BAB5-Nyeri Post Op

download BAB5-Nyeri Post Op

of 16

Transcript of BAB5-Nyeri Post Op

  • BAB V

    HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

    V.I Gambaran Rumah sakit Buah Hati

    RSIA Buah Hati berdiri pada tahun 2005 di Jl. Aria Putra No. 399

    Ciputat Tangerang Selatan yang berawal dari sebuah klinik Praktek Dokter

    bersama. Berkembangnya kebutuhan masyarakat untuk memperoleh

    pelayanan kesehatan yang lebih baik dan lengkap mendorong konsorsium

    dokter-dokter spesialis untuk mengembangkan RSIA Buah Hati menjadi

    salah satu rumah sakit pilihan masyarakat, maka pada tanggal 19 april 2011

    berdiri RSIA Buah Hati di jl. Raya Siliwangi No. 189 Pamulang Tangerang

    Selatan. RSIA Buah Hati mempunyai kapasitas ruang perawatan Ibu 44 bed

    di Ciputat dan 75 bed di Pamulang. Visi : RSIA Buah Hati sebagai rumah

    sakit dengan mutu pelayanan berkualitas, terpadu dan mengutamakan patien

    savety. Misi : Menyediakan dan mengembangkan secara terus menerus

    seluruh sarana dan prasarana penunjang pelayanan, bekerjasama dengan

    berbagai pihak agar dapat meluaskan jaringan pelayanan, mengembangkan

    potensi tenaga secara keseluruhan bagi tercapainya pelayanan kesehatan

    yang baik, mewujudkan kinerja efektif, efisien dan dapat dipertanggung

    jawabkan secara profesional.

    Kebijakan Mutu

    1. Memberikan pelayanan kesehatan yang profesional berorientasi pada

    kepuasaan pelanggan dengan meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan

    SDM

    2. RSIA Buah Hati menyediakan ruang konsultasi dan ruang persalinan yang

    nyaman untuk ibu karena RSIA Buah Hati mengedepankan privasi tinggi

    dan sentuhan khusus bagi wanita.

    3. RSIA Buah Hati memberikan perhatian istimewa kepada anak-anak oleh

    karena itu RSIA Buah Hati menyediakan fasilitas dan pelayanan yang

    terintegrasi khusus untuk anak.

    69

  • 4. RSIA Buah Hati sebagai rumah sakit yang mendukung program nasional

    SAYANG IBU, SAYANG BAYI mengusung program IMD( Inisiasi

    Menyusui Dini) dan Rooming In (rawat bersama ibu dan bayi). Program

    ini adalah salah satu bentuk keperdulian RSIA Buah Hati kepada bayi

    untuk mendapatkan ASI pada awal kehidupannya.

    Filisofi Hospital with homny and Loving care. Tata nilai adalah five pillars

    of excelent (Quality Of Medical Care, Quality People, Quality servis, Quality

    work place and Quality Relation).

    V.2 Hasil Penelitian dan Pembahasan Univariat

    1. Distribusi frekuensi berdasarkan data demografi

    Tabel 5.1

    Distribusi responden berdasarkan data demografi di RSIA Buah Hati tahun 2012 (n=90)

    Variabel Kategori Frekuensi Persen

    (%) Umur < 20 5 5.6

    20 - 35 77 85.6 > 35 8 8.9 Total 90 100.0

    Paritas Primipara 42 46.7 Multipara 48 53.3

    Total 90 100.0

    Distribusi umur responden sebagian besar adalah usia reproduktif.

    Untuk usia reproduktif (20-35) tahun adalah (85,6%), sedangkan diatas 35

    tahun 8,9% dan kurang dari 20 tahun adalah 5,6%.

    Distribusi paritas responden hampir merata untuk masing-masing

    paritas. Untuk responden paling banyak adalah multipara 53,3%

    sedangkan responden primipara 46,7%.

  • 2. Distribusi frekuensi berdasarkan posisi menyusui responden

    Tabel 5.2

    Distribusi responden berdasarkan posisi menyusui di RSIA Buah Hati tahun 2012 (n=90)

    Posisi Menyusui Frekuensi Persen

    (%)

    Tidak tepat 49 54,4

    Tepat 41 45,6

    Total 90 100,0

    Distribusi posisi menyusui hampir merata untuk masing-masing

    posisi menyusui. Paling banyak posisi menyusui dengan tidak tepat

    (54,4%) responden, sedangkan posisi menyusui dengan tepat (45.6%)

    responden.

    Hasil penelitian posisi menyusui tidak tepat pada post partum

    seksio sesarea dikarenakan adanya keterbatasan gerak dan nyeri post

    operasi seksio sesarea sehingga perlu dukungan dari suami,

    keluarga/kerabat dekat dan petugas kesehatan.

    Menurut Wulandari & Handayani (2011) bahwa cara

    pengamatan teknik menyusui yang benar yaitu: bayi tampak tenang,

    badan bayi menepel pada pada perut ibu, mulut bayi terbuka lebar,

    dagu menempel pada payudara ibu, sebagian besar areola mammae

    masuk kedalam mulut bayi, bayi tampak menghisap kuat dengan

    irama perlahan, puting susu ibu tidak terasa nyeri, putting susu ibu

    tidak lecet/luka, telinga dan lengan bayi terletak pada satu garis lurus

    dan kepala bayi tidak mengadah. Posisi saat pemberian ASI pada Ibu

    melahirkan dengan bedah sesar: Ibu dapat dalam posisi berbaring

    miring dengan bahu dan kepala yang ditopang bantal, sementara bayi

    disusukan dengan kakinya ke arah ibu, dan apabila ibu sudah dapat

    duduk, bayi dapat ditidurkan di bantal di atas pangkuan ibu dengan

    posisi kaki bayi mengarah ke belakang ibu di bawah lengan ibu.

  • 3. Distribusi frekuensi berdasarkan nyeri post operasi seksio sesarea

    pada responden

    Tabel 5.3

    Distribusi responden berdasarkan nyeri post operasi di RSIA Buah Hati tahun 2012 (n=90)

    Variabel n Mean Median Modus SD SE Nyeri 90 8,14 8 7 1,001 0,105

    Distribusi rata-rata nyeri post operasi pada responden dengan

    skala nyeri 8, median skala nyeri 8, modus skala nyeri 7, standar

    deviasi 1,001 (skala nyeri 9-7), standar eror 0,105.

    Hasil penelitian bahwa rata-rata nyeri yang dirasakan oleh

    responden skala nyeri 8, menurut Bourbanis skala nyeri tersebut

    tergolong nyeri berat: secara obyektif klien terkadang tidak dapat

    mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat

    menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak

    dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.

    Berdasarkan hasil wawancara kepada responden nyeri akan berkurang

    dan terasa nyaman apabila setelah diberikan terapi analgetik dan

    relaksasi nafas dalam, di RSIA Buah Hati terapi analgetik diberikan

    secara intravena dan supositoria post seksio sesarea sampai 24 jam,

    kemudian diganti dengan terapi analgetik secara oral.

    Defenisi Nyeri International Association for the Study of Pain,

    IASP mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan

    pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan

    kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau yang dirasakan

    dalam kejadian-kejadian di mana terjadi kerusakan (IASP, 1986

    dikutip dari Carrol dan Browsher, 1993). Menurut Ganong (2003)

    nyeri pasca operasi merupakan nyeri menetap selagi luka dalam

    proses penyembuhan yang ditandai dengan nyeri yang berlebihan bila

    daerah luka tersebut terkena rangsangan yang biasanya hanya

    sebabkan nyeri ringan.

  • 4. Distribusi frekuensi berdasarkan mobilisasi post operasi

    responden

    Tabel 5.4

    Distribusi responden berdasarkan mobilisasi post operasi di RSIA Buah Hati tahun 2012 (n=90)

    Mobilisasi Frekuensi Persen (%)

    Pasif 50 55.6 Aktif 40 44.4

    Total 90 100.0

    Tabel 5.4 diatas menunjukkan bahwa dari 90 responden lebih

    banyak yang melakukan mobilisasi pasif (55,6%) dibandingkan yang

    melakukan mobilisasi aktif (44,4%).

    Berdasarkan hasil observasi dan wawancara rata-rata pasien di

    RSIA Buah Hati setelah 36 jam post partum seksio sesarea pasien

    belum berani melakukan mobilisasi secara mandiri, mobilisasi

    dilakukan dengan bantuan keluarga dan tenaga kesehatan dengan

    alasan karena nyeri pada luka operasi.

    Menurut Kasdu, 2003, mobilisasi dini dapat dilakukan pada

    kondisi pasien yang membaik. Pada pasien post operasi seksio sesarea

    6 jam pertama dianjurkan untuk segera menggerakkan anggota

    tubuhnya. Gerak tubuh yang bisa dilakukan adalah menggerakkan

    lengan, tangan, kaki dan jari jarinya agar kerja organ pencernaan

    segera kembali normal. Menurut Carpenito, 2000. Tujuan mobilisasi

    dini yaitu membantu proses penyembuhan ibu yang telah melahirkan,

    untuk menghindari terjadinya infeksi pada bekas luka sayatan setelah

    operasi seksio sesarea, mengurangi resiko terjadinya konstipasi,

    mengurangi terjadinya dekubitus, kekakuan atau penegangan otot

    otot di seluruh tubuh, mengatasi terjadinya gangguan sirkulasi darah,

    pernafasan, peristaltik maupun berkemih).

  • 5. Distribusi frekuensi berdasarkan rooming in responden

    Tabel 5.5

    Distribusi responden berdasarkan rooming in di RSIA Buah Hati tahun 2012 (n=90)

    Rooming in Frekuensi Persen (%)

    Intermiten 53 58,9 kontinu 37 41,1

    Total 90 100.0

    Tabel 5.5 diatas menunjukkan hasil penelitian 90 responden

    lebih banyak yang melakukan rooming in intermiten (58,9,0%) dan

    rooming in kontinu (41,1%).

    Hasil penelitian rata-rata pasien di RSIA Buah Hati melakukan

    rooming intermitten walaupun dari RSIA Buah Hati sudah

    memberikan kebijakan rooming in, sebagian besar pasien belum tahu

    tentang tujuan dan keuntungan dari rooming in oleh karena itu ibu

    mimilih bayi ditempatkan diruang bayi agar ibu dapat istirahat setelah

    menjalani proses persalinan seksio sesarea.

    Rooming in adalah suatu sistem perawatan ibu dan anak

    bersama-sama atau pada tempat yang berdekatan sehingga

    memungkinkan sewaktu-waktu, setiap saat, ibu tersebut dapat

    menyusui anaknya. Rawat gabung dapat bersifat: kontinu: dengan

    bayi tetap berada disamping ibunya terus menerus, atau Intermiten:

    dimana bayi sewaktu-waktu ingin menyusui, atau atas permintaan

    ibunya dapat dibawa kepada ibunya (Soetjiningsih, 1997).

  • 6. Distribusi frekuensi berdasarkan pengeluaran ASI (jam) post seksio sesarea responden

    Tabel 5.6

    Distribusi responden berdasarkan pengeluaran ASI (jam) di RSIA Buah Hati tahun 2012 (n=90)

    Variabel Mean Median Modus SD SE

    Pengeluaran ASI post SC 38,12 48 72 28,157 2,968

    Distribusi rata-rata waktu percepatan pengeluaran ASI pada

    responden adalah 38 jam, median percepatan pengeluaran ASI adalah

    48 jam, modus percepatan pengeluaran ASI adalah 72 jam, standar

    deviasi 28,157( 10 jam- 66 jam) dan standar error 2,968.

    Proses terjadinya pengeluaran air susu dimulai atau dirangsang

    oleh isapan mulut bayi pada putting susu ibu. Gerakan tersebut

    merangsang kelenjar Pictuitary Anterior untuk memproduksi sejumlah

    prolaktin, hormon utama mengandalkan pengeluaran air susu. Proses

    pengeluaran air susu juga tergantung pada let down replex, dimana

    hisapan putting dapat merangsang kelenjar pictuitary posterior untuk

    menghasilkan hormon oksitosin, yang dapat merangsang serabut otot

    halus didalam dinding saluran susu agar membiarkan susu dapat

    mengalir secara lancar. Kegagalan dalam perkembangan payudara

    secara fisiologis untuk menampung air susu sangat jarang terjadi.

    Payudara secara fisiologis merupakan tenunan yang tersusun seperti

    pohon tumbuh didalam putting cabang yang menjadi ranting semakin

    mengecil.

    Susu diproduksi pada akhir ranting dan mengalir kedalam

    cabang-cabang besar mennuju saluran ke dalam putting. Secara visual

    payudara dapat digambarkan sebagai setangkai buah anggur, mewakili

    tenunan kelenjar yang mengeksresi dimana setiap selnya mampu

    memproduksi susu, bila sel-sel myopithelial di dalam dinding alveoli

  • berkontraksi, anggur tersebut terpencet dan mengeluarkan susu ke

    dalam ranting yang mengalir ke cabang-cabang lebih besar, yang

    secara perlahan-lahan bertemu di areola dan membentuk sinus

    lactiferous. Pusat dari areola adalah putingnya, yang tidak kaku

    letaknya dan dengan mudah menghisap mulut bayi. Kolostrum yang

    dihasilkan ibu umumnya diproduksi dalam jumlah yang sangat kecil,

    yaitu sekitar 7,4 sendok teh(36.23ml) perharinya atau sekitar 1,4

    hingga 2,8 sendok teh (6.86-13.72ml) sekali menyusu(http://askep-

    askeb.cz.cc/2010/03/agar-asi-lancar-di-awal-masa menyusui).

    Pada studi 32 ibu dengan bayi prematur disimpulkan bahwa

    produksi ASI akan optimal dengan pemompaan ASI lebih darai 5 kali

    perhari selama bulan pertama setelah melahirkan. Pemompaan

    dilakukan bayi prematur belum dapat menyusu (Hopskinston et

    al,1988 dalam ACC/SCN, 1991). Studi lain yang dilakukan pada ibu

    dengan bayi cukup bulan menunjukkan bahwa frekuensi penyusuan 10

    kali perhari selama 2 minggu pertama setelah melahirkan

    berhubungan dengan produksi ASI yang cukup (de Carvalho, et al,

    1982 dalam ACC/SCN, 1991). Berdasarkan hal ini direkomendasikan

    penyusuan paling sedikit 8 kali perhari pada periode awal setelah

    melahirkan. Frekuensi penyusunan ini berkaitan dengan kemampuan

    stimulasi hormon dalam kelenjar payudara. Setelah areola dan rolling

    massase ASI lebih cepat keluar dibanding sebelum dilakukan tindakan

    tersebut dalam satuan 12 jam pertama kelahiran (Desmawati, 2008).

    Badriul (2010). Menyatakan dua puluh empat jam setelah ibu

    melahirkan adalah saat yang sangat penting untuk keberhasilan

    menyusui selanjutnya. Pada jam-jam pertama setelah melahirkan

    dikeluarkan hormon oksitosin yang bertanggung jawab terhadap

    produksi ASI. Ibu yang menjalani bedah Caesar mungkin belum

    mengeluarkan ASI nya dalam 24 jam pertama setelah melahirkan.

    Kadang kala perlu waktu hingga 48 jam. Walaupun demikian, bayi

    tetap dianjurkan untuk dilekatkan pada payudara ibu untuk membantu

  • merangsang produksi ASI. Secara keseluruhan proses menyusui

    melibatkan 4 faktor, yaitu (1) Bayi, (2) Payudara, (3) Air Susu Ibu dan

    (4) Otak Ibu. Kita sering kali meremehkan peran otak ibu dalam

    proses menyusui. Proses menyusui merupakan jalinan ikatan batin

    anatara ibu dan bayi. Ibu harus menyiapkan dirinya agar berada dalam

    keadaan baik saat menyusui. Perasaan depresi, marah dan nyeri harus

    dihindarkan saat menyusui karena dapat menghambat produksi air

    susu ibu.

    V.3 Hasil Penelitian dan Pembahasan Bivariat

    1. Hubungan posisi menyusui dengan pengeluaran ASI (jam) post seksio sesarea

    Posisi menyusui merupakan variabel independen berupa data

    kategorik yaitu posisi menyusui tepat dan tidak tepat menggunakan

    skala ukur ordinal, sedangkan pengeluaran ASI merupakan variabel

    dependen dengan data numerik menggunakan skala ukur rasio, karena

    itu menggunakan analisa data Uji T-Test Independent.

    Tabel 5.7 Analisis hubungan posisi menyusui dengan pengeluaran ASI (jam)

    pada post partum seksio sesarea di RSIA Buah Hati Tahun 2012 (n=90)

    Variabel n Pengeluaran ASI(jam) post operasi

    P Value

    Mean SD SE Posisi menyusui

    Tepat 41 9,29 6,306 0,985 0,000 Tidak tepat 49 62,24 11,528 1,647

    Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat rata-rata percepatan

    pengeluaran ASI pada ibu post partum seksio sesarea di RSIA Buah

    Hati yang menyusui dengan posisi tepat adalah 9 jam dengan standar

    deviasi 6 jam (3-15 jam), standar error 0,985, sedangkan rata-rata

    percepatan pengeluaran ASI dengan posisi menyusui yang tidak

    tepat yaitu 62 jam dengan standar deviasi 11 jam (51-72jam) dan

  • standar error 1,647. Hasil uji statistik nilai P value = 0,000 (< 0,05),

    berarti ada hubungan yang bermakna antara posisi menyusui dengan

    pengeluaran ASI pada post partum seksio sesarea di RSIA Buah Hati

    Tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa ibu post partum seksio

    sesarea yang menyusui dengan posisi menyusui yang tepat,

    pengeluaran ASInya lebih cepat dibandingkan dengan ibu yang

    menyusui dengan posisi yang tidak tepat.

    Menurut Wulandari & Handayani, 2011. Seorang ibu dengan

    bayi pertamanya mungkin mengalami berbagai masalah, hanya

    karena tidak mengetahui cara-cara yang sebenarnya sangat

    sederhana, seperti misalnya cara menaruh bayi pada payudara ketika

    menyusui, isapan bayi yang mengakibatkan puting susu terasa nyeri,

    dan masih banyak lagi masalah lain. Terlebih pada minggu pertama

    setelah persalinan seseorang, ibu lebih peka dalam emosi. Untuk itu

    seorang ibu butuh sesorang yang dapat membimbingnya dalam

    merawat bayi termasuk dalam menyusui. Orang yang dapat

    membantunya terutama adalah orang berbengaruh besar dalam

    kehidupannya atau yang disegani, seperti suami, keluarga/kerabat

    terdekat, atau kelompok ibu-ibu pendukung ASI dan dokter/tenaga

    kesehatan. Seorang dokter atau tenaga kesehatan yang berkecimpung

    dalam bidang laktasi, seharusnya mengetahui bahwa walaupun

    menyusui itu merupakan proses alamiah, namun untuk mencapai

    suatu keberhasilan menyusui diperlukan pengetahuan mengenai

    teknik-teknik menyusui yang benar. Sehingga pada suatu saat nanti

    dapat disampaikan pada ibu yang membutuhkan bimbingan laktasi.

    2. Hubungan nyeri post operasi dengan pengeluaran ASI (jam) pada ibu post partum seksio sesarea

    Nyeri post operasi merupakan variabel independen berupa

    data kategorik yaitu nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat terkontrol

    dan nyeri berat tidak terkontrol menggunakan skala ukur interval,

    sedangkan pengeluaran ASI merupakan variabel dependen dengan

  • data numerik menggunakan skala ukur rasio, karena itu

    menggunakan analisa data Uji T-Test Dependent.

    Tabel 5.8

    Analisis hubungan nyeri dengan pengeluaran ASI (jam) pada post partum seksio sesarea di RSIA Buah Hati Tahun 2012 (n=90)

    Variabel n Mean SD SE P

    value

    Nyeri

    90

    8,14 1,001 0,105

    0,000 Pengeluaran ASI (jam) post SC 38,12 28,157 2,968

    Tabel 5.8 hasil penelitian dari 90 responden rata-rata

    mengalami nyeri post operasi seksio sesarea dengan skala nyeri 8

    dengan standar deviasi 1,001 (skala nyeri 7-9) dan standar error

    0,105. Sementara itu nilai rata-rata percepatan pengeluaran ASI pada

    responden tersebut adalah 38 jam dengan standar deviasi 28 jam (10-

    66 jam) dan standar error 2,968. Hasil uji statistik nilai P value =

    0,000 (< 0,05), berarti terdapat hubungan yang bermakna antara

    nyeri post operasi dengan pengeluaran ASI pada post partum seksio

    sesarea di RSIA Buah Hati Tahun 2012. Berarti semakin tinggi nyeri

    yang dialami ibu post partum seksio sesarea maka semakin lambat

    pengeluaran ASI nya.

    Menurut Saleha (2009). Apabila bayi disusui, maka gerakan

    yang menghisap akan berirama yang akan menghasilkan rangsangan

    saraf yang terdapat didalam glandula pitutiari posterior. Akibat

    rangsang reflex ini ialah dikeluarkannya oksitosin dan pitutiari

    posterior. Hal ini akan menyebabkan sel-sel miopitel disekitar

    alveoli akan berkontraksi dan mendorong air susu masuk ke dalam

    pembuluh darah ampulae. Refleks ini dapat dihambat oleh adanya

    rasa sakit, misalnya jahitan luka operasi. Dengan demikian, penting

    untuk menempatkan ibu dalam posisi yang nyaman,santai dan bebas

    dari rasa sakit terutama pada jam-jam menyusukan bayi.

  • 3. Hubungan mobilisasi dengan pengeluaran ASI pada post partum

    seksio sesarea

    Mobilisasi merupakan variabel independen berupa data

    kategorik yaitu pasif dan aktif menggunakan skala ukur ordinal,

    sedangkan pengeluaran ASI merupakan variabel dependen dengan

    data numerik menggunakan skala ukur rasio, karena itu

    menggunakan analisa data Uji T-Test Independent.

    Tabel 5.9 Analisis hubungan mobilisasi dengan pengeluaran ASI (jam) pada post

    partum seksio sesarea di RSIA Buah Hati Tahun 2012 (n=90)

    Variabel N Pengeluaran ASI(jam) post operasi

    P Value

    Mean SD SE Mobilisasi Aktif 40 18,68 21,62 3,42 0,000

    Pasif 50 53,68 22,62 3,20

    Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat rata-rata percepatan

    pengeluaran ASI pada ibu post partum seksio sesarea di RSIA Buah

    Hati yang melakukan mobilisasi aktif adalah 18 jam dengan standar

    deviasi 21 jam, standar error 3,42, sedangkan rata-rata percepatan

    pengeluaran ASI dengan mobilisasi pasif yaitu 53 jam dengan

    standar deviasi 22 jam dan standar error 3,20. Hasil uji statistik nilai

    P value = 0,000 (< 0,05), berarti ada hubungan yang bermakna

    antara mobilisasi dengan pengeluaran ASI pada post partum seksio

    sesarea di RSIA Buah Hati Tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa

    ibu post partum seksio sesarea yang melakukan mobilisasi aktif,

    pengeluaran ASInya lebih cepat dibandingkan dengan ibu yang

    melakukan mobilisasi pasif.

    Cunningham (2005) menyatakan bahwa ambulasi pada

    sebagian besar kasus, pada hari pertama setelah pembedahan, pasien

    dengan bantuan perawat dapat bangun dari tempat tidur sebentar-

    bentar sekurang-kurangnya 2 kali. Ambulasi dapat ditentukan

    waktunya sedemikian rupa sehingga preparat analgesik yang baru

    saja diberikan akan mengurangi rasa nyeri. Pada hari kedua, pasien

    dapat berjalan kekamar mandi dengan pertolongan. Dengan ambulasi

  • dini, trombosis vena dan emboli pulmoner menerapkan peristiwa

    yang jarang terjadi.

    Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Carpenito (2000)

    bahwa mobilisasi dini adalah suatu upaya mempertahankan

    kemandirian sedini mungkin dengan cara membimbing penderita

    untuk mempertahankan fungsi fisiologi. Dengan melakukan

    mobilisasi dini membantu mempercepat pengeluaran ASI secara

    fisiologis dan dapat melakukan persiapan untuk memperlancar

    pengeluaran ASI. Menurut Saleha (2009) persiapan yang dilakukan

    untuk memperlancar pengeluaran ASI yaitu (1) membersihkan

    putting susu dengan air atau minyak, sehingga epitel yang lepas tidak

    menumpuk. (2) puting susu ditarik setiap mandi, sehingga menonjol

    untuk memudahkan isapan bayi, dan bila putting susu belum

    menonjol, dapat menggunakan pompa susu atau menggunakan jarum

    suntik yang dipotong ujungnya.

    4. Hubungan rooming in dengan pengeluaran ASI pada post partum seksio sesarea

    Rooming in merupakan variabel independen berupa data

    kategorik yaitu intermiten dan kontinu menggunakan skala ukur

    ordinal, sedangkan pengeluaran ASI merupakan variabel dependen

    dengan data numerik menggunakan skala ukur rasio, karena itu

    menggunakan analisa data Uji T-Test Independent.

    Tabel 5.10 Analisis hubungan rooming in dengan pengeluaran ASI ( jam) pada post partum seksio sesarea di RSIA Buah Hati Tahun 2012 (n=90)

    Variabel N Pengeluaran ASI(jam) P

    Value Mean SD SE Rooming

    in Kontinu 37 23,54 25,29 4,16 0,000

    Intermitten 53 48,30 25,63 3,52

    Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat rata-rata percepatan

    pengeluaran ASI pada ibu post partum seksio sesarea di RSIA Buah

    Hati yang melakukan rooming in kontinu adalah 23 jam dengan

  • standar deviasi 25 jam, standar error 4,16, sedangkan rata-rata

    percepatan pengeluaran ASI dengan rooming in intermitten yaitu 48

    jam dengan standar deviasi 25 jam dan standar error 3,52. Hasil uji

    statistik nilai P value = 0,000 (< 0,05), berarti ada hubungan yang

    bermakna antara rooming in dengan pengeluaran ASI pada post

    partum seksio sesarea di RSIA Buah Hati Tahun 2012. Hal ini

    menunjukkan bahwa ibu post partum seksio sesarea yang melakukan

    rooming in kontinu, pengeluaran ASInya lebih cepat dibandingkan

    dengan ibu yang melakukan rooming in intermitten.

    Riset terakhir menunjukkan bahwa jika tidak ada masalah

    medis, tidak ada alasan untuk memisahkan ibu dari bayinya,

    meskipun sesaat (Yamauchi and Yamanouchi 1990; Buranasin 1991;

    Oslislo and Kaminski 2000). Bahkan makin seringnya ibu

    melakukan kontak fisik langsung (skin-to-skin contact) dengan bayi

    akan membantu menstimulasi hormon prolaktin dalam memproduksi

    ASI (Hurst 1997). Karena itu pada tahun 2005, American Academy

    of Pediatrics (AAP) mengeluarkan kebijakan agar ibu dapat terus

    bersama bayinya di ruangan yang sama dan mendorong ibu untuk

    segera menyusui bayinya kapanpun sang bayi menginginkannya.

    Semua kondisi tersebut akan membantu kelancaran dari produksi

    ASI.

    Menurut Soetjiningsih, 1997. Keuntungan rawat gabung:

    menggalakan pemakaian ASI, kontak emosi ibu dan bayi lebih dini

    dan lebih rapat, Ibu dapat segera melaporkan keadaan-keadan bayi

    yang aneh ditemuinya, Ibu dapat belajar cara merawat bayi,

    mengurangi ketergantungan ibu pada perawat/bidan dan

    membangkitkan kepercayaan diri yang lebih besar dalam perawatan

    bayi, dapat tukar pengalaman dengan ibu-ibu lain, termasuk juga

    dapat menimbulkan motivasi penggunaan KB, berkurangnya infeksi

    silang dan berkurangnya infeksi nosokomial, mengurangi beban

    perawatan terutama dalam pengawasan sehingga paramedis bisa

    melakukan pekerjaan lain yang bermanfaat misalnya penyuluhan

  • serta cara-cara perawatan payudara dan cara perawatan bayi.

    Kebijakan Mutu RSIA Buah Hati sebagai rumah sakit yang

    mendukung program nasionanl SAYANG IBU, SAYANG BAYI

    mengusung program IMD( Inisiasi Menyusui Dini) dan Rooming In

    (rawat bersama ibu dan bayi). Program ini adalah salah satu bentuk

    keperdulian RSIA Buah Hati kepada bayi untuk mendapatkan ASI

    pada awal kehidupannya. Tetapi tidak semua pasien menyadari

    betapa pentingnya rooming in sehingga rata-rata pasien di RSIA

    Buah Hati melakukan rooming intermitten dikarenakan ingin

    istirahat setelah menjalani persalinan post seksio sesarea.

    V.4 Keterbatasan Penelitian

    Dalam penelitian ini, peneliti masih menemukan keterbatasan-

    keterbatasan dalam melakukan penelitian sebagai berikut :

    1. Keterbatasan Responden dan Waktu Penelitian Selama penelitian responden yang melakukan persalinan seksio

    sesarea di RSIA Buah Hati terdapat 90 responden, dimana respoden ini

    terdapat pasien yang ODC (One Day Care) sedangkan kriteria

    inklusinya yaitu 36 jam post seksio sesarea sehingga peneliti meminta

    bantuan kepada bidan yang merujuk pasien tersebut untuk mengisi

    kuesioner yang di berikan oleh peneliti setelah pasien 36 jam post

    seksio sesarea beserta hasil obsevasinya sesuai dengan point yang

    diperlukan peneliti. Data dalam penelitian ini adalah dengan mengisi

    kuisioner dan lembar observasi, karena pada responden waktu post

    seksio sesarea yang berdeda-beda dan keterbatasan waktu peneliti,

    maka bantuan perawat atau bidan setempat diperlukan untuk

    memberikan kuisioner dan mengisi lembar observasi sesuai point yang

    diperlukan peneliti. Pengumpulan data ini dilakukan selama 4 minggu,

    karena melihat dari komposisi pasien yang datang sebelumnya, maka

    dalam waktu 4 minggu sudah dapat memenuhi jumlah sampel.

  • 2. Keterbatasan Desain Penelitian Desain penelitian ini yang digunakan dalam penelitian ini adalah

    menggunakan pendekatan cross sectional. Hal ini berarti pengukuran

    terhadap variabel independent dan variabel dependent dilakukan secara

    bersama sehingga hasil penelitian tidak menujukkan sebab akibat.

    Dalam penelitian ini, pengukuran yang dilakukan peneliti adalah

    dengan kuisioner dan observasi terstruktur. Dalam penelitian ini peneliti

    lebih cermat mendefinisikan apa yang akan di observasi melalui suatu

    perencanaan yang matang. Peneliti tidak hanya mengobservasi fakta-

    fakta yanng ada pada subjek, tetapi lebih didasarkan pada perencanaan

    penelitian yang sudah disusun sesuai pengelompokannya, pencatatan,

    pemberian kode terhadap hal-hal yang sudah ditetapkan

    3. Keterbatasan kuesioner Dalam pembuatan kuesioner penelitian tentang analisis faktor-

    faktor yang berhubungan dengan pengeluaran ASI pada post partum

    seksio sesarea, peneliti belum menemukan standar baku instrumen

    variabel tersebut sehingga instrumen tersebut di buat berdasarkan

    pemahaman dan pengalaman dari peneliti dengan mengacu pada

    sumber-sumber yang relevan tetapi tentunya sebagai peneliti pemula

    masih terbatas dengan penetahuannya.