Bahan presentasi
-
Upload
ghinahanny -
Category
Documents
-
view
50 -
download
0
Transcript of Bahan presentasi
BAB IIIPANCASILA
Pada bagian ini pembaca diajak untuk kembali mengingat ikatan dasar dari bangsa
Indonesia. Awalnya adalah kelompok, yang memiliki ciri-ciri dasar khusus. Beberapa di
antaranya adalah mempersepsi dan dipersepsi sebagai satu kesatuan, memiliki tujuan yang
sama dan anggota merasa dirinya sebagai bagian kelompok (Halida, 2009: 168). Dengan
demikian, bergabungnya individu dalam satu kelompok kecil atau besar karena yang
dianggap adanya kesamaan-kesamaan tertentu akan dapat meningkatkan rasa percaya diri
dan tujuan yang dapat diraih bersama.
Bagi banyak negara yang baru saja merdeka dan berdaulat, mereka menghadapi
masalah bagaimana membangun rasa kebangsaan. Para pendiri bangsa yang sejak awal
menyadari hal ini, karena pada awalnya yang disebut sebagai bangsa Indonesia , belum
ada. Yang ada adalah kelompok-kelompok besar berdasarkan etnis dan kelompok berbasis
keagamaan. Untuk itu, dari berbagai cara untuk membangun kesatuan dalam kelompok
besar atau bangsa, diajukan pola yang dianggap sama dan dapat diterima oleh semua pihak.
Karena ikatan-ikatan primordial seperti etnis dan agama tidak dapat dikenakan pada
bangsa Indonesia, dibutuhkan ikatan lain yang dianggap umum sekaligus berbeda dengan
bangsa lain. Akhirnya, para pendiri bangsa, khususnya Soekarno, mencetuskan ide bahwa
nilailah yang dapat menimbulkan rasa kesatuan itu. Soekarno menyebutnya sebagai lima
nilai dasar atau yang sekarang dikenal sebagai Pancasila. Upaya ini adalah sebuah bentuk
Setelah membaca bab ini diharapkan mahasiswa mampu memahami
secara kritis nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sebagai nilai
dasar berperilaku, dan menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, pada situasi dunia yang dinamis.
kreasi sosial yang bermanfaat bagi pengembangan dan pembedaan kelompok (Tajfel, 1974:
84).
A. Menuju Nilai Pancasila
Kekhawatiran dalam melihat Pancasila adalah ketika mengingat bahwa Pancasila
sempat diajarkan dengan cara-cara yang justru membuat masyarakat tidak nyaman. Dalam
kurun waktu tertentu, Pancasila pernah dijadikan mitos (Somantri, 2006: 18), bahkan
untuk menyampaikan Pancasila digunakan cara-cara yang bernuansa indoktrinasi (Azra,
2010: 10). Melalui program yang disebut sebagai penataran Pendidikan, Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4) oleh pemerintah Orde Baru, nyaris tak ada institusi yang tidak
tersentuh oleh Pancasila. Walau terlihat sukses, justru Pancasila dianggap tidak lagi
menjadi bagian bangsa Indonesia. Sebaliknya, Pancasila justru menjadi produk milik
penguasa yang berorientasi pada pemaksaan kehendak daripada pengembangan dari nilai
berkehidupan dan bermasyarakat bangsa Indonesia (Wirutomo, 2012: 298). Padahal,
Pancasila sejatinya adalah nilai (Kusuma, 2010: 23). Dengan demikian, sudut pandang dari
tulisan ini adalah melihat nilai sebagai landasan berperilaku. Perilaku ini diaplikasikan
sebagai bangsa, warga Negara, dan pada akhirnya menjadi warga dunia.
Hal mendasar dari nilai adalah suatu konsep yang dianggap baik atau buruk dan
tepat atau tidak tepat yang disepakati oleh masyarakat. Adanya kata “masyarakat”
menandakan bahwa nilai yang diutamakan saling berbeda ada kemungkinan pada tiap
kelompok masyarakat . Dalam konteks bangsa, masing-masing bangsa mempunyai nilai-
nilai yang dianggap paling utama sebagai pandangan hidup bangsa (Rinjin, 2010: 59).
Sebagai contoh, nilai yang utama (core value) bangsa Amerika Serikat (AS) tidak sama
dengan nilai utama India dan nilai utama dari kedua bangsa tadi tidak sama dengan bangsa
Indonesia (Kusuma, 2010: 26-27).
B. Pancasila yang Mewujud dalam Kehidupan Sehari-hari
Nilai dijunjung oleh masyarakat karena memberikan arahan dalam pengambilan
keputusan dan bentuk kegiatannya (Rinjin, 2010: 59). Dengan diketahui nilai yang dianut
dari individu, dapat diperkirakan tingkah lakunya, dalam berbagai situasi (Rokeach, 1973:
122). Berdasar hal itu, nyaris dipastikan adanya keselarasan antara nilai dan tingkah laku
individu/masyarakat. Misalnya, ditemukan nilai kesetaraan (equality) lebih tinggi dan
berbeda secara cukup berarti pada kelompok mahasiswa yang menjadi anggota dari
asosiasi nasional untuk kemajuan orang dari kelompok berwarna dibandingkan dengan
yang bukan anggota (Rokeach, 1973: 123). Nilai yang spesifik, seperti nilai menolong, juga
berhubungan positif dengan sikap untuk mendonasikan uang untuk penelitian kanker
(Maio dan Olson, 1995: 280).
Namun, pada kenyataannya terdapat banyak hal yang tidak menunjukkan
keselarasan antara nilai, karakter, dan tingkah laku individu atau masyarakat di
masyarakat itu sendiri. Dapat saja seseorang yang menjunjung nilai kejujuran melakukan
tindakan tidak terpuji seperti mencuri atau korupsi. Atau dapat terjadi, tindakan yang baik
seperti menyeberangkan lansia di jalan raya oleh seseorang belum tentu didasari nilai
hormat pada lansia tadi. Dengan demikian, antara nilai dan tingkah laku belum tentu
sejalan. Oleh karena itu, terlepas dari hubungan nilai dengan tingkah laku, nilai amat
diyakini sebagai bagian dari diri dan penghubung antara individu dan masyarakatnya
(Hitlin, 2003: 119).
Bagi masyarakat Indonesia Pancasila sebagai nilai merupakan fondasi dari
pembentukan karakter. Karakter adalah segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar dari
dan disesuaikan dengan nilai dan norma tertentu (Allport, 1937 dalam Takwin, 2011: 117).
Merujuk pada definisi ini, karakter dapat dipengaruhi oleh dua faktor yakni nilai dan
norma. Kedua faktor ini yang secara alami ada di lingkungan sosial dari individu. Secara
khusus dalam konteks bermasyarakat dan bernegara di Indonesia nilai yang menjadi
rujukan adalah nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Harapan bahwa nilai menjadi dasar tingkah laku tidak lepas dari adanya kekuatan
sosial di sekitar individu. Penguatan nilai yang dipegang individu mewujud pada tingkah-
tingkah laku yang disepakati bersama oleh lingkungan sosial. Yang perlu ditambahkan
adalah kemungkinan terjadi sebuah nilai yang dianggap penting dalam satu kelompok,
tidak diterapkan terhadap kelompok lainnya. Sejarah mencatat bahwa sekitar 1200 SM,
suku Doria di kawasan Mediterania amat memedulikan sesama mereka. Namun, perlakuan
mereka terhadap kelompok lain justru sebaliknya, mereka berlaku kejam dengan
melakukan ekspansi terhadap kelompok lain (Gonick, 2006: 226).
C. Mengapa Nilai Pancasila sebagai Fondasi Bertingkah Laku?
Keinginan para pendiri bangsa saat mengemukakan ide Indonesia tentu harus
didasari oleh pemahaman tentang keberagaman yang ada. Keberagaman ini harus dihargai
dan dihormati dalam bentuk toleransi yang cukup tinggi. Hal lainnya yang
dipertimbangkan adalah pilihan terbaik untuk membangun negara-bangsa yang khas
seperti Indonesia yaitu penemuan kesamaaan nilai dari beragam nilai yang dianut oleh
kelompok-kelompok yang ada. Ketika tercetus menjelang kemerdekaan, nilai-nilai umum
itu mengandung nilai ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, demokrasi, dan keadilan sosial.
Untuk selanjutnya, nila-nilai itu disebut sebagai Pancasila yang justru menekankan
toleransi (Somatri, 2006: 23; Ramage, 1995: 1).
Nilai Pancasila juga berhubungan positif sehingga kecenderungan masing-masing
nilai saling menguatkan pemahamannya.. Adapun nilai Pancasila yang selama ini dikenal
adalah yang tertulis dalam butir-butir Pancasila. Menurut Somatri, nilai di dalam Pancasila
tidak terpisahkan satu sama lain. Di sisi lain, dengan sudut pandang psikologi diketahui
bahwa secara empirik nilai dalam Pancasila adalah lima nilai dasar yang di dalamnya
terdapat sub-subnilai yang berdiri sendiri (Suwartono & Meinarno, 2010; Suwartono &
Meinarno, 2011; Markum, Meinarno & Juneman, 2011). Namun, secara empirik dipastikan
bahwa masing-masing nilai berhubungan satu sama lain. Temuan ini menjadi awal
pembuktian bahwa hubungan antarnilai bukan semata wacana yang sifatnya mengawang-
awang, sehingga menjadi yakin bahwa nilai-nilai ini penting bagi bangsa Indonesia.
Nilai Definisi RincianSila atau nilai pertama, ketuhanan
percaya pada Tuhan dan menjalankan perintah-Nya sesuai dengan keyakinan dan tidak memaksakan kepercayaan pada orang lain
faithfulness, toleransi pada kelompok yang berbeda keyakinan, spirituality and religiousness
Sila kedua, kemanusiaan
mengakui persamaan hak dan kewajiban, sayang pada sesama, menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasarkan sikap saling menghormati
respek, fair, courage
Sila ketiga, persatuan
mengutamakan kepentingan bangsa daripada diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa, dan mengembangkan rasa persatuan bagi bangsa.
loyalitas, kewarganegaraan (memiliki pendirian yang kuat terhadap
kewajibannya, setia kawan)
Sila keempat, demokrasi
pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk kepentingan bersama dengan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, dapat dipertanggungjawabkan dan melaksanakan keputusan yang diambil.
tanggung jawab, harmoni
Sila kelima, keadilan sosial
menjaga keseimbangan hak-kewajiban sosial dengan mawas diri (dalam bentuk kualitas luhur manusia) dan pengembangan diri yang bertujuan untuk memajukan kehidupan sosial.
persahabatan, keadilan dan kerendahatian, menolong
Tabel 1. Nilai Pancasila (Markum, Meinarno & Juneman, 2011)
Menjadi Indonesia adalah sesuatu yang khas. Hal ini tidak terlepas dari sejarah
Indonesia yang bukan sebagai perpanjangandari sejarah sebuah kelompok etnis atau satu
golongan agama tertentu. Keadaan ini seperti yang diajukan oleh Pilsudzki bahwa
negaralah yang membentuk bangsa dan bukan sebaliknya sebagaimana umumnya
(Simbolon, 2001 dalam Wirutomo, 2012: 7). Untuk itu, para pendiri bangsa (founding
fathers) bersepakat untuk secara perlahan membangun sebuah bangsa. Salah satu langkah
persiapan itu adalah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Ada tiga isu yang mengemuka
dalam Sumpah Pemuda, yakni bangsa, tanah air, dan bahasa persatuan. Dari ketiga isu ini,
yang dapat dikategorikan sebagai sebuah kreativitas sosial dalam membangun identitas
baru bangsa Indonesia adalah adanya bahasa Indonesia. Keberadaan bahasa bagi sebuah
bangsa menjadi penting karena hubungan antarkelompok di dalamnya dimulai dengan
bahasa yang dapat dipahami bersama. Pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin menempatkan
bahasa sebagai unsur dasar penting dari terbangunnya identitas nasional (Oomen, 2009:
199; Reicher & Hopkins, 2001: 8; Simpson, 2007: 333).
Nilai Pancasila sering dikaitkan dengan identitas nasional. Hal ini dapat dimengerti
karena Pancasila adalah produk dari masyarakat baru yang mengupayakan adanya pola
kesamaan di dalamnya. Penelitian menunjukkan adanya pola hubungan yang positif antara
identitas nasional dan nilai Pancasila (Meinarno dan Suwartono, 2011). Penelitian yang
dilakukan terhadap 165 remaja menujukkan bahwa adanya hubungan positif antara nilai
Pancasila dan identitas nasional. Hasil analisis statistik lebih lanjut menunjukkan bahwa
nilai Pancasila berkontribusi terhadap terbentuknya identitas nasional Indonesia dari para
partisipan remaja tadi. Hasil penelitian ini dapat menjadi awal pemahaman bahwa nilai
Pancasila penting bagi bangsa Indonesia. Langkah selanjutnya adalah bagaimana
mewujudkan nilai-nilai tadi di masyarakat agar tidak sekedar menjadi wacana sehari-hari.
D. Fondasi Berperilaku sebagai Bangsa
Nilai pertama dari Pancasila adalah ketuhanan. Nilai utama ini mengacu pada
keyakinan pada Tuhan dan hidup dengan menjalankan perintah-Nya tanpa mengganggu
urusan (utamnya) agama masing-masing. Ironisnya data menunjukkan perusakan rumah
ibadah semakin meningkat (Dhakidae, 2003 dalam Kusumadewi, 2012: 155). Pada hal
sejarah mencatat kenyataan yang berbeda. Masyarakat Indonesia membuktikan bahwa
menerima perbedaan dalam satu wadah sudah ada sejak zaman Majapahit. Dalam
menjalankan kerajaan Majapahit, Raja Hayam Wuruk memerintahkan para pejabat urusan
agama agar mengatur secara baik pelaksanaan dua agama besar secara berdampingan,
yaitu agama Hindu dan agama Buda (Poseponegoro & Notosusanto, 1993: 232). Catatan ini
penting untuk menjadi contoh bahwa berabad-abad lalu di Indonesia telah dikenal
pemahaman toleransi di bidang keagamaan. Berdirinya menara masjid Kudus dan
makanan sate kerbau (umat Hindu mengharamkan makan sapi, sebaliknya Muslim
mengadakan kurban dengan hewan ternak semisal sapi) adalah bagian dari sejarah yang
menunjukkan keberbedaan dapat hidup dalam kesatuan.
Nilai kedua Pancasila pada prinsipnya mengakui persamaan hak dan kewajiban,
sayang pada sesama, menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasarkan sikap saling
menghormati. Oleh karenanya, harapan utamanya akan tercermin dalam perilaku sebagi
individu dan masyarakat sebagai bangsa. Cerminan tingkah laku dari nilai kedua sebagai
bangsa adalah ketika mengakui bangsa-bangsa lain yang menyatakan diri merdeka dan
berdaulat sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ketika ada sebuah kedaulatan yang
berbasis penjajahan atas bangsa lain, Indonesia belum dapat menerima hal itu. Di sisi lain,
dalam kehidupan sehari-hari nilai ini dapat mewujud dalam keberanian untuk
menyatakan suatu hal yang benar di tengah situasi yang kurang selaras. Dalam kehidupan
sehari-hari, kita melihat bahwa perokok tidak mengidahkan hak dasar dari orang-orang di
sekitarnya. Saat ia menghembuskan asap rokok, maka orang lain yang tidak merokok
“dipaksa merokok bersama”. Menjadi aneh, ketika para perokok mendengung-dengungkan
hak untuk merokok sebagai hal utama, hak menghirup udara bersih bagi non-perokok dan
bahkan untuk perokok itu sendiri.
Dari lima nilai Pancasila, nilai ketiga berupaya untuk mengutamakan kepentingan
bangsa daripada diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa, dan pengembangan rasa
persatuan bagi bangsa. Berbagai bentuk tingkah laku dapat dilakukan untuk membuat
konkret nilai ini hadir di masyarakat. Salah satu pengejawantahan nilai patriotisme juga
dapat dilihat dalam produksi film tentang kebangsaan. Amerika Serikat dengan industri
film Hollywood menjadi buktinya. Mereka memberi slot atau bagian khusus untuk film
bertema perjuangan dengan latar Amerika Serikat, misalnya The Patriot dan Indepence Day.
Uniknya, mereka merilis film-film tersebut pada bulan Juli atau menjelang Juli. Industri
pertelevisian dan film Indonesia juga mulai melakukan hal yang sama. Acara-acara yang
menggugah patriotisme disuguhkan dan bahkan film-film layar lebar dengan tema yang
sama mulai berani merilis dengan film-film bertema umum lainnya, seperti gambar
berikut.
Gambar 3.1. Contoh poster film yang dibuat untuk menunjukkan jati diri bangsa.
Pada nilai keempat Pancasila mengetengahkan tema demokrasi. Pada dasarnya
demokrasi memosisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan penuh atas dirinya. Jauh
sebelum merdeka, bangsa Indonesia sudah mengenal pola demokrasi yang hidup di
masyarakat. Misalnya, ada mekanisme rapat desa di berbagai komunitas di pulau-pulau
nusantara. Tan Malaka pernah mengklaim bahwa demokrasi yang merupakan wujud
kedaulatan rakyat sudah dikenal sekitar abad XIV, setidaknya di Minangkabau. Di sana,
seorang raja tidak bisa semena-mena pada rakyatnya karena secara prinsip raja dibatasi
oleh sistem yang mengutamakan logika dan keadilan. Jika tidak dipenuhi, perintah raja
akan ditolak (Malaka dalam Latif, 2011: 387).
Upaya untuk mengejawantahkan nilai kelima dalam Pancasila sebagai bangsa
Indonesia telah diupayakan sebelumnya. Dalam keseharian kita sering mendengar istilah
gotong-royong, sebuah aktivitas bantuan kepada pihak lain yang meminta secara santun
untuk menyelesaikan satu tugas agar tercapai tujuan bersama (Koentjaraningrat, 1977: 6;
Marzali, 2005: 159). Pada masyarakat desa yang agraris, membangun saluran air untuk
sawah pribadinya jelas bukan sekadar pekerjaan pribadi, melainkan terkait pula dengan
warga lain. Maka, hak untuk mendapatkan air seiring dengan kewajiban menjaga sumber
dan saluran air untuk pertaniannya. Contoh lain menunjukkan bahwa nilai kelima
diwujudkan untuk membangun karakter. Isu plagiarisme memperlihatkan kurang mawas
diri dalam mengamati hak dari kewajiban menjalankan tanggung jawab sebagai peneliti.
Gambar 3.2. Wilayah
Indonesia
E. Berlaku sebagai Warga Negara
UUD 1945 yang didasari Pancasila juga telah mewujudkan hak dan kewajiban. Hak-
hak dan kewajiban ini yang membuat hubungan individu dan negara mencapai
keselarasan. Rida (1988: 124-125) menyatakan bahwa nilai (Pancasila) yang diamalkan
tentu memenuhi tanggung jawab individu sebagai warga negara.
Nilai pertama dari Pancasila yang menekankan pada perintah-Nya sesuai dengan
keyakinan dan tidak memaksakan kepercayaan pada orang lain bagi masyarakat Indonesia
tampaknya menjadi hal alami. Walaupun Islam menjadi agama yang mayoritas bagi
penduduk, masih terdapat kelompok agama lain yang penganutnya adalah sesama warga
Indonesia. Keyakinan masing-masing umat sangat dihargai, bahkan dalam UUD 1945
diberikan porsi khusus yakni dalam bab XI pasal 29. Sebagai warga negara, nilai ini
mendasari tingkah laku umat agama tertentu pada umat agama lainnya. Konsekuensinya
adalah dalam kehidupan sehari-hari; kehidupan ibadah masing-masing agama bukan
urusan yang dapat dicampuri oleh umat lain. Di sisi lain pemerintah juga menjaga
kehidupan bertoleransi ini dengan membuat peraturan-peraturan yang mengakomodasi
nilai ini daripada peraturan yang bersifat memaksa atau memiliki kecenderungan-
kecenderungan mengabaikan hak dasar suatu kelompok agama. Kejadian-kejadian seperti
penolakan peribadatan dari satu kelompok agama jelas tidak sesuai dengan nilai pertama
dari Pancasila.
Pola menegakkan nilai kedua dari Pancasila bagi warga Indonesia dapat terlihat
sejak awal kemerdekaan. Upaya mendasar dilakukan, misalnya, dengan tidak membeda-
bedakan perlakuan atas ras atau warna kulit. Agak berbeda dengan Amerika Serikat (AS)
yang sejak merdeka hingga tahun 1960-an, pemerintahnya melakukan kebijakan
segregrasi khususnya dalam hal warna kulit berlaku di segala aspek kehidupan (Meinarno,
Widianto, Halida, 2011: 78). Mereka melakukan kebijakan segregrasi mulai dari kebijakan
publik yang berdampak pada layanan publik. Sebagai perbandingan, Indonesia tidak
membedakan hak suara dalam pemilu, pada kelompok perempuan atau kelompok etnis
tertentu sejak merdeka hingga sekarang.
Namun, harus didiakui pula bahwa masih terdapat kesenjangan dalam mewujudkan
nilai kedua ini. Ini dapat dilihat, di antaranya, pada kebijakan pemerintah atas pendidikan
masih belum diterjemahkan dengan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Masih
terjadi ketimpangan akses pendidikan bagi warga secara khusus pada kelompok
masyarakat tertentu. Seda, Febriana, Agustin, dan Shakuntala menemukan bahwa
partisipasi perempuan dalam pendidikan masih di bawah lelaki sejak 1971 hingga 2004.
Salah satu penyebab keadaan ini adalah kecenderungan masyarakat mengutamakan anak
lelaki untuk bersekolah daripada anak perempuan. Tidak hanya akses sekolah, untuk angka
buta huruf juga masih lebih tinggi perempuan dua kali lipat daripada lelaki. Alasan yang
mengemuka masih sama, yakni pembedaan perlakuan berbasis jenis kelamin (Seda
dkk.2012: 187-189). Kejadian ini sangat berlawanan dengan upaya mewujudkan nilai
kedua dari Pancasila. Jika bertahan, pola ini akan mengganggu pada penurunan
kesejahteraan di aspek lainnya, semisal, tingginya angka kematian ibu (AKI) karena
kurangnya pemahaman kesehatan reproduksi pada kelompok perempuan yang umumnya
diberikan di sekolah.
Sebagai warga negara, upaya untuk mewujudkan nilai ketiga dapat dikatakan cukup
mudah. Menjadi warga negara yang berbahasa Indonesia adalah salah satunya, karena
merupakan amanat dari UUD 19451. Dengan tidak menafikan keberadaan 742 bahasa
daerah (Summer Institute of Linguistic, 2006 dalam Lauder, 2007: 9) di seluruh Indonesia,
penggunaan bahasa Indonesia dilakukan dalam konteks keseharian di dalam lingkungan
akademis. Penulisan ilmiah dengan berbahasa Indonesia yang baik dan benar memupuk
rasa persatuan bagi para penulisnya karena adanya kebakuan yang dipahami setara secara
bersama-sama. Dengan demikian, komunikasi antarilmuwan nasional juga mencapai
keselarasan yang pada akhirnya menunjang rasa kesatuan sebagai ilmuwan dan warga
negara Indonesia.
Keseharian kita sebagai warga negara dan secara khusus menjadi warga di tempat
kita berinteraksi sosial dapat menjadi ajang mengekspresikan nilai keempat. Bagi
masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, pemilihan ketua RT yang demokratis, tanpa
adanya pemaksaan kehendak dari pihak lain dapat menjadi ekspresi nilai keempat. Ketua
RT terpilih melakukan pengambilan keputusan-keputusan yang mengacu pada
kepentingan bersama, seperti keamanan dan kebersihan lingkungan. Tentunya hal ini
dilakukan agar langkah yang diambil dapat dipertangungjawabkan secara individu sebagai
keputusan bersama. Nilai keempat inilah yang mendasari kita sebagai warga dapat
memahami keputusan yang diambil dari pemimpin (yang dipilih bersama) untuk
kemaslahatan bersama. Dengan pemahaman ini, setidaknya dapat mengurangi potensi
1 UUD 1945, Bab XV, pasal 36
konflik yang didasari pada ketidakpuasan dalam berpendapat dan oposisional terhadap
langkah yang diambil pemimpin.
Nilai kelima dari Pancasila hanya dapat dimaknai sebagai nilai sosial semata.
Padahal dalam penjabarannya, dimungkinkan peningkatan kualitas manusia Indonesia
berdasar nilai ini. Peningkatan kreativitas diri yang menjadikan kehidupan masayarakat
menuju yang lebih baik saat ini sangat dibutuhkan. Dalam keseharian kita melihat jumlah
pengangguran berlatar pendidikan tinggi perlahan meningkat dari tahun ke tahun. Maka,
membicarakan nilai kelima dalam konteks mahasiswa dan sarjana menjadi relevan. Bahwa
sesungguhnya sarjana adalah harapan masyarakat dikarenakan proses pendidikan di
perguruan tinggi yang membekali mahasiswa dalam pola pikir yang berbasis ilmu
pengetahuan, maka diharapkan muncul ide-ide kreatif yang dapat membantu masyarakat
memecahkan masalah. Bagi para sarjana, upaya membuat peluang kerja menjadi prioritas
daripada mencari pekerjaan.
F. Berlaku sebagai Warga Global
Sebagai warga dunia, masyarakat Indonesia juga ikut dalam dinamika dunia.
Keikutsertaan ini bukan selalu atas dasar politik, melainkan masih banyak hal lainnya.
Untuk itu, di masa depan kesiapan warga negara Indonesia untuk lebih dapat berkiprah di
dunia nyaris tanpa batas ini akan semakin dibutuhkan. Catatan terpenting adalah perilaku
dari individu Indonesia tetap didasari nilai-nilai dasar masyarakat Indonesia.
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia mengupayakan kehidupan
beragama yang toleran. Nilai Pancasila bahkan dianggap sebagai religiously friendly
ideology oleh Juergensmeyer (2010 dalam Azra, 2010: 11). Walaupun pernyataan
Juergensmeyer dikaitkan dengan ideologi, Pancasila sebagai nilai juga mendasari corak
kehidupan interaksi umat beragama Indonesia. Mengacu pada nilai Pancasila, khususnya
nilai pertama, warga Indonesia akan menjadi bagian dari aksi yang toleran. Keadaan ini
tidak dapat dinafikan karena Indonesia secara pasti menjadi tempat perlintasan beragam
kebudayaan. Mulder (1999 dalam Kusumadewi, 2012: 135-136) melihat bahwa Indonesia
menjadi model yang khas dari tumbuhnya semangat keagamaan yang bercorak
kebudayaan lokal. Ini dapat diartikan bahwa masyarakat Indonesia berkontribusi dalam
memaknai agama-agama yang hadir di Indonesia. Kontribusi ini penting bagi masyarakat
dunia, sehingga dapat menjadi model dari toleransi antar-umat beragama di dunia.
Upaya menyelaraskan perilaku dengan nilai kedua dalam konteks global sebenarnya
juga ada dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat memulainya untuk tidak melakukan
pembedaan-pembedaan yang didasari prasangka. Pemahaman lanjut dari situasi ini adalah
terciptanya tatanan sosial yang lebih baik. Sebagai contoh, penerapan kewarganegaraan
khususnya pada anak hasil pernikahan WNI dan WNA sampai usia 18 tahun dinyatakan
sebagai WNI. Hal ini membuat anak terlindungi dari masalah tanpa kewarganegaraan atau
kewarganegaraan ganda. Bagi negara lain asal dari salah satu orang tua anak tadi,
perlakuan ini juga bermakna perlindungan manusia untuk mendapatkan hak-hak dasar
kewarganegaraan. Ini adalah kesepakatan universal yang diakui bersama, sehingga negara
itu pada akhirnya memandang Indonesia sebagai negara yang mengakui hak asasi manusia.
Pada akhirnya terbangunlah hubungan saling menghormati antarnegara.
Pengejawantahan nilai ketiga dari Pancasila dalam konteks global adalah dengan
menjadi bagian kegiatan ekonomi dunia yang berorientasi nasional. Sejak memasuki krisis
moneter 1997, pintu impor semakin terbuka yang memungkinkan segala produk masuk ke
dalam negeri. Akibatnya, konsumen disuguhkan banyak pilihan. Kondisi ini secara prinsip
tidak salah, tetapi di sisi lain produk dalam negeri perlahan tersisih. Hanya dengan alasan
harganya tidak kompetitif, konsumen membeli produk impor yang bukan hanya
menyisihkan produk dalam negeri, tetapi juga menghancurkan perusahaan lokal. Untuk itu
nilai ketiga dari Pancasila yang menekankan cinta tanah air perlu diangkat kembali untuk
memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Hal ini tidak hanya berlaku di Indonesia.
Langkah mengutamakan produk yang dapat dihasilkan dalam negeri sebelum membeli
produk buatan luar negeri juga dilakukan oleh negara-negara maju. Negara-negara maju
menutupi kepentingan dalam negeri melalui mekanisme perdaganagn dunia seperti
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Mereka berupaya menjaga agar produk asing tidak
membanjiri pasar lokalnya sehingga petani/pengusaha/masyarakat tetap sejahtera.
Dengan demikian, nilai ketiga Pancasila masih relevan untuk diangkat menjadi dasar bagi
peningkatan ketahanan nasional.
Pengejawantahan nilai keempat dalam kehidupan global bagi negara dan
masyarakat terlihat dalam kebijakan dan tingkah laku. Dalam konteks pemerintah,
Indonesia mengambil peran yang sesuai dengan nilai tadi. Sebagai anggota ASEAN
sekaligus ketua ASEAN tahun 2011, Indonesia mengambil posisi tidak mengucilkan
Myanmar. Pada saat yang sama, hampir semua negara Barat tengah mengembargo
Myanmar dan meminta ASEAN ikut menekan. Langkah Indonesia cukup mengejutkan,
dengan tidak mengisolasi Myanmar bahkan intensif membuka jalur diplomatik.
Terbukanya jalur diplomatik justru membuat Myanmar lebih membuka diri yang pada
akhirnya embargo negara-negara Barat mulai berkurang. Indonesia memahami bahwa cara
tersebut tidak populer di mata bangsa-bangsa Barat, tetapi diplomasi ala Indonesia mampu
membuat Myanmar mengambil kebijakan-kebijakan dalam dan luar negeri yang cenderung
terbuka dan dapat diterima masyarakat internasional.
Kontribusi Indonesia untuk masalah pembangunan dunia yang berkeadilan sosial
semestinya dapat dilakukan dengan kemampuan dasar ekonomi kerakyatan Indonesia.
Salah satu bentuknya adalah koperasi. Koperasi sebagai pengejawantahan pembangunan
ekonomi yang memiliki wajah sosial dapat menjadi solusi bagi pola pembangunan negara-
negara dunia ketiga yang jumlahnya lebih banyak daripada negara maju. Hal ini penting
karena muncul gejala kegagalan ekonomi kapitalis sejak 2008 yang dimulai di AS dan
menjalar ke Eropa sampai tulisan ini dibuat (2012). Model ekonomi komunis sudah rubuh
terlebih dahulu, yakni saat bubarnya Uni Soviet tahun 1991. Di sinilah peluang Indonesia
untuk ikut dalam mendesain ulang tatanan mekanisme ekonomi, karena koperasi
bertujuan menyejahterakan anggota bukan menguatkan kapital dari investor atau
pemodal. Setidaknya peraih nobel 2006, Muhammad Yunus dari Bangladesh, berbekal
konsep arisan amat menekankan kesejahteraan anggotanya. Yang kemudian model ini
dianggap baik oleh dunia. Dengan demikian, dibutuhkan sedikit sentuhan dari para sarjana
agar nilai kelima dari Pancasila dapat menjadi bagian dari solusi atas masalah ekonomi
dunia saat ini dan masa depan.
G.Penutup
Nilai bagi semua individu dan kelompok adalah bagian dari pembentukan tingkah
laku yang diharapkan dalam masyarakatnya, dari tingkat individu hingga tingkat bangsa.
Nilai yang ada dalam Pancasila merupakan nilai dasar untuk aktivitas bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara serta menjadi warga dunia. Dengan demikian, Pancasila menjadi
penentu dari corak kehidupan masyakat Indonesia.
Gambar 3.3. Indonesia adalah warga dunia.
Nilai-nilai yang ada dalam Pancasila oleh sebagian orang dianggap universal.
Artinya dapat berlaku atau hadir di semua masyarakat di dunia. Jika asumsi ini digunakan,
nilai Pancasila juga dapat diacu oleh warga dunia pula. Setidaknya, sebagai nilai yang
mendasari tingkah laku warga Indonesia, tingkah lakunya juga selaras dengan warga dunia.
Hal yang terpenting dari Pancasila adalah upaya kita mencoba menerapkannya
dalam kehidupan. Ketika nilai tidak menjadi rujukan tingkah laku, perlahan nilai akan
memudar dan hilang. Kondisi ini beranalogi ketika Pancasila tidak menjadi acuan perilaku,
nilai Pancasila akan tergantikan oleh nilai lain atau bahkan hilang. Hilangnya Pancasila
memudarkan pula semangat ikatan nasional sebagai bangsa Indonesia, yang dapat
berujung pada rubuhnya rumah nusantara,yakni Indonesia. Bukankah itu berarti
mengkhianati mimpi para pejuang dan pendiri bangsa Indonesia?
BAB IV
KEWARGANEGARAAN
Ketika Bung Hatta kuliah di Belanda pada tahun 1920-an, ia merasakan pedihnya
menjadi penduduk di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Dalam pergaulan
internasional ia merasa tersisih karena masalah kebangsaan. Ia merasa bahwa sebagai
penduduk di wilayah jajahan, ia direndahkan. Bertolak dari pengalaman itu, Bung Hatta
menyimpulkan, “Jika satu bangsa mulia, maka individu-individunya juga dihargai, tetapi
jika tidak memiliki kebangsaan, maka seseorang tidak dipandang di dunia internasional”
(Hatta, 1953: 51).
Pengalaman Bung Hatta merupakan pengalaman tentang pentingnya arti
kebangsaan (nationality). Kebangsaan sering kali diidentikkan dengan kewarganegaraan,
dan keduanya tidak dapat dipisahkan ketika kita mengkaji tentang negara maupun
pemerintahan.
Kewarganegaraan (dalam bahasa Inggris, citizenship dan Latin, civis) telah lama
menjadi objek pemikiran. Kajian ini telah muncul sejak masa Yunani Kuno (± 400 SM) dan
masa Kerajaan Romawi (± 1 M). Kata civis sendiri pertama kali digunakan pada masa
kerajaan Romawi untuk merujuk kepada orang-orang kaya dan para tuan tanah. Merekalah
Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami saling pengaruh
antara hak dan kewajiban negara dan warga negara, membuat penilaian
kritis atas pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara, serta mampu
bersikap terbuka dan kritis bagi implementasi hak dan kewajiban warga
negara di masyarakat.
yang memperoleh hak-hak istimewa. Hak-hak sebagai civis tidak diberikan kepada rakyat
biasa maupun rakyat di wilayah kekuasaan kerajaan (Poole, 1999: 85—86).
Apa yang dialami rakyat biasa di kerajaan Romawi, juga pernah dialami bangsa
Indonesia, tepatnya ketika bangsa ini berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda.
Kebijakan-kebijakan Belanda tidak hanya melahirkan sistem pembedaan status
(diskriminasi) yang dilandasi perbedaan warna kulit, antara bangsa kulit putih dan
pribumi, tetapi juga melanggengkan stratifikasi sosial yang merupakan warisan sistem
kerajaan, yakni antara golongan priyayi dan rakyat biasa.
Ketidaksetaraan dan penindasan Belanda terhadap rakyat biasa akhirnya menjadi
pemicu gerakan nasionalisme Indonesia, hingga akhirnya berdirilah negara Indonesia pada
tahun 1945. Di dalam proses penyiapan negara yang merdeka dan berdaulat itu, para tokoh
pergerakan mengadakan sidang-sidang di BPUPKI dan PPKI untuk menyusun UUD. Hasil
sidang-sidang itu adalah UUD 1945 yang di dalamnya dinyatakan, antara lain, pengakuan
kesetaraan bagi seluruh rakyat atau warga negara, seperti tercermin dalam hak dan
kewajiban bagi setiap warga negara.
Untuk memahami hak dan kewajiban warga negara, maka pokok-pokok bahasan
dalam bab ini dibagi menjadi empat bagian, yakni yang berikut. 1) Apa yang dimaksud
dengan kewarganegaraan dan siapakah warga negara Indonesia? 2) Prinsip-prinsip dasar
apa yang melandasi hubungan timbal-balik antara negara dan warga negara? 3)
Bagaimana implementasi hak dan kewajiban warga negara? 4) Evaluasi kritis terhadap
pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara.
1. Apa yang Dimaksud dengan Kewarganegaraan?
Secara umum kewarganegaraan dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang
menyangkut warga negara. Namun demikian, pemahaman yang sederhana ini memiliki
sejarah panjang dan kompleks. Sebagai objek pemikiran, kewarganegaraan telah muncul
sejak masa Yunani Kuno (± 400 SM). Pada masa itu, warga negara diidentikkan dengan
orang bebas. Sebaliknya, para budak dan—dalam konteks saat itu—kaum perempuan serta
anak-anak tidak dikategorikan sebagai orang bebas sehingga mereka tidak dapat disebut
sebagai warga negara.
Orang-orang bebas yang dikategorikan sebagai warga negara memiliki status
istimewa, antara lain dapat berpartisipasi dalam penyusunan undang-undang dan dalam
pelaksanaan administrasi negara, dalam aktivitas keagamaan dan budaya, serta dapat
masuk dinas militer—yang penting artinya bagi pertahanan negara. Aktivitas-aktivitas
tersebut menunjukkan bahwa pusat kehidupan warga negara mencakup setiap aspek
kehidupan, mulai dari politik, agama, budaya, hingga pertahanan negara. Warga negara
dalam pengertian masa Yunani Kuno juga dapat dikatakan lebih menekankan kemampuan
seseorang untuk mengemban tanggung jawab negara (Poole, 1999: 25).
Pada masa kerajaan Romawi (± 1 M), kewarganegaraan pada awalnya dimaknai
sebagai pemilikan atas status istimewa bagi para tuan tanah dan orang-orang kaya.
Selanjutnya, seiring dengan meluasnya imperium Romawi, timbullah tuntutan-tuntutan
rakyat di wilayah-wilayah taklukan. Rakyat yang memiliki latar belakang budaya yang
berbeda menuntut diperlakukan secara terhormat seperti warga kerajaan Roma. Selain itu
mereka juga menuntut perlindungan dari kerajaan. Jadi kewarganegaraan tidak lagi
diartikan sebagai rasa tanggung jawab terhadap negara, melainkan lebih merupakan
tuntutan legal agar rakyat di wilayah taklukan diperlakukan setara dengan rakyat/warga
kerajaan.
Perubahan penting mengenai pengertian kewarganegaraan terjadi di abad XVIII dan
XIX. Pada abad XVIII, khususnya di Eropa Barat, terjadi perubahan luar biasa dalam hal
bentuk negara, ketika model monarki absolut secara berangsur-angsur digantikan dengan
bentuk negara-bangsa modern. Bila dalam monarki absolut rakyat biasa menjadi abdi raja,
maka dalam negara modern, rakyat merupakan warga negara. Perubahan radikal itu
dimungkinkan oleh terjadinya pelembagaan prinsip-prinsip nasionalisme, demokrasi,
republik, dan nilai-nilai Hak Asasi Manusia di negara-bangsa modern (Habermas, 1996:
185—289.)
Sumbangan prinsip nasionalisme adalah terciptanya kesadaran nasional dan
solidaritas rakyat yang berlandaskan faktor-faktor budaya, bahasa, sejarah, dan kesamaan
keturunan. Rakyat yang telah bersatu karena faktor-faktor tersebut semakin diperkuat
oleh kesadaran nasionalnya karena negara pun mulai melembagakan 1) nilai HAM yang
menghargai kebebasan individu dan menjunjung kesetaraan bagi seluruh warga negara, 2)
prinsip negara republik yang mengakui otonomi politik warga negara, dan 3) prinsip
demokrasi yang mendorong partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan politik. Ketiga
prinsip tersebut memberikan pengakuan bahwa warga negara memiliki status legal yang
kemudian terwujud dalam hak-hak sipil.
Status legal yang dimiliki tiap warga negara memiliki konsekuensi terhadap
pendefinisian bangsa. Bangsa yang semula dianggap sebagai komunitas yang disatukan
oleh faktor budaya, bahasa, kesamaan nasib, dan sejarah, kini mendapat pengakuan baru
sebagai kesatuan warga negara yang setara dan memiliki status legal. Dengan status legal
itu, hubungan negara dan warga negara dikonsepsikan sebagai hubungan timbal-balik,
yang membuat warga negara melihat negara sebagai organisasi untuk mengejar
kesejahteraan dan kebahagiaan. Status legal, dalam wujud hak-hak sipil, merupakan
seperangkat hak bagi individu untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Pemenuhan tujuan
ini bagi warga negara merupakan bentuk tanggung jawab dan kewajiban negara
(Habermas, 1996: 285—289).
Sementara itu, di pihak warga negara pun terdapat kesadaran bahwa mereka wajib
berkorban untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara-bangsa. Mereka
sadar bahwa hanya dalam negara yang merdeka dan berdaulatlah kebebasan dan otonomi
politik mereka terjamin. Hubungan negara dan warga negara dalam arti kesetaraan dan
status legal itu yang kini menjadi kata kunci dalam pembahasan tentang kewarganegaraan.
Dikatakan demikian karena memasuki abad XXI, tidak ada satu negara pun yang tidak
mendefiniskan batas-batas sosialnya tanpa mengacu kepada hak-hak warga negara untuk
membatasi siapa yang menjadi warga negaranya dan siapa yang bukan.
2. Siapakah Warga Negara Indonesia?
Berikut ini dipaparkan sejarah singkat status penduduk Indonesia pada masa
pemerintahan kolonial Belanda dan masa pascakemerdekaan.
a. Status Rakyat Indonesia pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda (Kasus: Status
Rakyat di Jawa)
Sebelum bangsa Belanda menguasai Indonesia, khususnya Pulau Jawa, situasi
masyarakat saat itu sudah tersusun secara hierarkis. Puncak hierarki adalah raja dan
keluarga. Anak tangga di bawahnya diduduki oleh para pejabat tinggi yang mengabdi raja,
anak tangga di bawahnya lagi diduduki kaum ulama, militer, dan elit politik lain yang
memiliki kekuasaan legal. Dalam masyarakat yang hierarkis demikian, raja berhak
menuntut kebaktian dari rakyat. Rakyat biasa adalah abdi raja yang tidak memiliki
kebebasan individu, apalagi otonomi politik. Jadi, konsep kewarganegaraan belum dikenal.
Pada abad XVII, Belanda mulai meneguhkan kedaulatannya di Jawa, dan kekuasaan
raja-raja di Jawa pun mulai melemah. Secara berangsur-angsur Belanda memisahkan staf
administrasi kerajaan dari pengawasan raja dan kemudian mengubahnya menjadi dinas
sipil. Dengan kebijakan itu, Belanda telah membangun pemerintahan tidak langsung, yaitu
memerintah rakyat dengan perantaraan elit birokrat Jawa yang dikenal sebagai golongan
priyayi. Setelah struktur politik berubah, struktur masyarakat pun ikut berubah dengan
munculnya hubungan kolonial yang mirip dengan sistem kasta, yaitu keanggotaan dalam
masyarakat ditentukan oleh kelahiran dan stratifikasi sosial yang ditentukan oleh ras.
Diskriminasi rasial tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, hanya orang
Belanda yang dapat menduduki jabatan puncak, sementara penduduk pribumi hanya
mendapat jabatan rendahan. Dalam pergaulan sosial pun terdapat pemisahan fisik. Orang-
orang Jawa dilarang memasuki perkumpulan, lapangan olah raga, sekolah, dan
permukiman orang Belanda (Kartodirdjo, 1999: 206, 209, 211).
Hubungan kolonial tidak hanya menciptakan diskriminasi rasial, melainkan juga
melanggengkan sistem masyarakat yang bercorak feodal. Belanda tidak menghapus
kekuasaan raja-raja sama sekali sehingga keluarga raja dan kaum bangsawan masih
mendapat tempat yang tinggi dalam hierarki masyarakat. Hierarki masyarakat tradisional
ini diperkuat lagi dengan kebijakan kolonial untuk mengangkat elit administrasi atau
birokrasi yang dahulu adalah abdi raja. Kaum elit yang diangkat di tiap kabupaten
kemudian melahirkan kelas tersendiri di masyarakat, yang disebut golongan priyayi. Elit
priyayi tersusun sebagai berikut: para bupati berada di puncak birokrasi, disusul oleh
patih, wedana, mantri, dan juru tulis. Jenjang-jenjang jabatan tersebut kemudian
digolongkan atas “priyayi gedhe” dan “priyayi cilik.” Barulah lapisan di bawah priyayi cilik
diisi mayoritas rakyat kecil yang disebut “wong cilik” (Kartodirdjo, 1999: 83).
Wong cilik merupakan massa terbesar yang tidak memiliki kesempatan, baik dalam
pendidikan maupun dalam politik. Pada masa kolonial terdapat empat kategori sekolah,
yaitu: sekolah Eropa dengan model sekolah di negeri Belanda, sekolah bagi pribumi dengan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, sekolah pribumi dengan pengantar bahasa
daerah, dan sekolah dengan sistem pribumi. Kategori sekolah yang demikian ketat
menyebabkan terbatasnya kesempatan penduduk pribumi, khususnya wong cilik. Untuk
dapat diterima masuk ke sekolah dengan sistem Belanda, harus dipenuhi syarat berikut:
orang tua adalah elit yang memiliki kedudukan tinggi dalam birokrasi kolonial. Untuk
memasuki sekolah dengan pengantar bahasa Belanda pun, calon murid harus berasal dari
keluarga dengan status pegawai negeri tertentu dan dengan gaji tertentu pula.
Terbatasnya kesempatan untuk memasuki sekolah berstandar Eropa dan sekolah
dengan pengantar bahasa Belanda menyebabkan terbatas pula kesempatan kaum
terpelajar pribumi mendapat pekerjaan di birokrasi pemerintahan kolonial. Lulusan
sekolah-sekolah tersebut yang berhasil memperoleh kedudukan dalam birokrasi, memiliki
status terhormat di masyarakat dan mereka hidup dengan gaya hidup priyayi. Sementara
itu, mereka yang tidak memilih bekerja di birokrasi di kemudian hari banyak yang menjadi
tokoh-tokoh pergerakan nasional.
Di bidang politik, pemerintah kolonial sangat otokratis dan menerapkan sentralisasi
dengan birokrasi yang amat ketat. Pejabat-pejabat Belanda ditempatkan di tingkat
keresidenan hingga distrik. Mereka menjabat sebagai penasihat merangkap pengawas
pejabat-pejabat pribumi.
Baru pada tahun 1903, yakni setelah diberlakukannya Undang-undang
desentralisasi dan otonomi penduduk, lembaga politik berupa Badan Perwakilan didirikan.
Dalam pelaksanaannya, UU desentralisasi hanya mewujudkan demokratisasi dalam arti
minimal, karena dewan daerah tidak mampu mencapai seluruh rakyat. Anggota-
anggotanya hanya terdiri dari orang Belanda dan elit pribumi yang terpilih karena
mekanisme penunjukan dan pemilihan tidak langsung. Pendek kata, desentralisasi tidak
mampu mendorong partisipasi politik rakyat dan bahkan organisasi atau pertemuan politik
dilarang oleh pemerintah (Kartodirdjo, 1999: 43—44).
Pada tahun 1916 pemerintah kolonial memberi angin segar dengan membentuk
volksraad atau dewan rakyat. Namun keberadaannya tidak dapat disamakan dengan
parlemen. Volksraad hanya berfungsi sebagai penasihat yang tidak memiliki kekuasaan
untuk merancang anggaran dan membuat undang-undang. Halnya demikian karena
parlemen di Belandalah yang sesungguhnya memegang kekuasaan legislatif di Hindia
Belanda.
Perubahan besar terjadi pada tahun 1925, yaitu terbitnya UU Tata Pemerintahan
Belanda. Volksraad diubah menjadi badan ko-legislatif dengan kekuasaan untuk
mengajukan petisi mengubah UU serta mengundangkannya. Namun, sejauh itu, volksraad
masih juga belum mampu mendorong demokratisasi. Sebagai contoh, komposisi
keanggotaan masih didominasi orang Belanda, sistem pemilihan dilakukan secara tidak
langsung, hak pilih rakyat dibatasi dengan syarat bahwa hanya mereka yang
berpenghasilan sedikitnya f300 (tiga ratus gulden)/tahunlah yang boleh memilih, padahal
massa rakyat hanya berpenghasilan rata-rata f40—f50/tahun.
Kebijakan pendidikan dan politik tersebut menunjukkan bahwa pemerintahan
kolonial tidak berkehendak membangun kesetaraan dan otonomi politik bagi penduduk
Indonesia. Bangsa Indonesia—khususnya masyarakat Jawa—semakin terpilah-pilah, baik
karena diskriminasi rasial maupun karena sistem masyarakat yang feodalistis. Pemerintah
Belanda memang telah mengatur status penduduk Indonesia dalam Nederlandsch
Onderdaan. Namun demikian, status penduduk belum menunjukkan status
kewarganegaraan yang sesungguhnya. Di tanah jajahan, tetap dibedakan status warga
negara Belanda dan status penduduk pribumi. Menurut perundang-undangan yang berlaku
(tahun 1854, 1892, 1910), di Hindia Belanda terdapat tiga kategori kewargaan, yakni
Belanda, pribumi (dengan status sebagai bawahan Belanda), dan bangsa Timur Asing
(Kartodirdjo, 1999: 48, 192).
b. Status Rakyat Indonesia Pascakemerdekaan
Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tertulis, “. . . pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia. . .” Siapa saja yang tercakup dalam
pengertian bangsa Indonesia di sini? UUD 1945 dirumuskan oleh tokoh-tokoh pergerakan
nasional dengan latar belakang yang beragam. Mereka mempunyai latar belakang agama
yang berbeda, demikian pula suku dan ras serta daerah asal. Ada yang berasal dari Jawa,
Sumatera, Ambon, Sulawesi, Arab, Tionghoa, dan lain-lain. Perumus UUD juga bukan hanya
laki-laki, melainkan juga tokoh-tokoh pergerakan perempuan. Kesemuanya mewakili
berbagai golongan dan aliran politik. Sejak awal, keberagaman masyarakat telah menjiwai
perumusan UUD 1945, dan keberagaman tersebut dapat disatukan karena kepedulian yang
luar biasa dari para tokoh akan kepentingan rakyat. Sumbangan pemikiran mereka antara
lain adalah rumusan tentang bangsa Indonesia. Yang ditetapkan sebagai bangsa Indonesia
adalah bangsa Indonesia asli atau bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga
negara.2 Ketentuan terakhir ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menerima
keturunan Arab, Tionghoa, atau bangsa lain—yang telah lama menetap di Indonesia—
sebagai warga negara Indonesia.
Satu hal yang patut ditekankan di sini adalah bahwa menurut UUD 1945 warga
negara memiliki status legal yang sama, dengan segala hak dan kewajiban yang melekat di
dalamnya. Sebagai tambahan, dalam UUD 1945, Pasal 26, tertera pula kata-kata penduduk
selain warga negara. Yang dimaksud dengan penduduk adalah WNI dan orang asing yang
tinggal di Indonesia. Orang asing tentu tidak dapat menikmati hak dan melaksanakan
kewajiban yang sama dengan WNI. Kata penduduk disebutkan karena terkait dengan
kedaulatan negara-negara lain.
c. Menjadi Warga Negara Indonesia
Secara prosedural, kewarganegaraan Indonesia diatur dalam undang-undang
tentang kewarganegaraan. Sejak kemerdekaan ada beberapa UU tentang kewarganegaraan
yang telah dikeluarkan, yaitu UU RI Nomor 3 Tahun 1946, UU RI Nomor 62 Tahun 1958, UU
RI Nomor 4 Tahun 1969, UU RI Nomor 3 Tahun 1976, dan UU RI Nomor 12 Tahun 2006.
Selain UU juga terdapat peraturan-peraturan lain berupa Keputusan Presiden, Instruksi
Presiden, Peraturan Pemerintah maupun Surat Keputusan Bersama Menteri Kehakiman
dan Menteri Dalam Negeri. Perubahan-perubahan UU tersebut mencerminkan adanya
dinamika dalam masyarakat maupun interaksi penduduk antarbangsa yang begitu cepat.
Pelarian orang-orang yang mencari suaka politik, perkawinan antarbangsa, masalah
kriminal oleh pelaku kejahatan lintas negara, dsb. merupakan beberapa fenomena yang
dapat menggambarkan semakin peliknya masalah kewarganegaraan sehingga hampir
setiap negara harus mampu mendefinisikan kembali siapa yang dimaksud dengan warga
negaranya.
2 Lihat UUD 1945, Pasal 26.
Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 disebutkan empat asas yang digunakan untuk
menentukan kewarganegaraan yakni ius sanguinis, ius solii, kewarganegaraan tunggal, dan
kewarganegaraan ganda. Asas ius sanguinis merupakan asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan. Asas ius soli merupakan asas yang
menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran
(diberlakukan terbatas bagi anak-anak dan diatur dalam UU). Asas kewarganegaraan
tunggal merupakan asas yang menetapkan satu kewaraganegaraan bagi setiap orang. Asas
kewarganegaraan ganda merupakan asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi
anak-anak yang diatur dalam UU.3 Indonesia tidak mengakui penduduk dengan
kewarganegaraan ganda (bipatride), kecuali anak-anak dan penduduk tanpa
kewarganegaraan.
Kewarganegaraan Indonesia dapat diperoleh atas dasar: 1) kelahiran, 2) pemberian
status, 3) pengangkatan, 4) permohonan, 5) naturalisasi, 6) perkawinan, dan 7)
kehormatan.
Dengan dasar kelahiran, seseorang secara otomatis menjadi WNI karena ayah dan ibunya
adalah WNI. Ketentuan ini merupakan implementasi dari asas keturunan (ius sanguinis):
anak tetap WNI, walau dia dilahirkan di luar negeri. Tujuannya adalah untuk mencegah
apatride.
Untuk menghindari kasus tanpa kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda,
negara dapat memberikan status warga negara bagi anak yang dilahirkan di luar negeri
dengan salah satu orang tua (ayah atau ibu) adalah WNI, sedangkan yang satu lagi bukan
WNI.
Dengan dasar pengangkatan, seorang anak WNA—yang berumur 5 tahun (atau kurang)
—yang diangkat anak oleh WNI dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
Atas dasar permohonan, kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada anak
berusia 18 tahun, yang ayah dan ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda, WNI
dan asing (WNA). Pada awalnya ia menjadi WNA, namun kemudian ingin menjadi WNI
untuk mengikuti ayah atau ibunya yang berkewarganegaraan Indonesia. Pemerintah dapat
3 Lihat Penjelasan UU RI Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 (Jakarta: Visimedia) hlm. 27-28.
mengabulkan permohonannya setelah ia meninggalkan kewarganegaraan sebelumnya,
agar tidak terjadi kewarganegaan ganda.
Kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada orang asing yang sungguh-
sungguh ingin menjadi WNI melalui naturalisasi.
Dengan perkawinan, demi kesatuan kewarganegaraan dalam keluarga, pihak suami
atau istri yang berstatus WNA dapat mengikuti pasangannya yang berstatus WNI dengan
syarat bahwa ia harus melepaskan kewarganegaraan sebelumnya terlebih dahulu.
Negara dapat memberikan kewarganegaraan kehormatan kepada orang-orang asing
tertentu yang telah berjasa kepada negara, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan yang
bersangkutan memiliki kewarganegaraan ganda. Pemberian kewarganegaraan kehormatan
itu dilakukan oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR.
d. Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia
Bila seseorang telah menjadi WNI, negara akan mengakuinya untuk seumur
hidupnya, sekalipun ia bertempat tinggal di luar negeri. Namun WNI dapat kehilangan
kewarganegaraannya karena hal-hal berikut ini:4 a) atas kemauan sendiri menjadi WNA; b)
melanggar asas kewarganegaraan tunggal (ketentuan ini berlaku bagi WNI yang memiliki
kewarganegaraan asing dan tidak mau melepaskan status WNA-nya); c) masuk dinas
tentara asing tanpa seizin Presiden; d) tinggal di luar wilayah negara Indonesia, tidak
dalam rangka dinas negara selama 5 tahun berturut-turut dan, sebelum jangka 5 tahun
berakhir, dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk mempertahankan
kewarganegaraannya, serta setiap 5 tahun berikutnya yang bersangkutan tidak
mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi WNI; dan e) perkawinan dengan WNA
(kententuan ini berlaku bagi, WNI, perempuan atau laki-laki yang menikah dengan
pasangan dari negara yang memiliki peraturan bahwa orang asing yang menikah dengan
warga negaranya harus menjadi warga negaranya pula). Oleh negara, kewarganegaraan
seseorang dapat dinyatakan hilang karena pada prinsipnya negara tidak menginginkan
warga negaranya memiliki loyalitas ganda, terhadap Indonesia dan terhadap negara lain.
4 Lihat UU Nomor 12 Tahun 2000, Bab IV, tentang Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 23, 26, dan 28.
WNI yang telah kehilangan kewarganegaraannya secara otomatis membebaskan dirinya
dari hak dan kewajiban sebagai WNI.
WNI yang telah kehilangan kewarganegaraanya karena mengikuti orang lain
(status suami/istri yang WNA) pada prinsipnya dapat diberi kesempatan untuk kembali
menjadi WNI, dengan syarat bahwa ia tidak lagi mengikuti status suami/istrinya. Demikian
pula dengan anak-anak yang sebelumnya mengikuti status ayah/ibu yang
berkewarganegaraan asing.5
3. Prinsip-Prinsip dalam Hubungan Timbal-Balik: Negara dan Warga Negara
Hubungan antara negara dan warga negara merupakan hubungan timbal-balik yang
melibatkan unsur hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Hubungan itu secara
mendasar terbangun dari tujuan awal terbentuknya negara Indonesia, sebagaimana
tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945: 1) melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, 2) memajukan kesejahteraan umum, 3)
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan 4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan tersebut, UUD telah menetapkan prinsip-prinsip dasar6 yang
menjadi pedoman berbangsa dan bernegara bagi pemerintahan maupun rakyat. Prinsip-
prinsip itu meliputi sila-sila Pancasila, prinsip negara kesatuan yang berbentuk republik,
prinsip kedaulatan rakyat, dan prinsip negara hukum.7
Prinsip negara kesatuan. Negara kesatuan merupakan bentuk negara di mana
wewenang legislatif dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan
terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat
memiliki wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah
berdasarkan hak otonomi (sistem desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir, kekuasaan
tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat.
Dalam negara kesatuan, kedaulatan tak terbagi karena pemerintah pusat memegang
kedaulatan ke luar maupun ke dalam. Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui badan 5 Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2006, bab V, tentang Syarat dan Tata Cara
Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 31 dan 37.6 Lihat sila-sila Pancasila dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.7 Lihat UUD 1945 (sebelum dan sesudah amandemen), Pasal 1, tentang Bentuk dan Kedaulatan Negara.
legislatif lain selain badan legislatif pusat. Jika pemerintah daerah mengeluarkan peraturan
bagi daerahnya, hal itu tidak berarti bahwa daerah itu berdaulat sebab pengawasan
kekuasaan tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat. Dengan demikian, bagi warga
negara di dalam negara yang berbentuk kesatuan, hanya ada satu pemerintahan saja
(Strong, sebagaimana dikutip Budiardjo, 2008: 269—270).
Pertimbangan para pendiri bangsa atas bentuk negara kesatuan adalah agar di bawah
pemerintah pusat tidak ada negara lagi, seperti di negara federal atau konfederasi. Hakikat
dari pertimbangan tersebut adalah upaya untuk menghindari terjadinya perpecahan
bangsa dan negara; atau, dengan kata lain, untuk mencegah timbulnya provinsialisme yang
memberi peluang kepada gerakan separatisme. Namun ketetapan atas bentuk negara
kesatuan juga diiringi oleh satu ketentuan pula, yakni bahwa pemerintah pusat tetap
memperhatikan kepentingan daerah.
Prinsip Kedaulatan Rakyat. Kedaulatan merupakan hak atau kekuasaan tertinggi
untuk memerintah. Kedaulatan rakyat berarti rakyat memiliki hak atau kekuasaan tertinggi
untuk memerintah diri mereka sendiri. Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang dalam
mewujudkan kedaulatan rakyat. Dalam sidang-sidang BPUPKI dikemukakan pertimbangan
bahwa kedaulatan rakyat merupakan bentuk kedaulatan yang dianggap dapat mencegah
terjadinya negara kekuasaan yang absolut atau negara penindas. Agar negara tidak menjadi
negara penindas, para perumus UUD 1945, khususnya Bung Hatta, menekankan
pentingnya jaminan pada rakyat dalam bentuk kemerdekaan untuk berpikir. Usulan para
perumus kemudian tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 (sebelum amandemen). Hasil
rumusan BPUPKI kemudian tertuang dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa
kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Kedaulatan rakyat dalam MPR dicerminkan dalam komposisi keanggotaan yang terdiri dari
wakil-wakil golongan (seperti serikat pekerja, golongan tani, dsb.) dan wakil-wakil daerah.
Kekuasaan MPR adalah menetapkan UUD dan GBHN, serta mengangkat Presiden dan wakil
Presiden. Dalam UUD 1945 (sebelum amandemen), MPR memegang kekuasaan tertinggi
dan Presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara.
MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat mengalami ujian berat khususnya pada
masa Orde Baru. Dalam negara telah terjadi penyelewengan kekuasaan yang diawali oleh
dominasi mutlak dalam kehidupan politik, yang telah menyulut Gerakan Reformasi dan
berakhir dengan pengunduran diri Presiden Soeharto (Budiardjo, 2008: 313). Setelah itu,
terjadi perubahan politik yang signifikan yaitu berlangsungnya demokratisasi untuk
mewujudkan kedaulatan rakyat. Perubahan diawali dengan melakukan empat kali
amandemen terhadap UUD 1945; dua di antaranya ialah masa jabatan Presiden dibatasi
dan warga negara berhak memilih pasangan Presiden dan wakil Presiden secara langsung.
Pemilihan langsung juga dilakukan terhadap anggota DPR dan kepala daerah. Selain itu,
juga diberlakukan desentralisasi—yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat pada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerah. Pemerintah
daerah juga mengalami demokratisasi dengan dihilangkannya kedudukan kepala daerah
sebagai penguasa tunggal dan DPRD menjadi lembaga legislatif daerah.
Dalam UUD 1945 (sesudah amandemen), perubahan terbesar menyangkut MPR
adalah MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan
pelaksana kedaulatan rakyat. Keanggotaan MPR kini mencakup unsur DPR dan DPD. MPR
kini berkedudukan sebagai salah satu lembaga negara yang setara dengan DPR, DPD, BPK,
MA dan MK, MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN, mengeluarkan
Ketetapan (TAP) MPR (kecuali untuk menetapkan Wakil Presiden menjadi Presiden bila
Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya)
(Budiardjo, 2008: 350). Lantas siapa pemegang kedaulatan rakyat saat ini?
UUD 1945 sesudah amandemen telah menetapkan pasal-pasal yang menjamin
kedaulatan rakyat dapat terwujud (lihat perubahan pasal tentang masa jabatan Presiden,
penetapan pemilihan Presiden secara langsung dan desentralisasi). Namun, yang paling
mendasar dalam amandemen UUD adalah kedaulatan tersebut diwujudkan melalui pemilu,
yaitu dengan memilih wakil-wakil rakyat di DPR/DPRD serta memilih Presiden dan kepala
daerah secara langsung. Jika pejabat-pejabat terpilih tersebut gagal mengemban amanat
rakyat, UUD memberi hak kepada rakyat (melalui MPR dan atas usul DPR) untuk
memberhentikan Presiden8 serta hak untuk tidak memilih kembali anggota-anggota
DPR/DPRD yang tidak dapat melayani rakyat.
Prinsip Negara Republik. Ide republik secara teoretis mendukung kedaulatan
rakyat. Prinsip ini mengisyaratkan adanya kebebasan—bukan dalam arti liberal, yaitu
kebebasan dari intervensi pihak (negara) lain, tetapi dalam arti independensi, yaitu
8 Lihat UUD 1945 sesudah amandemen, pasal 7A.
kebebasan dari dominasi pihak lain. Kebebasan rakyat dalam negara republik selalu
disertai oleh tanggung jawab rakyat untuk mempertahankan independensi negara. Bentuk
tanggung jawab ini merupakan aktivitas politik atau partisipasi warga negara untuk
membentuk diri sekaligus membangun negara (Poole, 1999: 83). Jadi, dengan adanya
prinsip independensi, maka dalam negara yang berbentuk republik diharapkan tidak ada
lagi dominasi dari negara lain dan di tingkat warga negara tidak ada lagi perbudakan atau
ketergantungan kepada orang lain.
Bentuk negara republik merupakan ketetapan yang dipilih oleh semua tokoh bangsa
yang merumuskan UUD. Keputusan tersebut dilandasi oleh pengalaman bangsa yang
pernah hidup dalam bentuk kerajaan yang despotis dan feodalis serta pemerintahan
kolonial Belanda yang menindas. Republik merupakan bentuk yang dapat mencerminkan
kedaulatan rakyat ketimbang bentuk negara lainnya seperti monarki yang melanggengkan
dinasti (kekuasaan turun-temurun). Dalam negara republik, negara akan merumuskan
kesejahteraan dan kemerdekaan rakyat dalam berpendapat, berkumpul, dsb.
Prinsip Negara Hukum. Prinsip ini menuntut pemerintahan agar berjalan dengan
tuntunan hukum dan bukan dengan kekuasaan. Hukum, khususnya UUD, merupakan
sumber norma yang mengatur pemerintahan maupun rakyat. Dalam UUD terkandung cita-
cita bangsa, sistem pemerintahan dan kerangka kerja bagi pemerintah. UUD berisi otoritas
tertinggi yang daripadanya seluruh kekuasaan cabang-cabang pemerintahan dan pejabat-
pejabat terpilih berasal dan diatur. Begitu pentingnya UUD sehingga setiap Presiden yang
dilantik harus mengucapkan sumpah untuk memegang teguh UUD dan menjalankan segala
UU dan peraturan-peraturan dengan selurus-lurusnya.9
Dalam UUD terkandung pula prinsip-prinsip dasar yang mengikat negara dan warga
negara yaitu Pancasila, negara kesatuan dengan bentuk republik, kedaulatan rakyat dan
negara hukum.10 Prinsip-prinsip dasar tersebut selanjutnya tercermin dalam pasal-pasal
menyangkut hak dan kewajiban warga negara—yang tidak dapat terpenuhi tanpa
kehadiran institusi politik/negara; sebaliknya, kemerdekaan suatu negara tidak dapat
dipertahankan tanpa kesadaran nasional (nasionalisme) warga negara. Hubungan inilah
9 Lihat Lafal Sumpah Presiden selengkapnya dalam UUD 1945 sesudah amandemen, Pasal 9.10 Di sini tidak hanya dalam konteks warga negara sebagai individu yang memiliki otonomi politik tetapi juga
sebagai manusia yang memiliki otonomi pribadi.
yang melahirkan kewajiban bagi tiap warga negara untuk memelihara dan
mempertahankan negara. Sementara itu, untuk mendapatkan hak itu negara harus
menjalankan kewajibannya, yaitu memberikan kondisi bagi terpenuhinya hak-hak warga
negara. Kewajiban negara, dalam UUD 1945, telah termaktub dalam tujuan negara
sebagaimana digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 (sebelum dan sesudah amandemen).
4. Hak dan Kewajiban Warga Negara
Secara umum, hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau kelompok yang
satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. Klaim atau tuntutan tersebut adalah
klaim yang sah atau dapat dibenarkan, karena orang yang mempunyai hak bisa menuntut
bahwa orang lain akan memenuhi atau menghormati hak itu (Bertens, 2000: 178—179).
Ada beberapa jenis hak yang kita kenal, yaitu a) hak legal dan moral, b) hak khusus dan
umum, c) hak positif dan hak negatif, d) hak individual dan sosial (Bertens, 2000: 179—
187).
Hak legal adalah hak yang berdasarkan hukum, berasal dari undang-undang,
peraturan hukum, atau dokumen legal lainnya. Umpamanya, ketika pemerintah
mengeluarkan peraturan tentang kenaikan gaji pegawai negeri, maka setiap pegawai
negeri berhak mendapat tunjangan itu. Hak moral adalah hak yang berfungsi dalam sistem
moral. Contohnya ialah sepasang suami istri yang berjanji untuk saling setia, atau
seseorang peminjam uang berjanji untuk mengembalikan uang yang dipinjamnya dari
orang lain. Hak moral belum tentu merupakan hak legal, tetapi banyak hak moral yang
sekaligus juga merupakan hak legal. Misalnya, janji antarteman, yang dilakukan secara
pribadi, hanya terbatas pada hak moral saja. Sedangkan hak legal belum tentu
menampilkan nilai etis sehingga harus dikritik dengan norma moral. Sebagai contoh,
negara-negara kolonial di masa silam sering mengetengahkan hak-hak legal mereka untuk
menguasai wilayah jajahan, namun tentu dipertanyakan nilai etis dari penjajahan itu
sendiri.
Hak khusus timbul karena relasi khusus antar-beberapa orang atau karena fungsi
khusus yang dimiliki seseorang terhadap orang lain, misalnya hak orang tua untuk
dihormati anak-anaknya, hak untuk menggunakan gelar doktor setelah menyelesaikan
persyaratan untuk mendapat gelar tersebut, dsb. Hak umum diperoleh seseorang bukan
karena hubungan atau fungsi tertentu, melainkan semata-mata karena ia manusia. Hak ini
sering disebut hak asasi manusia.
Dengan hak negatif, seseorang bebas melakukan sesuatu atau memiliki sesuatu;
dengan kata lain, siapa pun tidak boleh menghalangi seseorang melakukan atau memiliki
sesuatu. Contohnya ialah hak atas kehidupan, kesehatan, keamanan, kepemilikan, hak
beragama, berkumpul, mengemukakan pendapat, dan mengikuti hati nurani. Konkretnya
ialah bahwa, antara lain, negara atau siapa pun tidak boleh menghalangi seseorang menulis
pendapatnya di surat kabar. Hak positif adalah hak seseorang yang membolehkan orang
lain berbuat sesuatu untuknya. Sebagai contoh, semua orang yang terancam bahaya berhak
bahwa orang lain membantu menyelamatkannya. Contoh lain adalah hak atas makanan,
pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pekerjaan yang layak.
Hak individual dan hak sosial sering disebut dalam Deklarasi Universal tentang Hak
Asasi Manusia (DUHAM). Hak individual ialah hak yang dimiliki individu terhadap negara;
negara tidak dapat menghalangi individu mewujudkan hak ini. Contohnya ialah hak
mengikuti hati nurani, hak beragama, hak berserikat, dan hak mengemukakan pendapat.
Hak individual termasuk hak-hak negatif. Sementara yang dimaksud dengan hak sosial
adalah hak yang dimiliki seseorang sebagai anggota masyarakat seperti hak atas pekerjaan
yang layak dan hak atas pendidikan. Hak ini bersifat positif.
Apakah hak selalu memiliki hubungan timbal-balik dengan kewajiban? Kewajiban
memang sering kali memiliki hubungan timbal-balik dengan hak, namun hubungan itu
tidak bisa dikatakan mutlak dan tanpa pengecualian. Dalam konteks kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, kita lihat bahwa pemenuhan hak-hak negatif atau hak-hak
individual hampir selalu sesuai dengan kewajiban seseorang untuk menghormati orang
lain yang sedang menikmati hak-haknya. Pemenuhan hak-hak sosial memang agak rumit.
Sebagai contoh, setiap orang memiliki hak atas pendidikan. Tetapi itu tidak berarti bahwa
saya sebagai guru memberi pengajaran kepada orang-orang tertentu. Hak sosial semacam
ini sesuai dengan kewajiban masyarakat, atau negara, untuk mengatur kehidupan
sedemikian rupa sehingga setiap warga negara memperoleh apa yang menjadi haknya.
Hak-hak sosial ekuivalen dengan keadilan sosial.
a. Hak Asasi Manusia
Pembahasan tentang hak dan kewajiban tidak akan lengkap bila hak asasi manusia
tidak dimasukkan. Pengetahuan tentang sejarah penegakan HAM dapat membantu
memahami arti penting HAM dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejarah penegakan HAM merupakan sejarah perjuangan manusia untuk menjadi manusia
dan untuk melepaskan diri dari penyiksaan, penindasan, perbudakan, genosida, dsb. Dari
perspektif sejarah, kesadaran atas HAM dalam diri manusia dan pada bangsa-bangsa dapat
dikelompokkan ke dalam tiga generasi (Budiardjo, 2008: 212). Generasi pertama lahir di
negara-negara Barat, yaitu generasi yang melahirkan kesadaran akan hak-hak sipil dan
politik. Generasi kedua merupakan generasi dengan kesadaran akan hak ekonomi, sosial,
dan budaya, yang diperjuangkan oleh negara-negara sosialis pada masa Perang Dingin
(tahun 1945—1970-an). Pemikiran tentang HAM pada generasi kedua ini didukung oleh
banyak pemikir Barat serta negara-negara yang baru merdeka di Asia-Afrika. Generasi
ketiga ialah generasi yang memiliki kesadaran untuk memperjuangkan hak atas
perdamaian dan hak atas pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga.
Perjuangan HAM dari generasi pertama yang lahir di Eropa Barat ditandai oleh
penandatanganan Magna Charta di Inggris pada tahun 1215. Ketika itu, Raja John “dipaksa”
untuk mengakui hak kelompok aristokrat yaitu hak untuk diperiksa di muka hakim (habeas
corpus). Hak ini sendiri dituntut sebagai imbalan atas dukungan kaum aristokrat dalam
membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan perang.
Perumusan HAM semakin berkembang seiring dengan munculnya pemikiran-
pemikiran tentang hak alamiah manusia yang digaungkan untuk menentang pemikiran
bahwa hak memerintah berasal dari wahyu ilahi yang pada waktu itu dianut oleh raja-raja.
Hak alamiah, sebagaimana dikemukakan oleh John Locke (1632—1704) dan pemikir lain
seperti Jean Jacque Rousseau, meliputi hak atas hidup, hak akan kebebasan, dan hak untuk
memiliki harta benda. Di samping itu juga muncul pemikiran bahwa penguasa yang
memerintah harus mendapat persetujuan rakyat. Hasil pemikiran dan perjuangan HAM
terbesar pada XVII dan XVIII itu adalah hancurnya monarki absolut yang memberi
kewenangan kepada raja untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Namun
demikian, pada masa itu hanya kelompok aristokrat dan kelas menengah saja yang dapat
menikmati HAM, sementara rakyat biasa tetap dipandang sebagai abdi yang harus
menerima perintah dari penguasa. Hak asasi yang berhasil mereka perjuangkan itu masih
terbatas pada hak politik seperti hak atas kebebasan dan kesetaraan serta hak untuk
menyatakan pendapat. Hak-hak tersebut dituangkan dalam Bill of Rights di Inggris pada
tahun 1689 dan satu abad kemudian dalam Bill of Rights di AS (1783) dan Declaration des
droits de l’homme et du citoyen di Prancis (1789).
Menginjak awal abad XX, terjadi banyak peristiwa penting di dunia yang
mempengaruhi generasi kedua perjuangan HAM, yaitu 1) Depresi Besar yang bermula di
AS dan kemudian menjalar ke penjuru dunia pada tahun 1929—1934; 2) tampilnya Hitler
sebagai pemimpin Jerman yang menyebabkan pembunuhan jutaan orang Yahudi di kamp
konsentrasi; 3) meletusnya dua Perang Dunia; dan 4) tampilnya blok negara sosialis dan
komunis. Peristiwa-peristiwa tersebut menyebabkan penderitaan yang luar biasa pada
jutaan manusia: mati karena kelaparan, peperangan, dan genosida.
Rumusan HAM warisan liberalisme yang menekankan hak-hak alamiah ternyata tidak
memadai sehingga perlu semakin dipertajam dan bahkan direinterpretasikan. Hak-hak
yang semula disebut hak alamiah diubah menjadi HAM (human rights) yang menekankan
kebebasan individu yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dan hak untuk
mendirikan, dan bergabung dalam organisasi. Perubahan paling signifikan dibandingkan
dengan keadaan pada abad XVII dan XVIII adalah bahwa hak-hak politik diberikan kepada
seluruh rakyat dengan tujuan untuk melindungi setiap individu dari penyalahgunaan
kekuasaan pemerintah. Tokoh-tokoh yang memperjuangkan hak-hak tersebut antara lain
ialah Presiden F. D. Roosevelt dari AS yang merumuskan empat kebebasan, yaitu
kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan dari
ketakutan, dan kebebasan dari kemiskinan.
Kemajuan HAM pada generasi kedua juga ditandai oleh kesadaran untuk
merumuskan HAM yang diakui di seluruh dunia sebagai standar universal bagi tingkah
laku manusia (Budiardjo, 2008: 218). PBB telah merintis upaya ini dengan mencanangkan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1948 dan kemudian
diperkuat dengan dua kovenan internasional tentang hak politik dan sipil dan hak
ekonomi, sosial, dan budaya.
Yang menarik dari generasi kedua ini adalah upaya-upaya negara-negara blok sosialis
dan negara-negara yang baru merdeka (negara-negara “Dunia Ketiga”) untuk
mengembangkan hak-hak sosial dan ekonomi yang meliputi hak atas pekerjaan, hak atas
penghidupan yang layak, dan hak atas pendidikan. Mencuatnya tuntutan akan hak-hak
tersebut antara lain adalah sebagai reaksi terhadap rumusan HAM negara-negara Barat
yang lebih menonjolkan kebebasan individu dan hak politik ketimbang hak-hak sosial dan
ekonomi yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi kemiskinan. Selain itu, berbeda dengan
pelaksanaan hak politik dalam pemikiran liberal yang membatasi peran pemerintah, maka
pelaksanaan hak-hak sosial dan ekonomi justru mendorong pemerintah untuk terlibat
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Generasi ketiga dimotori oleh Dunia Ketiga (negara-negara berkembang yang
tersebar di Asia-Afrika dan baru merdeka setelah PD II) sehingga hak-hak yang diajukan
pun mencerminkan kepentingan masyarakat di wilayah itu. Upaya mereka mulai menonjol
pada tahun 1980-an, dengan tekanan pada hak atas perdamaian dan hak atas
pembangunan. Selain itu, konsep kekhasan nasional, wilayah, latar belakang budaya dan
agama juga diterima sebagai bahan pertimbangan. Penerimaan terhadap upaya negara-
negara Dunia Ketiga ini dinyatakan dalam Deklarasi Wina (Juni 1993). Isi deklarasi itu
merupakan kompromi antara negara-negara Barat dan negara-negara Dunia Ketiga.
Sumbangan Indonesia dalam forum itu adalah penekanan pada perlunya hak asasi
ditingkatkan dalam konteks kerja sama internasional atas dasar penghormatan terhadap
kesetaraan negara-negara yang berdaulat dan terhadap identitas nasional masing-masing
(Budiardjo, 2008: 244—245).
b. HAM dalam UUD 1945
Pembicaraan tentang hak dan kewajiban WNI tentu harus melibatkan UUD sebagai
sumber atau landasan otoritas bagi rakyat untuk menikmati hak dan memenuhi
kewajibannya sebagai warga negara. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan,
khususnya menyangkut pasal-pasal berisi HAM, dalam UUD 1945 sebelum amandemen dan
yang sesudah amandemen. Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, pasal tentang HAM
tidak dicantumkan secara khusus sehingga timbul pertanyaan, apa yang melatarbelakangi
para perumus UUD 1945 sehingga mereka tidak memasukkan pasal-pasal tersebut?
Perdebatan di antara para tokoh bangsa dalam sidang-sidang BPUPKI bermuara pada
rumusan hak-hak warga negara. Secara historis, sebagian besar pemikiran para tokoh itu
dilatarbelakangi oleh antikolonialisme dan antiliberalisme. Mereka pun telah melihat
bahwa rumusan HAM dari negara-negara Barat sendiri sangat bercorak liberal dan
individualistis, dan gagal menghapuskan kemiskinan di negara-negara Barat yang saat itu
diguncang depresi. Di samping itu, alam liberalisme juga ditandai oleh semakin tajamnya
konflik buruh–majikan dan juga timbulnya persaingan antarnegara. Dampak persaingan
antarnegara inilah yang kemudian melahirkan kolonialisme dan imperalisme.
Melihat dampak-dampak tersebut, para tokoh tersebut menjadi yakin bahwa untuk
mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur, maka nilai keadilan sosial, kekeluargaan,
dan gotong-royong merupakan nilai yang tepat untuk menjiwai pembentukan pasal-pasal
mengenai hak warga negara. Nilai keadilan sosial, khususnya, juga diyakini dapat
membawa perdamaian dunia bila diterapkan oleh bangsa-bangsa lain. Dengan latar
belakang sejarah tersebut, para tokoh bangsa yang merumuskan hak-hak warga negara
sependapat bahwa HAM tidak perlu dimasukkan secara khusus. Namun, mereka tetap
berpegang pada prinsip kedaulatan rakyat, sehingga rakyat tetap diberi hak untuk
mengeluarkan pendapat dan bersidang, serta hak kesetaraan di hadapan hukum dan
dalam pemerintahan. Kemerdekaan atau hak tersebut harus diberikan untuk mencegah
terjadinya negara kekuasaan. Selain prinsip kedaulatan rakyat, sila-sila Pancasila juga
sangat mewarnai perumusan hak-hak warga negara seperti terlihat dari sila keadilan sosial
dalam perumusan hak pendidikan, pemeliharaan fakir miskin dan anak terlantar oleh
negara, dan dari sila pertama yang menjiwai pasal tentang kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama
dan kepercayaannya.11
Pasal-pasal tentang hak warga negara tetap tak berubah hingga terjadinya
amandemen UUD 1945. Perubahan terjadi setelah bangsa Indonesia menempuh jalan gelap
pada masa Orde Baru. Sejumlah peristiwa atau kasus yang terjadi, seperti Daerah Operasi
Militer (DOM) di Aceh, kasus Tanjung Priok, kasus Talang Sari, kasus Marsinah, kasus
Semanggi I dan II, kasus Trisakti, dan kerusuhan di Ambon dan Poso telah menimbulkan
jatuhnya banyak korban. Hal ini menyadarkan anggota masyarakat untuk berjuang
menegakkan HAM di Indonesia. Tuntutan mereka bergaung dalam Gerakan Reformasi pada
tahun 1998. Akhirnya, di bawah pemerintahan Megawati ditetapkankanlah TAP MPR No.
11 Lihat UUD 1945 (sebelum amandemen) Pasal 27, 29, 31 dan 34. Lihat juga perdebatan para tokoh bangsa Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992: 206—209, 222—223.
XVII/MPR/1998 tentang HAM yang kemudian menjadi UU Nomor 39 Tahun 1999 yang di
dalamnya juga ditetapkan hak perempuan dan anak. Secara formal, perjuangan penegakan
HAM mencapai puncaknya dengan masuknya pasal-pasal khusus mengenai HAM dalam
UUD 1945 sesudah amandemen. HAM melengkapi hak-hak sosial warga negara yang
sangat ditekankan dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Secara umum, HAM dalam UUD
meliputi hak untuk hidup, hak untuk mengembangkan diri, hak untuk memperoleh
keadilan, hak untuk perlindungan diri dan bebas dari penyiksaan, serta hak untuk
memperoleh suaka politik dari negara lain. Hak-hak sosial pun semakin dijamin dengan
penegasan atas hak atau jaminan sosial.12 Perubahan signifikan lainnya adalah
pencantuman batasan-batasan terhadap hak warga negara.
c. Implementasi Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Kehidupan Sehari-hari
Secara formal, hak dan kewajiban penduduk Indonesia telah ditetapkan dalam UUD.
Hak-hak itu meliputi hak umum, hak negatif dan positif, serta hak individual dan sosial.
Bagaimana implementasi hak dan kewajiban tersebut dalam kehidupan sehari-hari secara
praktis? Untuk melihat aspek praktis dari pasal-pasal tentang hak warga negara, maka
berikut ini hak-hak itu akan diuraikan dalam tiga kategori, yakni keamanan, kesetaraan,
dan kemerdekaan.
(1) Keamanan
Dalam Pembukaan UUD disebutkan bahwa salah satu tujuan negara adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuan ini
tentu akan diemban sebagai kewajiban tiap pemerintah untuk menjamin keamanan negara
dan keselamatan penduduk yang tinggal di wilayah Indonesia. Perlindungan dan jaminan
pemerintah atas keamanan ini diperlukan oleh setiap orang karena ancaman terhadap
penduduk bisa datang dari luar yaitu serangan bangsa lain, dan secara internal berupa
tindakan kriminal. UUD 1945 sesudah amandemen telah menetapkan pasal-pasal tentang
HAM. Hal ini berarti bahwa dalam kehidupan sehari-hari setiap orang juga dijamin
keamanannya terhadap tindakan negara yang tidak adil, misalnya tindakan penangkapan
tanpa alasan yang mencukupi. Bila terjadi kekeliruan dalam penangkapan, penahanan, atau
12 Selengkapnya, lihat pasal 28 A–J, UUD 1945 (sesudah amandemen).
penuntutan, maka seseorang dapat meminta ganti rugi. UU tentang prosedur ini secara
khusus diatur dalam KUHAP.13
(2) Kesetaraan
Seluruh warga negara tanpa memandang suku, agama, budaya, aliran politik, profesi
dan status sosial-ekonomi diperlakukan setara. Kesetaraan ini menempatkan setiap warga
negara mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian yang adil, dan perlakuan
yang sama di hadapan hukum.14
(3) Kemerdekaan (indepedensi)
Kata kemerdekaan kita jumpai pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945. Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, kemerdekaan negara-bangsa merupakan prasyarat
bagi kemerdekaan tiap-tiap warga negara. Kemerdekaan di sini bermakna lebih dari
kebebasan dalam pengertian liberal, karena kemerdekaan menempatkan individu sebagai
“persona” atau pribadi yang bermartabat di dalam negara. Inilah hakikat individu sebagai
warga negara yang tidak hanya diposisikan di hadapan lembaga-lembaga hukum dalam
negara, melainkan juga memiliki hak untuk mengajukan tuntutan terhadap negara.
Bersamaan dengan itu, pengakuan terhadap hak itu juga menuntut tanggung jawab untuk
memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara. Tanggung jawab untuk ini sendiri
bukanlah bentuk paksaan melainkan merupakan bentuk aktivitas bebas warga negara,
yang dilakukan dengan penuh kesadaran (Poole, 1999: 83).
Bila ditinjau lebih jauh, aktivitas politik yang dilakukan tiap-tiap warga negara
sebenarnya juga merupakan sarana untuk memenuhi hak-haknya. Hal ini dijelaskan
berikut ini.
Hak untuk mengeluarkan pendapat dan mendapatkan informasi.15 Dalam
kehidupan sehari-hari kita melihat pemerintah membuat kebijakan-kebijakn yang
berpengaruh luas seperti menaikkan harga dasar listrik (TDL), mencabut subsidi bahan
bakar minyak (BBM), meningkatkan pajak penjualan, jaminan sosial, dsb. Dalam
13 UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 95.14 Lihat Pasal 27 UUD 1945 (sesudah amandemen).15 Lihat Pasal 28 dan 28 F, UUD 1945 (sesudah amandemen).
menghadapi keijakan-kebijakan tersebut, hak untuk mengeluarkan pendapat dan
mendapat informasi tentu harus dipergunakan untuk mengawal pemerintah agar
bertindak untuk kepentingan seluruh rakyat. Rakyat harus mengetahui apa yang
dikerjakan pemerintah, dapat menyuarakan pendapat mereka, dan bersikap kritis bila
ternyata dampak kebijakan tersebut tidak untuk kepentingan seluruh rakyat. Hak untuk
mendapatkan informasi juga berarti mengetahui hak-hak, dan menggunakannya bila
diperlukan. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari sering kali aparat negara
melakukan salah tangkap terhadap seseorang yang tidak bersalah. Jika warga negara
tersebut sadar akan hak-haknya maka ia pun dapat terhindar dari perlakuan yang tidak
adil tersebut. Kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan memperoleh informasi
juga terkait erat dengan kebebasan pers karena pemenuhan akan hak tersebut akan
mengacu kepada sarana-sarana untuk mengeluarkan pendapat dalam wujud tulisan,
seperti koran, majalah, buku, dsb., serta sumber-sumber informasi modern seperti radio,
televisi, dan internet.
Hak berserikat. Dengan kemerdekaan berserikat, rakyat dapat membentuk
organisasi-organisasi, mulai dari klub olah raga, asosiasi profesi, hingga partai politik.
Rakyat juga dijamin haknya untuk hadir dalam rapat umum, kampanye, dsb.
Hak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing. Dengan hak yang telah ditetapkan dalam pasal 29 ini16
pemerintah menjamin rakyat untuk menjalankan ajaran agama mereka. Sesuai dengan
prinsip kesetaraan, maka pemerintah tidak akan memperlakukan rakyat secara berbeda
karena agama yang dipeluknya.
Hak untuk memilih dalam pemilu. Hak untuk memilih merupakan salah satu hak
yang penting sekaligus merupakan bentuk tanggung jawab warga negara. Dalam pemilihan
umum, warga negara memilih orang-orang yang akan duduk dalam pemerintahan dan
suara pemilih merupakan mandat bagi pemerintah yang terpilih. Jadi, kalau ternyata
bahwa mereka yang terpilih tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik maka warga
negara berhak untuk tidak memilihnya kembali pada pemilu berikutnya. Pemenuhan hak
ini secara bertanggung jawab akan memastikan pergantian kepemimpinan secara tertib
dan damai.
16 Lihat Pasal 29, UUD 1945.
Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Dalam kehidupan
bermasyarakat kita menjumpai persoalan-persoalan yang begitu kompleks dan tidak dapat
diatasi oleh pemerintah semata-mata. Masalah itu antara lain ialah kemiskinan,
pengangguran, dan kekerasan dalam rumah tangga. Penyelesaian masalah-masalah
tersebut mengundang partisipasi aktif warga negara, baik secara individu maupun melalui
organisasi semacam lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga bantuan hukum, atau
bentuk lembaga lain untuk membantu meringankan beban masyarakat. Dengan demikian
partisipasi dalam pemerintahan tidak hanya berupa hak untuk memilih atau dipilih untuk
menduduki jabatan-jabatan pemerintah, tetapi juga partisipasi aktif dalam kehidupan
masyarakat.
d. Batasan-batasan terhadap Hak dan Kebebasan Warga Negara
Dengan pemenuhan hak-hak warga negara tidak dapat diartikan bahwa warga
negara dapat melaksanakan haknya tanpa batasan. Dalam kehidupan sehari-hari kita
mengenal bahwa kebebasan manusia memiliki batasan-batasan. Seiring dengan itu maka
Pasal 73 dan 74 UU Nomor 39 Tahun 1999, dan Pasal 28 UUD 1945 tentang HAM telah
mengatur batasan-batasan tentang hak dan kebebasan warga negara. Hal itu dilakukan
untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta
kebebasan orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Hak atau kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat sangat penting dalam negara
yang menganut sistem demokrasi karena dengan itu warga negara dapat memperoleh
informasi, menyuarakan pendapat, berdiskusi, dsb. Demokrasi akan berkembang bila
warga negara dapat menggunakan hak berpendapat itu tanpa rasa takut. Namun, warga
negara tidak boleh menyalahgunakan hak untuk berpendapat dan berbicara serta
kebebasan pers dengan tujuan untuk mencemarkan nama baik orang lain, menghasut,
berbohong, atau membocorkan rahasia negara yang dapat membahayakan negara. Pihak
yang nama baiknya dicemarkan berhak meminta perlindungan dari yang berwajib. Hal ini
diatur dalam KUHP Pasal 310.
Menyuarakan pendapat dengan cara unjuk rasa juga diatur agar tidak mengganggu
ketertiban umum. Sebagai contoh, pengunjuk rasa wajib memberitahukan rencananya
kepada aparat negara terlebih dahulu agar unjuk rasa itu berjalan tertib dan tidak
menggangu hak orang lain, misalnya pengguna jalan raya. Kebebasan berserikat pun
memiliki batasan-batasan, misalnya kegiatan kelompok tidak akan ditoleransi bila
melanggar ketertiban umum atau menggunakan cara-cara kekerasan untuk menekan
kelompok-kelompok lain.
Dari batasan-batasan terhadap kebebasan warga negara dapat dilihat bahwa hak
warga negara bukanlah tak terbatas, karena hak warga negara, sebagai seorang individu,
harus berhadapan dengan hak orang lain dan hak masyarakat. Pihak negara (pemerintah)
dapat menetapkan UU atau peraturan-peraturan yang membatasi hak-hak warga negara.
Hal itu dilakukan untuk menjaga keamanan dan keselamatan warga negara dan ketertiban
masyarakat secara umum. Dengan kesadaran bahwa orang lain dan masyarakat juga
memiliki hak-hak yang harus dipenuhi, maka tiap warga negara diharapkan menyadari
bahwa untuk memenuhi hak-haknya secara penuh ia pun wajib menghargai hak-hak orang
lain pula.
e. Kewajiban Warga Negara
Pembicaraan tentang hak warga negara selalu berbarengan dengan kewajiban
warga negara. Kewajiban warga negara menuntutnya melakukan sesuatu dan jika dia tidak
melakukannya maka dia dapat dikenai denda atau, dalam kasus tertentu, bahkan dapat
dipenjara. Kewajiban menuntut pemenuhannya walaupun warga negara (mungkin) enggan
melakukannya. Berbeda dengan kewajiban, warga negara juga memiliki tanggung jawab,
yaitu apa yang seharusnya dilakukan. Tanggung jawab sebenarnya merupakan bentuk
kewajiban juga, tetapi pemenuhannya hanya secara sukarela atau tanpa paksaan. Seperti
halnya pemenuhan hak-hak warga negara, pemenuhan kewajiban warga negara juga
merupakan tindakan yang memastikan penyelenggaraan negara berjalan baik.
Beberapa kewajiban yang harus dijalankan setiap warga negara, antara lain ialah 1)
menjunjung/mematuhi hukum dan pemerintahan, 2) membela negara, 3) membayar pajak,
4) mengikuti pendidikan dasar (wajib sekolah), dan 5) menghormati hak asasi orang lain.
(1) Menjunjung/mematuhi hukum dan pemerintahan17
17 Lihat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 (sesudah amandemen).
Kalau negara menerapkan prinsip hukum, maka konsekuensinya adalah bahwa
hukum harus dijunjung, baik oleh pemerintah maupun oleh warga negara. Bilamana
hukum tidak dipatuhi, maka sulit bagi pemerintah untuk menegakkan ketertiban,
melindungi keamanan dan keselamatan warga negara, serta melindungi harta milik
mereka. Hukum dapat berupa peraturan lalu lintas, hukum pidana—yang mengatur agar
tindakan seseorang/sekelompok orang tidak merugikan pihak lain—dan berbagai
peraturan yang ditujukan agar masyarakat dapat hidup bersama dengan rukun.
(2) Membela negara
Membela negara merupakan salah satu kewajiban warga negara yang penting.18
Pemenuhan kewajiban ini akan memastikan keamanan negara dan bangsa, dan dengan
demikian juga keamanan warga negara.
(3) Membayar pajak
Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang penting. Penggunaannya
antara lain ialah untuk membangun fasilitas yang amat vital seperti pembangunan jalan,
gedung-gedung pemerintah dan berbagai fasilitas lain. Pajak juga digunakan untuk gaji
aparat negara, seperti tentara dan polisi yang bertugas untuk mempertahankan keamanan
negara dan menjaga ketertiban rakyat, serta pegawai birokrasi yang bertugas melayani
rakyat.
(4) Mengikuti pendidikan dasar (wajib sekolah)19
Bagi warga negara, sekolah merupakan sarana yang penting untuk
mempersiapkannya menjadi warga negara yang baik. Melalui sekolah seseorang
mendapatkan pendidikan yang bukan hanya berupa pengetahuan melainkan juga
keterampilan dan kemampuan dasar sebagai warga negara—seperti kemampuan
menyuarakan pendapat dalam bentuk lisan dan tulisan, kemampuan untuk mencari dan
memilah informasi, dsb. Di Indonesia, sejauh ini, yang diwajibkan bagi warga negara adalah
mengikuti pendidikan dasar.
18 Lihat Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 (sesudah amandemen).19 Lihat Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 (sesudah amandemen).
(5) Menghormati hak asasi orang lain20
Menghormati hak asasi orang lain merupakan syarat agar hak kita sendiri juga
dihormati orang lain. Rasa saling hormat mengarah kepada terciptanya ketertiban dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam kehidupan sehari-hari,
interaksi sosial merupakan peristiwa yang tidak dapat dihindari, misalnya di dalam
keluarga, tempat kerja, dan kampus. Dalam interaksi-interaksi tersebut tidak jarang
dijumpai adanya perbedaan pendapat atau bahkan konflik. Solusi dari konflik disebut
menghormati hak asasi bila tidak melibatkan tindak kekerasan, tidak menghasut, tidak
menjarah harta milik orang lain, tidak melarang orang beribadah menurut agama atau
kepercayaannya atau, dalam hal perusahaan, pimpinan perusahaan tidak melakukan
tindakan seperti tidak membayar gaji pegawai, dan dalam hal yang melibatkan kaum muda,
tidak melakukan keributan yang menggangu kenyamanan orang lain.
Bersamaan dengan kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain, warga
negara juga memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak-hak orang lain yang tidak
sependapat dengannya. Warga negara diharapkan mampu menghargai dan menerima
pendapat orang lain tanpa memandang latar belakang budaya, agama, aliran politik, dsb.
Tingkah laku menghormati dan menerima pendapat orang lain ini disebut toleransi.
Toleransi sangat dibutuhkan dalam negara dengan sistem demokrasi, karena di alam
demokrasi, tiap orang memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat. Bila pertukaran ide
tidak disertai oleh toleransi maka akan terjadi kebuntuan. Kebuntuan berpotensi terjadi di
masyarakat yang memiliki keberagaman latar belakang. Dalam konteks ini, tiap warga
negara memiliki tanggung jawab untuk menghargai pendapat orang lain.
Di samping menghargai keberagaman, warga negara juga wajib menghargai hak
orang lain dengan cara ikut memelihara berbagai fasilitas umum yang digunakan banyak
orang, seperti memelihara kebersihan halte bus, tidak merusak peralatan telepon umum,
dsb.
5. Kewajiban dan Hak Negara
20 Lihat Pasal 28 J, UUD 1945 (sesudah amandemen).
Di atas telah dikemukakan bahwa negara dan warga negara memiliki hubungan
timbal-balik, seperti yang tercermin dalam hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hak
dan kewajiban negara (pemerintah) dan warga negara bersumber dari, dan diatur dalam
UUD. Kewajiban negara secara implisit termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yakni pada
alinea keempat yang berisi tujuan negara yang harus dilaksanakan setiap pemerintahan
yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Keempat tujuan tersebut yang menjiwai kewajiban dan tanggung jawab negara
sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal UUD,21 yaitu bahwa negara harus membuat
kebijakan-kebijakan untuk dapat memenuhi hak-hak warga negara, yaitu hak atas
kehidupan, hak beragama, hak mengemukakan pendapat, hak untuk mendapat pekerjaan
yang layak, pendidikan, dan seterusnya.
Pemenuhan kewajiban negara tentu memiliki konsekuensi bagi warga negara—
yang pada gilirannya menjadi hak negara. Warga negara wajib memelihara dan
mempertahankan kemerdekaan negara dan sejumlah kewajiban warga negara yang lain
sebagaimana telah diuraikan pada subbab sebelumnya. Hal itu menunjukkan bahwa upaya
bela negara, mematuhi hukum, membayar pajak, dan lain-lain merupakan aktivitas-
aktivitas warga negara untuk memenuhi hak negara. Hanya melalui tindakan timbal-balik
dalam pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pihak—negara dan warga negara—
tujuan negara akan tercapai, dan, sebaliknya, hak-hak warga negara akan terpenuhi pula.
6. Evaluasi Kritis terhadap Hubungan Timbal-balik antara Negara dan Warga
Negara
Bila negara lain seperti AS memiliki piagam hak asasi yang terpisah dari UUD,
Indonesia tidak demikian. UUD 1945 (sebelum amandemen) telah mencakup hak asasi di
dalamnya. Hak-hak tersebut termuat dalam Pasal 27—31 yaitu tentang hak di bidang
politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Budiardjo, 2008: 248).
21 Lihat Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28; Pasal 28 A–J; Pasal 29 ayat (2); Pasal 30 ayat (1); Pasal 31 ayat (1) dan (2); Pasal 32 ayat (1) dan (2); Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3), UUD 1945 (sesudah amandemen).
Pencantuman hak-hak tersebut memiliki latar belakang sejarah yang menarik.
Penjajahan Belanda di Indonesia telah menyebabkan para pendiri bangsa bersikap kritis
terhadap paham-paham seperti liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, dan individualisme.
Liberalisme misalnya telah digunakan negara-negara Barat untuk merumuskan hak asasi.
Liberalisme pula yang mendorong adanya kompetisi bebas antarnegara sehingga timbul
benih-benih kolonialisme yang berakibat pada penjajahan, terutama di Asia dan Afrika.
Liberalisme dan kapitalisme yang dipraktikkan tanpa batas, pada masa tahun 1930-an juga
menyebabkan krisis ekonomi di negara-negara Barat dan memicu terjadinya perang
antarnegara. Dampak penerapan liberalisme dan kapitalisme tersebut telah menyadarkan
tokoh-tokoh bangsa bahwa hak-hak politik seperti hak mengeluarkan pendapat dan
berserikat yang ditekankan di alam liberalisme tidak mampu mengangkat kesejahteraan
masyarakat atau kesetaraan di bidang ekonomi, padahal kesejahteraan merupakan
masalah krusial bagi negara-negara yang baru merdeka seperti Indonesia. Sebagai jawaban
atas masalah tersebut, maka dalam perumusan UUD, keadilan sosial lebih ditekankan.22
Namun, di tengah kuatnya arus pemikiran untuk lebih menekankan hak atau kemerdekaan
warga negara di bidang sosial dan ekonomi, ada tokoh seperti Hatta yang tetap kokoh
untuk mencantumkan hak rakyat untuk mengeluarkan pendapat dan berserikat. Tujuan
pencantuman hak tersebut tidak lain untuk mencegah timbulnya negara kekuasaan yang
berpotensi menindas rakyat.
Dengan diterimanya usulan-usulan tentang pencantuman hak mengeluarkan
pendapat dan berserikat, maka UUD 1945 sebelum amandemen telah mencantumkan hak-
hak politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Ada satu hal yang membanggakan dan patut
diketengahkan di sini, yakni bahwa UUD 1945 memuat hak-hak kolektif, seperti hak bangsa
untuk menentukan nasib sendiri (lihat Pembukaan UUD 1945), hak ekonomi dan sosial
seperti hak mendapat pengajaran, hak atas penghidupan yang layak, hak untuk fakir miskin
dan anak terlantar, dst. Pencantuman hak-hak tersebut dilakukan mendahului Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang baru diundangkan tiga tahun kemudian, yakni
pada tahun 1948 (Budiardjo, 2008: 244). Dengan demikian, dari sudut sejarah pemikiran,
kita patut menghargai pemikiran-pemikiran tokoh pendiri bangsa kita.
22 Lihat Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34 UUD 1945 (sebelum amandemen).
Pembicaraan tentang pemikiran tentu tidak akan lengkap bila tidak mencakup aspek
tindakan dalam bentuk kebijakan negara di bidang pemenuhan hak-hak warga negara
sebagaimana tercantum dalam UUD. Dari sejarah perjalanan bangsa terlihat bahwa
kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat, dan kebebasan pers tidak dapat
dinikmati sepenuhnya oleh warga negara, karena adanya batasan-batasan seperti
pembubaran partai politik dan pembredelan pers, dan tindakan sewenang-wenang seperti
kekerasan militer (pemberlakuan daerah operasi militer /DOM) di Aceh, kasus Tanjung
Priok, dan kasus Trisakti. Faktor-faktor tersebut, bersama-sama dengan keterpurukan
ekonomi dan masalah-masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang kronis, telah
mendorong berbagai elemen masyarakat melakukan gerakan reformasi untuk mengakhiri
pemerintahan Soeharto.
Satu hal yang menarik dan patut dipelajari dari peristiwa-peristiwa tersebut adalah
bahwa ketika negara menjadi negara kekuasaan maka negara (dalam hal ini pemerintah)
memakai kekuasaan untuk menafsirkan UUD demi kepentingan kekuasaan itu sendiri
sehingga dalam praktik rakyat menjadi pihak yang tertindas. Pada masa Orde Baru, sering
kali terjadi ketidaksamaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat tentang konsep
“kepentingan umum” dan “keamanan nasional”. Dalam tafsiran pemerintah, tidak jelas
kapan kepentingan individu berakhir dan kepentingan umum mulai. Sebagai contoh, dalam
kasus penggusuran, penduduk diminta menyerahkan lahannya untuk pendirian fasilitas
rumah sakit. Dalam kasus seperti ini, masyarakat biasanya tidak mempersoalkannya, tetapi
dalam kasus penggusuran untuk pendirian pusat komersial, interpretasi tentang
“kepentingan umum” dapat bertolak belakang karena dapat dipandang sebagai
pelanggaran hak asasi. Demikian pula interpretasi tentang “keamanan”, tidak pernah jelas
kapan keamanan terancam dan kapan unjuk rasa masih dapat ditoleransi sebagai upaya
untuk mengeluarkan pendapat. Kekuasaan menafsir “kepentingan umum”, “keamanan
umum” dan “stabilitas nasional” merupakan monopoli negara (Budiardjo, 2008: 251—
253). Negara dengan demikian telah menampilkan diri sebagai negara kekuasaan.
Menghadapi situasi demikian, maka memasuki era Reformasi, berbagai elemen
masyarakat menuntut penguatan hak asasi. Upaya ini berhasil dengan diundangkannya UU
RI Nomor 39 Tahun 1999. Pemberlakuan dan pelaksanaan UU itu merupakan kemajuan
hak-hak asasi politik, seperti hak untuk mengeluarkan pendapat, hak berserikat, dan
kebebasan pers yang kini dapat dinikmati rakyat secara bebas. Selain itu, terbitnya UU
Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasaan dalam rumah tangga telah
menguatkan hak asasi perempuan. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang
kewarganegaraan RI terdapat pasal yang mengesahkan status anak yang terlahir dari ibu
WNI dan ayah WNA. Dengan UU ini, status anak yang terlahir dari ibu WNI adalah
mengikuti kewarganegaraan ibunya sampai ia dapat menentukan statusnya sendiri pada
usia 18 tahun. UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang diterbitkan agar bila perkawinan berakhir dengan perceraian, hak asuh
anak tetap pada ibu.
Adapun pemenuhan hak-hak politik ternyata tidak diimbangi dengan pemenuhan hak
warga negara di bidang sosial-ekonomi dan budaya. Saat ini Indonesia masih terbelit oleh
masalah pengangguran, pendidikan dan kesehatan yang mahal, kemiskinan, dan korupsi.
Kebijakan-kebijakan pemerintah ternyata belum mampu memenuhi tujuan-tujuan yang
digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Kesejahteraan dan keadilan sosial masih jauh dari
harapan. Masalah kesetaraan di hadapan hukum pun masih menjadi persoalan sehingga
timbul rasa ketidakadilan di kalangan rakyat.
Di pihak warga negara, yang juga patut mendapat perhatian khusus adalah bahwa
perilaku kebebasan tanpa batas seperti tindak anarki, amuk massa, tindakan-tindakan yang
tidak mencerminkan toleransi dalam hidup beragama, perilaku korupsi, dsb. merupakan
cermin melemahnya kesadaran akan pentingnya hukum untuk ketertiban bersama dan
menciptakan keadilan.
Dengan melihat keadaan yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa masalah
keamanan, kesetaraan, dan kebebasan tetap menjadi masalah penting dalam hidup
berbangsa dan bernegara. Pemenuhan hak-hak warga negara di ketiga bidang tersebut
memerlukan peran negara. Namun, mengingat permasalahan dalam masyarakat begitu
rumit dan beragam, negara juga membutuhkan partisipasi warga negara. Partisipasi politik
warga negara merupakan kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan negara. Melalui
hubungan kerja sama atau hubungan timbal-balik antara negara dan warga negaralah
penyelenggaraan negara dapat terarah pada cita-cita bersama sebagaimana tertuang dalam
pembukaan UUD 1945.
BAB VINDONESIA DAN DUNIA INTERNASIONAL
Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami dinamika
hubungan antarbangsa di dunia, serta mampu membangun sikap
terbuka dan kritis terhadap peran politik Indonesia di dunia
internasional.
1. Hubungan Antarbangsa
Hubungan antarbangsa tidak selamanya serasi karena menyangkut kepentingan
nasional masing-masing. Kepentingan nasional antara dua bangsa/negara dapat berbeda,
malah saling berbenturan. Perbedaan kepentingan yang menimbulkan pertentangan
biasanya disebut konflik. Dalam perkembangannya konflik dapat meruncing dan berlanjut
dengan penggunaan senjata. Keadaan terakhir itu disebut perang.
Gambaran plastis hubungan antara dua negara dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, integrasi (kerja sama); hal ini dapat terjadi karena kepentingan dua negara
sejalan. Kedua, konflik (pertentangan); hal ini dapat terjadi karena kepentingan masing-
masing negara saling bertentangan. Untuk yang kedua ini, ada beberapa cara
penyelesaiannya yaitu tindak kekerasan, penekanan atau pemaksaan (coersion), dan
akomodasi. Tindak kekerasan biasanya berupa penyelesaian dengan perang bersenjata.
Dalam hal penekanan atau pemaksaan, biasanya salah satu negara melakukan gerakan
provokasi agar negara lainnya takut/tunduk, misalnya dengan mengadakan latihan militer
di daerah perbatasan. Akomodasi ialah keadaan kedua bangsa saling menghormati dengan
koeksistensi, kompromi, dan kompetisi kepentingan secara sehat.
Peningkatan atau eskalasi konflik antarnegara bagaikan sebuah spektrum. Eskalasi
dimulai apabila salah satu negara merasa dirugikan yaitu ketika, umpamanya, upayanya
untuk memakai produksi sendiri terganggu. Keadaan ini biasanya berlanjut dengan
peningkatan tarif bea masuk, kuota perdagangan, pembatasan peredaran valuta asing,
konsesi dagang dengan negara (mitra) tertentu, hal yang sudah barang tentu akan dibalas
oleh negara yang tidak mendapat konsesi dengan cara boikot dan/atau sabotase atas
barang negara “lawan” (yang tidak memberi konsesi). Keadaan ini, yang mirip dengan
keadaan perang tetapi tanpa penggunaan senjata, disebut perang dingin.
Dalam perang dingin dapat terjadi “perang terbatas” dengan tanda-tanda seperti
penahanan kapal “lawan” dengan muatannya, insiden perbatasan, dan huru-hara yang
dikendalikan dari luar. Perang panas atau perang terbuka dimulai dengan pencaplokan
atau aneksasi teritorial, kemudian pernyataan perang yang dilanjutkan dengan
penggunaan satuan-satuan Angkatan Perang (Darat, Laut, dan Udara). Bahkan perang dapat
menjadi tidak terkendali apabila tidak segera diselesaikan. Perang tidak terkendali apabila
kedua pihak menggunakan senjata nuklir, biologi, dan kimia (Eccles, 1959: 13).
Untuk mengatasi eskalasi seperti itu masing-masing negara biasanya menyiapkan
warga negaranya untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara maupun upaya
pertahanan- keamanan. Bagi bangsa Indonesia kedua upaya ini merupakan hak dan
kewajiban. Hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan pasal 30 ayat (1) UUD 1945. Ini
merupakan keunikan hukum tentang hak dan kewajiban warga negara di Indonesia.
Sejarah konflik antarmanusia, antarmasyarakat maupun antarbangsa selalu
melibatkan masyarakat atau bangsa lain sehingga terbentuk blok-blok. Pada abad XVII dua
blok yang saling berhadapan adalah dinasti Bourbon di Eropa Barat dengan dinasti
Hapsburg di Eropa Tengah. Pasca-Perang Dunia I, sekitar tahun 1920-an dunia seolah-olah
dibagi hanya atas dua sebagai dunia Barat dan sisanya, yaitu negara-negara yang dianggap
tidak dipengaruhi oleh Barat (Huntington, 1998: 23—26). Dalam pengertian ini negara
koloni dianggap masuk ke blok Barat. Pada pertengahan abad XX, pasca-Perang Dunia
(masa perang dingin), di samping blok Barat dan blok Timur muncul pula blok lain yaitu
negara-negara yang baru merdeka.
2. Peran Indonesia dalam Hubungan Antarbangsa
Butir keempat dari tujuan nasional Indonesia sebagaimana tertulis pada Alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 asli merupakan “politik bebas aktif”. Kebijakan politik
bebas aktif dilakukan untuk menghadapi kenyataan adanya dua blok negara pemenang
Perang Dunia II. Pembentukan kedua blok didasarkan pada ideologi yang berkembang
pada abad XX, masing-masing blok liberal (blok Barat) dan blok sosialis (blok Timur).
Kedua blok itu berupaya menyelesaikan konflik dengan perang dingin, yang sebenarnya
merupakan upaya koersi kedua blok tersebut. Blok Barat merangkul mantan musuhnya
dalam Perang Dunia II, Jerman Barat, dan dimasukan dalam pakta pertahanan Atlantik
Utara (NATO). Jepang dirangkul dan dipayungi oleh Amerika Serikat selama Jepang
bersedia menjadi negara demokrasi liberal, termasuk sistem agraria dan pendidikan
(Robert, 2004: 1062). Akibatnya, Jepang dan Jerman Barat menjadi raksasa ekonomi baru
dengan tingkat kesejahteraan tinggi. Kedua negara itu mengalahkan negara-negara
pemenang perang; Jerman Barat, misalnya, lebih pesat perekonomiannya daripada Prancis.
Ini tidak lain karena Jepang dan Jerman Barat meminimalkan biaya keamanan nasionalnya
yang telah dipayungi oleh blok Barat (sekutu). Kedua blok (Barat dan Timur) berupaya
menarik negara-negara merdeka baru ke dalam blok mereka masing-masing.
Dalam pada itu, Indonesia bersama India, Pakistan, Sri Langka dan Myanmar
(dahulu Birma) berupaya agar negara baru tidak terseret ke dalam salah satu kubu, dengan
maksud agar dapat meredakan ketegangan dunia. Gerakan yang dipelopori Indonesia itu
mendapat respons dari Mesir pasca-tergulingnya monarki dan berhasil mengadakan
Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 yang menjadi cikal-bakal Gerakan Non-
Blok. Pada era Perang Dingin 1960-an ke dalam blok baru itu kemudian bergabung
Yugoslavia yang sedikit merenggang dengan blok negara-negara demokrasi sosialis.
Negara-negara Amerika Latin yang sebelumnya pro Barat, pada era ini bergabung dengan
negara-negara Asia dan Afrika. Negara-negara yang tergabung dalan gerakan non-blok
dikenal sebagai negara dunia ketiga atau negara sedang berkembang (NSB). Dalam gerakan
ini Indonesia termasuk negara pemrakasa (Huntington, 1998: 24—25).
Gerakan non-blok berperan penting dalam meredam konflik atau perang dingin.
Namun, sangat disayangkan bahwa pimpinan (elit politik) negara-negara pemrakasa
kurang memberi kesempatan kepada generasi yang lebih muda sehingga terkesan kurang
demokratis. Sepeninggal mereka, gerakan non-blok menjadi kurang efektif, apalagi setelah
krisis ekonomi, sosial, budaya, dan politik melanda negara-negara anggotanya, mengingat
bahwa syarat utama gerakan ini adalah kestabilan politik pada masing-masing negara
peserta.
Di era “Perang Dingin 1960-an” juga terjadi krisis politik di Indonesia. Presiden
Soeharto sebagai kepala pemerintahan memprioritaskan pengamanan dalam negeri dan
sekaligus pembangunan ekonomi dalam negeri. Secara tidak langsung arah politik kita
cenderung ke demokrasi liberal. Gerakan selanjutnya berupaya melakukan pemurnian
ideologi Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen dan merumuskan paradigma tata
kehidupan nasional dengan menyusun doktrin-doktrin dasar. Legitimasi doktrin-doktrin
dasar adalah Wawasan Nusantara sebagai geopolitik dan Ketahanan Nasional sebagai
geostrategi melalui ketetapan MPR. Implementasi kedua doktrin itu dalam politik luar
negeri dimulai dengan upaya pembangunan stabilitas politik dan ekonomi di kawasan
regional. Hubungan dengan negara tetangga yang selama itu “kurang baik” dibangun
kembali dengan mendirikan perhimpunan negara Asia Tenggara (Association of South East
Asia Nations, ASEAN).
3. Berbagai Kecenderungan di Era Globalisasi
Dekade akhir abad XX dan awal abad XXI disebut masa (era) globalisasi. Pada masa
ini setiap negara menjadi negara terbuka untuk perdagangan bebas. Era globalisasi
ditandai oleh kemajuan teknologi dalam bidang transportasi—terutama setelah pesawat
terbang digunakan sebagai angkutan masal, baik untuk penumpang maupun barang—
telekomunikasi—yang kini telah berkembang menjadi teknologi informatika—serta
semangat perdagangan bebas. Pada era ini pula orang terdorong menjadi warga negara
dunia (kosmopolit). Negara maju dan kaya mencita-citakan dunia tanpa batas. Dunia tanpa
batas akan merugikan bangsa yang sedang berkembang apabila bangsa itu tidak memiliki
karakter nasional yang kuat dan intelektual yang tinggi. Tidaklah mengherankan apabila
akan terjadi konflik antarnegara maupun interen negara nasional yang dipicu oleh
perbedaan persepsi mengenai nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konflik fisik masih terjadi baik dalam rangka perebutan wilayah secara fisik
maupun melalui maya, yaitu melalui pengaruh budaya, ekonomi dan sebagainya, yang
berawal dari perebutan sumber daya alam. Oleh karena itu tidaklah salah apabila Wright
berkata bahwa perang fisik dipicu oleh 1) dunia yang “menciut” sebagai akibat kemajuan
teknologi transportasi, 2) “percepatan” jalannya sejarah sebagai akibat kemajuan teknologi
telekomunikasi, 3) penemuan persenjataan baru (yang lebih modern), dan 4) kebangkitan
demokrasi. Dari keempat penyebab perang itu, tiga di antaranya menyebabkan
penggunaan sumber daya alam—terutama yang tidak dapat diperbaharui—yang
berlebihan. Oleh karena itu isu era globalisasi diidentikkan dengan pemanasan global dan
perebutan wilayah sumber daya alam (Wright, 1942: 4—7).
Di era ini muncul konsep “dunia tanpa batas” yang pada hakikatnya adalah
perkembangan dari berdirinya perusahaan-perusahaan multinasional (multinational
corporations), yang tidak lain merupakan bentuk liberalisasi ekonomi dunia. Dalam konsep
ini seorang pembeli dianggap sebagai raja, tetapi dalam kenyataannya dia terpaksa
membeli barang hanya demi menjaga gengsi—memakai merek tertentu. Persaingan
penjualan hasil produk akan dimenangkan oleh perusahaan yang mampu merakit barang
berkat penyebaran teknologi (dispersion of technology). Perusahaan besar akan tetap
membina perusahaan kecil dan mungkin ikut membiayai penelitian dan pengembangan
sehingga produknya dijadikan modal tetap sebagai biaya tetap (fixed cost). Masalah mata
uang dan negara (currency and country) akan menjadi kendala apabila perusahaan itu
dimiliki oleh satu negara. Oleh karena itu perusahaan yang berupaya mempengaruhi
konsumen menjadi perusahaan multi-nasional yang didirikan oleh beberapa negara
(Ohmae, 1991: 34—71).
Berdasarkan uraian di atas, tidaklah salah apabila dikatakan bahwa era globalisasi
merupakan bentuk kolonisasi perusahaan multinasional melalui dunia maya, yang
mengarah kepada penjajahan sosial, budaya, ekonomi, dan ideologi, dan tidak mustahil
juga akan mengarah kepada tindak-tindak kriminal antarnegara. Sudah barang tentu
konsep ini akan ditolak oleh negarawan dan politisi nasional yang patriotik. Akibat
lanjutannya, tidak mustahil terjadi tindak-tindak kriminal yang diikuti oleh gerakan politik
yang akan berakhir dengan kejatuhan negara nasional baru.
Pada awal era globalisasi, blok demokrasi sosialis mendapat bencana multi-dimensi
yang berawal dengan krisis ekonomi, berlanjut dengan krisis politik, dan berakhir dengan
kebangkitan demokrasi, terutama sejak runtuhnya tembok Berlin. Akibatnya, banyak
negara demokrasi sosialis terpaksa harus segera melakukan perubahan dengan
menyesuaikan diri dengan mitra dan lingkungan strategisnya. Semangat untuk
mengadakan perubahan segera dan cepat juga melanda banyak negara lain, termasuk
negara maju.
Euforia runtuhnya tembok Berlin dan keinginan terbentuknya dunia tanpa batas
menjadikan banyak negara menjadi tidak aman dan damai. Timbul konflik, baik
antarnegara maupun di dalam negara nasional sendiri. Konflik-konflik yang semula
berbasis ekonomi banyak diselesaikan melalui politik sambil menunjukkan identitas
masyarakat (Huntington, 1998: 21). Banyak negara nasional pecah menjadi negara kecil
yang berbasis etnik. Kelompok-kelompok etnik saling berhadapan dan berjuang untuk
kepentingan etniknya dan tidak jarang diselesaikan dengan kekerasan.
Kecenderungan politik sebenarnya menjadi penyebab awal kebangkitan demokrasi,
terutama di negara-negara blok Timur dan di negara-negara sedang berkembang. Krisis
ekonomi dianggap sebagai penyebab awal kecenderungan ekonomi global. Dalam hal ini
sistem politik negara-negara Barat dianggap “lebih baik” daripada yang dilaksanakan di
negara-negara blok Timur dan di negara-negara sedang berkembang. Oleh karena itu isu-
isu demokrasi dan hak asasi manusia yang didengung-dengungkan Barat menjadi
mendunia.
Kecenderungan ekonomi terjadi karena pergeseran pusat perekonomian dunia ke
arah kawasan negara-negara Pasifik. Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dan Kanada
bergeser ke Barat karena melihat kesempatan yang lebih besar. Jepang muncul menjadi
raksasa ekonomi. Negara-negara Eropa yang takut ditinggalkan berupaya “tampak” ikut
berperan. Rusia juga bereaksi dengan berusaha menampakkan kekuatannya di kawasan
Pasifik,
Kecenderungan sosial budaya juga diakibatkan oleh kemajuan teknologi
telekomunikasi dengan makin berkembangnya teknik informatika. Apa yang terjadi di
dunia pada saat yang bersamaan dapat diketahui melalui media elektronik di rumah-
rumah masyarakat lainnya. Budaya dan kearifan lokal bersaing ketat dengan budaya pop
yang mendunia. Kecenderungan yang mengutamakan hak daripada kewajiban mulai
ditinggalkan sehingga muncul Gerakan Tanggung Jawab Insani (Human Responsibilities
Movement). Oleh karena itu, pendidikan kepribadian dan karakter perlu dibangun dengan
baik dan terus-menerus.
Kecenderungan bentuk pertahanan keamanan dipengaruhi oleh runtuhnya blok
Timur yang merupakan isyarat perubahan pada visi, misi, strategi, dan konsep politik
nasional. Konsep visi dan misi pertahanan keamanan diciptakan oleh masing-masing
negara. Namun yang patut diwaspadai adalah keinginan Barat, terutama negara-negara
Anglo-Sakson (Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru) untuk tetap
menguasai dunia. Kalau pada abad pertengahan kolonialisme berbentuk fisik, maka kini
berbentuk demokrasi dan ekonomi liberal. Isu-isu yang mereka kembangkan adalah
perang melawan terorisme internasional dan penegakan demokrasi.
Pada era ini, dunia seolah-olah pecah karena pengaruh perkembangan kebangkitan
budaya bangsa (Huntington, 1998: 207). Timbul benturan budaya yang berlanjut dengan
pecahnya negara nasional menjadi negara yang bersifat etnik atau agama. Sudan menjadi
negara terakhir (sampai dengan tahun 2011) yang pecah menjadi negara nasional yang
bersifat etnik dengan menjadi Sudan (dengan mayoritas penduduk beragama Islam) dan
Sudan Selatan (dengan mayoritas penduduk Kristen dan yang belum beragama).
Berdirinya negara-negara nasional baru dengan pendekatan budaya/etnik dan
agama menambah pengelompokan satuan budaya. Banyaknya satuan budaya dapat
dikelompokkan menjadi satuan budaya besar yang merupakan garis perbatasan (frontier)
budaya. Menurut Huntington kini ada sembilan satuan budaya besar atau utama.
Kesembilan garis perbatasan budaya tersebut adalah 1) budaya Barat yang meliputi
negara-negara dengan mayoritas penduduk Kristen Barat yang juga dikenal sebagai
negara-negara Barat modern sekuler; 2) budaya Amerika Latin, mulai dari Mexico hingga
Argentina (kecuali tiga negara Guyana (eks jajahan Inggris, Belanda, dan Perancis); 3)
budaya Afrika, mulai dari Afrika Tengah sampai ke Selatan; 4) budaya Islam di wilayah
yang mayoritas penduduknya beragama Islam yang mencakup a) Afrika Utara, b) sebagian
Balkan, c) Somalia, d) sebagian wilayah eks Uni Sovyet, dan e) Indonesia; 5) budaya Sinik
yang meliputi wilayah Cina, Vietnam, dan Korea; 6) budaya Hindu; 7) budaya Kristen
Ortodoks yang meliputi wilayah dengan mayoritas penganut agama Kristen Ortodoks di
perbatasan sebelah Timur dari Eropa Tengah hingga eks Uni Sovyet; 8) budaya Buddha di
daerah Asia Tenggara; dan 9) budaya Jepang (Sinto) yang meliputi Jepang, termasuk
Sachalin Utara. Garis perbatasan ini saling mempengaruhi melalui budaya, sosial, ajaran
agama, etnik, dan perdagangan dan mungkin dapat mengarah ke politik kekuatan
(Huntington, 1998: 27, 28, 159).
4. Indonesia dan Globalisasi
Indonesia pada awal era ini juga dilanda bencana nasional, yang berawal dari krisis
ekonomi dan moneter dan kemudian berkembang menjadi krisis budaya yang menyentuh
segenap sendi kehidupan bangsa. Masyarakat kita berpikir dan bertindak cepat atas dasar
intuisi tanpa memperhitungkan akibat perilakunya. Salah satu akibatnya adalah budaya
kekerasan menjadi menonjol. Penggunaan kekerasan yang menonjol ini juga merupakan
salah satu cerminan dari kebangkitan demokrasi (Wright, 1942: 4—7).
Pasca-robohnya Federasi Uni Sovyet, blok Barat—terutama negara-negara dengan
latar belakang mayoritas etnik Anglo-Sakson—kehilangan musuh. Mereka tetap berusaha
melebarkan pengaruhnya ke arah negara yang lemah sebagai perwujudan konsep
ruangnya. Apabila pada masa lalu (awal abad XX) konsep ruang diwujudkan melalui
mekanisme politik dan militer, maka pada masa pasca-Perang Dingin hal itu diwujudkan
melalui kekuatan ekonomi. Pada era globalisasi upaya mereka itu dilakukan dengan dalih
demokratisasi di negara yang kurang demokratis, upaya melindungi dan membantu
gerakan hak asasi manusia, dan memerangi terorisme. Negara-negara itu memiliki
kekuasaan mutlak sehingga Lord Acton (1834—1902) mengatakan “Power tends to corrupt,
and absolute power corrupts absolutely” (Cohen dan Cohen, 1980: 1).
Untuk menghadapi kondisi ini, kerja sama bilateral saja tidak cukup sehingga harus
dikembangkan kerja sama regional dan internasional. Kerja sama itu tidak dalam bentuk
pakta pertahanan, karena hal itu akan mengarah kepada perlombaan pengembangan
kesenjataan. Kerja sama regional dan internasional hendaknya merupakan implikasi
doktrim geopolitik dan geostrategi dalam dimensi internasional dan ditujukan untuk
meningkatkan daya tawar untuk menghadapi negara-negara adidaya.
Dimensi internasional doktrim ketahanan nasional dijabarkan melalui konsep
ketahanan regional. Wilayah regional diartikan sebagai daerah sekitar negara dengan
penekanan pada wilayah yang homogen atas dasar ciri geostrategis dan dapat berupa
persamaan ras, budaya, dan sumber daya. Pembentukan kesatuan negara regional
diharapkan meningkatkan ketahanan nasional masing-masing negara anggota. Oleh
karena itu ketahanan regional sangat tergantung pada semangat kebersamaan di antara
anggota dan adaptasi sesama anggota, dengan komponen stabilitas politik, kekuatan
ekonomi, dan kekuatan militer yang siaga.
Kerja sama regional merupakan strategi untuk menghadapi negara yang lebih kuat
sehingga negara-negara anggota mempunyai posisi tawar yang lebih kuat pada era
perdagangan global. Pada kasus ini Indonesia telah memprakarsai pembentukan
Perhimpunan Negara Asia Tenggara (Association of South East Asia Nations, ASEAN) pada
tahun 1967, yang pada awalnya terdiri dari lima negara, yakni Filipina, Indonesia, Malaysia,
Singapura, dan Thailand. Jumlah negara anggota ASEAN pada saat ini telah berkembang
menjadi sepuluh negara yaitu setelah Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar
(dahulu Burma), dan Vietnam bergabung.
Konsep pembentukan ASEAN ini merupakan konsep geostrategi berlapis. Bagi
Indonesia ASEAN merupakan lapis pertama geostrategi, sedangkan keikutsertaan
Indonesia dalam Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) merupakan konsep geostrategis
lapis kedua. Kerja sama regional lapis pertama sesungguhnya merupakan posisi garis
perbatasan budaya karena terbentuk berdasarkan kesamaan budaya.
Konsep ASEAN kini banyak dikembangkan pada era globalisai dengan pembentukan
badan atau forum seperti 1) South East Asia Association for Regional Cooperation (SAARC),
2) South-Pacific Forum (SPF), dan 3) Gulf Countries Council. Bahkan kini negara-negara
Eropa daratan membentuk Uni Eropa, meskipun sebelumnya telah terbentuk pesatuan
negara-negara Skandinavia yaitu Swedia, Norwegia, dan Denmark, dan persatuan negara-
negara BENELUX (Belgia, Nederlan, dan Luksemburg), Ini menunjukkan bahwa
proksimitas geografi lebih diutamakan untuk mempermudah kohesi dan respon bersama
menghadapi perubahan global yang tidak menentu.
Untuk menghadapi negara-negara sedang berkembang, negara maju—baik adidaya
maupun negara “kecil”—menciptakan hambatan yang seolah-olah “wajar” dengan
ketentuan-ketentuan seperti: 1) eco-labeling, 2) International Standard Organization Code,
dan 3) International Safety Management Code. Untuk itu diperlukan daya tawar kolektif
(collective bargaining power) dari negara-negara sedang berkembang sekawasan. Konsep
inilah yang merupakan konsep ketahanan nasional Indonesia yang disebut ketahanan
berlapis.