Bahan ajar

172
Prolog: Memahami Kesatuan Islam dan Keragaman Tafsir atas Islam Satu Islam, Multi-Tafsir. Itulah pernyataan yang paling mungkin dikatakan untuk membedakan antara Normativitas Islam dan Historisitasnya. Kita akui, bahwa kita bertuhan “satu” (Allah), bernabi “satu” (Muhammad saw.), berkitab suci “satu” (al-Quran), namun siapa yang mampu menjamin hanya akan ada satu “Tafsir (atas) Islam” dalam rentang ruang dan waktu yang berbeda. Sejarah membuktikan bahwa “kesatuan-Islam normatif”, tidak pernah mewujudkan “kesatuan-Islam historis”. A. Keragaman Pemikiran dan Pemahaman Keberagamaan muslim dan umat Islam, baik dalam wilayah pemikiran dan aksi di seluruh belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia, semakin tampak beragam seiring dengan proses perubahan sosial dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagian muslim dan umat Islam ada yang berkelompok untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar berkehidupan secara formal-skriptural. Tetapi tidak sedikit di antara mereka yang bersikap moderat, yang memperjuangkan secara substantif nilai Islam melalui jalur cultural, seperti melaui jalur pendidikan dan dakwah. Namun, bersamaan dengan berkembangnya ragam pemikiran dan aksi muslim dan umat Islam, juga muncul sikap-sikap keberagamaan – yang dalam hal tertentu dapat dipandang – eksklusif. Muslim dan umat Islam yang termasuk dalam species ini cenderung “mudah” menghakimi kelompok lain. Bahkan, yang lebih memprihatinkan lagi, sikap seperti itu justeru ditampilkan oleh kalangan Islam mayoritas. Ada pandangan “absurd” terhadap asumsi bahwa ragam gerakan Islam bukan sebagai sebuah proses dinamis-dialektik antara pemahaman agama dengan realitas sosial yang terus berubah. Acap kali muncul tuduhan terhadap sebuah pemikiran dan gerakan keagamaan tertentu sebagai penyimpangan dan 1

Transcript of Bahan ajar

Page 1: Bahan ajar

Prolog:

Memahami Kesatuan Islam

dan Keragaman Tafsir atas Islam

Satu Islam, Multi-Tafsir. Itulah pernyataan yang paling mungkin dikatakan untuk membedakan antara Normativitas Islam dan Historisitasnya. Kita akui, bahwa kita bertuhan “satu” (Allah), bernabi “satu” (Muhammad saw.), berkitab suci “satu” (al-Quran), namun siapa yang mampu menjamin hanya akan ada satu “Tafsir (atas) Islam” dalam rentang ruang dan waktu yang berbeda. Sejarah membuktikan bahwa “kesatuan-Islam normatif”, tidak pernah mewujudkan “kesatuan-Islam historis”.

A. Keragaman Pemikiran dan Pemahaman

Keberagamaan muslim dan umat Islam, baik dalam wilayah pemikiran dan aksi di seluruh belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia, semakin tampak beragam seiring dengan proses perubahan sosial dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagian muslim dan umat Islam ada yang berkelompok untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar berkehidupan secara formal-skriptural. Tetapi tidak sedikit di antara mereka yang bersikap moderat, yang memperjuangkan secara substantif nilai Islam melalui jalur cultural, seperti melaui jalur pendidikan dan dakwah.

Namun, bersamaan dengan berkembangnya ragam pemikiran dan aksi muslim dan umat Islam, juga muncul sikap-sikap keberagamaan – yang dalam hal tertentu dapat dipandang – eksklusif. Muslim dan umat Islam yang termasuk dalam species ini cenderung “mudah” menghakimi kelompok lain. Bahkan, yang lebih memprihatinkan lagi, sikap seperti itu justeru ditampilkan oleh kalangan Islam mayoritas. Ada pandangan “absurd” terhadap asumsi bahwa ragam gerakan Islam bukan sebagai sebuah proses dinamis-dialektik antara pemahaman agama dengan realitas sosial yang terus berubah. Acap kali muncul tuduhan terhadap sebuah pemikiran dan gerakan keagamaan tertentu sebagai penyimpangan dan

1

Page 2: Bahan ajar

ancaman terhadap stabilitas kehidupan keislaman oleh sekelompok orang yang merasa paling benar, bahkan seolah-olah mewakili kebenaran Tuhan. Dan pada saat tertentu bahkan tampil – secara arogan – sebagai tuhan-tuhan baru di samping Tuhan yang memeliki kebenaran absolut. Mereka seolah-olah tidak sadar bahwa kebenaran yang mereka miliki adalah (juga) “kebenaran” relatif, sebagaimana kebenaran-kebenaran yang dimiliki oleh muslim dan umat Islam yang lain.

Sebagaimana yang sering kita saksikan, tiba-tiba saja muncul sekelompok orang -- yang mengatasnamakan umat Islam – yang menilai pemahaman orang lain sebagai penyimpangan dan penyesatan akidah. Tidak jarang pula mereka menvonis “kafir” dan menghalalkan darah sesama muslim dan umat Islam sendiri, hanya karena perbedaan tafsir atas Islam yang mereka pahami. Lebih dari itu, mereka – bahkan dalam kurun waktu tertentu – pernah meminta intervensi pemerintah untuk membekukan seluruh kegiatan pemikiran dan dakwah yang dianggap menyimpang itu. Fenomena seperti itu, secara sosiologis, bisa dipandang sebagai salah satu bentuk gejala otoritarianisme. Kelompok tersebut secara sadar telah melakukan hegemoni dan monopoli tafsir (atas) kebenaran IIslam. Mereka tidak menyadari bahwa munculnya pemikiran dan aksi baru tersebut – tidak kurang dan tidak lebih --merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap keberagamaan dan institusi agama lama yang telah “mapan”.

Dengan kata lain, bisa dipahami bahwa dalam masyarakat kita telah tertanam kesadaran bahwa “beragama yang benar” adalah yang sesuai dengan apa yang telah diwariskan oleh para pendahulunya. Keberagamaan tidak dilihat sebagai proses pencarian menuju kebenaran yang sejati. Keberagamaan juga tidak dikaitkan dengan proses dialektik antara pemeluk agama dengan keragaman persoalan yang mengitarinya.

Memang, bila kita mau bercermin pada sejarah, bahwa pertumbuhan dan perkembangan pemikiran dan gerakan keagamaan “yang baru” – tanpa dukungan muslim mayoritas – selalu dianggap sebagai gejala yang “aneh” di masyarakat mana pun, dan kehadiran mereka sering kali hanya dianggap berguna oleh sekelompok “minoritas” kritis di kalangan komunitas “beragama” apa pun, di mana pun dan kapan pun dalam sebuah dunia yang sedang berubah dan mengalami masa transisi. Di samping itu, pemikiran dan aksi “minoritas” biasanya hanya efektif dapat mengenalkan “kebaruan” yang bermakna bagi kalangan

2

Page 3: Bahan ajar

anggota mereka daripada komunitas beragama mayoritas. Secara sosiologis sebagian dari gerakan-gerakan baru dalam komunitas beragama apa pun, cenderung memilih “eksklusif”, meskipun tetap berupaya mengenalkan jatidri dan gagasan-gagasan baru mereka kepada siapa pun, di mana pun dan kapan pun, dan selalu menikmati keberbedaan mereka dengan corak keberagamaan mayoritas. Sikap keberagamaan ini sedikit banyak akan mempengaruhi keseimbangan sosial yang diciptakan oleh budaya keagamaan mayoritas yang telah mapan. Atas dasar sikap keberagamaan seperti itu, kelompok Islam minoritas dituduh menyimpang dari ajaran agama Islam dan kadang-kadang – dalam banyak hal -- mendapat perlakuan yang tidak manusiawi.

A. Satu Islam-Multi Tafsir

Setiap muslim seharusnya sadar, bahwa kesatuan Islam tidak setiap saat dan tempat mengharuskan kesatuan “tafsir” (atas) Islam. Dalam konteks ini, seharusnya setiap muslim dan umat Islam dapat memandang – secara cerdas -- doktrin Islam tentang keragaman tafsir atas, sebagaimana ketika mereka meyakini kebenaran “Islam”itu sendiri sabagai satu kesatuan yang tidak terpilah-pilah. Al-Quran secara tegas mengeritik sikap arogan dan intoleran sekelompok muslim yang “sama sekali” menafikan tafsir muslim dan umat Islam lain yang berbeda dengan “manhaj dan produk penafsiran mereka:

ن ي أ ت را ي خ ل ا قوا ب ت س فا ها لي و م و ه ة ه ج و ل ك ل و ل ك لى ع ه ل ال ن إ عا مي ج ه ل ال م ك ب ت أ ي نوا كو ت ما

ر دي ق ء ي ش“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS al-Baqarah/2:148).

م ه ل ك ض ر ل ا في ن م ن م ل ك ب ر ء شا و ل و ن ني م ؤ م نوا يكو تى ح س نا ال ه ر ك ت ت ن أ ف أ عا مي ج

"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)

3

Page 4: Bahan ajar

memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS Yunus/10: 99).

Perlu diketahu, bahwa al-Quran sangat menghargai perbedaan pemahaman dalam beragama. Dalam konteks ruang dan waktu, pemahaman itu tetap memiliki peluang kebenaran. Sebagaimana isyarat Allah dalam firman-Nya:

رى صا ن وال دوا ها ن ذي ل وا نوا م ءا ن ذي ل ا ن إ ل م ع و ر خ ال وم ي ل وا ه ل بال ن م ءا ن م ن ئي ب صا وال

ف و خ ول م ه ب ر د ن ع م ه ر ج أ م ه ل ف حا ل صا ن نو ز ح ي م ه ول م ه ي ل ع

“Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS al-Baqarah/2: 62)

Ayat di atas mengisyaratkan perlunya kita memahami sebuah atau serangkaian pemikiran dan gerakan keagamaan, baik yang bersifat pribadi maupun kolektif. Kebenaran substantif setiap pemikiran dan gerakan keagamaan -- pada hakikatnya – lebih tepat (terletak) pada komitmen moral (keimanan dan amal saleh) setiap pemeluknya daripada format dan simbolnya. Sehingga kita kita tidak perlu lagi memperdebatkan format-format dan simbol-simbol yang kadang-kadang tidak menyentuh sustansinya. Meskipun tidak (juga) dapat dikatakan bahwa format-format dan simbol-simbol tersebut sama sekali tidak penting. Adakalanya format-format dan simbol-simbol tersebut diperkukan untuk menyatakan identitas, tanpa harus kehilangan makna substantifnya.

Pertumbuhan dan perkembangan keragaman penafsiran (atas) Islam yang dilandasi oleh semangat keimanan dan intelektual, yang antara lain bewujud tafsir atas teks al-Quran dan Hadis – dapat dipahami -- merupakan respons terhadap perubahan sosial. Keragaman pemahaman keagamaan merupakan sunnatullah yang tak mungkin terbantahkan dan mustahil pula kita lawan dan hindari. Respon positif dan konstruktif yang dapat dan seharusnya selalu kita lakukan terhadapnya adalah: “menghargai, mengakui dan berterimakasih.

4

Page 5: Bahan ajar

Sudah saatnya kita menyayangkan tindakan “kekerasan” -- atas nama kebenaran -- terhadap kelompok keagamaan minoritas yang pada saat tertentu memiliki tafsir (yang) berbeda dengan tafsir muslim dan umat Islam mayoritas, yang sudah dianggap “mapan” dan mendapatkan pengakuan publik. Kekerasan atas nama kebenaran yang mengabaikan keragama “tafsir Islam” sudak selayaknya dihentikan. Pengafiran (at-takfîr), intimidasi dan penghakiman terhadap kelompok minoritas yang secara kebetulan memiliki perbedaan tafsir atas Islam dengan kelompok mayoritas muslim, padahal mereka memiliki sejumlah argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan, sebaiknya segera dihentikan. Kecuali billa terdapat sejumlah bukti yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa kelompok minoritas ini benar-benar mengganggu tatanan-sosial, utamanya “tatanan-siosial umat Islam”, dan cenderung melakukan tindakan destruktif -- yang berakibat buruk bagi kepentingan Islam dan umat Islam. Kita selamanya harus sadar, bahwa keberadaan suatu bentuk pemikiran dan aksi komunitas muslim harus dihargai dan kehadirannya sama sekali tidak memerlukan pengakuan dari siapa pun, termasuk kelompok mayoritas umat Islam di mana pun dan kapan pun. Mereka hanya memerlukan persyaratan: “memiliki akuntabiltas vertikal dan horisontal”.

Di samping itu, perlu dimaklumi bahwa dalam sejarah pelarangan terhadap berbagai pemikiran dan gerakan keagamaan -- dalam kenyataannya -- tidak pernah efektif. Sebab, hal ini menyangkut keyakinan pribadi seseorang. Keyakinan tidak mungkin ditaklukkan dengan kekuasaan minoritas atau kekuatan mayoritas. Hal ini merupakan prinsip kebebasan ekspresi keagamaan atau penafsiran terhadap ajaran agama. Pemaksaan dalam dalam konteks tafsir (atas) agama, termasuk di dlamnya “Islam”, adalah bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri dan secara diametral juga bertentangan dengan martabat manusia sebagai makhluk yang memilki kemerdekaan untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya. Penganut paham keagamaan yang berbeda dengan paham mayoritas umat Islam merupakan hak yang harus dihormati. Dalam Islam, keberagamaan menuntut keikhlasan. Dan keikhlasan hanya akan tumbuh bila setiap muslim dan umat Islam memiliki freedom of choices (kebebasan untuk memilih) tafsir atas Islam mana pun, kapan pun, di mana pun, dari dan oleh siapa pun. Dengan kata lain, dapat dinyatakan juga bahwa setiap bentuk pemebelengguan terhadap kebebasan untuk memilih corak keberagamaan atau kemerdekaan beragama, sedikit atau banyak akan menimbulkan kemunafikan, yang justeru akan mengurangi nilai keislaman setiap muslim atau umat Islam itu sendiri.

5

Page 6: Bahan ajar

C. Khatimah

Islam menawarkan kebenaran hakiki yang bersifat “tunggal”, namun menjajakan pernik-pernik tafsir atasnya yang beragam. Islam dapat diumpamakan seperti sebuah toko swalayan, yang menawarkan seperangkat barang berkualitas unggul yang memungkinkan para pemeluknya memilih barang apa pun yang diperlukannya, dalam konteks yang berbeda-beda. Sehingga para pemeluknya diharapkan menjadi manusia-manusia yang cerdas untuk memilih barang yang paling berkualitas, yang diperlukan untuk dirinya dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda. Diharapkan, dengan pilihan-pilihan cerdas atas dasar tafsir (atas) Islam, akan tercipta Muslim-muslim dan umat Islam yang berkualitas, saling memahami dan memiliki sikap tasamuh yang tinggi. Bukan Muslim-muslim dan umat Islam pecinta konflik dan saling menghujat. Beragama secara cerdas, menawarkan semangat egaliter, humanis dan kompetitif dalam kebaikan, selaras dengan semangat al-Quran: “Fastabiqû al-Khairât”.

Memahami Makna Teksal-Quran dan Hadis

Kekuatan para ulama dalam memahami teks antara lain terletak pada kemampuan mereka dalam melakukan harmonisasi antara pendekatan tekstual dan kontekstual, dengan mengandalkan pada

6

Page 7: Bahan ajar

pemahaman terhadap Islam dengan bertumpu pada keimanan dan intelektualitas mereka. Upaya harmonisasi tersebut dilakukan dengan mengidentifikasi, memelihara, dan menaati batas-batas kebolehan dan keharusan untuk memahami setiap teks dengan cermat. Tentu saja upaya demikian merupakan keniscayaan yang harus dilakukan secara berkelanjutan, karena pada tingkat perinciannyanya belum tergarap dengan baik, termasuk tekstualisasi dan kontekstualisasi teks-teks al-Quran maupun hadis.

A. Kontekstualitas dan Tekstualitas Nash (al-Quran dan Hadis)

Memahami teks-teks Islam secara kontekstual, artinya memahaminya menurut atau sesuai dengan lingkungan sosiohistoris. Bagaimana kemudian ketika lingkungan sosiohistoris tersebut berubah? Dalam hal ini tentu saja harus diadakan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan dan zaman barunya. Upaya demikian disebut dengan kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam. Berbeda dengan ini, memahami teks-teks Islam tanpa mengaitkannya dengan lingkungan keberadaannya, semata-mata dengan melihat teks disebut memahaminya secara tekstual. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

Pertama, Memahami teks-teks Islam untuk menemukan dan mengidentifikasikan antara legal-spesifiknya dan moral-idealnya dengan cara melihat kaitannya dengan melihat kaitannya dengan konteks lingkungan awalnya pada saat teks-teks tersebut dinyatakan.

Kedua, Memahami lingkungan baru yang padanya teks-teks Islam akan diaplikasikan, sekaligus membandingkannya dengan lingkungan awalnya untuk menemukan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaannya.

Ketiga, Jika ternyata perbedaan-perbedaannya bersifat lebih esensial daripada persamaan-persamaannya, dilakukan penyesuaian pada legal- spesifik teks-teks tersebut dengan konteks lingkungan barunya sambil tetap berpegang pada moral idealnya. Namun jika ternyata sebaliknya, diaplikasikan nash-nash tersebut tanpa diperlukan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan barunya.

7

Page 8: Bahan ajar

Masalahnya ialah apakah kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam tersebut absah? Jika absah, sampai di mana batas-batasnya serta apa cukup signifikan bagi eksistensi pemahaman tersebut?

B. Dasar-dasar Kontekstualisasi Teks-teks Islam

Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam tersebut menjadi niscaya, sekaligus absah. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Masyarakat yang dihadapi oleh Nabi Saw bukan lingkungan yang sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran-kehadiran nash-nash (teks-teks) yang menyebabkan sebagianya bersifat tipikal, pranata zhihar, misalnya dengan ungkapan sebagai berikut: bagiku engkau seperri punggung ibuku adalah sangat tipikal Arab.

2. Nabi Saw sendiri dalam beberapa kasus telah memberikan hukum secara berlawanan satu sama lain atas dasar adanya konteks yang berbeda-beda, misalnya ziarah kubur, yang semula dilarang kemudian diperintahkan (Hadis Riwayat Muslim).

3. Di masa Umar bin Khattab talak tiga sekali ucap yang semula jatuh satu, diputuskan jatuh tiga adalah cerminan adanya kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam.

4. Implementasi pemahaman terhadap teks-teks Islam secara tekstual seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi reason d’tre kehadiran Islam itu sendiri.

5. Pemahaman secara membabibuta terhadap nash secara tekstual berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman yang justru diintrodusir oleh nash sendiri.

6. Pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan moral ideal nash berguna untu mengatasi keterbatasan teks berhadapan dengan kontinuitas perubahan ketika dilakukan perumusan legal-spesifik yang baru.

7. Penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih dimungkinkan pada upaya pemahan teks-teks Islam secara kontekstual dibanding secara tekstual yang justru menjadi trade mark dari Islam itu sendiri yang dalam ungkapan M. Rasyid Ridha (1935: 211) berbunyi: Islam itu agama rasional dan intelektual.

8. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam mengandung makna bahwa masyarakat di mana saja dan kapan saja berada, selalu

8

Page 9: Bahan ajar

dipandang positif optimis oleh Islam yang dibuktikan dengan sikap khasnya yaitu akomodatif terhadap pranata sosial yang ada (yang mengandung kemaslahatan) yang dirumuskan dengan kaedah: Tradisi itu dipandang sebagai sesuatu yang legal (As-Suyuti, t.t., : 89).

9. Keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di dalam teksnya yang terbatas itu memiliki dinamika internal yang sangat kaya, yang harus terus menerus dilakukan eksternalisasi melalui unterpretasi yang tepat. Jika interpretasi dilakukan secara tekstual, maka dinamika internalnya tidak dapat teraktualisasikan secara optimal. Aktualisasi secara optimal hanya dimungkinkan melalui interpretasi kontekstual terus menerus.

Dengan alasan demikian, tampak bahwa kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam itu memang merupakan keniscayaan dan absah.

Keberatan terhadap kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam sering diajukan dengan menyatakan jika pemahaman tersebut bersifat kontektual tentu tidak universal, dan pada gilirannya nanti cetak biru (blue print) Islam itu tidak akan ada lagi bekasnya. Keberatan semacam itu tidak seluruhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Benar, jika kontekstualisasi itu diberlakukan terhadap keseluruhan pemahaman teks-teks Islam, maka Islam akan kehilangan cetak birunya. Salah, karena kontekstualisasi itu tidak diberlakukan pada semua aspek pemahaman teks-teks Islam, ada batas-batas yang harus dijaga. Kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral-ideal nash, untuk selanjutnya dirumuskan legal-spesifik yang baru yang menggantikan legal-spesifik lamanya.

Signifikansi kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam adalah jelas yaitu agar interpretasi tersebut tetap eksis, tetap sesuai dengan perkembangan dan perubahan sosial, sehingga tetap memiliki elan vital dalam menjawab persoalan-persoalan aktual yang muncul dalam era globalisasi dewasa ini.

C. Kontekstualisasi Pemahaman Atas Teks Muamalah

9

Page 10: Bahan ajar

Prinsip penetapan dan pelaksanaan hukum (Islam) adalah penegakan mashlahat; penegakan keadilan; peniadaan kesulitan; meminimasi beban; dan berangsur-angsur. Dalam melaksanakan kegiatan mu`amalah, umat Islam senantiasa berusaha memperoleh manfaat dan menolak kesulitan. Perolehan manfaat dan penolakan kesulitan disebut al-mashlahat.

Mashlahat dibedakan menjadi tiga, yaitu mashlahat mu`tabarat; mashlahat mulghat; dan mashlahat mursalat. Mashlahat mu`tabarat dapat diklasifikasi menjadi tiga tingkatan, yaitu dharûriyyat (primer), hâjiyyat (sekunder), dan tahsîniyyat (tertier).

Mashlahat dharûriyyat terdiri atas lima tujuan agama (maqâshid al-syarî`ah), yaitu pemeliharaan agama (hifzh al-dîn), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl); pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs); pemeliharaan akal (hifzh al-`aql); dan pemeliharaan harta (hifzh al-mâl). Bahkan, para ulama saat ini, ada menambahkan perlunya pelestarian lingkungan (hifzh al-bîah), karena kesadaran umat manusia terhadapnya dianggap masih terlalu rendah.

Dalam kitab Qawâ’id al-Ahkâm fi Mashâlih al-Anâm, Izz al-Din Ibn `Abd al-Salam menjelaskan bahwa “semua kandungan syari`ah adalah mashlahat, baik dengan cara penolakan terhadap kerusakan-kerusakan maupun dengan cara mendapatkan manfaat-manfaat”. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan perintah Allah dan rasul-Nya dan menjauhi larangan Allah dan rasul-Nya, akan melahirkan manfaat-manfaat bagi manusia dan menghindarkan mereka dari kesulitan-kesulitan.

Penegakan keadilan (tahqîq al-`adâlah) adalah prinsip penegakkan fikih yang kedua. Imam al-Jurjani menjelaskan beberapa pengertian adil sebagai berikut: pertama, adil adalah pertengahan atau perseimbangan (moderasi) antara berlebihan dan pelit; kedua, adil adalah menjauhi dosa-dosa besar dan tidak mengerjakan dosa-dosa kecil secara terus-menerus; dan ketiga, adil adalah kesederhanaan, bersikap tengah-tengah antara dua hal, dan berdiri tegak, yaitu cenderung pada kebenaran.

Murtadha Muthahari -- sebagai dikutip oleh Nurcholish Madjid -- menjelaskan bahwa pengertian pokok keadilan adalah seimbang (mawzûn [ism al-maf’ûl], dalam hal tertentu juga disebut dalam bentuk mashdarnya: ”at-tawâzun”), persamaan (al-musâwat), penunaian hak sesuai dengan kewajiban yang diemban, dan keadilan Ilâhiy, yaitu kemurahan-Nya dalam

10

Page 11: Bahan ajar

melimpahkan rahmat kepada seseorang sesuai dengan tingkat kesediaan yang dimilikinya.

Peniadaan kesulitan (`adam al-haraj) adalah prinsip penegakan fikih yang ketiga. Peniadaan kesulitan diantisipasi dengan penentuan adanya al-`azîmah dan al-rukhshah, baik dengan cara pengguuguran kewajiban, pengurangan kadar yang telah ditentukan (tanqîsh), penukaran (tabdîl), mendahulukan (taqdîm), penangguhan (ta’khîr), dan perubahan (taghyîr).

Minimasi beban (taqlîl al-takâlîf) adalah prinsip penegakan fikih yang keempat. Ia (taqlîl al-takâlîf) dilakukan dengan cara mememerintahkan umat Islam agar tidak mempertanyakan sesuatu yang karena pertanyaan itu, kehidupannya menjadi sulit.

Berangsur-angsur (tadrîj) adalah prinsip penegakan fikih yang kelima. Fikih ditentukan sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mengitari fikih itu sendiri. Pelarangan riba dan meminum khamr dilakukan secara berangsur-angsur.

Muhammad Shidqi Ibn Ahmad al-Burnu mengatakan bahwa pendapat yang paling râjih (kokoh) tentang hukum pokok muamalah adalah kaedah yang digunakan Abu Hanifah, yaitu: “Pada dasarnya semuanya mubâh (boleh)”.

Dasar-dasar kaedah tersebut menurut As-Suyuthi dan Ibn Nujaim adalah: "Sesuatu yang dihalalkan Allah adalah halal; yang diharamkan Allah adalah haram, dan sesuatu yang dibiarkan --tidak dihalalkan dan diharamkan-- adalah rahmat, terimalah rahmat dari Allah itu, dan bukanlah berarti terlupakannya."

Ad-Dabusi dalam kitab Ta'sîs al-Nazhar menyatakan bahwa:

"Menurut Abu Hanifah, sesuatu yang ditetapkan dengan cara penelitian dari segala segi dan meyakinkan dari seluruh seginya, hukumnya ditetapkan berdasarkan penelitian tersebut sebelum terdapat bukti kuat yang mengingkarinya."

Dari kaedah tersebut tergambar bahwa ulama ---dalam bidang ibadah yang tergolong mahdhat-- mengurangi atau menghindari ijtihad. Sebaliknya, hukum pokok muamalah adalah kebolehan (al-ibâhah). Oleh

11

Page 12: Bahan ajar

karena itu, sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkan atau melarang, umat Islam dibolehkan ---pada dasarnya--- mengonsumsi dan memperjualbelikan benda-benda atau mengerjakan sesuatu. Cara yang ditempuh dalam mengetahui hukum bidang muamalah adalah penelusuran dalil, baik dari al-Quran, hadis, maupun pandangan ulama (ijtihad).

Landasan muamalah sebagai telah dijelaskan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah dan Imam al-Turmudzi. Hadis tersebut adalah: “Salman al-Farisi mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. ditanya tentang (memakan) mentega, keju, dan keledai liar. Nabi Muhammad s.a.w. menjawab: ”yang halal adalah apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya; dan yang haram adalah apa-apa yang diharamkan oleh Allah dalam kitab-Nya; sesuatu yang dibiarkan (tidak dihalalkan dan tidak diharamkan) adalah dibolehkan untuk memakannya sebagai ampunan bagimu.”

Dalam hadis tersebut terdapat tiga ketentuan: pertama, sesuatu yang diperintahkan untuk dikerjakan melahirkan hukum halal; kedua, sesuatu yang diperintahkan untuk tidak dikerjakan melahirkan hukum haram; dan ketiga, sesuatu yang tidak diperintahkan untuk dikerjakan dan juga tidak dilarang untuk dikerjakan yang melahirkan hukum mubâh.

D. Penutup

Berdasarkan paparan diatas disimpulkan bahwa oleh karena cetak biru Islam itu terletak pada teks, maka tekstualisasi dilakukan untuk memelihara dari segala penyimpangan makna. Sekalipun demikian, secara terbatas terdapat aspek-aspek yang berkaitan dengannya yang memerlukan kontekstualisasi.

Memahami Islam: Antara Orisinalitas, Kontinuitas,

Perubahan dan Diskontinuitas

12

Page 13: Bahan ajar

A. Prawacana

Keharusan taat kepada Allah dan Rasul-Nya -- bagi setiap muslim -- merupakan hal yang telah disepakati. Akan tetapi bagaimana cara mengaktualisasikan ketaatan tersebut, tak terelakkan terjadinya perbedaan. Akar perbedaan tersebut terletak pada masalah apakah cara taat tersebut baru dipandang orisinal jika tetap sesuai dengan apa yang terdapat dalam teks-teks Islam baik al-Quran maupun al-Sunnah sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi s.a.w., atau harus sama sekali berbeda, sesuai dengan tuntutan perubahan, sehingga hilang orisinalitasnya. Dengan kata lain, orisinalitas dan kontinuitas dipertentangkan dengan perubahan dan diskontinuitas Ini berarti bahwa perubahan dan diskontinuitas merupakan antitesa dari orisinalitas dan kontinuitas. Kemungkinan yang lain adalah membuat sintesa dari keduanya, yakni bahwa dalam Islam terdapat hal-hal yang harus tetap orisinal yang oleh karena itu berkelanjutan, tetapi juga ada yang harus berubah sesuai dengan perubahan masa, keadaan, dan tempat yang oleh karena itu diskontinuitas merupakan tuntutan yang logis.

Upaya untuk tetap melanjutkan pemeliharaan orisinalitas seraya menafikan perubahan dan diskontinuitas akan menyebabkan agama ini kehilangan konteks dengan ke-kini-an dan ke-di sini-an , sekaligus merupakan pengingkaran terhadap hukum perubahan itu sendiri. Sebaliknya pengabaian secara ekstrem terhadap orisinalitas, dan pemihakan semata-mata pada perubahan, akan menyebabkan Islam kehilangan identitasnya.

Oleh karena itu, untuk menghindarinya, upaya mensintesakan antara orisinalitas-kontinuitas dan perubahan-diskontinuitas, merupakan upaya moderasi yang mereduksi konsekuensi-konsekuensi logis yang negatif tersebut.

Tulisan ini berusaha memaparkan sintesa antara orisinalitas-kontinuitas dan perubahan-diskontinuitas Islam, dari sudut-pandang metodologis.

13

Page 14: Bahan ajar

B. Islam: Antara Orisinalitas dan Kontinuitas

Paradigma untuk mempertahankan orisinalitas dan kontinuitas Islam telah dirumuskan oleh ahli Ushul Fiqh dalam kaedah:

ل ال د ي تى ح م ي ر ح ت ال ت دا با ع ل ا فى ل ص ر م ل ا لى ع ل ي ل د ال

“Semula ibadah itu – pada prinsipnya -- dilarang, baru diperbolehkan jika ada dalil – yang memerintahkannya -- untuk itu.”

Dengan kaedah ini, format ritual Islam dipelihara dari segala upaya penambahan atau pengurangan, sehingga orisinalitasnya tetap terjaga, untuk selanjutnya kontinuitas dijalankan. Paradigma di atas disusun berdasarkan ayat al-Quran dan hadis Nabi s.a.w.. Ayat tersebut, misalnya:

م ك ههها ن مهها و ه ذو خهه ف ل سو ر م ال ك تا ما آ و

هوا ت فان ه ن ع Dan segala yang telah Rasul sampaikan kepada kalian, kerjakanlah, dan segala yang ia larang, jauhilah. (QS al-Hasyr/59: 7)

Sedang hadis Nabi s.a.w. dimaksud misalnya sebagai berikut:

ر –ك نا ال في ة ل ل ض ل ك و ة ل ل ض ة ع د ب ل مسلم رواه

”Segala bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat membawa ke neraka.”– Riwayat Muslim.

البخاري – رواه لى ص أ ني و م ت ي أ ر ما ك وا ل ص”Shalatlah sebagaimana kalian lihat aku lakukan.” – Riwayat al-Bukhari.

مسلم – رواه م ك ك س نا م ني ع وا ذ خ

14

Page 15: Bahan ajar

“Ambillah dariku manasik kalian.” - Riwayat Muslim. Upaya untuk memelihara orisinalitas Islam juga dilakukan dengan

meniadakan ‘illat pada seluruh format ritual Islam. Ini tidak berarti bahwa kajian terhadap format ritual tersebut tidak dilakukan. Kajian tersebut tetap dilakukan, akan tetapi bukan ditujukan untuk menemukan ‘illat, kemudian menerapkan kaedah:

دما الح ع و دا و ج و ة ل ع ل ا ع م ر و د ي م ك "Ada atau tidaknya hukum tergantung pada ‘illat (sebab yang melaatarbelakanginya)."

Kajian tersebut dilakukan untuk menemukan alas an yang paling tepat -- baik filosofis maupun ilmiah -- untuk kepentingan pengokohan terhadap semua format ritual Islam tersebut, sehingga keimanan intuitif tersempurnakan oleh kepuasan intelektual.

Dalam kaitan dengan format ritual Islam ini, tampaknya Allah tidak perlu menjelaskan mengapa Ia mensyari’atkan – misalnya – thawaf itu harus dilakukan dengan menempatkan Ka’bah di sisi kiri dan mengelilinginya tujuh kali putaran. Dengan demikian sikap yang dituntut oleh Islam adalah ketaatan mutlak pada seluruh aturan yang berkenaan dengan format ritual tersebut. Dengan kata lain Islam menuntut pemeliharaan orisinalitas dan kontinuitas dari seluruh format ritual ini. Tak ada lagi perubahan dan diskontinuitas sesudah masa formulasi usai dengan wafatnya Nabi s.a.w..

Bagaimana dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur hal-hal di luar format ritual Islam? Apakah tuntutan memelihara orisinalitas dan kontinuitas pelaksanaan ketentuan tersebut harus tetap dipelihara? Dalam hal ini, tampaknya ’illat al-hukm memegang peranan penting bagi perlu atau tidaknya keharusan memelihara orisinalitas dan kontinuitas tersebut. Artinya, jika dapat dipahami ’illat suatu ketentuan, maka perubahan dan diskontinuitas merupakan sebuah keniscayaan. Sebaliknya jika tidak dapat ditemukan ‘illat, maka orisinalitas dan kontinuitas pelaksanaan sebuah teks harus tetap dipelihara.

15

Page 16: Bahan ajar

C. Islam: Antara Perubahan dan Diskontinuitas

Aspek ini terkait erat dengan upaya kontekstualisasi teks-teks Islam, sehingga dengan demikian dapat terpelihara prinsip:

ن ال كا م و ن ما ز ل ك ل ح ل صا م ل س إ”Islam itu sesuai bagi segala masa dan lokasi mana pun.”

Dalam bahasa Inggris kata context antara lain berarti circumstances in which an event occurs [lingkungan di mana suatu peristiwa berlangsung]-, sedang kata contextual diartikan sebagai according to the context [menurut atau sesuai dengan konteks] (Hornby, 1979: 130). Memahami teks-teks Islam secara kontekstual, artinya memahaminya menurut atau sesuai dengan lingkungan sosio-historis. Bagaimana kemudian ketika lingkungan sosio-hitoris tersebut berubah? Dalam hal ini tentu saja harus diadakan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan dan zaman barunya. Upaya demikian disebut kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam. Berbeda dengan ini, memahami teks-teks Islam tanpa mengaitkan dengan lingkungan keberadaannya, semata-mata dengan melihat teks disebut memahaminya secara tekstual. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, memahami teks-teks Islam untuk menemukan dan mengidentifikasikan antara legal-spesifiknya dan moral-idealnya dengan cara melihat kaitannya dengan konteks lingkungan awalnya yaitu Makkah, Madinah dan sekitarnya pada saat teks-teks tersebut turun; kedua, memahami lingkungan baru yang padanya teks-teks Islam akan diaplikasikan, sekaligus membandingkan dengan lingkungan awalnya untuk menemukan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaannya; ketiga, jika ternyata perbedaan-perbedaannya bersifat lebih essensial daripada persamaan-persamaannya, dilakukan penyesuaian pada legal-spesifik teks-teks tersebut dengan konteks lingkungan barunya sambil tetap berpegang pada moral-idealnya. Namun jika ternyata sebaliknya, diaplikasikan nash-nash tersebut tanpa diperlukan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan barunya (Bandingkan dengan Rahman, 1982: 5-7).

16

Page 17: Bahan ajar

Masalahnya ialah apakah kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam ini absah? Jika absah, sampai di mana batas-batasnya serta apakah signifikan bagi eksistensi pemahaman tersebut?

D. Kontekstualisasi Pemahaman Teks-teks Islam

Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam itu menjadi niscaya, sekaligus absah. Alasan-alasan tersebut ialah sebagai berikut:

1. Masyarakat yang dihadapi oleh Nabi s.a.w. bukan lingkungan yang sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran nash-nash yang menyebabkan sebagiannya bersifat tipikal, pranata zhihar misalnya dengan ungkapan sebagai

berikut: أمى كظههههر علي أنت [anti ‘alayya ka zhahri ummi] -- bagiku engkau seperti punggung ibuku -- adalah sangat tipikal Arab.

2. Nabi s.a.w. sendiri dalam beberapa kasus telah memberikan hukum secara berlawanan satu sama lain atas dasar adanya konteks yang berbeda-beda; misalnya: “ziarah kubur”, yang semula dilarang kemudian diperintahkan (Hadis Riwayat Muslim).

3. Di masa Umar bin Khaththab talak tiga sekali ucap yang asalnya jatuh satu, diputuskan jatuh tiga adalah cermin adanya kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam.

4. Implementasi pemahaman terhadap teks-teks Islam secara tekstual seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justeru menjadi raison d'etre kehadiran Islam itu sendiri.

5. Pemahaman secara membabibuta terhadap nash secara tekstual berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman yang justeru diintroduksi oleh nash sendiri.

6. Pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan (konsep) moral-ideal nash berguna untuk mengatasi keterbatasan teks berhadapan dengan kontinuitas perubahan ketika dilakukan perumusan legal-spesifik yang baru.

7. Penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih dimungkinkan pada upaya pemahaman teks-teks Islam secara kontekstual dibanding secara tekstual yang justru menjadi trade mark dari Islam itu sendiri yang dalam ungkapan Muhammad Rasyid Ridha

17

Page 18: Bahan ajar

(1935: 211): والفههكر العقههل دين السههلم [Islam itu agama rasional dan intelektual].

8. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam mengandung makna bahwa masyarakat di mana saja dan kapan saja berada, selalu dipandang positif optimistis oleh Islam yang dibuktikan dengan sikap khasnya yaitu akomodatif terhadap pranata sosial yang ada (yang mengandung kemaslahatan) yang telah dirumuskan dalam kaedah

محهكمة العادة [tradisi itu dipandang legal] (Suyuthi, t.t.: 89).

9. Keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di dalam teksnya yang terbatas itu memiliki dinamika internal yang sangat kaya, yang harus terus menerus dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi yang tepat. Jika interpretasi dilakukan secara tekstual, maka dinamika internalnya tidak dapat teraktualisasikan secara optimal. Aktualiasi secara optimal hanya dimungkinkan melalui interpretasi kontekstual terus menerus.

Dengan alasan-alasan demikian, tampak bahwa kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam itu memang merupakan keniscayaan dan absah.

Keberatan terhadap kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam sering diajukan dengan menyatakan jika pemahaman tersebut bersifat kontekstual tentu tidak universal, dan pada gilirannya nanti cetak biru (blue print) Islam itu akan tidak ada lagi bekasnya. Keberatan seperti ini tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Benar, jika kontektualisasi itu diberlakukan terhadap keseluruhan pemahaman teks-teks Islam, maka Islam akan kehilangan cetak birunya. Salah, karena kontekstualisasi itu tidak diberlakukan pada semua aspek pemahaman teks-teks Islam, ada batas-batas yang harus tetap dijaga. Batas-batas ini adalah sebagai berikut: Pertama, untuk bidang ibadah murni ('ibadah mahdhah) tidak ada kontekstualisasi, dalam arti penambahan maupun pengurangan untuk kepentingan penyesuaian dalam konteks lingkungan tertentu, karena yang demikian berarti membuat bid'ah yang jelas-jelas dilarang dalam Islam; kedua, untuk bidang di luar ibadah murni, kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral-ideal nash, untuk selanjutnya dirumuskan legal-spesifik baru yang menggantikan legal spisifik lamanya.

18

Page 19: Bahan ajar

Dengan batas-batas seperti itu, tampak bahwa teks-teks Islam tidak akan kehilangan cetak birunya yang terletak pada norma-norma bidang ibadah murninya serta terletak pada moral-ideal bidang di luar ibadah murni. Demikian pula pemahaman teks-teks Islam tidak akan kehilangan sifat universalnya, karena tetap terpeliharanya cetak biru tersebut yang memang bersifat universal.

Signifikansi kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam adalah jelas yaitu agar interpretasi tersebut tetap eksis, tetap sesuai dengan perkembangan dan perubahan sosial, sehingga tetap memiliki elan vital dalam menjawab persoalan-persoalan aktual yang muncul dalam era globalisasi dewasa ini.

E. Kemashlahatan: Pilar Utama Perubahan dan Diskontinuitas

Al-Quran (QS al-Anbiya'/21: 107) menyatakan bahwa Muhammad diutus sebagai rahmat bagi alam semesta. Al-Quran (QS Yunus/10: 57) juga mengemukakan bahwa telah datang mau'izhah, terapi kejiwaan, petunjuk, dan rahmat dari Tuhan bagi orang-orang mukmin. Dengan merujuk pernyataan al-Quran tersebut, ulama memformulasikan paradigma bahwa syari'at Islam diturunkan sebagai rahmat bagi umat manusia. Dalam hal ini Muhammad Abu Zahrah (1974: 36) menyatakan bahwa dalam hukum Islam senantiasa didapati kemashlahatan bagi umat manusia. Pernyataan lain dikemukakan oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (1973: 3), (ia katakan) bahwa maksud utama syari'at Islam ialah: “mewujudkan kebaikan bagi manusia di dunia dan akhirat, keadilan, rahmat, kemashlahatan, dan kebijaksanaan”. Dengan kata lain, prinsip hukum Islam -- di antaranya -- ialah memelihara kemashlahatan manusia. Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami jika kemudian para ahli ushul menjadikan mashlahat sebagai dasar pembentukan hukum Islam.

Mashlahat dapat didefinisikan sebagai berikut:

19

Page 20: Bahan ajar

الحكيم الشارع قصدها التى المنفعةوعقولهم ونفوسهم دينهم حفظ من لعباده

فيما معين ترتيب طبق واموالهم ونسلهم , , وسيلة اوماكان اللذة هي والمنفعة بينها

او, اللم ودفع اليه اليها وسيلة ماكان , ۲:۱۹۹۷البوطي( ).

“Kemanfaatan yang dimaksudkan oleh Pembuat Syari'at Yang Mahabijaksana bagi hamba-hambaNya [Allah SWT] berupa pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda mereka, berdasarkan skala prioritas urutan penyebutan; sedang manfaat ialah kelezatan atau media ke arahnya, dan penghindaran dari derita atau media ke arahnya).”

Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya persesuaian, serta ada atau tidak adanya pertentangan dengan ayat al-Quran dan atau hadis Nabi s.a.w.., mashlahat dibedakan menjadi empat, yaitu:

1. Mashlahat yang species (نوع) nya didukung oleh syara', yang disebut sebagai: المعتبرة المصلحة

2. Mashlahat yang genus (جنس) nya didukung oleh syara', biasanya

diberikan sebutan sebagai: الشرع تصرفات لجنس ملئمة mashlahat) مصلحة yang sesuai dengan jenis tindakan syara'),

3. Mashlahat yang bertentangan dengan nash syar'iy, yang biasanya

disebut: اوالملغاة الباطلة المصلحة (mashlahat yang batil atau menyimpang), dan

4. Mashlahat yang oleh syara' didiamkan, dinamakan الغريبة المصلحة (mashlahat yang asing).

Pembagian demikian didasarkan atas teori Ghazali, sebagai mana dikemukakan oleh Hassan (1971:18-9).

20

Page 21: Bahan ajar

Sekalipun terdapat pembagian mashlahat seperti itu, namun perhatian ahli ushul fiqh banyak tercurah pada bagian kedua dan keempat saja. Demikian ini karena kedua bagian tersebut lebih rumit dibanding kedua bagian yang lain. Kedua bagian yang lebih rumit tersebut biasanya disebut al-mashlahah al-mursalah. Mashlahah demikian oleh Muhammad Abu Zahrah (t.t.: 279) didefinisikan sebagai: berbagai mashlahat yang selaras dengan maksud-maksud syari'at Islam yang tidak didapatkan dalil khusus yang menjadi legitimasi (syahid) terhadapnya, baik dalam arti mendukung maupun menolak.

Sekalipun perhatian ahli ushul fiqh banyak tertuju pada kajian mashlahah mursalah, namun mereka tidak dapat begitu saja mengabaikan dirasah (kajian) terhadap mashlahah yang bertentangan dengan nash. Hal demikian terutama ketika mereka berhadapan dengan pendirian al-Thufi yang hidup pada akhir abad ketujuh dan awal abad kedelapan Hijriyah. Ia berpendirian bahwa dalam bidang mu'amalah yakni selain ibadah, manusia mengetahui kemaslahatan-kemashlahatan bagi mereka sendiri. Berpegang pada kemashlahatan harus diutamakan, sekalipun bertentangan dengan nash. Demikian inti pendirian al-Thufi (Hassan, 1971: 534-5). Teori al-Thufi tersebut ditegakkan atas empat prinsip, yaitu:

1. Semata-mata dengan akalnya, manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui kemashlahatan dan kemafsadatan;

2. Mashlahah merupakan dalil syar'i yang berdiri sendiri, tidak memerlukan legitimasi nash;

3. Objek aplikasi teori mashlahah adalah bidang mu'amalah dan adat, bukan bidang ibadah;

4. Mashlahah merupakan dalil syara' yang terkuat.

Konsekuensi prinsip yang keempat ini ialah didahulukannya mashlahah atas nash dan ijma', namun dengan ketentuan diterapkan

metode والبيان التخصيص bukan diterapkan metode والفتئات التعطيل (Hassan, 1971: 530-6). Metode pertama bermakna bahwa nash menghendaki sesuatu yang khusus dan terdapat penjelasan untuk itu. Sedangkan metode kedua berarti pengabaian sama sekali terhadap keberadaan nash. Thufi tidak membagi mashlahah berdasarkan ada tidaknya legitimasi nash, tidak pula berdasarkan kuat lemahnya, tidak juga berdasarkan sesuai tidaknya dengan nash. Ia sama sekali tidak memberikan syarat bagi persesuaian

21

Page 22: Bahan ajar

mashlahah dengan maksud-maksud umum syara'. Baginya mashlahah dipandang sebagai dalil syara', cukup jika bersesuaian dengan tujuan-tujuan syara'.

Berbeda dengan al-Thufi, al-Ghazali membagi mashlahah ditinjau

dari ada tidaknya legitimasi syara' menjadi: المعتبرة, الملغاة dan .المرسلة

Mashlahah terakhir dibagi menjadi: الملئمة dan الغريبة. Al-Ghazali menolak sama sekali al-mashlahah al-gharibah dan al-mashlahah al-mulghah sebagai dalil syara'. Bahkan terhadap al-mashlahah al-mulaimah pun tidak semuanya ia terima. Ia hanya menerimanya sepanjang berkenaan dengan hal-hal yang primer (dharuriyyah) atau yang setingkat. Golongan Malikiyyah sepaham dengan pendirian al-Ghazali ini, hanya bedanya mereka menerima keseluruhan al-mashlahah al-mulâimah, baik yang berkenaan dengan hal-hal primer maupun skunder (hajjiyyah). Demikian uraian Hassan (1971: 10). Mengenai mashlahah ini Malik bin Anas memberikan batasan -- seperti dikemukakan al-Ghazali (t.t.: 241) -- sebagai berikut: 1. Mashlahah harus masuk akal sehat;2. Aplikasi mashlahah tersebut dapat menghindarkan kesukaran yang

realistis dalam urusan agama;3. Walaupun tidak langsung, mashlahah tersebut harus sejalan dengan

maksud-maksud umum syara'.

Kajian moderen dalam bidang ushul, dapat diwakili oleh dua orang yang sama-sama menulis disertasi tentang mashlahah, yaitu Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi dan Husain Hamid Hassan. Buthi mengemukakan tesis bahwa mashlahah dapat menjadi hujjah al-tasyrî' jika mendukung maksud-maksud umum syara', tanpa disyaratkan adanya kesesuaian dengan jenis tindakan syara', cukup dengan kriteria umum yaitu tidak bertentangan dengan nash al-Quran dan al-Sunnah; berada pada lingkup maksud umum dari syara'; dan tidak berlawanan dengan qiyas atau mashlahah yang lebih penting. Sementara itu Hassan memiliki tesis bahwa mashlahah yang patut menjadi dalil ialah mashlahah yang sesuai dengan jenis yang dilegitimasi syara' secara global, tanpa dalil spesifik. Mashlahah tersebut bukan al-mashlahah al-gharibah yang didiamkan oleh syara'. Mashlahah demikian tidak patut dijadikan dalil syara', apalagi jika mashlahah bertentangan dengan nash atau zhahir syara' (Hassan,1971: 12-4).

22

Page 23: Bahan ajar

Sekalipun mashlahah dikaji cukup mendalam dalam bidang ushul fiqh, namun satu hal sering terabaikan, yaitu apakah mashlahah itu tetap, tidak pernah berubah. Jawabannya adalah jelas bahwa mashlahah itu bisa berubah-ubah karena perubahan sosial. Jawaban demikian adalah sangat sederhana, namun konsekwensinya terhadap teori mashlahah sangat besar. Misalnya, apakah nash-nash al-Quran atau al-Sunnah itu harus diaplikasikan seperti aplikasi pada masa Nabi s.a.w.. yang jelas-jelas pada waktu itu menimbulkan kemashlahatan untuk [kepentingan] tegaknya tujuan-tujuan umum syara' yang disebut al-maqashid al-khamsah, yaitu terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, serta harta benda? Jika jawabannya adalah “ya”, berarti terdapat pengabaian terhadap prinsip bahwa kemashlahatan itu dapat berubah karena perubahan sosial. Sebaliknya jika jawabannya “tidak”, maka pada gilirannya agama akan kehilangan eksistensinya. Oleh karena itu perlu adanya pemilah-milahan, antara nash-nash yang harus diaplikasikan sebagaimana dipraktikkan Nabi s.a.w.. dan nash-nash yang aplikasinya memerlukan modifikasi baru sesuai dengan tuntutan perubahan. Tentu saja hasil modifikasi tersebut harus tetap efektif dapat memelihara al-maqashid al-khamsah di atas.

Dari apa yang telah dilakukan para ahli ushul ketika mereka mengkaji mashlahah tampak adanya kehati-hatian yang luar biasa untuk tidak jatuh pada sikap pengabaian terhadap syara'. Bahkan demikian ini juga tampak pada sikap al-Thufi -- yang oleh Yamani (1970: 17) dinilai berpendirian terlalu jauh -- yang memegangi metode al-takhshîsh dan al-bayân, tidak al-ta'thîl dan al-iftiât ketika mendahulukan mashlahah daripada nash. Demikian pula kehati-hatian tersebut juga tampak, ketika ia membatasi aplikasi teori mashlahah hanya pada bidang mu'amalah dan adat saja, tidak pada bidang ibadah. Bahkan kajian yang dilakukan Hassan sampai pada kesimpulan bahwa nash yang diakui adanya kemungkinan berlawanan dengan mashlahah -- yang kemudian diutamakan mashlahah daripada nash -- tersebut adalah nash yang zhanniy. Adapun nash yang dari segala aspeknya adalah qath'iy, al-Thufi menolak terjadinya pertentangan dengan mashlahah, lebih-lebih lagi untuk mendahulukan mashlahah atas nash tersebut (Hassan,1971: 538). Tentu saja kehati-hatian tersebut tampak lebih nyata lagi pada ahli-ahli ushul fiqh yang lain yang tidak seekstrem al-Thufi.

Teori mashlahah jelas-jelas jika diaplikasikan secara benar akan banyak membantu penyelesaian masalah kontemporer hukum Islam, lebih-

23

Page 24: Bahan ajar

lebih jika nash sama sekali tidak menjelaskannya. Demikian pula jika nash zhanniy justru ternyata berlawanan dengan tuntutan perubahan, maka tak pelak lagi teori mashlahah perlu dipertimbangkan penggunaannya. Salah satu contoh adanya pertentangan antara nash zhanniy dan mashlahah yang perwujudannya dituntut oleh perubahan sosial ialah adanya nash yang melarang wanita bepergian sejarak sehari semalam, tanpa bersama seorang mahram seperti diriwayatkan oleh Bukhari (18: 4) dan Muslim (15: 74) dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi s.a.w. bersabda:

ن أ ر خهه م ال و يهه ل وا ه ل بال ن م ؤ ت ة أ ر م ل ل ح ي ل

ة م ر ح ها ع م س ي ل ة ل ي ل و م و ي ة ر سي م ر ف سا ت .“Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian sehari semalam tanpa disertai mahram.”

Bahkan hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Bukhari (65: 140) dan Muslim 15:74) dari Abu Ma'bad -- pembantu Ibn 'Abbas -- bahwa Ibnu 'Abbas pernah mendengar Nabi s.a.w.. Bersabda:

م ر ح م ها ع م و إل ة أ ر م ا ن ر ف سا ت ل“Sungguh jangan bepergian seorang wanita tanpa disertai seorang mahram.”

Perubahan sosial -- lebih-lebih dewasa ini -- untuk kemashlahatan wanita itu sendiri menuntut adanya mobilitas tinggi mereka dalam berbagai hal, yang salah satunya dalam kaitannya dengan kepentingan -- misalnya – studi: “masihkah harus didampingi mahram selama studi di luar daerah mereka?”

Dalam kaitannya dengan masalah ini, tentu teori mashlahah perlu dipertimbangkan penggunaannya agar masalah kontemporer seperti itu terpecahkan sesuai dengan tuntutan perubahan, sekaligus tetap berada dalam lingkup upaya mewujudkan tujuan-tujuan umum syara'. Tampaknya berbagai persoalan kontemporer dewasa ini -- utamanya jika nash tidak memberikan penjelasan tentangnya -- akan terpecahkan melalui aplikasi metode mashlahah, tentu saja tanpa mengabaikan adanya berbagai metode pemecahan yang lain.

24

Page 25: Bahan ajar

F. Khatimah

Berdasarkan uraian di atas disimpulkan sebagai berikut. Bahwa dalam Islam terdapat aspek-aspek yang harus diaplikasikan dengan tetap memelihara orisinalitas dan keberlanjutannya. Aspek ini akan menjadikan Islam tetap tampak memiliki identitas sendiri di tengah-tengah terjadinya akselerasi perubahan. Disamping itu Islam juga memiliki dimensi perubahan dan diskontinuitas sebagai suatu keniscayaan dan suatu yang absah. Perubahan dan diskontinuitas ini didasarkan atas prinsip pemeliharaan terhadap kemashlahatan, sepanjang dapat ditemukan dan dipahami ‘illatnya. Dengan dimensi ini, Islam tetap eksis dan berkembang sesuai dengan perkembangan ke-kini-an dan ke-di sini-an.

Bahan Bacaan:

Bukhari, Muhammad bin Ismail al-. Tanpa Tahun. Shahih al-Bukhariy. Tanpa Tempat: al-Sya'b

Buthi, Muhammad Sa'id Ramadhan. 1977. Dhawabith al-Mashlahah fi al- Syari'ah al-Islam iyyah. Beirut: Muassasah al-Risalah.

Coulson, Noel J. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago and London: The University of Chicago Press.

-------------- . 1964. A History of Islamic Law. Edinburgh: The University Press.

Departemen Agama RI. 1977. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran.

Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-. Tanpa Tahun. al-Mushtasyfa. Jilid I. Tanpa Tempat: al-Amiriyyah.

Hassan, Husain Hamid. 1971. Nadhariyyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamiy. Beirut: Dar al-Nahdhah al-'Arabiyyah.

Jauziyyah, Ibn Qayyim al-. 1973. I'lam al-Muwaqqi'in. Jilid III. Beirut: Dar al-Jail.

Khayyath, 'Abd al-'Aziz. 1977. Nadhariyyah al-'Urf. Omman: Maktabah al-Aqsha.

Muslim, Tanpa Tahun. al-Jami' al-Shahih. Jilid IV. Mesir: al-Babi al-Halabi.

25

Page 26: Bahan ajar

Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition. Chicago and London: The University of Chicago Press.

-------------- . 1986. “Interpreting the Qur'an" dalam Inquiry. Mei 1986.

Ridha, Muhammad Rasyid. 1935. al-Wahy al-Muhammadiy. Mesir: Mathba'ah al-Manar.

Suyuthi, Jalal al-Din al-. Tanpa Tahun. al-Asybah wa al-Nazha-ir. Mesir: al-Babi al-Halabi.

Voll, John Obert. 1982. Islam: Continuity and Change in the Modern World.Colorado: Westview Press.

Yamani, Ahmad Zaki. 1970. al-Syariah al-Khalidah wa Musykilah al-'Ashr. Saudi: al-Dar al-Sa'udiyyah li al-Nasyr wa al-Tauzi'.

Zahrah, Muhammad Abu. 1974. al-'Uqubah. Tanpa Tempat: Dar al-Fikr al-'Arabiy.

----------. Tanpa Tahun. Ushul al-Fiqh. Tanpa Tempat: Dar al-Fikr.

Khalîfah Dalam Kajian Tafsir

Tulisan ini akan mencoba melihat beberapa aspek dari ayat-ayat al-Quran dan Hadis Rasulullah s.a.w. yang berbicara tentang khalîfah dengan menggunakan metode tematik. Namun, tidak dengan mengangkat seluruh ayat-ayat al-Quran dan Hadis-hadis Rasulullah s.a.w. yang berbicara

26

Page 27: Bahan ajar

tentang persoalan ini dalam berbagai redaksinya, karena hal tersebut memerlukan penelitian yang sangat rumit dan waktu yang cukup lama.

A. Arti Kata Khalîfah

Kata khalîfah dalam bentuk tunggal terulang dua kali dalam al-Quran, yaitu dalam QS al-Baqarah, 2: 30 dan QS Shâd, 38: 26.

ض ر ل ا في ل جاع ني إ ة ك ئ مل ل ل ك ب ر ل قا ذ إ و ك ف س ي و ها في د س ف ي ن م ها في ل ع ج ت أ لوا قا ة ف لي خ

ني إ ل قا ك ل س د ق ن و ك د م ح ب ح ب س ن ن ح ن و ء ما د الن مو ل ع ت ل ما م ل ع أ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalîfah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalîfah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

ن ي ب م ك ح فا ض ر ل ا في ة ف لي خ ك نا ل ع ج نا إ د و دا يا ل بي س ن ع ك ل ض ي ف وى ه ل ا ع ب ت ت ول ق ح ل با س نا الب ذا ع م ه ل ه ل ال ل بي س ن ع ن لو ض ي ن ذي ل ا ن إ ه ل ال

ب سا ح ل ا م و ي سوا ن ما ب د دي شHai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalîfah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

Ada dua bentuk plural yang digunakan oleh al-Quran, yaitu:

(a) Khalâif yang terulang sebanyak empat kali, yakni pada surah QS al-An'âm, 6: 165, QS Yûnus, 10: 14, 73, dan QS Fâthir, 35: 39.

27

Page 28: Bahan ajar

(b) Khulafâ' terulang sebanyak tiga kali pada surah-surah: QS al-A'râf, 7:69, 74, dan QS al-Naml, 27:62.

Keseluruhan kata tersebut berakar dari kata khulafâ' yang pada mulanya berarti "di belakang". Dari sini, kata khalîfah seringkali diartikan sebagai "pengganti" (karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang digantikannya).

Al-Raghib al-Isfahani, dalam Mufradât fî Gharîb al-Qur'ân, menjelaskan bahwa menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya. Lebih lanjut, al-Isfahani menjelaskan bahwa kekhalifahan tersebut dapat terlaksana akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau ketidakmampuan orang yang digantikan, dan dapat juga akibat penghormatan yang diberikan kepada yang menggantikan.

Tidak dapat disangkal oleh para mufasir bahwa perbedaan bentuk-bentuk kata di atas (khalîfah, khalâif, khulafâ') masing-masing mempunyai konteks makna tersendiri, yang sedikit atau banyak berbeda dengan yang lain.

Kalau kita bermaksud merujuk kepada al-Quran untuk mengetahui kandungan makna kata khalîfah (karena ayat al-Quran berfungsi pula sebagai penjelas terhadap ayat-ayat lainnya), maka dari kata khalîfah yang hanya terulang dua kali itu serta konteks-konteks pembicaraannya, kita dapat menarik beberapa kesimpulan makna --khususnya dengan memperhatikan ayat-ayat surah Shâd yang menguraikan sebagian dari sejarah kehidupan Nabi Dawud.

Nabi Dawud a.s. sebagaimana diceritakan oleh al-Quran [QS al-Baqarah, 2: 251), berhasil membunuh Jalut:

... ك ل م ل ا ه ل ال ه تا ءا و ت لو جا د و دا ل ت ق و ء شا ي ما م ه م ل وع ة م ك ح ل وا

… dan Dawud membunuh Jalut. Allah memberinya kekuasaan/kerajaan dan hikmah serta mengajarkan-nya apa yang Dia kehendaki ...

Jika demikian, kekhalifahan yang dianugerahkan kepada Dawud a.s. bertalian dengan kekuasaan mengelola wilayah tertentu. Hal ini diperolehnya berkat anugerah Ilahi yang mengajarkan kepadanya al-hikmah dan ilmu pengetahuan.

28

Page 29: Bahan ajar

Makna "pengelolaan wilayah tertentu", atau katakanlah bahwa pengelolaan tersebut berkaitan dengan kekuasaan politik, dipahami pula pada ayat-ayat yang menggunakan bentuk khulafâ’: (Perhatikan ketiga ayat yang ditunjuk di atas). Ini, berbeda dengan kata khalâ'if, yang tidak mengesankan adanya kekuasaan semacam itu, sehingga pada akhirnya kita dapat berkata bahwa sejumlah orang yang tidak memiliki kekuasaan politik dinamai oleh al-Quran khalâ'if; tanpa menggunakan bentuk mufrad (tunggal). Tidak digunakannya bentuk mufrad untuk makna tersebut agaknya mengisyaratkan bahwa kekhalifahan yang diemban oleh setiap orang tidak dapat terlaksana tanpa bantuan orang lain, berbeda dengan khalîfah yang bermakna penguasa dalam bidang politik itu. Hal ini dapat mewujud dalam diri pribadi seseorang atau diwujudkannya dalam bentuk otoriter atau diktator.

Kalau kita kembali kepada ayat Al-Baqarah 30, yang menggunakan kata khalîfah untuk Adam as., maka ditemukan persamaan-persamaan dengan ayat yang membicarakan Dawud a.s., baik persamaan dalam redaksi maupun dalam makna dan konteks uraian.

Adam juga dinamai khalîfah. Beliau, sebagaimana Dawud, juga diberi pengetahuan -- Wa 'allama Âdama al-asmâa kullahâ -- yang kekhalifahan keduanya berkaitan dengan al-Ardh:

Innî jâ'ilun fi al-ardhi khalîfatan (Âdam) dan Ya Dâwûda innâ ja'alnâka khalîfatan fi al-ardhi (Dâwûd).

Adam dan Dawud keduanya digambarkan oleh al-Quran sebagai pernah tergelincir tetapi diampuni Tuhan. (Baca masing-masing QS al-Baqarah, 2: 36, 37, dan QS Shâd, 38:22-25).

Sampai di sini, kita dapat mengambil kesimpulan sementara, yaitu:

(1) Kata khalîfah digunakan oleh al-Quran untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Dalam hal ini Dawud (947-1000 S.M.) mengelola wilayah Palestina, sedangkan Adam secara potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan.

(2) Bahwa seorang khalîfah berpotensi, bahkan secara aktual, dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu. Karena itu, baik Adam maupun Dawud diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu. (Baca QS Thâhâ, 20: 16, dan QS Shâd, 38: 261).

29

Page 30: Bahan ajar

B. Arti Kekhalifahan di Bumi

Muhammad Baqir al-Shadr, dalam bukunya, al-Sunan al-Târîkhiyyah fî al-Qur'ân, yang antara lain mengupas ayat QS al-Baqarah, 2: 30 dengan menggunakan metode tematik, mengemukakan bahwa kekhalifahan mempunyai tiga unsur yang saling berkait. Kemudian, ditambahkannya unsur keempat yang berada di luar, namun amat menentukan arti kekhalifahan dalam pandangan al-Quran.

Ketiga unsur pertama adalah:

1. Manusia, yang dalam hal ini dinamai khalîfah.

2. Alam raya, yang ditunjuk oleh ayat al-Baqarah sebagai ardh.

3. Hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya, termasuk dengan manusia.

Hubungan ini, walaupun tidak disebutkan secara tersurat dalam ayat di atas, tersirat karena penunjukan sebagai khalîfah tidak akan ada artinya jika tidak disertai dengan penugasan atau istikhlâf.

Itulah ketiga unsur yang saling kait-berkait, sedangkan unsur keempat yang berada di luar adalah yang digambarkan oleh ayat tersebut dengan kata innî jâ’ilun/innâ ja'alnâka khalîfatan yaitu yang memberi penugasan, yakni Allah SWT. Dialah yang memberi penugasan itu dan dengan demikian yang ditugasi harus memperhatikan kehendak yang menugasinya.

Menarik untuk diperbandingkan bahwa pengangkatan Adam sebagai khalîfah dijelaskan oleh Allah dalam bentuk tunggal innî (sesungguhnya Aku) dan dengan kata jâ'il yang berarti akan mengangkat. Sedangkan pengangkatan Dawud dijelaskan dengan menggunakan kata innâ (sesungguhnya Kami) dan dengan bentuk kata kerja masa lampau ja'alnâka (Kami telah menjadikan kamu).

Kalau kita dapat menerima kaedah yang menyatakan bahwa penggunaan bentuk plural untuk menunjuk kepada Allah mengandung makna keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan Dawud sebagai khalîfah terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yakni masyarakat (pengikut-pengikutnya). Adapun Adam, maka di sini wajar apabila pengangkatannya dilukiskan dalam bentuk tunggal, bukan saja disebabkan karena ketika itu kekhalifahan yang dimaksud baru berupa rencana (Aku

30

Page 31: Bahan ajar

akan mengangkat) tetapi juga karena ketika peristiwa ini terjadi tidak ada pihak lain bersama Allah yang terlibat dalam pengangkatan tersebut.

Ini berarti bahwa Dawud -- dan semua khalîfah -- yang terlibat dengan masyarakat dalam pengangkatannya, dituntut untuk memperhatikan kehendak masyarakat tersebut, karena mereka ketika itu termasuk pula sebagai mustakhlif.

Tidak dikkhawatirkan adanya perlakuan sewenang-wenang dari khalîfah yang diangkat Tuhan itu, selama ia benar-benar menyadari arti kekhalifahannya. Karena, Tuhan sendiri memerintahkan kepada para khalîfah-Nya untuk selalu bermusyawarah serta berlaku adil.

Memang, dalam sejarah, terdapat khalîfah-khalîfah yang berlaku sewenang-wenang dengan alasan bahwa ia adalah wakil Tuhan di bumi. Namun, di sini ia sangat keliru dalam memahami dan mempraktikkan kekhalifahan itu.

Hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara Penakluk dan yang ditaklukkan, atau antara Tuan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Karena, kalaupun manusia mampu mengelola (menguasai), namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia.

Ini tergambar antara lain dalam firman-Nya, pada surah Ibrâhim, 14: 32 dan al-Zukhruf, 43: 13.

Demikian itu, sehingga kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya. Semua itu harus ditemukan kandungannya oleh manusia sambil memperhatikan perkembangan dan situasi lingkungannya.

Dalam QS al-Zukhruf, 43: 32 ditegaskan:

م ه ن ي ب نا م س ق ن ح ن ك ب ر ة م ح ر ن مو س ق ي م ه أ م ه ض ع ب نا ع ف ر و يا ن د ال ة يا ح ل ا في م ه ت ش عي م

ضا ع ب م ه ض ع ب ذ خ ت ي ل ت جا ر د ض ع ب ق و ف ن عو م ج ي ما م ر ي خ ك ب ر ة م ح ر و يا ر خ س

31

Page 32: Bahan ajar

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhan? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain (agar mereka dapat saling mempergunakan). Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.

Adalah keliru, menurut hemat penulis, memahami arti: sukhriyyan sebagai menundukkan. Tetapi, hubungan satu sama lain adalah hubungan al-taskhîr, dalam arti semua dalam kedudukan yang sama dan yang membedakan mereka hanyalah partisipasi dan kemampuan masing-masing. Adalah logis apabila yang "kuat" lebih mampu untuk memperoleh bagian yang melebihi perolehan yang lemah.

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa keistimewaan tidak dimonopoli oleh suatu lapisan atau bahwa ada lapisan masyarakat yang ditundukkan oleh lapisan yang lain. Karena, jika demikian maknanya, maka ayat tersebut di atas tidak akan menyatakan agar mereka dapat saling mempergunakan.

Ayat di atas menggunakan kata sukhriyyan bukannya sikhriyyan, seperti antara lain dalam surah al-Mu'minûn yang menggambarkan ejekan dan tekanan yang dilakukan oleh satu kelompok kuat terhadap kelompok lain yang dinamai oleh al-Quran: mustadh'afîn. Ayat yang menjelaskan hubungan interaksi yang diridhai Allah adalah ayat yang menggunakan kata sukhriyyan.

Al-Baydhawi menafsirkan QS al-Zukhruf, 43: 32 di atas dengan menyatakan bahwa: "Sebagian manusia menjadikan sebagian yang lain secara timbal-balik sebagai sarana guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka."

Inilah prinsip pokok yang merupakan landasan interaksi antar sesama manusia dan keharmonisan hubungan itu pulalah yang menjadi tujuan dari segala etika agama. Keharmonisan hubungan inilah yang menghasilkan etika itsar, sehingga etika agama tidak mengenal prinsip "Anda boleh melakukan apa saja selama tidak melanggar hak orang lain", tetapi memperkenalkan "Mereka mendahulukan pihak lain atas diri mereka walaupun mereka sendiri dalam kebutuhan." (QS al-Hasyr, 59: 9)

Di atas juga telah dikemukakan bahwa hanya kemampuan (kekuatan) yang dapat membedakan seseorang dari yang lain, dan dari keistimewaan inilah segala sifat terpuji dapat lahir.

32

Page 33: Bahan ajar

Kesabaran dan ketabahan merupakan etika atau sikap terpuji, karena ia adalah kekuatan, yaitu kekuatan seseorang dalam menanggung beban atau menahan gejolak keinginan negatif. Keberanian merupakan kekuatan karena pemiliknya mampu melawan dan menundukkan kejahatan. Dan kasih sayang dan uluran tangan adalah juga kekuatan; bukankah ia ditujukan kepada orang-orang yang membutuhkan dan lemah?

Demikianlah segala macam sikap terpuji atau etika agama.

Benar bahwa semakin kokoh hubungan manusia dengan alam raya dan semakin dalam pengenalannya terhadapnya, akan semakin banyak yang dapat diperolehnya melalui alam itu. Namun, bila hubungan itu sampai disitu, pastilah hasil lain yang dicapai hanyalah penderitaan dan penindasan manusia atas manusia. Inilah antara lain kandungan pesan Tuhan yang diletakkan dalam rangkaian wahyu pertama.

Sebaliknya, semakin baik interaksi manusia dengan manusia, dan interaksi manusia dengan Tuhan, serta interaksinya dengan alam, pasti akan semakin banyak yang dapat diman faatkan dari alam raya ini. Karena, ketika itu mereka semua akan saling membantu dan bekerjasama dan Tuhan di atas mereka akan merestui. Hal ini terungkap antara lain melalui surah al-Jin, 72: 16:

م ه نا ي ق س ل ة ق ري ط ال لى ع موا قا ت س ا و ل ن أ و ء ماDan bahwasanya, jika mereka tetap berjalan lurus di jalan itu (petunjuk petunjuk Ilahi), niscaya pasti Kami akan memberi mereka air segar (rezeki yang melimpah).

Demikian itu dua dari hukum-hukum kemasyarakatan (kekhalifahan) dari sekian banyak hukum kemasyarakatan yang dikemukakan al-Quran sebagai petunjuk pelaksanaan fungsi kekhalifahan, yang sekaligus menjadi etika pembangunan.

Keharmonisan hubungan melahirkan kemajuan dan perkembangan masyarakat, demikian kandungan ayat di atas. Perkembangan inilah yang merupakan arah yang dituju oleh masyarakat religius yang Islami sebagaimana digambarkan oleh al-Quran pada akhir surah al-Fath, yang mengibaratkan masyarakat Islam yang ideal:

33

Page 34: Bahan ajar

لى ع ء دا ش أ ه ع م ن ذي ل وا ه ل ال ل سو ر د م ح م ن غو ت ب ي دا ج س عا ك ر م ه را ت م ه ن ي ب ء ما ح ر ر فا ك ل ا

م ه ه جو و في م ه ما سي نا وا ض ر و ه ل ال ن م ضل ف م ه ل ث م و ة را و ت ال في م ه ل ث م ك ل ذ د جو س ال ر ث أ ن م ه ر ز فآ ه أ ط ش ج ر خ أ ع ر ز ك ل جي ن ل ا في ع را ز ال ب ج ع ي ه ق سو لى ع وى ت س فا ظ ل غ ت س فا

نوا م ءا ن ذي ل ا ه ل ال د ع و ر فا ك ل ا م ه ب ظ غي ي ل ما ظي ع را ج أ و رة ف غ م م ه ن م ت حا ل صا ال لوا م ع و

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar (QS al-Fath, 48:29)

Keharmonisan tidak mungkin tercipta kecuali jika dilandasi oleh rasa aman. Karena itu pula, setiap aktivitas istikhlâf (pembangunan) baru dapat dinilai sesuai dengan etika agama apabila rasa aman dan sejahtera menghiasi setiap anggota masyarakat. Dengan kata lain, pembangunan yang dihiasi oleh etika agama adalah "yang mengantar manusia menjadi lebih bebas dari penderitaan dan rasa takut".

Kalau hal ini dikaitkan dengan kisah kejadian manusia, maka dapat pula dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan dalam pandangan agama adalah pada saat manusia berhasil mewujudkan bayang-bayang surga di persada bumi ini.

34

Page 35: Bahan ajar

Adam dan Hawa sebelum diperintahkan turun ke bumi, hidup dalam ketenteraman dan kesejahteraan. Tersedia bagi mereka sandang, pangan, dan papan; dan ketika itu mereka diperingatkan agar jangan sampai terusir dari surga karena akibatnya mereka akan bersusah payah memperolehnya (QS Thâhâ, 20: 117-119). Mereka juga diharapkan agar mengikuti petunjuk-petunjuk Ilahi, karena dengan demikian mereka tidak akan merasa takut atau merasa sedih.

Agama tidak mendefinisikan perkembangan masyarakat dan tujuan pembangunan sebagai pertambahan barang atau kecepatan pelayanan. Dalam hal ini Nabi s.a.w.. bersabda:

Barangsiapa yang tidak berpendapat bahwa Tuhan memiliki anugerah untuknya selain dari makanan, minuman dan kendaraan, maka sesungguhnya ia telah membatasi usahanya dan mempercepat kehadiran ajalnya.

Arah yang dituju oleh istikhlâf adalah kebebasan manusia dari rasa takut, baik dalam kehidupan dunia ini atau yang berkaitan dengan persoalan sandang, pangan dan papan, maupun ketakutan-ketakutan lainnya yang berkaitan dengan masa depannya yang dekat atau yang jauh di akhirat kelak. Ayat-ayat yang berbicara tentang: lâ khauf 'alayhim wa lâ hum yahzanûn tidak harus selalu dikaitkan dengan ketakutan dan kesedihan di akhirat, tetapi dapat pula mencakup ketakutan dan kesedihan dalam kehidupan dunia ini.

Untuk mencapai rasa aman tersebut, ada sekian banyak sikap yang dituntut oleh agama dari para pemeluknya. Prof. Mubyarto mengemukakan lima hal pokok untuk mencapai hal tersebut:

1. Kebutuhan dasar setiap masyarakat harus terpenuhi dan ia harus bebas dari ancaman dan bahaya pemerkosaan.

2. Manusia terjamin dalam mencari nafkah, tanpa harus keterlaluan menghabiskan tenaganya.

3. Manusia bebas untuk memilih bagaimana mewujudkan hidupnya sesuai dengan cita-citanya.

4. Ada kemungkinan untuk mengembangkan bakat-bakat dan kemampuannya.

5. Partisipasi dalam kehidupan sosial politik, sehingga seseorang tidak semata-mata menjadi objek penentuan orang lain.

35

Page 36: Bahan ajar

Di sisi lain harus pula diingat bahwa kekhalifahan seperti telah dikemukakan di atas mengandung arti bimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.

Lebih jauh dapat ditambahkan bahwa unsur keempat yang disebut di atas, digambarkan oleh al-Quran dalam dua bentuk:

(1) Penganugerahan dari Allah (Innî jâ’il fi al-ardh khalîfah).

(2) Penawaran dari-Nya yang disambut dengan penerimaan dari manusia, sebagaimana yang tergambar dalam surah al-Ahzab, 33: 72:

ض ر ل وا ت وا م س ال لى ع ة ن ما ل ا نا ض ر ع نا إ ها ن م ن ق ف ش أ و ها ن ل م ح ي ن أ ن ي ب أ ف ل با ج ل وا هول ج ما لو ظ ن كا ه ن إ ن سا ن ل ا ها ل م ح و

Sesungguhnya kami menawarkan al-amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, namun mereka semua enggan dan kuatir, lalu (Kami tawarkan kepada manusia) maka mereka pun menerimanya, sesungguhnya mereka sangat aniaya lagi bodoh.

Tentu yang dimaksud dengan kecaman di atas adalah sebagian manusia, dan dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa dalam tugas kekhalifahan ada yang berhasil dengan baik dan ada pula yang gagal. Kesimpulan ini diperkuat pula oleh isyarat yang tersirat dari jawaban Allah atas pertanyaan malaikat:

... ء ما د ال ك ف يس و ها في د س ف ي ن م ها في ل ع ج ت أ ني إ ل قا ك ل س د ق ن و ك د م ح ب ح ب س ن ن ح ن و

ن مو ل ع ت ل ما م ل ع أ… apakah engkau akan menjadikan di sana (bumi) siapa yang merusak dan menumpahkan darah sedang kami bertasbih dan memuji engkau? Tuhan berfirman (menjawab): "Aku tahu apa yang kalian tidak ketahui." (QS al-Baqarah, 2: 30).

Dari sini kita dapat beralih untuk melihat lebih jauh apa saja sifat-sifat khalîfah yang terpuji dan apa pula ruang lingkup tugas-tugas mereka.

36

Page 37: Bahan ajar

C. Sifat-sifat Terpuji Seorang Khalîfah

Al-Tabrasi, dalam tafsirnya, mengemukakan bahwa kata Imâm mempunyai makna yang sama dengan khalîfah. Hanya saja --katanya lebih lanjut -- kata Imâm digunakan untuk keteladanan, karena ia terambil dari kata yang mengandung arti "depan" yang berbeda dengan khalîfah yang terambil dari kata "belakang".

Ini berarti bahwa kita dapat memperoleh informasi tentang sifat-sifat terpuji dari seorang khalîfah dengan menelusuri ayat-ayat yang menggunakan kata Imâm.

Dalam al-Quran, kata Imâm terulang sebanyak tujuh kali dengan makna yang berbeda-beda. Namun, kesemuanya bertumpu pada arti "sesuatu yang dituju dan atau diteladani" Arti-arti tersebut adalah:

(a) Pemimpin dalam kebajikan, yaitu pada al-Baqarah, 2: 124 dan al-Furqân, 25: 74.

(b) Kitab amalan manusia, yaitu pada al-Isrâ', 17: 71.

(c) Al-Lawh Al-Mafhuzh, yaitu pada Yâsîn, 36: 12.

(d) Taurât, yaitu pada Hûd, 11: 17 dan al-Ahqâf, 46: 12.

(e) Jalan yang jelas, yaitu pada al-Hijr, 15: 79.

Dari makna-makna di atas terlihat bahwa hanya dua ayat yang dapat dijadikan rujukan dalam persoalan yang sedang dicari jawabannya ini, yaitu ayat al-Baqarah, 2: 124 yang berbunyi:

ني إ ل قا ن ه م ت أ ف ت ما ل ك ب ه ب ر م هي را ب إ لى ت ب ا ذ إ و ل نا ي ل ل قا تي ري ذ ن م و ل قا ما ما إ س نا لل ك ل ع جا

ن مي ل ظا ال دي ه عDan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imâm bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim".

dan ayat QS al-Furqân, 25: 74, yang berbunyi:

37

Page 38: Bahan ajar

نا ت يا ر ذ و نا ج وا ز أ ن م نا ل ب ه نا ب ر ن لو قو ي ن ذي ل وا ما ما إ ن قي ت م ل ل نا ل ع ج وا ن ي ع أ ة ر ق

Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imâm bagi orang-orang yang bertakwa.

Ayat yang terakhir ini, sebagaimana terlihat, hanya mengandung permohonan untuk dijadikan Imâm (teladan) bagi orang-orang yang bertakwa sehingga tinggal ayat al-Baqarah yang diharapkan dapat memberikan informasi.

Pada ayat tersebut, Nabi Ibrahim a.s. dijanjikan Allah untuk dijadikan Imâm (Innî jâ'ilûka li al-nâs imâmâ), dan ketika beliau bermohon agar kehormatan ini diperoleh pula oleh anak cucunya, Allah SWT menggarisbawahi suatu syarat, yaitu: lâ yanâlu 'ahdiya al-zhâlimîn (Janji-Ku ini tidak diperoleh oleh orang-orang yang berlaku aniaya).

Keadilan adalah lawan dari penganiayaan. Dengan demikian, dari ayat di atas dapat ditarik satu sifat, yaitu sifat adil, baik terhadap diri, keluarga, manusia dan lingkungan, maupun terhadap Allah.

Perlu sekali lagi diingatkan bahwa para khalîfah yang disebut namanya dalam al-Quran (Adam dan Dawud a.s.) keduanya pernah melakukan penganiayaan, baik terhadap diri maupun terhadap orang lain. Namun, mereka berdua bertobat dan mendapat pengampunan.

Peristiwa Adam dan penyesalannya cukup populer (baca antara lain QS al-A’râf, 7: 23), sedangkan "penganiayaan" yang dilakukan oleh Dawud dapat terlihat pada kisah dua orang yang bertikai dan datang kepadanya meminta putusan (QS Shad, 38: 22, dan seterusnya).

Menarik untuk dianalisis bahwa kedua orang yang bertikai itu berkata kepada Dawud:

ء وا س لى إ نا د ه وا ط ط ش ت ول ق ح ل با نا ن ي ب م ك ح فا ط را ص ال

Berilah keputusan antara kami dengan hak/adil dan janganlah menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan lurus.

38

Page 39: Bahan ajar

Dari ucapan kedua orang yang bertikai itu (yang pada hakikatnya tidak bertikai tetapi cara yang dilakukan Tuhan untuk memperingatkan Dawud), terlihat betapa Tuhan menekankan pentingnya keadilan sampai-sampai permintaan untuk memberi putusan yang hak diikuti lagi dengan peringatan agar tidak menyimpang dari kebenaran yang pada dasarnya mengandung makna yang sama dengan permintaan pertama, bahkan walaupun Dawud telah bertobat dan diterima tobatnya (QS 38:24-25). Namun, perintah untuk berlaku adil yang dikaitkan dengan tidak mengikuti hawa nafsu masih tetap ditekankan:

م ك ح فا ض ر ل ا في ة ف لي خ ك نا ل ع ج نا إ د و دا يا وى ه ل ا ع ب ت ت ول ق ح ل با س نا ال ن ي ب ...

Wahai Dawud, Kami telah menjadikan kamu khalîfah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan haq (benar) dan janganlah mengikuti hawa nafsu ... (QS Shâd, 38: 26)

Memberi keputusan yang adil saja dan tidak mengikuti hawa nafsu, belum memadai bagi seorang khalîfah. Tetapi, ia harus mampu pula untuk merealisasikan kandungan permintaan kedua orang yang berselisih itu, yakni Wa ihdinâ ilâ s.a.w.â' al-shirâth.

Memahami penggalan ayat ini, dalam kaitannya dengan sifat-sifat terpuji seorang khalîfah, baru akan menjadi jelas bila dikaitkan dengan ayat-ayat yang berbicara tentang Imâm/aimmah, dalam kaitannya dengan pemimpin-pemimpin yang menjadi teladan dalam kebaikan. Untuk maksud tersebut, terlebih dahulu, kita akan membuka lembaran-lembaran al-Quran untuk melihat ayat-ayat yang dimaksud.

Kata aimmah terdapat dalam lima ayat al-Quran. Dua di antaranya dalam konteks pembicaraan tentang pemimpin-pemimpin yang diteladani orang-orang kafir, yakni al-Taubah, 9: 9, dan al-Qashash, 28: 4. Sedangkan tiga lainnya berkaitan dengan pemimpin-pemimpin yang terpuji, yaitu al-Anbiyâ', 21: 73, al-Qashash, 28: 5, dan al-Sajdah, 32: 24.

Kalau ayat-ayat di atas diamati, nyatalah bahwa QS al-Qashash, 28: 5 tidak mengandung informasi tentang sifat-sifat pemimpin. Dan ini berbeda dengan kedua ayat lainnya yang saling melengkapi.

Ada lima sifat pemimpin terpuji yang diinformasikan oleh gabungan kedua ayat tersebut, yaitu:

1. Yahdûna bi amrinâ.

39

Page 40: Bahan ajar

2. Wa awhaynâ dayhim fi'la al-khayrât.

3. 'Âbidin (termasuk Iqâm al-Shalâh dan Îtâ' al-Zakâh).

4. Yüqinün.

5. Shabarü.

Dari kelima sifat tersebut al-shabr (ketekunan dan ketabahan), dijadikan Tuhan sebagai konsideran pengangkatan: wa ja’alnâhum aimmâtan lammâ shabarû. Seakan-akan inilah sifat yang amat pokok bagi seorang khalîfah, sedangkan sifat-sifat lainnya menggambarkan sifat mental yang melekat pada diri mereka dan sifat-sifat yang mereka peragakan dalam kenyataan.

Di atas telah dijanjikan untuk membicarakan arti: wa ihdinâ ilâ s.a.w.â al-shirâth (QS Shâd, 38: 26), yang merupakan salah satu sikap yang dituntut dari seorang khalîfah, setelah memperhatikan kandungan ayat-ayat yang berbicara tentang aimmah. Dalam surah Shâd tersebut, redaksinya berbunyi: wa ihdinâ ilâ ..., sedang dalam ayat-ayat yang berbicara tentang a'immât yang dikutip di atas, redaksinya berbunyi: yahdûna bi amrinâ. Salah satu perbedaan pokoknya adalah pada kata yahdî. Yang pertama menggunakan huruf ila, sedang yang kedua tanpa ila. Al-Raghib al-Isfahani menjelaskan bahwa kata hidayat apabila menggunakan ila, maka ia berarti sekadar memberi petunjuk; sedang bila tanpa ila, maka maknanya lebih dalam lagi, yakni "memberi petunjuk dan mengantar sekuat kemampuan menuju apa yang dikehendaki oleh yang diberi petunjuk". Ini berarti bahwa seorang khalîfah minimal mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya dan yang lebih terpuji adalah mereka yang dapat mengantarkan umatnya ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau, dengan kata lain, seorang khalîfah tidak sekadar menunjukkan tetapi mampu pula memberi contoh sosialisasinya.

Hal ini mereka capai karena kebajikan telah mendarah daging dalam diri mereka. Atau, dengan kata lain, mereka memiliki akhlak luhur sebagaimana yang dapat dipahami dari sifat kedua yang disebutkan di atas, yakni: wa awhaynâ ilayhim fi'la al-khayrât.

Jika seorang berkata, "yu'jibunî an taqûma", maka ini berarti bahwa lawan bicaranya ketika itu belum berdiri dan ia akan senang melihatnya berdiri. Pengertian ini dipahami dari adanya huruf an pada susunan redaksi tersebut. Sedangkan bila dikatakan, "yu'jibunî qiyâmuka", maka redaksi yang tidak menggunakan an ini mengandung arti bahwa lawan bicaranya sudah berdiri dan si pembicara menyampaikan kepadanya

40

Page 41: Bahan ajar

kekagumannya atas berdirinya itu. Demikian uraian Abdul-Qadir Al-Jurjani yang disederhanakan dari Dalâil al-I’jâz.

Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa seorang khalîfah yang ideal haruslah memiliki sifat-sifat luhur yang telah membudaya pada dirinya.

Yûqinûn dan 'âbidin merupakan dua sifat yang berbeda. Yang pertama menggambarkan tingkat keimanan yang bersemi di dalam dada mereka, sedangkan yang kedua menggambarkan keadaan nyata mereka. Kedua sifat ini sedemikian jelasnya sehingga tidak perlu untuk diuraikan lebih jauh.

D. Ruang Lingkup Tugas-tugas khalîfah

Di atas telah diuraikan bahwa seorang khalîfah adalah siapa yang diberi kekuasaan mengelola suatu wilayah, baik besar atau kecil. Cukup banyak ayat yang menggambarkan tugas-tugas seorang khalîfah. Namun, ada suatu ayat yang bersifat umum dan dianggap dapat mewakili sebagian besar ayat lain yang berbicara tentang hal di atas, yaitu:

ة صل ال موا قا أ ض ر ل ا في م ه نا ك م ن إ ن ذي ل ان ع وا ه ن و روف ع م ل با روا م أ و ة كا ز ال وا ت ءا و

ر ك ن م ل ...اOrang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi ini, niscaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar ... (QS al-Hajj, 22:41)

Mendirikan shalat merupakan gambaran dari hubungan yang baik dengan Allah, sedangkan menunaikan zakat merupakan gambaran dari keharmonisan hubungan dengan sesama manusia. Ma'rûf adalah suatu istilah yang berkaitan dengan segala sesuatu yang dianggap baik oleh agama, akal dan budaya, dan sebaliknya dari munkar.

Dari gabungan itu semua, seseorang yang diberi kedudukan oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan masyarakatnya harmonis, dan agama, akal dan budayanya terpelihara.

Islam dan Politik:Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan

41

Page 42: Bahan ajar

Prolog:

“Apakah selamanya politik itu kejam”, begitulah ungkapan Iwan Fals dalam lagunya “Setan-setan politik”. Ternyata politik itu memang kejam dan lebih kejam dari ibu kota, artinya, politik di kampung saya saja kejam, apalagi politik di ibu kota, wajar saja jika saya menganggap bahwa politik itu tidaklah kejam, melainkan karena ulah sebagian besar Polytikus (Banyak Tikus) yang menggerogoti setiap dapur, berlompat dan berlari di atas balkon, bahkan tidak pernah jijik meski harus bersembunyi di dalam comberan yang menghambat mengalirnya air yang menyebabkan rumahku kebanjiran oleh air mata orang-orang yang tak berdosa,hingga politik itu kini berubah menjadi limpah yang sangat mencemarkan lingkungan. Ternyata anggapan saya sedikit keliru, namun kekeliruan tersebut malah diperkuat oleh sebagian besar pendapat dan asumsi orang terhadap politik itu sendiri berdasarkan hasil prakteknya dalam masyarakat, tidak heran jika Polytikus akan mendapat sorotan sinis dan cibiran. Yang anehnya lagi, meski politik telah tercap kotor, malah partai politik di Indonesia yang berlabelkan islam semakin menjamur, hal itu adalah suatu kebanggaan yang sangat besar yang pantas dibanggakan, dimana semakin banyaknya peluang kursi yang akan diduduki oleh orang muslim dalam mengurus negara,akan tetapi perlunya diingat, dimana-mana orang apabila telah duduk maka ia akan malas untuk berdiri dan apabila ia telah makan maka ia akan lemas dan nyenyak bersama mimpi-mimpi indah. Olehnya itu, perlu kiranya dilirik kembali bagaimana politik dalam islam itu sendiri agar terlepas dari sarang tikus. (http://luluvikar.wordpress.com/2004/11/27/islam-dan-politik/)

A. Mukadimah

Untuk kesekian kalinya kita akan coba bahas hubungan agama dan politik dalam Islam. Ibaratkan menimba air Zamzam di Tanah Suci, pembicaraan tentang masalah ini tidak akan ada habis-habisnya. Pertama, disebabkan kekayaan sumber bahasan, sebagai buah limabelas abad sejarah akumulasi pengalaman Dunia Islam dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Kedua, kompleksitas permasalahan, sehingga setiap pembahasan dengan sendirinya tergiring untuk memasuki satu atau beberapa pintu pendekatan yang terbatas. Pembahasan yang menyeluruh

42

Page 43: Bahan ajar

akan menuntut tidak saja kemampuan yang juga menyeluruh, tapi juga kesadaran untuk tidak membiarkan diri terjerembab ke dalam reduksionisme dan kecenderungan penyederhanaan persoalan. Ketiga, pembahasan tentang agama dan politik dalam Islam ini agaknya akan terus berkepanjangan, mengingat sifatnya yang mau-tak-mau melibatkan pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat, khususnya kalangan kaum Muslim sendiri.

Sekali pun begitu, dorongan untuk terus melakukan pembahasan tentang masalah ini tetap dirasakan penting dan punya relevansi dengan perkembangan zaman. Tidak saja Dunia Islam sekarang mengenal berbagai sistem politik yang berbeda-beda, jika tidak malah bertentangan, satu sama lain. Lebih penting lagi, seperti tercermin dalam berbagai tema pembicaraan pertemuan internasional Islam, baik swasta maupun pemerintah, kaum Muslim kini semakin sadar diri tentang perlunya memberi jawaban yang benar dan konstruktif terhadap tantangan zaman mutakhir. Harapan untuk dapat melakukannya dengan baik antara lain akan tumbuh jika ada kejelasan tentang persoalan yang amat prinsipil, yaitu persoalan hubungan yang benar antara agama dan politik dalam Islam.

Kebanyakan masyarakat merasa dan mengetahui, atau bahkan meyakini, bahwa hubungan antara agama dan politik dalam Islam sudah sangat jelas. Yaitu bahwa antara keduanya terkait erat secara tidak terpisahkan, sekali pun dalam segi pendekatan teknis dan praktis dapat dibedakan. Agama adalah wewenang shâhib al-syarî'ah (pemilik syari'ah), yaitu Rasulullah s.a.w., melalui wahyu atau berita suci yang diterimanya dari Allah s.w.t. Sedangkan masalah politik adalah bidang wewenang kemanusiaan, khususnya sepanjang menyangkut masalah-masalah teknis struktural dan prosedural. Dalam hal ini, besar sekali peranan pemikiran ijtihadi manusia.

Persoalan penting antara bidang agama dan bidang politik (atau bidang kehidupan "duniawi" mana pun) ialah bahwa dari segi etis, khususnya segi tujuan yang merupakan jawaban atau pertanyaan "untuk apa" tidak dibenarkan lepas dari pertimbangan nilai-nilai keagamaan. Atas dasar adanya pertimbangan nilai-nilai keagamaan itu diharapkan tumbuh kegiatan politik bermoral tinggi atau berakhlak mulia. Inilah makna bahwa politik tidak dapat dipisahkan dari agama. Tetapi dalam hal susunan formal atau strukturnya serta segi-segi praktis dan teknisnya, politik adalah wewenang manusia, melalui pemikiran rasionalnya (yang dapat dipandang

43

Page 44: Bahan ajar

sebagai suatu jenis ijtihad). Dalam hal inilah politik dapat dibedakan dari agama. Maka dalam segi struktural dan prosedural politik itu, Dunia Islam sepanjang sejarahnya, mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan dari kawasan ke kawasan, tanpa satu pun dari variasi itu dipandang secara doktrinal paling absah (kecuali masa kekhalifahan Rasyidah).

Hubungan antara agama dan politik yang tidak terpisahkan itu dengan jelas sekali terwujud dalam masyarakat Madinah. Muhammad s.a.w. selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai seorang penerima berita suci (sebagai Nabi) dan seorang pemimpin masyarakat politik (sebagai Kepala Negara). Dalam menjalankan peran sebagai seorang nabi, beliau adalah seorang tokoh yang tidak boleh dibantah, karena mengemban tugas suci dengan mandat dan wewenang suci. Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai seorang kepala negara, beliau melakukan musyawarah --sesuai dengan perintah Allah-- yang dalam musyawarah itu beliau tidak jarang mengambil pendapat orang lain dan meninggalkan pendapat pribadi. Sebab dalam hal peran sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat itu pada dasarnya beliau melakukan ijtihad. Jika dalam kenyataan hasil ijtihad beliau hampir selamanya merupakan yang terbaik di antara para anggota masyarakat beliau, maka hal itu harus diterangkan sebagai akibat logis segi keunggulan kemampuan pribadi beliau selaku seorang manusia. Dan pengakuan memang banyak diberikan orang, baik dari kalangan Islam maupun bukan Islam, bahwa beliau adalah seorang jenius. Gabungan antara kesucian dan kesempurnaan tugas kenabian di satu pihak dan kemampuan pribadi yang sangat unggul di pihak lain telah membuat seorang tokoh yang paling berhasil dalam sejarah umat manusia.1

B. Tinjauan Sekilas atas Masyarakat Madinah

Pembicaraan tentang agama dan politik dalam Islam tidak sepenuhnya absah tanpa pembicaraan tentang masyarakat Madinah, khususnya di masa Nabi. Ini pun bukanlah suatu pembicaraan baru, meskipun di sini akan dicoba tekankan segi-segi tertentu yang dirasa paling relevan dengan persoalan kontemporer Islam dan politik.

Sejarah mencatat bahwa kota hijrah Nabi adalah sebuah lingkungan oase yang subur sekitar empatratus kilometer sebelah utara Makkah. Kota itu dihuni orang-orang Arab pagan atau musyrik dari suku-suku utama Aws dan Khazraj, dan orang-orang Yahudi (berbahasa Arab) dari suku-

1Misalnya, sebagaimana ditulis oleh Michael H. Hart dalam bukunya tentang seratus tokoh dunia, yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

44

Page 45: Bahan ajar

suku utama Bani Nazhir, Bani Qaynuqa' dan Bani Qurayzhah. Kota oase itu agaknya sudah berdiri sejak zaman kuna yang cukup jauh, dengan Yatsrib atau, menurut catatan ilmu bumi Ptolemius, Yethroba.

Yang sangat menarik perhatian dari sudut pemikiran politik ialah tindakan Nabi s.a.w. untuk mengganti nama kota itu menjadi Madinah. Tindakan Nabi itu bukanlah perkara kebetulan. Di baliknya terkandung makna yang luas dan mendalam, yang dalam kontrasnya terhadap pola kehidupan politik jazirah

Arabia dan sekitarnya adalah fundamental dan revolusioner. Secara peristilahan atau semantis, perkataan Arab "madînah" berarti kota. Pengertian itu tidak jauh dari asal makna kebahasaan atau etimologisnya, yang dapat ditelusuri kepada tiga suku kata akar Semitiknya, yaitu "d-y-n" (dal-ya'-nun), dengan makna dasar "patuh", sebagaimana dinyatakan dalam tasrif dâna-yadînu. Dan situ pula kita dapat mengerti mengapa perkataan Arab untuk "agama" ialah din, suatu perkataan yang mengacu kepada ide tentang kepatuhan atau sikap patuh. Sebab sistem atau rangkaian ajaran yang disebut "agama" itu memang berintikan tuntutan untuk tunduk dan patuh kepada sesuatu yang dipandang mutlak dan diyakini sebagai asal dan tujuan hidup. Agama dalam pengertian generik ini bermacam-macam, yang benar dan yang palsu. Sebagian manusia menganut agama yang benar, sebagian lagi tidak Agama yang benar ialah yang mengajarkan sikap tunduk-patuh kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Mahaesa. Kepatuhan penuh pasrah kepada-Nya itu disebut, dalam Bahasa Arab, Islam, yang makna asasinya terkait dengan kata-kata salam (damai), salamah atau salamat-un (selamat) dan salim (utuh, integral, sound). Karena itu kepatuhan atau dan yang benar ialah Islam, dan yang merupakan pola hidup (mode of life) penghuni seluruh alam raya,2 bahkan alam raya itu sendiri juga,3 yang seharusnya juga merupakan sikap hidup yang benar-benar bagi manusia sebagaimana diajarkan oleh semua nabi dan rasul sepanjang masa Karena kepatuhan serupa itu merupakan "hukum alam" (lebih tepatnya, ketentuan atau taqdir Tuhan bagi seluruh alam, ciptaan-Nya), maka tidak melaksanakan islam adalah sikap tidak alamiah dan tidak wajar dengan segala akibatnya atas orang bersangkutan. Karena itu dengan sendirinya tertolak.4

2Lihat QS. Âlî' 'Imran/3: 83. 3Lihat QS Fushshilat/41: 11. 4Lihat QS. Âlî' 'Imran /3: 85.

45

Page 46: Bahan ajar

Sekali pun tekanannya sedikit berbeda, makna perkataan Arab "din" itu sama prinsipnya dengan makna perkataan Sanskerta "agama". Sebab kalangan ahli mengatakan bahwa perkataan itu berasal dari rangkaian "a-gama" yang berarti. "tidak kacau", yakni, teratur atau berperaturan. ("Agama" dalam arti aturan atau hukum dalam Bahasa Jawa Kuna antara lain digunakan Empu Tantular untuk bukunya yang terkenal, Negara Kertagama).

Kembali ke perkataan "madinah" yang digunakan Nabi s.a.w. untuk menukar nama kota hijrah beliau itu, kita menangkapnya sebagai isyarat langsung, semacam proklamasi atau deklarasi, bahwa di tempat baru itu hendak mewujudkan suatu masyarakat teratur (atau berperaturan), sebagaimana mestinya sebuah masyarakat. Maka sebuah konsep, madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum.

Karena itu perkataan Arab untuk peradaban ialah madaniyah, yang memiliki dasar pengertian yang sama dengan beberapa istilah yang berasal dari akar-akar rumpun bahasa Indo-Eropa, seperti: civic, civil, polis dan politiae (juga "polisi"). Semuanya merujuk kepada pola kehidupan teratur dalam lingkungan masyarakat yang disebut "kota" (city, polis). Dalam konteks jazirah Arabia, konsep peradaban itu terkait erat dengan pola kehidupan menetap (tsaqafah) di suatu tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat tampak hadir (hadharah) di tempat itu. Maka, masih dalam peristilahan Arab, tsaqafah menjadi berarti "kebudayaan", dan hadharah menjadi berarti "peradaban", sama dengan madaniyah. Lawan tsaqafah dan hadharah ialah badawah yang mempunyai makna peristilahan "hidup berpindah-pindah" (nomadism) dan makna kebahasaan "(tingkat) permulaan" (bidayah, alis "primitif''). Karena itu "orang kota" disebut ahl al-hadhar atau hadhari dan "orang kampung" disebut ahl al-badawah atau badawi, juga badwi (badui). Kaum "badui" Juga sering disebut al-A'rab yang secara semantis berbeda makna dari perkataan al-'Arab (orang Arab) sekalipun dari akar kata yang sama. Dalam al-Qur'an mereka yang disebut al-A'rab itu digambarkan sebagai golongan masyarakat yang kasar dan sulit memahami dan mematuhi aturan Mereka juga digambarkan sebagai golongan yang ketaatannya kepada Nabi s.a.w. hanya sampai kepada batas kepatuhan lahiriah, tanpa kedalaman iman. Dalam al-Qur'an terbaca firman yang memerintahkan Nabi untuk mengingatkan bahwa mereka itu

46

Page 47: Bahan ajar

baru "berislam" (secara lahiriah), karena iman belum masuk ke dalam hati mereka.5

C. Hukum dan Keadilan sebagai Sokoguru Peradaban

Pendekatan kebahasaan yang cukup jauh di atas itu kiranya dapat membantu memperjelas pandangan-pandangan dasar masyarakat yang dijiwai oleh semangat ajaran agama. Sebab banyak sekali kejelasan tentang suatu sistem konsepsual yang dapat diperoleh dari pemahaman yang tepat terhadap kata-kata kunci jaringan peristilahannya. Pengetahuan tentang sesuatu didapatkan antara lain dengan memahami secara baik deretan nomenklaturnya.

Dari uraian di atas itu telah tampak hubungan antara agama dan politik, yaitu hubungan pengawasan dari atas oleh agama terhadap wilayah kehidupan sosial-politik di bawahnya, sehingga tetap dibimbing oleh pertimbangan akhlak yang mulia. Dengan demikian kegiatan duniawi itu memiliki pijakan etis yang kukuh, karena dikaitkan dengan pandangan hidup yang paling mendasar, yaitu keimanan.

Pembahasan kebahasaan di atas juga menggambarkan makna sentral semangat kepatuhan kepada hukum atau aturan sebagai tiang pancang masyarakat beradab. Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon, al-insânu madaniyun bi al-thab'i), sehingga tidak mungkin hidup dengan baik dalam isolasi. Dan persyaratan kehidupan sosial ialah adanya peraturan yang disepakati dan dipatuhi bersama. Peraturan itu dapat berupa ajaran keagamaan yang bersumber dari wahyu Ilahi, dapat pula dari hasil perjanjian antara sesama anggota masyarakat. Masyarakat beradab harus menghormati dan menaati perjanjian-perjanjian itu,6 sama dengan keharusan menghormati dan mentaati perjanjian antara manusia dengan Tuhan, yaitu ajaran agama Itu sebabnya dalam al-Qur'an ada peringatan bahwa kezhaliman tiranik akan muncul dari orang yang gaya hidupnya egoistis, kehilangan kesadaran sosial karena merasa cukup dengan dirinya sendiri dan tidak perlu kepada orang lain.7 Sikap-sikap mengabaikan dan melanggar hukum serta aturan adalah tiranisme (thughyân) yang dalam berbagai kisah dalam al-Qur'an digambarkan sebagai permusuhan kepada Allah.8

5Lihat QS. al-Hujurât/49: 14. 6Lihat QS. al-Baqarah/2: 177. 7Lihat QS. al-'Alaq/96: 6-7. 8Prototipe tokoh tiran (thâghût) yang memusuhi Tuhan ialah Fir'aun, yang

ceritanya dituturkan berulang kali dalam al-Quran.

47

Page 48: Bahan ajar

Dalam hal keteguhan berpegang kepada hukum dan aturan itu masyarakat Madinah pimpinan Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi teladan yang sebaik-baiknya. Sejalan dengan perintah Allah kepada siapa pun agar menunaikan amanat-amanat yang diterima dan menjalankan hukum aturan manusia dengan asli,9 masyarakat Madinah adalah masyarakat hukum dan keadilan dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi. Kepastian itu melahirkan rasa aman pada masyarakat, sehingga masing-masing warga dapat menjalankan tugasnya dengan tenang dan mantap, tanpa kuatir akan berakhir dengan hasil yang berbeda dari harapan secara merugikan. Kepastian hukum itu pangkal dari paham yang amat teguh bahwa semua orang adalah sama dalam kewajiban dan hak dalam mahkamah, dan keadilan tegak karena hukum dilaksanakan tanpa membedakan siapa terhukum itu, satu dari yang lain.

Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan adil "tanpa pandang bulu" banyak ditegaskan dalam Kitab Suci, bahkan, disebutkan sekali pun harus menimpa kedua orang tua sendiri dan karib kerabat.10 Dan Nabi juga menegaskan bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu ialah karena jika "orang kecil" melanggar pasti dihukum, sedangkan bila yang melanggar itu "orang penting" maka dibiarkan berlalu.11

Dalam rangka menegakkan aturan dan hukum atas semua warga masyarakat Madinah itu, Nabi s.a.w. juga diperintahkan Allah untuk mendorong dan mewajibkan kelompok-kelompok non-Muslim melaksanakan ajaran hukum mereka, sesuai dengan prinsip pluralisme dan otonomi kelompok-kelompok sosial yang beliau kembangkan. Maka kaum Yahudi warga Madinah diwajibkan menegakkan hukum Taurat, demikian pula kaum Nasrani dengan Injil mereka, disertai penegasan bahwa jika mereka tidak melakukan hal itu, mereka tidaklah beriman (kepada agama mereka sendiri).12 Berkenaan dengan ini menurut Ibn Taymiyah, kaum

9Lihat QS. an-Nisâ'/4: 85. 10Lihat QS. an-Nisâ'/4: 135.11Hadis yang artinya: "Sebenarnya hancur mereka sebelum kamu karena

mereka menegakkan hukum atas rakyat jelata dan meninggalkan hukum atas orang besar. Demi Dia -Allah- jiwaku ada di Tangan-Nya, seandainya Fathimah berbuat jahat maka pasti aku potong tangannya". (Hadis Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, Nasa'i, Ahmad, dan Darimi).

12Prinsip pluralisme dan otonomi kelompok-kelompok sosial keagamaan yang berbeda-beda (non-Muslim) itu dibeberkan dalam deretan ayat-ayat suci QS al-Mâ'idah/5: 42-49.

48

Page 49: Bahan ajar

Salaf bahkan berpendapat bahwa ketentuan hukum dan ajaran dalam kitab-kitab suci yang terdahulu tetap berlaku untuk umat Islam, selama tidak jelas-jelas ketentuan-ketentuan itu telah diganti atau dihapus oleh ajaran berikutnya.13 Bahkan konsep tentang "hapus-menghapuskan" ini, menurut Ibn Taymiyah, tidak hanya terjadi dalam konteks deretan datangnya agama-agama, tapi juga dalam konteks perkembangan dalam agama itu sendiri.

D. Islam dan Politik Modern

Salah satu ide yang amat kuat dalam wawasan politik modern ialah terbentuknya negara hukum (recht staat) dan mencegah tumbuhnya negara kekuasaan (macht staat). Dalam konteks pengalaman negara-negara Eropa, ide itu merupakan pembalikan dan perlawanan terhadap kecenderungan dan pola yang sangat umum di sana sebelum zaman modern, berupa kekuasaan absolut raja-raja dan para penguasa agama. Seperti halnya dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan yang lebih rasional dan manusiawi (seperti ilmu pengetahuan dan wawasan kemanusiaan atau humanisme), bangsa-bangsa Barat baru mulai benar-benar mengenal ide dan praktek tentang negara hukum dari pengetahuan mereka tentang Dunia Islam. Saat akhir-akhir ini bermunculan berbagai tulisan hasil kajian ilmiah yang menggambarkan bagaimana unsur-unsur peradaban Islam merembes dan mempengaruhi Barat, yang kemudian berhasil menerobos zaman, memasuki sejarah modern.

Beberapa kalangan sarjana Barat sendiri mempersoalkan perbedaan antara "modernisme" dan "modernitas". Yang pertama berkonotasi kuat pengagungan pola hidup zaman mutakhir ini sebagai "kebijakan final" umat manusia, perwujudan terakhir proses panjang sejarah pertumbuhan dan perkembangan peradaban. jadi "modernisme", sebagai "isme", mendekati ketentuan tentang sebuah ideologi tertutup, sama dengan sekularisme, rasionalisme, dan lain-lairi.

Sedangkan "modernitas" adalah suatu ungkapan tentang kenyataan mengenai hidup zaman mutakhir ini, dalam pengertian positif dan negatif yang campur aduk, dengan pendekatan spesifik kepada suatu masalah spesifik. Misalnya, dalam bidang-bidang yang menyangkut masalah

13Penegasan yang amat menarik dari Ibn Taymiyah itu dapat dibaca dalam beberapa tulisannya, antara lain, dapat dilihat dalam Ibn Taymiyah, al-Jawâb ash-Shahîh li man Baddala Dîn al-Masîh (Beirut: Mathabi' al-Majd al-Tijariyah, tth.), juz 1, h. 37l-375). Lihat juga Ibn Taymiyah, al-Furqân bayn-a 'l-Haqq wa 'l-Bâthil (Damsyiq: Maktabah Dar al-Bayan, 1405 H/1985 M), h. 67-69.

49

Page 50: Bahan ajar

teknikalitas, pengorganisasian, pengelolaan dan produksi, zaman sekarang adalah benar-benar puncak kemampuan umat manusia yang tingkat peradabannya dengan zaman-zaman sebelumnya tidak lagi terlukiskan menurut deret hitung, melainkan menurut deret ukur dengan angka faktor yang sangat besar. Tetapi, tentang kesadaran moral dan rasa kesucian yang benar (yang bebas dari unsur takhayul dan dongeng), zaman modern tidak menunjukkan tanda-tanda perbedaan berarti dengan zaman sebelumnya. Kesadaran moral dan rasa kesucian, dalam maknanya yang paling hakiki, merupakan masalah kemanusiaan yang abadi dan perennial. Dalam beberapa hal, zaman modern sekarang menunjukkan segi-segi pelaksanaan yang lebih baik daripada zaman sebelumnya, tapi dalam beberapa hal lain justru lebih buruk. Penampilan kemanusiaan yang paling kejam dan keji justru terjadi di zaman modern oleh bangsa-bangsa modern (Barat), berupa pemerosotan harkat dan martabat kemanusiaan orang-orang Afrika menjadi budak-budak yang hanya sedikit sekali berada di atas binatang (Portugis punya peranan besar sekali di bidang ini), pemburuan dan pembunuhan orang-orang Aborigines untuk kesenangan dan cendera mata orang-orang kaya Eropa (!) dan pengisi museum antropologi mereka (Republika, 19 Maret 1998), pembersihan etnis dan genosida oleh bangsa-bangsa ("modern") Jerman dan Serbia, pendirian dan penegakan sebuah negara atas dasar mitos dan dongeng keagamaan (oleh kaum Yahudi) dengan merampas dan menindas hak bangsa lain yang sah, dan seterusnya. Dalam masalah-masalah ini, reputasi bangsa-bangsa Muslim adalah supreme, amat jauh mengatasi bangsa-bangsa "modern" tersebut, biar pun dalam fase sejarah Dunia Islam yang paling rendah.

Oleh karena itu sebenarnya posisi umat Islam menghadapi modernitas itu tidaklah terlampau sulit. Di luar masalah kejiwaan (orang Islam cenderung merasa minder, kemudian menutup diri dan menjadi agresif, karena secara keliru merasa terkalahkan oleh orang Barat), yang dihadapi umat Islam tidak lain ialah, tantangan bagaimana menghidupkan dan meneguhkan kembali nilai-nilai keislaman klasik (salaf) yang murni dan menterjemahkannya dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Sebab, seperti diamati dan telah menjadi pengakuan kesarjanaan mutakhir, dari semua sistem ajaran, khususnya agama, yang secara sejati dilihat dari sudut semangat dan jiwa ajaran itu sendiri, Islam adalah yang paling dekat dengan segi-segi positif zaman modern. Ernest Gellner, misalnya, mengatakan bahwa hanya Islamlah dari semua agama yang ada yang esensi ajarannya tetap relevan dengan tuntutan segi positif modernitas, dan yang proses ke arah itu tidak harus ditempuh dengan melakukan

50

Page 51: Bahan ajar

kompromi dan mengalah kepada desakan-desakan luar, tetapi justru dengan kembali ke asal dan mengembangkan nilai-nilai asasinya sendiri.14 Di sinilah relevansinya seruan kembali kepada Kitab Suci dan Sunnah Nabi.

Wa 'l-Lâh-u A'lam.

Dikutip dan diselaraskan dari http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/PolitikN.html

Konsep Akhlak Islam dan RelevansinyaDalam Kehidupan Modern

Prolog:

Akhlak adalah cermin dari kondisi suatu masyarakat yang di dalamnya mencakup individu-individu manusia. Baik dan buruknya akhlak seseorang akan mempengaruhi kualitas budi pekerti komunitas masyarakatnya secara umum. Bahkan barometer kemajuan dan kemunduran suatu peradaban bisa juga dilihat dari kualitas akhlak dan budi pekertinya. Dalam kehidupan modern saat ini, kemajuan ilmu dan teknologi sangat pesat, batas-batas geografis negara atau bahkan benua tidak lagi mampu membendung arus globalisasi dalam segala lini kehidupan, termasuk lini sosial dan budaya. Gaya hidup suatu bangsa dengan mudah bisa diakses kemudian diaplikasikan oleh masyarakat bangsa lainnya. Imbas negatif maupun positif dari kenyataan ini tumpang tindih, sehingga menimbulkan polemik dalam tataran masyarakat luas, terutama bagi kalangan agamawan dan pemerhati moral.

A. Mukadimah

14"... Only Islam survives as a serious faith pervading both a folk and a Great Tradition. Its great Tradition is modernisable; and the operation can be presented, not as an innovation or concession to outsiders, but rather as the continuation and completion of an old dialogue within Islam ... Thus in Islam, and only in Islam, purification/modernization on the one hand, and the reaffirmation of a putative old local identity on the other, can be done in one and the same language and set of symbols." (Ernest Gellner, Muslim Society, [Cambridge: Cambridge University Press, 1981], h. 4).

51

Page 52: Bahan ajar

Dalam tradisi filsafat istilah "etika" lazim difahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Persolan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos.

Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua: objektivisme dan subjektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat objektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam Islam -- pada batas tertentu -- ialah aliran Muitazilah (Rasionalisme Islam).

Aliran kedua ialah subjektivisme, berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subjek tertentu. Subjek disini bisa saja berupa subjektivisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subjek Tuhan. Faham subjektivisme etika ini terbagi ke dalam beberapa aliran, sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes sampai ke faham tradisionalismenya Asy'ariyah.

Menurut faham Asy'ariyah (Tradisionalisme Islam), nilai kebaikan suatu tindakan bukannya terletak pada objektivitas nilainya, melainkan pada ketaatannya pada kehendak Tuhan. Asy'ariyah berpandangan bahwa menusia itu bagaikan 'anak kecil' yang harus senantiasa dibimbing oleh wahyu karena tanpa wahyu manusia tidak mampu memahami mana yang baik dan mana yang buruk.

Kalau kita sepakati bahwa etika ialah suatu kajian kritis rasional mengenai yang baik dan yang buruk, bagaimana halnya dengan teori

52

Page 53: Bahan ajar

etika dalam kitab suci? sedangkan telah disebutkan di muka, kita menemukan dua faham, yaitu faham rasionalisme yang diwakili oleh Mu'tazilah dan faham tradisionalisme yang diwakili oleh Asy'ariyah.

Munculnya perbedaan itu memang sulit diingkari baik karena pengaruh Filsafat Yunani ke dalam dunia Islam maupun karena narasi ayat-ayat al-Quran sendiri yang mendorong lahirnya perbedaan penafsiran. Di dalam al-Quran pesan etis selalu saja terselubungi oleh isyarat-isyarat yang menuntut penafsiran dan perenungan oleh manusia. B. Etika dan Kebebasan

Menurut aliran voluntarisme rasional, suatu tindakan etis akan terwujud bilamana tindakan itu produk pilihan sadar dalam situasi bebas, bukannya terpaksa. Suatu pertanggungjawaban etis bisa diberlakukan hanya ketika seseorang berbuat dalam keadaan sadar dan bebas. Dengan demikian, etika senantiasa mengamsumsikan kebebasan. Semakin besar wilayah kebebasan, semakin besar pula pertanggungjawaban moralnya.

Dalam perspektif di atas, maka faham Jabariah yang berpandangan bahwa tindakan manusia adalah bagaikan,gerak wayang, yang ditentukan oleh 'dalang' tak ada tempat bagi konsep etika voluntarisme rasional Kantianisme.

Etika voluntarisme rasional melahirkan suatu pandangan terhadap manusia sebagai sosok manusia berakal yang dewasa suatu pandangan positif bahwa manusia memang pantas mendapatkan julukan “ahsanu taqwîm”, puncak ciptaan Tuhan meskipun keunggulan kualitas manusia itu masih harus diperjuangkan dan disempurnakan sendiri oleh manusia. Barangkali saja dalam perspektif yang demikian ini kita bisa memahami mengapa pewahyuan Tuhan melalui para rasulNya telah diakhiri, sementara kehidupan menusia kian hari kian berkembang sedemikian kompleknya.

Sebelum kerasulan Muhammad problema kehidupan manusia tidak sekomplek pasca-Muhammad, namun justeru pada masa-masa itu Allah sering mengirimkan rasul-rasulNya. Mengapa demikian, biasanya kita mengajukan dua jawaban. Pertama, tuntutan Allah yang diturunkan

53

Page 54: Bahan ajar

kepada manusia. Kedua, manusia dengan kemampuan rasionalitasnya telah mampu mengevaluasi kehidupan kesejarahan untuk menciptakan kebaikan hidup mereka.

Klaim yang menyatakan Islam sebagai agama universal dan agama paripurna tersirat pada surat al-Maidah ayat 3 dan suratal-Anbiya’ ayat 107. Yang pertama menyebutkan bahwa Islam adalah nikmat Tuhan yang telah disempurnakan, yang kedua menyatakan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam. Secara dogmatis teologis kedua klaim di atas memang sudah lazim diterima oleh umat Islam, namun secara rasional dan empiris tampaknya masih perlu dirumuskan serta diuji kembali kebenarannya dalam perjalanan sejarahnya.

Dari analisis bahasa dan sosio-historis, Islam hadir bukannya dalam ruang kosong, melainkan dalam wacana yang memiliki sifat lokal dan partikular. Secara eksplisit disebutkan bahwa al-Quran disebarluaskan dengan menggunakan bahasa Arab. Bahasa mau tidak mau bersifat budaya, ia terikat dengan kaedah-kaedah sosial dan konsensus budaya. Jadi, universalitas pesan al-Quran akan bisa terkomunikasikan kalau manusia juga memiliki dimensi universal. Dalam hal ini rasionalitas dan substansi bahasalah yang secara jelas merupakan dimensi universal yang melekat pada manusia. Manusia dibedakan dari binatang terutama adalah karena manusia merupakan animal symbolicum, yaitu makluk yang hidup dengan simbol-simbol. Berbahasa pada dasarnya adalah berpikir, dan berpikir tidaklah mungkin tanpa bahasa, meskipun berbahasa tidak selalu harus berbicara ataupun menulis.

Karena adanya rasionalitas dan kemampuan berbahasa maka suatu masyarakat tercipta, komunikasi antar mereka berlangsung, dan dunia di sekitarnya memperoleh makna. Barangkali fenomena inilah yang telah diisyaratkan oleh al-Quran dalam QS al-Baqarah, 2: 31, di mana Allah telah mengajar 'nama-nama' pada Adam.

Karena rasionalitas dan sistem symbol yang dimiliki manusia maka realitas masa lampau bisa direkontruksi, diceritakan dan dihadirkan kembali di hadapan kita melalui narasi sejarah.

Suatu nilai, cita-cita dan gagasan masa lampau pun bisa diwariskan kepada generasi ke generasi lantaran adanya sistem simbol ini.

54

Page 55: Bahan ajar

Dan sesungguhnya hanyalah al-Quran yang secara eksplisit dan tegas agar umat Islam mengembangkan rasionalitas dan sistem simbol untuk membangun peradabannya. Kita bisa membuat suatu pengandaian, kalau saja al-Quran bertentangan dengan rasionalitas, maka bisa dipastikan bahwa Islam telah terdistorsi dalam perjalan sejarahnya. Lebih dari itu etika Islam akan teranomali dalam kehidupan modern.

Dengan kata lain, al-Quran dan pesan-pesannya kini telah menjadi bagian integral dari realitas sejarah masa lampau dan tetap hidup sampai kini, tanpa adanya revisi dan campur tangan Tuhan, baik isi maupun redaksionalnya. Di sini tersirat pandangan positif al-Quran tentang manusia. Kalau kita telaah ayat-ayat al-Quran segera kelihatan bahwa etika al-Quran amat humanistik dan rasionalistik. Pesan al-Quran seperti halnya ajakan kepada keadilan, kejujuran, kebersihan, menghormati orang tua, bekerja keras, cinta ilmu, dan lain sebagainya, semuanya amat sejalan dengan prestasi rasionalitas manusia sebagaimana tertuang dalam karya-karya para filosof. C. Etika Islam

Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua ciri utama. Pertama, etika Islam tidak menentang fithrah manusia. Kedua, etika Islam amat rasionalistik. Sekedar sebagai perbandingan baiklah akan saya kutipkan pendapat Alex Inkeles mengenai sikap-sikap modern. Setelah melakukan kajian terhadap berbagai teori dan definisi mengenai modernisasi, Inkeles membuat rangkuman mengenai sikap-sikap modern sabagai berikut, yaitu: kegandrungan menerima gagasan-gagasan baru dan mencoba metode-metode baru; kesediaan buat menyatakan pendapat; kepekaan pada waktu dan lebih mementingkan waktu kini dan mendatang ketimbang waktu yang telah lampau; rasa ketepatan waktu yang lebih baik; keprihatinan yang lebih besar untuk merencanakan organisasi dan efisiensi; kecenderungan memandang dunia sebagai suatu yang bisa dihitung; menghargai kekuatan ilmu dan teknologi; dan keyakinan pada keadilan yang bisa diratakan.

Rasanya tidak perlu lagi dikemukakan di sini bahwa apa yang dikemukakan Inkeles dan diklaim sebagai sikap modern itu memang sejalan dengan etika al-Quran. Dalam diskusi tentang hubungan antara etika dan moral, problem yang seringkali muncul ialah bagaimana

55

Page 56: Bahan ajar

melihat peristiwa moral yang bersifat partikular dan individual dalam perspektif teori etika yang bersifat rasional dan universal.

Islam yang mempunyai klaim universal ketika dihayati dan direalisasikan cenderung menjadi peristiwa partikular dan individual. Pendeknya, tindakan moral adalah tindakan konkrit yang bersifat pribadi dan subjektif. Tindakan moral ini akan menjadi pelik ketika dalam waktu dan subjek yang sama terjadi konflik nilai. Misalnya saja, nilai solidaritas kadangkala berbenturan dengan nilai keadilan dan kejujuran. Di sinilah letaknya kebebasan, kesadaran moral serta rasionalitas menjadi amat penting. Yakni bagaimana mempertanggungjawabkan suatu tindakan subjektif dalam kerangka nilai-nilai etika objektif, tindakan mikro dalam kerangka etika makro, tindakan lahiriah dalam acuan sikap batin.

Dalam teori etika, tindakan moral mengamsumsikan adanya otonomi perbuatan manusia. Menurut Islam, untuk mencapai otonomi dan kebebasan sejati tidaklah harus ditempuh dengan menyatakan 'kematian Tuhan' sebagaimana diproklamasikan oleh Nietzsche atau Sartre misalnya, keduanya berpendapat bahwa manusia akan terkungkung dalam kekerdilan dan ketidakberdayaan serta dalam perbudakan selama tindakan moralnya masih membutuhkan kekuatan dan kesaksian dari Tuhan. Oleh karenanya, menusia haruslah bertanggungjawab kepada dirinya sendiri, bukannya pada Tuhan. Lebih dari itu, untuk mencapai derajat kemanusiaannya secara prima manusia harus meniadakan Tuhan dan kemudian menggali dan mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya.

Dasar pemikiran seperti di atas tentu saja berangkat dari konsepsi ketuhanan dalam tradisi Kristen. Dalam sejarah pemikiran Barat kita mencatat bahwa untuk mencapai derajat filsuf biasanya mereka mesti bentrok dengan doktrin gereja tentang Tuhan. Sedangkan dalam Islam justru ketika tindakan kita diorientasikan pada Tuhan Yang Maha Absolut, Yang Maha Bebas, maka kita tidak akan terjebak dalam relativisme dunia dan sebaliknya kita akan terangkat menuju pada atmosphere Yang Maha Otonom. D. Penutup

Pengakuan bahwa kita bukan makhluk sempurna yang sudah jadi, dan kemudian diikuti dengan usaha kontinyu menuju Yang Maha

56

Page 57: Bahan ajar

Sempurna, di sanalah terletak makna keimanan yang dinamis. Menurut Kant, puncak rasionalitas pada akhirnya akan mengantarkan pada pintu keimanan yang bersifat supra-rasional. Tuhan, keimanan, dan kemerdekaan bukanlah objek ilmu pengetahuan. Semua berada di luar jangkauan rasio, namun puncak rasionalitas mengantarkan menusia untuk melakukan loncatan ke arah sana.

Musyawarah

Intisari:

Islam telah menganjurkan musyawarah dan memerintahkannya dalam banyak ayat dalam al-Quran, ia menjadikannya suatu hal terpuji dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara; dan menjadi elemen penting dalam kehidupan umat, ia disebutkan dalam sifat-sifat dasar orang-orang beriman dimana keIslaman dan keimanan mereka tidak sempurna kecuali dengannya

Kata musyâwarah terambil dari akar kata sy-, w-, r-, yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.

A. Ayat-ayat al-Quran tentang Musyawarah

Ada tiga ayat Al-Quran yang akar katanya menunjukkan musyawarah. 1. Dalam QS al-Baqarah (2): 233

57

Page 58: Bahan ajar

ن ي ل م كا ن ي ل و ح ن ه د ول أ ن ع ض ر ي ت دا ل وا ل وا ه ل د لو و م ل ا لى ع و ة ع ضا ر ال م ت ي ن أ د را أ ن م ل إل س ف ن ف ل تك ل ف رو ع م ل با ن ه ت و س ك و ن ه ق ز ر ه ل د لو و م ول ها د ل و ب ة د ل وا ر ضا ت ل ها ع س و

صال ف دا را أ ن إ ف ك ل ذ ل ث م ث ر وا ل ا لى ع و ه د ل و ب ن إ و ما ه ي ل ع ح نا ج فل ر و شا ت و ما ه ن م ض را ت ن ع

م ك ي ل ع ح نا ج فل م ك د ول أ عوا ض ر ت س ت ن أ م ت د ر أ ه ل ال قوا ت وا ف رو ع م ل با م ت ي ت ءا ما م ت م ل س ذا إ ر صي ب ن لو م ع ت ما ب ه ل ال ن أ موا ل ع وا

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami

istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih anak. Pada ayat di atas, al-Quran memberi petunjuk agar persoalan itu (dan juga persoalan-persoalan rumah tangga lainnya) dimusyawarahkan antara suami-istri. 2. Dalam QS Âli 'Imrân (3): 159

58

Page 59: Bahan ajar

ظا ف ت ن ك و ل و م ه ل ت ن ل ه ل ال ن م ة م ح ر ما ب ف م ه ن ع ف ع فا لك و ح ن م ضوا ف ن ل ب ل ق ل ا ظ لي غ ت م ز ع ذا إ ف ر م ل ا في م ه ر و شا و م ه ل ر ف غ ت س وا

ن لي ك و ت م ل ا ب ح ي ه ل ال ن إ ه ل ال لى ع ل ك و ت فMaka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Ayat ini dan segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad S.a.w.. agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, seperti yang akan dijelaskan lebih jauh, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap Muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya. 3. Dalam QS asy-Syûrâ (42): 38, Allah menyatakan bahwa orang mukmin

akan mendapat ganjaran yang lebih baik dan kekal di sisi Allah. Adapun yang dimaksud dengan orang-orang mukmin itu adalah:

ة صل ال موا قا أ و م ه ب ر ل بوا جا ت س ا ن ذي ل وا ن قو ف ن ي م ه نا ق ز ر ما م و م ه ن ي ب رى شو م ه ر م أ و

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.

Ayat ketiga ini turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim

Madinah (Anshâr) yang bersedia membela Nabi S.a.w.. dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub al-Anshari. Namun demikian, ayat ini

59

Page 60: Bahan ajar

juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah.

Dari ketiga ayat di atas saja, maka sepintas dapat diduga bahwa al-Quran tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap persoalan musyawarah. Namun dugaan tersebut akan sirna, jika menyadari cara al-Quran memberi petunjuk serta menggali lebih jauh kandungan ayat-ayat tersebut. B. Petunjuk al-Quran Menyangkut Perkembangan Masyarakat

Secara umum dapat dikatakan bahwa petunjuk al-Quran yang rinci lebih banyak tertuju terhadap persoalan-persoalan yang tak terjangkau nalar serta tak mengalami perkembangan atau perubahan. Dari sini dipahami kenapa uraian al-Quran mengenai metafisika, seperti surga dan neraka, amat rinci karena ini merupakan soal yang tak terjangkau nalar. Demikian juga soal mahram (yang terlarang dikawini), karena ia tak mengalami perkembangan. Seorang anak, selama jiwanya normal, tak mungkin memiliki birahi terhadap orang tuanya, saudara, atau keluarga dekat tertentu, demikian seterusnya.

Adapun persoalan yang dapat mengalami perkembangan dan perubahan, al-Quran menjelaskan petunjuknya dalam bentuk global (prinsip-prinsip umum), agar petunjuk itu dapat menampung segala perubahan dan perkembangan sosial budaya manusia.

Memang amat sulit jika rincian suatu persoalan yang diterapkan pada suatu masa atau masyarakat tertentu dengan ciri kondisi sosial budayanya, harus diterapkan pula dengan rincian yang sama untuk masyarakat lain, baik di tempat yang sama pada masa yang berbeda, apalagi di tempat yang lain pada masa yang berlainan.

Musyawarah atau demokrasi adalah salah satu contohnya. Karena itu pula, petunjuk kitab suci al-Quran menyangkut hal ini amat singkat dan hanya mengandung prinsip-prinsip umumnya saja.

Jangankan al-Quran, Nabi S.a.w.. yang dalam banyak ha1 menjabarkan petunjuk-petunjuk umum al-Quran, periha1 musyawarah ini tidak meletakkan rinciannya. Bahkan tidak juga memberikan pola tertentu yang harus diikuti. Itu sebabnya cara suksesi yang dilakukan oleh empat

60

Page 61: Bahan ajar

khalifah beliau -- Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali r.a. -- berbeda-beda di antara satu dengan lainnya.

Demikianlah, Rasul s.a.w.. tidak meletakkan petunjuk tegas yang rinci tentang cara dan pola syura. Karena jika beliau sendiri yang meletakkan hukumnya, ini bertentangan dengan prinsip syura yang diperintahkan al-Quran -- bukankah al-Quran memerintahkan agar persoalan umat dibicarakan bersama? Sedangkan apabila beliau bersama sahabat yang lain menetapkan sesuatu, itu pun berlaku untuk masa beliau saja. Tidak berlaku --rincian itu -- untuk masa sesudahnya. Bukankah Rasul S.a.w.. telah memberi kebebasan kepada umat Islam agar mengatur sendiri urusan dunianya dengan sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,

م ك يا ن د ر و م أ ب م ل ع أ م ت ن أ "Kalian lebih mengetahui persoalan dunia kalian."

Dan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Ahmad dari ’Aisyah

r.a.,

ه ببب مب ك ن أ شبب ف مب ك يببا ن د رب م أ نب م يائاب ش نب كا ذاب إ ب

ي ل إ ف مب ك ن ي د رب م أ نب م يائاب ش نب كا ذاب إ و"Yang berkaitan berkaitan dengan urusan dunia kalian, maka kalianlah yang lebih berhak mengurusuinya, sedang yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka kepadaku (rujukannya)."

Sungguh tepat keterangan pakar tafsir Muhammad Rasyid Ridha:

Allah telah menganugerahkan kepada kita kemerdekaan penuh dan kebebasan sempurna di dalam urusan dunia dan kepentingan masyarakat dengan jalan memberi petunjuk untuk melakukan musyawarah. Yakni yang dilakukan oleh orang-orang cakap dan terpandang yang kita percayai, untuk menetapkan bagi kita (masyarakat) pada setiap periode hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan masyarakat ... Kita sering mengikat diri sendiri

61

Page 62: Bahan ajar

dengan berbagai ikatan (syarat) yang kita ciptakan, kemudian kita namakan syarat itu ajaran agama. Namun, pada akhirnya syarat-syarat itu membelenggu diri kita.

Demikian lebih kurang tulisan Rasyid Ridha ketika menafsirkan

surat an-Nisâ' (4): 59.

عوا طي أ و ه ل ال عوا طي أ نوا م ءا ن ذي ل ا ها ي أ يا في م ت ع ز نا ت ن إ ف م ك ن م ر م ل ا لي أو و ل سو ر ال

م ت ن ك ن إ ل سو ر وال ه ل ال لى إ ه دو ر ف ء ي ش ن س ح أ و ر ي خ ك ل ذ ر خ ال م و ي ل وا ه ل بال ن نو م ؤ ت

ويل أ تHai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

C. Musyawarah dalam al-Quran

Memang banyak persoalan yang dapat diambil jawabannya dari ketiga ayat musyawarah itu. Namun, tidak sedikit dari jawaban tesebut merupakan pemahaman para sahabat Nabi atau ulama. Meskipun ada juga yang merupakan petunjuk-petunjuk umum yang bersumber dari Sunnah Nabi S.a.w.., tetapi petunjuk-petunjuk tersebut masih dapat dikembangkan atau tidak sepenuhnya mengikat.

Berbagai masalah yang dibahas para ulama mengenai musyawarah antara lain: (a) orang yang diminta bermusyawarah; (b) dalam hal-hal apa saja musyawarah dilaksanakan; dan (c) dengan siapa sebaiknya musyawarah dilakukan.

Sebelum menguraikan sekilas tentang hal-hal tesebut, terlebih dahulu periu dikemukakan petunjuk yang diisyaratkan al-Quran mengenai beberapa sikap yang harus dilakukan seseorang untuk mensukseskan musyawarah. Petunjuk-petunjuk tersebut secara tersurat

62

Page 63: Bahan ajar

ditemukan dalam QS Âli 'Imrân [3]: 159 yang terjemahannya telah dikutip di atas.

Pada ayat itu disebutkan tiga sikap yang secara berurutan diperintahkan kepada Muhammad S.a.w.. untuk beliau lakukan sebelum datangnya perintah bermusyawarah. Penyebutan ketiga sikap tersebut --menurut hemat penulis -- walaupun dikemukakan sesuai konteks turunnya ayat, serta mempunyai makna tersendiri berkaitan dengan sikap atau pandangan para sahabat -- sebagaimana akan diutarakan kemudian -- namun, dari segi pelaksanaan dan esensi musyawarah agaknya sifat-sifat tersebut sengaja dikemukakan agar ketiganya menghiasi diri Nabi dan setiap orang yang melakukan musyawarah. Setelah itu disebutkan satu lagi sikap yang harus dilakukan setelah musyawarah, yakni kebulatan tekad untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan dalam musyawarah. Sikap-sikap tersebut sebagian terbaca pada ayat Âli 'Imrân di atas.

Pertama, adalah sikap lemah lembut.

Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra musyawarah akan bertebaran pergi. Petunjuk ini dikandung oleh frase: ”Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Perhatikan, QS Âli ’Imrân, 3: 159 di atas)

Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru. Dalam ayat di atas disebutkan sebagai fa'fu ‘anhum (maafkan mereka).

Maaf, secara harfiah, berarti "menghapus". Memaafkan adalah menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati.

Di sisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain. Dan bila hal itu masuk ke dalam

63

Page 64: Bahan ajar

hati, akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa'fu ‘anhum.

Kemudian orang yang melakukan musyawarah harus menyadari bahwa kecerahan atau ketajaman analisis saja, tidaklah cukup.

William James, filosof Amerika kenamaan, menegaskan,

Akal memang mengagumkan. Ia mampu membatalkan suatu argumen dengan argumen lain. Ini akan dapat mengantarkan kita kepada keraguan yang mengguncangkan etika dan nilai-nilai hidup kita.

Nah, jika demikian, kita masih membutuhkan "sesuatu" di samping akal. Terserah Anda, apa nama "sesuatu" itu. Namailah "indera keenam" sebagaimana filosof dan psikolog menamainya, atau "bisikan atau gerak hati" seperti kata orang kebanyakan, atau "ilham, hidayat, dan firasat" menurut nama yang diberikan agamawan.

Tidak jelas cara kerja "sesuatu" itu, karena datangnya sekejap, sekadar untuk mencampakkan informasi yang diduga "kebetulan" oleh sebagian orang, dan kepergiannya pun tanpa izin orang yang dikunjungi.

Biasanya, "sesuatu" itu mengunjungi orang-orang yang jiwanya dihiasi kesucian, karena Allah tidak akan memberi hidayah kepada orang yang:

[1] berlaku aniaya (QS al-Baqarah [2]: 258),

ه تا ءا ن أ ه ب ر في م هي را ب إ ج حا ذي ل ا لى إ ر ت م ل أ يي ح ي ذي ل ا ي ب ر م هي را ب إ ل قا ذ إ ك ل م ل ا ه ل ال

ن إ ف م هي را ب إ ل قا ت مي أ و يي ح أ نا أ ل قا ت مي ي و

ت أ ف ق ر ش م ل ا ن م س م ش بال تي أ ي ه ل ن ب ال م ها ب م و ق ل ا دي ه ي ل ه ل وال ر ف ك ذي ل ا ت ه ب ف ب ر غ م ل ا

ن مي ل ظا الApakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada

64

Page 65: Bahan ajar

orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

[2] kafir (QS al-Baqarah [2]: 264),

ن م ل با م ك ت قا د ص لوا ط ب ت ل نوا م ءا ن ذي ل ا ها ي أ يا ن م ؤ ي ول س نا ال ء ئا ر ه ل ما ق ف ن ي ذي ل كا ذى ل وا

ه ي ل ع ن وا ف ص ل ث م ك ه ل ث م ف ر خ ال م و ي ل وا ه ل بال لى ع ن رو د ق ي ل دا ل ص ه ك ر ت ف ل ب وا ه ب صا أ ف ب را ت

م و ق ل ا دي ه ي ل ه ل وال بوا س ك ما م ء ي ش ن ري ف كا ل اHai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

[3] bergelimang dosa atau fasik (QS al-Mâidah [5]: 108),

و أ ها ه ج و لى ع ة د ها ش بال توا أ ي ن أ نى د أ ك ل ذ ه ل ال قوا ت وا م ه ن ما ي أ د ع ب ن ما ي أ د ر ت ن أ فوا خا ي

ن قي س فا ل ا م و ق ل ا دي ه ي ل ه ل وال عوا م س واItu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan persaksiannya menurut apa yang sebenarnya, dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah. Dan

65

Page 66: Bahan ajar

bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

[4] melampaui batas lagi pendusta (QS a1-Mu'min [40]: 28),

ه ن ما إي م ت ك ي ن و ع ر ف ل ءا ن م ن م ؤ م ل ج ر ل قا و م ك ء جا د ق و له ال ي ب ر ل قو ي ن أ جل ر ن لو ت ق ت أ

ه ب ذ ك ه ي ل ع ف با ذ كا ك ي ن إ و م ك ب ر ن م ت نا ي ب ل با ن إ م ك د ع ي ذي ل ا ض ع ب م ك ب ص ي قا د صا ك ي ن إ و

ب ذا ك ف ر س م و ه ن م دي ه ي ل ه ل الDan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir`aun yang menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: "Tuhanku ialah Allah, padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu". Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.

[5] pengkhianat (QS Yusuf [12]: 52),

ل ه ل ال ن أ و ب ي غ ل با ه ن خ أ م ل ني أ م ل ع ي ل ك ل ذ ن ني ئ خا ل ا د ي ك دي ه ي

(Yusuf berkata): "Yang demikian itu agar dia (Al Aziz) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya, dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat.

dan pembohong (QS az-Zumar [39]: 3)

ه ن دو ن م ذوا خ ت ا ن ذي ل وا ص ل خا ل ا ن دي ال ه ل ل أل فى ل ز ه ل ال لى إ نا بو ر ق ي ل إل م ه د ب ع ن ما ء يا ل و أ

ن فو ل ت خ ي ه في م ه ما في م ه ن ي ب م ك ح ي ه ل ال ن إ ر فا ك ب ذ كا و ه ن م دي ه ي ل ه ل ال ن إ

66

Page 67: Bahan ajar

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.

Jika demikian, untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis. Itulah sebabnya, hal ketiga yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi, sebagaimana ditegaskan oleh pesan surat Âli 'Imrân ayat 159 di atas, wa istaghfir lahum.

Pesan terakhir Ilahi di dalam konteks musyawarah adalah setelah musyawarah usai, yaitu

Apabila telah bulat tekad (laksanakanlah) dan berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri.

D. Orang-orang Yang Diminta Bermusyawarah

Secara tegas dapat terbaca bahwa perintah musyawarah pada QS Âli 'Imrân [3]: 159 ditujukan kepada Nabi Muhammad S.a.w.. Hal ini dengan mudah dipahami dari redaksi perintahnya yang berbentuk tunggal. Namun demikian, pakar-pakar al-Quran sepakat berpendapat bahwa perintah musyawarah ditujukan kepada semua orang. Bila Nabi S.a.w.. saja diperintahkan oleh al-Quran untuk bermusyawarah, padahal beliau orang yang ma'shûm (terpelihara dari dosa atau kesalahan), apalagi manusia-manusia selain beliau.

Tanpa analogi di atas, petunjuk ayat ini tetap dapat dipahami berlaku untuk Semua orang, walaupun redaksinya ditujukan kepada Nabi S.a.w.. Di sini Nabi berperan sebagai pemimpin umat, yang berkewajiban menyampaikan kandungan ayat kepada seluruh umat, sehingga sejak semula kandungannya telah ditujukan kepada mereka semua.

Perintah bermusyawarah pada ayat di atas turun setelah peristiwa menyedihkan pada perang Uhud. Ketika itu, menjelang pertempuran,

67

Page 68: Bahan ajar

Nabi mengumpulkan sahabat-sahabatnya untuk memusyawarahkan bagaimana sikap menghadapi musuh yang sedang dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Nabi cenderung untuk bertahan di kota Madinah, dan tidak ke luar menghadapi musuh yang datang dari Makkah. Sahabat-sahabat beliau terutama kaum muda yang penuh semangat mendesak agar kaum Muslim di bawah pimpinan Nabi S.a.w. "keluar" menghadapi musuh. Pendapat mereka itu memperoleh dukungan mayoritas, sehingga Nabi S.a.w.. menyetujuinya. Tetapi, peperangan berakhir dengan gugurnya tidak kurang dari tujuh puluh orang sahabat Nabi S.a.w..

Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang dialami Nabi S.a.w.. dan sahabat beliau setelah turunnya ayat ini, amat perlu digarisbawahi untuk melihat bagaimana pandangan al-Quran tentang musyawarah.

Ayat ini seakan-akan berpesan kepada Nabi S.a.w.. bahwa musyawarah harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan, walaupun terbukti pendapat yang pernah mereka putuskan keliru. Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan menjadi tanggung jawab bersama, dibandingkan dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun.

Dalam literatur keagamaan ditemukan ungkapan:

"Takkan kecewa orang yang memohon petunjuk [kepada Allah] tentang pilihan yang terbaik, dan tidak juga akan menyesal seseorang yang melakukan musyawarah."

E. Lapangan Musyawarah

Apakah al-Quran memberikan kebebasan melakukan musyawarah untuk segala persoalan? Jawabannya secara tegas: “Tidak”.

QS Âli 'Imrân [3]: 159 di atas, yang menyuruh Nabi S.a.w.. melakukan musyawarah, menggunakan kata al-amr, ketika memerintahkan bermusyawarah (syawirhum fil amr) yang diterjemahkan penulis dengan "persoalan/urusan tertentu". Sedangkan ayat asy-Syûrâ menggunakan kata amruhun yang terjemahannya adalah "urusan mereka".

68

Page 69: Bahan ajar

Kata amr dalam al-Quran ada yang dinisbahkan kepada Tuhan dan sekaligus menjadi urusan-Nya semata, sehingga tidak ada campur tangan manusia pada urusan tersebut, seperti misalnya:

بي ر ر م أ ن م ح رو ال ل ق ح رو ال ن ع ك ن لو أ س ي و ليل ق إل م ل ع ل ا ن م م ت تي أو ما و

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS al-Isrâ' [17]: 85).

Ada juga amr yang dinisbahkan kepada manusia, misalnya bentuk

yang ditujukan kepada orang kedua seperti dalam QS al-Kahfi [18]: 16.

لى إ ووا أ ف ه ل ال إل ن دو ب ع ي ما و م ه مو ت ل ز ت ع ا ذ إ و م ك ل ئ ي ه ي و ه ت حم ر ن م م ك ب ر م ك ل ر ش ن ي ف ه ك ل اقا ف مر م ك ر م أ ن م

Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu. (QS al-Kahfi [18]: 16).

Atau ada juga yang dinisbahkan kepada orang ketiga seperti

dalam surat asy-Syûrâ yang sedang dibicarakan ini (urusan mereka).

Sebagaimana ada juga kata "amr" yang tidak dinisbahkan itu yang berbentuk indefinitif, sehingga secara umum dapat dikatakan mencakup segala sesuatu, seperti dalam QS al-Baqarah (2): 117.

ما ن إ ف را م أ ضى ق ذا إ و ض ر ل وا ت وا م س ال ع دي ب ن يكو ف ن ك ه ل ل قو ي

Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah". Lalu jadilah ia. (QS Al-Baqarah [2]: 117).

69

Page 70: Bahan ajar

Sedangkan yang berbentuk definitif, maka pengertiannya dapat mencakup semua hal ataupun hal-hal tertentu saja. Sebagaimana QS al-Isrâ’' [17]: 85

بي ر ر م أ ن م ح رو ال ل ق ح رو ال ن ع ك ن لو أ س ي و ليل ق إل م ل ع ل ا ن م م ت تي أو ما و

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

yang mengkhususkan hal-hal tertentu sebagai urusan Allah. Bahkan QS Âli 'Imrân [3]: 128

و أ م ه ي ل ع ب تو ي و أ ء ي ش ر م ل ا ن م ك ل س ي ل ن مو ل ظا م ه ن إ ف م ه ب ذ ع ي

Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.

secara tegas menafikan pula urusan-urusan tertentu dari wewenang Nabi S.a.w..,

Ayat ini turun berkaitan dengan ucapan Nabi S.a.w.. ketika beliau dilukai oleh kaum musyrikin pada perang Uhud. "Bagaimana Allah akan mengampuni mereka, sedangkan mereka telah mengotori wajah Nabi S.a.w.. dengan darah"? Dari riwayat lain dikemukakan, bahwa ayat ini turun untuk menegur Nabi S.a.w.. yang mengharapkan agar Tuhan menyiksa orang-orang tertentu dan memaafkan orang-orang 1ain.

Betapapun, dari ayat-ayat al-Quran, tampak jelas adanya hal-hal yang merupakan urusan Allah semata sehingga manusia tidak diperkenankan untuk mencampurinya, dan ada juga urusan yang dilimpahkan sepenuhnya kepada manusia.

Dalam konteks ketetapan Allah dan ketetapan Rasul yang bersumber dari wahyu, Al-Quran menyatakan secara tegas:

70

Page 71: Bahan ajar

ه ل ال ضى ق ذا إ ة ن م ؤ م ول ن م ؤ م ل ن كا ما و م ه ر م أ ن م ة ر ي خ ل ا م ه ل ن كو ي ن أ را م أ ه ل سو ر و

نا بي م ضلل ل ض د ق ف ه ل سو ر و ه ل ال ص ع ي ن م وDan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.

As-Sunnah juga menginformasikan bahwa sahabat-sahabat Nabi S.a.w.. menyadari benar hal tersebut, sehingga mereka tidak mengajukan saran terhadap hal-hal yang telah mereka ketahui bersumber dari petunjuk wahyu. Umpamanya, ketika Nabi S.a.w.. memilih suatu lokasi untuk pasukan Islam menjelang berkecamuknya perang Badar, sahabat beliau Al-Khubbab bin al-Munzir yang memiliki pandangan berbeda tidak mengajukan usulnya kecuali setelah bertanya:

+ "Apakah ini tempat yang ditujukan untuk engkau pilih, ataukah ini berdasarkan nalarmu, strategi perang, dan tipu muslihat?" tanya Al-Khubbab.- "Tempat ini adalah pilihan berdasar nalar, strategi perang, dan tipu muslihat," jawab Nabi S.a.w..

Mendengar jawaban itu, barulah Al-Khubbab mengajukan usul

untuk memilih lokasi lain di dekat sumber air, dan kemudian disetujui oleh Nabi S.a.w.. Demikian diriwayatkan oleh Al-Hakim.

Ketika terjadi perundingan Hudaibiyah, sebagian besar sahabat Nabi S.a.w.. terutama Umar bin al-Khaththab, amat berat hati menerima rinciannya, namun semuanya terdiam ketika Nabi bersabda. "Aku adalah Rasulullah S.a.w.."

Sebagian pakar tafsir membatasi masalah permusyawarahan hanya untuk yang berkaitan dengan urusan dunia, bukan persoalan agama. Pakar yang lain memperluas hingga membenarkan adanya musyawarah di samping untuk urusan dunia, juga untuk sebagian masalah keagamaan. Alasannya, karena dengan adanya perubahan sosial, sebagian masalah

71

Page 72: Bahan ajar

keagamaan belum ditentukan penyelesaiannya di dalam al-Quran maupun sunnah Nabi S.a.w..

Dari sini disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Tuhan secara tegas dan jelas, baik langsung maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti misalnya tata cara beribadah. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, serta persoalan-persoalan kehidupan duniawi, baik yang petunjuknya bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang mengalami perkembangan dan perubahan.

Nabi bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan masyarakat dan negara, seperti persoalan perang, ekonomi, dan sosial. Bahkan dari sejarah diperoleh informasi bahwa beliau pun bermusyawarah (meminta saran dan pendapat) di dalam beberapa persoalan pribadi atau keluarga. Salah satu kasus keluarga yang beliau musyawarahkan adalah kasus fitnah terhadap istri beliau Aisyah r.a. yang digosipkan telah menodai kehormatan rumah tangga. Ketika gosip tersebut menyebar, Rasulullah S.a.w.. bertanya kepada sekian orang sahabat/keluarganya.

Akhirnya, kita dapat menyimpulkan bahwa musyawarah dapat dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk agama secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan kehidupan duniawi.

Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan ibadah, tidak dapat dimusyawarahkan. Bagaimana dapat dimusyawarahkan, sedangkan nalar dan pengalaman manusia tidak dan belum sampai ke sana? F. Bermusyawarah Dengan Siapa?

Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali merupakan urusan pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum. Dalam ayat pertama tentang musyawarah di atas, Nabi s.a.w. diperintahkan bermusyawarah dengan "mereka". Mereka siapa? Tentu saja mereka yang dipimpin oleh Nabi S.a.w.., yakni yang disebut umat atau anggota masyarakat.

Sedangkan ayat yang lain menyatakan,

72

Page 73: Bahan ajar

ة صل ال موا قا أ و م ه ب ر ل بوا جا ت س ا ن ذي ل وا ن قو ف ن ي م ه نا ق رز ما م و م ه ن ي ب رى شو م ه ر م أ و

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS Syura [42]: 38).

Perhatikan rangkaian kata: ”Persoalan mereka dimusyawarahkan antar mereka.” pada ayat di atas!

Ini berarti yang dimusyawarahkan adalah persoalan yang khusus berkaitan dengan masyarakat sebagai satu unit. Tetapi, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi s.a.w. dan para sahabatnya, tidak tertutup kemungkinan memperluas jangkauan pengertiannya sehingga mencakup persoalan individu sebagai anggota masyarakat.

Ayat-ayat musyawarah yang dikutip di atas tidak menetapkan sifat-sifat mereka yang diajak bermusyawarah, tidak juga jumlahnya. Namun demikian, dari as-Sunnah dan pandangan ulama, diperoleh informasi tentang sifat-sifat umum yang hendaknya dimiliki oleh yang diajak bermusyawarah. Satu dari sekian riwayat menyatakan bahwa Rasul S.a.w.. pernah berpesan kepada Imam Ali bin Abi Thalib sebagai berikut:

Wahai Ali, jangan bermusyawarah dengan penakut, karena dia mempersempit jalan keluar. Jangan juga dengan yang kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuanmu. Juga tidak dengan yang berambisi, karena dia akan memperindah untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah wahai Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi, merupakan bawaan yang sama, kesemuanya bermuara pada prasangka buruk terhadap Allah.

Ja'far Ash-Shadiq, salah seorang ulama Syi’ah, pun berpesan,

Bermusyawarahlah dalam persoalan-persoalanmu dengan seseorang yang memiliki lima hal: akal, lapang dada, pengalaman, perhatian, dan takwa.

73

Page 74: Bahan ajar

Dalam konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan masyarakat, praktik yang dilakukan Nabi S.a.w.. cukup beragam. Terkadang beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang yang dimusyawarahkan, terkadang juga melibatkan pemuka-pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua yang terlibat di dalam masalah yang dihadapi.

Sebagian pakar tafsir membicarakan musyawarah dan orang-orang yang terlibat di dalamnya ketika mereka menafsirkan firman Allah dalam QS an-Nisâ' (4): 59:

عوا طي أ و ه ل ال عوا طي أ نوا م ءا ن ذي ل ا ها ي أ يا في م ت ع ز نا ت ن إ ف م ك ن م ر م ل ا لي أو و ل سو ر ال

م ت ن ك ن إ ل سو ر وال ه ل ال لى إ ه دو ر ف ء ي ش ن س ح أ و ر ي خ لك ذ ر خ ال م و ي ل وا ه ل بال ن نو م ؤ ت

ويل أ تHai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS an-Nisâ’ [4]: 59). Dalam ayat itu terdapat kalimat u1u1 amr, yang diperintahkan

untuk ditaati. Kata amr di sini berkaitan dengan kata amr yang disebutkan dalam QS asy-Syûrâ [42] ayat 38 (persoalan atau urusan mereka, merekalah yang memusyawarahkan). Tentunya tidak mudah melibatkan seluruh anggota masyarakat dalam musyawarah itu, tetapi keterlibatan mereka dapat diwujudkan melalui orang-orang tertentu yang mewakili mereka, yang oleh para pakar diberi nama berbeda-beda sekali Ahl al-Hal wa al-'Aqd, dikali lain Ahl al-Ijtihâd, dan kali ketiga Ahl asy-Syûrâ.

Dapat disimpulkan bahwa Ahl asy-Syûrâ merupakan istilah umum, yang kepada mereka para penguasa dapat meminta pertimbangan dan saran. Jika demikian, tidak perlu ditetapkan secara rinci dan ketat sifat-sifat mereka, tergantung pada persoalan apa yang sedang dimusyawarahkan.

74

Page 75: Bahan ajar

Sebagian pakar kontemporer memahami istilah Ahl al-Hal wa al-'Aqd sebagai orang-orang yang mempunyai pengaruh di tengah masyarakat, sehingga kecenderungan mereka kepada satu pendapat atau keputusan mereka dapat mengantarkan masyarakat pada hal yang sama.

Muhammad Abduh memahami Ahl al-Hal wa al-'Aqd sebagai orang yang menjadi rujukan masyarakat untuk kebutuhan dan kepentingan umum mereka, yang mencakup pemimpin formal maupun non-formal, sipil maupun militer.

Adapun Ahl al-Ijtihâd adalah kelompok ahli dan para teknokrat dalam berbagai bidang dan disiplin ilmu. G. Syura dan Demokrasi

Al-Quran dan Sunnah menetapkan beberapa prinsip pokok berkaitan dengan kehidupan politik, seperti asy-syûrâ, keadilan, tanggung jawab, kepastian hukum, jaminan haq al-'ibâd (hak-hak manusia), dan lain-lain, yang kesemuanya memiliki kaitan dengan syura atau demokrasi.

Apabila kita bermaksud membandingkan syura dengan demokrasi, tentunya perlu juga dijelaskan apa yang disebut demokrasi. Namun, untuk tidak memasuki perincian tentang makna demokrasi yang beraneka ragam, dapat dikatakan bahwa manusia mengenal tiga cara menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, yaitu:

1. Keputusan yang ditetapkan oleh penguasa.2. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan minoritas.3. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan mayoritas, dan

ini biasanya menjadi ciri umum demokrasi.

Syura yang diwajibkan oleh Islam tidak dapat dibayangkan berwujud seperti bentuk pertama, karena hal itu justeru menjadikan syura lumpuh. Bentuk kedua pun tidak sesuai dengan makna syura, sebab apakah keistimewaan pendapat minoritas yang mengalahkan pandangan mayoritas?

Memang ada sebagian pakar Islam kontemporer yang menolak kewenangan mayoritas berdasar firman Allah:

75

Page 76: Bahan ajar

ة ر ث ك ك ب ج ع أ و ل و ب ي ط وال ث بي خ ل ا وي ت س ي ل ل ق م ك ل ع ل ب با ل ل ا لي أو يا ه ل ال قوا ت فا ث بي خ ل ا

ن حو ل ف تKatakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." (QS al-Mâidah [51: 100). Dan firman Allah:

ق ح ل ل م ك ر ث ك أ ن ك ل و ق ح ل با م ك نا ائ ج د ق ل هون ر كاSesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kamu tetapi kebanyakan di antara kamu benci pada kebenaran itu. (QS az-Zukhruf [43]: 78).

Tetapi pandangan mereka sulit diterima, karena ayat-ayat itu

bukan berbicara dalam konteks musyawarah melainkan dalam konteks petunjuk Ilahi yang diberikan kepada para Nabi dan ditolak oleh sebagian besar anggota masyarakatnya ketika itu. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang sikap masyarakat Makkah ketika itu, serta umat manusia dalam kenyataannya dewasa ini.

Namun demikian, walaupun syura di dalam Islam membenarkan keputusan pendapat mayoritas, tetapi menurut sementara pakar ia tidaklah mutlak. Demikian Dr. Ahmad Kamal Abu Al-Majad, seorang pakar Muslim Mesir kontemporer dalam bukunya Hiwar la Muwayahah (Dialog Bukanlah Konfrontasi). Agaknya yang dimaksud adalah bahwa keputusan janganlah langsung diambil berdasar pandangan mayoritas setelah melakukan sekali dua kali musyawarah, tetapi hendaknya berulang-ulang hingga dicapai kesepakatan.

Ini karena syura dilaksanakan oleh orang-orang pilihan yang memiliki sifat-sifat terpuji serta tidak memiliki kepentingan pribadi atau golongan, dan dilaksanakan sewajarnya agar disepakati bersama. Sekalipun ada di antara mereka yang tidak menerima keputusan, itu dapat menjadi indikasi adanya sisi-sisi yang kurang berkenan di hati dan pikiran

76

Page 77: Bahan ajar

orang-orang pilihan walaupun mereka minoritas, sehingga masih perlu dibicarakan lebih lanjut agar mencapai mufakat (untuk menemukan "madu" atau yang terbaik).

Ini merupakan salah satu perbedaan antara syura di dalam Islam dengan demokrasi secara umum.

Memang, apabila pembicaraan berlarut tanpa menemukan mufakat, dan tidak ada jalan lain kecuali memilih pandangan mayoritas, saat itu dapat dikatakan bahwa kedua pandangan masing-masing baik, tetapi yang satu jauh lebih baik. Di dalam kaedah agama diajarkan apabila terdapat dua pilihan yang sama-sama baik, pilihlah yang lebih banyak sisi baiknya, dan jika keduanya buruk, pilihlah yang paling sedikit keburukannya.

Dari segi implikasi pengangkatan pimpinan, terdapat juga perbedaan. Walaupun keduanya -- syura dan demokrasi -- menetapkan bahwa pimpinan diangkat melalui kontrak sosial, namun syura di dalam Islam mengaitkannya dengan "Perjanjian Ilahi". Ini diisyaratkan oleh al-Quran dalam firman-Nya ketika mengaangkat Nabi Ibrahim a.s. sebagai imam,

ل قا ن ه م ت أ ف ت ما ل ك ب ه ب ر م هي را ب إ لى ت ب ا ذ إ و ل قا تي ي ر ذ ن م و ل قا ما ما إ س نا لل ك ل ع جا ني إ

ن مي ل ظا ال دي ه ع ل نا ي لDan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim". (QS al-Baqarah [2]: 124)

Dari sini lahir perbedaan “ketiga”, yaitu bahwa dalam demokrasi

sekular persoalan apa pun dapat dibahas dan diputuskan. Tetapi dalam syura yang diajarkan Islam, tidak dibenarkan untuk memusyawarahkan segala sesuatu yang telah ada ketetapannya dari Tuhan secara tegas dan pasti, dan tidak pula dibenarkan menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Ilahi.

77

Page 78: Bahan ajar

Demikian sekilas mengenai wawasan musyawarah di dalam al-Quran. Agaknya dapat disimpulkan, bahwa musyawarah diperintahkan oleh al-Quran, serta dinilai sebagai salah satu prinsip hukum dan politik untuk umat manusia.

Namun demikian, al-Quran tidak merinci atau meletakkan pola dan bentuk musyawarah tertentu. Paling tidak, yang dapat disimpulkan dari teks-teks al-Quran hanyalah bahwa Islam menuntut adanya keterlibatan masyarakat di dalam urusan yang berkaitan dengan mereka. Perincian keterlibatan, pola, dan caranya diserahkan kepada masing-masing masyarakat, karena satu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat lain. Bahkan masyarakat tertentu dapat mempunyai pandangan berbeda dari suatu masa ke masa yang lain.

Sikap al-Quran seperti itu memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat untuk menyesuaikan sistem syura-nya dengan kepribadian, kebudayaan dan kondisi sosialnya.

Mengikat diri atau masyarakat kita dengan fatwa ulama dan pakar-pakar masa lampau, bahkan pendapat para sahabat Nabi S.a.w.. dalam persoalan syura, atau pandangan dan pengalaman masyarakat lain, serta membatasi diri dengan istilah dan pengertian tertentu, bukanlah sesuatu yang tepat, baik ditinjau dari segi logika maupun pandangan agama.

Memang setiap masyarakat di setiap masa memiliki budaya dan kondisi yang khas, sehingga wajar jika masing-masing mempunyai pandangan dan jalan yang berbeda-beda. Hakikat ini agaknya merupakan salah satu kandungan makna firman Allah.

ه ي د ي ن ي ب ما ل قا د ص م ق ح ل با ب تا ك ل ا ك ي ل إ نا ل ز ن أ و ل ز ن أ ما ب م ه ن ي ب م ك ح فا ه ي ل ع نا م ي ه م و ب تا ك ل ا ن م

ق ح ل ا ن م ك ء جا ما ع م ه ء وا ه أ ع ب ت ت ول ه ل اله ل ال ء شا و ل و جا ها ن م و ة ع ر ش م ك ن م نا ل ع ج ل ك ل

ما في م ك و ل ب ي ل ن ك ل و ة د ح وا ة م أ م ك ل ع ج ل م ك ع ج ر م ه ل ال لى إ ت را ي خ ل ا قوا ب ت س فا م ك تا ءا

ن فو ل ت خ ت ه في م ت ن ك ما ب م ك ائ ب ن ي ف عا مي ج

78

Page 79: Bahan ajar

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, (QS al-Mâidah [5]: 48).

Mahabenar Allah Yang Mahaagung dalam segala firman-Nya.

Kesetiakawanan SosialDalam Pandangan al-Quran dan as-Sunnah

Prolog:

79

Page 80: Bahan ajar

Perbincangan di seputar kesetiakawanan atau yang juga dikenal dalam bahasa Ingrris dengan sebutan solidarity, hingga kini menjadi sebuah diskusi yang masih menarik, dan ditengarai akan selalu menarik perhatian setiap anggota masyarakat, karena artipentingnya pranata sosial ini sebagai pilar penyangga bangunan harmoni sosial, di mana pun kapan pun dan bagi siapa pun.

Memang tidak mudah untuk mendefinisikan makna kesetiakawanan sosial dalam konteks yang beragam. Tetapi, untuk sekadar memetakan pengertian esensialnya, kesetiakawanan adalah sebuah pranata sosial yang di dalamnya terkandung ciri-ciri penting, yaitu: kepedulian, rasa sepenanggungan, kasih sayang, kebersamaan dan ketulusan.15

Sejumlah tantangan kompleks yang muncul-termasuk potensi konflik yang ditimbulkan oleh dorongan ego setiap manusia, yang pada saatnya bisa menjebak mereka menjadi manusia-manusia yang tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, karena menganggap yang terpenting adalah dirinya. Sedang orang lain baru dianggap (menjadi) menjadi penting karena berpotensi "menguntungkan" bagi dirinya.16 Oleh karena itu, untuk membangun kesetiakawanan sosial, setiap orang, sebagai anggota mansyarakat, dituntut untuk memiliki kepedulian dan ketenggangrasaan terhadap orang lain, dan bahkan menganggap orang lain sebagai entitas yang penting, sepenting dirinya.17

Dalam merespon wacana kesetikawanan (sosial) tersebut, kita (umat Islam) bisa mengajak dialog dengan al-Quran, sebagaimana nasihat Ali bin Abi Thalib terhadap para sahabatnya: istanthiq al-Quran, yang ternyata menurut M. Quraish Shihab18 tersirat dalam gagasan "ukhuwwah".19

15 http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=963. 16 http://www.vitanouva.net/index.php?topic=1495.017 http://www.sejutablog.com/egoisme-penyebab-kerusakan-alam-

lingkungan/18 Makalah ini sepenuhnya ditulis berdasarkan paparan yang telah

dituangkan dalam ketiga judul buku oleh M. Quraish Shihab: Tafsir al-Mishbah, Membumikan al-Quran dan Wawasan al-Quran.

19 Lebih lanjut lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati), 2002; Membumikan Al-Qur'an (Bandung: Mizan), 1992; Wawasan Al-Qur'an (Bandung: Mizan), 2005.

80

Page 81: Bahan ajar

Kajian mengenai ukhuwah (Ar.: Ukhuwwah), dalam pandangan M. Quraish Shibab, menjadi dianggap memiliki arti penting dewasa ini, karena adanya fenomena yang sangat meresahkan: sinyal-sinyal menuju “disintegrasi sosial”. Banyak orang mempertanyakan: “sejaumana peran Islam di dalamnya?” Di sini, Islam menawarkan gagasan “ukhuwah Islamiyah”. Bukan sekadar penjelasan normatif, tetapi sampai pada solusi atas problem sosial yang sudah pernah, sedang dan akan dialami oleh umat manusia secara kongkret.

Kata Ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan sebagai "persaudaraan", terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti "memperhatikan". Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara.

Boleh jadi, perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya

persamaan di antara pihak-pihak yang bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya ukhuwah diartikan sebagai "setiap persamaan dan keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari segi ibu, bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan". Secara majazi kata ukhuwah (persaudaraan) mencakup persamaan salah satu unsur seperti suku, agama, profesi, dan perasaan. Dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata akh yang membentuk kata ukhuwwah digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”.

A. Ukhuwah dalam al-Quran

Dalam al-Quran, kata akh (saudara) dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 52 (lima puluh dua) kali. Kata ini dapat berarti: 1. Saudara kandung atau saudara seketurunan, seperti pada ayat yang

berbicara tentang kewarisan, atau keharaman mengawini orang-orang tertentu, misalnya:20

م ك ت وا خ أ و م ناتك ب و م ك ت ها م أ م ك ي ل ع ت م ر ح ت خ ل ا ت نا ب و خ ل ا ت نا ب و م ك ت خال و م ك ت ما ع و

ن م م ك ت وا خ أ و م ك ن ع ض ر أ تي الل م ك ت ها م أ و

20 QS an-Nisâ’ [4]: 23

81

Page 82: Bahan ajar

في تي الل م ك ب ئ با ر و م ك ئ سا ن ت ها م أ و ة ع ضا ر الن إ ف ن ه ب م ت ل خ د تي الل م ك ئ سا ن ن م م ك ر جو ح

ل ئ حل و م ك ي ل ع ح نا ج فل ن ه ب م ت ل خ د نوا كو ت م ل ن ي ب عوا م ج ت ن أ و م ك ب صل أ ن م ن ذي ل ا م ك ئ نا ب أ

را فو غ ن كا ه ل ال ن إ ف ل س د ق ما إل ن ي ت خ ل اما حي ر

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan21; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

2. Saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga, seperti (redaksi) doa Nabi Musa a.s. yang diabadikan al-Quran:22

خي أ ن رو ها لي ه أ ن م را زي و لي ل ع ج وا "Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku."

21 Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.

22QS Thâhâ [20]: 29-30

82

Page 83: Bahan ajar

3. Saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak seagama seperti dalam firman-Nya,23

ه ل ال دوا ب ع ا م و ق يا ل قا دا هو م ه خا أ د عا لى إ و ن قو ت ت فل أ ه ر ي غ ه ل إ ن م م ك ل ما

"Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?"

Seperti telah diketahui kaum 'Ad membangkang terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Hud, sehingga Allah memusnahkan mereka (baca antara lain:24

ها ر خ س ية ت عا ر ص ر ص ح ري ب كوا ل ه أ ف د عا ما أ و رى ت ف ما سو ح م يا أ ة ي ن ما ث و ل يا ل ع ب س م ه ي ل ع ية و خا ل خ ن ز جا ع أ م ه ن أ ك عى ر ص ها في م و ق ل ا

"Adapun kaum 'Aad Maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu lihat kaum 'Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk)."

4. Saudara semasyarakat, walaupun berselisih paham.

ي ل و ة ج ع ن ن عو س ت و ع س ت ه ل خي أ ذا ه ن إ في ني ز ع و ها ني ل ف ك أ ل قا ف ة د ح وا ة ج ع ن

ب طا خ ل ب ا"Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja.

23 QS al-A’râf [7]: 6524 QS al-Hâqqah [69]: 6-7

QS Shâd [38]: 23

83

Page 84: Bahan ajar

Maka dia berkata: "Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan".

5. Persaudaraan seagama.25

م يك و خ أ ن ي ب حوا ل ص أ ف ة و خ إ ن نو م ؤ م ل ا ما ن إ ن مو ح ر ت م لك ع ل ه ل ال قوا ت وا

"Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat."

Dari pembahasana kebahasaan ini kita temukan lagi dua macam ragama persaudaraan, yang walaupun secara tegas tidak disebut oleh al-Quran sebagai "persaudaraan", namun substansinya adalah persaudaraan. Kedua hal tersebut adalah: 1. Saudara sesama manusia (ukhuwwah insâniyyah).

Al-Quran menyatakan bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah dari seorang lelaki dan seorang perempuan (Adam dan Hawa)26

ثى ن أ و ر ك ذ ن م م ك نا ق ل خ نا إ س نا ال ها ي أ يا م ك م ر ك أ ن إ فوا ر عا ت ل ل ئ با ق و با عو ش م ك نا ل ع ج و

ر بي خ م لي ع ه ل ال ن إ م ك قا ت أ ه ل ال د ن ع"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

2. Saudara sesama makhluk dan seketundukan kepada Allah.

Di atas telah dijelaskan bahwa dari segi bahasa kata akh (saudara) digunakan pada berbagai bentuk persamaan. Dari sini 1ahir persaudaraan kesemakhlukan. Al-Quran secara tegas menyatakan:27

25 QS al-Hujurât [49: 1026 QS al-Hujurât [49]: 13 27 QS al-An'âm [6]: 38

84

Page 85: Bahan ajar

ر طي ي ر ئ طا ول ض ر ل ا في ة ب دا ن م ما و ب تا ك ل ا في نا ط ر ف ما م ك ل ثا م أ م م أ إل ه ي ح نا ج ب

رون ش ح ي م ه ب ر لى إ م ث ء ي ش ن م"Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam al-Kitab28, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan."

B. Ragam Ukhuwah Islamiyah

Ukhuwah Islamiyah, dalam pandangan M. Quraish Shihab, lebih tepat dimaknai sebagai ukhuwah yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam. Telah dikemukakan pula beberapa ayat yang mengisyaratkan bentuk atau jenis "persaudaraan" yang disinggung oleh al-Quran. Semuanya dapat disimpulkan bahwa kitab suci ini memperkenalkan paling tidak empat macam persaudaraan:

1 Ukhuwwah 'Ubûdiyyah atau saudara kesemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah.

2. Ukhuwwah Insâniyyah (basyariyyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari seorang ayah dan ibu.

3. Ukhuwwah Wathaniyyah wa Nasabiyyah, yaitu persaudaraan dalam arti kebangsaan (sebangsa) dan keturunan (seketurunan).

4. Ukhuwwah fi dîn al-Islâm, persaudaraan antarsesama Muslim.

Makna dan macam-macam persaudaraan tersebut di atas adalah berdasarkan pemahaman terhadap teks ayat-ayat al-Quran. Ukhuwah yang secara jelas dinyatakan oleh al-Quran adalah persaudaraan seagama Islam, dan persaudaraan yang jalinannya bukan karena agama. Ini tecermin dengan jelas dari pengamatan terhadap penggunaan bentuk jamak kata tersebut dalam al-Quran, yang menunjukkan dua arti kata akh, yaitu:

28 Sebahagian mufassirin (para ahli tafsir) menafsirkan al-Kitab itu dengan Lauhul Mahfuzh dengan arti bahwa nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauhul Mahfuzh. Dan ada pula yang menafsirkannya dengan al-Quran dengan arti: dalam al-Quran itu telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan pimpinan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akherat, dan kebahagiaan makhluk pada umumnya.

85

Page 86: Bahan ajar

Pertama, ikhwan, yang biasanya digunakan untuk persaudaraan tidak sekandung. Kata ini ditemukan sebanyak 22 (dua puluh dua) kali sebagian disertakan dengan kata ad-dîn (agama) seperti dalam firmanNya.29

ة كا ز ال وا ت ءا و ة صل ال موا قا أ و بوا تا ن إ ف م و ق ل ت يا ال ل ص ف ن و ن دي ال في م ك ن وا خ إ ف

ن مو ل ع ي"Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui."

Apabila mereka bertobat, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, mereka adalah saudara-saudara kamu seagama.

Sedangkan sebagian lain tidak dirangkaikan dengan kata ad-dîn (agama) seperti:30

ل ق مى تا ي ل ا ن ع ك ن لو أ س ي و ة ر خ وال يا ن د ال في ه ل وال م نك وا خ إ ف م ه طو ل خا ت ن إ و ر ي خ م ه ل ح صل إ

م ك ت ن ع ل ه ل ال ء شا و ل و ح ل ص م ل ا ن م د س ف م ل ا م ل ع ي م حكي ز زي ع ه ل ال ن إ

"Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang Mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Teks ayat-ayat tersebut secara tegas dan nyata menunjukkan bahwa al-Quran memperkenalkan persaudaraan seagama dan persaudaraan tidak seagama.

29 QS at-Taubah [9]: 1130 QS al-Baqarah [2]: 220

86

Page 87: Bahan ajar

Bentuk jamak kedua yang digunakan oleh al-Quran adalah ikhwah, terdapat sebanyak 7 (tujuh) kali dan digunakan untuk makna persaudaraan seketurunan, kecuali satu ayat, yaitu,31

م ك ي و خ أ ن ي ب حوا ل ص أ ف ة و خ إ ن نو م ؤ م ل ا ما ن إ ن مو ح ر ت م لك ع ل ه ل ال قوا ت وا

"Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat."

Menarik untuk dipertanyakan, mengapa al-Quran menggunakan kata ikhwah dalam arti persaudaraan seketurunan ketika berbicara tentang persaudaraan sesama Muslim, atau dengan kata lain, mengapa al-Quran tidak menggunakan kata ikhwan, padahal kata ini digunakan untuk makna persaudaraan tidak seketurunan? Bukankah lebih tepat menggunakan kata terakhir, jika melihat kenyataan bahwa saudara-saudara seiman terdiri dari banyak bangsa dan suku, yang tentunya tidak seketurunan?

Menurut M. Quraish Shihab, hal ini bertujuan untuk mempertegas dan mempererat jalinan hubungan antarsesama Muslim, seakan-akan hubungan tersebut bukan saja dijalin oleh keimanan (yang di dalam ayat itu ditunjukkan oleh kata al-mu'minûn), melainkan juga "seakan-akan" dijalin oleh persaudaraan seketurunan (yang ditunjukkan oleh kata ikhwah). Sehingga merupakan kewajiban ganda bagi umat beriman agar selalu menjalin hubungan persaudaraan yang harmonis di antara mereka, dan tidak satu pun yang dapat dijadikan dalih untuk melahirkan keretakan hubungan. C. Faktor Penunjang Persaudaraan

Faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas ataupun sempit adalah persamaan. Semakin banyak persamaan akan semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan rasa dan cita merupakan faktor dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan hakiki, dan pada akhirnya menjadikan seseorang merasakan derita saudaranya, mengulurkan tangan sebelum diminta, serta memperlakukan saudaranya bukan atas dasar "take and give," tetapi justeru “mengutamakan orang lain

31 QS a1-Hujurât [49]: 10

87

Page 88: Bahan ajar

atas diri mereka”, walau diri mereka sendiri kekurangan. Sebagaimana firman Allah:32

ن بو ح ي م ه ل ب ق ن م ن ما لي وا ر دا ال ءوا و ب ت ن ذي ل وا ة ج حا م ه ر دو ص في ن دو ج ي ول م ه ي ل إ ر ج ها ن م م ه ب ن كا و ل و م ه س ف ن أ لى ع ن رو ث ؤ ي و توا أو ما م م ه ك ئ ل أو ف سه ف ن ح ش ق يو ن م و ة ص صا خ

ن حو ل ف م ل ا"Dan orang-orang yang telah menempati kota Medinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin), dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung

Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan nyaman pada saat berada di antara sesamanya, dan dorongan kebutuhan ekonomi merupakan faktor-faktor penunjang yang akan melahirkan rasa persaudaraan.

Islam datang menekankan hal-hal tersebut, dan menganjurkan mencari titik-singgung dan titik-temu persaudaraan. Jangankan terhadap sesama Muslim, terhadap non-Muslim pun demikian. Sebagaimana firman Allah berikut:33

نا ن ي ب ء وا س ة م ل ك لى إ وا ل عا ت ب تا ك ل ا ل ه أ يا ل ق ول ئا ي ش ه ب ك ر ش ن ول ه ل ال إل د ب ع ن أل م ك ن ي ب و

وا ل و ت ن إ ف ه ل ال ن دو ن م با با ر أ ضا ع ب نا ض ع ب ذ خ ت ي ن مو ل س م نا أ ب دوا ه ش ا لوا قو ف

"Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-kitab

32 QS al-Hasyr [59]: 933 QS Âli 'Imrân [3]: 64

88

Page 89: Bahan ajar

(yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian34 terhadap Kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat di antara kamu35, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu."

dan36

ه ل ال ل ق ض ر ل وا ت وا م س ال ن م م ك ق ز ر ي ن م ل ق ل - ق ن بي م ل ضل في و أ دى ه لى ع ل م ك يا إ و أ نا إ و

ن لو م ع ت ما ع ل أ س ن ول نا م ر ج أ ما ع ن لو أ س ت ل"Katakanlah: "Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan Sesungguhnya Kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang Kami perbuat dan Kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat".

D. Petunjuk al-Quran Untuk Memantapkan Ukhuwah

Guna memantapkan ukhuwah tersebut, pertama kali al-Quran menggarisbawahi bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan ini. Selain perbedaan tersebut merupakan kehendak Ilahi, juga demi kelestarian hidup, sekaligus demi mencapai tujuan kehidupan makhluk di pentas bumi.37

ه ي د ي ن ي ب ما ل قا د ص م ق ح ل با ب تا ك ل ا ك ي ل إ نا ل ز ن أ و ل ز ن أ ما ب م ه ن ي ب م ك ح فا ه ي ل ع نا م ي ه م و ب تا ك ل ا ن م

34Maksudnya: al-Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam Kitab-kitab sebelumnya.

35Maksudnya: umat Nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya.

36 QS Saba’ [34): 24-2537 QS al-Mâidah [5]: 48

89

Page 90: Bahan ajar

ل لك ق ح ل ا ن م ك ء جا ما ع م ه ء وا ه أ ع ب ت ت ول ه ل اله ل ال ء شا و ل و جا ها ن م و ة ع ر ش م ك ن م نا ل ع ج م ك تا ءا ما في م ك و ل ب ي ل ن ك ل و ة د ح وا ة م أ م ك ل ع ج ل عا مي ج م ك ع ج ر م ه ل ال لى إ ت را ي خ ل ا قوا ب ت س فا

ن فو ل ت خ ت ه في م ت ن ك ما ب م ك ئ ب ن ي ف"Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian38 terhadap Kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat di antara kamu39, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu."

Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat, niscaya diciptakan-Nya manusia tanpa akal budi seperti binatang atau benda-benda tak bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilah dan memilih, karena hanya dengan demikian seluruhnya akan menjadi satu pendapat.

Dari sini, seorang Muslim dapat memahami adanya pandangan atau bahkan pendapat yang berbeda dengan pandangan agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada di luar kehendak Ilahi. Kalaupun nalarnya tidak dapat memahami kenapa Tuhan berbuat demikian, kenyataan yang diakui Tuhan itu tidak akan menggelisahkan atau mengantarkannya "mati", atau memaksa orang lain secara halus maupun kasar agar menganut pandangan agamanya,40

38Maksudnya: Al-Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam Kitab-kitab sebelumnya.

39 Maksudnya: umat Nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya.

40 QS al-Kahfi [18]: 6; (QS Yunus [10]: 99

90

Page 91: Bahan ajar

نوا م ؤ ي م ل ن إ م ه ر ثا ءا لى ع ك س ف ن ع خ با ك ل ع ل ف فا س أ ث دي ح ل ا ذا ه ب

"Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (al-Quran)."

عا مي ج م ه ل ك ض ر ل ا في ن م ن م ل ك ب ر ء شا و ل و ن ني م ؤ م نوا يكو تى ح س نا ال ه ر ك ت ت ن أ ف أ

"Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”

Untuk menjamin terciptanya persaudaraan dimaksud, Allah Swt. memberikan beberapa petunjuk sesuai dengan jenis persaudaraan yang diperintahkan. Pada kesempatan ini, akan dikemukakan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan persaudaraan secara umum dan persaudaraan seagama Islam.

1. Untuk memantapkan persaudaraan pada arti yang umum, Islam memperkenalkan konsep khalifah. Manusia diangkat oleh Allah sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut manusia untuk memelihara, membimbing, dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan tujuan penciptaannya. Karena itu, Nabi Muhammad S.a.w.. melarang memetik buah sebelum siap untuk dimanfaatkan, memetik kembang sebelum mekar, atau menyembelih binatang yang terlalu kecil. Nabi Muhammad S.a.w.. juga mengajarkan agar selalu bersikap bersahabat dengan segala sesuatu sekalipun terhadap benda tak bernyawa. Al-Quran tidak mengenalkan istilah "penaklukan alam", karena secara tegas al-Quran menyatakan bahwa yang menaklukkan alam untuk manusia adalah Allah,41

ض ر ل ا في ما و ت وا م س ال في ما م ك ل ر خ س و ن رو ك ف ت ي م و ق ل يات ل ك ل ذ في ن إ ه ن م عا مي ج

"Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya

41 QS al-Jâtsiyah [45]: 13

91

Page 92: Bahan ajar

pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.”

Secara tegas pula seorang Muslim diajar untuk mengakui bahwa ia tidak mempunyai kekuasaan untuk menundukkan sesuatu kecuali atas penundukan Ilahi. Pada saat berkendaraan seorang Muslim dianjurkan membaca, Mahasuci Allah yang menundukkan ini buat kami, sedang kami sendiri tidak mempunyai kesanggupan menundukkannya,42

ذا إ م بك ر ة م ع ن روا ك ذ ت م ث ه ر هو ظ لى ع ووا ت س ت ل ذا ه نا ل ر خ س ذي ل ا ن حا ب س لوا قو ت و ه ي ل ع م ت ي و ت س ا

ن ني ر ق م ه ل نا ك ما و"Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan supaya kamu mengucapkan: "Maha suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya."

2. Untuk mewujudkan persaudaraan antarpemeluk agama, Islam memperkenalkan ajaran,43

ن دي ي ل و م ك ن دي م ك ل"untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

dan:44

ع ب ت ت ول ت ر م أ ما ك م ق ت س وا ع د فا ك ل ذ ل ف ب تا ك ن م ه ل ال ل ز ن أ ما ب ت ن م ءا ل ق و م ه ء وا ه أ

نا ل ما ع أ نا ل م ك ب ر و نا ب ر ه ل ال م ك ن ي ب ل د ع ل ت ر م أ و ع م ج ي ه ل ال م نك ي ب و نا ن ي ب ة ج ح ل م ك ل ما ع أ م ك ل و ر صي م ل ا ه ي ل إ و نا ن ي ب

42QS al-Zukhruf [43]: 1343QS al-Kâfirûn [109]: 644QS Al-Syûrâ [42): 15

92

Page 93: Bahan ajar

"Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah45sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: "Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)."

Al-Quran juga menganjurkan agar mencari titik-singgung dan titik-temu antarpemeluk agama. Al-Quran menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain, dan tidak perlu saling menyalahkan.46

نا ن ي ب ء وا س ة م ل ك لى إ وا ل عا ت ب تا ك ل ا ل ه أ يا ل ق ول ئا ي ش ه ب ك ر ش ن ول ه ل ال إل د ب ع ن أل م ك ن ي ب و

وا ل و ت ن إ ف ه ل ال ن دو ن م با با ر أ ضا ع ب نا ض ع ب ذ خ ت ي ن مو ل س م نا أ ب دوا ه ش ا لوا قو ف

"Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". Jjika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)."

Bahkan al-Quran mengajarkan kepada Nabi Muhammad S.a.w.. dan umatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain, setelah “kalimah s.a.w.a' (titik-temu)” tidak dicapai:47

ه ل ال ل ق ض ر ل وا ت وا م س ال ن م م ك ق ز ر ي ن م ل ق - ن بي م ل ضل في و أ دى ه لى ع ل م ك يا إ و أ نا إ ل و ق

- ن لو م ع ت ما ع ل أ س ن ول نا م ر ج أ ما ع ن لو أ س ت ل45Maksudnya: tetaplah dalam agama dan lanjutkanlah berdakwah.

46 QS Âli 'Imrân [3]: 6447 QS Saba’ [34]: 24-26

93

Page 94: Bahan ajar

و ه و ق ح ل با نا ن ي ب ح ت ف ي م ث نا ب ر نا ن ي ب ع م ج ي ل ق م لي ع ل ا ح تا ف ل ا

"Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi? Katakanlah: "Allah", dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat. Katakanlah: "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia-lah yang Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui."

Jalinan persaudaraan antara seorang Muslim dan non-Muslim sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama pihak lain menghormati hak-hak umat Islam.48

ن دي ال في م ك لو ت قا ي م ل ن ذي ل ا ن ع ه ل ال م ك ها ن ي لطوا س ق ت و م ه رو ب ت ن أ م ك ر يا د ن م م ك جو ر خ ي م ل و

ن طي س ق م ل ا ب ح ي ه ل ال ن إ م ه ي ل إ"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Ketika sebagian sahabat Nabi memutuskan bantuan keuangan/material kepada sebagian penganut agama lain dengan alasan bahwa mereka bukan Muslim, al-Quran menegur mereka dengan firman-Nya:49

ء شا ي ن م دي ه ي ه ل ال ن ك ل و م ه دا ه ك ي ل ع س ي ل إل ن قو ف ن ت ما و م ك س ف ن ل ف ر ي خ ن م قوا ف ن ت ما و

م ك ي ل إ ف و ي ر ي خ ن م قوا ف ن ت ما و ه ل ال ه ج و ء غا ت ب ان مو ل ظ ت ل م ت ن أ و

48 QS al-Mumtahanah [60]: 849 QS al-Baqarah [2]: 272

94

Page 95: Bahan ajar

"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan)."

3. Untuk memantapkan persaudaraan antarsesama Muslim, al-Quran pertama kali menggarisbawahi perlunya menghindari segala macam sikap lahir dan batin yang dapat mengeruhkan hubungan di antara mereka.

Setelah menyatakan bahwa orang-orang yang beriman bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan ishlâh (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman di antara dua orang (kelompok) kaum Muslim, al-Quran memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap Muslim melakukannya:50

سى ع م و ق ن م م قو ر خ س ي ل نوا م ءا ن ذي ل ا ها ي أ يا سى ع ء سا ن ن م ء سا ن ول م ه ن م را ي خ نوا كو ي ن أ زوا ب نا ت ول م ك فس ن أ زوا م ل ت ول ن ه ن م را ي خ ن ك ي ن أ

ن م و ن ما لي ا د ع ب ق سو ف ل ا م س ال س ئ ب ب قا ل ل با ن مو ل ظا ال م ه ك ئ ل أو ف ب ت ي م ل

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri51 an jangan memanggil dengan panggilan (gelaran) yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah

50 QS al-Hujurât [49]: 1151Jangan mencela dirimu sendiri. Maksudnya ialah mencela antara sesama

mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu tubuh.

95

Page 96: Bahan ajar

iman.52 Dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka otulah orang-orang yang zalim."

Selanjutnya ayat di atas memerintahkan orang yang beriman (mu’min; pl.: mu’minûn) untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan oleh al-Quran seperti memakan daging-saudara sendiri yang telah meninggal dunia.53

ن إ ن ظ ال ن م را ثي ك بوا ن ت ج ا نوا م ءا ن ذي ل ا ها ي أ يا م ك ض ع ب ب ت غ ي ول سوا س ج ت ول م ث إ ن ظ ال ض ع ب

تا ي م ه خي أ م ح ل ل ك أ ي ن أ م ك د ح أ ب ح ي أ ضا ع ب م حي ر ب وا ت ه ل ال ن إ ه ل ال قوا ت وا ه مو ت ه ر ك ف

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."

Menarik untuk diketengahkan, bahwa al-Quran dan hadis-hadis Nabi S.a.w.. tidak merumuskan definisi persaudaraan (ukhuwwah), tetapi yang ditempuhnya adalah memberikan contoh-contoh praktis. Pada umumnya contoh-contoh tersebut berkaitan dengan sikap kejiwaan, atau tecermin -- misalnya -- dalam hadis Nabi S.a.w.. antara lain,54

ول ث دي ح ل ا ب ذ ك أ ن ظ ال ن إ ف ن ظ وال م ك يا إ دوا س حا ت ول سوا ف نا ت ول سوا س ج ت ول سوا س ح ت

نا وا خ إ ه ل ال د با ع نوا كو و روا ب دا ت ول ضوا غ با ت ولHindarilah prasangka buruk, karena itu adalah sebohong-bohongnya ucapan. Jangan pula saling mencari-cari kesalahan. Jangan saling iri,

52Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: hai fasik, hai kafir dan sebagainya.

53QS al-Hujurât [49]: 1254 ( 523 ص / 6 ج - (الرسول أحاديث في الصول جامع )

96

Page 97: Bahan ajar

jangan saling membenci, dan jangan saling membelakangi (Diriwayatkan oleh keenam ulama hadis, kecuali an-Nasa'i, melalui Abu Hurairah).

Semua itu wajar, karena sikap batiniahlah yang melahirkan sikap lahiriah. Demikian pula, bahwa sebagian dari redaksi ayat dan hadis yang berbicara tentang hal ini dikemukakan dengan bentuk larangan. Ini pun dimengerti bukan saja karena at-takhliyah (menyingkirkan yang jelek) harus didahulukan daripada at-tahliyah (menghiasi diri dengan kebaikan), melainkan juga karena "melarang sesuatu mengandung arti memerintahkan lawannya, demikian pula sebaliknya."

Semua petunjuk al-Quran dan hadis Nabi S.a.w.. yang berbicara tentang interaksi antarmanusia pada akhirnya bertujuan untuk memantapkan ukhuwah. Perhatikan -- misalnya -- larangan melakukan transaksi yang bersifat batil,55

لى إ ها ب لوا د ت و ل ط با ل با م ك ن ي ب م ك ل وا م أ لوا ك أ ت ول م ث ل با س نا ال ل وا م أ ن م قا ري ف لوا ك أ ت ل م كا ح ل ان مو ل ع ت م ت ن أ و

"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui."

Larangan riba,56

ذي ل ا م قو ي ما ك إل ن مو قو ي ل با ر ال ن لو ك أ ي ن ذي ل اما ن إ لوا قا م ه ن أ ب ك ل ذ س م ل ا ن م ن طا ي ش ال ه ط ب خ ت ي ن م ف با ر ال م ر وح ع ي ب ل ا ه ل ال ل ح أ و با ر ال ل ث م ع ي ب ل اف ل س ما ه ل ف هى ت ن فا ه ب ر ن م ة ظ ع و م ه ء جا ر نا ال ب حا ص أ ك ئ ل أو ف د عا ن م و ه ل ال لى إ ه ر م أ و

ن دو ل خا ها في م ه55 QS al-Baqarah [2]: 18856 QS al-Baqarah [2]: 275

97

Page 98: Bahan ajar

ن م ي ق ب ما ذروا و ه ل ال قوا ت ا نوا م ءا ن ذي ل ا ها ي أ يا ن ني م ؤ م م ت ن ك ن إ با ر ال

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba57 tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan seitan lantaran (tekanan) penyakit gila58. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu59(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Anjuran menulis utang-piutang,60

ل ج أ لى إ ن ي د ب م ت ن ي دا ت ذا إ نوا م ءا ن ذي ل ا ها ي أ يا ول ل د ع ل با ب ت كا م ك ن ي ب ب ت ك ي ل و ه بو ت ك فا مى س م

ل ل م ي ل و ب ت ك ي ل ف ه ل ال ه م ل ع ما ك ب ت ك ي ن أ ب ت كا ب أ ي ه ن م س خ ب ي ول ه ب ر ه ل ال ق ت ي ل و ق ح ل ا ه ي ل ع ذي ل ا

فا عي ض و أ ها في س ق ح ل ا ه ي ل ع ذي ل ا ن كا ن إ ف ئا ي ش ل د ع ل با ه ي ل و ل ل م ي ل ف و ه ل م ي ن أ ع طي ت س ي ل و أ

نا يكو م ل ن إ ف م ك ل جا ر ن م ن ي د هي ش دوا ه ش ت س وا ن م ن و ض ر ت ن م م ن تا أ ر م وا ل ج ر ف ن ي ل ج ر

57Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

58Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan setan.

59Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.

60 QS al-Baqarah [2]: 282

98

Page 99: Bahan ajar

ما ه دا ح إ ر ك ذ ت ف ما ه دا ح إ ل ض ت ن أ ء دا ه ش الموا أ س ت ول دعوا ما ذا إ ء دا ه ش ال ب أ ي ول رى خ ل اط س ق أ م لك ذ ه ل ج أ لى إ را بي ك و أ را غي ص ه بو ت ك ت ن أ

ن أ إل بوا تا ر ت أل نى د أ و ة د ها ش لل م و ق أ و ه ل ال د ن ع س ي ل ف م نك ي ب ها ن رو دي ت ة ر ض حا ة ر جا ت ن كو ت

ول م ت ع ي با ت ذا إ دوا ه ش أ و ها بو ت ك ت أل ح نا ج م ك ي ل ع ق سو ف ه ن إ ف لوا ع ف ت ن إ و د هي ش ول ب ت كا ر ضا ي

ء ي ش ل ك ب ه ل وال ه ل ال م ك م ل ع ي و ه ل ال قوا ت وا م ك ب م لي ع"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah61 tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan/mendiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah -- Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan

61Bermuamalah ialah seperti berjual-beli, utang-piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.

99

Page 100: Bahan ajar

saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

Larangan mengurangi atau melebihkan timbangan,62

ن في ف ط م ل ل ل ي س و نا ال لى ع لوا تا ك ا ذا إ ن ذي ل ا

ن فو و ت س ن )2)(1(ي رو س خ ي م ه نو ز و و أ م ه لو كا ذا إ (و

3)

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,(1) (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,(2) dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.(3)” dan lain-lain.

Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, al-Quran secara tegas memerintahkan orang-orang yang beriman untuk merujuk Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnah). Tetapi seandainya terjadi perbedaan pemahaman al-Quran dan Sunnah itu, baik mengakibatkan perbedaan pengamalan maupun tidak, maka petunjuk al-Quran dalam hal ini adalah:63

ل سو ر ال عوا طي أ و ه ل ال عوا طي أ نوا م ءا ن ذي ل ا ها ي أ يا ه دو ر ف ء ي ش في م ت ع ز نا ت ن إ ف م ك ن م ر م ل ا لي أو و م و ي ل وا ه ل بال ن نو م ؤ ت م ت ن ك ن إ ل سو ر وال ه ل ال لى إ

ويل أ ت ن س ح أ و ر ي خ ك ل ذ ر خ ال"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

E. Konsep-konsep Dasar Pemantapan Ukhuwah

62QS al-Muthaffifîn [83]: 1-363QS an-Nisâ' [4]: 59

100

Page 101: Bahan ajar

Setelah mempelajari teks-teks keagamaan, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa para ulama mengenalkan tiga konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama. 1. Konsep tanawwu' al-'ibâdah (keragaman cara beribadah).

Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktikkan Nabi S.a.w.. dalam bidang pengamalan agama, yang mengantarkan kepada pengakuan akan kebenaran semua praktik keagamaan, selama semuanya itu merujuk kepada Rasulullah S.a.w.. Anda tidak perlu meragukan pernyataan ini, karena dalam konsep yang diperkenalkan ini, agama tidak menggunakan pertanyaan: "Berapaka hasil 5 + 5?", melainkan yang ditanyakan adalah, "Jumlah sepuluh itu merupakan hasil penambahan berapa tambah berapa?" 2. Konsep al-mukhti'u fî al-ijtihâd lahû ajr (Yang salah dalam berijtihad pun

[menetapkan hukum] mendapat ganjaran).

Ini berarti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah Swt., walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya keliru. Hanya saja di sini perlu dicatat bahwa penentuan yang benar dan salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang Allah Swt. sendiri, yang baru akan diketahui pada hari kemudian. Sebagaimana perlu pula digarisbawahi, bahwa yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah memiliki otoritas keilmuan, yang disampaikannya setelah melakukan ijtihad (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum) setelah mempelajari dengan saksama dalil-dalil keagaman (al-Quran dan Sunnah). 3. Konsep lâ hukma lillâh qabla ijtihâd al-mujtahid (Allah belum

menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan oleh seorang mujtahid).

Ini berarti bahwa hasil ijtihad itulah yang merupakan hukum Allah

bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihadnya berbeda-beda. Sama halnya dengan gelas-gelas kosong, yang disodorkan oleh tuan rumah dengan berbagai ragam minuman yang tersedia. Tuan rumah mempersilakan masing-masing tamunya memilih minuman yang tersedia

101

Page 102: Bahan ajar

di atas meja dan mengisi gelasnya -- penuh atau setengah -- sesuai dengan selera dan kehendak masing-masing (selama yang dipilih itu berasal dari minuman yang tersedia di atas meja). Apa dan seberapa pun isinya, menjadi pilihan yang benar bagi masing-masing pengisi. Jangan mempersalahkan seseorang yang mengisi gelasnya dengan kopi, dan Anda pun tidak wajar dipersalahkan jika memilih setengah air jeruk yang disediakan oleh tuan rumah.

Memang al-Quran dan hadis-hadis Nabi S.a.w.. tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan mutlak. Yang mutlak adalah Tuhan dan firman-firman-Nya, sedangkan interpretasi firman-firman itu, sedikit sekali yang bersifat pasti ataupun mutlak. Cara kita memahami al-Quran dan Sunnah Nabi berkaitan erat dengan banyak faktor, antara lain lingkungan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan tentu saja tingkat kecerdasan dan pemahaman masing-masing mujtahid.

Dari sini terlihat bahwa para ulama sering bersikap rendah hati dengan menyebutkan, "Pendapat kami benar, tetapi boleh jadi keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru, tetapi mungkin saja benar." Berhadapan dengan teks-teks wahyu, mereka selalu menyadari bahwa sebagai manusia mereka memiliki keterbatasan, dan dengan demikian, tidak mungkin seseorang akan mampu menguasai atau memastikan bahwa interpretasinyalah yang paling benar. F. Ukhuwah Dalam Praktik

Jika kita mengangkat salah satu ayat dalam bidang ukhuwah, agaknya salah satu ayat dalam surat al-Hujurât dapat dijadikan landasan pengamalan konsep ukhuwah Islamiyah. Ayat yang dimaksud adalah,64

قوا ت وا م يك و خ أ ن ي ب حوا ل ص أ ف ة و خ إ ن نو م ؤ م ل ا ما ن إ ن مو ح ر ت م لك ع ل ه ل ال

"Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.

64 QS al-Hujurât [49]: 10

102

Page 103: Bahan ajar

Kata ishlâh atau shalâh yang banyak sekali berulang dalam al-Quran, pada umumnya tidak dikaitkan dengan sikap kejiwaan, melainkan justeru digunakan dalam kaitannya dengan perbuatan nyata. Kata ishlâh hendaknya tidak hanya dipahami dalam arti mendamaikan antara dua orang (atau lebih) yang berselisih, melainkan harus dipahami sesuai makna semantiknya dengan memperhatikan penggunaan al-Quran terhadapnya.

Puluhan ayat berbicara tentang kewajiban melakukan shalâh dan ishlâh. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata shalâh diartikan sebagai antonim dari kata fasâd (kerusakan), yang juga dapat diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata ishlâh digunakan oleh al-Quran dalam dua bentuk: Pertama, ishlâh yang selalu membutuhkan objek; dan kedua, adalah shalâh yang digunakan sebagai bentuk kata sifat. Sehingga, shalâh dapat diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya hingga tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk menghadirkan nilai tersebut, dan hal yang dilakukannya itu dinamai ishlâh.

Jika kita menunjuk hadis, salah satu hadis yang populer di dalam bidang ukhuwah adalah sabda Nabi s.a.w.. yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar:65

ن م ه م ل س ي ول ه م ل ظ ي ل م ل س م ل ا خو أ م ل س م ل ان م و ه ت ج حا في ه ل ال ن كا ه خي أ ة ج حا في ن كا

ن م ة ب ر ك ها ب ه ن ع ه ل ال ج ر ف ة ب ر ك م ل س م ن ع ج ر ف م و ي ه ل ال ه ر ت س ما ل س م ر ت س ن م و ة م يا ق ل ا م و ي ب ر ك

ة م يا ق ل ا"Seorang muslim bersaudara dengan muslim lainnya. Dia tidak menganiaya, tidak pula menyerahkannya (kepada musuh). Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi pula kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan dan seorang muslim suatu kesulitan, Allah akan melapangkan baginya satu kesulitan pula dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya di hari kemudian.

120 ص / 2 ج - ومسلم البخاري الصحيحين بين الجمع 65

103

Page 104: Bahan ajar

Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, Allah akan menutup aibnya di hari kemudian. Dari riwayat at-Tirmidzi dari Abu Hurairah, larangan di atas

dilengkapi dengan,66

ه ل ذ خ ي ول ه ب ذ ك ي ول ه ن خو ي لDia tidak mengkhianatinya, tidak membohonginya, dan tidak pula meninggalkannya tanpa pertolongan.

Demikian terlihat, betapa ukhuwah Islamiyah mengantarkan

manusia mencapai hasil-hasil kongkret dalam kehidupannya.

Untuk memantapkan ukhuwah Islamiyah, yang dibutuhkan bukan sekadar penjelasan segi-segi persamaan pandangan agama, atau sekadar toleransi mengenai perbedaan pandangan, melainkan yang lebih penting lagi adalah langkah-langkah bersama yang dilaksanakan oleh umat, sehingga seluruh umat merasakan nikmatnya.

Implementasi konsep ukhuwah (Islamiyah) dalam pandangan al-Quran memerlukan kesadaran setiap orang untuk bersinergi, dan tidak mungkin akan terwujud di ketika setiap orang – dalam bangunan sosial – menerjemahkannya dalam bentuk sikap anergis.

Manifestasi persaudaraan Islam ini telah dicontohkan dengan gemilang oleh Nabi dan para sahabatnya. Dalam bentuk saling menolong oleh siapa pun kepada siapa pun. Sebagai wujud kesaadaran untuk mengamalkan pesan moral al-Quran.

Daftar Pustaka

Anonim, al-Maktabah al-Syâmilah, Ishdâr Tsânî, UEA: Shakhr, 2007.

http://www.media.isnet.org

http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=963

http://www.vitanouva.net/index.php?topic=1495.0

325 ص / 4 ج - الترمذي سنن 66

104

Page 105: Bahan ajar

http://www.sejutablog.com/egoisme-penyebab-kerusakan-alam-lingkungan/

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur'an (Bandung: Mizan), 1992.

------, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati), 2002.

------, Wawasan Al-Qur'an (Bandung: Mizan), 2005.

105

Page 106: Bahan ajar

106

Page 107: Bahan ajar

Relasi Islam dan Demokrasi

Pada sekitar tahun 60-an seorang orientalis pernah memprediksikan bahwa Islam akan menjadi salah satu kekuatan politik yang sangat penting di dunia. Pengamat yang lain memberikan sinyalemen adanya 'kebangkitan' Islam sebagai gerakan yang semakin go public, yang semakin inklusif.[1][2] Pada kenyataannya dapat dilihat bahwa Islam begitu marak dalam menentukan identitasnya. Begitu banyak aspek kehidupan yang dicarikan dasarnya dari akar Islam, baik yang sekunder (hadis) maupun yang primer (al-Quran). Ada kesan bahwa di setiap aspek kehidupan ini Islam harus memiliki kekhasannya sendiri.

Bersamaan dengan dinamika itu, dalam percaturan politik dunia, kehancuran ideologi komunis menyisakan demokrasi sebagai satu-satunya peradaban politik yang dewasa ini semakin kuat. Kesulitan untuk menyebut demokrasi sebagai ideal type membuka peluang bagi setiap wilayah di dunia ini untuk mencari sosok demokrasi yang operasional. Demokrasi di negara yang satu, kalau boleh dikatakan demikian, berbeda dari demokrasi di negara yang lain. Singkatnya, setiap kekuatan politik mengupayakan cita-cita demokrasi yang realistis bagi negaranya sendiri.

Dalam pengertian ini, Islam sebagai suatu kekuatan politik memiliki peluang besar untuk menggali kaedah-kaedah yang bernuansa demokratis. Di situlah kiranya dapat dilihat hubungan antara Islam dan demokrasi. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secukupnya tentang relasi antara Islam dan demokrasi.

Sebelum membahas relasi tersebut, perlu dicatat bahwa demokrasi dalam tulisan ini tidak mengandaikan polemik yang begitu mendetail. Demokrasi di sini cukup dimengerti sebagai suatu kesetaraan politik, perimbangan kekuasaan. Sedangkan Islam dalam hal ini perlu dilihat sebagai suatu kekuatan politik yang, lebih dari sekadar ideologi, memiliki deep driving force untuk menciptakan suatu iklim demokratis. Untuk melihat relasi antara Islam dan demokrasi, baiklah dilihat dahulu Islam sebagai suatu kekuatan politik; lalu, pokok-pokok gagasan tentang demokrasi; dan akhirnya landasan Islam bagi pokok-pokok tersebut, serta kesimpulan yang dapat ditarik tentang relasi antara Islam dan demokrasi.

A. Islam: Satu Kekuatan Politik

107

Page 108: Bahan ajar

Memandang Islam sebagai suatu kekuatan politik mengandaikan pengertian bahwa Islam memiliki pemahaman integral akan yang duniawi dan yang ukhrawi.[3] Secara historis dapat dipahami bahwa Islam menghidupi aspek integral antara yang duniawi dan ukhrawi, antara yang ruhani dan jasmani. Di sini pantas dicatat bahwa gerakan Nabi (Muhammad) s.a.w. sendiri pada awalnya tidak memiliki relevansi politis yang jelas. Akan tetapi, pada akhirnya gerakan religius Nabi s.a.w. ini disegani juga oleh pedagang-pedagang besar di Mekah. Gagasan religius Nabi s.a.w. menjawab situasi Mekah secara total sehingga lambat laun gerakan Nabi s.a.w. sungguh-sungguh memiliki relevansi bagi kegiatan politik di tanah Arab itu.[4]

Dari perjuangan Nabi s.a.w. dapatlah dilihat bahwa gerakan religiusnya memang memiliki relevansi politis. Keterbukaan dan penghormatan kepada sesama manusia makhluk Allah, misalnya, baginya cukup menjadi basis penggerak untuk membuat komunitas pluralistik (dengan Piagam Medina). Hal inilah yang memungkinkan munculnya pemahaman bahwa Islam sebagai kekuatan politik tidak terlepas dari Islam sebagai suatu gejala teologis. Apa yang dihayati, dihidupi sebagai bagian keruhanian itu terwujud pula dalam kejasmanian. Dengan kata lain, Islam sebagai gejala teologis pun secara historis terimplementasi dalam Islam sebagai gejala ideologis. Itu berarti bahwa Islam memiliki ideologi-ideologi yang mendasari bagaimana ia hidup dalam tatanan sosial politik.

Lebih radikal lagi, dalam arti luas, dari sini juga dapat diterima bahwa agama (Islam) memiliki kaitan yang istimewa dengan negara.[5] Dalam arti tertentu, Islam menawarkan landasan yang kokoh sebagaimana ideologi lainnya memberikan dasar untuk penyelenggaraan negara.

Secara teoretis, dengan pola hubungan tujuan-sarana, mutlak-relatif, hubungan antara Islam dan negara tidak dapat dimengerti sebagai suatu pola hubungan statis. Artinya, keharusan adanya negara (Islam) tidak sekuat keharusan adanya agama Islam. Misalnya, kalau dari segi historis dapat ditemukan adanya negara Islam dalam arti sebagaimana dialami oleh Nabi s.a.w., tidak dapat dimutlakkan bahwa tatanan negara Islam itu diwujudkan dalam masa sekarang ini. (Hal itu akan serupa dengan pencarian demokrasi yang mengimpikan demokrasi asali: demokrasi Athena).

Pola hubungan yang dinamis antara Islam dan negara itu memungkinkan munculnya beberapa penafsiran dan gerakan dalam Islam sendiri. Kelompok yang lebih moderat tentu saja tidak memutlakkan

108

Page 109: Bahan ajar

institusi negara Islam sebagaimana ditafsirkan oleh kelompok fundamental. Bahkan, mungkin kebanyakan para tokoh muslim tidak menolak adanya kompromi bahwa negara Islam perlu dimengerti sebagai suatu negara yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam. Istilah negara Islam tidak perlu dimengerti sebagai negara yang segala-galanya diatur menurut kaedah Islam.[6]

Dengan penafsiran yang lebih terbuka itu (kalau tidak dapat dikatakan bahwa al-Quran dan hadis sendiri tidak menyebutkan soal negara Islam) Islam tidak dapat tidak perlu menemukan ide dasar dalam syari'ah bagi demokrasi. Harus diakui, demokrasi per se bukanlah gagasan Islam[7] tetapi tidak berarti bahwa Islam tidak compatible dengan gagasan itu. Islam justeru harus terbuka pada gagasan demokrasi yang sudah diakui secara universal sebagai satu peradaban yang layak diupayakan demi di dunia yang lebih baik. Kiranya dapat disebutkan di sini apa saja elemen-elemen demokrasi yang perlu ditemukan basisnya dalam Islam.

B. Demokrasi: Suatu Kesetaraan Politik

Begitu banyaknya ulasan tentang demokrasi memang dapat menimbulkan kesulitan kalau di antara ulasan itu ada pertentangan. Seorang penulis besar seperti Robert A. Dahl pun bahkan terkesan memakai pendekatan tesis-antitesis-sintesis yang cukup menimbulkan pertanyaan besar tentang apa itu sebenarnya demokrasi. Misalnya, gagasannya tentang poliarki menempatkan demokrasi pada tahap terakhir setelah poliarki. Sementara negara-negara yang dianggap sudah mengalami poliarki pun tidak mengalami apa-apa meskipun dikenal sudah sebagai negara demokratis. Di sini pengertian demokrasi seolah-olah dikaburkan juga.[8]

Akan tetapi, dari sekian banyak diskusi tentang demokrasi, kiranya ada saja pokok-pokok yang selalu dibahas sebagai elemen penting dalam demokrasi atau elemen penting yang perlu diupayakan oleh demokrasi. Dapat disebutkan di sini elemen demokratis itu sebagai berikut.[9]

1. Ada pengakuan kesetaraan antara seluruh individu.

2. Nilai-nilai yang melekat pada individu mengatasi nilai-nilai yang melekat pada negara.

3. Pemerintah merupakan pelayan masyarakat.

4. Ada aturan-aturan hukum.

5. Ada pengakuan atas nalar, eksperimentasi dan pengalaman.

109

Page 110: Bahan ajar

6. Ada pengakuan mayoritas atas hak-hak minoritas.

7. Ada prosedur dan mekanisme demokratis sebagai cara mencapai tujuan bersama.

Dari prinsip-prinsip demokratis ini, kiranya dapat diterima bahwa demokrasi pada akhirnya mengandaikan adanya suatu kesetaraan atau keseimbangan politis. Itu berarti setiap elemen masyarakat memiliki kesempatan dan kemampuan yang relatif seimbang untuk memperjuangkan kepentingan politisnya. Dalam beberapa kajian tentang demokrasi, hal ini dapat dipahami sebagai salah satu unsur demokrasi tetapi mungkin juga justeru tidak dianggap sebagai padanan demokrasi. [10]

Akan tetapi, akhirnya prinsip kesetaraan diterima sebagai basis demokrasi.

Dari paham kesetaraan inilah dapat diturunkan berbagai macam teori demokrasi yang akomodatif bagi gagasan Islam. Artinya, Islam sendiri memiliki basis yang kuat yang mendukung prinsip kesetaraan tersebut. Dengan seiringnya gerak rasionalitas dan inklusivisme Islam, Islam dapat memperkuat basis demokratis tersebut dengan syari'ahnya. Tentu saja, karena Islam memiliki syari'ah yang bersumber pada al-Quran, baiklah di sini sedikit saja disajikan kaedah-kaedah yang dapat dipakai sebagai legitimasi untuk demokrasi sebagaimana digagas oleh Kuntowijoyo.[11]

C. Kaedah-kaedah Demokrasi

Kaedah-kaedah demokrasi di sini kiranya perlu dikembalikan kepada pengertian demokrasi yang mengandaikan prinsip kesetaraan. Prinsip ini dapat diderivasikan pada QS al-Hujurât (49): 13

ثى ن أ و ر ك ذ ن م م ك نا ق ل خ نا إ س نا ال ها ي أ يا م ك م ر ك أ ن إ فوا ر عا ت ل ل ئ با ق و با عو ش م ك نا ل ع ج و

ر بي خ م لي ع ه ل ال ن إ م ك قا ت أ ه ل ال د ن عHai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal,

yang menunjukkan teosentrisme dalam Islam yang menyatakan kesatuan sebagai awal eksistensi manusia. Pluralitas kebangsaan yang terjadi pada akhirnya harus dikembalikan kepada prinsip asali dengan kaedah ta'arruf

110

Page 111: Bahan ajar

(saling mengenal). Kaedah ini jelas mengandaikan adanya kesamaan, kebebasan, dan juga komunikasi dialogis tanpa dominasi satu kelompok terhadap yang lain. Hal ini jelas sangat penting bagi suatu demokrasi yang efektif.

Kaedah yang kedua diasalkan pada QS asy-Syûrâ (42): 38

م ه ر م أ و ة صل ال موا قا أ و م ه ب ر ل بوا جا ت س ا ن ذي ل وا ن قو ف ن ي م ه نا ق رز ما م و م ه ن ي ب رى شو

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka,

dan Âli 'Imrân (3): 159

ظ لي غ ظا ف ت ن ك و ل و م ه ل ت ن ل ه ل ال ن م ة م ح ر ما ب ف ر ف غ ت س وا م ه ن ع ف ع فا ك ل و ح ن م ضوا ف ن ل ب ل ق ل ا

لى ع ل ك و ت ف ت م ز ع ذا إ ف ر م ل ا في م ه ر و شا و م ه ل ن لي ك و ت م ل ا ب ح ي ه ل ال ن إ ه ل ال

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya,

yang mengungkapkan kewajiban musyawarah dalam Islam. [12] Prinsip rupanya juga diperkuat oleh sumber sekunder syari'ah, yaitu penghayatan yang dilakukan oleh Nabi s.a.w. sendiri. Kaedah musyarawah ini (syura) sifatnya inklusif karena terbuka juga bagi kelompok non-muslim.

Kaedah berikutnya adalah ta'awun yang didasarkan pada QS al-Mâidah (5): 2

111

Page 112: Bahan ajar

ر ه ش ال ول ه ل ال ر ئ عا ش لوا ح ت ل نوا م ءا ن ذي ل ا ها ي أ يا ت ي ب ل ا ن مي ءا ول د ئ قل ل ا ول ي د ه ل ا ول م را ح ل ا

ذا إ و نا وا ض ر و م ه ب ر ن م ضل ف ن غو ت ب ي م را ح ل ان أ م و ق ن نآ ش م ك ن م ر ج ي ول دوا طا ص فا م ت ل ل ح

نوا و عا ت و دوا ت ع ت ن أ م را ح ل ا د ج س م ل ا ن ع م ك دو ص ن وا د ع ل وا م ث ل ا لى ع نوا و عا ت ول وى ق ت وال ر ب ل ا لى ع

ب قا ع ل ا د دي ش ه ل ال ن إ ه ل ال قوا ت واHai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi`ar-syi`ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya,

yang menyatakan adanya tuntutan untuk kerja sama demi 'kepentingan' Tuhan dan kepentingan manusia sendiri. Di sini prinsip untuk demokrasi dimengerti secara positif sebagai prinsip untuk membangun iklim yang 'bajik' (yang mendatangkan kebaikan) bagi kehidupan “umat” (komunitas). Untuk itulah diperlukan kerja sama juga secara positif baik dalam level komunitas kecil maupun dalam level makro. Prinsip ini bermanfaat sebagai proses demokratisasi di setiap tingkat komunitas.

Kaedah berikutnya banyak dijumpai dalam al-Quran sebagai padanan akar kata 'shahîh', yaitu mashlahah. Kaedah ini berfungsi sebagai suatu moral force supaya setiap individu berbuat baik dan menghindari keburukan (al-amr bi al-ma'rûf wa an-nahy ‘an al-munkar), sehingga menguntungkan pihak lain. Di sini Islam berperanan secara tidak langsung, dalam arti melalui individu atau kebudayaan (meskipun Kuntowijoyo menyatakan bahwa sebenarnya agama juga berperan langsung dalam proses demokratisasi).

112

Page 113: Bahan ajar

Kaedah lainnya adalah 'Adl atau adil, yang ditemukan dalam QS an-Nisâ' (4): 58

ذا إ و ها ل ه أ لى إ ت نا ما ل ا دوا ؤ ت ن أ م ك ر م أ ي ه ل ال ن إ ه ل ال ن إ ل د ع ل با موا ك ح ت ن أ س نا ال ن ي ب م ت م ك ح را صي ب عا مي س ن كا ه ل ال ن إ ه ب م ك ظ ع ي ما ع ن

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat,

dilanjutkan juga pada QS al-An'âm (6): 152. Tentu saja prinsip keadilan ini self-evident penting sebagai elemen demokrasi. Keadilan di sini mencakup keadilan sosial (distributive justice) maupun keadilan ekonomi (productive justice). Cakupan ini diulas lebih lanjut dalam kajian tentang demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi oleh Kuntowijoyo.

Kaedah demokrasi terakhir yang disebutkan oleh Kuntowijoyo adalah Taghyîr atau perubahan. Kaedah ini dapat ditemukan dalam QS ar-Ra'd (13): 11 yang menyatakan bahwa manusia berperan besar dalam menentukan perubahan hidup. Kaedah ini mengingatkan sejarah demokrasi di Athena yang diwarnai oleh tuntutan pergantian anggota “Dewan Lima Ratus”. Elemen ini tidak dapat dihindari oleh demokrasi yang tidak mengakomodasi kecenderungan status quo.[13] Demokrasi menuntut suatu perubahan yang memang sejalan dengan perkembangan kesadaran manusia yang selalu ingin mengadakan perbaikan. QS al-Insyiqâq (84): 19

ق ب ط ن ع قا ب ط ن ب ك ر ت لsesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan). sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan),

mendukung peran manusia dalam berproses untuk berubah, bagaimanapun perubahan itu akan berlangsung.

Tentu dari sekian sumber syari'ah itu tidak ada satu pun yang menyebutkan demokrasi.[14] Dalam batas tertentu memang kaedah ini terkesan menjadi rasionalisasi untuk menyatakan bahwa Islam itu

113

Page 114: Bahan ajar

compatible dengan demokrasi. Akan tetapi, hal itu memang perlu dilakukan sebagai upaya kontak dengan arus perkembangan tetapi tetap berbasis. Di sini diperlukan 'dialog' antara Islam sebagai satu kekuatan politik yang besar dan demokrasi sebagai suatu sistem peradaban yang diakui secara universal menjadi cita-cita. Bagaimana sebaiknya Islam 'berdialog' dengan demokrasi?

D. Islam dan Demokrasi: Suatu Nisbah

Sebelum meninjau nisbah antara Islam dan demokrasi, kiranya perlu disampaikan terlebih dahulu setidak-tidaknya dua catatan penting yang harus diperhatikan. Pertama, Islam dan demokrasi tidak dapat diperbandingkan dalam level yang setingkat. Artinya, Islam sebagai kekuatan politik tidak dapat dilihat dengan mengesampingkan aspek-aspek keagamaan yang meliputi cult, creed, code, community. Demokrasi tidak memiliki elemen-elemen seperti itu sehingga tidak seimbanglah kalau dibandingkan dengan Islam secara keseluruhan. Dalam hal ini, demokrasi hanyalah bagian kecil dari sistem kepercayaan dalam Islam.

Kedua, demokrasi sendiri tidak memiliki arti yang secara tepat disetujui bersama. Kalau demikian, artinya tidak ada basis pijakan yang mutlak wajib dipakai sebagai penentu kajian relasi antara Islam dan demokrasi. Demokrasi tidak dapat menentukan suatu ideal type bagi dirinya sendiri baik dalam definisi maupun dalam implementasinya. Sebagai implikasinya, Islam pun dapat memberi pengertian, memberi isi kepada apa yang disebut demokrasi sesuai dengan kerangka pemahaman yang bernafaskan Islam. Dengan demikian, Islam juga berhadapan dengan instansi lain yang juga memiliki kans untuk memberi penafsiran atas demokrasi.

Kedua catatan ini cukup penting titik tolak untuk melihat sifat relasi antara Islam dan demokrasi. Islam dan demokrasi bukanlah dua entitas yang dapat dipertentangkan begitu saja atau sebaliknya, dianggap 'satu blok'. Di satu sisi, dapat dikatakan demokrasi itu compatible dengan Islam, tetapi, di lain sisi, harus diberi catatan bahwa kecocokan itu ada dalam batas-batas tertentu. Islam tetap memiliki aspek yang dapat memberi kesan ketidaksesuaian demokrasi. Baiklah diungkapkan di sini beberapa penjelasan sebagai berikut.

E. Islam versus Demokrasi?

Berkenaan dengan catatan pertama, bahwa Islam dan demokrasi tidak dapat dibandingkan dalam level yang setingkat, kiranya perlu diakui

114

Page 115: Bahan ajar

adanya pola hubungan subordinatif dalam paradigma Islam. Pola hubungan subordinatif ini menempatkan Islam sebagai substansi mutlak sedangkan negara menjadi relatif. Di hadapan negara, Islam bersifat mutlak dalam arti bahwa negara dapat menjadi ekspresi nilai-nilai perenial Islam.[15]

Dari pola hubungan yang demikian juga dapat dimengerti bahwa Islam menjadi tujuan sedangkan negara merupakan sarana saja (betapapun pentingnya sarana itu). Padahal, demokrasi hanyalah satu dari sekian piranti penyelenggaraan negara. Karena itu, dalam batas tertentu dapat dikatakan bahwa Islam pun bersifat mutlak terhadap demokrasi. Kemutlakan Islam kiranya terletak pada kompleksitas dan kelengkapan (setidak-tidaknya menurut klaim agama) sistem gagasannya. Dengan klaim ini Islam memiliki legitimasi untuk memberikan kerangka hidup yang lebih menyeluruh daripada demokrasi. Perbedaan keluasan ini akan menempatkan demokrasi di hadapan hukum dan ajaran Islam. Dengan kata lain, demokrasi dihadapkan pada teologi Islam.

Relasi antara demokrasi dan gagasan teologis Islam (konsisten dengan prinsip tauhîd) juga bersifat subordinatif. Artinya, aspek teologis Islam menjadi otoritas tertinggi dan itu berarti demokrasi pun harus menyesuaikan diri dengan "jiwa dari hukum yang diwahyukan".[16] Kalau demikian, memang harus diakui bahwa antara Islam dan demokrasi ada perbedaan esensial. Demokrasi yang muncul sebagai hasil olah pikir manusia membuka peluang besar bagi perubahan nilai oleh masyarakat dan dapat saja perubahan ini justeru merongrong nilai abadi dalam Islam.[17]

Kiranya di sinilah letak potensi pertentangan antara Islam dan demokrasi, yaitu ketika gagasan-gagasan teologis dalam Islam sendiri berhadapan dengan gagasan demokrasi (yang tentunya tidak dilandasi perwahyuan transendental). Kasus Mahmud Mohamed Taha (yang dihukum gantung karena menyuarakan hak untuk berpindah agama) dapat menjadi contoh jelas untuk menggambarkan betapa institusi keagamaan, biar bagaimanapun, memiliki sistem kepercayaan yang dapat bertentangan dengan gagasan demokrasi.[18]

F. Demokrasi Islami

Berkenaan dengan catatan kedua, bahwa demokrasi tidak memiliki arti secara tepat yang disetujui bersama, dapat dikatakan bahwa demokrasi compatible dengan Islam. Hal ini dapat dimengerti karena adanya kemungkinan bagi Islam untuk memberi pemaknaan terhadap demokrasi.

115

Page 116: Bahan ajar

Memberi makna kepada demokrasi berarti menginklusikan demokrasi dalam Islam atau lebih tepatnya memberi warna islamiah pada demokrasi. Di sini dapat dipahami bahwa syari'ah demokratis menjadi deep driving force yang menentukan pola tingkah laku manusia. Demokrasi tidak dipandang sebagai satu 'budaya' luar (Barat misalnya) tetapi memang secara internal ada dalam Islam sehingga harus dieksternalisasikan dalam semangat syari'ah Islam. Dengan demikian, mungkin akan tampak bahwa demokrasi diberi atribut Islam: “demokrasi islami”.

Dalam hal ini, demokrasi tidak lagi menjadi kutub yang dihadapi Islam sehingga tidak ada konflik antara keduanya. Kalau ada konflik, hal itu hanya akan memposisikan demokrasi sebagai medium antara Islam dan kekuasaan politik lainnya. Hal ini misalnya ditunjukkan dalam pergumulan Islam dengan kekuatan militer di indonesia.[19] Demokrasi menjadi medium pergulatan interpretasi antara aspek-aspek teologis Islam dan aspek-aspek kekuatan politik yang lain. Kedua kekuatan politik ini memang memiliki hak untuk menginterpretasikan demokrasi dan dengan interpretasi itulah keduanya dapat bersitegang.

Dengan demikian, letak konflik bukan antara Islam dan demokrasi, melainkan antara Islam dan kekuatan politik lain. Islam dan demokrasi, biara bagaimanapun, dalam batas catatan kedua tadi, bertalian kuat sehingga dapat dikatakan bahwa Islam compatible dengan demokrasi dan sebaliknya. Syari'ah demokratis memberi legitimasi pada demokrasi untuk disebut sebagai sistem gagasan yang islamiyah. Selain itu, secara historis Islam sendiri memiliki tradisi yang menunjukkan ciri-ciri demokrasi. Keadaan bahwa kepemimpinan ditetapkan atas dasar achievement, proses pemilihan terbuka, hak dan kewajiban rakyat yang sama, pengakuan hak pada golongan agama lain, secara historis menunjukkan keunggulan Islam sebagai kekuatan politik yang luar biasa pada masanya.[20] Keadaan ini menjadi salah satu gambaran bagaimana Islam mewujudkan demokrasi dengan ciri-ciri demokratis yang dimilikinya. Aspek historis yang menjadi tradisi pada masa awal perkembangan Islam itu menunjukkan peluang adanya Islam demokratis.

G. Islam Demokratis: Suatu Antisipasi

Dari uraian tersebut di atas, dapatlah dilihat bahwa sebenarnya potensi pertentangan antara Islam dan demokrasi terletak pada bagaimana kedua substansi itu ditafsirkan. Tentu saja tidak dapat disangkal bahwa menyebut Islam berarti menunjukkan unsur teologis, sedangkan menyebut demokrasi (sebagai istilah umum tanpa atribut Barat atau pun Islam)

116

Page 117: Bahan ajar

berarti mengacu pada sistem gagasan 'sekular' yang tanpa gagasan teologis pun dapat bertahan. Jika salah satu, apalagi keduanya, substansi itu dibatasi secara kaku, terjadilah kontradiksi antara Islam dan demokrasi.[21]

Demokrasi memang menimbulkan banyak pertanyaan filosofis untuk menentukan batasan-batasannya.[22] Kerumitan titik pijak diskusi demokrasi ini memberi kesan bahwa demokrasi memang tidak dapat diidentikkan dengan atribut-atribut tertentu. Dalam hal ini, demokrasi memang kiranya tidak perlu diidentikkan dengan demokrasi liberal Barat (walaupun dalam banyak kesempatan diklaim bahwa peradaban yang mutakhir dewasa ini adalah demokrasi liberal Barat). Kembali ke awal tulisan ini, sebagai prinsip dasar cukuplah diandaikan bahwa demokrasi adalah perimbangan politik.

Dalam pelaksanaannya, variasi akan terjadi di mana-mana sehingga memang tidak dapat ditentukan model negara demokrasi yang akurat. Dengan demikian, Islam dapat berinteraksi dengan demokrasi. Akan tetapi, interaksi itu pun akan mengalami stagnasi kalau Islam ditafsirkan secara kaku atau tradisional. Dengan kata lain, dialog Islam dan demokrasi akan mengalami kebuntuan kalau teologi Islam sendiri tidak mengalami transformasi. Kebuntuan ini disebabkan bukan oleh sifat statisnya demokrasi, melainkan oleh kemacetan Islam dalam merumuskan kembali identitasnya, yang dalam hal ini teologinya.

Masa depan Islam sedikit banyak akan ditentukan oleh bagaimana teologi Islam dapat memberi makna pada arus kemajuan.[23] Untuk itulah Islam tidak dapat tidak mengupayakan suatu teologi transformatif sehingga Islam memberikan ruang kebebasan yang diperlukan untuk menanggapi perkembangan zaman[24]. Di sini, Islam perlu merumuskan pandangan-pandangan terhadap misalnya sekularisasi, martabat manusia, solidaritas, kerja sama antar agama mengingat adanya pluralitas agama.

Termasuk di dalamnya juga Islam perlu menjadi terbuka untuk memegang syari'ah secara wajar. Artinya, sumber-sumber syari'ah itu perlu dilihat secara proporsional, yang berarti mempertimbangkan aspek historis. Dengan demikian, dapatlah ditemukan mana yang sungguh-sungguh perenial dan mana yang bersifat spasial dan temporal.[25] Jadi, dapat dibedakan antara yang mutlak dan relatif sehingga tidak ada pemutlakan antara keduanya (yang cenderung menimbulkan ciri ideologis dalam Islam).

Usaha ini akan menghindarkan Islam dari bahaya stagnasi dan arogansi sebagaimana pernah dialami oleh institusi Gereja. Sebut saja salah

117

Page 118: Bahan ajar

satu gagasan teologisnya yang seringkali dijadikan contoh landasan kemandegan Katolik, yaitu gagasan extra ecclesiam nulla salus.[26] Aksioma teologis semacam ini memandulkan Gereja sebelum Konsili Vatikan II secara resmi memberi angin segar keterbukaan. Gereja lambat laun memperbaharui diri menggumuli hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Keadaan kondusif itu memerlukan suatu reinterpretasi terhadap gagasan-gagasan dasar teologis maupun gagasan-gagasan dasar sekularisasi dunia.

Usaha reinterpretasi terhadap Islam atau membuat semacam teologi transformatif itu juga akan memantapkan kekuatan politis Islam baik dalam tataran teori maupun dalam implementasinya. Secara teoretis dapatlah disimpulkan bahwa Islam tetap memandang demokrasi sebagai bagian penting peradaban manusia.[27] Dalam ungkapan yang lebih lugas bahkan dapat dikatakan Islam dan demokrasi tidak dapat dipisahkan (meskipun tentu saja dapat dibedakan), sebagaimana doktrin Islam menunjuk adanya keterkaitan yang begitu kuat antara Islam dan negara. Karena itu, secara teoretis hubungan Islam dan demokrasi tidak pernah dicemaskan. Relasi antara Islam dan demokrasi juga lebih bersifat positif. Setidak-tidaknya, syari'ah demokratis lebih menonjol jika dibandingkan dengan syari'ah nondemokratis.[28]

H. Praksis Islam Demokratis

Lain halnya kalau pola hubungan Islam dan demokrasi ditilik dari sisi politik praktis. Kadang kala yang terjadi justeru syari'ah yang nondemokratis lebih menonjol. Setidak-tidaknya penghayatan syari'ah itu tidak sesuai dengan semangat demokrasi.[29] Kalau sudah pada taraf implementasi, biasanya pertimbangan pragmatis akan lebih banyak berperan. Usaha teoretis untuk secara murni menghayati Islam dapat saja direduksi sebagai suatu kegiatan politik belaka. Padahal, sebagaimana ditekankan sebagai prinsip tawhid, kegiatan politik sebenarnya menjadi manifestasi Islam sebagai gejala teologis.[30]

Dalam hal ini, dapat dimengerti bahwa manifestasi Islam tersebut memang tidak dapat dibakukan dalam satu wadah. Sejarah Indonesia menyaksikan bahwa Islam di Indonesia memiliki kekayaan wadah yang seringkali oleh pengamat disederhanakan sebagai Islam kultural dan Islam skriptural. Lepas dari polemik penyederhanaan itu, dapat dikatakan di sini bahwa praktik yang dilakukan oleh Islam memiliki implikasi yang besar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Tentu saja, pertama-tama karena Islam memiliki basis masa yang sangat besar.

118

Page 119: Bahan ajar

Dapat dikatakan bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia bergantung pada soliditas Islam. Kalaupun dimasukkkan juga unsur militer, militer pun (karena sebagai angkatan bersenjata secara teoretis tidak memiliki legitimasi untuk suatu demokrasi) akan bergantung juga pada gerak Islam. Kalau demikian, tidak dapat tidak Islam harus menjadi promotor bagi perjuangan demokrasi. Akan tetapi, peran ini tidak akan efektif selama Islam tidak membuka dialog dengan kekuatan politik lainnya. Karena itu, Islam tetap dituntut menjadi Islam yang demokratis.

Dalam praktik sehari-hari, agaknya Islam demokratis bukanlah realitas semu di kalangan grass-root. Nilai-nilai demokratis sudah dihayati oleh kelompok besar Islam. Kalau pada kenyataannya suasana demokrasi itu tidak terjadi dalam percaturan politik di Indonesia, itu berarti bahwa di tingkat elitlah Islam mengalami kemacetan.[31] Elit Islam tidak perlu dibatasi pada pimpinan di pemerintahan, karena termasuk juga dalam kelompok ini para kaum terpelajar, pers, maupun tokoh (pemimpin) umat lokal.

Dengan mengandaikan bahwa budaya politik demokratis (bukan sekadar penghayatan nilai-nilai demokrasi, melainkan juga soal institusi) lahir dari atas,[32] kiranya dapatlah ditegaskan perlunya konsolidasi di tingkat elit Islam. Tentu saja, karena begitu ragamnya elit Islam ini, konsolidasi bukanlah sesuatu yang mudah dan cepat dicapai. Pada kenyataannya, konsolidasi itu juga perlu dilakukan justeru dengan membangun jaringan lintas agama. Di sini, diperlukanlah suatu dialog antar agama.

Dialog itu tidak cukup dilakukan dalam tataran teologis (sehingga yang berdialog hanyalah para teolog) tetapi juga perlu mencakup tingkat politis. Dalam hal ini, diperlukan semacam koalisi yang dapat menunjang penyelenggaraan demokrasi di Indonesia sebagai negara yang mau tidak mau dikategorikan sebagai negara Dunia Ketiga.[33] Dengan strategi ini, Islam tetap memiliki peluang untuk mewujudkan syari'ah demokratis, sambil sendiri mengembangkan Islam yang demokratis. Dengan demikian, semakin berterimalah bahwa jalan menuju demokrasi bagi Islam di Indonesia adalah jalan yang sangat panjang, yang tidak mungkin ditempuh dengan semangat eksklusif. Karena itu, wanted: Islam inklusif, Islam demokratis.

Bahan Bacaan:

Agus Edi Santoso (ed.) 1997. Tidak Ada Negara Islam (Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem). Jakarta: Penerbit Djambatan.

119

Page 120: Bahan ajar

Ahmad Suaedy. et al. (ed.). 1994. Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat. Yogyakarta: Penerbit Institut Dian/Interfidei.

Arief Afandi (ed.). 1997. Islam: Demokrasi Atas Bawah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dahl, Robert A. 1989. Democracy and Its Critics. New Haven & London: Yale University Press.

Djohan Effendi dan Ismed Natsir (ed.). 1981. Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Jakarta: LP3ES.

Dunn, John (ed.). 1992. Democracy The Unfinished Journey. New York: Oxford University Press.

Esposito, John & John O. Voll. 1996. Islam & Democracy. New York: Oxford University Press.

Fahmy Huwaydi. 1996. Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-Isu Besar Politik Islam. Bandung: Penerbit Mizan. Terjemahan oleh Muhammad Abdul Gofar E.M.

Hamid Enayat. 1982. Modern Islamic Political Thought. Austin: University of Texas Press.

Harrison, Ross. 1993. Democracy. London and New York: Routledge.

Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Penerbit Mizan.

Lewis, Bernard. 1994. Bahasa Politik Islam. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan oleh Ihsan Ali-Fauzi.

Lijphart, Arend. 1977. Democracy in Plural Societies. New Haven: Yale University Press.

Mahmoud Mohamed Taha. 1996. Syari'ah Demokratik. Surabaya: ELSAD. Terjemahan oleh Nur Rachman.

Mardiatmadja, B.S. 1997. "Sosiologi Agama". Diktat perkuliahan "Agama dan Masyarakat" pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Maulana Muhammad Ali. 1996. Islamologi (Dinul Islam). Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah. Terjemahan oleh R. Kaelan dan H. M. Bachrun.

M. Imam Aziz. et al. (ed.). 1993. Agama, Demokrasi & Keadilan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Muhammad AS Hikam. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES.

Nurcholish Madjid. 1995. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.

120

Page 121: Bahan ajar

Ramage, Douglas E. 1996. Politics in Indonesia: Democracy, Islam and Ideology of Tolerance. New York & London: Routledge.

Watt, W. Montgomery. 1968. Islamic Political Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Catatan:[1]Bandingkan: “Introduction”, W. Montgomery Watt, Islamical

Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968)[2]Bandingkan: Bagian kesimpulan Douglas E. Ramage, Politics in

Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance (New York and London: Routledge, 1996)

[3]Bandingkan: Nurcholish Madjid, Islam: Agama Kemanusiaan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), hlm. 188. Lihat juga Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), hlm. 4-6.

[4]Bandingkan: W. Montgomery Watt, op.cit., hlm. 3-30. [5]Menarik untuk diperhatikan bahwa relatif banyak literatur

membahas soal interpretasi terhadap suatu negara Islam (Islamic state). Bandingkan: Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 3-4 tetapi juga Bandingkan: Nurcholish Madjid, op.cit., hlm.188-189.

[6]Gagasan tentang tidak adanya negara Islam disampaikan oleh Amien Rais yang mendapat dukungan dari Mohamad Roem. Bandingkan: Agus Edi Santoso (ed.), Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1997), hlm. 1-11.

[7]Bandingkan: M. Imam Aziz, et. al. (ed.), Agama, Demokrasi & Keadilan (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 63-66.

[8]Bandingkan: Robert A. Dahl, Democracy and Its Critics (New Haven & London: Yale University Press, 1989), hlm. 213-224.

[9]Mahmoud Mohamed Taha, Syari'ah Demokratik (Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, 1996), hlm. 232-233.

[10]Bandingkan: John Dunn (ed.), Democracy The Unfinished Journey (New York: Oxford University Press, 1992), hlm. 73, 115.

[11]Kuntowijoyo, op.cit., hlm. 91-105.[12]Lihat juga Bernard Lewis, op.cit., hlm. 194-202.

121

Page 122: Bahan ajar

[13]Bandingkan: John Dunn (ed.), op.cit., hlm. 1-16. [14]Bandingkan: M. Imam Aziz, loc. cit. [15]Hal ini juga dapat dibandingkan dengan pola hubungan Islam dan

budaya misalnya. Budaya dapat merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena itu sub-ordinate terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya. Lih. Nurcholish Madjid, op. cit., hlm. 36.

[16]Maulana Muhammad Ali, Islamologi: Dinul Islam (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1996), hlm. 106.

[17]Lihat: Ahmad Suaedy, et al. (eds.), Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat (Yogyakarta: Penerbit Institut Dian/Interfidei, 1994), hlm. 271-273.

[18]ibid. [19]Dalam sejarah Indonesia dapatlah dilihat bagaimana konflik

muncul antara militer dan Islam. Kelompok militer cenderung melihat Islam sebagai kekuatan politik yang mengancam kesatuan bangsa Indonesia. Bandingkan: Douglas E. Ramage, op. cit. khususnya sub-bab "The armed forces as defenders of Pancasila".

[20]Bandingkan: Nurcholish Madjid, op. cit., hlm. 188-189. [21]Bandingkan: John L. Esposito & John O. Voll, Islam & Democacy

(New York: Oxford University Press, 1996), hlm. 21. [22]Bandingkan: Ross Harrison, Democracy (London & New York:

Routledge, 1993), hlm. 1-13. [23]Bandingkan: B.S. Mardiatmadja, "Sosiologi Agama", hlm. 34. [24]Bandingkan: Muhammad AS Hikam, op. cit., hlm. 216-228. Juga

Ahmad Suaedy, op. cit., hlm. 273. [25]Bandingkan: Djohan Effendi dan Ismed Natsir (eds.), Pergolakan

Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib (Jakarta: LP3ES, 1981), hlm. 26.

[26]Aksioma yang sudah kadaluwarsa ini dipakai sebagai penegasan pentingnya keanggotaan dalam Gereja. Dengan interpretasi baru terhadap Gereja, aksioma ini memang tidak menyangkal adanya keselamatan orang yang berkehendak baik meskipun tidak menjadi anggota Gereja (pada tahun 1949 Pius XII mengeluarkan surat kepada Uskup Agung Boston berkenaan dengan kasus imam Leonard Feeney yang membuat ajaran sesat berkenaan dengan aksioma ini; lih. J. Neuner & J. Dupuis (ed.), The

122

Page 123: Bahan ajar

Christian Faith in The Doctrinal Documents of The Catholic Church (Bangalore: Theological Publications in India, 1982), hlm. 240-241). Dengan demikian, Gereja tidak memiliki hambatan untuk berdialog, kerja sama dengan kelompok lain dalam menanggapi dunia yang terus berkembang ini.

[27]Amien Rais menegaskan bahwa demokrasi menjadi satu-satunya cara untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Umat Islam hanya bisa aman membangun masa depan jika menerapkan demokrasi. Bandingkan: Arief Afandi (ed.), Islam: Demokrasi Atas Bawah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 122-123.

[28]Gagasan positif tentang relasi antara Islam dan demokrasi dipaparkan secara komprehensif dalam Fahmy Huwaydi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-Isu Besar Politik Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 7-14 dan 151-257.

[29]Bandingkan: Ahmad Suaedy, et. al. (eds.), op. cit., hlm. 273. [30]Dalam arti ini jugalah dikatakan bahwa Islam compatible dengan

demokrasi, yaitu bahwa Islam mendapatkan nilai-nilai dasar demokrasi itu dalam Al-Quran. Dengan kata lain, demokrasi mendapatkan legitimasi teologis dari Islam. Bandingkan: Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought (Austin: University of Texas Press, 1982), hlm. 125-129.

[31]Bandingkan: Arief Afandi, op. cit. hlm. 118-119. [32]Gagasan serupa dikemukakan dalam laporan seminar Franz

Magnis-Suseno berjudul "Bangun Institusi Demokratis", KOMPAS, Jumat, 4 Desember 1998, hlm. 9.

[33]Pluralitas negara Indonesia menuntut adanya koalisi yang crosscutting, yang melibatkan seluruh elemen-elemen penting dalam masyarakat sehingga penyelenggaraan negara memperkecil kuantitas bahwa sekelompok masyarakat tidak dapat menikmati proses demokrasi. Bandingkan: Arend Lijphart, Democracy in Plural Societies (New Haven: Yale University Press, 1977), hlm. 1-31.

123

Page 124: Bahan ajar

Gerakan Sempalan di Kalangan Ummat Islam Indonesia:Latar Belakang Sosial-Budaya

Istilah "gerakan sempalan" beberapa tahun terakhir ini menjadi populer di Indonesia sebagai sebutan untuk berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap "aneh", alias menyimpang dari aqidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas umat. Istilah ini, agaknya, terjemahan dari kata "sekte" atau "sektarian",[1] kata yang mempunyai berbagai konotasi negatif, seperti protes terhadap dan pemisahan diri dari mayoritas, sikap eksklusif, pendirian tegas tetapi kaku, klaim monopoli atas kebenaran, dan fanatisme. Di Indonesia ada kecenderungan untuk melihat gerakan sempalan terutama sebagai ancaman terhadap stabilitas dan keamanan dan untuk segera melarangnya. Karena itu, sulit membedakan gerakan sempalan dengan gerakan terlarang atau gerakan oposisi politik. Hampir semua aliran, faham dan gerakan yang pernah dicap "sempalan", ternyata memang telah dilarang atau sekurang-kurangnya diharamkan oleh Majelis Ulama. Beberapa contoh yang terkenal adalah: Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, DI/TII, Mujahidin'nya Warsidi (Lampung), Syi'ah, Baha'i, "Inkarus Sunnah", Darul Arqam (Malaysia), Jamaah Imran, gerakan Usroh, aliran-aliran tas.a.w.wuf berfaham wahdatul wujud, Tarekat Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah (Aceh). Serangkaian aliran dan kelompok ini, kelihatannya, sangat beranekaragam. Apakah ada kesamaan antara semua gerakan ini? Dan apa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan-gerakan tersebut? Tanpa pretensi memberikan jawaban tuntas atas pertanyaan ini, makalah ini berusaha menyoroti gerakan sempalan dari sudut pandang sosiologi agama.[2]

Gerakan Sempalan: Ada Definisinya?

124

Page 125: Bahan ajar

Berbicara tentang "gerakan sempalan" berarti bertolak dari suatu pengertian tentang "ortodoksi" atau "mainstream" (aliran induk); karena gerakan sempalan adalah gerakan yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Tanpa tolok ukur ortodoksi, istilah "sempalan" tidak ada artinya. Untuk menentukan mana yang "sempalan", kita pertama-tama harus mendefinisikan "mainstream" yang ortodoks. Dalam kasus ummat Islam Indonesia masa kini, ortodoksi barangkali boleh dianggap diwakili oleh badan-badan ulama yang berwibawa seperti terutama MUI, kemudian Majelis Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU, dan sebagainya.

Istilah "gerakan sempalan" memang lazim dipakai, secara normatif, untuk aliran agama yang oleh lembaga-lembaga tersebut dianggap sesat dan membahayakan. Akan tetapi, definisi ini menimbulkan berbagai kesulitan untuk kajian selanjutnya. Misalnya, apakah Ahmadiyah Qadian atau Islam Jamaah baru merupakan gerakan sempalan setelah ada fatwa yang melarangnya? Atau, meminjam contoh dari negara tetangga, berbagai aliran agama yang pernah dilarang oleh Jabatan Agama pemerintah pusat Malaysia, tetap dianggap sah saja oleh Majelis-Majelis Ugama Islam di negara-negara bagiannya. Bagaimana kita bisa memastikan apakah aliran tersebut termasuk yang sempalan? Ortodoksi, kelihatannya, adalah sesuatu yang bisa berubah menurut zaman dan tempat, dan yang "sempalan" pun bersifat kontekstual.

Pengamatan terakhir ini boleh jadi menjengkelkan. Dari sudut pandangan orang Islam yang "concerned", yang sesat adalah sesat, apakah ada fatwanya atau tidak. Dalam visi ini, Ahlus Sunnah wal Jama'ah merupakan "mainstream" Islam yang ortodoks, dan yang menyimpang darinya adalah sempalan dan sesat. Kesulitan dengan visi ini menjadi jelas kalau kita menengok awal abad ke-20 ini, ketika terjadi konflik besar antara kalangan Islam modernis dan kalangan "tradisionalis". Dari sudut pandangan ulama tradisional, yang memang menganggap diri mewakili Ahlus Sunnah wal Jama'ah, kaum modernis adalah sempalan dan sesat, sedangkan para modernis justeru menuduh lawannya menyimpang dari jalan yang lurus.

Kalau kita mencari kriteria yang objektif untuk mendefinisikan dan memahami gerakan sempalan, kita sebaiknya mengambil jarak dari perdebatan mengenai kebenaran dan kesesatan. Gerakan sempalan tentu saja juga menganggap diri lebih benar daripada lawannya; biasanya mereka justeru merasa lebih yakin akan kebenaran faham atau pendirian

125

Page 126: Bahan ajar

mereka. Karena itu, kriteria yang akan saya gunakan adalah kriteria sosiologis, bukan teologis. Gerakan sempalan yang tipikal adalah kelompok atau gerakan yang sengaja memisahkan diri dari "mainstream" umat, mereka yang cenderung eksklusif dan seringkali kritis terhadap para ulama yang mapan.

Dalam pendekatan sosiologis ini, "ortodoksi" dan "sempalan" bukan konsep yang mutlak dan abadi, namun relatif dan dinamis. Ortodoksi atau mainstream adalah faham yang dianut mayoritas umat -- atau lebih tepat, mayoritas ulama; dan lebih tepat lagi, golongan ulama yang dominan. Sebagaimana diketahui, sepanjang sejarah Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam faham dominan - pergeseran yang tidak lepas dari situasi politik. Dalam banyak hal, ortodoksi adalah faham yang didukung oleh penguasa, sedangkan faham yang tidak disetujui dicap sesat; gerakan sempalan seringkali merupakan penolakan faham dominan dan sekaligus merupakan protes sosial atau politik.

Faham aqidah Asy'ari, yang sekarang merupakan ortodoksi, pada masa 'Abbasiyah pernah dianggap sesat, ketika ulama Mu'tazili (yang waktu itu didukung oleh penguasa) merupakan golongan yang dominan. Jadi, faham yang sekarang dipandang sebagai ortodoksi juga pernah merupakan sejenis "gerakan sempalan". Bahwa akhirnya faham Asy'ari-lah yang menang, juga tidak lepas dari faktor politik. Kasus ini mungkin bukan contoh yang terbaik -- golongan Asy'ari tidak dengan sengaja memisahkan diri dari sebuah "mainstream" yang sudah mapan; faham yang mereka anut berkembang dalam dialog terus-menerus dengan para lawannya. Contoh yang lebih tepat adalah gerakan Islam reformis Indonesia pada awal abad ini (seperti Al Irsyad dan Muhammadiyah) yang dengan tegas menentang "ortodoksi" tradisional yang dianut mayoritas ulama, dan dari sudut itu merupakan gerakan sempalan. Sejak kapan mereka tidak bisa lagi dianggap gerakan sempalan dan menjadi bagian dari ortodoksi? Di bawah ini akan dibahas beberapa faktor yang mungkin berperan dalam proses perkembangan suatu sekte menjadi denominasi. Untuk sementara, dapat dipastikan bahwa penganut gerakan reformis pada umumnya tidak berasal dari kalangan sosial yang marginal, namun justru dari orang Islam kota yang sedang naik posisi ekonomi dan status sosialnya, dan bahwa dalam perkembangan sejarah telah terjadi proses akomodasi, saling menerima, antara kalangan reformis dan tradisional.

Apakah di antara "gerakan sempalan" masa kini ada juga yang berpotensi menjadi "ortodoksi" di masa depan? Tidak satu orang pun yang

126

Page 127: Bahan ajar

akan meramal bahwa aliran seperti Bantaqiyah bisa meraih banyak penganut di Indonesia. Perbandingan antara gerakan reformis, apalagi madzhab aqidah Asy'ari, dan gerakan sempalan yang disebut di atas, terasa sangat tidak tepat. Orang Islam pada umumnya merasa (kecuali para penganut gerakan tersebut, barangkali), bahwa mereka secara fundamental berbeda. Tetapi ... apa sebetulnya perbedaan ini, selain perasaan orang bahwa yang pertama mengandung kebenaran, sedangkan yang terakhir adalah sesat? Padahal, aliran tersebut menganggap dirinya sebagai pihak yang benar, semntara yang lain sesat! Sejauhmana penilaian kita objektif dalam hal ini?

Memang di antara gerakan sempalan tadi terdapat aliran yang kelihatannya punya dasar ilmu agama yang sangat tipis. Penganut aliran itu biasanya juga orang yang marginal secara sosial dan ekonomi, dan berpendidikan rendah. Tetapi tidak semua gerakan sempalan demikian. Baik dalam Islam Jama'ah maupun gerakan Syi'ah Indonesia, malahan juga dalam Ahmadiyah dan gerakan tas.a.w.wuf wahdatul wujud terdapat pemikir yang memiliki pengetahuan agama yang cukup tinggi dan pandai mempertahankan faham mereka dalam debat. Mereka sanggup menemukan nash untuk menangkis semua tuduhan kesesatan terhadap mereka, dan tidak pernah kalah dalam perdebatan dengan ulama yang "ortodoks" -- sekurang-kurangnya dalam pandangan mereka sendiri dan penganut-penganutnya. Mereka dapat dianggap "sempalan" karena mereka merupakan minoritas yang secara sengaja memisahkan diri dari mayoritas ummat. Sebagai fenomena sosial, tidak terlihat perbedaan fundamental antara mereka dengan, misalnya, Al Irsyad pada masa berdirinya. Dan perlu kita catat bahwa di Iran pun, Syi'ah berhasil menggantikan Ahlus Sunnah sebagai faham dominan baru kira-kira lima abad belakangan![3]

Lalu, bagaimana dengan Darul Islam dan gerakan Usroh? Keduanya dapat dianggap gerakan sempalan juga, baik dalam arti bahwa mereka tidak dibenarkan oleh lembaga-lembaga agama resmi maupun dalam arti bahwa mereka memisahkan diri dari mayoritas. Namun saya tidak pernah mendengar kritik mendasar terhadap aqidah dan ibadah mereka. Yang dianggap sesat oleh mayoritas umat adalah amal politik mereka. Seandainya pada tahun 1950-an bukan Republik yang menang tetapi Negara Islam Indonesia'nya Kartosuwiryo, merekalah yang menentukan ortodoksi dan membentuk "mainstream" Islam. Seandainya itu yang terjadi, tidak mustahil sebagian "mainstream" Islam sekarang inilah yang mereka anggap sebagai "sempalan".

127

Page 128: Bahan ajar

Klasifikasi gerakan sempalan

Untuk menganalisa fenomena gerakan sempalan secara lebih jernih, mungkin ada baiknya kalau kita merujuk kepada kajian sosiologi agama yang sudah ada untuk melihat apakah ada temuan yang relevan untuk situasi Indonesia. Hanya saja, karena sosiologi agama adalah salah satu disiplin ilmu yang lahir dan dikembangkan di dunia Barat, sasaran kajiannya lebih sering terdiri dari umat Kristen ketimbang penganut agama-agama lainnya. Oleh karena, itu belum tentu a priori temuannya benar-benar relevan untuk dunia Islam. Beberapa konsep dasar yang dipakai barangkali sangat tergantung pada konteks budaya Barat. Mengingat keterbatasan ini, biarlah kita melihat apa saja telah ditemukan mengenai muncul dan berkembangnya gerakan sempalan pada waktu dan tempat yang lain.

Dua sosiolog agama Jerman mempunyai pengaruh besar terhadap studi mengenai sekte selama abad ini, mereka adalah Max Weber dan Ernst Troeltsch. Weber terkenal dengan tesisnya mengenai peranan sekte-sekte protestan dalam perkembangan semangat kapitalisme di Eropa, dan dengan teorinya mengenai kepemimpinan karismatik. Troeltsch, teman dekat Weber, mengembangkan beberapa ide Weber dalam studinya mengenai munculnya gerakan sempalan di Eropa pada abad pertengahan.[4] Troeltsch memulai analisanya dengan membedakan dua jenis wadah um

at beragama yang secara konseptual merupakan dua kubu bertentangan, yaitu tipe gereja dan tipe sekte. Contoh paling murni dari tipe gereja barangkali adalah Gereja Katolik abad pertengahan, tetapi setiap ortodoksi (dalam arti sosiologis tadi) yang mapan mempunyai aspek tipe gereja. Organisasi- organisasi tipe gereja biasanya berusaha mencakup dan mendominasi seluruh masyarakat dan segala aspek kehidupan. Sebagai wadah yang established (mapan), mereka cenderung konservatif, formalistik, dan berkompromi dengan penguasa serta elit politik dan ekonomi. Di dalamnya terdapat hierarki yang ketat, dan ada golongan ulama yang mengklaim monopoli akan ilmu dan karamah, orang awam tergantung kepada mereka.

Tipe sekte, sebaliknya, selalu lebih kecil dan hubungan antara sesama anggotanya biasanya egaliter. Berbeda dengan tipe gereja, keanggotaannya bersifat sukarela: orang tidak dilahirkan dalam lingkungan sekte, tetapi masuk atas kehendak sendiri. Sekte-sekte biasanya berpegang lebih keras (atau kaku) kepada prinsip, menuntut ketaatan kepada nilai moral yang ketat, dan mengambil jarak dari penguasa dan dari

128

Page 129: Bahan ajar

kenikmatan material. Sekte-sekte biasanya mengklaim bahwa ajarannya lebih murni, lebih konsisten dengan wahyu Ilahi. Mereka cenderung membuat pembedaan tajam antara para penganutnya yang suci dengan orang luar yang awam dan penuh kekurangan serta dosa. Seringkali, kata Troeltsch, sekte- sekte muncul pertama-tama di kalangan yang berpendapatan dan pendidikan rendah, dan baru kemudian meluas ke kalangan lainnya. Mereka sering cenderung memisahkan diri secara fisik dari masyarakat sekitarnya, dan menolak budaya dan ilmu pengetahuan sekuler.

Selain sekte, Troeltsch menyoroti suatu jenis gerakan lagi yang muncul sebagai oposisi terhadap gereja (atau ortodoksi yang lain), yaitu gerakan mistisisme (tas.a.w.wuf). Sementara sekte memisahkan diri dari gereja karena mereka menganggap gereja telah kehilangan semangat aslinya dan terlalu berkompromi, gerakan- gerakan mistisisme merupakan reaksi terhadap formalitas dan "kekeringan" gereja. Gerakan mistisisme, menurut Troeltsch, memusatkan perhatian kepada penghayatan ruhani-individual, terlepas dari sikapnya terhadap masyarakat sekitar. (Oleh karena itu, Troeltsch juga memakai istilah "individualisme religius"). Penganutnya bisa saja dari kalangan establishment, bisa juga dari kalangan yang tak setuju dengan tatanan masyarakat yang berlaku. Mereka biasanya kurang tertarik kepada ajaran agama yang formal, apalagi kepada lembaga-lembaga agama (gereja, dan sebagainya). Yang dipentingkan mereka adalah hubungan langsung antara individu dan Tuhan (atau alam gaib pada umumnya).

Analisa Troeltsch ini berdasarkan pengetahuannya tentang sejarah gereja di Eropa, dan tidak bisa diterapkan begitu saja atas budaya lain. Organisasi "tipe gereja" tidak terdapat dalam setiap masyarakat, tetapi tanpa kehadiran suatu gereja pun sekte bisa saja muncul. Ketika tadi saya bertanya "gerakan sempalan itu menyempal dari apa?", saya sebetulnya mencari apakah ada sesuatu wadah umat yang punya ciri tipe gereja, dalam terminologi Troeltsch. Ortodoksi Islam Indonesia seperti diwakili oleh MUI dan sebagainya, tentu saja tidak sama dengan Gereja Katolik abad pertengahan; ia tidak mempunyai kekuasaan atas kehidupan pribadi orang seperti gereja.

Situasi di Amerika Serikat masa kini, sebetulnya, sama saja. Hampir-hampir tidak ada wadah tipe gereja versi Troeltsch, yang begitu dominan terhadap seluruh masyarakat. Yang ada adalah sejumlah besar gereja-gereja Protestan (sering disebut denominasi), yang berbeda satu dengan lainnya

129

Page 130: Bahan ajar

dalam beberapa detail saja, dan tidak ada di antaranya yang dominan terhadap yang lain. Denominasi-denominasi Protestan ini mempunyai baik ciri tipe sekte maupun ciri tipe gereja. Gerakan mistisisme, seperti yang digambarkan Troeltsch, beberapa das.a.w.arsa terakhir ini sangat berkembang di dunia Barat dengan mundurnya pengaruh gereja. Para penganutnya seringkali dari kalangan yang relatif berada dan berpendidikan tinggi, bukan dari lapisan masyarakat yang terbelakang.[5]

Kajian berikut yang sangat berpengaruh adalah studi Richard Niebuhr, sosiolog agama dari Amerika Serikat, mengenai dinamika sekte dan lahirnya denominasi.[6] Teori yang diuraikan dalam karya ini sebetulnya agak mirip teori sejarah Ibnu Khaldun. Niebuhr melihat bahwa banyak sekte, yang pertama-tama lahir sebagai gerakan protes terhadap konservatisme dan kekakuan gereja (dan seringkali juga terhadap negara), lambat laun menjadi lebih lunak, mapan, terorganisir rapih dan semakin formalistik. Setelah dua-tiga generasi, aspek kesukarelaan sudah mulai menghilang, semakin banyak anggota yang telah lahir dalam lingkungan sekte sendiri. Semua anggota sudah tidak sama lagi, bibit-bibit hierarki internal telah ditanam, kalangan pendeta- pendeta muncul, yang mulai mengklaim bahwa orang awam memerlukan jasa mereka. Dengan demikian bekas sekte itu sudah mulai menjadi semacam gereja sendiri, salah satu di antara sekian banyak denominasi. Dan lahirlah, sebagai reaksi, gerakan sempalan baru, yang berusaha menghidupkan semangat asli... dan lambat laun berkembang menjadi denominasi... dan demikianlah seterusnya.

Teori Niebuhr ini sekarang dianggap terlalu skematis; sekte- sekte tidak selalu menjadi denominasi. Niebuhr bertolak dari pengamatannya terhadap situasi Amerika Serikat yang sangat unik; semua gereja di sana memang merupakan denominasi yang pernah mulai sebagai gerakan sempalan dari denominasi lain. Siklus perkembangan yang begitu jelas, agaknya, berkaitan dengan kenyataan bahwa masyarakat Amerika Serikat terdiri dari para immigran, yang telah datang gelombang demi gelombang. Setiap gelombang pendatang baru menjadi lapisan sosial paling bawah; dengan datangnya gelombang pendatang berikut, status sosial mereka mulai naik. Pendatang baru yang miskin seringkali menganut sekte-sekte radikal; dengan kenaikan status mereka sekte itu lambat laun menghilangkan radikalismenya dan menjadi sebuah denominasi baru.

Tigapuluh tahun sesudah Niebuhr, sosiolog Amerika yang lain, Milton Yinger, merumuskan kesimpulan dari perdebatan mengenai sekte

130

Page 131: Bahan ajar

dan denominasi, bahwa sekte yang lahir sebagai protes sosial cenderung untuk bertahan sebagai sekte, tetap terpisah dari mainstream, sedangkan sekte yang lebih menitikberatkan permasalahan moral pribadi cenderung untuk menjadi denominasi. Itu tentu berkaitan dengan dasar sosial kedua jenis sekte ini - sekte radikal cenderung untuk merekrut anggotanya dari lapisan miskin dan tertindas. Dengan demikian hubungan sekte ini dengan negara dan denominasi yang mapan akan tetap tegang. Jenis sekte yang kedua lebih cenderung untuk menarik penganut dari kalangan menengah, dan akan lebih mudah berakomodasi dengan, dan diterima dalam, status quo.[7] Pengamatan ini, agaknya, relevan untuk memahami perbedaan antara Al Irsyad atau Muhammadiyah di satu sisi dan sebagian besar gerakan sempalan masa kini di sisi lainnya.

Klasifikasi sekte dalam beberapa jenis dengan sikap dan dinamika masing-masing dikembangkan lebih lanjut oleh seorang sosiolog Inggeris, Bryan Wilson. Ia berusaha membuat tipologi yang tidak terlalu tergantung kepada konteks budaya Kristen Barat. Tipologi ini disusun berdasarkan sikap sekte-sekte terhadap dunia sekitar.[8] Wilson melukiskan tujuh tipe ideal (model murni) sekte. Sekte-sekte yang nyata biasanya berbeda daripada tipe-tipe ideal ini, yang hanya merupakan model untuk analisa. Dalam kenyataannya, suatu sekte bisa mempunyai ciri dari lebih dari satu tipe ideal. Tetapi hampir semua tipe ideal Wilson terwakili oleh gerakan sempalan yang terdapat di Indonesia.

Tipe pertama adalah sekte conversionist, yang perhatiannya terutama kepada perbaikan moral individu. Harapannya agar dunia akan diperbaiki kalau moral individu-individu diperbaiki, dan kegiatan utama sekte ini adalah usaha untuk meng-convert, men- tobat-kan orang luar. Contoh tipikal di dunia Barat adalah Bala Keselamatan; di dunia Islam, gerakan dakwah seperti Tablighi Jamaat mirip tipe sekte ini.

Tipe kedua, sekte revolusioner, sebaliknya mengharapkan perubahan masyarakat secara radikal, sehingga manusianya menjadi baik. Gerakan messianistik (yang menunggu atau mempersiapkan kedatangan seorang Messias, Mahdi, Ratu Adil) dan millenarian (yang mengharapkan meletusnya zaman emas) merupakan contoh tipikal. Gerakan ini secara implisit merupakan kritik sosial dan politik terhadap status quo, yang dikaitkan dengan Dajjal, Zaman Edan dan sebagainya. Gerakan messianistik, seperti diketahui, banyak terjadi di Indonesia pada zaman kolonial -- dan memang ada sarjana yang menganggap bahwa gerakan jenis ini hanya muncul sebagai reaksi terhadap kontak antara dua budaya yang tidak seimbang.[9]

131

Page 132: Bahan ajar

Kalau harapan eskatologis tetap tidak terpenuhi, suatu gerakan yang semula revolusioner akan cenderung untuk tidak lagi bekerja untuk transformasi dunia sekitar tetapi hanya memusatkan diri kepada kelompoknya sendiri atau keselamatan ruhani penganutnya sendiri - semacam uzlah kolektif. Mereka mencari kesucian diri sendiri tanpa mempedulikan masyarakat luas. Wilson menyebut gerakan tipe ini introversionis. Gerakan Samin di Jawa merupakan kasus tipikal gerakan mesianistik yang telah menjadi introversionis.

Tipe keempat, yang dinamakan Wilson manipulationist atau gnostic ("ber-ma'rifat") mirip sekte introversionis dalam hal ketidakpeduliannya terhadap keselamatan dunia sekitar. Yang membedakan adalah klaim bahwa mereka memiliki ilmu khusus, yang biasanya dirahasiakan dari orang luar. Untuk menjadi anggota aliran seperti ini, orang perlu melalui suatu proses inisiasi (tapabrata) yang panjang dan bertahap. Tipe ini biasanya menerima saja nilai-nilai masyarakat luas dan tidak mempunyai tujuan yang lain. Klaim mereka hanya bahwa mereka memiliki metode yang lebih baik untuk mencapai tujuan itu. Theosofie dan Christian Science merupakan dua contoh jenis sekte ini di dunia Barat. Di Indonesia, ada banyak aliran kebatinan yang barangkali layak dikelompokkan dalam kategori ini; demikian juga kebanyakan tarekat, yang mempunyai amalan-amalan khusus dan sistem bai'at.

Tipe lainnya adalah sekte-sekte thaumaturgical, yaitu yang berdasarkan sistem pengobatan, pengembangan tenaga dalam atau penguasaan atas alam gaib. Pengobatan secara batin, kekebalan, kesaktian, dan kekuatan "paranormal" lainnya merupakan daya tarik aliran-aliran jenis ini, dan membuat para anggotanya yakin akan kebenarannya. Di Indonesia, unsur-unsur thaumaturgical terlihat dalam berbagai aliran kebatinan dan sekte Islam, seperti Muslimin-Muslimat (di Jawa Barat).

Tipe ke-enam adalah sekte reformis, gerakan yang melihat usaha reformasi sosial dan/atau amal baik (karitatif) sebagai kewajiban esensial agama. Aqidah dan ibadah tanpa pekerjaan sosial dianggap tidak cukup. Yang membedakan sekte-sekte ini dari ortodoksi bukan aqidah atau ibadahnya dalam arti sempit, tetapi penekanannya kepada konsistensi dengan ajaran agama yang murni (termasuk yang bersifat sosial).

Gerakan utopian, tipe ketujuh, berusaha menciptakan suatu komunitas ideal di samping, dan sebagai teladan untuk, masyarakat luas. Mereka menolak tatanan masyarakat yang ada dan menawarkan suatu alternatif, tetapi tidak mempunyai aspirasi mentransformasi seluruh

132

Page 133: Bahan ajar

masyarakat melalui proses revolusi. Tetapi mereka lebih aktivis daripada sekte introversionis; mereka berdakwah melalui contoh teladan komunitas mereka. Komunitas utopian mereka seringkali merupakan usaha untuk menghidupkan kembali komunitas umat yang asli (komunitas Kristen yang pertama, jami'ah Madinah), dengan segala tatanan sosialnya. Di Indonesia, kelompok Isa Bugis (dulu di Sukabumi, sekarang di Lampung) merupakan salah satu contohnya, Darul Arqam Malaysia dengan "Islamic Village"nya di Sungai Penchala adalah contoh yang lain.

Gerakan sempalan Islam di Indonesia dan tipologi sekte

Dalam tipologi sekte di atas ini, Wilson sudah menggambarkan suatu spektrum aliran agama yang lebih luas daripada spekrum gerakan sempalan Indonesia yang disebut di atas. Meski demikian, beberapa gerakan di Indonesia agak sulit diletakkan dalam tipologi ini. Kriteria yang dipakai Wilson adalah sikap sekte terhadap dunia sekitar, namun terdapat berbagai gerakan di Indonesia yang tidak mempunyai sikap sosial tertentu dan hanya membedakan diri dari "ortodoksi" dengan ajaran atau amalan yang lain.

Satu tipe terdiri dari aliran-aliran kebatinan atau tarekat dengan ajaran yang "aneh", yang masih sering muncul di hampir setiap daerah. Sebagian aliran ini memang mirip sekte gnostic, dengan sistem bai'at, hierarki internal dan inisiasi bertahap dalam "ilmu" rahasia, sebagian juga memiliki aspek thaumaturgical, dengan menekankan pengobatan dan kesaktian, tetapi aspek thaumaturgical jarang menjadi intisari aliran tersebut seperti dalam gerakan pengobatan ruhani di Amerika Serikat.[10] Sebagian besar tidak mempunyai ciri sosial yang menonjol, tidak ada penolakan terhadap norma-norma masyarakat luas. Mereka tidak mementingkan aspek sosial dan politik dari ajaran agama, melainkan kesejahteraan ruhani, ketentraman dan/atau kekuatan gaib individu. Penganutnya bisa berasal dari hampir semua lapisan masyarakat, tetapi yang banyak adalah orang yang termarginalisir oleh perubahan sosial dan ekonomi.

Suatu jenis lain terdiri dari gerakan pemurni, yang sangat menonjol dalam sejarah Islam: gerakan yang mencari inti yang paling asli dari agamanya, dan melawan segala hal (ajaran maupun amalan) yang dianggap tidak asli. Beberapa gerakan pemurni sekaligus adalah gerakan reform sosial, seperti Muhammadiyah, tetapi tidak semuanya berusaha mengubah masyarakat. Gerakan pemurni yang paling tegas di Indonesia, agaknya, Persatuan Islam (Persis). Dalam konteks ini perlu kita sebut

133

Page 134: Bahan ajar

kelompok yang dikenal dengan nama Inkarus Sunnah, karena mereka juga mengklaim ingin mempertahankan hanya sumber Islam yang paling asli saja. Seperti diketahui, mereka kurang yakin akan keasliannya hadits, dan menganggap hanya Qur'an saja sebagai sumber asli. Oleh karena itu, nama yang mereka sendiri pakai adalah Islam Qur'ani. Namun dalam kasus terakhir ini, saya tidak yakin apakah mereka layak disebut gerakan sempalan; mereka tidak cenderung untuk memisahkan diri dari ummat lainnya, dan saya belum jelas apakah mereka merupakan gerakan terorganisir.

Gerakan Islam Jama'ah alias Darul Hadits juga merupakan suatu kasus yang tidak begitu mudah digolongkan. Dengan penekanannya kepada hadits (walaupun yang dipakai, konon, hadits-hadits terpilih saja), gerakan ini mengingatkan kepada gerakan pemurni (ini mungkin menjelaskan daya tariknya bagi orang berpendidikan modern). Namun beberapa ciri jelas membedakannya dari gerakan pemurni atau pembaharu dan membuatnya mirip sekte manipulationist / gnostic. Dari segi organisasi internal, Islam Jama'ah mirip tarekat atau malahan gerakan militer, dengan bai'at dan pola kepemimpinan yang otoriter dan sentralistis (amir). Tidak ada penolakan terhadap nilai-nilai masyarakat pada umumnya, dan tidak ada cita-cita politik atau sosial tertentu. Unsur protes tidak terlihat dalam gerakan ini; mereka hanya sangat eksklusif dan menghindar dari berhubungan dengan orang luar. Faktor yang juga perlu disebut adalah kepemimpinan karismatik.[11] Pendiri dan amir pertama, Nur Hasan Ubaidah, dikenal sebagai ahli ilmu kanuragan dan kadigdayan yang hebat, dan dalam pandangan orang banyak, itulah yang membuat penganutnya tertarik dan terikat pada gerakan ini. Penganutnya pada umumnya tidak berasal dari kalangan bawah tetapi dari kalangan menengah; namun banyak diantara mereka, agaknya, pernah mengalami krisis moral sebelum masuk gerakan ini.

Dari segi kepemimpinan, gerakan Darul Arqam di Malaysia (yang sekarang juga sudah mempunyai cabang di Indonesia) sedikit mirip Islam Jama'ah; gerakan ini sangat tergantung kepada pemimpin karismatik, Ustaz Ashaari Muhammad. Tetapi sikap Darul Arqam terhadap dunia sekitar sangat berbeda: mereka ingin mengubah masyarakat dan menawarkan model alternatif, yang dicontohkan dalam "Islamic Village" mereka. Dengan kata lain, inilah suatu gerakan utopian; melalui dakwah aktif mereka terus mempropagandakan alternatif mereka. Kegiatan sosialnya terbatas pada kalangan mereka sendiri; selain usaha konversi (dakwah: memasukkan penganut baru), mereka tidak banyak berhubungan dengan

134

Page 135: Bahan ajar

masyarakat sekitar -- walaupun dalam praktek mereka masih tergantung pada masyarakat luar untuk pendapatan mereka. Hubungan di dalam kelompok, antara sesama anggota, hangat dan intensif; kontrol sosial dinatara mereka juga tinggi. Namun, mereka menjauhkan diri dari ummat lainnya, sehingga sering dituduh terlalu eksklusif. Di samping sikap utopian ini, Darul Arqam juga merupakan gerakan messianis; mereka meyakini kedatangan Mahdi dalam waktu sangat dekat, dan mempersiapkan diri untuk peranan di bawah kepemimpinan Mahdi nanti.[12] Beberapa tahun terakhir ini aspek messianis ini telah menjadi semakin menonjol; gerakan ini lambat laun bergeser dari utopian menjadi revolusioner.

Gerakan yang lebih murni aspek utopiannya adalah yang disebut gerakan Usroh di Indonesia. Saya tidak yakin apakah ini memang suatu gerakan terorganisir, dengan kepemimpinan dan strategi tertentu. Kesan saya, gerakan ini adalah suatu trend, suatu pola perkumpulan yang cepat tersebar, tanpa banyak koordinasi antara sesama usroh. Ini memang suatu gerakan protes politik (walaupun perhatiannya terutama kepada urusan agama dalam arti sempit, tidak kepada isu- isu politik umum). Namun mereka tidak berharap mengubah tatanan masyarakat atau sistem politik secara langsung; para usroh ("keluarga") merupakan komunitas yang menganggap diri mereka sebagai alternatif yang lebih Islami.

Ahmadiyah (Qadian), Baha'i dan Syi'ah tidak lahir dari rahim kalangan umat Islam Indonesia sendiri, tetapi "diimport" dari luar negeri ketika sudah mapan. Ketiganya merupakan faham agama yang sudah lama berdiri di negara lain sebelum masuknya ke Indonesia. Pada masa awalnya, ketiganya mempunyai aspek messianis, namun kemudian berubah menjadi introversionis, tanpa sama sekali menghilangkan semangat awalnya. Pemimpin karismatik aslinya (Ghulam Ahmad, Baha'ullah, Duabelas Imam) tetap merupakan titik fokus penghormatan dan cinta yang luar biasa. Dalam Syi'ah, semangat revolusioner kadang-kadang tumbuh lagi (seperti terakhir terlihat di Iran sejak 1977), dan itulah agaknya yang merupakan daya tarik utama faham Syi'ah bagi para pengagumnya di Indonesia. Sedangkan Ahmadiyah telah menampilkan diri (di India- Pakistan dan juga di Indonesia) terutama sebagai sekte reformis,[13] yang belakangan menjadi sangat introversionis dan menghindar dari kegiatan di luar kalangan mereka sendiri. Walaupun sekte Baha'i juga mempunyai beberapa penganut di Indonesia, mereka rupanya tidak berasal dari kalangan Islam, sehingga Baha'i di sini tidak dapat dianggap sebagai gerakan sempalan Islam (seperti halnya di negara aslinya, Iran).

135

Page 136: Bahan ajar

Tiga gerakan ini memain peranan sangat berlainan di Indonesia, dan meraih penganut dari kalangan yang berbeda. Gerakan Syi'ah adalah yang paling dinamis. Ia mulai sebagai gerakan protes, baik terhadap situasi politik maupun kepemimpinan ulama Sunni; pelopornya adalah pengagum revolusi Islam Iran. Kepedulian sosial (perhatian terhadap mustadl'afin) dan politik ditekankan. Dalam perkembangan berikut, penekanan kepada dimensi politik Syi'ah semakin dikurangi, dan minat kepada tradisi intelektual Syi'ah Iran ditingkatkan.[14] Dengan kata lain, gerakan Syi'ah Indonesia sudah bukan gerakan sempalan revolusioner lagi dan cenderung untuk menjadi introversionis. Tetapi gerakan ini tetap berdialog dan berdebat dengan golongan Sunni, mereka tidak terisolir. Di antara semua gerakan sempalan masa kini, hanya gerakan Syi'ah yang agaknya mempunyai potensi berkembang menjadi suatu denominasi, di samping gerakan pemurni dan pembaharu yang Sunni.

Gerakan sempalan: gejala krisis atau sesuatu yang wajar saja?

Tinjauan sepintas ini menunjukkan bahwa gerakan sempalan Islam di Indonesia cukup berbeda satu dengan lainnya. Latar belakang sosial mereka juga berbeda-beda. Tidak dapat diharapkan bahwa kemunculannya bisa dijelaskan oleh satu dua faktor penyebab saja. Ada kecenderungan untuk melihat semua gerakan sempalan sebagai suatu gejala krisis, akibat sampingan proses modernisasi yang berlangsung cepat dan pergeseran nilai. Tetapi gerakan-gerakan seperti yang telah digambarkan di atas bukanlah fenomena yang baru. Prototipe gerakan sempalan dalam sejarah Islam adalah kasus Khawarij, yang terjadi jauh sebelum ada modernisasi. Gerakan messianis juga telah sering terjadi selama sejarah Islam, di kawasan Timur Tengah maupun Indonesia. Sedangkan tarekat sudah sering menjadi penggerak atau wadah protes sosial rakyat atau elit lokal antara 1880 dan 1915. Gerakan pemurni yang radikal juga telah sering terjadi, setidak- tidaknya sejak gerakan Padri.

Timbulnya segala macam sekte dan aliran "mistisisme" juga bukan sesuatu yang khas untuk negara sedang berkembang. Justeru di negara yang sangat maju, seperti Amerika Serikat, fenomena ini sangat menonjol. Jadi, hipotesa bahwa gerakan sempalan di Indonesia timbul sebagai akibat situasi khusus ummat Islam Indonesia masa kini tidak dapat dibenarkan. Saya mengira juga, bahwa jumlah aliran baru yang muncul setiap tahun (sekarang) tidak jauh lebih tinggi ketimbang tiga das.a.w.arsa yang lalu.

Yang dipengaruhi oleh iklim sosial, ekonomi dan politik, agaknya, bukan timbulnya aliran-aliran itu sendiri, tetapi jenis aliran yang banyak

136

Page 137: Bahan ajar

menjaring penganut baru. Periode 1880 sampai 1915, misalnya, merupakan masa jaya tarekat di Indonesia; pengaruh dan jumlah penganutnya berkembang cepat. Gerakan atau aliran agama lainnya tidak begitu menonjol pada masa itu. Tarekat-tarekat telah menjadi wadah pemberontakan rakyat kecil terhadap penjajah maupun pamong praja pribumi, tidak karena terdapat sifat revolusioner pada tarekat itu sendiri, tetapi karena jumlah dan latar belakang sosial penganutnya, karena struktur organisasinya (vertikal-hierarkis), dan karena aspek "thaumaturgical"nya (kekebalan, kesaktian).[15]

Pada masa berikutnya, sekitar 1915-1930, semua tarekat mengalami kemerosotan pengaruh karena berkembangnya organisasi modern Islam bersifat sosial dan politik, terutama Sarekat Islam. Walaupun SI merupakan organisasi modern dengan pemimpin-pemimpin berpendidikan barat, cabang-cabang lokalnya ada yang mirip sekte messianis atau tarekat, khususnya pada masa awalnya. Cokroaminoto kadang-kadang disambut sebagai ratu adil dan diminta membagikan air suci; ada juga kyai tarekat yang masuk SI dengan semua penganutnya dan berusaha mempergunakan SI sebagai wajah formal tarekatnya.[16]

Fenomena yang paling menonjol pada masa itu, bahwa banyak aliran agama menunjukkan aktivisme politik dan sosial. Namun setelah pemberontakan-pemberontakan 1926 diberantas dan kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda menjadi lebih repressif (dan setelah pemimpin-pemimpin nasionalis dibuang), muncullah aliran-aliran agama baru yang introversionis, yaitu yang berpaling dari aktivitas sosial dan politik kepada penghayatan agama secara individual, dan yang bersifat mistis (sufistik). Das.a.w.arsa 1930an melihat lahirnya berbagai aliran kebatinan yang masih ada sampai sekarang, seperti Pangestu dan Sumarah, dan juga masuk dan berkembangnya dua tarekat baru, yaitu Tijaniyah dan Idrisiyah.

Korelasi antara represi politik dengan timbulnya aliran sufistik yang introversionis terlihat lebih jelas ketika partai Masyumi dibubarkan. Neo-tarekat seperti Shiddiqiyah, dan juga Islam Jama'ah timbul di kalangan bekas penganut Masyumi di Jawa Timur. Di daerah lainnya juga cukup banyak kasus bekas aktivis Masyumi yang masuk aliran mistik. Setelah penumpasan PKI, neo- tarekat Shiddiqiyah dan Wahidiyah, serta tarekat lama Syattariyah di Jawa Timur, mengalami pertumbuhan pesat dengan masuknya tidak sedikit orang dari kalangan abangan. Mereka ketika itu ingin, dengan alasan yang dapat dimengerti, membuktikan identitasnya sebagai Muslim dan sikap non-politik mereka.[17] Dan pada lima tahun

137

Page 138: Bahan ajar

terakhir ini kita menyaksikan bahwa tarekat dan aliran mistik lainnya berkembang dengan pesat, dalam semua kalangan masyarakat - suatu fenomena yang agaknya berkaitan erat dengan depolitisasi Islam.[18]

Gerakan sempalan yang "radikal"

Di atas, saya lebih banyak menyebut aliran "introversionis" dan mistik daripada aliran yang radikal dan aktivis - "sekte" dalam arti sempitnya Troeltsch. Pertama-tama karena saya lebih mengetahui tentang aliran sufistik itu, tetapi juga karena aliran radikal relatif jarang terjadi di Indonesia, dan jumlah penganutnya, sejauh penilaian saya, agak kecil. Yang perlu kita tanyakan, mungkin, bukan kenapa terjadi gerakan sempalan yang radikal di Indonesia, tetapi kenapa gerakan demikian begitu jarang terjadi (dibandingkan, misalnya, dengan Amerika Serikat, India ataupun Malaysia).

Dalam beberapa das.a.w.arsa terakhir kita melihat beberapa perubahan dalam ortodoksi Islam Indonesia, yang dapat ditandai dengan istilah "akomodasi" dan "depolitisasi". Secara teoretis, kita bisa meramalkan bahwa setiap perubahan dalam ortodoksi akan menimbulkan beberapa reaksi dalam bentuk gerakan sempalan yang tujuannya berlawanan dengan perubahan tersebut. Makin dekat ortodoksi kepada establishment politik dan ekonomis, makin kuat kecenderungan kepada protes sosial dalam bentuk gerakan sempalan yang radikal, seperti kita bisa lihat dalam sejarah gereja di Eropa misalnya. Kita juga bisa meramal bahwa penganut gerakan sempalan itu tidak terutama berasal dari "mainstream" kalangan beragama (katakanlah, yang dibesarkan di keluarga NU atau keluarga Muhammadiyah, dalam kasus Indonesia), tetapi dari kalangan yang relatif marginal. Justeru orang yang masih baru berusaha menjalankan ajaran agama secara utuh, para mukallaf, dan orang berasal dari keluarga yang sekuler atau abangan yang mencari identitas dirinya dalam Islam. Kalangan "santri", karena mereka lebih dekat kepada tokoh-tokoh yang "ortodoks", lebih cenderung mengikuti perubahan sikap ortodoksi. Mereka juga, agaknya, sudah dibudayakan dalam tradisi Sunni, yang selalu akomodatif. Sedangkan orang "baru" justeru sering cenderung mencari ajaran yang "murni", sederhana dan tegas, tanpa memperhatikan situasi dan kondisi.

Gejala menonjol dalam beberapa gerakan sempalan yang radikal adalah latar belakang pendidikan dan pengetahuan agama banyak anggotanya yang relatif rendah, tetapi diimbangi semangat keagamaan yang tinggi. Sebagian besar mereka, sejauh pengamatan saya, sangat idealis

138

Page 139: Bahan ajar

dan sangat ingin mengabdi kepada agama dan masyarakat. Mereka adalah orang yang sadar akan kemiskinan dan korupsi, ketidakadilan dan maksiat di masyarakat sekitarnya; dalam kehidupan pribadi, banyak dari mereka telah menghadap kesulitan untuk mendapat pendidikan dan pekerjaan yang baik dan mengalami banyak frustrasi lainnya. Dan mereka yakin bahwa Islam sangat relevan untuk masalah-masalah sosial ini. Mereka tahu, yang sering dilontarkan tokoh-tokoh Islam, bahwa Islam tidak membenarkan sekularisme, bahwa agama dan masalah sosial dan politik tidak dapat dipisahkan. Tetapi mereka kecewa melihat bahwa kebanyakan tokoh-tokoh tadi senantiasa siap berkompromi dalam menghadapi masalah politik dan sosial. Para ulama tidak memberi penjelasan yang memuaskan tentang sebab-sebab semua penyakit sosial tadi, apalagi memberikan jalan keluar yang konkrit dan jelas. Hal-hal yang diceramahkan dan dikhotbahkan oleh kebanyakan ulama terlalu jauh dari realitas yang dihadapi generasi muda.

Karena adanya jurang komunikasi antara tokoh-tokoh agama dan kalangan muda yang frustrasi tetapi idealis ini, tokoh-tokoh tadi tidak mampu menyalurkan aspirasi dan idealisme mereka ke dalam saluran yang lebih moderat dan produktif. Pemuda-pemuda radikal, di pihak lain, justeru karena masih dangkalnya pengetahuan agama mereka, menganggap bahwa seharusnya Islam mempunyai jawaban yang sederhana, jelas dan kongkrit atas semua permasalahan -- inilah watak khas setiap sekte. Orang yang bilang bahwa permasalahan tidak sesederhana itu, bahwa dalam sikap Islam juga ada segala macam pertimbangan, dan bahwa jawaban yang keras dan tegas belum tentu yang paling benar, dianggap tidak konsisten atau malah mengkhianati agama yang murni. Tidak mengherankan kalau kritik dan serangan gerakan radikal terhadap ulama "ortodoks" kadang-kadang lebih keras daripada terhadap para koruptor dan penindas.

Timbulnya pemahaman agama yang radikal di kalangan muda sebetulnya wajar saja, dan pada sendirinya bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Umat yang hanya terdiri dari satu ortodoksi yang monolitik berarti sudah kehilangan dinamika dan gairah hidup. Dalam sejarah gereja di dunia Barat, sekte-sekte radikal sering telah berfungsi sebagai hati nurani ummat, dan hal demikian juga dapat dilihat dalam sejarah umat Islam. Gerakan sempalan radikal mendorong ortodoksi untuk setiap saat memikirkan kembali relevansi ajaran agama dalam masyarakat kontemporer, dan untuk mencari jawaban atas masalah dan tantangan baru yang terus-menerus bermunculan. Bahaya baru muncul kalau komunikasi

139

Page 140: Bahan ajar

antara ortodoksi dan gerakan sempalan terputus dan kalau mereka diasingkan. Karena kurangnya pengalaman hidup dan pengetahuan agama, mereka dengan sangat mudah bisa saja dimanipulir dan/atau diarahkan kepada kegiatan yang tidak sesuai dengan kepentingan umat.

Gerakan sempalan sebagai pengganti keluarga

Sebagai akibat urbanisasi dan monetarisasi ekonomi, banyak ikatan sosial yang tradisional semakin longgar atau terputus. Dalam desa tradisional, setiap orang adalah anggota sebuah komunitas yang cukup intim, dengan kontrol sosial yang ketat tetapi juga dengan sistem perlindungan dan jaminan sosial. Jaringan keluarga yang luas melibatkan setiap individu dalam sebuah sistem hak dan kewajiban yang -- sampai batas tertentu -- menjamin kesejahteraannya. Dalam masyarakat kota modern, sebaliknya, setiap orang berhubungan dengan jauh lebih banyak orang lain, tetapi hubungan ini sangat dangkal dan tidak mengandung tanggungjawab yang berarti. Komunitas, seperti di desa atau di keluarga besar, sudah tidak ada lagi, dan kehidupan telah menjadi lebih individualis. Itu berarti bahwa dari satu segi setiap orang lebih bebas; tetapi dari segi lain, tidak ada lagi perlindungan yang betul-betul memberikan jaminan. Banyak orang merasa terisolir, dan merasa bahwa tak ada orang yang betul-betul bisa mereka percayai --- karena sistem kontrol sosial dengan segala sanksinya sudah tidak ada lagi, dan karena orang lain juga lebih mengutamakan kepentingan individual masing-masing.

Dalam situasi ini, aliran agama sering bisa memenuhi kekosongan yang telah terjadi karena menghilangnya komunitas keluarga besar dan desa. Namun untuk dapat berfungsi sebagai komunitas, aliran ini mestinya cukup kecil jumlah anggotanya, sehingga mereka bisa saling mengenal. Aspek komunitas dan solidaritas antara sesama anggota diperkuat lagi kalau aliran ini membedakan diri dengan tajam dari dunia sekitarnya. Inilah, agaknya, daya tarik aliran yang bersifat eksklusif (yaitu menghindar dari hubungan dengan umat lainnya) atau gnostic (yang mengklaim punya ajaran khusus yang tidak dimengerti kaum awam dan menerapkan sistem bai'at).

Dalam penelitian saya di sebuah perkampungan miskin di kota Bandung, saya sempat mengamati bagaimana berbagai aliran agama mempunyai fungsi psikologis positif yang sangat nyata. Baik tarekat maupun sekte memenuhi kebutuhan akan komunitas dan memberi perlindungan sosial dan psikologis kepada anggotanya, sehingga mereka tidak terisolir lagi. Penganut-penganut aliran ini -- terlepas dari tipe aliran

140

Page 141: Bahan ajar

dan ajarannya - ternyata lebih mampu mempertahankan harga diri dan nilai-nilai moral daripada orang lain. Dalam berbagai tarekat dan aliran lain, para anggota saling memanggil "ikhwan", dan itu bukan sebutan simbolis belaka; mereka memang sering bertindak sebagai saudara sesama anggota. Pergaulan dan komunikasi antara para ikhwan tidak terbatas pada waktu sembahyang atau berdzikir saja; mereka saling mengunjungi di rumah dan saling menolong, misalnya, mencari pekerjaan. Di dalam aliran-aliran ini terdapat kontrol sosial yang kuat dan dorongan kepada konformisme, tetapi juga sistem tolong-menolong yang menjaminkan keamanan yang dibutuhkan. Walaupun lingkungan mereka dianggap penuh bahaya, maksiat dan penipuan, kepada sesama ikhwan mereka bisa saling percaya; di bawah perlindungan tarekat mereka merasa aman dari ancaman dan tantangan yang mereka alami di dunia sekitar. Ternyata bukan tarekat dan aliran kebatinan saja, tetapi juga kelompok sangat non-sufistik seperti jamaah Persis (yang merupakan minoritas kecil di sana dan berpendirian sektarian) mempunyai fungsi yang sama.[19] Di suatu lingkungan dimana egoisme, sinisme, curiga-mencurigai, iri hati dan pemerosoton semua nilai semakin berkembang, anggota aliran tadi bisa bertahan dan hidup lebih aman dan tenang.

Demikian juga halnya mahasiswa (terutama yang berasal dari kota kecil atau desa) yang hidup di sebuah lingkungan kota yang serba baru dan aneh bagi mereka; kelompok-kelompok studi agama dan sebagainya memberikan perlindungan dan rasa aman, dimana mereka bisa merasa "at home". Lebih-lebih kalau kelompok itu bisa memberikan mereka sebuah kerangka analisa masyarakat sekitarnya dan keyakinan bahwa mereka sebetulnya sebuah minoritas yang lebih baik, murni dan suci, dan mempunyai misi menyebarkan kemurnian dan kesuciannya. Perasaan minder, yang sering dialami mahasiswa berlatarbelakang sederhana ketika berhadapan dengan sebuah lingkungan yang "canggih", mendapat kompensasi dalam "keluarga" baru mereka.

Beberapa gerakan agama di kampus dapat dilihat sebagai gejala konflik budaya ("Islam yang konsisten" melawan "sekularisme yang bebas nilai") yang tak lepas dari perbedaan status sosial-ekonomis. Tidak mengherankan kalau di kalangan pemuda/mahasiswa pernah muncul gerakan sempalan yang bersifat messianis-revolusioner, yang ingin merombak tatanan masyarakat dan/atau negara (seperti kasus Jama'ah Imran). Tapi itu tidak berarti bahwa semua anggota gerakan tersebut juga punya aspirasi revolusioner. Dalam kasus Jama'ah Imran misalnya, saya mempunyai kesan bahwa sebagian besar pengikutnya, berbeda dengan

141

Page 142: Bahan ajar

kelompok intinya, sebetulnya tidak tertarik kepada aspek revolusioner (atau subversif)nya.[20] Mereka pertama-tama masuk Jama'ah Imran didorong oleh rasa ingin tahu semata atau karena tertarik kepada ceramah-ceramahnya yang "pedas"; yang kemudian mengikat mereka adalah aspek komunitasnya. Aspek komunitas ini diperkuat oleh bai'at dan melalui suasana yang sangat emosional dalam pengajian, di mana para hadirin sering sampai menangis -- hal yang juga terjadi dalam banyak tarekat. Jamaah Imran telah menjadi keluarga baru untuk banyak pemuda dan pemudi, sampai terjadinya kegiatan kekerasan. Peristiwa Cicendo ternyata menghancurkan suasana keluarga, dan sebagian besar pengikut segera memutuskan semua hubungan dengan jamaah; yang tinggal hanya kelompok inti yang kecil saja.

Kata penutup

Sejauh yang sempat saya amati, gerakan sempalan Islam di Indonesia biasanya tidak muncul di tengah-tengah kalangan umat, tetapi di pinggirannya. Sebagiannya mungkin bisa dilihat sebagai aspek dari proses pengislaman yang sudah mulai berlangsung enam atau tujuh abad yang lalu dan masih terus berlangsung. Sebagian juga (terutama gerakan yang "radikal") bisa dilihat sebagai "komentar" terhadap ortodoksi yang telah ada, dengan usul koreksi terhadap hal-hal yang dianggapnya kurang memadai. Selama dialog antara ortodoksi dan gerakan sempalan masih bisa berlangsung, fenomena ini mempunyai fungsi positif. Terputusnya komunikasi dan semakin terasingnya gerakan sempalan tadi mengandung bahaya. Kalau ortodoksi tidak responsif dan komunikatif lagi dan hanya bereaksi dengan melarang-larang (atau dengan diam saja), ortodoksi sendiri merupakan salah satu sebab penyimpangan "ekstrim" ini.

Terlepas dari hubungan ortodoksi dengan umat "pinggiran", aliran-aliran agama mempunyai suatu fungsi sosial yang cukup penting untuk para penganutnya, yaitu sebagai pengganti ikatan keluarga dan pemberi perlindungan dan keamanan psikologis- spiritual. Peran ini tidak dapat dimainkan oleh organisasi agama besar, justeru karena yang diperlukan adalah hubungan intim dalam sebuah komunitas yang terpisah dari masyarakat/umat yang luas.

142

Page 143: Bahan ajar

[1] Istilah ini konon pertama kali dipakai oleh Abdurrahman Wahid sebagai pengganti kata "splinter group", kata yang tidak mempunyai konotasi khusus aliran agama, tetapi dipakai untuk kelompok kecil yang memisahkan diri (menyempal) dari partai atau organisasi sosial dan politik. Untuk "splinter group" yang merupakan aliran agama, kata "sekte" lazim dipakai. [2] Artikel ini berdasarkan makalah saya untuk seminar "Gerakan Sempalan di Kalangan Ummat Islam Indonesia", yang diselenggerakan oleh Yayasan Kajian Komunikasi Dakwah di Jakarta, 11 Februari 1989, kemudian diperbaiki dengan masukan dari diskusi dengan para peserta program S-2 di IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta) yang ikut kuliah saya tentang Sosiologi Agama.[3] Seperti diketahui, Syi'ah Itsna'asyariyah sekarang merupakan ortodoksi di Iran. Namun sampai abad ke-10 hijriyah (abad ke-16 Masehi), mayoritas penduduk Iran masih menganut madzhab Syafi'i. Faham ini baru menjadi dominan setelah dinasti Safawiyah memproklamirkan Syi'ah sebagai agama resmi negara dan mendatangkan ulama Syi'i dari Irak Selatan.[4] Ernst Troeltsch, The Social Teachings of the Christian Churches. London, 1931 (aslinya diterbitkan dalam bahasa Jerman pada tahun 1911). Lihat juga pengamatan Weber tentang sekte-sekte protestan di Amerika Serikat: "Sekte-sekte protestan dan semangat kapitalisme", dalam Taufik Abdullah, editor, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1979, hal. 41-78.[5] Pengamatan tajam dan menarik tentang fenomena sekte dan mistisisme di Amerika Serikat masa kini (dengan analisa yang bertolak dari tipologi Troeltsch) terdapat dalam: Robert Bellah dkk, Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life. New York: Harper & Row, 1986, khususnya hal. 243-8.[6] H. Richard Niebuhr, The Social Sources of Denominationalism. New York: Holt, 1929.[7] Lihat: J. Milton Yinger, Religion, Society and the Individual. New York: MacMillan Co., 1957, khususnya hal. 147-55.[8] Salah satu tulisannya, "Tipologi sekte", telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dimuat dalam: Roland Robertson (ed.), Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: Rajawali, 1988, hal. 431-462. Sayangnya, terjemahannya mengandung banyak kesalahan sehingga tulisan ini sulit

143

Page 144: Bahan ajar

difahami. Untuk lebih lengkap dan jelas, lihat bukunya Sects and Society (Heinemann / California University Press, 1961).[9] Beberapa tulisan Sartono Kartodirdjo merupakan kajian penting tentang gerakan millenarian di Indonesia, antara lain "Agrarian Radicalism in Java: its Setting and Development", dalam: Claire Holt (ed), Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1972, hal. 71-125. Teori umum dan beberapa kasus penting dibahas dalam: Michael Adas, Prophets of Rebellion: Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order. University of North Carolina Press, 1979 (terjemahan Indonesia: Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Milenarian Menentang Kolonialisme Eropa. Jakarta: Rajawali 1988).[10] Ada pengamatan menarik bahwa beberapa aliran kebatinan pada zaman revolusi mengembangkan latihan kesaktian (silat dengan tenaga dalam, "ilmu kontak", kekebalan dan sebagainya), yang pada masa kemudian dianggap terlalu kasar dan digantikan dengan latihan kejiwaan yang lebih halus. Lihat: Paul Stange, The Sumarah Movement in Javanese Mysticism, Ph.D. thesis, University of Wisconsin, Madison, 1980, bab 5. Berbagai tarekat juga (terutama Qadiriyah) menunjukkan aspek thaumaturgical pada masa revolusi, yang kemudian ditinggalkan lagi.[11] Saya memakai istilah karismatik di sini dalam arti asli kata: baik pemimpin karismatik maupun pengikutnya percaya bahwa ia dianugerahi karamah atau kesaktian.[12] Mereka menganggap almarhum Syeikh Muhammad bin Abdullah Suhaimi (seorang muslim Jawa di Singapura, mantan guru dari Ustaz Ashaari Muhammad) sebagai Mahdi. Walaupun sudah meninggal dunia, beliau diharapkan akan datang dalam waktu dekat. Syeikh Suhaimi konon telah bertemu dengan Nabi dalam keadaan jaga, dan menerima Aurad Muhammadiyah, yang diamalkan Darul Arqam, dari Beliau. Lihat: Ustaz Hj. Ashaari Muhammad, Aurad Muhammadiyah, Pegangan Darul Arqam. Kuala Lumpur: Penerangan Al Arqam, 1986; juga: Ustaz Ashaari Muhammad, Inilah pandanganku. Kuala Lumpur: Penerangan Al Arqam, 1988[13] Ahmadiyah pernah memainkan peranan penting dalam proses pengislaman (atau "pen-santri-an") kaum terdidik di Indonesia pada masa penjajahan. Dalam Jong Islamieten Bond dan Sarekat Islam pengaruhnya sangat berarti. Baru setelah organisasi modernis lainnya berkembang terus, Ahmadiyah menghilangkan fungsinya sebagai pelopor reformisme dan rasionalisme dalam Islam. Berkembangnya kritik semakin keras terhadap

144

Page 145: Bahan ajar

faham kenabian Ahmadiyah Qadian bisa dilihat sebagai simptom konsolidasi ortodoksi Islam di Indonesia.[14] Pergeseran ini, antara lain, terlihat dalam urutan terjemahan karya penulis Syi'ah: Ali Syari'ati disusul oleh Murtadha Muthahhari dan kemudian Baqir Al-Shadr. Khomeini pertama-tama dilihat sebagai pemimpin revolusi saja, kemudian juga sebagai ahli 'irfan (tas.a.w.wuf dan metafisika). Sekarang diskusi-diskusi lebih sering berkisar sekitar filsafat atau persoalan 'ishmah (apakah para Imam Duabelas ma'shum?) daripada situasi politik Iran.[15] Lihat pengamatan tentang peranan tarekat dalam pemberontakan Banten dalam: Sartono Kartodirdjo, The Peasant's Revolt of Banten in 1888. The Hague: Nijhoff, 1966.[16] Lihat, antara lain, laporan tentang konflik antara kyai tarekat yang memimpin cabang lokal di Madura dengan pengurus pusat, dalam buku Sarekat Islam Lokal (editor Sartono Kartodirdjo). Jakarta: Arsip Nasional, 1975. Di Jambi, sebuah aliran kekebalan ("ilmu abang") meniru contoh SI dan menamakan diri Sarekat Abang, dan kemudian mencoba mengambil over cabang lokal SI. Tentang Cokroaminoto sebagai "ratu adil", lihat: A.P.E. Korver, Sarekat Islam 1912-1916. Universitas Amsterdam, 1982 (terjemahan Indonesia: Ratu Adil, Grafiti Pers).[17] Untuk pengamatan menarik tentang berkembangnya aliran tersebut, lihat artikel Moeslim Abdurrahman, "Sufisme di Kediri", dalam Sufisme di Indonesia [Dialog, edisi khusus, Maret 1978], hal. 23-40.[18] Suatu fenomena menarik adalah berkembangnya kecenderungan kepada mistisisme di kalangan menengah di ibukota, seperti dicerminkan dalam majalah Amanah. Mistisisme kelas menengah ini rupanya jarang terorganisir tetapi bersifat "individualisme religius" (menurut istilah Troeltsch; bandingkan komentar dalam catatan 5). Majalah tersebut sering menyoroti "pengalaman rohani" tokoh-tokoh terkenal. Rubrik renungan tas.a.w.wuf dalam majalah ini juga cenderung kepada individualisme, dengan menyinggung hubungan pribadi dengan Tuhan semata, dan sejenisnya.[19] Lihat: Martin van Bruinessen, "Duit, jodoh, dukun: Remarks on cultural change among poor migrants to Bandung", Masyarakat Indonesia XV, 1988, 35-65 (khususnya 55-60).[20] Kesan ini berdasarkan percakapan dengan mahasiswa-mahasiswa di Bandung pada tahun 1983, serta laporan pers tentang pengadilan anggota

145

Page 146: Bahan ajar

Jamaah Imran. Di antara buku-buku tentang kasus ini yang telah terbit, yang paling informatif adalah: Anjar Any, Dari Cicendo ke Meja Hijau: Imran Imam Jamaah. Solo: CV. Mayasari, 1982. Namun buku ini hanya menceritakan tentang kegiatan kekerasan kelompok inti saja, tidak banyak tentang pengikut biasa, yang tidak langsung terlibat dalam kegiatan ini.

(Dikutip dari tulisan Martin van Bruinessen, "Gerakan sempalan di kalangan umat Islam Indonesia: latar belakang sosial-budaya" ("Sectarian movements in Indonesian Islam: Social and cultural background"), Ulumul Qur'an vol. III no. 1, 1992, 16-27. Diakses dari: www.let.uu.nl/~martin.vanbruinessen/personal/publications/gerakan_sempalan.htm Pada hari Selasa, 26 April 2011, jam: 4.02 WIB)

Islam, Radikalisme, dan Demokrasi

Prolog

146

Page 147: Bahan ajar

Ada tiga basis radikalisme yang menggejala di negeri kita akhir-akhir ini, yaitu (1) radikalisme agama, (2) radikalisme pasar bebas, dan (3) radikalisme kebebasan politik. Radikalisme berbasis agama ditandai menguatnya ideologi aliran keagamaan, seperti maraknya aksi kekerasan dan terorisme yang mengusung formalisme ideologi Islam. Radikalisme berbasis agama, sepertinya terlihat lebih dahsyat karena korbannya langsung terlihat berdarah-darah dan bergelimpangan.

Setelah terjadi kasus serangan teroris yang paling fenomenal di Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001, salah satu diskursus yang muncul ke permukaan dalam khasanah politik internasional maupun domestik, khususnya yang berkaitan dengan persoalan religio-politik, adalah mengenai "radikalisme" Islam. Dalam sejumlah literatur, istilah radikalisme, fundamentalisme, revivalisme, atau neofundamentalisme Islam memiliki tafsiran yang sulit untuk dibedakan satu sama lain, yang semuanya merujuk pada fenomena "kebangkitan" gerakan Islam politik.

John L Esposito (1997), misalnya, menyamakan istilah Islam politik dengan "fundamentalisme Islam" (ditulis dalam tanda kutip) atau gerakan-gerakan Islam lainnya. Sementara Oliver Roy (1994) cenderung menafsirkan Islam politik sebagai aktivitas kelompok-kelompok yang meyakini Islam sebagai agama dan sekaligus sebagai ideologi politik ("the activist groups who see in Islam as much a political ideology as a religion"). Sedikit berbeda dengan Esposito, Roy lebih spesifik merujuk pada apa yang ia sebut sebagai gerakan neofundamentalisme yang antara lain menghendaki pemberlakuan syariat Islam. Istilah radikalisme umumnya dipakai baik oleh kalangan akademisi maupun media massa untuk merujuk pada gerakan-gerakan Islam politik yang berkonotasi negatif seperti "ekstrem, militan, dan nontoleran" serta "anti-Barat/Amerika."

Bahkan sejak dikumandangkannya genderang perang melawan terorisme oleh Presiden AS George W Bush pasca 11 September 2001, istilah radikalisme dan fundamentalisme dicampur-adukkan dengan terorisme. Ironisnya, tidak jarang pula cap fundamentalisme diberikan kepada para pemeluk Islam yang menerima kitab suci mereka, al-Quran dan Hadis sebagai jalan hidup mereka. Dengan kata lain, "kebanyakan dari penegasan kembali agama dalam politik dan masyarakat tercakup dalam istilah fundamentalisme Islam" (Esposito, 1992). Sebagaimana dikatakan Esposito,

147

Page 148: Bahan ajar

persepsi umum tentang fundamentalisme sangat dipengaruhi oleh Protestanisme Amerika, di mana istilah itu dipahami sebagai "sebuah gerakan Protestanisme abad kedua puluh yang menekankan penafsiran Injil secara literal sebagai hal yang fundamental bagi kehidupan dan ajaran Kristen." Menurut Esposito, "Bagi banyak orang Kristen, 'fundamentalis' adalah hinaan, yang digunakan agak sembarangan untuk orang-orang yang menganjurkan posisi Injil yang literalis dan dengan demikian dianggap statis, kemunduran, dan ekstremis."

Dalam konteks aspek religio-politik di kalangan Islam, cap fundamentalisme dan radikalisme juga seringkali dipergunakan secara sinis dan dengan nada menghina, memusuhi, serta merendahkan untuk menyebutkan nama-nama seperti Republik Islam Iran, Imam Khomeini, Hizbullah, Hamas, FIS di Aljazair, Partai Refah di Turki, Ikhwanul Muslimin, dan sebagainya. Mereka memang memperjuangkan tegaknya ajaran agama (Islam) dalam konteks kehidupan sosial-politik, namun penerapannya sama sekali jauh dari kesan "literalis." Bahkan mereka justru memperjuangkan tegaknya nilai-nilai demokrasi dan hak-hak asasi manusia (HAM) yang bersifat universal.

Dalam panggung politik domestik, fenomena bangkitnya gerakan-gerakan Islam radikal pasca 1998 ditandai dengan maraknya aksi-aksi yang melibatkan pengerahan massa yang dimotori berbagai kelompok Islam "garis keras" seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir (HT), dan Laskar Jihad (LJ). Kendati ada perbedaan baik dari segi pandangan politik maupun strategi perjuangan, umumnya mereka memiliki persamaan dalam satu hal, yaitu menghendaki penerapan syariat (hukum) Islam di bumi Nusantara. Dalam soal ini, mereka sebenarnya memiliki kesamaan misi dengan beberapa partai politik berasaskan Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

II Radikalisme dan fundamentalisme Islam sering dipandang sebagai ancaman terhadap kehidupan demokrasi, baik di tingkat nasional maupun global. Karena dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi, dengan sendirinya juga dipandang sebagai musuh dunia dan bahkan musuh peradaban umat manusia. Demokrasi memang merupakan sebuah sistem politik yang didambakan oleh hampir setiap insan politik. Hampir tidak ada satu rezim pun di dunia ini baik di negara-negara kapitalis maupun komunis, maju maupun berkembang, Timur maupun Barat, Utara

148

Page 149: Bahan ajar

maupun Selatan yang enggan mencantumkan, baik eksplisit maupun implisit, kata "demokrasi" pada sistem politik yang dianut negaranya.

Kendati dengan berbagai macam embel-embel di belakangnya, "demokrasi" dianut oleh sebagian besar negara di atas muka bumi ini. Bahkan para diktator tampaknya percaya bahwa komponen yang harus ada bagi keabsahan mereka adalah terdapatnya satu atau dua kata tentang demokrasi. Inti demokrasi yang stabil akan terus mempunyai pengaruh yang besar di dunia; di kebanyakan negara, apakah diperintah oleh rezim demokrasi atau bukan-demokrasi, para pemimpin akan terus menyebut "pemerintahan oleh rakyat" sebagai suatu sendi dari keabsahan mereka; namun banyak sekali negara yang akan diperintah oleh rezim bukan demokrasi (Dahl, 1992).

Namun, terlepas dari soal kelebihan dan kekurangan sistem itu model demokrasi yang diakui secara resmi maupun berbagai konsep demokrasi di Dunia Barat juga berpengaruh terhadap proses demokratisasi di Dunia Islam (Esposito & Voll, 1999). Dan, dengan sendirinya, perdebatan antara "model resmi" sistem demokrasi Barat dan kritik-kritiknya juga mempengaruhi respons kaum Muslim terhadap kebijakan Barat dan perubahan di tingkat lokal (Esposito & Voll, 1999). Demokrasi identik dengan the Western Christian Connection, karena demokrasi memang lahir dan tumbuh di lingkungan kultur Barat yang Kristen.

Oleh sebab itu, demokrasi tampak "sulit berkembang" di lingkungan kultur yang non-Barat dan non-Kristen seperti Islam/Arab. Di samping itu, sekurang-kurangnya terdapat dua kendala lain bagi berkembangnya demokrasi di negara-negara Islam. Pertama, di kalangan Islam sendiri belum ada kesepakatan tentang hubungan antara Islam dan demokrasi. Kedua, proses demokratisasi di negara-negara Islam sedikit banyak juga tergantung pada faktor eksternal. Artinya, keberhasilan atau kegagalan proses demokratisasi tergantung dari apakah negara-negara di luar kawasan ini, khususnya negara-negara Barat sendiri, mendorong atau justru menghambat demokratisasi.

Kasus Aljazair 1991 membuktikan, kegagalan demokrasi lebih banyak disebabkan oleh dukungan Barat kendati secara diam-diam terhadap dihentikannya proses demokratisasi, karena adanya kekhawatiran Barat terhadap "fundamentalisme" Islam. Dan, kekhawatiran itu lebih bersandarkan pada prasangka negatif, sebuah sikap yang sebenarnya juga "tidak demokratis". III Dalam hal hubungan Islam dan demokrasi sekurang-kurangnya terdapat tiga aliran pemikiran (Esposito & Piscatori,

149

Page 150: Bahan ajar

1991; Esposito, 1992). Pertama, aliran pemikiran yang berpendapat, Islam di dalam dirinya demokratis tidak hanya karena prinsip syura (musyawarah), tapi juga karena konsep-konsep: ijtihad (independent reasoning) dan ijma' atau konsensus atau permufakatan (Esposito & Piscatori, 1991; Esposito, 1992).

Secara harfiah ijtihad mengandung arti "berusaha semaksimal mungkin melaksanakan suatu pekerjaan tertentu". Secara teknis mengandung arti, "upaya maksimal untuk meyakini perintah Islam serta maksud sesungguhnya dari perintah Islam yang menyangkut masalah atau urusan tertentu" (Al-Maududi, 1990). Hamid Enayat (1988) berpendapat, Islam masih bisa lolos dari salah satu "tes moral demokrasi", yaitu persyaratan bahwa suatu pemerintahan tidak hanya harus berdasarkan hukum, tetapi dalam segala keputusannya juga harus memperhitungkan kehendak rakyat yang diperintah. Persyaratan ini, menurut Enayat, dipenuhi oleh prinsip syura dan ijma', yang digali dari al-Quran dan Hadis.

Muhammad Asad, seorang pemikir Islam modernis mengatakan bahwa lembaga legislatif majlis asy-syura harus benar-benar mewakili seluruh komunitas, baik pria maupun wanita. Karakter perwakilan demikian hanya dapat dicapai melalui pemilu yang bebas, karenanya para anggota majelis harus dipilih dengan cara-cara yang memungkinkan semua orang terlibat (berpartisipasi). Sayyid Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad 'Abduh, dua pemikir Islam kenamaan, bahkan pernah mengatakan bahwa Islam adalah agama yang menyatakan "kehendak bebas" (Enayat, 1988). IV Kedua adalah aliran pemikiran yang menegaskan bahwa demokrasi bertentangan dengan ajaran Islam. Aliran ini muncul pada 1905-1911 di Iran selama berlangsungnya Gerakan Konstitusional.

Syaikh Fadlallah Nuri, selama debat tentang formulasi konstitusi mengemukakan, satu kunci gagasan demokrasi, persamaan semua warga negara, adalah "impossible" dalam Islam. Sayyid Qutb, teoretisi dan tokoh gerakan Ikhwanul Muslimin yang dieksekusi rezim Mesir (1966), menekankan bahwa sebuah negara Islam harus berlandaskan pada prinsip musyawarah sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran. Ia percaya bahwa syariat sudah sangat lengkap sebagai suatu sistem moral dan hukum, sehingga tidak diperlukan legislasi yang lain. Pada 1982, Shaikh Muhammad Mutawwali al-Sha'rawi, salah seorang tokoh agama terkemuka di Mesir, memancing kontroversi dengan mengatakan, "Islam tidak bisa dipadukan dengan demokrasi".

150

Page 151: Bahan ajar

Dan, orang nomor dua dalam jajaran kepemimpinan FIS Aljazair, Ali Benhadj, menegaskan bahwa konsep demokrasi harus digantikan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang Islami. Para teoretisi politik Barat sendiri, kata Benhadj, mulai melihat demokrasi sebagai "sebuah sistem yang cacat" (a flawed system). Semua upaya untuk mensintesiskan Islam dengan demokrasi selalu terbentur pada batu karang yang bernama "kumpulan doktrin yang abadi dan tak bisa diubah" yang merupakan intisari setiap agama (Enayat, 1988). Pemikir besar Syiah Iran Sayyid Muhammad Hussein Thabathaba'i termasuk yang menganut aliran bahwa Islam dan demokrasi tidak bisa dirujukkan. Ia mengingatkan, "dalam kelahirannya, setiap agama besar selalu bertentangan bukannya menyesuaikan diri dengan kehendak mayoritas".

Thabathaba'i mengutip al-Quran (23:70-71), "Seandainya kebenaran itu mengikuti kehendak mereka sendiri, pasti akan binasalah langit dan bumi beserta segala isinya". Karena itu, katanya, salahlah untuk menganggap tuntutan mayoritas sebagai selalu adil dan mengikat. Dalam pandangan Enayat, karena Thabathaba'i menghadapi masalah kebebasan berpendapat dalam Islam dengan cara yang langsung dan terbuka, "maka pendiriannya jauh lebih jujur dan berani dibandingkan dengan semua teoretisi yang condong untuk mengusahakan integrasi artifisial demokrasi ke dalam Islam" (Enayat, 1988).

Pendapat bahwa Islam bertolak-belakang dengan demokrasi juga dianut oleh penguasa Arab Saudi, khususnya Raja Fahd bin Abdul Aziz, yang secara terbuka pernah menegaskan bahwa demokrasi hanya cocok untuk masyarakat Barat, tapi tidak sesuai bagi bangsa Muslim. Fahd bahkan pernah mengharamkan suatu pemilu yang bebas. Fahd pernah mengatakan, "The prevailing democratic system in the world is not suitable for us in this region ... We have our own Muslim faith which is a complete system and a complete religion. Elections do not fall within the sphere of the Muslim religion" (Anderson, 1997).

V Ketiga adalah aliran pemikiran yang, menurut Esposito dan Piscatori, "Like the first school of thought, this line of argument holds that Islam constitutes its own form of democracy, but, like the second, concentrates on the relationship between divine and popular sovereignty". Dengan kata lain, aliran pemikiran ketiga ini menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam, tetapi di lain pihak mengakui adanya perbedaan antara Islam dan demokrasi. Abul A'la Al-Maududi, pemikir dan pendiri gerakan Jamaat-i Islami di Pakistan, pernah mengatakan

151

Page 152: Bahan ajar

bahwa dalam demokrasi sekuler Barat, pemerintahan dibentuk dan diubah dengan pelaksanaan pemilihan umum.

Demokrasi dalam Islam, katanya, juga memiliki wawasan yang mirip, tetapi perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa kalau di dalam sistem Barat suatu negara demokratis menikmati hak kedaulatan mutlak, maka dalam demokrasi Islam, kekhalifahan ditetapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang telah digariskan oleh Hukum Ilahi (Al-Maududi, 1990). Secara historis, cita-cita demokrasi dalam bentuk kebebasan untuk mengemukakan pendapat, berbicara, berserikat, dan berkumpul serta pemerintahan yang berperwakilan telah mengesan dalam pikiran kaum muslim sebagai akibat wajar dari tujuan kemerdekaan dan kesatuan nasional (Enayat, 1988).

Bagi para pemikir muslim, masalah-masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan soal demokrasi ini jauh lebih rumit dibandingkan dengan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh gagasan nasionalisme (Enayat, 1988). Jika Islam berbenturan dengan postulat-postulat tertentu demokrasi, ini disebabkan karena sifat umum Islam sebagai agama. Setiap agama tak dapat tidak akan mengalami konflik yang sama karena kepribadiannya sebagai agama, yaitu suatu sistem keyakinan yang dilandaskan pada sejumlah ajaran yang mutlak dan tak bisa diubah, atau pada kekuatan konvensi-konvensi atau otorita-otorita tradisional yang diakui (Enayat, 1988).

(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Riza Sihbudi [Peneliti LIPI] dalamhttp://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=173281&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2=)

152

Page 153: Bahan ajar

FUNDAMENTALISME:Telaah Fikih Politik

Abstract:

"Fundamentalism" is, in the present day, an interpetable word. Its meaning depends on standpoint utilized. From the Western’s point of view, fundamentalism, which invariably identifies as radicalism, extremism, even terrorism, is always viewed in a negative way, especially it refers to the Muslims who strictly grasp and implement Islamic teachings. Its existence is so dangerous for Western interest in the world, particularly in the Muslim countries. Therefore, those who claimed as fundamentalists must be fought. This view is misleading, because behind the decision to fight the fundamentalists, there is actually a political agenda, among other things is to rule them under its power. While from Muslim’s perspective, fundamentalism means to hold Islamic doctrines totally and apply them in daily life. It does not mean that they accept the doctrine without any reason; they are require to use their open-mind to find the truth.

Kata Kunci: Fundamentalisme, Barat, Islam, Fikih, Politik.

A. Pendahuluan

153

Page 154: Bahan ajar

Fundamentalisme adalah sebuah kata yang penuh arti dan muatan. Hal ini tergantung siapa yang menginterpretasikannya. Namun, kata fundamentalisme, secara sederhana, dapat didefinisikan sebagai sikap [seseorang] yang berpegang teguh pada prinsip (par excellence prinsip agama) dan mempertahankan keyakinan itu. Menurut Encyclopaedia of the Social Sciences (1968), fundamentalisme adalah sebuah nama gerakan agresif dan konservatif di lingkungan gereja Kristen Protestan di Amerika Serikat yang berkembang dalam dasawarsa sesudah Perang Dunia I. Gerakan ini tercetus terutama di lingkungan gereja baptist, desciple dan presbyterian yang memperoleh dukungan dari kalangan atau kelompok kependetaan lainnya dengan WJ. Bryan sebagai tokohnya.

Martin E. Marty mengemukakan sebuah sikap atau gerakan dapat dikategorikan sebagai fundamentalisme apabila memenuhi empat prinsip. Pertama, fundamentalisme bersifat oppositionalism (paham perlawanan), yaitu sikap atau gerakan yang selalu melawan terhadap hal (baik ide sekulerisme maupun modernisme) yang bertentangan dan mengancam eksistensi agama. Kedua, fundamentalisme bersifat penolakan terhadap paham hermeneutika, yakni penolakan terhadap sikap kritis atas teks dan interpretasinya. Ketiga, fundamentalisme bersifat menolak terhadap paham pluralisme dan relativisme yang keduanya dihasilkan dari pemahaman agama yang keliru. Keempat, fundamentalisme bersifat menolak terhadap paham sosiologis dan historis, yakni perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci.

Dawam Rahardjo menjelaskan ciri lain yang melekat pada kaum fundamentalis, antara lain sikap dan pandangan yang radikal, militan, berpikiran sempit (narrow-minded), bersemangat secara berlebihan (ultra-jealous) atau cenderung ingin mencapai tujuan dengan memakai cara-cara kekerasan. Bahkan dia mengatakan bahwa fundamentalisme itu merefleksikan sikap tidak percaya kepada kemampuan penalaran dan lebih menekankan aspek emosional atau perasaan. Sikap ini juga meragukan kemampuan manusia untuk memecahkan masalah pungkasan (ultimate problems) dan mempercayakan diri pada lembaga ilahiyah (divine agency). Pandangan seperti ini tidak hanya merupakan ciri khas tradisi Kristiani, melainkan juga dimiliki oleh mereka yang paling sedikit menerima manfaat dari budaya rasional atau mereka yang kehidupan sehari-harinya masih sangat tergantung pada proses alami dan belum banyak berada dalam kontrol manusia itu.

154

Page 155: Bahan ajar

Sedang Yusril Ihza Mahendra menjelaskan bahwa fundamentalisme tidak membangun suatu kerangka intelektual yang canggih seperti dilakukan oleh kaum modernis dan neo-modernis. Kaum fundamentalis sebaliknya menafsirkan bahwa seluruh doktrin adalah universal dan berlaku tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Proses intelektualisasi seperti dilakukan kaum modernis menjadi tidak penting, sebab yang penting bagi kaum fundamentalis adalah ketaatan mutlak kepada Tuhan, dan keyakinan bahwa Tuhan memang telah mewahyukan kehendak-Nya secara universal kepada manusia. Dengan kata lain, fundamentalisme lebih menekankan ketaatan dan kesediaan untuk menundukkan diri kepada kehendak Tuhan dan bukan perbincangan intelektual untuk mengerti. Karena itu, seringkali kaum fundamentalis ber-hujjah bahwa bagi mereka yang lebih penting adalah iman dan bukan diskusi. Iman justeru membuat orang mengerti, dan bukan mengerti yang membuat orang beriman. Rasionalitas, menurut pandangan kaum fundamentalis pada umumnya, cenderung hanya menjadi alat untuk melegitimasi kehendak hawa nafsu dalam "mempermudah-mudahkan" agama. Apa yang penting bagi mereka adalah memelihara sikap "militan" dalam menegakkan agama, dan bukan memelihara semangat intelektual yang cenderung membuat orang tidak berbuat apa-apa. Sikap seperti ini memang membuka peluang ke arah sikap doktriner dalam memahami agama. Sejalan dengan pemikiran di atas, Fazlur Rahman, salah seorang pemikir Islam yang cenderung menggeneralisir makna fundamentalisme, menyatakan bahwa kelompok fundamentalisme sebagai kelompok yang dangkal dan superfisial, anti intelektual dan pemikirannya tidak bersumber kepada al-Quran dan budaya intelektual tradisional Islam.

Dari uraian di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa fundamentalisme merupakan gerakan yang timbul di kalangan umat Kristen di Barat dalam rangka memegang teguh prinsip agama yang diyakininya. Namun, dalam perkembangannya kata fundamentalisme, khususnya yang dilabelkan kepada kelompok Muslim, cenderung dikonotasikan sebagai hal negatif bahkan peyoratif yang diasumsikan selalu membuat kerusuhan dan kerusakan.

B. Akar Historis Fundamentalisme

Istilah fundamentalisme mulanya digunakan untuk penganut agama Kristen di Amerika Serikat untuk menamai aliran pemikiran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan

155

Page 156: Bahan ajar

literalis (harfiyah). Timbulnya fundamentalisme pada umumnya dianggap sebagai respon dan reaksi terhadap modernisme dan postmodernisme.

Reaksi ini bermula dari anggapan bahwa modernisme cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara elastis dan fleksibel agar sesuai dengan kemajuan zaman modern. Namun, kenyataannya penafsiran tersebut justeru membawa agama ke posisi yang semakin terisolir dan teralienasi. Kaum fundamentalis menuduh kaum modernis sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap terjadinya proses sekularisasi secara besar-besaran, di mana peran agama akhirnya semakin cenderung terkesampingkan dan digantikan oleh peran sains dan teknologi modern.

Terkait dengan hal tersebut, Hrair Dekmejian menyatakan fundamentalisme adalah suatu bentuk "ideologi protes," fundamentalisme adalah "ideologi kaum oposisi." Ia muncul sebagai senjata ideologis untuk melawan kelas penguasa yang dianggap lalim dan menyimpang dari ajaran agama "yang benar." Fenomena fundamentalisme dalam Islam sebagai "ideologi protes" dan "ideologi oposisi" itu, menurut Dekmejian, muncul ditandai dengan adanya kelompok Khawarij yang menentang kebijakan Khalifah ‘Ali bin Abi Tha lib. Tetapi, pengikut ‘Ali sendiri kemudian mengorganisir diri mereka menjadi kelompok Syi ‘ah yang bersikap oposisi terhadap Khalifah Mu‘awiyah dan keturunannya.

Sedang, fundamentalisme Barat, menurut Nurcholish Madjid, muncul dan menjadi agama pengganti (ersatz religions) yang lebih rendah jika dibandingkan dengan agama mapan yang telah berkembang. Fundamentalisme Kristen (seperti Jerry Falwell, Jimmy Baker dan Sung Myung Moon) di samping mengajarkan paham keagamaan yang baku, juga mengajarkan hal-hal yang bersifat meringankan beban "palliative," namun tidak menghilangkannya. Dengan kata lain, mereka menyajikan hal-hal palsu bersifat menipu "deceptive." Dalam pandangan Nurcholish Madjid, fundamentalisme Barat telah menjadi sumber kekacauan dan penyakit mental. Akibat yang ditimbulkannya begitu besar dan buruk, sehingga menjadi sumber kecemasan baru setelah obat bius dan alkoholisme.

C. Telaah Politis Fundamentalisme

Pada awal Pebruari 1992, di Munich, Jerman berlangsung konferensi untuk mengantisipasi gerakan fundamentalisme (The Munich Conference on Security Policy), yang disponsori negara-negara Atlantik Utara (NATO). Konferensi ini dihadiri oleh kalangan militer, politisi, pakar Barat dan petinggi lainnya. Yang menarik dalam konferensi adalah munculnya persepsi tentang "fundamentalisme Islam" sebagai "ancaman berikutnya"

156

Page 157: Bahan ajar

terhadap NATO, sesudah berakhirnya ancaman komunisme yang ditandai dengan ambruknya soko guru dan pilar komunis dunia, Uni Sovyet.

Terkait dengan fundamentalisme Islam, Judith Miller menulis dalam salah satu artikelnya bahwa gelombang "fundamentalisme" Islam sekarang muncul di bawah tanah, berskala massal, hingga tidak bisa diabaikan begitu saja oleh pemerintah manapun. Willy Wimmer seorang pejabat kementerian tinggi pertahanan Jerman ketika berbicara pada konferensi tersebut mengatakan bahwa kemenangan FIS Aljazair mengakibatkan Barat mengalami nervous dan shock. Padahal, kalau dilihat kemenangan FIS berjalan sesuai dengan prosedur "ruh" dan pemikiran Barat, yakni demokrasi, tapi ternyata akhirnya kemenangan FIS yang menurut kacamata demokrasi sudah demokratis harus kandas di tangan militer yang disponsori Perancis dan dengan dukungan moral Amerika.

Kegagalan FIS yang sudah demokratis tidak lain karena Barat memandang aktivis FIS adalah kelompok fundamentalis yang membahayakan eksistensi kepentingan Barat di Timur Tengah pada khususnya, dan dunia Islam pada umumnya. Akhirnya, FIS yang dalam kacamata bahasa politik Barat dianggap sebagai kumpulan kaum fundamentalis harus dienyahkan dari kancah perpolitikan, karena dianggap akan mampu membentuk pemerintahan yang fundamentalis. Hal ini sebagaimana dikemukakan media Barat, misalnya majalah The Economist yang menyatakan partai ini akan mampu membentuk apa yang disebut sebagai "The World’s first democratically elected Moslem fundamentalist government." Sekali lagi, demokrasi terbukti kekeroposannya dan cenderung dimanfaatkan siapa yang kuat, termasuk Barat. Lebih tajam lagi bisa dinyatakan bahwa bila sudah berhadapan dengan kaum "militan" Islam, maka senjata demokrasi Barat tidak akan berdaya, karena khawatir dengan kebangkitan Islam.

Barat selalu memandang bila ada umat Islam yang commit dan menguasai suatu institusi negara tapi tidak tunduk pada Barat, maka label fundamentalis, radikal, anti pluralisme dan sebagainya akan dengan mudah ditempelkan oleh Barat. Tidak bisa dipungkiri sebagian negara Barat memandang negatif pada dunia Islam selama masih lekat dengan Islamnya. Selama umat Islam tidak mau menjadikan Barat sebagai "thaghut"nya, maka apapun yang dilakukan bisa diganjal. Bukanlah hal yang aneh, ketika negeri Muslim ada yang mau mempelajari nuklir, misalnya, kecurigaan negara Barat muncul dan mereka berusaha untuk mempersulit dengan berbagai cara. Kegeraman Perdana Menteri Pakistan

157

Page 158: Bahan ajar

Nawaz Syarif cukup beralasan dengan sikap Barat ini, karena ketika ada kemungkinan pembelian ahli nuklir Sovyet oleh negara Timur Tengah, Barat meributkannya. Namun, Barat tidak pernah meributkan bom Yahudi (nuklir Israel), atau bom Hindu (nuklir India).

Inilah kepentingan Barat pada umat Islam yang commit agar tidak menjadi bahaya yang mengancamnya. Akhirnya, berita dan informasi yang sesuai dengan kepentingannya dikeluarkan untuk menahan umat Islam dan melanggengkan kepentingan Barat. Memang benar apa yang dikatakan Edward W. Said, intelektual Palestina yang beragama Kristen, bahwa pemberitaan yang disajikan Barat dan Amerika pada umat Islam disajikan sesuai dengan kepentingannya. Noam Chomsky, seorang Yahudi "pembelot," lebih tegas mengatakan bahwa penggunaan istilah, seperti "terorisme," disesuaikan dengan kepentingan Barat, sehingga jika menyebut istilah terorisme -- juga fundamentalisme, radikalisme, ekstremisme, anti pluralisme dan militanisme -- maka yang terbayang adalah kelompok seperti di Iran, Sudan, HAMAS dan gerakan Islam lainnya.

Menyikapi fakta posisi Muslim dan Barat seperti di atas, sudah bisa diraba bahwa kaum fundamentalis dalam kacamata Barat yang kapitalis-sekularis adalah berbahaya dan harus hilang dari peredaran dunia. Lebih lanjut, yang patut disayangkan ada sebagian kaum Muslimin, bahkan termasuk cendekiawannya, juga termakan isu fundamentalisme serta isu negatif lain secara gebyah uyah tanpa tabayyun, investigasi untuk klarifikasi. Akhirnya, setiap Muslim yang mau memperjuangkan Islam dan komitmen dengan Islamnya digeneralisir sebagai fundamentalis, sekaligus diciptakan terma dan konsep pemikiran fundamentalisme yang menyudutkan dan mengkambinghitamkan mereka. Bahkan, mereka diklaim sebagai orang yang radikal, ekstrim, menakutkan, anti kemapanan, anti pluralisme, eksklusif, ahistoris, utopis, romantisme sejarah, sempit pandangan dan sebagainya, yang kesemuanya berkonotasi negatif dan pejoratif, tanpa ada klarifikasi.

D. Dialektika Fundamentalisme: Pandangan Islam

Kalau dikaji lebih dalam, seorang fundamentalis tidaklah bisa digeneralisir sebagai orang yang tertutup, tidak logis dan berbagai atribut negatif lainnya. Memang ada benarnya pendapat beberapa pakar ketika menjelaskan kaum fundamentalis yang kurang menggunakan akalnya --walau tidak semua-- adalah momok yang menakutkan, apalagi tidak menggunakan akalnya ketika memahami ‘aqidah. Dalam Islam, seorang

158

Page 159: Bahan ajar

yang beriman harus menfungsikan akal. Orang beriman tanpa didukung oleh rasio dicela oleh al-Quran, sebab beriman tanpa menggunakan akal yang jernih dan mendalam (mustanir dan ‘amiq) akan terjerumus pada kultus atau taqdis yang keliru. Dapat diambil contoh bagaimana ‘Umar bin Khattab yang pernah menyembah roti akibat akal tidak difungsikan secara jernih, atau bahkan ditinggalkan sama sekali.

Dalam mengembangkan pemikiran Islam, baik berkaitan dengan dakwah, mu‘amalah, ‘ibadah, siyasah, dan sebagainya di tengah masyarakat secara kâffah, haruslah bersikap terbuka dan sanggup berdialog untuk mencari kebenaran, sebab sikap seperti inilah yang dipuji Allah:

...

"…so announce the good news to My Servants, those who listen to the Word, and follow the best (meaning) in it: those are the ones whom Allah has guided, and those are the ones endued with understanding."

"...maka sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku. Yaitu orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal." (QS az-Zumar, 39: 17-18)

Dengan prinsip selalu mencari argumen yang terbaik bukan berarti selalu dalam relativitas, dalam arti tidak mempunyai pegangan, namun maksudnya adalah argumen yang sekarang ini dianggap benar, berani diuji dan selalu terbuka untuk setiap perbaikan demi kemajuan. Selanjutnya, bila sudah terbuka dan selalu mencari konsep dan argumen yang kuat, dan masih ada kelompok yang melabeli dengan terma fundamentalis, radikalis, ekstremis, fanatik, eksklusif, sektarian, reaktif, kontraproduktif, utopian, maka hal itu bukanlah masalah yang perlu dipikirkan.

Anggapan seperti itu tidak perlu membuat semangat commit pada Islam kendor dan mundur, sebab Nabi SAW. telah bersabda: "Islam datang pertama dalam kondisi gharib (dianggap aneh oleh orang Ja hili yah) dan kemudian hari akan kembali gharib (dianggap aneh oleh umat manusia bahkan oleh umat Islam sendiri), seperti pada permulaan datangnya Islam, maka berbahagialah orang-orang yang dianggap gharib itu. Gharib di sini bukan hanya dalam arti agama Islam itu sendiri dianggap aneh, tetapi juga ajaran Islam dianggap aneh, dan bila didiskusikan lebih cenderung untuk kepuasan intelektual, dan bukan untuk diaktualisasikan. Lebih tragis yang menganggap aneh ini bukan non Muslim saja, namun juga sebagian

159

Page 160: Bahan ajar

Muslim sendiri. Maka, sikap yang diambil dalam menghadapi kondisi seperti ini adalah tetap berada dalam jalur keyakinan pemahaman pada Islam yang berupa tuntunan Allah, yakni hukum syara‘, apapun konsekuensinya. Berkaitan dengan hal tersebut, Allah berfirman:

"O ye who believe! if any from among you turn back from his Faith, soon will Allah produce a people whom He will love as they will love Him,- lowly with the believers, mighty against the rejecters, fighting in the way of Allah, and never afraid of the reproaches of such as find fault. That is the grace of Allah, which He will bestow on whom He pleaseth. And Allah encompasseth all, and He knoweth all things."

"Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang murtad dari agamanya, maka Allah akan mengadakan (menggantikan) suatu kaum lain yang dicintai-Nya, dan ramah terhadap sesama mukmin dan bersikap tegas pada kaum kafir. Mereka berjuang di jalan Allah dan tidak takut mendapat celaan dari siapapun yang mencela. Ini adalah suatu karunia dari Allah yang akan dilimpahkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) dan Maha Mengetahui." (QS al-Mâidah, 5: 54)

Sehingga prinsip yang diambil adalah selama yang dilakukan adalah dalam rangka keyakinan untuk kepatuhan dengan hukum shara‘, maka tidaklah menjadi masalah, bahkan apapun tuduhan dan atribut yang ditujukan, maka dianggap sebagai ujian terhadap keimanan. Dan jika melihat si rah nabawi /kisah Nabi SAW., celaan seperti di atas juga pernah dialami dan diterima Nabi SAW., bahkan bisa dikatakan celaan yang diterima Nabi lebih pedas dan menyakitkan, misalnya Nabi dikatakan majnun (gila), tukang sihir, pembuat perpecahan antar famili, pembuat onar dan sebagainya.

Lebih lanjut kalau umat Islam sepakat bahwa terma atau jargon di atas adalah perang bahasa politik, baik terhadap Barat atau terhadap Muslim yang tidak senang dengan Islam, maka sikap yang perlu diambil adalah menjelaskan kepada umat Islam bahwa orang yang tidak sesuai dengan hukum Allah adalah orang sempalan; orang yang masih bergelimang pada maksiat adalah orang yang fanatik kepada nyanyian setan; orang yang suka menyiasati aturan Islam adalah tokoh subversif terhadap Islam; orang yang suka menghalangi aturan Islam untuk didakwahkan adalah orang radikal dan fundamental pada akar-akar fa siq, zalim, munafiq bahkan kafir; orang yang menganggap konsisten dengan

160

Page 161: Bahan ajar

Islam masa sekarang ini adalah utopis dan idealis, yang mana pikirannya tidak lebih tinggi dari makhluk selain manusia; orang yang melakukan sebagian hukum Allah dan meninggalkan sebagian yang lain adalah sekuler. Begitu juga Barat yang melabeli umat Islam dengan semua atribut yang negatif apapun, janganlah menjadikan umat Islam lemah, justeru harus "menyerang" mereka, karena memang masa sekarang ini antara Barat dan Islam terjadi perang opini. Umat Islampun harus membuat opini terhadap kejelekan Barat dengan standar Islam, sebagaimana Barat mengopinikan umat Islam dengan standar kapitalis-sekularis. Terlebih lagi kebanyakan negara Barat tidak sedikit yang jelek, hipokrit dan menggunakan standar ganda dalam menyikapi masalah.

E. Penutup

Akhirnya setelah terurai keterangan di atas, umat Islam akan bisa bersikap terhadap isu-isu yang berkembang di tengah kehidupan ini, dan mampu menjelaskan kepada masyarakat bagaimana menempatkan isu fundamentalisme, anti pluralisme, dan radikalisme yang benar, sekaligus membalik jargon radikal dan sempalan ini. Umat Islam, pada intinya, harus tetap berpegang teguh pada semua ajaran Islam secara kaffah, imbang, dan terbuka serta berani untuk mendialogkannya. Umat Islam harus mengembangkan sikap untuk tidak tertutup terhadap kebenaran yang datang dari luar, serta berani melepaskan ide yang ternyata setelah dikupas argumen-argumennya lemah dan mengambil argumen lain yang lebih kuat.

Masalahnya sekarang adalah satu sisi umat Islam masih sebagai objek bagaikan buih di tengah lautan yang tidak berdaya, umat dipecah-pecah menjadi pecahan negara-negara kecil. Sisi lain, bola salju kebangkitan Islam mulai menggelinding, membesar dan mulai ancang-ancang menuju tegaknya panji Islam. Maka apakah di sini umat Islam akan ikut bergabung memperkuat pusaran itu atau diam sehingga tergilas roda Islam, atau putus asa, yakni merasa sesak untuk bergerak melawan fakta yang tidak Islami, bahkan larut dengan fenomena masyarakat dan keadaan, padahal Allah mengutuk dan mencela orang yang suka putus asa dan menjadikan fenomena masyarakat atau kebiasaan leluhur serta orang tua yang tidak sesuai dengan Islam sebagai panutan.

161

Page 162: Bahan ajar

Epilog: "Menuju Masyarakat Madani”

Masyarakat Madani, yang merupakan kata lain dari masyarakat sipil (civil society), kata ini sangat sering disebut sejak kekuatan otoriter orde baru tumbang selang beberapa tahun ini. Malah cenderung terjadi sakralisasi pada kata itu seolah implementasinya mampu memberi jalan keluar untuk masalah yang tengah dihadapi oleh bangsa kita. Kecenderungan sakralisasi berpotensi untuk menambah derajat kefrustasian yang lebih mendalam dalam masyarakat bila terjadi kesenjangan antara realisasi dengan harapan. Padahal kemungkinan untuk itu sangat terbuka, antara lain, kesalahan mengkonsepsi dan juga pada saat manarik parameter-parameter ketercapaian. Saat ini gejala itu sudah ada, sehingga kebutuhan membuat wacana ini lebih terbuka menjadi sangat penting dalam kerangka pendidikan politik bagi masyarakat luas.

162

Page 163: Bahan ajar

Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk ikut serta mengambil peran dalam usaha bersama bangsa kita untuk mewujudkan masyrakat berperadaban, masyarakat madani, civil society, dinegara kita tercinta, Republik Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Adalah Nabi Muhammad (Rasulullah) s.a.w. sendiri yang memberi teladan kepada umat manusia ke arah pembentukan masyarakat peradaban. Setelah belasan tahun berjuang di kota Mekkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan, Allah memberikan petunjuk untuk hijrak ke Yastrib, kota wahah atau oase yang subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Sesampai di Yastrib, setelah perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, Nabi disambut oleh penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala'a al-Badru 'Alaina (Bulan Purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian setelah mapan dalam kota hijrah itu, Nabi mengubah nama Yastrib menjadi al-Madinat al-nabiy (kota nabi).

Secara konvensional, perkataan "madinah" memang diartikan sebagai "kota". Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna "peradaban". Dalam bahasa Arab, "peradaban" memang dinyatakan dalam kata-kata "madaniyah" atau "tamaddun", selain dalam kata-kata "hadharah". Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar hendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab.

Tak lama setelah menetap di Madinah itulah, Nabi bersama semua penduduk Madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Dan di Madinah itu pula, sebagai pembelaan terhadap masyarakat madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban.

163

Page 164: Bahan ajar

Jika kita telaah secara mendalam firman Allah yang merupakan deklarasi izin perang kepada Nabi dan kaum beriman itu, kita akan dapat menangkap apa sebenarnya inti tatanan sosial yang ditegakkan Nabi atas petunjuk Tuhan,

م أ ه ن أ ب ن لو ت ق ي ن ذي ل ل ن ذ ه ل ال ن إ و ا لمو ظ

) ر دي ق ل م ه ر ص ن لى ا) ٣٩ع جو ر خ أ ن ذي ل ا ه ل ال نا ب ر ا لو قو ي أن ل إ ق ح ر ي غ ب هم ر ي د من

ض ع ب ب م ه ض ع ب س نا ال ه ل ال ع ف د ل و ل و ر ك ذ ي د ج س م و ت و ل ص و ع ي ب و ع م و ص ت م د ه ل

من ه ل ال ن ر ص ين ل و ثيرا ك ه ل ال م اس ها في

) ز زي ع ى و ق ل ه ل ال ن إ ه ر ص ن) ٤٠ين إ ن ذي ل ا ا و ت وآ ة لو ص ال ا مو قا أ ض ر ل ا فى م ه ن ك م

ر ك ن م ل ا ن ع ا و ه ن و ف رو ع م ل با ا رو م أ و ة كو ز ال

ر ( مو ل ا ة ب ق ع ه ل ل ٤١و )Diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka sesungguhnya telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah amat berkuasa untuk menolong mereka. Yaitu mereka yang diusir dari kampung halaman mereka secara tidak benar, hanya karena mereka berkata: "Tuhan kami ialah Allah". Dan kalaulah Allah tidak menolak (mengimbangi) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya runtuhlah gereja-gereja, sinagog-sinagog, dann masjid-masjid yang disitu banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah akan menolong siapa saja yang menolong-Nya (membela kebenaran dan keadilan). Yaitu mereka, yang jika kami berikan kedudukan di bumu, menegakkan sembahyang serta menunaikan zakat, dan mereke a menuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kejahatan, dan mereka mennyuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat

164

Page 165: Bahan ajar

kejahatan. Dan bagi Allah jualah segala kesudahan semua perkara. ( QS al-Hajj, 22: 39-41).

Dari firman deklarasi izin perang kepada Nabi s.a.w. dan orang-orang yang beriman itu, bahwa perang dalam masyarakat madani dilakukan karena keperluan harus mempertahankan diri, melawan dan mengalahkan kezaliman. Perang itu juga dibenarkan dalam rangka membela agama dan sistem keyakinan, yang intinya ialah kebebasan menjalankan ibadat kepada Tuhan. Lebih jauh, perang yang diizinkan Tuhan itu adalah untuk melindungi lembaga-lembaga keagamaan seperti biara, gereja, sinagog, dan mesjid (yang dalam lingkungan Asia dapat ditambah dengan kuil, candi, kelenteng, dan seterusnya) dari kehancuran.

Perang sebagai suatu keterpaksaan yang diizinkan Allah itu merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang diciptakan Allah untuk menjaga kelestarian hidup manusia. Seperti dunia sekarang ini yang selamat dari "kiamat nuklir" karena perimbangan kekuatan nuklir antara negara-negara besar, khususnya Amerika dan Rusia (yang kemudian masing-masing tidak berani menggunakan senjata nuklirnya—yang disebut "kemacetan nuklir"), masyarakat pun berjalan mulus dan terhindar dari bencana jika di dalamnya terdapat mekanisme pengawasan dan pengimbangan secara mantap dan terbuka (renungkan QS al-Baqarah, 2: 152). Dengan memahami prinsip-prinsip itu, kita juga akan dapat memahami masyarakat madani yang dibangun nabi di Madinah.

Membangun masyarakat peradaban itulah yang dilakukan Nabi selama sepuluh tahun di Madinah. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-NYA. Taqwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam peristilahan Kitab Suci juga disebut semangat Rabbaniyah (QS Ali ‘Imran, 3: 79) atau ribbiyah (QS Ali Imran, 3: 146). Inilah hablun min Allah, tali hubungan dengan Allah, dimensi vertikal hidup manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan nista.

Semangat Rabbaniyah atau ribbiyah itu, jika cukup tulus dan sejati, akan memancar dalam semangat perikemanusiaan, yaitu semangat insaniyah, atau basyariyah, dimensi horisontal hidup manusia, hablun min al-nas. Kemudian pada urutannya, semangat perikemanusiian itu sendiri memancar dalam berbagai bentuk hubungan pergaulan manusia yang penuh budi luhur. Maka tak heran jika Nabi dalam sebuah hadisnya

165

Page 166: Bahan ajar

menegaskan bahwa inti sari tugas suci beliau adalah untuk "menyempurnakan berbagai keluhuran budi".

Masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia itulah, masyarakat berperadaban, masyarakat madani, "civil society". Masyarakat Madani yang dibangun nabi itu, oleh Robert N. Bellah, seorang sosiologi agama terkemuka disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah nabi sendiri wafat tidak bertahan lama. Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi (RN Bellah Ed. Beyond Belief {New York : Harper & Row, edisi paperback, 1976} hh. 150-151).

Setelah Nabi wafat, masyarakat madani warisan Nabi itu, yang antara lain bercirikan egaliterisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan, hanya berlangsung selama tiga puluh tahunan masa khulafur rasyidin. Sesudah itu, sistem sosial madani dengan sistem yang lebih banyak diilhami oleh semangat kesukuan atau tribalisme Arab pra-Islam, yang kemudian dikukuhkan dengan sistem dinasti keturunan atau geneologis itu sebagai "Hirqaliyah" atau "Hirakliusisme", mengacu kepada kaisar Heraklius, penguasa Yunani saat itu, seorang tokoh sistem dinasti geneologis.

Begitu keadaan dunia Islam, terus-menerus hanya mengenal sistem dinasti geneologis, sampai datangnya zaman modern sekarang. Sebagian negara muslim menerapkan konsep negara republik, dengan presiden dan pimpinan lainnya yang dipilih. Karena itu, justru dalam zaman modern inilah, prasarana sosial dan kultural masyarakat madani yang dahulu tidak ada pada bangsa manaoun di dunia, termasuk bangsa Arab, mungkin akan terwujud. Maka kesempatan membangun masyarakat madani menuurut teladan nabi, justru mungkin lebih besar pada masa sekarang ini.

Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat ketuhanan dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia (QS Fushshilat, 41: 33), masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang kepada hukum. Menegakkan hukum adalah amanat Tuhan Yang Maha Esa, yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada yang berhak (QS an-Nisa’, 4: 58). Dan Nabi telah memberi telaadan kepada kita. Secara amat setia beliau laksanakan perintah Tuhan itu. Apalagi Al-Qur'an juga menegaskan bahwa tugas suci

166

Page 167: Bahan ajar

semua Nabi ialah menegakkan keadilan di antara manusia (QS Yunus, 10: 47).

Juga ditegakkan bahwa para rasul yang dikirim Allah ke tengah umat manusia dibekali dengan kitab suci dan ajaran keadilan, agar manusia tegak dengan keadilan itu (QS al-Hadid, 57: 25). Keadilan harus ditegakkan, tanpa memandang siapa yang akan terkena akibatnya. Keadilan juga harus ditegakkan, meskipun mengenai diri sendiri, kedua orang tua, atau sanak keluarga (QS an-Nisa, 4: 135). Bahkan terhadap orang yang membenci kita pun, kita harus tetap berlaku adil, meskipun sepintas lalu keadilan itu akan merugikan kita sendiri (QS al-Ma'idah, 5: 8).

Atas pertimbangan ajaran itulah, dan dalam rangka menegakkan masyarakat madani, Nabi s.a.w. tidak pernah membedakan anatara "orang atas", "orang bawah", ataupun keluaarga sendiri. Beliau pernah menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah karena jika "orang atas" melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi jika "orang bawah" melakukannya pasti dihukum. Karena itu Nabi s.a.w. juga menegaskan, seandainya Fatimah pun, puteri kesayangan beliau, melakukan kejahatan, maka beliau akan menghukumnya sesuai ketentuan yang berlaku.

Masyarakat berperadaban tak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, yang dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi. Masyarakat berperadaban memerlukan adanya pribadi-pribadi yang dengan tulus mengikatkan jiwanya kepasda wawasan keadilan. Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang bersangkutan ber-iman, percaya dan mempercayai, dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan, dalam suatu keimanan etis, artinya keimanan bahwa Tuhan menghendaki kebaikan dan menuntut tindakan kebaikan manusia kepada sesamanya. Dan tindakan kebaikan kepada sesama manusia harus didahului dengan diri sendiri menempuh hidup kebaikan, seperti dipesankan Allah kepada para Rasul (QS al-Mu'minun, 23: 51), agar mereka "makan dari yang baik-baik dan berbuat kebajikan."

Ketulusan ikatan jiwa, juga memerlukan sikap yang yakin kepada adanya tujuan hidup yang lebih tinggi daripada pengalaman hidup sehari-hari di dunia ini. Ketulusan ikatan jiwa perlu kepada keyakinan bahwa makna dan hakikat hidup manusia pasti akan menjadi kenyataan dalam kehidupan abadi, kehidupan setelah mati, dalam pengalaman bahagia atau sengsara. Karena itu, ketulusan ikatan jiwa kepada keadilan mengharuskan orang memandang hidup jauh di depan, tidak menjadi tawanan keadaan di waktu sekarang dan di tempat ini (dunia) (QS al-A’raf, 7: 169).

167

Page 168: Bahan ajar

Tetapi, tegaknya hukum dan keadilan tak hanya perlu kepada komitmen-komeitmen pribadi. Komitmen pribadi yang menyatakan diri dalam bentuk "itikad baik", memang mutlak diperlukan sebagai pijakan moral dan etika dalam masyarakat. Sebab, bukankah masyarakat adalah jumlah keseluruhan pribadi para anggotanya? Apalagi tentang para pemimpin masyarakat atau public figure, maka kebaikan itikad itu lebih-lebih lagi dituntut, dengan menelusuri masa lalu sang calon pemimpin, baik bagi dirinya sendiri maupun mungkin keluarganya. Karena itu, di banyak negara, seorang calon pemimpin formal harus mempunyai catatan perjalanan hidup yang baik melalui pengujian, bukan oleh perorangan atau kelembagaan, tetapi oleh masyarakat luas, dalam suasana kebebasan yang menjamin kejujuran.

Namun sesungguhnya, seperti halnya dengan keimanan yang bersifat amat pribadi, itikad baik bukanlah suatu perkara yang dapat diawasi dari diri luar orang bersangkutan. IA dapat bersifat sangat subjektif, dibuktikan oleh hampir mustahilnya ada orang yang tidak mengaku beritikad baik. Kecuali dapat diterka melalui gejala lahir belaka, suatu itikad baik tak dapat dibuktikan, karena menjadi bagian dari bunyi hati sanubari orang bersangkutan yang paling rahasia dan mendalam.

Oleh sebab itu, iitikad pribadi saja tidak cukup untuk mewujudkan masyarakat berperadaban. Itikad baik yang merupakan buah keimanan itu harus diterjemahkan menjadi tindakan kebaikan yang nyata dalam masyarakat, berupa "amal saleh", yang secara ta’rif adalah tindakan membawa kebaikan untuk sesama manusia. Tindakan kebaikan bukanlah untuk kepentingan Tuhan, sebab Tuhan adalah Maha Kaya, tidak perlu kepada apapun dari manusia. Siapa pun yang melakukan kebaikan, maka dia sendirilah --melalui hidup kemasyarakatannya-- yang akan memetik dan merasakan kebaikan dan kebahagiaan. Begitu pula sebaiknya, siapapun yang melakukan kejahatan, maka dia sendiri yang kan mewnanggung akibat kerugian dan kejahatannya. (QS Fushshilat, 41: 46, al-Jatsiyah, 51: 15).

Jika kita perhatikan apa yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari, jelas sekali bahwa nilai-nilai kemasyarakatan yang terbaik sebagian besar dapat terwujud hanya dalam tatanan hidup kolektif yang memberi peluang kepada adanya pengawasan sosial. Tegaknya hukum dan keadilan, mutlak emmerlukan suatu bentuk interaksi sosial yang memberi peluang bagi adanya pengawasan itu. Pengawasan sosial adalah konsekuensi langsung dari itikad baik yang diwujudkan dalam ttindakan kebaikan.

168

Page 169: Bahan ajar

Selanjutnya, pengawasan sosial tidak mungkin terselenggara dalam suatu tatanan sosial yang tertutup. Amal saleh ataupun kegiatan "demi kebaikan", dengan sendirinya berdimensi kemanusiaan, karena berlangsung dalam suatu kerangka hubungan sosial, dan menyangkut orang banyak. Suatu klaim berbuat baik untuk masyarakat, apalagi jika pebuatan atau tindakan itudilakukan melaluipenggunaan kekuasaan, tidak dapat dibiarkan berlangsung denan mengabaikan masyarakat, apalagi jika perbuatan atau tindakan dilakukan melalui penggunaan kekuasaan. tidak dapat dibiarkan berlangsung dengan mengabaikan masyarakat itu sendiri dengan berbagai pandangan, penilaian dan pendapat yang ada.

Dengan demikian, masyarakat madani akan terwujud hanya jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyrakat. Keterbukaan adalah konsekuensi dari kemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara optimis dan positif. Yaitu pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (QS al-A’raf. 7: 172, QS ar-Rum, 30: 30), sebelum terbukti sebaliknya. Kejahatan pribadi manusia bukanlah sesuatu hal yang alami berasal dari dalam kediriannya. Kejahatan terjadi sebagai akibat pengaruh dari luar, dari pola budaya yang salah, yang diteruskan terutama oelh seorang tua kepada anaknya. Karena itu, seperti ditegaskan dalam sebuah hadist Nabi, setiap anak dilahirkan dlam kesucian asal, namun orangtuanyalah yang membuatnya menyimpang dari kesucian asal itu.

Ajaran kemanusiaan yang suci itu membawa konsekuensi bahwa kita harus melihat sesama manusia secara optimis dan positif, sdengan menerapkan prasangka baik (husn al-zhan), bukan prasangka buruk (su' al-zhan), kecuali untuk keperluan kewaspadaan seeprlunya dalam keadaan tertentu. Tali persaudaraan sesama manusia akan terbina antara lain jika dalam masyarakat tidak terlalu banyak prasangka buruk akibat pandangan yang pesimis dan negatif kepada manusia (QS al-Hujurât, 49: 12).

Berdasarkan pandangan kemanusiaan yang optimis-positif itu, kita harus memandang bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk benar dan baik. Karena itu, setiap orang mempunyai potensi untuk menaytakan pendapat dan untuk didengar. Dari pihak yang mndengar, kesediaan untuk mendengar itu sendiri memerlukan dasar moral yang amat penting, yaitu sikap rendah hati, berupa kesiapan mental untuk menyadari dan mengakui diri sendiri selalu berpotensi untuk membuat kekeliruan. Kekeliruan atau kekhilafan terjadi karena manusia adalah makhluk lemah (QS an-Nisa', 4: 28). Keterbukaan adalah kerendahan hati untuk tidak

169

Page 170: Bahan ajar

merasa selalu benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaaan serupa itu dalam kitab suci disebutkan sebagai tanda adanya hidayah dari Allah, dan membuat yang bersangkutan tergolong orang-orang yang berpikiran mendalam (ulû' al-bâb), yang sangat beruntung (QS az-Zumar, 39: 17-18).

Musyawarah pada hakikatnya tak lain adalah interaksi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan saling mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat itu. Dalam bahasa lain, musyawarah ialah hubungan interaktif untuk saling mengingatkan tentang kebenaran (dan kebaikan) serta kesabaran (ketabahan) dalam mencari penyelesaian masalah bersama, dalam suasana persamaan hak dan kewajiban antara warga masyarakat (QS al-'Ashr, 103: 3 dan QS asy-Syura, 42: 38).

Itulah masyarakat demokratis, yang berpangkal dari keteguhan wawasan etis dan moral berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa masyarakat berperadaban, masyarakat madani. Berada di lubuk paling dalam dari masyarakat madani adalah jiwa madaniyah, civility, yaitu keadaban itu sendiri. Yaitu sikap kejiwaaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selamanya benar, dan tidak ada suatu jawaban yang selamanya benar atas suatu masalah. Dari keadaan lahir sikap yang tulus untuk menghargai sesama manusia, betappaun seorang individu atau suatu kelompok berbeda dengan diri sendiri dan kelompok sendiri. Karena itu, keadaban atau civility menuntut setiap orang dan kelompok masyarakat untuk menghindar dari kebiasaan merendahkan orang atau kelompok lain, sebab "Kalau-kalau mereka yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka yang direndahkan" (QS al-Hujurat, 49: 11).

Tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan pluralisme, adalah kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Sebab toleransi dan pluralisme tak lain adalah wujud dari "ikatan keadaban" (bond of civility), daolam sarti, sebagaimana telah dikemukakan, bahwa masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan interaksi sosial yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betapa pun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri.

Bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk nmenegakkan masyarakat madani. Dan kita semua sangat berpengharapan bahwa masyarakat madani akan segera tumbuh semakain

170

Page 171: Bahan ajar

kuat di amsa dekat ini. Kemajuan besar yang telah dicapai oleh Orde Baru dala m meningkatkan taraf hidup rakyat dan kecerdasan umum, adalah alasan utam akita untuk berpengaharapan itu. Kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berterima kasih kepada para pemimpin bangsa, bahwa keadaaan kita sekarang ini, hampir di segala bidang, jauh lebih baik, sangat jauh lebih baik, daripada dua-tiga das.a.w.arsa yang lalu.

Tetapi, sejalan dengan suatu cara Nabi bersyukur kepada Allah, yaitu dengan memohon ampun kepada-Nya, kita pun bersyukur kepada-Nya dengan menyadari dan mengakui berbagai kekurangan kita. Dan kita semua tidak mau menjadi korban keberhasilan kita sendiri, misalnya karena kurang mampu melakukan antisipasi terhadap tuntutan masyarakat yang semakin berkecukupan dan berpendidikan. Terkiaskan denagn makna ungkapan "revolusi sering memakan anaknya sendirinya sendiri", kita semua harus berusaha mencegah jangan sampai "keberhasilan memakan anaknya sendiri" pula.

Seperti telah dikemukakan di atas, masyarakat madani membutuhkan institusi sosial, non-pemerintahan, yang independen yang menjadi kekuatan penyeimbang dari negara. Posisi itu dapat ditempati organisasi masyarakat, maupun organisasi sosial politik bukan pemenang pemilu, maupun kekuatan-kekuatan terorganisir lainnya yang ada di masyarakat. Akan tetapi institusi tersebut selama orde baru relatif dikerdilkan dalam arti lebih sering berposisi sebagai corong kepentingan kekuasaan ketimbang menjadi kekuatan swadaya masyarakat.

Hegemoni kekuasaan demikian kuat sehingga kekuatan ril yang ada di masyarakat demikian terpuruk. Padahal merekalah yang sebenarnya yang diharapkan menjadi lokomotif untuk mewujudkan masyarakat madani. Ada memang beberapa LSM yang secara konsisten memainkan peranan otonomnya akan tetapi jumlahnya belum signifikan dengan jumlah rakyat Indonesia yang selain berjumlah besar juga terfragmentasi secara struktural maupun kultural.

Fragmentasi sosial dan ekonomi seperti itu sangat sulit mewujudkan masyarakat dengan visi kemandirian yang sama. Padahal untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi membutuhkan kesamaan visi dan kesadaran independensi yang tinggi. Dengan demikian boleh jadi masyarakat peradaban yang kita cita-citakan masih membutuhkan proses yang panjang. Dan boleh jadi hanya impian manakala pro status quo tetap berkuasa.

171

Page 172: Bahan ajar

(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Nurcholish Madjid, dalam http://www.fortunecity.com/millennium/oldemill/498/civils/NMadjid.html)

172