Bahan PKN Politik Balas Budi

4
JAKARTA - Ketua Fraksi Gerindra Ahmad Muzani menganggap penunjukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri merupakan bentuk politik balas jasa. Hal ini didasarinya pada fakta bahwa Budi Gunawan merupakan ajudan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri ketika masih menjabat sebagai presiden. "Ini bagian dari proses terimakasih yang belum selesai. Proses ini terus terlihat, tapi saya nggak tahu sampai kapan. Itu yang kami khawatirkan," ujar Muzani di Gedung DPR, Jakarta, Senin (12/1). Dia melihat, proses penunjukan Kapolri berbeda dengan saat Jokowi menseleksi anggota kabinet. Ketika menggodok kabinet, Jokowi menggandeng KPK dan PPATK. Sedangkan saat menunjuk Budi Gunawan kedua lembaga itu sama sekali tidak dilibatkan. Hal ini menunjukan bahwa Jokowi memperlakukan Budi Gunawan secara spesial. "Saat kabinet, presiden bilang bahwa rekam jejak dari calon menteri penting. Tapi kemudian pada kali ini presiden memberikan pendekatan yang berbeda, dengan alasan hak prerogatif presiden," katanya. Menurut Sekjen Partai Gerindra ini, presiden seharusnya membuat keputusan berdasarkan konstitusi dan kepentingan rakyat. Sedangkan keputusan yang dibuat berdasarkan kepentingan petinggi partai tidak bisa dibenarkan. Karena itu, Muzani pastikan Fraksi Gerindra akan memberi perhatian khusus kepada seleksi Kapolri. Melalui anggotanya di Komisi III Fraksi Gerindra akan mempertanyakan semua kejanggalan-kejanggalan yang ada saat uji kelayakan dan kepatutan nanti. "Presiden tidak boleh jadi bayang-bayang pimpinan partai. Sementara yang terjadi di sini adalah ketua partai seakan tersamar jadi perdana menteri dalam kabinet," pungkasnya

description

pkn

Transcript of Bahan PKN Politik Balas Budi

JAKARTA -Ketua Fraksi Gerindra Ahmad Muzani menganggap penunjukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri merupakan bentuk politik balas jasa. Hal ini didasarinya pada fakta bahwa Budi Gunawan merupakan ajudan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri ketika masih menjabat sebagai presiden."Ini bagian dari proses terimakasih yang belum selesai. Proses ini terus terlihat, tapi saya nggak tahu sampai kapan. Itu yang kami khawatirkan," ujar Muzani di Gedung DPR, Jakarta, Senin (12/1).Dia melihat, proses penunjukan Kapolri berbeda dengan saat Jokowi menseleksi anggota kabinet. Ketika menggodok kabinet, Jokowi menggandeng KPK dan PPATK. Sedangkan saat menunjuk Budi Gunawan kedua lembaga itu sama sekali tidak dilibatkan.Hal ini menunjukan bahwa Jokowi memperlakukan Budi Gunawan secara spesial. "Saat kabinet, presiden bilang bahwa rekam jejak dari calon menteri penting. Tapi kemudian pada kali ini presiden memberikan pendekatan yang berbeda, dengan alasan hak prerogatif presiden," katanya.Menurut Sekjen Partai Gerindra ini, presiden seharusnya membuat keputusan berdasarkan konstitusi dan kepentingan rakyat. Sedangkan keputusan yang dibuat berdasarkan kepentingan petinggi partai tidak bisa dibenarkan.Karena itu, Muzani pastikan Fraksi Gerindra akan memberi perhatian khusus kepada seleksi Kapolri. Melalui anggotanya di Komisi III Fraksi Gerindra akan mempertanyakan semua kejanggalan-kejanggalan yang ada saat uji kelayakan dan kepatutan nanti."Presiden tidak boleh jadi bayang-bayang pimpinan partai. Sementara yang terjadi di sini adalah ketua partai seakan tersamar jadi perdana menteri dalam kabinet," pungkasnya

Seperti dua sisi mata uang, kenyataan ini bisa dilihat sebagai hal positif (bright side) sekaligus mengandung sisi yang problematik. Debat publik yang meluas menunjukkan minimal secara formil-,bekerjanya demokrasi yang telah diusahakan sejak reformasi tahun 1998. Demokrasi yang salah-satu prinsip paling dasarnya adalah diskusi dan debat telah secara nyata hadir di bumi Indonesia tidak saja di internal lembaga-lembaga kenegaraan, melainkan juga diskusi publik secara luas dengan berbagai saluran termasuk media sosial. Tentu hal ini adalah sesuatu yang membahagiakan.Namun, di sisi lain, ketika berbicara substansi debat publik itu, kenyataan lain rupa-rupanya turut hadir. Sisi lain mata uang itu menunjukkan batang hidungnya. Ada semacam kegamangan.Hukum atau Politik atau yang Lain?Mari menilik kembali fakta yang terjadi. KPK menetapkan calon kapolri Komjenpol BG sebagai tersangka kasus transaksi tidak wajar yang diduga terjadi saat ia menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di Kepolisian. Lalu, Polri melalui Bareskrim menetapkan sebagai tersangka dan kemudian menahan salah satu komisioner KPK saudara BW untuk kasus yang terkait dengan sidang Pilkada Kotawaringin Barat pada tahun 2010 silam. Akibatnya, ada ketidakpuasan di sebagian masyarakat terhadap fakta itu dan menuntut presiden untuk turun tangan (baca: intervensi). Presiden kemudian menyatakan di bebagai media tidak akan turut campur apalagi intervensi dalam proses hukum yang sedang berjalan.Dari segi pemahaman konsep hukum yang traditional (traditional understanding of the rule of law), fakta di atas tidak menunjukkan keanehan apapun seperti yang banyak dikatakan orang sebagai kriminalisasi KPK, intervensi politik, arogansi institusi, apalagi sampai frase-frase nyeleneh seperti kerusakan dan kebobrokan hukum. Jauh dari itu, persyaratan konsep hukum yang tradisional justru terpenuhi sepenuhnya oleh fakta di atas, terlepas dari layak tidaknya alasan dan cara saudara BW ditangkap dan ditahan. Singkatnya, pada asasnya tidak ada yang salah!Benarkah demikian? Nyatanya hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Menukik lebih dalam, konflik KPK-Polri saat ini justru menjadi contoh ketika pemahaman konsep hukum yang tradisional tiba pada salah satu titik tapal batasnya (the limits of the traditional understanding of the rule of law). Apa yang dimaksud?Konsep hukum yang tradisional tadi tiba pada limitasinya, antara lain, ketika otoritas-otoritas lain di dalam masyarakat seperti politik, moral/etik, agama, dll juga hadir dan pada saat yang sama, serta pada batas tertentu, mempunyai legitimasi otoritatif yang tidak jauh berbeda dengan otoritas hukum secara tradisional. Isu-isu yang mengemuka seperti balas dendam antar-lembaga; perebutan kekuasaan di institusi-institusi hukum; etis tidaknya ketua KPK menemui pimpinan partai politik; politik balas dendam; atau perlu tidaknya presiden turun tangan adalah indikasi-indikasi hadirnya otoritas-otoritas lain di dalam permasalahan ini. Di saat yang sama, konsep hukum tradisional tiba pada batas kemampuan analisanya.Lalu apa?Konflik KPK-Polri mengajarkan setidaknya dua hal: secara formil, demokrasi sudah bekerja dan eksis di bumi Indonesia. Debat publik yang meluas adalah indikasi yang membahagiaan atas hal itu. Di sisi lain, secara substantif, kegamangan dari pemahaman hukum yang tradisional menampakkan wajahnya. Limit atau tapal batas dari pemahaman konsep hukum secara tradisional menyeruak secara binal di tengah-tengah eksistensi otoritas-otoritas lain yang legitimasinya tidak kalah kuatnya.Namun seyogyanya kita tidak perlu terlalu gamang. Konflik KPK-Polri ini justru harus disambut tidak melulu dengan pesimisme melainkan juga dengan optimisme, sebab sekali lagi ia membantu kita mengidentifikasi batasan atas pemahaman mendasar kita atas konsep hukum. Ilmuan hukum berbeda pendapat dalam bagaimana mengekspresikan optimisme itu. Sebagian pakar mengatakan, pemahaman tradisional atas konsep hukum (the traditional understanding of the rule of law) harus diadaptasi untuk disesuaikan dengan perkembangan-perkembangan yang ada. Singkatnya tapal batas yang saat ini ada harus dimajukan menjorok keluar agar limitasinya meluas.Sebagian pakar lain memilih solusi yang lebih tegas dan menyeluruh dengan menawarkan untuk meninggalkan konseprule of lawyang ada sama sekali seraya menimbang-nimbang konsep, perspektif bahkan paradigma hukum yang sama sekali baru.Mana jalan yang kita ambil adalah pilihan kita masing-masing. Namun satu hal yang pasti, konflik KPK-Polri sekali lagi menekankan perlunya perubahan mendasar itu. Kita tidak bisa lagi diam.