Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

68
PRAKATA Jurnal Logat volume V nomor 1 tahun 2009 ini hadir di hadapan pembaca dengan edisi bahasa. Ada tujuh artikel yang dimuat dalam edisi ini. Topik yang ditulis sangat beragam, meliputi kajian linguistik kebudayaan, linguistik fungsional sistemis, psikolinguistik, dan sosiolinguistik. I Made Netra menulis tentang bahasa seni pertunjukan ragam humor dalam kajian bahasa dan jender. Netra mengulas perilaku seksis melalui bahasa yang digunakan para pelaku dalam seni pertunjukan di kota Denpasar baik bahasa humur melalui monolog maupun dialog. Fajri Usman menampilkan analisis linguistik kebudayaan tentang bentuk lingual tawa pengobatan tradisional Minangkabau. Bentuk lingual yang dianalisis terfokus pada kohesi leksikal yang meliputi sinonimi, antonimi, hiponimi, hamonimi, polisemi, dan kolokasi. Rumnasari K. Siregar menampilkan kajian linguistik fungsional sistemis tentang genre fiksi. Teks yang dikaji adalah teks “Lau Kawar” dan “Putri Tikus”. Kedua teks itu diperbandingkan dengan fokus analisis pada segi kutukan. Ni Wayan Sartini menulis tentang kearifan lokal budaya Jawa melalui ungkapan. Sartini menganlisis nilai-nilai yang terkandung dalam pribahasa, bebasan, dan saloka budaya Jawa. Ungkapan-ungkapan itu dapat menggambarkan sikap dan pandangan hidup orang Jawa, hubungan manusia dengan Tuhan, dan hubungan manusia dengan sesama manusia lainnya. I Made Netra kembali tampil bersama Ni Ketut Alit Ida Setianingsih dan I Gst. Ngurah Parthama, mereka menulis tentang kajian psikolonguistik bahasa skizofrenik, yang merupakan studi kasus para pasien di Rumah Sakit Jiwa Bangli, Bali. Mereka membagi tiga golongan pasien yakni pasien gundah gelisah, semi tenang, dan tenang. Ketiga golongan pasien ini dikaji dari segi bahasa dan perilaku skizofreniknya. Abdurahman Adisaputra membicarakan potensi kepunahan bahasa pada komunitas Melayu Langkat di Stabat, Sumatera Utara. Hal ini terjadi karena komunitas yang dwibahasawan atau multibahasawan. Berdasarkan 230 responden remaja Melayu Langkat ditemukan adanya pergeseran bahasa dari bahasa Melayu Langkat ke bahasa Indonesia. Simpulan yang dibuat oleh Abdurahman menunjukkan bahwa bahasa Melayu Langkat mengarah pada kondisi yang berpotensi terancam punah. Edisi ini ditutup dengan tulisan Mulyadi yang berjudul, “Kategori dan Peran Semantis Verba dalam Bahasa Indonesia”. Mulyadi mengkaji tipe dan peran semantik verba bahasa Indonesia dengan menerapkan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) dan teori Peran Semantis Rampatan (PSR). Simpulan yang dibuat Mulyadi adalah tipe semantik bahasa Indonesia terdiri atas keadaan, proses, dan tindakan, sedangkan peran semantisnya digolongkan pada aktor, agen, dan pasien. Medan, April 2009 Penyunting

Transcript of Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

Page 1: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

PRAKATA

Jurnal Logat volume V nomor 1 tahun 2009 ini hadir di hadapan pembaca dengan edisi bahasa. Ada tujuh artikel yang dimuat dalam edisi ini. Topik yang ditulis sangat beragam, meliputi kajian linguistik kebudayaan, linguistik fungsional sistemis, psikolinguistik, dan sosiolinguistik. I Made Netra menulis tentang bahasa seni pertunjukan ragam humor dalam kajian bahasa dan jender. Netra mengulas perilaku seksis melalui bahasa yang digunakan para pelaku dalam seni pertunjukan di kota Denpasar baik bahasa humur melalui monolog maupun dialog. Fajri Usman menampilkan analisis linguistik kebudayaan tentang bentuk lingual tawa pengobatan tradisional Minangkabau. Bentuk lingual yang dianalisis terfokus pada kohesi leksikal yang meliputi sinonimi, antonimi, hiponimi, hamonimi, polisemi, dan kolokasi. Rumnasari K. Siregar menampilkan kajian linguistik fungsional sistemis tentang genre fiksi. Teks yang dikaji adalah teks “Lau Kawar” dan “Putri Tikus”. Kedua teks itu diperbandingkan dengan fokus analisis pada segi kutukan. Ni Wayan Sartini menulis tentang kearifan lokal budaya Jawa melalui ungkapan. Sartini menganlisis nilai-nilai yang terkandung dalam pribahasa, bebasan, dan saloka budaya Jawa. Ungkapan-ungkapan itu dapat menggambarkan sikap dan pandangan hidup orang Jawa, hubungan manusia dengan Tuhan, dan hubungan manusia dengan sesama manusia lainnya. I Made Netra kembali tampil bersama Ni Ketut Alit Ida Setianingsih dan I Gst. Ngurah Parthama, mereka menulis tentang kajian psikolonguistik bahasa skizofrenik, yang merupakan studi kasus para pasien di Rumah Sakit Jiwa Bangli, Bali. Mereka membagi tiga golongan pasien yakni pasien gundah gelisah, semi tenang, dan tenang. Ketiga golongan pasien ini dikaji dari segi bahasa dan perilaku skizofreniknya. Abdurahman Adisaputra membicarakan potensi kepunahan bahasa pada komunitas Melayu Langkat di Stabat, Sumatera Utara. Hal ini terjadi karena komunitas yang dwibahasawan atau multibahasawan. Berdasarkan 230 responden remaja Melayu Langkat ditemukan adanya pergeseran bahasa dari bahasa Melayu Langkat ke bahasa Indonesia. Simpulan yang dibuat oleh Abdurahman menunjukkan bahwa bahasa Melayu Langkat mengarah pada kondisi yang berpotensi terancam punah. Edisi ini ditutup dengan tulisan Mulyadi yang berjudul, “Kategori dan Peran Semantis Verba dalam Bahasa Indonesia”. Mulyadi mengkaji tipe dan peran semantik verba bahasa Indonesia dengan menerapkan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) dan teori Peran Semantis Rampatan (PSR). Simpulan yang dibuat Mulyadi adalah tipe semantik bahasa Indonesia terdiri atas keadaan, proses, dan tindakan, sedangkan peran semantisnya digolongkan pada aktor, agen, dan pasien. Medan, April 2009 Penyunting

Page 2: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

DAFTAR ISI Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender) --------------------------------------------------------------------------------- 1-8

I Made Netra Universitas Udayana

Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)-------------------------------------------------------------------------------------------------- 9-18

Fajri Usman Universitas Andalas

Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis: Perbandingan Teks “Lau Kawar” dan “Putri Tikus” --------------------------------------------------------------------------------------------- 19-27

Rumnasari K. Siregar Politeknik Negeri Medan

Menggali Nilai Kearifan lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka, dan Peribahasa) ---------------------------------------------------------------------------------------------------- 28-37

Ni Wayan Sartini Universitas Eirlangga

Kajian Psikolinguistik Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus pada Rumah Sakit Jiwa Bangli ---------- 38-44

Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra, dan I Gst. Ngurah Parthama Universitas Udayana

Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara ------------------------------------------------------------------------------------ 45-55

Abdurahman Adisaputera Universitas Negeri Medan

Kategori dan Peran Semantis Verba dalam Bahasa Indonesia ------------------------------------------ 56-65

Mulyadi Universitas Sumatera Utara

logat Jurnal Ilmu-Ilmu Bahasa dan Sastra Volume V, No. 1, April 2009 ISSN: 1858 – 0831

Page 3: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ I Made Netra Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam

Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 1

PERILAKU SEKSIS DALAM BAHASA SENI PERTUNJUKAN

RAGAM HUMOR DI KOTA DENPASAR KAJIAN BAHASA DAN JENDER

I Made Netra

Universitas Udayana

Abstract This paper is aimed at (1) identifying and analyzing the forms of language of humor which has been constructed and used by both male and female players on the art performances in Denpasar; (2) describing and analyzing the functions of language of humor for the sake of marginalizing the women; and (3) describing to what extent the sexism is role-played by both players of human art performances in Denpasar.The result of the analysis showed that (1) the language of humor, in accordance with the types of communication, was constructed by monologues and dialogues taking the forms of free, incoherence, and conflict composition; (2) the sexist language used by the players of humor in art performances was directly and/or indirectly intended to ignore and marginalize the position of women; (3) the sexism considered that men were superior than women that pragmatically and metaphorically contained negative values of the position of women. It was limited to practices that led to the domination and discrimination of men toward women. It also showed that there was unfair treatment of one sex to the other sex, men to women, and women to women themselves. Key words: language, behavior, sexism, humor, marginal

1. PENDAHULUAN Penggunaan bahasa yang terkait dengan unsur-unsur di luar bahasa dapat dilihat dalam berbagai peristiwa tutur dan dilakukan oleh guyub tutur tertentu dengan nilai, norma budaya, dan adat istiadatnya. Aitchison (1992:19) mengatakan bahwa penggunaan bahasa, dengan berbagai ragamnya, sebagai alat berkomunikasi untuk menyatakan perasaan dan emosi dalam kaitannya dengan kontak sosial dan sebagai alat transmisi budaya. Salah satu contoh penggunaan bahasa yang paling sering dilihat dalam masyarakat Bali umumnya, terutama di Kota Denpasar khususnya, adalah penggunaan bahasa dalam seni pertunjukan ragam humor. Bahasa humor diyakini oleh masyarakat sebagai media untuk menyampaikan informasi, menyatakan rasa senang, marah, jengkel, dan simpati. Humor bisa berfungsi mengendorkan ketegangan atau katup penyelamat antara dua orang yang berselisih dan bersitegang. Humor juga digunakan untuk tujuan-tujuan seksis yang memanfaatkan perempuan sebagai objek, seperti merendahkan, menyepelekan, dan memarjinalkan posisi perempuan (Soedjatmiko 1992:69—70).

Terlepas dari dualisme fungsi humor tersebut, adakalanya humor digunakan oleh pelibat tertentu dengan memanfaatkan perempuan sebagai objek. Humor dimaksudkan untuk memarjinalkan posisi perempuan. Dalam peristiwa komunikasi seperti ini sering digunakan bahasa, ungkapan-ungkapan, atau pengandaian dengan perilaku yang mengarah pada pengabaian, perendahan, dan pelecehan terhadap kaum perempuan yang dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena itu, secara tersurat dan tersirat terdapat satu fenomena pemakaian atau pemanfaatan kaum perempuan sebagai objek pembicaraan yang signifikan dan sering menyakitkan perasaan oleh kaum laki-laki. Hal ini disebabkan oleh sistem masyarakat patrilineal yang dianut oleh sebagian besar penutur asli bahasa Indonesia. Dalam sistem ini kedudukan kaum laki-laki dianggap lebih tinggi daripada kaum perempuan. Demikian pula halnya dengan fungsi laki-laki dalam masyarakat yang dianggap lebih dominan dan unggul dibandingkan dengan kaum perempuan. Kaum perempuan ditempatkan pada posisi subordinat. Berdasarkan isu dan fenomena yang menyangkut bahasa secara makro tersebut, pengaplikasian konsep dan pendekatan bahasa dan jender perlu diuraikan. Adapun topik

Page 4: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ I Made Netra Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam

Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 2

pembahasannya dipayungi oleh konsep bahasa dan perilaku seksis dalam humor yang dikaji dari perspektif bahasa dan jender yang terkait dengan kajian wanita. Dalam hal ini dapat diasumsikan bahwa bahasa humor tergolong ke dalam bahasa seksis yang berbentuk monologis dan atau dialogis psikoanalitis, sosial, dan persepsi kognitif. Dilihat dari sasarannya, bahasa humor dapat berbentuk humor etnis, humor seksual, dan humor politik. Bentuk dan jenis bahasa humor seperti itu dipakai untuk tujuan-tujuan atau fungsi untuk mengabaikan, merendahkan perempuan, dan sejenisnya. Oleh karena itu, beberapa pertanyaan untuk menunjang asumsi tersebut dapat diformulasikan, yaitu 1) Bagaimanakah bentuk bahasa humor yang

dibangun dan digunakan oleh baik pelibat laki-laki maupun pelibat perempuan dalam seni pertunjukan ragam humor di Kota Denpasar?

2) Apakah pemakaian bahasa humor dalam seni pertunjukan di Kota Denpasar tersebut dimaksudkan untuk mengabaikan, merendahkan, dan menyepelekan perempuan sehingga termasuk bahasa seksis?

3) Sejauh manakah perilaku seksis yang ditunjukkan oleh para pelaku atau pelibat dalam seni pertunjukan ragam humor di Kota Denpasar?

2. KAJIAN PUSTAKA Pembicaraan mengenai kajian pustaka difokuskan pada uraian penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh para peneliti, para pengajar di perguruan tinggi atau para pemerhati bidang kajian wanita. Dalam mengkaji pustaka yang telah dilakukan sebelumnya ini, ada beberapa hal yang akan diuraikan, seperti aspek-aspek yang diteliti, teori yang diterapkan untuk menginvestigasi permasalahan yang diformulasikan, pemerolehan, dan hasil analisis data atau temuan. Berikut penjelasannya: 1) Nababan (2004) melakukan penelitian

mengenai wujud paham seksis. Aspek yang diteliti dalam penelitian ini adalah aspek kata generic yang seksis, dan paham atau perilaku seksis dalam berbahasa. Teori yang diterapkan adalah teori seksisme yang dipelopori oleh Cameron (1994), Vetterling-Braggin (1982), dan Persing (1978). Untuk menunjang penelitian ini, data yang diambil adalah data tulis yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti buku pelajaran bahasa Inggris SMP dan SMA, dan bahasa lisan dalam komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Adapun hasil analisis atau temuannya adalah

sebagai berikut: (1) Kata generic man merujuk pada manusia pada umumnya, dan oleh karena itu, kata gantinya seharusnya he or she. Sebaliknya kata man dalam “ A man was arrested yesterday. He was accused of stealing money from the bank”, bukan kata generic. Oleh sebab itu, penggunaan kata ganti he yang merujuk pada kata man, bukanlah kata seksis. Demikian pula, “The women were talkative”, bukan kalimat seksis karena the women yang dimaksudkan adalah wanita tertentu. Sebaliknya “women are talkative” adalah kalimat yang seksis karena kata women dalam kalimat tersebut merujuk pada perempuan pada umumnya. Padahal tidak semua wanita mempunyai sifat seperti itu;

2) Suroso (2004) membuat tulisan tentang jender dalam bahasa pria dan wanita. Aspek yang diteliti adalah dominasi bahasa pria dan bahasa wanita masa kini. Teori yang diterapkan adalah teori bahasa dan jender, khususnya konsep perbedaan bahasa pria dan wanita yang dipelopori oleh Wardhaugh (1976). Data diperoleh dari percakapan dan karya sastra bermuatan lokal Jawa. Hasil temuannya adalah sebagai berikut: (1) Pria menunjukkan superioritasnya dalam karya sastra tersebut yang direfleksikan oleh pemakaian leksikon; (2) Wanita dengan gaya bahasa yang terkesan pemalu, tertutup, genit, dan kurang percaya diri sudah mulai ditinggalkan. Sebaliknya, wanita masa kini cenderung bergaya tutur cerdas, terbuka, dan mandiri yang tercermin saat mereka mengungkapkan pikiran dan gagasannya baik secara lisan maupun tertulis.

3. KONSEP DAN LANDASAN TEORI Ada dua teori yang dikemukakan sebagai landasan teori untuk menjawab permasalahan yang telah diformulasikan, yaitu (1) teori humor dan linguistic humor, (2) teori bahasa dan jender. Selanjutnya, perlu diuraikan beberapa konsep untuk menunjang teori tersebut, seperti (1) konsep bahasa seksis dan (2) konsep perilaku seksis. Berikut adalah uraian lengkapnya. 3.1. Konsep Dalam kaitannya dengan topik tulisan ini, yaitu perilaku seksis dalam bahasa seni pertunjukan ragam humor: kajian bahasa dan jender, pemahaman terhadap konsep-konsep yang bertautan dengan topik itu perlu dipertimbangkan, seperti perilaku seksis dan bahasa seksis. Hal ini dimaksudkan untuk melihat adanya penggunaan

Page 5: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ I Made Netra Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam

Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 3

variasi bahasa oleh jenis kelamin tertentu yang dimaksudkan untuk merendahkan, menyepelekan dan mengesampingkan jenis kelamin tertentu (perempuan).

3.1.1 Bahasa Seksis

Suatu ujaran dapat dianggap seksis apabila penggunaannya mendorong atau mengisyaratkan adanya penekanan terhadap perempuan dan menunjukkan adanya eksploitasi terhadap jenis kelamin tertentu. (Veterling-Braggin dalam Nababan, 2004: 156). Dari pernyataan tersebut dapat diinterpretasikan bahwa bahasa seksis pada umumnya diujarkan atau dikomunikasikan oleh seorang laki-laki yang membicarakan perempuan sekitar keperempuananya. Bahasa seksis juga bisa diujarkan oleh perempuan terhadap perempuan lain tentang keperempuannya. Keperempuan seorang perempuan sebenarnya mengandung sifat dan cirri-ciri dan bahkan kesan yang ditimbulkan oleh seorang perempuan. 3.1.2 Perilaku Seksis Perilaku seksis mengacu pada istilah seksisme, yaitu suatu aliran atau paham yang menempatkan laki-laki pada posisi superior dan perempuan pada posisi marginal, dilecehkan, disudutkan (inferior). Untuk menunjang pengertian seksisme berikut dipaparkan beberapa pengertiannya. 1) Seksisme merupakan suatu paham atau sistem

kepercayaan yang mempercayai adanya fenomena yang masih menganggap jenis kelamin tertentu lebih unggul dari jenis kelamin yang lainnya. Dalam hal ini, jenis kelamin laki-laki dianggap lebih unggul dari jenis kelamin perempuan. Hal semacam ini tentunya terlihat dari bentuk bahasa yang dipakai oleh laki-laki didalam berkomunikasi, atau bisa juga terlihat dari monolog orang laki-laki tentang perempuan, mengandaikan perempuan dengan binatang yang jelek atau dengan benda-benda yang secara pragmatis dan metaforis mengandung nilai-nilai yang negative tentang perempuan. (Cobuild English Dictionary 1997:1512)

2) Seksisme tidak hanya terbatas pada paham tetapi juga pada praktek-praktek yang meneguhkan dominasi dan diskriminasi terhadap jenis kelamin tertentu, yaitu kaum laki-laki terhadap kaum perempuan atau bisa juga kaum perempuan sendiri yang melakukannya terhadap kaumnya sendiri atau sesamanya (Cameron dalam Nababan 2004:156)

3) Seksisme memperlihatkan adanya ketidakadilan atas perlakuan terhadap jenis

kelamin tertentu, kaum laki-laki terhadap kaum perempuan dan antar kaum perempuan itu sendiri atau sesamanya (Graddol dan Swann dalam Nababan 2004:156). Artinya, pada umumnya, kaum perempuanlah yang menjadi pasien dan korban ketidakadilan itu.

4) Seksisme memandang bahwa ketidaksetaraan kaum laki-laki dan kaum perempuan tidak saja terjadi dalam berbagai aktivitas kehidupan, namun pada dasarnya juga diwujudkan melalui bahasa baik secara verbal maupun nonverbal. (Persing dalam Nababan 2004:156)

3.2. Landasan Teori Untuk menjwab semua permasalahan yang telah diformulasikan di atas, maka diterapkan dua teori, satu teori yang menyangkut teori humor dan linguistic humor, dan yang lainnya adalah teori bahasa dan jender. Berikut adalah penjelasannya. 3.2.1 Teori Humor dan Linguistik Humor

Wilson (1979:10) menjelaskan bahwa humor diartikan sebagai bentuk bahasa yang mengandung kebebasan yang dapat dijelaskan dari sudut dampak emosionalnya; disamping itu humor juga mengandung konflik, yang dapat diartikan adanya dorongan untuk saling bertentangan diantara dua pelaku, dan ketidakselarasan yang merujuk kepada penjelasan kognitif.

Wilson (1979) juga mengatakan bahwa humor merupakan penyimpangan dari pikiran wajar yang diekspresikan secara ekonomis dalam kata-kata dan waktu. Dapat diinterpretasikan bahwa betapa humor itu digunakan dengan multi guna dan fungsi. Selanjutnya, bahasa humor dibangun sacara monologis dan atau dialogis dengan tipe bebas, konflik, dan tak selaras.

3.2.2 Bahasa dan Jender

Dalam pembicaraan sosiolinguistik, variasi bahasa dianggap sebagai variable utama, variasi mana sangat ditentukan oleh adanya jender atau perbedaan kondisi sosial dari laki-laki dan perempuan (Wolfram 1991:123). Dengan kata lain, yang menjadi ruang lingkup atau fokus pembicaraannya adalah perbedaan bahasa laki-laki dan bahasa perempuan di dalam komunitas regional dan social. Dalam hal ini, jender digunakan untuk menangkap dam menjelaskan fenomena-fenomena kompleks sosial, budaya, dan psikologi yang melekat pada seks atau jenis kelamin. Dengan demikian, variasi bahasa yang dibangun tidak bertautan dengan dengan fonologi, tata bahasa, dan leksikon, tetapi lebih bertautan dengan semantik atau makna yang terkandung pada bahasa yang sudah mengarah kepada konvensi penggunaan variasi bahasa tersebut. Dari

Page 6: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ I Made Netra Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam

Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 4

batasan ini terlihat bahwa pengkajian terhadap variasi bahasa berdasarkan jender ini merupakan kesepakatan atau konvensi penggunaan variasi bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari, baik secara verbal maupun nonverbal atau tulisan.

Penggunaan variasi bahasa berdasarkan jender lebih mengarah kepada konsep hubungan sosial yang menggambarkan perbedaan jenis tingkah laku atau perilaku. Salah satunya adalah perilaku seksis jenis kelamin tertentu terhadap jenis kelamin yang lainnya secara sosial, kultural dan psikologis. Oleh karena itu, variasi bahasa tersebut merupakan hasil bentukan masyarakat penutur melalui proses sosial dan budaya di suatu tempat, dan waktu-waktu tertentu. 4. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan memakai pendekatan semantik dan semiotik sosial. Metode dan teknik penelitian mencakup tiga tahapan, yaitu (1) metode dan teknik pemerolehan data, (2) metode dan teknik analisis data, dan (3) metode dan teknik penyajian hasil analisis data. 4.1. Metode dan Teknik Pemerolehan Data Dalam penelitian ini data yang diteliti adalah data lisan yang diambil dari beberapa pertunjukan seni di Kota Denpasar terutama di tempat-tempat atau pusat-pusat pertunjukan (Art Centre, tempat pementasan barong dance, dan lapangan puputan), seperti Calon Arang, Arja, Drama Gong, Paguyuban Lawak dan Wayang Kulit. Pemilihan seni pertunjukan di Kota Denpasar sebagai sumber data didasarkan atas pertimbangan bahwa bahasa yang digunakan dalam seni pertunjukan terutama dalam ranah humor sangat menyentuh masyarakat penonton yang kebanyakan berasal dari kalangan menengah ke bawah. Dengan demikian, substansi humor yang disampaikan oleh pelaku cenderung mengacu pada hal-hal yang bersifat seksis. Di samping itu, bahasa seni pertunjukan dalam ranah humor cenderung dibuat yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat tabu dan ditabukan, namun dalam setiap kesempatan hal yang tabu ini cenderung untuk dilanggar dengan berlindung di balik kreativitas manusia. Untuk pengambilan data lisan ini digunakan instrumen, seperti tape recorder, pulpen dan buku tulis atau buku catatan. Data diperoleh dengan metode simak (Sudaryanto 1993) dengan teknik catat dengan daya pilah sebagai pembeda reaksi dan kadar keterdengarannya (Sudaryanto 1993:25). Selanjutnya, diuraikan beberapa langkah

yang diambil untuk memperoleh data yang sahih, yaitu 1) Melakukan inventarisasi terhadap seni

pertunjukan yang dipertontonkan secara rutin di wilayah Kota Denpasar,

2) Melakukan perekaman secara langsung terhadap seni pertunjukan tersebut,

3) Hasil rekaman data tersebut didengarkan dan ditonton,

4) Mencatat bahasa humornya yang sarat dengan kandungan bahasa seksis dan perilaku seksisnya,

5) Melakukan klasifikasi data berdasarkan bentuk bahasa dan jenis humornya.

4.2. Metode dan Teknik Analisis Data Setelah data diperoleh dan diklasifikasikan, langkah selanjutnya adalah melakukan kodifikasi yang disesuaikan dengan ranah humor monologis atau dialogis. Kemudian baru dianalisis secara sistematis berdasarkan urutan permasalahan yang diformulasikan. Dalam hal ini, bentuk bahasa yang bisa membangun bahasa seni pertunjukan dalam ranah humorlah yang pertama-tama dianalisis, kemudian dilanjutkan dengan pengidentifikasian dan penganalisian bahasa seksis dan tujuan pemakaian bahasa seksis tersebut. Terakhir akan dianalisis sejauh mana perilaku seksis yang ditunjukkan oleh para pelaku dalam seni pertunjukan ranah humor tersebut. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode padan dengan alat bantu berupa tulisan atau teori-teori yang relevan di samping metode agih, yaitu metode yang alat bantunya justru bagian dari bahasa itu sendiri dengan menerapakan teknik dasar, yaitu teknik pilah unsur-unsur penentu (Sudaryanto 1986). Langkah-langkah analisis data dapat diuraikan sebagai berikut: a. Menganalisis bentuk bahasa humor yang

dibangun dan digunakan dalam seni pertunjukan ranah humor dengan menerapkan teori humor dan linguistic humor.

b. Menganalisis bahasa seksis dalam seni pertunjukan ranah humor, dengan menerapkan teori bahasa seksis.

c. Menganalisis perilaku seksis pelibat dalam seni pertunjukan ranah humor, dengan menerapkan teori seksisme atau perilaku seksis.

4.3. Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis

Ada dua metode dan teknik penyajian hasil analisis data, yaitu metode formal dan informal. Metode formal yaitu metode penyajian hasil analisis data dengan menggunakan statistic

Page 7: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ I Made Netra Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam

Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 5

berupa tabel dan angka, sedangkan metode informal, yaitu metode penyajian hasil analisis data yang menggunakan uraian kata-kata yang lengkap yang rinci dan terurai. Untuk memperoleh laporan atau hasil analisis data yang lengkap dalam penelitian ini, metode dan teknik yang dipakai untuk menyajikan hasil analisis data adalah metode formal dan informal dengan teknik penambahan, substansi, dan parafrase (Sudaryanto 1993:36). 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Bahasa Humor Monologis

Konstruksi bahasa humor yang pertama disebut dengan bahasa humor monologis. Dikatakan monologis karena hanya ada satu pelibat dalam teks, yaitu pembicara saja. Terdapat berbagai variasi konstruksi bahasa humor yang monologis, yaitu bebas tidak selaras dan bebas berkonflik. Perhatikan contohnya:

CB-M/1 Malen: …negakang sepeda, merebonding, jitne

nyurarit kedet padet, bahenol. Mara tolih muane, cara jelmane bencong

‘…bersepeda, rambutnya direbonding, pantatnya bahenol dan padat berisi. Baru dilihat mukanya, ternyata bencong.’

CB-M/2 Merdah: Ada anak nganten. Ane muani cara rejuna.

Ane luh kulitne putih, pupurne ngempul, cara krisdayanti. Makane anak luh ento lebih indah dari asline

‘Ada orang menikah. Yang laki seperti Arjuna. Yang perempuan kulitnya putih, memakai bedak yang tebal, seperti Krisdayanti. Maka dari itu, orang perempuan itu lebih indah dari aslinya.’

Data CB-M/1 dan CB-M/2 di atas

menunjukan bahwa jenis atau bentuk bahasa yang digunakan untuk membangun teks humor adalah bentuk bahasa yang monologis dengan tipe bebas tidak selaras. Bebas tidak selaras maksudnya adalah bahwa pada CB-M/1 digambarkan bahwa perempuan yang menaiki sepeda yang terkesan tidak kaya pergi merebonding rambutnya. Kegiatan ini termasuk kegiatan yang memerlukan biaya besar atau mahal; pada CB-M/2 terdapat kesan yang tidak selaras antara pengantin laki-laki dan perempuan. Pemakaian bentuk linguistik dalam teks tersebut menunjukkan bahwa betapa laki-laki dalam cerita monologisnya memandang perempuan itu sangat hina, tertekan, terpojok dan dipakai sebagai objek penderita dalam tuturannya. Laki-laki tersebut menunjukkan dan menonjolkan perilaku seksisnya melalui unsur-unsur linguistik

secara morfologis, sintaksis, dan secara tekstual semantik. Dalam hal ini, dia menggunakan unsur-unsur bahasa itu untuk tujuan-tujuan atau maksud-maksud tertentu. Dalam CB-M/1 terdapat ketidakselarasan bentuk dan makna yang ditonjolkan oleh unsur leksikal, seperti kata rebonding dan menaiki sepeda.

Secara sosial semestinya perempuan yang hanya pergi dengan bersepeda hanya memikirkan bagaimana dia bisa bertahan hidup. Mereka tidak semestinya merebonding rambutnya karena dianggap miskin. Sebagai bukti bahwa mereka digolongkan miskin adalah bahwa mereka selalu bepergian hanya menggunakan sepeda gayung. Secara psikologis, mereka yang melakukan kebiasaan seperti yang digambarkan tersebut adalah kaum perempuan, tetapi si pembicara menyebutkannya dengan bencong.

Dalam CB-M/2 pertentangan juga terjadi antara keadaan fisik pengantin laki-laki dan perempuan. Perempuan yang diperumpamakan seperti Krisdayanti merupakan perempuan pemalas, tidak mau bekerja untuk hidupnya, tetapi didapatkan bahwa pekerjaannya hanya berhias setiap hari. Walaupun tidak begitu adanya, karena bentuk perempuan itu jauh lebih baik dari aslinya. Dengan demikian, dari adanya perilaku seksis seorang laki-laki terhadap perempuan, bahasa yang digunakan untuk mencerminkan perilakunya yang seksis disebut dengan bahasa seksis. Dengan kata lain, bahasa seksis menunjukkan bahwa secara tersurat dan tersirat perempuan telah sangat direndahkan dan disepelekan serta ditempatkan pada posisi yang sangat marginal. Lebih jauh lagi, perempuan selalu dijadikan bahan pembicaraan, objek sosial dan psikologis dan sejenisnya. CB-M/3 I Luh Koncreng: Santukan tiang cewek orderan, kereng ajak

beli Tomblos, sering di Semabaung pindah ke Belanjong lan sane tiosan. Sekat ulung Bome di Kuta, siu limang atus kanggoang tiang.

‘Karena saya cewek order, sering dengan kak Tomblos, sering di Semawang terus pindah ke Belanjong, dan temapt lainnya. Semenjak terjadi Bom di Kuta, seribu lima ratus saya mau.’

CB-M/3 di atas menunjukkan bahwa

bahasa humor dibangun secara monologis dengan jenis bebas dan berkonflik. Artinya, I Luh Koncreng adalah perempuan yang secara bebas menyebutkan dan menjelaskan dirinya sebagai cewek order yang siap memuaskan para hidung belang. Konflik yang dimaksud adalah ada pertentangan antara hakikat kewanitaan yang hahiki, yakni sebagai wanita yang tidak hanya

Page 8: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ I Made Netra Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam

Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 6

sebagai pemuas suami, tetapi juga menjadi ibu rumah tangga. Akan tetapi, di sini I Luh Koncreng justru menyebut dirinya sendiri sebagai cewek orderan. Pemakaian jenis bahasa seperti ini dimaksudkan untuk merendahkan, melecehkan, dan mengabaikan perannya sendiri. Apalagi pada saat dia sepi orderan dia mau menerima bayaran seribu lima ratus sekalipun. Secara pragmatis, ujaran ini menegaskan betapa harga diri perempuan itu sangat hina, terpojok, terjepit, dan marjinal. Jadi, perilaku seksis seperti ini secara sosial terbatas pada praktik-praktik yang meneguhkan dominasi dan diskriminasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan atau bisa juga kaum perempuan terhadap kaumnya sendiri. Perilaku seksis juga memperlihatkan adanya ketidakadilan atas perlakuan terhadap jenis kelamin tertentu, kaum laki-laki terhadap kaum perempuan, dan antar kaum perempuan itu sendiri atau sesamanya.

5.2. Bahasa Humor Dialogis

Konstruksi bahasa humor yang kedua ialah bahasa humor dialogis. Dikatakan monologis karena hanya ada satu pelibat dalam teks di atas, yaitu pembicara saja. Terdapat berbagai variasi konstruksi bahasa humor yang monologis, yaitu bebas takselaras dan bebas berkonflik. Perhatikan contohnya: CB-D/1 Malen: Ngelah tunangan di suargan ‘Punya kekasih di surga’ Merdah: Awak tua adi ngitungan cewek/tunangan? Orang sudah tua, kok masih memikirkan cewek/ kekasih?’ Malen: Walau nanang tua, nu megigi satu/kenyang/. Nanang nu ngelah pangal pangijeng. (dialog) ‘Walaupun ayah sudah tua, ayah masih punya gigi 1/kuat. Ayah masih punya gigi graham.

Data CB-D/1 di atas menunjukan bahwa jenis atau bentuk bahasa yang digunakan untuk membangun teks humor berbentuk dialogis dengan tipe bebas pragmatis dan penuh dengan metafora. Dikatakan dialogis karena ada dua pelibat dalam teks di atas, yaitu pelibat satu yang memberikan stimulus atau pertanyaan dan pelibat dua yang memberikan respon terhadap stimulus tersebut. Pemakaian atau penggunaan bentuk linguistik dalam teks tersebut menunjukkan bahwa betapa laki-laki, yang berbicara dengan laki-laki lain yang membicarakan atau menjadikan perempuan

sebagai objek pembicaraannya, memandang perempuan tersebut sangat hina, tertekan, terpojok, dan dipakai sebagai objek penderita dalam tuturannya. Dengan demikian, mereka (lelaki yang berbicara) menunjukkan suatu perilaku yang seksis.

Perilaku seksis ini merupakan suatu paham atau sistem kepercayaan yang mempercayai adanya fenomena yang masih menganggap jenis kelamin tertentu lebih unggul dari jenis kelamin lain. Dalam hal ini, laki-laki dianggap lebih unggul dari perempuan. Hal semacam ini terlihat dari ujaran si Malen yang mengabaikan, melecehkan perempuan yang dijadikan pacarnya. Ujaran yang pragmatis yaitu magigi satu yang melambangkan kekuatan seksnya walaupun sudah berumur, dan ngelah pangkal pangijeng ‘punya gigi pangkal’ yang dimaksudkan bahwa dia masih mempunyai kekuatan yang bisa diandalkan dan memuaskan pacarnya secara biologis.

Secara konotasi hal ini dimaksudkan dengan perempuan atau wanita itu dianggap hina seperti sepeda dan hanya dijadikan alat atau objek semata dan bisa ditiduri atau disetubuhi. Dengan kata lain, wanita itu dipakai sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan biologis lelaki. Dengan demikian, data di atas menunjukkan adanya perilaku seksi lelaki terhadap perempuan dimana lelaki tersebut bermaksud mengabaikan perannya yang asali, melecehkan dan menyepelekan perempuan. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan oleh lelaki tersebut tergolong bahasa seksis. Kenyataannya bahwa laki-laki masih dominan sekali dalam kehidupannya sehingga memandang perempuan sangat hina melalui ungkapan yang dinyatakan dengan bahasa.

CA-D/2 Punta: Apa hubungan kurenan cange ajak Batara? Apa hubungan antara istri saya dengan Tuhan?’ Wijil: Kurenan beline maturan state teken Ida Batara Istrimu selalu berdoa dan menyembah Tuhan’ Punta : Ya sing maturan ‘Bagaiman kalau tidak saat sembahyang?’ Wijil: Adi sing ‘Kenapa tidak?’ Punta: pas sing dadi dugas ento Pas tidak boleh saat itu’ Wijil: kan bisa buin tiban ngaturan bakti ‘Kan bisa satu tahun lagi melakukan sembahyang’

Page 9: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ I Made Netra Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam

Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 7

Punta: pas kayang ento iya sing dadi. Kenken? Pas nanti dia juga akan tidak boleh. Gimana?’ Wijil: men buin tibane? ‘Terus setahunnya lagi, kan bisa?’ Punta : pas masi ya sing dadi?... Pas juga dia tidak boleh…

Data di atas menunjukkan bahwa bahasa

seksis digunakan oleh laki-laki kepada laki-laki yang membicarakan perempuan. Makna sosial dan kultural pada data tersebut adalah adanya pelecehan dan pengabaian perempuan. Walaupun demikian, bentuk linguistik, seperti pas masi ya sing dadi?... ‘pas juga dia tidak boleh’ menunjukan perilaku seksis, yaitu bahwa istrinya tidak diberikan kesempatan untuk berdoa dan bersembahyang ke pura karena diyakininya bahwa setiap ada upacara di pura itu istrinya pasti tidak bisa secara sosial dan fisik karena secara kodrati perempuan mengalami menstruasi. Mereka yang mengalami menstruasi secara kultural dan pragmatis tidak diperbolehkan melakukan persembahyangan. 6. SIMPULAN Dari analisis data di atas dapat disimpulkan dua hal yang sesuai dengan permasalahan penelitian, yaitu: 1. Berdasarkan jenis komunikasinya, bahasa

seksis yang ditemukan dan digunakan dalam buku humor (komedi) adalah komunikasi monologis dan dialogis.

2. Bahasa seksis yang digunakan dalam humor antara jenis kelamin dengan jenis kelamin tertentu dimaksudkan untuk menjadikan perempuan sebagai objek atau merendahkan, menyepelekan, dan mengesampingkan perempuan yang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara tidak langsung dengan pengandaian, dan secara langsung antara jenis kelamin tertentu, seperti antara perempuan dengan perempuan, antara laki-laki dengan laki-laki adalah dan antara laki-laki dengan perempuan. Sebaliknya, secara implisit perempuan pun bisa berperilaku seksis di depan kaumnya sendiri dan terhadap laki-laki sehingga laki-laki tersebut diabaikan, dilecehkan, dan disepelekannya.

DAFTAR PUSTAKA Anggara, Dwi A. 2001. “Bahasa Perempuan”.

Makalah yang Disajikan dalam Kongres Linguistik Nasional X. Kerja sama antara Masyarakat Linguistik Indonesia, Pusat Bahasa dan Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Ayim, M. N. 1997. The Moral Parameters of

Good Talk: A Feminist Analysis. Waterloo, Ontorio, Canada: Wilfrid Laurier University Press

Chamber, J. K. dan P. Trudgill. 1980.

Dialectology. Cambridge: Cambridge University Press

Collins, H. 1997. Cobuild English Dictionary.

Birmingham: Harper Collins. Dhanawaty, Ni Made. 2002. “Teori Akomodasi

dalam Penelitian Dialektologi”. Makalah yang Disajikan dalam Kongres Linguistik Nasional X. Kerja sama antara Masyarakat Linguistik Indonesia, Pusat bahasa, dan Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Graddol, D. dan Swam, J. 1989. Gender Voice.

Oxford: Basil Blackwell. Jendra, I Wayan. 1991. Dasar-Dasar

Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana Lakoff, Robin. 1975. Language and Woman’s

Palace. New York: Harper & Row. Nababan, M. 2004. “Paham dan Perilaku Seksis

dalam Berbahasa”. Makalah yang Disajikan dalam Kongres Linguistik Tahunan Atma jaya: Tingkat Internasional. Diselenggarakan oleh Pusat kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya.

Purwo, Kaswanti B. (Penyunting) 1992. Budaya

dan Bahasa. Jakarta: Kanisius. Sibarani, Robert. 2002. “Fenomena Plesetan

Bahasa dalam Bahasa Indonesia”. Makalah yang Disajikan dalam Kongres Linguistik Nasional X. Kerja sama antara Masyarakat Linguistik Indonesia, Pusat Bahasa, dan Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Page 10: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ I Made Netra Perilaku Seksis dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam

Humor di Kota Denpasar (Kajian Bahasa dan Jender)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 8

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Soedjatmiko, Wuri. 1992. “Aspek Linguistik dan

Sosiokultural di dalam Humor”. Makalah yang Disajikan dalam Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya ke-5. Diselenggarakan oleh Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.

Suroso. 2004. “Jender dalam bahasa Pria dan Wanita”. Makalah yang Disajikan dalam Kongres Linguistik Tahunan Atma Jaya: Tingkat Internasional, Diselenggarakan oleh Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya.

Wilson, Christopher P. 1979. Jokes: Form,

Content, Use and Functions. New York: Academic Press.

Wolfram, Wolf. 1991. Dialects and American

English. The United States: University of the District of Columbia and Center for Applied Linguistics.

Page 11: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Fajri Usman Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 9

BENTUK LINGUAL TAWA PENGOBATAN TRADISIONAL MINANGKABAU (ANALISIS LINGUISTIK KEBUDAYAAN)

Fajri Usman

Universitas Andalas

Abstract ”Tawa in Minangkabaunese traditional medicines is a cultural heritage. It is in the form of free poems, rithmic prose, and potentially has tribal magic or pray which uses Minangkabaunese language or the combination of Minangkabaunese language and Arabic which is based on believe and mistical behavior. The analysis is focused on its lingual forms in the semantic level. The spoken data are gathered by non-face to face interview and are analysis by equal and distributional method. The results of the analysis show that the lingual forms of Minangkabauneses “tawa” included semantic features, i.e. synonymy, antonymy, homonymy, polysemy, and collocations. Key words: “tawa”, traditional medicine, Minangkabauneses and cultural linguistics

1. LATAR BELAKANG Tawa merupakan wacana budaya Minangkabau yang berbentuk puisi bebas dan prosa liris yang berpotensi memiliki kekuatan gaib, atau doa kesukuan, yang memanfaatkan bahasa lokal dengan didasari oleh keyakinan yang telah diwariskan oleh para leluhur. Agar kekuatan gaibnya bermanfaat, tawa tidak cukup dihafal, tetapi harus disertai dengan laku mistik. Tawa dapat mengandung tantangan atau kutukan terhadap suatu kekuatan gaib dan dapat pula berisi bujukan agar kekuatan gaib tersebut tidak berbuat yang merugikan.

Kekhasan dan keunikan tawa pengobatan tradisional Minangkabau (TPTM) untuk diteliti adalah karena produk tradisi ini memiliki unsur tabu untuk dibicarakan sehingga cenderung terlupakan. TPTM juga merupakan doa sakral yang mengandung magis dan berkekuatan gaib. Sebagai wacana tabu pada TPTM, tawa terbukti dalam pemerolehan data tidak hanya membutuhkan waktu yang cukup, tetapi juga membutuhkan kesiapan psikologis. Tabu dalam penelitian ini mengikuti konsep Winick (1958:522 dalam Laksana 2003), yaitu “larangan” (yang jika dilanggar mendatangkan hukuman akibat pengaruh magis atau hal-hal yang berhubungan dengan religi).

Bentuk yang ditabukan pada TPTM adalah TPTM dilarang untuk diturunkan pada anak-anak dan remaja yang berumur di bawah 17 tahun. TPTM juga didapatkan (berguru) dari seorang dukun pada malam hari (pukul 24.00). Praktik perdukunan oleh seorang murid boleh dilakukan apabila mendapat izin dari sang guru

atau apabila sang guru sudah meninggal. Tawa yang dibaca secara terang-terangan di tengah khalayak akan hilang kemanjuran dan kemagisannya. Bentuk atau struktur lingual TPTM secara semantis berbeda dengan bentuk atau struktur lingual bahasa Minangkabau formal ataupun bahasa Minangkabau sehari-hari. TPPM memadukan bahasa Arab dan bahasa Minangkabau dalam membentuk kesatuan makna.

Penelitian tawa sebagai kekuatan tradisi masa lampau di Minangkabau terdahulu lebih terfokus pada teksnya tanpa banyak melibatkan konteksnya. Penelitian itu dilakukan oleh Medan (1964), Bakar (1981), Junus (1983). Penelitian tawa dalam kajian linguistik kebudayaan sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan. Kenyataan ini menjadikan objek penelitian tersebut sebagai hal yang baru dan perlu dikaji. Kajian ini memang cukup rumit, terutama dalam pemerolehan datanya. Namun, jika hal itu tidak dilakukan, TPTM sebagai kekayaan budaya lokal akan tenggelam dimakan zaman. Oleh karena itu, kajian ini perlu dilakukan dan diharapkan dapat mengungkapkan aspek-aspek bahasa dalam teks TPTM, terutama yang berkaitan dengan bentuk lingual pada tataran semantis.

2. PEMBAHASAN 2.1. Ciri Semantis TPTM

Leksikon adalah komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa (Kridalaksana 1993:127). Elemen leksikal dalam TPTM ini memberi gambaran bagaimana melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata

Page 12: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Fajri Usman Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 10

yang tersedia dalam data. Kata ‘meninggal’, misalnya, mempunyai kata lain: mati, tewas, gugur, terbunuh, wafat, mangkat, berpulang/kembali ke rahmatullah, almarhum/almarhumah. Di antara beberapa kata yang tersedia dapat dipilih penggunaannya sesuai dengan pemaknaan seseorang terhadap faktor sosial budaya suatu daerah (sesuai dengan realitas). Keraf (1981:19) mengatakan bahwa pemilihan kata merupakan kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa.

Bentuk lingual TPTM difokuskan pada kohesi leksikal, yakni (1) sinonimi, (2) antonimi, (3) hiponimi, (4) homonimi, (5) polisemi, dan (6) kolokasi.

2.1.1. Sinonimi

Analisis makna sinonimi dalam TPTM dilakukan selain untuk melihat kesamaan dan perbedaan suatu kata juga untuk melihat kata asli dan kata serapan, dan potensi sinonimi dalam pembentukan bentukan baru. Sinonim yang muncul antara kata asli dan serapan, antara kata berdasarkan kolokasi, dan antara dialek dan bahasa umum tidak perlu dibedakan atau dibatasi karena kemunculannya sebagian terjadi secara alami dan sebagian disengaja. Akan tetapi, sinonimi antara kata-kata intrabahasa dan sinonimi antara kata-kata bentukan baru (neologisme) perlu dibedakan berdasarkan pemakaiannya dan sikap serta pendirian pemakainya. Ada beberapa perbedaan makna yang dapat diidentifikasi antara kata-kata yang bersinonimi (Parera 2002:68-69). Berikut ini contoh analisis sinonimi yang terdapat pada TPTM.

2.1.1.1 Sinonimi kata asli dan kata serapan Kontak bahasa dapat terjadi antarbahasa serumpun dan antarbahasa tidak serumpun. Kontak itu menimbulkan serapan kata yang bermakna. Salah satu ciri serapan ialah serapan kata yang bermakna sama dengan kata bahasa penyerap. Bahasa Indonesia mengalami proses serapan dengan ciri sinonimi, seperti kata serapan temperatur bersinonimi dengan suhu. Dalam TPTM kata insan diserap dari bahasa Arab yang bersinonim dengan manusia, roh seperti contoh berikut.

Data (5): Moambiak Insen (Mengambil Insan) Bismillahirrahmanirrohim (1) Insan sa’ir insan sya’ir ‘Insan sya’ir’

(2) Insan takbir insan takbir ‘Insan takbir’ (3) Insan alam sari’at insan alam syari’at ‘Insan alam syari’at’ (4) Masuaklah engkau ko dalam insan Olloh ‘Masuklah engkau ke dalam insan Allah’ (Data

PSM) 2.1.2. Antonimi

Ada beberapa macam pertentangan makna antonimi yang dapat diidentifikasi antara kata-kata yang berantonimi (Parera 2002:74-75), seperti uraian berikut. 2.1.2.1. Pertentangan kenasabahan

Antonim tipe kenasabahan adalah pertentangan yang menunjukkan hubungan kekeluargaan, ketugasan, atau keorganisasian: suami-istri; orang tua-anak; kakak-adik; pria-wanita; majikan-buruh; pimpinan-pengikut; ketua-anggota; guru-murid; dan komandan-prajurit. Berikut ini contoh antonimi kenasabahan yang terdapat pada TPTM.

Data (1): Tawa Penurut ( Sijundai) (1—11) Malu aku malu angkau ‘malu PRO1TG malu PRO2TG ‘Malu aku malu engkau’ (1—12) Malu angkau malu aku ‘malu PRO2TG malu PRO1TG ‘Malu engkau malu aku’

PRO1TG (aku) dan PRO2TG (engkau)

pada data (1:11—12) merupakan antonimi yang bersifat hubungan ketugasan yang terjadi antara dukun dan makhluk gaib. Antara dukun dan makhluk gaib dalam konteks ini berlaku aturan seperti majikan dan buruh, pimpinan dan bawahan, ketua dan anggota, guru dan murid, dan komandan dan prajurit. Pertentangan makna antonimi kenasabahan berfungsi untuk terjalinnya suatu kerja sama antara yang memerintah dan yang diperintah dalam proses penyampaian suatu maksud. Antonimi yang terjadi pada data (1:11—12) merupakan antonimi yang sifatnya berbeda dalam rentang yang menunjukkan bahwa satu unsur leksikal memiliki sejumlah kata sebagai lawannya. Sebagai contoh, pada TPTM, lawan dari aku tidak selamanya engkau, beberapa kemungkinan dapat menjadi lawan kata itu seperti kamu, anda (si anu), diaku, kau, -mu (Saragih 2002:150). Sebagai contoh bahwa aku tidak selamanya mempunyai lawan engkau, perhatikan data berikut ini.

Data (14): Tawa Ciko ( sejenis obat sakit perut)

Page 13: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Fajri Usman Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 11

Bismillahirrahmanirrahim (14—4) Aku monorawi Si anu PRO1TG AKTtawarSuf ART orang itu ‘Aku mengobati orang itu’ (Data, 15): Tawa Patah Tulang/Tokiliar (tawa

patah/ salah urat) Bismillahirrahmanirrahim (15—1) Kususun siriah kususun kususun sirih kususun ‘Saya susun sirih disusun’ (15—2) Kususun ko bondar lamo kususun ke parit lama ‘Kususun ke parit lama’ (15—3) Urek Si anu bosusun-susun urat Si anu bersusun-susun ‘Urat Si anu bersusun-susun

Data (14 dan 15) menunjukkan bahwa

dalam tawa Minangkabau antonimi yang bersifat rentang, yakni kata aku (ku) juga berantonim dengan kata si anu (kamu). Bentuk lain antonim yang bersifat rentang itu juga terdapat pada kata tawar yang berantonim dengan kata bisa, racun, atau penyakit. 2.1.2.2. Pertentangan berbalasan

Antonim tipe berbalasan juga disebut antonimi tipe komplementer. Pertentangan makna ini menurut balasan atau balikan sebagai pelengkap makna jika dikehendaki sesuai dengan konteks: tanya-jawab; stimulus-respons; menyerang-menahan; memberi-menerima; membeli-menjual; tambah-kurang, lebih-kurang; dan positif-negatif. Antonimi ini sangat dominan terjadi dalam tawa Minangkabau karena penyakit sesuatu yang berlawanan dengan pengobatan.

Data (10): Tawa Sakit Perut (10—14) Lah masuak sakalian tawa ART masuk sekalian tawar ‘Sudah masuk sekalian tawa’ (10—15) Lah kalua sakalian biso ART keluar sekalian bisa ‘Sudah keluar sekalian bisa’ Data (37): Tawa Sakik Paruik (37—13) Masuak sakalian tawa ‘Masuk semua obat’ (37—14) Kalua sakalian panyakik keluar semua Pref sakit ‘keluar semua penyakit’ (Data SLK)

Bentuk antonimi yang bersifat berbalasan

terdapat pada kata tawar yang berantonimi dengan kata bisa/racun, atau penyakit. Kata tawa ‘tawar’ pada TPTM selalu didahului oleh verba masuk dan PRO2 NT. Sebaliknya, bisa (racun) didahului oleh verba keluar dan juga diikuti PRO2NT. Pertentangan kata itu menggambarkan proses

pengobatan dari seorang dukun terhadap penyakit yang diderita oleh pasien. 2.1.2.3. Pertentangan tempat

Antonimi tipe pertentangan tempat ini menunjukkan arah yang bertentangan atau letaknya berhadapan: utara-selatan; atas-bawah; muka-belakang; luar-dalam; kiri-kanan. Tipe antonim tempat ini dapat dimasukkan ke dalam partikel tempat: ke- dari; ke mana-dari mana. Berikut ini contoh analisis antonimi berdasarkan pertentangan tempat yang terdapat pada TPTM.

Data (9): Didiang Baden ( Pertahanan Diri) Bismillahirrahmanirrohim (9—1) Kiromen di kiri ku Kiraman Prep kiri PRO1TG ‘Kiraman di kiriku’ (9—2) Kotibin di kanen ku Katibin Prep kanan PRO1TG ‘Katibin di kananku’ Data (29): Tawa Hantu Jaek Bismillahirrahmanirrohim (29—13) Ka ateh indak ba pucuak Prep atas NEG Pref pucuk ‘Ke atas tidak berpucuk’ (29—14) Ka bawah indak ba urek Prep bawah NEG Pref urat ‘Ke bawah tidak berurat’

Data (9:1—2 dan 29:13—14) merupakan bentuk antonimi yang menunjukkan arah yang bertentangan atau letaknya berhadapan. Pertentangan dalam tawa Minangkabu ini berfungsi untuk membuat sesuatu seimbang baik yang menunjukkan hal positif maupun hal negatif. Pada data (9) pertentangan antara kiri dan kanan menunjukkan penjagaan dari makhluk gaib (Malaikat) yang berfungsi sebagai pembenteng manusia dari hal yang baik dan yang tidak baik. Pertentangan pada data (29) merupakan pertentangan tempat antara atas dan bawah berupa sumpah (ancaman) terhadap makhluk gaib (jin) yang menjadikan manusia sakit. Jadi, pertentangan pada data (9 dan 29) memiliki dua fungsi, yakni untuk keseimbangan dan untuk keamanan pada manusia. 2.1.2.4. Pertentangan jenjang

Antonim tipe pertentangan jenjang mencakup pertentangan dalam jenjang kepangkatan, tahun, bulan, dan hari. Pertentangan jenjang ini menunjukkan satu hierarki: kapten-mayor-letnan kolonel; asisten (asisten ahli, asisten madya)-lektor (lektor muda, lektor madya, lektor, lektor kepala); profesor (profesor madya, profesor); tahun 2001-2002-2003; Januari-Pebruari-Maret-April-Mei, dan sebagainya. Nama hari bermula dari Minggu-Senin-Selasa-Rabu-

Page 14: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Fajri Usman Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 12

Kamis-Jumat, dan Sabtu. Berikut ini analisis antonimi berjenjang yang terdapat pada TPTM.

Data (29): Tawa Hantu Jaek (29—12) Sa banyak titiak, sa banyak barih nyo Pref banyak titik Pref banyak baris

POSS3TG ‘Sebanyak titik sebanyak barisnya’ (Data, 63): Tawa Penangkal Supaya Anak Tidak

Terkejut Bismillahirrahmanirrohim

}18{صم بكم عمى فهم ال يرجعون Shummum bukmum ‘umyumfahum

laayarji’uun Mereka tuli, bisu, dan buta, maka

tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar), (QS. 2:18)

Antonimi berjenjang pada TPTM

berbentuk klimaks (urutan yang bawah ke yang tinggi). Pada data (29) kata titak ‘titik’ dan barih ‘baris’ bertentangan secara berjenjang. Pertentangan jenjang tersebut berhubungan dengan sistem penulisan/bacaan yang berlaku dalam bahasa Arab (Al-qur’an). Dasar untuk membaca huruf atau menentukan huruf dalam bahasa Arab ditentukan oleh titiknya, sedangkan untuk menentukan makna kosakatanya ditentukan oleh barisnya. Data (63), yakni kata tuli, bisu, dan buta juga merupakan antonimi jenjangan yang terjadi pada tingkatan penyakit yang diderita oleh seseorang. Tuli merupakan penyakit yang diderita oleh seseorang karena rusak pendengarannya (pekak). Bisu tidak dapat mendengar dan sekaligus tidak dapat menghasilkan pembicaraan yang dapat dimengerti; bisu tuli tidak mampu memahami makna kata yang didengar. Orang yang tuli dari kecil akan berakibat bisu karena dia tidak pernah mendengar.

2.1.2.5. Pertentangan khas

Antonimi khas adalah antonimi yang muncul secara morfologis dan mempunyai makna yang berbeda walaupun bentuk dasarnya sama. Dalam bahasa Indonesia beberapa kata yang bertentangan secara khas berada dalam satu paradigma morfologis tertentu. Bandingkan pertentangan khas di bawah ini. • menyewa – menyewakan • meminjam – meminjamkan; menguliti kambing –

menguliti buku • menyusu – menyusukan; membului ayam –

membului anak panah • mewarisi – mewariskan; menyisiki ikan –

menyisiki layang-layang

Antonim dalam contoh di atas disebut khas kerena antonim itu muncul secara morfologis walaupun bentuk dasarnya sama. Kata menyewa berarti mendapat sewa, sedangkan menyewakan berarti memberi sewa. Dalam hal ini, kata mendapat dan memberi berantonim. Demikian juga, kata menyusui, mewarisi berarti mendapat, sedangkan bentuk menyusukan, mewariskan berarti memberi.

Antonim bentuk menguliti, membului muncul berdasarkan konteks dan kata yang menjadi objeknya. Frasa menguliti kambing berarti membuang kulit kambing, sedangkan frasa menguliti buku berarti memberi kulit pada buku. Frasa membului ayam, menyisikan ikan berarti membuang berantonim dengan frasa membului anak panah, menyisiki layang-layang dengan makna memberi.

Data (17): Tawa Monggiloke Lukah

(Menggilakan Lukah) (17—32) Yo kok murah dipomurah ya KONJ mudah dipermudah ‘Kalau bisa mudah dipermudah’

Kata murah ‘mudah’ pada data (17—32) berarti mendapat kemudahan (tidak sulit), sedangkan kata dipomurah ‘dipermudah’ berarti menjadikan mudah (memberikan kemudahan). Jadi, kata mendapat kemudahan berantonim dengan memberi kemudahan. Kata murah dalam bahasa Minangkabau diucapkan sama, ejaan sama tetapi artinya berbeda, yakni bisa berarti harga dan bisa berarti mudah. Sementara itu, tipe kalimat pada data (17—32) merupakan kalimat imperatif dalam bentuk permintaan. Dalam konteks ini, permintaan tersebut dilakukan oleh seseorang (dukun) pada makhluk gaib untuk memberikan kemudahan terhadap pasien. 2.1.3. Hiponimi

Hiponimi adalah relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna generik, seperti makna anggrek dalam makna bunga (anggrek, melati, kamboja, dan mawar berhiponim dengan bunga), dan makna kucing dalam makna binatang (kucing, anjing, kambing, dan kuda berhiponimi dengan binatang (Darmo Kushartanti dkk 2005:118). Sementara itu, Saragih (2002:151) mengatakan bahwa hiponim menunjukkan hubungan anggota-kelompok. Dua kata atau lebih merupakan hiponim jika satu kata merupakan anggota dari kata yang menjadi grup atau kelompoknya. Dengan kata lain, hiponim merupakan rincian atau anggota dari suatu kelompok. Berikut analisisnya dalam TPTM.

Page 15: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Fajri Usman Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 13

Data (1): Tawa Penurut ( Sijundai) Bismillahirrahmanirrahim (1—1) Hai Si Rajo Jin Tungga INTJ-ART Raja Jin Tunggal ‘Hai si Raja Jin Tunggal’ (1—4) Jin tungga Si Layak Angin jin tunggal ART Layak Angin’ ‘Jin tunggal Si Layak Angin’ (1—5) Si Bujang Mambang Dubalang ART muda Mambang Hulubalang’ ‘Jin muda penjaga’ Data ( 2 ): Tawa Gangguan Makhluk Gaib Bismillahirrahmanirrahim (2—1) Si Ugam namo bapak mu ART Ugam nama bapak POSS2TG ‘Si Ugam nama bapakmu’ (2—2) Puti Nurgaini namo ibu mu Putri Nurgaini nama ibu POSS2TG ‘Putri Nurgaini nama ibumu’ Data (3): Tawa Tuju Ruyung Bismillahirrahmanirrahim (3-1) Hong… Si Bobun Tungga hong … ART Babun Tunggal ‘Hong… Si Babun Tunggal’

Data (1:1, 4, 5), (2:1, 2), dan (3:1) merupakan hiponimi, relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna generik. Ketiga data di atas merupakan hiponimi yang menunjukkan hubungan anggota-kelompok. Dengan kata lain, hiponimi tersebut merupakan rincian atau anggota dari suatu kelompok. Jin Tungga, Layak Angin, Mambang Dubalang, Ugam, Puti Nurgaini, dan Babun Tungga merupakan makna yang menunjukkan nama-nama makhluk gaib pada TPTM yang menunjukkan hubungan anggota kelompaok.

Data ( 5 ): Moambiak Insen (Mengambil Insan) Bismillahirrahmanirrohim (5—1) Insan sa’ir insan Sya’ir ‘Insan Sya’ir’ (5—2) Insan takbir insan takbir ‘Insan takbir’ (5—3) Insan alam sari’at Insan alam syari’at ‘Insan alam syari’at’

Data (5:1—3) juga merupakan hiponimi

yang menunjukkan relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna generik. Data (5:1—3) di atas merupakan hiponimi yang menunjukkan hubungan anggota-kelompok (insan). Dengan kata lain, hiponimi tersebut merupakan rincian atau anggota dari suatu kelompok. Sya’ir, takbir, dan syari’at merupakan makna yang menunjukkan nama-nama insan pada

TPTM yang menunjukkan hubungan anggota kelompok.

2.1.4. Homonimi

Homonimi ialah dua ujaran dalam bentuk kata yang sama lafalnya dan atau sama ejaannya/tulisannya. Bentuk homonimi dapat dibedakan berdasarkan lafal dan tulisannya. Dua ujaran dalam bentuk kata yang sama lafalnya, tetapi berlainan tulisannya disebut homofon. Misalnya, bank dan bang, sanksi dan sangsi. Selain itu, dua ujaran dalam bentuk kata yang sama ejaannya, tetapi berlainan lafalnya disebut homograf. Misalnya, teras dan teras, bela dan bela dalam bahasa Indonesia (Parera 2002:81). Darmojuwono, sebagaimana dikutip Kushartanti,dkk (2005:116), mengatakan bahwa homonimi adalah relasi makna antarkata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda. Kata-kata yang ditulis sama, tetapi maknanya berbeda disebut homograf, misalnya tahu (makanan) dan tahu (paham), sedangkan yang dilafalkan sama tetapi berbeda maknanya disebut homofon, misalnya masa (waktu) dan massa (jumlah besar yang menjadi satu kesatuan).

Verhaar berpendapat bahwa analisis homonimi adalah analisis linguistik sehingga kriteria linguistik yang dipergunakan untuk menganalisis homonimi. Pertama, secara linguistis homonimi ialah ujaran, baik kata, frasa, klausa, maupun kalimat yang sama bentuknya dengan ujaran yang lain, tetapi mempunyai perbedaan makna. Kedua, ciri untuk menguji perbedaan makna itu ialah ciri suprasegmental, morfofonemik, ciri unsur bawahan langsung, dan ciri hubungan struktur dalam dan struktur luar. Ketiga, homonimi ini dapat terjadi pada satuan kata, frasa, klausa, dan kalimat. Berikut ini analisis homonimi dalam TPTM antara kata, antarfrasa.

2.1.4.1. Homonimi antara kata

Homonimi dalam bahasa Indonesia memiliki dua bentuk, yakni homonimi antarkata bermorfem tunggal dan homonimi bermorfem jamak. Misalnya, kata mengukur1 dan ‘mengukur2’. Kata mengukur1 diturunkan dari bentuk dasar kukur dan mengukur2 diturunkan dari bentuk dasar ukur. Contoh lain kata mengurus (dari kurus) dan mengurus (dari urus), kata mengurung (dari kurung) dan mengurung (dari urung).

Data (3): Tawa Tuju Ruyung Bismillahirrahmanirrahim (3—8) Engkau monangguang akibaik nyo PRO2TG Pref tanggung akibat PRO3TG ‘Engkau menanggung bahayanya’ (3—9) So banyak buiah di laut en Pref banyak buih Prep laut Suf ‘Sebanyak buih di lautan’

Page 16: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Fajri Usman Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 14

(3—10) So banyak kesiak di lauik Pref banyak pasir Prep laut ‘Sebanyak pasir di laut’ (3—11) So banyak bintang di langik Perf banyak bintang Prep langit ‘Sebanyak bintang di langit’ (3—12) Kalau engkau sampai ke kalau PRO2TG sampai Suf ‘Jika engkau sampaikan’ (3—13) Si anu monangguang akibaik bahayo nyo orang itu Pref tanggung akibat bahaya

PRO3TG ‘Orang itu menanggung bahayanya’

(Data PSM)

Kata monangguang ‘menanggung’ dalam bahasa Minangkabau berasal dari bentuk dasar tangguang ‘tanggung’ yang berarti ‘resiko sendiri’ dan ‘serba tanggung’; ‘belum sempurna’; ‘belum selesai’. Dalam pemakaian sehari-hari kata tanggung bahasa Minangkabau memiliki makna lebih dari satu. Pada data di atas kata tangguang merupakan kata yang ditulis sama dan dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda. Pada konteks tawa di atas kata monangguang berarti ‘resiko sendiri’ yang akan dialami oleh seseorang yang menjadi sasaran. 2.1.4.2 Homonimi antarfrasa

Homonimi antarfrasa secara struktural dapat dijelaskan dengan teknik unsur bawahan langsung (surlang). Homonimi antarfrasa dalam bahasa Indonesia seperti frasa guru bahasa Inggris (diprafrasakan dengan guru mengenai atau tentang bahasa Inggris) dan guru bahasa Inggris (diparafrasakan guru bahasa orang Inggris); lukisan Toni (diparafrasakan lukisan milik Toni; lukisan karya Toni; lukisan tentang/mengenai Toni; dan lukisan untuk Toni). Berikut contoh analisis homonimi antarfrasa dalam TPTM.

Data (1): Tawa Penurut (Sijundai)

Bismillahirrahmanirrahim (1—11) Malu aku malu angkau ‘Malu PRO1TG malu PRO2TG

‘Malu aku malu engkau’ (1—12) Malu angkau malu aku ‘Malu PRO2TG malu PRO1TG ‘Malu engkau malu aku’ (1—13) Japuik an juo malu aku ‘Jemput Suf juga malu PRO1TG ‘Jemputkan juga malu aku’

Data (1:11—13) di atas merupakan

homonimi antarfrasa dalam TPTM. Frasa malu aku malu angkau atau sebaliknya’ dapat diparafrasakan menjadi: malu seseorang yang dihina juga malu yang ditanggung makhluk halus (setan/setan) yang menjadi pesuruh oleh seorang dukun, dan malu dukun juga malu makhluk gaib,

atau malu makhluk gaib juga malu seseorang atau malu dukun. Sementara itu, frasa Japuikan juo malu aku dapat diparafrasekan menjadi: Japuikan juo hai makhluk halus malu aku, dan japuikan (kabulkan) juo hai dukun malu aku atau aku malu japuikan juo malu aku.

Data (7): Potunduak (petunduk) Bismillahirrahmanirrohim (7—1) Hawa musti Hawa hawa mesti hawa ‘Hawa mesti Hawa’ (7—2) Ujud mo ujuik ujud Pref wujud ‘Ujud mewujud’ Frasa hawa musti hawa dan frasa ujud mo ujuik pada data (7:1-2) dapat diprafrasekan menjadi: Hawa tetap sebagai hawa, hawa adalah hawa. Frasa ujud mowujud dapat diprafrasekan menjadi: Engkau ujud mewujud, ujud mewujudlah engkau. Prafrase yang terjadi dalam TPTM seperti pada data (7: 2) merupakan prafrase yang subjeknya dielipsiskan. Apabila dicermati dari beberapa data TPTM, kebanyakan subjeknya dielipsiskan. Data (41): Tawa Perkasih menyatukan orang Berpisah Bismillahirrahmanirrohim

(41—1) Syahidan-syahidantun (41—2) Kato tamaik ka duo tamaik kata tamat Prep dua tamat ‘Kata tamat kedua tamat’ (41—3) Ka tigo aku manamaik an ruh

insan sianu Pref tiga PRO1TG Pref tamat Suf roh insan orang itu

‘Ketiga aku menamatkan jiwa orang itu’ (41—4) Cando ba satu nyo Adam jo

Hawa seperti Pref satu POS3TG Adam KONJ Hawa

‘Seperti bersatunya Adam dan Hawa’ Frasa kato tamaik kaduo tamaik dapat

diprafrasekan menjadi kato pertamo tamaik, kato kaduo tamaik, dan kato tamaik, kato kaduo juo tamaik atau kato pertamo tamaik, kato kaduo juo tamaik. Adapun maksud kato pada teks tawa tersebut merujuk pada seseorang yang menjadi objek yang akan dipersatukan. Hal itu tergambar pada data berikutnya, yakni frasa katigo aku manamaikan ruh insan sianu, cando basatunyo Adam jo Hawa. Frasa ini juga dapat diprafrasekan menjadi Kato katigo aku manamaikan kedua insan, atau kato katigo aku manamaikan antara kedua insan orang itu. Sementara itu, frasa cando

Page 17: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Fajri Usman Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 15

basatunyo adam jo Hawa dapat diprafrasekan menjadi Cando basatunyo insan Adam jo Hawa. 2.1.5 Polisemi

Polisemi ialah gejala keanekaan makna yang dimiliki oleh bentuk (istilah) yang disebabkan oleh pergeseran makna atau tafsiran yang berbeda. Misalnya, kepala jawatan/orang/sarung/regu. Polisemi berkaitan dengan kata atau frasa yang memiliki beberapa makna yang berhubungan. Di dalam penyusunan kamus, antara homonimi dan polisemi terdapat perbedaan. Kata-kata yang berhomonimi muncul sebagai entri yang terpisah, sedangkan kata yang berpolisemi muncul sebagai satu entri namun dengan beberapa penjelasan (Darmojuwono sebagaimana dikutip oleh Kushartanti dkk (2005:117). Berikut ini analisis polisemi yang terdapat dalam TPTM.

Data (12): Tawa biso Binatang Bismillahirrahmanirrahim (12—3) Manggigik Si Buyuang Itam AKTgigit ART Buyung hitam ‘Menggigit hewan yang berbisa’ (12—4) Biso nyo alah den turun i Bisa POS3TG sudah PRO1TG turun Suf ‘Racunnya sudah saya turunkan’

Frasa buyuang itam pada data (12:3) merupakan kata yang berpolisemi dengan semua binatang yang berbisa, seperti tawon, lebah, ular, kala jengking, kelabang, dan binatang berbisa lain. Frasa buyung itam dalam TPTM juga merupakan pengganti nama binatang berbisa dalam proses pengobatan, namun pada konteks pengobatan seorang dukun akan mengubah kata tersebut sesuai dengan nama binatang yang menggigit pasien yang sedang diobati. Jadi, frasa buyung itam bisa berarti tawon, lebah, ular, kala jengking, kelabang, dan binatang berbisa lainnya. Data (21): Tawa Sakalian Biso

Bismillahirrahmanirrahim (21—5) Malin Karimun nan punyo tawa

Malin Karimun KONJ punya tawar ‘Malin Karimun yang punya tawar’

(21—6) Siti Sidang Baurai nan punyo biso Siti Sidang Berurai KONJ punya bisa ‘Siti Sidang Berurai yang punya bisa’

(21—7) Aku lah Malin Karimun PRO1TG- PAR Malin Karimun ‘Sayalah Malin Karimun’

(21—8) Hu… Allah. ‘Dia Allah’ Malin Karimun pada (21:5 dan 7) secara

historis dalam peristiwa bisa (racun) berpolisemi dengan pemilik tawa, tawar, penangkal, asal usul

tawar, dan dukun itu sendiri. Hal yang sama juga terdapat pada data (21:6), yakni nama Siti Sidang Berurai berpolisemi dengan asal usul bisa (racun), bisa itu sendiri, penyakit, dan virus (kuman). 2.1.6 Kolokasi

Kolokasi merupakan hubungan probabilitas dalam pemunculan antara dua kata atau lebih. Berbeda dengan hubungan arti dalam sinonimi, antonimi, hiponimi, dan meronimi, kolokasi menunjukkan pemunculan satu kata dengan kata lain. Dengan pengertian ini, jika satu kata muncul dalam satu klausa lain sangat besar kemungkinannya untuk muncul pada klausa kedua atau berikutnya.

Kridalaksana, sebagaimana dikutip oleh Kushartanti dkk (2005:141, mengatakan bahwa kolokasi adalah asosiasi dan pendampingan secara tetap suatu leksem. Adakalanya kolokasi itu dilanggar dengan sengaja untuk memberikan efek tertentu, misalnya dalam karya sastra atau humor. Kadang-kadang diciptakan idiom baru dengan kolokasi baru, juga untuk memberi efek tertentu. Berikut contoh kolokasi dalam TPTM.

Data (1): Tawa Penurut ( Sijundai) Bismillahirrahmanirrahim (1—6) Nan ba jalan sanjo rayo KONJ Pref jalan senja raya’ ‘Yang berjalan menjelang malam’ (1—7) Nan mar antak tangah malam KONJ Pref hentak tengah malam’

‘Yang berjalan dengan hentakan kaki di tengah malam’

(1—17) Turuik an jalan ka tapi an ‘turut Suf jalan Prep tepi Suf ‘Turutkan jalan ke tempat mandinya’ (1—18) Turuik an jalan ma runuik turut Suf jalan Pref runut ‘Turutkan jalan yang ditelusuri’ (1—20) Turuikan jalan ka rumah nyo turut Suf jalan Prep rumah Suf ‘Turutkan jalan ke rumahnya’ (1—21) Tingkek molah janjang nyo naik marilah jenjang Suf (1—23) Mar antak ka ruang tangah Pref hentak Prep ruang tengah ‘Merentak ke ruang tengah’ (1—24) Man daga ka biliak dalam Pref dengar Prep bilik dalam’ ‘Berbunyi ke kamar dalam’

Data (1:6, 7, 17, 18, 20, 21, 22)

merupakan bentuk kolokasi. Kata bajalan ‘berjalan’, marantak ‘merentak’, mandaga ‘mendegar’ merupakan asosiasi tetap antara kata bajalan dan marantak dalam lingkungan yang sama, yakni proses berjalan dengan kaki sehingga bisa membentuk kata baru (idiom), yakni bajalan

Page 18: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Fajri Usman Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 16

marantak ‘berjalan dengan hentakan kaki’, bajalan mandaga ‘berjalan dengan hentakan kaki yang keras, dan marantak mandaga ‘hentakan kaki yang keras bunyinya’. Pada data (1:17—18) kata jalan ‘tempat lalu’ berkolokasi dengan kata marunuik ‘menelusuri/menuruti jejak’. Kedua kata ini berkolokasi secara tetap antara kata jalan dan marunut sehingga dapat membentuk kata baru, yakni marunuik jalan ‘merunut jalan’, ‘menelusuri tempat lalu’. Pada data (1:20—22) kolokasi dalam pola hubungan yang sangat erat, satu kata langsung berpadanan dengan yang lain dengan membentuk satu kesatuan, seperti antara janjang dan rumah menjadi ‘jenjang rumah’, bandua dan rumah menjadi bandua rumah ‘bendul rumah’.

Data (3): Tawa Tuju Ruyung (3—2) Bo dontuang samo jo potuih Pref dentum sama KONJ petir ‘Berdentum sama dengan petir’ (3—3) Bo sikanjar samo jo kilek Pref lantun sama KONJ kilat ‘Menyambar sama dengan kilat’ Kolokasi dalam pola hubungan yang sangat erat juga terdapat pada data (3:2—3). Kata bodontuang ‘berdentum’ merupakan satu kata langsung berpadanan dengan kata potuih ‘petir’ dengan membentuk satu kesatuan, yakni antara bodontuang dan potuih menjadi bodontuang potuih ‘petir berdentum’. Kata bosikanjar ‘ menyambar’ berpadanan dengan kata kilek ‘kilat’ yang membentuk satu kesatuan antara bosikanjar dan kilek menjadi ‘bosikanjar kilek ‘ menyambar kilat’. 3. SIMPULAN Tawa dalam pengobatan tradisional Minangkabau dapat dilihat dari tataran bentuk yang mencakup bentuk puisi dan prosa berirama. TPTM dimulai dengan pendahuluan yang ditandai dengan kalimat bismillahirrahmanirrahim. Setelah kalimat pendahuluan tersebut tawa dilanjutkan dengan kalimat-kalimat isi yang merupakan informasi yang memuat proses atau peristiwa jalannya pengobatan. Penutup pada TPTM adalah kalimat yang menjadi penutup sebuah tawa. Kalimat penutup yang terdapat pada TPTM ada dua versi, yakni ditutup dengan kalimat Hu… Allah dan ditutup dengan berkat kalimah Lailahaillallah. Selanjutnya, aspek leksikal pada tataran semantis dalam TPTM ialah sinonimi, antonimi, homonimi, hiponimi, polisemi, dan kolokasi.

DAFTAR PUSTAKA Alisjahbana, S.T. 1981. “Pembangunan

Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”. Dalam Prisma, 11:19—26.

Alisjahbana, S. T. 1982. Sejarah Kebudayaan

Indonesia Dilihat dari Nilai-nilai. Jakarta: Dian Rakyat.

Alisjahbana, S. T. 1983. “Bahasa Indonesia

sebagai Bahasa Manusia dan Kebudayaan Modern.” Dalam A. Halim dan Y.B. Lumintaintang (ed). Kongres Bahasa Indonesia III. Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Alisjahbana, S. T. 1985. “Pembahasan Persepsi

tentang Kebudayaan Nasional”. Dalam Bambang Kaswari Purwo (penyunting), PELBA 5: Bahasa-Bahasa. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.

Alwi, H., dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Aminuddin. 1985. Semantik: Pengantar Studi

tentang Makna. Bandung: Sinar Baru. Anwar, K. 1992. Semantik Bahasa Minangkabau.

Padang: Yayasan Pengkajian Kebudayaan Minangkabau.

Assiddiqi, T.M.H. 2000. Al-Qur’an dan

Terjemahannya Juz 1-30. (Edisi Baru) Surabaya: Mekar.

Bakar, J. 1981. Sastra Lisan Minangkabau I dan

II. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Barker, C. 2004. Cultural Studies: Teori dan

Praktik. Terjemahan Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta.

Black, A.J dan D. J. Champion. 1999. Masalah

Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama.

Casson, R.W. 1981. Language, Culture, and

Cognition: Anthropological Perspectives. New York: Macmillan.

Chafe, W.L. 1975. Meaning and The Structure of

Language. Chicago: The University of Chicago Press.

Page 19: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Fajri Usman Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 17

Djamaris, E. 2002. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Djajasudarma, T. F. 1993. Metode Linguistik:

Ancangan Metode dan Kajian. Bandung: Erasco.

Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology.

Cambridge: Cambridge University Press. Duranti, A. 2001. Linguistic Anthropology.

Oxford: Blackwell. Foley, W. A. 1997. Anthropological Linguistics:

An Introduction. Oxford: Blackwell. Foster, G. M dan B. G. Anderson. 1986.

Antropologi Kesehatan. Penerjemah Priyanti, P.S dan Meutia, F.H.S. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Frake, C.o. 1964. “The Diognosis of Disease

among the Subanun of Mindanao”. Dalam Dell Hymes. Language in Cultural and Society: A Reader in Linguistics and Anthropology. New York: Harper & Row.

Frawley, W. 1992. Linguistics Semantics. New

Jersey: Lauwrence Erlbaun. Geertz, C. 2001. “Agama sebagai Sistem

Kebudayaan”. Daniel, L. P (ed). Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama. Yogyakarta: IRCISoD.

Halliday, M.A.K dan R. Hasan. 1994. Bahasa,

Konteks, dan Teks: Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Penerjemah Asruddin Borori Tou. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Hasan, A. dkk. 2001. Kamus Besar Bahasa

Indonesia (edisi ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.

Hoed, B.H. 1994. Linguistik, Semiotik dan

Kebudayaan Kita. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap. Jakarta: Universitas Indonesia.

Hymes, D. 1964. Language in Cultural and

Society. A Reader in Linguistics and Anthropology. New York: Harper International Edition.

Istiyani, C.P. 2004. Tubuh & Bahasa: Aspek-Aspek

Linguistik Pengungkapan Pandangan Masyarakat Lewalema terhadap Kesehatan. Yogyakarta: Galang Press.

Junus, U. 1983. Dari Peristiwa ke Imajinasi. Jakarta: Gramedia.

Keraf, G. 1981. Tata Bahasa Indonesia. Ende:

Nusa Indah. Keesing, R.M. 1981. Theories of Culture. Dalam

Roland W. Casson (ed). Language, Culture, and Cognition: Anthtropolical Perspective. New York. Macmilan.

Koentjaraningrat, Budhisantoso, J. Danandjaya, P.

Suparlan, E.K.M. Masinambow, A. Sofion. 2003. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Bahasa.

Laksana, D. I. Ketut. 2003. “Tabu dalam Bahasa

Bali”. (disertasi). Jakarta: Universitas Indonesia.

Leech, G. 2003. Semantik. Penerjemah Paina

Partana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Liliweri, A. 2003. Makna Budaya dalam

Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LkiS.

Masinambow, E.K.M. 1997. “Linguistik dan

Antropologi Sebuah Prespektif Integratif”. Naskah untuk Kuliah Umum Peserta Pascasarjana Program linguistik dan antropologi, UGM, Yogyakarta. 15-17 September 1997.

Mulyono, A dan Soenjono Darjowidjoyo. 1992.

Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Mbete, A.M. 1996. “Linguistik Kebudayaan:

Rintisan Konsep dan Beberapa Aspek Kajiannya”. Denpasar: Universitas Udayana.

Mbete, A.M. 1997. “Pengembangan Linguistik

Kebudayaan sebagai Realisasi Pola Ilmiah Pokok Kebudayaan Universitas Udayana”. Disampaikan dalam Ceramah Pramagister Program Studi magister (S2) Linguistik dan Kajian Budaya Universitas Udayana. Denpasar: Universitas Udayana.

Mbete, A.M. 2003. ”Bahasa dan Budaya Lokal

Minoritas: Asal-Muasal, Ancaman Kepunahan, dan Ancangan Pemberdayaan dalam Kerangka Pola Ilmiah Pokok Kebudayaan Universitas Udayana.” Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Linguistik. Denpasar: Universitas Udayana.

Page 20: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Fajri Usman Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional Minangkabau (Analisis Linguistik Kebudayaan)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 18

Mbete, A.M, I. W. Pastika; I.K. Darma Laksana, I.B. Putra Yadya. 2004. Bahasa dalam Perspektif Kebudayaan. Denpasar: Universitas Udayana.

Medan, T. 1988. .Antologi Kebahasaan. Padang:

Angkasa Raya. Moleong, L. J. 2002. Metodologi Penelitian

Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Moussay, G. 1998. Tata Bahasa Minangkabau.

Penerjemah Rahayu S. Hidayat. Jakarta: Gramedia.

Palmer, F.R. 1976. Semantics: A New Outline.

Cambridge: Cambridge University Prees. Palmer, Garry B. 1996. Toward A Theory of

Cultural Linguistics. Austin: University of Texas Press.

Pastika, I.W. 2004. “Antropologi Linguistik vs

Linguistik Antropologi vs Sosiolinguitik: Bahasa dalam Perspektif Kebudayaan.” Denpasar: Universitas Udayana.

Pateda, M. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta:

Rineka Cipta. Robot, M., S. Wona, J. Kosmas. 1997. Kajian Tola

Kaba: Sastra Lisan Manggarai. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Romdon. 2002. Kitab Mujarobat: Dunia Magi

Orang Islam-Jawa. Yogyakarta: Lazuardi. Ruslaini. 2003. Tabir Mistik: Alam Gaib dan

Perdukunan dalam Terang Sains dan Agama. Yogyakarta: Tinta.

Samarin, W.J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan.

Yogyakarta: Kanisius Samola, N.F.R. 1998. ”Peranan Bahasa dalam

Sistem Pengobatan Tradisional (Suatu Kajian Etnolinguistik)”. (tesis). Menado: Universitas Sam Ratulangi.

Saputra, H.S. 2007. Memuja Mantra. Yogyakarta. LKiS.

Saussure, Ferdinand de. 1993. Pengantar

Linguistik Umum. Penerjemah Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sibarani, R. 2004. Antropologi Linguistik:

Antropologi Linguistik, Linguistik Antropologi. Medan: Poda.

Spradley, J. P. 1922. Metode Etnografi.

Penerjemah Misbah Zulfa Elisabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik

Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Ullmann, S. 1977. Semantics: An Introduction to

the Science of Meaning. Oxford: Basil Blackwell.

Usman, A. K. 2002. Kamus Bahasa Minangkabau-

Indonesia. Padang: Anggrek Media. Usman, Fajri. 2001. “Ragam Bahasa Mantra

Minangkabau”. Fakultas Sastra Universitas Andalas.

Usman, Fajri. 2005. “Metafora dalam Mantra

Minangkabau: Kajian Semantik”. Linguistika. Vol. II.

Usman, Fajri. 2005. ”Metafora dalam Mantra

Minangkabau”. (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Wowor, D.J. 1997. “Pandangan Masyarakat Bantik

tentang Kesehatan: Suatu Tinjauan Etnolinguistik”. (tesis). Menado: Universitas Sam Ratulangi.

Zaid, A.M.N. 2002. Tekstualitas Al- Quran.

Yogyakarta: LkiS.

Page 21: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Rumnasari K. Siregar Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis:

Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 19

GENRE FIKSI DALAM LINGUISTIK FUNGSIONAL SISTEMIS: PERBANDINGAN TEKS “LAU KAWAR” DAN “PUTRI TIKUS”

Rumnasari K. Siregar

Politeknik Negeri Medan

Abstract This research applies Sistemic Functional Linguistics approach to analyze transitivity system and social context in “Lau Kawar” and “Putri Tikus”. The two texts are choosed because they have the same basic meaning, i.e. ‘swear’ although it is packaged by different cultural background. The analysis results showed that transitivity system in “Lau Kawar” are dominant in the material process, but “Putri Tikus” are dominant in the relational process. The similarity of those two texts occur in particular-human participant and the location sircumstans. In the context of situation, the two texts have the similar meaning, except the participant features. In cultural context, the structure of two texts is different in application of abstract and coda. Key words: fiction genre, transitivity system, text, sosial context

1. PENDAHULUAN Kajian genre dalam pelbagai ranah penggunaan bahasa meningkat dekade terakhir ini. Namun, banyak kajian genre lebih berfokus pada bentuk dan fungsi retoris wacana ilmiah daripada wacana sastra (lihat, misalnya, Ansary dan Babaii 2004; Babaii dan Ansary 2005; Ming 2007; dan Porcaro 2007). Bagi dunia pendidikan, genre sastra, yang disebut oleh Eggins (2004:75) sebagai genre fiksi, sangat efektif sebagai alat pedagogis sebab memuat nilai-nilai didaktis. Model teks seperti ini juga dapat membantu para guru dalam mengembangkan kompetensi komunikasi anak didiknya.

Salah satu jenis genre fiksi itu ialah teks cerita rakyat. Model teks ini merupakan produk sebuah budaya, dan berfungsi di dalam budaya itu. Makna genre fiksi yang ditata dalam sistem bahasa tertentu merupakan realisasi dari pengalaman penulisnya tentang dunia. Maknanya dapat dieksplorasi apabila diuraikan konteks sosial teks tersebut, diperikan relasi konteks sosial dengan tata bahasa, serta ditentukan pola atau kecenderungan pemakaian aspek tata bahasa. Tentunya sangat menarik untuk mengeksplorasi hubungan antara struktur bahasa dan makna sosial yang dibentuk dalam teks naratif tersebut.

Dalam tata bahasa fungsional sistemik, teks adalah hasil dari suatu rangkaian pilihan. Pilihan yang direalisasikan dalam teks adalah realisasi pilihan itu sendiri dalam dimensi kontekstual, termasuk konfigurasi situasional khusus dari bidang, pelibat, dan sarana (register), kesepakatan budaya (genre), dan kedudukan

ideologis. Pilihan semantis ini kemudian direalisasikan kembali melalui pilihan leksikogramatikal, dan setiap dimensi semantis terhubung melalui suatu cara yang dapat diramalkan dan sistematis dengan pilihan dari empat sistem struktur gramatikal secara bersamaan, yakni modus, ketransitifan, klausa kompleks, dan tema. Susunan makna yang lebih tinggi dalam sebuah teks ditafsirkan sebagai “semiotik sosial”, yaitu sistem makna budaya.

Kajian ini mencoba menerapkan teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) untuk mengidentifikasi elemen leksikogramatikal yang secara semantis dipilih oleh penulis teks dalam membentuk dan merealisasikan struktur genre. Kajian yang berbasis pada LFS sejatinya menggunakan elemen leksikogramatika untuk menjelaskan elemen bahasa, peran dan maknanya dalam konteks, serta hubungan di antaranya. Dua teks cerita rakyat, yaitu teks “Lau Kawar” (LK) dan “Putri Tikus” (PT), dipilih sebagai bahan analisis sebab secara semantis keduanya memiliki makna dasar yang sama, yaitu ‘kutukan’, meskipun makna itu dikemas dalam latar budaya yang berbeda. Melalui penerapan teori LFS, makna kedua teks akan dibandingkan dengan mengungkapkan sistem ketransitifan dan konteks sosial yang membangun teks tersebut.

2. METODE PENELITIAN Sistem ketransitifan dan manifestasi bahasanya pada LK dan PT digolongkan ke dalam klausa-klausa. Penelitian ini hanya berfokus pada klausa simpleks. Berbasis pada kategorisasi proses dalam

Page 22: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Rumnasari K. Siregar Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis:

Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 20

sistem ketransitifan, proses material, mental, relasional, verbal, wujud, dan tingkah laku dipetakan pada setiap klausa simpleks. Begitu pula dengan tipe-tipe partisipan dan sirkumstan yang terdapat pada proses tersebut. Dalam kajian ini klasifikasi proses dan partisipan yang diperkenalkan oleh Halliday (1994) dan Eggins (2004) digunakan sebagai kerangka analisis. Untuk analisis tipe partisipan diadopsi model Eggins, Wignell, dan Martin (1993), terdiri atas (1) Manusia/khusus, (2) Manusia/umum, (3) Bukan manusia/tempat dan waktu, (4) Bukan manusia/metaforis, (5) Bukan manusia/konkret.

Prosedur selanjutnya ialah menghitung kekerapan komponen ketransitifan pada setiap korpus untuk mengetahui dominasi elemen ketransitifan sebagai realisasi maknanya. Analisis statistik ini berguna dalam membandingkan persentase komponen ketransitifan pada teks LK dan PT. Konteks situasi dianalisis mengacu pada komponen bidang, pelibat, dan sarana, sedangkan konteks budaya didasarkan pada elemen abstrak, oreientasi, evaluasi, komplikasi, resolusi, dan koda.

3. TEORI LINGUISTIK

FUNGSIONAL SISTEMIK Dalam LFS model analisis teks merupakan titik acuan atau kerangka teoretis yang berguna untuk analisis teks naratif. Teori LFS dipilih karena memuat pandangan yang holistik tentang bahasa, yakni bahasa sebagai sumber semiotik sosial yang digunakan oleh orang-orang untuk menyelesaikan tujuannya dengan mengungkapkan makna dalam konteks (lihat Teich 1999:2; Eggins 2004:20—21). Bertumpu pada dasar kontekstual ini, teori LFS mempertimbangkan bahasa sebagai suatu sumber atau makna potensial yang tersedia bagi penutur dalam memenuhi tujuan komunikasi. Alasan lain ialah bahwa teori LFS utamanya dibentuk untuk kajian teks, dengan berfokus pada realisasi makna teks. Teori LFS, dengan demikian, dapat digunakan untuk menyingkap makna teks naratif, seperti cerita rakyat, dan menghubungkannya dengan konteks wacana, dan juga dengan latar belakang umum teks tersebut.

Rancangan tata bahasa sistemik adalah hasil usaha yang lama dalam menciptakan kerangka gramatikal yang merefleksikan penataan tata bahasa fungsional. Michael Halliday menggagas lahirnya teori LFS, dan para ahli lain—seperti Teich (1999), Eggins (2004), Matthiessen (2005)—meneruskan pengembangannya. Hal ini bisa ditelusuri dari makalah Halliday (1961), “Categories of the Theory of Grammar”, yang membahas deskripsi tata bahasa Cina (periksa Neale 2002: 42; Matthiessen 2005; dan Ming

2007:74). Makalah ini memuat pernyataan awal teorinya yang disebut “Tata Bahasa Skala dan Kategori”, dan “tata bahasa” ini selanjutnya dikenal sebagai LFS. Dasar teori Halliday bersumber dari karya Firth dan rekan-rekannya pada Aliran Linguistik London. Halliday adalah murid Firth, dan mengadopsi dan mengembangkan karyanya.

Ancangan Halliday pada bahasa bertolak dari pandangan bahwa hubungan antara pengataan yang digunakan orang-orang dan maknanya bersifat tidak arbitrer (Gerot dan Wignel 1994:v-vi). Penggunaan bahasa, meskipun unik, dapat dieksplorasi, dan elemen bahasa dan peristiwa bahasa khusus secara sistematis dapat diuji dari sudut pandang fungsional. Berangkat dari ide Firth tentang makna sebagai butir bahasa terpenting dalam konteks sosial, Halliday mengembangkan bahasa sebagai sistem pembentuk makna, dengan memberi tekanan pada ‘pilihan’. Artinya, penutur bahasa dapat membentuk makna melalui pilihan dan penggunaan kata-kata, dan telaah bahasa yang sistematis dalam penggunaan ialah bagaimana penutur memahami makna tersebut.

Konsep fungsional bersifat inheren dalam LFS. Konsep ini mengandung tiga pengertian, yaitu (1) bahasa terstruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia; (2) fungsi bahasa dalam kehidupan manusia adalah untuk memaparkan atau menggambarkan, memper-tukarkan, dan merangkai pengalaman manusia, dan (3) setiap unit bahasa bersifat fungsional terhadap unit yang lebih besar, yang di dalamnya unit itu menjadi unsur (lihat Saragih 2005:3).

Lebih lanjut, istilah metafungsi diadopsi untuk menunjukkan bahwa fungsi merupakan sebuah komponen yang integral dalam LFS. Metafungsi adalah dimensi tambahan dalam penataan bahasa, yang meliputi fungsi ideasional, interpersonal dan tekstual (Cicekli dan Korkmaz 1998:173; Halliday 2002: 90-92; Saragih 2005:6; dan Ming 2007:76). Fungsi ideasional, yang tergolong subtipe eksperiensial dan logis, mengungkapkan pengalaman; fungsi interpersonal membentuk dan mendukung interaksi orang-orang yang berbahasa; dan fungsi tekstual menciptakan wacana yang koheren. Sejalan dengan itu, bahasa menyandang tiga makna, yakni makna pengalaman (makna ideasional), makna pertukaran (makna interpersonal), dan makna perangkaian atau penataan (makna tekstual). Lebih khusus, “makna pengalaman”, menurut Eggins (2004:206), “diekspresikan melalui sistem ketransitifan atau tipe proses, dengan pilihan proses yang mensyaratkan peran dan konfigurasi partisipan”.

Page 23: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Rumnasari K. Siregar Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis:

Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 21

3.1 Sistem Ketransitifan Makna ketransitifan mengacu pada ciri

klausa yang mengungkapkan pengalaman pembicara/ penulis tentang dunia. Istilah ini selaras dengan “modus” dan “tema” yang mengungkapkan fungsi tekstual dan interpersonal. Sistem ketransitifan sebuah bahasa menggambarkan fakta bahwa pengalaman ditafsirkan sebagai perangkat ranah terbatas tentang makna yang berbeda sesuai dengan tipe proses dan sifat partisipan yang terlibat di dalamnya, serta dihubungkan dengan tipe sirkumstan yang berbeda. Ketiga komponen ketransitifan ini—proses, partisipan, dan sirkumstan—pada klausa umumnya direalisasikan sebagai frase verba, frase nomina, dan frase adverbial atau frase preposisional, berturut-turut.

Istilah proses yang dinyatakan melalui bahasa merupakan hasil konsepsi manusia tentang dunia. Entitas yang terlibat dalam setiap proses diacu sebagai partisipan. Tipe dan peran partisipan ditentukan oleh tipe prosesnya. Komponen sirkumstan mengacu pada lingkungan, sifat, atau lokasi berlangsungnya proses. Sirkumstan yang berlaku untuk semua jenis proses terdiri atas sembilan kategori: rentang (waktu dan tempat), lokasi (waktu dan tempat), cara (kualitas, alat, dan perbandingan), sebab (alasan, tujuan, keadaan, konsesi, dan kepentingan), penyerta, masalah, lingkungan, sudut pandangan, dan peran.

Tipe proses terdiri atas (1) material, (2) mental, (3) relasional, (4) verbal, dan (5) wujud, dan (6) tingkah laku. Proses material melibatkan tindakan fisik. Proses material memiliki aktor (pelaku), gol (partisipan yang terpengaruh), pembermanfaat (resipien dan klien), dan jangkauan (lingkup atau perluasan proses). Proses mental mengungkapkan aktivitas perasaan, pikiran, dan persepsi manusia. Proses ini melibatkan partisipan yang disebut pengindera dan fenomenon. Proses relasional terkait dengan hubungan yang terbentuk di antara dua hal atau konsep. Partisipan pada proses relasional meliputi penyandang dan atribut, tanda dan nilai, serta pemilik dan milik.

Halliday dan Matthiessen (2004:171) berpendapat bahwa proses material, mental, dan relasional merupakan proses utama dalam sistem ketransitifan. Tipe-tipe proses yang lain terdapat di antara ketiga proses ini. Proses verbal, misalnya, berada pada batas antara proses mental dan proses relasional. Partisipan pada proses verbal disebut pembicara, perkataan (sesuatu yang dikatakan), dan penerima (partisipan yang menerima pesan). Proses wujud terletak antara proses relasional dan proses material, dan proses ini hanya memiliki satu partisipan: maujud (benda yang hadir pada proses). Proses tingkah laku yang mengacu pada proses psikologis manusia atau perilaku psikologis berada

pada batas antara proses material dan proses mental. Partisipan pada proses tingkah laku ialah petingkah laku. Tabel 1 memperlihatkan konfigurasi kategori leksikogramatikal ini. Tabel 1. Tipe Proses dan Peran Partisipan

dalam LFS Tipe Proses Partisipan I Partisipan IIMaterial Aktor Gol Mental Pengindera Fenomenon Relasional (1) Identifikasi:

Tanda Nilai

(2) Atribut: Penyandang

Atribut

(3) Kepemilikan: Pemilik

Milik

Tingkah Laku Petingkah Laku - Verbal Pembicara Perkataan Wujud Maujud - 3.2 Teks dan Konteks

Teks, dalam model LFS, adalah unit bahasa yang fungsional dalam konteks sosial (Halliday 2002:26; Ansary dan Babaii 2004). Sebuah teks—yang dibentuk oleh sejumlah klausa—tergolong fungsional manakala teks itu memiliki kepaduan bentuk (kohesi) dan kepaduan makna (koherensi). Dua jenis kepaduan ini dalam teks tercapai apabila piranti leksikal dan piranti gramatikal yang digunakan berfungsi efektif. Relasi teks dengan konteks sosial adalah relasi konstrual; artinya konteks sosial menentukan teks dan teks juga menentukan konteks sosial (Saragih 2005:204—205).

Teks dapat direalisasikan oleh sejumlah klausa. Dalam teks, klausa merupakan unit pemrosesan utama pada struktur leksikogramatikal. Fungsi klausa dianalisis berdasarkan (a) subjek, predikator, komplemen, dan keterangan (SPKK); (b) tema dan rema; (c) lama dan baru; dan (d) proses, partisipan, dan sirkumstan. SPKK mencakup tempat sintaktis dalam teks. Penanda tema-rema dan lama-baru memperlakukan cara teks dikemas dan cara informasi dalam sebuah teks dibangun pada sebuah klausa. Analisis proses, partisipan, dan sirkumstan pada teks mengungkapkan cara pemakai bahasa merekayasa bahasa dalam mengungkapkan persepsinya tentang realitas.

Sebagai bagian dari konteks bahasa, konteks sosial mengacu pada segala sesuatu di luar yang tertulis atau terucap, yang mendampingi bahasa atau teks dalam peristiwa pemakaian bahasa atau interaksi sosial. Konteks sosial terbagi atas tiga kategori, yaitu konteks situasi, konteks budaya, dan konteks ideologi. Konteks situasi adalah konteks langsung penggunaan bahasa.

Page 24: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Rumnasari K. Siregar Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis:

Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 22

Konteks situasi dapat ditetapkan dengan tiga variabel utama yang mempengaruhi penggunaan bahasa, yaitu bidang, pelibat, dan sarana (Gerot dan Wignell 1994:11; Saragih 2005:5; Christie dan Unsworth 2000:3). Bidang dihubungkan dengan aktivitas sosial, isi atau topik; pelibat adalah sifat hubungan di antara orang-orang yang terlibat; dan sarana adalah medium dan peran bahasa dalam situasi—lisan atau tulisan, disertai atau diikuti aktivitas. Variabel situasional ini dikaitkan dengan tiga area makna yang sudah diacu sebagai ideasional, interpersonal, dan tekstual. Tabel 2. Relasi variabel kontekstual dengan

metafungsi Variabel konteks situasi

Komponen sistem bahasa (metafungsi)

Bidang: aktivitas sosial, topik

Ideasional: mengungkapkan pengalaman

Pelibat: peran dan relasi sosial

Interpersonal: membolehkan interaksi

Sarana: medium dan peran bahasa

Tekstual: mencapai koherensi dan keterhubungan

Konteks budaya ialah kegiatan sosial

yang bertahap untuk mencapai suatu tujuan. Dalam pengertian ini, konteks budaya mencakup tiga hal, yaitu (1) batasan kemungkinan ketiga unsur konteks situasi, (2) tahap yang harus dilalui dalam satu interaksi sosial, dan (3) tujuan yang akan dicapai dalam interaksi sosial. Selanjutnya, konteks idiologi mengacu pada konstruksi atau konsep sosial yang menetapkan apa seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan seseorang dalam satu interaksi sosial. Ideologi merupakan konsep atau citra ideal yang diinginkan atau diidamkan oleh anggota masyarakat dalam satu komunitas. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sistem Ketransitifan pada Teks ”Lau

Kawar” dan “Putri Tikus” Teks “Lau Kawar” (LK) dan “Putri Tikus”

(PT) pada hakikatnya mengandung isi cerita yang berbeda walaupun keduanya memuat makna ‘kutukan’. LK adalah sebuah legenda tentang terbentuknya Danau Lau Kawar di Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara. Bagi penduduk Tanah Karo, keberadaan danau ini dipahami bukan sebagai hasil fenomena alam, tetapi sebagai hasil kutukan seorang ibu kepada anaknya. Sementara itu, PT tergolong ke dalam fabel, yaitu hewan atau binatang yang dapat berbicara seperti manusia. Teks ini menceritakan kehidupan seorang putri yang dikutuk menjadi seekor tikus. Berbeda dengan LK, dalam PT tidak dijelaskan siapa pengutuk putri tersebut. Perubahan wujud tikus menjadi manusia terjadi karena seorang pangeran

dengan tulus bersedia menerimanya sebagai tunangan.

Sistem ketransitifan dapat mengungkapkan ciri utama bahasa yang terdapat pada LK dan PT. Sebagai suatu alat analitis, model ketransitifan membentuk sudut pandang naratif yang eksplisit dan menunjukkan pilihan bahasa penulis pada sistem bahasa naratif. Sistem ketransitifan yang terdapat dalam kedua teks tersebut dikemas oleh penulisnya dalam berbagai tipe proses, partisipan, dan sirkumstan pada klausa. Berikut diterangkan perbandingan sistem ketransitifan pada LK dan PT. 4.1.1 Tipe Proses

Kedua teks berbeda dalam merealisasikan tipe proses pada klausa simpleks. Dalam LK, proses material lebih dominan daripada tipe proses lain, sementara dalam PT proses relasional justru sangat dominan. Implikasi dari perbedaan pada tipe proses ini ialah bahwa LK lebih menekankan suatu peristiwa yang melibatkan tindakan pelaku daripada suatu keadaan. Hal ini tampak pada penggunaan berbagai verba seperti memasak, menenggelamkan, mengenakan, dan meninggalkan yang umumnya mendeskripsikan kegiatan fisik manusia sehari-hari. PT, sebaliknya, mengutamakan deskripsi keadaan pelaku daripada tindakan pelaku. Proses relasional pada PT berfungsi untuk menghubungkan satu entitas dengan maujud atau lingkungan yang umumnya disajikan secara atributif. Proses relasional ini secara implisit menggambarkan keadaan tiga orang pangeran yang diminta oleh raja untuk mencari seorang istri sebagai pendamping hidupnya selain menggambarkan keadaan seekor tikus yang sedang mencari cinta sejati seorang pria agar dapat mengubah dirinya menjadi manusia.

Contoh berikut, secara berurutan, menampilkan kategori semantis untuk proses material pada LK dan proses relasional pada PT. (1) Sejak pagi anak dan

menantu serta cucunya

sudah meninggalkan

dia.

Keterangan Subjek Predikator Komplemen Sirkumstan: lokasi: waktu

Aktor Proses: material Gol

(2) Kini mereka (adalah) hidup (dengan)

bahagia di istananya yang megah

Keterangan Subjek (Predi-kator)

Komplemen

Keterangan

Keterangan

Sirkumstan: lokasi: waktu

Penyandang

(Proses: relasio-nal: atribut)

Atribut Sirkumstan: sebab: keadaan

Sirkumstan: lokasi: tempat

Page 25: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Rumnasari K. Siregar Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis:

Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 23

Kesamaan LK dan PT ialah bahwa proses tingkah laku tidak direalisasikan pada klausa simpleks. Kendatipun proses tingkah laku penting dari enam tipe proses Halliday (1994), batas pada proses ini sukar ditentukan. Petingkah laku biasanya adalah orang yang sadar, tetapi prosesnya menyerupai proses tindakan, seperti pada proses material. Itu sebabnya, Tench (2001:10), dalam kajiannya, tidak menyajikan proses tingkah laku sebagai kategori yang terpisah, tetapi ‘berintegrasi’ dengan proses material. Nisbah tipe proses pada LK dan PT diringkas pada Tabel 3. Tabel 3. Tipe Proses pada “Lau Kawar” dan

Putri Tikus” No. Tipe Proses “Lau Kawar” “Putri Tikus” 1. Material 41% 29,2% 2. Mental 4,5% 20,8% 3. Relasional 27,3% 33,3% 4. Verbal 4,5% 12,5% 5. Tingkah Laku - - 6. Wujud 22,7% 4,2%

Jumlah 100% 100% 4.1.2 Tipe Partisipan Teks LK dan PT memuat partisipan manusia dan bukan manusia. Pada LK partisipan manusia dinyatakan oleh grup nominal, seperti orang-orang, kaum ibu, dan perempuan tua itu, dan umumnya diwujudkan pada proses material dan proses mental. Partisipan bukan manusia kebanyakan direalisasikan pada proses relasional dan proses wujud, dan tipe entitas ini dapat berupa tempat (mis., danau, desa), waktu (mis., saat dan suasana), metaforis (mis., kisah dan kemakmuran), dan benda konkret (mis., makanan, pakaian dan perhiasan, dan padi). Ekspresi dari tipe partisipan manusia tampak pada kategori semantis berikut.

(3) Kaum ibu

sibuk memasak

berbagai macam makanan

dalam upacara tersebut.

Subjek Predikator Komplemen Keterangan Aktor Proses:

material Gol Sirkumstan:

lingkungan Dalam pada itu, partisipan manusia pada

PT mengacu pada entitas pangeran dan raja, sedangkan partisipan bukan manusia mengacu pada entitas seperti tikus, cincin, roti, dan sebagainya. Salah satu contoh realisasi dari partisipan bukan manusia pada PT diilustrasikan pada contoh (4).

(4) Cincin tunangan

ia serahkan kepada si Tikus

Subjek Komplemen Predikator Keterangan Gol Aktor Proses:

material Resipien

Yang mengemuka pada kedua teks itu adalah bahwa penggunaan partisipan manusia-khusus yang diungkapkan dalam bentuk pronomina dan realisasi partisipan yang berupa bukan manusia-konkret relatif tinggi. Ini tidak mengejutkan sebab cerita rakyat adalah bagian dari genre kesusastraan anak-anak dan penggunaan tipe partisipan itu dimaksudkan oleh penulis untuk memudahkan anak-anak dalam memahami isi ceritanya. Dalam konteks demikian kedua teks naratif ini tentunya memenuhi sasaran.

Selanjutnya, pada PT tingkat kekerapan yang tinggi terdapat pada manusia-khusus (51,4%). Hal ini dapat ditafsirkan bahwa penulis teks ingin mendeskripsikan peristiwa dengan pelaku nyata, dan bukan secara idiomatis. Perbandingan di antara kedua teks tersebut tampak pada tabel di bawah ini.

Tabel 4. Tipe Partisipan pada Teks “Lau

Kawar” dan “Putri Tikus” No. Tipe

Partisipan Subtipe Partisipan

“Lau Kawar”

“Putri Tikus”

Umum 7,4% 5,40% 1. Manusia Khusus 33,3% 51,4% Tempat 14,8% - Waktu 7,4% - Metaforis 14,8% 13,5%

2. Bukan Manusia

Konkret 22,3% 29,7% Jumlah 100% 100%

Dalam pada itu, terdapat persamaan peran partisipan pada kedua teks ini, khususnya pada peran Penyandang dan Atribut. Penyandang dan Atribut pada proses relasional lebih dominan daripada peran Aktor dan Gol pada proses material. Ini berarti tindakan fisik yang dilakukan aktor tidak selalu ditujukan kepada partisipan lain (Gol). Begitu juga, tindakan mental tidak selalu menghadirkan peran Fenomenon pada klausa mental. Namun, realisasi peran ini pada LK lebih tinggi daripada pada PT. Kemudian, akibat tidak terealisasinya proses tingkah laku pada klausa simpleks, peran partisipannya juga tidak terealisasi. Nisbah di antara peran partisipan tersebut disajikan pada tabel berikut.

Tabel 5. Peran Partisipan pada Teks “Lau

Kawar” dan “Putri Tikus” No. Peran Partisipan “Lau

Kawar” “Putri Tikus”

1. Aktor-Gol 20,8% 23,81% 2. Pengindra-Fenomenon 4,2% 23,81% 3. Penyandang-Atribut 50% 38,1% 4. Pembicara-Perkataan 4,2% 9,52% 5. Petingkah Laku - - 6. Maujud 20,8% 4,76%

Jumlah 100% 100%

Page 26: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Rumnasari K. Siregar Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis:

Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 24

4.1.3 Tipe Sirkumstan Sirkumstan yang berfungsi melengkapi

makna pengalaman ditandai oleh penggunaan adverbia, frase preposisi, dan klausa subordinatif. Pada LK ada lima tipe sirkumstan yang muncul, yakni rentang, lokasi, cara, sebab, dan lingkungan. Empat tipe sirkumstan lain, seperti penyerta, peran, masalah, dan sudut pandang tidak terungkap sebab teks ini bukan bagian dari genre ilmiah. Kekerapan dari sirkumtan lokasi pada LK sangat tinggi, terdiri atas tempat dan waktu. Hal ini terjadi karena teks ini menceritakan asal mula terjadinya Danau Lau Kawar yang dijalin dalam suatu rangkaian waktu. Sebagai tambahan, sirkumstan lokasi dan cara sering muncul pada proses material. Proses relasional pada klausa simpleks justru tidak mengungkapkan peran sirkumstan.

Pada PT sirkumstan sebagai konstituen opsional menyatakan makna lokasi (tempat dan waktu), cara, sebab, dan lingkungan. Makna lokasi pada PT juga sangat tinggi. Ini menunjukkan bahwa banyak realisasi pengalaman dihubungkan dengan makna tersebut. Makna sirkumstan lain, seperti cara, sebab, dan lingkungan diwujudkan pada klausa simpleks dengan jumlah yang terbatas. Malah, makna penyerta, peran, masalah, dan sudut pandang tidak diekspresikan dalam teks tersebut. Nisbah di antara tipe-tipe makna sirkumstan diilustrasikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 6. Tipe Sirkumstan pada Teks “Lau

Kawar” dan “Putri Tikus” No. Tipe Sirkumstan “Lau

Kawar” “Putri Tikus”

1. Rentang 5,5% - 2. Lokasi 50% 61,5% 3. Cara 22,3% 7,7% 4. Sebab 16,7% 15,4% 5. Lingkungan 5,5% 15,4% 6. Penyerta - - 7. Peran - - 8. Masalah - - 9. Sudut Pandang - -

Jumlah 100% 100% 4.2. Konteks Sosial Teks

Dalam LFS konteks berperan penting dalam mengungkapkan makna sebuah teks. Makna yang terealisasi dalam teks merupakan hasil interaksi pemakai bahasa dengan konteks. Teks diwujudkan dalam konteks tertentu dan tidak ada teks tanpa konteks. Konteks yang dimaksud ialah konteks sosial. Dari tiga kategori konteks sosial, yakni konteks situasi, konteks budaya, dan konteks ideologi, analisis ini berfokus pada konteks situasi

dan konteks budaya untuk mengungkapkan makna teks LK dan PT. 4.2.1 Konteks Situasi

Konteks situasi mengungkapkan tiga tipe makna, yaitu ideasional, interpersonal, dan tekstual. Makna ideasional berkaitan dengan fenomena—benda (hidup atau mati, abstrak dan konkret), peristiwa (hal apa atau melakukan apa), dan lingkungan tempat terjadinya atau perbuatannya. Sebagian besar makna jenis ini dipengaruhi oleh bidang wacana. Makna interpersonal mengungkapkan sikap dan keputusan penutur. Makna jenis ini dipengaruhi oleh pelibat wacana. Makna tekstual mengungkapkan relasi bahasa dengan lingkungannya, termasuk lingkungan verbal (koteks) dan lingkungan nonverbal atau situasional (konteks). Sebagian besar makna tekstual dipengaruhi sarana wacana.

Dengan mengikuti saran Saragih (2005:194—198), bidang wacana dieksplorasi dalam tiga aspek: arena/kegiatan, ciri partisipan atau pelibat, dan ranah semantik. Arena/kegiatan mengacu pada lokasi interaksi yang secara khusus membabitkan ciri kegiatan atau ciri institusi yang menetapkannya. Pelibat menunjukkan ciri fisik dan/atau mental dan pengetahuan para pelibat saat berinteraksi. Ciri pelibat ini mencakup ras, kelamin, kelas sosial, kekayaan, umur, penampilan, kecerdasan, pendidikan, pekerjaan, dan pengetahuan. Ranah semantik menyatakan isi atau pokok yang dibicarakan.

Pelibat wacana diungkapkan melalui unsur formalitas, status, afeksi, dan kontak. Formalitas adalah tata cara keterlibatan partisipan dalam interaksi yang sudah ditetapkan sebelumnya. Status mengacu pada posisi atau kedudukan pelibat dalam interaksi. Afeksi menunjukkan keterlibatan emosi. Kontak mengacu pada keseringan.

Sarana wacana meliputi keterencanaan, jarak, dan medium atau saluran. Keterencanaan menunjukkan persiapan yang dilakukan dalam mewujudkan teks. Interaksi dapat terjadi dengan skenario yang telah direncanakan atau tanpa rencana dalam arti berlangsung spontan. Jarak merujuk pada umpan balik yang diberikan antarpelibat dan keikutsertaan bahasa dengan realitas yang diwakilinya. Medium atau saluran menunjukkan sarana yang merealisasikan bahasa. Medium terdiri atas dua unsur yang merupakan kontinum, yaitu lisan dan tulisan.

Konteks situasi pada LK dan PT disajikan pada tabel berikut ini.

Page 27: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Rumnasari K. Siregar Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis:

Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 25

Tabel 7. Konteks Situasi “Lau Kawar” dan “Putri Tikus”

Tipe Konteks Situasi

“Lau Kawar” “Putri Tikus”

sebuah desa di Tanah Karo Sumatera Utara

sebuah kerajaan

sifat situasi (-) terinstitusi

sifat situasi (-) terinstitusi

ciri pelibat manusia ciri pelibat manusia dan hewan

Bidang

ranah semantis (-) spesialisasi

ranah semantis (-) spesialisasi

seorang ibu, anak, dan cucunya

seorang raja, tiga pangeran, dan seekor tikus

hubungan antarpelibat tidak formal

hubungan antarpelibat tidak formal

Pelibat

status pelibat tidak sama dengan tingkat afeksi dan kontak yang tinggi

status pelibat tidak sama dengan tingkat afeksi dan kontak yang tinggi.

(-) terencana (-) terencana (-) jarak (-) jarak

Sarana

tulisan tulisan

4.2.2 Konteks Budaya Cara bahasa terbentuk selain dipengaruhi

oleh konteks situasi juga dipengaruhi oleh konteks budaya. Kebudayaan mengembangkan cara-cara yang dapat dikenali oleh anggotanya dalam mencapai tujuan sosialnya pada ranah situasi yang dialaminya. Berdasarkan tujuan sosialnya, teks LK dan PT digolongkan ke dalam narasi. Teks narasi berisi tuturan mengenai satu peristiwa. Dengan tujuan untuk bercerita dan mencari penyelesaian masalah dalam cerita itu, narasi terstruktur sebagai Abstrak ^ Orientasi ^ Evaluasi ^ Komplikasi ^ Resolusi ^ Koda.

Dari hasil analisis terlihat bahwa struktur LK dibangun oleh abstrak, orientasi, evaluasi, komplikasi, resolusi, dan koda. Struktur PT tidak memuat elemen abstrak, tetapi langsung dimulai oleh orientasi dan berakhir dengan koda. Pada koda LK berakhir dengan tragis, sedangkan PT berakhir dengan bahagia. Perbandingan struktur kedua teks ini dicontohkan pada Tabel 8.

Tabel 8 Konteks Budaya “Lau Kawar” dan “Putri Tikus”

Tipe Konteks Budaya

“Lau Kawar” “Putri Tikus”

Abstrak Keindahan Danau Lau Kawar menyimpan cerita yang mengenaskan.

Kesibukan warga Desa Kawar melaksanakan upacara syukuran

Tiga pangeran yang beranjak dewasa disarankan raja untuk mencari istri.

Orientasi

Seorang perempuan tidak mengikuti upacara tersebut karena sudah tua

Sekor tikus mermohon kepada setiap pangeran untuk dijadikan sebagai tunangan.

Evaluasi Dia menganggap orang-orang, termasuk anak, menantu, dan cucunya sudah melupakannya.

Dua pangeran menolak permintaan Tikus, kecuali Pangeran Bungsu.

Makanan yang diantar anaknya dimakan cucunya sehingga yang tersisa hanya remah nasi dan tulang ikan.

Raja meminta ketiga putranya agar masing-masing membawa calon menantunya ke istana untuk bertemu dengan raja.

Komplikasi

Dia menduga anak dan menantunya sengaja mengirim makanan seperti itu.

Pangeran Bungsu khawatir untuk memperkenalkan tikus kepada raja.

Resolusi Dia mengutuk anak dan menantunya dan terjadi gempa dahsyat yang menenggelamkan Desa Kawar.

Tikus meminta Pangeran Bungsu untuk mengikat enam ekor kumbang dan memasang dua ekor lalat pada kulit telur

Koda Desa yang tenggelam itu dinamakan Danau Lau Kawar

Pangeran Bungsu dan putri (tikus) hidup bahagia di istana.

Page 28: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Rumnasari K. Siregar Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis:

Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 26

5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan

Sistem ketransitifan pada LK dan PT berbeda tipe prosesnya pada klausa simpleks. LK mengutamakan proses material, sedangkan PT mementingkan proses relasional. Fakta ini menunjukkan bahwa LK menekankan peristiwa yang melibatkan tindakan pelaku dan PT menekankan deskripsi keadaan pelaku. Tipe partisipan dan sirkumstan memiliki persamaan. Kedua teks ini sangat tinggi kekerapannya dalam penggunaan partisipan manusia-khusus dan dalam penggunaan sirkumstan lokasi.

Konteks situasi pada LK dan PT memiliki persamaan makna, kecuali ciri pelibatnya. LK menggunakan partisipan manusia, sedangkan PT menggunakan manusia dan hewan. Dalam analisis konteks budaya, struktur keduanya berbeda dalam penerapan abstrak dan koda. PT tidak menggunakan abstrak, tetapi langsung dimulai pada orientasi. Selain itu, koda pada LK berakhir dengan tragedi, sedangkan pada PT berakhir dengan bahagia. 5.2 Saran

Kajian ini sangat terbatas dalam mengungkapkan makna teks sebab hanya berpusat pada klausa simpleks. Namun begitu, studi komparasi ini terbukti dapat mengungkapkan persamaan dan perbedaan makna teks LK dan PT yang dibangun oleh latar budaya yang berbeda. Kiranya perlu dilakukan kajian yang lebih komprehensif untuk mengungkapkan peristiwa dan situasi pada sebuah teks. Juga disarankan untuk menelaah konteks ideologi yang meliputi nilai, sudut pandang, posisi atau perspektif yang dianut oleh pembicara/penulis. DAFTAR PUSTAKA Ansary, H. dan E. Babaii. 2004. “The Generic

Integrity of Newspaper Editorials: A Systemic Functional Perspective.” [dikutip 18 Juni 2008]. Tersedia dari: http://www-asian-efl-journal.com/site_map_2004.php.

Babaii, E. dan H. Ansary. 2005. “On the Effect of

Disciplinary Variation on Transitivity: The Case of Academic Book Reviews.” [dikutip18 Juni 2008]. Tersedia dari: http://www.asian-journal.com/sep-05-ha&eb.pdf.

Cicekli, I. dan T. Korkmaz. 1998. “Generation of

Simple Turkish Sentence with Systemic-Functional Grammar.” [dikutip 18 Juni 2008]. Tersedia dari: http://citeseer.ist.psu. edu/170319.hml.

Christie, F. dan L. Unsworth. 2000. “Developing Socially Responsible Language Research”. Dalam Len Unsworth (ed). 2000. Researching Language in School and Communities. London: TJ International.

Eggin, S. 2004. An Introduction to Systemic

Functional Linguistics. London: Continuum.

Eggins, S, P. Wignell, dan P. Martin. 1993. ”The

Discourse of History: Distancing the Recoverable Past.” Dalam M. Ghadessy (ed.). Register Analysis: Theory and Practice, 75—109. London: Pinter.

Gerot, L. dan P. Wignell. 1994. Making Sense of

Functional Grammar. Sydney: Antipodean Educational Enterprises.

Halliday, M. A. K. 1994. An Introduction to

Functional Grammar. London: Arnold. Halliday, M. A. K. 2002. Linguistic Studies of Text

and Discourse. London: Continuum. Halliday, M. A. K. dan Matthiessen, C.M.I.M.

2004. An Introduction to Functional Grammar. London: Arnold.

Matthiessen. C. M. I. M. 2005. The “Architecture”

of Language according to Systemic Functional Theory: Developments since the 1970s.” [dikutip 25 Juni 2008]. Tersedia dari: http://SMMG_Library_files/ CMIM_Architecture_since70s.pdf.

Ming, L. 2007. “Systemic Functional Linguistic

Approach to Translation Studies.” US-China Foreign Language, 8:74—81.

Neale, A. C. 2002. More Delicate Transitivity:

Extending the Process Type System Networks for English to Include Full Semantic Classifications. [dikutip 25 Juni 2008]. Tersedia dari: http://www.itri.ac.uk/~Amy. Neale/thesis_online/ final_thesis.pdf.

Porcaro, J. W. 2007. “Functional Grammar and the

Rhetoric of Scientific Discourse in Teaching English for Science and Technology.” [dikutip 18 Juni 2008]. Tersedia dari: http://www-library.tuins.ac.jp/kiyou/ 2007kokusai-PDF/ 0703porcaro.pdf.

Page 29: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Rumnasari K. Siregar Genre Fiksi dalam Linguistik Fungsional Sistemis:

Perbandingan Teks ”Lau Kawar” dan ”Putri Tikus”

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 27

Saragih, A. 2005. Bahasa dalam Konteks sosial. Medan: FBS Unimed.

Teich, E. 1999. Systemic Functional Grammar in

Natural Language Generation: Linguistic Description and Computational Representation. London: Cassell.

Tench, P. 2001. “What We Actually Need Grammar For: An Introduction to A Functional Perspective on Grammar”. [dikutip 18 Juni 2008]. Tersedia dari: http://www.bzu.edu.pk/jrlanguages/vol-1%202001/Paul%20Tench-B-1.pdf.

Catatan: Teks “Lau Kawar” dan “Putri Tikus” bersumber dari Album Cerita Dunia karangan Atik Sri Hartatik (2006), Penerbit Indah, Surabaya.

Page 30: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Ni Wayan Sartini Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat

Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 28

MENGGALI NILAI KEARIFAN LOKAL BUDAYA JAWA

LEWAT UNGKAPAN (BEBASAN, SALOKA, DAN PARIBASA)

Ni Wayan Sartini Universitas Airlangga

Abstract

One of the local genius in Indonesia is Javanese local genius like idiomatic expressions. This expressions are fully loaded with cultural values. The cultural values influence Javanese society too much. By using data from saloka, bebasan and paribasa, this research attempt to investigate these cultural values as reflected in the linguistic expressions. There are five idiomatic expressions in Javanese culture found from this research such as (1) expressions which are describe bahave and ideology; (b) expressions which are related with strong will; (3) expressions which are describe relationship human and God, (4) relationship between humans, (5) expressions which reflect bad bahave. Key words: local genius, cultural values, idiomatic expression

1. LATAR BELAKANG Saat ini peradaban manusia sudah demikian maju. Itu terbukti dari budaya-budaya modern yang muncul telah mengisi dimensi-dimensi kehidupan manusia mulai dari kehidupan rumah tangga sampai pada kemajuan teknologi industri dan informasi. Begitu juga, dunia pendidikan saat ini sudah jauh berbeda dengan model-model pendidikan pada zaman dahulu. Hal itu menandakan bahwa masyarakat sudah menikmati hasil cipta, rasa, dan karsa yang berupa hasil-hasil budaya yang tergolong modern. Berbagai perubahan yang terjadi di Indonesia tidak hanya menyangkut tatanan kehidupan sosial ekonomi, juga politik, kebahasaan dan kebudayaan. Kontak bahasa mengakibatkan kontak budaya atau sebaliknya kontak budaya mengakibatkan kontak bahasa. Hal ini terjadi karena efek dari dunia global dalam era globalisasi. Semua jarak dan ruang terasa dekat karena kemajuan teknologi.

Di tengah kemajuan zaman seperti itu tentu kita tidak boleh melupakan akar budaya yang telah ada karena budaya-budaya itu mengandung nilai-nilai yang sangat luhur yang perlu tetap dilestarikan. Itulah kearifan lokal yang perlu terus digali di samping tetap menikmati kebudayaan yang modern. Melupakan kearifan lokal yang ada berarti mengingkari eksistensi warisan budaya nenek moyang yang sangat bernilai tinggi. Salah satu kearifan lokal yang ada di seluruh nusantara adalah bahasa dan budaya daerah.

Bahasa daerah merupakan salah satu bahasa yang dikuasai oleh hampir seluruh anggota masyarakat pemiliknya yang tinggal di daerah itu. Oleh karena itu, sangat wajar jika adat, kebiasaan,

tradisi, tata nilai dan kebudayaan masyarakat lingkungannya juga terekam di dalam bahasa daerah tersebut. Bahkan ada beberapa masyarakat sangat membanggakan bahasa daerahnya. Akibatnya, muncul sikap-sikap meremehkan bahasa dan budaya lain.

Pada saat ini di Indonesia tengah terjadi persaingan antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Ada semacam kekhawatiran bahasa-bahasa daerah akan punah karena terdesak oleh bahasa Indonesia dan dikawatirkan juga memudarnya nilai-nilai budaya yang ada dalam bahasa daerah tersebut. Secara teoretis persaingan bahasa dan budaya daerah dapat dijelaskan sebagai berikut. Hadirnya dua bahasa atau lebih dalam suatu wilayah dan masyarakat dapat menjurus kepada tiga kemungkinan. Pertama, ada semacam koeksistensi damai di antara kedua bahasa tersebut. Artinya, warga masyarakat yang bersangkutan menggunakan B1 atau B2 secara bebas referensi. Pemilihan B1 atau B2 semata-mata didasarkan kepada dalil sosiolinguistik, yaitu siapa berbicara, kepada siapa, di mana, kapan, tentang apa, dan sebagainya. Kedua, B1 dan B2 setelah masa yang lama berpadu menjadi semacam antarbahasa (interlanguage) yang barangkali diawali oleh interferensi dari B1 ketika warga menggunakan B2, atau sebaliknya. Perubahan dari dua sistem bahasa menjadi satu sistem itu tentu saja memerlukan waktu yang lama sekali. Kemungkinan ketiga yang timbul dari adanya kehadiran dua bahasa di dalam suatu masyarakat adalah bahwa lama-lama warga masyarakat itu mempunyai preferensi bahasa apa yang akan dipakai di dalam suatu interaksi (Gunarwan 2006:96). Kemungkinan-kemungkinan tersebut

Page 31: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Ni Wayan Sartini Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat

Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 29

pada dasarnya juga akan diikuti oleh kemungkinan-kemungkinan pergeseran budaya beserta nilai-nilai yang ada dalam bahasa daerah tersebut. Melihat kenyataan dan kemungkinan di atas, tentu harus ada kesadaran masyarakat pendukung sebuah bahasa untuk melestarikan bahasa dan budaya daerahnya agar generasi selanjutnya bisa mewarisi bahasa dan budaya daerah tersebut. Salah satu usaha yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan memberikan dan mengajarkan serta mendidik anak-anak dengan beberapa petuah lewat ungkapan-ungkapan serta menjelaskan nilai-nilai yang ada dalam ungkapan, peribahasa yang ada dalam bahasa daerah tersebut. Masyarakat Jawa termasuk salah satu etnis yang sangat bangga dengan bahasa dan budayanya meskipun kadang-kadang mereka sudah tidak mampu lagi menggunakan bahasa Jawa secara aktif dengan undha-usuknya, serta tidak begitu paham dengan kebudayannya. Dalam pandangan beberapa orang, bahasa dan budaya Jawa termasuk budaya kuna dan feodal yang sudah tidak relevan dengan situasi masa kini. Padahal, dalam era sekarang ini dibutuhkan pedoman dan nilai-nilai agar bangsa ini menjadi bangsa yang arif dan bijaksana penuh kedamaian dengan toleransi yang tinggi antara satu suku dan suku lainnya. Untuk itu, perlu digali kearifan lokal dalam bentuk apa pun yang mengandung nilai budaya yang tinggi dan adiluhung.

Budaya Jawa penuh dengan simbol sehingga dikatakan budaya Jawa adalah budaya simbolis. Sebagai contoh adalah tradisi wiwahan. Simbol-simbol wiwahan terdapat di dalam upacara perkawinan adat Jawa. Dalam pengertian ini simbol-simbol wiwahan sangat berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat Jawa, suatu kehidupan yang mengungkapkan perilaku dan perasaan manusianya melalui berbagai upacara adat (Budianto 2002:86). Simbol-simbol yang digunakan sampai kini mengandung nilai-nilai budaya, etika, moral sangat penting dijelaskan kepada generasi selanjutnya. Itu merupakan salah satu produk budaya yang merupakan kearifan lokal yang perlu terus dipahami dan diresapi oleh masyarakatnya. Bahasa Jawa sebagai produk masyarakat Jawa mencerminkan budaya Jawa. Sifat dan perilaku masyarakat Jawa dapat dilihat melalui bahasa atau kegiatan berbahasanya. Begitu juga perkembangan kebudayaan Jawa akan dapat memperkaya bahasa Jawa pada seluruh aspeknya. Paribahasa, ungkapan, bebasan, dan saloka sebagai salah satu bentuk penggunaan bahasa dapat mencerminkan sifat dan kepribadian pemakainya. Lebih-lebih ungkapan yang bermakna

ketidaklangsungan merupakan cermin budaya Jawa yang sangat khas bagi masyarakat Jawa. Sebaliknya, kebudayaan Jawa akan terus bersimbiosis mutualistis dengan bahasanya.

Budaya Jawa dari zaman dahulu terkenal sebagai budaya adiluhung yang menyimpan banyak nilai yang sangat luhur mulai dari etika dan sopan santun di dalam rumah sampai sopan santun di ranah publik. Bagaimana mengeluarkan pendapat, berbicara kepada orang tua, berpakaian, makan, memperlakukan orang lain dan sebagainya semuanya telah ada dalam budaya Jawa. Bahasa dijadikan sebagai alat untuk memahami budaya, baik yang sekarang ada maupun yang telah diawetkan dan yang akan datang (dengan cara mewariskannya). Tanpa bahasa tidak akan ada budaya. Setiap masyarakat budaya mempertahankan konsepnya melalui nilai budaya dan sistem budaya dengan mempertahankan fungsi, satuan, batas, bentuk, lingkungan, hubungan, proses, masukan, keluaran, dan pertukaran (Soeleman 1988). Oleh karena itu, tinggi rendahnya nilai budaya sangat bergantung pada pertahanan masyarakatnya dalam mengoperasionalkan sistem tersebut (Djajasudarma 2002).

Salah satu unsur bahasa yang cenderung baku dan beku dari segi struktur maupun makna adalah unsur yang disebut ungkapan dan peribahasa (secara universal unsur ini dimiliki bahasa-bahasa yang ada di dunia). Unsur tersebut diwariskan turun- temurun sampai saat ini meskipun dari segi budaya sudah berubah.

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk memahami budaya memahami budaya etnis. Salah satunya adalah mengkaji dan memahami ungkapan seperti paribasa, bebasan, dan saloka yang terdapat dalam bahasa daerah dan budaya tersebut seperti dalam bahasa dan budaya Jawa. Dalam bentuk-bentuk kebahasaan tersebut terkandung nilai budaya yang tidak pernah disadari oleh generasi masa kini bahkan dianggap sebagai warisan budaya yang hanya perlu diketahui oleh orang-orang tua. Dalam kondisi bangsa Indonesia yang sangat terpuruk dalam etika dan sopan santun seperti saat ini perlu disosialisasikan dan ditanamkan nilai-nilai budaya lokal, baik lewat jalur formal maupun nonformal. Sudah saatnya kembali ditanamkan pendidikan budi pekerti dengan menggali aspek-aspek budaya setempat agar generasi selanjutnya tidak tercerabut akarnya karena lebih mengagungkan budaya lain khususnya budaya Barat.

Berdasarkan hal-hal tersebut, perlu diadakan penelitian dan inventarisasi ungkapan, paribasan, bebasan, serta saloka dalam bahasa Jawa. Penelitian ini penting karena nilai-nilai

Page 32: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Ni Wayan Sartini Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat

Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 30

budaya lokal atau kearifan lokal tersebut mengandung pedoman etika, pandangan hidup, tradisi, falsafah, dan sebagainya yang bisa dijadikan sebagai salah satu keseimbangan hidup dalam negara yang heterogen ini. Di samping itu, butir-butir nilai yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan bahasa Jawa dapat dijadikan embrio butir-butir nilai kebudayaan nasional bangsa kita. Berdasarkan latar belakang di atas, dalam tulisan ini akan dikaji nilai-nilai yang terkandung dalam paribasa, bebasan, dan saloka sebagai salah satu kearifan lokal budaya Jawa.

2. TINJAUAN PUSTAKA Di Amerika ilmu yang mengkaji masalah ini dinamakan antropologi linguistik dengan variannya linguistik antropologi dan dipelopori oleh Franz Boas, sedangkan di Eropa dipakai istilah etnolinguistik (Duranti 1997). Pada dasarnya, antropologi linguistik, linguistik kebudayaan, etnolinguistik secara umum memiliki kesamaan (Crystal 1992; Duranti 2001:1-2). Malinowski (dalam Hymes 1964:4) mengemukakan bahwa melalui etnolinguistik kita dapat menelusuri bagaimana bentuk-bentuk linguistik dipengaruhi oleh aspek budaya, sosial, mental dan psikologis; apa hakikat bentuk dan makna serta bagaimana hubungan keduanya. Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi cenderung dipandang sebagai fungsi kontrol atau suatu tindakan untuk saling memengaruhi partisipan dalam suatu pertuturan (Hymes 1964:5). Franz Boas adalah salah seorang yang berkontribusi dalam pengembangan antropologi linguistik. Gagasannya sangat berpengaruh terhadap Sapir dan Whorf sehingga melahirkan konsep relativitas bahasa. Menurut tokoh ini bahasa tidak bisa dipisahkan dari fakta sosial budaya masyarakat pendukungnya. Salah satu kontribusi Sapir (dalam Bonvillain 1997:49) yang sangat terkenal adalah gagasannya yang menyatakan bahwa analisis terhadap kosakata suatu bahasa sangat penting untuk menguak lingkungan fisik dan sosial di mana penutur suatu bahasa bermukim. Hubungan antara kosakata dan nilai budaya bersifat multidireksional. Nilai adalah sesuatu yang menyangkut baik dan buruk. Pepper (dalam Djajasudarma 1997:12) menyatakan bahwa batasan nilai mengacu pada minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban, agama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, atraksi, perasaan, dan orientasi seleksinya. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang baik dan buruk dapat disebut sebagai nilai. Sistem nilai termasuk nilai budaya dan merupakan pedoman yang dianut oleh setiap anggota masyarakat terutama dalam bersikap dan

berperilaku dan juga menjadi patokan untuk menilai dan mencermati bagaimana individu dan kelompok bertindak dan berperilaku. Jadi, sistem nilai dapat dikatakan sebagai norma standar dalam kehidupan bermasyarakat. Djajasudarma dkk. (1997:13) mengemukakan bahwa sistem nilai begitu kuat meresap dan berakar di dalam jiwa masyarakat sehingga sulit diganti atau diubah dalam waktu singkat. Dari kutipan di atas, bahasa merupakan medium untuk menampilkan makna budaya yang di dalamnya terkandung nilai. Secara definitif, Theodore (1979:455) mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak, dijadikan pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai menurut Theodore relatif sangat kuat dan bahkan bersifat emosional. Oleh karena itu, nilai dapat dilihat sebagai pedoman bertindak dan sekaligus sebagai tujuan kehidupan manusia itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat (1987:85), nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang memengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara-cara, alat-alat, dan tujuan-tujuan perbuatan yang tersedia (Kluckohn 1952:359). Lebih lanjut, Kluckkohn mengatakan bahwa nilai budaya adalah konsepsi umum yang terorganisasi, memengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan hal-hal yang diingini dan tak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan antara orang dengan lingkungan dan sesama manusia. Ada lima masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap kebudayaan yang dapat ditemukan secara universal. Menurut Kluckohn (1961), kelima masalah pokok tersebut alah (1) hakikat hidup, (2) hakikat karya manusia, (3) hakikat kedudukan manusia, (4) hakikat hubungan manusia dengan alam sekitar dan (5) hakikat dari hubungan manusia dengan manusia sesamanya. Konsep nilai di dalam ungkapan berfungsi untuk menggambarkan budaya yang merekat masyarakatnya dalam kesatuan aktivitas yang berupa anjuran, larangan, pedoman untuk bertindak yang patut dipertahankan karena bermuatan positif dalam menentukan sikap hidup. Di samping itu, ada pula makna ungkapan yang memudar nilainya karena tidak baik dilakukan pada situasi tertentu. Dalam ungkapan ada pula nilai yang bersifat generik, artinya berlaku umum

Page 33: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Ni Wayan Sartini Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat

Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 31

tidak menyangkut pedoman yang baik atau buruk, misalnya penggambaran orang yang selalu menurut kepada seseorang, digambarkan dalam bahasa Indonesia ”Seperti kerbau dicucuk hidungnya.” Ungkapan yang meliputi peribahasa, saloka, dan bebasan merupakan bagian dari komunikasi sistem budaya (Dundes dan Arewa 1964). Ungkapan-ungkapan tersebut yang meliputi peribahasa dan sebagainya (bahasa) mengategorisasi realitas budaya (Duranti 1997:25; Foley 1997:16) dan mengandung nilai-nilai budaya yang dalam masyarakat Jawa dijadikan pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Tentu saja ungkapan-ungkapan yang bernilai positif. Nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan tersebut terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran masyarakat dan dianggap amat mulia karena nilai-nilai itu juga dianggap dapat menjadi penuntun dalam bersikap, berkata, dan bertingkah laku. Bahasa menampakkan sistem klasifikasi yang dapat digunakan untuk menelusuri praktik-praktik budaya dalam suatu masyarakat. Model-model budaya yang dimaksudkan di sini mencakup mentalitas kerja, persepsi, sikap, perilaku, etika, dan moral. Kebudayaan menentukan bahasa. Artinya, segala perilaku manusia dalam suatu masyarakat akan menentukan bahasa yang digunakan. Segala hasil cipta, rasa, karsa, dan karya masyarakat dapat menentukan bunyi, kosakata, struktur kalimat, retorika, atau ungkapan dan peribasa. Selama ini ada pandangan bahwa masyarakat Jawa tidak suka menyakiti hati atau mempermalukan orang lain di hadapan orang banyak, tidak suka menonjolkan diri, dan sebagainya. Akibatnya, bahasa Jawa sangat kaya dengan ungkapan-ungkapan dan peribahasa yang di dalamnya tersirat kritikan, larangan, nasihat, dan banyak tuturan yang berbentuk pasif.

Bahasa dapat dikatakan sebagai kemampuan manusia untuk berkomunikasi melalui penggunaan jenis tanda tertentu yang disusun dalam unit dan sistem tertentu pula. Menurut Foley (1997:27), bahasa adalah sistem tanda dengan kaidah-kaidah penggabungannya. Prinsip-prinsip kaidah penggabungan tanda-tanda untuk membentuk kalimat itulah yang disebut tatabahasa yang bersangkutan. Kramsch (2001:6) berpendapat bahwa bahasa adalah wahana mendasar bagi manusia untuk melakukan kehidupan sosial. Ketika digunakan untuk berkomunikasi, bahasa terikat dengan budaya secara berlapis dan rumit. Bahasa mengungkapkan kenyataan budaya, bahasa mewujudkan kenyataan budaya, dan bahasa melambangkan kenyataan budaya. Kunci bahwa bahasa dan budaya terjadi

secara alamiah terlihat pada bentuk sosialisasi atau penyesuaian diri manusia yang beragam. Sehubungan dengan adanya ungkapan, peribahasa, saloka dan slogan-slogan dalam budaya yang berbeda, Kramsch (2001:11, 77) juga mengemukakan bahwa orang berbicara dengan cara yang berbeda karena berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan makna dunia luar di sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula. Ini gagasan dasar teori relativitas linguistik yang dipegang oleh Boas, Sapir, dan Whorf dalam kajian mereka tentang bahasa-bahasa Indian Amerika. Pandangan Whorf mengenai adanya saling ketergantungan antara bahasa dengan pikiran dianalis dengan hipotesis Sapir-Whorf. Hipotesis tersebut lebih tegas menyatakan bahwa struktur bahasa, suatu yang digunakan secara terus menerus memengaruhi cara seseorang berpikir dan berperilaku. Bahasa dapat dikatakan sebagai bagian integral dari manusia, bahasa menyerap setiap pikiran dan cara penuturnya memandang dunianya.

Hubungan antara bahasa, budaya dan pikiran, sejauh ini tercermin dalam teori Relativitas Linguistik dan Hipotesis Sapir-Whorf dengan hipotesisnya yang menyatakan bahwa persepsi kita terhadap realitas dipengaruhi oleh bahasa pertama yang kita miliki. Berhubungan dengan nilai-nilai budaya, Hudson menyatakan bahwa nilai-nilai budaya yang kita anut akan tercermin dalam tingkah laku kebahasaan kita. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan pemikiran Saussure tentang penanda dan petanda dengan menambahkan konsep mutakhir berupa leksikalisasi, gramatikalisasi, dan verbalisasi. Menurut Wardhaugh (1988:212), pendapat yang ada tentang keterhubungan antara bahasa dan kebudayaan yang cukup lama bertahan adalah (i) struktur bahasa menentukan cara-cara penutur bahasa tersebut memandang dunianya, (ii) budaya masyarakat tercermin dalam bahasa yang mereka pakai karena mereka memiliki segala sesuatu dan melakukannya dengan cara tertentu yang mencerminkan apa yang mereka nilai dan apa yang mereka lakukan. Dalam pandangan ini, perangkat-perangkat budaya tidak menentukan struktur bahasa, tetapi perangkat-perangkat tersebut jelas memengaruhi bagaimana bahasa digunakan dan mungkin menentukan mengapa butiran-butiran budaya tersebut merupakan cara berbahasa, (iii) ada sedikit atau tidak hubungan atau tidak sama sekali antara bahasa dan budaya.

Bahasa dan budaya saling menentukan atau saling memengaruhi. Jika bahasa suatu bangsa berkembang, kebudayaan bangsa itu juga akan

Page 34: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Ni Wayan Sartini Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat

Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 32

terus berkembang, atau sebaliknya. Perkembangan kebudayaan masyarakat Jawa akan semakin mengembangkan bahasa Jawa. Selama masyarakat Jawa masih hidup dan tetap berbahasa Jawa, kebudayaan Jawa akan terus berkembang dan perkembangannya akan memengaruhi perkembangan bahasa Jawa, atau sebaliknya. Bahasa Jawa sebagai produk masyarakat Jawa mencerminkan budaya Jawa. Sifat dan perilaku budaya masyarakat Jawa dapat dilihat melalui bahasa atau kegiatan berbahasanya. Begitu juga, perkembangan kebudayaan Jawa akan dapat memperkaya bahasa Jawa pada seluruh aspeknya. Ungkapan sebagai salah satu bentuk penggunaan bahasa dapat mencerminkan sifat dan kepribadian pemakainya. Lebih-lebih ungkapan yang bermakna ketidaklangsungan benar-benar dapat mencerminkan budaya Jawa yang sangat khas bagi masyarakat Jawa. Sebaliknya, kebudayaan Jawa akan terus bersimbiosis mutualis dengan bahasanya (Pranowo 2003:274). Sehubungan dengan adanya hubungan yang erat antara bahasa dan budaya, dalam bahasa Jawa terdapat banyak ungkapan, peribahasa, bebasan, dan saloka. Semuanya mengandung nilai-nilai yang mencerminkan latar belakang budaya masyarakatnya. Jadi, bentuk ungkapan seperti peribahasa, bebasan, dan saloka adalah wujud konkret bahasa, sedangkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mencerminkan budaya masyarakatnya. Biasanya berbagai maksud itu merupakan (1) gambaran akan adanya Tuhan, (2) gambaran mengenai sikap dan hidup, (3) cara memberi nasihat, kritik, peringatan, (4) gambaran mengenai tekad yang kuat. Di samping itu, ada juga ungkapan yang mencerminkana sifat tidak baik pada orang Jawa dan tidak perlu dikembangkan oleh siapa pun. Ungkapan dalam bahasa Jawa bermacam-macam jenisnya, antara lain bebasan, paribasan dan saloka. Bebasan adalah ungkapan yang memiliki makna kias dan mengandung perumpamaan pada keadaan yang dikiaskan, misalnya nabok nyilih tangan. Paribasan adalah ungkapan yang memiliki makna kias, namun tidak mengandung perumpamaan, misalnya dudu sana dudu kadang, yen mati melu kelangan. Saloka adalah ungkapan yang memiliki makna kiasan dan mengandung perumpamaan pada subjek yang dikiaskan, misalnya kebo nusu gudel. 3. NILAI-NILAI YANG

TERKANDUNG DALAM PARIBASAN, BEBASAN, DAN SALOKA

Bahasa menampakkan sistem klasifikasi yang dapat digunakan untuk menelusuri praktik-praktik

budaya dalam masyarakat. Model-model budaya dapat dimunculkan secara eksplisit melalui ungkapan (Bonvillain 1997:48). Model-model budaya yang dimaksudkan di sini mencakup mentalitas, persepsi, sikap, perilaku, etika, dan moral. Ungkapan sebagai salah satu bentuk budaya tentu mengandung hal-hal tersebut yang disebut nilai budaya. Berikut ini dijelaskan nilai-nilai yang terdapat dalam ungkapan bahasa Jawa. 3.1 Ungkapan yang Menggambarkan Sikap

dan Pandangan Hidup Sikap hidup adalah cara sesorang

memberi makna terhadap kehidupannya. Sikap hidup ini diperlihatkan untuk diri sendiri, atau untuk orang lain yang berstatus sosial lebih tinggi seperti pimpinan, atasan, atau orang tua (Pranowo 2003:280). Masyarakat Jawa sangat memperhatikan sikap-sikap hidup yang sederhana, penuh tanggung jawab, sangat menghargai perasaan orang lain, berbudi bawa leksana serta selalu rendah hati. Sikap aja dumeh, aja adigang, aja adigung, aja adiguna, selalu ditekankan pada masyarakat Jawa agar selalu menjadi orang yang rendah hati, berbudi baik dan menghargai orang lain.

1. Giri lusi janna kena ingina ’tidak boleh menghina orang lain’

2. Alon-alon waton kelakon 3. Hamangku, hamengku, hamengkoni. 4. Ing arsa sung tuladha, ing madya mangun

karsa, tut wuri handayani 5. Melu handarbeni, melu hangrungkebi,

mulat sarira hangrasa wan. 6. Nglurug tanpa bala, menang tanpa

angsorake 7. Weweh tanpa kelangan 8. Yitna yuwana, lena kena 9. Kencana wingka 10. Sepi ing pamrih rame ing gawe ’orang

yang bekerja sungguh-sungguh tanpa menginginkan imbalan’

Lebih jauh, ungkapan-ungkapan tersebut dapat dijabarkan bahwa masyarakat Jawa memiliki pandangan luwih becik alon-alon waton kelakon, tinimbang kebat kliwat mengandung nilai bahwa salah satu sikap hidup orang Jawa yang tidak ingin gagal dalam meraih apa yang diinginkan. Kata alon-alon di dalamnya sebenarnya tersirat makna cara. Jadi, alon-alon hanyalah cara bagaimana seseorang akan mencapai tujuan karena yang penting adalah kriteria yaitu waton kelakon (harus terlaksana) daripada kebat kliwat (tergesa-gesa tetapi gagal). Ketika menjadi pemimpin, orang Jawa memiliki beberapa semboyan dan pandangan

Page 35: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Ni Wayan Sartini Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat

Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 33

hidup yang selalu harus dilaksanakan agar kepemimpinannya dapat berjalan dengan baik karena diiringi dengan sikap-sikap yang arif dan bijaksana. Sikap dan pandangan itu antara lain ialah seorang pemimpin harus dapat hamangku, hamengku, hamengkoni. Hamangku diartikan sebagai sikap dan pandangan yang harus berani bertanggung jawab terhadap kewajibannya, hamengku diartikan sebagai sikap dan pandangan yang harus berani ngrengkuh (mengaku sebagai kewajibannya dan hamengkoni dalam arti selalu bersikap berani melindungi dalam segala situasi. Jadi, seorang pemimpin dalam pandangan masyarakat Jawa itu harus selalu berani bertanggung jawab, mengakui rakyatnya sebagai bagian dari hidupnya dan setiap saat harus selalu melindungi dalam segala kondisi dan situasi. Ungkapan yang paling populer dalam dunia pendidikan adalah ing arsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Ungkapan ini juga berasal dari bahasa Jawa dan mengandung nilai-nilai yang sangat baik untuk panutan seorang pemimpin. Apabila seseorang benar-benar ingin disebut sebagai seorang pemimpin, dia harus selalu berada di depan untuk memberikan contoh yang baik dalam bentuk sikap, ucapan, dan tindakan yang selalu konsisten. Manakala seorang pemimpin berada di tengah-tengah rakyatnya, dia harus mangun karsa (memberi semangat) agar rakyat tidak mudah putus asa jika menghadapi segala macam cobaan. Ketika dia ada di belakang dia harus selalu tut wuri handayani (mau mendorong) agar rakyatnya selalu maju. Ketika seorang pemimpin memiliki sikap dan pandangan hidup yang baik rakyat akan selalu melu handarbeni, melu hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani dalam arti segala prestasi yang dicapai dalam suatu tempat atau negara akan selalu dijaga oleh rakyatnya dengan baik karena rakyat merasa ikut memiliki melu handarbeni, dan jika ada orang lain yang akan merusak tatanan yang sudah mapan, rakyat juga akan ikut membela melu hangrungkebi. Namun, semua itu dilakukan setelah mengetahui secara pasti duduk persoalan mana yang benar dan mana yang salah dengan mulat sarira hangrasa wani (mawas diri). Berdasarkan pandangan di atas, seorang pemimpin akan semakin berwibawa dan dapat menyelesaikan segala persoalan tanpa menimbulkan persoalan baru. Karena kewibaannya itulah seorang pemimpin memiliki kekuatan sehingga akan berani nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, artinya segala persoalan dapat diselesaikan sendiri dengan baik tanpa harus merendahkan martabat orang lain yang bermasalah dengan dirinya. Karena kewibaan itu pulalah

seorang pemimpin harus selalu bersikap dermawan kepada orang lain yang kekurangan. Seorang pemimpin sejati memiliki sikap dan pandangan weweh tanpa kelangan (memberi tanpa harus kehilangan sesuatu) karena seorang pemimpin sugih tanpa bandha (kaya tanpa harta). Itulah beberapa ungkapan yang merupakan kearifan lokal dalam budaya Jawa yang penuh dengan nilai-nilai luhur untuk seorang pemimpin. Sebaiknya ungkapan-ungkapan seperti mulai diajarkan dan dikenalkan pada generasi muda saat ini agar ke depan ketika mereka memimpin memiliki dasar nilai dan moral yang kuat. Untuk seorang pemimpin kearifan-kearifan lokal dalam budaya tersebut patut diterapkan dan dihayati karena mengandung nilai-nilai yang sangat luhur. Apabila semua pemimpin eling ’ingat’ semua pepatah, ungkapan dan nilai-nilai budaya niscaya selama memimpin akan selalu didukung oleh rakyatnya. Di samping itu, seorang pemimpin atau siapa pun sebaiknya meresapi ungkapan sepi ing pamrih rame ing gawe yang bermakna dalam melakukan pekerjaan apa pun sebaiknya bekerja sungguh-sungguh dan iklas tanpa memikirkan imbalanya. Bekerjalah jangan banyak menuntut imbalan. 3.2. Ungkapan yang Mencerminkan Sikap Buruk

Sudah kita ketahui bahwa banyak sekali ungkapan yang mengandung nilai-nilai yang sangat baik dan perlu selalu diresapi. Namun ada juga ungkapan-ungkapan yang mencerminkan sikap buruk manusia yang tidak perlu dikembangkan. Ungkapan itu muncul sebagai perumpaan saja dan sebaiknya tidak dilakukan karena akan berakibat buruk bagi orang yang melakukannya. Ungkapan-ungkapan itu antara lain sebagai berikut.

1. Adigang, adigung, adiguna 2. Anggentong umos 3. Anggutuk lor kena kiduAsu arebut balung 4. Arep jamure emoh matange. 5. Mbuwang tilas 6. Cuplak andheng-andheng ora prenah

panggonane 7. Cebol nggayuh lintang. 8. Dhawen ati open. 9. Diwehi ati ngorogoh rempela 10. Dhandang diuneki kuntul, kuntul diuneki

dhandang 11. Entek golek kurang ngamek. 12. Esuk dele sore tempe 13. Kemladeyan ngajak sempal 14. Keplok ora tombok. 15. Kedudung walulang macan 16. Kelacak kepathak. 17. Legan golek momongan. 18. Lambe kari samerang. 19. Nabok nyilih tangan

Page 36: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Ni Wayan Sartini Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat

Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 34

Ungkapan di atas hanya sebagian dari ungkapan yang ada dalam bahasa Jawa yang menggambarkan sifat yang buruk. Sifat-sifat seperti itu sebaiknya dihindarkan. Ungkapan-ungkapan tersebut ada dalam budaya Jawa bukan untuk diikuti melainkan memberikan perumpamaan-perumpamaan terhadap sikap, perilaku seseorang yang kurang baik. Seperti ungkapan lambe satumang kari samerang ’anak yang dituturi atau dinasihati oleh orang tuanya tetap saja tidak menurut. Ini adalah ungkapan yang menggambarkan sifat seorang anak yang bandel dan tidak menurut pada orang tua. Sebaiknya sifat seperti itu tidak diikuti oleh generasi muda. Ungkapan Nabok nyilih tangan secara umum bermakna seseorang ingin memfitnah atau menyakiti orang lain namun tidak berani secara langsung melainkan lewat orang lain. Sikap-sikap ini tentu saja tidak baik karena orang yang diibaratkan seperti itu adalah orang yang tidak satria dan tidak bertanggung jawab. Tetapi apa pun alasannya perbuatan yang diumpamakan seperti nabok nyilih tangan adalah perbuatan tidak baik. Begitu juga dengan ungkapan-ungkapan lain yang mengandung perumpamaan yang mencerminkan sikap buruk dan tidak perlu dikembangkan dan diterapkan. 3.3 Ungkapan–Ungkapan yang Berhubungan

dengan Tekad Kuat Di mana-mana suku Jawa terkenal sebagai suku yang sangat halus, lembut, rendah hati, tidak suka mencari masalah dan sebagainya. Namun, mereka memiliki semangat dan tekad yang kuat dalam menyelesaikan masalah dan meraih sesuatu. Sifat pantang menyerah adalah ciri etnis Jawa yang diaktualisasi lewat beberapa ungkapan berikut ini. (1) Rawe-rawe rantas malang-malang tuntas

’segala sesuatu yang menghalangi akan diberantas’

(2) Sura dira jayaning rat, pangruwating diyu, lebur dening pangastuti.

(3) Opor bebek, mateng awake dhewek’ orang yang sukses karena usaha sendiri’

Hal penting yang dapat diresapi dari ungkapan (1) adalah bahwa orang Jawa yang memiliki tekad yang kuat itu bukan karena keinginan yang membabi buta tanpa penalaran dan pertimbangan perasaan (Pranowo 2003:262) melainkan sudah dipikirkan dan diperhitungkan akibat baik dan buruknya. Tekad kuat juga terungkap dalam ungkapan sura dira jayaning rat, pangruwating diyu, lebur dening pangastuti, artinya siapa pun harus berani membasmi angkara murka untuk membela kebenaran karena adanya keyakinan bahwa angkara murka pasti dapat

dikalahkan oleh kebaikan. Ungkapan itu perlu diresapi dan diketahui oleh masyarakat untuk menegakkan keadilan agar masyarakat bisa mengatakan yang benar itu benar dan yang salah harus mendapat sanksi dari perbuatannya. Sebuah ungkapan juga menggambarkan bagaimana masyarakat yang berusaha sendiri sehingga sukses, yaitu opor bebek awake dhewek artinya bahwa seseorang yang memetik kesuksesan karena tekad yang kuat dalam dirinya sendiri untuk belajar, berusaha dan melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh untuk sebuah kesuksesan. Ungkapan-ungkapan di atas adalah kearifan lokal yang perlu terus dihayati agar masyarakat tetap memiliki tekad yang kuat dan semangat dalam meraih cita-cita dalam hidup dan kehidupan ini.

3.4 Ungkapan yang Menggambarkan

Hubungan Manusia dengan Tuhan Ungkapan yang ada dalam bahasa Jawa juga menggambarkan hubungan antara Tuhan dengan manusia. Ungkapan adoh tanpa wangenan, cedhak dhatan senggolan artinya jika seseorang tidak percaya akan adanya Tuhan, keberadan Tuhan tidak dapat dibayangkan karena begitu abstrak (adoh tanpa wangenan) . Sebaliknya, jika seseorang percaya akan adanya Tuhan meskipun tidak dapat bersentuhan secara fisik tetapi dapat dirasakan keberadaannya setiap saat (cedak dhatan senggolan) . Perlokusi ungkapan itu adalah agar setiap orang mau berusaha mendekatkan diri dengan Tuhan sampai mereka dapat merasakan kebesaran kekuasaannya (Pranowo 2003:276). Berikut ini adalah ungkapan-ungkapan yang menggambarkan hubungan antara manusia dengan Tuhan. (1) Golekana tapake kontul nglayang ’carilah

jejak kaki burung kontul’ (2) Golekana galihing kangkung ’carilah terasnya

pohon kangkung’ (3) Golekana susuhing angin ’carilah sarangnya

angin’ (4) Manunggaling kawula gusti ’bersatunya alam

kecil dan alam besar’ Keberadaan Tuhan harus dicari dengan penuh keimanan seperti terungkap dalam ungkapan golekana susuhung angin (carilah sarang angin), golekana tapake kontul nglayang atau golekana galihing kangkung. Ketiga ungkapan itu mengandung maksud yang sama. Namun, jika dimaknai secara harfiah semuanya merupakan sesuatu yang muskhil karena tidak akan pernah bertemu keberadaan dari semua itu. Makna ketiga ungkapan tersebut adalah bila kita percaya akan Tuhan sesuatu yang tidak mungkin segalanya akan menjadi mungkin karena segala

Page 37: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Ni Wayan Sartini Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat

Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 35

sesuatu yang ada di dunia ini atas kehendak Tuhan. Spirit ungkapan tersebut adalah bahwa setiap orang hendaknya selalu berusaha sekuat tenaga untuk tirakat mencari Tuhan karena hanya dengan terus mencari kehidupan manusia akan terus berjalan. Semua itu didasari semangat ingin mendekatkan hubungan manusia dengan Tuhan sebagai cita-cita setiap orang Jawa yang diaktualisasi melalui ungkapan mangunggaling kawula gusti, yaitu bersatunya jagat cilik dengan jagat gede. Beberapa konteks yang melatarbelakangi munculnya ungkapan seperti itu antara lain (a) ketidakmampuan manusia menerangkan seluruh gejala alam yang dilihat dan dirasakannya, (b) keinginan manusia untuk mencari sandaran hidup yang dapat menuntun karsa, cipta, dan karyanya, (c) adanya kedekatan hubungan antara orang Jawa dengan Sang Maha Pencipta (Pranowo 2003:276). 3.5. Ungkapan yang Menggambarkan

Hubungan Manusia dengan Sesama Agar hubungan antarsesama tetap harmonis diperlukan sikap dan toleransi yang tinggi dan sikap saling menghargai satu dan yang lainnya. Hubungan atau relasi sosial ini bersifat kodrati. Oleh karena itu, relasi sosial harus dijaga agar selalu dapat terjalin harmonis karena manusia itu tidak bisa hidup sendiri. Untuk menjaga agar relasi sosial tetap terjalin dengan baik setiap orang hendaknya memilki sifat halus dan rendah hati yang diwujudkan dalam bentuk komunikasi verbal maupun nonverval. Hal ini dimaksudkan agar setiap tutur kata dan tindakannya dapat membuat berkenan orang lain. Inilah hakikat relasi sosial.

Dalam budaya Jawa ada ungkapan-ungkapan yang menggambarkan hubungan antara sesama seperti berikut ini. (1) Aja adigung, adigung, adiguna (2) Aja kumingsun (3) Ciri wanci, lelai ginawa mati (4) Ngono ya ngono, ning aja ngono (5) Tanggap ing sasmita, ngerti ing semu. (6) Dhupak demang, esem mantri, semu bupati (7) Aja dumeh (8) Berbudi bawa leksana (9) Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu

kelangan (10) Ngemut legining gula. (11) Nguyahi segara. (12) Nguthik-uthik macan dhedhe. (13) Pandenan karo srengenge. (14) Tuna satak bati sanak Sebenarnya masih banyak lagi ungkapan-ungkapan yang menggambarkan hubungan antarsesama. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut

cukup mewakili gambaran manusia dengan sesamanya.

Tuturan verbal sebagai cermin dari keinginan agar memiliki sifat rendah hati adalah tidak ingin menyakiti hati orang lain dalam berbicara maupun bertindak. Agar setiap orang memiliki sifat rendah hati, orang tua harus selalu mengingatkan kepada siapa pun entah dalam bentuk pemberian nasihat, peringatan, atu kritikan. Aja adigang, adigung, adiguna mengandung nasihat yang berisi agar orang tidak sombong. Diharapkan dengan ungkapan tersebut orang yang mendengarkan nasihat tersebut dapat tumbuh dan berkembang sikap rendah hatinya terhadap orang lain.

Kesombongan seseorang diibaratkan seperti sifat gajah yang mengandalkan kekuatannya (adigung), sifat ular yang mengandalkan bisanya (adigang) dan sifat kijang yang mengandalkan kemampuan melompatnya (adiguna). Ungkapan aja dumeh juga mengandung nasihat agar orang tidak lupa diri ketika sedang dalam posisi beruntung. Begitu juga aja kumingsun berisi nasihat agar orang tidak memamerkan kekuasaannya dengan cara merendahkan orang lain.

Hampir sebagian orang percaya bahwa setiap perbuatan pasti akan ada akibatnya. Orang Jawa juga selalu memberi peringatan kepada setiap orang agar tidak melakukan kesalahan karena setiap perbuatan pasti akan ada akibatnya. Hal ini diaktualisasi dalam bentuk ungkapan sapa gawe nganggo, sapa salah bakal saleh, sapa nandur ngundhuh, becik ketitik ala ketara (siapa yang berbuat pasti akan menuai akibatnya, siapa yang salah pasti akan ketahuan salahnya, dan siapa yang menanam pasti akan memetik hasilnya, siapa pun berbuat kebaikan pasti akan ketahuan, begitu juga yang berbuat kesalahan). Ungkapan tersebut adalah sebagai peringatan yang perlu terus menerus dihayati dan diajarkan kepada generasi muda karena secara kodrati setiap manusia memiliki kebiasaan salah yang sulit ditinggalkan. Kebiasaan jelek yang sulit ditinggalkan itu dapat dilihat melalui ungkapan ciri wanci, lelai ginawa mati yang maknanya bahwa kebiasaan jelek sulit dihilangkan sampai mati sekalipun. Dengan demikian nilai yang perlu kita pahami dari ungkapan tersebut adalah agar setiap orang dapat menghindari sifat jelek karena sifat itu sudah terlanjur tumbuh dan berkembang sangat sulit dihilangkan.

Ungkapan ngono ya ngono , ning aja ngono ’berbuat kesalahn boleh tapi jangan kelewatan’. Nilai yang terkandung dalam ungkapan tersebut adalah agar setiap orang yang membuat kesalahan tidak boleh berkepanjangan

Page 38: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Ni Wayan Sartini Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat

Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 36

dan kelewatan (keterlaluan). Segala sesuatu harus dipikirkan dengan baik akibatnya. Dengan kesadaran tersebut diharapkan orang akan selalu mawas diri dan introspeksi diri serta dapat mengendalikan diri dengan baik.

Salah satu kebutuhan yang sangat manusiawi yang diinginkan oleh manusia adalah ingin hidup rukun dengan sesama dan itu merupakan obsesi setiap orang. Obsesi itu diwujudkan dengan berbagai cara misalnya dengan menghindari konflik secara terbuka. Jika menyampaikan kritik terhadap orang lain seseoranag menggunakan bentuk kritik tidak langsung yang disebut teknik komunikasi indirection berupa sasmita (isyarat), guyon parikena, dan sebagainya. Artinya, ketika memberikan kritik, peringatan dan sejenisnya harus diberikan dalam batas-batas kewajaran agar harga diri orang lain tidak merasa diinjak-injak. Komunikasi seperti itu dapat efektif jika pendengar juga memiliki niat yang sama untuk menghindari konflik. Oleh karena itu, etnis Jawa juga mengembangkan sifat tanggap ing sasmita atau ngerti ing semu. Semua bentuk komunikasi tidak langsung, baik verbal maupun nonverbal, yang diungkapkan oleh penutur bila tidak dapat dipahami oleh pendengar juga akan sia-sia. Agar sifat tanggap ing sasmita, ngerti ing semu dapat dimiliki oleh orang Jawa, sifat itu dijadikan salah satu kriteria kecerdasan seseorang. Orang yang cerdas adalah orang yang selalu ngerti ing semu, dan tanggap ing sasmita. Berdasarkan tingkat kecerdasan intelektual dan kepekaan perasaannya, masyarakat Jawa digolongkan menjadi tiga lapisan yang diaktualisasi dengan ungkapan dhupak demang, esem mentri, semu bupati. Lapisan pertama, kelompok masyarakat yang tergolong dhupak demang. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak berpendidikan dan tumpul perasaannya (cubluk panemune, kethul rasa pangggrahitane) karena mereka tidak berkembang daya estetikanya, daya imajinasi, dan daya asosiasinya. Mereka hanya bisa diajak berkomunikasi menggunakan bahasa wantah, yaitu bahasa sehari-hari yang bentuk dan maknanya sama. Lapisan kedua, yaitu masyarakat yang tergolong esem mentri, adalah lapisan masyarakat menengah dan sudah berpendidikan. Meskipun demikian, lapisan mereka masih terbatas pada pemahaman bahasa secara verbal ditambah bahasa nonverbal yang diungkapkan oleh mitra bicara. Lapisan ketiga adalah masyarakat yang telah dapat memahami semu bupati, artinya sedikit saja sasmita (isyarat) yang disampaikan mereka sudah dapat memahami seluruh maksud penutur. Bahkan dapat dikategorikan ngerti sadurunge winarah (dapat mengerti sebelum dikatakan).

Mereka adalah lapisan masyarakat tertinggi yang sudah mengenyam pendidikan, filsafat, dan ilmu pujangga (susastra) (Pranowo 2003). 4. SIMPULAN Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa mengandung banyak nilai ajaran moral yang mungkin bisa diterima oleh etnis lain. Nilai-nilai itu antara lain (a) ungkapan yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan, (b)ungkapan yang menggambarkan hubungan manusia dengan manusia, (c) ungkapan yang menggambarkan sikap dan pandangan hidup, (d) ungkapan yang menggambarkan tekad kuat. Di samping itu, ada ungkapan yang mencerminkan sikap yang buruk dan tidak perlu dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari.

Budaya dalam wujudnya dapat berupa budaya materi dan nonmateri. Keduanya menjadi alat perekat masyarakat. Budaya dapat diamati melalui unsur bahasa, antara lain melalui kosakata dan ungkapan-ungkapannya. Konsep nilai budaya materi dianggap bernilai tinggi bila dibandingkan dengan budaya nonmateri (cara berpikir, cara memandang sesuatu) pada zamannya. Kecenderungan sekarang konsep nilai budaya nonmateri semakin pudar karena pengaruh konsep kehidupan materi yang dianggap sebagai ciri kebudayaan modern. DAFTAR PUSTAKA Abraham, R.D. 1972. ”Proverbs and Proverbial

Expressions”. Dalam R.M. Dorson (ed.). Folklore dan Folklife: An Introduction. Chicago: Chicago University Press.

Austin, John L. 1962. How to do Things with

Words. Oxfords : Clerendon Press. Bonvillian, Nancy. 1977. Language, Culture and

Communication: The Meaning of Message. New Jersey: Prentice-Hall.

Crystal, David. 1992. A Dictionary of Languistics

and Phonetics. New York: Blackwell. Dajasudarma, T. Fatimah, dkk. 1977. Nilai Budaya

dalam Ungkapan dan Peribahasa Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic

Antrophology. Cambridge: Cambridge University Press.

Page 39: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Ni Wayan Sartini Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat

Ungkapan (Bebasan, Saloka dan Paribasa)

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 37

Foley, William A. 1977. Antrophological Linguistics: An Introduction. New York: Blackwell.

Geertz, Cliffort. 1964. The Religion of Java.

London: The Free Press of Glancoe. Mulder, Niels. 1983. Pribadi dan Masyarakat di

Jawa: Penjelajahan mengenai Hubungannya. Jakarta: Sinar Harapan.

Oktavianus. 2006. “Nilai Budaya dalam Ungkapan Minangkabau: Sebuah Kajian dari Perspektif Antropologi Linguistik”. Linguistik Indonesia, 1:115—129.

Pranowo. 2003. “Ungkapan Bahasa Jawa sebagai

Pendukung Pembentukan Kebudayaan Nasional.” Linguistik Indonesia, 2:269—286.

Bratawijaya, Thomas W. 1997. Mengungkap dan

Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: Pradnya Paramita.

Yuwono, Y.A. 1987. Sapala Basa Jawa. Surabaya:

Marfiah.

Page 40: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra,

I Gst. Ngurah Parthama Kajian Psikolinguistik Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus

pada Rumah Sakit Jiwa Bangli

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 38

KAJIAN PSIKOLINGUISTIK BAHASA SKIZOFRENIK:

STUDI KASUS PADA RUMAH SAKIT JIWA BANGLI

Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra, I Gst. Ngurah Parthama Universitas Udayana

Abstract

The result of the analysis showed that (1) a) such stages of language production as conceptualization, formulation, articulation, and self-monitoring were differently used by the patients. The emergency patient failed to use those stages of language production. The semi-emergency patients were able to make use of those stages of language production inconsistently. Meanwhile, the quite patient was able to use those stages of language production relatively consistently; b) the schizophrenic language was comprehended through phonetic and phonological, morphological, syntactic, and text units. The emergency patient failed in using those units of language comprehension. Therefore, the utterances produced were not properly structured and coherent. The semi-emergency patient used those units of language comprehension inconsistently through out the whole conversation. The quiet patient used those units of language comprehension relatively more consistently (2) generally, schizophrenic behavior included association obstacles resulting in sudden change and unclear concepts. Schizophrenic behavior was actually that of the self- expression of which language was in a high linguistic level, semantics and pragmatics. Schizophrenic behavior was unique, eccentric, full of metaphor, and neologism. Key words: production, comprehension, schizophrenic, emergency, semi- emergency, quiet

1. PENDAHULUAN Secara ilmiah, bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam komunikasi dan interaksi sosial diantara para penuturnya. Para penutur menyampaikan pesan dalam berkomunikasi. Bahasa dan pesan yang disampaikan dapat disejajarkan dengan konsep langue dan parole yang dikemukakan oleh Saussure (1959). Langue adalah tanda atau aturan yang didasarkan pada mana setiap pembicaraan menghasilkan parole sebagai suatu pesan khusus. Terdapat satu fenomena bahasa yang bebas dari kondisi sebenarnya. Fenomena ini terdapat pada suatu keadaan psikopatologis yang disebut skizofrenia. Kondisi skizofrenia merupakan suatu psikosa fungsional dengan gangguan utama pada proses berpikir serta disharmonisasi, termasuk di dalamnya seperti perpecahan dan keretakan, antara proses berpikir, emosi dan efek kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan, terutama karena waham dan halusinasi (Marimis 1980: 766). Oleh karena itu, penelitian ini membahas beberapa aspek, di antaranya: 1) aspek bahasa skizofrenik: produksi dan pemahaman bahasa skizofrenik, dan 2) aspek perilaku skizofrenik.

2. METODE PENELITIAN 2. 1 Metode dan Teknik Pemerolehan Data

Data diambil dari beberapa informan yang mengalami gangguan skizofrenik pada rumah sakit jiwa Bangli dengan metode simak libat cakap (Sudaryanto 1993) dengan teknik wawancara dan teknik catat dengan daya pilah sebagai pembeda reaksi dan kadar keterdengarannya (Sudaryanto 1993: 25). Wawancara dan atau perekaman akan dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Bangli dengan beberapa pasien skizofrenia. Dari wawancara dengan beberapa pasien skizofrenia tersebut akan diambil 3 informan sebagai subyek penelitian. Ketiga informan tersebut diklasifikasikan berbeda berdasarkan tingkat gangguan skizofreniknya dengan pengaturan sebagai berikut: 1 informan yang diklasifikasikan gundah gelisah, 1 orang informan yang diklasifikasikan semi tenang, dan 1 orang informan yang diklasifikasikan tenang. 2.2 Metode dan Teknik Analisis Data Setelah data diperoleh dan diklasifikasikan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan kodifikasi terhadap data yang diperoleh. Kemudian baru dianalisis secara sistimatis berdasarkan urutan permasalahan yang telah diformulasikan. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode padan

Page 41: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra,

I Gst. Ngurah Parthama Kajian Psikolinguistik Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus

pada Rumah Sakit Jiwa Bangli

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 39

dengan alat bantu berupa tulisan-tulisan atau teori- teori yang relevan. Disamping itu metode lain yang juga akan diimplementasikan adalah metode agih yang alat bantunya justru bagian dari bahasa yang dihasilkan oleh informan skizofrenia. Teknik dasar yang dipakai dalam analisis data yaitu teknik pilah unsur-unsur penentu (Sudaryanto 1986). 2.3. Metode dan Teknik Penyajian Hasil

Analisis data Untuk menyajikan hasil analisis data, dipakai metode informal, yakni metode penyajian hasil analisis data yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata biasa yang rinci dan terurai atau deskriptif. Metode ini dilakukan untuk memperoleh laporan atau hasil analisis data yang lengkap dalam penelitian ini. Adapun teknik yang akan diterapkan untuk membantu metode di atas adalah teknik penambahan, substansi atau penggantian dan paraphrase (Sudaryanto 1993: 36). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Bahasa Skizofrenik Pasien Gundah Gelisah

Dari sudut pandang produksi bahasa, sejalan dengan Chauchard (1983:80), pasien skizofrenik gundah gelisah ini tampak memroduksi bahasa secara bebas. Perhatikan contoh berikut:

1) P : Uli dija pak? “Dari mana Pak?” PS : (nangis tersedu-sedu sambil ngomong

tak karuan), tiang kalina ngalih gae, bapak kalina ngalih gae, kaline ngalih gae, ngidih yeh dik…

“Saya ditinggal bekerja, bapak ditinggal kerja, ditinggal kerja. Minta air sedikit!...”

P : nah, nah, ketengah malu, ketengah malu, baange nyen yeh…

Ya, ya, masuk dulu, ke dalam dulu, saya beri air…

PS : nengil malu, ngidih yeh bedik. Diam dulu, minta air sedikit. P : nah, nah, minum malu …(tanpa

memberi air) Ya, ya, minum dulu…. Data 1) di atas menunjukkan bahwa PS tidak memperhatikan dan memakai tahapan-tahapan produksi bahasa yang dipakai oleh manusia pada umumnya yang menyangkut konseptualisasi, formulasi, artikulasi, dan monitoring. Walaupun demikian ada beberapa hal yang bisa dipahami dari bahasa skizofrenik pasien gundah gelisah, yaitu Secara fonetik ujaran PS, baik pada tataran kata, frase, maupun kalimat

mengandung bunyi, akan tetapi bunyi-bunyi yang dikeluarkan PS tersebut sebagian tidak bersistem. Oleh karena itu, terjadi kekacauan dan kekaburan sistem bunyi dan bahasa, sehingga ujaran yang dikeluarkan oleh PS pun tidak karuan. Hal ini ditunjukkan oleh data dimana ketika peneliti menanyakan asal PS, maka PS menjawabnya dengan tangisan dan bahkan ngomong tidak karuan. Kata yang diujarkan PS pun tidak karuan pada saat PS merespon pertanyaan peneliti pada bagian awal percakapan cenderung tidak berstruktur. Pola kanoniknya cenderung diabaikan begitu saja. Namun setelah itu kata-kata yang dijarkan PS sedikit demi sedikit sudah menunjukkan wujud nyatanya. Pada saat PS menangis dan ngomong tidak karuan, ujaran PS menjadi tidak mencerminkan dan cenderung mengabaikan aspek sintaksisnya. Artinya, telah terjadi kekacauan struktur frase dan struktur kalimat dari ujaran yang diproduksi oleh PS. Namun setelah beberapa saat berlalu, walaupun sambil menangis, PS telah mampu membuat struktur sintaksis yang lebih bagus, seperti misalnya struktur kalimat pasif yang dimarkahi dengan kalina “ditinggal”. PS telah menunjukkan bahwa PS memakai bahasa dengan unsur-unsur linguistik tinggi, seperti pragmatik. Pragmatik di sini diartikan sebagai penggunaan bahasa yang didasarkan pada konvensi budayanya. Misalnya, PS mengungkapkan ngidih yeh dik “minta air sedikit”. Secara pragmatik dan konvensi budaya, tidak ada orang normal sekalipun yang mengatakan ujaran minta air banyak, walaupun kenyataannya orang tersebut minta air banyak yang digunakan untuk mencampur semen dan pasir ataupun menyiram tanaman yang luas. Akan tetapi dari sudut pandang teks, respon yang diujarkan PS tidak pernah nyambung atau koheren. Dengan kata lain, ujaran yang diujarkan PS asal keluar saja secara bertubi-tubi tanpa bisa direm dan tanpa makna sehingga tidak bisa dikatakan bahwa ujaran tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan peneliti. 3.2 Perilaku Skizofrenik Pasien Gundah

Gelisah Perilaku skizofrenik bisa dilihat berdasarkan

unsur-unsur bahasa yang digunakan oleh PS. Percakapan pada data 1) di atas menunjukkan bahwa PS merespon pertanyaan peneliti dengan tangisan. Ini berarti bahwa perilaku PS menunjukkan perilaku skizofrenik karena menyangkut gangguan psikosa fungsional. Oleh karena itu, secara tekstual, telah terjadi disharmoni dalam percakapan itu dimana bahasa atau ujaran yang dikeluarkan PS tidak koheren atau nyambung. Dengan demikian, perilaku skizofrenik

Page 42: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra,

I Gst. Ngurah Parthama Kajian Psikolinguistik Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus

pada Rumah Sakit Jiwa Bangli

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 40

pasien gundah gelisah merupakan perilaku yang menyangkut masalah yang berkaitan dengan gangguan hakekat simbolisnya, yaitu signifikasi antara ujaran dan makna yang diacu sebagai akibat penggunaan bahasa. PS yang bahasanya mengandung gangguan asosiasi yang mengakibatkan ketidakjelasan konsep pikiran sehingga mengandung kegagalan dalam konsep. 3.3 Bahasa Skizofrenik Pasien Semi Tenang

Pemroduksian bahasa pada pasien semi tenang sudah sedikit mengarah pada pemakaian tahapan-tahapan pemroduksian bahasa, seperti yang diungkapkan oleh Scovel (2002), tahapan-tahapan konseptualisasi, formulasi dan artikulasi, dan monitor. Akan tetapi, Pemakaian tahapan-tahapan pemroduksian bahasa ini cenderung belum sempurna. Terkadang masih sama seperti pasien gundah gelisah yang terutama terjadi di tengah-tengah percakapan. Pada awal percakapan dengan si pasien semi tenang ini, PS kategori ini menggunakan tahapan-tahapan tersebut dengan sempurna. Berikut adalah contoh pemakaian tahapan-tahapan pemroduksian bahasa oleh PS dengan sempurna yang terjadi di bagian awal percakapan: 2) P : Nyen adane? “Siapa namanya?” PS : Jaya nika, Pageh Jaya “Jaya, Pageh Jaya” P : Inget jani, hari apa jani? “Ingat ngak sekarang hari apa?” PS : Sabtu mangkin tan? “Sabtu sekarang, bukan?” P : Yen sabtu jumah ngenken biasane? “Kalau Sabtu dirumah mengerjakan apa

biasanya?” PS : Tiang nak megae tiang “Saya kerja pak” Data 2) di atas merupakan penggalan pada bagian awal dari percakapan panjang antara peneliti dengan pasien skizofrenik dengan kategori semi tenang. Data di atas menunjukkan bahwa PS semi tenang dengan sempurna mengunakan tahapan-tahapan pemroduksian bahasa, yakni tahapan konseptualisasi, formulasi, artikulasi, dan monitor. Pada tahapan konseptualisasi, PS semi tenang ini mampu menyandingkan atau menggabungkan proses berpikir yang sintaksis dengan imagistik, yang berupa gerakan tubuh. PS mampu menempatkan gerakan tubuh dan sejenisnya dalam satu konsep yang baik.

Setelah dikonseptualisasi, konsep-konsep PS itu mampu diformulasikan dan diartikulasikannya dengan baik sehingga dengan

demikian, artikulasi yang berupa respon terhadap pertanyaan peneliti dengan lugas dapat dilakukan, dan bahkan konsep-konsep yang berupa jawaban atas pertanyaan peneliti dapat dijawab dengan sempurna. Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan PS yang tidak setuju atas pernyataan atau ujian peneliti yang mengatakan bahwa Tegal Tugu itu ada di daerah Gili Manuk. PS mengatakan dengan tegas bahwa Tegal Tugu itu ada di daerah Gianyar, dan bahkan dengan lugas PS dapat menunjukkan arah Tegal Tugu tersebut dengan maksud meyakinkan Peneliti bahwa pendapatnya tentang keberadaan Tegal Tugu adalah benar.

Pada tahapan Monitor, PS dapat memakainya dengan baik. Artinya, PS selalu melakukan evaluasi terhadap artikulasi atau ujarannya. PS bahkan telah mampu mengontrol pikirannya. Hal ini ditunjukkan pada saat PS menjawab pertanyaan dengan kalimat retorika, yaitu Sabtu mangkin tan? “Sabtu sekarang, bukan?” yang berarti bahwa PS merasa yakin kalau hari ini adalah hari Sabtu. Selain dari pada itu, PS semi tenang ini terkadang tidak mampu memakai tahapan-tahapan pemroduksian bahasa dengan baik. Dengan kata lain, PS gagal menerapkan tahapan-tahapan yang dimaksud, seperti terlihat dalam contoh berikut. 3) P : Ba ngaben? “Sudah diaben” PS : Tan uning tiang (Tiba-tiba dananya

ketus sekali), ampun ja asane. (DIAM) keto kejadiane, tiang nak tan

marasa gen gelema, karena tiang ane malunan nika di bilang sakit, turus muspa lantas

“Tidak tahu saya (tiba-tiba nadanya ketus sekali). Sudah kayaknya. (DIAM) begitulah kejadiannya, saya merasa tidak sakit sebenarnya, karena yang dulu saya dikatakan sakit, terus saya sembahyang

Data 3) di atas merupakan penggalan di

tengah-tengah percakapan. Data 3) di atas menunjukkan bahwa kegagalan PS memakai tahapan konseptualisasi, formulasi, dan monitor artikulasinya. PS gagal menempatkan gerakan-gerakan imagistik atau motoriknya ke dalam konsep berpikirnya, sehingga PS gagal menjawab pertanyaan peneliti apakah orang tuanya sudah diaben atau belum. Untuk menjawab pertanyaan ini PS mengatakan tidak tahu, tetapi disusul dengan mungkin sudah. Di sini juga terjadi kegagalan PS dalam memformulasi konsep-konsepnya sehingga PS cenderung asal jawab dan ujarannya asal keluar saja dari bibirnya, tanpa ada

Page 43: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra,

I Gst. Ngurah Parthama Kajian Psikolinguistik Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus

pada Rumah Sakit Jiwa Bangli

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 41

koherensi yang baik. PS juga gagal melakukan evaluasi atau monitor terhadap artikulasinya sendiri. Terutama ketika dihubungkan penggalan percakapan di atas dengan penggalan percakapan berikutnya atau bagian akhir percakapannya, seperti ditunjukkan oleh contoh berikut: 4) P : Be makelo dadi polisi nyamanne “Sudah lama saudaranya jadi Polisi?” PS : (DIAM LAMA SEKALI) ….tenang

tiang bin besik nak keto ane gelem-geleman kan nak keto bingung. Tiang nak tenang. Kenten tiang maan metaken kan polih tiang anugrah sareng kak angku pesengane dangin umah tiange “kak angku-kak angku, napi jek nguda kene setiap hari alangan tiang ngah. Tiap tiang tidur jek wenten sinar” bah ada godaan berarti ketanga tiang.

“(DIAM LAMA SEKALI)… saya tenang, satu hal lagi memang begitu yang sakit-sakitan kan memang begitu bingung. Saya anak tenang. Begitu saya pernah menanyakan. Saya kan dapat anugerah dari Pekak Mangku namanya di sebelah timur rumah saya. Saya bilang, “Pekak mangku-pekak mangku, kenapa begini, kenapa setiap hari saya mendapatkan musibah?, setiap saya tidur, ada sinar”. Pekak Mangku bilang, “wah itu berarti ada godaan”.

Data 4) di atas menunjukkan bahwa PS

telah gagal memformulasikan konsep berpikirnya ke dalam alam bawa sadarnya, sehingga PS pun tidak mampu memonitor atau mengontrol ujarannya. Pada satu penggalan percakapan sebelumnya, PS mengatakan bahwa semua keluarganya sudah meninggal, PS anak tunggal atau sendirian, di sisi lain pada data 5) ditunjukkan bahwa PS mengatakan bahwa dia punya saudara yang bekerja sebagai polisi. Dari sudut pandang pemahaman bahasa, bahasa PS dianalisis berdasarkan bunyi, bentuk, dan teks itu tersendiri disamping dari kontek penggunaannya dengan menghubungkan bahasa dengan unsur luar bahasa seperti pikiran, budaya dan situasi pemakain bahasa itu. Pemahaman bahasa skizofrenik semi tenang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pemahaman unsur-unsur fonetik dan fonologi

Bahasa skizofrenik pasien semi tenang dapat dipahami dari unsur fonetik, yaitu bunyi bahasa dan unsur fonologi, yaitu sistem bunyi bahasanya. Mengacu pada kategori pasien, PS

semi tenang mengalami banyak fenomena kebahasaan yang tidak teratur secara keseluruhan, semakin lama semakin kacau. Secara fonetik, ujaran PS dapat dipahami bahwa bahasa skizofrenik bukanlah pada pengucapan fonem-fonem. Sama halnya dengan pemahaman bahasa secara fonologis, PS semi tenang awalnya data 2) dan 3) menunjukkan bahwa dia mampu mengucapkan ujaran yang mengikuti kaedah sistem bunyi. Bagaimanapun, hal semacam ini tidak tampak lagi pada bagian pertengahan dan akhir percakapan, seperti ditunjukkan dalam data 4). Data 4) menunjukkan bahwa secara fonologi PS tiba-tiba saja berbicara dengan memakai nada yang sangat keras dan cenderung meninggi. Oleh peneliti hal ini sangat bermakna lain, apalagi kejadiannya sangat tiba-tiba. Hal ini menunjukkan bahwa PS gagal mempertahankan sistem bunyi yang dikuasainya.

2. Pemahaman aspek morfologi

Sama halnya dengan aspek fonetik dan fonologi, aspek morfologi bahasa skizofrenik pasien semi tenang digunakan secara tidak konsisten dari awal, pertengahan, sampai akhir percakapan. Pada awal percakapan yang ditunjukkan dalam data 3), kata atau pembentukan kata yang dilakukan oleh PS ini cenderung sangat tepat dan memerhatikan kaidah-kaidah yang berlaku. Hal ini tidak terlihat pada pertengahan dan akhir percakapan yang ditunjukkan pada data 4). Pada data 4) PS gagal mempertahankan unsur-unsur morfologi yang dikuasainya sehingga susunan kata yang semestinya mampu membentuk frase tidak terjadi dan bahkan kurang memperhatikan kaidah yang berlaku

3. Pemahaman aspek sintaksis pasien semi tenang

Sama halnya dengan aspek fonetik, fonologi, dan morfologi, aspek sintaksis bahasa skizofrenik pasien semi tenang digunakan secara tidak konsisten dari awal, pertengahan, sampai akhir percakapan. Pada awal percakapan yang ditunjukkan dalam data 4), kalimat yang diujarkan oleh PS sangat berstruktur dan bersistem. Struktur batin kalimatnya terlihat dengan jelas direpresentasikan oleh struktur lahirnya. Akan tetapi, hal ini tidak terlihat pada pertengahan dan akhir percakapan yang ditunjukkan pada data 4) dan 5). Pada data 4) dan 5), PS gagal mempertahankan struktur kalimat akibat struktur frase yang kacau sehingga struktur kalimat menjadi sedikit kurang berstruktur. 4. Pemahaman aspek semantik dan pragmatik Pada awal percakapan pada data 3), PS dengan lugas mampu bercakap-cakap dengan

Page 44: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra,

I Gst. Ngurah Parthama Kajian Psikolinguistik Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus

pada Rumah Sakit Jiwa Bangli

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 42

baik,karena respon yang diujarkannya sangat bermakna dan mampu menjawab setiap pertanyaan peneliti. Dalam fase ini tidak tampak adanya gangguan asosiasi atau psikosa fungsional pada PS. Bahasanya lugas dan dapat dimengerti karena unsur-unsur fonetik, fonologi dan sintaksis dipakai dengan baik. Akan tetapi, memasuki fase pertengahan dan terakhir, seperti data 4) dan 5) pemaknaan ujaran tidak mampu dipertahankan. Banyak terjadi distorsi atau kekurangnyambungan atau keretakan informasi yang ditunjukkan oleh ujaran PS sehingga ada beberapa pertanyaan yang gagal dijawabnya. 3.4 Perilaku Skizofrenik Pasien Semi tenang

Pada saat berkomunikasi cenderung berdiam diri atau blocking berkali-kali. Hal ini menandakan tidak terjadinya suatu konsep dan formulasi yang baik, apalagi monitor atau mengontrol konsep dalam ujarannya, seperti contoh berikut:

5) P : nguda ngae kamar suci? “Mengapa membuat kamar suci?” PS : maksud tiange kenten, yen ten tiang

ngelah kamar suci, yen terus tiang kesangah mabakti biin trisandia terus biin mabakti kadene buduh tiang dadine? Pada hal tiang anak tan buduh. Kala terus raga muspa jani, bin kembali biin ke sanggah mabakti, kan ping tiga kali nika, buduh tiang kadene, bah ngudiang niki pes mabkati gen terus. (DIAM SEJENAK, MATA MEMANDANG KOSONG) …

Ujaran PS mengandung informasi tentang

terputusnya alur pikirnya PS sehingga percakapan yang terjadi tidak nyambung atau koheren, seperti contoh berikut:

6) P : sing nyeh atine? “Apakah tidak merasa takut?” PS : tan nyeh nyeh tiang. Tiang,

ngih…(DIAM LAMA) Tidak pernah merasa takut saya.

Ya…(DIAM LAMA)

3.5 Bahasa Skizofrenik Pasien Tenang Seperti yang diungkapkan di atas bahwa

dari sudut pandang produksi bahasa, sejalan dengan Chauchard (1983:80) pasien skizofrenik (PS) ini cenderung memroduksi bahasa sendiri secara bebas. Bagaimanapun, pasien tenang sudah menggunakan tahapan-tahapan pemroduksian bahasa seperti yang diungkapkan oleh Scovel (2002), yakni tahapan-tahapan konseptualisasi,

formulasi dan artikulasi, dan monitor. Lagi pula penggunaan tahapan-tahapan tersebut relatif lebih konsisten dari pada yang dilakukan oleh pasien gundah gelisah dan semi tenang. Pemakaian tahapan-tahapan pemroduksian bahasa ini hampir sempurna. Perhatikan contoh berikut:

7) P : Uba nganten “Sudah menikah?” PS : ampun “Sudah” P : ampun meduwe oka? “Sudah punya anak?” PS : durung. Ampun cerai tiang. Karena

tiang abana mriki pang pitu. Ya melaib ke karangasem

“Belum. Saya sudah cerai. Karena saya dibawa ke sini sudah 7 kali. Dia pergi ke Karangasem”

Data 7) di atas menunjukkan bahwa

tahapan-tahapan pemeroduksian bahasa, seperti konseptualisasi, formulasi, artikulasi dan monitor diri dengan sempurna bisa digunakan. Pada tahapan konseptualisasi PS mampu menggabungkan dan mengolaborasikan gerak tubuhnya atau proses berpikir imagistik dengan proses berpikir sintaksis. Selanjutnya, PS mampu memformulasikan konse-konsep pikirannya dalam bentuk susunan kata-kata, frase, dan kalimat dengan sistem bunyi yang dapat dimengerti dengan baik. PS sangat responsif dalam menjawab setiap pertanyaan peneliti dengan gerakan tubuh yang tepat dan memadai dan sangat mendukung bahasa yang diujarkan. Artikulasi PS juga menunjukkan suatu yang tidak cacat. PS mampu juga mengontrol percakapan. Jadi, produksi bahasa skizofrenik bukan terletak pada masalah fonem, melainkan pada masalah koherensi teks ujaran yang diproduksi sehingga ujarannya menjadi bermakna dan percakapannya pun berjalan lancar. Dengan demikian, produksi PS tenang boleh dikatakan hampir konsisten dan tidak cacat.

Walaupun produksi bahasa pasien tenang hampir sempurna dan tidak ada cacatnya, bukan berarti unsur-unsur fonetik dan fonologi, morfologi, sintaksis, dan teks digunakan dengan baik pula. Hal ini terjadi pada saat terjadi gangguan asosiasi pada diri pasien. 1. Pemahaman unsur-unsur fonetik dan fonologi

Bahasa skizofrenik pasien tenang dapat dipahami dari unsur fonetik, yaitu bunyi bahasa dan unsur fonologi, yaitu sistem bunyi bahasanya. Mengacu pada kategori pasien, PS tenang mengalami banyak fenomena kebahasaan yang

Page 45: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra,

I Gst. Ngurah Parthama Kajian Psikolinguistik Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus

pada Rumah Sakit Jiwa Bangli

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 43

cukup teratur secara keseluruhan. Secara fonetik, ujaran PS dapat dipahami bahwa bahasa skizofrenik bukanlah pada pengucapan fonem-fonem. Sama halnya dengan pemahaman bahasa secara fonologis, ujaran-ujaran pasien tenang menunjukkan bahwa dia mampu mengucapkan ujaran yang hampir mengikuti kaidah sistem bunyi pada keseluruhan 2. Pemahaman aspek morfologi

Sama halnya dengan aspek fonetik dan fonologi, aspek morfologi bahasa skizofrenik pasien tenang digunakan dengan mengikuti kaedah pembentukan kata. Pasien tenang sudah mampu menggunakan bahasa melalui ujarannya dalam tingkat yang tinggi. Artinya, penggunaan kaedah pembentukan katanya tidak terjadi lagi pada tataran penggabungan beberapa morfem, melainkan pada pembentukkan kata yang memanfaatkan akronim atau singkatan kata danbahkan neologisme, yakni pembentukan kata-kata baru yang berasal dari penggabungan dua unsur suku kata-suku kata dari dua buah kata.

3. Pemahaman aspek sintaksis

Sama halnya dengan aspek fonetik, fonologi, dan morfologi, aspek sintaksis bahasa skizofrenik pasien semi tenang digunakan dengan cukup baik. Pada data ujaran pasien tenang terlihat dengan jelas bahwa kalimat yang diujarkan oleh PS sangat berstrukstur dan bersistem. Struktur batin kalimatnya terlihat dengan jelas direpresentasikan oleh struktur lahirnya.

4. Pemahaman aspek semantik dan pragmatik Pada awal percakapan pada data PS dengan lugas mampu bercakap-cakap dengan baik karena respon yang diujarkannya sangat bermakna dan mampu menjawab setiap pertanyaan peneliti. Dalam fase ini tidak tampak adanya gangguan asosiasi atau psikosa fungsional pada PS. Bahasanya lugas dan dapat dimengerti karena unsur-unsur fonetik, fonologi, dan sintaksis dipakai dengan baik. Walaupun demikian, masih banyak dipahami ditemukan beberapa distorsi, kekurangnyambungan, dan keretakan informasi. 3.6 Perilaku Skizofrenik Pasien tenang

Psikolinguistik real, atau kenyataan psikolinguistik di mana seorang pasien skizofrenik tidak mampu menunjukkan atau memformulasikan pikirannya secara utuh dan sempurna. Ketika ditanyakan tempat tinggalnya, jawabannya berbeda-beda antara Peguyangan, Ahmad Yani dan Gatot Subroto. 8) P : Di badung dija? “Di Ubung mana?”

PS : Jalan nangka tiang “Saya di jalan Nangka” P : Selatan napi Utara “Selatan atau Utara” PS : Utara “Utara” PS melakukan multilingualisme yang berupa alih kode dari bahasa Bali ke dalam bahasa Indonesia. Alih kode itu berupa intra sentencial code switching dan inter sentencial code switching, seperti contoh berikut: 9) P : pang kuda sembahyang? “Berapa kali sembahyang?” PS : pang cepok manten ala di jawa nika

(lanjut dia sembahyang ala muslim) bismilah irohman irohim …. (terus dengan bahasa itu) insyah allah, insyah allah, alit bah..alit bah….

“Sekali aja seperti di jawa pak (lanjut dia sembahyang ala muslim)”

Perilaku skizofrenik mengandung banyak neologisme daan akronim, contoh: 10) P : peh duweg singkat- singkatan “Wah pintar membuat singkatan ya” PS : tiang nak demen singkat-singkatan

pak.satpam satuan pengaman, tibum anti pembunuhan. Yen polwan polisi wanita.

“Saya orang senang membuat singkatan pak. Satpam itu satuan pengaman, tibum itu anti pembunuhan. Kalau polwan itu polisi wanita”

P : yen ABRI “Kalau ABRI?” PS : angkatan bersenjata republik Indonesia.

Abriakan dadi mase (tertawa) “Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia. Abriakan juga bisa (tertawa) 4. SIMPULAN DAN SARAN Dari pemaparan dan penjelasan aspek-aspek yang dikaji pada penelitian ini, yaitu aspek bahasa dan perilaku skizofrenik pasien gundah gelisah, semi tenang, dan tenang pada rumah sakit jiwa bangli, dapat ditarik beberapa kesimpulan dan selanjutnya saran seperti berikut ini

4.1 Simpulan

Pemroduksian bahasa skizofrenik oleh ketiga pasien skizofrenik memanfaatkan dan menggunakan beberapa tahapan, seperti konseptualisasi, formulasi, artikulasi, dan monitor diri. Pasien skizofrenik gundah gelisah gagal menggunakan tahapan-tahapan produksi bahasa,

Page 46: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra,

I Gst. Ngurah Parthama Kajian Psikolinguistik Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus

pada Rumah Sakit Jiwa Bangli

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 44

sementara pasien semi tenang menggunakan tahapan-tahapan pemrodukasian bahasa secara tidak konsisten, dan pasien tenang menggunakan tahapan-tahapan pemroduksian bahasa dengan relatif konsisten;

Pemahaman bahasa skizofrenik berupa pemahaman unsur-unsur fonetik dan fonologi, morfologi, sintaksis, dan teks. Pada pasien gundah gelisah, terjadi kekacauan dan kekaburan sistem bunyi dan bentuk bahasa, serta makna secara keseluruhan, sehingga ujaran yang dikeluarkan oleh pasien skizofrenik pun tidak karuan dan tidak nyambung. Pada pasien semi tenang, unsur-unsur fonologi, morfologi, sintaksis, dan teks digunakan secara tidak konsisten dari awal sampai akhir percakapan. Pada pasien tenang, produksi bahasa yang menyangkut unsur-unsur fonologi, morfologi, sintaksis, dan teks digunakan secara relatif lebih konsisten.

Secara umum perilaku skizofrenik mengandung gangguan asosiasi yang mengakibatkan perubahan mendadak dan ketidakjelasan dari satu konsep pikiran. Skizofrenik sejatinya mengekspresikan dirinya dengan bahasa pada strata linguistik yang tinggi, yaitu pada semantik dan pragmatik. Skizofrenik adalah unik, esentrik, banyak metafora, dan neologisme.

4.2 Saran

Penelitian ini sebenarnya merupakan studi awal tentang kajian psikolinguistik bahasa skizofrenik dan studi kasus pada rumah sakit jiwa Bangli. Hasil penelitian ini pun bersifat sangat umum. Oleh karena itu, untuk penelitian-penelitian selanjutnya akan lebih baik diarahkan pada aspek-aspek yang lebih khusus, seperti aspek mikro dan makro bahasa skizofrenik tersebut. DAFTAR PUSTAKA Baihaqi, M. Luthfi. 2004. ”Analisis Semantik

Bahasa Skizofrenik: Studi Kasus di Rumah sakit Jiwa Porong Lawang Malang”. Dalam Kongres Linguistik Tahunan Atma Jaya, Tingkat Internasional 2. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya.

Casson, Ronald W. 1981. Language, Culture, and Cognition: Anthropological Perspectives. New York: Macmillan.

Coulthard, Malcolm. 1985. An Introduction to

Discourse Analysis. England: Longman. Crider, Andrew. B, George R. Goethals, Robert D

Kavanauggh, dan Paul R. Solomon. 1983. Psychology. Dallas: Scott, Foresman and Company.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik:

Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kusmanto, Joko. 2004. ”Dari Alih Kode ke

Strategi Komunikasi’. Dalam Kongres Linguistik Tahunan Atma Jaya, Tingkat Internasional 2. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya.

Rakhmat, Jalaluddin. 1994. Psikologi

Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Schiffrin, Deborah. 1994. Approaches to

Discourse. Oxford: Blackwell. Scovel, Thomas (ed). 2002. Psycholinguistics.

Oxford New York: Oxford University Press. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik

Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press

Page 47: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Abdurahman Adisaputera Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu

Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 45

POTENSI KEPUNAHAN BAHASA PADA KOMUNITAS

MELAYU LANGKAT DI STABAT, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA

Abdurahman Adisaputera

Universitas Negeri Medan

Abstract Language maintenance or shift happens as a consequence of a bilingual or multilingual community. The self-report of 230 Langkat Malay teenagers as the respondents of this research shows a language shift from Langkat Malay to the Indonesian language among the young community of Malay in Stabat. This language shift can be seen from the high intensity of the use of Indonesian among the Malay dominant community, the small number of young community being able to comprehend and speak Langkat Malay, the large number of Langkat Malay users who speak Malay not as their first language, and the low competence of Langkat Malay users using Langkat Malay as their mother tongue. Langkat Malay is potentially threatened as an endangered language. Two indicators showing this condition are the high pressure of the Indonesian language, and the phenomena of the loss of young Langkat Malay users, especially among children. Key words: bilingualism, young community, language shift

1. PENDAHULUAN Secara historis, masyarakat Melayu (Mel) sudah mendiami daerah pesisir timur Sumatera Utara sejak tahun 1160, salah satunya adalah daerah Kabupaten Langkat yang beribukota Stabat (periksa Hollander 1984:222). Bahasa yang digunakan dalam interaksi komunikasi sehari-hari adalah bahasa Melayu Langkat (BML). Sebagai sebuah dialek, BML digunakan oleh 11.532 orang penutur.

Di samping bahasa Mel yang digunakan oleh masyarakat Mel, di Sumatera Utara terdapat beberapa bahasa daerah (BD) yang digunakan oleh berbagai etnis yang berbeda. Ada 8 kelompok besar suku (etnis) asli yang mendiami Provinsi Sumatera Utara, yaitu Melayu, Toba-Samosir, Mandailing-Angkola, Karo, Simalungun, Dairi, Pakpak Bharat, dan Nias. Kedelapan suku bangsa ini telah berbaur di Sumatera Utara, ditambah suku-suku pendatang seperti Jawa, Minang, Banjar, Aceh, dan lain-lain, termasuk etnis Tionghoa dan India. Suku pendatang yang cukup besar jumlahnya adalah suku Jawa. Pembauran ini sudah berlangsung cukup lama. Kondisi inilah yang menyebabkan bahwa sebagian besar penduduk Sumatera Utara adalah dwibahasawan, bahkan pada masyarakat tertentu seperti Kabupaten Langkat, masyarakatnya multibahasawan.

Kecamatan Stabat yang beribukota Stabat merupakan daerah perkebunan yang sangat luas

sejak pemerintahan Belanda. Kesuburan wilayah dengan perkebunan karet, tembakau, dan kelapa sawit yang dibangun oleh pemerintah Belanda sejak prakemerdekaan menyebabkan banyaknya etnis pendatang yang akhirnya berbaur dengan masyarakat Mel (Noor dkk., 1985:6). Kehadiran etnis Jawa (EJa) secara besar-besaran pada jaman pemerintahan kolonial telah menjadikan etnis ini menjadi etnis dominan di wilayah Langkat, terutama Stabat.

Masyarakat majemuk dengan penggunaan bahasa yang beragam (kedwibahasaan) akan menyebabkan terjadinya kontak bahasa. Kontak bahasa dan kedwibahasaan adalah kenyataan masyarakat dunia. Grosjean (1982:vii) menaksir sekitar separuh populasi dunia adalah dwibahasawan. Pada masyarakat dwibahasawan atau multibahasawan terdapat dua pola hubungan penggunaan bahasa yang dapat diamati, yaitu pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa. Konsekuensi penggunaan bahasa dengan segala faktor pendukungnya menyebabkan sebuah bahasa bertahan dan berkembang, sementara ketidaksetiaan penutur terhadap bahasanya sehingga beralih ke bahasa lain menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa. Pergeseran bahasa dapat pula menyebabkan bahasa tersebut punah atau terancam punah. Sebuah bahasa dapat bertahan apabila tetap terjadi proses transmisi secara terus-menerus dari suatu generasi ke generasi berikutnya (Fasold 1981:181; Sumarsono

Page 48: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Abdurahman Adisaputera Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu

Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 46

1991:178). Dengan demikian, bertahan atau tidaknya sebuah bahasa sangat ditentukan oleh faktor penuturnya.

Salah satu komponen substansial dalam upaya pelestarian bahasa adalah komunitas remaja. Keberlangsungan sebuah bahasa dalam ekologi sosial yang multikompleks dapat dicermati dari pola penggunaan bahasa komunitas remaja dalam lingkungan sosialnya. Dalam periode sosio-psikologis yang rentan terhadap perubahan, remaja adalah indikator utama untuk melihat regenerasi penutur bahasa serta pola-pola dan arah pemertahanan atau pergeseran bahasa dalam masyarakat.

2. LANDASAN TEORI Situasi kebahasaan pada komunitas tutur yang dwibahasawan atau multibahasawan menimbulkan kemungkinan pilihan bahasa bagi masing-masing anggota komunitas. Hal ini terjadi secara individual maupun secara berkelompok atau klasikal. Konsekuensi dari pilih bahasa tersebut adalah pola penggunaan bahasa. Pola penggunaan bahasa yang mantap menyebabkan pemertahanan bahasa, sedangkan pola yang goyah di antara anggota komunitas menyebabkan pergeseran bahasa.

Pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa terjadi dalam jangka panjang dan bersifat kolektif. Wujud pemertahanan bahasa itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa bahasa tersebut masih dipakai dan dipilih pada ranah-ranah penggunaan bahasa oleh para penuturnya. Indikator utama sebagai penanda pemertahanan atau pergeseran bahasa adalah ranah penggunaan bahasa.

Dalam teori sosiolinguistik yang dikemukakan oleh Fishman (1972) dan kajian-kajian tentang pemertahanan bahasa selanjutnya, analisis ranah selalu dikaitkan dengan konsep diglosia tentang ragam prestise tinggi (T) dan rendah (R). Kaitan antara pilihan bahasa dengan konsep T – R ini penting dalam kajian pemertahanan bahasa, karena dengan begitu, pemertahanan dan “kebocoran” yang menyebabkan pergeseran bahasa atau kepunahan bahasa dapat dilihat (Sumarsono 1990:14).

Pergeseran bahasa dapat terjadi bila suatu komunitas secara kolektif meninggalkan bahasa sepenuhnya dan memilih bahasa lain. Pergeseran bahasa yang berlarut-larut akan berdampak terhadap kepunahan sebuah bahasa. Menurut Dressler (1992:196), kepunahan bahasa biasanya dipahami berdasarkan dua praanggapan: (1) kedwibahasaan atau kemultibahasaan dan (2) pergeseran bahasa akibat desakan bahasa dominan. Pergeseran bahasa meliputi transisi yang berangsur-angsur (sampai ke ranah penggunaan)

dari dwibahasawan yang tidak stabil sampai akhirnya menjadi ekabahasawan, dan akibat transisi ini adalah kepunahan atau kematian bahasa.

Kematian bahasa adalah tipe yang sangat khusus dalam perubahan bahasa. Ini merupakan akhir dari kehilangan bahasa yang biasanya berada dalam situasi di mana suatu bahasa yang dominan mengancam keberlangsungan bahasa minoritas. Minoritas dipahami secara demografis dalam kaitannya dengan jumlah penutur asli, atau secara fungsional berkaitan dengan masalah politik, sosial, atau subordinasi budaya terhadap dominasi bahasa mayoritas. Biasanya, semua karakteristik bahasa minoritas ini berlangsung secara simultan. Konsekuensinya adalah, kematian bahasa secara khusus terjadi dalam ketidakstabilan masyarakat tutur yang dwibahasawan atau multibahasawan sebagai akibat pergeseran bahasa karena keterdesakan bahasa minoritas dari dominasi bahasa mayoritas.

Ada tiga kondisi kebahasaan sehubungan dengan pergeseran bahasa, yaitu bahasa yang aman, terancam punah, dan punah. Menentukan sebuah bahasa berada dalam tingkat yang ”membahayakan” atau terancam punah, sangatlah sulit. Hal ini disebabkan oleh keanekaragaman situasi kebahasaan di seluruh dunia dan ketiadaan model teoretis yang tersedia untuk mengkombinasikan variabel-variabel yang relevan. Secara sederhana, untuk kasus ini, Crystal (2000:19) menawarkan tiga kriteria: (1) tingkat pemerolehan bahasa pada anak-anak, (2) sikap masyarakat yang utuh terhadap bahasanya, dan (3) tingkat dampak bahasa-bahasa lain yang mungkin mengancam bahasa tersebut.

Terkait dengan bahasa yang terancam punah, Wurm (dalam Crystal 2000:20) memberikan 5 kriteria seperti berikut ini. (1) bahasa yang potensial terancam: secara sosial

dan ekonomi tidak menguntungkan, di bawah tekanan berat dari bahasa yang lebih besar, dan awal hilangnya penutur anak-anak,

(2) bahasa yang terancam: sedikit atau tidak ada lagi anak-anak yang belajar bahasa tersebut, dan penutur termuda yang menguasai dengan baik adalah penutur dewasa yang masih muda,

(3) bahasa yang mengalami ancaman serius: penutur termuda yang menguasai dengan baik adalah penutur dewasa usia 50 tahun atau lebih,

(4) bahasa yang hampir punah: hanya segelintir penutur yang menguasai dengan baik, kebanyakan sangat tua,

(5) bahasa yang musnah: tidak ada penutur yang tinggal.

Page 49: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Abdurahman Adisaputera Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu

Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 47

Cara lain untuk melihat keterancaman bahasa(-bahasa) adalah melalui kriteria linguistik. Kriteria linguistik merefleksikan rentang fungsi-fungsi penggunaan bahasa dan jenis-jenis perubahan struktural yang terjadi. Bahasa yang terancam semakin sedikit digunakan oleh penutur yang secara keseluruhan juga sedikit, dengan pergeseran fungsi-fungsi yang secara berangsur-angsur digantikan oleh bahasa lain. Bagaimanapun, perubahan adalah sesuatu yang biasa terjadi pada semua bahasa. Bahasa yang sehat biasanya selalu “meminjam” dari bahasa yang lain (periksa Crystal 2000:21 – 24 dan Winford 2003:11 – 60).

Kebanyakan studi pergeseran bahasa melihat suatu transisi masyarakat ke bahasa yang baru. Pergeseran bahasa terjadi dalam situasi masyarakat yang dwibahasawan (biasanya disertai diglosia), sebagai awal mula menuju ke monolingual bahasa yang baru. Tentu saja, kedwibahasaan tidak menyiratkan bahwa salah satu bahasa akan mengalami kepunahan. Walaupun keberadaan kedwibahasaan, diglosia, dan alih kode sering dikutip sebagai faktor penyebab kepunahan bahasa, namun dalam beberapa hal, alih kode dan diglosia adalah implikasi dari pemertahanan kedwibahasaan (Romaine 1995:40; Winford 2003:29 – 58).

3. METODE Penelitian ini dilakukan terhadap 230 orang responden remaja sebagai sampel dari sekitar 1.500 orang populasi. Sumber data yang digunakan adalah pengakuan diri (self report) dengan memilih jawaban yang tersedia pada instrumen kuesioner. Di samping kuesioner, data juga diperoleh melalui pengamatan langsung dengan cara pengamatan berpartisipasi. Data kuesioner berisi tentang (1) lingkungan etnis dominan, (2) bahasa dominan, (3) periode pemerolehan bahasa, dan (4) kemampuan menggunakan BML dalam komunikasi. Masing-masing variabel juga dilihat interaksinya melalui teknik silang (crosstabulation). Teknik silang digunakan agar arah dan substansi pergeseran dapat diketahui. 4. PEMBAHASAN 3.1 Lingkungan Etnis Dominan

Sebaran data yang diperoleh dari 230 remaja sebagai sampel penelitian menggambarkan komposisi penduduk berdasarkan etnisitas. Sebaran ini diperoleh dari pengakuan responden tentang etnis yang berada di sekitar tempat tinggal mereka. Konsep etnis dominan mengimplikasikan adanya etnis lain yang tidak dominan dalam sebuah ekosistem masyarakat yang heterogen.

Dalam lingkungan yang heterogen, EMel berada dalam kondisi di bawah masyarakat dominan. Bagaimana variasi komposisi itu dapat dilihat dari sebaran tempat tinggal responden.

Dominasi penduduk berdasarkan etnis bervariasi pada setiap desa dan kelurahan. Dominasi ini diukur berdasarkan pengakuan responden tentang etnis yang paling dominan di lingkungan tempat tinggal mereka. Pada Kelurahan Perdamaian (Per), EJa mendominasi 78,65% dan pada Kelurahan Kualabingai (Kabi) 94,34%. Dari penduduk yang sangat dominan Jawa ini, ada juga konsentrasi penduduk beretnis Mel dan Mandailing (Man), namun masing-masing hanya satu responden. Artinya, ada 1 responden yang menyatakan bahwa etnis yang paling dominan di tempat tinggalnya adalah EMel dan 1 responden menyatakan bahwa etnis yang paling dominan di tempat tinggalnya adalah EMan.

Untuk Kelurahan Stabat Baru (STBB), Desa Aracondong (Arco), dan Desa Pantai Gemi (Pami), etnis dominan adalah EMel. Masing-masing lokasi didominasi EMel dengan jumlah persentase 27,1%, 43,35%, 69,73% (berdasarkan data statistik). Di Kelurahan STBB, penduduknya sudah sangat membaur, namun konsentrasi etnis masih terlihat dalam satu wilayah desa atau kelurahan. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan responden tentang etnis yang dominan di lingkungan tempat tiggal mereka.Berdasarkan pengakuan 64 responden yang berlokasi di STBB, etnis yang paling dominan di lingkungan tempat tinggal mereka adalah 65,6% EMel, 31,2% EJa, dan masing-masing 1,6% EMan dan 1,6% etnis Tionghoa (Tiho). Pada lokasi STBB terlihat pula ada konsentrasi komunitas Tio dan Man.

Di Desa Arco ada 2 etnis besar selain EMel, yaitu etnis Kalimantan/Banjar (Ekal) dan EJa. Dengan EMel, EKal lebih membaur ketimbang Eja. Banyak EKal yang mengaku dirinya sebagai EMel. Dari 55 orang responden, 80% menyatakan etnis yang paling dominan di lingkungan tempat tinggal mereka adalah Emel, 10,9% Eja, dan 9,1% EKal.

Untuk lokasi Pami, komposisi penduduk hanya didominasi oleh EMel dan Eja. Berdasarkan pengakuan 95 orang responden, EMel mencapai 87,4% dan Eja 12,6%. Tidak ada etnis lain yang dominan karena jumlah individu masing-masing etnis tidak ada yang mencapai 10 orang. Jumlah ini sangat kontras bila dibanding dengan jumlah Emel dan Eja.

Secara keseluruhan, etnis dominan pada lingkungan tempat tinggal berdasarkan pengakuan 230 orang responden dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Page 50: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Abdurahman Adisaputera Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu

Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 48

Gambar 1. Etnis Paling Dominan

3.2 Lingkungan Bahasa Dominan

Ada beberapa bahasa yang digunakan oleh masyarakat dalam interaksi komunikasi sehari-hari, namun dari sekian banyak bahasa, ada tiga bahasa yang dominan digunakan. Bahasa tersebut adalah BML, BI, dan BJ. Ketiga bahasa ini direkomendasi pula oleh responden. Konsep bahasa dalam lingkungan di sini mengacu kepada penggunaan bahasa oleh masyarakat sekitar tempat tinggal responden dalam interaksi komunikasi sehari-hari. Bagaimana ketiga bahasa ini mendominasi dapat dilihat pada masing-masing desa/kelurahan.

Di kelurahan Per dan Kabi yang dominan Eja, pada umumnya masyarakat di lingkungan tempat tinggal responden menggunakan BI dan BJ. Berdasarkan pengakuan diri (self report), 87,5% responden menyatakan bahwa bahasa yang paling dominan di lingkungan tempat tinggal mereka adalah BI, dan 12,5% adalah BJ. Dominannya penggunaan BI mengindikasikan bahwa ada sebagian kawasan yang masyarakatnya sangat heterogen. Dikatakan herterogen karena sebelumnya, kedua kelurahan ini berada dalam areal perusahaan perkebunan negara (sekarang PTPN). Pada saat pemerintahan kolonial, hanya EJa saja yang berada dalam kawasan perkebunan. Mereka semua adalah para pekerja yang sangat terikat dengan perusahaan perkebunan. Sesuai dengan perkembangan masyarakat, sebagian wilayah perkebunan ini dijadikan areal perkotaan dan permukiman penduduk. Di kawasan baru inilah pada umumnya masyarakat dari berbagai etnis berbaur. Pilihan bahasa dalam interaksi komunikasi sehari-hari adalah bahasa yang dikuasai oleh semua penutur, yaitu BI. Itulah sebabnya mengapa BI lebih dominan di

lingkungan tempat tinggal responden kedua kelurahan ini.

Untuk Kelurahan STBB, bahasa yang paling dominan digunakan adalah BI. Kelurahan STBB juga merupakan kawasan yang penduduknya sangat beragam. Bahkan, jika dilihat dari komposisi penduduk, jumlah EMel tidak begitu jauh selisihnya dengan etnis-etnis lain. Berdasarkan data, 46,9% resonden menyatakan bahwa bahasa yang paling dominan digunakan di lingkungan tempat tinggal mereka adalah BI, 40,6% BM, dan 12,5% BJ.

Dua desa di Kecamatan Stabat yang penduduknya mayoritas Mel adalah Desa Arco dan Desa Pami. Pada kedua desa ini, BML masih sering terdengar digunakan oleh masyarakat. Di Desa Arco, 65,5% responden menyatakan berada dalam lingkungan dominan BML, 29,1% berada dalam lingkungan dominan BI, dan 5,5% berada dalam lingkungan dominan BJ. Di Desa Pami, 66,3% responden menyatakan berada dalam lingkungan dominan BML, 29,5% berada dalam lingkungan dominan BI, dan 4,2% berada dalam lingkungan dominan BJ.

Secara keseluruhan, bahasa dominan pada lingkungan tempat tinggal berdasarkan pengakuan 230 orang responden dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. Bahasa Paling Dominan

3.3 Periode Pemerolehan Bahasa

Kedwibahasaan ditandai oleh penguasaan dua bahasa atau lebih. Penguasaan dua bahasa atau lebih ditandai pula oleh tata urut dan jangka waktu pemerolehan. Komunitas remaja di Stabat bisa saja diasumsikan sebagai penutur yang dwibahasawan. Alasannya karena mereka berasal dari sebuah komunitas etnik yang memiliki bahasa daerah yakni BML, dan sekaligus sebagai warga negara Indonesia, mereka memiliki bahasa nasional dan bahasa negara, yakni BI. Dalam kenyataannya, banyak dari antara remaja yang tidak menguasai bahasa daerahnya. Ini menandakan bahwa sebagian dari mereka adalah monobahasawan BI, atau dwibahasawan dengan bahasa pertama BI dan

Page 51: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Abdurahman Adisaputera Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu

Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 49

bahasa kedua adalah bahasa daerah lain atau bahasa asing. Untuk jelasnya dapat diungkap melalui respon jawaban tentang periode pemerolehan bahasa mereka untuk BML dan BI. Ada 3 opsi periode pemerolehan, yakni (1) sejak pandai berbahasa (sebagai bahasa pertama), (2) setelah anak-anak, (3) setelah sekolah. Di samping itu disediakan pula opsi ke-4, yakni tidak menguasai bahasa.

3.3.1 Periode Pemerolehan BML

Fenomena komunitas etnik yang tidak menguasai bahasa etnisnya sering terjadi pada lingkungan yang sangat heterogen atau lingkungan komunitas yang berada di bawah dominasi mayoritas. Hal ini terjadi pada responden yang berada di lokasi Kelurahan Per dan Kabi. Dari 16 orang responden, 10 orang (62,5%) di antaranya tidak menguasai BML. Walau demikian, masih ada 2 orang (12,5%) yang menyatakan bahwa bahasa pertama mereka adalah BML.

Untuk Kel STBB, periode pemerolehan BML responden bervariasi. Perbedaan persentasenya juga tidak begitu mencolok. Dari 64 responden, yang menguasai BML sejak pandai berbahasa atau BML sebagai bahasa pertama ada 40,6%, yang menguasai BML setelah anak-anak ada 15,6%, dan yang menguasai BML setelah usia sekolah ada 25%. Banyak juga komunitas remaja di STBB yang sama sekali tidak mengauasai bahasa daerahnya. Artinya, mereka sama sekali tidak mampu menggunakan BML dalam komunikasi sehari-hari. Untuk ini, persentasenya mencapai 18,8%.

Di Desa Arco dan Pami, persentase responden yang menyatakan BML sebagai bahasa pertama mereka cukup tinggi. Sangat sedikit dari mereka yang menyatakan tidak menguasai BML. Secara lengkap, responden di Arco yang menyatakan BML dikuasai sejak pandai berbahasa ada 65,5%, setelah anak-anak ada 12,7%, setelah sekolah ada 16,4%, dan tidak menguasai ada 5,5%. Untuk Desa Pami, responden yang menyatakan BML dikuasai sejak pandai berbahasa ada 60%, setelah anak-anak ada 17,9%, setelah sekolah ada 18,9%, dan tidak menguasai ada 3,2%

Pada umumnya, komunitas remaja pada masing-masing desa/kelurahan banyak yang tidak menguasai BML. Ini berarti bahwa mereka sama sekali tidak pernah menggunakan BML secara utuh dalam interaksi komunikasi sehari-hari. Selain itu, ada juga sebagian remaja yang menguasai BML setelah mereka berinteraksi dengan komunitas Mel di lingkungan tempat tinggal atau setelah mereka bertemu dengan

teman-teman ber-EMel di sekolah. Bagi mereka, BML bukanlah sebagai bahasa pertama. Dampaknya dalam komunikasi adalah tidak produktifnya BML digunakan dalam interaksi komunikasi interetnik. Hasil survei membuktikan bahwa 52,6% responden yang berada di wilayah Kecamatan Stabat menyatakan BML sebagai bahasa pertama, 16,1% responden menguasai BML setalah usia anak-anak, 19,1% menguasai BML setelah usia sekolah, dan 12,2% menyatakan tidak menguasai BML. Sebagai gambaran dapat dilihat gambar di bawah ini.

Gambar 3. Periode Pemerolehan BML

3.3.2 Periode Pemerolehan BI Sebagai pelajar yang dikenai program

wajib belajar 9 tahun, maka setiap remaja dipastikan dapat ber-BI. Hal ini terbukti secara empiris. Berdasarkan pengakuan responden, tak satu pun dari antara mereka yang tidak mampu ber-BI. Di Kelurahan Per dan Kabi, seluruh responden (100%) menyatakan bahwa BI adalah bahasa pertama mereka. Untuk Kelurahan STBB, yang menyatakan BI sebagai bahasa pertama ada 78,1%, menguasai BI setelah anak-anak hanya 1,6%, dan menguasai BI setelah sekolah ada 20,3%. Di Arco, yang menyatakan BI sebagai bahasa pertama ada 54,5%, menguasai BI setelah anak-anak ada 5,5%, dan menguasai BI setelah sekolah ada 40%.

Untuk Desa Pami, walaupun EMel sangat dominan, tetapi karena berbatasan dengan Kel Per, jumlah EJa juga cukup besar. Kemudian, desa ini juga berbatasan dengan STBB yang cukup heterogen. Oleh karena itu, dibanding dengan Desa Arco, persentase responden yang menyatakan BI sebagai bahasa pertama lebih tinggi. Ada 60% yang menyatakan BI dikuasai sejak pandai berbahasa, 9,5% dikuasai setelah anak-anak, dan 30,5% dikuasai setelah sekolah.

Periode pemerolehan BI secara keseluruhan dapat dilihat persentasenya berikut ini.

Page 52: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Abdurahman Adisaputera Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu

Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 50

Gambar 4. Periode Pemerolehan BI

3.3.3 Dwibahasawan BML dan BI

Periode pemerolehan BML dan BI dalam rentang waktu dini, setelah anak-anak dan setelah sekolah menggambarkan prototipe kedwibahasaan komunitas remaja Mel di Stabat. Prototipe kediwibahasaan antara BML dan BI pada komunitas remaja teridentifikasi berdasarkan jawaban responden yang diproyeksikan melalui matriks pada Tabel 1. Warna merah pada matriks menggambarkan daerah kedwibahasaan dini. Artinya, BML dan BI adalah B1 responden. Ada 46 orang (20%) responden yang berada dalam daerah ini. Daerah yang berwarna kuning menggambarkan BML sebagai B1 dan BI sebagai B2, sedangkan daerah yang berwarna hijau menggambarkan BI sebagai B1 dan BML sebagai B2. Ada 75 orang (32,7%) responden yang berada pada daerah kuning dan 80 orang (34,8%) reaponden yang berada pada daerah hijau. Daerah yang berwarna merah jambu adalah daerah BI sebagai B1, tetapi BML bukan sebagai B2. Berarti ada 27 orang (11,7%) responden yang sama sekali tidak menguasai bahasa daerahnya, yakni BML. Daerah abu-abu adalah daerah BML dan BI bukan sebagai B1. Seharusnya daerah ini 0 persentase, tetapi ada 2 orang (0,8%) reaponden yang berada

dalam daerah ini. Fenomena ini terjadi pada responden yang berasal dari orang tua yang berbeda etnis. Salah satu orang tua dengan disertai lingkungan bahasa sangat berpengaruh pada penguasaan bahasa pertama. 3.4 Kemampuan Menggunakan BML dalam

Komunikasi Aspek penting dalam pemertahanan

bahasa adalah digunakan atau tidak bahasa tersebut oleh penuturnya dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa tidak akan digunakan jika penuturnya tidak memiliki kemampuan untuk menggunakannya. Fenomena ketidakmampuan menggunakan BML sebagai bahasa etnis muncul dalam komunitas remaja Melayu di Stabat. Indikator yang digunakan untuk melihat kemampuan menggunakan BML adalah (1) memahami dan lancar menggunakannya, (2) memahami tetapi tidak lancar menggunakannya, (3) paham sedikit-sedikit, dan (4) tidak paham sama sekali.

Di wilayah Kelurahan Per dan Kabi tidak ada responden yang memahami dan lancar menggunakan BML (0%). Data ini mengindikasikan tidak adanya penggunaan BML secara aktif pada daerah kawasan. Peringkat selanjutnya adalah memahami tetapi tidak lancar menggunakannya (37,5%), paham sedikit-sedikit (43,8%), dan tidak paham sama sekali (18,8%). Persentase kemampuan menggunakan BML yang diperoleh memberikan ”aba-aba” akan kepunahan bahasa dalam sebuah kawasan.

Penyusutan kompetensi BML juga terlihat pada responden yang berada di Kelurahan STBB. Di STBB, responden yang memahami dan lancar menggunakan BML hanya 18,8%, memahami tetapi tidak lancar menggunakannya ada 31,2%, paham sedikit-sedikit sekitar 43,8% dan tidak paham sama sekali tercatat 6,2%.

Tabel 1. Prototipe Kediwibahasaan antara BML dan BI

Periode Pemerolehan BI

Sejak pandai berbahasa

Setelah anak-anak

Setelah sekolah Total

f % f % f % f %

Sejak pandai berbahasa 46 20.0% 13 5.7% 62 27.0% 121 52.6%

Setelah anak-anak 36 15.7% 0 .0% 1 .4% 37 16.1%Setelah sekolah 44 19.1% 0 .0% 0 .0% 44 19.1%

Periode Pemerolehan BML

Tidak menguasai 27 11.7% 0 .0% 1 .4% 28 12.2%Total 153 66.5% 13 5.7% 64 27.8% 230 100.0%

Page 53: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Abdurahman Adisaputera Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu

Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 51

Untuk desa Arco dan Pami, persentase

responden yang memahami dan lancar menggunakan BML juga cukup rendah, tidak mencapai 50%. Selengkapnya, untuk daerah Arco, responden yang paham dan lancar menggunakan BML tercatat 47,3%, memahami tetapi tidak lancar menggunakannya ada 34,5%, paham sedikit-sedikit ada 16,4%, dan tidak paham sama sekali hanya 1,8%. Untuk daerah Pami, responden yang paham dan lancar menggunakan BML tercatat 45,3%, memahami tetapi tidak lancar menggunakannya ada 30,5%, paham sedikit-sedikit ada 24,2%, dan tidak ada responden yang tidak paham sama sekali.

Gambaran persentase kemampuan menggunakan BML dalam komunikasi untuk seluruh responden disajikan dalam gambar seperti berikut ini.

Gambar 5. Kemampuan Menggunakan BML

dalam Komunikasi

3.5 Gejala Pergeseran Bahasa Etnis yang dominan dalam lingkungan

sosial tidak menjamin bahwa bahasa yang digunakan juga dominan berdasarkan bahasa etnis tersebut dalam interaksi komunikasi sehari-hari. Ini terjadi dalam lingkungan sosial yang multietnik dan heterogen seperti Kecamatan Stabat. Ada beberapa etnis dominan di Stabat berdasarkan lingkungan tempat tinggal responden.

Persilangan antara etnis dominan dengan bahasa dominan melahirkan tiga dikotomi lingkungan bahasa responden (lihat Tabel 2.), yakni (1) bukan dominan Mel (warna abu-abu), (2) EMel dengan BI (warna hijau), dan (3) EMel dengan BML (warna merah). Pada matriks dapat dilihat ada 170 (73,9%) responden yang berada dalam lingkungan dominan Mel. Dari 73,9% responden tersebut, 124 orang (53,9%) di antaranya menyatakan BML sebagai bahasa dominan dan 46 orang (20%) menyatakan BI sebagai bahasa dominan. Tingginya persentase penggunaan BI pada kawasan dominan EMel mengindikasikan adanya pergeseran bahasa secara kolektif. Pergeseran bahasa yang bersifat kolektif seperti ini memunculkan gejala penyusutan fungsi sosial BML sebagai bahasa etnis bagi komunitas Mel. Matra sosial yang sebelumnya direpresentasekan dengan BML telah tergantikan oleh BI.

Tabel 2. Etnis Dominan dengan Bahasa Dominan Bahasa yang Paling Dominan

Bahasa

Indonesia

Bahasa Melayu Langkat Bahasa Jawa Total

f % f % f % f %

Melayu 46 20.0% 124 53.9% 0 0% 170 73.9% Jawa 35 15.2% 0 .0% 17 7.4% 52 22.6% Mandailing 2 .9% 0 .0% 0 .0% 2 .9% Banjar/Kalimantan 4 1.7% 1 .4% 0 .0% 5 2.2%

Etnis yang Paling Dominan

Tionghoa 1 .4% 0 .0% 0 .0% 1 .4% 88 38.3% 125 54.3% 17 7.4% 230 100.0%

Page 54: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Abdurahman Adisaputera Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu

Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 52

Pergeseran bahasa dapat juga dilihat dari

persilangan antara variabel lingkungan dominan dengan periode pemerolehan bahasa sebagaimana yang diproyeksikan pada Tabel 3. Pada lingkungan bukan dominan Mel ditemukan 10 orang (4,3%) responden yang sudah menguasai BML sejak pandai berbahasa, tetapi ada juga 23 orang (10%) yang tidak menguasai BML. Selain itu, ada 27 orang yang menguasai BML setelah usia anak anak dan setelah sekolah. Pada lingkungan seperti ini tentu sangat rentan terhadap terjadinya pergeseran bahasa. Ini terlihat dari fenomena remaja yang tidak lagi menguasai bahasa etnisnya (10% dari 26,1%). Pada lingkungan dominan Mel dengan BI, fenomena komunitas yang tidak menguasai bahasa etnis juga sering ditemukan. Pada Tabel 3. dapat dilihat bahwa dari 26,1% jumlah responden, ada 3 orang (1,3%) respoden yang sama sekali tidak menguasai BML. Karena pada lingkungan ini BML pada umumnya diperoleh setelah anak-anak atau setelah usia sekolah (9,6% dari 20% responden), maka wajar saja jika bahasa yang dominan digunakan dalam kawasan adalah BI. Pada lingkungan dominan Mel dengan BML juga tampak adanya pergeseran ke arah penggunaan BI. Dalam lingkungan etnis yang dominan dengan bahasa dominan, hanya 90 orang saja (39,1%) dari

124 orang (53,9%) responden yang berada di dalamnya, yang menyatakan BML sebagai B1. Jika bahasa pertama responden bukan BML, maka bahasa yang digunakan dalam ranah keluarga pun bukanlah BML. Kondisi ini mengindikasikan tidak adanya proses regenerasi penutur dari orang tua ke anak. Dalam jangka waktu yang cukup panjang, kondisi ini dapat menyebabkan penyusutan bahasa yang sangat akut. Tanpa adanya revitalisasi bahasa, BML hanya menunggu waktu kepunahannya. Penyusutan bahasa itu dapat dilihat dari kemampuan menggunakan bahasa tersebut dalam interaksi komunikasi sehar-hari. Penyusutan kemampuan responden terhadap penggunaan BML terjadi pada semua lingkungan (lihat Tabel 4.). Dari 26,1% responden yang berada dalam lingkungan bukan dominan Mel, hanya 1,3% saja responden yang memahami dan lancar menggunakan BML, sedangkan dalam lingkungan dominan Mel dengan BI hanya 4,3% dari total 20% responden. Dalam lingkungan dominan Mel dengan BML pun hanya ada 68 orang (29,6%), dari 124 orang (53,9%) responden, yang memahami dan lancar menggunakan BML. Hampir separuh responden dalam lingkungan ini yang tidak lancar menggunakan BML: 15,7% hanya memahami tetapi tidak lancar menggunakan BML dan (8,7%) hanya paham sedikit-sedikit.

Tabel 3. Etnis Dominan, Bahasa Dominan, dan Periode Pemerolehan Bahasa Periode Pemerolehan BML Sejak pandai

berbahasa Setelah

anak-anak Setelah sekolah

Tidak me-nguasai Total

f % f % f % f % f %

Bukan Dominan Melayu 10 4.3% 9 3.9% 18 7.8% 23 10.0% 60 26.1%

Dominan Melayu dengan BI 21 9.1% 11 4.8% 11 4.8% 3 1.3% 46 20.0%

Etnis Dominan dan Bahasa yang Digunakan

Dominan Melayu dengan BML 90 39.1% 17 7.4% 15 6.5% 2 .9% 124 53.9%

Total 121 52.6% 37 16.1% 44 19.1% 28 12.2% 230 100.0%

Page 55: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Abdurahman Adisaputera Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu

Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 53

Tabel 4. Etnis Dominan, Bahasa Dominan, dan Kemampuan Menggunakan BML Kemampuan Menggunakan BML dalam Komunikasi

Memahami dan lancar

menggunakan

Memahami tetapi tidak

lancar menggunakan

Paham sedikit-sedikit

Tidak paham sama sekali Total

f % f % f % f % f %

Bukan Dominan Melayu 3 1.3% 19 8.3% 30 13.0% 8 3.5% 60 26.1%

Etnis Dominan Melayu dengan BI 10 4.3% 19 8.3% 17 7.4% 0 .0% 46 20.0%

Etnis Dominan dan Bahasa yang Digunakan

Etnis Dominan Melayu dengan BML

68 29.6% 36 15.7% 20 8.7% 0 .0% 124 53.9%

Total 81 35.2% 74 32.2% 67 29.1% 8 3.5% 230 100.0% Tabel 5. Periode Pemerolehan dan Kemampuan Menggunakan BML Kemampuan Menggunakan BML dalam Komunikasi

Memahami dan lancar

menggunakan

Memahaminya tetapi tidak

lancar menggunakan

Paham sedikit-sedikit

Tidak paham sama

sekali Total

f % f % f % f % f %

Sejak pandai berbahasa 78 33.9% 30 13.0% 13 5.7% 0 .0% 121 52.6%

Setelah anak-anak 1 .4% 24 10.4% 11 4.8% 1 .4% 37 16.1%Setelah sekolah 2 .9% 18 7.8% 24 10.4% 0 .0% 44 19.1%

Periode Pemerolehan BML

Tidak menguasai 0 .0% 2 .9% 19 8.3% 7 3.0% 28 12.2%Total 81 35.2% 74 32.2% 67 29.1% 8 3.5% 230 100.0%

Pergeseran bahasa akan semakin meningkat jika jumlah penutur yang kehilangan kemampuan bahasa semakin besar. Pergeseran yang terus-menerus dan semakin besar dalam satu generasi dapat pula menyebabkan penyusutan kemampuan bahasa secara individu maupun secara kolektif pada generasi berikutnya. Gejala ini muncul pada komunitas remaja Mel di Stabat. Pergeseran dari BML ke BI yang terjadi pada komunitas remaja, disebabkan oleh ketidakmampuan mereka menggunakan BML secara aktif di masyarakat. Penyusutan kemampuan responden terhadap BML itu dapat dilihat dari pengakuan responden akan kemampuan mereka dalam menggunakan BML. Pada Tabel 5. dapat dilihat bahwa dari 121 orang (52,6%) responden yang telah menguasai BML

sejak pandai berbahasa, 30 orang (13%) di antaranya menyatakan diri sebagai penutur yang hanya memahami tetapi tidak lancar menggunakannya dan 13 orang (5,7%) menyatakan hanya paham sedkit-sedikit. Idealnya, jika BML merupakan B1, maka sebagai penutur asli yang berada dalam komunitasnya, penguasaan terhadap BML adalah memahami dan lancar menggunakannya. Jika sebagai bahasa pertama saja sudah terjadi penyusutan yang cukup besar, apa lagi sebagai bahasa yang dipahami setelah usia anak-anak atau usia sekolah dengan penguasaan yang hanya memahami atau paham sedikit-sedikit. Fenomena yang terungkap di sini sesungguhnya adalah fenomena-fenomena yang menggambarkan keberadaan BML yang berpotensi terancam punah.

Page 56: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Abdurahman Adisaputera Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu

Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 54

5. SIMPULAN Ada sejumlah fakta dan data yang ditemukan terkait dengan lingkungan bahasa dan dominasi penggunaan bahasa antara BML dengan BI pada komunitas remaja. Fakta dan data yang ditemukan mengarah kepada munculnya pergeseran bahasa dari BML ke BI. Hal ini ditandai oleh beberapa hal berikut ini. 1. Tingginya penggunaan BI dalam interaksi

komunikasi sehari-hari (20%) walaupun pada wilayah yang dominan Mel,

2. Hampir 50% responden (47,4%) menyatakan bahwa B1 mereka bukanlah BML,

3. Persentase responden yang tidak paham dan tidak lancar menggunaan BML (64,8%) hampir dua kali persentase responden yang paham dan lancar menggunakan BML (35,2%),

4. Tingginya persentase responden yang tidak paham dan tidak lancar menggunakan BML pada kawasan yang etnisnya dominan Mel dengan BML(24,3%),

5. Dari 52,6% yang menguasai BML sejak pandai berbahasa, hanya 33,9% yang memahami dan lancar menggunakannya.

Pergeseran bahasa yang terjadi pada komunitas remaja di Stabat mengarah kepada arah kepunahan bahasa. Pada kriteria bahasa yang terancam punah, maka BML dalam kondisi yang potensial terancam punah. Ada 2 indikator sebagaimana fakta dan data pergeseran bahasa yang terungkap untuk ini, yakni tekanan berat dari bahasa yang lebih besar yaitu BI, dan awal hilangnya penutur anak-anak. DAFTAR PUSTAKA

Ali, M dan Asrori, M. 2006. Psikologi Remaja:

Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara.

Arifin, Zainal. 2008. Langkat dalam Sejarah dan Perjuangan Kemerdekaan. Medan: Mitra Medan.

Arikunto, Suharsimi. 1986. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Bina Aksara.

Bonvillain, Nancy. 2003. Language, Culture, and Communication: The Meaning of Messages (Fourth Edition). New Jersey: Prentice Hall.

Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitaitf dan Kuantitiatif (Terjemahan oleh Kurde, N.A.). Yogyakarta: IAIN Antasari dan Pustaka Pelajar.

Chambers, J K. 2003. Sociolinguistic Theory (Second Edition). Oxford: Blackwell.

Collins, James T. 2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat (Terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Crowley, Terry. 2007. Field Linguistics: A Beginner’s Guide. Oxford dan Newyork: Oxford University Press.

Crystal, David. 2000. Language Death. Cambridge: Cambridge University Press.

De Hollander, J.J. 1984. Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu (Terjemahan). Jakarta: Balai Pustaka.

Dressler. 1992. Language Death. Oxford: Blackwell.

Fasold, Ralph W. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Blackwell.

Fasold, Ralph W. 1993. The Sociolinguistics of Language. Oxford: Blackwell.

Fishman, Joshua A (Ed). 1971. Advances in the Sociology of Language. Paris: Mouton.

Fishman, Joshua A. 1972. The Sociology of Language. Rowley. Massachussetts: Newbury House.

Grosjean, Praancois. 1982. Life with Two Languages: An Introduction to Bilingualism. New York President an Fellows of Harvard College.

Haugen, E. 1972. Bilingualism in Americas: A Bibliography and Research Guide. American Dialect Society.

Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics (Second Edition). Edinburgh: Pearson Education Limited.

Hymes, Dell. 1976. Language in Culture and Society. New York: Harper and Row Publishers.

Johnson, Keith. 2008. Quantitaive Methods in Linguistics. Oxford: Blackwell.

Jones, Mari C. dan Singh, Ishtla. 2005. Exploring Language Change. New York: Routledge.

Labov, William. 1994. Principles of Linguistic Change: Internal Factors. Oxford: Blackwell.

Page 57: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Abdurahman Adisaputera Potensi Kepunahan Bahasa pada Komunitas Melayu

Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 55

Labov, William. 2001. Principles of Linguistic Change: Sosial Factors. Oxford: Blackwell.

Noor, Yusmaniar dkk. 1985. Struktur Bahasa Melayu Langkat. Jakarta: Depdikbud.

Romaine, Suzanne. 1995. Bilingualism (Second Edition). Oxford: Blackwell.

Scollon, R dan Scollon, S.W. 2001. Intercultural Communication (Second Edition). Oxford: Blackwell.

Sinar, T. Luckman. 1994. Jatidiri Melayu. Medan: MABMI Medan.

Siregar, Bahren Umar. 1998. Pemertahanan Bahasa dan Sikap Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

Sudaryanto. 1982. Metode Linguistik: Kedudukannya, Aneka Jenisnya, dan Faktor Penentunya. Yogyakarta, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada.

Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Winford, Donald. 2003. An Introduction to Contact Linguistics. Oxford: Balckwell Publishing.

Page 58: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Mulyadi Kategori dan Peran Semantis Verba

Dalam Bahasa Indonesia

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 56

KATEGORI DAN PERAN SEMANTIS VERBA

DALAM BAHASA INDONESIA

Mulyadi Universitas Sumatera Utara

Abstract

This paper attempts to present the verb category and the semantic roles of the verb arguments in Bahasa Indonesia. The formulation of the verb is measured by time stability-scale. Verb category applies the natural semantic metalanguage theory and concept of semantic roles adopts generalised semantic roles theory. The Indonesian verbs have three main classes, i.e. states, processes, and actions. The state verbs consist of cognition, knowledge, feeling, perception, volition, and possession types; the process verbs include event and non-agentive motion types; and the action verbs comprise with agentive motion, utterance, and movement. The semantic roles of the state verbs are experiencer and experiencer-locative/theme/stimulus, except for perception verbs that have agent-stimulus relations. The participants of the process verbs are patient and the roles in the derivation system are patient and theme. For the action verbs, the participants are effector and agent while the patient becomes locative, theme, and patient. Keywords: semantic role, verb, semantic classes, semantic primes, generalised semantic

roles

1. PENDAHULUAN Artikel ini membahas dua masalah pokok yang menyangkut semantik verba bahasa Indonesia (VBI), yakni kategori semantis dan peran semantis. Kajian ini penting sebab berbasis pada kriteria semantis—dan bukan kriteria struktural—dalam menelaah semantik VBI. Dalam kajian sebelumnya (periksa Tampubolon, dkk., 1979, 1988; Moeliono, dkk., 1988; band. Mulyadi 1998), VBI digolongkan atas keadaan (mis. tinggal, terlambat, bergetar), proses (mis. menyukai, tumbuh, pecah), dan tindakan (mis. mandi, menjumpai, berlari) dengan menggunakan kriteria struktural sehingga hasilnya patut dipertanyakan. Misalnya, beberapa verba yang secara semantis mirip dipisahkan menjadi dua kelas yang berbeda, sedangkan beberapa verba yang berbeda secara semantis justru dikelompokkan ke dalam kelas yang sama. Penetapan ketiga kelas itu tampaknya terlalu sederhana untuk mencakup seluruh ranah makna VBI. Tiga kelas VBI kiranya mempunyai kelas

bawahan tersendiri. Fakta lain yang ditemukan ialah bahwa

peran semantis VBI belum disinggung sama sekali, kecuali oleh Mulyadi (1998). Namun, kelas dan peran semantis VBI yang diusulkannya tampaknya perlu dielaborasi mengingat ada kelas semantis verba, seperti verba sensasi, verba posesi, dan verba volisi, yang belum termuat dalam pembagiannya. Hal ini tentunya berimplikasi pada

pemetaan peran semantis VBI. Nyatanya, ada relasi yang kuat antara perbedaan kelas semantis verba dan peran semantis argumennya. Melalui pemetaan peran semantis dimungkinkan untuk mengenali berbagai argumen semantis verba meskipun verba itu diekspresikan dalam konfigurasi sintaktis yang berbeda. Sebagai ilustrasi, pertimbangkan peran semantis verba mencintai (1a) dan menampar (1b) di bawah ini. (1) a. TigorPengalam mencintai gadis ituStimulus b. TigorAgen menampar gadis ituPasien.

Pada contoh di atas, mencintai tergolong

verba keadaan dan menampar verba tindakan. Disebut verba keadaan sebab mencintai mendeskripsikan keadaan perasaan yang dialami oleh partisipan (Tigor) terhadap partisipan lain (gadis itu). Sebaliknya, menampar mengimplikasikan tindakan satu partisipan kepada partisipan lain. Akibat perbedaan kelas semantis ini, mencintai dan menampar memiliki peran semantis yang berbeda. Pada (1a) Tigor berperan sebagai pengalam dan gadis itu sebagai stimulus, tetapi pada (1b) Tigor adalah agen dan gadis itu adalah pasien. 2. TINJAUAN PUSTAKA Dalam analisis semantis status keanggotaan verba perlu diidentifikasi dengan tepat. Dalam penelitian Tampubolon, dkk. (1979), kelas verba ditentukan

Page 59: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Mulyadi Kategori dan Peran Semantis Verba

Dalam Bahasa Indonesia

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 57

secara sintaktis. Dikatakan bahwa verba ialah semua kata yang berfungsi sebagai predikat dalam kalimat. Karena dalam bahasa Indonesia pengisi slot predikat termasuk adjektiva, mereka menggolongkan adjektiva seperti putih, kekar, dan cantik sebagai verba. Moeliono, dkk. (1988) secara eksplisit membedakan verba dengan adjektiva melalui prefiks ter- yang bermakna ‘paling’. Adjektiva dapat diberi prefiks ter- (mis. terdingin, tersulit), sedangkan verba tidak bisa diberi prefiks

ter- (mis. *tersukar). Verba adalah sebuah kategori gramatikal.

Sebagai kategori semantis, verba mengacu pada peristiwa (periksa Leech 1981:168; Givon 1984:51—52; Frawley 1992:141). Pengertian semacam ini tidak terdapat dalam tulisan Tampubolon, dkk. dan Moeliono, dkk. Berpangkal pada ekspresi peristiwa, perbedaan verba dengan adjektiva sejatinya dapat ditentukan; begitu juga klasifikasi verba. Akan tetapi, pengujiannya harus

berbasis pada kriteria semantis. Lebih lanjut, Tampubolon, dkk. (1979,

1988) dan Moeliono, dkk. (1988) berpendapat bahwa VBI memiliki tiga kelas utama: keadaan, proses, dan aksi (perbuatan). Status keanggotaan sebuah verba mereka uji dengan konstruksi interogatif. Jawaban terhadap tes seperti (2) a. X dalam keadaan apa? b. Apa yang terjadi pada X? c. X melakukan apa? secara berurutan mengacu pada anggota verba keadaan, verba proses, dan verba aksi. Dalam hal ini, X mengacu pada entitas. Namun, hasil tes ini menimbulkan keraguan. Tampobolon, dkk. (1979:17—18) berpendapat bahwa bosan dan takut adalah verba keadaan, sementara bimbang adalah verba proses; datang adalah verba proses dan pergi verba aksi (1979:25—30). Yang ganjil, verba tahu dan bosan justru mereka tempatkan dalam kelas yang sama kendatipun mengacu pada peristiwa yang berbeda; begitu pula, verba seperti dengar, ingat, dan bimbang.

Pada bagian yang lain, sejumlah ahli (lihat, antara lain, Chafe 1970; Mourelatos 1981; Leech 1981; Foley dan Van Valin 1984; Frawley 1992; Van Valin dan LaPolla 1999; Van Valin 2005) sudah mengusulkan kategorisasi verba bahasa Inggris, tetapi verba tidak sepenuhnya diperlakukan sebagai fenomena semantis. Ini terlihat dari penggunaan tes struktural. Kecuali itu, karena menggunakan sumber data bahasa Inggris, verba yang dibahas kurang sesuai dengan VBI sebab menyangkut perbedaan morfologi kedua bahasa.

3. KONSEP DAN LANDASAN TEORI 3.1 Konsep

Verba ialah sebuah peristiwa prototip yang menunjukkan perubahan properti temporal (Leech 1981:168; Givon 1984:51—52, 64; Elson dan Pickett 1987:20—21; Frawley 1992:142, 144—145). Dari perubahan itu, peristiwa memotivasi kekategorian verba. Perubahan dalam ekspresi peristiwa dimotivasi oleh tingkat kestabilan waktu (Givon 1984:52). Verba keadaan dianggap paling stabil waktunya dalam arti tidak mengalami perubahan waktu. Verba proses kurang stabil waktunya karena bergerak dari suatu keadaan menuju keadaan lain. Verba tindakan tidak stabil waktunya.

Ketiga kelas verba itu akan diuji dengan properti aspektual dinamis, perfektif, dan pungtual. Ciri dinamis berhubungan dengan perkembangan temporal sebuah verba. Perfektif bermakna suatu tindakan sudah selesai dan memengaruhi penderita. Pungtual berarti suatu tindakan terjadi dalam durasi yang singkat dan memengaruhi penderita.

Selanjutnya, peran semantis merupakan generalisasi tentang peran partisipan dalam peristiwa yang ditunjukkan oleh verba (Booij 2007:191). Peran semantis berguna dalam menggolongkan argumen verba. Menurut Levin (2007:3), representasi peran semantis akan mereduksi makna verba melalui seperangkat peran yang diberikan kepada argumennya.

3.2 Landasan Teori

Dalam penelitian ini diterapkan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) dan teori Peran Semantis Rampatan (PSR) untuk menerangkan semantik VBI. Teori MSA bekerja dalam memetakan tipe-tipe semantis VBI, sementara teori PSR berfungsi untuk menerangkan peran semantis argumen VBI. Gambaran tentang kedua teori tersebut dijelaskan secara ringkas di bawah ini.

Teori MSA dipelopori oleh Anna Wierzbicka (1991, 1992, 1996) dan dalam pengembangannya selama lebih dari tiga dekade dibantu oleh rekan-rekan kerjanya—yang utama adalah Cliff Goddard (1994, 1996a, b). Teori MSA bermula sebagai metode analisis makna leksikal yang berbasis pada parafrase reduktif; maksudnya, makna kata-kata yang kompleks dieksplikasi dengan kata-kata yang lebih sederhana, yang lebih mudah dimengerti. Penggunaan metode parafrase reduktif bertujuan untuk menghindari analisis makna yang berputar-putar dan kabur.

Salah satu konsep teoretis utama dalam penentuan tipe semantis verba ialah perangkat makna asali. Seluruh makna asali yang disajikan

Page 60: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Mulyadi Kategori dan Peran Semantis Verba

Dalam Bahasa Indonesia

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 58

dalam teori MSA bertumpu pada eksponen bahasa Inggris. Eksponen ini selain mempunyai properti morfosintaktis yang berbeda, termasuk kelas kata, pada bahasa-bahasa yang berbeda, juga mempunyai varian (aloleksis) kombinasi. Namun, kata-kata yang digunakan dalam metabahasa secara semantis adalah sederhana. Perangkat makna tersebut dalam versi BI diilustrasikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Perangkat Makna Asali dalam Bahasa

Indonesia (Diadaptasi dari Goddard 2006:12) KOMPONEN ELEMEN MAKNA ASALI Substantif AKU, KAMU,

SESEORANG/ORANG, SESUATU/ HAL, TUBUH

Substantif relasional

JENIS, BAGIAN

Pewatas INI, SAMA, LAIN Penjumlah SATU, DUA, SEMUA, BANYAK,

BEBERAPA Evaluator BAIK, BURUK Deskriptor BESAR, KECIL Predikat mental PIKIR, TAHU, INGIN, RASA,

LIHAT, DENGAR Ujaran UJAR, KATA, BENAR Tindakan, peristiwa, gerakan, perkenaan

LAKU, TERJADI, GERAK, SENTUH

Keberadaan dan milik

ADA, PUNYA

Hidup dan mati HIDUP, MATI Waktu BILA/WAKTU, SEKARANG,

SEBELUM, SETELAH, LAMA, SEKEJAP, SEBENTAR, SEKARANG, SAAT

Ruang (DI) MANA/TEMPAT, (DI) SINI, (DI) ATAS, (DI) BAWAH, JAUH, DEKAT, SEBELAH, DALAM

Konsep logis TIDAK, MUNGKIN, DAPAT, KARENA, JIKA

Augmentor, intensifier

SANGAT, LEBIH

Kesamaan SEPERTI

Dalam penentuan tipe semantis VBI, teori MSA menawarkan polisemi sebagai alat deskripsi. Polisemi adalah sebuah makna bentuk leksikon tunggal yang bersumber dari dua makna asali yang berbeda. Menurut Goddard (1996a:31), ada dua hubungan nonkomposisi yang paling kuat, yakni hubungan pengartian dan hubungan implikasi. Hubungan pengartian diterangkan melalui kombinasi MELAKUKAN/TERJADI dan MELAKUKAN PADA/TERJADI. Seseorang yang melakukan sesuatu pada seseorang atau melakukan sesuatu pada sesuatu dapat dilihat dari sudut pandang ”pasien”; contohnya, jika X

MELAKUKAN SESUATU PADA Y, SESUATU TERJADI PADA Y. Hubungan implikasi terdapat pada eksponen TERJADI dan MERASAKAN; misalnya, jika X MERASAKAN SESUATU, SESUATU TERJADI PADA X.

Selain makna asali dan polisemi terdapat pula konsep sintaksis makna universal, atau disingkat sintaksis MSA, untuk mengacu pada komponen-komponen berstruktur, seperti ‘aku ingin melakukan sesuatu’, ‘sesuatu yang buruk terjadi padamu’, atau ’orang ini merasakan sesuatu yang baik’. Unit dasar dari sintaksis MSA dibentuk oleh substantif dan predikat serta beberapa elemen tambahan yang ditentukan oleh predikatnya. Dalam teori MSA, makna asali yang tergolong sebagai verba dan berfungsi sebagai predikat dalam sintaksis MSA ialah (1) predikat mental [PIKIR, TAHU, INGIN, RASA, LIHAT, DENGAR], (2) ujaran [UJAR, KATA], (3) tindakan, peristiwa, pergerakan, dan perkenaan [LAKU, TERJADI, GERAK, dan SENTUH], (4) keberadaan dan milik [ADA dan PUNYA], dan (5) hidup dan mati [HIDUP dan MATI].

Lebih lanjut, teori PSR merupakan generalisasi dari sejumlah ancangan teoretis tentang peran semantis dan secara khusus dikembangkan dari teori Peran Umum yang diusulkan pertama kali oleh Foley dan Van Valin (1984) dalam Tata Bahasa Peran dan Acuan. Dalam teori ini diproyeksikan gagasan aktor dan penderita pada struktur klausa, baik pada klausa intransitif maupun pada klausa transitif. Kedua peran ini dipahami sebagai relasi semantis universal. Istilah aktor merujuk kepada generalisasi lintas agen, pengalam, instrumen, dan peran-peran lain, sedangkan penderita adalah generalisasi lintas pasien, tema, resipien, dan peran-peran lain. Wujud kedua peran itu pada setiap bahasa berbeda-beda, tergantung dari karakter morfologis dan sintaktis masing-masing. Bagi Van Valin dan LaPolla (1999:143), relasi tematis prototip ialah agen dan pasien; artinya, agen adalah prototip untuk aktor dan pasien adalah prototip untuk penderita.

Aktor dan penderita tidak mempunyai isi semantis yang konstan. Aktor dapat berperan sebagai agen, pengalam, instrumen, dan peran lain, sedangkan penderita berperan sebagai tema, pasien, resipien, dan peran-peran lain. Tidak ada perubahan peran aktor dan penderita pada struktur klausa meskipun konfigurasi sintaktisnya berbeda. Keduanya dapat dipetakan pada argumen predikat transitif dan argumen predikat intransitif. Aktor dan penderita berbeda dengan relasi sintaktis, seperti subjek dan objek, ataupun peran kasus, seperti agen dan pasien. Pada sebuah argumen

Page 61: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Mulyadi Kategori dan Peran Semantis Verba

Dalam Bahasa Indonesia

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 59

verba berbagai peran yang berbeda direalisasikan sesuai dengan ciri semantis predikatnya.

Dalam teori PSR penentuan peran umum pada sebuah verba didasarkan pada struktur logisnya (Van Valin dan LaPolla, 1999:151; Van Valin, 2005:62). Ada tiga kemungkinan dalam pemberian peran umum, yaitu 0, 1, 2. Jika sebuah verba memiliki dua argumen atau lebih pada struktur logisnya, verba itu memerlukan dua peran umum. Apabila sebuah verba mempunyai argumen tunggal pada struktur logisnya, pada situasi ini diperlukan satu peran umum. Pada verba tanpa argumen (mis., verba rain dan snow dalam bahasa Inggris) tidak terdapat peran umum. Sifat peran umum merupakan fungsi dari struktur logis verba. Jika sebuah verba membutuhkan dua argumen, keduanya boleh jadi berupa aktor dan penderita. Pada verba dengan peran umum tunggal, pilihan utamanya diikuti langsung dari struktur logis verbanya. Verba dengan predikat kegiatan pada struktur logisnya diberi peran aktor; jika tidak, perannya adalah penderita.

Pilihan terhadap argumen sebagai aktor dan penderita tidak bersifat acak, tetapi berdasarkan dalil tertentu. Van Valin dan LaPolla (1999) mengusulkan sebuah hierarki pemarkahan untuk lingkungan aktor dan penderita, seperti diringkas pada Gambar 1.

AKTOR PENDERITA

Arg arg 1 arg 1 arg 2 arg pred’ MELAKUKAN melakukan’ (x ... pred’ (x, y) pred’ (x, y) keadaan (x) Gambar 1. Hierarki Aktor dan Penderita

Pada hierarki di atas, ‘argumen MELAKUKAN’ berperingkat tertinggi, dan argumen ini adalah pilihan yang tak bermarkah untuk aktor. Sementara itu, ’argumen pred’ (x)’ berperingkat terendah dan argumen ini adalah pilihan yang tak bermarkah untuk penderita. Tanda panah menunjukkan peningkatan pemarkahan pada peristiwa tipe argumen tertentu untuk aktor atau penderita. Terkait dengan aktor, pilihan yang bermarkah dimungkinkan jika argumen yang berperingkat lebih tinggi tidak hadir pada klausa. Pada penderita, pilihan itu dimungkinkan apabila tidak hadir pasien pada klausa.

4. METODE PENELITIAN Tiga tahapan dalam penelitian ini ialah pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data. Data penelitian ini berupa pola-pola tuturan dan kalimat, utamanya yang mengekspresikan berbagai perilaku verba BI. Data juga bersumber dari intuisi kebahasaan peneliti.

Data lisan diperoleh melalui penerapan metode simak dan metode cakap. Data tulis BI dikumpulkan dari surat kabar, majalah, novel, dan kamus. Data intuisi dibangkitkan secara introspektif untuk melengkapi kekurangan yang ada.

Dalam analisis data digunakan metode padan dan metode agih (lihat Sudaryanto, 1993; Mahsun, 2005; Djajasudarma, 2006). Metode padan berguna dalam penentuan tipe-tipe semantis verba BI. Contohnya, verba sedih, hancur, dan mengambil digolongkan kelas yang berbeda sebab ekspresinya mengacu pada peristiwa yang berbeda. Sedih mengacu pada keadaan mental; hancur mengacu pada perubahan keadaan; dan mengambil mengacu pada tindakan. Dengan demikian, ekspresi ketiga verba ini, secara berurutan, mengacu pada keadaan, proses, dan tindakan.

Metode agih diterapkan untuk mengidentifikasi peran semantis VBI. Beberapa teknik analisis yang digunakan ialah teknik ganti, teknik ubah wujud, teknik parafrase, teknik sisip, dan teknik perluas. Melalui penerapan teknik perluas dan teknik ubah wujud, misalnya, dimungkinkan untuk menunjukkan perbedaan peran semantis sebuah argumen verba. Tidak semua teknik itu diterapkan sekaligus, tetapi penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan.

Hasil analisis data disajikan dengan metode informal dan metode formal. Metode informal tampak dalam penggunaan kata-kata atau kalimat yang dikembangkan secara deduktif dan induktif. Metode formal direalisasikan melalui pemakaian tanda, gambar, dan diagram untuk menerangkan contoh-contoh data. Kaidah analisis disajikan melalui teknik konflasi, yaitu penyajian beberapa kaidah tunggal secara berjalin sedemikian rupa sehingga membentuk satu gabungan kaidah ganda. 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Tipe Semantis VBI

Verba keadaan—dibandingkan dengan verba proses dan verba tindakan—tergolong paling dasar sebab ekspresi temporalnya sangat terbatas. Semua peristiwa lain dapat dihasilkan dari keadaan. Umpamanya, peristiwa inkoatif dapat dihasilkan dari keadaan melalui operator ‘menjadi’ dan peristiwa kausatif dibentuk oleh peranti konektif ‘menyebabkan’. Karena verba ini bersifat statis, properti temporalnya tidak memungkinkan untuk diperluas. Dalam pandangan Mourelatos (1981:192), verba keadaan bertahan selama rentang waktu. Salah satu parameternya, tetapi parameter ini bukanlah satu-satunya alternatif,

Page 62: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Mulyadi Kategori dan Peran Semantis Verba

Dalam Bahasa Indonesia

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 60

ialah bahwa verba keadaan umumnya tidak menerima bentuk progresif, seperti (3b) dan (4b). (3) a. Kartareja percaya akan cerita Sukarya. b. *Kartareja sedang percaya akan cerita

Sukarya. (4) a. Mereka mengetahui ceritanya. b. *Mereka sedang mengetahui ceritanya.

Kegagalan verba kognisi seperti percaya dan verba pengetahuan seperti mengetahui menerima progresif dikarenakan peristiwa yang diekspresikannya menggambarkan keadaan yang sudah ada. Adanya pemarkah progresif justru mengimplikasikan suatu usaha atau kekuatan dan kedua verba ini tidak memerlukan usaha atau kekuatan apa pun untuk menghadirkan keadaan. Itu sebabnya, pada latar struktural kalimatnya menjadi tidak gramatikal.

Verba keadaan mungkin saja terbentuk sebagai hasil dari suatu perubahan dan menyimpan potensi perubahan, tetapi keadaan itu sendiri bukanlah suatu perubahan. Fakta semantis ini tampak pada verba emosi seperti mencintai. Walaupun menerima progresif, mencintai tetap digolongkan sebagai verba keadaan. Ini terjadi karena mencintai merupakan hasil dari suatu perubahan sehingga di dalam struktur internalnya terdapat suatu proses yang memungkinkannya menerima bentuk progresif. Dalam perspektif lain, verba mencintai menerima progresif karena verba itu menyatakan keadaan sementara. Jika (5) diberi keterangan, maknanya adalah ‘Dia sedang berusaha, dengan mengerahkan tenaga, untuk merasakan sesuatu’. (5) a. Dia mencintai tetangganya. b. Dia sedang mencintai tetangganya.

Hal yang sama juga berlaku untuk verba persepsi, verba volisi, dan verba posesi, yang secara berurutan diilustrasikan pada (6)—(8). Dalam struktur internal kelompok verba ini termuat suatu proses; akibatnya, perilaku semantisnya menerima progresif. Pada ketiga tipe verba ini, sekalipun terbuka slot untuk dua partisipan, tidak terdapat peralihan tindakan di antara partisipannya. Implikasinya ialah tidak ada partisipan yang dipengaruhi oleh partisipan lain. Contohnya, (6) Dia sedang melihat perempuan mandi di

pancuran. (7) Kami sedang ingin makan rujak. (8) Dia sedang mempunyai sebuah mobil baru

sekarang.

Tipe verba kedua, yaitu verba proses, secara sederhana merujuk pada anggota verba yang menempati ranah di luar dari ranah verba keadaan

dan verba tindakan. Secara umum istilah ini hampir sama dengan kelas achievement Vendler (Foley dan Van Valin, 1984:37—38; Mourelatos, 1981:191—192, 201; Shirai dan Andersen, 1995:744), atau kelas performansi Kenny (Mourelatos, 1981:192—193), atau kelas inseptif Leech (1981:210—211). Verba proses mendeskripsikan perubahan suatu entitas dari suatu keadaan menjadi keadaan yang lain. Ini terjadi karena batas keadaan yang lama telah dilampaui. Di sini ciri atau arah perubahan keadaan yang baru itu tidak dipersoalkan, kecuali batas yang dilintasinya. Misalnya, (9) Bunga itu sedang layu. (10) Kakak sedang hamil. Ciri dinamis juga terdapat pada mekar dan terbit (mis. sedang mekar, sedang terbit), tetapi ciri ini gagal dipenuhi oleh hangus dan putus (mis. *sedang hangus, *sedang putus) meskipun keduanya mengekspresikan perubahan keadaan entitasnya. Namun, Chafe (1970:99) mengingatkan bahwa penggunaan kaidah progresif dalam menentukan kelas semantis verba bersifat garis besar, bukan ”prosedur penemuan”. Jadi, tidak perlu berpendapat bahwa fakta semantis tertentu akan konsisten seratus persen dengan beberapa fakta lain. Frawley (1992:153) , kendati-pun menggunakan lima tes diagnostis, juga menemukan kasus-kasus yang meragukan ketika menguji fenomena semantis bahasa Inggris.

Hangus dan putus cenderung ditafsirkan statif dalam bahasa Indonesia. Itu sebabnya, keduanya menolak pemarkah progresif. Namun, kedua verba itu tidak bisa dikelaskan sebagai verba keadaan sebab ekspresi temporalnya memiliki batas akhir sehingga dapat menerima perfektif (mis. sudah hangus, sudah putus). Keduanya juga kurang tepat ditempatkan di bawah verba tindakan sebab makna dasarnya tidak menyatakan suatu tindakan. Karena itu, keduanya dimasukkan ke dalam verba proses.

Karena ciri perfektif, dan juga pungtual, dalam kajian ini sudah dielaborasi, dalam arti kedua cirinya berfokus pada pengaruh yang diterima penderita—jadi, bukan hanya tindakan yang sudah selesai dan terjadi dalam waktu singkat, verba proses menolak kedua ciri ini. Ciri perfektif dan pungtual lebih cocok dikaitkan dengan predikat dua tempat daripada predikat satu tempat. Pada predikat dua tempat, relasi semantisnya menjadi aktor-penderita, sedangkan pada predikat satu tempat, hanya ada satu pilihan peran semantisnya: aktor atau penderita.

Verba proses bahasa Indonesia umumnya tidak bermarkah, kecuali verba yang terbentuk

Page 63: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Mulyadi Kategori dan Peran Semantis Verba

Dalam Bahasa Indonesia

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 61

sebagai hasil derivasi dari adjektiva prototip. Selain itu, proses derivasi dengan prefiks me- hanya dimungkinkan pada dasar yang mengandung ciri semantis keadaan untuk membentuk verba proses. Namun, pada verba yang sudah mengandung ciri proses, pelekatan prefiks me- menjadi tidak gramatikal; misalnya, *menghancur, *menyakit, *memandul, *menjatuh, dan *menimbul.

Lebih lanjut, salah satu ciri semantis verba tindakan, dan ciri ini sama dengan verba proses, ialah sifatnya yang dinamis. Ini berarti bahwa ekspresi temporal verba tindakan dapat diperluas. Ciri ini terdapat pada verba gerakan seperti pergi, berlari, dan melompat, atau verba ujaran seperti membujuk, melarang, dan menghina. (11) a. Pemuda itu melompat dari tempat

duduknya. b. Ibu membujuk Maria. (12) a. Pemuda itu sedang melompat dari tempat

duduknya. b. Ibu sedang membujuk Maria.

Pada (11), batas temporal atau titik acuan melompat dan membujuk bersifat implisit. Dalam sebuah wacana batas temporalnya dapat bersifat eksplisit, seperti diilustrasikan oleh pemakaian adverbia temporal ketika saya masuk pada (13). (13) Ketika saya masuk, pemuda itu sedang melompat dari tempat duduknya.

Properti semantis lain yang melekat pada verba tindakan ialah kepungtualan. Properti ini selain terdapat pada verba ujaran dan verba gerakan, juga pada verba perpindahan, seperti merampas, mencubit, dan memukul. Contoh (14c) tidak berterima sebab tindakan entitas mempunyai interval waktu yang terbatas. Dengan kata lain, mencubit tidak memiliki tahap transisi yang jelas di antara batas awal dan batas akhir. (14) a. Sophia mencubit hidung Indra. b. Sophia mencubit hidung Indra dengan

cepat. c. ??Sophia mencubit hidung Indra dengan

lambat.

Ciri kepungtualan pada hakikatnya menyangkut masalah tingkatan. Maksudnya, berbagai verba yang diklasifikasikan sebagai verba tindakan memiliki tingkat kepungtualan yang berbeda. Jadi, walaupun merampas, memukul, dan mencubit lebih pungtual daripada membakar, membantu, dan membeli, bukan berarti verba-verba ini tidak pungtual. Oleh karenanya, semua verba ini tetap digolongkan verba tindakan.

Verba tindakan juga mensyaratkan keperfektifan. Banyak verba memenuhi ciri ini. Selain beberapa contoh di atas, ciri ini ditemukan pada verba membantai, menghantam, menikam, dan memancung. Verba-verba ini mengungkapkan bahwa tindakan aktor sudah selesai dan penderita dipengaruhi sepenuhnya. Kalimat seperti (15) Munadi menghantam kepala Ngatemi. (16) Mereka memancung lehernya. dengan jelas menggambarkan bahwa aktor bertindak pada penderita dan penderita menerima pengaruh tindakan tersebut sepenuhnya.

Pemetaan ciri temporal itu pada ketiga klasifikasi VBI, yakni keadaan, proses, dan tindakan, memperlihatkan properti berikut. Verba keadaan dan verba proses tergolong imperfektif dan tak pungtual, tetapi verba proses bersifat dinamis. Verba tindakan memenuhi semua properti semantis itu. Pemetaan ketiga ciri temporal tersebut pada VBI diilustrasikan pada Tabel 2. Tabel 2. Properti Temporal VBI

Properti Temporal

Keadaan Proses Tindakan

Dinamis - + + Perfektif - - + Pungtual - - +

Berdasarkan perangkat makna asali, tipe keadaan, proses, dan tindakan memiliki subtipe masing-masing. Verba keadaan memuat subtipe verba kognisi (‘pikir’), verba pengetahuan (‘tahu’), verba perasaan (‘rasa’), verba persepsi (‘lihat’ dan ‘dengar’), verba volisi (‘ingin’), dan verba posesi (‘punya’). Verba perasaan mempunyai dua kelas verba bawahan: emosi dan sensasi. Perbedaan keduanya didasari oleh fakta bahwa verba emosi (mis. sedih, marah, takjub, dan ngeri) dibentuk oleh sintaksis MSA ‘X merasakan sesuatu’, sementara verba sensasi (mis. lapar, lelah, gatal, dan mengantuk) dibentuk oleh sintaksis MSA ‘X merasa seperti Y. Jelasnya, ekspresi “merasa lapar”, misalnya, dapat diparafrase sebagai berikut: ‘X merasa seperti orang yang tidak makan apa pun dalam waktu lama dan ingin makan sesuatu karena itu.’ Verba proses memiliki dua subtipe: peristiwa dan gerakan nonagentif. Verba peristiwa terbagi atas verba kejadian (dalam pola sintaksis ‘sesuatu terjadi pada sesuatu’), mis. hancur, lebur, retak, dan patah, dan verba proses badani (dalam pola sintaksis ‘sesuatu terjadi pada seseorang’), mis. sakit, mengidam, demam, dan mabuk. Verba gerakan nonagentif yang tidak memuat gagasan kendali terdapat pada verba-verba, seperti

Page 64: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Mulyadi Kategori dan Peran Semantis Verba

Dalam Bahasa Indonesia

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 62

tumbang, longsor, menggelinding, dan runtuh (‘sesuatu bergerak di tempat ini’) di satu sisi dan verba-verba, seperti jatuh, terpeleset, terjungkang, dan terperosok (‘seseorang bergerak di tempat ini’) di sisi lain. Verba tindakan mengandung tiga subtipe, yakni verba gerakan agentif, verba ujaran, dan verba perpindahan. Makna verba perpindahan sangat kompleks sebab dapat menurunkan makna sejumlah verba, antara lain, ‘menampilkan’, ‘mencipta’, 'mengambil', 'memberi', 'membawa', ‘menyentuh’, ‘mengonsumsi’, 'memotong', 'merusak', dan 'memukul'. Klasifikasi VBI diringkas pada Tabel 3. Tabel 3. Tipe Semantis VBI

Tipe Verba Subtipe Sub-Subtipe

Contoh

Kognisi memercayai, menduga, merenung

Pengetahuan mengetahui, mengerti, mengenal

Emosi gembira, kecewa, menyesal Perasaan

Sensasi puas, gatal, haus Persepsi memandang,

menonton, mendengar

Volisi berkehendak, bermaksud, berniat

KEADAAN

Posesi mempunyai, memiliki

Kejadian hancur, pecah, patah Peristiwa Proses

Badani sakit, hamil, mabuk PROSES

Gerakan Nonagentif

tumbang, jatuh, terpelanting

Gerakan Agentif

pergi, berjalan, memanjat

Ujaran meminta, memuji, menuduh

Tampilan bernyanyi, menari, berdansa

Ciptaan menulis, mengarang, mencetak

Sentuhan menyentuh, memegang, meraba

Ambilan mencuri, menculik, memungut

Berian menyumbang, membeli, mengajar

Bawaan mengangkat, memikul, mengusung

Konsumsi makan, melahap, minum

Potongan menebang, membelah, menyayat

Pukulan menghajar, meninju, menerjang

TINDAKAN

Perpindahan

Rusakan merusak, membongkar, menjebol

5.2 Peran Semantis VBI Ciri utama perbedaan antara aktor dan

penderita ialah bahwa aktor memiliki gagasan kendali atas situasi yang dinyatakan oleh verba, sedangkan penderita tidak mengandung gagasan kendali. Penderita justru dipengaruhi oleh aktor dengan berbagai cara. Bertolak dari pengertian ini berikut ini dijelaskan peran semantis yang terdapat argumen VBI.

Dalam bahasa Indonesia verba keadaan, apa pun kelas bawahannya, memiliki relasi aktor sebagai pengalam dan relasi penderita sebagai lokatif, stimulus, dan tema. Satu-satunya kasus terdapat pada verba persepsi yang disengaja (mis. menonton, mengawasi, dan memandang) yang memiliki relasi tematis agen-stimulus. Lebih jelasnya, verba keadaan dengan argumen tunggal, seperti verba sensasi (mis. lapar atau mengantuk), memiliki aktor yang berperan sebagai pengalam. Jika verba keadaan menghadirkan dua partisipan pada struktur logisnya, dan dalam kelompok verba itu termasuk verba kognisi, pengetahuan, emosi, persepsi (yang disengaja), volisi, serta posesi, seluruh kelas verba itu mempunyai aktor yang berperan sebagai pengalam dan penderita yang berperan sebagai lokatif, stimulus, dan tema.

Kehadiran pengalam sebagai peran wajib pada verba keadaan tampaknya berbasis pada fakta bahwa kelas derivasinya merupakan predikat mental. Tipe kognisi seperti memercayai, tipe pengetahuan seperti mengetahui, atau tipe emosi seperti malu, misalnya, mensyaratkan pengalam sebagai partisipan yang memercayai sesuatu, mengetahui sesuatu, atau merasakan sesuatu. Argumen kedua yang hadir pada verba ini yang digolongkan sebagai partisipan yang dipercayai atau yang diketahui adalah lokatif, sedangkan partisipan yang menjadi sasaran perasaan pengalam adalah stimulus. Dalam pada itu, dua argumen pada verba volisi mempunyai relasi pengalam-tema, sedangkan dua argumen pada verba posesi memiliki relasi pengalam-lokatif. Layak untuk dicatat bahwa verba persepsi yang disengaja seperti menonton, mengawasi, dan memandang mempunyai peran semantis yang berbeda. Sebagai ilustrasi, ketidakberterimaan (17b) di bawah ini menjelaskan bahwa aktor adalah agen pada struktur logis verbanya. Misalnya, (17) a. Kebetulan X mendengar berita itu. b. ??Kebetulan X menonton/mengawasi/

memandang Y. Verba proses memiliki satu partisipan.

Karena partisipan tunggalnya mengalami perubahan keadaan—dan bukan pengendali tindakan, peran semantisnya dipetakan sebagai penderita. Pertanyaan pokoknya adalah apakah

Page 65: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Mulyadi Kategori dan Peran Semantis Verba

Dalam Bahasa Indonesia

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 63

penderita tersebut diderivasi sebagai pasien atau peran semantis yang lain? Dapat dikatakan bahwa pada verba kejadian, seperti pecah, retak, dan hancur atau verba proses badaniah, seperti sakit, pingsan, dan hamil, penderitanya ialah pasien. Sementara itu, pada verba gerakan yang melibatkan entitas tidak bernyawa seperti karam, berputar, dan menggelinding, penderitanya adalah tema, tetapi pada verba gerakan yang melibatkan entitas bernyawa, seperti jatuh, tenggelam, dan terpeleset, penderitanya adalah pasien. Dalam sistem peran semantis Foley dan Van Valin (1984:51—52), tema diartikan selain untuk entitas yang ditempatkan, juga untuk entitas yang mengalami perubahan lokasi, dan perubahan lokasi ini terjadi bukan atas kehendak entitas itu sendiri. Pada verba tindakan, ada dua kemungkinan peran derivasi dari aktor, yaitu pemengaruh dan agen. Peran pemengaruh hadir pada verba ujaran dan beberapa subtipe dari verba tindakan, seperti subtipe tampilan (mis. bernyanyi, menari, dan berdansa) dan subtipe ciptaan (mis. menulis, mengarang, dan mencetak). Faktanya, jika makna verba tindakan dalam bahasa Indonesia tidak dibatasi, aktor pada hakikatnya dapat menjadi pemengaruh, seperti kalimat berikut: (18) Malaria membunuh sebagian penduduk desa. (19) Badai menghantam rumah penduduk yang

terletak di tepi pantai. Relasi agen tampak pada verba gerakan agentif satu tempat, seperti datang, berangkat, dan berjalan. Pada verba gerakan agentif dua tempat, seperti memanjat dan mendaki, relasi tematis di antara kedua partisipannya ialah agen-lokatif. Relasi pemengaruh-lokatif terdapat pada verba ujaran. Pada kelas verba ini, partisipan kedua menjadi lokasi dari ujaran yang disampaikan oleh partisipan pertama. Oleh sebab itu, partisipan keduanya berperan lokatif. Peran semantis verba perpindahan lebih beragam. Ada kemungkinan penderita dijabarkan menjadi lokatif, tema, atau pasien. Verba menyanyikan, menulis, dan menyentuh memilih lokatif untuk penderita; verba mencuri, menyumbang, dan mengangkat memilih tema untuk penderita; dan verba makan, menebang, menghajar, dan merusak, memilih pasien untuk penderita. Peran tema diberikan karena entitasnya berpindah. Entitas yang menjadi tempat terjadinya peristiwa ditafsirkan berperan sebagai lokatif. Kemudian, entitas yang dipengaruhi sepenuhnya oleh entitas lain, dan menyebabkannya berubah secara fisik ditafsirkan sebagai pasien. Gambaran tentang peran semantis VBI diringkas pada tabel berikut ini.

Tabel 4. Peran Semantis VBI Peran

Semantis Tipe verba Subtipe Struktur Logis Aktor-Penderita

Kognisi pikir’ (x, y) Pengalam-Lokatif

Pengetahuan tahu’ (x, y) Pengalam-Lokatf

marah’ (x, y) Pengalam-Stimulus Perasaan

lapar’ (x) Pengalam Persepsi lihat’ (x, y) Pengalam-

Stimulus tonton’ (x, y) Agen-Stimulus Volisi ingin’ (x, (y)) Pengalam-

Tema

KEADAAN

Posesi punya’ (x, y) Pengalam-Tema

hancur’ (x) Pasien Peristiwa hamil’ (x) Pasien tumbang’ (x) Tema PROSES Gerakan

Nonagentif jatuh’ (x) Pasien pergi’ (x) Agen Gerakan

Agentif panjat’ (x, y) Agen-Tema Ujaran puji’ (x, y) Pemengaruh-

Lokatif nyanyi’ (x, (y)) Pemengaruh-

Lokatif tulis’ (x, y) Pemengaruh-

Lokatif sentuh’ (x, y) Agen-Lokatif curi’ (x, y) Agen-Tema sumbang’ (x, y) Agen-Tema angkat’ (x, y) Agen-Tema makan’ (x, (y)) Agen-Pasien tebang’ (x, y) Agen-Pasien hajar’ (x, y) Agen-Pasien

TINDAKAN

Perpindahan

rusak’ (x, y) Agen-Pasien

6. SIMPULAN Tipe semantis VBI, berdasarkan skala kestabilan waktu, terdiri atas keadaan, proses, dan tindakan. Pemetaan ciri temporal itu pada ketiga tipe VBI memperlihatkan properti temporal berikut. Verba keadaan dan verba proses tergolong imperfektif dan tak pungtual, tetapi verba keadaan bersifat statis sementara verba proses bersifat dinamis. Verba tindakan memenuhi semua properti semantis itu.

Dengan mengacu pada perangkat makna asali, ketiga tipe utama tersebut mengandung subtipe masing-masing. Verba keadaan memuat subtipe kognisi, pengetahuan, perasaan, persepsi, volisi, dan posesi. Verba perasaan yang dibentuk oleh makna asali ’rasa’ bahkan memiliki sub-subtipe verba emosi dan verba sensasi. Verba proses terdiri atas (1) verba peristiwa—yang dapat dibagi lagi atas verba kejadian dan verba proses badaniah—dan (2) verba gerakan nonagentif. Verba tindakan terdiri atas subtipe gerakan agentif, ujaran, dan perpindahan. Verba perpindahan memuat sejumlah subtipe sesuai dengan kemiripan

Page 66: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Mulyadi Kategori dan Peran Semantis Verba

Dalam Bahasa Indonesia

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 64

atau kesamaan maknanya, antara lain, verba tampilan, ciptaan, ambilan, berian, bawaan, sentuhan, konsumsi, potongan, pukulan, dan rusakan.

Verba keadaan memiliki aktor sebagai pengalam dan penderita sebagai lokatif, stimulus, dan tema, kecuali verba persepsi yang disengaja (mis. menonton, mengawasi, dan memandang) yang memiliki relasi tematis agen-stimulus. Partisipan tunggal pada verba proses adalah penderita, dan peran ini pada sistem derivasi digolongkan sebagai pasien dan tema. Verba tindakan dengan argumen tunggal seperti pada verba gerakan agentif mempunyai relasi agen. Pada verba ujaran terdapat relasi pemengaruh-lokatif. Verba tindakan dengan subtipe verba perpindahan pada umumnya memiliki aktor sebagai agen dan penderita dipetakan sebagai lokatif, tema, dan pasien. DAFTAR PUSTAKA Booij, G. 2007. The Grammar of Words: An

Introduction to Morphology. Oxford: Oxford University Press.

Chafe, W.L. 1970. Meaning and the Structure of Language. Chicago: The University of Chicago Press.

Djajasudarma, T. F. 2006. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Refika Aditama.

Elson, B. dan V. Pickett. 1987. Beginning Morphology and Syntax. Texas: Summer Institute of Linguistics.

Foley, W. A. dan R. Van Valin Jr. 1984. Functional Syntax and Universal Grammar. Cambridge: Cambridge University Press.

Frawley, W. 1992. Linguistic Semantics. New Jersey: Lawrence Erlbaum.

Givon, T. 1984. Syntax: A Functional-Typological Introduction. Vol. 1. Amsterdam/ Philadelphia: John Benjamins.

Goddard, C. 1994. “Semantic Theory and Semantic Universal”. Dalam C. Goddard (ed.) 1996. Cross-Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach), 1—5. Canberra: Australian National University.

Goddard, C. 1996a. “Building a Universal Semantic Metalanguage: the Semantic Theory of Anna Wierzbicka”. Dalam C. Goddard (ed.) 1996. Cross-Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach), 24—37. Canberra: Australian National University.

Goddard, C. 1996b. “Grammatical Categories and Semantic Primes”. Dalam C. Goddard (ed.) 1996. Cross-Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach), 38—57. Canberra: Australian National University.

Goddard, C. 2006. “Semantic Molecules.” [dikutip 15 Oktober 2008] Tersedia dari: http://escape.library.uq.edu.au/eseru/UQ:12798/goddard_c_ALS 2006. pdf.

Leech, G. 1981. Semantics. England: Penguin Books.

Levin, B. 2007. ”The Lexical Semantics of Verbs III: Semantic Determinant of Argument Realization.” [dikutip 22 Oktober 2008] Tersedia dari: http://www.stanford.edu/~blevin/lsa07 semdet.pdf.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Moeliono, A.M. (ed). 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Mourelatos, A.P.D. 1981. “Event, Processes, and State”. Dalam Tedeschi dan Zaenen, ed. 1981.

Mulyadi. 1998. “Struktur Semantis Verba Bahasa Indonesia”. (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Shirai, Y. dan R.W. Andersen. 1995. “The Acquisition of Tense-Aspect Morphology: A Prototype Account”. Language, 71: 743—762.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Tampubolon, D.P., Abubakar, dan M. Sitorus. 1979. Tipe-Tipe Semantik Verba Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Page 67: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

❏ Mulyadi Kategori dan Peran Semantis Verba

Dalam Bahasa Indonesia

LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Halaman 65

Tampubolon, D.P. 1988. “Semantik sebagai Titik Tolak Analisis Linguistik". Dalam Dardjowidjojo, ed. 1988.

Van Valin, R. D. 2005. Exploring the Syntax-Semantics Interface. Cambridge: Cambridge University Press.

Van Valin, R. D. dan R. LaPolla. 1999. Syntax: Structure, Meaning, and Function. Cambridge: Cambridge University Press.

Wierzbicka, A. 1991. Cross-Cultural Pragmatics: The Semantics of Social Interaction. Berlin: Mouton de Gruyter.

Wierzbicka, A. 1992. Semantics, Culture, and Cognition. Oxford: Oxford University Press.

Wierzbicka, A. 1996. Semantics: Primes and Universals. Oxford: Oxford University Press.

Page 68: Bahasa Dan Sastra _Logat_ Vol_ 5 No_ 1 April 2009

Halaman 66

TENTANG PENULIS 1. I Made Netra

I Made Netra adalah dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Udayana. Dia menyelesaikan S-2 dalam bidang pragmatik tahun 2005 di Universitas Udayana. Selain terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian, dia juga rajin menulis artikel ilmiah dan menyajikan makalah dalam seminar linguistik. Saat ini I Made Netra adalah kandidat doktor etnopragmatik di Universitas Udayana.

2. Fajri Usman Fajri Usman lahir di Pasaman 5 April 1966. Dia adalah dosen di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Andalas. Gelar magister humaniora diraihnya di Universitas Udayana dengan membahas mantra dalam bahasa Minangkabau. Kini yang bersangkutan sedang menunggu ujian promosi doktor di Universitas Udayana dalam bidang linguistik kebudayaan.

3. Rumnasari K. Siregar

Rumnasari K. Siregar lahir di Medan, 16 Februari 1968, adalah dosen di Jurusan Akuntansi dan Perbankan Politeknik Negeri Medan. Dia aktif mengikuti kegiatan seminar dan pelatihan yang berbasis pada pengajaran bahasa. Kegiatan akademiknya yang lain ialah sebagai dosen luar biasa di Universitas Islam Sumatera Utara.

4. Ni Wayan Sartini Ni Wayan Sartini lahir di Denpasar, 11 Agustus 1964. Ia memperoleh gelar sarjana dan magister humaniora dari Universitas Udayana. Sebagai dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Ni Wayan Sartini rajin mempublikasikan artikelnya dalam jurnal nasional terakreditasi. Saat ini dia adalah kandidat doktor linguistik dari Universitas Udayana.

5. Ni Ketut Alit Ida Setianingsih Ni Ketut Alit Ida Setianingsih adalah dosen pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Udayana.

6. I Gst. Ngurah Parthama I Gst. Ngurah Parthama adalah dosen pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Udayana.

7. Abdurahman Adisaputera Abdurahman Adisaputera lahir di Stabat, 1 Oktober 1967. Kandidat doktor sosiolinguistik dari Universitas Udayana ini adalah dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Medan. Karya ilmiahnya telah dipublikasikan dalam berbagai jurnal dan seminar (nasional dan internasional). Karyanya yang mutakhir ialah ”Linguistik Fungsional Sistemik: Analisis Teks Materi Pembelajaran di Sekolah Dasar (SD) terbit di jurnal Logat (2008) dan ”Sosio-ekologis Melayu Langkat dan Pengaruhnya pada Sistem Kekerabatan” yang disajikan pada Seminar Nasional Bahasa Ibu II di Universitas Udayana (2009).

8. Mulyadi Mulyadi lahir di Tanjung Balai, 31 Juli 1964. Lektor Kepala di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU ini meraih magister humaniora dari Universitas Udayana (1998) dalam bidang Semantik. Ia kemudian mengikuti program doktor linguistik di Universitas Udayana Tahun 2007 dan kini sedang melaksanakan penelitian tentang semantik verba emosi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Asahan. Tulisannya yang terakhir ialah ”Simbolisme Bunyi dalam Bahasa Indonesia” (2008) terbit di jurnal Kajian Sastra (Universitas Diponegoro), ”Kealamiahan Proses Morfologis: Misteri dalam ”Kotak Pandora” (2008) di jurnal Linguistik Kultura (Universitas Andalas), dan ”Dari Gerakan ke Emosi: Metafora Emosi Bahasa Indoesia” (2009) dalam Seminar Nasional Bahasa Ibu II di Universitas Udayan