BABII.TINJAUANPUSTAKAeprints.umm.ac.id/46657/3/BAB II.pdf · 4 BABII.TINJAUANPUSTAKA 2.1...

32
4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Histologi Kulit Kulit adalah organ pelindung khususnya dalam fungsinya sebagai pengatur suhu tubuh, alat ekskresi serta melindungi tubuh dari gangguan fisik. Pasca pemotongan (postmortem) ternak, semua fungsi kulit itu hilang dan kulit hanya terlindungi oleh rambut, bulu, sisik atau oleh kerapatan serabut jaringan kulit (Thorstensen, 1985). Kulit segar mengandung kadar air sebesar 64%, protein 33%,lemak 2%, mineral 0,5% dansenyawa lain sepertipigmen 0,05%, secara histologi kulit hewan dapat dibagi atas tiga lapis yaitu: (1) lapisan epidermis yang sering disebut lapisan tanduk dan sifatnya sebagai pelindung pada waktu masih hidup, (2) lapisan korium atau cutis, lapisan ini terdiri atas jaringan serat kolagen, (3) lapisan subkutis, pada hewan lapisan ini berfungsi sebagai batas antara tenunan kulit dan tenunan daging, pada lapisan ini banyak terdapat tenunan lemak dan pembuluh darah. (Nurwantoro dan Mulyani, 2003). Gambaran histologi kulit ternak disajikan pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Histologi Kulit (Nurwantoro dan Mulyani, 2003)

Transcript of BABII.TINJAUANPUSTAKAeprints.umm.ac.id/46657/3/BAB II.pdf · 4 BABII.TINJAUANPUSTAKA 2.1...

4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Histologi Kulit

Kulit adalah organ pelindung khususnya dalam fungsinya sebagai

pengatur suhu tubuh, alat ekskresi serta melindungi tubuh dari gangguan fisik.

Pasca pemotongan (postmortem) ternak, semua fungsi kulit itu hilang dan kulit

hanya terlindungi oleh rambut, bulu, sisik atau oleh kerapatan serabut jaringan

kulit (Thorstensen, 1985). Kulit segar mengandung kadar air sebesar 64%,

protein 33%,lemak 2%, mineral 0,5% dansenyawa lain sepertipigmen 0,05%,

secara histologi kulit hewan dapat dibagi atas tiga lapis yaitu: (1) lapisan

epidermis yang sering disebut lapisan tanduk dan sifatnya sebagai pelindung

pada waktu masih hidup, (2) lapisan korium atau cutis, lapisan ini terdiri atas

jaringan serat kolagen, (3) lapisan subkutis, pada hewan lapisan ini berfungsi

sebagai batas antara tenunan kulit dan tenunan daging, pada lapisan ini banyak

terdapat tenunan lemak dan pembuluh darah. (Nurwantoro dan Mulyani, 2003).

Gambaran histologi kulit ternak disajikan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Histologi Kulit (Nurwantoro dan Mulyani, 2003)

5

Epidermis adalah bagian terluar dari struktur kulit dan lebih tipis dari

pada korium (Gambar 2.1) dengan ketebalan mencapai 1–2% dari total tebal

kulit. Epidermis tersusun oleh jaringan epitel yang berasal dari bagian ektoderm.

Sementara itu, korium terletak dibawah epidermis dengan ketebalan 98%

(Sarkar, 1995). Struktur korium berbeda dengan struktur epidermis yang mana

korium tersusun oleh jaringan ikat padat tidak beraturan yang berasal dari

mesoderm (Sarkar, 1995). Korium terdiri atas cairan jaringan, substansi dasar,

sel, dan serabut (Djojowidagdo, 1999). Korium adalah struktur kulit yang

tersusun protein dan menjadi bagian penting dalam pengolahannya melalui

metode ekstraksi menjadi gelatin. Komponen utama pada korium adalah berkas

serabut kolagen yang saling membentuk anyaman dan mempengaruhi kualitas

kulit. Kualitas kulit ditentukan oleh struktur jaringan dan komposisi kimia

dalam kulit. Struktur jaringan kulit meliputi diameter fibril, diameter serabut,

tebal tipisnya berkas serabut, sudut jalinan dan tebal tipisnya kulit.

Djojowidagdo (1988) menyebutkan bahwa semakin tua umur ternak komposisi

kulitnya mengandung protein fibrous yang semakin tinggi, kadar lemak semakin

tinggi, namun persentase kadar abunya semakin rendah. Soeparno (2005)

menyatakan bahwa jumlah dan kekuatan fisik kolagen dapat meningkat sejalan

dengan meningkatnya umur hewan.

2.2 Penyamakan Kulit Mimosa

Penyamakan kulit adalah suatu proses pengolahan untuk mengubah kulit

mentah hides maupun skines menjadi kulit tersamak atau leather. Penyamakan

kulit merupakan cara untuk mengubah kulit mentah (hide/skin) yang bersifat

6

labil (mudah rusak oleh pengaruh fisik, kimia dan biologis) menjadi kulit yang

stabil terhadap pengaruh tersebut yang biasa disebut kulit tersamak (leather).

Kulit samak atau kulit jadi memiliki sifat-sifat khusus yang sangat berbeda

dengan kulit mentahnya, baik sifat fisis maupun sifat khemisnya. Kulit mentah

mudah sekali membusuk dalam keadaan kering, keras, dan kaku sedangkan kulit

tersamak memiliki sifat lemas serta teksturnya lentur. Teknik mengolah kulit

mentah menjadi kulit samak disebut penyamakan. Proses penyamakan bertujuan

agar kulit hewan yang mudah busuk dapat menjadi tahan terhadap serangan

mikroorganisme. Salah satu dalam proses penyamakan dikenal adanya sistem

penyamakan berbulu dan tidak berbulu. Sistem penyamakan berbulu tentunya

ditujukan untuk mempertahankan keindahan bulunya sedangkan penyamakan

tidak berbulu tentunya sengaja ditujukan untuk menghilangkan bulu. Sekilas

yang membedakan kedua proses ini adalah dilakukannya proses pengapuran

pada sistem penyamakan tidak berbulu dengan tujuan supaya mempermudah

dalam menghilangkan bulunya (Irfan, 2012).

Menurut Raffy, 2012 Prinsip mekanisme penyamakan kulit adalah

memasukkan bahan penyamak ke dalam anyaman atau jaringan serat kulit

sehingga menjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dan serat kulit. Kegiatan

penyamakan kulit dilakukan dengan cara seperti berikut:

1. Pretanning

Kegiatan ini bertujuan untuk mengawetkan kulit mentah agar dapat bertahan

hingga penyamakan sesungguhnya dilakukan. Kegiatan ini dinamakan dengan

pengerjaan basah yang meliputi proses perendaman (soaking), pengapuran

(liming), pembuangan kapur (deliming), baitsen (bating), dan pengasaman

(pickling). Adapun tujuan dari masing-masing kegiatan yaitu :

7

a. Perendaman bertujuan untuk mengubah kondisi kulit kering menjadi lemas

dan lunak.

b. Pengapuran bertujuan untuk menghilangkan bulu dan epidermis, kelenjanr

keringat dan lemak, zat-zat yang tidak diperlukan, memudahkan pelepasan

subcutis, dsb.

c. Pembuangan kapur bertujuan untuk menghilangkan kapur yang tergandung

dalam kulit, karena penyamakan dilakukan dalam kondisi asam sehingga

harus terbebas dari kapur yang bersifat basa.

d. Bating merupakan proses penghilangan zat-zat non kolagen

e. Pengasaman bertujuan membuat kulit bersifat asam (pH 3,0 – 35), agar kulit

tidak bengkak bila bereaksi dengan obat penyamaknya. (Raffy, 2012)

2. Tanning

Tahapan proses penyamakan disesuaikan dengan jenis kulit. Kulit dibagi

atas dua golongan yaitu hide (untuk kulit dari binatang besar seperti kulit sapi,

kerbau, kuda dan lain-lain), dan skin (untuk kulit domba, kambing, reptil dan

lain-lain). Jenis zat penyamak yang digunakan mempengaruhi hasil akhir yang

diperolah. Penyamak nabati (tannin) memberikan warna coklat muda atau

kemerahan, bersifat agak kaku tapi empuk, kurang tahan terhadap panas.

Penyamak mineral paling umum menggunakan krom. Penyamakan krom

menghasilkan kulit yang lebih lembut/lemes dan lebih tahan terhadap panas.

(Raffy, 2012)

8

3. Finishing

Kegiatan setelah penyamakan kulit terdiri atas pengetaman (shaving),

pemucatan (bleaching), penetralan (neutralizing), pengecatan dasar,

peminyakan (fat liquoring), penggemukan (oiling), pengeringan, pelembaban,

dan perenggangan, masing-masing kegiatan yaitu seperti berikut :

a. Pengetaman merupakan suatu kegiatan yang membuat kulit memiliki tingkat

ketebakan yang sama.

b. Pemucatan bertujuan untuk menghilangkan flek-flek besi, merendahkan pH,

dan lebih menguatkan ikatan antara bahan penyamak dengan kulit.

c. Penetralan dilakukan bagi kulit samak krom, karena kulit samak krom

berkadar asam tinggi, sehingga perlu dinetralkan agar tidak mengganggu

proses selanjutnya.

d. Pengecatan dasar dilakukan dengan tujuan agar pemakaian cat tutup tidak

terlalu tebal

e. Peminyakan pada kulit memiliki tujuan antara lain untuk pelumas serat-

serat kulit agar kulit menjadi tahan tarik dan tahan getar, menjaga serat kulit

agar tidak lengket satu dengan yang lainnya, dan membuat kulit tahan air.

f. Penggemukkan bertujuan agar zat penyamak tidak keluar ke permukaan

sebelum kering.

g. Pengeringan dilakukan bagi kulit atasan dengan tujuan untuk menghentikan

proses kimiawi dalam kulit. Kulit yang diperah airnya dengan mesin atau

tangan kemudian dikeringkan.

9

h. Pelembaban dilakukan bagi kulit bawahan dengan tujuan agar kulit dengan

mudah dapat menyesuaikan dengan kondisi udara disekitar.

i. Kegiatan akhir dari bagian ini adalah peregangan yang bertujuan agar kulit

mulut secara maksimal. Sehingga dengan demikian, tidak akan mulur lagi

setelah menjadi barang.

2.3 Pewarnaan Alami

2.3.1 Zat Pewarna Alami

Zat warna sangat diperlukan untuk menambah nilai artistik dan

digunakan dalam memvariasikan suatu produk (Jos et al., 2011). Hal ini

diperkuat dengan temuan pakaian berwarna dan jejak pewarna dari

madder di reruntuhan peradaban Mohenjodaro dan Harappa 3500 SM.

Mumi yang ditemukan di makam raja Tutankhamnen di Mesir terbungkus

oleh kain berwarna merah, hasil uji kimia menunjukkan bahwa warna

merah merupakan senyawa alizarin suatu pigmen yang diekstrak dari

madder di anak benua India pencelupan kain telah dikenal pada periode

lembah Indus yaitu pada 2500 SM (Aberoumand, 2011).

Seni aplikasi warna telah dikenal manusia mulai dari jaman dahulu,

pada 3500 SM (sebelum masehi) manusia telah menggunakan zat

pewarna alami yang diekstrak dari sayuran, buah-buahan, bunga, dan

serangga. WH Perkin tahun 1856 M, menemukan pewarna sintetis yang

memberikan berbagai macam warna dengan rentang luas dan bernuansa

terang. Akibatnya penggunaan pewarna sintetis menggeser penggunaan

pewarna alami. Namun demikian pewarna sintetis bersifat racun dan

10

berefek samping bagi semua mahluk hidup. Oleh karena itu penggunaan

pewarna alami digiatkan kembali di seluruh dunia (Kant, 2012). Pada

abad ke empat masehi, pewarna seperti woad, madder, weld, brazilwood,

indigo (nila), telah diketahui, bahkan henna telah digunakan pada 2500

SM. Referensi penggunaan biocolorants untuk pewarna makanan

diketahui dari teks Shosoin periode Nara asal Jepang abad ke delapan,

berisi tentang pewarnaan kacang kedelai dan adzuki-kue kacang. Dengan

demikian tampak bahwa selama periode tersebut orang-orang telah

mewarnai makanan olahan, warna yang berasal dari turunan mineral

(potassium dikromat, tembaga sulfat) dapat menyebabkan masalah

kesehatan yang serius dan memberikan pengaruh yang berbahaya pada

lingkungan. Dalam beberapa dekade terakhir, warna sintetis mendapat

banyak kritikan, dan konsumen bersikap enggan untuk menerima produk

dengan warna sintetis, serta lebih suka pewarna alami. Pada tahun 1960,

para aktivis lingkungan di Amerika Serikat menentang penggunaan

pewarna sintetis dan sikap ini menyebar luas. Aktivis mengkampanyekan

penggunaan pewarna alami, menyoroti karakteristik nutrisi sebagai alat

penjualan. Hasilnya, jumlah warna buatan yang diizinkan berkurang, dan

kesukaan konsumen pada pewarna alami meningkat signifikan. Atas

dasar ketergantungan relatif konsumen pada produk alami, kesehatan,

nutrisi, farmasi, fashion dan kepedulian terhadap lingkungan hidup, maka

pewarna alami menjadi alternatif utama sebagai pengganti dari pewarna

sintetis. Disamping itu produk dengan pewarnaan alami memiliki pasar

yang baik (Rymbai et al., 2011).

11

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya oleh Universitas Negeri

Padang dengan judul Pengaruh Tawas Pada Pencelupan Bahan Katun

Menggunakan Zat Warna Alam Ekstrak Daun Petai Cina (Leucaena

Leucocephala), Nilai gelap terang warna (value) yang dihasilkan pada

konsentrasi tawas 10 gram adalah terang, konsentrasi tawas 30 gram

adalah cukup terang, dan konsentrasi tawas 50 gram adalah gelap. Nilai

kerataan warna yang dihasilkan pada pencelupan zat warna alam ekstrak

daun petai cina pada bahan katun konsentrasi tawas 10 gram adalah rata,

konsentrasi tawas 30 gram adalah rata, dan konsentrasi tawas 50 gram

adalah sangat rata (Yulianti, 2013).

2.3.2 Sumber Zat Pewarna Alami

Visalakshi and Jawaharlal (2013) menyatakan bahwa pewarna

alami dapat diperoleh dari tumbuhan, binatang atau mineral. Dari

berbagai sumber tersebut hanya sedikit yang tersedia dalam jumlah yang

cukup untuk digunakan secara komersial sebagai pewarna makanan, dari

jumlah yang sedikit tersebut sebagian besar berasal dari tumbuhan.

Sebagian besar zat pewarna alami termasuk dalam zat warna mordan

alam. Agar warna dapat terikat dengan baik, maka pada proses

pewarnaannya diperlukan bahan tambahan untuk pengikat atau fiksator.

Sebagai contoh zat warna kuning dari daun jati dan merah dari madder

memerlukan mordan dari alum yang berfungsi sebagai bahan pengikat

warna. Ekstraksi pigmen zat warna alam cukup dengan merendam bahan

dalam air dingin selama 24 jam. Jika air yang digunakan terkontaminasi

12

dengan mineral seperti zat besi, maka akan terjadi pergeseran warna.

Untuk menghindari pergeseran warna dapat digunakan air suling atau air

deionisasi. Kemudian dipanaskan sampai mendidih (98-100° C), untuk

zat warna yang sensitif terhadap panas (biasanya zat warna dari bunga)

sampai suhu 70 -80° C, dan dipertahankan selama 1-2 jam tergantung dari

zat warna yang diekstrak. Setelah cairan dingin, segera dilakukan

penyaringan. (Aberoumand, 2011; Rymbai et al., 2011). Hampir semua

bagian tumbuhan apabila diekstrak dapat menghasilkan zat warna, seperti:

bunga, buah, daun, biji, kulit, batang/kayu dan akar, di antaranya adalah

ekstrak kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L) memberikan

pigmen berwarna kuat dan apabila dilarutkan dalam air akan

menimbulkan warna merah, jingga, ungu, dan biru (Hayati et al., 2012).

Ekstrak kulit buah manggis menghasilkan warna merah (Wulaningrum,

2013), dapat digunakan untuk pewarna kain katun, menghasilkan warna

coklat muda sampai coklat kemerahan (Manurung, 2012). Ekstrak daun

jati menghasilkan warna yang stabilitas warnanya akan berubah dengan

adanya perubahan pH. Pada pH tinggi berwarna biru, kemudian berwarna

violet dan pada pH rendah akan berubah menjadi berwarna merah

(Harmayani et al., 2013).

Zat pewarna alami memiliki kelemahan antara lain warna tidak

stabil, keseragaman warna kurang baik, konsentrasi pigmen rendah,

spektrum warna terbatas. Ekstrak biji kesumba dapat memberikan warna

dari kuning hingga merah, larut dalam pelarut organik seperti kloroform,

aseton, etil asetat dan natrium hidroksida (Paryanto, 2013). Estrak kayu

13

secang (Caesalpinia Sappan L) dapat memberikan warna merah

(Padmaningrum et al., 2012; Kurniati et al., 2012), pada pH netral (pH 6-

7) berwarna merah tajam, cerah dan bergeser kearah merah keunguan

seiring meningkatnya pH, dapat diaplikasikan pada makanan padat yang

biasanya memiliki pH netral, seperti pada makanan jajanan dan snack

(Kurniati et al., 2012). Ekstrak kulit soga tingi (Ceriops tagal)

menghasilkan tanin yang termasuk kedalam kelompok tanin terkon

densasi tipe procyanidin, dapat memberikan warna coklat kemerahan

pada kain yang diwarnainya (Jansen et al., 2005 di dalam Handayani dan

Maulana, 2013). Ekstrak kulit akar mengkudu menggunakan pelarut air

menghasilkan pigmen berwarna coklat kehitaman, sedangkan dengan

pelarut metanol menghasilkan warna coklat kemerahan (Thomas et al.,

2013).

Salah satu tumbuhan laut yang memiliki potensi untuk digunakan

sebagai bahan pewarna alami adalah mikroalga Spirulina platensis.

Ekstraksi Spirulina platensis menggunakan pelarut asam asetat

menghasilkan ekstrak zat warna biru yang memiliki intensitas warna

tertinggi dengan absorbansi maksimalnya 620 nm. Senyawa kimia

pigmen biru gelap tersebut adalah phycocyanin (Jos et al., 2011).

Kandungan phycocyanin dalam10 gram Spirulina kering juga termasuk

cukup tinggi yaitu 1400 mg atau sekitar 14% (Henrikson, 2000 di dalam

Jos et al., 2011). Mikroorganisme telah diketahui dapat memproduksi

berbagai macam pigmen. Oleh karena itu dapat dijadikan sebagai bagian

dari sumber pewarna alami. Pigmen utama yang dihasilkan oleh mikrobia

14

adalah merah, kuning dan biru. Beberapa peneliti fokus untuk

memproduksi warna merah dan kuning, seperti monascue yang dihasilkan

dari Monascus sp., karotenoid dari Phaffia rhodozyma, Micrococcus

roseus, Brevibacterium linens dan Bradyrhizobium sp., serta

xanthomonadindari Xanthomonas campestris pv. Penelitian tentang

bakteri penghasil warna biru sangat terbatas karena beberapa bakteri tidak

berkemampuan dalam menghasilkan warna biru (Gupta et al., 2011).

Malik et al. (2012) menyatakan bahwa mikroorganisme yang

memiliki kemampuan untuk menghasilkan pigmen dengan produksi

tinggi adalah spesies dari Monascus, Paecilomyces, Serratia, Cordyceps,

Streptomyces, Penicillium herquei, Penicillium atrovenetum, Rhodotorula,

Sarcina, Phaffia Cryptococcus, Monascus purpureus, Phaffia rhodozyma,

Bacillus sp., Achromobacter, dan Yarrowia. Golongan pigmen alami

yang paling penting yaitu; karotenoids, flavonoid, tetrapirroles dan

beberapa xantophylls sebagai astaxanthin

2.3.3 Penggolongan Zat Pewarna Alami

Menurut Purnomo (2004) zat pewarna alam dapat diperoleh

dengan cara ekstraksi dari berbagai bagian tanaman menggunakan pelarut

air pada suhu tinggi atau rendah. Pada cara ini zat yang terambil sangat

bervariasi tergantung dari jenis sumbernya Zat warna alami dapat

digolongkan berdasarkan, pemakaiannya, warna yang ditimbulkan,

struktur molekul, dan lainnya. Berdasarkan pemakaiannya, digolongkan

menjadi zat warna substantif (langsung dapat digunakan untuk pewarnaan)

15

dan zat warna reaktif (tidak dapat langsung digunakan atau yang

memerlukan bahan pembantu untuk pewarnaannya). Berdasarkan warna

yang ditimbulkan (coloring matter), dibagi menjadi empat golongan yaitu

zat warna: mordan (alam), direk, asam/basa, dan bejana. Zat warna direk

melekat diserat berdasarkan ikatan hidrogen, sehingga ketahanannya

rendah, contoh zat warna kurkumin dari kunyit. Zat warna asam/basa

memiliki gugus kombinasi asam dan basa, cocok untuk diterapkan pada

serat sutera atau wol, dan tidak memberikan pewarnaan yang permanen

pada kain katun. Sebagai contoh zat warna flavonoid. Zat warna bejana

dapat mewarnai serat berdasarkan reaksi reduksi oksidasi (redoks),

dikenal sebagai zat warna paling tua didunia dengan ketahanan yang

paling unggul dibanding zat pewarna alami yang lain. Sebagai contoh zat

warna indigotin dari daun nila (indigofera). Zat pewarna alami dapat

diperoleh dari berbagai sumber dan memiliki struktur kimia yang

beraneka ragam.

2.3.4 Cara Memperoleh Zat Pewarna Alami

Isolasi pigmen/pewarna alami dari tumbuhan dapat dilakukan

dengan cara mengekstrak bagian tumbuhan dengan menggunakan pelarut

yang sesuai kepolarannya dengan zat yang akan diekstrak. Suarsa et al.

(2011) melakukan ekstak pewarna dari batang pisang dengan cara

merendam dalam air dingin selama 24 jam. Ekstrak yang diperoleh

kemudian disaring dan ampasnya dimaserasi lagi dengan air, diulang

sampai semua metabolit terekstraksi. Kemudian dikeringkan dengan cara

16

evaporasi menggunakan penguap putar vakum (rotary vacuum

evaporator) sampai diperoleh ekstrak kering.

Ekstraksi senyawa golongan flavonoid dianjurkan dilakukan pada

suasana asam karena asam dapat mendenaturasi membran sel tanaman,

kemudian melarutkan pigmen antosianin sehingga dapat keluar dari sel

serta mencegah oksidasi flavonoid. Antosianin dapat terekstrak dengan

baik dalam pelarut asam terutama asam tartrat (Wulaningrum, 2013).

Ekstraksi zat warna indigo dari daun tanaman nila dilakukan dengan cara

hidrolisis selama 24 jam menggunakan katalis asam. Hasil dari reaksi

hidrolisis dipisahkan antara filtrat dan rafinat. Filtrat kemudian dioksidasi

dengan menggunakan aerator selama 12 jam. Penggunaan katalis asam

sulfat 0,01 M dengan cara tersebut akan dihasilkan zat warna indigo yang

tinggi, yaitu sebesar 29,20 ppm (Handayani dan Mualimin, 2013).

Ekstraksi zat warna kesumba (Bixa orellana) menggunakan pelarut basa

NaOH 0,4M, suhu 90o C selama 3 (tiga) jam memberikan hasil serbuk

kering 19,6 g/l larutan ekstrak, lebih baik dibanding pelarut Ca(OH)2

(Paryanto et al., 2012).

Biomassa sel mikroalga Spirulina platensis akan jauh lebih mudah

larut dalam pelarut polar, seperti air dan larutan penyangga (buffer) bila

dibandingkan dengan pelarut kurang polar seperti aseton atau kloroform

(Jos et al., 2011). Ekstraksi pigmen dari sel-sel bakteri dapat dilakukan

dengan cara sentrifugasi sel-sel pada 8000 × g selama 5 menit, dan

membuang supernatan. Pelet sel dibilas dengan air deionisasi, kemudian

dilanjutkan dengan sentrifugasi (8000 × g selama 5 menit) untuk

17

memulihkan sel-sel dengan pemakaian supernatan lagi. Sel-sel yang telah

pulih kemudian dicampur dengan 2 ml etanol (99,7%). Campuran sel dan

etanol diperlakukan dengan ultrasonication sampai sel benar-benar

dikelantang. Ekstrak etanol kemudian dipisahkan dari mikrobia dengan

sentrifugasi pada 10.000 x g selama 5 menit (Gupta et al., 2011).

2.3.5 Kegunaan Warna Alami Pada Penyamakan Kulit

Tanin yang diekstrak dari kulit walnut, kulit kayu putih, rimpang

kunyit dan daun teh sudah sering digunakan untuk penyamakan kulit.

Penggunaan bahan tersebut masih terbatas pada industri penyamakan kulit

skala kecil, sedangkan pada industri besar menggunakan bahan penyamak

krom (Visalakshi dan Jawaharlal, 2013). Tanin yang diekstrak dari kulit

kayu tingi termasuk dalam condensed tanin tipe pro-cyanidin dapat

digunakan sebagai alternatif bahan penyamak nabati (Kasmudjiastuti,

2014). Tanin yang diekstrak dari daun gambir sebagian besar terdiri dari

monomer flavonol seperti catechin, epicatechin dan alkaloid. Konsentrasi

optimum penggunaan ekstrak gambir untuk penyamakan kulit kambing

pada suasana asam (pH 4) adalah 9%, sedangkan pada suasana basa (pH 8)

konsentrasi optimumnya 3% (Kasim et al., 2013). Lee et al1`. (2014)

melaporkan bahwa pewarnaan kulit menggunakan zat warna alam jenis

carminic acid dan laccaic acid konsentrasi 5%, waktu pencelupan 100

menit menghasilkan kulit dengan warna merah yang stabil pada

18

penggosokan dan tahan luntur cahaya dengan kelas diatas 2-3. Pewarna

alami dari monascorubrin dan betanine menghasilkan ketahan luntur

cahaya yang jelek, sehingga tidak cocok untuk mewarnai kulit.

2.3.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pewarnaan

1. Temperatur

Metode umum yang digunakan untuk melarutkan pigmen dasar

manjadi pasta, adalah menambahkan sedikit air terhadap powder cat

dasar hingga merata, kemudian ditambahkan dengan air yang mendidih

(100 °C) sebanyak 20 kali dari jumlah cat dasar yang digunakan.

Temperatur yang tinggi bisa menjadikan molekul cat dasar semakin

kecil, keadaan tersebut menyebabkan penetrasi dan distribusi cat

pada kulit semakin baik, tetapi daya ikatnya berkurang (Untari et

al., 2003).

2. Konsentrasi

Konsentrasi pewarnaan cat yang tinggi bisa memberikan

warna yang terang terhadap permukaan kulit. Namun bila jumlah

air yang digunakan tidak mencukupi, kulit bisa mengalami aksi

putaran drum yang kuat sehingga menyebabkan longgarnya

struktur kulit, hal ini bisa menaikkan kecepatan difusi cat pada

bagian longgar tersebut atau menyebabkan difusi cat yang tidak

merata. Jadi kalau menggunakan konsentrasi cat yang tinggi air

19

pun perlu ditambah agar kulit bisa bergerak leluasa (Meyer et al.,

2004).

3. Penyamakan

Cat asam mengandung gugus anion yang dapat berikatan

secara anionik dengan gugus asam amino kationik dari protein kulit.

Garam-garam khrome pada prinsipnya dapat mengikat gugus asam

karboksilat protein kulit sehingga kulit yang disamak khrome,

cenderung naik jumlah muatan kationiknya(+). Selanjutnya garam-

garam khrome akan terhidrolisa dengan melepaskan asam yang

juga menaikkan jumlah keasaman dari kulit tersamaknya (Sumarmi

et al., 1989).

Kombinasi dari kedua faktor tersebut membuat kulit samak

khrome sangat kationik, sehingga menyebabkan ikatan pada

permukaan kulit pengecatan yang tidak rata dan rendahnya tingkat

penetrasi zat ke dalam kulit. Kenaikan temperatur dapat menaikkan

pula efek tersebut, dengan menggunakan masker pada penyamakan

bisa mengurangi sifat kationik dan bisa memberikan pengecatan

yang lebih rata. Pengeringan dan pembasahan kembali terhadap

samak khrome akan mengurangi muatan kationik dan mengurangi

kecepatan ikatan cat, sehingga kulit-kulit crust yang telah

mengalami fat liquaring dengan minyak sufat dan disamak ulang

dengan nabati berkurang muatan kationiknya (Thorstensen, 1985).

Beberapa jenis cat asam mengandung gugus kemikalia yang

mampu berkoordinasi dengan khrome kompleks atau disebut garam

20

masking yang dalam perdagangan disebut sebagai "Chrome

mordant". Kulit yang disamak nabati dan penyamak sintetis selalu

bersifat anionik, karena gugus kationiknya terikat oleh zat

penyamak sehingga mengurangi kekuatan ikatan kulit tersamaknya

dengan cat dasar asam. Akibatnya cat asam pada penyamakan

nabati mempunyai kecepatan ikatan rendah dan memberikan

penetrasi yang baik serta meratanya distribusi cat pada penampang

kulit, tetapi karena total jumlah cat yang terikat berkurang, maka

warna yang dihasilkan tampak suram (Setiyono et al., 1995)

Zat penyamak sintetis lebih banyak bereaksi dengan gugus

asam amino ini dan bisa memberikan warna lebih pucat bila

dibandingkan dengan zat penyamak nabati. Biasanya dilakukan

penambahan asam untuk menaikkan daya ikat cat terhadap kulit.

Kulit yang disamak nabati maupun sintetis mempunyai suhu kerut

62°C sehingga penggunaan air yang melebihi temperatur tersebut

terhadap pengecatan tidak tepat, maksimal suhu yang diperbolehkan

adalah 45°C. Disamping itu warna coklat yang timbul pada

penyamakan nabati, juga mengakibatkan warna menjadi suram

(Sumarmi et al., 1989).

2.4 Tawas

Tawas merupakan senyawa alumunium sulfat yang berfase padat dengan

nama lain: alum, alum padat, alumunium alum, cake alum, atau alumunium salt.

Senyawa tawas umumnya terdiri dari garam rangkap sulfat (SO42-), logam

21

mnovalensi kalium, dan program trivalensi alumunium. Menurut Durrant (1962)

dan Brady (1992), kedudukan logam trivalensi dalam tawas yang umum adalah

alumunium, namun dapat juga kromium, besi, mangan, atau kobal.

Tawas merupakan produk buatan berbentuk bubuk, atau kristal berwarna

putih, dan biasa digunakan sebagai mordant, bahan pengikat dalam pewarnaan

serat kulit, sebagai bahan penggumpal dalam penjernihan air, dan sebagai bahan

pengerut (penahan darah) dalam kesehatan. Tawas larut dalam air, tetapi tidak

larut dalam alkohol. Dalam udara bebas tawas bersifat stabil. Senyawa tawas

bersifat sedikit asam dan dapat mengalami perubahan dalam suasana basa

karena sifat amfoterik alumunium (Holtzclaw dalam Sugiarto 2000) menurut

persamaan reaksi berikut:

�Ro ��� �������

���Ro ��� �������

���

���Ro ��� �������

Dalam pencelupan kulit, sifat tawas ini dimanfaatkan sebagai amfoter

yang mampu bereaksi dengan senyawa zat warna dan serat kulit secara

sekaligus. Dalam skala laboratorium, pada prinsipnya tawas dibuat dari

campuran spesies K+, Al3+ dan SO42+ di dalam medium air. Karena limbah

kaleng minuman mengandung logam alumunium yang sangat besar (lebih dari

50%), maka limbah kaleng dapat dengan mudah dibuat menjadi tawas

(Sugiyarto, 2000).

Selain itu tawas mempunyai fungsi dapat digunakan dalam proses

penjernihan air yaitu sebagai bahan penggumpal padatan-padatan yang terlarut

di dalam air, untuk membersihkan sumur sebagai bahan kosmetik, zat warna

tertentu dan sebagai zat penyamak kulit. (Winarno, 1997). Tawas atau

22

aluminium sulfat merupakan bahan koagulan yang paling banyak digunakan

karena bahan ini yang paling ekonomis, mudah diperoleh di pasaran serta

mudah penyimpanannya. Aluminium sulfat digunakan secara luas dalam

industri kimia, aluminium sulfat banyak digunakan dalam proses air bersih,

pengolahan air limbah dan juga digunakan dalam pembuatan kertas untuk

meningkatkan ketahanan dan penyerapan tinta. Aluminium sulfat jarang

ditemukan dalam bentuk garam anhydrous biasanya aluminium sulfat

membentuk garam hyrous dengan kandungan air (H2O) yang berbeda-beda dan

yang paling umum dalam bentuk heksadecahydrate. Aluminium sulfat juga

digunakan sebagai mordan saat dying dan percetakan tekstil. Pemakaian twas

juga tidak terlepas dari sifat-sifat kimia yang dikandung oleh air baku.

Aluminium dan garam-garam besi adalah bahan kimia yang efektif bekerja pada

kondisi air yang mengandung alkalin. Dengan demikian semakin banyak dosis

tawas yang ditambahkan maka pH akan semakin turun, karena dihasilkan asam

sulfat sehingga perlu dosis tawas yang efektif antara pH 5,8-7,4. Apabila

alkalinitas alami dari air tidak seimbang dengan dosis tawas. Berikut merupakan

beberapa jenis tawas dan kegunaannya:

a. Natrium aluminium sulfat dodekahidrat (tawas natrium) dengan formula

NaAl(SO4)2.12H2O digunakan sebagai serbuk pengembang roti.

b. Kalium aluminium sulfat dodekahidrat (tawas kalium) dengan rumus

[KAl(SO4)2. 12H2O] digunakan dalam pemurnian air, pengolahan limbah,

dan bahan pemadam api.

c. Amonium aluminium sulfat dodekahidrat (tawas amonium) dengan formul

NH4Al(SO4)2.12H2O digunakan sebagai acar ketimun.

23

d. Kalium kromium (III) sulfat dodekahidrat (tawas kromium) dengan formula

KCr(SO4)2.12H2O digunakan sebagai penyamak kulit dan bahan pembuat

kain tahan api

e. Amonium besi (III) sulfat dodekahidrat (tawas besi(II)) dengan formula

NH4Fe(SO4)2.12H2O digunakan untuk mordan pada pewarnaan tekstil.

(Desviani, 2012)

Tawas (Kalium Aluminium Sulfat) adalah mordant yang sangat baik

untuk pengubaran atau pencelupan sendiri karena tidak berbahaya kecuali bila

termakan dalam jumlah besar. Bentuknya kristal atau bubuk putih, Tawas ini

paling baik jika digunakan sebagai mordan pendahuluan, dan cocok untuk

semua jenis serat. Tawas adalah garam rangkap sulfat aluminium sulfat yang

dipakai untuk menjernihkan air atau campuran bahan celup. Tawas memiliki ciri

kristal putih gelap, tembus cahaya, bersifat menguatkan warna. Pengaruhnya

terhadap warna biasanya kecil. Karena pemakaian tawas terlalu banyak

cenderung membuat benang menjadi kaku, maka tawas sering dicampur dengan

krim tartar. Sifat-sifat kimia tawas adalah larut dalam air (gugus hidroksil), tidak

larut dalam etanol dan aseton dapat menjernihkan air (Khusniyah, 2004).

Gugus utama dari tawas saat proses koagulasi dalam air adalah senyawa

aluminat yang optimum pada pH netral. Apabila pH tinggi atau dikatakan

kekurangan dosis maka air akan nampak seperti air baku karena gugus aluminat

tidak terbentuk secara sempurna. Akan tetapi apabila pH rendah atau dikatakan

kelebihan dosis maka air akan tampak keputih – putihan karena terlalu banyak

konsentrasi alum yang cenderung berwarna putih (Keenam, 1980).

24

Tawas merupakan senyawa aluminium sulfat yang berfase padat dengan

nama lain: alum, alum padat, aluminium alum, cake alum, atau aluminium salt.

Senyawa tawas umumnya terdiri dari garam rangkap sulfat (SO4 2- ), kedudukan

logam dalam tawas yang umum adalah aluminium, namun dapat juga kromium,

besi, mangan, atau kobal. Dimana tawas juga merupakan produk buatan

berbentuk bubuk, atau kristal berwarna putih, dan biasa digunakan sebagai

mordan, bahan peikat dalam pewarnaan serat kain, sebagai bahan penggumpal

dalam penjernihan air, dan sebagai bahan pengerut (penahan darah) dalam

kesehatan. Tawas larut dalam air, tetapi tidak larut dalam alkohol. Dalam udara

bebas tawas bersifat stabil.

Tawas larut dalam air, tetapi tidak larut dalam alkohol. Dalam udara bebas tawas

bersifat stabil. Senyawa tawas bersifat sedikit asam dan dapat mengalami perubahan

dalam suasana basa karena sifat amfoterik alumunium. Pada prinsipnya tawas dibuat

dari campuran spesies K+, Al3+ dan SO4 2+ di dalam medium air (Ikhsan, 2013).

2.5 Ketahanan Cuci Kulit Samak

2.5.1 Ketahanan Kulit Samak Terhadap Pencucian

Warna adalah spektrum yang terdiri atas radiasi elektromagnetik

dengan panjang gelombang 400-800 nm. Sinar putih akan terserap pada

panjang gelombang tertentu dan yang terpantul merupakan sisa warna

yang terserap. Pewarnaan dasar adalah memberikan warna dasar agar

dapat memperindah warna kulit jadinya. Leather Dyer’s Manual (BASF)

mengungkapkan bahwa faktor-faktor fundamental yang mendasari

ketahanan sifat yang dimiliki dari kulit yang dicat adalah hasil dari

25

penyamakan. Jika kulit yang dicat dikehendaki memiliki sifat ketahanan

yang baik, cat harus terikat dengan kuat pada kulit dan menghasilkan

pengecatan yang ketahanannya baik terhadap kelunturan, keringat,

pencucian dan ketahanan cahaya. Ini penting diperhatikan dalam

menggunakan bahan-bahan penyamak untuk mengerjakan keperluan-

keperluan ini. Ikatan yang dihasilkan lebih banyak oleh ikatan garam.

Ikatannya sama sekali tidak kuat, dan akan pecah oleh sedikit

pembasahan dengan sedikit dinaikkan temperaturnya, keringat, hujan,

alkali-alkali lemah seperti debu atau lumpur jalanan dan juga hasil

perubahan dari minyak. Cat kulit yang baik terikat pada serat kulit tidak

hanya oleh valensi-valensi ion pembentukan garam tetapi juga oleh

valensi-valensi sekunder. Pengikatan dengan bantuan dari kekuatan

valensi sekunder (daya koordinat) akan dominan pada pengecatan dasar

(dyeing) hampir dari seluruh tipe kulit. Dengan demikian ikatan-ikatan

akan stabil. Dalam hal ini, cat-cat itu menghasilkan kulit dengan warna

yang berkualitas tinggi. (Edi, 2001).

2.5.2 Faktor-Faktor Kelunturan Warna

Abrahart EN (1979) menyatakan, bahwa ada 4 tipe ikatan antara

cat dengan kulit, yaitu:

2.5.2.1 Ikatan ionik

Ikatan ionik adalah gaya tarik menarik antara dua muatan

listrik yang berlainan sehingga tidak ada ikatan yang erat antara

ion–ion, bila senyawa ion di larutkan dalam air maka maka ion–

ion akan terdisosiasi. Ikatan terjadi dari interaksi antara muatan

26

positif kulit dengan muatan negative dari molekul cat dasar atau

sebaliknya.

2.5.2.2 Ikatan hidrogen

Ikatan antara molekul berupa gaya tarik menarik oleh atom

yang keelektronegatifannya sangat besar (F, O atau N) terhadap

atom H dalam molekul lain. Suatu cat yang mengandung unsur H

pada rantai sambungnya dapat membentuk ikatan hidrogen

dengan kulit.

2.5.2.3 Ikatan kovalen

Kovalen sebagai ikatan yang sangat kuat, terbentuk karena

penggunaan bersama pasangan elektron (Selbin, 1993). Bila

elektron yang digunakan bersama berasal dari satu pihak maka

ikatannya disebut ikatan kovalen koordinat. Dengan adanya

ikatan–ikatan tersebut cat dasar akan terikat kuat di serat kulit dan

tidak luntur.

2.5.2.4 Ikatan var der waals

Pada molekul–molekul non polar terjadi gaya tarik menarik

yang lemah kemudian membentuk ikatan yang dikenal dengan

ikatan var der waals. Gaya tarik-menarik yang lemah disebabkan

oleh terbentuknya dipol sesaat yang terjadi antar molekul yang

non polar.

Selbin (1993) mengatakan, bahwa dari keempat jenis ikatan

tersebut mempunyai kekuatan ikatan berturut–turut dari kuat ke lemah

sebagai berikut:

27

1. Ikatan kovalen

2. Ikatan ionik

3. Ikatan hidrogen

4. Ikatan van der waals

Setelah kita mengetahui ikatan–ikatan kimia cat dengan kulit,

kita tahu bahwa untuk memperbaiki sifat ketahanan gosok dan

kelunturan warna kulit adalah pemilihan bahan kimia dan aplikasi

dyeing yang menitik beratkan pada kekuatan ikatan cat dengan kulit.

Berikut merupakan faktor faktor penyebab kelunturan warna

menurut (Edi, (2001)

A. Adanya Molekul Cat Yang Bebas Di Permukaan Kulit

Hakikat dasar proses pengecatan dasar adalah mereaksikan

molekul cat dengan serat kulit. Apabila gugus yang bermuatan

kationik di dalam kulit sudah mengalami titik jenuh, maka tidak dapat

lagi mengikat gugus anionik dari cat dasar atau dengan kata lain cat

muatan kationik di dalam kulit kurang,

B. Proses Fiksasi Yang Kurang Sempurna

Pemakaian asam dan waktu putar yang kurang dapat

menyebabkan fiksasi kurang sempurna karena reaksi antara molekul

cat dengan muatan kationik kulit tidak maksimal. Selain itu terkadang

terdapat jenis cat dasar asam yang molekulnya belum terpecahkan

28

atau terdisosiasi pada pH fiksasi tersebut akibatanya tidak terjadi

reaksi antara molekul cat dengan muatan kationik kulit,

C. Penggunaan Syntan Yang Berlebihan

Proses retaining menggunakan tanigan OS yang merupakan

syntan bermuatan anionik yang akan menghalangi (mengeblok) grup

amino dan dapat memberikan efek keratin warna. Tetapi penggunaan

yang berlebih (1,5%) menyebabkan tidak terikatnya molekul cat

dengan maksimal karena berkurangnya muatan kationik kulit

sehingga dapat mengakibatkan kelunturan,

D. Fatliquoring

Tingginya kadar SO3-, sulfochlrinared dan bahan pengemulsi

dari minyak akan meningkatkan penetrasi dan kerekatan cat tetapi

dapat mengurangi ketajaman warna atau memberikan efek pemucatan.

2.5.3 Peningkatan Ketahanan Kelunturan Warna

Menurut Edi (2001), peningkatan ketahanan kelunturan warna

dipengaruhi oleh:

a. Penggunaan bahan penyamak mineral akan menyumbangkan

gugus kationiknya dan membentuk senyawa kompleks dengan

senyawa asam. Ikatan yang terbentuk adalah kovalen koordinat

yang sifatnya sangat kuat sehingga cat tidak mudah luntur.

b. Pemilihan cat dasar

Cat dasar yang digunakan memiliki ikatan molekul yang sama,

ph yang sesuai dengan ph kulit.

29

c. Metode pewarnaan

Pewarnaan dengan metode sandwich akan memberikan ikatan

yang maksimal pada kulit sehingga menghasilkan kulit yang

mempunyai ketahan luntur yang baik. Metode ini di lakukan saat

proses topping dyes yaitu dengan menambahkan cat dasar dengan

waktu relatif singkat dan diselingi dengan penambahan asam.

Sehingga cat sebagian besar terikat di permukaan dan

menghasilkan warna yang tajam.

d. Pemilihan bahan kimia

Bahan-bahan kimia dan perlakuan kimia tertentu dapat

menyebabkan terjadinya perubahan warna atau kelunturan bahan

kimia misalnya sabun yang dipakai pada pencucian kulit, asam

termasuk keringat manusia dapat mengikat cat dasar atau

memutus ikatan cat dengan kulit. Perlakuan fisis seperti gesekan

akan menimbulkan energi panas dan elektron jika elektron ini

mampu mempengaruhi cat maka warna sangat mungkin terjadi

perubahan. Hal ini disebabkan transisi elektron ketika zat

menerima maka akan mengeluarkan panjang gelombang yang

tidak sama sesuai dengan energi yang diterima.

Uji ketahanan kulit pada pencucian pada dasarnya mengandung

metode pelunturan warna, dimana kulit yang diuji atau dicuci akan

memberikan noda atau kelunturan pada bahan yang dilekatkan, jika bahan

tersebut banyak kelunturannya berarti kulit yang diuji tidak tahan

30

terhadap pencucian. Uji ketahanan warna terhadap pencucian pada

prinsipnya dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain:

a. Penetrasi cat terhadap kulit, pada penetrasi yang tinggi kemampuan

cat untuk bereaksi dengan bahan lain semakin rendah.

b. Semakin kecil penetrasi cat terhadap kulit, maka semakin kecil

kelunturannya terhadap pelunturan.

c. Kelemahan afinitas cat terhadap kulit serta terhadap air sabun

sehingga tidak mudah untuk melunturkan bahan lain yang sebagai

pembanding.

Adapun bahan yang biasa digunakan untuk uji ketahanan terhadap

pencucian adalah:

1. Kelompok senyawa natrium alkali sulfat

Misal: dedocyl sodium sulphate R – Na2SO4

2. Kelompok senyawa natrium alkali benzone sulfonat

Misal: Alkali benzene sulfonate.

Dalam penggunaannya pada proses penyamakan, cat dasar yang

digunakan harus melalui beberapa tahapan pengujian sifat sehingga dapat

disesuaikan penggunaannya dengan jenis penyamakan yang dilakukan.

Proses pengecatan dasar sendiri terpengaruh pada beberapa hal antara lain

temperatur, konsentrasi, serta jenis penyamakan. Valensi sekunder pada

cat akan dilemahkan dengan naiknya temperatur dan temperatur yang

tinggi akan dapat memecah molekul cat dasar. Hal ini menyebabkan

kelarutan yang cukup baik pada cat dasar. Dengan temperatur yang

semakin tinggi akan menjadikan molekul cat dasar semakin mengecil,

31

keadaan tersebut menyebabkan penetrasi dan distribusi cat pada kulit

semakin baik tetapi memiliki daya ikat yang kurang. Konsentrasi cat

dasar yang tinggi akan memberikan warna yang terang pada permukaan

kulitnya. Namun, dalam prosesnya konsentrasi yang tinggi harus

diimbangi dengan jumlah air yang mencukupi karena jika tidak maka

dapat menyebabkan difusi cat yang tidak merata pada penampang kulit.

Jenis cat dasar yang digunakan harus disesuaikan dengan jenis bahan

penyamak yang digunakan karena gugus pada cat dasar dapat berikatan

dengan gugus pada bahan penyamak. Misalnya saja untuk cat dasar dari

jenis cat asam jika digunakan pada proses penyamakan dengan krom

maka ikatan yang terjadi tergolong cepat sehingga penetrasi bahan pada

kulit tidak merata. Sebaliknya jika digunakan pada kulit yang disamak

nabati maka ikatan yang terjadi tergolong lambat sehingga penetrasi

bahan juga lambat dan penetrasi bahan cukup baik. (Edi, 2010).

2.6 Kulit Buah Naga (Hylocereus Polyrhizus)

Buah naga (Dragon Fruit) merupakan buah pendatang yang banyak

digemari oleh masyarakat karena memiliki khasiat dan manfaat serta nilai gizi

cukup tinggi. Bagian dari buah naga 30-35% merupakan kulit buah namun

seringkali hanya dibuang sebagai sampah. Kulit buah naga mengandung zat

warna alami antosianin cukup tinggi. Antosianin merupakan zat warna yang

berperan memberikan warna merah berpotensi menjadi pewarna alami untuk

kulit dan dapat dijadikan alternatif pengganti pewarna sintetis yang lebih aman

bagi kulit (Citramukti, 2008). Buah naga termasuk dalam genus Hylocereus

32

yang terdiri dari sekitar 18 spesies Amerika tropis. Anggota dari genus ini

adalah kaktus merambat dengan 3 batang bersudut dan biasanya dengan bunga

putih yang sangat harum yang mekar di malam hari. Buah naga adalah nama

umum untuk buah yang berasal dari spesies kaktus. Sebagai palawija baru,

identitas taksonomi buah naga seringkali membingungkan. Klasifikasi spesies

kaktus yang dapat dimakan didasarkan pada bagaimana keadaan batang, warna

kulit buah, dan warna daging buah. Berdasarkan keadaan batangnya, kaktus

yang dapat dimakan dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu kaktus merambat dan

kaktus berkolom. Menurut Gunasena et al. (2007) Spesies kaktus merambat

yang dapat dimakan terbagi menjadi 2 genus yang, berbeda, yakni Hylocereus

dan Selenicereus, sedangkan spesies kaktus berkolom terbagi menjadi 3 genus,

yakni Cereus, Pachycereus, dan Stenocereus. Nomenklatur dari buah naga

sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Sub kingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)

Super divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (dikotil / tumbuhan berkeping dua)

Ordo : Caryophyllales

Famili : Cactaceae (keluarga kaktus)

Subfamili : Cactoideae

Suku : Hylocereae

33

Genus : Hylocereus

Spesies : Hylocereus polyrhizus

2.7 Antosianin Pada Kulit Buah Naga (Hylocereus Polyrhius)

Kulit buah naga yang berwarna merah mengindikasikan banyaknya

jumlah antosianin pada bagian ini. Antosianin adalah zat yang berperan

memberikan warna merah sampai biru yang bisa digunakan sebagai pewarna

alami bagi pangan dan bisa dijadikan sebagai pewarna alternatif pengganti zat

pewarna sintetis yang lebih aman untuk kesehatan. Antosianin adalah kelompok

pigmen yang berwarna merah sampai biru yang tersebar luas pada tanaman.

Antosianin tergolong pigmen yang disebut flavonoid. Senyawa golongan

flavonoid termasuk senyawa polar dan bisa diekstraksi dengan pelarut yang

bersifat polar pula. Beberapa pelarut yang bersifat polar diantaranya etanol, air

dan etil asetat. Kondisi asam akan mempengaruhi hasil ekstraksi. Keadaan yang

semakin asam apalagi mendekati pH 1 akan menyebabkan semakin banyaknya

pigmen antosianin berada dalam bentuk kation flavilium atau oksonium yang

berwarna dan pengukuran absorbansi akan menunjukkan jumlah antosianin yang

semakin besar (winarsih, 2007). Antosianin adalah kelompok pigmen yang

menyebabkan warna kemerah-merahan, letaknya di dalam cairan sel yang

bersifat larut dalam air (Nollet, 1996). Antosianin merupakan pewarna yang

paling banyak tersebar luas dalam tumbuhan. Pigmen yang berwarna kuat dan

larut dalam air ini adalah penyebab hampir semua warna merah jambu, merah

marak, merah senduduk, ungu, dan biru dalam bunga, daun, dan buah pada

tumbuhan tingggi (Simanjuntak et al., 2014). Senyawa antosianin berfungsi

34

sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas, sehingga berperan untuk

mencegah terjadi penuaan, kanker, dan penyakit degeneratif. Selain itu,

antosianin juga memiliki kemampuan sebagai antimutagenik dan

antikarsinogenik, mencegah gangguan fungsi hati, antihipertensi, dan

menurunkan kadar gula darah (Jusuf et al., 2008).

Keberadaan senyawa antosianin sebagai sumber antioksidan dan

pewarna alami di dalam kulit buah naga merah cukup menarik untuk dikaji

mengingat manfaat dari kandungan antosianin sebagai pewarna alami. Seiring

dengan meningkatnya kesadaran bagi pentingnya menjaga lingkungan hidup

yang sehat, maka beradasarkan fungsi antosianin sebagai anti oksidan antosianin

bisa dipastikan juga aman untuk digunakan sebagai bahan pewarna kulit dan

tidak memiliki pengaruh buruk dalam kesehatan tubuh maupun lingkungan.

Gambar 2.2 Struktur Antosianin

Efek samping konsumsi antosianin belum ditemukan karena belum

adanya laporan toksisitas atau intolerants antosianin. Regulasi penggunaannya

sebagai food additive diatur oleh Food and Drugs Administration di US dan Uni

Eropa sebagai salah satu pewarna dalam golongan Exempt from Certification

Food Additive Color. Dengan dimasukkannya antosianin dalam golongan

tersebut, maka penggunaan antosianin tidak mempunyai batas maksimum

tertentu, selama masih dalam kondisi wajar.

35

Meskipun kandungan senyawa antosianin di dalam kulit buah naga

merah cukup besar, perlakuan pengolahan yang kurang tepat bisa mengurangi

jumlah kandungan antosianin yang melalui proses Pemanasan mengakibatkan

kehilangan sejumlah zat gizi terutama yang bersifat labil seperti asam askorbat,

antosianin dan betakaroten (Budhiarto, 2003). Selain itu, faktor yang

mempengaruhi stabilitas antosianin yaitu pH, suhu, cahaya, oksigen, dan ion

logam (Nollet, 1996) Menurut Dixon dkk. (2007), pemarutan, pengeringan dan

pemasakan bisa mengurangi jumlah antioksidan di dalam bahan.

2.8 Hipotesis

Terdapat pengaruh penggunaan kosentrasi tawas yang berbeda terhadap

kuat rekat cat dan ketahanan cuci pewarnaan alami kulit sapi samak nabati.