bahan skripsi2

21
1. Emesis pada kehamilan dini Pada kehamilan dini, mual serta muntah sangat sering terjdi dan bahkan memiliki peranan fisiologis untuk mendorong ibu hamil makan lebih banyak (Huxley, 2000). Pada kehamilan tanpa mual, risiko terjadinya abortus spontan atau partus prematurus lebih tinggi (Beischer et al, 1997). Hal yang harus diperhatikan saat emesis pada kehamilan dini: a. Harus dipertimbangkan penyebab mual yang spesifik, misalnya pemberian tablet zat besi, infeksi saluran kemih, dan ansietas. b. Istirahat dan makan makanan sumber karbohidrat yang sederhana, seperti biskuit atau sereal. c. Makan makanan sederhana (tanpa bumbu berlebihan) yang dilakukan sedikit tetapi sering dapat dianjurkan. d. Distensi lambung akan berkurang jika konsumsi buah dan cairan tidak dilakukan bersamaan dengan makan makanan. e. Hindari gerakan yang mendadak. 2. Penatalaksanaan Farmakologis Emesis Ada berbagai macam obat yang digunakan sebagai antiemetik, baik dalam masa persalinan maupun pada hiperemesis gravidarum. Keragaman jenis obat yang digunakan untuk mengatasi emesis dapat dijelaskan oleh kompleksnya jarak saraf yang mempengaruhi pusat muntah. Jika muntah terjadi dengan hebat, penggunaan satu preparat saja tidak

description

ysdgsfgsufhgsyfgshujughsadvzjcgfgshbvcfdsfgvhbvgfdsdfghfdsdfgvvccfvgbhhgfghfgh

Transcript of bahan skripsi2

Page 1: bahan skripsi2

1. Emesis pada kehamilan dini

Pada kehamilan dini, mual serta muntah sangat sering terjdi dan bahkan memiliki

peranan fisiologis untuk mendorong ibu hamil makan lebih banyak (Huxley, 2000). Pada

kehamilan tanpa mual, risiko terjadinya abortus spontan atau partus prematurus lebih

tinggi (Beischer et al, 1997).

Hal yang harus diperhatikan saat emesis pada kehamilan dini:

a. Harus dipertimbangkan penyebab mual yang spesifik, misalnya pemberian

tablet zat besi, infeksi saluran kemih, dan ansietas.

b. Istirahat dan makan makanan sumber karbohidrat yang sederhana, seperti

biskuit atau sereal.

c. Makan makanan sederhana (tanpa bumbu berlebihan) yang dilakukan sedikit

tetapi sering dapat dianjurkan.

d. Distensi lambung akan berkurang jika konsumsi buah dan cairan tidak

dilakukan bersamaan dengan makan makanan.

e. Hindari gerakan yang mendadak.

2. Penatalaksanaan Farmakologis Emesis

Ada berbagai macam obat yang digunakan sebagai antiemetik, baik dalam masa

persalinan maupun pada hiperemesis gravidarum. Keragaman jenis obat yang digunakan

untuk mengatasi emesis dapat dijelaskan oleh kompleksnya jarak saraf yang

mempengaruhi pusat muntah. Jika muntah terjadi dengan hebat, penggunaan satu preparat

saja tidak selalu efektif sepenuhnya. Neurotransmiter yang terlibat dalam proses

terjadinya muntah yang dapat diubah oleh kerja obat meliputi: dopamin, asetilkolin,

histamine, serotonin, benzodiazepin dan kanabinoid.

Preparat antiemetik yang sering digunakan dalam peristiwa melahirkan, dibagi

menjadi dua kelompok :

a. Antagonis/ penyekat dopamine (D2), seperti metokloparamid dan proklorperazin.

b. Antagonis histamine (H1), seperti siklizin dan prometazin.

Untuk setiap obat, efek sampingnya bergantung pada neurotransmitter yang

terkena. Sebagai contoh, semua antagonis histamin (H1) dapat menyebabkan sedasi dan

semua antagonis dopamin (D2) dapat menimbulkan kelainan gerakan. Beberapa obat

seperti prometazin (Avomine, Phenergan) serta proklorperazin (Stemetil) merupakan

antagonis terhadap reseptor histamine dan sekaligus dopamine. Sementara obat-obat ini

Page 2: bahan skripsi2

juga mempunyai kerja antiemetic dan efek samping yang dimiliki oleh kedua kelompok

obat diatas.

3. Antagonis Dopamin (D2) (metoklopramid dan proklorperazin)

Antagonis D2 meliputi metoklopramid (maxalon), haloperidol, domperidon dan

fenotiazin seperti klorpromazin dan proklorperazin (stemetil). Dalam hal kerjanya, efek

sampingnya, kewaspadaan dalam pemakaiannya dan kontraindikasinya, proklorperazin

sangat menyerupai klorpromazin (BNF, 2000). Prometazin merupakan fenotiazin, tetapi

khasiatnya yang paling dominan adalah khasiat histamin, karena itu jenis obat ini

dikelompokkan ke dalam golongan obat antihistamin. Metoklopramid merupakan

preparat benzamid tersubstitusi dan bukan fenotiazin. Karena itu metoklopramid bebas

dari efek samping antimuskarinik seperti konstipasi. Sifat antiemetiknya disebabkan oleh

kerjanya pada reseptor dopamine maupun serotonin (Mitchelson, 1992).

Penggunaan preparat antagonis D2

Obat-obat ini diresepkan untuk mengatasi emesis pada berbagai situasi:

a. Untuk mengimbangi efek emetogenik yang dimiliki oleh opioid dan ergotamine.

b. Untuk mengimbangi gejala emesis yang ditimbulkan oleh kehamilan itu sendiri.

c. Sebelum anastesi.

d. Emesis pascabedah.

e. Penyakit meniere, penyakit radiasi, terapi sitotoksik.

Preparat antagonis D2 tidak efektif untuk pengobatan mabuk perjalanan. Karena

itu, preparat ini hanya memberikan sedikit perlindungan bagi ibu hamil yang telah

menggunakan opioid tetapi masih mobilisasi.

Fenotiazin Proklorperazin

Proklorperazin bekerja dalam waktu 10-20 menit setelah disuntikkan

intramuscular, dan kerja antiemetiknya ini berlangsung sselama 12 jam (Joshua & King,

1997). Fenotiazin akan melintasi plasenta dan dapat menimbulkan kelainan gerakan pada

neonatus. Obat-obat ini dieliminsi melalui metabolism dalam hati dan ekskresi oleh

ginjal. Fenotiazin memasuki ASI dalam jumlah yang kecil, dan mengakibatkan gejala

mengantuk pada bayi. Pemberian fenotiazin dalam waktu yang lama pada penelitian

binatang yang hamil atau menyusui dapat mempengaruhi sistem saraf janinnya.

Page 3: bahan skripsi2

Obat-obat golongan fenotiazin dieliminasi melalui cara yang kompleks dengan

variasi individual yang cukup besar. Sebagai contoh , waktu-paruh fenotiazin bervariasi

dari 2 hingga 30 jam.

Metoklopramid

Kerja metoklopramid berkisar selama beberapa menit sesudah penyuntikan dan

dalam waktu 1 jam setelah pemberian per oral. Obat ini dieliminasi agak cepat dari dalam

tubuh (waktu-paruh 4-8 jam) sehingga memerlukan pemberian yang sering. Karena itu,

metoklopramid bekerja paling efektif jika diberikan lewat infuse yang continue

(Michelson, 1992).

Kerja antagonis D2

Obat-obat yang menyekat kerja dopamine (antagonis D2) akan meredakan gejala

muntah melalui kerjanya dalam dinding usus, pusat muntah dan zona pemicu

kemoreseptor. Dengan menghambat kerja dopamine golongan ini memiliki potensi untuk:

a. Mengurangi emesis dan meningkatkan selera makan

b. Mengubah motilitas gastrointestinal

c. Mendepresi sistem saraf pusat

d. Mengganggu postur dan gerakan tubuh

e. Mengganggu sistem kardiovaskular

f. Memicu syndrome SIADH (Syndrome Of Inappropriate AntiDiuretik

Hormone)

g. Meningkatkan produksi prolaksin

h. Mensupresi gejala skizofrenia dan kelainan skizoafektif

Efek samping preparat antagonis D2 (Terutama metoklopramid dan proklorperazin)

Traktus Gastrointestinal

Disamping memiliki kerja antiemetik yang sentral, obat-obat ini akan

meningkatkan pengosongan lambung. Kerja parokinetik terhadap lambung dan usus

ini akan mengimbangi stasis lambung yang ditimbulkan oleh rasa nyeri, persalinan,

migraine atau opioid. Diare merupakan efek samping metoklopramid yang sudah

diketahui. Jika stimulasi terhadap motilitas traktus gastrointestinal dapat membawa

Page 4: bahan skripsi2

akibat yang berbahaya, misalnya pada keadaan traktus gastrointestinal mengalami

obstruksi atau trauma, maka pemberian metoklopramid merupaka kontraindikasi

(spencer, 1993). Peristalsis usus yang cepat bukan hanya mengganggu absorpsi

makanan dalam usus tetapi juga mempengaruhi absorpsi obat-obatan. Sebaliknya

dengan metoklorpramid, obat-obat golongan fenotiazin seperti proklorperazin

menyebabkan konstipasi akibat sifat antimuskariniknya. Obat-obat ini tidak

mengganggu absorpsi makanan tetapi meningkatkan resistensi insulin dalam jangka

waktu yang panjang. Obat- obat golongan fenotiazin mungkin merupakan pilihan

yang lebih baik untuk penggunaan jangka pendek pada ibu hamil yang menderita

diabetes.

Depresi sistem saraf pusat

Preparat antagonis dopamine, khususnya fenoteazil (ploklorperazin), biasanya

menyebabkan sedasi, penekanan emosi atau pengumpulan emosi. Resiko timbulnya

serangan kejang akan meningkatkan pada ibu hamil yang menderita epilepsi. Obat-

obat ini juga menekan fungsi batang otak seperti fungsi termoregulasi, rasa haus,

respirasi dan reflek batuk.

Kelainan postur dan gerakan

Efek samping yang serius ini jarang terjadi pada pemberian preparat antagonis

dopamine dengan dosis normal tetapi kemungkinan besar akan ditemukan jika

diberikan dengan dosis yang lebih tinggi dan kepada pasien yang muda. Kelainan

postur dan gerakan (yang meliputi efek samping ekstrapiramidal) menyertai semua

jenis preparat antagonis dopamine.

Efek samping kardiovaskuler

Preparat antagonis D2 berkaitan dengan distripnia jantung, khususnya bila

disuntikan dengan cepat lewat jalur intavena (Spencer, 1993). Distripnia jantung

terutama terjadi pada ibu hamil yang mengalami penipisan kalium, misalnya karena

muntah yang lama atau pemberian bersama kortikosteroid, ritodrin atau preparat

diuretik. Distrimia jantung dapat pula terjadi karena interaksi obat. Metoklopramid

dapat menyebabkan takikardia dan kenaikan tekanan darah yang harus dipantau. Obat

ini juga berpotensi untuk menyerupai kerja aldosteron dengan menimbulkan

kehilangan kalium dan retensi natrium serta air. Karena itu, pemberian metoklopramid

bukan merupakan saran yang baik bagi ibu hamil dengan retensi cairan atau deplesi

kalium (govoni dan hayes, 1990;Spencer, 1993).

Page 5: bahan skripsi2

Obat-obat golongan fenotiazin (misalnya ploklorperazin) menghambat kerja

vasokonstriktor yang dimiliki noradrenalin (norepinefrin) pada pembuluh darah

tepi.Vasodilatasi yang diakibatkan akan menurunkan tekanan darah sehingga pasien

merasa dingin dan dapat menyebabkan hipotensi ortospatik. Pada pasien yang berusia

muda, ketidakmampuan untuk mengatur pembuluh darah tepi menyebabkan gejala

vertigo atau pening ketika ia berdiri secara tiba-tiba. Hipotensi dapat menurunkan

aliran darah plasenta karena itu, jika fenotiazin akan diberikan kepada ibu yang hamil,

maka diperlukan pemantauan fetal yang ketat, khususnya bila dilakukan penyuntikan

intraspinal preparat analgesik bersama dengan opioid.

SIADH (Syndrome Inappropriate ADH)

SIADH (Glosarium) merupakan efek samping yang jarang terjadi dalam

pemakaian beberapa obat (termasuk obat-obat golongan fenotiazin, opioid dan obat-

obat anastesi). Gambaran kliniknya berupa intoksikasi air.

Efek samping antimuskarinik

Baik obat-obat golongan fenotiazin (termasuk prokloperazin) maupun

golongan antihistamin dapat menimbulkan efek samping antimuskarinik

(antikolinergik). Kedaan ini menyebabkan mulut kering, retensi urin dan konstipasi.

Reaksi hipersensitivitas

Ruam, spasme bronkus, edema periorbital dan methemoglobinemia

(glosarium) pernah dilaporkan pada pemakaian metoklopramid (Spencer, 1993).

Semua obat golongan fenotiazin pernah terlibat dalam kasus hepatitis, agramulositosis

dan difungsi hepar.

4. Interaksi Obat

Berbagai macam obat dapat mengadakan interaksi. Beberapa pemakaian kombinasi

obat memerlukan modifikasi takarannya.

a. Hambatan gerak

Bila dua macam obat golongan antagonis D2 atau lebih diberikan secara

bersama-sama, resiko timbulnya kelainan gerak akan meningkat. Karena itu, ibu

hamil yang mendapatkan obat-obat golongan antipsikotik, litium, metildopa atau

beberapa obat antihistamin non sedasi (astemizol, terfenadin) dapat mengalami efek

samping SSP yang serius jika memperoleh pula metoklopramid atau proklorperazin.

Seorang ibu hamil yang berusia muda mengalami reaksi distonia akut dan obstruksi

Page 6: bahan skripsi2

pernafasan ketika mendapatkan metoklopramid setelah pemberian proklorperazin

(stockley, 1999).

b. Peningkatan Sedasi

Bila dua buah preparat sedative diberikan secara bersamaan, efeknya akan

menjadi lebih kuat. Preparat antagonis D2 akan meningkatkan depresi SSP pada

semua pemberian preparat sedative yang meliputi alcohol, apioid, barbiturate,

antihistamin, benzodeazepin dan obat-obat anastesi. Kombinasi meperidin (petidin)

dengan fenotiazin (termasuk proklorperazin) meningkatkan resiko terjadinya depresi

pernafasan, sedasi, intoksikasi SSP dan hipotensi (Stockley, 1999).

c. Kehilangan Efek

Efek peredaan stasis lambung oleh preparat antagonis D2 akan dilawan oleh

opioid.

d. Penurunan Ambang Kejang

Efek protektif yang dimiliki oleh obat-obat antikonfulsan dapat berkurang.

Metoklopramid

Mengubah absorpsi dari dalam usus

Metoklopramid meningkatkan absorpsi sebagian obat seperti aspirin,

parasetamol, alcohol, siklosporin serta tetrasiklin, dan menurunkan absorpsi sebagian

obat lainnya seperti digoksin, atovaquon, fosfomisin serta simetidin. Perubahan dalam

absorpsi makanan dapat mempengaruhi respons tubuh terhadap insulin. Takaran

pemberian akan di ubah oleh dokter yang meresepkannya.

Fenotiazin

Menimbulkan risiko hipotensi

Hipotensi lebih cenderung terjadi pada pemakaian obat-obat golongan

antihipertensi, diuretic, opioid, obat-obat anastesi dan antidepresan trisiklik.

Pemberian bersama dengan epinefrin (adrenalin) dapat menimbulkan hipotensi dan

takikardia (Karch, 1992).

Menimbulkan potensi relaksan otot

Keadaan ini dapat mengakibatkan apnea yang berkepanjangan. Karena itu,

penggunaan kombinasi obat ini biasanya dihindari.

Menimbulkan risiko disritmia jantung

Page 7: bahan skripsi2

Obat-obat yang digunakan pada penyakit jiwa, obat-obat untuk disritmia jantung,

beberapa preparat antihistamin nonsedasi (astemizol, terfenadin), beberapa obat

antimalaria (halofantrin) dan deplesi kalium akan meningkatkan kemungkinan

terjadinya disritmia jantung.

Menimbulkan akumulasi

Simetidin (bukan ranitidin) akan mengurangi eliminasi hepatik obat-obat

golongan fenitiazin dan memperberat efek samping yang ditimbulkannya.

5. Antihistamin

Istilah ini dipakai untuk preparat antagonis reseptor H1. Obat-obat golongan ini

dibagi menjadi :

Golongan antihistamin yang menimbulkan sedasi (misalnya bromfeniramin,sinarizin,

meklozin, trimeprazin, siklizin, prometazin, klorfeniramin). Prometazin hidroklorida

tersedia dengan nama dagang Phenergan Prometazin teoklat dipasarkan dalam

bentuk tablet 25 mg dengan nama dagang Avomine. Obat-obat ini kadang kala

digunakan untuk meredakan gejala emesis pada kehamilan dini, selama persalinan

atau pasca-anestesi.

Golongan antihistamin yang tidak menimbulkan sedasi atau nonsedasi (mis.setirizin,

terfenadin, akrivastin, loratadin). Sedasi yang ditimbulkan tidak begitu menonjol

tetapi tetap penting bagi kerja obat-obat antihistamin nonsedasi (BNF, 2000). Obat-

obat ini digunakan untuk meredakan gejala pada kelainan energy, seperti hayfever

dan urtikaria. Kini obat-obat golongan antihistamin nonsedasi tidak diikut sertakan

dalam buku ini karena pabrik pembuatnya menyarankan untuk menghindari

pemakaiannya pada kehamilan dan laktasi.

Penggunaan antihistamin

Pengobatan antiemetic yang menyertai pemakaian opioid, obat anastesi atau

keadaan mabuk perjalanan.

Peredaan pruritus atau urtikaria yang di sebabkan oleh opioid, misalnya setelah

terapi analgesia intraspinal.

Penanganan emerjensi anafilaksis dan angioedema sesudah pasien mendapatkan

suntikan epinefrin (adrenalin) (BNF, 2000)

Page 8: bahan skripsi2

Reaksi hipersensitivitas yang meliputi alergi obat, pruritus, urtikaria, sengatan

serangga dan hayfever. Pemberian antihistamin sebelum terjadinya pelepasan

histamin misalnya pada awal musim hayfever, merupakan tindakan pencegahan

yang penting.

Premedikasi dan sedasi, misalnya prometazin, trimeprazin.

Insomnia dengan pemakaian obat yang di beli bebas, misalnya prometazin.

Peredaan batuk dan selesma dengan pemakaian obat yang dibeli bebas, misalnya

tripolidin, difenhidramin (Benylin®).

Cara tubuh menangani antihistamin

Obat-obat antihistamin mulai bekerja dalam waktu 15-60 menit sesudah pemberian

oral , diabsorpsi secara maksimal dalam waktu satu hingga dua jam, dan berlangsung

kerjanya selama tiga hingga enam jam. Obat-obat ini melintasai sawar darah / otak serta

plasenta dan masuk ke ASI. Eliminasiya terjadi lewat hati dan ginjal.

Peran Histamin

Histamin ditemukan dalam sebagian besar jaringan tubuh, khususnya paru-

paru,kulit,otak dan usus. Histamin terlibat dalam fungsi SSP, sekresi asam lambung dan

kontraksi otot polos. Zat ini juga merupakan mediator kimia yang pennting pada reaksi

anafilaksis, alergi dan inflamasi. Beberapa tipe reseptor histamin telah diteliti secara

ekstensif. Obat-obat yang bekerja pada reseptor H1 dan H2 kini banyak

digunakan.Antagonis reseptor H2 (seperti ranitidine dan simetidin)

Kerja histamin lewat reseptor H1

Kontraksi otot polos dalam paru-paru,usus dan uterus

Vasodilatasi

Inflamasi. Penyuntikan histamin intradermal menyebabkan kemerahan, bilur dan flare

pada kulit yang terjadi akibat vasodilatasi mikrovaskulatur dan peningkatan

permeabilitas venula

Gatal-gatal

Pengaturan system saraf pusat; neuron yang mengandung histamin ditemukan dalam

semua bagian pada system saraf pusat yang meliputi korteks serebri dan medula

spinalis

Page 9: bahan skripsi2

Efek Samping antihistamin

Obat-obat antihistamin yang menimbulkan sedasi akan menimbulkan efek samping

yang berhubungan dengan inhibisi terhadap histamin maupun asetilkolin. Efek samping

yang sama dimiliki pula oleh obat-obat antiemetik golongan fenotiazin, seperti

proklorperazin.

Sistem saraf pusat

Baik stimulasi maupun depresi pada SSP merupakan efek samping yang mungkin

dimiliki oleh preparat antagonis H1. Efek yang biasanya terjadi meliputi

sedasi,somnolensia, penurunan kewaspadaan, waktu reaksi yang melambat, konfusi,

keletihan, depresi, kelemahan atau perasaan berat pada kedua belah tangan dan

gangguan koordinasi, termasuk diplopia. Semua ini membuat pekerjaan

mengemudikan kendaraan menjadi berbahaya.

Keadaan mengantuk akan bertambah berat jika ibu hamil memperoleh pula

preparat sedative lainnya yang meliputi alcohol dan opioid. Silizin tidak

begitu menimbulkan sedasi jika dibandingkan dengan obat-obat lain dalam

kelompok ini (McLaughlin & Thompson, 1995).

Jika seorang ibu yang menyusui menggunakan preparat antuhistamin,bayi

yang disusulnya itu dapat mengalami sedasi,tidak mau menyusu dan berat

badannya tidak akan bertambah secara memadai. Sedasi dapat pula

mengganggu asupan cairan dan nutrient pada orang dewasa.

Meskipun sedasi merupakan respons yang lazim,kadang-kadang pasien menjadi

gelisah,gugup dan mengalami insomnia pada pemberian dengan dosis konvensional

(Babe & Serafin,1996). Konvulsi mungkinsaja terjadi,khususnya pada neonates serta

anak-anak,dan peringatan terhadap kemungkinan ini harus disampaikan pada

penderita epilepsi (BNF,2000;Malseed et al,1995). Manifestasi aksitesi SSP lainnya

meliputi: pusing, sakit kepala, tinnitus, euphoria, tremor dan iritabilitas. Beberapa

preparat antihistamin (mis.prohistamin) memiliki rumus bangun yang berhubungan

dengan fenotiazin dan dapat menyebabkan gangguan postur serta gerakan tubuh.

Sistem Kardiovaskuler

Page 10: bahan skripsi2

Histamin merupakan vasodilator yang poten.efekini dsapat dibalikkan oleh

preparat antihistamin. Kerja yang dimiliki oleh antihistamin ini dapat menyelamatkan

jiwa pasien yang mengalami reaksi anafilaksis dan angioedema. Namun

demikian,preparat antihistamin dapat bekerja pada reseptor H1 untuk menimbulkan

vasodilatasi sehingga terjadi hipotensi,hipotensi ortostatik,perspirasi dan sakit kepala

(malseed et al,1995).

Gangguan usus dan hati

Beberapa orang akan menaglami kehilangan selera makan,nyeri

abdomen,konstipasi,diare,mual atau muntah ketika menggunakan obat-obat

antihistamin. Luka-luka seperti sariawan pada mulut dan lidah merupakan masalah

yang kadang-kadang terjadi.meminum obat tersebut dengan susu atau bersama

makanan dapat menjadi strategi yang efektif (Lucas,1992). Kadang-kadang,selera

makan meningkat dan penambahan berat badan dapat terjadi (Babe & Seraffin,1996).

Efek samping antimuskarinik

Semua obat yang merupakan antagonis histami memilki sifat antimuskarinik

(antikolinergenik). Meskipun menguatkan kerja antiemetiknya,sifat ini akan

menambah efek samping. Efek samping ini ditimbulkan oleh kerja obat yang

menghambat kerja system saraf parasipatik di seluruh tubuh.

Semua obat antimuskarinik menghambat kelenjar yang mensekresikan mucus

untuk membasahi seluruh dinding epitel tubuh seperti dinding traktus

digestivus,respiratorius serta urogenitalis dan konjungtiva mata. Penghambatan

sekresi kelenjar tersebut membuat jaringan tubuh menjadi kering sehingga timbul

gangguan rasa nyaman dan perasaan haus. Pengeringan traktus respiratorious dapat

mempercepat pembentukan “mucus plug” yang menghambat aliran udara pernapasan

sehingga memudahkan terjadinya infeksi dan memperburuk serangan asma.

Kewaspadaan

Seperti halnya pada semua obat, riwayat hipersensitivitas merupakan kontraindikasi

pemberian antihistamin.

Preparat antihistamin pada ibu berpotensi untuk membahayakan bayi yang menyusu

pada ibunya (Lucas,1992). Pemberian dosis tunggal pada ibu dapat menimbulkan

Page 11: bahan skripsi2

sedasi pada bayi yang menyusu.Pemberian yang berkali-kali dapat mengakibatkan

letargi,kegagalan menyusu dan berat badan bayi yang tidak bertambah.

Penghentian pemberian antihistamin yang tiba-tiba setelah penggunaan yang teratur

dapat menyebabkan gejala putus obat,seperti kegugupan,ataksia,spasme otot dan

eksitabilitas,khususnya pada neonatus yang terpajan dengan obat-obat ini in utero

lerno (Mckenry & Salerno,1995).

Penggunaan dalam kehamilan harus dilakukan berdasarkan saran Dokter spesialis

ketika manfaat pemberiannya lebih kecil dari pada risiko yang di ketahui.

Efek antiemetik pada janin

Karena para bidan sering diminta sarannya tentang keadaan emesis pada kehamilan

dini,berikut ini merupakan rangkuman bukti-bukti yang sudah terdapat:

Preparat antihistamin di anggap sebagai obat antiemetik yang paling aman dalam

kehamilan dini (Mazzota & Magee,2000), kendati preparat tersebut acapkali tidak

efektif.karena hasil-hasil penelitian masih saling bertentangan dan obat-obat

tersebut sudah banyak di gunakan di masa yang lalu, maka risiko terhadap janin

kemungkinanannya rendah bila pengobatan di lakukan secara terbatas hanya pada

satu atau dua kali pemberian demikian pula,penekanannya sendiri berkaitan dengan

malformasi janin (Hansen et al,2000).

Prometazin teoklat (Avomine) biasanya merupakan obat antiemetik,pilihan

pertama yang di berikan pada saat akan mau tidur (Po & Po,1992). Namun,

pemakaian obat ini berkaitan dengan kelainan kongenital displasia sendi paha.

Skilizin (Valoid) pernah berkitan dengan beberapa kelainan kongenital,kendati

keadaan ini belum terbukti jelas dalam sejumlah penelitian prospektif terkontrol.

Meklozin (Sea-legs) dapat membawa peningkatan risiko palatoskizis atau efek pada

mata yang bersifat kongenital (Howden,1995).

Dimenhidrinat (Dramamine) pernah berkaitan dengan abortus spontan (Rayburn &

Conover,1993).

Obat antihistamin yang menimbulkan sedasi,yaitu bromfeniramin (Dimotane) yang

di konsumsi dalam trimeter pertama kehamilan pernah berkaitan dengan pelbagai

efek kelahiran (Pangle,2000).

Beberapa obat antiemetik dan analgetik yag di jual bebas,yag mengandung kafein

dengan jumlah yang cukup besar sehingga dalam takaran harian melebihi 600 mg

Page 12: bahan skripsi2

kafein,pernah berkaitan dengan berat badan lahir yang rendah (McKenry &

Salerno,1998).

Jika digunakan dalam trimester terakhir,khususnya dalam dua minggu

terakhir,pemberian preparat antihistamin ini pernah berkaitan dengan peningkatan

insiden fibroplasia retolental pada bayi prematur (Rayburn & Conover,1993;

Pangle,2000).

6. INTERAKSI OBAT

Efek samping obat-abat antihistamin akan bertambah parah dengan pemberian obat

lain yang memiliki kerja serupa .

Pemberian preparat sedatif lainnya,seperti alkohol atau opioid,akan sangat

meningkatankan gejala sedasi

Pemakaian bersama obat lain yang memiliki kerja antimuskarinik,seperti obat-abat

golongan fenotiazin atau antidepresan trisklik,akan menimbulkan keluhan kekeringan

mulut yang signifikan,takikarida dan berbagai efek samping lainnya.

Jika pemberian antihistamin di kombinaskan dengan oabat-obat yang dapat merusak

saraf vesitubulokohlearsis ( auditorius ),seperti furosemid (frusemid),gentamisin atau

salisilat,setiap kerusakan pada saraf ini akan di tutupi sehingga tidak terdeteksi dan

dengan akan meningkatkan risiko kerusakan yang ireversibel.

7. Antiemetik lainnya

Preparat antimuskarinik, antagonis serotonin, piridoksin (vitamin B6), kanabinoid,

benzodiazepine dan kortikosteroid (khususnya deksametason) merupakan obat

antimuntah yang berguna pada beberapa keadaan. Pemberian metilprednisolon oral

pernah dilakukan dengan hasil yang baik pada hiperemesis gravidarum (Safari et al,

1998), kendati pemberian hormone adrenokortikotropik tidak efektif (Jewell & Young,

2000).

Obat-obat antimuskarinik

Obat-obat antimuskarinik, seperti atropine dan hiosin / hyoscine (skolopamin),

umumnya merupakan obat antiemetic pilihan kedua sesudah obat-obat antihistamin.

Hiosin Hidrobromida (Kwells®) merupakan obat penting yang dijual bebas untuk mabuk

kendaraan obat ini bersifat sangat sedatif

Page 13: bahan skripsi2

Preparat antagonis serotin

Serotin (5-hidroksitriptamin, 5HT) merupakan neurotransmitter yang ditemukan

diseluruh jaringan otak dengan memiliki berbagai macam reseptor dan kerja. Reseptor

yang terlibat dalam peristiwa muntah terutama reseptor 5HT3 tetapi kelas reseptor yang

lain (5HT4) juga terlibat. Reseptor ini dijumpai di dalam pusat muntah, zona pemicu

kemureseptor dan dinding usus yang kalau dirangsang akan menimbulkan muntah atau

emesis, dalam bidang kebidanan, ondandetron paling sering digunakan pada saat sesudah

pembedahan.

Granisetron lebih efektif daripada metoklopramid atau droperidol dalam

mengurangi gejala mual dan muntah yang terjadi setelah anastesi spinal untuk

seksioCaesarea (Fujii et al, 1998). Efek samping yang terdapat pada ondansetron berupa

sakit kepala, flushing, sedasi, mulut kering, gemeteran, hipotensi, retensi urin, gangguan

visual, peningkatan kadar enzim hati, serangan epilepsy.

Piridoksin

Piridoksin telah digunakan sebagai obat antiemetic selama 40 tahun dan mungkin

merupakan preparat yang aman serta efektif untuk pemakaian pada kehamilan dini.

Pemberian piridoksin 30-200 mg per hari dapat mengurangi gejala mual selama lima hari.

Takaran pemberian piridoksin yang dianjurkan 15-100 mg dua kali sehari yang berada

diatas kebutuhan per hari terhadap vitamin tersebut.

Dengan takaran 2 mg/hari, piridoksin akan menyebabkan neuropati perifer (kebas,

parestesia, cara berjalan yang goyah). Ini menunjukan bahwa takaran yang dianjurkan itu

tidak boleh dilampaui.

Kanabinoid

Kanabis digunakan oleh para penderita sklerosis diseminata untuk meredakan rasa

nyeri dan muntah. Nabilon dikembangkan untuk memasukkan efek antiemetic yang

dimiliki oleh kanabis tanpa mengikutsertakan kerja euforianya. Semua preparat

kanabinoid menimbulkan sedasi, mulut kering, kehilangan selera makan, gangguan tidur,

halusinasi, psikosis, vertigo dan disorientasi.Penggunaan nabilon cenderung digantikan

oleh dronabinol yang memiliki insiden efek samping yang lebih rendah. Penggunaan

semua jenis kanabinoid (yang diberikan dengan atau tanpa resep) merupakan

kontaindikasi dalam kehamilan dan laktasi.