BABI# PENDAHULUAN -...
Transcript of BABI# PENDAHULUAN -...
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tesis ini mengangkat topik pelaksanaan Program Hutan Kemasyarakatan
(HKm) di Kalibiru, Kulon Progo. Alasan yang melatarbelakangi tema tersebut adalah
masih kurang berhasilnya skema-‐skema perhutanan sosial yang telah dilakukan
pemerintah selama ini, serta capaian keberhasilan HKm Kalibiru dalam mencapai
tujuan Program HKm.
Perhutanan sosial (Social Forestry) dianggap sebagai sebuah paradigma
pengelolaan hutan alternatif yang muncul sejak diselenggarakannya Kongres
Kehutanan Dunia di Jakarta tahun 1978 dengan tema Forest for People. Paradigma
ini sekaligus sebagai jawaban atas kritik terhadap praktik kehutanan Indonesia yang
sentralistis dan lebih menitikberatkan produksi kayu (state based dan timber based)
daripada kepentingan masyarakat lokal.
Beberapa program dalam bingkai Social Forestry telah diluncurkan oleh
Departemen Kehutanan sejak 1985 seperti Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
(PHBM) yang dilaksanakan oleh Perhutani, HPH Bina Desa (SK Menhut 691/1991)
dan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH-‐SK Menhut 69/1995) yang
dilaksanakan oleh HPH di Luar Jawa. Berbagai program tersebut bertujuan
melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan sehingga meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Dari penelusuran pustaka, secara umum program-‐
program perhutanan sosial di Indonesia tersebut masih belum menggembirakan
dan terjebak pada kegiatan rehabilitasi hutan yang bersifat keproyekan.
Kemanfaatan program HPH Bina Desa Hutan dirasakan masih sangat kecil
(Soetrisno, 1995:122) oleh masyarakat dan belum mencapai sasaran (Aryadi, 1996)
2
yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, serta
meningkatkan kualitas sumber daya hutan. Kartodihardjo seperti dikutip
Resosudarmo (2003:214) mengungkapkan beberapa penyebab kegagalan program
HPH Bina Desa itu antara lain : kebutuhan masyarakat tidak benar-‐benar digali
melalui peran serta dalam perencanaan; hak masyarakat yang berkaitan dengan
akses terhadap lahan tidak diakui; masyarakat lokal tidak pernah mendapatkan hak
untuk memanen kayu secara komersial; dan pemegang HPH merasa tidak
mendapatkan keuntungan apapun dari program tersebut.
Sementara untuk PMDH, Subarudi (2000) menilai program tersebut gagal
dilihat dari aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Menurutnya,
ketidakberhasilan PMDH disebabkan karena dirancang tanpa persiapan yang
matang dan di dalam perencanaan, pengaturan, pelaksanaan dan pemantauannya
tidak melibatkan stakeholders sehingga mengalami banyak hambatan di lapangan.
Sementara Aryadi (1996) mengemukakan beberapa hasil penelitian lapangan dan
menemukan adanya kendala-‐kendala dalam pelaksanaan PMDH antara lain :
pertama, studi diagnostik perencanaan dan penetapan jenis-‐jenis kegiatan tidak
partisipatif; kedua, tidak bertumpu pada pola pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam lokal yang ada; ketiga, tidak diarahkan untuk mengembangkan
pranata sosial ekonomi yang sangat esensial dalam mendukung kemandirian dan
kesejahteraan masyarakat; keempat, tidak dirancang dan dilaksanakan secara
terpadu dengan kegiatan pembangunan desa lainnya.
Program PMDH oleh HPH di Luar Jawa di atas juga telah memasukkan
kegiatan hutan kemasyarakatan di antara serangkaian proyek sosial lainnya. Akan
tetapi yang terjadi HKm di sini seringkali hanyalah perkebunan skala kecil,
dikerjakan oleh masyarakat desa hutan yang sebenarnya adalah buruh kontrak dan
menerima upah untuk pekerjaan yang mereka lakukan. Hampir semua kajian
3
menyimpulkan bahwa dampak positif dari program ini kemungkinan bersifat jangka
pendek karena hanya meningkatkan penghasilan sesaat dalam bentuk uang
tunai/upah (lihat Wrangham, 2003:33).
Program HKm secara resmi diluncurkan pertama kali oleh pemerintah –
Departemen Kehutanan pada tahun 1995, dengan SK Menteri Kehutanan nomor
622/Kpts-‐II/1995 tentang Pedoman Pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan. Menurut
Wrangham (2003:33-‐34) program tersebut memiliki masalah yang sama dengan
program HKm dibawah PMDH. Ia mencontohkan Proyek Pembangunan HKm yang
dilaksanakan di Sanggau, Kalimantan Barat yang didanai lembaga donor luar negeri
yaitu GTZ. Meski selama beberapa tahun diklaim sebagai keberhasilan yang langka,
menurutnya proyek ini mengalami berbagai masalah. Wrangham mengutip
pendapat Aminuddin yang menyatakan bahwa dampak positif dari proyek tersebut
tidak berkelanjutan, bahkan masyarakat meninggalkannya atau membakar pohon
yang telah mereka tanam (yang pada awalnya dikerjakan seringkali hanya untuk
memperoleh insentif yang disediakan oleh proyek serta mendapatkan hasil tanaman
pangan yang boleh mereka tanam di antara pepohonan) sebelum pohon-‐pohon itu
menjadi produktif.
Senada dengan Wrangham, Lindayati (2003:59) berpendapat bahwa HKm
kurang menarik minat penduduk desa sekitar hutan karena kebanyakan masyarakat
beranggapan bahwa lahan-‐lahan hutan itu adalah miliknya. Dengan mengikuti
program HKm, secara de facto masyarakat mengakui hutan itu sebagai Hutan
Negara dan dengan begitu akan mengurangi hak mereka atas manfaat hutan.
Kondisi di atas cukup beralasan jika melihat Kepmenhut 622//Kpts-‐II/1995 pasal 1,
bahwa yang dimaksud dengan Areal Hutan Kemasyarakatan menunjuk pada
kawasan hutan yang ditetapkan sebagai Hutan Kemasyarakatan. Frasa kawasan
hutan mengandung makna Hutan Negara.
4
Thompson (1999) dalam Rosyadi (2010) menyimpulkan bahwa kegagalan
berbagai program kehutanan yang melibatkan masyarakat di Indonesia berakar dari
lemahnya upaya pemberdayaan masyarakat sehingga yang terjadi justru
pemiskinan masyarakat desa hutan. Pandangan Thompson menyiratkan bahwa
pelibatan masyarakat desa hutan dalam pengelolaan sumberdaya hutan perlu
didukung dengan upaya peningkatan kapasitas masyarakat serta pembagian hak-‐
hak pengelolaan yang lebih jelas.
Kemudian, pada tahun 2010 Kementerian Kehutanan telah menetapkan
target capaian Program Hutan Kemasyarakatan dalam Renstra Kemenhut 2010-‐
2014 seluas 2 juta hektar sampai pada tahun 2014, atau rata-‐rata bertambah 400
ribu hektar per tahun. Sementara dalam Rencana Kehutanan Tingkat Nasional
(RKTN) ditargetkan capaian luasan HKm dan Hutan Desa seluas 5 juta Ha pada
tahun 2020. Menurut hitungan Kemitraan, target sebesar itu jika terpenuhi bisa
menutup penurunan emisi di sektor kehutanan sebesar 14%1, serta menurunkan
angka kemiskinan masyarakat sekitar hutan sebesar 50% (seperti yang terjadi di
Lampung2). Program HKm adalah peluang besar bagi masyarakat miskin yang
selama ini tinggal di sekitar hutan dan menggantungkan hidupnya dari sumber daya
hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan. Melalui program ini mereka
memiliki kesempatan untuk bisa memanfaatkan hutan secara berkelanjutan, baik
berupa kayu maupun non kayu.
Sayangnya, di lapangan program populis itu belum berjalan efektif, angka-‐
angka realisasinya sangat jauh berada di bawah targetnya (Santoso, 2013). Sampai
1 Pemerintah menyetujui untuk menurunkan emisi karbon sampai dengan tahun 2020
sebesar 26% (sector kehutanan mendapat kuota sebesar 14% atau setara 53,8% dari target tersebut). Kemitraan.or.id
2 Menurut hasil penelitian Pusat Penelitian Kependudukan LIPI menunjukkan bahwa HKm di Sumber Jaya, Lampung mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar 50%, sebuah angka capaian yang jauh di atas program-‐program pengentasan kemiskinan yang lain (http://jambi.antaranews.com/berita/302915/peneliti-‐phbm-‐lebih-‐ampuh-‐turunkan-‐kemiskinan akses 28 Februari 2014)
5
September 2011 kawasan hutan yang telah diverifikasi sebagai HKm baru seluas
402.596 hektar; 170.920 hektar di antaranya telah ditetapkan oleh Menteri
Kehutanan, dan 41.330 hektar di antaranya telah dikeluarkan ijinnya (IUPHHKm)
(Suharjito, 2012). Sementara Kemitraan merilis data bahwa sampai dengan bulan
Juni 2012 luasan HKm baru tercapai sebesar 186.931 hektar (Kemitraan.or.id). Data
terbaru 2014 yang dirilis Menteri Kehutanan, pencapaian penetapan areal cadangan
HKm sebesar 209.804 hektar atau sekitar 10,49 % (lampost.com). Rendahnya
capaian tersebut tentunya dapat menjadi satu catatan minus kinerja Kementerian
Kehutanan dan dianggap sebagai mal administrative oleh Ombudsman
(antaranews.com, mongabay.com).
Di antara sedikitnya realisasi target pembangunan HKm di atas, dapat dilihat
beberapa lokasi yang cukup berhasil melaksanakan, mengembangkan, dan
memperoleh manfaat dari program HKm itu. Sebagai contoh di Lampung,
penyelenggaraan HKm menunjukkan bahwa pola HKm berkembang secara baik dan
dapat diterima masyarakat dan Pemda. Masyarakat yang melaksanakan program
HKm bisa mematuhi ketentuan-‐ketentuan yang disyaratkan. HKm tidak hanya
berkembang menjadi pelaksanaan penyelamatan hutan, tetapi juga sebuah sarana
pembelajaran (watala.org).
Sementara di DIY, satu kelompok yang cukup menarik yaitu Kelompok Tani
Hutan Kemasyarakatan (KTHKm) Mandiri Dusun Kalibiru, Desa Hargowilis,
Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo. Kelompok ini menarik karena
keberhasilannya3 dalam mencapai tujuan HKm. Pendekatan penilaian keberhasilan
3 Dalam menilai keberhasilan implementasi Program HKm di Kalibiru, penulis merujuk pada perspektif kedua pendapat Ripley dalam Purwanto dan Sulistyatsuti (2012:68-‐72) yaitu perspektif “What’s happening?”. Dalam buku tersebut menurut Ripley, keberhasilan implementasi dapat dilihat dari dua perspektif yaitu “compliance” dan “what’s happening”. Perspektif “compliance” memahami keberhasilan implementasi dalam arti sempit yaitu sebagai kepatuhan para implementer dalam melaksanakan kebijakan yang tertuang dalam dokumen kebijakan. Perspektif ini kental dipengaruhi oleh pandangan yang melihat
6
HKm di Kalibiru tersebut dilihat dari dua aspek yaitu penerapan strategi perhutanan
sosial dan capaian pemberdayaan masyarakat.
Pertama, keberhasilan pelaksanaan HKm di Kalibiru dilihat dari penerapan
strategi pengembangan perhutanan sosial yaitu kelola kawasan, kelola
kelembagaan, dan kelola usaha (lihat Bab II.A. Perhutanan Sosial). Dari kriteria
kelola kawasan, KTHKm Mandiri berhasil mengembalikan kondisi kawasan hutan
yang semula gundul menjadi kawasan bertegakan cukup rapat dengan jenis pohon
penghasil kayu dan jenis pohon serbaguna. Kondisi ini berdampak positif terhadap
fungsi kawasan itu sebagai kawasan hutan lindung. Dalam laporan BPDAS SOP,
potensi tegakan pohon yang ada di HKm kalibiru adalah sebanyak 22.806 batang
pohon atau 79% pada kriteria 1.000 pohon per hektar. Masyarakat juga melakukan
kegiatan penataan lahan secara bergotong royong seperti : penguatan terasering
dengan batu, tanaman rumput, dan hijauan pakan ternak; pembagian dan penataan
batas lahan andil anggota kelompok; serta pembuatan jalur-‐jalur inspeksi (jalan
setapak) yang sebagian di antaranya dikembangkan menjadi trek wisata alam.
Dari sisi kelola kelembagaan, KTHKm Mandiri berhasil menyusun dan
mengaplikasikan aturan internal kelompok secara mandiri. Keberadaan aturan
internal ini penting artinya bagi sebuah kelompok atau komunitas sebagai
rules/seperangkat aturan main yang wajib dipatuhi oleh setiap anggotanya. Aturan
itu memuat nilai-‐nilai, hak, kewajiban, serta sanksi yang disusun bersama,
disepakati, dan kemudian dilaksanakan oleh para anggota. Upaya penguatan
kelembagaan ini terbukti membawa dampak terhadap perubahan cara pandang,
keberhasilan implementasi sangat ditentukan oleh persoalan pengelolaan urusan administrasi dan manajemen (ketepatan mengikuti SOP). Perspektif kedua, berusaha memahami keberhasilan implementasi dari aspek yang lebih luas dengan pertanyaan “What is it achieving? And Why or What’s happening? and why?”. Hal ini berarti bahwa keberhasilan implementasi diukur dari keberhasilan mereka/implementer dalam merealisasikan tujuan-‐tujuan kebijakan yang wujud nyatanya berupa munculnya dampak kebijakan. Karena pada kenyataannya kepatuhan saja tidak cukup untuk mencapai tujuan kebijakan yang telah ditentukan atau dengan kata lain kebijakan mengalami kegagalan.
7
sikap dan perilaku anggota terhadap kawasan hutan. Jika sebelumnya masyarakat
Kalibiru adalah perambah dan perusak hutan, sekarang menjadi masyarakat
penjaga dan pelestari hutan. Kesadaran dan kepedulian untuk menjaga kawasan dan
kelestarian hutan tumbuh dalam diri anggota kelompok tani.
Dari sisi kelola usaha, KTHKm Mandiri berhasil melakukan terobosan
memanfaatkan ijin definitif HKm menjadi sebuah peluang untuk meningkatkan
kesejahteraan dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan. Langkah itu adalah
pemanfaatan jasa lingkungan areal HKm menjadi wisata alam dan diklaim sebagai
yang pertama lahir dari program HKm. Berbekal potensi keindahan alamnya serta
penambahan berbagai fasilitas yang sudah dibangun oleh masyarakat, Wisata Alam
Kalibiru berhasil menarik minat kunjungan wisatawan yang ingin menikmati
keindahan pemandangan dari atas perbukitan, menikmati kesejukan lingkungan dan
keramahtamahan penduduk desa. Dari tahun ke tahun kunjungan wisatawan ke
Wisata Alam Kalibiru mengalami peningkatan (lihat Grafik 1.1). Dusun Kalibiru
secara cepat bermetamorfosa dari desa yang kurang dikenal dan terisolir menjadi
desa yang cukup terkenal dan enjadi salah satu Desa Wisata andalan Kulon Progo
dan DIY (Observasi Internet).
Grafik 1.1. Jumlah Kunjungan Wisatawan WA Kalibiru/Bulan Tahun 2010-‐2012
Sumber : Sekretariat Wisata Alam Kalibiru
Selain sebagai tempat wisata alam yang mengandalkan keindahan panorama
alam, Wisata Alam Kalibiru juga menyediakan cottage untuk menginap pengunjung,
0
500
1000
1500
2000
2500
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
2010
2011
2012
8
mengadakan acara seperti outbond training, high rope games, camping, olah raga
alam bebas, down hill cycling, pengamatan satwa, dan lain-‐lain. Adanya variasi
kegiatan wisatawan di dusun ini merangsang kreatifitas masyarakat dalam
mengemas dan memberikan pelayanan terhadap tamu dan pengunjung. Beberapa
di antaranya adalah usaha warung-‐warung di lokasi wisata, jasa catering, layanan
parkir, penginapan/homestay, gula semut, dan masih banyak peluang yang bisa
digali dan digarap oleh masyarakat seperti pembuatan kerajinan dan oleh-‐oleh.
Dengan demikian, wisata alam HKm ini secara langsung maupun tidak langsung
mampu mendongkrak kegiatan ekonomi warga. Ini menjadi salah satu bukti
keberhasilan Kalibiru dari sisi kelola usaha di samping usaha ternak bergulir dan
usaha simpan pinjam.
Kedua, keberhasilan HKm Kalibiru dilihat dari aspek pemberdayaan
masyarakat sesuai tujuan utama program HKm ini. Pemberdayaan secara sederhana
adalah pemberian daya (power) kepada yang tidak berdaya (powerless). Pada
konteks program HKm ini, maka masyarakat sekitar hutan diberikan ijin
pemanfaatan hutan oleh negara sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan.
Kesejahteraan tersebut dapat berupa kesejahteraan secara ekonomi, politik, sosial
budaya, dan lingkungan (Aina, 2007). Dari hasil observasi, studi literatur dan
wawancara secara ringkas keberhasilan-‐keberhasilan program HKm di Kalibiru
penulis sajikan dalam tabel di bawah ini4.
4 Referensi indikator keberhasilan pemberdayaan masyarakat yang digunakan dalam tesis ini mengadopsi tesis Aina (2007). Indikator Kesejahteraan Politik : tersedianya kesempatan bagi masyarakat untuk berkreasi dan mengeluarkan pedapatnya dalam berbagai forum. Indikator Kesejahteraan Ekonomi : tersedianya wadah dalam kegiatan peningkatan perekonomian masyarakat dan adanya peningkatan pendapatan masyarakat yaitu berupa finansial. Indikator Kesejahteraan Sosial : dapat dilihat dari perubahan pola pikir masyarakat menjadi lebih maju dan adanya peningkatan kwalitas masyarakat. Peningkatan kwalitas masyarakat dapat dilihat dari tingkat pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam berorganisasi. Indikator Kesejahteraan Budaya : terciptanya kelestarian nilai-‐nilai budaya yang dimiliki masyarakat desa yakni gotong royong, guyub dan tolong menolong. Hal ini akan menghasilkan kesejahteraan berupa terciptanya rasa aman dan terciptanya rasa
9
Tabel 1.2 Hasil-‐hasil Pemberdayaan Program HKm di Kalibiru
Ekonomi Sosial Budaya Politik Lingkungan Kemudahan mencari pakan ternak (HMT) (Kamijan,Parjan)
Mengurangi urbanisasi, pemuda betah tinggal di rumah dan mengelola wisata alam (Kamijan)
Terbukanya saluran informasi dan komunikasi masyarakat (Kamijan)
Kegiatan penanaman berhasil (Parjan)
Pemeliharaan ternak jadi lebih mudah (Parjan)
Meningkatkan kerukunan warga Ada forum-‐forum pertemuan warga
Keamanan hutan terjaga(Nangsir)
Akses terhadap usaha ternak terbuka (Parjan)
Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan berorganisasi
Berani mengungkapkan ide dan gagasan (Kamijan)
Tegakan hutan makin rapat (Nangsir)
Peningkatan kepemilikan ternak masyarakat (Parjan)
Memperkuat kelembagaan masyarakat (Kamijan, Pendamping)
Masyarakat berani dan makin terbiasa berhadapan dengan pihak luar (Parjan, Tumiranto)
Satwa berdatangan (Nangsir, Kamijan)
Mendapat hasil empon-‐empon (Kamijan)
Terjaganya semangat kegotongroyongan
Terbuka jaringan kerjasama dengan pihak luar desa (Tumiranto,Parjan)
Mulai bermunculan mata air (Kamijan, Parlan)
Kesempatan kerja di desa terbuka (petugas retribusi, operator game, penjaga parkir (Parjan, Kamijan)
Aman dan nyaman dalam memanfaatkan lahan (Parjan)
Ada komunitas HKm (lingkar) memperkuat posisi tawar terhadap pihak luar (Kamijan, Tumiranto)
Kondisi udara (iklim mikro) lebih sejuk (Parlan)
Peluang usaha bertambah. (Warung, penginapan, catering, kelapa muda, pengolahan empon-‐empon) (Parjan)
Menambah wawasan teknis kehutanan dan pertanian melalui studi banding, pembinaan dan pelatihan (Parjan)
Saling kontrol dalam keamanan dan pengelolaan lahan sekitar (Parlan)
Penataan dan penguatan terasering (Parjan)
Jumlah kunjungan wisata meningkat dari tahun ke tahun (Data WA Kalibiru)
Meningkatkan kemandirian masyarakat (Pendamping)
Kelompok makin dikenal pemerintah, semakin mendapat perhatian dan fasilitasi (Pendamping, Parjan)
Mengurangi erosi air
Dusun semakin dikenal masyarakat sebagai pasar, menguntungkan secara ekonomi (Dishut KP, Internet)
Perubahan cara hidup dari perambah menjadi penjaga dan pelestari hutan (Kamijan,Parlan)
Kehidupan politik masyarakat semakin dinamis, berani memperjuangkan hak (Pendamping)
Resiko bencana longsor berkurang (Dinas Kehutanan KP)
Mudah menjual hasil pertanian (Tumiranto)
Saling kontrol antar kelompok dalam pemanfaatan hutan (Parlan)
Aktualisasi kreatifitas masyarakat (Nangsir, Pendamping)
Kembalinya fungsi lindung kawasan hutan
Mendapat alat pengolah hasil pertanian, ada nilai tambah (Kamijan, Tumiranto)
Adanya jaringan internet Wi Fi (Kamijan)
Punya kekuatan hukum, surat kekancingan dalam memanfaatkan hutan (Parjan)
Kelestarian hutan terjaga
Mudah mengakses modal koperasi/hutang (Parjan)
Terbuka wawasan dengan interaksi wisatawan (Nangsir)
Mandor hutan tidak berani lagi “main kayu” (Parjan)
Ada lembaga untuk menabung/arisan (koperasi. (Observasi)
Kesadaran berkoperasi bertambah
Kekompakan dalam menindak anggota yang "nakal"(Parjan)
Adanya bagi hasil dari pendapatan wisata alam (Parjan)
Kegiatan kesenian semakin bergairah menunjang desa wisata
Komitmen kuat terhadap aturan bersama (Nangsir)
Motivasi membuka kegiatan lain selain mamanfaatkan hutan (Kamijan)
Kesadaran untuk selalu berproses/belajar (Pendamping)
Terbukanya hak-‐hak masyarakat (Pendamping)
nyaman dalam interkasi sosial. Indikator Kesejahteraan Ekologi : terjaganya kelestarian lingkungan (hutan).
10
Tambahan penghasilan dari usaha alternatif lahan hutan (lebah madu, kroto) (Parjan, Tumiranto)
Kesadaran bahwa bantuan karitatif (BLSM, raskin, BLT) tidak menyelesaikan akar masalah (Kamijan, Parjan)
Terbentuknya Kelompok Tani HKm
Masyarakat bisa mendapatkan rencekan (kayu bakar) (Kamijan)
Partisipasi warga dalam perencanaan kegiatan HKm
Kemudahan dalam mamanfaatkan air (Kamijan)
Partisipasi dalam pembangunan lokal
Sumber : Dari berbagai sumber (diolah)
Geliat masyarakat Kalibiru dalam mengelola HKm itu telah mendapat
pengakuan dan apresiasi berbagai pihak. HKm Kalibiru sering menjadi lokasi tujuan
studi banding dari berbagai daerah yang berminat untuk mengembangkan HKm
maupun wisata alam, seperti dari Papua, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan
Sumatera Utara. Kelompok Tani HKm Mandiri berhasil meraih beberapa prestasi di
antaranya Juara I Lomba Perintis Lingkungan Tingkat DIY tahun 2011 sekaligus
sebagai wakil dari DIY ke tingkat nasional tahun 2012, Juara III HKm Terbaik dari 42
HKm di DIY tahun 2010. Kalibiru juga berhasil naik peringkat dari Juara Harapan III
Lomba Desa Wisata se-‐DIY tahun 2012 menjadi Juara I Lomba Desa Wisata se-‐DIY
tahun 2013 (portal.jogjaprov.go.id) dan berhak mewakili DIY pada event serupa di
level nasional pada Juli 2014 berkat ikon Wisata Alam Hutan Kemasyarakatannya
itu.
Keberhasilan-‐keberhasilan di atas menarik penulis untuk mengetahui lebih
jauh mengenai bagaimana implementasi program HKm di Kalibiru. Keberhasilan
Kalibiru sebagai salah satu pemegang ijin HKm menjadi sangat penting untuk
ditelusuri dan didokumentasikan agar menjadi inspirasi bagi proses belajar dan
tolok ukur positif bagi para pihak yang terlibat dalam pengembangan HKm,
terutama pihak pemerintah untuk mendorong percepatan realisasi target HKm, dan
bagi masyarakat lokal sekitar hutan daerah lain yang sedang berencana, berjuang,
dan yang sudah memperoleh ijin HKm di seluruh Indonesia.
11
Dalam bingkai yang lebih luas, capaian sekecil apapun seperti keberhasilan
program HKm di Kalibiru sangat penting artinya dalam mendukung Penurunan
Kemiskinan5 dan Kelestarian Lingkungan Hidup seperti yang tercantum dalam
RPJMN 2010-‐20146 dan Target Millenium Development Goals7, serta dalam kerangka
penurunan emisi karbon (REDD+). Sebagaimana konsep yang selalu diyakini oleh
para aktivis lingkungan think globally act locally.
B. Rumusan Permasalahan
Berangkat dari latar belakang di atas, maka dirumuskan pertanyaan yang
akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu : “Mengapa implementasi program
Hutan Kemasyarakatan di Dusun Kalibiru berhasil?”. Untuk lebih memperdalam
uraian maka disusun pertanyaan turunannya sebagai berikut :
1. Bagaimana proses implementasi program HKm di Kalibiru?
2. Apa faktor-‐faktor yang bekerja pada implementasi program HKm di
Kalibiru?
5 Data BPS menyebutkan bahwa dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 219,9
juta jiwa, sekitar 48,8 juta jiwa atau 12% tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dari 48,8 juta jiwa penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar hutan tersebut, 10,2 juta jiwa atau 25% diantaranya tergolong dalam kategori miskin (Hakim, 2010)
6 11 Kebijakan Prioritas Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II 1) Reformasi birokrasi dan tata kelola; 2)Pendidikan; 3) Kesehatan; 4)Penanggulangan kemiskinan; 5) Ketahanan pangan; 6) Infrastuktur; 7) Iklim investasi dan iklim usaha; 8)Energi; 9) Lingkungan hidup dan pengelolan bencana;10)Daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca konflik; 11) Kebudayaan , kreatifitas dan inovasi teknologi.
7 Millennium Development Goals (MDGs) adalah Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara PBB yang mulai dijalankan pada September 2000, berupa delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015 yaitu : 1) Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; 2) Mencapai pendidikan dasar untuk semua; 3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; 4) Menurunkan angka kematian anak; 5) Meningkatkan kesehatan ibu; 6) Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya; 7) Memastikan kelestarian lingkungan hidup; dan 8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan (http://id.wikipedia.org/wiki/Tujuan_Pembangunan_Milenium akses 22 Januari 2014).
12
C. Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian ini adalah proses implementasi kebijakan HKm di
Kalibiru dan faktor apa saja yang turut berperan dalam keberhasilan implementasi
program HKm di Kalibiru tersebut.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui proses implementasi Program HKm di Kalibiru.
2. Mengetahui faktor-‐faktor yang berpengaruh terhadap implementasi
Program HKm di Kalibiru.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis, yaitu :
1. Secara teoritis, dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan baik pada ilmu Administrasi Publik
maupun pada ilmu Kehutanan, serta menambah wawasan bagi penulis.
2. Secara praktis, dapat dijadikan sebagai bahan acuan maupun masukan
dalam upaya melakukan perbaikan terhadap upaya pemberdayaan
masyarakat lokal khususnya dalam kerangka pengelolaan hutan
kemasyarakatan.
F. Sistematika Penulisan
Tesis ini dibagi dalam beberapa bab untuk memperjelas alur tulisan. Tesis
diawali Pendahuluan di Bab I yang menyajikan latar belakang penelitian yaitu
keberhasilan pelaksanaan program HKm di Kalibiru, kemudian rumusan
13
permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan
tesis. Pada Bab II penulis memaparkan kerangka teori yang terkait dengan tema
penelitian yang diangkat yaitu kebijakan Social Forestry (Hutan Kemasyarakatan)
dan implementasi kebijakan. Dari kedua topik teori sebagai dasar untuk menyusun
kerangka pikir penelitian ini, yaitu faktor-‐faktor yang bekerja dalam implementasi
kebijakan HKm di Kalibiru dan disajikan dalam sub bab terakhir Bab II ini. Bab III
menyajikan metode penelitian yang digunakan, tata cara penelitian, dan analisa data
yang dilaksanakan. Pada Bab IV penulis menyajikan deskripsi umum lokasi
penelitian, serta sejarah pengelolaan hutan di Kalibiru. Pada Bab V disajikan proses
implementasi program HKm secara kronologis. Sementara pembahasan dan analisa
hasil penelitian dipaparkan pada Bab VI, diikuti kesimpulan dan saran pada Bab VII.