bahan ajar filsafat versi 1a
-
Upload
rain-noel-sualang -
Category
Documents
-
view
90 -
download
2
description
Transcript of bahan ajar filsafat versi 1a
Bahan Ajar (Singkat)
Mata Kuliah : Pengantar ke dalam Dunia Filsafat
Ilmu Administrasi
Pengajar : Dr. Valentino Lumowa
Semester : I-2012/2013
1 Deskripsi
Matakuliah ini berisi uraian tentang pengertian hakikat filsafat, perbedaan filsafat dan
ilmu pengetahuan dengan melihat metode serta objek material dan objek formal filsafat dan
ilmu pengetahuan, dan perkembangan pemikiran filsafat dari zaman Yunani Kuno sampai
Filsafat Timur.
2 Manfaat
Matakuliah Pengantar Filsafat menjadi bagian pokok dari kurikulum karena memiliki
beberapa tujuan, yaitu:
a. Salah satu misi universitas ialah menghasilkan lulusan yang punya keunggulan
akademik. Itu berarti, seorang lulusan tidak saja mempunyai pengetahuan dalam
bidang spesialisasi program studinya, melainkan juga memiliki daya pikir konseptual
yang tinggi dan rasional yang kuat. Maka, studi filsafat persis bisa membantu
mengasah kebiasaan berpikir secara mendalam, teratur, dan terarah pada nilai-nilai
yang tidak disadari oleh dunia empiris.
b. Misi lain dari universitas ialah menghasilkan lulusan yang bisa memberikan kontribusi
riil bagi pengembangan menuju masyarakat Indonesia baru, yakni masyarakat di mana
demokrasi dan hak asasi manusia dihormati. Itu berarti para lulusan diharapkan
TINJAUAN MATA KULIAH
memiliki kemampuan memahami, menganalisis, mengkritisi, dan menunjukkan arah
baru bagi perubahan masyarakat. Maka studi filsafat bisa membantu kita untuk
terbiasa berefleksi secara mendalam, serta bersikap kritis terhadap apa yang didengar,
dibaca, ataupun dilihat, sambil mampu menggagas konsep-konsep yang konstruktif
demi perubahan baru masyarakat.
c. Seperti yang akan dipelajari lagi, salah satu ciri yang paling menonjol dari filsafat
ialah sifatnya yang rasional. Artinya, studi filsafat mengandalkan kekuatan akal budi,
dan sedapat mungkin menghindari ikatan-ikatan emosional dan melampaui batasan-
batasan inderawi belaka. Oleh karena itu, studi filsafat bisa membantu kita
mengembangkan daya rasio kita untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan
emosional yang selama ini gampang sekali disulut atau diprovokasi untuk kepentingan
yang merusak. Selain itu, karena rasionalitasnya, filsafat juga biasa membantu kita
untuk mengatasi perbedaan-perbedaan etnis, suku, dan agama yang seringkali
menghambat kerjasama dan dialog dalam masyarakat. Singkatnya, studi filsafat yang
mengandalkan kekuatan rasional bisa membantu melatih kita untuk berdialog secara
sehat, menghormati pikiran dan perasaan orang lain, serta bekerjasama menemukan
jalan keluar terhadap masalah yang kita hadapi bersama.
3 Tujuan Instruksional Umum
Setelah mempelajari matakuliah ini, pada akhir perkuliahan ini mahasiswa diharapkan
mampu:
a) Menjelaskan hakikat filsafat
b) Menjelaskan perbedaan filsafat dan ilmu pengetahuan berdasarkan objek material dan
objek formal.
c) Menjelaskan metode yang khas dalam filsafat.
d) Menguraikan proses perkembangan pemikiran filsafat dari zaman Yunani Kuno
sampai abad modern.
4 Garis Besar Materi
Secara garis besar materi kuliah yang ada dalam bahan ajar ini terdiri dari:
Bab I Hakikat dan Metode Filsafat
1) Arti Filsafat
2) Ilmu Pengetahuan dan Filsafat
3) Metode Filsafat
4) Pembagian Filsafat
Bab II Filsafat dalam Kebudayaan Yunani Kuno
1) Pergeseran dari Mitos ke Logos
2) Prinsip Dasar Realitas
3) Perubahan atau Transformasi
a) Herakleitos
b) Parmenides
4) Retorika dan Dielektika
a) Kaum Sofis
b) Sokrates
5) Dualisme Plato
6) Aristoteles dan Metafisika
Bab III Beberapa Persoalan Dasar Filosofis
1) Abad Pertengahan: Hubungan antara Iman dan Rasio
a) Clemens dari Alexandria
b) St. Augustinus (354-430)
c) St. Anselmus dari Canterbury (1033-1109)
d) St. Thomas Aquinas (1225-1274)
2) Rasionalisme & Empirisme
a) Rasionalisme Rene Descartes (1590-1650)
b) Empirisme David Hume (1711-1776)
c) Sintesis oleh Immanuel Kant (1724-1804)
3) Idealisme & Materialisme
a) Idealisme Hegel
b) Materialisme menurut Karl Marx (1818-1830)
4) Makna Hidup Manusia: Eksistensialisme
a) Makna Eksistensi menurut Soren Kierkegaard (18103-1855)
b) Eksistensialisme Jean-Paul Sartre (1905-1980)
c) Gabriel Marcel (1889-1973)
5) Hubungan antara Teori dan Praksis: Pragmatisme
a) William James (1842-1910)
b) John Dewey (1859-1952)
Bab IV Pengantar Filsafat Timur
1) Filsafat Barat dan Filsafat Timur
2) Filsafat dan Agama
3) Filsafat Cina
5 Petunjuk Bagi Mahasiswa
Dalam mempelajari materi ini sangat diharapkan kemampuan membaca dengan teliti
disertai dengan daya abstraksi yang tinggi. Metode menghafal bukanlah metode yang tepat
untuk diterapkan dalam mempelajari materi yang ada bahan ajar ini. Jalan terbaik yang
diajurkan untuk dilakukan oleh mahasiswa ialah mencoba membaca berulang kali teks yang
ada, bila menemui kesulitan untuk mengerti pernyataan-pertanyaan yang ada dalam teks,
diskusikanlah dengan dosen pada saat proses pembelajaran. Mahasiswa juga diharapkan untuk
aktif mencari referensi lain yang bisa membantu, terutama ketika anda mulai membaca teks
tentang pokok-pokok pemikiran para filsuf.
Pendahuluan
Pertanyaan pertama yang segera harus dijawab ialah “Apa itu filsafat”? Pertanyaan
tersebut sudah menjadi pergumulan sepanjang sejarah filsafat, sejak Plato di jaman Yunani
Kuno sampai St. Augustinus dalam abad ke-3, St. Thomas Aquinas dalam abad ke-19, dan
Ludwig Wittgestein, Alfred North Whitehead, dan Martin Haidegger dalam abad ke-20.
Dalam bab ini pertama-tama definisi leksikal atau etimologi kata ‘filsafat” hendak
diperkenalkan, disertai uraian tentang “filsafat” sebagai aktivitas rasional-kritis. Berikutnya,
hubungan filsafat dan ilmu pengetahuan hendak dijelaskan Agar memahami perbedaan antara
filsafat dan ilmu pengetahuan, metode ilmiah dan metode berfilsafat hendak diperkenalkan.
Sesudah itu cabang-cabang filsafat akan dikemukakan sekedar pengantar pada peta filsafat
pada umumnya.
1 Arti Filsafat
1.1 Arti Etimologis
Kata bahasa Indonesia “filsafat” merupakan terjemahan dari katabahasa Belanda
“filosofie” atau “philosphie” dan bahasa Inggris “philosophy”. Kata-kata tersebut dan
padanannya yang diturunkan dari bahasa Latin “philosophia” yang berasal dari bahasa
Yuanani “philisophia” and “philosophos”. “Philos” berarti cinta (love), dan “philia’ berarti
persahabatan (friendship) atau tertarik pada. “Sophos” berarti orang bijaksana, dan “sophia”
berarti kebijaksanaan, pengetahuan, kebajikan. Jadi secara etimologis, “filsafat” berarti cinta
akan kebijaksanaan atau pengetahuan. “filsuf” berarti pencinta kebijaksanaan; dan
“berfilsafat” berarti mencintai kebijaksanaan. Sejak lahirnya filsafat dalam kebudayaan
Yunani Kuno, aktivitas berfilsafat ditandai oleh “mencari” atau bertanya tentang” suatu
BAB I
HAKIKAT DAN METODE FILSAFAT
peristiwa atau hal. Pertanyaan itu didorong oleh rasa ingin tahu karena kekaguman. Karena itu
sering dikatakan bahwa filsafat selalu berawal dari rasa kagum yang menimbulkan
pertanyaan. Konsekuensinya, “bertanya” atau “mencari pengetahuan” merupakan factor
penting dari filsafat. Seperti akan dijelaskan lagi, dalam filsafat pertanyaan selalu
dikemukakan secara radikal dan melebihi lapisan realitas inderawi. Pertanyaan filsafat selalu
menyangkut dasar atau penyebab terdalam suatu peristiwa.
Bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia filsafat, definisi etimologis tersebut
belum memuaskan. Alasannya, definisi tersebut memang menjawab pertanyaan mengenai
asal-usaul kata “filsafat” dan arti harafiahnya, tetapi belum menjelaskan apa hakikat filsafat
sebenarnya. Umumnya disepakati bahwa hakikat filsafat baru dikenal tatkala orang masuk
dalam lingkungan filsafat atau terlibat dalam aktivitas berfilsafat. Sarana utama dalam proses
berfilsafat adalah rasio atau akal budi. Oleh karena itu filsafat sering disebut sebagai aktivitas
rasional kritis. Dengan “aktivitas” dimaksudkan sebagai proses kegiatan atau pekerjaan
mencari dan bertanya tentang pengetahuan. Sejak lahirnya filsafat suka mengemukakan
pertanyaan-pertanyaan yang merangsang aktivitas intelektual, membuat orang berani berpikir
dan mencari pengetahuan baru. Filsafat tidak berhenti pada jawaban tunggal, melainkan selalu
mencari dan mengemukakan alternatif-alternatif sesuai dengan temuan akal sehat manusia.
Sedangkan “rasional” dimaksudkan bahwa dalam aktivitas mencari pengetahuan itu, sarana
utama yang digunakan adalah rasio atau akal sehat. Dalam filsafat rasio menjadi instrument
dalam mencari kebenaran. Ciri rasionalitas ini memperlihatkan bahwa keaktivan berpikir
merupakan salah satu unsur esensial dalam aktivitas berfilsafat.
Tetapi perlu dicatat bahwa tidak semua aktivitas rasional yang khas pada manusia
dapat disebut sebagai aktivitas berfilsafat. Suatu aktivitas rasional baru disebut sebagai
aktivitas berfilsafat bila terdapat sejumlah aktivitas dan pemikiran rasional yang
mempertanyakan makna hidup, menguji kebenaran nilai dan secara kritis berefleksi atas
prosedur ilmiah atau keyakinan-keyakinan dalam masyarakat. Itu berarti, sebagai aktivitas
rasional filsafat menyibukkan diri bukan dengan lapisan permukaan kehidupan melainkan
dengan dasar atau akar terdalam dari realitas dan kehidupan manusia.
Unsur ketiga dari filsafat adalah sifatnya yang “kritis”. Kata bahasa Indonesia “kritis”
atau “kritik” berasal dari bahasa Yunani kritikos yang berarti mampu membedakan atau
mengambil keputusan. Dalam bahasa Latin terdapat kata criticus yang diturunkan dari kata
kerja “cernere” yang berarti membedakan, mengerti, dan memutuskan. Dengan demikian
istilah “kritis” dalam filsafat mengandung tiga makna sekaligus yakni mengerti, membedakan,
dan memutuskan. Sebagaimana akan kita lihat bahwa filsafat lahir sebagai reaksi penolakkan
terhadap kemampanan mitos dan mitologi yang dipandang tidak lagi mampu menjelaskan
hakikat realitas. Di pusat Polis yang disebut Agora, orang-orang Yunani mulai
mempersoalkan banyak hal. Mereka mulai membedakan antara “apa yang masuk akal” dan
“apa yang tidak masuk akal”, “antara apa yang diterima karena dimengerti” dan “apa yang
diterima karena kepercayaan mitologis”. Dalam arti itulah filsafat lahir sebagai kritik
terhadap kemampuan mitos dan mitologi. Maka filsafat tidak saja berarti aktivitas rasional,
tetapi juga aktivitas rasional yang mengajukan kritik terhadap makna yang terkandung dalam
fakta-fakta kehidupan.
1.2 Pandangan Para Filsuf mengenai Filsafat1
Apakah itu filsafat? Pertanyaan ini sama tuanya dengan filsafat itu sendiri, masih tetap
diajukan dan telah dijawab dengan cara-cara yang sangat berlainan.
Bertrand Russell:
“... filsafat adalah tidak lebih dari suatu usaha untuk...menjawab pertanyaan-
pertanyaan terakhir, tidak secara dangkal atau dogamatis seperti yang kita lakukan
pada kehidupan sehari-hari dan bahkan dalam ilmu pengetahuan, akan tetapi secara
kritis, dalam arti kata: setelah segala sesuatunya diselidiki problem-problem apa yang
dapat ditimbulkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang demikian itu dan setelah kita
menjadi sadar dari segala kekaburan dan kebingungan, yang menjadi dasar bagi
pengertian-pengertian kita sehari-hari...”
1 Gerard Beekman, Filsafat Para Filsuf Berfilsafat, Diterjemahkan oleh R.A. Rivai, (Jakarta: Penerbit
Erlangga), hlm. 14-21.
R. Beerling:
“Filsafat adalah pemikiran-pemikiran yang bebas, diilhami oleh rasio, mengenai
segala sesuatu yang timbul dari pengalaman-pengalaman.”
Alfred Ayer:
“Filsafat adalah pencarian akan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang sudah
semenjak zaman Yunani dalam hal-hal pokok tetap sama saja. Pertanyaan-pertanyaab
mengenai apa yang dapat kita ketahui dan bagaimana kita mengetahuinya; hal-hal apa
yang ada dan bagaimana hubungannyaa satu sama lain. Selanjutnya
mempermasalahkan pendapat-pendapat yang telah diterima., mencari ukuran-ukuran
dan menguji nilainya; apakah asumsi –asumsi dari pemikiran itu dan selanjutnya
memerisa apakah hal-hal itu berlaku.”
Corn Verhoeven:
“ Filsafat adalah meradikalkan keheranan ke segala jurusan.”
Arne Naess:
“Bagi saya filsafat terdiri dari pandangan-pandangan yang menyeluruh, yang
diungkapkan dalam pengertian-pengertian.”
J. Hollak:
“Dalam filsafat pada akhirnya soalnya adalah mengenai pengertian pribadi dai
seseorang.”
Karl Popper:
“Saya rasa, kita semuanya mempunyai filsafat dan bahwa kebanyakan dari filsafat kita
itu tidak bernilai banyak. Dan saya kira, bahwa tugas utama dari filsafat adalah untuk
menyelidiki berbagai filsafat itu secara kritis, filsafat mana dianut oleh berbagai orang
secara tidak kritis.”
R. Kwant:
“Berfilsafat yang sebenarnya adalah menguji secara kritis akan kemestian sesuatu
yang dianggap sudah semestinya.”
Walter Kaufmann:
“Filsafat adalah pencarian akan kebenaran dengan pertolongan fakta-fakta dan
argumentasi-argumentasi, tanpa memerlukan kekuasaan dan tanpa mengetahui
hasilnya terlebih dahulu.”
J. Staal:
“Suatu definisi dari filsafat...saya menganggap pertanyaan itu sangat tidak
menarik...saya akan berusaha menjawabnya: filsafat itu adalah suatu ilmu uyang
ssedikit banyaknya dapat dijelaskan atas dasar sejarah. Ada sejumlah problema yang
telah menjadi masalah-masalah filsafat secara turun-temurun oleh karena orang-orang
yang dinamakan filsuf telah menggelutinya. Ini merupakan jawaban yang sangat
lemah, akan tetapi saya tidak merasa bahwa kita akan mendapatkan jawaban yang jauh
lebih meyakinkan.... Saya sungguh-sungguh tidak mempunyai definisi yang baik dari
filsafat.”
Ludwig Wittgenstein:
“Filsafat adalah suatu perang-salib terhadap pesona dengan apa bahasa mengikat
pemikiran kita.”
C. van Peursen:
“Saya kira bahwa filsafat, atau lebih jelas: berfilsafat, pertama-tama adalah penjelasan
dari pandangan kita sendiri. Kedua adalah suatu usaha melalui mana didapatkan
komunikasi atau kontak yang lebih mendalam, baik dengan filsuf lain maupun dengan
mereka yang bukan filsuf. Yang imaksudkan adalah suatu komunikasi, juga pada titik-
titik di mana kita “merelatifkan” pandangan fundamental kita masing-masing atau
sendiri, dan menempatkan tanda tanya di belakangnya. Kita justru akan berusaha
untuk meneruskan pada titik-titik di mana pada umumnya komunikasi sehari-hari
terputus, Suatu komunikasi yang menghapuskan segala kesalahpahaman dan yang
berusaha untuk menghilangkan hal-hal yang sudah-semestinya yang terlalu emosional.
... Dan ketika barangkali adalah usaha untuk mencapai suatu integrasi tertentu dari
kegiatan-kegiatan ilmiah, dari pemikiran-pemikiran yang semata-mata teoritis dan
tindakan-tindakan yang lebih praktis, pendeknya suatu fungsi yang timbul dari kedua
hal terdahulu...filsafat mempunyai tugas menyumbang untuk menjelaskan sikap
manusia yang menyeluruh, di antaranya sikap keagamaannya, etikanya, sosialnya dan
semacam itu....Filsafat bukanlah hanya integrasi dan komunikasi, akan tetapi juga
pembentangan asumsi-asumsi sendiri dan kesediaan untuk dikritik. Soalnya adalah
memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mencantumkan tanda-tanda tanya di
belakangnya...”
1.3 Asal Filsafat
Ada tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat, yaitu:
a. Keheranan
Dalam bahasa Yunani, keheranan berarti thaumasia. Keheranan merupakan reaksi akal
budi manusia terhadap suatu realitas fisik atau kenyataan duniawi yang belum dimengerti.
Keherenan menjadi pendorong bagi lahirnya pertanyaan-pertanyaan filosofis.
Keheranan terhadap alam semesta mendorong para pemikir Yunani Kuno berusaha mencari
jawaban terhadap pertanyaan, “Apa arkhe (akar atau dasar pembentuk) dari realitas?”
b. Kesangsian
Menurut Agustinus dan Descartes (Filsuf Abad Pertengahan & Modern), kesangsian
merupakan sumber utama pemikiran. Kesangsian adalah proses selanjutnya dari keheranan.
Kesangsian akan muncul ketika manusia berhadapan dengan berbagai macam pendapat,
keyakinan, dan interpretasi terhadap realitas fisik yang partikular dan majemuk.
Sikap ini, sikap skeptis (dari kata Yunani “skepsis”, “penyelidikan”), sangat berguna untuk
menemukan suatu titik pangkal yang tidak diragukan lagi. Titik pangkal ini dapat berfungsi
sebagai dasar untuk semua pengetahuan lebih lanjut.
2 Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Untuk lebih mengerti arti filsafat, baiklah sekarang filsafat hendak dibandingkan
dengan ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan dimaksudkan sebagai himpunan teori-
teori yang disusun secara sistematis melalui metode kerja ilmiah tertentu untuk memberikan
keterangan rasional tentang gejala atau fakta dari bagian tertentu realitas. Yang termasuk
dalam ilmu pengetahuan: biologi, fisika, sosiologi, ekonomi, astronomi, dsb. Kini ilmu-ilmu
tersebut hendak dibandingkan dengan filsafat untuk menemukan kekhasan keduanya.
Perbandingan tersebut bisa dilakukan melalui dua aspek yang membedakan yaitu objek
penelitian, baik objek material maupun objek formal. Setiap ilmu mempunyai objeknya
sendiri, objek itu menjadi sasaran studi atau penelitian.
Objek Material:
Sesuatu yang dijadikan pokok atau sasaran observasi atau penyelidikan atau pengamatan
Objek Formal:
Bagian dari objek material sejauh dipandang atau diselidiki dari sudut pandang tertentu.
Contoh:
Estetika (O. Formal) Ekonomis (O. Formal)
Geografis (O.Formal) Sosiologis (O. Formal)
Rumah (Objek Material)
Sebuah rumah adalah obyek material. Rumah yang sama dapat dipandang dari
perspektif atau sudut pandang tertentu, misalnya sudut estetika (keindahan), dari sudut
ekonomis, tetapi rumah yang sama juga dapt dipandang dari sudut geografis, dst. Proses
pengamatan atau observasi dari sudut pandang yang terbatas terhadap rumah itulah yang
disebut sebagai okyek formal.
Dari sisi objek material, filsafat sama dengan ilmu pengetahuan karena keduanya
menyelidiki tentang realitas alam semesta dan kehidupan manusia. Baik ilmu pengetahuan
maupun filsafat menjadikan realitas sebagai objek observasi atau penelitian. Itu berarti filsafat
dan ilmu pengetahuan menjadikan realitas sebagai objek material. Tetapi dari segi obyek
formal, keduanya memiliki perbedaan yang amat besar. Objek formal dari ilmu pengetahuan
bercorak partikularitas dalam arti terbatas. Buktinya, persoalan yang dihadapi oleh ilmu fisika
pada kenyataannya tidak bisa diselesaikan secara tuntas oleh sosiologi atau sebaliknya.
Misalnya pertanyaan tentang letak planet dalam sistem tata surya, tidak mungkin dijawab
secara memuaskan oleh ilmu psikologi. Itu berarti setiap ilmu menghadapi persoalan-
persoalan yang khusus dan sekaligus memperlihatkan otonomi masing-masing ilmu, tetapi
juga mengisyaratkan kebutuhan akan percakapan atau dialog yang bersifat lintas ilmu.
Objek formal filsafat berbeda dengan ilmu pengetahuan. Perbedaannya bukan karena
bidang studinya yang berada di samping bidang studi ilmu-ilmu pengetahuan, melainkan
karena cara bertanya filsafat berbeda dari cara bertanya ilmu pengetahuan. Filsafat bertanya
tentang prinsip dasar atau dimensi-dimensi fundamental dari realitas sebagai keseluruhan.
Filsafat tidak menyoroti realitas secara partikular dari perspektif yang terbatas. Filsafat
biasanya berhadapan dengan pertanyaan mendasar: “Apa hakikat realitas?” Pertanyaan filsafat
menyangkut prinsip-prinsip dasar dan universal. Sedangkan pertanyaan ilmu pengetahuan
terbatas pada lapisan empiris.
Misalnya, ilmu matematika menggunakan angka “satu”, “dua”, “tiga”, dst.
Berhadapan dengan angka-angka itu, seorang filsuf akan bertanya, “Apa artinya “satu”,
“dua”, “tiga”, dst? Jika seseorang menunjuk angka “satu”, apakah ia menunjuk pada realitas?
Apakah ada realitas “dua”, “tiga”, dst? Atau menurut ilmu estetika, “Rumah itu indah”. Tetapi
seorang filsuf akan bertanya, “Apakah itu keindahan?” Seorang ekonom sedang merancang
sistem ekonomi yang menjamin keadilan bagi warga negara. Seorang filsuf akan bertanya,
“Apakah artinya keadilan sosial?”
Jelaslah bahwa pertanyaan-pertanyaan filsafat bersifat fundamental dan radikal. Ia
tidak tinggal pada lapisan empiris belaka, melainkan menukik masuk ke kedalaman akar atau
sebab-sebab yang paling mendasar (per ultimas causas). Karena sifatnya yang khas itu, maka
wajar bahwa ilmu-ilmu pengetahuan tidak mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mendasar
dan tidak pula menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan filsafat. Oleh karena itu
umumnya disepakati bahwa filsafat baru “mulai” ketika ilmu pengetahuan “berhenti”.
Maksudnya, pada saat telah mencapai hasil proses ilmiahnya, filsafat bangkit dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis dan khas filsafat.
3 Metode Filsafat
Untuk lebih memahami perbedaan ilmu pengetahuan dan filsafat, kita perlu melihat
metode atau cara kerja atau prosedur kerja yang dipakai keduanya. Kata “metode” berasal dari
bahasa Latin “methodos”. Kata ini dalam Bahasa Yunani terdiri dari 2 kata dasar, yaitu meta
= melampaui dan hodos = jalan atau cara. Jadi metode berarti jalan yang sistematis atau
istimewa untuk mendapatkan pengetahuan. Secara umum dikenal ada 2 jenis metode yang
digunakan oleh ilmu pengetahuan, yaitu:
Dalam ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan alam (natural sciences) maupun
ilmu-ilmu kemanusiaan (human sciences) lasimnya digunakan dua metode, lasimnya
digunakan dua metode, yaitu deduksi dan induksi.
a) Metode Deduksi
Adalah proses kerja ilmiah yang berangkat dari teori universal untuk menjelaskan data-
data atau fakta-fakta konkret.
Misalnya, seorang dokter sudah memiliki bekal teori yang berlaku umum tentang berbagai
jenis penyakit dan fenomen-fenomennya. Ketika berhadapan dengan seorang pasien yang
sedang menjelaskan gejala-gejala penyakit yang diderita, sang dokter secara langsung
mengaplikasikan pengetahuan teoretisnya untuk menilai jenis penyakit yang sedang
diderita oleh pasien tersebut.
b) Metode Induksi
Adalah proses kerja ilmiah yang berangkat dari data-data atau fakta-fakta partikular
(terbatas) menuju kepada kesimpulan umum yang dianggap sebagai teori yang berlaku
universal.
Misalnya, di Manado seseorang memanaskan air hingga mendidih pada temperatur 1000C.
Di Filipina, Australia, dan Amerika pun air akan mendidih pada temperatur 1000C bila
dipanaskan. Dari fakta yang sama ini kemudian ditarik suatu kesimpulan umum bahwa
unsur yang namanya air akan mendidih pada temperatur 1000C bila dipanaskan.
Dengan ini jelas bahwa yang menjadi titik dalam induksi adalah data-data atau fakta-fakta
empiris, sedangkan titik tolak dalam metode deduksi adalah teori.
Pertanyaan yang kini muncul, apakah filsafat juga menggunakan kedua metode
tersebut? Jawabannya tidak. Filsafat tidak dapat menggunakan kedua metode ini, karena, baik
metode deduksi dan induksi hanya bisa digunakan untuk mencapai lapisan pengetahuan
empiris atau pengetahuan inderawi. Karena filsafat berorientasi pada prinsip-prinsip
fundamental kehidupan dengan mengajukan pertanyaan yang bercorak radikal. Dalam arti ini
filsafat tidak menggunakan baik metode deduksi maupun induksi. Metode khas dari filsafat
adalah metode dialog atau percakapan rasional kritis. Dialog kritis dapat dilakukan dengan
hasil pemikiran baik yang berasal dari ilmu pengetahuan maupun filsafat sendiri. Sasaran
akhir dari percakapan atau dialog kritis itu adalah kebenaran atau pengetahuan yang lebih
tinggi. Tetapi perlu dicatat bahwa iklim yagn harus dibangun dalam dialog atau percakapan
kritis itu adalah kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat. Dalam dialog pendapat
setiap orang patut didengarkan dan dihargai. Tetapi, dialog juga membutuhkan kemampuan
berpikir, kemampuan mengartikulasi ide atau pokok pikiran, baik pikiran sendiri maupun
pikiran orang lain agar dapat dimengerti, kemampuan mengerti dan merumuskan suatu pokok
pikiran. Dalam arti inimetode filsafat memiliki arti dan makna yang khas yang menunjuk pada
daya atau kemampuan berpikir secara rasional dan berdialog secara kritis.
Kendati kedua metode tersebut tidak digunakan dalam filsafat, tetapi perlu dicatat
bahwa hasil kerja ilmu pengetahuan yang menggunakan kedua metode tersebut dapat
digunakan dalam filsafat. Data-data empiris yang diperoleh oleh ilmu pengetahuan dapat
digunakan filsafat untuk menganalisis dan menemukan unsur-unsur fundamental yang ada
dibalik realitas empiris yang ada, serta mengemukakan unsur-unsur baru yang sama sekali
tidak tersentuh secara langsung oleh ilmu pengetahuan. Dalam arti ini filsafat memang
memiliki metode yang khas yakni dialog kritis rasional, tetapi tetap dapat membutuhkan juga
fakta-fakta empiris yang diperoleh lewat ilmu pengetahuan. Dengan ini dialog filsafat dan
ilmu pengetahuan tetap menjadi bagian yang tak terhindarkan dalam upaya menjelaskan
berbagai peristiwa yang terjadi dalam realitas kehidupan.
4 Pembagian filsafat
Filsafat selalu bertanya tentang seluruh kenyataan, tetapi selalu salah satu dari segi
kenyataan sekaligus menjadi titik fokus penyelidikan kita. Filsafat selalu bersifat “filsafat
tentang” sesuatu tertentu: filsafat tentang manusia, filsafat alam, filsafat kebudayaan, filsafat
seni, filsafat agama, filsafat bahasa, filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat pengetahuan dst.
Semua jenis “filsafat tentang” suatu objek tertentu dapat dikembalikan kepada sepuluh cabang
filsafat, dan juga sepuluh cabang ini masih dapat dikembalikan lagi kepada keempat bidang
induk, seperti kelihatan pada skema berikut ini:
1) Filsafat tentang pengetahuan:
a) Epistemologi
b) Logika
c) Kritik Ilmu-ilmu
2) Filsafat tentang keseluruhan kenyataan:
a) Metafisika umum (atau ontologi)
b) Metafisika khusus, terdiri dari
Teologi metafisk
Antropologi
Kosmologi
3) Filsafat tentang tindakan:
a) Etika
b) Estetika
Tidak semua filsuf setuju dengan pembagian seperti diuraikan di sini. Ada filsuf-filsuf
yang menyangkal kemungkinan ontologi atau kemungkinan seluruh metafisika. Namun,
pembagian seperti di atas ini merupakan skema yang paling klasik dan paling umum diterima.
Semua cabang dibicarakan secara singkat.
1 Filsafat tentang Pengetahuan
1.1 Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)
Epistemologi = pengetahuan (dari kata Yunani “logia”) sedangkan episteme = tentang
pengetahuan. Epistemologi adalah bagian filsafat yang menganalisis apakah yang
memungkinkan manusia memperoleh pengetahuan. Cabang filsafat ini berusaha menjawab
apa itu pengetahuan dan kebenaran. Semua pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan
pengetahuan, tentang batas-batas pengetahuan, tentang asal dan jenis-jenis pengetahuan,
dibicarakan dalam epistemologi.
Dalam sejarah filsafat, ada dua aliran filsafat yang berperan dalam diskusi tentang
proses pengetahuan, yaitu rasionalisme & empirisme.
1) Rasionalisme mengajarkan bahwa akal budi merupakan sumber utama untuk pengetahuan.
2) Empirisme mengajarkan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi bukannya
dari akal budi. Karena akal budi diisi dengan kesan-kesan yang berasal dari pengamatan,
kemudia kesan-kesan ini oleh akal budi dihubungkan, sehingga terjadi ide-ide majemuk.
Empirisme merupakan suatu aliran yang terutama di Inggris. Tokoh-tokoh empirisme itu
antara lain Bacon, Hobbes, Locke, dan Hume.
Immanuel Kant kemudian mendamaikan kedua aliran ini dengan memperlihatkan bagaimana
peranan pancaindera dan akal budi dalam menghasilkan pengetahuan, dengan semua
unsurnya yang memegang peranan penting. Setelah Kant, epistemologi merupakan cabang
filsafat yang sangat berkembang. Banyak filsuf saat ini yang lebih dikenal sebagai
epistemolog.
1.2 Logika
Logika merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berpikir, aturan-
aturan mana yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan kita sah. Logika tidak
mengajar apapun tentang manusia atau dunia. Logika hanya merupakan suatu teknik atau
“seni” yang mementingkan segi formal bentuk dari pengetahuan.
Suatu argumentasi betul kalau semua langkah dari argumentasi itu betul. Langkah-
langkah ini terdiri dari kalimat-kalimat (proposisi), dan setiap kalimat terdiri dari suatu
subyek dan sebuah predikat. Contoh argumentasi berikut ini:
Semua orang Yogyakarta senang makan ayam. (Premis)
Budi adalah orang Yogyakarta. (Premis)
Maka, Budi suka makan ayam. (Conclusi)
Setiap kalimat terdiri dari subjek: “semua orang Yogyakarta” dan “Budi” dan predikat:
“senang makan ayam” dan “penduduk dari Yogyakarta”. Dalam logika diselidiki syarat-syarat
yang harus dipenuhi supaya kesimpulan yang ditarik dari premis-premis disebut “sah”.
Dalam sejarah perkembangan pemikiran filsafat terdapat bermacam-macam logika,
antara lain:
Logika Klasik, dikembangkan oleh Aristoteles dan banyak dipelajari serta dikembangkan
oleh para filsuf Abad Pertengahan.
Logika Matematis (Logika Formal atau logistik), dikembangkan oleh Frege, Whitehead,
dan Russel.
1.3 Kritik Ilmu-ilmu
Perbedaan filsafat dan ilmu pengetahuan mula-mula kecil sekali. Dalam jaman kuno,
di Yunani, disamping filsafat hanya dibedakan empat ilmu, yaitu logika, ilmu pasti, ilmu
pesawat, dan kedokteran. Kedokteran dan logika lebih dipandang sebagai “seni” atau
“keahlian” dari pada sebagai ilmu. Kebanyakan ilmu yang dibedakan sekarang berasal dari
jaman renesanse atau lahir pada gelombang kedua, yaitu sekitar tahun 1800 dan sesudahnya.
Misalnya sosiologi, psikologi dan psikoanalisa masih sangat muda. Ilmu-ilmu lain, seperti
ekologi (ilmu keseimbangan lingkungan hidup) lebih muda lagi.
Ilmu-ilmu dapat dibagikan atas tiga kelompok:
Ilmu-ilmu formal (matematika & logika)
Ilmu-ilmu empiris-formal (misalnya ilmu alam & ilmu hayat)
Ilmu-ilmu hermeneutis (sejarah & ekonomi)
Ada orang yang mengatakan bahwa ilmu-ilmu hermeneutis tidak “ilmiah”, karena
tidak dicapai suatu kepastian. Dalam ilmu sejarah misalnya tidak “diterangkan” sesuatu,
melainkan hanya “dimengerti” sesuatu, hanya diberi suatu interpretasi atas fakta-fakta dan
tidak pernah dicapai kepastian bahwa interpretasi ini betul. Orang lain mengatakan bahwa
juga ilmu-ilmu empiris formal memang selalu bersifat hipotetis, sehingga distingsi antara
ilmu-ilmu empiris-formal dan ilmu-ilmu hermeneutis tidak begitu penting.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini termasuk “kritik ilmu-ilmu”. Teori-teori tentang
pembagian ilmu-ilmu, tentang metode ilmu-ilmu, tentang dasar kepastian dan tentang jenis-
jenis keterangan yang diberikan, tidak lagi termasuk bidang ilmu pengetahuan sendiri,
melainkan merupakan suatu cabang dari filsafat. Cabang ini, “kritik ilmu-ilmu” atau “filsafat
ilmu pengetahuan” pada dewasa ini semakin penting.
2 Filsafat tentang Keseluruhan Kenyataan
2.1 Metafisika Umum
Metafisika umum berbicara tentang segala sesuatu sejauh sesuatu itu “ada”. “Adanya”
segala sesuatu merupakan suatu “segi” dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan
antara benda-benda dan mahkluk-makhluk hidup, antara jenis-jenis dan individu-individu.
Semua benda, tumbuh-tumbuhan, binatang dan orang merupakan suatu “pengada”.
Kata Yunani untuk “pengada” adalah “on” (genetif “ontos”). Oleh karena itu
pengetahuan tentang pengada-pengada, sejauh mereka ada, disebut “ontologi”. Pertanyaan-
pertanyaan dari ontologi itu misalnya “apakah kenyataan merupakan kesatuan atau tidak?”,
“Apakah alam raya adalah peredaran abadi di mana semua gejala selalu kembali, seperti
dalam siklus musim-musim, atau justru suatu proses perkembangan?” Kemungkinan dan
manfaat dari metafisika umum seringkali disangsikan. Dari lain pihak, metafisika umum juga
sering dipandang sebagai puncak dari filsafat. Karena pernyataan-pernyataan dari ontologi
langsung berhubungan dengan sikap manusia terhadap pertanyaan paling dasar, yaitu
pertanyaan tentang adanya Transendensi atau Allah. Salah satu hasil dari ontologi adalah
suatu nama untuk Allah yang sangat abstrak, tetapi sekaligus sangat cocok, yaitu nama
“Mengada” (dalan Bahasa Inggris “Letting-be”, dalam bahasa Latin “esse”). Sumber dari
segala sesuatu -sejauh itu ada- Pencipta seluruh ciptaan, adalah Tuhan.
Jenis ontologi ini dari satu pihak sangat menarik, karena disini ditemukan
kemungkinan untuk menjernihkan istilah-istilah pokok dari agama-agama dalam istilah
filsafati. Dari lain jenis ontologi ini juga dikritik karena di hadapan Allah sebagai “Mengada”
manusia tidak dapat berlutut, dan kepada “Letting-be” ia tidak dapat berdoa.
Jawaban-jawaban yang diberikan atau pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan dalam
ontologi mengungkapkan suatu kepercayaan. Sampai sekarang dibedakan empat jenis
“kepercayaan ontologis”, yaitu ateisme, agnostisisme, panteisme, dan teisme.
Ateisme: (Yunani: “a” = bukan dan “theos” = Allah) mengajarkan bahwa Allah tidak ada,
bahwa manusia sendirian dalam kosmos, sendirian di bawah surga yang kosong.
Agnotisisme: (Yunani: “a” = bukan dan “gnosis” = pengetahuan”) mengajarkan bahwa tidak
dapat diketahui apakah Allah ada atau tidak ada, sehingga pertanyaan tentang Alalh selalu
terbuka.
Panteisme: (Yunani: “pan” = segala sesuatu dan “theos” = Allah) mengajarkan bahwa
seluruh kosmos sama dengan Allah, sehingga tidak ada perbedaan antara Pencipta dan
ciptaan. Allah dan alam itu “sama saja”, sehingga panteisme juga disebut “theo-panisme”.
Teisme: mengajarkan bahwa Allah itu ada, bahwa terdapat perbedaan antara Pencipta dan
ciptaan dan bahwa Allah boleh disebut “engkau” dan “Penyelengara”
Ontologi atau metafisika umum merupakan cabang filsafat yang sekarang ini sangat
problematis. Menurut banyak filsuf masa kini, cabang ini tidak mungkin, karena manusia di
sini melewati batas-batas kemungkinan-kemungkinan akal budinya.
2.2 Metafisika Khusus
2.2.1 Teologi Metafisik
Teologi metafisika berhubungan erat dengan ontologi. Dalam teologi metafisika
diselidiki apa yang dapat dikatakan tentang adanya Allah, lepas dari agama, lepas dari wahyu.
Teologi tradisional biasanya terdiri dari dua bagian:
Pertama, bukti-bukti untuk adanya Allah.
Kedua, nama-nama Ilahi.
Kedua tema ini masih tetap penting, tetapi sekarang dalam teologi metafisik diberikan banyak
perhatian kepada “bahasa” tentang Allah, bahasa religius, bahasa teologis, bahasa Kitab Suci
dan bahasa doa. Oleh karena itu teologi metafisik juga disebut “meta-teologi” karena
berefleksi tentang bahasa teologi, sesuatu yang datang “sesudah” (meta) teologi sendiri,
seperti metafisika datang sesudah fisika dan meta-etika datang sesudah etika.
Teologi metafisik hanya menghasilkan suatu kepercayaan yang sangat sederhana,
cukup miskin, dan abstrak. Namun, yang sedikit ini sangat berguna dalam dialog dengan
agama-agama lain, dengan agnostisisme, panteisme, dan ataiesme. Karena orang yang
mempunyai pendapat lain daripada kita tentang Allah, tidak akan menerima argumen-
argumen yang berasal dari teologi yang terikat pada suatu “wahyu” khusus, tetapi mereka
akan menerima argumen-argumen yang hanya berdasarkan pemakian akal budi, karena akal
budi merupakan milik umum.
Iman filsafati yang dicapai dalam teologi metafisik tidak cukup. Iman ini dalam tradisi
sering disebut: “praeambulum fidei” (langkah sebelum) atau ambang pintu atau persiapan
untuk iman. Teologi metafisik disebut juga “teodise”. Nama ini kurang cocok. Karena teodise
memang hanya bagian kecil dari teologi metafisik. Teodise (Yunani: theos = Allah dan dike =
pembenaran atau pengadilan) mencoba menerangkan bahwa kepercayaan kepada Allah tidak
bertentangan dengan kejahatan. Kenyataan kejahatan merupakan sebab terpenting bahwa
banyak orang tidak dapat percaya akan Allah, atau, bahwa mereka yang tidak dapat percaya
bahwa Allah Mahabaik dan Mahakuasa.
2.2.2 Antropologi
Antropologi adalah cabang filsafat yang berbicara tentang manusia (Yunani:
anthropos = manusia). Setiap filsafat mengandung eksplisit atau implisit suatu pandangan
tentang manusia, tentang tempatnya dalam kosmos, tentang hubungannya dengan dunia,
dengan sesama dan dengan Transendensi. Menurut Immanuel Kant, pertanyaan “Siapa
manusia?” merupakan pertanyaan satu-satunya dari filsafat. Semua pertanyaan lain dapat
dikembalikan kepada pertanyaan ini.
Manusia hidup dalam banyak dimensi sekaligus. Manusia adalah sekaligus materi dan
hidup, badan dan jiwa, ia mempunyai kehendak dan pengertian. Manusia merupakan seorang
individu, tetapi ia tidak dapat hidup lepas dari orang lain. Dalam manusia terdapat pertemuan
antara kebebasan dan keharusan, antara masa lampau yang tetap dan masa depan yang masih
terbuka.
Semua dimensi ini, semua pikiran dan kegiatan manusiawi berkumpul dalam satu kata,
yaitu kata “aku”. “Aku” dipakai sebagai titik simpul dari banyak hal sekaligus dan merupakan
suatu petunjuk, suatu “kata-indeks” untuk suatu misteri. Di belakang “aku” terdapat suatu
dunia pribadi, penuh realisasi, sejarah, kegembiraan dan penderitaan, harapan dan
keputusasaan, suatu pandangan tentang dunia, sesama dan tujuan hidup.
Pertanyaan tentang manusia mempunyai sejarah yang panjang, tetapi baru pada era
renesanse (tahun 1500), manusia menjadi benar-banar titik pusat dari filsafat. Sejak zaman
tersebut manusia dipandang sebagai pusat sejarah, pusat pemikiran, pusat kehendak,
kebebasan dan dunia.
2.3.3 Kosmologi
Kosmologi atau Filfafat Alam berbicara tentang dunia. Kata Yunani “kosmos”
lawannya dari chaos=dunia, aturan, dan keseluruhan teratur. Cabang filsafat ini sangat tua.
Ribuan tahun yang lalu, di Mesir dan Mesopotamia, manusia sudah bertanya tentang asal
alam semesta. Untuk menemukan kesatuan dalam kemajemukan, dicari unsur induk dari
segala sesuatu. Kosmologi berkembang di Yunani dan memberi hidup kepada ilmu alam.
Ilmu alam sudah lama dewasa dan dipilih sebagai model untuk banyak ilmu.
Memang dapat dipersoalkan apakah masih ada tempat untuk filsafat alam di samping
suatu ilmu yang begitu maju dan luas seperti fisika. Kelihatannya pertanyaan ini dijawab oleh
ahli-ahli fisika sendiri, karena banyak ahli fisika terkemuka sekaligus kosmolog kenamaan.
Dalam zaman kuno Aristoteles dan Ptolemeus, dalam jaman moden Galilei dan Newton, dan
dalam jaman sekarang misalnya Einstein. Sebagai kosmolog mereka bertanya tentang hal-hal
“dibelakang” kenyataan fisis. Pertanyaan-pertanyaan dari filsafat alam itu misalnya soal
evolusi, soal kebebasan dan determinisme, definisi materi, definisi energi, definisi hidup, dan
soal-soal yang berhubungan dengan konsekuensi-konsekuensi etis dari kemajuan teknik.
Bersama dengan spesialisasi ilmu alam yang sangat maju, dirasa keperluan akan suatu
refleksi yang lebih mendalam yang memperhatikan keseluruhan. Refleksi ini merupakan
bidang kosmologi. Kosmologi merupakan rangka umum di mana hasil-hasil dari ilmu alam
dapat dipasang. Filsuf-filsuf yang berbicara mengenai alam sebagai kesatuan, antara lain E.
March (1838-1916), H. Hertz (1859-1894), M. Planck (1858-1947), dan A. Einstein (1897-
1955). Kosmoligi bukan sisten tetap dan tak terhingga, melainkan suatu proses
perkembangan.
3 Filsafat tentang Tindakan
3.1 Etika
Etika (Filsafat Moral) adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praksis manusiawi
(tentang tindakan). Kata etika berasal dari kata Yunani ethos = adat, cara bertindak, tempat
tinggal, kebiasaan. Kata moral berasal dari kata Latin mos (genetif moris), yang mempunyai
arti yang sama. Etika dibedakan dari semua cabang filsafat lain karena tidak mempersoalkan
keadaan manusia, melainkan bagaimana ia harus bertindak. Tindakan manusia ditentukan
oleh macam-macam norma. Kata norma = siku. Norma-norma dapat dibagi atas:
Norma-norma sopan santun.
Norma-norma hukum.
Norma-norma moral.
Norma-norma yang paling penting untuk tindakan manusia, yaitu norma moral, datang dari
suara batin. Norma-norma ini merupakan bidang etika. Etika menolong manusia untuk
mengambil sikap terhadap semua norma dari luar dan dalam, supaya manusia mencapai
kesadaran moral yang otonom.
Sepanjang sejarah filsafat banyak sekali filsuf yang berbicara tentang filsafat moral,
antara lain: Plato, Aristoteles, Thomas Aquino, Hobbes, Hume, Kant, Dewey, Scheler dan von
Hilldebrand. Filsafat Cina, Hindhuisme dan Budhisme sebagian besar merupakan etika karena
terus-menerus berbicara tentang jalan untuk mencapai kebahagiaan.
Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Menurut orang kristiani dasar itu terletak
dalam perintah utama: mencintai Tuhan dan mencintai sesama. Saya wajib melakukan
kebaikan dan keadilan karena saya percaya bahwa Tuhan memerintahkan itu. Akan tetapi
orang lain menemukan dasar etika dalam sesuatu yang lain, misalnya dalam prinsip bahwa
“akibat baik yang maksimal” harus merupakan norma dasar. Orang lain, misalnya Kant,
mengajarkan bahwa bukan akibat tindakan, melainkan sikap kita yang paling penting. Sikap
kita harus sedemikian rupa sehingga kaidah pribadi kita dapat menjadi hukum umum.
Dalam etika biasanya dibedakan etika deskriptif dan etika normatif.
Etika deskriptif
Etika deskriptif memberi gambaran dari gejala kesadaran moral (suara batin), norma-
norma, dan konsep-konsep etis.
Etika normatif.
Etika normatif berbicara tentang apa yang sebenarnya harus merupakan tindakan kita.
Dalam etika normatif, norma-norma dinilai dan sikap manusia ditentukan.
3.2 Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang berbicara tentang keindahan. Estetika berasal dari
kata Yunani: aisthesis = pengamatan. Dalam penglaman atas dunia sekeliling kita ditemukan
suatu bidang yang disebut “indah”. Pengalaman akan keindahan merupakan obyek dari
estetika. Mengapa justru obyek-obyek tertentu atau bidang-bidang tertentu sangat menarik
untuk manusia? Dalam estetika dicari hakekat dari keindahan, bentuk-bentuk pengalaman
keindahan (seperti keindahan jasmani, keindahan rohani, keindahan alam dan keindahan seni),
dan diselidiki emosi-emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah, agung, tragis, bagus,
mengharuskan, dst. Mengapa kita sangat tertarik pada pengalaman karya-karya seni tertentu?
Mengapa materi, dunia atau hidup kita kadang-kadang transparan sehingga kita melihat atau
mendengar lebih banyak daripada yang memang kelihatan atau terdengar.
Dalam estetika, terdapat pula estetika deskriptif dan estetika normatif.
Estetika deskriptif: menggambarkan gejala-gejala pengalaman keindahan.
Estetika normatif: mencari dasar pengalaman itu. Misalnya ditanyakan apakah keindahan
itu akhirnya sesuatu yang obyektif (terletak dalam lukisan) atau subyektif (terletak dalam
mata manusia sendiri).
Para filsuf telah berusaha untuk menyusun suatu hirarkhi bentuk-bentuk seni, seperti
Hegel (1770-1831) dan Scopenhaeur (1788-1850). Hegel membedakan suatu rangkaian seni-
seni yang dimulai pada arsitektur dan berakhir pada puisi. Makin kecil unsur materi dalam
suatu bentuk seni, makin tinggi tempatnya atas tangga hirarki. Scopenhauer melihat suatu
rangkaian yang mulai pada arsitektur dan memuncak dalam musik. Musik mendapat tempat
istimewa dalam estetika. Banyak pemikir dari sejarah telah berbicara tentang musik, dari
Konfusius, Pyhtagoras, Plato, dan Aristoteles, Schopenhauer, Nietzche, dan Karl Popper.
Musik dibandingkan dengan mistik, dengan khayalan falsafi, dan magi. Musik digambarkan
sebagai suatu bentuk wahyu yang masih berbicara tentang Transendensi, kalau pengertian
manusia sudah tidak kuat lagi. Musik dapat mengungkapkan hal-hal yang tidak dapat
diekspresikan dengan kata-kata.
Bakker, A dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, cet. Ke-2.
Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani. Dari Thales ke Aristoteles, cet. Ke-9. Yogyakarta:
Kanisius.
Copleston, F.A., History of Philosphy, volume I, IV, IX. New York: Image Books, 1985.
Gerard Beekman, Filsafat Para Filsuf Berfilsafat, Diterjemahkan oleh R.A. Rivai, (Jakarta:
Penerbit Erlangga),
Ohoitimur, J., Pengantar Berfilsafat, Jakarta: Yayasan Gapura, 1997.
DAFTAR PUSTAKA