BABII.TINJAUANPUSTAKAeprints.umm.ac.id/46657/3/BAB II.pdf · 4 BABII.TINJAUANPUSTAKA 2.1...
Transcript of BABII.TINJAUANPUSTAKAeprints.umm.ac.id/46657/3/BAB II.pdf · 4 BABII.TINJAUANPUSTAKA 2.1...
4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Histologi Kulit
Kulit adalah organ pelindung khususnya dalam fungsinya sebagai
pengatur suhu tubuh, alat ekskresi serta melindungi tubuh dari gangguan fisik.
Pasca pemotongan (postmortem) ternak, semua fungsi kulit itu hilang dan kulit
hanya terlindungi oleh rambut, bulu, sisik atau oleh kerapatan serabut jaringan
kulit (Thorstensen, 1985). Kulit segar mengandung kadar air sebesar 64%,
protein 33%,lemak 2%, mineral 0,5% dansenyawa lain sepertipigmen 0,05%,
secara histologi kulit hewan dapat dibagi atas tiga lapis yaitu: (1) lapisan
epidermis yang sering disebut lapisan tanduk dan sifatnya sebagai pelindung
pada waktu masih hidup, (2) lapisan korium atau cutis, lapisan ini terdiri atas
jaringan serat kolagen, (3) lapisan subkutis, pada hewan lapisan ini berfungsi
sebagai batas antara tenunan kulit dan tenunan daging, pada lapisan ini banyak
terdapat tenunan lemak dan pembuluh darah. (Nurwantoro dan Mulyani, 2003).
Gambaran histologi kulit ternak disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Histologi Kulit (Nurwantoro dan Mulyani, 2003)
5
Epidermis adalah bagian terluar dari struktur kulit dan lebih tipis dari
pada korium (Gambar 2.1) dengan ketebalan mencapai 1–2% dari total tebal
kulit. Epidermis tersusun oleh jaringan epitel yang berasal dari bagian ektoderm.
Sementara itu, korium terletak dibawah epidermis dengan ketebalan 98%
(Sarkar, 1995). Struktur korium berbeda dengan struktur epidermis yang mana
korium tersusun oleh jaringan ikat padat tidak beraturan yang berasal dari
mesoderm (Sarkar, 1995). Korium terdiri atas cairan jaringan, substansi dasar,
sel, dan serabut (Djojowidagdo, 1999). Korium adalah struktur kulit yang
tersusun protein dan menjadi bagian penting dalam pengolahannya melalui
metode ekstraksi menjadi gelatin. Komponen utama pada korium adalah berkas
serabut kolagen yang saling membentuk anyaman dan mempengaruhi kualitas
kulit. Kualitas kulit ditentukan oleh struktur jaringan dan komposisi kimia
dalam kulit. Struktur jaringan kulit meliputi diameter fibril, diameter serabut,
tebal tipisnya berkas serabut, sudut jalinan dan tebal tipisnya kulit.
Djojowidagdo (1988) menyebutkan bahwa semakin tua umur ternak komposisi
kulitnya mengandung protein fibrous yang semakin tinggi, kadar lemak semakin
tinggi, namun persentase kadar abunya semakin rendah. Soeparno (2005)
menyatakan bahwa jumlah dan kekuatan fisik kolagen dapat meningkat sejalan
dengan meningkatnya umur hewan.
2.2 Penyamakan Kulit Mimosa
Penyamakan kulit adalah suatu proses pengolahan untuk mengubah kulit
mentah hides maupun skines menjadi kulit tersamak atau leather. Penyamakan
kulit merupakan cara untuk mengubah kulit mentah (hide/skin) yang bersifat
6
labil (mudah rusak oleh pengaruh fisik, kimia dan biologis) menjadi kulit yang
stabil terhadap pengaruh tersebut yang biasa disebut kulit tersamak (leather).
Kulit samak atau kulit jadi memiliki sifat-sifat khusus yang sangat berbeda
dengan kulit mentahnya, baik sifat fisis maupun sifat khemisnya. Kulit mentah
mudah sekali membusuk dalam keadaan kering, keras, dan kaku sedangkan kulit
tersamak memiliki sifat lemas serta teksturnya lentur. Teknik mengolah kulit
mentah menjadi kulit samak disebut penyamakan. Proses penyamakan bertujuan
agar kulit hewan yang mudah busuk dapat menjadi tahan terhadap serangan
mikroorganisme. Salah satu dalam proses penyamakan dikenal adanya sistem
penyamakan berbulu dan tidak berbulu. Sistem penyamakan berbulu tentunya
ditujukan untuk mempertahankan keindahan bulunya sedangkan penyamakan
tidak berbulu tentunya sengaja ditujukan untuk menghilangkan bulu. Sekilas
yang membedakan kedua proses ini adalah dilakukannya proses pengapuran
pada sistem penyamakan tidak berbulu dengan tujuan supaya mempermudah
dalam menghilangkan bulunya (Irfan, 2012).
Menurut Raffy, 2012 Prinsip mekanisme penyamakan kulit adalah
memasukkan bahan penyamak ke dalam anyaman atau jaringan serat kulit
sehingga menjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dan serat kulit. Kegiatan
penyamakan kulit dilakukan dengan cara seperti berikut:
1. Pretanning
Kegiatan ini bertujuan untuk mengawetkan kulit mentah agar dapat bertahan
hingga penyamakan sesungguhnya dilakukan. Kegiatan ini dinamakan dengan
pengerjaan basah yang meliputi proses perendaman (soaking), pengapuran
(liming), pembuangan kapur (deliming), baitsen (bating), dan pengasaman
(pickling). Adapun tujuan dari masing-masing kegiatan yaitu :
7
a. Perendaman bertujuan untuk mengubah kondisi kulit kering menjadi lemas
dan lunak.
b. Pengapuran bertujuan untuk menghilangkan bulu dan epidermis, kelenjanr
keringat dan lemak, zat-zat yang tidak diperlukan, memudahkan pelepasan
subcutis, dsb.
c. Pembuangan kapur bertujuan untuk menghilangkan kapur yang tergandung
dalam kulit, karena penyamakan dilakukan dalam kondisi asam sehingga
harus terbebas dari kapur yang bersifat basa.
d. Bating merupakan proses penghilangan zat-zat non kolagen
e. Pengasaman bertujuan membuat kulit bersifat asam (pH 3,0 – 35), agar kulit
tidak bengkak bila bereaksi dengan obat penyamaknya. (Raffy, 2012)
2. Tanning
Tahapan proses penyamakan disesuaikan dengan jenis kulit. Kulit dibagi
atas dua golongan yaitu hide (untuk kulit dari binatang besar seperti kulit sapi,
kerbau, kuda dan lain-lain), dan skin (untuk kulit domba, kambing, reptil dan
lain-lain). Jenis zat penyamak yang digunakan mempengaruhi hasil akhir yang
diperolah. Penyamak nabati (tannin) memberikan warna coklat muda atau
kemerahan, bersifat agak kaku tapi empuk, kurang tahan terhadap panas.
Penyamak mineral paling umum menggunakan krom. Penyamakan krom
menghasilkan kulit yang lebih lembut/lemes dan lebih tahan terhadap panas.
(Raffy, 2012)
8
3. Finishing
Kegiatan setelah penyamakan kulit terdiri atas pengetaman (shaving),
pemucatan (bleaching), penetralan (neutralizing), pengecatan dasar,
peminyakan (fat liquoring), penggemukan (oiling), pengeringan, pelembaban,
dan perenggangan, masing-masing kegiatan yaitu seperti berikut :
a. Pengetaman merupakan suatu kegiatan yang membuat kulit memiliki tingkat
ketebakan yang sama.
b. Pemucatan bertujuan untuk menghilangkan flek-flek besi, merendahkan pH,
dan lebih menguatkan ikatan antara bahan penyamak dengan kulit.
c. Penetralan dilakukan bagi kulit samak krom, karena kulit samak krom
berkadar asam tinggi, sehingga perlu dinetralkan agar tidak mengganggu
proses selanjutnya.
d. Pengecatan dasar dilakukan dengan tujuan agar pemakaian cat tutup tidak
terlalu tebal
e. Peminyakan pada kulit memiliki tujuan antara lain untuk pelumas serat-
serat kulit agar kulit menjadi tahan tarik dan tahan getar, menjaga serat kulit
agar tidak lengket satu dengan yang lainnya, dan membuat kulit tahan air.
f. Penggemukkan bertujuan agar zat penyamak tidak keluar ke permukaan
sebelum kering.
g. Pengeringan dilakukan bagi kulit atasan dengan tujuan untuk menghentikan
proses kimiawi dalam kulit. Kulit yang diperah airnya dengan mesin atau
tangan kemudian dikeringkan.
9
h. Pelembaban dilakukan bagi kulit bawahan dengan tujuan agar kulit dengan
mudah dapat menyesuaikan dengan kondisi udara disekitar.
i. Kegiatan akhir dari bagian ini adalah peregangan yang bertujuan agar kulit
mulut secara maksimal. Sehingga dengan demikian, tidak akan mulur lagi
setelah menjadi barang.
2.3 Pewarnaan Alami
2.3.1 Zat Pewarna Alami
Zat warna sangat diperlukan untuk menambah nilai artistik dan
digunakan dalam memvariasikan suatu produk (Jos et al., 2011). Hal ini
diperkuat dengan temuan pakaian berwarna dan jejak pewarna dari
madder di reruntuhan peradaban Mohenjodaro dan Harappa 3500 SM.
Mumi yang ditemukan di makam raja Tutankhamnen di Mesir terbungkus
oleh kain berwarna merah, hasil uji kimia menunjukkan bahwa warna
merah merupakan senyawa alizarin suatu pigmen yang diekstrak dari
madder di anak benua India pencelupan kain telah dikenal pada periode
lembah Indus yaitu pada 2500 SM (Aberoumand, 2011).
Seni aplikasi warna telah dikenal manusia mulai dari jaman dahulu,
pada 3500 SM (sebelum masehi) manusia telah menggunakan zat
pewarna alami yang diekstrak dari sayuran, buah-buahan, bunga, dan
serangga. WH Perkin tahun 1856 M, menemukan pewarna sintetis yang
memberikan berbagai macam warna dengan rentang luas dan bernuansa
terang. Akibatnya penggunaan pewarna sintetis menggeser penggunaan
pewarna alami. Namun demikian pewarna sintetis bersifat racun dan
10
berefek samping bagi semua mahluk hidup. Oleh karena itu penggunaan
pewarna alami digiatkan kembali di seluruh dunia (Kant, 2012). Pada
abad ke empat masehi, pewarna seperti woad, madder, weld, brazilwood,
indigo (nila), telah diketahui, bahkan henna telah digunakan pada 2500
SM. Referensi penggunaan biocolorants untuk pewarna makanan
diketahui dari teks Shosoin periode Nara asal Jepang abad ke delapan,
berisi tentang pewarnaan kacang kedelai dan adzuki-kue kacang. Dengan
demikian tampak bahwa selama periode tersebut orang-orang telah
mewarnai makanan olahan, warna yang berasal dari turunan mineral
(potassium dikromat, tembaga sulfat) dapat menyebabkan masalah
kesehatan yang serius dan memberikan pengaruh yang berbahaya pada
lingkungan. Dalam beberapa dekade terakhir, warna sintetis mendapat
banyak kritikan, dan konsumen bersikap enggan untuk menerima produk
dengan warna sintetis, serta lebih suka pewarna alami. Pada tahun 1960,
para aktivis lingkungan di Amerika Serikat menentang penggunaan
pewarna sintetis dan sikap ini menyebar luas. Aktivis mengkampanyekan
penggunaan pewarna alami, menyoroti karakteristik nutrisi sebagai alat
penjualan. Hasilnya, jumlah warna buatan yang diizinkan berkurang, dan
kesukaan konsumen pada pewarna alami meningkat signifikan. Atas
dasar ketergantungan relatif konsumen pada produk alami, kesehatan,
nutrisi, farmasi, fashion dan kepedulian terhadap lingkungan hidup, maka
pewarna alami menjadi alternatif utama sebagai pengganti dari pewarna
sintetis. Disamping itu produk dengan pewarnaan alami memiliki pasar
yang baik (Rymbai et al., 2011).
11
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya oleh Universitas Negeri
Padang dengan judul Pengaruh Tawas Pada Pencelupan Bahan Katun
Menggunakan Zat Warna Alam Ekstrak Daun Petai Cina (Leucaena
Leucocephala), Nilai gelap terang warna (value) yang dihasilkan pada
konsentrasi tawas 10 gram adalah terang, konsentrasi tawas 30 gram
adalah cukup terang, dan konsentrasi tawas 50 gram adalah gelap. Nilai
kerataan warna yang dihasilkan pada pencelupan zat warna alam ekstrak
daun petai cina pada bahan katun konsentrasi tawas 10 gram adalah rata,
konsentrasi tawas 30 gram adalah rata, dan konsentrasi tawas 50 gram
adalah sangat rata (Yulianti, 2013).
2.3.2 Sumber Zat Pewarna Alami
Visalakshi and Jawaharlal (2013) menyatakan bahwa pewarna
alami dapat diperoleh dari tumbuhan, binatang atau mineral. Dari
berbagai sumber tersebut hanya sedikit yang tersedia dalam jumlah yang
cukup untuk digunakan secara komersial sebagai pewarna makanan, dari
jumlah yang sedikit tersebut sebagian besar berasal dari tumbuhan.
Sebagian besar zat pewarna alami termasuk dalam zat warna mordan
alam. Agar warna dapat terikat dengan baik, maka pada proses
pewarnaannya diperlukan bahan tambahan untuk pengikat atau fiksator.
Sebagai contoh zat warna kuning dari daun jati dan merah dari madder
memerlukan mordan dari alum yang berfungsi sebagai bahan pengikat
warna. Ekstraksi pigmen zat warna alam cukup dengan merendam bahan
dalam air dingin selama 24 jam. Jika air yang digunakan terkontaminasi
12
dengan mineral seperti zat besi, maka akan terjadi pergeseran warna.
Untuk menghindari pergeseran warna dapat digunakan air suling atau air
deionisasi. Kemudian dipanaskan sampai mendidih (98-100° C), untuk
zat warna yang sensitif terhadap panas (biasanya zat warna dari bunga)
sampai suhu 70 -80° C, dan dipertahankan selama 1-2 jam tergantung dari
zat warna yang diekstrak. Setelah cairan dingin, segera dilakukan
penyaringan. (Aberoumand, 2011; Rymbai et al., 2011). Hampir semua
bagian tumbuhan apabila diekstrak dapat menghasilkan zat warna, seperti:
bunga, buah, daun, biji, kulit, batang/kayu dan akar, di antaranya adalah
ekstrak kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L) memberikan
pigmen berwarna kuat dan apabila dilarutkan dalam air akan
menimbulkan warna merah, jingga, ungu, dan biru (Hayati et al., 2012).
Ekstrak kulit buah manggis menghasilkan warna merah (Wulaningrum,
2013), dapat digunakan untuk pewarna kain katun, menghasilkan warna
coklat muda sampai coklat kemerahan (Manurung, 2012). Ekstrak daun
jati menghasilkan warna yang stabilitas warnanya akan berubah dengan
adanya perubahan pH. Pada pH tinggi berwarna biru, kemudian berwarna
violet dan pada pH rendah akan berubah menjadi berwarna merah
(Harmayani et al., 2013).
Zat pewarna alami memiliki kelemahan antara lain warna tidak
stabil, keseragaman warna kurang baik, konsentrasi pigmen rendah,
spektrum warna terbatas. Ekstrak biji kesumba dapat memberikan warna
dari kuning hingga merah, larut dalam pelarut organik seperti kloroform,
aseton, etil asetat dan natrium hidroksida (Paryanto, 2013). Estrak kayu
13
secang (Caesalpinia Sappan L) dapat memberikan warna merah
(Padmaningrum et al., 2012; Kurniati et al., 2012), pada pH netral (pH 6-
7) berwarna merah tajam, cerah dan bergeser kearah merah keunguan
seiring meningkatnya pH, dapat diaplikasikan pada makanan padat yang
biasanya memiliki pH netral, seperti pada makanan jajanan dan snack
(Kurniati et al., 2012). Ekstrak kulit soga tingi (Ceriops tagal)
menghasilkan tanin yang termasuk kedalam kelompok tanin terkon
densasi tipe procyanidin, dapat memberikan warna coklat kemerahan
pada kain yang diwarnainya (Jansen et al., 2005 di dalam Handayani dan
Maulana, 2013). Ekstrak kulit akar mengkudu menggunakan pelarut air
menghasilkan pigmen berwarna coklat kehitaman, sedangkan dengan
pelarut metanol menghasilkan warna coklat kemerahan (Thomas et al.,
2013).
Salah satu tumbuhan laut yang memiliki potensi untuk digunakan
sebagai bahan pewarna alami adalah mikroalga Spirulina platensis.
Ekstraksi Spirulina platensis menggunakan pelarut asam asetat
menghasilkan ekstrak zat warna biru yang memiliki intensitas warna
tertinggi dengan absorbansi maksimalnya 620 nm. Senyawa kimia
pigmen biru gelap tersebut adalah phycocyanin (Jos et al., 2011).
Kandungan phycocyanin dalam10 gram Spirulina kering juga termasuk
cukup tinggi yaitu 1400 mg atau sekitar 14% (Henrikson, 2000 di dalam
Jos et al., 2011). Mikroorganisme telah diketahui dapat memproduksi
berbagai macam pigmen. Oleh karena itu dapat dijadikan sebagai bagian
dari sumber pewarna alami. Pigmen utama yang dihasilkan oleh mikrobia
14
adalah merah, kuning dan biru. Beberapa peneliti fokus untuk
memproduksi warna merah dan kuning, seperti monascue yang dihasilkan
dari Monascus sp., karotenoid dari Phaffia rhodozyma, Micrococcus
roseus, Brevibacterium linens dan Bradyrhizobium sp., serta
xanthomonadindari Xanthomonas campestris pv. Penelitian tentang
bakteri penghasil warna biru sangat terbatas karena beberapa bakteri tidak
berkemampuan dalam menghasilkan warna biru (Gupta et al., 2011).
Malik et al. (2012) menyatakan bahwa mikroorganisme yang
memiliki kemampuan untuk menghasilkan pigmen dengan produksi
tinggi adalah spesies dari Monascus, Paecilomyces, Serratia, Cordyceps,
Streptomyces, Penicillium herquei, Penicillium atrovenetum, Rhodotorula,
Sarcina, Phaffia Cryptococcus, Monascus purpureus, Phaffia rhodozyma,
Bacillus sp., Achromobacter, dan Yarrowia. Golongan pigmen alami
yang paling penting yaitu; karotenoids, flavonoid, tetrapirroles dan
beberapa xantophylls sebagai astaxanthin
2.3.3 Penggolongan Zat Pewarna Alami
Menurut Purnomo (2004) zat pewarna alam dapat diperoleh
dengan cara ekstraksi dari berbagai bagian tanaman menggunakan pelarut
air pada suhu tinggi atau rendah. Pada cara ini zat yang terambil sangat
bervariasi tergantung dari jenis sumbernya Zat warna alami dapat
digolongkan berdasarkan, pemakaiannya, warna yang ditimbulkan,
struktur molekul, dan lainnya. Berdasarkan pemakaiannya, digolongkan
menjadi zat warna substantif (langsung dapat digunakan untuk pewarnaan)
15
dan zat warna reaktif (tidak dapat langsung digunakan atau yang
memerlukan bahan pembantu untuk pewarnaannya). Berdasarkan warna
yang ditimbulkan (coloring matter), dibagi menjadi empat golongan yaitu
zat warna: mordan (alam), direk, asam/basa, dan bejana. Zat warna direk
melekat diserat berdasarkan ikatan hidrogen, sehingga ketahanannya
rendah, contoh zat warna kurkumin dari kunyit. Zat warna asam/basa
memiliki gugus kombinasi asam dan basa, cocok untuk diterapkan pada
serat sutera atau wol, dan tidak memberikan pewarnaan yang permanen
pada kain katun. Sebagai contoh zat warna flavonoid. Zat warna bejana
dapat mewarnai serat berdasarkan reaksi reduksi oksidasi (redoks),
dikenal sebagai zat warna paling tua didunia dengan ketahanan yang
paling unggul dibanding zat pewarna alami yang lain. Sebagai contoh zat
warna indigotin dari daun nila (indigofera). Zat pewarna alami dapat
diperoleh dari berbagai sumber dan memiliki struktur kimia yang
beraneka ragam.
2.3.4 Cara Memperoleh Zat Pewarna Alami
Isolasi pigmen/pewarna alami dari tumbuhan dapat dilakukan
dengan cara mengekstrak bagian tumbuhan dengan menggunakan pelarut
yang sesuai kepolarannya dengan zat yang akan diekstrak. Suarsa et al.
(2011) melakukan ekstak pewarna dari batang pisang dengan cara
merendam dalam air dingin selama 24 jam. Ekstrak yang diperoleh
kemudian disaring dan ampasnya dimaserasi lagi dengan air, diulang
sampai semua metabolit terekstraksi. Kemudian dikeringkan dengan cara
16
evaporasi menggunakan penguap putar vakum (rotary vacuum
evaporator) sampai diperoleh ekstrak kering.
Ekstraksi senyawa golongan flavonoid dianjurkan dilakukan pada
suasana asam karena asam dapat mendenaturasi membran sel tanaman,
kemudian melarutkan pigmen antosianin sehingga dapat keluar dari sel
serta mencegah oksidasi flavonoid. Antosianin dapat terekstrak dengan
baik dalam pelarut asam terutama asam tartrat (Wulaningrum, 2013).
Ekstraksi zat warna indigo dari daun tanaman nila dilakukan dengan cara
hidrolisis selama 24 jam menggunakan katalis asam. Hasil dari reaksi
hidrolisis dipisahkan antara filtrat dan rafinat. Filtrat kemudian dioksidasi
dengan menggunakan aerator selama 12 jam. Penggunaan katalis asam
sulfat 0,01 M dengan cara tersebut akan dihasilkan zat warna indigo yang
tinggi, yaitu sebesar 29,20 ppm (Handayani dan Mualimin, 2013).
Ekstraksi zat warna kesumba (Bixa orellana) menggunakan pelarut basa
NaOH 0,4M, suhu 90o C selama 3 (tiga) jam memberikan hasil serbuk
kering 19,6 g/l larutan ekstrak, lebih baik dibanding pelarut Ca(OH)2
(Paryanto et al., 2012).
Biomassa sel mikroalga Spirulina platensis akan jauh lebih mudah
larut dalam pelarut polar, seperti air dan larutan penyangga (buffer) bila
dibandingkan dengan pelarut kurang polar seperti aseton atau kloroform
(Jos et al., 2011). Ekstraksi pigmen dari sel-sel bakteri dapat dilakukan
dengan cara sentrifugasi sel-sel pada 8000 × g selama 5 menit, dan
membuang supernatan. Pelet sel dibilas dengan air deionisasi, kemudian
dilanjutkan dengan sentrifugasi (8000 × g selama 5 menit) untuk
17
memulihkan sel-sel dengan pemakaian supernatan lagi. Sel-sel yang telah
pulih kemudian dicampur dengan 2 ml etanol (99,7%). Campuran sel dan
etanol diperlakukan dengan ultrasonication sampai sel benar-benar
dikelantang. Ekstrak etanol kemudian dipisahkan dari mikrobia dengan
sentrifugasi pada 10.000 x g selama 5 menit (Gupta et al., 2011).
2.3.5 Kegunaan Warna Alami Pada Penyamakan Kulit
Tanin yang diekstrak dari kulit walnut, kulit kayu putih, rimpang
kunyit dan daun teh sudah sering digunakan untuk penyamakan kulit.
Penggunaan bahan tersebut masih terbatas pada industri penyamakan kulit
skala kecil, sedangkan pada industri besar menggunakan bahan penyamak
krom (Visalakshi dan Jawaharlal, 2013). Tanin yang diekstrak dari kulit
kayu tingi termasuk dalam condensed tanin tipe pro-cyanidin dapat
digunakan sebagai alternatif bahan penyamak nabati (Kasmudjiastuti,
2014). Tanin yang diekstrak dari daun gambir sebagian besar terdiri dari
monomer flavonol seperti catechin, epicatechin dan alkaloid. Konsentrasi
optimum penggunaan ekstrak gambir untuk penyamakan kulit kambing
pada suasana asam (pH 4) adalah 9%, sedangkan pada suasana basa (pH 8)
konsentrasi optimumnya 3% (Kasim et al., 2013). Lee et al1`. (2014)
melaporkan bahwa pewarnaan kulit menggunakan zat warna alam jenis
carminic acid dan laccaic acid konsentrasi 5%, waktu pencelupan 100
menit menghasilkan kulit dengan warna merah yang stabil pada
18
penggosokan dan tahan luntur cahaya dengan kelas diatas 2-3. Pewarna
alami dari monascorubrin dan betanine menghasilkan ketahan luntur
cahaya yang jelek, sehingga tidak cocok untuk mewarnai kulit.
2.3.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pewarnaan
1. Temperatur
Metode umum yang digunakan untuk melarutkan pigmen dasar
manjadi pasta, adalah menambahkan sedikit air terhadap powder cat
dasar hingga merata, kemudian ditambahkan dengan air yang mendidih
(100 °C) sebanyak 20 kali dari jumlah cat dasar yang digunakan.
Temperatur yang tinggi bisa menjadikan molekul cat dasar semakin
kecil, keadaan tersebut menyebabkan penetrasi dan distribusi cat
pada kulit semakin baik, tetapi daya ikatnya berkurang (Untari et
al., 2003).
2. Konsentrasi
Konsentrasi pewarnaan cat yang tinggi bisa memberikan
warna yang terang terhadap permukaan kulit. Namun bila jumlah
air yang digunakan tidak mencukupi, kulit bisa mengalami aksi
putaran drum yang kuat sehingga menyebabkan longgarnya
struktur kulit, hal ini bisa menaikkan kecepatan difusi cat pada
bagian longgar tersebut atau menyebabkan difusi cat yang tidak
merata. Jadi kalau menggunakan konsentrasi cat yang tinggi air
19
pun perlu ditambah agar kulit bisa bergerak leluasa (Meyer et al.,
2004).
3. Penyamakan
Cat asam mengandung gugus anion yang dapat berikatan
secara anionik dengan gugus asam amino kationik dari protein kulit.
Garam-garam khrome pada prinsipnya dapat mengikat gugus asam
karboksilat protein kulit sehingga kulit yang disamak khrome,
cenderung naik jumlah muatan kationiknya(+). Selanjutnya garam-
garam khrome akan terhidrolisa dengan melepaskan asam yang
juga menaikkan jumlah keasaman dari kulit tersamaknya (Sumarmi
et al., 1989).
Kombinasi dari kedua faktor tersebut membuat kulit samak
khrome sangat kationik, sehingga menyebabkan ikatan pada
permukaan kulit pengecatan yang tidak rata dan rendahnya tingkat
penetrasi zat ke dalam kulit. Kenaikan temperatur dapat menaikkan
pula efek tersebut, dengan menggunakan masker pada penyamakan
bisa mengurangi sifat kationik dan bisa memberikan pengecatan
yang lebih rata. Pengeringan dan pembasahan kembali terhadap
samak khrome akan mengurangi muatan kationik dan mengurangi
kecepatan ikatan cat, sehingga kulit-kulit crust yang telah
mengalami fat liquaring dengan minyak sufat dan disamak ulang
dengan nabati berkurang muatan kationiknya (Thorstensen, 1985).
Beberapa jenis cat asam mengandung gugus kemikalia yang
mampu berkoordinasi dengan khrome kompleks atau disebut garam
20
masking yang dalam perdagangan disebut sebagai "Chrome
mordant". Kulit yang disamak nabati dan penyamak sintetis selalu
bersifat anionik, karena gugus kationiknya terikat oleh zat
penyamak sehingga mengurangi kekuatan ikatan kulit tersamaknya
dengan cat dasar asam. Akibatnya cat asam pada penyamakan
nabati mempunyai kecepatan ikatan rendah dan memberikan
penetrasi yang baik serta meratanya distribusi cat pada penampang
kulit, tetapi karena total jumlah cat yang terikat berkurang, maka
warna yang dihasilkan tampak suram (Setiyono et al., 1995)
Zat penyamak sintetis lebih banyak bereaksi dengan gugus
asam amino ini dan bisa memberikan warna lebih pucat bila
dibandingkan dengan zat penyamak nabati. Biasanya dilakukan
penambahan asam untuk menaikkan daya ikat cat terhadap kulit.
Kulit yang disamak nabati maupun sintetis mempunyai suhu kerut
62°C sehingga penggunaan air yang melebihi temperatur tersebut
terhadap pengecatan tidak tepat, maksimal suhu yang diperbolehkan
adalah 45°C. Disamping itu warna coklat yang timbul pada
penyamakan nabati, juga mengakibatkan warna menjadi suram
(Sumarmi et al., 1989).
2.4 Tawas
Tawas merupakan senyawa alumunium sulfat yang berfase padat dengan
nama lain: alum, alum padat, alumunium alum, cake alum, atau alumunium salt.
Senyawa tawas umumnya terdiri dari garam rangkap sulfat (SO42-), logam
21
mnovalensi kalium, dan program trivalensi alumunium. Menurut Durrant (1962)
dan Brady (1992), kedudukan logam trivalensi dalam tawas yang umum adalah
alumunium, namun dapat juga kromium, besi, mangan, atau kobal.
Tawas merupakan produk buatan berbentuk bubuk, atau kristal berwarna
putih, dan biasa digunakan sebagai mordant, bahan pengikat dalam pewarnaan
serat kulit, sebagai bahan penggumpal dalam penjernihan air, dan sebagai bahan
pengerut (penahan darah) dalam kesehatan. Tawas larut dalam air, tetapi tidak
larut dalam alkohol. Dalam udara bebas tawas bersifat stabil. Senyawa tawas
bersifat sedikit asam dan dapat mengalami perubahan dalam suasana basa
karena sifat amfoterik alumunium (Holtzclaw dalam Sugiarto 2000) menurut
persamaan reaksi berikut:
�Ro ��� �������
���Ro ��� �������
���
���Ro ��� �������
Dalam pencelupan kulit, sifat tawas ini dimanfaatkan sebagai amfoter
yang mampu bereaksi dengan senyawa zat warna dan serat kulit secara
sekaligus. Dalam skala laboratorium, pada prinsipnya tawas dibuat dari
campuran spesies K+, Al3+ dan SO42+ di dalam medium air. Karena limbah
kaleng minuman mengandung logam alumunium yang sangat besar (lebih dari
50%), maka limbah kaleng dapat dengan mudah dibuat menjadi tawas
(Sugiyarto, 2000).
Selain itu tawas mempunyai fungsi dapat digunakan dalam proses
penjernihan air yaitu sebagai bahan penggumpal padatan-padatan yang terlarut
di dalam air, untuk membersihkan sumur sebagai bahan kosmetik, zat warna
tertentu dan sebagai zat penyamak kulit. (Winarno, 1997). Tawas atau
22
aluminium sulfat merupakan bahan koagulan yang paling banyak digunakan
karena bahan ini yang paling ekonomis, mudah diperoleh di pasaran serta
mudah penyimpanannya. Aluminium sulfat digunakan secara luas dalam
industri kimia, aluminium sulfat banyak digunakan dalam proses air bersih,
pengolahan air limbah dan juga digunakan dalam pembuatan kertas untuk
meningkatkan ketahanan dan penyerapan tinta. Aluminium sulfat jarang
ditemukan dalam bentuk garam anhydrous biasanya aluminium sulfat
membentuk garam hyrous dengan kandungan air (H2O) yang berbeda-beda dan
yang paling umum dalam bentuk heksadecahydrate. Aluminium sulfat juga
digunakan sebagai mordan saat dying dan percetakan tekstil. Pemakaian twas
juga tidak terlepas dari sifat-sifat kimia yang dikandung oleh air baku.
Aluminium dan garam-garam besi adalah bahan kimia yang efektif bekerja pada
kondisi air yang mengandung alkalin. Dengan demikian semakin banyak dosis
tawas yang ditambahkan maka pH akan semakin turun, karena dihasilkan asam
sulfat sehingga perlu dosis tawas yang efektif antara pH 5,8-7,4. Apabila
alkalinitas alami dari air tidak seimbang dengan dosis tawas. Berikut merupakan
beberapa jenis tawas dan kegunaannya:
a. Natrium aluminium sulfat dodekahidrat (tawas natrium) dengan formula
NaAl(SO4)2.12H2O digunakan sebagai serbuk pengembang roti.
b. Kalium aluminium sulfat dodekahidrat (tawas kalium) dengan rumus
[KAl(SO4)2. 12H2O] digunakan dalam pemurnian air, pengolahan limbah,
dan bahan pemadam api.
c. Amonium aluminium sulfat dodekahidrat (tawas amonium) dengan formul
NH4Al(SO4)2.12H2O digunakan sebagai acar ketimun.
23
d. Kalium kromium (III) sulfat dodekahidrat (tawas kromium) dengan formula
KCr(SO4)2.12H2O digunakan sebagai penyamak kulit dan bahan pembuat
kain tahan api
e. Amonium besi (III) sulfat dodekahidrat (tawas besi(II)) dengan formula
NH4Fe(SO4)2.12H2O digunakan untuk mordan pada pewarnaan tekstil.
(Desviani, 2012)
Tawas (Kalium Aluminium Sulfat) adalah mordant yang sangat baik
untuk pengubaran atau pencelupan sendiri karena tidak berbahaya kecuali bila
termakan dalam jumlah besar. Bentuknya kristal atau bubuk putih, Tawas ini
paling baik jika digunakan sebagai mordan pendahuluan, dan cocok untuk
semua jenis serat. Tawas adalah garam rangkap sulfat aluminium sulfat yang
dipakai untuk menjernihkan air atau campuran bahan celup. Tawas memiliki ciri
kristal putih gelap, tembus cahaya, bersifat menguatkan warna. Pengaruhnya
terhadap warna biasanya kecil. Karena pemakaian tawas terlalu banyak
cenderung membuat benang menjadi kaku, maka tawas sering dicampur dengan
krim tartar. Sifat-sifat kimia tawas adalah larut dalam air (gugus hidroksil), tidak
larut dalam etanol dan aseton dapat menjernihkan air (Khusniyah, 2004).
Gugus utama dari tawas saat proses koagulasi dalam air adalah senyawa
aluminat yang optimum pada pH netral. Apabila pH tinggi atau dikatakan
kekurangan dosis maka air akan nampak seperti air baku karena gugus aluminat
tidak terbentuk secara sempurna. Akan tetapi apabila pH rendah atau dikatakan
kelebihan dosis maka air akan tampak keputih – putihan karena terlalu banyak
konsentrasi alum yang cenderung berwarna putih (Keenam, 1980).
24
Tawas merupakan senyawa aluminium sulfat yang berfase padat dengan
nama lain: alum, alum padat, aluminium alum, cake alum, atau aluminium salt.
Senyawa tawas umumnya terdiri dari garam rangkap sulfat (SO4 2- ), kedudukan
logam dalam tawas yang umum adalah aluminium, namun dapat juga kromium,
besi, mangan, atau kobal. Dimana tawas juga merupakan produk buatan
berbentuk bubuk, atau kristal berwarna putih, dan biasa digunakan sebagai
mordan, bahan peikat dalam pewarnaan serat kain, sebagai bahan penggumpal
dalam penjernihan air, dan sebagai bahan pengerut (penahan darah) dalam
kesehatan. Tawas larut dalam air, tetapi tidak larut dalam alkohol. Dalam udara
bebas tawas bersifat stabil.
Tawas larut dalam air, tetapi tidak larut dalam alkohol. Dalam udara bebas tawas
bersifat stabil. Senyawa tawas bersifat sedikit asam dan dapat mengalami perubahan
dalam suasana basa karena sifat amfoterik alumunium. Pada prinsipnya tawas dibuat
dari campuran spesies K+, Al3+ dan SO4 2+ di dalam medium air (Ikhsan, 2013).
2.5 Ketahanan Cuci Kulit Samak
2.5.1 Ketahanan Kulit Samak Terhadap Pencucian
Warna adalah spektrum yang terdiri atas radiasi elektromagnetik
dengan panjang gelombang 400-800 nm. Sinar putih akan terserap pada
panjang gelombang tertentu dan yang terpantul merupakan sisa warna
yang terserap. Pewarnaan dasar adalah memberikan warna dasar agar
dapat memperindah warna kulit jadinya. Leather Dyer’s Manual (BASF)
mengungkapkan bahwa faktor-faktor fundamental yang mendasari
ketahanan sifat yang dimiliki dari kulit yang dicat adalah hasil dari
25
penyamakan. Jika kulit yang dicat dikehendaki memiliki sifat ketahanan
yang baik, cat harus terikat dengan kuat pada kulit dan menghasilkan
pengecatan yang ketahanannya baik terhadap kelunturan, keringat,
pencucian dan ketahanan cahaya. Ini penting diperhatikan dalam
menggunakan bahan-bahan penyamak untuk mengerjakan keperluan-
keperluan ini. Ikatan yang dihasilkan lebih banyak oleh ikatan garam.
Ikatannya sama sekali tidak kuat, dan akan pecah oleh sedikit
pembasahan dengan sedikit dinaikkan temperaturnya, keringat, hujan,
alkali-alkali lemah seperti debu atau lumpur jalanan dan juga hasil
perubahan dari minyak. Cat kulit yang baik terikat pada serat kulit tidak
hanya oleh valensi-valensi ion pembentukan garam tetapi juga oleh
valensi-valensi sekunder. Pengikatan dengan bantuan dari kekuatan
valensi sekunder (daya koordinat) akan dominan pada pengecatan dasar
(dyeing) hampir dari seluruh tipe kulit. Dengan demikian ikatan-ikatan
akan stabil. Dalam hal ini, cat-cat itu menghasilkan kulit dengan warna
yang berkualitas tinggi. (Edi, 2001).
2.5.2 Faktor-Faktor Kelunturan Warna
Abrahart EN (1979) menyatakan, bahwa ada 4 tipe ikatan antara
cat dengan kulit, yaitu:
2.5.2.1 Ikatan ionik
Ikatan ionik adalah gaya tarik menarik antara dua muatan
listrik yang berlainan sehingga tidak ada ikatan yang erat antara
ion–ion, bila senyawa ion di larutkan dalam air maka maka ion–
ion akan terdisosiasi. Ikatan terjadi dari interaksi antara muatan
26
positif kulit dengan muatan negative dari molekul cat dasar atau
sebaliknya.
2.5.2.2 Ikatan hidrogen
Ikatan antara molekul berupa gaya tarik menarik oleh atom
yang keelektronegatifannya sangat besar (F, O atau N) terhadap
atom H dalam molekul lain. Suatu cat yang mengandung unsur H
pada rantai sambungnya dapat membentuk ikatan hidrogen
dengan kulit.
2.5.2.3 Ikatan kovalen
Kovalen sebagai ikatan yang sangat kuat, terbentuk karena
penggunaan bersama pasangan elektron (Selbin, 1993). Bila
elektron yang digunakan bersama berasal dari satu pihak maka
ikatannya disebut ikatan kovalen koordinat. Dengan adanya
ikatan–ikatan tersebut cat dasar akan terikat kuat di serat kulit dan
tidak luntur.
2.5.2.4 Ikatan var der waals
Pada molekul–molekul non polar terjadi gaya tarik menarik
yang lemah kemudian membentuk ikatan yang dikenal dengan
ikatan var der waals. Gaya tarik-menarik yang lemah disebabkan
oleh terbentuknya dipol sesaat yang terjadi antar molekul yang
non polar.
Selbin (1993) mengatakan, bahwa dari keempat jenis ikatan
tersebut mempunyai kekuatan ikatan berturut–turut dari kuat ke lemah
sebagai berikut:
27
1. Ikatan kovalen
2. Ikatan ionik
3. Ikatan hidrogen
4. Ikatan van der waals
Setelah kita mengetahui ikatan–ikatan kimia cat dengan kulit,
kita tahu bahwa untuk memperbaiki sifat ketahanan gosok dan
kelunturan warna kulit adalah pemilihan bahan kimia dan aplikasi
dyeing yang menitik beratkan pada kekuatan ikatan cat dengan kulit.
Berikut merupakan faktor faktor penyebab kelunturan warna
menurut (Edi, (2001)
A. Adanya Molekul Cat Yang Bebas Di Permukaan Kulit
Hakikat dasar proses pengecatan dasar adalah mereaksikan
molekul cat dengan serat kulit. Apabila gugus yang bermuatan
kationik di dalam kulit sudah mengalami titik jenuh, maka tidak dapat
lagi mengikat gugus anionik dari cat dasar atau dengan kata lain cat
muatan kationik di dalam kulit kurang,
B. Proses Fiksasi Yang Kurang Sempurna
Pemakaian asam dan waktu putar yang kurang dapat
menyebabkan fiksasi kurang sempurna karena reaksi antara molekul
cat dengan muatan kationik kulit tidak maksimal. Selain itu terkadang
terdapat jenis cat dasar asam yang molekulnya belum terpecahkan
28
atau terdisosiasi pada pH fiksasi tersebut akibatanya tidak terjadi
reaksi antara molekul cat dengan muatan kationik kulit,
C. Penggunaan Syntan Yang Berlebihan
Proses retaining menggunakan tanigan OS yang merupakan
syntan bermuatan anionik yang akan menghalangi (mengeblok) grup
amino dan dapat memberikan efek keratin warna. Tetapi penggunaan
yang berlebih (1,5%) menyebabkan tidak terikatnya molekul cat
dengan maksimal karena berkurangnya muatan kationik kulit
sehingga dapat mengakibatkan kelunturan,
D. Fatliquoring
Tingginya kadar SO3-, sulfochlrinared dan bahan pengemulsi
dari minyak akan meningkatkan penetrasi dan kerekatan cat tetapi
dapat mengurangi ketajaman warna atau memberikan efek pemucatan.
2.5.3 Peningkatan Ketahanan Kelunturan Warna
Menurut Edi (2001), peningkatan ketahanan kelunturan warna
dipengaruhi oleh:
a. Penggunaan bahan penyamak mineral akan menyumbangkan
gugus kationiknya dan membentuk senyawa kompleks dengan
senyawa asam. Ikatan yang terbentuk adalah kovalen koordinat
yang sifatnya sangat kuat sehingga cat tidak mudah luntur.
b. Pemilihan cat dasar
Cat dasar yang digunakan memiliki ikatan molekul yang sama,
ph yang sesuai dengan ph kulit.
29
c. Metode pewarnaan
Pewarnaan dengan metode sandwich akan memberikan ikatan
yang maksimal pada kulit sehingga menghasilkan kulit yang
mempunyai ketahan luntur yang baik. Metode ini di lakukan saat
proses topping dyes yaitu dengan menambahkan cat dasar dengan
waktu relatif singkat dan diselingi dengan penambahan asam.
Sehingga cat sebagian besar terikat di permukaan dan
menghasilkan warna yang tajam.
d. Pemilihan bahan kimia
Bahan-bahan kimia dan perlakuan kimia tertentu dapat
menyebabkan terjadinya perubahan warna atau kelunturan bahan
kimia misalnya sabun yang dipakai pada pencucian kulit, asam
termasuk keringat manusia dapat mengikat cat dasar atau
memutus ikatan cat dengan kulit. Perlakuan fisis seperti gesekan
akan menimbulkan energi panas dan elektron jika elektron ini
mampu mempengaruhi cat maka warna sangat mungkin terjadi
perubahan. Hal ini disebabkan transisi elektron ketika zat
menerima maka akan mengeluarkan panjang gelombang yang
tidak sama sesuai dengan energi yang diterima.
Uji ketahanan kulit pada pencucian pada dasarnya mengandung
metode pelunturan warna, dimana kulit yang diuji atau dicuci akan
memberikan noda atau kelunturan pada bahan yang dilekatkan, jika bahan
tersebut banyak kelunturannya berarti kulit yang diuji tidak tahan
30
terhadap pencucian. Uji ketahanan warna terhadap pencucian pada
prinsipnya dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain:
a. Penetrasi cat terhadap kulit, pada penetrasi yang tinggi kemampuan
cat untuk bereaksi dengan bahan lain semakin rendah.
b. Semakin kecil penetrasi cat terhadap kulit, maka semakin kecil
kelunturannya terhadap pelunturan.
c. Kelemahan afinitas cat terhadap kulit serta terhadap air sabun
sehingga tidak mudah untuk melunturkan bahan lain yang sebagai
pembanding.
Adapun bahan yang biasa digunakan untuk uji ketahanan terhadap
pencucian adalah:
1. Kelompok senyawa natrium alkali sulfat
Misal: dedocyl sodium sulphate R – Na2SO4
2. Kelompok senyawa natrium alkali benzone sulfonat
Misal: Alkali benzene sulfonate.
Dalam penggunaannya pada proses penyamakan, cat dasar yang
digunakan harus melalui beberapa tahapan pengujian sifat sehingga dapat
disesuaikan penggunaannya dengan jenis penyamakan yang dilakukan.
Proses pengecatan dasar sendiri terpengaruh pada beberapa hal antara lain
temperatur, konsentrasi, serta jenis penyamakan. Valensi sekunder pada
cat akan dilemahkan dengan naiknya temperatur dan temperatur yang
tinggi akan dapat memecah molekul cat dasar. Hal ini menyebabkan
kelarutan yang cukup baik pada cat dasar. Dengan temperatur yang
semakin tinggi akan menjadikan molekul cat dasar semakin mengecil,
31
keadaan tersebut menyebabkan penetrasi dan distribusi cat pada kulit
semakin baik tetapi memiliki daya ikat yang kurang. Konsentrasi cat
dasar yang tinggi akan memberikan warna yang terang pada permukaan
kulitnya. Namun, dalam prosesnya konsentrasi yang tinggi harus
diimbangi dengan jumlah air yang mencukupi karena jika tidak maka
dapat menyebabkan difusi cat yang tidak merata pada penampang kulit.
Jenis cat dasar yang digunakan harus disesuaikan dengan jenis bahan
penyamak yang digunakan karena gugus pada cat dasar dapat berikatan
dengan gugus pada bahan penyamak. Misalnya saja untuk cat dasar dari
jenis cat asam jika digunakan pada proses penyamakan dengan krom
maka ikatan yang terjadi tergolong cepat sehingga penetrasi bahan pada
kulit tidak merata. Sebaliknya jika digunakan pada kulit yang disamak
nabati maka ikatan yang terjadi tergolong lambat sehingga penetrasi
bahan juga lambat dan penetrasi bahan cukup baik. (Edi, 2010).
2.6 Kulit Buah Naga (Hylocereus Polyrhizus)
Buah naga (Dragon Fruit) merupakan buah pendatang yang banyak
digemari oleh masyarakat karena memiliki khasiat dan manfaat serta nilai gizi
cukup tinggi. Bagian dari buah naga 30-35% merupakan kulit buah namun
seringkali hanya dibuang sebagai sampah. Kulit buah naga mengandung zat
warna alami antosianin cukup tinggi. Antosianin merupakan zat warna yang
berperan memberikan warna merah berpotensi menjadi pewarna alami untuk
kulit dan dapat dijadikan alternatif pengganti pewarna sintetis yang lebih aman
bagi kulit (Citramukti, 2008). Buah naga termasuk dalam genus Hylocereus
32
yang terdiri dari sekitar 18 spesies Amerika tropis. Anggota dari genus ini
adalah kaktus merambat dengan 3 batang bersudut dan biasanya dengan bunga
putih yang sangat harum yang mekar di malam hari. Buah naga adalah nama
umum untuk buah yang berasal dari spesies kaktus. Sebagai palawija baru,
identitas taksonomi buah naga seringkali membingungkan. Klasifikasi spesies
kaktus yang dapat dimakan didasarkan pada bagaimana keadaan batang, warna
kulit buah, dan warna daging buah. Berdasarkan keadaan batangnya, kaktus
yang dapat dimakan dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu kaktus merambat dan
kaktus berkolom. Menurut Gunasena et al. (2007) Spesies kaktus merambat
yang dapat dimakan terbagi menjadi 2 genus yang, berbeda, yakni Hylocereus
dan Selenicereus, sedangkan spesies kaktus berkolom terbagi menjadi 3 genus,
yakni Cereus, Pachycereus, dan Stenocereus. Nomenklatur dari buah naga
sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Super divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (dikotil / tumbuhan berkeping dua)
Ordo : Caryophyllales
Famili : Cactaceae (keluarga kaktus)
Subfamili : Cactoideae
Suku : Hylocereae
33
Genus : Hylocereus
Spesies : Hylocereus polyrhizus
2.7 Antosianin Pada Kulit Buah Naga (Hylocereus Polyrhius)
Kulit buah naga yang berwarna merah mengindikasikan banyaknya
jumlah antosianin pada bagian ini. Antosianin adalah zat yang berperan
memberikan warna merah sampai biru yang bisa digunakan sebagai pewarna
alami bagi pangan dan bisa dijadikan sebagai pewarna alternatif pengganti zat
pewarna sintetis yang lebih aman untuk kesehatan. Antosianin adalah kelompok
pigmen yang berwarna merah sampai biru yang tersebar luas pada tanaman.
Antosianin tergolong pigmen yang disebut flavonoid. Senyawa golongan
flavonoid termasuk senyawa polar dan bisa diekstraksi dengan pelarut yang
bersifat polar pula. Beberapa pelarut yang bersifat polar diantaranya etanol, air
dan etil asetat. Kondisi asam akan mempengaruhi hasil ekstraksi. Keadaan yang
semakin asam apalagi mendekati pH 1 akan menyebabkan semakin banyaknya
pigmen antosianin berada dalam bentuk kation flavilium atau oksonium yang
berwarna dan pengukuran absorbansi akan menunjukkan jumlah antosianin yang
semakin besar (winarsih, 2007). Antosianin adalah kelompok pigmen yang
menyebabkan warna kemerah-merahan, letaknya di dalam cairan sel yang
bersifat larut dalam air (Nollet, 1996). Antosianin merupakan pewarna yang
paling banyak tersebar luas dalam tumbuhan. Pigmen yang berwarna kuat dan
larut dalam air ini adalah penyebab hampir semua warna merah jambu, merah
marak, merah senduduk, ungu, dan biru dalam bunga, daun, dan buah pada
tumbuhan tingggi (Simanjuntak et al., 2014). Senyawa antosianin berfungsi
34
sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas, sehingga berperan untuk
mencegah terjadi penuaan, kanker, dan penyakit degeneratif. Selain itu,
antosianin juga memiliki kemampuan sebagai antimutagenik dan
antikarsinogenik, mencegah gangguan fungsi hati, antihipertensi, dan
menurunkan kadar gula darah (Jusuf et al., 2008).
Keberadaan senyawa antosianin sebagai sumber antioksidan dan
pewarna alami di dalam kulit buah naga merah cukup menarik untuk dikaji
mengingat manfaat dari kandungan antosianin sebagai pewarna alami. Seiring
dengan meningkatnya kesadaran bagi pentingnya menjaga lingkungan hidup
yang sehat, maka beradasarkan fungsi antosianin sebagai anti oksidan antosianin
bisa dipastikan juga aman untuk digunakan sebagai bahan pewarna kulit dan
tidak memiliki pengaruh buruk dalam kesehatan tubuh maupun lingkungan.
Gambar 2.2 Struktur Antosianin
Efek samping konsumsi antosianin belum ditemukan karena belum
adanya laporan toksisitas atau intolerants antosianin. Regulasi penggunaannya
sebagai food additive diatur oleh Food and Drugs Administration di US dan Uni
Eropa sebagai salah satu pewarna dalam golongan Exempt from Certification
Food Additive Color. Dengan dimasukkannya antosianin dalam golongan
tersebut, maka penggunaan antosianin tidak mempunyai batas maksimum
tertentu, selama masih dalam kondisi wajar.
35
Meskipun kandungan senyawa antosianin di dalam kulit buah naga
merah cukup besar, perlakuan pengolahan yang kurang tepat bisa mengurangi
jumlah kandungan antosianin yang melalui proses Pemanasan mengakibatkan
kehilangan sejumlah zat gizi terutama yang bersifat labil seperti asam askorbat,
antosianin dan betakaroten (Budhiarto, 2003). Selain itu, faktor yang
mempengaruhi stabilitas antosianin yaitu pH, suhu, cahaya, oksigen, dan ion
logam (Nollet, 1996) Menurut Dixon dkk. (2007), pemarutan, pengeringan dan
pemasakan bisa mengurangi jumlah antioksidan di dalam bahan.
2.8 Hipotesis
Terdapat pengaruh penggunaan kosentrasi tawas yang berbeda terhadap
kuat rekat cat dan ketahanan cuci pewarnaan alami kulit sapi samak nabati.