BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... -...

75

Transcript of BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... -...

Page 1: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline
Page 2: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

STUDI “ BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT DI PERAIRAN BINTAN TIMUR DAN SEKITARNYA,

KABUPATEN BINTAN, 2014

Disusun oleh :

Suharsono

Susetiono

Anna E.W. Manuputty

Hendrik A.W. Cappenberg

Suyarso

Agus Budiyanto

Johan Picasouw

Priti Swasti

I Wayan Eka Dharmawan

Susi Rahmawati

MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN KESEHATAN EKOSISTEM TERKAIT

DI KABUPATEN BINTAN, 2014

Page 3: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi Baseline Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Editor : Anna E.W. Manuputty Desain sampul dan tata letak : Foto-foto : Data : CRITC- Pusat Penelitian Oseanografi LIPI

Coral Reef Information and Training Center Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Gedung LIPI, Jl, Raden saleh 43,Jakarta 10330 Telepon : 021 3143080 Faximili : 021 3143082 Website : www.coremap.co.id

Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Kesehatan Ekosistem Terkait di Kabupaten Bintan, 2014© 2014 CRITC COREMAP - CTI LIPI

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan karunia berupa

wilayah perairan laut Indonesia yang sangat luas dan keanekaragaman hayatinya yang dapat

dimanfaatkan baik untuk kemakmuran rakyat maupun untuk obyek penelitian ilmiah.

Sebagaimana diketahui, COREMAP yang telah direncanakan berlangsung selama 15

tahun yang terbagi dalam 3 Fase, kini telah melewati dua fase. Fase ke 3 (COREMAP CTI)

sudah dimulai, dengan diadakan studi baseline di beberapa perairan kabupten,di wilayah

ADB (Indonesia Barat). Kegiatan ini ditujukan untuk mengetahui perkembangan kondisi

karang di lokasi-lokasi dalam wilayah Kawasan Konservasi Laut Daerah, dan juga untuk

mengetahui kondisi ekosistem terkait lainnya yaitu padang lamun dan mangrove. Hasil

kegiatan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan didalam menentukan

kebijakan serta sebagai bahan evaluasi untuk terlaksananya kegiatan COREMAP-CTI .

Dalam rangka kesinambungan penelitian di perairan laut Indonesia, maka pada bulan

September 2014, telah dilakukan penelitian di daerah ekosistem terumbu karang dan

ekosistem terkait lainnya, yang mengambil lokasi di Perairan Kabupaten Bintan. Data –data

yang dikumpulkan akan disusun dalam bentuk laporan ilmiah yang akan dipakai sebagai

“database” ataupun akan disebarkan sebagai masukkan ke pemerintah daerah setempat, untuk

digunakan sebagai bahan acuan pengambil kebijakan untuk pengelolaan dan pemeliharaan

ekosistem pesisir.

Pada kesempatan ini pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

terlibat dalam kegiatan penelitian lapangan dan analisa datanya, sehingga laporan tentang

ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait ini dapat tersusun. Kami menyadari, laporan

ini masih jauh dari sempurna, untuk itu, diharapkan adanya suatu masukkan, kritik dan saran

yang membangun untuk dapat menambah kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini

dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Desember 2014 Koordinator CRITC,

Drs. Susetiono MSc.

Page 4: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 i

Studi Baseline Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Editor : Anna E.W. Manuputty Desain sampul dan tata letak : Foto-foto : Data : CRITC- Pusat Penelitian Oseanografi LIPI

Coral Reef Information and Training Center Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Gedung LIPI, Jl, Raden saleh 43,Jakarta 10330 Telepon : 021 3143080 Faximili : 021 3143082 Website : www.coremap.co.id

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan karunia berupa

wilayah perairan laut Indonesia yang sangat luas dan keanekaragaman hayatinya yang dapat

dimanfaatkan baik untuk kemakmuran rakyat maupun untuk obyek penelitian ilmiah.

Sebagaimana diketahui, COREMAP yang telah direncanakan berlangsung selama 15

tahun yang terbagi dalam 3 Fase, kini telah melewati dua fase. Fase ke 3 (COREMAP CTI)

sudah dimulai, dengan diadakan studi baseline di beberapa perairan kabupten,di wilayah

ADB (Indonesia Barat). Kegiatan ini ditujukan untuk mengetahui perkembangan kondisi

karang di lokasi-lokasi dalam wilayah Kawasan Konservasi Laut Daerah, dan juga untuk

mengetahui kondisi ekosistem terkait lainnya yaitu padang lamun dan mangrove. Hasil

kegiatan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan didalam menentukan

kebijakan serta sebagai bahan evaluasi untuk terlaksananya kegiatan COREMAP-CTI .

Dalam rangka kesinambungan penelitian di perairan laut Indonesia, maka pada bulan

September 2014, telah dilakukan penelitian di daerah ekosistem terumbu karang dan

ekosistem terkait lainnya, yang mengambil lokasi di Perairan Kabupaten Bintan. Data –data

yang dikumpulkan akan disusun dalam bentuk laporan ilmiah yang akan dipakai sebagai

“database” ataupun akan disebarkan sebagai masukkan ke pemerintah daerah setempat, untuk

digunakan sebagai bahan acuan pengambil kebijakan untuk pengelolaan dan pemeliharaan

ekosistem pesisir.

Pada kesempatan ini pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

terlibat dalam kegiatan penelitian lapangan dan analisa datanya, sehingga laporan tentang

ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait ini dapat tersusun. Kami menyadari, laporan

ini masih jauh dari sempurna, untuk itu, diharapkan adanya suatu masukkan, kritik dan saran

yang membangun untuk dapat menambah kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini

dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Desember 2014 Koordinator CRITC,

Drs. Susetiono MSc.

Page 5: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

ABSTRAK

Kabupaten Bintan merupakan sebuah kepulauan di Propinsi Kepulauan Riau yang memiliki luas 1.318 km2 yang terletak di bagian selatan Laut Cina Selatan .Ekosistem terumbu karang, padang lamun, ekosistem mangrove tersebar hampir di seluruh area kawasan pesisir. Tahun 2009, di wilayah kabupaten ini ditetapkan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Bintan sebagai satu-satunya kawasan konservasi tingkat kabupaten ditetapkan melalui SK Bupati No. 58/II/2009 memiliki luas 472.905 ha. Dasar penetapan kawasan menjadi wilayah konservasi adalah tingginya keanekaragaman terumbu karang namun dihadapkan pada tingginya gangguan antropogenik terhadap kondisi karang tersebut. Selain karang, wilayah ini memiliki luasan mangrove dan padang lamun yang cukup tinggi khususnya diwilayah selatan Pulau Bintan. Dalam rangka pelaksanaan kegiatan COREMAP CTI, telah dilakukan penelitian untuk mengumpulkan data dasar (baseline study) , pada bulan September 2014. Kegiatan penelitian meliputi pengamatan ekosistem terumbu karang yaitu pengamatan karang, ikan karang dan biota megabentos, juga pengamatan ekosistem terkait yaitu ekosistem mangrove dan padang lamun. Lokasi yang diamati masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah, terletak di pesisir timur Pulau Bintan Kecamatan Bintan Timur, Pulau Mapur, Pulau Erapas, Pulau Numbing, yang merupakan stasiun lama pada COREMAP II, dan stasiun tambahan di Pulau Pangkil

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data dasar ekosistem terumbu karang, mengukur kesehatan hutan mangrove yang tumbuh di pesisir KKPD Kabupaten Bintan, dalam kaitannya juga dengan padang lamun .

Metode yang digunakan ialah metode transek, dan masing-masing substansi mempunyai modifikasi transek tersendiri, karang dengan “Underwater Photo Transect, ikan karang dengan “Underwater Visual Census”, megabentos, dengan “Reef Check Benthos”. Untuk mangrove dengan transek tegaklurus garis pantai, dibantu dengan pembuatan petak, untuk lamun dengan transek (50 m),sejajar garis pantai. Untuk Sistem Informasi Geografis, menggunakan data citra sebagai peta dasar dan dengan pegecekan langsung di lapangan (ground truth).

Hasil pengamatan, untuk karang, secara garis besarnya persentase tutupan karang bervariasi dari kategori jelek sampai dengan baik. Hasil sensus visual ikan karang kategori ikan indikator dan ikan target di Kabupaten Bintan pada 14 stasiun pengamatan mencatat sebany1.167 individu yang tergolong dalam 31 jenis dan suku 7 . Fauna megabentos yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan adalah sebanyak 5 jenis dengan total individu 1629 individu. Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara 63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Total lamun yang tercatat di seluruh transek permanen di Perairan Bintan adalah sembilan jenis, yaitu Enhalus acoroides (Ea), Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea rotundata (Cr), Cymodocea serrulata (Cs), Halodule uninervis (Hu), Halophila pinifolia (Hp), Syringodium isoetifolium (Si), Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis (Ho).

Hasil selengkapnya untuk masing-masing substansi penelitian , disajikan dalam bentuk peta, grafik maupun tabel.

Page 6: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 iii

ABSTRAK

Kabupaten Bintan merupakan sebuah kepulauan di Propinsi Kepulauan Riau yang memiliki luas 1.318 km2 yang terletak di bagian selatan Laut Cina Selatan .Ekosistem terumbu karang, padang lamun, ekosistem mangrove tersebar hampir di seluruh area kawasan pesisir. Tahun 2009, di wilayah kabupaten ini ditetapkan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Bintan sebagai satu-satunya kawasan konservasi tingkat kabupaten ditetapkan melalui SK Bupati No. 58/II/2009 memiliki luas 472.905 ha. Dasar penetapan kawasan menjadi wilayah konservasi adalah tingginya keanekaragaman terumbu karang namun dihadapkan pada tingginya gangguan antropogenik terhadap kondisi karang tersebut. Selain karang, wilayah ini memiliki luasan mangrove dan padang lamun yang cukup tinggi khususnya diwilayah selatan Pulau Bintan. Dalam rangka pelaksanaan kegiatan COREMAP CTI, telah dilakukan penelitian untuk mengumpulkan data dasar (baseline study) , pada bulan September 2014. Kegiatan penelitian meliputi pengamatan ekosistem terumbu karang yaitu pengamatan karang, ikan karang dan biota megabentos, juga pengamatan ekosistem terkait yaitu ekosistem mangrove dan padang lamun. Lokasi yang diamati masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah, terletak di pesisir timur Pulau Bintan Kecamatan Bintan Timur, Pulau Mapur, Pulau Erapas, Pulau Numbing, yang merupakan stasiun lama pada COREMAP II, dan stasiun tambahan di Pulau Pangkil

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data dasar ekosistem terumbu karang, mengukur kesehatan hutan mangrove yang tumbuh di pesisir KKPD Kabupaten Bintan, dalam kaitannya juga dengan padang lamun .

Metode yang digunakan ialah metode transek, dan masing-masing substansi mempunyai modifikasi transek tersendiri, karang dengan “Underwater Photo Transect, ikan karang dengan “Underwater Visual Census”, megabentos, dengan “Reef Check Benthos”. Untuk mangrove dengan transek tegaklurus garis pantai, dibantu dengan pembuatan petak, untuk lamun dengan transek (50 m),sejajar garis pantai. Untuk Sistem Informasi Geografis, menggunakan data citra sebagai peta dasar dan dengan pegecekan langsung di lapangan (ground truth).

Hasil pengamatan, untuk karang, secara garis besarnya persentase tutupan karang bervariasi dari kategori jelek sampai dengan baik. Hasil sensus visual ikan karang kategori ikan indikator dan ikan target di Kabupaten Bintan pada 14 stasiun pengamatan mencatat sebany1.167 individu yang tergolong dalam 31 jenis dan suku 7 . Fauna megabentos yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan adalah sebanyak 5 jenis dengan total individu 1629 individu. Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara 63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Total lamun yang tercatat di seluruh transek permanen di Perairan Bintan adalah sembilan jenis, yaitu Enhalus acoroides (Ea), Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea rotundata (Cr), Cymodocea serrulata (Cs), Halodule uninervis (Hu), Halophila pinifolia (Hp), Syringodium isoetifolium (Si), Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis (Ho).

Hasil selengkapnya untuk masing-masing substansi penelitian , disajikan dalam bentuk peta, grafik maupun tabel.

Page 7: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

RINGKASAN EKSEKUTIF

A. PENDAHULUAN

Kabupaten Bintan terletak antara °00’ Lintang Utara 1°20’ Lintang Selatan dan

104°00’ Bujur Timur 108°30’ Bujur Barat. Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kecamatan

Bintan Timur, P. Numbing, P. Mapur dan P. Erapas, yang termasuk dalam Kabupaten

Bintan, memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan

ini memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah

ikan-ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Seiring dengan

berjalannya waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang

berkelanjutan telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya,

khususnya lingkungan perairannya.

Kabupaten Bintan merupakan sebuah kepulauan di Propinsi Kepulauan Riau yang

memiliki luas 1.318 km2 yang terletak di bagian selatan Laut Cina Selatan dan berbatasan

dengan Kabupaten Batam dan Singapura. Topografi daratan yang cukup landai, banyak

muara sungai dan teluk, membuat kawasan pesisir Kabupaten Bintan memiliki ekosistem

pantai pesisir yang lengkap. Ekosistem mangrove di Kabupaten Bintan terbilang cukup unik.

Dibandingkan dengan terumbu karang dan lamun, ekosistem mangrove tersebar hampir

diseluruh area kawasan pesisir.

Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Bintan sebagai satu-satunya

kawasan konservasi tingkat kabupaten ditetapkan melalui SK Bupati No. 58/II/2009 memiliki

luas 472.905 ha. Dasar penetapan kawasan menjadi wilayah konservasi adalah tingginya

keanekaragaman terumbu karang namun dihadapkan pada tingginya gangguan antropogenik

terhadap kondisi karang tersebut. Selain karang, wilayah ini memiliki luasan mangrove yang

cukup tinggi khususnya diwilayah selatan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kesehatan hutan mangrove yang

tumbuh di pesisir KKPD Kabupaten Bintan, dalam kaitannya dengan padang lamun dan

selanjutnya ke arah laut dengan ekosistem terumbu karang. Dengan adanya kebijakan untuk

mengelola ekosistem-ekosistem ini secara baik dan terpadu, diharapkan dapat menjaga

kelestarian ekosistem pesisir dengan sumberdaya yang ada di dalamnya, untuk kesejahteraan

masyarakat pesisir di wilayah ini.

Page 8: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 v

RINGKASAN EKSEKUTIF

A. PENDAHULUAN

Kabupaten Bintan terletak antara °00’ Lintang Utara 1°20’ Lintang Selatan dan

104°00’ Bujur Timur 108°30’ Bujur Barat. Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kecamatan

Bintan Timur, P. Numbing, P. Mapur dan P. Erapas, yang termasuk dalam Kabupaten

Bintan, memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan

ini memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah

ikan-ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Seiring dengan

berjalannya waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang

berkelanjutan telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya,

khususnya lingkungan perairannya.

Kabupaten Bintan merupakan sebuah kepulauan di Propinsi Kepulauan Riau yang

memiliki luas 1.318 km2 yang terletak di bagian selatan Laut Cina Selatan dan berbatasan

dengan Kabupaten Batam dan Singapura. Topografi daratan yang cukup landai, banyak

muara sungai dan teluk, membuat kawasan pesisir Kabupaten Bintan memiliki ekosistem

pantai pesisir yang lengkap. Ekosistem mangrove di Kabupaten Bintan terbilang cukup unik.

Dibandingkan dengan terumbu karang dan lamun, ekosistem mangrove tersebar hampir

diseluruh area kawasan pesisir.

Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Bintan sebagai satu-satunya

kawasan konservasi tingkat kabupaten ditetapkan melalui SK Bupati No. 58/II/2009 memiliki

luas 472.905 ha. Dasar penetapan kawasan menjadi wilayah konservasi adalah tingginya

keanekaragaman terumbu karang namun dihadapkan pada tingginya gangguan antropogenik

terhadap kondisi karang tersebut. Selain karang, wilayah ini memiliki luasan mangrove yang

cukup tinggi khususnya diwilayah selatan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kesehatan hutan mangrove yang

tumbuh di pesisir KKPD Kabupaten Bintan, dalam kaitannya dengan padang lamun dan

selanjutnya ke arah laut dengan ekosistem terumbu karang. Dengan adanya kebijakan untuk

mengelola ekosistem-ekosistem ini secara baik dan terpadu, diharapkan dapat menjaga

kelestarian ekosistem pesisir dengan sumberdaya yang ada di dalamnya, untuk kesejahteraan

masyarakat pesisir di wilayah ini.

Page 9: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014vi

Karang

Metode yang digunakan ialah dengan UPT (Underwater Photo Transect), dengan

bantuan bingkai (frame) ukuran 44 x 58 cm.. Pita transek dibentangkan sepanjang 50 meter,

sejajar garis pantai. Pemotretan dimulai dari meter ke 1 pada bagian sebelah kiri garis transek

(bagian yang lebih dekat dengan daratan) sebagai ”Frame 1” , dilanjutkan dengan

pengambilan foto pada meter ke-2 pada bagian sebelah kanan garis transek (bagian yang

lebih jauh dengan daratan) sebagai ”Frame 2” dan seterusnya Pemotretan dilakukan pada

panjang transek 50 m dimulai dari frame ke-1 hingga ke-50 dengan luas bidang pemotretan

minimal 1200 cm2

untuk setriap framenya. Kegiatan ini dilakukan dengan penyelaman

dengan menggunakan peralatan selam SCUBA.

Teknik analisis foto menggunakan 30 sampel titik acak dari masing=masing frame.

Luas bidang 1200 cm2

per frame dapat dihasilkan dari pemotretan menggunakan kamera SW

dengan jarak pemotretan 60 cm dari dasar dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom).

Ikan Karang

Metode yang digunakan dalam melakukan pemantauan ikan karang adalah metode

Underwater Visual Census (UVC) yang sudah dimodifikasi (Dartnall and Jones, 1986).

Pemantauan dilakukan di garis transek yang sama dengan kegiatan penelitian karang, agar

sekaligus mendapatkan data bentik yang menggambarkan habitatnya. Penamaan ikan karang

mengacu pada buku panduan ikan karang (Allen & Swainston, 1993; Allen & Steene, 1996;

Allen, 1999; Allen et al., 2003; Kuiter & Debelius, 1994).

Jenis ikan yang diamati dalam penelitian ini dibatasi pada semua jenis ikan

indikator (suku Chaetodontidae), dan ikan-ikan target (6 suku), dari suku: Haemulidae,

Lutjanidae, Lethrinidae, Scaridae, Serranidae, dan Siganidae. Hal ini lebih untuk melihat

dampak antara kedua kelompok ikan ini terhadap kondisi terumbu karang, mengingat

kelompok ikan indikator sebagian besar merupakan ikan pemakan polip karang. Sedangkan

ikan target adalah kelompok ikan pangan yang memiliki nilai ekonomis, baik itu untuk

dikonsumsi masyarakat maupun diperjual belikan. Jadi kedua kelompok ikan ini secara

langsung bisa memberi gambaran mengenai kondisi terumbu karang itu sendiri.

Sensus dilakukan pada garis transek sepanjang 70 m dengan lebar pengamatan 5 m,

sehingga total luas daerah pengamatan pada tiap stasiun adalah 350 m2. Pengamatan

B. METODE PEMANTAUAN YANG DIGUNAKAN

Lokasi yang diamati masuk dalam zona kawasan konservasi laut, terletak di pesisir

timur Pulau Bintan Kecamatan Bintan Timur, Pulau Mapur, Pulau Erapas, Pulau Numbing,

yang merupakan stasiun lama pada COREMAP II, dan stasiun tambahan di Pulau Pangkil.

Posisi stasiun ditentukan dengan menggunakan GPS.

SIG (Sistem Informasi Geografis)

Untuk keperluan peta habitat laut dangkal, data citra penginderaan jauh (indraja)

digunakan sebagai data dasar. Data citra inderaja yang dipakai dalam studi ini adalah citra

digital Landsat 8 pada saluran spektrum tampak, saluran infra-merah dekat, serta saluran

inframerah tengah (band 2, 3, 4, 5, 6, dan 7). Sedangkan saluran inframerah dekat dan tengah

(saluran 5 serta 6 dan 7) tetap dipakai karena band 5 masih berguna untuk perairan dangkal,

serta band 6 dan 7 berguna untuk membedakan ekosistim mangrove.

Pemetaan habitat laut dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan

klasifikasi multispektral. Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan

kolom air, sehingga objek dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman

yang digunakan adalah transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang

dikembangkan oleh Lyzenga (1981). Klasifikasi multispektral dilakukan untuk

mengelompokkan piksel citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi

beberapa kelompok berdasarkan objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar laut

dangkal.

Pemetaan mangrove dilakukan menggunakan citra landsat 8 liputan September 2014

melalui komposit saluran (band) 5,6 dan 3. Mangrove merupakan vegetasi yang mempunyai

kaandungan klorofil sangat tinggi dibanding vegetasi lain di sekitarnya. Pada citra komposit

tersebut akan terlihat sebaran mangrove di Pulau Bintan. Selanjutnya menggunakan metode

digitasi manual, akan diperoleh penyebaran vegetasi mangrove beserta luasannya

Survei lapangan (ground truth) diperlukan untuk mengetahui kenampakan

sebenarnya dilapangan yang terekam oleh citra satelit. Pengambilan titik pengamatan

dilakukan secara sistematis dengan membuat jalur transek mulai dari garis pantai hingga

ujung terumbu atau tubir. Pengamatan dilakukan menggunakan teknik snorkeling serta

berhenti sejenak untuk mencatat ketika terjadi perubahan kenampakan didasar perairan.

Setiap titik pengamatan dicatat lokasinya menggunakan alat receiver GPS.

Page 10: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 vii

Karang

Metode yang digunakan ialah dengan UPT (Underwater Photo Transect), dengan

bantuan bingkai (frame) ukuran 44 x 58 cm.. Pita transek dibentangkan sepanjang 50 meter,

sejajar garis pantai. Pemotretan dimulai dari meter ke 1 pada bagian sebelah kiri garis transek

(bagian yang lebih dekat dengan daratan) sebagai ”Frame 1” , dilanjutkan dengan

pengambilan foto pada meter ke-2 pada bagian sebelah kanan garis transek (bagian yang

lebih jauh dengan daratan) sebagai ”Frame 2” dan seterusnya Pemotretan dilakukan pada

panjang transek 50 m dimulai dari frame ke-1 hingga ke-50 dengan luas bidang pemotretan

minimal 1200 cm2

untuk setriap framenya. Kegiatan ini dilakukan dengan penyelaman

dengan menggunakan peralatan selam SCUBA.

Teknik analisis foto menggunakan 30 sampel titik acak dari masing=masing frame.

Luas bidang 1200 cm2

per frame dapat dihasilkan dari pemotretan menggunakan kamera SW

dengan jarak pemotretan 60 cm dari dasar dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom).

Ikan Karang

Metode yang digunakan dalam melakukan pemantauan ikan karang adalah metode

Underwater Visual Census (UVC) yang sudah dimodifikasi (Dartnall and Jones, 1986).

Pemantauan dilakukan di garis transek yang sama dengan kegiatan penelitian karang, agar

sekaligus mendapatkan data bentik yang menggambarkan habitatnya. Penamaan ikan karang

mengacu pada buku panduan ikan karang (Allen & Swainston, 1993; Allen & Steene, 1996;

Allen, 1999; Allen et al., 2003; Kuiter & Debelius, 1994).

Jenis ikan yang diamati dalam penelitian ini dibatasi pada semua jenis ikan

indikator (suku Chaetodontidae), dan ikan-ikan target (6 suku), dari suku: Haemulidae,

Lutjanidae, Lethrinidae, Scaridae, Serranidae, dan Siganidae. Hal ini lebih untuk melihat

dampak antara kedua kelompok ikan ini terhadap kondisi terumbu karang, mengingat

kelompok ikan indikator sebagian besar merupakan ikan pemakan polip karang. Sedangkan

ikan target adalah kelompok ikan pangan yang memiliki nilai ekonomis, baik itu untuk

dikonsumsi masyarakat maupun diperjual belikan. Jadi kedua kelompok ikan ini secara

langsung bisa memberi gambaran mengenai kondisi terumbu karang itu sendiri.

Sensus dilakukan pada garis transek sepanjang 70 m dengan lebar pengamatan 5 m,

sehingga total luas daerah pengamatan pada tiap stasiun adalah 350 m2. Pengamatan

B. METODE PEMANTAUAN YANG DIGUNAKAN

Lokasi yang diamati masuk dalam zona kawasan konservasi laut, terletak di pesisir

timur Pulau Bintan Kecamatan Bintan Timur, Pulau Mapur, Pulau Erapas, Pulau Numbing,

yang merupakan stasiun lama pada COREMAP II, dan stasiun tambahan di Pulau Pangkil.

Posisi stasiun ditentukan dengan menggunakan GPS.

SIG (Sistem Informasi Geografis)

Untuk keperluan peta habitat laut dangkal, data citra penginderaan jauh (indraja)

digunakan sebagai data dasar. Data citra inderaja yang dipakai dalam studi ini adalah citra

digital Landsat 8 pada saluran spektrum tampak, saluran infra-merah dekat, serta saluran

inframerah tengah (band 2, 3, 4, 5, 6, dan 7). Sedangkan saluran inframerah dekat dan tengah

(saluran 5 serta 6 dan 7) tetap dipakai karena band 5 masih berguna untuk perairan dangkal,

serta band 6 dan 7 berguna untuk membedakan ekosistim mangrove.

Pemetaan habitat laut dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan

klasifikasi multispektral. Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan

kolom air, sehingga objek dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman

yang digunakan adalah transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang

dikembangkan oleh Lyzenga (1981). Klasifikasi multispektral dilakukan untuk

mengelompokkan piksel citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi

beberapa kelompok berdasarkan objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar laut

dangkal.

Pemetaan mangrove dilakukan menggunakan citra landsat 8 liputan September 2014

melalui komposit saluran (band) 5,6 dan 3. Mangrove merupakan vegetasi yang mempunyai

kaandungan klorofil sangat tinggi dibanding vegetasi lain di sekitarnya. Pada citra komposit

tersebut akan terlihat sebaran mangrove di Pulau Bintan. Selanjutnya menggunakan metode

digitasi manual, akan diperoleh penyebaran vegetasi mangrove beserta luasannya

Survei lapangan (ground truth) diperlukan untuk mengetahui kenampakan

sebenarnya dilapangan yang terekam oleh citra satelit. Pengambilan titik pengamatan

dilakukan secara sistematis dengan membuat jalur transek mulai dari garis pantai hingga

ujung terumbu atau tubir. Pengamatan dilakukan menggunakan teknik snorkeling serta

berhenti sejenak untuk mencatat ketika terjadi perubahan kenampakan didasar perairan.

Setiap titik pengamatan dicatat lokasinya menggunakan alat receiver GPS.

Page 11: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014viii

Data vegetasi dari setiap transek dicuplik dengan menggunakan metode kuadrat (Qosting

1956) yang ukurannya sebagai berikut :

- 10 x 10 meter untuk pohon (diameter batang > 10 cm),

- 5 x 5 meter untuk anak pohon (diameter 2 - < 10 cm)

- 1 x 1 meter untuk semai (diameter 2 cm dan kurang dari 1,5 meter).

Pada setiap petak tersebut semua tegakan diidentifikasi jenisnya, diukur diameternya dan

tingginya serta dihitung jumlah individu masing-masing jenis. Data yang diperoleh dianalisa

dengan cara Cox (1967).

Lamun

Transek permanen dilakukan sepanjang 50 m, diletakkan pada padang lamun dengan

persentase penutupan yang relatif homogen. Tiga titik permanen dibuat dengan patok besi

pada titik 0 m, 25 m, dan 50 m . Posisi transek berada relatif dekat pantai. Kemudian,

koordinat setiap transek dicatat dengan menggunakan GPS. Parameter yang dihitung adalah

persentase penutupan dan panjang daun setiap jenis lamun yang dominan pada suatu transek

permanen. Frame berukuran 0,25 m2 diletakan secara acak dengan 12 kali pengulangan untuk

menentukan penutupan total lamun dan penutupan lamun perjenis.

Sampel lamun untuk pengukuran panjang diambil secara acak pada awal, tengah, dan

akhir transek. Kriteria kondisi lamun berdasarkan penutupan mengacu pada KepMenLH

nomor 200 tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status

Padang Lamun.

C. HASIL

Habitat laut dangkal yang dapat dipetakan terdiri dari tiga kelas yaitu karang,

makroalgae, dan substrat terbuka. Habitat karang pada peta ini merupakan hamparan yang

didominasi oleh karang hidup serta karang mati baik yang tertutup algae maupun tidak.

Habitat tersebut biasanya ditemui pada ujung wilayah rataan terumbu yang menghadap ke

arah laut, mulai dari reef crest, tubir (reef edge) hingga lereng terumbu (reef slope).

Makroalgae merupakan hamparan yang didominasi oleh makroalgae dengan tutupan karang

hidup yang sedikit. Substrat terbuka pada peta merupakan permukaan dasar perairan yang

tidak didominasi oleh tutupan biota maupun vegetasi, dapat berupa pasir, batu, maupun

lumpur. Habitat perairan dangkal yang diperoleh, terdiri atas 4 klas yang disajikan pada

dilakukan pada satu kedalaman berkisar antara 5 – 7 m. Pengamatan ikan karang dibagi

dalam 2 kategori yakni ikan indikator dan ikan target.

Megabentos

Pengamatan megabentos, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting dan

berperan langsung di dalam ekosistem dapat dijadikan indikator dari kesehatan terumbu

karang. Pengamatan dilakukan menggunakan metode Reef Check. Semua fauna yang berada

1 meter di sebelah kiri dan kanan pita berukuran 70 meter tadi dihitung jumlahnya, sehingga

luas bidang yang teramati per-transeknya yaitu (2 x 70 m2) = 140 m2.

Adapun fauna megabentos yang dicatat jenis dan jumlah individunya sepanjang garis

transek terdiri dari :

• Lobster (udang karang)

• ”Banded coral shrimp” (udang karang kecil yang hidup di sela cabang karang

• Acanthaster planci (bintang bulu seribu)

• Diadema setosum (bulu babi hitam)

• “Pencil sea urchin” (bulu babi seperti pensil)

• “Large Holothurian” (teripang ukuran besar)

• “Small Holothurian” (teripang ukuran kecil)

• “Large Giant Clam” (kima ukuran besar)

• “Small Giant Clam” (kima ukuran kecil)

• Trochus niloticus (lola)

• Drupella ( sejenis Gastropoda / keong yang hidup di atas atau di sela-sela karang

terutama karang bercabang)

Mangrove

Untuk mengetahui struktur dan komposisi mangrove di kawasan lokasi penelitian

akan dilakukan pencuplikan data dengan menggunakan transek. Transek dilakukan dengan

cara membuat garis tegak lurus pantai kearah darat dengan membuat petak-petak (Cox,

1969). Sebelum melakukan pencuplikan data dilakukan pengamatan lapangan yang meliputi

seluruh kawasan hutan yang bertujuan untuk melihat secara umum keadaan fisiognomi dan

komposisi tegakan hutan serta keadaan pasang surutnya.

Page 12: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 ix

Data vegetasi dari setiap transek dicuplik dengan menggunakan metode kuadrat (Qosting

1956) yang ukurannya sebagai berikut :

- 10 x 10 meter untuk pohon (diameter batang > 10 cm),

- 5 x 5 meter untuk anak pohon (diameter 2 - < 10 cm)

- 1 x 1 meter untuk semai (diameter 2 cm dan kurang dari 1,5 meter).

Pada setiap petak tersebut semua tegakan diidentifikasi jenisnya, diukur diameternya dan

tingginya serta dihitung jumlah individu masing-masing jenis. Data yang diperoleh dianalisa

dengan cara Cox (1967).

Lamun

Transek permanen dilakukan sepanjang 50 m, diletakkan pada padang lamun dengan

persentase penutupan yang relatif homogen. Tiga titik permanen dibuat dengan patok besi

pada titik 0 m, 25 m, dan 50 m . Posisi transek berada relatif dekat pantai. Kemudian,

koordinat setiap transek dicatat dengan menggunakan GPS. Parameter yang dihitung adalah

persentase penutupan dan panjang daun setiap jenis lamun yang dominan pada suatu transek

permanen. Frame berukuran 0,25 m2 diletakan secara acak dengan 12 kali pengulangan untuk

menentukan penutupan total lamun dan penutupan lamun perjenis.

Sampel lamun untuk pengukuran panjang diambil secara acak pada awal, tengah, dan

akhir transek. Kriteria kondisi lamun berdasarkan penutupan mengacu pada KepMenLH

nomor 200 tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status

Padang Lamun.

C. HASIL

Habitat laut dangkal yang dapat dipetakan terdiri dari tiga kelas yaitu karang,

makroalgae, dan substrat terbuka. Habitat karang pada peta ini merupakan hamparan yang

didominasi oleh karang hidup serta karang mati baik yang tertutup algae maupun tidak.

Habitat tersebut biasanya ditemui pada ujung wilayah rataan terumbu yang menghadap ke

arah laut, mulai dari reef crest, tubir (reef edge) hingga lereng terumbu (reef slope).

Makroalgae merupakan hamparan yang didominasi oleh makroalgae dengan tutupan karang

hidup yang sedikit. Substrat terbuka pada peta merupakan permukaan dasar perairan yang

tidak didominasi oleh tutupan biota maupun vegetasi, dapat berupa pasir, batu, maupun

lumpur. Habitat perairan dangkal yang diperoleh, terdiri atas 4 klas yang disajikan pada

dilakukan pada satu kedalaman berkisar antara 5 – 7 m. Pengamatan ikan karang dibagi

dalam 2 kategori yakni ikan indikator dan ikan target.

Megabentos

Pengamatan megabentos, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting dan

berperan langsung di dalam ekosistem dapat dijadikan indikator dari kesehatan terumbu

karang. Pengamatan dilakukan menggunakan metode Reef Check. Semua fauna yang berada

1 meter di sebelah kiri dan kanan pita berukuran 70 meter tadi dihitung jumlahnya, sehingga

luas bidang yang teramati per-transeknya yaitu (2 x 70 m2) = 140 m2.

Adapun fauna megabentos yang dicatat jenis dan jumlah individunya sepanjang garis

transek terdiri dari :

• Lobster (udang karang)

• ”Banded coral shrimp” (udang karang kecil yang hidup di sela cabang karang

• Acanthaster planci (bintang bulu seribu)

• Diadema setosum (bulu babi hitam)

• “Pencil sea urchin” (bulu babi seperti pensil)

• “Large Holothurian” (teripang ukuran besar)

• “Small Holothurian” (teripang ukuran kecil)

• “Large Giant Clam” (kima ukuran besar)

• “Small Giant Clam” (kima ukuran kecil)

• Trochus niloticus (lola)

• Drupella ( sejenis Gastropoda / keong yang hidup di atas atau di sela-sela karang

terutama karang bercabang)

Mangrove

Untuk mengetahui struktur dan komposisi mangrove di kawasan lokasi penelitian

akan dilakukan pencuplikan data dengan menggunakan transek. Transek dilakukan dengan

cara membuat garis tegak lurus pantai kearah darat dengan membuat petak-petak (Cox,

1969). Sebelum melakukan pencuplikan data dilakukan pengamatan lapangan yang meliputi

seluruh kawasan hutan yang bertujuan untuk melihat secara umum keadaan fisiognomi dan

komposisi tegakan hutan serta keadaan pasang surutnya.

Page 13: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014x

yang ditemukan sebanyak 29 jenis dari 6 suku. Penelitian di Kabupaten Bintan terbagi atas

dua lokasi yakni di lokasi Sekitar Bintan Timur (8 stasiun) dan lokasi sekitar P. Mapur (6

stasiun).

Hasil sensus visual ikan target ditemukan sebanyak 49 jenis dari 10 suku dengan total

kehadiran sebanyak 1302 individu atau kepadatan ikan mencapai 0, 2657 ekor/m2 atau

2657 ekor/ha. Suku Caesionidae memiliki kelimpahan individu tertinggi sebesar 587

individu, terdiri dari 4 jenis , diikuti suku Lutjanidae sebanyak 198 individu (6 jenis), suku

Scaridae sebanyak 125 individu dan Serranidae sebanyak 85 individu sedangkan yang

terendah adalah suku Lethrinidae sebanyak 8 individu (3 jenis) dan Haemulidae sebanyak 4

individu (2 jenis)

Fauna megabentos yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan adalah sebanyak 5

jenis dengan total individu 1629 individu. Megabenthos yang ditemukan terbagi dalam 2

kelompok, yaitu Ekinodermata terdiri dari Acanthaster planci dan Diadema sp. (2 jenis) dan

kelompok Moluska terdiri dari Drupella spp., Tridacna sp. dan Trochus sp. Jumlah jenis

terbanyak terdapat di stasiun KRIL16 (4 jenis) sedangkan yang terendah di stasiun KRIL74,

KRIL81 dan KRIL90 (masing-masing 2 jenis).

Dilihat dari jumlah individu, stasiun KRIL14 memilik jumlah individu tertinggi, yaitu

sebanyak 305 individu/m2, diikuti KRIL17 (203 individu/m2) dan KRIL85 (181 individu/m2).

Kontribusi Diadema sp. terhadap tingginya jumlah individu megabentos pada stasiun

KRIL14 sangat dominan, sebesar 92,79% dari total individu pada stasiun tersebut. Jenis ini

memiliki sebaran yang sangat luas dan hadir pada semua stasiun pengamatan. Sedangkan

jumlah individu terendah di catat pada stasiun KRIL81 (3 individu/m2) dan hanya terdiri dari

2 jenis megabentos yaitu Diadema sp. dan Drupella sp.

Hasil pengamatan menunjukkan jumlah individu dari setiap jenis yang ditemukan pada

masing-masing stasiun didominasi oleh kehadiran Diadema sp. Kehadiran jenis ini erat

kaitannya dengan substrat sebagai tempat hidup, ketersediaan makanan serta mampu

beradaptasi dengan lingkungan. Hampir semua stasiun pengamatan memiliki substrat yang

didominasi oleh pasir. Umumnya jenis ini sering ditemukan dalam jumlah individu yang

menonjol pada substrat pasir dengan kondisi perairan yang relatif tenang. Diadema termasuk

hewan herbivor, makanan utama Diadema setosum dan bintang laut lainnya adalah alga

bentik.

Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove

dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara

Tabel luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove di perairan Bintan Timur di bawah

ini.

Habitat Luas (Ha) Karang 2445.19 Pasir 3586.20 Substrat campuran: terdiri dari pasir, spot karang hidup dan karang mati, pecahan dan bongkah karang serta algae/sargasum.

3790.36

Lamun 700.13 Mangrove 2852.57

Persentase tutupan karang hidup yang dicatat di lokasi transek berkisar antara 1,20% -

54,80%, dengan tutupan tertinggi terdapat di stasiun KRIL A, yaitu 54,80% dan terendah di

KRIL17 (1,20%). Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa tutupan karang hidup berada pada

kondisi “jelek” hingga “baik”. Umumnya karang yang dicatat dalam pengamatan ini,

didominasi oleh karang jenis Non-Acropora. Pertumbuhan karang batu pada 14 lokasi transek

didominasi oleh Galaxea fascicularis dan Porites cylindrica (sub-massive), serta Porites

lobata dan Porites lutea (massive).

Dari hasil pengamatan, dicatat hanya 3 (tiga) stasiun yang kondisi karangnya masuk

dalam kategori “baik” (50 % - 74,99%) yaitu stasiun KRIL 77, KRIL 81 dan KRIL A. Untuk

kategori “sedang” (25 % - 49,99 %) ditemukan di 7 (tujuh ) stasiun, berturut-turut di stasiun

KRIL 92, KRIL18, KRIL B, KRIL 90, KRIL 13, KRIL 15 dan KRIL 74.Sisanya ada 4

(empat) stasiun dalam kondisi “jelek”. Persentase tutupan DCA ( karang mati beralga) dicatat

tertinggi di stasiun KRIL17 (80,80 %). Stasiun ini terletak di bagian timur Pulau Mapur dan

berhadapan dengan laut lepas yang sering menerima tekanan ombak yang besar.yang menarik

di lokasi ini didominasi oleh karang dengan bentuk pertumbuhan bercabang. Jenis karang

yang dominan di lokasi ini yaitu dari jenis Caulastrea furcata dan dari marga Acropora

terutama A. brueggemanni, dan marga Montipora yaitu M.foliosa. Kelompok Acropora

diketahui untuk tumbuh baik, memerlukan sirkulasi arus yang juga baik.

Hasil sensus visual ikan karang kategori ikan indikator dan ikan target di Kabupaten

Bintan pada 14 stasiun pengamatan mencatat sebany1.167 individu yang tergolong dalam

31 jenis dan suku 7 . Ikan indikator yang ditemukan sebanyak 2 jenis yakni dari suku

Chaetodontidae yaitu Chaetodon oktofasciatus dan Chelmon rostratus, sedangkan ikan target

Page 14: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 xi

yang ditemukan sebanyak 29 jenis dari 6 suku. Penelitian di Kabupaten Bintan terbagi atas

dua lokasi yakni di lokasi Sekitar Bintan Timur (8 stasiun) dan lokasi sekitar P. Mapur (6

stasiun).

Hasil sensus visual ikan target ditemukan sebanyak 49 jenis dari 10 suku dengan total

kehadiran sebanyak 1302 individu atau kepadatan ikan mencapai 0, 2657 ekor/m2 atau

2657 ekor/ha. Suku Caesionidae memiliki kelimpahan individu tertinggi sebesar 587

individu, terdiri dari 4 jenis , diikuti suku Lutjanidae sebanyak 198 individu (6 jenis), suku

Scaridae sebanyak 125 individu dan Serranidae sebanyak 85 individu sedangkan yang

terendah adalah suku Lethrinidae sebanyak 8 individu (3 jenis) dan Haemulidae sebanyak 4

individu (2 jenis)

Fauna megabentos yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan adalah sebanyak 5

jenis dengan total individu 1629 individu. Megabenthos yang ditemukan terbagi dalam 2

kelompok, yaitu Ekinodermata terdiri dari Acanthaster planci dan Diadema sp. (2 jenis) dan

kelompok Moluska terdiri dari Drupella spp., Tridacna sp. dan Trochus sp. Jumlah jenis

terbanyak terdapat di stasiun KRIL16 (4 jenis) sedangkan yang terendah di stasiun KRIL74,

KRIL81 dan KRIL90 (masing-masing 2 jenis).

Dilihat dari jumlah individu, stasiun KRIL14 memilik jumlah individu tertinggi, yaitu

sebanyak 305 individu/m2, diikuti KRIL17 (203 individu/m2) dan KRIL85 (181 individu/m2).

Kontribusi Diadema sp. terhadap tingginya jumlah individu megabentos pada stasiun

KRIL14 sangat dominan, sebesar 92,79% dari total individu pada stasiun tersebut. Jenis ini

memiliki sebaran yang sangat luas dan hadir pada semua stasiun pengamatan. Sedangkan

jumlah individu terendah di catat pada stasiun KRIL81 (3 individu/m2) dan hanya terdiri dari

2 jenis megabentos yaitu Diadema sp. dan Drupella sp.

Hasil pengamatan menunjukkan jumlah individu dari setiap jenis yang ditemukan pada

masing-masing stasiun didominasi oleh kehadiran Diadema sp. Kehadiran jenis ini erat

kaitannya dengan substrat sebagai tempat hidup, ketersediaan makanan serta mampu

beradaptasi dengan lingkungan. Hampir semua stasiun pengamatan memiliki substrat yang

didominasi oleh pasir. Umumnya jenis ini sering ditemukan dalam jumlah individu yang

menonjol pada substrat pasir dengan kondisi perairan yang relatif tenang. Diadema termasuk

hewan herbivor, makanan utama Diadema setosum dan bintang laut lainnya adalah alga

bentik.

Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove

dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara

Tabel luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove di perairan Bintan Timur di bawah

ini.

Habitat Luas (Ha) Karang 2445.19 Pasir 3586.20 Substrat campuran: terdiri dari pasir, spot karang hidup dan karang mati, pecahan dan bongkah karang serta algae/sargasum.

3790.36

Lamun 700.13 Mangrove 2852.57

Persentase tutupan karang hidup yang dicatat di lokasi transek berkisar antara 1,20% -

54,80%, dengan tutupan tertinggi terdapat di stasiun KRIL A, yaitu 54,80% dan terendah di

KRIL17 (1,20%). Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa tutupan karang hidup berada pada

kondisi “jelek” hingga “baik”. Umumnya karang yang dicatat dalam pengamatan ini,

didominasi oleh karang jenis Non-Acropora. Pertumbuhan karang batu pada 14 lokasi transek

didominasi oleh Galaxea fascicularis dan Porites cylindrica (sub-massive), serta Porites

lobata dan Porites lutea (massive).

Dari hasil pengamatan, dicatat hanya 3 (tiga) stasiun yang kondisi karangnya masuk

dalam kategori “baik” (50 % - 74,99%) yaitu stasiun KRIL 77, KRIL 81 dan KRIL A. Untuk

kategori “sedang” (25 % - 49,99 %) ditemukan di 7 (tujuh ) stasiun, berturut-turut di stasiun

KRIL 92, KRIL18, KRIL B, KRIL 90, KRIL 13, KRIL 15 dan KRIL 74.Sisanya ada 4

(empat) stasiun dalam kondisi “jelek”. Persentase tutupan DCA ( karang mati beralga) dicatat

tertinggi di stasiun KRIL17 (80,80 %). Stasiun ini terletak di bagian timur Pulau Mapur dan

berhadapan dengan laut lepas yang sering menerima tekanan ombak yang besar.yang menarik

di lokasi ini didominasi oleh karang dengan bentuk pertumbuhan bercabang. Jenis karang

yang dominan di lokasi ini yaitu dari jenis Caulastrea furcata dan dari marga Acropora

terutama A. brueggemanni, dan marga Montipora yaitu M.foliosa. Kelompok Acropora

diketahui untuk tumbuh baik, memerlukan sirkulasi arus yang juga baik.

Hasil sensus visual ikan karang kategori ikan indikator dan ikan target di Kabupaten

Bintan pada 14 stasiun pengamatan mencatat sebany1.167 individu yang tergolong dalam

31 jenis dan suku 7 . Ikan indikator yang ditemukan sebanyak 2 jenis yakni dari suku

Chaetodontidae yaitu Chaetodon oktofasciatus dan Chelmon rostratus, sedangkan ikan target

Page 15: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014xii

memiliki hutan mangrove yang cukup lebar, dengan substrat bervariasi dari pasir lumpuran

sampai berlumpur menyebabkan keanekaragaman jenisnya yang cukup tinggi. Kondisi

komunitas mengrove pada stasiun tersebut juga paling baik diantara ketiga stasiun lainnya.

Jenis yang mendominasi pada kawasan ini berasal dari kelompok Rhizophora, baik R.

apiculata maupun R. mucronata.

Total lamun yang tercatat di seluruh transek permanen di Perairan Bintan adalah

sembilan jenis, yaitu Enhalus acoroides (Ea), Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea

rotundata (Cr), Cymodocea serrulata (Cs), Halodule uninervis (Hu), Halophila pinifolia

(Hp), Syringodium isoetifolium (Si), Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis (Ho) (Tabel

1). Dari ketiga lokasi, Pantai Trikora memiliki jumlah jenis lamun terbanyak (9 jenis),

sedangkan daerah Numbing dan Pulau Pangkil memilik jenis lamun paling sedikit (2 dan 3

jenis lamun).

Berdasarkan persentase penutupan, jenis T. hemprichii dan E. acoroides paling

melimpah pada semua transek permanen di stasiun monitoring (dengan total lebih dari 50%).

Jenis lainnya yang cukup mendominasi adalah C. rotundata dan C. serrulata, sedangkan jenis

yang lain memiliki kelimpahan yang rendah.

Stasiun monitoring dikelompokan menjadi tiga berdasarkan arah mata angin dan

jarak. Nilai penutupan lamun terlihat jelas berbeda. Lokasi Pantai Trikora dan P. Beralas

Pasir memiliki lamun yang padat dan kondisi yang baik, sedangkan rata-rata di kedua sub-

lokasi memiliki nilai lamun yang kurang baik (jarang). Rata-rata lamun secara keseluruhan

pada transek permanen monitoring lamun di Peraiaran Bintan menunjukkaan nilai 38,38 %

dengan jenis dominan Thalasi hemprichii dan Enhalus. acoroides. Berdasarkan KepMEnLH

No 200 Tahun xxx, kondisi lamun di Perairan Bintan kurang sehat, namun berbeda halnya

apabila dilihat per sub- lokasi.

63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Pulau Numbing memiliki persentase tutupan

mangrove yang paling tinggi di dua stasiun penelitiannya BINM01 dan BINM02 yang tidak

berbeda secara statistik (P<0.05). Persentase tutupan mangrove yang paling rendah

ditemukan di Pulau Pangkil, stasiun BINM03. Berdasarkan data kerapatan pohon, stasiun

BINM10 di Pulau Mapur memiliki kerapatan pohon tertinggi, yaitu 4.200,00 ± 1.449,14

pohon/ha sedangkan terendah di stasiun BINM03, Pulau Pangkil dengan kerapatan pohon

lebih kecil dari 1000. Berdasarkan hal tersebut kawasan hutan mangrove pada stasiun

BINM03 termasuk dalam kategori kurang baik/jarang.

Dua stasiun di Pulau Pangkil, BINM03 dan BINM04 memiliki perbedaan pada

kondisi substrat dan arus. Stasiun BINM03 didominasi oleh substrat pasir berbatu dan

merupakan wilayah dengan arus yang cukup kuat. Oleh karena itu, kawasan BINM03

memiliki substrat yang padat dan tidak berlumpur sehingga rendah organik. Jenis yang

mendominasi di kawasan ini adalah Bruguierra gymnorrhiza. Kawasan BINM04 memiliki

substrat yang yang lebih berlumpur dan sedikit lebih terlindung dibandingkan dengan

BINM03. Jenis yang mendominasi di kawasan ini adalah Rhizophora stylosa dengan indeks

nilai penting 127.87%. Kawasan BINM03 yang lebih dinamis dibandingkan dengan BINM04

memiliki keanekaragaman jenis lebih tinggi.

Satu stasiun di kawasan muara Sungai Kawal, BINM05, merupakan salah satu

wilayah yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Pada kawasan ini ditemukan enam

jenis mangrove, yang mendominasi di kawasan ini berasal dari kelompok Rhizophora.

Kawasan Sungai Kawal memiliki keragaman substrat yang cukup tinggi. Pada transek yang

dekat dengan muara sungai, substrat didominasi oleh lumpuran sedangkan pada wilayah yang

lebih jauh dari sungai memiliki substrat berpasir. Hal ini yang menyebabkan keanekaragaman

jenis mangrove cukup tinggi. Persentase tutupan mangrove di kawasan ini mencapai 75.07 ±

7.07% dengan kerapatan 1188.89 ± 483.33 pohon/ha. Nilai ini menunjukkan bahwa kondisi

komunitas mangrove di muara Sungai Kawal termasuk dalam kategori baik.

Stasiun Pulau Beralas Bakau, merupakan satu-satunya stasiun penelitian di wilayah

utara kawasan konservasi. Pulau ini memiliki substrat pasir dengan kondisi perairan yang

cukup dinamis. Stasiun BINM06 didominasi dengan baik oleh R. mucronata dengan nilai

INP 125.95%. Kondisi komunitas mangrove di stasiun BINM06 tergolong baik dengan

persentase tutupan 71.34 ± 14.89% dan kerapatan pohon 1333.33 ± 321.46 pohon/ha.

Lokasi di Pulau Mapur, terdiri dari empat stasiun penelitian dimana semuanya

difokuskan pada wilayah selatan dan timur pulau. Stasiun di wilayah timur pulau, BINM10

Page 16: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 xiii

memiliki hutan mangrove yang cukup lebar, dengan substrat bervariasi dari pasir lumpuran

sampai berlumpur menyebabkan keanekaragaman jenisnya yang cukup tinggi. Kondisi

komunitas mengrove pada stasiun tersebut juga paling baik diantara ketiga stasiun lainnya.

Jenis yang mendominasi pada kawasan ini berasal dari kelompok Rhizophora, baik R.

apiculata maupun R. mucronata.

Total lamun yang tercatat di seluruh transek permanen di Perairan Bintan adalah

sembilan jenis, yaitu Enhalus acoroides (Ea), Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea

rotundata (Cr), Cymodocea serrulata (Cs), Halodule uninervis (Hu), Halophila pinifolia

(Hp), Syringodium isoetifolium (Si), Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis (Ho) (Tabel

1). Dari ketiga lokasi, Pantai Trikora memiliki jumlah jenis lamun terbanyak (9 jenis),

sedangkan daerah Numbing dan Pulau Pangkil memilik jenis lamun paling sedikit (2 dan 3

jenis lamun).

Berdasarkan persentase penutupan, jenis T. hemprichii dan E. acoroides paling

melimpah pada semua transek permanen di stasiun monitoring (dengan total lebih dari 50%).

Jenis lainnya yang cukup mendominasi adalah C. rotundata dan C. serrulata, sedangkan jenis

yang lain memiliki kelimpahan yang rendah.

Stasiun monitoring dikelompokan menjadi tiga berdasarkan arah mata angin dan

jarak. Nilai penutupan lamun terlihat jelas berbeda. Lokasi Pantai Trikora dan P. Beralas

Pasir memiliki lamun yang padat dan kondisi yang baik, sedangkan rata-rata di kedua sub-

lokasi memiliki nilai lamun yang kurang baik (jarang). Rata-rata lamun secara keseluruhan

pada transek permanen monitoring lamun di Peraiaran Bintan menunjukkaan nilai 38,38 %

dengan jenis dominan Thalasi hemprichii dan Enhalus. acoroides. Berdasarkan KepMEnLH

No 200 Tahun xxx, kondisi lamun di Perairan Bintan kurang sehat, namun berbeda halnya

apabila dilihat per sub- lokasi.

63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Pulau Numbing memiliki persentase tutupan

mangrove yang paling tinggi di dua stasiun penelitiannya BINM01 dan BINM02 yang tidak

berbeda secara statistik (P<0.05). Persentase tutupan mangrove yang paling rendah

ditemukan di Pulau Pangkil, stasiun BINM03. Berdasarkan data kerapatan pohon, stasiun

BINM10 di Pulau Mapur memiliki kerapatan pohon tertinggi, yaitu 4.200,00 ± 1.449,14

pohon/ha sedangkan terendah di stasiun BINM03, Pulau Pangkil dengan kerapatan pohon

lebih kecil dari 1000. Berdasarkan hal tersebut kawasan hutan mangrove pada stasiun

BINM03 termasuk dalam kategori kurang baik/jarang.

Dua stasiun di Pulau Pangkil, BINM03 dan BINM04 memiliki perbedaan pada

kondisi substrat dan arus. Stasiun BINM03 didominasi oleh substrat pasir berbatu dan

merupakan wilayah dengan arus yang cukup kuat. Oleh karena itu, kawasan BINM03

memiliki substrat yang padat dan tidak berlumpur sehingga rendah organik. Jenis yang

mendominasi di kawasan ini adalah Bruguierra gymnorrhiza. Kawasan BINM04 memiliki

substrat yang yang lebih berlumpur dan sedikit lebih terlindung dibandingkan dengan

BINM03. Jenis yang mendominasi di kawasan ini adalah Rhizophora stylosa dengan indeks

nilai penting 127.87%. Kawasan BINM03 yang lebih dinamis dibandingkan dengan BINM04

memiliki keanekaragaman jenis lebih tinggi.

Satu stasiun di kawasan muara Sungai Kawal, BINM05, merupakan salah satu

wilayah yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Pada kawasan ini ditemukan enam

jenis mangrove, yang mendominasi di kawasan ini berasal dari kelompok Rhizophora.

Kawasan Sungai Kawal memiliki keragaman substrat yang cukup tinggi. Pada transek yang

dekat dengan muara sungai, substrat didominasi oleh lumpuran sedangkan pada wilayah yang

lebih jauh dari sungai memiliki substrat berpasir. Hal ini yang menyebabkan keanekaragaman

jenis mangrove cukup tinggi. Persentase tutupan mangrove di kawasan ini mencapai 75.07 ±

7.07% dengan kerapatan 1188.89 ± 483.33 pohon/ha. Nilai ini menunjukkan bahwa kondisi

komunitas mangrove di muara Sungai Kawal termasuk dalam kategori baik.

Stasiun Pulau Beralas Bakau, merupakan satu-satunya stasiun penelitian di wilayah

utara kawasan konservasi. Pulau ini memiliki substrat pasir dengan kondisi perairan yang

cukup dinamis. Stasiun BINM06 didominasi dengan baik oleh R. mucronata dengan nilai

INP 125.95%. Kondisi komunitas mangrove di stasiun BINM06 tergolong baik dengan

persentase tutupan 71.34 ± 14.89% dan kerapatan pohon 1333.33 ± 321.46 pohon/ha.

Lokasi di Pulau Mapur, terdiri dari empat stasiun penelitian dimana semuanya

difokuskan pada wilayah selatan dan timur pulau. Stasiun di wilayah timur pulau, BINM10

Page 17: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

DAFTAR ISI

hal

Prakata ................................................................................................................................ i

Abstrak ................................................................................................................................ iii

Ringkasan Eksekutif .......................................................................................................... v

Daftar Isi ............................................................................................................................. xv

Daftar Gambar .................................................................................................................... xvii

Daftar Tabel ........................................................................................................................ xvii

Daftar Lampiran .................................................................................................................. xix

BAB. 1. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah .................................................................................. 2

1.3. Tujuan dan sasaran Penelitian ................................................................ 3

1.4. Metodologi ............................................................................................. 3

1.4.1. Kerangka Berpikir ...................................................................... 3

1.4.2. Metode ........................................................................................ 5

1.4.2.1. SIG ................................................................................ 5

1.4.2.2. Karang .......................................................................... 8

1.4.2.3. Ikan Karang .................................................................. 9

1.4.2.4. Megabentos ................................................................... 11

1.4.2.5. Mangrove ...................................................................... 11

1.4.2.5. Lamun ........................................................................... 12

1.5. Pelaksana Kegiatan ................................................................................. 13

BAB II. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 14

2.1. S.I.G ........................................................................................................ 14

2.1.1. Sebaran Habitat Laut Dangkal dan Mangrove ............................ 14

2.1.2. Pengelompokan data ................................................................... 17

2.2. Karang .................................................................................................... 17

2.2.1. Deskripsi Lokasi dan Kondisi Terumbu Karang ........................ 18

2.2.2. Kondisi Terumbu Karang ........................................................... 22

Page 18: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 xv

DAFTAR ISI

hal

Prakata ................................................................................................................................ i

Abstrak ................................................................................................................................ iii

Ringkasan Eksekutif .......................................................................................................... v

Daftar Isi ............................................................................................................................. xv

Daftar Gambar .................................................................................................................... xvii

Daftar Tabel ........................................................................................................................ xvii

Daftar Lampiran .................................................................................................................. xix

BAB. 1. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah .................................................................................. 2

1.3. Tujuan dan sasaran Penelitian ................................................................ 3

1.4. Metodologi ............................................................................................. 3

1.4.1. Kerangka Berpikir ...................................................................... 3

1.4.2. Metode ........................................................................................ 5

1.4.2.1. SIG ................................................................................ 5

1.4.2.2. Karang .......................................................................... 8

1.4.2.3. Ikan Karang .................................................................. 9

1.4.2.4. Megabentos ................................................................... 11

1.4.2.5. Mangrove ...................................................................... 11

1.4.2.5. Lamun ........................................................................... 12

1.5. Pelaksana Kegiatan ................................................................................. 13

BAB II. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 14

2.1. S.I.G ........................................................................................................ 14

2.1.1. Sebaran Habitat Laut Dangkal dan Mangrove ............................ 14

2.1.2. Pengelompokan data ................................................................... 17

2.2. Karang .................................................................................................... 17

2.2.1. Deskripsi Lokasi dan Kondisi Terumbu Karang ........................ 18

2.2.2. Kondisi Terumbu Karang ........................................................... 22

Page 19: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014xvi

2.3. Ikan Karang ............................................................................................ 24

2.3.1. Keanekaragaman Ikan Indikator dan Ikan target ........................ 24

2.3.1.1. Sebaran Ikan Indikator.................................................. 26

2.3.1.2. Sebaran Ikan target ....................................................... 27

2.3.2. Estimasi Potensi Sediaan Cadang Ikan Target ........................... 30

2.4.. Megabentos ............................................................................................. 32

2.4.1. Komposisi biota Megabentos .................................................... 32

2.4.2. Nilai Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan ............. 34

2.5. Mangrove ................................................................................................ 36

2.5.1. Persentase tutupan mangrove ..................................................... 36

2.5.2. Kondisi mangrove di lokasi transek ........................................... 37

2.6. Lamun ..................................................................................................... 39

2.6.1. Persentase tutupan Lamun .......................................................... 40

BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 43

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 44

LAMPIRAN ........................................................................................................................ 46

DAFTAR GAMBAR

hal.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………….

5

Gambar 2 Skema transek permanen lamun ……………………………. 12

Gambar 3 Peta sebaran habitat perairan laut dangkal, hasil ground truth di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………………………

15

Gambar 4 Peta persentase tutupan karang, hidup hasil studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………………………..

23

Gambar 5 Histogram persentase tutupan karang, biota bentik dan substrat hasil studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014………………………

24

Gambar 6 Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator ikan target hasil studi baseline di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………

\

26

Gambar 7 Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………………………………

27

Gambar 8 Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan target, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…..

29

Gambar 9 Jumlah individu dan jenis megabentos hasil studi baseline dengan metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014........................................................................

34

Gambar 10 Peta persentase tutupan mangrove hasil transek di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan 2014……………………..

36

Gambar 11 Peta persentase tutupan lamun hasil transek, di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan 2014……………………… .

40

Page 20: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 xvii

2.3. Ikan Karang ............................................................................................ 24

2.3.1. Keanekaragaman Ikan Indikator dan Ikan target ........................ 24

2.3.1.1. Sebaran Ikan Indikator.................................................. 26

2.3.1.2. Sebaran Ikan target ....................................................... 27

2.3.2. Estimasi Potensi Sediaan Cadang Ikan Target ........................... 30

2.4.. Megabentos ............................................................................................. 32

2.4.1. Komposisi biota Megabentos .................................................... 32

2.4.2. Nilai Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan ............. 34

2.5. Mangrove ................................................................................................ 36

2.5.1. Persentase tutupan mangrove ..................................................... 36

2.5.2. Kondisi mangrove di lokasi transek ........................................... 37

2.6. Lamun ..................................................................................................... 39

2.6.1. Persentase tutupan Lamun .......................................................... 40

BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 43

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 44

LAMPIRAN ........................................................................................................................ 46

DAFTAR GAMBAR

hal.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………….

5

Gambar 2 Skema transek permanen lamun ……………………………. 12

Gambar 3 Peta sebaran habitat perairan laut dangkal, hasil ground truth di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………………………

15

Gambar 4 Peta persentase tutupan karang, hidup hasil studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………………………..

23

Gambar 5 Histogram persentase tutupan karang, biota bentik dan substrat hasil studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014………………………

24

Gambar 6 Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator ikan target hasil studi baseline di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………

\

26

Gambar 7 Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………………………………

27

Gambar 8 Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan target, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…..

29

Gambar 9 Jumlah individu dan jenis megabentos hasil studi baseline dengan metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014........................................................................

34

Gambar 10 Peta persentase tutupan mangrove hasil transek di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan 2014……………………..

36

Gambar 11 Peta persentase tutupan lamun hasil transek, di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan 2014……………………… .

40

Page 21: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kriteria status padang lamun…………………………………. 13

Tabel 2 Luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, 2014…………………

15

Tabel 3 Diskripsi tutupan lahan hasil ground truth di pesisir perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan 2014……

17

Tabel 4 Jumlah Individu dan jumlah Jenis Ikan karang di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014. ………………………………..

25

Tabel 5 Jumlah Individu dan Jumlah Jenis setiap suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC, di perairan Bintan Utara, Kabupaten Bintan 2014…………………………………….

28

Tabel 6 Kelimpahan individu ikan target berdasarkan dominansi jenis (KI = kelimpahan individu, densitas(ekor/m2) dan FK = frekuensi kehadiran .(%).....................................................

29

Tabel 7 Total biomasa dari sepuluh suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014 …………………………………..

30

Tabel 8 Sepuluh jenis ikan target dengan total nilai biomasa, hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Utara,Kabupaten Bintan , 2014……………………………..

31

Tabel 9 Biomas dari beberapa jenis ikan Target Kelompok Utama hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan , 2014……………………………

31

Tabel 10 Komposisi jenis dan sebaran individu megabentos, hasil studi baseline dengan metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014......................................................

33

Tabel 11 Nilai indek keanekaragaman (H) dan kemerataan jenis (J’) pada masing-masing stasiun pengamatan.............................

35

Tabel 12 Jumlah jenis, persentase tutupan mangrove, kerapatan dan INP jenis pada sepuluh stasiun penelitian mangrove di pesisir Bintan Timur , Kabupaten Bintan, 2014. ……………………

37

Tabel 13 Komposisi dan kehadiran lamun di setiap stasiun pengamatan 39

Tabel 14 Rata-rata penutupan masing-masing jenis lamun di lokasi transek perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014…

42

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Tabel persentase tutupan karang, biota bentik dan substrat hasil Studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, KabupatenBintan, 2014…………… …………………………….. 46

Lampiran 2. Sebaran ikan indikator dan ikan target di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………. 47

Page 22: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 xix

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kriteria status padang lamun…………………………………. 13

Tabel 2 Luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, 2014…………………

15

Tabel 3 Diskripsi tutupan lahan hasil ground truth di pesisir perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan 2014……

17

Tabel 4 Jumlah Individu dan jumlah Jenis Ikan karang di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014. ………………………………..

25

Tabel 5 Jumlah Individu dan Jumlah Jenis setiap suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC, di perairan Bintan Utara, Kabupaten Bintan 2014…………………………………….

28

Tabel 6 Kelimpahan individu ikan target berdasarkan dominansi jenis (KI = kelimpahan individu, densitas(ekor/m2) dan FK = frekuensi kehadiran .(%).....................................................

29

Tabel 7 Total biomasa dari sepuluh suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014 …………………………………..

30

Tabel 8 Sepuluh jenis ikan target dengan total nilai biomasa, hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Utara,Kabupaten Bintan , 2014……………………………..

31

Tabel 9 Biomas dari beberapa jenis ikan Target Kelompok Utama hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan , 2014……………………………

31

Tabel 10 Komposisi jenis dan sebaran individu megabentos, hasil studi baseline dengan metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014......................................................

33

Tabel 11 Nilai indek keanekaragaman (H) dan kemerataan jenis (J’) pada masing-masing stasiun pengamatan.............................

35

Tabel 12 Jumlah jenis, persentase tutupan mangrove, kerapatan dan INP jenis pada sepuluh stasiun penelitian mangrove di pesisir Bintan Timur , Kabupaten Bintan, 2014. ……………………

37

Tabel 13 Komposisi dan kehadiran lamun di setiap stasiun pengamatan 39

Tabel 14 Rata-rata penutupan masing-masing jenis lamun di lokasi transek perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014…

42

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Tabel persentase tutupan karang, biota bentik dan substrat hasil Studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, KabupatenBintan, 2014…………… …………………………….. 46

Lampiran 2. Sebaran ikan indikator dan ikan target di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………. 47

Page 23: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

BAB. I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Bintan adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia.

Kabupaten Bintan sebelumnya bernama Kabupaten Kepulauan Riau. Perubahan nama ini

dimaksudkan agar tidak timbul kerancuan antara Provinsi Kepulauan Riau dan Kabupaten

Kepulauan Riau dalam hal administrasi dan korespondensi sehingga nama Kabupaten

Kepulauan Riau (Kepri) diganti menjadi Kabupaten Bintan. Perubahan nama Kabupaten

Kepulauan Riau menjadi Kabupaten Bintan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5

Tahun 2006, tertanggal 23 Februari 2006.

Kabupaten ini terletak antara °00’ Lintang Utara 1°20’ Lintang Selatan dan 104°00’

Bujur Timur 108°30’ Bujur Barat. Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kecamatan Bintan

Timur, P. Numbing, P. Mapur dan P. Erapas, yang termasuk dalam Kabupaten Bintan,

memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan ini

memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-

ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Seiring dengan berjalannya

waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang berkelanjutan

telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya

lingkungan perairannya.

Kabupaten Bintan merupakan sebuah kepulauan di Propinsi Kepulauan Riau yang

memiliki luas 1.318 km2 yang terletak di bagian selatan Laut Cina Selatan dan berbatasan

dengan Kabupaten Batam dan Singapura. Topografi daratan yang cukup landai, banyak

muara sungai dan teluk, membuat kawasan pesisir Kabupaten Bintan memiliki ekosistem

pantai pesisir yang lengkap. Ekosistem mangrove di Kabupaten Bintan terbilang cukup unik.

Dibandingkan dengan terumbu karang dan lamun, ekosistem mangrove tersebar hampir

diseluruh area kawasan pesisir.

Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Bintan sebagai satu-satunya

kawasan konservasi tingkat kabupaten ditetapkan melalui SK Bupati No. 58/II/2009 memiliki

luas 472.905 ha. Dasar penetapan kawasan menjadi wilayah konservasi adalah tingginya

keanekaragaman terumbu karang namun dihadapkan pada tingginya gangguan antropogenik

terhadap kondisi karang tersebut. Selain karang, wilayah ini memiliki luasan mangrove yang

cukup tinggi khususnya diwilayah selatan.

Page 24: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 1

BAB. I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Bintan adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia.

Kabupaten Bintan sebelumnya bernama Kabupaten Kepulauan Riau. Perubahan nama ini

dimaksudkan agar tidak timbul kerancuan antara Provinsi Kepulauan Riau dan Kabupaten

Kepulauan Riau dalam hal administrasi dan korespondensi sehingga nama Kabupaten

Kepulauan Riau (Kepri) diganti menjadi Kabupaten Bintan. Perubahan nama Kabupaten

Kepulauan Riau menjadi Kabupaten Bintan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5

Tahun 2006, tertanggal 23 Februari 2006.

Kabupaten ini terletak antara °00’ Lintang Utara 1°20’ Lintang Selatan dan 104°00’

Bujur Timur 108°30’ Bujur Barat. Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kecamatan Bintan

Timur, P. Numbing, P. Mapur dan P. Erapas, yang termasuk dalam Kabupaten Bintan,

memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan ini

memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-

ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Seiring dengan berjalannya

waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang berkelanjutan

telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya

lingkungan perairannya.

Kabupaten Bintan merupakan sebuah kepulauan di Propinsi Kepulauan Riau yang

memiliki luas 1.318 km2 yang terletak di bagian selatan Laut Cina Selatan dan berbatasan

dengan Kabupaten Batam dan Singapura. Topografi daratan yang cukup landai, banyak

muara sungai dan teluk, membuat kawasan pesisir Kabupaten Bintan memiliki ekosistem

pantai pesisir yang lengkap. Ekosistem mangrove di Kabupaten Bintan terbilang cukup unik.

Dibandingkan dengan terumbu karang dan lamun, ekosistem mangrove tersebar hampir

diseluruh area kawasan pesisir.

Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Bintan sebagai satu-satunya

kawasan konservasi tingkat kabupaten ditetapkan melalui SK Bupati No. 58/II/2009 memiliki

luas 472.905 ha. Dasar penetapan kawasan menjadi wilayah konservasi adalah tingginya

keanekaragaman terumbu karang namun dihadapkan pada tingginya gangguan antropogenik

terhadap kondisi karang tersebut. Selain karang, wilayah ini memiliki luasan mangrove yang

cukup tinggi khususnya diwilayah selatan.

Page 25: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 20142

terumbu karang. Masyarakat pesisir semakin memahami arti penting ekositem terumbu

karang. Dengan demikian, diharapkan mereka tidak lagi menangkap ikan dengan cara

merusak seperti menggunakan bom, dan mulai menjaga ekosistem terumbu karang yang ada

di lokasinya,

Untuk melihat kondisi terkini terumbu karang di suatu wilayah, serta melihat

perubahan yang terjadi dari tahun ke tahun maka perlu dilakukan pemantauan kondisi

terumbu karang secara berkala. Untuk itu, disetiap wilayah COREMAP dibuat beberapa

stasiun permanen yang posisinya terdokumentasi dalam koordinat geografis, serta

pencatatannya dibantu dengan alat GPS, sehingga pengamatan dapat dilakukan kembali di

stasiun tersebut pada tahun berikutnya. Metode pemantauan yang digunakan dibuat baku dan

sesederhana mungkin, tetapi tidak menghilangkan sifat keilmiahannya, sehingga kelak dapat

dengan mudah dilakukan oleh masyarakat setempat.

1.3. Tujuan dan sasaran Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi awal (baseline study ),

ekosistem terumbu karang beserta ekosistem lamun (seagrass) dan mangrove, di lokasi

KKLD (Kawasan Konservasi Laut Daerah), yang hasil penelitiannya dipakai sebagai data

dasar untuk kegiatan COREMAP-CTI .

Sasaran penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mengetahui persentase tutupan terumbu karang,

b. Mengetahui kepadatan rata-rata ikan karang,

c. Mengetahui kepadatan rata-rata megabentos yang bernilai ekonomis penting ataupun

yang dapat dijadikan indikator kesehatan terumbu karang,

d. Mengetahui kerapatan lamun,

e. Mengetahui kerapatan mangrove,

f. Menghasilkan peta sebaran terumbu karang, lamun, dan mangrove,

1.4. Metodologi

1.4.1. Kerangka Berpikir

Negara kepulauan dengan garis pantai yang cukup panjang, dengan sebagian besar

penghuninya mendiami daerah pesisir, secara otomatis lebih menggantungkan hidupnya pada

sumberdaya alam yang ada di pesisir pantai maupun daerah pasang surut, sampai ke lokasi

Pada kegiatan COREMAP Fase sebelumnya, lokasi yang dipilih mencakup wilayah

Kecamatan Bintan Timur, meliputi pesisir Desa Malang Rapat, Teluk Bakau, Kawal dan

Gunung Kuang serta di Pulau Gyn Besar ,Pulau Numbing, Pulau Erapas dan Pulau Mapur..

Kegiatan kali ini juga ditentukan di lokasi-lokasi tersebut di atas, dan secara kebetulan

masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD). Kegiatan studi baseline kali ini

tdak hanya mengambil data ekosistem terumbu karang, namun juga ekosistem mangrove dan

ekosistem lamun.

Kondisi ekosistem karang dalam kawasan dipengaruhi oleh kondisi kesehatan lamun

dan mangrove. Degradasi ekosistem mangrove akan menyebabkan peningkatan potensi

kesehatan terumbu karang di dalam kawasan. Sehingga gangguan antropogenik terhadap

kondisi kesehatan mangrove juga sangat perlu diperhatikan. Secara umum, pemanfaatan

hutan mangrove secara lokal digunakan untuk keperluan rumah tangga. Namun ancaman

terhadap vegetasi hutan mangrove di Kabupaten Bintan sangat terlihat dengan banyaknya

dijumpai tambang-tambang bauksit tidak hanya di Pulau Bintan, tapi juga pada kawasan

pulau-pulau kecil disekitarnya. Untuk itu diperlukan upanya pengelolaan yang baik dengan

diawali dengan identifikasi kondisi fisik hutan mangrove melalui suatu kegiatan pemantauan

yang berkelanjutan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kesehatan hutan

mangrove yang tumbuh di pesisir KKPD Kabupaten Bintan, dalam kaitannya dengan padang

lamun dan selanjutnya ke arah laut dengan ekosistem terumbu karang. Dengan adanya

kebijakan untuk mengelola ekosistem-ekosistem ini secara baik dan terpadu, diharapkan

dapat menjaga kelestarian ekosistem pesisir dengan sumberdaya yang ada di dalamnya,

untuk kesejahteraan masyarakat pesisir, di wilayah ini.

1.2. Rumusan Masalah

COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program), atau Program

Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang, adalah program jangka panjang yang

bertujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan secara lestari

terumbu karang serta ekosistem terkait di Indonesia, yang pada gilirannya akan menunjang

kesejahteraan masyarakat pesisir.

Lewat kegiatan komunikasi publik, yang merupakan salah satu komponen di dalam

COREMAP, diharapkan kesadaran dan perilaku masyarakat akan semakin baik terhadap

Page 26: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 3

terumbu karang. Masyarakat pesisir semakin memahami arti penting ekositem terumbu

karang. Dengan demikian, diharapkan mereka tidak lagi menangkap ikan dengan cara

merusak seperti menggunakan bom, dan mulai menjaga ekosistem terumbu karang yang ada

di lokasinya,

Untuk melihat kondisi terkini terumbu karang di suatu wilayah, serta melihat

perubahan yang terjadi dari tahun ke tahun maka perlu dilakukan pemantauan kondisi

terumbu karang secara berkala. Untuk itu, disetiap wilayah COREMAP dibuat beberapa

stasiun permanen yang posisinya terdokumentasi dalam koordinat geografis, serta

pencatatannya dibantu dengan alat GPS, sehingga pengamatan dapat dilakukan kembali di

stasiun tersebut pada tahun berikutnya. Metode pemantauan yang digunakan dibuat baku dan

sesederhana mungkin, tetapi tidak menghilangkan sifat keilmiahannya, sehingga kelak dapat

dengan mudah dilakukan oleh masyarakat setempat.

1.3. Tujuan dan sasaran Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi awal (baseline study ),

ekosistem terumbu karang beserta ekosistem lamun (seagrass) dan mangrove, di lokasi

KKLD (Kawasan Konservasi Laut Daerah), yang hasil penelitiannya dipakai sebagai data

dasar untuk kegiatan COREMAP-CTI .

Sasaran penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mengetahui persentase tutupan terumbu karang,

b. Mengetahui kepadatan rata-rata ikan karang,

c. Mengetahui kepadatan rata-rata megabentos yang bernilai ekonomis penting ataupun

yang dapat dijadikan indikator kesehatan terumbu karang,

d. Mengetahui kerapatan lamun,

e. Mengetahui kerapatan mangrove,

f. Menghasilkan peta sebaran terumbu karang, lamun, dan mangrove,

1.4. Metodologi

1.4.1. Kerangka Berpikir

Negara kepulauan dengan garis pantai yang cukup panjang, dengan sebagian besar

penghuninya mendiami daerah pesisir, secara otomatis lebih menggantungkan hidupnya pada

sumberdaya alam yang ada di pesisir pantai maupun daerah pasang surut, sampai ke lokasi

Pada kegiatan COREMAP Fase sebelumnya, lokasi yang dipilih mencakup wilayah

Kecamatan Bintan Timur, meliputi pesisir Desa Malang Rapat, Teluk Bakau, Kawal dan

Gunung Kuang serta di Pulau Gyn Besar ,Pulau Numbing, Pulau Erapas dan Pulau Mapur..

Kegiatan kali ini juga ditentukan di lokasi-lokasi tersebut di atas, dan secara kebetulan

masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD). Kegiatan studi baseline kali ini

tdak hanya mengambil data ekosistem terumbu karang, namun juga ekosistem mangrove dan

ekosistem lamun.

Kondisi ekosistem karang dalam kawasan dipengaruhi oleh kondisi kesehatan lamun

dan mangrove. Degradasi ekosistem mangrove akan menyebabkan peningkatan potensi

kesehatan terumbu karang di dalam kawasan. Sehingga gangguan antropogenik terhadap

kondisi kesehatan mangrove juga sangat perlu diperhatikan. Secara umum, pemanfaatan

hutan mangrove secara lokal digunakan untuk keperluan rumah tangga. Namun ancaman

terhadap vegetasi hutan mangrove di Kabupaten Bintan sangat terlihat dengan banyaknya

dijumpai tambang-tambang bauksit tidak hanya di Pulau Bintan, tapi juga pada kawasan

pulau-pulau kecil disekitarnya. Untuk itu diperlukan upanya pengelolaan yang baik dengan

diawali dengan identifikasi kondisi fisik hutan mangrove melalui suatu kegiatan pemantauan

yang berkelanjutan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kesehatan hutan

mangrove yang tumbuh di pesisir KKPD Kabupaten Bintan, dalam kaitannya dengan padang

lamun dan selanjutnya ke arah laut dengan ekosistem terumbu karang. Dengan adanya

kebijakan untuk mengelola ekosistem-ekosistem ini secara baik dan terpadu, diharapkan

dapat menjaga kelestarian ekosistem pesisir dengan sumberdaya yang ada di dalamnya,

untuk kesejahteraan masyarakat pesisir, di wilayah ini.

1.2. Rumusan Masalah

COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program), atau Program

Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang, adalah program jangka panjang yang

bertujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan secara lestari

terumbu karang serta ekosistem terkait di Indonesia, yang pada gilirannya akan menunjang

kesejahteraan masyarakat pesisir.

Lewat kegiatan komunikasi publik, yang merupakan salah satu komponen di dalam

COREMAP, diharapkan kesadaran dan perilaku masyarakat akan semakin baik terhadap

Page 27: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 20144

lebih baik. Dengan demikian diharapkan kekayaan sumberdaya pesisir di lokasi tersebut

dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan tetap memperhatikan kelestariannya.

1.4.2. Metode

Lokasi yang diamati masuk dalam zona kawasan konservasi laut, terletak di pesisir

timur Pulau Bintan Kecamatan Bintan Timur, Pulau Mapur, Pulau Erapas, Pulau Numbing,

yang merupakan stasiun lama pada COREMAP II, dan stasiun tambahan di Pulau Pangkil.

Posisi stasiun ditentukan dengan menggunakan GPS. Secara umum, peta lokasi penelitian

dapat dilihat dalam Gambar 1.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.

1.4.2.1. Sistem Informasi Geografi (SIG)

1.4.2.1.1.Pra-pemrosesan

Untuk keperluan peta habitat laut dangkal, data citra penginderaan jauh (indraja)

digunakan sebagai data dasar. Data citra inderaja yang dipakai dalam studi ini adalah citra

perairan lepas. Diketahui, di daerah pesisir ditemukan ekosistem yang berfungsi disamping

sebagai pemasok sumberdaya pangan, juga sebagai pertahanan maupun peredam terhadap

tekanan fisik dari laut. Ketiga ekosistem tersebut secara berurut dari darat ke laut, ekosistem

mangrove, padang lamun dan ekosistem terumbu karang, yang mana saling memiliki

keterkaitan satu dengan lainnya. Pada umumnya ke tiga ekosistem ini ditemukan di perairan

pesisir wilayah kepulauan Indonesia. Eksploitasi maupun pengrusakan secara berlebihan pada

salah satu ekosistem tersebut, dapat berujung pada musnahnya salah satu mata rantai

makanan yang ada di dalamnya, dengan demikian keseimbangan ekologisnya terganggu,

bahkan dapat menyebabkan hilang atau punahnya biota yang ada didalam ekosistem tersebut.

Jalan keluar terbaik ialah, harus ada pemantauan yang yang intensif, untuk mengantisipasi

bila ada perubahan yang terjadi, dapat dicari jalan keluar yang tepat guna kelestariannya di

alam.

Aktivitas manusia secara langsung maupun tidak langsung, berpengaruh terhadap

kerusakan terumbu karang. Potensi ancaman terumbu karang akibat aktivitas manusia dapat

berupa pembangunan di kawasan pesisir, polusi akibat aktivitas di laut, penangkapan ikan

yang berlebihan dan merusak, serta polusi dan sedimen dari daratan (Burke dan Selig, 2000).

Oleh karena itu, dalam upaya pelestarian terumbu karang perlu dilakukan pemantauan, agar

perubahan kondisinya terdokumentasi. Data dan informasi mengenai kondisi terumbu karang

yang disajikan secara berkelanjutan setiap tahunnya dapat digunakan sebagai bahan dalam

menentukan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk upaya pengelolaannya.

Terumbu karang tidak terlepas dari keberadaan padang lamun dan mangrove sebagai

satu kesatuan ekosistem pesisir. Siklus kehidupan biota laut, terutama aliran bahan organik

dan nutrisi prosesnya banyak terjadi di ketiga sistem tersebut. Sebagai contoh, daun

mangrove dan batangnya yang terbawa oleh air laut akan diurai oleh bakteri dan jamur serta

menghasilkan nutrisi yang berguna bagi hewan dan tanaman dilaut. Hal yang sama juga

dialami oleh algae di karang dan lamun yang dapat dimakan oleh siput, ikan, atau penyu.

Oleh karena itu, karena keterkaitan tersebut maka dalam penelitian ini di pantau juga kondisi

padang lamun dan mangrove sebagai satu kesatuan ekosistem pesisir bersamaan dengan

terumbu karang.

Dengan melakukan pemantauan ekosistem pesisir secara berkala, maka dapat

diketahui kondisi terkini dan perubahan yang terjadi di suatu lokasi sehingga dapat membantu

pengambil kebijakan dalam melakukan langkah-langkah pengelolaan daerah pesisir yang

Page 28: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 5

lebih baik. Dengan demikian diharapkan kekayaan sumberdaya pesisir di lokasi tersebut

dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan tetap memperhatikan kelestariannya.

1.4.2. Metode

Lokasi yang diamati masuk dalam zona kawasan konservasi laut, terletak di pesisir

timur Pulau Bintan Kecamatan Bintan Timur, Pulau Mapur, Pulau Erapas, Pulau Numbing,

yang merupakan stasiun lama pada COREMAP II, dan stasiun tambahan di Pulau Pangkil.

Posisi stasiun ditentukan dengan menggunakan GPS. Secara umum, peta lokasi penelitian

dapat dilihat dalam Gambar 1.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.

1.4.2.1. Sistem Informasi Geografi (SIG)

1.4.2.1.1.Pra-pemrosesan

Untuk keperluan peta habitat laut dangkal, data citra penginderaan jauh (indraja)

digunakan sebagai data dasar. Data citra inderaja yang dipakai dalam studi ini adalah citra

perairan lepas. Diketahui, di daerah pesisir ditemukan ekosistem yang berfungsi disamping

sebagai pemasok sumberdaya pangan, juga sebagai pertahanan maupun peredam terhadap

tekanan fisik dari laut. Ketiga ekosistem tersebut secara berurut dari darat ke laut, ekosistem

mangrove, padang lamun dan ekosistem terumbu karang, yang mana saling memiliki

keterkaitan satu dengan lainnya. Pada umumnya ke tiga ekosistem ini ditemukan di perairan

pesisir wilayah kepulauan Indonesia. Eksploitasi maupun pengrusakan secara berlebihan pada

salah satu ekosistem tersebut, dapat berujung pada musnahnya salah satu mata rantai

makanan yang ada di dalamnya, dengan demikian keseimbangan ekologisnya terganggu,

bahkan dapat menyebabkan hilang atau punahnya biota yang ada didalam ekosistem tersebut.

Jalan keluar terbaik ialah, harus ada pemantauan yang yang intensif, untuk mengantisipasi

bila ada perubahan yang terjadi, dapat dicari jalan keluar yang tepat guna kelestariannya di

alam.

Aktivitas manusia secara langsung maupun tidak langsung, berpengaruh terhadap

kerusakan terumbu karang. Potensi ancaman terumbu karang akibat aktivitas manusia dapat

berupa pembangunan di kawasan pesisir, polusi akibat aktivitas di laut, penangkapan ikan

yang berlebihan dan merusak, serta polusi dan sedimen dari daratan (Burke dan Selig, 2000).

Oleh karena itu, dalam upaya pelestarian terumbu karang perlu dilakukan pemantauan, agar

perubahan kondisinya terdokumentasi. Data dan informasi mengenai kondisi terumbu karang

yang disajikan secara berkelanjutan setiap tahunnya dapat digunakan sebagai bahan dalam

menentukan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk upaya pengelolaannya.

Terumbu karang tidak terlepas dari keberadaan padang lamun dan mangrove sebagai

satu kesatuan ekosistem pesisir. Siklus kehidupan biota laut, terutama aliran bahan organik

dan nutrisi prosesnya banyak terjadi di ketiga sistem tersebut. Sebagai contoh, daun

mangrove dan batangnya yang terbawa oleh air laut akan diurai oleh bakteri dan jamur serta

menghasilkan nutrisi yang berguna bagi hewan dan tanaman dilaut. Hal yang sama juga

dialami oleh algae di karang dan lamun yang dapat dimakan oleh siput, ikan, atau penyu.

Oleh karena itu, karena keterkaitan tersebut maka dalam penelitian ini di pantau juga kondisi

padang lamun dan mangrove sebagai satu kesatuan ekosistem pesisir bersamaan dengan

terumbu karang.

Dengan melakukan pemantauan ekosistem pesisir secara berkala, maka dapat

diketahui kondisi terkini dan perubahan yang terjadi di suatu lokasi sehingga dapat membantu

pengambil kebijakan dalam melakukan langkah-langkah pengelolaan daerah pesisir yang

Page 29: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 20146

pada perairan dangkal (Campbell, 1996). Saluran inframerah dekat, digunakan untuk

membatasi wilayah daratan dan perairan karena spektrum tersebut diserap oleh air sehingga

pada citra berwarna gelap (hitam). Perbedaan warna yang kontras tersebut (gelap dan terang)

memudahkan pembedaan wilayah daratan dan perairan pada citra satelit.

Pembedaan objek vegetasi mangrove dengan vegetasi lainnya dilakukan dengan

memanfaatkan komposit citra RGB 567. Saluran 5 merupakan spektrum inframerah dekat

yang peka terhadap pantulan spektral vegetasi yang berhubungan dengan struktur internal

daun. Saluran 6 dan 7 merupakan saluran inframerah tengah yang peka terhadap kelembaban

lahan. Mangrove tumbuh pada lahan basah, sehingga dapat dibedakan dengan vegetasi

lainnya menggunakan saluran tersebut. Ciri khas lahan yang ditumbuhi mangrove pada citra

komposit saluran 567 adalah berwarna oranye gelap (gambar 2). Warna oranye mewakili

warna vegetasi yang ditonjolkan oleh saluran 5, dan warna gelap menunjukkan pada objek

tersebut terletak pada lahan yang basah.

1.4.2.1.3. Pemetaan mangrove

Pemetaan mangrove dilakukan menggunakan citra landsat 8 liputan September 2014

melalui komposit saluran (band) 5,6 dan 3. Mangrove merupakan vegetasi yang mempunyai

kaandungan klorofil sangat tinggi dibanding vegetasi lain di sekitarnya. Pada citra komposit

tersebut akan terlihat sebaran mangrove di Pulau Bintan. Selanjutnya menggunakan metode

digitasi manual, akan diperoleh penyebaran vegetasi mangrove beserta luasannya.

1.4.2.1.4.Pemetaan substrat dasar perairan

Metode analisis dilakukan menggunakan metode penginderaan jauh. Bahan yang

digunakan untuk memetakan habitat perairan dangkal dan mangrove di Pulaun Bintan adalah

citra satelit LANDSAT 8 path/row 125/59 perekaman September 2014. Pemetaan habitat

perairan dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan klasifikasi multispektral.

Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan kolom air, sehingga objek

dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman yang digunakan adalah

transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Lyzenga (1981)

dan Principal Component Analysis (PCA) untuk menghasilkan beberapa citra yang tidak

berkorelasi karena data citra multispektral seringkali berkorelasi tinggi antar tiap piksel pada

saluran (band) yang berbeda . Klasifikasi multispektral dilakukan untuk mengelompokkan

piksel citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi beberapa kelompok

digital Landsat 8 pada saluran spektrum tampak, saluran infra-merah dekat, serta saluran

inframerah tengah (band 2, 3, 4, 5, 6, dan 7). Sedangkan saluran inframerah dekat dan tengah

(saluran 5 serta 6 dan 7) tetap dipakai karena band 5 masih berguna untuk perairan dangkal,

serta band 6 dan 7 berguna untuk membedakan ekosistim mangrove. Citra yang digunakan

adalah citra dengan cakupan penuh (full scene) yaitu 185 km x 185 km persegi. Ukuran

piksel, besarnya unit areal di permukaan bumi yang diwakili oleh satu nilai digital citra, pada

saluran multispektral adalah 30 m x 30 m persegi. Selain saluran multispektral, Landsat 8

juga memiliki spektrum tampak dengan ukuran piksel atau resolusi spasial 15 m x 15 m

persegi, yaitu pada saluran 8. Pada kegiatan ini, citra multispektral yang digunakan di

tajamkan terlebih dahulu dengan meningkatkan resolusi spasialnya menjadi 15 m x 15 m

dengan memanfaatkan saluran 8 melalui proses pan-sharpening.

Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah GPS Garmin 76 C dan

catatan lapangan, sedangkan wahana penelitian adalah perahu yang memungkinkan

menembus perairan dangkal dan penjelajahan lapangan (tanpa wahana perahu) yang hanya

bisa dilakukan pada saat laut sedang surut. Metode yang dipergunakan adalah ground truth,

yakni mendiskripsi secara visual jenis substrat dasar perairan meliputi komposisi persentase

material penyusun pada bentangan 15 m x 15 m, sedangkan posisi geografis dicatat

menggunakan GPS dalam format derajad, desimal berdasar datum WGS 84.

1.4.2.1.2. Interpretasi Citra

Pemetaan habitat laut dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan

klasifikasi multispektral. Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan

kolom air, sehingga objek dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman

yang digunakan adalah transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang

dikembangkan oleh Lyzenga (1981). Klasifikasi multispektral dilakukan untuk

mengelompokkan piksel citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi

beberapa kelompok berdasarkan objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar laut

dangkal. Teknik klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi multispektral terbimbing

dengan algoritma maximum likelihood. Saluran panjang gelombang yang digunakan untuk

pemetaan laut dangkal adalah saluran biru (saluran 2), saluran hijau (saluran 3), saluran

merah (saluran 4), dan saluran inframerah dekat (saluran 5). Saluran biru, hijau, dan merah

merupakan spektrum tampak. Spektrum tampak memiliki kemampuan yang baik untuk

berpenetrasi ke dalam kolom air, sehingga dapat digunakan untuk membedakan objek sebatas

Page 30: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 7

pada perairan dangkal (Campbell, 1996). Saluran inframerah dekat, digunakan untuk

membatasi wilayah daratan dan perairan karena spektrum tersebut diserap oleh air sehingga

pada citra berwarna gelap (hitam). Perbedaan warna yang kontras tersebut (gelap dan terang)

memudahkan pembedaan wilayah daratan dan perairan pada citra satelit.

Pembedaan objek vegetasi mangrove dengan vegetasi lainnya dilakukan dengan

memanfaatkan komposit citra RGB 567. Saluran 5 merupakan spektrum inframerah dekat

yang peka terhadap pantulan spektral vegetasi yang berhubungan dengan struktur internal

daun. Saluran 6 dan 7 merupakan saluran inframerah tengah yang peka terhadap kelembaban

lahan. Mangrove tumbuh pada lahan basah, sehingga dapat dibedakan dengan vegetasi

lainnya menggunakan saluran tersebut. Ciri khas lahan yang ditumbuhi mangrove pada citra

komposit saluran 567 adalah berwarna oranye gelap (gambar 2). Warna oranye mewakili

warna vegetasi yang ditonjolkan oleh saluran 5, dan warna gelap menunjukkan pada objek

tersebut terletak pada lahan yang basah.

1.4.2.1.3. Pemetaan mangrove

Pemetaan mangrove dilakukan menggunakan citra landsat 8 liputan September 2014

melalui komposit saluran (band) 5,6 dan 3. Mangrove merupakan vegetasi yang mempunyai

kaandungan klorofil sangat tinggi dibanding vegetasi lain di sekitarnya. Pada citra komposit

tersebut akan terlihat sebaran mangrove di Pulau Bintan. Selanjutnya menggunakan metode

digitasi manual, akan diperoleh penyebaran vegetasi mangrove beserta luasannya.

1.4.2.1.4.Pemetaan substrat dasar perairan

Metode analisis dilakukan menggunakan metode penginderaan jauh. Bahan yang

digunakan untuk memetakan habitat perairan dangkal dan mangrove di Pulaun Bintan adalah

citra satelit LANDSAT 8 path/row 125/59 perekaman September 2014. Pemetaan habitat

perairan dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan klasifikasi multispektral.

Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan kolom air, sehingga objek

dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman yang digunakan adalah

transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Lyzenga (1981)

dan Principal Component Analysis (PCA) untuk menghasilkan beberapa citra yang tidak

berkorelasi karena data citra multispektral seringkali berkorelasi tinggi antar tiap piksel pada

saluran (band) yang berbeda . Klasifikasi multispektral dilakukan untuk mengelompokkan

piksel citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi beberapa kelompok

digital Landsat 8 pada saluran spektrum tampak, saluran infra-merah dekat, serta saluran

inframerah tengah (band 2, 3, 4, 5, 6, dan 7). Sedangkan saluran inframerah dekat dan tengah

(saluran 5 serta 6 dan 7) tetap dipakai karena band 5 masih berguna untuk perairan dangkal,

serta band 6 dan 7 berguna untuk membedakan ekosistim mangrove. Citra yang digunakan

adalah citra dengan cakupan penuh (full scene) yaitu 185 km x 185 km persegi. Ukuran

piksel, besarnya unit areal di permukaan bumi yang diwakili oleh satu nilai digital citra, pada

saluran multispektral adalah 30 m x 30 m persegi. Selain saluran multispektral, Landsat 8

juga memiliki spektrum tampak dengan ukuran piksel atau resolusi spasial 15 m x 15 m

persegi, yaitu pada saluran 8. Pada kegiatan ini, citra multispektral yang digunakan di

tajamkan terlebih dahulu dengan meningkatkan resolusi spasialnya menjadi 15 m x 15 m

dengan memanfaatkan saluran 8 melalui proses pan-sharpening.

Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah GPS Garmin 76 C dan

catatan lapangan, sedangkan wahana penelitian adalah perahu yang memungkinkan

menembus perairan dangkal dan penjelajahan lapangan (tanpa wahana perahu) yang hanya

bisa dilakukan pada saat laut sedang surut. Metode yang dipergunakan adalah ground truth,

yakni mendiskripsi secara visual jenis substrat dasar perairan meliputi komposisi persentase

material penyusun pada bentangan 15 m x 15 m, sedangkan posisi geografis dicatat

menggunakan GPS dalam format derajad, desimal berdasar datum WGS 84.

1.4.2.1.2. Interpretasi Citra

Pemetaan habitat laut dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan

klasifikasi multispektral. Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan

kolom air, sehingga objek dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman

yang digunakan adalah transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang

dikembangkan oleh Lyzenga (1981). Klasifikasi multispektral dilakukan untuk

mengelompokkan piksel citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi

beberapa kelompok berdasarkan objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar laut

dangkal. Teknik klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi multispektral terbimbing

dengan algoritma maximum likelihood. Saluran panjang gelombang yang digunakan untuk

pemetaan laut dangkal adalah saluran biru (saluran 2), saluran hijau (saluran 3), saluran

merah (saluran 4), dan saluran inframerah dekat (saluran 5). Saluran biru, hijau, dan merah

merupakan spektrum tampak. Spektrum tampak memiliki kemampuan yang baik untuk

berpenetrasi ke dalam kolom air, sehingga dapat digunakan untuk membedakan objek sebatas

Page 31: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 20148

pengambilan foto pada meter ke-2 pada bagian sebelah kanan garis transek (bagian yang

lebih jauh dengan daratan) sebagai ”Frame 2” dan seterusnya Pemotretan dilakukan pada

panjang transek 50 m dimulai dari frame ke-1 hingga ke-50 dengan luas bidang pemotretan

minimal 1200 cm2

untuk setriap framenya. Kegiatan ini dilakukan dengan penyelaman

dengan menggunakan peralatan selam SCUBA.

Teknik analisis foto menggunakan 30 sampel titik acak dari masing=masing frame.

Luas bidang 1200 cm2

per frame dapat dihasilkan dari pemotretan menggunakan kamera SW

dengan jarak pemotretan 60 cm dari dasar dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom).

Untuk kegiatan kali ini, digunakan kamera Canon G 15 atau Canon G 1X. Jika menggunakan

kamera tipe lain, maka jarak pemotretan atau zoom diatur sedemikian rupa sehingga luas

bidang pemotretannya per framenya minimal = (40 cm x 30 cm) = 1200 cm2. Pilihan ini

digunakan bila ingin mengetahui persentase tutupan kelompok biota dan substrat sekaligus,

dimana biota dan substrat dikelompokkan kedalam lima kelompok yaitu Karang keras (HC),

Karang mati (DS), Alga (ALG), Fauna lain (OF) dan Abiotik (ABI).

Penarikan sampel di lapangan dengan menggunakan metode UPT, datanya hanyalah

berupa foto-foto hasil pemotretan bawah air. Selanjutnya foto-foto tersebut masih perlu

dianalisis di darat (ruang kerja) dengan menggunakan komputer untuk mendapatkan data-data

yang kuantitatif.

1.4.2.3. Ikan Karang

Metode yang digunakan dalam melakukan pemantauan ikan karang adalah metode

Underwater Visual Census (UVC) yang sudah dimodifikasi (Dartnall and Jones, 1986).

Pemantauan dilakukan di garis transek yang sama dengan kegiatan penelitian karang, agar

sekaligus mendapatkan data bentik yang menggambarkan habitatnya. Penamaan ikan karang

mengacu pada buku panduan ikan karang (Allen & Swainston, 1993; Allen & Steene, 1996;

Allen, 1999; Allen et al., 2003; Kuiter & Debelius, 1994).

Jenis ikan yang diamati dalam penelitian ini dibatasi pada semua jenis ikan

indikator (suku Chaetodontidae), dan ikan-ikan target (6 suku), dari suku: Haemulidae,

Lutjanidae, Lethrinidae, Scaridae, Serranidae, dan Siganidae. Hal ini lebih untuk melihat

dampak antara kedua kelompok ikan ini terhadap kondisi terumbu karang, mengingat

kelompok ikan indikator sebagian besar merupakan ikan pemakan polip karang. Sedangkan

ikan target adalah kelompok ikan pangan yang memiliki nilai ekonomis, baik itu untuk

berdasarkan objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar perairan dangkal. Teknik

klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi multispektral terbimbing dengan algoritma

maximum likelihood. Saluran panjang gelombang yang digunakan untuk pemetaan perairan

dangkal adalah saluran biru (saluran 2), saluran hijau (saluran 3), saluran merah (saluran 4),

dan saluran inframerah dekat (saluran 5). Saluran biru, hijau, dan merah merupakan spektrum

tampak. Spektrum tampak memiliki kemampuan yang baik untuk berpenetrasi ke dalam

kolom air, sehingga dapat digunakan untuk membedakan objek sebatas pada perairan dangkal

(Campbell, 1996). Saluran inframerah dekat, digunakan untuk membatasi wilayah daratan

dan perairan karena spektrum tersebut diserap oleh air sehingga pada citra berwarna gelap

(hitam). Perbedaan warna yang kontras tersebut (gelap dan terang) memudahkan pembedaan

wilayah daratan dan perairan pada citra satelit.

Pembedaan objek vegetasi mangrove dengan vegetasi lainnya dilakukan dengan

memanfaatkan komposit citra RGB 563. Saluran 5 merupakan saluran inframerah dekat

(0,76–0,90 um) yang peka terhadap pantulan spektral vegetasi yang berhubungan dengan

struktur internal daun. Pada saluran ini vegetasi mangrove dapat diidentifikasi berdasarkan

diversivitasnya (keanekaragaman jenis). Hal ini terkait dengan adanya perbedaan struktur

internal dari vegetasi mangrove. Saluran inframerah tengah (1,55–1,75 um) memiliki

karakteristik pancaran vegetasi yang dipengaruhi oleh serapan air sehingga tumbuhan

mangrove akan memberikan warna dan rona yang gelap. Hal ini disebabkan karena tumbuhan

mangrove pada umumnya mengandung air dalam jumlah yang besar (Sato, 1996 dalam

Hudaya, 2004).

Survei lapangan digunakan untuk mengetahui kenampakan sebenarnya dilapangan

yang terekam oleh citra satelit. Pengambilan titik pengamatan dilakukan secara sistematis

dengan membuat jalur transek mulai dari garis pantai hingga ujung terumbu atau tubir.

Pengamatan dilakukan menggunakan teknik snorkeling serta berhenti sejenak untuk mencatat

ketika terjadi perubahan kenampakan didasar perairan. Setiap titik pengamatan dicatat

lokasinya menggunakan alat receiver GPS. Data dan lokasi penyebaran stasiun pengamatan

disajikan pada Gambar 3.

1.4.2.2. Karang

Metode yang digunakan ialah dengan UPT (Underwater Photo Transect), dengan

bantuan bingkai (frame) ukuran 44 x 58 cm.. Pita transek dibentangkan sepanjang 50 meter,

sejajar garis pantai. Pemotretan dimulai dari meter ke 1 pada bagian sebelah kiri garis transek

(bagian yang lebih dekat dengan daratan) sebagai ”Frame 1” , dilanjutkan dengan

Page 32: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 9

pengambilan foto pada meter ke-2 pada bagian sebelah kanan garis transek (bagian yang

lebih jauh dengan daratan) sebagai ”Frame 2” dan seterusnya Pemotretan dilakukan pada

panjang transek 50 m dimulai dari frame ke-1 hingga ke-50 dengan luas bidang pemotretan

minimal 1200 cm2

untuk setriap framenya. Kegiatan ini dilakukan dengan penyelaman

dengan menggunakan peralatan selam SCUBA.

Teknik analisis foto menggunakan 30 sampel titik acak dari masing=masing frame.

Luas bidang 1200 cm2

per frame dapat dihasilkan dari pemotretan menggunakan kamera SW

dengan jarak pemotretan 60 cm dari dasar dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom).

Untuk kegiatan kali ini, digunakan kamera Canon G 15 atau Canon G 1X. Jika menggunakan

kamera tipe lain, maka jarak pemotretan atau zoom diatur sedemikian rupa sehingga luas

bidang pemotretannya per framenya minimal = (40 cm x 30 cm) = 1200 cm2. Pilihan ini

digunakan bila ingin mengetahui persentase tutupan kelompok biota dan substrat sekaligus,

dimana biota dan substrat dikelompokkan kedalam lima kelompok yaitu Karang keras (HC),

Karang mati (DS), Alga (ALG), Fauna lain (OF) dan Abiotik (ABI).

Penarikan sampel di lapangan dengan menggunakan metode UPT, datanya hanyalah

berupa foto-foto hasil pemotretan bawah air. Selanjutnya foto-foto tersebut masih perlu

dianalisis di darat (ruang kerja) dengan menggunakan komputer untuk mendapatkan data-data

yang kuantitatif.

1.4.2.3. Ikan Karang

Metode yang digunakan dalam melakukan pemantauan ikan karang adalah metode

Underwater Visual Census (UVC) yang sudah dimodifikasi (Dartnall and Jones, 1986).

Pemantauan dilakukan di garis transek yang sama dengan kegiatan penelitian karang, agar

sekaligus mendapatkan data bentik yang menggambarkan habitatnya. Penamaan ikan karang

mengacu pada buku panduan ikan karang (Allen & Swainston, 1993; Allen & Steene, 1996;

Allen, 1999; Allen et al., 2003; Kuiter & Debelius, 1994).

Jenis ikan yang diamati dalam penelitian ini dibatasi pada semua jenis ikan

indikator (suku Chaetodontidae), dan ikan-ikan target (6 suku), dari suku: Haemulidae,

Lutjanidae, Lethrinidae, Scaridae, Serranidae, dan Siganidae. Hal ini lebih untuk melihat

dampak antara kedua kelompok ikan ini terhadap kondisi terumbu karang, mengingat

kelompok ikan indikator sebagian besar merupakan ikan pemakan polip karang. Sedangkan

ikan target adalah kelompok ikan pangan yang memiliki nilai ekonomis, baik itu untuk

berdasarkan objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar perairan dangkal. Teknik

klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi multispektral terbimbing dengan algoritma

maximum likelihood. Saluran panjang gelombang yang digunakan untuk pemetaan perairan

dangkal adalah saluran biru (saluran 2), saluran hijau (saluran 3), saluran merah (saluran 4),

dan saluran inframerah dekat (saluran 5). Saluran biru, hijau, dan merah merupakan spektrum

tampak. Spektrum tampak memiliki kemampuan yang baik untuk berpenetrasi ke dalam

kolom air, sehingga dapat digunakan untuk membedakan objek sebatas pada perairan dangkal

(Campbell, 1996). Saluran inframerah dekat, digunakan untuk membatasi wilayah daratan

dan perairan karena spektrum tersebut diserap oleh air sehingga pada citra berwarna gelap

(hitam). Perbedaan warna yang kontras tersebut (gelap dan terang) memudahkan pembedaan

wilayah daratan dan perairan pada citra satelit.

Pembedaan objek vegetasi mangrove dengan vegetasi lainnya dilakukan dengan

memanfaatkan komposit citra RGB 563. Saluran 5 merupakan saluran inframerah dekat

(0,76–0,90 um) yang peka terhadap pantulan spektral vegetasi yang berhubungan dengan

struktur internal daun. Pada saluran ini vegetasi mangrove dapat diidentifikasi berdasarkan

diversivitasnya (keanekaragaman jenis). Hal ini terkait dengan adanya perbedaan struktur

internal dari vegetasi mangrove. Saluran inframerah tengah (1,55–1,75 um) memiliki

karakteristik pancaran vegetasi yang dipengaruhi oleh serapan air sehingga tumbuhan

mangrove akan memberikan warna dan rona yang gelap. Hal ini disebabkan karena tumbuhan

mangrove pada umumnya mengandung air dalam jumlah yang besar (Sato, 1996 dalam

Hudaya, 2004).

Survei lapangan digunakan untuk mengetahui kenampakan sebenarnya dilapangan

yang terekam oleh citra satelit. Pengambilan titik pengamatan dilakukan secara sistematis

dengan membuat jalur transek mulai dari garis pantai hingga ujung terumbu atau tubir.

Pengamatan dilakukan menggunakan teknik snorkeling serta berhenti sejenak untuk mencatat

ketika terjadi perubahan kenampakan didasar perairan. Setiap titik pengamatan dicatat

lokasinya menggunakan alat receiver GPS. Data dan lokasi penyebaran stasiun pengamatan

disajikan pada Gambar 3.

1.4.2.2. Karang

Metode yang digunakan ialah dengan UPT (Underwater Photo Transect), dengan

bantuan bingkai (frame) ukuran 44 x 58 cm.. Pita transek dibentangkan sepanjang 50 meter,

sejajar garis pantai. Pemotretan dimulai dari meter ke 1 pada bagian sebelah kiri garis transek

(bagian yang lebih dekat dengan daratan) sebagai ”Frame 1” , dilanjutkan dengan

Page 33: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201410

Ikan Target : Jumlah ikan dapat dikonversikan ke satuan berat dgn rumus hubungan panjang

berat menurut Hile (1963) dalam Effendie (1997) :

1.4.2.4. Megabentos

Pengamatan megabentos, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting dan

berperan langsung di dalam ekosistem dapat dijadikan indikator dari kesehatan terumbu

karang. Pengamatan dilakukan menggunakan metode Reef Check. Semua fauna yang berada

1 meter di sebelah kiri dan kanan pita berukuran 70 meter tadi dihitung jumlahnya, sehingga

luas bidang yang teramati per-transeknya yaitu (2 x 70 m2) = 140 m2.

Adapun fauna megabentos yang dicatat jenis dan jumlah individunya sepanjang garis

transek terdiri dari :

• Lobster (udang karang)

• ”Banded coral shrimp” (udang karang kecil yang hidup di sela cabang karang

• Acanthaster planci (bintang bulu seribu)

• Diadema setosum (bulu babi hitam)

• “Pencil sea urchin” (bulu babi seperti pensil)

• “Large Holothurian” (teripang ukuran besar)

• “Small Holothurian” (teripang ukuran kecil)

• “Large Giant Clam” (kima ukuran besar)

• “Small Giant Clam” (kima ukuran kecil)

• Trochus niloticus (lola)

• Drupella ( sejenis Gastropoda / keong yang hidup di atas atau di sela-sela karang

terutama karang bercabang)

Data kelimpahan individu dari beberapa megabentos yang ditemukan disajikan dalam bentuk

tabel.

1.4.2.5. Mangrove

Untuk mengetahui struktur dan komposisi mangrove di kawasan lokasi penelitian

akan dilakukan pencuplikan data dengan menggunakan transek. Transek dilakukan dengan

cara membuat garis tegak lurus pantai kearah darat dengan membuat petak-petak (Cox,

1969). Sebelum melakukan pencuplikan data dilakukan pengamatan lapangan yang meliputi

seluruh kawasan hutan yang bertujuan untuk melihat secara umum keadaan fisiognomi dan

komposisi tegakan hutan serta keadaan pasang surutnya.

dikonsumsi masyarakat maupun diperjual belikan. Jadi kedua kelompok ikan ini secara

langsung bisa memberi gambaran mengenai kondisi terumbu karang itu sendiri.

Sensus dilakukan pada garis transek sepanjang 70 m dengan lebar pengamatan 5 m,

sehingga total luas daerah pengamatan pada tiap stasiun adalah 350 m2. Pengamatan

dilakukan pada satu kedalaman berkisar antara 5 – 7 m. Pengamatan ikan karang dibagi

dalam 2 kategori yakni ikan indikator dan ikan target (English et al, 1997). Ikan indikator

adalah jenis ikan yang hidupnya sangat erat berasosiasi dengan ikan karang, dalam hal ini

hanya satu suku yakni ikan kepe-kepe (Chaetodontidae).

Ikan target adalah jenis-jenis ikan pangan yang bernilai ekonomis. Kelompok Ikan Target

Utama terdiri dari beberapa Suku/Family yakni :

1. Ikan Kakap (Lutjanidae),

2. Ikan Kerapu (Serranidae),

3. Ikan Bibir tebal (Haemulidae),

4. Ikan Beronang (Siganidae).

5. Ikan Lencam (Lethrinidae)

6. Ikan Ikan Hiu, Ikan Pari serta Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) termasuk

kategori ikan target Utama

Sedangkan Kelompok ikan Target lainnya adalah ikan dari suku/Family :

Caesionidae, Acanthuridae, Labridae, Scaridae, Scolopsidae, Holocentridae, Ephipidae,

Carangidae dan Nemipteridae

Analisa

Perkiraan potensi dihitung berdasarkan rumus Gulland (1975) :

1.Kepadatan Individu/ densitas (ikan/m2),

2.Sediaan cadang (standing stock),

dimana; D = Densitas (kepadatan individu suatu jenis ikan)

N = Jumlah individu satu jenis ikan hasil sensus

S = Sediaan cadangan (standing stock)

L = Panjang garis transek (70 m)

W = Lebar areal observasi (5 m)

A = Luas area terumbu karang (ha) pada suatu kedalaman (hasil

interpertasi Citra)

Page 34: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 11

Ikan Target : Jumlah ikan dapat dikonversikan ke satuan berat dgn rumus hubungan panjang

berat menurut Hile (1963) dalam Effendie (1997) :

1.4.2.4. Megabentos

Pengamatan megabentos, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting dan

berperan langsung di dalam ekosistem dapat dijadikan indikator dari kesehatan terumbu

karang. Pengamatan dilakukan menggunakan metode Reef Check. Semua fauna yang berada

1 meter di sebelah kiri dan kanan pita berukuran 70 meter tadi dihitung jumlahnya, sehingga

luas bidang yang teramati per-transeknya yaitu (2 x 70 m2) = 140 m2.

Adapun fauna megabentos yang dicatat jenis dan jumlah individunya sepanjang garis

transek terdiri dari :

• Lobster (udang karang)

• ”Banded coral shrimp” (udang karang kecil yang hidup di sela cabang karang

• Acanthaster planci (bintang bulu seribu)

• Diadema setosum (bulu babi hitam)

• “Pencil sea urchin” (bulu babi seperti pensil)

• “Large Holothurian” (teripang ukuran besar)

• “Small Holothurian” (teripang ukuran kecil)

• “Large Giant Clam” (kima ukuran besar)

• “Small Giant Clam” (kima ukuran kecil)

• Trochus niloticus (lola)

• Drupella ( sejenis Gastropoda / keong yang hidup di atas atau di sela-sela karang

terutama karang bercabang)

Data kelimpahan individu dari beberapa megabentos yang ditemukan disajikan dalam bentuk

tabel.

1.4.2.5. Mangrove

Untuk mengetahui struktur dan komposisi mangrove di kawasan lokasi penelitian

akan dilakukan pencuplikan data dengan menggunakan transek. Transek dilakukan dengan

cara membuat garis tegak lurus pantai kearah darat dengan membuat petak-petak (Cox,

1969). Sebelum melakukan pencuplikan data dilakukan pengamatan lapangan yang meliputi

seluruh kawasan hutan yang bertujuan untuk melihat secara umum keadaan fisiognomi dan

komposisi tegakan hutan serta keadaan pasang surutnya.

dikonsumsi masyarakat maupun diperjual belikan. Jadi kedua kelompok ikan ini secara

langsung bisa memberi gambaran mengenai kondisi terumbu karang itu sendiri.

Sensus dilakukan pada garis transek sepanjang 70 m dengan lebar pengamatan 5 m,

sehingga total luas daerah pengamatan pada tiap stasiun adalah 350 m2. Pengamatan

dilakukan pada satu kedalaman berkisar antara 5 – 7 m. Pengamatan ikan karang dibagi

dalam 2 kategori yakni ikan indikator dan ikan target (English et al, 1997). Ikan indikator

adalah jenis ikan yang hidupnya sangat erat berasosiasi dengan ikan karang, dalam hal ini

hanya satu suku yakni ikan kepe-kepe (Chaetodontidae).

Ikan target adalah jenis-jenis ikan pangan yang bernilai ekonomis. Kelompok Ikan Target

Utama terdiri dari beberapa Suku/Family yakni :

1. Ikan Kakap (Lutjanidae),

2. Ikan Kerapu (Serranidae),

3. Ikan Bibir tebal (Haemulidae),

4. Ikan Beronang (Siganidae).

5. Ikan Lencam (Lethrinidae)

6. Ikan Ikan Hiu, Ikan Pari serta Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) termasuk

kategori ikan target Utama

Sedangkan Kelompok ikan Target lainnya adalah ikan dari suku/Family :

Caesionidae, Acanthuridae, Labridae, Scaridae, Scolopsidae, Holocentridae, Ephipidae,

Carangidae dan Nemipteridae

Analisa

Perkiraan potensi dihitung berdasarkan rumus Gulland (1975) :

1.Kepadatan Individu/ densitas (ikan/m2),

2.Sediaan cadang (standing stock),

dimana; D = Densitas (kepadatan individu suatu jenis ikan)

N = Jumlah individu satu jenis ikan hasil sensus

S = Sediaan cadangan (standing stock)

L = Panjang garis transek (70 m)

W = Lebar areal observasi (5 m)

A = Luas area terumbu karang (ha) pada suatu kedalaman (hasil

interpertasi Citra)

Page 35: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201412

Tabel 1. Kriteria status padang lamun

Kondisi Penutupan (%) Baik Kaya/ Sehat ≥ 60

Jelek Kurang kaya/ Kurang sehat 30 – 59,9

Miskin ≤ 29,9

1.5. Pelaksana Kegiatan

Penelitian ini melibatkan staf peneliti dan teknisi dari Pusat Penelitian Oseanografi –

LIPI serta dibantu oleh staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan.. Bidang kajian

yang terlibat antara lain:

- Bidang Karang

- Bidang Ikan Karang

- Bidang Megabentos

- Bidang Lamun

- Bidang Mangrove

- Bidang Penginderaan Jauh dan GIS

- Data Entry

Data vegetasi dari setiap transek dicuplik dengan menggunakan metode kuadrat (Qosting

1956) yang ukurannya sebagai berikut :

- 10 x 10 meter untuk pohon (diameter batang > 10 cm),

- 5 x 5 meter untuk anak pohon (diameter 2 - < 10 cm)

- 1 x 1 meter untuk semai (diameter 2 cm dan kurang dari 1,5 meter).

Pada setiap petak tersebut semua tegakan diidentifikasi jenisnya, diukur diameternya dan

tingginya serta dihitung jumlah individu masing-masing jenis. Data yang diperoleh dianalisa

dengan cara Cox (1967).

1.4.2.6. Lamun

Transek permanen sepanjang 50 m diletakkan pada padang lamun dengan persentase

penutupan yang relatif homogen. Tiga titik permanen dibuat dengan patok besi pada titik 0 m,

25 m, dan 50 m (Gambar 2).

Keterangan: = titik permanen

Gambar 2. Skema transek permanen lamun

Posisi transek berada relatif dekat pantai. Kemudian, koordinat setiap transek dicatat

dengan menggunakan GPS. Parameter yang dihitung adalah persentase penutupan dan

panjang daun setiap jenis lamun yang dominan pada suatu transek permanen. Frame

berukuran 0,25 m2 diletakan secara acak dengan 12 kali pengulangan untuk menentukan

penutupan total lamun dan penutupan lamun perjenis. Sampel lamun untuk pengukuran

panjang diambil secara acak pada awal, tengah, dan akhir transek. Kriteria kondisi lamun

berdasarkan penutupan mengacu pada KepMenLH nomor 200 tahun 2004 tentang Kriteria

Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun.

Page 36: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 13

Tabel 1. Kriteria status padang lamun

Kondisi Penutupan (%) Baik Kaya/ Sehat ≥ 60

Jelek Kurang kaya/ Kurang sehat 30 – 59,9

Miskin ≤ 29,9

1.5. Pelaksana Kegiatan

Penelitian ini melibatkan staf peneliti dan teknisi dari Pusat Penelitian Oseanografi –

LIPI serta dibantu oleh staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan.. Bidang kajian

yang terlibat antara lain:

- Bidang Karang

- Bidang Ikan Karang

- Bidang Megabentos

- Bidang Lamun

- Bidang Mangrove

- Bidang Penginderaan Jauh dan GIS

- Data Entry

Data vegetasi dari setiap transek dicuplik dengan menggunakan metode kuadrat (Qosting

1956) yang ukurannya sebagai berikut :

- 10 x 10 meter untuk pohon (diameter batang > 10 cm),

- 5 x 5 meter untuk anak pohon (diameter 2 - < 10 cm)

- 1 x 1 meter untuk semai (diameter 2 cm dan kurang dari 1,5 meter).

Pada setiap petak tersebut semua tegakan diidentifikasi jenisnya, diukur diameternya dan

tingginya serta dihitung jumlah individu masing-masing jenis. Data yang diperoleh dianalisa

dengan cara Cox (1967).

1.4.2.6. Lamun

Transek permanen sepanjang 50 m diletakkan pada padang lamun dengan persentase

penutupan yang relatif homogen. Tiga titik permanen dibuat dengan patok besi pada titik 0 m,

25 m, dan 50 m (Gambar 2).

Keterangan: = titik permanen

Gambar 2. Skema transek permanen lamun

Posisi transek berada relatif dekat pantai. Kemudian, koordinat setiap transek dicatat

dengan menggunakan GPS. Parameter yang dihitung adalah persentase penutupan dan

panjang daun setiap jenis lamun yang dominan pada suatu transek permanen. Frame

berukuran 0,25 m2 diletakan secara acak dengan 12 kali pengulangan untuk menentukan

penutupan total lamun dan penutupan lamun perjenis. Sampel lamun untuk pengukuran

panjang diambil secara acak pada awal, tengah, dan akhir transek. Kriteria kondisi lamun

berdasarkan penutupan mengacu pada KepMenLH nomor 200 tahun 2004 tentang Kriteria

Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun.

Page 37: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

BAB II. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan kegiatan studi baseline di perairan Bintan Tuimur dan sekitarnya, selanjutnya akan diuraikan berdasarkan masing-masing bidang penelitian.

2.1. S.I.G

Sebaran habitat laut dangkal dipetakan menggunakan Citra Landsat, merupakan citra

Landsat 8 level 1T, artinya citra sudah dikoreksi geometrinya dengan memasukkan posisi

atau koordinat geografis yang mempertimbangkan juga pergeseran yang diakibatkan oleh

bentuk relief permukaan bumi. Jika dibandingkan dengan pencatatan koordinat melalui GPS

receiver di lapangan, citra yang digunakan sudah memiliki geometri yang baik. Hal tersebut

ditunjukkan dengan kesesuaian posisi koordinat antara objek di citra maupun di lapangan.

Berdasarkan hasil analisis citra dan dibantu dengan uji/cek lapangan (ground truth), dapat

dibuat peta habitat perairan dangkal dan mangrove.

2.1.1. Peta Habitat Perairan Dangkal

Habitat laut dangkal yang dapat dipetakan terdiri dari tiga kelas yaitu karang,

makroalgae, dan substrat terbuka. Habitat karang pada peta ini merupakan hamparan yang

didominasi oleh karang hidup serta karang mati baik yang tertutup algae maupun tidak.

Habitat tersebut biasanya ditemui pada ujung wilayah rataan terumbu yang menghadap ke

arah laut, mulai dari reef crest, tubir (reef edge) hingga lereng terumbu (reef slope).

Makroalgae merupakan hamparan yang didominasi oleh makroalgae dengan tutupan karang

hidup yang sedikit. Substrat terbuka pada peta merupakan permukaan dasar perairan yang

tidak didominasi oleh tutupan biota maupun vegetasi, dapat berupa pasir, batu, maupun

lumpur. Habitat perairan dangkal yang diperoleh, terdiri atas 4 klas yang disajikan pada Tabel

2, sedangkan peta habitat perairan laut dangkal yang terbentuk, disajikan pada Gambar 3.

Page 38: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 15

BAB II. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan kegiatan studi baseline di perairan Bintan Tuimur dan sekitarnya, selanjutnya akan diuraikan berdasarkan masing-masing bidang penelitian.

2.1. S.I.G

Sebaran habitat laut dangkal dipetakan menggunakan Citra Landsat, merupakan citra

Landsat 8 level 1T, artinya citra sudah dikoreksi geometrinya dengan memasukkan posisi

atau koordinat geografis yang mempertimbangkan juga pergeseran yang diakibatkan oleh

bentuk relief permukaan bumi. Jika dibandingkan dengan pencatatan koordinat melalui GPS

receiver di lapangan, citra yang digunakan sudah memiliki geometri yang baik. Hal tersebut

ditunjukkan dengan kesesuaian posisi koordinat antara objek di citra maupun di lapangan.

Berdasarkan hasil analisis citra dan dibantu dengan uji/cek lapangan (ground truth), dapat

dibuat peta habitat perairan dangkal dan mangrove.

2.1.1. Peta Habitat Perairan Dangkal

Habitat laut dangkal yang dapat dipetakan terdiri dari tiga kelas yaitu karang,

makroalgae, dan substrat terbuka. Habitat karang pada peta ini merupakan hamparan yang

didominasi oleh karang hidup serta karang mati baik yang tertutup algae maupun tidak.

Habitat tersebut biasanya ditemui pada ujung wilayah rataan terumbu yang menghadap ke

arah laut, mulai dari reef crest, tubir (reef edge) hingga lereng terumbu (reef slope).

Makroalgae merupakan hamparan yang didominasi oleh makroalgae dengan tutupan karang

hidup yang sedikit. Substrat terbuka pada peta merupakan permukaan dasar perairan yang

tidak didominasi oleh tutupan biota maupun vegetasi, dapat berupa pasir, batu, maupun

lumpur. Habitat perairan dangkal yang diperoleh, terdiri atas 4 klas yang disajikan pada Tabel

2, sedangkan peta habitat perairan laut dangkal yang terbentuk, disajikan pada Gambar 3.

Page 39: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201416

2.1.2. Pengelompokan data

Substrat dasar suatu perairan dangkal umumnya sangat bervariasi, dapat tersusun oleh

hanya satu jenis material baik pasir mapun karang yang homogen hingga merupakan

percampuran yang sangat kompeks, Data setiap titik ground truth yang telah diperoleh dari

penelitian lapangan umumnya merupakan representasi dominasi material penyusun substrat

dasar perairan dangkal pada bentangan 15 m x 15 m, berupa titik (point). Selanjutnya dengan

menggunakan metode segmentasi pada citra landsat yang telah siap dianalisis, citra tersebut

akan terbagi ke dalam ratusan bahkan ribuan segmen yang sebenarnya menggambarkan

perbedaan (heterogenitas) habitat dasar perairan. Asumsi yang dipergunakan sebagai

kerangka berpikir dalam metode tersebut, bahwa habitat jenis tertentu akan hidup dan

berkembang di lingkungan tertentu dan berbeda terhadap lingkungan di sekitarnya.

Perbedaan lingkungan tersebut akan tergambar di dalam cita dari spektral dan terstur yang

akan diperlihatkan oleh segmentasi. Isi jenis substrat dasar pada setiap segmen tersebut dapat

diketahui setelah semua data ground truh di plot ke dalamnya. Perlu diketahui bahwa tidak

semua segmen yang terbentuk dari citra dapat terisi oleh data lapangan, namun demikian

pada segmen yang telah terisi oleh data ground truh akan terlihat bahwa pada setiap kelas

jenis substrat dasar perairan dangkal menunjukkan spektral dan terstur yang berbeda terhadap

kelas jenis substrat dasar lainnya. Tujuan pembangunan segmentasi adalah merubah titik uji

menjadi polygon uji, sehingga peta yang akan dihasilkan akan menjadi lebih mendekati

kenyataan di lapangan.

Berdasarkan hasil pengamatan di stasiun ground truth, pesisir perairan Bintan Timur

dapat dikelompokkan ke dalam 4 klas sebagai terlihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, 2014..

Habitat Luas (Ha) Karang 2445.19 Pasir 3586.20 Substrat campuran: terdiri dari pasir, spot karang hidup dan karang mati, pecahan dan bongkah karang serta algae/sargasum.

3790.36

Lamun 700.13 Mangrove 2852.57

Gambar 3. Peta sebaran habitat perairan laut dangkal, hasil ground truth di perairan Bintan

Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.

Page 40: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 17

2.1.2. Pengelompokan data

Substrat dasar suatu perairan dangkal umumnya sangat bervariasi, dapat tersusun oleh

hanya satu jenis material baik pasir mapun karang yang homogen hingga merupakan

percampuran yang sangat kompeks, Data setiap titik ground truth yang telah diperoleh dari

penelitian lapangan umumnya merupakan representasi dominasi material penyusun substrat

dasar perairan dangkal pada bentangan 15 m x 15 m, berupa titik (point). Selanjutnya dengan

menggunakan metode segmentasi pada citra landsat yang telah siap dianalisis, citra tersebut

akan terbagi ke dalam ratusan bahkan ribuan segmen yang sebenarnya menggambarkan

perbedaan (heterogenitas) habitat dasar perairan. Asumsi yang dipergunakan sebagai

kerangka berpikir dalam metode tersebut, bahwa habitat jenis tertentu akan hidup dan

berkembang di lingkungan tertentu dan berbeda terhadap lingkungan di sekitarnya.

Perbedaan lingkungan tersebut akan tergambar di dalam cita dari spektral dan terstur yang

akan diperlihatkan oleh segmentasi. Isi jenis substrat dasar pada setiap segmen tersebut dapat

diketahui setelah semua data ground truh di plot ke dalamnya. Perlu diketahui bahwa tidak

semua segmen yang terbentuk dari citra dapat terisi oleh data lapangan, namun demikian

pada segmen yang telah terisi oleh data ground truh akan terlihat bahwa pada setiap kelas

jenis substrat dasar perairan dangkal menunjukkan spektral dan terstur yang berbeda terhadap

kelas jenis substrat dasar lainnya. Tujuan pembangunan segmentasi adalah merubah titik uji

menjadi polygon uji, sehingga peta yang akan dihasilkan akan menjadi lebih mendekati

kenyataan di lapangan.

Berdasarkan hasil pengamatan di stasiun ground truth, pesisir perairan Bintan Timur

dapat dikelompokkan ke dalam 4 klas sebagai terlihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, 2014..

Habitat Luas (Ha) Karang 2445.19 Pasir 3586.20 Substrat campuran: terdiri dari pasir, spot karang hidup dan karang mati, pecahan dan bongkah karang serta algae/sargasum.

3790.36

Lamun 700.13 Mangrove 2852.57

Gambar 3. Peta sebaran habitat perairan laut dangkal, hasil ground truth di perairan Bintan

Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.

Page 41: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201418

2.2.1. Deskripsi lokasi transek karang

Stasiun 92 (Pulau-pulau Numbing)

Pantai ditumbuhi oleh bakau, jarak dari tepi pantai hingga titik transek ± 400 meter;

reef flat landai, banyak ditumbuhi alga Sargassum sp.. Substrat terdiri dari karang mati,

patahan karang mati dan pasir. Transek dilakukan pada kedalaman 6 meter dengan jarak

padang 5 meter; Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis –jenis dengan bentuk

pertumbuhan sub-masive dari marga Pectinia dan Pachyseris. hingga kedalaman 7 meter

pertumbuhan karang masih ditemukan, dan pada kedalaman selanjutnya substrat didominasi

oleh pasir. Kondisi perairan saat transek tenang. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT

(Underwater Photo Transect) dicatat 25,67 %, dan masuk dalam kategori „sedang“

Stasiun 90 (Pulau-pulau Numbing)

Transek dilakukan pada kedalaman 5 meter, perairan cukup keruh dengan jarak

pandang sangat terbatas (2 meter), tepi pantai ditumbuhi oleh baku; reef flat landai. Substrat

terdiri dari karang mati, pasir berlumpur dan pecahan karang. Pertumbuhan karang

didominasi oleh jenis Litothamnion sp.. Pertumbuhan karang hanya ditemukan hingga

kedalaman 7 meter. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 34,80 %, dan masuk

dalam kategori „sedang“

Stasiun 74 (pesisir timur Bintan)

Jarak titik transek dari tepi pantai ± 600 meter; substrat pantai didominasi pasir putih

dan banyak ditumbuhi pohon kelapa. Rataan terumbu (reef flat) landai, pada daerah sekitar

garis transek tumbuh lamun dari jenis Thalassodendron ciliatum. Substrat didominasi

olehpasir. Transek dilakukan pada kedalaman 5 meter, kecerahan dicatat sekitar 5 meter.

Pertumbuhan karang dari jenis Diploastrea heliopora dan Porites lutea cukup dominan di

lokasi transek. Pertumbuhan koloni karang masih ditemukan hingga kedalam 7 meter,

selanjutnya ke arah dalam substrat didominasi oleh pasir. Kondisi perairan saat pengamatan

relatif tenang. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 40,27 %, dan masuk dalam

kategori „sedang“

Tabel 3. Diskripsi tutupan lahan hasil ground truth di pesisir perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan 2014.

No.

Kelas Diskripsi

1 Karang Habitat tersebut tersusun oleh material karang yang umumnya

homogen, terdiri atas karang hidup dan karang mati,

mempunyai pelamparan yang cukup luas dan dapat dibedakan

dengan jelas terhadap jenis habitat yang lain. Habitat tersebut

ditemui pada ujung wilayah rataan terumbu yang menghadap

ke arah laut, mulai dari reef crest, tubir (reef edge) hingga

lereng terumbu (reef slope ),

2 Pasir Material pasir yakni material berukuran butir berbutir (ǿ 0.063

hingga ǿ 2 mm) sangat mendominasi (lebih dari 60%),

sementara 40% sisanya merupakan material lain seperti

algae, pecahan karang. Bila dilihat dari permukaan umumnya

berwarna putih, homogen.

3 Substrat campuran Material klas substrat campuran terdiri atas bongkah karang,

spot sopt karang baik karang hidup maupun karang mati,

pecahan karang yang tidak diketahui jenis material yang

mendominasi. Masing masing komponen tersebut tidak

memungkinkan dipetakan secara terpisah.

4 Lamun Vegetasi lamun di Kawasan Bintan tumbuh di lingkungan

rataan karang, di sepanjang Pantai Trikora ( pesisir timur

Pulau Bintan dan di bagian barat serta selatan Pulau Mapor.

Hamparan vegetasi lamun yang tumbuh berupa spot -spot

sangat sulit dipetakan.

2.2. Karang

Pengamatan kondisi tutupan karang dan biota bentik lainnya telah dilkukan dengan

metode transek foto bawah air (UPT) di 14 titik stasiun yang masuk dalam Kawasan

Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Bintan. Kondisi perairan di lokasi pada

waktu pengamatan cukup keruh, terutama di perairan Pulau –pulau Numbing, sehingga

menyulitkan dalam pengambilan foto bawah air .

Page 42: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 19

2.2.1. Deskripsi lokasi transek karang

Stasiun 92 (Pulau-pulau Numbing)

Pantai ditumbuhi oleh bakau, jarak dari tepi pantai hingga titik transek ± 400 meter;

reef flat landai, banyak ditumbuhi alga Sargassum sp.. Substrat terdiri dari karang mati,

patahan karang mati dan pasir. Transek dilakukan pada kedalaman 6 meter dengan jarak

padang 5 meter; Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis –jenis dengan bentuk

pertumbuhan sub-masive dari marga Pectinia dan Pachyseris. hingga kedalaman 7 meter

pertumbuhan karang masih ditemukan, dan pada kedalaman selanjutnya substrat didominasi

oleh pasir. Kondisi perairan saat transek tenang. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT

(Underwater Photo Transect) dicatat 25,67 %, dan masuk dalam kategori „sedang“

Stasiun 90 (Pulau-pulau Numbing)

Transek dilakukan pada kedalaman 5 meter, perairan cukup keruh dengan jarak

pandang sangat terbatas (2 meter), tepi pantai ditumbuhi oleh baku; reef flat landai. Substrat

terdiri dari karang mati, pasir berlumpur dan pecahan karang. Pertumbuhan karang

didominasi oleh jenis Litothamnion sp.. Pertumbuhan karang hanya ditemukan hingga

kedalaman 7 meter. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 34,80 %, dan masuk

dalam kategori „sedang“

Stasiun 74 (pesisir timur Bintan)

Jarak titik transek dari tepi pantai ± 600 meter; substrat pantai didominasi pasir putih

dan banyak ditumbuhi pohon kelapa. Rataan terumbu (reef flat) landai, pada daerah sekitar

garis transek tumbuh lamun dari jenis Thalassodendron ciliatum. Substrat didominasi

olehpasir. Transek dilakukan pada kedalaman 5 meter, kecerahan dicatat sekitar 5 meter.

Pertumbuhan karang dari jenis Diploastrea heliopora dan Porites lutea cukup dominan di

lokasi transek. Pertumbuhan koloni karang masih ditemukan hingga kedalam 7 meter,

selanjutnya ke arah dalam substrat didominasi oleh pasir. Kondisi perairan saat pengamatan

relatif tenang. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 40,27 %, dan masuk dalam

kategori „sedang“

Tabel 3. Diskripsi tutupan lahan hasil ground truth di pesisir perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan 2014.

No.

Kelas Diskripsi

1 Karang Habitat tersebut tersusun oleh material karang yang umumnya

homogen, terdiri atas karang hidup dan karang mati,

mempunyai pelamparan yang cukup luas dan dapat dibedakan

dengan jelas terhadap jenis habitat yang lain. Habitat tersebut

ditemui pada ujung wilayah rataan terumbu yang menghadap

ke arah laut, mulai dari reef crest, tubir (reef edge) hingga

lereng terumbu (reef slope ),

2 Pasir Material pasir yakni material berukuran butir berbutir (ǿ 0.063

hingga ǿ 2 mm) sangat mendominasi (lebih dari 60%),

sementara 40% sisanya merupakan material lain seperti

algae, pecahan karang. Bila dilihat dari permukaan umumnya

berwarna putih, homogen.

3 Substrat campuran Material klas substrat campuran terdiri atas bongkah karang,

spot sopt karang baik karang hidup maupun karang mati,

pecahan karang yang tidak diketahui jenis material yang

mendominasi. Masing masing komponen tersebut tidak

memungkinkan dipetakan secara terpisah.

4 Lamun Vegetasi lamun di Kawasan Bintan tumbuh di lingkungan

rataan karang, di sepanjang Pantai Trikora ( pesisir timur

Pulau Bintan dan di bagian barat serta selatan Pulau Mapor.

Hamparan vegetasi lamun yang tumbuh berupa spot -spot

sangat sulit dipetakan.

2.2. Karang

Pengamatan kondisi tutupan karang dan biota bentik lainnya telah dilkukan dengan

metode transek foto bawah air (UPT) di 14 titik stasiun yang masuk dalam Kawasan

Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Bintan. Kondisi perairan di lokasi pada

waktu pengamatan cukup keruh, terutama di perairan Pulau –pulau Numbing, sehingga

menyulitkan dalam pengambilan foto bawah air .

Page 43: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201420

dan selanjutnya berupa hamparan pasir putih. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT,

dicatat 23,80 %, dan masuk dalam kategori „jelek“

Stasiun A Pulau Pangkil Besar

Stasiun transek terletak cukup dekat ± 150 m dari garis pantai Pulau Pangkil Besar

Kondisi perairan saat pengamatan cukup tenang, rataan terumbu landai dengan substrat

didominasi oleh pasir putih diselingi karang mati yang ditutupi oleh alga Sargassum. Transek

dilakukan pada kedalaman 6 m, kecerahan perairan saat pengamatan sekitar 5 m.

Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis Porites sp. dan Heliopora sp., substrat sepanjang

garis transek terdiri dari bongkahan karang mati, pecahan karang dan pasir juga ditemukan

banyak koloni karang mati yang tertutup oleh endapan pasir halus. Pertumbuhan karang

masih ditemukan hingga kedalaman 10 m, selanjutnya dasar perairan ditutupi oleh pasir

lumpu. Secara visual keragaman jenis karang di stasiun ini cukup beragam, terutama yang

berada diluar garis transek. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 54,80 %, dan

masuk dalam kategori „baik“

Stasiun B Pulau Pangkil Kecil

Pulau ini memiliki substrat pasir putih yang ditumbuhi vegetasi pantai dan pohon

kelapa; titik transek relatif dekat dengan pantai ± 150 m. Rataan terumbu (reef flat) landai

dengan substrat dasar terdiri dari pasir dan karang mati yang ditumbuhi Sargassum.

Pengamatan dilakukan pada kedalaman 3 m, dengan kecerahan perairan 6 m. Pertumbuhan

karang pada stasiun ini didominasi oleh jenis Echinopora horrida dan Pachyseris speciosa.

Substrat di sepanjang garis transek terdiri dari bongkahan karang mati, pecahan karang dan

pasir. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 8 m, pada kedalaman

selanjutnya berupa pasir. Pada saat pengamatan kondisi perairan cukup tenang. Rata-rata

tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 34,73 %, dan masuk dalam kategori „sedang“

Stasiun KRIL13 (Pulau Mapur)

Transek dilakukan di Pulau Mapur, terpisah cukup jauh dari daratan Pulau Bintan.

Lokasi transek cukup dekat dengan tepi pantai (± 100 m), daerah pantai ditumbuhi vegetasi

pantai. Rataan terumbu landai dengan substrat terdiri dari pasir putih dan patahan karang

mati. Transek dilakukan pada kedalaman 3-4 meter, kecerahan perairan cukup baik

dibandingkan stasiun lainnya ( sekitar 8 m); pertumbuhan karang didominasi oleh Pachyseris

Stasiun 77 (pesisir timur Bintan)

Lokasi transek berdekatan dengan pemukiman penduduk. Substrat pantai didominasi

pasir putih diselingi bongkahan batu granit, banyak tumbuh pohon kelapa dan tumbuhan

pantai lainnya. Jarak titik transek dari garis pantai ± 300 meter; transek dilakukan pada

kedalaman 5 meter, dengan kecerahan air sekitar 5 meter. Pertumbuhan karang di lokasi

transek didominasi oleh jenis Dipoastraea heliopora, Turbinaria mesenterina dan Pectinia

paeonia. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 7 meter, selanjutnya ke

arah dalam substrat terdiri dari bongkahan karang mati, patah karang dan pasir lumpuran.

Juga dicatat terdapat banyak endapan/ sedimen pada permukaan karang yang sudah mati

disepanjang garis transek. Pada kedalaman 8 meter substrat didominasi pasir dan patahan

karang mati. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 51,67 %, dan masuk dalam

kategori „ baik“

Stasiun 81 (pesisir timur Bintan)

Jarak titik transek dari tepi pantai ± 1 km, substrat pantai pasir putih yang ditumbuhi

pohon kelapa, tumbuhan pantai lainnya dan sedikit mangrove. Rataan terumbu landai,

transek dilakukan pada kedalaman 4 – 6 meter. Kecerahan perairan pada waktu transek, 4

meter, kondisi perairan saat transek tenang. Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis dari

marga Turbinaria dan Porites. Substrat di lokasi transek terdiri dari pasir, rubble dan

bongkahan karang mati yang ditumbuhi oleh alga Padina sp.. Pertumbuhan karang masih

ditemukan hingga kedalaman 7,5 m, pada kedalaman selanjutnya substrat didominasi oleh

pasir. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 52,87 %, dan masuk dalam kategori

„ baik“

Stasiun 85 (pesisir timur Bintan)

Lokasi transek terdapat pada sebuah pulau kecil; jarak titik transek dari tepi pantai ±

200 meter. Substrat pantai terdiri dari pasir putih dengan perairan yang jernih dan merupakan

tempat rekreasi. Rataan terumbu landai dan didominasi substrat pasir putih, terdapat banyak

alga dari marga Sargassum. Transek dilakukan pada kedalaman 3 meter, jarak pandang 5

meter, jenis karang yang dominan pada stasiun ini adalah Turbinaria sp.. Substrat pada titik

transek terdiri dari pasir, patahan karang (rubble) dan bongkahan karang mati yang telah

ditumbuhi alga Padina sp.. Pertumbuhan karang hanya ditemukan sampai pada kedalaman 5

Page 44: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 21

dan selanjutnya berupa hamparan pasir putih. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT,

dicatat 23,80 %, dan masuk dalam kategori „jelek“

Stasiun A Pulau Pangkil Besar

Stasiun transek terletak cukup dekat ± 150 m dari garis pantai Pulau Pangkil Besar

Kondisi perairan saat pengamatan cukup tenang, rataan terumbu landai dengan substrat

didominasi oleh pasir putih diselingi karang mati yang ditutupi oleh alga Sargassum. Transek

dilakukan pada kedalaman 6 m, kecerahan perairan saat pengamatan sekitar 5 m.

Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis Porites sp. dan Heliopora sp., substrat sepanjang

garis transek terdiri dari bongkahan karang mati, pecahan karang dan pasir juga ditemukan

banyak koloni karang mati yang tertutup oleh endapan pasir halus. Pertumbuhan karang

masih ditemukan hingga kedalaman 10 m, selanjutnya dasar perairan ditutupi oleh pasir

lumpu. Secara visual keragaman jenis karang di stasiun ini cukup beragam, terutama yang

berada diluar garis transek. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 54,80 %, dan

masuk dalam kategori „baik“

Stasiun B Pulau Pangkil Kecil

Pulau ini memiliki substrat pasir putih yang ditumbuhi vegetasi pantai dan pohon

kelapa; titik transek relatif dekat dengan pantai ± 150 m. Rataan terumbu (reef flat) landai

dengan substrat dasar terdiri dari pasir dan karang mati yang ditumbuhi Sargassum.

Pengamatan dilakukan pada kedalaman 3 m, dengan kecerahan perairan 6 m. Pertumbuhan

karang pada stasiun ini didominasi oleh jenis Echinopora horrida dan Pachyseris speciosa.

Substrat di sepanjang garis transek terdiri dari bongkahan karang mati, pecahan karang dan

pasir. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 8 m, pada kedalaman

selanjutnya berupa pasir. Pada saat pengamatan kondisi perairan cukup tenang. Rata-rata

tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 34,73 %, dan masuk dalam kategori „sedang“

Stasiun KRIL13 (Pulau Mapur)

Transek dilakukan di Pulau Mapur, terpisah cukup jauh dari daratan Pulau Bintan.

Lokasi transek cukup dekat dengan tepi pantai (± 100 m), daerah pantai ditumbuhi vegetasi

pantai. Rataan terumbu landai dengan substrat terdiri dari pasir putih dan patahan karang

mati. Transek dilakukan pada kedalaman 3-4 meter, kecerahan perairan cukup baik

dibandingkan stasiun lainnya ( sekitar 8 m); pertumbuhan karang didominasi oleh Pachyseris

Stasiun 77 (pesisir timur Bintan)

Lokasi transek berdekatan dengan pemukiman penduduk. Substrat pantai didominasi

pasir putih diselingi bongkahan batu granit, banyak tumbuh pohon kelapa dan tumbuhan

pantai lainnya. Jarak titik transek dari garis pantai ± 300 meter; transek dilakukan pada

kedalaman 5 meter, dengan kecerahan air sekitar 5 meter. Pertumbuhan karang di lokasi

transek didominasi oleh jenis Dipoastraea heliopora, Turbinaria mesenterina dan Pectinia

paeonia. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 7 meter, selanjutnya ke

arah dalam substrat terdiri dari bongkahan karang mati, patah karang dan pasir lumpuran.

Juga dicatat terdapat banyak endapan/ sedimen pada permukaan karang yang sudah mati

disepanjang garis transek. Pada kedalaman 8 meter substrat didominasi pasir dan patahan

karang mati. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 51,67 %, dan masuk dalam

kategori „ baik“

Stasiun 81 (pesisir timur Bintan)

Jarak titik transek dari tepi pantai ± 1 km, substrat pantai pasir putih yang ditumbuhi

pohon kelapa, tumbuhan pantai lainnya dan sedikit mangrove. Rataan terumbu landai,

transek dilakukan pada kedalaman 4 – 6 meter. Kecerahan perairan pada waktu transek, 4

meter, kondisi perairan saat transek tenang. Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis dari

marga Turbinaria dan Porites. Substrat di lokasi transek terdiri dari pasir, rubble dan

bongkahan karang mati yang ditumbuhi oleh alga Padina sp.. Pertumbuhan karang masih

ditemukan hingga kedalaman 7,5 m, pada kedalaman selanjutnya substrat didominasi oleh

pasir. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 52,87 %, dan masuk dalam kategori

„ baik“

Stasiun 85 (pesisir timur Bintan)

Lokasi transek terdapat pada sebuah pulau kecil; jarak titik transek dari tepi pantai ±

200 meter. Substrat pantai terdiri dari pasir putih dengan perairan yang jernih dan merupakan

tempat rekreasi. Rataan terumbu landai dan didominasi substrat pasir putih, terdapat banyak

alga dari marga Sargassum. Transek dilakukan pada kedalaman 3 meter, jarak pandang 5

meter, jenis karang yang dominan pada stasiun ini adalah Turbinaria sp.. Substrat pada titik

transek terdiri dari pasir, patahan karang (rubble) dan bongkahan karang mati yang telah

ditumbuhi alga Padina sp.. Pertumbuhan karang hanya ditemukan sampai pada kedalaman 5

Page 45: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201422

Kondisi perairan berombak saat pengamatan. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT,

dicatat 21,60 %, dan masuk dalam kategori „jelek“

Stasiun KRIL17 (Pulau Mapur)

Stasiun transek berada disebelah utara Pulau Mapur, substrat pantai terdiri dari batuan

granit dan pasir putih, ditumbuhi pohon kelapa dan tumbuhan pantai lainnya. Rataan

terumbu landai, dengan panjang ke arah laut ± 100 m; transek dilakukan pada kedalaman 3

m. Kecerahan perairan 8 m, pertumbuhan karang hanya didominasi oleh Caulastrea furcata,

substrat disepanjang garis transek terdiri dari bongkahan karang dan patahan karang mati,

pada beberapa bagian telah ditutupi oleh makro alge Sargassum sp. Pertumbuhan karang

hidup masih ditemukan pada kedalaman 6 m, selanjutnya berupa substrat pasir, kondisi

perairan saat pengamatan tenang. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 1,20 %,

dan masuk dalam kategori „jelek“ Kondisi seperti ini dicatat yang terjelek dari di lokasi

lainnya.

Stasiun KRIL18 (Pulau Erapas)

Pulau Erapas terletak di sebelah tenggara Pulau Mapur. Lokasi titik transek dekat

dengan tanjung dan berada disebelah selatan Pulau Erapas, dengan rataan terumbu landai dan

sempit, panjang dari tepi pantai ke arah tubir ± 100 m. Transek di lokasi ini dilakukan pada

kedalaman 6m, perairan jernih dengan kecerahan hingga 11 m. Substrat sepanjang garis

transek terdiri dari bongkahan karang dan patahan karang mati dengan pertumbuhan karang

didominasi oleh Acropora spp.;. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 13

m. Perairan cukup tenang saat berlangsung pengamatan. Rata-rata tutupan karang hidup hasil

UPT, dicatat 29,07 %, dan masuk dalam kategori „sedang“

2.2.2. Kondisi terumbu Karang

Persentase tutupan karang hidup yang dicatat di lokasi transek berkisar antara 1,20% -

54,80%, dengan tutupan tertinggi terdapat di stasiun KRIL A, yaitu 54,80% dan terendah di

KRIL17 (1,20%). Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa tutupan karang hidup berada pada

kondisi “jelek” hingga “baik”. Umumnya karang yang dicatat dalam pengamatan ini,

didominasi oleh karang jenis Non-Acropora. Pertumbuhan karang batu pada 14 lokasi transek

didominasi oleh Galaxea fascicularis dan Porites cylindrica (sub-massive), serta Porites

lobata dan Porites lutea (massive).

spp. dan Goniopora spp.; substrat di sepanjang garis transek terdiri dari bongkahan karang

mati dan patahan karang mati. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 8-9

m. Kondisi perairan saat pengamatan cukup tenang dan tidak berarus. Rata-rata tutupan

karang hidup hasil UPT, dicatat 38,40 %, dan masuk dalam kategori „sedang“

Stasiun KRIL14 (Pulau Mapur)

Daerah pantai ditumbuhi oleh vegetasi mangrove yang cukup lebat; rataan terumbu

landai dengan panjang sekitar ± 1.5 Km ke arah laut. Pengamatan karang dilakukan pada

kedalaman 3-4 m, kondisi perairan tenang tidak berarus tetapi cukup keruh, dengan jarak

pandang (visibility) 5 m. Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis Porites sp. dan

Goniopora sp; substrat di garii transek terdiri dari bongkahan karang mati, pecahan karang

dan pasir dan pertumbuhan karang hanya ditemukan hingga kedalaman 6 m. Pada kedalaman

berikutnya substrat berupa hamparan pasir. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat

18,56 %, dan masuk dalam kategori „jelek“

Stasiun KRIL15 (Pulau Mapur)

Transek dilakukan disebelah selatan Pulau Mapur, berdekatan dengan pemukiman

penduduk. Di sepanjang pantai tumbuh mangrove, kelapa dan vegetasi lainnya. Panjang

rataan terumbuh (reef flat) ke arah tubir ± 600 m dan transek dilakukan pada kedalaman 4-6

m. Perairan cukup keruh dengan kecerahan 3 m, substrat di garis transek terdiri dari pasir,

bongkahan karang dan patahan karang mati. Pertumbuhan karang didominasi oleh Pachyseris

sp. dan Pectinia sp.. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 6 m. Kondisi

perairan saat pengamatan agak berombak. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat

39,40 %, dan masuk dalam kategori „sedang“

Stasiun KRIL16 (Pulau Mapur)

Stasiun titik transek berada di sebelah timur Pulau Mapur. Rataan terumbu landai,

panjang dari tepi pantai ke arah tubir ± 750 m dengan substrat didominasi oleh pasir diselingi

patahan karang mati. Ditemukan pertumbuhan lamun tumbuh dengan kerapatan yang cukup

bervariasi. Transek dilakukan pada kedalaman 3-5 meter dengan kecerahan hanya 4 m.

Pertumbuhan karang didominasi oleh Pachyseris sp. dan makro alga seperti Sargassum sp.

Substrat pada garis transek didominasi oleh pasir dan karang mati; pertumbuhan karang

masih ditemukan pada kedalaman 5 m, pada kedalaman selanjutnya berupa hamparan pasir;

Page 46: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 23

Kondisi perairan berombak saat pengamatan. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT,

dicatat 21,60 %, dan masuk dalam kategori „jelek“

Stasiun KRIL17 (Pulau Mapur)

Stasiun transek berada disebelah utara Pulau Mapur, substrat pantai terdiri dari batuan

granit dan pasir putih, ditumbuhi pohon kelapa dan tumbuhan pantai lainnya. Rataan

terumbu landai, dengan panjang ke arah laut ± 100 m; transek dilakukan pada kedalaman 3

m. Kecerahan perairan 8 m, pertumbuhan karang hanya didominasi oleh Caulastrea furcata,

substrat disepanjang garis transek terdiri dari bongkahan karang dan patahan karang mati,

pada beberapa bagian telah ditutupi oleh makro alge Sargassum sp. Pertumbuhan karang

hidup masih ditemukan pada kedalaman 6 m, selanjutnya berupa substrat pasir, kondisi

perairan saat pengamatan tenang. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 1,20 %,

dan masuk dalam kategori „jelek“ Kondisi seperti ini dicatat yang terjelek dari di lokasi

lainnya.

Stasiun KRIL18 (Pulau Erapas)

Pulau Erapas terletak di sebelah tenggara Pulau Mapur. Lokasi titik transek dekat

dengan tanjung dan berada disebelah selatan Pulau Erapas, dengan rataan terumbu landai dan

sempit, panjang dari tepi pantai ke arah tubir ± 100 m. Transek di lokasi ini dilakukan pada

kedalaman 6m, perairan jernih dengan kecerahan hingga 11 m. Substrat sepanjang garis

transek terdiri dari bongkahan karang dan patahan karang mati dengan pertumbuhan karang

didominasi oleh Acropora spp.;. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 13

m. Perairan cukup tenang saat berlangsung pengamatan. Rata-rata tutupan karang hidup hasil

UPT, dicatat 29,07 %, dan masuk dalam kategori „sedang“

2.2.2. Kondisi terumbu Karang

Persentase tutupan karang hidup yang dicatat di lokasi transek berkisar antara 1,20% -

54,80%, dengan tutupan tertinggi terdapat di stasiun KRIL A, yaitu 54,80% dan terendah di

KRIL17 (1,20%). Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa tutupan karang hidup berada pada

kondisi “jelek” hingga “baik”. Umumnya karang yang dicatat dalam pengamatan ini,

didominasi oleh karang jenis Non-Acropora. Pertumbuhan karang batu pada 14 lokasi transek

didominasi oleh Galaxea fascicularis dan Porites cylindrica (sub-massive), serta Porites

lobata dan Porites lutea (massive).

spp. dan Goniopora spp.; substrat di sepanjang garis transek terdiri dari bongkahan karang

mati dan patahan karang mati. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 8-9

m. Kondisi perairan saat pengamatan cukup tenang dan tidak berarus. Rata-rata tutupan

karang hidup hasil UPT, dicatat 38,40 %, dan masuk dalam kategori „sedang“

Stasiun KRIL14 (Pulau Mapur)

Daerah pantai ditumbuhi oleh vegetasi mangrove yang cukup lebat; rataan terumbu

landai dengan panjang sekitar ± 1.5 Km ke arah laut. Pengamatan karang dilakukan pada

kedalaman 3-4 m, kondisi perairan tenang tidak berarus tetapi cukup keruh, dengan jarak

pandang (visibility) 5 m. Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis Porites sp. dan

Goniopora sp; substrat di garii transek terdiri dari bongkahan karang mati, pecahan karang

dan pasir dan pertumbuhan karang hanya ditemukan hingga kedalaman 6 m. Pada kedalaman

berikutnya substrat berupa hamparan pasir. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat

18,56 %, dan masuk dalam kategori „jelek“

Stasiun KRIL15 (Pulau Mapur)

Transek dilakukan disebelah selatan Pulau Mapur, berdekatan dengan pemukiman

penduduk. Di sepanjang pantai tumbuh mangrove, kelapa dan vegetasi lainnya. Panjang

rataan terumbuh (reef flat) ke arah tubir ± 600 m dan transek dilakukan pada kedalaman 4-6

m. Perairan cukup keruh dengan kecerahan 3 m, substrat di garis transek terdiri dari pasir,

bongkahan karang dan patahan karang mati. Pertumbuhan karang didominasi oleh Pachyseris

sp. dan Pectinia sp.. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 6 m. Kondisi

perairan saat pengamatan agak berombak. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat

39,40 %, dan masuk dalam kategori „sedang“

Stasiun KRIL16 (Pulau Mapur)

Stasiun titik transek berada di sebelah timur Pulau Mapur. Rataan terumbu landai,

panjang dari tepi pantai ke arah tubir ± 750 m dengan substrat didominasi oleh pasir diselingi

patahan karang mati. Ditemukan pertumbuhan lamun tumbuh dengan kerapatan yang cukup

bervariasi. Transek dilakukan pada kedalaman 3-5 meter dengan kecerahan hanya 4 m.

Pertumbuhan karang didominasi oleh Pachyseris sp. dan makro alga seperti Sargassum sp.

Substrat pada garis transek didominasi oleh pasir dan karang mati; pertumbuhan karang

masih ditemukan pada kedalaman 5 m, pada kedalaman selanjutnya berupa hamparan pasir;

Page 47: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201424

Gambar 5. Histogram persentase tutupan karang, biota bentik dan substrat hasil studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.

2.3. Ikan karang

Pengamatan ikan karang telah dilakukan dengan metode UVC. Untuk ikan karang,

yang diutamakan ialah ikan-ikan target dan semua jenis ikan indikator Ikan target juga

dibatasi pada beberapa suku (6 suku) yaitu suku: Haemulidae, Lutjanidae, Lethrinidae,

Scaridae, Serranidae, dan Siganidae. Ikan indikator yang merupakan kelompok ikan yang

sepanjang hidupnya tergantung/ berada didalam ekosistem terumbu karang yaitu dari suku

Chaetodontidae. Dari hasil pengamatan, baik ikan target maupun ikan indikator, ditemukan

memiliki keanekaragaman jenis yang rendah, sedangkan kelimpahan individu dibeberapa

stasiun cukup tinggi.

2.3.1 Keanekaragaman Ikan Indikator dan Target

Hasil sensus visual ikan karang kategori ikan indikator dan ikan target di Kabupaten

Bintan pada 14 stasiun pengamatan mencatat sebany1.167 individu yang tergolong dalam

31 jenis dan suku 7 . Ikan indikator yang ditemukan sebanyak 2 jenis yakni dari suku

Chaetodontidae yaitu Chaetodon oktofasciatus dan Chelmon rostratus, sedangkan ikan target

yang ditemukan sebanyak 29 jenis dari 6 suku. Penelitian di Kabupaten Bintan terbagi atas

Dari hasil pengamatan, dicatat hanya 3 (tiga) stasiun yang kondisi karangnya masuk

dalam kategori “baik” (50 % - 74,99%), mengacu kepada Gomez & Yap (1984), yaitu

stasiun KRIL 77, KRIL 81 dan KRIL A. Untuk kategori “sedang” (25 % - 49,99 %)

ditemukan di 7 (tujuh ) stasiun, berturut-turut di stasiun KRIL 92, KRIL18, KRIL B, KRIL

90, KRIL 13, KRIL 15 dan KRIL 74.Sisanya ada 4 (empat) stasiun dalam kondisi “jelek”.

Persentase tutupan DCA ( karang mati beralga) dicatat tertinggi di stasiun KRIL17 (80,80

%). Stasiun ini terletak di bagian timur Pulau Mapur dan berhadapan dengan laut lepas yang

sering menerima tekanan ombak yang besar.yang menarik di lokasi ini didominasi oleh

karang dengan bentuk pertumbuhan bercabang. Jenis karang yang dominan di lokasi ini yaitu

dari jenis Caulastrea furcata dan dari marga Acropora terutama A. brueggemanni, dan marga

Montipora yaitu M. foliosa. Kelompok Acropora diketahui untuk tumbuh baik, memerlukan

sirkulasi arus yang juga baik. Hasil pengamatan berupa persentase persentase tutupan karang

hidup disajikan dalam bentuk peta, pada Gambar 4, sedangkan persentase tutupan karang,

biota bentik dan substrat, disajikan dalam bentuk histogram dapat dilihat dalam Gambar 5.

Secara umum, kondisi karang di perairan Bintan Timur dan sekitarnya masuk dalam

kondisi “sedang” sampai baik .

Gambar 4. Peta persentase tutupan karang, hidup hasil studi baseline dengan metode

UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.

Page 48: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 25

Gambar 5. Histogram persentase tutupan karang, biota bentik dan substrat hasil studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.

2.3. Ikan karang

Pengamatan ikan karang telah dilakukan dengan metode UVC. Untuk ikan karang,

yang diutamakan ialah ikan-ikan target dan semua jenis ikan indikator Ikan target juga

dibatasi pada beberapa suku (6 suku) yaitu suku: Haemulidae, Lutjanidae, Lethrinidae,

Scaridae, Serranidae, dan Siganidae. Ikan indikator yang merupakan kelompok ikan yang

sepanjang hidupnya tergantung/ berada didalam ekosistem terumbu karang yaitu dari suku

Chaetodontidae. Dari hasil pengamatan, baik ikan target maupun ikan indikator, ditemukan

memiliki keanekaragaman jenis yang rendah, sedangkan kelimpahan individu dibeberapa

stasiun cukup tinggi.

2.3.1 Keanekaragaman Ikan Indikator dan Target

Hasil sensus visual ikan karang kategori ikan indikator dan ikan target di Kabupaten

Bintan pada 14 stasiun pengamatan mencatat sebany1.167 individu yang tergolong dalam

31 jenis dan suku 7 . Ikan indikator yang ditemukan sebanyak 2 jenis yakni dari suku

Chaetodontidae yaitu Chaetodon oktofasciatus dan Chelmon rostratus, sedangkan ikan target

yang ditemukan sebanyak 29 jenis dari 6 suku. Penelitian di Kabupaten Bintan terbagi atas

Dari hasil pengamatan, dicatat hanya 3 (tiga) stasiun yang kondisi karangnya masuk

dalam kategori “baik” (50 % - 74,99%), mengacu kepada Gomez & Yap (1984), yaitu

stasiun KRIL 77, KRIL 81 dan KRIL A. Untuk kategori “sedang” (25 % - 49,99 %)

ditemukan di 7 (tujuh ) stasiun, berturut-turut di stasiun KRIL 92, KRIL18, KRIL B, KRIL

90, KRIL 13, KRIL 15 dan KRIL 74.Sisanya ada 4 (empat) stasiun dalam kondisi “jelek”.

Persentase tutupan DCA ( karang mati beralga) dicatat tertinggi di stasiun KRIL17 (80,80

%). Stasiun ini terletak di bagian timur Pulau Mapur dan berhadapan dengan laut lepas yang

sering menerima tekanan ombak yang besar.yang menarik di lokasi ini didominasi oleh

karang dengan bentuk pertumbuhan bercabang. Jenis karang yang dominan di lokasi ini yaitu

dari jenis Caulastrea furcata dan dari marga Acropora terutama A. brueggemanni, dan marga

Montipora yaitu M. foliosa. Kelompok Acropora diketahui untuk tumbuh baik, memerlukan

sirkulasi arus yang juga baik. Hasil pengamatan berupa persentase persentase tutupan karang

hidup disajikan dalam bentuk peta, pada Gambar 4, sedangkan persentase tutupan karang,

biota bentik dan substrat, disajikan dalam bentuk histogram dapat dilihat dalam Gambar 5.

Secara umum, kondisi karang di perairan Bintan Timur dan sekitarnya masuk dalam

kondisi “sedang” sampai baik .

Gambar 4. Peta persentase tutupan karang, hidup hasil studi baseline dengan metode

UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.

Page 49: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201426

2.3.1.1. Sebaran Ikan Indikator

Ikan indikator dari famili Chaetodontidae yang ditemukan hanya dari dua suku yakni

Chaetodon dan Chelmon dengan kelimpahan sebanyak 265 ekor. Chaetodon octofasciatus

tercatat memiliki kelimpahan individu tertinggi dengan jumlah 213 ekor sedangkan Chelmon

rostratus dengan jumlah 52 ekor.

Stasiun KRIL 81 tercatat memiliki kelimpahan individu tertinggi sebesar 36 individu

diikuti stasiun KRIL 92 sebesar 31 individu serta KRIL 85 dan KRIL B masing – masing

29 individu sedangkan pada stasiun KRIL 17 tidak ditemukan satupun jenis ikan indikator

tersebut sedangkan pada monitoring tahun 2007 sd 2011 kedua jenis ikan indikator tersebut

masih ditemukan dengan jumlah kelimpahan yang fluktuatif setiap tahunnya . Tidak

ditemukannya kedua jenis ikan indikator tersebut pada saat pengamatan tahun 2014 ini

diduga ; Asumsi pertama yakni kedua jenis ikan tersebut semakin berkurang di lokasi

tersebut sehingga semakin sulit ditemukan. Asumsi kedua yakni selama melakukan sensus

visual di lokasi tersebut kedua jenis ikan tersebut tidak pernah bergerak memasuki areal garis

transek sehingga tidak tercatat selama kegiatan sensus dilakukan. (Gambar 7.)

Gambar 7. Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.

0

5

10

15

20

25

30

35

40

J U M

L A

H

S T A S I U N

PERBANDINGAN JUMLAH INDIVIDU DAN JUMLAH JENIS IKAN INDIKATOR DI PERAIRAN BINTAN TIMUR, KABUPATEN BINTAN, 2014

Jumlah Individu

Jumlah Jenis

dua lokasi yakni di lokasi Sekitar Bintan Timur (8 stasiun) dan lokasi sekitar P. Mapur (6

stasiun). Ringkasan hasil keanekaragaman jenis pada Kabupaten Bintan dapat dilihat pada

Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah Individu dan jumlah Jenis Ikan karang di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.

No Lokasi Jumlah Stasiun

Luas transek

(m2)

Jumlah Total Individu

Jumlah Total Jenis

Indikator Target Indikator Target

1 Bintan Timur 8 2800 185 846 2 41

2. P. Mapur 6 2100 100 456 2 29

3. Total 14 4900 285 1302 2 49

Kepadatan rata-rata ikan indikator mencapai 0,0549 individu/m2 atau 549 ekor/ha

sedangkan ikan target mencapai 0, 184 ekor/m2 atau 1840 ekor/ha. Stasiun KRIL 81 tercatat

memiliki kelimpahan individu tertinggi sebanyak 102 ekor sedangkan yang tergolong jenis

tertinggi adalah pada KRIL 74 yakni dalam 19 jenis sedangkan yang terendah adalah lokasi

KRIL A baik dalam jumlah individu yakni sebanyak 20 ekor ikan maupun dalam jumlah

jenis yakni hanya ditemukan 5 jenis. (Gambar 6)

Gambar 6. Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator ikan target hasil studi baseline di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.

Page 50: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 27

2.3.1.1. Sebaran Ikan Indikator

Ikan indikator dari famili Chaetodontidae yang ditemukan hanya dari dua suku yakni

Chaetodon dan Chelmon dengan kelimpahan sebanyak 265 ekor. Chaetodon octofasciatus

tercatat memiliki kelimpahan individu tertinggi dengan jumlah 213 ekor sedangkan Chelmon

rostratus dengan jumlah 52 ekor.

Stasiun KRIL 81 tercatat memiliki kelimpahan individu tertinggi sebesar 36 individu

diikuti stasiun KRIL 92 sebesar 31 individu serta KRIL 85 dan KRIL B masing – masing

29 individu sedangkan pada stasiun KRIL 17 tidak ditemukan satupun jenis ikan indikator

tersebut sedangkan pada monitoring tahun 2007 sd 2011 kedua jenis ikan indikator tersebut

masih ditemukan dengan jumlah kelimpahan yang fluktuatif setiap tahunnya . Tidak

ditemukannya kedua jenis ikan indikator tersebut pada saat pengamatan tahun 2014 ini

diduga ; Asumsi pertama yakni kedua jenis ikan tersebut semakin berkurang di lokasi

tersebut sehingga semakin sulit ditemukan. Asumsi kedua yakni selama melakukan sensus

visual di lokasi tersebut kedua jenis ikan tersebut tidak pernah bergerak memasuki areal garis

transek sehingga tidak tercatat selama kegiatan sensus dilakukan. (Gambar 7.)

Gambar 7. Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.

0

5

10

15

20

25

30

35

40

J U M

L A

H

S T A S I U N

PERBANDINGAN JUMLAH INDIVIDU DAN JUMLAH JENIS IKAN INDIKATOR DI PERAIRAN BINTAN TIMUR, KABUPATEN BINTAN, 2014

Jumlah Individu

Jumlah Jenis

dua lokasi yakni di lokasi Sekitar Bintan Timur (8 stasiun) dan lokasi sekitar P. Mapur (6

stasiun). Ringkasan hasil keanekaragaman jenis pada Kabupaten Bintan dapat dilihat pada

Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah Individu dan jumlah Jenis Ikan karang di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.

No Lokasi Jumlah Stasiun

Luas transek

(m2)

Jumlah Total Individu

Jumlah Total Jenis

Indikator Target Indikator Target

1 Bintan Timur 8 2800 185 846 2 41

2. P. Mapur 6 2100 100 456 2 29

3. Total 14 4900 285 1302 2 49

Kepadatan rata-rata ikan indikator mencapai 0,0549 individu/m2 atau 549 ekor/ha

sedangkan ikan target mencapai 0, 184 ekor/m2 atau 1840 ekor/ha. Stasiun KRIL 81 tercatat

memiliki kelimpahan individu tertinggi sebanyak 102 ekor sedangkan yang tergolong jenis

tertinggi adalah pada KRIL 74 yakni dalam 19 jenis sedangkan yang terendah adalah lokasi

KRIL A baik dalam jumlah individu yakni sebanyak 20 ekor ikan maupun dalam jumlah

jenis yakni hanya ditemukan 5 jenis. (Gambar 6)

Gambar 6. Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator ikan target hasil studi baseline di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.

Page 51: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201428

Stasiun pengamatan KRILL 77 tercatat memiliki kelimpahan individu tertinggi yakni

sebesar 216 individu yang tergolong dalam 15 jenis diikuti stasiun KRIL 18 dan KRIL 81

dengan kelimpahan masing- masing 207 individu (18 jenis) dan 156 individu (23 jenis)

Gambar 8.

Gambar 8. Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan target, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.

Jenis ikan Caesio teres dari suku Caesionidae tercatat memiiki kelimpahan individu tertinggi

sebanyak 537 individu diikuti jenis, Upeneus tragula 106 individu Lutjanus carponotatsus

(90 ekor) , Scarus gobhan (65 ekor) , Lutjanus fulviflamma (37 ekor) (Tabel 6).

0

50

100

150

200

250

Jum

lah

Jeni

s/Ind

ivid

u

Stasiun

PERBANDINGAN JUMLAH INDIVIDU DAN JUMLAH JENIS

IKAN TARGET DI PERAIRAN KAB, BINTAN, 2014

Jumlah Individu

Jumlah Jenis

Keanekaragaman jenis ikan indikator hasil sensus visual tahun 2014 bila

dibandingkan dengan kegiatan yang dilakukan selama tahun 2007 s/d 2010

keanekaragaman jenisnya cukup fluktuatif yaitu pada tahun 2007 dan 2008 tercatat 4 jenis

ikan indikator yakni jenis Chaetodon adiagastros, Chaetodon oktofasciatus, Chelmon

rostratus serta Heniochus varius sedangkan pada tahun 2010 , 2010 dan 2014 hanya

ditemukan dua jenis saja yakni jenis Chaetodon oktofasciatus dan Chelmon rostratus.

Demikian pula dengan kondisi kelimpahan individunya juga berfluktuatif setiap tahunnya

juga yakni pada tahun 2008 tercatat sebanyak 280 individu kemudian pada tahun 2009

menurun menjadi 259, lalu pada tahun 2010 menurun lagi menjadi 190 individu kemudian

kemudian pada tahun 2014 tercatat sebanyak 265 individu.

2.3.1.2. Sebaran Ikan Target

Hasil sensus visual ikan target ditemukan sebanyak 49 jenis dari 10 suku dengan total

kehadiran sebanyak 1302 individu atau kepadatan ikan mencapai 0, 2657 ekor/m2 atau

2657 ekor/ha. Suku Caesionidae memiliki kelimpahan individu tertinggi sebesar 587

individu, terdiri dari 4 jenis , diikuti suku Lutjanidae sebanyak 198 individu (6 jenis), suku

Scaridae sebanyak 125 individu dan Serranidae sebanyak 85 individu sedangkan yang

terendah adalah suku Lethrinidae sebanyak 8 individu (3 jenis) dan Haemulidae sebanyak 4

individu (2 jenis) (Tabel 5.)

Tabel 5. Jumlah Individu dan Jumlah Jenis setiap suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC, di perairan Bintan Utara, Kabupaten Bintan 2014.

No

Suku

Jumlah Individu

Jumlah Jenis

1 CAESIONIDAE 587 4 2 LUTJANIDAE 198 6 3 SCARIDAE 125 6 4 MULIDAE 106 1 5 NEMIPTERIDAE 96 8 6 SERRANIDAE 85 11 7 LABRIDAE 50 4 8 SIGANIDAE 41 4 9 LETHRINIDAE 8 3 10 HAEMULIDAE 4 2

Page 52: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 29

Stasiun pengamatan KRILL 77 tercatat memiliki kelimpahan individu tertinggi yakni

sebesar 216 individu yang tergolong dalam 15 jenis diikuti stasiun KRIL 18 dan KRIL 81

dengan kelimpahan masing- masing 207 individu (18 jenis) dan 156 individu (23 jenis)

Gambar 8.

Gambar 8. Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan target, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.

Jenis ikan Caesio teres dari suku Caesionidae tercatat memiiki kelimpahan individu tertinggi

sebanyak 537 individu diikuti jenis, Upeneus tragula 106 individu Lutjanus carponotatsus

(90 ekor) , Scarus gobhan (65 ekor) , Lutjanus fulviflamma (37 ekor) (Tabel 6).

0

50

100

150

200

250

Jum

lah

Jeni

s/Ind

ivid

u

Stasiun

PERBANDINGAN JUMLAH INDIVIDU DAN JUMLAH JENIS

IKAN TARGET DI PERAIRAN KAB, BINTAN, 2014

Jumlah Individu

Jumlah Jenis

Keanekaragaman jenis ikan indikator hasil sensus visual tahun 2014 bila

dibandingkan dengan kegiatan yang dilakukan selama tahun 2007 s/d 2010

keanekaragaman jenisnya cukup fluktuatif yaitu pada tahun 2007 dan 2008 tercatat 4 jenis

ikan indikator yakni jenis Chaetodon adiagastros, Chaetodon oktofasciatus, Chelmon

rostratus serta Heniochus varius sedangkan pada tahun 2010 , 2010 dan 2014 hanya

ditemukan dua jenis saja yakni jenis Chaetodon oktofasciatus dan Chelmon rostratus.

Demikian pula dengan kondisi kelimpahan individunya juga berfluktuatif setiap tahunnya

juga yakni pada tahun 2008 tercatat sebanyak 280 individu kemudian pada tahun 2009

menurun menjadi 259, lalu pada tahun 2010 menurun lagi menjadi 190 individu kemudian

kemudian pada tahun 2014 tercatat sebanyak 265 individu.

2.3.1.2. Sebaran Ikan Target

Hasil sensus visual ikan target ditemukan sebanyak 49 jenis dari 10 suku dengan total

kehadiran sebanyak 1302 individu atau kepadatan ikan mencapai 0, 2657 ekor/m2 atau

2657 ekor/ha. Suku Caesionidae memiliki kelimpahan individu tertinggi sebesar 587

individu, terdiri dari 4 jenis , diikuti suku Lutjanidae sebanyak 198 individu (6 jenis), suku

Scaridae sebanyak 125 individu dan Serranidae sebanyak 85 individu sedangkan yang

terendah adalah suku Lethrinidae sebanyak 8 individu (3 jenis) dan Haemulidae sebanyak 4

individu (2 jenis) (Tabel 5.)

Tabel 5. Jumlah Individu dan Jumlah Jenis setiap suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC, di perairan Bintan Utara, Kabupaten Bintan 2014.

No

Suku

Jumlah Individu

Jumlah Jenis

1 CAESIONIDAE 587 4 2 LUTJANIDAE 198 6 3 SCARIDAE 125 6 4 MULIDAE 106 1 5 NEMIPTERIDAE 96 8 6 SERRANIDAE 85 11 7 LABRIDAE 50 4 8 SIGANIDAE 41 4 9 LETHRINIDAE 8 3 10 HAEMULIDAE 4 2

Page 53: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201430

Tabel 7. Total biomasa dari sepuluh suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Utara, Kabupaten Bintan, 2014 .

No Suku

Biomasa

(kg/ha)

1 CAESIONIDAE 176,7

2 LUTJANIDAE 69,7

3 SCARIDAE 29,5

4 MULIDAE 12

5 NEMIPTERIDAE 12,3

6 SERRANIDAE 14,8

7 LABRIDAE 10,9

8 SIGANIDAE 10,8

9 LETHRINIDAE 1

10. HAEMULIDAE 1,1

Total 338,8

Pada Tabel 8 di bawah ini ditampilkan sepuluh jenis ikan target yang memiliki biomas

tertinggi pada empat belas stasiun penelitian di Kabupaten Bintan (kg/ha) . Jenis ikan Ekor

kuning Caesio teres tercatat memiliki biomasa tertinggi sebesar 168. Kg/ha ddiikuti jenis

Lutjanus carponotatus dan Upeneus tragulla masing – masing seberat 52 kg/ha kg dan 12

kg/ha.

Tabel 6. Kelimpahan individu ikan target berdasarkan dominansi jenis (KI = kelimpahan individu, densitas(ekor/m2) dan FK = frekuensi kehadiran .(%)

No Jenis Suku KI Densitas (ekor/m2)

FK (%)

1 Caesio teres Caesionidae 537 0,1096 79 2 Upeneus tragula Mulidae 106 0,0216 21 3 Lutjanus carponottatus Lutjanidae 90 0,0184 86 4 Scarus ghobban Scaridae 65 0,0133 71 5 Lutjanus fulviflamma Lutjanidae 37 0,0076 43 6 Lutjanus vitta Lutjanidae 34 0,0069 43 7 Lutjanus lineolatus Lutjanidae 33 0,0067 21 8 Cephalopholis boenak Serranidae 30 0,0061 71 9 Caesio caerulaurea Caesionidae 30 0,0061 7 10 Hemigymnus melapterus Labridae 28 0,0057 79

2.3.2. Estimasi Potensi Sediaan Cadang (Standing stock) ikan target

Untuk mendapatkan bobot berat ikan (biomass) dari panjang total individu setiap

spesies ikan target hasil sensus, maka digunakan nilai konstanta a dan b dari hasil-hasil

penelitian hubungan panjang berat beberapa spesies ikan. Nilai tersebut dapat diperoleh dari

website fishbase.

Total biomasa ikan target hasil sensus visual di perairan Kabupaten Bintan sebesar

314,6 kg/ha dengan ukuran panjang ikan berkisar antara 15 – 25 cm dengan berat berkisar

antara 50 gr – 150 gr, hal ini menunjukkan bahwa ikan-ikan target yang ditemukan di

perairan Bintan umumnya merupakan ikan-ikan yang masih muda (adult). Biomas dari

masing-masing suku yang ditemukan di perairan Bintan dapat dilihat padat Tabel 7 di bawah

ini.

Page 54: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 31

Tabel 7. Total biomasa dari sepuluh suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Utara, Kabupaten Bintan, 2014 .

No Suku

Biomasa

(kg/ha)

1 CAESIONIDAE 176,7

2 LUTJANIDAE 69,7

3 SCARIDAE 29,5

4 MULIDAE 12

5 NEMIPTERIDAE 12,3

6 SERRANIDAE 14,8

7 LABRIDAE 10,9

8 SIGANIDAE 10,8

9 LETHRINIDAE 1

10. HAEMULIDAE 1,1

Total 338,8

Pada Tabel 8 di bawah ini ditampilkan sepuluh jenis ikan target yang memiliki biomas

tertinggi pada empat belas stasiun penelitian di Kabupaten Bintan (kg/ha) . Jenis ikan Ekor

kuning Caesio teres tercatat memiliki biomasa tertinggi sebesar 168. Kg/ha ddiikuti jenis

Lutjanus carponotatus dan Upeneus tragulla masing – masing seberat 52 kg/ha kg dan 12

kg/ha.

Tabel 6. Kelimpahan individu ikan target berdasarkan dominansi jenis (KI = kelimpahan individu, densitas(ekor/m2) dan FK = frekuensi kehadiran .(%)

No Jenis Suku KI Densitas (ekor/m2)

FK (%)

1 Caesio teres Caesionidae 537 0,1096 79 2 Upeneus tragula Mulidae 106 0,0216 21 3 Lutjanus carponottatus Lutjanidae 90 0,0184 86 4 Scarus ghobban Scaridae 65 0,0133 71 5 Lutjanus fulviflamma Lutjanidae 37 0,0076 43 6 Lutjanus vitta Lutjanidae 34 0,0069 43 7 Lutjanus lineolatus Lutjanidae 33 0,0067 21 8 Cephalopholis boenak Serranidae 30 0,0061 71 9 Caesio caerulaurea Caesionidae 30 0,0061 7 10 Hemigymnus melapterus Labridae 28 0,0057 79

2.3.2. Estimasi Potensi Sediaan Cadang (Standing stock) ikan target

Untuk mendapatkan bobot berat ikan (biomass) dari panjang total individu setiap

spesies ikan target hasil sensus, maka digunakan nilai konstanta a dan b dari hasil-hasil

penelitian hubungan panjang berat beberapa spesies ikan. Nilai tersebut dapat diperoleh dari

website fishbase.

Total biomasa ikan target hasil sensus visual di perairan Kabupaten Bintan sebesar

314,6 kg/ha dengan ukuran panjang ikan berkisar antara 15 – 25 cm dengan berat berkisar

antara 50 gr – 150 gr, hal ini menunjukkan bahwa ikan-ikan target yang ditemukan di

perairan Bintan umumnya merupakan ikan-ikan yang masih muda (adult). Biomas dari

masing-masing suku yang ditemukan di perairan Bintan dapat dilihat padat Tabel 7 di bawah

ini.

Page 55: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201432

2.4. Megabentos

Sampling biota megabentos dilakukan bersamaan dengan sampling karang dan ikan

karang di garis transek yang sama, yang berbeda ialah pada luasnya bidang pengamatan .

hasil pengamatan diuraikan selanjutnya.

2.4.1. Komposisi Biota Megabentos

Fauna megabentos yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan adalah sebanyak 5

jenis dengan total individu 1629 individu. Megabenthos yang ditemukan terbagi dalam 2

kelompok, yaitu Ekinodermata terdiri dari Acanthaster planci dan Diadema sp. (2 jenis) dan

kelompok Moluska terdiri dari Drupella spp., Tridacna sp. dan Trochus sp. Jumlah jenis

terbanyak terdapat di stasiun KRIL16 (4 jenis) sedangkan yang terendah di stasiun KRIL74,

KRIL81 dan KRIL90 (masing-masing 2 jenis). Secara umum kehadiran jenis-jenis

megabentos relatif merata pada setiap stasiun pengamatan (Tabel 10).

Dilihat dari jumlah individu, stasiun KRIL14 memilik jumlah individu tertinggi, yaitu

sebanyak 305 individu/m2, diikuti KRIL17 (203 individu/m2) dan KRIL85 (181 individu/m2).

Kontribusi Diadema sp. terhadap tingginya jumlah individu megabentos pada stasiun

KRIL14 sangat dominan, sebesar 92,79% dari total individu pada stasiun tersebut. Jenis ini

memiliki sebaran yang sangat luas dan hadir pada semua stasiun pengamatan. Sedangkan

jumlah individu terendah di catat pada stasiun KRIL81 (3 individu/m2) dan hanya terdiri dari

2 jenis megabentos yaitu Diadema sp. dan Drupella sp. Jumlah individu dan jenis

megabentos yang ditemukan pada masing-masing stasiun ditampilkan pada Gambar 9.

Hasil pengamatan menunjukkan jumlah individu dari setiap jenis yang ditemukan pada

masing-masing stasiun didominasi oleh kehadiran Diadema sp. Kehadiran jenis ini erat

kaitannya dengan substrat sebagai tempat hidup, ketersediaan makanan serta mampu

beradaptasi dengan lingkungan. Hampir semua stasiun pengamatan memiliki substrat yang

didominasi oleh pasir. Umumnya jenis ini sering ditemukan dalam jumlah individu yang

menonjol pada substrat pasir dengan kondisi perairan yang relatif tenang. Diadema termasuk

hewan herbivor, makanan utama Diadema setosum dan bintang laut lainnya adalah alga

bentik (Collin & Arnesson 1995).

Walaupun memiliki jumlah individu yang jauh lebih sedikit dibandingkan Diadema

sp., Drupella sp. dan Tridacna sp. memiliki sebaran yang cukup luas. Dimana dari 14 stasiun

yang diamati kedua jenis ini dicatat hadir pada 13 dan 10 stasiun. Kehadiran Drupella

berghubungan dengan jenis-jenis karang yang menjadi makanan utamanya. Beberapa

Tabel 8. Sepuluh jenis ikan target dengan total nilai biomasa, hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Utara,Kabupaten Bintan , 2014.

No Jenis

Nama Indonesia

Taksiran Selang

panjang (cm)

Kelimpahan (ekor/ha)

Biomasa (Kg/ha)

1. Caesio teres Ekor kuning 20 1096 168 2 Lutjanus carponottatus Kakap 25 184 52 3 Upeneus tragula Mulut Tikus 15 216 12 4 Scarus sordidus Kakatua 20 45 10 5 Scarus ghobban Kakatua 15 133 9 6 Lutjanus lineolatus Kakap 20 67 8 7 Siganus virgatus Beronang 20 41 7 8 Scarus dimidiatus Kakatua 20 37 6 9 Cheilinus fasciatus Keling 20 37 6 10 Lutjanus fulviflamma Kakap 15 76 5

Biomas dari beberapa jenis ikan Target Kelompok Utama seperti Kerapu, Kakap, Lencam, Beronang, Bibir tebal dan Ikan Napoleon dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini. Tabel 9. Biomas dari beberapa jenis ikan Target Kelompok Utama hasil studi baseline dengan

metode UVC di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan , 2014.

No Nama Latin Nama Indonesia

Taksiran Selang panjang

(cm)

Densitas (ekor/ha)

Biomas (Kg/ha)

1 Lutjanus vitta Kakap 15 69 4 2 Cephalopholis boenak Kerapu 15 61 3 3 Cephalopholis urodeta Kerapu 15 43 2 4 Plectropomus truncatus Kerapu 25 10 2 5 Siganus corralinus Beronang 20 10 2 6 Plectropomus leopardus Kerapu 20 10 1 7 Cheilinus undulatus Napoleon 25 4 1 8 Lutjanus russelli Kakap 25 4 1 9 Lethrinus harak Lencam 15 6 0

10 Lethrinus ornatus Lencam 15 8 0 11 Cephalopholis argus Kerapu 15 6 0 12 Lutjanus decussatus Kakap 15 4 0 13 Plectorhinchus chaetodonoides Bibir tebal 10 4 0

Page 56: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 33

2.4. Megabentos

Sampling biota megabentos dilakukan bersamaan dengan sampling karang dan ikan

karang di garis transek yang sama, yang berbeda ialah pada luasnya bidang pengamatan .

hasil pengamatan diuraikan selanjutnya.

2.4.1. Komposisi Biota Megabentos

Fauna megabentos yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan adalah sebanyak 5

jenis dengan total individu 1629 individu. Megabenthos yang ditemukan terbagi dalam 2

kelompok, yaitu Ekinodermata terdiri dari Acanthaster planci dan Diadema sp. (2 jenis) dan

kelompok Moluska terdiri dari Drupella spp., Tridacna sp. dan Trochus sp. Jumlah jenis

terbanyak terdapat di stasiun KRIL16 (4 jenis) sedangkan yang terendah di stasiun KRIL74,

KRIL81 dan KRIL90 (masing-masing 2 jenis). Secara umum kehadiran jenis-jenis

megabentos relatif merata pada setiap stasiun pengamatan (Tabel 10).

Dilihat dari jumlah individu, stasiun KRIL14 memilik jumlah individu tertinggi, yaitu

sebanyak 305 individu/m2, diikuti KRIL17 (203 individu/m2) dan KRIL85 (181 individu/m2).

Kontribusi Diadema sp. terhadap tingginya jumlah individu megabentos pada stasiun

KRIL14 sangat dominan, sebesar 92,79% dari total individu pada stasiun tersebut. Jenis ini

memiliki sebaran yang sangat luas dan hadir pada semua stasiun pengamatan. Sedangkan

jumlah individu terendah di catat pada stasiun KRIL81 (3 individu/m2) dan hanya terdiri dari

2 jenis megabentos yaitu Diadema sp. dan Drupella sp. Jumlah individu dan jenis

megabentos yang ditemukan pada masing-masing stasiun ditampilkan pada Gambar 9.

Hasil pengamatan menunjukkan jumlah individu dari setiap jenis yang ditemukan pada

masing-masing stasiun didominasi oleh kehadiran Diadema sp. Kehadiran jenis ini erat

kaitannya dengan substrat sebagai tempat hidup, ketersediaan makanan serta mampu

beradaptasi dengan lingkungan. Hampir semua stasiun pengamatan memiliki substrat yang

didominasi oleh pasir. Umumnya jenis ini sering ditemukan dalam jumlah individu yang

menonjol pada substrat pasir dengan kondisi perairan yang relatif tenang. Diadema termasuk

hewan herbivor, makanan utama Diadema setosum dan bintang laut lainnya adalah alga

bentik (Collin & Arnesson 1995).

Walaupun memiliki jumlah individu yang jauh lebih sedikit dibandingkan Diadema

sp., Drupella sp. dan Tridacna sp. memiliki sebaran yang cukup luas. Dimana dari 14 stasiun

yang diamati kedua jenis ini dicatat hadir pada 13 dan 10 stasiun. Kehadiran Drupella

berghubungan dengan jenis-jenis karang yang menjadi makanan utamanya. Beberapa

Tabel 8. Sepuluh jenis ikan target dengan total nilai biomasa, hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Utara,Kabupaten Bintan , 2014.

No Jenis

Nama Indonesia

Taksiran Selang

panjang (cm)

Kelimpahan (ekor/ha)

Biomasa (Kg/ha)

1. Caesio teres Ekor kuning 20 1096 168 2 Lutjanus carponottatus Kakap 25 184 52 3 Upeneus tragula Mulut Tikus 15 216 12 4 Scarus sordidus Kakatua 20 45 10 5 Scarus ghobban Kakatua 15 133 9 6 Lutjanus lineolatus Kakap 20 67 8 7 Siganus virgatus Beronang 20 41 7 8 Scarus dimidiatus Kakatua 20 37 6 9 Cheilinus fasciatus Keling 20 37 6 10 Lutjanus fulviflamma Kakap 15 76 5

Biomas dari beberapa jenis ikan Target Kelompok Utama seperti Kerapu, Kakap, Lencam, Beronang, Bibir tebal dan Ikan Napoleon dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini. Tabel 9. Biomas dari beberapa jenis ikan Target Kelompok Utama hasil studi baseline dengan

metode UVC di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan , 2014.

No Nama Latin Nama Indonesia

Taksiran Selang panjang

(cm)

Densitas (ekor/ha)

Biomas (Kg/ha)

1 Lutjanus vitta Kakap 15 69 4 2 Cephalopholis boenak Kerapu 15 61 3 3 Cephalopholis urodeta Kerapu 15 43 2 4 Plectropomus truncatus Kerapu 25 10 2 5 Siganus corralinus Beronang 20 10 2 6 Plectropomus leopardus Kerapu 20 10 1 7 Cheilinus undulatus Napoleon 25 4 1 8 Lutjanus russelli Kakap 25 4 1 9 Lethrinus harak Lencam 15 6 0

10 Lethrinus ornatus Lencam 15 8 0 11 Cephalopholis argus Kerapu 15 6 0 12 Lutjanus decussatus Kakap 15 4 0 13 Plectorhinchus chaetodonoides Bibir tebal 10 4 0

Page 57: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201434

Acanthaster plancii dan Trochus sp. hanya hadir sekali yaitu pada stasiun KRIL16 dan

KRIL17 dengan jumlah individu yang sangat sediki, masing-masing 1 individu. Trochus sp.

(lola) selalu hidup dan muda ditemukan pada rataan terumbu yang banyak tumbuh mikroalga

dan merupakan makan utamanya. Lola hidup pada habitat terumbu karang dengan gelombang

yang cukup besar. Kepadatan dan distribusi lola berhubungan dengan kedalaman perairan dan

serta ketersediaan mikroalga sebagai sumber makanan. Tidak hadirnya jenis-jenis biota

ekonomis penting lainnya seperti Teripang, Lobster atau banded coral shrimp dapat saja

disebabkan oleh substrat dan kondisi perairan sebagai tempat hidup yang tidak sesuai.

Sebagaimana diketahui bahwa hampir semua stasiun dalam pengamatan ini berada di pulau-

pulau kecil dengan perairannya yang keruh. Wibowo et al. 1997) menyatakan teripang

menyukai perairan yang jernih, relatif tenang serta bebas dari polusi dengan mutu air yang

cukup baik. Penyebaran biota dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti intensitas cahaya,

suhu, salinitas dan makanan (Cox & Moore, 2002). Secara umum, kehadiran jenis

megabentos pada setiap stasiun pengamatan relatif sama dan hanya berbeda dalam jumlah

individu.

Gambar 9. Jumlah individu dan jenis megabentos hasil studi baseline dengan metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.

2.4.2. Nilai indeks keanekaraganman dan indeks kemerataan

Perhitungan nilai indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan jenis (J’) pada setiap

stasiun pengamatan cukup bervariasi, nilai keragaman yang didapat berkisar antara 0,06 –

0,72 dan nilai kemerataan jenis (J’) berkisar antara 0,11 – 0,92 (Tabel 2). Stasiun KRIL16

00,511,522,533,544,5

050

100150200250300350

KR

IL13

KR

IL14

KR

IL15

KR

IL16

KR

IL17

KR

IL18

KR

IL74

KR

IL77

KR

IL81

KR

IL85

KR

IL90

KR

IL92

KR

IL A

KR

IL B

Jum

lah

Jeni

s

Jum

lah

Indi

vidu

Jumlah Jenis Jumlah Individu

penelitian mengatakan bahwa kehadiran Drupella pada suatu koloni karang erat kaitannya

dengan kondisi kesehatan terumbu karang, dan umumnya cenderung menempel pada koloni

karang yang tidak sehat. Menurut Jimenez at al. (2012), ada tidaknya Drupella sp. pada

ekosistem terumbu karang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan. Drupella

umumnya menyukai perairan dengan arus yang lambat (Schumacher 1992). Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa selain kondisi perairan yang tidak sesuai, rendahnya

keragaman jenis-jenis karang sebagai target makanannya juga dapat menjadi penyebab

berkurangnya kehadiran Drupella pada setiap stasiun di perairan ini.

Kondisi yang sama juga terjadi pada Tridacna sp. (kima) yang memiliki jumlah total

individu sebanyak 23 individu/m2, dimana jumlah individu tertinggi ada pada stasiun KRIL14

dan KRIL15 (masing-masing 5 individ/m2). Dengan cara makan yang menyaring makanan

(filter feeder) dari dalam air, kima cenderung memilih untuk hidup pada perairan yang jernih.

Untuk bisa mendapatkan makan maka zooxanthella yang hidup bersimbiosis dengan kima

membutuhkan sinar matahari untuk bisa melakukan proses fotosintesa. Tridacna adalah biota

yang hidupnya berkelompok, hal ini erat kaitannya dengan cara memijah yang disebut

simultan hermaphrodite. Dimana pada saat satu kima dewasa melakukan pemijahan, sel telur

yang terbawa arus akan merangsang induk kima lain yang berada disekitarnya untuk memijah

pula. Dan hal ini akan sulit terjadi bila hanya ada 1 atau 2 individu kima pada satu luasan

perairan terumbu. Kondisi seperti ini dapat menghambat jenis tersebut untuk beregenerasi.

. Tabel 10. Komposisi jenis dan sebaran individu megabentos, hasil studi baseline dengan

metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.

Stasiun Ekinodermata Moluska Acanthaster planci Diadema sp. Drupella sp. Tridacna sp. (kima) Trochus sp. (lola)

KRIL13 0 121 7 4 0 KRIL14 0 283 17 5 0 KRIL15 0 144 39 5 0 KRIL16 0 47 12 3 1 KRIL17 1 201 0 1 0 KRIL18 0 57 28 1 0 KRIL74 0 86 22 0 0 KRIL77 0 72 3 1 0 KRIL81 0 2 1 0 0 KRIL85 0 177 3 1 0 KRIL90 0 45 7 0 0 KRIL92 0 16 3 71 0 KRIL A 0 117 7 1 0 KRIL B 0 82 5 1 0

Page 58: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 35

Acanthaster plancii dan Trochus sp. hanya hadir sekali yaitu pada stasiun KRIL16 dan

KRIL17 dengan jumlah individu yang sangat sediki, masing-masing 1 individu. Trochus sp.

(lola) selalu hidup dan muda ditemukan pada rataan terumbu yang banyak tumbuh mikroalga

dan merupakan makan utamanya. Lola hidup pada habitat terumbu karang dengan gelombang

yang cukup besar. Kepadatan dan distribusi lola berhubungan dengan kedalaman perairan dan

serta ketersediaan mikroalga sebagai sumber makanan. Tidak hadirnya jenis-jenis biota

ekonomis penting lainnya seperti Teripang, Lobster atau banded coral shrimp dapat saja

disebabkan oleh substrat dan kondisi perairan sebagai tempat hidup yang tidak sesuai.

Sebagaimana diketahui bahwa hampir semua stasiun dalam pengamatan ini berada di pulau-

pulau kecil dengan perairannya yang keruh. Wibowo et al. 1997) menyatakan teripang

menyukai perairan yang jernih, relatif tenang serta bebas dari polusi dengan mutu air yang

cukup baik. Penyebaran biota dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti intensitas cahaya,

suhu, salinitas dan makanan (Cox & Moore, 2002). Secara umum, kehadiran jenis

megabentos pada setiap stasiun pengamatan relatif sama dan hanya berbeda dalam jumlah

individu.

Gambar 9. Jumlah individu dan jenis megabentos hasil studi baseline dengan metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.

2.4.2. Nilai indeks keanekaraganman dan indeks kemerataan

Perhitungan nilai indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan jenis (J’) pada setiap

stasiun pengamatan cukup bervariasi, nilai keragaman yang didapat berkisar antara 0,06 –

0,72 dan nilai kemerataan jenis (J’) berkisar antara 0,11 – 0,92 (Tabel 2). Stasiun KRIL16

00,511,522,533,544,5

050

100150200250300350

KR

IL13

KR

IL14

KR

IL15

KR

IL16

KR

IL17

KR

IL18

KR

IL74

KR

IL77

KR

IL81

KR

IL85

KR

IL90

KR

IL92

KR

IL A

KR

IL B

Jum

lah

Jeni

s

Jum

lah

Indi

vidu

Jumlah Jenis Jumlah Individu

penelitian mengatakan bahwa kehadiran Drupella pada suatu koloni karang erat kaitannya

dengan kondisi kesehatan terumbu karang, dan umumnya cenderung menempel pada koloni

karang yang tidak sehat. Menurut Jimenez at al. (2012), ada tidaknya Drupella sp. pada

ekosistem terumbu karang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan. Drupella

umumnya menyukai perairan dengan arus yang lambat (Schumacher 1992). Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa selain kondisi perairan yang tidak sesuai, rendahnya

keragaman jenis-jenis karang sebagai target makanannya juga dapat menjadi penyebab

berkurangnya kehadiran Drupella pada setiap stasiun di perairan ini.

Kondisi yang sama juga terjadi pada Tridacna sp. (kima) yang memiliki jumlah total

individu sebanyak 23 individu/m2, dimana jumlah individu tertinggi ada pada stasiun KRIL14

dan KRIL15 (masing-masing 5 individ/m2). Dengan cara makan yang menyaring makanan

(filter feeder) dari dalam air, kima cenderung memilih untuk hidup pada perairan yang jernih.

Untuk bisa mendapatkan makan maka zooxanthella yang hidup bersimbiosis dengan kima

membutuhkan sinar matahari untuk bisa melakukan proses fotosintesa. Tridacna adalah biota

yang hidupnya berkelompok, hal ini erat kaitannya dengan cara memijah yang disebut

simultan hermaphrodite. Dimana pada saat satu kima dewasa melakukan pemijahan, sel telur

yang terbawa arus akan merangsang induk kima lain yang berada disekitarnya untuk memijah

pula. Dan hal ini akan sulit terjadi bila hanya ada 1 atau 2 individu kima pada satu luasan

perairan terumbu. Kondisi seperti ini dapat menghambat jenis tersebut untuk beregenerasi.

. Tabel 10. Komposisi jenis dan sebaran individu megabentos, hasil studi baseline dengan

metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.

Stasiun Ekinodermata Moluska Acanthaster planci Diadema sp. Drupella sp. Tridacna sp. (kima) Trochus sp. (lola)

KRIL13 0 121 7 4 0 KRIL14 0 283 17 5 0 KRIL15 0 144 39 5 0 KRIL16 0 47 12 3 1 KRIL17 1 201 0 1 0 KRIL18 0 57 28 1 0 KRIL74 0 86 22 0 0 KRIL77 0 72 3 1 0 KRIL81 0 2 1 0 0 KRIL85 0 177 3 1 0 KRIL90 0 45 7 0 0 KRIL92 0 16 3 71 0 KRIL A 0 117 7 1 0 KRIL B 0 82 5 1 0

Page 59: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201436

2.5. Mangrove

Untuk mangrove, telah dilakukan pencatatan data, dengan menggunakan metode

transek garis dan fotografi hemisfer yang telah disepakati untuk pelaksanaan monitoring

mangrove di kawasan COREMAP-CTI. Metode fotografi mengacu kepada penelitian

Jenning et al. (1999) yang dimodifikasi. Metode transek garis dibuat dan pada setiap zona

dibuat plot berukuran 10x10 m2 di sepanjang transek garis untuk diukur diameter pohon pada

ketinggian dada (DBH) yang memiliki lingkar batang minimal 16 cm. Dicatat jenis yang

tumbuh didalam plot mengacu pada kepada Tomlinson (1986), Giesen et al. (2002) dan Noor

et al. (2002) serta dihitung lingkar batang dan jumlah pohon di setiap plot. Metode fotografi

dilakukan pada empat kuadran disetiap plot penelitian. Pada setiap kuadran dilakukan

pengambilan foto kearah langit. Foto dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak

imageJ dengan menggunakan analisis perbandingan pixel.

2.5.1. Persentase tutupan mangrove

Hasil pengamatan disajikan dalam Tabel 12. Hasil persentasi tutupan mangrove di

lokasi pengamatan ditampilkan dalam peta pada Gambar 9.

Gambar 10. Peta persentase tutupan mangrove hasil transek di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan 2014

memiliki nilai keragaman tertinggi (0,74) sedangkan nilai kemerataan jenis tertinggi dicatat

pada stasiun KRIL (0,92). Tingginya nilai keanekargaman jenis disebabkan oleh hadirnya

jumlah jenis megabentos pada stasiun terseebut. Sedangkan tingginya nilai kemerataan

menunjukkan bahwa setiap jenis megabentos yang ditemukan pada stasiun tersebut memiliki

jumlah individu yang berimbang atau tersebar merata untuk setiap jenis. Nilai indeks

keragaman dan kemerataan jenis terendah terdapat di stasiun KRIL, masing-masing 0,06 dan

0,05. Rendahnya nilai ini disebabkan oleh sedikitnya jenis megabentos yang ditemukan juga

ada pemusatan jumlah individu pada jenis Diadema sp. yang dicatat sebanyak 201 individu

(99,01%) dari jumlah total individu pada stasiun tersebut (203 individu). Kemerataan jenis

akan tinggi, bila tidak ada dominasi atau pemusatan individu pada suatu jenis tertentu

(ODUM (1993).

Nilai rata-rata hasil perhitungan indeks struktur komunitas pada perairan ini

menunjukkan bahwa keragaman dan kemerataan jenis megabentos relatif rendah (masing-

masing 0,42 dan 0,43). Hal ini disebabkan oleh sedikitnya kehadiran jenis-jenis megabentos

pada setiap stasiun pengamatan serta tidak meratanya persebaran individu pada setiap jenis

yang diwakilinya. Diduga kondisi perairan yang keruh dan tipe habitat yang tidak sesuai

dapat mempengaruhi kehadiran jenis-jenis megabentos khususnya dari kelompok moluska

dan ekhinodermata seperti Tridacna spp., Trochus sp. dan Holuthurian, yang lebih menyukai

perairan jernih sebagai tempat hidupnya.

Tabel 11. Nilai indek keanekaragaman (H) dan kemerataan jenis (J’) pada masing-masing stasiun pengamatan.

Stasiun

S

N

H

J' KRIL13 3 132 0.34 0.31 KRIL14 3 305 0.3 0.27 KRIL15 3 188 0.63 0.57 KRIL16 4 63 0.74 0.54 KRIL17 3 203 0.06 0.05 KRIL18 3 86 0.69 0.63 KRIL74 2 108 0.51 0.73 KRIL77 3 76 0.24 0.21 KRIL81 2 3 0.66 0.92 KRIL85 3 181 0.12 0.11 KRIL90 2 52 0.4 0.57 KRIL92 3 90 0.61 0.55 KRIL A 3 125 0.26 0.24 KRIL B 3 88 0.28 0.25

Page 60: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 37

2.5. Mangrove

Untuk mangrove, telah dilakukan pencatatan data, dengan menggunakan metode

transek garis dan fotografi hemisfer yang telah disepakati untuk pelaksanaan monitoring

mangrove di kawasan COREMAP-CTI. Metode fotografi mengacu kepada penelitian

Jenning et al. (1999) yang dimodifikasi. Metode transek garis dibuat dan pada setiap zona

dibuat plot berukuran 10x10 m2 di sepanjang transek garis untuk diukur diameter pohon pada

ketinggian dada (DBH) yang memiliki lingkar batang minimal 16 cm. Dicatat jenis yang

tumbuh didalam plot mengacu pada kepada Tomlinson (1986), Giesen et al. (2002) dan Noor

et al. (2002) serta dihitung lingkar batang dan jumlah pohon di setiap plot. Metode fotografi

dilakukan pada empat kuadran disetiap plot penelitian. Pada setiap kuadran dilakukan

pengambilan foto kearah langit. Foto dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak

imageJ dengan menggunakan analisis perbandingan pixel.

2.5.1. Persentase tutupan mangrove

Hasil pengamatan disajikan dalam Tabel 12. Hasil persentasi tutupan mangrove di

lokasi pengamatan ditampilkan dalam peta pada Gambar 9.

Gambar 10. Peta persentase tutupan mangrove hasil transek di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan 2014

memiliki nilai keragaman tertinggi (0,74) sedangkan nilai kemerataan jenis tertinggi dicatat

pada stasiun KRIL (0,92). Tingginya nilai keanekargaman jenis disebabkan oleh hadirnya

jumlah jenis megabentos pada stasiun terseebut. Sedangkan tingginya nilai kemerataan

menunjukkan bahwa setiap jenis megabentos yang ditemukan pada stasiun tersebut memiliki

jumlah individu yang berimbang atau tersebar merata untuk setiap jenis. Nilai indeks

keragaman dan kemerataan jenis terendah terdapat di stasiun KRIL, masing-masing 0,06 dan

0,05. Rendahnya nilai ini disebabkan oleh sedikitnya jenis megabentos yang ditemukan juga

ada pemusatan jumlah individu pada jenis Diadema sp. yang dicatat sebanyak 201 individu

(99,01%) dari jumlah total individu pada stasiun tersebut (203 individu). Kemerataan jenis

akan tinggi, bila tidak ada dominasi atau pemusatan individu pada suatu jenis tertentu

(ODUM (1993).

Nilai rata-rata hasil perhitungan indeks struktur komunitas pada perairan ini

menunjukkan bahwa keragaman dan kemerataan jenis megabentos relatif rendah (masing-

masing 0,42 dan 0,43). Hal ini disebabkan oleh sedikitnya kehadiran jenis-jenis megabentos

pada setiap stasiun pengamatan serta tidak meratanya persebaran individu pada setiap jenis

yang diwakilinya. Diduga kondisi perairan yang keruh dan tipe habitat yang tidak sesuai

dapat mempengaruhi kehadiran jenis-jenis megabentos khususnya dari kelompok moluska

dan ekhinodermata seperti Tridacna spp., Trochus sp. dan Holuthurian, yang lebih menyukai

perairan jernih sebagai tempat hidupnya.

Tabel 11. Nilai indek keanekaragaman (H) dan kemerataan jenis (J’) pada masing-masing stasiun pengamatan.

Stasiun

S

N

H

J' KRIL13 3 132 0.34 0.31 KRIL14 3 305 0.3 0.27 KRIL15 3 188 0.63 0.57 KRIL16 4 63 0.74 0.54 KRIL17 3 203 0.06 0.05 KRIL18 3 86 0.69 0.63 KRIL74 2 108 0.51 0.73 KRIL77 3 76 0.24 0.21 KRIL81 2 3 0.66 0.92 KRIL85 3 181 0.12 0.11 KRIL90 2 52 0.4 0.57 KRIL92 3 90 0.61 0.55 KRIL A 3 125 0.26 0.24 KRIL B 3 88 0.28 0.25

Page 61: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201438

Di stasiun Pulau Numbing yang memiliki nilai persentase tutupan mangrove dan

kerapatan pohon yang tinggi hanya terdiri jadi satu species, Rhizophora apiculata. Hal ini

disebabkan karena kawasan tersebut memiliki substrat pasir lumpuran yang sangat

mendukung pertumbuhan jenis tersebut. Marga Bruguierra dan Xylocarpus ditemukan di

kawasan ini namun ukuran lingkar batangnya masih kecil.

Dua stasiun di Pulau Pangkil, BINM03 dan BINM04 memiliki perbedaan pada

kondisi substrat dan arus. Stasiun BINM03 didominasi oleh substrat pasir berbatu dan

merupakan wilayah dengan arus yang cukup kuat. Oleh karena itu, kawasan BINM03

memiliki substrat yang padat dan tidak berlumpur sehingga rendah organik. Jenis yang

mendominasi di kawasan ini adalah Bruguierra gymnorrhiza. Kawasan BINM04 memiliki

substrat yang yang lebih berlumpur dan sedikit lebih terlindung dibandingkan dengan

BINM03. Jenis yang mendominasi di kawasan ini adalah Rhizophora stylosa dengan indeks

nilai penting 127.87%. Kawasan BINM03 yang lebih dinamis dibandingkan dengan BINM04

memiliki keanekaragaman jenis lebih tinggi.

Satu stasiun di kawasan muara Sungai Kawal, BINM05, merupakan salah satu

wilayah yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Pada kawasan ini ditemukan enam

jenis mangrove yang didominasi oleh kelompok Rhizophora,. Kawasan Sungai Kawal

memiliki keragaman substrat yang cukup tinggi. Pada transek yang dekat dengan muara

sungai, substrat didominasi oleh lumpuran sedangkan pada wilayah yang lebih jauh dari

sungai memiliki substrat berpasir. Hal ini yang menyebabkan keanekaragaman jenis

mangrove cukup tinggi. Persentase tutupan mangrove di kawasan ini mencapai 75.07 ±

7.07% dengan kerapatan 1188.89 ± 483.33 pohon/ha. Nilai ini menunjukkan bahwa kondisi

komunitas mangrove di muara Sungai Kawal termasuk dalam kategori baik.

Stasiun Pulau Beralas Bakau, merupakan satu-satunya stasiun penelitian di wilayah

utara kawasan konservasi. Pulau ini memiliki substrat pasir dengan kondisi perairan yang

cukup dinamis. Stasiun BINM06 didominasi dengan baik oleh R. mucronata dengan nilai

INP 125.95%. Kondisi komunitas mangrove di stasiun BINM06 tergolong baik dengan

persentase tutupan 71.34 ± 14.89% dan kerapatan pohon 1333.33 ± 321.46 pohon/ha.

Lokasi di Pulau Mapur, terdiri dari empat stasiun penelitian dimana semuanya

difokuskan pada wilayah selatan dan timur pulau. Stasiun di wilayah timur pulau, BINM10

memiliki hutan mangrove yang cukup lebar, dengan substrat bervariasi dari pasir lumpuran

sampai berlumpur menyebabkan keanekaragaman jenisnya yang cukup tinggi. Kondisi

komunitas mengrove pada stasiun tersebut juga paling baik diantara ketiga stasiun lainnya.

Tabel 12 . Jumlah jenis, persentase tutupan mangrove, kerapatan dan INP jenis pada sepuluh stasiun penelitian mangrove di pesisir Bintan Timur , Kabupaten Bintan, 2014.

No Lokasi Stasiun Jumlah Jenis

%cover Kerapatan INP

Max Min

1 Numbing BINM01 1 89.57 ± 3.71d 2400.00 ± 529.15 RA : 300.00% -

BINM02 1 89.44 ± 1.39d 2300.00 ± 264.58 RA : 300.00% -

2 Pangkil BINM03 4 63.96 ± 21.27a 950.00 ± 217.94 BG : 117.41% PA : 25.14%

BINM04 3 82.40 ± 7.01c 2266.67 ± 321.46 RS : 127.87% RM : 70.95%

3 Kawal BINM05 6 75.07 ± 7.07bc 1188.89 ± 483.33 RA : 158.42% RM : 12.372%

4 Beralas Bakau

BINM06 3 71.34 ± 14.89b 1333.33 ± 321.46 RM : 125.95% RS: 68.79%

5 Mapur

BINM07 2 74.25 ± 3.51bc 4133.33 ± 305.51 RS : 174.82% RA : 125.18%

BINM10 6 81.91 ± 3.85c 4200.00 ± 1449.14 RA : 115.52% LR : 8.79%

BINM09 3 76.94 ± 6.52bc 2600.00 ± 800.00 RA : 202.14% XG : 30.78%

BINM08 2 78.28 ± 1.19bc 1850.00 ± 1048.33 RA : 178.45% RS : 121.55%

abANOVA, huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan secara nyata pada nilai %tutupan dan kerapatan antar stasiun penelitian (P<0.05) xyANOVA, uji beda nyata digunakan untuk membedakan nilai %tutupan dan kerapatan antar pulau. *Indeks nilai penting tertinggi dan terendah dalam setiap stasiun penelitian. Keterangan: RA: Rhizophora apiculata; BG: Bruguierra gymnorrhiza; PA : Pemphis acidula; RS: R. stylosa; RM: R. mucronata; XG: Xylocarpus granatum; & LR : Lumnitzera racemosa.

2.5.2. Kondisi mangrove di masing-masing lokasi transek

Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove

dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara

63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Pulau Numbing memiliki persentase tutupan

mangrove yang paling tinggi di dua stasiun penelitiannya BINM01 dan BINM02 yang tidak

berbeda secara statistik (P<0.05). Persentase tutupan mangrove yang paling rendah

ditemukan di Pulau Mangkil, stasiun BINM03. Berdasarkan data kerapatan pohon, stasiun

BINM10 di Pulau Mapur memiliki kerapatan pohon tertinggi, yaitu 4.200,00 ± 1.449,14

pohon/ha sedangkan terendah di stasiun BINM03, Pulau Pangkil dengan kerapatan pohon

lebih kecil dari 1000. Berdasarkan hal tersebut kawasan hutan mangrove pada stasiun

BINM03 termasuk dalam kategori kurang baik/jarang.

Tabel 12 . Jumlah jenis, persentase tutupan mangrove, kerapatan dan INP jenis pada sepuluh stasiun penelitian mangrove di pesisir Bintan Timur , Kabupaten Bintan, 2014.

No Lokasi Stasiun Jumlah Jenis

%cover Kerapatan INP

Max Min

1 Numbing BINM01 1 89.57 ± 3.71d 2400.00 ± 529.15 RA : 300.00% -

BINM02 1 89.44 ± 1.39d 2300.00 ± 264.58 RA : 300.00% -

2 Pangkil BINM03 4 63.96 ± 21.27a 950.00 ± 217.94 BG : 117.41% PA : 25.14%

BINM04 3 82.40 ± 7.01c 2266.67 ± 321.46 RS : 127.87% RM : 70.95%

3 Kawal BINM05 6 75.07 ± 7.07bc 1188.89 ± 483.33 RA : 158.42% RM : 12.372%

4 Beralas Bakau

BINM06 3 71.34 ± 14.89b 1333.33 ± 321.46 RM : 125.95% RS: 68.79%

5 Mapur

BINM07 2 74.25 ± 3.51bc 4133.33 ± 305.51 RS : 174.82% RA : 125.18%

BINM10 6 81.91 ± 3.85c 4200.00 ± 1449.14 RA : 115.52% LR : 8.79%

BINM09 3 76.94 ± 6.52bc 2600.00 ± 800.00 RA : 202.14% XG : 30.78%

BINM08 2 78.28 ± 1.19bc 1850.00 ± 1048.33 RA : 178.45% RS : 121.55%

abANOVA, huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan secara nyata pada nilai %tutupan dan kerapatan antar stasiun penelitian (P<0.05) xyANOVA, uji beda nyata digunakan untuk membedakan nilai %tutupan dan kerapatan antar pulau. *Indeks nilai penting tertinggi dan terendah dalam setiap stasiun penelitian. Keterangan: RA: Rhizophora apiculata; BG: Bruguierra gymnorrhiza; PA : Pemphis acidula; RS: R. stylosa; RM: R. mucronata; XG: Xylocarpus granatum; & LR : Lumnitzera racemosa.

2.5.2. Kondisi mangrove di masing-masing lokasi transek

Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove

dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara

63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Pulau Numbing memiliki persentase tutupan

mangrove yang paling tinggi di dua stasiun penelitiannya BINM01 dan BINM02 yang tidak

berbeda secara statistik (P<0.05). Persentase tutupan mangrove yang paling rendah

ditemukan di Pulau Mangkil, stasiun BINM03. Berdasarkan data kerapatan pohon, stasiun

BINM10 di Pulau Mapur memiliki kerapatan pohon tertinggi, yaitu 4.200,00 ± 1.449,14

pohon/ha sedangkan terendah di stasiun BINM03, Pulau Pangkil dengan kerapatan pohon

lebih kecil dari 1000. Berdasarkan hal tersebut kawasan hutan mangrove pada stasiun

BINM03 termasuk dalam kategori kurang baik/jarang.

Tabel 12 . Jumlah jenis, persentase tutupan mangrove, kerapatan dan INP jenis pada sepuluh stasiun penelitian mangrove di pesisir Bintan Timur , Kabupaten Bintan, 2014.

No Lokasi Stasiun Jumlah Jenis

%cover Kerapatan INP

Max Min

1 Numbing BINM01 1 89.57 ± 3.71d 2400.00 ± 529.15 RA : 300.00% -

BINM02 1 89.44 ± 1.39d 2300.00 ± 264.58 RA : 300.00% -

2 Pangkil BINM03 4 63.96 ± 21.27a 950.00 ± 217.94 BG : 117.41% PA : 25.14%

BINM04 3 82.40 ± 7.01c 2266.67 ± 321.46 RS : 127.87% RM : 70.95%

3 Kawal BINM05 6 75.07 ± 7.07bc 1188.89 ± 483.33 RA : 158.42% RM : 12.372%

4 Beralas Bakau

BINM06 3 71.34 ± 14.89b 1333.33 ± 321.46 RM : 125.95% RS: 68.79%

5 Mapur

BINM07 2 74.25 ± 3.51bc 4133.33 ± 305.51 RS : 174.82% RA : 125.18%

BINM10 6 81.91 ± 3.85c 4200.00 ± 1449.14 RA : 115.52% LR : 8.79%

BINM09 3 76.94 ± 6.52bc 2600.00 ± 800.00 RA : 202.14% XG : 30.78%

BINM08 2 78.28 ± 1.19bc 1850.00 ± 1048.33 RA : 178.45% RS : 121.55%

abANOVA, huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan secara nyata pada nilai %tutupan dan kerapatan antar stasiun penelitian (P<0.05) xyANOVA, uji beda nyata digunakan untuk membedakan nilai %tutupan dan kerapatan antar pulau. *Indeks nilai penting tertinggi dan terendah dalam setiap stasiun penelitian. Keterangan: RA: Rhizophora apiculata; BG: Bruguierra gymnorrhiza; PA : Pemphis acidula; RS: R. stylosa; RM: R. mucronata; XG: Xylocarpus granatum; & LR : Lumnitzera racemosa.

2.5.2. Kondisi mangrove di masing-masing lokasi transek

Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove

dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara

63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Pulau Numbing memiliki persentase tutupan

mangrove yang paling tinggi di dua stasiun penelitiannya BINM01 dan BINM02 yang tidak

berbeda secara statistik (P<0.05). Persentase tutupan mangrove yang paling rendah

ditemukan di Pulau Mangkil, stasiun BINM03. Berdasarkan data kerapatan pohon, stasiun

BINM10 di Pulau Mapur memiliki kerapatan pohon tertinggi, yaitu 4.200,00 ± 1.449,14

pohon/ha sedangkan terendah di stasiun BINM03, Pulau Pangkil dengan kerapatan pohon

lebih kecil dari 1000. Berdasarkan hal tersebut kawasan hutan mangrove pada stasiun

BINM03 termasuk dalam kategori kurang baik/jarang.

Page 62: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 39

Di stasiun Pulau Numbing yang memiliki nilai persentase tutupan mangrove dan

kerapatan pohon yang tinggi hanya terdiri jadi satu species, Rhizophora apiculata. Hal ini

disebabkan karena kawasan tersebut memiliki substrat pasir lumpuran yang sangat

mendukung pertumbuhan jenis tersebut. Marga Bruguierra dan Xylocarpus ditemukan di

kawasan ini namun ukuran lingkar batangnya masih kecil.

Dua stasiun di Pulau Pangkil, BINM03 dan BINM04 memiliki perbedaan pada

kondisi substrat dan arus. Stasiun BINM03 didominasi oleh substrat pasir berbatu dan

merupakan wilayah dengan arus yang cukup kuat. Oleh karena itu, kawasan BINM03

memiliki substrat yang padat dan tidak berlumpur sehingga rendah organik. Jenis yang

mendominasi di kawasan ini adalah Bruguierra gymnorrhiza. Kawasan BINM04 memiliki

substrat yang yang lebih berlumpur dan sedikit lebih terlindung dibandingkan dengan

BINM03. Jenis yang mendominasi di kawasan ini adalah Rhizophora stylosa dengan indeks

nilai penting 127.87%. Kawasan BINM03 yang lebih dinamis dibandingkan dengan BINM04

memiliki keanekaragaman jenis lebih tinggi.

Satu stasiun di kawasan muara Sungai Kawal, BINM05, merupakan salah satu

wilayah yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Pada kawasan ini ditemukan enam

jenis mangrove yang didominasi oleh kelompok Rhizophora,. Kawasan Sungai Kawal

memiliki keragaman substrat yang cukup tinggi. Pada transek yang dekat dengan muara

sungai, substrat didominasi oleh lumpuran sedangkan pada wilayah yang lebih jauh dari

sungai memiliki substrat berpasir. Hal ini yang menyebabkan keanekaragaman jenis

mangrove cukup tinggi. Persentase tutupan mangrove di kawasan ini mencapai 75.07 ±

7.07% dengan kerapatan 1188.89 ± 483.33 pohon/ha. Nilai ini menunjukkan bahwa kondisi

komunitas mangrove di muara Sungai Kawal termasuk dalam kategori baik.

Stasiun Pulau Beralas Bakau, merupakan satu-satunya stasiun penelitian di wilayah

utara kawasan konservasi. Pulau ini memiliki substrat pasir dengan kondisi perairan yang

cukup dinamis. Stasiun BINM06 didominasi dengan baik oleh R. mucronata dengan nilai

INP 125.95%. Kondisi komunitas mangrove di stasiun BINM06 tergolong baik dengan

persentase tutupan 71.34 ± 14.89% dan kerapatan pohon 1333.33 ± 321.46 pohon/ha.

Lokasi di Pulau Mapur, terdiri dari empat stasiun penelitian dimana semuanya

difokuskan pada wilayah selatan dan timur pulau. Stasiun di wilayah timur pulau, BINM10

memiliki hutan mangrove yang cukup lebar, dengan substrat bervariasi dari pasir lumpuran

sampai berlumpur menyebabkan keanekaragaman jenisnya yang cukup tinggi. Kondisi

komunitas mengrove pada stasiun tersebut juga paling baik diantara ketiga stasiun lainnya.

Tabel 12 . Jumlah jenis, persentase tutupan mangrove, kerapatan dan INP jenis pada sepuluh stasiun penelitian mangrove di pesisir Bintan Timur , Kabupaten Bintan, 2014.

No Lokasi Stasiun Jumlah Jenis

%cover Kerapatan INP

Max Min

1 Numbing BINM01 1 89.57 ± 3.71d 2400.00 ± 529.15 RA : 300.00% -

BINM02 1 89.44 ± 1.39d 2300.00 ± 264.58 RA : 300.00% -

2 Pangkil BINM03 4 63.96 ± 21.27a 950.00 ± 217.94 BG : 117.41% PA : 25.14%

BINM04 3 82.40 ± 7.01c 2266.67 ± 321.46 RS : 127.87% RM : 70.95%

3 Kawal BINM05 6 75.07 ± 7.07bc 1188.89 ± 483.33 RA : 158.42% RM : 12.372%

4 Beralas Bakau

BINM06 3 71.34 ± 14.89b 1333.33 ± 321.46 RM : 125.95% RS: 68.79%

5 Mapur

BINM07 2 74.25 ± 3.51bc 4133.33 ± 305.51 RS : 174.82% RA : 125.18%

BINM10 6 81.91 ± 3.85c 4200.00 ± 1449.14 RA : 115.52% LR : 8.79%

BINM09 3 76.94 ± 6.52bc 2600.00 ± 800.00 RA : 202.14% XG : 30.78%

BINM08 2 78.28 ± 1.19bc 1850.00 ± 1048.33 RA : 178.45% RS : 121.55%

abANOVA, huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan secara nyata pada nilai %tutupan dan kerapatan antar stasiun penelitian (P<0.05) xyANOVA, uji beda nyata digunakan untuk membedakan nilai %tutupan dan kerapatan antar pulau. *Indeks nilai penting tertinggi dan terendah dalam setiap stasiun penelitian. Keterangan: RA: Rhizophora apiculata; BG: Bruguierra gymnorrhiza; PA : Pemphis acidula; RS: R. stylosa; RM: R. mucronata; XG: Xylocarpus granatum; & LR : Lumnitzera racemosa.

2.5.2. Kondisi mangrove di masing-masing lokasi transek

Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove

dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara

63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Pulau Numbing memiliki persentase tutupan

mangrove yang paling tinggi di dua stasiun penelitiannya BINM01 dan BINM02 yang tidak

berbeda secara statistik (P<0.05). Persentase tutupan mangrove yang paling rendah

ditemukan di Pulau Mangkil, stasiun BINM03. Berdasarkan data kerapatan pohon, stasiun

BINM10 di Pulau Mapur memiliki kerapatan pohon tertinggi, yaitu 4.200,00 ± 1.449,14

pohon/ha sedangkan terendah di stasiun BINM03, Pulau Pangkil dengan kerapatan pohon

lebih kecil dari 1000. Berdasarkan hal tersebut kawasan hutan mangrove pada stasiun

BINM03 termasuk dalam kategori kurang baik/jarang.

Tabel 12 . Jumlah jenis, persentase tutupan mangrove, kerapatan dan INP jenis pada sepuluh stasiun penelitian mangrove di pesisir Bintan Timur , Kabupaten Bintan, 2014.

No Lokasi Stasiun Jumlah Jenis

%cover Kerapatan INP

Max Min

1 Numbing BINM01 1 89.57 ± 3.71d 2400.00 ± 529.15 RA : 300.00% -

BINM02 1 89.44 ± 1.39d 2300.00 ± 264.58 RA : 300.00% -

2 Pangkil BINM03 4 63.96 ± 21.27a 950.00 ± 217.94 BG : 117.41% PA : 25.14%

BINM04 3 82.40 ± 7.01c 2266.67 ± 321.46 RS : 127.87% RM : 70.95%

3 Kawal BINM05 6 75.07 ± 7.07bc 1188.89 ± 483.33 RA : 158.42% RM : 12.372%

4 Beralas Bakau

BINM06 3 71.34 ± 14.89b 1333.33 ± 321.46 RM : 125.95% RS: 68.79%

5 Mapur

BINM07 2 74.25 ± 3.51bc 4133.33 ± 305.51 RS : 174.82% RA : 125.18%

BINM10 6 81.91 ± 3.85c 4200.00 ± 1449.14 RA : 115.52% LR : 8.79%

BINM09 3 76.94 ± 6.52bc 2600.00 ± 800.00 RA : 202.14% XG : 30.78%

BINM08 2 78.28 ± 1.19bc 1850.00 ± 1048.33 RA : 178.45% RS : 121.55%

abANOVA, huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan secara nyata pada nilai %tutupan dan kerapatan antar stasiun penelitian (P<0.05) xyANOVA, uji beda nyata digunakan untuk membedakan nilai %tutupan dan kerapatan antar pulau. *Indeks nilai penting tertinggi dan terendah dalam setiap stasiun penelitian. Keterangan: RA: Rhizophora apiculata; BG: Bruguierra gymnorrhiza; PA : Pemphis acidula; RS: R. stylosa; RM: R. mucronata; XG: Xylocarpus granatum; & LR : Lumnitzera racemosa.

2.5.2. Kondisi mangrove di masing-masing lokasi transek

Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove

dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara

63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Pulau Numbing memiliki persentase tutupan

mangrove yang paling tinggi di dua stasiun penelitiannya BINM01 dan BINM02 yang tidak

berbeda secara statistik (P<0.05). Persentase tutupan mangrove yang paling rendah

ditemukan di Pulau Mangkil, stasiun BINM03. Berdasarkan data kerapatan pohon, stasiun

BINM10 di Pulau Mapur memiliki kerapatan pohon tertinggi, yaitu 4.200,00 ± 1.449,14

pohon/ha sedangkan terendah di stasiun BINM03, Pulau Pangkil dengan kerapatan pohon

lebih kecil dari 1000. Berdasarkan hal tersebut kawasan hutan mangrove pada stasiun

BINM03 termasuk dalam kategori kurang baik/jarang.

Page 63: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201440

2.6.2. Persentase Tutupan Lamun

Persentase penutupan lamun di setiap stasiun disajikan dalam peta, dan dapat dilihat

pada Gambar 11. Berdasarkan Ho et al. (2011), rata-rata stasiun memiliki lamun dengan

kategori cukup padat, dengan kisaran penutupan 34,38% – 64,55%, kecuali lamun di stasiun

KRILLM04 (Pulau Mapur) dan KRILLM08 (Numbing) termasuk kriteria jarang, masing-

masing 12.38 % dan 16.43%. Kedua stasiun tersebut disusun oleh dua jenis lamun, yaitu E.

acoroides dan T. hemprichii dengan persentase penutupan yang didominasi oleh E. acoroides

(Gambar 12). Morfologi E. acoroides dengan daun yang memanjang memberikan dampak

persentase tutupan yang kecil.

Gambar 11 . Peta persentase tutupan lamun hasil transek, di perairan Bintan Timur,

Kabupaten Bintan 2014.

Penutupan per jenis di setiap stasiun diilustrasikan dalam Gambar 12. Berdasarkan persentase

penutupan, jenis T. hemprichii dan E. acoroides paling melimpah pada semua transek

permanen di stasiun monitoring (dengan total lebih dari 50%). Jenis lainnya yang cukup

mendominasi adalah C. rotundata dan C. serrulata, sedangkan jenis yang lain memiliki

kelimpahan yang rendah.

Jenis yang mendominasi pada kawasan ini berasal dari kelompok Rhizophora, baik R.

apiculata maupun R. mucronata.

2.6. Lamun

2.6.1. Komposisi Jenis dan Kehadiran Lamun

Total lamun yang tercatat di seluruh transek permanen di Perairan Bintan adalah

sembilan jenis, yaitu Enhalus acoroides (Ea), Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea

rotundata (Cr), Cymodocea serrulata (Cs), Halodule uninervis (Hu), Halophila pinifolia

(Hp), Syringodium isoetifolium (Si), Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis (Ho) (Tabel

1). Dari ketiga lokasi, Pantai Trikora memiliki jumlah jenis lamun terbanyak (9 jenis),

sedangkan daerah Numbing dan Pulau Pangkil memilik jenis lamun paling sedikit (2 dan 3

jenis lamun).

E. acoroides dan T. hemprichii terdapat di semua stasiun monitoring (Tabel 13). Jenis lain

yang cukup tersebar juga adalah C. rotundata dan H. uninervis. Berbeda dengan T. ciliatum

dan H. pinifolia, masing-masing hanya terdapat di KRILLM02 dan KRILLM01.

Tabel 13. Komposisi dan kehadiran lamun di setiap stasiun pengamatan

No Lokasi Stasiun Jenis

Ea Th Cr Si Hu Cs Ho Hp Tc

1 Pantai Trikora & P. Beralas Pasir

KRILLM01 + + + + + + - + -

2 KRILLM02 + + + + + + + - +

3 KRILLM03 + + - + + + - - -

4

P. Mapur

KRILLM04 + + - - - - - - -

5 KRILLM05 + + + - + - + - -

6 KRILLM06 + + + - + + + - -

7 P. Pangkil KRILLM07 + + + - - - - - -

8 Numbing KRILLM08 + + - - - - - - -

Keterangan: + (hadir); – (absen) Ea (Enhalus acoroides), Th (Thalassia hemprichii), Cr (Cymodocea rotundata), Cs (Cymodocea serrulata), Hu (Halodule uninervis), Hp (Halodule pinifolia), Si (Syringodium isoetifolium), Tc (Thalassodendron ciliatum), Ho (Halodule ovalis)

Jenis yang mendominasi pada kawasan ini berasal dari kelompok Rhizophora, baik R.

apiculata maupun R. mucronata.

2.6. Lamun

2.6.1. Komposisi Jenis dan Kehadiran Lamun

Total lamun yang tercatat di seluruh transek permanen di Perairan Bintan adalah

sembilan jenis, yaitu Enhalus acoroides (Ea), Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea

rotundata (Cr), Cymodocea serrulata (Cs), Halodule uninervis (Hu), Halophila pinifolia

(Hp), Syringodium isoetifolium (Si), Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis (Ho) (Tabel

1). Dari ketiga lokasi, Pantai Trikora memiliki jumlah jenis lamun terbanyak (9 jenis),

sedangkan daerah Numbing dan Pulau Pangkil memilik jenis lamun paling sedikit (2 dan 3

jenis lamun).

E. acoroides dan T. hemprichii terdapat di semua stasiun monitoring (Tabel 13). Jenis lain

yang cukup tersebar juga adalah C. rotundata dan H. uninervis. Berbeda dengan T. ciliatum

dan H. pinifolia, masing-masing hanya terdapat di KRILLM02 dan KRILLM01.

Tabel 13. Komposisi dan kehadiran lamun di setiap stasiun pengamatan

No Lokasi Stasiun Jenis

Ea Th Cr Si Hu Cs Ho Hp Tc

1 Pantai Trikora & P. Beralas Pasir

KRILLM01 + + + + + + - + -

2 KRILLM02 + + + + + + + - +

3 KRILLM03 + + - + + + - - -

4

P. Mapur

KRILLM04 + + - - - - - - -

5 KRILLM05 + + + - + - + - -

6 KRILLM06 + + + - + + + - -

7 P. Pangkil KRILLM07 + + + - - - - - -

8 Numbing KRILLM08 + + - - - - - - -

Keterangan: + (hadir); – (absen) Ea (Enhalus acoroides), Th (Thalassia hemprichii), Cr (Cymodocea rotundata), Cs (Cymodocea serrulata), Hu (Halodule uninervis), Hp (Halodule pinifolia), Si (Syringodium isoetifolium), Tc (Thalassodendron ciliatum), Ho (Halodule ovalis)

Page 64: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 41

2.6.2. Persentase Tutupan Lamun

Persentase penutupan lamun di setiap stasiun disajikan dalam peta, dan dapat dilihat

pada Gambar 11. Berdasarkan Ho et al. (2011), rata-rata stasiun memiliki lamun dengan

kategori cukup padat, dengan kisaran penutupan 34,38% – 64,55%, kecuali lamun di stasiun

KRILLM04 (Pulau Mapur) dan KRILLM08 (Numbing) termasuk kriteria jarang, masing-

masing 12.38 % dan 16.43%. Kedua stasiun tersebut disusun oleh dua jenis lamun, yaitu E.

acoroides dan T. hemprichii dengan persentase penutupan yang didominasi oleh E. acoroides

(Gambar 12). Morfologi E. acoroides dengan daun yang memanjang memberikan dampak

persentase tutupan yang kecil.

Gambar 11 . Peta persentase tutupan lamun hasil transek, di perairan Bintan Timur,

Kabupaten Bintan 2014.

Penutupan per jenis di setiap stasiun diilustrasikan dalam Gambar 12. Berdasarkan persentase

penutupan, jenis T. hemprichii dan E. acoroides paling melimpah pada semua transek

permanen di stasiun monitoring (dengan total lebih dari 50%). Jenis lainnya yang cukup

mendominasi adalah C. rotundata dan C. serrulata, sedangkan jenis yang lain memiliki

kelimpahan yang rendah.

Jenis yang mendominasi pada kawasan ini berasal dari kelompok Rhizophora, baik R.

apiculata maupun R. mucronata.

2.6. Lamun

2.6.1. Komposisi Jenis dan Kehadiran Lamun

Total lamun yang tercatat di seluruh transek permanen di Perairan Bintan adalah

sembilan jenis, yaitu Enhalus acoroides (Ea), Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea

rotundata (Cr), Cymodocea serrulata (Cs), Halodule uninervis (Hu), Halophila pinifolia

(Hp), Syringodium isoetifolium (Si), Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis (Ho) (Tabel

1). Dari ketiga lokasi, Pantai Trikora memiliki jumlah jenis lamun terbanyak (9 jenis),

sedangkan daerah Numbing dan Pulau Pangkil memilik jenis lamun paling sedikit (2 dan 3

jenis lamun).

E. acoroides dan T. hemprichii terdapat di semua stasiun monitoring (Tabel 13). Jenis lain

yang cukup tersebar juga adalah C. rotundata dan H. uninervis. Berbeda dengan T. ciliatum

dan H. pinifolia, masing-masing hanya terdapat di KRILLM02 dan KRILLM01.

Tabel 13. Komposisi dan kehadiran lamun di setiap stasiun pengamatan

No Lokasi Stasiun Jenis

Ea Th Cr Si Hu Cs Ho Hp Tc

1 Pantai Trikora & P. Beralas Pasir

KRILLM01 + + + + + + - + -

2 KRILLM02 + + + + + + + - +

3 KRILLM03 + + - + + + - - -

4

P. Mapur

KRILLM04 + + - - - - - - -

5 KRILLM05 + + + - + - + - -

6 KRILLM06 + + + - + + + - -

7 P. Pangkil KRILLM07 + + + - - - - - -

8 Numbing KRILLM08 + + - - - - - - -

Keterangan: + (hadir); – (absen) Ea (Enhalus acoroides), Th (Thalassia hemprichii), Cr (Cymodocea rotundata), Cs (Cymodocea serrulata), Hu (Halodule uninervis), Hp (Halodule pinifolia), Si (Syringodium isoetifolium), Tc (Thalassodendron ciliatum), Ho (Halodule ovalis)

Page 65: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201442

Table 14. Rata-rata penutupan masing-masing jenis lamun di lokasi transek perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.

No

Sub Lokasi

Total tutupan

(%)

Tutupan / Jenis

Ea Th Cr Si Hu Cs Ho Hp Tc

1 Pantai Trikora dan P. Beralas Pasir

55.76 12.12 28.06 6.18 2.21 1.36 5.12 0.42 0.12 0.15

2 P. Mapur dan P. Pangkil

28.81 12.60 9.31 3.88 0.00 0.78 1.78 0.47 0.00 0.00

3 Numbing 16.43 15.71 0.71 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

4 Bintan (Keseluruhan)

38,38 12.49 16.15 0.90 2.90 0.94 4.51 0.05 0.37 0.06

Keterangan: Ea (Enhalus acoroides), Th (Thalassia hemprichii), Cr (Cymodocea rotundata), Cs

(Cymodocea serrulata), Hu (Halodule uninervis), Hp (Halodule pinifolia), Si (Syringodium isoetifolium), Tc (Thalassodendron ciliatum), Ho (Halodule ovalis).

Gambar12. Persentase tutupan masing-masing jenis lamun, di perairan Bintan Timur,

Kabupaten Bintan 2014.

Keterangan. Ea (Enhalus acoroides), Th (Thalassia hemprichii), Cr (Cymodocea rotundata), Cs (Cymodocea serrulata), Hu (Halodule uninervis), Hp (Halodule pinifolia), Si (Syringodium isoetifolium), Tc (Thalassodendron ciliatum), Ho (Halodule ovalis)

Hasil rata-rata penutupan lamun pada setiap sub lokasi dijabarkan pada Tabel 14.

Stasiun monitoring dikelompokan menjadi tiga berdasarkan arah mata angin dan jarak. Nilai

penutupan lamun terlihat jelas berbeda. Pantai Trikora dan P. Beralas Pasir memiliki yang

padat dan kondisi yang baik, sedangkan rata-rata di kedua sub lokasi memiliki nilai lamun

yang kurang baik (jarang). Rata-rata lamun secara keseluruhan pada transek permanen

monitoring lamun di Peraiaran Bintan menunjukkaan nilai 38,38 % dengan jenis dominan T.

hemprichii dan E. acoroides. Berdasarkan KepMEnLH No 200 Tahun 2004, kondisi lamun di

Perairan Bintan kurang sehat, namun berbeda halnya apabila dilihat per sub lokasi.

Page 66: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 43

Table 14. Rata-rata penutupan masing-masing jenis lamun di lokasi transek perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.

No

Sub Lokasi

Total tutupan

(%)

Tutupan / Jenis

Ea Th Cr Si Hu Cs Ho Hp Tc

1 Pantai Trikora dan P. Beralas Pasir

55.76 12.12 28.06 6.18 2.21 1.36 5.12 0.42 0.12 0.15

2 P. Mapur dan P. Pangkil

28.81 12.60 9.31 3.88 0.00 0.78 1.78 0.47 0.00 0.00

3 Numbing 16.43 15.71 0.71 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

4 Bintan (Keseluruhan)

38,38 12.49 16.15 0.90 2.90 0.94 4.51 0.05 0.37 0.06

Keterangan: Ea (Enhalus acoroides), Th (Thalassia hemprichii), Cr (Cymodocea rotundata), Cs

(Cymodocea serrulata), Hu (Halodule uninervis), Hp (Halodule pinifolia), Si (Syringodium isoetifolium), Tc (Thalassodendron ciliatum), Ho (Halodule ovalis).

Gambar12. Persentase tutupan masing-masing jenis lamun, di perairan Bintan Timur,

Kabupaten Bintan 2014.

Keterangan. Ea (Enhalus acoroides), Th (Thalassia hemprichii), Cr (Cymodocea rotundata), Cs (Cymodocea serrulata), Hu (Halodule uninervis), Hp (Halodule pinifolia), Si (Syringodium isoetifolium), Tc (Thalassodendron ciliatum), Ho (Halodule ovalis)

Hasil rata-rata penutupan lamun pada setiap sub lokasi dijabarkan pada Tabel 14.

Stasiun monitoring dikelompokan menjadi tiga berdasarkan arah mata angin dan jarak. Nilai

penutupan lamun terlihat jelas berbeda. Pantai Trikora dan P. Beralas Pasir memiliki yang

padat dan kondisi yang baik, sedangkan rata-rata di kedua sub lokasi memiliki nilai lamun

yang kurang baik (jarang). Rata-rata lamun secara keseluruhan pada transek permanen

monitoring lamun di Peraiaran Bintan menunjukkaan nilai 38,38 % dengan jenis dominan T.

hemprichii dan E. acoroides. Berdasarkan KepMEnLH No 200 Tahun 2004, kondisi lamun di

Perairan Bintan kurang sehat, namun berbeda halnya apabila dilihat per sub lokasi.

Page 67: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN

Secara umum , lokasi yang dipilih untuk kegiatan studi baseline di Periran Bintan

Timur, merupakan lokasi lama, pada saat COREMAP II, yang secara kebetulan masuk dalam

Kawasan Konsevasi Perairan Daerah, Kabupaten Bintan.

Kondisi karang di lokasi transek, tidak bisa dibandingkan dengan kondisi pada waktu

pengamatan di lokasi COREMAP II di tahun-tahun sebelumnya, mengingat metode yang

dipakai sekarang, berbeda dengan metode yang dipakai tahun sebelumnya. Juga dengan

adanya penambahan lokasi baru, sehingga kegiatan tahun ini benar-benar kegiatan mulai dari

awal (baseline).

Sedikit saran untuk metode UPT, untuk lokasi-lokasi dengan perairan jernih,

pengambilan foto bawah air tidak jadi masalah, sebaliknya di lokasi –lokasi dengan perairan

yang keruh, seperti di pesisir Bintan Timur, metode ini kurang efisien, mengingat harus

memerlukan perjuangan ekstra untuk mengambil gambar /foto. Kondisi dan kejadian seperti

ini perlu di evaluasi lagi.

Page 68: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 45

BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN

Secara umum , lokasi yang dipilih untuk kegiatan studi baseline di Periran Bintan

Timur, merupakan lokasi lama, pada saat COREMAP II, yang secara kebetulan masuk dalam

Kawasan Konsevasi Perairan Daerah, Kabupaten Bintan.

Kondisi karang di lokasi transek, tidak bisa dibandingkan dengan kondisi pada waktu

pengamatan di lokasi COREMAP II di tahun-tahun sebelumnya, mengingat metode yang

dipakai sekarang, berbeda dengan metode yang dipakai tahun sebelumnya. Juga dengan

adanya penambahan lokasi baru, sehingga kegiatan tahun ini benar-benar kegiatan mulai dari

awal (baseline).

Sedikit saran untuk metode UPT, untuk lokasi-lokasi dengan perairan jernih,

pengambilan foto bawah air tidak jadi masalah, sebaliknya di lokasi –lokasi dengan perairan

yang keruh, seperti di pesisir Bintan Timur, metode ini kurang efisien, mengingat harus

memerlukan perjuangan ekstra untuk mengambil gambar /foto. Kondisi dan kejadian seperti

ini perlu di evaluasi lagi.

Page 69: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

DAFTAR PUSTAKA

Allen, G.R. & R. Swainston. 1993. Reef Fishes of New Guinea. Christensen Research Institute, Papua New Guinea. 132pp.

Allen, G.R. and R. Steene. 1996. Indo-pacific Coral Reef Field Guide. Tropical Reef Research. Singapore. 378p.

Allen, G.R. 1999. Marine Fishes of South-East Asia. A Field Guide for Anglers and Divers. Periplus Editions, Hong Kong. 292 pp.

Allen, G. R., R. Steene, P. Humann, N. Deloach. 2003. Reef fish identification tropical pacific. New World Publication, Inc. Jacksonville, Frorida USA.

Campbell, J.B. 1996. Introduction to Remote Sensing. London: Taylor & Francis. 622 p. Collin, P.L. and C. Arnesson. 1995. Tropical Pasific Invertebrates. Coral Reef Prees,

California: 209 pp. English S, Wilkinson, S., Baker, V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources.

Townsville: Australia Institute of Marine Science. Giesen, W., S. Wulffraat, M. Zieren & L. Scholten. 2006. Mangrove Guidebook for Southeast

Asia. FAO and Wetlands International. Bangkok. Gomez, E.D. & H.T. Yap. 1984. Monitoring Reef Condition. In: Coral Reef Management

Handbook. R.A. Kenchingt6on and B.E.T. Hudson (Eds). Unesco Publisher, Jakarta, p. 171.

Hoe, Nina, Kassem, Kenneth & Ng, Sharon. 2011. Seagrass Assessment Report of Semporna Priority Conservation Area. Kota Kinabalu, Malaysia: WWF-Malaysia.

Jenning, S.B., N.D. Brown & D. Sheil. 1999. Assessing forest canopies and understorey illumination: canopy closure, canopy cover and other measures. Forestry 72(1): 59–74.

Kuitter, R. H. 1992. Tropical Reff Fishes of the Western Pacific. Indonesian and Adjascent Waters. Gramedia Jakarta. 314 Hal.

Lyzenga, D.R., 1981. Remote Sensing of Bottom Reflectance and Water Attenuation Parameters in Shallow Water Using Aircraft and Landsat Data. International Journal of Remote Sensing 2, pp. 71-82.

Noor, Y.R., M. Khazali & I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: PHKA/Wi-IP.

Tomlinson, P.B. 1986. The Botany of mangroves. Cambridge University Press, Cambridge, U.K. 413 pp.

Page 70: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 47

DAFTAR PUSTAKA

Allen, G.R. & R. Swainston. 1993. Reef Fishes of New Guinea. Christensen Research Institute, Papua New Guinea. 132pp.

Allen, G.R. and R. Steene. 1996. Indo-pacific Coral Reef Field Guide. Tropical Reef Research. Singapore. 378p.

Allen, G.R. 1999. Marine Fishes of South-East Asia. A Field Guide for Anglers and Divers. Periplus Editions, Hong Kong. 292 pp.

Allen, G. R., R. Steene, P. Humann, N. Deloach. 2003. Reef fish identification tropical pacific. New World Publication, Inc. Jacksonville, Frorida USA.

Campbell, J.B. 1996. Introduction to Remote Sensing. London: Taylor & Francis. 622 p. Collin, P.L. and C. Arnesson. 1995. Tropical Pasific Invertebrates. Coral Reef Prees,

California: 209 pp. English S, Wilkinson, S., Baker, V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources.

Townsville: Australia Institute of Marine Science. Giesen, W., S. Wulffraat, M. Zieren & L. Scholten. 2006. Mangrove Guidebook for Southeast

Asia. FAO and Wetlands International. Bangkok. Gomez, E.D. & H.T. Yap. 1984. Monitoring Reef Condition. In: Coral Reef Management

Handbook. R.A. Kenchingt6on and B.E.T. Hudson (Eds). Unesco Publisher, Jakarta, p. 171.

Hoe, Nina, Kassem, Kenneth & Ng, Sharon. 2011. Seagrass Assessment Report of Semporna Priority Conservation Area. Kota Kinabalu, Malaysia: WWF-Malaysia.

Jenning, S.B., N.D. Brown & D. Sheil. 1999. Assessing forest canopies and understorey illumination: canopy closure, canopy cover and other measures. Forestry 72(1): 59–74.

Kuitter, R. H. 1992. Tropical Reff Fishes of the Western Pacific. Indonesian and Adjascent Waters. Gramedia Jakarta. 314 Hal.

Lyzenga, D.R., 1981. Remote Sensing of Bottom Reflectance and Water Attenuation Parameters in Shallow Water Using Aircraft and Landsat Data. International Journal of Remote Sensing 2, pp. 71-82.

Noor, Y.R., M. Khazali & I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: PHKA/Wi-IP.

Tomlinson, P.B. 1986. The Botany of mangroves. Cambridge University Press, Cambridge, U.K. 413 pp.

Page 71: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201448

Lam

pira

n 2.

Seb

aran

ikan

indi

kato

r dan

ikan

targ

et d

i per

aira

n B

inta

n Ti

mur

dan

seki

tarn

ya, K

abup

aten

Bin

tan,

201

4.

L

OK

ASI

(STA

SIU

N)

P. M

APU

R

BIN

TAN

TIM

UR

SU

KU

/JE

NIS

K

RIL

13

K

RIL

14

K

RIL

15

K

RIL

16

K

RIL

17

K

RIL

18

K

RIL

74

K

RIL

77

K

RIL

81

K

RIL

85

K

RIL

90

K

RIL

92

K

RIL

A

K

RIL

B

IKA

N IN

DIK

AT

OR

I.

CH

AE

TO

DO

NT

IDA

E

1

Cha

etod

on o

ctof

asci

atus

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

2

Che

lmon

rost

ratu

s 1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

IKA

N T

AR

GE

T

II.

LU

TJA

NID

AE

1

Lut

janu

s car

pono

ttatu

s 0

0

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

2

Lut

janu

s dec

ussa

tus

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

0

0

3 L

utja

nus f

ulvi

flam

ma

0

0

1

0

0

0

1

1

1

1

0

0

0

1

4 L

utja

nus l

ineo

latu

s 0

0

0

1

0

0

0

0

0

1

1

0

0

0

5

Lut

janu

s rus

selli

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

1

6

Lut

janu

s vitt

a 0

1

1

0

1

0

1

0

1

1

0

0

0

0

II

I. SE

RR

AN

IDA

E

7 C

epha

loph

olis

arg

us

0

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

1

0

0

8 C

epha

loph

olis

boe

nak

0

1

0

0

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

9 C

epha

loph

olis

pac

hyce

ntro

n 0

1

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

10

C

epha

loph

olis

uro

deta

1

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

1

11

C

epha

loph

olis

leop

ardi

s 0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

1

12

C

epha

loph

olis

sp

0

0

0

0

0

1

0

1

0

0

0

0

1

0

13

Ple

ctro

pom

us b

ahan

ensi

0

0

0

0

0

0

1

1

0

0

0

0

0

0

LA

MPI

RA

N

Lam

pira

n 1.

Tab

el P

erse

ntas

e tu

tupa

n ka

rang

, bio

ta b

entik

dan

subs

trat h

asil

stud

i bas

elin

e d

enga

n m

etod

e U

PT d

i per

aira

n B

inta

n Ti

mur

, Kab

upat

en B

inta

n, 2

014.

MAJ

OR

CAT

EGO

RY

(% o

f tr

anse

ct)

KR

IL13

K

RIL

14

KR

IL15

K

RIL

16

KR

IL17

K

RIL

18

KR

IL74

K

RIL

77

KR

IL81

K

RIL

85

KR

IL90

K

RIL

92

KR

ILB

K

RIL

A

CO

RA

L (H

C)

38.4

0 18

.56

39.4

0 21

.60

1.20

29

.07

40.2

7 51

.67

52.8

7 23

.80

34.8

0 25

.67

34.7

3 54

.80

RE

CE

NT

DE

AD

CO

RA

L (D

C)

0.07

0.

33

0.07

0.

00

0.40

0.

20

0.07

0.

00

0.00

0.

00

0.07

0.

00

0.07

0.

00

DE

AD

CO

RA

L W

ITH

ALG

AE (D

CA

) 46

.60

61.1

8 38

.47

47.2

0 80

.80

59.9

3 30

.67

44.0

7 43

.13

30.9

3 53

.93

55.0

7 51

.73

32.6

0

SO

FT C

OR

AL

(SC

) 8.

00

1.57

0.

47

2.87

0.

20

0.93

2.

07

0.27

1.

53

2.47

0.

33

1.40

1.

60

2.33

SP

ON

GE

(SP

) 2.

80

4.12

0.

60

1.93

7.

73

7.80

1.

13

0.13

0.

07

2.27

0.

00

3.20

2.

93

0.93

FLE

SH

Y S

EAW

EED

(FS

) 0.

00

0.00

0.

00

9.13

0.

00

0.00

0.

20

0.00

0.

00

2.07

0.

67

2.67

0.

47

0.40

OTH

ER

BIO

TA (O

T)

2.67

2.

81

2.60

2.

87

7.00

1.

13

0.87

0.

53

2.20

2.

93

0.00

0.

33

0.60

0.

13

RU

BB

LE (R

) 0.

07

4.05

1.

60

7.47

1.

73

0.33

1.

27

0.07

0.

00

10.6

7 0.

07

1.47

0.

13

0.67

SA

ND

(S)

0.53

4.

51

11.2

0 2.

93

0.20

0.

13

22.4

7 0.

60

0.20

24

.53

10.1

3 8.

87

3.40

2.

60

SIL

T (S

I) 0.

87

2.88

5.

60

3.47

0.

60

0.40

0.

93

2.67

0.

00

0.00

0.

00

1.33

4.

33

5.47

RO

CK

(RK

) 0.

00

0.00

0.

00

0.53

0.

13

0.07

0.

07

0.00

0.

00

0.33

0.

00

0.00

0.

00

0.07

TAPE

, WA

ND

, SH

AD

OW

(TW

S)

0.00

0.

00

0.00

0.

00

0.00

0.

00

0.00

0.

00

0.00

0.

00

0.00

0.

00

0.00

0.

00

Sum

(exc

ludi

ng ta

pe+s

hado

w+w

and)

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

Page 72: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 49

Lam

pira

n 2.

Seb

aran

ikan

indi

kato

r dan

ikan

targ

et d

i per

aira

n B

inta

n Ti

mur

dan

seki

tarn

ya, K

abup

aten

Bin

tan,

201

4.

L

OK

ASI

(STA

SIU

N)

P. M

APU

R

BIN

TAN

TIM

UR

SU

KU

/JE

NIS

K

RIL

13

K

RIL

14

K

RIL

15

K

RIL

16

K

RIL

17

K

RIL

18

K

RIL

74

K

RIL

77

K

RIL

81

K

RIL

85

K

RIL

90

K

RIL

92

K

RIL

A

K

RIL

B

IKA

N IN

DIK

AT

OR

I.

CH

AE

TO

DO

NT

IDA

E

1

Cha

etod

on o

ctof

asci

atus

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

2

Che

lmon

rost

ratu

s 1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

IKA

N T

AR

GE

T

II.

LU

TJA

NID

AE

1

Lut

janu

s car

pono

ttatu

s 0

0

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

2

Lut

janu

s dec

ussa

tus

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

0

0

3 L

utja

nus f

ulvi

flam

ma

0

0

1

0

0

0

1

1

1

1

0

0

0

1

4 L

utja

nus l

ineo

latu

s 0

0

0

1

0

0

0

0

0

1

1

0

0

0

5

Lut

janu

s rus

selli

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

1

6

Lut

janu

s vitt

a 0

1

1

0

1

0

1

0

1

1

0

0

0

0

II

I. SE

RR

AN

IDA

E

7 C

epha

loph

olis

arg

us

0

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

1

0

0

8 C

epha

loph

olis

boe

nak

0

1

0

0

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

9 C

epha

loph

olis

pac

hyce

ntro

n 0

1

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

10

C

epha

loph

olis

uro

deta

1

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

1

11

C

epha

loph

olis

leop

ardi

s 0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

1

12

C

epha

loph

olis

sp

0

0

0

0

0

1

0

1

0

0

0

0

1

0

13

Ple

ctro

pom

us b

ahan

ensi

0

0

0

0

0

0

1

1

0

0

0

0

0

0

LA

MPI

RA

N

Lam

pira

n 1.

Tab

el P

erse

ntas

e tu

tupa

n ka

rang

, bio

ta b

entik

dan

subs

trat h

asil

stud

i bas

elin

e d

enga

n m

etod

e U

PT d

i per

aira

n B

inta

n Ti

mur

, Kab

upat

en B

inta

n, 2

014.

MAJ

OR

CAT

EGO

RY

(% o

f tr

anse

ct)

KR

IL13

K

RIL

14

KR

IL15

K

RIL

16

KR

IL17

K

RIL

18

KR

IL74

K

RIL

77

KR

IL81

K

RIL

85

KR

IL90

K

RIL

92

KR

ILB

K

RIL

A

CO

RA

L (H

C)

38.4

0 18

.56

39.4

0 21

.60

1.20

29

.07

40.2

7 51

.67

52.8

7 23

.80

34.8

0 25

.67

34.7

3 54

.80

RE

CE

NT

DE

AD

CO

RA

L (D

C)

0.07

0.

33

0.07

0.

00

0.40

0.

20

0.07

0.

00

0.00

0.

00

0.07

0.

00

0.07

0.

00

DE

AD

CO

RA

L W

ITH

ALG

AE (D

CA

) 46

.60

61.1

8 38

.47

47.2

0 80

.80

59.9

3 30

.67

44.0

7 43

.13

30.9

3 53

.93

55.0

7 51

.73

32.6

0

SO

FT C

OR

AL

(SC

) 8.

00

1.57

0.

47

2.87

0.

20

0.93

2.

07

0.27

1.

53

2.47

0.

33

1.40

1.

60

2.33

SP

ON

GE

(SP

) 2.

80

4.12

0.

60

1.93

7.

73

7.80

1.

13

0.13

0.

07

2.27

0.

00

3.20

2.

93

0.93

FLE

SH

Y S

EAW

EED

(FS

) 0.

00

0.00

0.

00

9.13

0.

00

0.00

0.

20

0.00

0.

00

2.07

0.

67

2.67

0.

47

0.40

OTH

ER

BIO

TA (O

T)

2.67

2.

81

2.60

2.

87

7.00

1.

13

0.87

0.

53

2.20

2.

93

0.00

0.

33

0.60

0.

13

RU

BB

LE (R

) 0.

07

4.05

1.

60

7.47

1.

73

0.33

1.

27

0.07

0.

00

10.6

7 0.

07

1.47

0.

13

0.67

SA

ND

(S)

0.53

4.

51

11.2

0 2.

93

0.20

0.

13

22.4

7 0.

60

0.20

24

.53

10.1

3 8.

87

3.40

2.

60

SIL

T (S

I) 0.

87

2.88

5.

60

3.47

0.

60

0.40

0.

93

2.67

0.

00

0.00

0.

00

1.33

4.

33

5.47

RO

CK

(RK

) 0.

00

0.00

0.

00

0.53

0.

13

0.07

0.

07

0.00

0.

00

0.33

0.

00

0.00

0.

00

0.07

TAPE

, WA

ND

, SH

AD

OW

(TW

S)

0.00

0.

00

0.00

0.

00

0.00

0.

00

0.00

0.

00

0.00

0.

00

0.00

0.

00

0.00

0.

00

Sum

(exc

ludi

ng ta

pe+s

hado

w+w

and)

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

10

0.00

Page 73: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 201450

IX.

MU

LID

AE

35

U

pene

us tr

agul

a 0

0

0

0

0

0

1

1

0

1

0

0

0

0

X

. SC

AR

IDA

E

36

Sca

rus b

icol

or

0

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

37

Sca

rus d

imid

iatu

s 1

1

1

1

1

1

1

1

0

0

0

0

1

38

Sca

rus g

hobb

an

1

1

1

1

1

1

1

2

1

0

0

0

0

1

39

Sca

rus p

rasi

ogna

thus

0

1

0

0

0

1

0

0

1

0

0

0

0

0

40

S

caru

s sor

didu

s 1

1

1

1

1

1

0

0

1

0

0

0

0

0

41

S

caru

s sp

1

1

0

0

1

1

0

0

0

0

0

0

0

0

XI.

NE

MIP

TE

RID

AE

42

Sco

lops

is b

iline

atus

1

0

0

0

1

1

0

0

1

0

0

1

0

0

43

Sc

olop

sis c

iliat

us

0

0

0

0

0

0

1

0

1

1

1

0

0

0

44

Sco

lops

is li

neat

us

1

1

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

0

45

Sco

lops

is m

arga

ritif

er

1

1

1

0

0

1

1

0

1

0

0

1

0

0

46

Sco

lops

is m

onog

ram

ma

0

0

0

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

47

Sco

lops

is tr

iline

atus

0

1

1

0

1

1

0

1

0

0

0

0

0

48

Sco

lops

is v

asm

eri

0

0

0

0

0

0

1

1

0

1

0

0

0

0

49

Sco

lops

is x

anth

ocru

s 0

0

0

0

0

0

1

0

1

1

0

1

0

0

K

eter

anga

n :

1 - a

da ;

0 - t

idak

ada

14

Ple

ctro

pom

us le

opar

dus

0

0

0

0

0

0

1

1

0

0

0

1

0

1

15

Ple

ctro

pom

us m

acul

atus

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

1

0

0

16

P

lect

ropo

mus

trun

catu

s 0

0

0

0

0

0

1

0

1

0

0

1

0

0

17

P

lect

ropo

mus

sp

0

0

0

0

1

0

1

0

0

0

0

0

0

1

IV.

LE

TH

RIN

IDA

E

18

Let

hrin

us h

arak

0

0

0

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

1

19

L

ethr

inus

lent

jam

0

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

20

L

ethr

inus

orn

atus

0

0

0

0

0

0

1

0

1

0

0

0

0

1

V

. SI

GA

NID

AE

21

S

igan

us c

anal

icul

atus

0

1

0

0

1

0

0

0

1

0

0

0

0

1

22

S

igan

us c

orra

linus

0

0

0

0

0

0

1

0

1

0

0

0

0

1

23

S

igan

us g

utta

tus

0

0

0

0

0

0

1

1

1

0

0

0

0

0

24

Sig

anus

virg

atus

0

0

0

1

0

0

1

1

1

0

0

0

0

1

V

I H

AEM

ULI

DA

E

25

Ple

ctor

hinc

hus

chae

todo

noid

es

0

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

1

26

Ple

ctor

hinc

hus p

icus

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

1

V

II

LA

BR

IDA

E

27

Che

ilinu

s und

ulat

us

0

0

1

0

1

0

0

0

0

0

0

0

0

0

28

Che

ilinu

s fas

ciat

us

1

1

1

1

1

1

1

1

0

0

0

1

29

H

emig

ymnu

s mel

apte

rus

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

0

1

0

1

30

Hem

igum

nus g

lypi

dodo

n 0

0

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

V

III.

CA

ESI

ON

IDA

E

31

Cae

sio

caer

ulau

rea

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

0

32

Cae

sio

cuni

ng

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

0

33

Cae

sio

tere

s 1

0

1

0

0

1

1

1

1

1

0

1

1

1

34

P

tero

caes

io ti

le

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

0

Page 74: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline

Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014 51

IX.

MU

LID

AE

35

U

pene

us tr

agul

a 0

0

0

0

0

0

1

1

0

1

0

0

0

0

X

. SC

AR

IDA

E

36

Sca

rus b

icol

or

0

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

37

Sca

rus d

imid

iatu

s 1

1

1

1

1

1

1

1

0

0

0

0

1

38

Sca

rus g

hobb

an

1

1

1

1

1

1

1

2

1

0

0

0

0

1

39

Sca

rus p

rasi

ogna

thus

0

1

0

0

0

1

0

0

1

0

0

0

0

0

40

S

caru

s sor

didu

s 1

1

1

1

1

1

0

0

1

0

0

0

0

0

41

S

caru

s sp

1

1

0

0

1

1

0

0

0

0

0

0

0

0

XI.

NE

MIP

TE

RID

AE

42

Sco

lops

is b

iline

atus

1

0

0

0

1

1

0

0

1

0

0

1

0

0

43

Sc

olop

sis c

iliat

us

0

0

0

0

0

0

1

0

1

1

1

0

0

0

44

Sco

lops

is li

neat

us

1

1

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

0

45

Sco

lops

is m

arga

ritif

er

1

1

1

0

0

1

1

0

1

0

0

1

0

0

46

Sco

lops

is m

onog

ram

ma

0

0

0

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

47

Sco

lops

is tr

iline

atus

0

1

1

0

1

1

0

1

0

0

0

0

0

48

Sco

lops

is v

asm

eri

0

0

0

0

0

0

1

1

0

1

0

0

0

0

49

Sco

lops

is x

anth

ocru

s 0

0

0

0

0

0

1

0

1

1

0

1

0

0

K

eter

anga

n :

1 - a

da ;

0 - t

idak

ada

14

Ple

ctro

pom

us le

opar

dus

0

0

0

0

0

0

1

1

0

0

0

1

0

1

15

Ple

ctro

pom

us m

acul

atus

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

1

0

0

16

P

lect

ropo

mus

trun

catu

s 0

0

0

0

0

0

1

0

1

0

0

1

0

0

17

P

lect

ropo

mus

sp

0

0

0

0

1

0

1

0

0

0

0

0

0

1

IV.

LE

TH

RIN

IDA

E

18

Let

hrin

us h

arak

0

0

0

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

1

19

L

ethr

inus

lent

jam

0

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

20

L

ethr

inus

orn

atus

0

0

0

0

0

0

1

0

1

0

0

0

0

1

V

. SI

GA

NID

AE

21

S

igan

us c

anal

icul

atus

0

1

0

0

1

0

0

0

1

0

0

0

0

1

22

S

igan

us c

orra

linus

0

0

0

0

0

0

1

0

1

0

0

0

0

1

23

S

igan

us g

utta

tus

0

0

0

0

0

0

1

1

1

0

0

0

0

0

24

Sig

anus

virg

atus

0

0

0

1

0

0

1

1

1

0

0

0

0

1

V

I H

AEM

ULI

DA

E

25

Ple

ctor

hinc

hus

chae

todo

noid

es

0

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

1

26

Ple

ctor

hinc

hus p

icus

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

1

V

II

LA

BR

IDA

E

27

Che

ilinu

s und

ulat

us

0

0

1

0

1

0

0

0

0

0

0

0

0

0

28

Che

ilinu

s fas

ciat

us

1

1

1

1

1

1

1

1

0

0

0

1

29

H

emig

ymnu

s mel

apte

rus

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

0

1

0

1

30

Hem

igum

nus g

lypi

dodo

n 0

0

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

V

III.

CA

ESI

ON

IDA

E

31

Cae

sio

caer

ulau

rea

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

0

32

Cae

sio

cuni

ng

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

0

33

Cae

sio

tere

s 1

0

1

0

0

1

1

1

1

1

0

1

1

1

34

P

tero

caes

io ti

le

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

0

Page 75: BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN ... - …coremap.or.id/downloads/7_Laporan_baseline_Kab_Bintan_2014.pdf · Si i” i T ar i Terki i eri i Ti ekiny abupat i 2014 i Studi Baseline