Bacaan Praktikum Ke-3 Komunikasi Massa

22
MEDIA SURAT KABAR DAN MEDIA SIARAN DALAM PEMBANGUNAN PEDESAAN DI NEGARA ² DUNIA KETIGA* Amri Jahi A. Media Surat Kabar Latar Belakang Di negara-negara Dunia Ketiga, surat kabar umumnya menunjukkan ciri urban yang kuat. Surat kabar tersebut biasanya dicetak di kota besar, ibu kota negara bagian ataupun ibu kota propinsi, dan di kota metropolitan. Sirkulasi surat kabar tersebut biasanya terbatas di daerah urban dan pinggirannya (Nwuneli, 1979; Sinha, 1980; Vilanilam, 1984). Isi surat kabar itu pun menunjukkan orientasi urban yang kuat. Perhatian besar diberikan pada peristiwa 2 politik, isu-isu urban dan aktivitas 2 pembangunan yang menjadi perhatian anggota masyarakat yang lebih berada, dan tidak ditujukan pada masyarakat pedesaan (Reddy, 1983; Sinha, 1980). Surat Kabar Pedesaan Terbatasnya perhatian pers pada penduduk dan daerah pedesaan ini, ternyata terjadi di banyak negara Dunia Ketiga. Maslog (1985), melaporkan bahwa pers Asia, di luar Jepang, Hongkong, dan Singapura, tidak mencapai massa yang sebagian besar berdiam di daerah pedesaan. Surat kabar-surat kabar metropolitan itu menurut Vilanilam (1984) dan Reddy (1983) melupakan daerah pedesaan. Surat kabar-surat kabar itu hanya dibaca oleh kaum elite perkotaan. Bagi massa pedesaan, ujar Maslog 1985), hanya tersedia community newspaper dengan sirkulasi terbatas. Dalam studinya tentang lima community newspaper di Asia yang berhasil, Maslog (1985) menemukan bahwa sirkulasi harian surat kabar tersebut berkisar dari 4500 sampai 175.000. Kelima surat kabar itu ialah Amod dan Jugbaberi dari Bangladesh, lajashtan Patrika dari India, Pikiran Rakyat dari Indonesia, dan Sunday Punch dari Filipina. Yang dimaksud dengan community newspaper di sini ialah surat kabar yang diterbitkan di luar ibu kota negara dan memfokuskan diri pada berita-berita lokal. Surat kabar itu, sekalipun sirkulasinya terbatas, diharapkan dapat secara teratur membantu melayani warga masyarakat desa memenuhi kebutuhan mereka akan informasi tentang cara-cara ataupun teknologi yang telah disempurnakan. Surat kabar lokal ini oleh beberapa pengamat dianggap sebagai surat 1 Bacaan Praktikum MK Komunikasi Massa Minggu ke-3

Transcript of Bacaan Praktikum Ke-3 Komunikasi Massa

MEDIA SURAT KABAR DAN MEDIA SIARAN DALAM PEMBANGUNAN PEDESAAN DI NEGARA DUNIA KETIGA*Amri JahiA. Media Surat KabarLatar BelakangDi negara-negara Dunia Ketiga, surat kabar umumnya menunjukkan ciri urban yang kuat. Surat kabar tersebut biasanya dicetak di kota besar, ibu kota negara bagian ataupun ibu kota propinsi, dan di kota metropolitan. Sirkulasi surat kabar tersebut biasanya terbatas di daerah urban dan pinggirannya (Nwuneli, 1979; Sinha, 1980; Vilanilam, 1984). Isi surat kabar itu pun menunjukkan orientasi urban yang kuat. Perhatian besar diberikan pada peristiwa2 politik, isu-isu urban dan aktivitas2 pembangunan yang menjadi perhatian anggota masyarakat yang lebih berada, dan tidak ditujukan pada masyarakat pedesaan (Reddy, 1983; Sinha, 1980). Surat Kabar PedesaanTerbatasnya perhatian pers pada penduduk dan daerah pedesaan ini, ternyata terjadi di banyak negara Dunia Ketiga. Maslog (1985), melaporkan bahwa pers Asia, di luar Jepang, Hongkong, dan Singapura, tidak mencapai massa yang sebagian besar berdiam di daerah pedesaan. Surat kabar-surat kabar metropolitan itu menurut Vilanilam (1984) dan Reddy (1983) melupakan daerah pedesaan. Surat kabar-surat kabar itu hanya dibaca oleh kaum elite perkotaan. Bagi massa pedesaan, ujar Maslog 1985), hanya tersedia community newspaper dengan sirkulasi terbatas.Dalam studinya tentang lima community newspaper di Asia yang berhasil, Maslog (1985) menemukan bahwa sirkulasi harian surat kabar tersebut berkisar dari 4500 sampai 175.000. Kelima surat kabar itu ialah Amod dan Jugbaberi dari Bangladesh,lajashtan Patrika dari India, Pikiran Rakyat dari Indonesia, dan Sunday Punch dariFilipina. Yang dimaksud dengan community newspaper di sini ialah surat kabar yang diterbitkan di luar ibu kota negara dan memfokuskan diri pada berita-berita lokal. Surat kabar itu, sekalipun sirkulasinya terbatas, diharapkan dapat secara teratur membantu melayani warga masyarakat desa memenuhi kebutuhan mereka akan informasi tentang cara-cara ataupun teknologi yang telah disempurnakan. Surat kabar lokal ini oleh beberapa pengamat dianggap sebagai surat kabar pedesaan, yang memiliki beberapa ciri seperti diungkapkan oleh definisi-definisi berikut ini. Bashiruddin (1979) mendefinisikan surat kabar pedesaan sebagai suatu surat kabar yang diterbitkan dari daerah pedesaan, yang minimal 50 persen isinya digunakan untuk mengungkapkan masalah-masalah yang erat kaitannya dengan masyarakat pedesaan, seperti pertanian, pemerintahan lokal, dan koperasi, dan memakai bahasa sehari-hari yang digunakan oleh pembaca di daerah pedesaan.

----------------------------------------------------------------------Tulisan ini merupakan versi singkat gabungan dua tulisan penulis, yaitu: (1) Media Cetak dan Pembangunan Pedesaan di Negaa-negara Dunia Ketiga, dan (2) Media Siaran Dalam Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga. Kedua tulisan diambil dari Amri Jahi. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, Jakarta.

Moslem (1983) menyatakan bahwa surat kabar pedesaan ialah surat kabar yang diterbitkan di daerah kabupaten dan di kota kecil, bukan kota metropolitan. Kota tersebut ialah ibu kota kabupaten yang penduduknya kurang dari 100.000 orang. Berbeda dengan Bashiruddin dan Moslem, Reddy (1983) memberi penekanan pada siapa yang menerbitkan surat kabar itu, dan untuk siapa surat kabar itu diterbitkan. Menurut Reddy, surat kabar pedesaan bukanlah semata-mata surat kabar yang diterbitkan dan didistribusikan di daerah pedesaan, melainkan surat kabar dari masyarakat desa, untuk masyarakat desa, dan oleh masyarakat desa. Reddy beranggapan bahwa definisi inilah yang pantas untuk surat kabar pedesaan. Selanjutnya ia juga memasukkan surat kabar-surat kabar kecil dengan sirkulasi terbatas, yang melayani komunitas kecil dan memenuhi kebutuhan dan minat khusus mereka, sebagai surat kabar pedesaan. Di pihak lain, Indian Rural Press Association membuat definisi yang mirip dengan definisi pertama, tetapi lebih spesifik dari dua definisi lainnya. Agar layak dianggap sebagai surat kabar pedesaan, suatu surat kabar paling tidak harus meggunakan minimal 40 persen dari ruang editorialnya untuk pertanian, hortikultura, pembangunan masyarakat desa, koperasi, pemerintahan lokal, dan sebagainya (Jain, 1984).Peranan Surat Kabar Pedesaan dalam PembangunanSekarang yang ingin kita ketahui ialah apa yang dapat dilakukan oleh surat kabar pedesaan dalam pembangunan? Moslem (1983) menganggap surat kabar pedesaan sebagai prakondisi bagi pembangunan nasional. Di suatu negara Dunia Ketiga, yang mayoritas penduduknya tinggal di daerah pedesaan, tempat pertanian masih merupakan tulang punggung perekonomian nasional, pers pedesaan tidak boleh diabaikan., -Suatu pers pedesaan yang mapan dan berdasar luas dapat sangat membantu dalam mendidik, memotivasi, dan mengembangkan opini publik bagi pembangunan. Surat kabar itu dapat menjelaskan, dan menyebarkan pesan-pesan pembangunan kepada rakyat. Dengan menunjukkan celah-celah, mengkritik praktek-praktek korupsi, menemukan kelemahan-kelemahan, dan menyarankan cara pelaksanaan program-prograrn pembangunan, ia dapat memainkan peran sebagai pembaru. la dapat juga mempopulerkan prinsip-prinsip kebersihan, cara-cara keluarga berencana, dan alat-alat pertanian yang cocok untuk masyarakat pedesaan. Sejauh mana pers pedesaan :fektif menjalankan peranan-peranan ini, bergantung pada keadaan yang sebenarnya lihadapi dan strategi pembangunan nasional (Moslem, 1983).Dalam pembangunan pedesaan, pers pedesaan dapat berperan sebagai penghubung antara pemerintah dan rakyat. Karenanya, pers perlu membina hubungan baik dengan keduanya. Pers dapat membantu masyarakat mengembangkan sikap yang bijaksana terhadap berbagai macarn program pembangunan pedesaan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Kepada pemerintah dan tokoh-tokoh politik, pers menyampaikan reaksi masyarakat pada implementasi program pembangunan itu (Fain, 1984). Peran lain pers pedesaan yang juga ditunjukkan oleh Jain (1984) ialah sebagai pekerja sosial. Dalam hal ini, pers harus memperjuangkan keadilan sosial bagi masyarakat desa. Di samping itu, dalam transfer teknologi pertanian kepada para petani, pers pedesaan pun memainkan peranan yang sangat pentingPihak-pihak yang berwewenang di Indonesia menyadari bahwa negeri tersebut membutuhkan pers pedesaan untuk menggalakkan pembangunan pedesaan dan melayani 80 persen penduduknya yang bertempat tinggal di 68.000 desa. Pada awal 1980, Departemen Penerangan mengambil inisiatif untuk mengembang- kan pers pedesaan. Proyek ini bertujuan untuk membantu pers daerah, yang ada di ibu kota propinsi, menerbitkan surat kabar pedesaan. Pada awal proyek tersebut, tercatat 27 surat kabar pedesaanyang dikenal sebagai Koran Masuk Desaterbit di 13 propinsi. Dua tahun kemudian, 47 surat kabar pedesaan terbit di 26 propinsi (Departemen Penerangan, 1983a). ,,Untuk memperlancar penerbitan Koran Masuk Desa itu, pada tahap awal, surat kabar itu boleh diterbitkan sebagai rubrik khusus pada halaman-halaman tertentu atau berupa suplemen pada koran induknya. Pada tahap perkembangan selanjutnya,Koran Masuk Desa itu diharapkan terbit sebagai edisi khusus yang terpisah dari koran induknya (Departemen Penerangan, 1983a). Koran Masuk Desa itu terbit seminggu sekali. Sirkulasinya berkisar dari 4000 sampai 20.000 eksemplar setiap kali terbit (Departemen Penerangan, 1983b).Format Koran Masuk Desa ini bervariasi. Ada yang berupa lembar lebar dengan sembilan kolom, seperti Pikiran Rakyat Edisi Cirebon dan Edisi Ciamis, Mingguan Desaku Membangun, dan Bhirawa. Ada pula yang berukuran tabloid seperti Lembur Kuring, dan ada juga yang berukuran kecil, berupa sisipan dalam majalah seperti Djaka Lodang. Variasi isi Koran Masuk Desa itu kira-kira ialah 40 persen berita umum/informasi, 15 persen penerangan, 15 persen penyuluhan, 10 persen pendidikan, 10 persen hiburan/olah raga, dan 5-10 persen rubrik pembaca/iklan. Sedangkan lingkup wilayah liputan beritanya ialah: 80 persen berita-berita pedesaan/regional (desa, kecamatan, kabupaten, dan propinsi), 15 persen berita nasional, dan 5 persen berita internasional (Departemen Penerangan, 1983b). Adapun khalayak pembaca yang dituju oleh Koran Masuk Desa ini antara lain ialah pejabat-pejabat pemerintah kabupaten, kecamatan, dan desa, guru, pelajar, petani, pedagang, buruh, tentara, dan warga masyarakat desa lainnya (Departemen Penerangan, 1983a; Maslog, 1985).

Masalah-masalah yang Dihadapi Pers PedesaanBeberapa pengamat melaporkan bahwa sampai saat ini masih ada beberapa hambatan serius yang dihadapi pers pedesaan dalam menjalankan fungsinya dalam pembangunan. Hambatan-hambatan ini tampaknya berawal pada terbatasnya kemampuan baca-tulis penduduk pedesaan (Lozare, 1981; Moslem, 1983; Singh dan Ross, 1979; Vilanilam, 1984). Di India dan Bangladesh, misalnya, tingkat kemampuan baca-tulis penduduknya secara nasional ialah sekitar 30 dan 24 persen (Moslem, 1983; Vilanilam, 1984). Terbatasnya kemampuan baca-tulis penduduk pedesaan ini dapat dibayangkan menimbulkan akibat pada terbatasnya permintaan mereka akan surat kabar pedesaan. Mungkin inilah yang dimaksud oleh Moslem (1983) bahwa tingkat kemampuan baca-tulis merupakan batas alamiah yang dapat dicapai oleh sirkulasi surat kabar. Untuk mencapai pembaca di desa-desa terpencil, yang belum dilalui oleh transportasi umum secara teratur, penerbit-penerbit Koran Masuk Desa bekerja sama dengan aparat pemerintahan lokal. Pikiran Rakyat, misalnya, menerbitkan edisi pedesaannya seminggu sekali pada hari Rabu. Waktu sirkulasi itu bertepatan dengan rapat mingguan kepala desa di kecamatan. Pada kesempatan ini, Pikiran Rakyat menitipkan koran masuk desanya pada setiap kepala desa untuk disampaikan kepada pelanggan yang ada di desa masing-masing. Moslem (1983) melihat ada dua rnacam masalah, yang terkait satu sama lain, dan harus dipecahkan untuk mengembangkan pers pedesaan. Masalah pertama ialah keuangan. Pers pedesaan harus memiliki keuangan yang baik, agar dapat memiliki staf yang cukup banyak, percetakan yang lebih baik kualitasnya, dan distribusi yang juga lebih baik. Masalah kedua ialah perbaikan keuangan itu harus didukung oleh perbaikan kualitas manusia yang mengelola pers itu. Editor pemilik surat kabar pedesaan itu, staf korespondennya, dan orang-orang lain di pers tersebut tidak cukup memiliki perspektif tentang peranan pers saja, tetapi harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya.Di pihak lain, Fang Gan (1983) dan Reddy (1983) melihat bahwa surat kabar yang baik ialah surat kabar yang isi editorialnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat pedesaan. Reddy (1983) menyatakan bahwa surat kabar tersebut harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mengidentifikasikan diri sepenuhnya dengan khalayak yang akan dilayaninya. Surat kabar itu harus melibatkan diri sepenuhnya dengan setiap macam aktivitas yang ada di wilayahnya. la harus menyebarkan segala macam informasi yang saat ini belum didisseminasikan dengan baik kepada khalayak pedesaan. Satu aspek khusus peranan editorial surat kabar pedesaan yang dianggap Reddy (1983) sangat penting ialah diseminasi cerita keberhasilan pertanian setempat. Berita tentang cara-cara bertani yang telah disempurnakan, yang telah diadopsi petani, dan memberikan hasil yang mengagumkan, akan membantu meningkatkan hasil pertanian setempat. Reddy juga mengingatkan bahwa penduduk pedesaan memerlukan bahan bacaan untuk meningkatkan kemampuan baca-tulis mereka. Apabila kemampuan yang baru diperoleh itu tidak dipertahankan, maka kemampuan tersebut akan cepat hilang. Tiadanya bahan bacaan menjadi alasan utama mengapa setelah bisa membaca dan menulis, penduduk desa kehilangan kemampuan ini dengan cepat. Surat kabar pedesaan, dengan harga yang murah dan tersedia secara teratur, dapat membantu mempertahankan kemampuan baca-tulis ini.Ada juga pertanyaan tentang kelayakan ekonomik surat kabar pedesaan. Reddy (1983) menekankan agar surat kabar pedesaan dibawa ke dalam jangkauan penduduk desa. Walau seluruh biaya produksi harus diperkecil, penerbit harus tetap berikhtiar mencari jalan dan cara untuk meningkatkan pendapatanmelalui sirkulasi yang lebih besar dan pendapatan iklan yang lebih besar. Manajemen harus selalu mengenal pembaca surat kabarnya dan mengorganisasikan diri untuk mencapai mereka. la juga harus bisa mencari potensi penghasilan, membina potensi tersebut dan mengeksploitasi sumber tersebut sepenuhnya. Sama seperti khalayak pembaca yang tidak dapat dilayani oleh surat kabar nasional, maka potensi pengiklan yang tidak dapat dilayani dengan baik oleh surat kabar besar pun ada. Surat kabar kecil dan surat kabar pedesaan harus bisa meyakinkan dirinya bahwa suatu khalayak tertentu ada bagi mereka dan menunggu untuk dilayani (Reddy, 1983).Dalam hubungan ini perlu diketahui bahwa ada produk dan jasa .yang pasar utamanya itu hanya di daerah pedesaan. Potensi pasar bagi iklan melalui pers pedesaan perlu dikembangkan. Kemudian pers pedesaan itu perlu juga ditunjukkan sebagai media yang cocok bagi pengiklan untuk menyampaikan pesan-pesan penjualan kepada publik pedesaan. Pemerintah, baik sentral maupun lokal, juga dapat memanfaatkan media ini untuk menyampaikan informasi tentang rencana dalam bidang perawatan kesehatan, proyek2 pertanian, pendidikan, dan pembangunan industri kecil kepada orang2 yang ada di daerah itu (Reddy, 1983). Prospek Perkembangan Pers Pedesaan pada Masa DepanPerkembangan pers pedesaan pada masa yang akan datang, sedikit atau banyak, akan dipengaruhi oleh keberhasilan orang-orang pers dan masyarakat secara keseluruhan mengatasi masalah-masalah yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu.Walaupun orang-orang pers pedesaan di Dunia Ketiga selalu menghadapi pertanyaankapan masalah-masalah yang terkait satu sama lain itu akan terpecahkan dan bagaimana mengoperasikan pers pedesaan sembari menghadapi masalah-masalah itumereka tetap ditantang untuk menerbitkan surat kabar pedesaan itu.Keberhasilan pembangunan ekonomi dan pendidikan dasar di daerah pedesaan di banyak negara Dunia Ketiga mengakibatkan bertambahnya penduduk pedesaan yang dapat membaca dan yang memiliki tambahan penghasilan. Mereka ini merupakan khalayak potensial bagi surat kabar pedesaan.Selain itu, pengalaman Departemen Penerangan dan kelompok Pikiran Rakyat di Indonesia dalam mengembangkan sirkulasi dan kepembacaan surat kabar pedesaan boleh juga dikemukakan di sini.Selama beberapa tahun terakhir, banyak kelompok pembaca dibentuk di daerah pedesaan di Indonesia. Kelompok-kelompok pembaca ini dipakai oleh Departemen Penerangan dan kelompok Pikiran Rakyat untuk mengembangkan sirkulasi dan kepembacaan surat kabar di daerah pedesaan.Departemen Penerangan melalui juru-juru penerang yang ada di desa-desa membentuk kelompok pembaca surat kabar. Kelompok-kelompok itu menerima surat kabar pemerintah seperti Angkatan Bersenjata, Suara Karya, Berita Yudha, dan sebagainya secara gratis. Para anggota bersama-sama membaca surat kabar itu dan kemudian mendiskusikannya. Di pihak lain kelompok Pikiran Rakyat juga membentuk kelompok-kelompok pembaca surat kabar mereka di Jawa Barat. Pada mulanya kelompok-kelompok pembaca itu menerima surat kabar Pikiran Rakyat secara gratis selama tiga bulan. Setelah itu, kelompok-kelompok pembaca itu, dan mungkin juga individu-individu anggotanya akan menjadi langganan yang membayar.

B. Media Siaran

dua macam media siaran yang memiliki potensi besar untuk mendukung pembangunan pedesaan di Dunia Ketiga ialah radio dan televisi. Kedua media elektronik ini memiliki kemampuan yang besar sekali untuk mengantarkan dan menyebarkan pesan-pesan pembangunan kepada massa yang berada di tempat yang terpencar dan tersebar luas, seperti di daerah pedesaan, secara serentak dan dengan kecepatan tinggi. Selain itu, kedua media tersebut dapat dengan mudah mencapai massa khalayak yang berada di tempat-tempat yang jauh dan terpencil, yang sulit dicapai oleh alat angkutan umum. Dalam pembangunan, kedua media ini selain dipakai untuk keperluan komunikasi, banyak pula dipakai untuk mengembangkan sumberdaya manusia. Schramm (1977), misalnya, menunjukkan bahwa radio dan televisi telah digunakan orang di berbagai negara untuk: (1) mereformasi pendidikan nasional, (2) mensuplemen pengajaran di sekolah, (3) memperluas jangkauan pendidikan formal ke segmen-segmen masyarakat yang memiliki kesempatan terbatas untuk mengikuti pendidikan formal di sekolah, dan (4) memperluas jangkauan pendidikan nonformal ke segala segmen masyarakat yang membutuhkannya.

RADIO

Dalam dua dasawarsa terakhir ini, hampir setiap negara di Asia menyaksikan peningkatan jumlah pemilik radio sebanyak tiga kali lipat dari jumlah yang dimiliki pada.tahun 1965 (Amunugama, 1982). Penyebab kenaikan yang dramatik ini, tidak lain ialah penemuan transistor, yang kemudian mendorong industri komunikasi di Dunia Ketiga untuk menghasilkan radio transistor secara besar-besaran.Bertambahnya pemilikan radio ini, mengakibatkan siaran radio memiliki suatu peranan yang besar di wilayah yang sangat luas ini. Radio dapat mencapai berjuta-juta manusia secara serentak, termasuk juga khalayak yang berdiam di daerah yang jauh, dengan biaya yang relatif murah (Moses, 1974).

Di beberapa negara, radio bahkan merupakan satu-satunya alat komunikasi yang efektif untuk menghubungi tempat-tempat terpencil. Sejumlah stasiun radio digunakan untuk memancarkan berita seperti telegram untuk menyampaikan pesan-pesan dinas maupun pribadi yang mendesak ke daerah-daerah yang tidak memiliki pelayanan komunikasi konvensiond seperti pos, telegraf, dan telepon yang dapat diandalkan (Moses, 1974). Di samping keuntungan-keuntungan tefsebut di atas, radio juga memiliki keuntungan lain. Siaran radio tidak terhambat oleh tingkat ketidakmampuan baca-tulis penduduk pedesaan (Jenkins, 1982; Mishra, 1973; Moses, 1974). Di beberapa negara Asia, tingkat ketidakmampuan baca-tulis populasinya lebih dari 70 persen. Jutaan orang ini tidak disentuh oleh media massa lain, kecuali siaran radio dalam bahasa mereka sendiri.Peranan Radio dalam Pembangunan PedesaanSebagian besar kemajuan pembangunan ekonomi yang sebenarnya di negara-negara sedang berkembang bergantung pada pelibatan sehiruh bagian masyarakatnya. Siaran radio, dalam hal ini, biasanya merupakan satu-satunya cara yang paling efektif untuk mencapai mereka (Amunugama, 1982; Moses, 1974). Oleh karena itu, radio masih tetap merupakan media siaran utama yang dapat diandalkan di banyak negara di wilayah ini. Perkembangan ini, mendorong pemerintah dan perencana pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga untuk secara serius mempertimbangkan penggunaan radio dalam pembangunan. Sekarang, penggunaan media ini dalam pembangunan masih bervariasi dari negara ke negara. Beberapa negara telah memasukkan komunikasi siaran sebagai salah satu komponen perencanaan pembangunan mereka. Di sini komunikasi siaran ternyata dapat memberikan dukungan profesional yang mengagumkan. Di negara-negara lain, komunikasi siaran masih tetap dianggap sebagai penghubung yang potensinya belum sepenuhnya dipahami dan direalisasikan (Moses, 1974).Dalam pembangunan, media siaran biasanya digunakan untuk mengembangkan sumberdaya manusia. Dalam pendidikan formal maupun tidak formal, media siaran sering dipakai untuk memecahkan masalah kuantitas, kualitas, dan kesempatan untuk mendapatkan jasa pendidikan tersebut. Media siaran memungkinkan negeri yang kekurangan guru memperluas kesempatan sekolah kepada lebih banyak orang yang membutuhkannya. Radio (dengan bantuan bahan bacaan) telah digunakan di beberapa negara untuk mendidik anak-anak di sekolah yang tidak memiliki guru yang terlatih atau bahkan digunakan untuk melatih para guru itu sendiri (Jenkins, 1982).Di samping itu, media ini dapat juga digunakan untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Dalam hal ini, guru yang terbaik dipilih untuk mengajar melalui media. Mereka dapat memperkenalkan metode-metode baru untuk mengajar dan juga kurikulum baru pendidikan (Jenkins, 1982). Republik Rakyat Cina mungkin sekali adalah satu-satunya negara di Dunia Ketiga .yang paling banyak menggunakan radio untuk memenuhi kebutuhan nasionalnya. Chu (1978) melaporkan bahwa untuk mencapai seluruh rakyatnya, terutama yang berada di daerah pedesaan, pemerintah Cina mengembangkan suatu jaringan siaran radio, yang terdiri atas stasiun pemancar radio pusat, daerah, monitor, dan jaringan siaran radio berkabel. Negara Dunia Ketiga lainnya yang juga banyak memanfaatkan radio untuk kepentingan pembangunan ialah Filipina. Di negeri ini, radio dan media massa lainnya melayani pembangunan melalui fungsi-fungsi berikut ini:

(1) Sebagai legitimizer program-program pembangunankomunikasi siaran dapat memusatkan perhatian rakyat pada program-program tersebut, dan menimbulkan suatu suasana kebenaran, sehingga dapat menggalang dukungan sosial bagi pelaksanaan program-program tersebut;(2) Sebagai guru yang mengajarkan pengetahuan dan keterampilan baru, yang dituntut oleh teknologi baru.(3)Sebagai katalis perubahandengan mempengaruhi atitud dan peri laku rakyat;dan(4)Sebagai penyalur perasaanberperan sebagai katup penyelamat untuk menghilangkan perasaan tertekan yang timbul dalam proses perubahan (Songco, 1978).Dalam pendidikan nonformal, media audiovisual pun dapat menyampaikan pengajaran dalam frekuensi yang lebih banyak dan lebih baik kepada lebih banyak orang, daripada yang dapat dicapai oleh guru. Media siaran telah terbukti sangat efektif untuk menarik orang dewasa pada pendidikan. Dengan bantuan media cetak, media audiovisual dapat juga melatih orang dewasa yang tidak memiliki kesempatan untuk datang ke kelas, namun memerlukan latihan vokasional, teknikal, profesional, atau pendidikan umum dari jarak jauh. Kontribusi media audiovisual yang spektakuler pada pendidikan nonformal itu ialah pada perluasan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan bagi orang dewasa. Media, terutama radio dapat mencapai orang-orang yang memiliki kemungkin kecil untuk dicapai oleh jasa pendidikan orang dewasa lainnya (Jenkins, 1982).Di samping itu radio juga digunakan untuk memberikan dukungan publisitas pada kampanye. Schramm mengatakan bahwa kebanyakan kampanye pembangunan ialah kombinasi informasi dan persuasi. Sisi informasi ini sesunguhnya ialah pendidikan nonformal. Karena kemampuannya meliput wIlayah yang luas, dengan biaya yang relatif murah, dan dapat melangkahi batas-batas literasi dan ketersediaan arus listrik, radio tampil sebagai medium yang terbaik untuk kampanye pembangunan. Radio juga dipakai secara luas untuk menyiarkan program-program penyuluhan pertanian yang bernilai tinggi. Ada perbedaan yang perlu kita ketahui di antara forum pertanian dan kampanye ataupun sekolah radio. Pada forum pertanian, anggota-anggota kelompok pendengar mengikuti siaran radio dan kemudian mendiskusikannya. Sedangkan pada kampanye ataupun sekolah radio, peserta belajar dari radio dan media cetak di bawah bimbingan seorang pemimpin kelompok (Jenkins, 1982).Di samping itu, di banyak negara, siaran radio dapat juga ditujukan pada kelompok-kelompok pendengar yang telah diorganisasikan. Ada tiga macam kelompok yang telah dikembangkan orang untuk mengorganisasikan pendengar-pendengar radio di daerah pedesaan di Dunia Ketiga. Kelompok tersebut ialah (1) kelompok untuk membuat keputusan, (2) kelompok belajar, dan (3) kelompok diskusi (Schramm, 1971).(1) Kelompok pembuat keputusan. Kelompok semacam ini, dipakai sebagai dasar pembentukan rural radio forum. Menurut Schramm (1977) kelompok ini mula-mula dikembangkan di Kanada, kemudian dicoba di India. Setelah itu di Costa Rica, Togo, Malawi, Ghana, dan Dahomey.Kelompok tersebut dipimpin oleh seorang ketua, yang dibantu oleh seorang sekretaris untuk membuat dan mengirimkan laporan pertemuan kelompok ke kantor pembina. Sekitar 15-20 orang anggota, bertemu dua kali seminggu urituk mendengar siaran radio tentang pertanian, kesehatan, literasi, pendidikan, pemerintahan lokal, atau aspek-aspek pembangunan sosial dan ekonomi lainnya, selama 30-45 menit. Mereka kemudian mendiskusikan apa yang telah didengar, dan bila perlu, membuat keputusan untuk tindakan bersama. Pertemuan itu sering dihadiri oleh seorang penyuluh. (2) Kelompok belajar. Kelompok belajar diorganisasikan untuk warga desa yang tempat tinggalnya berdekatan, untuk belajar bersama, mendukung satu sama lain, menghubungkan pelajaran yang diterima dengan apa yang ada di masyarakatnya, dan mengambil manfaat dari bimbingan yang diberikan (Schramm, 1971).Sebuah sekolah radio ialah sebuah kelompok belajar yang diikuti oleh enam sampai sepuluh orang, ujar Schramm (1977, hlm. 245). Mereka berasal dari suatu rukun tetangga, bahkan dari suatu keluarga, yang memiliki motivasi kuat untuk belajar. Kurikulum sekolah radio itu mencakup lima bidang, yaitu kesehatan, literasi, matematika, ekonomi dan pekerjaan, dan agama. Sekolah radio itu diorganisasikan oleh seseorang yang dengan suka rela mencari radio yang dapat dipakai, tempat pertemuanbiasanya di rumah salah seorang peserta, dan pemimpin kelompok itu. la mendengar dan belajar dari siaran pendidikan itu bersama warga belajar lainnya. Jika ada di antara warga belajar yang mundur, maka ia mencari sebab-sebabnya dan sedapat mungkin berusaha mengatasinya.Prosedur belajar dalam sekolah ini ialah kumpul bersama, mendengar pelajaran yang disiarkan, mendiskusikan pelajaran itu, dan mempraktekkannya bila diminta (Schramm, 1971).(3) Kelompok diskusi. Schramm (1977) mencatat bahwa kelompok ini berkembang di beberapa negara Afrika jajahan Prancis seperti Nigeria, Togo, dan Senegal pada awal tahun 1960-an. Ide utama yang menjiwai pembentukan kelompok diskusi ini ialah bahwa suatu masyarakat harus berusaha memahami masalahnya dan mencoba memecahkan masalah itu sendiri.Tujuan utama kelompok diskusi ini, seperti kelompok pembuat keputusan, ialah menumbuhkan aksi sosial. Karena itu, anggota-anggotanya harus belajar, seperti warga belajar di sekolah radio, tetapi dengan cara yang berbeda. Para peserta kelompok diskusi secara aktif bertukar pikiran untuk mengenal situasi kehidupan mereka, menetapkan masalah yang dihadapi, dan mencari solusi bagi pemecahan masalah itu. Aktor utama kelompok diskusi ini, memuut Schramm (1977), ialah seorang pemimpin diskusi. Tugasnya ialah sebagai animateursekadar membantu agar warga masyarakat setempat mau berdiskusi, menganalisis sendiri masalah mereka dan mencari solusi bagi masalah itu. la menggalakkan proses pemecahan masalah itu, tetapi tidak mengarahkannya. Jadi ia membimbmg secara nondirective.Pemakaian radio, televisi, ataupun pita rekaman dalam proses itu, semata-mata untuk membantu mendefinisikan masalah, bukan untuk menawarkan solusi.Fungsi utama media dalam proses ini ialah menyediakan umpan balik dari komunitas itu sendiri, atau dari komunitas lain, agar kelompok diskusi itu dapat memahami situasinya sejelas mungkin. Jadi umpan balik tidak dicari untuk mendapatkan solusi dan pengajaran.

Eksperimen lain yang menyangkut siaran pedesaan dan kelompok pendengar, dilakukan di Thailand untuk menentukan apakah siaran itu dapat memperlancar komunikasi dua arah di antara penyuluh dan petani. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa:~(1) frekuensi kontak di antara petani dan penyuluh meningkat dalam kelompok pendengar itu, sehingga komunikasi dua arah di antara keduanya menjadi lebih baik. Petani merasa bahwa penyuluh berusaha memberikan informasi yang relevan dengan kebutuhan mereka;(2) retensi informasi dan belajar di kalangan petani peserta meningkat, karena minat yang tinggi pada isi siaran dan adanya pengukuhan pesan-pesan oleh berbagai saluran komunikasi;(3) penyuluh dan khalayak petani sangat termotivasi oleh aktivitas kelompok pendengar siaran pedesaan itu, karena: (a) penyuluh, setelah menganalisis laporan mingguan kelompok pendengar itu dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan petani dan berhasil memuaskan petani; (b) kunjungan petugas proyek yang teratur mengakibatkan kesinambungan pelaksanaan rencana kerja; (c) siaran tersebut juga didengar dan ditanggapi oleh petani-petani di propinsi tetangga, sehingga meningkatkan moral staf proyek; dan (d) tingginya minat pada isi program siaran pedesaan menimbulkan diskusi yang hangat dan hidup, yang mengarah pada identifikasi masalah bersama, pertukaran ide dan solusi (Supalak dan Criftin, 1976). Hal-hal yang dilaporkan di atas, juga terdapat pada kelompok-kelompok pendengar siaran pedesaan di Indonesia. Kelompok pendengar mulai dibentuk di Indonesia pada tahun 1969. Lima tahun setelah itu, jumlah kelompok pendengar yang terdaftar mencapai 12.000. Namun evaluasi yang dilakukan kemudian menunjukkan bahwa kelompok yang aktif tinggal sekitar 60 persen saja. Dari kelompok-kelompok pendengar yang masih bertahan ini, ditemukan bahwa yang aktif itu kebanyakan ialah sekretarisnya, karena ia menerima honorarium untuk laporan dan surat yang dikirimkannya ke stasiun radio pembina (Hilbrink dan Lohman, 1974).. .Untuk mengaktifkan kembali kelompok-kelompok pendengar siaran pedesaan di Indonesia, Hilbrink dan Lohman (1974) menyarankan agar kelompok-kelompok serupa itu dikembangkan menjadi kelompok-kelompok petani serba guna, yang anggota-anggotanya tidak hanya mendengarkan dan mendiskusikan isi siaran pedesaan, akan tetapi juga terlibat dalam aktivitas-aktivitas lain. Di samping itu, mereka juga menganjurkan agar kelompok-kelompok ini mendapat cukup bimbingan penyuluh dan material komunikasi lain yang dibutuhkan. Selain itu variasi isi siaran pedesaan juga perlu diperluas, tidak terbatas pada panca usaha tani padi, tanaman sela, peternakan, kesehatan, dan pendidikan pedesaan saja. Dalam kurun waktu 18 tahun setelah laporan Hilbrink dan Lohman itu, Radio Republik Indonesia secara intensif memperbaiki kualitas dan intensitas siaran pedesaannya. Contoh-contoh di atas menunjukkan keefektifan perpaduan komunikasi siaran dan komunikasi interpersonal dalam membantu petani memecahkan masalah-masalah pertanian yang mereka hadapi. Beberapa Masalah yang Timbul pada Pemakaian Radio dalam PembangunanSetelah kita mengetahui potensi radio yang besar bagi pembangunan ekonomi dan sosial di daerah pedesaan di Dunia Ketiga, kita juga hendaknya tidak meremehkan masalah-masalah yang dihadapinya. Masalah pertama yang perlu diperhitungkan terdapat pada peralatan untuk mengirim dan menerima pesan. Potensi siaran radio akan kecil nilainya, kecuali jika khalayak yang dituju dapat mendengarkan pesan-pesan pembangunan yang disampaikan itu.Masalah kedua yang dihadapi oleh penyiar-penyiar di Asia dan Pasifik ialah beragamnya bahasa yang dipakai di suatu wilayah. Hal ini mengakibatkan siaran perlu diantarkan dalam beberapa bahasa sekaligus. Konsekuensi yang timbul karena beragamnya bahasa ini ialah pada kebutuhan akan lebih banyak staf, yang tidak saja menguasai bahasa-bahasa itu, akan tetapi juga terlatih untuk memproduksi siaran radio yang sesuai dengan kebutuhan lokal (Moses, 1974).Kemudian masalah besar lainnya yang dihadapi oleh-penyiar di banyak negara Dunia Ketiga ialah khalayak yang sangat beragam dalam pendidikan dan atitud. Di masa silam, di beberapa negara ada kecenderungan untuk mendesain program hanya bagi minoritas yang berpengaruh di kota, daripada untuk mayoritas yang berdiam di daerah pedesaan (Moses, 1974). Tindakan ini tidak lagi tepat, ketika perhatian nasional mulai tertuju pada pembangunan pedesaan. Khalayak yang beragam pendidikan dan sikapnya itu harus segera diperhatikan. Pesan pembangunan harus didesain agar bermakna dan mudah mereka pahami. Oleh karena itu, orang-orang media harus memahami khalayak tersebut, termasuk kebutuhan, masalah, dan pola peri laku sosio-psikologik mereka dengan baik (Fontgalland, 1976).Hal lain yang juga menjadi masalah yang harus diperhatikan ialah penggunaan radio sebagai medium penghibur. Sampai sekarang, siaran radio masih tetap dianggap sebagai hiburan. Survei radio yang dilakukan UNESCO di 110 negara pada tahun 1971, misalnya, menunjukkan bahwa jumlah jam siaran program pendidikan setiap minggu kurang dari 3 persen dari seluruh waktu siaran radio. Waktu yang disediakan untuk siaran musik populer, drama, dan berita 40 kali lebih banyak daripada untuk siaran perididikan (Schramm, 1977).Jenkins (1982) menyatakan hambatan lain yang juga sering dialami terdapat pada waktu yang ditetapkan oleh pengelola siaran. Program pendidikan sering disiarkan pada waktu yang tidak sesuai dengan waktu luang yang dimiliki oleh banyak pendengar. Kemudian siaran tersebut tidak mungkin sering diulangi, jika waktu yang disediakan terbatas. Di samping itu program saingan yang dapat menarik perhatian pendengar, mungkin juga mengurangi kesempatan mereka untuk mengikuti program pendidikan itu.Dilema lain yang akan dihadapi dalam pemakaian radio untuk pembangunan masyarakat desa ialah membedakan penggunaan radio untuk maksud pendidikan dan propaganda politik. Isu ini penting karena hampir di seluruh negara Dunia Ketiga, media ini dioperasikan oleh atau di bawah kontrol pemerintah. Dalam situasi seperti ini, ada godaan yang besar sekali untuk menyajikan material dalam cara yang sedemikian rupa sehingga membuat pemerintah terlihat baik. Tindakan ini akan mengorbankan tujuan pendidikan pada tujuan politik. Karena itu, pembangunan dan kestabilan politik hendaknya dilaksanakan di bawah kebijaksanaan untuk mengungkapkan kebenaran dari sumber-sumber pemerintah. Khalayak pedesaan mungkin saja buta huruf dalam makna tradisional, tetapi mefeka memiliki intuisi kearifan. Jadi, akan bijaksana bila pengelola program siaran tidak meremehkan kecerdasan mereka (Rajasundaram, 1981).Prospek Pemakaian Radio dalam Pembangunan di Masa DepanAgar radio dapat berperan dalam pembangunan, maka berbagai upaya perlu dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah maupun dilema-dilema di atas.Perlu ada usaha untuk mengoreksi ketidakseimbangan program dan pelayanan program siaran stasiun-stasiun radio di banyak negara Dunia Ketiga. Walaupun demikian, tindakan tersebut haruslah proporsional agar dapat menghasilkan suatu program siaran seimbang, yang menekankan variasi dan keragaman yang mungkinditawarkan (Quaal dan Brown, 1983). Hal ini sesuai dengan sifat siaran radio, yang memang harus menghibur untuk menarik minat pendengarnya. Bila tidak, pendengar dengan mudah akan menghindar dari program yang membosankan (Moses, 1974; dan Wood, 1976). Hal lain yang juga perlu diperhatikan ialah bahwa isi program siaran, terutama yang berkaitan dengan informasi pembangunan haruslah sepadan dengan kebutuhan khalayak yang dirasakan. Di samping itu, pelayanan yang diperlukan khalayak untuk memenuhi anjuran-anjuran yang disiarkan melalui radio dapat diperoleh di lokasi yang dekat dengan tempat tinggal mereka.Siaran yang menganjurkan warga masyarakat desa agar mempraktekkan cara-cara keluarga berencana dan memvaksinasi anak-anak mereka, misalnya, tidak akan efektif, kecuali bila mereka dapat memperoleh pelayan kesehatan itu di desanya.Hasil-hasil riset berikut ini, memberi petunjuk lain tentang apa lagi yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan peranan radio dalam pembangunan pedesaan:(1) waktu siaran: pemilihan waktu siaran hendaknya sesuai dengan waktu luang yang dimiliki oleh khalayak yang dituju, dan (2) Pesan-pesan pembangunan. Dalam hal ini pengelompokan program radio menjadi pembicaraan, drama, musik, dan berita, dan sebagainya seharusnya tidak mengurangi penggunaan radio untuk pembangunan dan kesejahteraan. Pesan-pesan pembangunan dapat disisipkan dengan mudah dalam seluruh program, bila program-program itu dianggap mendidik. Jadi, penyiar, penulis naskah, direktur dan produser, komentator berita, penyusun lagu, seluruhnya dapat berperan sebagai pembawa pesan pembangunan yang potensial; (3) Lokalisasi pesan dan program. Lokalisasi pesan-pesan dan program sangat penting terutama di daerah yang terdapat perbedaan sosial dan kultural yang besar (Lozare, 1981).

TELEVISITelevisi adalah generasi baru media elektronik yang dapat menyampaikan pesan-pesan aural dan visual secara serentak. Pesan visual yang disampaikan televisi dapat berupa gambar diam ataupun gambar hidup. Yang terakhir ini, bila disajikan secara kreatif dalam tata warna yang tepat, dan diiringi oleh pesan aural yang sesuai, akan dapat menyuguhkan realita yang ada. Oleh karena itu, televisi berhasil memikat lebih banyak khalayak daripada media massa lainnya.Televisi memiliki beberapa sifat yang sama dengan radio. Pertama, televisi dapat mencapai khalayak yang besar sekali, dan mereka itu, tetap dapat mengambil manfaat, sekalipun tidak bisa membaca. Kedua, televisi dapat dipakai untuk mengajarkan banyak subjek dengan baik. Akan tetapi, pengajaran itu akan lebih efektif bila diikuti dengan diskusi dan aktivitas lain. Ketiga, televisi, sama seperti radio, dapat bersifat otoritatif dan bersahabat (Jenkins, 1982).Sifat-sifat televisi yang demikian itu menumbuhkan harapan baru pada banyak negara berkembang di Dunia Ketiga, yang menghadapi masalah mendesak dalam pengembangan sumberdaya manusianya. Masalah ini perlu segera diatasi karena pembangunan ekonomi dan sosial yang sebenarnya bergantung pada pemecahannya. Negara-negara itu berharap bahwa teknologi komunikasi ini dapat secara lebih efektif dipakai dalam pengembangan sumberdaya manusia, terutama yang ada di daerah pedesaan.Realisasi harapan tersebut tampaknya bukanlah sesuatu yang mustahil, karena ada bukti-bukti empirik yang menunjukkan bahwa kita dapat belajar banyak dari televisi dengan cara yang cukup efisien. Di samping itu pun, berbagai badan pembangunan internasional dan negara donor bersedia memberikan bantuan finansial dan teknis kepada negara-negara Dunia Ketiga yang berminat mengadopsi televisi untuk kepentingan nasional mereka.

Pemakaian Televisi dalam PembangunanSeperti media massa lainnya, televisi dapat dipakai untuk memberi tabu rakyat tentang berbagai hal yang menyangkut pembangunan nasional, membantu rakyat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, dan mendidik rakyat agar memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam pembangunan sosial maupun ekonomi. Dalam hubungan dengan butir yang terakhir ini, Schramm (1971) mengungkapkan bahwa televisi telah digunakan secara efektif untuk mengajarkan hampir segala macam subjek, baik yang teoretis maupun yang praktis, seperti matematika, IPA, bahasa, pertanian, mengetik, menjahit, memperbaiki mobil, dan sebagainya. Televisi telah digunakan untuk mendidik orang dari hamper seluruh kelompok umur dan seluruh tingkat pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah, dengan bantuan seorang guru yang terlatih ataupun tidak, dengan hasil yang mengesankan.Evaluasi yang dilakukan kemudian menunjukkan bahwa prestasi murid-murid yang menerima pelajaran melalui televisi sedikit lebih baik daripada prestasi murid-murid yang tidak menerima pelajaran melalui televisi, pada pertanyaan-pertanyaan faktual, visual, dan pengertian. Prestasi murid-murid televisi itu terbaik pada pertanyaan-pertanyaan visual, dan terendah pada pertanyaan-pertanyaan faktual. Dalam hubungan ini, pertanyaan faktual mengandung butir-butir pengetahuan dari buku ataupun kuliah. Pertanyaan visual mengandung butir-butir pengetahuan dari eksperimen, diagram, atau gambar. Sedangkan pertanyaan pengertian menuntut pelajar membuat generalisasi, deduksi, mengenal masalah ataupun hubungan, yang disajikan dalam bentuk-bentuk yang berbeda dengan contoh-contoh yang diberikan dalam pelajaran.Malaysia mulai menyiarkan televisi pendidikan pada tahun 1972 untuk mendukung pendidikan formalnya. Televisi pendidikan ini disiarkan empat kali seminggu, dengan 18 program 1520 menit. Pada tahun 1973, tercatat 2500 sekolah yang telah diberi pesawat televisi. Jumlah ini diharapkan menjadi 4000 pada akhir tahun 1974. Sekolah-sekolah yang tidak memiliki aliran listrik diberi generator pembangkit listrik, sehingga dapat mengikuti program pengajaran melalui televisi itu (Glattbach dan Balakrishnan, 1978).Menurut Chowla (1983), hasil penelitian itu menunjukkan bahwa khalayak pedesaan yang dilibatkan dalam eksperimen ini meningkat kesadarannya, dan memperoleh banyak tambahan informasi dan pengetahuan dalam bidang kesehatan dan kebersihan, politik, keluarga berencana, dan modernity secara keseluruhan. Selain itu diketahui pula bahwa peningkatan pengetahuan dan kesadaran itu lebih besar pada bagian-bagian masyarakat desa yang kurang berkembang seperti kaum wanita dan yang buta huruf. Chowla (1983), juga melaporkan bahwa bertambahnya peningkatan pengetahuan dan kesadaran itu sejalan dengan intensitas penduduk desa itu menonton televisi. Dalam bidang pertanian, terdapat petunjuk kuat bahwa sejumlah besar inovasi diterima penduduk desa karena program-program televisi itu.' Indonesia sampai saat ini belum menyiarkan televisi pendidikan sebagai program belajar formal yang khusus ditujukan pada murid-murid pada jam-jam belajar mereka di sekolah. Sekalipun demikian, pada tahun 1978, proporsi jam siaran pendidikan di Televisi Republik Indonesia mencapai 6,74 persen dari seluruh jam siaran (Maswadi Rauf dalam Alfian dan Chu, 1981). Pada tahun 1984-1985 jumlah jam siaran pendidikan ini (termasuk agama) mencapai 24 persen (Televisi Republik Indonesia, 1985). Program pendidikan nonformal ini umumnya disiarkan pada sore dan malam hari. Televisi Republik Indonesia, juga menyiarkan kuliah untuk mahasiswa Universitas Terbuka. Namun sifat siaran pendidikan jarak jauh ini masih merupakan suplemen pada modul-modul tercetak. Program 20 menit itu umumnya disiarkan dua minggu sekali. Ada kalanya hanya sekali sebulan. Di samping itu ada juga siaran pendidikan nonformal seperti Ragam Desa yang secara reguler disiarkan seminggu sekali. Program 65 menit ini ditujukan kepada para petani, ibu-ibu tani, dan penduduk desa lainnya.Masalah-Masalah dalam Pemakaian TelevisiPotensi televisi yang besar sekali untuk mendorong pengembangan sumberdaya manusia bagi pembangunan sosial dan ekonomi di daerah pedesaan di Dunia Ketiga itu, sampai saat ini belum sepenuhnya dapat direalisasikan. Ada beberapa masalah besar yang dihadapi oleh negara-negara tersebut dalam pemakaian televisi itu.Masalah pertama yang timbul dalam pemakaian televisi pendidikan berasal dari resistensi administrator pendidikan yang tidak percaya pada pengajaran melalui televisi dan guru-guru yang karena berbagai alasan merasa tidak puas dengan sistem yang ini. Masalah kedua bersumber dari tidak meratanya distribusi pesawat penerima televisi. Di negara-negara Dunia Ketiga pesawat penerima televisi masih terkonsentrasi di daerah urban. Di Indonesia dan di India misalnya, televisi masih merupakan suatu fenomena urban. Dalam hubungan ini, Alfian (1981) melaporkan bahwa jumlah pesawat penerima televisi di Jakarta secara proporsional lebih banyak daripada di daerah-daerah lain. Pada tahun 1977, dari 768.681 pesawat penerima televisi yang ada di Indonesia, 36 persen terdapat di Jakarta. Pada waktu itu, di Jakarta terdapat kira-kira satu televisi untuk 20 orang, sedangkan di Indonesia perbandingannya menjadi satu televisi untuk 240 orang.Tidak meratanya distribusi pesawat penerima televisi di negara-negara Dunia Ketiga itu, dapat diduga berkaitan erat dengan mahalnya harga pesawat penerima itu. Alfian (1981), menunjukkan bahwa pemilik-pemilik pesawat penerima televisi yang terdapat di Jakarta dan di kota-kota lain di Indonesia kemungkinan besar berasal dari kelompok menengah atas, dan kelompok atas yang berpenghasilan tinggi. Masalah ketiga yang dihadapi oleh negara-negara Dunia Ketiga untuk menggunakan televisi dalam pembangunan pedesaannya ialah biaya pembuatan dan penyiaran program televisi yang mahal sekali. Sebagai contoh, Schramm (1971) mengemukakan bahwa rata-rata biaya pembuatan dan penyiaran program televisi paling sedikit lima kali biaya pembuatan dan penyiaran program radio, sekalipun program tersebut disiarkan untuk suatu khalayak yang besar. Pada tahun pertama, seluruh biaya pembuatan program Sesame Street mencapai 50 ribu dollar Amerika per jam. Sedangkan biaya pembuatan sebuah dokumenter BBC yang tipikal, lebih dari 40 ribu dollar Amerika per jam. Di samping itu, Chowla (1983) melihat masalah keempat yang juga perlu diungkapkan di sini, yaitu: kurangnya program yang secara spesifik dijalinkan pada kebutuhan penduduk pedesaan. Chowla kemudian menyatakan bahwa situasi di India tidak banyak berbeda dengan situasi yang terdapat di negara-negara lain. Di negeri maju sekalipun, sebagian besar program televisi dibuat untuk melayani minat populasi urban.Masalah ini tampaknya berakar dari berbagai macam kesulitan untuk membuat program-program yang sesuai dengan kebutuhan penduduk pedesaan itu. Kesulitan-kesulitan itu antara lain ialah: langkanya penulis naskah, produser dan staf produksi yang terlatih dan cakap untuk membuat program-program itu, besarnya biaya produksi dan peralatan canggih yang diperlukan untuk membuat program-program semacam itu, dan juga waktu yang tersedia.Prospek Pemakaian Televisi di Masa DepanUraian-uraian di atas menunjukkan bahwa potensi televisi yang besar, belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan oleh negara-negara Dunia Ketiga dalam pembangunan pedesaan, karena alasan-alasan sosial, ekonomis, maupun teknis. Hal ini menunjukkan bahwa prospek perkembangan televisi di Dunia Ketiga pada masa yang akan datang, sedikit atau banyak, bergantung pada perubahan struktur ekonomi dan perkembangan teknologi (Jenkins, 1982).Kecenderungan yang ada sekarang menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi di negara-negara Dunia Ketiga akhir-akhir ini, memungkinkan mereka memperluas jaringan siaran televisi, baik secara konvensional maupun dengan menggunakan satelit komunikasi, dan meningkatkan kemampuan untuk membuat program-program siaran yang sesuai dengan kebutuhan penduduk pedesaannya. Tindakan yang terakhir ini dapat meningkatkan kemampuan televisi untuk memberikan pelayanan yang lebih berarti pada pembangunan pedesaan.Pemerintah Indonesia, misalnya, secara bertahap membangun unit-unit stasiun pemancar ulang siaran televisi. Pada saat ini, dari 900 unit pemancar ulang yang dibutuhkan di seluruh negara, telah didirikan 230 unit pemancar ulang di berbagai tempat (Kompas, 3 Maret, 1987). Selain itu Departemen Penerangan akan membagikan televisi umum kepada 68.000 desa yang terdapat di Indonesia. Pada tahun 1978, pemerintah Indonesia berencana untuk membagikan 6000 pesawat televisi umum ke desa-desa (Alfian, 1981). Kemudian bertambahnya kemampuan penduduk membeli pesawat televisi hendaknya tidak dilupakan. Keberhasilan pembangunan ekonomi di banyak negara Dunia Ketiga meningkatkan juga penghasilan orang-orang desa.Bertambahnya penghasilan ini mendorong lebih banyak orang untuk membeli pesawat televisi. Sebagai ilustrasi, Alfian (1986) mengungkapkan bahwa pada awal dasawarsa 1970-an, jumlah pesawat televisi di Indonesia masih berjumlah ratusan ribu, sekarang ini berlipatganda menjadi di atas lima juta." Faktor lain yang juga memungkinkan penduduk desa menikmati siaran televisi ialah adanya generator kecil pembangkit listrik. Generator ini dapat menghasilkan arus listrik untuk mengoperasikan pesawat televisi di daerah pedesaan. Sering kali, ketika memberikan pesawat televisi umum pemerintah juga harus memberikan generator kecil pembangkit listrik ini. Perkembangan teknologi komunikasi akan mempengaruhi pemakaian media ini dengan lebih leluasa pada masa yang akan datang. Kaset video, misalnya, memungkinkan kita merekam siaran televisi dan menontonnya kembali. Teknologi ini sangat membantu siapa saja yang belajar di sekolah televisi, di universitas terbuka, ataupun di balai desa untuk mengikuti program siaran belajar membaca, menyusun menu bayi, membuat kue, dan lain sebagainya.Kemudian satelit komunikasi dengan daya pancar yang lebih besar memungkinkan siapa saja yang mampu di desa menangkap siaran langsung. Akan tetapi, program televisi melalui satelit ini, ujar Jenkins (1982) hanya ekonomis bila disiarkan ke daerah yang sangat luas. Siaran ke daerah yang luas ini memiliki kelemahan, karena di daerah yang luas perbedaan kultur dan bahasa dapat besar sekali. Akibatnya kebutuhan khalayak tidak mungkin terpenuhi oleh siaran seperangkat program saja.Perkembangan teknologi lain yang akan mempengaruhi pemakaian televisi di Dunia Ketiga ialah penemuan pesawat televisi yang dioperasikan oleh tenaga matahari. Penemuan ini akan menghilangkan ketergantungan penduduk desa pada sumber listrik konvensional untuk mengoperasikan pesawat televisi mereka.1 Bacaan Praktikum MK Komunikasi Massa Minggu ke-3