penutupan, jenis T. hemprichii dan E. acoroides paling
melimpah pada semua transek permanen di stasiun monitoring (dengan total lebih dari 50%).
Jenis lainnya yang cukup mendominasi adalah C. rotundata dan C. serrulata, sedangkan jenis
yang lain memiliki kelimpahan yang rendah.
Stasiun monitoring dikelompokan menjadi tiga berdasarkan arah mata angin dan
jarak. Nilai penutupan lamun terlihat jelas berbeda. Lokasi Pantai Trikora dan P. Beralas
Pasir memiliki lamun yang padat dan kondisi yang baik, sedangkan rata-rata di kedua sub-
lokasi memiliki nilai lamun yang kurang baik (jarang). Rata-rata lamun secara keseluruhan
pada transek permanen monitoring lamun di Peraiaran Bintan menunjukkaan nilai 38,38 %
dengan jenis dominan Thalasi hemprichii dan Enhalus. acoroides. Berdasarkan KepMEnLH
No 200 Tahun xxx, kondisi lamun di Perairan Bintan kurang sehat, namun berbeda halnya
apabila dilihat per sub- lokasi.
63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Pulau Numbing memiliki persentase tutupan
mangrove yang paling tinggi di dua stasiun penelitiannya BINM01 dan BINM02 yang tidak
berbeda secara statistik (P<0.05). Persentase tutupan mangrove yang paling rendah
ditemukan di Pulau Pangkil, stasiun BINM03. Berdasarkan data kerapatan pohon, stasiun
BINM10 di Pulau Mapur memiliki kerapatan pohon tertinggi, yaitu 4.200,00 ± 1.449,14
pohon/ha sedangkan terendah di stasiun BINM03, Pulau Pangkil dengan kerapatan pohon
lebih kecil dari 1000. Berdasarkan hal tersebut kawasan hutan mangrove pada stasiun
BINM03 termasuk dalam kategori kurang baik/jarang.
Dua stasiun di Pulau Pangkil, BINM03 dan BINM04 memiliki perbedaan pada
kondisi substrat dan arus. Stasiun BINM03 didominasi oleh substrat pasir berbatu dan
merupakan wilayah dengan arus yang cukup kuat. Oleh karena itu, kawasan BINM03
memiliki substrat yang padat dan tidak berlumpur sehingga rendah organik. Jenis yang
mendominasi di kawasan ini adalah Bruguierra gymnorrhiza. Kawasan BINM04 memiliki
substrat yang yang lebih berlumpur dan sedikit lebih terlindung dibandingkan dengan
BINM03. Jenis yang mendominasi di kawasan ini adalah Rhizophora stylosa dengan indeks
nilai penting 127.87%. Kawasan BINM03 yang lebih dinamis dibandingkan dengan BINM04
memiliki keanekaragaman jenis lebih tinggi.
Satu stasiun di kawasan muara Sungai Kawal, BINM05, merupakan salah satu
wilayah yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Pada kawasan ini ditemukan enam
jenis mangrove, yang mendominasi di kawasan ini berasal dari kelompok Rhizophora.
Kawasan Sungai Kawal memiliki keragaman substrat yang cukup tinggi. Pada transek yang
dekat dengan muara sungai, substrat didominasi oleh lumpuran sedangkan pada wilayah yang
lebih jauh dari sungai memiliki substrat berpasir. Hal ini yang menyebabkan keanekaragaman
jenis mangrove cukup tinggi. Persentase tutupan mangrove di kawasan ini mencapai 75.07 ±
7.07% dengan kerapatan 1188.89 ± 483.33 pohon/ha. Nilai ini menunjukkan bahwa kondisi
komunitas mangrove di muara Sungai Kawal termasuk dalam kategori baik.
Stasiun Pulau Beralas Bakau, merupakan satu-satunya stasiun penelitian di wilayah
utara kawasan konservasi. Pulau ini memiliki substrat pasir dengan kondisi perairan yang
cukup dinamis. Stasiun BINM06 didominasi dengan baik oleh R. mucronata dengan nilai
INP 125.95%. Kondisi komunitas mangrove di stasiun BINM06 tergolong baik dengan
persentase tutupan 71.34 ± 14.89% dan kerapatan pohon 1333.33 ± 321.46 pohon/ha.
Lokasi di Pulau Mapur, terdiri dari empat stasiun penelitian dimana semuanya
difokuskan pada wilayah selatan dan timur pulau. Stasiun di wilayah timur pulau, BINM10
DAFTAR ISI
hal
Prakata ................................................................................................................................ i
Abstrak ................................................................................................................................ iii
Ringkasan Eksekutif .......................................................................................................... v
Daftar Isi ............................................................................................................................. xv
Daftar Gambar .................................................................................................................... xvii
Daftar Tabel ........................................................................................................................ xvii
Daftar Lampiran .................................................................................................................. xix
BAB. 1. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................. 2
1.3. Tujuan dan sasaran Penelitian ................................................................ 3
1.4. Metodologi ............................................................................................. 3
1.4.1. Kerangka Berpikir ...................................................................... 3
1.4.2. Metode ........................................................................................ 5
1.4.2.1. SIG ................................................................................ 5
1.4.2.2. Karang .......................................................................... 8
1.4.2.3. Ikan Karang .................................................................. 9
1.4.2.4. Megabentos ................................................................... 11
1.4.2.5. Mangrove ...................................................................... 11
1.4.2.5. Lamun ........................................................................... 12
1.5. Pelaksana Kegiatan ................................................................................. 13
BAB II. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 14
2.1. S.I.G ........................................................................................................ 14
2.1.1. Sebaran Habitat Laut Dangkal dan Mangrove ............................ 14
2.1.2. Pengelompokan data ................................................................... 17
2.2. Karang .................................................................................................... 17
2.2.1. Deskripsi Lokasi dan Kondisi Terumbu Karang ........................ 18
2.2.2. Kondisi Terumbu Karang ........................................................... 22
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 xv
DAFTAR ISI
hal
Prakata ................................................................................................................................ i
Abstrak ................................................................................................................................ iii
Ringkasan Eksekutif .......................................................................................................... v
Daftar Isi ............................................................................................................................. xv
Daftar Gambar .................................................................................................................... xvii
Daftar Tabel ........................................................................................................................ xvii
Daftar Lampiran .................................................................................................................. xix
BAB. 1. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................. 2
1.3. Tujuan dan sasaran Penelitian ................................................................ 3
1.4. Metodologi ............................................................................................. 3
1.4.1. Kerangka Berpikir ...................................................................... 3
1.4.2. Metode ........................................................................................ 5
1.4.2.1. SIG ................................................................................ 5
1.4.2.2. Karang .......................................................................... 8
1.4.2.3. Ikan Karang .................................................................. 9
1.4.2.4. Megabentos ................................................................... 11
1.4.2.5. Mangrove ...................................................................... 11
1.4.2.5. Lamun ........................................................................... 12
1.5. Pelaksana Kegiatan ................................................................................. 13
BAB II. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 14
2.1. S.I.G ........................................................................................................ 14
2.1.1. Sebaran Habitat Laut Dangkal dan Mangrove ............................ 14
2.1.2. Pengelompokan data ................................................................... 17
2.2. Karang .................................................................................................... 17
2.2.1. Deskripsi Lokasi dan Kondisi Terumbu Karang ........................ 18
2.2.2. Kondisi Terumbu Karang ........................................................... 22
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014xvi
2.3. Ikan Karang ............................................................................................ 24
2.3.1. Keanekaragaman Ikan Indikator dan Ikan target ........................ 24
2.3.1.1. Sebaran Ikan Indikator.................................................. 26
2.3.1.2. Sebaran Ikan target ....................................................... 27
2.3.2. Estimasi Potensi Sediaan Cadang Ikan Target ........................... 30
2.4.. Megabentos ............................................................................................. 32
2.4.1. Komposisi biota Megabentos .................................................... 32
2.4.2. Nilai Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan ............. 34
2.5. Mangrove ................................................................................................ 36
2.5.1. Persentase tutupan mangrove ..................................................... 36
2.5.2. Kondisi mangrove di lokasi transek ........................................... 37
2.6. Lamun ..................................................................................................... 39
2.6.1. Persentase tutupan Lamun .......................................................... 40
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 43
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 44
LAMPIRAN ........................................................................................................................ 46
DAFTAR GAMBAR
hal.
Gambar 1 Peta lokasi penelitian ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………….
5
Gambar 2 Skema transek permanen lamun ……………………………. 12
Gambar 3 Peta sebaran habitat perairan laut dangkal, hasil ground truth di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………………………
15
Gambar 4 Peta persentase tutupan karang, hidup hasil studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………………………..
23
Gambar 5 Histogram persentase tutupan karang, biota bentik dan substrat hasil studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014………………………
24
Gambar 6 Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator ikan target hasil studi baseline di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………
\
26
Gambar 7 Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………………………………
27
Gambar 8 Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan target, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…..
29
Gambar 9 Jumlah individu dan jenis megabentos hasil studi baseline dengan metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014........................................................................
34
Gambar 10 Peta persentase tutupan mangrove hasil transek di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan 2014……………………..
36
Gambar 11 Peta persentase tutupan lamun hasil transek, di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan 2014……………………… .
40
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 xvii
2.3. Ikan Karang ............................................................................................ 24
2.3.1. Keanekaragaman Ikan Indikator dan Ikan target ........................ 24
2.3.1.1. Sebaran Ikan Indikator.................................................. 26
2.3.1.2. Sebaran Ikan target ....................................................... 27
2.3.2. Estimasi Potensi Sediaan Cadang Ikan Target ........................... 30
2.4.. Megabentos ............................................................................................. 32
2.4.1. Komposisi biota Megabentos .................................................... 32
2.4.2. Nilai Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan ............. 34
2.5. Mangrove ................................................................................................ 36
2.5.1. Persentase tutupan mangrove ..................................................... 36
2.5.2. Kondisi mangrove di lokasi transek ........................................... 37
2.6. Lamun ..................................................................................................... 39
2.6.1. Persentase tutupan Lamun .......................................................... 40
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 43
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 44
LAMPIRAN ........................................................................................................................ 46
DAFTAR GAMBAR
hal.
Gambar 1 Peta lokasi penelitian ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………….
5
Gambar 2 Skema transek permanen lamun ……………………………. 12
Gambar 3 Peta sebaran habitat perairan laut dangkal, hasil ground truth di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………………………
15
Gambar 4 Peta persentase tutupan karang, hidup hasil studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………………………..
23
Gambar 5 Histogram persentase tutupan karang, biota bentik dan substrat hasil studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014………………………
24
Gambar 6 Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator ikan target hasil studi baseline di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………
\
26
Gambar 7 Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………………………………
27
Gambar 8 Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan target, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…..
29
Gambar 9 Jumlah individu dan jenis megabentos hasil studi baseline dengan metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014........................................................................
34
Gambar 10 Peta persentase tutupan mangrove hasil transek di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan 2014……………………..
36
Gambar 11 Peta persentase tutupan lamun hasil transek, di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan 2014……………………… .
40
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kriteria status padang lamun…………………………………. 13
Tabel 2 Luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, 2014…………………
15
Tabel 3 Diskripsi tutupan lahan hasil ground truth di pesisir perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan 2014……
17
Tabel 4 Jumlah Individu dan jumlah Jenis Ikan karang di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014. ………………………………..
25
Tabel 5 Jumlah Individu dan Jumlah Jenis setiap suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC, di perairan Bintan Utara, Kabupaten Bintan 2014…………………………………….
28
Tabel 6 Kelimpahan individu ikan target berdasarkan dominansi jenis (KI = kelimpahan individu, densitas(ekor/m2) dan FK = frekuensi kehadiran .(%).....................................................
29
Tabel 7 Total biomasa dari sepuluh suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014 …………………………………..
30
Tabel 8 Sepuluh jenis ikan target dengan total nilai biomasa, hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Utara,Kabupaten Bintan , 2014……………………………..
31
Tabel 9 Biomas dari beberapa jenis ikan Target Kelompok Utama hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan , 2014……………………………
31
Tabel 10 Komposisi jenis dan sebaran individu megabentos, hasil studi baseline dengan metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014......................................................
33
Tabel 11 Nilai indek keanekaragaman (H) dan kemerataan jenis (J’) pada masing-masing stasiun pengamatan.............................
35
Tabel 12 Jumlah jenis, persentase tutupan mangrove, kerapatan dan INP jenis pada sepuluh stasiun penelitian mangrove di pesisir Bintan Timur , Kabupaten Bintan, 2014. ……………………
37
Tabel 13 Komposisi dan kehadiran lamun di setiap stasiun pengamatan 39
Tabel 14 Rata-rata penutupan masing-masing jenis lamun di lokasi transek perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014…
42
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel persentase tutupan karang, biota bentik dan substrat hasil Studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, KabupatenBintan, 2014…………… …………………………….. 46
Lampiran 2. Sebaran ikan indikator dan ikan target di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………. 47
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 xix
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kriteria status padang lamun…………………………………. 13
Tabel 2 Luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, 2014…………………
15
Tabel 3 Diskripsi tutupan lahan hasil ground truth di pesisir perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan 2014……
17
Tabel 4 Jumlah Individu dan jumlah Jenis Ikan karang di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014. ………………………………..
25
Tabel 5 Jumlah Individu dan Jumlah Jenis setiap suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC, di perairan Bintan Utara, Kabupaten Bintan 2014…………………………………….
28
Tabel 6 Kelimpahan individu ikan target berdasarkan dominansi jenis (KI = kelimpahan individu, densitas(ekor/m2) dan FK = frekuensi kehadiran .(%).....................................................
29
Tabel 7 Total biomasa dari sepuluh suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014 …………………………………..
30
Tabel 8 Sepuluh jenis ikan target dengan total nilai biomasa, hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Utara,Kabupaten Bintan , 2014……………………………..
31
Tabel 9 Biomas dari beberapa jenis ikan Target Kelompok Utama hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan , 2014……………………………
31
Tabel 10 Komposisi jenis dan sebaran individu megabentos, hasil studi baseline dengan metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014......................................................
33
Tabel 11 Nilai indek keanekaragaman (H) dan kemerataan jenis (J’) pada masing-masing stasiun pengamatan.............................
35
Tabel 12 Jumlah jenis, persentase tutupan mangrove, kerapatan dan INP jenis pada sepuluh stasiun penelitian mangrove di pesisir Bintan Timur , Kabupaten Bintan, 2014. ……………………
37
Tabel 13 Komposisi dan kehadiran lamun di setiap stasiun pengamatan 39
Tabel 14 Rata-rata penutupan masing-masing jenis lamun di lokasi transek perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014…
42
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel persentase tutupan karang, biota bentik dan substrat hasil Studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, KabupatenBintan, 2014…………… …………………………….. 46
Lampiran 2. Sebaran ikan indikator dan ikan target di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………. 47
BAB. I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kabupaten Bintan adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia.
Kabupaten Bintan sebelumnya bernama Kabupaten Kepulauan Riau. Perubahan nama ini
dimaksudkan agar tidak timbul kerancuan antara Provinsi Kepulauan Riau dan Kabupaten
Kepulauan Riau dalam hal administrasi dan korespondensi sehingga nama Kabupaten
Kepulauan Riau (Kepri) diganti menjadi Kabupaten Bintan. Perubahan nama Kabupaten
Kepulauan Riau menjadi Kabupaten Bintan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5
Tahun 2006, tertanggal 23 Februari 2006.
Kabupaten ini terletak antara °00’ Lintang Utara 1°20’ Lintang Selatan dan 104°00’
Bujur Timur 108°30’ Bujur Barat. Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kecamatan Bintan
Timur, P. Numbing, P. Mapur dan P. Erapas, yang termasuk dalam Kabupaten Bintan,
memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan ini
memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-
ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Seiring dengan berjalannya
waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang berkelanjutan
telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya
lingkungan perairannya.
Kabupaten Bintan merupakan sebuah kepulauan di Propinsi Kepulauan Riau yang
memiliki luas 1.318 km2 yang terletak di bagian selatan Laut Cina Selatan dan berbatasan
dengan Kabupaten Batam dan Singapura. Topografi daratan yang cukup landai, banyak
muara sungai dan teluk, membuat kawasan pesisir Kabupaten Bintan memiliki ekosistem
pantai pesisir yang lengkap. Ekosistem mangrove di Kabupaten Bintan terbilang cukup unik.
Dibandingkan dengan terumbu karang dan lamun, ekosistem mangrove tersebar hampir
diseluruh area kawasan pesisir.
Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Bintan sebagai satu-satunya
kawasan konservasi tingkat kabupaten ditetapkan melalui SK Bupati No. 58/II/2009 memiliki
luas 472.905 ha. Dasar penetapan kawasan menjadi wilayah konservasi adalah tingginya
keanekaragaman terumbu karang namun dihadapkan pada tingginya gangguan antropogenik
terhadap kondisi karang tersebut. Selain karang, wilayah ini memiliki luasan mangrove yang
cukup tinggi khususnya diwilayah selatan.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 1
BAB. I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kabupaten Bintan adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia.
Kabupaten Bintan sebelumnya bernama Kabupaten Kepulauan Riau. Perubahan nama ini
dimaksudkan agar tidak timbul kerancuan antara Provinsi Kepulauan Riau dan Kabupaten
Kepulauan Riau dalam hal administrasi dan korespondensi sehingga nama Kabupaten
Kepulauan Riau (Kepri) diganti menjadi Kabupaten Bintan. Perubahan nama Kabupaten
Kepulauan Riau menjadi Kabupaten Bintan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5
Tahun 2006, tertanggal 23 Februari 2006.
Kabupaten ini terletak antara °00’ Lintang Utara 1°20’ Lintang Selatan dan 104°00’
Bujur Timur 108°30’ Bujur Barat. Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kecamatan Bintan
Timur, P. Numbing, P. Mapur dan P. Erapas, yang termasuk dalam Kabupaten Bintan,
memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan ini
memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-
ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Seiring dengan berjalannya
waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang berkelanjutan
telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya
lingkungan perairannya.
Kabupaten Bintan merupakan sebuah kepulauan di Propinsi Kepulauan Riau yang
memiliki luas 1.318 km2 yang terletak di bagian selatan Laut Cina Selatan dan berbatasan
dengan Kabupaten Batam dan Singapura. Topografi daratan yang cukup landai, banyak
muara sungai dan teluk, membuat kawasan pesisir Kabupaten Bintan memiliki ekosistem
pantai pesisir yang lengkap. Ekosistem mangrove di Kabupaten Bintan terbilang cukup unik.
Dibandingkan dengan terumbu karang dan lamun, ekosistem mangrove tersebar hampir
diseluruh area kawasan pesisir.
Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Bintan sebagai satu-satunya
kawasan konservasi tingkat kabupaten ditetapkan melalui SK Bupati No. 58/II/2009 memiliki
luas 472.905 ha. Dasar penetapan kawasan menjadi wilayah konservasi adalah tingginya
keanekaragaman terumbu karang namun dihadapkan pada tingginya gangguan antropogenik
terhadap kondisi karang tersebut. Selain karang, wilayah ini memiliki luasan mangrove yang
cukup tinggi khususnya diwilayah selatan.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 20142
terumbu karang. Masyarakat pesisir semakin memahami arti penting ekositem terumbu
karang. Dengan demikian, diharapkan mereka tidak lagi menangkap ikan dengan cara
merusak seperti menggunakan bom, dan mulai menjaga ekosistem terumbu karang yang ada
di lokasinya,
Untuk melihat kondisi terkini terumbu karang di suatu wilayah, serta melihat
perubahan yang terjadi dari tahun ke tahun maka perlu dilakukan pemantauan kondisi
terumbu karang secara berkala. Untuk itu, disetiap wilayah COREMAP dibuat beberapa
stasiun permanen yang posisinya terdokumentasi dalam koordinat geografis, serta
pencatatannya dibantu dengan alat GPS, sehingga pengamatan dapat dilakukan kembali di
stasiun tersebut pada tahun berikutnya. Metode pemantauan yang digunakan dibuat baku dan
sesederhana mungkin, tetapi tidak menghilangkan sifat keilmiahannya, sehingga kelak dapat
dengan mudah dilakukan oleh masyarakat setempat.
1.3. Tujuan dan sasaran Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi awal (baseline study ),
ekosistem terumbu karang beserta ekosistem lamun (seagrass) dan mangrove, di lokasi
KKLD (Kawasan Konservasi Laut Daerah), yang hasil penelitiannya dipakai sebagai data
dasar untuk kegiatan COREMAP-CTI .
Sasaran penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui persentase tutupan terumbu karang,
b. Mengetahui kepadatan rata-rata ikan karang,
c. Mengetahui kepadatan rata-rata megabentos yang bernilai ekonomis penting ataupun
yang dapat dijadikan indikator kesehatan terumbu karang,
d. Mengetahui kerapatan lamun,
e. Mengetahui kerapatan mangrove,
f. Menghasilkan peta sebaran terumbu karang, lamun, dan mangrove,
1.4. Metodologi
1.4.1. Kerangka Berpikir
Negara kepulauan dengan garis pantai yang cukup panjang, dengan sebagian besar
penghuninya mendiami daerah pesisir, secara otomatis lebih menggantungkan hidupnya pada
sumberdaya alam yang ada di pesisir pantai maupun daerah pasang surut, sampai ke lokasi
Pada kegiatan COREMAP Fase sebelumnya, lokasi yang dipilih mencakup wilayah
Kecamatan Bintan Timur, meliputi pesisir Desa Malang Rapat, Teluk Bakau, Kawal dan
Gunung Kuang serta di Pulau Gyn Besar ,Pulau Numbing, Pulau Erapas dan Pulau Mapur..
Kegiatan kali ini juga ditentukan di lokasi-lokasi tersebut di atas, dan secara kebetulan
masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD). Kegiatan studi baseline kali ini
tdak hanya mengambil data ekosistem terumbu karang, namun juga ekosistem mangrove dan
ekosistem lamun.
Kondisi ekosistem karang dalam kawasan dipengaruhi oleh kondisi kesehatan lamun
dan mangrove. Degradasi ekosistem mangrove akan menyebabkan peningkatan potensi
kesehatan terumbu karang di dalam kawasan. Sehingga gangguan antropogenik terhadap
kondisi kesehatan mangrove juga sangat perlu diperhatikan. Secara umum, pemanfaatan
hutan mangrove secara lokal digunakan untuk keperluan rumah tangga. Namun ancaman
terhadap vegetasi hutan mangrove di Kabupaten Bintan sangat terlihat dengan banyaknya
dijumpai tambang-tambang bauksit tidak hanya di Pulau Bintan, tapi juga pada kawasan
pulau-pulau kecil disekitarnya. Untuk itu diperlukan upanya pengelolaan yang baik dengan
diawali dengan identifikasi kondisi fisik hutan mangrove melalui suatu kegiatan pemantauan
yang berkelanjutan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kesehatan hutan
mangrove yang tumbuh di pesisir KKPD Kabupaten Bintan, dalam kaitannya dengan padang
lamun dan selanjutnya ke arah laut dengan ekosistem terumbu karang. Dengan adanya
kebijakan untuk mengelola ekosistem-ekosistem ini secara baik dan terpadu, diharapkan
dapat menjaga kelestarian ekosistem pesisir dengan sumberdaya yang ada di dalamnya,
untuk kesejahteraan masyarakat pesisir, di wilayah ini.
1.2. Rumusan Masalah
COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program), atau Program
Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang, adalah program jangka panjang yang
bertujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan secara lestari
terumbu karang serta ekosistem terkait di Indonesia, yang pada gilirannya akan menunjang
kesejahteraan masyarakat pesisir.
Lewat kegiatan komunikasi publik, yang merupakan salah satu komponen di dalam
COREMAP, diharapkan kesadaran dan perilaku masyarakat akan semakin baik terhadap
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 3
terumbu karang. Masyarakat pesisir semakin memahami arti penting ekositem terumbu
karang. Dengan demikian, diharapkan mereka tidak lagi menangkap ikan dengan cara
merusak seperti menggunakan bom, dan mulai menjaga ekosistem terumbu karang yang ada
di lokasinya,
Untuk melihat kondisi terkini terumbu karang di suatu wilayah, serta melihat
perubahan yang terjadi dari tahun ke tahun maka perlu dilakukan pemantauan kondisi
terumbu karang secara berkala. Untuk itu, disetiap wilayah COREMAP dibuat beberapa
stasiun permanen yang posisinya terdokumentasi dalam koordinat geografis, serta
pencatatannya dibantu dengan alat GPS, sehingga pengamatan dapat dilakukan kembali di
stasiun tersebut pada tahun berikutnya. Metode pemantauan yang digunakan dibuat baku dan
sesederhana mungkin, tetapi tidak menghilangkan sifat keilmiahannya, sehingga kelak dapat
dengan mudah dilakukan oleh masyarakat setempat.
1.3. Tujuan dan sasaran Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi awal (baseline study ),
ekosistem terumbu karang beserta ekosistem lamun (seagrass) dan mangrove, di lokasi
KKLD (Kawasan Konservasi Laut Daerah), yang hasil penelitiannya dipakai sebagai data
dasar untuk kegiatan COREMAP-CTI .
Sasaran penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui persentase tutupan terumbu karang,
b. Mengetahui kepadatan rata-rata ikan karang,
c. Mengetahui kepadatan rata-rata megabentos yang bernilai ekonomis penting ataupun
yang dapat dijadikan indikator kesehatan terumbu karang,
d. Mengetahui kerapatan lamun,
e. Mengetahui kerapatan mangrove,
f. Menghasilkan peta sebaran terumbu karang, lamun, dan mangrove,
1.4. Metodologi
1.4.1. Kerangka Berpikir
Negara kepulauan dengan garis pantai yang cukup panjang, dengan sebagian besar
penghuninya mendiami daerah pesisir, secara otomatis lebih menggantungkan hidupnya pada
sumberdaya alam yang ada di pesisir pantai maupun daerah pasang surut, sampai ke lokasi
Pada kegiatan COREMAP Fase sebelumnya, lokasi yang dipilih mencakup wilayah
Kecamatan Bintan Timur, meliputi pesisir Desa Malang Rapat, Teluk Bakau, Kawal dan
Gunung Kuang serta di Pulau Gyn Besar ,Pulau Numbing, Pulau Erapas dan Pulau Mapur..
Kegiatan kali ini juga ditentukan di lokasi-lokasi tersebut di atas, dan secara kebetulan
masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD). Kegiatan studi baseline kali ini
tdak hanya mengambil data ekosistem terumbu karang, namun juga ekosistem mangrove dan
ekosistem lamun.
Kondisi ekosistem karang dalam kawasan dipengaruhi oleh kondisi kesehatan lamun
dan mangrove. Degradasi ekosistem mangrove akan menyebabkan peningkatan potensi
kesehatan terumbu karang di dalam kawasan. Sehingga gangguan antropogenik terhadap
kondisi kesehatan mangrove juga sangat perlu diperhatikan. Secara umum, pemanfaatan
hutan mangrove secara lokal digunakan untuk keperluan rumah tangga. Namun ancaman
terhadap vegetasi hutan mangrove di Kabupaten Bintan sangat terlihat dengan banyaknya
dijumpai tambang-tambang bauksit tidak hanya di Pulau Bintan, tapi juga pada kawasan
pulau-pulau kecil disekitarnya. Untuk itu diperlukan upanya pengelolaan yang baik dengan
diawali dengan identifikasi kondisi fisik hutan mangrove melalui suatu kegiatan pemantauan
yang berkelanjutan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kesehatan hutan
mangrove yang tumbuh di pesisir KKPD Kabupaten Bintan, dalam kaitannya dengan padang
lamun dan selanjutnya ke arah laut dengan ekosistem terumbu karang. Dengan adanya
kebijakan untuk mengelola ekosistem-ekosistem ini secara baik dan terpadu, diharapkan
dapat menjaga kelestarian ekosistem pesisir dengan sumberdaya yang ada di dalamnya,
untuk kesejahteraan masyarakat pesisir, di wilayah ini.
1.2. Rumusan Masalah
COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program), atau Program
Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang, adalah program jangka panjang yang
bertujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan secara lestari
terumbu karang serta ekosistem terkait di Indonesia, yang pada gilirannya akan menunjang
kesejahteraan masyarakat pesisir.
Lewat kegiatan komunikasi publik, yang merupakan salah satu komponen di dalam
COREMAP, diharapkan kesadaran dan perilaku masyarakat akan semakin baik terhadap
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 20144
lebih baik. Dengan demikian diharapkan kekayaan sumberdaya pesisir di lokasi tersebut
dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan tetap memperhatikan kelestariannya.
1.4.2. Metode
Lokasi yang diamati masuk dalam zona kawasan konservasi laut, terletak di pesisir
timur Pulau Bintan Kecamatan Bintan Timur, Pulau Mapur, Pulau Erapas, Pulau Numbing,
yang merupakan stasiun lama pada COREMAP II, dan stasiun tambahan di Pulau Pangkil.
Posisi stasiun ditentukan dengan menggunakan GPS. Secara umum, peta lokasi penelitian
dapat dilihat dalam Gambar 1.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.
1.4.2.1. Sistem Informasi Geografi (SIG)
1.4.2.1.1.Pra-pemrosesan
Untuk keperluan peta habitat laut dangkal, data citra penginderaan jauh (indraja)
digunakan sebagai data dasar. Data citra inderaja yang dipakai dalam studi ini adalah citra
perairan lepas. Diketahui, di daerah pesisir ditemukan ekosistem yang berfungsi disamping
sebagai pemasok sumberdaya pangan, juga sebagai pertahanan maupun peredam terhadap
tekanan fisik dari laut. Ketiga ekosistem tersebut secara berurut dari darat ke laut, ekosistem
mangrove, padang lamun dan ekosistem terumbu karang, yang mana saling memiliki
keterkaitan satu dengan lainnya. Pada umumnya ke tiga ekosistem ini ditemukan di perairan
pesisir wilayah kepulauan Indonesia. Eksploitasi maupun pengrusakan secara berlebihan pada
salah satu ekosistem tersebut, dapat berujung pada musnahnya salah satu mata rantai
makanan yang ada di dalamnya, dengan demikian keseimbangan ekologisnya terganggu,
bahkan dapat menyebabkan hilang atau punahnya biota yang ada didalam ekosistem tersebut.
Jalan keluar terbaik ialah, harus ada pemantauan yang yang intensif, untuk mengantisipasi
bila ada perubahan yang terjadi, dapat dicari jalan keluar yang tepat guna kelestariannya di
alam.
Aktivitas manusia secara langsung maupun tidak langsung, berpengaruh terhadap
kerusakan terumbu karang. Potensi ancaman terumbu karang akibat aktivitas manusia dapat
berupa pembangunan di kawasan pesisir, polusi akibat aktivitas di laut, penangkapan ikan
yang berlebihan dan merusak, serta polusi dan sedimen dari daratan (Burke dan Selig, 2000).
Oleh karena itu, dalam upaya pelestarian terumbu karang perlu dilakukan pemantauan, agar
perubahan kondisinya terdokumentasi. Data dan informasi mengenai kondisi terumbu karang
yang disajikan secara berkelanjutan setiap tahunnya dapat digunakan sebagai bahan dalam
menentukan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk upaya pengelolaannya.
Terumbu karang tidak terlepas dari keberadaan padang lamun dan mangrove sebagai
satu kesatuan ekosistem pesisir. Siklus kehidupan biota laut, terutama aliran bahan organik
dan nutrisi prosesnya banyak terjadi di ketiga sistem tersebut. Sebagai contoh, daun
mangrove dan batangnya yang terbawa oleh air laut akan diurai oleh bakteri dan jamur serta
menghasilkan nutrisi yang berguna bagi hewan dan tanaman dilaut. Hal yang sama juga
dialami oleh algae di karang dan lamun yang dapat dimakan oleh siput, ikan, atau penyu.
Oleh karena itu, karena keterkaitan tersebut maka dalam penelitian ini di pantau juga kondisi
padang lamun dan mangrove sebagai satu kesatuan ekosistem pesisir bersamaan dengan
terumbu karang.
Dengan melakukan pemantauan ekosistem pesisir secara berkala, maka dapat
diketahui kondisi terkini dan perubahan yang terjadi di suatu lokasi sehingga dapat membantu
pengambil kebijakan dalam melakukan langkah-langkah pengelolaan daerah pesisir yang
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 5
lebih baik. Dengan demikian diharapkan kekayaan sumberdaya pesisir di lokasi tersebut
dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan tetap memperhatikan kelestariannya.
1.4.2. Metode
Lokasi yang diamati masuk dalam zona kawasan konservasi laut, terletak di pesisir
timur Pulau Bintan Kecamatan Bintan Timur, Pulau Mapur, Pulau Erapas, Pulau Numbing,
yang merupakan stasiun lama pada COREMAP II, dan stasiun tambahan di Pulau Pangkil.
Posisi stasiun ditentukan dengan menggunakan GPS. Secara umum, peta lokasi penelitian
dapat dilihat dalam Gambar 1.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.
1.4.2.1. Sistem Informasi Geografi (SIG)
1.4.2.1.1.Pra-pemrosesan
Untuk keperluan peta habitat laut dangkal, data citra penginderaan jauh (indraja)
digunakan sebagai data dasar. Data citra inderaja yang dipakai dalam studi ini adalah citra
perairan lepas. Diketahui, di daerah pesisir ditemukan ekosistem yang berfungsi disamping
sebagai pemasok sumberdaya pangan, juga sebagai pertahanan maupun peredam terhadap
tekanan fisik dari laut. Ketiga ekosistem tersebut secara berurut dari darat ke laut, ekosistem
mangrove, padang lamun dan ekosistem terumbu karang, yang mana saling memiliki
keterkaitan satu dengan lainnya. Pada umumnya ke tiga ekosistem ini ditemukan di perairan
pesisir wilayah kepulauan Indonesia. Eksploitasi maupun pengrusakan secara berlebihan pada
salah satu ekosistem tersebut, dapat berujung pada musnahnya salah satu mata rantai
makanan yang ada di dalamnya, dengan demikian keseimbangan ekologisnya terganggu,
bahkan dapat menyebabkan hilang atau punahnya biota yang ada didalam ekosistem tersebut.
Jalan keluar terbaik ialah, harus ada pemantauan yang yang intensif, untuk mengantisipasi
bila ada perubahan yang terjadi, dapat dicari jalan keluar yang tepat guna kelestariannya di
alam.
Aktivitas manusia secara langsung maupun tidak langsung, berpengaruh terhadap
kerusakan terumbu karang. Potensi ancaman terumbu karang akibat aktivitas manusia dapat
berupa pembangunan di kawasan pesisir, polusi akibat aktivitas di laut, penangkapan ikan
yang berlebihan dan merusak, serta polusi dan sedimen dari daratan (Burke dan Selig, 2000).
Oleh karena itu, dalam upaya pelestarian terumbu karang perlu dilakukan pemantauan, agar
perubahan kondisinya terdokumentasi. Data dan informasi mengenai kondisi terumbu karang
yang disajikan secara berkelanjutan setiap tahunnya dapat digunakan sebagai bahan dalam
menentukan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk upaya pengelolaannya.
Terumbu karang tidak terlepas dari keberadaan padang lamun dan mangrove sebagai
satu kesatuan ekosistem pesisir. Siklus kehidupan biota laut, terutama aliran bahan organik
dan nutrisi prosesnya banyak terjadi di ketiga sistem tersebut. Sebagai contoh, daun
mangrove dan batangnya yang terbawa oleh air laut akan diurai oleh bakteri dan jamur serta
menghasilkan nutrisi yang berguna bagi hewan dan tanaman dilaut. Hal yang sama juga
dialami oleh algae di karang dan lamun yang dapat dimakan oleh siput, ikan, atau penyu.
Oleh karena itu, karena keterkaitan tersebut maka dalam penelitian ini di pantau juga kondisi
padang lamun dan mangrove sebagai satu kesatuan ekosistem pesisir bersamaan dengan
terumbu karang.
Dengan melakukan pemantauan ekosistem pesisir secara berkala, maka dapat
diketahui kondisi terkini dan perubahan yang terjadi di suatu lokasi sehingga dapat membantu
pengambil kebijakan dalam melakukan langkah-langkah pengelolaan daerah pesisir yang
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 20146
pada perairan dangkal (Campbell, 1996). Saluran inframerah dekat, digunakan untuk
membatasi wilayah daratan dan perairan karena spektrum tersebut diserap oleh air sehingga
pada citra berwarna gelap (hitam). Perbedaan warna yang kontras tersebut (gelap dan terang)
memudahkan pembedaan wilayah daratan dan perairan pada citra satelit.
Pembedaan objek vegetasi mangrove dengan vegetasi lainnya dilakukan dengan
memanfaatkan komposit citra RGB 567. Saluran 5 merupakan spektrum inframerah dekat
yang peka terhadap pantulan spektral vegetasi yang berhubungan dengan struktur internal
daun. Saluran 6 dan 7 merupakan saluran inframerah tengah yang peka terhadap kelembaban
lahan. Mangrove tumbuh pada lahan basah, sehingga dapat dibedakan dengan vegetasi
lainnya menggunakan saluran tersebut. Ciri khas lahan yang ditumbuhi mangrove pada citra
komposit saluran 567 adalah berwarna oranye gelap (gambar 2). Warna oranye mewakili
warna vegetasi yang ditonjolkan oleh saluran 5, dan warna gelap menunjukkan pada objek
tersebut terletak pada lahan yang basah.
1.4.2.1.3. Pemetaan mangrove
Pemetaan mangrove dilakukan menggunakan citra landsat 8 liputan September 2014
melalui komposit saluran (band) 5,6 dan 3. Mangrove merupakan vegetasi yang mempunyai
kaandungan klorofil sangat tinggi dibanding vegetasi lain di sekitarnya. Pada citra komposit
tersebut akan terlihat sebaran mangrove di Pulau Bintan. Selanjutnya menggunakan metode
digitasi manual, akan diperoleh penyebaran vegetasi mangrove beserta luasannya.
1.4.2.1.4.Pemetaan substrat dasar perairan
Metode analisis dilakukan menggunakan metode penginderaan jauh. Bahan yang
digunakan untuk memetakan habitat perairan dangkal dan mangrove di Pulaun Bintan adalah
citra satelit LANDSAT 8 path/row 125/59 perekaman September 2014. Pemetaan habitat
perairan dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan klasifikasi multispektral.
Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan kolom air, sehingga objek
dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman yang digunakan adalah
transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Lyzenga (1981)
dan Principal Component Analysis (PCA) untuk menghasilkan beberapa citra yang tidak
berkorelasi karena data citra multispektral seringkali berkorelasi tinggi antar tiap piksel pada
saluran (band) yang berbeda . Klasifikasi multispektral dilakukan untuk mengelompokkan
piksel citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi beberapa kelompok
digital Landsat 8 pada saluran spektrum tampak, saluran infra-merah dekat, serta saluran
inframerah tengah (band 2, 3, 4, 5, 6, dan 7). Sedangkan saluran inframerah dekat dan tengah
(saluran 5 serta 6 dan 7) tetap dipakai karena band 5 masih berguna untuk perairan dangkal,
serta band 6 dan 7 berguna untuk membedakan ekosistim mangrove. Citra yang digunakan
adalah citra dengan cakupan penuh (full scene) yaitu 185 km x 185 km persegi. Ukuran
piksel, besarnya unit areal di permukaan bumi yang diwakili oleh satu nilai digital citra, pada
saluran multispektral adalah 30 m x 30 m persegi. Selain saluran multispektral, Landsat 8
juga memiliki spektrum tampak dengan ukuran piksel atau resolusi spasial 15 m x 15 m
persegi, yaitu pada saluran 8. Pada kegiatan ini, citra multispektral yang digunakan di
tajamkan terlebih dahulu dengan meningkatkan resolusi spasialnya menjadi 15 m x 15 m
dengan memanfaatkan saluran 8 melalui proses pan-sharpening.
Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah GPS Garmin 76 C dan
catatan lapangan, sedangkan wahana penelitian adalah perahu yang memungkinkan
menembus perairan dangkal dan penjelajahan lapangan (tanpa wahana perahu) yang hanya
bisa dilakukan pada saat laut sedang surut. Metode yang dipergunakan adalah ground truth,
yakni mendiskripsi secara visual jenis substrat dasar perairan meliputi komposisi persentase
material penyusun pada bentangan 15 m x 15 m, sedangkan posisi geografis dicatat
menggunakan GPS dalam format derajad, desimal berdasar datum WGS 84.
1.4.2.1.2. Interpretasi Citra
Pemetaan habitat laut dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan
klasifikasi multispektral. Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan
kolom air, sehingga objek dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman
yang digunakan adalah transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang
dikembangkan oleh Lyzenga (1981). Klasifikasi multispektral dilakukan untuk
mengelompokkan piksel citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi
beberapa kelompok berdasarkan objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar laut
dangkal. Teknik klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi multispektral terbimbing
dengan algoritma maximum likelihood. Saluran panjang gelombang yang digunakan untuk
pemetaan laut dangkal adalah saluran biru (saluran 2), saluran hijau (saluran 3), saluran
merah (saluran 4), dan saluran inframerah dekat (saluran 5). Saluran biru, hijau, dan merah
merupakan spektrum tampak. Spektrum tampak memiliki kemampuan yang baik untuk
berpenetrasi ke dalam kolom air, sehingga dapat digunakan untuk membedakan objek sebatas
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 7
pada perairan dangkal (Campbell, 1996). Saluran inframerah dekat, digunakan untuk
membatasi wilayah daratan dan perairan karena spektrum tersebut diserap oleh air sehingga
pada citra berwarna gelap (hitam). Perbedaan warna yang kontras tersebut (gelap dan terang)
memudahkan pembedaan wilayah daratan dan perairan pada citra satelit.
Pembedaan objek vegetasi mangrove dengan vegetasi lainnya dilakukan dengan
memanfaatkan komposit citra RGB 567. Saluran 5 merupakan spektrum inframerah dekat
yang peka terhadap pantulan spektral vegetasi yang berhubungan dengan struktur internal
daun. Saluran 6 dan 7 merupakan saluran inframerah tengah yang peka terhadap kelembaban
lahan. Mangrove tumbuh pada lahan basah, sehingga dapat dibedakan dengan vegetasi
lainnya menggunakan saluran tersebut. Ciri khas lahan yang ditumbuhi mangrove pada citra
komposit saluran 567 adalah berwarna oranye gelap (gambar 2). Warna oranye mewakili
warna vegetasi yang ditonjolkan oleh saluran 5, dan warna gelap menunjukkan pada objek
tersebut terletak pada lahan yang basah.
1.4.2.1.3. Pemetaan mangrove
Pemetaan mangrove dilakukan menggunakan citra landsat 8 liputan September 2014
melalui komposit saluran (band) 5,6 dan 3. Mangrove merupakan vegetasi yang mempunyai
kaandungan klorofil sangat tinggi dibanding vegetasi lain di sekitarnya. Pada citra komposit
tersebut akan terlihat sebaran mangrove di Pulau Bintan. Selanjutnya menggunakan metode
digitasi manual, akan diperoleh penyebaran vegetasi mangrove beserta luasannya.
1.4.2.1.4.Pemetaan substrat dasar perairan
Metode analisis dilakukan menggunakan metode penginderaan jauh. Bahan yang
digunakan untuk memetakan habitat perairan dangkal dan mangrove di Pulaun Bintan adalah
citra satelit LANDSAT 8 path/row 125/59 perekaman September 2014. Pemetaan habitat
perairan dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan klasifikasi multispektral.
Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan kolom air, sehingga objek
dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman yang digunakan adalah
transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Lyzenga (1981)
dan Principal Component Analysis (PCA) untuk menghasilkan beberapa citra yang tidak
berkorelasi karena data citra multispektral seringkali berkorelasi tinggi antar tiap piksel pada
saluran (band) yang berbeda . Klasifikasi multispektral dilakukan untuk mengelompokkan
piksel citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi beberapa kelompok
digital Landsat 8 pada saluran spektrum tampak, saluran infra-merah dekat, serta saluran
inframerah tengah (band 2, 3, 4, 5, 6, dan 7). Sedangkan saluran inframerah dekat dan tengah
(saluran 5 serta 6 dan 7) tetap dipakai karena band 5 masih berguna untuk perairan dangkal,
serta band 6 dan 7 berguna untuk membedakan ekosistim mangrove. Citra yang digunakan
adalah citra dengan cakupan penuh (full scene) yaitu 185 km x 185 km persegi. Ukuran
piksel, besarnya unit areal di permukaan bumi yang diwakili oleh satu nilai digital citra, pada
saluran multispektral adalah 30 m x 30 m persegi. Selain saluran multispektral, Landsat 8
juga memiliki spektrum tampak dengan ukuran piksel atau resolusi spasial 15 m x 15 m
persegi, yaitu pada saluran 8. Pada kegiatan ini, citra multispektral yang digunakan di
tajamkan terlebih dahulu dengan meningkatkan resolusi spasialnya menjadi 15 m x 15 m
dengan memanfaatkan saluran 8 melalui proses pan-sharpening.
Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah GPS Garmin 76 C dan
catatan lapangan, sedangkan wahana penelitian adalah perahu yang memungkinkan
menembus perairan dangkal dan penjelajahan lapangan (tanpa wahana perahu) yang hanya
bisa dilakukan pada saat laut sedang surut. Metode yang dipergunakan adalah ground truth,
yakni mendiskripsi secara visual jenis substrat dasar perairan meliputi komposisi persentase
material penyusun pada bentangan 15 m x 15 m, sedangkan posisi geografis dicatat
menggunakan GPS dalam format derajad, desimal berdasar datum WGS 84.
1.4.2.1.2. Interpretasi Citra
Pemetaan habitat laut dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan
klasifikasi multispektral. Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan
kolom air, sehingga objek dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman
yang digunakan adalah transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang
dikembangkan oleh Lyzenga (1981). Klasifikasi multispektral dilakukan untuk
mengelompokkan piksel citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi
beberapa kelompok berdasarkan objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar laut
dangkal. Teknik klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi multispektral terbimbing
dengan algoritma maximum likelihood. Saluran panjang gelombang yang digunakan untuk
pemetaan laut dangkal adalah saluran biru (saluran 2), saluran hijau (saluran 3), saluran
merah (saluran 4), dan saluran inframerah dekat (saluran 5). Saluran biru, hijau, dan merah
merupakan spektrum tampak. Spektrum tampak memiliki kemampuan yang baik untuk
berpenetrasi ke dalam kolom air, sehingga dapat digunakan untuk membedakan objek sebatas
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 20148
pengambilan foto pada meter ke-2 pada bagian sebelah kanan garis transek (bagian yang
lebih jauh dengan daratan) sebagai ”Frame 2” dan seterusnya Pemotretan dilakukan pada
panjang transek 50 m dimulai dari frame ke-1 hingga ke-50 dengan luas bidang pemotretan
minimal 1200 cm2
untuk setriap framenya. Kegiatan ini dilakukan dengan penyelaman
dengan menggunakan peralatan selam SCUBA.
Teknik analisis foto menggunakan 30 sampel titik acak dari masing=masing frame.
Luas bidang 1200 cm2
per frame dapat dihasilkan dari pemotretan menggunakan kamera SW
dengan jarak pemotretan 60 cm dari dasar dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom).
Untuk kegiatan kali ini, digunakan kamera Canon G 15 atau Canon G 1X. Jika menggunakan
kamera tipe lain, maka jarak pemotretan atau zoom diatur sedemikian rupa sehingga luas
bidang pemotretannya per framenya minimal = (40 cm x 30 cm) = 1200 cm2. Pilihan ini
digunakan bila ingin mengetahui persentase tutupan kelompok biota dan substrat sekaligus,
dimana biota dan substrat dikelompokkan kedalam lima kelompok yaitu Karang keras (HC),
Karang mati (DS), Alga (ALG), Fauna lain (OF) dan Abiotik (ABI).
Penarikan sampel di lapangan dengan menggunakan metode UPT, datanya hanyalah
berupa foto-foto hasil pemotretan bawah air. Selanjutnya foto-foto tersebut masih perlu
dianalisis di darat (ruang kerja) dengan menggunakan komputer untuk mendapatkan data-data
yang kuantitatif.
1.4.2.3. Ikan Karang
Metode yang digunakan dalam melakukan pemantauan ikan karang adalah metode
Underwater Visual Census (UVC) yang sudah dimodifikasi (Dartnall and Jones, 1986).
Pemantauan dilakukan di garis transek yang sama dengan kegiatan penelitian karang, agar
sekaligus mendapatkan data bentik yang menggambarkan habitatnya. Penamaan ikan karang
mengacu pada buku panduan ikan karang (Allen & Swainston, 1993; Allen & Steene, 1996;
Allen, 1999; Allen et al., 2003; Kuiter & Debelius, 1994).
Jenis ikan yang diamati dalam penelitian ini dibatasi pada semua jenis ikan
indikator (suku Chaetodontidae), dan ikan-ikan target (6 suku), dari suku: Haemulidae,
Lutjanidae, Lethrinidae, Scaridae, Serranidae, dan Siganidae. Hal ini lebih untuk melihat
dampak antara kedua kelompok ikan ini terhadap kondisi terumbu karang, mengingat
kelompok ikan indikator sebagian besar merupakan ikan pemakan polip karang. Sedangkan
ikan target adalah kelompok ikan pangan yang memiliki nilai ekonomis, baik itu untuk
berdasarkan objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar perairan dangkal. Teknik
klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi multispektral terbimbing dengan algoritma
maximum likelihood. Saluran panjang gelombang yang digunakan untuk pemetaan perairan
dangkal adalah saluran biru (saluran 2), saluran hijau (saluran 3), saluran merah (saluran 4),
dan saluran inframerah dekat (saluran 5). Saluran biru, hijau, dan merah merupakan spektrum
tampak. Spektrum tampak memiliki kemampuan yang baik untuk berpenetrasi ke dalam
kolom air, sehingga dapat digunakan untuk membedakan objek sebatas pada perairan dangkal
(Campbell, 1996). Saluran inframerah dekat, digunakan untuk membatasi wilayah daratan
dan perairan karena spektrum tersebut diserap oleh air sehingga pada citra berwarna gelap
(hitam). Perbedaan warna yang kontras tersebut (gelap dan terang) memudahkan pembedaan
wilayah daratan dan perairan pada citra satelit.
Pembedaan objek vegetasi mangrove dengan vegetasi lainnya dilakukan dengan
memanfaatkan komposit citra RGB 563. Saluran 5 merupakan saluran inframerah dekat
(0,76–0,90 um) yang peka terhadap pantulan spektral vegetasi yang berhubungan dengan
struktur internal daun. Pada saluran ini vegetasi mangrove dapat diidentifikasi berdasarkan
diversivitasnya (keanekaragaman jenis). Hal ini terkait dengan adanya perbedaan struktur
internal dari vegetasi mangrove. Saluran inframerah tengah (1,55–1,75 um) memiliki
karakteristik pancaran vegetasi yang dipengaruhi oleh serapan air sehingga tumbuhan
mangrove akan memberikan warna dan rona yang gelap. Hal ini disebabkan karena tumbuhan
mangrove pada umumnya mengandung air dalam jumlah yang besar (Sato, 1996 dalam
Hudaya, 2004).
Survei lapangan digunakan untuk mengetahui kenampakan sebenarnya dilapangan
yang terekam oleh citra satelit. Pengambilan titik pengamatan dilakukan secara sistematis
dengan membuat jalur transek mulai dari garis pantai hingga ujung terumbu atau tubir.
Pengamatan dilakukan menggunakan teknik snorkeling serta berhenti sejenak untuk mencatat
ketika terjadi perubahan kenampakan didasar perairan. Setiap titik pengamatan dicatat
lokasinya menggunakan alat receiver GPS. Data dan lokasi penyebaran stasiun pengamatan
disajikan pada Gambar 3.
1.4.2.2. Karang
Metode yang digunakan ialah dengan UPT (Underwater Photo Transect), dengan
bantuan bingkai (frame) ukuran 44 x 58 cm.. Pita transek dibentangkan sepanjang 50 meter,
sejajar garis pantai. Pemotretan dimulai dari meter ke 1 pada bagian sebelah kiri garis transek
(bagian yang lebih dekat dengan daratan) sebagai ”Frame 1” , dilanjutkan dengan
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 9
pengambilan foto pada meter ke-2 pada bagian sebelah kanan garis transek (bagian yang
lebih jauh dengan daratan) sebagai ”Frame 2” dan seterusnya Pemotretan dilakukan pada
panjang transek 50 m dimulai dari frame ke-1 hingga ke-50 dengan luas bidang pemotretan
minimal 1200 cm2
untuk setriap framenya. Kegiatan ini dilakukan dengan penyelaman
dengan menggunakan peralatan selam SCUBA.
Teknik analisis foto menggunakan 30 sampel titik acak dari masing=masing frame.
Luas bidang 1200 cm2
per frame dapat dihasilkan dari pemotretan menggunakan kamera SW
dengan jarak pemotretan 60 cm dari dasar dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom).
Untuk kegiatan kali ini, digunakan kamera Canon G 15 atau Canon G 1X. Jika menggunakan
kamera tipe lain, maka jarak pemotretan atau zoom diatur sedemikian rupa sehingga luas
bidang pemotretannya per framenya minimal = (40 cm x 30 cm) = 1200 cm2. Pilihan ini
digunakan bila ingin mengetahui persentase tutupan kelompok biota dan substrat sekaligus,
dimana biota dan substrat dikelompokkan kedalam lima kelompok yaitu Karang keras (HC),
Karang mati (DS), Alga (ALG), Fauna lain (OF) dan Abiotik (ABI).
Penarikan sampel di lapangan dengan menggunakan metode UPT, datanya hanyalah
berupa foto-foto hasil pemotretan bawah air. Selanjutnya foto-foto tersebut masih perlu
dianalisis di darat (ruang kerja) dengan menggunakan komputer untuk mendapatkan data-data
yang kuantitatif.
1.4.2.3. Ikan Karang
Metode yang digunakan dalam melakukan pemantauan ikan karang adalah metode
Underwater Visual Census (UVC) yang sudah dimodifikasi (Dartnall and Jones, 1986).
Pemantauan dilakukan di garis transek yang sama dengan kegiatan penelitian karang, agar
sekaligus mendapatkan data bentik yang menggambarkan habitatnya. Penamaan ikan karang
mengacu pada buku panduan ikan karang (Allen & Swainston, 1993; Allen & Steene, 1996;
Allen, 1999; Allen et al., 2003; Kuiter & Debelius, 1994).
Jenis ikan yang diamati dalam penelitian ini dibatasi pada semua jenis ikan
indikator (suku Chaetodontidae), dan ikan-ikan target (6 suku), dari suku: Haemulidae,
Lutjanidae, Lethrinidae, Scaridae, Serranidae, dan Siganidae. Hal ini lebih untuk melihat
dampak antara kedua kelompok ikan ini terhadap kondisi terumbu karang, mengingat
kelompok ikan indikator sebagian besar merupakan ikan pemakan polip karang. Sedangkan
ikan target adalah kelompok ikan pangan yang memiliki nilai ekonomis, baik itu untuk
berdasarkan objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar perairan dangkal. Teknik
klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi multispektral terbimbing dengan algoritma
maximum likelihood. Saluran panjang gelombang yang digunakan untuk pemetaan perairan
dangkal adalah saluran biru (saluran 2), saluran hijau (saluran 3), saluran merah (saluran 4),
dan saluran inframerah dekat (saluran 5). Saluran biru, hijau, dan merah merupakan spektrum
tampak. Spektrum tampak memiliki kemampuan yang baik untuk berpenetrasi ke dalam
kolom air, sehingga dapat digunakan untuk membedakan objek sebatas pada perairan dangkal
(Campbell, 1996). Saluran inframerah dekat, digunakan untuk membatasi wilayah daratan
dan perairan karena spektrum tersebut diserap oleh air sehingga pada citra berwarna gelap
(hitam). Perbedaan warna yang kontras tersebut (gelap dan terang) memudahkan pembedaan
wilayah daratan dan perairan pada citra satelit.
Pembedaan objek vegetasi mangrove dengan vegetasi lainnya dilakukan dengan
memanfaatkan komposit citra RGB 563. Saluran 5 merupakan saluran inframerah dekat
(0,76–0,90 um) yang peka terhadap pantulan spektral vegetasi yang berhubungan dengan
struktur internal daun. Pada saluran ini vegetasi mangrove dapat diidentifikasi berdasarkan
diversivitasnya (keanekaragaman jenis). Hal ini terkait dengan adanya perbedaan struktur
internal dari vegetasi mangrove. Saluran inframerah tengah (1,55–1,75 um) memiliki
karakteristik pancaran vegetasi yang dipengaruhi oleh serapan air sehingga tumbuhan
mangrove akan memberikan warna dan rona yang gelap. Hal ini disebabkan karena tumbuhan
mangrove pada umumnya mengandung air dalam jumlah yang besar (Sato, 1996 dalam
Hudaya, 2004).
Survei lapangan digunakan untuk mengetahui kenampakan sebenarnya dilapangan
yang terekam oleh citra satelit. Pengambilan titik pengamatan dilakukan secara sistematis
dengan membuat jalur transek mulai dari garis pantai hingga ujung terumbu atau tubir.
Pengamatan dilakukan menggunakan teknik snorkeling serta berhenti sejenak untuk mencatat
ketika terjadi perubahan kenampakan didasar perairan. Setiap titik pengamatan dicatat
lokasinya menggunakan alat receiver GPS. Data dan lokasi penyebaran stasiun pengamatan
disajikan pada Gambar 3.
1.4.2.2. Karang
Metode yang digunakan ialah dengan UPT (Underwater Photo Transect), dengan
bantuan bingkai (frame) ukuran 44 x 58 cm.. Pita transek dibentangkan sepanjang 50 meter,
sejajar garis pantai. Pemotretan dimulai dari meter ke 1 pada bagian sebelah kiri garis transek
(bagian yang lebih dekat dengan daratan) sebagai ”Frame 1” , dilanjutkan dengan
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201410
Ikan Target : Jumlah ikan dapat dikonversikan ke satuan berat dgn rumus hubungan panjang
berat menurut Hile (1963) dalam Effendie (1997) :
1.4.2.4. Megabentos
Pengamatan megabentos, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting dan
berperan langsung di dalam ekosistem dapat dijadikan indikator dari kesehatan terumbu
karang. Pengamatan dilakukan menggunakan metode Reef Check. Semua fauna yang berada
1 meter di sebelah kiri dan kanan pita berukuran 70 meter tadi dihitung jumlahnya, sehingga
luas bidang yang teramati per-transeknya yaitu (2 x 70 m2) = 140 m2.
Adapun fauna megabentos yang dicatat jenis dan jumlah individunya sepanjang garis
transek terdiri dari :
• Lobster (udang karang)
• ”Banded coral shrimp” (udang karang kecil yang hidup di sela cabang karang
• Acanthaster planci (bintang bulu seribu)
• Diadema setosum (bulu babi hitam)
• “Pencil sea urchin” (bulu babi seperti pensil)
• “Large Holothurian” (teripang ukuran besar)
• “Small Holothurian” (teripang ukuran kecil)
• “Large Giant Clam” (kima ukuran besar)
• “Small Giant Clam” (kima ukuran kecil)
• Trochus niloticus (lola)
• Drupella ( sejenis Gastropoda / keong yang hidup di atas atau di sela-sela karang
terutama karang bercabang)
Data kelimpahan individu dari beberapa megabentos yang ditemukan disajikan dalam bentuk
tabel.
1.4.2.5. Mangrove
Untuk mengetahui struktur dan komposisi mangrove di kawasan lokasi penelitian
akan dilakukan pencuplikan data dengan menggunakan transek. Transek dilakukan dengan
cara membuat garis tegak lurus pantai kearah darat dengan membuat petak-petak (Cox,
1969). Sebelum melakukan pencuplikan data dilakukan pengamatan lapangan yang meliputi
seluruh kawasan hutan yang bertujuan untuk melihat secara umum keadaan fisiognomi dan
komposisi tegakan hutan serta keadaan pasang surutnya.
dikonsumsi masyarakat maupun diperjual belikan. Jadi kedua kelompok ikan ini secara
langsung bisa memberi gambaran mengenai kondisi terumbu karang itu sendiri.
Sensus dilakukan pada garis transek sepanjang 70 m dengan lebar pengamatan 5 m,
sehingga total luas daerah pengamatan pada tiap stasiun adalah 350 m2. Pengamatan
dilakukan pada satu kedalaman berkisar antara 5 – 7 m. Pengamatan ikan karang dibagi
dalam 2 kategori yakni ikan indikator dan ikan target (English et al, 1997). Ikan indikator
adalah jenis ikan yang hidupnya sangat erat berasosiasi dengan ikan karang, dalam hal ini
hanya satu suku yakni ikan kepe-kepe (Chaetodontidae).
Ikan target adalah jenis-jenis ikan pangan yang bernilai ekonomis. Kelompok Ikan Target
Utama terdiri dari beberapa Suku/Family yakni :
1. Ikan Kakap (Lutjanidae),
2. Ikan Kerapu (Serranidae),
3. Ikan Bibir tebal (Haemulidae),
4. Ikan Beronang (Siganidae).
5. Ikan Lencam (Lethrinidae)
6. Ikan Ikan Hiu, Ikan Pari serta Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) termasuk
kategori ikan target Utama
Sedangkan Kelompok ikan Target lainnya adalah ikan dari suku/Family :
Caesionidae, Acanthuridae, Labridae, Scaridae, Scolopsidae, Holocentridae, Ephipidae,
Carangidae dan Nemipteridae
Analisa
Perkiraan potensi dihitung berdasarkan rumus Gulland (1975) :
1.Kepadatan Individu/ densitas (ikan/m2),
2.Sediaan cadang (standing stock),
dimana; D = Densitas (kepadatan individu suatu jenis ikan)
N = Jumlah individu satu jenis ikan hasil sensus
S = Sediaan cadangan (standing stock)
L = Panjang garis transek (70 m)
W = Lebar areal observasi (5 m)
A = Luas area terumbu karang (ha) pada suatu kedalaman (hasil
interpertasi Citra)
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 11
Ikan Target : Jumlah ikan dapat dikonversikan ke satuan berat dgn rumus hubungan panjang
berat menurut Hile (1963) dalam Effendie (1997) :
1.4.2.4. Megabentos
Pengamatan megabentos, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting dan
berperan langsung di dalam ekosistem dapat dijadikan indikator dari kesehatan terumbu
karang. Pengamatan dilakukan menggunakan metode Reef Check. Semua fauna yang berada
1 meter di sebelah kiri dan kanan pita berukuran 70 meter tadi dihitung jumlahnya, sehingga
luas bidang yang teramati per-transeknya yaitu (2 x 70 m2) = 140 m2.
Adapun fauna megabentos yang dicatat jenis dan jumlah individunya sepanjang garis
transek terdiri dari :
• Lobster (udang karang)
• ”Banded coral shrimp” (udang karang kecil yang hidup di sela cabang karang
• Acanthaster planci (bintang bulu seribu)
• Diadema setosum (bulu babi hitam)
• “Pencil sea urchin” (bulu babi seperti pensil)
• “Large Holothurian” (teripang ukuran besar)
• “Small Holothurian” (teripang ukuran kecil)
• “Large Giant Clam” (kima ukuran besar)
• “Small Giant Clam” (kima ukuran kecil)
• Trochus niloticus (lola)
• Drupella ( sejenis Gastropoda / keong yang hidup di atas atau di sela-sela karang
terutama karang bercabang)
Data kelimpahan individu dari beberapa megabentos yang ditemukan disajikan dalam bentuk
tabel.
1.4.2.5. Mangrove
Untuk mengetahui struktur dan komposisi mangrove di kawasan lokasi penelitian
akan dilakukan pencuplikan data dengan menggunakan transek. Transek dilakukan dengan
cara membuat garis tegak lurus pantai kearah darat dengan membuat petak-petak (Cox,
1969). Sebelum melakukan pencuplikan data dilakukan pengamatan lapangan yang meliputi
seluruh kawasan hutan yang bertujuan untuk melihat secara umum keadaan fisiognomi dan
komposisi tegakan hutan serta keadaan pasang surutnya.
dikonsumsi masyarakat maupun diperjual belikan. Jadi kedua kelompok ikan ini secara
langsung bisa memberi gambaran mengenai kondisi terumbu karang itu sendiri.
Sensus dilakukan pada garis transek sepanjang 70 m dengan lebar pengamatan 5 m,
sehingga total luas daerah pengamatan pada tiap stasiun adalah 350 m2. Pengamatan
dilakukan pada satu kedalaman berkisar antara 5 – 7 m. Pengamatan ikan karang dibagi
dalam 2 kategori yakni ikan indikator dan ikan target (English et al, 1997). Ikan indikator
adalah jenis ikan yang hidupnya sangat erat berasosiasi dengan ikan karang, dalam hal ini
hanya satu suku yakni ikan kepe-kepe (Chaetodontidae).
Ikan target adalah jenis-jenis ikan pangan yang bernilai ekonomis. Kelompok Ikan Target
Utama terdiri dari beberapa Suku/Family yakni :
1. Ikan Kakap (Lutjanidae),
2. Ikan Kerapu (Serranidae),
3. Ikan Bibir tebal (Haemulidae),
4. Ikan Beronang (Siganidae).
5. Ikan Lencam (Lethrinidae)
6. Ikan Ikan Hiu, Ikan Pari serta Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) termasuk
kategori ikan target Utama
Sedangkan Kelompok ikan Target lainnya adalah ikan dari suku/Family :
Caesionidae, Acanthuridae, Labridae, Scaridae, Scolopsidae, Holocentridae, Ephipidae,
Carangidae dan Nemipteridae
Analisa
Perkiraan potensi dihitung berdasarkan rumus Gulland (1975) :
1.Kepadatan Individu/ densitas (ikan/m2),
2.Sediaan cadang (standing stock),
dimana; D = Densitas (kepadatan individu suatu jenis ikan)
N = Jumlah individu satu jenis ikan hasil sensus
S = Sediaan cadangan (standing stock)
L = Panjang garis transek (70 m)
W = Lebar areal observasi (5 m)
A = Luas area terumbu karang (ha) pada suatu kedalaman (hasil
interpertasi Citra)
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201412
Tabel 1. Kriteria status padang lamun
Kondisi Penutupan (%) Baik Kaya/ Sehat ≥ 60
Jelek Kurang kaya/ Kurang sehat 30 – 59,9
Miskin ≤ 29,9
1.5. Pelaksana Kegiatan
Penelitian ini melibatkan staf peneliti dan teknisi dari Pusat Penelitian Oseanografi –
LIPI serta dibantu oleh staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan.. Bidang kajian
yang terlibat antara lain:
- Bidang Karang
- Bidang Ikan Karang
- Bidang Megabentos
- Bidang Lamun
- Bidang Mangrove
- Bidang Penginderaan Jauh dan GIS
- Data Entry
Data vegetasi dari setiap transek dicuplik dengan menggunakan metode kuadrat (Qosting
1956) yang ukurannya sebagai berikut :
- 10 x 10 meter untuk pohon (diameter batang > 10 cm),
- 5 x 5 meter untuk anak pohon (diameter 2 - < 10 cm)
- 1 x 1 meter untuk semai (diameter 2 cm dan kurang dari 1,5 meter).
Pada setiap petak tersebut semua tegakan diidentifikasi jenisnya, diukur diameternya dan
tingginya serta dihitung jumlah individu masing-masing jenis. Data yang diperoleh dianalisa
dengan cara Cox (1967).
1.4.2.6. Lamun
Transek permanen sepanjang 50 m diletakkan pada padang lamun dengan persentase
penutupan yang relatif homogen. Tiga titik permanen dibuat dengan patok besi pada titik 0 m,
25 m, dan 50 m (Gambar 2).
Keterangan: = titik permanen
Gambar 2. Skema transek permanen lamun
Posisi transek berada relatif dekat pantai. Kemudian, koordinat setiap transek dicatat
dengan menggunakan GPS. Parameter yang dihitung adalah persentase penutupan dan
panjang daun setiap jenis lamun yang dominan pada suatu transek permanen. Frame
berukuran 0,25 m2 diletakan secara acak dengan 12 kali pengulangan untuk menentukan
penutupan total lamun dan penutupan lamun perjenis. Sampel lamun untuk pengukuran
panjang diambil secara acak pada awal, tengah, dan akhir transek. Kriteria kondisi lamun
berdasarkan penutupan mengacu pada KepMenLH nomor 200 tahun 2004 tentang Kriteria
Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 13
Tabel 1. Kriteria status padang lamun
Kondisi Penutupan (%) Baik Kaya/ Sehat ≥ 60
Jelek Kurang kaya/ Kurang sehat 30 – 59,9
Miskin ≤ 29,9
1.5. Pelaksana Kegiatan
Penelitian ini melibatkan staf peneliti dan teknisi dari Pusat Penelitian Oseanografi –
LIPI serta dibantu oleh staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan.. Bidang kajian
yang terlibat antara lain:
- Bidang Karang
- Bidang Ikan Karang
- Bidang Megabentos
- Bidang Lamun
- Bidang Mangrove
- Bidang Penginderaan Jauh dan GIS
- Data Entry
Data vegetasi dari setiap transek dicuplik dengan menggunakan metode kuadrat (Qosting
1956) yang ukurannya sebagai berikut :
- 10 x 10 meter untuk pohon (diameter batang > 10 cm),
- 5 x 5 meter untuk anak pohon (diameter 2 - < 10 cm)
- 1 x 1 meter untuk semai (diameter 2 cm dan kurang dari 1,5 meter).
Pada setiap petak tersebut semua tegakan diidentifikasi jenisnya, diukur diameternya dan
tingginya serta dihitung jumlah individu masing-masing jenis. Data yang diperoleh dianalisa
dengan cara Cox (1967).
1.4.2.6. Lamun
Transek permanen sepanjang 50 m diletakkan pada padang lamun dengan persentase
penutupan yang relatif homogen. Tiga titik permanen dibuat dengan patok besi pada titik 0 m,
25 m, dan 50 m (Gambar 2).
Keterangan: = titik permanen
Gambar 2. Skema transek permanen lamun
Posisi transek berada relatif dekat pantai. Kemudian, koordinat setiap transek dicatat
dengan menggunakan GPS. Parameter yang dihitung adalah persentase penutupan dan
panjang daun setiap jenis lamun yang dominan pada suatu transek permanen. Frame
berukuran 0,25 m2 diletakan secara acak dengan 12 kali pengulangan untuk menentukan
penutupan total lamun dan penutupan lamun perjenis. Sampel lamun untuk pengukuran
panjang diambil secara acak pada awal, tengah, dan akhir transek. Kriteria kondisi lamun
berdasarkan penutupan mengacu pada KepMenLH nomor 200 tahun 2004 tentang Kriteria
Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun.
BAB II. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan kegiatan studi baseline di perairan Bintan Tuimur dan sekitarnya, selanjutnya akan diuraikan berdasarkan masing-masing bidang penelitian.
2.1. S.I.G
Sebaran habitat laut dangkal dipetakan menggunakan Citra Landsat, merupakan citra
Landsat 8 level 1T, artinya citra sudah dikoreksi geometrinya dengan memasukkan posisi
atau koordinat geografis yang mempertimbangkan juga pergeseran yang diakibatkan oleh
bentuk relief permukaan bumi. Jika dibandingkan dengan pencatatan koordinat melalui GPS
receiver di lapangan, citra yang digunakan sudah memiliki geometri yang baik. Hal tersebut
ditunjukkan dengan kesesuaian posisi koordinat antara objek di citra maupun di lapangan.
Berdasarkan hasil analisis citra dan dibantu dengan uji/cek lapangan (ground truth), dapat
dibuat peta habitat perairan dangkal dan mangrove.
2.1.1. Peta Habitat Perairan Dangkal
Habitat laut dangkal yang dapat dipetakan terdiri dari tiga kelas yaitu karang,
makroalgae, dan substrat terbuka. Habitat karang pada peta ini merupakan hamparan yang
didominasi oleh karang hidup serta karang mati baik yang tertutup algae maupun tidak.
Habitat tersebut biasanya ditemui pada ujung wilayah rataan terumbu yang menghadap ke
arah laut, mulai dari reef crest, tubir (reef edge) hingga lereng terumbu (reef slope).
Makroalgae merupakan hamparan yang didominasi oleh makroalgae dengan tutupan karang
hidup yang sedikit. Substrat terbuka pada peta merupakan permukaan dasar perairan yang
tidak didominasi oleh tutupan biota maupun vegetasi, dapat berupa pasir, batu, maupun
lumpur. Habitat perairan dangkal yang diperoleh, terdiri atas 4 klas yang disajikan pada Tabel
2, sedangkan peta habitat perairan laut dangkal yang terbentuk, disajikan pada Gambar 3.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 15
BAB II. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan kegiatan studi baseline di perairan Bintan Tuimur dan sekitarnya, selanjutnya akan diuraikan berdasarkan masing-masing bidang penelitian.
2.1. S.I.G
Sebaran habitat laut dangkal dipetakan menggunakan Citra Landsat, merupakan citra
Landsat 8 level 1T, artinya citra sudah dikoreksi geometrinya dengan memasukkan posisi
atau koordinat geografis yang mempertimbangkan juga pergeseran yang diakibatkan oleh
bentuk relief permukaan bumi. Jika dibandingkan dengan pencatatan koordinat melalui GPS
receiver di lapangan, citra yang digunakan sudah memiliki geometri yang baik. Hal tersebut
ditunjukkan dengan kesesuaian posisi koordinat antara objek di citra maupun di lapangan.
Berdasarkan hasil analisis citra dan dibantu dengan uji/cek lapangan (ground truth), dapat
dibuat peta habitat perairan dangkal dan mangrove.
2.1.1. Peta Habitat Perairan Dangkal
Habitat laut dangkal yang dapat dipetakan terdiri dari tiga kelas yaitu karang,
makroalgae, dan substrat terbuka. Habitat karang pada peta ini merupakan hamparan yang
didominasi oleh karang hidup serta karang mati baik yang tertutup algae maupun tidak.
Habitat tersebut biasanya ditemui pada ujung wilayah rataan terumbu yang menghadap ke
arah laut, mulai dari reef crest, tubir (reef edge) hingga lereng terumbu (reef slope).
Makroalgae merupakan hamparan yang didominasi oleh makroalgae dengan tutupan karang
hidup yang sedikit. Substrat terbuka pada peta merupakan permukaan dasar perairan yang
tidak didominasi oleh tutupan biota maupun vegetasi, dapat berupa pasir, batu, maupun
lumpur. Habitat perairan dangkal yang diperoleh, terdiri atas 4 klas yang disajikan pada Tabel
2, sedangkan peta habitat perairan laut dangkal yang terbentuk, disajikan pada Gambar 3.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201416
2.1.2. Pengelompokan data
Substrat dasar suatu perairan dangkal umumnya sangat bervariasi, dapat tersusun oleh
hanya satu jenis material baik pasir mapun karang yang homogen hingga merupakan
percampuran yang sangat kompeks, Data setiap titik ground truth yang telah diperoleh dari
penelitian lapangan umumnya merupakan representasi dominasi material penyusun substrat
dasar perairan dangkal pada bentangan 15 m x 15 m, berupa titik (point). Selanjutnya dengan
menggunakan metode segmentasi pada citra landsat yang telah siap dianalisis, citra tersebut
akan terbagi ke dalam ratusan bahkan ribuan segmen yang sebenarnya menggambarkan
perbedaan (heterogenitas) habitat dasar perairan. Asumsi yang dipergunakan sebagai
kerangka berpikir dalam metode tersebut, bahwa habitat jenis tertentu akan hidup dan
berkembang di lingkungan tertentu dan berbeda terhadap lingkungan di sekitarnya.
Perbedaan lingkungan tersebut akan tergambar di dalam cita dari spektral dan terstur yang
akan diperlihatkan oleh segmentasi. Isi jenis substrat dasar pada setiap segmen tersebut dapat
diketahui setelah semua data ground truh di plot ke dalamnya. Perlu diketahui bahwa tidak
semua segmen yang terbentuk dari citra dapat terisi oleh data lapangan, namun demikian
pada segmen yang telah terisi oleh data ground truh akan terlihat bahwa pada setiap kelas
jenis substrat dasar perairan dangkal menunjukkan spektral dan terstur yang berbeda terhadap
kelas jenis substrat dasar lainnya. Tujuan pembangunan segmentasi adalah merubah titik uji
menjadi polygon uji, sehingga peta yang akan dihasilkan akan menjadi lebih mendekati
kenyataan di lapangan.
Berdasarkan hasil pengamatan di stasiun ground truth, pesisir perairan Bintan Timur
dapat dikelompokkan ke dalam 4 klas sebagai terlihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, 2014..
Habitat Luas (Ha) Karang 2445.19 Pasir 3586.20 Substrat campuran: terdiri dari pasir, spot karang hidup dan karang mati, pecahan dan bongkah karang serta algae/sargasum.
3790.36
Lamun 700.13 Mangrove 2852.57
Gambar 3. Peta sebaran habitat perairan laut dangkal, hasil ground truth di perairan Bintan
Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 17
2.1.2. Pengelompokan data
Substrat dasar suatu perairan dangkal umumnya sangat bervariasi, dapat tersusun oleh
hanya satu jenis material baik pasir mapun karang yang homogen hingga merupakan
percampuran yang sangat kompeks, Data setiap titik ground truth yang telah diperoleh dari
penelitian lapangan umumnya merupakan representasi dominasi material penyusun substrat
dasar perairan dangkal pada bentangan 15 m x 15 m, berupa titik (point). Selanjutnya dengan
menggunakan metode segmentasi pada citra landsat yang telah siap dianalisis, citra tersebut
akan terbagi ke dalam ratusan bahkan ribuan segmen yang sebenarnya menggambarkan
perbedaan (heterogenitas) habitat dasar perairan. Asumsi yang dipergunakan sebagai
kerangka berpikir dalam metode tersebut, bahwa habitat jenis tertentu akan hidup dan
berkembang di lingkungan tertentu dan berbeda terhadap lingkungan di sekitarnya.
Perbedaan lingkungan tersebut akan tergambar di dalam cita dari spektral dan terstur yang
akan diperlihatkan oleh segmentasi. Isi jenis substrat dasar pada setiap segmen tersebut dapat
diketahui setelah semua data ground truh di plot ke dalamnya. Perlu diketahui bahwa tidak
semua segmen yang terbentuk dari citra dapat terisi oleh data lapangan, namun demikian
pada segmen yang telah terisi oleh data ground truh akan terlihat bahwa pada setiap kelas
jenis substrat dasar perairan dangkal menunjukkan spektral dan terstur yang berbeda terhadap
kelas jenis substrat dasar lainnya. Tujuan pembangunan segmentasi adalah merubah titik uji
menjadi polygon uji, sehingga peta yang akan dihasilkan akan menjadi lebih mendekati
kenyataan di lapangan.
Berdasarkan hasil pengamatan di stasiun ground truth, pesisir perairan Bintan Timur
dapat dikelompokkan ke dalam 4 klas sebagai terlihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, 2014..
Habitat Luas (Ha) Karang 2445.19 Pasir 3586.20 Substrat campuran: terdiri dari pasir, spot karang hidup dan karang mati, pecahan dan bongkah karang serta algae/sargasum.
3790.36
Lamun 700.13 Mangrove 2852.57
Gambar 3. Peta sebaran habitat perairan laut dangkal, hasil ground truth di perairan Bintan
Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201418
2.2.1. Deskripsi lokasi transek karang
Stasiun 92 (Pulau-pulau Numbing)
Pantai ditumbuhi oleh bakau, jarak dari tepi pantai hingga titik transek ± 400 meter;
reef flat landai, banyak ditumbuhi alga Sargassum sp.. Substrat terdiri dari karang mati,
patahan karang mati dan pasir. Transek dilakukan pada kedalaman 6 meter dengan jarak
padang 5 meter; Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis –jenis dengan bentuk
pertumbuhan sub-masive dari marga Pectinia dan Pachyseris. hingga kedalaman 7 meter
pertumbuhan karang masih ditemukan, dan pada kedalaman selanjutnya substrat didominasi
oleh pasir. Kondisi perairan saat transek tenang. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT
(Underwater Photo Transect) dicatat 25,67 %, dan masuk dalam kategori „sedang“
Stasiun 90 (Pulau-pulau Numbing)
Transek dilakukan pada kedalaman 5 meter, perairan cukup keruh dengan jarak
pandang sangat terbatas (2 meter), tepi pantai ditumbuhi oleh baku; reef flat landai. Substrat
terdiri dari karang mati, pasir berlumpur dan pecahan karang. Pertumbuhan karang
didominasi oleh jenis Litothamnion sp.. Pertumbuhan karang hanya ditemukan hingga
kedalaman 7 meter. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 34,80 %, dan masuk
dalam kategori „sedang“
Stasiun 74 (pesisir timur Bintan)
Jarak titik transek dari tepi pantai ± 600 meter; substrat pantai didominasi pasir putih
dan banyak ditumbuhi pohon kelapa. Rataan terumbu (reef flat) landai, pada daerah sekitar
garis transek tumbuh lamun dari jenis Thalassodendron ciliatum. Substrat didominasi
olehpasir. Transek dilakukan pada kedalaman 5 meter, kecerahan dicatat sekitar 5 meter.
Pertumbuhan karang dari jenis Diploastrea heliopora dan Porites lutea cukup dominan di
lokasi transek. Pertumbuhan koloni karang masih ditemukan hingga kedalam 7 meter,
selanjutnya ke arah dalam substrat didominasi oleh pasir. Kondisi perairan saat pengamatan
relatif tenang. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 40,27 %, dan masuk dalam
kategori „sedang“
Tabel 3. Diskripsi tutupan lahan hasil ground truth di pesisir perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan 2014.
No.
Kelas Diskripsi
1 Karang Habitat tersebut tersusun oleh material karang yang umumnya
homogen, terdiri atas karang hidup dan karang mati,
mempunyai pelamparan yang cukup luas dan dapat dibedakan
dengan jelas terhadap jenis habitat yang lain. Habitat tersebut
ditemui pada ujung wilayah rataan terumbu yang menghadap
ke arah laut, mulai dari reef crest, tubir (reef edge) hingga
lereng terumbu (reef slope ),
2 Pasir Material pasir yakni material berukuran butir berbutir (ǿ 0.063
hingga ǿ 2 mm) sangat mendominasi (lebih dari 60%),
sementara 40% sisanya merupakan material lain seperti
algae, pecahan karang. Bila dilihat dari permukaan umumnya
berwarna putih, homogen.
3 Substrat campuran Material klas substrat campuran terdiri atas bongkah karang,
spot sopt karang baik karang hidup maupun karang mati,
pecahan karang yang tidak diketahui jenis material yang
mendominasi. Masing masing komponen tersebut tidak
memungkinkan dipetakan secara terpisah.
4 Lamun Vegetasi lamun di Kawasan Bintan tumbuh di lingkungan
rataan karang, di sepanjang Pantai Trikora ( pesisir timur
Pulau Bintan dan di bagian barat serta selatan Pulau Mapor.
Hamparan vegetasi lamun yang tumbuh berupa spot -spot
sangat sulit dipetakan.
2.2. Karang
Pengamatan kondisi tutupan karang dan biota bentik lainnya telah dilkukan dengan
metode transek foto bawah air (UPT) di 14 titik stasiun yang masuk dalam Kawasan
Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Bintan. Kondisi perairan di lokasi pada
waktu pengamatan cukup keruh, terutama di perairan Pulau –pulau Numbing, sehingga
menyulitkan dalam pengambilan foto bawah air .
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 19
2.2.1. Deskripsi lokasi transek karang
Stasiun 92 (Pulau-pulau Numbing)
Pantai ditumbuhi oleh bakau, jarak dari tepi pantai hingga titik transek ± 400 meter;
reef flat landai, banyak ditumbuhi alga Sargassum sp.. Substrat terdiri dari karang mati,
patahan karang mati dan pasir. Transek dilakukan pada kedalaman 6 meter dengan jarak
padang 5 meter; Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis –jenis dengan bentuk
pertumbuhan sub-masive dari marga Pectinia dan Pachyseris. hingga kedalaman 7 meter
pertumbuhan karang masih ditemukan, dan pada kedalaman selanjutnya substrat didominasi
oleh pasir. Kondisi perairan saat transek tenang. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT
(Underwater Photo Transect) dicatat 25,67 %, dan masuk dalam kategori „sedang“
Stasiun 90 (Pulau-pulau Numbing)
Transek dilakukan pada kedalaman 5 meter, perairan cukup keruh dengan jarak
pandang sangat terbatas (2 meter), tepi pantai ditumbuhi oleh baku; reef flat landai. Substrat
terdiri dari karang mati, pasir berlumpur dan pecahan karang. Pertumbuhan karang
didominasi oleh jenis Litothamnion sp.. Pertumbuhan karang hanya ditemukan hingga
kedalaman 7 meter. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 34,80 %, dan masuk
dalam kategori „sedang“
Stasiun 74 (pesisir timur Bintan)
Jarak titik transek dari tepi pantai ± 600 meter; substrat pantai didominasi pasir putih
dan banyak ditumbuhi pohon kelapa. Rataan terumbu (reef flat) landai, pada daerah sekitar
garis transek tumbuh lamun dari jenis Thalassodendron ciliatum. Substrat didominasi
olehpasir. Transek dilakukan pada kedalaman 5 meter, kecerahan dicatat sekitar 5 meter.
Pertumbuhan karang dari jenis Diploastrea heliopora dan Porites lutea cukup dominan di
lokasi transek. Pertumbuhan koloni karang masih ditemukan hingga kedalam 7 meter,
selanjutnya ke arah dalam substrat didominasi oleh pasir. Kondisi perairan saat pengamatan
relatif tenang. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 40,27 %, dan masuk dalam
kategori „sedang“
Tabel 3. Diskripsi tutupan lahan hasil ground truth di pesisir perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan 2014.
No.
Kelas Diskripsi
1 Karang Habitat tersebut tersusun oleh material karang yang umumnya
homogen, terdiri atas karang hidup dan karang mati,
mempunyai pelamparan yang cukup luas dan dapat dibedakan
dengan jelas terhadap jenis habitat yang lain. Habitat tersebut
ditemui pada ujung wilayah rataan terumbu yang menghadap
ke arah laut, mulai dari reef crest, tubir (reef edge) hingga
lereng terumbu (reef slope ),
2 Pasir Material pasir yakni material berukuran butir berbutir (ǿ 0.063
hingga ǿ 2 mm) sangat mendominasi (lebih dari 60%),
sementara 40% sisanya merupakan material lain seperti
algae, pecahan karang. Bila dilihat dari permukaan umumnya
berwarna putih, homogen.
3 Substrat campuran Material klas substrat campuran terdiri atas bongkah karang,
spot sopt karang baik karang hidup maupun karang mati,
pecahan karang yang tidak diketahui jenis material yang
mendominasi. Masing masing komponen tersebut tidak
memungkinkan dipetakan secara terpisah.
4 Lamun Vegetasi lamun di Kawasan Bintan tumbuh di lingkungan
rataan karang, di sepanjang Pantai Trikora ( pesisir timur
Pulau Bintan dan di bagian barat serta selatan Pulau Mapor.
Hamparan vegetasi lamun yang tumbuh berupa spot -spot
sangat sulit dipetakan.
2.2. Karang
Pengamatan kondisi tutupan karang dan biota bentik lainnya telah dilkukan dengan
metode transek foto bawah air (UPT) di 14 titik stasiun yang masuk dalam Kawasan
Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Bintan. Kondisi perairan di lokasi pada
waktu pengamatan cukup keruh, terutama di perairan Pulau –pulau Numbing, sehingga
menyulitkan dalam pengambilan foto bawah air .
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201420
dan selanjutnya berupa hamparan pasir putih. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT,
dicatat 23,80 %, dan masuk dalam kategori „jelek“
Stasiun A Pulau Pangkil Besar
Stasiun transek terletak cukup dekat ± 150 m dari garis pantai Pulau Pangkil Besar
Kondisi perairan saat pengamatan cukup tenang, rataan terumbu landai dengan substrat
didominasi oleh pasir putih diselingi karang mati yang ditutupi oleh alga Sargassum. Transek
dilakukan pada kedalaman 6 m, kecerahan perairan saat pengamatan sekitar 5 m.
Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis Porites sp. dan Heliopora sp., substrat sepanjang
garis transek terdiri dari bongkahan karang mati, pecahan karang dan pasir juga ditemukan
banyak koloni karang mati yang tertutup oleh endapan pasir halus. Pertumbuhan karang
masih ditemukan hingga kedalaman 10 m, selanjutnya dasar perairan ditutupi oleh pasir
lumpu. Secara visual keragaman jenis karang di stasiun ini cukup beragam, terutama yang
berada diluar garis transek. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 54,80 %, dan
masuk dalam kategori „baik“
Stasiun B Pulau Pangkil Kecil
Pulau ini memiliki substrat pasir putih yang ditumbuhi vegetasi pantai dan pohon
kelapa; titik transek relatif dekat dengan pantai ± 150 m. Rataan terumbu (reef flat) landai
dengan substrat dasar terdiri dari pasir dan karang mati yang ditumbuhi Sargassum.
Pengamatan dilakukan pada kedalaman 3 m, dengan kecerahan perairan 6 m. Pertumbuhan
karang pada stasiun ini didominasi oleh jenis Echinopora horrida dan Pachyseris speciosa.
Substrat di sepanjang garis transek terdiri dari bongkahan karang mati, pecahan karang dan
pasir. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 8 m, pada kedalaman
selanjutnya berupa pasir. Pada saat pengamatan kondisi perairan cukup tenang. Rata-rata
tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 34,73 %, dan masuk dalam kategori „sedang“
Stasiun KRIL13 (Pulau Mapur)
Transek dilakukan di Pulau Mapur, terpisah cukup jauh dari daratan Pulau Bintan.
Lokasi transek cukup dekat dengan tepi pantai (± 100 m), daerah pantai ditumbuhi vegetasi
pantai. Rataan terumbu landai dengan substrat terdiri dari pasir putih dan patahan karang
mati. Transek dilakukan pada kedalaman 3-4 meter, kecerahan perairan cukup baik
dibandingkan stasiun lainnya ( sekitar 8 m); pertumbuhan karang didominasi oleh Pachyseris
Stasiun 77 (pesisir timur Bintan)
Lokasi transek berdekatan dengan pemukiman penduduk. Substrat pantai didominasi
pasir putih diselingi bongkahan batu granit, banyak tumbuh pohon kelapa dan tumbuhan
pantai lainnya. Jarak titik transek dari garis pantai ± 300 meter; transek dilakukan pada
kedalaman 5 meter, dengan kecerahan air sekitar 5 meter. Pertumbuhan karang di lokasi
transek didominasi oleh jenis Dipoastraea heliopora, Turbinaria mesenterina dan Pectinia
paeonia. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 7 meter, selanjutnya ke
arah dalam substrat terdiri dari bongkahan karang mati, patah karang dan pasir lumpuran.
Juga dicatat terdapat banyak endapan/ sedimen pada permukaan karang yang sudah mati
disepanjang garis transek. Pada kedalaman 8 meter substrat didominasi pasir dan patahan
karang mati. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 51,67 %, dan masuk dalam
kategori „ baik“
Stasiun 81 (pesisir timur Bintan)
Jarak titik transek dari tepi pantai ± 1 km, substrat pantai pasir putih yang ditumbuhi
pohon kelapa, tumbuhan pantai lainnya dan sedikit mangrove. Rataan terumbu landai,
transek dilakukan pada kedalaman 4 – 6 meter. Kecerahan perairan pada waktu transek, 4
meter, kondisi perairan saat transek tenang. Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis dari
marga Turbinaria dan Porites. Substrat di lokasi transek terdiri dari pasir, rubble dan
bongkahan karang mati yang ditumbuhi oleh alga Padina sp.. Pertumbuhan karang masih
ditemukan hingga kedalaman 7,5 m, pada kedalaman selanjutnya substrat didominasi oleh
pasir. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 52,87 %, dan masuk dalam kategori
„ baik“
Stasiun 85 (pesisir timur Bintan)
Lokasi transek terdapat pada sebuah pulau kecil; jarak titik transek dari tepi pantai ±
200 meter. Substrat pantai terdiri dari pasir putih dengan perairan yang jernih dan merupakan
tempat rekreasi. Rataan terumbu landai dan didominasi substrat pasir putih, terdapat banyak
alga dari marga Sargassum. Transek dilakukan pada kedalaman 3 meter, jarak pandang 5
meter, jenis karang yang dominan pada stasiun ini adalah Turbinaria sp.. Substrat pada titik
transek terdiri dari pasir, patahan karang (rubble) dan bongkahan karang mati yang telah
ditumbuhi alga Padina sp.. Pertumbuhan karang hanya ditemukan sampai pada kedalaman 5
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 21
dan selanjutnya berupa hamparan pasir putih. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT,
dicatat 23,80 %, dan masuk dalam kategori „jelek“
Stasiun A Pulau Pangkil Besar
Stasiun transek terletak cukup dekat ± 150 m dari garis pantai Pulau Pangkil Besar
Kondisi perairan saat pengamatan cukup tenang, rataan terumbu landai dengan substrat
didominasi oleh pasir putih diselingi karang mati yang ditutupi oleh alga Sargassum. Transek
dilakukan pada kedalaman 6 m, kecerahan perairan saat pengamatan sekitar 5 m.
Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis Porites sp. dan Heliopora sp., substrat sepanjang
garis transek terdiri dari bongkahan karang mati, pecahan karang dan pasir juga ditemukan
banyak koloni karang mati yang tertutup oleh endapan pasir halus. Pertumbuhan karang
masih ditemukan hingga kedalaman 10 m, selanjutnya dasar perairan ditutupi oleh pasir
lumpu. Secara visual keragaman jenis karang di stasiun ini cukup beragam, terutama yang
berada diluar garis transek. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 54,80 %, dan
masuk dalam kategori „baik“
Stasiun B Pulau Pangkil Kecil
Pulau ini memiliki substrat pasir putih yang ditumbuhi vegetasi pantai dan pohon
kelapa; titik transek relatif dekat dengan pantai ± 150 m. Rataan terumbu (reef flat) landai
dengan substrat dasar terdiri dari pasir dan karang mati yang ditumbuhi Sargassum.
Pengamatan dilakukan pada kedalaman 3 m, dengan kecerahan perairan 6 m. Pertumbuhan
karang pada stasiun ini didominasi oleh jenis Echinopora horrida dan Pachyseris speciosa.
Substrat di sepanjang garis transek terdiri dari bongkahan karang mati, pecahan karang dan
pasir. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 8 m, pada kedalaman
selanjutnya berupa pasir. Pada saat pengamatan kondisi perairan cukup tenang. Rata-rata
tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 34,73 %, dan masuk dalam kategori „sedang“
Stasiun KRIL13 (Pulau Mapur)
Transek dilakukan di Pulau Mapur, terpisah cukup jauh dari daratan Pulau Bintan.
Lokasi transek cukup dekat dengan tepi pantai (± 100 m), daerah pantai ditumbuhi vegetasi
pantai. Rataan terumbu landai dengan substrat terdiri dari pasir putih dan patahan karang
mati. Transek dilakukan pada kedalaman 3-4 meter, kecerahan perairan cukup baik
dibandingkan stasiun lainnya ( sekitar 8 m); pertumbuhan karang didominasi oleh Pachyseris
Stasiun 77 (pesisir timur Bintan)
Lokasi transek berdekatan dengan pemukiman penduduk. Substrat pantai didominasi
pasir putih diselingi bongkahan batu granit, banyak tumbuh pohon kelapa dan tumbuhan
pantai lainnya. Jarak titik transek dari garis pantai ± 300 meter; transek dilakukan pada
kedalaman 5 meter, dengan kecerahan air sekitar 5 meter. Pertumbuhan karang di lokasi
transek didominasi oleh jenis Dipoastraea heliopora, Turbinaria mesenterina dan Pectinia
paeonia. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 7 meter, selanjutnya ke
arah dalam substrat terdiri dari bongkahan karang mati, patah karang dan pasir lumpuran.
Juga dicatat terdapat banyak endapan/ sedimen pada permukaan karang yang sudah mati
disepanjang garis transek. Pada kedalaman 8 meter substrat didominasi pasir dan patahan
karang mati. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 51,67 %, dan masuk dalam
kategori „ baik“
Stasiun 81 (pesisir timur Bintan)
Jarak titik transek dari tepi pantai ± 1 km, substrat pantai pasir putih yang ditumbuhi
pohon kelapa, tumbuhan pantai lainnya dan sedikit mangrove. Rataan terumbu landai,
transek dilakukan pada kedalaman 4 – 6 meter. Kecerahan perairan pada waktu transek, 4
meter, kondisi perairan saat transek tenang. Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis dari
marga Turbinaria dan Porites. Substrat di lokasi transek terdiri dari pasir, rubble dan
bongkahan karang mati yang ditumbuhi oleh alga Padina sp.. Pertumbuhan karang masih
ditemukan hingga kedalaman 7,5 m, pada kedalaman selanjutnya substrat didominasi oleh
pasir. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 52,87 %, dan masuk dalam kategori
„ baik“
Stasiun 85 (pesisir timur Bintan)
Lokasi transek terdapat pada sebuah pulau kecil; jarak titik transek dari tepi pantai ±
200 meter. Substrat pantai terdiri dari pasir putih dengan perairan yang jernih dan merupakan
tempat rekreasi. Rataan terumbu landai dan didominasi substrat pasir putih, terdapat banyak
alga dari marga Sargassum. Transek dilakukan pada kedalaman 3 meter, jarak pandang 5
meter, jenis karang yang dominan pada stasiun ini adalah Turbinaria sp.. Substrat pada titik
transek terdiri dari pasir, patahan karang (rubble) dan bongkahan karang mati yang telah
ditumbuhi alga Padina sp.. Pertumbuhan karang hanya ditemukan sampai pada kedalaman 5
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201422
Kondisi perairan berombak saat pengamatan. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT,
dicatat 21,60 %, dan masuk dalam kategori „jelek“
Stasiun KRIL17 (Pulau Mapur)
Stasiun transek berada disebelah utara Pulau Mapur, substrat pantai terdiri dari batuan
granit dan pasir putih, ditumbuhi pohon kelapa dan tumbuhan pantai lainnya. Rataan
terumbu landai, dengan panjang ke arah laut ± 100 m; transek dilakukan pada kedalaman 3
m. Kecerahan perairan 8 m, pertumbuhan karang hanya didominasi oleh Caulastrea furcata,
substrat disepanjang garis transek terdiri dari bongkahan karang dan patahan karang mati,
pada beberapa bagian telah ditutupi oleh makro alge Sargassum sp. Pertumbuhan karang
hidup masih ditemukan pada kedalaman 6 m, selanjutnya berupa substrat pasir, kondisi
perairan saat pengamatan tenang. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 1,20 %,
dan masuk dalam kategori „jelek“ Kondisi seperti ini dicatat yang terjelek dari di lokasi
lainnya.
Stasiun KRIL18 (Pulau Erapas)
Pulau Erapas terletak di sebelah tenggara Pulau Mapur. Lokasi titik transek dekat
dengan tanjung dan berada disebelah selatan Pulau Erapas, dengan rataan terumbu landai dan
sempit, panjang dari tepi pantai ke arah tubir ± 100 m. Transek di lokasi ini dilakukan pada
kedalaman 6m, perairan jernih dengan kecerahan hingga 11 m. Substrat sepanjang garis
transek terdiri dari bongkahan karang dan patahan karang mati dengan pertumbuhan karang
didominasi oleh Acropora spp.;. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 13
m. Perairan cukup tenang saat berlangsung pengamatan. Rata-rata tutupan karang hidup hasil
UPT, dicatat 29,07 %, dan masuk dalam kategori „sedang“
2.2.2. Kondisi terumbu Karang
Persentase tutupan karang hidup yang dicatat di lokasi transek berkisar antara 1,20% -
54,80%, dengan tutupan tertinggi terdapat di stasiun KRIL A, yaitu 54,80% dan terendah di
KRIL17 (1,20%). Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa tutupan karang hidup berada pada
kondisi “jelek” hingga “baik”. Umumnya karang yang dicatat dalam pengamatan ini,
didominasi oleh karang jenis Non-Acropora. Pertumbuhan karang batu pada 14 lokasi transek
didominasi oleh Galaxea fascicularis dan Porites cylindrica (sub-massive), serta Porites
lobata dan Porites lutea (massive).
spp. dan Goniopora spp.; substrat di sepanjang garis transek terdiri dari bongkahan karang
mati dan patahan karang mati. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 8-9
m. Kondisi perairan saat pengamatan cukup tenang dan tidak berarus. Rata-rata tutupan
karang hidup hasil UPT, dicatat 38,40 %, dan masuk dalam kategori „sedang“
Stasiun KRIL14 (Pulau Mapur)
Daerah pantai ditumbuhi oleh vegetasi mangrove yang cukup lebat; rataan terumbu
landai dengan panjang sekitar ± 1.5 Km ke arah laut. Pengamatan karang dilakukan pada
kedalaman 3-4 m, kondisi perairan tenang tidak berarus tetapi cukup keruh, dengan jarak
pandang (visibility) 5 m. Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis Porites sp. dan
Goniopora sp; substrat di garii transek terdiri dari bongkahan karang mati, pecahan karang
dan pasir dan pertumbuhan karang hanya ditemukan hingga kedalaman 6 m. Pada kedalaman
berikutnya substrat berupa hamparan pasir. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat
18,56 %, dan masuk dalam kategori „jelek“
Stasiun KRIL15 (Pulau Mapur)
Transek dilakukan disebelah selatan Pulau Mapur, berdekatan dengan pemukiman
penduduk. Di sepanjang pantai tumbuh mangrove, kelapa dan vegetasi lainnya. Panjang
rataan terumbuh (reef flat) ke arah tubir ± 600 m dan transek dilakukan pada kedalaman 4-6
m. Perairan cukup keruh dengan kecerahan 3 m, substrat di garis transek terdiri dari pasir,
bongkahan karang dan patahan karang mati. Pertumbuhan karang didominasi oleh Pachyseris
sp. dan Pectinia sp.. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 6 m. Kondisi
perairan saat pengamatan agak berombak. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat
39,40 %, dan masuk dalam kategori „sedang“
Stasiun KRIL16 (Pulau Mapur)
Stasiun titik transek berada di sebelah timur Pulau Mapur. Rataan terumbu landai,
panjang dari tepi pantai ke arah tubir ± 750 m dengan substrat didominasi oleh pasir diselingi
patahan karang mati. Ditemukan pertumbuhan lamun tumbuh dengan kerapatan yang cukup
bervariasi. Transek dilakukan pada kedalaman 3-5 meter dengan kecerahan hanya 4 m.
Pertumbuhan karang didominasi oleh Pachyseris sp. dan makro alga seperti Sargassum sp.
Substrat pada garis transek didominasi oleh pasir dan karang mati; pertumbuhan karang
masih ditemukan pada kedalaman 5 m, pada kedalaman selanjutnya berupa hamparan pasir;
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 23
Kondisi perairan berombak saat pengamatan. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT,
dicatat 21,60 %, dan masuk dalam kategori „jelek“
Stasiun KRIL17 (Pulau Mapur)
Stasiun transek berada disebelah utara Pulau Mapur, substrat pantai terdiri dari batuan
granit dan pasir putih, ditumbuhi pohon kelapa dan tumbuhan pantai lainnya. Rataan
terumbu landai, dengan panjang ke arah laut ± 100 m; transek dilakukan pada kedalaman 3
m. Kecerahan perairan 8 m, pertumbuhan karang hanya didominasi oleh Caulastrea furcata,
substrat disepanjang garis transek terdiri dari bongkahan karang dan patahan karang mati,
pada beberapa bagian telah ditutupi oleh makro alge Sargassum sp. Pertumbuhan karang
hidup masih ditemukan pada kedalaman 6 m, selanjutnya berupa substrat pasir, kondisi
perairan saat pengamatan tenang. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 1,20 %,
dan masuk dalam kategori „jelek“ Kondisi seperti ini dicatat yang terjelek dari di lokasi
lainnya.
Stasiun KRIL18 (Pulau Erapas)
Pulau Erapas terletak di sebelah tenggara Pulau Mapur. Lokasi titik transek dekat
dengan tanjung dan berada disebelah selatan Pulau Erapas, dengan rataan terumbu landai dan
sempit, panjang dari tepi pantai ke arah tubir ± 100 m. Transek di lokasi ini dilakukan pada
kedalaman 6m, perairan jernih dengan kecerahan hingga 11 m. Substrat sepanjang garis
transek terdiri dari bongkahan karang dan patahan karang mati dengan pertumbuhan karang
didominasi oleh Acropora spp.;. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 13
m. Perairan cukup tenang saat berlangsung pengamatan. Rata-rata tutupan karang hidup hasil
UPT, dicatat 29,07 %, dan masuk dalam kategori „sedang“
2.2.2. Kondisi terumbu Karang
Persentase tutupan karang hidup yang dicatat di lokasi transek berkisar antara 1,20% -
54,80%, dengan tutupan tertinggi terdapat di stasiun KRIL A, yaitu 54,80% dan terendah di
KRIL17 (1,20%). Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa tutupan karang hidup berada pada
kondisi “jelek” hingga “baik”. Umumnya karang yang dicatat dalam pengamatan ini,
didominasi oleh karang jenis Non-Acropora. Pertumbuhan karang batu pada 14 lokasi transek
didominasi oleh Galaxea fascicularis dan Porites cylindrica (sub-massive), serta Porites
lobata dan Porites lutea (massive).
spp. dan Goniopora spp.; substrat di sepanjang garis transek terdiri dari bongkahan karang
mati dan patahan karang mati. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 8-9
m. Kondisi perairan saat pengamatan cukup tenang dan tidak berarus. Rata-rata tutupan
karang hidup hasil UPT, dicatat 38,40 %, dan masuk dalam kategori „sedang“
Stasiun KRIL14 (Pulau Mapur)
Daerah pantai ditumbuhi oleh vegetasi mangrove yang cukup lebat; rataan terumbu
landai dengan panjang sekitar ± 1.5 Km ke arah laut. Pengamatan karang dilakukan pada
kedalaman 3-4 m, kondisi perairan tenang tidak berarus tetapi cukup keruh, dengan jarak
pandang (visibility) 5 m. Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis Porites sp. dan
Goniopora sp; substrat di garii transek terdiri dari bongkahan karang mati, pecahan karang
dan pasir dan pertumbuhan karang hanya ditemukan hingga kedalaman 6 m. Pada kedalaman
berikutnya substrat berupa hamparan pasir. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat
18,56 %, dan masuk dalam kategori „jelek“
Stasiun KRIL15 (Pulau Mapur)
Transek dilakukan disebelah selatan Pulau Mapur, berdekatan dengan pemukiman
penduduk. Di sepanjang pantai tumbuh mangrove, kelapa dan vegetasi lainnya. Panjang
rataan terumbuh (reef flat) ke arah tubir ± 600 m dan transek dilakukan pada kedalaman 4-6
m. Perairan cukup keruh dengan kecerahan 3 m, substrat di garis transek terdiri dari pasir,
bongkahan karang dan patahan karang mati. Pertumbuhan karang didominasi oleh Pachyseris
sp. dan Pectinia sp.. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 6 m. Kondisi
perairan saat pengamatan agak berombak. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat
39,40 %, dan masuk dalam kategori „sedang“
Stasiun KRIL16 (Pulau Mapur)
Stasiun titik transek berada di sebelah timur Pulau Mapur. Rataan terumbu landai,
panjang dari tepi pantai ke arah tubir ± 750 m dengan substrat didominasi oleh pasir diselingi
patahan karang mati. Ditemukan pertumbuhan lamun tumbuh dengan kerapatan yang cukup
bervariasi. Transek dilakukan pada kedalaman 3-5 meter dengan kecerahan hanya 4 m.
Pertumbuhan karang didominasi oleh Pachyseris sp. dan makro alga seperti Sargassum sp.
Substrat pada garis transek didominasi oleh pasir dan karang mati; pertumbuhan karang
masih ditemukan pada kedalaman 5 m, pada kedalaman selanjutnya berupa hamparan pasir;
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201424
Gambar 5. Histogram persentase tutupan karang, biota bentik dan substrat hasil studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.
2.3. Ikan karang
Pengamatan ikan karang telah dilakukan dengan metode UVC. Untuk ikan karang,
yang diutamakan ialah ikan-ikan target dan semua jenis ikan indikator Ikan target juga
dibatasi pada beberapa suku (6 suku) yaitu suku: Haemulidae, Lutjanidae, Lethrinidae,
Scaridae, Serranidae, dan Siganidae. Ikan indikator yang merupakan kelompok ikan yang
sepanjang hidupnya tergantung/ berada didalam ekosistem terumbu karang yaitu dari suku
Chaetodontidae. Dari hasil pengamatan, baik ikan target maupun ikan indikator, ditemukan
memiliki keanekaragaman jenis yang rendah, sedangkan kelimpahan individu dibeberapa
stasiun cukup tinggi.
2.3.1 Keanekaragaman Ikan Indikator dan Target
Hasil sensus visual ikan karang kategori ikan indikator dan ikan target di Kabupaten
Bintan pada 14 stasiun pengamatan mencatat sebany1.167 individu yang tergolong dalam
31 jenis dan suku 7 . Ikan indikator yang ditemukan sebanyak 2 jenis yakni dari suku
Chaetodontidae yaitu Chaetodon oktofasciatus dan Chelmon rostratus, sedangkan ikan target
yang ditemukan sebanyak 29 jenis dari 6 suku. Penelitian di Kabupaten Bintan terbagi atas
Dari hasil pengamatan, dicatat hanya 3 (tiga) stasiun yang kondisi karangnya masuk
dalam kategori “baik” (50 % - 74,99%), mengacu kepada Gomez & Yap (1984), yaitu
stasiun KRIL 77, KRIL 81 dan KRIL A. Untuk kategori “sedang” (25 % - 49,99 %)
ditemukan di 7 (tujuh ) stasiun, berturut-turut di stasiun KRIL 92, KRIL18, KRIL B, KRIL
90, KRIL 13, KRIL 15 dan KRIL 74.Sisanya ada 4 (empat) stasiun dalam kondisi “jelek”.
Persentase tutupan DCA ( karang mati beralga) dicatat tertinggi di stasiun KRIL17 (80,80
%). Stasiun ini terletak di bagian timur Pulau Mapur dan berhadapan dengan laut lepas yang
sering menerima tekanan ombak yang besar.yang menarik di lokasi ini didominasi oleh
karang dengan bentuk pertumbuhan bercabang. Jenis karang yang dominan di lokasi ini yaitu
dari jenis Caulastrea furcata dan dari marga Acropora terutama A. brueggemanni, dan marga
Montipora yaitu M. foliosa. Kelompok Acropora diketahui untuk tumbuh baik, memerlukan
sirkulasi arus yang juga baik. Hasil pengamatan berupa persentase persentase tutupan karang
hidup disajikan dalam bentuk peta, pada Gambar 4, sedangkan persentase tutupan karang,
biota bentik dan substrat, disajikan dalam bentuk histogram dapat dilihat dalam Gambar 5.
Secara umum, kondisi karang di perairan Bintan Timur dan sekitarnya masuk dalam
kondisi “sedang” sampai baik .
Gambar 4. Peta persentase tutupan karang, hidup hasil studi baseline dengan metode
UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 25
Gambar 5. Histogram persentase tutupan karang, biota bentik dan substrat hasil studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.
2.3. Ikan karang
Pengamatan ikan karang telah dilakukan dengan metode UVC. Untuk ikan karang,
yang diutamakan ialah ikan-ikan target dan semua jenis ikan indikator Ikan target juga
dibatasi pada beberapa suku (6 suku) yaitu suku: Haemulidae, Lutjanidae, Lethrinidae,
Scaridae, Serranidae, dan Siganidae. Ikan indikator yang merupakan kelompok ikan yang
sepanjang hidupnya tergantung/ berada didalam ekosistem terumbu karang yaitu dari suku
Chaetodontidae. Dari hasil pengamatan, baik ikan target maupun ikan indikator, ditemukan
memiliki keanekaragaman jenis yang rendah, sedangkan kelimpahan individu dibeberapa
stasiun cukup tinggi.
2.3.1 Keanekaragaman Ikan Indikator dan Target
Hasil sensus visual ikan karang kategori ikan indikator dan ikan target di Kabupaten
Bintan pada 14 stasiun pengamatan mencatat sebany1.167 individu yang tergolong dalam
31 jenis dan suku 7 . Ikan indikator yang ditemukan sebanyak 2 jenis yakni dari suku
Chaetodontidae yaitu Chaetodon oktofasciatus dan Chelmon rostratus, sedangkan ikan target
yang ditemukan sebanyak 29 jenis dari 6 suku. Penelitian di Kabupaten Bintan terbagi atas
Dari hasil pengamatan, dicatat hanya 3 (tiga) stasiun yang kondisi karangnya masuk
dalam kategori “baik” (50 % - 74,99%), mengacu kepada Gomez & Yap (1984), yaitu
stasiun KRIL 77, KRIL 81 dan KRIL A. Untuk kategori “sedang” (25 % - 49,99 %)
ditemukan di 7 (tujuh ) stasiun, berturut-turut di stasiun KRIL 92, KRIL18, KRIL B, KRIL
90, KRIL 13, KRIL 15 dan KRIL 74.Sisanya ada 4 (empat) stasiun dalam kondisi “jelek”.
Persentase tutupan DCA ( karang mati beralga) dicatat tertinggi di stasiun KRIL17 (80,80
%). Stasiun ini terletak di bagian timur Pulau Mapur dan berhadapan dengan laut lepas yang
sering menerima tekanan ombak yang besar.yang menarik di lokasi ini didominasi oleh
karang dengan bentuk pertumbuhan bercabang. Jenis karang yang dominan di lokasi ini yaitu
dari jenis Caulastrea furcata dan dari marga Acropora terutama A. brueggemanni, dan marga
Montipora yaitu M. foliosa. Kelompok Acropora diketahui untuk tumbuh baik, memerlukan
sirkulasi arus yang juga baik. Hasil pengamatan berupa persentase persentase tutupan karang
hidup disajikan dalam bentuk peta, pada Gambar 4, sedangkan persentase tutupan karang,
biota bentik dan substrat, disajikan dalam bentuk histogram dapat dilihat dalam Gambar 5.
Secara umum, kondisi karang di perairan Bintan Timur dan sekitarnya masuk dalam
kondisi “sedang” sampai baik .
Gambar 4. Peta persentase tutupan karang, hidup hasil studi baseline dengan metode
UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201426
2.3.1.1. Sebaran Ikan Indikator
Ikan indikator dari famili Chaetodontidae yang ditemukan hanya dari dua suku yakni
Chaetodon dan Chelmon dengan kelimpahan sebanyak 265 ekor. Chaetodon octofasciatus
tercatat memiliki kelimpahan individu tertinggi dengan jumlah 213 ekor sedangkan Chelmon
rostratus dengan jumlah 52 ekor.
Stasiun KRIL 81 tercatat memiliki kelimpahan individu tertinggi sebesar 36 individu
diikuti stasiun KRIL 92 sebesar 31 individu serta KRIL 85 dan KRIL B masing – masing
29 individu sedangkan pada stasiun KRIL 17 tidak ditemukan satupun jenis ikan indikator
tersebut sedangkan pada monitoring tahun 2007 sd 2011 kedua jenis ikan indikator tersebut
masih ditemukan dengan jumlah kelimpahan yang fluktuatif setiap tahunnya . Tidak
ditemukannya kedua jenis ikan indikator tersebut pada saat pengamatan tahun 2014 ini
diduga ; Asumsi pertama yakni kedua jenis ikan tersebut semakin berkurang di lokasi
tersebut sehingga semakin sulit ditemukan. Asumsi kedua yakni selama melakukan sensus
visual di lokasi tersebut kedua jenis ikan tersebut tidak pernah bergerak memasuki areal garis
transek sehingga tidak tercatat selama kegiatan sensus dilakukan. (Gambar 7.)
Gambar 7. Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
J U M
L A
H
S T A S I U N
PERBANDINGAN JUMLAH INDIVIDU DAN JUMLAH JENIS IKAN INDIKATOR DI PERAIRAN BINTAN TIMUR, KABUPATEN BINTAN, 2014
Jumlah Individu
Jumlah Jenis
dua lokasi yakni di lokasi Sekitar Bintan Timur (8 stasiun) dan lokasi sekitar P. Mapur (6
stasiun). Ringkasan hasil keanekaragaman jenis pada Kabupaten Bintan dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Individu dan jumlah Jenis Ikan karang di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.
No Lokasi Jumlah Stasiun
Luas transek
(m2)
Jumlah Total Individu
Jumlah Total Jenis
Indikator Target Indikator Target
1 Bintan Timur 8 2800 185 846 2 41
2. P. Mapur 6 2100 100 456 2 29
3. Total 14 4900 285 1302 2 49
Kepadatan rata-rata ikan indikator mencapai 0,0549 individu/m2 atau 549 ekor/ha
sedangkan ikan target mencapai 0, 184 ekor/m2 atau 1840 ekor/ha. Stasiun KRIL 81 tercatat
memiliki kelimpahan individu tertinggi sebanyak 102 ekor sedangkan yang tergolong jenis
tertinggi adalah pada KRIL 74 yakni dalam 19 jenis sedangkan yang terendah adalah lokasi
KRIL A baik dalam jumlah individu yakni sebanyak 20 ekor ikan maupun dalam jumlah
jenis yakni hanya ditemukan 5 jenis. (Gambar 6)
Gambar 6. Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator ikan target hasil studi baseline di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 27
2.3.1.1. Sebaran Ikan Indikator
Ikan indikator dari famili Chaetodontidae yang ditemukan hanya dari dua suku yakni
Chaetodon dan Chelmon dengan kelimpahan sebanyak 265 ekor. Chaetodon octofasciatus
tercatat memiliki kelimpahan individu tertinggi dengan jumlah 213 ekor sedangkan Chelmon
rostratus dengan jumlah 52 ekor.
Stasiun KRIL 81 tercatat memiliki kelimpahan individu tertinggi sebesar 36 individu
diikuti stasiun KRIL 92 sebesar 31 individu serta KRIL 85 dan KRIL B masing – masing
29 individu sedangkan pada stasiun KRIL 17 tidak ditemukan satupun jenis ikan indikator
tersebut sedangkan pada monitoring tahun 2007 sd 2011 kedua jenis ikan indikator tersebut
masih ditemukan dengan jumlah kelimpahan yang fluktuatif setiap tahunnya . Tidak
ditemukannya kedua jenis ikan indikator tersebut pada saat pengamatan tahun 2014 ini
diduga ; Asumsi pertama yakni kedua jenis ikan tersebut semakin berkurang di lokasi
tersebut sehingga semakin sulit ditemukan. Asumsi kedua yakni selama melakukan sensus
visual di lokasi tersebut kedua jenis ikan tersebut tidak pernah bergerak memasuki areal garis
transek sehingga tidak tercatat selama kegiatan sensus dilakukan. (Gambar 7.)
Gambar 7. Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
J U M
L A
H
S T A S I U N
PERBANDINGAN JUMLAH INDIVIDU DAN JUMLAH JENIS IKAN INDIKATOR DI PERAIRAN BINTAN TIMUR, KABUPATEN BINTAN, 2014
Jumlah Individu
Jumlah Jenis
dua lokasi yakni di lokasi Sekitar Bintan Timur (8 stasiun) dan lokasi sekitar P. Mapur (6
stasiun). Ringkasan hasil keanekaragaman jenis pada Kabupaten Bintan dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Individu dan jumlah Jenis Ikan karang di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.
No Lokasi Jumlah Stasiun
Luas transek
(m2)
Jumlah Total Individu
Jumlah Total Jenis
Indikator Target Indikator Target
1 Bintan Timur 8 2800 185 846 2 41
2. P. Mapur 6 2100 100 456 2 29
3. Total 14 4900 285 1302 2 49
Kepadatan rata-rata ikan indikator mencapai 0,0549 individu/m2 atau 549 ekor/ha
sedangkan ikan target mencapai 0, 184 ekor/m2 atau 1840 ekor/ha. Stasiun KRIL 81 tercatat
memiliki kelimpahan individu tertinggi sebanyak 102 ekor sedangkan yang tergolong jenis
tertinggi adalah pada KRIL 74 yakni dalam 19 jenis sedangkan yang terendah adalah lokasi
KRIL A baik dalam jumlah individu yakni sebanyak 20 ekor ikan maupun dalam jumlah
jenis yakni hanya ditemukan 5 jenis. (Gambar 6)
Gambar 6. Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator ikan target hasil studi baseline di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201428
Stasiun pengamatan KRILL 77 tercatat memiliki kelimpahan individu tertinggi yakni
sebesar 216 individu yang tergolong dalam 15 jenis diikuti stasiun KRIL 18 dan KRIL 81
dengan kelimpahan masing- masing 207 individu (18 jenis) dan 156 individu (23 jenis)
Gambar 8.
Gambar 8. Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan target, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.
Jenis ikan Caesio teres dari suku Caesionidae tercatat memiiki kelimpahan individu tertinggi
sebanyak 537 individu diikuti jenis, Upeneus tragula 106 individu Lutjanus carponotatsus
(90 ekor) , Scarus gobhan (65 ekor) , Lutjanus fulviflamma (37 ekor) (Tabel 6).
0
50
100
150
200
250
Jum
lah
Jeni
s/Ind
ivid
u
Stasiun
PERBANDINGAN JUMLAH INDIVIDU DAN JUMLAH JENIS
IKAN TARGET DI PERAIRAN KAB, BINTAN, 2014
Jumlah Individu
Jumlah Jenis
Keanekaragaman jenis ikan indikator hasil sensus visual tahun 2014 bila
dibandingkan dengan kegiatan yang dilakukan selama tahun 2007 s/d 2010
keanekaragaman jenisnya cukup fluktuatif yaitu pada tahun 2007 dan 2008 tercatat 4 jenis
ikan indikator yakni jenis Chaetodon adiagastros, Chaetodon oktofasciatus, Chelmon
rostratus serta Heniochus varius sedangkan pada tahun 2010 , 2010 dan 2014 hanya
ditemukan dua jenis saja yakni jenis Chaetodon oktofasciatus dan Chelmon rostratus.
Demikian pula dengan kondisi kelimpahan individunya juga berfluktuatif setiap tahunnya
juga yakni pada tahun 2008 tercatat sebanyak 280 individu kemudian pada tahun 2009
menurun menjadi 259, lalu pada tahun 2010 menurun lagi menjadi 190 individu kemudian
kemudian pada tahun 2014 tercatat sebanyak 265 individu.
2.3.1.2. Sebaran Ikan Target
Hasil sensus visual ikan target ditemukan sebanyak 49 jenis dari 10 suku dengan total
kehadiran sebanyak 1302 individu atau kepadatan ikan mencapai 0, 2657 ekor/m2 atau
2657 ekor/ha. Suku Caesionidae memiliki kelimpahan individu tertinggi sebesar 587
individu, terdiri dari 4 jenis , diikuti suku Lutjanidae sebanyak 198 individu (6 jenis), suku
Scaridae sebanyak 125 individu dan Serranidae sebanyak 85 individu sedangkan yang
terendah adalah suku Lethrinidae sebanyak 8 individu (3 jenis) dan Haemulidae sebanyak 4
individu (2 jenis) (Tabel 5.)
Tabel 5. Jumlah Individu dan Jumlah Jenis setiap suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC, di perairan Bintan Utara, Kabupaten Bintan 2014.
No
Suku
Jumlah Individu
Jumlah Jenis
1 CAESIONIDAE 587 4 2 LUTJANIDAE 198 6 3 SCARIDAE 125 6 4 MULIDAE 106 1 5 NEMIPTERIDAE 96 8 6 SERRANIDAE 85 11 7 LABRIDAE 50 4 8 SIGANIDAE 41 4 9 LETHRINIDAE 8 3 10 HAEMULIDAE 4 2
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 29
Stasiun pengamatan KRILL 77 tercatat memiliki kelimpahan individu tertinggi yakni
sebesar 216 individu yang tergolong dalam 15 jenis diikuti stasiun KRIL 18 dan KRIL 81
dengan kelimpahan masing- masing 207 individu (18 jenis) dan 156 individu (23 jenis)
Gambar 8.
Gambar 8. Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan target, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.
Jenis ikan Caesio teres dari suku Caesionidae tercatat memiiki kelimpahan individu tertinggi
sebanyak 537 individu diikuti jenis, Upeneus tragula 106 individu Lutjanus carponotatsus
(90 ekor) , Scarus gobhan (65 ekor) , Lutjanus fulviflamma (37 ekor) (Tabel 6).
0
50
100
150
200
250
Jum
lah
Jeni
s/Ind
ivid
u
Stasiun
PERBANDINGAN JUMLAH INDIVIDU DAN JUMLAH JENIS
IKAN TARGET DI PERAIRAN KAB, BINTAN, 2014
Jumlah Individu
Jumlah Jenis
Keanekaragaman jenis ikan indikator hasil sensus visual tahun 2014 bila
dibandingkan dengan kegiatan yang dilakukan selama tahun 2007 s/d 2010
keanekaragaman jenisnya cukup fluktuatif yaitu pada tahun 2007 dan 2008 tercatat 4 jenis
ikan indikator yakni jenis Chaetodon adiagastros, Chaetodon oktofasciatus, Chelmon
rostratus serta Heniochus varius sedangkan pada tahun 2010 , 2010 dan 2014 hanya
ditemukan dua jenis saja yakni jenis Chaetodon oktofasciatus dan Chelmon rostratus.
Demikian pula dengan kondisi kelimpahan individunya juga berfluktuatif setiap tahunnya
juga yakni pada tahun 2008 tercatat sebanyak 280 individu kemudian pada tahun 2009
menurun menjadi 259, lalu pada tahun 2010 menurun lagi menjadi 190 individu kemudian
kemudian pada tahun 2014 tercatat sebanyak 265 individu.
2.3.1.2. Sebaran Ikan Target
Hasil sensus visual ikan target ditemukan sebanyak 49 jenis dari 10 suku dengan total
kehadiran sebanyak 1302 individu atau kepadatan ikan mencapai 0, 2657 ekor/m2 atau
2657 ekor/ha. Suku Caesionidae memiliki kelimpahan individu tertinggi sebesar 587
individu, terdiri dari 4 jenis , diikuti suku Lutjanidae sebanyak 198 individu (6 jenis), suku
Scaridae sebanyak 125 individu dan Serranidae sebanyak 85 individu sedangkan yang
terendah adalah suku Lethrinidae sebanyak 8 individu (3 jenis) dan Haemulidae sebanyak 4
individu (2 jenis) (Tabel 5.)
Tabel 5. Jumlah Individu dan Jumlah Jenis setiap suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC, di perairan Bintan Utara, Kabupaten Bintan 2014.
No
Suku
Jumlah Individu
Jumlah Jenis
1 CAESIONIDAE 587 4 2 LUTJANIDAE 198 6 3 SCARIDAE 125 6 4 MULIDAE 106 1 5 NEMIPTERIDAE 96 8 6 SERRANIDAE 85 11 7 LABRIDAE 50 4 8 SIGANIDAE 41 4 9 LETHRINIDAE 8 3 10 HAEMULIDAE 4 2
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201430
Tabel 7. Total biomasa dari sepuluh suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Utara, Kabupaten Bintan, 2014 .
No Suku
Biomasa
(kg/ha)
1 CAESIONIDAE 176,7
2 LUTJANIDAE 69,7
3 SCARIDAE 29,5
4 MULIDAE 12
5 NEMIPTERIDAE 12,3
6 SERRANIDAE 14,8
7 LABRIDAE 10,9
8 SIGANIDAE 10,8
9 LETHRINIDAE 1
10. HAEMULIDAE 1,1
Total 338,8
Pada Tabel 8 di bawah ini ditampilkan sepuluh jenis ikan target yang memiliki biomas
tertinggi pada empat belas stasiun penelitian di Kabupaten Bintan (kg/ha) . Jenis ikan Ekor
kuning Caesio teres tercatat memiliki biomasa tertinggi sebesar 168. Kg/ha ddiikuti jenis
Lutjanus carponotatus dan Upeneus tragulla masing – masing seberat 52 kg/ha kg dan 12
kg/ha.
Tabel 6. Kelimpahan individu ikan target berdasarkan dominansi jenis (KI = kelimpahan individu, densitas(ekor/m2) dan FK = frekuensi kehadiran .(%)
No Jenis Suku KI Densitas (ekor/m2)
FK (%)
1 Caesio teres Caesionidae 537 0,1096 79 2 Upeneus tragula Mulidae 106 0,0216 21 3 Lutjanus carponottatus Lutjanidae 90 0,0184 86 4 Scarus ghobban Scaridae 65 0,0133 71 5 Lutjanus fulviflamma Lutjanidae 37 0,0076 43 6 Lutjanus vitta Lutjanidae 34 0,0069 43 7 Lutjanus lineolatus Lutjanidae 33 0,0067 21 8 Cephalopholis boenak Serranidae 30 0,0061 71 9 Caesio caerulaurea Caesionidae 30 0,0061 7 10 Hemigymnus melapterus Labridae 28 0,0057 79
2.3.2. Estimasi Potensi Sediaan Cadang (Standing stock) ikan target
Untuk mendapatkan bobot berat ikan (biomass) dari panjang total individu setiap
spesies ikan target hasil sensus, maka digunakan nilai konstanta a dan b dari hasil-hasil
penelitian hubungan panjang berat beberapa spesies ikan. Nilai tersebut dapat diperoleh dari
website fishbase.
Total biomasa ikan target hasil sensus visual di perairan Kabupaten Bintan sebesar
314,6 kg/ha dengan ukuran panjang ikan berkisar antara 15 – 25 cm dengan berat berkisar
antara 50 gr – 150 gr, hal ini menunjukkan bahwa ikan-ikan target yang ditemukan di
perairan Bintan umumnya merupakan ikan-ikan yang masih muda (adult). Biomas dari
masing-masing suku yang ditemukan di perairan Bintan dapat dilihat padat Tabel 7 di bawah
ini.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 31
Tabel 7. Total biomasa dari sepuluh suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Utara, Kabupaten Bintan, 2014 .
No Suku
Biomasa
(kg/ha)
1 CAESIONIDAE 176,7
2 LUTJANIDAE 69,7
3 SCARIDAE 29,5
4 MULIDAE 12
5 NEMIPTERIDAE 12,3
6 SERRANIDAE 14,8
7 LABRIDAE 10,9
8 SIGANIDAE 10,8
9 LETHRINIDAE 1
10. HAEMULIDAE 1,1
Total 338,8
Pada Tabel 8 di bawah ini ditampilkan sepuluh jenis ikan target yang memiliki biomas
tertinggi pada empat belas stasiun penelitian di Kabupaten Bintan (kg/ha) . Jenis ikan Ekor
kuning Caesio teres tercatat memiliki biomasa tertinggi sebesar 168. Kg/ha ddiikuti jenis
Lutjanus carponotatus dan Upeneus tragulla masing – masing seberat 52 kg/ha kg dan 12
kg/ha.
Tabel 6. Kelimpahan individu ikan target berdasarkan dominansi jenis (KI = kelimpahan individu, densitas(ekor/m2) dan FK = frekuensi kehadiran .(%)
No Jenis Suku KI Densitas (ekor/m2)
FK (%)
1 Caesio teres Caesionidae 537 0,1096 79 2 Upeneus tragula Mulidae 106 0,0216 21 3 Lutjanus carponottatus Lutjanidae 90 0,0184 86 4 Scarus ghobban Scaridae 65 0,0133 71 5 Lutjanus fulviflamma Lutjanidae 37 0,0076 43 6 Lutjanus vitta Lutjanidae 34 0,0069 43 7 Lutjanus lineolatus Lutjanidae 33 0,0067 21 8 Cephalopholis boenak Serranidae 30 0,0061 71 9 Caesio caerulaurea Caesionidae 30 0,0061 7 10 Hemigymnus melapterus Labridae 28 0,0057 79
2.3.2. Estimasi Potensi Sediaan Cadang (Standing stock) ikan target
Untuk mendapatkan bobot berat ikan (biomass) dari panjang total individu setiap
spesies ikan target hasil sensus, maka digunakan nilai konstanta a dan b dari hasil-hasil
penelitian hubungan panjang berat beberapa spesies ikan. Nilai tersebut dapat diperoleh dari
website fishbase.
Total biomasa ikan target hasil sensus visual di perairan Kabupaten Bintan sebesar
314,6 kg/ha dengan ukuran panjang ikan berkisar antara 15 – 25 cm dengan berat berkisar
antara 50 gr – 150 gr, hal ini menunjukkan bahwa ikan-ikan target yang ditemukan di
perairan Bintan umumnya merupakan ikan-ikan yang masih muda (adult). Biomas dari
masing-masing suku yang ditemukan di perairan Bintan dapat dilihat padat Tabel 7 di bawah
ini.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201432
2.4. Megabentos
Sampling biota megabentos dilakukan bersamaan dengan sampling karang dan ikan
karang di garis transek yang sama, yang berbeda ialah pada luasnya bidang pengamatan .
hasil pengamatan diuraikan selanjutnya.
2.4.1. Komposisi Biota Megabentos
Fauna megabentos yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan adalah sebanyak 5
jenis dengan total individu 1629 individu. Megabenthos yang ditemukan terbagi dalam 2
kelompok, yaitu Ekinodermata terdiri dari Acanthaster planci dan Diadema sp. (2 jenis) dan
kelompok Moluska terdiri dari Drupella spp., Tridacna sp. dan Trochus sp. Jumlah jenis
terbanyak terdapat di stasiun KRIL16 (4 jenis) sedangkan yang terendah di stasiun KRIL74,
KRIL81 dan KRIL90 (masing-masing 2 jenis). Secara umum kehadiran jenis-jenis
megabentos relatif merata pada setiap stasiun pengamatan (Tabel 10).
Dilihat dari jumlah individu, stasiun KRIL14 memilik jumlah individu tertinggi, yaitu
sebanyak 305 individu/m2, diikuti KRIL17 (203 individu/m2) dan KRIL85 (181 individu/m2).
Kontribusi Diadema sp. terhadap tingginya jumlah individu megabentos pada stasiun
KRIL14 sangat dominan, sebesar 92,79% dari total individu pada stasiun tersebut. Jenis ini
memiliki sebaran yang sangat luas dan hadir pada semua stasiun pengamatan. Sedangkan
jumlah individu terendah di catat pada stasiun KRIL81 (3 individu/m2) dan hanya terdiri dari
2 jenis megabentos yaitu Diadema sp. dan Drupella sp. Jumlah individu dan jenis
megabentos yang ditemukan pada masing-masing stasiun ditampilkan pada Gambar 9.
Hasil pengamatan menunjukkan jumlah individu dari setiap jenis yang ditemukan pada
masing-masing stasiun didominasi oleh kehadiran Diadema sp. Kehadiran jenis ini erat
kaitannya dengan substrat sebagai tempat hidup, ketersediaan makanan serta mampu
beradaptasi dengan lingkungan. Hampir semua stasiun pengamatan memiliki substrat yang
didominasi oleh pasir. Umumnya jenis ini sering ditemukan dalam jumlah individu yang
menonjol pada substrat pasir dengan kondisi perairan yang relatif tenang. Diadema termasuk
hewan herbivor, makanan utama Diadema setosum dan bintang laut lainnya adalah alga
bentik (Collin & Arnesson 1995).
Walaupun memiliki jumlah individu yang jauh lebih sedikit dibandingkan Diadema
sp., Drupella sp. dan Tridacna sp. memiliki sebaran yang cukup luas. Dimana dari 14 stasiun
yang diamati kedua jenis ini dicatat hadir pada 13 dan 10 stasiun. Kehadiran Drupella
berghubungan dengan jenis-jenis karang yang menjadi makanan utamanya. Beberapa
Tabel 8. Sepuluh jenis ikan target dengan total nilai biomasa, hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Utara,Kabupaten Bintan , 2014.
No Jenis
Nama Indonesia
Taksiran Selang
panjang (cm)
Kelimpahan (ekor/ha)
Biomasa (Kg/ha)
1. Caesio teres Ekor kuning 20 1096 168 2 Lutjanus carponottatus Kakap 25 184 52 3 Upeneus tragula Mulut Tikus 15 216 12 4 Scarus sordidus Kakatua 20 45 10 5 Scarus ghobban Kakatua 15 133 9 6 Lutjanus lineolatus Kakap 20 67 8 7 Siganus virgatus Beronang 20 41 7 8 Scarus dimidiatus Kakatua 20 37 6 9 Cheilinus fasciatus Keling 20 37 6 10 Lutjanus fulviflamma Kakap 15 76 5
Biomas dari beberapa jenis ikan Target Kelompok Utama seperti Kerapu, Kakap, Lencam, Beronang, Bibir tebal dan Ikan Napoleon dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini. Tabel 9. Biomas dari beberapa jenis ikan Target Kelompok Utama hasil studi baseline dengan
metode UVC di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan , 2014.
No Nama Latin Nama Indonesia
Taksiran Selang panjang
(cm)
Densitas (ekor/ha)
Biomas (Kg/ha)
1 Lutjanus vitta Kakap 15 69 4 2 Cephalopholis boenak Kerapu 15 61 3 3 Cephalopholis urodeta Kerapu 15 43 2 4 Plectropomus truncatus Kerapu 25 10 2 5 Siganus corralinus Beronang 20 10 2 6 Plectropomus leopardus Kerapu 20 10 1 7 Cheilinus undulatus Napoleon 25 4 1 8 Lutjanus russelli Kakap 25 4 1 9 Lethrinus harak Lencam 15 6 0
10 Lethrinus ornatus Lencam 15 8 0 11 Cephalopholis argus Kerapu 15 6 0 12 Lutjanus decussatus Kakap 15 4 0 13 Plectorhinchus chaetodonoides Bibir tebal 10 4 0
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 33
2.4. Megabentos
Sampling biota megabentos dilakukan bersamaan dengan sampling karang dan ikan
karang di garis transek yang sama, yang berbeda ialah pada luasnya bidang pengamatan .
hasil pengamatan diuraikan selanjutnya.
2.4.1. Komposisi Biota Megabentos
Fauna megabentos yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan adalah sebanyak 5
jenis dengan total individu 1629 individu. Megabenthos yang ditemukan terbagi dalam 2
kelompok, yaitu Ekinodermata terdiri dari Acanthaster planci dan Diadema sp. (2 jenis) dan
kelompok Moluska terdiri dari Drupella spp., Tridacna sp. dan Trochus sp. Jumlah jenis
terbanyak terdapat di stasiun KRIL16 (4 jenis) sedangkan yang terendah di stasiun KRIL74,
KRIL81 dan KRIL90 (masing-masing 2 jenis). Secara umum kehadiran jenis-jenis
megabentos relatif merata pada setiap stasiun pengamatan (Tabel 10).
Dilihat dari jumlah individu, stasiun KRIL14 memilik jumlah individu tertinggi, yaitu
sebanyak 305 individu/m2, diikuti KRIL17 (203 individu/m2) dan KRIL85 (181 individu/m2).
Kontribusi Diadema sp. terhadap tingginya jumlah individu megabentos pada stasiun
KRIL14 sangat dominan, sebesar 92,79% dari total individu pada stasiun tersebut. Jenis ini
memiliki sebaran yang sangat luas dan hadir pada semua stasiun pengamatan. Sedangkan
jumlah individu terendah di catat pada stasiun KRIL81 (3 individu/m2) dan hanya terdiri dari
2 jenis megabentos yaitu Diadema sp. dan Drupella sp. Jumlah individu dan jenis
megabentos yang ditemukan pada masing-masing stasiun ditampilkan pada Gambar 9.
Hasil pengamatan menunjukkan jumlah individu dari setiap jenis yang ditemukan pada
masing-masing stasiun didominasi oleh kehadiran Diadema sp. Kehadiran jenis ini erat
kaitannya dengan substrat sebagai tempat hidup, ketersediaan makanan serta mampu
beradaptasi dengan lingkungan. Hampir semua stasiun pengamatan memiliki substrat yang
didominasi oleh pasir. Umumnya jenis ini sering ditemukan dalam jumlah individu yang
menonjol pada substrat pasir dengan kondisi perairan yang relatif tenang. Diadema termasuk
hewan herbivor, makanan utama Diadema setosum dan bintang laut lainnya adalah alga
bentik (Collin & Arnesson 1995).
Walaupun memiliki jumlah individu yang jauh lebih sedikit dibandingkan Diadema
sp., Drupella sp. dan Tridacna sp. memiliki sebaran yang cukup luas. Dimana dari 14 stasiun
yang diamati kedua jenis ini dicatat hadir pada 13 dan 10 stasiun. Kehadiran Drupella
berghubungan dengan jenis-jenis karang yang menjadi makanan utamanya. Beberapa
Tabel 8. Sepuluh jenis ikan target dengan total nilai biomasa, hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Utara,Kabupaten Bintan , 2014.
No Jenis
Nama Indonesia
Taksiran Selang
panjang (cm)
Kelimpahan (ekor/ha)
Biomasa (Kg/ha)
1. Caesio teres Ekor kuning 20 1096 168 2 Lutjanus carponottatus Kakap 25 184 52 3 Upeneus tragula Mulut Tikus 15 216 12 4 Scarus sordidus Kakatua 20 45 10 5 Scarus ghobban Kakatua 15 133 9 6 Lutjanus lineolatus Kakap 20 67 8 7 Siganus virgatus Beronang 20 41 7 8 Scarus dimidiatus Kakatua 20 37 6 9 Cheilinus fasciatus Keling 20 37 6 10 Lutjanus fulviflamma Kakap 15 76 5
Biomas dari beberapa jenis ikan Target Kelompok Utama seperti Kerapu, Kakap, Lencam, Beronang, Bibir tebal dan Ikan Napoleon dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini. Tabel 9. Biomas dari beberapa jenis ikan Target Kelompok Utama hasil studi baseline dengan
metode UVC di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan , 2014.
No Nama Latin Nama Indonesia
Taksiran Selang panjang
(cm)
Densitas (ekor/ha)
Biomas (Kg/ha)
1 Lutjanus vitta Kakap 15 69 4 2 Cephalopholis boenak Kerapu 15 61 3 3 Cephalopholis urodeta Kerapu 15 43 2 4 Plectropomus truncatus Kerapu 25 10 2 5 Siganus corralinus Beronang 20 10 2 6 Plectropomus leopardus Kerapu 20 10 1 7 Cheilinus undulatus Napoleon 25 4 1 8 Lutjanus russelli Kakap 25 4 1 9 Lethrinus harak Lencam 15 6 0
10 Lethrinus ornatus Lencam 15 8 0 11 Cephalopholis argus Kerapu 15 6 0 12 Lutjanus decussatus Kakap 15 4 0 13 Plectorhinchus chaetodonoides Bibir tebal 10 4 0
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201434
Acanthaster plancii dan Trochus sp. hanya hadir sekali yaitu pada stasiun KRIL16 dan
KRIL17 dengan jumlah individu yang sangat sediki, masing-masing 1 individu. Trochus sp.
(lola) selalu hidup dan muda ditemukan pada rataan terumbu yang banyak tumbuh mikroalga
dan merupakan makan utamanya. Lola hidup pada habitat terumbu karang dengan gelombang
yang cukup besar. Kepadatan dan distribusi lola berhubungan dengan kedalaman perairan dan
serta ketersediaan mikroalga sebagai sumber makanan. Tidak hadirnya jenis-jenis biota
ekonomis penting lainnya seperti Teripang, Lobster atau banded coral shrimp dapat saja
disebabkan oleh substrat dan kondisi perairan sebagai tempat hidup yang tidak sesuai.
Sebagaimana diketahui bahwa hampir semua stasiun dalam pengamatan ini berada di pulau-
pulau kecil dengan perairannya yang keruh. Wibowo et al. 1997) menyatakan teripang
menyukai perairan yang jernih, relatif tenang serta bebas dari polusi dengan mutu air yang
cukup baik. Penyebaran biota dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti intensitas cahaya,
suhu, salinitas dan makanan (Cox & Moore, 2002). Secara umum, kehadiran jenis
megabentos pada setiap stasiun pengamatan relatif sama dan hanya berbeda dalam jumlah
individu.
Gambar 9. Jumlah individu dan jenis megabentos hasil studi baseline dengan metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.
2.4.2. Nilai indeks keanekaraganman dan indeks kemerataan
Perhitungan nilai indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan jenis (J’) pada setiap
stasiun pengamatan cukup bervariasi, nilai keragaman yang didapat berkisar antara 0,06 –
0,72 dan nilai kemerataan jenis (J’) berkisar antara 0,11 – 0,92 (Tabel 2). Stasiun KRIL16
00,511,522,533,544,5
050
100150200250300350
KR
IL13
KR
IL14
KR
IL15
KR
IL16
KR
IL17
KR
IL18
KR
IL74
KR
IL77
KR
IL81
KR
IL85
KR
IL90
KR
IL92
KR
IL A
KR
IL B
Jum
lah
Jeni
s
Jum
lah
Indi
vidu
Jumlah Jenis Jumlah Individu
penelitian mengatakan bahwa kehadiran Drupella pada suatu koloni karang erat kaitannya
dengan kondisi kesehatan terumbu karang, dan umumnya cenderung menempel pada koloni
karang yang tidak sehat. Menurut Jimenez at al. (2012), ada tidaknya Drupella sp. pada
ekosistem terumbu karang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan. Drupella
umumnya menyukai perairan dengan arus yang lambat (Schumacher 1992). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa selain kondisi perairan yang tidak sesuai, rendahnya
keragaman jenis-jenis karang sebagai target makanannya juga dapat menjadi penyebab
berkurangnya kehadiran Drupella pada setiap stasiun di perairan ini.
Kondisi yang sama juga terjadi pada Tridacna sp. (kima) yang memiliki jumlah total
individu sebanyak 23 individu/m2, dimana jumlah individu tertinggi ada pada stasiun KRIL14
dan KRIL15 (masing-masing 5 individ/m2). Dengan cara makan yang menyaring makanan
(filter feeder) dari dalam air, kima cenderung memilih untuk hidup pada perairan yang jernih.
Untuk bisa mendapatkan makan maka zooxanthella yang hidup bersimbiosis dengan kima
membutuhkan sinar matahari untuk bisa melakukan proses fotosintesa. Tridacna adalah biota
yang hidupnya berkelompok, hal ini erat kaitannya dengan cara memijah yang disebut
simultan hermaphrodite. Dimana pada saat satu kima dewasa melakukan pemijahan, sel telur
yang terbawa arus akan merangsang induk kima lain yang berada disekitarnya untuk memijah
pula. Dan hal ini akan sulit terjadi bila hanya ada 1 atau 2 individu kima pada satu luasan
perairan terumbu. Kondisi seperti ini dapat menghambat jenis tersebut untuk beregenerasi.
. Tabel 10. Komposisi jenis dan sebaran individu megabentos, hasil studi baseline dengan
metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.
Stasiun Ekinodermata Moluska Acanthaster planci Diadema sp. Drupella sp. Tridacna sp. (kima) Trochus sp. (lola)
KRIL13 0 121 7 4 0 KRIL14 0 283 17 5 0 KRIL15 0 144 39 5 0 KRIL16 0 47 12 3 1 KRIL17 1 201 0 1 0 KRIL18 0 57 28 1 0 KRIL74 0 86 22 0 0 KRIL77 0 72 3 1 0 KRIL81 0 2 1 0 0 KRIL85 0 177 3 1 0 KRIL90 0 45 7 0 0 KRIL92 0 16 3 71 0 KRIL A 0 117 7 1 0 KRIL B 0 82 5 1 0
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 35
Acanthaster plancii dan Trochus sp. hanya hadir sekali yaitu pada stasiun KRIL16 dan
KRIL17 dengan jumlah individu yang sangat sediki, masing-masing 1 individu. Trochus sp.
(lola) selalu hidup dan muda ditemukan pada rataan terumbu yang banyak tumbuh mikroalga
dan merupakan makan utamanya. Lola hidup pada habitat terumbu karang dengan gelombang
yang cukup besar. Kepadatan dan distribusi lola berhubungan dengan kedalaman perairan dan
serta ketersediaan mikroalga sebagai sumber makanan. Tidak hadirnya jenis-jenis biota
ekonomis penting lainnya seperti Teripang, Lobster atau banded coral shrimp dapat saja
disebabkan oleh substrat dan kondisi perairan sebagai tempat hidup yang tidak sesuai.
Sebagaimana diketahui bahwa hampir semua stasiun dalam pengamatan ini berada di pulau-
pulau kecil dengan perairannya yang keruh. Wibowo et al. 1997) menyatakan teripang
menyukai perairan yang jernih, relatif tenang serta bebas dari polusi dengan mutu air yang
cukup baik. Penyebaran biota dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti intensitas cahaya,
suhu, salinitas dan makanan (Cox & Moore, 2002). Secara umum, kehadiran jenis
megabentos pada setiap stasiun pengamatan relatif sama dan hanya berbeda dalam jumlah
individu.
Gambar 9. Jumlah individu dan jenis megabentos hasil studi baseline dengan metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.
2.4.2. Nilai indeks keanekaraganman dan indeks kemerataan
Perhitungan nilai indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan jenis (J’) pada setiap
stasiun pengamatan cukup bervariasi, nilai keragaman yang didapat berkisar antara 0,06 –
0,72 dan nilai kemerataan jenis (J’) berkisar antara 0,11 – 0,92 (Tabel 2). Stasiun KRIL16
00,511,522,533,544,5
050
100150200250300350
KR
IL13
KR
IL14
KR
IL15
KR
IL16
KR
IL17
KR
IL18
KR
IL74
KR
IL77
KR
IL81
KR
IL85
KR
IL90
KR
IL92
KR
IL A
KR
IL B
Jum
lah
Jeni
s
Jum
lah
Indi
vidu
Jumlah Jenis Jumlah Individu
penelitian mengatakan bahwa kehadiran Drupella pada suatu koloni karang erat kaitannya
dengan kondisi kesehatan terumbu karang, dan umumnya cenderung menempel pada koloni
karang yang tidak sehat. Menurut Jimenez at al. (2012), ada tidaknya Drupella sp. pada
ekosistem terumbu karang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan. Drupella
umumnya menyukai perairan dengan arus yang lambat (Schumacher 1992). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa selain kondisi perairan yang tidak sesuai, rendahnya
keragaman jenis-jenis karang sebagai target makanannya juga dapat menjadi penyebab
berkurangnya kehadiran Drupella pada setiap stasiun di perairan ini.
Kondisi yang sama juga terjadi pada Tridacna sp. (kima) yang memiliki jumlah total
individu sebanyak 23 individu/m2, dimana jumlah individu tertinggi ada pada stasiun KRIL14
dan KRIL15 (masing-masing 5 individ/m2). Dengan cara makan yang menyaring makanan
(filter feeder) dari dalam air, kima cenderung memilih untuk hidup pada perairan yang jernih.
Untuk bisa mendapatkan makan maka zooxanthella yang hidup bersimbiosis dengan kima
membutuhkan sinar matahari untuk bisa melakukan proses fotosintesa. Tridacna adalah biota
yang hidupnya berkelompok, hal ini erat kaitannya dengan cara memijah yang disebut
simultan hermaphrodite. Dimana pada saat satu kima dewasa melakukan pemijahan, sel telur
yang terbawa arus akan merangsang induk kima lain yang berada disekitarnya untuk memijah
pula. Dan hal ini akan sulit terjadi bila hanya ada 1 atau 2 individu kima pada satu luasan
perairan terumbu. Kondisi seperti ini dapat menghambat jenis tersebut untuk beregenerasi.
. Tabel 10. Komposisi jenis dan sebaran individu megabentos, hasil studi baseline dengan
metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.
Stasiun Ekinodermata Moluska Acanthaster planci Diadema sp. Drupella sp. Tridacna sp. (kima) Trochus sp. (lola)
KRIL13 0 121 7 4 0 KRIL14 0 283 17 5 0 KRIL15 0 144 39 5 0 KRIL16 0 47 12 3 1 KRIL17 1 201 0 1 0 KRIL18 0 57 28 1 0 KRIL74 0 86 22 0 0 KRIL77 0 72 3 1 0 KRIL81 0 2 1 0 0 KRIL85 0 177 3 1 0 KRIL90 0 45 7 0 0 KRIL92 0 16 3 71 0 KRIL A 0 117 7 1 0 KRIL B 0 82 5 1 0
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201436
2.5. Mangrove
Untuk mangrove, telah dilakukan pencatatan data, dengan menggunakan metode
transek garis dan fotografi hemisfer yang telah disepakati untuk pelaksanaan monitoring
mangrove di kawasan COREMAP-CTI. Metode fotografi mengacu kepada penelitian
Jenning et al. (1999) yang dimodifikasi. Metode transek garis dibuat dan pada setiap zona
dibuat plot berukuran 10x10 m2 di sepanjang transek garis untuk diukur diameter pohon pada
ketinggian dada (DBH) yang memiliki lingkar batang minimal 16 cm. Dicatat jenis yang
tumbuh didalam plot mengacu pada kepada Tomlinson (1986), Giesen et al. (2002) dan Noor
et al. (2002) serta dihitung lingkar batang dan jumlah pohon di setiap plot. Metode fotografi
dilakukan pada empat kuadran disetiap plot penelitian. Pada setiap kuadran dilakukan
pengambilan foto kearah langit. Foto dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak
imageJ dengan menggunakan analisis perbandingan pixel.
2.5.1. Persentase tutupan mangrove
Hasil pengamatan disajikan dalam Tabel 12. Hasil persentasi tutupan mangrove di
lokasi pengamatan ditampilkan dalam peta pada Gambar 9.
Gambar 10. Peta persentase tutupan mangrove hasil transek di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan 2014
memiliki nilai keragaman tertinggi (0,74) sedangkan nilai kemerataan jenis tertinggi dicatat
pada stasiun KRIL (0,92). Tingginya nilai keanekargaman jenis disebabkan oleh hadirnya
jumlah jenis megabentos pada stasiun terseebut. Sedangkan tingginya nilai kemerataan
menunjukkan bahwa setiap jenis megabentos yang ditemukan pada stasiun tersebut memiliki
jumlah individu yang berimbang atau tersebar merata untuk setiap jenis. Nilai indeks
keragaman dan kemerataan jenis terendah terdapat di stasiun KRIL, masing-masing 0,06 dan
0,05. Rendahnya nilai ini disebabkan oleh sedikitnya jenis megabentos yang ditemukan juga
ada pemusatan jumlah individu pada jenis Diadema sp. yang dicatat sebanyak 201 individu
(99,01%) dari jumlah total individu pada stasiun tersebut (203 individu). Kemerataan jenis
akan tinggi, bila tidak ada dominasi atau pemusatan individu pada suatu jenis tertentu
(ODUM (1993).
Nilai rata-rata hasil perhitungan indeks struktur komunitas pada perairan ini
menunjukkan bahwa keragaman dan kemerataan jenis megabentos relatif rendah (masing-
masing 0,42 dan 0,43). Hal ini disebabkan oleh sedikitnya kehadiran jenis-jenis megabentos
pada setiap stasiun pengamatan serta tidak meratanya persebaran individu pada setiap jenis
yang diwakilinya. Diduga kondisi perairan yang keruh dan tipe habitat yang tidak sesuai
dapat mempengaruhi kehadiran jenis-jenis megabentos khususnya dari kelompok moluska
dan ekhinodermata seperti Tridacna spp., Trochus sp. dan Holuthurian, yang lebih menyukai
perairan jernih sebagai tempat hidupnya.
Tabel 11. Nilai indek keanekaragaman (H) dan kemerataan jenis (J’) pada masing-masing stasiun pengamatan.
Stasiun
S
N
H
J' KRIL13 3 132 0.34 0.31 KRIL14 3 305 0.3 0.27 KRIL15 3 188 0.63 0.57 KRIL16 4 63 0.74 0.54 KRIL17 3 203 0.06 0.05 KRIL18 3 86 0.69 0.63 KRIL74 2 108 0.51 0.73 KRIL77 3 76 0.24 0.21 KRIL81 2 3 0.66 0.92 KRIL85 3 181 0.12 0.11 KRIL90 2 52 0.4 0.57 KRIL92 3 90 0.61 0.55 KRIL A 3 125 0.26 0.24 KRIL B 3 88 0.28 0.25
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 37
2.5. Mangrove
Untuk mangrove, telah dilakukan pencatatan data, dengan menggunakan metode
transek garis dan fotografi hemisfer yang telah disepakati untuk pelaksanaan monitoring
mangrove di kawasan COREMAP-CTI. Metode fotografi mengacu kepada penelitian
Jenning et al. (1999) yang dimodifikasi. Metode transek garis dibuat dan pada setiap zona
dibuat plot berukuran 10x10 m2 di sepanjang transek garis untuk diukur diameter pohon pada
ketinggian dada (DBH) yang memiliki lingkar batang minimal 16 cm. Dicatat jenis yang
tumbuh didalam plot mengacu pada kepada Tomlinson (1986), Giesen et al. (2002) dan Noor
et al. (2002) serta dihitung lingkar batang dan jumlah pohon di setiap plot. Metode fotografi
dilakukan pada empat kuadran disetiap plot penelitian. Pada setiap kuadran dilakukan
pengambilan foto kearah langit. Foto dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak
imageJ dengan menggunakan analisis perbandingan pixel.
2.5.1. Persentase tutupan mangrove
Hasil pengamatan disajikan dalam Tabel 12. Hasil persentasi tutupan mangrove di
lokasi pengamatan ditampilkan dalam peta pada Gambar 9.
Gambar 10. Peta persentase tutupan mangrove hasil transek di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan 2014
memiliki nilai keragaman tertinggi (0,74) sedangkan nilai kemerataan jenis tertinggi dicatat
pada stasiun KRIL (0,92). Tingginya nilai keanekargaman jenis disebabkan oleh hadirnya
jumlah jenis megabentos pada stasiun terseebut. Sedangkan tingginya nilai kemerataan
menunjukkan bahwa setiap jenis megabentos yang ditemukan pada stasiun tersebut memiliki
jumlah individu yang berimbang atau tersebar merata untuk setiap jenis. Nilai indeks
keragaman dan kemerataan jenis terendah terdapat di stasiun KRIL, masing-masing 0,06 dan
0,05. Rendahnya nilai ini disebabkan oleh sedikitnya jenis megabentos yang ditemukan juga
ada pemusatan jumlah individu pada jenis Diadema sp. yang dicatat sebanyak 201 individu
(99,01%) dari jumlah total individu pada stasiun tersebut (203 individu). Kemerataan jenis
akan tinggi, bila tidak ada dominasi atau pemusatan individu pada suatu jenis tertentu
(ODUM (1993).
Nilai rata-rata hasil perhitungan indeks struktur komunitas pada perairan ini
menunjukkan bahwa keragaman dan kemerataan jenis megabentos relatif rendah (masing-
masing 0,42 dan 0,43). Hal ini disebabkan oleh sedikitnya kehadiran jenis-jenis megabentos
pada setiap stasiun pengamatan serta tidak meratanya persebaran individu pada setiap jenis
yang diwakilinya. Diduga kondisi perairan yang keruh dan tipe habitat yang tidak sesuai
dapat mempengaruhi kehadiran jenis-jenis megabentos khususnya dari kelompok moluska
dan ekhinodermata seperti Tridacna spp., Trochus sp. dan Holuthurian, yang lebih menyukai
perairan jernih sebagai tempat hidupnya.
Tabel 11. Nilai indek keanekaragaman (H) dan kemerataan jenis (J’) pada masing-masing stasiun pengamatan.
Stasiun
S
N
H
J' KRIL13 3 132 0.34 0.31 KRIL14 3 305 0.3 0.27 KRIL15 3 188 0.63 0.57 KRIL16 4 63 0.74 0.54 KRIL17 3 203 0.06 0.05 KRIL18 3 86 0.69 0.63 KRIL74 2 108 0.51 0.73 KRIL77 3 76 0.24 0.21 KRIL81 2 3 0.66 0.92 KRIL85 3 181 0.12 0.11 KRIL90 2 52 0.4 0.57 KRIL92 3 90 0.61 0.55 KRIL A 3 125 0.26 0.24 KRIL B 3 88 0.28 0.25
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201438
Di stasiun Pulau Numbing yang memiliki nilai persentase tutupan mangrove dan
kerapatan pohon yang tinggi hanya terdiri jadi satu species, Rhizophora apiculata. Hal ini
disebabkan karena kawasan tersebut memiliki substrat pasir lumpuran yang sangat
mendukung pertumbuhan jenis tersebut. Marga Bruguierra dan Xylocarpus ditemukan di
kawasan ini namun ukuran lingkar batangnya masih kecil.
Dua stasiun di Pulau Pangkil, BINM03 dan BINM04 memiliki perbedaan pada
kondisi substrat dan arus. Stasiun BINM03 didominasi oleh substrat pasir berbatu dan
merupakan wilayah dengan arus yang cukup kuat. Oleh karena itu, kawasan BINM03
memiliki substrat yang padat dan tidak berlumpur sehingga rendah organik. Jenis yang
mendominasi di kawasan ini adalah Bruguierra gymnorrhiza. Kawasan BINM04 memiliki
substrat yang yang lebih berlumpur dan sedikit lebih terlindung dibandingkan dengan
BINM03. Jenis yang mendominasi di kawasan ini adalah Rhizophora stylosa dengan indeks
nilai penting 127.87%. Kawasan BINM03 yang lebih dinamis dibandingkan dengan BINM04
memiliki keanekaragaman jenis lebih tinggi.
Satu stasiun di kawasan muara Sungai Kawal, BINM05, merupakan salah satu
wilayah yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Pada kawasan ini ditemukan enam
jenis mangrove yang didominasi oleh kelompok Rhizophora,. Kawasan Sungai Kawal
memiliki keragaman substrat yang cukup tinggi. Pada transek yang dekat dengan muara
sungai, substrat didominasi oleh lumpuran sedangkan pada wilayah yang lebih jauh dari
sungai memiliki substrat berpasir. Hal ini yang menyebabkan keanekaragaman jenis
mangrove cukup tinggi. Persentase tutupan mangrove di kawasan ini mencapai 75.07 ±
7.07% dengan kerapatan 1188.89 ± 483.33 pohon/ha. Nilai ini menunjukkan bahwa kondisi
komunitas mangrove di muara Sungai Kawal termasuk dalam kategori baik.
Stasiun Pulau Beralas Bakau, merupakan satu-satunya stasiun penelitian di wilayah
utara kawasan konservasi. Pulau ini memiliki substrat pasir dengan kondisi perairan yang
cukup dinamis. Stasiun BINM06 didominasi dengan baik oleh R. mucronata dengan nilai
INP 125.95%. Kondisi komunitas mangrove di stasiun BINM06 tergolong baik dengan
persentase tutupan 71.34 ± 14.89% dan kerapatan pohon 1333.33 ± 321.46 pohon/ha.
Lokasi di Pulau Mapur, terdiri dari empat stasiun penelitian dimana semuanya
difokuskan pada wilayah selatan dan timur pulau. Stasiun di wilayah timur pulau, BINM10
memiliki hutan mangrove yang cukup lebar, dengan substrat bervariasi dari pasir lumpuran
sampai berlumpur menyebabkan keanekaragaman jenisnya yang cukup tinggi. Kondisi
komunitas mengrove pada stasiun tersebut juga paling baik diantara ketiga stasiun lainnya.
Tabel 12 . Jumlah jenis, persentase tutupan mangrove, kerapatan dan INP jenis pada sepuluh stasiun penelitian mangrove di pesisir Bintan Timur , Kabupaten Bintan, 2014.
No Lokasi Stasiun Jumlah Jenis
%cover Kerapatan INP
Max Min
1 Numbing BINM01 1 89.57 ± 3.71d 2400.00 ± 529.15 RA : 300.00% -
BINM02 1 89.44 ± 1.39d 2300.00 ± 264.58 RA : 300.00% -
2 Pangkil BINM03 4 63.96 ± 21.27a 950.00 ± 217.94 BG : 117.41% PA : 25.14%
BINM04 3 82.40 ± 7.01c 2266.67 ± 321.46 RS : 127.87% RM : 70.95%
3 Kawal BINM05 6 75.07 ± 7.07bc 1188.89 ± 483.33 RA : 158.42% RM : 12.372%
4 Beralas Bakau
BINM06 3 71.34 ± 14.89b 1333.33 ± 321.46 RM : 125.95% RS: 68.79%
5 Mapur
BINM07 2 74.25 ± 3.51bc 4133.33 ± 305.51 RS : 174.82% RA : 125.18%
BINM10 6 81.91 ± 3.85c 4200.00 ± 1449.14 RA : 115.52% LR : 8.79%
BINM09 3 76.94 ± 6.52bc 2600.00 ± 800.00 RA : 202.14% XG : 30.78%
BINM08 2 78.28 ± 1.19bc 1850.00 ± 1048.33 RA : 178.45% RS : 121.55%
abANOVA, huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan secara nyata pada nilai %tutupan dan kerapatan antar stasiun penelitian (P<0.05) xyANOVA, uji beda nyata digunakan untuk membedakan nilai %tutupan dan kerapatan antar pulau. *Indeks nilai penting tertinggi dan terendah dalam setiap stasiun penelitian. Keterangan: RA: Rhizophora apiculata; BG: Bruguierra gymnorrhiza; PA : Pemphis acidula; RS: R. stylosa; RM: R. mucronata; XG: Xylocarpus granatum; & LR : Lumnitzera racemosa.
2.5.2. Kondisi mangrove di masing-masing lokasi transek
Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove
dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara
63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Pulau Numbing memiliki persentase tutupan
mangrove yang paling tinggi di dua stasiun penelitiannya BINM01 dan BINM02 yang tidak
berbeda secara statistik (P<0.05). Persentase tutupan mangrove yang paling rendah
ditemukan di Pulau Mangkil, stasiun BINM03. Berdasarkan data kerapatan pohon, stasiun
BINM10 di Pulau Mapur memiliki kerapatan pohon tertinggi, yaitu 4.200,00 ± 1.449,14
pohon/ha sedangkan terendah di stasiun BINM03, Pulau Pangkil dengan kerapatan pohon
lebih kecil dari 1000. Berdasarkan hal tersebut kawasan hutan mangrove pada stasiun
BINM03 termasuk dalam kategori kurang baik/jarang.
Tabel 12 . Jumlah jenis, persentase tutupan mangrove, kerapatan dan INP jenis pada sepuluh stasiun penelitian mangrove di pesisir Bintan Timur , Kabupaten Bintan, 2014.
No Lokasi Stasiun Jumlah Jenis
%cover Kerapatan INP
Max Min
1 Numbing BINM01 1 89.57 ± 3.71d 2400.00 ± 529.15 RA : 300.00% -
BINM02 1 89.44 ± 1.39d 2300.00 ± 264.58 RA : 300.00% -
2 Pangkil BINM03 4 63.96 ± 21.27a 950.00 ± 217.94 BG : 117.41% PA : 25.14%
BINM04 3 82.40 ± 7.01c 2266.67 ± 321.46 RS : 127.87% RM : 70.95%
3 Kawal BINM05 6 75.07 ± 7.07bc 1188.89 ± 483.33 RA : 158.42% RM : 12.372%
4 Beralas Bakau
BINM06 3 71.34 ± 14.89b 1333.33 ± 321.46 RM : 125.95% RS: 68.79%
5 Mapur
BINM07 2 74.25 ± 3.51bc 4133.33 ± 305.51 RS : 174.82% RA : 125.18%
BINM10 6 81.91 ± 3.85c 4200.00 ± 1449.14 RA : 115.52% LR : 8.79%
BINM09 3 76.94 ± 6.52bc 2600.00 ± 800.00 RA : 202.14% XG : 30.78%
BINM08 2 78.28 ± 1.19bc 1850.00 ± 1048.33 RA : 178.45% RS : 121.55%
abANOVA, huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan secara nyata pada nilai %tutupan dan kerapatan antar stasiun penelitian (P<0.05) xyANOVA, uji beda nyata digunakan untuk membedakan nilai %tutupan dan kerapatan antar pulau. *Indeks nilai penting tertinggi dan terendah dalam setiap stasiun penelitian. Keterangan: RA: Rhizophora apiculata; BG: Bruguierra gymnorrhiza; PA : Pemphis acidula; RS: R. stylosa; RM: R. mucronata; XG: Xylocarpus granatum; & LR : Lumnitzera racemosa.
2.5.2. Kondisi mangrove di masing-masing lokasi transek
Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove
dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara
63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Pulau Numbing memiliki persentase tutupan
mangrove yang paling tinggi di dua stasiun penelitiannya BINM01 dan BINM02 yang tidak
berbeda secara statistik (P<0.05). Persentase tutupan mangrove yang paling rendah
ditemukan di Pulau Mangkil, stasiun BINM03. Berdasarkan data kerapatan pohon, stasiun
BINM10 di Pulau Mapur memiliki kerapatan pohon tertinggi, yaitu 4.200,00 ± 1.449,14
pohon/ha sedangkan terendah di stasiun BINM03, Pulau Pangkil dengan kerapatan pohon
lebih kecil dari 1000. Berdasarkan hal tersebut kawasan hutan mangrove pada stasiun
BINM03 termasuk dalam kategori kurang baik/jarang.
Tabel 12 . Jumlah jenis, persentase tutupan mangrove, kerapatan dan INP jenis pada sepuluh stasiun penelitian mangrove di pesisir Bintan Timur , Kabupaten Bintan, 2014.
No Lokasi Stasiun Jumlah Jenis
%cover Kerapatan INP
Max Min
1 Numbing BINM01 1 89.57 ± 3.71d 2400.00 ± 529.15 RA : 300.00% -
BINM02 1 89.44 ± 1.39d 2300.00 ± 264.58 RA : 300.00% -
2 Pangkil BINM03 4 63.96 ± 21.27a 950.00 ± 217.94 BG : 117.41% PA : 25.14%
BINM04 3 82.40 ± 7.01c 2266.67 ± 321.46 RS : 127.87% RM : 70.95%
3 Kawal BINM05 6 75.07 ± 7.07bc 1188.89 ± 483.33 RA : 158.42% RM : 12.372%
4 Beralas Bakau
BINM06 3 71.34 ± 14.89b 1333.33 ± 321.46 RM : 125.95% RS: 68.79%
5 Mapur
BINM07 2 74.25 ± 3.51bc 4133.33 ± 305.51 RS : 174.82% RA : 125.18%
BINM10 6 81.91 ± 3.85c 4200.00 ± 1449.14 RA : 115.52% LR : 8.79%
BINM09 3 76.94 ± 6.52bc 2600.00 ± 800.00 RA : 202.14% XG : 30.78%
BINM08 2 78.28 ± 1.19bc 1850.00 ± 1048.33 RA : 178.45% RS : 121.55%
abANOVA, huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan secara nyata pada nilai %tutupan dan kerapatan antar stasiun penelitian (P<0.05) xyANOVA, uji beda nyata digunakan untuk membedakan nilai %tutupan dan kerapatan antar pulau. *Indeks nilai penting tertinggi dan terendah dalam setiap stasiun penelitian. Keterangan: RA: Rhizophora apiculata; BG: Bruguierra gymnorrhiza; PA : Pemphis acidula; RS: R. stylosa; RM: R. mucronata; XG: Xylocarpus granatum; & LR : Lumnitzera racemosa.
2.5.2. Kondisi mangrove di masing-masing lokasi transek
Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove
dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara
63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Pulau Numbing memiliki persentase tutupan
mangrove yang paling tinggi di dua stasiun penelitiannya BINM01 dan BINM02 yang tidak
berbeda secara statistik (P<0.05). Persentase tutupan mangrove yang paling rendah
ditemukan di Pulau Mangkil, stasiun BINM03. Berdasarkan data kerapatan pohon, stasiun
BINM10 di Pulau Mapur memiliki kerapatan pohon tertinggi, yaitu 4.200,00 ± 1.449,14
pohon/ha sedangkan terendah di stasiun BINM03, Pulau Pangkil dengan kerapatan pohon
lebih kecil dari 1000. Berdasarkan hal tersebut kawasan hutan mangrove pada stasiun
BINM03 termasuk dalam kategori kurang baik/jarang.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 39
Di stasiun Pulau Numbing yang memiliki nilai persentase tutupan mangrove dan
kerapatan pohon yang tinggi hanya terdiri jadi satu species, Rhizophora apiculata. Hal ini
disebabkan karena kawasan tersebut memiliki substrat pasir lumpuran yang sangat
mendukung pertumbuhan jenis tersebut. Marga Bruguierra dan Xylocarpus ditemukan di
kawasan ini namun ukuran lingkar batangnya masih kecil.
Dua stasiun di Pulau Pangkil, BINM03 dan BINM04 memiliki perbedaan pada
kondisi substrat dan arus. Stasiun BINM03 didominasi oleh substrat pasir berbatu dan
merupakan wilayah dengan arus yang cukup kuat. Oleh karena itu, kawasan BINM03
memiliki substrat yang padat dan tidak berlumpur sehingga rendah organik. Jenis yang
mendominasi di kawasan ini adalah Bruguierra gymnorrhiza. Kawasan BINM04 memiliki
substrat yang yang lebih berlumpur dan sedikit lebih terlindung dibandingkan dengan
BINM03. Jenis yang mendominasi di kawasan ini adalah Rhizophora stylosa dengan indeks
nilai penting 127.87%. Kawasan BINM03 yang lebih dinamis dibandingkan dengan BINM04
memiliki keanekaragaman jenis lebih tinggi.
Satu stasiun di kawasan muara Sungai Kawal, BINM05, merupakan salah satu
wilayah yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Pada kawasan ini ditemukan enam
jenis mangrove yang didominasi oleh kelompok Rhizophora,. Kawasan Sungai Kawal
memiliki keragaman substrat yang cukup tinggi. Pada transek yang dekat dengan muara
sungai, substrat didominasi oleh lumpuran sedangkan pada wilayah yang lebih jauh dari
sungai memiliki substrat berpasir. Hal ini yang menyebabkan keanekaragaman jenis
mangrove cukup tinggi. Persentase tutupan mangrove di kawasan ini mencapai 75.07 ±
7.07% dengan kerapatan 1188.89 ± 483.33 pohon/ha. Nilai ini menunjukkan bahwa kondisi
komunitas mangrove di muara Sungai Kawal termasuk dalam kategori baik.
Stasiun Pulau Beralas Bakau, merupakan satu-satunya stasiun penelitian di wilayah
utara kawasan konservasi. Pulau ini memiliki substrat pasir dengan kondisi perairan yang
cukup dinamis. Stasiun BINM06 didominasi dengan baik oleh R. mucronata dengan nilai
INP 125.95%. Kondisi komunitas mangrove di stasiun BINM06 tergolong baik dengan
persentase tutupan 71.34 ± 14.89% dan kerapatan pohon 1333.33 ± 321.46 pohon/ha.
Lokasi di Pulau Mapur, terdiri dari empat stasiun penelitian dimana semuanya
difokuskan pada wilayah selatan dan timur pulau. Stasiun di wilayah timur pulau, BINM10
memiliki hutan mangrove yang cukup lebar, dengan substrat bervariasi dari pasir lumpuran
sampai berlumpur menyebabkan keanekaragaman jenisnya yang cukup tinggi. Kondisi
komunitas mengrove pada stasiun tersebut juga paling baik diantara ketiga stasiun lainnya.
Tabel 12 . Jumlah jenis, persentase tutupan mangrove, kerapatan dan INP jenis pada sepuluh stasiun penelitian mangrove di pesisir Bintan Timur , Kabupaten Bintan, 2014.
No Lokasi Stasiun Jumlah Jenis
%cover Kerapatan INP
Max Min
1 Numbing BINM01 1 89.57 ± 3.71d 2400.00 ± 529.15 RA : 300.00% -
BINM02 1 89.44 ± 1.39d 2300.00 ± 264.58 RA : 300.00% -
2 Pangkil BINM03 4 63.96 ± 21.27a 950.00 ± 217.94 BG : 117.41% PA : 25.14%
BINM04 3 82.40 ± 7.01c 2266.67 ± 321.46 RS : 127.87% RM : 70.95%
3 Kawal BINM05 6 75.07 ± 7.07bc 1188.89 ± 483.33 RA : 158.42% RM : 12.372%
4 Beralas Bakau
BINM06 3 71.34 ± 14.89b 1333.33 ± 321.46 RM : 125.95% RS: 68.79%
5 Mapur
BINM07 2 74.25 ± 3.51bc 4133.33 ± 305.51 RS : 174.82% RA : 125.18%
BINM10 6 81.91 ± 3.85c 4200.00 ± 1449.14 RA : 115.52% LR : 8.79%
BINM09 3 76.94 ± 6.52bc 2600.00 ± 800.00 RA : 202.14% XG : 30.78%
BINM08 2 78.28 ± 1.19bc 1850.00 ± 1048.33 RA : 178.45% RS : 121.55%
abANOVA, huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan secara nyata pada nilai %tutupan dan kerapatan antar stasiun penelitian (P<0.05) xyANOVA, uji beda nyata digunakan untuk membedakan nilai %tutupan dan kerapatan antar pulau. *Indeks nilai penting tertinggi dan terendah dalam setiap stasiun penelitian. Keterangan: RA: Rhizophora apiculata; BG: Bruguierra gymnorrhiza; PA : Pemphis acidula; RS: R. stylosa; RM: R. mucronata; XG: Xylocarpus granatum; & LR : Lumnitzera racemosa.
2.5.2. Kondisi mangrove di masing-masing lokasi transek
Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove
dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara
63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Pulau Numbing memiliki persentase tutupan
mangrove yang paling tinggi di dua stasiun penelitiannya BINM01 dan BINM02 yang tidak
berbeda secara statistik (P<0.05). Persentase tutupan mangrove yang paling rendah
ditemukan di Pulau Mangkil, stasiun BINM03. Berdasarkan data kerapatan pohon, stasiun
BINM10 di Pulau Mapur memiliki kerapatan pohon tertinggi, yaitu 4.200,00 ± 1.449,14
pohon/ha sedangkan terendah di stasiun BINM03, Pulau Pangkil dengan kerapatan pohon
lebih kecil dari 1000. Berdasarkan hal tersebut kawasan hutan mangrove pada stasiun
BINM03 termasuk dalam kategori kurang baik/jarang.
Tabel 12 . Jumlah jenis, persentase tutupan mangrove, kerapatan dan INP jenis pada sepuluh stasiun penelitian mangrove di pesisir Bintan Timur , Kabupaten Bintan, 2014.
No Lokasi Stasiun Jumlah Jenis
%cover Kerapatan INP
Max Min
1 Numbing BINM01 1 89.57 ± 3.71d 2400.00 ± 529.15 RA : 300.00% -
BINM02 1 89.44 ± 1.39d 2300.00 ± 264.58 RA : 300.00% -
2 Pangkil BINM03 4 63.96 ± 21.27a 950.00 ± 217.94 BG : 117.41% PA : 25.14%
BINM04 3 82.40 ± 7.01c 2266.67 ± 321.46 RS : 127.87% RM : 70.95%
3 Kawal BINM05 6 75.07 ± 7.07bc 1188.89 ± 483.33 RA : 158.42% RM : 12.372%
4 Beralas Bakau
BINM06 3 71.34 ± 14.89b 1333.33 ± 321.46 RM : 125.95% RS: 68.79%
5 Mapur
BINM07 2 74.25 ± 3.51bc 4133.33 ± 305.51 RS : 174.82% RA : 125.18%
BINM10 6 81.91 ± 3.85c 4200.00 ± 1449.14 RA : 115.52% LR : 8.79%
BINM09 3 76.94 ± 6.52bc 2600.00 ± 800.00 RA : 202.14% XG : 30.78%
BINM08 2 78.28 ± 1.19bc 1850.00 ± 1048.33 RA : 178.45% RS : 121.55%
abANOVA, huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan secara nyata pada nilai %tutupan dan kerapatan antar stasiun penelitian (P<0.05) xyANOVA, uji beda nyata digunakan untuk membedakan nilai %tutupan dan kerapatan antar pulau. *Indeks nilai penting tertinggi dan terendah dalam setiap stasiun penelitian. Keterangan: RA: Rhizophora apiculata; BG: Bruguierra gymnorrhiza; PA : Pemphis acidula; RS: R. stylosa; RM: R. mucronata; XG: Xylocarpus granatum; & LR : Lumnitzera racemosa.
2.5.2. Kondisi mangrove di masing-masing lokasi transek
Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove
dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara
63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Pulau Numbing memiliki persentase tutupan
mangrove yang paling tinggi di dua stasiun penelitiannya BINM01 dan BINM02 yang tidak
berbeda secara statistik (P<0.05). Persentase tutupan mangrove yang paling rendah
ditemukan di Pulau Mangkil, stasiun BINM03. Berdasarkan data kerapatan pohon, stasiun
BINM10 di Pulau Mapur memiliki kerapatan pohon tertinggi, yaitu 4.200,00 ± 1.449,14
pohon/ha sedangkan terendah di stasiun BINM03, Pulau Pangkil dengan kerapatan pohon
lebih kecil dari 1000. Berdasarkan hal tersebut kawasan hutan mangrove pada stasiun
BINM03 termasuk dalam kategori kurang baik/jarang.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201440
2.6.2. Persentase Tutupan Lamun
Persentase penutupan lamun di setiap stasiun disajikan dalam peta, dan dapat dilihat
pada Gambar 11. Berdasarkan Ho et al. (2011), rata-rata stasiun memiliki lamun dengan
kategori cukup padat, dengan kisaran penutupan 34,38% – 64,55%, kecuali lamun di stasiun
KRILLM04 (Pulau Mapur) dan KRILLM08 (Numbing) termasuk kriteria jarang, masing-
masing 12.38 % dan 16.43%. Kedua stasiun tersebut disusun oleh dua jenis lamun, yaitu E.
acoroides dan T. hemprichii dengan persentase penutupan yang didominasi oleh E. acoroides
(Gambar 12). Morfologi E. acoroides dengan daun yang memanjang memberikan dampak
persentase tutupan yang kecil.
Gambar 11 . Peta persentase tutupan lamun hasil transek, di perairan Bintan Timur,
Kabupaten Bintan 2014.
Penutupan per jenis di setiap stasiun diilustrasikan dalam Gambar 12. Berdasarkan persentase
penutupan, jenis T. hemprichii dan E. acoroides paling melimpah pada semua transek
permanen di stasiun monitoring (dengan total lebih dari 50%). Jenis lainnya yang cukup
mendominasi adalah C. rotundata dan C. serrulata, sedangkan jenis yang lain memiliki
kelimpahan yang rendah.
Jenis yang mendominasi pada kawasan ini berasal dari kelompok Rhizophora, baik R.
apiculata maupun R. mucronata.
2.6. Lamun
2.6.1. Komposisi Jenis dan Kehadiran Lamun
Total lamun yang tercatat di seluruh transek permanen di Perairan Bintan adalah
sembilan jenis, yaitu Enhalus acoroides (Ea), Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea
rotundata (Cr), Cymodocea serrulata (Cs), Halodule uninervis (Hu), Halophila pinifolia
(Hp), Syringodium isoetifolium (Si), Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis (Ho) (Tabel
1). Dari ketiga lokasi, Pantai Trikora memiliki jumlah jenis lamun terbanyak (9 jenis),
sedangkan daerah Numbing dan Pulau Pangkil memilik jenis lamun paling sedikit (2 dan 3
jenis lamun).
E. acoroides dan T. hemprichii terdapat di semua stasiun monitoring (Tabel 13). Jenis lain
yang cukup tersebar juga adalah C. rotundata dan H. uninervis. Berbeda dengan T. ciliatum
dan H. pinifolia, masing-masing hanya terdapat di KRILLM02 dan KRILLM01.
Tabel 13. Komposisi dan kehadiran lamun di setiap stasiun pengamatan
No Lokasi Stasiun Jenis
Ea Th Cr Si Hu Cs Ho Hp Tc
1 Pantai Trikora & P. Beralas Pasir
KRILLM01 + + + + + + - + -
2 KRILLM02 + + + + + + + - +
3 KRILLM03 + + - + + + - - -
4
P. Mapur
KRILLM04 + + - - - - - - -
5 KRILLM05 + + + - + - + - -
6 KRILLM06 + + + - + + + - -
7 P. Pangkil KRILLM07 + + + - - - - - -
8 Numbing KRILLM08 + + - - - - - - -
Keterangan: + (hadir); – (absen) Ea (Enhalus acoroides), Th (Thalassia hemprichii), Cr (Cymodocea rotundata), Cs (Cymodocea serrulata), Hu (Halodule uninervis), Hp (Halodule pinifolia), Si (Syringodium isoetifolium), Tc (Thalassodendron ciliatum), Ho (Halodule ovalis)
Jenis yang mendominasi pada kawasan ini berasal dari kelompok Rhizophora, baik R.
apiculata maupun R. mucronata.
2.6. Lamun
2.6.1. Komposisi Jenis dan Kehadiran Lamun
Total lamun yang tercatat di seluruh transek permanen di Perairan Bintan adalah
sembilan jenis, yaitu Enhalus acoroides (Ea), Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea
rotundata (Cr), Cymodocea serrulata (Cs), Halodule uninervis (Hu), Halophila pinifolia
(Hp), Syringodium isoetifolium (Si), Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis (Ho) (Tabel
1). Dari ketiga lokasi, Pantai Trikora memiliki jumlah jenis lamun terbanyak (9 jenis),
sedangkan daerah Numbing dan Pulau Pangkil memilik jenis lamun paling sedikit (2 dan 3
jenis lamun).
E. acoroides dan T. hemprichii terdapat di semua stasiun monitoring (Tabel 13). Jenis lain
yang cukup tersebar juga adalah C. rotundata dan H. uninervis. Berbeda dengan T. ciliatum
dan H. pinifolia, masing-masing hanya terdapat di KRILLM02 dan KRILLM01.
Tabel 13. Komposisi dan kehadiran lamun di setiap stasiun pengamatan
No Lokasi Stasiun Jenis
Ea Th Cr Si Hu Cs Ho Hp Tc
1 Pantai Trikora & P. Beralas Pasir
KRILLM01 + + + + + + - + -
2 KRILLM02 + + + + + + + - +
3 KRILLM03 + + - + + + - - -
4
P. Mapur
KRILLM04 + + - - - - - - -
5 KRILLM05 + + + - + - + - -
6 KRILLM06 + + + - + + + - -
7 P. Pangkil KRILLM07 + + + - - - - - -
8 Numbing KRILLM08 + + - - - - - - -
Keterangan: + (hadir); – (absen) Ea (Enhalus acoroides), Th (Thalassia hemprichii), Cr (Cymodocea rotundata), Cs (Cymodocea serrulata), Hu (Halodule uninervis), Hp (Halodule pinifolia), Si (Syringodium isoetifolium), Tc (Thalassodendron ciliatum), Ho (Halodule ovalis)
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 41
2.6.2. Persentase Tutupan Lamun
Persentase penutupan lamun di setiap stasiun disajikan dalam peta, dan dapat dilihat
pada Gambar 11. Berdasarkan Ho et al. (2011), rata-rata stasiun memiliki lamun dengan
kategori cukup padat, dengan kisaran penutupan 34,38% – 64,55%, kecuali lamun di stasiun
KRILLM04 (Pulau Mapur) dan KRILLM08 (Numbing) termasuk kriteria jarang, masing-
masing 12.38 % dan 16.43%. Kedua stasiun tersebut disusun oleh dua jenis lamun, yaitu E.
acoroides dan T. hemprichii dengan persentase penutupan yang didominasi oleh E. acoroides
(Gambar 12). Morfologi E. acoroides dengan daun yang memanjang memberikan dampak
persentase tutupan yang kecil.
Gambar 11 . Peta persentase tutupan lamun hasil transek, di perairan Bintan Timur,
Kabupaten Bintan 2014.
Penutupan per jenis di setiap stasiun diilustrasikan dalam Gambar 12. Berdasarkan persentase
penutupan, jenis T. hemprichii dan E. acoroides paling melimpah pada semua transek
permanen di stasiun monitoring (dengan total lebih dari 50%). Jenis lainnya yang cukup
mendominasi adalah C. rotundata dan C. serrulata, sedangkan jenis yang lain memiliki
kelimpahan yang rendah.
Jenis yang mendominasi pada kawasan ini berasal dari kelompok Rhizophora, baik R.
apiculata maupun R. mucronata.
2.6. Lamun
2.6.1. Komposisi Jenis dan Kehadiran Lamun
Total lamun yang tercatat di seluruh transek permanen di Perairan Bintan adalah
sembilan jenis, yaitu Enhalus acoroides (Ea), Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea
rotundata (Cr), Cymodocea serrulata (Cs), Halodule uninervis (Hu), Halophila pinifolia
(Hp), Syringodium isoetifolium (Si), Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis (Ho) (Tabel
1). Dari ketiga lokasi, Pantai Trikora memiliki jumlah jenis lamun terbanyak (9 jenis),
sedangkan daerah Numbing dan Pulau Pangkil memilik jenis lamun paling sedikit (2 dan 3
jenis lamun).
E. acoroides dan T. hemprichii terdapat di semua stasiun monitoring (Tabel 13). Jenis lain
yang cukup tersebar juga adalah C. rotundata dan H. uninervis. Berbeda dengan T. ciliatum
dan H. pinifolia, masing-masing hanya terdapat di KRILLM02 dan KRILLM01.
Tabel 13. Komposisi dan kehadiran lamun di setiap stasiun pengamatan
No Lokasi Stasiun Jenis
Ea Th Cr Si Hu Cs Ho Hp Tc
1 Pantai Trikora & P. Beralas Pasir
KRILLM01 + + + + + + - + -
2 KRILLM02 + + + + + + + - +
3 KRILLM03 + + - + + + - - -
4
P. Mapur
KRILLM04 + + - - - - - - -
5 KRILLM05 + + + - + - + - -
6 KRILLM06 + + + - + + + - -
7 P. Pangkil KRILLM07 + + + - - - - - -
8 Numbing KRILLM08 + + - - - - - - -
Keterangan: + (hadir); – (absen) Ea (Enhalus acoroides), Th (Thalassia hemprichii), Cr (Cymodocea rotundata), Cs (Cymodocea serrulata), Hu (Halodule uninervis), Hp (Halodule pinifolia), Si (Syringodium isoetifolium), Tc (Thalassodendron ciliatum), Ho (Halodule ovalis)
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201442
Table 14. Rata-rata penutupan masing-masing jenis lamun di lokasi transek perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.
No
Sub Lokasi
Total tutupan
(%)
Tutupan / Jenis
Ea Th Cr Si Hu Cs Ho Hp Tc
1 Pantai Trikora dan P. Beralas Pasir
55.76 12.12 28.06 6.18 2.21 1.36 5.12 0.42 0.12 0.15
2 P. Mapur dan P. Pangkil
28.81 12.60 9.31 3.88 0.00 0.78 1.78 0.47 0.00 0.00
3 Numbing 16.43 15.71 0.71 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
4 Bintan (Keseluruhan)
38,38 12.49 16.15 0.90 2.90 0.94 4.51 0.05 0.37 0.06
Keterangan: Ea (Enhalus acoroides), Th (Thalassia hemprichii), Cr (Cymodocea rotundata), Cs
(Cymodocea serrulata), Hu (Halodule uninervis), Hp (Halodule pinifolia), Si (Syringodium isoetifolium), Tc (Thalassodendron ciliatum), Ho (Halodule ovalis).
Gambar12. Persentase tutupan masing-masing jenis lamun, di perairan Bintan Timur,
Kabupaten Bintan 2014.
Keterangan. Ea (Enhalus acoroides), Th (Thalassia hemprichii), Cr (Cymodocea rotundata), Cs (Cymodocea serrulata), Hu (Halodule uninervis), Hp (Halodule pinifolia), Si (Syringodium isoetifolium), Tc (Thalassodendron ciliatum), Ho (Halodule ovalis)
Hasil rata-rata penutupan lamun pada setiap sub lokasi dijabarkan pada Tabel 14.
Stasiun monitoring dikelompokan menjadi tiga berdasarkan arah mata angin dan jarak. Nilai
penutupan lamun terlihat jelas berbeda. Pantai Trikora dan P. Beralas Pasir memiliki yang
padat dan kondisi yang baik, sedangkan rata-rata di kedua sub lokasi memiliki nilai lamun
yang kurang baik (jarang). Rata-rata lamun secara keseluruhan pada transek permanen
monitoring lamun di Peraiaran Bintan menunjukkaan nilai 38,38 % dengan jenis dominan T.
hemprichii dan E. acoroides. Berdasarkan KepMEnLH No 200 Tahun 2004, kondisi lamun di
Perairan Bintan kurang sehat, namun berbeda halnya apabila dilihat per sub lokasi.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 43
Table 14. Rata-rata penutupan masing-masing jenis lamun di lokasi transek perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.
No
Sub Lokasi
Total tutupan
(%)
Tutupan / Jenis
Ea Th Cr Si Hu Cs Ho Hp Tc
1 Pantai Trikora dan P. Beralas Pasir
55.76 12.12 28.06 6.18 2.21 1.36 5.12 0.42 0.12 0.15
2 P. Mapur dan P. Pangkil
28.81 12.60 9.31 3.88 0.00 0.78 1.78 0.47 0.00 0.00
3 Numbing 16.43 15.71 0.71 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
4 Bintan (Keseluruhan)
38,38 12.49 16.15 0.90 2.90 0.94 4.51 0.05 0.37 0.06
Keterangan: Ea (Enhalus acoroides), Th (Thalassia hemprichii), Cr (Cymodocea rotundata), Cs
(Cymodocea serrulata), Hu (Halodule uninervis), Hp (Halodule pinifolia), Si (Syringodium isoetifolium), Tc (Thalassodendron ciliatum), Ho (Halodule ovalis).
Gambar12. Persentase tutupan masing-masing jenis lamun, di perairan Bintan Timur,
Kabupaten Bintan 2014.
Keterangan. Ea (Enhalus acoroides), Th (Thalassia hemprichii), Cr (Cymodocea rotundata), Cs (Cymodocea serrulata), Hu (Halodule uninervis), Hp (Halodule pinifolia), Si (Syringodium isoetifolium), Tc (Thalassodendron ciliatum), Ho (Halodule ovalis)
Hasil rata-rata penutupan lamun pada setiap sub lokasi dijabarkan pada Tabel 14.
Stasiun monitoring dikelompokan menjadi tiga berdasarkan arah mata angin dan jarak. Nilai
penutupan lamun terlihat jelas berbeda. Pantai Trikora dan P. Beralas Pasir memiliki yang
padat dan kondisi yang baik, sedangkan rata-rata di kedua sub lokasi memiliki nilai lamun
yang kurang baik (jarang). Rata-rata lamun secara keseluruhan pada transek permanen
monitoring lamun di Peraiaran Bintan menunjukkaan nilai 38,38 % dengan jenis dominan T.
hemprichii dan E. acoroides. Berdasarkan KepMEnLH No 200 Tahun 2004, kondisi lamun di
Perairan Bintan kurang sehat, namun berbeda halnya apabila dilihat per sub lokasi.
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
Secara umum , lokasi yang dipilih untuk kegiatan studi baseline di Periran Bintan
Timur, merupakan lokasi lama, pada saat COREMAP II, yang secara kebetulan masuk dalam
Kawasan Konsevasi Perairan Daerah, Kabupaten Bintan.
Kondisi karang di lokasi transek, tidak bisa dibandingkan dengan kondisi pada waktu
pengamatan di lokasi COREMAP II di tahun-tahun sebelumnya, mengingat metode yang
dipakai sekarang, berbeda dengan metode yang dipakai tahun sebelumnya. Juga dengan
adanya penambahan lokasi baru, sehingga kegiatan tahun ini benar-benar kegiatan mulai dari
awal (baseline).
Sedikit saran untuk metode UPT, untuk lokasi-lokasi dengan perairan jernih,
pengambilan foto bawah air tidak jadi masalah, sebaliknya di lokasi –lokasi dengan perairan
yang keruh, seperti di pesisir Bintan Timur, metode ini kurang efisien, mengingat harus
memerlukan perjuangan ekstra untuk mengambil gambar /foto. Kondisi dan kejadian seperti
ini perlu di evaluasi lagi.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 45
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
Secara umum , lokasi yang dipilih untuk kegiatan studi baseline di Periran Bintan
Timur, merupakan lokasi lama, pada saat COREMAP II, yang secara kebetulan masuk dalam
Kawasan Konsevasi Perairan Daerah, Kabupaten Bintan.
Kondisi karang di lokasi transek, tidak bisa dibandingkan dengan kondisi pada waktu
pengamatan di lokasi COREMAP II di tahun-tahun sebelumnya, mengingat metode yang
dipakai sekarang, berbeda dengan metode yang dipakai tahun sebelumnya. Juga dengan
adanya penambahan lokasi baru, sehingga kegiatan tahun ini benar-benar kegiatan mulai dari
awal (baseline).
Sedikit saran untuk metode UPT, untuk lokasi-lokasi dengan perairan jernih,
pengambilan foto bawah air tidak jadi masalah, sebaliknya di lokasi –lokasi dengan perairan
yang keruh, seperti di pesisir Bintan Timur, metode ini kurang efisien, mengingat harus
memerlukan perjuangan ekstra untuk mengambil gambar /foto. Kondisi dan kejadian seperti
ini perlu di evaluasi lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G.R. & R. Swainston. 1993. Reef Fishes of New Guinea. Christensen Research Institute, Papua New Guinea. 132pp.
Allen, G.R. and R. Steene. 1996. Indo-pacific Coral Reef Field Guide. Tropical Reef Research. Singapore. 378p.
Allen, G.R. 1999. Marine Fishes of South-East Asia. A Field Guide for Anglers and Divers. Periplus Editions, Hong Kong. 292 pp.
Allen, G. R., R. Steene, P. Humann, N. Deloach. 2003. Reef fish identification tropical pacific. New World Publication, Inc. Jacksonville, Frorida USA.
Campbell, J.B. 1996. Introduction to Remote Sensing. London: Taylor & Francis. 622 p. Collin, P.L. and C. Arnesson. 1995. Tropical Pasific Invertebrates. Coral Reef Prees,
California: 209 pp. English S, Wilkinson, S., Baker, V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources.
Townsville: Australia Institute of Marine Science. Giesen, W., S. Wulffraat, M. Zieren & L. Scholten. 2006. Mangrove Guidebook for Southeast
Asia. FAO and Wetlands International. Bangkok. Gomez, E.D. & H.T. Yap. 1984. Monitoring Reef Condition. In: Coral Reef Management
Handbook. R.A. Kenchingt6on and B.E.T. Hudson (Eds). Unesco Publisher, Jakarta, p. 171.
Hoe, Nina, Kassem, Kenneth & Ng, Sharon. 2011. Seagrass Assessment Report of Semporna Priority Conservation Area. Kota Kinabalu, Malaysia: WWF-Malaysia.
Jenning, S.B., N.D. Brown & D. Sheil. 1999. Assessing forest canopies and understorey illumination: canopy closure, canopy cover and other measures. Forestry 72(1): 59–74.
Kuitter, R. H. 1992. Tropical Reff Fishes of the Western Pacific. Indonesian and Adjascent Waters. Gramedia Jakarta. 314 Hal.
Lyzenga, D.R., 1981. Remote Sensing of Bottom Reflectance and Water Attenuation Parameters in Shallow Water Using Aircraft and Landsat Data. International Journal of Remote Sensing 2, pp. 71-82.
Noor, Y.R., M. Khazali & I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: PHKA/Wi-IP.
Tomlinson, P.B. 1986. The Botany of mangroves. Cambridge University Press, Cambridge, U.K. 413 pp.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 47
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G.R. & R. Swainston. 1993. Reef Fishes of New Guinea. Christensen Research Institute, Papua New Guinea. 132pp.
Allen, G.R. and R. Steene. 1996. Indo-pacific Coral Reef Field Guide. Tropical Reef Research. Singapore. 378p.
Allen, G.R. 1999. Marine Fishes of South-East Asia. A Field Guide for Anglers and Divers. Periplus Editions, Hong Kong. 292 pp.
Allen, G. R., R. Steene, P. Humann, N. Deloach. 2003. Reef fish identification tropical pacific. New World Publication, Inc. Jacksonville, Frorida USA.
Campbell, J.B. 1996. Introduction to Remote Sensing. London: Taylor & Francis. 622 p. Collin, P.L. and C. Arnesson. 1995. Tropical Pasific Invertebrates. Coral Reef Prees,
California: 209 pp. English S, Wilkinson, S., Baker, V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources.
Townsville: Australia Institute of Marine Science. Giesen, W., S. Wulffraat, M. Zieren & L. Scholten. 2006. Mangrove Guidebook for Southeast
Asia. FAO and Wetlands International. Bangkok. Gomez, E.D. & H.T. Yap. 1984. Monitoring Reef Condition. In: Coral Reef Management
Handbook. R.A. Kenchingt6on and B.E.T. Hudson (Eds). Unesco Publisher, Jakarta, p. 171.
Hoe, Nina, Kassem, Kenneth & Ng, Sharon. 2011. Seagrass Assessment Report of Semporna Priority Conservation Area. Kota Kinabalu, Malaysia: WWF-Malaysia.
Jenning, S.B., N.D. Brown & D. Sheil. 1999. Assessing forest canopies and understorey illumination: canopy closure, canopy cover and other measures. Forestry 72(1): 59–74.
Kuitter, R. H. 1992. Tropical Reff Fishes of the Western Pacific. Indonesian and Adjascent Waters. Gramedia Jakarta. 314 Hal.
Lyzenga, D.R., 1981. Remote Sensing of Bottom Reflectance and Water Attenuation Parameters in Shallow Water Using Aircraft and Landsat Data. International Journal of Remote Sensing 2, pp. 71-82.
Noor, Y.R., M. Khazali & I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: PHKA/Wi-IP.
Tomlinson, P.B. 1986. The Botany of mangroves. Cambridge University Press, Cambridge, U.K. 413 pp.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201448
Lam
pira
n 2.
Seb
aran
ikan
indi
kato
r dan
ikan
targ
et d
i per
aira
n B
inta
n Ti
mur
dan
seki
tarn
ya, K
abup
aten
Bin
tan,
201
4.
L
OK
ASI
(STA
SIU
N)
P. M
APU
R
BIN
TAN
TIM
UR
SU
KU
/JE
NIS
K
RIL
13
K
RIL
14
K
RIL
15
K
RIL
16
K
RIL
17
K
RIL
18
K
RIL
74
K
RIL
77
K
RIL
81
K
RIL
85
K
RIL
90
K
RIL
92
K
RIL
A
K
RIL
B
IKA
N IN
DIK
AT
OR
I.
CH
AE
TO
DO
NT
IDA
E
1
Cha
etod
on o
ctof
asci
atus
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
Che
lmon
rost
ratu
s 1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
IKA
N T
AR
GE
T
II.
LU
TJA
NID
AE
1
Lut
janu
s car
pono
ttatu
s 0
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
2
Lut
janu
s dec
ussa
tus
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3 L
utja
nus f
ulvi
flam
ma
0
0
1
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
1
4 L
utja
nus l
ineo
latu
s 0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
5
Lut
janu
s rus
selli
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
6
Lut
janu
s vitt
a 0
1
1
0
1
0
1
0
1
1
0
0
0
0
II
I. SE
RR
AN
IDA
E
7 C
epha
loph
olis
arg
us
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
8 C
epha
loph
olis
boe
nak
0
1
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
9 C
epha
loph
olis
pac
hyce
ntro
n 0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10
C
epha
loph
olis
uro
deta
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
11
C
epha
loph
olis
leop
ardi
s 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
12
C
epha
loph
olis
sp
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
0
13
Ple
ctro
pom
us b
ahan
ensi
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
LA
MPI
RA
N
Lam
pira
n 1.
Tab
el P
erse
ntas
e tu
tupa
n ka
rang
, bio
ta b
entik
dan
subs
trat h
asil
stud
i bas
elin
e d
enga
n m
etod
e U
PT d
i per
aira
n B
inta
n Ti
mur
, Kab
upat
en B
inta
n, 2
014.
MAJ
OR
CAT
EGO
RY
(% o
f tr
anse
ct)
KR
IL13
K
RIL
14
KR
IL15
K
RIL
16
KR
IL17
K
RIL
18
KR
IL74
K
RIL
77
KR
IL81
K
RIL
85
KR
IL90
K
RIL
92
KR
ILB
K
RIL
A
CO
RA
L (H
C)
38.4
0 18
.56
39.4
0 21
.60
1.20
29
.07
40.2
7 51
.67
52.8
7 23
.80
34.8
0 25
.67
34.7
3 54
.80
RE
CE
NT
DE
AD
CO
RA
L (D
C)
0.07
0.
33
0.07
0.
00
0.40
0.
20
0.07
0.
00
0.00
0.
00
0.07
0.
00
0.07
0.
00
DE
AD
CO
RA
L W
ITH
ALG
AE (D
CA
) 46
.60
61.1
8 38
.47
47.2
0 80
.80
59.9
3 30
.67
44.0
7 43
.13
30.9
3 53
.93
55.0
7 51
.73
32.6
0
SO
FT C
OR
AL
(SC
) 8.
00
1.57
0.
47
2.87
0.
20
0.93
2.
07
0.27
1.
53
2.47
0.
33
1.40
1.
60
2.33
SP
ON
GE
(SP
) 2.
80
4.12
0.
60
1.93
7.
73
7.80
1.
13
0.13
0.
07
2.27
0.
00
3.20
2.
93
0.93
FLE
SH
Y S
EAW
EED
(FS
) 0.
00
0.00
0.
00
9.13
0.
00
0.00
0.
20
0.00
0.
00
2.07
0.
67
2.67
0.
47
0.40
OTH
ER
BIO
TA (O
T)
2.67
2.
81
2.60
2.
87
7.00
1.
13
0.87
0.
53
2.20
2.
93
0.00
0.
33
0.60
0.
13
RU
BB
LE (R
) 0.
07
4.05
1.
60
7.47
1.
73
0.33
1.
27
0.07
0.
00
10.6
7 0.
07
1.47
0.
13
0.67
SA
ND
(S)
0.53
4.
51
11.2
0 2.
93
0.20
0.
13
22.4
7 0.
60
0.20
24
.53
10.1
3 8.
87
3.40
2.
60
SIL
T (S
I) 0.
87
2.88
5.
60
3.47
0.
60
0.40
0.
93
2.67
0.
00
0.00
0.
00
1.33
4.
33
5.47
RO
CK
(RK
) 0.
00
0.00
0.
00
0.53
0.
13
0.07
0.
07
0.00
0.
00
0.33
0.
00
0.00
0.
00
0.07
TAPE
, WA
ND
, SH
AD
OW
(TW
S)
0.00
0.
00
0.00
0.
00
0.00
0.
00
0.00
0.
00
0.00
0.
00
0.00
0.
00
0.00
0.
00
Sum
(exc
ludi
ng ta
pe+s
hado
w+w
and)
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 49
Lam
pira
n 2.
Seb
aran
ikan
indi
kato
r dan
ikan
targ
et d
i per
aira
n B
inta
n Ti
mur
dan
seki
tarn
ya, K
abup
aten
Bin
tan,
201
4.
L
OK
ASI
(STA
SIU
N)
P. M
APU
R
BIN
TAN
TIM
UR
SU
KU
/JE
NIS
K
RIL
13
K
RIL
14
K
RIL
15
K
RIL
16
K
RIL
17
K
RIL
18
K
RIL
74
K
RIL
77
K
RIL
81
K
RIL
85
K
RIL
90
K
RIL
92
K
RIL
A
K
RIL
B
IKA
N IN
DIK
AT
OR
I.
CH
AE
TO
DO
NT
IDA
E
1
Cha
etod
on o
ctof
asci
atus
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
Che
lmon
rost
ratu
s 1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
IKA
N T
AR
GE
T
II.
LU
TJA
NID
AE
1
Lut
janu
s car
pono
ttatu
s 0
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
2
Lut
janu
s dec
ussa
tus
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3 L
utja
nus f
ulvi
flam
ma
0
0
1
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
1
4 L
utja
nus l
ineo
latu
s 0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
5
Lut
janu
s rus
selli
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
6
Lut
janu
s vitt
a 0
1
1
0
1
0
1
0
1
1
0
0
0
0
II
I. SE
RR
AN
IDA
E
7 C
epha
loph
olis
arg
us
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
8 C
epha
loph
olis
boe
nak
0
1
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
9 C
epha
loph
olis
pac
hyce
ntro
n 0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10
C
epha
loph
olis
uro
deta
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
11
C
epha
loph
olis
leop
ardi
s 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
12
C
epha
loph
olis
sp
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
0
13
Ple
ctro
pom
us b
ahan
ensi
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
LA
MPI
RA
N
Lam
pira
n 1.
Tab
el P
erse
ntas
e tu
tupa
n ka
rang
, bio
ta b
entik
dan
subs
trat h
asil
stud
i bas
elin
e d
enga
n m
etod
e U
PT d
i per
aira
n B
inta
n Ti
mur
, Kab
upat
en B
inta
n, 2
014.
MAJ
OR
CAT
EGO
RY
(% o
f tr
anse
ct)
KR
IL13
K
RIL
14
KR
IL15
K
RIL
16
KR
IL17
K
RIL
18
KR
IL74
K
RIL
77
KR
IL81
K
RIL
85
KR
IL90
K
RIL
92
KR
ILB
K
RIL
A
CO
RA
L (H
C)
38.4
0 18
.56
39.4
0 21
.60
1.20
29
.07
40.2
7 51
.67
52.8
7 23
.80
34.8
0 25
.67
34.7
3 54
.80
RE
CE
NT
DE
AD
CO
RA
L (D
C)
0.07
0.
33
0.07
0.
00
0.40
0.
20
0.07
0.
00
0.00
0.
00
0.07
0.
00
0.07
0.
00
DE
AD
CO
RA
L W
ITH
ALG
AE (D
CA
) 46
.60
61.1
8 38
.47
47.2
0 80
.80
59.9
3 30
.67
44.0
7 43
.13
30.9
3 53
.93
55.0
7 51
.73
32.6
0
SO
FT C
OR
AL
(SC
) 8.
00
1.57
0.
47
2.87
0.
20
0.93
2.
07
0.27
1.
53
2.47
0.
33
1.40
1.
60
2.33
SP
ON
GE
(SP
) 2.
80
4.12
0.
60
1.93
7.
73
7.80
1.
13
0.13
0.
07
2.27
0.
00
3.20
2.
93
0.93
FLE
SH
Y S
EAW
EED
(FS
) 0.
00
0.00
0.
00
9.13
0.
00
0.00
0.
20
0.00
0.
00
2.07
0.
67
2.67
0.
47
0.40
OTH
ER
BIO
TA (O
T)
2.67
2.
81
2.60
2.
87
7.00
1.
13
0.87
0.
53
2.20
2.
93
0.00
0.
33
0.60
0.
13
RU
BB
LE (R
) 0.
07
4.05
1.
60
7.47
1.
73
0.33
1.
27
0.07
0.
00
10.6
7 0.
07
1.47
0.
13
0.67
SA
ND
(S)
0.53
4.
51
11.2
0 2.
93
0.20
0.
13
22.4
7 0.
60
0.20
24
.53
10.1
3 8.
87
3.40
2.
60
SIL
T (S
I) 0.
87
2.88
5.
60
3.47
0.
60
0.40
0.
93
2.67
0.
00
0.00
0.
00
1.33
4.
33
5.47
RO
CK
(RK
) 0.
00
0.00
0.
00
0.53
0.
13
0.07
0.
07
0.00
0.
00
0.33
0.
00
0.00
0.
00
0.07
TAPE
, WA
ND
, SH
AD
OW
(TW
S)
0.00
0.
00
0.00
0.
00
0.00
0.
00
0.00
0.
00
0.00
0.
00
0.00
0.
00
0.00
0.
00
Sum
(exc
ludi
ng ta
pe+s
hado
w+w
and)
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
10
0.00
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201450
IX.
MU
LID
AE
35
U
pene
us tr
agul
a 0
0
0
0
0
0
1
1
0
1
0
0
0
0
X
. SC
AR
IDA
E
36
Sca
rus b
icol
or
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
37
Sca
rus d
imid
iatu
s 1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
1
38
Sca
rus g
hobb
an
1
1
1
1
1
1
1
2
1
0
0
0
0
1
39
Sca
rus p
rasi
ogna
thus
0
1
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
40
S
caru
s sor
didu
s 1
1
1
1
1
1
0
0
1
0
0
0
0
0
41
S
caru
s sp
1
1
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
XI.
NE
MIP
TE
RID
AE
42
Sco
lops
is b
iline
atus
1
0
0
0
1
1
0
0
1
0
0
1
0
0
43
Sc
olop
sis c
iliat
us
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
1
0
0
0
44
Sco
lops
is li
neat
us
1
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
45
Sco
lops
is m
arga
ritif
er
1
1
1
0
0
1
1
0
1
0
0
1
0
0
46
Sco
lops
is m
onog
ram
ma
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
47
Sco
lops
is tr
iline
atus
0
1
1
0
1
1
0
1
0
0
0
0
0
48
Sco
lops
is v
asm
eri
0
0
0
0
0
0
1
1
0
1
0
0
0
0
49
Sco
lops
is x
anth
ocru
s 0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
0
1
0
0
K
eter
anga
n :
1 - a
da ;
0 - t
idak
ada
14
Ple
ctro
pom
us le
opar
dus
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
1
0
1
15
Ple
ctro
pom
us m
acul
atus
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
16
P
lect
ropo
mus
trun
catu
s 0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
1
0
0
17
P
lect
ropo
mus
sp
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
1
IV.
LE
TH
RIN
IDA
E
18
Let
hrin
us h
arak
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
19
L
ethr
inus
lent
jam
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
20
L
ethr
inus
orn
atus
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
V
. SI
GA
NID
AE
21
S
igan
us c
anal
icul
atus
0
1
0
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
1
22
S
igan
us c
orra
linus
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
23
S
igan
us g
utta
tus
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
0
0
0
0
24
Sig
anus
virg
atus
0
0
0
1
0
0
1
1
1
0
0
0
0
1
V
I H
AEM
ULI
DA
E
25
Ple
ctor
hinc
hus
chae
todo
noid
es
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
26
Ple
ctor
hinc
hus p
icus
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
V
II
LA
BR
IDA
E
27
Che
ilinu
s und
ulat
us
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
28
Che
ilinu
s fas
ciat
us
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
1
29
H
emig
ymnu
s mel
apte
rus
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
30
Hem
igum
nus g
lypi
dodo
n 0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
V
III.
CA
ESI
ON
IDA
E
31
Cae
sio
caer
ulau
rea
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
32
Cae
sio
cuni
ng
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
33
Cae
sio
tere
s 1
0
1
0
0
1
1
1
1
1
0
1
1
1
34
P
tero
caes
io ti
le
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 51
IX.
MU
LID
AE
35
U
pene
us tr
agul
a 0
0
0
0
0
0
1
1
0
1
0
0
0
0
X
. SC
AR
IDA
E
36
Sca
rus b
icol
or
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
37
Sca
rus d
imid
iatu
s 1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
1
38
Sca
rus g
hobb
an
1
1
1
1
1
1
1
2
1
0
0
0
0
1
39
Sca
rus p
rasi
ogna
thus
0
1
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
40
S
caru
s sor
didu
s 1
1
1
1
1
1
0
0
1
0
0
0
0
0
41
S
caru
s sp
1
1
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
XI.
NE
MIP
TE
RID
AE
42
Sco
lops
is b
iline
atus
1
0
0
0
1
1
0
0
1
0
0
1
0
0
43
Sc
olop
sis c
iliat
us
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
1
0
0
0
44
Sco
lops
is li
neat
us
1
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
45
Sco
lops
is m
arga
ritif
er
1
1
1
0
0
1
1
0
1
0
0
1
0
0
46
Sco
lops
is m
onog
ram
ma
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
47
Sco
lops
is tr
iline
atus
0
1
1
0
1
1
0
1
0
0
0
0
0
48
Sco
lops
is v
asm
eri
0
0
0
0
0
0
1
1
0
1
0
0
0
0
49
Sco
lops
is x
anth
ocru
s 0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
0
1
0
0
K
eter
anga
n :
1 - a
da ;
0 - t
idak
ada
14
Ple
ctro
pom
us le
opar
dus
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
1
0
1
15
Ple
ctro
pom
us m
acul
atus
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
16
P
lect
ropo
mus
trun
catu
s 0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
1
0
0
17
P
lect
ropo
mus
sp
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
1
IV.
LE
TH
RIN
IDA
E
18
Let
hrin
us h
arak
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
19
L
ethr
inus
lent
jam
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
20
L
ethr
inus
orn
atus
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
V
. SI
GA
NID
AE
21
S
igan
us c
anal
icul
atus
0
1
0
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
1
22
S
igan
us c
orra
linus
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
23
S
igan
us g
utta
tus
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
0
0
0
0
24
Sig
anus
virg
atus
0
0
0
1
0
0
1
1
1
0
0
0
0
1
V
I H
AEM
ULI
DA
E
25
Ple
ctor
hinc
hus
chae
todo
noid
es
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
26
Ple
ctor
hinc
hus p
icus
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
V
II
LA
BR
IDA
E
27
Che
ilinu
s und
ulat
us
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
28
Che
ilinu
s fas
ciat
us
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
1
29
H
emig
ymnu
s mel
apte
rus
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
30
Hem
igum
nus g
lypi
dodo
n 0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
V
III.
CA
ESI
ON
IDA
E
31
Cae
sio
caer
ulau
rea
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
32
Cae
sio
cuni
ng
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
33
Cae
sio
tere
s 1
0
1
0
0
1
1
1
1
1
0
1
1
1
34
P
tero
caes
io ti
le
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0