Bagaimana Hukum Tahlilan

34
Bagaimana hukum tahlilan, yasinan dan kenduri menurut Islam ? Pertanyaan seperti ini sering munculdi kalangan muda Islam. Suatu kebanggan memang jika generasi muda Islam semakin kritis dan haus akan keilmuan. Namun, tidak sedikit diantara mereka yang menggali hukum Islam hanya bermodal membaca buku dan terjemahan, sehingga kandungan ayat-ayat suci dan hadits Rasul hanya difahami sebagian saja, tidak mendalam dan akhirnya melahirkan pemahaman yang salah. Itulah sebabnya Allah memilih diantara hamba-hambanya menjadi ulama yang faham akan Al-Quran beserta sunnah agar menjadi tempat bertanya ummat tentang berbagai hal dalam Agama ini. Nah, untuk Anda yang bertanya bagaimana hukum tahlilan, yasinan dan kenduri menurut Islam, berikut paparan para ulama berdasarkan Al-Quran dan Hadits.

Transcript of Bagaimana Hukum Tahlilan

Page 1: Bagaimana Hukum Tahlilan

Bagaimana hukum tahlilan, yasinan dan kenduri menurut Islam ?

Pertanyaan seperti ini sering munculdi kalangan muda Islam. Suatu kebanggan memang jika

generasi muda Islam

semakin kritis dan haus akan keilmuan. Namun, tidak sedikit diantara mereka

yang menggali hukum Islam hanya bermodal membaca buku dan terjemahan, sehingga

kandungan ayat-ayat suci dan hadits Rasul hanya difahami sebagian saja, tidak

mendalam dan akhirnya melahirkan pemahaman yang salah. Itulah sebabnya Allah

memilih diantara hamba-hambanya menjadi ulama yang faham akan Al-Quran beserta

sunnah agar menjadi tempat bertanya ummat tentang berbagai hal dalam Agama ini.

Nah, untuk Anda yang bertanya bagaimana hukum tahlilan, yasinan dan kenduri

menurut Islam, berikut paparan para ulama berdasarkan Al-Quran dan Hadits. 

رجال أن عائشة عن

وأظنها توص ولم نفسها افتلتت أمي إن الله رسول يا ثم فقال وسلم عليه الله صلى النبي أتى

نعم قال عنها تصدقت إن أجر أفلها تصدقت تكلمت Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah“ لو

datang

seorang lelaki pada Nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku

telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara

mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw

menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits No.1004).

Berkata Hujjatul Islam Al Imam Nawawi rahimahullah :

الحديث هذا وفي

على أجمعوا وكذا العلماء باجماع كذلك وهو ثوابها ويصله الميت تنفع الميت عن الصدقة أن

الدعاء Dan dalam hadits ini (hadits riwayat“وصول

shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi

Page 2: Bagaimana Hukum Tahlilan

mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma

(sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa

doa” (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 7 hal 90)

Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud

bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk

mayyit. Demikian kebanyakan orang – orang yang kematian, mereka menjamu tamu –

tamu dengan sedekah yang pahalanya untuk si mayyit, maka hal ini sunnah. Lalu

mana dalilnya yang mengharamkan makan dirumah duka atau saat tahlilan?

Hukum Tahlilan menurut IslamMengenai ucapan para Imam itu, yang dimaksud adalah membuat jamuan khusus

untuk mendatangkan tamu yang banyak, dan mereka tak mengharamkan itu.

Perlu diketahui bahwa Makruh adalah jika dihindari mendapat pahala dan

jika dilakukan tidak mendapat dosa.

1. Ucapan Imam Nawawi yang anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak

disukai (Ghairu Mustahibbah) bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram

padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yang

dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram,

Page 3: Bagaimana Hukum Tahlilan

dan yang dimaksud adalah mengundang orang dengan mengadakan jamuan makanan

(ittikhaadzuddhiyafah), beda dengan tahlilan masa kini bukanlah jamuan makan,

namun sekedar makanan ala kadarnya saja, bukan jamuan. Hal ini berbeda dalam

syariah, jamuan adalah makan besar semacam pesta yang menyajikan bermacam

makanan, ini tidak terjadi pada tahlilan manapun dimuka bumi, yang ada adalah

sekedar besek atau sekantung kardus kecil berisi aqua dan kue – kue atau nasi

sederhana sekedar sedekah pada pengunjung, maka sedekah pada pengunjung

hukumnya sunnah.

2.   Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy

menjelaskan adalah :

الميت أهل جعل من

مكروهة منكرة بدعة إليه الناس ليدعوا mereka yang keluarga duka yang membuat“طعاما

makanan demi mengundang

orang adalah hal Bid’ah Munkarah yang makruh” (bukan haram).

Semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yang

menyuguhkan makanan untuk tamu yang mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda

dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yang dilarang

(Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan

meramaikan rumah, lihat ucapan beliau, bid’ah buruk yang makruh, bukan haram,

jika haram maka ia akan menyebutnya : Bid’ah munkarah muharramah, atau cukup

dengan ucapan Bid’ah munkarah, maka itu sudah mengandung makna haram, tapi

tambahan kalimat makruh, berarti memunculkan hukum sebagai penjelas bahwa hal

itu bukan haram.

Page 4: Bagaimana Hukum Tahlilan

Entahlah mereka itu tak faham bahasa atau memang sengaja menyelewengkan

makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu tak faham hadits dan

menyelewengkan makna.

Hukum yasinan menurut IslamDalam istilah – istilah pada hukum syariah, sungguh satu kalimat

menyimpan banyak makna, apalagi ucapan para Muhaddits dan para Imam, dan hal

semacam ini sering tak difahami oleh mereka yang dangkal dalam pemahaman

syariahnya.

3. Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan “Ittikhadzuddhiyafah”,

ini maknanya “membuat perjamuan besar”, misalnya begini : Gubernur menjadikan

selamatan kemenangannya dalam pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu

mengadakan perjamuan. Inilah yang dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan

beliau tak mengatakannya haram, kebiasaan ini sering dilakukan dimasa jahiliyah

jika ada yang wafat.

4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan

makan makan dirumah mayit hukumnya Bid’ah yang makruh (bukan haram tentunya),

dan maksudnya pun sama dengan ucapan diatas, yaitu mengumpulkan orang dengan

jamuan makanan, namun beliau mengatakannya makruh, tidak sampai

mengharamkannya. Orang – orang wahabi (gelar bagi penganut faham ibn abdul

Page 5: Bagaimana Hukum Tahlilan

wahhab) menafsirkan kalimat “makruh” adalah hal yang dibenci, tentu mereka

salah besar, karena Imam – Imam ini berbicara hukum syariah, bukan bicara

dicintai atau dibenci, makna makruh berbeda secara bahasa dan secara syariah,

maknanya secara bahasa adalah sesuatu yang dibenci, namun dalam syariah adalah

hal yang jika dilakukan tidak dapat dosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala.

Namun mereka ini tidak bisa membedakan mana buku yang membahas masalah bahasa,

mana buku yang membahas hukum syariah. Baca selengkapnya tentang bid’ah di tautan

ini!

5. Syaikh An-Nawawi Al-Bantani rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa

“Wahsyah”

yaitu adat berkumpul di malam pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan

macam – macam, hal ini makruh, (bukan haram).

Dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yang dimaksud makruh adalah

sengaja membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu – tamu, ini yang

ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau justru diniatkan sedekah

dengan pahalanya untuk mayyit maka justru Nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim

diatas telah memperbolehkannya bahkan sunnah.

Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yang

pahalanya untuk mereka sendiripun maka tak ada pula yang memakruhkannya bahkan

mendapat pahala jika dilakukan.

Yang lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengut

sambil berkata haram..haram.. dirumah duka (padahal makruh), tapi bawalah uang

atau hadiah untuk membantu mereka.

Dan masa kini pelarangan atau pengharaman untuk tak menghidangkan makanan

dirumah duka adalah menambah kesusahan keluarga duka, bagaimana tidak?, bila

Page 6: Bagaimana Hukum Tahlilan

keluarga anda wafat lalu anda melihat orang banyak datang maka anda tak

suguhkan apa – apa ..?, datang dari luar kota misalnya, dari bandara atau dari

stasion luar kota datang dengan lelah dan peluh demi hadir jenazah, lalu mereka

dibiarkan tanpa seteguk airpun..???, tentunya hal ini sangat berat bagi mereka,

dan akan sangat membuat mereka malu.

Bahkan Rasul saw memerintahkan diadakan makanan dirumah duka, sebagaimana

hadits beliau saw ketika didatangkan kabar wafatnya Jakfar bin Abi Thalib :

“Buatkan makanan untuk keluarga (alm) Jakfar, sungguh mereka sedang ditimpa hal

– hal yang menyibukkan mereka” (Musnad Ahmad dll), hadits ini justru

menunjukkan bahwa Rasul saw memerintahkan sahabat membuat makanan untuk mereka.

Kenapa? karena pasti banyak tamunya yang menyambanginya.

Mereka membalik makna hadits ini dengan mengatakan bahwa hadits ini dalil

bahwa keluarga mayyit tak boleh menyiapkan makanan, namun mereka lupa bahwa

hadits ini justru perintah Rasul saw agar disiapkan makanan dirumah duka,

karena beliau saw bukan mengatakan tidak boleh makan dirumah Jakfar, tapi

justru buatkan makanan, dan perintahnya jamak, Ishna’uu.. yaitu : “wahai kalian

(bukan untuk satu orang), ramai ramailah membuat makanan untuk keluarga Jakfar

karena mereka sedang ditimpa hal yang menyibukkan mereka”. Apa? para tamu.

Didalam Ushul dijelaskan bahwa Mandub, Hasan, Annafl, Sunnah, Mustahab

fiih (mustahibbah), Muragghab fiih, ini semua satu makna, yaitu yutsab ala

fi’lihi walaa yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak

berdosa jika ditinggalkan).

Imam Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal yang

bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, maka

jatuhlah derajatnya antara mubah dan makruh.

Page 7: Bagaimana Hukum Tahlilan

Imam Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak payah

payah menaruh kata ghairu mustahibbah dlsb. Beliau akan berkata haram mutlaqan

(haram secara mutlak), namun beliau tak mengatakannya.

Dan mengenai kata “Bid’ah” sebagaimana mereka menukil ucapan Imam Nawawi,

fahamilah bahwa Bid’ah menurut WAHABI sangat jauh berbeda dengan BID’AH menurut

Imam Nawawi, Imam Nawawi berpendapat bid’ah terbagi 5 bagian, yaitu wajib,

sunnah, mubah, makruh dan haram (rujuk Syarh Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6 hal

164-165).

Maka sebelum mengambil dan menggunting ucapan Imam Nawawi, fahami dulu

apa maksud bid’ah dalam ta’rif Imam Nawawi, barulah bicara fatwa Bid’ah oleh

Imam Nawawi. Bila Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam bid’ah itu ada yang mubah

dan yang makruh, maka ucapan “Bid’ah Ghairu Mustahibbah” bermakna Bid’ah yang

mubah atau yang makruh, kecuali bila Imam Nawawi berkata “Bid’ah Muharramah”

(Bid’ah yang haram).

Namun kenyataannya Imam Nawawi tidak mengatakannya haram, maka hukumnya

antara Mubah dan makruh.

Untuk ucapan Imam Ibn Hajar inipun jelas, beliau berkata Bid’ah Munkarah

Makruhah, (Bid’ah tercela yang makruh), karena Bid’ah tercela itu tidak

semuanya haram. Sebagaimana masa kini sajadah yang padanya terdapat hiasan –

hiasan warna – warni membentuk pemandangan atau istana – istana dan burung –

burung misalnya, ini adalah bid’ah buruk (munkarah) yang makruh, tidak haram

untuk memakainya shalat, tidak batal shalat kita menggunakan sajadah semacam

itu, namun bid’ah buruk yang makruh, tidak haram, karena shalatnya tetap sah.

Hukum darimana makruh dibilang haram?, makruh sudah jelas makruh,

hukumnya yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi (mendapat pahala bila

Page 8: Bagaimana Hukum Tahlilan

ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila dilakukan). Dan yang dimakruhkan

adalah menyiapkan makanan untuk mengundang orang, beda dengan orang datang lalu

shohibul bait menyuguhi.

Berkata Shohibul Mughniy :

الميت أهل صنع فأما

أهل بصنع وتشبها شغلهم إلى ل وشغال مصيبتهم على زيادة فيه ألن للناسفمكروه طعاما

Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk الجاهلية

orang, maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan

menyibukkan, dan meniru – niru perbuatan jahiliyah. (Almughniy Juz 2 hal 215)

Lalu Shohibul Mughniy menjelaskan kemudian :

وإن

ويبيت البعيدة واألماكن القرى من ميتهم يحضر من جاءهم ربما فإنه جاز ذلك إلى الحاجة دعت

يضيفوه أن إال يمكنهم وال Bila mereka melakukannya karena ada sebab“عندهم

atau hajat, maka hal itu diperbolehkan, karena barangkali diantara yang hadir

mayyit mereka ada yang berdatangan dari pedesaan, dan tempat – tempat yang

jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti

dijamu (Almughniy Juz 2 hal 215).

(disini hukumnya berubah, yang asalnya makruh, menjadi mubah bahkan hal

yang mulia, karena tamu yang berdatangan dari jauh, maka jelaslah kita memahami

bahwa pokok permasalahan adalah pada keluarga duka dan kebutuhan tamu)

Dijelaskan bahwa yang dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat jamuan

besar, mereka menyembelih sapi atau kambing demi mengundang tamu setelah ada

kematian, ini makruh hukumnya, sebagian ulama mengharamkannya, namun beda

Page 9: Bagaimana Hukum Tahlilan

dengan orang datang karena ingin menjenguk, lalu shohibulbait menyuguhi ala

kadarnya, bukan kebuli dan menyembelih kerbau, hanya besek sekedar hadiahan dan

sedekah.

Baiklah jika sebagian saudara kita masih belum tenang, maka riwayat

dibawah ini semoga dapat menenangkan mereka :

Dari Ahnaf bin Qeis ra berkata : “Ketika Umar ra ditusuk dan terluka

parah, ia memerintahkan Shuhaib untuk membuat makanan untuk orang – orang”

(Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar pada Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 No.709,

dan ia berkata sanadnya Hasan)

Dari Thaawus ra : “Sungguh mayyit tersulitkan di kubur selama 7 hari,

maka merupakan sebaiknya mereka memberi makan orang – orang selama hari hari

itu” (Diriwayatkan Oleh Al Hafidh Imam Ibn Hajar pd Mathalibul ‘Aliyah Juz 1

hal 199 dan berkata sanadnya Kuat).

Mengenai pengadaan makanan dan jamuan makanan pada rumah duka telah kuat

dalilnya sebagaimana sabda Rasul saw : “Buatlah untuk keluarga Jakfar makanan

sungguh mereka telah ditimpa hal yang membuat mereka sibuk” (diriwayatkan oleh

Al Imam Tirmidziy No.998 dengan sanad hasan, dan di Shahihkan oleh Imam Hakim

Juz 1/372)

Demikian pula riwayat shahih dibawah ini :

احتضرعمر فلما

يستخلفوا حتى فيطعموا للناسطعام يجعل أن وأمر ، أيام ثالثة بالناس يصلي أن صهيبا أمر

للحزن عنها الناس فأمسك الموائد، ووضعت بالطعام جئ الجنازة من رجعوا فلما ، إنسانا

عليه : ! الله صلى الله رسول إن ، الناس أيها المطلب عبد العباسبن فقال ، فيه هم الذي

االجل من البد وإنه وشربنا بعده فأكلنا بكر أبو ومات وشربنا بعده فأكلنا مات قد وسلم

فأكلوا أيديهم الناس ومد فأكل يده العباس مد ثم ، الطعام هذا من Ketika Umar ra فكلوا

Page 10: Bagaimana Hukum Tahlilan

terluka sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib

untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka

memilih seseorang, maka ketika hidangan – hidangan ditaruhkan, orang – orang

tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib ra :

Wahai hadirin.., sungguh telah wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum

setelahnya, lalu wafat Abubakar ra dan kita makan dan minum sesudahnya, dan

ajal itu adalah hal yang mesti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau ra

mengulurkan tangannya dan makan, maka orang – orang pun mengulurkan tangannya

masing – masing dan makan.

 (Al Fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal

fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqatul Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4

hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110)

Kini saya ulas dengan kesimpulan :

1. Membuat jamuan untuk mengundang orang banyak dengan masakan yang

dibuat oleh keluarga mayyit hukumnya makruh, walaupun ada yang mengatakan haram

namun Jumhur Imam dan Muhadditsin mengatakannya Makruh.

2. Membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit

hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat Shahih Bukhari seorang wanita mengatakan

pada Nabi saw bahwa ibuku wafat, dan apakah ibuku mendapat pahala bila aku

bersedekah untuknya?, Rasul saw menjawab : Betul (Shahih Bukhari hadits

No.1322), bukankah wanita ini mengeluarkan uangnya untuk bersedekah..?,

Page 11: Bagaimana Hukum Tahlilan

Hukum kenduri arwah3. Menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yang datang saat kematian

adalah hal yang mubah, bukan makruh, misalnya sekedar teh, atau kopi sederhana.

4. Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang begitu saja

dengan tangan kosong, namun bawalah sesuatu, berupa buah, atau uang, atau

makanan, dengan landasan sabda Rasul saw : “Buatlah makanan untuk keluarga

Jakfar, sungguh mereka sedang dirundung kesedihan”

5. Makan makanan yang dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada

yang mengharamkannya, bahkan sebagaimana riwayat yang telah saya sebutkan bahwa

Umar bin Khattab ra memerintahkan untuk menjamu tamunya jika ia wafat

6.  Boleh saja jika keluarga mayyit

membeli makanan dari luar atau catering untuk menyambut tamu – tamu, karena

pelarangan akan hal itulah yang akan menyusahkan keluarga mayyit, yaitu memasak

dan merepotkan mereka.

7. Makruh jika membuat hidangan besar seperti hidangan pernikahan demi

menyambut tamu dirumah duka

Mengenai fatwa Imam Syafii didalam kitab I’anatutthaalibin, yang

diharamkan adalah Ittikhadzuddhiyafah, (mengadakan jamuan besar), sebagaimana

dijelaskan “Syara’a lissurur”, yaitu jamuan makan untuk kegembiraan.

Namun bila diniatkan untuk sedekah, walau menyembelih 1.000 ekor kerbau selama

Page 12: Bagaimana Hukum Tahlilan

40 hari 40 malam atau menyembelih 1.000 ekor kambing selama 100 hari atau

bahkan tiap hari sekalipun, hal itu tidak ada larangannya, bahkan mendapat

pahala.

Itulah hukum tahlilan, yasinan dan kenduri menurut Islam yang dipaparkan para ulama.

Jangan sampai kita terlalu banyak

menyalahkan orang yang berbeda pemahaman, setidaknya fahami jalan fikiran

mereka agar semakin menghargai perbedaan yang sudah menjadi sunnatullah.Tulisan

ini dikutip dari buku Kenalilah Akidahmu Jilid 2 karya Habib Munzir

Al-Musawwa.

( Niatttttt sing bener)

WAHABI: “Anda harus meninggalkan Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100, dan ke 1000. Kalau tidak anda akan masuk neraka.”

SUNNI: “Apa alasan Anda mewajibkan kami meninggalkan Tahlilan tujuh hari, hari ke-40, 100 dan 1000?”

WAHABI: “Karena itu tasyabbuh dengan orang-orang Hindu. Mereka orang kafir. Tasyabbuh dengan kafir berarti kafir pula.”

SUNNI: “Owh, itu karena Anda baru belajar ilmu agama. Coba Anda belajar di pesantren Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Anda tidak akan bertindak sekasar ini. Anda pasti malu dengan tindakan Anda yang kasar, dan sangat tidak Islami. Ingat, Islam itu mengedepankan akhlaqul karimah, budi pekerti yang mulia. Bukan sikap kasar seperti Anda.”

WAHABI: “Kalau begitu, menurut Anda acara Tahlilan dalam hari-hari tersebut bagaimana?”

SUNNI: “Justru acara dzikir Tahlilan pada hari-hari tersebut hukumnya sunnah, agar kita berbeda dengan Hindu.”

WAHABI: “Mana dalilnya? Bukankah pada hari-hari tersebut, orang-orang Hindu melakukan kesyirikan.”

SUNNI: “Justru karena pada hari-hari tersebut, orang Hindu melakukan kesyirikan dan kemaksiatan, kita lawan mereka dengan melakukan kebajikan, dzikir bersama kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan Tahlilan. Dalam kitab-kitab hadits diterangkan:

: الغافلين في الله ذاكر وسلم عليه الله صلى الله رسول قال قال عنه الله رضي مسعود ابن عن

Page 13: Bagaimana Hukum Tahlilan

) . في السيوطي الحافظ وصححه واألوسط، الكبير في الطبراني رواه ين الفار في الصابر بمنزلة( الصغير .الجامع“Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang berdzikir kepada Allah di antara kaum yang lalai kepada Allah, sederajat dengan orang yang sabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan peperangan.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [9797] dan al-Mu’jam al-Ausath [271]. Al-Hafizh al-Suyuthi menilai hadits tersebut shahih dalam al-Jami’ al-Shaghir [4310]).

Dalam acara tahlilan selama tujuh hari kematian, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah, ketika pada hari-hari tersebut orang Hindu melakukan sekian banyak kemungkaran. Betapa indah dan mulianya tradisi tahlilan itu.

WAHABI: “Saya tidak menerima alasan dan dalil Anda. Bagaimanapun dengan Tahlilan pada 7 hari kematian, hari ke-40, 100 dan 1000, kalian berarti menyerupai atau tasyabbuh dengan Hindu, dan itu tidak boleh.”

SUNNI: “Itu karena Anda tidak mengerti maksud tasyabbuh. Tasyabbuh itu bisa terjadi, apabila perbuatan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada hari-hari tersebut persis dengan apa yang dilakukan oleh orang Hindu. Kaum Muslimin Tahlilan. Orang Hindu jelas tidak Tahlilan. Ini kan beda.”

WAHABI: “Tapi penentuan waktunya kan sama?”

SUNNI: “Ya ini, karena Anda baru belajar ilmu agama. Kesimpulan hukum seperti Anda, yang mudah mengkafirkan orang karena kesamaan soal waktu, bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

WAHABI: “Kok bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”

SUNNI: “Anda harus tahu, bahwa kesamaan waktu itu tidak menjadi masalah, selama perbuatannya beda. Coba Anda perhatikan hadits ini:

مما أكثر األحد ويوم بت الس يوم يصوم م وسل عليه الله صلى الله رسول كان قالت سلمة أم عن ) . والنسائي أحمد رواه أخالفهم أن أحب فأنا المشركين عيدا هما إن ويقول ام األي من يصوم( حبان وابن خزيمة ابن .وصححهUmmu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad, melebihi puasa pada hari-hari yang lain. Beliau bersabda: “Dua hari itu adalah hari raya orang-orang Musyrik, aku senang menyelisihi mereka.” (HR. Ahmad [26750], al-Nasa’i juz 2 hlm 146, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Dalam hadits di atas jelas sekali, karena pada hari Sabtu dan Ahad, kaum Musyrik menjadikannya hari raya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menyelisihi mereka dengan berpuasa. Sama dengan kaum Muslimin Indonesia. Karena orang Hindu mengisi hari-hari yang Anda sebutkan dengan kesyirikan dan kemaksiatan, yang merupakan penghinaan kepada si mati, maka kaum Muslimin mengisinya dengan dzikir Tahlilan, sebagai penghormatan kepada si mati.

WAHABI: “Owh, iya ya.”

Page 14: Bagaimana Hukum Tahlilan

SUNNI: “Saya ingin tanya, Anda tahu dari mana bahwa hari-hari tersebut, asalnya dari Hindu?”

WAHABI: “Ya, baca Kitab Weda, kitab sucinya Hindu.”

SUNNI: “Alhamdulillah, kami kaum Sunni tidak pernah baca kitab Weda.”

WAHABI: “Awal mulanya sih, ada muallaf asal Hindu, yang menjelaskan masalah di atas, sering kami undang ceramah pengajian kami. Akhirnya kami lihat Weda.”

SUNNI: “Itu kesalahan Anda, orang Wahabi, yang lebih senang belajar agama kepada muallaf, dan gengsi belajar agama kepada para Kiai Pesantren yang berilmu. Jelas, ini termasuk bid’ah tercela.”

WAHABI: “Terima kasih ilmunya.”

SUNNI: “Anda dan golongan Anda tidak melakukan Tahlilan, silahkan. Bagi kami tidak ada persoalan. Tapi jangan coba-coba menyalahkan kami yang mengadakan dzikir Tahlilan.”

Insy Allah bersambung

HUKUM YASINAN

BACA YASIN DAN TAHLILAN TIDAK PUNYA DALIL

Mungkin ini tahlilan model salafi wahabi, koq ga’ ada yg cingkrang ya…??

Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100, setahun, dan 1000 hari diperbolehkan dalam syari’at Islam. Keterangan diambila dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178

بن : هاشم حدثنا له الزهد كتاب فى عنه الله رضي حنبل بن أحمد االمام قال : قال األشجعىعنسفيان حدثنا قال القاسم

: يطعموا أن يستحبون فكانوا سبعا قبورهم فى يفتنون الموتى ان طاوس قال : عبد , حدثنا مالك بن بكر أبو حدثنا الجنة فى نعيم ألو الحافظ قال األيام تلك عنهم

األشجعىعن حدثنا القاسم بن هاشم حدثنا أبى حدثنا حنبل بن أحمد بن الله : : يستحبون فكانوا سبعا قبورهم فى يفتنون الموتى ان طاوس قال قال سفيان

األيام تلك عنهم يطعموا أن

“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.

Page 15: Bagaimana Hukum Tahlilan

Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”

Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:

فالظاهر المدينة و بمكة األن الى أنهامستمر بلغنى أيام سبعة االطعام سنة انالصدر الى عنسلف خلفا أخذوها انهم و األن الى الصحابة عهد من تترك لم أنهااألول

“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.”

HUKUM TAHLIL

TAHLILAN KOQ HARAM …..!!!!!!!

KATA SIAPA …..???

TAHLILAN berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membacakan kalimat La Ilaha Illalloh.

 Seperti yang tertera dalam Lisanul ’Arab bagi Ibnu Mandzur Al-Ifriqy juz XIII sebagai berikut

الله اال الاله قول التهليل الليث وقال

”Telah berkata Allaits :arti Tahlil adalah mengucapkan الله اال ” الالهDan yang perlu kita ketahui adalah semua rangkaian kalimat yang ada dalam Tahlil diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang pahalanya dihadiahkan untuk si mayyit.Tahil ini dijalankan berdasar pada dalil-dalil.

DALIL YANG PERTAMA ;

(Al-Tahqiqat, juz III. Sunan an-Nasa’i, juz II)

الجنة له وذكراستوجبالله ميتبقراءة على أعان من وسلم عيه الله صلى قالعباس ابن عن والنسائ الدارمى ((رواه

Barang siapa menolong mayyit dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan dzikir, maka Alloh memastikan surga baginya.”(HR. ad-Darimy dan Nasa’I dari Ibnu Abbas)

Page 16: Bagaimana Hukum Tahlilan

DALIL YANG KEDUA

 (Tanqih al-Qoul)

أمواتكم وعلى أنفسكم تصدقواعلى قال أنه وسلم اللهعليه النبيصلى وعنتعالى الله كتاب من فبأية ذلك على تقدروا لم ماءفان ولوبشربة أمواتكم وعلىوعدكم الله افإن والرحمة بالمغفرة لهم فادعو القرءان من تعلمواشيئا لم فاناإلجابة

Bersedekahlah kalian untuk diri kalian dan orang-orang yang telah mati dari keluarga kalian walau hanya air seteguk. Jika kalian tak mampu dengan itu, bersedekahlah dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Jika kalian tidak mengerti Al-Qur’an, berdo’alah untuk mereka dengan memintakan ampunan dan rahmat. Sungguh,  الله telah  تعالىberjanji akan mengabulkan do’a kalian.”

DALIL YANG KETIGA ;

 (Kasya-Syubhat li as-Syaikh Mahmud Hasan Rabi)

القرءان يقرأمن أن األموات يعنىلزائر يستحب المهذبى فىشرح النووي قالاألصحاب عليه الشافعىواتفق عقبهانصعليه ماتيسرويدعولهم

“Dalam Syarah al-Muhamdzdzab Imam an-Nawawi berkata: Adalah disukai seorang berziarah kepada orang mati lalu membaca ayat-ayat al-Qur’an sekedarnya dan berdo’a untuknya. Keterangan ini diambil dari teks Imam Syafi’I dan disepakati oleh para ulama yang lainnya.”

DALIL KEEMPAT ;

يسى موتاكم على إقرءوا( ( والحاكم حبان وابن ماجه وابن وابوداود احمد رواه

“Bacalah atas orang-orangmu yang telah mati, akan Surat Yasin” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Alhakim)

DALIL KELIMA ; (Fathul mu’in pada Hamisy I’anatuttholibin, juz III)

عقبهااى والدعاء تيسرعندالميت ما ندبقراءة نصالشافعىواألصحابعلى وقدكالحيالحاضر القراءة تنالهبركة الميت والن ارجىلالجابة حينئذ النه

“Dan telah menyatakan oleh Assyafi’I dan Ashab-nya atas sunnah membaca apa yang mudah di sisi mayit, dan berdo’a sesudahnya, artinya karena bahwasanya ketika itu lebih diharapkan diterimanya, dan karena bahwa mayyit itu mendapatkan barokah qiro’ah seperti orang

Page 17: Bagaimana Hukum Tahlilan

hidup yang hadir.”Dan masih banyak dalil-dalil lain….

alil tahlilan Jumlah Hari 3, 7, 25, 40, 100, 360 (setahun) & 1000 hari dari kitab

Ahlusunnah (bukan kitab dari agama hindu) الموتى إلى هدية والصدقة الدعاء وسلم عليه الله النبيصلى قال

فى : والصدقة أيام ثالثة إلى ثوابها الدفنى بعد الصدقة عمر وقاليبقى السابع يوم والصدقة أيام إلىسبعة ثوابها يبقى أيام ثالثة

أربعين إلى الخمسوعشرين ومن يوما إلىخمسوعشرين ثوابهاإلى السنة ومن إلىسنة المائة ومن مائة إلى األربعين ومن يوما

ألفعام Rasulullah saw bersabda: “Doa dan shodaqoh yg dihadiahkan kepada mayyit.” Berakata Umar : “shodaqoh setelah kematian maka pahalanya sampai tiga hari dan

shodaqoh dalam tiga hari akan tetap kekal pahalanya sampai tujuh hari, dan shodaqoh tujuh hari akan kekal pahalanya sampai 25 hari dan dari pahala 25 sampai 40 harinya akan kekal hingga 100 hari dan dari 100 hari akan sampai kepada satu tahun dan dari satu tahun sampailah kekalnya pahala itu hingga 1000 hari.”

Jumlah-jumlah harinya (3, 7, 25, 40, 100, setahun & 1000 hari) jelas ada dalilnya, sejak kapan agama Hindu ada Tahlilan ???

Berkumpul ngirim doa adalah bentuk shodaqoh buat mayyit. أن وأمر ، أيام بالناسثالثة يصلي أن صهيبا أمر احتضرعمر فلما

للناسطعام يجعل ، جئ الجنازة من رجعوا فلما ، إنسانا يستخلفوا حتى فيطعموا

الموائد ووضعت بالطعامعبد ! العباسبن فقال ، فيه هم الذي للحزن الناسعنها فأمسك

الناس : أيها المطلبوشربنا بعده فأكلنا مات قد وسلم عليه الله صلى الله رسول إن

بعده فأكلنا بكر أبو وماتالعباس مد ثم ، الطعام هذا من فكلوا االجل من البد وإنه وشربنا

الناس ومد فأكل يدهفأكلوا أيديهم

Ketika Umar sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika hidangan – hidangan ditaruhkan, orang – orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib :

Wahai hadirin.. sungguh telah wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yang pasti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau mengulurkan tangannya dan makan, maka orang – orang pun mengulurkan tangannya masing – masing dan makan.

[Al Fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqat Al Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110]

Laporkan Iklan Tidak Layak Kemudian dalam kitab Imam As Suyuthi, Al-Hawi li al-Fatawi :

Page 18: Bagaimana Hukum Tahlilan

: فكانوا سبعا قبورهم في يفتنون الموتى ان طاووس قالااليام تلك عنهم يطعموا ان يستحبون

Imam Thawus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabat) gemar menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut.” , المؤمن : فاما ومنافق مؤمن رجالن يفتن قال عمير بن عبيد عن

صباحا اربعين فيفتن واماالمنافق سبعا فيفتن Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang

munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari.”

Dalam tafsir Ibn Katsir (Abul Fida Ibn Katsir al Dimasyqi Al Syafi’i) 774 H beliau mengomentari ayat 39 surah an Najm (IV/236: Dar el Quthb), beliau mengatakan Imam Syafi’i berkata bahwa tidak sampai pahala itu, tapi di akhir2 nya beliau berkomentar lagi ومنصوصمن علىوصولهما مجمع فذاك والصدقة الدعاء فأما

عليهما الشارع bacaan alquran yang dihadiahkan kepada mayit itu sampai, Menurut Imam Syafi’i pada waktu beliau masih di Madinah dan di Baghdad, qaul

beliau sama dengan Imam Malik dan Imam Hanafi, bahwa bcaan al-Quran tidak sampai ke mayit, Setelah beliau pindah ke mesir, beliau ralat perkataan itu dengan mengatakan bacaan alquran yang dihadiahkan ke mayit itu sampai dengan ditambah berdoa “Allahumma awshil.…dst.”, lalu murid beliau Imam Ahmad dan kumpulan murid2 Imam Syafi’i yg lain berfatwa bahwa bacaan alquran sampai.

Pandangan Hanabilah Syaikhul Islam Taqiyuddin Muhammad ibnu Ahmad ibn Abdul Halim (yang lebih

populer dengan julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari madzhab Hambali) menjelaskan: . وقد المسلمين فاق باتـ بها ينـتـفع فـانه الميت عن دقة الص ا ام

مثل صحيحة ديث احا وسلم الله عليه صلى النبي عن بذلك وردتلو ( واراها نفسها افتـلتـت ي ام ان الله رسول يا سعد قول

ينـفـعها فهل تصدقت : , تـكلمت نـعم فقال ؟ عنها اتـصدق ان والدعاء عنه والعتق عنه ضحية واال عنه الحج يـنـفـعه وكذلك

ة األئم بين نزاع بال له . واالستـغفار “Adapun sedekah untuk mayit, maka ia bisa mengambil manfaat berdasarkan

kesepakatan umat Islam, semua itu terkandung dalam beberapa hadits shahih dari Nabi Saw. seperti perkataan sahabat Sa’ad “Ya Rasulallah sesungguhnya ibuku telah wafat, dan aku berpendapat jika ibuku masih hidup pasti ia bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai gantinya?” maka Beliau menjawab “Ya”, begitu juga bermanfaat bagi mayit: haji, qurban, memerdekakan budak, do’a dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa perselisihan di antara para imam”. (Majmu’ al-Fatawa: XXIV/314-315)

Ibnu Taimiyah juga menjelaskan perihal diperbolehkannya menyampaikan hadiah pahala shalat, puasa dan bacaan al-Qur’an kepada:

ذلك جاز قرئة او صالة او صيام ثواب لميت اهدي فاذا Artinya: “jika saja dihadiahkan kepada mayit pahala puasa, pahala shalat atau

pahala bacaan (al-Qur’an/kalimah thayyibah) maka hukumnya diperbolehkan”. (Majmu’ al-Fatawa: XXIV/322)

Page 19: Bagaimana Hukum Tahlilan

Al-Imam Abu Zakariya Muhyiddin Ibn al-Syarof, dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan panggilan Imam Nawawi menegaskan;

للميت يدعو ساعـة الدفن بعد القبر على يـمكث ان يسـتـحب: قالوا. االصحاب عليه واتفق افعى الش عليه نـص ويستغفرلهكان القرأن ختموا وان القرأن من شيئ عنده يـقرأ ان يسـتـحب

جز . ( المجموع )٢٥٨ص ٥افضل “Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk

mendo’akan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunnah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.

Selain paparannya di atas Imam Nawawi juga memberikan penjelasan yang lain seperti tertera di bawah ini;

ولجميع يزوره لمن ويدعو المقابر على يسلم ان ائر للز ويـسـتحب . من ثبـت بما والدعاء الم الس يكون ان واالفضل المقبرة اهل

عقبها لهم ويدعو ر تيس ما القرأن من يقرأ ان ويسـتـحب الحديث ) . جز المجموع االصحاب عليه واتفق افعى الش عليه )258ص 5ونص

“Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendo’akan kepada mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan do’a itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan atau diajarkan dari Nabi Muhammad Saw. dan disunnahkan pula membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdo’a untuknya, keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-Um) dan telah disepakati oleh pengikut-pengikutnya”. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, V/258)

Al-‘Allamah al-Imam Muwaffiquddin ibn Qudamah dari madzhab Hambali mengemukakan pendapatnya dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal

: . : اذا قال ه انـ احمد عن روي وقد القبر عند بالقراءة بأس وال قالايـة اقرئوا المقابر مرار  دخلتم ثالث ثم  الكـرسى الله احد هو وقل

المقابر فضله ألهل ان اللهم . قل Artinya “al-Imam Ibnu Qudamah berkata: tidak mengapa membaca (ayat-ayat al-

Qur’an atau kalimah tayyibah) di samping kubur, hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hambal bahwasanya beliau berkata: Jika hendak masuk kuburan atau makam, bacalah Ayat Kursi dan Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian iringilah dengan do’a: Ya Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi ahli kubur. (al-Mughny II/566)

Dalam al Adzkar dijelaskan lebih spesifik lagi seperti di bawah ini: اصحاب من وجماعة العلماء من وجماعة حنبل احمد بن وذهب

بعد . القارئ يـقول ان ختـيار فاال يـصل انـه الى افـعى الشوالله اعلم .  فراغه: فالن الى تـه قـرأ ما ثـواب اوصل اللهم

Artinya: Imam Ahmad bin Hambal dan golongan ulama’ dan sebagian dari sahabat Syafi’i menyatakan bahwa pahala do’a adalah sampai kepada mayit. Dan menurut pendapat yang terpilih: “Hendaknya orang yang membaca al-Qur’an setelah selesai untuk mengiringi bacaannya dengan do’a:

فالن الى تـه قـرأ ما ثـواب اوصل اللهم Ya Allah, sampaikanlah pahala bacaan al-Qur’an yang telah aku baca kepada si

fulan (mayit)”. (al-Adzkar al-Nawawi hal 150) Wallahul muwaffiq

Page 20: Bagaimana Hukum Tahlilan