Babad Pasek
-
Upload
komang-cedut-ajus -
Category
Documents
-
view
329 -
download
27
Transcript of Babad Pasek
BABAD PASEK
Zaman bahari tatkala nusa Bali dan Lombok masih berkeadaan goncang, sebagai perahu di atas lautan selalu goyang dan oleng. Nusa Bali dan Lombok ketika itu hanya ada gunung di Bali, bagian Timur gunung Lempuyang namanya. Bagian selatan gunung Andakasa, bagian Barat gunung Watukaru, bagian Utara Gunung Mangu namanya dan pula gunung Bratan. Sebab itu mudahlah oleh Hyang Haribhawana menggoyangkan nusa ini.
Dengan demikian bhatara Pasupati sangat belas kasihan melihat halnya pulau Bali ini, maka
berkenanlah Bhatara membongkar sebagian lereng gunung Mahameru, dibawa ke Pulau Bali dan
Lombok, si Badawang nala diperintahkan diam bertahan di pangkal gunung, Sang Anantabhoga
dan Naga Basuki menjadi tali gunung itu, sedang Naga Taksaka menerbangkan. Diturunkan di
Bali pada hari Kamis Keliwon wuku Merakih, sasih kedasa (April) bulan mati (tilem), rah 1,
tanggek 1, tahun Caka 11.
Setelah beberapa tahun lamanya rusaklah nusa Bali, pada hari Kamis Keliwon wuku Telu,
sedang hari Purnama raya, sasih Kasa (Juli), rah 7, tenggek 2, tahun Caka 27, ketika itu hujan
sangat lebat disertai angin topan guruh kilat bersambungan, akhirnya terjadi gempa bumi disertai
suara dentuman – dentuman sehingga dua bulan lamanya hujan saja, akhirnya meletus gunung
Agung (Tolangkir) keluar air salodaka (air belerang) dari sana.
Setelah beberapa tahun antaranya, maka pada hari Selasa Keliwon wuku Kulantir, sasih Kalima
(Nopember), kebetulan bulan Purnama, tahun Caka 31, meletus, pula gunung Agung itu, maka
tampak keluar Bhatara Hyang Putrajaya disertai adiknya Bhatari Dewi Danu, turun menuju
Besakih, terus menetap bertempat di sana disebut Parhyangan bergelar Hyang Mahadewa.
Bhatara Dewi Danu berparhyangan di Ulu Danu Batur dan Bhatara Hyang Genijaya
berparhyangan di Gunung Lempuyang.
Demikianlah riwayatnya pada zaman bahari, ketika Bhatara itu berangkat ke Bali diutus Hyang
Pasupati, dengan sabdanya “Anakku bertiga kamu Mahadewa, Danu, dan Genijaya tidak lain
hanya engkaulah kusuruh pergi ke Bali menjadi Pujangga orang Bali”.
Demikianlah sabda Hyang Pasupati lalu tiga Bhatara aitu datang menyembah, katanya: “Ya
Tuhanku Bhatara, bukan karena kami akan menolak perintah Bhatara, hanya kami perlu
kemukakan bahwa kami masih dalam keadaan anak - anak belum dewasa, tentunya kami tidak
tahu jalan mana yang harus kami tempuh”.
Jawab Hyang Pasupati: “Anakku, janganlah bersusah hati, aku akan memberi engkau wahyu,
supaya segala kehendakmu itu kesampaian hendaknya, sebab engkau adalah anakku sekarang”.
Setelah itu maka Bhatara tiga itu diberi yoga, ditempatkan dengan gaib didalam kelapa gading,
kemudian berjalanlah mereka itu melalui dasar laut dengan segera tiba di gunung Tolangkir
berparhyangan di Besakih. Demikianlah riwayatnya.
Diceritakan pula Bhatara Hyang Pasupati di Gunung Himalaya, memberikan nasehat kepada para
Mpu semuanya, katanya: “Cucuku semua, dengarkanlah nasehatku kepada cucuku sekalian,
bahwa aku telah memberi izin kepadamu sekalian untuk ke Bali, melaksanakan yoga disana,
menyertai anakku Hyang tiga itu”.
Dalam antara itu diceritakan pula orang – orang yang bertapa di lereng Gunung Tolangkir yang
berlanjut timbulnya raja yang memerintah pulau Bali. Konon permulaan penjelmaan raja ini
diperintahkan oleh Tuhan untuk menjelma dimasukkan ke dalam selubung buah kelapa. Setelah
duduk sebagai raja, digelari Shri Aji Masula – Masuli. Ketika itu sangat sejahtera masyarakat
Bali, karena raja itu selalu melakukan Dharma keparamerthan, cinta bakti kepada dewa – dewa
dan kawitan – kawitan.
Hal ini didengar oleh Shri Aji Mayadanawa, tentang halnya orang Bali semua, suka ria hatinya
mempersembahkan Widhi – Widhana pujawali. Kemudian ia menuju ke desa Manikmao. Raja
ini berhenti dengan maksud menanti orang – orang Bali yang akan pergi ke Besakih. Kemudian
datanglah orang – orang Bali berduyun – duyun laki perempuan, bersama anak cucunya yang
masih digendong, membawa sesaji untuk persembahan. Raja Mayadanawa berkata: “Hai engkau
orang Bali, akan pergi kemana engkau membawa sesaji persembahan sangat lengkap?”
Orang – orang Bali menjawab: “Ya, Tuhanku, kami sekalian pergi ke Pura Besakih, ke
Dalempuri, mempersembahkan bakti kepada Bhatari!” Raja bersabda pula: “O, ya, engkau
sekalian pergi ke Dalem? Apa yang engkau minta disana?”
“Kami minta tirtha sarining tuwun (sari tanam – tanaman) supaya makmur dan menjadi tanam –
tanaman kami dan minta keselamatan diri supaya mandapat umur panjang”, demikian jawab
orang – orang Bali.
Raja Mayadanawa menjawab dengan berang serta menghardik: “Jika demikian halmu, aku tidak
mengijinkan, jangan engkau kesana, sesungguhnya akulah Dalem Jati di Dalempuri dan di
Besakih tidak ada dewa, tidak ada dalem disana, aku diberi bakti, aturi aku saji – saji.
Dengan hal yang demikian itu, tidak seorangpun yang berani meneruskan perjalanannya, semua
kembali dengan rasa sedih. Ketika itu terjadi pada tahun Caka 896.
Perbuatan Mayadanawa itu didengar oleh Hyang Mahadewa, yang kemudian ia mohon izin pada
Bhatara Pasupati untuk menghancurkan si Mayadanawa. Akhirnya terjadilah peperangan yang
sangat panjang. Maka datanglah saatnya Shri Mayadanawa dibinasakan dalam pertempuran serta
pula maha patihnya yang bernama Kalawong. Hal itu terjadi dipangkung Patas di sana mereka
berdua menjadi tawulan batu padas. Dari seluruh sendi tulangnya mengalir darah yang tiada
hentinya sehingga merupakan anak kali. Maka darah itu dikutuk oleh Bhatara Whai Mala yang
sekarang dinamai Tukad Petanu.
Dan lagi sebabnya ada yang disebutkan Tirtha Empul dan Whai Cetik, dahulu ketika laskar dewa
- dewa dalam keadaan tertekan dalam perang yang banyak menemui ajalnya di Tegal
Pegulingan, karena kena air racun atas upayanya Mayadanawa dengan Kalawong, ketika itu
mengertilah Bhatara bahwa laskarnya kena tipu muslihat musuh, segera Bhatara melakukan yoga
dengan memancangkan panji – panjinya (umbul – umbulnya), maka keluarlah Tirtha Amertha
yang sangat besar dan mujarab menghidupkan kembali para laskar dewa yang telah meninggal.
Demikian riwayatnya dahulu diwarisi sampai sekarang.
Setelah beberapa tahun selang dari peperangan itu, Bhatara Pasupati bersabda kepada para Panca
Pandita, katanya: “Cucuku sekalian, dengarlah kataku ini! Janganlah engkau lupa terhadap
bathin ketuhanan yang menjadi pokok kependetaan terutama ajaran kemoksaan dan ajaran –
ajaran filsafat. Kemudian apabila ada turun – turunanmu, anak cucumu, sampaikan juga
nasehatmu kepadanya, supaya mereka ingat akan tugas dharmanya terhadap ke-Tuhanan dan
kependetaan. Jangan hendaknya anak cucumu lupa dan tidak setia pustaka suci, bukanlah
keturunanmu jika lupa akan dharmanya, moga – moga mereka susut menurun menjadi ksatria.
Dan yang penting harus diperingatkan, supaya selalu diselenggarakan tempat – tempat pemujaan
kepada kawitan – kawitannya (leluhurnya) demikian pula tentang pujawalinya sampai kemudian
hari”. Demikian sabda Bhatara Pasupati, maka seluruh Panca Pandita itu diperciki tirtha Amertha
baiknya.
Di lain pihak diceritakan Mpu Genijaya pergi ke Bali menumpang perahu dari daun kiambang
(kapu – kapu), memakai layar daun pangi, pada hari Kamis Keliwon masa Kadasa tanggal satu
(Pratipada gukla) tahun caka 1079 (muka purwatadik witangcu).
Tidak diceritakan panjang lebar betapa hal di dalam perjalanan, pada suatu ketika tibalah di
Pantai Nusa Bali yaitu di Cilayukti. Maka terlihat oleh adiknya Mpu Kuturan, bahwa kakaknya
datang. Dengan tergopoh – gopoh Mpu turun menjemput kakaknya di pantai, dengan sujud
menyembah lalu berkata.
“Selamat datang kakak pendeta, silahkan masuk ke dalam Parhyangan”. Mpu Genijaya
mengangguk mengiakan seraya berkata “Marilah kita bersama –sama”, demikian katanya lalu
tangannya dituntun oleh adiknya menuju Parhyangan. Setelah sampai dalam parhyangan lalu
masing – masing duduk di tempat yang telah tersedia. Selama dalam parhyangan pendeta
berkakak adik itu tiada putus – putusnya bercakap – cakap memperbincangkan ajaran agama dan
filsafat mengenai Ketuhanan.
Setelah beberapa hari lamanya di Cilayukti, besok paginya pergilah Mpu Genijaya diiringi
adiknya Mpu Kuturan menuju ke Dasar. Demi terlihat
oleh Mpu Gana bahwa kakaknya datang, maka dengan tergopoh – gopoh menyongsong seraya
menyembah, katanya: “Silahkan paduka kakak pendeta masuk bersama adik Mpu Kuturan”.
Dengan bertuntunan tangan bertiga pendeta berkakak beradik itu masuk dalam parhyangan.
“Silahkan kakak pendeta duduk – duduk katanya Mpu Gana. Marilah adikku berdua, bersama –
sama duduk dengan kakak”!
Setelah sama – sama duduk di tempatnya masing – masing dalam parhyangan, maka mulailah
pembicaraan yang mengenai ajaran kebatinan, sampai kepada ajaran kemoksaan. Memang
demikian seharusnya bagi orang - orang yang telah menduduki derajat Pendeta.
Besoknya pagi – pagi Mpu Genijaya pergi ke Besakih diiringi oleh dua orang adiknya Mpu Gana
dan Mpu Kuturan. Setelah tiba, mereka langsung menuju parhyangan tempatnya Mpu Semeru,
bahwa kakaknya datang disertai oleh dua orang adiknya, maka sangatlah gembira hatinya seakan
– akan mendapat percikan tirtha amertha seraya bersujud mencakupkan tangan menyembah
disertai dengan ucapan weda jaya – jaya “selamat datang”. Demikian pula kakaknya membalas
dengan weda jaya – jaya, selamat, suara genta seakan – akan kumbang mencari madu bunga.
Setelah itu maka Mpu Semeru berkata: ”Kakak Pendeta silahkan duduk bersama – sama adik
berdua”. Marilah sama- sama kita duduk adik – adik sekalian, kakak mengijinkan “Jawab Mpu
Genijaya”. Setelah sama – sama duduk Pendeta empat itu, maka Mpu Semeru
bertanya:”Kapankah kakak pendeta turun ke Bali? Siapa yang mengiring”?
“Kakak sendiri saja tidak ada pengiring, turun di Cilayukti lebih dulu, kemudian ke Dasar,
akhirnya datang kemari”. Selanjutnya terus mareka bercakap – cakap tentang hal ilmu bathin,
filsafat ke-Tuhanan, Reg dan Yajur Weda, sampai juga kepada satuan – satuan huruf suci
(Wijaksara).
Kemudian daripada itu tibalah hari Purnama Kapat, yaitu patirthan Bhatara Putrajaya, lalu
pendeta empat itu menghaturkan puja wali. Tidak diceritakan betapa ramainya suasana yajna itu
dan sekalian orang sama girang menghaturkan sembah.
Setelah beberapa tahun antaranya, diceritakan kembali halnya Mpu Ketek telah beristri
seorang wanita anak dari Arya Padang Subadera. Dari perkawinan ini lahir seorang putra
bernama Sanghyang Pamanea. Sedang Mpu Kananda beristri dari anaknya Mpu Swetawijaya,
telah juga berputra bernama Sang Kuladewa. Dan Mpu Wiranjana beristri dari anak Mpu
Wiranatha. Mpu Witadharma istrinya adalah anak Mpu Darmaja yaitu cucu dari Mpu Yogiswara,
berputra bernama Mpu Wiradharma.
Mpu Ragarunting beristri anaknya Mpu Wiratanakung, putranya Mpu Wirarunting. Mpu Prateka
mengambil istri anaknya Mpu Pasuruan bernama bang Senetan lalu berputra bernama Hyadnya.
Mpu Dangka beristri, anaknya Mpu Semedang. Dari pada itu lahir seorang putranya bernama
Mpu Wiradangka, memper seperti nama ayahnya dan memper pula tinggi bathinnya.
Sekianlah jumlah anak dari tujuh bersaudara itu tersebut dalam kitab. Diceritakan pula anaknya
Mpu Bradah dua orang laki – laki. Yang pertama bernama Mpu Ciwagandu mengambil istri
anaknya Mpu Wiraraga, lalu berputra lima orang, wanita empat, laki seorang, semua elok
rupanya, namanya masing – masing ialah: Yang laki bernama Mpu Wiranaga, yang perempuan
bernama Ni Dewi Ratna Semeru, Ni Dewi Girinatha, Ni Dewi Patni, Ni Dewi Sukerti.
Anaknya yang kedua bernama Mpu Bahula beristri anak janda raja Jirah bernama Ni Dewi
Ratnamanggali. Dari perkawinan ini berputra lima orang, empat orang perempuan dan seorang
laki – laki. Namanya masing – masing yang laki – laki bernama Mpu Wiranatha, yang
perempuan bernama: Ni Dewi Dwaranika, Ni Dewi Adnyani, Ni Dewi Amrtajiwa, Ni Dewi
Amrtamangguli. Itulah semua keturunan Brahmana, tingkah laku dan bathinnya sesuai dengan
kawitannya. Apabila salah seorang dari keturunannya itu melanggar nasehat Bhatara Kawitan,
maka ia akan kena kutuk tidak dapat berlaku dalam jalan yang benar (mungpang selaku lampah)
dan lagi selalu menurun derajatnya menjadi orang hina.__
Diceritakan Sang Mpu Bradah turun ke Bali dengan maksud akan datang menghadap kakaknya
di Cilayukti, berhasrat hendak mengetahui bukti – bukti kakuasaan bathin kakaknya. Tidak
direntang panjang betapa halnya dalam perjalanan, dikisahkan telah tiba di Cilayukti dengan
berperahu kayu pelud yang hanya segenggam panjangnya. Mpu Kuturan seraya katanya:
“Adikku selamat datang, silahkan duduk”.
“Ya paduka kakak pendeta, maksud saya datang menghadap ini adalah ingin mengetahui
kekuasaan bathin paduka kakak paduka, jika boleh harap diperlihatkan kepada saya. Jawab Mpu
Kuturan: “Jika demikian maksud adik baiklah kakak penuhi hasrat adik. Itu di sana ada seekor
ayam baru bertelur tiga butir”.
“Terimakasih jika demikian kata Mpu Bradah”. Lalu Mpu Kuturan mengeluarkan kekuasaan
bhatin hatinya, yaitu ditarik dengan kekuatan bathin telur itu, maka dengan seketika itu tiga butir
telur itu datang dengan sendirinya kehadapan Sang Maharani. Oleh karena itu Mpu Kuturan tiga
butir telur itu ditaruh bertumpuk tiga, lalu bertanya: “Adikku, coba terka apakah nanti lahir dari
masing – masing telur ini?
“Baiklah”, jawab adiknya, seraya menenangkan bathinnya untuk mempersatukan ketajaman
pandangan jiwanya ke dalam telur itu. Tiada lama antaranya Mpu Bradah berkata: “Kakak
Pendeta, telur yang tempatnya teratas saya dengar suaranya menyerupai angsa, kiranya angsalah
yang lahir dari padanya”.
Jawab kakaknya: “Tidak, naga keluar dari dalamnya”. Tiada lama antaranya, telur yang
dibicarakan tadi pecah, lalu keluar anak angsa dari dalamnya.
Mpu Kuturan berkata pula: “Adik, coba terka telur yang ditengah ini; apa nanti lahir dari
dalamnya”?
“Baiklah kakak pendeta”, jawab Mpu Bradah. Sebaiknya saya menerka telur terbawah lebih
dulu. Gagak putih akan keluar dari dalamnya. Tiba – tiba telur tadi pecah, keluar seekor Gagak
putih dari dalamnya, sekejap mata itu telah mulai belajar terbang di udara.
Kata Mpu Kuturan pula: “Adik, kini masih sebutir, coba terka lagi!”
Jawab adiknya: “Ya kakak pendeta, telur ini akan melahirkan dua ekor naga”.
Sekejap itu telur yang ketiga (di tengah) itu pecah keluar dua ekor naga yang buas, mulutnya
menganga hebat dahsyat, taringnya tampak tajam – tajam, culanya berapi – api mengkilat – kilat
lalu terbang ke udara turun di Besakih. Demikian ceritanya.
Setelah selesai peristiwa yang mentakjubkan itu, lalu Mpu Bradah bersemadi sejenak mencipta
dengan kekuatan ilmu aji Basundari dan ketajaman pemandangan, kelihatan olehnya butir telur
mengambang di tengah lautan sebelah timur Gunung Cilayukti. Apabila tidak keberatan, coba
persatukan pandangan bathin, apa gerangan lahir dari padanya nanti.
“Baiklah kanda coba permintaan adinda” Jawab Mpu Kuturan seraya mengumpulkan dan
semusatkan bathinnya dengan ilmu aji Antasiksa guhjawijaya, akan keluar dari dalamnya
pancawarna”.
Mpu Bradah berkata: “Tidak”. Tiba – tiba pecah telur itu, keluarlah dari dalamnya hujan bunga
panca warna harum semerbak memenuhi udara. Mpu Bradah berkata pula: “Wah benar kakak,
coba yang lainnya diterka lagi!”. “Adikku jawab Mpu Kuturan, telur yang di tengah air tirtha
Kamandalu asinya”. Tiba – tiba pecah telur yang ditengah itu. Seketika itu bergelora samudra
itu, karena kaluarnya air tirtha Kamandalu bertempatkan kendi manik. Mpu Bradah berkata pula:
“Kakak pendeta telur yang masih sebutir lagi yang tempatnya terbawah, apa gerangan keluar dari
dalamnya, cobalah diterka baik – baik!” Mpu Kuturan menjawab: “Adikku, telur yang terbawah
itu Badawangnala lahir dari padanya”. Baru pecah telur itu, memang benar lahir seekor
Badawangwala dari dalamnya bersayap gerinsing wayang, berbulu piteala sutra yang sangat
mentakjubkan. Ketika itu timbul benci hatinya Mpu Bradah, lalu mengucapkan kutuk katanya.
“Hai kamu Bedawangnala! Karena engkau ia jatuh ke Bumi, dari sejak ini sampai kemudian
tidak boleh engkau bertelur dalam lautan moga – moga engkau dimakan ikan besar, salahmu
durhaka kepadaku”. Demikianlah sabda Mpu Bradah sangat manjurnya. Itulah sebabnya bangsa
penyu bertelur di daratan pantai laut dan banyak makhluk lahir dari padanya misalnya menjadi
ular, penyu, empas, dan kura – kura. Beberapa hari antaranya, tibalah hari Kamis Wage dan
Jumat Kliwon Wuku Sungsang, yaitu Sugihan Jawa dan Bali, maka beliau itu turut melakukan
hari sugihan manik itu. Ketika itu pertama kali dirayakan hari Sugihan Jawa dan Bali. Yang
disebut Sugihan Manik atau Ulihan Jawa, hari Kamis Wage, sedangkan Sugihan atau Ulihan
Bali, hari Jumat Keliwon Sungsang.
Tiada diceritakan betapa kehidupan selanjutnya, pada suatu hari pulang Mpu Bradah itu ke Jawa,
setelah mohon diri kepada kakaknya Mpu Kuturan. Setelah meninggalkan padang lalu pergi ke
Gelgel menju Dasarbhuwana. Tidak disebutkan apa pembicaraannya di Gelgel, setelah mohon
diri daripada kakaknya disana lalu pergi ke Besakih, kemudian dari Besakih menuju Gunung
Lempuyang. Setelah selesai mohon diri kepada kedua kakaknya ini, maka Mpu Bradah
melanjutkan perjalannya ke Jawa berparhyangan di Pejarakan.
Tidak diceritakan betapa halnya Mpu Kuturan mengatur kesejahteraan masyarakat. Lama
kelamaan maka pulanglah Sang Pancatirtha itu ke Suksmataya (ke alam baka), merupakan dhat
Tuhan atau roh suci. Yang disebut Panca Tirtha itu ialah: Mpu Genijaya, Mpu Semeru, Mpu
Gana, Mpu Kuturan, Mpu Bradah. Kini diceritakanlah lebih lanjut, anak cucu dan turun –
turunan dari Sang Panca Tirtha itu semua, sangat astiti dan bakti terhadap Tuhan, terutama
terhadap leluhurnya yang telah merupakan Dewata. Pada suatu ketika pada saat akan datangnya
hari Purnama Kapat yaitu pujawali Bhatara – Bhatari di Besakih maka bermusyawarahlah Sang
Sapta Pandita disertai oleh anak – anaknya sekalian, terutama Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu
Wiradnyana, Mpu Wira Dharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, Dan Mpu Dangka.
Mpu Ketek berkata: “Adik – adikku dan putra – putraku sekalian, oleh karena Abra Sinuhun
(Kawitan) kita telah pulang ke alam baka, serta mengingat nasehat – nasehat beliau dulu, apabila
hari Purnama Kapat harus ada pujawali di Besakih. Kini hari yang penting itu akan tiba
maksudnya kita harus berkemas akan pergi ke Bali menghadap Bhatara dan menghaturkan
Pujawali dan Widhi – Widhana”. Jawa adik – adiknya sekalian: “Jika demikian, kami sangat
setuju pendapat paduka kakak, marilah berkemas berangkat”.
Kemudian daripada itu datanglah hari Kemis Wage Sungsang, lalu para Mpu sekalian ke Besakih
untuk melakukan Sugimanik di sana dahulu. Setelah selesai di sana dilanjutkan ke Lempuyang,
dari Lempuyang ke Dasar dan terakhir di Cilayukti.
Setelah selesai tugas persembahan sekalian para Mpu itu maka mohon dirilah mereka pergi
sekalian kembali ke Jawa. Selanjutnya tiap – tiap tahun (ngatewag) para Mpu itu pergi ke Bali
menghaturkan pujawali kepada Bhatara – Bhatara (di sebelah Tuhan Yang Maha Esa terhadap
roh – roh suci leluhurnya).
Setelah beberapa tahun lamanya, diceritakan bahwa Mpu Ketek telah mempunyai seorang anak
dewasa bernama Sanghyang Pamanca mengambil istri seorang Mpu Ciwangandu yang bernama
Ni Dewi Daranika termasuk sepupu tingkat kedua (mindon).
Adapun anaknya Mpu Kananda bernama Mpu Swetawijaya beristrikan anaknya Ni Dewi
Dwaranika bernama Ni Dewi Adnyani.
Anaknya Mpu Wirajaya bernama Mpu Wiranata beristrikan anaknya Mpu Bahula bernama Ni
Ratna Dewi Sumanggali.
Anaknya Mpu Wiradharma bernama Mpu Wiradarma mengambil seorang istri anaknya Mpu
Bahula juga yang bernama Ni Dewi Girinatha.
Anaknya Mpu Ragarunting bernama Mpu Paramadaksa beristri kepada anaknya Mpu Ciwagandu
bernama Ni Dewi Amrthajiwa. Dan anaknya Mpu Prateka bernama Mpu Pretekayadnya beristri
anaknya Mpu Bahula bernama Ni Dewi Sumanggali.
Demikian pula anaknya Mpu Dangka bernama Mpu Wiradangka pun telah beristri anaknya
Ciwagandu juga bernama Ni Dewi Sukerti.
Demikian masing – masing para putra Mpu itu telah sama beristri mengambil dari sepupu dan
dua pupu (misan dan mindon), semuanya ahli dengan ajaran agama sama halnya dengan ayahnya
masing – masing.
Kemudian Mpu Wiradharma berputra Mpu Lempita namanya mengambil istri anaknya Sang
Hyang Pamanca bernama Ni Ayu Subrata, kemudian berputra seorang bernama Mpu Jiwaksara.
Dan seorang yang bernama Ni Ayu Sadra adik dari Ni Ayu Subrata dipakai istri Sang Kulpetak
melahirkan seorang putra bernama Danghyang Sang Kulputih. Mpu Wiranatha berputra tiga
orang, seorang laki – laki bernama Mpu Purwanatha dan dua orang wanita bernama Ni Ayu
Wetan dan Ni Ayu Tirtha. Ni Ayu Wetan diperistrikan oleh anaknya Mpu Pradaksa yang
bernama Mpu Wirarunting, lalu berputra dua orang laki perempuan. Yang laki – laki bernama
Mpu Wira Ragarunting.
Anak Mpu Prateka Adnyana bernama Sang Prateka. Anak Mpu Dangka tiga orang, seorang laki
bernama Sang Iradangka, dua orang wanita bernama Ni Ayu Dangka dan Ni Ayu Dangki.
Demikianlah keadaanya anak – anaknya para Mpu waktu di Daha Jawa, semuanya taat
melakukan dharma kepanditaan.
Sampai disini kembali lagi diceritakan, bahwa dahulu ketika para Mpu pergi dari negara Daha,
diusir oleh Shri Dangdang Gendis yaitu Mpu Pamanca, Mpu Swetawijaya, Mpu Wiranatha, Mpu
Wiradharma, Mpu Paramadaksa, Mpu Pratekayadnya, Mpu Wiradangka, semua itu dulu pergi
dari Daha disertai oleh anak cucunya berasrama di Tumapel.
Diceritakan pula dahulu anaknya Mpu Pamacekan anaknya Sang Kulpotak, anaknya Mpu
Purwanatha, anaknya Mpu Wiradarma, anaknya Mpu Wirarunting, anaknya Mpu Prateka,
anaknya Mpu Wiradangka, semuanya itu pergi dari Tumagel, lalu pergi menuju Negara
Majapahit, di sanalah mereka berasrama ketika Raja Shri Aji Harsawijaya, ketika itu mulai
adanya tujuh bersaudara itu (sanak pitu).
Yang disebut sanak pitu itu adalah: Mpu Pamacekan berputra dua orang laki perempuan yang
bernama Arya Pamacekan, yang perempuan bernama Ni Ayu Ler, dipakai istri oleh putranya
(cucunya) Mpu Wiradharma, bernama Mpu Wijaksana. Dan anaknya Sang Kulputih, dua orang
laki perempuan yang laki bernama Wira Sang Kulputih , yang perempuan bernama Ni Ayu
Swani. Adapun anaknya Mpu Purwanatha dua orang laki –laki perempuan bernama Ken Dedes,
yang laki – laki bernama Mpu Purwa. Dahulu waktu di Tumapel Mpu Purwa beristri anak Aji
Tatar berputra dua orang perempuan yang bernama Ni Swaranika diperstrikan oleh cucunya Mpu
Dwijaksana. Adapun Arya Tatar beristrikan anaknya sang Kultul Putih yang bernama Swani.
Adapun anaknya Mpu Ragarunting, anaknya perempuan bernama Ni Wirarunting diperistrikan
oleh anaknya Mpu Pratekayadnya yang bernama Mpu Prateka. Dua orang adiknya lagi
perempuan bernama Ni kamareka, diperistri oleh anaknya Mpu Wiradangka yang bernama Sang
Wira dangka yang bernama Ni Kamawaka. Sedang Ni Swarareka diperistri oleh Arya Kepasekan
dan adiknya Wira Kadangkan bernama Ni Swari Dangka. Demikianlah keadaanya di Majapahit,
diceritakan setelah wafatnya Shri Aji Bedamuka karena daya upayanya Krian Gajah mada,
demikian pula mahapatihnya Krian Pasung Grigis telah dipenjarakan di Desa Tengkulak. Dan
setelah meninggalnya Krian Patih Kebo Mayura, sangat sunyi sepi negara Bali, pelaksanaan adat
agama sudah lenyap, disebabkan karena tidak ada brahmana diam di Pulau Bali.
Pada waktu menjelang sasih: 6,7,8,9, dan 10 Krian Patih Gajah Mada mengaturi Mpu
Dwijaksara supaya turun ke Bali untuk menyelesaikan kewajiban terhadap puja wali Bhatara di
Besakih, di Gelgel, di Cilayukti, di Lempuyang, dengan tujuan supaya Pulau Bali mendapat
keselamatan dan supaya menjadi Bhagawan Tanya Dalem yang memerintahkan pulau Bali
seluruhnya. Demikian permintaan Krian Gajah Mada, sebab itu Mpu Dwijaksara turun ke Bali
disertai oleh anak istri dan putranya semua.
Tidak dibicarakan lebih lanjut, pada suatu hari telah tiba di Pura Besakih. Dengan segera
memerintahkan orang – orang Bali yang berdiam di sebelah menyebelah parhyangan supaya
segera memperbaiki bangunan – bangunan yang ada di dalam parhyangan terutama di Besakih.
Orang – orang Bali semua dengan girang memperbaiki masing – masing terutama di Sad
Kahyangan masing – masing. Apabila Kajeng Keliwon: 6, 7, macaru ayam pancawarna, itik
belang kalung.
Pada sasih 8, caru sanak, ayam manca warna, anjing bang bungkem, itik belang kalung, angsa,
kambing, kerbau hitam Sasih 9 ditambah kerbau brakawos, kucit butuh pitu, dinamai tabuh
gentuh. Di Besakih mancawalikrama. Sasih 4 anyiabrahma, setelah itu turun Bhatara Kabeh.
Demikian nasehatnya, maka semua orang – orang Bali menghaturkan wali di parhyangan,
demikian juga di Besakih, di lempuyang, di Batukaru, di Beratan, di Pejeng, di Andakasa di
Gelgel, dan di Cilayukti, mengingat kebijaksanaan jalannya yang ulu dulu. Adapun Dwijaksara
berasrama di Gelgel membuatTaman Darmada, harumnya memenuhi taman itu,
karena kebetulan pertengahan masa kapat, kumbang berdengungan suaranya mengisap bunga.
Diceritakan lebih lanjut tentang hal kembalinya para utusan dari Jawa telah tiba di Gelgel.
Setibanya di Bali segera mengatur pemerintahan dan menjaga tata tertib susila di seluruh Bali
serta mengatur jalannya adat agama mengadakan pura – pura desa balai Agung di seluruh desa di
Bali. Demikian pula yang dijaganya parhyangan di Besakih dan sekitarnya gunung Agung, dan
pura – pura lainnya di Gelgel, Lempuyang, Cilayukti, Watukaru, Bratan, Andakasa, Pejeng, dan
lainnya.
Diatur dan diselenggarakan sesuai dengan yang berlaku dahulu – dahulu, sebagai halnya para
leluhur yang telah ke alam baka dulu. Demikian halnya Krian Patih Ulung bersama saudara –
saudaranya mengatur pemerintahan. Diceritakan Ki Patih Ulung telah mengambil seorang istri
yaitu cucunya Sang Mpu Prateka.
Dari perkawinan ini menghasilkan seorang anak laki – laki bernama Kyai Smaranatha beristrikan
cucunya Mpu Wiradangka bernama Rudani, melahirkan seorang anak laki – laki bernama I Rare
Angon.
Sementara itu Kyai Bendesa mengambil seorang istri ke desa Manikhyang lalu berputra dua
orang laki – perempuan. Yang laki – laki bernama I Bendesa Manikan, yang perempuan bernama
Ni Luh Manikan diperistri oleh Kyai Rare Angon ada seorang putranya bernama I Pasek Gelgel.
Demikian riwayatnya dahulu keadaan para Mpu tujuh bersaudara itu. Lambat laun turun –
turunannya tidak taat kepada Dharmanya, sehingga menurun derajatnya, ada pula yang menjadi
orang tani. Disebutkan pula anaknya Mpu Ketek bernama Arya Kepasekan. Anaknya ini beranak
pula 2 orang laki perempuan, yang laki bernama Kyai Agung Pamacekan, yang perempuan
bernama Ni Luh Pasek. Anak itu diperistrikan oleh Gusti Pasek Agung Subadra berputra 2 orang
laki – laki bernama I Pasek Gelgel dan Pasek Denpasar.
Lain lagi anaknya Kyai Gusti Agung Kapasekan bernama Sang Kulputih saudara dari mangku
Sang Kulputih, adalah seorang anaknya bernama Kyai Gusti Agung Subadra. Kyai Gusti Agung
Subadra berputra 2 orang laki – laki bernama Kyai Tohjiwa dan Kyai Agung Pasek Subadra. Dan
putranya Mpu Kananda dulu yang bernama Mpu Swetawijaya, Sang Kuladewa Wara Sang
Kulputih, Sang Kulputih ada dua orang anaknya laki perempuan, yang laki bernama Dukuh
Sorga, bertempat tinggal di desa Sorga sama –sama taat beryoga semadi di Besakih. Sekalian
turunan Dukuh Sorga ini menjadi Mangku Sang Kulputih. Dan pula anaknya Mpu Wiradnyana
bernama Mpu Wiranatha telah bernama Mpu Purwanatha, Mpu ini berputra bernama Arya Tatar.
Ki Arya tatar ini berputra Kyai Gusti Pasek Lurah Tatar, anaknya bernama De Pasek Tatar. Apa
sebabnya demikian, karena lahirnya dahulu dari seorang perempuan dari Shri Aji Tatar.
Adapun anak turunannya Mpu Withadarma tiga orang bernama: Mpu Lempita, Mpu Panandha,
dan Mpu Pastika.
Dua orang Mpu ini yaitu Pananda dan Mpu Pastika berasrama di Cilayukti melakukan yoga
sangat taat dan melakukan dharma Sukla Brahmacari meniru halnya Mpu Kuturan yaitu
terhitung Kempiang dari saudara. Adapun Mpu Lampita berputra Mpu Dwijaksara beristrikan
anaknya Arya Tatar lalu bernama Patih Ulung. Patih Ulung ini dijadikan Patih oleh Raja Bali
yang bergelar Shri Aji Tapohulung turunan Dalem Masula – Masuli dulu.
Ada diceritakan lagi seorang anak perempuan dari Pangeran Tangkas sedang remaja putri,
diambil istri oleh Kyai Pasek Agung Gelgel yaitu saudara sepupu olehnya. I Gusti Tangkas Kuri
Agung merasa akan diri keputungan (keputusan warisan turunan), maka ia beramanat kepada I
Gusti Agung Pasek Gelgel katanya: “Hai anakku Gusti Agung Pasek Gelgel, karena engkau suka
kepadaku, kini bapa menyerahkan diri kepadamu, oleh karena bapa tidak akan mempunyai
keturunan lagi (tidak beranak laki- laki). Kini ada seorang anakku perempuan saudara sepupu
olehmu, apabila kamu suka, bapa akan berikan kepadamu Gusti Agung.
Dan lagi ada harta benda bapa yaitu isi rumah tangga serba sedikit serta pelayanan 200 orang,
semuanya itu anakku mengusahakan. Pendeknya engkau manjadi anak angkatku. Kemudian
apabila bapa pulang ke alam baka supaya anakku menyelesaikan upacara jenazahku. Yang
penting permintaanku adalah agar sama olehmu melakukan upacara sebagai bapa kandungmu
sendiri. Dan peringatanku kepadamu, oleh karena dahulu ada permintaannya Pangeran Mas
kepada leluhur kita, yaitu supaya jangan putus turun – turunan kita dengan sebutan Bandesa.
Sebabnya ialah supaya mudah oleh beliau kelak mengingati turunan - turunan beliau bila ada
lahir dari beliau.
Kini oleh karena bapa memang berasal dari sana, sebab itu bapa minta kepadamu, bila kemudian
ada anugerah Tuhan kepadamu terutama kepada bapa, ada anakku lahir dari sepupumu Ni Luh
Tangkas, supaya ada juga yang memakai sebutan Bandesa Tangkas itu sampai kemudian, supaya
mudah leluhur kita mengingati turun – turunannya nanti di Sorga.
Demikian kata Gusti Tangkas Kori Agung kepada Gusti Pasek Gelgel. Ketika itu I Gusti Pasek
Gelgel belum berani memutuskan sendiri dan menurut permintaan itu, lalu minta timbangan
suadara – saudara sepupu dan mindonnya. Akhirnya disetujui oleh sekalian saudara –
saudaranya, maka ketika itu barulah I Gusti Pasek Gelgel menurut katanya Gusti Tangkas Kori
Agung.
Diceritakan I Gusti Agung Pasek Gelgel kawin dengan Ni Luh Tangkas dengan upacara yang
besar dan meriah. Kecuali dari sanak saudaranya tamu undangan lainnya sangat banyak datang
yang turut memeriahkan perkawinan itu.
Lambat laun cucu Kyai Pasek Agung Gelgel makin mengembang banyak, selalu menjadi tangan
kaki Dalem, pengatur balai Agung di pelosok desa di Bali.
Diceritakan pula De Gurun Pasek Gelgel ada dua anaknya, yang sulung bernama De Gurun
Pasek Gelgel menjadi kepala pengatur Bale Agung di Desa Gelgel, adiknya bernama De Pasek
Togog menjadi pengatur di Besakih berumah di desa Muntig, ahli dalam hal Rajapurana, ahli
kependetaan dan segala pengetahuannya terutama upacara jenazah serta adat penyelesaiannya,
sampai kepada kemoksaan dan kajang rwabhineda. Kemudian ada tiga orang anaknya laki – laki
yang sulung bernama I Dukuh Ambengan, adiknya De Dukuh Sabudi yang bungsu Dukuh
Bunga. Adapun De Dukuh Ambengan kemudian bernama De Dukuh Badeg, lalu beranak
bernama De Dukuh Prawangsa, semua mengembangkan turunan, semua itu berasal dari satu
kawitan.
Lain lagi anak I Gusti Pasek Agung Gelgel yang lahir dari Luh Tangkas Kori Agung berputra
empat orang laki – laki, yang sulung bernama I Tangkas Kori Agung, adiknya I Bendesa
Tangkas, I Nyoman Pasek Tangkas, dan Pasek Bendesa Tangkas Kori Agung.
Adapun menjadi patindih sebagai Bendesa yang dikirim oleh Dalem ke desa – desa yaitu: I
Bendesa Muncan membukti sawah winih 50, I Bendesa Selat Duta mabukti winih 50, Bendesa
Sebetan mabukti winih 50, I Bendesa Bugbug mabukti rakyat di Bugbug, I Bendesa Sangkiding
mabukti winih 50, I Bendesa Sabegan mabukti winih 50, I Bendesa Timbrah mabukti winih 50,
yang bernama Atakapi. Dan I Bendesa Babi mabukti winih 50, I Bendesa Tumbu mabukti winih
50, adapun I Bendesa Manikan mabukti winih 100, I Bendesa Ujung mabukti winih 50.
Adapun I Pasek Agung Gelgel yang menjadi penghulu di Bale Agung yaitu: I Pasek Budaga, De
Pasek Sangkan Buana, De Pasek Manduang, De Pasek Ahan, De Pasek Akah, De Pasek Gobleg,
De Pasek Bebetin, dan De Pasek Depaa.
I Pasek Akah beranak tiga orang laki – laki bernama: I Wayan Pasek Akah, I Pasek Tabola, I
Pasek Wangsian. Adapun De Pasek Muntig, De Pasek Babi, De Pasek Tista, De Pasek Denpasar,
De Pasek Batudawa, De Pasek Tulamben, De Pasek Narga, De Pasek Kekeran, semuanya itu
turunan De Pasek Gelgel.
Dan De Pasek Tohjiwa turunannya yang menjadi penjaga bumi Tohjiwa, anak – anaknya juga
banyak, semuanya menjadi penyelenggara Bale Agung di desa – desa seluruh Bali.
Yang Tertua bernama Ki Paseki Tohjiwa, sebagai nama bapanya, adiknya bernama De Pasek
Tanggun Titi, De Panatahan, De Pasek Antasari, De Pasek Galih Ukir, De Pasek Alanglinggah,
De Pasek ring Basang, De Pasek Beda, De Pasek Wanagiri, De Pasek Pejaan, De Pasek Pupuan,
De Pasek Sanda, sekian jumlah turunan Kyai Pasek Tohjiwa.
Adapun turunan Kyai Agung Pasek Subadra, diminta keluar dari Gelgel menuju Bale Agung di
seluruh Bali. Anaknya tertua bernama Pasek Padang Subadra, beruma di Padang,
menyelenggaraan Pura Cilayukti, De Pasek Suladri menjadi Dukuh di Suladri, beryoga di Pura
Dalem menjadi Pamangku, sebab itu bernama Dukuh Suladri. Semenjak itu bernama Dalem
Suladri.
Dan De Pasek Kusamba, De Pasek Bale Agung Bangli, De Pasek Dukuh Pahang, De Pasek
Paguyangan, De Pasek Cemangi Munggu, dan De Pasek di Munggu, De Pasek Titigatung, De
Juntal. Demikian banyak turunan Kyai Pasek Agung Padang Subadra. Banyak turunannya
bercabang ranting.
Adapun turunan De Pasek Tatar, yang sulung bernama Ki Pasek Tatar, adik – adiknya Ki Pasek
Panataran di Desa Telengan, De Pasek Mangku Bale Agung Bukit Cemeng, De Pasek Bale
Agung, De Pasek Pidpid. Sekian turunan De Pasek Tatar sama – sama mengembangkan
turunannya.
Dan turunannya De Pasek Prateka yaitu De Pasek Dukuh Gamengan, De Pasek Dukuh Bilatung,
De Pasek prateka ring Akah, De Pasek ring Nongan, De Pasek Rendag, De Pasek Kusaban.
Sekian mulanya turunan I Gusti Pasek Prateka makin berkembang.
Dahulu ada diceritakan Danghyang Nirartha, pergi dari Daha menuju Majapahit menuju
Danghyang panataran, di sana berputra dua orang laki- laki. Kemudian pergi ke Pasuruhan di
tempat Dnaghyang Parawasikan, berputra dua orang laki- laki, akhirnya beliau ke Brambangan
Keniten semuanya, diterima oleh Dalem juru di Brambangan baik – baik. Tetapi lama kelamaan
adalah timbul pertikaian – pertikaian, sebab disangka permaisurinya Keniten menaruh cinta
kepada Danghyang Nirartha, dituduh memasang guna – guna, sebab itu harum bau keringatnya.
Adapun Dalem juru ada agak kurang beres ingatannya, disuruh istrinya mengarangkan hal
dirinya sebab itu ada termasuk dalam nyanyian (poezi) “Siapakah yang akan mengobati birahiku
tidak lain permaisuri Kaniten yang seakan – akan Saraswati”.
Danghyang Nirartha pergi dari Brambangan menuju Pulau Bali, mengendarai Waluhkele, tangan
dan kakinya digunakan dayung dan kemudian sedang istrinya dan tujuh putrinya dibuat dengan
jukung bocor.
Tidak diceritakan betapa halnya dalam pelayaran, pada suatu saat turun Danghyang Nirartha di
Kapurancak yaitu di Pantai Pulau Bali. Demikian diceritakan tak dapat taida Dalem Juru akan
memenuhi kehancuran sebab seakan – akan telah kena bajra – wisa dan Dalem Baturenggong
seakan – akan Parupati.
Setelah Danghyang Nirartha turun di Kapurancak lalu meneruskan perjalanannya ke daratan,
diiringi oleh istri dan tujuh orang anaknya.
Di tengah jalan berjumpa dengan seorang gembala, karena ditanya ditanya pendeta, menunjuk
arah ke Timur. Dalam perjalanan menempuh hutan itu tiba – tiba bertemu dengan seekor kera
besar menghalangi menghadang di tengah jalan kecil itu. Pendeta berkata: “Hai kera besar
berikanlah kami jalan.” Lalu kera itupun menghindarkan diri, maka pendeta beserta
rombongannya melanjutkan perjalannya.
Tiba – tiba bertemu pula dengan seekor naga besar menghadang di perjalanan, mulutnya
menganga setinggi orang berdiri. Pendeta lalu masuk ke mulut naga itu sampai ke dalam
perutnya maka dijumpainya sekuntum bunga tunjung lalu dicabutnya. Kemudian keluarlah
beliau dengan wajah muka yang hitam warnanya. Dengan hal yang demikian larilah anak istrinya
kemudian warna muka pendeta itu berubah menjadi warna emas, maka dikumpulkanlah pula
anak istrinya, tetapi sayang seorang anaknya hilang. Putrinya yang hilang itu bernama Ida Ayu
Swabawa, tidak lagi merupakan manusia. Ia itu merupakan orang halus yang luput dari umur tua
dan mati. Beliaulah dianggap Dalem Melanting di Pulaki. Demikian diceritakan.
Sementara itu Sang Rsi Nirartha sampai di Desa Gadingwani, dan kebetulan waktu itu orang –
orang desa Gadingwani diserang penyakit, maka diobati oleh Sang Pendeta dengan sepahnya
(adem, susur, bhas, Bali) maka sembuh semuanya. Dengan demikian tahulah Kepala Desa
(Bendesa) Gadingwani, bahwa Danghyang Nirartha itu adalah seorang pendeta yang sakti lalu ia
menghadap dengan sembahnya serta memohon agar diberi tirtha pembersihan dirinya (diniksan).
Demikianlah tersebar pula kabar yang menyenangkan ini di seluruh Desa Mas. Maka Pangeran
menghadap kepada pendeta, dengan sangat hormat memohon supaya memberi ajaran agama
kepadanya seraya memberikan tirtha pembersihan (inangshara). Demikianlah riwayatnya.
Ni Ayu Swabhawa yang berbadan gaib di Pulaki, ketika itu ayahnya pergi ke Gelgel akan
memberi tirtha pembersihan (ndisain) Dalem Baturenggong, bermalam di Jembrana di
Banjarwani Tengah dulu, di rumah De Bendesa Mas karena sangat lama Ni Ayu ditinggalkan
oleh ayahnya sangat panas hatinya, lalu beliau mengutuk desa disana yaitu disebelah Utara
Rambut Siwi, orang desa di sana sebanyak 800 perinduhan agar terbakar seluruhnya beserta
penghuninya. Ki Bendesa minta dengan hormat supaya jangan terus mengutuk desa itu,
sementara menanti pendeta dari Gelgel. Tetapi Ni Ayu Swabhawa tidak meluluskan. Hanya ada
pemberiannya yaitu santra utama yang dapat dilakukan dalam hidup dan mati bernama Canting
Mas dan Siwer Mas, Weda Sulambang Geni, Pasupati rencana. Semua itu boleh dipakai oleh
Bedesa Mas dan turun- turunannya selama hidup dalam Pulau Bali.
Kutuk Ni Ayu Makbul. Sebab itu beliau didudukan sebagai Bhatari di Pura Pulaki dijaga oleh
orang – orang yang tidak kelihatan yang disebut Sumedang.
Sementara itu ada diceritakan lain, yaitu Danghyang Sidhimantra berputra seorang laki –laki
yang tabiatnya suka benar berjudi kesana kemari, terkenal dengan namanya Ida Manik
Angkeran. Dahulu semasa beliau masih di Pulau Jawa kalah dalam perjudian, sangat duka cita,
lalu dicuri genta bajra pendeta (ayahnya) yang bernama: I Brahmana, segera pergi ke Pulau Bali
menuju Tolangkir yaitu: di Besakih, lalu berdoa dengan memusatkan pandangannya ke ujung
hidung (angkrana sika) pada sudut sebuah goa, seraya membunyikan genta I Brahmana itu. Maak
terdengarlah suara genta itu oleh Bhatara Naga Basuki dari patala, lalu segera beliau keluar
menjumpai orang yang membunyikan bajra itu, katanya: “Apa sebabnya engkau Bagus datang ke
Bali memanggil aku ini” Ida Manik Angkeran menjawab: “Ya, Bhatara maafkanlah, hamba ingin
mohon bunga gilosawit, kembang kuning sawit, agar selalu menang dalam perjudian, untuk
bekal ke Majapahit.
Jawab Bhatara: “Jika demikian aku anugrahi engkau menang dalam sambungan ayam supaya
banyak mendapat mas, pulanglah engkau Manik Angkeran.” Hingga tiga kali Bhatara
mengulangi sabdanya itu. Ida Manik Angkeran masih juga tetap diri tidak pergi dari tempatnya
akhirnya ia berkata: “Ya Bhatara hamba ucapkan terima kasih atas anugerah Bhatara. Sebelum
hamba meninggalkan tempat ini sebaiknya paduka Bhatara masuk ke Istana terlebih dahulu.”
Bhatara Naga Basuki masuk dalam goa. Setelah setengah bagian ke dalam goa, maka terlihat
oleh Manik Angkeran sebuah Intan besar yang gemerlapan menjadi perhiasan ekor Bhatara Naga
Raja. Gairah hati Manik Angkeran ingin memiliki intan besar itu tidak tertahan olehnya, lalu
segera menghunus keris pejenengan yang bernama I Gopang, dengan secepat kilat diparangkan
kepada ekor Bhatara itu. Sekali parang, ekor Naga Raja itu putus, maka segera diambil intan itu,
terus dilarikan.
Tidak terperikan murka Bhatara Naga Basuki dengan hal yang demikian itu, segera bekas tapak
kaki Manik Angkeran itu dijilat yang sedang lari sangat deras tersungkur jatuh lalu terbakar
hangus menjadi abu. Sekalipun demikian akibatnya, namun Bhatara Naga Raja tetap berduka
cita.
Diceritakan Danghyang Shidimantra merasa was – was akan terjadi sesuatu bahaya yang
menimpa diri anaknya, karena tidak kembali dalam tiga hari dari kepergian bermain sambung
ayam. Ketika itu kebetulan hari Purnama masa Kapat, Danghyang Sidhimantra hendak memuja,
dicarinya genta bajra si Brahmana sudah hilang, kian bertambah duka cita Sang Pendeta dan
merasa dalam bathinnya: “Wahai kiranya I Bagus (Manik Angkeran) pergi ke Bali” segera
diambilnya daun alang – alang dikucanya keluar api.
Tidak diceritakan lebih lanjut, lalu Sang Pendeta pergi ke Bali menuju ke Besakih. Di muka goa
Bhatara Naga Raja beliau memuja. Tetapi Bhatara tidak keluar. Hingga tiga kali Sang pendeta
memuja, tiba – tiba gemetar permukaan bumi berbarengan dengan keluarnya Bhatara Naga
Basuki. Terlihatlah oleh Bhatara seorang pendeta pucat lesi wajah durjanya bersanda: “Apa
sebab Sang gede datang ke Bali memujaku?”
“Ya Bhatara, hamba mencari anak hamba Ki Manik Angkeran”, jawab Bhatara Sidhimantra.
Sabda Bhatara: “Wah ia telah hangus menjadi abu. Sebabnya terjadi demikian itu Manik
Angkeran sangat durhaka kepadaku yaitu memotong ekorku ini. Kini apa kehendak Sang Gede?
Apa ingin supaya ia hidup? Saya akan meluluskan apabila Sang Gede dapat menyambung
ekorku kembali sebagai sediakala.”
Demikian sabda Bhatara.
Jawab Sang Pendeta: “Baiklah hamba mengerjakan perintah Bhatara”. Seketika itu ekor Bhatara
Naga Raja yang putus itu dirapatkan dan diberi mantram, maka kembalilah sebagai sedia kala
tidak ada cacatnya.
Sabda Bhatara: “Terima kasih Sang Gede karena Sidhi Mantram Sang Gede, mulai saat ini
berhenti bernama Mpu Bekung, Mpu Sidhimantra nama yang tepat bagi Sang Gede. Sekarang
lihatlah anak Sang Gede, Ki Manik Angkeran. Sang Pendeta menengok ke tempat abu anaknya,
tampak sebuah intan di dalamnya. Intan itu diambil lalu abunya diludahi oleh Mpu Sidhimantra.
Seketika itu Manik Angkeran hidup kembali, tidak ingat kepada dirinya bahwa ia menjadi abu,
segera bangun menggapai intan itu, hendak melarikan diri. Danghyang Sidhimantra cepat
berkata: “Hai bagus apa kehendakmu ini? Intan yang kamu gapai – gapai itu telah Bapa yang
membawanya”.
Manik Angkeran membuka matanya lebar – lebar memperhatikan orang memanggil namanya.
Terlihatlah olehnya Pendeta ayahnya berdiri di hadapannya bersama Bhatara Naga Basuki.
Manik Angkeran berdiam malu. Pendeta Sidhimantra berkata: “Anakku Manik Angkeran,
ketahuilah dirimu bahwa engkau telah mati kemarin, disebabkan karena terlalu durhaka kepada
Bhatara. Kini demi belas kasihan Bhatara engkau hidup kembali, kuserahkan engkau kepada
Bhatara supaya menjadi juru sapu Bhatara Gunung Agung, diberi wewenang turun
menyelenggarakan sembah bakti rakyat Bali”.
Manik Angkeran menuruti perintah ayahnya seraya menyembah, demikian pula terhadap Bhatara
Nagaraja. Danghyang Sidhimantra gembira hatinya melihat anaknya hidup kembali dan telah
menuruti nasehatnya, lalu memohon diri kepada Bhatara pulang kembali ke Jawa. Setelah
sampai di Pantai Desa Gadingwani maka beliau berhenti berjalan seraya berpikir – pikir: “Jika
tidak dibuatkan empengan, tentu I Bagus kembali lagi ke Jawa. Lalu Sang Pendeta Anggranasika
(melihat ujung hidung) mempersatukan bathinnya untuk mengadakan suatu ciptaan. Tiba – tiba
Desa Gadingwani lenyap seketika itu, lalu digoreskan tongkatnya maka terjadilah suatu
hubungan laut Utara dengan laut Selatan merupakan selat kecil dinamai segara Rupet.
Demikianlah riwayatnya yang tercantum dalam pustaka Rajapurana, asal mulanya anak cucu dan
turunan – turunan Ida Manik Angkeran menjadi juru sapu paming di Parhyangan Besakih.
Kemudian dari pada itu turun – turunan Ki Pangeran Mas membuat pula pura disana diberinya
nama juga Bukeabe, yang patut diselenggarakan oleh Sang Brahmana Wangsa semua terutama
oleh turun – turunan I Pangera Mas.
Apabila ada kemudian turun – turunan I Bendesa Mas tidak ingat dengan persembahyangannya
terhadap Pura Pule dan Bukeabe, seluruh keluarga Pangeran Masti tidak mendapat selamat, surut
kebijaksanaannya, anak cucunya putus, berlaku durhaka dan menyalahi tata tertib/susila, tidak
putus – putusnya dirundung kemalangan, karena tidak menuruti ucapan piagam – piagam.
Demikianlah amanat I bendesa Mas kepada anak cucunya. “Janganlah engkau anak cucuku lupa
terhadap amanatku ini”. Demikianlah kata Bendesa Mas terakhir.
Ada pula anugerah Ida pedanda Dwijendra dulu terhadap I Pasek dan I Bendesa Mas, yaitu:
Pada waktu mati kemudian, boleh memakai trilaksana, menggunung pitu, ancak taman, kapas
warna sembilan, karang liman, memakai Bhoma bersayap, berbulu cintya reka, saluyang lengkap
dengan segala upakara yang utama, berkajang, berkalasa, berpatrang, berkemul, terpana,
paturalangan yang berbentuk serba bintang, boleh dipergunakan nista media utar, matebas –
tebas, utamanya dengan uang 8000, madya 4000, nista 2500, nistaning nista 1700.
Semua itu patut diwarisi oleh anak cucunya terus menerus, Amanat paduka Bhatara Sakti
Wahurawuh demikian itu dinasehatkan oleh Pangeran Mas kepada anak cucunya.
Sumber : http://nugraha4.tripod.com