BACA KYOTO

90
ALIH GUNA LAHAN DAN NERACA KARBON TERESTRIAL Kurniatun Hairiah dan Daniel Murdiyarso WORLD AGROFORESTRY CENTRE, ICRAF S.E. ASIA

Transcript of BACA KYOTO

Page 1: BACA KYOTO

ALIH GUNA LAHAN DAN NERACA KARBON TERESTRIAL

Kurniatun Hairiah dan Daniel Murdiyarso

WORLD AGROFORESTRY CENTRE, ICRAF S.E. ASIA

Page 2: BACA KYOTO

2

Kritik dan saran dialamatkan kepada: Prof. Dr. Kurniatun Hairiah Universitas Brawijaya, Fakultas Pertanian, Jl Veteran 65145, Malang Telp: 0341-564355 Fax: 0341-564333 Email: [email protected] dan [email protected] Prof. Dr. Daniel Murdiyarso Institut Pertanian Bogor, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Bogor Email: [email protected] Terbit bulan Juli 2007 © copyright World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Untuk tujuan kelancaran proses pendidikan Bahan Ajaran ini bebas untuk difotocopi sebagian maupun seluruhnya Diterbitkan oleh: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office PO Box 161 Bogor, Indonesia Tel: +62 251 625415, 625417; Fax: +62 251 625416 Email: [email protected] Ilustrasi cover: Wiyono Tata letak: Tikah Atikah

Page 3: BACA KYOTO

3

DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN.................................................................................................... 4

2. KARBON TERESTRIAL DAN PERUBAHAN IKLIM ............................................... 8 2.1. Siklus karbon global ..........................................................................................8 2.2. Penyebab terjadinya perubahan iklim global....................................................12 2.3 Cadangan karbon terestrial ................................................................................14 2.4 Alih-guna lahan sebagai sumber dan rosot karbon ...........................................23 2.5 Perkiraan dampak perubahan iklim ..................................................................25

3. TERTARIKKAH PETANI PADA CADANGAN KARBON?..................................... 29 3.1 Mengapa petani melakukan pembakaran? ........................................................29 3.2. Teknik pembukaan lahan dan penurunan cadangan karbon .............................34

4. PENGUKURAN CADANGAN KARBON ............................................................... 38 4.1. Karbon di atas permukaan tanah.......................................................................41 4.2 Karbon di bawah permukaan tanah...................................................................41 4.3 Tanah gambut....................................................................................................47 4.4 Studi kasus: Cadangan C rata-rata per siklus tanam di Jambi ..........................47 4.5 Usaha memaksimalkan cadangan karbon di tingkat bentang lahan: sistem 'segregasi' atau 'integrasi' .........................................................................................50

5. SIMULASI CADANGAN C ................................................................................... 53 5.1. Mengapa kita harus menggunakan simulasi model? ........................................53 5.2 Model CENTURY: simulasi pada alih guna lahan...........................................53 5.3. Contoh hasil simulasi........................................................................................56

6. PERDAGANGAN KARBON INTERNASIONAL .................................................... 60 6.1. Kenapa karbon diperdagangkan?.....................................................................60 6.2. Skema Clean Development Mechanism (CDM) .............................................61 6.3. Mekanisme non-Kyoto.....................................................................................74 6.4. Persiapan Indonesia dalam perdagangan C......................................................78

BAHAN BACAAN...................................................................................................... 82

KAMUS ISTILAH....................................................................................................... 86

Page 4: BACA KYOTO

4

1. PENDAHULUAN

Pada prinsipnya unsur-unsur iklim seperti suhu udara dan curah hujan dikendalikan oleh keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer. Rata-rata jumlah radiasi yang diterima bumi seimbang dengan jumlah yang dipancarkan kembali ke atmosfer setelah digunakan untuk menguapkan air, memanaskan udara dan memanaskan permukaan tanah. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh keberadaan gas-gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O). Gas-gas tersebut memiliki kemampuan menyerap radiasi balik atau radiasi gelombang panjang dari permukaan bumi, sehingga suhu atmosfer atau udara bumi meningkat. Karena kondisi ini sama dengan kondisi di dalam rumah kaca maka gas-gas tersebut disebut gas rumah kaca (GRK) dan akibat yang ditimbulkan disebut efek rumah kaca. Tanpa GRK yang memiliki waktu tinggal (life time) yang panjang, suhu bumi diperkirakan mencapai 34 oC lebih dingin dari yang kita alami sekarang.

Masalahnya adalah bahwa konsentrasi GRK saat ini sudah mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer sebagai akibat kegiatan manusia (anthropogenic) dalam hal konsumsi bahan bakar fosil (BBF) sejak revolusi industri pada pertengahan tahun 1880an dan alig-guna lahan. Walaupun pada dekade terakhir ini emisi CH4 mengalami penurunan hingga 22 juta Mg th-1 dari 37 juta Mg th-1 pada dekade terdahulu, dan emisi N2O juga menurun sedikit dari 3,9 menjadi 3,8 juta Mg th-1, tetapi emisi CO2 meningkat lebih dari dua kali lipat dari 1400 juta Mg th-1 menjadi 2900 juta Mg th-1 dalam dekade yang sama.

Secara umum adanya akumulasi peningkatan emisi GRK antropogenik meningkatkan konsentrasi GRK (Tabel 1), akibatnya suhu atmosfer bumi sekarang menjadi 0,5 oC lebih panas dibanding suhu pada jaman pra-industri. Dalam jangka panjang suhu bumi akan cenderung semakin panas dari suhu yang seharusnya kita rasakan jika kita tidak berupaya menurunkan dan menstabilkan konsentrasi GRK.

Tujuan 1. Mempelajari dampak alih-guna lahan terhadap cadangan karbon terestrial

pada tingkat global dan lokal 2. Memahami praktek yang dilakukan petani dalam melakukan kegiatan

tebang-dan-bakar untuk persiapan lahan 3. Membahas dampak jangka panjang alih-guna lahan terhadap cadangan

karbon terestrial dengan menggunakan simulasi model CENTURY 4.0 4. Mempelajari peranan karbon terestrial dalam perdagangan karbon

internasional untuk perlindungan iklim global

Page 5: BACA KYOTO

5

Tabel 1. Karakteristik gas rumah kaca utama

Karakteristik CO2 CH4 N2O Konsentrasi pada pra-industri Konsentrasi pada 1992 Konsentrasi pada 1998 Laju kenaikan per tahun Persen kenaikan per tahun Masa hidup (tahun) Kemampuan memperkuat radiasi

290 ppmv355 ppmv360 ppmv1,5 ppmv

0,4 5-200 1

700 ppbv1714 ppbv1745 ppbv

7 ppbv 0,8 12-17 21

275 ppbv311 ppbv314 ppbv0,8 ppbv 0,3 114 206

Keterangan: ppmv: part per million by volume ppbv: part per billion by volume Meskipun konsentrasi dan laju pertumbuhan CH4, dan N2O relatif rendah, tetapi kemampuan memperkuat radiasi (radiative forcing) gelombang pendek menjadi gelombang panjang (yang bersifat panas) jauh lebih besar dibanding CO2 yang konsentrasi dan pertumbuhannya lebih besar. Kedua GRK tersebut masing-masing mampu memperkuat radiasi sekitar 20 dan 200 kali kemampuan CO2. Hal ini berarti bahwa kenaikan yang sekecil apapun dari kedua GRK tersebut harus tetap dikendalikan. Uap air (H2O) sebenarnya juga merupakan GRK yang penting dan pengaruhnya dapat segera dirasakan. Misalnya pada saat keawanan dan kelembaban tinggi pada saat menjelang turun hujan, udara terasa panas karena radiasi gelombang-panjang tertahan uap air atau mendung yang menggantung di atmosfer. Namun H2O tidak diperhitungkan sebagai GRK yang efektif dan tidak dipergunakan dalam prediksi perubahan iklim karena keberadaan atau masa hidup (life time) H2O sangat singkat (9,2 hari). Sementara itu untuk CO2, CH4, dan N2O seperti terlihat dalam Tabel 1 cukup panjang. Mengingat begitu banyaknya kemungkinan penyebab terjadinya peningkatan suhu dan pada gilirannya curah hujan dan faktor-faktor iklim lainnya, beberapa pertanyaan kemudian muncul. Apakah benar GRK antropogenik penyebab utamanya? Dari mana kita tahu GRK di atmosfer itu antropogenik? Kontroversi ini kemudian terjawab ketika para ilmuwan mencoba memisahkan antara perubahan faktor-faktor iklim yang disebabkan oleh pembakaran BBF dan alih-guna lahan (khususnya deforestasi) dari pengaruh faktor alami (Tabel 2). Termasuk dalam faktor alami ini adalah faktor internal (interaksi atmosfer dan lautan) dan faktor eksternal (variasi input radiasi matahari dan konsentrasi partikel aerosol di atmosfer atas) yang secara historis telah berperan dalam menentukan suhu bumi.

Page 6: BACA KYOTO

6

Tabel 2. Pemisahan pengaruh unsur-unsur antropogenik dan alami

GRK alami GRK antropogenik Internal Eksternal

• Pembakaran bahan bakar fosil (batubara, minyak, dan gas alam)

• Alih-guna lahan

Interaksi antara lautan dan atmosfer

• Input energi matahari

• Letusan gunung api

Bagaikan seorang dokter, upaya ini seperti mencari penyebab

demamnya pasien yang datang ke rumahsakit dengan suhu badan 40oC. Setelah memeriksa kondisi fisik luarnya, dokter akan menyarankan pasien pergi ke laboratorium untuk memeriksakan darah atau air seni, sebab demam hanyalah gejala belaka. Diagnosis seperti ini juga dilakukan untuk melihat penyebab naiknya suhu bumi. Antara lain melalui pengamatan lapisan atmosfer atas dengan radiosonde dan penginderaan jauh hanya mampu merekonstruksi data selama 40 tahun. Akan tetapi jangka pengamatan itu terlalu pendek untuk dapat menjelaskan pengaruh manusia.

Selanjutnya diagnose dilakukan dengan pemodelan yang melibatkan lebih banyak unsur antropogenik yang mungkin mempengaruhi suhu bumi, termasuk diantaranya konsentrasi GRK yang akan menimbulkan efek rumahkaca yang memanaskan atmosfer dan partikel aerosol sulfat yang justru akan mendinginkan atmosfer. Adapun unsur alami yang dipertimbangkan di dalam pemodelan adalah aerosol dari letusan gunung api, variabilitas matahari, dan kondisi topografi. Untuk menguji validitas model sirkulasi global (Global Circulation Model, GCM) para peneliti lantas membandingkan hasil pemodelan dan hasil pengamatan jangka panjang. Hasil yang diperoleh adalah: • Adanya kesesuaian hasil pemodelan dan pengamatan dalam jangka 30-50

tahun • Informasi yang dihasilkan tidak hanya berupa tabulasi tetapi juga dalam

bentuk peta sehingga diperoleh gambaran mengenai variabilitas horisontal dan vertikal baik secara ruang (geografis) maupun waktu

• Pengaruh faktor antropogenik dan alam dapat dipisahkan • Memasukkan aerosol antropogenik ke dalam perhitungan akan

memperbaiki hasil prediksi model Untuk membuktikan bahwa karbon yang meningkat jumlahnya adalah antropogenik, para ilmuwan melakukan studi detail tentang inti karbon di laboratorium dan pengamatan di stasiun-stasiun dalam jangka yang sangat panjang. Dari studi ini mereka menemukan bahwa pertama, karakteristik inti atom karbon yang berasal dari pembakaran BBF berbeda dengan inti karbon dari emisi alam. Karena fosil telah terpendam di lapisan dalam sejak puluhan juta tahun yang lalu maka sifat radioaktif inti karbon nya sudah hilang sementara karbon alami yang berasal dari permukaan atau dekat permukaan bumi intinya memiliki porsi radioaktif yang cukup besar. Meningkatnya

Page 7: BACA KYOTO

7

konsentrasi karbon radioaktif rendah telah menyebabkan "pengenceran" kadar radioaktif karbon atmosfer secara keseluruhan. Kedua, dari hasil rekaman yang terdapat pada lingkar pohon (tree rings) ditunjukkan bahwa fraksi karbon -14 radioaktif makin mengecil dalam kurun waktu antara tahun 1850 hingga 1950. Ketiga, pengamatan jangka panjang di puncak Gunung Mauna Loa di Hawaii yang berada di tengah-tengah Samudera Pasifik dan di Kutub Selatan. Data konsentrasi CO2 di atmosfer dan di dalam contoh es yang diambil dari dua tempat yang tidak mengalami gangguan berupa lonjakan, GRK antropogenik tersebut direkonstruksi dalam kurun waktu 1850 hingga 2000 menunjukkan peningkatan konsentrasi CO2 yang cukup berarti dari 290 hingga 360 ppm seperti terlihat dalam Gambar 1. Gambar 1. Konsentrasi CO2 di atmosfer yang direkonstruksi dari

pengukuran langsung di atmosfer dan di dalam contoh es di kutub (Sumber: IPCC, 2001)

Gambar 2 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 100 tahun yang lalu peningkatan suhu bumi sebesar 0,5 oC telah dipengaruhi oleh peningkatan CO2 di atmosfer. Dengan pola konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi seperti sekarang, Gambar 2 juga menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 100 tahun mendatang konsentrasi CO2 akan meningkat dua kali lipat dibanding zaman industri, yaitu sekitar 580 ppm. Dalam kondisi demikian prediksi jangka panjang berbagai GCM memperkirakan peningkatan suhu bumi antara 1,7 - 4,5 oC. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) peningkatan suhu global sebesar itu akan disertai oleh naiknya tinggi muka air laut antara 15 hingga 95 cm. Hal ini terjadi karena mengembangnya volume air dan mencairnya es di kedua kutub bumi. Tentu saja variasi perubahan akan terjadi dari satu wilayah ke wilayah lain. Lebih jauh dikemukakan bahwa peningkatan suhu tertinggi terjadi pada musim dingin di Benua Arktika. Peningkatan suhu pada malam hari akan lebih besar dibanding peningkatan suhu siang hari.

Page 8: BACA KYOTO

8

Gambar 2. Perubahan suhu udara 100 tahun yang lalu dan yang akan datang akibat peningkatan konsentrasi GRK yang diprediksi oleh berbagai model sirkulasi global (Sumber: IPCC, 2001).

2. KARBON TERESTRIAL DAN PERUBAHAN IKLIM 2.1. Siklus karbon global

Dimulainya kehidupan di bumi ini menyebabkan terjadinya konversi CO2 di atmosfer dan di lautan menjadi bentuk-bentuk C organik maupun anorganik lautan dan terestrial. Sejak ribuan tahun yang lalu perkembangan kehidupan di berbagai ekosistem alami membentuk suatu siklus yg menggambarkan pertukaran C yang terjadi secara alami antara atmosfer, lautan dan daratan. Pola pertukaran ini lambat laun telah dan akan terus berubah karena adanya aktivitas manusia. Aktivitas tersebut telah meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfer dari 285 ppmv pada jaman revolusi industri tahun 1850an menjadi 336 ppmv di tahun 2000. Jadi dalam kurun waktu 150 tahun konsentrasi CO2 di atmosfer telah meningkat sekitar 28 %.

Sumber (source), rosot (sink) dan kenaikan CO2 dapat dilihat pada Tabel 3. Dari tabel ini terlihat bahwa setiap tahun konsentrasi CO2 atmosfer bumi bertambah dengan laju yang sangat tinggi. Bahkan kenaikan dalam dekade terakhir telah meningkat dua kali lipat dari dekade sebelumnya.

Page 9: BACA KYOTO

9

Tabel 3. Sumber, rosot dan peningkatan emisi CO2 (Gt C/th) *

1980-1989 1990-1999 1. Sumber

• Pembakaran BBF dan produksi semen

• Alih-guna lahan tropis Emisi total

5.5 + 0.3 1.6 + 1.0

7.1 + 1.1

6.3 + 0.4 1.7 + 0.8

8.0 + 0.6 2. Rosot

• Atmosfer • Lautan • Pertumbuhan hutan sub tropis Penyerapan total

3.2 + 0.2 2.0 + 0.5 0.5 + 0.5

5.7 + 1.5

3.2 + 0.1 1.7 + 0.5 0.2 + 0.2

5.1 + 0.7

Peningkatan CO2 1.4 + 1.5 2.9 + 0.6 Sumber: IPCC (1995), IPCC (2001) *) catatan: 1 Gt = 1 gigaton = 1 x 109 ton (Ton = Mega gram) Menarik untuk diperhatikan bahwa alih-guna lahan di daerah tropis merupakan sumber CO2 terbesar kedua setelah pembakaran BBF. Artinya negara berkembang yang memiliki hutan luas seperti Indonesia yang masih memerlukan lahan baru untuk usahataninya perlu merencanakan dengan matang kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan konversi hutan dan deforestasi. Jika upaya konversi hutan masih harus dilanjutkan, maka para ilmuwan perlu memberi masukan ilmiah bagi usaha tersebut, sehingga pilihan-pilihan yang diambil tetap mempertimbangakn keberlanjutan usahatani dengan tingkat produktivitas lahan yang tetap tinggi sementara memperhatikan kaidah lingkungan, baik untuk kepentingan lokal maupun global. Cadangan karbon

Siklus karbon global dapat disederhanakan dalam Gambar 3. Dari gambar tersebut terlihat bahwa cadangan karbon (di dalam kotak) tertinggi adalah di lautan, yaitu sekitar 39.000 Gt C atau sekitar 80 % dari jumlah seluruh karbon yang ada di alam, yaitu sekitar 48.000 Gt. Urutan cadangan terbesar kedua adalah fosil yang menyimpan karbon sekitar 6000 Gt. Selanjutnya, cadangan karbon di hutan yang meliputi biomasa pohon dan tanah hanya sekitar 2500 Gt. Sedang atmosfer menampung karbon sekitar 800 Gt.

Page 10: BACA KYOTO

10

Gambar 3. Siklus karbon global yang menunjukkan cadangan karbon (C-

stock) yang ada di bumi (dalam Gt) dan fluks karbon (dalam Gt th-1) yang berkaitan dengan adanya gangguan manusia. Data diambil berdasarkan nilai rata-rata 1989-1998 (Sumber : Ciais et al., 2000).

Fluks karbon

Aliran karbon (C-fluks) digambarkan dengan tanda panah dalam satuan Gt C th-1. Proses ini terdiri dari pelepasan (emission) dan penyerapan (sequestration). Penggunaan bahan bakar fosil (dan pabrik semen) yang melepaskan CO2 sekitar 6,3 Gt C th-1, dengan penyerapan karbon tahunan sekitar 2,3 Gt oleh lautan dan sekitar 0,7 Gt oleh ekosistem daratan, dan sisanya 3,3 Gt masuk ke dalam cadangan karbon di atmosfer. Penggunaan karbon organik dari fosil berlangsung lebih cepat dari pembentukannya dan hanya sekitar 0,2 Gt th-1 dapat kembali melalui proses sedimentasi dalam waktu yang panjang.

Penyerapan CO2 neto oleh lautan per tahunnya relatif kecil dibandingkan dengan pertukaran CO2 antara atmosfer dan lautan. Pada tempat dengan garis lintang rendah di tropika umumnya, tingkat pelepasan CO2 ke atmosfer lebih banyak dari pada penyerapannya, hal sebaliknya terjadi pada tempat dengan garis lintang tinggi. Hal yang sama juga terjadi pada ekosistem daratan, penyerapan CO2 sekitar 0,7 Gt C th-1 suatu jumlah yang relatif rendah bila dibandingkan dengan fluksnya. Vegetasi menyerap karbon sekitar 60 Gt th-1, tetapi jumlah dilepaskan melalui respirasi dan pembakaran

Page 11: BACA KYOTO

11

hampir sama dengan jumlah yang diserap. Beberapa dekade terakhir, ekosistem tropis merupakan sumber karbon karena adanya alih-guna hutan atau deforestasi dalam jumlah yang besar. Di lain pihak, hutan di daerah sub tropis umumnya telah pulih kembali karena turunnya deforestasi dan naiknya laju pertumbuhan hutan sebagai akibat dari peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer. Besarnya peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer masih terus diperdebatkan, jumlah karbon yang terdapat pada ekosistem terestrial (vegetasi+tanah) sekitar 3,5 kali jumlah karbon yang terdapat di atmosfer. Jumlah ini selalu berubah tergantung pada proses fotosintesis dan respirasi tanaman. Secara umum, tanah di daerah sub tropis menyimpan CO2 relatif lebih banyak dibanding vegetasi yang tumbuh di atasnya, tetapi untuk untuk daerah tropis kondisi tersebut hanya dijumpai pada tanah gambut, karena sebagian cadangan karbon tersimpan di dalam biomassa.

Bila di waktu yang akan datang kita lakukan ekstrapolasi, maka pertama kali yang harus dipertimbangkan adalah penggunaan BBF. Bila jumlah energi per kapita terus meningkat karena meningkatnya jumlah penduduk, maka hal ini akan meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfer dalam jumlah yang sangat besar. Jadi usaha menekan pelepasan CO2 ke atmosfer merupakan agenda utama kita. Isu paling hangat adalah yang berhubungan dengan kesamaan hak antar negara. Negara berkembang beranggapan bahwa: • Negara maju yang telah mengemisikan GRK sejak lama dan dalam jumlah

yang besar, bertanggungjawab menurunkan emisinya dengan target jumlah dan waktu yang jelas

• Negara berkembang harus mendapat kesempatan melanjutkan pembangunan ekonominya dan tetap mempunyai hak dalam meningkatkan emisi melalui peningkatan konsumsi BBF dan alih-guna lahan.

Dalam kesepakatan internasional pemerintah negara-negara di dunia ini telah menyepakati tingkat penurunan emisi untuk setiap negara maju dengan prinsip tanggungjawab bersama tetapi dengan kewajiban yang berbeda (common but differenciated responsibility). Isu ini merupakan debat utama di tingkat internasional yang berhubungan ketika Protokol Kyoto dilahirkan. Melalui mekanisme Kyoto negara berkembang dapat berpartisipasi dalam Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM) yang akan dibahas dalam Bab 6. Faktor penghambat

Secara umum, lautan dan daratan berperanan penting dalam menyerap CO2. Serapan karbon neto oleh lautan merupakan penyangga utama dalam memperlambat peningkatan CO2 atmosfer. Lautan secara aktif melakukan pertukaran CO2 dengan atmosfer, terutama dalam bentuk karbon anorganik terlarut. Namun demikian lautan menyerap karbon hanya dalam jumlah sedikit karena kelarutan CO2 dalam air sangat lambat dan tergantung pada percampuran antara air di lapisan permukaan dengan dasar lautan. Untuk serapan karbon secara biologi, sangat penting untuk mengurangi polusi. Aktivitas biologi yang berperanan penting dalam menyerap CO2 yang hanya terjadi pada lapisan yang berada pada beberapa meter di bawah permukaan air laut. Salah satu faktor utama yang membatasi aktivitas biologi

Page 12: BACA KYOTO

12

tersebut adalah fluks hara (terutama unsur besi, Fe) dari daratan misalnya debu dari padang pasir.

Serapan karbon oleh ekosistem daratan dapat juga berperan sebagai penyangga tetapi tingkatannya masih lebih kecil bila dibandingkan dengan peran lautan. Hal penting yang banyak dibicarakan bahwa karbon yang disimpan dengan cara tersebut bersifat sementara, masih rawan untuk mengalami perubahan dan akan terlepas kembali ke atmosfer. Usaha mengurangi emisi, bila terjadi, diyakini tidak akan mampu untuk mencegah pemanasan global. Usaha peningkatan serapan hanya akan memperlambat peningkatan konsentrasi GRK, karena emisinya jauh lebih besar. Di masa yang akan datang usaha penurunan emisi atau pelepasan karbon ke atmosfer harus diutamakan jika pokok permasalahan perubahan iklim hendak dipecahkan.

Dengan hanya melihat pada besarnya cadangan karbon dan fluks karbon yang ada saat ini, terkesan bahwa usaha meningkatkan cadangan karbon di sistem daratan merupakan kontribusi yang sangat berarti dalam mememecahkan masalah peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer. Namun demikian, dengan jalannya waktu akan ada resiko bahwa karbon yang tersimpan sebagai cadangan karbon di daratan akan kembali lepas ke atmosfer. Berdasarkan model terbaik yang dapat mensintesis proses ekologis yang ada dapat diramalkan bahwa dengan meningkatnya CO2 dan suhu di atmosfer, maka pengaruh “pemupukan” CO2 akan berakhir, sedang tingkat respirasi akan meningkat. Dengan demikian sistem daratan akan menjadi sumber karbon neto. Jadi, usaha meningkatkan simpanan di daratan dengan meningkatkan cadangan karbon di pepohonan dan hutan, tetapi dilain pihak bisnis penggunaan BBF harus ditangani sesegera mungkin.

Penyerapan karbon oleh ekosistem terestrial ini masih merupakan fungsi daratan yang sangat relevan masa transisi dalam upaya memenuhi target ekonomi global dan upaya memenuhi kebutuhan akan energi dengan jalan yang lebih ramah lingkungan. Perlu dicari bentuk sumber energi alternative yang terbarukan dan dapat menggantikan BBF secara berangsur-angsur.

Bahan Diskusi

• Bahas beberapa pola penggunaan lahan yang dapat berperan nyata dalam

perlindungan cadangan karbon pada ekosistem terestrial • Diskusikan jangka waktu berlangsungnya peranan ekosistem tertestrial • Bahas resiko pelepasan CO2 ke atmosfer dengan adanya peningkatan

cadangan karbon pada ekosistem terestrial

2.2. Penyebab terjadinya perubahan iklim global

Perubahan iklim terjadi terutama berhubungan dengan berubahnya

komposisi gas di atmosfer. Hal ini mempengaruhi keseimbangan antara radiasi matahari yang datang dengan gelombang panjang yang dipantulkan

Page 13: BACA KYOTO

13

kembali sebagai panas (lihat Gambar 4). Efek ini sama dengan kondisi di dalam rumah kaca yang memungkinkan sinar matahari untuk masuk tetapi energi panas yang keluar sangat sedikit, sehingga suhu di dalam rumah kaca sangat tinggi. Dengan demikian pemanasan global disebut juga efek rumahkaca dan gas yang menimbulkannya disebut gas rumah kaca (GRK).

Gambar 4. Gas rumahkaca yang menyelimuti atmosfer bumi akan menyerap

radiasi gelombang panjang yang memanaskan bumi (Sumber: UNEP/WMO, 2000)

Gas apa saja yang termasuk dalam kelompok gas rumah kaca? Gas-gas yang telah disepakati pada tingkat internasional adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), perfluorokarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon (HFC) dan sulfurheksfluorida (SF6). Untuk memudahkan perhitungan pencapaian komitmen atu target penurunan emisi, semua gas dinyatakan dalam ekivalen terhadap CO2 dengan memperhitungkan berat molekulnya. Tiga GRK pertama sering juga disebut sebagai GRK utama yang laju emisi dan konsentrasinya di atmosfer semakin meningkat dengan meningkatnya kegiatan manusia yang menggunakan BBF untuk pembangkit tenaga listrik, transporatsi, industri serta kegiatan lain yang berhubungan dengan alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman. Beberapa kegiatan manusia yang mempengaruhi emisi GRK antara lain adalah: • Penggunaan bahan bakar fossil (BBF). Terjadi pada sektor energi,

industri, dan transportasi. Kegiatan ini dapat dikendalikan dengan teknologi yang rendah emisi atau menggunakan energi yang terbarukan

• Alih-guna lahan. Melibatkan sektor kehutanan, pertanian, perkebunan dan pemukiman. Kegiatan ini dapat menjasi sumber (source) dan rosot (sink) GRK, tergantung dari tipe penggunaan lahannya.

Page 14: BACA KYOTO

14

2.3 Cadangan karbon terestrial

Beberapa faktor yang mempengaruhi serapan karbon neto oleh ekosistem terestrial adalah adanya alih-guna lahan (misalnya lahan hutan dikonversi menjadi lahan pertanian) dan adanya respon ekosistem daratan terhadap “pemupukan” CO2 , deposisi hara, variasi iklim dan adanya gangguan (misalnya kebakaran hutan). Ketiga faktor tersebut saling berinteraksi dengan hasil yang ditentukan oleh kekuatan setiap faktor.

Separuh dari Produktivitas Primer Bruto (Gross Primary Productivity, GPP) global yang terakumulasi pada suatu sistem bentang alam akan direspirasikan ketika sistem itu “bernafas” dan mengambil oksigen alam. Karena itu bahan organik atau bahan kering yang tersimpan dalam bentuk biomasa dan seresah atau Produktivitas Primer Neto (Net Primary Productivity, NPP) juga hanya separuhnya. Penebangan hutan atau untuk pembukaan lahan atau panen pada lahan pertanian selanjutnya akan meningkatkan emisi CO2 ke atmosfer. Karbon yang telah disimpan sebagai biomasa tanaman akan dilepaskan ke atmosfer lewat penebangan, pembakaran atau dekomposisi bahan organik di atas dan di bawah permukaan tanah selama dan setelah penebangan dan pembakaran hutan. Dengan demikian cadangan karbon pada ekosistem tersebut direduksi cukup substansial menjadi Produktivitas Ekosistem Neto (Net Ecosystem Productivity, NEP). Sementara itu ekosistem masih mengalami gangguan dari waktu ke waktu berupa kebakaran, hama dan penyakit sehingga Produktivitas Biome Neto (Net Biome Productivity, NBP) yang tersimpan dalam jangka pendek menjadi semakin kecil. Dengan demikian untuk mempelajari neraca karbon global, diperlukan pengetahuan tentang hubungan antara cadangan karbon dengan sistem penggunaan lahan. Secara skematis perubahan cadangan karbon dari waktu ke waktu dalam proses ekosistem dapat dilihat pada Gambar 5.

Dari skema di atas terlihat bahwa GPP yang biasanya diukur pada seluruh bagian tanaman yang berfotosintesa sebagai gambaran mengenai banyaknya bahan kering yang diakumulasikan per satuan waktu (tahun) mencapai 120 Gt C th-1. Setelah mengalami respirasi, NPP sistem tersebut yang diukur langsung pada seluruh bagian tanaman dalam bentuk biomasa jaringan tanaman mencapai 60 Gt C th-1. Sementara itu dekomposisi bahan organik telah menurunkan NPP menjadi NEP hingga sebesar 10 Gt C th-1. NEP merupakan selisih antara tingkat produksi karbon dari biomasa tanaman dengan tingkat dekomposisi bahan organik dari bagian mati (nekromasa) tanaman (heterotrophic respiration). Respirasi heterotropik tersebut mencakup kehilangan karbon karena dikonsumsi herbivore dan melalui dekomposisi bahan organik oleh organisma tanah. NEP dapat diduga melalui dua jalan: (1) mengukur perubahan cadangan karbon dalam vegetasi dan tanah per tahun, (2) mengintegrasikan jumlah fluks CO2 per jam atau setiap harinya ke`dalam dan keluar vegetasi dan mengintegrasikannya per tahun. Integrasi NEP harus dinyatakan per dekade.

Page 15: BACA KYOTO

15

Gambar 5. Cadangan karbon terestrial berdasarkan pelepasan (emission)

atau penyerapan (sequestration) pada berbagai tingkat proses ekosistem (Sumber: IGBP Carbon Working Group, 2000)

NBP adalah produksi neto bahan organik per wilayah yang mencakup

satu kisaran ekosistem atau satu biome, termasuk juga di dalamya adalah respirasi heterotropik dan proses lainnya yang menyebabkan hilangnya karbon dari ekosistem (misalnya terangkut panen, serangan hama dan penyakit, penebangan dan kebakaran hutan, dsb). Besarnya global NBP (0.7 ± 1.0 Gt C th-1) ini relatif kecil bila dibandingkan dengan jumlah fluks karbon atmosfer dan biosfer. Pengukuran NBP ini dilakukan untuk jangka waktu panjang karena gangguan frekuensi gangguan relatif jarang. Pertimbangan dalam perhitungan serapan karbon

Potensi ekosistem terestrial dalam mengurangi konsentrasi CO2 atmosfer tergantung dari macam ekosistem yang meliputi: komposisi spesies yang ada, struktur dan distribusi umur tanaman (terutama untuk hutan). Faktor lain yang cukup mempengaruhi adalah kondisi setempat seperti iklim, tanah, adanya gangguan alam dan macam pengelolaan. Penyerapan CO2 dari atmosfer setiap tahun terjadi di dalam ekosistem tanaman yang sedang tumbuh, seperti hutan tanaman dan hutan sekunder yang terbentuk setelah adanya penebangan, pembakaran atau gangguan lainnya. Pada hutan tua di daerah tropika basah, akumulasi biomasa terus berlangsung sehingga diperoleh akumulasi biomasa yang sangat tinggi. Namun hal ini hanya terjadi pada tingkat pohon, tetapi tidak pada tingkat ekosistem hutan, karena tingkat

Page 16: BACA KYOTO

16

dekomposisi bahan organik di hutan kurang lebih sama dengan tingkat penyerapan CO2. Perkecualian terjadi pada hutan gambut, dimana akumulasi CO2 justru terjadi di dalam lapisan organik di permukaan tanah.

Jadi, dekomposisi merupakan kunci utama. Karbon atmosfer diserap oleh vegetasi dan diakumulasikan dalam biomasa. Berapa lama CO2 tinggal di dalam biomasa vegetasi tersebut sebelum dilepaskan kembali sebagai CO2 melalui proses dekomposisi atau melalui peristiwa pembakaran. Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan pengetahuan konsep waktu-paruh karbon, yaitu hilangnya 50 % karbon masa bagian tanaman per satuan waktu (tahun). Waktu-paruh karbon ini bervariasi untuk berbagai macam bagian tanaman, misalnya untuk seresah daun sekitar 0,3 tahun, 1 tahun untuk cabang pohon, 4 tahun untuk kayu balok, dan sekitar 20-30 tahun untuk batang pohon yang masih hidup.

Fotosintesis karbon atmosfer oleh vegetasi adalah pengurangan konsentrasi karbon sementara atau semi-permanen. Jadi, besarnya karbon yang diserap (Mg ha-1) oleh vegetasi dapat diperkirakan dengan hitungan sebagai berikut:

C terserap = NPP (Mg ha-1 th-1) x waktu-paruh C dari bagian tanaman

Dalam penggunaan definisi tersebut, terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan • Produk kayu. Bila karbon diakumulasikan dalam kayu atau bagian

tanaman lainnya, kemudian tanaman dipanen dan diangkut ke luar plot dan waktu-paruh karbonnya dapat diturunkan (misalnya, jika kayu tersebut dipakai sebagai kayu bakar) atau dinaikkan (misalnya, jika kayu tersebut diawetkan dengan bahan kimia, atau disimpan dalam lingkungan kering, atau disimpan dalam air). Kesulitan yang dihadapi dengan pemberian definisi di atas bahwa penyerapan karbon oleh suatu sistem sangat tergantung kepada nasib produk tersebut di tempat lainnya. Waktu-paruh kayu tergantung pada penggunaannya setelah penebangan, apakah dipakai sebagi kayu bakar, kayu bangunan, parabot rumah tangga, dan sebagainya. Produk tanaman tersebut selanjutnya berpindah ke pasar di kota, digunakan orang dan selanjutnya akan mengalami dekomposisi.

• Arang. Jika produk kayu dijadikan arang yang mempunyai waktu-paruh amat lama (hampir 100% tahan lapuk). Bila rambu untuk waktu-paruh ini tidak dipertimbangkan maka peng’arang’an produk hutan dengan teknologi yang benar akan merupakan jalan terbaik untuk penyerapan CO2 di atmosfer, karena pembakaran hutan menghasilkan arang dalam jumlah yang relatif kecil dibanding dengan jumlah CO2 yang dilepas ke atmosfer.

• Sampah kota. Bila pengelolaan sampah kota dimodifikasi lebih mengarah pada konservasi karbon tersebut, maka system pertanian konvensional merupakan mekanisme yang sangat penting dalam usaha pengurangan karbon di atmosfer.

• Hutan alam. Hutan alam yang telah tua dan mencapai klimaks dalam

Page 17: BACA KYOTO

17

pertumbuhannya sangat sedikit menyerap CO2, karena hutan tua telah mencapai keseimbangan dimana tingkat pembentukan dan pelapukan berimbang. Pada hutan alami, bila satu pohon tua tumbang akan membentuk celah yang memungkinkan sinar matahari masuk ke permukaan tanah sehingga memungkinkan beberapa tumbuhan baru (sapling) tumbuh. Tumbuhan baru ini terus tumbuh hingga ukurannya mencapai ukuran pohon yang telah tumbang tersebut. Jadi hutan secara keseluruhan merupakan mosaik dari berbagai umur dan macam vegetasi yang akan mencapai keseimbangan antara karbon yang hilang dan yang diakumulasi, asalkan celah yang terbentuk hanya pada skala kecil. Bila banyak hutan alam harus diremajakan misalnya setelah ada kejadian bencana alam angin topan atau karena ada kebakaran, maka keseimbangan baru akan terbentuk tetapi waktu yang dibutuhkan sangat lama. Maka perbedaan antara NEP dan NBP menjadi sangat penting. Hal ini menjadi sumber perdebatan apakah hutan Amazon di Brazil merupakan rosot karbon atau bukan. Hasil pengukuran karbon pada hutan tua di Amerika Tengah dan kepulauan Karibia selalu meningkat setiap waktu. Tetapi harus diingat bahwa hutan-hutan tersebut masih dalam fase pemulihan setelah adanya bencana badai. Guna menghindari kompleksitas batasan yang disebutkan di atas,

maka pemantauan penyerapan karbon dari atmosfer ini selanjutnya diukur dari besarnya cadangan karbon yang ada dalam satu bentang lahan yang mencakup berbagai sistem penggunaan lahan (lihat Bahan Ajaran ASB 1) dengan berbagai macam penutupan lahan. Perhitungan cadangan karbon dalam siklus tanaman

Pada bahan ajaran ini, pembahasan akan lebih difokuskan pada cadangan karbon (C-stock) yang ada di alam dan umur rata-rata atau rata-rata lamanya hidup dalam sistem penggunaan lahan (averaged C-stock) pada skala lokal. Untuk mengukur cadangan karbon per siklus tanam dalam suatu sistem penggunaan lahan, kita perlu tahu cadangan karbon yang ada pada berbagai fase pertumbuhan tanaman. Secara sederhana dapat dijelaskan secara skematis dalam Gambar 6. Dalam satu siklus tanam terdapat Tc adalah periode lahan ditanami tanaman pangan setelah tebas dan bakar hutan atau setelah panen, ketika itu cadangan karbon minimum, Cmin. Gambar tersebut juga menunjukkan periode akumulasi karbon yang meningkat secara linier, Tf. Dengan demikian peningkatan akumulasi karbon hingga mencapai cadangan karbon maksimum, Cmax adalah: Ic = (Cmax - Cmin)/Tf

Page 18: BACA KYOTO

18

Tota

l cad

anga

n C

, Mg

ha-1

Crata2

Chutan

Cmax

Cmin

Waktu, tahun

Tc Tf1 Tc Tf2

0

Bero Bero

Crata2

Gambar 6. Diagram kehilangan karbon selama penebangan hutan dan re-

akumulasi karbon selama bera (fallow, f) atau regenerasi hutan Tf setelah beberapa periode tanam untuk tanaman pangan,Tc (Palm et al., 1999)

Dari gambar tersebut juga dapat diduga cadangan karbon rata-rata per siklus tanam (Tf ) adalah: CavgF = 0.5 * (Cmin + Cmax) Maka untuk seluruh sistem menjadi: Cavg = Tf * (Cmax + Cmin)/(2*(Tf + Tc)) dimana: Cmin : cadangan karbon minimum dalam suatu sistem Cmax : cadangan karbon maksimum dalam suatu sistem Tc : periode ketika Cmin dari setiap sistem Tf : periode yang dibutuhkan untuk mencapai Cmax dari titik Cmin Bila Tc diabaikan, maka Cavg = 0.5 * (Cmax + Cmin), ini berarti tidak tergantung pada waktu Tf atau tingkat akumulasi C per tahunnya.

Ini semua berarti bahwa pohon yang pertumbuhannya cepat (misalnya sengon) akan mempunyai cadangan karbon rata-rata per siklus tanam sama dengan pohon yang pertumbuhannya lambat (misalnya jati), jika kedua jenis hutan tersebut akan di tebang pada kondisi berat biomasa yang sama.

Gambar 7 menunjukkan rotasi pada sistem tumpang sari berbasis pohon atau agroforestri dengan nilai cadangan karbon maksimum (Cmax) dicapai pada waktu (Tm) sebelum satu masa rotasi tanam berakhir (Tr). Sebagai contoh kebun kopi, Cmax akan dicapai sekitar 7 tahun setelah fase penanaman (establishment phase), tetapi produksi akan terus berlangsung hingga 5 tahun (production phase), dengan demikian akan diperoleh waktu rotasi 12 tahun, pada saat kebun akan ditebang dan dilakukan regenerasi kopi dari batang lama. Cadangan karbon per siklus tanam untuk sistem

Page 19: BACA KYOTO

19

penggunaan lahan tersebut ditentukan oleh nilai rata-rata cadangan karbon pada berbagai fase rotasi tanam.

C rata-2

Chutan

Cmax

Cmin

Tc Tf Tm

Tota

l cad

anga

n C

, Mg

ha-1

Waktu, tahun

Gambar 7. Diagram kehilangan karbon selama penebangan hutan dan re-akumulasi karbon selama masa pertumbuhan dan masa produksi pada sistem berbasis pohon (Palm et al., 1999).

Seperti pada contoh sebelumnya cadangan karbon per rotasi tanam untuk periode Tf adalah: CavgF = 0.5 * (Cmin + Cmax) Dalam periode Tm cadangan karbon akan mencapai maksimum, Cmax

Maka, cadangan karbon untuk seluruh sistem menjadi: Cavg = (Tc * Cmin + 0.5 * Tf * (Cmin + Cmax) + Tm * Cmax ) /(Tc + Tf +Tm)

[fase tan pangan] [ fase pertumbuhan ] [fase produksi] [total waktu per sistem]

Untuk menyederhanakan hitungan maka: Cavg = [ (Tc + 0.5 *Tf)* Cmin + (0.5 * Tf + Tm)* Cmax] /(Tc + Tf +Tm) dimana Tm = periode dimana sistem mempertahankan Cmax

Contoh perhitungan

Penghitungan cadangan karbon untuk kebun kopi dengan masa pertumbuhan 7 tahun untuk mencapai biomasa maksimum, kemudian diikuti 5 tahun lagi masa produksi sebelum akhirnya pohon kopi ditebang dan tumbuh kembali.

Page 20: BACA KYOTO

20

Untuk Tf 7 tahun dan Cmin = 0 konsisten dengan nilai Cmax = 15.4 Mg ha-1, maka Ic = 2.2 Mg C ha-1 th-1, Nilai cadangan karbon per rotasi tanam (Cta1) selama fase pertumbuhan = (Ic*Tf)/2 = Cmax/2 = 7.7 Mg ha-1. Nilai cadangan karbon rotasi tanam untuk seluruh sistem adalah nilai rata-rata dari seluruh fase = [0 + 7*7.7 + 5*15.4]/12 = (3.5 + 5 )* 15.4/12 = 10.9 Mg ha-1

Pada umumnya dalam satu siklus produksi sistem pertanian, agroforestri atau hutan akan melalui beberapa fase, dimana tingkat produksi setiap fase akan berbeda dengan fase yang lain. Untuk menghindari kerumitan dalam pengukuran kehilangan dan penyerapan karbon pada setiap waktu per tahunnya, maka diasumsikan parameter pengukuran cadangan karbon rata-rata per siklus tanam pada suatu sistem penggunaan lahan (time averaged C-stock) dapat mewakili seluruh perbedaan berdasarkan waktu dan ruang. Cadangan karbon rata-rata per siklus tanam tergantung kepada: • Besarnya cadangan karbon - maximum dan - minimum yang terdapat

dalam suatu system, terutama pada saat sebelum dan setelah masa panen, • Tingkat akumulasi karbon dalam biomasa tanaman selama masa

pertumbuhan, yang menggambarkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai cadangan karbon -maksimum (dimulai dari cadangan karbon minimum)

Waktu rotasi

Bila kita telah mengukur cadangan karbon rata-rata per siklus tanam (Mg ha-1) pada setiap sistem penggunaan lahan maka dampak alih-guna lahan akan ditunjukkan oleh perbedaan antara cadangan karbon sesudah dan sebelum kejadian alih-guna lahan. Artinya evaluasi cadangan karbon tergantung pada konteks dan macam perbandingan yang akan diuji, misalnya suatu sistem penggunaan lahan lain (sebagai contoh pertanian intensif) yang menyebabkan emisi CO2 ke atmosfer dibandingkan dengan hutan alami; sistem pertanian berbasis tanaman semusim dengan sistem pertanian berbasis pohon, dan sebagainya. Jadi hutan industri dapat pula menjadi penyerap karbon bila keberadaannya menggantikan sistem yang memiliki cadangan karbon rendah seperti padang rumput, atau justru meyebabkan hilangnya karbon dari system bila keberadaanya menggantikan hutan alami sekunder yang masih mempunyai cadangan karbon lebih tinggi dari pada cadangan karbon-rata-rata per siklus tanaman dari hutan industri.

Page 21: BACA KYOTO

21

Bahan Diskusi Dua kenyataan yang saling bertentangan

Terjadinya proses erosi dan pembentukan arang setelah pembakaran merupakan dua isu yang sering menimbulkan kerancuan dalam perdebatan penyerapan karbon atmosfer. Erosi telah disepakati untuk dimasukkan dalam daftar factor penyebab hilangnya C. Namun demikian, adanya proses erosi ini banyak tanah (termasuk bahan organik tanah = BOT) terangkut dan diendapkan di lain tempat yang lebihnrendah (pada rawa, atau dasar lautan) sehingga tidak hilang dari siklus karbon global. Transnsportasi karbon ke lain tempat ada kemungkinan justru merupakan konservasi karbon, karena BOT pada daerah rawa yang bereaksi masam justru terlindungi dari serangan organisma tanah sehingga proses dekomposisi tidak terjadi. Jadi erosi secara potensial mempunyai kontribusi besar terhadap proses penyerapan karbon di atmosfer, dimana bentang lahan (landscape) tetap tertutup vegetasi dan tetap dapat mempertahankan GPP. Bila ditinjau dari sudut pandang usaha meningkatkan cadangan karbon di alam ini, maka setiap usaha pengelolaan lahan yang ditujukan untuk mengurangi kehilangan tanah karena erosi justru merugikan! Terbentuknya arang dapat menyimpan karbon untuk jangka waktu yang sangat lama. Setelah pembakaran vegetasi hutan, seringkali meninggalkan arang walaupun jumlahnya relatif sedikit bila dibandingkan dengan jumlah yang hilang. Bila regenerasi hutan terjadi, dan cadangan karbon rata-rata persiklus tanaman meningkat karena arang yang terbentuk sebelumnya masih ada dalam tanah. Jadi usaha meningkatkan erosi dan pembakaran hutan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan cadangan karbon global? Apa komentar anda? Mungkin skala waktu yang kita pergunakan di sini tidak tepat !

Latihan • Hitung rata-rata cadangan karbon per siklus tanam untuk HTI yang ditanami pohon

yang cepat pertumbuhannya seperti sengon (Paraserianthes falcataria), jika diketahui tingkat akumulasi karbon, Ic = 9 Mg C ha-1 th-1 dan lamanya siklus berproduksi (Tf) = 8 tahun, Tmax dan Tc = 0.

• Hitung pula rata-rata cadangan karbon per siklus tanam untuk pohon yang lambat pertumbuhannya, dengan Ic = 4.5 Mg C ha-1 th-1

dan lamanya siklus berproduksi, Tf = 16 tahun

• Berapa besarnya Cmax untuk setiap sistem?

Pertanyaan untuk diskusi kelompok Apakah dengan menanam pohon selalu meningkatkan cadangan karbon? Pada saat bagaimana pohon tidak meningkatkan cadangan karbon? Bagaimana strategi anda dalam mengurangi CO2 di atmosphere? Jelaskan!

Page 22: BACA KYOTO

22

Perhitungan cadangan karbon dalam skala nasional Pendekatan yang kita gunakan dengan menetapkan cadangan karbon

rata-rata per siklus tanam pada skala lokal ini dapat dipakai untuk pengukuran penyerapan karbon pada skala nasional.

Metodologi perhitungan neraca karbon yang direkomendasikan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) adalah berdasarkan konsep sederhana, dimana total karbon terestrial pada waktu t sama dengan produk per bagian (fraksi) luasan dari satu seri “SPL” dan merupakan suatu penciri cadangan karbon (typical C-stock) yang dihubungkan dengan “SPL” pada waktu t . Berikut adalah persamaan sederhana yang mungkin dapat mempermudah dalam memahaminya:

∑=

=n

itit AA

1, (1)

A merupakan total luas unit lahan (misalnya per negara, atau propinsi) yang terdiri dari berbagai macam sistem penggunaan lahan, sebanyak n, yang boleh dikatakan exclusive. Maka fraksi area, ait dapat didefinisikan sebagai berikut:

t

titi A

Aa ,, = (2)

Maka total cadangan karbon pada saat t menjadi:

∑∑==

==n

itititti

n

itit CaACAC

1,,,

1, (3)

Dimana Ci,t adalah cadangan karbon per unit area pada SPL i , pada saat t, dan perubahan cadangan karbon pada interval waktu t -> t+1 sebagai:

ti

n

iitti

n

itittt CaACaAC ,

11,

11,11 ∑∑

=+

=+++>− −=Δ (4)

Bila total area tidak berubah (maka At = At+1) dan klasifikasi SPL masih tetap, berarti net penyerapan karbon atau emisi karbon neto menjadi :

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛−=Δ +

=++>− ∑ )( ,,1,

11,1 tititi

n

itittt CaCaAC (5)

Persamaan ini dapat ditulis ulang dengan memisahkan faktor/hal yang berhubungan dengan perubahan rata-rata cadangan karbon per unit area dalam suatu kelas I, dan factor lain yang berhubungan dengan perubahan area dalam kelas i:

Page 23: BACA KYOTO

23

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛−+−=Δ ++

=+>− ∑ ))()(( ,,1,,1,

1,1 tititititi

n

itittt CaaCCaAC (6)

Metodologi IPCC yang digunakan saat ini adalah didasarkan pada persamaan (6) dan termasuk estimasi peningkatan rata-rata cadangan karbon per klas system penggunaan lahan. Dan banyak ketidak menentuan yang muncul pada monitoring di tingkat nasional adalah yang berhubungan dengan peningkatan cadangan karbon. Pada pelaksanannya memang cenderung ada pengukuran peningkatan cadangan karbon tetapi mengabaikan kehilangan karbon. Untuk pengukuran tingkat nasional asumsi pengukuran pada berbagai fase SPL yang menghasilkan rata-rata cadangan karbon per siklus tanam mungkin lebih dapat diterima, kecuali bila umur rata-rata pohon atau hutan mengalami perubahan, menjadi meningkat atau menurun. Disini kita dapat menyederhanakan prosedur penghitungan dengan mengemas rangkaian waktu cadangan karbon yang spesifik sebagai satu sistem penggunaan lahan (misalnya pada sistem lading berpindah, system tebang pilih, sistem tanam gilir tanaman pangan dan bero), dengan rata-rata cadangan karbon persiklus tanam tidak dibatasi oleh waktu, maka persamaan (6) dapat disederhanakan menjadi:

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛−=Δ ∑

=++>− )( ,

11,1 ti

n

itiittt aaCAC (7)

Yang berarti bahwa perubahan cadangan dapat diukur dari perubahan fraksi area dari berbagai sistem penggunaan lahan, dikalikan dengan rata-rata cadangan karbon per siklus tanam dari masing-masing kelas. 2.4 Alih-guna lahan sebagai sumber dan rosot karbon

Sehubungan dengan penghitungan rata-rata cadangan karbon per

siklus tanam, kita dapat kembali ke Bahan Ajaran ASB 1 yang berhubungan dengan penutupan dan penggunaan lahan. Di dalam Protokol Kyoto hanya dikenal dua penutupan lahan, yaitu “hutan” dan “non-hutan”. Pernyataan ini memang lebih sederhana untuk tujuan globalisasi, tetapi dikotomi ini tidak membantu dalam pengukuran cadangan karbon di daratan, karena kurang tepatnya pendefinisian ‘hutan’ yang dipakai.

Vegetasi yang ada di hutan alami berbeda dari dari satu tempat dengan tempat yang lain. Cadangan karbonnya berkisar berkisar antara 20 hingga 400 Mg C-1 ha-1 tergantung pada jenis dan kompisisi ekosistem hutan, letak geografis, tanah, dan iklimnya. Pengelolaan hutan juga menentukan cadangan karbon dan perubahannya dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh pertumbuhan dan gangguan termasuk hama penyakit dan kebakaran.

Gambar 8 menunjukkan hubungan antara klasifikasi penutupan lahan dengan cadangan karbon, dan dari gambar tersebut dapat kita lihat bahwa berbagai system penggunaan lahan memberikan berbagai macam penutupan lahan pada berbagai fase dalam satu siklus. Besarnya rata-rata cadangan

Page 24: BACA KYOTO

24

karbon pada suatu system penggunaan lahan tergantung pada tingkat akumulasi karbon pada berbagai fase dalam satu siklus, dan juga tergantung pada waktu yang dibutuhkan per fase.

Gambar 8. Hubungan antara penutupan lahan, system penggunaan lahan (dengan berbagai penutupan lahan pada berbagai stadia dalam satu siklus hidup) dan cadangan karbon; Sistem penggunaan lahan 2 dan 1 adalah bero panjang dan pendek, 3 adalah lahan dengan sedikit gangguan akibat penebangan hutan; AF1 = system agroforestri sederhana, AF2= agroforestry komplek

Untuk sistem rotasi tumpang gilir tanaman pangan dan bera (Gambar 9), rata-rata cadangan karbon menurun dengan meningkatnya intensitas penggunaan lahan. Dalam perhitungan neraca karbon berdasarkan persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem ladang berpindah tidak meningkatkan penyerapan karbon dari atmosfer dan juga tidak melepaskan karbon ke atmosfer, namun demikian adanya intensifikasi penggunaan lahan dalam sistem ladang berpindah tersebut tidak menambah pelepasan karbon ke atmosfer.

Page 25: BACA KYOTO

25

Gambar 9. Rata-rata cadangan karbon pada sistem ladang berpindah dan sistem rotasi tanaman pangan dan bera, sebagai fungsi dari (a) lamanya bera, (b) intensitas penanaman (fraksi luasan lahan yang ditanami per tahunnya), dengan peningkatan cadangan karbon selama masa bera 6 Mg C ha-1 th-1 hingga 100 Mg C ha-1 dan 1 Mg C ha-1 th-1 atau lebih; bila penanaman diasumsikan 2 tahun per siklus.

2.5 Perkiraan dampak perubahan iklim

Iklim (kondisi rata-rata untuk jangka panjang) dan cuaca (kondisi saat ini) sulit untuk diramalkan, karena keduanya merupakan hasil interaksi berbagai proses yang berpeluang terhadap adanya sedikit gangguan dapat berubah menjadi badai. Banyak sekali model tersedia untuk meramalkan perubahan iklim global, namun masih banyak perbedaan mendasar untuk meramalkan pada tempat-tempat yang spesifik di bumi ini.

Salah satu akibat dari adanya pemanasan global adalah adanya kemungkinan mencairnya es di kutub bumi dan meningkatnya tinggi permukaan air lautan seperti yang telah banyak dibicarakan dalam sejarah geologi. Peningkatan permukaan air lautan itu akan menenggelamkan banyak pulau yang cukup subur dan berpenduduk cukup padat, misalnya Bangladesh dan pulau-pulau lain di Asia Tenggara. Pemecahan secara teknis misalnya dengan pembangunan tanggul-tanggul, penyedaan pompa air dan sebagainya akan memerlukan investasi yang sangat besar.

Perubahan iklim global ini sebenarnya diawali oleh adanya "pergeseran iklim", yang berarti akan diikuti oleh perubahan sistem pengelolaan lahan. Hal ini memungkinkan suatu negara akan dirugikan, dan negara lain diuntungkan. Kondisi ini membuka peluang timbulnya konflik sosial. Namun demikian untuk vegetasi dan fauna alami, perubahan iklim lokal mungkin terjadi terlalu cepat sehingga keaneka ragaman hayati akan berkurang sebagai akibat terbatasnya lahan hutan atau adanya "pulau-pulau" hutan di tengah lahan pertanian. Dengan demikian, flora dan fauna tidak dapat mengikuti pergeseran iklim yang terjadi.

Page 26: BACA KYOTO

26

Perdebatan perubahan iklim di tingkat global masih terus berlangsung, namun masih ada sedikit keraguan yang beralasan sehubungan dengan pentingnya usaha mengurangi emisi GRK sampai pada tingkat yang tidak membahayakan iklim bumi. Di dalam bahan ajar ini, diskusi kita akan lebih difokuskan pada CO2 yang lebih dominan oleh adanya alih guna.

Meskipun kenaikan suhu udara dan muka air laut kelihatannya kecil, beberapa tempat atau ekosistem atau masyarakat tertentu akan sangat rentan (vulnerable) menghadapi perubahan tersebut. Kondisinya akan diperburuk apabila kemampuan ekosistem atau masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim rendah. Peningkatan suhu yang besar terjadi pada daerah lintang tinggi, sehingga akan menimbulkan berbagai perubahan lingkungan global yang terkait dengan pencairan es di kutub, distribusi vegetasi alami dan keanekaragaman hayati. Sementara itu daerah tropis atau lintang rendah akan terpengaruh dalam hal produktivitas tanaman, distribusi hama dan penyakit tanaman dan manusia. Peningkatan suhu pada gilirannya akan merubah pola dan distribusi curah hujan. Kecenderungannya adalah bahwa daerah kering akan menjadi makin kering dan daerah basah menjadi makin basah sehingga kelestarian sumberdaya air akan terganggu.

Padi dan serealia lainnya sangat peka terhadap perubahan suhu udara meskipun kecil. Bagian reproduktif yang dinamakan spikelet akan menjadi steril jika suhu meningkat, sehingga mempengaruhi produktivitasnya. Sebuah model fisiologis yang dikembangkan di International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina, ORYZA1 digunakan untuk menduga perubahan produksi padi akibat perubahan iklim. Model ini digabungkan dengan GCM yang dikembangkan oleh GFDL, GISS, dan UKMO. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4. Ekosistem alami seperti terumbu karang juga sangat peka terhadap kenaikan suhu, apalagi jika kenaikan tersebut permanen. Dari peristiwa El-Nino tahun 1997 yang sementara saja, banyak terumbu karang di Asia Tenggara yang mengalami pemutihan (bleaching). Kejadian seperti ini sangat menurunkan kualitas dan fungsi terumbu karang (lihat Tabel 5). Jika pemanasan suhu air laut terus berlangsung, maka pemulihannya akan sulit terjadi. Dengan tendensi (trend) yang diuraikan di atas, perubahan iklim jelas merupakan ancaman bagi ekosistem terumbu karang.

Page 27: BACA KYOTO

27

Tabel 4.Skenario model sirkulasi global untuk menduga perubahan produksi

padi di Asia dengan model ORYZA1 (Sumber: Matthews et al., 1995b).

Iklim saat ini

GFDL GISS UKMO

Resolusi horisontal 4.4ox7.5o 7,8ox10,0o 5,0ox7,5o Resolusi vertikal 9 9 11 Konsentrasi CO2 awal (ppm)

300

300

323

Perubahan suhu (oC) +4,0 +4,2 +5,2 Perubahan curah hujan (%)

+8

+11

+15 Model ORYZA1 Produksi total (kt) Perubahan (%)

434.136

462,472 6,5

415,129 -4,4

409,793 -5,6

Keterangan: GFDL: Geophysical Fluid Dynamics Laboratory GISS: Goddard Institute for Space Studies UKMO: United Kingdom Meteorological Office Tabel 5.Dampak peningkatan suhu terhadap produksi padi dan pemutihan

terumbu karang di beberapa negara Asia

Negara

Perubahan produksi padi (%)

Referensi

Pemutihan terumbu karang

(%)* Indonesia Malaysia Filipina Thailand Singapura

-3 sampai -4 -22 sampai -12 -14 sampai 14 -4 sampai 8

-

Parry et al. (1992) Parry et al. (1992) Matthews et al (1995) Parry et al. (1992)

-

30 40 80 50 90

*) Sumber: Wilkinson et al. (2000) Air adalah sumberdaya alam yang sangat diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik untuk keperluan domestik, industri mapun pertanian. Dengan iklim yang berubah besaran dan distribusi air juga akan mengalami perubahan dan dalam jangka panjang kelestarian sumberdaya air memerlukan perhatian yang serius. Tempat-tempat yang kering seperti Afrika akan mengalami kekeringan yang lebih hebat, sementara tempat-tempat basah seperti sebagian besar daerah tropis akan mengalami kondisi lebih basah. Konsekuensi meningkatnya ketersediaan air adalah banjir, erosi dan tanah longsor karena meningkatnya surplus dari suatu daerah tangkapan air. Tabel 6 menunjukkan dampak peningkatan suhu dan curah hujan terhadap surplus dan defisit neraca air serta erosi di tiga buah Daerah Aliran

Page 28: BACA KYOTO

28

Sungai (DAS) di Indonesia yang padat penduduk dan merupakan penghasil pangan yang strategis. Tabel 6.Akibat peningkatan suhu dan curah hujan di tiga DAS penting di

Indonesia menurut perkiraan model GISS (Sumber: Murdiyarso, 1994)

DAS Citarum

DAS Brantas

DAS Saddang

Surplus neraca air (%) Defisit neraca air (%) Erosi (%)

+ 32 - 38 + 15

+ 35 - 18 + 18

+ 135 - 100 + 40

Dengan meningkatnya surplus air yang bersamaan dengan menurunnya defisit, maka limpasan permukaan dan aliran sungai pun akan meningkat. Curah hujan dengan jumlah yang lebih besar biasanya disertai dengan intensitas yang tinggi, akibatnya erosi juga meningkat. Situasinya akan makin buruk apabila vegetasi penutup lahan dan upaya-upaya konservasi tanah tidak ditingkatkan.

Pertanyaan untuk diskusi kelompok • Apakah dengan menanam pohon selalu meningkatkan cadangan karbon? • Pada saat bagaimana pohon tidak meningkatkan cadangan karbon? • Bagaimana strategi anda dalam mengurangi CO2 di atmosphere? Jelaskan!

Page 29: BACA KYOTO

29

3. TERTARIKKAH PETANI PADA CADANGAN KARBON?

Dalam kehidupan sehari hari petani akan terlibat dengan urusan cadangan C baik pada bagian di atas tanah maupun yang ada dalam tanah, tetapi istilah yang dipergunakan berbeda, dan keterlibatannya mempunyai tujuan yang berbeda dengan tujuan yang sedang kita bicarakan dalam bahan ajaran ini. Menurut pandangan petani, cadangan karbon di atas tanah merupakan sumber produk (buah, getah, kayu bangunan atau kayu bakar), merupakan tanda batas kepemilikan lahan, pengatur iklim mikro dengan adanya naungan, dan hubungan spiritual dsb.

Cadangan karbon bagian bawah terdiri dari sistem perakaran tanaman dan bahan organik tanah. Petani menganggap bahwa cadangan karbon bagian bawah tanah sebagai sumber produk pohon (misalnya untuk obat-obatan dan untuk parabot atau hiasan rumah tangga), sumber kesuburan tanah (secara fisik, kimia dan biologi) baik untuk jangka pendek maupun panjang. Namun demikian, sebagian besar cadangan karbon tersebut hilang dalam bentuk asap karena adanya kegiatan pembakaran. Pada awal alih guna lahan biasanya petani menebas dan membakar semua pohon dan tumbuhan bawah, bahkan seringkali membiarkan balok kayu besar teronggok di atas permukaan tanah. Selanjutnya pada akhir musim kering (sebelum musim tanam) petani akan membakar hasil tebasan tersebut. Teknik tebas bakar ini merupakan teknik pembukaan lahan yang paling populer dan sering dilakukan oleh petani kecil maupun perkebunan besar di Asia Tenggara karena mudah dan murah. Bila kita ingin memotivasi petani untuk mempertahankan dan meningkatkan cadangan karbon misalnya dengan menghindari kegiatan pembakaran, atau menanam lebih banyak pepohonan, maka terlebih dahulu kita harus memahami pandangan petani akan cadangan karbon. Selain itu diperlukan juga pemahaman akan transformasi karbon dalam tanah. Bagaimana pandangan petani terhadap cadangan karbon di daratan ini dapat dilihat di kolom 1 dan 2. 3.1 Mengapa petani melakukan pembakaran? Pada umumnya petani di daerah tropis mengatakan “Tak ada api, tak ada pertanian”, api memberikan beberapa keuntungan antara lain:

a. Penyediaan hara lewat abu sisa pembakaran sebagai pupuk bagi tanaman

Pertanyaan • Apakah tebas bakar vegetasi hutan pada saat awal pembukaan lahan

pertanian akan mengurangi cadangan C di daratan? • Mengapa petani selalu menggunakan teknik tebas dan bakar? • Adakah teknik alterntif lain yang dapat ditawarkan?

Page 30: BACA KYOTO

30

b. Perbaikan struktur tanah yang berguna bagi perkembangan akar tanaman

c. Menekan pertumbuhan gulma. Kebanyakan tumbuhan bawah (gulma) mati ikut terbakar sehingga lahan bebas dari gulma

d. Mengurangi masalah hama dan penyakit e. Membersihkan permukaan tanah dari batang pohon yang tumbang

sehingga memudahkan petani untuk berjalan pada lahannya -- Abu sebagai pupuk: Pengaruh pembakaran terhadap ketersediaan hara Kebanyakan hara yang ada dalam biomasa vegetasi hutan masih kembali ke dalam tanah melalui abu hasil pembakaran, kecuali nitrogen (N) dan sulfur (S) yang hampir semuanya menguap sebagai gas. Karbon dan N di atas permukaan tanah banyak yang hilang menguap selama pembakaran, tetapi kehilangan C dan N dalam tanah relatif kecil bila dibandingkan dengan kehilangan di atas permukaan tanah (Andriesse, 1989). Banyak hasil penelitian telah dilaporkan bahwa pH tanah setelah pembakaran meningkat dengan tajam karena bayaknya masukan kation basa. Banyaknya hara tersedia setelah pembakaran bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya.

Kolom 1.

Mampukah petani mengestimasi cadangan C di lahannya?

Seandainya usaha meningkatkan cadangan karbon (C) di daratan berhasil dengan jalan mempromosikan teknik alternatif dalam pengelolaan lahan, maka petani sebagai pengguna lahan primer harus mengerti minimal besarnya cadangan C yang ada. Bila pemberian insentif bagi petani yang berusaha mempertahankan cadangan C dapat terlaksana, maka kriterianya harus berhubungan dengan konsep dan pengetahuan petani. Oleh karena cadangan C terbesar di daerah tropika basah adalah terletak pada bagian di atas permukaan tanah, maka kita bisa coba pergunakan ketegori yang biasa digunakan petani dalam menyatakan ukuran pohon. Ukuran pohon biasanya dinyatakan kecil, sedang dan besar, apakah ini cukup memadai untuk mengestimasi cadangan C? Sebagai contoh, petani karet di daerah Jambi (Sumatra) dalam menyatakan banyaknya kayu bangunan (timber) biasanya menggunakan m3 seperti yang dilakukan di pasar. Namun demikian, petani menggunakan ukuran volume ini berhubungan dengan harga per volume kayu bangunan di pasaran. Jadi, pohon yang kayunya tidak mempunyai nilai komersial, maka pohon tersebut dianggap tidak mempunyai volume. Kesimpulan sederhana yang dapat ditarik adalah nilai suatu pohon ditentukan oleh nilai ekonominya yang setiap saat dapat berubah. Suatu pohon dapat dianggap tidak bernilai bila harganya murah sekali. Tetapi suatu saat nanti nilai pohon bisa menjadi tinggi bila permintaan pasar tinggi. Jadi, petani dapat mengestimasi besarnya cadangan karbon tetapi hanya pada pohon penghasil kayu bangunan untuk tujuan ekonomi, bukan untuk tujuan penyerapan konsentrasi CO2 di udara.

Page 31: BACA KYOTO

31

Ada 2 faktor yang dapat mempengaruhi efek pembakaran terhadap kesuburan tanah:

(a) (a) Kandungan hara di dalam vegetasi dan seresah sebelum terbakar (b) (b) Tingkat kemanasan pada permukaan tanah. Faktor ini

berpengaruh langsung terhadap kesuburan kimia tanah, terutama terhadap ketersediaan fosfor (P), kesuburan fisik dan populasi mikrobia tanah.

Hasil pengukuran di Lampung menunjukkan bahwa pembakaran

meningkatkan konsentrasi semua kation sehingga meningkatkan pH tanah secara nyata (Kolom 3). Besarnya peningkatan konsentrasi hara dalam tanah ini biasanya berkaitan dengan umur vegetasi hutan yang dibakar, semakin tua umur vegetasi biasanya semakin banyak pula hara yang dilepas. Oleh karena peningkatan hara di hutan sebagian besar tersimpan di dalam kayu dan bagian ini tidak mudah terbakar, maka tingkat perbaikan kesuburan tanah dengan bero jangka panjang biasanya relatif kecil. Selain itu tingkat pembakaran (atau tepatnya intensitas pembakaran yang tinggi) sangat menentukan besarnya hara yang masuk kembali ke dalam tanah. ---Pembakaran memperbaiki struktur tanah Adanya pembakaran dapat mengubah beberapa sifat fisik tanah. Ketterings (1999), melaporkan bahwa pada tingkat intensitas pembakaran yang tinggi beberapa karakteristik fisik tanah mengalami perubahan, antara lain berat isi (BI) tanah dibagian atas (0-5 cm) dari 0.83 ± 0.03 kg dm-3 meningkat menjadi 0.90 ± 0.03 kg dm-3. Tetapi pada intesitas pembakaran yang rendah tidak berpengaruh nyata terhadap BI tanah. Meningkatnya BI tanah setelah pembakaran, mungkin disebabkan banyak bahan organik tanah yang terbakar maka terjadi pengkerutan tanah sehingga tanah menjadi padat.

Page 32: BACA KYOTO

32

Kolom 2.

Pengelolaan lahan dan cadangan C: Pemahaman konsep petani lokal Macam pengelolaan lahan yang dilakukan oleh petani sangat menentukan besarnya cadangan karbon di kebunnya. Pengurangan jumlah pembakaran vegetasi pada suatu lahan akan sangat membantu usaha mempertahankan cadangan karbon terrestrial. Namun di lapangan, diperoleh informasi bahwa petani selalu melakukan pembakaran pada setiap pembukaan lahan. Bisakah usaha pembakaran ini dihilangkan sama sekali dari usaha pertanian? Berikut adalah contoh kasus dari daerah Jambi. Hasil perbincangan Tim peneliti ICRAF dengan petani karet di Rantau Pandan, Jambi tentang pengelolaan lahan yang dipraktekkan, diperoleh suatu pengalaman yang dapat dipakai sebagai contoh. Pertanyaannya adalah sebagai berikut: "Bagaimana cara Bapak menanam karet di kebun?" Petani mengatakan: "Tebas bakar semak belukar terlebih dahulu baru tanam karet". Tetapi belakangan, tim peneliti tersebut banyak mejumpai di lapangan bahwa petani juga menanam karet di dalam celah yang ada diantara pohon-pohon karet tua yang biasa disebut dengan "sisipan". Pada sistem sisipan ini petani tidak melakukan pembakaran dalam kegiatan pertaniannya. Bahkan petani juga merawat celah tersebut untuk memperoleh sinar matahari yang cukup bagi tanaman karet muda, dengan jalan memangkas cabang pohon di sekitarnya. Selanjutnya peneliti menyadari, bahwa sistem ini mempunyai potensi yang cukup besar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). ---Mengapa kita tidak memperoleh jawaban tersebut lebih awal? Nampaknya penggunaan istilah 'tanam' bagi petani artinya 'menanam bibit pada tanah kosong' yang berbeda dengan 'sisipan' yang artinya 'menanam bibit baru diantara tanaman tua'. Dari contoh pengalaman ini, pemahaman konsep dan pengetahuan petani lokal sangat dibutuhkan.

Tetapi pertanyaan berikutnya muncul, faktor apakah yang mempengaruhi petani untuk memilih teknik "sisipan" tersebut? Karena disisi lain kita pahami bahwa, sistem sisipan ini mempunyai beberapa kerugian antara lain: (a) pertumbuhan tanaman baru menjadi lebih lambat karena terlalu banyak naungan dari pohon karet tua di sekitarnya, (b) tidak mungkin menanam tanaman semusim misalnya padi atau ubi kayu. Walaupun dilain sisi ada juga keuntungannya yaitu jumlah tenaga kerja dan modal yang dibutuhkan rendah. Usaha pemahaman bagaimana sikap petani dalam menghadapi kedua hal yang berlawanan dan faktor apa saja yang mempengaruhi macam keputusan yang diambil ini sangat diperlukan karena keputusan yang diambil tentu saja akan bervariasi sekali dampaknya terhadap cadangan C.

Page 33: BACA KYOTO

33

Kolom 3.

Pembakaran vegetasi meningkatkan konsentrasi kation tanah Salah satu alasan petani membakar vegetasi pada saat pembukaan lahan pertaniannya adalah untuk mendapatkan pupuk gratis lewat abu hasil pembakaran. Unsur hara apa saja yang masih ada dalam abu tersebut? Sebagai contoh pada tahun 1997, di daerah Lampung Utara terjadi musim kemarau cukup panjang sehingga terjadi kebakaran hutan dimana-mana. Hutan alami berumur sekitar 25 tahun terbakar. Segera setelah kebakaran abu yang tertinggal dipermukaan tanah diambil dan dipisahkan dari contoh tanah. Contoh tanah diambil pada kedalaman 0-3 cm dan 3-5 cm. Contoh abu dan tanah dianalisis konsentrasi haranya, hasil analisis tanah disajikan dalam Tabel 10. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa pH tanah meningkat minimal 1 unit, karena adanya akumulasi kation basa dapat dipertukar yang sangat besar.

Tabel 10. Komposisi hara pada tanah di hutan sekunder sebelum dan sesudah pembakaran (van Noordwijk et al., 1998).

Kedalaman pH Corg P-Olsen, K+ Ca2+ Mg2+ cm H2O KCl % mg kg-1 cmole kg-1

Sebelum terbakar 0 - 5 5 - 10 Setelah terbakar 0 - 3 3 - 5 5 - 10

6.2 5.6 8.1 8.3 7.2

4.7 4.6 7.5 7.2 6.0

2.44 2.12 7.15 4.28 1.94

5.0 2.0 51.4 25.6 6.70

0.20 0.20 5.37 2.02 0.29

1.44 1.85 25.5 14.8 3.12

0.62 0.52 4.47 3.46 0.63

Abu pada permukaan tanah 384 176 23.6 17.6

Pada tanah masam peningkatan pH tanah ini sangat menguntungkan karena akan mengurangi tingkat keracunan Al, namun Ketterings (1999) menyatakan bahwa penurunan tingkat keracunan Al lebih dipengaruhi oleh pemanasan dari pada oleh peningkatan pH. Penurunan kandungan C hanya terjadi pada kedalaman 5-15 cm. Kandungan kation dapat dipertukar dan juga P tersedia meningkat sangat nyata. Hasil ini menunjukkan bahwa tebas dan bakar adalah teknik yang efektif untuk meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman yang ditanam pada musim berikutnya, namun mengapa tebas dan bakar ini ramai diperdebatkan akhir-akhir ini?

Page 34: BACA KYOTO

34

Pertanyaan (c) Apakah semua biomasa tanaman habis terbakar selama pembukaan

lahan? Berapa banyaknya yang tertinggal dan berapa yang hilang terbakar? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tinggi rendahnya biomasa yang tertinggal?

(d) 3.2. Teknik pembukaan lahan dan penurunan cadangan karbon

Setelah tebas dan bakar, tidak selalu semua bahan tanaman yang ada di

atas tanah habis terbakar (lihat contoh kasus di dalam kolom 4). Hal ini tergantung kepada:

a) Kelembaban. Pagi hari biasanya lebih lembab dari pada malam hari, oleh karena itu pembakaran biasanya dilakukan pada siang hari.

b) Posisi dalam lereng, biasanya api lebih mudah menjalar ke atas lereng dari pada ke bawah

c) Angin. Angin kencang dapat menjadi 'kipas' karena membawa oksigen lebih banyak sehingga memicu kobaran api besar dan suhu menjadi lebih panas.

Page 35: BACA KYOTO

35

3.3 Bahan organik tanah: kehilangan dan penambahannya dalam tanah dan siapa yang membutuhkannya?

Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan

penurunan cadangan karbon tanah. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya beberapa aktivitas pada lahan pertanian antara lain melalui pengangkutan panen, pembakaran sisa panen, pengolahan tanah, pengairan dan penyiangan gulma. Kegiatan tersebut akan mempercepat proses dekomposisi bahan organik tanah sehingga kandungan bahan organik tanah (BOT) pada

Kolom 4.

Efek tebas dan bakar hutan sekunder terhadap cadangan karbon (Prayogo et al., 2000)

Untuk penyediaan lahan pertanian, petani di daerah Jambi melakukan tebas bakar hutan sekunder, tetapi ada juga petani yang tidak melakukan pembakaran. Pengukuran cadangan karbon (C) dilakukan pada ke dua kondisi tersebut di atas untuk mengetahui seberapa besar cadangan C yang hilang selama pembakaran, dan seberapa besar cadangan C yang dapat diselamatkan seandainya pembukaan lahan dilakukan tanpa pembakaran. Ternyata dengan adanya pembakaran, sekitar 66 % dari total cadangan C yang ada hilang terbakar. Tetapi bila tidak ada pembakaran, maka kehilangan cadangan C hanya sekitar 22 % saja (Gambar 10) karena sebagian besar biomasa tanaman (tunggul, batang pohon) tetap tinggal di atas permukaan tanah dan beberapa pohon yang bermanfaat tetap dipelihara. Sedang untuk kondisi tanahnya, tidak mengalami terlalu banyak perubahan pada ke dua teknik yang diuji.

Page 36: BACA KYOTO

36

lahan pertanian umumnya menurun dengan cepat sekitar 20 - 50 % dari kondisi di hutan. Penurunan kandungan bahan organik tanah (BOT) ini menyebabkan terjadinya degradasi kesuburan tanah (Hairiah et al., 2000).

Umumnya karbon memasuki rantai ekosistem lewat daun selama proses fotosisntesis, dan selanjutnya diakumulasikan dalam biomasa tanaman. Namun demikian sekitar separuh karbon yang diasimilasi (diserap) oleh tanaman diangkut ke bagian bawah tanah antara lain melalui akar yang tumbuh dan yang mati, melalui oksidasi substansi organik perakaran, dan melului pembenaman seresah yang ada diatas permukaan tanah ke dalam tanah baik secara biologi maupun mekanik (Gambar 11). Akumulasi netto dari BOT akan terjadi melalui kegiatan pengembalian sisa panen, membiarkan seresah (daun, cabang, ranting dan akar) kembali ke dalam tanah.

Akar tanaman memberikan kontribusi cukup besar terhadap peningkatan BOT karena letaknya yang menyebar dalam profil tanah dan adanya hubungan yang sangat erat dengan partikel tanah. Keeratan hubungan antara akar dan partikel tanah ini sangat menentukan jumlah air dan hara yang diangkut ke bagian atas tanaman, yang selanjutnya akan mempengaruhi besarnya masukan seresah yang kembali ke dalam tanah, demikian seterusnya akan kembali diserang oleh organisma tanah dan masuk ke dalam pool BOT. Jadi, BOT tersusun dari bahan organik setengah lapuk, mikroorganisma dan asam humik yang tahan lapuk.

Gambar 11. Siklus karbon pada lahan (plot) petani

--Pentingnya bahan organik tanah bagi petani Pada sistem pertanian masukan rendah, BOT merupakan kunci utama dari keberlanjutan dari produktivitas tanaman. Pada skala global tidak kalah pula pentingnya, cadangan karbon dalam tanah mempunyai kontribusi besar terhadap neraca karbon.

Guna mempertahankan keberlanjutan sistem produksi tanaman di daerah tropika basah, BOT perlu dikelola karena mempunyai banyak fungsi penting yang secara skematis ditunjukkan dalam Gambar 12. Produksi deposisi bahan organik memberikan substrat bagi proses mikrobiologi tanah

Page 37: BACA KYOTO

37

dan akumulasi BOT. Proses penting yang terlibat adalah yang berhubungan dengan fungsi BOT yang berpengaruh langsung terhadap faktor penghambat pertumbuhan lain seperti kemasaman, keracunan, erosi tanah dan ketersedian air dan hara.

Pemupukan Pemupukan bertahap

Pengapuran

Irigasi

Pengolahan tanah

Media artificial

Fumigasi - dsb

Supply hara

Buffer hara

Buffer air

Struktur tanah

Lain 2x,Hama dll

Fungsi BOT: Teknologi Alternatif :

Tebang +bakarLadangberpindah

Budidayatanam :

Hidroponikhortikulturaintensifikasi

Gambar 12. Hubungan skematis antara fungsi bahan organik tanah dengan berbagai

sistem pertanian dan tekhnologi alternatif (Van Noordwijk et al., 1997).

Pada sistem pertanian yang canggih (masukan tinggi) misalnya sistem hidroponik, beberapa fungsi BOT seperti penyangga hara (buffer), penahan air, perbaikan struktur tanah dan pengendali hama dan penyakit, masing-masing dapat dimanipulasi dengan teknologi pemupukan, irigasi, pemanfaatan soil conditioner dan penyemprotan insektisida. Namun di daerah tropika basah, sistem ini masih belum terjangkau untuk petani kecil dan BOT masih tetap menjadi prioritas utama.

Adanya kegiatan pertanian misalnya pengolahan tanah, pengairan, pengapuran memberikan banyak pengaruh yang menguntungkan terhadap peningkatan produksi tanaman karena adanya peningkatan kecepatan dekomposisi dan mineralisasi BOT oleh organisma tanah. Kenyataan ini bertentangan dengan tujuan lain dimana BOT perlu dipertahankan sebagai cadangan karbon dalam tanah. Bila tidak ada usaha untuk penggantian BOT yang telah hilang, dimungkinkan peladang akan membuka lahan pertanian baru dan meninggalkan lahan yang telah terdegradasi. Pada kebanyakan lahan terdegradasi di Asia, akan tertutup oleh alang-alang (Imperata cylindrica). Alang-alang tersebut paling tidak dapat memperlambat kerusakan lahan lebih lanjut.

Page 38: BACA KYOTO

38

4. PENGUKURAN CADANGAN KARBON Pada bab 2 telah ditunjukkan data besarnya cadangan karbon pada berbagai sistem penggunaan lahan pada skala global. Untuk memperoleh gambaran cadangan karbon pada skala global, diperlukan pengukuran pada skala plot. Data cadangan karbon pada skala plot tersebut berguna untuk:

(a) Mengetahui cadangan karbon secara kuantitatif yang ada saat ini, baik di atas maupun di dalam tanah, yang dapat mewakili salah satu sistem penutupan lahan sebagai bagian dari suatu sistem penggunaan lahan.

(b) Mengekstrapolasi cadangan karbon rata-rata per siklus tanam (time-averaged C stock) dari setiap sistem penggunaan lahan (lihat bab 1).

(c) Data cadangan karbon dapat dipakai sebagai masukan model simulasi (seperti CENTURY) untuk mempelajari dinamika karbon tanah dalam hubungannya dengan alih guna lahan dan dampak selanjutnya terhadap perubahan iklim global (Bab 1).

Selanjutnya hasil ekstrapolasi cadangan karbon skala plot ke tingkat global ini dapat dihubungkan dengan hasil pengukuran keanekaragaman hayati dan perhitungan ekonomis (profitablity assessment). Dengan demikian dapat diperhitungkan 'trade off' ' (untung ruginya) diantara beberapa keuntungan lingkungan global lainnya dan keuntungan pribadi dari masing-masing petani (Lihat Bahan ajaran Agroforestri 9, ICRAF 2003).

Pada prinsipnya ada 2 metoda yang dapat dipakai untuk menghitung kehilangan dan akumulasi karbon pada suatu lahan: (a) Mengukur flux karbon dan (b) Mengukur cadangan karbon yang ada di lahan. Pengukuran flux karbon cukup rumit karena konsentrasi CO2 di udara selalu berubah setiap saat. Pertukaran CO2 antara vegetasi dan atmosfer secara langsung terjadi melalui 2 proses, sebagai gas yang diserap dan dilepaskan oleh vegetasi. Ini berarti flux- nya sulit untuk dipisahkan dan diukur. Methoda utama yang digunakan adalah berdasarkan pada teknik 'korelasi eddy'. Aliran udara umumnya turbulen dan 'eddy' yang terdiri dari udara yang bergerak ke atas dan ke bawah. Pengukuran CO2 diudara dapat dilakukan dengan menggunakan sensor pada skala waktu detik yang dapat memisahkan pergerakan udara ke atas dan ke bawah, maka flux netto dapat dihitung sepanjang siang dan malam hari. Namun demikian, pengintegrasian hasil pengukuran ini ke dalam neraca C tahunan tidak begitu penting pengaruhnya.

Pengukuran cadangan karbon? Apa saja yang harus diukur? Seperti telah dibicarakan di bab 1, Gambar 2 bahwa cadangan karbon global dapat dibagi menjadi beberapa pool, yaitu: lautan, daratan, atmosfer dan berbagai pool karbon lainnya. Beberapa komponen cadangan karbon dalam ekosistem daratan dapat dilihat di Tabel 7

Page 39: BACA KYOTO

39

Pool cadangan karbon di atas permukaan tanah, terdiri dari pool bagian hidup tanaman (biomasa): batang, cabang, daun dari pohon, tanaman menjalar termasuk juga dari tumbuhan epiphite dan tumbuhan bawah. Untuk tanaman pertanian termasuk di dalamnya adalah tanaman utama yang ditanam dan gulma. Selain itu, termasuk juga pool bagian tanaman yang telah mati (nekromasa) termasuk batang pohon yang tumbang dan tergeletak di atas permukaan tanah; batang pohon mati tetapi masih tegak tinggal di atas permukaan tanah; daun, cabang, ranting, bunga dan buah yang gugur; termasuk juga arang sisa pembakaran.

Pool cadangan karbon di bawah permukaan tanah, yang meliputi akar tanaman baik yang masih hidup maupun sudah mati, organisma tanah. Selain itu, masih ada pula pool karbon -organik yang meliputi berbagai bentuk asam humus, arang, C terjerap dalam lapisan humus-besi (iron-humus pans) dan di dalam konkrei.

Pool karbon lain yang jangan dilupakan adalah produksi hutan (kayu bangunan, kayu bahan pulp, getah, buah-buahan), produksi pertanian (bahan pangan, serat, pakan, bahan bakar) yang diangkut ke luar lahan.

Definisi Cadangan karbon (C-stock) adalah jumlah karbon yang disimpan di terrestrial

ekosistem (daratan) yang meliputi komponen biomasa dan nekromasa, baik di atas permukaan tanah dan di dalam tanah (Bahan organik tanah, akar tanaman dan mikroorganisma) per satuan luasan lahan. Satuannya adalah Mg ha-1 (mega gram per ha = ton per ha).

Biomasa yaitu masa (kg ha-1) bagian vegetasi yang masih hidup yang meliputi masa dari tajuk pohon, tanaman semusim dan tumbuhan bawah atau gulma.

Nekromasa yaitu masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak,atau telah tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (seresah) yang belum terdekomposisi atau terdekomposisi sebagian.

Bahan Organik tanah (BOT) adalah sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) yang telah terdekomposisi sebagian atau keseluruhan dan telah menyatu dengan tanah. Dalam praktek biasanya BOT dipisahkan dari bahan organik (BO) berdasarkan ukurannya, BOT memiliki ukuran < 2 mm sedang BO berukuran > 2 mm.

Page 40: BACA KYOTO

— 40 —

Tabel 7. Beberapa komponen penyusun pool C daratan (Ciais et al., 2000)

pool C OrganiK HIDUP MATI Masukan C Lokasi Biomasa Nekromasa Humus

AnorganiK C Keluar

Produk hutan Produk tanaman

ATAS TANAH

CO2 dari dekomposisi

Pohon & tanaman berkayu lainnya

Daun, buah, batang, cabang & ranting

Pohon mati tetapi masih tegak

Bagian berkayu kasar di atas permukaan tanah

BO kasar Tumbuhan bawah

CO2, CO, CH4 dari pembakaran & gangguan lainnya

Asimilasi Tanaman

Lant

ai h

tan

Binatang

Seresah

BO halus (daun + tangkainya)

CO2, CH4 dari dekomposisi

Halus

Halus

Horizon OA pada tanah gambut,

BO Partikel & BO terlarut

BOT pada horison tanah mineral

Bikarbonat dalam air

Kompos, kotoran

TAN

AH

Subs

oil +

Top

soil

Akar hidup Kasar

Akar mati

Kasar

Arang Fauna tanah Hujan &

masukan anorganik lainnya

DALAM TANAH

Mikrobia

C dalam konkresi

Anorganic C tanah (ACT) Substansi (Ca2CO3, etc.)

Page 41: BACA KYOTO

41

4.1. Karbon di atas permukaan tanah Estimasi biomasa pohon dan persamaan alometrik Proporsi terbesar cadangan karbon di daratan umumnya terdapat di komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran, biomasa pohon dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan alometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang dan tinggi pohon. Persamaan alometrik untuk estimasi biomasa pohon di hutan tropika alam dengan berbagai kondisi iklim dan berbagai jenis hutan telah lama dikembangkan (Brown, 1997), namun untuk pohon-pohon spesifik yang umum dijumpai dalam sistem agroforestri masih belum banyak tersedia. Untuk itu masih diperlukan pengembangan persamaan alometrik baru dengan jalan mengukur diameter batang dan menebang pohon dan menimbangnya. Pengembangan persamaan ini memang membutuhkan tenaga dan beaya yang tinggi, namun bila persamaan telah diperoleh maka persamaan dapat dipakai untuk mengestimasi biomasa jenis pohon yang sama. Sayangnya, masih ada ketidak pastian bahwa persamaan alometrik untuk pohon hutan yang telah dikembangkan oleh Brown (1997) tidak dapat dipergunakan di lokasi baru, karena estimasi biomasa yang diperoleh dua kali lebih tinggi dari berat sesungguhnya (Ketterings et al., 2001). Pengembangan banyak persamaan alometrik yang baru tidak akan menyelesaikan masalah ketidak-pastian dalam mengestimasi biomasa pohon, kecuali bila tingkat pemahaman kita akan latar belakang persamaan alometrik dan hubungannya dengan bentuk percabangan pohon lebih ditingkatkan.

Batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah hutan merupakan pool karbon penting yang harus diukur pula agar diperoleh estimasi cadangan karbon yang akurat. Estimasi biomasa pohon tumbang, dapat dilakukan dengan mengukur volume batang. Batang pohon yang berupa cylinder, diukur diameter batang dan panjangnya. Untuk memperoleh berat masa kayu, maka volume kayu harus dikoreksi dengan berat jenis kayu. Untuk itu contoh kayu perlu diambil dan ditetapkan berat jenisnya karena banyak kayu pohon mati telah mengalami pelapukan sehingga BJ nya telah berkurang. Bila masih belum terlapuk informasi BJ kayu pohon ini dapat dicari di daftar berat jenis kayu di http://www.worldagroforestrycentre.org , asalkan diketahui namanya (nama lokal atau nama ilmiah). Prosedur pengukuran cadangan karbon di lapangan dapat dilihat pada Bahan Ajaran ASB-ICRAF, 4 B.

4.2 Karbon di bawah permukaan tanah Biomasa akar Akar adalah salah satu pool karbon yang juga penting dalam siklus karbon, karena akar dapat mentransfer karbon dalam jumlah besar langsung ke dalam tanah yang mungkin keberadaannya dalam tanah sudah cukup lama. Pada tanah hutan biomasa akar lebih terkonsentrasi pada akar-akar besar (diameter >2

Page 42: BACA KYOTO

42

mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih terpusat pada akar-akar halus yang lebih pendek daur hidupnya (life cycle). Sama halnya dengan estimasi biomasa di bagian atas permukaan tanah yang didasarkan pada diameter batang, di bagian bawah ini juga dapat diestimasi dengan mengukur diameter akar proksimal (akar utama yang langsung berhubungan dengan batang pokok pohon). Dasar teori hubungan ini dapat dijumpai dalam teori "Fractal branching properties of root sistems" (van Noordwijk dan Purnomosidhi, 1995). Prosedur pengukuran cadangan karbon di lapangan dapat dilihat pada Bahan Ajaran ASB, 4 B. Bahan Organik Tanah (BOT)

Kandungan BOT merupakan hasil dekomposisi dari bahan organik yang kecepatan dekomposisinya dipengaruhi oleh karakteristik tanah aslinya (inherent properties), vegetasi dan lokasi atau tempat. Kapasitas penyimpanan karbon dalam tanah bervariasi tergantung kepada:

(a) Tekstur tanah. Kandungan liat dan lempung yang tinggi memperlambat terjadinya dekomposisi bahan organik dan BOT, karena secara fisik liat menghalangi akses mikrobiota. Hal ini dikarenakan letak BOT di dalam pori yang sangat kecil, seperti terperangkap dalam agregat tanah dan akan tinggal ber-ratus ratus tahun lamanya.

(b) Letak bentang lahan (landscape position) dan tingkat drainasi. Tanah gambut, tergenang akan meperlambat terjadinya dekomposisi.

(c) Mineralogi (tanah volkanik muda berpotensi tinggi sebagai cadangan karbon)

(d) Gangguan tanah secara fisik (pengolahan tanah meningkatkan dekomposisi)

Mengingat bervariasinya kondisi karbon tanah dan lambatnya respon tanah

terhadap alih guna lahan (sekitar 10 tahun), menyebabkan kita sulit untuk mengevaluasi dampak alih guna lahan terhadap cadangan karbon tanah yang hanya didasarkan pada data hasil survey satu kali saja.

Metoda penjajagan (inventory) cadangan karbon tanah yang berkembang pada tingkat nasional saat ini adalah berdasarkan pada estimasi cadangan karbon pada kondisi alami dan perubahan relatif yang disebabkan oleh kegiatan pertanian. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan pengolahan tanah, pengairan dan penurunan masukan organik relatif terhadap kondisi vegetasi alami. Contoh perhitungan karbon tanah pada kondisi vegetasi alami (cadangan karbon potensial) dapat diperoleh di kolom 5. Estimasi cadangan karbon potensial dapat dikembangkan dengan menggunakan banyak data karbon tanah dari hasil survey tanah yang umumnya tersedia di banyak negara tropis sebagai data masukan dan/atau menggunakan simulasi model yang telah tervalidasi. Sebagai contoh, pengaruh kandungan liat terhadap kandungan referensi karbon tanah

Page 43: BACA KYOTO

43

hutan di Sumatra yang sejalan dengan hasil peramalan model simulasi CENTURY (van Noordwijk et al., 2000). Banyak data referensi karbon yang tersedia di daerah tropika yang belum pernah dianalisa potensinya, data tersebut mungkin dapat dimanfaatkan untuk menggambarkan kondisi karbon tanah pada lokasi yang spesifik. Perbedaan antara kondisi karbon saat ini dengan cadangan karbon potensial selanjutnya oleh Van Noordwijk et al. (1997, 1998; kolom 6) disebut dengan "defisit kejenuhan C" (C saturation deficit). Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian terhadap penurunan cadangan karbon dalam tanah relatif lebih kecil dari pada bagian di atas permukaan tanah. Perubahan cadangan karbon (baik positif maupun negatif) dalam tanah adalah berkaitan dengan pengelolaan tanah, umumnya penurunan cadangan karbon dalam tanah kurang dari 20 Mg C ha-1. Jumlah penurunan ini lebih rendah dari penurunan cadangan karbon di atas permukaan tanah, terutama bila hutan dialihkan menjadi sistem penggunaan lahan berbasis pohon.

Kolom 5. Estimasi besarnya referensi C tanah sebagai cadangan C

potensial Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian, menyebabkan turunnya kandungan BOT. Pengukuran BOT ini biasanyanya ditunjukkan dengan kandungan total C dalam tanah. Tetapi hasil pengukuran kandungan total C yang diperoleh biasanya sangat bervariasi antar titik pengambilan contoh, sehingga sulit untuk diinterpertasi. Tingginya variasi kandungan C tanah, ini dipengaruhi oleh kandungan liat dan debu tanah, pH tanah dan ketinggian tempat. Untuk itu kandungan BOT yang optimal harus dikoreksi dengan kandungan liat dan pH tanahnya, yang selanjutnya disebut sebagai Cref. Perhitungan sederhana telah dikembangkan oleh Van Noordwijk et al. (1997) yang menggunakan banyak data tanah hasil survey di Sumtra adalah sebagai berikut: Cref = (Zcontoh/ 7.5)- 0.42 exp(1.333 + 0.00994* %liat + 0.00699* %debu –

0.156*pHKCl + 0.000427 * ketinggian tempat) + 0.834 (bila tanah Andisol) + 0.363 (utk hutan rawa atau tanah gambut atau tanah basah)

di mana : Zcontoh = kedalaman pengambilan contoh tanah, cm

Ketinggian tempat = letak tempat di atas permukaan laut, m

Informasi ketinggian tempat ini dipergunakan untuk mengkoreksi perubahan suhu karena adanya perbedaan ketinggian tempat. Catatan Persamaan ini hanya berlaku untuk tanah mineral. Untuk tanah volkanik muda dan tanah-tanah basah maka harus dikembangkan persamaan baru.

Page 44: BACA KYOTO

44

Namun demikian, perhitungan ini mungkin akan berubah bila informasi cadangan karbon di lapisan bawah tanah telah diperoleh. Berubahnya kondisi cadangan karbon di bagian atas akan mempengaruhi cadangan karbon dalam tanah, maka informasi besarnya cadangan karbon dalam tanah juga diperlukan dalam penetapan cadangan karbon. Distribusi C di dalam profil tanah

Meningkatnya kedalaman tanah diikuti oleh semakin berkurangnya kandungan karbon, karena masukan bahan organik dari luar tanah banyak terkumpul di permukaan tanah. Bahan organik yang ada di permukaan tanah sebagian besar mengalami dekomposisi dan mineralisasi, sehingga banyak hara tersedia di permukaan tanah. Tingginya ketersediaan hara di permukaan tanah menyebabkan banyak akar tanaman (terutama akar halus) tumbuh di lapisan atas, dengan demikian sebaran karbon menjadi jauh lebih banyak di lapisan atas. Namun demikian, penurunan cadangan karbon di lapisan bawah berjalan lebih lambat dari pada di lapisan atas karena berkurangnya aktivitas organisma tanah di lapisan bawah. Selain itu, cadangan karbon di lapisan bawah lebih terlindungi dari gangguan fisik (misalnya pengolahan tanah). Dengan demikian setelah alih guna lahan penurunan kandungan karbon tanah berjalan sangat lambat. Jadi bila ditinjau dari cadangan karbon potensial, maka cadangan karbon lapisan bawah ini jauh lebih besar dari pada pada lapisan tanah paling atas, bahkan mungkin besarnya sama. Namun karena besarnya variabilitas kandungan karbon dalam tanah sebagai akibat bervariasinya sebaran perakaran, dan kondisi lingkungan dalam tanah, maka pengukuran dampak alih guna lahan terhadap cadangan

Kolom 6. Defisit kejenuhan karbon (C-saturation deficit)

Untuk semua jenis tanah, kandungan BOT selanjutnya dapat dihitung 'defisit kejenuhan C'’ nya (Carbon saturation deficit) berdasarkan pada besarnya perbedaan antara kandungan total BOT (Ctotal atau Corg) pada kondisi sekarang dengan kandungan BOT hutan yang telah dikoreksi (Cref). Hutan yang dipilih sebagai referensi harus mempunyai jenis tanah yang sama tetapi mempunyai masukan bahan organik terus menerus

CsatDeficit = (Cref - Corg) / Cref = 1 - Corg / Cref Dimana, Corg/Cref = Kandungan total C organik relatif terhadap tanah hutan yang

mempunyai tekstur dan pH yang sama Cref = kandungan C organik tanah hutan yang dipakai sebagai referensi

Page 45: BACA KYOTO

45

karbon di lapisan tanah bawah sulit dilakukan. Pengukuran tersebut hanya mungkin dilakukan pada percobaan terkontrol yang telah dipersiapkan dengan seksama dan dilakukan dalam jangka panjang.

Untuk kondisi di Indonesia, penghitungan distribusi karbon di dalam profil tanah pernah dilakukan terhadap beberapa contoh tanah dari seluruh propinsi Jambi. Contoh tanah diambil oleh tim survey tanah PUSLITTANAK Bogor pada tahun 1983 dan 1993 (Gambar 13). Dari hasil survey diketahui ada 14 jenis tanah dari 10 jenis sistem tutupan lahan, pada 14 lokasi dari 4 wilayah (regency). Tanah gambut pada daerah rawa, tanah hutan alami dan tanah bekas hutan alami memiliki kandungan karbon sekitar 40 % atau lebih, tetapi pada umumnya tanah lapisan atas mengandung karbon < 7 %.

Gambar 13. Hubungan antara kandungan total C tanah (Corg ) dengan kedalaman tanah

pada tanah mineral kering (sumbu Y1), dan kandungan total C tanah dengan ketebalan lapisan gambut pada tanah gambut (sumbu Y2); masukan data dari propinsi Jambi yang diperoleh dari tim survey tanah nasional PUSLITANAK Bogor dan dianalisa menggunakan model simulasi CENTURY (Hairiah dan Sitompul, 2000).

---Masalah yang dihadapi Berdasarkan data tersebut di atas, dijumpai perbedaan kandungan karbon yang sangat mencolok antara lapisan 'gambut' dan 'non-gambut', tetapi pada level profil tanah perbedaan ini agak kabur, karena ketebalan lapisan gambut sangat bervariasi dan adanya ketidak pastian dalam pendefinisian dari sistem klasifikasi tanah yang digunakan. Misalnya, beberapa tanah dalam peta ditandai sebagai 'tanah gambut' tetapi memiliki lapisan tanah mineral di lapisan atasnya, di lain pihak tanah tersebut ditandai sebagai 'tanah mineral' walaupun sebenarnya mengandung karbon setinggi yang umum dijumpai pada tanah gambut.

Page 46: BACA KYOTO

46

Bila semua lapisan yang dianggap sebagai 'gambut' kita abaikan, maka data karbon tanah lebih tersebar tidak menentu, tetapi umumnya kandungan karbon menurun dengan semakin dalamnya lapisan tanah. Hal ini menunjukkan adanya variasi kandungan karbon yang cukup besar (Gambar 14), dengan demikian persamaan yang dapat dipakai adalah:

Corg = a Zb dimana, Z adalah kedalaman tanah a dan b = konstanta (~0.42) Persamaan ini selanjutnya dapat dipakai untuk mengestimasi persentase karbon tanah pada beberapa lapisan tanah. Bila kita ketahui rata-rata kedalaman tanah yang ada (kedalaman dimana terdapat BOT sekitar 100 %) , maka kita dapat hitung nilai a nya, bila diketahui nilai b = 0.42. Bila diketahui tanah memiliki kedalaman rata-rata 2.5 m, maka sekitar 35 % atau 51 % dari BOT yang dikandungnya tersimpan pada kedalaman 20 cm atau 50 cm.

Gambar 14. Estimasi simulasi model CENTURY akan kandungan karbon tanah (Corg )

pada berbagai kedalaman tanah mineral kering dan indikasi penurunannya pada setiap kedalaman, data tanah dari propinsi Jambi diperoleh dari tim survey tanah nasional PUSLITANAK Bogor (dalam Hairiah dan Sitompul, 2000).

Page 47: BACA KYOTO

47

4.3 Tanah gambut Luasan tanah gambut di daerah tropika tidak terlalu besar, tetapi cadangan karbon per unit area jauh lebih besar dari pada lahan kering. Dengan demikian cadangan karbon total mungkin sama besarnya dengan yang ada di tanah mineral kering. Namun demikian, setiap usaha reklamasi lahan gambut akan melepaskan CO2 ke udara dalam jumlah yang sangat besar (Van Noordwijk et al., 1997). Pada Gambar 13, dapat dilihat ketebalan lapisan gambut sangat bervariasi sehingga cadangan karbon tanah gambut juga meningkat. Bila ditinjau dari sudut total cadangan karbon, pengukuran pada tanah gambut ini menjadi prioritas utama, karena di Indonesia lahan gambut berpotensi besar untuk dialih gunakan menjadi lahan pertanian. Sebagai contoh, perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di Malaysia menyebabkan turunnya lapisan tanah (subsidence) sekitar 2.5 m per tahun, dimana separuhnya hilang karena pemadatan dan separuh lagi hilang melalui dekomposisi/respirasi. Laporan terakhir menyebutkan, sekitar 10 - 20 Mg C ha-1 th-1 hilang sebagai CO2 lepas ke atmosfer melalui proses dekomposisi/respirasi, jumlah ini 10 x lebih besar dari pada kehilangan karbon pada lahan kering setelah pembakaran hutan. 4.4 Studi kasus: Cadangan C rata-rata per siklus tanam di Jambi

Selama kegiatan penelitian Proyek ASB, dilakukan pengukuran cadangan karbon di hutan alami tropika basah, hutan sekunder, agroforestri (kebun) karet, hutan tanaman industri (HTI) sengon, lahan ubi kayu, padang alang-alang, dan lahan bera yang didominasi oleh krinyu (Chromolaena odorata) (Tomich et al., 1998). Pengukuran dilakukan pada lahan-lahan dengan zona ekologi sama dan dipilih atas dasar sejarah (chronosequence) pembukaannya, minimal 15 tahun yang lalu dilakukan tebas bakar. Hutan alami memiliki cadangan karbon tertinggi (sekitar 497 Mg ha-1) dibandingkan system penggunaan lahan lainnya, lahan ubikayu monokultur memiliki cadangan yang terendah (sekitar 49 Mg ha-1) (Gambar 15). Konversi hutan menjadi hutan sekunder terjadi kehilangan sekitar 250 Mg C ha-1, dimana kehilangan terbesar terjadi di atas permukaan tanah karena hilangnya vegetasi. Sedang di dalam tanah kehilangan C hanya dalam jumlah yang relatif kecil. Bila hutan sekunder terus dikonversi ke sistem tanaman pangan ubikayu monokultur, maka kehilangan C di atas permukaan tanah bertambah lagi sekitar 300-350 Mg C ha-1. Tingkat kehilangan C ini dapat diperkecil bila hutan dikonversi menjadi sistem berbasis karet sekitar 290 Mg C ha-1 di bagian atas tanah, dan sekitar 370 Mg C ha-1 bila dikonversi ke HTI sengon.

Page 48: BACA KYOTO

48

Gambar 15. Cadangan karbon pada berbagai system penggunaan lahan di Jambi

(Tomich et al., 1998) Melihat contoh hasil pengukuran di Jambi tersebut, maka analisis dapat dilanjutkan dengan menghitung peningkatan C rata-rata per siklus tanam (time-averaged C), seperti yang ditunjukkan dalam Bab 2. Dalam kegiatan proyek ASB global, hasil pengukuran cadangan C di Indonesia ini dibandingkan dengan hasil pengukuran di Afrika (Cameroon), dan Latin Amerika (Peru) yang disajikan dalam kolom 7.

0100200300400500600

Hutan A

lami

Hutan S

ekun

der

Kebun

karet

Perkeb

unan

karet

HTI-sen

gon

Ubikay

u

Alang-a

lang

Bera kr

inyu

Cad

anga

n C

, Mg

ha-1

PohonTumbuhan bawahTonggakSeresahTanah:0-5 cm5-10 cm10-20 cm20-30 cm

Page 49: BACA KYOTO

49

Kolom 7.

Pengukuran cadangan karbon dan cadangan karbon rata-rata per siklus tanam pada berbagai sistem penggunaan lahan Estimasi kehilangan C dan potensi penyerapan CO2 di atmosfer pada berbagai sistem penggunaan lahan dapat dilakukan dengan jalan mengkombinasikan hasil pengukuran cadangan C rata-rata per siklus tanam dan nilai C tanah relatif. Konversi hutan menjadi hutan sekunder terjadi kehilangan sekitar 80 – 200 Mg C ha-1, dimana kehilangan terbesar terjadi di atas permukaan tanah karena hilangnya vegetasi (Gambar 16). Sedang di dalam tanah kehilangan C hanya dalam jumlah yang relatif kecil. Bila hutan sekunder terus dikonversi ke sistem tanaman pangan monokultur atau lahan penggembalaan, maka kehilangan C di atas permukaan tanah bertambah lagi sekitar 90-200 Mg C ha-1 dan di dalam tanah sekitar 25 Mg C ha-1 yang terjadi pada lapisan atas. Tingkat kehilangan C ini dapat diperkecil bila hutan dikonversi menjadi sistem berbasis kopi, sekitar 40-140 Mg C ha-1 di bagian atas tanah dan sekitar 10 Mg C ha-1 di dalam tanah. Seandainya lahan tanaman pangan atau lahan penggembalaan direhabilitasi menjadi sistem berbasis pohon, maka akan diperoleh net serapan C positif. Dalam jangka waktu sekitar 25 tahun, jumlah C yang diserap dan diakumulasikan dalam biomasa sekitar 5-60 Mg C ha-1 dan sekitar 5-15 Mg C ha-1 (Tomich et al, 1998). Kesimpulannya di daerah tropika basah, bagian di atas permukaan tanahlah yang berpotensi sebagai penyerap C di udara, bukan tanahnya.

Gambar 16. Cadangan C rata-rata dan total C dalam tanah (0-20 cm) pada berbagai system penggunaan lahan di tiga benchmark yaitu di Indonesia, Cameroon dan Brazil (Woomer dan Palm, 1998)

Page 50: BACA KYOTO

50

4.5 Usaha memaksimalkan cadangan karbon di tingkat bentang lahan: sistem 'segregasi' atau 'integrasi' Pengaturan letak lahan hutan dan lahan pertanian secara “segregasi atau integrasi” pada suatu bentang lahan telah banyak dibicarakan dalam bahan ajaran 1, yang prinsipnya ditujukan untuk mencapai 2 sasaran yaitu meningkatkan produksi pertanian (pangan, kayu bangunan dan produk pohon lainnya /bahan mentah lainnya), namun tetap mempertahankan kualitas lingkungan (fungsi hidrologi, cadangan karbon, keaneka ragaman hayati dan sebagainya). Untuk mencapai ke dua tujuan tersebut, apakah sistem pengaturan letak hutan alami yang terpisah penuh (segregasi) dengan sistem pertanian intesif akan lebih efisien? Atau dapatkah sistem integrasi hutan dengan lahan pertanian (Gambar 17) yang merupakan mosaic tanaman semusim, pohon dan semak belukar atau hutan alami, dapat lebih efisien dalam mencapai ke 2 tujuan tersebut?

Bila ditinjau dari prespektif iklim global, kita mungkin bisa kembali pada isu semula apakah lahan hutan harus terpisah penuh dengan lahan pertanian atau sistem lain yaitu integrasi antara fungsi hutan dan pohon dengan pertanian. Pada sistem terpisah dalam suatu bentang lahan, hutan dapat mempertahankan cadangan karbon dan tanahnya dapat mengoksidasi methana yang dihasilkan oleh lahan pertanian, terutama pada lahan padi sawah yang dipupuk. Pada sistem bentang lahan terintegrasi, pohon menghasilkan produk yang berguna dan juga dapat mempertahankan cadangan rata-rata C per siklus tanam. Namun besarnya masih lebih rendah dari yang dijumpai di hutan, atau bahkan mungkin lebih rendah dari jumlah yang umum diperoleh di hutan sekunder dengan sistem tebang pilih.

Sehubungan dengan adanya usaha peningkatan cadangan karbon terestrial, debat tentang pemilihan sistem terpisah atau terpadu dalam suatu bentang lahan ini dapat diestimasi secara kuantitatif (Tabel 8). Total cadangan karbon pada sistem segregasi adalah:

Csegregasi = Ff Chutan + (1-Ff) Cpertanian dimana, Ff bagian kecil yang merupakan fragmen dari hutan (fraction of the forest). Dengan menyelesaikan persamaan Ff, maka:

Ff Chutan + (1-Ff) Cpertanian= Cintegrasi Csegregasi = Cintegrasi

Contoh lebih jelas , lihat (Kolom 8),

Page 51: BACA KYOTO

51

Gambar 17. Sistem bentang lahan segregasi (segregated) atau integrasi (integrated).

Tabel 8. Ringkasan kesimpulan dari pengukuran cadangan C di tingkat bentang lahan

pada sistem integrasi dan segregasi.

Lahan pertanian, Sistem segregasi

Hutan Alami - Sistem segregasi

Pemecahan masalah jangka pendek

Mosaic Agroforestry,

Integrasi Cadangan C di atas permukaan tanah < 5 Mg C ha-1, pada pengelolaan tanah yang baik cadangan C dapat mencapai 20 Mg C ha-1

Tingkat cadangan C tinggi (100 - 350 Mg C ha-1)

Bila fragmen hutan hingga > 26%, cadangan C mencapai hingga 25 - 100 Mg C ha-1

Tingkat cadangan C sedang (25-100 Mg C ha-1)

Page 52: BACA KYOTO

52

Bila hasil pengukuran cadangan C dari ASB dimasukkan dalam perhitungan pada hutan tropika basah (hutan alami dan hutan sekunder) maka fragmen hutan (Forest fraction) mencapai 26 %, artinya pada titik tersebut sistem pertanian berbasis agrofores juga akan memperoleh cadangan C rata-rata per siklus tanam dalam jumlah yang kurang lebih sama (kolom 8). Bila jumlah hutan banyak, mungkin sistem segregasi jauh lebih baik, tetapi bila jumlah luas hutan sedikit maka sistem terpadu adalah jalan yang terbaik. Tentu saja pililihan sistem integrasi dapat mencakup berbagai macam sistem penggunaan lahan dan perhitungan yang lebih tepat masih dapat terus dilakukan berdasarkan perhitungan di atas dalam Kolom 8.

Bila besarnya emisi tahunan CO2 dan gas-gas lainnya juga dipertimbangkan, maka ketertarikan terhadap sistem segregasi akan menurun karena adanya pengaruh negatif dari sistem pertanian (tingginya produksi CO2 selama pembuatan dan pemberian pupuk, dan juga emisi CH4 dan N2O); dan bila sistem integrasi dapat mempertahankan produktivitas pada tingkat emisi gas per unit produk yang rendah, mungkin akan memperoleh banyak dukungan. Namun sayangnya untuk membandingkan ke dua kondisi tersebut tidaklah mudah.

Kolom 8.

‘Titik temu’ antara sistem segregasi atau integrasi Contoh: Ff Chutan + (1-Ff) Cpertanian = Cintegrasi

Ff (Chutan - Cpertanian) + Cpertanian = Cintegrasi

Cintegrasi– Cpertanian

Ff =

Chutan – Cpertanian

Jadi, bila Cintegrasi = 100 (hasil penelitian ASB) Cpertanian = 30 Chutan = 300 Maka Ff = 100 – 30 = 70 = 0.26 300 – 30 270

Page 53: BACA KYOTO

53

5. SIMULASI CADANGAN C 5.1. Mengapa kita harus menggunakan simulasi model? Pada skala besar, pengukuran cadangan karbon secara langsung di lapangan melalui estimasi biomasa tanaman tersebut di atas (Bab 4) tidak terlalu praktis. Besarnya cadangan karbon pada tingkat regional tidak dapat diestimasi dengan jalan mengekstrapolasi data yang diperoleh per titik pengamatan, karena tingginya variabilitas jenis tanaman dan faktor ekologi (misalnya iklim dan faktor edaphic lainnya). Untuk mengatasi masalah tersebut, dapat digunakan model simulasi dinamika karbon yang telah dipergunakan secara luas di daerah tropika yaitu ‘CENTURY’ (Parton et al., 1987 dan 1988; Metherell et al., 1993; Woomer, 1993). Model ini dapat dipergunakan untuk mengestimasi besarnya biomasa pohon dan bahan organik tanah (BOT) pada berbagai sistem penggunaan lahan. 5.2 Model CENTURY: simulasi pada alih guna lahan Model CENTURY terdiri dari enam submodel simulasi, yang berhubungan dengan dinamika bahan organik tanah (BOT), nitrogen (N), fosfor (P), sulfur (S), neraca air dan produksi tanaman. Oleh karena kita tertarik pada cadangan karbon yang diakumulasi dalam vegetasi pada berbagai tipe penutupan lahan, maka sub-model produksi tanaman dapat dijelaskan sebagai berikut: Submodel produksi tanaman – bagaimana kerjanya dan apa asumsinya CENTURY dapat mengestimasi produksi karbon (C) tanaman dalam submodel produksi, dengan menggunakan pendekatan sederhana tanpa harus melibatkan proses-proses fisiology kompleks yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Pada prinsipnya, jumlah C yang masuk ke dalam tubuh tanaman ditentukan oleh fotosintesis netto maksimum, dimana parameter tersebut sangat dipengaruhi oleh:

a. Radiasi fotosintesis aktif, (photosynthetically active radiation, PAR) b. Karakteristik tanaman yang mempengaruhi intersepsi untuk PAR c. Efisiensi fotosintesis dan reaksi metabolic yang mengkonversi karbohidrat

menjadi biomasa dan mempertahankan biomasa tanaman. Parameter masukan model CENTURY adalah produksi C potensial maximum

dan beberapa nilai spesifik untuk setiap jenis tanaman atau vegetasi yang disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Umumnya, nilai maksimum produksi potensial berkisar antara 200 hingga 580 kg berat kering ha-1 hari-1 yang setara dengan kandungan karbon 240 hingga 700 g m-2 bulan-1.

Produksi karbon bervariasi dengan musim, yang dalam perhitungannya lebih baik didasarkan atas fungsi suhu dari pada PAR. Produksi karbon aktual dapat diperoleh setelah dilakukan koreksi terhadap air, suhu, naungan dan hara

Page 54: BACA KYOTO

54

tersedia (N, P dan S). Selanjutnya jumlah karbon netto yang dihasilkan, masuk sebagai ‘aliran’ (flow) ke berbagai bagian tanaman seperti tajuk, biji dan akar (misalnya Gambar 17). Di dalam model CENTURY proses-proses tersebut dikontrol oleh beberapa parameter masukannya. Jadi parameter masukan tersebut dapat dimodifikasi agar diperoleh hasil yang layak untuk suatu jenis tanaman yang disimulasikan. Dengan jalannya waktu, tanaman tumbuh, membentuk biji, panen dan akhirnya tanaman mati. Tingkat kematian bagian tajuk diestimasi 6 % per 30 hari, dan belakangan meningkat hingga 98 % pada saat masa tua (senescence). Tajuk yang mati masuk ke dalam pool ‘bagian tanaman yang mati’ (standing dead) (Gambar 18), yang selanjutnya masuk ke dalam pool ‘lapisan seresah’ (litter layer) yaitu sekitar 10 % per 20 hari. Akar mati sekitar 4 % per 30 hari, dan bagian ini akan masuk ke dalam pool lapisan organik (seresah) tanah (Soil litter layer).

KEY

FRSTC = Fraction Root CarbonFSDETH = Shoot Death RateGPPT = Grow Season PrecipitationHIMAX = Harvest Index MaximumHIWSF = Harvest Index Water Stress FactorRDR = Root Death RateSM = Initial Soil Moisture

GRAIN C[ CGRAIN

EGRAIN(1-3)N,P,S ]

SHOOT C[ AGLIVC

AGLIVE(1-3)N,P,S ]

PLANTPRODUCTION

STANDING DEAD C[ STDEDC

STDEDE(1-3)N,P,S ]

SURFACE LITTER C

STRUCTURALPOOL

METABABOLICPOOL

Genetic potentialTemperatureSoil moistureNutrients HIMAX,

HIWSF

FSDETH

TILLAGETILLAGE

TILLAGE FALL RATEFRSTC

orGPPT + SM

ROOT C[ BGLIVC

BGLIVE(1-3)N,P,S ]

SOIL LITTER C

STRUCTURALPOOL

METABOLICPOOL

RDR

MODEL OUTPUT VARIABLES

CPRODA = Annual Total ProductionAGCACC = Above Ground Growing

Season ProductionBGCACC = Below Ground Growing

Season Production[Other output variables are shown inparentheses.]

Gambar 18. Diagram aliran karbon dalam model simulasi CENTURY untuk tanaman

semusim/padang rumput: tanda panah menunjukkan aliran C dan N antar pool (box), label (bentuk seperti kunci) pada tanda panah menunjukkan faktor utama yang mengatur tingkat aliran (Parton et al., 1987)

Page 55: BACA KYOTO

55

Sub-model generic produksi tanaman dapat dipakai untuk mensimulasi berbagai macam tanaman semusim atau padang rumput, tetapi untuk estimasi produksi kayu dari pohon dan vegetasi hutan masih diperlukan beberapa modifikasi (Gambar 19). Untuk kondisi hutan, produksi tahunan biomasa di atas tanah (Pmax) dan di bawah tanah (Rmax) diestimasi berdasarkan besarnya curah hujan tahunan (APPT, mm) yang ditunjukkan dalam persamaan di bawah ini:

Pmax = - 40 + 0.77 APPT Rmax = 100 + 0.70 APPT

PPTTEM

PLANTPRODUCTION

ACTIVESOM

SLOWSOM

CO2

NL

L

LEAF C[ RLEAVC

RLEAVE(1-3)N,P,S ]

SURFACERESIDUE

STRUCTURALPOOL

METABOLICPOOL

FINE ROOTS C[ FROOTC

FROOTE(1-3)N,P,S ]

ROOTRESIDUE

STRUCTURALPOOL

METABOLICPOOL

FINE BRANCHES[ FBRCHC

FRBRCHE(1-3)N,P,S]

DEAD FINE BRANCHES[ WOOD1C

WOOD1E(1-3)N,P,S ]

LARGE WOOD[ RLWODC

RLWODE(1-3)N,P,S ]

DEAD LARGE WOOD[ WOOD2C

WOOD2E(1-3)N,P,S ]

COARSE ROOTS[ CROOTC

CROOTE(1-3)N,P,S ]

DEAD COARSE ROOTS[ WOOD3C

WOOD3E(1-3)N,P,S ]

KEY

L = LigninNL = Non-LigninPPT = Monthly PrecipitationTEM = Monthly Soil TemperatureSOM = Soil Organic Matter

MODEL OUTPUT VARIABLES

CRTACC = Annual Coarse Wood ProductionFBRACC = Annual Fine Branch ProductionFRACC = Annual Total Tree ProductionFROOTC = Annual Fine Root ProductionRLVACC = Annual Leaf ProductionRLWACC = Annual Large Wood ProductionSUMRSP = Monthly Maintenance Respiration

[Other output variables are shown in parentheses.] Gambar 19. Diagram aliran C dari model produksi hutan dalam model CENTURY: tanda

panah menunjukkan aliran C dan N diantara berbagai pool organik(dalam box), label (bentuk seperti kunci) pada tanda panah menunjukan faktor utama yang mengatur tingkat aliran (Parton et al., 1987)

Page 56: BACA KYOTO

56

Produksi maksimum bulanan pada musim pertumbuhan diperoleh dari produksi tahunan dibagi dengan lamanya masa pertumbuhan. Ketersediaan N-mineral (NH4 dan NO3) dalam tanah menentukan besarnya produksi hutan dan pohon lainnya. Bila penyediaan N tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman untuk memperoleh produksi dengan nisbah C/N yang diharapkan, maka produksi tanaman akan menurun.

Karbon yang dihasilkan oleh hutan akan dimanfaatkan oleh tanaman itu sendiri dan dilepaskan kembali dalam bentuk CO2 dan akan masuk ke dalam tanah atau ke dalam pool seresah, melalui proses dekomposisi dan akhirnya akan memasuki pool bahan organik tanah (BOT). Kembali CO2 dilepaskan karena adanya respirasi mikroba. Ada kemungkinan pula C terlarut hilang melalui pencucian. Di dalam pool BOT terdapat 3 pool BOT yang berbeda-beda tingkat kecepatan pelapukannya yaitu pool ‘aktif’, ‘lambat’ dan ‘pasif’. Jadi CENTURY merupakan model yang dinamik, dapat dipakai untuk mengestimasi cadangan C pada satu siklus waktu yang meliputi C dalam bagian tanaman di atas dan di dalam tanah termasuk C yang disimpan dalam tanah.

Hasil simulasi model CENTURY Aplikasi model CENTURY yang lebih berguna adalah untuk mengukur

pengaruh alih guna lahan terhadap cadangan karbon, karena proses ini yang menyebabkan hilangnya karbon dari pool C daratan. Sebagai contoh hutan primer dalam jumlah yang sangat luas di Propinsi Jambi telah dikonversi menjadi sistem penggunaan lahan yang lain sehingga menyebabkan hilangnya cadangan karbon (Murdiyarso and Wasrin, 1995). Seluruh proses dapat dipelajari lewat model tersebut sehingga pengetahuan kita akan hubungan cadangan C daratan dan alih guna lahan pada skal global semakin meningkat. 5.3. Contoh hasil simulasi Tujuan dari simulasi model CENTURY berikut ini adalah untuk mengestimasi cadangan C dalam biomasa tanaman di atas tanah dan dalam BOT akibat adanya alih guna lahan hutan menjadi kebun karet (Jambi, Indonesia) atau menjadi kebun coklat (Ebolowa, Cameroon). Karakteristik tanah dan iklim disajikan dalam Tabel 9. Curah hujan di Indonesia sekitar 2.94 m th-1 dan 2.06 m th-1 untuk Cameroon. Temperatur di Indonesia lebih tinggi dari pada di Cameroon, dengan temperatur harian minimum masing-masing sekitar 26.0oC dan 17.6 oC. Tabel 9. Lokasi geografis dan karakteristik tanah di Jambi, Indonesia dan Ebolowa,

Cameroon

Pasir Debu Liat Lokasi Lintang, 0 Bujur, 0 pH %

Berat Isi, g cm-3

Jambi, Indonesia 4.00 104 4.75 0.46 0.24 0.29 1.1 Ebolowa, Cameroon

5.45 76 5.40 0.54 0.36 0.10 1.4

Page 57: BACA KYOTO

57

Hutan Alami Akumulasi C dalam biomasa di atas permukaan tanah (C-BAT) meningkat

dengan cepat pada 200 tahun pertama, selanjutnya menurun dan relatif konstan hingga 1000 tahun (Gambar 20). Pada tahun 300 dan 1000, cadangan C-BAT di Jambi diestimasi masing-masing sekitar 300 - 470 Mg C ha-1. Jumlah ini mendekati jumlah hasil pengukuran cadangan C-BAT di Rantau Pandan-Jambi (264 Mg C ha-1) dan di Pasir Mayang-Jambi (421 Mg C ha-1). Kapasitas hutan di Cameroon memiliki kapasitas akumulasi C lebih rendah yaitu sekitar 210 dan 370 Mg C ha-1 masing-masing pada tahun ke 300 dan 1000 (Gambar 20a).

Akumulasi C dalam tanah hutan akan terus meningkat, tingkat kenaikannya akan menurun secara bertahap dengan jalannya waktu, pola peningkatannya seperti pola yang dijumpai pada bagian atas tanah (Gambar 20b). Pada tahun 500 dan 600, kandungan total C tanah di Jambi mencapai 72 dan 82 Mg C ha-1 atau setara dengan Corganik sekitar 3.28 dan 3.65 % (pada kedalaman 20 cm dengan berat volume 1.1 mg cm-3 ). Nilai estimasi ini mendekati nilai hasil pengukuran di Rantau Pandan, Jambi (71 Mg C ha-1) dan di Pasir Mayang, Jambi (79 Mg C ha-1). Di Cameroon akumulasi C tanah masih <50 Mg C ha-1 (dengan nilai Corg sekitar 1.75%) pada tahun ke 500.

---Alih guna lahan hutan menjadi kebun karet dan coklat (cacao)

Berdasarkan hasil simulasi Century pada 2 tahun pertama setelah alih guna lahan hutan menjadi sistem tumpangsari karet dan padi menyebabkan hilangnya cadangan C di atas permukaan tanah (Gambar 21a). Pada saat karet berumur 20 tahun (pada simulasi tahun ke 365) cadangan C hasil simulasi mendekati besarnya cadangan C-BAT hasil pengukuran di lapangan (Gambar 21b) yang diestimasi dengan menggunakan persamaan alometrik (40 Mg C ha-1 di Rantau Pandan dan 78-94 Mg C ha-1 di Bungo Tebo). Selain itu, keluaran model ini juga mendekati besarnya hasil pengukuran cadangan C-BAT pada kebun karet di Malaysia umur 6 tahun dan 24 tahun (Shorrocks et al., 1965), tetapi agak terlalu rendah pada tahun ke 10. Simulasi untuk kebun cacao di Cameroon menghasilkan cadangan karbon sekitar 70 Mg C ha-1 pada saat 25 tahun setelah pembakaran hutan (Gambar 22). Nilai ini lebih rendah dari hasil pengukuran di lapangan yaitu sekitar 88.72 Mg C ha-1. Cadangan C dalam tanah diramalkan menurun bila hutan dikonversi menjadi kebun karet di Indonesia atau kebun coklat di Cameroon, dan kecepatan penurunannya lebih tinggi pada kebun karet (dari 55 menjadi 40 Mg C ha-1, Gambar 20a) dari pada di kebun coklat 38 to 31 Mg C ha-1, Gambar 22 a). Pada 25 tahun setelah pembakaran hutan, hasil estimasi cadangan C tanah pada kebun karet di Bungo Tebo- Indonesia berada dalam kisaran yang dijumpai di lapangan (35-67 Mg C ha-1, Gambar 22b). Berdasarkan contoh di atas maka simulasi model CENTURY ini dapat dipergunakan untuk mengestimasi cadangan C pada tingkat global dan dalam jangka waktu panjang, dengan demikian dapat meningkatkan pemahaman kita akan akibat yang terjadi oleh adanya alih guna lahan hutan.

Page 58: BACA KYOTO

58

Gambar 20. Akumulasi C di hutan pada berbagai waktu hasil simulasi model CENTURY:

(a) bagian di atas tanah (b) dalam tanah di Jambi, Indonesia, dan di Ebolowa, Cameroon.

Gambar 21. Estimasi akumulasi C berdasarkan simulasi CENTURY untuk cadangan C (a) di atas tanah dan (b) di dalam tanah, pada sistem tumpang sari karet dengan padi pada saat 2 tahun setelah pembakaran hutan. Alih guna hutan dimulai pada tahun simulasi ke 340. Simbol terbuka mewakili cadangan C berdasarkan estimasi biomasa pohon yang menggunakan persamaan alometrik di Jambi, Indonesia. Nilai “observed” adalah cadangan C hasil pengukuran di perkebunan karet di: (a) Malaysia (Shorrocks et al., 1965), dan (b) dari Jambi-Indonesia.

a) b)

a) b)

Page 59: BACA KYOTO

59

Gambar 22. Estimasi akumulasi C berdasarkan simulasi CENTURY untuk cadangan C (a) di atas tanah dan (b) di dalam tanah, pada kebun coklat yang sebelumnya tertutup oleh Chromolaena sp. selama 2 tahun setelah pembakaran hutan. Alih guna hutan dimulai pada tahun simulasi ke 340.

a) b)

Page 60: BACA KYOTO

60

6. PERDAGANGAN KARBON INTERNASIONAL 6.1. Kenapa karbon diperdagangkan?

Perubahan iklim adalah sebuah fenomena global yang ditandai dengan

perubahan suhu udara dan distribusi hujan. Dalam keadaan iklim yang berubah semua tempat di bumi akan mengalami peningkatan suhu udara dan perubahan curah hujan baik dari segi jumlah maupun waktunya. Perubahan iklim tidak terjadi secara mendadak atau seketika, tetapi merupakan proses yang berlangsung dalam jangka yang panjang dan terjadi secara berangsur-angsur.

Penyebab utama terjadinya perubahan iklim adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) sejak 150 tahun yang lalu, ketika negara industri atau negara maju mulai menggunakan BBF dan melakukan alih-guna lahan untuk membangun ekonominya. Untuk menstabilkan emisi GRK diperlukan penanganan secara global melalui sebuah perjanjian internasional. Akhirnya muncullah Protokol Kyoto yang mentargetkan penurunan emisi GRK paling sedikit sebesar 5% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode komitmen 2008-2012. Secara global negara-negara maju harus menurunkan emisinya sebesar 14 Gt CO2 (1 Gt = 1 gigaton = 1x109 ton = 1x109 Mg) dengan target penurunan emisi dibedakan untuk masing-masing negara maju.

Berdasarkan komitmen atau kewajiban sebesar itu negara maju berusaha mencari cara agar terjadi pembagian beban yang adil, dengan menggunakan mekanisme pasar. Artinya Negara maju akan berusaha menurunkan emisi sebanyak-banyaknya dengan biaya yang serendah-rendahnya. Oleh karena itu mereka mengharapkan partisipasi Negara lain melalui berbagai mekanisme, termasuk Joint Implementation (JI), Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM), dan perdagangan emisi (Emission Trading, ET) yang mengatur partisipasi negara berkembang. Dalam hal ini CDM adalah satu-satunya mekanisme yang dapat diikuti Negara berkembang.

Kegiatan pengurangan emisi melalui CDM akan menghasilkan kredit penurunan emisi yang disertifikasi (Certified Emission Reduction, CER) oleh badan independen yang ditunjuk. Certified Emission Reduction (CER) adalah komoditi yang akan diperjualbelikan yang akan diterbitkan oleh Badan Pelaksana CDM atas dasar tiga syarat utama: • Partisipasi negara berkembang dilakukan atas dasar sukarela dan pihak-pihak

yang terlibat telah menyetujuinya • Hasil penurunan emisi harus nyata, dapat diukur dan memberi dampak jangka

panjang dalam hal perlindungan iklim • Kegiatan CDM harus menghasilkan keuntungan atau perolehan (additionality)

dalam hal pengurangan emisi dibanding jika tidak ada kegiatan Kegiatan tataguna lahan, alih-guna lahan dan kehutanan (land-use, land-use change and forestry, LULUCF) merupakan sektor yang dikenali oleh Panel Antar pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change,

Page 61: BACA KYOTO

61

IPCC) yang dapat menjadi sumber (source) sekaligus rosot (sink) CO2. Untuk negara maju, penyertaan kegiatan LULUCF untuk memenuhi target penurunan emisi tidak banyak menemui kesulitan tetapi ketika sektor ini hendak dimasukkan ke dalam CDM, telah menimbulkan pro dan kontra. Mekanisme perdagangan karbon hutan melalui skema CDM telah diatur oleh Konferensi Para Pihak melalui sebuah modalitas dan prosedur yang telah disepakati bersama. Kesepakatan tersebut berlaku hingga peiode komitmen pertama berakhir di tahun 2012. Meskipun demikian kegiatan CDM sebenarnya sudah bisa dimulai sejak tahun 2000.

Bahan Diskusi

1. Kenapa iklim berubah? 2. Apa peranan tataguna lahan, alih-guna lahan dan kehutanan? 3. Bagaimana hutan dapat menjadi sumber (source) dan sekaligus rosot (sink)

CO2? 6.2. Skema Clean Development Mechanism (CDM)

CDM adalah salah satu mekanisme Kyoto yang memungkinkan negara

maju melakukan investasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya. Sementara itu negara berkembang berkepentingan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, dan tujuan utama Konvensi yaitu menstabilkan emisi GRK sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. Melalui investasi proyek CDM negara maju akan memperoleh kredit penurunan emisi dalam bentuk sertifikat penurunan emisi (Certified Emission Reduction, CER) yang akan diterbitkan oleh Badan Pelaksana CDM pada tingkat global setelah diverifikasi oleh entitas operasional yang ditunjuk. Negara-negara berkembang akan memperoleh tambahan dana (financial additionality) dari investor untuk mengimplementasikan proyek yang mengurangi emisi GRK. Teknologi yang rendah emisi juga dapat dialihkan dalam mekanisme ini, sehingga akan diperoleh tambahan teknologi (technological additionality). Disamping itu pihak tuan rumah juga dapat menilai seberapa jauh tujuan pembangunan berkelanjutannya telah dicapai berdasarkan kriteria dan indikator yang telah disepakati bersama investor. Dengan mengadopsi kriteria internasional, otoritas nasional perlu menilai dampak proyek CDM terhadap aspek-aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. Kriterianya adalah agenda tuan rumah yang harus disusun oleh otoritas nasional melalui proses konsultasi publik yang luas.

Page 62: BACA KYOTO

62

Ketika pertama kali dirundingkan, masuknya hutan atau LULUCF ke dalam CDM merupakan kontroversi yang dianggap akan merusak integritas Protokol Kyoto dengan tiga alasan: • Hutan adalah sumberdaya alam yang akan dieksploitasi untuk menghasilkan

devisa dan membangun ekonomi. Industri kehutanan yang berbasis kayu tropis memungkinkan bocornya karbon hutan yang tersimpan dalam proyek CDM di tempat lain sangat besar sehingga secara nasional bahkan sektoral, perolehan karbon proyek CDM LULUCF cenderung tidak nyata

• Secara ekologis pertumbuhan hutan akan mencapai tingkat jenuh, sehingga kelebihan CO2 di atmosfer tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Jadi dalam perspektif jangka panjang pemindahan cadangan karbon dari fosil yang telah terbentuk jutaan tahun yang lalu ke dalam rosot (sink) atau biotik yang hanya berumur puluhan tahun, dalam jangka panjang sulit mendapatkan pembenaran bahwa menanam hutan dengan pertumbuhan yang akan mencapai klimaksnya dapat menstabilkan emisi dan konsentrasi CO2 atmosfer

• Sebelum hutan dapat mengatasi masalah perubahan iklim, pertumbuhan hutan sendiri sebenarnya akan terlebih dahulu dipengaruhi oleh perubahan iklim. Tidak ada hutan yang memiliki daya tahan yang sempurna terhadap kekeringan, kebakaran, penggenangan, serangan hama dan penyakit, dan bentuk-bentuk cekaman lainnya yang dipicu oleh perubahan iklim

Di dalam perundingan lebih lanjut, akhirnya CDM LULUCF dapat diterima namun disertai dengan pembatasan-pembatasan sebagai berikut:

• Hanya berlaku pada periode komitmen pertama (2008-2012) • Hanya terbatas pada kegiatan reforestasi dan aforestasi • Tidak lebih dari 1% total emisi Pihak investor

Pembatasan ini mencerminkan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) agar integritas Protokol Kyoto tetap dipertahankan dan tujuan pembangunan berkelanjutan tetap tercapai. Setelah periode ini modalitas dan prosedur CDM akan ditinjau kembali.

Negara-negara berkembang yang berpotensi besar seperti Indonesia, mungkin harus lebih banyak belajar sambil mempersiapkan dan memantapkan kerangka kelembagaan dan peraturan yang relevan. Untuk itu mungkin dapat diawali dengan pemilihan tipe proyek yang tepat, yang berskala kecil, dan dipilih pada lokasi-lokasi yang peluang terjadinya konflik kecil. Agar mendapat dukungan luas dari pihak terkait (stakeholder), rancangan (design) proyek harus menekankan pada tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan. Dalam sektor LULUCF kegiatan yang diijinkan untuk dijadikan proyek CDM adalah kegiatan aforestasi dan reforestasi, sementara pencegahan terhadap deforestasi tidak dapat dilakukan. Yang dimaksud dengan aforestasi di sini adalah penanaman hutan kembali pada lahan yang sudah tidak berhutan sejak 50 tahun yang lalu. Sedang reforestasi adalah penanaman hutan kembali pada lahan yang tidak berupa hutan sebelum tahun 1990. Sekali lagi, ketentuan yang sangat berhati-hati ini tidak lain adalah untuk memastikan bahwa kegiatan CDM

Page 63: BACA KYOTO

63

LULUCF dapat menyerap karbon semaksimum mungkin sementara emisinya diupayakan seminimum mungkin. Batas satu persen dari emisi negara yang berinvestasi mengisyaratkan bahwa pertama, segmen pasar karbon untuk CDM LULUCF sangat kecil. Kedua, negara-negara maju dipaksa melakukan penurunan emisinya secara domestik, tidak di luar negeri. Sebagai contoh, dengan tingkat emisi pada tahun 1990 sebesar 1,2 Gt, Jepang tidak boleh membeli CER dari kegiatan kehutanan di luar negeri lebih dari 12 juta ton per tahunnya atau sebesar 60 juta ton dalam periode komitmen pertama. Jadi secara keseluruhan dengan emisi global sebesar 14 Gt, volume karbon hutan yang bisa dijual negara berkembang melalui CDM hanya sekitar 140 juta ton/tahun. Pembatasan kuota CDM di sektor LULUCF membawa implikasi positif dari segi proses pembelajaran. Jika dalam periode komitmen pertama para peserta CDM LULUCF menunjukkan keragaan yang baik, modalitas dan prosedur CDM mungkin akan ditinjau kembali untuk periode komitmen berikutnya. Tetapi jika kriteria dasar CDM tidak tercapai, mungkin juga tidak ada periode komitmen kedua bagi CDM LULUCF.

6.2.1 Aturan main dan prosedur CDM Aspek hukum. Secara internasional transaksi antara pembeli dan penjual akan dipantau sedemikian rupa sehingga mencegah kemungkinan salah perhitungan dalam kaitannya dengan target penurunan emisi. Lembaga-lembaga nasional dan internasional akan bekerjasama, dengan aturan main yang telah disepakati Berdasarkan ketentuan Protokol atau aspek hukum internasional yang berlaku, persyaratan yang diterapkan bagi negara maju atau Pihak investor ialah: • Memenuhi persyaratan keabsahan yang diputuskan oleh Badan

Pelaksana CDM di tingkat global • Menyediakan dana pelaksanaan proyek • Meratifikasi Protokol Kyoto Sedang bagi negara berkembang atau Pihak tuan rumah ialah: • Meratifikasi Protokol Kyoto • Memiliki otoritas nasional yang ditunjuk pemerintah untuk mengawasi

pelaksanaan proyek Secara nasional aspek-aspek hukum yang harus diperhatikan dan dipenuhi pengembang proyek adalah hukum nasional yang berlaku di negara masing-masing. Sebagai contoh, di Indonesia terdapat Keputusan Presiden tentang Daftar Positif dan Negatif Penanaman Modal Asing, dimana investasi modal asing untuk pengusahaan hasil hutan non-kayu

Page 64: BACA KYOTO

64

tidak dibenarkan (Daftar Negatif). Hal ini akan menyulitkan kemungkinan investasi CDM di bidang wanatani (agroforestry) dengan tujuan utama meningkatkan produktivitas hasil hutan non-kayu untuk memperbaiki taraf hidup petani dan memperbaiki produktivitas lahan dan keanekaragaman hayati. Baru-baru ini juga dikeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur ijin usaha di bidang jasa lingkungan dimana karbon hutan termasuk di dalamnya. Di dalam peraturan tersebut luas lahan yang diijinkan dibatasi hanya seluas 1000 ha dan berlaku hanya untuk 10 tahun. Dari segi penurunan emisi dan periode kredit, pembatasan hukum yang diberlakukan secara nasional tersebut merupakan tantangan tersendiri dalam pengembangan proyek CDM LULUCF. Aspek kelembagaan. Secara internasional CDM memiliki Badan Pelaksana (Executive Board) yang diangkat oleh Konferensi Para Pihak Konvensi yang merupakan Pertemuan Para Pihak Protokol Kyoto (CoP/moP). Anggotanya terdiri dari 10 orang dan berasal dari lima wilayah PBB (masing-masing diwakili oleh satu orang), dua orang dari negara maju, dua orang dari negara berkembang dan satu orang dari negara-negara kepulauan kecil. Lembaga inilah yang mengawasi pelaksanaan CDM, termasuk melakukan akreditasi terhadap entitas operasional (Operational Entity, OE), yaitu lembaga independen yang memiliki kemampuan untuk mengoperasionalkan CDM di lapangan, khususnya dalam melakukan validasi, verifikasi dan sertifikasi proyek yang diajukan dan diimplementasikan pengembang.

Secara nasional pelaksanaan proyek CDM di negara tuan rumah akan diawasi dan difasilitasi oleh otorotas nasional yang ditunjuk oleh pemerintah negara tersebut (Designated National Authority, DNA). Lembaga ini bertanggungjawab dalam mempertemukan investor dan mitranya, memfasilitasi pengembangan proyek untuk dapat disahkan oleh Pihak tuan rumah dan berhubungan dengan lembaga-lembaga internasional yang disebutkan di atas. Keberadaan DNA yang efisien merupakan daya tarik tersendiri bagi investor yang hendak menanamkan modalnya. Efisiensi DNA sangat ditentukan oleh kapasitas stafnya dalam memahami permasalahan internasional dan nasional, kemampuan teknisnya dalam pengawasan implementasi proyek khususnya dalam mengupayakan tercapainya tujuan proyek CDM, dan kemampuan manajerialnya dalam menghadapi investor, tuan rumah dan entitas operasional. DNA harus bekerjasama dengan lembaga lain dengan jadwal waktu yang ketat sesuai dengan perkembangan proyek dan untuk memastikan bahwa integritas Protokol Kyoto dipertahankan. Sesuai dengan mandatnya DNA adalah tempat bermuaranya berbagai kepentingan, termasuk pemerintah, investor, mitra tuan rumah dan lembaga-lembaga internasional.

Page 65: BACA KYOTO

65

Tabel 10 menunjukkan lembaga-lembaga yang terlibat dalam CDM, baik di tingkat internasional maupun nasional yang harus dipahami oleh calon pengembang proyek CDM. Melalui kelembagaan inilah proyek CDM akan diimplementasikan, sehingga mekanismenya akan berjalan lancar dan transparan.

Tabel 10. Kelembagaan CDM, pembentukan dan peranan yang

dimainkannya Lembaga-lembaga CDM

Badan Pelaksana Entitas Operasional Otoritas Nasional

• Dibentuk dan bekerja untuk dan atas nama CoP/moP

• Beranggotakan 10 orang • Masa kerja dua tahun • Pengawas implementasi CDM pada tingkat

global • Menerbitkan CER • Diakreditasi oleh Badan Pelaksana • Bertugas dalam validasi, pendaftaran, verifikasi

dan sertifikasi proyek • Dapat bekerjasama dengan konsultan nasional • Dibentuk dan bekerja untuk dan atas nama

pemerintah • Mengesahkan proyek • Memberi kemudahan kepada calon investor dan

tuan rumah proyek

Aspek teknis. Aspek teknis yang akan dibahas berikut ini meliputi penentuan garis awal (baseline) dimana proyek dimulai yang akan dibandingkan dengan kondisi setelah proyek berjalan. Perbedaan tersebut merupakan perolehan (additionality) yang akan menentukan CER yang akan diterbitkan oleh Badan Pelaksana CDM. Pembahasan juga dilakukan terhadap kemungkinan terjadinya kebocoran (leakage) sehingga perolehan yang direncanakan tidak tercapai karena hal-hal yang tidak diantisipasi sebelumnya. Dengan demikian cadangan tetap (permanence) dapat dibahas sesuai dengan tipologi proyek beserta resiko yang mungkin terjadi. Penentuan baseline. Baseline dalam pengertian proyek CDM adalah emisi yang terjadi jika tidak ada proyek atau intervensi kebijakan. Jadi

Page 66: BACA KYOTO

66

kecenderungannya adalah merupakan skenario kuantitatif business-as-usual yang dapat ditentukan berdasarkan beberapa alternatif, yaitu untuk seluruh negara, untuk setiap sektor atau untuk setiap proyek. Masing-masing pilihan memiliki konsekuensinya sendiri, tetapi baseline yang ideal adalah yang berbasis proyek dan dirancang untuk setiap sektor. Pilihan yang dapat dilakukan pengembang proyek untuk menentukan baseline antara lain melalui: • Patokan (benchmarking) yang ditentukan secara top-down dengan nilai

tertentu yang diperoleh dari pengalaman atau catatan historis • Perbandingan dengan proyek lain yang merupakan 20% proyek terbaik

yang pernah dilaksanakan di tempat lain • Simulasi terhadap proyek serupa dalam lima tahun terakhir untuk

menghasilkan kecenderungan empiris (empirical trend) Perhitungan additionality. Sebuah proyek CDM akan memperoleh hasil (additional) apabila emisi GRK berhasil dikurangi hingga di bawah tingkat emisi kalau tidak ada proyek yang didaftarkan sebagai kegiatan CDM. Pengertian "tidak ada proyek" menunjukkan bahwa perolehan (additionality) proyek harus dihitung terhadap baseline seperti diuraikan di atas. Oleh karena itu pengembang sebuah proyek CDM LULUCF akan berupaya meningkatkan cadangan karbon sebesar mungkin. Perolehan kegiatan CDM yang diverifikasi adalah perbedaan (selisih) antara emisi proyek (dalam hal ini peningkatan cadangan) dan emisi baseline, setelah mempertimbangkan kebocoran yang terjadi (lihat Gambar 23),

Gambar 23. Perolehan (additionality) proyek karbon hutan selama periode kredit (t1

sampai t2) setelah mempertimbangkan baseline (AB), pertumbuhan hutan (AC) dan kebocoran (AD), yaitu luas bidang 'abcd' dikurangi luas bidang 'abef'.

Page 67: BACA KYOTO

67

Perkiraan kebocoran. Kebocoran (leakage) adalah dampak tak-langsung proyek CDM atau kebijakan yang menyebabkan peningkatan emisi di tempat lain. Misalnya, kegiatan reforestasi di suatu tempat yang dimaksud untuk meningkatkan penyerapan karbon dapat menimbulkan deforestasi di tempat lain. Jadi kebocoran adalah "lolos"nya karbon yang sudah batal diemisikan atau ditambatkan oleh kegiatan proyek. Kebocoran dapat terjadi diluar kontrol pengembang sebagai konsekuensi pelaksanaan proyek sehingga perolehan karbon secara keseluruhan harus didiskon. Karena itu kebocoran sering dianggap sebagai eksternalitas GRK karena terjadi di luar batas di mana proyek dilaksanakan. Kebocoran tidak selalu bersifat negatif, artinya dalam suatu proyek yang mengalami kebocoran perolehan karbon selalu menjadi lebih kecil dari yang seharusnya diperoleh. Pada sebuah proyek mungkin saja terjadi kebocoran yang positif, artinya proyek tersebut justru mendorong terjadinya penambahan karbon di luar rencana. Permanence. Isu cadangan tetap (permanence) muncul dalam kegiatan penyerapan karbon atmosfer ke dalam rosot (sink) biologis yang memiliki banyak resiko untuk dilepas kembali. Dari sini kemudian muncul berbagai teknik pendugaan cadangan tetap yang memungkinkan dilakukannya klaim atas perolehan yang dilakukan kegiatan proyek. Diantara metode tersebut adalah perolehan tahunan (ton-year) dan perolehan sementara (temporary). Ton-year. Untuk menjawab masalah kecermatan perhitungan karbon yang terlepas selama periode kredit, perhitungan dapat dilakukan dalam interval yang lebih sering, misalnya setiap tahun. Konsep ton-year menghitung perolehan karbon neto setelah mempertimbangkan emisi baseline dan penyerapan proyek setiap tahun. Kredit yang dihasilkan dalam interval yang pendek ini lebih permanen dibanding interval yang lebih panjang sehingga dapat disertifikasi dan dijual dengan harga pasar yang berlaku. Dengan perhitungan seperti ini tidak diperlukan garansi jangka panjang bahwa simpanan tetap telah terjadi. Dalam tenggang waktu periode kredit tertentu, proyek yang beresiko dengan sendirinya akan didiskon setiap tahun. Masalahnya adalah memantau proyek dalam interval yang begitu sering akan memiliki konsekuensi biaya transaksi dibanding pemantauan dengan interval yang lebih jarang. Pihak tuan rumah harus menyadari bahwa aliran dana tahunan akan relatif kecil dan administrasinya akan lebih rumit. Mitra lokal Pihak tuan rumah, misalnya petani pohon yang berskala kecil mungkin akan lebih melihat manfaat langsungnya karena aliran dana yang sering (meskipun kecil). Mereka juga akan selalu mendapat arahan

Page 68: BACA KYOTO

68

dan informasi mengenai prospek proyek di waktu yang akan datang secara reguler. T-CER. CER sementara atau T-CER adalah konsep perhitungan CER yang berasal dari usulan Kolombia. Konsep ini menekankan perlunya batas waktu berlakunya CER karena sifat simpanan biologis yang tidak permanen tersebut. Dengan kata lain CER dari proyek CDM kehutanan bisa kadaluwarsa sehingga harus digantikan dengan CER yang baru. Mungkin dengan pilihan periode kredit tiga kali, masing-masing selama tujuh tahun seperti keputusan CoP7, T-CER dapat dihasilkan dan diperbarui setiap tujuh tahun (T-CER7) untuk proyek CDM kehutanan yang bertenggang waktu 21 tahun. Bagi Pihak investor konsep ini mirip dengan sistem sewa (leasing) yang hanya berlaku untuk periode tertentu. Tetapi selama periode sewa itu hak mereka dijamin penuh termasuk dalam hal terjadinya resiko sesuai dengan kesepakatan bersama ketika proyek dirancang. Bagi Pihak tuan rumah T-CER memberikan keleluasaan atas pilihan penggunaan lahan sesuai dengan kondisi pasar untuk komoditas yang lain. Secara psikologis konsep ini menghilangkan stigma kolonialisme dalam konteks penggunaan lahan oleh "pihak asing" yang selama ini menjadi hambatan psikologis banyak pihak karena lahan tidak boleh diapa-apakan selama masa sewa dan pemiliknya hanya menonton saja. Dengan kata lain jika suatu saat pemilik lahan bersama pemerintah memutuskan bahwa lahan yang selama ini digunakan untuk proyek CDM akan dialokasikan atau dikonversi untuk kepentingan lain, maka dengan perhitungan waktu, konsekuensi diskon dan sebagainya mereka dapat membicarakan kembali untung-ruginya, melanjutkan atau tidak melanjutkan proyek CDM pada lahan tersebut. Pengembangan dan implementasi proyek Proyek CDM LULUCF akan dikembangkan oleh investor dan tuan rumah apabila kondisi pasar dipandang baik oleh keduabelah pihak. Untuk itu pengembang atau peserta proyek harus menyusun dokumen desain proyek (Project Design Document, PDD), mengikuti siklus proyek, memahami kelembagaan yang akan terlibat, mengenali pasar dan implikasi keuangannya. Dokumen desain proyek PDD harus disusun oleh pengembang yang akan diserahkan kepada DNA untuk dinilai dan disahkan. Dokumen ini memuat informasi singkat yang dikategorikan dalam tujuh bagian sebagai berikut:

Page 69: BACA KYOTO

69

Uraian Proyek. Meliputi nama proyek, uraian singkat tentang proyek, batas, tujuan dan kegunaan proyek, teknologi yang akan dialihkan, dan periode kredit. Periode kredit merupakan jangka waktu berlangsungnya proyek. Selama periode itulah perolehan karbon melalui dalam bentuk karbon yang diakumulasi dalam bentuk biomassa atau pertumbuhan hutan diperhitungkan. Untuk menentukan periode kredit, pengambang tinggal memilih salah satu dari dua pilihan, yaitu satu periode selama 10 tahun atau tiga periode masing-masing 7 tahun. Penentuan baseline. Meliputi pilihan baseline dan uraian metodologinya, pertimbangan menggunakan metodologi tersebut, dan emisi baseline. Perolehan karbon. Menguraikan perkiraan perolehan karbon, kemungkinan peningkatannya, dan potensi kebocorannya. Dampak Lingkungan. Didasarkan atas perkiraan pemerintah, misalnya melalui studi AMDAL dan perkiraan masyarakat. Dana publik. Menguraikan dana masyarakat yang diperoleh dari lembaga internasional dan nasional yang menyangkut sumber, nilai, jenis dan tahun anggarannya. Informasi ini untuk memastikan bahwa Dana Bantuan Teknis (Official Development Assistant, ODA) tidak dikonversi menjadi dana CDM. Rencana Pemantauan. Mengidentifikasi data yang diperlukan, metode pengumpulan data, serta uraian tentang kelebihan dan kekurangan metode tersebut. Perhitungan. Menduga perolehan karbon, kebocoran dan perolehan neto untuk menentukan CER. Siklus proyek Setelah PDD tersusun, selanjutnya pengembang atau peserta proyek harus mengikuti siklus yang telah digariskan oleh Konferensi Para Pihak seperti terlihat pada Tabel 11 berikut:

Page 70: BACA KYOTO

70

Tabel 11. Siklus proyek CDM dan perkiraan waktu yang diperlukan untuk setiap tahap

Proses Perkiraan waktu Pelaksana

Identifikasi proyek

Penyusunan Dokumen

Desain Proyek

Pengesahan

Validasi

Pendaftaran

-

1-2 tahun ?

1 bulan

8 minggu

Pengembang proyek Pengembang proyek Otoritas Nasional Entitas Operasional Badan Pelaksana CDM

Implementasi dan Pemantauan

Verifikasi dan Sertifikasi

Penerbitan CER

Sepanjang periode proyek

15 hari

Pengembang proyek Entitas operasional Badan Pelaksana CDM

Untuk pengesahan dokumen pengembang harus meyakinkan pemerintahnya masing-masing bahwa proyek yang mereka kembangkan memang layak dilaksanakan dan akan membawa keuntungan secara ekologi, ekonomi dan sosial. Jadi kedua belah Pihak yang meratifikasi Protokol harus menyetujui. Dokumen tersebut kemudian divalidasi oleh entitas operasional yang diakreditasi oleh Badan Pelaksana CDM. Tahap ini untuk memastikan kebenaran informasi yang disajikan dalam PDD dan jika tidak sesuai, entitas operasional dapat meminta penjelasan kepada pengembang. Setelah dokumen dianggap valid, maka entitas operasional akan mendaftarkannya ke Badan Pelaksana CDM yang selanjutnya akan meneruskan ke Sekretariat Konvensi Perubahan Iklim/Protokol Kyoto untuk diinformasikan kepada semua Pihak.

Proyek yang sedang berjalan akan dipantau oleh pengembang. Pemantauan itu meliputi perolehan karbon dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Hasil pemantauan selanjutnya diverifikasi oleh entitas operasional yang sama. Jika semuanya sesuai dengan

Page 71: BACA KYOTO

71

ketentuan, maka entitas operasional akan merekomendasikan agar Badan Pelaksana CDM menerbitkan sertifikat penurunan emisi CER. 6.2.2 Siapa yang membeli CER?

Kegiatan CDM akan menghasilkan dana tambahan untuk membiayai proyek yang sangat diharapkan Pihak tuan rumah. Dana tersebut akan disediakan oleh Pihak investor yang akan memperoleh kredit emisi dari kegiatan proyek. Dengan kata lain investor akan mendapatkan CER sedang tuan rumah akan mendapatkan dana tambahan yang setara dengan besarnya CER yang dihasilkan proyek.

Namun perlu diketahui bahwa dalam siklus proyek CDM juga diperlukan pembiayaan yang harus dipikirkan oleh pengembang proyek dan disepakati antara investor dan tuan rumah dalam hal pembagian bebannya. Biaya tersebut meliputi: • Biaya transaksi yang terdiri dari biaya pengembangan proyek,

pengesahan dokumen oleh otoritas nasional, dan biaya pemantauan • Pungutan pajak sebesar dua persen dari CER untuk dana adaptasi

sesuai dengan keputusan CoP • Biaya administrasi yang akan dipungut oleh Badan Pelaksana CDM

untuk keperluan entitas operasional dan sebagainya Porsi yang paling besar diperkirakan akan diserap untuk biaya

transaksi, khususnya untuk pemantauan proyek yang akan dilakukan oleh pengembang sendiri. Hal ini akan sangat tidak efektif dan efisien apabila skala proyek terlalu kecil. Untuk menekan biaya transaksi serendah mungkin sehingga dana untuk membiayai proyek relatif besar diperlukan perantara (intermediary) yang secara fisik dan kelembagaan dapat menghubungkan beberapa proyek kecil.

Perantara akan bertindak sebagai "tuan rumah" untuk dan atas nama beberapa mitra proyek yang berskala kecil sehingga investor tidak perlu berhubungan dengan setiap individu mitra tersebut. Sudah sewajarnya jika perantara ini dikenal oleh mitranya dan memiliki lingkup kerja yang relevan dengan proyek yang ditangani. Misalnya asosiasi petani, asosiasi pengusaha, asosiasi industri kecil, asosiasi pemerintah daerah, dan LSM. Oleh karena itu perantara juga harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan proyek.

Dari kalangan pemerintah, Jepang mungkin adalah pembeli potensial karbon hutan Indonesia. Namun demikian kedekatan historis tidak bisa dijadikan kriteria dalam menentukan mitra kerja. Di sinilah pentingnya menerapkan kriteria nasional yang mengadopsi kriteria internasional namun disesuaikan dengan kondisi setempat. Satu hal yang harus dihindari, paling tidak dalam periode komitmen pertama, adalah bermitra dengan Pihak yang bukan peratifikasi Protokol Kyoto (non-Kyoto Parties). Amerika Serikat dan Australia tergolong dalam kelompok ini. Meskipun mereka memiliki potensi yang besar untuk berinvestasi, hingga saat ini

Page 72: BACA KYOTO

72

belum meratifikasi Protokol, bahkan di awal tahun 2001 AS menolak Protokol Kyoto. Uni Eropa, meskipun seluruh anggotanya telah meratifikasi Protokol Kyoto, mereka tidak terlalu berminat dalam investasi di sektor kehutanan. Kanada yang sudah meratifikasi Protokol dapat dipertimbangkan sebagai mitra yang serius.

Pihak investor pun tidak selalu merupakan "pembeli" yang berhubungan langsung dengan penjual atau pemasok (supplier). Mereka juga dapat mencari perantara sehingga biaya transaksi dan resiko yang akan mereka hadapi dapat diperkecil. Secara individu mereka dapat melakukan investasi pada sebuah lembaga keuangan atau konsorsium. Lembaga inilah yang akan berhubungan dengan Pihak tuan rumah. Berikut ini adalah beberapa contoh perantara yang mewakili kepentingan investor dan mampu mendesain proyek serta mengimplementasikannya untuk memastikan bahwa investor mendapatkan kredit pengurangan emisi secara optimal. PCF. Untuk menjembatani kepentingan para peserta (investor dan tuan rumah) Bank Dunia telah mengembangkan dana yang bernama Prototype Carbon Fund (PCF) yang merupakan kontribusi para investor. Dana ini antara lain digunakan untuk mengimplementasikan proyek yang akan menghasilkan kredit pengurangan emisi di negara berkembang melalui mekanisme CDM. PCF telah mampu menghimpun sejumlah investor baik dari kalangan publik (pemerintah negara-negara maju) dan swasta (perusahaan utilitas, produsen energi, perbankan) yang berminat dengan portofolio PCF. CDCF. Selain PCF Bank Dunia juga membentuk dana lain dengan tujuan yang sedikit berbeda, yaitu mendukung pengembangan masyarakat desa dan usaha kecil dan menengah (small and medium enterprises, SME) dengan nama Dana Karbon untuk Pengembangan Masyarakat (Community Development Carbon Fund, CDCF). Pendekatan yang dilakukan CDCF adalah mengelompokkan produsen CER yang potensial melalui perantara seperti Bank, lembaga keuangan mikro, dan LSM sehingga biaya transaksi dapat ditekan. Harga kontrak untuk pengurangan emisi berkisar antara $3,5-6/ton CO2. Proyek-proyek yang berpotensi dibiaya CDCF adalah: • layanan energi pedesaan, dapat dikembangkan oleh Ornop sehingga

dapat melayani kebutuhan koperasi pertanian • pembangkitan listrik dari limbah pertanian, untuk memanfaatkan

limbah seperti sekam padi, bagas tebu dan sebagainya • energi terbarukan dan air bersih, mengkombinasikan energi dari turbin

angin dan penyediaan air bersih yang menjadi kebutuhan pedesaan yang sangat mendesak

Page 73: BACA KYOTO

73

• kebun kopi dengan naungan (shade coffee), untuk meningkatkan penyerapan karbon, memperbaiki kandungan hara tanah dan produktivitas kopi petani

Dana ini diluncurkan dalam KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development, WSSD) di Johannesburg bulan September 2002. Sasaran utamanya adalah masyarakat miskin di Negara-negara terbelakang dengan proyek-proyek yang berskala kecil. Sektor publik (pemerintah negara-negara maju) dapat berinvestasi minimum $ 5 juta, sedang sektor swasta minimum $2,5 juta. Dana yang akan terkumpul diperkirakan akan mencapai $ 100 juta dan seluruhnya untuk menangani proyek CDM. BCF. Di awal tahun 2003 Bank Dunia juga meluncurkan dana karbon baru yang ditujukan khusus untuk mengembangkan proyek-proyek yang menyerap karbon secara biologis yang dikenal dengan nama BioCarbon Fund (BCF). BCF akan menghasilkan kredit pengurangan emisi melalui peningkatan penyerapan karbon atmosfer sambil mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pengembangan lahan yang berkelanjutan untuk mengendalikan erosi dan degradasi lahan. Proyek-proyek yang dapat dibiayai BCF meliputi: • hutan kemasyarakatan, akan menguntungkan masyarakat dengan

proyek skala kecil dengan cadangan tetap yang tinggi • wanatani (agroforestry), meskipun strukturnya akan berubah dengan

waktu dan peningkatan pendapatan proyek ini masih menjanjikan cadangan tetap yang tinggi

• hutan tanaman, memerlukan perencanaan yang baik terutama yang terkait dengan keuntungan sosial dan lingkungan

• energi biomassa, pembangkitan energi biomassa yang dikaitkan dengan reforestasi diperkirakan memiliki cadangan tetap yang maksimum

Investor proyek BCF akan terdiri dari kalangan utilitas publik dan perusahaan kehutanan. Skala dan volume BCF akan setara dengan CDCF dan mulai diimplementasikan tahun 2003. BCF akan mengimplementasikan sekitar 20 proyek, tidak hanya menangani kredit dari CDM saja tetapi juga dari JI seandainya Rusia meratifikasi Protokol Kyoto. CERUPT. Tidak tertutup kemungkinan bahwa pemerintah suatu negara membentuk atau menunjuk entitas swasta untuk bertindak sebagai investor bagi pemerintah tersebut. Sebagai contoh, Pemerintah Belanda telah menunjuk Senter International. Melalui programnya yang bernama Certified Emission Reduction Unit Procurement Tender (CERUPT) mereka ditugasi untuk membeli CER bagi Pemerintah Belanda yang saat ini telah

Page 74: BACA KYOTO

74

menyediakan dana sebesar Euro 100 juta. Saat ini CERUPT sedang menangani 16 proyek yang tersebar di beberapa negara. Proyek-proyek tersebut umumnya berkaitan dengan teknologi energi terbarukan. E7. E7 adalah konsorsium tujuh perusahaan utilitas (energi listrik) dari tujuh negara G7. Beberapa tahun terakhir ini E7 telah aktif di berbagai negara berkembang dengan kegiatan AIJ tahap uji-coba. Besar kemungkinan mereka juga akan menjadi broker untuk CDM bagi pemerintah negara-negara anggotanya, yaitu Jerman, Perancis, Italia, Jepang, Kanada, Spanyol dan Amerika Serikat. E7 menangani proyek-proyek energi berkelanjutan termasuk energi terbarukan dan efisiensi energi untuk mendapatkan kredit pengurangan emisi yang nyata dan permanen. Meskipun lembaga ini bergerak di bidang energi, tidak tertutup kemungkinan bisa berhubungan dengan sektor LULUCF, misalnya energi biomasa.

Bahan Diskusi

• Bagaimana LULUCF bisa menjadi proyek CDM? • Bagaimana baseline sebaiknya ditentukan? • Kenapa karbon bisa "bocor"? • Bagaimana kalau hutan ditebang sebelum proyek selesai? • Jika anda terlibat sebagai perantara yang mengembangkan proyek CDM

LULUCF untuk masyarakat, PDD seperti apa yang akan anda kembangkan?

• Investor mana yang menurut anda cocok menjadi mitra anda? 6.3. Mekanisme non-Kyoto Tanpa kredit emisi

Sebagai negara yang memiliki lahan hutan yang sangat luas dan sebagian besar mengalami kerusakan yang parah, Indonesia perlu berupaya secara kreatif agar lahan-lahan tersebut dapat direhabilitasi dan dikembalikan fungsinya. Untuk tujuan pembangunan berkelanjutan kebijakan tersebut sangat tepat karena akan memperkokoh pilar-pilar ekonomi, ekologi dan sosial. Tetapi berdasarkan ketentuan yang ada dan berlaku sekarang, jelas bahwa mekanisme Kyoto tidak mungkin dimanfaatkan.

Pembeli di pasar tidak selamanya hanya tertarik pada kredit karbon yang mengikuti mekanisme Kyoto. Pasar non-Kyoto banyak terdapat di negara maju berupa dana perorangan, yayasan, dan utilitas publik sering diinvestasikan kembali untuk membangun citra publik (public image) lembaga-lembaga tersebut

Page 75: BACA KYOTO

75

melalui kegiatan-kegiatan konservasi alam. Dana semacam ini biasanya sudah dibebaskan dari pajak sehingga nilai nominalnya makin besar. Lembaga keuangan seperti Bank Dunia pun berupaya mencari investor yang tertarik melakukan kegiatan konservasi di negara berkembang. Sebagian dari porsi BioCarbon Fund (BCF) bahkan akan dirancang untuk proyek-proyek yang memiliki potensi menyerap karbon sambil melakukan konservasi terhadap keanekaragaman hayati dan mencegah degradasi lahan. Kegiatan yang lebih sarat dengan muatan ekologis tersebut meliputi: Rehabilitasi dan pengelolaan hutan

Banyaknya hutan yang mengalami degradasi memerlukan rehabilitasi dan pengelolaan yang meningkatkan fungsi rosot karbon, fungsi hidrologis dan fungsi ekologis hutan. Peningkatan cadangan tetap akan dapat dipertahankan jika disertai sistem pengelolaan yang baik. Melalui kegiatan ini konservasi keanekaragaman hayati dan konservasi lahan dapat langsung diintegrasikan. Pencegahan deforestasi

Kegiatan ini samasekali ditolak untuk diimplementasikan melalui CDM dengan alasan justru akan mempercepat deforestasi demi perolehan karbon yang besar. Konservasi hutan lindung, cagar alam dan taman nasional dapat menghasilkan dan mempertahankan cadangan tetap yang tinggi dalam jangka yang panjang. Konservasi terhadap keanekaragaman hayati pada kegiatan ini juga sangat signifikan.

Revegetasi

Dapat dilakukan pada lahan kritis dan tidak produktif yang diinvasi alang-alang sehingga dapat memberikan perolehan karbon dengan cadangan tetap yang tinggi. Aspek pencegahan degradasi lahan pun terlihat akan sangat signifikan jika kegiatan ini diimplementasikan, karena kegiatan revegetasi akan memperbaiki keseimbangan hara tanah dan produktivitas lahan. Lahan semacam ini meliputi areal yang luasnya puluhan juta hektar. Menekankan adaptasi

Implikasi dari pembatasan jenis kegiatan CDM LULUCF pada aforestasi dan reforestasi adalah bahwa kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan mitigasi yang absah di bawah prosedur CDM. Kegiatan konservasi dan rehabilitasi dapat dikategorikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan perubahan iklim dengan mekanisme yang tidak diatur oleh Protokol Kyoto atau CDM, tetapi oleh Konvensi Perubahan Iklim. Dana yang dikelola Global Environmental Facilities (GEF) seperti dana adaptasi dan Dana Khusus Perubahan Iklim (Special Climate Change Fund) harus diakses untuk kepentingan ini. Demikian juga pemanfaatan dana bilateral seperti ODA dan dana multilateral dari lembaga-lembaga internasional harus tetap dilanjutkan.

Page 76: BACA KYOTO

76

Konservasi dan pengelolaan hutan di negara-negara berkembang yang kebetulan berada di daerah tropis juga harus dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan iklim. Bukti ilmiah tentang kerentanan ekosistem hutan daerah tropis memang sangat terbatas. Namun informasi dari daerah sub-tropis menunjukkan bahwa distribusi hutan sangat rentan terhadap perubahan suhu. Dengan hingar-bingar CDM saat ini, peneliti dan praktisi kehutanan tidak boleh lengah untuk meningkatkan kapasitas adaptasi. Protokol Kyoto, termasuk skema CDM banyak menekankan kegiatan mitigasi namun dampak positifnya bagi tujuan Konvensi yang masih belum menentu. Karena itu penekanan kegiatan adaptasi yang banyak dibahas dalam Konvensi Perubahan Iklim sendiri tidak boleh dikesampingkan. Dengan kata lain tidak semua potensi hutan tropis dan kegiatan LULUCF di daerah tropis harus dikaitkan dengan CDM.

Gambar 24 menunjukkan tahap-tahap pengambilan keputusan dalam rangka mengakses pasar non-Kyoto. Jika proyek tidak absah menurut ketentuan CDM, maka PDD harus disusun kembali atau proyek didesain ulang untuk mengakses dana filantrofik atau BCF yang tidak mensyaratkan kesesuaian dengan Protokol Kyoto (non-Kyoto compliance). Namun jika dana inipun tidak dapat diakses PDD dapat didesain ulang menjadi proyek adaptasi untuk mengakses dana adaptasi yang dikelola oleh Global Environmental Facilities (GEF) di bawah Konvensi Perubahan Iklim.

Page 77: BACA KYOTO

77

Gambar 24. Berbagai kemungkinan akses terhadap dana yang berhubungan dengan

mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, mulai dari CDM yang memiliki persyaratan yang ketat hingga GEF yang tidak menghasilkan kredit emisi

Ya

Tidak

Tidak

Tida

Ya

PDD Karbon hutan

Desain

Dana perorangan/

filantrofik

Pasar non-Kyoto(mis. BCF)

Dana adaptasi,

tanpa kredit

CDM bilateral,

multilateral,

Syarat Kyoto

terpenuh

Konservasi keanekaragaman hayati

d l h ?

Proyek adaptas

i

Desain

Desain

Ya

Page 78: BACA KYOTO

78

Diskusikan • Mungkinkah proyek karbon hutan non-Kyoto dikembangkan? • Periode kredit yang mana sebaiknya yang kita pilih? • Bagaimana prosedur pengembangan proyeknya? • Siapa yang akan membiayai proyek-proyek adaptasi? • Mana lebih menguntungkan, mengakses pasar Kyoto atau non-Kyoto?

6.4. Persiapan Indonesia dalam perdagangan C Persiapan hukum

Langkah hukum yang perlu diambil untuk dapat berpartisipasi dalam mekanisme Kyoto, yaitu CDM adalah dengan cara mratifikasi Protokol Kyoto. Dengan meratifikasi sebuah perjanjian internasional kita telah menyerap perjanjian tersebut sebagai bagian dari hukum nasional. Pemerintah Indonesia saat ini sedang mempersiapkan kea rah itu. Adapun mekanisme atau cara meratifikasinya sendiri menurut ketentuan UU No. 24/2000 harus dilakukan dengan menggunakan Undang-undang. Hal ini berarti bahwa jika Protokol Kyoto diratifikasi oleh Indonesia status hukumnya setinggi Undang-undang, sebuah produk hukum yang sangat strategis posisinya.

Karena perundingan perjanjian ini selama ini menjadi urusan pemerintah maka proses ratifikasinya harus diprakarsai oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup. Di Indonesia, sebelum Rancangan Undang-undang (RUU) tersebut diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah sudah melakukan konsultasi dengan berbagai pihak terkait (stakeholder). Proses ini telah menghasilkan Naskah Akademik yang merupakan dokumen pendukung untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan. Adapun naskah RUU-nya sendiri biasanya hanya terdiri dari dua Pasal yang intinya menimbang berbagai alasan yang relevan dan mengesahkan perjanjian tersebut. Undang-undang pengesahan ini juga dilampiri terjemahan perjanjian tersebut yang dilakukan oleh lembaga yang secara hukum dan substansi berwenang melakukan penerjemahan.

Sudah barang tentu proses ratifikasi tidak selalu sama di setiap negara dan bentuknya tidak harus melalui Undang-undang. Yang paling penting bagi Sekretariat Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC), Para Pihak menyatakan bahwa Protokol Kyoto telah menjadi bagian dari kerangka hukum dan peraturan di suatu negara. Pernyataan tersebut disampaikan oleh pemerintah Para Pihak kepada Sekretaris Jenderal PBB sebagai depositori Protokol Kyoto.

Page 79: BACA KYOTO

79

Persiapan kelembagaan Komite Nasional Perubahan Iklim yang beranggotakan pejabat pemerintah

berbagai sektor, kalangan akademisi, pelaku bisnis dan organisasi non-pemerintah sudah lama terbentuk dan bekerja membantu tugas Focal Point Nasional di bidang perubahan iklim dalam arti luas. Lembaga inilah yang selama ini merupakan forum konsultasi lintas sektoral dan lintas stakeholder untuk memecahkan berbagai masalah yang terkait dengan tugas-tugas Focal Point Nasional. Dengan demikian sangatlah wajar kalau lembaga ini pula yang mempersiapkan terbentuknya DNA untuk mewakili kepentingan nasional untuk mengimplementasikan CDM seperti disyaratkan oleh Protokol. Satu hal yang perlu diperhatikan Pemerintah Indonesia yang saat ini tengah mempersiapkan pembentukan DNA, adalah bahwa DNA harus dibuat ramping, efektif dan profesional serta dilengkapi dengan aturan main dan prosedur yang jelas.

DNA dengan karakteristik tersebut akan mudah didekati dan mendekati pengembang proyek CDM yang merupakan gabungan antara investor dan mitranya dari Pihak tuan rumah. Karena salah satu bentuk kegiatan proyek CDM berbasis pasar dengan nuansa komersial maka DNA harus dapat berfungsi sebagai one-stop shop. Di sinilah urusan semua pihak bermuara. Pengembang proyek akan sangat terbantu oleh DNA yang fasilitatif untuk mengimplementasikan proyeknya. DNA yang profesional juga akan bekerjasama secara efisien dengan entitas operasional yang ditunjuk oleh Badan Pelaksana CDM untuk melakukan tugas-tugas validasi, verifikasi dan sertifikasi yang akhirnya akan menghasilkan CER yang diterbitkan oleh Badan Pelaksana. Sementara itu kepentingan nasional, dalam hal ini pemerintah sebagai Pihak Protokol juga terwakili. Efisiensi DNA juga akan diukur dari kemampuannya menyelesaikan tugasnya sesuai dengan siklus proyek yang digariskan dalam modalitas dan prosedur pelaksanaan CDM. Untuk melaksanakan tugas sehari-harinya DNA bisa dibantu oleh pelaksana harian yang bekerja dengan, untuk dan atas nama DNA. Merekalah yang melakukan detail kegiatan pemeriksaan dokumen proyek dan hasil-hasil implementasinya. Namun demikian unit ini tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan.

Aturan main dan prosedur (rules and procedures) merupakan perangkat kerja (enabling instrument) yang harus dimiliki DNA untuk menyelesaikan masalah-masalah internal (organisasi) dan eksternal (implementasi kegiatan CDM). Aturan main dan prosedur ini juga harus disiapkan oleh pemerintah melalui Komite Nasional Perubahan Iklim bersamaan dengan pembentukan DNA itu sendiri. DNA yang tidak dilengkapi dengan aturan dan prosedur yang disupervisi lembaga seperti Komite Nasional akan sulit mendapatkan legitimasi dari para stakeholder. Karena itu pembentukan DNA juga harus memiliki status hukum yang jelas, dilakukan secara transparan dan dikenal masyarakat secara luas.

Dalam urusan dengan mitigasi perubahan iklim, khususnya implementasi CDM, tugas Komisi Nasional Perubahan Iklim seolah-olah hanya sekali saja, yaitu membentuk DNA. Sebenarnya peran Komite yang selama ini dimainkan masih

Page 80: BACA KYOTO

80

bisa diteruskan, yaitu sebagai forum konsultasi untuk membahas isu-isu nasional yang berkaitan dengan perubahan iklim secara keseluruhan. Bahkan dengan telah ditanganinya urusan mitigasi perubahan iklim oleh DNA, Komite Nasional dapat memikirkan hal-hal yang strategis termasuk dalam hal melaksanakan adaptasi perubahan iklim, suatu urusan yang selama ini belum tertangani secara baik. Persiapan teknis

National Strategy Study (NSS) tentang CDM yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia atas dukungan Bank Dunia dan Pemerintah Australia dirancang untuk mengembangkan kapasitas dan persiapan teknis pemerintah dan semua stakeholder. Dari studi tersebut diketahui bahwa Indonesia memiliki potensi untuk memasok karbon ke pasar melalui CDM sebesar 36 juta tCO2/th, 28 juta tCO2/th diantaranya dapat dipasok dari sektor kehutanan. Potensi yang besar dari sektor kehutanan ini diidentifikasi berasal dari beberapa tipe proyek yang tersebar di banyak tempat di Indonesia dengan rangkuman seperti terlihat dalam Tabel 12. Tabel 12. Berbagai tipe proyek CDM sektor kehutanan. Cakupan areal potensial

dan yang dapat diusulkan di enam Propinsi di Indonesia

Tipe proyek Luas areal potensial (juta ha)

Luas areal usulan (ribu ha)

Wanatani (agroforestry) Hutan kemasyarakatan Reboisasi Penghijauan Hutan tanaman

12,7 9,8 4,9 3,2 1,9

340 905 110 255

1.200 Total 32,5 2.810

Sumber: Ministry of Environment (2002) Dengan tipe proyek dan distribusi luasan seperti itu nampaknya sebagian besar proyek CDM kehutanan di Indonesia akan berbasis masyarakat. Namun areal HTI yang potensial hampir seluruhnya juga dapat diusulkan. Oleh karena itu perencanaan atau desain proyek CDM kehutanan harus meninggalkan pola-pola lama yang sentralistik dan top-down. Jika memperhatikan siklus proyek seperti yang diuraikan dalam Bab 4, banyak hal yang berkaitan dengan pengembangan kapasitas (capacity building), penyadaran masyarakat (public awareness) dan kerangka kelembagaan (institutional framework) perlu dilakukan. Implementasi proyek yang melibatkan masyarakat luas bukan tanpa resiko jika persiapan ke arah itu tidak dilakukan dengan baik. Tantangan ini sekaligus dapat dipakai untuk membenahi sektor kehutanan sendiri sebagai pemandu jalan (leading sector).

Page 81: BACA KYOTO

81

Secara teknis, sektor kehutanan yang mencoba menangani kelebihan karbon pada rosotnya akan mengalami beberapa masalah karena rosot biologis seperti hutan tidak pernah menjadi simpanan atau gudang yang permanen atau tetap. Artinya suatu saat hutan juga bisa menjadi sumber emisi baik karena pengaruh alam (termasuk perubahan iklim sendiri) maupun karena gangguan langsung manusia ketika karbon yang disimpan dalam bentuk biomasa mengalami degradasi, dekomposisi dan pemanenan atau penebangan. Jadi tidak seperti sektor energi yang mengatasi masalah pada sumbernya, sehingga pengurangan emisi yang dilakukan proyek berlaku selamanya.

Persiapan teknis lainnya dapat dilihat pada Tabel 13 yang menunjukkan studi kelayakan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan asing. Sayangnya keterlibatan mitranya dari Indonesia kurang intensif. Kelayakan yang akan mereka nilai kemungkinan besar tidak akan melibatkan pengetahuan dan ketrampilan lokal, sehingga dalam studi tersebut tidak terjadi interaksi yang memungkinkan terjadinya pengembangan kapasitas lokal. Lebih dari itu studi kelayakan semacam ini tidak berimbang karena komunitas dan otoritas setempat tidak mendapat kesempatan untuk mengambil bagian. Tabel 13. Beberapa studi kelayakan proyek CDM sektor kehutanan yang kurang

melibatkan stakeholder lokal

Jenis proyek Status Pengembang • Reforestasi dan penggantian bahan

bakar limbah biomass, Sumatra Utara

• Roforestasi, Kalimantan Timur • Roforestasi dan pembuatan arang,

Jawa Barat

Studi kelayakan

Studi

kelayakan

Studi kelayakan

Kansai Electric Co., Jepang Sumitomo Forestry, Mitsubishi, Jepang JICA, Jepang

Keterbatasan teknis sebenarnya bukanlah kendala utama dalam mengimplementasikan CDM kehutanan, karena pada kenyataannya sektor ini tidak memerlukan teknologi yang terlalu rumit. Kendala non-teknis terutama yang menyangkut pengembangan proyek dan pemahaman sistem kelembagaan masih diperlukan oleh peserta tuan rumah. Demikian juga kemampuan mereka dalam mengharmoniskan dengan peraturan setempat.

Page 82: BACA KYOTO

82

BAHAN BACAAN

Buku Christianson GE. 1999. Greenhouse, the 200-year story of global warming.

Penguin Books. Jepma CJ and Munasinghe M. 1998. Climate Change Policy: Facts, Issues and

Analyses. Cambridge University Press, Cambridge, UK. Ketterings QM. 1999. Fire as a land management tool in Sepunggur, Sumatra,

Indonesia. Can farmers do without it? PhD thesis, Ohio State University, USA. 285 pp.

Watson RT, Zinyowera MC and Moss RH. 1995. Climate Change 1995: Impacts, Adaptations and Mitigation of Climate Change: Scientific-Technical Analyses. Cambridge University Press, Cambridge, UK. 377pp.

Watson RT, Noble IR, Bollin B, Ravindranath NH, Verado DJ and Dokken DJ. 2000. Land Use, Land-Use Change and Forestry. A Special Report of the IPCC. Cambridge University Press, Cambridge, UK. 377pp.

Woomer PL and Swift MJ. 1994. The Biological Management of Soil Fertility. John Wiley & Sons, UK. 243 pp.

Bagian (bab) dari buku Parton WJ, Woomer PJ and Martin A. 1994. Modelling soil organic matter

dynamics and plant productivity in tropical ecosystems. In: Woomer PL and MJ Swift (eds.) The Biological Management of Tropical Soil Fertility. John Wiley & Sons, Chichester, UK, pp.171-188.

van Noordwijk M, Murdiyarso D, Hairiah K, Wasrin UR, Rachman A and Tomich TP. 1998. Forest soils under alternatives to slash-and-burn agriculture in Sumatra, Indonesia. In: Schulte A and D Ruhiyat (eds.) Soils of Tropical Forest Ecosystems: Characteristics, Ecology and Management. Springer-Verlag, Berlin. pp 175-185.

Woomer PL. 1993. Modelling soil organic matter dynamics in tropical ecosystems: Model adoption, uses and limitations. In: K Mulongoy and R Merckx (eds.) Soil Organic Matter Dynamics and Sustainability of Tropical Agriculture. John Wiley & Sons. pp. 279-294.

Woomer PL, Martin A, Albrecht A, Resck DVS and Scharpenseel HW. 1994. The importance and management of soil organic matter in the tropics. In: Woomer PL and MJ Swift (eds.) The Biological Management of Tropical Soil Fertility. John Wiley & Sons, Chichester, UK, pp. 47-80.

Woomer PL, Palm CA, Alegre J, Castilla C, Cordeiro DG, Hairiah K, Kotto-Same J, Moukam A, Ricse A, Rodrigues V and van Noordwijk M. 2000. Slash-and-Burn Effects on Carbon Stocks in the Humid Tropics. In: R Lal, JM Kimble and BA Stewart (eds.) Global Climate Change and Tropical Ecosystems. Advances in Soil Science. CRC Press, Inc. Boca Raton, FL. USA. pp. 99-115.

Page 83: BACA KYOTO

83

Jurnal Ilmiah Ciais P, Peylin P and Bousquet P. 2000. Regional biospheric carbon fluxes as

inferred from atmospheric CO2 measurements. Ecological Applications 10: 1574-1589.

Hairiah K, van Noordwijk M and Cadisch G. 2000. Crop yield, C and N balance of three types of cropping systems on an Ultisol in Northern Lampung. Netherlands Journal for Agricultural Science 48: 3-17.

Hansen, J., Fung, I., Lacis, A., Rind, D., Lebedeff, S., Ruedy, R., and Russel, G: 1988, 'Global climate changes as forecast by Goddard Institute for Space Studies three dimensional model'. J. Geophys. Res. 93:9341-9364.

Houghton RA. 1997. Terrestrial carbon storage: Global lessons from Amazonian research. Ciencia e cultura. 49: 58-72.

Ketterings QM, Coe R, van Noordwijk M, Ambagau Y and Palm CA. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forests. Forest Ecology and Management 120, 199-209.

Kotto-Same J, PL Woomer, A Moukam, L Zapfak. 1997. Carbon dynamics in slash and burn agriculture and land use alternatives of the humid forest zone in Cameroon. Agric. Ecosyst. Environ. 65: 245-256.

Matthews, RB., Horie, T., Kropff, MJ., Bachelet, D., Centeno, HG, Shin, JC., Mohandass, S., Singh, S., Defeng, Z., and Moon, HL.: 1995b, 'A regional evaluation of the effect of future climate change on rice production in Asia', in: RB. Matthews et al. (eds.), Modeling the Impact of Climate Change on Rice production in Asia. IRRI and CAB International. Wallingford, pp: 95-139.

Matthews, RB., Kropff, MJ., Bachelet, D., and Van Laar, HH.: 1995a, Modeling the Impact of Climate Change on Rice production in Asia. IRRI and CAB International. Wallingford, 289 p.

Murdiyarso, D. 1994. Policy response on water resource management resulting from double-CO2 climate. World Resource Review 6(1):27-39

Murdiyarso D and Wasrin UR. 1995. Estimating land use change and carbon release from tropical forest conversion using remote sensing techniques. Journal of Biogeography 22: 715-721.

Palm CA, van Noordwijk M, Woomer PL, Alegre J, Arevalo L, Castilla C, Cordeiro DG, Hairiah K, Kotto-Same J, Moukam A, Parton WJ, Ricse A, Rodrigues V and Sitompul SM. 2001. Carbon losses and sequestration following land use change in the humid tropics. ASA…(in press).

Parton WJ, Schimel DS, Cole CV and Ojima DS. 1987. Analysis of factors controlling soil organic matter levels in Great Plains grassland. Soil Science Soc. Am. J., 51: 1173-1179.

Parton WJ, Stewart JWB and Cole CV. 1988. Dynamics of C, N, P and S in grassland soils: a model. Biogeochemistry, 5: 109-131.

Paustian K, Andren O, Janzen HH, Lal R, Smith P, Tian G, Tiessen H, van

Page 84: BACA KYOTO

84

Noordwijk M and Woomer PL. 1997. Agricultural soils as a sink to mitigate CO2 emissions. Soil Use and Management 13: 230-244.

Prayogo C, Hairiah K and van Noordwijk M. 2000. Kuantifikasi modal dan distribusi karbon dalam system tebang bakar pada lahan berlereng di Rantau Pandan, Jambi. Agrivita 22 (2): 91-102. [Quantification of carbon stocks and their distribution in a slash-and-burn shifting cultivation system in Rantau Pandan, Jambi.]

Shorrocks VM, Templeton JK and Iyer GC. 1965. Mineral nutrition, growth and nutrient cycle of Hevea brasiliensis. III. The relationship between girth and shoot weight. Journal of the Rubber Research Institute, Malaysia, 19: 85-92.

Sitompul SM, Hairiah K, van Noordwijk M and Woomer P. 1996. Organic matter dynamics after conversion of forest to food crops or sugarcane: Prediction of the CENTURY Model. AGRIVITA, 19 (4): 198-206.

Smith P, Smith JU, Powlson DS, McGill WB, Arah JRM, Chertov OG, Coleman K, Franko U, Frolking S, Jenkinson DS, Jensen LS, Kelly RH, Klein-Gunnewiek H, Komarov AS, Li C, Molina JAE, Mueller T, Parton WJ, Thornleey JHM and Whitemore AP. 1997. A comparison of the performance of nine soil organic matter models using data sets from seven long-term experiments. Geoderma, 81:153-225.

Tomich TP, Kuusipalo J, Menz K and Byron N. 1997. Imperata economics & policy. In: Garrity DP ed. Agroforestry innovations to rehabilitate imperata grasslands. Agroforestry Systems Special Issue. Vol. 36: 1-3. p 233 - 261.

van Noordwijk M and Purnomosidhi P. 1995. Root architecture in relation to tree-soil-crop interactions and shoot pruning in agroforestry. Agroforestry Systems 30: 161-173.

van Noordwijk M, Cerri C, Woomer PL, Nugroho K and Bernoux M. 1997. Soil carbon dynamics in the humid tropical forest zone. Geoderma 79: 187-225.

Van Noordwijk M, Rahayu S, Hairiah K, Wulan, Y C, Farida, Verbist B, 2002. Carbon stock assessment for a forest-to-coffee conversion landscape in Sumber-Jaya (Lampung, Indonesia): from allometric equations to land use change analysis. J. Sc. China (special issue on Impacts of land use change on the terrestrial carbon cycle in the Asia Pacific region). Vol 45 (C): 75-86.

Wetherald, RT. and Manabe, S: 1988, 'Cloud feedback processes in general circulation model'. J. Atmos. Sci. 45:1397-1415.

Wilson, CA. and Mitchell, JFB: 1987, 'A doubled CO2 climate sensitivity experiment with a GCM including a simple ocean'. J. Geophys. Res. 92:13315-13343.

Woomer PL and Palm CA 1998. An approach to estimating system carbon stocks in tropical forests and associated land-uses. Commonwealth Forestry Review 77: 181-190.

Page 85: BACA KYOTO

85

Laporan Ilmiah Andriesse JP. 1989. Nutrient management through shifting cultivation. In: Van

der Heide J (ed.). Int. Proc. Nutrient Management for Food Crop Production in Tropical Farming Systems. Haren-Malang. pp. 29-62.

Brown S. 1997. Estimating biomass change of tropical forest, a primer. FAO Forestry Paper 134, FAO, Rome.

Hairiah K and Sitompul SM. 2000. Assessment and simulation of aboveground and belowground carbon dynamics. Report to Asia Pacific Network (APN). Brawijaya University, Faculty of Agriculture, Malang, Indonesia.

Metherell AK, Harding LA, Cole CV and Parton WJ. 1993. Century Soil Organic Matter Model Environment. Technical Documentation Agroecosystem Version 4.0. GSPR Technical Report No. 4. USDA-ARS, Fort Collins, Colorado, USA.

Mosier A, K Paustian, Janzen H, Tiessen H and Van Noordwijk M. 1997. Chapter 5. Land-use change and forestry. In: Houghton JT, Meira Filho LG, Lim B, Treanton K, Mamaty I, Bonduki Y, Griggs DJ and Callander BA (Eds.) Revised 1996 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. IPCC, Bracknell (UK).

Palm CA, Woomer PL, Alegre J, Arevalo L, Castilla C, Cordeiro DG, Feigl B, Hairiah K, Kotto-Same J, Mendes A, Moukam A, Murdiyarso D, Njomgang R, Parton WJ, Ricse A, Rodrigues V, Sitompul SM and van Noordwijk M. 1999. Carbon sequestration and trace gas emissions in slash-and-burn and alternative land uses in the humid tropics. ASB Climate Change Working Group Final Report, Phase II. ICRAF, Nairobi. 36 pp. Tomich T P, Van Noordwijk M, Budidarsono S, Gillison A, Kusumanto T,

Mudiyarso D, Stolle F and Fagi A M, 1998. Alternatives to Slash-and-Burn in Indonesia. Summary Report & Synthesis of Phase II. ASB-Indonesia and ICRAF-S.E. Asia Bahan Ajaran Hairiah K, S.M. Sitompul, Van Noordwijk M and Palm C, 2001. Carbon stocks of

tropical land use systems as part of the global C balance: effects of forest conversion and options for ‘clean development' activities, icraf-sea, Bogor.

Hairiah K, S.M. Sitompul, Van Noordwijk M and Palm C, 2001. Methods for sampling carbon stocks of above and below ground, icraf-sea, Bogor.

Widianto, K Hairiah, D Suhardjito dan M A Sardjono, 2003. Fungsi dan Peran Agroforestri. ICRAF, Bogor.

Websites WRI (World Resources Institute). 2001. The Clean Development Mechanism.

http://www.wri.org/cdm

Page 86: BACA KYOTO

86

KAMUS ISTILAH Aforestasi = penanaman pohon pada lahan yang sudah tidak berhutan sejak 50 tahun yang lalu (untuk tujuan penghutanan kembali) Bahan Organik = sisa tanaman, hewan, manusia yang belum terlapuk baik yang berada di atas permukaan maupun di dalam tanah. Bahan Organik Tanah (BOT) = Fraksi organik dari tanah yang terdiri dari sisa tanaman, hewan, manusia yang telah sebagian atau sepenuhnya terlapuk, mikrobia serta asam-asam humik. Biasanya ditetapkan dengan mengukur kandungan karbon pada partikel tanah yang berukuran < 2 mm. Satuannya adalah %. Bera = Fallow = periode 'istirahat' lahan yang diusahakan, artinya suatu lahan yang diusahakan selama waktu tertentu kemudian tidak diusahakan lagi untuk sementara waktu dengan tujuan untuk :

• Perbaikan kesuburan fisik, kimiawi, dan biologis tanah yang diperlukan pada periode tanam berikutnya.

• Penghasil produk-produk tertentu penambah pendapatan petani misalnya pakan ternak, kayu bakar, obat-obatan, madu dan sebagainya.

Berat Isi Tanah (bulk density) = Berat masa tanah per volume tanah, pada kondisi contoh tanah utuh (karena memperhitungkan jumlah pori tanah) dinyatakan dalam satuan g cm-3. Berat isi tanah in bervariasi dengan kandungan air tanah. Berat Jenis Tanah (particle density) = berat massa tanah per volume tanah tanpa mempertimbangkan pori tanah. satuannya g cm-3. Berat jenis tanah ini bervariasi dengan kandungan bahan organik tanah. Deforestasi = berkurangnya jumlah tutupan lahan hutan akibat kegiatan manusia, misalnya adanya kegiatan tebas dan bakar Emisi gas rumah kaca = pelepasan gas-gas seperti karbon dioksida (CO2), methana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) ke atmosphere yang jumlahnya lebih besar dari pada kapasitas penyerapan oleh ekosistem terestrial (vegetasi dan tanah) dan lautan sehingga diramalkan dapat meningkatkan suhu di bumi. Hutan alami tropika basah Flux karbon (C-flux) adalah proses aliran C yang terdiri dari pelepasan (emission) dan penyerapan (sequestration).

Page 87: BACA KYOTO

87

Hutan Tropika Alami: Suatu ekosistem dengan berbagai macam komponen penyusun yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda-beda di dalam ekosistem. Komponen tersebut termasuk: vegetasi (campuran berbagai jenis pohon, tumbuhan menjalar, termasuk pula rotan, palem dan tumbuhan bawah lainnya), kondisi tanah (porositas dan kecepatan infiltrasi, bahan organik tanah, biota), lansekap (dengan perbukitan, lembah dan saluran), dan sebagainya. Pada ekosistem hutan alami ini tidak ada campur tangan manusia. Secara umum, hutan memiliki beberapa fungsi : (a) Memelihara dan mempertahankan kualitas air , (b) Mengatur jumlah air dalam kawasan, (c) Menyeimbangkan jumlah air dan sedimentasi dalam kawasan DAS, (d) Mempertahankan cadangan C, (e) Mempertahankan keanekaragaman hayati. Kapasitas Tukar Kation (KTK) = jumlah kation kation basa (Ca2+ , Mg2+, K+, Na+) yang terjerap pada kompleks pertukaran mineral liat dan substansi humus (bermuatan negatif), Satuannya adalah me/100 g = cmol kg-1 tanah. Kebocoran (leakage) karbon adalah "lolos"nya karbon yang sudah batal diemisikan atau ditambatkan oleh kegiatan proyek CDM. Jadi merupakan dampak tak-langsung proyek CDM atau kebijakan yang menyebabkan peningkatan emisi di tempat lain. Misalnya, kegiatan reforestasi di suatu tempat yang dimaksud untuk meningkatkan penyerapan karbon dapat menimbulkan deforestasi di tempat lain. Kejenuhan Bahan Organik Tanah (C-saturation deficit) yaitu nisbah antara kandungan total bahan organik tanah (Corg) pada kondisi saat pengamatan_dengan kandungan bahan organik dalam di bawah tegakan hutan (Cref) yang memiliki tekstur tanah dan iklim yang sama. Nilai ini dipergunakan untuk mengestimasi penurunan kandungan bahan organik tanah saat ini bila dibandingkan dengan kondisi semula (hutan). Zs = kedalaman contoh tanah yang diambil, cm Nilai nisbah (Corg/Cref) yang diperoleh berkisar antara 0 – 1. Semakin rendah (mendekati nol) nilai nisbah Corg/Cref suatu tanah maka tanah tersebut semakin ‘tidak subur’. Bila nilai Corg/Cref mendekati nilai 1, maka tanah tersebut diklasifikasikan ‘subur’. Tanah pada lahan hutan yang baru saja dibuka mempunyai nilai nisbah 1. Keanekaragaman hayati = biodiversitas (biodiversity yang merupakan kependekan dari Biological Diversity) = aneka ragam kehidupan di bumi ini,

Cref = (Zs/12.5)-0.58 exp(1.333 + 0.00994*Liat % + 0.00699* debu % - 0.156*pH-KCl)

Page 88: BACA KYOTO

88

termasuk di dalamnya semua binatang, tanaman dan mikro-organisma yang berpengaruh terhadap ekosistem baik pada tingkat plot, bentang lahan maupun global. Reforestasi = penanaman kembali pepohonan pada lahan yang tidak berupa hutan sebelum tahun 1990. Sistem penggunaan lahan= tata guna lahan = land use system adalah usaha manusia dalam mengelola lahannya agar diperoleh produktivitas yang berkelanjutan

Page 89: BACA KYOTO

89

UNIBRAW

Page 90: BACA KYOTO

90