Babad Pasek

33
BABAD PASEK Zaman bahari tatkala nusa Bali dan Lombok masih berkeadaan goncang, sebagai perahu di atas lautan selalu goyang dan oleng. Nusa Bali dan Lombok ketika itu hanya ada gunung di Bali, bagian Timur gunung Lempuyang namanya. Bagian selatan gunung Andakasa, bagian Barat gunung Watukaru, bagian Utara Gunung Mangu namanya dan pula gunung Bratan. Sebab itu mudahlah oleh Hyang Haribhawana menggoyangkan nusa ini. Dengan demikian bhatara Pasupati sangat belas kasihan melihat halnya pulau Bali ini, maka berkenanlah Bhatara membongkar sebagian lereng gunung Mahameru, dibawa ke Pulau Bali dan Lombok, si Badawang nala diperintahkan diam bertahan di pangkal gunung, Sang Anantabhoga dan Naga Basuki menjadi tali gunung itu, sedang Naga Taksaka menerbangkan. Diturunkan di Bali pada hari Kamis Keliwon wuku Merakih, sasih kedasa (April) bulan mati (tilem), rah 1, tanggek 1, tahun Caka 11. Setelah beberapa tahun lamanya rusaklah nusa Bali, pada hari Kamis Keliwon wuku Telu, sedang hari Purnama raya, sasih Kasa (Juli), rah 7, tenggek 2, tahun Caka 27, ketika itu hujan sangat lebat disertai angin topan guruh kilat bersambungan, akhirnya terjadi gempa bumi disertai suara dentuman – dentuman sehingga dua bulan lamanya hujan saja, akhirnya meletus gunung Agung (Tolangkir) keluar air salodaka (air belerang) dari sana. Setelah beberapa tahun antaranya, maka pada hari Selasa Keliwon wuku Kulantir, sasih Kalima (Nopember), kebetulan bulan Purnama, tahun Caka 31, meletus, pula gunung Agung itu, maka tampak keluar

Transcript of Babad Pasek

Page 1: Babad Pasek

BABAD PASEK

Zaman bahari tatkala nusa Bali dan Lombok masih berkeadaan goncang, sebagai perahu di atas lautan selalu goyang dan oleng. Nusa Bali dan Lombok ketika itu hanya ada gunung di Bali, bagian Timur gunung Lempuyang namanya. Bagian selatan gunung Andakasa, bagian Barat gunung Watukaru, bagian Utara Gunung Mangu namanya dan pula gunung Bratan. Sebab itu mudahlah oleh Hyang Haribhawana menggoyangkan nusa ini.

Dengan demikian bhatara Pasupati sangat belas kasihan melihat halnya pulau Bali ini, maka

berkenanlah Bhatara membongkar sebagian lereng gunung Mahameru, dibawa ke Pulau Bali dan

Lombok, si Badawang nala diperintahkan diam bertahan di pangkal gunung, Sang Anantabhoga

dan Naga Basuki menjadi tali gunung itu, sedang Naga Taksaka menerbangkan. Diturunkan di

Bali pada hari Kamis Keliwon wuku Merakih, sasih kedasa (April) bulan mati (tilem), rah 1,

tanggek 1, tahun Caka 11.

Setelah beberapa tahun lamanya rusaklah nusa Bali, pada hari Kamis Keliwon wuku Telu,

sedang hari Purnama raya, sasih Kasa (Juli), rah 7, tenggek 2, tahun Caka 27, ketika itu hujan

sangat lebat disertai angin topan guruh kilat bersambungan, akhirnya terjadi gempa bumi disertai

suara dentuman – dentuman sehingga dua bulan lamanya hujan saja, akhirnya meletus gunung

Agung (Tolangkir) keluar air salodaka (air belerang) dari sana.

Setelah beberapa tahun antaranya, maka pada hari Selasa Keliwon wuku Kulantir, sasih Kalima

(Nopember), kebetulan bulan Purnama, tahun Caka 31, meletus, pula gunung Agung itu, maka

tampak keluar Bhatara Hyang Putrajaya disertai adiknya Bhatari Dewi Danu, turun menuju

Besakih, terus menetap bertempat di sana disebut Parhyangan bergelar Hyang Mahadewa.

Bhatara Dewi Danu berparhyangan di Ulu Danu Batur dan Bhatara Hyang Genijaya

berparhyangan di Gunung Lempuyang.

Demikianlah riwayatnya pada zaman bahari, ketika Bhatara itu berangkat ke Bali diutus Hyang

Pasupati, dengan sabdanya “Anakku bertiga kamu Mahadewa, Danu, dan Genijaya tidak lain

hanya engkaulah kusuruh pergi ke Bali menjadi Pujangga orang Bali”.

Demikianlah sabda Hyang Pasupati lalu tiga Bhatara aitu datang menyembah, katanya: “Ya

Tuhanku Bhatara, bukan karena kami akan menolak perintah Bhatara, hanya kami perlu

Page 2: Babad Pasek

kemukakan bahwa kami masih dalam keadaan anak - anak belum dewasa, tentunya kami tidak

tahu jalan mana yang harus kami tempuh”.

Jawab Hyang Pasupati: “Anakku, janganlah bersusah hati, aku akan memberi engkau wahyu,

supaya segala kehendakmu itu kesampaian hendaknya, sebab engkau adalah anakku sekarang”.

Setelah itu maka Bhatara tiga itu diberi yoga, ditempatkan dengan gaib didalam kelapa gading,

kemudian berjalanlah mereka itu melalui dasar laut dengan segera tiba di gunung Tolangkir

berparhyangan di Besakih. Demikianlah riwayatnya.

Diceritakan pula Bhatara Hyang Pasupati di Gunung Himalaya, memberikan nasehat kepada para

Mpu semuanya, katanya: “Cucuku semua, dengarkanlah nasehatku kepada cucuku sekalian,

bahwa aku telah memberi izin kepadamu sekalian untuk ke Bali, melaksanakan yoga disana,

menyertai anakku Hyang tiga itu”.

Dalam antara itu diceritakan pula orang – orang yang bertapa di lereng Gunung Tolangkir yang

berlanjut timbulnya raja yang memerintah pulau Bali. Konon permulaan penjelmaan raja ini

diperintahkan oleh Tuhan untuk menjelma dimasukkan ke dalam selubung buah kelapa. Setelah

duduk sebagai raja, digelari Shri Aji Masula – Masuli. Ketika itu sangat sejahtera masyarakat

Bali, karena raja itu selalu melakukan Dharma keparamerthan, cinta bakti kepada dewa – dewa

dan kawitan – kawitan.

Hal ini didengar oleh Shri Aji Mayadanawa, tentang halnya orang Bali semua, suka ria hatinya

mempersembahkan Widhi – Widhana pujawali. Kemudian ia menuju ke desa Manikmao. Raja

ini berhenti dengan maksud menanti orang – orang Bali yang akan pergi ke Besakih. Kemudian

datanglah orang – orang Bali berduyun – duyun laki perempuan, bersama anak cucunya yang

masih digendong, membawa sesaji untuk persembahan. Raja Mayadanawa berkata: “Hai engkau

orang Bali, akan pergi kemana engkau membawa sesaji persembahan sangat lengkap?”

Orang – orang Bali menjawab: “Ya, Tuhanku, kami sekalian pergi ke Pura Besakih, ke

Dalempuri, mempersembahkan bakti kepada Bhatari!” Raja bersabda pula: “O, ya, engkau

sekalian pergi ke Dalem? Apa yang engkau minta disana?”

Page 3: Babad Pasek

“Kami minta tirtha sarining tuwun (sari tanam – tanaman) supaya makmur dan menjadi tanam –

tanaman kami dan minta keselamatan diri supaya mandapat umur panjang”, demikian jawab

orang – orang Bali.

Raja Mayadanawa menjawab dengan berang serta menghardik: “Jika demikian halmu, aku tidak

mengijinkan, jangan engkau kesana, sesungguhnya akulah Dalem Jati di Dalempuri dan di

Besakih tidak ada dewa, tidak ada dalem disana, aku diberi bakti, aturi aku saji – saji.

Dengan hal yang demikian itu, tidak seorangpun yang berani meneruskan perjalanannya, semua

kembali dengan rasa sedih. Ketika itu terjadi pada tahun Caka 896.

Perbuatan Mayadanawa itu didengar oleh Hyang Mahadewa, yang kemudian ia mohon izin pada

Bhatara Pasupati untuk menghancurkan si Mayadanawa. Akhirnya terjadilah peperangan yang

sangat panjang. Maka datanglah saatnya Shri Mayadanawa dibinasakan dalam pertempuran serta

pula maha patihnya yang bernama Kalawong. Hal itu terjadi dipangkung Patas di sana mereka

berdua menjadi tawulan batu padas. Dari seluruh sendi tulangnya mengalir darah yang tiada

hentinya sehingga merupakan anak kali. Maka darah itu dikutuk oleh Bhatara Whai Mala yang

sekarang dinamai Tukad Petanu.

Dan lagi sebabnya ada yang disebutkan Tirtha Empul dan Whai Cetik, dahulu ketika laskar dewa

- dewa dalam keadaan tertekan dalam perang yang banyak menemui ajalnya di Tegal

Pegulingan, karena kena air racun atas upayanya Mayadanawa dengan Kalawong, ketika itu

mengertilah Bhatara bahwa laskarnya kena tipu muslihat musuh, segera Bhatara melakukan yoga

dengan memancangkan panji – panjinya (umbul – umbulnya), maka keluarlah Tirtha Amertha

yang sangat besar dan mujarab menghidupkan kembali para laskar dewa yang telah meninggal.

Demikian riwayatnya dahulu diwarisi sampai sekarang.

Setelah beberapa tahun selang dari peperangan itu, Bhatara Pasupati bersabda kepada para Panca

Pandita, katanya: “Cucuku sekalian, dengarlah kataku ini! Janganlah engkau lupa terhadap

bathin ketuhanan yang menjadi pokok kependetaan terutama ajaran kemoksaan dan ajaran –

ajaran filsafat. Kemudian apabila ada turun – turunanmu, anak cucumu, sampaikan juga

nasehatmu kepadanya, supaya mereka ingat akan tugas dharmanya terhadap ke-Tuhanan dan

Page 4: Babad Pasek

kependetaan. Jangan hendaknya anak cucumu lupa dan tidak setia pustaka suci, bukanlah

keturunanmu jika lupa akan dharmanya, moga – moga mereka susut menurun menjadi ksatria.

Dan yang penting harus diperingatkan, supaya selalu diselenggarakan tempat – tempat pemujaan

kepada kawitan – kawitannya (leluhurnya) demikian pula tentang pujawalinya sampai kemudian

hari”. Demikian sabda Bhatara Pasupati, maka seluruh Panca Pandita itu diperciki tirtha Amertha

baiknya.

Di lain pihak diceritakan Mpu Genijaya pergi ke Bali menumpang perahu dari daun kiambang

(kapu – kapu), memakai layar daun pangi, pada hari Kamis Keliwon masa Kadasa tanggal satu

(Pratipada gukla) tahun caka 1079 (muka purwatadik witangcu).

Tidak diceritakan panjang lebar betapa hal di dalam perjalanan, pada suatu ketika tibalah di

Pantai Nusa Bali yaitu di Cilayukti. Maka terlihat oleh adiknya Mpu Kuturan, bahwa kakaknya

datang. Dengan tergopoh – gopoh Mpu turun menjemput kakaknya di pantai, dengan sujud

menyembah lalu berkata.

“Selamat datang kakak pendeta, silahkan masuk ke dalam Parhyangan”. Mpu Genijaya

mengangguk mengiakan seraya berkata “Marilah kita bersama –sama”, demikian katanya lalu

tangannya dituntun oleh adiknya menuju Parhyangan. Setelah sampai dalam parhyangan lalu

masing – masing duduk di tempat yang telah tersedia. Selama dalam parhyangan pendeta

berkakak adik itu tiada putus – putusnya bercakap – cakap memperbincangkan ajaran agama dan

filsafat mengenai Ketuhanan.

Setelah beberapa hari lamanya di Cilayukti, besok paginya pergilah Mpu Genijaya diiringi

adiknya Mpu Kuturan menuju ke Dasar. Demi terlihat

oleh Mpu Gana bahwa kakaknya datang, maka dengan tergopoh – gopoh menyongsong seraya

menyembah, katanya: “Silahkan paduka kakak pendeta masuk bersama adik Mpu Kuturan”.

Dengan bertuntunan tangan bertiga pendeta berkakak beradik itu masuk dalam parhyangan.

“Silahkan kakak pendeta duduk – duduk katanya Mpu Gana. Marilah adikku berdua, bersama –

sama duduk dengan kakak”!

Page 5: Babad Pasek

Setelah sama – sama duduk di tempatnya masing – masing dalam parhyangan, maka mulailah

pembicaraan yang mengenai ajaran kebatinan, sampai kepada ajaran kemoksaan. Memang

demikian seharusnya bagi orang - orang yang telah menduduki derajat Pendeta.

Besoknya pagi – pagi Mpu Genijaya pergi ke Besakih diiringi oleh dua orang adiknya Mpu Gana

dan Mpu Kuturan. Setelah tiba, mereka langsung menuju parhyangan tempatnya Mpu Semeru,

bahwa kakaknya datang disertai oleh dua orang adiknya, maka sangatlah gembira hatinya seakan

– akan mendapat percikan tirtha amertha seraya bersujud mencakupkan tangan menyembah

disertai dengan ucapan weda jaya – jaya “selamat datang”. Demikian pula kakaknya membalas

dengan weda jaya – jaya, selamat, suara genta seakan – akan kumbang mencari madu bunga.

Setelah itu maka Mpu Semeru berkata: ”Kakak Pendeta silahkan duduk bersama – sama adik

berdua”. Marilah sama- sama kita duduk adik – adik sekalian, kakak mengijinkan “Jawab Mpu

Genijaya”. Setelah sama – sama duduk Pendeta empat itu, maka Mpu Semeru

bertanya:”Kapankah kakak pendeta turun ke Bali? Siapa yang mengiring”?

“Kakak sendiri saja tidak ada pengiring, turun di Cilayukti lebih dulu, kemudian ke Dasar,

akhirnya datang kemari”. Selanjutnya terus mareka bercakap – cakap tentang hal ilmu bathin,

filsafat ke-Tuhanan, Reg dan Yajur Weda, sampai juga kepada satuan – satuan huruf suci

(Wijaksara).

Kemudian daripada itu tibalah hari Purnama Kapat, yaitu patirthan Bhatara Putrajaya, lalu

pendeta empat itu menghaturkan puja wali. Tidak diceritakan betapa ramainya suasana yajna itu

dan sekalian orang sama girang menghaturkan sembah.

Setelah beberapa tahun antaranya, diceritakan kembali halnya Mpu Ketek telah beristri

seorang wanita anak dari Arya Padang Subadera. Dari perkawinan ini lahir seorang putra

bernama Sanghyang Pamanea. Sedang Mpu Kananda beristri dari anaknya Mpu Swetawijaya,

telah juga berputra bernama Sang Kuladewa. Dan Mpu Wiranjana beristri dari anak Mpu

Wiranatha. Mpu Witadharma istrinya adalah anak Mpu Darmaja yaitu cucu dari Mpu Yogiswara,

berputra bernama Mpu Wiradharma.

Mpu Ragarunting beristri anaknya Mpu Wiratanakung, putranya Mpu Wirarunting. Mpu Prateka

mengambil istri anaknya Mpu Pasuruan bernama bang Senetan lalu berputra bernama Hyadnya.

Page 6: Babad Pasek

Mpu Dangka beristri, anaknya Mpu Semedang. Dari pada itu lahir seorang putranya bernama

Mpu Wiradangka, memper seperti nama ayahnya dan memper pula tinggi bathinnya.

Sekianlah jumlah anak dari tujuh bersaudara itu tersebut dalam kitab. Diceritakan pula anaknya

Mpu Bradah dua orang laki – laki. Yang pertama bernama Mpu Ciwagandu mengambil istri

anaknya Mpu Wiraraga, lalu berputra lima orang, wanita empat, laki seorang, semua elok

rupanya, namanya masing – masing ialah: Yang laki bernama Mpu Wiranaga, yang perempuan

bernama Ni Dewi Ratna Semeru, Ni Dewi Girinatha, Ni Dewi Patni, Ni Dewi Sukerti.

Anaknya yang kedua bernama Mpu Bahula beristri anak janda raja Jirah bernama Ni Dewi

Ratnamanggali. Dari perkawinan ini berputra lima orang, empat orang perempuan dan seorang

laki – laki. Namanya masing – masing yang laki – laki bernama Mpu Wiranatha, yang

perempuan bernama: Ni Dewi Dwaranika, Ni Dewi Adnyani, Ni Dewi Amrtajiwa, Ni Dewi

Amrtamangguli. Itulah semua keturunan Brahmana, tingkah laku dan bathinnya sesuai dengan

kawitannya. Apabila salah seorang dari keturunannya itu melanggar nasehat Bhatara Kawitan,

maka ia akan kena kutuk tidak dapat berlaku dalam jalan yang benar (mungpang selaku lampah)

dan lagi selalu menurun derajatnya menjadi orang hina.__

Diceritakan Sang Mpu Bradah turun ke Bali dengan maksud akan datang menghadap kakaknya

di Cilayukti, berhasrat hendak mengetahui bukti – bukti kakuasaan bathin kakaknya. Tidak

direntang panjang betapa halnya dalam perjalanan, dikisahkan telah tiba di Cilayukti dengan

berperahu kayu pelud yang hanya segenggam panjangnya. Mpu Kuturan seraya katanya:

“Adikku selamat datang, silahkan duduk”.

“Ya paduka kakak pendeta, maksud saya datang menghadap ini adalah ingin mengetahui

kekuasaan bathin paduka kakak paduka, jika boleh harap diperlihatkan kepada saya. Jawab Mpu

Kuturan: “Jika demikian maksud adik baiklah kakak penuhi hasrat adik. Itu di sana ada seekor

ayam baru bertelur tiga butir”.

“Terimakasih jika demikian kata Mpu Bradah”. Lalu Mpu Kuturan mengeluarkan kekuasaan

bhatin hatinya, yaitu ditarik dengan kekuatan bathin telur itu, maka dengan seketika itu tiga butir

telur itu datang dengan sendirinya kehadapan Sang Maharani. Oleh karena itu Mpu Kuturan tiga

Page 7: Babad Pasek

butir telur itu ditaruh bertumpuk tiga, lalu bertanya: “Adikku, coba terka apakah nanti lahir dari

masing – masing telur ini?

“Baiklah”, jawab adiknya, seraya menenangkan bathinnya untuk mempersatukan ketajaman

pandangan jiwanya ke dalam telur itu. Tiada lama antaranya Mpu Bradah berkata: “Kakak

Pendeta, telur yang tempatnya teratas saya dengar suaranya menyerupai angsa, kiranya angsalah

yang lahir dari padanya”.

Jawab kakaknya: “Tidak, naga keluar dari dalamnya”. Tiada lama antaranya, telur yang

dibicarakan tadi pecah, lalu keluar anak angsa dari dalamnya.

Mpu Kuturan berkata pula: “Adik, coba terka telur yang ditengah ini; apa nanti lahir dari

dalamnya”?

“Baiklah kakak pendeta”, jawab Mpu Bradah. Sebaiknya saya menerka telur terbawah lebih

dulu. Gagak putih akan keluar dari dalamnya. Tiba – tiba telur tadi pecah, keluar seekor Gagak

putih dari dalamnya, sekejap mata itu telah mulai belajar terbang di udara.

Kata Mpu Kuturan pula: “Adik, kini masih sebutir, coba terka lagi!”

Jawab adiknya: “Ya kakak pendeta, telur ini akan melahirkan dua ekor naga”.

Sekejap itu telur yang ketiga (di tengah) itu pecah keluar dua ekor naga yang buas, mulutnya

menganga hebat dahsyat, taringnya tampak tajam – tajam, culanya berapi – api mengkilat – kilat

lalu terbang ke udara turun di Besakih. Demikian ceritanya.

Setelah selesai peristiwa yang mentakjubkan itu, lalu Mpu Bradah bersemadi sejenak mencipta

dengan kekuatan ilmu aji Basundari dan ketajaman pemandangan, kelihatan olehnya butir telur

mengambang di tengah lautan sebelah timur Gunung Cilayukti. Apabila tidak keberatan, coba

persatukan pandangan bathin, apa gerangan lahir dari padanya nanti.

“Baiklah kanda coba permintaan adinda” Jawab Mpu Kuturan seraya mengumpulkan dan

semusatkan bathinnya dengan ilmu aji Antasiksa guhjawijaya, akan keluar dari dalamnya

pancawarna”.

Page 8: Babad Pasek

Mpu Bradah berkata: “Tidak”. Tiba – tiba pecah telur itu, keluarlah dari dalamnya hujan bunga

panca warna harum semerbak memenuhi udara. Mpu Bradah berkata pula: “Wah benar kakak,

coba yang lainnya diterka lagi!”. “Adikku jawab Mpu Kuturan, telur yang di tengah air tirtha

Kamandalu asinya”. Tiba – tiba pecah telur yang ditengah itu. Seketika itu bergelora samudra

itu, karena kaluarnya air tirtha Kamandalu bertempatkan kendi manik. Mpu Bradah berkata pula:

“Kakak pendeta telur yang masih sebutir lagi yang tempatnya terbawah, apa gerangan keluar dari

dalamnya, cobalah diterka baik – baik!” Mpu Kuturan menjawab: “Adikku, telur yang terbawah

itu Badawangnala lahir dari padanya”. Baru pecah telur itu, memang benar lahir seekor

Badawangwala dari dalamnya bersayap gerinsing wayang, berbulu piteala sutra yang sangat

mentakjubkan. Ketika itu timbul benci hatinya Mpu Bradah, lalu mengucapkan kutuk katanya.

“Hai kamu Bedawangnala! Karena engkau ia jatuh ke Bumi, dari sejak ini sampai kemudian

tidak boleh engkau bertelur dalam lautan moga – moga engkau dimakan ikan besar, salahmu

durhaka kepadaku”. Demikianlah sabda Mpu Bradah sangat manjurnya. Itulah sebabnya bangsa

penyu bertelur di daratan pantai laut dan banyak makhluk lahir dari padanya misalnya menjadi

ular, penyu, empas, dan kura – kura. Beberapa hari antaranya, tibalah hari Kamis Wage dan

Jumat Kliwon Wuku Sungsang, yaitu Sugihan Jawa dan Bali, maka beliau itu turut melakukan

hari sugihan manik itu. Ketika itu pertama kali dirayakan hari Sugihan Jawa dan Bali. Yang

disebut Sugihan Manik atau Ulihan Jawa, hari Kamis Wage, sedangkan Sugihan atau Ulihan

Bali, hari Jumat Keliwon Sungsang.

Tiada diceritakan betapa kehidupan selanjutnya, pada suatu hari pulang Mpu Bradah itu ke Jawa,

setelah mohon diri kepada kakaknya Mpu Kuturan. Setelah meninggalkan padang lalu pergi ke

Gelgel menju Dasarbhuwana. Tidak disebutkan apa pembicaraannya di Gelgel, setelah mohon

diri daripada kakaknya disana lalu pergi ke Besakih, kemudian dari Besakih menuju Gunung

Lempuyang. Setelah selesai mohon diri kepada kedua kakaknya ini, maka Mpu Bradah

melanjutkan perjalannya ke Jawa berparhyangan di Pejarakan.

Tidak diceritakan betapa halnya Mpu Kuturan mengatur kesejahteraan masyarakat. Lama

kelamaan maka pulanglah Sang Pancatirtha itu ke Suksmataya (ke alam baka), merupakan dhat

Tuhan atau roh suci. Yang disebut Panca Tirtha itu ialah: Mpu Genijaya, Mpu Semeru, Mpu

Gana, Mpu Kuturan, Mpu Bradah. Kini diceritakanlah lebih lanjut, anak cucu dan turun –

Page 9: Babad Pasek

turunan dari Sang Panca Tirtha itu semua, sangat astiti dan bakti terhadap Tuhan, terutama

terhadap leluhurnya yang telah merupakan Dewata. Pada suatu ketika pada saat akan datangnya

hari Purnama Kapat yaitu pujawali Bhatara – Bhatari di Besakih maka bermusyawarahlah Sang

Sapta Pandita disertai oleh anak – anaknya sekalian, terutama Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu

Wiradnyana, Mpu Wira Dharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, Dan Mpu Dangka.

Mpu Ketek berkata: “Adik – adikku dan putra – putraku sekalian, oleh karena Abra Sinuhun

(Kawitan) kita telah pulang ke alam baka, serta mengingat nasehat – nasehat beliau dulu, apabila

hari Purnama Kapat harus ada pujawali di Besakih. Kini hari yang penting itu akan tiba

maksudnya kita harus berkemas akan pergi ke Bali menghadap Bhatara dan menghaturkan

Pujawali dan Widhi – Widhana”. Jawa adik – adiknya sekalian: “Jika demikian, kami sangat

setuju pendapat paduka kakak, marilah berkemas berangkat”.

Kemudian daripada itu datanglah hari Kemis Wage Sungsang, lalu para Mpu sekalian ke Besakih

untuk melakukan Sugimanik di sana dahulu. Setelah selesai di sana dilanjutkan ke Lempuyang,

dari Lempuyang ke Dasar dan terakhir di Cilayukti.

Setelah selesai tugas persembahan sekalian para Mpu itu maka mohon dirilah mereka pergi

sekalian kembali ke Jawa. Selanjutnya tiap – tiap tahun (ngatewag) para Mpu itu pergi ke Bali

menghaturkan pujawali kepada Bhatara – Bhatara (di sebelah Tuhan Yang Maha Esa terhadap

roh – roh suci leluhurnya).

Setelah beberapa tahun lamanya, diceritakan bahwa Mpu Ketek telah mempunyai seorang anak

dewasa bernama Sanghyang Pamanca mengambil istri seorang Mpu Ciwangandu yang bernama

Ni Dewi Daranika termasuk sepupu tingkat kedua (mindon).

Adapun anaknya Mpu Kananda bernama Mpu Swetawijaya beristrikan anaknya Ni Dewi

Dwaranika bernama Ni Dewi Adnyani.

Anaknya Mpu Wirajaya bernama Mpu Wiranata beristrikan anaknya Mpu Bahula bernama Ni

Ratna Dewi Sumanggali.

Page 10: Babad Pasek

Anaknya Mpu Wiradharma bernama Mpu Wiradarma mengambil seorang istri anaknya Mpu

Bahula juga yang bernama Ni Dewi Girinatha.

Anaknya Mpu Ragarunting bernama Mpu Paramadaksa beristri kepada anaknya Mpu Ciwagandu

bernama Ni Dewi Amrthajiwa. Dan anaknya Mpu Prateka bernama Mpu Pretekayadnya beristri

anaknya Mpu Bahula bernama Ni Dewi Sumanggali.

Demikian pula anaknya Mpu Dangka bernama Mpu Wiradangka pun telah beristri anaknya

Ciwagandu juga bernama Ni Dewi Sukerti.

Demikian masing – masing para putra Mpu itu telah sama beristri mengambil dari sepupu dan

dua pupu (misan dan mindon), semuanya ahli dengan ajaran agama sama halnya dengan ayahnya

masing – masing.

Kemudian Mpu Wiradharma berputra Mpu Lempita namanya mengambil istri anaknya Sang

Hyang Pamanca bernama Ni Ayu Subrata, kemudian berputra seorang bernama Mpu Jiwaksara.

Dan seorang yang bernama Ni Ayu Sadra adik dari Ni Ayu Subrata dipakai istri Sang Kulpetak

melahirkan seorang putra bernama Danghyang Sang Kulputih. Mpu Wiranatha berputra tiga

orang, seorang laki – laki bernama Mpu Purwanatha dan dua orang wanita bernama Ni Ayu

Wetan dan Ni Ayu Tirtha. Ni Ayu Wetan diperistrikan oleh anaknya Mpu Pradaksa yang

bernama Mpu Wirarunting, lalu berputra dua orang laki perempuan. Yang laki – laki bernama

Mpu Wira Ragarunting.

Anak Mpu Prateka Adnyana bernama Sang Prateka. Anak Mpu Dangka tiga orang, seorang laki

bernama Sang Iradangka, dua orang wanita bernama Ni Ayu Dangka dan Ni Ayu Dangki.

Demikianlah keadaanya anak – anaknya para Mpu waktu di Daha Jawa, semuanya taat

melakukan dharma kepanditaan.

Sampai disini kembali lagi diceritakan, bahwa dahulu ketika para Mpu pergi dari negara Daha,

diusir oleh Shri Dangdang Gendis yaitu Mpu Pamanca, Mpu Swetawijaya, Mpu Wiranatha, Mpu

Wiradharma, Mpu Paramadaksa, Mpu Pratekayadnya, Mpu Wiradangka, semua itu dulu pergi

dari Daha disertai oleh anak cucunya berasrama di Tumapel.

Page 11: Babad Pasek

Diceritakan pula dahulu anaknya Mpu Pamacekan anaknya Sang Kulpotak, anaknya Mpu

Purwanatha, anaknya Mpu Wiradarma, anaknya Mpu Wirarunting, anaknya Mpu Prateka,

anaknya Mpu Wiradangka, semuanya itu pergi dari Tumagel, lalu pergi menuju Negara

Majapahit, di sanalah mereka berasrama ketika Raja Shri Aji Harsawijaya, ketika itu mulai

adanya tujuh bersaudara itu (sanak pitu).

Yang disebut sanak pitu itu adalah: Mpu Pamacekan berputra dua orang laki perempuan yang

bernama Arya Pamacekan, yang perempuan bernama Ni Ayu Ler, dipakai istri oleh putranya

(cucunya) Mpu Wiradharma, bernama Mpu Wijaksana. Dan anaknya Sang Kulputih, dua orang

laki perempuan yang laki bernama Wira Sang Kulputih , yang perempuan bernama Ni Ayu

Swani. Adapun anaknya Mpu Purwanatha dua orang laki –laki perempuan bernama Ken Dedes,

yang laki – laki bernama Mpu Purwa. Dahulu waktu di Tumapel Mpu Purwa beristri anak Aji

Tatar berputra dua orang perempuan yang bernama Ni Swaranika diperstrikan oleh cucunya Mpu

Dwijaksana. Adapun Arya Tatar beristrikan anaknya sang Kultul Putih yang bernama Swani.

Adapun anaknya Mpu Ragarunting, anaknya perempuan bernama Ni Wirarunting diperistrikan

oleh anaknya Mpu Pratekayadnya yang bernama Mpu Prateka. Dua orang adiknya lagi

perempuan bernama Ni kamareka, diperistri oleh anaknya Mpu Wiradangka yang bernama Sang

Wira dangka yang bernama Ni Kamawaka. Sedang Ni Swarareka diperistri oleh Arya Kepasekan

dan adiknya Wira Kadangkan bernama Ni Swari Dangka. Demikianlah keadaanya di Majapahit,

diceritakan setelah wafatnya Shri Aji Bedamuka karena daya upayanya Krian Gajah mada,

demikian pula mahapatihnya Krian Pasung Grigis telah dipenjarakan di Desa Tengkulak. Dan

setelah meninggalnya Krian Patih Kebo Mayura, sangat sunyi sepi negara Bali, pelaksanaan adat

agama sudah lenyap, disebabkan karena tidak ada brahmana diam di Pulau Bali.

Pada waktu menjelang sasih: 6,7,8,9, dan 10 Krian Patih Gajah Mada mengaturi Mpu

Dwijaksara supaya turun ke Bali untuk menyelesaikan kewajiban terhadap puja wali Bhatara di

Besakih, di Gelgel, di Cilayukti, di Lempuyang, dengan tujuan supaya Pulau Bali mendapat

keselamatan dan supaya menjadi Bhagawan Tanya Dalem yang memerintahkan pulau Bali

seluruhnya. Demikian permintaan Krian Gajah Mada, sebab itu Mpu Dwijaksara turun ke Bali

disertai oleh anak istri dan putranya semua.

Page 12: Babad Pasek

Tidak dibicarakan lebih lanjut, pada suatu hari telah tiba di Pura Besakih. Dengan segera

memerintahkan orang – orang Bali yang berdiam di sebelah menyebelah parhyangan supaya

segera memperbaiki bangunan – bangunan yang ada di dalam parhyangan terutama di Besakih.

Orang – orang Bali semua dengan girang memperbaiki masing – masing terutama di Sad

Kahyangan masing – masing. Apabila Kajeng Keliwon: 6, 7, macaru ayam pancawarna, itik

belang kalung.

Pada sasih 8, caru sanak, ayam manca warna, anjing bang bungkem, itik belang kalung, angsa,

kambing, kerbau hitam Sasih 9 ditambah kerbau brakawos, kucit butuh pitu, dinamai tabuh

gentuh. Di Besakih mancawalikrama. Sasih 4 anyiabrahma, setelah itu turun Bhatara Kabeh.

Demikian nasehatnya, maka semua orang – orang Bali menghaturkan wali di parhyangan,

demikian juga di Besakih, di lempuyang, di Batukaru, di Beratan, di Pejeng, di Andakasa di

Gelgel, dan di Cilayukti, mengingat kebijaksanaan jalannya yang ulu dulu. Adapun Dwijaksara

berasrama di Gelgel membuatTaman Darmada, harumnya memenuhi taman itu,

karena kebetulan pertengahan masa kapat, kumbang berdengungan suaranya mengisap bunga.

Diceritakan lebih lanjut tentang hal kembalinya para utusan dari Jawa telah tiba di Gelgel.

Setibanya di Bali segera mengatur pemerintahan dan menjaga tata tertib susila di seluruh Bali

serta mengatur jalannya adat agama mengadakan pura – pura desa balai Agung di seluruh desa di

Bali. Demikian pula yang dijaganya parhyangan di Besakih dan sekitarnya gunung Agung, dan

pura – pura lainnya di Gelgel, Lempuyang, Cilayukti, Watukaru, Bratan, Andakasa, Pejeng, dan

lainnya.

Diatur dan diselenggarakan sesuai dengan yang berlaku dahulu – dahulu, sebagai halnya para

leluhur yang telah ke alam baka dulu. Demikian halnya Krian Patih Ulung bersama saudara –

saudaranya mengatur pemerintahan. Diceritakan Ki Patih Ulung telah mengambil seorang istri

yaitu cucunya Sang Mpu Prateka.

Dari perkawinan ini menghasilkan seorang anak laki – laki bernama Kyai Smaranatha beristrikan

cucunya Mpu Wiradangka bernama Rudani, melahirkan seorang anak laki – laki bernama I Rare

Angon.

Page 13: Babad Pasek

Sementara itu Kyai Bendesa mengambil seorang istri ke desa Manikhyang lalu berputra dua

orang laki – perempuan. Yang laki – laki bernama I Bendesa Manikan, yang perempuan bernama

Ni Luh Manikan diperistri oleh Kyai Rare Angon ada seorang putranya bernama I Pasek Gelgel.

Demikian riwayatnya dahulu keadaan para Mpu tujuh bersaudara itu. Lambat laun turun –

turunannya tidak taat kepada Dharmanya, sehingga menurun derajatnya, ada pula yang menjadi

orang tani. Disebutkan pula anaknya Mpu Ketek bernama Arya Kepasekan. Anaknya ini beranak

pula 2 orang laki perempuan, yang laki bernama Kyai Agung Pamacekan, yang perempuan

bernama Ni Luh Pasek. Anak itu diperistrikan oleh Gusti Pasek Agung Subadra berputra 2 orang

laki – laki bernama I Pasek Gelgel dan Pasek Denpasar.

Lain lagi anaknya Kyai Gusti Agung Kapasekan bernama Sang Kulputih saudara dari mangku

Sang Kulputih, adalah seorang anaknya bernama Kyai Gusti Agung Subadra. Kyai Gusti Agung

Subadra berputra 2 orang laki – laki bernama Kyai Tohjiwa dan Kyai Agung Pasek Subadra. Dan

putranya Mpu Kananda dulu yang bernama Mpu Swetawijaya, Sang Kuladewa Wara Sang

Kulputih, Sang Kulputih ada dua orang anaknya laki perempuan, yang laki bernama Dukuh

Sorga, bertempat tinggal di desa Sorga sama –sama taat beryoga semadi di Besakih. Sekalian

turunan Dukuh Sorga ini menjadi Mangku Sang Kulputih. Dan pula anaknya Mpu Wiradnyana

bernama Mpu Wiranatha telah bernama Mpu Purwanatha, Mpu ini berputra bernama Arya Tatar.

Ki Arya tatar ini berputra Kyai Gusti Pasek Lurah Tatar, anaknya bernama De Pasek Tatar. Apa

sebabnya demikian, karena lahirnya dahulu dari seorang perempuan dari Shri Aji Tatar.

Adapun anak turunannya Mpu Withadarma tiga orang bernama: Mpu Lempita, Mpu Panandha,

dan Mpu Pastika.

Dua orang Mpu ini yaitu Pananda dan Mpu Pastika berasrama di Cilayukti melakukan yoga

sangat taat dan melakukan dharma Sukla Brahmacari meniru halnya Mpu Kuturan yaitu

terhitung Kempiang dari saudara. Adapun Mpu Lampita berputra Mpu Dwijaksara beristrikan

anaknya Arya Tatar lalu bernama Patih Ulung. Patih Ulung ini dijadikan Patih oleh Raja Bali

yang bergelar Shri Aji Tapohulung turunan Dalem Masula – Masuli dulu.

Ada diceritakan lagi seorang anak perempuan dari Pangeran Tangkas sedang remaja putri,

diambil istri oleh Kyai Pasek Agung Gelgel yaitu saudara sepupu olehnya. I Gusti Tangkas Kuri

Page 14: Babad Pasek

Agung merasa akan diri keputungan (keputusan warisan turunan), maka ia beramanat kepada I

Gusti Agung Pasek Gelgel katanya: “Hai anakku Gusti Agung Pasek Gelgel, karena engkau suka

kepadaku, kini bapa menyerahkan diri kepadamu, oleh karena bapa tidak akan mempunyai

keturunan lagi (tidak beranak laki- laki). Kini ada seorang anakku perempuan saudara sepupu

olehmu, apabila kamu suka, bapa akan berikan kepadamu Gusti Agung.

Dan lagi ada harta benda bapa yaitu isi rumah tangga serba sedikit serta pelayanan 200 orang,

semuanya itu anakku mengusahakan. Pendeknya engkau manjadi anak angkatku. Kemudian

apabila bapa pulang ke alam baka supaya anakku menyelesaikan upacara jenazahku. Yang

penting permintaanku adalah agar sama olehmu melakukan upacara sebagai bapa kandungmu

sendiri. Dan peringatanku kepadamu, oleh karena dahulu ada permintaannya Pangeran Mas

kepada leluhur kita, yaitu supaya jangan putus turun – turunan kita dengan sebutan Bandesa.

Sebabnya ialah supaya mudah oleh beliau kelak mengingati turunan - turunan beliau bila ada

lahir dari beliau.

Kini oleh karena bapa memang berasal dari sana, sebab itu bapa minta kepadamu, bila kemudian

ada anugerah Tuhan kepadamu terutama kepada bapa, ada anakku lahir dari sepupumu Ni Luh

Tangkas, supaya ada juga yang memakai sebutan Bandesa Tangkas itu sampai kemudian, supaya

mudah leluhur kita mengingati turun – turunannya nanti di Sorga.

Demikian kata Gusti Tangkas Kori Agung kepada Gusti Pasek Gelgel. Ketika itu I Gusti Pasek

Gelgel belum berani memutuskan sendiri dan menurut permintaan itu, lalu minta timbangan

suadara – saudara sepupu dan mindonnya. Akhirnya disetujui oleh sekalian saudara –

saudaranya, maka ketika itu barulah I Gusti Pasek Gelgel menurut katanya Gusti Tangkas Kori

Agung.

Diceritakan I Gusti Agung Pasek Gelgel kawin dengan Ni Luh Tangkas dengan upacara yang

besar dan meriah. Kecuali dari sanak saudaranya tamu undangan lainnya sangat banyak datang

yang turut memeriahkan perkawinan itu.

Lambat laun cucu Kyai Pasek Agung Gelgel makin mengembang banyak, selalu menjadi tangan

kaki Dalem, pengatur balai Agung di pelosok desa di Bali.

Page 15: Babad Pasek

Diceritakan pula De Gurun Pasek Gelgel ada dua anaknya, yang sulung bernama De Gurun

Pasek Gelgel menjadi kepala pengatur Bale Agung di Desa Gelgel, adiknya bernama De Pasek

Togog menjadi pengatur di Besakih berumah di desa Muntig, ahli dalam hal Rajapurana, ahli

kependetaan dan segala pengetahuannya terutama upacara jenazah serta adat penyelesaiannya,

sampai kepada kemoksaan dan kajang rwabhineda. Kemudian ada tiga orang anaknya laki – laki

yang sulung bernama I Dukuh Ambengan, adiknya De Dukuh Sabudi yang bungsu Dukuh

Bunga. Adapun De Dukuh Ambengan kemudian bernama De Dukuh Badeg, lalu beranak

bernama De Dukuh Prawangsa, semua mengembangkan turunan, semua itu berasal dari satu

kawitan.

Lain lagi anak I Gusti Pasek Agung Gelgel yang lahir dari Luh Tangkas Kori Agung berputra

empat orang laki – laki, yang sulung bernama I Tangkas Kori Agung, adiknya I Bendesa

Tangkas, I Nyoman Pasek Tangkas, dan Pasek Bendesa Tangkas Kori Agung.

Adapun menjadi patindih sebagai Bendesa yang dikirim oleh Dalem ke desa – desa yaitu: I

Bendesa Muncan membukti sawah winih 50, I Bendesa Selat Duta mabukti winih 50, Bendesa

Sebetan mabukti winih 50, I Bendesa Bugbug mabukti rakyat di Bugbug, I Bendesa Sangkiding

mabukti winih 50, I Bendesa Sabegan mabukti winih 50, I Bendesa Timbrah mabukti winih 50,

yang bernama Atakapi. Dan I Bendesa Babi mabukti winih 50, I Bendesa Tumbu mabukti winih

50, adapun I Bendesa Manikan mabukti winih 100, I Bendesa Ujung mabukti winih 50.

Adapun I Pasek Agung Gelgel yang menjadi penghulu di Bale Agung yaitu: I Pasek Budaga, De

Pasek Sangkan Buana, De Pasek Manduang, De Pasek Ahan, De Pasek Akah, De Pasek Gobleg,

De Pasek Bebetin, dan De Pasek Depaa.

I Pasek Akah beranak tiga orang laki – laki bernama: I Wayan Pasek Akah, I Pasek Tabola, I

Pasek Wangsian. Adapun De Pasek Muntig, De Pasek Babi, De Pasek Tista, De Pasek Denpasar,

De Pasek Batudawa, De Pasek Tulamben, De Pasek Narga, De Pasek Kekeran, semuanya itu

turunan De Pasek Gelgel.

Dan De Pasek Tohjiwa turunannya yang menjadi penjaga bumi Tohjiwa, anak – anaknya juga

banyak, semuanya menjadi penyelenggara Bale Agung di desa – desa seluruh Bali.

Page 16: Babad Pasek

Yang Tertua bernama Ki Paseki Tohjiwa, sebagai nama bapanya, adiknya bernama De Pasek

Tanggun Titi, De Panatahan, De Pasek Antasari, De Pasek Galih Ukir, De Pasek Alanglinggah,

De Pasek ring Basang, De Pasek Beda, De Pasek Wanagiri, De Pasek Pejaan, De Pasek Pupuan,

De Pasek Sanda, sekian jumlah turunan Kyai Pasek Tohjiwa.

Adapun turunan Kyai Agung Pasek Subadra, diminta keluar dari Gelgel menuju Bale Agung di

seluruh Bali. Anaknya tertua bernama Pasek Padang Subadra, beruma di Padang,

menyelenggaraan Pura Cilayukti, De Pasek Suladri menjadi Dukuh di Suladri, beryoga di Pura

Dalem menjadi Pamangku, sebab itu bernama Dukuh Suladri. Semenjak itu bernama Dalem

Suladri.

Dan De Pasek Kusamba, De Pasek Bale Agung Bangli, De Pasek Dukuh Pahang, De Pasek

Paguyangan, De Pasek Cemangi Munggu, dan De Pasek di Munggu, De Pasek Titigatung, De

Juntal. Demikian banyak turunan Kyai Pasek Agung Padang Subadra. Banyak turunannya

bercabang ranting.

Adapun turunan De Pasek Tatar, yang sulung bernama Ki Pasek Tatar, adik – adiknya Ki Pasek

Panataran di Desa Telengan, De Pasek Mangku Bale Agung Bukit Cemeng, De Pasek Bale

Agung, De Pasek Pidpid. Sekian turunan De Pasek Tatar sama – sama mengembangkan

turunannya.

Dan turunannya De Pasek Prateka yaitu De Pasek Dukuh Gamengan, De Pasek Dukuh Bilatung,

De Pasek prateka ring Akah, De Pasek ring Nongan, De Pasek Rendag, De Pasek Kusaban.

Sekian mulanya turunan I Gusti Pasek Prateka makin berkembang.

Dahulu ada diceritakan Danghyang Nirartha, pergi dari Daha menuju Majapahit menuju

Danghyang panataran, di sana berputra dua orang laki- laki. Kemudian pergi ke Pasuruhan di

tempat Dnaghyang Parawasikan, berputra dua orang laki- laki, akhirnya beliau ke Brambangan

Keniten semuanya, diterima oleh Dalem juru di Brambangan baik – baik. Tetapi lama kelamaan

adalah timbul pertikaian – pertikaian, sebab disangka permaisurinya Keniten menaruh cinta

kepada Danghyang Nirartha, dituduh memasang guna – guna, sebab itu harum bau keringatnya.

Page 17: Babad Pasek

Adapun Dalem juru ada agak kurang beres ingatannya, disuruh istrinya mengarangkan hal

dirinya sebab itu ada termasuk dalam nyanyian (poezi) “Siapakah yang akan mengobati birahiku

tidak lain permaisuri Kaniten yang seakan – akan Saraswati”.

Danghyang Nirartha pergi dari Brambangan menuju Pulau Bali, mengendarai Waluhkele, tangan

dan kakinya digunakan dayung dan kemudian sedang istrinya dan tujuh putrinya dibuat dengan

jukung bocor.

Tidak diceritakan betapa halnya dalam pelayaran, pada suatu saat turun Danghyang Nirartha di

Kapurancak yaitu di Pantai Pulau Bali. Demikian diceritakan tak dapat taida Dalem Juru akan

memenuhi kehancuran sebab seakan – akan telah kena bajra – wisa dan Dalem Baturenggong

seakan – akan Parupati.

Setelah Danghyang Nirartha turun di Kapurancak lalu meneruskan perjalanannya ke daratan,

diiringi oleh istri dan tujuh orang anaknya.

Di tengah jalan berjumpa dengan seorang gembala, karena ditanya ditanya pendeta, menunjuk

arah ke Timur. Dalam perjalanan menempuh hutan itu tiba – tiba bertemu dengan seekor kera

besar menghalangi menghadang di tengah jalan kecil itu. Pendeta berkata: “Hai kera besar

berikanlah kami jalan.” Lalu kera itupun menghindarkan diri, maka pendeta beserta

rombongannya melanjutkan perjalannya.

Tiba – tiba bertemu pula dengan seekor naga besar menghadang di perjalanan, mulutnya

menganga setinggi orang berdiri. Pendeta lalu masuk ke mulut naga itu sampai ke dalam

perutnya maka dijumpainya sekuntum bunga tunjung lalu dicabutnya. Kemudian keluarlah

beliau dengan wajah muka yang hitam warnanya. Dengan hal yang demikian larilah anak istrinya

kemudian warna muka pendeta itu berubah menjadi warna emas, maka dikumpulkanlah pula

anak istrinya, tetapi sayang seorang anaknya hilang. Putrinya yang hilang itu bernama Ida Ayu

Swabawa, tidak lagi merupakan manusia. Ia itu merupakan orang halus yang luput dari umur tua

dan mati. Beliaulah dianggap Dalem Melanting di Pulaki. Demikian diceritakan.

Sementara itu Sang Rsi Nirartha sampai di Desa Gadingwani, dan kebetulan waktu itu orang –

orang desa Gadingwani diserang penyakit, maka diobati oleh Sang Pendeta dengan sepahnya

Page 18: Babad Pasek

(adem, susur, bhas, Bali) maka sembuh semuanya. Dengan demikian tahulah Kepala Desa

(Bendesa) Gadingwani, bahwa Danghyang Nirartha itu adalah seorang pendeta yang sakti lalu ia

menghadap dengan sembahnya serta memohon agar diberi tirtha pembersihan dirinya (diniksan).

Demikianlah tersebar pula kabar yang menyenangkan ini di seluruh Desa Mas. Maka Pangeran

menghadap kepada pendeta, dengan sangat hormat memohon supaya memberi ajaran agama

kepadanya seraya memberikan tirtha pembersihan (inangshara). Demikianlah riwayatnya.

Ni Ayu Swabhawa yang berbadan gaib di Pulaki, ketika itu ayahnya pergi ke Gelgel akan

memberi tirtha pembersihan (ndisain) Dalem Baturenggong, bermalam di Jembrana di

Banjarwani Tengah dulu, di rumah De Bendesa Mas karena sangat lama Ni Ayu ditinggalkan

oleh ayahnya sangat panas hatinya, lalu beliau mengutuk desa disana yaitu disebelah Utara

Rambut Siwi, orang desa di sana sebanyak 800 perinduhan agar terbakar seluruhnya beserta

penghuninya. Ki Bendesa minta dengan hormat supaya jangan terus mengutuk desa itu,

sementara menanti pendeta dari Gelgel. Tetapi Ni Ayu Swabhawa tidak meluluskan. Hanya ada

pemberiannya yaitu santra utama yang dapat dilakukan dalam hidup dan mati bernama Canting

Mas dan Siwer Mas, Weda Sulambang Geni, Pasupati rencana. Semua itu boleh dipakai oleh

Bedesa Mas dan turun- turunannya selama hidup dalam Pulau Bali.

Kutuk Ni Ayu Makbul. Sebab itu beliau didudukan sebagai Bhatari di Pura Pulaki dijaga oleh

orang – orang yang tidak kelihatan yang disebut Sumedang.

Sementara itu ada diceritakan lain, yaitu Danghyang Sidhimantra berputra seorang laki –laki

yang tabiatnya suka benar berjudi kesana kemari, terkenal dengan namanya Ida Manik

Angkeran. Dahulu semasa beliau masih di Pulau Jawa kalah dalam perjudian, sangat duka cita,

lalu dicuri genta bajra pendeta (ayahnya) yang bernama: I Brahmana, segera pergi ke Pulau Bali

menuju Tolangkir yaitu: di Besakih, lalu berdoa dengan memusatkan pandangannya ke ujung

hidung (angkrana sika) pada sudut sebuah goa, seraya membunyikan genta I Brahmana itu. Maak

terdengarlah suara genta itu oleh Bhatara Naga Basuki dari patala, lalu segera beliau keluar

menjumpai orang yang membunyikan bajra itu, katanya: “Apa sebabnya engkau Bagus datang ke

Bali memanggil aku ini” Ida Manik Angkeran menjawab: “Ya, Bhatara maafkanlah, hamba ingin

Page 19: Babad Pasek

mohon bunga gilosawit, kembang kuning sawit, agar selalu menang dalam perjudian, untuk

bekal ke Majapahit.

Jawab Bhatara: “Jika demikian aku anugrahi engkau menang dalam sambungan ayam supaya

banyak mendapat mas, pulanglah engkau Manik Angkeran.” Hingga tiga kali Bhatara

mengulangi sabdanya itu. Ida Manik Angkeran masih juga tetap diri tidak pergi dari tempatnya

akhirnya ia berkata: “Ya Bhatara hamba ucapkan terima kasih atas anugerah Bhatara. Sebelum

hamba meninggalkan tempat ini sebaiknya paduka Bhatara masuk ke Istana terlebih dahulu.”

Bhatara Naga Basuki masuk dalam goa. Setelah setengah bagian ke dalam goa, maka terlihat

oleh Manik Angkeran sebuah Intan besar yang gemerlapan menjadi perhiasan ekor Bhatara Naga

Raja. Gairah hati Manik Angkeran ingin memiliki intan besar itu tidak tertahan olehnya, lalu

segera menghunus keris pejenengan yang bernama I Gopang, dengan secepat kilat diparangkan

kepada ekor Bhatara itu. Sekali parang, ekor Naga Raja itu putus, maka segera diambil intan itu,

terus dilarikan.

Tidak terperikan murka Bhatara Naga Basuki dengan hal yang demikian itu, segera bekas tapak

kaki Manik Angkeran itu dijilat yang sedang lari sangat deras tersungkur jatuh lalu terbakar

hangus menjadi abu. Sekalipun demikian akibatnya, namun Bhatara Naga Raja tetap berduka

cita.

Diceritakan Danghyang Shidimantra merasa was – was akan terjadi sesuatu bahaya yang

menimpa diri anaknya, karena tidak kembali dalam tiga hari dari kepergian bermain sambung

ayam. Ketika itu kebetulan hari Purnama masa Kapat, Danghyang Sidhimantra hendak memuja,

dicarinya genta bajra si Brahmana sudah hilang, kian bertambah duka cita Sang Pendeta dan

merasa dalam bathinnya: “Wahai kiranya I Bagus (Manik Angkeran) pergi ke Bali” segera

diambilnya daun alang – alang dikucanya keluar api.

Tidak diceritakan lebih lanjut, lalu Sang Pendeta pergi ke Bali menuju ke Besakih. Di muka goa

Bhatara Naga Raja beliau memuja. Tetapi Bhatara tidak keluar. Hingga tiga kali Sang pendeta

memuja, tiba – tiba gemetar permukaan bumi berbarengan dengan keluarnya Bhatara Naga

Basuki. Terlihatlah oleh Bhatara seorang pendeta pucat lesi wajah durjanya bersanda: “Apa

sebab Sang gede datang ke Bali memujaku?”

Page 20: Babad Pasek

“Ya Bhatara, hamba mencari anak hamba Ki Manik Angkeran”, jawab Bhatara Sidhimantra.

Sabda Bhatara: “Wah ia telah hangus menjadi abu. Sebabnya terjadi demikian itu Manik

Angkeran sangat durhaka kepadaku yaitu memotong ekorku ini. Kini apa kehendak Sang Gede?

Apa ingin supaya ia hidup? Saya akan meluluskan apabila Sang Gede dapat menyambung

ekorku kembali sebagai sediakala.”

Demikian sabda Bhatara.

Jawab Sang Pendeta: “Baiklah hamba mengerjakan perintah Bhatara”. Seketika itu ekor Bhatara

Naga Raja yang putus itu dirapatkan dan diberi mantram, maka kembalilah sebagai sedia kala

tidak ada cacatnya.

Sabda Bhatara: “Terima kasih Sang Gede karena Sidhi Mantram Sang Gede, mulai saat ini

berhenti bernama Mpu Bekung, Mpu Sidhimantra nama yang tepat bagi Sang Gede. Sekarang

lihatlah anak Sang Gede, Ki Manik Angkeran. Sang Pendeta menengok ke tempat abu anaknya,

tampak sebuah intan di dalamnya. Intan itu diambil lalu abunya diludahi oleh Mpu Sidhimantra.

Seketika itu Manik Angkeran hidup kembali, tidak ingat kepada dirinya bahwa ia menjadi abu,

segera bangun menggapai intan itu, hendak melarikan diri. Danghyang Sidhimantra cepat

berkata: “Hai bagus apa kehendakmu ini? Intan yang kamu gapai – gapai itu telah Bapa yang

membawanya”.

Manik Angkeran membuka matanya lebar – lebar memperhatikan orang memanggil namanya.

Terlihatlah olehnya Pendeta ayahnya berdiri di hadapannya bersama Bhatara Naga Basuki.

Manik Angkeran berdiam malu. Pendeta Sidhimantra berkata: “Anakku Manik Angkeran,

ketahuilah dirimu bahwa engkau telah mati kemarin, disebabkan karena terlalu durhaka kepada

Bhatara. Kini demi belas kasihan Bhatara engkau hidup kembali, kuserahkan engkau kepada

Bhatara supaya menjadi juru sapu Bhatara Gunung Agung, diberi wewenang turun

menyelenggarakan sembah bakti rakyat Bali”.

Manik Angkeran menuruti perintah ayahnya seraya menyembah, demikian pula terhadap Bhatara

Nagaraja. Danghyang Sidhimantra gembira hatinya melihat anaknya hidup kembali dan telah

menuruti nasehatnya, lalu memohon diri kepada Bhatara pulang kembali ke Jawa. Setelah

sampai di Pantai Desa Gadingwani maka beliau berhenti berjalan seraya berpikir – pikir: “Jika

Page 21: Babad Pasek

tidak dibuatkan empengan, tentu I Bagus kembali lagi ke Jawa. Lalu Sang Pendeta Anggranasika

(melihat ujung hidung) mempersatukan bathinnya untuk mengadakan suatu ciptaan. Tiba – tiba

Desa Gadingwani lenyap seketika itu, lalu digoreskan tongkatnya maka terjadilah suatu

hubungan laut Utara dengan laut Selatan merupakan selat kecil dinamai segara Rupet.

Demikianlah riwayatnya yang tercantum dalam pustaka Rajapurana, asal mulanya anak cucu dan

turunan – turunan Ida Manik Angkeran menjadi juru sapu paming di Parhyangan Besakih.

Kemudian dari pada itu turun – turunan Ki Pangeran Mas membuat pula pura disana diberinya

nama juga Bukeabe, yang patut diselenggarakan oleh Sang Brahmana Wangsa semua terutama

oleh turun – turunan I Pangera Mas.

Apabila ada kemudian turun – turunan I Bendesa Mas tidak ingat dengan persembahyangannya

terhadap Pura Pule dan Bukeabe, seluruh keluarga Pangeran Masti tidak mendapat selamat, surut

kebijaksanaannya, anak cucunya putus, berlaku durhaka dan menyalahi tata tertib/susila, tidak

putus – putusnya dirundung kemalangan, karena tidak menuruti ucapan piagam – piagam.

Demikianlah amanat I bendesa Mas kepada anak cucunya. “Janganlah engkau anak cucuku lupa

terhadap amanatku ini”. Demikianlah kata Bendesa Mas terakhir.

Ada pula anugerah Ida pedanda Dwijendra dulu terhadap I Pasek dan I Bendesa Mas, yaitu:

Pada waktu mati kemudian, boleh memakai trilaksana, menggunung pitu, ancak taman, kapas

warna sembilan, karang liman, memakai Bhoma bersayap, berbulu cintya reka, saluyang lengkap

dengan segala upakara yang utama, berkajang, berkalasa, berpatrang, berkemul, terpana,

paturalangan yang berbentuk serba bintang, boleh dipergunakan nista media utar, matebas –

tebas, utamanya dengan uang 8000, madya 4000, nista 2500, nistaning nista 1700.

Semua itu patut diwarisi oleh anak cucunya terus menerus, Amanat paduka Bhatara Sakti

Wahurawuh demikian itu dinasehatkan oleh Pangeran Mas kepada anak cucunya.

Sumber : http://nugraha4.tripod.com

Page 22: Babad Pasek