Balin Kundang
description
Transcript of Balin Kundang
BALIN KUNDANG
Syifa Amanda
Namaku Balin. Balin Khatulistiwa, anak SMA seperti pada umumnya. Dan aku tak suka
sekolah. Kenapa? Karenanya aku harus bangun pagi dan mandi. Bagiku, mandi adalah hal
tersulit dibanding 2.345 pangkat nol. Kau bayangkan, pagi-pagi tulangmu tertusuk air beku,
bukankah kita harus senantiasa menjaga apa yang diciptakan Tuhan? Aku sudah! Dengan
tidak mandi, aku menjaga air dan tulangku. Barangkali hanya aku, pemuda indonesia yang
tak suka sekolah. Kalau bagimu sekolah menyenangkan, aku setuju, tapi jika ada dia saja.
Testimoninya hanya ala-ala saja, sudah ada guru, mau remedial matematika dulu bersama
Pak Abi.
“Baik, sampai ketemu minggu depan dengan materi irisan kerucut!” Kata penutup dari Pak
Abi untuk jam pelajaran matematika, lalu pergi.
“Ah sudahlah, untung kerucut yang diiris bukan hati ini.” Senggol Mada dengan sikutnya
“Kau punya hati kan sudah diiris oleh dia, Mad. Hahaha.” Jawabku gurau.
“Jadi saja aku ingat ke dia, Liiiin. Ah sudahlah, aku mau les. Les..go..home!” Pungkas Mada
dengan membawa tas selempang hijau keberuntungannya.
Aku pun bergegas pulang melewati koridor, nun jauh di seberang, Alya termangu menunggu
jemputan di sore yang menangis ini. Tampan sudah, motor mengkilap sudah, remedial sudah,
harusnya Alya juga sudah menjadi penumpang. Kalau kata Mada “Ah sudahlah, perempuan
tak usah dikejar karena bukan bola, nanti besar kepala lalu jual mahal.”. Ya, aku sih dingin
saja naik motor menuju rumah di Jalan H. Achsan. Jangan berharap aku turun lalu menawari
Alya pulang bareng gratis. Cinta adalah masalah hitungan dengan pemodelan x dan y, dimana
hasilnya bergantung kepada x dan y tersebut. Sederhananya, ganti aku dengan x dan ganti
alya dengan y! Setelah itu, kalau salah satu x atau y negatif, hasilnya negatif. Kalau aku
menawarkan diri untuk mengantar Alya maka bensin menyusut, uang jajan terpotong.
Mending langsung pulang, kalau Alya belum makan berarti makin repot. Bukan pelit tapi
realistis, cinta itu bisa melihat.
Dari matematika jadi cinta. Tapi, bukankah benci dan cinta beda tipis? Lain kali, aku
gambarkan Alya yang nilai eksaknya terbaik di sekolah, atau lebih luas, di Kota Bandung.
Jadwalku saat sampai dirumah: ganti baju-makan(opsional)-tidur. Tak mandi? Kan, aku tak
suka mandi, jangan protes tentang ini, sudah senja.
Senja sendiri, menghitung tetesan hujan dari wuwungan sisa hujan tadi. Hingga malam, hujan
reda, dihantarkannya dengan selamat sentausa, Ayah dan Ibu ke depan pintu gerbang.
Ayahku baru pulang tugas dari Lebanon kemudian dijemput Ibu sehabis mengajar di Dipati
Ukur. Lalu aku ke lantai bawah dengan melewati tangga, bukan loncat.
“Matematika Abang remedial lagi, Yah. Salah scannernya." Sambutku kepada Ayah.
"Wah, skandal scanner! Kasihan juga ya, Bang, scanner banyak didholimi siswa. Hahaha.”
Jawab Ayah dengan santai.
"Yah, coba bayangkan! Abang sudah 3 kali didholimi scanner. Bayangkan gimana hancurnya
hati Abang, Yaahhhh. Hahaha" Aku balas candanya Ayah.
"Balin, sudah minum obatnya?" Tanya Ibu yang menyadarkan.
"Semenjak Ayah tugas kan Balin normal. Ibu lupa ya, siapa yang mencuci piring? Terus
siapa yang sapu lantai? Siapa bu, siapa?” Aku mendesak Ibu.
“Si Bibi” Ibu menjawab dengan intonasi datar.
“Gilaaaa! Ku kira, kau Balin yang membersihkan. Hahaha.” Ayah ketawa se-ngakak-ngakak-
nya.
Berapa pun nilai matematika ku, aku tetap anak Ayah, katanya. Sekuat apapun aku berusaha,
tetaplah Allah yang menentukan. Kalau aku melakukan kesalahan yang sama, aku memang
tak berbakat dalam hal itu. Bukan salah aku, dan tak tahu salah siapa juga. Hehehe.
Aku beruntung pas mengambil undian pemilihan Ayah tingkat embrio waktu di surga, dapat
Ayahnya seperti Ayah. Suka ngasih uang. Kalau terima nilai apa adanya, cuma bonus.
Hahaha.
***
Alya itu hebat. Bisa membuat aku suka mandi. Yaaaaa, suka memandikan motor. Aku sudah
berjanji untuk jarang mandi jadi mana mungkin ku langgar, karena dosanya besar. Biarlah,
motor saja yang kinclong, karena akunya ketutup sama helm, jaket, dan sepatu.
Tiap sore, aku sengaja lewat depan rumahnya Alya. Kadang suka ada Kapten Tirta, Ayahnya
Alya dan berbincang. Hampir 10 sore aku lewat, tapi belum disuruh masuk. Harus pakai
mantra pas pelajaran bahasa sunda kayaknya. Hahaha.
Pernah aku bacain mantra, “Sima aing sima maung, aing ka sima ku maung” dengan percaya
diri. Dipikir-pikir kenapa gak ditawarin masuk ya? Terus saja aku pamit pulang untuk segera
lihat buku bahasa sunda. Eh, mantranya salah, ada yang kebalik. Ah, Balin, sudah musyrik
terus salah. Salah dalam kesalahan, fatal.
***
Alya, 17 tahun, cantik jelita, ketua klub matematika. Dia anaknya Kapten Tirta, anak sulung
dan bungsu. Ya, anak tunggal maksudku. Oh, ini adalah iklan penawaran Alya karena
disinyalir Alya mengidap penyakit kejombloan akut sedari SMP. Hahaha. Candalah, matahari
masih tidur, tak usah banyak serius.
Oke, pagi ini disponsori roti berselai coklat dan susu yang diimpor. Sedikit rasa kesal juga.
Jadwal hari ini: matematika-fisika-kimia. Tetiba berkhayal aku sedang dinobatkan jadi siswa
ter-eksak se-Buah Batu. Ter-eksak bagian remedialnya. Hahaha. Aku berhati IPA, berotak
IPS. Kalau kau bilang salah jurusan, sesungguhnya mamang angkot akan menurunkan mu
jua.
Yesss! Ternyata Pak Abi tercinta tak masuk kelas. Rezeki anak sholeh. Alya datang memberi
titipan tugas, maklum ketua klub matematika, titisannya Dewa Abi. Kebetulan yang
direncanakan Tuhan, karena sebagai ketua kelas harus mengambil tugasnya. Mau tidak mau
sih, soalnya banyak yang mau ke aku, takut ada yang salah paham. Hahaha. Pun aku kasih
kertas yang dihias bunga-bunga, isinya puisi yang ditulis satu tahun lalu.
“Al, ini juga ada titipan. Buat penyelesaian dengan tempo yang sesingkat-singkatnya,
katanya. Oke? Makasih ya.” Ucapku, sebagai pembuka obrolan dengan Alya.
“Dari siapa, Balin?” Ujarnya
“Dari hamba Allah yang mencintaimu.” Jawabku sambil melengos pergi.
Itu adalah harinya, ketika Alya menuju kelas dengan penasaran dan duduk di kursi. Aku tahu,
jawabannya hanya dua, dia menjauh atau mendekat. Kalau dia menjauh, Tuhan tolong
dekatkan. Aku menulis puisi di kertas itu.
ALYA
Dua puluh
Tujuh
Sembilan puluh delapan
Pikirku keruh
Mencintaimu
Dengan penuh perasaan
BK- harap balas.
Bisa saja aku bilang langsung ke dia, tapi terlalu mudah. Aku ingin mendapatkannya dengan
pendekatan matematika yang aku pun dibuat pusing olehnya. Atau anggaplah aku tak pernah
menulis apapun tentangnya, kalau dia menolak.
“Lin, kau kasih apa ke bidadari?” Mada bertanya dengan sangat amat penasaran.
“Surat dari hamba Allah yang nanya jawaban. Katanya malu kalau bilang langsung.”
Jawabku asal sambil menulis tugas di papan tulis berwarna putih.
“Liiin, sudahlah satu soal saja yang kau tulis. Sisanya kau bilang, dikasihnya hanya segini,
mungkin sobek kertasnya. Hahaha” Bujuk Mada yang anti-matematika.
“Terus Pak Abi nanya disobek siapa, ku jawab disuruh Mada. Mada cepat ke depan! Kata
Pak Abi, terus kau dihukum berdiri satu kaki sambil pegang kuping. Terus aku ketawa aja
hahaha” Ujarku.
“Ah, sudahlah...” Jawab Mada tanpa selera.
Seperti anak SMA pada umumnya. Ada yang mengerjakan, ada yang main gitar, ada yang
gosip, ada yang ketawa sampai bikin sakit kuping. Ya itulah, tak mungkin semuanya dapat
sejalan dengan kehendakmu.
Bel istirahat berbunyi, menandakan ada Alya yang akan mengambil kertas tugas dan ada aku
yang harap-harap cemas. Katanya, oke puisinya, dia suka. Lampu hijau! Nanti pulangnya,
aku bareng sama dia, sekalian belajar matematika biar pandai.
***
Aku mendekati Alya melalui pendekatan matematika. Aku belajar matematika ke Alya,
maksudnya. Kami sudah resmi sejak bel istirahat itu. Dan nilai matematikaku sudah menjadi
baik. Tanpa sadar, aku sudah mendholimi Ayah yang bilang terima aku apa adanya. Aku
sudah dimodif, tak orisinil lagi. Aku jadi pandai masalah eksak.
Aku sudah banyak main ps, main sama Mada, atau bahkan apel ke rumah Alya. Dosisnya ku
naikkan. Tapi, kepandaianku tentang eksak tak hilang. Gawat! Nanti Ayah bisa tak
menganggapku anak. Aku juga sudah bertanya ke rumput, batu, dan pohon yang ada
disekitar, siapa tahu punya kunci jawabannya.
Aduh, aku jadi durhaka. Aku kan sudah janji ke Ayah, akan buat pesawat dua dimensi bukan
aslinya. Dengan segala kerendahan hati, lapor Kapten Hamka! Aku sudah tercemari eksak.
Tanganku lebih ahli mengolah angka daripada menyapu kanvas. Laporan selesai.
“Laporan tidak diterima! Kembali ke tempat!” seru Ayah.
“Dalam rangka amnesia eksak, boleh aku mengundurkan diri?” Jawabku dengan sekuat
tenaga.
“Selamat berjuang!” Ayah mengucap salam perpisahan.
Rasanya nano-nano. Serius. Menurut Ayah, seburuk apapun aku, tetaplah menjadi aku.
Jangan serakah mengambil lahan orang lain. Jangan serakah ingin segala pandai. Karena
setiap orang sudah dikasih sektor masing-masing dari Tuhan. Siapapun atau menjadi apapun,
harus terima, begitulah caranya bersyukur.
Tentang aku yang sudah dimodif atau tentang Ayah yang ingin aku tetap orisinil. Entahlah,
teramat jelas, aku sudah dilepas. Terimakasih Ayah, membiarkan ke-so-tahu-an beradu di
atas tanah Tuhan. Aku, Balin Khatulistiwa, menjadi mengiblatkan diri kepada eksak.
“Nanti ku bawa ijazah ITB, entah teknik atau seni!” Kataku ke Ayah yang tak
menggubrisnya.
Sial! Aku semakin mencintai eksak. Masalah sosial sudah tak menarik untuk ditanggapi. Dan
Alya semakin mengusai. Aku ingin kenormalan. Tak mengapa, tak pandai eksak. Selamat
tinggal, Alya! Aku kembali karena terlalu mencintai. Aaah, sudahlah.