bahan refarat pterigium
-
Upload
wenny-ria-rumanga -
Category
Documents
-
view
244 -
download
6
description
Transcript of bahan refarat pterigium
Patofisiologi 3,5
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan
ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan
konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua
mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan
kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian
melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak
dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung,
bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat
pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan
pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.
Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi
fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium. Histopatologi kolagen
abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan
hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan
tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa
dihancurkan oleh elastase.
Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel yang
basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E . Berbentuk ulat atau
degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang
degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel
diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan
displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.
Gambar 9. Histopatologi Pterigium
Gejala Klinis 3
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara
lain:
a) Mata sering berair dan tampak merah
b) Merasa seperti ada benda asing
c) Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium
tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irreguler
sehingga mengganggu penglihatan
d) Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis
visual sehingga tajam penglihatan menurun.
Bila masih baru, banyak mengandung pembuluh darah, warnanya menjadi merah,
kemudian menjadi membran yang tipis berwarna putih dan stasioner. Bagian sentral
melekat pada kornea dapat tumbuh memasuki kornea dan menggantikan epitel, juga
membran bowman, dengan jaringan elastik dan hialin. Pertumbuhan ini mendekati pupil.
Biasanya didapat pada orang-orang yang banyak berhubungan dengan angin dan debu,
terutama pelaut dan petani. Kelainan ini merupakan kelainan degenarasi yang berlangsung
lama. Bila mengenai kornea, dapat menurunkan visus karena timbul astigmat dan juga
dapat menutupi pupil, sehingga cahaya terganggu perjalanannya.
Diagnosis Pterigium
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data administrasi dan
data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk mengetahui faktor resiko
pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia 20-30 tahun dan jenis kelamin laki-
laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan
pasien terpapar sinar matahari.3
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa mata sering
berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan
keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat menimbulkan diplopia. Biasanya
penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya
keganasan atau alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang
mengganjal.1,3
2. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai lipatan
berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fisura
interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala
pterigium (stoker’s line). Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah nasal. Perluasan
pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi visual axis,
menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai
pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme pada tahap regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap. Bagian
segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah limbus disebut body,
bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang disebut cap. Subepitelial cap atau halo
timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium.1,3,5,7
Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat atau
klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi beberapa kelompok
yaitu:
a. Berdasarkan perjalanan penyakit
1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan
kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membran
tetapi tidak pernah hilang.
b. Berdasarkan luas pterigium
1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea
2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati
kornea
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil mata
dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)
4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan8
Gambar 3. Pterigium grade III, di mana pterigium telah melewati kornea lebih dari 2mm,
namun belum melewati pupil. (sumber: www.icoph.org)
c. Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp
1). T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat
2). T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
3). T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas
Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan pinguekula dan pseudopterigium.
Pembeda Pterigium Pinguekula Pseudopterigium
Definisi Jaringan
fibrovaskular
konjungtiva
bulbi berbentuk
segitiga
Benjolan pada
konjungtiva
bulbi
Perlengketan
konjungtiba bulbi
dengan kornea yang
cacat
Warna Putih
kekuningan
Putih-kuning
keabu-abuan
Putih kekuningan
Letak Celah kelopak
bagian nasal
atau temporal
yang meluas ke
arah kornea
Celah kelopak
mata terutama
bagian nasal
Pada daerah
konjungtiva yang
terdekat dengan
proses kornea
sebelumnya
6♂:♀ ♂ > ♀ ♂ = ♀ ♂ = ♀
Progresif Sedang Tidak Tidak
Reaksi
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Tidak ada Tidak ada Ada
Pembuluh Lebih menonjol Menonjol Normal
darah
konjungtiva
Sonde Tidak dapat
diselipkan
Tidak dapat
diselipkan
Dapat diselipkan di
bawah lesi karena
tidak melekat pada
limbus
Puncak Ada pulau-
pulau Funchs
(bercak kelabu)
Tidak ada Tidak ada (tidak
ada head, cap,
body)
Histopatologi Epitel ireguler
dan degenerasi
hialin dalam
stromanya
Degenerasi
hialin jaringan
submukosa
konjungtiva
Perlengketan
Tabel 1. Diagnosis banding pterigium (dikutip dari Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor,
Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum. Edisi 14.Jakarta: Widya Medika,2000,hal 5-
6.111, Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto)
Diagnosa Banding
a. Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna
kekuningan. Keadaan ini tampak sebagai nodul pada kedua sisi kornea yang kebih
banyak di sisi nasal. Pinguekula merupakan degenaris hialin jaringan submukosa
konjungtiva. Pinguekula sangat sering pada orang dewasa. 3
Gambar 9. Pinguekula
b. Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat.
Terdapat Suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan
dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea.1,3
Gambar 10. Pseudopterigium
Penatalaksanaan Pterigium
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan
jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterygium
yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada pterigium derajat 1
atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan. Pengobatan tidak diperlukan karena
bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterigium meradang dapat
diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Lindungi mata yang terkena pterigium
dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda
radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan steroid . Bila terdapat delen (lekukan
kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokonstriktor maka perlu
control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat perbaikan pengobatan dihentikan.1
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap termasuk
gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang progresif menuju
tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan bola mata. Eksisi pterigium
bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang licin.
Teknik bedah yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium adalah dengan
menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah limbus. Walaupun
memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada limbus lebih disukai, namun
tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di daerah medial, karena kadang-
kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma tidak disengaja di daerah jaringan otot.
Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan.6,8
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple surgical
removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat menurunkan tingkat rekurensi
hingga 5% adalah conjunctival autograft (Gambar 4). Dimana pterigium yang dibuang
digantikan dengan konjungtiva normal yang belum terpapar sinar UV (misalnya konjungtiva
yang secara normal berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva normal ini biasaya
akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk menyebabkan pterigium
rekuren.12
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi
dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk
menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan
hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka
kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus
pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.10
Indikasi Operasi pterigium
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6
Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan
dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah
digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat
kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah
langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan
ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang
lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.1
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera untuk
epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan.1
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40 persen pada
beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari
konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di
eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal
ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft
konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari
grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan
menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka
kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.1
3. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini
belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah
membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan
epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang
ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen
untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft
konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya
ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma
menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin
untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya.
Lemfibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.1
Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah,
dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan
pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan
penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal
yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi
intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan
penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.1
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data
yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi
termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah
mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.1
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan
dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai
6minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan
dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta.
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama
6minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan
steroidselama 1 minggu.6
Gambar 4. Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterygium,
(b).Pterygium removed, (c).Leaving bare area, (d).Graft outlined,
(e).Graft sutured into place (diambil dari www.baysideeyes.com.au diakses 21
Februari 2015)
G. Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada rektus medial
dapat menyebabkan diplopia.11,12
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:
Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan
komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage atau retinal
detachment
Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting pada sklera
dan kornea
Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium post
operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-kira 50-80 %. Dapat
dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau amnion graft.
Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel di atas
pterigium.11