Baratayuda 1

47
PERANG BARATAYUDA ( bagian 1 ) By Ma sPatikrajaDewaku Kresno Gugah Arjuna ingin mengetahui tujuan tapa Kresna (karya Herjaka HS)

Transcript of Baratayuda 1

Page 1: Baratayuda 1

PERANG BARATAYUDA ( bagian 1 )

By MasPatikrajaDewaku

Kresno Gugah

Arjuna ingin mengetahui tujuan tapa Kresna (karya Herjaka HS)

Page 2: Baratayuda 1

Perang Baratayudha, atau lengkapnya Baratayuda Jayabinangun, perang antar darah Barata, merupakan salah satu dari empat perang besar yang telah digariskan dewa

dalam pewayangan, selain perang Pamuksa ketika Prabu Pandu menumpas pemberontakan Prabu Trembuku dari Pringgandani dan Perang Gojalisuta, perang

saudara anak bapak, antara Prabu Bomantara alias Prabu Sitija, dengan Prabu Kresna dalam membela anaknya yang lainnya Samba Wisnubrata, serta perang

Guntarayana ketika Sang Begawan Ciptaning menjadi sraya, atas serangan Raja Hima Imantaka, Prabu Niwatakawaca, yang hendak mempersunting primadona kahyangan Jonggring Salaka, Dewi Supraba.

Perang Baratayuda, perang dimana terjadi bagaimana prajurit yang maju menjadi senapati, memetik hasil dari apa yang telah ditanam dan disisi lain meluwar janji yang pernah terucap.

Semua kejadian adalah bermula dari konflik keluarga keturunan langsung dari Resi Wiyasa Kresna Dwipayana.

Tiga orang puteranya: Drestarastra sang cacat netra sebagai anak sulung, Pandu Dewanata anak penengah dan Arya Yamawidura sebagai anak bungsu.

Ketika Prabu Wiyasa hendak menyerahkan tahta lengser keprabon Astina dan hendak menyucikan diri ke Sapta Arga, dipanggilnya ketiga puteranya. Dan dengan ikhlas disaksikan para saudara dekat termasuk Resi Bhisma atau Sang Jahnawisuta Dewabrata, yang secara garis adalah sebenarnya pewaris trah Barata, Drestarastra menyerahkan tahta haknya hingga ke anak cucu turunnya kepada adik penengah, Pandu Dewanata.

Sayang, atas kelicikan dan gosok kerti sampeka sang maha julig adik ipar Drestarastra, yaitu Arya Gendara Sangkuni, seratus anak Drestarastra, dikenal sebagai trah Kurawa, menjadi manusia-manusia bermoral buruk yang kurang tata krama.

Puntadewa, anak sulung trah Pandawa, anak Pandu yang telah mangkat, seorang yang tidak bisa berkata tidak, masuk dalam perangkap pokal akal-akalan Sengkuni dengan mengadakan permainan dadu.

Trah Pandawa yang telah mempunyai negara sendiri, hasil dari membuka hutan Wisaamerta, dan menjadikannya sebuah istana indah bernama Indraparahasta atau kerajaan Amarta, terpaksa kalah dalam olah permainan curang Sengkuni. Perjanjian telah disepakati, pihak kalah akan dibuang ke hutan Kamyaka selama 12 tahun dan melakukan penyamaran disuatu tempat selama setahun terakhir masa pembuangan. Bila penyamaran diketahui pihak Astina, maka pembuangan harus diulang selama waktu yang sama.

Tigabelas tahun hampir lewat. Ketika Astina kedatangan seorang raja seberang bernama Prabu Susarman, raja dari negara Trikarta. Bujuk rayu Susarman menghasilkan serbuan bermotif menggelar jajahan ke Negara Wirata, dan berakhir gagal.

***

Page 3: Baratayuda 1

Syahdan, dalam sidang agung Negara Astina, Sang Duryudana sangat jengkel ketika prajurit Astina kembali dengan tangan hampa ketika pulang dari Wirata dalam misi menaklukkan negara itu.

Negara yang tadinya diperkirakan telah lemah karena ditinggalkan tiga orang agul-agul senapati, Sang Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala yang diberitakan tewas ditangan seorang jagal, ternyata berakhir dengan kegagalan telak. Malah Prabu Susarman, bala bantuan dari Negara Trikarta yang semula mengipasi agar Sang Duryudana mau menaklukkan Wirata, tewas mengenaskan.

Kekuatan Wiratha menurut perhitungan semula hanya tinggal dua dari tiga putera Baginda Matswapati Raden Utara dan Raden Wratsangka. Sudah sangat berkurang kekuatan negara itu, karena Resi Seta sang putra sulung yang sakti mandraguna, lebih senang dengan olah kapanditan, dan saat itu sedang bertapa tidur di Pertapan Suhini atau Sukarini.

Upaya Sang Duryudana untuk sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui, menaklukkan Wirata sambil mencari keterangan tentang adanya trah Pandawa dalam masa penyamaran, sekalian dilakukan. Bila ditemukan disana, maka mereka harus mengulang lagi masa pembuangannya selama genap tigabelas tahun bakal terlaksana.

Padahal masa pembuangan duabelas tahun dan masa penyamaran satu tahun, sudah hampir berakhir ketika itu.

Selesailah masa perjanjian itu, ketika perang gagal dalam menggelar jajahan berakhir

“Hmm . . . . Paman Harya Sengkuni, kekalahan ini merupakan kegagalan beruntun. Pertama. . . . . . , pasti. ., negara Wirata gagal menjadi jajahan kita. Kedua, berakhirnya peperangan Astina dan Wirata, menandai habisnya waktu perjanjian pembuangan para Pandawa” Prabu Duryudana akhirnya bersabda setelah beberapa waktu diam dengan pergolakan pikiran penuh sesal atas misi yang berakhir dengan kekalahan telak yang memalukan.

“Dengan berakhirnya waktu perjanjian ini pasti Pandhawa akan segera menagih haknya untuk kita mengembalikan Astina dan Indraparahasta yang dulu dipertaruhkan dalam permainan dadu” Kembali sang Duryudana menyambung pembicaraannya dengan masygul.

Prabu Salya, raja Mandaraka, mertua dari Prabu Duryudana dan Adipati Karna yang ikut hadir dalam sidang menyela “ Benar angger Prabu, sabda raja adalah perkataan yang tidak dapat diasak, tidak usahlah kiranya angger prabu kukuh dalam mempertahankan lagi hak yang seharusnya harus dilepaskan, karena perjanjian telah berakhir. Bila nanti Angger bersedia, Negara Mandaraka akan saya pasrahkan untuk angger prabu. Saya sudah tua ngger, saatnya bagiku untuk menjauhi keramaian dan aku siap menyepi, kembali ke Argabelah” .

Sejenak suasana sidang sunyi.

Page 4: Baratayuda 1

“Anak Prabu” Sang mahajulig Sengkuni memecahkan kesunyian,” Negara Mandaraka tidaklah sebesar Astina, tidak sebanding, apalagi dibandingkan luas Astina yang digabungkan dengan Amarta. Mau dikemanakan anak anakku Kurawa yang seratus itu bila hanya negara seluas Mandaraka yang diharapkan menampung sejumlah keponakanku semua . . ?” demikian Sang Patih Sengkuni memberikan alasan, ditambahkan lagi segala pertimbangan bermacam macam yang intinya tidak menyetujui jika Negara Astina beserta seluruh jajahannya diserahkan ke trah Pandawa.

Demikian juga dengan Adipati Karna, seorang anak angkat kusir Radeya yang dirangkul dan dijadikan tetunggul senapati dan berpikiran menurut sudut pandang keprajuritan menambahkan :” Yayi Prabu, apakah menurut yayi, saya sebagai seorang yang sudah dibuat kenyang dengan segala kebaikan, kemurahan hati dan keluhuran yang tiada terhingga, merasa masih kurang dalam memberikan tetameng terhadap keluhuran derajat Yayi Prabu? Sehingga dengan mudahnya menyerahkan kembali negara tanpa harus mengandalkan peperangan. Jangan berpikir sebagaimana berpikirnya orang yang tua yang sudah rapuh, sehingga menganggap penyerahan negara adalah hal yang bermartabat? Tidak. Keutuhan negara harus dibela dengan pecahnya dada dan mengalirnya darah...!”

Prabu Salya merasa tidak senang dengan perkataan Adipati Karna, yang dengan tanpa sengaja mengusik rasa sang Prabu Salya. Dalam hatinya perkataan itu ditujukan kepada dirinya. Kemarahan Sang Narasoma tua menggelegak. Tudingan kemarahan jatuh kepada Adipati Karna Suryatmaja sontak mengalir bagaikan banjir bandang.

“ Heh Karna.!,Dari tiga orang mantuku, kamulah satu-satunya mantu yang tidak pernah memberi rasa puas terhadap mertua, celaka benar nasib anakku Surtikanti dapat suami kamu, suami yang seharusnya dahulu bukanlah kamu, tapi Arjuna. Atas kemurahan Arjuna-lah kamu menjadi mantuku.

Prabu Baladewa, raja Mandura, menantuku yang gagah perkasa, tetapi didepanku menyembah kakiku. Prabu Duryudana, raja kaya raya. Didepanku takluk juga menyembah. Tetapi kamu itu siapa? Adipati kecil, tetapi tingkah lakumu selalu tidak berkenan dalam hatiku. Sudah jarang datang ke Mandaraka, juga tak sekalipun kamu datang dengan membawa kebahagiaan, kalaupun datang pasti membawa masalah . . . . . . “ Panjang lebar Prabu Salya memarahi sang mantu dipersidangan , sekalipun beberapa kali dicoba kemarahannya dipenggal oleh menantu yang lain, Prabu Duryudana.

Merasa sudah lega dengan memuntahkan segala kemarahan yang melebar kesana kemari kepada menantunya, Prabu Salya meminta diri: “ Angger Prabu, pikirlah kembali dengan beningnya hati. Tetapi apapun yang terjadi nanti, bila Angger masih berkenan dengan tenaga orang tua ini, pastilah aku akan datang kembali ke Astina”

“Aku sudah kangen dengan Ibumu Setyawati. Ketika sudah tua semacam aku ini, pergi sebentar saja, rasaku gampang sekali kepengin kembali ketemu dengan ibumu” Prabu Salya berkilah.

Selepas kembalinya Sang Prabu Salya ke Mandaraka, sidang menetapkan, bagaimanapun Astina dan Indraparahasta dan seluruh jajahannya tetap akan dipertahankan. Sang Pendita Durna-pun dengan berat hati setuju dengan keputusan ini. Semua menganggap, para

Page 5: Baratayuda 1

sesepuh Astina yang maha sakti seperti Sang Bhisma Jahnawisuta dari Talkanda, tidak akan tertandingi bila sudah berkenan maju dalam peperangan nanti.

Usahanya tinggal selangkah lagi, karena berdasarkan wangsit, peperangan besar Baratayuda bakal dimenangkan, bila sudah dapat menggaet Prabu Kresna yang sedang bertapa tidur di Balekambang. Usaha inipun sudah yakin dapat dicapai bila Prabu Baladewa yang merupakan kakak Sri Kresna dapat dirangkul untuk membangunkan adiknya, sekalian mengajaknya bergabung di Astina.

Apa yang diperhitungkan oleh Sang Duryudana perihal akan datangnya utusan dari para Pandawa memang benar adanya. Diluar sudah menunggu ibu dari para Pandawa, Dewi Prita, Kuntitalibrata dengan ditemani sang ipar, Adipati Yamawidura dari Ksatrian Panggombakan.

Setelah dipersilakan duduk, Sang Prita dengan santunnya mengutarakan maksud kedatangannya.

“Anakku ngger Duryudana, seperti yang sudah tersiar luas dijagat ini, bahwa sudah pundhat masa pengasingan anak anakku Pandawa. Itu sudah masa lalu. Sekarang angger, sebagai utusan dari kelima anakku, aku meminta ketegasan, kapan waktunya peristiwa diperbolehkan kembali Pandawa ke Astina beserta dipulihkannya kedaulatan atas Negara Amarta bakal dilaksanakan. . . . ?”

Sang Dewi juga mengatakan bahwa kedatangannya disertai Arya Yamawidura, adalah merupakan saksi atas ucapan kesediaannya mewujudkan janji yang telah diucapkan ketika permainan dadu hendak dilaksanakan dulu.

Prabu Duryudana terdiam. Dalam hatinya bergolak pikiran bagaimana cara mengatakan tidak kepada utusan itu, yang tak lain adalah orang yang dihormatinya. Bahkan oleh ayahandanya sendiri Adipati Drestarastra.

Tetapi oleh sang pembisik disekeliling Sang Prabu yang selalu menggosoknya dan nafsu Sang Prabu terhadap kekuasaan telah sedemikaian besar, kata Sang Prabu dengan tanpa mengindahkan tata krama dan seribu alasan, malah mengusir Dewi Kunti: “ Bibi sudahlah, bibi pulang saja kemana saja bibi mau,sekarang saya belum terpikir kapan akan mengembalikan semua yang telah dijanjikan dulu”.

Kunti hanya bisa meratap kepada adik iparnya, sang Yamawidura. Harapan besar yang telah diusungnya dari Wirata atas kembalinya negara Astina kepada anak-anaknya musnah sudah. Segera diboyongnya kembali Dewi Prita yang pingsan keberatan dengan beban batin, untuk sementara bermukim di Ksatrian Panggombakan. Segera Sang Yamawidura mengutus seseorang untuk mengabarkan apa yang terjadi terhadap Dewi Prita kepada anak anaknya di Wirata.

*

Page 6: Baratayuda 1

Prabu Drupada, raja Pancalaradya, yang datang kemudian atas inisiatif sendiri, sebagai duta juga dipandang remeh, dihinanya Sucitra tua itu yang hanya bisa menahan marah, dan keluar tanpa pamit dari sidang agung.

Keriuhan dalam sidang sampai juga ditelinga Adipati Destarastra, Adipati cacat netra ini segera minta dituntun sang istri, Dewi Gendari, menuju sidang agung yang sudah ditinggalkan oleh Dewi Kunti dan Prabu Drupada dengan perasaan masygul.

“Heh anakku Duryudana, aku dengar dari dalam tadi ada pertengkaran. Apa yang terjadi ngger, baiknya jujur saja katakan kepada bapakmu ini??”.

Dengan plintat-plintut Duryudana menceritakan apa yang baru saja terjadi. Terperangah sang Drestarastra. Segera dia minta dipertemukan dengan Prabu Drupada, yang dengan kesaktiannya pasti mampu menaklukkan anaknya, untuk dimintai seribu maaf atas kurangnya tata susila yang dilakukannya tadi.

***

Balekambang. Sebenarnyalah Sri Kresna sedang meraga sukma. Secara kewadagan kelihatan Sri Kresna tertidur dalam bertapa, namun sebenarnya sukma sang Kesawa sedang pergi menghadap haribaan Sang Hyang Guruloka untuk mecari keterangan mengenai isi kitab Jitapsara. Kitab skenario pelaksanaan Perang Baratayuda yang berdasarkan jangka kadewatan sudah saatnya dibuat oleh Hyang Jagatnata dan ditulis oleh Batara Penyarikan, sekretaris Kahyangan.

Maka ketika Para Kurawa datang hendak membangunkan dan mengajaknya bergabung, tidak satupun berhasil membangunkan. Mereka satu persatu melakukan usaha untuk mencoba dengan caranya sendiri sendiri.

Prabu Karna datang membangunkan dengan meraba leher sang Sri Kresna, menandakan leher adipati Karna akan terpenggal dan tewas dalam Baratayuda. Terkena pagar kesaktian diri Sri Kresna, Adipati Karna seketika terbanting tak sadarkan diri.

Demikian juga dengan Arya Dursasana yang datang membangunkan dengan menggerayangi dan menggoyang seluruh tubuh dan persendian Sri Kresna. Kejadian ini sebagai pertanda akan terpotong potongnya jasad Arya Dursasana dalam Baratayuda. Walat atau pagar diri Sri Kresna juga berlaku ketika Resi Durna mencoba membangunkan dengan memegang leher Sang Tapa.

Prabu Duryudana akhirnya datang sendiri dengan memegang dan mengelus paha Sri Kresna, ini sebagai pertanda bahwa kelak pada peperangan Baratayudha, Prabu Duryudana akan tewas dengan tertebas Gada Rujakpolo, gada Raden Werkudara, pada paha kirinya.

Karena tidak kunjung terbangun, makin lama semakin keras menggoyang paha Sri Kresna. Terkena walat sang Kresna seketika Prabu Duryudana juga sama dengan para bawahannya, terbanting tidak sadarkan diri. Geger para prajurit yang lain, seketika itu tidak ada satupun Kurawa yang berani mencoba membangunkan.

Page 7: Baratayuda 1

Ketika suasana sudah bisa diatasi dan tenang kembali, kesepakatan rembuk terjadi, mereka mengundurkan diri terlebih dulu sambil menunggu datangnya Prabu Baladewa sebagai usaha mereka yang terakhir.

*

Para Pandawa datang juga akhirnya. Waspada Prabu Yudistira, bahwa Sri Kresna sejatinya tidak sedang bertapa tidur, melainkan sedang meraga sukma, ditinggalkannya wadag. sementara sukma sang Narayana pergi entah kemana.

“Adikku Werkudara, kamu sudah pernah merasakan, bagaimana bertemu sang Guru Sejatimu, DewaRuci, tatkala kamu menceburkan dirimu ke samudera Minangkalbu dahulu. Sekarang ketemukan kakang Kresna. Ajaklah kembali ke raganya dan persilakan beliau untuk pulang bersama kita ke Wirata, untuk menjadikannya jaya trah kita Pandawa dalam perang Baratayudha bila benar akan terjadi nanti adimas”

“Apa gunanya Si Arjuna yang lebih dari sakti, yang juga merupakan tukang tapa, sesama titis Wisnu dan lebih dekat dengan Kresna, kenapa dia tidak ada usaha yang mestinya tidak lagi harus diberi perintah??!”. Tukas sang Werkudara

Sang Arjuna yang dari tadi diam disindir kakaknya Bima, sejatinya sedang mengheningkan cipta, meraga sukma mencari dimana gerangan sukma kakak iparnya, Sukma Wicara, berada.

Arjuna adalah sesama titisan Wisnu yang membelah diri bagaikan api dan panasnya. Ketika melihat raga Sri Kresna yang sedang tergolek, tak ada keraguan baginya bahwa Sri Kresna tidak bersukma. Ikutlah sang Arjuna meraga sukma dengan nama Sukma Langgeng meninggalkan raga dan saudara-saudaranya.

Diceritakan, ketika itu di Kahyangan Jonggiri Kaelasa atau Jonggring Salaka, Batara Guru sedang bersidang menetapkan siapa saja yang masuk dalam agenda perang Baratayuda.

Batara Panyarikan dengan pena ditangan dan tinta dihadapannya menulis skenario apa yang dikatakan oleh Sang Jagad nata.

Telah ditulisnya sabda dari Batara Guru, dari awal skenario:

Raden Utara dan Salya bertanding , Utara terbunuh oleh Prabu Salya.

Raden Wratsangka bertanding dengan Resi Durna, Wratsangka terbunuh oleh Resi Durna.

Raden Rukmarata terbunuh oleh panah Resi Seta.

Page 8: Baratayuda 1

Resi Bhisma perang tanding dengan Resi Seta dan terbunuh oleh Resi Bhisma, dan seterusnya.

Ketika sampai pada kalimat Prabu Baladewa tanding dengan Antareja dan hendak ditulisnya kedalam daftar skenario, tumpahlah tinta dihadapan Batara Panyarikan ditabrak seekor kumbang penjelmaan Sang Sukma Wicara, sukma dari Batara Kresna yang sedang memata-matai bagaimana Baratayuda tergelar. Gagallah kalimat itu dituliskan.

Marahlah Sang Girinata, ditangkapnya kumbang itu, seketika berubah menjadi Sukma Wicara.

“Heh Kaki Kresna. . ! kenapa kamu sebagai titahku menggagalkan usahaku dalam menulis naskah ini?” tanya Batara Guru.

“Duh Pukulun, jujur saja, rasa sayang hamba terhadap kakak kandung hamba Prabu Baladewa-lah yang menyebabkan hamba menggagalkan alur kejadian Baratayuda itu. Bukanlah tandingannya bila kakak hamba diadu dengan Antareja”. Jawab Sukma Wicara.

“Baik, adakah sesuatu yang dapat kamu berikan menjadi tetukar terhadap jalan cerita Baratayuda dan dapatkah kamu memberikan jalan cerita yang lain sehingga hal yang kamu tidak sukai itu dapat terhindar?” sahut Batara Guru.

“Pukulun, saya rela menukarnya dengan pusaka andalan hamba Kembang Wijayakusuma, sangatlah adil dan berharga nyawa kakak hamba bila dibandingkan dengan kembang yang merupakan penghidupan orang yang belum dalam pepasti akhir hidup, pukulun” demikian Sri Kresna menawarkan taruhan atas nyawa sang kakak dengan pusaka yang merupakan warisan dari Sang Guru, Resi Padmanaba.

“Dengan penyerahan ini Pukulun, maka dirasa akan fair-lah perang itu karena hamba tidak dapat lagi menghidupkan kawan yang telah terbunuh”. Tambah Sri Kresna seraya menghiba atas kearifan Sang Jagat Nata.

“Sedangkan bagaimana caranya agar kakak hamba Kakrasana agar tidak ikut dalam perang Baratayudha kelak serahkan kepada hamba” Kresna meneruskan.

Page 9: Baratayuda 1

http://202.138.226.22/file2/RagamdanUnsurSpiritualitas/SeratBharatayudha.jpg

Demikianlah, setelah barter terjadi dan Sukma Wicara telah diberitahu bagaimana jalan cerita dituliskan dalam Jitapsara maka pulanglah Sang Sukma kembali ke menuju raganya.

Diperjalanan ketemulah Sang Sukma Wicara dengan Sukma Langgeng.

Sukma Langgeng memaksa memberikan kitab skenario kepadanya, tetapi dijelaskan bahwa ini adalah rahasia para dewa dan iapun tidak diberikan kitabnya hanya diberitahu jalan ceritanya. Sukma Langgeng tidak percaya dengan keterangan itu, dan terjadi perkelahian diantara keduanya.

Gegerlah Jonggring Salaka oleh tanding seimbang dan tidak akan berkesudahan. Diutusnya Batara Naradda oleh Hyang Girinata untuk memisahkan keduanya.

“ Heh cucu-cucuku. . .!!, Berhentilah . . . !!, Tidak ada gunanya kalian berkelahi, segera masuklah kembali ke raga masing masing. Tugas suci sudah menunggu. Sukma Langgeng percayakan kepada Sukma Wicara yang kelak menjadi pengatur laku dalam peperangan besar nanti !!” Batara Naradda datang dengan memberikan penjelasan panjang lebar kepada Sukma Langgeng atas apa yang terjadi ketika Sukma Wicara menghadap di Kahyangan Jonggring Salaka.

Keduanya segera mematuhi titah sang Naradda, turun kembali ke arcapada masuk ke raga masing masing.

Gembiralah para Pandawa setelah menerima kesanggupan Sri Kresna untuk diboyong ke Wirata.

Page 10: Baratayuda 1

Belum sempat mereka semua beranjak dari Balekambang, ketika datang Prabu Baladewa menghadang langkah para Pandawa dan Sri Kresna, sambil berkata:

“Sukurlah yayi Prabu sudah bangun dari tapamu…! Sekarang marilah adikku, pergi bersama kakakmu ini ke Astina, begitu kan kehendak yayi Prabu Duryudana?” sang Baladewa menegaskan juga ke Prabu Duryudana

“Benar kakanda…! Marilah datang berkumpul ke Astina. Disana kakanda bakal saya beri kemukten, asalkan kanda sudi kami boyongi” sang Duryudana juga merayu Sri Kresna.

Sri Kresna yang selalu waspada, dengan tidak ketara manampik dan berusaha untuk tidak melukai hati Sang Baladewa, menanyakan kepada Prabu Duryudana: “ Yayi, tujuan akhir yayi memboyong kakakmu ini adalah memenangkan Baratayudha, bukankan begitu?”

“Benar kakang Kresna” Dengan nada yakin Duryudana menyahut.

“Kalau begitu bukankan lebih baik bila kakakmu yang satu ini ditukar seribu raja beserta para nayakanya sekalian sehingga kekuatan negara Astina niscaya akan lebih kuat sentosa?!” Kresna berusaha memberi alternatif, sambil berusaha bagaimana agar Duryudana mau dirayu.

Belum sempat sang Baladewa mencegah jawaban sang Duryudana yang sudah diduganya, dengan cepat Prabu Duryudana menyanggupi menukar satu orang Sri Kresna dengan seribu raja lengkap dengan hulubalangnya. Dalam pikirannya apalah kekuatan satu orang dibandingkan dengan kekuatan yang hendak dibarternya.

“Heh yayi Prabu Duryudana, semula apa yang direncanakan dari Astina datang ke Balekambang? Apakah yayi Prabu lupa akan wangsit dewata bahwa siapa yang bisa mendatangkan Kresna bakal unggul dalam perang itu? Bukankan aku didatangkan kemari hendak diutus melakukan itu? Aduh yayi Prabu, alangkah malangnya Kurawa memiliki raja seperti yayi ini . . . . . . . . !!”.

Panjang lebar sang Baladewa memarahi Prabu Duryudana. Sri Kresna menyela: “ Sudahlah kanda, sabda raja adalah perkataan suci, harus konsisten, sekali dia berkata, tak layaklah dia mencabut kembali kalimatnya”

Segera Sang Kresna menepuk batang beringin tempat bernaung dalam tapanya, seketika daun daun yang berguguran berubah menjadi seribu raja beserta para punggawanya.

“Silakan yayi Prabu Duryudana , pulanglah ke Astina beserta para raja yang kelak menjadi beteng dalam perang yang pasti akan terjadi nanti”.Demikian Kresna bermaksud menyudahi persoalan.

“Mari Kakang Prabu, kita segera kembali ke Wirata”, Werkudara segera mengajak Sri Kresna pulang, ”persoalan kita sudah selesai” tambah Bima

Page 11: Baratayuda 1

“Belum !!” bentak Prabu Baladewa

“Apa maumu?”sahut Bima kembali

“ Kresna harus ikut aku!!” Baladewa kembali membentak

Tentu saja Bima tidak berkenan, terjadilah perkelahian diatara keduanya. Kekuatan kedua ksatria ini memang hampir seimbang. Baladewa menggunakan kecepatan dan kekuatan untuk mencoba mengalahkan Bima, namun Werkudara juga memiliki kekuatan yang lebih tangguh dalam melawan Prabu Baladewa.

Merasa keteteran, Baladewa menggunakan senjata Nenggala. Waspada sang Kresna, didekatinya Werkudara dan dibisiki untuk memancing agar senjata Nenggala menancap ke tanah.

Demikianlah, atas pancingan itu senjata Nenggala yang hendak ditujukan ke Werkudara dan dihindari akhirnya menembus tanah dan terjepit hingga tidak bisa dicabut kembali.

Sri Kresna mendekati Baladewa yang berusaha keras mencabut pusakanya dari jepitan, disapanya prabu Baladewa: “ Kakang Prabu, paduka tidak dapat melepaskan senjata dari dalam tanah karena sebenarnya kakanda berdosa. Tanah yang tidak bersalah paduka kenai senjata sakti. Akhirnya kejadian inilah yang menyebabkan senjata kanda tidak dapat dicabut kembali. Kandapun nanti akan mendapat kemalangan terjepit bumi dan tidak dapat keluar dari malapetaka itu”.

“Aduh adikku, sial benar aku. Bagaimana cara agar aku dapat keluar dari laknat bumi ini yayi??”.ratap Prabu Baladewa

“Kanda, paduka harus melakukan penebusan berupa memberikan dana bagi siapapun yang meminta”.

*

Tersebutlah seorang pengemis, hendak meminta sesuatu kepada Prabu Baladewa yang mendengar kabar Sang Prabu sedang berkelililng membagikan dana.

Ia dengan tidak sungkan meminta istri sang prabu, Dewi Erawati, untuk dijadikan sebagai istri. Tidak ingat akan kesanggupannya, marahlah Prabu Baladewa dan dikeluarkan senjata Nenggala dan ditujukan kepada si pengemis. Pengemis itu menghindar dan terserempet senjata itu, dan berubah ujud menjadi Arjuna.

Malang kembali menimpa Prabu Baladewa, senjata Nenggala kembali mengenai bumi dan menyebabkan tanah itu berlubang.

Page 12: Baratayuda 1

Ketika hendak mengambil senjata dan masuk kedalam lubang, segera bumi menjepit Sang Prabu hingga sebatas dada.

Sekuat tenaga Sang Prabu berusaha melepaskan diri, namun tetap tidak bisa keluar dari jepitan. Sekali lagi ia meminta tolong adiknya.

“Kanda Prabu, sekarang dosa kanda makin besar, penebusannya pun semakin besar pula”. Kresna memberikan penjelasan.

Dengan rasa putus asa Baladewapun menyerah atas ampunan dosa yang ia lakukan:

“Baik sebesar apapun aku sanggup melakukan penebusan itu asalkan aku terhindar dari dosa yang aku telah perbuat ini”.

“Baik, kanda prabu harus melakukan tapa di Grojogan Sewu (air terjun dengan seribu alur). Kanda akan kami sertai dengan anak saya Setyaka. Jangan sekali-kali paduka menyelesaikan laku tapa kanda, bila saya belum menjemput kanda nanti”. Dalam hati Sri Kresna, sekaranglah saatnya mulai untuk mengubah jalan nasib kakaknya itu.

Dengan ditemani keponakannya, Prabu Baladewa berangkat bertapa di air terjun dengan bunyi gemuruh, hingga segala bebunyian apapun akan terkalahkan dengan gemuruhnya suara air terjun dengan seribu alur. Raden Setyaka sudah dibekali pesan pesan dari ayahandanya dan dirajah tapak tangannya agar dapat menenangkan sang uwak dengan memegang dadanya, bila Sang Baladewa terlihat gelisah.

Inilah sebenarnya usaha Sri Kresna dalam mengubah alur skenario, agar sang Baladewa tidak terlibat dalam perang Baratayuda, seperti janjinya kepada Sang Hyang Guru ketika itu.

*

Satu masalah selesai. Lalu bagaimana dengan Antareja? Tidak kurang akal dipanggilnya Werkudara,

“ Sena, Baratayuda nanti akan terlaksana. Setujukah yayi akan hal ini, termasuk syarat srana yang harus ditempuh agar Pandawa unggul dalam perang?”

“Setuju, apapun syarat nya”.sahut Arya Werkudara.

“ Nah, syarat itu berujud tumbal berrupa anakmu Antareja, bila dia masih ada, maka Baratayuda yang berrupa perang suci tempat para manusia mengunduh apa yang mereka tanam dan sarana meluwar segala janji, akan gagal. Tidak ada seorangpun yang dapat menandingi kesaktian anakmu yang satu itu”

Page 13: Baratayuda 1

Seketika itu sang Bhima berbalik tidak setuju. Dengan segala cara bujuk rayu dan pemberian pengertian akhirnya dengan berat hati putra Bhima mengerti dan merelakan anaknya sebagai tumbal akan kejayaan Pandawa.

Memang demikian, kesaktian Raden Antareja memang luar biasa. Kesaktian turunan dari Sang Hyang Anantaboga, dewa ular, kakeknya. Kesaktian yang berupa lapisan gigi taring dan bisa anta pada lidahnya. Tapak kaki siapapun yang terjilat bakal langsung melepuh dan tewas. Bahkan bekas telapak manusia yang dijilatpun bakal tewas seketika itu juga.

Segera dipanggilnya Antareja. “Antareja, sudahkan kamu siap menjadi senapati dengan akan berlangsungnya perang besar nanti?” Seberapa kesaktian yang kamu punyai untuk membuat jaya trah-mu?

“Sudah siap uwa, kami bersedia untuk memberi bukti akan kesaktian putramu ini” Antareja mantap menjelaskan.

“Baik ikutlah aku, jilatlah tapak kaki yang aku tunjuk” perintah Kresna.

Segera Sri Kresna menunjuk bekas tapak kaki disuatu tempat yang sudah ditandainya. Gugurlah seketika sang Anantareja setelah menjilat tapak yang tercetak di tanah, yang ternyata bekas telapak kakinya sendiri. Diiringi wangi bunga tawur dari para bidadari, arwah Sang Antareja diiring para dewa dan bidadari ke sorga lapis sembilan.

Hari-hari Menjelang Pecah Perang

Page 14: Baratayuda 1

Negara Wirata, dimana Negara ini menjadi tempat berkumpulnya Pendawa selama masa penyamaran dan sebelum pecah perang besar itu. Disana para Pandawa ditunjang kekuatan dari Prabu Matswapati dalam rencananya mengambil kembali haknya atas Negara Astina beserta seluruh jajahannya. Termasuk Negara yang dibangun atas keringat dan darah Para Pandawa sendiri, Amarta.

Sang baginda Matswapati menerima kembali dengan suka cita para Pandawa yang sudah berhasil memboyong Prabu Kresna sebagai syarat atas kemenangan dalam perang besar nanti, bila usaha dalam mengirim duta ibu Pandawa, Kunti dan Prabu Drupada tidak ada hasil.

Memang demikian, ketika sudah diketahui hasil awal duta yang dikirim, Prabu Matswapati menasihati Yudistira agar segera mengambil tindakan perang terhadap para Kurawa.

Prabu Puntadewa yang berhati halus mengusulkan kepada Prabu Matswapati: “Baginda, perang nanti merupakan perang antar saudara sendiri, kalau mungkin, kami para Pendawa rela bila kami diberi separohnya saja, maka perang tidak harus terjadi”

“Kakaku sulung, bila separopun tidak diberi, Negara Astina harus diberikan seutuhnya dengan cara berperang” Werkudara menyahut sigap.

Sebenarnyalah Sri Kresna sudah tidak ada syak lagi bahwa Baratayudha pasti akan terjadi. Namun untuk meyakinkan sekali lagi, ia pun sanggup menjadi duta terakhir sekalian menjajagi sampai dimana kesiapan para Kurawa dalam menghadapi perang itu.

“Eyang Matswapati, sekaranglah saatnya untuk hamba melaksanakan tugas duta yang terakhir kalinya. Bila nanti memang semua tidak dapat dilakukan dengan cara perundingan, maka satu-satunya jalan adalah mengambil hak adik adikku dengan cara perang” Mantap Sri Kresna memohon ijin kepada Sang Baginda Matswapati.

Sambung Kresna Kemudian:“Sekarang ijinkan hamba berangkat, dan adik hamba Setyaki akan kuajak serta sebagai kusir kereta Jaladara, untuk menyingkat waktu agar segera menjadi jelas apa yang bakal terjadi”.

Restu Sang Baginda Matswapati, raja tua yang masih sentosa, beserta para Pandawa mengantarkan kepergian Sri Kresna dengan kereta Jaladara, disertai kusir adik iparnya Raden Setyaki, Singamulangjaya.

Kereta Jaladara adalah kereta hadiah dewa, dibuat oleh Mpu Ramayadi dan Mpu Hanggajali.

Dengan ditarik kuda empat ekor berwana kemerahan, hitam, kuning dan putih yang punya kesaktian sendiri sendiri. Kuda berwarna kemerahan dari benua barat hadiah dari Batara Brahma, dengan kesaktiannya mampu masuk kedalam kobaran api, bernama Abrapuspa. Kuda hitam dari benua paling selatan bernama Ciptawelaha pemberian Sang Hyang Sambu, mampu berjalan didalam tanah. Kuda yang bernama Surasakti yang dapat berjalan diatas air berwarna kuning, pemberian Batara Basuki dari jagad timur. Sedangkan kuda putih murni

Page 15: Baratayuda 1

bernama Sukanta pemberian dari Batara Wisnu dari bumi utara, kesaktiannya mampu terbang.

Bila sudah dirakit dalam satu kereta, satu sama yang lain saling berbagi kesaktian dan saling melindungi.

Diceritakan, cepatnya lari kereta Jaladara segera sampai diluar kota Wirata, melewati di kaki gunung, sampailah di batas wilayah pemerintahan Astina dengan gapura yang terlihat demikian indah dan megah. Geger para kawula cilik dipedesaan dan lereng gunung kebawah Astina, mereka segera mambunyikan tetabuhan menyambut datangnya duta agung para Pandawa.

Lain halnya dengan pandangan mata Sri Kresna, setiap benda yang ditemuinya, pohon, bunga, burung burung termasuk lelawa, bahkan batu beserta lumut kering bagaikan menyapanya dengan sedih, mereka, dalam telinganya menanyakan mengapa para Pandawa tidak ikut serta dalam meminta negaranya separuh. Mereka terutama merindukan kedatangan Sang Arjuna ksatria sempurna meliputi seluruh jiwa, raga dan kesaktiannya.

Sesampainya di tegal Kuru, tanah lapang luas kebawah pemerintahan Astina, kereta dihentikan empat dewa : Rama Parasu, Kanwa dan Janaka, ketiga dewa yang dahulu kala adalah manusia luhur yang dihadiahi derajat tinggi menjadi dewa karena tekun dalam semedi, besar jasanya terhadap menjaga ketenteraman dunia, mengiring Sang Hyang Naradda, parampara pepatih Kahyangan Jonggring Salaka.

Segera Sri Kresna turun menyapa keempat dewa : “ Duh pukulun, ada apakah gerangan pukulun berempat menghentikan laju kereta hamba?”

“Heh Kresna titah ulun, kami berempat datang menghentikan laju kereta tidak lain bermaksud untuk bersama datang ke Astina. Kami berempat hendak menjadi saksi bagaimana Duryudana bertindak, apapun yang akan ia lakukan akan aku saksikan dan menjadi ketetapan cerita yang akan berlangsung”.

“Baiklah, kami persilakan pukulun berempat naik ke kereta kami, agar kami mendapatkan kekuatan moral yang lebih besar dalam menjalankan duta kali ini pukulun” Kresna meminta keempatnya bersama dalam satu kereta. Diambil alihnya sais dari adiknya, Harya Setyaki. Dalam hati Sri Kresna bersyukur bahwa apa yang akan dilakukan Prabu Duryudana akan mendapatkan legitimasi dengan tataran yang lebih tinggi, apapun bentuknya.

Maka kata sepakat bersambut, bergabunglah bersama keempat dewa dalam satu kereta menuju kerajaan Astina.

*****

Syahdan, Duryudana telah mendengar akan segera datangnya Sri Kresna. Sambutan kenegaraan berlangsung meriah. Gelaran karpet merah terhampar panjang, pada kedua sisi berjajar para prajurit pengawal yang serba sentosa. Disepanjang jalan para penduduk kota berjajar rapat menyaksikan tamu agung yang sayang apabila terlewat sekejap-pun.

Page 16: Baratayuda 1

Para sesepuh yang menyambut kedatangan tamu diantaranya Sang Bhisma Jahnawisuta, Resi Durna; guru kedua trah Wiyasa, Resi Krepa; adik ipar Resi Durna dan para sesepuh lain termasuk Adipati Drestarastra. Sangat gembira dengan kedatangan sang duta. Mereka berharap kali ini perdamaian akan tercipta

Tidak demikian dengan Patih Sangkuni, segera ia mendekati Duryudana dan membisikkan rencana atas kedatangan duta kali ini. Segera dipanggilnya Dursasana adiknya, diberitahukan segera agar para Kurawa menerapkan baris pendem, baris rahasia, untuk menumpas Kresna, raja Dwarawati, yang sejatinya adalah pengawak Pandawa, bila sewaktu waktu dia berjalan dengan cara yang tidak sesuai dengan rencana yang disusun.

Segera para tamu, Sri Kresna, Batara Naradda, Batara Rama Parasu, Batara Kanwa dan Batara Janaka dipersilakan masuk ke ruang penyambutan. Segala macam hidangan digelar untuk menjamu kedatangan para tamu. Khusus untuk Sri Kresna juga dihidangkan segala makanan dan minuman untuk sang duta.”Silakan dinikamati hidangan yang sudah kami persiapkan untuk sang duta yang sudah datang dari jauh dan tentunya sangat lelah” Duryudana menawari hidangan dihadapannya.

Dengan halus Sri Kresna menampik: “Terimakasih atas kebaikan yayi Prabu, besok baru kami akan datang kembali untuk menyampaikan segala keperluan kami, karena hari sudah menjelang malam.”.

“Kami akan bermalam di Kasatrian Panggombakan sekalian ketemu dengan bibi Kunti” sambung Sri Kresna dengan kewaspadaan tinggi.

Diluar sidang Sri Kresna pamit kepada keempat dewa, dan berjanji besok hari akan segera menyampaikan maksudnya sebagai duta.

********

Kasatrian Panggombakan. Dengan rasa masygul sang Prita dihadapan Arya Yamawidura, menceritakan bagaimana Duryudana dan Karna yang tak lain adalah ibu kandungnya tak mengindahkan apa yang dia minta atas hak anak anaknya.

“Sudahlah bibi, masalah ini pasrahkan saja pada kemenakanmu ini. Nanti aku akan datang juga pada putramu Karna. Aku ingin bicara empat mata dengannya. Aku merasakan adanya hal yang tidak sewajarnya dengan sikap putramu Karna, bibi”.Kresna menyampaikan isi hatinya.

“Aku percaya sepenuhnya atas tindakan yang kamu lakukan nanti, sampaikan rasa sesal-sedihku kepadanya. Sebagai seorang ibu, naluri kasih sayangku kepadanya tak akan pudar, walaupun dalam kenyataannya, aku telah membuangnya ketika masih bayi merah dulu ngger”.demikian sang Prita berdesah pasrah.

******

Page 17: Baratayuda 1

Tak diceritakan keindahan malam di negara Astina, terutama didalam istana tempat kediaman sang Parameswari Banuwati. Istana yang serba berhiaskan memanik yang bersinar bak nyala hingga ke ujung langit, Istana tempat Duryudana memanjakan Parameswari jelita yang memiliki kecantikan sempurna.

Dan ketika matahari pagi sudah merekah, kesiapan di Panggombakan akan perginya sang duta ke sidang agung Astina dilakukan.

Dan ketika matahari naik sepenggalah, sidang sudah dipenuhi para agung dan sesepuh, diantaranya Adipati Drestarastra, Resi Bhisma, Begawan Durna, Resi Krepa, Prabu Salya, Adipati Karna, Patih Sangkuni dan parampara praja yang lain termasuk Arya Yamawidura.

Setelah berbasa basi sejenak, Sri Kresna mengutarkan maksud kedatangannya :“ Paman Drestarastra, kedatangan hamba kemari adalah ujud dari duta, utusan dari adik adikku para Pandawa. Karena sudah menjadi kesepakatan sebelumnya, dalam permainan dadu, bahwa setelah genap duabelas tahun pembuangan dan satu tahun masa penyamaran berjalan mulus tanpa diketahui, maka Pandawa berhak kembali atas negara Astina beserta Indraparahasta”.

“Namun demikian paman, karena Kurawa juga adalah darah daging sendiri, maka atas kesediaan yayi Puntadewa, cukuplah Astina dibagi dua, dan yayi Duryudana melepaskan Indraprasta, yang negara ini merupakan perasan keringat darah Pandawa. Itu sudah cukup”.sambung Sri Kresna.

Para sesepuh sangat berkenan dengan tawaran yang diajukan oleh Prabu Puntadewa. “Aduh anakku Puntadewa . . . , demikian luhur budi yang mengeram dalam jiwamu ngger. Tawaranmu atas negara Astina adalah hal yang sangat adil. Bukankah begitu anakku Duryudana. . . . ?” demikian antara lain sang Drestarastra mengatakan.

Ibu sang Duryudana; Gendari, juga menyetujui kehendak suaminya. Rasa sayangnya atas anak anaknya, dengan firasatnya akan ketidak mampuan anaknya dalam mengatasi kekuatan para Pandawa mendorongnya mengatakan: “ Benar apa yang dikatakan ayahmu ngger, terimalah tawaran yang diajukan saudaramu itu, rasa persaudaraan akan jauh lebih indah daripada kemukten yang kamu sandang selama ini!”.

Duryudana diam membisu. Dihadapan para raja, sesepuh dan keempat dewa, mau tidak mau Duryudana menandatangani pakta perjanjian atas perdamaian itu dengan perasaan masygul.

Demikianlah, ketika pakta telah ditandatangani dalam satu surat yang sudah disiapkan Sri Kresna, maka mohon pamitlah keempat dewa pulang kembali ke kahyangan.

Merasa sudah tidak ada lagi yang perlu dirasai sungkan, diliriknya sang paman, Arya Sangkuni serta Adipati Karna, meminta pendapat. Keduanya memang sama sama menginginkan akan tetap mempertahankan negara dengan jalan perang. Sang paman mengerti sasmita dari keponakannya, gatuknya tetanda dari keduanya membuat Duryudana dengan tanpa suba sita menyambar surat perjanjian yang masih tergeletak diatas meja, disobeknya dan langsung meninggalkan sidang agung diiringi sang paman.

Page 18: Baratayuda 1

Tercenganglah para yang hadir atas sikap Duryudana, segera sang Gendari berlari berusaha menenangkan suasana batin anaknya yang kurang trapsila dihadapan para agung.

******

Diluar sidang agung. Arya Setyaki masih duduk diatas kereta Jaladara menunggu kembalinya sang kakak ipar yang sedang dalam tugas.

Burisrawa, putra sang Prabu Salya, yang selalu berada dilingkungan para Kurawa, oleh sebab kaulnya sendiri ketika gagal mempersunting Wara Subadra, tidak akan kembali ke Mandaraka bila tidak bisa mempersunting kekasih hatinya itu, atau setidak tidak nya wanita yang sejajar kecantikannya dengan Subadra.

Dengan rasa benci Burisrawa menyaksikan ulah Setyaki yang dipandangnya kurang tata, tetap duduk diatas kereta, duduk dengan seenaknya dan tidak mau turun.

“Hoi Setyaki . . . .!! Turun datang kesini. Mari kita minum tuak bersama!! panggil Burisrawa mencari masalah.

“Terimakasih kakang Burisrawa, aku tidak minum seperti kamu” Setyaki mencoba berlaku sopan.

“He, apakah perlu aku paksa kamu minum dengan cara kekerasan?” sambar Burisrawa yang sedari tadi memang bermaksud memanasi Setyaki

Pertengkaran sengit terjadi, dari saling tuding, saling colek terjadilah perkelahian antar keduanya.

Burisrawa yang berbadan tinggi besar dan kasar merasa yakin akan unggul berhadapan dengan Setyaki yang berperawakan kecil padat.

Saling serang antar keduanya berlangsung seru. Walaupun Setyaki lebih kecil tetapi sejatinya tersimpan kekuatan dari penjelmaan raja raksasa Singamulangjaya, yang pernah ditaklukkannya sewaktu Setyaki menjadi utusan dewa sewaktu masih kecil. Belum terlihat siapa yang diperkirakan unggul ketika para Kurawa yang datang kemudian mendengar keributan antara keduanya, seketika ikut larut dalam perkelahian.

Tentu membantu Burisrawa, mereka mencoba menangkap Setyaki.

Pertempuran tidak imbang terjadi. Ketika mulai terdesak, Setyaki yang marah dicurangi menghindar dan bersumpah nanti dalam perang yang sesungguhnya akan berhadapan dengan Burisrawa, satu lawan satu, menyambung perkelahian yang terjadi tadi.

Ia berlari dikejar para Kurawa naik ke balairung dan mengadukan atas kejadian yang dialaminya.

Page 19: Baratayuda 1

Kaget Sri Kresna ketika melihat Setyaki dalam kejaran para Kurawa dan turun menghadapi ulah penyerang yang sebenarnya sudah siap dengan segala senjata untuk menumpas para duta yang datang kali ini.

Marahlah Sang Kesawa ketika melihat dirinya sebagai objek kebrutalan Kurawa. Triwikrama adalah hal yang terpikir ketika melihat prajurit segelar sepapan hendak menghancurkannya. Seketika Sri Kresna berubah wujud menjadi raksasa dengan sepuluh anggauta badan, diliputi kobaran api yang menyambar nyambar .

Dengan langkah yang menimbulkan gempa dan suara sesumbar yang menggelegar bagai halilintar, seketika membuat nyali para Kurawa gentar :“Hayo amuklah aku Kurawa, apakah kamu sanggup mengatasi kesaktianku………..!!!”. Hawa panas yang ditimbulkan bahkan sampai ditepi samudra, airpun menggelegak, hingga mengambangkan satwa laut serta banyak kura kura sekalipun yang bercangkang keras.

Bubar mawut para Kurawa, jeri melihat amuk Sang Triwikrama, penjelmaan Sang Wisnu Batara, bagaikan hendak melebur seisi bumi.

Catatan

Dalam versi pedalangan Mataraman dan Banyumasan, kala terjadi Triwikrama, Prabu Drestarastra dan Dewi Gendari Tewas tertimpa tembok baluwarti.

Dalam tulisan ini, Prabu Drestarastra sekalian Dewi Gendari akan diceritakan setelah perang Baratayuda usai.

Batara Naradda yang ternyata masih mengawasi segala yang terjadi atas peristiwa di Astina waspada, segera mendekati Sang Triwikrama:“ Titah ulun Kresna…..!, dinginkan hatimu, bila dengan cara ini kamu menaklukkan Kurawa, maka kamu berdosa, membuat cerita Jitapsara yang sudah disepakati menjadi berantakan” Naradda berusaha menghentikan amukan sang Triwikrama.

Dengan segera Kresna meracut ajiannya, dan menghaturkan sembah kepada sang Naradda, Kanekaputra.

“Sudahlah, pulanglah kembali ke Wirata, bukankah kamu datang bukan sebagai orang yang diberi wasesa, tapi datang sebagai pengawak duta? dan sebenarnya kamu sudah tahu apakah yang bakal terjadi nanti. Bahwa perang Baratayuda harus terjadi?”.Batara Naradda menasihati Kresna.

“Aduh pukulun, seketika hamba tidak waspada, ketika para Kurawa datang bagai air bah mendekati kami dan Setyaki dengan senjata ditangan masing masing. Maafkan hamba pukulun, ijinkanlah sekarang kami kembali ke Wirata”.Jawab Sri Kresna membela diri.

******

Page 20: Baratayuda 1

Sebelum kembali ke Wirata, kembali Kresna teringat akan kesanggupannya menyampaikan sesuatu kepada Karna, putra Kunti dari kecelakaan dalam menerapkan ajian ajaran Resi Druwasa ketika itu, sehingga Kunti hamil karena ulah Sang Hyang Surya.

Bertemulah Kresna dengan Karna, disampaikan salam dari sang ibu yang dalam hatinya tetap menyayanginya.

Ketika Kresna dengan jujur mengatakan apa yang dilihatnya dengan mata hatinya, hati Karna merasa tersentuh. Akhirnya dia mengatakan hal yang menjadi rahasia hatinya selama ini.

“Kanda Kresna, mungkin hal ini tidak mengagetkan kanda. Tapi isi hati ini akan saya tumpahkan dihadapan kanda, sejujur jujurnya tanpa ada yang aku simpan lagi” Tutur Karna Basusena

“Sebenarnya kenapa adikmu berlaku seperti ini adalah, pertama, dinda bermaksud membalas budi kepada Prabu Duryudana atas kebaikan yang selama ini. Yang telah tertumpah kepadaku siang dan malam. Sepantasnyalah nyawaku aku pertaruhkan membelanya”. Mulailah Karna menjelaskan ikhwal atas apa yang terjadi sesungguhnya.

“Kedua, sewaktu dulu ketika saya bertempur memperebutkan senjata Kunta Wijayandanu, perang tanding kedua adikmu, antara saya dengan Arjuna telah disaksikan oleh Sang Hyang Naradda, bahwa bila nanti perang besar darah Barata terjadi, tanding itu akan dilanjutkan hingga satu diantaranya akan tewas, kanda. Dan hal itu sudah menjadi garis pepasti”.

“Ketiga, angkara murka harus segera lenyap dari muka bumi, sebab itu niat adikmu ini adalah segera menjadikannya Baratayuda menjadi ajang tumpasnya angkara murka yang disandang oleh kakang Duryudana dari atas bumi Astina, kanda”.

Karna melanjutkan : “Biarlah putra bibi Kunti ini tetap lima, seandainya nanti aku bertanding melawan Arjuna, dan salah satunya gugur dalam palagan nanti”.

Termangu Sri Kresna mendengar pengakuan jujur dari Adipati Karna, dirangkulnya saudara sepupunya, saudara dari orang tua kakak beradik antara ayahnya, Prabu Basudewa sebagai ayah sri Kresna dengan adiknya Kuntitalibrata sebagai ibu Karna itu.

Setelah berjanji untuk tetap merahasiakan semua yang terucap itu. Minta dirilah Sri Kresna untuk pulang kembali ke Wirata.

******

Tersiar kabar luas bahwa Perang Baratayuda akan segera berlangsung. Para negara sekutu dari kedua belah pihak mulai bersiap datang dari berbagai penjuru dunia.

Page 21: Baratayuda 1

Sementara itu sesaji tawur dihidangkan kepada para dewa junjungan dari kedua belah pihak. Sang Dursasana dipasrahi tugas untuk mencari manusia sebagai tawur bebanten sebagai syarat akan keunggulan dalam perang nanti.

Berangkatlah Arya Dursasana mencari manusia yang sanggup dijadikan tumbal. Tanpa pilih pilih lagi, ketika sampai di pinggir kali Cingcingguling, sepasang kakak adik kembar penambang (tukang menyeberangkan orang dengan perahu) Sarka dan Tarka, dirayu untuk dijadikan tumbal dengan janji anak istrinya bakal dimuliakan di negara Astina. Keduanya menolak, tapi Dursasana tetap memaksa. Dibunuhnya Sarka dan Tarka dengan keji.

Sukma dua penambang itu melayang dengan sumpah akan membalas kematiannya segera.

Dipersembahkannya tumbal itu keharibaan Batara Kala, yang dengan gembira menerima dan sanggup untuk menumpas Pandawa yang memang salah satu sukerta yang berhak dimakannya. Berangkatlah Batara Kala diiringi harapan besar para Kurawa.

Sampailah Batara Kala dikediaman para Pandawa. “ Heee. . . sudah lama aku mengidamkan makanan satria-satria trah Pandawa, sekaranglah saatnya tidak ada yang menghalangi. Kresna yang telah kehilangan kembang Wijayakesuma, tak akan mampu menghalangiku memakan darah daging Pandawa” Kegirangan Batara Kala setelah mengetahui Kresna tak lagi mampu menghalangi maksudnya.

Kresna yang ditakuti Kala bila hendak memangsa manusia-manusia sukerta, jenis manusia dengan ikatan kekeluargaan tertentu dan berbuat sesuatu yang ditentukan, yang dijanjikan ayahnya Batara Guru boleh dimakan, tak kuasa menaklukkan Kala dengan cepat. Seluruh kekuatan dan mantra Sri Kresna yang sekarang hanya memiliki satu dari sepasang pusaka sakti Cakrabaswara dan kembang Wijayakusuma, dapat ditandingi oleh Kala.

******

Kahyangan Ondar-Andir Bawana. Ketika itu Raden Wisanggeni, Putra Arjuna dari Dewi Dersanala, sedang menghadap Sang Hyang Wenang, ayah penguasa Kahyangan Jonggring Salaka, Batara Guru.

Wisanggeni manusia setengah dewa karena ibunya adalah putri dari Sang Hyang Brahma, mengetahui apa yang sedang terjadi di Wirata dan mengajak bicara sang Hyang Wenang “Kaki Wenang, sebenarnya Baratayuda itu jadi nggak sih?”

“Kenapa kamu tanyakan itu Wisanggeni, bukankah garis besar cerita tentang kejadian dijagat ini kamu sudah mengetahui, kecuali nasib dirimu sendiri, tidak ada yang menghalangi kemampuanmu melihat ke masa depan”.Sang Hyang Wenang dengan sengaja mencoba menyelidiki kemauan Wisanggeni yang sebenarnya sudah ia pahami.

“Kalau begitu kaki Wenang, kenapa sekarang Kala memaksakan kehendak dengan menumpas Pandawa saat ini, kaki?” sahut Wisanggeni dengan santai.

Page 22: Baratayuda 1

“Ya, aku sudah tau maksudmu, turunlah ke Wirata. Bawalah senjata gada ini sebagai ganti senjata andalan Kresna yang mampu mengalahkan Kala dalam maksudnya makan manusia manusia sukerta” Sang Hyang Wenang segera memberikan senjata gada kepada Wisanggeni.

“Nanti setelah selesai tugasmu segera kembalikan kemari lagi. Ada sesuatu yang aku hendak katakan kepadamu, Wisanggeni”.sambung Hyang Wenang.

Segera Wisanggeni melesat turun dari haribaan Sang Hyang Wenang.

Kresna yang kehilangan akal dalam membendung serangan Kala segera didekatinya dan diberikan gada pemberian Hyang Wenang.

“Uwa, kamu nggak akan bisa kalahkan Kala, bukankah uwa Kresna sudah tak lagi mempunyai sepasang pusaka andalan itu, wa?”

“Lho kamu kulup, tahu saja orang tuamu ada dalam kerepotan, kemarikan gada itu kulup, biar aku hadapi kembali Batara Kala itu”.

Maju kembali Sri Kresna Menghadapi Sang Batara Kala. Kali ini tidak dua kali kerja. Ketika tanding kembali dan Kala lengah, gada inten segera menghajar tubuh Kala, dan segera Kala terkapar, bertobat dan mengaku kalah.

“Baiklah Kala, sekarang aku ampuni bila kamu tidak lagi lagi memakan dan mengganggu manusia sukerta. Sanggupkah kamu?”

Setelah menyanggupi syarat dari Kresna, pulanglah kembali Kala ke Pasetran Gandamayit.

Catatan:

Versi lain menyebutkan Batara Kala tewas saat itu bersama dengan Batari Durga ketika, Kresna yang menyamar sebagai Batara kala mengelabuhi Durga agar menyimpan gada inten pada kutangnya.

Wisanggeni yang sudah berjanji untuk datang kembali ke hadapan Sang Hyang Wenang, kembali datang setelah menerima kembali gada pemberian pinjam itu.

“Kaki Wenang, sekarang aku sudah kembali, apa yang hendak kaki katakan mengenai hal penting itu kaki?” tanya Wisanggeni

“Wisanggeni, kamu pasti akan memilih Baratayuda akan dimenangkan para orang tuamu bukan?” Hyang Wenang pura pura bertanya.

Page 23: Baratayuda 1

“Itu sudah pasti, nggak perlu ditanyakan lagi” kembali jawab Wisanggeni masih dengan santainya.

Lanjut Sang Wenang: “Apakah kamu rela menjadi tumbal atas kemenangan orang tuamu?”

“Kalau kaki Wenang sudah menggariskan seperti itu, apa keberatanku” saahut Wisanggeni. “Ayolah kaki Wenang, sempurnakan kematianku sekarang”

Segera sang Hyang Wenang menatap Wisanggeni dengan tajam. Pandangan Sang Hyang Wenang diiringi tatapan yang fokus menyebabkan tubuh Wisanggeni makin mengecil dan mengecil, akhirnya menjadi debu tertiup angin.

*******

Terkisah tiga orang manusia bernama Resi Janadi beserta kedua cantriknya Cantrik Rawan dan Cantrik Sagatra. Ketiganya bertekat untuk mati sebagai tawur para Pandawa. Maka menghadaplah mereka kehadapan para Pandawa.

“Gusti, perkenankan kami bertiga hendak meraih kemukten swargaloka dengan perantara paduka. Ini kami lakukan demi kejayaan trah paduka nanti di dalam perang agung nanti” begitu tutur Resi Janadi kepada Prabu Puntadewa.

Prabu puntadewa adalah manusia pengasih, tidak dapat menolak memberi atau menerima apapun yang orang lain minta atau berikan kepadanya.

“Yayi Arjuna, segera berikan apapun maksud ketiga orang ini”

Arjuna menghunus Pasupati, dilepaskan panah hadiah dewata ketika bertapa di Gunung Indrakila. Panah dengan tajam berbentuk bulan sabit itu menghembuskan kobaran api dan membakar ketiga manusia yang dengan sukarela menjadi tawur dalam kejayaan Perang Besar Baratayuda.

******

Goa Selamangleng, sebuah negara para rasaksa dengan kerajaan yang dibangun dalam goa batu dilereng gunung. Jangan samakan goa itu dengan tempat kumuh dan kotor, namun sejatinya kerajaan goa itu indah mengagumkan, berhiaskan dengan batu permata mutu manikam nan gemerlap, bagaikan berrebut sinar dengan sorot sang surya.

Pagi itu sang penguasa, seorang raseksi, perempuan dengan sosok tinggi besar bernama Dewi Jatagini sedang duduk di balairung dihadap oleh anak semata wayangnya Kalasrenggi. Pemuda raksasa sebesar lumbung padi dengan muka seram bermulut manyun dihias gigi gerigi tajam, bak tajamnya batuan karang di lereng jurang pantai.

Page 24: Baratayuda 1

Catatan:

Dalam versi Mataraman dan Banyumasan, anak Dewi Jatagini ada yang menyebutkan sebagai anak kembar, yaitu Kalasrenggi dan Srenggisrana.

Kalasrenggi berketetapan hati untuk mengutarakan isi hati yang telah dipendamnya sedari kecil hingga menganggap sudah waktunya perasaan itu dimuntahkan dihadapan ibunya:

“ Ibu, aku merasa sudah cukup waktu untuk mengetahui, siapakah sejatinya diri kami ini” Kalasrenggi memulai pembicaraan setelah sekian lama terdiam ragu untuk mengutaraakan hal ini.

“Sedari kecil hingga dewasa, saya tidak pernah merasakan bagaimana rasa seorang anak dibimbing oleh bapaknya. Walaupun ajaran kesaktian kanuragan telah dipenuhi oleh ibunda yang sakti mandraguna, tapi rasa ini tidak dapat dibohongi, rasa kedekatan anak lelaki dengan ayahnya adalah idaman setiap anak lelaki, ibunda” sambung Kalasrenggi.

Termangu dewi Jatagini mendengar penuturan anaknya yang sebelumnya diperkirakan pasti suatu hari akan menanyakan hal itu.

“Baiklah anakku, mungkin sudah saatnya aku beritahukan hal tentang kedua orang tuamu yang sebenarya, hingga kamu hadir didunia sekarang”. Kemudian Jatagini menceritakan apa yang terjadi pada dirinya hingga terlahir Kalasrenggi.

******

Syahdan, ketika itu kakak beradik Prabu Jatayaksa dan Jatagini muda sedang kasmaran. Prabu Jatayaksa merindukan Dewi Subadra, yang sudah bersuamikan Arjuna, sedangkan Jatagini kasmaran dengan satria penengah Pandawa, Arjuna.

Jatayaksa berangkat ke Madukara sendiri hendak menculik Subadra, sedangkan Jatagini dengan diam-diam juga pergi dari Selamangleng hendak mencari Arjuna.

Keduanya memang sakti mandraguna dapat menjelma menjadi siapa saja yang diangankan.

Keduanya berubah menjadi orang orang yang dianggap dapat menaklukkan hati kekasih idamannya.

Nasib berkehendak lain, mereka bertemu dan memadu kasih sekembalinya ke Selamangleng. Lahirlah Kalasrenggi kemudian, seorang anak dengan ujud raksasa.

Curigalah keduanya dan berubah ujud kembali ke semula setelah saling mengaku kesejatian dirinya.

Page 25: Baratayuda 1

Dendam Jatayaksa dengan seribu rasa atas dipermalukannya keluarga Selamangleng tertumpah kepada Arjuna. Berangkatlah dia dengan lasykarnya menuju Madukara. Pertempuran terjadi antara prajurit Selamangleng dengan Madukara. Pertempuran Jatayaksadan Arjuna tidak dapat dielakkan lagi. Kesaktian Jatayaksa yang hebat membuat Arjuna keteteran yang akhirnya melepaskan panah Ardadedali mengenai dada Jatayaksa dan tewaslah sang raja Selamangleng.

*****

“Itulah anakku kejadian yang sebenarnya, ayahmu yang juga uwakmu berpesan padaku, untuk memberikan segenap kesaktian kepada kamu, dan setelah kamu dewasa carilah Arjuna, balaslah dendam yang tertanam dalam-dalam didadaku ini, anakku”pesan sang ibu mengakhiri penjelasan asal usul kejadian yang telah lalu itu.

“ Ibu ijinkalah anakmu berangkat sekarang juga. Berikan aku ciri ciri satria itu” tidak seranta Kalasrenggi hendak menuntaskan dendam kedua orang tuanya.

Sebenarnya keraguan Jatagini, harap akan keselamatan anaknya bercampur aduk dengan ijin yang diberikan.

“ Baiklah, tetapi menurut prajurit pangisepan telik sandi, saat ini Pandawa sedang berada di Wirata dan kamu tidak dapat mengenali Arjuna kalau tidak aku beri ciri cirinya” sambung sang ibu, yang kemudian menerangkan ciri target utama balas dendam.

*****

Adalah Bambang Irawan, yang baru turun gunung dari Pertapaan Yasarata atau Candibungalan. Cucu Resi Jayawilapa, memaksa turun gunung ingin mengabdikan diri demi kejayaan trah-nya, Pandawa, karena ia adalah anak Arjuna. Tanpa restu sang Panembahan dan ibunya Dewi Manuhara, Bambang Irawan berangkat ke Wirata seorang diri.

Setelah bertemu dengan ayahnya dan para saudaranya yang lain, Irawan menyatakan kesanggupannya menjadi bebanten bagi kejayaan keluarga, keluarlah Irawan dari balirung dan berkumpul dengan para prajurit yang siap siaga menuju tegal Kuru keesokan harinya.

Nasib naas menimpanya, ketika Kalasrenggi yang tengah berupaya mencari tahu keberadaan Arjuna melihat satria dengan ciri ciri yang hampir sama dengan yang disebutkan oleh ibundanya. Kalasrenggi rasaksa sakti yang dapat terbang itu segera turun, dan tanpa ba bi bu menyambar leher Bambang Irawan dengan moncongnya. Putus leher satria muda itu. Namun sebelum itu, sempat Bambang Irawan menancapkan pusakanya kedalam dada Kalasrenggi. Gugurlah Bambang Irawan berbarengan dengan lepasnya nyawa Kalasrengg.

Catatan: Terdapat versi lain yang menyebutkan, Kalasrenggi tewas oleh pusaka panah Srikandi ketika ketahuan membunuh Bambang Irawan, Pada babak awal Baratayuda.

Page 26: Baratayuda 1

Perang Besarpun Dimulai di Hari Pertama itu

Gambar : http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/3/3e/Kurukshetra_War.jpg

Dan ketika pagi merekah, berangkatlah dengan suara gemuruh lasykar besar dari Negara Wirata. Merah menyala busana barisan terdepan bagaikan semburat sinar matahari fajar yang membias mega dari puncak gunung gemunung ketika hendak menerangi jagat.

Susul menyusul warna warni barisan yang lain bergerak bersama, yang berwarna kuning kumpul sesama kuning terlihat seperti sekumpulan burung podang yang menguasai pucuk ranting-ranting pohon besar. Barisan yang berwarna putih berkumpul sesama putih, sehingga kelihatan bagaikan kumpulan burung kuntul menyebar memenuhi rawa rawa. Demikian juga barisan dengan seragam berwarna hijau, biru, hitam, ungu dan sebagainya terkumpul sesamanya.

Terlihat dari kejauhan, bebarisan prajurit dengan seragam berwarna warni elok bagaikan kelompok kembang setaman.

Suara gemerincing kendali dan kerepyak ladam kuda membentur bebatuan jalan, bercampur dengan irama tidak beraturan tangkai tombak yang saling beradu menambah hingar bingarnya suara barisan. Kemeriahan barisan ditingkah dengan suara tetabuhan tambur, suling, kendang dan bende serta kelebatnya bendera bersimbol warna warni, bagai hiasan

Page 27: Baratayuda 1

pesta, indah dipandang mata ! Debu akhir kemarau membubung tinggi dibelakang barisan menambah dramatis dalam pandangan siapapun yang melihat.

Diatas awan para dewa, dewi, hapsara, hapsari menyebar bunga mewangi, memuji, hendaknya barisan Pandawa dan sekutunya akan unggul dalam perang.

Pada barisan terdepan adalah lasykar setia dari Jodipati berbendera hitam dengan gambar gajah. Terlihat sang Werkudara yang selamanya tidak pernah berkendara, tetap dengan jalan kaki menggenggam gada super besar ditangannya. Dibelakangnya Patih Gagakbongkol mengiring langkah gustinya dengan tegap.

Berikutnya nampak Arjuna dengan kereta kencananya yang berhias sesotya gemerlap, lasykarnya berbendera merah keemasan dengan gambar kera ditengahnya. Disampingnya duduk istrinya, Wara Srikandi, anak Prabu Drupada, seorang wanita berwatak prajurit.

Susul menyusul dibelakangnya sesama barisan saudara Pandawa yang lain, Prabu Punta dengan memangku surat Jamus Kalimasadda, duduk diatas kereta. Disampingnya duduk Wara Drupadi dengan rambut terurai melambai ditiup angin. Dalam benak Sang Dewi terpikir, inilah saat yang ditunggu untuk keramas dengan darah Dursasana, seorang yang coba mempermalukannya pada pesta permainan dadu dahulu. Atas perlindungan dewa, kain kemben yang coba dilepas sang Dursasana menjadi tak berujung. Saat itulah Draupadi bersumpah untuk tidak bergelung sebelum keramas dengan darah Dursasana.

Susul menyusul dibelakangnya, kembar bungsu Pandawa Nakula dan Sadewa, dengan berbendera ungu bergambar dewa kembar, Batara Aswin-Aswan.

Pada barisan sekutu, barisan Dwarawati dipimpin Prabu Kresna beserta sang adik ipar Arya Setyaki, disambung barisan dari Wirata dengan pengawak Prabu Matswapati diiring kedua Putranya Utara dan Wiratsangka. Resi Seta, putra Sulung baginda Matswapati yang sedang dalam semedi di Selaperwata atau Sukarini-pun segera disusul utusan untuk memintanya turun gunung, diberi warta bahwa Baratayuda segera terjadi.

Dibelakangnya, lasykar Pancalareja/Pancalaradya prabu Drupada didampingi Pangeran Pati Arya Drestajumna, atau Trustajumena. Dibelakangnya kembali menyusul raja raja sekutu yang lain yang mengharap kemukten dengan ikut serta dalam perang suci ini.

Tak ketinggalan barisan yang dipimpin anak-anak muda Pandawa, Gatutkaca dengan pasukan raksasa dan manusia biasa dari Pringgandani, kemudian putra sang Arjuna, Abimanyu, putra sang Punta, Pancawala dan saudara muda yang lain.

Sampailah barisan di tepi lapangan yang maha luas, tegal Kurukasetra. Barisan yang mengumpul menjadi satu bagaikan pasangnya air samudra yang meleber ke daratan. Beberapa pesanggrahan dibangun untuk menjadi base camp dibeberapa tepi strategis. Prabu Puntadewa beserta para sesepuh menamai pesanggrahan utama sebagai Pesanggrahan Randuwatangan. Dengan penguat batang kayu pohon randu, dipadu patut dengan segala hiasan hingga menyerupai istana.

Page 28: Baratayuda 1

Pesanggrahan untuk para senapati dengan nama pasanggrahan Randugumbala, pesanggrahan dengan bahan kayu semak randu, sedang pesanggrahan untuk prajurit garda depan dengan nama Glagahtinunu, pasanggrahan dengan lahan rumput glagah yang dibakar terlebih dahulu.

******

Begitupun juga di pihak Kurawa, mereka membuat pesanggrahan yang dihias bagaikan istana yang sesungguhnya, dinamakan Pesanggrahan Bulupitu, pesanggrahan utama dimana para calon senapati dihimpun dalam satu naungan, sementara para prajurit melingkup disekitar pesanggrahan.

Ditempat lain Adipati Karna menempati pesanggrahan Ngurnting, Prabu Salya mesanggrah di Karangpandan.

******

Persiapan di pihak Pandawa dimatangkan, Dewi Kunti sudah datang diantar kembali iparnya Arya Yamawidura beserta putra sang Yamawidura, Arya Sanjaya ke Randuwatangan.

“Kanjeng Ibu, putra putra paduka mengharap restumu untuk mengemban tugas suci ini”. Puntadewa memulai pokok pembicaraan setelah haru biru berlalu, menyesali mengapa perang harus terjadi. Tetapi pada dasarnya mereka adalah kesatria waskita, yang dianugrahi hati penuh kebijaksanaan.

Kunti dengan penuh wibawa menguatkan batin anak anaknya,“Anak anakku, watak satria adalah mempunyai hati yang teguh. Tidak pernah merasa ragu dalam bertindak. Bila sudah dikatakan dahulu bahwa negara akan dikembalikan setelah masa perjanjian lewat, maka janji itu adalah hutang yang harus dibayar, dan kalian pantas untuk mendapatkan apa yang dijanjikan”.

“Sedangkan kamu semua adalah kesatria yang diidamkan oleh ayahmu dahulu, semua anak Pandu adalah anak anak yang teguh memegang janji. Sekarang ini adalah saat yang tepat untuk kalian semua berbakti kepada mendiang ayahmu, menjaga kebanggaan akan sikap yang ditanamkan sejak kamu masih kecil”

Sementara kebulatan tekad terlahirkan, Yamawidura , paman para Pandawa dan Kurawa, tidak tega ikut dalam perang, dalam pikirannya masih berkecamuk rasa sesal, kedua pihak adalah bagian dari darah dagingnya. Dan minta pamitlah Arya Yamawidura kembali ke Panggombakan, kadipaten dalam lingkungan kerajaan Astina.

******

Page 29: Baratayuda 1

Pesanggrahan Bulupitu. Prabu Duryudana dalam sidang darurat penetapan senapati.

Hadir didalamnya Prabu Salya dari Mandaraka sudah diundang datang. Demikian juga Resi Bisma dan Begawan Durna.

“ Para sesepuh semua dan saudaraku, tidak sabar rasaku ini hendak mulai menumpas Pandawa yang tidak tahu tata”. Duryudana mengambil inisiatif awal dengan menunjuk seorang senapati.

“Eyang Bisma, dengan segala hormat, kami para Kurawa meminta kanjeng Eyang menjadi senapati pertama”. Strategi Duryudana menunjuk. Dalam pikirnya, Baratayuda akan dibuat sesingkat mungkin.

Ia berkesimpulan, siapapun dari pihak Pandawa tidak akan mampu menanggulangi krida Sang Bisma Jahnawisuta, satria dengan nama muda Dewabrata, sarat dengan ilmu kaprawiran dilambari kesaktian hasil dari mesu raga olah batin pada sepinya pertapan Talkanda menjadikannya seolah tanpa tanding.

Sebenarnyalah Resi Bisma ada dalam situasi batin yang bertentangan dengan pihak yang ia bela. Dalam hatinya, kesatria Pandawa-lah yang terkasih ini tersimpan dalam relungnya.

Tetapi intuisi seorang Pandita waskita mengatakan, “inilah saatnya bagiku untuk mengunduh segala pakrti yang aku pernah perbuat dimasa lalu”.

Dalam benaknya terbayang, ketika ia pernah muda dan salah langkah, membunuh putri Kasi bernama Dewi Amba tanpa sengaja, untuk menghindari batalnya sumpah kepada sang ibu sambung, dewi Durgandini, bahwa ia akan menjalani hidup sebagai brahmacarya, seorang yang tak kan pernah menyentuh perempuan.

Terngiang dalam telinganya akan ajakan sang Dewi Amba ketika menjelang ajalnya menjemput, bahwa ia akan menggandeng tangan sang Dewabrata saat ia akan bertarung dengan prajurit wanita entah kapan. Dan dalam pengamatannya prajurit wanita yang pantas menjadi sarana kemuliaan adalah prajurit Pandawa. Kelompok satria utama yang pantas mengantarnya kembali ke alam tepet suci.

Satu hal lagi, Bisma akan kembali bertarung dengan Seta, seorang putra sulung raja Wirata yang sama sama gemar bertapa. Ketika itu mereka sepakat akan kembali bertarung mengadu kesaktian akibat dipisahkan Hyang Naradda, karena pertempuran mereka oleh suatu sebab menimbulkan panas hingga sampai ke Kahyangan Jonggring Salaka. Dan momen ini tak dapat ia tinggalkan melihat Wirata ada di pihak Pandawa.

Catatan: Terdapat versi lain, yang terbunuh oleh Raden Dewabrata ketika itu adalah Dewi Ambika. Namun versi pada cerita ini adalah ; Ketika itu Dewi Amba, Ambika dan Rambalika menjadi boyongan ke Astina ketika sayembara perang yang diselenggarakan Raja Kasi telah dimenangkan oleh Dewabrata.

Page 30: Baratayuda 1

Ketika itu kedua adiknya Citragada dan Wicitrawirya, diserahi putri penengah dan terakhir sehingga dewi Amba tetap mengharap untuk dinikahi Dewabrata. Namun sumpah Dewabrata kepada ibu tiri, Dewi Durgandini, yang khawatir tahta akan jatuh kepada Dewabrata atau anak turunnya, menyebabkan Dewabrata bersumpah untuk tetap melajang seumur hidupnya.

*******

Demikianlah, Senapati utama telah ditunjuk, dengan senapati pendamping Prabu Salya dan Pandita Durna. Formasi serangan mematikan telah disusun sesuai dengan ambisi sang Prabu Duryudana yang tidak mau mengulur waktu segera mengeluarkan jurus maut berisi orang orang sakti andalan.

Kata sepakat telah bulat, strategi telah disusun, pilihan jatuh pada gelar Wukir Jaladri, gunung karang ditepi laut dengan deburan ombaknya. Kokohnya pertahan karang laut dengan gerakan ombak laut yang dahsyat siap melumat barisan prajurit Pandawa. Gemuruh langkah cepat prajurit yang bergerak maju bagaikan membelah langit. Jumlah besar prajurit dari ujung hingga ke ujung lainnya hampir tak kelihatan, ditambahkan dengan pandangan yang tertutup debu yang mengepul. Kembali bebunyian penyemangat ditalu, tambur, suling, kendang, gong beri ditabuh membahana memekakkan telinga.

Randuwatangan. Segala kemungkinan sedang dirembug, Baginda Matswapati memberikan usul, “ Anak anak dan cucu cuku, negaraku, bahkan jiwaku beserta anak- anakku sudah aku pertaruhkan untuk kejayaan Pandawa. Sumpahku telah terucap, ketika cucu Pandawa sudah menyelamatkan keselamatan keluarga dan negara Wirata dari musuh dari dalam, Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala, dan musuh dari luar Para Kurawa lan sraya prajurit dari Trikarta Prabu Susarman”. Demikian Matswapati membuka usulannya.

“Dari itu, perkenankan sebagai senapati, angkatlah anak anakku. Ketiganya sekalian aku serahkan segala strategi gelar peperangan kepadamu sekalian”.

“Sebagai pengayom dan pengarah laku, segala tindak yang akan dilakukan untuk aku serahkan kepada Kanda Prabu Kresna” Puntadewa meminta Kresna untuk mengambil alih segala kebijakan dan strategi.

“Baiklah Eyang dan adikku para pandawa, aku terima usul eyang Baginda Matswapati. Uuntuk maju pertama kali sebagai senapati adalah eyang Seta sebagai senapati pertama dan utama, sedangkan sebagai pendamping adalah eyang Utara dan eyang Wirasangka”. Kresna memberikan ketetapan.

Catatan:

Pada versi lain, majunya Resi Seta ke palagan terjadi ketika Utara dan Wratsangka telah tewas dan terpancing kemarahan Resi Seta saat jugar dari tapa tidur.

Page 31: Baratayuda 1

Gegap gempita penyambutan para prajurit. Siapa yang tak tahu Resi Seta? Putra pertama Baginda Matswapati, guru sang Gatutkaca yang memiliki ajian Narantaka. Ajian yang bisa disejajarkan dengan ajian Lebur Seketi kepunyaan ayah Duryudana, Adipati Drestarastra. Bahkan bila Lebur seketi dapat meleburkan benda apapun yang diraba, maka Narantaka lebih dari itu, perbawa sekelilingnyapun menjadi panas terbakar bila aji ini dirapal.

Kesaktian Resi Seta bila dibandingkan, jauh diatas dari kesaktian adik adiknya, Utara, apalagi Wratsangka yang agak penakut.

Walaupun para Pendawa menyebut ketiga putra Wirata sebagai eyang, namun itu hanya sebatas sebutan menurut garis keturunan. Karena sesungguhnya Utara dan Wiratsangka adalah orang orang yang masih sebaya dengan para Pandawa, bahkan saking panjangnya umur Baginda Matswapati, putra pertama Resi Seta adalah sebaya Bisma sedangkan putri terakhir, Dewi Utari, malah sebaya dengan anak anak Pandawa.

Ketika strategi perang belum dibicarakan, Wara Srikandi yang bertugas mengamati garda depan di Glagahtinunu dengan tergesa menghadap sidang. Lapornya “Semua yang hadir, sekarang para Kurawa sudah mendatangi palagan dengan menggelar strategi perang Wukir Jaladri. Kami di garda depan sudah sempat berhadapan dengan barisan depan mereka, tetapi kami sendiri dan Setyaki serta kakang Udawa berkesimpulan untuk kembali terlebih dulu sebagai wujud kita semua menggelar peperangan ini bukanlah perang ampyak, melainkan perang dengan memakai aturan “.

Braja Tiksna Lungid. Gelar serupa seberkas bola api meteor dirancang Sri Kresna untuk menghadapi gelar lawan, meteor panas dan tajam yang mampu meremukkan karang laut sekalipun. Gelar frontal yang dirancang langsung berhadapan antar kedua senapati utama, untuk menghindari kelemahan para pendamping, Utara dan Wratsangka. Namun sewaktu waktu gelar dapat dirubah menjadi Garuda Nglayang dengan kedua sayap diisi senapati pendamping, dengan back up Werkudara terhadap Arya Utara dan Arjuna terhadap Arya Wratsangka disisi kiri dan kanan.

Diceritakan, kedua pihak barisan telah berhadapan. Gemetar sang Arjuna melihat suasana yang tergelar didepan mata. Keraguan hati Arjuna disikapi Sri Kresna. Didekatinya Arjuna yang berdiri termangu.

“Kanda Kresna, apalah artinya peperangan ini. Perang yang terjadi sesama saudara. Mereka yang saling berhadapan adalah kakaknya, adiknya, keponakan, paman dan seterusnya. Bahkan guru dan murid juga terlibat” demikian sang Arjuna tersentuh rasa kemanusiaannya.

Lanjutnya “Apakah masih ada gunanya saya meneruskan suasana seperti ini, apakah tidak sebaiknya apa yang terlihat didepan mata disudahi saja?”.

“Iparku, bukankan sudah menjadi ketetapan dalam sidang bahwa inti dari peperangan ini bukan lagi berkisar pada kembalinya Astina sebagai hal yang utama, walaupun demikianlah kenyataannya” Kresna mulai mencoba menghilangkan keraguan yang kembali meliputi batin Arjuna”.

Page 32: Baratayuda 1

“Tetapi darma dari satria yang tersandang dalam jiwa adalah menegakkan aturan yang sudah ditetapkan. Dan lagi, perang ini bukan sekedar perang memperrebutkan negara, tetapi dibalik itu, perang ini adalah sarana memetik hasil pakarti para manusia didalamnya dan juga alat untuk meluwar janji yang telah terucap, perang idaman para brahmana, jangka para dewa. . . . . . . .. . . .” banyak banyak nasihat yang dikatakan Kresna untuk menguatkan hati Arjuna.

“Tetapi apakah aku dapat tega melepas anak panah, bila dihadapanku adalah orang yang aku agungkan?” tanya Arjuna.

“Dalam perang bukanlah tempat untuk murid membalas jasa kepada guru, bukan membalas kebaikan antara yang memberi dan menerima kebaikan, tetapi dalam peperangan itu adalah berhadapannya kebaikan dan angkara murka. Lagi pula banyak satria yang akan membantu menghadapi orang yang kau agungkan, jadi tidak perlulah kamu sendiri yang menghadapinya. Tapi bila memang harus bertanding juga, sembahlah terlebih dulu para junjunganmu sebelum kamu bertempur, niscaya beliaupun akan menghormati kamu, Arjuna” Kresna menjelaskan.

Demikianlah, maka perang campuh berlangsung sengit. Suara dentang pedang beradu memekakkan telinga. Gesekannya memancarkan bunga api bagai keredap kilat, mengerikan. Saling bunuh terjadi, siapa yang terlena akan terkena senjata lawan. Teriakan kesakitan para prajurit dan hewan tunggangan yang terkena senjata membuat giris prajurit yang berhati lemah. Dilain pihak, prajurit yang haus darah terus merangsek penuh nafsu membunuh. Sementara di angkasa hujan anak panah bagai ditumpahkan dari langit.

Pertempuran antara kedua senapati utama Seta dan Bisma juga berlangsung seru, keduanya pernah beradu kesaktian kala itu, kembali bertempur dengan peningkatan ilmu kanuragan yang tak pernah mereka tinggalkan pengasahannya, sehingga tingkat kemampuan bertempur mereka berdua semakin tinggi. Arena pertarungan seakan menjadi kepunyaan mereka, karena lingkaran hawa panas keluar dari lingkaran peperangan, sebab tak ada prajurit yang berani mendekati arena pertarungan antar keduanya.

Ditempat lain, pertempuran senapati pendamping juga berlangsung seru. Senapati Kurawa, walaupun keduanya sudah tua, namun mereka dengan kesaktiannya yang mapan dan matang mampu mengatasi kekuatan dua anak muda Wirata. Tidak heran, karena semasa muda keduanya adalah satria pilih tanding. Bahkan Durna dengan kekurangan fisik, walau hanya bertangan tunggal, tetapi posisinya selalu diatas angin. Sehingga terus merangsek dan mendesak Wratsangka.

Ketika matahari sudah tergelincir kearah barat, Durna menyudahi pertempuran. Wratsangka terkena pusaka Cundamanik, gugur sebagai tawur perang.

“Wratsangka tewas . . . , Wratsangka tewas . . . . .!!” teriakan para prajurit Kurawa memberikan kipasan angin segar kepada kawan kawannya.

Motivasi prajurit Kurawa yang sudah mengendor kelelahan, berkobar kembali ketika mendengar tewasnya Wiratsangka.

Page 33: Baratayuda 1

Dilain pihak, gugurnya Wiratsangka membuat kedua kakaknya menjadi makin liwung, beringas. Seta dengan ajiannya, Narantaka, kobaran api dari kedua tapak tangannya meluluh lantaklah prajurit kecil yang menghalanginya. Hewan tunggangan para senapati seperti kuda, gajah bahkan kereta perang banyak remuk redam dan gosong terkena amuk Resi Seta. Demikian juga kroda sang Utara, yang tak lama kemudian mampu merobohkan pertahanan Prabu Salya. Kereta yang ditumpanginya Salya terkena sabetan gada Utara, pecah berantakan. Prabu Salya selamat namun si kusir, patih Mandaraka Tuhayata, ikut tewas tertebas.

Putra Salya, Arya Rukmarata yang mencoba melidungi ayahnya akhirnya tewas terkena panah Resi Seta yang sementara menghindari peperangan dengan Bisma ketika mendengar adiknya terkasih tewas ditangan Durna.

Dendam membara menguasai hati Sang Seta. Dicarinya Durna yang segera dilindungi rapat oleh para pengikut setianya. Bisma tak tinggal diam, dibayanginya Seta hingga tidak dengan leluasa melampiaskan dendamnya kepada Durna.

Sementara itu, Prabu Salya sangat terpukul. Anak lelaki tampan kekasih hatinya tewas melindunginya. Tewas dengan dada tertembus panah. “Jagad dewa batara..!, anakku …., kau yang aku harapkan menjadi penggantiku kelak, ternyata malah mendahului aku. Seperti apa derasnya air mata yang tertumpah, bila ibumu Setyawati mendengar kabar tentang kematianmu ngger….. “. Bagai kehilangan seluruh kekuatannya, Prabu Salya membelai jasad anak tercintanya.

Tiba tiba Prabu Salya berdiri. Disapunya pandangan dengan nanar, mencari dimana Utara berada. Kemarahannya menggelegak dengan hebatnya. Sementara Utara yang sedang ganti berhadapan dengan Kartamarma dan Durjaya segera diterjang.

“Berikan lawanmu Kartamarma, Durjaya, orang ini pantas menjadi korbanku hari ini!!!”

Kembali pertempuran yang terputus berlangsung. Kemarahannya memaksa mengeluarkan raksasa bajang dari dalam tubuhnya. Tertebas gada sang Utara, raksasa bajang bukannya mati, malah membelah diri menjadi dua. Dua dua tertebas, raksasa bajang bertambah banyak dengan jumlah ganda. Itulah ajian Candabirawa. Aji pemberian mertuanya, Resi Bagaspati.

Kerepotan Utara melayani lawan yang semakin banyak. Terlena sang Utara, panah Prabu Salya, Kyai Candrapati yang dari tadi tertuju kepadanya segera dilepaskan, mengena tubuh Utara, gugur pula ia sebagai kusuma bangsa dalam peperangan pada ujung hari.

Senja telah datang di hari pertama itu. Dan hari pertama pertempuran telah ditetapkan berakhir ketika sangkakala ditiupkan. Bangkai kuda, gajah kendaraan para prajurit terkapar bersama ribuan sekalian prajurit.

Hari pertama itu mengawali delapan belas hari pertempuran yang akan berlangsung penuh hingga selesai, dan empatbelas hari diantaranya berlangsung ketika Bisma madeg senapati.

Page 34: Baratayuda 1

Hari-hari Panjang di Padang Kurusetra

Malam telah larut. Api pancaka sudah hampir padam. Api suci yang membakar kedua putra Wirata, Arya Utara dan Wratsangka, yang gugur sebagai prajurit gagah berani. Kesunyian malam mulai mencekam, bintang dilangit berkelipan menyebar, sebagian berkelompok membuat rasi. Menjadi pedoman bagi manusia atas arah mata angin diwaktu malam mati bulan, serta menjadi titi waktu kegiatan manusia sepanjang tahun, yang akan berulang dan terus berulang entah sampai kapan. Angin semilir menyebarkan bau harum bunga liar. Lebah malam terbang dengan dengung khasnya mencari bunga dan menghisap sari kembang.

Para prajurit yang letih dalam perang seharian memanfaatkan malam itu sebagai pemulihan tenaga yang esok hari peperangan pasti dilakoninya kembali. Dalam pikiran mereka berkecamuk pertanyaan, apakah besok masih dapat menikmati kembali terbenamnya matahari? Bagi para prajurit pihak Pandawa, kalah menang adalah darma. Kebajikan dalam membela kebenaran akan memberi kemukten dialam kelanggengan bila tewas, atau mendapatkan kedua duanya, dialam fana juga dialam baka nanti, bila nyawa masih belum terpisahkan dari raga.

Malam itu Resi Seta duduk gelisah. Rasa sasar sebelum mampu membalaskan dendam kematian adik adiknya masih terus berkecamuk. Sesal kenapa perang cepat berlalu hingga tak sempat dendam itu terlampiaskan saat itu juga.

“Belum lega rasaku sebelum aku dapat membekuk kedua manusia yang telah menyebabkan kematian kedua adikku”. Sayang, aturan perang tidak mengijinkan perang diwaktu malam terus berlangsung.

Resi Seta terus terjaga, hingga ayam hutan berkokok untuk pertama kali barulah mata terpejam. Didalam mimpinya yang hanya sekejap, terlihat kedua adiknya tersenyum melambaikan tangannya. Mereka sangat bahagia, mengharap, bila saatnya ketiganya akan berkumpul kembali.

Page 35: Baratayuda 1

*********

Hari baru telah menjelang. Kembali hingar bingar membangunkan Seta dari tidur.

Hari itu gelar perang masih memakai formasi sehari lalu.

Belum matahari naik sejengkal campuh pertempuran berlangsung kembali. Kali ini Salya dan Durna disimpan agak kebelakang. Sebagai gantinya, Gardapati dan Wersaya , dua raja sekutu Kurawa di masukkan dalam barisan depan sebagai pengganti tombak kembar penggedor pertahanan lawan.

Dari pihak Randuwatangan, Werkudara dan Arjuna menjadi pengganti posisi Utara dan Wratsangka untuk mengimbangi laju serang dua sayap Kurawa.

Dari jauh hujan panah sudah berlangsung. Seta dengan amukannya mencari biang kematian kedua adiknya. Direntangnya busur dan anak panah ditujukan kepada Salya, sayang luput dan hanya mengenai kereta perangnya yang kembali remuk.

Kartamarma dengan gagah berani menghadang, tetapi bukan tandingan Seta. Kembali nasib baik masih menaungi Kartamarma, hanya kendaraannya yang remuk, sementara Kartamarma selamat.

Bisma mencoba membantu, dilepas anak panah kearah Seta, terkena di dadanya, tetapi tidak tedas, bahkan anak panah patah berkeping.

Bukan main marah Seta, kembali ia mengamuk semakin liwung. Kali ini Durna sebagai sasaran anak panahnya, namun Duryudana membayangi, yang kemudian terkena anak panah Seta. Walau tidak terluka, Duryudana mundur kesakitan dengan menggandeng Durna menyingkir mencari selamat.

Sebagai Senapati utama dari kedua pihak, Bisma dan Seta kembali bertarung. Saling serang dengan gerakan yang semakin lama makin cepat. Seta yang sebenarnya memiliki kesaktian lebih tinggi dari Bisma tidak bisa lekas menyudahi pertempuran. Perhatiannya masih terpecah dengan rasa penasaran untuk membela kematian adik adiknya. Dengan sengaja Seta menggeser arena pertandingan mendekati Durna. Namun kesempatan itu tidak dapat ditemukannya. Durna sangat dilindungi, demikian juga dengan Salya, keduanya seakan dijauhkan dari dendam membara Seta.

*********

Hari berganti, pertempuran seakan tak hendak padam. Sudah berjuta prajurit tewas, tak terhitung lagi remuknya kereta perang dan bangkai kuda serta gajah kendaraan para prajurit petinggi. Bau anyir darah dan jasad yang mulai membusuk, mengundang burung burung pemakan bangkai terbang berkeliaran diatas arena pertempuran. Pertarungan kedua senapati linuwih hanya dapat dipisahkan oleh tenggelamnya matahari.

Page 36: Baratayuda 1

********

Hingga suatu hari, keseimbangan kekuatan keduanya mulai goyah, kelihatan Seta lebih unggul dari Bisma, secara fisik maupun kesaktian. Mulai merasa diatas angin Seta sesumbar“Hayo Bisma, keluarkan semua kesaktianmu, setidaknya aku akan mundur walaupun setapak”.

“Jangan merasa jadi lelaki sendirian dimuka bumi ini, lawan aku, hingga tetes darah penghabisan pun aku tak akan menyerah”. Bisma tidak mau kalah menyahut.

Tetapi apa daya, tenaga Seta yang sedikit lebih muda mampu terus mendesak pertahanan Bisma. Merasa terus terdesak, tak terasa posisi Bisma sampai hingga ketepi bengawan Gangga. Terjatuh ia dari tepi jurang bengawan yang kelewat luas dan dalam.

Tertegun Seta dibibir jurang, ditungguinya timbul Bisma ke permukaan air beberapa saat, namun hingga sekian lama jasad Bisma tak kunjung muncul.

***********

Diceritakan, Bisma yang terjerumus kedalam palung bengawan, ternyata tidak tewas. Samar terdengar ditelinganya sapaan seorang perempuan, “Dewabrata, inilah saat yang aku tunggu, kemarilah ngger. . . !”

Dicarinya suara itu yang ternyata keluar dari mulut seorang wanita cantik dengan dandanan serba putih.

“Siapakah paduka sang dewi, yang mengerti nama kecil hamba. Pastilah paduka bukan manusia biasa. Malah dugaanku padukalah yang hendak menjemput hamba dari alam fana ini….” Dewabrata menjawab dengan seribu tanya.

Wanita itu menggeleng “ Bukan . . . , akulah Gangga ibumu”

“Benarkan itu, selamanya aku belum pernah melihatnya. Dan seumur hidup ini aku selalu merindukan wajah itu.”

“Ya, akulah ibumu ini”, sang dewi mendekat membelai anaknya. Ibu yang dahulu adalah seorang bidadari yang dipersunting Prabu Sentanu.

“Pantaslah kamu tidak mengenal wajah ibumu ini, karena aku telah meninggalkan kamu sewaktu masih bayi”. sambung Sang Batari.

********

Beginilah cerita singkatnya ngger anakku :

Page 37: Baratayuda 1

“Pada suatu hari ayah Prabu Sentanu, ayahmu, yaitu Prabu Pratipa sedang bertapa. Saat sudah mencapai hari matangnya semadi, aku duduk dipangkuan sang Prabu Pratipta, nyata kalau aku terpesona oleh aura sang prabu yang bersinar kemilau dan juga ketampanannya.

Dari kencantikan yang aku punya, sebenarnya Prabu Pratipa juga sangat terpesona denganku, namun tujuan utamanya bukanlah jodoh yang sang Prabu dikehendaki. Maka Prabu Pratipa berjanji, bila dia mempunyai anak lelaki kelak, maka ia akan menjodohkannya dengan diriku, disaksikanlah janji itu oleh alam semesta.

Benar, takdir mempertemukan kembali aku dengan anak Prabu Pratipa, Raja Muda Sentanu, ketika Sang Prabu sedang cengkerama berburu.

Demikianlah, aku dan ayahmu saling jatuh cinta, dan kembali ke Astina bersama sama.

Sayang seribu kali sayang, ada satu permintaan ku yang diasa kelewat berat ketika diutarakan kepada ayahmu. Setiap aku melahirkan, maka anak itu harus dihanyutkan di bengawan Gangga.

Sekian lama ayahmu, Sentanu tidak dapat memutuskan persoalan yang maha berat baginya.

Asmara akhirnya mengalahkan logika. Kecantikanku yang selalu belalu dihadapannya setiap waktu, memancing gairah kelelakian Prabu Sentanu hingga disanggupinya permitaan yang satu itu.

Hari berganti, bulan berlalu dan tahun tahunpun susul menyusul menjelang. Lahir satu demi satu anak anakku. Belum sampai menyusu, bayi merah dihanyutkan di Bengawan Gangga. Hingga akhirnya lahir anakku yang ke sembilan.

Anak yang lahir ini sangat mempesona Prabu Sentanu, dengan aura cahaya cemerlang, senyum cerah dan tingkah lucu meluluhkan cinta sang Sentanu terhadapku. Anak itu adalah kamu Dewabrata! Tambahan lagi kesadaran ayahmu terhadap rasa kemanusiaan, mengalahkan cinta berlandas birahi terhadap diriku.

Pertengkaran sebab dari perbedaan pendapat berlangsung setelah itu dari hari kehari, hingga terucap kata kataku, bahwa aku harus meninggalkan Astina kembali ke alam kawidodaren”.

Demikan Sang Batari Gangga mengakhiri cerita masa lalunya.

Memang demikaian adanya. Prabu Sentanu saat ditinggal istrinya, sangat kesulitan mencarikan susuan untuk anaknya. Ratusan wanita tewas ketika mengharap dapat dipersunting Sang Prabu, sebagai ganti atas air susu yang dilahap putera kerajaan, Raden Dewabrata, atau Jahnawisuta alias Raden Ganggaya . Kelak Sang Sentanu dapat menemukan kembali pengganti ibu Dewabrata sekaligus istrinya, yaitu Dewi Durgandini, kakak Raden

Page 38: Baratayuda 1

Durgandana yang ketika bertahta menggantikan ayahndanya bergelar Sang Baginda Matswapati.

Durgandini sendiri mengalami cerita asmara rumit antara Palasara kakek moyang Pandawa, dan Sentanu.

Itulah kenapa Bisma Jahnawisuta, Sang Putra Bengawan, tidak pernah bertemu ibunya hingga saat Baratayuda tiba.

“Nah sekarang katakan, ada apa denganmu, kenapa kamu ada disini, anakku..?” sang Batari menyelidik atas peristiwa yang tak terduga ini.

Lalu Dewabrata menceritakan dari awal hingga ia terjerumus kedalam lautan.

“Pertolongan ibu sangat aku harapkan, agar aku tidak mendapat seribu malu atas tanggung jawab Negara yang telah dibebankan diatas pundak ini, ibu!”

“Baiklah, sekarang kembalilah ke medan pertempura, Aku bekali dengan senjata panah sakti bernama Cucuk Dandang, lepaskan kearah lawanmu”. Kasih ibu sekali ini memberikan tunjangan terhadap anak yang sedang dalam kesulitan.

Gembira sang Bisma menerima pusaka itu. Niat untuk berlama lama melepas kangen dengan sang ibu diurungkan. Segera ia memohon pamit.

********

Seta kembali mengamuk di palagan setelah yang ditunggu tidak juga timbul. Tandangnya membuat giris siapapun yang ada didekatnya. Namun tidak sampai separuh hari, kembali ia dikagetkan dengan kemunculan Bisma.

“ Seta, jangan kaget, aku telah kembali. Waspadalah, apa yang kau lihat?” Bisma datang dengan senyum lebar. Menggenggam busur serta anak panah ditangan, kali ini ia yakin dapat mengatasi kroda sang Seta.

“ Hmm . . . , Bisma, apakah kamu baru berguru kembali? Atau kamu kembali datang hendak menyerahkan nyawa?” Seta menyahut dengan masih menyimpan percaya diri yang besar.

Segera tanpa membuang waktu, Bisma merentang busur dengan terpasang anak panah Kyai Cucuk Dandang. Panah dengan bagian tajam berbentuk paruh burung gagak hitam, melesat dengan suara membahana dari busurnya, tembus dada hingga kejantung. Menggelegar tubuh sang resi terkena panah , jatuh kebumi seiring muncratnya darah dari dada sang satria.

Page 39: Baratayuda 1

Sorak sorai para Kurawa membelah langit senja. Dursasana terbahak kegirangan. Durmagati berceloteh riang. Kartamarma dan adipati Sindureja Jayadrata menari bersama, Srutayuda, Sudirga, Sudira dan saudara lainnya memainkan senjatanya seakan perang telah berakhir dengan kemenangan didepan mata.

Sementara itu, para Pendawa dan anak anaknya mendekati Resi Seta yang berjuang melawan maut. Dengan lembut Arjuna memangku Seta dengan kasih. Perlahan Seta membuka mata, “Cucuku Pendawa . . . . . sudah tuntas … Perjuanganku sudah berakhir, tetaplah berjuang… kebenaran ada pada pihakmu . . . . . “

Kresna sangat marah dengan kematian Resi Seta, dihunusnya panah Cakrabaswara hendak ditujukan kepada Resi Bisma.

Waspada sang Resi Bisma, didatanginya Kresna sambil mengingatkan “Duh Pukulun Sang Wisnu yang aku hormati, apakah paduka Sang Kesawa hendak mengubah jalannya sejarah yang sudah ditetapkan. Bukankan sumpah dewi Amba, yang akan menjemput titah paduka adalah prajurit wanita”

Tersadar Kresna dengan perkataan itu, segera Kresna mundur dari peperangan.

Begitu pula Werkudara, melihat junjungannya tewas Werkudara mengamuk hebat, dicabutnya pohon randu besar dan disapunya para prajurit lawan didepannya hingga terpental bergelimpangan. Jadilah mereka korban yang tak sempat menghindar. Yang masih sempat berkelit melarikan diri kocar kacir mencari selamat.

Senja hari menyelamatkan barisan Kurawa hingga korban yang lebih besar terhindarkan.

Catatan:

Versi lain menyebutkan Seta tewas oleh panah Bargawastra, panah pusaka warisan guru Resi Bisma, Rama Parasu atau Rama Bargawa. Tidak ada pertemuan dengan Dewi Gangga sebelumnya ketika Bisma mengalahkan Seta.

Kembali Matswapati kehilangan putranya. Bahkan sekarang ketiga tiganya telah sirna. Kesedihannya sangat mendalam, hilang semua putra yang diharapkan menjadi penggantinya kelak. Pupus sudah harapan akan kejayaan penerus keluarga Matswa. Tetapi dasarnya ia adalah raja besar yang menggenggam sabda brahmana raja. Tak ada kata sesal yang terucap.

“Cucu-cucuku, jangan kamu semua merasa bersalah atas putusnya darah Matswa, aku masih punya satu harapan besar atas darah keturunanku. Lihatlah di Wirata, eyangmu Utari sudah mengandung jalan delapan bulan, anak dari Abimanyu, anakmu itu Arjuna !” Matswapati memberikan pijar sinar kepada Pandawa, agar rasa bersalah atas terlibatnya dengan dalam Wirata dalam perang.

Page 40: Baratayuda 1

“Bukankah keturunanku dan keturunanmu nanti sudah dijangka, akan menjadi raja besar setelah keduanya, Abimanyu dan Utari, mendapat anugrah menyatunya Batara Cakraningrat dan Batari Maninten?” Relakan eyang-eyangmu Seta, Utara dan Wratsangka menjalani darma sehingga dapat meraih surga. Aku puas dengan labuh mereka, yang nyata gagah berani menjalani perannya sebagai prajurit utama, yang gugur sebagai kusuma negara.”

Malam itu Matswapati memberikan nasihat pembekalan kepada pemuka pihak Pandawa yang hadir dalam sidang di pesanggrahan Randuwatangan, setelah upacara pembakaran jenasah Seta selesai dilakukan.

Rekadaya Durna, Sang Senapati Tua

Bagai tersaput kabut suasana dalam sasana Bulupitu. Gelap pekat dalam pandangan Prabu Duryudana. Kesedihan yang teramat dalam dibarengi dengan kekhawatiran akan langkahnya kedepan setelah gugurnya Resi Bisma, membuat Duryudana duduk tanpa berkata sepatahpun. Sebentar sebentar mengelus dada, sebentar sebentar memukul pahanya sendiri. Sebentar kemudian mengusap usap keningnya yang berkerut. Hawa sore yang sejuk menjelang malam, tak menghalangi keluarnya keringat dingin yang deras mengucur dan sesekali disekanya, namun tetap tak hendak kering. Dalam hatinya sangat masgul, malah lebih jauh lagi, ia memaki maki dewa didalam hati, kenapa mereka tidak berbuat adil terhadapnya.

Tak sabar orang sekelilingnya dalam diam, salah satunya adalah Prabu Salya. Dengan sabar ia menyapa menantunya. “Ngger, apa jadinya bila pucuk pimpinan terlihat patah semangat, bila itu yang terjadi, maka prajuritmu akan terpengaruh menjadi rapuh sehingga gampang rubuh bila terserang musuh”.

Terdiam sejenak Prabu Salya mengamati air muka menantunya. Ketika dilihat tak ada perubahan, kembali ia melanjutkan, “Jangan lagi memikirkan apa yang sudah terjadi. Memang benar, kehilangan senapati sakti semacam Resi Bisma, eyangmu itu, tak mudah

Page 41: Baratayuda 1

untuk digantikan oleh siapapun. Namun tidakkah angger melihat, aku masih berdiri disini. Lihat, raja sekutu murid-murid Pandita Durna, yang disana ada Gardapati raja besar dari Kasapta. Disebelah sana lagi ada Prabu Wersaya dari Negara Windya, sedangkan disana berdiri Raja sentosa bebahunya, Prabu Bogadenta dari Negara Turilaya, Prabu Hastaketu dari Kamboja, Prabu Wrahatbala dari Kusala, disebelah sana ada lagi Kertipeya, Mahameya, Satrujaya, Swarcas *) dan tak terhitung raja raja serba mumpuni olah perang lainnya yang aku tidak dapat disebu satu persatu. Para manusia sakti mandraguna masih berdiri disekelilingmu. Belum lagi gurumu Pandita Durna masih berdiri dengan segudang kesaktian dan perbawanya. Ada kakakmu Narpati Basukarna. Dan jangan remehkan juga pamanmu Sangkuni, manusia dengan ilmu kebalnya. Masih kurangkah mereka menjadi penunjang berdirinya kekuatan Astina?”

Sekali lagi Prabu Salya mengamati wajah menantunya yang sebentar air mukanya berubah cerah, mengikuti gerakan tangan mertuanya menunjuk para raja dan parampara yang ada di balairung.

Sejenak kemudian, pikiran dan hati Prabu Duryudana mencair, tergambar dari air mukanya yang menjadi cerah.

Tak lama kemudian, sabda Prabu Duryudana terdengar “ Rama Prabu Mandaraka, Bapa Pandita Durna, Kakang Narpati Basukarna dan para sidang semua, terliput mendung tebal seluruh jagatku, tatkala gugurnya Eyang Bisma, seakan akan patah semua harapan yang sudah melambung tinggi, tiba-tiba tebanting di batu karang, remuk redam musnah segalanya”.

Sejenak Prabu Duryudana terdiam. Setelah menarik nafas dalam dalam, ia melanjutkan “Namun setelah Rama Prabu Salya membuka mata saya, bahwa ternyata disekelilingku masih banyak agul agul sakti, terasa terang pikirku, terasa lapang dadaku!. Terimakasih Rama Prabu, paduka telah kembali membangkitkan semangat anakmu ini”.

“Ngger anak Prabu, sekarang anak Prabu tinggal memilih, siapakah gerangan yang hendak diwisuda untuk menjadi senapati selanjutnya. Silakan tinggal menunjuk saja. Ssemua sudah menanti titah paduka, angger Prabu”. Pandita Druna memancing dan mencadang tandang dan mengharap menjadi senapati pengganti.

“Baiklah, besok hari, mohon perkenannya Paman Pandita Durna untuk menyumbangkan segala kemampuan gelar perang, mengatur strategi bagaimana agar secepatnya para Pandawa tumpas tanpa sisa”

Gembira Pandita Durna terlihat dari wajahnya yang berseri seri. “Inilah yang aku harap siang dan malam, agar menjadi pengatur strategi yang nyatanya sudah aku mengamati dari hari kehari, apa yang seharusnya aku lakukan untuk kejayaan keluarga Kurawa”.

“Sukurlah kalau demikan, ternyata tak salah aku memilih Paman Pandita yang sudah mengamati bagaimana cara menumpas musuh. Perkenankan Paman Pandita membuka gelar strategi itu”. Kali ini senyum Prabu Duryudana makin lebar.

Page 42: Baratayuda 1

“Begini ngger, seperti yang sudah pernah diutarakan oleh Resi Bisma, kekuatan Pendawa itu sebenarnya ada pada Werkudara dan Arjuna. Nah, sekarang mereka menggelar perang dengan formasi Garuda Nglayang, dengan sayap kiri ditempati oleh Werkudara, sedangkan di sayap kanan ada di pundak Arjuna”.

“Bila kedua sayap itu dibiarkan utuh, maka kita akan keteteran menghadapi serangan kedua orang itu. Cara satu satunya adalah bagaimana kita melepas tulang sayap itu sehingga kekuatannya akan menjadi hilang. Satu hari saja mereka dipisahkan dari barisan, segalanya akan berjalan mulus untuk kemenangan kita”. Sejenak Pandita Durna menghentikan beberan strategi. Matanya mengawasi para yang hadir didalam balairung. Setelah yakin bahwa semua penjelasan awal dimengerti, terlihat dari anggukan hadirin, Durna meneruskan.

“Sekarang bagaimana caranya?” kembali ia berhenti. Matanya kembali menyapu satu demi satu hadirin dengan percaya diri sangat tinggi. Lanjutnya “Nak angger, untuk memuluskan langkah kita melolosi kekuatan Pandawa satu demi satu, besok hari akan digelar barisan dengan tata gelar Cakrabyuha. Gelar ini diawaki ruji-ruji terdiri dari Prabu Salya, Nak Mas Adipati Karna, Adipati Jayadrata, Yayi Resi Krepa , Kartamarma, Prabu Bogadenta, Dursasana , Aswatama, Prabu Haswaketu, Kertipeya serta Wrahatbala. Semuanya membentuk lingkaran, sedangkan dalam poros adalah anak Prabu Duryudana”.

Merasa tidak disebut, Prabu Gardapati dan Prabu Wresaya berbareng mengajukan pertanyaan, “Adakah kekurangan kami sehingga kami tedak dipercaya terlibat dalam susunan gelar?”

Terkekeh tawa Pandita Durna mengamati mimik muka ketidak puasan yang terpancar dari kedua Raja Seberang ini.”Jangan khawatir, justru kamu berdua akan aku beri peran yang cukup besar untuk gelar strategi perang esok hari !” sambungnya sambil memainkan tasbih yang selalu melekat ditangannya.

Wajah wajah yang tadinya menampakkan rasa kecewa, wajah Prabu Gardapati dan Prabu Wersaya kembali sumringah “Apakah peran kami berdua ? Sebesar apa sumbangan yang bisa kami berikan agar jasa kami selalu dikenang dibenak saudara-saudara kami Kurawa?” Tak sabar Gardapati mengajukan pertanyaan.

“Naaa . . . Begini Gardapati, Wersaya, besok secara pelan dan pasti, pancing kedua sayap kanan dan kiri Werkudara dan Janaka untuk mejauh dari barisan utama dan ajaklah mereka bertempur hingga ke pinggir hutan pinggir pantai. Anak Prabu Gardapati dan Wersaya, segera tancapkan senjata saktimu ketanah berpasir, bukankah senjata pusakamu dapat membuat pasir menjadi hidup dan berlumpur, mereka terperosok masuk dalam perangkap pasir itu. Semakin kuat mereka bergerak, pasir hidup itu akan menarik mereka kedalam. Pasti keduanya akan segera tewas”.

******

Sementara itu di Pesanggrahan Randuwatangan, Prabu Matswapati, Prabu Puntadewa dan Prabu Kresna serta segenap para prajurit utama juga mengadakan pertemuan membahas langkah yang dituju untuk mencapai posisi unggul di esok hari.

Page 43: Baratayuda 1

Namun sebelumnya, mereka mengadakan upacara pembakaran jasad Resi Bisma secara sederhana, namun dilimputi dengan suasana tintrim dan khidmad. Walau sejatinya Resi Bisma adalah senapati lawan, namun kecintaan para Pandawa terhadap leluhurnya taklah menjadi sekat terhadap rasa bakti mereka.

Prabu Punta yang duduk berdiam diri dengan rasa sedih atas kematian Resi Bisma, tak juga memulai sidang. Namun Prabu Kresna segera memecah kesunyian, menyapa Prabu Punta. Tetapi yang terlontar dari jawaban Prabu Puntadewa, adalah penyesalan diri. Mengapa perang terjadi sehingga menyebabkan tewasnya Resi Bisma.

Kembali Kresna menasihati adik-adiknya. Semua diuraikan lagi, mengapa perang ini harus berlangsung dan intisarinya perang Baratayuda sesungguhnya apa.

Cair kebekuan hati Prabu Punta, segera inti pembicaraan sidang ditanyakan kepada Prabu Puntadewa.“Yayi Prabu, sidang sudah menanti titah paduka untuk langkah yang akan kita arahkan besok hari. Adakah yang perlu yayi sampaikan dalam sidang ini ?”

“Terimakasih kakang Prabu yang selama ini sudah membimbing kami semua, pepatah mengatakan kakang Prabu dan kita semua, sudah terlanjur basah, alangkah lebih baik kita mencebur sekalian” Prabu Puntadewa sejenak terdiam. Dalam pikirannya masih diliputi dengan peristiwa yang sore tadi berlangsung. Selain itu dalam hal strategi, siapa yang tak kenal dengan Raja Dwarawati yang diketahui memiliki ide-ide cemerlang. Maka tidak ragu lagi Prabu Punta melanjutkan. ”Selanjutnya, segala pengaturan langkah, silakan kakang Batara untuk mengatur langkah kita dibawah perintah paduka “.

“Dhuh yayi, kehormatan yang diberikan kepadaku akan aku junjung tinggi, segala kepercayaan akan kami jalankan demi kejayaan kebenaran”.

“Senapati yang kemarin belum akan diganti, masih ada ditangan Adimas Drestajumna. Kemarilah lebih mendekat, yayi Drestajumna, Paparkan semua strategi gelar yang akan dimas terapkan besok hari”. Prabu Kresna mulai mengatur kekuatan langkah.

Segera Drestajumna maju menghaturkan sembahnya “Kanda Prabu, segala tata gelar yang kemarin dijalankan, ternyata ampuh untuk mengusir dan mendesak majunya prajurit Kurawa. Dari itu kanda, besok, gelar itu masih saya pertahankan”

“Bagus! Kali ini berhati-hatilah, mereka masih punya banyak orang sakti”. Prabu Kresna mengingatkan.

Dengan tegas Drestajumna melanjutkan “Saya harap, semua para satria yang ada pada posisi penting, jangan sampai keluar dari tata baris yang digariskan. Hal ini penting agar kekuatan kita merata sehingga sentosa menghalau serangan musuh.

*****

Page 44: Baratayuda 1

Demikianlah. Cakrabyuha dan Garuda Nglayang berbenturan pagi itu, selagi matahari masih belum menuntaskan basahnya embun. Ringkik kuda dan sorak prajurit yang bertenaga segar di pagi itu memicu semangat tempur semua lasykar yang sudah berhari-hari terperas keringatnya. Kali ini, para generasi muda mulai menampakkan kematangannya setelah pengalaman hari hari kemarin. Pancawala anak Prabu Puntadewa mengamuk disekitar Raden Drestajumna. Tandangnya trampil memainkan senjata membuat banyak korban dari Pihak Kurawa semakin banyak berguguran.

Sementara tak kalah pada sayap seberang, krida pemuda bernama Sanga-sanga, putra Arya Setyaki, bersenjata gada, juga mengamuk membuat giris lawan. Gerakan dan perawakannya yang bagai pinang dibelah dua dengan sang ayah, hanya beda kerut wajah membuat banyak lawan tertipu. Kedua orang ini sepertinya nampak ada dimana-mana.

Tak hanya itu, dibagian lain terlihat dua satria yang kurang lebih sama bentuk perawakan dan kesaktiannya, Raden Gatutkaca dan Raden Sasikirana, kedua orang bapak anak tak mudah dibedakan caranya berperang membuata terperangah prajurit lawan. Tak kurang ratusan prajurit Astina tewas ditangan keduanya termasuk patih dari Negara Windya dan Giripura.

Sementara di sayap gelar garuda nglayang, Werkudara segera dihadang oleh Gardapati. Setelah bertempur sekian lama, kelihatan bahwa Gardapati bukanlah tanding bagi Bimasena. Khawatir segera dapat dibekuk, Gardapati segera bersiasat sesuai yang dipesankan oleh Pandita Durna “Werkudara! Ternyata perang ditempat ramai seperti ini membuat aku kagok. Ayoh kita mencari tempat sepi, agar kita tahu siapa sesungguhnya yang memang benar benar sakti. Kejar aku..!!”

Lupa pesan panglima perang, Werkudara menyangupi “Ayo. .! Apa maumu akan aku layani. Dimanapun arenanya, aku akan hadapi kamu”.

Gembira Gardapati sambil terus bercuap sesumbar, memancing langkah lawannya menuju ketempat yang ditujunya.

Disisi sayap lain Wersaya menjadi lawan tanding Arjuna. Sama halnya dengan Gardapati, Wersaya mengajak Janaka pergi menyingkir menjauh dari arena di Kurusetra.

Diceritakan, sepeninggal kedua pilar kanan kiri barisan, angin kekuatan berhembus di pihak Kurawa. Semangat yang tadinya kendor oleh amukan para satria muda Pendawa, kembali berkobar. Tak sampai setengah hari, Garuda nglayang dibuat kucar-kacir oleh barisan Cakrabyuha Kurawa. Kali ini banyak prajurit Hupalawiya yang menjadi korban amukan dari sekutu Kurawa. Haswaketu, Wrahatbala dengan leluasa mengobrak abrik pertahanan lawan. Dursasana dan Kartamarma serta Jayadrata demikian juga. Ketiganya segera merangsek maju hingga mendekati pesanggrahan para Pandawa. “Maju terus, kita sudah hampir mendekati pesanggrahan Randuwatangan” teriak prajurit Kurawa.

Disisi lain, teriakan dari dalam barisan membahana memecah langit “Bakar pesanggrahan Randu watangan kita akan terus melaju”. Tanpa adanya kedua kekuatan di kedua sayap, Garuda nglayang bagaikan garuda lumpuh. Keadaan barisan Randuwatangan makin kacau,

Page 45: Baratayuda 1

mereka berlarian salang tunjang tanpa ada yang dapat mengatur ulang barisan yang makin terpecah belah.

Murka sang Drestajumna melihat barisannya terdesak hebat. Segera dicari tahu sebabnya. Dipacu kereta perangnya melihat apa yang terjadi. Begitu sudah ketemu sebab musababnya, segera ia memacu kembali kereta kearah Prabu Kresna.

“Duh kakang Prabu, lebih baik saya melepas gelar senapati. Akan aku lepas kalungan bunga tanda senapati ini bila kejadiannya seperti ini”. Ucap Drestajumna memelas.

“Bila saya sudah tidak dianggap lagi, perintah saya kepada kakang Arjuna dan Werkudara dianggap bagai angin lalu, saya sudahi saja peran saya sampai disini” sambungnya sambil bersiap melepas kalungan bunga tanda peran senapati.

“Lho . . ! nanti dulu. Ada rembuk kita rembuk bersama”. Kresna tetap tersenyum tanpa terpengaruh kisruh yang menimpa prajurit Randuwatangan atau Mandalayuda, meredakan kisruh hati Raden Drestajumna.

Katanya lagi “Tidaklah pantas bagi satria sakti semacam Drestajumna, satria pujan yang terjadi dari api suci yang ketika ayahmu Prabu Drupada bersemadi meminta seorang putra sakti mandraguna. Karana yang lahir terdahulu adalah selalu anak perempuan” sejenak Prabu Kresna berhenti, menelan ludah “Tidaklah pantas seorang yang telahir sudah bertameng baja didada dan punggungnya menggendong anak panah, melepas tanggung jawab yang sudah diberikan”.

Tersadar Sang Senapati dengan apa yang sudah terjadi “ Aduh kakang Prabu, seribu salah yang telah aku perbuat, kiranya kakang Prabu dapat memberi pintu maaf seluas samudra. Apakah yang harus aku perbuat untuk memulihkan kekuatan, kakangmas”.

“Baiklah. . ! Bila satu rencana gagal, tentu rencana cadangan harus kita terapkan. Kita panggil satria lain sebagai pilar pengganti dan kita ubah gelar yang sesuai dengan keadaan saat ini”. Kresna membuka nalar Drestajumna.

Siapakah menurut kakanda yang pantas untuk keadaan seperti saat ini?” Sambar Drestajumna.

“Tak ada lain, keponakanmu, anak Arjuna, Abimanyu. Segera kirim utusan untuk menjemput dia” Sri Kresna memberi putusan

******

Syahdan. Ksatrian Plangkawati, Raden Abimanyu atau Angkawijaya sedang duduk bertiga. Ketika itu ia diminta pulang ke Plangkawati terlebih dulu menunggui kandungan Retna Utari yang sedang menjelang kelahiran putranya. Disamping kiri kanannya duduk putri Sri Kresna, Dewi Siti Sundari. Sedang disisi lain Dewi Utari yang tengah mengandung tua. Kedua tangan Dewi Siti Sundari dan Dewi Utari tak hendak lepas dari tangan sang suami.

Page 46: Baratayuda 1

“Mimpiku semalam sungguh tidak enak kakangmas, siang ini jantungku merasa berdebar tak teratur. Gelisah kala duduk, berdiri berasa lemas kaki ini. Apa gerangan yang akan terjadi” demikian keluh Utari kepada suaminya.

“Utari, jangan dirasa rasa. Mungkin itu bawaan dari anakmu didalam kandungan. Aku sendiri tidak merasai apapun” hibur Abimanyu.

Siti Sundari juga tak juga diam, pegangan tangannya semakin erat menggelendoti suami tercintanya. “Akupun begitu, malah dari kemarin, banyak perabot yang aku pegang, terlepas pecah. Aku punya firasat buruk kakang”. Semakin menggelayut pegangan Siti Sundari.

“Aku tidak mengandung seperti keadaan eyang Utari, apakah ini tanda tanda aku juga mau hamil kakang”.Tambah Siti Sundari yang menyebut madunya masih dengan garis keturunan, eyang.

“Mudah mudahan dewata menjadikan ucapanmu menjadi nyata” hibur Abimanyu sambil tersenyum kearah Siti Sundari. Senyum itulah yang membuat anak dari Prabu Kresna itu, rela menerjang tata susila, ketika kunjungan Abimanyu ke Dwarawati selalu diajaknya Abimanyu kedalam keputren, hingga mereka segera dikawinkan.

Terpotong pembicaraan suami dengan kedua istrinya, ketika Raden Gatutkaca sampai dengan cepat, setelah diberi perintah oleh Sang Senapati. Dengan terbang di angkasa, tanpa membuang waktu sampailah ia di Plangkawati.

“Adimas, mohon maaf atas kelancanganku mengganggu kemesraan kalian bertiga. Sesungguhnya kedatanganku, adalah sebagai utusan dari para sesepuh yang sedang dalam kesulitan di arena peprangan. Dimas diminta sumbangan tenaganya untuk bergabung dengan kami di Kurusetra”.

Gatutkaca mencoba mengawali pembicaraan. Dalam hatinya ia sangat tidak enak karena mengganggu kemesraan mereka, karena kedua istri adiknya dilihatnya tengah menggelayut dipundak sang adik.

Kaget seketika para istri Abimanyu. Seketika itu juga, pecahlah tangis mereka.

Namun lain halnya dengan Abimanyu sendiri. Tersenyum sang Angkawijaya. Wajahnya cerah bagai kanak-kanak mendapat mainan baru. “Sudahlah Utari, Siti Sundari istriku, tak ada yang perlu kamu berdua khawatirkan atas keselamatanmu, aku akan menjaga diriku baik-baik”.

Seribu ucapan Abimanyu menjelaskan arti dari tugas negara disampaikan kepada istrimya, namun tangis keduanya malah be tambah tambah.

Semakin erat kedua istri Angkawijaya memegangi lengan suaminya. Ketika Angkawijaya berdiri hendak pergi, keduanya masih juga memegangi erat selendang sang suami. Tanpa

Page 47: Baratayuda 1

ragu, diirisnya selendang hingga keduanya terlepas. Dengan cepat ia berjalan memanggil Raden Sumitra, saudara seayah. Sesampai Angkawijaya ke istal, kandang kuda, diajaknya serta saudaranya itu.

Sekelabatan lenyaplah kuda sang Angkawijaya yang bernama bernama Kyai Pramugari yang berlari kencang, diiringi tangis kedua istrinya.

Cerita pedalangan Jawa …….

(Bersambung)

*) Pada nama nama ini, diceritakan, saat diadakan penimbangan bobot antara Pandawa dan Kurawa dengan tujuan siapa yang lebih berat akan diberi kekuasaan memerintah Negara Astina, atas akal akalan Sangkuni.

Sangkuni berpikir tidaklah Kurawa yang berjumlah seratus akan lebih ringan dari Pandawa yang hanya lima orang.

Ketika para Kurawa sudah naik semua ke batang traju, semacacam timbangan dengan sebatang gelagar panjang dengan satu poros ditengahnya kemudian Bondan Paksajandu, Werkudara muda, naik dengan gerakan tiba tiba sehingga banyak Kurawa yang terpental jauh keseberang lautan. Termasuk didalamnya nama nama ini, yang akhirnya mereka berhasil di pengembaraannya dan menjadi raja disana.