BAHAN.docx

77
Hidungku Selalu Tersumbat 1. Anatomi dan fsiologi hidung? disertai gambar berbagai penampang.lengkap ya!! 2.1.1 Anatomi hidung Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentan anatomi hidung. Anatomi dan fsiologis normal harus diketahui dan diingat kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fsiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan. (Soetjipto D & ardani !S,2""#$ 2.1.1.1 %mbriologi hidung erkembangan rongga hidung se'ara embriologi yang mendasari pembentukan anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. ertama, embrional bagia kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang berbeda kedua adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian berin)aginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka ( turbinate $, dan membentuk ronga* rongga yang disebut sebagai sinus. (alsh %, 2""2$ Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah +rontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah +rontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan, mendukung pembentukan ol+aktori. agian medial dan late akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung$. Septum nasal berasal dari pertumbuhan garis tengah posterior +rontonasal dan perluasan garis tengah mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.(alsh %, 2""2$ -etika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis a ial berbentuk lekukan bersatu membentuk tiga buah konka ( turbinate $. -etika kehamilan berusia sembilan minggu, mulailah terbentuk sinus maksilaris yang dia/ali o in)aginasi meatus media. Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus unsinatus dan bula ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus emilunaris. ada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel etmoidalis anterior yang berasal dari in)aginasi bag atap meatus media dan sel ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian da meatus superior. Dan akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu , dinding lateral hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas propors konka. Seluruh daerah sinus paranasal mun'ul dengan tingkatan yang berbeda sejak anak baru lahir, perkembangannya melalui tahapan yang spesifk. 0ang pertama berkembang adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, s+en dan sinus +rontal. (alsh %, 2""2$ 2.1.1.2 Anatomi hidung luar idung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. idung bagian lu menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas struktur hidung dibedakan atas tiga bagian yang paling atas kubah tulang yang tak dap digerakkan di ba/ahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling ba/ah adalah lobulus hidung yang mudah 1

Transcript of BAHAN.docx

Hidungku Selalu Tersumbat1. Anatomi dan fisiologi hidung? disertai gambar berbagai penampang.lengkap ya!!2.1.1 Anatomi hidung Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang anatomi hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan. (Soetjipto D & Wardani RS,2007) 2.1.1.1 Embriologi hidung Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari pembentukan anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama, embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang berbeda ; kedua adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka (turbinate), dan membentuk ronga-rongga yang disebut sebagai sinus. (Walsh WE, 2002) Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis tengah mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.(Walsh WE, 2002) Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu membentuk tiga buah konka (turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu, mulailah terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh invaginasi meatus media. Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus unsinatus dan bula ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus emilunaris. Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu , dinding lateral hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka. Seluruh daerah sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak anak baru lahir, perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang pertama berkembang adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan sinus frontal. (Walsh WE, 2002) 2.1.1.2 Anatomi hidung luar Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),4) ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

2.1.1.3 Anatomi hidung dalam Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997)

Gambar 2.1 Anatomi Hidung Dalam 2.1.1.3.1 Septum nasi Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007) 2.1.1.3.2 Kavum nasi Kavum nasi terdiri dari: Dasar hidung Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os palatum. . (Ballenger JJ,1994) Atap hidung Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. . (Ballenger JJ,1994) Dinding Lateral Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial. . (Ballenger JJ,1994) Konka Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum. (Ballenger JJ,1994) 2.1.1.3.3 Meatus superior Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa Universitas Sumatera Utara ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid. (Ballenger JJ,1994) 2.1.1.3.4 Meatus media Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007) 2.1.1.3.5 Meatus Inferior Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007) 2.1.1.3.6 Nares Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus. (Ballenger JJ,1994) Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007 ; Hilger PA,1997) Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet (Sobol SE, 2007). 2.1.1.4 Kompleks ostiomeatal (KOM) Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal. (Nizar NW, 2000 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007). Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media (Nizar NW, 2000). 2.1.1.5 Perdarahan hidung Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang cabang a.fasialis. (Soetjipto D & Wardani RS,2007) Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan hidung) terutama pada anak. (Soetjipto D & Wardani RS,2007) Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial. (Soetjipto D & Wardani RS,2007) 2.1.1.6 Persarafan hidung Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. (Soetjipto D & Wardani RS,2007) Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (Dhingra PL, 2007 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007

Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. (Ballenger JJ,1994; Heilger PA, 1997; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada atau di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber lender yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung. (Ballenger JJ,1994)

2.2.1 Embriologi sinus paranasal Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin berusia 2 bulan, resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium sinus. Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, saat itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar agak lebih rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) 2.2.2 Sinus maksila Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa. (Lund VJ,1997) Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun. (Ballenger JJ,1994; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) 2.2.3 Sinus frontal Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke emapat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang berhubungan dengan infundibulum etmoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) 2.2.4 Sinus etmoid Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior dan posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) 2.2.5 Sinus sfenoid Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak berhubungan dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya. (Ballenger JJ,1994) Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons. ( Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) Histology dari hidung ! STUKTUR HISTOLOGI HIDUNG Stuktur histologi hidung, terdiri atas : Jika dilihat pada mikroskop rongga hidung terdiri dari : Tulang Tulang rawan hialin Otot bercorak Jaringan ikat Kulit luar Hidung, secara mikroskopis nampak: Mempunyai lapisan sel yaitu Epitel berlapis gepeng denganlapisan tanduk Terdiri atas Rambut -rambut halus Mengandung Kelenjar sebasea dan kelenjarkeringat Vestibulum nasi Secara anatomiVestibulum nasimerupakan bagian dari cavum nasi yang terletak tepat di belakang nares anterior. Secara histologi, vestibulum nasi terdiri atas : Epitel berlapis gepeng Terdapat vibrissae yaitu rambut-rambut kasar yang berfungsi menyaring udara pernafasan Terdapat kelenjar sebasea dan kelenjar keringat Konka nasalis Secara anatomi Pada dinding lateral cavum nasi terdapat tiga tonjolan tulang disebut konka, dimana ada empat buah konka yaitu Konka nasalis superior yang tersusun atas epitel khusus, Konka nasalis media, Konka nasalis inferior dan konka nasalis suprema yang kemudian akan rudimenter. Konka nasalis superiortersusun atas epitel khusus yaitu epitel olfaktorius untuk penciuman Konka nasalis media dan Konka nasalis inferior dilapisi epitel bertingkat torak bersilia bersel goblet. Epitel yang melapisi konka nasalis inferior banyak terdapat plexus venosus yang disebut swell bodies yang berperan untuk menghangatkan udara yang melalui hidung. Bila alergi akan terjadi pembengkakan swell bodies yang abnormal pada kedua konka nasalis ,sehingga aliran udara yang masuk sangat terganggu. Dibawah konka inferior terdapat Plexus venosus berdinding tipis ,sehingga mudah perdarahan Mukosa Hidung Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologis dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Regio Respiratorius Tersusun atas Epitel bertingkat torak bersilia bersel goblet Silia berperan mendorong lendir kearah belakang yaitu nasofaring sehingga kemudian lendir tertelan atau dibatukkan Pada lamina propria Terdapat glandula nasalis yang merupakan kelenjar campur dimana Sekret kelenjar disini menjaga kelembaban kavum nasi dan menangkap partikel partikel debu yang halus dalam udara inspirasi Terdapat noduli limfatisi Lamina propria ini menjadi satu dengan periosteum / perikondrium (dinding konka nasalis) oleh karena itu membran mukosa di hidung sering disebut mukoperiosteum / mukoperikondrium / membrana Schneider Terdapat serat kolagen, serat elastin, limfosit, sel plasma , sel makrofag Jadi Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh Epitel bertingkat torak bersilia bersel goblet. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir pada permukaannya. Regio Olfaktorius Bagian dinding lateral atas dan atap posterior kavum nasi mengandung organ olfaktorius Pada konka nasalis superior terdapat epitel khusus / epitel olfaktorius yang terdapat pada pertengahan kavum nasi Daerah epitel olfaktorius ini mencakup 8 10 mm ke bawah pada tiap sisi septum nasi dan pada permukaan konka nasalis superior, dengan batas tidak teratur dan luas 500 mm2 dengan mukosa warna coklat kekuningan Tunika mukosa terdapat epitel olfaktoriusyang tersusun atasempat macam sel, yaitu Sel olfaktorius Terletak diantara sel basal dan sel penyokong Merupakan neuron bipolar dengan dendrit kepermukaan dan akson ke lamina propria Ujung dendrit menggelembung disebut vesikula olfaktorius Dari permukaan keluar 6 8 silia olfaktorius Akson tak bermyelin dan bergabung dengan akson reseptor lain di lamina propia membentuk Nervus Olfaktorius / N. II Sel sustentakuler / sel penyokong Bentuk sel silindris tinggi dengan bagian apex lebar dan bagian basal menyempit Inti lonjong Pada permukaan terdapat mikrovili Sitoplasma mempunyai granula kuning kecoklatan Sel basal Bentuk segitiga Inti lonjong Merupakan reserve cell / sel cadangan yang akan membentuk sel penyokong dan mungkin menjadi sel olfaktorius Sel sikat Sel yang mempunyai mikrovili di bagian apikal Lamina propria: Mempunyai banyak vena Mengandung kelenjar terutama jenis serosa / kelenjar Bowman,berperan untuk membasahi epitel dan silia, dan juga sebagai pelarut zat zat kimia yang dalam bentuk bau / dapat melarutkan bau-bauan2.3 Sistem Mukosiliar Hidung 2.3.1 Mukosa hidung Mukosa hidung terletak di dalam rongga hidung (kavum nasi). Luas permukaan kavum nasi sekitar 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas dua tipe yaitu mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). dan sebahagian besar mukosa pernafasan (mukosa respiratori) . Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak mukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel, membran basalis dan lamina propia. (Soetjipto D & Wardani RS,2007) Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel pada hidung dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel yaitu : Sel kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sal basal dan sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri atas dua tipe yaitu tipe olfaktorius dan sebahagian besar tipe respiratorius. Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak mukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel,membran basalis dan lamina propia( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997). Mukosa respiratori terdapat pada sebagian besar rongga hidung yang bervariasi sesuai dengan lokasi yang terbuka dan terlindung serta terdiri dari empat macam sel. Pertama sel torak berlapis semu bersilia (pseudostratified columnar epithelium) yang mempunyai 50-200 silia tiap selnya .Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energy utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat (yang mempunyai mikrovili). (Watelet, 2002). Epitel respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada daerah vestibulum nasi dan epitel transisional yang terletak persis di belakang vestibulum. Epitel yang terletak di daerah vestibulum nasi ini dilengkapi dengan rambut yang disebut vibrissae. Lanjutan epitel pipih berlapis pada vestibulum akan menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia terutama pada ujung anterior konka dan ujung septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi maka epitel akan berbentuk torak, bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada meatus media dan inferior yang terutama menangani udara ekspirasi silianya panjang dan tersusun rapi. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997 ; Watelet , 2002)

Pada sel torak yang bersilia maupun yang tidak bersilia terdapat mikrovili yang berjumlah lebih kurang 300-400 tiap selnya, dan jumlah ini bertambah ke arah nasofaring. Mikrovili berupa benjolan seperti jari yang kecil, pendek dan langsing pada permukaan sel yang menghadap ke lumen. Mikrovilli ini besarnya 1/3 silia dan mempunyai inti sentral dari filamen aktin. Mikrovili ini tidak bergerak dan fungsinya mungkin untuk promosi ion dan transportasi serta pengaturan cairan diantara sel-sel. Disamping itu juga memperluas permukaan sel ( Ballenger;1994; Waguespack,1995) Terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membrane sel. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia. Sel-sel basal berpotensi untuk menggantikan sel-sel bersilia atau sel-sel goblet yang telah mati. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997; Weir , 1997) Secara struktural susunan lapisan mukosa pada daerah yang lebih sering terkena aliran udara mukosanya akan lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel skuamosa. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah merah muda dan selalu basah karena dilapisi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. (Ballenger JJ,1994 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007)

Gambar mukosa hidungI. Lapisan Mukosa Hidung Ia. Sel bersilia Ib. Goblet sel Ic. Sel tidak bersilia Id. Sel basalis II. Lapisan sel radang (Sel plasma,limfosit dan eosinofil) III. Lapisan Kelenjar superfisial IV. Lapisan vaskular V. Lapisan kelenjar dalamMukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung, hanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan tunika propia yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat dengan ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir kearah hidung melalui ostium. Kelenjar mukosa juga banyak ditemukan didekat ostium (Ballenger;1994; Waguespack,1995 ; Levine,2002). Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan beberapa macam sel seperti makrofag dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang masuk kedalam jaringan ikat. Kelenjar ini memproduksi cairan mukos dan serosa dibawah kontrol saraf parasimpatis. (Ballenger;1994) 2.3.2 Sel goblet (kelenjar mukus) Sel goblet atau kelenjar mukus adalah sel tunggal yang pada pemeriksaan endoskopis tampak berbentuk piala. Sel ini menghasilkan komplek protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi didaerah konka inferior(11.000sel/mm2) dan terendah di septum nasi (5700 sel/mm2). Diantara semua sinus, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi. Selain itu sel goblet juga banyak dijumpai didaerah nasofaring (Ballenger;1994 ; Waguespack,1995; Levine,2002 ) 2.3.3 Silia hidung Pada sel epitel kolumner bersilia (sel epitel torak berlapis semu bersilia) memiliki mikrovilia dan silia dengan jumlah berkisar 300-400 mikrovili tiap selnya yang bertambah ke arah nasofaring, dan 50-200 silia tiap selnya. Silia merupakan struktur kecil menyerupai rambut , menonjol dari permukaan sel dan berperan dalam membersihkan kotoran dalam hidung . Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 50 - 200 buah tiap selnya. Panjang silia antara 5-7 m dengan diameter 0,3 m. Denyut silia kira-kira 9-15 Hz pada manusia, dengan beragam variasi pada mamalia. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing - masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastik yang disebut dengan neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya di bawah permukaan sel. Pada gambar 2.3 tampak anatomi molekuler silia. (Cohen NA. 2006 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007 ; Wilma T.2007 ; Ballenger JJ,1994) Silia bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian membengkok dan kembali tegak dengan lebih lambat dengan kecepatan pukulan silia kira-kira 700-1000 siklus permenit. Silia dapat bergerak akibat adanya energi berupa adenosine triphospat (ATP) yang menggerakkan tangkai dari silia. Gerak maju dan mundurnya silia disebut irama. Gerak silia terjadi 12 sampai 1400 kali/menit. Silia ini dapat terkoordinasi dengan baik, gerakannya dapat mengalirkan lapisan mukus yang menyelimutinya, yang di depan meneruskan beban yang disampaikan oleh silia-silia yang di belakangnya. Gerakan silia ini merupakan gerakan yang berkesinambungan bukan gerakan sinkron. Gerak silia, berdasarkan sejarahnya pertama kali diterangkan oleh Sharpey, pada tahun 1835, dalam penelitiannya tentang konsep pembersihan mukosiliar secara aktif dengan manfaat fisiologiknya terhadap hidung dan sinus paranasal. Kemudian dilajutkan oleh Hilding ,tahun 1932, dengan melakukan penelitian pada hewan anjing, terhadap pembersihan mukosiliar pada sinus yang juga memperlihatkan perbaikan mukosa hidung . Kemudian Sewall dan Boyden melanjutkan untuk mempelajari pentingnya lapisan mukosa terhadap tulang hidung. Dan berikutnya , Messerklinger memperkenalkan alat diagnostik, endoskopik nasal. Penemuannya ini adalah sebagai pendekatan sistemik yang pertama dalam mendiagnosa dan mengobati penyakit sinus yang mengalami inflamasi. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack R,1995 ; Cohen NA, 2006) Fungsi utama dari silia adalah membawa mukus kembali ke arah faring. Mukus hidung adalah berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang tertimbun dari udara inspirasi, juga untuk memindahkan panas; normalnya mukus menghangatkan udara inspirasi dan mendinginkan udara ekspirasi, serta melembabkan udara inspirasi dengan lebih dari dari satu liter uap setiap harinya. Namun, dengan jumlah uap demikian seringkali tidak memadai untuk melembabkan udara yang sangat kering yang dapat berakibat mengeringnya mukosa yang disertai berbagai gangguan hidung. Derajat kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada kelenjar seromukosa pada submukosa hidung. Silia dapat berdenyut berkisar antara 10-20 kali permenit pada temperatur tubuh. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack R,1995) Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. (Ballenger JJ,1994 ; Cohen NA.2006 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007 ; Wilma T.2007 ; Ballenger JJ,1994) Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar yang dikenal dengan konfigurasi 9+2. Maksudnya adalah ultra struktur silia dibentuk oleh 2 mikrotubulus sentral dan sebelah luarnya dikelilingi oleh 9 pasang mikrotubulus(outer double microtubulus). Pada outer double mikrotubulus ini dapat dibedakan menjadi subfibril A dan subfibril B . Subfibril A memiliki struktur dynein arms (lengan dynein) sedangkan subfibril B tidak. Pasangan mikrotubulus luar ini berhubungan dengan tubulus sentral melalui radial spokes (Lang,1989; Waguespack, 1995; McCaffrey,1997) Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber energinya adalah ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dynein yang menghubungkan mikrotubulus dengan pasangannya dan menimbulkan aksi-reaksi. Sedangkan antara pasangan yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan bahan elastik yang disebut neksin. (Ballenger;1994 ; Waguespack 1995 ; Cohen , 1996) Pola gerakan silia yaitu gerakan yang cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakkan lapisan ini. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1: 3 . Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino ( metachronical waves) pada satu area arahnya sama. (Ballenger;1994) 2.3.4 Palut lendir Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat. Lendir ini diproduksi oleh kelenjar mukus dan serous, terutama oleh sel-sel goblet pada mukosa. Pada keadaan sehat mempunyai PH 7 atau sedikit asam, dan lebih kurang komposisinya adalah 2,5-3% musin, garam 1-2% dan air 95%. Mukus ini juga mengandung IgA. Terdapat pada seluruh rongga hidung (kecuali vestibulum), sinus, telinga dan lainnya. Gerakan silia di bawahnya menggerakkan lapisan lendir ini, bersamaan dengan materi-materi asing yang terperangkap olehnya, secara berkesinambungan ke arah faring dan esophagus untuk kemudian ditelan atau dibatukkan. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan perisiliar, yang menyelimuti batang sillia, lebih tipis dan kurang lengket ; dan lapisan kedua terletak di atasnya adalah lapisan superfisial, Lapisan kedua terdapat diatasnya (superfisialis) terdapat lendir yang lebih kental yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang keseluruhan kedua lapisan ini dinamakan palut lendir. Lapisan perisiliar sangat berperan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini. . Secara keseluruhan kedua lapisan ini dinamakan palut lendir. (Ballenger JJ,1994 ; Lindberg, 1997 ; Sakakura, 1997 ; Waguespack R,1995) Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum dan protein sekresi dengan molekul yang lebih rendah. Lapisan ini sangat berperan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia didalam cairan ini. Keseimbangan cairan diatur oleh elektrolit . Penyerapan diatur oleh transpor aktif natrium (Na+) dan sekresi digerakkan oleh klorida(Cl-). Tingginya permukaan cairan perisiliar ditentukan oleh keseimbangan antara kedua elektrolit ini, dan derajat permukaan ini menentukan kekentalan palut lendir (Ballenger,1994; Weir,1994; Hilger 1997) Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung glikoprotein mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan atau bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aeosol yang terinhalasi, serta menginaktifkan virus yang terperangkap (Ballenger, 1994; Weir,1994; Waguespack,1995) Di cairan perisiliar penting adanya pengaturan interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transport mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk kedalam ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan cairan perisiliar, maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfisial yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali. Pada keadaan normal permukaan cairan perisiliar sedikit lebih rendah dibanding ujung silia. Kedua keadaan ini sangat mengganggu transport mukosiliar (Hilger, 1994; Weir,1995) Mukus yang berasal dari kelompok sinus anterior akan mengalir ke meatus medius untuk berfungsi sebagai pengatur kondisi udara yang utama(Ballenger , 1994; Sakakura ;1994) Silia pada sel epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus atau sel goblet dan palut lendir membentuk satu kesatuan sebagai sistem mekanisme pertahanan penting dalam sistem respiratori dikenal sebagai sistem mukosiliar. (Ballenger JJ,1994 ; Sakakura, 1997) 2.4 Transportasi mukosiliar Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan dirinya dengan cara mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut lender ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan local pada mukosa hidung. Transpor mukosiliar disebut juga clearance mucosiliar atau sistem pembersih mukosiliar sesungguhnya. (Ballenger JJ,1994 ; Waguespack R.1995 ; Sakakura, 1997 ; Huang HM. 2000) Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan, yaitu gerakan silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk menembus gumpalan mukus dan bergerak ke arah posterior bersama dengan materi asing yang terperangkap di dalamnya ke arah nasofaring. Aliran cairan pada sinus mengikuti pola tertentu. Transportasi mukosiliar pada sinus maksila berawal dari dasar yang kemudian menyebar ke seluruh dinding dan keluar ke ostium sinus alami. Kecepatan kerja pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur dengan menggunakan suatu partikel yang tidak larut dalam permukaan mukosa. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak bakteri . Enzim tersebut sangat mirip dengan immunoglobulin A (Ig A) , dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (IgG) dan Interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap ke arah faring. Cairan perisiliar yang di bawahnya akan di alirkan kea rah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosiliar yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lender akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Kecepatan dari TMS sangatlah bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara 1 sampai 20 mm / menit. (Ballenger JJ,1994 ; Sakakura, 1997 ;Nizar, 2000 ; Cohen ; 2006) Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit (Ballenger JJ,1994 ; Higler, 1997). Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan (Soetjipto D & Wardani RS,2007 ) Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda pada setiap bagian hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm / menit (Heilger PA , 1997)

regio olfacto

fisiologi dari hidung ! 2.1.2 Fisiologi hidung Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. (Soetjipto D & Wardani RS,2007) FISIOLOGI HIDUNG Secara fisiologis, hidung merupakan bagian dari traktus respiratorius, alat penghidu dan rongga-suara untuk berbicara. Dalam sistem pernapasan Inspirasi : Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk lewat saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara. Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang berfungsi menghangatkan udara yang masuk. Ekspirasi : udara dari koana akan naik setinggi konka media selanjutnya di depan memecah sebagian ke nares anterior dan sebagian kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring Untuk mekanisme pernapasan dapat di baca disini Resonansi suara : dimana Sumbatan hidung menyebabkan rinolalia (suara sengau) dan Membantu proses bicara dimana konsonan nasal (m, n, ng) sehingga rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara Refleks nasal : Pada mukosa hidung ada reseptor refleks yg berhubungan dengan sal cerna, kardiovaskuler, pernafasan : mis : iritasi mukosa hidung menyebabkan bersin dan nafas berhenti, bau tertentu menyebabkan sekresi kel liur, lambung dan pankreas. Mekanisme penciuman Di dalam rongga hidung terdapat selaput lendir yang mengandung sel- sel pembau. Pada sel-sel pembau terdapat ujung-ujung saraf pembau atau saraf kranial (nervus alfaktorius), yang selanjutnya akan bergabung membentuk serabut-serabut saraf pembau untuk menjalin dengan serabut-serabut otak (bulbus olfaktorius). Zat-zat kimia tertentu berupa gas atau uap masuk bersama udara inspirasi mencapai reseptor pembau. Zat ini dapat larut dalam lendir hidung, sehingga terjadi pengikatan zat dengan protein membran pada dendrit. Kemudian timbul impuls yang menjalar ke akson-akson. Beribu-ribu akson bergabung menjadi suatu bundel yang disebut saraf I otak (olfaktori). Saraf otak ke I ini menembus lamina cribosa tulang ethmoid masuk ke rongga hidung kemudian bersinaps dengan neuron-neuron tractus olfactorius dan impuls dijalarkan ke daerah pembau primer pada korteks otak untuk diinterpretasikan.

Fisiologi sinus paranasal Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam. Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka tidak memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dpatahkan oleh Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa, tidak memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu dan bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. (Passali ; Lund VJ.1997 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah : (1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) (2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators) Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)(3) Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) (4) Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) (5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) (6) Membantu produksi mukus. Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) 2. Mekanisme membau? Di dalam rongga hidung terdapat selaput lendir yang mengandung sel- sel pembau. Pada sel-sel pembau terdapat ujung-ujung saraf pembau atau saraf kranial (nervus alfaktorius), yang selanjutnya akan bergabung membentuk serabut-serabut saraf pembau untuk menjalin dengan serabut-serabut otak (bulbus olfaktorius). Zat-zat kimia tertentu berupa gas atau uap masuk bersama udara inspirasi mencapai reseptor pembau. Zat ini dapat larut dalam lendir hidung, sehingga terjadi pengikatan zat dengan protein membran pada dendrit. Kemudian timbul impuls yang menjalar ke akson-akson. Beribu-ribu akson bergabung menjadi suatu bundel yang disebut saraf I otak (olfaktori). Saraf otak ke I ini menembus lamina cribosa tulang ethmoid masuk ke rongga hidung kemudian bersinaps dengan neuron-neuron tractus olfactorius dan impuls dijalarkan ke daerah pembau primer pada korteks otak untuk diinterpretasikan.3. Mengapa hidung tersumbat makin lama makin berat sejak bekerja di meubel?Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari: 1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder. 2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier. 3. Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994). Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas: Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003). 4. Mengapa penderita mengeluh rhinore, bersin2, dan hidung gatal?Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).5. Mengapa penderita kurang bisa membau parfum bila aromanya tidak tajam?Sel penciuman adalah sel saraf bipolar yang terdapat di daerah yang terbentang di atas dari konka media sampai ke atap, dan daerah septum yang berhadapan. Akson dari sensosel dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang melalui lamina kribrosa ke dalam bulbus olfaktorius. Akson dari sel-sel ini membentuk traktus olfaktorius yang menuju ke otak.Indera penghidu/pembau yang merupakan fungsi saraf olfaktorius (N.I), sangat erat hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V), karena seringkali kedua sensoris ini bekerja bersama-sama. Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius dihidung bagian sepetiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fosa kranii anterior. Hilangnya fungsi pembauan dan/atau pengecapan dapat mengancam jiwa penderita karena penderita tak mampu mendeteksi asap saat kebakaran atau tidak dapat mengenali makanan yang telah basi. Karena sekitar 80% gangguan pengecapan merupakan kelainan pembauan yang sejati maka artikel ini terutama difokuskan pada fungsi pembauan dan penurunannya. Hasil survei tahun 1994 menunjukkan bahwa 2,7 juta penduduk dewasa Amerika menderita gangguan pembauan, sementara 1,1 juta dinyatakan menderita gangguan pengecapan. Penelitian yang dilakukan sebelumnya menemukan bahwa 66% penduduk merasakan bahwa mereka pernah mengalami penurunan ketajaman pembauan.Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius di hidung bagian sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fossa kranii anterior. Partikel bau dapat mencapai reseptor penghidu bila menarik napas dengan kuat atau partikel tersebut larut dalam lendir yang terdapat di daerah olfaktorius. Disebut hiposmia bila daya menghidu berkurang, anosmia bila daya menghidu hilang, dan disosmia bila terjadi perubahan persepsi penghidu. Disosmia terbagi lagi menjadi phantosmia (persepsi adanya bau tanpa ada stimulus) dan parosmia atau troposmia (perubahan persepsi terhadap bau dengan adanya stimulus).Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas rongga hidung di dekat cribiform plate, septum nasi superior dan dinding nasal superolateral. Struktur ini merupakan neuroepitelium pseudostratified khusus yang didalamnya terdapat reseptor olfaktorius utama. Pada neonatus, daerah ini merupakan suatu lembar neural yang padat, namun pada anak-anak dan dewasa terbentuk interdigitasi antara jaringan respiratorius dan olfaktorius. Dengan bertambahnya usia seseorang, jumlah neuron olfaktorius ini lambat laun akan berkurang. Selain neuron olfaktorius, epitel ini juga tersusun oleh sel-sel penopang yaitu duktus dan glandula Bowman yang sifatnya unik pada epitel olfaktorius dan sel basal yang berfungsi pada regenerasi epitel Sensasi pembauan diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh bahan-bahan kimia yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang terdapat dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup turbulen dan bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas stimulasi bau meliputi durasi, volume dan kecepatan menghirup. Tiap sel reseptor olfaktorius merupakan neuron bipolar sensorik utama. Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron olfaktorius bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak dibawahnya. Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari. Reseptor odorant termasuk bagian dari G-protein receptor superfamily yang berhubungan dengan adenilat siklase. Manusia memiliki beratus-ratus reseptor olfaktorius yang berbeda, namun tiap neuron hanya mengekspresikan satu tipe reseptor. Inilah yang mendasari dibuatnya peta pembauan (olfactory map). Neuron yang menyerupai reseptor yang terdapat di epitel mengirimkan akson yang kemudian menyatu dalam akson gabungan pada fila olfaktoria didalam epitel Aspek-aspek molekuler dari penciuman kini telah dipahami. Pada mammalia, kemungkinan ada 300-1000 gen reseptor penciuman yang termasuk dalam 20 keluarga yang berbeda yang terletak di berbagai kromosom dalam kelompok-kelompok. Gen-gen reseptor ditemukan pada lebih dari 25 lokasi kromosom manusia. Protein-protein reseptor penciuman adalah reseptor-reseptor tergabung protein G yang ditandai oleh keberadaan domain transmembran 7 alfa-helikal. Masing-masing neuron penciuman hanya mengekspresikan satu, atau paling banyak beberapa, gen reseptor, menjadi dasar molekuler untuk pembedaan bau. Maka sistem penciuman ditandai oleh tiga hal yang penting, yaitu:1) keluarga gen reseptor yang besar yang menunjukkan keberagaman yang sangat baik sehingga memungkinkan respon terhadap berbagai bau,2) protein-protein reseptor yang menunjukkan spesifitas yang hebat sehingga memungkinkan pembedaan bau, dan3) hubungan-hubungan bau disimpan dalam ingatan lama sesudah peristiwa terjadinya paparan dilupakan Gangguan pembauan dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di sepanjang jalur olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan pendengaran yaitu berupa defek konduktif atau sensorineural. Pada defek konduktif (transport) terjadi gangguan transmisi stimulus bau menuju neuroepitel olfaktorius. Pada defek sensorineural prosesnya melibatkan struktur saraf yang lebih sentral. Secara keseluruhan, penyebab defisit pembauan yang utama adalah penyakit pada rongga hidung dan/atau sinus, sebelum terjadinya infeksi saluran nafas atas karena virus; dan trauma kepala. Berikut adalah defek konduktif dari gangguan penciuman:1) Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan. Kelainannya meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika, akut, atau toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinus kronik menyebabkan penyakit mukosa yang progresif dan seringkali diikuti dengan penurunan fungsi pembauan meski telah dilakukan intervensi medis, alergis dan pembedahan secara agresif.2) Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi aliran odorant ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting papilloma, dan keganasan.3) Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat menyebabkan obstruksi.4) Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hiposmia karena berkurang atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan trakheotomi dan dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang tetap menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi, hal ini terjadi karena tidak adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini Sedangkan untuk defek sentral/sensorineural adalah sebagi berikut:1) Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada transmisi sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis (mempengaruhi stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis multipel.2) Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman syndrome ditandai oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur olfakorius dan hipogonadisme hipogonadotropik. Salahsatu penelitian juga menemukan bahwa pada Kallman syndrome tidak terbentuk VNO.3) Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada fungsi pembauan.4) Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat menyebabkan regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan anosmia.5) Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan sistemik atau inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyak obat-obatan dan senyawa yang dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin, bahan terlarut organik, dan pengolesan garam zink secara langsung.6) Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi pembauan.7) Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun. Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan saraf pusat.8) Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer disease, proses penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus Alzheimer disease, hilangnya fungsi pembauan kadang merupakan gejala pertama dari proses penyakitnya. Sejalan dengan proses penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat daripada fungsi pengecapan, dimana penurunannya nampak paling menonjol selama usia dekade ketujuh.Walau dahulu pernah dianggap sebagai defek konduktif murni akibat adanya edema mukosa dan pembentukan polip, rhinosinusitis kronik nampaknya juga menyebabkan kerusakan neuroepitel disertai hilangnya reseptor olfaktorius yang pemanen melalui upregulated apoptosis Sumber : Akil, M. Amsyar. 2007. Penghidu dan Pengecap. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/medhas/Microsoft% 0PowerPoint%20-%20Gangguan%20penghidu%20dan%20pengecapan.pdf. Anonym. 2006. Proses Penginderaan dan Persepsi. Universitas Gunadharma. http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/psikologi_umum_1/Bab_3.pdf

6. Mengapa penderita sering mengeluh keluar ingus kental dan berwarna kuning yg terasa mengalir ditenggorok dan disertai demam?Telah terjadi infeksi sekunder sehingga sekret yang biasanya berwarna putih berubah kenjadi hijau. Rinore yang hebat danbersifat mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangatbervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi. Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkandengan rinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya.1 Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok ( post nasal drip ).7. Apa hubungan pernah di diagnosa polip dg keluhannya sekarang?2.2 Definisi Polip nasi adalah suatu proses inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasi yang ditandai dengan adanya massa yang edematous pada rongga hidung (Erbek et al,2007). Polip nasi dapat pula didefinisikan sebagai kantong mukosa yang edema, jaringan fibrosus, pembuluh darah, sel-sel inflamasi dan kelenjar (Tos & Larsen,2001). Polip nasi muncul seperti anggur pada rongga hidung bagian atas, yang berasal dari dalam kompleks ostiomeatal. Polip nasi terdiri dari jaringan ikat longgar, edema, sel-sel inflamasi dan beberapa kelenjar dan kapiler dan ditutupi dengan berbagai jenis epitel, terutama epitel pernafasan pseudostratified dengan silia dan sel goblet (Fokkens et al,2007).

Gambar 3. Polip Nasi (Archer 2009)

2.4 Etiologi dan Patogenesis Banyak teori yang menyatakan bahwa polip merupakan manifestasi utama dari inflamasi kronis, oleh karena itu kondisi yang menyebabkan inflamasi kronis dapat menyebabkan polip nasi. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan polip nasi seperti alergi dan non alergi, sinusitis alergi jamur, intoleransi aspirin, asma, sindrom Churg-Strauss (demam, asma, vaskulitis eosinofilik, granuloma), fibrosis kistik, Primary ciliary dyskinesia, Kartagener syndrome (rinosinusitis kronis, bronkiektasis, situs inversus), dan Young syndrome (sinopulmonary disease, azoospermia, polip nasi) (Kirtreesakul 2002). Beberapa mekanisme lain terbentuknya polip nasi juga telah dikemukakan antara lain ketidak seimbangan vasomotor, gas NO, superantigen, gangguan transportasi ion transepitel, gangguan polisakarida, dan ruptur epitel (Assanasen 2001, Kirtreesakul 2002). Patogenesis polip nasi masih belum diketahui. Perkembangan polip telah dihubungkan dengan inflamasi kronik, disfungsi sistem saraf autonom dan predisposisi genetik. Berbagai keadaan telah dihubungkan dengan polip nasi, yang dibagi menjadi rinosinusitis kronik dengan polip nasi eosinofilik dan rinosinuritis kronik dengan polip nasi non eosinofilik, biasanya neutrofilik (Drake Lee,1997; Ferguson & Orlandi,2006; Mangunkusumo & Wardani 2007). Pada penelitian akhir-akhir ini dikatakan bahwa polip berasal dari adanya epitel mukosa yang rupture oleh karena trauma, infeksi, dan alergi yang menyebabkan edema mukosa, sehingga jaringan menjadi prolaps (King 1998). Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terisap oleh tekanan negatif sehingga mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari area yang sempit di kompleks ostiomeatal di meatus media. Walaupun demikian polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasi dan sering kali bilateral atau multiple (Nizar & Mangunkusumo 2001). 2.5 Gejala dan Tanda Gejala utama dari polip nasi adalah sumbatan hidung yang terus menerus namun dapat bervariasi tergantung dari lokasi polip. Pasien juga mengeluh keluar ingus encer dan post nasi drip. Anosmia dan hiposmia juga menjadi ciri dari polip nasi. Sakit kepala jarang terjadi pada polip nasi (Drake Lee 1997, Ferguson et al 2006). Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior dapat dijumpai massa polipoid, licin, berwarna pucat keabu-abuan yang kebanyakan berasal dari meatus media dan prolaps ke kavum nasi. Polip nasi tidak sensitif terhadap palpasi dan tidak mudah berdarah (Newton et al 2008). Pemeriksaan nasoendoskopi memberikan visualisasi yang baik terutama pada polip yang kecil di meatus media (Assanasen 2001). Penelitian Stamberger pada 200 pasien polip nasi yang telah dilakukan bedah sinus endoskopik fungsional ditemukan polip sebanyak 80% di mukosa meatus media, processus uncinatus dan infundibulum (Tos 2001). Stadium polip berdasarkan pemeriksaan nasoendoskopi menurut Mackay dan Lund dibagi menjadi stadium 0: tanpa polip, stadium 1: polip terbatas di meatus media, stadium 2: polip di bawah meatus media, stadium 3: polip masif (Assanasen 2001). Polip nasi hampir semuanya bilateral dan bila unilateral membutuhkan pemeriksaan histopatologi untuk menyingkirkan keganasan atau kondisi lain seperti papiloma inverted (Newton et al 2008). Pada pemeriksaan histopatologi, polip nasi ditandai dengan epitel kolumnar bersilia, penebalan dasar membran, stoma edematous tanpa vaskularisasi dan adanya infiltrasi sel plasma dan eosinofil. Eosinofil dijumpai sebanyak 85% pada polip dan sisanya merupakan neutrofil (Bernstein 2001, Bachert et al 2003, Newton et al 2008). Berdasarkan penemuan histopatologi, Hellquist HB mengklassifikasikan polip nasi menjadi 4 tipe yaitu : (I) Eosinophilic edematous type (stroma edematous dengan eosinofil yang banyak), (II) Chronic inflammatory or fibrotic type (mengandung banyak sel inflamasi terutama limfosit dan neutrofil dengan sedikit eosinofil), (III) Seromucinous gland type (tipe I+hiperplasia kelenjar seromucous), (IV) Atypical stromal type (Kirtsreesakul 2002, Kim 2002). 2.6 Diagnosis Diagnosis polip nasi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan rinoskopi anterior, pemeriksaan nasoendoskopi (Assanasen 2001, Ferguson et al 2006, Fokkens et al 2007). 2.7 Penatalaksanaan Polip nasi sangat mengganggu pada kebanyakan pasien. Penyakit ini sering berulang dan memerlukan pengobatan yang lama sampai bertahun-tahun. Dengan demikian pengobatannya bertujuan untuk mengurangi besarnya atau menghilangkan polip agar aliran udara hidung menjadi lapang dan penderita dapat bernafas dengan baik. Selanjutnya gejala-gejala rinitis dapat dihilangkan dan fungsi penciuman kembali normal. Terdapat beberapa pilihan pengobatan untuk polip nasi mulai dari pemberian obat-obatan, pembedahan konvensional sederhana dengan menggunakan snare polip sampai pada bedah endoskopi yang memakai alat lebih lengkap. Walaupun demikian, angka kekambuhan masih tetap tinggi sehingga memerlukan sejumlah operasi ulang (Munir 2006). Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medikamentosa. Dapat di berikan topikal atau sistemik. Polip eosinofilik memberikan respon yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasi dibandingkan polip tipe neutrofilik. Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah (Mangunkusumo, Wardani 2007). Penanganan polip nasi adalah obat-obatan, pembedahan atau kombinasi antara keduanya. Pembedahan merupakan pengangkatan polip dari rongga hidung atau pembedahan yang lebih ekstensif melibatkan sinus-sinus paranasal (Bateman 2003). Tujuan dari penanganan polip nasi adalah untuk mengeliminasi atau secara signifikan mengurangi ukuran polip nasi sehingga meredakan gejala hidung tersumbat, beringus, perbaikan dalam drainase sinus, restorasi penciuman dan pengecapan (Newton 2008).

8. Apa hub. Penderita riwayat hipertensi dan epistaksis dg keluhan?EPISTAKSISDefinisiEpistaxis adalah perdarahan dari cavum nasi, baik yang ke luar dari nares anterior ataunares posterior turun ke farynx dan dikeluarkan melalui mulut.EtiologiEpistaxis dapat ditimbulkan karena sebab-sebab lokal atau umum.a.Sebab lokal:1)Trauma, epistaxis dapat terjadi setelah suatu trauma ringan, misalnya karenamengorek-ngorek hidung, atau akibat dari trauma berat, misalnya terpukul,trauma kapitis karena sesuatu kecelakaan dan lain-lain.2)Infeksi, misalnya diphteria hidung, sinusitis akuta, rhinitis atrofika.3)Corpus allienum, misalnya terdapat lintah dalam cavum nasi.4)Tumor-tumor, yang terkenal dalam angiofibroma nasopharynx, haemangioma,tumor-tumor ganas baik dari dalam cavum nasi, sinus paranasalis atau darinasopharynx.5)Perubahan tekanan yang tiba-tiba, misalnya waktu menyelam.6)Idiopathic.7)Septum deviasi.b.Sebab-sebab umum:1)Peninggian tekanan arteri, misalnya pada hypertensi yang disebabkan olehberbagai keadaan, seperti arteriosclerosis, nepheritis kronika, kehamilan padatoxieosis gravidarum.2)Peninggian tekanan vena, seperti pada decompensatio cordia, penyakit paru-paru yang kronis dan pertusis.3)Penyakit-penyakit darah, seperti leukemia, haemophilia, sickless-cells anemia,defisiensi vitamin K dan C, thrombocytopenia purpura.4)Infeksi akut, misalnya typhoid fever, influenzae dan morbilli.5)Perubahan tekanan atmosfir yang tiba-tiba.6)Gangguan hormonal.Lokasi perdarahan/sumber perdarahanMenurut sumber perdarahan epistaxis dibagi dalam anterior bleeding danposterior bleeding.Anterior bleeding dapat berasal dari Plexus Kiesselbach (Littles area) dan daria. Ethmoidalais anterior. Plexus Kiesselbach merupakan sumber perdarahan yang paling sering, kira-kira 90% dari epistaxis bersumber dari tempat ini, terutama padaanak-anak dan biasanya dapat berhenti spontan (selflimiting) dan mudah diatasi.Posterior bleeding dapat berasal dari a. sphenopalatina dan a. ethmoidalisposterior, biasanya terjadi pada usia lanjut yang disertai dengan hypertensi,arteriosclrerosis atau pada penyakit cardiovaskuler. Posterior bleeding biasanya tidakberhenti spontan, perdarahan dapat hebat dan sumber perdarahan sukar dideteksisecara langsung, sehingga penanggulangannya pun juga lebih sukar.PenanggulanganPrinsip penanggulangan epistaxis adalah pertama-tama menghentikanperdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaxis. Untukmenghentikan perdarahan, suatu tindakan aktif perlu segera diambil, sepertipemasangan tampon dan kaustik, lebih dapat dipertanggungjawabkan dari pemberianobat-obat haemostatik sambil menunggu epistaxis berhenti.Sebelum kita membahas tindakan penanggulangan epistaxis secara sistematis,sebaiknya diketahui alat-alat apa yang diperlukan untuk menanggulanginya.1.Lampu kepala2.Spekulum hidung3.Bayonet pinset4.Alat pengisap (aspirator)5.Penekan lidah6.Kateter karet7.Pelilit kapas (cotton applicator)8.Lampu spiritus9.Kapas, kain kasa10.Tampon Bellocq.11.Boorzalf atau Bipp (Bisthmus iodine parafin paste).12.Xylocain 2% untuk topical anesthesi atau untuk spray.13.Sol. Adrenalin 0,001.14.Sol. Nitras argenti 20 30%.Kalau penderita epistaxis datang, maka penderita harus diperiksa dalamkeadaan duduk, kecuali penderita sangat lemah atau dalam keadaan shock.Sebelum kita mulai menanggulangi epistaxis sebaiknya si pemeriksa dan sipenderita dilindungi dengan pakaian khusus untuk menghindari dari percikan darah.Tindakan pertama adalah membersihkan bekuan darah dari dalam cavum nasiuntuk mencari sumber perdarahan, kalau ada aspirator pergunakanlah alat aspirato9. Mengapa keluhan hidung tersumbt dan bersin2 pagi hari?Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari: 1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder. 2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier. 3. Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.(Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).10. Bagaimana proses terbentuknya polip dan apa saja keluhan yg bisa ditimbulkan polip?Patogenesis polip nasi masih belum diketahui. Perkembangan polip telah dihubungkan dengan inflamasi kronik, disfungsi sistem saraf autonom dan predisposisi genetik. Berbagai keadaan telah dihubungkan dengan polip nasi, yang dibagi menjadi rinosinusitis kronik dengan polip nasi eosinofilik dan rinosinuritis kronik dengan polip nasi non eosinofilik, biasanya neutrofilik (Drake Lee,1997; Ferguson & Orlandi,2006; Mangunkusumo & Wardani 2007). Pada penelitian akhir-akhir ini dikatakan bahwa polip berasal dari adanya epitel mukosa yang rupture oleh karena trauma, infeksi, dan alergi yang menyebabkan edema mukosa, sehingga jaringan menjadi prolaps (King 1998). Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terisap oleh tekanan negatif sehingga mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari area yang sempit di kompleks ostiomeatal di meatus media. Walaupun demikian polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasi dan sering kali bilateral atau multiple (Nizar & Mangunkusumo 2001). Bagaimana patofisiologi atau proses terjadinya polip nasi?? Patogenesis polip hidung belum diketahui secara pasti. Terjadinya polip dihubungkan dengan adanya inflamasi kronis, kelainan sistem saraf otonom, dan predisposisi genetik. Teori-teori yang ada, pada umumnya beranggapan bahwa polip hidung merupakan hasil akhir inflamasi kronis. Oleh karena itu, kondisi-kondisi dengan inflamasi kronis dalam rongga hidung dapat memicu terjadinya polip hidung. Penelitian-penelitian pada umumnya menyatakan bahwa polip sangat berhubungan erat pada penyakit non-alergi dibandingkan penyakit alergi. Secara statistik, polip hidung lebih sering ditemukan pada penderita asma non-alergi (13%) dibandingkan dengan asma alergi (5%), dan hanya 05% dari 3000 individu atopic yang mempunyai p