Bahasa Perundang -Undangan.

4
Dalam Membicarakan Bahasa Indonesia Perundang-undangan Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H. maka yang digunakan sebaiknya adalah tetap menggunakan Bahasa Indonesia sehingga tetap tunduk pada kaidah –kaidah bahsa indonesia yang umum dan baku. Bahasa Indonesia Perundang-undangan adalah suatu ragam bahasa Indonesia yang karena dan tuuannya mengandung ciri yang Khas sehinga karna itu berbeda dengan ragam bahasa Indonesia. 1 Menurut Jeremy Bentham Sebagaimana dikutip oleh E.A. Driedger, Bahasa Indonesia perudang-undangan tidak mengadung ketidak sempurnaan tingkat pertama dan tidak pula ketidak sempurnaan tingkat kedua. Ketidak Sempurnaa tingkat yang pertama meliputi kandungan Makna ganda, Kabur, dan terlalu luas. Ketidak ssempurnaa tingka kedua meliputi Ketidaktepatan kata dan ungkapan, ketidaktetapan kepentingan, berlebihan, bertele- tele, kacau, Ketiadaan bantuan tanda baca untuk kalimat- kalimat panjang, dan ketidakteraturan susunan. Mengingat hal-hal diatas, dapatlah dibayangkan betapa penting kedudukan seseorang perancang peraturan perundang – undangan dalam memilih dan menentukan kata dan susunan kalimat yang menghasilkan ungkapan yang tepa sebagaimana dikehendaki oleh pembentuk undang-undang. Terdapat dua peristiwa penting yang perlu untuk diperhitungkan dalam peraturan perundang-undangan,yakni Pembentukan Peraturan Perundang-undangan melalui Penyusunannya yang lainnya adalah melalui penafsirannya. Kedua hal tersebut sangat tergantung pada Apresiasi dan Pemahaman bahasa tulisan di dalamnya. Penggunaan dalam penafsiran medium bahasa dalam peraturan perundang- undangan sangat penting bahkan sengat menetukan apakah suatu peraturan perundag –undangan akan mencapai maksud dan tujuannya atau tidak. Nasihat Montesque sebagaimana dikutip oleh C.K. Allen bahwa untuk menyusun peraturan perundang-undangan mengenai hal ini 1 ) Maria Farida Indrati Soeprapto S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan dasar-dasar dan pembentukannya, Penerbit Kanisius, Hal. 184

Transcript of Bahasa Perundang -Undangan.

Page 1: Bahasa Perundang -Undangan.

Dalam Membicarakan Bahasa Indonesia Perundang-undangan Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H. maka yang digunakan sebaiknya adalah tetap menggunakan Bahasa Indonesia sehingga tetap tunduk pada kaidah –kaidah bahsa indonesia yang umum dan baku. Bahasa Indonesia Perundang-undangan adalah suatu ragam bahasa Indonesia yang karena dan tuuannya mengandung ciri yang Khas sehinga karna itu berbeda dengan ragam bahasa Indonesia.1

Menurut Jeremy Bentham Sebagaimana dikutip oleh E.A. Driedger, Bahasa Indonesia perudang-undangan tidak mengadung ketidak sempurnaan tingkat pertama dan tidak pula ketidak sempurnaan tingkat kedua. Ketidak Sempurnaa tingkat yang pertama meliputi kandungan Makna ganda, Kabur, dan terlalu luas. Ketidak ssempurnaa tingka kedua meliputi Ketidaktepatan kata dan ungkapan, ketidaktetapan kepentingan, berlebihan, bertele-tele, kacau, Ketiadaan bantuan tanda baca untuk kalimat-kalimat panjang, dan ketidakteraturan susunan.

Mengingat hal-hal diatas, dapatlah dibayangkan betapa penting kedudukan seseorang perancang peraturan perundang – undangan dalam memilih dan menentukan kata dan susunan kalimat yang menghasilkan ungkapan yang tepa sebagaimana dikehendaki oleh pembentuk undang-undang.

Terdapat dua peristiwa penting yang perlu untuk diperhitungkan dalam peraturan perundang-undangan,yakni Pembentukan Peraturan Perundang-undangan melalui Penyusunannya yang lainnya adalah melalui penafsirannya. Kedua hal tersebut sangat tergantung pada Apresiasi dan Pemahaman bahasa tulisan di dalamnya. Penggunaan dalam penafsiran medium bahasa dalam peraturan perundang- undangan sangat penting bahkan sengat menetukan apakah suatu peraturan perundag –undangan akan mencapai maksud dan tujuannya atau tidak.

Nasihat Montesque sebagaimana dikutip oleh C.K. Allen bahwa untuk menyusun peraturan perundang-undangan mengenai hal ini barangkali ada baiknya diperhatikan. Ia mengatakan tentanmg peraturan perundang-ungann secara singkat sebagai berikut :2

1. Gaya bahasa hendaknya selain ringkas juga sederhana.2. Istilah yang dipilh sedapt-dapatnya bersifat mutlak dan tidak relatif, dengan

maksud agar meninggalkan ssedikit mungkin timbulnya perbendaan pendapat secara Individual.

3. Hendaknya membetasi diri pada yang riil dan aktual, serta menghindarkan diri dari kiasan dan dugaan.

4. Hendaknya tidak halus sehingga memerlukan ketajaman pikiran pembacanya, karena rakyat banyak mempunyai tingkat pemahaman yang

1 ) Maria Farida Indrati Soeprapto S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan dasar-dasar dan pembentukannya, Penerbit Kanisius, Hal. 1842 )Maria Farida Indrati Soeprapto S.H.,M.H., ilmu Perundang-undangan dasar-dasar dan pembentukannya, Penerbit Kanisius, Hal. 187.

Page 2: Bahasa Perundang -Undangan.

sedang-sedang saja : hendaknya tidak mungkin untuk latihan logika. Melainkan untuk pikiran sederhana yang ada pada rata-rata manusia.

5. Hendakanya tidak merancukan yang pokok dengan pengecualian, Pembatasn, atau pengubahan, kecuali apabila dianggap Mutlak perlu.

6. Hendaknya tidak memancing Perdebatan/Perbantahan ; adalah berbahaya memberikan alasan-alasan yang terlalu rinci karena hal ini dapat membuka pintu Pertentangan.

7. Diatas segalanya, hendaknya betul-betul dipetimbangkan apakah mengadung manfaat Praktis; Hendaknya tidak menggiyahkan dasar-dasar nalar dan kedailan serta kewajaran yang alami; karena peraturan yang lemah tidak diperlukan, dan yang tidak adil akan menyebaban seluruh sistem poeraturan dlaam reputasi yang jelek dan karena itu mengguncangkan kewibawaan negara.

Penggunaa bahasa Hukum atau bahasa Yuridis itu dapat menimbulkan Gangguan Komunikasi antara pembuat Undang-undang dengan Masyarakat atau rakyat. Mengingat Penggunaan bahasa yang teknis Yuridis pada umunya tidak dapat dielakan, maka perlu diusahakan hal-hal berikut ;

1. Perlu adanya penjelasan dan penyulihan lebih banyak mengenai latar belakang lahirnya peraturn perundang-undangan serta kedaan yang mempengaruhinya sehingga penggunaan kata-kata, kalimat, dan ungkapan di dalamnya dapat dipahami lebih baik.

2. Penggunaan ragam bahasa teknis memng tidak dapat dihindarkan di mana-mana, tetapi penggunaan ragam bahasa teknis perundang-undangan dapat diatur lebih baik daripada ragam bahasa teknis lainnya; Jargon atau bahasa yang tipikal dan khas dibidang hukum dapat diganti, misalnya, Meskipun “Ciptaan – Ciptaan” baru hendaknya tidak makin menyulitkan.

3. Definisi yang dapat menjelaskan di sana-sini boleh digunakan untuk memberikan ketetapan pengertian. Tetapi arti kata-kata yang sudah diketahui masyarakat tidak perlu didefinisikan ; apabila definisi sulit dirumuskan, uraian pengertian dapat digunakan.

Dalam Menafsirkan Peraturan perundang-undangan, orang juga selama ini telah berpengalaman dengan beberapa dasar penafsiran yang digunakan. Hukum Inggris dan negara Anglo Saksis lain yang dipengaruhinnya mengenal apa yang diebut Penafsiran dengan “Pendekatan tujuan” (purpose approach), Pendekatan aturan Emas (Golden rule approach), selain itu ada juga dasar penafsiran dengan apa yang dikehendaki dan dituju oleh pembentuk Peraturan meskipun kehendak itu tidak tampak dalam tulisan, mengingat kata penganut pendekatan ini apa yang dikehendaki dalam peraturan sama kuatnya dengan apa yang tertuang di dalamnya. “Pendekatan Harfiah” menentuka bahwa yang dominnan adalah apa yang tercantum dalam kata-kata di dalam peraturan tersebut. Sedangkan “Pendekatan aturan Emas

Page 3: Bahasa Perundang -Undangan.

menafsirkan peraturan dengan mendasarkan apada pemberian arti kata-kata di dalamnya kepada makna yang biasa, kecuali apabila dengan demikian akan terjadi ketiadaan konsistensi, kejanggalan atau ketidaknyamanan Penafsiran sehingga pengadilan dapar menentukan, bhawa maksud pembentuk peraturan tidak mungkindiartikan demikian dan dengan begitu pengadilan dibenarkan untuk mengartikan sesuai dengan yang dimaksudnya. Pendekatan denga “Prinsip Tunggal “ yang diaanggap lebih Modern sebagai satu-satunya pendekatan yang benar berpendpat bahwa kata-kata dalam peraturn hendaknya dibaca dalam konteksnya dan makna bahasaya yang biasa, namun perlu dihubungkan dengan kehendak dan tujuan peraturan tersebut serta maksud para pembentuknyua. Prinsip pendekatan ini mengajarkan bahwa kata-kata dalam Peratuan hendaknya ditafsirkan dalam arti dan makna menurut tata bahasa yang biasa, kecuali jika dalam konteks atau objek peraturan ataupun dalam hubungan dengan penggunaannya terdapat petunjuk bahwa kata-kata itu mengadung arti dan makna yang berbeda dari biasanya.3

3 )Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H.,M.H., Ilmu perudang-undangan dasar-dasar dan pembentukannya, Penerbit Kanisius, Hal. 188-189.