Bahaya styrofoam terhadap kesehatan dan lingkungan
-
Upload
ervi-afifah -
Category
Environment
-
view
3.969 -
download
3
description
Transcript of Bahaya styrofoam terhadap kesehatan dan lingkungan
BAHAYA STYROFOAM TERHADAP KESEHATAN dan LINGKUNGAN
MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Toksikologi
oleh :
Ervi Afifah
1006470
PROGRAM STUDI BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2013
A. Pendahuluan
Styrofoam merupakan salah satu pilihan yang paling popular untuk
digunakan sebagai pengemas barang-barang yang rentan rusak maupun makanan
sekalipun. Styrofoam memiliki keunggulan yaitu praktis dan tahan lama. Hal inilah
yang menjadi daya tarik yang cukup kuat bagi para penjual maupun konsumen
makanan untuk menggunakannya. Sampai saat ini belum banyak yang sadar bahaya
dibalik penggunaan kemasan styrofoam.
Styrofoam sebagai kemasan makanan, sebaiknya penggunaannya bukan
sekedar sebagai bungkus tetapi perlu diperhatikan keamanannya, karena fungsi dari
kemasan makanan yaitu untuk kesehatan, pengawetan dan kemudahan. Menurut
beberapa penelitian telah diketahui bahwa styrofoam berbahaya bagi kesehatan.
Menurut Mulyanto (2013), bahaya styrofoam berasal dari butiran-butiran styrene,
yang diproses dengan menggunakan benzana. Benzana inilah yang termasuk zat
yang dapat menimbulkan banyak penyakit (Mulyanto, 2013).
Selain itu, Styrofoam juga terbukti tidak ramah lingkungan, karena tidak
dapat diuraikan sama sekali. Bahkan pada proses produksinya sendiri menghasilkan
limbah yang tidak sedikit sehingga dikategorikan sebagai penghasil limbah
berbahaya ke-5 terbesar di dunia oleh EPA (Enviromental Protection Agency).
Bahaya yang dapat ditimbulkan oleh Styrofoam ini terhadap kesehatan dan
lingkungan, maka perlu dicari solusi agar penggunaannya dapat diminimalisir atau
dihentikan sama sekali.
B. Styrofoam
Styrofoam umumnya memiliki warna putih dan terlihat bersih. Bentuknya
juga simpel dan ringan. Styrofoam yang dibuat dari kopolimer styrene ini menjadi
pilihan bisnis pangan karena mampu mencegah kebocoran dan tetap
mempertahankan bentuknya saat dipegang. Selain itu, bahan tersebut juga mampu
mempertahankan panas dan dingin tetapi tetap nyaman dipegang.
Bahan dasar styrofoam adalah polisterin, suatu jenis plastik yang sangat
ringan, kaku, tembus cahaya dan murah tetapi cepat rapuh. Karena kelemahannya
tersebut, polisterin dicampur dengan seng dan senyawa butadien. Hal ini
menyebabkan polisterin kehilangan sifat jernihnya dan berubah warna menjadi putih
susu. Kemudian untuk kelenturannya, ditambahkan zat plasticizer seperti dioktil
ptalat (DOP), butil hidroksi toluena (BHT) atau butyl stearat. Plastik busa yang
mudah terurai menjadi struktur sel kecil merupakan hasil proses peniupan dengan
menggunakan gas klorofluorokarbon (CFC). Hasilnya adalah bentuk seperti yang
sering dipergunakan saat ini (Sulchan, 2007).
C. Penggunaan Styrofoam
Pengunaan styrofoam salah satunya adalah sebagai kemasan atau wadah
makanan karena bahan ini memiliki beberapa kelebihan. Bahan tersebut mampu
mencegah kebocoran dan tetap mempertahankan bentuknya saat dipegang, mampu
mempertahankan panas dan dingin tetapi tetap nyaman dipegang, mempertahankan
kesegaran dan keutuhan bahan yang dikemas, biaya murah, serta ringan.
Di Indonesia, penggunaan styrofoam sebagai wadah makanan makin
menjamur karena barang ini sangat mudah ditemukan dimana-mana, mulai dari
Gambar 1. Styreofoam sebagai
kemasan makanan
Sumber: alvinbro.blogspot.com
restoran siap saji sampai ke tukang-tukang makanan di pinggir jalan untuk
menggunakan bahan ini sebagai pembungkus makanan mereka (Mulyatno, 2013).
Selain digunakan sebagai pembungkus makanan, penggunaannya digunakan
untuk bahan pelindung dan penahan getaran barang yang rentan rusak seperti
elektronik atau barang pecah belah lainnya.
D. Bahaya Penggunaan Styrofoam Terhadap Kesehatan
Styrofoam adalah jenis bahan kimia organik yang tidak bisa terurai oleh
alam. Styrofoam terdiri dari butiran-butiran styrene yang diproses dengan
mengunakan benzena. Sedangkan benzena adalah termasuk zat yang bisa
menimbulkan banyak penyakit. Benzena ini menimbulkan masalah pada kelenjar
tyroid, menganggu sistem syaraf sehingga menyebabkan kelelahan, mempercepat
denyut jantung, sulit tidur, badan menjadi gemetar, dan menjadi mudah gelisah
(Anjarimawati, 2010).
Hasil kajian Divisi Keamanan Pangan Jepang pada Juli 2001
mengungkapkan bahwa residu styrofoam dalam keamanan Pangan Kemasan
Styrofoam sangat berbahaya. Residu itu dapat menyebabkan endokrin disrupter
(EDC) suatu penyakit yang terjadi akibat adanya gangguan pada sistem
endokrinologi dan reproduksi manusia akibat bahan kimia karsinogen dalam
makanan. Hasil berbagai penelitian yang sudah dilakukan sejak tahun 1930-an,
diketahui bahwa stiren, bahan dasar styrofoam, bersifat mutagenik (mampu
mengubah gen) dan potensial karsinogen. Semakin lama waktu pengemasan dengan
Styrofoam dan semakin tinggi suhu, semakin besar pula migrasi atau perpindahan
bahan-bahan yang bersifat toksik tersebut ke dalam makanan atau minuman. Apalagi
bila makanan atau minuman tersebut banyak mengandung lemak atau minyak.
Toksisitas yang ditimbulkan memang tidak langsung tampak (Sulchan, 2007).
Hasil survei di AS pada tahun 1986 menunjukkan bahwa 100% jaringan
lemak orang Amerika mengandung styrene yang berasal dari styrofoam. Penelitian
dua tahun kemudian menyebutkan kandungan styrene sudah mencapai ambang batas
yang bisa memunculkan gejala gangguan saraf. Faktor yang mempengaruhi
perpindahan zat kimia pada Styrofoam ke dalam makanan, antara lain:
1. Suhu yang tinggi
Semakin panas suatu makanan, semakin cepat pula migrasi bahan kimia
styrofoam ke dalam makanan.
2. Kadar lemak tinggi
Bahan kimia yang terkandung dalam styrofoam akan berpindah ke makanan
dengan lebih cepat jika kadar lemak (fat) dalam suatu makanan atau
minuman makin tinggi.
3. Kadar alkohol dan asam yang tinggi
Bahan alkohol dan asam mempercepat laju perpindahan.
4. Lama kontak
Semakin lama makanan disimpan dalam wadah Styrofoam semakin besar
kemungkinan jumlah zat kimia yangbermigrasi ke dalam makanan.
Sifatnya akumulatif dan dalam jangka panjang baru timbul akibatnya.
Sementara itu CFC sebagai bahan peniup pada pembuatan styrofoam merupakan gas
yang tidak beracun dan mudah terbakar serta sangat stabil. Begitu stabilnya gas ini
baru bisa terurai sekitar 65-130 tahun. Gas ini akan melayang di udara mencapai
lapisan ozon di atmosfer dan akan terjadi reaksi serta akan menjebol lapisan
pelindung bumi. Apabila lapisan ozon terkikis akan timbul efek rumah kaca. Bila
suhu bumi meningkat, sinar ultraviolet matahari akan terus menembus bumi yang
bisa menimbulkan kanker (Sulchan, 2007).
Menurut Sulchan (2007) terdapat beberapa monomer yang dicurigai
berbahaya adalah vynil khlorida, akri lonitril, meta crylonitril venylidine chloride
serta shyrene. Bahan-bahan ini memiliki monomer-monomer yang cukup beracun
dan diduga keras sebagai senyawa karsinogen. Kedua monomer tersebut dapat
bereaksi dengan komponen-komponen DNA seperti vynl khlorida dengan guanine
dan sitosin, sedangkan akrilonisil (vynil cyanida) dengan adenine monomer vinile
khlorida mengalami metabolisme dalam tubuh melalui pembentukan hasil antara
senyawa epoksi cloreshyan oksida. Senyawa epoksida ini sangat reaktif dan bersifat
karsinogenik.
Selain itu, pada senyawa pembuat Styrofoam terdapat butil hidroksi toluene
(BHT) atau n-butyl stearat. Kandungan zat ini menurut penelitian kimia LIPI dapat
memicu timbulnya kanker dan penurunan daya pikir anak. Masalah kesehatan yang
dapat muncul setelah terpapar jangka panjang yaitu menyebabkan gangguan pada
sistem syaraf pusat, dengan gejala seperti sakit kepala, letih, depresi, disfungsi
sistem syaraf pusat (waktu reaksi, memori, akurasi dan kecepatan visiomotor, fungsi
intelektual), hilang pendengaran, dan neurofati periperal.
E. Bahaya Styrofoam terhadap Lingkungan
Selain berefek negatif bagi kesehatan, styrofoam juga tak ramah lingkungan.
Karena tidak bisa diuraikan oleh alam, styrofoam akan menumpuk begitu saja dan
mencemari lingkungan. Styrofoam yang terbawa ke laut, akan dapat merusak
ekosistem dan biota laut. Beberapa perusahaan memang mendaur ulang styrofoam.
Namun sebenarnya, yang dilakukan hanya menghancurkan styrofoam lama,
membentuknya menjadi styrofoam baru dan menggunakannya kembali menjadi
wadah makanan dan minuman.
Data EPA (Enviromental Protection Agency) di tahun 1986 menyebutkan,
limbah berbahaya yang dihasilkan dari proses pembuatan styrofoam sangat banyak.
Hal itu menyebabkan EPA mengategorikan proses pembuatan styrofoam sebagai
penghasil limbah berbahaya ke-5 terbesar di dunia. Selain itu, proses pembuatan
styrofoam menimbulkan bau yang tak sedap yang mengganggu pernapasan dan
melepaskan 57 zat berbahaya ke udara (Mulyatno, 2013).
Setelah digunakan untuk waktu yang sangat singkat (hanya untuk menaruh
membungkus makanan untuk sementara waktu atau melapisi barang elektronik
sampai barang itu dibeli) styrofoam yang sudah diproduksi dalam jumlah banyak itu
dibiarkan menumpuk dan mencemari lingkungan dan merusak keseimbangan
kehidupan biota laut.
Styrofoam berpengaruh terhadap global warming karena senyawa Cloro
Fluoro Carbon (CFC) sebagai bahan peniup pada pembuatan styrofoam merupakan
gas yang tidak beracun dan mudah terbakar serta sangat stabil. Begitu stabilnya, gas
ini baru bisa terurai sekitar 65-130 tahun. Gas CFC digunakan sebagai gas
pengembang karena tidak bereaksi, tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berbahaya.
Gas ini akan melayang di udara mencapai lapisan ozon diatmosfer dan akan terjadi
reaksi serta akan menjebol lapisan pelindung bumi serta menimbulkan efek rumah
kaca.
CFC adalah salah satu Gas Rumah Kaca, yang bila berada diatmosfer
menyerap sinar inframerah yang dipantulkan oleh bumi. Peningkatan kadar gas
rumah kaca akan meningkatkan efek rumah kaca yang dapat menyebabkan
terjadinya pemanasan global. Pengaruh masing-masing gas rumah kaca terhadap
terjadinya efek rumah kaca bergantung pada besarnya kadar gas rumah kaca di
atmosfer, waktu tinggal di atmosfer dan kemampuan penyerapan energi. Makin
panjang waktu tinggal gas di atmosfer, makin efektif pula pengaruhnya terhadap
kenaikan suhu. Kemampuan gas-gas rumah kaca dalam penyerapan panas (sinar
inframerah) seiring dengan lamanya waktu tinggal di atmosfer dikenal sebagai GWP,
Greenhouse Warming Potential. GWP adalah suatu nilai relative dimana karbon
dioksida diberi nilai 1 sebagai standar (Fadli, 2012).
Zat-zat chlorofluorocarbon, mempunyai nilai GWP lebih tinggi dari 10.000.
Itu berarti bahwa satu molekul zat chlorofluorocarbon mempunyai efek rumah kaca
lebih tinggi dari 10.000 molekul karbon dioksida. Dengan kata lain, makin tinggi
nilai GWP suatu zat tertentu, makin efektif pula pengaruhnya terhadap kenaikan
suhu. Kalau tidak ada lapisan ozon, radiasi cahaya ultraviolet mencapai permukaan
bumi dan menyebabkan kematianorganisme, tumbuhan menjadi kerdil, ganggang di
lautan mati,terjadi mutasi genetic, menyebabkan kanker kulit atau kankerretina mata.
Menurut pengamatan melalui pesawat luar angkasa,lubang ozon di atas Kutub
Selatan semakin lebar. Saat ini, lubangozon sudah meluas sampai tiga kali benua
Eropa. Jika lubangozon melebar, sinar ultraviolet yang memasuki bumi
semakintinggi intensitasnya. Ekosistem laut dan pertanian terganggu dan insiden
penyakit kanker kulit meningkat. Karena itu penggunaan gas CFC harus dibatasi atau
bahkan dihentikan (Fadli, 2012).
F. Solusi bagi Penggunaan Styrofoam
Seperti yang telah diuraikan di atas, styrofoam ini berdampak buruk terhadap
kesehatan dan lingkungan, maka perlu dicari solusi agar penggunaannya dapat
diminimalisir atau dihentikan sama sekali.
Beberapa tahun lalu, penyedia makanan siap saji dari Amerika
mengumumkan akan mengganti wadah styrofoam dengan kertas. Para ahli
lingkungan menyebutkan keputusan itu sebagai ”kemenangan lingkungan” karena
styrofoam sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Keputusan ini menyusul
hal serupa oleh perusahaan-perusahaan makanan siap saji lainnya. (Mulyatno, 2013)
Beberapa cara yang telah diusahakan untuk mengurangi dampak buruk dari
Styrofoam antara lain:
1. Fokus Pengemas baru yang ramah lingkungan
Dengan semakin jelasnya dampak buruk yangditimbulkan styrofoam. maka
pencarian alternatif bahan pengemas lain harus menjadi fokus penelitian yang
baru.
2. Menghentikan penggunaan Styrofoam
Upaya ini telah dilakukan oleh beberapa industri makanan seperti
McDonald’s pada tahun 1987 yang menyatakan diri berhenti menggunakan
wadah makanan yang terbuat dari Styrofoam. Salah satu divisi di McSonald’s
yaitu The Environmental Defense Waste Reduction Task Force Enforced
McDonald juga sedang berusaha mengganti kemasan makanan dengan kemasan
yang dapat di daur ulang seperti yang berasal kentang, limestone, 100% serat
daur ulang, biodegradable polymer, dan coating lilin plus air.
3. Menciptakan Kemasan Plastic Biodegradable
Riset ini dikembangkan oleh Leonardus Adi Wijaya, Glenn Chandra dan
Marcel P. Segara dan meraih juara pertama Research in Science and Technology
Creativity (Ristec) 2008 yang diadakan di Universitas Diponegoro (Pahri, 2012).
Kemasan ini dapat terurai dengan sendirinya menjadi karbondioksida dan
air bila dikubur dalam tanah. Teknologi terbaru ini, kini bisa diujicobakan di
Indonesia menggunakan bahan baku local yaitu limbah kulit udang dan
singkong. Kedua bahan tersebut dipilih lantaran jumlahnya yang sangat banyak
tersedia di negeri ini.
Indonesia dikenal luas sebagai salah satu Negara pengekspor udang
mentah kupas. Sekitar 12 ribu ton kulit udang kering dihasilkan oleh Indonesia
per tahunnya sebagai hasil sampingan ekspor udang mentah kupas. Sedangkan
singkong sendiri merupakan tanaman yang sudah merakyat. Saat ini Indoensia
meproduksi kurang lebih 19 juta ton singkong setiap tahungga.
Proses pembuatan plastic ini tidaklah sulit. Pembuatan khitosan,
dilakukan dengan mengolah limbah kulit udang, dijemur hingga kering.
Sedangkan untuk pembuata PLA digunakan bahan baku singkong. PLA (Poly
Lactic Acid) adalah senyawa yang saat ini sedang dikembangkan sebagai
alternatif kemasan plastik konvensional atau sebagai kemasan biodegradable.
Bahan baku PLA bersumber dari bahan yang dapat diperbaharui serta memiliki
kandungan pati yang tinggi. Selain singkong, juga dapat digunakan bahan
lainnya seperti jagung, kentang dan umbi-umbian lain. PLA dapat dicetak dalam
bentukseperti tas belanja, gelas, sendok, mangkuk dll. Keuntungan dari
penggunaan PLA dibandingkan kemasan plastik lainnya yaitu sifat
biodegradablenya yang dapat terurai di alam, maksimal satu setengah bulan.
Coba bandingkan dengan Styrofoam yang tidak dapat diuraikan sama sekali.
Sifatnya yang transparan dan kaku menyerupai plastic pada umumnya
merupakan nilai tambah tersendiri. Namun, kemasan dari PLA dan khitosan ini
juga memiliki beberapa kelemahan dan keunggulan masing-masing. Oleh karena
itu, penggabungan antara khitosan dan PLA diharapkan dapat saling melengkapi.
Menghasilkan kemasan yang dapat terurai dengan sifat menyerupai plastic.
Proses penggabungannya pun cukup mudah. Mencampurkan larutan PLA dalan
khitosan secara perlahan agar tercampur merata. Kemasan yang dihasilkan akan
memiliki penampilan transparan dan warna kekuningan. Setelah terbentuk,
kemasan ini dapat digunakan sebagai bahan pembungkus sayuran, kemasan
sekunder pembungkus biskuit maupun roti. Masih perlu banyak penelitian lebih
lanjut dalam pengambangan kemasan ramah lingkungan. Terutama, masalah
optimalisasi dalam pembuatan PLA, termasuk ketertarikan pihak industri.
4. Memanfaatkan Limbah Styrofoam sebagai Bahan Bangunan
Dengan menganut prinsip 3R yaitu Reduce, Reuse danRecycle, limbah
syrofoam dapat digunakan untukmenghasil benda lain (Recycle), contohnya
membuatbatako dari limbah sytofoam. Upaya memanfaatkan limbahini
dilakukan oleh Surani, pria yang tinggal di Tipar, Cakung, Jakarta Timur dengan
niat sederhana, menghindaribuangan sampah dan polusi pembakaran styrofoam.
Cara membuat sederhana yaitu Styrofoam digiling seperti jagung. Kemudian,
dicampur pasir dan ditambah semen,lalu dicetak. Komposisi yang tepat itu 50%
styrofoam, 40% pasir, dan 10% semen. Jadi, penggunaan styrofoam
dapatmenghemat pasir dan semen. Dan hasilnya tidak mengecewakan, rumah
yang dibangun dengan menggunakan batako berbahan dasar limbah syrofoam
terbukti kokoh dan sifat syrofoam yang menolak air membuat tanah tidak lembab
(Kartika. 2009 dalam Pahri, 2012).
5. Upaya mendegradasi styrofoam
Beberapa upaya telah ditemukan untuk menguraikan Styrofoam, antara lain :
a. Memanfaatkan Kulit Buah Jeruk untuk Mendissolve Styrofoam
Metode ini diupayakan oleh Vici Riyani and Adrienne Trinovia
Sulistyo siswa SMA Santa Ursula. Dengan mengolah kulit jeruk yang
mengandung d-limonene, mereka ubah dalam bentuk polymer flocculant
yang diigunakan untuk menguraikan styrofoam menjadi air. Yang pasti
mereka yakin cara ini tetaplah ramah lingkungan.
Caranya dengan memasukan kulit jeruk bersamaan dengan
styrofoam ke dalam blender dan melalui proses distilisasi dan kemudian
diaduk sampai dengan semuanya bercampur dengan baik. Dengan begitu
campuran ini dapat diuraikan oleh mikroorganisme.
Cara lain yang mereka temukan dengan menggunakan kulit buah
jeruk juga. Mereka melakukannya dengan tekhnik sulfonasi. Yaitu
dengan memotong styrofoam hingga kecil-kecil dan campurkan dengan
chloroform dan asam sulfat dengan suhu 450
C selama 2 jam. Hasil dari
campuran tersebut adalah sodium polystyrene sulfonate (PSSNa). Setelah
melalui proses pemisahan dan netralisasi, cairan tersebut akan berubah
menjadi bubuk polimer. Bubuk polimer ini kemudian bisa digunakan
sebagai pemurni air dan sangat berguna dalam industri semen (Zamroni,
2002).
b. Mengembangkan bakteri Pseudomonas putida
Para ahli biologi di University of College Dublin,
Irlandia,menemukan turunan bakteri Pseudomonas putida, yang biasa
ditemukan di dalam tanah, memakan minyak styrene murni dan
mengubahnya menjadi plastik yang ramahlingkungan. Minyak yang
merupakan hasil pemanasan styrofoam pada suhu tinggi itu mencemari
tanah karenasulit terdegradasi di alam.
Kevin O’Connor dan koleganya mengubah polystyrene menjadi
minyak melalui pyrolysis, yaitu memanaskan plastik turunan minyak
bumi dengan suhu 520 derajat Celcius tanpa melibatkan oksigen.
Pemanasan tersebut menghasilkan cairan yang terdiri atas minyak styrene
sebesar lebih dari 80 persen dan sisanya berupa cairanracun lainnya.
Para peneliti kemudian memberikan cairan ini kepadasalah satu
turunan bakteri, Pseudomonas putida CA-3.Pada awalnya, mereka
berharap bakteri akan memurnikanstyrene dari larutan. Namun, bakteri
justru sangat menikmati menu makanbarunya ini dan mengubah 64 gram
styrene campuranuntuk menghasilkan sekitar 3 gram bakteri baru. Dalam
proses ini, bakteri menyimpan 1,6 gram energiminyak styrene dalam
bentuk plastik biodegradable (dapatterurai di alam) yang disebutpolyhydr
oxyalkanoate atau PHA. Selain musnah jika dibakar, plastik jensi ini
jugamudah terurai di alam (Pahri, 2012).
Namun, proses biologi yang dilakukan bakteri menghasilkan
produk sampingan yang masih beracun, yaitu toluene. Meskipun
demikain, temuan ini membawa harapan baru karena menunjukkan
bahwa styrofoam dan molekul polystyrene yang menyusunnya dapat
diubahmenjadi ramah lingkungan
G. Kesimpulan
Penggunaan Styrofoam berbahaya bagi kesehatan maupun lingkungan.
Senyawa benzena yang terdapat dalam styrofoam termasuk zat yang dapat
menimbulkan banyak penyakit dan bersifat karsinogenik. Selain menimbulkan
penyakit, pembuatan Styrofoam menyebabkan masalah yang besar bagi
lingkungan karena senyawa CFC menjadi salah satu penyebab terjadinya efek
rumah kaca. Oleh karena itu, perlu adanya solusi bagi masalah ini, salah satunya
adalah dengan pendaurulangan dan pendegradasian Styrofoam.
DAFTAR PUSTAKA
Anjarimawati., dkk. (2010), Uji Kualitas Pemanfaatan Styrofoam sebagai Bahan
Pembuatan Pot Bunga. PKM. [Online}. Tersedia:
kemahasiswaan.um.ac.id/ (18 Oktober 2013)
Fadli, F. (2012). Gambaran Perilaku Mahasiswa dalam Menggunakan Plastik dan
Styrofoam sebagai Kemasan Makanan di Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara. Skripsi USU Medan: Tidak dipublikasi.
Mulyanto, 2013. Bahaya Styrofoam Bagi Kesehatan. [Online]. Tersedia:
http://www.itd.unair.ac.id/index.php?option=com_content&view=article.
Pahri. (2012). Penggunaan Styrofoam. [Online]. Tersedia:
pajrimandalabloger.blogspot.com. (18 Oktober 2013)
Sulchan, dkk. (2007). Keamanan Pangan Kemasan Plastik dan Styrofoam. Maj
Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007
Zamroni, A. (2002). Studi Pengaruh Radiasi Sinar Matahri terhadap Plastik
Polisterina. [Online]. Tersedia: library.um.ac.id/free-contents/ (18 Oktober
2013)