BAGIAN KEDUA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK … filedengan otonomi daerah, hubungan pusat dan...
Transcript of BAGIAN KEDUA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK … filedengan otonomi daerah, hubungan pusat dan...
DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA
BAGIAN KEDUA
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Jakarta, 2013
1
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN …
TENTANG
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat untuk
memperjuangkan aspirasi daerah dan rakyat, perlu penataan
kembali kedudukan Dewan Perwakilan Daerah sesuai
amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. bahwa putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara Nomor
92/PUU-X/2012 tanggal 27 Maret 2013 telah
mengembalikan peran dan fungsi legislasi Dewan Perwakilan
Daerah dan hubungannya dengan Dewan Perwakilan Rakyat
sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa Pasal 22C Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan susunan dan
kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan
undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, perlu membentuk Undang-
Undang tentang Dewan Perwakilan Daerah;
Mengingat: Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E Ayat (2) dan Ayat (3), Pasal
23 Ayat (2) dan Ayat (3), Pasal 23E Ayat (2), Pasal 23F Ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat, selanjutnya disingkat MPR, adalah
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disingkat DPR, adalah Dewan
Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disingkat DPD, adalah Dewan
Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Program Legislasi Nasional, selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen
perencanaam program pembentukan undang-undang yang disusun secara
terencana, terpadu, dan sistematis.
5. Badan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disingkat Baleg DPD
adalah alat kelengkapan DPD yang yang bersifat tetap yang menjalankan
tugas penyusunan, pembahasan Prolegnas dan rancangan undang-undang
serta pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
rancangan undang-undang.
6. Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum provinsi, dan Komisi
Pemilihan Umum kabupaten/kota, selanjutnya disebut KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota adalah KPU, KPU provinsi, dan KPU
3
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai
penyelenggara pemilihan umum.
7. Badan Pemeriksa Keuangan, selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga
negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disingkat APBN,
adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang ditetapkan
dengan undang-undang.
9. Hari adalah hari kerja.
BAB II
SUSUNAN DAN KEDUDUKAN
Pasal 2
DPD terdiri dari wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum.
Pasal 3
DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai
lembaga negara.
BAB III
Bagian Kesatu
Fungsi
Pasal 4
DPD mempunyai fungsi:
a. legislasi;
b. anggaran;
c. pengawasan;
d. pertimbangan; dan
e. perwakilan.
4
Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang
Pasal 5
(1) DPD mempunyai tugas dan wewenang:
a. mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b. membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud huruf a
bersama DPR dan/atau Presiden sebelum diambil persetujuan
bersama antara DPR dan Presiden;
c. menerima rancangan undang-undang dari DPR dan Presiden yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah;
d. membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud
huruf c ;
e. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-
undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama;
f. dapat memberikan pertimbangan dan pendapat atas rancangan
undang-undang yang sedang dibahas oleh DPR sesuai dengan
kebutuhan dan kepentingan daerah;
g. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam,
dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
pendidikan, dan agama;
h. menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
5
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR;
i. menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai
bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan APBN;
j. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota
BPK, untuk ditindak lanjuti;
k. menyusun, membahas bersama-sama dengan DPR dan Presiden serta
ikut memutuskan Prolegnas yang berkaitan dengan otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
l. mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang kepada DPR dalam
hal rancangan undang-undang berkaitan otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
m. membahas rancangan undang-undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah pengganti Undang-Undang dalam hal rancangan undang-
undang berkaitan dengan otonomi daerah, pembentukan, pemekaran
dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah sebelum diambil
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;
n. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat dan daerah; dan
o. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam Undang-
Undang.
(2) Dalam menjalankan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), DPD dapat melakukan rapat dengan pemerintah daerah, DPRD,
lembaga atau badan-badan lainnya dan unsur masyarakat di daerah
pemilihannya.
6
Pasal 6
(1) DPD dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta
pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat
untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani
demi kepentingan bangsa dan negara.
(2) Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga
masyarakat wajib memenuhi permintaan DPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Setiap pejabat negara, pejabat pemeritah, badan hukum atau warga
masyarakat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan panggilan paksa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
bersangkutan dapat disandera paling lama 30 (tiga puluh) hari sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal pejabat yang disandera sebagaiman dimaksud pada ayat (4)
habis masa jabatannya atau berhenti dari jabatannya, yang bersangkutan
dilepas dari penyanderaan demi hukum.
(6) DPD dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak memberikan
rekomendasi kepada pejabat Negara, pejabat pemerintah, badan hukum,
warga negara, atau penduduk melalui mekanisme Sidang Kerja, Sidang
Dengar Pendapat Umum, Panitia Khusus, yang dibentuk oleh DPD demi
kepentingan bangsa dan Negara.
Pasal 7
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, DPD menyusun anggaran yang dituangkan dalam program dan
kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam menyusun program dan kegiatan DPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, DPD dapat menyusun
standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk
dibahas bersama.
(3) Pengelolaan anggaran DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPD di bawah pengawasan Badan
7
Urusan Rumah Tangga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) DPD menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran DPD dalam
Peraturan DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) DPD membuat laporan pengelolaan anggaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) setiap tahun anggaran.
(6) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipublikasikan melalui
media massa pusat dan daerah.
(7) Anggaran DPD dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 8
Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang DPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 diatur lebih lanjut dalam Peraturan DPD tentang tata
tertib.
BAB IV
KEANGGOTAAN
Pasal 9
(1) Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak 5 (lima) orang.
(2) Jumlah anggota DPD tidak lebih dari 1/3 (satu pertiga) jumlah anggota
DPR.
(3) Keanggotaan DPD diresmikan dengan keputusan Presiden.
(4) Anggota DPD dalam menjalankan tugasnya berdomisili di daerah
pemilihannya dan mempunyai kantor di ibu kota provinsi daerah
pemilihannya.
(5) Masa jabatan anggota DPD adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat
anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Pasal 10
(1) Anggota DPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji
secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam
8
sidang paripurna DPD.
(2) Anggota DPD yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang
dipandu oleh pimpinan DPD.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
DPD tentang tata tertib.
Pasal 11
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil
ketua Dewan Perwakilan Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-
sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan
kepentingan bangsa, negara, dan daerah daripada kepentingan pribadi,
seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi daerah yang saya wakili untuk
mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pasal 12
(1) Di provinsi yang dibentuk setelah pelaksanaan pemilihan umum tidak
diadakan pemilihan anggota DPD sampai dengan pemilihan umum
berikutnya.
(2) Anggota DPD di provinsi induk juga mewakili provinsi yang dibentuk
setelah pemilihan umum.
9
BAB V
HAK DPD
Pasal 13
(1) DPD mempunyai hak:
a. interpelasi;
b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.
(2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak
DPD untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan
pemerintah yang penting, strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah
melakukan penyidikan dan pengawasan kepada pemerintah atas
pelaksanaan suatu undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
(4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
adalah hak DPD untuk menyatakan pendapat untuk:
a. pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah;
b. tindak lanjut hak interpelasi dan/atau hak angket; dan
c. penundaan pembahasan rancangan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam hal
DPD menilai prosedur pembahasan rancangan undang-undang tersebut
tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan undang-undang atau
10
substansi dan rancangan undang-undang tersebut merugikan
kepentingan daerah.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN ANGGOTA
Bagian Kesatu
Hak Anggota
Paragraf 1
Hak Mengajukan Usul
Rancangan undang-undang
Pasal 14
(1) Anggota DPD mempunyai hak mengajukan usul rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan usul rancangan undang-undang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
DPD tentang tata tertib.
Paragraf 2
Hak Mengajukan Pertanyaan
Pasal 15
(1) Anggota DPD mempunyai hak mengajukan pertanyaan.
(2) Dalam hal pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
kepada Presiden, pertanyaan tersebut disusun secara tertulis, singkat, dan
jelas serta disampaikan kepada pimpinan DPD.
11
(3) Apabila diperlukan, pimpinan DPD dapat meminta penjelasan kepada
anggota DPD yang mengajukan pertanyaan.
(4) Pimpinan DPD meneruskan pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kepada Presiden dan meminta agar Presiden dan memberikan jawaban.
(5) Sebelum disampaikan kepada Presiden, pertanyaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak dapat diumumkan.
(6) Jawaban terhadap pertanyaan anggota DPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan secara lisan atau tertulis oleh Presiden.
(7) Dalam Sidang Paripurna DPD selanjutnya Presiden menyampaikan
jawaban terhadap pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(8) Penyampaian jawaban Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat
diwakilkan kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Paragraf 3
Hak Menyampaikan Usul dan Pendapat
Pasal 16
(1) Anggota DPD berhak menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu
hal, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam
rapat.
(2) Penyampaian usul dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan memperhatikan tata krama, senioritas Anggota DPD,
etika moral, sopan santun dan kepatutan sebagai wakil daerah.
(3) Tata cara penyampaian usul dan pendapat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan DPD tentang tata tertib.
Paragraf 4
Hak Memilih dan Dipilih
Pasal 17
(1) Anggota DPD mempunyai hak memilih dan dipilih untuk menduduki
jabatan tertentu pada alat kelengkapan DPD.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak memilih dan dipilih
12
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
DPD tentang tata tertib.
Paragraf 5
Hak Membela Diri
Pasal 18
(1) Anggota DPD yang diduga melakukan pelanggaran sumpah/janji, kode
etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota diberi
kesempatan untuk membela diri dan/atau memberikan keterangan kepada
Badan Kehormatan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara membela diri dan/atau memberikan
keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.
Paragraf 6
Hak Imunitas
Pasal 19
(1) Anggota DPD mempunyai hak imunitas.
(2) Anggota DPD tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan,
pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan
maupun tertulis di dalam sidang atau rapat DPD ataupun di luar sidang
atau rapat DPD yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang
DPD.
(3) Anggota DPD tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan,
pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam
sidang atau rapat DPD maupun di luar sidang atau rapat DPD yang
berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPD.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati
dalam sidang tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud
dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan
13
peraturan perundang-undangan.
Paragraf 7
Hak Protokoler
Pasal 20
(1) Pimpinan dan Anggota DPD mempunyai hak protokoler.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak protokoler sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Paragraf 8
Hak Keuangan dan Administratif
Pasal 21
(1) Pimpinan dan anggota DPD mempunyai hak keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Pimpinan DPD dan diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 9
Hak Mengusulkan dan Memperjuangkan Program Pembangunan dan
Keuangan Daerah
Pasal 22
(1) Anggota DPD mempunyai hak mengusulkan dan memperjuangkan
program pembangunan dan keuangan daerah.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak mengusulkan dan
memperjuangkan program pembangunan dan keuangan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
DPD tentang tata tertib.
14
Bagian Kedua
Kewajiban Anggota
Pasal 23
Anggota DPD mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok,
golongan, dan daerah;
e. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;
f. menaati tata tertib dan kode etik;
g. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain;
h. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat dan
daerah;
i. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada
masyarakat di daerah yang diwakilinya; dan
j. mengelola dan mempertanggungjawabkan keuangan serta administrasinya
secara mandiri.
BAB VII
TATA TERTIB DAN KODE ETIK
Bagian Kesatu
Tata Tertib
Pasal 24
(1) Tata tertib DPD ditetapkan oleh DPD dengan berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan.
15
(2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan
internal DPD.
(3) Tata tertib DPD paling sedikit memuat ketentuan tentang:
a. pengucapan sumpah/janji;
b. pemilihan dan penetapan pimpinan;
c. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
d. jenis dan penyelenggaraan persidangan atau rapat;
e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan
kewajiban anggota;
f. penggantian antarwaktu anggota;
g. pembentukan, susunan, tugas dan wewenang alat kelengkapan;
h. pengambilan keputusan;
i. pelaksanaan konsultasi antara legislatif dan eksekutif;
j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;
k. pengaturan protokoler;
l. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli; dan
m. mekanisme keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Bagian Kedua
Kode Etik
Pasal 25
DPD menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap
anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan,
citra, dan kredibilitas DPD.
16
BAB VIII
LARANGAN DAN SANKSI
Bagian Kesatu
Larangan
Pasal 26
(1) Anggota DPD dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya;
b. hakim pada badan peradilan; atau
c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian
Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya
bersumber dari APBN/APBD.
(2) Anggota DPD dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural
pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat
atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya
dengan tugas dan wewenang DPD serta hak sebagai anggota DPD.
(3) Anggota DPD dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta
dilarang menerima gratifikasi.
Bagian Kedua
Sanksi
Pasal 27
(1) Anggota DPD yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.
(2) Anggota DPD yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian
sebagai anggota DPD.
(3) Anggota DPD yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai
17
anggota DPD.
Pasal 28
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.
Pasal 29
Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada
Badan Kehormatan DPD dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat
anggota DPD yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan/atau melanggar ketentuan
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Pasal 30
Ketentuan mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi
diatur lebih lanjut dalam Peraturan DPD tentang tata beracara Badan
Kehormatan.
BAB IX
PEMBERHENTIAN ANTARWAKTU, PENGGANTIAN ANTARWAKTU, DAN
PEMBERHENTIAN SEMENTARA
Bagian Kesatu
Pemberhentian Antarwaktu
Pasal 31
(1) Anggota DPD berhenti antarwaktu karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
18
c. diberhentikan.
(2) Anggota DPD diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangan tetap sebagai anggota DPD selama 3 (tiga) bulan berturut-
turut tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPD;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan
DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
dan/atau
f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.
Pasal 32
(1) Pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat
(1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c diusulkan oleh
pimpinan DPD yang diumumkan dalam sidang paripurna.
(2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak usul pimpinan DPD diumumkan dalam
sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPD
menyampaikan usul pemberhentian anggota DPD kepada Presiden untuk
memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian
anggota DPD dari pimpinan DPD.
Pasal 33
(1) Pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat
19
(2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, dan huruf f, dilakukan setelah
adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan
Badan Kehormatan DPD atas pengaduan dari pimpinan DPD, masyarakat
dan/atau pemilih.
(2) Keputusan Badan Kehormatan DPD mengenai pemberhentian anggota DPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Badan Kehormatan
kepada sidang paripurna.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPD yang
telah dilaporkan dalam sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), pimpinan DPD menyampaikan keputusan Badan Kehormatan DPD
kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(4) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
paling lama 14 (empat belas) hari hari sejak diterimanya usulan
pemberhentian anggota DPD dari pimpinan DPD.
Pasal 34
(1) Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (1), Badan Kehormatan DPD dapat meminta bantuan
dari ahli independen.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan
keputusan oleh Badan Kehormatan DPD diatur lebih lanjut dalam
Peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.
Bagian Kedua
Penggantian Antarwaktu
Pasal 35
(1) Anggota DPD yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPD yang memperoleh
suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan
suara calon anggota DPD dari provinsi yang sama.
(2) Dalam hal calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan
berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara calon anggota DPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan
20
diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD, anggota
DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota
DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya.
(3) Masa jabatan anggota DPD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa
jabatan anggota DPD yang digantikannya.
Pasal 36
(1) Pimpinan DPD menyampaikan nama anggota DPD yang diberhentikan
antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU.
(2) KPU menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2)
kepada pimpinan DPD paling lambat 5 (lima) hari sejak diterimanya surat
pimpinan DPD.
(3) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama calon pengganti
antarwaktu dari KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPD
menyampaikan nama anggota DPD yang diberhentikan dan nama calon
pengganti antarwaktu kepada Presiden.
(4) Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima nama anggota DPD
yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari pimpinan
DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden meresmikan
pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Presiden.
(5) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPD pengganti antarwaktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang
pengucapannya dipandu oleh pimpinan DPD, dengan tata cara dan teks
sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 11.
(6) Penggantian antarwaktu anggota DPD tidak dilaksanakan apabila sisa
masa jabatan anggota DPD yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.
21
Bagian Ketiga
Pemberhentian Sementara
Pasal 37
(1) Anggota DPD diberhentikan sementara karena:
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
(2) Dalam hal anggota DPD dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, anggota DPD yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota
DPD.
(3) Dalam hal anggota DPD dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, anggota DPD yang bersangkutan diaktifkan.
(4) Anggota DPD yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak
keuangan tertentu.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur lebih
lanjut dalam Peraturan DPD tentang tata tertib.
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 38
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap
anggota DPD yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat
persetujuan tertulis dari Presiden.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan
permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada
22
ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila
anggota DPD:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan
terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti
permulaan yang cukup; dan/atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
BAB XI
ALAT KELENGKAPAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 39
(1) Alat kelengkapan DPD terdiri atas:
a. pimpinan;
b. Badan Musyawarah;
c. komisi;
d. Baleg DPD;
e. Badan Urusan Rumah Tangga;
f. Badan Kehormatan;
g. Badan Akuntabilitas Publik;
h. Badan Hubungan Antar Lembaga;
i. panitia khusus; dan
j. alat kelengkapan lain yang diperlukan bersifat sementara dan dibentuk
oleh Sidang Paripurna DPD.
(2) Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh unit
pendukung yang tugasnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan DPD
tentang tata tertib.
23
Bagian Kedua
Pimpinan
Pasal 40
(1) Pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang Ketua dan 4 (empat) orang wakil
ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota DPD dalam Sidang Paripurna
DPD.
(2) Dalam hal pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
terbentuk, DPD dipimpin oleh pimpinan sementara DPD.
(3) Pimpinan sementara DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri
atas 1 (satu) orang ketua sementara dan 1 (satu) orang wakil ketua
sementara.
(4) Pimpinan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diambil dari
anggota yang memperoleh prosentase perolehan suara di provinsi masing-
masing paling banyak nomor 1 (satu) dan nomor 2 (dua).
(5) Ketua dan wakil ketua DPD diresmikan dengan Keputusan DPD.
(6) Pimpinan DPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan
sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 yang
dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.
(7) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPD diatur lebih lanjut
dalam Peraturan DPD tentang tata tertib.
Pasal 41
(1) Pimpinan DPD bertugas:
a. memimpin sidang DPD dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil
keputusan;
b. menyusun rencana kerja pimpinan;
c. menjadi juru bicara DPD;
d. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPD;
e. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara
lainnya sesuai dengan keputusan DPD;
f. mewakili DPD di pengadilan;
24
g. melaksanakan keputusan DPD berkenaan dengan penetapan sanksi
atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
h. menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran DPD;
i. melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda
dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPD
j. menyusun rencana anggaran DPD bersama Badan Urusan Rumah
Tangga yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna; dan
k. menyampaikan laporan kinerja dalam �iding paripurna DPD yang
khusus diadakan untuk itu.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas pimpinan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan DPD tentang
tata tertib.
Bagian Ketiga
Badan Musyawarah
Pasal 42
(1) Badan Musyawarah dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan
DPD yang bersifat tetap.
(2) Badan Musyawarah sebelum melaksanakan tugasnya dapat membentuk
panitia kerja.
Pasal 43
(1) DPD menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Musyawarah pada
permulaan masa keanggotaan DPD, permulaan tahun sidang atau pada
setiap masa sidang.
(2) Badan Musyawarah dipimpin oleh pimpinan Badan Musyawarah.
Pasal 44
(1) Badan Musyawarah bertugas:
a. menetapkan agenda DPD untuk 1 (satu) tahun sidang, 1 (satu) masa
persidangan, atau sebagian dari suatu masa sidang, perkiraan waktu
25
penyelesaian suatu masalah, dan jangka waktu penyelesaian rancangan
undang-undang, dengan tidak mengurangi kewenangan Sidang
paripurna untuk mengubahnya;
b. memberikan pendapat kepada pimpinan DPD dalam menentukan garis
kebijakan yang menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPD;
c. meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan
DPD yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai
pelaksanaan tugas masing-masing;
d. mengatur lebih lanjut penanganan suatu masalah dalam hal undang-
undang mengharuskan pemerintah oleh pihak lain melakukan
konsultasi atau koordinasi dengan DPD;
e. menentukan pelaksanaan tugas DPD lain yang diatur dalam undang-
undang oleh alat kelengkapan DPD; dan
f. melaksanakan tugas lain yang diserahkan oleh sidang paripurna kepada
Badan Musyawarah.
(2) Badan Musyawarah tidak dapat mengubah keputusan atas suatu
rancangan undang-undang atau pelaksanaan tugas DPD lainnya oleh alat
kelengkapan DPD.
(3) Badan Musyawarah menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan
tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada
Badan Urusan Rumah Tangga.
Bagian Keempat
Komisi
Pasal 45
(1) Komisi dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang
bersifat tetap.
(2) Komisi dalam melaksanakan tugasnya dapat membentuk panitia kerja.
Pasal 46
(1) Keanggotaan komisi ditetapkan oleh sidang paripurna DPD pada permulaan
masa kegiatan DPD dan pada setiap permulaan tahun sidang, kecuali pada
26
permulaan tahun sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD.
(2) Komisi dipimpin oleh pimpinan komisi.
Pasal 47
(1) Tugas Komisi dalam pengajuan rancangan undang-undang adalah
mengadakan persiapan dan pembahasan rancangan undang-undang
tertentu.
(2) Tugas Komisi dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berasal
dari DPR atau Presiden adalah melakukan pembahasan serta menyusun
pandangan dan pendapat DPD.
(3) Tugas Komisi dalam pemberian pertimbangan adalah:
a. melakukan pembahasan dan penyusunan pertimbangan DPD mengenai
rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama; dan
b. menyusun pertimbangan DPD terhadap calon anggota BPK yang
diajukan DPR.
(4) Tugas Komisi di bidang pengawasan adalah:
a. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang bidang
tertentu; dan
b. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK.
(5) Komisi menentukan tindak lanjut hasil pelaksanaan tugas Komisi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
(6) Keputusan dan/atau kesimpulan hasil rapat kerja komisi atau rapat kerja
gabungan komisi bersifat mengikat antara DPD dan Pemerintah serta wajib
dilaksanakan oleh Pemerintah.
(7) Komisi membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan DPD, baik
yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan
sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan berikutnya.
(8) Komisi menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya
sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Panitia
Urusan Rumah Tangga.
27
Pasal 48
Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja komisi
diatur lebih lanjut dalam Peraturan DPD tentang tata tertib.
Bagian Kelima
Baleg DPD
Pasal 49
(1) Baleg DPD dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang
bersifat tetap.
(2) Baleg DPD dalam melaksanakan tugasnya dapat membentuk panitia kerja.
Pasal 50
(1) DPD menetapkan susunan dan keanggotaan Baleg DPD pada permulaan
masa keanggotaan DPD dan permulaan tahun sidang, atau pada setiap
masa sidang.
(2) Baleg DPD dipimpin oleh pimpinan Baleg DPD.
Pasal 51
Baleg DPD bertugas:
a. menyusun program legislasi nasional DPD yang memuat daftar urutan dan
prioritas rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 1 (satu) masa
keanggotaan dan untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPD;
b. mengoordinasikan proses penyusunan rancangan undang-undang yang
pembahasannya melibatkan lebih dari 1 (satu) komisi;
c. menyiapkan dan menyusun naskah akademik rancangan undang-undang;
d. menyiapkan rancangan undang-undang usul DPD berdasarkan program
prioritas yang telah ditetapkan;
e. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
rancangan undang-undang yang diajukan anggota, komisi, gabungan
komisi, atau masyarakat dan daerah sebelum rancangan undang-undang
tersebut disampaikan kepada pimpinan DPD;
28
f. memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang
diajukan oleh anggota DPD diluar prioritas perancangan undang-undang
tahun berjalan atau diluar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam
program legislasi nasional;
g. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan
rancangan undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh sidang
paripurna DPD;
h. menyusun melakukan evaluasi, dan penyempurnaan Peraturan DPD;
i. menentukan penanganan suatu rancangan undang-undang oleh alat
kelengkapan DPD;
j. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan
materi muatan rancangan undang-undang melalui koordinasi dengan
komisi dan/atau panitia khusus;
k. melakukan sosialisasi program legislasi nasional;
l. melakukan sosialisasi undang-undang;
m. mengusulkan kepada Badan Musyawarah hal yang dipandang perlu untuk
dimasukkan dalam acara DPD;
n. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang perundang-
undangan pada akhir masa keanggotaan DPD untuk dapat digunakan oleh
Baleg DPD pada masa keanggotaan berikutnya; dan
o. Baleg DPD menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya
sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan
Urusan Rumah Tangga.
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagai Pusat
Perancangan kegiatan penyusunan rancangan undang-undang DPD, Baleg
DPD mempunyai tugas:
a. memberikan pendapat dan pertimbangan atas permintaan daerah
tentang berbagai kebijakan hukum dan tentang masalah hukum yang
berkaitan dengan kepentingan daerah dan kepentingan umum;
b. memberikan masukan yang objektif kepada pimpinan, pemerintah
daerah, dan masyarakat mengenai pelaksanaan pembangunan hukum
dan saran-saran lain yang berkaitan dengan penyusunan rancangan
undang-undang di DPD; dan
c. mengkoordinasikan secara substansi dan fungsional pusat
29
perancangan dan pusat legislasi DPD.
(3) Ketentuan mengenai pusat perancangan dan pusat legislasi DPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur lebih lanjut dalam
Peraturan DPD tentang tata tertib.
Pasal 52
Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja Baleg DPD
diatur lebih lanjut dalam Peraturan DPD tentang tata tertib.
Bagian Keenam
Badan Urusan Rumah Tangga
Pasal 53
(1) Badan Urusan Rumah Tangga dibentuk oleh DPD dan merupakan alat
kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Urusan Rumah Tangga dapat
membentuk panitia kerja.
Pasal 54
(1) DPD menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Urusan Rumah Tangga
pada permulaan masa keanggotaan DPD, permulaan tahun sidang atau
pada setiap masa sidang.
(2) Badan Urusan Rumah Tangga dipimpin oleh pimpinan Badan Urusan
Rumah Tangga.
Pasal 55
Badan Urusan Rumah Tangga bertugas:
a. menyusun kebijakan kerumahtanggaan DPD dengan memperhatikan usulan
rancangan anggaran yang disampaikan alat kelengkapan DPD;
b. menyampaikan hasil rumusan kebijakan kerumahtanggaan DPD
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam rapat paripurna untuk
ditetapkan sebagai kebijakan kerumahtanggaan DPD;
30
c. memberi tugas kepada Sekretaris jenderal DPD untuk melaksanakan
kebijakan kerumahtanggaan DPD ;
d. melakukan pengawasan terhadap Sekretariat Jenderal DPD dalam
pelaksanaan kebijakan kerumahtanggaan DPR sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, termasuk pelaksanaan dan pengelolaan anggaran DPD;
e. melakukan koordinasi dengan alat kelengkapan DPR dan alat kelengkapan
MPR yang berhubungan dengan masalah kerumahtanggaan DPD, DPR, dan
MPR yang ditugaskan oleh pimpinan DPD berdasarkan hasil rapat Badan
Musyawarah;
f. menyampaikan hasil keputusan dan kebijakan PURT kepada setiap anggota
DPD; dan
g. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPD yang khusus
diadakan untuk itu.
Pasal 56
Badan Urusan Rumah Tangga menyusun rancangan anggaran untuk
pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 57
Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan
mekanisme kerja PURT diatur lebih lanjut dalam Peraturan DPD tentang tata
tertib.
Bagian Ketujuh
Badan Kehormatan
Pasal 58
(1) Badan Kehormatan dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan
DPD yang bersifat tetap.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Kehormatan dapat membentuk
panitia kerja.
31
Pasal 59
(1) DPD menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan pada
permulaan masa keanggotaan DPD, permulaan tahun sidang atau pada
setiap masa sidang.
(2) Badan Kehormatan dipimpin oleh pimpinan Badan Kehormatan.
Pasal 60
(1) Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas
pengaduan terhadap anggota karena:
a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangan tetap sebagai anggota DPD selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
c. tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan
DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD sesuai dengan
peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
dan/atau
e. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Kehormatan
melakukan evaluasi dan penyempurnaan Peraturan DPD tentang kode
etik DPD dan Peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.
(3) Badan Kehormatan berwenang memanggil pihak terkait dan melakukan
kerja sama dengan lembaga lain.
(4) Badan Kehormatan membuat laporan kinerja pada akhir masa
keanggotaan.
(3) Badan Kehormatan menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan
tugasnya sesuai dengan kebutuhan, yang selanjutnya disampaikan
kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
32
Pasal 61
Ketentuan mengenai mekanisme pelaksanaan tugas dan wewenang Badan
Kehormatan diatur lebih lanjut dalam Peraturan DPD tentang tata beracara
Badan Kehormatan.
Bagian Kedelapan
Badan Akuntabilitas Publik
Pasal 62
(1) Badan Akuntabilitas Publik dibentuk oleh DPD dan merupakan alat
kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Akuntabilitas Publik dapat
membentuk panitia kerja.
Pasal 63
(1) DPD menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Akuntabilitas Publik
pada permulaan masa keanggotaan DPD, permulaan tahun sidang atau
pada setiap masa sidang.
(2) Badan Akuntabilitas Publik dipimpin oleh pimpinan Badan Akuntabilitas
Publik.
Pasal 64
(1) Badan Akuntabilitas Publik bertugas:
a. melakukan penelaahan dan menindaklanjuti temuan BPK yang
berindikasi kerugian negara secara melawan hukum; dan
b. menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat terkait
dugaan korupsi dan malaadministrasi dalam pelayanan publik.
(2) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Badan Akuntabilitas Publik dapat:
a. menerima hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPD;
b. menerima masukan dari komisi/alat kelengkapan lainnya dan Anggota
termasuk laporan/pengaduan masyarakat terkait dugaan korupsi dan
malaadministrasi;
33
c. meminta penjelasan kepada Pemerintah, pemerintah daerah, dan
lembaga lain terkait laporan/pengaduan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b;
d. membina kerjasama dan mengadakan pertemuan kerjasama dengan
BPK, Komisi Pemberantasan Korupsi, Ombudsman, dan lembaga
penegak hukum serta pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan
tugasnya;
e. menyampaikan saran/pendapat kepada instansi terkait sebagai tindak
lanjut hasil penelaahan terhadap temuan dan laporan/pengaduan yang
mengandung indikasi tindak pidana korupsi/malaadministrasi terkait
dengan kepentingan masyarakat/daerah; dan/atau
f. mengikutsertakan Anggota dari provinsi yang bersangkutan dalam
melakukan penelaahan dan menindaklanjuti temuan di daerahnya.
(5) Badan Akuntabilitas Publik menyusun rancangan anggaran untuk
pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya
disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Pasal 65
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1),
Badan Akuntabilitas Publik dapat dibantu oleh akuntan, ahli, analis keuangan,
dan/atau peneliti.
Pasal 66
Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan
mekanisme kerja Badan Akuntabilitas Publik diatur lebih lanjut dalam
Peraturan DPD tentang tata tertib.
Bagian Kesembilan
34
Badan Hubungan Antar Lembaga
Pasal 67
(1) Badan Hubungan Antar Lembaga dibentuk oleh DPD dan merupakan alat
kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Hubungan Antar Lembaga dapat
membentuk panitia kerja.
Pasal 68
(1) DPD menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Hubungan Antar
Lembaga pada permulaan masa keanggotaan DPD, permulaan tahun
sidang atau pada setiap masa sidang.
(2) Badan Hubungan Antar Lembaga dipimpin oleh pimpinan Badan
Hubungan Antar Lembaga.
Pasal 69
(1) Badan Hubungan Antar Lembaga bertugas:
a. membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan
dan kerja sama antara DPD dan parlemen negara lain, baik secara
bilateral maupun multilateral, termasuk organisasi internasional yang
menghimpun parlemen dan/atau anggota parlemen negara lain;
b. menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain yang menjadi tamu
DPD;
c. mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPD ke luar negeri;
dan
d. memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPD tentang masalah
kerja sama antarparlemen.
(2) Badan Hubungan Antar Lembaga membuat laporan kinerja pada akhir
masa keanggotaan baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan
untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh BHAL pada masa keanggotaan
berikutnya.
(3) Badan Hubungan Antar Lembaga menyusun rancangan anggaran untuk
pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan, yang selanjutnya
35
disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Pasal 70
Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan
mekanisme kerja Badan Hubungan Antar Lembaga diatur lebih lanjut dalam
Peraturan DPD tentang tata tertib.
Bagian Kesepuluh
Panitia Khusus
Pasal 71
(1) Panitia khusus Lembaga dibentuk oleh DPD dan merupakan alat
kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, panitia khusus dapat membentuk panitia
kerja.
Pasal 72
(1) DPD menetapkan susunan dan keanggotaan panitia khusus pada
permulaan masa keanggotaan DPD, permulaan tahun sidang atau pada
setiap masa sidang.
(2) Panitia khusus dipimpin oleh pimpinan panitia khusus.
Pasal 73
(1) Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu
tertentu yang ditetapkan oleh sidang paripurna.
(2) Panitia khusus bertanggung jawab kepada DPD.
(3) Panitia khusus dibubarkan oleh DPD setelah jangka waktu penugasannya
berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai.
(4) Sidang paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja panitia khusus.
(5) Panitia khusus menggunakan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya
sesuai dengan kebutuhan yang diajukan kepada pimpinan DPD.
36
Pasal 74
Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan
mekanisme kerja panitia khusus diatur lebih lanjut dalam Peraturan DPD
tentang tata tertib.
BAB XII
PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG DPD
Bagian Kesatu
Penyusunan Prolegnas
(1) Perencanaan penyusunan rancangan undang-undang di lingkungan DPD
dilakukan dalam Prolegnas DPD.
(2) Prolegnas DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan skala
prioritas program penyusunan rancangan undang-undang DPD untuk
selanjutnya dibahas dan ditetapkan bersama DPR dan Presiden.
Pasal 76
Dalam penyusunan Prolegnas DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75
penyusunan daftar rancangan undang-undang adalah:
a. perintah UUD 1945;
b. perintah Ketetapan MPR;
c. peritah undang-undang lainnya;
d. sistem perencanaan pembangunan nasional;
e. rencana pembangunan jangka panjang;
f. rencana pembangunan jangka menengah;
g. rencana strategis DPD; dan
h. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.
Pasal 77
(1) DPD menyusun Prolegnas DPD untuk jangka menengah dan tahunan
berdasarkan skala prioritas penyusunan rancangan undang-undang.
37
(2) Penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh Baleg DPD dengan alat kelengkapan DPD yang lain.
Pasal 78
(1) Prolegnas untuk jangka menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
ayat (1) merupakan Prolegnas jangka waktu 5 (lima) tahun untuk 1 (satu)
masa keanggotaan.
(2) Prolegnas jangka menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. gambaran umum hukum nasional;
b. arah dan kebijakan pembangunan hukum pusat–daerah untuk 5 (lima)
tahun masa keanggotaan DPD.
c. judul rancangan undang-undang beserta keterangan mengenai
konsepsi rancangan undang-undang meliputi:
1. latar belakang dan tujuan penyusunan;
2. sasaran yang ingin diwujudkan; dan
3. jangkauan serta arah pengaturan.
(3) Prolegnas prioritas tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1)
merupakan Prolegnas jangka menengah yang disusun setiap tahun.
(4) Tata cara penyusunan Prolegnas DPD diatur lebih lanjut dengan Peraturan
DPD.
Bagian Kedua
RUU dari DPD
Pasal 79
(1) Penyusunan rancangan undang-undang di lingkungan DPD dilakukan
berdasarkan Prolegnas.
(2) Selain rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
DPD dalam keadaan tertentu dapat mengajukan rancangan undang-undang
diluar Prolegnas.
(3) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup:
a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana
38
alam; dan
b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional.
(4) Usul rancangan undang-undang dapat berasal dari anggota paling sedikit
20 (dua puluh) anggota, Baleg DPD, komisi, gabungan komisi dan/atau
panitia khusus.
(5) Usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi oleh Baleg
DPD.
(6) Usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
disampaikan kepada sidang paripurna DPD melalui pimpinan.
(7) Sidang Paripurna memutuskan usul rancangan undang-undang menjadi
rancangan undang-undang.
(8) Keputusan Sidang Paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa:
a. menyetujui; atau
b. menolak.
(9) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
disampaikan kepada DPR dan Presiden untuk dibahas bersama.
Pasal 80
Tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang dari DPD diatur lebih
lanjut dalam Peraturan DPD.
Pasal 81
(1) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat
(9) beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik,
disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR dan kepada Presiden
dengan surat pengantar dari pimpinan DPD.
(2) Surat pengantar pimpinan DPD menyebut juga alat kelengkapan yang
mewakili DPD dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang
tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 82
(1) Pembahasan rancangan undang-undang oleh komisi, gabungan komisi,
39
panitia khusus atau Baleg DPD diselesaikan dalam 2 (dua) kali masa
sidang dan dapat diperpanjang hanya untuk 1 (satu) kali masa sidang.
(2) Dalam hal pembahasan rancangan undang-undang yang dilakukan oleh
komisi/gabungan komisi atau panitia khusus telah melampaui ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembahasan rancangan undang-
undang dimaksud dilanjutkan oleh Baleg DPD.
(3) Rancangan undang-undang yang telah melampaui masa pembahasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diserahkan pimpinan komisi,
pimpinan gabungan komisi, atau pimpinan pansus kepada pimpinan DPD
untuk diteruskan kepada pimpinan Baleg DPD.
(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lambat
10 (sepuluh) hari pada masa sidang berikutnya.
(5) Pembahasan rancangan undang-undang yang dilanjutkan oleh Baleg DPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselesaikan dalam 1 (satu) kali masa
sidang dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali masa sidang.
(6) Rancangan undang-undang yang pembahasannya dilanjutkan oleh Baleg
DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hanya melanjutkan substansi
yang belum mendapat persetujuan.
(7) Dalam hal pembahasan rancangan undang-undang yang dilanjutkan oleh
Baleg DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak selesai, rancangan
undang-undang diserahkan ke Badan Musyawarah untuk dilaporkan
dalam sidang paripurna.
Bagian Ketiga
Penyusunan Pandangan DPD atas RUU dari DPR
Pasal 83
(1) Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan
dengan surat DPR kepada Presiden dan kepada Pimpinan DPD untuk
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat daerah, pembentukan dan pemekaran daerah serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumnber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
40
(2) Pimpinan DPD setelah menerima rancangan udang-undang dari DPR
dan/atau pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan adanya usul rancangan undang-undang tersebut kepada
anggota DPD dan hubungannya kepada seluruh anggota dalam sidang
paripurna.
(3) DPD menugasi komisi atau Baleg DPD sesuai lingkup tugasnya untuk
membahs RUU sebagimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu
30 (tiga puluh) hari terhiting sejak surat pimpinan DPD diterima.
Bagian Keempat
Penyusunan Pandangan DPD atas RUU dari Presiden
Pasal 84
(1) Rancangan undang-undang yang bersal dari Presiden diajukan dengan
surat Presiden kepada Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD untuk
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat daerah, pembentukan dan pemekaran daerah serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumnber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Pimpinan DPD setelah menerima rancangan udang-undang dari DPR
dan/atau pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan adanya usul rancangan undang-undang tersebut kepada
anggota DPD dan hubungannya kepada seluruh anggota dalam sidang
paripurna.
(3) DPD menugasi komisi atau Baleg DPD sesuai lingkup tugasnya untuk
membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhiting sejak surat pimpinan
DPD diterima.
41
Bagian Kelima
Pengajuan RUU tentang
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Pasal 85
(1) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPD dalam hal rancangan
undang-undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
daerah, pembentukan dan pemekaran daerah serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumnber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilakukan seperti pembahasan
rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82.
Bagian Keenam
Pertimbangan terhadap Rancangan Undang-Undang
Pasal 86
(1) DPD memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e kepada DPR.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dalam
Sidang Paripurna DPD.
(3) Keputusan Sidang Paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berupa:
a. menyetujui; atau
b. menolak.
Pasal 87
(1) DPD memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang
tentang APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf f
kepada DPR.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dalam
42
Sidang Paripurna DPD.
(3) Keputusan Sidang Paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. menyetujui; atau
b. menolak.
Pasal 88
(1) Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1)
berkaitan dengan fiskal daerah dan dana transfer ke daerah.
(2) Tata cara pembahasan dan penyusunan pertimbangan DPD terhadap
rancangan undang-undang APBN diatur lebih lanjut dalam Peraturan DPD
tentang tata tertib.
Bagian Ketujuh
Pertimbangan terhadap Calon Anggota BPK
Pasal 89
(1) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR mengenai calon anggota
BPK.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dalam
sidang paripurna DPD.
(3) Keputusan sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. menyetujui; atau
b. menolak.
(3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara
tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR paling lambat 3 (tiga)
hari sebelum pelaksanaan pemilihan anggota BPK.
(4) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam
sidang paripurna DPD.
(5) Ketentuan mengenai pemberian pertimbangan diatur lebih lanjut dalam
Peraturan DPD tentang tata tertib.
43
Bagian Kedelapan
Penyampaian Hasil Pengawasan
Pasal 90
(1) DPD menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf h kepada DPR sebagai
bahan pertimbangan.
(2) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dalam
sidang paripurna DPD.
(3) Keputusan Sidang Paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berupa:
a. menyetujui; atau
b. menolak.
(3) Ketentuan mengenai penyampaian hasil pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan DPD tentang
tata tertib.
Bagian Kesembilan
Pembahasan Hasil Pemeriksaan BPK
Pasal 91
(1) DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang disampaikan oleh
pimpinan BPK kepada pimpinan DPD dalam acara yang khusus diadakan
untuk itu.
(2) DPD menugasi komisi untuk membahas hasil pemeriksaan keuangan
negara oleh BPK setelah BPK menyampaikan penjelasan.
(3) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diputuskan dalam
sidang paripurna DPD.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada DPR
dengan surat pengantar dari pimpinan DPD untuk dijadikan bahan
pertimbangan bagi DPR.
(5) Ketentuan mengenai pembahasan hasil pemeriksaan keuangan negara oleh
BPK diatur lebih lanjut dalam Peraturan DPD tentang tata tertib.
44
BAB XIII
HUBUNGAN KERJA DPR-DPD
Bagian Kesatu
Penyusunan Prolegnas
Pasal 92
(1) Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah.
(2) Penyusunan Prolegnas sebagimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan
oleh Badan Legislasi DPR.
Pasal 93
(1) Pembahasan Prolegnas jangka menengah dilakukan oleh Badan Legislasi
DPR, Baleg DPD, dan menteri yang bidang tugasnya berkaitan dengan
budang hukum dan peraturan perundang-undangan.
(2) Pembahasan Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui:
a. rapat kerja
b. rapat panitia kerja; dan/atau
c. rapat tim perumus.
Pasal 94
(1) Rapat kerja sebagaimana dimaksud Pasal 93 ayat (2) huruf a dilakukan
dengan kegiatan sebagai berikut:
a. pengantar pimpinan Badan Legislasi DPR;
b. sambutan menteri;
c. sambutan Baleg DPD;
d. pembahasan daftar inventarisasi usulan Prolegnas;
e. pengambilan keputusan.
(2) Dalam pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Pimpinan
Badan Legislasi DPR menyampaikan usulan Prolegnas dari DPR.
(3) Dalam sambutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, menteri
45
menyampaikan usulan Prolegnas dari pemerintah.
(4) Dalam sambutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Baleg DPD
menyampaikan usulan Prolegnas dari DPD.
(5) Dalam membahas inventarisasi usulan Prolegnas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d, Badan Legislasi DPR, Baleg DPD, dan menteri
terlebih dahulu menyepakati jumlah rancangan undang-undang yang akan
dimasukan dalam daftar Prolegnas jangka menengah.
(6) Untuk membahas lebih lanjut Prolegnas jangka menengah, rapat kerja
membentuk panitia kerja.
(7) Panitia kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat membentuk tim
perumus.
(8) Hasil kerja panitia kerja dilaporkan dalam rapat kerja.
(9) Dalam rapat kerja sebagimana dimaksud pada ayat (8), Badan Legislasi
DPR, Baleg DPD, bersama menteri mengambil keputusan setelah terlebih
dahulu dilakukan:
a. pembacaan daftar Prolegnas;
b. penyampaian pendapatBadan Legislasi DPR;
c. penyampaian pendapat Baleg DPD; dan
d. penyampaian pendapat dari pemerintah.
Pasal 95
Prolegnas sebagimana dimaksud dalam Pasal 92 menjadi dasar penyampaian
rancangan undang-undang dari DPR, DPD, atau Presiden.
Bagian Kedua
Pembahasan Rancangan Undang-Undang dari DPD
Pasal 96
(1) Rancangan undang-undang dari DPD diajukan dengan surat dari
Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR dan Presiden.
(2) DPR mulai membahas rancangan undang-undang sebagimana dimaksud
pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari
46
terhitung sejak surat Pimpinan DPD diterima.
(3) Pimpinan DPR memberitahukan kepada Pimpinan DPD 30 (tiga puluh
hari) sebelum pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimulai.
(4) Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas rancangan
undang-undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.
Pasal 97
(1) Tindak lanjut pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari
DPR, DPD, atau Presiden dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan.
(2) 2 (dua) tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan
Legislasi DPR, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus.
b. Tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR.
Pasal 98
(1) Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
a. pengantar musyawarah;
b. pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah; dan
c. penyampaian pendapat mini.
(2) Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a:
a. DPR memberikan penjelasan serta Presiden menyampaikan pandangan
apabila rancangan undang-undang yang berasal di DPR, yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat daerah, pembentukan dan
pemekaran daerah serta penggabungan daerah, pengelolaan sumnber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah;
b. DPD memberikan penjelasan serta Presiden menyampaikan pandangan
apabila RUU bersala dari DPD; dan
c. Presiden memberikan penjelasan serta DPR dan DPD memberikan
pandangan apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden,
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat daerah,
47
pembentukan dan pemekaran daerah serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(3) Daftar Inventarisasi Masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
diajukan oleh DPD dalam hal rancangan undang-undang yang berasal dari
Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
daerah, pembentukan dan pemekaran daerah serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(4) Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
disampaikan oleh DPD pada akhir pembicaraan tingkat I.
Pasal 99
(1) Rancangan undang-undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas
bersama oleh DPR, Presiden, dan oleh DPD dalam hal rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat daerah,
pembentukan dan pemekaran daerah serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
(2) Rancangan undang-undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik
kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR, Presiden, dan DPD dalam
hal rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat daerah, pembentukan dan pemekaran daerah serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
48
Bagian Ketiga
Pembahasan Rancangan Undang-Undang dari DPR dan Presiden
Paragraf 1
Pembahasan Rancangan Undang-Undang dari DPR
Pasal 100
(1) Rancangan undang-undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan
DPR kepada Presiden dan kepada Pimpinan DPD untuk rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
daerah, pembentukan dan pemekaran daerah serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumnber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
(2) DPD menugasi alat kelengkapan DPD yan mewakili untuk membahas
rancangan undang-undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama
60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.
(3) Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas rancangan
undang-undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan diterima.
(4) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengkordinasikan persiapan
pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
Paragraf 2
Pembahasan Rancangan Undang-Undang dari Presiden
Pasal 101
(1) Pembahasan rancangan undang-undang dari Presiden diajukan dengan
surat Presiden kepada Pimpinan DPR dan kepada Pimpinan DPD untuk
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat daerah, pembentukan dan pemekaran daerah serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumnber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
49
(2) Surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penunjukan
menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan
rancangan undang-undang bersama DPR.
(3) DPR mulai membahsa rancangan undang-undang sebagimana dimaksud
pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari
terhitung sejak surat Presiden diterima.
(4) Pimpinan DPR memberitahukan kepada Pimpinan DPD 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak surat Presiden diterima.
(5) Untuk keperluan pembahasan rancangan undang-undang di DPR, menteri
atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah rancangan
undang-undang tersebut dfalam jumlah yang diperlukan.
Pasal 102
Dalam pembicaraan tingkat II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (2)
huruf b, DPD menyampaikan pandangannya sebelum pengambilan keputusan
atau DPR dan Presiden.
Pasal 103
Apabila dalam suatu masa sidang, DPD dan Presiden menyampaikan
rancangan undang-undang mengenai materi yang sama, untuk yang dibahas
adalah RUU yang disampaikan oleh DPD, sedangkan rancangan undang-
undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk
dipersandingkan
Bagian Keempat
Pertimbangan DPD Kepada DPR
Pasal 104
(1) DPR menerima dan menindaklanjuti pertimbangan tertulis terhadap
rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama yang disampaikan
oleh DPD sebelum memasuki tahap pembahasan antara DPR dan
Presiden.
50
(2) Apabila rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berasal dari Presiden, pimpinan DPR setelah menerima surat Presiden
menyampaikan surat kepada pimpinan DPD agar DPD memberikan
pertimbangannya.
(3) Apabila rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berasal dari DPR, Pimpinan DPR menyampaikan surat kepada pimpinan
DPD agar DPD memberikan pertimbangannya.
(4) Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
disampaikan secara tertulis melalui pimpinan DPR paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak diterimanya surat dari pimpinan DPR, kecuali rancangan
undang-undang tentang APBN disampaikan paling lambat 14 (empat belas)
hari sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
(5) Pada rapat paripurna berikutnya, pimpinan DPR memberitahukan kepada
anggota DPR perihal diterimanya pertimbangan DPD atas rancangan
undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan meneruskannya
kepada panitia musyawarah untuk diteruskan kepada alat kelengkapan
yang akan membahasnya.
Bagian Kelima
Pemberian Pertimbangan terhadap
Calon Anggota BPK
Pasal 105
(1) Pertimbangan DPD kepada DPR disampaikan secara tertulis oleh pimpinan
DPD kepada pimpinan DPR paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
pelaksanaan pemilihan anggota BPK.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam
Rapat Paripurna DPR.
(3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan bahan
pembahasan DPR dalam menetukan calon Anggota BPK.
(4) Terhadap pertimbangan DPD yang tidak diterima oleh DPR, DPR
memberikan penjelasan.
51
Bagian Keenam
Penyampaian Hasil Pengawasan
Pasal 106
(1) DPD menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 kepada DPR sebagai bahan
pertimbangan.
(2) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dalam
sidang paripurna DPD.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian hasil pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan DPD tentang
tata tertib.
Pasal 107
(1) Demi menjaga keutuhan NKRI dalam hal DPR melaksanakan fungsi
pengawasan yang mengakibatkan menuju kepada pemakzulan Presiden
dan/atau wakil Presiden, DPR mempertibangkan sungguh-sungguh
pendapat DPD.
(2) Pandangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada DPR 14 (empat belas) hari sebelum DPR memutuskan bahwa
Presiden dan/atau wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
BAB XIV
PERSIDANGAN DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Bagian Kesatu
Persidangan
Pasal 108
(1) Tahun sidang DPD dimulai pada tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada
52
tanggal 15 Agustus tahun berikutnya, dan apabila tanggal 16 Agustus
jatuh pada hari libur, pembukaan tahun sidang dilakukan pada hari kerja
sebelumnya.
(2) Khusus pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPD dimulai
pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
(3) Kegiatan DPD meliputi sidang DPD di ibu kota negara serta rapat di daerah
dan tempat lain sesuai dengan penugasan DPD.
(4) Sidang DPD di ibu kota negara dalam hal pengajuan dan pembahasan
rancangan undang-undang mengikuti masa sidang DPR.
(5) Sebelum pembukaan tahun sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
anggota DPD dan anggota DPR mendengarkan pidato kenegaraan Presiden
dalam sidang bersama yang diselenggarakan oleh DPD atau DPR secara
bergantian.
Pasal 109
(1) Semua sidang di DPD pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali sidang
tertentu yang dinyatakan tertutup.
(2) Jadwal sidang DPD disusun dengan mencermikkan pelaksanaan fungsi
DPD.
Pasal 110
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat DPD diatur
dalam Peraturan DPD tentang tata tertib
Bagian Kedua
Pengambilan Keputusan
Pasal 111
(1) Pengambilan keputusan dalam rapat/sidang DPD pada dasarnya
dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
53
Pasal 112
(1) Setiap rapat atau sidang DPD dapat mengambil keputusan apabila
memenuhi kuorum.
(2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila rapat
dihadiri oleh lebih dari ½ (satu perdua) jumlah anggota rapat atau sidang.
(3) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi,
rapat atau sidang ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang
waktu masing-masing tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam.
(4) Setelah 2 (dua) kali penundaan, kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) belum juga terpenuhi, cara penyelesaiannya diserahkan kepada
pimpinan DPD.
Pasal 113
Setiap keputusan rapat atau sidang DPD, baik berdasarkan musyawarah
untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, menjadi perhatian
semua pihak yang terkait.
Pasal 114
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur
dalam Peraturan DPD tentang tata tertib.
BAB XV
SISTEM PENDUKUNG
Bagian Kesatu
Sistem Pendukung DPD
Organisasi
Pasal 115
(1) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang DPD,
dibentuk Sekretariat Jenderal DPD yang susunan organisasi dan tata
kerjanya diatur dengan peraturan Presiden atas usul DPD.
54
(2) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang DPD
dibentuk badan fungsional/keahlian yang ditetapkan dengan Peraturan DPD
setelah dikonsultasikan dengan Pemerintah.
(3) Badan fungsional/keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara
fungsional bertanggung jawab kepada DPD dan secara administratif
berada di bawah Sekretariat Jenderal DPD dan diatur dalam Peraturan
DPD.
(4) Pimpinan DPD melalui alat kelengkapan melakukan koordinasi dalam
rangka pengelolaan sarana dan prasarana dalam kawasan gedung
perkantoran DPD.
Bagian Kedua
Pimpinan Organisasi
Pasal 116
(1) Sekretariat Jenderal DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116,
dipimpin oleh seorang Sektretaris Jenderal yang diusulkan oleh Pimpinan
DPD sebanyak 3 (tiga) orang kepada Presiden.
(2) Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada dasarnya
berasal dari pegawai negeri sipil profesional yang memenuhi syarat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Sebelum mengajukan usul nama calon Sektretaris Jenderal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pimpinan DPD harus berkonsultasi
dengan Pemerintah.
(4) Usul nama calon Sekretaris Jenderal DPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPD untuk diangkat
dengan Keputusan Presiden.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretaris Jenderal DPD bertanggung
jawab kepada pimpinan DPD.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan dan tata cara
pertanggungjawaban Sekretaris Jenderal diatur dengan Peraturan DPD.
55
Bagian Ketiga
Pegawai
Pasal 117
(1) Pegawai Sekretariat Jenderal DPD dan badan keahlian DPD, serta
Sekretariat Jenderal DPD terdiri atas pegawai negeri sipil dan pegawai
dengan perjanjian tertentu.
(2) Pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) direkrut oleh
Sekretaris Jenderal DPD setelah berkoordinasi dan mendapatkan
persetujuan pimpinan DPD.
(3) Ketentuan mengenai manajemen kepegawaian DPD diatur dengan
Peraturan DPD.
Bagian Keempat
Kelompok Pakar atau Tim Ahli
Pasal 118
(1) Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPD dibentuk
kelompok pakar atau tim ahli yang diperbantukan terutama kepada
anggota dan alat kelengkapan.
(2) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan dengan keputusan Sekretaris Jenderal DPD
sesuai dengan kebutuhan atas usul anggota.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 119
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling
lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 120
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 27 Tahun
56
2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5034), sepanjang yang mengatur DPD
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 121
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR …
57
PENJELASAN ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN 2013
TENTANG
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
I. UMUM
Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa Negara Republik Indonesia
adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya
menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan.
Menurut Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 ditegaskan bahwa kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945. Sehubungan
dengan hal itu, maka dalam implementasinya prinsip kedaulatan rakyat
antara lain direpresentasikan oleh lembaga MPR, DPR, dan DPD.
Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
perlu diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan
rakyat, dan lembaga perwakilan daerah.
Keberadaan DPD sebagai lembaga perwakilan daerah perlu diatur dalam
undang-undang tersendiri sebagaimana diperintahkan Pasal 22C bahwa
susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan udang-
undang.
Kewenangan DPD sebagai lembaga perwakilan daerah diatur dalam Pasal
22D UUD 1945.
“Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemerkaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.”
Dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 selanjutnya ditentukan:
“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang
58
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah serta memberikan pertimbangan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama.”
Selain kewenangan di bidang legislatif yang dikemukakan diatas, DPD
memiliki kewenangan di bidang pengawasan. Kewenangan DPD di bidang
pengawasan diatur dalam Pasal 22D ayat (3) UUD 1945 yang menentukan:
“Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksaanan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan anggaran dan pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendidikan, dan agama serta menyanpaikan hasil pengawasannya itu
kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti.”
Akar masalah DPD selama ini adalah kewenangannya yang lemah sebagai
sebuah lembaga representasi Daerah. Permasalahan menjadi kompleks
karena Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945)
memberikan kewenangan yang terbatas kepada DPD sehingga DPD tidak
dapat menjalankan fungsi sebagai lembaga perwakilan secara maksimal.
Tidak mengherankan, bila bicara tentang relasi DPR dan DPD, tidak akan
lepas dari permasalahan kewenangan DPD yang lemah dibandingkan DPR.
Keberadaan DPD adalah untuk mewakili kepentingan rakyat dalam konteks
kedaerahan dan dengan orientasi kepentingan daerah. Menurut Sri
Soemantri DPD merupakan lembaga negara yang anggotanya mewakili
rakyat di masing-masing provinsi.
Jika melihat pada susunan dan kedudukan DPD sebagimana diatur dalam
UUD 1945, kedudukan DPD tidak sejajar dengan DPR. DPD tidak
sepenuhnya memegang kekuasaan legislasi, pengawasan, dan anggaran
sebagaimana yang dimiliki oleh DPR sebagai lembaga legislatif atau
parlemen.
Konstruksi susunan parlemen jika dikaitkan dengan MPR menimbulkan
pertanyaan apakah dapat dikatakan bahwa kekuasaan legislatif yang
diwakili oleh MPR sama halnya dengan kongres di Amerika Serikat? Atau
justru MPR, DPR, DPD merupakan lembaga-lembaga perwakilan yang
59
berdiri sendiri sehingga konsttuksinya menjadi 3 kamar (trikameral).
Berdasarkan norma Pasal 22D UUD 1945 dan ditambah dengan sulitnya
menjadi anggota DPD, Stephen Sherlock (2005) memberikan penilaian
menarik. Bagi peneliti Australian National University ini, DPD
merupakan contoh yang tidak lazim dalam praktik lembaga perwakilan
rakyat dengan sistem bikameral karena merupakan kombinasi dari
lembaga dengan kewenagan yang amat terbatas dan legitimacy tinggi
(represents the odd combination of limited powers and high legitimacy).
Kombinasi ini, tambah Sherlock, merupakan contoh yang tidak lazim dalam
praktik sistem bikameral manapun di dunia.
Kondisi yang demikian mendorong DPD untuk mengajukan permohonan uji
materi ke MK terkait dengan norma-norma dalam UU Nomor 27 Tahuh
2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pementukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3)
yang terkait dengan fungsi legislasi DPD.
MK pun menafsirkan konstitusi mengenai kedudukan dan kewenangan
konstitusional DPD dalam fungsi legislasi. Pertama, DPD berposisi sama
dengan DPR dan Presiden dalam mengajukan RUU berkaitan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah. Menempatkan RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD,
kemudian dibahas Badan legislasi DPR, dan menjadi RUU dari DPR,
mereduksi kewenangan DPD mengajukan RUU.
Kedua, DPD sebagai lembaga negara berhak dan/atau memiliki wewenang
yang sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU terkait
daerah. Menurut MK, DPD berhak ikut membahas RUU berkaitan
daerah, bersama DPR dan Presiden. pembahasan RUU harus
melibatkan DPD sejak memulai pembahasan pada Tingkat I oleh komisi
atau panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar
musyawarah, mengajukan, dan membahas Daftar inventaris Masalah (DiM)
serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam
pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan pendapat pada
pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum
tahap persetujuan.
Ketiga, terkait apakah DPD berwenang menyetujui RUU,MK menegaskan
konstitusi menentukan jelas bahwa DPD hanya berwenang ikut membahas
60
RUU yang berkaitan dengan daerah, tidak ikut serta pada pemberian
persetujuan akhir yang lazimnya dilakukan pada rapat paripurna DPR
pembahasan Tingkat II. Artinya, DPD dapat saja ikut membahas dan
memberi pendapat pada saat rapat paripurna DPR yang membahas RUU
pada Tingkat II tetapi tidak memiliki hak memberi persetujuan terhadap
RUU yang bersangkutan. persetujuan terhadap RUU untuk menjadi UU,
menurut konstitusi hanya DPR dan Presiden.
Kempat, penyusunan Prolegnas sebagai instrumen perencanaan program
pembentukan UU merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak
dan/atau kewenangan untuk mengajukan RUU yang dimiliki DPD. Apabila
DPD tidak terlibat atau tidak ikut serta menentukan Prolegnas, maka
sangat mungkin DPD tidak dapat melaksanakan wewenangnya untuk
mengajukan RUU. Undang-Undang yang tidak melibatkan DPD dalam
penyusunan Prolegnas telah mereduksi kewenangan DPD.
Kelima, memberikan pertimbangan tidak sama dengan bobot kewenangan
DPD untuk ikut membahas RUU. Artinya, DPD namun memberikan
pertimbangan tanpa ikut serta dalam pembahasan. Merupakan
kewenangan DPR dan Presiden untuk menyetujui atau tidak menyetujui
pertimbangan DPD sebagian atau seluruhnya. Hal terpenting adalah
adanya kewajiban dari DPR dan Presiden untuk meminta pertimbangan
DPD atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan,
dan agama.
Dengan putusan ini, segala bentuk reduksi kewenangan DPD, baik dalam
norma maupun praktik, tak dibolehkan lagi. Umpama DPR masih
‘menganulir’ keberadaan DPD, maka DPR dapat digolongkan telah
melakukan perbuatan melawan hukum. Dan demi hukum, produk legislasi
terkait yang dihasilkan dari perbuatan melawan hukum tersebut harus
dinyatakan batal sejak semula (ab initio).
Berdasarkan hal-hal tersebut, dalam rangka penataan kelembagaan
parlemen Indonesia terutama sekali untuk mendorong sistem
keparlemenan Indonesia ka arah yang lebih baik perlu peraturan dan
penyempurnaan UU MD3. Undang-Undang tersebut diharapkan dapat
meningkatkan peran dan tanggungjawab lembaga permusyawaratan
rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lenmba perwakilan daerah dalam
tugas dan wewenangnya serta mengembangkan mekanisme check and
balances atar lembaga legislatif dan eksekutif serta meningkatkan kualitas,
produktivitas, dan kinerja anggota lembaga permusyawatan rakyat,
61
lembaga perwakilan rakyat, lembaga perwakilan daerah demi mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan rakyat.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan fungsi perwakilan adalah bahwa DPD
merupakan wakil daerah sehingga keseluruhan tugas dan
wewenang DPD harus mencerminkan aspirasi daerah.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
62
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Penyusunan Prolegnas sebagai instrumen perencanaan program
pembentukan undang-undang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari hak/dan/atau kewenangan untuk mengajukan RUU
yang dimiliki oleh DPD.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas
Huruf o
63
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Untuk mendukung efektifitas pelaksanaan tugas dan wewenangnya
kepada DPD, perlu disediakan anggaran yang mencukupi sesuai
dengan kemampuan keuangan negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pertanggungjawaban pengelolaan anggaran
DPD” adalah format dan prosedur pengelolaan anggaran.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Laporan DPD “dipublikasikan” sebagai bentuk pertanggungjawaban
moral dan politis Anggota kepada masyarakat dan daerah yang
diwakili.
Yang dimaksud dengan media massa pusat adalah media massa yang
ada di Jakarta.
Yang dimaksud dengan media massa di daerah adalah media massa
di daerah pemilihan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu
sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama
Islam didahului dengan frasa “Demi Allah”, untuk penganut agama
Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa “Semoga Tuhan menolong
saya”, untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa “Demi
Hyang Adi Budha”, dan untuk penganut agama Hindu didahului dengan
frasa “Om Atah Paramawisesa”. Pada hakikatnya, sumpah/janji adalah
tekad untuk memperjuangkan aspirasi daerah yang diwakilinya dengan
memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-
undangan yang mengandung konsekuensi berupa kewajiban dan
tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota DPD.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
65
Hak anggota DPD untuk mendapatkan keleluasaan menyampaikan
usul dan pendapat baik kepada pemerintah maupun kepada DPD
sehingga ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati
nurani serta kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPD
tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan
keputusan.
Ayat (2)
Yang dimaksud penyampaian usul dan pendapat dilaksanakan
dengan memperhatikan senioritas Anggota DPD adalah anggota DPD
yang masa jabatannya lebih lama diberi kesempatan terlebih dahulu
untuk menyampaikan usul dan pendapatnya dengan tujuan dapat
memberikan informasi yang lebih komprehensif berdasarkan
pengalamannya selama menjabat sebagai anggota DPD. Dengan
demikian praktik-praktik baik (bencmarking) yang terjadi dapat
ditransformasikan kepada anggota lainnya. Senioritas tersebut tidak
mengurangi prinsip kolektif kolegial dan persamaan hak dan
kewajiban antar anggota DPD.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hak protokoler” adalah hak anggota DPD
untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya baik
dalam acara kenegaraan atau dalam acara resmi maupun dalam
melaksanakan tugasnya
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
66
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Kepentingan kelompok, golongan, dan daerah dalam ketentuan ini
termasuk kepentingan daerah yang diwakili, agama, ras, dan suku.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Pemberian pertanggungjawaban secara moral dan politis
disampaikan kepada masyarakat dan pemilih di daerah yang
diwakilinya pada masa sidang melalui perjuangan politik yang
menyangkut kepentingan daerah yang diwakilinya, serta di luar
masa sidang melalui pertemuan-pertemuan dengan konstituen dan
masyarakat di daerah yang diwakilinya.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
67
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat
keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang.
Huruf b
Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di atas
kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tidak dapat melaksanakan tugas secara
berkelanjutan atau berhalangan tetap” adalah menderita sakit
yang mengakibatkan baik fisik maupun mental tidak berfungsi
secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter
yang berwenang, tidak diketahui keberadaannya, dan/atau tidak
hadir dalam rapat tanpa keterangan apa pun selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut.
68
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
69
Yang dimaksud dengan “hak keuangan tertentu” adalah hak
keuangan yang meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan
pangan, tunjangan jabatan, dan uang paket.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Dalam mewakili DPD di pengadilan, pimpinan dapat menunjuk
kuasa hukum.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
70
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
71
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
72
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
73
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Perlunya pendapat pertimbangan DPD karena menurut UUD 1945 DPD
memiliki kewenangan terbatas dalam pengawasan serta secara
konstitusional dan konsepsional keberadaan DPD yang mewakili daerah
karena merupakan salah satu unsur perekat NKRI dalam melaksanakan
kedaulatan rakyat.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
74
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
75
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kelompok pakar atau tim ahli” adalah
sekelompok orang yang mempunyai kemampuan dalam disiplin ilmu
tertentu untuk membantu alat kelengkapan dalam pelaksanaan fungsi
serta tugas dan wewenang DPD. Kelompok pakar atau tim ahli bertugas
mengumpulkan data dan menganalisis berbagai masalah yang
berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPD. Penugasan
kelompok pakar atau tim ahli disesuaikan dengan kebutuhan DPD.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014
NOMOR …