Bahana Edisi Feb-Mar 2011

16
Sor- Kami Lagi Bukan Anggota Terbi 16 halaman No. 263 Tahun XXVII Edisi Februari-Maret 2011 FB; Bahana Mahasiswa Website; bahanamahasiswa.com

description

Bahana Edisi Feb-Mar 2011

Transcript of Bahana Edisi Feb-Mar 2011

Page 1: Bahana Edisi Feb-Mar 2011

Bahana Mahasiswa Edisi Februari-Maret 2011

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Riau Bahana Mahasiswa

Sor-Kami Lagi

Bukan Anggota

Terbi 16 halaman No. 263 Tahun XXVII Edisi Februari-Maret 2011FB; Bahana Mahasiswa Website; bahanamahasiswa.com

Page 2: Bahana Edisi Feb-Mar 2011

Edisi Februari-Maret 2011Bahana Mahasiswa

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Riau Bahana Mahasiswa

STT: Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No.1031/SK/Ditjen PPG/STT/1983. ISSN:0215 -7667 Penerbit: Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa UR. Penasehat: Prof. Dr Ashaluddin Jalil, M.S (Rektor Universitas Riau). Drs. Rahmat, MT (Pembantu Rektor III Universitas Riau).

Pemimpin Umum/Pemimpin Perusahaan: Lovina Pemimpin Redaksi/Redaktur Pelaksana: Aang Ananda Suherman Bendahara Umum/Sekretaris Umum: Erliana Litbang: Ahlul Fadli Redaktur: Erliana Reporter: Ahlul Fadli Fotografer: Ahlul Fadli Artistik/Lay Out/Ilustrator: Ari Mashuri MS

Sirkulasi:Ahlul Fadli Perpustakaan dan Dokumentasi dan Staf Iklan: Ahlul Fadli Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan: Kampus Universitas Riau Jl. Pattimura No.9 Pekanbaru 28131 Telp.(0761) 47577

Fax (0761) 36078. Dicetak pada: PT. Riau Pos Graindo Pekanbaru. Isi di luar tanggung jawab

FB: Bahana Mahasiswa

Edisi Februari-Maret 2011Bahana Mahasiswa 2

Terima kasih pada Bahana yang berse-dia memuat keluhan saya. Kepada Dekan dan Ketua Prodi Ilmu Pariwisata FISIP UR yang terhormat, saya mahasiswa Ilmu Pariwisata. Saya ingin bertanya tentang alokasi dana pengembangan pendidikan yang kami setor tiap semester. Surat edaran tentang rincian mata kuliah dan kegunaan biaya itu malah buat kami bin-gung. Selain itu, terlalu berat bagi kami untuk setor Rp 1 juta per semester. Belum lagi uang SPP, uang praktek guiding, uang KKN, yang juga harus kami pikirkan.

Saran saya, perlu pembahasan lebih lanjut antara dekan, prodi, dan

Kuliah Di Pariwisata Mahal

KEPALA Keamanan UR yang terhormat. Saya ingin bertanya, mengapa tak ada lagi pengaturan lalu lintas bagi mahasiswa yang melawan arus atau verboden. Ini bisa bikin mahasiswa jadi tak paham dan selalu langgar aturan. Saya juga berharap mahasiswa yang ngakunya intelektual harus sadar lalu lintas kalau tak ingin membahayakan orang lain. Terima kasih.

MNMahasiswa FMIPA UR

Verboden Dilanggar Terus

KEPADA kepala bagaian keuangan UR yang mengurus tabungan mahasiswa. Waktu saya ambil buku tabungan di fakultas, nama saya tidak ada. Padahal saya sudah daftar ke Bank BNI. Bagaimana solusinya? Mohon bantu-annya. Terima kasih.

FAMahasiswa FKIP UR

Tak Dapat Buku Tabungan

mahasiswa soal dana pengembangan pendidikan ini. Terima kasih.

Mahasiswi Pariwisata FISIP UR

Kirimkan saran dan kritik anda soal permasalahan di UR ke

FB; Bahana MahasiswaEmail; bahanamahasiswa@

yahoo.com

MAHASISWA dan tim perumus Statuta memang sedang ‘berperang’. Misi maha-siswa harus ada wakil mereka duduk di senat. Sedang tim perumus punya misi bertolak belakang. Berbagai alasan dikemukakan un-tuk menghapus mahasiswa dari kursi senat.

Alasan pertama, tidak ada universitas lain di seluruh Indonesia yang masih ada wakil mahasiswa. Tentu alasan ini tidak berdasar. Setiap universitas punya kebijakan masing-masing. Tak mesti ikut-ikutan bukan?

Ada yang bilang mahasiswa kurang pan-tas ikut pengukuhan guru besar dan wisuda. Masak mahasiswa mengukuhkan guru besar dan mewisuda mahasiswa lain yang sudah tamat? Sementara ia masih kuliah? Ini pun alasan tak berdasar. Tentu mahasiswa boleh ikut dalam pengukuhan guru besar dan wisuda. Siapa saja boleh ikut bukan? Orang tua, kakak, adik, saudara, kerabat, maupun pedagang serta penjual bunga, juga hadir saat moment wisuda.

Bila jadi anggota senat, mahasiswa dianggap terlibat politik praktis. Pemilihan rektor 2009 lalu dijadikan contoh. Saat itu Adi Hamdani memang tak terang-terangan menyatakan calon rektor pilihannya. Namun bukan berarti bisa dijustifikasi ia terlibat politik praktis? Saat itu, Adi berpegang pada asas luber dan jurdil.

Pada dasarnya, mahasiswa ingin aspirasi mereka tersalurkan di senat. Juga turut jadi salah satu pengambil kebijakan di kampus. Menurut mereka, jalannya, ya harus ada wakil mahasiswa yang duduk di senat. Solusi yang ditawarkan para anggota senat—pe-nyaluran aspirasi melalui Pembantu Rektor III—tak mereka setujui. Bagi mereka, PR III selama ini belum mewakili seluruh aspirasi mahasiswa.

Jurus andalan tim perumus Statuta dan para anggota senat: Pedoman Penyusunan Statuta dan Organisasi Perguruan Tinggi bikinan Biro Hukum dan Organisasi De-partemen Pendidikan Nasional. Prof. Aras Mulyadi, Pembantu Rektor I sekaligus Ketua Tim Perumus Statuta 2011 bilang, pedoman ini baru diperoleh akhir Maret 2011. Pedo-man secara tegas nyatakan tak ada wakil mahasiswa di senat.

Mahasiswa juga memprotes jurus ampuh ini. Mereka sebut ini hanya petunjuk teknis. Mereka tetap berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 pasal 41 ayat 3. Di sana memuat salah satu unsur anggota senat; unsur lain yang ditetapkan senat. Artinya semua keputusan ada di tangan senat, termasuk soal memasukkan wakil mahasiswa.

Pasalnya, PP Nomor 60 ini multitafsir. Pada pasal 30 ayat 3 dinyatakan anggota senat terdiri dari pimpinan UR, guru besar, dekan, dan wakil dosen di tiap fakultas. Tak ada unsur mahasiswa.

Dari semua perdebatan, satu hal krusial terabaikan. Tim perumus tak mencantum-kan pedoman Statuta baru itu dalam lan-dasan penyusunan Statuta UR 2011. Bila tim berkeras pedoman penyusunan milik Depdiknas itu dijadikan landasan utama

Peluang Masih Ada

KAMI kembali ke tangan pembaca. Meski terbit April, kami masih menyebut edisi Februari-Maret. Kami tentu akan terbitkan edisi April 2011. Rentang bulan-bulan itu, banyak momen sederhana, sampai penting yang Bahana lalui.

Pada Februari, Bahana dikunjungi Tekad. Tekad adalah tabloid mahasiswa milik Juru-san Ilmu Komunikasi FISIP UR. Banyak hal yang dibahas selama dua jam kunjungan Tekad. Salah satunya soal Forum Pers Maha-siswa (Fopersma) Riau. Aang Ananda Suher-man, Koordinator Fopersma Riau tawarkan Tekad untuk bergabung di Fopersma. “Kita ada evaluasi koran setiap kali masing-masing LPM cetak. Ada juga diskusi rutin tentang jurnalisme atau isu yang sedang hangat dibahas,” jelas Aang. Tekad welcome dengan ajakan Aang.

SELAIN Tekad, sebulan sebelumnya, Bahana disambangi LPM se-Sumatera. Ada 11 LPM dari Aceh, Medan, Padang, dan Lampung.

Mereka datang dalam rangka ikut workshop menulis Panjang, Dalam, dan Terasa di Training Center Sei Rokan, Kandis. Ini kerjasama Eka Tjipta Foundation dengan Bahana Mahasiswa. Selama seminggu (30/1-5/2), workshop di-ampu Andreas Harsono dari Pantau Jakarta dan Chik Rini dari WWF Aceh.

Minggu (6/2), sehari setelah workshop, Bahana adakan launching dan bedah buku ‘A9ama’ Saya Adalah Jurnalisme karya An-dreas Harsono di Perpustakaan Soeman HS Pekanbaru.

Mempertahankan Bahana tetap hidup diusia 26 tahun, tentu saja berada diantara proses: dialektika pemikiran perubahan, kerja-kerja kreatif, tentu saja ada suka-duka. Duka terbesar saat melihat budaya Tridarma Perguruan Tinggi tidak hidup dalam sebuah universitas, perlahan menjangkiti generasi Bahana. Senang, saat aktifitas kreatifitas baru muncul dari ruang redaksi; riset, wawancara, analisis dan menulis. Selebihnya, ya, belajar, belajar dan belajar, lalu bersikap!

Kalimat-kalimat itu jadi pembuka Lapo-ran Pertanggung Jawaban (LPJ) Made Ali. Ia bacakan LPJ selama dua tahun kepemim-pinannya. Hari itu, Ahad (3/4) Bahana adakan Musyawarah Tahunan (Mustah). Usai LPJ, dilanjutkan pemilihan tiga pemimpin Baha-na—Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi, dan Pemimpin Perusahaan. Lovina terpilih sebagai Pemimpin Umum dan Pemimpin Perusahaan, sedangkan Aang Ananda Suher-man terpilih sebagai Pemimpin Redaksi. “Se-lamat ya Moy (akrab Lovina dipanggil)…”

Sempena Mustah, sehari sebelumnya, Ba-hana bikin acara maraton. Temanya, Mengabdi Pada Masyarakat. Pagi diisi dengan launching buku Secuil Kisah 26 Alumni Bahana, launch-ing website Bahana www.bahanamahasiswa.com, serta diskusi New Media. Siangnya diskusi Fopersma Riau tentang elemen jurnalisme, dan malam diskusi HTI di Pulau Padang. Pada momen itu pula, LPM Aksara dari Universitas Muhammadiyah Riau (Umri) nyatakan kesediaannya bergabung dengan Fopersma Riau.

Pembaca setia,Edisi kali ini Bahana bikin liputan soal

Mengabdi Pada Masyarakat

Pembicara launching Pemateri pada diskusi ‘New Media’ Serah terima jabatan Pemimpin Umum Bahana

Website: www.bahanamahasiswa.comEmail: [email protected].

foto: Aang BM foto: Aang BM foto: Aang BM foto: Ahlul BM

Page 3: Bahana Edisi Feb-Mar 2011

Bahana Mahasiswa Edisi Februari-Maret 2011

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Riau Bahana Mahasiswa

Sempena

IKAR TELAH BIKINORANG t u - anya bangga. Ia jadi peserta terbaik

pada kejuaraan anggar tingkat nasi-onal di Samarinda, Kalimantan Timur, pertengahan Februari tahun lalu. Lebih ber-kesan lagi karena prestasi itu berhasil diraih bertepatan dengan hari ulang tahunnya.

Mohd. Zulfikar, nama lengkapnya, meng-geluti olahraga “elit” ini sejak kelas dua SMA. “Elit karena tak semua orang bisa mema-inkannya. Olahraganya juga latihan pedang. Unik,” kata Vikar.

Bukan satu kali itu Vikar peroleh prestasi dari anggar. Sejak 2007, sudah banyak ke-juaraan diraihnya. Tahun 2009 ia bawa pulang Emas Junior dan Senior di kejuaraan Bupati CUP Aceh Utara. Terakhir Desember 2010 lalu, ia dapat peringkat ke-13 pada kejuaraan inter-nasional South East Association Fencing Federation (SEAFF). “Tentu ini berkat Coach Yon Rizal juga,” katanya. Yon Rizal adalah pelatih anggar Vikar.

VIKAR BERASAL DARI KABUPATEN

Anggar Floret dari Vikar

Bengkalis. Lahir pada 16 Februari 1991. Masa kecil dilalui di kampung hala-mannya. Sekolah Dasar 055 Bengkalis, Madrasah Tsanawiyah (MTs) Bengkalis, lalu SMA Negeri 1 Bengkalis. Setelah lulus, lanjutkan studi ke Universitas Riau Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (Faperika).

Sejak kuliah, satu kekecewaan dira-sakan Vikar setiap kali ikut pertandingan anggar. Ia mengaku tak pernah dapat bantuan dana dari universitas, meski se-lalu bawa nama universitas tiap kali tand-ing. “Udah dua kali ajukan bantuan dana ke rektorat, tapi tak pernah dires-pon,” akunya. Jadi, selama ini ia hanya perolah dana dari Pemerintah Propinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten Beng-kalis bila ikut kejuaraan anggar.

Selain soal dana, kendala lain yang dirasakan Vikar soal izin kuliah. “Susah banget.” Satu kali ia minta izin ke dosen ingin berangkat tanding anggar. “Itu sih resiko kamu, kalau mau pergi ya pergi, kalau mau masuk silahkan. Saya tak ada

urusan,” ujarnya menirukan ucapan si dosen. Vikar kini bergabung di Holiday MTQ, se-

buah sanggar pelatihan anggar di Pekanbaru. Ia tengah sibuk persiapan untuk ikut Pekan Olah-raga Nasional (PON) 2012 di Riau. “Bebe-rapa bulan lagi ke Depok ikut pra-PON,” ujarnya.

SENI BELA DIRI ANGGAR GUNAKAN pedang. Bila dipadukan dengan gerak tipu olahraga gulat, menghasilkan gerakan ke depan (lunge). Ada tiga jenis senjata dalam anggar; floret, sabel, dan degen.

Floret digunakan untuk putra maupun putri. Bentuknya langsing, lentur dan ringan, ujung-nya datar atau bulat tumpul dan berpegas. Bila ditusukkan dapat naik atau turun. Pelindung tangannya kecil, cukup untuk melindungi bagian tangan saja. Bagian atas diberi isolasi. Bagian bawah senjata digunakan untuk menangkis dan menekan, bagian ujung untuk menusuk. Bidang sasaran yang harus diserang adalah bagian togok, yaitu dari pangkal paha ke atas sampai pangkal lengan dan leher.

Sabel khusus untuk putera. Bentuknya se-gitiga dengan sudut tidak tajam, seperti parang kecil atau tipis, makin ke atas makin pipih dengan ujung ditekuk, supaya tidak runcing. Dengan pelindung tangan penuh menutupi seluruh tangan sampai pangkal tangkai. Bagian bawah digunakan untuk menangkis dan bagian atas untuk memarang, sedang ujungnya digunakan untuk menusuk. Bidang sasaran yang diserang mulai dari panggul ke atas sampai kepala dan seluruh lengan.

Degen juga khusus putera. Bentuknya segi-tiga berparit yang digunakan untuk memasang kabel, pada pangkal tebal sampai ke ujung makin kecil, namun kuat agak kaku. Ujungnya datar bersih serta berpegas yang berfungsi sebagai tombol pada waktu menusuk. Pelindung tangan-nya besar. Bila ingin menangkis gunakan bagian bawah degen, kalau ingin menusuk gunakan bagian ujungnya. Ia bisa menyerang seluruh tubuh, mulai dari ujung kaki sampai kepala serta seluruh tangan.

Vikar biasanya pakai senjata floret, atau biasa disebut foil. “Seninya lebih banyak. Kuncinya kesabaran dan kecepatan,” tutupnya. ***

Oleh Erliana

Seninya lebih banyak. Kuncinya kesabaran dan ke-

cepatan.

Istimewa

Mohd. Zulfikar

UnriDisini,Di sudut hati aku mengucapDi balik rindu aku berkhayalDi pelana rindu aku berharap Di bawah sayapmu aku bernaung.

Unri, Dengarkanlah aku walau sedetik waktuPahami aku walau sekejap berlaluTemani aku dan tetap dengankuAku ingin mencurahkan sejuta rasa

dan warna di hatikuAku ingin bercerita tentang mimpi

kepadamu.

Unri,Biarkan aku tertidur di pelukanmuBermimpi dan memejamkan mata

sejenak untuk melihat hari esokMembunuh kegelapan malam dan

menyambut kesejukan pagiku.

Unri,Temani aku mengayuh cobaan dalam

gemuruh hidupKarena kamu yang telah mem-

perkenalkan hidup kepadaku.

Khoirul Amru NstTeknik kimia UR 2010

Minoritas dan Realita Ke-nyataan

“Mari bergabung! Mari memban-gun!”

Entah kepada siapaSatu seruan tanpa balasan

Entah berapa seruanSatu visi tanpa sambutan

Pandang keluar... orang membangunLihat kesana...semua bersatu.

“Akan apakah kita hari ini?”Hari ini untuk besok

Tanpa kenyataan pastiHanya rencana panjang tak berujungTak bertepi tergores di bawah kertas

Sadar tapi tak bergerakTahu diri tapi tak ada niat berubah.

“1, 2, 3, 4, 5...” di siniDi sana “50, 51, 52... 1000”

Seakan takdir memutus fatwaMinoritas miskin rupa

Minoritas miskin cara, miskin hati.

“Tak jelas” Hancur!!!!Ya! Selamanya tak jelas

Jika yang bernyawa tak mem-perjelas...

Bruk...!!! Atap minoritas ambruk, rubuh…

Tak bertuan.Nitasumiati

Page 4: Bahana Edisi Feb-Mar 2011

Edisi Februari-Maret 2011Bahana Mahasiswa

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Riau Bahana Mahasiswa

Karikatur Edisi 1-15 Mei 2010Bahana Mahasiswa 4

RAPAT MULAI TELAT. Sekitar pukul 22.00 Adi Hamdani, Katua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Riau (UR), sampaikan tujuan rapat. Malam itu, 4 April 2011, untuk kesekian kalinya BEM UR agen-dakan pertemuan guna bahas draf Statuta UR 2011; tentang hilangnya perwakilan ma-hasiswa—BEM—di senat. Menurut Adi, 7 April akan digelar rapat senat. Salah satunya pembahasan Statuta.

Beberapa BEM fakultas hadir; ada BEM FISIP, Faperta, Faperika, FKIP. Juga per-wakilan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) universitas. “Hari Kamis, 7 April 2011, senat akan rapat,” kata Adi. Berrjalan waktu, pembahasan mengerucut untuk bentuk aksi penolakan. Semua sepakat, dibawah koman-do BEM UR, akan lakukan aksi pada hari Rabu dan Kamis, 6 dan 7 April 2011. Nofri Andri Yulan, pengurus BEM UR dipercaya jadi koordinator lapangan. 15 menit sebelum pukul 00.00 rapat bubar.

FEBRUARI 2011. UR lakukan Musyawarah Perencanaan dan Pengembangan (Musren-bang). Adi tak hadir. “Tak ada undangan.” Pembahasan draf Statuta UR 2011, di kalangan kelembagaan mahasiswa, mulai diperbicangkan. “Saya tahu usai Musren-bang. Ternyata draf Statuta yang baru tak me-masukkan perwakilan mahasiswa lagi,” kata Adi. Adi segera telusuri. Ternyata benar. Menurut Adi, pada rapat senat akhir 2010, Rektor sampaikan pada tim perumus agar statuta cepat dibahas.

BEM UR segera lakukan rapat antar kelembagaan. Pada 3 Maret 2011, pemba-hasan digelar. Rapat itu diwarnai perkataan, “Kalau begini kita seperti sudah dikang-kangi.” Ada juga yang katakan harus lakukan aksi. Forum bersepakat akan lakukan kajian akademis. “Ok, nanti kita akan hadirkan dosen hukum yang mengerti soal aturan, kita akan kaji apakah mutlak mahasiswa harus keluar dari anggota senat,” kata Adi.

Rapat kembali berlanjut. 12 Maret 2011, ditaja di Saung samping jembatan Kupu-ku-pu. Hadir saat itu BEM UR, FISIP, FMIPA, Faperika, dan dua UKM; Bahana Mahasiswa dan Ar-Royan. Beberapa kesepakatan diam-bil. Seperti akan dilakukan kajian hukum soal Statuta dan digelarnya mimbar bebas sembari pengumpulan tanda tangan di jalan simpang tiga samping UP2B.

Senin, 14 Maret 2011. Masih pagi. Berdiri tenda di jalan samping UP2B dengan hiasan

spanduk bertuliskan ‘Jangan Remehkan Maha-siswa’ atau ‘STOP pengkerdilan mahasiswa’. Hari itu BEM UR lakukan mimbar bebas. Selain pengurus BEM UR, Dian Wahyudi, Ketua BEM FISIP, lakukan orasi.

“Kita kembali diremehkan kawan-kawan. Demokrasi tidak berlaku lagi di Unri ini, dan kita sebagai mahasiswa apakah hanya bisa diam kawan-kawan?” “Kalau tidak, kita tuntut Rektor kawan-kawan, yang mengam-bil kebi-jakan, yang telah melakukan tindak tirani,” kata Dian dengan pengeras suara.

Sembari silih ganti orasi, satu persatu mahasiswa singgah dan bubuhkan tanda tan-gan. Ada sekedar tanda tangan, ada juga yang tuliskan komentar singkat; g’ ada mahasiswa, g’ ada universitas. Bukan cuma objek, tapi kami juga punya hak. Rektor hanya bisa umbar janji tapi hasilnya NOL!!! . senat merupakan amanah penghianat mahasiswa. Jangan abaikan kami, kami bukan bang TOYIB. SE: Seharusnya, NA: nasib mahasiswa lebih T: terpikirkan oleh rektor.

Pembahasan soal dihapusnya mahasiswa sebagai perwakilan senat pada draft statuta, kembali berlanjut. Kali ini BEM FISIP fasilitasi pertemuan di aula dekanat FISIP lantai 2. Pukul 10.00 diskusi dimulai. Sayang hanya dua BEM fakultas yang hadir: FISIP dan Faperika. “Sebenarnya ini penting untuk BEM, tapi kondisinya begini,” kata Dian.

Diskusi itu menghadirkan Isril, Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP UR. Saat itu, ia bilang, memang tak tegas menyatakan ma-hasiswa harus keluar dari keanggotaan senat. “Dulu karena dinamika yang ada, akhirnya mahasiswa masuk, sekarang tergan-tung din-amika,” kata Isril, sekretaris senat UR tahun 2003. Tapi baru-baru ini, setelah keluarnya Pedoman Penyusunan Statuta dan Organisasi Perguruan Tinggi buatan Biro Hukum dan Organisasi Departemen Pen-didikan Nasi-onal tahun 2011, “Kondisinya juga tak bisa disamakan dengan sekarang.”

Hasil diskusi hari itu, mahasiswa optimis untuk perjuangkan mahasiswa untuk masuk senat kembali. Usai makan siang, kembali di-lakukan pertemuan. Kesepakatannya diben-tuk tim 9, meliputi Ketua BEM se Fakultas. Pertemuan berikutnya, 18 Maret 2011, ditaja di Bahana. Kembali, tak semua BEM yang ha-dir. Hanya tiga BEM; FISIP, Faperta, dan FT. tambah BEM UR. “Ini susahnya kita,” kata Adi. Rapat berlangsung dua jam. Hasilnya akan dibikin pernyataan sikap menuntut agar mahasiswa tetap jadi anggota senat.

Pada 4 April 2011, BEM sebar surat pernyataan sikap ke tiap lembaga mahasiswa.

Adi Hamdani, Ketua BEM UR

Menolak ‘Keluar’

‘Hilangnya’ perwakilan mahasiswa—BEM—dari keanggotaan senat buat mahasiswa meradang. Sempat

dua kali aksi di rektorat.

Oleh Aang Ananda Suherman

Takutnya mahasiswa demo karena tidak ada yang menga-komodir. Apa lagi ada isu kenaikan uang kuliah, bisa jadi

mahasiswa turun dan aksi. Dan kawan-kawan sudah sepak-at ini harus diperjuangkan sampai akhir apa pun caranya

kita lakukan

“Foto: Aang BM

Page 5: Bahana Edisi Feb-Mar 2011

Bahana Mahasiswa Edisi Februari-Maret 2011

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Riau Bahana Mahasiswa

5Bahana Mahasiswa Edisi 1-15 Mei 2010

Bahana juga terima surat itu. Isinya meminta agar senat perwakilan mahasiswa (BEM) tetap ada dan disahkan jadi anggota senat.

NOFRI ANDRI YULAN, sibuk pagi itu, 6 April 2011. Jalan depan BEM UR ditutup. Alasannya, agar mahasiswa yang lewat, ikut bergabung dalam aksi. Sesuai kesepakatan rapat 3 April, aksi akan digelar di Rektorat. Pagi itu massa aksi sekitar 50 orang. Pukul 10.15 mereka jalan dari sekretariat BEM ke rektorat. Sampai di rektorat, security sudah berdiri berjajar di depan. Mereka diketuai Suko.

Di bawah komando Yulan, mereka menuntut mahasiswa mesti masuk ang-gota senat. Mereka berorasi. Beberapa tim ne-gosiator melobi Suko untuk memanggil Aras Mulyadi, Ketua tim perumus Statuta, Usman Tang, dan tim perumus. Di sela-sela itu, mahasiswa terus berorasi. Andri dari FISIP bacakan puisi. Dia tiba-tiba masuk ke dalam gedung rektorat. Itu membuat secu-rity bereaksi dan menghalang-halangi Andri masuk. Andri terus bacakan puisi dengan lantang. Setelah itu, mereka terus berorasi.

“Siapa lagi yang akan menyuarakan ini kalau tidak mahasiswa? Para anggota senat lain saya yakin mereka sibuk dan tidak ada waktu untuk mengurus beginian,” kata Adi Hamdani lantang. “Kebijakan rektorat tidak

pernah berpihak pada mahasiswa.” Hampir dua jam berorasi, beberapa

orang tim perumus turun menemui maha-siswa. Ada Usman Tang, Aras Mulyadi, dan Dodi Haryono. Aras, saat itu jawab bahwa berdasarkan pedoman penyusunan statuta bahwa tidak ada mahasiswa masuk dalam keanggotaan senat. Senat hanya mengurus soal akademis. Aras jelaskan aturan itu masih baru, baru didapat oleh PR II pada tanggal 26 Maret 2011 saat ia menghadiri pertemuan di Aceh.

Seorang massa aksi bertanya, “Bagaimana salurkan semua aspirasi mahasiswa? Semen-tara mahasiswa yang tahu kondisi riil di lapangan tak duduk di senat?” Dijawab Aras Mulyadi dan ditegaskan Usman Tang bisa melalui PR III. “Semua tergantung komu-nikasi antara mahasiswa dan PR III,” kata Usman Tang. Terakhir, Age Pranata, Wakil Ketua BEM UR, “Apakah mungkin, pada draf itu mahasiswa masuk?” “Ini bukan hasil final, nanti akan ditentukan lagi di senat, dan keputusan final ada di tangan Mendiknas. Dia yang mengesahkan draft statuta,” kata Aras. Aksi selesai dan mahasiswa membubarkan diri. Mereka berjanji akan datang lagi esok hari dengan membawa massa lebih besar.

ESOK HARINYA, Kamis 7 April 2011. Tepat sidang senat universitas, mahasis-wa

kembali aksi di rek-torat. Sesuai kata Adi, hari itu rapat se-nat. Agenda senat saat itu salah satunya pem-bahasan draft Statuta. Pukul 10.15 mahasis-wa jalan ke rektorat. Yulan, kembali pim-pin massa.

Begitu sampai , mereka langsung ora-si bergantian. Makin lama jumlahnya makin ramai. Satu per satu mahasiswa datang dan bergabung. Jumlah-

nya dua kali lipat massa sebelumnya. Sambil berorasi, mereka satu langkah demi satu langkah maju ke depan. Security dan Menwa berdiri berjajar meng-hadap massa aksi. Se-makin lama mahasiswa dan security semakin dempet. Suasana se-makin panas. Massa aksi mendesak untuk masuk ke dalam gedung rektorat.

Pukul 11.15 massa aksi putuskan untuk masuk. Terjadi aksi dorong-dorongan antar mahasiswa dan security serta Menwa. Security dan Menwa halangi massa aksi masuk ke dalam. Jumlah security dan Menwa yang tak seimbang dengan mahasiswa, memaksa se-bagian massa di bagian depan berhasil masuk ke dalam gedung. Aksi dorong-dorongan ini sebabkan pintu masuk, terbuat dari kaca, retak. Melihat itu, massa aksi mundur.

PR III datang menenangkan mahasiswa yang dianggapnya mulai anarkis. Debat ter-jadi bersama PR III. Pukul 11.30. Mahasiswa ngotot tetap ingin masuk. Mereka berjanji tidak akan bertindak anarkis. PR III bersik-eras tidak izinkan mereka masuk. Alasannya, pasti akan anarkis. Ia tak percaya mahasiswa seramai itu tidak anarkis bila sudah di dalam. “Buktinya saja pintu ini sudah pecah kok,” kata Rahmad. Sementara itu massa aksi mulai panas dan situasi makin kacau. Korlap sibuk tenangkan massa.

PR III lalu bertanya, siapa yang bersedia bertanggung jawab kalau masuk tidak akan anarkis? Ia minta satu orang bersedia ber-tanggung jawab. Remon bersedia bertang-gung jawab. PR III tetap ngotot tidak mau. Ia lalu pergi ke barisan belakang massa dan duduk di dekat tiang bangunan. Remon ambil alih massa. “Saya pikir kita sudah deal dengan PR III,” katanya. Ia mengarahkan massa un-tuk baris dua berbanjar dan masuk dengan tertib. Pukul 11.45 massa masuk ke dalam gedung dan menuju lantai empat gedung rektorat, tempat sidang senat pembahasan Statuta sedang berlangsung.

Begitu sampai lantai empat, ruang senat sudah kosong. Rapat sudah selesai. Seratusan massa aksi duduk berjejer di lantai empat. Adi Hamdani beri informasi soal sidang senat. “Rapat tadi ditutup. Belum ada kesepakatan

perwakilan mahasiswa masuk atau tidak se-bagai anggota senat. Draft ini akan dibahas lagi dalam pertemuan se-lanjutnya.” Massa aksi lalu bubar.

BEM UR kembali adakan rapat soal statuta, 11 April 2011. Kali ini di sekre UKMI Al-Mizan FH. Lagi-lagi tak semua BEM fakultas yang hadir. “Ini harus kita evaluasi,” kata Dian. “Katanya tak sepakat kita keluar dari senat, tapi melihat komit-men kawan-kawan BEM fakultas begini, kita terima sajalah.”

Menurut catatan Bahana, BEM FISIP yang intens hadir tiap rapat pembahasan ke-luarnya senat mahasiswa dalam draf statuta UR 2011. Dan tak pernah sama sekali semua BEM fakultas kumpul bahas soal ini.

MENURUT ADI, jika hasilnya maha-siswa tetap keluar dari anggota senat, aspirasi mahaiswa tak terakomodir lagi. Jika, kata Adi, pengambilan keputusan tentang mahasiswa tak libatkan senat mahasiswa, “Takutnya mahasiswa demo karena tidak ada yang mengakomodir. Apa lagi ada isu kenaikan uang kuliah, bisa jadi mahasiswa turun dan aksi. Dan kawan-kawan sudah sepakat ini harus diperjuangkan sampai akhir apa pun caranya kita lakukan.”

Ambil kebijakan, kata Dian, perlu dari berbagai perspektif. “Salah satunya dari mahasiswa, karena sebagai pelaku.” Dian inginkan mahasiswa tak hanya jadi objek, karena bagian civitas akademika, Intinya mahasiswa dan dosen harus terlibat dalam pengambilan kebijakan di senat. “Hanya un-tuk pengambilan kebijakan. Untuk yu-disium, wisuda dan pengukuhan guru besar, tak usah dilibatkan,” kata Dian.

Hamdani, Ketua BEM UR tahun 2004, menilai ini model NKK/BKK gaya baru. “Ini harus diperjuangkan di forum BEM tingkat nasional, karena yang memutuskan adalah Menteri, “Itu harus dilakukan aksi di pusat.” lovina, erli

PENJELASAN--Aras Mulyadi didampingi Usman Tang beri penjelasan di tengah aksi mahasiswa

BERI KOMANDO--Yulan, Koordinator Lapangan beri komando sebelum massa aksi tuju rektorat.

Kaca pecah saat aksi

Foto: Erli BM

Foto

: Erli

BM

Page 6: Bahana Edisi Feb-Mar 2011

Edisi Februari-Maret 2011Bahana Mahasiswa

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Riau Bahana Mahasiswa

Edisi 1-15 Mei 2010Bahana Mahasiswa 6

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA adan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unversi-tas Riau (UR) intens koordinasi dengan lem-baga mahasiswa se-UR dua bulan terakhir. Dari catatan Bahana, kru Bahana menghadiri enam kali rapat koordinasi atas undangan BEM UR. Tanggal 12 Maret di Saung UR (pondokan di bawah jembatan kupu-kupu), 17 Maret di gedung FISIP UR, 18 Maret di sekretariat Bahana, 4 dan 7 April di BEM UR, serta 11 April di sekre UKMI Al- Mizan FH UR. Semua rapat membahas soal Statuta UR—pedoman dasar penyelenggaraan ke-giatan di UR. Ia merupakan acuan dasar dalam membuat peraturan umum, peraturan akademik, dan prosedur operasional yang berlaku di UR.

Statuta Universitas Riau harus disahkan tahun ini. Tim perumus Statuta sudah bekerja sejak Agustus tahun lalu, beberapa saat se-belum bulan puasa. Tim diketuai Prof. Aras Mulyadi, Pembantu Rektor I UR. Ia dibantu

sekitar 30 anggota, terdiri atas dua dosen di tiap fakultas ditambah perwakilan di tiap biro universitas. “Tim ini dibentuk rektor,” kata Prof. Aras. Kerja mereka merumuskan isi Statuta, disampaikan ke fakultas, lalu dibawa ke rapat senat universitas. Dua kali pem-bahasan di senat universitas, namun belum final. Anggota tim lalu ditambah dekan tiap fakultas. Hasil rumusan 30 anggota beserta para dekan ini dibawa lagi ke rapat senat 7 April lalu. Ternyata belum final juga. Rektor putuskan Statuta dirumuskan ulang dan diba-has kembali pada rapat senat bulan depan.

Menurut Prof. Adel Zamri, dekan FMIPA UR, ada beberapa hal dalam Statuta yang getol diperdebatkan pada rapat senat universitas. Di antaranya menyangkut Organisasi dan Tata Kerja, syarat jadi dekan, hingga keanggotaan senat. Hal terakhir ini jadi fokus bahasan tiap kali pertemuan lembaga mahasiswa yang digagas BEM UR.Perwakilan

mahasiswa di senat universitas—sudah delapan tahun ada—akan dihilangkan. Ia secara gamblang diatur dalam pasal 16 ayat dua draft Statuta 2011, “Anggota senat UR terdiri atas para dosen tetap berjabatan guru besar, pimpinan UR, para dekan, dan dua orang wakil dosen tetap dari masing-masing fakultas.”

Pembuatan Statuta oleh tim perumus didasarkan pada pasal 100 Peraturan Peme-rintah Nomor 60 tahun 1999 tentang Pen-didikan Tinggi. Ia tertulis jelas pada poin “menimbang” dalam draft Statuta. Pasal 100 itu menyatakan susunan organisasi per-guruan tinggi wajib berpedoman pada bab VIII PP Nomor 60 ini.

Bab VIII ini menjadi inti perdebatan mahasiswa dengan tim perumus Statuta. Mahasiswa ngotot tetap duduk di senat uni-versitas. Sedang tim perumus tetap kekeuh tak masukkan unsur mahasiswa sebagai anggota senat. Meski saling kontra, mereka

sama-sama berpedoman pada bab VIII PP Nomor 60 tahun 1999.

Namun tim perumus mengacu pada pasal 30 ayat 3. Di sana tertulis, “Senat perguruan tinggi terdiri atas guru besar, pimpinan pergu-ruan tinggi, dekan, dan wakil dosen.” “Tidak ada unsur mahasiswa kan? Karena itu kita tak masukkan mahasiswa, juga pegawai,” kata Prof. Usman Tang, salah seorang anggota tim perumus bagian notulensi.

Mahasiswa tak mau kalah argumen. “Pada pasal 41 ayat 3 ada kalimat “unsur lain yang ditetapkan senat”. Artinya, kebijakan mema-sukkan mahasiswa atau tidak, diputuskan oleh senat universitas. Ini jadi pegangan kita,” tegas Adi Hamdani, Ketua BEM UR. Lengkapnya pasal itu berbunyi, “Senat uni-versitas/institut terdiri atas para guru besar, pimpinan universitas/institut, para dekan, wakil dosen, dan unsur lain yang ditetapkan senat.” Menurut Adi, mahasiswa harus duduk di senat agar semua aspirasi bisa tersampai-

Pedoman penyususnan Statuta 2011 mengatur senat hanya mengurus soal akademis. Ia juga menghilangkan unsur mahasiswa

di senat.

Oleh Lovina

Pedoman Terbit, Mahasiswa Hilang

KECEWA--Masa aksi penolakan dikeluarkannya mahasiswa dari senat kecewa saat bisa masuk ke rektorat malah rapat senatnya sudah bubar

Foto: Erli BM

Page 7: Bahana Edisi Feb-Mar 2011

Bahana Mahasiswa Edisi Februari-Maret 2011

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Riau Bahana Mahasiswa

7Bahana Mahasiswa Edisi 1-15 Mei 2010

kan serta bisa ikut mengambil keputusan di setiap rapat senat. “Ingat, mahasiswa juga bagian dari civitas aka-demika,” kata Adi lagi.

Berbagai argumen lain datang dari ang-gota senat universitas untuk melemahkan pandangan Adi Hamdani. Prof. Usman Tang bilang, “Coba lihat universitas-universitas lain di seluruh Indonesia, universitas mana yang memasukkan mahasiswa sebagai anggota senat? Hanya Universitas Riau,” tegasnya. Prof. Aras Mulyadi bilang, “Menyalurkan aspirasi tidak mesti duduk di senat, bisa melalui Pembantu Rektor III.” Prof. Zulka-rnaini dari FE serta Mexsasai Indra, dosen Hukum Tata Negara FH UR sepakat dengan Prof. Aras.

Prof. Adnan Kasry pun sepakat. “Selama ini apakah semua aspirasi ma-hasiswa tersalurkan? Mahasiswa hanya satu di senat, kalau voting pasti kalah.” Ia juga kemukakan argumen lain. “Selama ini mahasiswa ikut menentukan pengusu-lan guru besar, ikut pakai toga mewisuda mahasiswa lain. Bagaimana bisa begitu? Sementara ia masih maha-siswa, tapi su-dah pakai toga dan mewisuda mahasiswa yang sudah tamat. Tidak bisa dong.”

“Lalu mahasiswa pasti terlibat politik praktis saat pemilihan rektor,” tegasnya. Dosen Faperika UR ini mencontohkan saat pemilihan rektor 2009 lalu. “Harus-nya BEM buka siapa calon pilihannya di depan seluruh mahasiswa, kalau benar mewakili aspirasi mahasiswa. Bila perlu adakan dulu pemira guna menentukan calon rektor pilihan mahasiswa, secara terbuka. Ini kan tidak. Artinya mahasiswa tidak independen, bisa disetir calon rek-tor. Itu tidak boleh,” jelasnya.

TAHUN 2000, Prof. Muchtar Ahmad, Rek-tor UR kala itu, ikut program kepe-mimpinan dan mutu pendidikan tinggi di Inggris. Salah satu hasil program itu, yakni adanya wakil mahasiswa di senat (hanya satu orang) yang menjelaskan fungsi dan kedu-dukannya serta masalah yang dihadapinya. Menurut Prof. Muchtar, Universitas Warwick di Inggris merasakan manfaat adanya wakil mahasiswa di senat universitas, meski haknya dibatasi.

Sepulang dari Inggris, Prof. Muchtar ceritakan hasil pertemuannya itu kepada Ariffien Mansoer, Pembantu Rektor III saat itu. Ariffien menilai apa yang dilakukan oleh Universitas Warwick patut dicontoh. Ia berencana lakukan hal yang sama di Univer-sitas Riau—memasukkan wakil mahasiswa di senat universitas. Prof. Muchtar Ahmad setuju. “Unri termasuk paling awal mene-rapkan ini di Indonesia,” kata Prof. Muchtar.

Peraturan Pemerintah Nomot 60 tahun 1999 pasal 41 ayat 3 dijadikan peluang bagi

Aras Mulyadi Mexsasai Indra Usman Tangfoto: Aang BM Istimewa foto: Erli BMI

Prof. Muchtar untuk memperkuat kepu-tusannya. Pertimbangan lain; menghidupkan kembali otonomi universitas, kekurangan anggaran dan mengurangi sentralisasi, desakan peningkatan mutu dan tuntutan persaingan, serta pendidikan intelektual atau masyarakat akademis.

“Ada beberapa kali sidang senat sejak tahun 2000 untuk sampai kepada ma-suknya wakil mahasiswa ke dalam Statuta Universitas Riau tahun 2003,” kata Prof. Muchtar. “Saat itu tidak ada senat yang menentang,” tambah Ade Angga, Ketua BEM UR periode 2003-2004. Karena semua anggota senat sepakat, maka sejak disahkannya Statuta 2003, Ade Angga resmi duduk di senat sebagai wakil mahasiswa. “Meski saya akui saat itu lumayan sulit dalam memperjuangkan aspirasi mahasiswa karena saya sendiri dan anggota senat rata-rata usianya sudah tua,” katanya.

Isril, dosen Ilmu Pemerintahan FISIP UR

juga sekretaris senat tahun 2003 menyatakan masuknya wakil mahasiswa di senat karena kondisi dan situasi saat itu. “Pergolakan sangat terasa sekali,” akunya. Isril menilai itu tak bisa disamakan dengan kondisi sekarang. “Apalagi setelah ada pedoman penyusunan ini,” katanya.

Pedoman yang dimaksud Isril adalah Pedoman Penyusunan Statuta dan Organisasi Perguruan Tinggi buatan Biro Hukum dan Organisasi Departemen Pendidikan Nasional tahun 2011. Menurut Prof. Aras Mulyadi, tim perumus juga mengacu pada pedoman ini dalam menentukan keanggotaan senat. Prof. Aras jelaskan, pedoman ini baru diedarkan akhir Maret lalu saat pertemuan dengan pendidikan nasional di Aceh.

Pedoman ini mengatur soal keanggotaan

senat. Ia menegaskan anggota senat terdiri dari wakil dosen yang profesor, wakil dosen yang bukan profesor, wakil unsur pimpi-nan dan fakultas, dan pemimpin unit kerja yang tugas dan wewenangnya mempunyai rele-vansi tinggi dengan perumusan norma dan ketentuan akademik. “Di sini tidak ada disebutkan unsur mahasiswa. Jadi keputusan kita sudah benar, dikuatkan oleh pedoman ini,” tegas Prof. Aras.

Adi Hamdani masih tak mau kalah. Ia menilai pedoman penyusunan itu hanya petunjuk teknis yang dibuat pendidikan na-sional. “Kalau dari aspek hukum, lebih tinggi peraturan pemerintah daripada petun-juk teknis,” tegasnya. Kesimpulannya, ia tetap jadikan PP Nomor 60 tahun 1999 pasal 41 ayat 3 sebagai acuan.

Pendapat Adi diamini Mexsasai Indra. “Memang betul PP lebih tinggi daripada petunjuk teknis. Tapi masalahnya sekarang, PP itu multi tafsir,” katanya. Multi tafsir karena ada dua pasal yang kontra produktif,

yakni pasal 30 ayat 3 dan pasal 41 ayat 3 yang diperdebatkan Prof. Usman Tang dan Adi Hamdani di atas. “Karena itu, keputusan tim perumus menjadikan pedoman ini sebagai acuan perumusan Statuta sudah tepat. Unsur-unsur anggota senat dalam pedoman ini sama seperti pasal 30 PP Nomor 60 tahun 1999,” tegas Ketua Konstitusi FH UR ini.

Meski begitu, Prof. Adnan Kasry menilai draft Statuta mesti dirombak ulang. Pe-nyebabnya, draft belum men-cantumkan pedoman penyusunan Statuta sebagai acuan rumusannya. “Masih ber-pedoman pada PP Nomor 60 tahun 1999. Selama acuannya masih PP itu, mahasiswa tetap berpeluang duduk di senat karena ada poin “unsur lain yang ditetapkan senat”,” tegasnya.

Ia juga berpendapat, bila mahasiswa ingin sampaikan aspirasi, tak mesti duduk di senat. Ia berikan dua solusi; bisa minta guru besar atau anggota senat lain untuk sampaikan aspirasi mahasiswa, atau bikin permohonan tertulis kepada ketua senat supaya bisa hadir di rapat senat untuk sampaikan aspirasi. “Itu sah-sah saja,” ujarnya.

Prof. Zulkarnaini, guru besar FE juga beri solusi lain—selain melalui PR III. Ia lebih sepakat bila mahasiswa perjuang-kan satu pasal dalam Statuta, dimana wakil mahasiswa bisa turut mengambil ke-bijakan strategis menyangkut maha-siswa. “Jadi setiap pengambilan keputusan strategis pada rapat senat atau rapat DPH, mahasiswa mesti diundang. Bila tidak, mereka bisa protes karena itu sudah diatur dalam Statuta.”

Mexsasai tak sepakat dengan usul Prof. Zulkarnaini. “Itu malah membuat wilayah abu-abu. Saya khawatir akan terjadi per-debatan lagi. Kriteria menentukan kebijakan strategis itu apa sih? Bisa saja senat anggap kebijakan itu tak strategis, sehingga maha-siswa tidak diundang. Di situ kan letak prob-lemnya,” jelas Mex.

Prof. Adnan Kasry juga tak sepakat. “Itu salah alamat. Sekarang senat hanya mengu-rusi akademis. Jadi kalau mau bahas soal ma-hasiswa, tempatnya di dewan pertimbangan,

bukan di senat.” Pernyataan Prof. Adnan tertera dalam Pedoman Penyusunan Statuta dan Organisasi Perguruan Tinggi pada bagian fungsi dan kewenangan senat. Bahana dapat salinannya. Ia memang berkutat pada akade-mis; kebijakan akademik, norma aka-demik, kurikulum, gelar akademik, peng-hargaan akademik, kode etik, ketentuan akademik, penjaminan mutu, mimbar akademik, otono-mi keilmuan, tata tertib akademik, kinerja dosen, pengusulan pro-fesor. “Ya, hanya tok ngurusin akademis,” tegas Prof. Aras Mulyadi.

Bila mahasiswa tetap ingin duduk di senat, satu-satunya jalan, kata Prof. Adnan Kasry, minta Mendiknas merubah Pedoman Penyusunan Statuta Dan Organisasi Pergu-ruan Tinggi itu. “BEM bisa bahas itu dengan BEM se-Indonesia untuk memberi pressure pada Mendiknas.” Ade Angga berpikiran sama. “Saya sarankan mahasiswa menggugat ke pengadilan melawan pedoman tersebut.” Baginya, pedoman itu anti demokrasi karena tak memasukkan unsur mahasiswa. ***

Selama ini apakah semua aspirasi mahasiswa tersalurkan? Mahasiswa hanya satu di senat,

kalau voting pasti kalah

Prof . Adnan Kasry

Page 8: Bahana Edisi Feb-Mar 2011

Edisi Februari-Maret 2011Bahana Mahasiswa

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Riau Bahana Mahasiswa

8

PUKUL 22.00, AWAL APRIL ITU, Ah-mad Jamaan datang ke Bahana Maha-siswa. Ia jadi pemateri Diklat Jurnalistik Mahasiswa Tingkat Dasar yang ditaja Bahana. Materinya: Sekilas Bahana.

Banyak soal Bahana diceritakan mantan Pemimpin Umum Bahana ini. Banyak pula ‘peninggalan’ Ahmad selama aktif di Bahana. Ada kipas angin, kursi, AC. Barang-barang itu hingga kini masih ‘mengabadi’ di Ba-hana. Utama, ia perjuangkan agar Bahana punya sekretariat lebih layak. Hasilnya, kini sekre-tariat Bahana merupakan sekretariat terbesar se-Indonesia. “Bagi saya, semua yang dijalani di Bahana adalah suka.”

Ahmad Jamaan memang sangat menik-mati proses di Bahana.

AHMAD JAMAAN LAHIR DI Pekan-baru, 17 Agustus 1973. Pernah aktif sebagai Wapres Komahi, Sema SMF, SMPT, Ketua HMI Pekanbaru, Pendiri Cerdes Yogya-karta, LPAD Riau, Inisiator dan Penasehat Himpunan Mahasiswa Pasca Riau Yogya-karta. Aktif dalam asosiasi staf akademisi (Asasi).

Ahmad Jamaan merupakan alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FI-SIP) yang kini berprofesi sebagai dosen di almamaternya. Banyak hal yang dilalui Pimpinan Umum kedua Bahana ini, sampai akhirnya Ahmad menjadi akademisi.

Tak Pernah Pergi dari Jurnalistik

PERKENALANNYA DENGAN Bahana diawali karena seringnya ia ‘bermain’ di sana, terutama bila senggang kuliah pagi dan siang hari. “Kalau pulang dulu pakai ongkos, jadi lebih baik menunggu di Bahana sambil membaca koran atau majalah. Bila sudah waktunya kuliah siangnya baru masuk kelas lagi,” kenangnya.

Kesenangan membaca sudah dijalani Ahmad sejak kecil. “Dengan membaca, saya merasa mengetahui banyak hal yang terjadi dunia ini. Apa lagi membaca adalah jembatan ilmu,” ujarnya.

Di Bahana, selain membaca, ia juga sering berdebat dan berdiskusi soal apa saja dengan kru Bahana. Mulai dari sosial, politik, agama, dosen, KRS hingga ujian skripsi.

Setiap kejadian yang ia alami selama di Bahana, hal menarik baginya. “Terutama saat diskusi. Kami sering berteking mem-pertahankan pendapat masing-masing,” ujarnya. Meski sering berbeda pendapat, bagi Ahmad, dari situlah ia dapat ilmu dari para senior-seniornya. Sebut saja Abu Bakar Siddik dan T. Zulmizan F. Assagaff.

Kejadian menarik pertama yang di-ingatnya, saat ia diterima menjadi reporter. Tulisan reportase yang dibuatnya bukan saja dikritik habis Zulmizan—Pimpinan redaksi Bahana saat itu—juga dicoret-coret hingga tak lagi berbentuk. “Banyak kalimat yang tak menyambung dan lebih banyak opini daripada fakta,” ujarnya menirukan ucapan

Zulmizan saat itu. Ahmad hanya bisa diam dan menerima kekeliruannya. Ia tidak down. Baginya, itu bentuk perhatian kepadanya. Sejak itu, Ahmad berazam perbaiki kualitas tulisannya dengan rajin menulis.

Kejadian tak terlupa juga terjadi saat Ah-mad memutar otak untuk mendapatkan ruang representatif bagi sekretariat Bahana. “Dulu ruangannya sempit, pengap, dan letaknya tersudut. Tapi beragam aktivitas dan inspirasi dari ruangan itu,” ujarnya. Agar dapat ber-kreasi lebih lapang, beberapa kali ia meminta pada rektorat mendapatkan ruangan yang lebih representatif namun tak ada respon. Ini dimaklumi mengingat proses perkuliahan masih kekurangan ruangan.

Anehnya, saat itu ada seorang mahasiswa yang menguasai beberapa ruangan di Gobah untuk organisasi ektern kampus. Ruangan yang ‘dikuasainya’ lebih dari enam, namun yang digunakan hanya satu. Ia melobi agar Bahana dapat meminjam sebagian ruangan sembari ikut menjaga dan membersihkan ru-angan yang kosong melompong itu. Seluruh ruangan di sebelah gedung Dharma Wanita itu dikelola dan menjadi sekretariat Bahana.

IA BERGABUNG DI BAHANA TA-HUN kedua setelah selama setahun ia berinteraksi dengan aktivis Bahana. “Mer-eka sering berdiskusi dan berdebat tentang berbagai topik hangat. Lama kelamaan saya merasa sesuai dengan ‘iklim’ di Bahana saat itu. Ketika ada penerimaan kru baru, saya ditawari bergabung,” katanya.

Banyak hal yang diperoleh Ahmad selama di Bahana. “Dulu waktu pertama kali bicara di depan forum yang banyak orang, merasa kurang percaya diri,” katanya mengenang. “Tapi beberapa waktu kemudian jadi ter-biasa. Apa lagi pengelola Bahana dengan mudah memberi peluang kepada kru untuk men-dapatkan pendidikan dan pelatihan ke berbagai tempat,” kenangnya.

Ia mengaku juga belajar kepemimpinan dari sistem yang dibangun di Bahana. “Saya memimpin dengan sistem kekeluargaan sep-erti yang selalu diajarkan para pendahulu di Bahana,” lanjutnya.

Karena kecintaannya pada Bahana, usai menuntaskan teori di Jurusan HI, ia tak langsung menyelesaikan skripsi. Ia malah memperpanjang ‘kuliahnya’ sampai ia wisuda satu setengah tahun kemudian.

Ahmad mengaku tak banyak gebrakan yang dilakukannya saat itu, hanya ada se-dikit perubahan. Seperti menghidupkan diskusi rutin tiap bulan, mengubah format per-wajahan, menghidupkan tradisi evaluasi kinerja aktivis Bahana melalui SWOT sambil berkemah, menjalin sinergi dengan aktivis koran kampus lain. Ia juga menghidupkan kembali kegiatan Kuliah Jurnalistik Lapangan

(KJL), dan mengubah moto Bahana dari Pen-gawal Wawasan Nusantara dan Alma-mater menjadi Mengembangkan Tradisi Akademis yang Kritis.

Tamat kuliah, ia dan dua temannya dari koran kampus Gagasan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) Pekanbaru, merancang keberangkatan ke Jakarta. Saat itu aksi mahasiswa menurunkan Soeharto memang sedang marak. Ketiganya lalu ingin melihat dari dekat peristiwa sejarah kejatuhan Soeharto.

Belum lagi penguasa Orde Baru itu turun, ia dapat informasi ada pembukaan pend-idikan di Lembaga Pers Doktor Soetomo (LPDS) Jakarta. Melalui LPDS, ia mendapat beasiswa dari Ford Foundation guna meng-ikuti pelatihan di sana. Usai pendidikan, ia sempat ditawari bergabung di harian Bali Pos berkantor di Jakarta. Karena situasi saat itu genting, aksi-aksi mahasiswa mulai tak terkendali, akhirnya ia memutuskan kembali ke Pekanbaru sepekan sebelum Soeharto menyerahkan kuasa ke BJ Habibie.

DI PEKANBARU IA SEMPAT ber-gabung ke beberapa media harian sembari mendirikan LSM Lembaga Pemberdayaan dan Aksi Demokrasi (LPAD) dengan be-berapa teman aktivis. Pada saat yang sama ia juga bergabung dengan AJI (Aliansi Jurnalis Independen). AJI dikenalnya saat masih aktif di Bahana, karena organisasi ini adalah musuh Orde Baru, banyak diisi para aktivis jurnalis yang medianya dibreidel Harmoko, Menteri Penerangan saat itu. Setelah sekian lama bergabung ia dipercaya menjadi ketua AJI Pekanbaru.

Setelah menjadi bagian dari jurnalis pro-fesional, bukan jurnalis kampus, ia merasa ada kesenjangan yang terjadi. Menurutnya, menulis di media massa juga tak selepas menulis di media kampus. “Di media massa banyak terbentur kepentingan. Baik pemodal, narasumber, pemangku kekuasaan, dan lain-nya,” akunya.

Sejak tahun 2005, ia mengabdi di alma-maternya. Ahmad Jamaan menjadi dosen. “Peluang untuk meningkatkan skill dan menyalurkan ilmu lebih besar,” aku pria yang pernah mengajar di UIN Suska Riau tahun 2000 dan Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) tahun 2002. “Setidaknya dapat meningkatkan tradisi akademik yang sudah pernah dibangun.”

Meski kini aktif sebagai akademisi, anak bungsu dari enam bersaudara ini mengaku tak meninggalkan dunia jurnalistik. “Sampai sekarang saya masih diminta untuk berbagi ilmu jurnalistik.”

HAMPIR DUA JAM, AHMAD JAMAAN memberi materi malam itu. Padahal malam itu, ia ada rapat panitia International Hu-manitarian Law Debate Competition 2010 yang ditaja Jurusan HI kerjasama dengan Palang Merah Internasional. Demi Bahana, ia tinggalkan rapat itu. ***

Ahmad Jamaan

Oleh Lovina

“Bagi saya, semua yang

di jalani di Bahana

adalah suka.”

Page 9: Bahana Edisi Feb-Mar 2011

Bahana Mahasiswa Edisi Februari-Maret 2011

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Riau Bahana Mahasiswa

Makan TeTengkoe Soelong Tjantik Alwi sebagai Wakil Sultan Siak IV

9

SIRINE PANJANG SPEED BOAT Porti Express nyaring memanggil-manggil medio Ramadhan 1431 Hijriah. Petugas syahbandar memeriksa tiket penumpang. Penuh hati-hati penumpang turuni dermaga menuju kapal putih itu. Awak kapal melepas ikatan tali dari dermaga. Pukul 08.58, memutar haluan 180 derajat, perlahan kapal itu mening-galkan pelabuhan Sei Duku, Tanjung Rhu, Pekan-baru.

Ibarat dalam bus, ada sekitar 30 penu-mpang duduki kursi fiber. Suara mesin, desir air, dan suara penumpang menyatu. Pukul 10.00, kapal menambat di sebuah pelabuhan rakyat, Perawang. Penumpang turun, menuju bus. Bus melaju, dua jam kurang lima menit bus tiba di Pelabuhan Tanjung Buton, Ka-bupaten Siak.

Penumpang kembali naik kapal Porti Express, ukuran lebih panjang. Ini transit terakhir. KPukul dua siang itu, Selatpanjang menyambut tiga kru Bahana. Hawa panas laut dan terik mentari terasa menyengat kulit. Gerah.

Selatpanjang berada di mulut sungai besar Siak dan Kampar. Ia jadi penghubung antara Riau Daratan dan Riau Kepulauan. Dekat dengan Malaysia dan Singapura. Ia jadi tempat persinggahan.

Di dalam pelabuhan kami bertemu tukang becak ojek. Kami kenalan. Cerita seputar Selatpanjang. Ia bilang namanya Am. “Di sini yang banyak suku Melayu dan Cine (Tionghoa),” sebut Am kental logat khas melayu kepulauan. Ia juga menyebut etnis Bugis, Jawa, dan Minangkabau mendiami kabupaten termuda di Riau itu. Pada tang-gal 19 Desember 2008, DPR RI mengesah-kan pembentukan Kabupaten Kepulauan Mer-anti di Riau terpisah dari Kabupaten Beng-kalis.

Dua becak motor. Am dan temannya mengantar kami. Tak sampai tiga menit kami turun di depan sebuah rumah bercorak mela-yu dari papan. Ongkos Rp 30 ribu untuk dua becak motor. Am tersenyum men-inggalkan kami. Sebelum pergi, pria bermisai itu bilang sewa motor sehari Rp 100 ribu. Bensin susah dicari. Di sini tak ada pom bensin.

Dari depan Masjid Raya, kami jalan kaki kelilingi kota Selatpanjang. Perempat jalan Teuku Umar, kami bertanya pada penjual pempek Palembang.”Makamnya tak jauh. Ikuti aja jalan lurus ini. Di sebelah kanan,” kata pria itu. “Saya salah satu keturunannya.” Kebetulan sekali. Kami janji akan wawancara setelah kunjungi makam.

Letaknya pas di depan kantor korem. Di pinggir jalan. Makam itu bernama Tengkoe Soelong Tjantik Saijet Alwi, Selatpandjang 1880-1908. Masyarakat kerap menyebut

Sekilas Tebing yang TinggiMarhum Buntat. “Sewaktu meninggal dari mulut Marhum Buntat keluar semacam batu permata. Itu buntatku, kata Marhum Buntat. Sejak itu ia dipanggil Marhum Buntat,” kata H. Kazier, Ketua Lembaga Adat Melayu Selatpanjang. Makam ini dikelilingi pagar dari semen setinggi hampir dua meter. Lu-mayan luas.

Aang Ananda Suherman dan saya meng-hitung ada 69 makam keturunan tengku. Satu makam besar beratap warna kuning berdiri kokoh. Itulah makam Marhum Buntat. Makamnya sudah turun beberapa sentimeter; antara kepala dan kaki tak lagi rata.

SEBELUMNYA SELATPANJANG ebelumnya Selatpanjang bernama Negeri Makmur Kencana Bandar Tebing Tinggi. Nama itu berubah, sejak hasil perjanjian antara Marhum Buntat dan Belanda. Pada 4 September 1899, Tengkoe Soelong Tjantik Alwi sebagai Wakil Sultan Siak IV berunding dengan Van Huis, konteliur Belanda.

Belanda ingin Negeri Makmur Kencana Bandar Tebing Tinggi diganti menjadi Se-latpanjang. Tjantik Alwi tak ingin hilangkan nama itu karena bernilai sejarah. Tanpa insiden apapun, kedua belah pihak sepakat menyebut Negeri Makmur Kencana Bandar Tebing Tinggi; Selatpanjang. “Saya dapat cerita dari ayah saya, saat perundingan ber-langsung tak terjadi apa-apa,” kata Tengku Syarifah Akmaliah Ismail di rumahnya, tak jauh dari Masjid Raya. Masyarakat senang menyebut Selatpanjang. Sebab pergantian nama itu, Syarifah dan Kazier tidak tahu.

Tengku Syarifah Akmaliah Ismail bersama suaminya Tengku Amhar Indraperdana Saiyid Multazam menghimpun sejarah berdirinya Negeri Makmur Kencana Bandar Tebing Tinggi Selatpanjang dalam bentuk buku setebal 88 halaman.

Sultan Siak VIII Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin, biasa disapa Sultan Syarif Ali memberi titah kepada Panglima Besar Muda Tengku Bagus Saiyid Thoha un-tuk mendirikan Negeri atau Bandar di Pulau Tebing Tinggi. Selain tertarik pada pulau itu karena Sultan pernah singgah, tujuan utama Sultan ingin himpun kekuatan melawan kerajaan Sambas, Kali-mantan Barat—ter-indikasi bersekutu dengan Bel-anda ya-ng tel-ah khi-anati perjanjian setia dan mencuri mahkota Kerajaan Si-ak. Negeri at-au Bandar ini nantinya se-bagai ujung t-ombak per-ta-hanan ketiga setelah Bukit B-atu dan Mer-bau untuk menghadang pen-jajah dan lanun.

Bergeraklah armada atau penjajab pim-pinan Panglima Besar Muda Tengku Bagus Saiyid Thoha pada awal Mu-harram tah-un 1805 Masehi diiringi beberapa pembesar Kerajaan Si-ak, ratusan laskar dan h-ulu balang m-enuju P u l a u T e b i n g Tinggi.

M e r -e k a t i b a d i t eb ing Hutan Alai. Panglima itu segera meng-hujam keris-nya memberi s a l a m p a d a Ta n a h A l a i . Tanah Alai tak menjawab. Ia m-eraup tanah s-ekepal, terasa panas. Ia mele-pasnya. “Men-urut se-pan-jang penge-tahuan den, tanah Alai ini tidak baik dibuat sebuah neg-eri karena tanah Hu-tan Alai a-dalah ta-nah jan-t an . Ba r u b i s a be r-ke m b a n g m e n j a d i s e b - u a h n e g e r i d a l a m m a s a w a k t u yang lama,” kata sang panglima dihadapan pembe-sar Siak dan anak buahnya.

Panglima bertolak menyusuri pantai pulau ini. Lalu, terlihat sebuah tebing yang tinggi. “Inilah gerangan yang dimaksud oleh ayahanda Sultan Syarif Ali,” pikirnya. Armada merapat ke Tebing Tanah Tinggi bertepatan tanggal 07 April 1805 Masehi.

Di usia masih 25 tahun itu, dengan mengucap bismillah Panglima melejit ke darat yang tinggi sambil memberi salam. “Alha-mdulillah tanah tinggi ini menjawab salam den,” katanya. Tanah diraupnya, terasa sejuk dan nyaman. Ia tancapkan keris di atas tanah—lokasinya kira-kira dekat kom-plek Bea Cukai sekarang. Sambil berkata, “Deng-arkanlah oleh kamu sekalian di tanah Hutan Tebing Tinggi inilah yang amat baik didirikan sebuah negeri. Negeri ini nantinya akan berkembang aman dan makmur apabila pemimpin dan penduduknya adil dan bekerja

Oleh Made Ali

“...Negeri ini nantinya akan berkembang aman dan makmur apabila pemimpin dan penduduknya adil dan bekerja keras serta menaati hukum-hukum Allah.”

keras serta menaati hukum-hukum Allah.” Panglima itu berdiri tegak dihadapan

semua pembesar kerajaan, laskar, hulu balang, dan bathin-bathin sekitar pulau. “Den ber-nama Tengku Bagus Saiyid Thoha Pang-lima Besar Muda Siak Sri Indrapura. Keris den ini bernama Petir Terbuka Tabir Alam Negeri. Yang den sosok ini den namakan Negeri Mak-mur Kencana Bandar Tebing Tinggi.”

Setelah menebas hutan, membuka wilayah kekuasaan, berdirilah istana panglima besar itu. Pada 1810 Masehi Sultan Syarif Ali mengangkat Panglima itu sebagai penguasa pulau. Kala itu, sebelah timur negeri ber-batasan dengan Sungai Suir dan sebelah barat berbatasan dengan Sungai Perumbai. ***

foto:

Aang BM

Page 10: Bahana Edisi Feb-Mar 2011

Edisi Februari-Maret 2011Bahana Mahasiswa

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Riau Bahana Mahasiswa

BADAN Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakul-tas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau (UR) taja dialog terbuka, Rabu (16/2) di Gedung Audito-rium FISIP. Dialog mempertemukan antara pimpinan dekanat, jurusan, program studi, staf administrasi dengan kelembagaan mahasiswa. Tujuannya agar mahasiswa bisa sampaikan aspirasi terhadap berbagai masalah di kampus.

Ada beberapa masalah yang dilontarkan mahasiswa. Pengisian KRS, pembagian ke-las tak jelas, kenaikan SPP mahasiswa baru yang signifikan, semester pendek ditiada-kan, diskriminasi dari dosen, sampai per-soalan kartu parkir. Satu per satu ditanggapi.

DELAPAN ratusan mahasiswa Universitas Riau memenuhi Gedung Rektorat Lantai IV pada Minggu (27/2). Mereka menghadiri training Melejitkan Dahsyatnya Potensi yang ditaja Unit Kegiatan Mahasiswa (UKMI) Ar-Royyan. “Ini di luar target. Sebelumnya kami hanya tar-getkan 300 peserta,” ujar Ferry Fadli, Ketua Ar-Royyan saat itu. Training ini dikhususkan pada mahasiswa baru dengan tema From Zero be Hero. “Harapan utamanya agar kedekatan dengan mereka tak terputus,” kata Ferry.

Aswirman, seorang trainer dan konsultan PT RAPP hadir sebagai pemateri. Ia jelaskan filosofi zero be hero. “Semua manusia di dunia pasti melewati tahap zero ini, yaitu nol. Namun apapun itu, kita wajib bersyukur karena kita merupakan makhluk Tuhan paling sempurna,” ujar Wirman.

Selain trainer, panitia juga meng-hadirkan Helmi Hidayat sebagai entertainer acara. Ia memberikan aneka games seru, juga senam otak yang membuat para peserta lebih rileks. Fauzi, salah seorang peserta berpendapat, ini acara paling seru yang pernah diikuti. “Kalau biasanya ikut seminar pasti ngantuk, tapi ini nggak,” kata mahasiswa Hubungan Inter-nasional FISIP ini. *8

From Zero be HeroDialog Masalah FISIP

“DINAS Pariwisata dan Dinas Pen-didi-kan tak seharusnya meng-hiraukan acara yang menjunjung tinggi nilai budaya di Pekan-baru,” keluh Hendra, Ketua Pelaksana Perhelatan Akbar Himpunan Mahasiswa (Hima) Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UR. “Proposal yang kami ajukan tak ditanggapi sama sekali,” ujarnya ke-sal. Meski begitu, perhelatan akbar yang diagendakan selama se-minggu (7-13/3) ini tetap terlaksana.

Perhelatan akbar merupakan agenda tahunan Hima Bahasa Indonesia FKIP. Tahun ini, mereka usung tema Men-

Hima Bahasa Indonesia Budayakan Sas-

Ali Yusri, Dekan FISIP menanggapi soal semester pendek yang akan di tiadakan. “Ini kebijakan atasan (rektor), bukan fakultas. Jadi kita tak bisa berbuat apa-apa,” katanya. Lalu Pembantu Dekan II, Herry Suryadi jelaskan soal kekurangan ruang kelas. “Tak hanya ma-hasiswa yang kekurangan ruang kelas, dosen pun kalau ke kampus tak mau lagi mampir ke ruangan dosen karena dipakai untuk ru-ang kelas.” Rencananya, lanjut Herry, dalam waktu dekat akan dibangun gedung dosen dan gedung lembaga mahasiswa.

Giliran Syafri Harto, Pembantu Dekan III memberi tanggapan. Ia berbicara soal kartu parkir. “Peraturannya tetap berlaku, mahasis-wa yang menghilangkan kartu parkir

akan didenda Rp 100 ribu,” tegasnya. Menu-rutnya, peraturan ini tak hanya bertujuan menambah ketertiban parkir, namun juga meningkatkan keamanan sepeda motor. “Ini solusi terbaik,” simpulnya. Terkait keberatan yang disampai-kan mahasiswa, Syafri men-jawab enteng. “Kalau ingin dihapus, ya sudah hapus saja. Tapi jangan ada yang mengadu lagi kalau ada kehilangan motor.”

Dialog makin serius. Adrius, seorang mahasiswa FISIP menawarkan agar dibikin perjanjian hitam di atas putih. “Supaya hasil dialog ini tak hanya basa-basi saja,” katanya. Dian Wahyudi, Ketua BEM FISIP sepakat. “Hasil dari dialog ini akan disebarkan ke seluruh mahasiswa,” jelasnya. *8

junjung Sastra, Menjulang Sastra, Menggali Marwah. Aneka lomba diadakan untuk me-meriahkan acara. Ada lomba puisi, lagu melayu, balas pantun, debat, lomba mading, dan baca tulis cerpen. Peser-tanya pun beragam. Mulai dari tingkat SD hingga mahasiswa se-Propinsi Riau.

Perhelatan akbar ditutup dengan seminar. Usai seminar diumumkan para peme-nang lomba. “Potensi para pelajar di bidang bahasa dan sastra harus dikem-bangkan,” kata Hendra men-jelaskan tujuan acara perhelatan akbar. *8

UNIT Kegiatan Mahasiswa (UKM) Ko-perasi Mahasiswa (Kopma) Universitas Riau rapat anggota tahunan di hari tera-khir bulan Februari silam. Acara diadakan di ruang DPH Fakultas Teknik. Sekitar pukul 09.00, perwakilan dari Dinas Ko-perasi Propinsi Riau buka acara. Turut hadir anggota Kopma UIN Suska Riau pada rapat anggota tahunan ini.

Ada beberapa rangkaian kegiatan. Pembacaan Laporan Pertanggung Jawa-ban (LPJ) anggota Kopma periode 2010-2011, pembahasan Anggaran Dasar (AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART), lalu pemilihan Ketua Kopma periode 2011-2012 dan pemilihan badan pengawas. Muhammad Faisal, Ketua Kopma katakan acara ini dibuat untuk mengganti pengurus lama dengan yang baru. “Periode saya sudah habis, harus ada penggantinya.”

Muhammad Faisal kembali terpilih sebagai ketua Kopma periode 2011-2012. LPJ-nya juga diterima. Beberapa perubahan dalam AD/ART; lambang dan lokasi. “Sebelumnya lokasi Kopma di Unri Gobah, sekarang di Panam,” katanya. Untuk program jangka pendek, Faisal akan benahi usaha Kopma dan bikin baju lembaga. fadli

Faisal Pimpin Kopma Lagi

BADAN Otorita Mahasiswa Ilmu Kelautan (BOM-IKA) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (Faperika) Universitas Riau bikin up-grading dan kuliah umum untuk mahasiswa semester akhir. “Disampaikan juga kemana saja dunia kerja para alumni perikanan,” kata Zulkariman, Ketua Pelaksana. Tema acara Prospek Kerja Sarjana Kelautan Dan Perikanan dalam Menghadapi Persaingan Global, diadakan di Ruang Atlantik Faperika, Kamis (24/2).

Untuk up-grading, peserta diberi peng-etahuan organisasi tentang administrasi dan kesekretariatan oleh Sekretaris HMI Cabang Pekanbaru, advokasi oleh Nofri Andi Yulan dari Sospol BEM UR, dan manajemen organ-isasi oleh Ari nugraha dari bidang advokasi BEM UR.

Sedang kuliah umum, BOM-IKA ha-dirkan tiga pemateri. Pertama Irwan Effendi, Kepala Dinas Kelautan Propinsi Riau. Lalu ada Syafriadiman, dosen Faperika sebagai pemateri kedua, dan Dedi Adrian Kusuma, alumni Faperika sebagai pemateri terakhir. Fadli

BOM-IKA Up-Grading dan Kuliah Umum

SABTU pagi (26/2) Universitas Riau (UR) adakan wisuda angkatan ke-87. Sama seperti wisuda lalu-lalu, ada sekumpulan mahasiswa berbaju hitam panjang, syal di leher dan toga di kepala, blitz kamera, para orang tua, anak-anak, undangan dan para pedagang da-dakan—penjual bunga dan aneka ma-kanan serta jajanan—kumpul jadi satu.

Tenda-tenda disusun memanjang di depan Rektorat. Pagi itu, Rektor UR, Asha-luddin Jalil, beri sambutan. Ia paparkan kondisi kekinian UR, tentang guru besar, dan kontribusi UR kapada masyarakat. Di akhir pidato, ia berpesan agar Universitas Riset segera terwujud melalui kerjasama seluruh civitas akademika.

Para pemuncak UR juga diumumkan pagi itu. Pemuncak satu Yenni Anita Dewi dari Fakultas Ekonomi Jurusan, IPK 3,83. Pemuncak dua Sri Rahayu dari fakultas dan jurusan yang sama, IPK 3,79. Pemuncak tiga Zulhafizah dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, IPK 3,78. fadli

Wisuda Angkatan Ke-87

Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum, Dekan FH terpilih berikan kuliah umum, 17 Maret 2011. Sebelumnya Sunarmi dosen USU Medan.

Suasana Seminar nasional lingkungan yang ditaja BEM UR di lantai 4 gedung Rektorat. Fadil Nandila dari Jikalahari jadi moderator.

foto: Aang BM

foto

: Erli

BM

Page 11: Bahana Edisi Feb-Mar 2011

Bahana Mahasiswa Edisi Februari-Maret 2011

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Riau Bahana Mahasiswa

USAI BULAN PUASA TAHUN LALU, Muhammad Yazid bin Tomel mulai sakit-sakitan. Bermula dari sakit tangan. Sempat sembuh, tak berapa lama Yazid sakit batuk dan sesak napas. Setelah minum obat, sakit-nya hilang. Kemudian datang sakit mencret. Bawa berobat. Sembuh lagi. Setelah itu kondisi tubuhnya melemah, cairan tubuh berkurang drastis. Yazid langsung dilarikan ke rumah sakit. Beberapa hari kemudian, ia kembali sehat.

Namun pada 21 September 2010 kon-disinya mulai drop. Dua hari kemudian ia meninggal dunia. “Nggak ada firasat sama sekali,” kata menantu Yazid, isteri dari anak pertamanya. Isteri Yazid, Asnah binti Usman, telah mendahului Yazid dua bulan sebelum-nya. “Mungkin karena tak bisa berpisah. Mereka dekat sekali.”

Muhammad Yazid dimakamkan pada 24 September 2010 sekitar pukul 10.00, sebelum Shalat Jumat, di tanah pekuburan Masjid Al Hadi Taqwa RT 01/RW 02, Dusun Langgam,

Desa Teluk Latak, Kecamatan Bengkalis. Ia tutup usia 85 tahun, meninggalkan delapan anak, 30 cucu, dan 20 cicit.

HARI ITU IA MENINGGAL, terserang demam tinggi. Salah satu tangannya agak bengkak. Tapi ia langsung bangkit ketika diminta menari Zapin. Tertatih-tatih, ia ma-suk ke arena.

Penonton menahan napas. Irama gam-bus lagu Bunga Cempako mengalun. Satu, dua, tiga, empat, lelaki uzur itu bergerak ke depan dan ke belakang seiring dengan irama petikan gambus dan entakan marwas. Raut wajah Muhammad Yazid begitu gembira saat membawakan tarian, dan itu membuat tarian-nya memancarkan keanggunan luar biasa.

Cerita ini diliput Sita Planasari Aqua-dini dari Tempo. Ia datang langsung ke Desa Meskom, Bengkalis. Yazid dikenal sebagai maestro Zapin Desa Meskom. Puluhan tahun ia ajarkan tari Zapin pada warga Mes-kom—mulai dari anak SD hingga orang tua. Mereka latihan Zapin di pekarangan rumah. Hampir tiap sore Meskom penuh dengan orang menari Zapin. Tak heran bila hampir semua warga desa pintar menari Zapin, baik lelaki maupun perempuan. Hingga kemudian Meskom dikenal dengan sebutan Kampung Zapin. Di Meskom, tradisi Zapin diteruskan turun-temurun. Begitu pula dengan instru-men pengiri-ngnya—gambus dan marwas.

Desa Meskom terletak 13 kilometer ke arah selatan dari Kota Bengkalis. Desa ini amat sederhana. Jalanan setapak menuju desa sudah diaspal, namun lebarnya hanya cukup dilewati satu kendaraan roda empat. Jika

berpapasan, salah satu terpaksa mengalah.

Kamis, 14 Oktober tahun lalu saya ber-sama tiga kru Bahana menyambangi Desa Meskom. Sepanjang jalan setapak kami telusuri. Namun tak tampak anak-anak ber-latih Zapin. Zainuddin, salah seorang guru Zapin mengakui kini sudah jarang warga Meskom latihan Zapin di pekarangan rumah, termasuk anak-anak. “Anak di sini rata-rata sudah pandai Zapin, jadi latihan kalau ada acara saja,” kata Zainuddin. Keadaan begini sudah dua tahun berjalan. “Dulu mereka belum tahu gerakan Zapin, jadi kita ajarkan mulai dari dasar, bersama Pak Yazid juga,” lanjutnya.

Zainuddin ingat pesan Yazid agar Zapin selalu ditularkan ke generasi penerus. “Itu warisan orang-orang tua dulu,” katanya menirukan perkataan Yazid. Seingat Zai-nuddin, ia terakhir kali jumpa dengan Yazid sebulan sebelum puasa. Saat itu Yazid datang ke rumah mencari gambus. “Dia mau ada acara, tapi tak ada gambus,” cerita Zainuddin.

Cerita Dolah hampir sama dengan Zainuddin. Dolah tetangga Zainuddin, rumahnya beberapa petak dari rumah Zainuddin. Menurut Dolah, Yazid terakhir kali datang ke rumahnya hendak cari gambus. “Katanya habis dari rumah Zainuddin, tak dapat, dia datang ke sini,” ujar Dolah. Untung Dolah punya dua gambus. Ia lalu berikan ke Yazid. “Setelah itu tak ada jumpa lagi. Sempat dengar kabar dia sakit, eh tiba-tiba mening-gal. Cepat sekali,” kata Dolah. Dolah pem-buat gambus, salah satu alat musik—selain marwas—yang dimainkan saat menari Zapin.

Meski Dolah jarang sekali menari Zapin bersama Yazid, ia punya kesan mendalam pada sang maestro. Waktu kecil, dua anak Dolah diajarkan Zapin oleh Yazid. Salah satunya bernama Rosila.

“Saya belajar Zapin waktu SMP, sudah lama,” kata Rosila. Kini ia berusia 27 tahun, sudah berkeluarga dengan satu anak. Rosila cerita, guru mereka saat itu ada tiga orang; Yazid, Zainuddin, dan Baharudin. Namun Rosila pertama kali kenal Zapin dari Yazid. “Biasanya Pak Yazid ngajar soal gerakan,

Rentak Zapin Tanpa YazidOleh Lovina

kadang jalan, kadang pecah-pecah gerakan. Sering marah juga kalau kita tak bisa-bisa gerakan yang diajarkannya,” ceritanya. Kini Rosila tak rutin lagi berzapin. “Sesekali ikut kalau ada festival.”

Baharudin, guru Rosila lainnya, saat Bahana temui, sedang mengajarkan Zapin di salah satu sekolah SMP di Bengkalis. “Mereka hendak ikut lomba Zapin,” kata Baharudin. Ditanya soal kepergian Yazid,ia pun merasa kehilangan. “Kehilangan dalam artian, kalau dulu ada undangan menari saya harus ke rumahnya dulu, mengajaknya ikut menari. Penonton selalu ingin lihat Yazid tampil, di mana pun acaranya,” ceritanya.

Menurut Baharudin, tarian Yazid sangat khas. “Ada gerakan tertentu yang bisa bikin orang tersenyum, tertawa, kadang terkejut. Pose-pose gerakan yang khas, yang tak di-jumpai pada anak-anak kita sekarang.” Ini yang bikin orang selalu ingin melihat dan me-rindukan penampilan Yazid di setiap kesem-patan. “Itulah, apakah ada yang me-nyamai dia atau seperti dia besok,” kata Baharudin.

Meski sama-sama pengajar Zapin, Za-inuddin dan Baharudin kerap bertanya soal gerakan Zapin pada Yazid. “Dia selalu ajar-kan gerakan baru temuannya sendiri. Kalau tidak mengerti atau lupa, kita selalu tanya dia,” kata Zainuddin. Baharudin beri contoh konkrit. “Misal gerakan Cino Buto, dia ajarkan sama kita. Sekarang saat kita tak paham, tak tahu lagi mau bertanya pada siapa. Jadi ger-akan itu mati, tidak berkembang.”

ZAPIN BERASAL DARI BAHASA Arab, zafn, berarti kaki yang bergerak cepat. Kesenian ini bermula dari Hadramaut, Ya-man, dan tersebar ke berbagai penjuru dunia seiring penyebaran Islam pada abad ke-13. Asimilasi budaya menumbuhkan karakter tersendiri bagi Zapin Melayu.

Bentuk pir gambus Melayu, misalnya, lebih ramping dibanding versi asli dari Hadramaut. Denting gambus Melayu pun lebih lembut dan melodius. Melodi gambus ditemani tabuhan lima rebana atau marwas. Dua marwas sebagai penentu tempo dan tiga lainnya mengisi tekstur musik. Seluruhnya menciptakan rentak Melayu yang khas.

Ada beberapa gerakan dalam Zapin Me-layu; menongkah (mendayung), siku keluang

(gerak sayap burung keluang), dan tukar kaki menirukan gelombang susul-menyusul. Dan setiap gerakan punya makna filosofis. Mardiyah Chamim dari Tempo pernah menulis tentang Zapin di Bengkalis. Ia mewawanca-rai Yazid, awal tahun 2010 lalu. Yazid cerita soal makna filosofis gerakan Zapin pada Mardiyah.

“Gerak menongkah berarti hidup harus tabah,” kata Yazid. “Ayunan dayung harus mantap meskipun ombak datang. Cabaran hidup itu biasa.” Sedangkan gerak meniti batang berarti hidup harus hati-hati jika tak hendak terjebak dalam kubangan masalah. Lalu ada gerak tukar kaki yang menirukan gelombang yang susul-menyusul. “Artinya, hidup itu harus tekun, terus-menerus beru-saha,” kata Yazid.

Detail yang melekat pada penari pun punya makna. Lima kancing baju dan lima langkah kaki dalam setiap serial gerakan merupakan simbol rukun Islam. “Ragam sembah namanya,” kata Yazid.

Mardiyah Chamim menulis riwayat per-jalanan Zapin. Riwayat ini diceritakan oleh Yazid yang didengarnya dari sesepuh dan gurunya. Pada masa Kerajaan Siak Indragiri, abad ke-17, Zapin adalah seni istana. Penari Zapin khusus diundang menari di hadapan raja. Dengan teknik silat kelas tinggi, penari bergerak luwes dan ringan. Permadani atau tikar yang diinjaknya tak boleh sedikit pun bergeser, apalagi sampai kusut berlipat.

Zaman berganti. Kerajaan Siak diganti-kan kolonialisme Belanda. Zapin tak lagi di istana, tapi masuk kampung. Ia lalu dikem-bangkan oleh Abdullah Noer, seniman asal Deli, Medan, pada 1930-an di Bengkalis. “Beliau guru kami,” kata Yazid.

Setelah Indonesia merdeka, Zapin mekar di Bengkalis. Perhelatan warga kampung, seperti pernikahan dan khitanan, hampir selalu dimeriahkan Zapin. Pamor Zapin sempat redup pada 1980-an. Saat itu Orde Baru berkuasa. Awal 2000, dengan bubarnya Orde Baru yang diikuti penerapan otonomi daerah, Zapin mekar kembali. Pamornya kian bersinar seiring melejitnya lagu Laksamana Raja di Laut yang dinyanyikan Iyeth Bustami.

SEKITAR SEBULAN USAI kepergiannya, Muhammad Yazid menerima penghargaan Anugerah Sagang Kencana. Ia diberikan dalam rangka 15 tahun usia Anugerah Sagang. Anugerah Sagang dihelat oleh Yayasan Sa-gang, sebuah institusi kebudayaan Melayu yang diprakarsai Rida K Liamsi, pendiri Riau Pos Group. Yazid dinilai layak terima Anugerah Sagang Kencana karena perjuangannya me-melihara dan mengembangkan seni tradisi Zapin Melayu.

Yazid juga pernah menerima Anugerah Seniman Tradisi dari Dinas Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata Propinsi Riau ta-hun 2005 serta Anugerah Kebudayaan sebagai Maestro Seni Tari Zapin dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 2010. Anugerah maestro Zapin ini diterima beberapa saat sebelum maut menjemputnya.

“Yazid menari dan mengajar Zapin sejak usia delapan tahun hingga akhir hayatnya,” kata Zainuddin. Selama itu, Yazid sudah men-

Page 12: Bahana Edisi Feb-Mar 2011

Edisi Februari-Maret 2011Bahana Mahasiswa

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Riau Bahana Mahasiswa

1.Judul lagu3.Zat pembersih noda

4.International Organization for Standarization5.Lezat, enak, gurih

8.Pendidikan Anak Usia Dini11.Seni bergerak (tak baku)

13.Slah satu nama urat15.Aliran air

16.Nama daerah di Sulawesi Sulawesi

SEMUA perempuan pasti ingin berambut indah. Tentu saja butuh perawatan rutin. Namun, terkadang ini jadi kendala, teru-tama bagi yang punya aktifitas padat. Soal keuangan juga tak bisa disepelekan. Berikut beberapa tips merawat rambut tanpa biaya mahal.

Pertama, keramas dua hari sekali. Den-gan begitu, rambut jadi lebih bersih. Jika rambut kotor, bisa keramas sekali sehari. Rambut yang terlalu ko-tor bisa membuat pertum-buhannya jadi te-rhambat. Kedua, pakai jenis sampo sesuai kondisi ram-but. Bila rambut berminyak, gunakan sampo dari bahan jeruk nipis. Sebaliknya, bila Anda beram-but kering, gu-nakan sampo varian santan.

Ketiga, creambath tiga buan sekali. Jika tak bisa ke salon, lakukan di rumah. Dis-amping itu, potonglah ramut dua bulan sekali. Ini dilakukan

Selektif Pilih Sampountuk mengantis-ipasi rambut bercabang dan pecah-pecah. Potong rambut yang simple agar tak susah merawatnya.

Selanjutnya, jangan catok rambut bila tak terlalu penting. Ini bisa membuat rambut rusak dan patah. Terakhir, rambut jangan diikat atau dikepang. Jika diikat, jangan terlalu kencang. Ini juga jadi penyebab rambut patah. Semoga bermanfaat. Selamat mencoba. ***

Bagi yang punya tips menarik, kirim ke [email protected].

SEBELUMNYA saya ucapkan terima kasih pada BM yang memuat keluhan saya. Terima kasih juga pada dokter yang mem-beri jawaban.

Saya mahasiswi berusia 21 tahun. Lay-aknya perempuan seusia saya, saya pun mengalami gangguan kulit berupa jerawat di wajah.

Untuk menghilangkan jerawat-jerawat itu, beberapa bulan ini saya menggunakan produk penghilang jerawat. Hasilnya, jer-awat di wajah saya sedikit berkurang. Hanya saja, kulit jadi kering dan terkelupas. Yang ingin saya tanyakan, apakah pengelupasan kulit wajah ini berbahaya? Apakah ini efek dari produk yang saya pakai? Terima kasih atas penjelasannya.

Febry ShintaMahasiswi Fisika FMIPA UR

Jawaban dr. Mona Amelia M. Biomed

Dear Febry Shinta,Prinsip kerja rata-rata obat jerawat

adalah keratolitik. Artinya, melisiskan atau meng-hancurkan lapisan keratin kulit. Jika lisis hancur, gumpalan inti jerawat akan

mudah keluar.Jika Anda menggunakan bahan keratolitik

tanpa mengeluarkan isi jerawat, jerawat hanya akan berhenti peradangannya, tidak nyeri lagi, kulit mengelupas, tapi dengan warna dasar yang menghitam. Warna hitam ini menu-njukkan bahwa pori-pori masih terisi inti jerawat.

Ada juga jenis obat jerawat yang se-lain bersifat keratolitik juga mengoksidasi. Hasilnya jerawat malah meradang. Namun untuk diketahui, kulit yang meradang lebih tipis dibandingkan yang sudah hilang gejala peradangannya. Obat jenis ini biasanya men-gandung peroksida dan terasa panas atau agak perih.

Pengobatan jerawat yang benar dengan mengekstraksi atau mengeluarkan isinya sehingga pori-pori teraliri lagi oleh darah. Di samping itu, kulit juga bisa beregenerasi kembali dan warnanya sama dengan warna asalnya. Ini membuat pengelupasan hanya berlangsung sementara dan hilang sendiri dengan proses renewal kulit.

Kulit jerawat yang tidak diekstraksi cen-derung tidak mampu beregenerasi sehin-gga kulit mengelupas dan tidak pernah berakhir. ***

Kulit TerkelupasKesehatan

IKLAN

Mind-A

1.Kartu Keluarga2.Alas atau daras7.Tembang cilik9.Organisasi Masyarakat10.Kelompok senyawa organic yang

memngandung nitrogen12.Bahasa inggris (berakhir)14.Orang luar / belum dikenal16.Lobang besar di alam17.Office boy

MENDATAR

11 2 3 4

5 6

7

9

8

10

12

11

14

18

17

13

1615

MENU-

Wulan A.FMahasiswi FKIP UR 09

KUPONMINDA

TELP. (0761) 47577

email: [email protected]: Bahana Mahasiswa

Kirimkan jawa-ban anda dengan melampirkan KUPON minda dan fotokopi KTM ke redaksi Bahana Mahasiswa JL. PATTIMURA NO. 9 GEDUNG H KAMPUS UR GOBAH.

Page 13: Bahana Edisi Feb-Mar 2011

Bahana Mahasiswa Edisi Februari-Maret 2011

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Riau Bahana Mahasiswa

AGAIMANA NASIB SATU ke-l u - arga patrilinial di desa; jika suami, s e - bagai tulang punggung keluarga, tak

berfungsi dengan baik atau lumpuh sama sekali. Bagaimana keluarga ini

melanjutkan hidup sehari-hari? Bagaimana sekolah anak-anak mereka? Bagaimana kalau mereka sakit? Dan daftar pertanyaan panjang lainnya yang masih bisa diuraikan dengan jawaban yang terbata-bata.

Pertanyaan lebih nakalnya: bagaimana jika kelumpuhan ini terjadi massal? Anda pasti membayangkan hal-hal yang buruk.

Tapi ini bukan bayangan. Ini adalah fakta yang sudah dua tahun setengah ini berlangsung di dekat kita. Sangat dekat. Ini adalah kisah ribuan suami yang pekerjaannya direnggut oleh bencana Lapindo dan istri-istri dan anak-anak perempuan, dengan segala keterbatasannya, dipaksa untuk menanggung beban keluarga semuanya. Ya, semuanya.

Perempuan pertama bernama Asfeiyah (45 tahun), ibu rumah tangga di pasar baru Porong. Suaminya Sanep (45 tahun), sebelum bencana Lapindo, adalah seorang pengrajin emas yang sudah lebih dari tiga tahun tidak bekerja lagi.

“Orangnya bodoh, buta huruf, bisa baca tapi tak bisa nulis, jadi pemalu,” Asfeiyah mencoba menerangkan kenapa suaminya jadi

Ibu-Ibu Tang-Imam Shofwan

pengangguran. Suaminya memang berhenti jadi peng-

rajin emas beberapa tahun sebelum ben-cana lumpur. Saat itu, keluarga Asfeiyah masih tinggal di Renokenongo. Asfeiyah menjadi tukang jahit dan suaminya bekerja sera-butan.

“Kalau ada yang mengajak bekerja, ka-lau tidak ya tidak, nggak bisa cari sendiri,” jelas Asfeiyah.

Di Renokenongo, sebelum bencana Lapindo, Asfeiyah sering mendapat or-deran dari tetangga yang minta dibikinin baju. Seminggu dua kali dia dapat order, itu menurut itungan paling jarang Asfeiyah.

“Lumayan bisa dapat Rp 50 ribu (per potong),” jelas Asfeiyah. Kehidupannya di Renokenongo memang sulit tapi di pen-gungsian lebih sulit lagi. Sekarang tak ada lagi orang yang minta dibikinin baju, kalau ada paling cuma tambal baju alias vermak.

Kalau boleh memilih, Asfeiyah tentu lebih memilih untuk tinggal di Reno-kenongo. Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Bencana lumpur Lapindo datang begitu tiba-tiba dan tak memberi pilihan lain pada Asfeiyah sekeluarga selain pindah ke pengungsian di pasar baru Porong. Dan ini bagai mimpi buruk buatnya. Semua anggota keluarganya tak satupun yang bekerja dan dia satu-satunya yang banting-tulang untuk semua anggota keluarga.

Tiap hari Asfeiyah musti mengumpul-kan uang 50 ribu Rupiah untuk makan semua keluarga dan beberapa bulan terakh-ir ini pendapatannya sering kurang dari itu.

Hanya pada bulan tiga sampai delapan Asfeiyah bisa bekerja normal sebagai pen-jahit. Pada bulan-bulan itu banyak orderan dari perusahaan-perusahaan paka-ian. Kalau dia bisa menyelesaikan sesuai teng-gat, tiap minggu 400.000 Rupiah bisa dia dapatkan. Dan ini berarti Asfiyah musti enam belas jam di mesin jahit tiap harinya. Mulai jam 4 pagi sampai jam 4 sore dan jam 8 malam hingga jam 11.

SETELAH PERJUANGAN PANJANG dan melelahkan karena sering dikibuli Lapindo selama 2 tahun lebih. Asfeiyah dan keluarga-keluarga lain di pasar baru Porong yang tergabung Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo (Pagar Rekorlap) mendapatkan 20 persen uang aset mereka. Meski tak sesuai keinginan, warga tak bisa menolak cara pembayaran yang dilakukan Minarak Lapindo, yakni dengan cara mencicil.

Bulan ini Asfeiyah mendapatkan cicilan

yang keempat dan karena tidak ada pekerjaan dia menggunakan uang tersebut untuk modal dagang pakaian. Meski tak ramai Asfeiyah tiap harinya bisa dapat pemasukan sekitar 30.000 Rupiah. Sementara uang untuk makan semua keluarganya adalah 50.000. Asfeiyah tak punya pilihan lain selain menggunakan uang rumahnya untuk makan. Bayangan un-tuk bisa mendapat rumah lagi pun perlahan-lahan mulai dia hapus.

“Yang penting semua keluarga bisa makan, Mas,” kata Asfeiyah.

Marah, sedih, putus asa, perasaan-perasaan ini dipendam Asfeiyah karena tak ingin keluarganya pecah.

“Kalau marah, cek-cok, takut kehilangan suami,” tutur Asfeiyah. “Tapi kalau nggak marah nggak tahan, Mas.”

Tak hanya Asfeiyah yang dipaksa men-jadi tulang punggung keluarga. Seorang ibu warga Perumahan Tanggul Angin Anggun Sejahtera I juga mengalami nasib yang sama. Nama ibu itu, Noor Hani (44 tahun). Dia kini meng-ontrak rumah di Sidokare, Sidoarjo. Alasannya tentu jelas karena rumahnya sudah punah dimakan lumpur.

Bu Hani, siswa Madrasah Aliyah Kha-lid bin Walid biasa memanggil namanya, adalah guru di MA tersebut. Sebelum ada lumpur suaminya Hendra Jaya (44 tahun) punya bengkel reparasi dinamo di rumahnya. Dia sudah punya langganan dari tetangga-tetangga di sekitarnya. Na-mun lumpur Lapindo menenggelamkan bengkel itu dan suaminya pun praktis tidak bisa bekerja lagi.

Bagi guru swasta yang gajinya tak lebih dari 100 ribu Rupiah per bulan dan suami yang menganggur tentu bencana Lapindo jadi pukulan berat bagi keluarga ini. Keluarga ini mesti pontang-panting untuk menutupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Den-gan tiadanya pemasukan Hani mencoba mem-perkecil pengeluaran. Caranya dengan meng-urangi jatah makan sehari-hari.

“Berasnya saya kurangi dan ganti sing-kong yang sama mengandung karbo-hidrat,” Hani berusaha menahan air matanya saat mengatakan ini.

Hani juga berusaha supaya dapat pema-sukan tambahan. Dia melukis dan bikin gambar meja-kursi belajar dan suaminya diminta membikin barangnya. Namun itu belum cukup menutupi kebu-tuhan keluarga. Hani lantas ber-dagang keliling pakaian dan kue supaya asap dapurnya tak padam.

Empat orang anaknya tak semuanya bisa menerima kesulitan ini. Hanum Anggraini (15 tahun), anak pertamanya yang duduk di SMU II Sidoarjo, bisa menerima kenyataan

Bergiat di Yayasan PantauSehari-hari advokasi persoalan bencana lumpur Lapindo

ini dan bisa bersabar. “Tapi yang kecil suka protes, saya men-

coba mengarahkannya dengan agama,” tutur Hani. Tapi namanya juga anak-anak masih suka rewel dan protes.

Tak hanya ibu-ibu yang rumahnya sudah terendam lumpur yang merasakan dampak bencana Lapindo ini. Ibu Christina, warga Glagaharum, juga merasakan dampak tidak langsung bencana Lapindo.

Christina adalah istri Hafidz Affandi, kepala desa Glagaharum periode 1990-1998 dan 1998-2007. Keluarganya cukup ter-pandang dan kaya. Tanahnya luas, punya toko bangunan, dan pabrik sepatu di pasar wisata Tanggulangin.

Setelah tidak jadi kepala desa praktis pendapatan mereka bertumpu dari toko bangunan dan pabrik sepatu. Toko ini sebe-lum ada lumpur mendatangkan pen-dapatan yang luar biasa besar bagi keluarga Christina. Seharinya bisa Rp 9-12 juta. Saat itu, semua kebutuhan delapan anaknya bisa dipenuhi bahkan berlebih.

Misalnya; semua anaknya kalau sudah masuk SMP pasti dibelikan sepeda motor dan dibikinkan SIM. Lalu kalau anaknya minta dibelikan laptop atau sepatu yang harganya jutaan, saat itu juga akan dibelikannya.

“Dulu kalau mau datang ke pesta kawan-kawannya, pasti bajunya baru,” kenang Christina.

Sekarang semua sudah berubah. Tepat-nya sejak bencana Lapindo dua tahun lalu, satu persatu langganan Christina hilang.

“Dulu langganannya dari Siring, Keta-pang, Kedungbendo, Jatirejo, Reno-kenongo, dan lainnya,” tutur Christina. Sekarang desa-desa itu sudah tenggelam dalam lumpur dan tak ada lagi pesanan buat Christina. Pen-dapatannya menurun drastis hingga Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta seharinya.

Lima dari enam karyawannya di toko bangunan dia pulangkan dan kini tinggal dia dan seorang pelayan toko yang masih ber-tahan. Gudang-gudang tempat penyimpanan semen dan kayu juga sekarang kosong karena permintaan yang terus berkurang.

AKHIR TAHUN LALU, CHRISTINA meminjamkan secara gratis gudang ini untuk yayasan Khalid bin Walid dan digunakan untuk sekolah. Christina tak tega melihat gedung sekolah Khalid bin Walid di Reno-kenongo tenggelam.

“Saya juga punya banyak anak yang masih sekolah, bagaimana kalau ini menimpa saya,” tutur Christina. ***

Setelah perjuangan panjang dan

melelahkan karena sering dikibuli

Lapindo selama 2 tahun lebih.

Page 14: Bahana Edisi Feb-Mar 2011

Edisi Februari-Maret 2011Bahana Mahasiswa

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Riau Bahana Mahasiswa

INGIN KUTUMPAHKAN cahaya bulan di telapak tang-anku, lalu kugenggam erat. Kudekap, kusimpan di sudut jemari agar suatu saat bila kita bertemu, kupersembahkan untukmu. Lihatlah cahaya yang ditumpahkan bulan itu ke bumi, meliuk indah, menari di bilur laut. Lebur dalam gelombang, namun kemilaunya tetap di puncak debur. Tak hen-dak kalah, terus menari, menggantikan tugas camar siang tadi. Malam ini laut menari di bawah cahaya bulan. Pasir mendesis lirih. Aku duduk sendiri menatap bulan, tenggelam dalam hiruk pikuk Sydney.

Semua peristiwa kembali runut di piki-ranku. “Lihatlah cahaya bulan itu,” ucapmu waktu itu, ketika laut mulai pasang. Kita duduk berdua di pelataran darling habour. Tem-pat rehat anak muda di jantung kota Sydney. Tak peduli pada hingar bingar suara musik. Kita terlena menatap bulan. “Aku jadi ingat Kute,” katamu dengan lidah Bali-mu yang kental. Kau akhirnya berhasil meng-ajakku bicara setelah hampir 1 jam kita duduk di sini. Aku terlena dengan pikiranku sendiri, bermain dengan alam khayalku sambil mena-tap bulan.

Aku memang suka menatap bulan. Sejak usia kanak aku selalu memaksa ayah untuk duduk di beranda kala bulan purnama tiba. Di sebuah desa kecil, di hulu Sungai Rokan, aku menatap bulan hampir setiap purnama. Dan saat melanjutkan kuliah di kota, ayah selalu rindu kupaksa menatap bulan. Akh-irnya karena sudah terbiasa dengan keingi-nanku mengajaknya menatap bulan, ayah selalu duduk di beranda rumah hanya untuk menatap bulan, sendiri. Karena tak hendak sendiri di dalam rumah hingga tengah malam, kebiasaan menatap bulan itu pun tertular kepada ibu. Ibu dan ayah pun akhirnya selalu setia menatap bulan, kala purnama datang.

Dalam suratnya ibu bercerita, “Setiap bulan purnama Ibu dan Ayahmu selalu duduk di beranda. Kami seperti melihatmu menari sambil memainkan biola.” Akh, surat ibu selalu mengundang air mata. Betapa aku ingin melihat wajah yang sudah renta itu. Namun keinginan untuk bertemu selalu dipatahkan oleh rutinitas hidup di negari orang. Kini aku tidak lagi hidup di ibu kota negeriku, tapi sebuah negeri yang jauh, di sebuah benua yang terletak di selatan pulau Papua. Artinya, aku tidak hanya bersaing untuk hidup dengan orang-orang sebangsa-ku, namun suku lain, dan ini memerlukan kerja keras. Jika tidak, aku hanya akan jadi pecundang.

Hampir dalam setiap suratnya ibu ber-pesan, walau jauh di negeri orang, namun aku harus tetap menjadi diri sendiri. “Kau mesti terus jadi Melayu, resam dan marwah nenek moyangmu jangan sampai lekang,” begitu kata-kata ibu yang vulgar dan aku bayangkan “Upacara pamarisuda kariphubaya,” jawa-bmu sambil tersenyum. Pada intinya upacara itu untuk menetralisir atau mengembalikan energi. Dalam kepercayaan kami di Bali, usai pengeboman itu, khususnya di tempat ke-

Purnama di SydneyMurparsaulian

jadian, banyak energi jahat. Jadi energi jahat tersebut harus diusir dari tempat tersebut dan dikembalikan lagi ke energi sebelumnya.

Tanpa dikomandoi kita berdua kem-bali tiba-tiba terdiam. Udara makin dingin. Kuketatkan krah switer dengan melu-ruskan-nya ke atas hingga menutupi leher. Kutatap purnama itu, tanpa sadar kembali terbayang purnama di kampungku nun kini jauh. Kuakui walaupun kota ini indah dengan sega-la kemegahan dan kecanggihan teknologinya, namun purnama di kam-pungku tetap lebih indah. Cahaya bulan yang jatuh ke dedauan di samping rumah, jauh lebih indah dari cahaya rembulan yang jatuh di atas gedung-gedung pencakar langit di sini.

Siluh, aku biasa memanggilmu dengan sebutan itu. Aku ambil dari namamu Siluh Putu Gayatri. Aku tahu kau tak setuju ku-panggil Siluh, karena panggilanmu biasa-nya Gayatri. Siluh adalah panggilan nama pertama yang kau dengar, dan itu dari mu-lutku, sahabatmu. Begitulah, setelah saling berdiam diri, kita kembali larut dalam cerita kita masing-masing. Mengapa kita sampai bisa akhirnya ketemu di kota ini. Aku ingat betul. Kita bertemu ketika aku belanja di Pedy’s Market, di bagian pasar tradisional di basement. Pasar ini sangat dekat dengan kampusku. Memang yang belanja di situ golongan menengah ke bawah. Termasuk aku yang kerja sambil kuliah di sini.

PERTEMUAN KITA TAK DISENGAJA . Ketika aku sedang memilih-milih buah anggur yang harganya lebih murah di sini dari pada di Indonesia. Tanpa sadar aku diamati oleh seorang gadis, yang matanya kukenal betul. Pertamanya aku agak ragu itu adalah kau. Namun aku melihat keyakinan di matamu, kalau yang kau lihat benar-benar aku. Saujana! Sapamu memekikkan telingaku, tanpa mempedulikan orang-orang di sekitar kita kaget dan memelototi kita. Kita bera-ngkulan, dan saling pegang kepala, seperti kebiasaan kita bila berjumpa pertama kali setelah sekian lama tidak bertemu. “Ya, aku Saujana. Temanmu yang manis itu,” ujarku

tanpa mempedulikan pedagang anggur yang menyodorkan 2 kilo anggur yang telah ditimbangnya. Itulah awal pertemuan kita di sini untuk kedua kalinya setelah terpisah hampir 1 tahun. Semenjak itu hari-hariku mulai berwarna dengan kehadiranmu dan persahabatan kita.

Namun, hampir 1 tahun di sini, kau tak mau terus terang tentang pekerjaanmu. Pun, ketika aku ingin bermain di apartemenmu, kau selalu mengelak. Aku tak ingin mema-ksamu. Aku hanya tahu, penampilan-mu berkelas, rapi dan modis. Kau gadis Bali yang berpenampilan modern, dan aku tetap dengan penampilan yang dari dulu tak berubah. Kau selalu bertanya, apakah gadis Melayu semuanya pakai kerudung sepertiku? Dan aku selalu menjawab, tidak semuanya. Dan pertanyaanmu akan lebih panjang lagi. Kenapa tidak? Kan katanya perempuan Islam mesti pakai kerudung, kenapa bisa beda-beda? Dan pertanyaanmu yang satu ini tidak pernah kujawab, dan cukup hanya dengan mengangkat bahu, walau kutahu betapa kecewanya engkau.

Hari-hari yang kita lalui tak terasa, ham-pir 2 tahun kita di sini. Kulihat hidupmu terus mengalami perubahan. Kini kau punya mobil, sedang aku masih konsentrasi menye-lesaikan tesisku dan juga mesti tetap bekerja.

Tiba-tiba dan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kau memilih untuk kembali ke Bali, dan meninggalkan semua pekerjaan dan kemewahan yang telah kau dapat di sini. “Aku rindu menari, bermain di Kute dan semba-hyang di Pura,” tulismu dalam secarik kertas yang kau selipkan di pintu rumahku. Setelah itu aku tak pernah mendengar kabarmu lagi. Kau kembali menjadi perempuan misterius. Begitulah dirimu. Apabila kita telah berpisah, begitu pelit untuk berbagi komunikasi den-ganku. Bahkan untuk SMS pun kau tak mau. Aku ingin memulai, namun tak tahu nomor-mu yang baru. Sudah 2 kali kau menghilang dari hari-hari kita yang indah. Dan jujur, aku sangat kehilangan.

Ups, dingin begitu menusuk tulangku. Aku seakan terjaga dari tidur pulas. Kulihat jam, rupanya sudah hampir 5 jam aku duduk

Manajer Program Riau TelevisiPernah tinggal di Australia

sendiri di sini. Kusadari, aku tidak lagi duduk menatap bulan di sini bersamamu, tapi send-iri. Hampir tengah malam. Aku bingkas dari tempat dudukku. Tak mungkin aku berjalan kaki menuju ke apartemen malam-malam begini. Taksi yang kulambai berhenti persis di sampingku. Di dalam taksi piki-ranku bermain lagi. Aku ingat surat ibu yang datang petang tadi. “Saujana, kapan kau pulang? Bagaimana dengan sekolahmu? Apakah belum cukup juga waktumu untuk sekolah? Ibu rindu. Begitu banyak peristiwa yang terjadi di sini. Aceh, kota kebanggaan Ayahmu telah tersapu tsunami. Riau kini sedang diselimuti asap. Sebelumnya banjir melanda kampung kita, namun kau jangan anggap enteng dulu. Banjir kali ini dahsyat, hingga menyebabkan Wak Sani kena penyakit jantung karena keramba-kerambanya hanyut dibawa air. Begitu pula Tuk Salim hampir gila karena pu-luhan kerbaunya mati. Dalam situasi seperti ini, Ibu memerlukanmu. Ibu selalu merindukanmu. Mungkin karena itulah Ayahmu memberimu nama Saujana Rindu. Kau selalu menjadi ladang kerinduan kami.”

SURAT IBU SINGKAT, NAMUN mam-pu menguras air mataku dan menyebab-kan dada. Taksi terus melaju. Sudah lebih tengah malam, di tengah kebekuan malam, taksi berhenti dan kembali melaju. Aku melangkah satu-satu menuju pintu. Sung-guh, aku tak tahu apa kata-kata yang mesti kutulis untuk ibu, namun aku sangat harus membalas su-rat itu. Sedangkan rembulan itu belum juga berhasil kugenggam. ***

I

Istimewa

Redaksi menerima tulisan, asal sesuai dengan misi pers mahasis wa. Tulisan

berupa naskah asli, karya orisinil, be-lum pernah di pub likasikan di media mas-sa ma napun, dan diketik rapi dua spasi. Redaksi berhak melakukan pe nyuntingan sepanjang tidak mengubah hakikat dan makna tuli san. Bagi tulisan yang tidak

di muat akan menjadi milik redaksi

Page 15: Bahana Edisi Feb-Mar 2011

Bahana Mahasiswa Edisi Februari-Maret 2011

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Riau Bahana Mahasiswa

ITUS PERTEMANAN ATAU jejar- ing sosial menjadi semakin populer. I n i tak lepas dari kekuatan ranah maya y a n g mampu memobilisasi massa dan mem-pengaruhi dunia nyata. Sebut saja penggalangan duku-ngan Facebookers untuk Komisi Pembera-ntasan Korupsi (KPK). Melalui grup “Gerakan 1.000.000 Facebook-ers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Rianto”, hitungan hari, pendukungnya capai sejuta lebih. Gerakan sama sebelumnya dibuat untuk mendukung Prita Mulyasari, ibu rumah tangga yang ditahan karena berseteru dengan rumah sakit.

Dalam ensiklopedia online Wikipedia, jejaring sosial atau jaringan sosial disebut sebagai suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (yang umumnya adalah individu atau organisasi) yang diikat dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan, dan lain-lain.

Penelitian dalam berbagai bidang aka-demik telah menunjukkan bahwa jaringan so-sial beroperasi pada banyak tingkatan. Mulai dari keluarga hingga negara, dan memegang peranan penting dalam menentukan cara memecahkan masalah, menjalankan orga-nisasi, serta derajat keberhasilan individu dalam mencapai tujuannya.

Saat ini membentuk jejaring sosial bukan perkara sulit. Sebab melalui in-ternet, semua orang di belahan bumi manapun dapat berkomunikasi tanpa sekat ruang dan waktu. Persis seperti ramalan Marshall McLuhan dalam Under-standing Media: Extension of A Man pada awal tahun 60-an lalu, perkem-bangan teknologi komunikasi akan menja-dikan dunia sebagai sebuah desa global (global village). Terbentuk dari penyebaran in-formasi yang sangat cepat dan masif di masyarakat, serta sangat terbuka dan dapat diakses oleh semua orang.

KINI HAL ITU SUDAH TERBUKTI. Global village jelaskan tak ada lagi batas waktu dan tempat yang jelas. Informasi dapat ber-pindah dari satu tempat ke belahan dunia lain dalam waktu yang sangat singkat, gunakan teknologi internet. McLuhan saat itu mera-malkan pada saatnya nanti, manusia akan sangat tergantung pada teknologi, terutama teknologi komunikasi dan informasi.

Kenyataan itu tak dapat diingkari lagi. Bahkan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, saat berkompetisi jadi orang no-mor satu di negeri itu, telah memanfaatkan internet untuk menjaring pendukung. Se-hingga ia dinilai telah memindahkan politik kepre-sidenan masuk ke abad digital. Barack Obama punya situs jejaring sosial yang pop-

uler, tercatat antara lain Facebook, Twitter, My Space, Linkedin, Friendster hingga You Tube.

Hasilnya? Meski belum ada penelitian resmi berapa persen sumbangan suara yang didapat dari kampanye via jejaring sosial tersebut, Barack Obama kini sudah mene-mpati Gedung Putih. Begitu juga “advok-asi” para Facebookers terhadap Prita dan Candra-Bibit yang membuat mereka men-dapat penangguhan penahanan.

Kekuatan jejaring sosial tidak hanya dalam hal dukung mendukung, tapi juga su-dah masuk ke berbagai dimensi kehi-dupan. Mulai dari mencari teman yang tidak ketemu selama puluhan tahun, hingga mencari barang hilang. Tengok saja beberapa judul berita di media massa yang melibatkan si-tus jejaring sosial berikut: Pemilik Kamera Ditemukan Lewat FB, Facebook Gagalkan Anak Bunuh Diri, Facebook Bantu Tangkap Perampok dan masih banyak lagi.

Parlemen OnlineMELIHAT KEKUATAN JEJARING so-sial tersebut, tak heran kalau kemudian mun-cul istilah parlemen online. Bahkan menurut peneliti LIPI, Jaleswari Pramo-dhawardani, parlemen online berhasil jala-nkan fungsi parlemen sebenarnya di Senayan. Setida-knya kasus Prita versus Rumah Sakit Omni dan KPK versus Polri, yang mereka usung, ikut memengaruhi kebijakan publik yang diputuskan kemudian (Kompas, Jumat, 6 November 2009)

Demonstrasi model online diperkuat parlemen jalanan, akan jadi kekuatan besar. Bahkan mampu melebihi peran parlemen sebenarnya, yang kurang responsif melihat berbagai persoalan sensitif di mata publik. Berkembangnya parlemen online ini menan-dakan komunikasi rakyat punya bargaining position kuat di negara demokrasi. Maka vok populi vok dei jadi bermakna usai dunia menjadi global village.

Hal ini tidak hanya terjadi di In-donesia. Pimred Vivanews Karaniya Dharmasaputra di blognya menulis: “Sejumlah pengamat politik dan media meyakini gelombang pesan di Twitter–yang cuma 140 karakter itu–ternyata telah memainkan peran penting dalam mengobarkan revo-lusi!”. Fenomena itu antara lain telah terjadi di Moldova, negara kecil eks Uni Soviet di tenggara Eropa.

Pada awal April 2009 lalu, para pemrotes yang sebagian besar anak muda mema-nfaatkan Twitter, Face-book, dan SMS untuk meng-organisir demonstrasi anti komunis. Sekitar 20

ribu orang turun ke jalan, berdemo di depan istana Presiden Vladimir Voro-nin, dan bahkan menduduki gedung parlemen di Chisinau, ibu kota Moldova.

Saking takutnya, pemerintah akan metoda baru revolusi ini, di hari itu jaringan internet di Chisinau tiba-tiba putus di tengah keru-suhan. Natalia Morar si pemimpin “Revolusi Twitter” ini, awalnya hanya berharap pesan yang dikirimnya melalui Twitter akan meng-umpulkan ratusan orang saja. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh membelalakkan mata.

Semakin kuatnya jejaring sosial di du-nia maya ini, tak lepas dari perkembangan teknologi world wide web yang melangkah ke era Web 2.0. Dimana teknologi internet menjadi mudah diakses (open source) dan me-mungkinkan semua pengguna saling memberi

masukan (komunikasi dua arah). Sehingga terjadilah demokratisasi dalam dunia digital.

Tak heran kalau kemudian seorang citizen journalist menulis gagasan radikal di sebuah portal berita, bentuk Dewan Per-wakilan Facebookers (DPF). Alasa-nnya, dunia maya kini sudah tidak lagi berada di awang-awang. Tapi sudah menjadi gerakan pragmatis yang bisa mengubah nasib orang, mengubah kons-talasi politik, atau bisa saja suatu saat akan mengubah wajah dunia.

Melihat realitas yang terjadi akibat peng-aruh jejaring sosial, kekuatan ini tidak bisa dianggap remeh. Apalagi saat ini informasi dan komunikasi sangat terbuka. Begitu juga peran media massa dalam mentransformasi pesan dari jejaring sosial ke khalayak yang lebih luas. Maka situs jejaring sosial bukan cuma untuk berbagi urusan cinta dan sambal belacan. Lebih dari itu, jejaring sosial telah merevolusi komunikasi antarmanusia, bahkan komu-nikasi politik. ***

Muhammad Badri

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Suska RiauKoordinator Bidang Organisasi

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru

Kekuatan Jejaring Sosial

S

Page 16: Bahana Edisi Feb-Mar 2011

Edisi Februari-Maret 2011Bahana Mahasiswa

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Riau Bahana Mahasiswa

16IKLAN