Bangun Donggala Dari Desa

6
Bangun Donggala Dari Desa Sejak ibu kota Kabupaten Donggala pindah dari Palu ke Banawa, 28 Juli 1999 sejak saat itu juga perhatian anggaran daerah banyak dicurahkan ke Banawa. Mulai dari pembebasan lahan untuk pembangunan perkantoran, pembangunan fisik gedung perkantoran, pembukaan jalan lingkar, perbaikan infrastruktur dalam kota, pembangunan taman dengan menimbun laut, pembangunan tempat pendaratan ikan, pembangunan rumah sakit, pembangunan rumah jabatan dan perumahan pegawai, mobilisasi pegawai negeri sipil setiap hari dari Palu ke Banawa dan sebagainya. Pembiayaan pemindahan ibu kota kabupaten itu wajib hukumnya sesuai perintah Undang-Undang Nomor 71 Tahun 1999 tentang Pemindahan Ibu Kota Donggala dari Palu ke Banawa bahwa pembiayaan yang diperlukan untuk pemindahan ibu kota daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Donggala dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. 13 tahun sudah ibu kota Donggala dipindahkan ke Banawa. Tidak sedikit anggaran yang tersedot untuk pembangunan di ibu kota Donggala itu. Jalan lingkar misalnya, konon menghabiskan anggaran Rp50 miliar, pembangunan mes pemda di Jalan Diponegoro Rp34,6 miliar, pembangunan gedung DPRD dan Gedung sekretariat Bupati juga puluhan miliar. Belum lagi jalan-jalan yang terhubung dari kantor satu dengan kantor lainnya di Gunung Bale. Sudah cukup banyak. Perhatian selama ini di ibu kota kecamatan sudah membuahkan hasil. Sudah meraih sertifikat Adipura dari pemerintah pusat. Sertifikat yang menobatkan daerah itu sebagai daerah bersih dengan daya dukung lingkungan yang memadai. Banawa yang dulunya kusut dan kusam sudah cerah dan terang benderang. Meskipun kadang listriknya masih megap-megap. Soal listrik ini gejala se Sulawesi Tengah yang masih mengalami krisis energi listrik. Sebentar lagi Sulawesi Tengah akan terang benderang dengan masuknya aliran listrik dari PLTA Sulewana, Poso ke sistem jaringan listrik Palu. Jaringan kelistrikan Palu sudah terkoneksi ke beberapa daerah termasuk Donggala. Jika janji PLN tidak meleset, kita akan

Transcript of Bangun Donggala Dari Desa

Page 1: Bangun Donggala Dari Desa

Bangun Donggala Dari Desa

Sejak ibu kota Kabupaten Donggala pindah dari Palu ke Banawa, 28 Juli 1999 sejak saat itu juga perhatian anggaran daerah banyak dicurahkan ke Banawa. Mulai dari pembebasan lahan untuk pembangunan perkantoran, pembangunan fisik gedung perkantoran, pembukaan jalan lingkar, perbaikan infrastruktur dalam kota, pembangunan taman dengan menimbun laut, pembangunan tempat pendaratan ikan, pembangunan rumah sakit, pembangunan rumah jabatan dan perumahan pegawai, mobilisasi pegawai negeri sipil setiap hari dari Palu ke Banawa dan sebagainya. Pembiayaan pemindahan ibu kota kabupaten itu wajib hukumnya sesuai perintah Undang-Undang Nomor 71 Tahun 1999 tentang Pemindahan Ibu Kota Donggala dari Palu ke Banawa bahwa pembiayaan yang diperlukan untuk pemindahan ibu kota daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Donggala dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

13 tahun sudah ibu kota Donggala dipindahkan ke Banawa. Tidak sedikit anggaran yang tersedot untuk pembangunan di ibu kota Donggala itu. Jalan lingkar misalnya, konon menghabiskan anggaran Rp50 miliar, pembangunan mes pemda di Jalan Diponegoro Rp34,6 miliar, pembangunan gedung DPRD dan Gedung sekretariat Bupati juga puluhan miliar. Belum lagi jalan-jalan yang terhubung dari kantor satu dengan kantor lainnya di Gunung Bale. Sudah cukup banyak.

Perhatian selama ini di ibu kota kecamatan sudah membuahkan hasil. Sudah meraih sertifikat Adipura dari pemerintah pusat. Sertifikat yang menobatkan daerah itu sebagai daerah bersih dengan daya dukung lingkungan yang memadai. Banawa yang dulunya kusut dan kusam sudah cerah dan terang benderang. Meskipun kadang listriknya masih megap-megap. Soal listrik ini gejala se Sulawesi Tengah yang masih mengalami krisis energi listrik. Sebentar lagi Sulawesi Tengah akan terang benderang dengan masuknya aliran listrik dari PLTA Sulewana, Poso ke sistem jaringan listrik Palu. Jaringan kelistrikan Palu sudah terkoneksi ke beberapa daerah termasuk Donggala. Jika janji PLN tidak meleset, kita akan kelebihan listrik. Kalau listrik sudah memadai, tidak ada lagi alas an klasik pagi pemerintah di daerah ini Sulawesi Tengah lambat maju karena belum didukung ketersediaan listrik.

Penggelontoran anggaran untuk mempercantik wajah ibu kota Donggala sudah boleh dikurangi. Dalam waktu 13 tahun APBD itu sudah cukup. Ke depan saatnya pemimpin daerah terpilih bersama segenap anggota DPRD yang baru mengubah paradigma pembangunannya. Pembangunan sudah harus diarahkan ke daerah-daerah tertinggal. Tidak saja tertinggal karena infrastrukturnya tetapi juga sumber daya manusia dan kesehatannya. Ini penting bukan saja karena mau mengejar perbaikan indeks pembangunan millennium development goals (MDGs), tetapi juga untuk memperkuat Donggala sebagai daerah strategis menyambut kebangkitan ekonomi karena didukung letak geografis yang berhadapan dengan maritime dan potensi sumber daya alamnya. Penguatan Donggala tersebut sekaligus persiapan Donggala sebagai daerah penyangga kebutuhan konsumsi Kota Palu yang setiap tahun mengalami kemajuan signifikan. Oleh sebab itu kita menanti kejutan baru dari pemimpin Donggala yang baru agar daerah ini mengalami kemajuan, pertumbuhan, keadilan dan pemerataan pembangunan sehingga pembangunannya tidak saja di ibu kota kabupaten tetapi juga di daerah-daerah terpencil sekalipun.

Page 2: Bangun Donggala Dari Desa

Mari sejenak kita berkunjung ke Kecamatan Balaesang Tanjung. Kenapa kita ke sana? Ya, daerah ini pada Juli-Agustus 2012 pernah mengalami tragedi kemanusiaan yang menewaskan warga di sana karena konflik tambang emas. Kilauan emas yang tependam dalam perut bumi Balaesang Tanjung membawa petaka, air mata, darah, dan nyawa. Tragedi Balaesang Tanjung menjadi cerita buram anak negeri akibat salah urus. Mereka marah karena pemerintah daerah dinilai abai terhadap aspirasi mereka yang menuntut pencabutan izin perusahaan tambang yang rencana melakukan eksplorasi bijih emas di daerah itu. Bukannya masyarakat menjadi sejahtera karena potensi yang dimiliki daerah itu malah memendam duka. Duka yang sangat mendalam akibat meninggalnya warga dan potensi alam mereka hendak dieksploitasi. Duka mereka itu masuk dalam catatan sejarah hitam perjalanan Donggala.

Kenapa kita ke Balaesang Tanjung? Karena di sana ada sejarah nusantara yang pernah bersinggungan dengan sejarah panjang bangsa Indonesia. Di sana ada kerajaan Balaesang yang berjasa dalam memerdekan negeri ini. Mereka mengorbankan jiawa dan raga untuk sebuah kemerdekaan. Bulu nyawa saya sempat mengembang setelah membaca Balaesang Dalam Angka 2011 yang diterbitkan BPS. Di sana diceritakan bagaimana Kerajaan Balaesang berhasil melucuti senjata-senjata tentara Portugis hingga akhirnya kapal yang mereka tumpangi kandas dan tenggelam di sebuah karang yang oleh masyarakat mengenalnya dengan nama Pasik Parumbian di perairan Selat Makassar. Beberapa buah meriam kuno yang digunakan menghabisi nyawa rakyat Indonesia menjadi saksi bisu perjuangan orang tua dulu. Meriam yang kini sudah menjadi besi tua itu tergeletak diam di Desa Rano dan Desa Ketong. Itu saksi sejarah yang tidak bisa dilupakan bangsa ini. Sejarah itu mestinya menjadi penyemangat bagi pemerintah daerah untuk memperhatikan pembangunan Balaesang Tanjung. Itu hanya sebagian kecil dari cerita masa lampau Balaesang. Masih banyak lagi yang belum tergali dan terpublikasi seperti perjuangan pendahulu mereka melawan penjajah Belanda. Jika kini masyarakat Balaesang Tanjung belum menikmati kesejahteraan dan bebas dari belengggu keterisolasian, dimanakah nurani pemerintah.

Kenapa kita ke Balaesang Tanjung? Sebelum Balaesang Tanjung mekar menjadi Kecamatan Balaesang Tanjung, kondisi jalan menuju daerah itu sama saja ketika masih satu kecamatan dengan Balaesang induk. Jalannya masih memprihatinkan. Padahal di sana banyak potensi yang bisa membantu memperbaiki ekonomi masyarakatnya. Mulai dari sektor perkebunan, wisata dan perikanan kelautan. Di sana ada Danau Rano yang menyimpan keindahan. Di sana teluk dan laut yang menjulur ke laut lepas. Bahkan bisa menjadi pintu gerbang perdagangan antar pulau. Wilayah ini juga memiliki sejarah kerajaan sebagai bagian kekayaan budaya di tanah air khususnya Donggala.

Pada satu kesempatan, saya bertemu dengan seorang warga Balaesang Tanjung di Palu. Ia sedih karena jalan menuju kampungnya belum diaspal. Banyak sungai yang belum dibangunkan jembatan. Kalau musim hujan mereka takut menyeberang ke Balaesang induk karena sungai-suangi yang dilintasi ganas dengan banjirnya. Bisa dibayangkan, jika itu berlangsung berhari-hari. Pada saat bersamaan ada warga yang hendak dirujuk ke rumah sakit di Kota Palu karena Puskesmas di sana tidak mampu menanganinya. Mau tidak mau harus menunggu banjir surut. Harus menunggu genangan air di jalan raya kering. Ironi bukan?

Page 3: Bangun Donggala Dari Desa

Kondisi itu sudah menjadi alasan kuat untuk memfokuskan pembangunan Donggala ke depan ke daerah-daerah terbelakang. Masih banyak daerah yang menjerit karena susah akses jalannya. Susah sumber air bersihnya. Susah irigasinya. Lumpuh sumber daya manusianya dan sebagainya. Pemerintah tidak perlu mengedepankan pembangunan gedung megah. Untuk apa gedung megah dengan anggaran puluhan miliar sementara rakyat sengsara. Bukan gedung megah di ibu kota yang membuat rakyat sejahtera, bukan mobil mewah pejabat yang membuat masyarakat kenyang.

Paradigma pembangunan Donggala setidaknya lima tahun mendatang harus dibangun dari desa. Sebut saja, program Membangun Desa Mengepung Kota. Hal ini sejalan dengan visi pemerintah provinsi Sulawesi Tengah agar Sulawesi Tengah sejajar dengan daerah yang lebih maju di Indonesia. Membangun Desa Mengepung Kota, bagi saya mendesak. Angka kemiskinan Donggala (2011, data BPS Sulteng) masih mencapai 18,03 persen. Sebarannya banyak di pedesaan. Kondisi kemiskinan di Donggala jika dibanding dengan Kabupaten Sigi yang dimekarkan Donggala lebih baik karena angka kemiskinannya hanya 14,03 persen. Angka kemiskinan di Donggala masih lebih tinggi dibanding Banggai 11,25 persen, masih lebih baik Tolitoli 15,03 persen, bahkan masih jauh lebih baik Buol 17,40 persen. Tiga daerah perbandingan itu merupakan daerah yang dihasilkan Donggala. Bukan alasan Donggala karena lelah melahirkan sehingga ia sendiri tidak terurus.

Begitu juga dengan kondisi ketersediaan infrastruktur pendidikan, kesehatan, dan perekonomiannya juga masih perlu sentuhan serius. Sarana kesehatan seperti Puskesmas, Pustu, Poskesdes dan Polindes Donggala baru 85,33 persen. Masih ada sekitar 15 persen desa belum memiliki sarana kesehatan. Dimana? Bukan di ibu kota kabupaten tetapi di desa. Mereka hidup dari sektor Pertanian yang persentasenya di Sulawesi Tengah sebanyak 71,26 persen. Jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat dari total panjang jalan di Donggala baru 90,67 persen yang bisa dilalui. Kondisi pasar dengan bangunan permanen/semi permanen masih ada 36 persen lagi yang belum memiliki bangunan permanen. Padahal ini pusat transaksi ekonomi masyarakat di desa. Sementara di sisi lain pemerintah bernafsu membangun gedung megah. Lihat saja, mes pemda yang dibangun dengan anggaran Rp30 miliar lebih. Sementara untuk satu unit pasar tradisional di kampung mungkin tidak sampai satu miliar. Bagaimana ekonomi mau baik, kalau fasilitas ekonominya saja tidak dibangun. Lembaga perkreditan rakyat di Donggala menurut BPS nol persen. Artinya tidak ada lembaga perkreditan di desa yang bisa membantu masyarakat dalam membantu permodalan. Koperasi hanya 22. Itu pun mungkin tinggal namanya saja. Aktivitasnya sudah megap-megap. Jangan salahkan jika rendahnya fasilitas penjamin keuangan di desa dijadikan peluang oleh para rentenir meraup untung dari desa karena tidak ada lembaga keuangan yang bisa menjadi sandaran masyarakat di kampung.

Membangun desa tidak saja membangun infrastrukturnya, tetapi juga memperkuat lembaga keuangannya. Ini masalah klasik. Masyarakat kita akhirnya bergantung pada rentenir. Pinjaman bunga tinggi. Tidak ada keinginan serius pemerintah untuk membangun lembaga penjamin keuangan rakyat. Pemerintah lebih suka bikin pelatihan di mana-mana tapi tidak dimodali. Selesai pelatihan , selesai urusan. Panitia buat laporan pertanggungjawaban, sementara yang dilatih silahkan cari modal sendiri. Jika saja, pemerintah menyisihkan satu miliar rupiah per tahun dari APBD selama ibu kota pindah ke Banawa, maka kita sudah punya modal Rp13 miliar untuk lembaga penjamin keuangan daerah. Ini bukan modal sedikit untuk menggerakkan usaha

Page 4: Bangun Donggala Dari Desa

kecil di desa. Ini juga karena rendahnya dorongan dari DPRD. Kurang inisiatif mendorong pemerintah untuk berinovasi. Padahal dalam setahun anggota DPRD dua kali turun reses ke daerah pemilihan masing-masing. Dua kali setahun menyerap aspirasi masyarakat. Yang direspons hanya masalah-masalah besar yang mengandung nilai proyek fisik. Kurang peduli dengan hal-hal kecil. DPRD hanya asyik bermain di ranah politik. Padahal DPRD tidak lagi seperti dulu. DPRD sekarang sudah sejajar dengan legislatif. Hanya fungsinya saja yang berbeda. Saya khawatir ada calon legislatif yang tidak mengerti apa fungsi dan tugas DPRD. Kalau ada, ini bisa membawa petaka.

Di lain sisi masyarakat juga perlu dikoreksi. Perlu diintervensi cara pandangnya oleh kaum cerdik pandai dan pemerintah. Masih ada sebagian masyarakat kita yang belum terdidik mengelola uang. Diberi pinjaman bukan untuk mengembangkan usaha, tapi dipakai beli kendaraan, bersenang-senang. Mungkin juga dipakai kawin lagi. Ini masalah yang harus dijawab oleh calon bupati dan calon anggota DPRD Donggala ke depan.

Di sinilah kita butuhkan calon bupati dan calon anggota DPRD yang respons terhadap kebutuhan masyarakat desa. Saatnya kita tanya kepada para calon pemimpin itu, seperti apa bentuk komitmen mereka untuk membangun desa. Di sinilah pentingnya kedaulatan rakyat untuk memilih calon pemimpin yang peduli dan peka dengan kondisi masyarakatnya, calon pemimpin yang punya gagasan, calon pemimpin yang punya keberanian mengambil keputusan membela rakyat. Jika masyarakat salah memilih, jangan kita salahkan Pilkada dan Pemilu, karena kita sendiri masih suka menjadi masyarakat yang dipimpin oleh pemimpin yang tidak berpihak pada rakyat. Salah menentukan pilihan bukan berarti salah calon pemimpin memberi janji, tapi salah kita mencernah janji.***