Bagaimana Perkebunan Kelapa Sawit Di Tripa Beresiko

26
PanEco Foundation for Sustainable Development and Intercultural Exchange Chileweg 5, CH-8415 Berg am Irchel, Switzerland Tel. +41 52 318 23 23, Fax +41 52 318 19 06, [email protected], PC-Nr. 84-9667-8 www.paneco.ch, www.sumatranorangutan.org Bagaimana perkebunan kelapa sawit di Tripa beresiko mendatangkan bencana, berkontribusi terhadap pemanasan global dan membuat populasi unik orangutan sumatera menjadi punah: Hutan rawa gambut Tripa, Aceh, Sumatera, Indonesia Juni 2008

description

PALM OIL

Transcript of Bagaimana Perkebunan Kelapa Sawit Di Tripa Beresiko

  • PanEco Foundation for Sustainable Development and Intercultural Exchange Chileweg 5, CH-8415 Berg am Irchel, Switzerland Tel. +41 52 318 23 23, Fax +41 52 318 19 06, [email protected], PC-Nr. 84-9667-8 www.paneco.ch, www.sumatranorangutan.org

    Bagaimana perkebunan kelapa sawit di Tripa beresiko mendatangkan bencana, berkontribusi terhadap

    pemanasan global dan membuat populasi unik orangutan sumatera menjadi punah:

    Hutan rawa gambut Tripa, Aceh, Sumatera, Indonesia

    Juni 2008

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 2 of 26

    Ringkasan Eksekutif

    Tripa adalah wilayah seluas 61,803 ha di pesisir barat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Propinsi NAD terletak di ujung sebelah utara pulau Sumatera, Indonesia. Aktivitas lima perusahaan kelapa sawit besar yang berada di Tripa telah merusak hutan, membakar gambut dan membuka kanal-kanal drainase untuk membangun perkebunan kelapa sawit merupakan ancaman serius bagi kelestarian rawa Tripa dan beresiko tinggi mendatangkan bencana ekologis.

    Luas hutan yang tersisa di Tripa saat ini adalah 31.410 ha, atau sekitar 51% dari luas hutan yang ada sejak awal, sebelum aktivitas perkebunan dimulai. Seluas 17.800 ha areal ini telah ditanami kelapa sawit oleh konsesi perkebunan, sedangkan sekitar 12.573 ha merupakan areal penggunan lainnya. Dengan informasi ini, diperkirakan sisa hutan tersebut akan musnah dalam kurun waktu 5 tahun kedepan jika aktivitas pengrusakan hutan tidak segera dihentikan. Stok karbon di Tripa

    Tripa menyimpan cadangan karbon dalam jumlah yang sangat besar, yaitu sekitar 50 dan 100 juta ton. Jumlah karbon yang tersimpan di tanah gambut (sekitar 1,300 ton/ha) jauh lebih besar dari karbon yang tersimpan di atas permukaan tanah yaitu pada vegetasi (sekitar 110 ton/ha). Hal ini disebabkan oleh ketebalan/kedalaman gambut di Tripa umumnya lebih dari 3 meter.

    Hutan rawa gambut Tripa secara alami berfungsi sebagai simpanan karbon, dimana jumlah karbon yang disimpan jauh lebih besar dari jumlah yang dilepaskan. Namun, akibat aktivitas perkebunan kelapa sawit yang mengkonversi hutan telah membalikkan fungsinya menjadi pelepas karbon yang sangat besar sebagai akibat dari degradasi (drainase gambut, kebakaran dan oksidasi). Perkiraan sampai 30 tahun ke depan (2008-2038), Tripa akan melepaskan sekitar 33 juta ton karbon ke atmosfer. Walaupun dalam beberapa tahun semua perkebunan kelapa sawit akan beroperasi, rawa gambut masih akan melepaskan karbon ke atmosfer sekitar 1 juta ton karbon setiap tahun oleh kelanjutan proses drainase dan oksidasi gambut. Peran Tripa untuk mengurangi resiko bencana dan sebagai penyedia kebutuhan masyarakat

    Tripa berperan sebagai pelindung alami ketika terjadi bencana tsunami 2004 dan menyelamatkan sebagian besar masyarakat yang ada di belakangnya. Hutan rawa gambut Tripa juga berperan penting sebagai pengatur sistem tata air, sehingga masyarakat terhindar dari bencana banjir. Iklim di Tripa yang lembab (lebih dari 90%) dan suhu udara yang normal (berkisar 25-26C) mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Selain itu Tripa juga berfungsi sebagai penyimpan air tawar yang penting untuk persediaan lingkungan sekitarnya, baik untuk masyarakat dan lahan pertanian di musim kemarau. Rawa Tripa juga merupakan tempat perkembangbiakan ikan, hal ini sangat penting karena ikan segar adalah sumber protein terbesar bagi masyarakat setempat dan juga sekitarnya. Tripa juga menyediakan kayu konstruksi dan bahan bakar, hal penting lainnya adalah beberapa sumber daya alam bukan kayu seperti madu lebah dan tumbuhan obat yang tak ternilai harganya. Selain itu, Tripa berperan penting dalam menjaga stabilitas iklim lokal, seperti curah hujan dan temperature udara yang berperan positif terhadap produksi pertanian yang berada di sekitar wilayah hutan rawa Tripa. Jasa lingkungan ini membuat hasil produksi kelapa sawit di sekitar Nagan Raya dan ABDYA sebagai penghasil CPO terbesar yang terbesar untuk setiap hektarnya.

    Kerusakan hutan rawa gambut Tripa akan menyebabkan semua jasa ekologis ini hilang, dan meningkatkan resiko bencana kepada masyarakat, seperti tsunami, kebanjiran, kekurangan air tawar dan sumber makanan. Apalagi, penyusutan/penurunan (subsidensi) gambut oleh drainase yang dilakukan perkebunan kelapa sawit dapat mencapai sekitar 5 cm per tahun. Sehingga 20 tahun ke depan gambut akan menyusut sedalam 1 meter, dan hal ini akan menimbulkan masalah serius yaitu intrusi dan salinitas air laut karena permukaan tanah berada pada ketinggian yang sama bahkan berada di bawah permukaan laut. Dampaknya akan akan menghilangkan semua potensi pertanian di areal ini, termasuk perkebunan kelapa sawit. Nilai keanekaragam hayati di Tripa

    Tripa adalah bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser, kawasan yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden karena nilai kenanekaragaman hayatinya sangat tinggi. Kawasan Ekosistem Leuser juga melingkupi sebuah Situs Warisan Dunia UNESCO.

    Tripa merupakan salah satu dari enam populasi orangutan sumatra (Pongo abelii) yang yang tersisa. Orangutan sumatera terdaftar di IUCN dengan status sangat terancam punah (Critically Endangered). Diperkirakan sekitar 280 orangutan sumatera, atau lebih dari 4% dari jumlahnya di dunia, masih berada di hutan yang tersisa di Tripa,. Kepadatan orangutan di daerah

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 3 of 26

    ini sangat tinggi di dunia, dan hal ini memungkinkan budaya pemakaian alat (tool-use) berkembang di sini. Budaya penggunaan alat ini hanya ditemukan di populasi orangutan yang berada di hutan-hutan rawa di propinsi NAD. Jika hutan rawa gambut Tripa dapat direstorasi dan direhabilitasi, wilayah ini dapat mendukung 1.000 sampai 1.500 populasi orangutan, sama seperti kondisi awalnya di tahun 1990-an, dimana jumlah populasi tersebut sama dengan 20% dari total sisa populasi orangutan di dunia.

    Selain orangutan, juga terdapat beberapa jenis kera lain di Tripa, termasuk owa tangan putih, kera ekor panjang, kedih, lutung dan lain sebagainya. Beberapa hewan lain yang terancam punah dan dilindungi yang terdapat di daerah ini anatara lain harimau, beruang, buaya muara, ular phyton, labi labi, burung mentok rimba, burung bakau dan lain sebagainya, yang sebahagian besar merupakan hewan khas rawa gambut dan tidak terdapat di hutan tanah kering. Keiatan-kegiatan yang telah dilakukan dan pelajaran yang harus dicermati

    Pada tahun 2007, Bupati Nagan Raya mempertanyakan legalitas lima perkebunan di Tripa kepada pemerintah pusat. Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, adalah dua kabupaten yang termasuk wilayah Tripa, telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) bertujuan untuk mencari cara menyelamatkan rawa Tripa. YEL/PanEco mendapatkan sekitar 15 peraturan dan perundang-undangan yang telah dilanggar dan tidak sesuai dengan keberadaan perkebunan di daerah ini. Tripa perlu diselamatkan dengan alasan sosial dan lingkungan. Pada bulan Nopember 2007, ICRAF (Pusat Agroforestry Dunia) dan Unsyiah (Universitas Syiah Kuala) bersama YEL/PanEco mengkaji stok karbon di Tripa dan mendapatkan ketebalan gambut di daerah ini lebih dari 3 m dan sampai 5 m di beberapa lokasi.

    Selama tahun 2007-2008, sebuah konsensus untuk menyelamakan Tripa muncul. BPKEL (Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser Wilayah Aceh, instansi yang berwewenang dalam pengelolaan KEL), DPD-NAD, UNEP, UNESCO, IUCN dan juga Gubernur NAD, masing-masing telah memberikan surat untuk mendukung penyelamatan dan rehabilitasi ketiga hutan rawa di pesisir NAD, termasuk rawa Tripa.

    Pada harian KOMPAS terbitan Mei 2008, BPKEL menyebutkan kecurigaannya mengenai status legalitas perkebunan di Tripa. Kemudian pada tanggal 20 Juni 2008, sebuah koalisi antara beberapa LSM yang bergerak dalam sektor sosial dan lingkungan (Eye on Aceh, Sawit Watch, Greenpeace Asia Tenggara, Fauna dan Flora Internaional, Yayasan Leuser Internasional, PanEco Foundation, OXFAM dan Yayasan Ekosistem Lestari) mengirimkan surat kepada PT. Astra Agro Lestari, salah satu konsesi yang masih memiliki tutupan hutan primer yang sangat luas di Tripa untuk menjelaskan kegiatan dan tujuanya di Tripa.

    Walaupun konsensus penyelamatan Tripa sudah dibangun, namun intervensi serius di lapangan masih memerlukan koalisi yang lebih kuat untuk menghasilkan solusi yang efektif. Mewujudkan nilai jasa lingkungan Tripa sebagai skenario alternatif dari kepunahannya

    YEL/PanEco sedang berupaya untuk meningkatkan kapasitas di tingkat lokal dan propinsi untuk mewujudkan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan di tanah mineral yang sesuai dengan prinsip dan kriteria RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Langkah ini sangat potensial untuk mengurangi tekanan terhadap Tripa dan rawa gambut lain melalui peningkatan dan pengembangan sektor pertanian dan perkebunan ramah lingkungan.

    UNEP dan ICRAF menyetujui untuk membantu memfasilitasi pengembangan sertifikat perdagangan karbon di wilayah Tripa. Sistem perdagangan karbon melalui pasar karbon hutan melalui konsep REDD (pegurangan emisi karbon dari perusakan hutan dan degradasi lahan) merupakan peluang besar yang berpotensi sangat tinggi bagi kesejahteraan masyarakat setempat.

    Pada konferensi mengenai perubahan iklim (COP 13, 2007) di Bali, Gubernur NAD menjadi salah satu pemimpin dunia dalam konteks penyelamatan hutan yang memiliki manfaat berkelanjutan terhadap masyaraat lokal. Beliau menandatangani Deklarasi Hutan Sekarang (Forests Now Declaration) yang bertujuan menjaga hutan hujan tropis melalui sistem perdangan karbon dan biaya untuk penyelamatannya. Oleh karena Tripa merupakan stok karbon terbesar di NAD yang belum dilindungi saat ini, sementara itu Tripa berperan sangat penting bagi masyarakat setempat dan juga memiliki keanekaragaman hayati begitu tinggi, penyelamatan dan restorasinya merupakan kegiatan nyata dan terpenting yang perlu dilakukan. Informasi tambahan Di website PanEco www.paneco.ch terdapat berberapa dokumen, presentasi, foto dan film tentang situasi di Tripa.

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 4 of 26

    Daftar isi Pendahuluan ................................................................................................................... 5 1. Kondisi Tripa ......................................................................................................... 6

    1.1. Lokasi .............................................................................................................. 61.2. Penduduk ......................................................................................................... 71.3. Parameter Fisik (geologi, tanah dan iklim) ..................................................... 8

    1.3.1. Geologi dan tanah .................................................................................... 81.3.2. Iklim ......................................................................................................... 9

    1.4. Jenis Vegetasi ................................................................................................ 10 2. Kerusakan Tripa ................................................................................................... 10 3. Jasa ekosistem Tripa dan dampak kerusakan ....................................................... 13

    3.1. Simpanan karbon Tripa dan kecenderungannya ........................................... 133.2. Peran Tripa pada pengurangan bencana dan kecenderungannya .................. 153.3. Nilai keanekaragam hayati Tripa dan kecenderungannya ............................. 19

    4. Intervensi yang dilakukan dan direncanakan untuk penyelamatan Tripa ............ 21 5. Konsensus pentingnya penyelamatan kawasan Tripa .......................................... 23 6. Kelemahan yang berkaitan dengan program dan cara penanggulangannya ........ 24

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 5 of 26

    Pendahuluan

    Bencana tsunami tahun 2004 menyebabkan kerusakan luar biasa dan mengakibatkan korban jiwa yang sangat besar di Aceh, lebih dari 150.000 orang meninggal dan hilang, lebih dari 500.000 orang kehilangan tempat tinggal, 127.000 rumah hancur dan sejumlah yang hampir sama rusak, 230 km jalan rusak berat atau hilang1, lebih dari 37.500 ha lahan rusak2 dan sekitar 90% terumbu karang dan hutan mangrove rusak atau musnah. . Walaupun demikian, hutan rawa gambut di Pantai Barat Aceh (Tripa, Singkil dan Kluet) berperan sangat efektif sebagai penyangga (Benteng) alami yang melindungi daratan dari ancaman dari laut. Selain itu, hutan rawa gambut merupakan penyedia kebutuhan dan jasa lingkungan yang tak ternilai baik untuk masyarakat lokal maupun global, khususnya sebagai penyimpanan karbon, tangkapan air tawar dan kawasan konservasi keanekaragaman hayati Jasa lingkungan dari ekosistem seperti ini sangat jarang diketahui dan disadari oleh banyak pihak. Tetapi jika hutan rawa dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit seperti yang berlangsung saat ini di hutan rawa Tripa, maka jasa lingkungan tersebut akan hilang. Laporan ini memberikan gambaran tentang nilai lingkungan dari rawa Tripa dan juga dampak kerusakan yang dapat terjadi baik kepada masyarakat setempat maupun masyarakat global. Laporan ini juga menyoroti aktifitas yang tengah berlangsung dan aktifitas yang seharusnya dilakukan yaitu menghentikan kegiatan yang sekarang dan mengembalikan Hutan Tripa seperti semula serta mendiskusikan pelajaran berharga yang didapat sampai sekarang ini.

    1 Rebuilding a Better Aceh and Nias, World Bank Report, June 2005 2 Special Report FAO/WFP Mission to Banda Aceh (Indonesia), December 2005

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 6 of 26

    1. Kondisi Tripa

    1.1. Lokasi Hutan rawa gambut Tripa (selanjutnya disebut Tripa) memilki luas sekitar 61,803 hektar berada di pantai barat propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (selanjutnya disebut Aceh). Aceh berada di bagian ujung utara pulau Sumatra, Indonesia, dan merupakan daerah paling parah akibat bencana Tsunami tahun 2004.

    Gambar 1. Propinsi Aceh (NAD) di Indonesia

    Aceh masih mempertahankan hutan hujan terluas dan kondisinya sangat baik di pulau Sumatera, hamparan hutan hujan tropis ini memanjang dari utara ke selatan, dari dekat kota Banda Aceh sampai ke Sumatera Utara. Formasi hutan tersebut meliputi Bukit Barisan dan berfungsi bagaikan tulang punggung bagi pulau Sumatera. Di Aceh, hutan pegunungan bukit barisan ini tercakup dalam dua bagian tetapi menghubungkan kedua ekosistem yang ada, yaitu Ekosistem Ulu Masen bagian Barat laut dan Ekosistem Leuser yang merentang dari bagian tengah dan selatan Aceh sampai ke provinsi Sumatra Utara. Hutan Rawa gambut Tripa berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser, secara geografis berada pada lintang Utara 374' dan 394' , dan bujur Timur 9638' dan 9670'. Secara alamiah dibatasi oleh sungai Tripa/Krueng Tripa (juga disebut krueng Lamie), disebelah Barat-Daya dan Selatan dibatasi oleh Lautan India, dan di sebelah Timur dibatasi oleh sungai Batee/krueng Batee. Tripa merupakan salah satu dari tiga hutan rawa gambut yang cukup besar dan signifikani di Pantai Barat Aceh, dua hutan rawa gambut lainnya rawa Kluet (luas sekitar 18.000 hektar), dan rawa Singkil (luas sekitar 100.000 hektar). Ketiga hutan rawa gambut ini merupakan formasi hutan rawa yang hanya berada di bagian pantai Barat pulau Sumatra

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 7 of 26

    1.2. Penduduk Aceh memiliki populasi penduduk sekitar 4.03 juta jiwa3. Total luas wilayah daratan Aceh sekitar 5.5 juta ha, dan sekitar 3.3 juta ha adalah kawasan yang masih berhutan. Aceh memiliki kekayaan sumber daya alam yang besar termasuk minyak, gas alam, kayu, dan beberapa bahan mineral. Minyak dan gas alam menyumbang 15 - 20% dari total produksi Indonesia dan sebesar 43% dari Produk Domestik Kotor Regional Aceh (RGDP), produk pertanian (minyak sawit, perikanan, peternakan, dll) memenuhi sepertiga dari RGDP ini. Walaupun begitu , kontribusi minyak dan gas kepada RGDP Aceh sedang menurun cepat. Walau memiliki kekayaan alam yang besar, namun Aceh merupakan salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Hampir 50 persen masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan4. Pada tahun 2002, 48% dari populasi masyarakat tidak mempunyai akses untuk mendapatkan air bersih, 38% tidak mendapat pelayanan fasilitas kesehatan5 dan 36% anak-anak di bawah usia lima tahun memiliki gizi yang kurang baik. Lagipula sebelum bencana Tsunami 2004 dan persetujuan damai pada Agustus 2005, masyarakat mengalami kesulitan pencaharian akibat konflik berkepanjangan selama hampir tiga puluh tahun antara gerakan separatis Aceh (GAM-Gerakan Aceh Merdeka) dan pemerintah pusat Republik Indonesia, atas ketidak-adilan dalam pembagian keuangan atas hasil sumberdaya alam. Persetujuan damai bulan Agustus 2005 memberikan suatu kesempatan yang baik untuk Aceh. Dengan disahkannya Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 oleh DPR, maka Aceh memiliki kewenangan untuk mengatur pemerintahannya sendiri dalam kerangka desentralisasi dan otonomi khusus. Pada bulan Desember 2006, dilakukan pemilihan langsung kepala daerah secara demokratis sehingga Gubernur terpilih memiliki kekuatan yang besar karena dipilih langsung oleh masyarakat, begitu pula untuk Bupati dan Walikota. Provinsi ini terbagi dalam 21 kabupaten. Dua diantaranya, yaitu Nagan Raya dengan penduduk berjumlah 63,640 jiwa dan Aceh Barat Daya dengan jumlah penduduk 113,929 jiwa, merupakan kabupaten yang wilayah administratifnya merupakan bagian dari hutan rawa Tripa. Kedua daerah ini di batasi oleh Krueng Seamanyam yang alirannya berada tepat di tengahhutan rawa gambut tripa tersebut. Sekitar 12 perkampungan berada di dalam daerah hutan rawa gambut Tripa. Desa-desa seperti Kuala Seumayan, Alue Kuyun dan Pulo Kruet adalah desa-desa yang telah lama eksis yang keberadannya mengikuti aliran sungai yang membelah rawa. Sedangkan perkampungan/desa-desa lainnya baru terbentuk setelah tahun 1990-an, sebagai lokasi yang diperuntukkan bagi program transmigrasi, dengan tujuan untuk menyediakan buruh bagi perkebunan kelapa sawit. Desa-desa ini kemudian disebut Trans yang posisinya berada disekitar perkebunan kelapa sawit. Secara keseluruhan, hampir seribu orang berada di Tripa saat ini, namun tidak satupun berada i daerah yang masih berhutan.

    3 Aceh population census 2005, Badan Pusat Statistik Central Statistic Agency. 4 Indikator untuk distribusi dana Bantuan Langsung Tnai (BLT) program kompensasi BBM, Badan Perencanan Pembangunan (Bappeda) Provinsi NAD, 2006. 5 Aceh: Peacemaking after the Tsunami, World Watch Institute 2006.

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 8 of 26

    Gambar 2. Pendudukan local di kawasan Tripa

    1.3. Parameter Fisik (geologi, tanah dan iklim)

    1.3.1. Geologi dan tanah Tripa terdiri dari tiga kubah gambut6 yang berada di atas lapisan tanah liat. Kubah gambut yang dipisahkan dua sungai (Krueng Seuneuam dan Krueng Seamanyam) memotong area dari arah Timur Laut hingga ke Barat Daya. Seperti lahan gambut lainnya, kedalamannya sangat bervariasi dan tidak tersebar secara merata di tiap-tiap kubah. Asesmen lahan gambut bersama yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Tanah-Bogor, ICRAF World Agroforestry Centre, PanEco, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) di Aceh menunjukkan kedalaman lahan gambut bervariasi mulai dari 1 meter hingga 5,05 meter7.

    Kedalaman gambut di Tripa umumnya lebih dari 3 meter, berdasarkan penelitian pada November 2007.

    Gambar 3. Pendataan kedalaman gambut di kawasan Tripa

    6 Wahyunto, Ritung S., and Subagjo H. 2003. Map of peatland Distribution Area and Carbon Content in Sumatra. Wetlands International-Indonesia Program and Wildlife Habitat Canada (WHC) 7 Agus F. and Wahdini W., 2008, Assessment of carbon stock of peat land at Tripa, Nagan Raya district, Nanggroe Darussalam Province of Indonesia, Indonesian Centre for Agricultural Land Resources Research and Development

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 9 of 26

    Kerjasama dengan Departemen GIS Yayasan Leuser Internasional dalam mengolah hasil pengumpulan data bersama pada November 2007 dikombinasikan dengan peta tahun 20038 menghasilkan contoh peta terperinci seperti yang terlihat pada gambar 3.

    Gambar 4. Pendugaan kedalaman gambut pada 3 lokasi di kawasan Tripa (YEL, PanEco dan Leuser International Foundation, 2007)

    1.3.2. Iklim Iklim di Aceh merupakan iklim tropis dengan tingkat kelembaban tinggi (80-90%) dengan suhu rata-rata 25-27 C sepanjang tahun. Sejajar dengan permukaan laut, temperatur tahunan di Tripa sekitar 26 C9 dan tingkat kelembabannya lebih tinggi hingga lebih dari 90%. Kecepatan angin pada umumnya rendah, berkisar antara 1.5. 2.5 m/detik, namun di daerah pesisir kecepatan angin tercatat lebih tinggi10. Berdasarkan jangka waktu musim kemarau dan musim penghujan, Aceh terbagi menjadi 11 jenis curah hujan (gbr. 5). Tripa berada pada kelas A dengan curah hujan diatas 200mm setidaknya selama 9 bulan berturut-turut. Bulan Agustus biasanya merupakan satu-satunya bulan yang paling kering. Kelas A mewakili kondisi paling basah di Aceh yang disebabkan hembusan angin dari Samudera Indonesia/Samudera Hindia dan cuaca mikro yang dihasilkan

    8 Wahyunto, Ritung S., and Subagjo H. 2003. Map of peatland Distribution Area and Carbon Content in Sumatra. Wetlands International-Indonesia Program and Wildlife Habitat Canada (WHC) 9 Binnie & Partners, 1986, Inventory of Water Resources Schemes Volume 2 Existing Situation. Aceh Design Unit Provincial Water Resources Development Plan Binnie and Partners Ltd. With Hunting Technical Survey Ltd. And Hunting Surveys Ltd. Ministry of Public World, General Directorate of Water Resources Development, Directorate of Planning and Programming, Jakarta 10 IWACO. 1993a. Study of water resources for allocation of water supply for D. I. Aceh Province kabupaten Aceh Barat Daya.

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 10 of 26

    oleh lahan gambut itu sendiri. Curah hujan rata-rata pertahun di bagian pesisir barat dimana Tripa berada berjumlah antara 3.000mm sampai 5.000mm. (Binnie & Partners, 1986)

    Gambar 5. Zonasi tingkat curah hujan di Sumatera bagian Utara (Source: Oldeman et al. 1979)11

    1.4. Jenis Vegetasi Aceh mendukung keberadaan beragam jenis hutan dikarenakan kondisi geologinya yang kompleks, jenis cuaca, cakupan lahan dan ketinggiannya pada permukaan bumi. Tripa sendiri merupakan jenih lahan gambut pada umumnya karena lapisan gambut yang meliputinya lebih dari kedalaman 0.5 meter, dengan pengecualian di sepanjang tepian sungai. Jenis-jenis pohon utama yang ada di area lahan gambut adalah keluarga Euphorbiaceae, Myrtaceae, Lauraceae, Clusiaceae, Rubiaceae dan Dipterocarpaceae. Jenis Pandanaceae sering membentuk suatu lapisan bawah yang padat; pteridofit dan Nepenthaceae (kantong semar) yang makan serangga juga terdapat12.

    2. Kerusakan Tripa

    Sepanjang 1990's lima perusahaan kelapa sawit berskala besar mulai beraktivitas di rawa Tripa, yaitu PT. Gelora Sawita Makmur, PT. Kallista Alam, PT. Patriot Guna Sakti Abadi II, PT. Cemerlang Abadi dan PT. Agra Para Citra. Pada tahun 2007, PT. Astra Agro Lestari

    11 Oldeman, L.R., Las I., and Darwis S. N, 1979, An agroclimatic map of Sumatra, Contributions Central, Research Institute for Agriculture, Boghor 52 (1979): 35 12 Laumonier Y., 1997, The vegetation and physiography of Sumatra, Kluwer Academic.

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 11 of 26

    mengambil alih konsesi PT. Agra Para Citra. Perusahaan-perusahaan ini mempunyai konsesi seluas 5.000 ha sampai 14.000 ha, dan secara bersama-sama kelima perusahaan tersebut memakan hampir semua lahan gambut yang ada (figur 6). Antara tahun 1994-1999 sekitar 40% hutan rawa Tripa sudah di tebang dan di bersihkan. Setelah tahun 1999, ketika terjadi konflik bersenjata di Aceh, penebangan hutan dan pembersihan lahan berhenti dan perusahaan-perusahaan yang aktif meninggalkan lahan konsesinya. Beberapa tahun kemudian, di areal yang dibersihkan tersebut kembali muncul semak belukar dari anakan hutan yang secara alami beregenerasi.

    Gambar 6. Konsesi perkebunan kelapa sawit dalam kawasan Tripa data bulan Mei 2008 (garis hijau adalah batas KEL)

    Sebagai hasil persetujuan damai antara GAM dan pemerintah RI pada tahun 2005, dan proses rehabilitasi dan rekonstruksi aceh pasca tsunami, kondisi Aceh semakin kondusif dan kesempatan ini dimanfaatkan oleh beberapa perusaan perkebunan kembali memulai aktivitasnya di Tripa. Pada bulan Agustus 2007, Gubernur Aceh mengeluarkan peraturan moratorium logging (jeda tebang) untuk seluruh hutan di Aceh, tetapi beberapa perkebunan kelapa sawit, terutama P.T. Astra Agro Lestari dan P.T. Kallisata Alam, tetap saja melakukan pembukaan hutan primer di areal konsesinya untuk persiapan lahan tanam. Keadaaan ini sangat mengkhawatirkan, karena areal konsesi kedua perusahaan ini merupakanan kawasan gambut dalam dan areal hutan primernya merupakan penyedia utama jasa-jasa lingkungan tidak ternilai (nilai keanekaragaman hayati, stok karbon untuk kesetimbangan iklim dan benteng daratan dari resiko ancaman dari laut).

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 12 of 26

    Gambar 7. Sebuah pondok penebang liar dalam konsesi PT. Kalista Alam di kawasan Tripa, Nop 2007

    Sebagai hasil dari interprestai citra satelit dan pengecekan lapanagn pada bulan November 2007, total sisa hutan saat ini di Tripa adalah 31,410 ha, yang merupakan sekitar 51% dari keseluruhan tutupan hutan rawa pada awal tahun 1990-an. Total areal yang benar-benar ditanami kelapa sawit hanya sekitar 17.820 ha dan areal pengunaan lain-lainnya seluas 12.753 ha. Areal penggunaan lainnya umumnya merupakan lahan pertanian dan kebun-kebun kecil yang ditanami oleh masyarakat sekitar di sepanjang daerah aliran sungai.

    Gambar 8. Tutupan Lahan kawasan Tripa data Nopember 2007 Interpretasi citra satelit Tripa juga menyediakan informasi berharga untuk memgambarkan tingkat kerusakan hutan secara historis, suatu interpretasi dasar yang sangat penting. Analisa citra menunjukkan laju pengurangan hutan sebesar 5.813 ha per tahun antara tahun 1993-1998, dimana rentang waktu tersebut perusahaan kelapa sawit sudah memulai aktivitasnya sebelum muncul konflik bersenjata di Aceh. Berdasarkan kecenderungan ini, kita dapat memprediksikan bahwa semua hutan yang tersisa akan hilang/dimusnahkan selama kurang dari lima tahun. Hal ini juga terlihat realistis dengan kondisi dan situasi saat ini di Aceh. Walaupun moratorium penebangan hutan sedang diberlakukan, permintaan pasar minyak

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 13 of 26

    sawit untuk bahan bakar nabati tumbuh sangat cepat dan meningkatkan tekanan untuk pembangunan kebun kelapa sawit baru.

    3. Jasa ekosistem Tripa dan dampak kerusakan

    3.1. Simpanan karbon Tripa dan kecenderungannya Pada bulan November 2007, suatu asesmen lapangan untuk menghitung jumlah karbon yang tersimpan baik di atas maupun di bawah permukaan tanah melalui metode asesmen yang dikembangkan oleh ICRAF13. Dari hasil asesmen ini diperoleh seberapa besar jumlah karbon tersimpan di hutan rawa gambut Tripa. Cadangan karbon pada tanah gambut (sekitar 1.300 ton/ha) jauh lebih besar daripada cadangan karbon yang terdapat pada vegetasi di atas tanah (sekitar 110 ton/ha). Sebenarnya hampir tidak mungkin untuk memberikan sebuah nilai pasti terhadap cadangan karbon dalam tanah karena struktur dan kedalamannya sangat bervariasi dari satu lokasi ke lokasi lainnya.Walupun begitu, estimasi jumlah karbon total yang tersimpan di hutan rawa gambut Tripa berdasarkan analisis bulan November 2007 diperkirakan sebesar 50 sampai 100 juta ton karbon tersimpan di seluruh kawasan ini. Barangkali, lebih mudah untuk menilai dan meramalkan, berapa jumlah karbon yang terlepas ke atmosfer jika dilakukan penebangan hutan, drainase, dan ditanami kelapa sawit atas lahan gambut. Karbon akan lepas jika hutan ditebang, berakibat dari kehilangan tumbuhan dan pohonsaat logging. Tetapi jauh lebih banyak dilepaskan oleh karena degradasi tanah gambut itu sendiri. Jumlah emisi karbon yang dihasilkan dari degradasi gambut (pembakaran, drainase dan oksidasi) di Indonesia secara seluruhnya menyebabkan Negara ini menempati peringkat ketiga di dunia sebagai Negara penghasil emisi gas rumah kaca setelah Amerika dan China14. Saat hutan di rawa gambut di bersihkan, tanah gambut akan terbuka (tidak tertutup tajuk hutan) dan akan mengalami kekeringan oleh matahari, dan biasanya dilakukan pembakaran untuk membersihkan lahan dari sisa semak belukar yang ada. Emisi yang dihasilkan dari pembakaran hutan gambut mencapai 50-100 ton karbon per ha15 16 sampai setinggi 300 ton karbon per ha17. Sesuai dengan tujuan laporan ini, nilai yang digunakan adalah konservatif sebesar 50 ton karbon per ha. Sebenarnya, assesmen pada November 2007 ini mendapatkan bahwa satu hektar hutan primer di Tripa dengan selapis gambut sedalam 12.6 cm akan melepaskan 50 ton karbon, dan penting di ingat bahwa mayoritas gambut di Tripa sebenarnya lebih dari 12.6 cm.

    13 Hairiah K. and al, 2001, Kurniatun Hairiah, SM Sitompul, Meine van Noordwijk and Cheryl Palm. Methods for sampling carbon stocks above and below ground ASBLecture Note 4B. ICRAF. Dec. 2001, 32 p. 14 Hooijer, A.,Silvius, M., Wosten H. And Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943. 15 Page, S. E., Rieley, J. O., Bhm, H.-D. V., Siegert F. and Muhamad, N. Z. (2000) Impact of the 1997 fires on the peatlands of Central Kalimantan, Indonesia, in: Proceedings of the 11th International Peat Congress, Quebec, Canada. International Peat Society, 962 970. 16 Siegert, F., Boehm, H.-D. V., Rieley, J. O., Page, S. E., Jauhiainen, J., Vasander, H. and Jaya, A. (2002) Peat fires in Central Kalimantan , Indonesia.: fire impacts and carbon release. In: J.O. Rieley, and S. E. Page, with B. Setiadi,(Eds.), Peatlands for People: Natural Resource Functions and Sustainable Management, Proceedings of the International Symposium on Tropical Peatland, 22-23 August 2001, Jakarta, Indonesia. BPPT and Indonesian Peat Association, 142 154. 17 Page, S. E., Siegert, F., Rieley, J. O., Boehm, H.-D. V., Jaya, A. and Limin, S. (2002) The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997, Nature, 420: 61 65.

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 14 of 26

    Gambar 9: Kebakaran di hutan rawa Tripa, Juli 2006

    Walaupun pembakaran telah selesai, pelasapan karbon di gabut akan tetap berlangsung. Perkebunan kelapa sawit umumnya membutuhkan drainase setidaknya 80 cm untuk syarat penanaman kelapa sawit, dan untuk itu dibangun saluran untuk menurunkan muka air gambut di seluruh areal perkebunan. Turunnya permukaan air tanah akan menyebabkan gambut kering, proses ini akan menyebabkan oksidasi gambut dan melepaskan karbon dioksida ke atmosfir. Berdasarkan data hasil penelitian beberapa peneliti yang dirangkum, menunjukkan bahwa jika permukaan air tanah gambut turun sebesar 80 cm akan menghasilkan emisi sebesar 20 ton karbon per ha per tahun18. Berikut ini adalah skenario paling konservatif, dimana degradasi hutan, pembakaran gambut dan oksidasi gambut di Tripa akan melepas sekitar 33 juta ton karbon untuk masa 30 tahun kedepan (sampai tahun 2038). Dua pertiga dari emisi karbon ini dihasilkan oleh konsesi perkebunan kelapa sawit yang melakukan aktivitas di hutan rawa gambut yang masih tersisa (figur 10), sebagai hasil dari pembersihan vegetasi hutan, pembakaran dan oksidasi gambut oleh perusahaan perkebunan yang melakukan aktivitas. Sisanya sebesar sepertiga emisi karbon dihasilkan oleh oksidasi gambut dari perkebunan kelapa sawit yang telah ditanami.

    Perkiraan emisi karbon di rawa gambut Tripa

    0

    5,000,000

    10,000,000

    15,000,000

    20,000,000

    25,000,000

    30,000,000

    35,000,000

    1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29

    2008-2037

    Kar

    bon

    (ton)

    Emisi karbon dariperkebunan kelapa sawityang akan dibangun

    Emisi karbon dari pekebunankelapa sawit yang telah ada

    Gambar 10. Pendugaan emisi karbon dari kawasan Tripa

    18 Hooijer, A.,Silvius, M., Wosten H. And Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943.

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 15 of 26

    Walaupun setelah seluruh areal konsesi telah ditanami dan perusahaan perkebunan beroperasi secara penuh (diramalkan pada tahun 2015, kecuali jika mereka dapat dihentikan sekarang), emisi karbon dari Tripa masih dapat mencapai sekitar satu juta ton per tahun, sebagai dampak dari proses drainase yang masih berlangsung yang menghasilkan oksidasi.

    3.2. Peran Tripa pada pengurangan bencana dan kecenderungannya Tripa (dan juga rawa gambut Kluet dan Singkil), bertindak sebagai suatu ekosistem alami yang sangat efisien untuk pencegahan dan mengurangi dampak ancaman dari bencana alami. Tripa berfungsi sebagai pelindung alami dari bencana seperti tsunami. Keberadaan sisa hutan rawa gambut Tripa di pantai barat Aceh terbukti meredam dampak tsunami tahun 2004, dimana gelombang yang mencapai daratan tidak terlalu jauh dan dipecahkan oleh formasi hutan yang tersisa, walaupun secara pasti sulit untuk mengukur keadaan sebenarnya. Peran hutan rawa gambut Tripa sangat penting untuk melindungi daratan dari bencana tsunami yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang, dengan mencegah orang-orang untuk membuka dan menduduki daerah berbahaya di sepanjang pantai. Sebagai hasil langsung dari keberadaan rawa Tripa di pantai barat Aceh sebagai pelindung dari dampak tsunami 2004, dan begitu pula untuk rawa Kluet dan Singkil. Pembangunan perkebunan kelapa sawit akan mendorong permbukaan hutan yang lebih luas terhadap sisa hutan yang ada, kebutuhan tenaga kerja untuk perkebunan, pendatang baru sebagai dampak dari pembukaan kawasan yang kurang lebih akan tergantung dari aktifitas ekonomi perkebunan kelapa sawit. Pada akhirnya akan semakin banyak orang yang akan menduduki areal ini yang sebenarnya sangat beresiko terhadap bencana tsunami yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang. Pemukiman penduduk di areal ini sangat beresiko dimasa mendatang. Mengenali peran penting dari hutan-hutan pantai seperti Tripa dalam melindungi masyarakat di belakangnya, Master plan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi regional Aceh dan Nias disetujui oleh otoritas dan masyarakat Indonesia pada tahun 2005, dimana ditekankan pentingnya hutan-hutan pantai dan pengusulan pengembangan suatu daerah penyangga atau jalur hijau untuk memulihkan kemampuan pendukung lingkungan yang membutuhkan persyaratan pembangunan sehingga kondisinya akan jauh lebih baik dari kondisi saat ini. Ekosistem Tripa melindungi masyarakat dari kerusakan dan bahaya banjir. Aliran sungai di Tripa berasal dari pegunungan Bukit Barisan menuju laut. Di musim penghujan, secara alami hutan rawa gambut berfungsi sebagai areal resapan air, sehingga mencegah terjadinya banjir. Dengan adanya ekspansi perkebunan kelapa sawit, banjir yang biasanya terjadi setahun sekali menjadi semakin sering dan masyarakat semakin menderita. Dari hasil wawancara dengan masyarakat, mereka melaporkan bahwa sejak PT. Gelora Sawita Makmur membersihkan seluruh hutan di areal konsesinya, banjir semakin sering terjadi sejak tahun 2000.

    Gambar 11. Banjir di Tripa, Nopember 2007

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 16 of 26

    Ketiga, hutan primer di Tripa mencegah terjadinya kebakaran. Hutan rawa gambut Tripa merupakan suatu ekosistem yang stabil. Memiliki tingkat kelembaban yang tinggi (lebih dari 90%), memelihara suhu udara yang konstan sekitar 25-26 C. Tumbuh-tumbuhan yang subur dan kompak menghasilkan produktivitas yang optimal. Dengan pembersihan hutan dan pengeringan gambut , menyebabkan temperatur udara menjadi tinggi dan kelembaban menurun (lihat figur 12). Pegeringan gambut sisa biomassa tegakan setelah penebangan menjadi ancaman serius bagi terjadinya kebakaran lahan. Lagipula, kondisi ini akan semakin buruk di musim kemarau menjadi lebih panjang dan lebih panas akibat hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur iklim mikro lokal.

    Kenaikan temperatur udara yang drastis di areal tebangan, saat kelembabah udara menurun. Areal tebangan di Tripa, 14 November 2007

    34

    35

    36

    37

    38

    39

    40

    41

    42

    43

    44

    9:30 10:30 11:30 12:10

    Tem

    pera

    tur (

    C)

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    Kel

    emba

    ban

    (%)

    TemperaturKelembaban

    Gambar 12. Kenaikan cepat temperature lingkungan pada daerah paska penebangan di Tripa Tripa berperan penting dalam menjamin ketahanan pangan dan air untuk masyarakat lokal. Rawa secara alami menyimpan air dan berfungsi sebagai suatu reservoir air tawar penting untuk pertanian dan kebutuhan-kebutuhan domestik sepanjang musim kemarau. Rawa juga berfungsi sebagai tempat pemijahan benih ikan, ikan air tawar penting yang menternakkan alasan-alasan, ikan air tawae yang berisi[kan satu bagian terbesar makanan masyarakat lokal dan sumber utama protein di daerah ini. Tripa juga menyediakan kayu untuk konstruksi dan kayu bakar, dan produk-produk hutan non-kayu seperti rotan, madu, tumbuhan obat dan lain-lain.

    Gambar 13. Penduduk local dan Gambar 14. Aliran air dalam saluran ikan dari rawa gambut drainase. Drainase perkebunan kelapa sawit mengalirkan air tanah ke laut sampai batas tertentu yang dapat merusak fungsi tatanan air dan mengakibatkan kemarau di musim kering. Mengenai

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 17 of 26

    keamanan makanan, perkebunan kelapa sawit mempunyai efek yang dramatis, karena perkebunan kelapa sawit menggunakan system monokultur. Beberapa jenis ikan akan dapat melanjutkan hidupnya dan tinggal di saluran air (kanal), namun kondisi tersebut akan jauh lebih baik bila keberadaannya didalam ekosistem hutan rawa gambut yang alami, seperti kanal yang tidak tertutup. Semua persediaan makanan, satwa dan tumbuhan akan hilang bersama dengan penebangan hutan untuk kayu konstruksi dan bahan bakar, dan begitu pula untuk kekayaan hasil hutan bukan kayu.

    Gambar 15. Rel kayu, untuk pemindahan kayu dalam areal konsesi Tripa mengendalikan garis pantai, pencegahan intrusi air laut ke daratan, dan melindungi produktivitas pertanian. Tentu saja, hutan rawa gambut berfungsi sebagai pengatur tata air. Kubah gambut ini memelihara permukaan air di bawah tanah dan mencegah intrusi air laut ke dalam rawa itu sendiri, dan ke dalam lahan-lahan pertanian skala kecil serta sumur-sumur sumber air minum penduduk di pemukiman sekitarnya. Dengan pembagunan saluran drainase untuk mengeringkan gambut oleh perkebunan, gambut akan menjadi kering, teroksidasi dan menyusut yang mengakibatkan turunya permukaan tanah gambut (subsidensi). Subsidensi sekitar 5 cm/tahun, dalam skenario paling konservatif19 20 21. Subsidensi di dekat pantai merupakan ancaman serius dari air laut yang asin dan akan mengancam produktivitas pertanian, termasuk perkebunan kelapa sawit itu sendiri. Bila kita menimbang kembali tentang ramalan naiknya permukaan air laut dalam beberapa dekade mendatang, kondisi Tripa yang mengalami subsidensi, akan meningkatkan potensi kerusakan seperti tsunami, bahkan akan menghilangkan daratan itu sendiri serta semua infrastuktur dan masyarakat yang bergantung pada Tripa.

    19 Hooijer, A.,Silvius, M., Wosten H. And Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943. 20 Brady, M. A. (1997) Effects of Vegetation Changes on Organic Matter Dynamics in Three Coastal Peat Deposits in Sumatra, Indonesia. In: J.O. Rieley & S.E. Page, Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Proceedings of the International Symposium on Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and Peatlands. Palangka Raya, Indonesia, 4-8 September 1995. Samara Publishing Limited, Cardigan, UK, 113-134. 21 Wsten, J. H. M. and Ritzema, H. P. (2002) Challenges in land and water management for peatland development in Sarawak. In: J.O. Rieley, and S. E. Page, with B. Setiadi,(Eds.), Peatlands for People: Natural Resource Functions and Sustainable Management, Proceedings of the International Symposium on Tropical Peatland, 22-23 August 2001, Jakarta, Indonesia. BPPT and Indonesian Peat Association, 51 55

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 18 of 26

    Gambar16. Penurunan permukaan gambut dan emisi CO2 akibat drainase, seperti yang biasa dilakukan pada perkebunan kelapa sawit (Hooijer A et al, 2006).

    Gambar 17 menunjukkan skenario paling konservatif (menggunakan 5cm per tahun) dari penyusutan tanah gambut (subsidensi) dalam kaitan dengan perkebunan kelapa sawit. Figur ini sangat mengejutkan. Ketebalan tanah gambut di perkebunan kelapa sawit akan menyusut sampai 1,5 meter dalam waktu 30 tahun mendatang, diareal yang saat ini hanya sedikit lebih tinggi di atas permukaan laut.

    Perkiraan penurunan ketebalan gambut tahun 2008-2037

    0.0

    20.0

    40.0

    60.0

    80.0

    100.0

    120.0

    140.0

    160.0

    180.0

    Tahun 2008-2037

    penu

    run

    an k

    eteb

    ala

    n ga

    mbu

    t (cm

    )

    Oksidasi-pemadatanKebakaran

    Gambar 17. Kehilangan ketebalan gambut dalam kawasan Tripa yang diprediksikan tahun 2008 - 2037

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 19 of 26

    Tripa berperan mengendalikan iklim lokal, terutama temperatur dan curah hujan yang sangat potensial bagi pertanian di areal tersebut. Ironisnya, keberadaan ekosistem rawa gambut Tripa mempunyai pengaruh yang pantas dipertimbangkan dalam mengendalikan iklim lokal, keadaan iklim yang optimal ini sangat penting untuk mendukung produktivitas kelapa sawit yang berada pada tanah mineral disekitar hutan rawa gambut. Menurut P.T. Socfin Indonesia yang memiliki HGU di tanah-tanah mineral, produksi kelapa sawit di tanah mineral tercatat paling tinggi di daerah ini. Tripa memainkan peran penting dalam kontribusi optimali Aceh untuk mengurangi perubahan iklim global. Ekosistem rawa gambut Tripa yang stabil berfungsi menyimpan karbon secara perlahan dalam jangka waktu ribuan tahun. Keberadaan perkebunan kelapa sawit di daerah ini akan menghilangkan fungsi alami rawa gambut Tripa sebagai penyimpan cadangan karbon, bahkan sebaliknya Tripa akan melepaskan semua karbonya ke atmosfir akibat kegiatan konversi lahan dalam beberapa dekade.

    3.3. Nilai keanekaragam hayati Tripa dan kecenderungannya Hutan rawa gambut Tripa merupakan habitat bagi keanekaragaman hayati yang tidak ternilai harganya dengan flora dan fauna spesifik di lahan rawa basah yang beberapa diantaranya terancam punah. Tripa terletak pada hotspot keanekaragaman hayati global bernama Sundaland di Indonesia. Tripa merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser yang di tetapkan oleh Keputusan Presiden untuk nilai keanekaragaman hayatinya yang luar biasa. Kawasan Ekosistem Leuser meliputi Taman Nasional Gunung Leuser, dimana cagar biosfer ini diakui UNESCO sebagai Situs warisan dunia untuk hutan hujan tropis sumatra.

    Gambar 18. Peta Propinsi NAD yang menunjukkan lokasi ketiga hutan rawa gambut yang masih

    tersisa di KEL dalam arsiran hijau tua dan batas TNGL (garis kuning)

    Banjir yang terjadi pada musim penghujan membawa nutrisi yang sangat kaya bagi mendukung kelestarian keanekaragaman jenis tumbuhan dan ikan di daerah rawa ini. Hasilnya, Tripa adalah areal gambut berhutan yang bersambung pada pesisir Aceh dan sangat kaya flora dan fauna. Salah satu spesies yang paling terkenal dan terancam punah yang berada di Tripa adalah orangutan sumatera (Pongo abelii), salah satu spesies kera besar yang terpisah dan berbeda

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 20 of 26

    daripada Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Tentu saja, hutan rawa gambut di Pantai Barat Aceh (Tripa, Kluet dan Singkil) berisi populasi orangutan dengan kepadatan paling tinggi dibandingkan lokasi lain di dunia. Ketersediaan pakan yang melimpah dan lebih konsisten di hutan rawa dibandingkan dengan hutan pegunungan menyebabkan kepadatan orangutan di hutan rawa lebih tinggi, dan lebih suka hidup berteman antar individu. Tingkat sosial yang tinggi ini dibuktikan dengan meluasnya budaya penggunaan alat yang ditemukan di hutan rawa ini. Budaya penggunaan alat oleh orangutan di ketiga hutan rawa gambut di Pantai Barat Aceh ini belum pernah teramati di tempat lain di Sumatera atau pun di Kalimantan. Untuk jumlah, Rawa Tripa merupakan habitat bagi sekitar 280 orangutan atau sama dengan 4% dari populasi orangutan Sumatera di dunia saat ini, suatu populasi yang sangat penting (gambar 19). Selain itu rawa Tripa merupakan salah satu dari enam populasi yang layak sebagai habitat orangutan.

    Habitat Unit Jumlah % Pertengahan Aceh bagian Barat 103 1.55 Pertengahan Aceh bagian Timor 337 5.09 Leuser bagian Barat 2508 37.86 Leuser bagian Timor 1052 15.88 Sidiangkat 134 2.02 Rawa Tripa 280 4.23 Rawa Trumon-Singkil 1500 22.64 Rawa Singkil Timor 160 2.42 Batang Toru Barat 400 6.04 Sarula Timor 150 2.26 Jumlah 6624

    Gambar 19. Status terkini orangutan Sumatera, Wich et al., 200822

    Selain orangutan, terdapat dua jenis kera lain yang terdapat di Tripa, yaitu Siamang dan Owa bertangan putih (white handed gibbon). Primata lain yang terdapat di Tripa adalah kedih, lutung, kera ekor panjang, beruk serta kukang yang aktif dimalam hari. Harimau juga terdapat disini, dimana dia memangsa babi dan rusa (umumnya kijang dan rusa). Beruang madu sering terlihat dan kadang kadang juga macan tutul di wilayah ini. Buaya muara, ular phyton dan kura-kura besar adalah beberapa reptil luar biasa yang dapat ditemukan. Rawa ini juga sangat penting untuk habitat bagi beberapa amphibi dan burung langka. Bangau leher panjang, belibis (itik rawa), pedendang topeng adalah burung-burung langka yang hanya terdapat didaerah rawa. Banyak dari spesies ini masuk kedalam daftar merah IUCN yang berarti kondisinya terancam punah, dan sebagian besarnya merupakan jenis spesialis, yang hanya bisa hidup di hutan rawa basah. Hutan rawa ini sangat penting bagi tempat penyelamatan/pelestarian satwa-satwa tersebut. Perkebunan kelapa sawit dengan sistem monokultur sangat tidak sesuai dan mengancam keanekaragaman hayati yang berada di Tripa. Pembanguan kelapa sawit akan membuat keanekaragaman hayati tersebut punah. Sistem perkebunan kelapa sawit yang monokultur juga memotong koridor-koridor yang menyambungkan daerah-daerah rawa di bagian pantai Samudera Hindia dengan daerah pegunungan di dalam Kawasan Ekosistem Leuser, dampaknya pada jenis-jenis yang bermigrasi dan hilangnya iklim mikro yuang mengancam kehidupan spesies lokal dan juga lingkungan sekitarnya.

    22 Wich S. et al, 2008, The status of the orangutan: an overview of its current distribution. Oryx, in press

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 21 of 26

    Bagian yang menarik adalah regenarasi alami yang terjadi dihutan rawa Tripa selama terjadinya konflik bersenjata di Aceh menunjukkan perbaikan kondisi hutan secara alami dan populasi orangutan sangat dimungkinkan. Maka dapat disimpulkan sangat mungkin bagi hutan tripa untuk diselamatkan dan dapat diperbaharui, maka sekali lagi, daerah ini dapat mendukung sejumlah 1.000 sampai 1.500 populasi orangutan, seperti yang pernah ada pada awal tahun 1990-an. Jumlah populasi ini menunjukkan sebesar 20% dari populasi dunia.

    4. Intervensi yang dilakukan dan direncanakan untuk penyelamatan Tripa

    Pada Desember 2006, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan partner internasionalnya, Yayasan PanEco (selanjutnya disebut sebagai YEL/ PanEco), mengadakan suatu program yang tersebar luas yang disebut dengan Pemulihan dan perlindungan terhadap hutan rawa gambut hutan tropis terakhir di Pantai Barat Aceh sebagai bagian integral dari rekonstruksi Aceh, pengembangan ekonomi dan pengamanan pantai. Saat mengusulkan kegiatan-kegiatan untuk kawasan rawa yang terdiri Kluet, Singkil dan Tripa, sekitar 70% dari keseluruhan kegiatan berpusat pada Tripa untuk merehabilitasi dan menghentikan kerusakan atas tanah dan hutan di wilayah tersebut. Program ini dibangun dengan 2 tujuan utama yaitu peningkatan sistem pengelolaan lingkungan hidup dan membangun peluang mata pencaharian bagi masyarakat sekitarnya. Aktivitas pertama yang telah dibangun adalah mencari dukungan seluas-luasnya bagi penyelamatan Tripa dan mencari suatu titik temu di antara pihak terkait pada pentingnya program tersebut. Untuk itu dibutuhkan informasi yang akurat. Pada tahun 2006 dan 2007, YEL/PanEco mengembangkan peta satelit yang menjelaskan situasinya secara historis. Pada bulan November 2007, YEL/PanEco bekerja sama dengan dua institusi, ICRAF dan UNSYIAH (Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh), melakukan pengumpulan data secara luas mengenai jumlah simpanan karbon di kawasan Tripa. Hal ini menghasilkan dasar bagi terbentuknya informasi yang mudah digunakan (misalnya: presentasi dalam program powerpoint, pamphlet dan poster) mengenai pentingnya kawasan Tripa dan manfaatnya bagi ekosistem dimana target informasi tersebut adalah para pihak terkait utama, yakni: Kementrian Kehutanan, Gubernur Aceh dan kantor-kantornya, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias ((BRR; badan yang ditugaskan oleh pemerintah pusat untuk memilih dan mengatur proyek-proyek rekonstruksi pasca tsunami), badan-badan konservasi yang bertanggung jawab dalam manajemen wilayah Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), pemerintah negara-negara donor dan pihak internasional lainnya (United Nations Environment Programme, UNESCO dan IUCN). Aktivitas yang kedua adalah meningkatkan sistem pengelolaan lingkungan hidup (informasi publik, keikutsertaan publik dan sistem perundang-undangan). Berkaitan dengan kesadaran publik dan pendidikan lokal, YEL/PanEco telah mengembangkan suatu kampanye yang didanai oleh USAID/OCSP (Nopember 2007 - Maret 2009), yang memanfaatkan dua unit pendidikan bergerak yang telah ada, dan mengarah pada institusi lokal seperti sekolah, institusi bidang pemerintah dan religius/keagamaan. Dalam kerjasamanya dengan RARE, pada tahun 2008 YEL/PanEco akan memperluas program Rare-Pride yang telah ada dengan meliputi Tripa. Rare-Pride adalah suatu konsep yang dikembangkan oleh RARE untuk melindungi spesies langka dan ekosistemnya melalui pendidikan masyarakat. Pada bulan Mei 2008, YEL datang ke harian nasional Kompas dan hal ini menghasilkan beberapa artikel yang menjelaskan situasi di kawasan Tripa. Berkaitan dengan peningkatkan informasi ilmiah untuk pendidikan dan pengambilan kebijakan, YEL/PanEco berencana untuk membangun stasiun penelitian lapangan di Tripa dimana rincian studinya akan dikerjakan bersama dengan Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH, Banda Aceh).

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 22 of 26

    Mengenai hukum dan kebijakan, YEL/PanEco sedang membantu daerah untuk mengembangkan perundang-undangan yang melarang konversi di wilayah hutan gambut, konsisten dengan perundang-undangan internasional dan nasional yang telah ada (lihat kotak 1). YEL/PanEco, dalam tingkatan yang provinsi juga terlibat erat dengan Aceh Forest Review yang terus mengikuti Penangguhan Pembalakan Gubernur Aceh 2007. Review mencakup Tripa sebagai area konservasi di dalam konsep design Aceh yang baru, dan juga mengusulkan bahwa semua produksi minyak sawit di Aceh perlu mengikuti prinsip-prinsip dan kriteria RSPO (oleh karena itu semestinya tidak ada pengembangan minyak sawit di kawasan rawa dan ataupun pembangunan di wilayah yang memiliki nilai konservasi tinggi).

    Kotak 1: Beberapa kebijakan dan peraturan tentang perlindungan Tripa

    1 UU No.11 tahun 2006, pasal 150 mengamanatkan Pemerintah Aceh untuk mengelola Kawasan Ekosistem Lestari secara lestari. Rawa Tripa masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser

    2 Instruksi Gubernur Aceh No.5 Tahun 2007 tentang Pemberlakuan Moratorium Logging di Hutan Aceh

    3 Kesepakatan bersama Gubernur seluruh Sumatera Untuk Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera di Jakarta 18 September 2008

    4 Keppres No.32 tahun 1990 dan PP No. 26 tahun 2008, yang secara tegas menyatakan bahwa kawasan gambut dengan kedalaman 3 meter atau lebih merupakan kawasan lindung

    5 Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 1991 tentang Rawa, menyatakan bahwa rawa merupakan salah satu sumber air yang harus dilindungi dan dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat

    6

    Surat Edaran Menteri Pertanian No.301/TU.210/M/12/2007 pasal 2; mencabut IUP bagi perusahaan yang tidak melaksanakan kegiatan lapangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan pasal 4; khusus untuk lahan gambut, pemberian IUP baru untuk sementara dilarang, sambil menunggu hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian

    7 Master plan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami yang menitik-beratkan pembangunan sabuk hijau pantai untuk pelindung alami

    8 Protokol Kyoto untuk perubahan iklim yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No.17 tahun 2004. Rawa gambut sangat efektif untuk penyimpanan karbon

    9 Konvensi keanekaragaman hayati yang diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No.5 tahun 1994. Hutan rawa gambut Tripa berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser yang telah dikenal dunia sebagai kawasan penting untuk pelestarian keanekaragam hayati

    10 Konvensi lahan basah dunia yang diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres No.48 tahun 1991

    11 Deklarasi Kinshasa untuk pelestarian kera besar yang ditanda tangani oleh Pemerintah Indonesia bulan September 2005. Tripa merupakan kawasan prioritas untuk perlindungan spesies orangutan sumatera yang kondisinya terancam punah

    Aktifitas yang ketiga adalah meningkatkan mata pencarian masyarakat lokal dari rawa Tripa dan lingkungan sekitarnya. YEL/PanEco sedang mengembangkan sertifikasi karbon untuk mencegah penebangan hutan. Perdagangan karbon dari Tripa di bawah pasar karbon hutan yang muncul dari konsep yang dikenal sebagai pengurangan emisi dari penebangan dan degredasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation/ REDD), yang nampak sangat menjanjikan karena stok karbon di kawasan Tripa sangat banyak. YEL/PanEco sedang mengumpulkan semua informasi dan mengerjakan penilaian untuk membantu instansi-instansi yang relevan supaya dapat mewujudkan dan memanfaatkan kesempatan ini. YEL/PanEco telah mengembangkan suatu draft, dan kini memasuki suatu tahap kerja sama dengan ICRAF dan UNEP, untuk mengembangkan suatu program selama masa 3 tahun. YEL/PanEco sedang meningkat kapasitas masyarakat lokal untuk mengembangkan perkebunan minyak sawit pada lahan tidur (lahan non-hutan yang dapat dibuka), sesuai

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 23 of 26

    dengan prinsip dan criteria dari RSPO. Pengunaan cara ini mempunyai potensi tinggi untuk membebaskan tekanan terhadap lahan gambut di kawasan hutan pantai dengan mendorong pengembangan pertanian lokal menyangkut hasil bumi utama di daerah, yang mempertimbangkan prinsip-prinsip dan kriteria lingkungan dan sosial. Program ini digalakkan oleh Majelis Umum RSPO pada tahun 2006. Daerah Nagan Raya mengalokasikan 70 hektar pada tahun 2007 dan Perusahaan minyak sawit internasional SOCFINDO menandatangani suatu MOU dengan YEL/PanEco, juga pada tahun 2007, sebagai rekanan pada proyek ini. Proyek ini sendiri dimulai pada bulan Mei 2008. YEL/PanEco berencana untuk membantu dalam reboisasi alami. Saluran drainase akan ditutup untuk menghindari oksidasi lebih lanjut pada lahan gambut dan untuk mengembalikan lagi tingkat permukaan air yang dibutuhkan pada areal tersebut. Penduduk desa disekitarnya akan diberdayakan untuk menyelesaikan reboisasi selektip di areal yang mengalami kerusakkan. Hanya areal yang mengalami kerusakan berat atau yang menghadapi resiko penurunan lebih lanjut akan diremajakan. . YEL/PanEco juga mempertimbangkan kegiatan ekonomi lain yang bermanfaat dari suatu ekosistem yang sehat, seperti tambak dan pariwisata, atau kegiatan yang tidak secara langsung bergantung pada pengeksploitasian wilayah rawa, misalnya usaha-usaha mikro.

    5. Konsensus pentingnya penyelamatan kawasan Tripa

    Ada beberapa konsensus yang patut dipertimbangkan pada pentingnya menyelamatkan kawasan Tripa antar institusi terkait, dari tingkatan lokal hingga global. YEL/PanEco telah menandatangani suatu MOU dengan dua daerah yang wilayahnya merupakan bagian dari kawasan Tripa (Nagan Raya dan Aceh Barat Daya). MOU tersebut meliputi perlindungan dan pemulihan kawasan rawa Tripa. Pihak pemerintah daerah tidak sekedar menunggu YEL/PanEco untuk mulai bertindak. Pada Agustus 2007, Bupati daerah Nagan Raya meminta PT Kalista Alam menghentikan aktivitasnya sampai suatu tinjauan ulang lengkap mengenai konsesi telah diselesaikan dan diminta adanya klarifikasi atas batas-batas wilayah konsesi tersebut. Pada saat bersamaan beliau juga meminta klarifikasi dari pemerintah pusat Indonesia mengenai kedudukan hukum yang pasti terhadap PT Astra Agro Lestari, sebagai reaksi keberatan atas penjualan PT. Astra Agro Lestari secara sepihak oleh PT. Agra Para Citra. Pada tahun 2007, panitia teknis BRR, BPKEL, anggota dewan perwakilan daerah, UNEP, UNESCO dan IUCN bersama-sama mengeluarkan surat dukungan bagi keseluruhan program. Pada bulan Januari 2008 Gubernur Aceh turut serta dalam daftar. Pihak BPKEL bahkan berbuat lebih banyak. Pada bulan Mei 2008. BPKEL membuat statemen publik di surat kabar Kompas memaparkan kedudukan hukum dari perkebunan-perkebunan di wilayah Tripa yang patut dipertanyakan, khususnya menyoroti fakta bahwa tidak pernah diadakannya penilaian dampak lingkungan. Di Konferensi Iklim di Bali baru-baru ini, Gubernur Aceh menjadi pigur pemimpin dalam perlindungan hutan bagi kelestarian manfaatnya bagi penduduk lokal. Beliau menandatangani "Forests Now Declaration" untuk melindungi hutan-hujan melawan terhadap pembayaran untuk nilai karbonnya. Ia juga meluncurkan suatu program baru yang disebut dengan "Pembangunan ekonomi ramah lingkungan dan strategi investasi bagi provinsi Aceh". Pengumuman ini menyusul penangguhan pembalakan (moratorium logging) yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh pada Juli 2007, dan hal ini konsisten dengan "Perencanaan strategis hutan untuk pembangunan di Aceh" yang saat ini sedang dikembangkan.

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 24 of 26

    Karena hutan rawa gambut Tripa merupakan stok karbon terbesar yang tidak terlindungi di Aceh, dan karena wilayah tersebut menyediakan sejumlah besar jasa dan fungsi lingkungan yang penting, maka pemulihan dan perlindungannya jelas merupakan langkah pertama bagi Gubernur Aceh. Dalam meningkatan penguasaan lingkungan dan merehabilitasi ekosistem lahan gambut, sementara pada waktu yang sama sekaligus meningkatkan mata pencarian bagi penduduk lokal, maka diperlukan suatu bentuk tindakan yang terkoordinir untuk pemulihan Tripa dalam jangka panjang. Jika ekosistem Tripa direhabilitasi, maka bencana lingkungan di area tersebut akan berkurang. Hal ini akan mengurangi dan meminimalkan potensi masalah-masalah di masa mendatang seperti tsunami, banjir, habisnya karbon (perubahan iklim), hilangnya suplai air bersih, masalah penyediaan pangan dan pencegahan kebakaran. Menghindari penyurutan (karena pembersihan mengakibatkan degradasi dan oksidasi gambut) juga meminimalkan resiko menggenangnya air laut akibat adanya peningkatan permukaan laut di masa mendatang. Dalam jangka pendek, jika kondisi-kondisi yang benar disiapkan tepat waktu, misalnya menutup kanal-kanal untuk mengembalikan permukaan air dan dilakukan reboisasi selektip, maka Tripa bisa dipulihkan. Walau bagaimanapun, dukungan jangka panjang dari masyarakat lokal merupakan suatu syarat mutlak bagi kesuksesan program ini. Dukungan mereka sangat mungkin jika mereka memperoleh manfaat dari restorasi hutan tersebut. Saat ini mereka adalah korban dari perusakan hutan dan sangat sedikit yang memperoleh manfaat dari minyak sawit, itupun dalam tingkatan marjinal karena segelintir masyarakat yang diuntungkan tersebut hanya menjadi tenaga buruh yang tidak memiliki skill. Artinya, bagian utama dari potensi pendapatan dan keuntungan (kredit karbon, tambak ikan, produksi minyak sawit berkelanjutan) harus ditujukan bagi masyarakat lokal. Pada gilirannya, hal ini memerlukan tersedianya informasi untuk mereka melalui berbagai saluran (pendidikan, media, para pemimpin, dll) untuk meningkatkan dan menopang pemahaman dan minat mereka, dan selanjutnya, juga kemampuan mereka untuk mengawasi kesehatan lingkungan mereka sendiri.

    6. Kelemahan yang berkaitan dengan program dan cara penanggulangannya

    Sementara dengan adanya dukungan kelembagaan secara luas yang patut dipertimbangkan dan banyak hukum dan kebijakan di Indonesia (Kotak 1) telah pada tempatnya dalam rangka menyelamatkan dan pemulihan Tripa, kegiatan perusakan di daerah tersebut masih berlanjut hingga saat ini. Satu alasan untuk hal ini adalah bahwa konsesi minyak sawit dikeluarkan oleh pemerintah pusat Indonesia pada tahun 1990-an, dan Provinsi Aceh saat ini masih di dalam proses desentralisasi. Isu ini bisa menjadi suatu sumber friksi, terutama keseluruhan tanggung jawab untuk isu-isu lahan masih belum jelas. Oleh karenanya, Pemerintah Aceh boleh jadi merasa enggan untuk mengangkat isu ini karena mempertimbangkannya sebagai masalah yang relatif kecil dari keseluruhan konteks pembangunan kembali dan rehabilitasi di Aceh. Padahal resiko tsunami terjadi lagi di Aceh setidaknya ada sekali lagi. Dengan demikian ada suatu resiko serius yang upaya pencegahan yang memadai tidak akan diambil. Analisa ini adalah jauh dari sekedar retorika. Di pengujung 2006, YEL/PanEco mengusulkan program secara keseluruhan untuk menyelamatkan Tripa kepada pihak Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias. Meskipun banyak surat dukungan dalam rentang tahun 2007/2008, BRR tidak pernah mengirim program tersebut kepada Multi-Donor Fund (MDF), yang bertanggung jawab untuk mengalokasikan dana.

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 25 of 26

    Kelemahan lain adalah pendekatan yang bersifat konsensus dalam penyelamatan Tripa. Pihak-pihak yang terlibat mencoba memperoleh konsensus luas untuk menyelamatkan lahan gambut rawa Tripa tanpa secara langsung menghadapi pelaku kejahatan perusakan hutan itu sendiri lewat media atau berkampanye melawan praktek perusakan itu secara terbuka. Para aktor lingkungan sudah pasti menyimpan dukungan luas dan pantas dipertimbangkan untuk proyek ini, namun pendekatan yang telah sangat banyak menyita waktu ini masih belum berhasil mencapai hasil penghentian perusakan. Menyelamatkan Tripa jelas memerlukan pendekatan yang lebih kuat dan langsung, mengekspos situasi yang ada baik kepada masyarakat lokal maupun internasional dalam cakupan yang lebih luas, dan menuntut suatu kesatuan kemitraan yang kuat.

  • Peran Tripa: pencegahan bencana, mitigasi perubahan iklim dan keanekaragaman hayati unik

    Page 26 of 26

    Yayasan PanEco selalu memperjuangkan usaha-usaha bersama untuk mengatasi hambatan bahasa dan budaya dalam mengajak seluruh masyarakat untuk menggunakan sumber daya yang ada secara berkesinambungan dengan menghargai kepentingan manusia dan alam adalah sama. Yayasan PanEco mendukung proyek-proyek pelestarian keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkesinambungan di Indonesia dan di Swiss. PanEco Foundation Chileweg 5, CH-8415 Berg arm Irchel, Switzerland Telp.: +41 52 3182323 Fax.: +41 52 3181906 Email: [email protected] Web: www.paneco.ch, www.sumatranorangutan.com Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bekerja untuk kelestarian lingkungan hidup dengan manfaat berkelanjutan bagi seluruh masyarakat, yang difokuskan kepada pendidikan lingkungan, usaha pelestarian dan pengembangan usaha kecil. Yayasan PanEco bekerjsama dengan YEL dalam menjalan semua program di daerah Aceh. Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Jl. K.H. Wahid Hasyim No. 51/74 Medan 20154 Indonesia Telp.: +62 61 4514363 Fax.: +62 61 4514749 Email: [email protected] Web: www.yelweb.org