BaKTINews Edisi 66

32
Wajah Pelayanan Publik Setelah Limabelas Tahun Otonomi Daerah Public Services after Fifteen Years of Regional Autonomy Vol. V Mei 2010 - Juni 2011 Edisi 66 Promosi Praktik Terbaik DBE 2 Libatkan Perguruan Tinggi Strategi Melanggengkan Proyek Donor di Sulawesi Malaria Center di Halmahera Selatan Malaria Clinic in Halmahera Promosi Praktik Terbaik DBE 2 Libatkan Perguruan Tinggi Strategi Melanggengkan Proyek Donor di Sulawesi Wajah Pelayanan Publik Setelah Limabelas Tahun Otonomi Daerah Public Services after Fifteen Years of Regional Autonomy Malaria Center di Halmahera Selatan Malaria Clinic in Halmahera

description

Wajah Pelayanan Publik Setelah Limabelas Tahun Otonomi Daerah Public Services after Fifteen Years of Regional Autonomy Promosi Praktik Terbaik DBE 2 Libatkan Perguruan Tinggi Strategi Melanggengkan Proyek Donor di Sulawesi Vol. V Mei 2010 - Juni 2011 Edisi 66 Malaria Center di Halmahera Selatan Malaria Clinic in Halmahera

Transcript of BaKTINews Edisi 66

Page 1: BaKTINews Edisi 66

Wajah Pelayanan Publik Setelah Limabelas Tahun Otonomi DaerahPublic Services after Fifteen Years of Regional Autonomy

Vol. V Mei 2010 - Juni 2011 Edisi 66

Promosi Praktik Terbaik DBE 2 Libatkan Perguruan Tinggi Strategi Melanggengkan Proyek Donor di Sulawesi

Malaria Center di Halmahera SelatanMalaria Clinic in Halmahera

Promosi Praktik Terbaik DBE 2 Libatkan Perguruan Tinggi Strategi Melanggengkan Proyek Donor di Sulawesi

Wajah Pelayanan Publik Setelah Limabelas Tahun Otonomi DaerahPublic Services after Fifteen Years of Regional Autonomy

Malaria Center di Halmahera SelatanMalaria Clinic in Halmahera

Page 2: BaKTINews Edisi 66

1 Mei-Juni 2011News

EditorMILA SHWAIKO

VICTORIA NGANTUNGForum KTI

ZUSANNA GOSALITA MASITA IBNUEvents at BaKTI

SHERLY HEUMASSEWebsite of the MonthSTEVENT FEBRIANDYDatabase & NGO Profile

AFDHALIYANNA MA’RIFAHWebsite

AKRAM ZAKARIASmart Practices

CHRISTY DESTA PRATAMAInfo Book

SUMARNI ARIANTODesign Visual & Layout

ICHSAN DJUNAIDPertanyaan dan Tanggapan

RedaksiJI. DR.Sutomo No.26

Makassar 90113P : 62-411-3650320-22

F :62-411-3650323SMS BaKTINews 085255776165

E-mail: [email protected] juga bisa menjadi penggemar

BaKTINews di Facebook :www.facebook.com/yayasanbakti

BaKTINews adalah media pertukaran pengetahuan tentang pembangunan di Kawasan Timur lndonesia.Tujuan BaKTINews adalah mempromosikan praktik cerdas pembangunan dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia agar dapat diketahui oleh khalayak luas dan menginspirasi pelaku pembangunan di berbagai daerah dalam upaya menjawab berbagai tantangan pembangunan. BaKTINews terbit setiap bulan dalam dua bahasa, Indonesia dan lnggris, untuk memudahkan pembaca dalam mendapatkan informasi pembangunan dari Kawasan Timur Indonesia.

BaKTINews disirkulasi melalui pos kepada pembaca dengan target utama adalah para pelaku pembangunan yang berdomisili di daerah kepulauan dan daerah terpencil. Tidak dikenakan biaya apapun untuk berlangganan BaKTINews agar lebih banyak masyarakat yang dapat mengakses informasi pembangunan melalui majalah ini. Selain dalam bentuk cetak, BaKTINews juga dapat diakses di website BaKTI: www.bakti.org dan dikirimkan melalui email kepada pelanggan yang dapat mengakses internet.

BaKTINews dikelola oleh Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia [BaKTI). Seluruh artikel BaKTINews adalah kontribusi sukarela para pelaku pembangunan dari berbagai kalangan dan daerah yang ingin berbagi pengetahuan dengan khalayak luas.

BaKTINews is a knowledge exchange media platform for development issues in eastern Indonesia. BaKTINews aims to promote development smart practices from different regions in eastern Indonesia so that the practices become known to a wider audience and inspire development stakeholders in other regions in their efforts to answer development challenges. BaKTINews is published monthly in two languages, Indonesian and English, to facilitate readers who don't understand indonesian to gain a better understanding of development in eastern Indonesia.

BaKTINews is sent by post to readers and rhe main target is development stakeholders living in isolated regions and island regions. BaKTINews is provided free of charge so the development community can access relevant development information easily. BaKTINews is also provided in an electronic version that can be accessed on www.bakri.org and can be sent electronically to subscribers with internet access.

BaKTINews is managed by the Eastern Indonesia Knowledge Exchange (BaKTI). All articles are contributed voluntarily by development stakeholders from different areas in eastern Indonesia who wish to share their information with a wider audience.

31

Volume V - edisi 66

DAFTAR ISI CONTENTS

3

6

7

9

10

11

13

15

16

17

18

19

21

23

25

27

28

28

29

30

20

Berkontribusi untuk BaKTINews

BaKTINews menerima artikel tentang kemajuan pembangunan, pembelajaran dari suatu kegiatan, praktik cerdas pembangunan, hasil-hasil penelitian yang dapat diaplikasikan, dan teknologi tepat guna dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua). Panjang artikel adalah 1.000-1.100 kata,menggunakan Bahasa Indonesia maupun lnggris,ditulis dengan gaya populer. Foto-foto penunjang artikel sangat dibutuhkan. Tim editor BaKTINews akan melakukan edit terhadap setiap artikel yang akan dimuat untuk kesesuaian tempat dan gaya bahasa. Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.

BaKTINews accepts articles about development programs, lessons learnt from an activity, development smart practices, research results that can be applied, and applied technology from different stakeholders and regions in eastern Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, and Papua). Articles should be 1,000-1, 100 words, in either Indonesian or English, and written in a popular style. Articles should also be sent with photos that illustrate the article. The editors of BaKTINews will edit every article for reasons of space and style. BaKTINews does not provide payment to writers for articles.

2 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Menjadi Pelanggan BaKTINews Subscribing to BaKTINews

Untuk berlangganan BaKTINews, silakan mengirimkan data diri anda (organisasi, posisi, nomor HP, alamat email) lengkap dengan alamat lengkap yang disertai dengan kode pos melalui email [email protected] atau SMS 085255776165. Bagi yang berdomisili di Makassar, Anda dapat mengambil BaKTINews di Display Corner Gedung BaKTI pada setiap hari kerja.

To subscribe to BaKTINews please send us your full contacts details (including organization. position, HP number and email address) with full postal address to [email protected] or SMS to 085255776165. For those living in Makassar, please stop by the BaKTI office and pick up your copy from the display corner from Monday to Friday.

BaKTINews diterbitkan oleh Yayasan BaKTI dengan dukungan Pemerintah Australia.BaKTINews is published by The BaKTI Foundation with support of the Government of Australia.

Pandangan yang dikemukakan tak sepenuhnya mencerminkan pandangan Yayasan BaKTI maupun Pemerintah Australia.

The views expressed do not necessarily reflect the views of Yayasan BaKTI and the Government of Australia.

Belajar Siaga Bencana Sejak Dini di SekolahLearning Disaster Preparedness in School

Promosi Praktik Terbaik DBE 2 Libatkan Perguruan TinggiStrategi Melanggengkan Proyek Donor di Sulawesi

Optimalkan Penggunaan Teknologi Informasi Untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Wajah Pelayanan Publik Setelah Limabelas Tahun Otonomi DaerahPublic Services after Fifteen Years of Regional Autonomy

Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Secara Partisipatif, Transparan Dan Akuntabel

Mendekatkan Layanan Dasar ke Warga di Desa Kopang Rembiga

Apa Mekanisme Terbaik untuk Perencanaan Pembangunan ?What is the Best Mechanism for Development Planning?

Dari Ladang Ke Meja Makan:Tinjauan Kondisi Ketahanan Pangan di Papua Barat

Perburuan Satwa Liar di Papua Barat: Antara pemanfaatan dan pelestarian

JiKTI Updates

PEACH Updates

Penjahat Bicara Memberantas Kejahatan

Kisah Pendampingan Seorang Fasilitator Pendidikan

Profil Perempuan Petani Rumput Laut Catatan perjalanan menuju Pantai Nemberala, Rote

Malaria Center di Halmahera SelatanMalaria Clinic in Halmahera

Memahami Perilaku Waria dalam Mencegah HIV/AIDS

batukar.info Updates

Peluang

Website Bulan ini

Profil LSM

Kegiatan di BaKTI

Info Books

Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI)

mengucapkan terimakasih dan selamat berpisah kepada

Dukungan ibu Patricia McCullagh sebagai Counselor / Head of Aid CIDA sejak saat berdirinya

Yayasan BaKTI hingga saat ini menjadi semangat bagi kami

untuk terus menghasilkan yang terbaik .

Semoga hubungan yang terjalin dapat lebih baikdi masa depan.

Selamat bertugas di tempat yang baru.

Ibu Patricia McCullagh

FarewellFarewell

Page 3: BaKTINews Edisi 66

1 Mei-Juni 2011News

EditorMILA SHWAIKO

VICTORIA NGANTUNGForum KTI

ZUSANNA GOSALITA MASITA IBNUEvents at BaKTI

SHERLY HEUMASSEWebsite of the MonthSTEVENT FEBRIANDYDatabase & NGO Profile

AFDHALIYANNA MA’RIFAHWebsite

AKRAM ZAKARIASmart Practices

CHRISTY DESTA PRATAMAInfo Book

SUMARNI ARIANTODesign Visual & Layout

ICHSAN DJUNAIDPertanyaan dan Tanggapan

RedaksiJI. DR.Sutomo No.26

Makassar 90113P : 62-411-3650320-22

F :62-411-3650323SMS BaKTINews 085255776165

E-mail: [email protected] juga bisa menjadi penggemar

BaKTINews di Facebook :www.facebook.com/yayasanbakti

BaKTINews adalah media pertukaran pengetahuan tentang pembangunan di Kawasan Timur lndonesia.Tujuan BaKTINews adalah mempromosikan praktik cerdas pembangunan dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia agar dapat diketahui oleh khalayak luas dan menginspirasi pelaku pembangunan di berbagai daerah dalam upaya menjawab berbagai tantangan pembangunan. BaKTINews terbit setiap bulan dalam dua bahasa, Indonesia dan lnggris, untuk memudahkan pembaca dalam mendapatkan informasi pembangunan dari Kawasan Timur Indonesia.

BaKTINews disirkulasi melalui pos kepada pembaca dengan target utama adalah para pelaku pembangunan yang berdomisili di daerah kepulauan dan daerah terpencil. Tidak dikenakan biaya apapun untuk berlangganan BaKTINews agar lebih banyak masyarakat yang dapat mengakses informasi pembangunan melalui majalah ini. Selain dalam bentuk cetak, BaKTINews juga dapat diakses di website BaKTI: www.bakti.org dan dikirimkan melalui email kepada pelanggan yang dapat mengakses internet.

BaKTINews dikelola oleh Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia [BaKTI). Seluruh artikel BaKTINews adalah kontribusi sukarela para pelaku pembangunan dari berbagai kalangan dan daerah yang ingin berbagi pengetahuan dengan khalayak luas.

BaKTINews is a knowledge exchange media platform for development issues in eastern Indonesia. BaKTINews aims to promote development smart practices from different regions in eastern Indonesia so that the practices become known to a wider audience and inspire development stakeholders in other regions in their efforts to answer development challenges. BaKTINews is published monthly in two languages, Indonesian and English, to facilitate readers who don't understand indonesian to gain a better understanding of development in eastern Indonesia.

BaKTINews is sent by post to readers and rhe main target is development stakeholders living in isolated regions and island regions. BaKTINews is provided free of charge so the development community can access relevant development information easily. BaKTINews is also provided in an electronic version that can be accessed on www.bakri.org and can be sent electronically to subscribers with internet access.

BaKTINews is managed by the Eastern Indonesia Knowledge Exchange (BaKTI). All articles are contributed voluntarily by development stakeholders from different areas in eastern Indonesia who wish to share their information with a wider audience.

31

Volume V - edisi 66

DAFTAR ISI CONTENTS

3

6

7

9

10

11

13

15

16

17

18

19

21

23

25

27

28

28

29

30

20

Berkontribusi untuk BaKTINews

BaKTINews menerima artikel tentang kemajuan pembangunan, pembelajaran dari suatu kegiatan, praktik cerdas pembangunan, hasil-hasil penelitian yang dapat diaplikasikan, dan teknologi tepat guna dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua). Panjang artikel adalah 1.000-1.100 kata,menggunakan Bahasa Indonesia maupun lnggris,ditulis dengan gaya populer. Foto-foto penunjang artikel sangat dibutuhkan. Tim editor BaKTINews akan melakukan edit terhadap setiap artikel yang akan dimuat untuk kesesuaian tempat dan gaya bahasa. Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.

BaKTINews accepts articles about development programs, lessons learnt from an activity, development smart practices, research results that can be applied, and applied technology from different stakeholders and regions in eastern Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, and Papua). Articles should be 1,000-1, 100 words, in either Indonesian or English, and written in a popular style. Articles should also be sent with photos that illustrate the article. The editors of BaKTINews will edit every article for reasons of space and style. BaKTINews does not provide payment to writers for articles.

2 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Menjadi Pelanggan BaKTINews Subscribing to BaKTINews

Untuk berlangganan BaKTINews, silakan mengirimkan data diri anda (organisasi, posisi, nomor HP, alamat email) lengkap dengan alamat lengkap yang disertai dengan kode pos melalui email [email protected] atau SMS 085255776165. Bagi yang berdomisili di Makassar, Anda dapat mengambil BaKTINews di Display Corner Gedung BaKTI pada setiap hari kerja.

To subscribe to BaKTINews please send us your full contacts details (including organization. position, HP number and email address) with full postal address to [email protected] or SMS to 085255776165. For those living in Makassar, please stop by the BaKTI office and pick up your copy from the display corner from Monday to Friday.

BaKTINews diterbitkan oleh Yayasan BaKTI dengan dukungan Pemerintah Australia.BaKTINews is published by The BaKTI Foundation with support of the Government of Australia.

Pandangan yang dikemukakan tak sepenuhnya mencerminkan pandangan Yayasan BaKTI maupun Pemerintah Australia.

The views expressed do not necessarily reflect the views of Yayasan BaKTI and the Government of Australia.

Belajar Siaga Bencana Sejak Dini di SekolahLearning Disaster Preparedness in School

Promosi Praktik Terbaik DBE 2 Libatkan Perguruan TinggiStrategi Melanggengkan Proyek Donor di Sulawesi

Optimalkan Penggunaan Teknologi Informasi Untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Wajah Pelayanan Publik Setelah Limabelas Tahun Otonomi DaerahPublic Services after Fifteen Years of Regional Autonomy

Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Secara Partisipatif, Transparan Dan Akuntabel

Mendekatkan Layanan Dasar ke Warga di Desa Kopang Rembiga

Apa Mekanisme Terbaik untuk Perencanaan Pembangunan ?What is the Best Mechanism for Development Planning?

Dari Ladang Ke Meja Makan:Tinjauan Kondisi Ketahanan Pangan di Papua Barat

Perburuan Satwa Liar di Papua Barat: Antara pemanfaatan dan pelestarian

JiKTI Updates

PEACH Updates

Penjahat Bicara Memberantas Kejahatan

Kisah Pendampingan Seorang Fasilitator Pendidikan

Profil Perempuan Petani Rumput Laut Catatan perjalanan menuju Pantai Nemberala, Rote

Malaria Center di Halmahera SelatanMalaria Clinic in Halmahera

Memahami Perilaku Waria dalam Mencegah HIV/AIDS

batukar.info Updates

Peluang

Website Bulan ini

Profil LSM

Kegiatan di BaKTI

Info Books

Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI)

mengucapkan terimakasih dan selamat berpisah kepada

Dukungan ibu Patricia McCullagh sebagai Counselor / Head of Aid CIDA sejak saat berdirinya

Yayasan BaKTI hingga saat ini menjadi semangat bagi kami

untuk terus menghasilkan yang terbaik .

Semoga hubungan yang terjalin dapat lebih baikdi masa depan.

Selamat bertugas di tempat yang baru.

Ibu Patricia McCullagh

FarewellFarewell

Page 4: BaKTINews Edisi 66

PENGELOLAAN BENCANA

Learning Disaster Preparedness in School

camps. Children are also rarely factored into disaster management, in terms of their basic needs, health needs and education needs.

Efforts must be undertaken to reduce the impacts of a disaster, including providing adequate information about disasters, how to deal with an emergency situation, and other things that can be done to reduce negative impacts of a disaster. Kelola (Kelompok Pengelola Sumberdaya Alam), a local NGO, together with OXFAM GB, held a series of activities as part of the Disaster Risk Reduction Program (PRB) in Kepulauan Sangihe District, North Sulawesi.

Workshop on Reducing Disaster Risks Several workshops were conducted during the first

stage of the program. The first one was a workshop on Reducing Disaster Risks to provide a better understanding of disaster management, risk analysis (threat, vulnerability, and capacity), designing an evacuation procedure, and follow-up actions. The workshop also has the objective of encouraging teachers to better understand the shifts in disaster management paradigms, the context of disasters, and to enable them to analyze disaster risks before designing and implementing evacuation procedures in each school.

Following the workshop, other focus group discussions were conducted, targeted at students, parents, school committees, village governments, and teachers. These discussions were held to give a better understanding of disaster risk management and how to analyze disaster risks, and, together with the school community, how to design an action plan to reduce disaster risks.

During the discussions, two teachers from each school presented the workshop results and transferred the knowledge acquired to all school stakeholders. These knowledge transfer processes were also supported with a documentary movie about disaster management and puppet show showing a tale of a disaster. Messages delivered through the movie and puppet shows were easier to understand. These means of communication also help teachers to explain even more about reducing disaster risks.

Socialization of Reducing Disaster Risks also targeted the members of the Children Service Centers at Immanuel Church and Pekatentengan Church in Kepulauan Sangihe District. 23 schools acquired knowledge and new skills about Reducing Disaster Risks and have now conducted simulations of disaster emergency procedures.

“It is not just about teaching students about what is disaster risk management, but it is also about encouraging teachers and all school members to determine gathering points and secure locations for all students and school members. They need to know precisely the evacuation pathway and signs of an emergency situation so when it occurs, the school members are prepared and follow the procedures,” explained Helda Repar a Kelola member.

Soon after the workshop, Piterson, the Headmaster of GMIST Elementary School, Utaurano Village, socialized the Reducing Disaster Risk program to all the school members. “It was difficult to explain how important it is to understand reducing disaster risks. We must learn and create the best way to explain it to our students. We also emphasize it when we teach subjects related to natural disaster topics”, Piterson said.

Piterson added that integrating the topic of disaster risk has occurred in the subjects of social science, science, and even Bahasa Indonesia. Similar efforts were also implemeted by Kasenangan Ruung, the headmaster of Kedang Elementary School; Witri Lambanaung, the headmaster of Pahembang Elementary School; and Nontje Manopo, the headmaster of Bahu Elementary School.

Anak-anak juga rentan saat menjalani kehidupan sebagai pengungsi. Mereka rentan terhadap berbagai wabah penyakit akibat buruknya kondisi dan fasilitas penanganan bencana. Selain itu anak-anak kerap tidak diperhitungkan banyak pihak dalam penanganan bencana, baik dalam hal kebutuhan dasar, kesehatan, maupun pendidikan mereka.

Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mengurangi risiko dari terjadinya sebuah bencana. Salah satu di antaranya adalah dengan memberi pemahaman yang tepat mengenai apa itu bencana, bagaimana harus bertindak dalam situasi darurat bencana, dan hal lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak buruk terjadinya bencana baik sebelum maupun setelah bencana terjadi. Langkah ini juga dipilih oleh LSM Kelola (Kelompok Pengelola Sumberdaya Alam) bekerja sama dengan OXFAM GB dengan mengadakan serangkaian kegiatan dalam Program Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Kabupaten Kepulauan Sangihe.

Lokakarya dan Sosialisasi Pengurangan Risiko BencanaKegiatan pada tahap pertama adalah sebuah Lokakarya

Pengurangan Risiko Bencana yang memberi bekal pemahaman mengenai manajemen bencana, analisis risiko (ancaman, kerentanan, dan kapasitas), penyusunan prosedur tetap, dan penyusunan rencana aksi sekolah. Lokakarya ini juga mendorong guru-guru untuk mampu memahami perubahan paradigma manajemen bencana, memahami konteks bencana dan mampu melakukan analisis risiko bencana sebelum menyusun dan mengimplementasikan beberapa prosedur di sekolah masing-masing.

Setelah Lokakarya, dilakukan sosialisasi mengenai Pengurangan Risiko Bencana kepada komunitas sekolah (siswa, orang tua siswa, komite sekolah, pemerintah desa/kampung/kelurahan dan guru-guru). Sosialisasi ini bertujuan memberi pemahaman tentang manajemen bencana, prioritas ancaman dan bagaimana menganalisis risiko serta menyusun prosedur tetap dan rencana aksi untuk mengurangi risiko kepada komunitas sekolah.

Di setiap sekolah, dua orang guru wakil sekolah mempresentasikan hasil lokakarya dan mentransfer pengetahuan yang baru diperolehnya. Transfer pengetahuan ini dilengkapi dengan pemutaran film tentang manajemen bencana dan pertunjukan panggung boneka yang berkisah tentang bencana. Pesan yang disampaikan lewat media film dan panggung boneka lebih mudah dicerna oleh para siswa sehingga membantu para guru dalam menerangkan lebih lanjut mengenai pengurangan rersiko bencana di kelas.

Sosialisasi Pengurangan Risiko Bencana juga dilakukan kepada para guru anggota Pusat Pelayanan Anak (PPA) di Gereja Immanuel dan PPA Gereja Pekatentengan Kabupaten Kepulauan Sangihe. Kini telah ada 23 sekolah mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan baru mengenai Pengurangan Risiko Bencana dan melakukan simulasi prosedur situasi darurat bencana.

“Bukan hanya soal memberikan pengetahuan kepada siswa. Para guru juga mengajak warga sekolah untuk menentukan titik temu dan lokasi yang aman bagi siswa dan warga sekolahnya. Memastikan mereka mengetahui jalur evakuasi dan tanda-tanda keadaan darurat sehingga ketika terjadi bencana warga sekolah sudah siap sesuai dengan Prosedur Tetap yang mereka susun sendiri,”jelas Helda Repar, Staf LSM Kelola.

Piterson Kepala Sekolah SD GMIST dari Desa Utaurano yang selalu mengalami banjir misalnya, langsung mesosialisasikan tentang PRB banjir kepada warga sekolahnya. “Memang tdak mudah memberikan sosialisasi ini. Kami harus menemukan cara-cara yang baik dan tepat untuk menyampaikannya ke anak-anak. Kami memantapkannya lewat pelajaran yang bisa kami kaitkan dengan bencana,” tambah Piterson lagi.

Piterson menambahkan, biasanya mereka mengintegrasikan bahasan Pengurangan Risiko Bencana dengan mata pelajaran terkait seperti IPS, IPA, Bahasa Indonesia atau lainnya. Hal yang sama juga dilakukan Kasenangan Ruung, Kepala SDN Kedang, Kepala SDN Pahembang Raku, Witri Lambanaung, dan Kepala SDN Bahu, Nontje Manopo.

Penyusunan dan Konsultasi Prosedur TetapSetelah melakukan sosialisasi di masing-masing sekolahnya, para

guru juga mengikuti proses workshop yang dilakukan di masing-masing Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidayah di 14 kampung/kelurahan. Peserta

ebuah gempa yang terjadi pada akhir Januari 2007 meruntuhkan dinding gedung SDN Kedang, dusun jauh Kampung Utaurano SKecamatan Tabukan Utara Kabupaten Kepulauan Sangihe,

Sulawesi Utara. Gedung itu baru tiga tahun berdiri. Untungnya tidak ada korban jiwa, karena terjadi bukan di saat jam belajar. Namun pasca gempa gedung sekolah tidak dapat digunakan lagi untuk proses belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar pun akhirnya menumpang di gedung gereja GMIST Ararat Kedang. Sebanyak duapuluh tiga siswa mengikuti proses belajar dengan menggunakan kursi dan meja yang dibuat ulang hasil kontribusi jemaat gereja tersebut. Walaupun ada tempat untuk belajar, namun gereja bukanlah sekolah. Baik siswa maupun guru merasa tidak nyaman saat proses belajar dan mengajar berlangsung karena diadakan dalam satu ruangan tanpa sekat.Lain cerita dengan yang dialami SDN Bahu. Di tahun yang sama, atap sekolah mereka rusak dan roboh karena dihempas angin kencang. Untungnya (lagi) hari itu libur. Tidak bisa dibayangkan jika itu terjadi pada saat jam belajar mengajar.

Bangunan kedua sekolah jelas tidak didesain sesuai kondisi kerentanan di wilayah sekolah tersebut. Sehingga saat gempa, angin kencang, atau banjir bandang gedung ini mudah runtuh atau rusak parah.

Saat bencana menimpa desa terjadi kebingungan besar. Tidak hanya anak-anak, orang dewasa dan juga para guru yang semestinya bertanggung jawab atas keselamatan mereka, sama-sama tidak paham bagaimana mengatasi situasi darurat akibat bencana. Satu-satunya yang dapat dikerjakan saat itu adalah mengikuti insting untuk mengungsi dan bertahan di tempat yang dianggap aman hingga bencana mereda.

Anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap bencana, bukan hanya karena ketidaktahuan mereka menghadapi bencana. Pada banyak kasus, saat bencana terjadi, biasanya anak-anak tidak mampu menyelamatkan diri karena mereka sedang asyik bermain, dalam gendongan ibu, terlelap dalam tidur, atau mungkin saat belajar di sekolah.

An earthquake occurred in late January 2007, demolishing the Kedang elementary school that is situated far away in Kampung Utaurano, Tabukan Utara sub-district of Kepulauan Sangihe District, North Sulawesi. The school building was completed just three years before the earthquake. Fortunately the earthquake did not take place during school hours.

The school was then moved to the GMIST Ararat Kedang Church. Twenty three students were already there using chairs and table donated by church members to study. Although a place was provided as an emergency school, the church was not a school and both students and teachers were disturbed as students from all grades were forced together into one room.

The same story is also told by the Bahu Elementary School students. In the same year, the roof of the school was demolished due to a hurricane. Fortunately (again) it occurred during a holiday.

It is clear that both schools were not designed to survive such disasters. After a single earthquake, hurricane, or flood, these buildings were destroyed.

When disasters occur in these villages, people were confused. Not the only children, but even the adults, including the teachers who should be responsible for the children's safety, didn't know how to handle the emergency situation following disasters. The only thing they did was to follow their instinct to run to a safer place and stay there until the disaster was over.

Children are most vulnerable to disaster, not only because they can't help themselves in an emergency situation, but also because when disasters occur, they are in deep sleep, playing with their friends, or studying at school.

Children are also vulnerable when living in evacuation or emergency camps. They are vulnerable to endemics due to the bad conditions and facilities in the

3

Oleh Helda Rapar, Decky Tiwow, Musfarayani

Belajar Siaga Bencana Sejak Dini di Sekolah

Kami takut kehilangan orang tua kami jika Gunung api meletus,” ujar Alda C. Gahinsa, 11, siswa kelas VI SDN Mala. Ketakutan dan panik mereka segera menghilang ketika para guru menenangkan para siswa dan melakukan “pengarahan dalam mengevakuasi para siswa ke tempat aman. Kegiatan simulasi dilakukan penuh penghayatan

oleh semua warga sekolah. Proses simulasi berlanjut, yaitu membawa para siswa ke titik kumpul. Mereka dibariskan dan diarahkan para guru keluar dari sekolah dan dikawal hingga dievakuasi dan berkumpul di titi temu.”

“We're afraid we'll lose our parents if the volcano erupts”, said Alda C. Gahinsa, 11 years old and sixth grade student at Mala Elementary School. The teachers try to overcome their panic and worries and evacuate all the students to a safer place. As the simulation continued, all the students gathered and walked in one line to the gathering point.

4 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Page 5: BaKTINews Edisi 66

PENGELOLAAN BENCANA

Learning Disaster Preparedness in School

camps. Children are also rarely factored into disaster management, in terms of their basic needs, health needs and education needs.

Efforts must be undertaken to reduce the impacts of a disaster, including providing adequate information about disasters, how to deal with an emergency situation, and other things that can be done to reduce negative impacts of a disaster. Kelola (Kelompok Pengelola Sumberdaya Alam), a local NGO, together with OXFAM GB, held a series of activities as part of the Disaster Risk Reduction Program (PRB) in Kepulauan Sangihe District, North Sulawesi.

Workshop on Reducing Disaster Risks Several workshops were conducted during the first

stage of the program. The first one was a workshop on Reducing Disaster Risks to provide a better understanding of disaster management, risk analysis (threat, vulnerability, and capacity), designing an evacuation procedure, and follow-up actions. The workshop also has the objective of encouraging teachers to better understand the shifts in disaster management paradigms, the context of disasters, and to enable them to analyze disaster risks before designing and implementing evacuation procedures in each school.

Following the workshop, other focus group discussions were conducted, targeted at students, parents, school committees, village governments, and teachers. These discussions were held to give a better understanding of disaster risk management and how to analyze disaster risks, and, together with the school community, how to design an action plan to reduce disaster risks.

During the discussions, two teachers from each school presented the workshop results and transferred the knowledge acquired to all school stakeholders. These knowledge transfer processes were also supported with a documentary movie about disaster management and puppet show showing a tale of a disaster. Messages delivered through the movie and puppet shows were easier to understand. These means of communication also help teachers to explain even more about reducing disaster risks.

Socialization of Reducing Disaster Risks also targeted the members of the Children Service Centers at Immanuel Church and Pekatentengan Church in Kepulauan Sangihe District. 23 schools acquired knowledge and new skills about Reducing Disaster Risks and have now conducted simulations of disaster emergency procedures.

“It is not just about teaching students about what is disaster risk management, but it is also about encouraging teachers and all school members to determine gathering points and secure locations for all students and school members. They need to know precisely the evacuation pathway and signs of an emergency situation so when it occurs, the school members are prepared and follow the procedures,” explained Helda Repar a Kelola member.

Soon after the workshop, Piterson, the Headmaster of GMIST Elementary School, Utaurano Village, socialized the Reducing Disaster Risk program to all the school members. “It was difficult to explain how important it is to understand reducing disaster risks. We must learn and create the best way to explain it to our students. We also emphasize it when we teach subjects related to natural disaster topics”, Piterson said.

Piterson added that integrating the topic of disaster risk has occurred in the subjects of social science, science, and even Bahasa Indonesia. Similar efforts were also implemeted by Kasenangan Ruung, the headmaster of Kedang Elementary School; Witri Lambanaung, the headmaster of Pahembang Elementary School; and Nontje Manopo, the headmaster of Bahu Elementary School.

Anak-anak juga rentan saat menjalani kehidupan sebagai pengungsi. Mereka rentan terhadap berbagai wabah penyakit akibat buruknya kondisi dan fasilitas penanganan bencana. Selain itu anak-anak kerap tidak diperhitungkan banyak pihak dalam penanganan bencana, baik dalam hal kebutuhan dasar, kesehatan, maupun pendidikan mereka.

Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mengurangi risiko dari terjadinya sebuah bencana. Salah satu di antaranya adalah dengan memberi pemahaman yang tepat mengenai apa itu bencana, bagaimana harus bertindak dalam situasi darurat bencana, dan hal lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak buruk terjadinya bencana baik sebelum maupun setelah bencana terjadi. Langkah ini juga dipilih oleh LSM Kelola (Kelompok Pengelola Sumberdaya Alam) bekerja sama dengan OXFAM GB dengan mengadakan serangkaian kegiatan dalam Program Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Kabupaten Kepulauan Sangihe.

Lokakarya dan Sosialisasi Pengurangan Risiko BencanaKegiatan pada tahap pertama adalah sebuah Lokakarya

Pengurangan Risiko Bencana yang memberi bekal pemahaman mengenai manajemen bencana, analisis risiko (ancaman, kerentanan, dan kapasitas), penyusunan prosedur tetap, dan penyusunan rencana aksi sekolah. Lokakarya ini juga mendorong guru-guru untuk mampu memahami perubahan paradigma manajemen bencana, memahami konteks bencana dan mampu melakukan analisis risiko bencana sebelum menyusun dan mengimplementasikan beberapa prosedur di sekolah masing-masing.

Setelah Lokakarya, dilakukan sosialisasi mengenai Pengurangan Risiko Bencana kepada komunitas sekolah (siswa, orang tua siswa, komite sekolah, pemerintah desa/kampung/kelurahan dan guru-guru). Sosialisasi ini bertujuan memberi pemahaman tentang manajemen bencana, prioritas ancaman dan bagaimana menganalisis risiko serta menyusun prosedur tetap dan rencana aksi untuk mengurangi risiko kepada komunitas sekolah.

Di setiap sekolah, dua orang guru wakil sekolah mempresentasikan hasil lokakarya dan mentransfer pengetahuan yang baru diperolehnya. Transfer pengetahuan ini dilengkapi dengan pemutaran film tentang manajemen bencana dan pertunjukan panggung boneka yang berkisah tentang bencana. Pesan yang disampaikan lewat media film dan panggung boneka lebih mudah dicerna oleh para siswa sehingga membantu para guru dalam menerangkan lebih lanjut mengenai pengurangan rersiko bencana di kelas.

Sosialisasi Pengurangan Risiko Bencana juga dilakukan kepada para guru anggota Pusat Pelayanan Anak (PPA) di Gereja Immanuel dan PPA Gereja Pekatentengan Kabupaten Kepulauan Sangihe. Kini telah ada 23 sekolah mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan baru mengenai Pengurangan Risiko Bencana dan melakukan simulasi prosedur situasi darurat bencana.

“Bukan hanya soal memberikan pengetahuan kepada siswa. Para guru juga mengajak warga sekolah untuk menentukan titik temu dan lokasi yang aman bagi siswa dan warga sekolahnya. Memastikan mereka mengetahui jalur evakuasi dan tanda-tanda keadaan darurat sehingga ketika terjadi bencana warga sekolah sudah siap sesuai dengan Prosedur Tetap yang mereka susun sendiri,”jelas Helda Repar, Staf LSM Kelola.

Piterson Kepala Sekolah SD GMIST dari Desa Utaurano yang selalu mengalami banjir misalnya, langsung mesosialisasikan tentang PRB banjir kepada warga sekolahnya. “Memang tdak mudah memberikan sosialisasi ini. Kami harus menemukan cara-cara yang baik dan tepat untuk menyampaikannya ke anak-anak. Kami memantapkannya lewat pelajaran yang bisa kami kaitkan dengan bencana,” tambah Piterson lagi.

Piterson menambahkan, biasanya mereka mengintegrasikan bahasan Pengurangan Risiko Bencana dengan mata pelajaran terkait seperti IPS, IPA, Bahasa Indonesia atau lainnya. Hal yang sama juga dilakukan Kasenangan Ruung, Kepala SDN Kedang, Kepala SDN Pahembang Raku, Witri Lambanaung, dan Kepala SDN Bahu, Nontje Manopo.

Penyusunan dan Konsultasi Prosedur TetapSetelah melakukan sosialisasi di masing-masing sekolahnya, para

guru juga mengikuti proses workshop yang dilakukan di masing-masing Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidayah di 14 kampung/kelurahan. Peserta

ebuah gempa yang terjadi pada akhir Januari 2007 meruntuhkan dinding gedung SDN Kedang, dusun jauh Kampung Utaurano SKecamatan Tabukan Utara Kabupaten Kepulauan Sangihe,

Sulawesi Utara. Gedung itu baru tiga tahun berdiri. Untungnya tidak ada korban jiwa, karena terjadi bukan di saat jam belajar. Namun pasca gempa gedung sekolah tidak dapat digunakan lagi untuk proses belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar pun akhirnya menumpang di gedung gereja GMIST Ararat Kedang. Sebanyak duapuluh tiga siswa mengikuti proses belajar dengan menggunakan kursi dan meja yang dibuat ulang hasil kontribusi jemaat gereja tersebut. Walaupun ada tempat untuk belajar, namun gereja bukanlah sekolah. Baik siswa maupun guru merasa tidak nyaman saat proses belajar dan mengajar berlangsung karena diadakan dalam satu ruangan tanpa sekat.Lain cerita dengan yang dialami SDN Bahu. Di tahun yang sama, atap sekolah mereka rusak dan roboh karena dihempas angin kencang. Untungnya (lagi) hari itu libur. Tidak bisa dibayangkan jika itu terjadi pada saat jam belajar mengajar.

Bangunan kedua sekolah jelas tidak didesain sesuai kondisi kerentanan di wilayah sekolah tersebut. Sehingga saat gempa, angin kencang, atau banjir bandang gedung ini mudah runtuh atau rusak parah.

Saat bencana menimpa desa terjadi kebingungan besar. Tidak hanya anak-anak, orang dewasa dan juga para guru yang semestinya bertanggung jawab atas keselamatan mereka, sama-sama tidak paham bagaimana mengatasi situasi darurat akibat bencana. Satu-satunya yang dapat dikerjakan saat itu adalah mengikuti insting untuk mengungsi dan bertahan di tempat yang dianggap aman hingga bencana mereda.

Anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap bencana, bukan hanya karena ketidaktahuan mereka menghadapi bencana. Pada banyak kasus, saat bencana terjadi, biasanya anak-anak tidak mampu menyelamatkan diri karena mereka sedang asyik bermain, dalam gendongan ibu, terlelap dalam tidur, atau mungkin saat belajar di sekolah.

An earthquake occurred in late January 2007, demolishing the Kedang elementary school that is situated far away in Kampung Utaurano, Tabukan Utara sub-district of Kepulauan Sangihe District, North Sulawesi. The school building was completed just three years before the earthquake. Fortunately the earthquake did not take place during school hours.

The school was then moved to the GMIST Ararat Kedang Church. Twenty three students were already there using chairs and table donated by church members to study. Although a place was provided as an emergency school, the church was not a school and both students and teachers were disturbed as students from all grades were forced together into one room.

The same story is also told by the Bahu Elementary School students. In the same year, the roof of the school was demolished due to a hurricane. Fortunately (again) it occurred during a holiday.

It is clear that both schools were not designed to survive such disasters. After a single earthquake, hurricane, or flood, these buildings were destroyed.

When disasters occur in these villages, people were confused. Not the only children, but even the adults, including the teachers who should be responsible for the children's safety, didn't know how to handle the emergency situation following disasters. The only thing they did was to follow their instinct to run to a safer place and stay there until the disaster was over.

Children are most vulnerable to disaster, not only because they can't help themselves in an emergency situation, but also because when disasters occur, they are in deep sleep, playing with their friends, or studying at school.

Children are also vulnerable when living in evacuation or emergency camps. They are vulnerable to endemics due to the bad conditions and facilities in the

3

Oleh Helda Rapar, Decky Tiwow, Musfarayani

Belajar Siaga Bencana Sejak Dini di Sekolah

Kami takut kehilangan orang tua kami jika Gunung api meletus,” ujar Alda C. Gahinsa, 11, siswa kelas VI SDN Mala. Ketakutan dan panik mereka segera menghilang ketika para guru menenangkan para siswa dan melakukan “pengarahan dalam mengevakuasi para siswa ke tempat aman. Kegiatan simulasi dilakukan penuh penghayatan

oleh semua warga sekolah. Proses simulasi berlanjut, yaitu membawa para siswa ke titik kumpul. Mereka dibariskan dan diarahkan para guru keluar dari sekolah dan dikawal hingga dievakuasi dan berkumpul di titi temu.”

“We're afraid we'll lose our parents if the volcano erupts”, said Alda C. Gahinsa, 11 years old and sixth grade student at Mala Elementary School. The teachers try to overcome their panic and worries and evacuate all the students to a safer place. As the simulation continued, all the students gathered and walked in one line to the gathering point.

4 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Page 6: BaKTINews Edisi 66

Promosi Praktik Terbaik DBE 2 Libatkan Perguruan Tinggi

Strategi Melanggengkan Proyek Donor di Sulawesi

alah satu kritik yang paling sering dilontarkan terhadap proyek donor setelah mereka pergi adalah semua kemajuan Sdan keberhasilan yang telah dicapai selama pelaksanaan

proyek hilang setelah proyek berakhir. Sekolah kembali ke kondisi semula tanpa perubahan berarti. Fenomena ‘raibnya’ praktik-praktik terbaik yang telah dilahirkan lembaga-lembaga donor di daerah ini mendorong Decentralized Basic Education (DBE) 2 melakukan strategi promosi kepada mitra pada tingkat Kabupaten/Kota, perguruan tinggi, dan organisasi perguruan tinggi seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah IX Sulawesi menjelang proyek berakhir.

Di tahun kelima proyek (2010), DBE 2 USAID berupaya mempromosikan praktik terbaik kepada institusi dan mitra pendidikan di daerah ini. Strategi transisi ini bersambut. Selain mitra pada tingkat Kabupaten/Kota, lembaga pendidikan tinggi seperti Universitas Negeri Makassar (UNM), Universitas Kristen Indonesia (UKI) Toraja, dan Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah IX Sulawesi memberi respon positif. Strategi melanggengkan proyek donor ini diawali oleh kemitraan dengan Pusat Sekolah Efektif (PSE) UNM dalam mengemas praktik terbaik DBE 2 untuk selanjutnya diimplementasi ke mitra UNM lainnya yang belum tersentuh oleh program DBE 2 USAID. Di Sulawesi Selatan, sejak tahun 2005 hingga 2011 DBE 2 beroperasi di sembilan Kabupaten/Kota; Palopo, Enrekang, Soppeng, Pangkep, Jeneponto, Makassar, Sidrap, Pinrang, dan Luwu.

Bersama DBE 2, UNM mengemas ulang praktik terbaik seperti Paket Pelatihan Terakreditasi, Pusat Sumber Belajar Gugus (PSBG), Pembelajaran Aktif dengan ICT, Pembelajaran Aktif untuk Perguruan Tinggi (ALFHE), Program Membaca di Kelas, Paket Audio Interaktif untuk TK, Laporan Mutu Sekolah (LMS), dan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ).

Direktur Pusat Sekolah Efektif UNM Abdullah Pandang menuturkan, kemas ulang tersebut dilakukan agar paket yang telah dikembangkan bisa diimplementasi oleh mitra UNM dan pihak lainnya. Paket-paket tersebut kemudian dikemas dalam Pembelajaran HAKKEM; Humanistik, Aktif, Kontekstual, Kolaboratif, dan Kreatif, Efektif, dan Berbasis Multimedia.

Rangkaian kegiatan dilakukan UNM dalam mengemas ulang paket-paket pelatihan tersebut. Diawali Workshop Transisi 13-15 Mei 2010 lalu di Udiklat PLN Danau Mawang, kemudian Workshop Transisi 29-30 Mei 2010 di Hotel La Macca UNM, dan Rapat Koordinasi Kemitraan Desember 2010.

Selain mengemas ulang paket pelatihan, UNM dan DBE 2 juga bekerjasama dalam membangun kapasitas dosen untuk menjadi fasilitator paket-paket pelatihan tersebut. Salah satu contoh adalah Program Membaca di Kelas DBE 2 yang telah mencetak 20 tenaga dosen sebagai fasilitator program lewat ToT Program Membaca pada tanggal 8 hingga 19 Februari 2011. Paket ini merupakan salah satu dari sejumlah paket pelatihan yang telah didesain dan diimplementasikan di sekolah oleh DBE 2. Tenaga dosen ini dipersiapkan untuk melatih guru-guru kelas awal di kabupaten/kota yang belum tersentuh program DBE 2.

Pelibatan mitra Institusi dan organisasi pendidikan tinggi seperti UKI Toraja

dan Kopertis Wilayah IX juga dilibatkan aktif dalam strategi promosi Paket Pembelajaran Aktif untuk Perguruan Tinggi (ALFHE). UNM sebagai mitra DBE 2 mengimbaskan program ALFHE ke mitra universitas lain, UKI Toraja. Kerjasama antar universitas ini menghasilkan Training of Trainer ALFHE.

Lewat fasilitator UNM, UKI Toraja mereplikasi secara utuh Paket ALFHE kepada 90% dosen UKI (sebanyak 60 dosen) dari empat fakultas. Paket ALFHE terdiri atas Active Learning in

Oleh Ina Rahlina

PENDIDIKAN

yang terlibat adalah komunitas sekolah, terdiri dari Kepala sekolah, guru-guru, siswa, orang tua siswa, komite sekolah, pengawas Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kecamatan Tahuna, Tahuna Barat, Kendahe, Tabukan Utara, Tim Siaga dan Pemerintah Desa/Kelurahan.

Penyusunan Prosedur Tetap dilakukan secara partisipatif, dengan memetakan peran parapihak baik di dalam maupun luar sekolah, sehingga dihasilkan rancangan Prosedur Tetap yang didasarkan pada ancaman bencana di masing-masing sekolah. Pelibatan komunitas sekolah sangat penting dalam proses penyusunan Prosedur Tetap ini agar mereka dapat mengetahui proses penyusunan dan peran apa saja yang menjadi tanggung-jawabnya pada fase pra-bencana, saat terjadi bencana, dan pasca-bencana.

Rancangan Prosedur Tetap yang telah disusun berdasarkan prioritas ancaman, kemudian dikonsultasikan kembali kepada komunitas sekolah. Hal ini dimaksudkan agar melalui rancangan ini, para pihak dapat memahami peran dan tanggung-jawabnya masing-masing sebelum melakukan simulasi uji coba implementasi prosedur.

Pelatihan Pertolongan Pertama dan Simulasi Tanggap BencanaBersamaan dengan tahap konsultasi juga dilaksanakan

Pelatihan Pertolongan Pertama bagi para guru dan siswa. Pelatihan ini diperlukan untuk memperkenalkan prosedur dan keterampilan yang diperlukan dalam situasi darurat bencana.

Untuk tingkat Sekolah Dasar diperkenalkan beberapa keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk merawat luka ringan, penanganan siswa yang pingsan, penanganan siswa yang patah tulang tangan dan kaki, perawatan siswa yang mengalami pendarahan dikepala, dan pembuatan tandu untuk mengangkat korban.

Keterampilan Pertolongan Pertama sebetulnya bukan kegiatan yang baru disekolah karena di beberapa sekolah terdapat Unit Kesehatan Sekolah (UKS) yang biasanya mengajarkan keterampilan dasar ini. Namun sayangnya unit ini belum terdapat di semua sekolah di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Padahal untuk daerah rawan bencana seperti Kabupaten Kepulauan Sangihe, Unit Kesehatan Sekolah memiliki peran yang sangat penting baik dalam hal meningkatkan kesiapsiagaan bahkan dalam penanganan saat dan pasca-bencana.

Kegiatan setelah pelatihan adalah penyusunan skenario untuk simulasi bencana. Penyusunan skenario didasarkan pada jenis ancaman bagi masing-masing sekolah. Penyusunan skenario melibatkan seluruh komunitas sekolah agar mereka dapat memahami alur simulasi, memahamai peran masing-masing, dan prosedur apa saja yang akan dilakukan.

lRancangan skenario dilatih terlebih dahulu oleh pemeran yang telah disepakati dalam prosedur tetap. Latihan ini diulang bahkan lebih dari tiga kali untuk menguji efektif tidaknya Prosedur Tetap yang akan disimulasikan.

Setelah dirasakan siap, warga sekolah kemudian menguji kesiapsiagaan dan pengetahuan Pengurangan Risiko Bencana mereka melalui sebuah simulasi bencana. Simulasi dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk menguji kesiapsiagaan warga sekolah. Terutama menguji Protap apakah sudah sesuai harapan atau masih perlu perbaikan. Semakin sering simulasi akan semakin baik. Karena semua pihak akan semakin terbiasa dengan pola tanggap darurat sesuai dengan ancamannya. Simulasi tidak hanya dilaksanakan di tingkat sekolah saja, namun juga dicoba pada tingkat yang lebih luas, yakni bersama masyarakat dan Pemerintah Daerah.

Sebanyak duapuluh tiga sekolah kini telah mengagendakan simulasi bersama secara regular dalam Rencana Aksi Sekolah mereka. Rencananya minimal dua kali setahun simulasi ini akan diadakan dan juga akan dipantau oleh para Kepala Sekolah, guru olahraga dan Jejaring Guru Peduli Bencana (JGPB).

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Tulisan ini merupakan dokumentasi pembelajaran program PRB Kabupaten Sangihe yang difasilitasi oleh Kelola dan Oxfam pada tahun 2008-2011dan disusun berdasarkan data-base LSM Kelola, pengalaman lapangan penyusun di Sangihe Maret 2011. Untuk informasi lebih lanjut silakan menghubungi Decky Tiwow melalui HP 081356279862 atau Helda Rapar melalui HP 085757422789

Developing Evacuation ProceduresAfter conducting socialization, the teachers held workshops

in all the schools in 14 villages. Participants included members of the school community-the headmasters, teachers, students, parents, school committee members, supervisors of Regional Technical Operational Units from Tahuna, Tahuna Barat, Kendahe, and Tabukan Utara sub-districts, members of local Emergency & Rescue Teams, and village government representatives.

The development of the draft evacuation procedures involved all stakeholders and was based on local context. Procedures were suitable for each school's conditions. The involvement of all stakeholders is very important in developing the procedures. They need to understand the process of developing the procedure and their roles and responsibilities pre-disaster, during the disaster, and post-disaster before conducting the simulation exercise and finally implementing it.

First Aid Training and Evacuation SimulationDuring the consultation process, a series of First Aid Training

were also conducted for teachers and students. This training was held to introduce the evacuation procedure and basic skills required in an emergency situation.

For the elementary school level, the training also introduced several basic skills to treat minor injuries including broken bones and bleeding head injuries, and skills to make an emergency stretcher.

The first aid skills training is not a new activity because some schools have School Health Units which usually provide first aid training. However, this unit does not exist in all schools in Kepulauan Sangihe District. In such disaster-prone areas like Kepulauan Sangihe District, the existence of this kind of unit is very important in term of community preparedness and in handling emergency situations during disasters and post-disaster.

Activities following the training included developing the scenarios for evacuation simulation. The scenario is based on potential threats for each school and involves all school community members so they can understand their roles and the procedure.

The draft scenarios were trialed in advance by the people selected for the evacuation procedure simulation. This exercise was repeated more than three times to evaluate the effectiveness of the Standard Operating Procedure .

After several exercises and final preparations were completed, the school members then tested the preparedness and their knowledge through an evacuation simulation. The simulation tested the preparedness of the school members and the procedure itself, whether it met expectations or still needed improvement. The simulations should be conducted frequently so everyone is familiar with the procedure. The simulations were not only conducted at the school level, but also on a broader level, with the community and local government members.

At least 23 schools have scheduled the simulation in their School Action Plan. They also plan to conduct the simulation at least twice a year and this will be monitored by the principal, teachers, and the Teachers Network for Disaster Management.

5 6 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Page 7: BaKTINews Edisi 66

Promosi Praktik Terbaik DBE 2 Libatkan Perguruan Tinggi

Strategi Melanggengkan Proyek Donor di Sulawesi

alah satu kritik yang paling sering dilontarkan terhadap proyek donor setelah mereka pergi adalah semua kemajuan Sdan keberhasilan yang telah dicapai selama pelaksanaan

proyek hilang setelah proyek berakhir. Sekolah kembali ke kondisi semula tanpa perubahan berarti. Fenomena ‘raibnya’ praktik-praktik terbaik yang telah dilahirkan lembaga-lembaga donor di daerah ini mendorong Decentralized Basic Education (DBE) 2 melakukan strategi promosi kepada mitra pada tingkat Kabupaten/Kota, perguruan tinggi, dan organisasi perguruan tinggi seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah IX Sulawesi menjelang proyek berakhir.

Di tahun kelima proyek (2010), DBE 2 USAID berupaya mempromosikan praktik terbaik kepada institusi dan mitra pendidikan di daerah ini. Strategi transisi ini bersambut. Selain mitra pada tingkat Kabupaten/Kota, lembaga pendidikan tinggi seperti Universitas Negeri Makassar (UNM), Universitas Kristen Indonesia (UKI) Toraja, dan Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah IX Sulawesi memberi respon positif. Strategi melanggengkan proyek donor ini diawali oleh kemitraan dengan Pusat Sekolah Efektif (PSE) UNM dalam mengemas praktik terbaik DBE 2 untuk selanjutnya diimplementasi ke mitra UNM lainnya yang belum tersentuh oleh program DBE 2 USAID. Di Sulawesi Selatan, sejak tahun 2005 hingga 2011 DBE 2 beroperasi di sembilan Kabupaten/Kota; Palopo, Enrekang, Soppeng, Pangkep, Jeneponto, Makassar, Sidrap, Pinrang, dan Luwu.

Bersama DBE 2, UNM mengemas ulang praktik terbaik seperti Paket Pelatihan Terakreditasi, Pusat Sumber Belajar Gugus (PSBG), Pembelajaran Aktif dengan ICT, Pembelajaran Aktif untuk Perguruan Tinggi (ALFHE), Program Membaca di Kelas, Paket Audio Interaktif untuk TK, Laporan Mutu Sekolah (LMS), dan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ).

Direktur Pusat Sekolah Efektif UNM Abdullah Pandang menuturkan, kemas ulang tersebut dilakukan agar paket yang telah dikembangkan bisa diimplementasi oleh mitra UNM dan pihak lainnya. Paket-paket tersebut kemudian dikemas dalam Pembelajaran HAKKEM; Humanistik, Aktif, Kontekstual, Kolaboratif, dan Kreatif, Efektif, dan Berbasis Multimedia.

Rangkaian kegiatan dilakukan UNM dalam mengemas ulang paket-paket pelatihan tersebut. Diawali Workshop Transisi 13-15 Mei 2010 lalu di Udiklat PLN Danau Mawang, kemudian Workshop Transisi 29-30 Mei 2010 di Hotel La Macca UNM, dan Rapat Koordinasi Kemitraan Desember 2010.

Selain mengemas ulang paket pelatihan, UNM dan DBE 2 juga bekerjasama dalam membangun kapasitas dosen untuk menjadi fasilitator paket-paket pelatihan tersebut. Salah satu contoh adalah Program Membaca di Kelas DBE 2 yang telah mencetak 20 tenaga dosen sebagai fasilitator program lewat ToT Program Membaca pada tanggal 8 hingga 19 Februari 2011. Paket ini merupakan salah satu dari sejumlah paket pelatihan yang telah didesain dan diimplementasikan di sekolah oleh DBE 2. Tenaga dosen ini dipersiapkan untuk melatih guru-guru kelas awal di kabupaten/kota yang belum tersentuh program DBE 2.

Pelibatan mitra Institusi dan organisasi pendidikan tinggi seperti UKI Toraja

dan Kopertis Wilayah IX juga dilibatkan aktif dalam strategi promosi Paket Pembelajaran Aktif untuk Perguruan Tinggi (ALFHE). UNM sebagai mitra DBE 2 mengimbaskan program ALFHE ke mitra universitas lain, UKI Toraja. Kerjasama antar universitas ini menghasilkan Training of Trainer ALFHE.

Lewat fasilitator UNM, UKI Toraja mereplikasi secara utuh Paket ALFHE kepada 90% dosen UKI (sebanyak 60 dosen) dari empat fakultas. Paket ALFHE terdiri atas Active Learning in

Oleh Ina Rahlina

PENDIDIKAN

yang terlibat adalah komunitas sekolah, terdiri dari Kepala sekolah, guru-guru, siswa, orang tua siswa, komite sekolah, pengawas Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kecamatan Tahuna, Tahuna Barat, Kendahe, Tabukan Utara, Tim Siaga dan Pemerintah Desa/Kelurahan.

Penyusunan Prosedur Tetap dilakukan secara partisipatif, dengan memetakan peran parapihak baik di dalam maupun luar sekolah, sehingga dihasilkan rancangan Prosedur Tetap yang didasarkan pada ancaman bencana di masing-masing sekolah. Pelibatan komunitas sekolah sangat penting dalam proses penyusunan Prosedur Tetap ini agar mereka dapat mengetahui proses penyusunan dan peran apa saja yang menjadi tanggung-jawabnya pada fase pra-bencana, saat terjadi bencana, dan pasca-bencana.

Rancangan Prosedur Tetap yang telah disusun berdasarkan prioritas ancaman, kemudian dikonsultasikan kembali kepada komunitas sekolah. Hal ini dimaksudkan agar melalui rancangan ini, para pihak dapat memahami peran dan tanggung-jawabnya masing-masing sebelum melakukan simulasi uji coba implementasi prosedur.

Pelatihan Pertolongan Pertama dan Simulasi Tanggap BencanaBersamaan dengan tahap konsultasi juga dilaksanakan

Pelatihan Pertolongan Pertama bagi para guru dan siswa. Pelatihan ini diperlukan untuk memperkenalkan prosedur dan keterampilan yang diperlukan dalam situasi darurat bencana.

Untuk tingkat Sekolah Dasar diperkenalkan beberapa keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk merawat luka ringan, penanganan siswa yang pingsan, penanganan siswa yang patah tulang tangan dan kaki, perawatan siswa yang mengalami pendarahan dikepala, dan pembuatan tandu untuk mengangkat korban.

Keterampilan Pertolongan Pertama sebetulnya bukan kegiatan yang baru disekolah karena di beberapa sekolah terdapat Unit Kesehatan Sekolah (UKS) yang biasanya mengajarkan keterampilan dasar ini. Namun sayangnya unit ini belum terdapat di semua sekolah di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Padahal untuk daerah rawan bencana seperti Kabupaten Kepulauan Sangihe, Unit Kesehatan Sekolah memiliki peran yang sangat penting baik dalam hal meningkatkan kesiapsiagaan bahkan dalam penanganan saat dan pasca-bencana.

Kegiatan setelah pelatihan adalah penyusunan skenario untuk simulasi bencana. Penyusunan skenario didasarkan pada jenis ancaman bagi masing-masing sekolah. Penyusunan skenario melibatkan seluruh komunitas sekolah agar mereka dapat memahami alur simulasi, memahamai peran masing-masing, dan prosedur apa saja yang akan dilakukan.

lRancangan skenario dilatih terlebih dahulu oleh pemeran yang telah disepakati dalam prosedur tetap. Latihan ini diulang bahkan lebih dari tiga kali untuk menguji efektif tidaknya Prosedur Tetap yang akan disimulasikan.

Setelah dirasakan siap, warga sekolah kemudian menguji kesiapsiagaan dan pengetahuan Pengurangan Risiko Bencana mereka melalui sebuah simulasi bencana. Simulasi dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk menguji kesiapsiagaan warga sekolah. Terutama menguji Protap apakah sudah sesuai harapan atau masih perlu perbaikan. Semakin sering simulasi akan semakin baik. Karena semua pihak akan semakin terbiasa dengan pola tanggap darurat sesuai dengan ancamannya. Simulasi tidak hanya dilaksanakan di tingkat sekolah saja, namun juga dicoba pada tingkat yang lebih luas, yakni bersama masyarakat dan Pemerintah Daerah.

Sebanyak duapuluh tiga sekolah kini telah mengagendakan simulasi bersama secara regular dalam Rencana Aksi Sekolah mereka. Rencananya minimal dua kali setahun simulasi ini akan diadakan dan juga akan dipantau oleh para Kepala Sekolah, guru olahraga dan Jejaring Guru Peduli Bencana (JGPB).

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Tulisan ini merupakan dokumentasi pembelajaran program PRB Kabupaten Sangihe yang difasilitasi oleh Kelola dan Oxfam pada tahun 2008-2011dan disusun berdasarkan data-base LSM Kelola, pengalaman lapangan penyusun di Sangihe Maret 2011. Untuk informasi lebih lanjut silakan menghubungi Decky Tiwow melalui HP 081356279862 atau Helda Rapar melalui HP 085757422789

Developing Evacuation ProceduresAfter conducting socialization, the teachers held workshops

in all the schools in 14 villages. Participants included members of the school community-the headmasters, teachers, students, parents, school committee members, supervisors of Regional Technical Operational Units from Tahuna, Tahuna Barat, Kendahe, and Tabukan Utara sub-districts, members of local Emergency & Rescue Teams, and village government representatives.

The development of the draft evacuation procedures involved all stakeholders and was based on local context. Procedures were suitable for each school's conditions. The involvement of all stakeholders is very important in developing the procedures. They need to understand the process of developing the procedure and their roles and responsibilities pre-disaster, during the disaster, and post-disaster before conducting the simulation exercise and finally implementing it.

First Aid Training and Evacuation SimulationDuring the consultation process, a series of First Aid Training

were also conducted for teachers and students. This training was held to introduce the evacuation procedure and basic skills required in an emergency situation.

For the elementary school level, the training also introduced several basic skills to treat minor injuries including broken bones and bleeding head injuries, and skills to make an emergency stretcher.

The first aid skills training is not a new activity because some schools have School Health Units which usually provide first aid training. However, this unit does not exist in all schools in Kepulauan Sangihe District. In such disaster-prone areas like Kepulauan Sangihe District, the existence of this kind of unit is very important in term of community preparedness and in handling emergency situations during disasters and post-disaster.

Activities following the training included developing the scenarios for evacuation simulation. The scenario is based on potential threats for each school and involves all school community members so they can understand their roles and the procedure.

The draft scenarios were trialed in advance by the people selected for the evacuation procedure simulation. This exercise was repeated more than three times to evaluate the effectiveness of the Standard Operating Procedure .

After several exercises and final preparations were completed, the school members then tested the preparedness and their knowledge through an evacuation simulation. The simulation tested the preparedness of the school members and the procedure itself, whether it met expectations or still needed improvement. The simulations should be conducted frequently so everyone is familiar with the procedure. The simulations were not only conducted at the school level, but also on a broader level, with the community and local government members.

At least 23 schools have scheduled the simulation in their School Action Plan. They also plan to conduct the simulation at least twice a year and this will be monitored by the principal, teachers, and the Teachers Network for Disaster Management.

5 6 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Page 8: BaKTINews Edisi 66

ersebutlah satu sekolah bernama SMA Negeri (SMAN) 1 Gadingrejo, Kabupaten Tanggamus, terletak 30 km dari Tkota Bandar Lampung. Irawati murid sekolah ini telah

beberapa kali menjadi juara pada Olimpiade Sains baik pada tingkat Kabupaten, maupun pada tingkat Provinsi. Pada Olimpiade Sains Kab. Tanggamus pada Juni 2005, prestasi yang di raih oleh Sekolah ini, yaitu peringkat 1-6, semua berasal dari sekolah ini. Mereka berprestasi di bidang Teknologi Informasi Komunikasi. Atas prestasi tersebut BCA telah menyumbangkan fasilitas internet dan V.Sat yang langsung terhubung dengan Satelit (Republika, 29 Juli 2005, IPTEK dan Kesehatan).

Keberhasilan sekolah tersebut karena telah menjalin kerjasama dengan Pendidikan Tinggi Komputer Swasta di

daerah itu. Dengan kerjasama itu memungkinkan sekolah tersebut memiliki Laboratorium Komputer dengan harga murah dan mudah. Pertama-tama yang mengikuti Pelatihan Komputer adalah Guru, kemudian menularkan keterampilan dan pengetahuannya kepada peserta didik. Jam pelajaran ditambah dari 2 jam menjadi 4 jam per minggu (Harian Republika, 29 Juli 2005, IPTEK dan Kesehatan).

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai sumber kekuatan baru dalam abad 21 dapat berfungsi sebagai sumber pembelajaran baru dan bahkan sebagai guru alternatif dalam peningkatan kualitas pendidikan. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa TIK merupakan salah satu fenomena yang paling revolusioner dalam sejarah peradaban

Oleh A. Battingi

7

Optimalkan Penggunaan Teknologi Informasi

Untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Concept

Communication

Connection

Commitment

CompetentConsistent

8

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

School (ALIS), Active Learning in Higher Education (ALIHE), implementasi & pendampingan, dan penilaian portofolio.

Ketua Yayasan Pendidikan Kristen Indonesia Toraja (YPKIT) Prof. T. R. Andi Lolo PhD yang juga mantan Direktur Eksekutif Konsorsium Perguruan Tinggi Negeri (KPTN) Kawasan Timur Indonesia (KTI) tertarik mereplikasi praktik terbaik DBE 2 di yayasannya setelah paket ini diekspansi kepada 18 PTN anggota KPTN KTI 2010 lalu. Menurutnya, ALFHE sesuai kebutuhan mahasiswa abad 21. ‘’ALFHE diperlukan untuk melayani karakteristik peserta didik abad 21,’’ ujarnya di sela-sela Training of Trainer ALIS 7-12 Februari 2011 di Toraja.

Virus pembelajaran aktif untuk perguruan tinggi ini juga dipromosi lewat Kopertis Wilayah IX. Bersama Kopertis, DBE 2 USAID melatih 40 dosen dari 33 perguruan tinggi swasta (PTS) se-Sulawesi. Koordinator Kopertis Wilayah IX, Prof. Dr. H. Muhammad Basri Wello, MA mengungkapkan Training of Trainer ALFHE untuk memperkuat pembelajaran di perguruan tinggi. Paradigma Teacher Centered (TC) akan diubah menjadi Student Centered (SCL).

Perwakilan dosen-dosen PTS se-Sulawesi ini diharapkan menyebarkan praktik terbaik pembelajaran aktif di lingkungan universitas/lembaga masing-masing. Oleh Kopertis, dosen-dosen ini dipersiapkan sebagai fasilitator ALFHE di Sulawesi.

Buka WarungUpaya DBE 2 mempromosikan praktik terbaik kepada mitra

pada tingkat Kabupapten/Kota, institusi dan organisasi pendidikan tinggi di kawasan ini memang bukan jaminan bahwa s e p e n i n g g a l p roye k s e l u r u h p ro g ra m y a n g te l a h diimplementasikan akan langgeng atau lestari. Namun, strategi ini setidaknya memberi nuansa baru kepada mitra Kabupaten/Kota, perguruan tinggi, dan organisasi pendidikan tinggi di daerah ini untuk mengambil alih dan memanfaatkan praktik terbaik yang telah dikembangkan sepeninggal proyek donor di Indonesia.

Upaya UNM dalam mengemas ulang paket-paket DBE merupakan salah satu tahapan, tapi cara ini belumlah memadai karena masih dibutuhkan aksi lebih lanjut. DBE merupakan salah satu proyek di Indonesia, masih banyak inovasi lain yang telah dilahirkan proyek donor untuk dilestarikan agar program yang telah dilaksanakan tak raib seiring berakhirnya proyek-proyek tersebut.

Pelebaran dampak hanya dapat terjadi jika inovasi-inovasi i tu diadopsi oleh lembaga permanen yang dapat mempromosikan peningkatan penyebaran praktik terbaik tersebut. Sangatlah bagus bagi UNM menyimpan dokumen dan materi pelatihan di perpustakaan mereka, tapi agar inovasi tersebut memiliki dampak, seyogyanya materi tersebut digunakan untuk meningkatkan keterampilan dan kualifikasi tenaga pengajar lainnya.

UNM memulai dengan ‘’membuka sebuah warung’’ dengan menu hidangan terbaik dari proyek yang telah berhasil. Ke depan, mereka bisa menambah menu lain dari proyek donor lainnya. ‘’Warung’’ ini akan menghasilkan produk lokal Indonesia dengan kualitas ekspor.

UNM memiliki banyak mitra, khususnya pemerintah daerah yang belum tersentuh program DBE 2. UNM sebagai lembaga pendidikan tinggi yang salah satu tujuannya meningkatkan mutu pendidikan di daerah ini berupaya ‘’buka warung’’ lewat Rapat Koordinasi (Rakor) Kemitraan Pembangunan Pendidikan Kawasan Timur Indonesia, 17-18 Desember 2010 lalu.

Di Rakor ini, UNM menawarkan pelaksanaan intervensi sebagai layanan kepada kabupaten/kota di wilayah Sulsel khususnya dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Rektor Prof. Arismunandar telah mengundang peserta dari pemerintah daerah di KTI dalam rangka promosi ‘’warung’’ praktik terbaik dari proyek donor.

Penulis adalah Communication Coordinator DBE 2 USAIDEmail: [email protected] atau [email protected]: Graha Pena Lt 3 Kav 308

manusia, dan selanjutnya menurut Menkominfo, Muh. Nuh, TIK bukan lagi sebagai alat tetapi sebagai partner, seperti e-edication, e-commerce, e-bussines dan lain-lain. TIK dapat mempermudah, memperingan, memperindah, mempercepat, mempermurah proses pembelajaran dimana setiap orang yang mampu memanfaatkan TIK dapat belajar apa saja dari mana saja dan kapan saja. Pertumbuhan TIK merupakan perkembangan paling penting dibidang pendidikan.

Program One School One Lab (OSOL) adalah program percontohan yang berbasis TIK untuk mempersiapkan diri untuk menggabungkan potensi lokal dan menangkap peluang Nasional dan Internasional dalam pengembangan pendidikan. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 51, bahwa manajemen pendidikan telah bergeser dari paradigma lama yaitu manajemen pendidikan yang berbasis birokrasi ke paradigma baru yaitu manajemen pendidikan yang berbasis sekolah. Kepala Sekolah dibantu oleh Komite Sekolah dalam mengelola kegiatan pendidikan mempunyai otonomi dalam berinisiatif dan prakarsa serta kreasi dalam mengembangkan sekolahnya. Kepala Sekolah dalam mengambil keputusan senantiasa melibatkan para guru dan tenaga ke pendidikan, sehingga apa yang telah diputuskan dan dilaksanakan secara formal (sesuai sistem dan aturan) dapat dipertanggung gugat dan transparansi.

Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk pendidikan. Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) membawa perubahan dari Paradigma lama ke paradigma baru, yakni dari reformasi pengelolaan sekolah ke reformasi proses pembelajaran.

TIK untuk pendidikan merupakan sasaran antara untuk menuju budaya besar untuk bangsa yang besar. Penggunaan TIK dalam proses belajar akan tercipta kondisi positif dalam mempermudah, mempermurah, mempercepat dan memperindah proses pembelajaran. TIK sebagai sasaran antara Reformasi Pendidikan dapat menumbuh kembangkan budaya belajar bagi guru, siswa dan masyarakat. Menurut ahli ilmu-ilmu sosial ada lima tingkatan budaya pembelajaran, tingkat 5 untuk budaya suka menyampaikan, 4 untuk budaya suka menulis, 3 untuk suka membaca, 2 untuk suka mendengar, dan 1 untuk suka melihat.

One School One Lab dalam Desentralisasi dan Otonomi Pendidikan

Dalam merintis pemanfaatan TIK untuk pendidikan, maka langkah awal yang dilakukan adalah pengkajian mengenai konsep mengapa TIK penting bagi pendidikan, apa yang dimaksud TIK untuk pendidikan dan bagaimana penerapan TIK untuk pendidikan. Dengan demikian Program TIK untuk pendidikan didasarkan pada model 6 C (lihat tabel).

Sehubungan dengan desentralisasi dan otonomi pendidikan ditempuh pendekatan strategis sebagaimana diadaptasi dari buku Winarno Surakhmad berjudul Reformasi dalam Jangkauan. Peningk atan kual i tas pendidik an di lakuk an dengan mengoptimalkan manajemen pendidikan yang berbasis pada sekolah. TIK sebagai sumber pembelajaran baru dan ditempatkan sebagai guru alternatif untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebagai paradigma baru dalam pendidikan, perencanaan dan implementasi OSOL merupakan hasil kesepakatan antara Pimpinan Sekolah, Guru, Komite Sekolah, dan tenaga administrasi sekolah.

Strategi kedua adalah mendorong masyarakat untuk tidak hanya peduli terhadap pendidikan, tapi aktif mendorong budaya terdidik dengan meningkatkan kecintaan terhadap pendidikan,

menghargai dab berpengharapan terhadap pendidikan, serta berpartisipasi dalam mengembangkan pendidikan.

Komponen-komponen yang terlibat dalam program One Lab One School adalah Sekolah (Kepala Sekolah, Komite Sekolah, Guru dan tenaga administrasi sekolah) sebagai komponen utama, Pemerintah Daerah (Bupati, Camat dan Dinas Pendidikan), Perguruan Tinggi Komputer dan Pakar Pendidikan, Pengusaha Komputer, dan Masyarakat sebagai ekosistem pendidikan dan bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR).

Setelah melalui tahap Concept, Communication, Connection, maka tahap keempat yaitu Commitment dalam bentuk penandatanganan MoU dilanjutkan dengan Workshop untuk menentukan personil yang kompeten dalam implementasi serta jadwal kegiatan yang dituangkan dalam perjanjian kerja.

Penerapan OSOL juga melalui tahap penilaian yang merupakan kerjasama antara Kepala Sekolah, Pemda, dan STIMED Nusa Palapa. Dalam tahap penilaian ini diidentifikasi sekolah yang layak menjadi lokus percontohan untuk menjadi teladan bagi sekolah-sekolah lain dalam penerapan OSOL, terutama dalam mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

Selanjutnya STIMED Nusa Palapa menginformasikan adanya kebutuhan komputer pada sekolah yang menjadi obyek Program OSOL. Adapun perusahaan distributor komputer akand dipilih berdasarkan kriteria seperti harga yang bersaing, menawarkan fasilitas kemudahan memperoleh barang (sistem angsuran), kualitas yang baik dengan jaminan dan layanan purna jual yang memadai, legal (bukan komputer selundupan), dan bersedia melaksanakan penataan laboratorium dna pelatihan bagi guru dan tenaga administrasi.

Untuk menghindari bias dalam menentukan pengusaha komputer mana yang paling memenuhi syarat, STIMED Nusa Palapa wajib didampingi oleh anggota APTIKOM Kopertis Wilayah IX. Selain itu, pengadaan komputer juga harus disepakati bersama oleh Pimpinan Sekolah, para guru, Komite Sekolah dan tenaga administrasi, terutama mengenai harga, tipe dan cara pengadaannya (kontan atau angsuran dan lain-lain).

Dalam jangka menengah program OSOL dapat mendukung beberapa program lainnya yang dikembangkan oleh Dinas Pendidikan, seperti Pemberdayaan Masyarakat Dalam Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi yang meliputi program belajar berkelanjutan bagi usia remaja dan dewasa di daerah yang mengalami keterbatasan terhadap akses informasi dan pelatihan guru-guru untuk penggunaan komputer bagi pemberdayaan masyarakat.

Program OSOL adalah program strategis dalam peningkatan kualitas SDM baik dibidang TIK maupun di bidang-bidang lain. Ia dapat meningkatkan budaya belajar bagi guru, siswa dan masyarakat, karena dengan Program OSOL, mereka dapat belajar dengan mudah, murah, cepat dan indah. Program OSOL ini bukan hanya bagi guru dan siswa, tetapi juga bagi masyarakat dan perguruan tinggi. Program OSOL juga dapat menjadi wadah atau cikal bakal pembangunan TIK Center dan Program Jardiknas (Jaringan Diknas).

Penulis adalah Ketua STIMED Nusa Palapa, Gedung FAJAR Graha Pena Lt. 10, Jl. Urip Sumoharjo No 21 Makassar 90231. Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected]

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

PENDIDIKAN

Model 6 C yang diterapkan dalam Program TIK untuk pendidikan

Page 9: BaKTINews Edisi 66

ersebutlah satu sekolah bernama SMA Negeri (SMAN) 1 Gadingrejo, Kabupaten Tanggamus, terletak 30 km dari Tkota Bandar Lampung. Irawati murid sekolah ini telah

beberapa kali menjadi juara pada Olimpiade Sains baik pada tingkat Kabupaten, maupun pada tingkat Provinsi. Pada Olimpiade Sains Kab. Tanggamus pada Juni 2005, prestasi yang di raih oleh Sekolah ini, yaitu peringkat 1-6, semua berasal dari sekolah ini. Mereka berprestasi di bidang Teknologi Informasi Komunikasi. Atas prestasi tersebut BCA telah menyumbangkan fasilitas internet dan V.Sat yang langsung terhubung dengan Satelit (Republika, 29 Juli 2005, IPTEK dan Kesehatan).

Keberhasilan sekolah tersebut karena telah menjalin kerjasama dengan Pendidikan Tinggi Komputer Swasta di

daerah itu. Dengan kerjasama itu memungkinkan sekolah tersebut memiliki Laboratorium Komputer dengan harga murah dan mudah. Pertama-tama yang mengikuti Pelatihan Komputer adalah Guru, kemudian menularkan keterampilan dan pengetahuannya kepada peserta didik. Jam pelajaran ditambah dari 2 jam menjadi 4 jam per minggu (Harian Republika, 29 Juli 2005, IPTEK dan Kesehatan).

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai sumber kekuatan baru dalam abad 21 dapat berfungsi sebagai sumber pembelajaran baru dan bahkan sebagai guru alternatif dalam peningkatan kualitas pendidikan. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa TIK merupakan salah satu fenomena yang paling revolusioner dalam sejarah peradaban

Oleh A. Battingi

7

Optimalkan Penggunaan Teknologi Informasi

Untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Concept

Communication

Connection

Commitment

CompetentConsistent

8

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

School (ALIS), Active Learning in Higher Education (ALIHE), implementasi & pendampingan, dan penilaian portofolio.

Ketua Yayasan Pendidikan Kristen Indonesia Toraja (YPKIT) Prof. T. R. Andi Lolo PhD yang juga mantan Direktur Eksekutif Konsorsium Perguruan Tinggi Negeri (KPTN) Kawasan Timur Indonesia (KTI) tertarik mereplikasi praktik terbaik DBE 2 di yayasannya setelah paket ini diekspansi kepada 18 PTN anggota KPTN KTI 2010 lalu. Menurutnya, ALFHE sesuai kebutuhan mahasiswa abad 21. ‘’ALFHE diperlukan untuk melayani karakteristik peserta didik abad 21,’’ ujarnya di sela-sela Training of Trainer ALIS 7-12 Februari 2011 di Toraja.

Virus pembelajaran aktif untuk perguruan tinggi ini juga dipromosi lewat Kopertis Wilayah IX. Bersama Kopertis, DBE 2 USAID melatih 40 dosen dari 33 perguruan tinggi swasta (PTS) se-Sulawesi. Koordinator Kopertis Wilayah IX, Prof. Dr. H. Muhammad Basri Wello, MA mengungkapkan Training of Trainer ALFHE untuk memperkuat pembelajaran di perguruan tinggi. Paradigma Teacher Centered (TC) akan diubah menjadi Student Centered (SCL).

Perwakilan dosen-dosen PTS se-Sulawesi ini diharapkan menyebarkan praktik terbaik pembelajaran aktif di lingkungan universitas/lembaga masing-masing. Oleh Kopertis, dosen-dosen ini dipersiapkan sebagai fasilitator ALFHE di Sulawesi.

Buka WarungUpaya DBE 2 mempromosikan praktik terbaik kepada mitra

pada tingkat Kabupapten/Kota, institusi dan organisasi pendidikan tinggi di kawasan ini memang bukan jaminan bahwa s e p e n i n g g a l p roye k s e l u r u h p ro g ra m y a n g te l a h diimplementasikan akan langgeng atau lestari. Namun, strategi ini setidaknya memberi nuansa baru kepada mitra Kabupaten/Kota, perguruan tinggi, dan organisasi pendidikan tinggi di daerah ini untuk mengambil alih dan memanfaatkan praktik terbaik yang telah dikembangkan sepeninggal proyek donor di Indonesia.

Upaya UNM dalam mengemas ulang paket-paket DBE merupakan salah satu tahapan, tapi cara ini belumlah memadai karena masih dibutuhkan aksi lebih lanjut. DBE merupakan salah satu proyek di Indonesia, masih banyak inovasi lain yang telah dilahirkan proyek donor untuk dilestarikan agar program yang telah dilaksanakan tak raib seiring berakhirnya proyek-proyek tersebut.

Pelebaran dampak hanya dapat terjadi jika inovasi-inovasi i tu diadopsi oleh lembaga permanen yang dapat mempromosikan peningkatan penyebaran praktik terbaik tersebut. Sangatlah bagus bagi UNM menyimpan dokumen dan materi pelatihan di perpustakaan mereka, tapi agar inovasi tersebut memiliki dampak, seyogyanya materi tersebut digunakan untuk meningkatkan keterampilan dan kualifikasi tenaga pengajar lainnya.

UNM memulai dengan ‘’membuka sebuah warung’’ dengan menu hidangan terbaik dari proyek yang telah berhasil. Ke depan, mereka bisa menambah menu lain dari proyek donor lainnya. ‘’Warung’’ ini akan menghasilkan produk lokal Indonesia dengan kualitas ekspor.

UNM memiliki banyak mitra, khususnya pemerintah daerah yang belum tersentuh program DBE 2. UNM sebagai lembaga pendidikan tinggi yang salah satu tujuannya meningkatkan mutu pendidikan di daerah ini berupaya ‘’buka warung’’ lewat Rapat Koordinasi (Rakor) Kemitraan Pembangunan Pendidikan Kawasan Timur Indonesia, 17-18 Desember 2010 lalu.

Di Rakor ini, UNM menawarkan pelaksanaan intervensi sebagai layanan kepada kabupaten/kota di wilayah Sulsel khususnya dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Rektor Prof. Arismunandar telah mengundang peserta dari pemerintah daerah di KTI dalam rangka promosi ‘’warung’’ praktik terbaik dari proyek donor.

Penulis adalah Communication Coordinator DBE 2 USAIDEmail: [email protected] atau [email protected]: Graha Pena Lt 3 Kav 308

manusia, dan selanjutnya menurut Menkominfo, Muh. Nuh, TIK bukan lagi sebagai alat tetapi sebagai partner, seperti e-edication, e-commerce, e-bussines dan lain-lain. TIK dapat mempermudah, memperingan, memperindah, mempercepat, mempermurah proses pembelajaran dimana setiap orang yang mampu memanfaatkan TIK dapat belajar apa saja dari mana saja dan kapan saja. Pertumbuhan TIK merupakan perkembangan paling penting dibidang pendidikan.

Program One School One Lab (OSOL) adalah program percontohan yang berbasis TIK untuk mempersiapkan diri untuk menggabungkan potensi lokal dan menangkap peluang Nasional dan Internasional dalam pengembangan pendidikan. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 51, bahwa manajemen pendidikan telah bergeser dari paradigma lama yaitu manajemen pendidikan yang berbasis birokrasi ke paradigma baru yaitu manajemen pendidikan yang berbasis sekolah. Kepala Sekolah dibantu oleh Komite Sekolah dalam mengelola kegiatan pendidikan mempunyai otonomi dalam berinisiatif dan prakarsa serta kreasi dalam mengembangkan sekolahnya. Kepala Sekolah dalam mengambil keputusan senantiasa melibatkan para guru dan tenaga ke pendidikan, sehingga apa yang telah diputuskan dan dilaksanakan secara formal (sesuai sistem dan aturan) dapat dipertanggung gugat dan transparansi.

Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk pendidikan. Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) membawa perubahan dari Paradigma lama ke paradigma baru, yakni dari reformasi pengelolaan sekolah ke reformasi proses pembelajaran.

TIK untuk pendidikan merupakan sasaran antara untuk menuju budaya besar untuk bangsa yang besar. Penggunaan TIK dalam proses belajar akan tercipta kondisi positif dalam mempermudah, mempermurah, mempercepat dan memperindah proses pembelajaran. TIK sebagai sasaran antara Reformasi Pendidikan dapat menumbuh kembangkan budaya belajar bagi guru, siswa dan masyarakat. Menurut ahli ilmu-ilmu sosial ada lima tingkatan budaya pembelajaran, tingkat 5 untuk budaya suka menyampaikan, 4 untuk budaya suka menulis, 3 untuk suka membaca, 2 untuk suka mendengar, dan 1 untuk suka melihat.

One School One Lab dalam Desentralisasi dan Otonomi Pendidikan

Dalam merintis pemanfaatan TIK untuk pendidikan, maka langkah awal yang dilakukan adalah pengkajian mengenai konsep mengapa TIK penting bagi pendidikan, apa yang dimaksud TIK untuk pendidikan dan bagaimana penerapan TIK untuk pendidikan. Dengan demikian Program TIK untuk pendidikan didasarkan pada model 6 C (lihat tabel).

Sehubungan dengan desentralisasi dan otonomi pendidikan ditempuh pendekatan strategis sebagaimana diadaptasi dari buku Winarno Surakhmad berjudul Reformasi dalam Jangkauan. Peningk atan kual i tas pendidik an di lakuk an dengan mengoptimalkan manajemen pendidikan yang berbasis pada sekolah. TIK sebagai sumber pembelajaran baru dan ditempatkan sebagai guru alternatif untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebagai paradigma baru dalam pendidikan, perencanaan dan implementasi OSOL merupakan hasil kesepakatan antara Pimpinan Sekolah, Guru, Komite Sekolah, dan tenaga administrasi sekolah.

Strategi kedua adalah mendorong masyarakat untuk tidak hanya peduli terhadap pendidikan, tapi aktif mendorong budaya terdidik dengan meningkatkan kecintaan terhadap pendidikan,

menghargai dab berpengharapan terhadap pendidikan, serta berpartisipasi dalam mengembangkan pendidikan.

Komponen-komponen yang terlibat dalam program One Lab One School adalah Sekolah (Kepala Sekolah, Komite Sekolah, Guru dan tenaga administrasi sekolah) sebagai komponen utama, Pemerintah Daerah (Bupati, Camat dan Dinas Pendidikan), Perguruan Tinggi Komputer dan Pakar Pendidikan, Pengusaha Komputer, dan Masyarakat sebagai ekosistem pendidikan dan bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR).

Setelah melalui tahap Concept, Communication, Connection, maka tahap keempat yaitu Commitment dalam bentuk penandatanganan MoU dilanjutkan dengan Workshop untuk menentukan personil yang kompeten dalam implementasi serta jadwal kegiatan yang dituangkan dalam perjanjian kerja.

Penerapan OSOL juga melalui tahap penilaian yang merupakan kerjasama antara Kepala Sekolah, Pemda, dan STIMED Nusa Palapa. Dalam tahap penilaian ini diidentifikasi sekolah yang layak menjadi lokus percontohan untuk menjadi teladan bagi sekolah-sekolah lain dalam penerapan OSOL, terutama dalam mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

Selanjutnya STIMED Nusa Palapa menginformasikan adanya kebutuhan komputer pada sekolah yang menjadi obyek Program OSOL. Adapun perusahaan distributor komputer akand dipilih berdasarkan kriteria seperti harga yang bersaing, menawarkan fasilitas kemudahan memperoleh barang (sistem angsuran), kualitas yang baik dengan jaminan dan layanan purna jual yang memadai, legal (bukan komputer selundupan), dan bersedia melaksanakan penataan laboratorium dna pelatihan bagi guru dan tenaga administrasi.

Untuk menghindari bias dalam menentukan pengusaha komputer mana yang paling memenuhi syarat, STIMED Nusa Palapa wajib didampingi oleh anggota APTIKOM Kopertis Wilayah IX. Selain itu, pengadaan komputer juga harus disepakati bersama oleh Pimpinan Sekolah, para guru, Komite Sekolah dan tenaga administrasi, terutama mengenai harga, tipe dan cara pengadaannya (kontan atau angsuran dan lain-lain).

Dalam jangka menengah program OSOL dapat mendukung beberapa program lainnya yang dikembangkan oleh Dinas Pendidikan, seperti Pemberdayaan Masyarakat Dalam Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi yang meliputi program belajar berkelanjutan bagi usia remaja dan dewasa di daerah yang mengalami keterbatasan terhadap akses informasi dan pelatihan guru-guru untuk penggunaan komputer bagi pemberdayaan masyarakat.

Program OSOL adalah program strategis dalam peningkatan kualitas SDM baik dibidang TIK maupun di bidang-bidang lain. Ia dapat meningkatkan budaya belajar bagi guru, siswa dan masyarakat, karena dengan Program OSOL, mereka dapat belajar dengan mudah, murah, cepat dan indah. Program OSOL ini bukan hanya bagi guru dan siswa, tetapi juga bagi masyarakat dan perguruan tinggi. Program OSOL juga dapat menjadi wadah atau cikal bakal pembangunan TIK Center dan Program Jardiknas (Jaringan Diknas).

Penulis adalah Ketua STIMED Nusa Palapa, Gedung FAJAR Graha Pena Lt. 10, Jl. Urip Sumoharjo No 21 Makassar 90231. Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected]

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

PENDIDIKAN

Model 6 C yang diterapkan dalam Program TIK untuk pendidikan

Page 10: BaKTINews Edisi 66

9

ahun 2011 merupakan tahun kelimabelas pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Peringatan Hari Otonomi Daerah yang Tjatuh pada tanggal 25 April kali ini mengangkat tema “Dengan

Semangat Otonomi Daerah Kita Tingkatkan Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Publik dan Inovasi Daerah”.

Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mendekatkan pelayanan dasar ke masyarakat adalah tujuan utama Otonomi Daerah. Namun apakah dalam limabelas tahun ini kualitas pelayanan dasar telah menjadi lebih baik?

Terkait peningkatan kualitas pelayanan dasar, Indonesia juga tengah berupaya mencapai Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals-MDGs). Ada delapan tujuan pembangunan terkait pemenuhan hak dasar warga dunia yang wajib dipenuhi oleh setiap negara, baik negara maju, berkembang, dan miskin. Adakah otonomi yang lebih luas di tangan Pemerintah Daerah juga digunakan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut?

Salah satu upaya yang dikembangkan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Millenium adalah penerapan Standard Pelayanan Minimal (SPM). SPM merupakan ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal.

Komitmen Indonesia akan peningkatan kualitas pelayanan dasar ini dapat dilihat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2009-2014 yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2010. Komitmen ini juga terlihat dari disiapkannya kerangka regulasi melalui pendekatan SPM baik di tingkat nasional dan daerah dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penerapan SPM.

Bagaimana penerapan SPM di berbagai daerah di Indonesia menjadi fokus dari sebuah Lokakarya Nasional yang diadakan sebagai rangkaian dari peringatan Hari Otonomi Daerah. Lokakarya yang

bertajuk “Praktek dan Inovasi Daerah untuk Mencapai MDGs Melalui Penerapan SPM” ini juga mengupas tuntas pengelolaan anggaran untuk peningkatan pelayanan dasar.

Beberapa topik yang dicermati dalam Lokakarya Nasional ini antara lain adalah tantangan untuk pelayanan dasar dengan fakta anggaran di tingkat daerah baik provinsi, kabupaten dan kota, serta metodologi analisa anggaran yang mendukung pelayanan dasar. Pengalokasian anggaran ini dilihat dari apakah anggaran yang dibuat daerah untuk pendidikan dan kesehatan benar-benar menjawab masalah kaitan dengan capaian MDGs/SPM, memadai jumlahnya, responsif gender dan tepat sasaran baik lokasi maupun pemanfaatnya serta bisa terukur kinerjanya.

Lokakarya Nasional ini juga mendalami praktik-praktik cerdas yang dilakukan pemerintah daerah dan organisasi pada tingkat masyarakat guna meningkatkan efektivitas penganggaran yang berbasis pelayanan dasar. Dari Kawasan Timur Indonesia ada berapa praktik cerdas yang dipresentasikan oleh Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Utara, Dr. Noldy Tuerah; Bupati Kabupaten Boalemo, Ir. H. Iwan Bokings, M.M.; Bupati Kabupaten Sumba Timur, Drs. Gideon Mbilijora M.Si.; Bupati Kabupaten Wakatobi, Ir. Hugua; Bupati Kabupaten Bantaeng, Prof. Dr., Ir., H.A Nurdin Abdullah, M.Agr; Kepala Desa Rappoa, Kecamatan Pa’jukukang, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, Irwan Darfin; dan Kepala BAPPEDA Kota Parepare, Amiruddin Idris, S.H, M.H.

Kegiatan Lokakarya Nasional ini diadakan selama 3 hari, mulai tanggal 3 sampai dengan 5 Mei 2011 di Hotel Santika Premier Jakarta dan merupakan kerjasama antara Kementerian Dalam Negeri dengan beberapa mitra seperti Program BASICS/CIDA, Program DeCGG/GIZ, Program AIPD/Ausaid, Program PSF/World Bank, ACCESS, DSF, dan BaKTI. Acara ini dibuka oleh Dirjen Otonomi Daerah Mendagri, Prof. Dr. H. Djohermansyah Djohan,M.A.

2011 is the fifteenth year of implementation of Regional Autonomy in Indonesia. This year Regional Autonomy Day (April 25th) celebrations highlighted the theme of 'With the spirit of Regional Autonomy we improve Local Government Performance in Public Services and Regional Innovations'.

Improving the welfare of the community by bringing basic services to communities is the main goal of Regional Autonomy. However, in the past fifteen years has the quality of the basic services become better?

In relation to improving the quality of basic services, Indonesia is also working to achieve the Millennium Development Goals (MDGs). There are eight development goals related to the fulfilment of basics human rights that must be met by every country. Has the broader autonomy of regional government been utilized to achieve those goals?

One effort developed to help achieve the Millennium Development Goals is the implementation of a Minimum Service Standard (MSS). MSS measures type and quality of basic services for regional governments in delivering services to their communities.

Indonesia's commitment to improving the quality of basic services can be found in the National Medium Term Development Plan 2009-2014, set out in Presidential Instruction No. 5/2000. This commitment is also reiterated in Presidential Instruction No. 5/2010 and in the regulatory framework prepared at the national and regional level with support from Government Regulation No. 65/2005 on Guidelines for Preparation and Application of MSS and the Minister of Home Affairs Regulation No. 6/2007 on Technical Guidelines for the Preparation and Application of MSS.

The application of MSS in various regions in Indonesia became the focus of a National Workshop held as part of celebrations for Regional Autonomy Day. The workshop was titled 'Practices and Innovations of Regions to Achieve MDGs

through Application of MSS' also included public finance management for the improvement of basic services.

Some of the topics examined in the National Workshop included the challenge of basic service delivery in relation to budgets at district/city and provincial level, and budget analysis methodology to support basic services. Budget allocation can be analysed from the perspective of whether the budget was created to meet the needs of education and health services and to actually answer the problems associated with MDGs achievement, whether it was adequate in amount, gender responsive, met the targets both in term of location and beneficiaries, and if performance was measurable.

The National Workshop also included smart practices from regional governments and various organizations at community level to improve effectiveness of basic services-based budgeting. From eastern Indonesia, several smart practices were presented by the Head of BAPPEDA North Sulawesi, Dr. Noldy Tuerah; Head of Boalemo District, Ir. H. Iwan Bokings, M.M.; Head of Sumba Timur District, Drs. Gideon Mbilijora, M.Si.; Head of Bantaeng District, Prof. Dr. Ir. H. A. Nurdin Abdullah, M.Agr; Head of Rappoa Village, Pa'jukukang sub-District, Bantaeng District, Irwan Darfin, and Head of BAPPEDA Pare-Pare City, Amiruddin Idris, SH., MH.

The National Workshop was held for 3 days, from 3 to 5 May, 2011 at Hotel Santika Premier Jakarta, in collaboration with the Ministry of Home Affairs and several partners, including BASICS Program from CIDA, DeCGG / GIZ, AIPD / AusAID, PSF / World Bank, ACCESS, DSF, and BaKTI. The event was opened by the Director General of Regional Autonomy Minister of Home Affairs, Prof. Dr. H. Djoehermansyah Djohan, M.A.

Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Secara Partisipatif,

Transparan Dan Akuntabel

Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan

Oleh Irwan Darfin

esa Rappoa terletak sekitar 124 km dari Makassar, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan, dan sekitar 4 km dari Ibu Kota DKabupaten Bantaeng. Desa Rappoa dihuni oleh 1641 jiwa

atau 422 keluarga, dengan jumlah keluarga tergolong miskin sebanyak 246 keluarga. Rappoa diambil dari sebuah kata dalam bahasa Makassar (rappo) yang berarti pinang. Dahulu di desa terdapat banyak pohon pinang yang dipelihara masyarakat.

Setiap tahun Desa Rappoa merencanakan pembangunan melalui mekanisme Musrenbang Desa Tahunan. Hasil dari Musrenbang Desa Tahunan adalah Rencana Kegiatan Program Desa (RKPDes) yang memuat skala prioritas kegiatan yang akan dilakukan di desa baik yang akan dibiayai APBD Kabupaten, APBD Provinsi, APBN (diusulkan melalui Musrenbang Kecamatan dan Kabupaten) maupun yang akan dibiayai oleh APBDes dan Program-Program yang masuk ke desa seperti PNPM. Kegiatan yang khususnya akan dibiayai APBDes selanjutnya didiskusikan pada Rapat Program Desa yang melibatkan Unsur Pemdes, BPD, Kepala Dusun, LPM dan Pengurus Kelompok yang ada di desa.

Dalam rangka menerapkan prinsip-prinsip Tata Kepemerintahan yang baik (partisipatif, transparan, dan akuntabel) dalam setiap pengambilan keputusan terkait kepentingan masyarakat selalui melalui musyawarah Desa yang melibatkan seluruh komponen masyarakat mulai dari Pemerintah Desa, Anggota BPD, Pengurus LPM, Tokoh Masyarakat, Tokoh agama, Tokoh Pemuda, dan Kelompok Perempuan.

Setelah merampungkan usulan dusun dalam Rapat Program Desa dilaksanakan perencanaan penganggaran yang dilanjutkan dengan penyusunan RAB kegiatan oleh LPM. Perencanaan Penganggaran ini menggunakan Pagu ADD tahun sebelumnya sambil menunggu pagu anggaran tahun berjalan.

Ada hal baru yang dilakukan di Desa Rappoa sebagai bagian dari proses transparansi perencanaan pembangunan. Pemerintah Desa mengumumkan besarnya Pagu Anggaran Desa dengan cara menempelkan pamflet pada tempat-tempat yang dianggap strategis. Selama ini Pagu Anggaran Desa hanya

Beberapa presentasi menarik dari acara lokakarya tersebut kami hadirkan di BaKTINews untuk Anda. Following are several interesting presentations from the workshop.

10

Public Services after Fifteen Years of Regional Autonomy

LOKAKARYA NASIONAL

Wajah Pelayanan Publik Setelah Limabelas Tahun Otonomi Daerah

Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Page 11: BaKTINews Edisi 66

9

ahun 2011 merupakan tahun kelimabelas pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Peringatan Hari Otonomi Daerah yang Tjatuh pada tanggal 25 April kali ini mengangkat tema “Dengan

Semangat Otonomi Daerah Kita Tingkatkan Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Publik dan Inovasi Daerah”.

Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mendekatkan pelayanan dasar ke masyarakat adalah tujuan utama Otonomi Daerah. Namun apakah dalam limabelas tahun ini kualitas pelayanan dasar telah menjadi lebih baik?

Terkait peningkatan kualitas pelayanan dasar, Indonesia juga tengah berupaya mencapai Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals-MDGs). Ada delapan tujuan pembangunan terkait pemenuhan hak dasar warga dunia yang wajib dipenuhi oleh setiap negara, baik negara maju, berkembang, dan miskin. Adakah otonomi yang lebih luas di tangan Pemerintah Daerah juga digunakan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut?

Salah satu upaya yang dikembangkan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Millenium adalah penerapan Standard Pelayanan Minimal (SPM). SPM merupakan ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal.

Komitmen Indonesia akan peningkatan kualitas pelayanan dasar ini dapat dilihat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2009-2014 yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2010. Komitmen ini juga terlihat dari disiapkannya kerangka regulasi melalui pendekatan SPM baik di tingkat nasional dan daerah dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penerapan SPM.

Bagaimana penerapan SPM di berbagai daerah di Indonesia menjadi fokus dari sebuah Lokakarya Nasional yang diadakan sebagai rangkaian dari peringatan Hari Otonomi Daerah. Lokakarya yang

bertajuk “Praktek dan Inovasi Daerah untuk Mencapai MDGs Melalui Penerapan SPM” ini juga mengupas tuntas pengelolaan anggaran untuk peningkatan pelayanan dasar.

Beberapa topik yang dicermati dalam Lokakarya Nasional ini antara lain adalah tantangan untuk pelayanan dasar dengan fakta anggaran di tingkat daerah baik provinsi, kabupaten dan kota, serta metodologi analisa anggaran yang mendukung pelayanan dasar. Pengalokasian anggaran ini dilihat dari apakah anggaran yang dibuat daerah untuk pendidikan dan kesehatan benar-benar menjawab masalah kaitan dengan capaian MDGs/SPM, memadai jumlahnya, responsif gender dan tepat sasaran baik lokasi maupun pemanfaatnya serta bisa terukur kinerjanya.

Lokakarya Nasional ini juga mendalami praktik-praktik cerdas yang dilakukan pemerintah daerah dan organisasi pada tingkat masyarakat guna meningkatkan efektivitas penganggaran yang berbasis pelayanan dasar. Dari Kawasan Timur Indonesia ada berapa praktik cerdas yang dipresentasikan oleh Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Utara, Dr. Noldy Tuerah; Bupati Kabupaten Boalemo, Ir. H. Iwan Bokings, M.M.; Bupati Kabupaten Sumba Timur, Drs. Gideon Mbilijora M.Si.; Bupati Kabupaten Wakatobi, Ir. Hugua; Bupati Kabupaten Bantaeng, Prof. Dr., Ir., H.A Nurdin Abdullah, M.Agr; Kepala Desa Rappoa, Kecamatan Pa’jukukang, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, Irwan Darfin; dan Kepala BAPPEDA Kota Parepare, Amiruddin Idris, S.H, M.H.

Kegiatan Lokakarya Nasional ini diadakan selama 3 hari, mulai tanggal 3 sampai dengan 5 Mei 2011 di Hotel Santika Premier Jakarta dan merupakan kerjasama antara Kementerian Dalam Negeri dengan beberapa mitra seperti Program BASICS/CIDA, Program DeCGG/GIZ, Program AIPD/Ausaid, Program PSF/World Bank, ACCESS, DSF, dan BaKTI. Acara ini dibuka oleh Dirjen Otonomi Daerah Mendagri, Prof. Dr. H. Djohermansyah Djohan,M.A.

2011 is the fifteenth year of implementation of Regional Autonomy in Indonesia. This year Regional Autonomy Day (April 25th) celebrations highlighted the theme of 'With the spirit of Regional Autonomy we improve Local Government Performance in Public Services and Regional Innovations'.

Improving the welfare of the community by bringing basic services to communities is the main goal of Regional Autonomy. However, in the past fifteen years has the quality of the basic services become better?

In relation to improving the quality of basic services, Indonesia is also working to achieve the Millennium Development Goals (MDGs). There are eight development goals related to the fulfilment of basics human rights that must be met by every country. Has the broader autonomy of regional government been utilized to achieve those goals?

One effort developed to help achieve the Millennium Development Goals is the implementation of a Minimum Service Standard (MSS). MSS measures type and quality of basic services for regional governments in delivering services to their communities.

Indonesia's commitment to improving the quality of basic services can be found in the National Medium Term Development Plan 2009-2014, set out in Presidential Instruction No. 5/2000. This commitment is also reiterated in Presidential Instruction No. 5/2010 and in the regulatory framework prepared at the national and regional level with support from Government Regulation No. 65/2005 on Guidelines for Preparation and Application of MSS and the Minister of Home Affairs Regulation No. 6/2007 on Technical Guidelines for the Preparation and Application of MSS.

The application of MSS in various regions in Indonesia became the focus of a National Workshop held as part of celebrations for Regional Autonomy Day. The workshop was titled 'Practices and Innovations of Regions to Achieve MDGs

through Application of MSS' also included public finance management for the improvement of basic services.

Some of the topics examined in the National Workshop included the challenge of basic service delivery in relation to budgets at district/city and provincial level, and budget analysis methodology to support basic services. Budget allocation can be analysed from the perspective of whether the budget was created to meet the needs of education and health services and to actually answer the problems associated with MDGs achievement, whether it was adequate in amount, gender responsive, met the targets both in term of location and beneficiaries, and if performance was measurable.

The National Workshop also included smart practices from regional governments and various organizations at community level to improve effectiveness of basic services-based budgeting. From eastern Indonesia, several smart practices were presented by the Head of BAPPEDA North Sulawesi, Dr. Noldy Tuerah; Head of Boalemo District, Ir. H. Iwan Bokings, M.M.; Head of Sumba Timur District, Drs. Gideon Mbilijora, M.Si.; Head of Bantaeng District, Prof. Dr. Ir. H. A. Nurdin Abdullah, M.Agr; Head of Rappoa Village, Pa'jukukang sub-District, Bantaeng District, Irwan Darfin, and Head of BAPPEDA Pare-Pare City, Amiruddin Idris, SH., MH.

The National Workshop was held for 3 days, from 3 to 5 May, 2011 at Hotel Santika Premier Jakarta, in collaboration with the Ministry of Home Affairs and several partners, including BASICS Program from CIDA, DeCGG / GIZ, AIPD / AusAID, PSF / World Bank, ACCESS, DSF, and BaKTI. The event was opened by the Director General of Regional Autonomy Minister of Home Affairs, Prof. Dr. H. Djoehermansyah Djohan, M.A.

Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Secara Partisipatif,

Transparan Dan Akuntabel

Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan

Oleh Irwan Darfin

esa Rappoa terletak sekitar 124 km dari Makassar, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan, dan sekitar 4 km dari Ibu Kota DKabupaten Bantaeng. Desa Rappoa dihuni oleh 1641 jiwa

atau 422 keluarga, dengan jumlah keluarga tergolong miskin sebanyak 246 keluarga. Rappoa diambil dari sebuah kata dalam bahasa Makassar (rappo) yang berarti pinang. Dahulu di desa terdapat banyak pohon pinang yang dipelihara masyarakat.

Setiap tahun Desa Rappoa merencanakan pembangunan melalui mekanisme Musrenbang Desa Tahunan. Hasil dari Musrenbang Desa Tahunan adalah Rencana Kegiatan Program Desa (RKPDes) yang memuat skala prioritas kegiatan yang akan dilakukan di desa baik yang akan dibiayai APBD Kabupaten, APBD Provinsi, APBN (diusulkan melalui Musrenbang Kecamatan dan Kabupaten) maupun yang akan dibiayai oleh APBDes dan Program-Program yang masuk ke desa seperti PNPM. Kegiatan yang khususnya akan dibiayai APBDes selanjutnya didiskusikan pada Rapat Program Desa yang melibatkan Unsur Pemdes, BPD, Kepala Dusun, LPM dan Pengurus Kelompok yang ada di desa.

Dalam rangka menerapkan prinsip-prinsip Tata Kepemerintahan yang baik (partisipatif, transparan, dan akuntabel) dalam setiap pengambilan keputusan terkait kepentingan masyarakat selalui melalui musyawarah Desa yang melibatkan seluruh komponen masyarakat mulai dari Pemerintah Desa, Anggota BPD, Pengurus LPM, Tokoh Masyarakat, Tokoh agama, Tokoh Pemuda, dan Kelompok Perempuan.

Setelah merampungkan usulan dusun dalam Rapat Program Desa dilaksanakan perencanaan penganggaran yang dilanjutkan dengan penyusunan RAB kegiatan oleh LPM. Perencanaan Penganggaran ini menggunakan Pagu ADD tahun sebelumnya sambil menunggu pagu anggaran tahun berjalan.

Ada hal baru yang dilakukan di Desa Rappoa sebagai bagian dari proses transparansi perencanaan pembangunan. Pemerintah Desa mengumumkan besarnya Pagu Anggaran Desa dengan cara menempelkan pamflet pada tempat-tempat yang dianggap strategis. Selama ini Pagu Anggaran Desa hanya

Beberapa presentasi menarik dari acara lokakarya tersebut kami hadirkan di BaKTINews untuk Anda. Following are several interesting presentations from the workshop.

10

Public Services after Fifteen Years of Regional Autonomy

LOKAKARYA NASIONAL

Wajah Pelayanan Publik Setelah Limabelas Tahun Otonomi Daerah

Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Page 12: BaKTINews Edisi 66

esa Kopang Rembiga adalah salah satu desa di Kecamatan Kopang, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa DTenggara Barat. Luas wilayah Desa Kopang adalah 709

hektar dan terbagi menjadi 17 dusun, dengan pusat Desa Kopang Rembiga sebagai Ibukota Kecamatan, berjarak 34 Km dari Mataram Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Desa Kopang Rembiga dihuni oleh 15.761 jiwa penduduk atau 4.522 kepala keluarga dengan jumlah keluarga miskin adalah lebih dari setengahnya yakni 2.674 KK (Monografi desa, 2010).

Bicara soal pelayanan dasar di desa ini, sebagian besar masyarakat masih merasakan pelayanan yang diskriminatif.

Sangat jelas perbedaan perlakuan petugas PUSKESMAS terhadap orang miskin pengguna Jamkesmas dan Jamkesda dengan pasien umum yang biasanya berasal dari kalangan menengah. Selain itu, belum semua keluarga yang tergolong miskin memiliki kartu Jamkesmas dan Jamkesda. Ditambah lagi dari 20 POSYANDU yang ada, layanan yang diberikan hanyalah penimbangan bayi dan balita, serta pemeriksaan ibu hamil.

Banyaknya program pembangunan yang ada ternyata belum dapat mendorong perubahan pada tingkat warga. Kerap k al i pel ibatan masyarak at dalam program pembangunan masih sangat kurang. Akibatnya warga menjadi

Mendekatkan Layanan Dasar ke Warga di Desa Kopang Rembiga

Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Oleh Abdillah

diketahui oleh Kepala Desa dan Sekretaris Desa. Fase selanjutnya adalah Rapat Penganggaran dilaksanakan setelah menerima Pagu Anggaran dari Pemda.

Perubahan SignifikanSetelah mencoba beberapa upaya menerapkan tata

pemerintahan yang baik dalam pengelolaan administrasi pemerintahan dan keuangan, maka dalam kurun waktu lebih dari satu setengah tahun, Desa Rapoa mengalami banyak perubahan sosial. Antusias masyarakat dalam setiap musyawarah desa maupun pada kegiatan-kegiatan desa yang membutuhkan swadaya masyarakat mulai tumbuh dan dinamis. Peran lembaga-lembaga desa seperti BPD dan LPM yang selama ini hanya sebatas papan nama di desa, kini semakin kuat karena adanya kewenangan yang diberikan dalam proses lebih aktif dalam berbagai kegiatan pembangunan.

Pelayanan publik dalam ruang lingkup internal kantor Desa Rappoa semakin nyaman dirasakan oleh masyarakat karena seluruh pelayanan administrasi untuk pengurusan Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Akte Kelahiran, Izin Keramaian, dan Surat Keterangan Tidak Mampu kini dapat dilakukan tanpa dipungut biaya. Jika Kepala Desa sedang tidak berada di kantor karena melakukan perjalanan dinas ke luar desa, pelayanan administrasi tetap dapat berjalan lancar karena telah ada blanko berisi tandatangan Kepala Desa.

Masyarakat yang dulu menjadi sasaran empuk para rentenir kini semakin aktif dan cerdas memanfaatkan Kelompok Simpan Pinjam Perempuan yang difasilitasi oleh PNPM Mandiri. Kegiatan ini juga berhasil menekan jumlah rentenir berkedok koperasi.

Aktifnya masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan desa turut menekan angka kenakalan remaja di Desa Rappoa. Jika sebelumnya Desa Rappoa tergolong wilayah yang rawan kenakalan remaja, kini DesaRappoa masuk dalam kategori wilayah yang aman.

Partisipasi kaum perempuan dalam kegiatan desa kini meningkat karena adanya beberapa kegiatan rutin, seperti Penyuluhan KB, Pengajian Majelis Taklim, dan pertemuan kelompok Koperasi Simpan Pinjam Perempuan. Peningkatan ini juga berdampak pada pengambilan keputusan dalam musyawarah desa dimana kaum perempuan Desa Rappoa kini lebih berani memberikan usulan maupun kritikan pada proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.

Pembelajaran Penting Terdapat banyak pembelajaran penting yang menjadi

masukan berharga bagi pemerintah dan masyarakat Rappoa dalam menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik. Komitmen yang kuat dari pemerintah desa, lembaga kemasyarakatan desa maupun warga desa adalah sangat penting dalam menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik.

Efektifnya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di desa juga ditentukan oleh sinergi antara semua pihak, baik eksekutif maupun legislatif, juga dengan Orgnisasi Masyarakat Sipil, dan program-program yang terselenggara di desa. Selain itu peningkatan kapasitas aparat desa, pengurus lembaga kemasyarakatan dan kepemudaan di desa maupun bagi warga desa turut dirasa perlu agar terdapat keseimbangan kapasitas dalam berkontribusi pada penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.

Apresiasi bagi keberhasilan inovasi yang telah dilakukan dapat lebih mendorong semangat untuk dapat lebih kreatif dan inovatif dan mendorong pihak-pihak lain agar dapat menerapkan hal yang sama dilokasi yang berbeda. Penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan pembangunan secara partisipatif, transparan dan akuntabel akan meminimalkan konflik antara masyarakat dan pemerintah. Disisi lain akan menghindarkan pemerintahan dari praktek-praktek yang menyimpang dan tidak sesuai ranah hukum.

Keberhasilan yang sedang dirasakan dan akan terus dipertahakan Pemerintah Desa Rappoa merupakan kontribusi dari berbagai pihak yang tak henti memberi motivasi, apresiasi, dan bekerja bersama. Mulai dari Bupati Bantaeng dan jajarannya, Organisasi Masyarakat Sipil, Jaringan Masyarakat Sipil Bantaeng, Yajalindo, DPRD Kabupaten Bantaeng, PNPM Mandiri Perdesaan, dan ACCESS.

Semoga pengalaman Pemerintah Desa Rappoa ini dapat memberikan dorongan untuk menerapkan prinsip-prinsip Tata Kepemerintahan Lokal Demokratik sebagaimana komitmen pada masyarakat dan pada teman-teman para aktivis sebelum menjadi Kepala Desa.

apatis dan menganggap berbagai program pembangunan yang dilaksanakan di Desa Kopang Rembiga berjalan sendiri-sendiri dan bukan diperuntukkan bagi kesejahteraan warga desa.

Masyarakat yang mengingkan perubahan terhadap layanan atas hak-hak dasar kebutuhan mereka kemudian mendorong diinisiasinya sebuah organisasi warga bernama Berugak Dese yang berfungsi sebagai mitra strategis Pemerintah Desa dalam mendorong dan mewujudkan pembangunan yang lebih partisipatif.

Perubahan MembanggakanLahirnya Berugak Dese memberi warna tersendiri dalam

dinamika pembangunan Desa Kopang Rembiga dan bahkan desa lain di wilayah Kecamatan Kopang. Kepedulian personal para relawan Berugak Desa untuk memfasilitasi perubahan terhadap kondisi sosial masyarakat dan pelayanan hak-hak dasar dilakukan melalui pendekatan dengan melibatkan actor-aktor kunci. Kepedulian tersebut mendorong lahirnya semangat kebersamaan d a l a m m e m p e r j u a n g k a n p e r u b a h a n d a l a m l ay a n a n pembangunan.

Atas upaya keras Pemerintahan Desa bersama warga dengan mengoptimalkan seluruh aktor dan sumber daya pembangunan yang ada di desa, termasuk Berugak Dese, cukup banyak perkembangan yang cukup membanggakan kini dialami Desa Kopang Rembiga yang kini telah memiliki 100 orang Kader Posyandu aktif dan secara terus menerus mendorong keterlibatan warga dalam proses-proses pembangunan di desa, termasuk meningkatkan kesadaran keswadayaan mereka dalam pemeliharaan kesehatan. Tidak berlebihan jika pemerintah desa memberikan perhatian dan penghargaan serta menjadikan mereka sebagai salah satu aktor penting dalam pembangunan desa.

Layanan Petugas PUSKESMAS dan Kader Kesehatan kini menjadi lebih merata, berkualitas, tidak lagi membeda-bedakan, dan lebih responsif terhadap kebutuhan warga. Sebanyak 6.588 jiwa (2.021 KK) warga Kopang Rembiga saat ini telah memiliki kartu Jamkesmas dan Jamkesda dan paling merasakan perubahan pelayanan tersebut. Sementara 653 KK miskin yang tidak terakomodir dalam Jamkesmas dan Jamkesda menggunakan Bansosda Kabupaten.

Satu dusun di Desa Kopang Rembiga sudah bebas dari kebiasaan buang air besar di sembarang tempat dan gerakan mendorong penggunaan jamban juga diterapkan di 16 dusun lainnya dengan bantuan PNPM-MPk.

Fasilitas MCK yang ada saat ini dan sudah digunakan yaitu jamban keluarga sebanyak 3.147, Jamban umum sebanyak 16 Unit. Sebanyak 3.899 KK sudah memiliki jamban sehat dan seiring dengan meningkatnya akses sanitasi dan perilaku hidup bersih dan sehat, maka dalam dua tahun terakhir ini, angka kematian ibu, bayi dan balita dapat ditekan hingga angka nol.

Pelayanan sambungan listrik masyarakat dari PT. PLN Persero kini semakin baik tanpa adanya calo. Masyarakat kini dapat menikmati layanan listrik dengan harga yang telah mengikuti standar yang ditetapkan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Kopang Rembiga (2008-2012) telah dijadikan sebagai satu-satunya acuan pembangunan desa. Semu program pembangunan yang masuk ke Desa Kopang Rembiga melalui satu pintu dan terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Desa. Demikian pula Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa tahun 2011 telah dirumuskan Pemerintah Desa dengan mengacu pada kebutuhan prioritas yang dihasilkan Musrenbang Desa tahun 2010.

Faktor Pendukung yang Berkontribusi pada PerubahanBerugak Dese, sejak awal berdirinya diharapkan sebagai mitra

strategis pemerintahan desa, ternyata memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap berbagai gerakan perubahan sosial yang terjadi di Desa Kopang Rembiga. Peran strategis juga dimainkan

Berugak Dese untuk membantu memperkuat jaringan dan relasi pemerintahan desa dengan berbagai aktor pembangunan berpengaruh di desa, kecamatan dan kabupaten.

Berbagai perubahan sosial dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat tidak lepas dari hubungan dan kerjasama yang baik antar berbagai pihak, termasuk antar Berugak Dese dan Pemerintahan Desa. Pengembangan kapasitas Berugak Dese turut berpengaruh dalam meningkatkan kapasitas berlembaga dan dalam berjejaring.

Pemerintah kecamatan dan kabupaten, bersikap terbuka dalam melakukan pengintegrasian Rencana Kerja SKPD untuk mendukung dan merealisasikan program pembangunan desa sesuai RPJM-Desa. Pemerintah juga menerima kontrol warga yang diorganisir oleh Berugak Dese sebagai bahan untuk meningkatkan kwalitas pelayanan mereka. Tersedia ruang yang semakin luas bagi pemerintah desa dan mitra-mitranya termasuk Berugak Desa, serta seluruh aktor pembangunan. Iklim inilah yang memicu meningkatnya rasa saling percaya dan mendorong terbangunnya dialog warga dengan pemerintah yang lebih interaktif. Para anggota DPRD juga mengsinergikan masa reses mereka dengan musyawarah warga bersama pemerintah desa untuk memperkuat hasil-hasil musrenbang.

Program-program pembangunan seperti NICE dan PNPM-MPk, secara terbuka membangun sinergi dan berintegrasi untuk merealisasikan rencana pembangunan desa yang tertuang dalam RPJM-Desa dan terus konsisten dalam mengawal prinsip dan nilai yang diperjuangkan bersama, yaitu mendorong partisipasi warga dan menggunakan aset lokal sebagai sumber menemukan solusi program.

Keberlanjutan dan Pembelajaran UtamaBerugak Dese secara konsisten terus memperkuat

kemitraan dengan Pemerintah dan pihak lain, terutama program-program yang masuk ke desa dan pihak yang memiliki visi dan misi sama dengan Berugak Dese. Jejaring yang sudah terbangun terus diperkuat dan komunikasi dengan berbagai pihak terus ditingkatkan untuk memperluas jaringan. Berbagai regulasi desa turut memberi ruang Organisasi Masyarakat Sipil untuk bekerjasama dalam meningkatkan kualitas pembangunan desa.

Sebagai organisasi masyarakat sipil yang memiliki basis, maka perubahan pelayanan dasar akan terjadi dengan baik jika ada pendekatan khusus kepada aktor yang memberi layanan, pihak lain yang memiliki kapasitas dan pemegang kebijakan seperti Pemerintah Desa, Kecamatan dan Kabupaten. Pelayanan dasar berkualitas hanya terjadi jika ada peran serta warga sebagai penerima layanan dan komitmen dari pemberi layanan untuk memberikan yang terbaik.

Pelayanan dasar akan semakin dekat dengan warga penerima layanan jika ada interaksi dinamis antara penerima layanan dengan pemberi layanan. Interaksi tersebut memerlukan proses fasilitasi dan mediasi seperti apa yang dilakukan Berugak Dese.

Pengakuan terhadap eksistensi Berugak Desa sebagai mitra strategis pemerintah dalam mengupayakan pembangunan yang lebih baik adalah dorongan yang kuat bagi Berugak Desa untuk senantiasa menjaga kepercayaan, terus belajar, dan menghasilkan perubahan-perubahan dengan berbagai kontribusi dan kemandiriannya.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Tulisan ini merupakan ringkasan dari materi presentasi yang disajikan pada Lokakarya Nasional: Praktek dan Inovasi Daerah untuk Mencapai MDGs Melalui Penerapan SPM. Penulis adalah Sekretaris Desa Kopang Rembiga, Lombok Tengah, NTB

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Tulisan ini merupakan ringkasan dari materi presentasi yang disajikan pada Lokakarya Nasional: Praktek dan Inovasi Daerah untuk Mencapai MDGs Melalui Penerapan SPM. Penulis adalah Kepala Desa Rappoa Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan

11 12 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Page 13: BaKTINews Edisi 66

esa Kopang Rembiga adalah salah satu desa di Kecamatan Kopang, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa DTenggara Barat. Luas wilayah Desa Kopang adalah 709

hektar dan terbagi menjadi 17 dusun, dengan pusat Desa Kopang Rembiga sebagai Ibukota Kecamatan, berjarak 34 Km dari Mataram Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Desa Kopang Rembiga dihuni oleh 15.761 jiwa penduduk atau 4.522 kepala keluarga dengan jumlah keluarga miskin adalah lebih dari setengahnya yakni 2.674 KK (Monografi desa, 2010).

Bicara soal pelayanan dasar di desa ini, sebagian besar masyarakat masih merasakan pelayanan yang diskriminatif.

Sangat jelas perbedaan perlakuan petugas PUSKESMAS terhadap orang miskin pengguna Jamkesmas dan Jamkesda dengan pasien umum yang biasanya berasal dari kalangan menengah. Selain itu, belum semua keluarga yang tergolong miskin memiliki kartu Jamkesmas dan Jamkesda. Ditambah lagi dari 20 POSYANDU yang ada, layanan yang diberikan hanyalah penimbangan bayi dan balita, serta pemeriksaan ibu hamil.

Banyaknya program pembangunan yang ada ternyata belum dapat mendorong perubahan pada tingkat warga. Kerap k al i pel ibatan masyarak at dalam program pembangunan masih sangat kurang. Akibatnya warga menjadi

Mendekatkan Layanan Dasar ke Warga di Desa Kopang Rembiga

Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Oleh Abdillah

diketahui oleh Kepala Desa dan Sekretaris Desa. Fase selanjutnya adalah Rapat Penganggaran dilaksanakan setelah menerima Pagu Anggaran dari Pemda.

Perubahan SignifikanSetelah mencoba beberapa upaya menerapkan tata

pemerintahan yang baik dalam pengelolaan administrasi pemerintahan dan keuangan, maka dalam kurun waktu lebih dari satu setengah tahun, Desa Rapoa mengalami banyak perubahan sosial. Antusias masyarakat dalam setiap musyawarah desa maupun pada kegiatan-kegiatan desa yang membutuhkan swadaya masyarakat mulai tumbuh dan dinamis. Peran lembaga-lembaga desa seperti BPD dan LPM yang selama ini hanya sebatas papan nama di desa, kini semakin kuat karena adanya kewenangan yang diberikan dalam proses lebih aktif dalam berbagai kegiatan pembangunan.

Pelayanan publik dalam ruang lingkup internal kantor Desa Rappoa semakin nyaman dirasakan oleh masyarakat karena seluruh pelayanan administrasi untuk pengurusan Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Akte Kelahiran, Izin Keramaian, dan Surat Keterangan Tidak Mampu kini dapat dilakukan tanpa dipungut biaya. Jika Kepala Desa sedang tidak berada di kantor karena melakukan perjalanan dinas ke luar desa, pelayanan administrasi tetap dapat berjalan lancar karena telah ada blanko berisi tandatangan Kepala Desa.

Masyarakat yang dulu menjadi sasaran empuk para rentenir kini semakin aktif dan cerdas memanfaatkan Kelompok Simpan Pinjam Perempuan yang difasilitasi oleh PNPM Mandiri. Kegiatan ini juga berhasil menekan jumlah rentenir berkedok koperasi.

Aktifnya masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan desa turut menekan angka kenakalan remaja di Desa Rappoa. Jika sebelumnya Desa Rappoa tergolong wilayah yang rawan kenakalan remaja, kini DesaRappoa masuk dalam kategori wilayah yang aman.

Partisipasi kaum perempuan dalam kegiatan desa kini meningkat karena adanya beberapa kegiatan rutin, seperti Penyuluhan KB, Pengajian Majelis Taklim, dan pertemuan kelompok Koperasi Simpan Pinjam Perempuan. Peningkatan ini juga berdampak pada pengambilan keputusan dalam musyawarah desa dimana kaum perempuan Desa Rappoa kini lebih berani memberikan usulan maupun kritikan pada proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.

Pembelajaran Penting Terdapat banyak pembelajaran penting yang menjadi

masukan berharga bagi pemerintah dan masyarakat Rappoa dalam menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik. Komitmen yang kuat dari pemerintah desa, lembaga kemasyarakatan desa maupun warga desa adalah sangat penting dalam menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik.

Efektifnya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di desa juga ditentukan oleh sinergi antara semua pihak, baik eksekutif maupun legislatif, juga dengan Orgnisasi Masyarakat Sipil, dan program-program yang terselenggara di desa. Selain itu peningkatan kapasitas aparat desa, pengurus lembaga kemasyarakatan dan kepemudaan di desa maupun bagi warga desa turut dirasa perlu agar terdapat keseimbangan kapasitas dalam berkontribusi pada penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.

Apresiasi bagi keberhasilan inovasi yang telah dilakukan dapat lebih mendorong semangat untuk dapat lebih kreatif dan inovatif dan mendorong pihak-pihak lain agar dapat menerapkan hal yang sama dilokasi yang berbeda. Penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan pembangunan secara partisipatif, transparan dan akuntabel akan meminimalkan konflik antara masyarakat dan pemerintah. Disisi lain akan menghindarkan pemerintahan dari praktek-praktek yang menyimpang dan tidak sesuai ranah hukum.

Keberhasilan yang sedang dirasakan dan akan terus dipertahakan Pemerintah Desa Rappoa merupakan kontribusi dari berbagai pihak yang tak henti memberi motivasi, apresiasi, dan bekerja bersama. Mulai dari Bupati Bantaeng dan jajarannya, Organisasi Masyarakat Sipil, Jaringan Masyarakat Sipil Bantaeng, Yajalindo, DPRD Kabupaten Bantaeng, PNPM Mandiri Perdesaan, dan ACCESS.

Semoga pengalaman Pemerintah Desa Rappoa ini dapat memberikan dorongan untuk menerapkan prinsip-prinsip Tata Kepemerintahan Lokal Demokratik sebagaimana komitmen pada masyarakat dan pada teman-teman para aktivis sebelum menjadi Kepala Desa.

apatis dan menganggap berbagai program pembangunan yang dilaksanakan di Desa Kopang Rembiga berjalan sendiri-sendiri dan bukan diperuntukkan bagi kesejahteraan warga desa.

Masyarakat yang mengingkan perubahan terhadap layanan atas hak-hak dasar kebutuhan mereka kemudian mendorong diinisiasinya sebuah organisasi warga bernama Berugak Dese yang berfungsi sebagai mitra strategis Pemerintah Desa dalam mendorong dan mewujudkan pembangunan yang lebih partisipatif.

Perubahan MembanggakanLahirnya Berugak Dese memberi warna tersendiri dalam

dinamika pembangunan Desa Kopang Rembiga dan bahkan desa lain di wilayah Kecamatan Kopang. Kepedulian personal para relawan Berugak Desa untuk memfasilitasi perubahan terhadap kondisi sosial masyarakat dan pelayanan hak-hak dasar dilakukan melalui pendekatan dengan melibatkan actor-aktor kunci. Kepedulian tersebut mendorong lahirnya semangat kebersamaan d a l a m m e m p e r j u a n g k a n p e r u b a h a n d a l a m l ay a n a n pembangunan.

Atas upaya keras Pemerintahan Desa bersama warga dengan mengoptimalkan seluruh aktor dan sumber daya pembangunan yang ada di desa, termasuk Berugak Dese, cukup banyak perkembangan yang cukup membanggakan kini dialami Desa Kopang Rembiga yang kini telah memiliki 100 orang Kader Posyandu aktif dan secara terus menerus mendorong keterlibatan warga dalam proses-proses pembangunan di desa, termasuk meningkatkan kesadaran keswadayaan mereka dalam pemeliharaan kesehatan. Tidak berlebihan jika pemerintah desa memberikan perhatian dan penghargaan serta menjadikan mereka sebagai salah satu aktor penting dalam pembangunan desa.

Layanan Petugas PUSKESMAS dan Kader Kesehatan kini menjadi lebih merata, berkualitas, tidak lagi membeda-bedakan, dan lebih responsif terhadap kebutuhan warga. Sebanyak 6.588 jiwa (2.021 KK) warga Kopang Rembiga saat ini telah memiliki kartu Jamkesmas dan Jamkesda dan paling merasakan perubahan pelayanan tersebut. Sementara 653 KK miskin yang tidak terakomodir dalam Jamkesmas dan Jamkesda menggunakan Bansosda Kabupaten.

Satu dusun di Desa Kopang Rembiga sudah bebas dari kebiasaan buang air besar di sembarang tempat dan gerakan mendorong penggunaan jamban juga diterapkan di 16 dusun lainnya dengan bantuan PNPM-MPk.

Fasilitas MCK yang ada saat ini dan sudah digunakan yaitu jamban keluarga sebanyak 3.147, Jamban umum sebanyak 16 Unit. Sebanyak 3.899 KK sudah memiliki jamban sehat dan seiring dengan meningkatnya akses sanitasi dan perilaku hidup bersih dan sehat, maka dalam dua tahun terakhir ini, angka kematian ibu, bayi dan balita dapat ditekan hingga angka nol.

Pelayanan sambungan listrik masyarakat dari PT. PLN Persero kini semakin baik tanpa adanya calo. Masyarakat kini dapat menikmati layanan listrik dengan harga yang telah mengikuti standar yang ditetapkan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Kopang Rembiga (2008-2012) telah dijadikan sebagai satu-satunya acuan pembangunan desa. Semu program pembangunan yang masuk ke Desa Kopang Rembiga melalui satu pintu dan terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Desa. Demikian pula Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa tahun 2011 telah dirumuskan Pemerintah Desa dengan mengacu pada kebutuhan prioritas yang dihasilkan Musrenbang Desa tahun 2010.

Faktor Pendukung yang Berkontribusi pada PerubahanBerugak Dese, sejak awal berdirinya diharapkan sebagai mitra

strategis pemerintahan desa, ternyata memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap berbagai gerakan perubahan sosial yang terjadi di Desa Kopang Rembiga. Peran strategis juga dimainkan

Berugak Dese untuk membantu memperkuat jaringan dan relasi pemerintahan desa dengan berbagai aktor pembangunan berpengaruh di desa, kecamatan dan kabupaten.

Berbagai perubahan sosial dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat tidak lepas dari hubungan dan kerjasama yang baik antar berbagai pihak, termasuk antar Berugak Dese dan Pemerintahan Desa. Pengembangan kapasitas Berugak Dese turut berpengaruh dalam meningkatkan kapasitas berlembaga dan dalam berjejaring.

Pemerintah kecamatan dan kabupaten, bersikap terbuka dalam melakukan pengintegrasian Rencana Kerja SKPD untuk mendukung dan merealisasikan program pembangunan desa sesuai RPJM-Desa. Pemerintah juga menerima kontrol warga yang diorganisir oleh Berugak Dese sebagai bahan untuk meningkatkan kwalitas pelayanan mereka. Tersedia ruang yang semakin luas bagi pemerintah desa dan mitra-mitranya termasuk Berugak Desa, serta seluruh aktor pembangunan. Iklim inilah yang memicu meningkatnya rasa saling percaya dan mendorong terbangunnya dialog warga dengan pemerintah yang lebih interaktif. Para anggota DPRD juga mengsinergikan masa reses mereka dengan musyawarah warga bersama pemerintah desa untuk memperkuat hasil-hasil musrenbang.

Program-program pembangunan seperti NICE dan PNPM-MPk, secara terbuka membangun sinergi dan berintegrasi untuk merealisasikan rencana pembangunan desa yang tertuang dalam RPJM-Desa dan terus konsisten dalam mengawal prinsip dan nilai yang diperjuangkan bersama, yaitu mendorong partisipasi warga dan menggunakan aset lokal sebagai sumber menemukan solusi program.

Keberlanjutan dan Pembelajaran UtamaBerugak Dese secara konsisten terus memperkuat

kemitraan dengan Pemerintah dan pihak lain, terutama program-program yang masuk ke desa dan pihak yang memiliki visi dan misi sama dengan Berugak Dese. Jejaring yang sudah terbangun terus diperkuat dan komunikasi dengan berbagai pihak terus ditingkatkan untuk memperluas jaringan. Berbagai regulasi desa turut memberi ruang Organisasi Masyarakat Sipil untuk bekerjasama dalam meningkatkan kualitas pembangunan desa.

Sebagai organisasi masyarakat sipil yang memiliki basis, maka perubahan pelayanan dasar akan terjadi dengan baik jika ada pendekatan khusus kepada aktor yang memberi layanan, pihak lain yang memiliki kapasitas dan pemegang kebijakan seperti Pemerintah Desa, Kecamatan dan Kabupaten. Pelayanan dasar berkualitas hanya terjadi jika ada peran serta warga sebagai penerima layanan dan komitmen dari pemberi layanan untuk memberikan yang terbaik.

Pelayanan dasar akan semakin dekat dengan warga penerima layanan jika ada interaksi dinamis antara penerima layanan dengan pemberi layanan. Interaksi tersebut memerlukan proses fasilitasi dan mediasi seperti apa yang dilakukan Berugak Dese.

Pengakuan terhadap eksistensi Berugak Desa sebagai mitra strategis pemerintah dalam mengupayakan pembangunan yang lebih baik adalah dorongan yang kuat bagi Berugak Desa untuk senantiasa menjaga kepercayaan, terus belajar, dan menghasilkan perubahan-perubahan dengan berbagai kontribusi dan kemandiriannya.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Tulisan ini merupakan ringkasan dari materi presentasi yang disajikan pada Lokakarya Nasional: Praktek dan Inovasi Daerah untuk Mencapai MDGs Melalui Penerapan SPM. Penulis adalah Sekretaris Desa Kopang Rembiga, Lombok Tengah, NTB

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Tulisan ini merupakan ringkasan dari materi presentasi yang disajikan pada Lokakarya Nasional: Praktek dan Inovasi Daerah untuk Mencapai MDGs Melalui Penerapan SPM. Penulis adalah Kepala Desa Rappoa Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan

11 12 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Page 14: BaKTINews Edisi 66

13

engapa Mekanisme yang cukup baik masih tetap dianggap kurang dapat mengakomodasi hal-hal yang sesungguhnya diinginkan Mmasyarakat? Pertanyaan ini lahir di tengah pengamatan atas

perkembangan proses penyerapan aspirasi masyarakat dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah tahun 2012.

Terdapat hal-hal yang menjadi perhatian, di mana proses sosialisasi perencanaan pembangunan daerah yang telah ditetapkan melalui RPJMD dilaksanakan pada saat yang bersamaan dengan pelaksanaan MUSRENBANG. Proses ini pun hanya berlangsung sehari saja sehingga waktu untuk melakukan sinkronisasi perencanaan pembangunan antara Desa / Kecamatan dengan Kabupaten dan DPRD sebagai pemegang kendali kebijakan eksekutif - legislatif, tidak berjalan secara optimal. Selain itu mekanisme perencanaan melalui MUSRENBANG secara berjejang yang bahkan dilengkapi dengan reses yang dilakukan oleh para legislator, kerap kali masih belum mampu mengakomodir keiinginan atau kebutuhan masyarakat.

Salah satu hal yang bisa dijadikan jawaban adalah belum tersedianya mekanisme formal yang cukup memadai untuk mendukung mendukung praktek penanggaran partisipatif, mekanisme partisipasi masyarakat secara formal hanya tersedia pada tingkat perencanaan partisipatif dalam wujud MUSRENBANG. Selain itu, masih besarnya dominasi program-program Pemerintah Kabupaten, Provinsi atau Pemerintah Pusat (top-down) di dalam menentukan kebijakan, program dan kegiatan didalam perencanaan pembangunan. Besarnya dominasi tersebut menyebabkan aspirasi-aspirasi masyarakat (bottom-up) mentah pada tahapan penentuan agenda dan usulan kebijakan.

Terpisahnya jalur perencanaan kegiatan dari perencanaan keuangan menyebabkan akses masyarakat untuk menentukan anggaran menjadi sangat terbatas. Masyarakat selama ini hanya mempunyai peran di dalam perencanaan kegiatan melalui jalur MUSRENBANG namun tidak mempunyai akses yang cukup dalam perencanaan keuangan melalui jalur KUA dan PPAS. Selain itu itu masyarakat tidak mempunyai mekanisme untuk memantau apakah aspirasi dimunculkan dalam usulan rencana penganggaran.

Sebagaimana diketahui di dalam penentuan kebijakan pembangunan daerah, aspirasi masyarakat dapat dilakukan melalui tiga jalur yaitu pertama MUSRENBANG dimana masyarakat dapat menyuarakan aspirasinya secara langsung sesuai dengan tingkatannnya, kedua jalur politik melalui partai politik yang dilakukan oleh perwakilan rakyat dalam masa reses, dan ketiga jalur birokrasi yang dapat langsung disampaikan ke SKPD maupun Kepala Daerah.

Why are good mechanisms still seen as being unable to accommodate the real needs of communities? This question was raised after observing the development planning process for 2012 at the community level.

There are several things that contributed to this observation; the first one is that the process of i n f o r m a t i o n d i s s e m i n a t i o n a b o u t r e g i o n a l development planning in conducted parallel with the early stages of the Regional Development Planning Meeting (MUSRENBANG). The process is scheduled for only one day, therefore there is very little time left to synchronize development planning between village and sub-district, and between district and regional parliaments. Planning mechanisms through MUSRENBANG are held at the same time as the parliament recess so there is very limited time for parliament members to learn about community aspirations.

Another thing that provided food for thought is that there is an inadequate formal mechanism to support participatory budgeting. The existing formal mechanism, MUSRENBANG, applies to participatory planning, not budgeting. The district, provincial, and central government programs still drive the policy, programs and activities in development planning.

The separated procedures for planning and budgeting are another reason and obstacle for community members in terms of accessing information or being able to determine the development budget. Until now communities only have access to development planning through MUSRENBANG, however they have inadequate access to budgeting through the KUA and PPAS. Adding to that, communities also have no mechanism to monitor whether their aspirations are included in budgets.

As many people know, there are three channels of policy making for regional development. The first one is MUSRENBANG to uncover and gather community aspirations; the second is through political conduits and directly to parliament members during recess periods; and the third one is through bureaucracy or by direct delivery to the head of the region or heads of agencies.

Most development activities suggested at district level MUSRENBANG are usually too micro and dominated by construction of public facilities such as village meeting centers or schools, or provision of fertilizer and fish stock. As for the participants, only certain people from all village population attend the MUSRENBANG, and very few of them really deliver their suggestions for development activities. Most participants are silent, do not have any opinions, and even wish that the forum is concluded as soon as possible.

Oleh Munadiah As’ad, ST

Apa Mekanisme Terbaik untuk Perencanaan Pembangunan ?What is the Best Mechanism for Development Planning?

14

Pada MUSRENBANG tingkat Kabupaten, berbagai usulan yang diajukan adalah terlampau mikro dan didominasi oleh permintaan untuk pembangunan fisik termasuk perbaikan fasilitas publik berskala kecil seperti rehabilitasi Balai Desa atau gedung sekolah, pengadaan pupuk, permintaan bibit ikan dan lain sebagainya. Selain itu, dari sekian banyak masyarakat yang menghadiri pertemuan MUSRENBANG, hanya segelintir orang saja yang berani mengutarakan aspirasinya. Sebagian besar anggota masyarakat dalam pertemuan MUSRENBANG hanya diam saja, tidak mengajukan pendapat, bahkan menginginkan forum tersebut segera disudahi.

Kenyataan di hampir semua daerah, terlebih di daerah terpencil, dari tahun ke tahun kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan pembangunan tidak lah banyak berkembang. Penyebabnya tentu saja banyak dan cukup kompleks. Bisa saja karena masyarakat memang kurang diberdayakan, kurang ditingkatkan pemahaman dan kemampuannya, minim informasi, dan lain sebagainya. Namun yang pasti dalam kasus ini terdapat dua pihak yang memegang peran penting, yaitu pemerintah dan partai politik.

Mengapa demikian? Pertama, Pemerintah selama ini memandang bahwa untuk berpartisipasi dalam penyusunan perencanaan pembangunan cukup dengan menyampaikan permasalahan dan usulan saja. Namun tidak pernah disadari bahwa masyarakat sipil kita tidak mempunyai informasi yang cukup tentang visi, misi dan tujuan yang hendak dicapai. Hal tersebut menyebabkan terlalu banyak usulan pembangunan dari masyarakat yang tidak sesuai dengan program-program pemerintah. Kedua, Sistem Perencanaan Pembangunan yang disusun dengan jadual yang ketat mengakibatkan masyarakat tidak mempunyai cukup waktu untuk menyampaikan seluruh aspirasinya. Sebagai contoh MUSRENBANG provinsi yang menghadirkan pemangku kepentingan yang berjumlah ratusan orang hanya dilaksanakan dalam satu hari. Kondisi tersebut tidak memberikan waktu yang cukup bagi seluruh masyarakat untuk menyampaikan seluruh aspirasinya. Ketiga, aparat birokrasi di tingkat Desa atau Kelurahan maupun Kecamatan juga tidak memperoleh informasi yang cukup tentang program-program Pemerintah Kabupaten / Kota.

Jika dicermati lebih lanjut, penyebab kurang terakomodirnya aspirasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu penyebab eksternal atau kondisi diluar sistem birokrasi pemerintah yaitu masyarakat umum, dan penyebab internal atau kondisi di dalam sistem birokrasi pemerintah. Penyebab utama kelemahan dari sisi eksternal atau masyarakat (termasuk LSM, Kelompok Masyarakat dan Organisasi Sosial Masyarakat lainnya) adalah kapasitas dan kapabilitas mereka yang tidak mencukupi untuk mengikuti proses perencanaan pembangunan tersebut.

Hal lain yang menjadi penyebab tidak terakomodirnya keinginan masyarakat yaitu rendahnya kapasitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat di daerah dalam melakukan pembahasan anggaran, termasuk keterbatasan menerjemahkan aspirasi masyarakat kedalam anggaran. Akibatnya kewenangan atau hak budgeting untuk melakukan relokasi anggaran untuk lebih berpihak kepada masyarakat miskin tidak terwujud.

Lantas apa solusinya? Guna meningkatkan pemberdayaan masyarakat di dalam penyusunan perencanaan pembangunan maka pengetahuan masyarakat mengenai penyusunan perencanaan pembangunan perlu dilakukan secara berkesinambungan termasuk mengadakan pelatihan khusus bagi para tokoh-tokoh masyarakat desa.

Sosialisasi dokumen perencanaan pembangunan daerah sampai ke tingkat pemerintahan yang paling bawah perlu dilakukan dalam kurun waktu yang memadai dan disertai dengan mekanisme konsultasi interaktif sehingga masyarakat dapat memahami program-program pembangunan pemerintah sebelum mengajukan aspirasi mereka dalam proses MUSRENBANG.

Upaya lain yang juga dirasakan penting untuk dilakukan adalah meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa penyusunan perencanaan harus didasarkan pada kebutuhan yang benar-benar relevan dengan kondisi masyarakat bukan berdasarkan keinginan semata.

Perbaikan sistem perencanaan pembangunan juga perlu dilakukan dengan memberikan akses yang lebih besar bagi masyarakat dalam perencanaan keuangan. Selain itu perlu juga dilakukan perbaikan sistem perencanaan pembangunan dengan membuat sistem pemantauan aspirasi masyarakat sehingga masyarakat dapat mengetahui sejauh mana aspirasi mereka dapat diterima oleh pemerintah.

In fact, in most regions, especially the remote ones, community capacity to participate in development planning process is reduced. This is caused by a lack of understanding or lack of information about development strategy. However, government and political party play an important role.

Why? First, the government usually considers that participating in development planning means communities merely sharing their problems and suggestions. It isn't common to recognize that civil society doen't receive enough information about development vision, mission, and objectives. Therefore, too many irrelevant activities are suggested during the MUSRENBANG that do not match government strategic programs. Second, the development planning system is implemented within a very tight schedule, providing a very limited time for the community to deliver all their aspirations. For example, MUSRENBANG at the provincial level are attended by hundreds of stakeholders, but only held over a one day period. Third, the bureaucrats at village level or sub-district also don't receive adequate information about district / municipal government strategic programs.

Furthermore, community aspiration that can't be accommodated in development planning are often influenced by external and internal conditions. The external conditions are influenced by the community itself and include lack of capacity and capability to follow the development planning process. Internal conditions are dependent on how the bureaucracy works.

Another reason why community needs are not accommodated is the lack of capacity on the part of regional parliaments during budgeting meetings, which limits the ability to translate community aspirations the budgeting process. As a result, most of the activities covered in the budget don't include the aspirations of poor communities.

So what is the solution? To increase community participation in the development planning process, it is important to improve understanding, including providing community elders with training regarding development planning.

Dissemination of regional development planning documents to all government levels including at the village level, is vital to provide information about interactive consultation mechanisms so communit y members can understand government development programs before they submit their suggestions in the MUSRENBANG process.

Another important consideration is to increase understanding of the fact that development planning is supposed to be based on needs that are relevant to the conditions in the community.

An improvement in the development planning system much needed is how to provide more access for community members to the budgeting process. The development planning system also needs to be equipped with a community monitoring system so community members can obtain information on w h e t h e r t h e i r s u g g e s t i o n s w e r e b e e n accommodated by the government.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis bekerja pada Bagian Perencanaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan dan dapat dihubungi melalui email pada alamat [email protected]

Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT COMMUNITY EMPOWERMENT

Page 15: BaKTINews Edisi 66

13

engapa Mekanisme yang cukup baik masih tetap dianggap kurang dapat mengakomodasi hal-hal yang sesungguhnya diinginkan Mmasyarakat? Pertanyaan ini lahir di tengah pengamatan atas

perkembangan proses penyerapan aspirasi masyarakat dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah tahun 2012.

Terdapat hal-hal yang menjadi perhatian, di mana proses sosialisasi perencanaan pembangunan daerah yang telah ditetapkan melalui RPJMD dilaksanakan pada saat yang bersamaan dengan pelaksanaan MUSRENBANG. Proses ini pun hanya berlangsung sehari saja sehingga waktu untuk melakukan sinkronisasi perencanaan pembangunan antara Desa / Kecamatan dengan Kabupaten dan DPRD sebagai pemegang kendali kebijakan eksekutif - legislatif, tidak berjalan secara optimal. Selain itu mekanisme perencanaan melalui MUSRENBANG secara berjejang yang bahkan dilengkapi dengan reses yang dilakukan oleh para legislator, kerap kali masih belum mampu mengakomodir keiinginan atau kebutuhan masyarakat.

Salah satu hal yang bisa dijadikan jawaban adalah belum tersedianya mekanisme formal yang cukup memadai untuk mendukung mendukung praktek penanggaran partisipatif, mekanisme partisipasi masyarakat secara formal hanya tersedia pada tingkat perencanaan partisipatif dalam wujud MUSRENBANG. Selain itu, masih besarnya dominasi program-program Pemerintah Kabupaten, Provinsi atau Pemerintah Pusat (top-down) di dalam menentukan kebijakan, program dan kegiatan didalam perencanaan pembangunan. Besarnya dominasi tersebut menyebabkan aspirasi-aspirasi masyarakat (bottom-up) mentah pada tahapan penentuan agenda dan usulan kebijakan.

Terpisahnya jalur perencanaan kegiatan dari perencanaan keuangan menyebabkan akses masyarakat untuk menentukan anggaran menjadi sangat terbatas. Masyarakat selama ini hanya mempunyai peran di dalam perencanaan kegiatan melalui jalur MUSRENBANG namun tidak mempunyai akses yang cukup dalam perencanaan keuangan melalui jalur KUA dan PPAS. Selain itu itu masyarakat tidak mempunyai mekanisme untuk memantau apakah aspirasi dimunculkan dalam usulan rencana penganggaran.

Sebagaimana diketahui di dalam penentuan kebijakan pembangunan daerah, aspirasi masyarakat dapat dilakukan melalui tiga jalur yaitu pertama MUSRENBANG dimana masyarakat dapat menyuarakan aspirasinya secara langsung sesuai dengan tingkatannnya, kedua jalur politik melalui partai politik yang dilakukan oleh perwakilan rakyat dalam masa reses, dan ketiga jalur birokrasi yang dapat langsung disampaikan ke SKPD maupun Kepala Daerah.

Why are good mechanisms still seen as being unable to accommodate the real needs of communities? This question was raised after observing the development planning process for 2012 at the community level.

There are several things that contributed to this observation; the first one is that the process of i n f o r m a t i o n d i s s e m i n a t i o n a b o u t r e g i o n a l development planning in conducted parallel with the early stages of the Regional Development Planning Meeting (MUSRENBANG). The process is scheduled for only one day, therefore there is very little time left to synchronize development planning between village and sub-district, and between district and regional parliaments. Planning mechanisms through MUSRENBANG are held at the same time as the parliament recess so there is very limited time for parliament members to learn about community aspirations.

Another thing that provided food for thought is that there is an inadequate formal mechanism to support participatory budgeting. The existing formal mechanism, MUSRENBANG, applies to participatory planning, not budgeting. The district, provincial, and central government programs still drive the policy, programs and activities in development planning.

The separated procedures for planning and budgeting are another reason and obstacle for community members in terms of accessing information or being able to determine the development budget. Until now communities only have access to development planning through MUSRENBANG, however they have inadequate access to budgeting through the KUA and PPAS. Adding to that, communities also have no mechanism to monitor whether their aspirations are included in budgets.

As many people know, there are three channels of policy making for regional development. The first one is MUSRENBANG to uncover and gather community aspirations; the second is through political conduits and directly to parliament members during recess periods; and the third one is through bureaucracy or by direct delivery to the head of the region or heads of agencies.

Most development activities suggested at district level MUSRENBANG are usually too micro and dominated by construction of public facilities such as village meeting centers or schools, or provision of fertilizer and fish stock. As for the participants, only certain people from all village population attend the MUSRENBANG, and very few of them really deliver their suggestions for development activities. Most participants are silent, do not have any opinions, and even wish that the forum is concluded as soon as possible.

Oleh Munadiah As’ad, ST

Apa Mekanisme Terbaik untuk Perencanaan Pembangunan ?What is the Best Mechanism for Development Planning?

14

Pada MUSRENBANG tingkat Kabupaten, berbagai usulan yang diajukan adalah terlampau mikro dan didominasi oleh permintaan untuk pembangunan fisik termasuk perbaikan fasilitas publik berskala kecil seperti rehabilitasi Balai Desa atau gedung sekolah, pengadaan pupuk, permintaan bibit ikan dan lain sebagainya. Selain itu, dari sekian banyak masyarakat yang menghadiri pertemuan MUSRENBANG, hanya segelintir orang saja yang berani mengutarakan aspirasinya. Sebagian besar anggota masyarakat dalam pertemuan MUSRENBANG hanya diam saja, tidak mengajukan pendapat, bahkan menginginkan forum tersebut segera disudahi.

Kenyataan di hampir semua daerah, terlebih di daerah terpencil, dari tahun ke tahun kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan pembangunan tidak lah banyak berkembang. Penyebabnya tentu saja banyak dan cukup kompleks. Bisa saja karena masyarakat memang kurang diberdayakan, kurang ditingkatkan pemahaman dan kemampuannya, minim informasi, dan lain sebagainya. Namun yang pasti dalam kasus ini terdapat dua pihak yang memegang peran penting, yaitu pemerintah dan partai politik.

Mengapa demikian? Pertama, Pemerintah selama ini memandang bahwa untuk berpartisipasi dalam penyusunan perencanaan pembangunan cukup dengan menyampaikan permasalahan dan usulan saja. Namun tidak pernah disadari bahwa masyarakat sipil kita tidak mempunyai informasi yang cukup tentang visi, misi dan tujuan yang hendak dicapai. Hal tersebut menyebabkan terlalu banyak usulan pembangunan dari masyarakat yang tidak sesuai dengan program-program pemerintah. Kedua, Sistem Perencanaan Pembangunan yang disusun dengan jadual yang ketat mengakibatkan masyarakat tidak mempunyai cukup waktu untuk menyampaikan seluruh aspirasinya. Sebagai contoh MUSRENBANG provinsi yang menghadirkan pemangku kepentingan yang berjumlah ratusan orang hanya dilaksanakan dalam satu hari. Kondisi tersebut tidak memberikan waktu yang cukup bagi seluruh masyarakat untuk menyampaikan seluruh aspirasinya. Ketiga, aparat birokrasi di tingkat Desa atau Kelurahan maupun Kecamatan juga tidak memperoleh informasi yang cukup tentang program-program Pemerintah Kabupaten / Kota.

Jika dicermati lebih lanjut, penyebab kurang terakomodirnya aspirasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu penyebab eksternal atau kondisi diluar sistem birokrasi pemerintah yaitu masyarakat umum, dan penyebab internal atau kondisi di dalam sistem birokrasi pemerintah. Penyebab utama kelemahan dari sisi eksternal atau masyarakat (termasuk LSM, Kelompok Masyarakat dan Organisasi Sosial Masyarakat lainnya) adalah kapasitas dan kapabilitas mereka yang tidak mencukupi untuk mengikuti proses perencanaan pembangunan tersebut.

Hal lain yang menjadi penyebab tidak terakomodirnya keinginan masyarakat yaitu rendahnya kapasitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat di daerah dalam melakukan pembahasan anggaran, termasuk keterbatasan menerjemahkan aspirasi masyarakat kedalam anggaran. Akibatnya kewenangan atau hak budgeting untuk melakukan relokasi anggaran untuk lebih berpihak kepada masyarakat miskin tidak terwujud.

Lantas apa solusinya? Guna meningkatkan pemberdayaan masyarakat di dalam penyusunan perencanaan pembangunan maka pengetahuan masyarakat mengenai penyusunan perencanaan pembangunan perlu dilakukan secara berkesinambungan termasuk mengadakan pelatihan khusus bagi para tokoh-tokoh masyarakat desa.

Sosialisasi dokumen perencanaan pembangunan daerah sampai ke tingkat pemerintahan yang paling bawah perlu dilakukan dalam kurun waktu yang memadai dan disertai dengan mekanisme konsultasi interaktif sehingga masyarakat dapat memahami program-program pembangunan pemerintah sebelum mengajukan aspirasi mereka dalam proses MUSRENBANG.

Upaya lain yang juga dirasakan penting untuk dilakukan adalah meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa penyusunan perencanaan harus didasarkan pada kebutuhan yang benar-benar relevan dengan kondisi masyarakat bukan berdasarkan keinginan semata.

Perbaikan sistem perencanaan pembangunan juga perlu dilakukan dengan memberikan akses yang lebih besar bagi masyarakat dalam perencanaan keuangan. Selain itu perlu juga dilakukan perbaikan sistem perencanaan pembangunan dengan membuat sistem pemantauan aspirasi masyarakat sehingga masyarakat dapat mengetahui sejauh mana aspirasi mereka dapat diterima oleh pemerintah.

In fact, in most regions, especially the remote ones, community capacity to participate in development planning process is reduced. This is caused by a lack of understanding or lack of information about development strategy. However, government and political party play an important role.

Why? First, the government usually considers that participating in development planning means communities merely sharing their problems and suggestions. It isn't common to recognize that civil society doen't receive enough information about development vision, mission, and objectives. Therefore, too many irrelevant activities are suggested during the MUSRENBANG that do not match government strategic programs. Second, the development planning system is implemented within a very tight schedule, providing a very limited time for the community to deliver all their aspirations. For example, MUSRENBANG at the provincial level are attended by hundreds of stakeholders, but only held over a one day period. Third, the bureaucrats at village level or sub-district also don't receive adequate information about district / municipal government strategic programs.

Furthermore, community aspiration that can't be accommodated in development planning are often influenced by external and internal conditions. The external conditions are influenced by the community itself and include lack of capacity and capability to follow the development planning process. Internal conditions are dependent on how the bureaucracy works.

Another reason why community needs are not accommodated is the lack of capacity on the part of regional parliaments during budgeting meetings, which limits the ability to translate community aspirations the budgeting process. As a result, most of the activities covered in the budget don't include the aspirations of poor communities.

So what is the solution? To increase community participation in the development planning process, it is important to improve understanding, including providing community elders with training regarding development planning.

Dissemination of regional development planning documents to all government levels including at the village level, is vital to provide information about interactive consultation mechanisms so communit y members can understand government development programs before they submit their suggestions in the MUSRENBANG process.

Another important consideration is to increase understanding of the fact that development planning is supposed to be based on needs that are relevant to the conditions in the community.

An improvement in the development planning system much needed is how to provide more access for community members to the budgeting process. The development planning system also needs to be equipped with a community monitoring system so community members can obtain information on w h e t h e r t h e i r s u g g e s t i o n s w e r e b e e n accommodated by the government.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis bekerja pada Bagian Perencanaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan dan dapat dihubungi melalui email pada alamat [email protected]

Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT COMMUNITY EMPOWERMENT

Page 16: BaKTINews Edisi 66

eberapa kajian dilaksanakan pada beberapa tempat di Papua dan Papua Barat untuk mengumpulkan data tentang aktivitas berburu. BData dikumpulkan secara acak dalam survey lapangan dan

dilengkapi dengan review literatur dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Universitas Negeri Papua, Manokwari, Papua Barat. Satwa liar di hutan-hutan tropis adalah sumber pangan penting, mata pencaharian, dan memainkan peran penting bagi masyarakat yang hidup di dalam dan di luar hutan. Dalam Papua modern saat ini, berbagai jenis satwa liar masih diburu, termasuk mamalia, burung, reptilia, ikan, dan invertebrata.

Sumberdaya satwa liar digunakan dalam berbagai cara oleh berbagai suku, menunjukkan keragaman ekonomi, sosial-budaya, dan ekologi. Beberapa jenis adalah sangat popular oleh suku-suku tertentu dan biasanya diburu pada musim-musim tertentu, misalnya untuk sumber pangan, suplai protein hewani, dan nutrisi. Beberapa aturan untuk menjaga kelestarian satwa liar adalah dengan mewajibkan berburu menggunakan senjata tradisional, melakukan pelarangan berburu pada hutan yang dikeramatkan, menerapkan musim tertentu untuk berburu, melarang perburuan untuk jenis-jenis satwa tertentu, dan memberlakukan izin khusus pada daerah milik kelompok suku tertentu. Walaupun demikian, juga terdapat praktik-praktik yang melanggar aturan pelestarian tradisional, seperti penerapan teknik berburu modern, pembukaan rute-rute khusus did arah terpencil, dan adanya interaksi sosial baru termasuk dengan segmen pasar komersial yang baru.

Studies were conducted several places in Papua and West Papua to collect data on hunting activities. Data was obtained opportunistically during field surveys and supplemented by a review of the literature based on the result of research undertaken at Papua State University, Manokwari West Papua. Wildlife in tropical forests, is an important resource for food, income, and plays a significant role for local communities living in and around those forests. In modern Papua today, a great variety of wild animal species are hunted, including mammals, birds, reptiles, fish and also invertebrate.

Wildlife resources are utilized in many various ways among tribes, reflecting economic, socio-cultural and ecological differences. Certain species are extremely popular in particular tribes therefore they are commonly hunted as food sources. Using traditional weapons, staying away from sacred forest patches, acknowledging seasonal periods for hunting, prohibiting hunting for particular species, and getting permits for hunting in other tribal lands were traditional practices and customs which are incidental conservation measures and sustainable natural resource management techniques. However, now people are employing modern hunting techniques, utilizing more accesible routes to remote forests areas, establishing social interaction with others and participating in commercial trade.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah staf pengajar pada Universitas Negeri Papua, Manokwari, Papua Barat, Indonesia, dan Tropical Marine Biology James Cook University Cairns, Australia

Perburuan Satwa Liar di Papua Barat:

Antara pemanfaatan dan pelestarian

KETAHANAN PANGAN

Oleh Freddy Pattiselanno dan Agustina Y. S. Arobaya

Antara pemanfaatan dan pelestarian

Perburuan Satwa Liar di Papua Barat:

Oleh Freddy Pattiselanno dan Agustina Y. S. Arobaya

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Staf Pengajar pada Fakultas Pertanian dan Teknologi PertanianUNIVERSITAS NEGERI PAPUAe-mail: [email protected]

merupakan komponen terbesar dari biaya produksi pertanian di daerah ini, terutama komoditi pertanian yang berasal dari daerah dataran tinggi. Dampak dari tingginya biaya transportasi ini menyebabkan produk lokal kurang dapat bersaing dengan produk-produk dari luar daerah terutama dari segi harga jualnya. Tentu saja hal ini akan menyebabkan pendapatan petani menjadi rendah, yang selanjutnya merupakan penyebab rendahnya daya beli kelompok petani ini terhadap produk pangan yang kaya protein.

Karena keterbatasan sebagian besar masyarakat terhadap akses bahan pangan, baik karena masalah distribusi maupun daya beli, menyebabkan konsumsi makanan yang bergizi menjadi masalah yang dihadapi oleh sebagian besar rumah tangga di daerah ini. Susenas tahun 1999 mencatat rata-rata asupan energi masyarakat Papua pada tahun tersebut hanya mencapai 1.826,65 kkal/kapita/hari, masih di bawah standar nasional sebesar 2.200 kkal/kapita/hari. Sebuah penelitian yang dilakukan di Kabupaten Manokwari sepuluh tahun kemudian (tahun 2009) oleh beberapa peneliti Universitas Negeri Papua juga mencatat fenomena yang sama. Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab adalah masih didominasinya menu makanan oleh bahan pangan kaya

karbohidrat dan tingginya protein defisiensi bagi banyak rumah tangga di daerah ini. Tentu saja keadaan ini dapat diperbaiki mengingat sumberdaya alam yang penyedia pangan berprotein tersedia baik di alam maupun untuk dibudidayakan. Campur tangan berbagai pihak baik pemerintah daerah, LSM, maupun pihak universitas diperlukan untuk membantu masyarakat di daerah ini agar mampu menyediakan makanan yang berkualitas di atas meja makan mereka.

Mencapai komitmen pemerintah untuk “Zero Tolerance” terhadap kekurangan pangan memang tidaklah mudah, terutama pada daerah yang sangat kompleks seperti di Papua Barat. Namun, hal itu bukanlah menjadi alasan untuk membiarkan keadaan ini berlarut-larut. Tentu saja diperlukan komitmen yang kuat dari berbagai pihak untuk ‘menghijaukan’ peta rawan pangan Provinsi Papua Barat, tetapi hal itu bukanlah mimpi yang takkan tergapai.

rovinsi Papua Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang disebut-sebut sebagai provinsi yang kaya sumber daya alamnya. Keyakinan ini memang bukan P

tanpa alasan. Berbagai data potensi sumberdaya alam Provinsi Papua Barat yang ada memang menunjukkan bahwa provinsi ini bukan saja kaya akan sumberdaya alam tak terbarukan tetapi juga merupakan provinsi dengan kekayaan sumberdaya hayati yang melimpah. Kekayaan sumberdaya alam ini tercermin dari pendapatan per kapita di Provinsi Papua Barat yang mencapai hampir Rp. 20 juta per tahun.

Ironisnya, dengan nilai pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia, BPS memperkirakan bahwa lebih dari 35 persen penduduk di daerah ini memiliki rata-rata pengeluaran/pendapatan di bawah garis kemiskinan. Angka kemiskinan ini menempatkan Provinsi Papua Barat sebagai provinsi yang tergolong termiskin di negara ini. Tentu saja menarik untuk mengkaji lebih dalam penyebab kontradiksi ini, akan tetapi artikel ini hanya dibatasi pada pembahasan implikasi dari tingkat kemiskinan pada kondisi ketahanan pangan penduduk di daerah ini.

Kemiskinan merupakan salah satu ancaman yang paling serius terhadap ketahanan pangan, terutama pada tingkat mikro (ketahanan pangan rumah tangga). Oleh karena itu, tingkat kemiskinan seringkali dipakai sebagai salah satu indikator dalam menentukan tingkat ketahanan pangan suatu daerah/rumah tangga, termasuk dalam penyusunan Peta Kerawanan Pangan yang dikeluarkan oleh World Food Programme (WFP) dan Dewan Ketahanan Pangan (DKP). Dengan menggunakan 10 indikator (salah satunya adalah kemisk inan) peta tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2009 semua kabupaten di Provinsi Papua Barat termasuk dalam Kabupaten Prioritas 1 dan Kabupaten Prioritas 2. Artinya bahwa semua kabupaten di provinsi ini tergolong pada daerah yang ’sangat rawan pangan’ dan ’rawan pangan’ ditinjau dari tiga aspek ketahan pangan: ketersediaan pangan, akses terhadap pangan, dan penyerapan pangan. Tentu saja statistik ini sangat menyedihkan, terutama mengingat keberlimpahan sumber makanan di hampir semua kabupaten di daerah ini. Oleh karena itu timbul pertanyaan, mengapa hal ini bisa terjadi? Fenomena apa yang sebenarnya terjadi di lapangan yang mengungkapkan ketidak-tahanan pangan di daerah ini?

Banyak orang memahami ketahanan pangan sebagai kondisi dimana kebutuhan pangan (kuantitas) terpenuhi. Padahal Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 mengartikan ketahanan pangan sebagai lebih dari sekedar kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dari segi jumlah. Undang-undang tersebut juga mensyaratkan bahwa ketahanan pangan tercipta saat bahan pangan terjamin mutunya, aman, merata, serta terjangkau. Secara makro atau nasional ketahanan pangan berarti tersedianya pangan yang cukup (volume, keragaman, mutu, keterjangkauan) bagi seluruh penduduk, di seluruh wilayah, setiap saat. Sedangkan secara mikro atau

rumah tangga berarti kemampuan mengakses pangan dan gizi rumah tangga setiap saat, sesuai kebutuhan dan pilihan untuk tumbuh sehat dan produktif. Berdasarkan definisi di atas, maka tercapainya ketahanan pangan di suatu daerah bukan hanya berarti penyediaan makanan yang cukup, tetapi lebih dari itu adalah penyediaan makanan yang bergizi yang mampu diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Dalam rangka memahai kondisi ketahanan pangan di Provinsi Papua Barat dalam kerangka definisi UU No 7 tahun 1996, menjadi menarik untuk melihat lebih dekat kondisi perjalanan bahan pangan di Provinsi Papua Barat mulai dari ketersediaannya di ladang, distribusi dari ladang ke pasar, hingga pengolahan bahan makanan tersebut sampai siap disantap di atas meja makan. Meskipun terdapat pandangan yang berbeda tentang ketahanan pangan di antara masyarakat Papua, kesadaran akan kebutuhan pemenuhan pangan secara mandiri mempengaruhi cara penduduk di daerah ini bekerja untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Pada umumnya, penduduk di daerah dataran tinggi berkebun di beberapa tempat yang berbeda dengan waktu tanam yang berbeda untuk menjamin ketersediaan pangan sepanjang tahun. Sementara penduduk di daerah dataran rendah pada umumnya berkebun dengan menanam berbagai jenis tanaman, baik tanaman pangan maupun berbagai jenis sayur-sayuran dan buah-buahan. Ketersediaan lahan pertanian, sampai saat ini, memang bukan merupakan masalah besar bagi produksi bahan pangan di daerah ini, akan tetapi masalah hak kepemilikan

tanah serta pembukaan lahan secara besar-besaran baik untuk pemanfaatan kayu maupun untuk pembangunan perkebunan besar merupakan ancaman yang serius bagi penyediaan bahan pangan di masa datang.

Jumlah komoditi pangan yang diproduksi di daerah ini disamping relatif

tidak banyak jenisnya juga diproduksi dalam jumlah yang terbatas. Walaupun beberapa pasar yang berlokasi di sekitar

d a e r a h s a t u a n p e m u k i m a n transmigrasi memiliki keragaman komoditi pangan yang lebih banyak, namun sebagian besar pedagang di pasar (terutama petani -pedagang) menjual komoditi dalam jumlah yang relatif sedikit dengan tingkat

keragaman yang rendah. Budidaya pertanian dalam skala agribisnis memang belum banyak berkembang di daerah ini. Akibatnya suplai komoditi pertanian seringkali tidak mencukupi dalam segi kuantitas dan juga kekontinyuannya. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat di daerah ini, beberapa komoditi disuplai dari daerah lain di Indonesia.

Disamping produksi yang terbatas, distribusi pangan yang berkualitas menjadi masalah utama bagi masyarakat yang bermukim di daerah-daerah terpencil. Walaupun pemerintah daerah sedang menggiatkan pembangunan sarana transportasi jalan, namun masih banyak kecamatan di daerah ini yang terisolasi. Keterisolasian ini bukan hanya menghambat distribusi bahan pangan ke daerah-daerah tersebut, tetapi juga menjadi penghambat proses pemasaran produk pertanian dari daerah-daerah tersebut. Oleh karena itu biaya transportasi biasanya

KETAHANAN PANGAN

Dari Ladang Ke Meja MakanTinjauan Kondisi Ketahanan Pangan di Papua Barat

Oleh Fitryanti Pakiding

1-30

31-60

PETA KOMPOSIT

Kabupaten Prioritas 1

LEGENDA

Kabupaten Prioritas 2

Kabupaten Prioritas 3

Sumber data : DKP RI, WFP

15 16 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

PETA KERENTANAN TERHADAP KERAWANAN PANGAN PROVINSI PAPUA BARAT TAHUN 2009

Page 17: BaKTINews Edisi 66

eberapa kajian dilaksanakan pada beberapa tempat di Papua dan Papua Barat untuk mengumpulkan data tentang aktivitas berburu. BData dikumpulkan secara acak dalam survey lapangan dan

dilengkapi dengan review literatur dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Universitas Negeri Papua, Manokwari, Papua Barat. Satwa liar di hutan-hutan tropis adalah sumber pangan penting, mata pencaharian, dan memainkan peran penting bagi masyarakat yang hidup di dalam dan di luar hutan. Dalam Papua modern saat ini, berbagai jenis satwa liar masih diburu, termasuk mamalia, burung, reptilia, ikan, dan invertebrata.

Sumberdaya satwa liar digunakan dalam berbagai cara oleh berbagai suku, menunjukkan keragaman ekonomi, sosial-budaya, dan ekologi. Beberapa jenis adalah sangat popular oleh suku-suku tertentu dan biasanya diburu pada musim-musim tertentu, misalnya untuk sumber pangan, suplai protein hewani, dan nutrisi. Beberapa aturan untuk menjaga kelestarian satwa liar adalah dengan mewajibkan berburu menggunakan senjata tradisional, melakukan pelarangan berburu pada hutan yang dikeramatkan, menerapkan musim tertentu untuk berburu, melarang perburuan untuk jenis-jenis satwa tertentu, dan memberlakukan izin khusus pada daerah milik kelompok suku tertentu. Walaupun demikian, juga terdapat praktik-praktik yang melanggar aturan pelestarian tradisional, seperti penerapan teknik berburu modern, pembukaan rute-rute khusus did arah terpencil, dan adanya interaksi sosial baru termasuk dengan segmen pasar komersial yang baru.

Studies were conducted several places in Papua and West Papua to collect data on hunting activities. Data was obtained opportunistically during field surveys and supplemented by a review of the literature based on the result of research undertaken at Papua State University, Manokwari West Papua. Wildlife in tropical forests, is an important resource for food, income, and plays a significant role for local communities living in and around those forests. In modern Papua today, a great variety of wild animal species are hunted, including mammals, birds, reptiles, fish and also invertebrate.

Wildlife resources are utilized in many various ways among tribes, reflecting economic, socio-cultural and ecological differences. Certain species are extremely popular in particular tribes therefore they are commonly hunted as food sources. Using traditional weapons, staying away from sacred forest patches, acknowledging seasonal periods for hunting, prohibiting hunting for particular species, and getting permits for hunting in other tribal lands were traditional practices and customs which are incidental conservation measures and sustainable natural resource management techniques. However, now people are employing modern hunting techniques, utilizing more accesible routes to remote forests areas, establishing social interaction with others and participating in commercial trade.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah staf pengajar pada Universitas Negeri Papua, Manokwari, Papua Barat, Indonesia, dan Tropical Marine Biology James Cook University Cairns, Australia

Perburuan Satwa Liar di Papua Barat:

Antara pemanfaatan dan pelestarian

KETAHANAN PANGAN

Oleh Freddy Pattiselanno dan Agustina Y. S. Arobaya

Antara pemanfaatan dan pelestarian

Perburuan Satwa Liar di Papua Barat:

Oleh Freddy Pattiselanno dan Agustina Y. S. Arobaya

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Staf Pengajar pada Fakultas Pertanian dan Teknologi PertanianUNIVERSITAS NEGERI PAPUAe-mail: [email protected]

merupakan komponen terbesar dari biaya produksi pertanian di daerah ini, terutama komoditi pertanian yang berasal dari daerah dataran tinggi. Dampak dari tingginya biaya transportasi ini menyebabkan produk lokal kurang dapat bersaing dengan produk-produk dari luar daerah terutama dari segi harga jualnya. Tentu saja hal ini akan menyebabkan pendapatan petani menjadi rendah, yang selanjutnya merupakan penyebab rendahnya daya beli kelompok petani ini terhadap produk pangan yang kaya protein.

Karena keterbatasan sebagian besar masyarakat terhadap akses bahan pangan, baik karena masalah distribusi maupun daya beli, menyebabkan konsumsi makanan yang bergizi menjadi masalah yang dihadapi oleh sebagian besar rumah tangga di daerah ini. Susenas tahun 1999 mencatat rata-rata asupan energi masyarakat Papua pada tahun tersebut hanya mencapai 1.826,65 kkal/kapita/hari, masih di bawah standar nasional sebesar 2.200 kkal/kapita/hari. Sebuah penelitian yang dilakukan di Kabupaten Manokwari sepuluh tahun kemudian (tahun 2009) oleh beberapa peneliti Universitas Negeri Papua juga mencatat fenomena yang sama. Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab adalah masih didominasinya menu makanan oleh bahan pangan kaya

karbohidrat dan tingginya protein defisiensi bagi banyak rumah tangga di daerah ini. Tentu saja keadaan ini dapat diperbaiki mengingat sumberdaya alam yang penyedia pangan berprotein tersedia baik di alam maupun untuk dibudidayakan. Campur tangan berbagai pihak baik pemerintah daerah, LSM, maupun pihak universitas diperlukan untuk membantu masyarakat di daerah ini agar mampu menyediakan makanan yang berkualitas di atas meja makan mereka.

Mencapai komitmen pemerintah untuk “Zero Tolerance” terhadap kekurangan pangan memang tidaklah mudah, terutama pada daerah yang sangat kompleks seperti di Papua Barat. Namun, hal itu bukanlah menjadi alasan untuk membiarkan keadaan ini berlarut-larut. Tentu saja diperlukan komitmen yang kuat dari berbagai pihak untuk ‘menghijaukan’ peta rawan pangan Provinsi Papua Barat, tetapi hal itu bukanlah mimpi yang takkan tergapai.

rovinsi Papua Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang disebut-sebut sebagai provinsi yang kaya sumber daya alamnya. Keyakinan ini memang bukan P

tanpa alasan. Berbagai data potensi sumberdaya alam Provinsi Papua Barat yang ada memang menunjukkan bahwa provinsi ini bukan saja kaya akan sumberdaya alam tak terbarukan tetapi juga merupakan provinsi dengan kekayaan sumberdaya hayati yang melimpah. Kekayaan sumberdaya alam ini tercermin dari pendapatan per kapita di Provinsi Papua Barat yang mencapai hampir Rp. 20 juta per tahun.

Ironisnya, dengan nilai pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia, BPS memperkirakan bahwa lebih dari 35 persen penduduk di daerah ini memiliki rata-rata pengeluaran/pendapatan di bawah garis kemiskinan. Angka kemiskinan ini menempatkan Provinsi Papua Barat sebagai provinsi yang tergolong termiskin di negara ini. Tentu saja menarik untuk mengkaji lebih dalam penyebab kontradiksi ini, akan tetapi artikel ini hanya dibatasi pada pembahasan implikasi dari tingkat kemiskinan pada kondisi ketahanan pangan penduduk di daerah ini.

Kemiskinan merupakan salah satu ancaman yang paling serius terhadap ketahanan pangan, terutama pada tingkat mikro (ketahanan pangan rumah tangga). Oleh karena itu, tingkat kemiskinan seringkali dipakai sebagai salah satu indikator dalam menentukan tingkat ketahanan pangan suatu daerah/rumah tangga, termasuk dalam penyusunan Peta Kerawanan Pangan yang dikeluarkan oleh World Food Programme (WFP) dan Dewan Ketahanan Pangan (DKP). Dengan menggunakan 10 indikator (salah satunya adalah kemisk inan) peta tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2009 semua kabupaten di Provinsi Papua Barat termasuk dalam Kabupaten Prioritas 1 dan Kabupaten Prioritas 2. Artinya bahwa semua kabupaten di provinsi ini tergolong pada daerah yang ’sangat rawan pangan’ dan ’rawan pangan’ ditinjau dari tiga aspek ketahan pangan: ketersediaan pangan, akses terhadap pangan, dan penyerapan pangan. Tentu saja statistik ini sangat menyedihkan, terutama mengingat keberlimpahan sumber makanan di hampir semua kabupaten di daerah ini. Oleh karena itu timbul pertanyaan, mengapa hal ini bisa terjadi? Fenomena apa yang sebenarnya terjadi di lapangan yang mengungkapkan ketidak-tahanan pangan di daerah ini?

Banyak orang memahami ketahanan pangan sebagai kondisi dimana kebutuhan pangan (kuantitas) terpenuhi. Padahal Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 mengartikan ketahanan pangan sebagai lebih dari sekedar kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dari segi jumlah. Undang-undang tersebut juga mensyaratkan bahwa ketahanan pangan tercipta saat bahan pangan terjamin mutunya, aman, merata, serta terjangkau. Secara makro atau nasional ketahanan pangan berarti tersedianya pangan yang cukup (volume, keragaman, mutu, keterjangkauan) bagi seluruh penduduk, di seluruh wilayah, setiap saat. Sedangkan secara mikro atau

rumah tangga berarti kemampuan mengakses pangan dan gizi rumah tangga setiap saat, sesuai kebutuhan dan pilihan untuk tumbuh sehat dan produktif. Berdasarkan definisi di atas, maka tercapainya ketahanan pangan di suatu daerah bukan hanya berarti penyediaan makanan yang cukup, tetapi lebih dari itu adalah penyediaan makanan yang bergizi yang mampu diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Dalam rangka memahai kondisi ketahanan pangan di Provinsi Papua Barat dalam kerangka definisi UU No 7 tahun 1996, menjadi menarik untuk melihat lebih dekat kondisi perjalanan bahan pangan di Provinsi Papua Barat mulai dari ketersediaannya di ladang, distribusi dari ladang ke pasar, hingga pengolahan bahan makanan tersebut sampai siap disantap di atas meja makan. Meskipun terdapat pandangan yang berbeda tentang ketahanan pangan di antara masyarakat Papua, kesadaran akan kebutuhan pemenuhan pangan secara mandiri mempengaruhi cara penduduk di daerah ini bekerja untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Pada umumnya, penduduk di daerah dataran tinggi berkebun di beberapa tempat yang berbeda dengan waktu tanam yang berbeda untuk menjamin ketersediaan pangan sepanjang tahun. Sementara penduduk di daerah dataran rendah pada umumnya berkebun dengan menanam berbagai jenis tanaman, baik tanaman pangan maupun berbagai jenis sayur-sayuran dan buah-buahan. Ketersediaan lahan pertanian, sampai saat ini, memang bukan merupakan masalah besar bagi produksi bahan pangan di daerah ini, akan tetapi masalah hak kepemilikan

tanah serta pembukaan lahan secara besar-besaran baik untuk pemanfaatan kayu maupun untuk pembangunan perkebunan besar merupakan ancaman yang serius bagi penyediaan bahan pangan di masa datang.

Jumlah komoditi pangan yang diproduksi di daerah ini disamping relatif

tidak banyak jenisnya juga diproduksi dalam jumlah yang terbatas. Walaupun beberapa pasar yang berlokasi di sekitar

d a e r a h s a t u a n p e m u k i m a n transmigrasi memiliki keragaman komoditi pangan yang lebih banyak, namun sebagian besar pedagang di pasar (terutama petani -pedagang) menjual komoditi dalam jumlah yang relatif sedikit dengan tingkat

keragaman yang rendah. Budidaya pertanian dalam skala agribisnis memang belum banyak berkembang di daerah ini. Akibatnya suplai komoditi pertanian seringkali tidak mencukupi dalam segi kuantitas dan juga kekontinyuannya. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat di daerah ini, beberapa komoditi disuplai dari daerah lain di Indonesia.

Disamping produksi yang terbatas, distribusi pangan yang berkualitas menjadi masalah utama bagi masyarakat yang bermukim di daerah-daerah terpencil. Walaupun pemerintah daerah sedang menggiatkan pembangunan sarana transportasi jalan, namun masih banyak kecamatan di daerah ini yang terisolasi. Keterisolasian ini bukan hanya menghambat distribusi bahan pangan ke daerah-daerah tersebut, tetapi juga menjadi penghambat proses pemasaran produk pertanian dari daerah-daerah tersebut. Oleh karena itu biaya transportasi biasanya

KETAHANAN PANGAN

Dari Ladang Ke Meja MakanTinjauan Kondisi Ketahanan Pangan di Papua Barat

Oleh Fitryanti Pakiding

1-30

31-60

PETA KOMPOSIT

Kabupaten Prioritas 1

LEGENDA

Kabupaten Prioritas 2

Kabupaten Prioritas 3

Sumber data : DKP RI, WFP

15 16 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

PETA KERENTANAN TERHADAP KERAWANAN PANGAN PROVINSI PAPUA BARAT TAHUN 2009

Page 18: BaKTINews Edisi 66

ewasa ini Knowledge Sector atau sektor pengetahuan menjadi semakin penting untuk mendapatkan perhatian. DSelama ini di Indonesia, sektor pengetahuan lebih banyak

digeluti dan dikembangkan oleh lembaga lembaga kajian di masyarakat akademik dan para intelektual yang hasilnya lebih cenderung pada pengembangan ilmu pengetahuan saja dan sangat jarang yang menghasilkan satu hasil yang lebih implementatif terutama pada dukungan pada aspek kebijakan kebijakan.

Perkembangan dan dinamika pembangunan yang semakin hari semakin kompleks, membutuhkan satu studi dan kajian yang disamping luas juga perlu dilakukan secara lebih terstruktur dan terprogram. Kompleksitas ini berimplikasi terutama pada sektor kebijakan sebagai faktor determinan terciptanya pembangunan yang efektif. Untuk itu, sinergitas yang kuat antar sektor kebijakan dengan sektor pengetahuan sangat diperlukan.

Beberapa argumentasi lain mengapa sinergitas tersebut menjadi urgen adalah pertama, era demokratisasi dimana demand masyarakat yang begitu besar atas landasan logis terhadap kebijakan publik, hal ini dapat terlihat dalam masifnya aktivitas dialog/debat kebijakan di masyarakat.

Kedua, penyelenggaraan desentralisasi dan pengembangan kapasitas otonomi daerah. Penerapan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan, berarti daerah pun diharapkan dapat merumuskan sendiri kebijakan pembangunannya. Kebijakan yang berskala nasional tidak secara otomatis mampu memenuhi kepentingan dan perkembangan daerah yang memiliki skala dan dimensi permasalahan yang bervariasi. Disisi lain justru melalui pengembangan kapasitas otonomi daerah diharapkan permasalahan daerah bisa diangkat kepermukaan yang bila diperlukan bisa mendapat dukungan kebijakan nasional.

Ketiga, berhubungan dengan KTI adalah, posisi Index Pembangunan Manusia (IPM) aktual dimana daerah di KTI berada di tempat terendah secara nasional, disisi lain KTI diyakini memiliki potensi sumberdaya yang besar. Keempat, disisi sektor kebijakan, pemerintah sebagai pengambil kebijakan tidak selamanya memiliki sumber daya manusia yang tepat dan tersedia untuk semua kebijakan.

Namun, sinergitas yang dicita-citakan akan dapat terwujud dengan baik apabila sektor pengetahuan yang ada, terutama di KTI, memiliki kapasitas organisasi dan kecakapan teknis peneliti yang ada. Dengan kondisi saat ini dimana belum banyak organisasi sektor pengetahuan yang memiliki kapasitas, menjadi penting pula untuk mendapatkan pemetaan mengenai

permasalahan yang dihadapi oleh organisasi sektor pengetahuan yang ada di Indonesia.

Pertemuan Pokja “Revitalisasi Sektor Pengetahuan Untuk Kebijakan”

Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang didukung oleh Kemitraan Australia Indonesia (AusAID) menciptakan sebuah inisiatif untuk merevitalisasi Sektor Pengetahuan di Indonesia untuk Pengembangan Kebijakan pada tahun 2009. Inisiatif ini terfokus pada peningkatan kapasitas di bidang penelitian untuk kebijakan publik serta membantu Pemerintah Indonesia dan berbagai pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi kendala dan menemukan solusi dalam mendorong terciptanya sektor pengetahuan yang sehat.

Sektor pengetahuan dimaksud adalah lembaga-lembaga pemerintah, sektor swasta, perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, dan donor yang mengembangkan pengetahuan berbasis penelitian untuk kebijakan publik. Sektor ini meliputi lembaga think tank, perguruan tinggi, badan-badan khusus, perusahaan swasta tertentu, dan sejumlah organisasi non-pemerintah/organisasi masyarakat sipil.

Salah satu usaha untuk mendorong inisiatif ini adalah melalui dialog antar sektor pengetahuan yang dikembangkan melalui Pertemuan Kelompok Kerja dari perwakilan pelaku pembangunan dan tokoh kunci yang ahli dan memahami isu-isu terkait dengan inisiatif tersebut. Kegiatan pertama pertemuan ini telah dilaksanakan bagi para representasi dari Perguruan Tinggi dan Organisasi Masyarakat Sipil/Think Tanks di Hotel Borobudur, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta pada hari Selasa dan Rabu tanggal 5-6 April 2011. JiKTI bersama dengan 17 organisasi masyarakat sipil/think thanks dan 11 Universitas seluruh Indonesia terlibat dalam pertemuan tersebut.

Tujuan dari kegiatan ini adalah Kelompok Kerja memberikan masukan mengenai isu-isu terkini dan kendala-kendala dalam sektor pengetahuan dan memberikan masukan/rekomendasi bagi pengembangan sektor pengetahuan untuk pengembangan kebijakan di Indonesia. Dan hasil yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah inventarisasi isu-isu dan kendala-kendala yang dihadapi oleh setiap Kelompok Kerja terhadap Sektor Pengetahuan untuk pengembangan kebijakan yang ada di Indonesia beserta rekomendasi solusinya.

Informasi lebih lanjut tentang hasil pertemuan tersebut dapat dilihat di www.batukar.info

JiKTI UPDATE

17

Apa itu JiKTIJaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (JiKTI) adalah sebuah jaringan yang beranggotakan para peneliti dari Kawasan Timur Indonesia. Jaringan ini terbentuk pada Juli 2007 di Makassar dan bernaung di bawah Forum Kawasan Timur Indonesia. JiKTI berfungsi mendorong upaya-upaya kolaboratif di antara para peneliti di KTI untuk mengisi kebutuhan kebijakan dan perencanaan pembangunan agar bertumpu pada hasil-hasil penelitian. Upaya ini diharapkan dapat mendukung kebijakan pembangunan dan menjawab kebutuhan pembangunan, khususnya dalam mendorong optimalisasi dan percepatan otonomi daerah. Untuk informasi silakan hubungi [email protected]

Opini AndaSetelah limabelas tahun otonomi daerah, apakah sektor pengetahuan telah berkontribusi nyata untuk mempercepat pembangunan di Kawasan Timur Indonesia? Mari bergabung dengan forum diskusi online JiKTI. Masukkan opini anda ke www.batukar.info/forums/diskusi-jaringan/jaringan-peneliti-kti-jikti

18

enyandingkan “Pro Publik” pada Manajemen Keuangan Publik maka kita akan mendapati bahwa ada dua Mkepentingan yang sejajar , Kepentingan Pemerintah dan

Kepentingan Publik. Dalam konteks perencanaan dan pengelolaan APBD, kepentingan publik diwakili oleh Dewan, yang memiliki fungsi pengesahan dan pengawasan terhadap pengelolaannya.

Bicara harapan publik, pemenuhan kepentingan niscaya menjadi kewajiban pemerintah. Tapi pada sisi lain pengelolaan keuangan publik yang pro publik melibatkan banyak kepentingan. Bukan hanya kepentingan umum masya rakat terhadap layanan publik yang lebih baik misalnya, tapi juga kepentingan politik. Ini menimbulkan kesan seolah kedua kepentingan tersebut berbenturan. Pro publik memang topik subyektif.

Demikian pun, hal itu tidak bisa menafikan upaya kedua pihak ini untuk terus menemukan titik temu untuk menghasilkan kebijakan yang pro publik. Sebagai rujukan terbaik dari ide tentang seberapa pro publik ke duanya dalam perencanaan dan gagasan pengelolaan keuangan publiknya. Upaya pemerintah daerah di mana PEA telah dan sedang dilaksanakan, untuk meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan publik, tanpa hasil yang segera terlihat, dapat saja dilihat sebagai pembenaran dari tidak maksimalnya kinerja pemerintah daerah, oleh para pendukung kepentingan yang lain. Mungkin hingga liputan bahwa beberapa kabupaten di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam ditemukan bangkrut, isu ketiadaan dana adalah hal yang terkesan dicari-cari, untuk tidak efektif dan efisiennya pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Tapi ternyata, kekurangan dana adalah fakta, dan juga tanda dari tidak efektif dan efisiennya pengelolaan keuangan daerah.

Tapi isu Pemda Bangkrut, hanya pecahan kecil dari isu-isu yang mencuat di sekitar pengelolaan keuangan daerah.

Ada beberapa prinsip yang tak bisa diabaikan dalam menerapkan dan menilai aplikasi manajemen modern ke dalam peran dan fungsi sebuah organisasi. Salah satu prinsip itu adalah kinerja sebuah komponen dalam sistem tersebut, mempengaruhi kinerja komponen lain. Sekecil apapun kontribusi komponen tersebut, arti penting atau tidaknya bukan diukur dari besarnya elemen komponen itu secara khusus, tapi dari berfungsi sebagaimana seharusnyakah komponen tersebut. Salah satu prinsip itu adalah kinerja sebuah komponen dalam sistem tersebut, mempengaruhi kinerja komponen lain. Sekecil apapun kontribusi komponen tersebut, arti penting atau tidaknya bukan diukur dari besarnya elemen komponen itu secara khusus, tapi dari berfungsi sebagaimana seharusnyakah komponen tersebut.

Begitu pula, kinerja pemerintah yang optimal bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Kinerja ini dipengaruhi oleh kinerja Dewan, dalam kaitan memproduksi kebijakan Pro Publik. Di Bulan Mei, sebuah artikel di Fajar, koran terbitan Makassar, memuat artikel: Ranperda Menumpuk di Dewan”. Terlepas dari batasan geografis pemerintahan, tajuk ini mengulik pertanyaan klasik: yang tidak pro publik itu sistemnya atau upayanya?.

“Intellectual growth should commence at birth and cease only at death

(Albert Einstein)

To add “pro public” to Public Finance Management clearly shows that there are two equal and aligned interests: the interest of the government and that of the public. APBD planning and management in the interest of the public is represented by the house of representative members, with their right to legitimize a budget plan and oversee its management.

Talking about fulfillment of the public’s expectations has always been the role of the government. Pro-public finance management is an accumulation of interests. Not only the common interests of the community for better public service, for example, but political interests as well. These interest holders –the government and the House of Representatives - seem to be in a situation rife with potential conflict. The pro-public tagline is subjective.

The effort it takes to reach common ground for these two “sides”, to produce truly pro-public policies, cannot be taken for granted. Policy is the ultimate indicator of how pro public these two camps are in their public finance planning and budgeting ideas.

The provincial governments where PEAs (Public Expenditure Analysis) have been conducted or are in progress, are making an effort to increase the quality of public finance management, and without immediate results, this may be seen

as excuses for ineffectiveness by other stakeholders. It might be true. But as news of bankruptcy in some districts in NAD Province is being published, the issue of lack of funds doesn’t seem like a valid excuse. However, the facts tell us that lack of funds is actually a real concern. And yet, it is also a sign of ineffective and inefficient regional financial management.

Bankruptcy in certain districts is only a small issue in the array of public finance management topics.

There are some principles that cannot be overlooked when we attempt to implement and then evaluate the application of a particular system in relation to the roles and function of an organization. One of the principles is that every component in a system is related to another. No matter how small the contribution of one particular component, the importance (value) of it is measured by its function.

In the same way, the optimal performance of government is not a performance delivered in isolation. Performance is influenced by the Representative’s performance in relation to facilitating pro-public policies. In May there was an article in Fajar, a Makassar newspaper, titled “Regional Public Policy is Held Up in the House of Representatives” as title. This particular article raises a classic question: is it the system or the efforts that are not pro-public?”

This question can lead to a series of complaints being raised. It has potential to create friction between public finance management stakeholders.

What does Pro Public Mean in Budget Planning and Management?

PEACH UPDATE

Mempertanyakan PRO PUBLIK dalam Perencanaan dan Pengelolaan APBD

Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Page 19: BaKTINews Edisi 66

ewasa ini Knowledge Sector atau sektor pengetahuan menjadi semakin penting untuk mendapatkan perhatian. DSelama ini di Indonesia, sektor pengetahuan lebih banyak

digeluti dan dikembangkan oleh lembaga lembaga kajian di masyarakat akademik dan para intelektual yang hasilnya lebih cenderung pada pengembangan ilmu pengetahuan saja dan sangat jarang yang menghasilkan satu hasil yang lebih implementatif terutama pada dukungan pada aspek kebijakan kebijakan.

Perkembangan dan dinamika pembangunan yang semakin hari semakin kompleks, membutuhkan satu studi dan kajian yang disamping luas juga perlu dilakukan secara lebih terstruktur dan terprogram. Kompleksitas ini berimplikasi terutama pada sektor kebijakan sebagai faktor determinan terciptanya pembangunan yang efektif. Untuk itu, sinergitas yang kuat antar sektor kebijakan dengan sektor pengetahuan sangat diperlukan.

Beberapa argumentasi lain mengapa sinergitas tersebut menjadi urgen adalah pertama, era demokratisasi dimana demand masyarakat yang begitu besar atas landasan logis terhadap kebijakan publik, hal ini dapat terlihat dalam masifnya aktivitas dialog/debat kebijakan di masyarakat.

Kedua, penyelenggaraan desentralisasi dan pengembangan kapasitas otonomi daerah. Penerapan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan, berarti daerah pun diharapkan dapat merumuskan sendiri kebijakan pembangunannya. Kebijakan yang berskala nasional tidak secara otomatis mampu memenuhi kepentingan dan perkembangan daerah yang memiliki skala dan dimensi permasalahan yang bervariasi. Disisi lain justru melalui pengembangan kapasitas otonomi daerah diharapkan permasalahan daerah bisa diangkat kepermukaan yang bila diperlukan bisa mendapat dukungan kebijakan nasional.

Ketiga, berhubungan dengan KTI adalah, posisi Index Pembangunan Manusia (IPM) aktual dimana daerah di KTI berada di tempat terendah secara nasional, disisi lain KTI diyakini memiliki potensi sumberdaya yang besar. Keempat, disisi sektor kebijakan, pemerintah sebagai pengambil kebijakan tidak selamanya memiliki sumber daya manusia yang tepat dan tersedia untuk semua kebijakan.

Namun, sinergitas yang dicita-citakan akan dapat terwujud dengan baik apabila sektor pengetahuan yang ada, terutama di KTI, memiliki kapasitas organisasi dan kecakapan teknis peneliti yang ada. Dengan kondisi saat ini dimana belum banyak organisasi sektor pengetahuan yang memiliki kapasitas, menjadi penting pula untuk mendapatkan pemetaan mengenai

permasalahan yang dihadapi oleh organisasi sektor pengetahuan yang ada di Indonesia.

Pertemuan Pokja “Revitalisasi Sektor Pengetahuan Untuk Kebijakan”

Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang didukung oleh Kemitraan Australia Indonesia (AusAID) menciptakan sebuah inisiatif untuk merevitalisasi Sektor Pengetahuan di Indonesia untuk Pengembangan Kebijakan pada tahun 2009. Inisiatif ini terfokus pada peningkatan kapasitas di bidang penelitian untuk kebijakan publik serta membantu Pemerintah Indonesia dan berbagai pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi kendala dan menemukan solusi dalam mendorong terciptanya sektor pengetahuan yang sehat.

Sektor pengetahuan dimaksud adalah lembaga-lembaga pemerintah, sektor swasta, perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, dan donor yang mengembangkan pengetahuan berbasis penelitian untuk kebijakan publik. Sektor ini meliputi lembaga think tank, perguruan tinggi, badan-badan khusus, perusahaan swasta tertentu, dan sejumlah organisasi non-pemerintah/organisasi masyarakat sipil.

Salah satu usaha untuk mendorong inisiatif ini adalah melalui dialog antar sektor pengetahuan yang dikembangkan melalui Pertemuan Kelompok Kerja dari perwakilan pelaku pembangunan dan tokoh kunci yang ahli dan memahami isu-isu terkait dengan inisiatif tersebut. Kegiatan pertama pertemuan ini telah dilaksanakan bagi para representasi dari Perguruan Tinggi dan Organisasi Masyarakat Sipil/Think Tanks di Hotel Borobudur, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta pada hari Selasa dan Rabu tanggal 5-6 April 2011. JiKTI bersama dengan 17 organisasi masyarakat sipil/think thanks dan 11 Universitas seluruh Indonesia terlibat dalam pertemuan tersebut.

Tujuan dari kegiatan ini adalah Kelompok Kerja memberikan masukan mengenai isu-isu terkini dan kendala-kendala dalam sektor pengetahuan dan memberikan masukan/rekomendasi bagi pengembangan sektor pengetahuan untuk pengembangan kebijakan di Indonesia. Dan hasil yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah inventarisasi isu-isu dan kendala-kendala yang dihadapi oleh setiap Kelompok Kerja terhadap Sektor Pengetahuan untuk pengembangan kebijakan yang ada di Indonesia beserta rekomendasi solusinya.

Informasi lebih lanjut tentang hasil pertemuan tersebut dapat dilihat di www.batukar.info

JiKTI UPDATE

17

Apa itu JiKTIJaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (JiKTI) adalah sebuah jaringan yang beranggotakan para peneliti dari Kawasan Timur Indonesia. Jaringan ini terbentuk pada Juli 2007 di Makassar dan bernaung di bawah Forum Kawasan Timur Indonesia. JiKTI berfungsi mendorong upaya-upaya kolaboratif di antara para peneliti di KTI untuk mengisi kebutuhan kebijakan dan perencanaan pembangunan agar bertumpu pada hasil-hasil penelitian. Upaya ini diharapkan dapat mendukung kebijakan pembangunan dan menjawab kebutuhan pembangunan, khususnya dalam mendorong optimalisasi dan percepatan otonomi daerah. Untuk informasi silakan hubungi [email protected]

Opini AndaSetelah limabelas tahun otonomi daerah, apakah sektor pengetahuan telah berkontribusi nyata untuk mempercepat pembangunan di Kawasan Timur Indonesia? Mari bergabung dengan forum diskusi online JiKTI. Masukkan opini anda ke www.batukar.info/forums/diskusi-jaringan/jaringan-peneliti-kti-jikti

18

enyandingkan “Pro Publik” pada Manajemen Keuangan Publik maka kita akan mendapati bahwa ada dua Mkepentingan yang sejajar , Kepentingan Pemerintah dan

Kepentingan Publik. Dalam konteks perencanaan dan pengelolaan APBD, kepentingan publik diwakili oleh Dewan, yang memiliki fungsi pengesahan dan pengawasan terhadap pengelolaannya.

Bicara harapan publik, pemenuhan kepentingan niscaya menjadi kewajiban pemerintah. Tapi pada sisi lain pengelolaan keuangan publik yang pro publik melibatkan banyak kepentingan. Bukan hanya kepentingan umum masya rakat terhadap layanan publik yang lebih baik misalnya, tapi juga kepentingan politik. Ini menimbulkan kesan seolah kedua kepentingan tersebut berbenturan. Pro publik memang topik subyektif.

Demikian pun, hal itu tidak bisa menafikan upaya kedua pihak ini untuk terus menemukan titik temu untuk menghasilkan kebijakan yang pro publik. Sebagai rujukan terbaik dari ide tentang seberapa pro publik ke duanya dalam perencanaan dan gagasan pengelolaan keuangan publiknya. Upaya pemerintah daerah di mana PEA telah dan sedang dilaksanakan, untuk meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan publik, tanpa hasil yang segera terlihat, dapat saja dilihat sebagai pembenaran dari tidak maksimalnya kinerja pemerintah daerah, oleh para pendukung kepentingan yang lain. Mungkin hingga liputan bahwa beberapa kabupaten di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam ditemukan bangkrut, isu ketiadaan dana adalah hal yang terkesan dicari-cari, untuk tidak efektif dan efisiennya pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Tapi ternyata, kekurangan dana adalah fakta, dan juga tanda dari tidak efektif dan efisiennya pengelolaan keuangan daerah.

Tapi isu Pemda Bangkrut, hanya pecahan kecil dari isu-isu yang mencuat di sekitar pengelolaan keuangan daerah.

Ada beberapa prinsip yang tak bisa diabaikan dalam menerapkan dan menilai aplikasi manajemen modern ke dalam peran dan fungsi sebuah organisasi. Salah satu prinsip itu adalah kinerja sebuah komponen dalam sistem tersebut, mempengaruhi kinerja komponen lain. Sekecil apapun kontribusi komponen tersebut, arti penting atau tidaknya bukan diukur dari besarnya elemen komponen itu secara khusus, tapi dari berfungsi sebagaimana seharusnyakah komponen tersebut. Salah satu prinsip itu adalah kinerja sebuah komponen dalam sistem tersebut, mempengaruhi kinerja komponen lain. Sekecil apapun kontribusi komponen tersebut, arti penting atau tidaknya bukan diukur dari besarnya elemen komponen itu secara khusus, tapi dari berfungsi sebagaimana seharusnyakah komponen tersebut.

Begitu pula, kinerja pemerintah yang optimal bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Kinerja ini dipengaruhi oleh kinerja Dewan, dalam kaitan memproduksi kebijakan Pro Publik. Di Bulan Mei, sebuah artikel di Fajar, koran terbitan Makassar, memuat artikel: Ranperda Menumpuk di Dewan”. Terlepas dari batasan geografis pemerintahan, tajuk ini mengulik pertanyaan klasik: yang tidak pro publik itu sistemnya atau upayanya?.

“Intellectual growth should commence at birth and cease only at death

(Albert Einstein)

To add “pro public” to Public Finance Management clearly shows that there are two equal and aligned interests: the interest of the government and that of the public. APBD planning and management in the interest of the public is represented by the house of representative members, with their right to legitimize a budget plan and oversee its management.

Talking about fulfillment of the public’s expectations has always been the role of the government. Pro-public finance management is an accumulation of interests. Not only the common interests of the community for better public service, for example, but political interests as well. These interest holders –the government and the House of Representatives - seem to be in a situation rife with potential conflict. The pro-public tagline is subjective.

The effort it takes to reach common ground for these two “sides”, to produce truly pro-public policies, cannot be taken for granted. Policy is the ultimate indicator of how pro public these two camps are in their public finance planning and budgeting ideas.

The provincial governments where PEAs (Public Expenditure Analysis) have been conducted or are in progress, are making an effort to increase the quality of public finance management, and without immediate results, this may be seen

as excuses for ineffectiveness by other stakeholders. It might be true. But as news of bankruptcy in some districts in NAD Province is being published, the issue of lack of funds doesn’t seem like a valid excuse. However, the facts tell us that lack of funds is actually a real concern. And yet, it is also a sign of ineffective and inefficient regional financial management.

Bankruptcy in certain districts is only a small issue in the array of public finance management topics.

There are some principles that cannot be overlooked when we attempt to implement and then evaluate the application of a particular system in relation to the roles and function of an organization. One of the principles is that every component in a system is related to another. No matter how small the contribution of one particular component, the importance (value) of it is measured by its function.

In the same way, the optimal performance of government is not a performance delivered in isolation. Performance is influenced by the Representative’s performance in relation to facilitating pro-public policies. In May there was an article in Fajar, a Makassar newspaper, titled “Regional Public Policy is Held Up in the House of Representatives” as title. This particular article raises a classic question: is it the system or the efforts that are not pro-public?”

This question can lead to a series of complaints being raised. It has potential to create friction between public finance management stakeholders.

What does Pro Public Mean in Budget Planning and Management?

PEACH UPDATE

Mempertanyakan PRO PUBLIK dalam Perencanaan dan Pengelolaan APBD

Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Page 20: BaKTINews Edisi 66

19 20

ersebutlah Kecamatan Messawa di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Selatan. Daerah yang dihuni oleh 17.000 kepala Tkeluarga memiliki tujuhbelas Sekolah Dasar, tiga Sekolah

Menengah Pertama, dan satu Sekolah Menengah Atas. Walaupun memiliki gedung sekolah, kegiatan belajar masih belum berjalan lancar karena kurangnya jumlah guru. Rata-rata ada dua orang guru yang mengajar di Sekolah Dasar dan ada sekolah yang tidak memiliki guru tetap (guru yang telah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil).

Melalui program PNPM beberapa guru honorer mulai bertugas di sekolah-sekolah di Messawa, termasuk Sekolah Wai Limbong, salah satu sekolah dampingan yang kondisinya sangat memprihatinkan. Sekolah ini berada di Dusun Wai Limbong Desa Sepang yang berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Pinrang. Jarak tempuh sekolah dari desa adalah sekitar empat jam jalan kaki. Harus berjalan kaki karena jalanan yang menghubungkan desa dan sekolah belum dapat dilalui kendaraan. Kehidupan masyarakat Dusun Wai Limbong berada jauh di bawah garis kemiskinan. Rumah warga dusun masih beratapkan alang-alang dan daun-daun lebar dari hutan. Dinding rumah masih menggunakan kulit kayu yang keras atau anaman bambu. Tidak

ada ranjang apalagi kamar tidur di rumah-rumah warga Dusun Wai Limbong. Satu ruangan berfungsi sebagai ruang ramu, ruang tengah, sekaligus ruang makan dan ruang tidur. Rumah-rumah warga yang tergolong kecil (rata-rata berukuran 3x5 meter) biasanya dihuni oleh lima hingga delapan orang.

Kondisi sekolah Wai Limbong juga sangats ederhana. Didirikan di atas tanah merah yang tandus, sekolah ini disanggah tiang dari bambu dan beratap alang-alang. Melalui dana bantuan PNPM sebesar limabelas juta rupiah, dua ruang kelas telah diperbaiki. Perbaikan yang dilakukan sangat pas-pasan, mengingat harga material bangunan di dusun ini lebih mahal tigapuluh persen dari harga di kota. Beberapa murid juga mendapatkan bantuan seragam sekolah dan buku-buku tulis.

Guru yang mengajar di sekolah ini berjumlah hanya tiga orang dan semua honorer. Mereka tidak tinggal di Dusun Wai Limbong, melainkan berasal dari ibukota desa dan ada yang dari dusun Batu Sittene Kabupaten Tana Toraja yang kebetulan berdampingan dengan Dusun Wai Limbong. Untuk mengajar di sekolah ini, para guru biasanya harus menempuh perjalanan dari desa tempat mereka tinggal dengan berjalan kaki atau menumpang kuda warga yang kebetulan melakukan

FORUM KTI WILAYAH

Kisah Pendampingan Seorang Fasilitator PendidikanOleh Tasbih Thaha

Hal-hal seperti ini dapat tumbuh menjadi deretan gugatan. Juga kembali berpotensi menimbulkan friksi antar komponen yang menjadi pendukung kepentigan pengelolaan keuangan daerah.

Kasus yang diwalikili beberapa tajuk media cetak mau pun dot com menunjukkan bahwa ada pekerjaan rumah, yang harus dengan tekun diselesaikan oleh ke dua sisi kepentingan. Di pihak dewan misalnya pembagian kerja antar anggota di badan kelengkapan dewan, menginisiasi mekanisme untuk meminimalisir kepentingan partai yang mengatasnamakan konstituen serta membangun paradigma perencanaan yang per tahun menjadi multi tahun. Perencanaan multi tahun itu juga, berlaku sama untuk komponen pemerintah, tanpa terelak. Perencanaan proporsi belanja modal dan belanja pegawai yang lebih seimbang, serta-sama pentingnya,belajar dari kasus kebangkrutan NAD,-tidak mempertaruhkan pelayan publik,kepada perencanaan anggaran yang tak disiplin.

Apapun pengaruh itu, internal atau eksternal tentu punya pengaruh pada keseluruhan kinerja komponen lain dari proses perencanaan dan penganggaran APBD. Untuk kemudian mempengaruhi gerak maju komponen lain yang terkait dengan seluruh sistem ini: produk kebijakan yang mengutamakan publik.

The cases highlighted in the headlines of print and online news, show that there is homework that still needs to be completed, by both sides. For the House, homework includes the redistribution of duties, initiation of a mechanism to minimalize party interests can be on behalf of its constituents, and transformation of a single year paradigm into a multiyear planning paradigm. This shift from a single year to multiyear planning paradigm is definitely also the government’s homework. More proportional planning for capital expenditure and government apparatus expenditure is needed as well, and last but not least-learning from NAD’s district bankruptcies-do not to risk public services by allowing a lack of discipline in budgeting.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Untuk informasi lebih lanjut mengenai Program Analisa Pembelanjaan Publik dan Peningkatan Kapasitas (PEACH) silakan menghubungi Luna Vidya melalui email pada alamat [email protected]

FORUM KTI TATA PEMERINTAHAN

Penjahat Bicara Memberantas KejahatanOleh Roma Hidayat

dalah hal yang lumrah apabila polisi memberantas kejahatan, karena hal tersebut adalah tugas dan tanggung jawab polisi. Namun, bila tugas dan tanggung jawab A

tersebut dipercayakan kepada ’penjahat’, apa yang terjadi? Apakah mereka ini mampu melakukan tugasnya?

Tentunya istilah ’penjahat’ disini bukanlah penjahat dalam arti sebenarnya. Penjahat yang dimaksud adalah para laki-laki yang menjadi pelaku kekerasan atau pelecehan dalam kasus ketidaksetaraan gender. Penjahat bicara memberantas kejahatan adalah bagian dari program bertajuk ”Laki-Laki Baru”, sebuah program kerjasama antara ADBMI dengan OXFAM yang dilaksanakan sejak setahun yang lalu.

Program Laki-Laki Baru menggunakan pendekatan y a n g j u g a b a r u, y a k n i merangkul kaum laki-laki untuk menurunkan angka t e r j a d i n y a k e k e r a s a n terhadap perempuan. Dalam program ini kaum laki-laki tidakhanya membahas cara memberantas kejahatan gender, tetapi juga langsung turun tangan mengatasi k a s u s k e t i d a k s e t a r a a n gender, termasuk kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.

I d e m e m a n f a a t k a n kaum laki-laki sebagai aktor

perubahan berangkat dari pemikiran bahwa selama ini gerakan Gender dan Hak Asasi Perempuan di Indonesia didominasi oleh kaum perempuan, sehingga timbul bias persepsi dan sikap resistansi dari beberapa kalangan. Apalagi dibeberapa daerah terpencil yang memiliki pola pikir bahwa pengarusutamaan gender itu merupakan gerakan perempuan melawan laki-laki, gender itu isu milik perempuan, isu produk barat yang ingin merusak perempuan, merusak struktur budaya dan agama. Jadi, gerakan ini dibuat sebagai pelengkap, penutup celah yang timbul oleh pendekatan-pendekatan yang sudah ada. Berdasar pengalaman ADBMI, masyarakat akan lebih cepat menerima gagasan atau nilai baru, jika mereka dapat memahami dan merasakan apa keuntungan (incentive approach) dan kerugiannya jika mereka menerima gagasan baru tersebut. Ketimpangan gender merupakan satu masalah besar yang mempengaruhi tingginya perceraian, banyaknya kawin siri serta mengorbankan harkat dan jiwa kaum perempuan.

Strateginya yang dikembangkan adalah pendekatan manfaat dan kerugian, yang juga merupakan strategi baru, yaitu dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menemuk an dan membuktik an sendir i n ik matnya mempraktekan kesetaraan gender. Dengan pendekatan baru ini, masyarakat sendiri yang menjadi aktor utamanya. Masyarakat secara langsung diarahkan untuk membuktikan sendiri dalam kehidupan yang nyata di lingkungan mereka, bagaimana perbedaan hidup mereka yang telah setara gender dan yang tidak. Mereka diminta untuk menemukan model ala komunitas sendiri dan menentukan praktik-praktik terbaik di lingkungan

mereka. Disinilah kaum lak i- lak i diajak untuk terlibat. Mereka dipilih dan dilatih untuk menjadi m o d e l d a n p e j u a n g gender.

S e t e l a h m e l a l u i proses penjurian dari tim juri independen terpilihlah Marsudin dan Muhammad A m i n d a r i D e s a Pengadangan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur sebagai model dan promotor gender mainstreaming. Marsudin sudah tiga kali bolak-balik ke Malaysia,

kini ia sudah sarjana dan mengabdi sebagai guru honorer di kampungnya. Sementara Muhammad Amin juga telah belasan kali melintasi perbatasan Indonesia–Malaysia. Amin mempunyai kelebihan yang menjadi contoh di komunitasnya; ia menerima istrinya dengan apa adanya walaupun sang istri cacat karena penyakit polio, dan terus menjadi aktivis dan pemuka di daerahnya. Setelah dipilih, harapannya mereja dapat melanjutkan, meningkatkan dan mempromosikan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan pribadi dan lingkungan sekitar di manapun mereka berada.

Hal inovatif lain yang dicoba pada program ini adalah memanfaatkan media tradisional yaitu drama Rudat sebagai media pendidikan. Rudat adalah sebuah kesenian tradisional suku Sasak, mirip ketoprak jawa. Memadukan drama, lagu dan tari dengan di iringi musik tradisional.

Karena sifatnya yang rekreatif dan edukatif, media rudat dapat juga befungsi sebagai media rehabilitasi dan reintegrasi bagi korban Buruh Migran Indonesia (BMI) maupun mereka yang baru saja kembali dari bekerja di luar negeri

Rudat dimodifikasi sehingga keluar dari pakem tradisionalnya ke pakem baru, yaitu komposisi pemain sebelumnya lebih banyak perempuan maka dalam rudat ini akan dibalik, jumlah pria diperbanyak, yang pada gilirannya, pria pemain rudat ini akan menjadi magnet dalam proses ini.

Pakem lama, komposisi perempuan dominan tapi miskin peran. Maka dalam pakem baru hal ini di balik, lebih banyak pemeran pria, tapi peran perempuan akan di angkat. Skenario rudat tradisional berlatar belakang kerajaan Timur Tengah di ubah juga menjadi konteks kehidupan lokal. Ada interaksi antara pemain dengan penonton dimana penonton dapat terlibat. Dalam design skenario tentang gender, tetap menggunakan pendekatan incentive approach. Yaitu menggambarkan situasi keluarga yang menerapkan kesetaraan gender dan keluarga yang

sebaliknya. Tantangan lain penggunaan Rudat adalah pemain Rudat

sendiri, terlebih pemimpinnya (sekahe, Sasak) adalah tokoh masyarakat yang mempunyai kedudukan sosial tinggi. Bahkan di beberapa tempat mempunyai jama’ah/pengikut yang sangat fanatik, yang siap setiap saat mendukung, membela sekahe. Dalam konteks gender, para pemain rudat dan sekahe ini merupakan para pelaku diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Sebagian besar mereka adalah penganut poligami. Program ini akan mencoba memanfaatkan media drama rudat ini sebagai media perubahan di mana para “pelaku” kekerasan menjadi agen perubahan (contoh bagi masyarakatnya).

Tujuan dari program ini adalah dalam jangka panjang menghapuskan segala bentuk diskriminasi berbasis gender pada isu Perlindungan Buruh Migran dan memastikan adanya gender equality dalam keluarga di Lombok Timur. Dan dalam jangka pendek adalah melahirkan agen laki-laki baru yang akan menjadi promotor, inisiator dan model bagi orang kampung dalam penerapan gender equality khususnya dalam issue penempatan BMI. Secara periodik agen-agen tersebut akan dinilai dan mereka yang dipilih oleh masyarakat sebagai yang terbaik dalam memperjuangankan gender equality akan diberikan penghargaan. Pemberian anugerah akan dilakukan oleh Bupati dan tokoh perempuan Lotim.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis bekerja untuk Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia (ADBMI) Jl. Diponegoro No 27 Selong Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat Lombok Timur dan dapat dihubungi melalui email: [email protected]

Sangkep Kampung (diskusi Komunitas) sebagai media sebar informasi dan gagasan.

Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Page 21: BaKTINews Edisi 66

19 20

ersebutlah Kecamatan Messawa di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Selatan. Daerah yang dihuni oleh 17.000 kepala Tkeluarga memiliki tujuhbelas Sekolah Dasar, tiga Sekolah

Menengah Pertama, dan satu Sekolah Menengah Atas. Walaupun memiliki gedung sekolah, kegiatan belajar masih belum berjalan lancar karena kurangnya jumlah guru. Rata-rata ada dua orang guru yang mengajar di Sekolah Dasar dan ada sekolah yang tidak memiliki guru tetap (guru yang telah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil).

Melalui program PNPM beberapa guru honorer mulai bertugas di sekolah-sekolah di Messawa, termasuk Sekolah Wai Limbong, salah satu sekolah dampingan yang kondisinya sangat memprihatinkan. Sekolah ini berada di Dusun Wai Limbong Desa Sepang yang berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Pinrang. Jarak tempuh sekolah dari desa adalah sekitar empat jam jalan kaki. Harus berjalan kaki karena jalanan yang menghubungkan desa dan sekolah belum dapat dilalui kendaraan. Kehidupan masyarakat Dusun Wai Limbong berada jauh di bawah garis kemiskinan. Rumah warga dusun masih beratapkan alang-alang dan daun-daun lebar dari hutan. Dinding rumah masih menggunakan kulit kayu yang keras atau anaman bambu. Tidak

ada ranjang apalagi kamar tidur di rumah-rumah warga Dusun Wai Limbong. Satu ruangan berfungsi sebagai ruang ramu, ruang tengah, sekaligus ruang makan dan ruang tidur. Rumah-rumah warga yang tergolong kecil (rata-rata berukuran 3x5 meter) biasanya dihuni oleh lima hingga delapan orang.

Kondisi sekolah Wai Limbong juga sangats ederhana. Didirikan di atas tanah merah yang tandus, sekolah ini disanggah tiang dari bambu dan beratap alang-alang. Melalui dana bantuan PNPM sebesar limabelas juta rupiah, dua ruang kelas telah diperbaiki. Perbaikan yang dilakukan sangat pas-pasan, mengingat harga material bangunan di dusun ini lebih mahal tigapuluh persen dari harga di kota. Beberapa murid juga mendapatkan bantuan seragam sekolah dan buku-buku tulis.

Guru yang mengajar di sekolah ini berjumlah hanya tiga orang dan semua honorer. Mereka tidak tinggal di Dusun Wai Limbong, melainkan berasal dari ibukota desa dan ada yang dari dusun Batu Sittene Kabupaten Tana Toraja yang kebetulan berdampingan dengan Dusun Wai Limbong. Untuk mengajar di sekolah ini, para guru biasanya harus menempuh perjalanan dari desa tempat mereka tinggal dengan berjalan kaki atau menumpang kuda warga yang kebetulan melakukan

FORUM KTI WILAYAH

Kisah Pendampingan Seorang Fasilitator PendidikanOleh Tasbih Thaha

Hal-hal seperti ini dapat tumbuh menjadi deretan gugatan. Juga kembali berpotensi menimbulkan friksi antar komponen yang menjadi pendukung kepentigan pengelolaan keuangan daerah.

Kasus yang diwalikili beberapa tajuk media cetak mau pun dot com menunjukkan bahwa ada pekerjaan rumah, yang harus dengan tekun diselesaikan oleh ke dua sisi kepentingan. Di pihak dewan misalnya pembagian kerja antar anggota di badan kelengkapan dewan, menginisiasi mekanisme untuk meminimalisir kepentingan partai yang mengatasnamakan konstituen serta membangun paradigma perencanaan yang per tahun menjadi multi tahun. Perencanaan multi tahun itu juga, berlaku sama untuk komponen pemerintah, tanpa terelak. Perencanaan proporsi belanja modal dan belanja pegawai yang lebih seimbang, serta-sama pentingnya,belajar dari kasus kebangkrutan NAD,-tidak mempertaruhkan pelayan publik,kepada perencanaan anggaran yang tak disiplin.

Apapun pengaruh itu, internal atau eksternal tentu punya pengaruh pada keseluruhan kinerja komponen lain dari proses perencanaan dan penganggaran APBD. Untuk kemudian mempengaruhi gerak maju komponen lain yang terkait dengan seluruh sistem ini: produk kebijakan yang mengutamakan publik.

The cases highlighted in the headlines of print and online news, show that there is homework that still needs to be completed, by both sides. For the House, homework includes the redistribution of duties, initiation of a mechanism to minimalize party interests can be on behalf of its constituents, and transformation of a single year paradigm into a multiyear planning paradigm. This shift from a single year to multiyear planning paradigm is definitely also the government’s homework. More proportional planning for capital expenditure and government apparatus expenditure is needed as well, and last but not least-learning from NAD’s district bankruptcies-do not to risk public services by allowing a lack of discipline in budgeting.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Untuk informasi lebih lanjut mengenai Program Analisa Pembelanjaan Publik dan Peningkatan Kapasitas (PEACH) silakan menghubungi Luna Vidya melalui email pada alamat [email protected]

FORUM KTI TATA PEMERINTAHAN

Penjahat Bicara Memberantas KejahatanOleh Roma Hidayat

dalah hal yang lumrah apabila polisi memberantas kejahatan, karena hal tersebut adalah tugas dan tanggung jawab polisi. Namun, bila tugas dan tanggung jawab A

tersebut dipercayakan kepada ’penjahat’, apa yang terjadi? Apakah mereka ini mampu melakukan tugasnya?

Tentunya istilah ’penjahat’ disini bukanlah penjahat dalam arti sebenarnya. Penjahat yang dimaksud adalah para laki-laki yang menjadi pelaku kekerasan atau pelecehan dalam kasus ketidaksetaraan gender. Penjahat bicara memberantas kejahatan adalah bagian dari program bertajuk ”Laki-Laki Baru”, sebuah program kerjasama antara ADBMI dengan OXFAM yang dilaksanakan sejak setahun yang lalu.

Program Laki-Laki Baru menggunakan pendekatan y a n g j u g a b a r u, y a k n i merangkul kaum laki-laki untuk menurunkan angka t e r j a d i n y a k e k e r a s a n terhadap perempuan. Dalam program ini kaum laki-laki tidakhanya membahas cara memberantas kejahatan gender, tetapi juga langsung turun tangan mengatasi k a s u s k e t i d a k s e t a r a a n gender, termasuk kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.

I d e m e m a n f a a t k a n kaum laki-laki sebagai aktor

perubahan berangkat dari pemikiran bahwa selama ini gerakan Gender dan Hak Asasi Perempuan di Indonesia didominasi oleh kaum perempuan, sehingga timbul bias persepsi dan sikap resistansi dari beberapa kalangan. Apalagi dibeberapa daerah terpencil yang memiliki pola pikir bahwa pengarusutamaan gender itu merupakan gerakan perempuan melawan laki-laki, gender itu isu milik perempuan, isu produk barat yang ingin merusak perempuan, merusak struktur budaya dan agama. Jadi, gerakan ini dibuat sebagai pelengkap, penutup celah yang timbul oleh pendekatan-pendekatan yang sudah ada. Berdasar pengalaman ADBMI, masyarakat akan lebih cepat menerima gagasan atau nilai baru, jika mereka dapat memahami dan merasakan apa keuntungan (incentive approach) dan kerugiannya jika mereka menerima gagasan baru tersebut. Ketimpangan gender merupakan satu masalah besar yang mempengaruhi tingginya perceraian, banyaknya kawin siri serta mengorbankan harkat dan jiwa kaum perempuan.

Strateginya yang dikembangkan adalah pendekatan manfaat dan kerugian, yang juga merupakan strategi baru, yaitu dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menemuk an dan membuktik an sendir i n ik matnya mempraktekan kesetaraan gender. Dengan pendekatan baru ini, masyarakat sendiri yang menjadi aktor utamanya. Masyarakat secara langsung diarahkan untuk membuktikan sendiri dalam kehidupan yang nyata di lingkungan mereka, bagaimana perbedaan hidup mereka yang telah setara gender dan yang tidak. Mereka diminta untuk menemukan model ala komunitas sendiri dan menentukan praktik-praktik terbaik di lingkungan

mereka. Disinilah kaum lak i- lak i diajak untuk terlibat. Mereka dipilih dan dilatih untuk menjadi m o d e l d a n p e j u a n g gender.

S e t e l a h m e l a l u i proses penjurian dari tim juri independen terpilihlah Marsudin dan Muhammad A m i n d a r i D e s a Pengadangan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur sebagai model dan promotor gender mainstreaming. Marsudin sudah tiga kali bolak-balik ke Malaysia,

kini ia sudah sarjana dan mengabdi sebagai guru honorer di kampungnya. Sementara Muhammad Amin juga telah belasan kali melintasi perbatasan Indonesia–Malaysia. Amin mempunyai kelebihan yang menjadi contoh di komunitasnya; ia menerima istrinya dengan apa adanya walaupun sang istri cacat karena penyakit polio, dan terus menjadi aktivis dan pemuka di daerahnya. Setelah dipilih, harapannya mereja dapat melanjutkan, meningkatkan dan mempromosikan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan pribadi dan lingkungan sekitar di manapun mereka berada.

Hal inovatif lain yang dicoba pada program ini adalah memanfaatkan media tradisional yaitu drama Rudat sebagai media pendidikan. Rudat adalah sebuah kesenian tradisional suku Sasak, mirip ketoprak jawa. Memadukan drama, lagu dan tari dengan di iringi musik tradisional.

Karena sifatnya yang rekreatif dan edukatif, media rudat dapat juga befungsi sebagai media rehabilitasi dan reintegrasi bagi korban Buruh Migran Indonesia (BMI) maupun mereka yang baru saja kembali dari bekerja di luar negeri

Rudat dimodifikasi sehingga keluar dari pakem tradisionalnya ke pakem baru, yaitu komposisi pemain sebelumnya lebih banyak perempuan maka dalam rudat ini akan dibalik, jumlah pria diperbanyak, yang pada gilirannya, pria pemain rudat ini akan menjadi magnet dalam proses ini.

Pakem lama, komposisi perempuan dominan tapi miskin peran. Maka dalam pakem baru hal ini di balik, lebih banyak pemeran pria, tapi peran perempuan akan di angkat. Skenario rudat tradisional berlatar belakang kerajaan Timur Tengah di ubah juga menjadi konteks kehidupan lokal. Ada interaksi antara pemain dengan penonton dimana penonton dapat terlibat. Dalam design skenario tentang gender, tetap menggunakan pendekatan incentive approach. Yaitu menggambarkan situasi keluarga yang menerapkan kesetaraan gender dan keluarga yang

sebaliknya. Tantangan lain penggunaan Rudat adalah pemain Rudat

sendiri, terlebih pemimpinnya (sekahe, Sasak) adalah tokoh masyarakat yang mempunyai kedudukan sosial tinggi. Bahkan di beberapa tempat mempunyai jama’ah/pengikut yang sangat fanatik, yang siap setiap saat mendukung, membela sekahe. Dalam konteks gender, para pemain rudat dan sekahe ini merupakan para pelaku diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Sebagian besar mereka adalah penganut poligami. Program ini akan mencoba memanfaatkan media drama rudat ini sebagai media perubahan di mana para “pelaku” kekerasan menjadi agen perubahan (contoh bagi masyarakatnya).

Tujuan dari program ini adalah dalam jangka panjang menghapuskan segala bentuk diskriminasi berbasis gender pada isu Perlindungan Buruh Migran dan memastikan adanya gender equality dalam keluarga di Lombok Timur. Dan dalam jangka pendek adalah melahirkan agen laki-laki baru yang akan menjadi promotor, inisiator dan model bagi orang kampung dalam penerapan gender equality khususnya dalam issue penempatan BMI. Secara periodik agen-agen tersebut akan dinilai dan mereka yang dipilih oleh masyarakat sebagai yang terbaik dalam memperjuangankan gender equality akan diberikan penghargaan. Pemberian anugerah akan dilakukan oleh Bupati dan tokoh perempuan Lotim.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis bekerja untuk Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia (ADBMI) Jl. Diponegoro No 27 Selong Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat Lombok Timur dan dapat dihubungi melalui email: [email protected]

Sangkep Kampung (diskusi Komunitas) sebagai media sebar informasi dan gagasan.

Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Page 22: BaKTINews Edisi 66

21

Profil Perempuan Petani Rumput Laut

FORUM KTI WILAYAH GENDER DAN PEMBANGUNAN

perjalanan ke Dusun Wai Limbong. Sekolah-sekolah lain di Desa Pasapa Mambu atau Desa Malimbong yang terletak di sekitar Dusun Wai Limbong juga bernasib sama.

Mengakali situasi yang kurang menguntungkan bagi pendidikan di Dusun Wai Limbong, kami mengembangkan sebuah metode pengajaran tutor sebaya. Harapannya ini dapat membantu proses belajar berjalan lancar. Beberapa guru honorer yang diperbantukan untuk kelancaran proses belajar di sekolah Wai Limbong kini telah bertugas. Walaupun demikian para guru bantu ini juga memiliki pengetahuan yang terbatas dan keberlanjutan proses belajar masih akan sangat bergantung dari kerelaan guru-guru ini untuk terus mengajar di kemudian hari, mengingat mereka bertugas secara sukarela alias tanpa gaji.

Kurikulum sekolah yang telah ditentukan Dinas Pendidikan tentu saja menjadi tantangan besar di daerah-daerah terpencil seperti di Wai Limbong. Dengan jumlah guru yang sangat terbatas dan kegiatan belajar yang tidak teratur, bagaimana

mungkin bisa mengejar dan memenuhi seluruh kurikulum itu? Selama beberapa bulan mendampingi anak-anak Dusun Wai

Limbong belajar, tampaknya sekolah perlu menjadi tempat bagi mereka untuk memperoleh pengetahuan agar dapat membebaskan diri dari kemiskinan. Kurikulum pelajaran tidaklah mesti seragam dan kemudian menjadi beban dalam pelaksanaan pendidikan. Para penentu kebijakan khususnya bidang pendidikan, perlu melakukan penilaian kebutuhan bagi tiap-tiap wilayah agar sekolah benar-benar menjadi sebuah tempat yang dibutuhkan dimana semua murid dapat merasakan manfaat dari keberadaannya.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah Fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan Kabupaten Mamasa dan dapat dihubungil melalui email pada:[email protected]

Oleh Ni Gst. Ag.Gde Eka Martiningsih

budidaya rumput laut juga belum banyak berkembang sejak dari generasi sebelumnya.

Masih banyak masalah budidaya dan pemeliharaan rumput laut yang dihadapi oleh kaum perempuan petani rumput laut di Desa Boa. Satu keluarga memiliki luas lahan rumput laut seluas sekitar 250 meter persegi dan mereka harus bergelut dengan ancaman hama dan penyakit rumput laut. Ironisnya perhatian dari Dinas Pertanian setempat terbilang masih minim. Bantuan bibit rumput laut besar-besaran terakhir kali diterima oleh masyarakat Boa pada tahun 1997 dan penyuluhan penanggulangan hama dan penyakit rumput laut untuk wilayah Desa Boa terakhir kali diadakan pada tahun 1998.

Kini kaum perempuan petani rumput laut di Desa Boa juga harus berhadapan dengan produksi rumput laut yang menurun dari tahun ke tahun ditambah dengan penurunan harga produk rumput laut di pasaran. Selain itu juga ada kebutuhan baru dari para petani rumput laut ini, yakni meningkatkan keterampilan petani untuk mengolah hasil rumput laut menjadi produk olahan agar nilai jualnya menjadi lebih baik di pasaran.

Selama ini rumput laut biasanya mereka jual dalam bentuk produk kering saja, sehingga harganya masih sangat bergantung pada kemurahan hati perusahaan pengolahan rumput laut. Untuk keluar dari kemelut pendapatan dari rumput laut yang semakin menurun, perempuan petani rumput laut biasanya berjualan makanan ringan seperti pisang goreng dan kue cucur setelah selesai melaut.

Faktor-Faktor KemiskinanPetani memang selalu dikaitkan dengan kemiskinan,

kemarjinalan, keterpinggiran dan merupakan profesi yang dihindari oleh sebagian besar generasi muda saat ini Di satu sisi negara kita adalah negara dengan sumber daya alam alami yang melimpah dan masih dianggap sebagai keunggulan komparatif bagi Indonesia. Di sisi lain keunggulan ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat Indonesia untuk bersaing secara kompetitif dalam hasil-hasil sumber daya alam di pasar negeri sendiri maupun dunia. Secara sederhana jika memandang hal ini dari tingkat kehidupan para petani sebagi golongan yang terpinggirkan, miskin, tidak berpendidikan maka beberapa hal memang masih menjadi kendala seperti: akses terhadap sumber daya, kemandirian, pola pikir, kemauan. Kemiskinan sebenarnya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal dari petani rumput laut. Faktor internal yang dimaksud adalah kemauan, pola pikir dan kemandirian, sedangkan faktor eksternal adalah akses terhadap sumberdaya baik itu berupa modal, teknologi, pasar, ilmu, keterampilan dan posisi pengambilan keputusan, terutama bagi kaum perempuan.

Sebagian dari petani rumput laut memiliki pola pikir tradisional yaitu mereka berproduksi hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Walaupun ada keinginan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga akan tetapi dengan modal pendidikan dan keterampilan yang masih yang pas-pasan maka peningkatan pendapatan yang diharapkan pun hanya sekedar khayalan.

Siklus antara faktor internal dan eksternal ini akan semakin rumit akibat dari beberapa kebijakan pemerintah dewasa ini yang seolah-olah membuat mereka semakin terlena. Misalnya seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp. 100.000,- per bulan membuat mereka malas dan manja untuk berusaha lebih keras dalam mengembangkan usahanya. Program lainnya adalah

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) baik perkotaan maupun perdesaan yang cenderung membuat masyarakat terlena dan enggan melaksanakan kegiatan mandiri yag kreatif dan produktif. Masyarakat cenderung menunggu bantuan-bantuan tersebut tanpa berusaha mengisi diri sendiri dengan lebih baik, agar dapat bersaing di pasar global. Sebenarnya apa yang salah dengan model pemberdayaan masyarakat di Indonesia.

Permasalahan mendasar lainnya bagi para petani perempuan adalah posisi mereka yang lemah dalam pengambilan keputusan. Di satu sisi perempuan dominan dalam pengerjaan usahatani di lapangan tetapi mereka tidak memiliki akses untuk menentukan a r a h u s a h a t a n i n y a s e t e l a h menghasilkan. Hal ini tentu saja akan

berpengaruh pada penghasilan perempuan sebagai penopang penghasilan rumah tangga dan penentu arah pendidikan putra-putri keluarga petani tersebut. Lemahnya posisi tawar petani perempuan juga terjadi dalam hal peningkatan keterampilan mereka.

Pemberdayaan MasyarakatDitengah beragamnya definisi tentang pemberdayaan

masyarakat dan strategi-strategi pemberdayaan yang telah dipraktekkan khususnya di Indonesia, maka perlu kiranya kita merenung apakah strategi-strategi yang telah dilaksanakan apakah telah efektif atau masih memerlukan perbaikan. Jim Ife, seorang Professor Emiritus pada Centre for Human Rights Education di Curtin University Perth dalam bukunya yang berjudul Community Development: Community-based alternatives in age of globalization, mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai upaya menolong masyarakat agar dapat mengemukakan keperluan dan kepentingan mereka sehingga apa yang akan dilaksanakan berkaitan dengan kemauan dan kebutuhan tersebut sesuai dengan keinginan masyarakat setempat. Pada setiap pelaksanaan dari tujuan-tujuan tersebut masyarakat harus mampu melakukan kontrol terhadap proses pemberdayaan yang dilakukan secara mandiri.

Seperti telah kita ketahui bahwa sejak beberapa pemerintahan sebelumnya Indonesia sudah mengalihkan arah pemberdayaan dari Top Down ke arah Bottom Up. Seperti contohnya program PNPM yang mengharuskan daerah untuk membuat proposal kegiatan sesuai dengan kondisi daerah masing-masing yang kemudian di seleksi dan baru akhirnya di danai. Akan tetapi pelaksanaan proses seleksi tersebut hingga sekarang masih banyak menemui kendala walaupun telah ada beberapa yang berhasil tetapi masih dalam persentase yang rendah. Sehubungan dengan hal itu, tampaknya hal terpenting untuk diperhatikan adalah bagaimana agar masyarakat dapat melakukan kontrol dan evaluasi terhadap proses pelaksanaan pemberdayaan tersebut.

Pemberdayaan masyarakat bottom up merupakan harapan untuk melibatkan masyarakat secara aktif dalam menentukan tujuan, keinginanan dan kebutuhan mereka, kemudian membudayakan mereka untuk melakukan kontrol dan evaluasi terhadap proses pembangunan yang dilakukan.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah Fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan Kabupaten Mamasa dan dapat dihubungil melalui email pada [email protected]

22

Catatan perjalanan menuju Pantai Nemberala, Rote

tersebut karena belas kasihan dari tuan tanah yang dulunya penguasa kerajaan di daerah tersebut.

Kesibukan para petani rumput laut di Desa Boa dimulai sejak subuh, sekitar jam empat. Para perempuan berjalan dari rumah masing-masing dengan membawa dayung yang akan mereka gunakan untuk membawa sampan mereka ke laut, ke tempat dimana mereka menanam dan memelihara rumput laut. Kebanyakan dari mereka telah berkeluarga dan beberapa yang beruntung telah menamatkan pendidikan Sekolah Dasar.

Perempuan petani rumput laut di Desa Boa membudidayakan rumput laut secara turun temurun. Seperti umumnya pengusahaan pertanian di sebagian besar wilayah Indonesia, maka pengusahaan rumput laut di desa ini juga dilakukan secara subsisten. Teknologi

embangunan bertujuan memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan lebih baik. Kedengarannya mulia namun pada Pkenyataannya masih banyak terjadi ketimpangan dalam ekonomi,

sosial, budaya, dan gender. Tidak heran bila pemerataan hasil pembangunan di Indonesia masih banyak dipertanyakan karena memang belum merata dan masih banyak kenyataan yang jauh dari harapan.

Perjalanan ke Desa Boa, Pantai Nemberala, di pulau Rote, Nusa Tenggara Timur menghantarkan sebuah potret kehidupan kaum perempuan di pulau kecil, khususnya mereka yang bekerja sebagai petani rumput laut.

Pemandangan pantai Nemberala di Desa Boa, Rote memang merupakan sebuah anugerah. Pohon lontar berbaris gagah di sepanjang pantai berlatar langit biru dan jejeran pondok beratapkan daun lontar. Jejeran pondok itulah rumah-rumah para petani rumput laut Desa Boa yang telah ada di sana turun temurun dan mendiami areal

perempuan siap melaut

Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Page 23: BaKTINews Edisi 66

21

Profil Perempuan Petani Rumput Laut

FORUM KTI WILAYAH GENDER DAN PEMBANGUNAN

perjalanan ke Dusun Wai Limbong. Sekolah-sekolah lain di Desa Pasapa Mambu atau Desa Malimbong yang terletak di sekitar Dusun Wai Limbong juga bernasib sama.

Mengakali situasi yang kurang menguntungkan bagi pendidikan di Dusun Wai Limbong, kami mengembangkan sebuah metode pengajaran tutor sebaya. Harapannya ini dapat membantu proses belajar berjalan lancar. Beberapa guru honorer yang diperbantukan untuk kelancaran proses belajar di sekolah Wai Limbong kini telah bertugas. Walaupun demikian para guru bantu ini juga memiliki pengetahuan yang terbatas dan keberlanjutan proses belajar masih akan sangat bergantung dari kerelaan guru-guru ini untuk terus mengajar di kemudian hari, mengingat mereka bertugas secara sukarela alias tanpa gaji.

Kurikulum sekolah yang telah ditentukan Dinas Pendidikan tentu saja menjadi tantangan besar di daerah-daerah terpencil seperti di Wai Limbong. Dengan jumlah guru yang sangat terbatas dan kegiatan belajar yang tidak teratur, bagaimana

mungkin bisa mengejar dan memenuhi seluruh kurikulum itu? Selama beberapa bulan mendampingi anak-anak Dusun Wai

Limbong belajar, tampaknya sekolah perlu menjadi tempat bagi mereka untuk memperoleh pengetahuan agar dapat membebaskan diri dari kemiskinan. Kurikulum pelajaran tidaklah mesti seragam dan kemudian menjadi beban dalam pelaksanaan pendidikan. Para penentu kebijakan khususnya bidang pendidikan, perlu melakukan penilaian kebutuhan bagi tiap-tiap wilayah agar sekolah benar-benar menjadi sebuah tempat yang dibutuhkan dimana semua murid dapat merasakan manfaat dari keberadaannya.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah Fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan Kabupaten Mamasa dan dapat dihubungil melalui email pada:[email protected]

Oleh Ni Gst. Ag.Gde Eka Martiningsih

budidaya rumput laut juga belum banyak berkembang sejak dari generasi sebelumnya.

Masih banyak masalah budidaya dan pemeliharaan rumput laut yang dihadapi oleh kaum perempuan petani rumput laut di Desa Boa. Satu keluarga memiliki luas lahan rumput laut seluas sekitar 250 meter persegi dan mereka harus bergelut dengan ancaman hama dan penyakit rumput laut. Ironisnya perhatian dari Dinas Pertanian setempat terbilang masih minim. Bantuan bibit rumput laut besar-besaran terakhir kali diterima oleh masyarakat Boa pada tahun 1997 dan penyuluhan penanggulangan hama dan penyakit rumput laut untuk wilayah Desa Boa terakhir kali diadakan pada tahun 1998.

Kini kaum perempuan petani rumput laut di Desa Boa juga harus berhadapan dengan produksi rumput laut yang menurun dari tahun ke tahun ditambah dengan penurunan harga produk rumput laut di pasaran. Selain itu juga ada kebutuhan baru dari para petani rumput laut ini, yakni meningkatkan keterampilan petani untuk mengolah hasil rumput laut menjadi produk olahan agar nilai jualnya menjadi lebih baik di pasaran.

Selama ini rumput laut biasanya mereka jual dalam bentuk produk kering saja, sehingga harganya masih sangat bergantung pada kemurahan hati perusahaan pengolahan rumput laut. Untuk keluar dari kemelut pendapatan dari rumput laut yang semakin menurun, perempuan petani rumput laut biasanya berjualan makanan ringan seperti pisang goreng dan kue cucur setelah selesai melaut.

Faktor-Faktor KemiskinanPetani memang selalu dikaitkan dengan kemiskinan,

kemarjinalan, keterpinggiran dan merupakan profesi yang dihindari oleh sebagian besar generasi muda saat ini Di satu sisi negara kita adalah negara dengan sumber daya alam alami yang melimpah dan masih dianggap sebagai keunggulan komparatif bagi Indonesia. Di sisi lain keunggulan ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat Indonesia untuk bersaing secara kompetitif dalam hasil-hasil sumber daya alam di pasar negeri sendiri maupun dunia. Secara sederhana jika memandang hal ini dari tingkat kehidupan para petani sebagi golongan yang terpinggirkan, miskin, tidak berpendidikan maka beberapa hal memang masih menjadi kendala seperti: akses terhadap sumber daya, kemandirian, pola pikir, kemauan. Kemiskinan sebenarnya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal dari petani rumput laut. Faktor internal yang dimaksud adalah kemauan, pola pikir dan kemandirian, sedangkan faktor eksternal adalah akses terhadap sumberdaya baik itu berupa modal, teknologi, pasar, ilmu, keterampilan dan posisi pengambilan keputusan, terutama bagi kaum perempuan.

Sebagian dari petani rumput laut memiliki pola pikir tradisional yaitu mereka berproduksi hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Walaupun ada keinginan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga akan tetapi dengan modal pendidikan dan keterampilan yang masih yang pas-pasan maka peningkatan pendapatan yang diharapkan pun hanya sekedar khayalan.

Siklus antara faktor internal dan eksternal ini akan semakin rumit akibat dari beberapa kebijakan pemerintah dewasa ini yang seolah-olah membuat mereka semakin terlena. Misalnya seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp. 100.000,- per bulan membuat mereka malas dan manja untuk berusaha lebih keras dalam mengembangkan usahanya. Program lainnya adalah

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) baik perkotaan maupun perdesaan yang cenderung membuat masyarakat terlena dan enggan melaksanakan kegiatan mandiri yag kreatif dan produktif. Masyarakat cenderung menunggu bantuan-bantuan tersebut tanpa berusaha mengisi diri sendiri dengan lebih baik, agar dapat bersaing di pasar global. Sebenarnya apa yang salah dengan model pemberdayaan masyarakat di Indonesia.

Permasalahan mendasar lainnya bagi para petani perempuan adalah posisi mereka yang lemah dalam pengambilan keputusan. Di satu sisi perempuan dominan dalam pengerjaan usahatani di lapangan tetapi mereka tidak memiliki akses untuk menentukan a r a h u s a h a t a n i n y a s e t e l a h menghasilkan. Hal ini tentu saja akan

berpengaruh pada penghasilan perempuan sebagai penopang penghasilan rumah tangga dan penentu arah pendidikan putra-putri keluarga petani tersebut. Lemahnya posisi tawar petani perempuan juga terjadi dalam hal peningkatan keterampilan mereka.

Pemberdayaan MasyarakatDitengah beragamnya definisi tentang pemberdayaan

masyarakat dan strategi-strategi pemberdayaan yang telah dipraktekkan khususnya di Indonesia, maka perlu kiranya kita merenung apakah strategi-strategi yang telah dilaksanakan apakah telah efektif atau masih memerlukan perbaikan. Jim Ife, seorang Professor Emiritus pada Centre for Human Rights Education di Curtin University Perth dalam bukunya yang berjudul Community Development: Community-based alternatives in age of globalization, mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai upaya menolong masyarakat agar dapat mengemukakan keperluan dan kepentingan mereka sehingga apa yang akan dilaksanakan berkaitan dengan kemauan dan kebutuhan tersebut sesuai dengan keinginan masyarakat setempat. Pada setiap pelaksanaan dari tujuan-tujuan tersebut masyarakat harus mampu melakukan kontrol terhadap proses pemberdayaan yang dilakukan secara mandiri.

Seperti telah kita ketahui bahwa sejak beberapa pemerintahan sebelumnya Indonesia sudah mengalihkan arah pemberdayaan dari Top Down ke arah Bottom Up. Seperti contohnya program PNPM yang mengharuskan daerah untuk membuat proposal kegiatan sesuai dengan kondisi daerah masing-masing yang kemudian di seleksi dan baru akhirnya di danai. Akan tetapi pelaksanaan proses seleksi tersebut hingga sekarang masih banyak menemui kendala walaupun telah ada beberapa yang berhasil tetapi masih dalam persentase yang rendah. Sehubungan dengan hal itu, tampaknya hal terpenting untuk diperhatikan adalah bagaimana agar masyarakat dapat melakukan kontrol dan evaluasi terhadap proses pelaksanaan pemberdayaan tersebut.

Pemberdayaan masyarakat bottom up merupakan harapan untuk melibatkan masyarakat secara aktif dalam menentukan tujuan, keinginanan dan kebutuhan mereka, kemudian membudayakan mereka untuk melakukan kontrol dan evaluasi terhadap proses pembangunan yang dilakukan.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah Fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan Kabupaten Mamasa dan dapat dihubungil melalui email pada [email protected]

22

Catatan perjalanan menuju Pantai Nemberala, Rote

tersebut karena belas kasihan dari tuan tanah yang dulunya penguasa kerajaan di daerah tersebut.

Kesibukan para petani rumput laut di Desa Boa dimulai sejak subuh, sekitar jam empat. Para perempuan berjalan dari rumah masing-masing dengan membawa dayung yang akan mereka gunakan untuk membawa sampan mereka ke laut, ke tempat dimana mereka menanam dan memelihara rumput laut. Kebanyakan dari mereka telah berkeluarga dan beberapa yang beruntung telah menamatkan pendidikan Sekolah Dasar.

Perempuan petani rumput laut di Desa Boa membudidayakan rumput laut secara turun temurun. Seperti umumnya pengusahaan pertanian di sebagian besar wilayah Indonesia, maka pengusahaan rumput laut di desa ini juga dilakukan secara subsisten. Teknologi

embangunan bertujuan memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan lebih baik. Kedengarannya mulia namun pada Pkenyataannya masih banyak terjadi ketimpangan dalam ekonomi,

sosial, budaya, dan gender. Tidak heran bila pemerataan hasil pembangunan di Indonesia masih banyak dipertanyakan karena memang belum merata dan masih banyak kenyataan yang jauh dari harapan.

Perjalanan ke Desa Boa, Pantai Nemberala, di pulau Rote, Nusa Tenggara Timur menghantarkan sebuah potret kehidupan kaum perempuan di pulau kecil, khususnya mereka yang bekerja sebagai petani rumput laut.

Pemandangan pantai Nemberala di Desa Boa, Rote memang merupakan sebuah anugerah. Pohon lontar berbaris gagah di sepanjang pantai berlatar langit biru dan jejeran pondok beratapkan daun lontar. Jejeran pondok itulah rumah-rumah para petani rumput laut Desa Boa yang telah ada di sana turun temurun dan mendiami areal

perempuan siap melaut

Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Page 24: BaKTINews Edisi 66

adalah sebuah kesalahan, karena perang melawan malaria sangat mungkin dimenangkan oleh masyarakat. Selama tahun 2008-2009 jumlah kejadian malaria di dunia menurun sebesar 10 persen, berk at usaha dari berbagai kelompok masyarakat dan institusi pendukungnya. Sudah saatnya Indonesia mengambil komitmen yang kuat untuk pemberantasan malaria.

Akibat serangan malariaAntara tahun 2003-2007, di Halmahera Selatan terjadi 268

kematian akibat malaria, dan jumlah kejadiannya mencapai angka tertinggi, 80,2 persen. Saat itu Halmahera Selatan adalah salah satu daerah dengan kasus malaria paling parah. Namun, berkat perencanaan yang matang dan pengadaan perangkat pendukung seperti laboratorium higienis dan keikutsertaan publik, masyarakat di sana memulai perang melawan malaria. Hanya dalam waktu beberapa tahun, disertai dengan kerjasama dengan lembaga seperti UNICEF, masyarakat mendirikan Malaria Center.

Malaria Center melakukan pelatihan kepada beberapa orang terpilih, yang kemudian menyebarluaskan pengetahuan yang diperolehnya ke lingkungan tempat tinggalnya. Saat ini ada 14 staf tetap di Klinik Malaria serta sekitar 500 sukarelawan yang tersebar di 252 desa. Sampai saat ini, Malaria Center terus memberikan pelatihan secara berkala kepada para sukarelawan dan masyarakat luas melalui berbagai kegiatan. Termasuk di dalamnya, penyertaan pemberantasan malaria dalam kurikulum sekolah setempat.

Hasilnya luar biasa. Tingkat penyebaran malaria di Halmahera Selatan turun dari 80,2 persen ke 40,2 persen. Tahun 2003, ada 205 kematian akibat malaria, tapi pada tahun 2009 hanya ada satu. Masyarakat menerapkan kesadaran untuk bebas dari malaria sejak tahun 2007. Kerjasama dengan semua pihak yang terkait merupakan kunci keberhasilan inisiatif ini. Sementara, hasil utamanya adalah perubahan perilaku dan pola pikir masyarakat terhadap lingkungannya.

Walaupun keberhasilan yang sudah dicapai demikian besar, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Di tahun 2010, masih ada 4.571 kejadian malaria, serta 11 kematian yang disinyalir terkait dengan malaria. Dengan kerja keras, Halmahera Selatan menargetkan akan bebas dari malaria pada tahun 2011. Salah satu langkah yang dilakukan untuk meraih target ini adalah dengan bekerja sama dengan pemerintah setempat untuk menjadikan pendidikan malaria sebagai kewajiban di sekolah dan masyarakat.

Pentingnya memberantas malariaSelain dampak nyata berupa berkurangnya kasus kejadian

malaria dan jumlah nyawa yang terhindar dari kematian, terdapat beberapa dampak positif lainnya. Dengan memberikan pendidikan dan pemahaman mengenai sanitasi dan kebersihan lingkungan, masyarakat dapat melindungi diri dari berbagai penyakit yang terkait dengan nyamuk, seperti misalnya, demam berdarah. Kemudian, masyarakat juga semakin memahami bahwa lebih tepat untuk segera membawa penderita malaria ke klinik atau rumah sakit dibanding berusaha merawat sendiri di rumah.

Malaria sebenarnya adalah salah satu penyakit yang paling murah dan mudah untuk diberantas dan ditangani. Pemberantasan malaria juga menjadi salah satu perhatian dari Target Pembangunan Milenium yang didukung oleh PBB dan Pemerintah Indonesia. Dengan demikian, terbuka peluang bagi masyarakat untuk memperoleh dukungan dari pihak-pihak tersebut untuk memberantas malaria di daerahnya. Sebagai buktinya, Malaria Center di Halmahera Selatan mendapat dukungan dari UNICEF, Global Funds, serta dukungan dari APBD Kabupaten dan dana PNPM.

The fight against Malaria is winnable. In fact, the reported rate of malaria cases worldwide decreased by 10% between 2008 and 2009, thanks to the persistent efforts of local communities in conjunction with various h e a l t h a n d e d u ca t i o n a l groups. Now Indonesians are m a k i n g a r e a l a n d independent commitment.

What Halmahera has doneBetween 2003-2007, South Halmahera suffered 268 deaths

and Annual Malaria Incidents reached a record high of 80.2% in 2005, making South Halmahera one of the worst affected Malaria areas in Indonesia. However through careful planning and establishment of appropriate resources such as an hygienic laboratory and public participation, the community began its counter-attack. In just a few years and with some cooperation with UNICEF, the community set up a Malaria Clinic, along with village malaria committees and the staff at the Malaria Clinic trained members of the local population along with representatives from neighbouring locales to recognise, prevent and combat malaria. Those who were trained subsequently passed on the knowledge to their areas. Thanks to this effort there are now 14 official staff at the clinic, with 500 volunteers in 252 villages. The Malaria Centre gives regular training programs and educates the community through various media projects, and has implemented malaria education into the curricula of local schools.

The results have been incredible. South Halmahera's efforts has now reduced the rate of malaria the dangerous 80.2% in 2005, to just 40.2%. Even more impressive was the decrease in fatalities: 205 in 2003, but in 2009 there was only one malaria death in South Halmahera.

The community has adopted a policy of free malaria treatment since 2007, contributing to the enormous progress that has been made. Paramount to their success has been the close cooperation between all relevant parties from the outset, developing the path toward habitual change.

The community in South Halmahera has made incredible progress, however there is still much work to be done. There were still 4,571 incidents of Malaria and a total of 11 deaths potentially related to malaria in 2010. With hard work and persistence, South Halmahera is aiming to be completely malaria-death free in 2011. To do this, Halmahera has decided to work with the local government to make Malaria education mandatory within the community in the coming years.

BenefitsThe health benefits in Halmahera have been phenomenal;

there have been fewer cases of malaria and related illnesses, in turn decreasing the chance of malaria spreading and saving lives.

However beyond the obvious health benefits, there have been numerous other benefits. By providing education in standards of sanitation and mosquito prevention, locals have learnt how to protect themselves from other mosquito-borne diseases, such as dengue. There has been a promotion of awareness in noticing symptoms early, as well as encouraging families to look to clinics and hospitals for assistance, rather caring for them alone.

Malaria is one of the least costly diseases to treat in the world today, before considering International assistance. As eradication of Malaria is a part of Goal #6 of the Millennium Development Goals encouraged by the United Nations and endorsed by the Indonesian Government, it is therefore within the national interest as well as local communities, to pursue small programs such as this one. As proof of this Halmahera has already received assistance from UNICEF, APBD, the Global Fund, and PNPM programs.

Oleh Donald Mackenzie

23 24

Malaria is a mosquito-spread disease that plagues the economic and social development of societies all over the world, killing hundreds of thousands of people each year and infecting millions. Indonesia faces a particularly large malaria threat, the seriousness of which is yet to be overcome, especially in its Eastern provinces. However there is a community in North Maluku which has had remarkable success in lowering malarial cases, despite facing a staggering malaria endemic just a few years ago. The people of South Halmahera have independently fought an integrated war against malaria, not simply by treating patients in clinics but by providing them with education, prevention tactics, and foresight. The community continues its outstanding work fighting this outdated disease, and sets an impressive example for the rest of Indonesia.

Malaria threatMalaria is a lethal disease spread by mosquitoes to humans

through a single bite, leaving those infected suffering from diarrhoea, fever and many other symptoms including vomiting and nausea. If left untreated it may often lead to death. Worldwide almost 250 million malaria cases occur each year, consequently causing approximately 860,000 deaths. In Indonesia more than 15 million malaria cases occur annually with more than 30,000 resulting in death.

Indonesia's geographical layout is naturally prone to mosquito breeding. Large numbers of its population live along the coastal areas where of course stagnant waters abound, attracting mosquitoes and the diseases that they carry. North Maluku is one of these coastal areas, with a land area of 140,000 square kilometres, over 76% of this is water creating perfect conditions for the mosquito.

The effects of malaria upon any community go well beyond the evident deterioration of health. The contraction of malaria has significant, and often somewhat under appreciated, effects upon the economic and social livelihood of a community. Malaria severely lowers productivity, keeping many from providing for their families,

alaria adalah penyakit yang disebarluaskan oleh nyamuk, yang menyerang jutaan dan membunuh Mribuan orang di dunia setiap tahunnya. Tidak hanya

merupakan masalah kesehatan, malaria juga mempengaruhi kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Indonesia menghadapi ancaman besar malaria, terutama di Kawasan Timur Indonesia, yang penanganannya masih belum optimal. Namun, ada sebuah komunitas di Maluku Utara yang memiliki kisah keberhasilan dalam menurunkan jumlah kejadian malaria, setelah beberapa tahun sebelumnya mengalami endemi malaria. Masyarakat di Halmahera Utara ini memerangi malaria secara terpadu, yang bisa menjadi contoh bagi pemberantasan malaria di daerah lain di Indonesia.

Ancaman MalariaInfeksi malaria akan mengakibatkan diare, demam tinggi

dan gejala-gejala lain bagi penderitanya. Apabila tidak segera ditangani, dapat membawa kematian. Di seluruh dunia, hampir 250 juta kasus malaria terjadi setiap tahunnya, dan mengakibatkan sekitar 860 ribu kematian. Di Indonesia, lebih dari 15 juta kasus terjadi setiap tahunnya dengan angka kematian lebih dari 30 ribu orang.

Secara geografis, Indonesia sangat rentan terhadap malaria. Sejumlah besar penduduknya tinggal di kawasan pesisir yang lingkungannya sangat kondusif untuk berkembang biak nyamuk pembawa virus malaria. Maluku Utara termasuk dalam wilayah ini, dengan 76 persen wilayahnya adalah perairan.

Dampak dari malaria di masyarakat lebih dari sekedar dampak kesehatan. Dampak dari malaria terhadap kondisi ekonomi dan sosial masyarakat kerap kali dilupakan. Malaria menurunkan produktivitas, menghalangi seseorang untuk mencari nafkah atau bersekolah, serta menyita waktu untuk perawatan di rumah. Waktu yang sesungguhnya bisa

FORUM KTI PRAKTIK CERDAS TERKINI

Malaria Center di Halmahera SelatanMalaria Clinic in Halmahera

dialokasikan untuk hal lain yang lebih produktif. Pada akhirnya, menurunkan kesejahteraan dan penghidupan seluruh masyarakat di wilayah tersebut.

Di beberapa negara, kerugian yang ditimbulkan oleh malaria dapat mencapai 1,3 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) setiap tahun. Padahal, pencegahan malaria jauh lebih murah dari itu. Satu cara yang paling efektif adalah penggunaan kelambu berinsektisida, yang biayanya sekitar 30 ribu rupiah per orang. Lembaga-lembaga bantuan internasional seringkali menyubsidi pengadaan kelambu ini, sehingga harganya bisa lebih murah lagi. Seperti di Halmahera Selatan, dukungan dari berbagai pihak untuk pengadaan kelambu ini membuatnya dapat diperoleh secara cuma-cuma.

Pada saat yang bersamaan, biaya untuk pengobatan malaria sebenarnya sangat terjangkau. Mengabaikannya

some requiring nursing care at home, often preventing relatives from attending work and school. The consequences can greatly limit the prosperity and economic development of an entire community

The economic repercussions can be catastrophic. Experts have estimated that in some countries, Malaria has accounted for up to a 1.3% hindrance of Gross Domestic Product each year.

However treating Malaria is not an expensive endeavour. The most cost-effective and thorough method of malarial prevention is the use of Insecticide-Treated mosquito Nets (ITNs), costing less than 2-3 Euros per person. International and National Organisations often subsidise these costs. In fact all ITNs, and malaria treatment in South Halmahera is free, thanks to various funding from local government, UNICEF, and other assisting organisations. In terms of treatment the cost of vastly increasing resistance to Malaria is affordable. To neglect it is inexcusable.

Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Page 25: BaKTINews Edisi 66

adalah sebuah kesalahan, karena perang melawan malaria sangat mungkin dimenangkan oleh masyarakat. Selama tahun 2008-2009 jumlah kejadian malaria di dunia menurun sebesar 10 persen, berk at usaha dari berbagai kelompok masyarakat dan institusi pendukungnya. Sudah saatnya Indonesia mengambil komitmen yang kuat untuk pemberantasan malaria.

Akibat serangan malariaAntara tahun 2003-2007, di Halmahera Selatan terjadi 268

kematian akibat malaria, dan jumlah kejadiannya mencapai angka tertinggi, 80,2 persen. Saat itu Halmahera Selatan adalah salah satu daerah dengan kasus malaria paling parah. Namun, berkat perencanaan yang matang dan pengadaan perangkat pendukung seperti laboratorium higienis dan keikutsertaan publik, masyarakat di sana memulai perang melawan malaria. Hanya dalam waktu beberapa tahun, disertai dengan kerjasama dengan lembaga seperti UNICEF, masyarakat mendirikan Malaria Center.

Malaria Center melakukan pelatihan kepada beberapa orang terpilih, yang kemudian menyebarluaskan pengetahuan yang diperolehnya ke lingkungan tempat tinggalnya. Saat ini ada 14 staf tetap di Klinik Malaria serta sekitar 500 sukarelawan yang tersebar di 252 desa. Sampai saat ini, Malaria Center terus memberikan pelatihan secara berkala kepada para sukarelawan dan masyarakat luas melalui berbagai kegiatan. Termasuk di dalamnya, penyertaan pemberantasan malaria dalam kurikulum sekolah setempat.

Hasilnya luar biasa. Tingkat penyebaran malaria di Halmahera Selatan turun dari 80,2 persen ke 40,2 persen. Tahun 2003, ada 205 kematian akibat malaria, tapi pada tahun 2009 hanya ada satu. Masyarakat menerapkan kesadaran untuk bebas dari malaria sejak tahun 2007. Kerjasama dengan semua pihak yang terkait merupakan kunci keberhasilan inisiatif ini. Sementara, hasil utamanya adalah perubahan perilaku dan pola pikir masyarakat terhadap lingkungannya.

Walaupun keberhasilan yang sudah dicapai demikian besar, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Di tahun 2010, masih ada 4.571 kejadian malaria, serta 11 kematian yang disinyalir terkait dengan malaria. Dengan kerja keras, Halmahera Selatan menargetkan akan bebas dari malaria pada tahun 2011. Salah satu langkah yang dilakukan untuk meraih target ini adalah dengan bekerja sama dengan pemerintah setempat untuk menjadikan pendidikan malaria sebagai kewajiban di sekolah dan masyarakat.

Pentingnya memberantas malariaSelain dampak nyata berupa berkurangnya kasus kejadian

malaria dan jumlah nyawa yang terhindar dari kematian, terdapat beberapa dampak positif lainnya. Dengan memberikan pendidikan dan pemahaman mengenai sanitasi dan kebersihan lingkungan, masyarakat dapat melindungi diri dari berbagai penyakit yang terkait dengan nyamuk, seperti misalnya, demam berdarah. Kemudian, masyarakat juga semakin memahami bahwa lebih tepat untuk segera membawa penderita malaria ke klinik atau rumah sakit dibanding berusaha merawat sendiri di rumah.

Malaria sebenarnya adalah salah satu penyakit yang paling murah dan mudah untuk diberantas dan ditangani. Pemberantasan malaria juga menjadi salah satu perhatian dari Target Pembangunan Milenium yang didukung oleh PBB dan Pemerintah Indonesia. Dengan demikian, terbuka peluang bagi masyarakat untuk memperoleh dukungan dari pihak-pihak tersebut untuk memberantas malaria di daerahnya. Sebagai buktinya, Malaria Center di Halmahera Selatan mendapat dukungan dari UNICEF, Global Funds, serta dukungan dari APBD Kabupaten dan dana PNPM.

The fight against Malaria is winnable. In fact, the reported rate of malaria cases worldwide decreased by 10% between 2008 and 2009, thanks to the persistent efforts of local communities in conjunction with various h e a l t h a n d e d u ca t i o n a l groups. Now Indonesians are m a k i n g a r e a l a n d independent commitment.

What Halmahera has doneBetween 2003-2007, South Halmahera suffered 268 deaths

and Annual Malaria Incidents reached a record high of 80.2% in 2005, making South Halmahera one of the worst affected Malaria areas in Indonesia. However through careful planning and establishment of appropriate resources such as an hygienic laboratory and public participation, the community began its counter-attack. In just a few years and with some cooperation with UNICEF, the community set up a Malaria Clinic, along with village malaria committees and the staff at the Malaria Clinic trained members of the local population along with representatives from neighbouring locales to recognise, prevent and combat malaria. Those who were trained subsequently passed on the knowledge to their areas. Thanks to this effort there are now 14 official staff at the clinic, with 500 volunteers in 252 villages. The Malaria Centre gives regular training programs and educates the community through various media projects, and has implemented malaria education into the curricula of local schools.

The results have been incredible. South Halmahera's efforts has now reduced the rate of malaria the dangerous 80.2% in 2005, to just 40.2%. Even more impressive was the decrease in fatalities: 205 in 2003, but in 2009 there was only one malaria death in South Halmahera.

The community has adopted a policy of free malaria treatment since 2007, contributing to the enormous progress that has been made. Paramount to their success has been the close cooperation between all relevant parties from the outset, developing the path toward habitual change.

The community in South Halmahera has made incredible progress, however there is still much work to be done. There were still 4,571 incidents of Malaria and a total of 11 deaths potentially related to malaria in 2010. With hard work and persistence, South Halmahera is aiming to be completely malaria-death free in 2011. To do this, Halmahera has decided to work with the local government to make Malaria education mandatory within the community in the coming years.

BenefitsThe health benefits in Halmahera have been phenomenal;

there have been fewer cases of malaria and related illnesses, in turn decreasing the chance of malaria spreading and saving lives.

However beyond the obvious health benefits, there have been numerous other benefits. By providing education in standards of sanitation and mosquito prevention, locals have learnt how to protect themselves from other mosquito-borne diseases, such as dengue. There has been a promotion of awareness in noticing symptoms early, as well as encouraging families to look to clinics and hospitals for assistance, rather caring for them alone.

Malaria is one of the least costly diseases to treat in the world today, before considering International assistance. As eradication of Malaria is a part of Goal #6 of the Millennium Development Goals encouraged by the United Nations and endorsed by the Indonesian Government, it is therefore within the national interest as well as local communities, to pursue small programs such as this one. As proof of this Halmahera has already received assistance from UNICEF, APBD, the Global Fund, and PNPM programs.

Oleh Donald Mackenzie

23 24

Malaria is a mosquito-spread disease that plagues the economic and social development of societies all over the world, killing hundreds of thousands of people each year and infecting millions. Indonesia faces a particularly large malaria threat, the seriousness of which is yet to be overcome, especially in its Eastern provinces. However there is a community in North Maluku which has had remarkable success in lowering malarial cases, despite facing a staggering malaria endemic just a few years ago. The people of South Halmahera have independently fought an integrated war against malaria, not simply by treating patients in clinics but by providing them with education, prevention tactics, and foresight. The community continues its outstanding work fighting this outdated disease, and sets an impressive example for the rest of Indonesia.

Malaria threatMalaria is a lethal disease spread by mosquitoes to humans

through a single bite, leaving those infected suffering from diarrhoea, fever and many other symptoms including vomiting and nausea. If left untreated it may often lead to death. Worldwide almost 250 million malaria cases occur each year, consequently causing approximately 860,000 deaths. In Indonesia more than 15 million malaria cases occur annually with more than 30,000 resulting in death.

Indonesia's geographical layout is naturally prone to mosquito breeding. Large numbers of its population live along the coastal areas where of course stagnant waters abound, attracting mosquitoes and the diseases that they carry. North Maluku is one of these coastal areas, with a land area of 140,000 square kilometres, over 76% of this is water creating perfect conditions for the mosquito.

The effects of malaria upon any community go well beyond the evident deterioration of health. The contraction of malaria has significant, and often somewhat under appreciated, effects upon the economic and social livelihood of a community. Malaria severely lowers productivity, keeping many from providing for their families,

alaria adalah penyakit yang disebarluaskan oleh nyamuk, yang menyerang jutaan dan membunuh Mribuan orang di dunia setiap tahunnya. Tidak hanya

merupakan masalah kesehatan, malaria juga mempengaruhi kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Indonesia menghadapi ancaman besar malaria, terutama di Kawasan Timur Indonesia, yang penanganannya masih belum optimal. Namun, ada sebuah komunitas di Maluku Utara yang memiliki kisah keberhasilan dalam menurunkan jumlah kejadian malaria, setelah beberapa tahun sebelumnya mengalami endemi malaria. Masyarakat di Halmahera Utara ini memerangi malaria secara terpadu, yang bisa menjadi contoh bagi pemberantasan malaria di daerah lain di Indonesia.

Ancaman MalariaInfeksi malaria akan mengakibatkan diare, demam tinggi

dan gejala-gejala lain bagi penderitanya. Apabila tidak segera ditangani, dapat membawa kematian. Di seluruh dunia, hampir 250 juta kasus malaria terjadi setiap tahunnya, dan mengakibatkan sekitar 860 ribu kematian. Di Indonesia, lebih dari 15 juta kasus terjadi setiap tahunnya dengan angka kematian lebih dari 30 ribu orang.

Secara geografis, Indonesia sangat rentan terhadap malaria. Sejumlah besar penduduknya tinggal di kawasan pesisir yang lingkungannya sangat kondusif untuk berkembang biak nyamuk pembawa virus malaria. Maluku Utara termasuk dalam wilayah ini, dengan 76 persen wilayahnya adalah perairan.

Dampak dari malaria di masyarakat lebih dari sekedar dampak kesehatan. Dampak dari malaria terhadap kondisi ekonomi dan sosial masyarakat kerap kali dilupakan. Malaria menurunkan produktivitas, menghalangi seseorang untuk mencari nafkah atau bersekolah, serta menyita waktu untuk perawatan di rumah. Waktu yang sesungguhnya bisa

FORUM KTI PRAKTIK CERDAS TERKINI

Malaria Center di Halmahera SelatanMalaria Clinic in Halmahera

dialokasikan untuk hal lain yang lebih produktif. Pada akhirnya, menurunkan kesejahteraan dan penghidupan seluruh masyarakat di wilayah tersebut.

Di beberapa negara, kerugian yang ditimbulkan oleh malaria dapat mencapai 1,3 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) setiap tahun. Padahal, pencegahan malaria jauh lebih murah dari itu. Satu cara yang paling efektif adalah penggunaan kelambu berinsektisida, yang biayanya sekitar 30 ribu rupiah per orang. Lembaga-lembaga bantuan internasional seringkali menyubsidi pengadaan kelambu ini, sehingga harganya bisa lebih murah lagi. Seperti di Halmahera Selatan, dukungan dari berbagai pihak untuk pengadaan kelambu ini membuatnya dapat diperoleh secara cuma-cuma.

Pada saat yang bersamaan, biaya untuk pengobatan malaria sebenarnya sangat terjangkau. Mengabaikannya

some requiring nursing care at home, often preventing relatives from attending work and school. The consequences can greatly limit the prosperity and economic development of an entire community

The economic repercussions can be catastrophic. Experts have estimated that in some countries, Malaria has accounted for up to a 1.3% hindrance of Gross Domestic Product each year.

However treating Malaria is not an expensive endeavour. The most cost-effective and thorough method of malarial prevention is the use of Insecticide-Treated mosquito Nets (ITNs), costing less than 2-3 Euros per person. International and National Organisations often subsidise these costs. In fact all ITNs, and malaria treatment in South Halmahera is free, thanks to various funding from local government, UNICEF, and other assisting organisations. In terms of treatment the cost of vastly increasing resistance to Malaria is affordable. To neglect it is inexcusable.

Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Page 26: BaKTINews Edisi 66

25 26

hanya menular melalui persamaan golongan darah, juga berpengaruh pada bentuk pencegahan yang dilakukan dengan tidak menggunakan kondom saat berhubungan seks meskipun pasangan diketahui positif HIV/AIDS asalkan tidak memiliki persamaan golongan darah maka HIV/AIDS tidak akan menular.Penggunaan narkoba suntik jarang dilakukan oleh waria. Namun mereka mengkonsumsi beberapa obat yang memiliki efek samping membuat “teller” dan menambah gairah seksual seperti Somadril, Inex, Destro dan kadang juga mengkonsumsi minuman Sprite yang dicampurkan dengan Insto/Visine yang merupakan obat iritasi mata. Konsumsi obat tersebut kadang dilakukkan waria bersama pasangan sebelum melakukan hubungan seks. Pada dasarnya penjualan obat-obat tersebut dilarang dijual bebas tanpa resep dokter. Pengawasan terhadap Apotek juga dilakukan BPOM, namun beberapa waria mengaku memperoleh obat tersebut dari teman wanita yang berprofesi sebagai PSK dan juga dengan membeli di Pasar Sentral Bulukumba yang memiliki tempat khusus menjual penjualan obat tersebut.

Untuk mempercantik tubuh, waria jarang menggunakan suntik silicon karena takut terhadap resiko yang dapat diakibatkan. Untuk mengatasi hal tersebut, waria kemudian mengkonsumsi pil KB yang pada dasaranya dikonsumsi wanita untuk menunda kehamilan. Pil KB dikonsumsi waria untuk memperbesar payudara, menghilangkan urat-urat pada tubuh terutama pada bagian tangan dan kaki. Obat tersebut dikonsumsi setiap malam sebelum tidur dua sampai tiga butir.

Terkait dengan adanya perda di Bulukumba yang mengatur tentang pemberian informasi melalui penyuluhan, pamflet, dan sebagainya. Waria mengaku pernah memperoleh informasi tersebut melalui teman dan KDS (kelompok dukungan sebaya) yang merupakan salah satu kelompok yang dibentuk untuk memberikan dukungan pada ODHA. Namun fokus KDS tidak hanya pemberian

informasi pada ODHA namun juga pada kelompok berisiko seperti waria. Keberadaan KDS dinilai efektif karena ketua KDS juga berasal dari kelompok waria sehingga memiliki hubungan emosional yang dekat dengan waria. Namun penjangkauan ini hanya sering dilakukan KDS di kota Bulukumba sehingga waria yang bekerja dan beraktivitas di desa tidak terjangkau.

Selain penyuluhan, tes HIV/AIDS juga menjadi bagian dari upaya pencegahan HIV/AIDS yang diatur dalam perda. Waria pada umumnya telah melakukan tes tersebut dengan didatangi langsung oleh petugas kesehatan. Namun waria merasa jika tes darah hanya sebagai formalitas sebuah program yang pengawasannya tidak ada, hal ini didasari karena tidak adanya konseling HIV/AIDS yang pada dasarnya merupakan langkah pencegahan yang juga perlu untuk dilakukan, karena tes HIV/AIDS hanya lebih menekankan pencegahan penularan pada mereka yang akhirnya diketahui positif, sementara mereka yang negatif seharusnya diupayakan agar melakukan perubahan perilaku dari yang berisiko menjadi tidak berisiko, terutama dalam tindakan ganti-ganti pasangan.

Dari hasil penelitian ini, disarankan agar informasi melalui penyuluhan tentang HIV/AIDS lebih ditekankan pada penularan dan resiko tindakan ganti-ganti pasangan terhadap HIV/AIDS. Penjangkauan pada waria yang dilakukan oleh KDS agar kiranya tidak hanya dilakukan di kota, tetapi juga di desa. Upaya Pencegah HIV/AIDS melalui tes darah, juga perlu disertai dengan konseling untuk merubah perilaku dari yang berisiko menjadi tidak berisiko.

IV/AIDS merupakan penyakit yang kemunculannya seperti fenomena gunung es, yaitu jumlah penderita Hyang dilaporkan adalah jauh lebih kecil daripada jumlah

sebenarnya dan telah menyebar di sebagian besar provinsi di Indonesia. Data Komisi Penanggulangan AIDS tahun 2009 menunjukkan penularan HIV paling banyak terjadi melalui hubungan seksual (60%) yang tidak sehat terutama seks antar lelaki - termasuk waria, dan penularan melalui jarum suntik (30%). Waria merupakan salah satu kelompok berisiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS karena kebiasaan mereka melakukan tindakan ganti-ganti pasangan.

Kabupaten Bulukumba termasuk satu dari 21 provinsi di Indonesia yang telah mengeluarkan Peraturan Daerah penanggulangan AIDS yang dituangkan dalam perda No 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV/AIDS. Peraturan ini mengatur penyampaian informasi, komunikasi dan edukasi pada masyarakat tentang HIV/AIDS, serta melaksanakan pemeriksaan tes HIV/AIDS terhadap kelompok rawan dan berisiko tinggi, termasuk Pekerja Seks Komersial dan Waria. Meskipun telah memiliki Perda yang mengatur tentang penanggulangan AIDS, Kabupaten Bulukumba masih merupakan tertinggi ketiga dari 23 Kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dengan 75 kasus HIV/AIDS pada bulan April 2010 (KPAD, 2010).

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai perilaku waria dalam upaya pencegahan HIV/AIDS. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang dilakukan melalui teknik wawancara mendalam. Informan dalam penelitian ini berjumlah 9 orang yang terdiri dari 6 waria, 1 ketua KDS (Kelompok Dukungan Sebaya), 1 bocah (anak), dan 1 petugas kesehatan.

Hasil penelitian menunjukkan pemahaman waria terhadap HIV/AIDS adalah penyakit menular yang diakibatkan oleh seks bebas, jarum suntik bergantian, dan disebut sebagai penyakit malam yang merupakan penyakit akibat aktifitas ngallang yang sering dilakukan waria untuk mencari pasangan sesaat dalam memenuhi kebutuhan seks mereka di malam hari. Ngallang pada

FORUM KTI JARINGAN PENELITI KTI

KesimpulanInisiatif masyarakat Halmahera Selatan ini telah membawa

mereka ke arah yang jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Mengalahkan malaria sekaligus membebaskan masyarakat dari penyakit yang menghalangi mereka untuk maju dan menjadi sejahtera selama ini. Apa yang dilakukan di Halmahera Selatan menjadi contoh nyata yang sangat mungkin dilakukan juga oleh masyarakat di daerah lain yang menghadapi permasalahan serupa.

Masyarakat Halmahera Selatan telah membuktikan bahwa melalui kerjasama dan upaya terpadu, mereka bisa meningkatkan perikehidupan mereka. Walaupun apa yang dilakukan masih bisa lebih baik lagi, tapi masyarakat sudah merasa lebih bahagia, lebih sehat serta lebih sejahtera dibanding beberapa tahun sebelumnya. Kemitraan dengan pemerintah daerah di tahun-tahun ke depan akan semakin menjamin keberlanjutan perang mereka melawan malaria.

The most positive and successful outcomes of this program have been the development and level of cooperation within each local community and between communities in the region.

ConclusionThe community in Halmahera has set itself on a rewarding

path, eradicating malaria and freeing itself from the disease that had stunted the community's growth. Setting the example for small communities such as themselves who are faced with similar health issues, Halmahera has proven that through cooperation and a unified effort, they can improve their standards of living. Although the project is still doing hard work, the community is happier, healthier, and more prosperous than ever. By involving the local government over the next few years in the process of eliminating the disease, this community in Halmahera has assured the continuation of progress for their anti-malaria campaign.

INFORMASI LEBIH LANJUT

Untuk informasi lebih lanjut mengenai Praktik Cerdas dari KTI,hubungi Desta Pratama melalui [email protected]

FOR MORE INFORMATION

Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Memahami Perilaku Waria dalam Mencegah HIV/AIDS

waria Bulukumba berbeda dengan waria di kota lainnya. Sebab jika pada umumnya waria yang mendapatkan bayaran sebagai pekerja seks, maka hal sebaliknya terjadi di Bulukumba justru warialah yang membayar laki-laki untuk melayani kebutuhan seks mereka. Ngallang dilakukan dengan mencari pasangan tidak tetap yang biasa disebut dengan istilah bocah yaitu remaja usia sekolah (pada umumnya anak SMA), nasi bungkus yaitu laki-laki yang lebih dewasa dari bocah, serta pete-pete yang merupakan pasangan tidak tetap yang berasal dari luar daerah Bulukumba. Keberadaan bocah sebagai pasangan tidak tetap dilakukan untuk memenuhi kebutuhan financial mereka seperti baju, perlengkapan motor, dll.

Selain pasangan tidak tetap, waria juga memiliki pasangan tetap yaitu mereka yang dianggap sebagai suami dan kadang disebut dengan istilah lekong. Status pasangan tersebut juga berdampak pada perilaku pencegahan yang dilakukan dalam hal penggunaann kondom. Beberapa waria yang mengaku memiliki pasangan tetap bahkan telah menjalin hubungan ± 3 tahun, tidak menggunakan kondom karena menganggap pasangan tetapnya bersih dari HIV/AIDS. Pada pasangan tidak tetap seperi bocah,pete-pete, dan nasi bungkus penggunaan kondom dipengaruhi oleh penampilan fisik pasangan tersebut. Hal yang berbeda diungkapkan bocah, penggunaan kondom menurutnya dipengaruhi oleh kemauan waria sebab merekalah yang memberi bayaran. Namun pada umumnya mereka tidak menggunakan kondom sebab waria menolak dan merasa tidak nyaman. Selain kondom waria juga memiliki alternatife lain yaitu tisu basah yang diyakini memiliki manfaat yang sama dengan kondom dalam menghindari penularan penyakit termasuk HIV/AIDS.

Perilaku pencegahan juga dilakukan waria dengan hanya melakukan oral seks (tidak melakukan anal seks) serta tidak bergaul pada mereka yang positif HIV/AIDS, sebab diyakini HIV/AIDS dapat menular melalui cairan dalam tubuh seperti darah, air mani, keringat, ludah udara (nafas), serta melalui persamaan golongan darah. Adanya pemahaman jika HIV/AIDS

ulitnya mendapatkan darah dalam jumlah banyak membuat hidup bertambah sulit bagi ODHA (Orang Sdengan HIV/AIDS). Belum lagi dihadapkan dengan masalah

ekonomi dan tantangan untuk hidup lainnya. Ternyata tidak sedikit dari mereka yang belum memiliki JAMKESMAS ataupun JAMKESDA sehingga untuk mendapatkan darah, mesti mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Kesadaran akan pentingnya menunjukkan kepedulian pada mereka sebagai bentuk dukungan merupakan latar belakang dibentuknya kegiatan bertajuk Setetes Darah untuk ODHA. Kegiatan ini bertujuan memberikan kemudahan akses kesehatan bagi ODHA dalam memperoleh donor darah, sehingga ODHA tetap bisa mendapatkan hak-haknya sebagaimana masyarakat yang lain. Apalagi kebutuhan darah yang mereka perlukan tidak sedikit, banyak ODHA yang hanya bisa pasrah karena ketersediaan darah mereka tidak mencukupi.

Kegiatan setetes darah dilakukan atas kerjasama Yayasan Kra-AIDS, Makassar Harm Reduction Community (MHaRC) dan PMI Kota Makassar. Kegiatan ini mengikutsertakan lembaga kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa FKM UNHAS dengan tujuan untuk menarik kaum muda agar menaruh perhatian pada masalah HIV dan AIDS khususnya ODHA. Tidak hanya keterlibatan lembaga mahasiswa sebagai pelaksana kegiatan, namun juga partisipasi dan keikutsertaan yang besar dari mereka sangat diperlukan karena dilakukan di lingkungan kampus FKM

UNHAS. Peserta donor darah yang berhasil di peroleh dari pukul 09.00 wita - 16.30 wita berjumlah 87 orang. Meskipun para peserta memiliki kemauan yang besar untuk ikut mendonorkan darah, namun hanya 55 peserta yang dinyatakan dapat mendonor dan memenuhi syarat kesehatan. Kegiatan donor ini juga diisi dengan penampilan seni dan talkshow bertajuk “Mengapa setetes darah untuk ODHA itu penting?” yang dibawakan oleh Kra-AIDS dan LSM MHaRC.

Tujuan utama dari kegiatan ini adalah memberikan kemudahan bagi ODHA untuk memperoleh darah khususnya bagi mereka yang tidak mampu dari aspek ekonomi. Untuk dapat mengakses darah di PMI, maka ODHA dapat langsung ke PMI dengan membawa rekomendasi dari yayasan Kra-AIDS atau MHaRC untuk dapat memperoleh darah dengan gratis.

Kegiatan Setetes Darah bagi ODHA dibuka oleh Wakil Dekan III FKM UNHAS yang juga dihadiri oleh KPAD Makassar. Kegiatan ini diharapkan dapat berkelanjutan dan rutin dilakukan karena setetes darah untuk ODHA merupakan kegiatan yang baru dilakukan dan pada pertama kegiatan ini cukup mendapat perhatian yang besar dari masyarakat. Kegiatan ini tentunya tidak menjadi kegiatan yang pertama dan terakhir, olehnya itu partisipasi dari berbagai pihak akan selalu dinantikan dan tentunya Kra-AIDS dan LSM MHaRC akan membuka pintu bagi siapa saja yang menaruh perhatian pada kegiatan ini untuk dilakukan berkelanjutan.

Oleh Eka Sari Ridwan

Setetes Darah Penyambung Kehidupan

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis bekerja untuk Makassar Harm Reduction Community (MHaRC) dan dapat dihubungi melalui email pada:[email protected]

Oleh Eka Sari Ridwan

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah staf pengajar pada Jurusan Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM UNHAS, Makassar dan dapat dihubungi melalui email pada alamat [email protected]

Page 27: BaKTINews Edisi 66

25 26

hanya menular melalui persamaan golongan darah, juga berpengaruh pada bentuk pencegahan yang dilakukan dengan tidak menggunakan kondom saat berhubungan seks meskipun pasangan diketahui positif HIV/AIDS asalkan tidak memiliki persamaan golongan darah maka HIV/AIDS tidak akan menular.Penggunaan narkoba suntik jarang dilakukan oleh waria. Namun mereka mengkonsumsi beberapa obat yang memiliki efek samping membuat “teller” dan menambah gairah seksual seperti Somadril, Inex, Destro dan kadang juga mengkonsumsi minuman Sprite yang dicampurkan dengan Insto/Visine yang merupakan obat iritasi mata. Konsumsi obat tersebut kadang dilakukkan waria bersama pasangan sebelum melakukan hubungan seks. Pada dasarnya penjualan obat-obat tersebut dilarang dijual bebas tanpa resep dokter. Pengawasan terhadap Apotek juga dilakukan BPOM, namun beberapa waria mengaku memperoleh obat tersebut dari teman wanita yang berprofesi sebagai PSK dan juga dengan membeli di Pasar Sentral Bulukumba yang memiliki tempat khusus menjual penjualan obat tersebut.

Untuk mempercantik tubuh, waria jarang menggunakan suntik silicon karena takut terhadap resiko yang dapat diakibatkan. Untuk mengatasi hal tersebut, waria kemudian mengkonsumsi pil KB yang pada dasaranya dikonsumsi wanita untuk menunda kehamilan. Pil KB dikonsumsi waria untuk memperbesar payudara, menghilangkan urat-urat pada tubuh terutama pada bagian tangan dan kaki. Obat tersebut dikonsumsi setiap malam sebelum tidur dua sampai tiga butir.

Terkait dengan adanya perda di Bulukumba yang mengatur tentang pemberian informasi melalui penyuluhan, pamflet, dan sebagainya. Waria mengaku pernah memperoleh informasi tersebut melalui teman dan KDS (kelompok dukungan sebaya) yang merupakan salah satu kelompok yang dibentuk untuk memberikan dukungan pada ODHA. Namun fokus KDS tidak hanya pemberian

informasi pada ODHA namun juga pada kelompok berisiko seperti waria. Keberadaan KDS dinilai efektif karena ketua KDS juga berasal dari kelompok waria sehingga memiliki hubungan emosional yang dekat dengan waria. Namun penjangkauan ini hanya sering dilakukan KDS di kota Bulukumba sehingga waria yang bekerja dan beraktivitas di desa tidak terjangkau.

Selain penyuluhan, tes HIV/AIDS juga menjadi bagian dari upaya pencegahan HIV/AIDS yang diatur dalam perda. Waria pada umumnya telah melakukan tes tersebut dengan didatangi langsung oleh petugas kesehatan. Namun waria merasa jika tes darah hanya sebagai formalitas sebuah program yang pengawasannya tidak ada, hal ini didasari karena tidak adanya konseling HIV/AIDS yang pada dasarnya merupakan langkah pencegahan yang juga perlu untuk dilakukan, karena tes HIV/AIDS hanya lebih menekankan pencegahan penularan pada mereka yang akhirnya diketahui positif, sementara mereka yang negatif seharusnya diupayakan agar melakukan perubahan perilaku dari yang berisiko menjadi tidak berisiko, terutama dalam tindakan ganti-ganti pasangan.

Dari hasil penelitian ini, disarankan agar informasi melalui penyuluhan tentang HIV/AIDS lebih ditekankan pada penularan dan resiko tindakan ganti-ganti pasangan terhadap HIV/AIDS. Penjangkauan pada waria yang dilakukan oleh KDS agar kiranya tidak hanya dilakukan di kota, tetapi juga di desa. Upaya Pencegah HIV/AIDS melalui tes darah, juga perlu disertai dengan konseling untuk merubah perilaku dari yang berisiko menjadi tidak berisiko.

IV/AIDS merupakan penyakit yang kemunculannya seperti fenomena gunung es, yaitu jumlah penderita Hyang dilaporkan adalah jauh lebih kecil daripada jumlah

sebenarnya dan telah menyebar di sebagian besar provinsi di Indonesia. Data Komisi Penanggulangan AIDS tahun 2009 menunjukkan penularan HIV paling banyak terjadi melalui hubungan seksual (60%) yang tidak sehat terutama seks antar lelaki - termasuk waria, dan penularan melalui jarum suntik (30%). Waria merupakan salah satu kelompok berisiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS karena kebiasaan mereka melakukan tindakan ganti-ganti pasangan.

Kabupaten Bulukumba termasuk satu dari 21 provinsi di Indonesia yang telah mengeluarkan Peraturan Daerah penanggulangan AIDS yang dituangkan dalam perda No 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV/AIDS. Peraturan ini mengatur penyampaian informasi, komunikasi dan edukasi pada masyarakat tentang HIV/AIDS, serta melaksanakan pemeriksaan tes HIV/AIDS terhadap kelompok rawan dan berisiko tinggi, termasuk Pekerja Seks Komersial dan Waria. Meskipun telah memiliki Perda yang mengatur tentang penanggulangan AIDS, Kabupaten Bulukumba masih merupakan tertinggi ketiga dari 23 Kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dengan 75 kasus HIV/AIDS pada bulan April 2010 (KPAD, 2010).

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai perilaku waria dalam upaya pencegahan HIV/AIDS. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang dilakukan melalui teknik wawancara mendalam. Informan dalam penelitian ini berjumlah 9 orang yang terdiri dari 6 waria, 1 ketua KDS (Kelompok Dukungan Sebaya), 1 bocah (anak), dan 1 petugas kesehatan.

Hasil penelitian menunjukkan pemahaman waria terhadap HIV/AIDS adalah penyakit menular yang diakibatkan oleh seks bebas, jarum suntik bergantian, dan disebut sebagai penyakit malam yang merupakan penyakit akibat aktifitas ngallang yang sering dilakukan waria untuk mencari pasangan sesaat dalam memenuhi kebutuhan seks mereka di malam hari. Ngallang pada

FORUM KTI JARINGAN PENELITI KTI

KesimpulanInisiatif masyarakat Halmahera Selatan ini telah membawa

mereka ke arah yang jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Mengalahkan malaria sekaligus membebaskan masyarakat dari penyakit yang menghalangi mereka untuk maju dan menjadi sejahtera selama ini. Apa yang dilakukan di Halmahera Selatan menjadi contoh nyata yang sangat mungkin dilakukan juga oleh masyarakat di daerah lain yang menghadapi permasalahan serupa.

Masyarakat Halmahera Selatan telah membuktikan bahwa melalui kerjasama dan upaya terpadu, mereka bisa meningkatkan perikehidupan mereka. Walaupun apa yang dilakukan masih bisa lebih baik lagi, tapi masyarakat sudah merasa lebih bahagia, lebih sehat serta lebih sejahtera dibanding beberapa tahun sebelumnya. Kemitraan dengan pemerintah daerah di tahun-tahun ke depan akan semakin menjamin keberlanjutan perang mereka melawan malaria.

The most positive and successful outcomes of this program have been the development and level of cooperation within each local community and between communities in the region.

ConclusionThe community in Halmahera has set itself on a rewarding

path, eradicating malaria and freeing itself from the disease that had stunted the community's growth. Setting the example for small communities such as themselves who are faced with similar health issues, Halmahera has proven that through cooperation and a unified effort, they can improve their standards of living. Although the project is still doing hard work, the community is happier, healthier, and more prosperous than ever. By involving the local government over the next few years in the process of eliminating the disease, this community in Halmahera has assured the continuation of progress for their anti-malaria campaign.

INFORMASI LEBIH LANJUT

Untuk informasi lebih lanjut mengenai Praktik Cerdas dari KTI,hubungi Desta Pratama melalui [email protected]

FOR MORE INFORMATION

Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

Memahami Perilaku Waria dalam Mencegah HIV/AIDS

waria Bulukumba berbeda dengan waria di kota lainnya. Sebab jika pada umumnya waria yang mendapatkan bayaran sebagai pekerja seks, maka hal sebaliknya terjadi di Bulukumba justru warialah yang membayar laki-laki untuk melayani kebutuhan seks mereka. Ngallang dilakukan dengan mencari pasangan tidak tetap yang biasa disebut dengan istilah bocah yaitu remaja usia sekolah (pada umumnya anak SMA), nasi bungkus yaitu laki-laki yang lebih dewasa dari bocah, serta pete-pete yang merupakan pasangan tidak tetap yang berasal dari luar daerah Bulukumba. Keberadaan bocah sebagai pasangan tidak tetap dilakukan untuk memenuhi kebutuhan financial mereka seperti baju, perlengkapan motor, dll.

Selain pasangan tidak tetap, waria juga memiliki pasangan tetap yaitu mereka yang dianggap sebagai suami dan kadang disebut dengan istilah lekong. Status pasangan tersebut juga berdampak pada perilaku pencegahan yang dilakukan dalam hal penggunaann kondom. Beberapa waria yang mengaku memiliki pasangan tetap bahkan telah menjalin hubungan ± 3 tahun, tidak menggunakan kondom karena menganggap pasangan tetapnya bersih dari HIV/AIDS. Pada pasangan tidak tetap seperi bocah,pete-pete, dan nasi bungkus penggunaan kondom dipengaruhi oleh penampilan fisik pasangan tersebut. Hal yang berbeda diungkapkan bocah, penggunaan kondom menurutnya dipengaruhi oleh kemauan waria sebab merekalah yang memberi bayaran. Namun pada umumnya mereka tidak menggunakan kondom sebab waria menolak dan merasa tidak nyaman. Selain kondom waria juga memiliki alternatife lain yaitu tisu basah yang diyakini memiliki manfaat yang sama dengan kondom dalam menghindari penularan penyakit termasuk HIV/AIDS.

Perilaku pencegahan juga dilakukan waria dengan hanya melakukan oral seks (tidak melakukan anal seks) serta tidak bergaul pada mereka yang positif HIV/AIDS, sebab diyakini HIV/AIDS dapat menular melalui cairan dalam tubuh seperti darah, air mani, keringat, ludah udara (nafas), serta melalui persamaan golongan darah. Adanya pemahaman jika HIV/AIDS

ulitnya mendapatkan darah dalam jumlah banyak membuat hidup bertambah sulit bagi ODHA (Orang Sdengan HIV/AIDS). Belum lagi dihadapkan dengan masalah

ekonomi dan tantangan untuk hidup lainnya. Ternyata tidak sedikit dari mereka yang belum memiliki JAMKESMAS ataupun JAMKESDA sehingga untuk mendapatkan darah, mesti mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Kesadaran akan pentingnya menunjukkan kepedulian pada mereka sebagai bentuk dukungan merupakan latar belakang dibentuknya kegiatan bertajuk Setetes Darah untuk ODHA. Kegiatan ini bertujuan memberikan kemudahan akses kesehatan bagi ODHA dalam memperoleh donor darah, sehingga ODHA tetap bisa mendapatkan hak-haknya sebagaimana masyarakat yang lain. Apalagi kebutuhan darah yang mereka perlukan tidak sedikit, banyak ODHA yang hanya bisa pasrah karena ketersediaan darah mereka tidak mencukupi.

Kegiatan setetes darah dilakukan atas kerjasama Yayasan Kra-AIDS, Makassar Harm Reduction Community (MHaRC) dan PMI Kota Makassar. Kegiatan ini mengikutsertakan lembaga kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa FKM UNHAS dengan tujuan untuk menarik kaum muda agar menaruh perhatian pada masalah HIV dan AIDS khususnya ODHA. Tidak hanya keterlibatan lembaga mahasiswa sebagai pelaksana kegiatan, namun juga partisipasi dan keikutsertaan yang besar dari mereka sangat diperlukan karena dilakukan di lingkungan kampus FKM

UNHAS. Peserta donor darah yang berhasil di peroleh dari pukul 09.00 wita - 16.30 wita berjumlah 87 orang. Meskipun para peserta memiliki kemauan yang besar untuk ikut mendonorkan darah, namun hanya 55 peserta yang dinyatakan dapat mendonor dan memenuhi syarat kesehatan. Kegiatan donor ini juga diisi dengan penampilan seni dan talkshow bertajuk “Mengapa setetes darah untuk ODHA itu penting?” yang dibawakan oleh Kra-AIDS dan LSM MHaRC.

Tujuan utama dari kegiatan ini adalah memberikan kemudahan bagi ODHA untuk memperoleh darah khususnya bagi mereka yang tidak mampu dari aspek ekonomi. Untuk dapat mengakses darah di PMI, maka ODHA dapat langsung ke PMI dengan membawa rekomendasi dari yayasan Kra-AIDS atau MHaRC untuk dapat memperoleh darah dengan gratis.

Kegiatan Setetes Darah bagi ODHA dibuka oleh Wakil Dekan III FKM UNHAS yang juga dihadiri oleh KPAD Makassar. Kegiatan ini diharapkan dapat berkelanjutan dan rutin dilakukan karena setetes darah untuk ODHA merupakan kegiatan yang baru dilakukan dan pada pertama kegiatan ini cukup mendapat perhatian yang besar dari masyarakat. Kegiatan ini tentunya tidak menjadi kegiatan yang pertama dan terakhir, olehnya itu partisipasi dari berbagai pihak akan selalu dinantikan dan tentunya Kra-AIDS dan LSM MHaRC akan membuka pintu bagi siapa saja yang menaruh perhatian pada kegiatan ini untuk dilakukan berkelanjutan.

Oleh Eka Sari Ridwan

Setetes Darah Penyambung Kehidupan

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis bekerja untuk Makassar Harm Reduction Community (MHaRC) dan dapat dihubungi melalui email pada:[email protected]

Oleh Eka Sari Ridwan

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah staf pengajar pada Jurusan Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM UNHAS, Makassar dan dapat dihubungi melalui email pada alamat [email protected]

Page 28: BaKTINews Edisi 66

18,982 Visits.

16,972 Absolute Unique Visitors.

Statistik Batukar.info Februari 2011

31,987 Pageviews.

1.69 Average Pageviews.

iapa yang tidak tahu dengan Komunitas Online terbesar di SIndonesia yaitu Kaskus Community

Online. Disana user bisa bertukar informasi, berdiskusi dan bertukar pikiran tentang tema atau topik tertentu tanpa melihat jarak dan waktu yang memisahkan mereka.

B a t u k a r . i n f o s e b a g a i b u r s a pengetahuan online pertama di KTI memiliki fitur grup atau jaringan dimana para pelaku pembangunan dapat bertukar ide serta pikiran dan dapat berdiskusi dengan anggota lainnya k h u s u s n y a m e n g e n a i i s u - i s u pembangunan di KTI. Saat ini sudah ada beberapa grup/jaringan diskusi yang aktif di Batukar.info. Anda bisa melihat ke:

http://www.batukar.info/referensi/survey-rumah-tangga-tentang-perilaku-kesehatan-ibu-dan-anak-serta-pola-pencarian-pengobata

Pencarian Pengobatan di Tingkat Laporan survey yang dilaksanakan dengan dukungan Proyek SISKES (dukungan GTZ - sekarang GIZ) pada tahun 2007 di Provinsi NTB dan NTT. Survey tentang perilaku masyarakat terkait KIA serta pencarian pertolongn kesehatan di kedua provinsi. Ada lampiran data lengkap yang menyertai laporan ini tetapi karena ukurannya terlalu besar, tidak dapat diunggah di situs ini. Kalau anda berminat, silahkan hubungi: maddi(dot)djara(at)giz(dot)de

Uji Petik kerjasama di Sektor Kesehatan di Provinsi Nusa Tenggara Barat & Nusa Tenggara Timur, Indonesia

Pengembangan kapasitas berkelanjutan dan kerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk mengaitkan semua tingkatan merupakan salah satu prinsip kerjasama teknis. Kebijakan dan Pedoman dari Pusat serta prioritas daerah dan harmonisasi antar pemangku kepentingan merupakan dasar dari kerjasama ini.Salah satu kemungkinan kerjasama di lapangan adalah kerjasama dengan lembaga profesi dan LSM lokal serta pihak lain. Penggunaan mekanisme subsidi lokal (saat memungkinkan) untuk membantu mitra dari pihak pemerintah dalam implementasi merupakan cara yang ditempuh agar ada kepemilikan yang lebih baik.

http://www.batukar.info/referensi/uji-petik-kerjasama-di-sektor-kesehatan-di-provinsi-nusa-tenggara-barat-nusa-tenggara-timu

Forum Kepala BAPPEDA ke-6: Mendorong Peran dan Fungsi Daerah dalam Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI), dalam satu dekade terakhir menunjukkan kecenderungan positif dan indikator-indikator makro ekonomi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di kawasan ini mengalami percepatan. Sayangnya, masih banyak tantangan pembangunan yang harus menjadi perhatian. Jumlah penduduk miskin di KTI masih berada di angka rata-rata 25%. Kementerian PDT telah menetapkan 199 Kabupaten di Indonesia sebagai Daerah Tertinggal dan 62% daerah tertinggal ini berada di KTI. Daerah-daerah di KTI juga masih minim dalam hal infrastruktur. Sebut saja Papua dan Nusa Tenggara yang masih minim akses terhadap pelayanan kesehatan dasar; Maluku dengan akses dan infrastruktur transportasi laut yang masih kurang; serta Sulawesi yang infrastruktur pendukung kerja sama regionalnya juga masih kurang.

http://www.batukar.info/content/forum-kepala-bappeda-ke-6-mendorong-peran-dan-fungsi-daerah-dalam-percepatan-dan-perluasan-p

Memilah KapitalismeLebih dari dua abad sejak terbitnya buku Kekayaan Negara Bangsa karya Adam Smith dan berbarengan dengan runtuhnya Tembok Berlin pada 1989, sistem ekonomi kapitalisme berhasil menggusur semua pesaingnya. Karena nyaris tanpa pilihan, kita boleh bertanya, apakah sistem ini cocok untuk menyelesaikan berbagai masalah nasional dan global? Banyak pengamat yang ragu, mereka mensinyalir bahwa setelah mengalahkan semua lawannya, kapitalisme bakal berpuas-puas dengan dirinya sendiri. Sikap diri yang menurut Rudolf Hickel (2000) akibat tiadanya “tangan pengatur keadilan dalam kapitalisme”.

Memilah KapitalismeRobert Heilbroner, seorang sosialis Jerman, melihat peran oposisi sosialistis di masa depan tidak lagi dalam mengupayakan rancangan perlawanan baru atas kapitalisme, tetapi mengupayakan agar sistem yang “unggul” ini berwajah lebih manusiawi. Satu-satunya “kesempatan perbaikan” yang masih terbuka, menurut Michael Albert, adalah terus mencoba dengan sistem kapitalisme dan berbagai cabangnya seperti individual capitalism negaranegara Anglosaxon (AS dan Inggris) yang saat i n i d i k e n a l d e n g a n j u l u k a n n e o l i b e ra l d a n s o c i a l capitalismnegara-negara Eropa daratan.

http://www.batukar.info/komunitas/blogs/media-online-jendela-baru-ke-pengetahuan

Dan bisa bergabung dengan salah satu jaringan di bawah ini:

http://www.batukar.info/komunitas/jaringan

Pengelolaan Keuangan Publikhttp://www.batukar.info/komunitas/groups/pfm-pengelolaan-keuangan-publik

JiKTI (Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia)

Pedoman Penyusunan RENJA dan Pelaksanaan MONEV Terpadu Bidang KesehatanPedoman yang disusun oleh Dinas Kesehatan Provinsi NTB dan NTT dengan dukungan GTZ berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku untuk implementasi Perencanaan dan Penganggaran serta Monev Terbadu Bidang Kesehatan. Ide penyusunan Buku Pedoman ini dimaksudkan untuk menata kembali mekanisme perencanaan pembangunan kesehatan mulai dari tingkat Puskesmas sampai dengan tingkat provinsi yang sebenarnya telah diatur sebelumnya dalam berbagai pedoman yang ada. Buku Pedoman ini dirasakan masih belum sempurna, namun setidak-tidaknya ada niat yang baik dan tulus dalam upaya membantu dan memperbaiki proses perencanaan program pembangunan kesehatan terpadu khususnya di Provinsi NTB.

http://www.batukar.info/referensi/uji-petik-kerjasama-di-sektor-kesehatan-di-provinsi-nusa-tenggara-barat-nusa-tenggara-timu

Haaaa...??? Pemda Bangkrut?Hari ini di Kompas halaman pertama, termuat berita "Bangkut Akibat Birokrasi Gemuk". Menarik untuk disimak, sebab Aceh dapat merupakan contoh kasus banyak pemerintah daerah di Indonesia Timur. Tiga hal yang disebutkan dalam artikel ini bukanlah sesuatu yang 'asing' di Kawasan Timur Indonesia. Selamat membaca.Banda Aceh, Kompas-Kebangkrutan anggaran di sejumlah kabupaten dan kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disebabkan tiga hal, yaitu terlalu gemuknya birokrasi, mismanajemen, dan tekanan politik lokal. Pada saat yang sama, daerah-daerah gagal meningkatkan pendapatan asli daerah untuk menutup kebutuhan anggarannya. Tak mengherankan, banyak daerah yang berutang kepada pihak ketiga karena keuangan mereka bangkrut.Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Said Muhammad, Kamis (24/3), mengatakan, umumnya kegiatan penganggaran, dari tahap perencanaan, penyusunan, hingga pelaksanaan, tidak efisien di daerah-daerah. Program kegiatan yang diagendakan terlalu banyak dan tidak disesuaikan dengan besar dana yang ada. ”Ini menunjukkan adanya mismanajemen. Perencanaan pembangunan yang ada tak jelas mau bagaimana. Semestinya ada penyesuaian antara program dan anggaran. Ini juga menunjukkan lemahnya kontrol,” ujar Said.

http://www.batukar.info/komunitas/articles/memilah-kapitalisme

http://www.batukar.info/komunitas/groups/jaringan-peneliti-kti-jikti

http://www.batukar.info/komunitas/jaringan

Bank Dunia Bantu Pemkot Makassar

Bantaeng Klaim Sukses Tekan Buta Aksara

Ekspor Ikan ke Jepang Anjlok

70 Persen Limbah Rumah Tangga Belum Dikelola

181 Usul Pemekaran Daerah Masuk ke Mendagri

Danamon Cari Guru Teladan

Gorontalo Ditetapkan Berstatus Endemis

Bosowasipilu Bisa Jadi Lumbung Pangan

Hapus Jejak Konflik, HilangkanTrauma

Kebun Rusak, Warga Kekurangan Pangan

Tasman, Penjaga Pegunungan Nipa-nipa

batukar.info UPDATE

iki Progress adalah media online yang digunakan untuk berbagi informasi sebagai salah satu untuk mengevaluasi perkembangan Wdari suatu proses yang terjadi di masyarakat. Media online ini

adalah tempat untuk mencari aneka informasi dan khususnya data statistik yang memfasilitasi berbagai macam ide, inisiatif dan pengetahuan tentang bagaimana mengukur kegiatan pengembangan masyarakat (Community Development). Progress dalam hal ini berarti sesuatu yang terukur untuk menunjukan kemajuan atau perkembangan dari proses yang terjadi di masyarakat kita. Isu yang diangkat bisa saja tentang pendidikan, gender, kesehatan dan lainnya. Media ini terbuka untuk semua orang dan komunitas, baik itu peneliti, mahasiswa, NGO, LSM, pemerintah, kerjasama multirateral dan lainnya, siapa pun yang tertarik untuk melihat ‘progress’ dari perkembangan masyarakat tersebut.

Layaknya Wikipedia, Wiki Progress juga menyediakan ruang untuk siapa pun yang ingin menambahkan data dan informasi di sana. Semakin banyak informasi, semakin kaya peluang untuk bertukar informasi. Yang menarik di website ini, para praktisi dan pakar dapat bertemu dan berbagi pengalaman masing-masing. Pemangku kepentingan yang ingin sekali mendapatkan banyak informasi mengenai proyek pengembangan masyarakat dapat memperoleh banyak informasi dan mendapatkan bantuan untuk memulai kegiatannya.

Yang menarik juga, selain bertukar informasi, setiap anggota dapat mempromosikan kegiatan yang telah mereka lakukan, mendapatkan respon dan masukan dari pihak lain mengenai kegiatan mereka, dan membuat jaringan baru dengan pemangku kepentingan lain. Tersedia juga fitur interaksi melalui diskusi ’real time’ yang artinya bisa berbincang, bertanya dan berdebat mengenai satu isu khusus dalam pembangunan. Bagi yang belum kenal dengan kode-kode html dan bagaimana cara memasukan data, disediakan juga panduan untuk dapat ikut serta dalam fitur-fitur interaktif yang dimiliki oleh website ini.

ampir sama dengan Wiki Progress di Wiki Gender juga tersedia fitur yang sama dengan Wikipedia, dimana setiap pengguna yang sudah Hmenjadi anggota, dapat memasukan data dan informasi yang

berhubungan dengan kegiatan pengembangan masyarakat yang berhubungan dengan gender.

Jika Anda ingin mengetahui lebih banyak tentang pengarusutamaan gender, Anda dapat menggunakan fitur pencarian di website ini. Begitu pula jika Anda ingin tahu data dan informasi statistik mengenai gender di Indonesia atau negara lainnya.Anda tinggal klik fitur ‘countries’ yang terletak dibagian atas sebalah kiri dari menu.

Tersedia juga fitur portal untuk komunitas, dimana anggota situs ini bisa ikut terlibatn didalamnya, mulai dari diskusi, debat atau sekedar berbagi isu yang sedang terjadi di negara masing-masing dan mencoba memecahkan isu tersebut bersama-sama.

Wiki Gender juga menyediakan statistik untuk berbagai aspek yang berhubungan dengan gender dari berbagai negara. Anda dapat mencari dengan memilih satu topik atau beberapa topik sekaligus dan menganalisanya melalu data tabulasi silang. Jika Anda senang menulis Wiki Gender juga menyediakan ruang bagi semua anggota, dengan terhubung di tab ‘Contribution’. Tulisan Anda akan menjadi informasi berharga bagi pengguna lain. Selamat mencoba!

http://www.wikigender.org/index.php/New_Home

http://wikiprogress.org/index.php/Main_Page

Wiki Progress

Wiki Gender

he University of Glasgow has a long-established reputation as a major Tresearch-led institution that is

recognised internationally for its groundbreaking work. We currently offer a wide range of research opportunities allowing you to undertake in-depth study in a specific area.

Faculty Postgraduate Research Scholarships. For further information please see the Faculty Graduate School websites.* Arts & Humanities* Biomedical & Life Sciences* Education* Engineering* Information & Mathematical Sciences* Law, Business & Social Sciences* Medicine* Physical Sciences* Veterinary Medicine

Awarded on the basis of academic merit and you should have, or expect to achieve a First Class Honours degree or equivalent.

Prior to applying for a Scholarship you are expected to have completed an on-line application (http://www.gla.ac.uk/postgraduate/howtoapplyforaresearchdegree/).

varies by Faculty

Contact us

Student ServicesThe Fraser Building65 Hillhead StreetUniversity of GlasgowGlasgow G12 8QQTel: +44 (0) 141 330 6680Fax: +44 (0) 141 330 4045E-mail: [email protected]

Description

Eligibility

How to apply

Deadline

International Office

Postgraduate Scholarships atUniversity of Glasgow, UK

PELUANG OPPORTUNITY WEBSITE BULAN INI

Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 6627 28

Page 29: BaKTINews Edisi 66

18,982 Visits.

16,972 Absolute Unique Visitors.

Statistik Batukar.info Februari 2011

31,987 Pageviews.

1.69 Average Pageviews.

iapa yang tidak tahu dengan Komunitas Online terbesar di SIndonesia yaitu Kaskus Community

Online. Disana user bisa bertukar informasi, berdiskusi dan bertukar pikiran tentang tema atau topik tertentu tanpa melihat jarak dan waktu yang memisahkan mereka.

B a t u k a r . i n f o s e b a g a i b u r s a pengetahuan online pertama di KTI memiliki fitur grup atau jaringan dimana para pelaku pembangunan dapat bertukar ide serta pikiran dan dapat berdiskusi dengan anggota lainnya k h u s u s n y a m e n g e n a i i s u - i s u pembangunan di KTI. Saat ini sudah ada beberapa grup/jaringan diskusi yang aktif di Batukar.info. Anda bisa melihat ke:

http://www.batukar.info/referensi/survey-rumah-tangga-tentang-perilaku-kesehatan-ibu-dan-anak-serta-pola-pencarian-pengobata

Pencarian Pengobatan di Tingkat Laporan survey yang dilaksanakan dengan dukungan Proyek SISKES (dukungan GTZ - sekarang GIZ) pada tahun 2007 di Provinsi NTB dan NTT. Survey tentang perilaku masyarakat terkait KIA serta pencarian pertolongn kesehatan di kedua provinsi. Ada lampiran data lengkap yang menyertai laporan ini tetapi karena ukurannya terlalu besar, tidak dapat diunggah di situs ini. Kalau anda berminat, silahkan hubungi: maddi(dot)djara(at)giz(dot)de

Uji Petik kerjasama di Sektor Kesehatan di Provinsi Nusa Tenggara Barat & Nusa Tenggara Timur, Indonesia

Pengembangan kapasitas berkelanjutan dan kerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk mengaitkan semua tingkatan merupakan salah satu prinsip kerjasama teknis. Kebijakan dan Pedoman dari Pusat serta prioritas daerah dan harmonisasi antar pemangku kepentingan merupakan dasar dari kerjasama ini.Salah satu kemungkinan kerjasama di lapangan adalah kerjasama dengan lembaga profesi dan LSM lokal serta pihak lain. Penggunaan mekanisme subsidi lokal (saat memungkinkan) untuk membantu mitra dari pihak pemerintah dalam implementasi merupakan cara yang ditempuh agar ada kepemilikan yang lebih baik.

http://www.batukar.info/referensi/uji-petik-kerjasama-di-sektor-kesehatan-di-provinsi-nusa-tenggara-barat-nusa-tenggara-timu

Forum Kepala BAPPEDA ke-6: Mendorong Peran dan Fungsi Daerah dalam Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI), dalam satu dekade terakhir menunjukkan kecenderungan positif dan indikator-indikator makro ekonomi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di kawasan ini mengalami percepatan. Sayangnya, masih banyak tantangan pembangunan yang harus menjadi perhatian. Jumlah penduduk miskin di KTI masih berada di angka rata-rata 25%. Kementerian PDT telah menetapkan 199 Kabupaten di Indonesia sebagai Daerah Tertinggal dan 62% daerah tertinggal ini berada di KTI. Daerah-daerah di KTI juga masih minim dalam hal infrastruktur. Sebut saja Papua dan Nusa Tenggara yang masih minim akses terhadap pelayanan kesehatan dasar; Maluku dengan akses dan infrastruktur transportasi laut yang masih kurang; serta Sulawesi yang infrastruktur pendukung kerja sama regionalnya juga masih kurang.

http://www.batukar.info/content/forum-kepala-bappeda-ke-6-mendorong-peran-dan-fungsi-daerah-dalam-percepatan-dan-perluasan-p

Memilah KapitalismeLebih dari dua abad sejak terbitnya buku Kekayaan Negara Bangsa karya Adam Smith dan berbarengan dengan runtuhnya Tembok Berlin pada 1989, sistem ekonomi kapitalisme berhasil menggusur semua pesaingnya. Karena nyaris tanpa pilihan, kita boleh bertanya, apakah sistem ini cocok untuk menyelesaikan berbagai masalah nasional dan global? Banyak pengamat yang ragu, mereka mensinyalir bahwa setelah mengalahkan semua lawannya, kapitalisme bakal berpuas-puas dengan dirinya sendiri. Sikap diri yang menurut Rudolf Hickel (2000) akibat tiadanya “tangan pengatur keadilan dalam kapitalisme”.

Memilah KapitalismeRobert Heilbroner, seorang sosialis Jerman, melihat peran oposisi sosialistis di masa depan tidak lagi dalam mengupayakan rancangan perlawanan baru atas kapitalisme, tetapi mengupayakan agar sistem yang “unggul” ini berwajah lebih manusiawi. Satu-satunya “kesempatan perbaikan” yang masih terbuka, menurut Michael Albert, adalah terus mencoba dengan sistem kapitalisme dan berbagai cabangnya seperti individual capitalism negaranegara Anglosaxon (AS dan Inggris) yang saat i n i d i k e n a l d e n g a n j u l u k a n n e o l i b e ra l d a n s o c i a l capitalismnegara-negara Eropa daratan.

http://www.batukar.info/komunitas/blogs/media-online-jendela-baru-ke-pengetahuan

Dan bisa bergabung dengan salah satu jaringan di bawah ini:

http://www.batukar.info/komunitas/jaringan

Pengelolaan Keuangan Publikhttp://www.batukar.info/komunitas/groups/pfm-pengelolaan-keuangan-publik

JiKTI (Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia)

Pedoman Penyusunan RENJA dan Pelaksanaan MONEV Terpadu Bidang KesehatanPedoman yang disusun oleh Dinas Kesehatan Provinsi NTB dan NTT dengan dukungan GTZ berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku untuk implementasi Perencanaan dan Penganggaran serta Monev Terbadu Bidang Kesehatan. Ide penyusunan Buku Pedoman ini dimaksudkan untuk menata kembali mekanisme perencanaan pembangunan kesehatan mulai dari tingkat Puskesmas sampai dengan tingkat provinsi yang sebenarnya telah diatur sebelumnya dalam berbagai pedoman yang ada. Buku Pedoman ini dirasakan masih belum sempurna, namun setidak-tidaknya ada niat yang baik dan tulus dalam upaya membantu dan memperbaiki proses perencanaan program pembangunan kesehatan terpadu khususnya di Provinsi NTB.

http://www.batukar.info/referensi/uji-petik-kerjasama-di-sektor-kesehatan-di-provinsi-nusa-tenggara-barat-nusa-tenggara-timu

Haaaa...??? Pemda Bangkrut?Hari ini di Kompas halaman pertama, termuat berita "Bangkut Akibat Birokrasi Gemuk". Menarik untuk disimak, sebab Aceh dapat merupakan contoh kasus banyak pemerintah daerah di Indonesia Timur. Tiga hal yang disebutkan dalam artikel ini bukanlah sesuatu yang 'asing' di Kawasan Timur Indonesia. Selamat membaca.Banda Aceh, Kompas-Kebangkrutan anggaran di sejumlah kabupaten dan kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disebabkan tiga hal, yaitu terlalu gemuknya birokrasi, mismanajemen, dan tekanan politik lokal. Pada saat yang sama, daerah-daerah gagal meningkatkan pendapatan asli daerah untuk menutup kebutuhan anggarannya. Tak mengherankan, banyak daerah yang berutang kepada pihak ketiga karena keuangan mereka bangkrut.Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Said Muhammad, Kamis (24/3), mengatakan, umumnya kegiatan penganggaran, dari tahap perencanaan, penyusunan, hingga pelaksanaan, tidak efisien di daerah-daerah. Program kegiatan yang diagendakan terlalu banyak dan tidak disesuaikan dengan besar dana yang ada. ”Ini menunjukkan adanya mismanajemen. Perencanaan pembangunan yang ada tak jelas mau bagaimana. Semestinya ada penyesuaian antara program dan anggaran. Ini juga menunjukkan lemahnya kontrol,” ujar Said.

http://www.batukar.info/komunitas/articles/memilah-kapitalisme

http://www.batukar.info/komunitas/groups/jaringan-peneliti-kti-jikti

http://www.batukar.info/komunitas/jaringan

Bank Dunia Bantu Pemkot Makassar

Bantaeng Klaim Sukses Tekan Buta Aksara

Ekspor Ikan ke Jepang Anjlok

70 Persen Limbah Rumah Tangga Belum Dikelola

181 Usul Pemekaran Daerah Masuk ke Mendagri

Danamon Cari Guru Teladan

Gorontalo Ditetapkan Berstatus Endemis

Bosowasipilu Bisa Jadi Lumbung Pangan

Hapus Jejak Konflik, HilangkanTrauma

Kebun Rusak, Warga Kekurangan Pangan

Tasman, Penjaga Pegunungan Nipa-nipa

batukar.info UPDATE

iki Progress adalah media online yang digunakan untuk berbagi informasi sebagai salah satu untuk mengevaluasi perkembangan Wdari suatu proses yang terjadi di masyarakat. Media online ini

adalah tempat untuk mencari aneka informasi dan khususnya data statistik yang memfasilitasi berbagai macam ide, inisiatif dan pengetahuan tentang bagaimana mengukur kegiatan pengembangan masyarakat (Community Development). Progress dalam hal ini berarti sesuatu yang terukur untuk menunjukan kemajuan atau perkembangan dari proses yang terjadi di masyarakat kita. Isu yang diangkat bisa saja tentang pendidikan, gender, kesehatan dan lainnya. Media ini terbuka untuk semua orang dan komunitas, baik itu peneliti, mahasiswa, NGO, LSM, pemerintah, kerjasama multirateral dan lainnya, siapa pun yang tertarik untuk melihat ‘progress’ dari perkembangan masyarakat tersebut.

Layaknya Wikipedia, Wiki Progress juga menyediakan ruang untuk siapa pun yang ingin menambahkan data dan informasi di sana. Semakin banyak informasi, semakin kaya peluang untuk bertukar informasi. Yang menarik di website ini, para praktisi dan pakar dapat bertemu dan berbagi pengalaman masing-masing. Pemangku kepentingan yang ingin sekali mendapatkan banyak informasi mengenai proyek pengembangan masyarakat dapat memperoleh banyak informasi dan mendapatkan bantuan untuk memulai kegiatannya.

Yang menarik juga, selain bertukar informasi, setiap anggota dapat mempromosikan kegiatan yang telah mereka lakukan, mendapatkan respon dan masukan dari pihak lain mengenai kegiatan mereka, dan membuat jaringan baru dengan pemangku kepentingan lain. Tersedia juga fitur interaksi melalui diskusi ’real time’ yang artinya bisa berbincang, bertanya dan berdebat mengenai satu isu khusus dalam pembangunan. Bagi yang belum kenal dengan kode-kode html dan bagaimana cara memasukan data, disediakan juga panduan untuk dapat ikut serta dalam fitur-fitur interaktif yang dimiliki oleh website ini.

ampir sama dengan Wiki Progress di Wiki Gender juga tersedia fitur yang sama dengan Wikipedia, dimana setiap pengguna yang sudah Hmenjadi anggota, dapat memasukan data dan informasi yang

berhubungan dengan kegiatan pengembangan masyarakat yang berhubungan dengan gender.

Jika Anda ingin mengetahui lebih banyak tentang pengarusutamaan gender, Anda dapat menggunakan fitur pencarian di website ini. Begitu pula jika Anda ingin tahu data dan informasi statistik mengenai gender di Indonesia atau negara lainnya.Anda tinggal klik fitur ‘countries’ yang terletak dibagian atas sebalah kiri dari menu.

Tersedia juga fitur portal untuk komunitas, dimana anggota situs ini bisa ikut terlibatn didalamnya, mulai dari diskusi, debat atau sekedar berbagi isu yang sedang terjadi di negara masing-masing dan mencoba memecahkan isu tersebut bersama-sama.

Wiki Gender juga menyediakan statistik untuk berbagai aspek yang berhubungan dengan gender dari berbagai negara. Anda dapat mencari dengan memilih satu topik atau beberapa topik sekaligus dan menganalisanya melalu data tabulasi silang. Jika Anda senang menulis Wiki Gender juga menyediakan ruang bagi semua anggota, dengan terhubung di tab ‘Contribution’. Tulisan Anda akan menjadi informasi berharga bagi pengguna lain. Selamat mencoba!

http://www.wikigender.org/index.php/New_Home

http://wikiprogress.org/index.php/Main_Page

Wiki Progress

Wiki Gender

he University of Glasgow has a long-established reputation as a major Tresearch-led institution that is

recognised internationally for its groundbreaking work. We currently offer a wide range of research opportunities allowing you to undertake in-depth study in a specific area.

Faculty Postgraduate Research Scholarships. For further information please see the Faculty Graduate School websites.* Arts & Humanities* Biomedical & Life Sciences* Education* Engineering* Information & Mathematical Sciences* Law, Business & Social Sciences* Medicine* Physical Sciences* Veterinary Medicine

Awarded on the basis of academic merit and you should have, or expect to achieve a First Class Honours degree or equivalent.

Prior to applying for a Scholarship you are expected to have completed an on-line application (http://www.gla.ac.uk/postgraduate/howtoapplyforaresearchdegree/).

varies by Faculty

Contact us

Student ServicesThe Fraser Building65 Hillhead StreetUniversity of GlasgowGlasgow G12 8QQTel: +44 (0) 141 330 6680Fax: +44 (0) 141 330 4045E-mail: [email protected]

Description

Eligibility

How to apply

Deadline

International Office

Postgraduate Scholarships atUniversity of Glasgow, UK

PELUANG OPPORTUNITY WEBSITE BULAN INI

Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 6627 28

Page 30: BaKTINews Edisi 66

ayasan Tani Membangun (YASTIM) adalah sebuah lembaga di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur yang bertujuan Ymendampingi masyarakat marginal di pedesaan Flores

dalam upaya pemberdayaan, pengembangan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam dalam menemukan jati diri mereka sebagai manusia yang utuh baik dalam Hak Azasi Manusia, ekonomi, hukum, dan kesehatan secara demokratis, adil, dan jujur.

Yayasan Tani Membangun didirikan pada tanggal tanggal 15 Desember 1996 dengan visi terwujudnya masyarakat sipil Kabupaten Ende laki-laki dan perempuan yang adil, sejahtera, demokratis dan mandiri. Untuk mencapai visi tersebut, YASTIM memiliki beberapa misi, yaitu: meningkatkan pemenuhan hak-hak dasar dalam bidang pangan, kesehatan dan pendidikan melalui advokasi dan pemberdayaan masyarakat; meningkatkan pendapatan masyarakat melalui peningkatan mutu, diversifikasi dan akses pasar; meningkatkan posisi tawar masyarakat kaum marginal melalui pengorganisasian, pendidikan, politik, pendidikan hukum kritis, pengembangan dan perluasan jaringan, dan meningkatkan kerja sama dan sinergi antara berbagai lembaga swadaya masyarakat dampingan yang bekerja bersama masyarakat dalam mencapai tujuan tertentu.

Lembaga ini memulai kegiatan pendampingannya di Desa Tanali dan Desa Keliwumbu sejak Januari tahun 1997. Baru pada tahun 2003 desa dampingan YASTIM bertambah menjadi tujuh desa pada empat kecamatan, dan pada 2010 bertambah lagi menjadi duabelas desa dengan kegiatan utama pertanian berkelanjutan dan ekonomi berbasis kerakyatan. Dari duabelas desa dampingan ini, empat desa didampingi YASTIM untuk pengembangan kesehatan dengan cara alternatif dan delapan desa untuk progamm pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat.

Dalam mendampingi kelompok masyarakat, YASTIM mengembangkan metode pendekatan partisipatif, dengan memfasilitasi petani melalui program pertanian lahan kering secara berkelanjutan, kesehatan primer dan kesehatan alternatif, pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat, kredit mikro, advokasi dan HAM, pendidikan dan latihan, penguatan institusi petani dan YASTIM, kerjasama kemitraan dan jaringan, dan pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat.

Dalam melaksanakan kegiatannya, YASTIM mendapat dukungan dari mitra pembangunan internasional seperti Oxfam GB, Veco, IIZ, Pemerintah Daerah, dan LSM nasional dan lokal seperti AMAN, JAGAD, LBH Nusra dan Tifa Foundation. Beberapa program yang telah dilaksanakan oleh YASTIM antara lain adalah sebagai berikut.

Program Ekonomi berbasis masyarakat, yang mendapat dukungan dari OxfamProgram Pertanian Lahan Kering didanai dengan dukungan VecoProgram Kesehatan Alternatif dan Program Penguatan Institusi Kelompok dengan jalan memberikan Stimulan Modal Usaha Kepada Kelompok (Kredit Mikro). Program ini mendapat pendanaan dari PKMProgram peningkatan pendapatan perkapita melalui kegiatan pertanian dan peternakan untuk masyarakat yang didanai oleh IIZProgram pemberdayaan masyarakat pesisir (perikanan dan kelautan) kerja sama Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Ende.

27 Mei 2011

Yayasan BaKTI bekerjasama dengan Komunitas Film Rumah Ide Makassar mengadakan CINEMATICA - Pemutaran Film dan Talkshow pada Jumat 27 Mei 2011 bertempat di halaman belakang BaKTI Makassar. Cinematica kali ini mengusung tema mengenai Pendidikan, "Wajah Pendidikan Indonesia Saat ini” dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional. Kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kondisi pendidikan di Indonesia khususnya di Sulsel serta mempromosikan dan mendorong adopsi Praktik Cerdas yang dilakukan oleh program Decentralized Basic Education 2 Sulsel melalui media film dan diskusi. Kegiatan ini dihadiri tidak kurang dari limapuluh orang yang berasal dari kalangan akademisi, mahasiswa, LSM, komunitas film serta masyarakat umum.

CINEMATICA - Pemutaran Film dan Talkshow

BaKTI menyediakan fasilitas Ruang Pertemuan bagi para pelaku pembangunan untuk melaksanakan seminar, lokakarya, rapat, dan diskusi. Reservasi ruangan dapat dilakukan melalui email dengan menghubungi [email protected] atau telepon 0411 3650320-22, atau berkunjung langsung ke Kantor BaKTI, Jl. Dr. Sutomo 26 Makassar.

KEGIATAN DI BaKTI

24 Mei 2011

Yayasan BaKTI melaksanakan sosialisasi Australian Development Scholarship (ADS) bagi Sahabat BaKTI dan masyarakat umum yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang S2/S3 di Australia pada Selasa. Sosialisasi beasiswa ini diadakan pada 24 Mei 2011 di ruang pertemuan BaKTI Makassar. Hadir sebagai narasumber yakni Ibu Eny Burhanuddin, seorang alumni ADS dan juga dosen pada Fakultas Sastra Inggris Universitas Hasanuddin. Lebih dari 50 orang peserta yang hadir berasal dari kalangan mahasiswa, LSM, staf Pemerintah Daerah dan karyawan swasta.

Sosialisasi Australian Development Scholarship (ADS)

26

PROFIL LSM

YAYASAN TANI MEMBANGUN (YASTIM)

2925 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

YAYASAN TANI MEMBANGUN (YASTIM)

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dan memulai kerjasama, Anda dapat berkunjung langsung ke kantor YASTIM atau menghubungi Andre Ave Minggus, Koordinator Umum YASTIM melalui surat pos, telepon, dan email pada alamat berikut.Yayasan Tani Membangun (YASTIM)Jalan Aster XII, Perumnas, Kelurtahan Mautapaga, Kabupaten Ende – Flores, Nusa Tenggara TimurPO BOX 31Telepon / HP : 085210566962 /081339101850Email: [email protected] dan [email protected],.id

Page 31: BaKTINews Edisi 66

ayasan Tani Membangun (YASTIM) adalah sebuah lembaga di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur yang bertujuan Ymendampingi masyarakat marginal di pedesaan Flores

dalam upaya pemberdayaan, pengembangan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam dalam menemukan jati diri mereka sebagai manusia yang utuh baik dalam Hak Azasi Manusia, ekonomi, hukum, dan kesehatan secara demokratis, adil, dan jujur.

Yayasan Tani Membangun didirikan pada tanggal tanggal 15 Desember 1996 dengan visi terwujudnya masyarakat sipil Kabupaten Ende laki-laki dan perempuan yang adil, sejahtera, demokratis dan mandiri. Untuk mencapai visi tersebut, YASTIM memiliki beberapa misi, yaitu: meningkatkan pemenuhan hak-hak dasar dalam bidang pangan, kesehatan dan pendidikan melalui advokasi dan pemberdayaan masyarakat; meningkatkan pendapatan masyarakat melalui peningkatan mutu, diversifikasi dan akses pasar; meningkatkan posisi tawar masyarakat kaum marginal melalui pengorganisasian, pendidikan, politik, pendidikan hukum kritis, pengembangan dan perluasan jaringan, dan meningkatkan kerja sama dan sinergi antara berbagai lembaga swadaya masyarakat dampingan yang bekerja bersama masyarakat dalam mencapai tujuan tertentu.

Lembaga ini memulai kegiatan pendampingannya di Desa Tanali dan Desa Keliwumbu sejak Januari tahun 1997. Baru pada tahun 2003 desa dampingan YASTIM bertambah menjadi tujuh desa pada empat kecamatan, dan pada 2010 bertambah lagi menjadi duabelas desa dengan kegiatan utama pertanian berkelanjutan dan ekonomi berbasis kerakyatan. Dari duabelas desa dampingan ini, empat desa didampingi YASTIM untuk pengembangan kesehatan dengan cara alternatif dan delapan desa untuk progamm pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat.

Dalam mendampingi kelompok masyarakat, YASTIM mengembangkan metode pendekatan partisipatif, dengan memfasilitasi petani melalui program pertanian lahan kering secara berkelanjutan, kesehatan primer dan kesehatan alternatif, pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat, kredit mikro, advokasi dan HAM, pendidikan dan latihan, penguatan institusi petani dan YASTIM, kerjasama kemitraan dan jaringan, dan pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat.

Dalam melaksanakan kegiatannya, YASTIM mendapat dukungan dari mitra pembangunan internasional seperti Oxfam GB, Veco, IIZ, Pemerintah Daerah, dan LSM nasional dan lokal seperti AMAN, JAGAD, LBH Nusra dan Tifa Foundation. Beberapa program yang telah dilaksanakan oleh YASTIM antara lain adalah sebagai berikut.

Program Ekonomi berbasis masyarakat, yang mendapat dukungan dari OxfamProgram Pertanian Lahan Kering didanai dengan dukungan VecoProgram Kesehatan Alternatif dan Program Penguatan Institusi Kelompok dengan jalan memberikan Stimulan Modal Usaha Kepada Kelompok (Kredit Mikro). Program ini mendapat pendanaan dari PKMProgram peningkatan pendapatan perkapita melalui kegiatan pertanian dan peternakan untuk masyarakat yang didanai oleh IIZProgram pemberdayaan masyarakat pesisir (perikanan dan kelautan) kerja sama Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Ende.

27 Mei 2011

Yayasan BaKTI bekerjasama dengan Komunitas Film Rumah Ide Makassar mengadakan CINEMATICA - Pemutaran Film dan Talkshow pada Jumat 27 Mei 2011 bertempat di halaman belakang BaKTI Makassar. Cinematica kali ini mengusung tema mengenai Pendidikan, "Wajah Pendidikan Indonesia Saat ini” dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional. Kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kondisi pendidikan di Indonesia khususnya di Sulsel serta mempromosikan dan mendorong adopsi Praktik Cerdas yang dilakukan oleh program Decentralized Basic Education 2 Sulsel melalui media film dan diskusi. Kegiatan ini dihadiri tidak kurang dari limapuluh orang yang berasal dari kalangan akademisi, mahasiswa, LSM, komunitas film serta masyarakat umum.

CINEMATICA - Pemutaran Film dan Talkshow

BaKTI menyediakan fasilitas Ruang Pertemuan bagi para pelaku pembangunan untuk melaksanakan seminar, lokakarya, rapat, dan diskusi. Reservasi ruangan dapat dilakukan melalui email dengan menghubungi [email protected] atau telepon 0411 3650320-22, atau berkunjung langsung ke Kantor BaKTI, Jl. Dr. Sutomo 26 Makassar.

KEGIATAN DI BaKTI

24 Mei 2011

Yayasan BaKTI melaksanakan sosialisasi Australian Development Scholarship (ADS) bagi Sahabat BaKTI dan masyarakat umum yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang S2/S3 di Australia pada Selasa. Sosialisasi beasiswa ini diadakan pada 24 Mei 2011 di ruang pertemuan BaKTI Makassar. Hadir sebagai narasumber yakni Ibu Eny Burhanuddin, seorang alumni ADS dan juga dosen pada Fakultas Sastra Inggris Universitas Hasanuddin. Lebih dari 50 orang peserta yang hadir berasal dari kalangan mahasiswa, LSM, staf Pemerintah Daerah dan karyawan swasta.

Sosialisasi Australian Development Scholarship (ADS)

26

PROFIL LSM

YAYASAN TANI MEMBANGUN (YASTIM)

2925 Mei-Juni 2011News Volume V - edisi 66

YAYASAN TANI MEMBANGUN (YASTIM)

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dan memulai kerjasama, Anda dapat berkunjung langsung ke kantor YASTIM atau menghubungi Andre Ave Minggus, Koordinator Umum YASTIM melalui surat pos, telepon, dan email pada alamat berikut.Yayasan Tani Membangun (YASTIM)Jalan Aster XII, Perumnas, Kelurtahan Mautapaga, Kabupaten Ende – Flores, Nusa Tenggara TimurPO BOX 31Telepon / HP : 085210566962 /081339101850Email: [email protected] dan [email protected],.id

Page 32: BaKTINews Edisi 66

Dari Balik Lensa

Penerbit Publisher Deskripsi fisik Physical Description ISBN

Perencanaan Strategik Partisipatif Pengembangan Ekonomi Lokal

Tiga Dari Galigo

Foto dapat menyampaikan sejuta cerita yang mungkin tak sanggup diungkapkan dengan kata-kata. Visualisasi yang ditampilkan dalam buku ini mewakili pikiran, aspirasi dan pesan yang hendak disampaikan ketika maksud tak dapat dirangkai dalam susunan kata-kata karena berbagai kendala. Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) melatih kader menjadi fotografer amatir dengan harapan dapat membuka tabir kehidupan mereka lewat foto sebagai alat ekspresi dan aspirasi guna menembus hambatan ruang dan kesempatan yang ada.

Perencanaan Strategik untuk pengembangan ekonomi sangat penting, karena merupakan inti dari pembangunan berkelanjutan. Untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan keterbelakangan diperlukan suatu system atau ketepatan strategi dalam bentuk program pemberdayaan yang terpadu dan berkesinambungan. Buku ini disusun untuk membantu memberi jawab terhadap kebutuhan tersebut dan membantu pemerintah daerah dan masyarakat agar dapat melakukan pembangunan berbasis kemampuan sumberdaya local yang dimiliki.

Daerah Bugis dikenal memiliki aneka ragam seni budaya dan adat istiadat, kekayaan itu masih banyak yang belum terungkap sehingga diperlukan peneliti-peneliti yang bisa menggali lebih jauh. Sureq Galigo dan Lontarak adalah salah satu naskah tua yang dapat digunakan untuk melacak khasanah budaya zaman lampau. Buku ini adalah kumpulan tiga makalah yaitu Sawerigading dalam naskah Sureq Galigo, Nilai-nilai pengalaman Sawerigading yang termaktub dalam Sureq Galigo dan Karena I We Cudai Magaliga Parukkuseng Maka Namaku I La Galigo.

Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA)

104 hal+viii, 21 x 29.7 cm 978-602-95645-4-5

Penulis Author Penerbit Publisher Deskripsi fisik Physical Description ISBN

Astia Dendi, Ahmad Zaini, Mansur Afifi dan Rifai Saleh

Pusat Penelitian Kependudukan danPembangunan (P2KP) Universitas Mataram

134 Hal+xv, 15 x 20 cm 978-602-98019-0-3

Penulis Author Penerbit Publisher Deskripsi fisik Physical Description ISBN

Muhammad Salim Yayasan Bali Purnati dan Pemerintah Kota Makassar

104 hal, 14,5 x 21 cm 978-979-1079-24-2

Perkembangan Triwulan Perekonomian Indonesia Mengulang Tahun 2008?

Gambaran ekonomi tahun 2011 didukung oleh perkembangan terbaru sector manufaktur dan jasa dengan sector komoditas menjadi pendorong utama pertumbuhan, demikian salah satu perkembangan ekonomi Indonesia yang terangkum dalam laporan ini. Laporan perkembangan triwulan ekonomi menyajikan perkembangan utama ekonomi Indonesia dalam tiga bulan terakhir yang menempatkan perkembangan dalam konteks jangka panjang dan global serta menilai prospek ekonomi dan kesejahteraan social Indonesia.

Penerbit Publisher Deskripsi fisik Physical Description

The World Bank 51 hal; 21,5 x 28 cm

Terimakasih kepada PNPM Mandiri, Bapak DR. Ahmad Zaini, Abdi Karya dan The World Bank atas sumbangan buku untuk perpustakaan BaKTI.

INFO BUKU