bab2(3)

56
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN A. Teori Terkait Dalam memberikan arahan pada penelitian ini maka peneliti akan menguraikan landasan teori atau konsep terkait serta penelitian terkait tentang hubungan pendidikan kesehatan dan pengetahuan tentang ISPA pada masyarakat dengan perilaku pencegahan ISPA pada balita di RW 06 kelurahan Krukut kecamatan Limo kota Depok tahun 2009. 1. Konsep Pendidikan kesehatan a. Definisi Pendidikan kesehatan merupakan salah satu kompetensi yang dituntut dari tenaga keperawatan, karena merupakan salah satu peranan yang harus dilaksanakan dalam setiap memberikan asuhan keperawatan dimana saja ia bertugas, apakah itu terhadap individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. (Nasrul Effendy, 1998). Pendidikan kesehatan pada hakekatnya adalah suatu kegiatan atau usaha untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu. Dengan harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut, masyarakat, kelompok atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik. Akhirnya pengetahuan tersebut diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilakunya. ( Depkes RI,2008). Menurut Wood (1926), pendidikan kesehatan adalah sejumlah pengalaman yang berpengaruh secara menguntungkan terhadap kebiasaan, sikap dan

description

;KJs

Transcript of bab2(3)

  • BAB II

    TINJAUAN KEPUSTAKAAN

    A. Teori Terkait

    Dalam memberikan arahan pada penelitian ini maka peneliti akan menguraikan

    landasan teori atau konsep terkait serta penelitian terkait tentang hubungan

    pendidikan kesehatan dan pengetahuan tentang ISPA pada masyarakat dengan

    perilaku pencegahan ISPA pada balita di RW 06 kelurahan Krukut kecamatan Limo

    kota Depok tahun 2009.

    1. Konsep Pendidikan kesehatan

    a. Definisi

    Pendidikan kesehatan merupakan salah satu kompetensi yang dituntut dari

    tenaga keperawatan, karena merupakan salah satu peranan yang harus

    dilaksanakan dalam setiap memberikan asuhan keperawatan dimana saja ia

    bertugas, apakah itu terhadap individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.

    (Nasrul Effendy, 1998).

    Pendidikan kesehatan pada hakekatnya adalah suatu kegiatan atau usaha

    untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau

    individu. Dengan harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut, masyarakat,

    kelompok atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang

    lebih baik. Akhirnya pengetahuan tersebut diharapkan dapat berpengaruh

    terhadap perilakunya. ( Depkes RI,2008).

    Menurut Wood (1926), pendidikan kesehatan adalah sejumlah pengalaman

    yang berpengaruh secara menguntungkan terhadap kebiasaan, sikap dan

  • pengetahuan yang ada hubungannya dengan kesehatan individu, masyarakat dan

    bangsa. Kesemuanya ini dipersiapkan dalam rangka mempermudah diterimanya

    secara sukarela perilaku yang akan meningkatkan atau memelihara kesehatan

    (Uha Suliha, 2002)

    Stuart (1968), dalam definisi yang dikemukakan, dikutip leh staf jurusan

    PK-IP FKM UI 1984) mengatakan bahwa pendidikan kesehatan adalah

    komponen program kesehatan dan kedokteran yang terdiri atas upaya terencana

    untuk mengubah perilaku individu, kelompok maupun masyarakat yang

    merupakan perubahan cara berfikir, bersikap, dan berbuat dengan tujuan

    membantu pengobatan, rehabilitasi, pencegahan penyakit, dan promosi hidup

    sehat (Uha Suliha, 2002).

    Menurut steward dalam buku Nasrul effendi (1998), pendidikan kesehatan

    merupakan unsur program kesehatan yang didalamnya terkandung rencana

    untuk merubah perilaku perorangan dan masyarakat, dimana hasil yang

    diharapkan dari pendidikan kesehatan adalah terjadinya perubahan sikap dan

    perilaku dari individu, keluarga dan masyarakat untuk dapat menanamkan

    prinsip-prinsip hidup sehat dalam kehidupan sehari-hariuntuk mencapai derajat

    kesehatan yang optimal (Nasrul effendi, 1998)

    Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan

    menekankan pada aspek perubahan perilaku individu dan masyarakat dalam

    bidang kesehatan.

    b. Tujuan Pendidikan Kesehatan

  • Tujuan pendidikan kesehatan yang paling pokok menurut (WHO, 1954) yang

    dikutip oleh Notoatmodjo (1997) adalah:

    1) Tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam

    membina dan memelihara perilaku sehat dan lingkungan sehat, serta berperan

    aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

    2) Terbentuknya perilaku sehat pada individu, keluarga, kelompok dan

    masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik fisik, mental dan

    social sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian.

    3) Tujuan penyuluhan kesehatan adalah untuk merubah perilaku perorangan dan

    atau masyarakat dalam bidang kesehatan.

    c.Ruang lingkup pendidikan kesehatan

    Ruang lingkup pendidikan kesehatan meliputi 3 aspek yaitu :

    1) Sasaran pendidikan kesehatan

    Sasaran pendidikan kesehatan adalah individu, keluarga dan kelompok

    dan masyarakat yang dijadikan subyek dan obyek perubahan perilaku,

    sehingga diharapkan dapat memahami, menghayati dan mengaplikasikan

    cara-cara hidup sehat dalam kehidupan sehari-harinya. Banyak faktor yang

    perlu diperhatikan terhadap sasaran dalam keberhasilan pendidikan

    kesehatan, diantaranya adalah :

    (a)Tingkat pendidikan

    (b) Tingkat sosial ekonomi

  • (c)Adat istiadat

    (d) Kepercayaan masyarakat

    (e)Ketersediaan waktu dari masyarakat

    Sasaran penelitian ini adalah kelompok ibu-ibu yang memiliki anak

    balita (0-5 tahun) yang sudah pernah mendapatkan pendidikan kesehatan

    tentang penyakit ISPA.

    2) Materi/pesan

    Materi atau pesan yang akan disampaikan kepada masyarakat hendaknya

    disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan dan keperawatan dari individu,

    keluarga, kelompok, dan masyarakat sehingga materi yang disampaikan

    dapat dirasakan langsung manfaatnya. Materi yang disampaikan sebaiknya:

    (a)Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dalam bahasa

    kesehariannya

    (b) Materi yang disampaikan tidak terlalu sulit

    (c)Dalam penyampaian materi sebaiknya menggunakan alat peraga untuk

    mempermudah pemahaman dan untuk menarik perhatian sasaran

    (d) Materi atau pesan yang disampaikan merupakan kebutuhan sasaran dalam

    masalah kesehatan dan keperawatan yang mereka hadapi.

    3) Metode pembelajaran

  • Metode adalah teknik pengajaran yang menggunakan berbagai

    pendekatan disesuaikan dengan karakteristik sasaran (S.Setiawati, 2008).

    Metode dalam proses pembelajaran memiliki beberapa kedudukan sebagai

    berikut:

    (a)Metode sebagai alat motivasi ekstrinsik, menurut Sardiman A.M. metode

    ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi sebagai

    perangsang. Metode dalam proses pembelajaran dijadikan sebagai bagian

    dari motivasi agar peserta didik dengan cepat menerima informasi baru,

    ide, gagasan, pendapat dan hasil temuan dari pembicara.

    (b) Metode sebagai strategi pengajaran, menurut Rostiyah N.K mengatakan

    bahwa seorang pengajar harus memiliki strategi pengajaran supaya

    peserta didik bisa belajar dengan efektif dan efisien.

    (c)Metode sebagai alat untuk mencapai tujuan, pembelajaran membutuhkan

    tujuan yang jelas. Pencapaian tujuan pembelajaran dipengaruhi oleh

    factor pengajar dan peserta didik.

    Menurut Drs. syaiful Bahri, dalam buku strategi belajar mengajar

    karangan S.Setiawati, 2008, metode pembejaran terdiri atas; ceramah,tugas,

    eksperimen, diskusi, sosiodrama, demonstrasi, Tanya jawab, simulasi, dan

    lain-lain.

    Metode yang paling tepat digunakan saat pendidikan kesehatan di

    masyarakat adalah dengan metode ceramah karena banyak orang yang dapat

    mendengar atau memperoleh pengetahuan di bidang kesehatan, dpat diterima

  • oleh sasaran yang tidak dapat membaca, mudah dilaksanakan, mudah

    mempersiapkannya dan mudah mengorganisasi.

    Penyuluhan kesehatan di masyarakat dapat dilakukan melalui

    pendekatan edukatif terhadap keluarga dan masyarakat binaan secara

    menyeluruh dan terorganisasi sesuai dengan masalah kesehatan dan

    keperawatan yang dihadapi oleh masyarakat. agar penyuluhan di masyarakat

    dapat mencapai hasil yang diharapkan diperlukan perencanaan yang matang

    dan terarah sesuai dengan tujuan program penyuluhan kesehatan masyarakat

    berdasarkan kebutuhan kesehatan masyarakat setempat. Penyuluhan

    kesehatan masyarakat di masyarakat biasanya berkaitan dengan pembinaan

    wilayah binaan puskesmas atau oleh karena kejadian yang luar biasa seperti

    wabah dan lain sebagainya.

    d. Media pembelajaran dalam pendidikan kesehatan

    Menurut Gerlach & Elly (1971), media diartikan sebagai segala bentuk dan

    saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan informasi.

    Fleming (1987), menyatakan bahwa media adalah bagian yang ikut dalam

    interaksi antara peserta didik dan pengajar sehingga pesan yang disampaikan

    dapat diterima.

    Heinich (1982), mengemukakan bahwa media adalah perantara yang

    mengantar informasi antara sumber ke penerima.

  • Gagne & Briggs (1975), mengatakan bahwa media pembelajaran meliputi

    alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran.

    Pesan, ide, gagasan atau informasi yang isampaikan pengajar atau

    pembicara akan mudah diterima apabila diberikan dengan metode dan media

    yang benar dan baik (S.Setiawati,2008)

    2. Konsep Pengetahuan

    a. Pengertian

    Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang

    melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, penginderaan terjadi

    melalui panca indera manusia. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

    melalui mata dan telinga.

    Menurut Notoatmodjo (1993), pengetahuan atau kognitif merupakan

    domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt

    behaviour). Karena itu dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang

    didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak

    didasari oleh pengetahuan. Menurut pendapat Rogers (1974) bahwa sebelum

    orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) di dalam diri orang tersebut

    terjadi proses yang berurutan, yakni (Notoatmodjo, 2000):

    1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

    mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek)

  • 2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap

    subjek sudah mulai terbentuk

    3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus

    tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi

    4) Trial, dimana subyek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa

    yang dikehendaki oleh stimulus

    5) Adoption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

    kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

    Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa

    perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut di atas.

    b. Faktor faktor yang mempengaruhi pengetahuan

    Menurut Lukman (2009), Ada beberapa faktor yang mempengaruhi

    pengetahuan yaitu:

    1) Umur

    Makin tua umur seseorang maka proses-proses perkembangan

    mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur tertentu, bertambahnya

    proses perkembangan mental ini tidak secepat seperti ketika berumur

    belasan tahun. Selain itu, daya ingat seseorang itu salah satunya dipengaruhi

    oleh umur. Dari uraian ini maka dapat disimpulkan bahwa bertambahnya

    umur seseorang dapat berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang

    diperolehnya, akan tetapi pada umur-umur tertentu atau menjelang usia

  • lanjut kemampuan penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan akan

    berkurang.

    2) Intelegensi

    Intelegensi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk belajar dan

    berfikir abstrak guna menyesuaikan diri secara mental dalam situasi baru.

    Intelegensi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil dari

    proses belajar. Intelegensi bagi seseorang merupakan salah satu modal untuk

    berpikir dan mengolah berbagai informasi secara terarah sehingga ia mampu

    menguasai lingkungan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

    perbedaan intelegensi dari seseorang akan berpengaruh pula terhadap

    tingkat pengetahuan.

    3) Lingkungan

    Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

    pengetahuan seseorang. Lingkungan memberikan pengaruh pertama bagi

    seseorang, dimana seseorang dapat mempelajari hal-hal yang baik dan juga

    hal-hal yang buruk tergantung pada sifat kelompoknya. Dalam lingkungan

    seseorang akan memperoleh pengalaman yang akan berpengaruh pada pada

    cara berfikir seseorang.

    4) Sosial budaya

    Sosial budaya mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang.

    Seseorang memperoleh suatu kebudayaan dalam hubungannya dengan orang

  • lain, karena hubungan ini seseorang mengalami suatu proses belajar dan

    memperoleh suatu pengetahuan.

    5) Pendidikan

    Menurut Notoadmojo (1997) pendidikan adalah suatu kegiatan atau

    proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan

    kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri.

    Menurut Wied Hary A.(1996), menyebutkan bahwa tingkat pendidikan turut

    pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami

    pengetahuan yang mereka peroleh, pada umumnya semakin tinggi

    pendidikan seseorang makin semakin baik pula pengetahuanya.

    6) Informasi

    Informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang.

    Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah tetapi jika ia

    mendapatkan informasi yang baik dari berbagai media misalnya TV, radio

    atau surat kabar maka hal itu akan dapat meningkatkan pengetahuan

    seseorang.

    7) Pengalaman

    Pengalaman merupakan guru yang terbaik, pepatah tersebut dapat

    diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau

    pengalaman itu suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh

    sebab itu, pengalaman pribadipun dapat digunakan sebagai upaya untuk

    memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang

  • kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang

    dihadapi pada masa lalu. (Notoadmojo 1997: 13)

    c.Kategori pengetahuan

    Menurut (Arikunto, 1998) mengemukakan bahwa untuk mengetahui

    secara kualitas tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dapat dibagi

    menjadi empat tingkat yaitu:

    1) Tingkat pengetahuan baik bila skor atau nilai 76-100 %

    2) Tingkat pengetahuan cukup bila skor atau nilai 56-75 %

    3) Tingkat pengetahuan kurang bila skor atau nilai 40-55 %

    4) Tingkat pengetahuan buruk bila skor atau nilai < 40 %

    d. Tingkat Pengetahuan

    Menurut Notoatmodjo (2000) ada enam tingkat pengetahuan, yaitu:

    1) Mengenal (recognition) dan mengingat kembali (recall) diartikan sebagai

    kemampuan untuk mengingat kembali suatu yang pernah diketahui sehingga

    bisa memilih satu dari dua ata lebih jawaban.

    2) Pemahaman (comprehention) diartikan sebagai kemampuan untuk

    memahami suatu materi atau objek yang diketahui.

  • 3) Penerapan (application) diartikan sebagai kemampuan untuk menerapkan

    secara benar mengenai sesuatu hal yang diketahui dalam situasi yang

    sebenarnya.

    4) Analisis (analysis) diartikan sebagai kemampuan menjabarkan materi atau

    objek ke dalam suatu struktur dan masih ada kaitannya satu sama lain.

    5) Sintesis (synthesis) diartkan sebagai kemampuan meletakkan atau

    menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

    Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan penyusunan formulasi.

    6) Evaluasi (evaluation) diartikan sebagai kemampuan melakukan penilaian

    terhadap suatu obyek atau materi.

    3. Konsep Perilaku

    a. Definisi Perilaku

    Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi atau

    reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru

    terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni

    yang disebut rangsangan.

    Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau

    aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya

    adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku

    manusia itu mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan,

    berbicara, bereaksi, berpakaian, dan sebagainya. Bahkan kegiatan internal

  • (internal activity) seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku

    manusia. Untuk kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa perilaku

    adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara

    langsung atau secara tidak langsung. (Sunaryo.2004)

    b. Determinan perilaku

    1) Teori Lawrence Green (1991)

    Green (1991) menjelaskan secara umum bahwa kualitas hidup

    dipengaruhi oleh kesehatan, sedangkan kesehatan dipengaruhi oleh perilaku

    dan gaya hidup serta lingkungan. Green mencoba menganalisa perilaku

    manusia dari tingkat kesehatan, dimana kesehatan dipengaruhi oleh dua

    faktor pokok yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar

    perilaku (non behavior causes). Perilaku dan gaya hidup dipengaruhi oleh

    ketiga faktor:

    a) Faktor perdisposisi (predisposing factors), yang mencakup pengetahuan,

    sikap (suatu kecenderungan jiwa atau perasaan yang relative tetap

    terhadap kategori tertentu dari objek, orang atau situasi), keyakinan,

    nilai, dan persepsi

    b) Faktor pemungkin/pendukung (enabling factors), yang mencakup

    lingkungan fisik, ketersediaan sumber daya kesehatan, keterjangkauan

    sumber daya kesehatan, prioritas dan komitmen masyarakat atau

    pemerintah terhadap kesehatan, ketrampilan yang berkaitan dengan

    kesehatan. Menyangkut juga keterjangkauan berbagai sumber daya,

  • biaya, jarak, ketresediaan transportasi, jam buka, dan ketrampilan

    petugas.

    c) Faktor penguat (reinforcing factor), yang terwujud dalam sikap dan

    perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok

    referensi perilaku masyarakat.

    2) Teori Snehandu B. Kar (1983)

    Karl mencoba menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik

    tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari:

    a) Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau

    perawatan kesehatan (behavior intention)

    b) Dukungan social dari masyarakat sekitarnya (social support)

    c) Ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan

    (accessibility of information)

    d) Otonomi pribadi yang bersangkutan, dalam hal ini mengambil tindakan

    sendiri atau keputusan (personal autonomy)

    e) Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak

    (action situation)

    3) Teori WHO (1984)

    Tim kerja dari WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan

    seseorang itu berperilaku karena 4 alasan pokok:

  • a) Pemikiran dan perasaan (thoughts and felling) yakni dalam bentuk;

    pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman

    orang lain; kepercayaan yang sering atau diperoleh dari orang tua,

    kakek, dan nenek. seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan

    keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu; sikap yang

    menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek, yang

    diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain.

    b) Orang penting sebagai referensi ( personal reference)

    c) Sumber-sumber daya (resources)

    d) Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber-sumber

    di dalam suatu masyarakat akan mengahasilkan suatu pola hidup (way of

    life) yang pada umumnya disebut kebudayaan (culture)

    c. Bentuk Perilaku

    Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respons organisme

    atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut.

    Respons ini berbentuk 2 macam, yakni

    1) Bentuk pasif adalah respons internal yaitu yang terjadi didalam diri

    manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya

    berpikir, tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan. Misalnya seorang

    ibu tahu bahwa imunisasi itu dapat mencegah suatu penyakit tertentu

    meskipun ibu tersebut tidak membawa anaknya ke puskesmas untuk

    diimunisasi.

  • 2) Bentuk aktif yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara

    langsung. Misalnya ibu sudah membawa anaknya ke puskesmas atau

    fasilitas kesehatan lain untuk imunisasi.

    d. Perilaku Kesehatan

    Becker (1979) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan

    kesehatan (health related behavior) sebagai berikut:

    a. Perilaku kesehatan (health behavior) yaitu hal-hal yang berkaitan dengan

    tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan

    kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah

    penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan

    sebagainya.

    b. Perilaku sakit (illness behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang

    dilakukan seorang individu yang merasa sakit untuk merasakan dan

    mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit. Termasuk disini

    kemampuan atau pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit,

    penyebab penyakit serta usaha-usaha mencegah penyakit tersebut.

    c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) yakni segala tindakan atau

    kegiatan yang dilakukan individu yang sedang sakit untuk memperoleh

    kesembuhan. Perilaku ini disamping berpengaruh terhadap kesehatan /

    kesakitannya sendiri, juga berpengaruh terhadap orang lain terutama

    kepada anak-anak yang belum mempunyai kesadaran dan tanggung jawab

    terhadap kesehatannya.

  • e. Teori perubahan Perilaku

    1) Teori Stimulus-Organisme-Respons (SOR) diajukan oleh Skinner (1938),

    didasarkan pada asumsi penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung

    kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan

    organisme. Kualitas dari sumber komunikasi (sources) misalnya

    kredibilitas, kepemimpinan, gaya berbicara sangat menentukan

    keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok atau masyarakat.

    2) Teori Festinger (Dissonance Theory) (1957), mengatakan teori ini

    sebenarnya sama prinsipnya dengan konsep tidak seimbang imbalance.

    Ketidakseimbangan (dissonance) terjadi karena dalam diri individu terdapat

    2 elemen kognisi yang saling bertentangan yaitu antara pengetahuan,

    pendapat, atau keyakinan. Apabila individu menghadapi suatu stimulus

    atau objek dan stimulus tersebut menimbulkan pendapat atau keyakinan

    yang berbeda / bertentangan didalam diri individu sendiri maka terjadilah

    dissonance. Contoh: Seorang ibu rumah tangga yang bekerja di kantor. Di

    satu pihak, dengan bekerja ia dapat tambahan pendapatan bagi keluarganya

    yang akhirnya dapat memenuhi kebutuhan bagi keluarga dan anak-

    anaknya, termasuk kebutuhan makanan yang bergizi. Apabila ia tidak

    bekerja, jelas tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Di pihak

    yang lain, apabila ia bekerja, ia kuatir terhadap perawatan terhadap anak-

    anaknya akan menimbulkan masalah. Kedua elemen (argumentasi) ini

    sama-sama pentingnya, yakni rasa tanggung jawabnya sebagai ibu rumah

    tangga yang baik.

  • 3) Teori Fungsi berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu itu

    tergantung kepada kebutuhan. Menurut Katz (1960) perilaku

    dilatarbelakangi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan; dapat

    berfungsi dan memberikan pelayanan terhadap kebutuhan (Misalnya orang

    mau membuat jamban apabila jamban tersebut benar-benar menjadi

    kebutuhannya), sebagai defence mecanism dalam menghadapi

    lingkungannya (misalnya orang dapat menghindari penyakit demam

    berdarah karena penyakit tersebut merupakan ancaman bagi dirinya),

    penerima objek dan memberikan arti (misalnya bila seseorang merasa sakit

    kepala maka secara cepat tanpa berpikir lama ia akan bertindak untuk

    mengatasi rasa sakit tersebut dengan membeli obat di warung dan

    meminumnya, atau tindakan-tindakan lain), dan sebagai nilai ekspresif dari

    diri seseorang dalam menjawab suatu situasi (misalnya orang yang sedang

    marah, senang, gusar, dan sebagainya dapat dilihat dari perilaku atau

    tindakannya).

    4) Teori Kurt Lewin (1970), berpendapat bahwa perilaku manusia adalah

    suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong

    (driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining forces).

    Perilaku ini dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua

    kekuatan tersebut didalam diri seseorang.

    f. Bentuk-Bentuk Perubahan Perilaku

  • Menurut WHO, perubahan perilaku itu dikelompokkan menjadi perubahan

    alamiah (natural change), perubahan rencana (planned change), dan kesediaan

    untuk berubah (readiness to change). Pada perilaku kesehatan menurut skinner,

    dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu; perilaku pemeliharaan

    kesehatan (health maintenance), perilaku pencarian dan penggunaan system

    atau fasilitas pelayanan kesehatan (health seeking behavior), dan perilaku

    kesehatan lingkungan.

    g. Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)

    Perilaku hidup bersih dan sehat adalah upaya untuk memberikan

    pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga,

    kelompok dan masyarakat, dengan membuka jalur komunikasi, memberikan

    informasi dan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku,

    sehingga membantu masyarakat mengenali dan mengatasi masalahnya sendiri,

    dalam tatanan rumah tangga, agar dapat menerapkan cara-cara hidup sehat

    dalam rangka menjaga, memelihara dan meningkatkan kesehatan. Upaya yang

    dilakukan melalui pendekatan pimpinan (advokasi), bina suasana (social

    support), dan pemberdayaan masyarakat (empowerment).

    PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota

    rumah tangga agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih

    dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat.

    1) Manfaat PHBS

    a) Setiap rumah tangga meningkat kesehatannya dan tidak mudah sakit.

  • b) Rumah tangga sehat dapat meningkat produktivitas kerja anggota

    keluarga

    c) Dengan meningkatnya kesehatan anggota rumah tangga maka biaya

    yang tadinya dialokasikan untuk kesehatan dapat dialihkan untuk biaya

    investasi seperti biaya pendidikan dan usaha lain yang dapat

    meningkatkan kesejahteraan anggota rumah tangga

    d) Salah satu indikator menilai keberhasilan Pemerintah Daerah Kabupaten

    /Kota dibidang kesehatan

    e) Meningkatnya citra pemerintah daerah dalam bidang kesehatan dan

    dapat menjadi percontohan rumah tangga sehat bagi daerah lain.

    2) Indikator PHBS

    a) Indikator PHBS Tatanan Rumah Tangga

    Indikator PHBS adalah suatu alat ukur untuk menilai keadaan atau

    permasalahan kesehatan di rumah tangga. Indikator mengacu pada

    Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan. Ada 10 indikator

    PHBS yang terdiri dari 6 indikator perilaku dan 4 indikator lingkungan.

    Dengan rincian sebagai berikut:

    (1) Ibu bersalin ditolong oleh tenaga kesehatan

    (2) Ibu hanya memberikan ASI kepada bayinya

    (3) Keluarga mempunyai Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPKM)

    (4) Anggota keluarga tidak merokok

    (5) Olah raga atau melakukan aktifitas fisik secara teratur

  • (6) Makan dengan menu gizi seimbang (makan sayur dan buah setiap

    hari)

    (7) Tersedia air bersih

    (8) Tersedia Jamban

    (9) Kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni

    (10) Lantai rumah bukan dari tanah

    4. Konsep Masyarakat

    a. Pengertian Masyarakat

    Menurut (koentjaraningrat 1994) masyarakat adalah kesatuan hidup

    manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang

    bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas yang sama.

    Soerdjono Soekanto (1982), menyatakan bahwa masyarakat adalah

    menunjuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah

    (dalam arti geografis) dengan batas-batas tertentu, dimana yang menjadi

    dasarnya adlah interaksi yang lebih besar dari anggota-anggotanya

    dibandingkan dengan penduduk di luar batas wilayahnya.

    Mac Laver (1957), menyatakan bahwa masyarakat adalah sekelompok

    manusia yang mendiami territorial tertentu dan adanya sifat-sifat yang saling

    tergantung, adanya pembagian kerja dan kebudayaan bersama.

    Menurut (Ralph Linton 1968) masyarakat adalah setiap kelompok

    manusia yang hidup dan bekerja sama dalam waktu yang relatif lama dan

  • mampu membuat keteraturan dalam kehidupan bersama dan mereka

    menganggap sebagai satu kesatuan sosial. Ada beberapa komponen masyarakat

    diantaranya:

    1) Populasi dengan aspek-aspek genetik dan demografik

    2) Kebudayaan sebagai produk dari aktivitas cipta rasa, karsa dan karya

    manusia. Isi kebudayaan meliputi beberapa sistem nilai, yaitu sistem

    peralatan (teknologi), ekonomi, organisasi, ilmu pengetahuan, kesenian, dan

    kepercayaan sistem bahasa.

    b. Unsur-unsur suatu masyarakat

    1) Harus ada perkumpulan manusia dan harus banyak

    2) Telah bertempat tinggal dalam waktu lama disuatu daerah tertentu.

    3) Adanya aturan atau undang-undang yang mengatur masyarakat untuk

    menuju kepada kepentingan dan tujuan bersama.

    5. Tinjauan Umum Tentang Balita

    a. Pengetahuan Tentang Balita

    Balita yaitu anak yang berusia di bawah 5 tahun merupakan generasi yang

    perlu mendapat perhatian, karena balita merupakan generasi penerus dan modal

    dasar untuk kelangsungan hidup bangsa, balita amat peka terhadap penyakit,

    tingkat kematian balita masih tinggi (Anonim,2002) .

  • Balita diharapkan tumbuh dan berkembang dalam keadaan sehat jasmani,

    sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit dan kelemahan. Masalah kesehatan

    balita merupakan masalah nasional, menginggat angka kesakitan dan angka

    kematian pada balita masih cukup tinggi. Angka kesakitan mencerminkan

    keadaan yang sesungguhnya karena penyebab utamanya berhubungan dengan

    faktor lingkungan antara lain; asap dapur, penyakit infeksi dan pelayanan

    kesehatan.

    Salah satu faktor penyebab kematian maupun yang berperan dalam proses

    tumbuh kembang balita yaitu ISPA, penyakit yang dapat dicegah dengan

    imunisasi. Untuk itu kegiatan yang dilakukan terhadap balita antara

    pemeriksaan perkembangan dan pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan

    perkembangan kecerdasan, pemeriksaan penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan

    gizi dan pendidikan kesehatan pada orang tua (Lamusa, 2006).

    b. Pertumbuhan Dan Perkembangan Balita

    Usia emas dalam perkembangan motorik adalah middle childhood atau

    masa anak-anak, seperti yang diungkapkan Petterson (1996). Pada usia ini,

    kesehatan fisik anak mulai stabil. Motorik merupakan perkembangan

    pengendalian gerakan tubuh melalui kegiatan yang terkoordinir antara susunan

    saraf, otot, otak, dan spinal cord. Perkembangan motorik meliputi motorik kasar

    dan halus. Motorik kasar adalah gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot

    besar atau sebagian besar atau seluruh anggota tubuh yang dipengaruhi oleh

  • kematangan anak itu sendiri. Contohnya kemampuan duduk, menendang,

    berlari, naik-turun tangga dan sebagainya. Sedangkan motorik halus adalah

    gerakan yang menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota tubuh

    tertentu, yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan berlatih.

    Misalnya, kemampuan memindahkan benda dari tangan, mencoret-coret,

    menyusun balok, menggunting, menulis dan sebagainya. Kedua kemampuan

    tersebut sangat penting agar anak bisa berkembang dengan optimal.

    Apabila anak menderita penyakit ISPA maka akan berdampak terhadap

    proses perkembangan motoriknya karena anak tidak dapat melakukan aktivitas

    bermain yang pada usia balita sangat diperlukan untuk proses belajar baik

    secara motorik maupun intelektual dan akan berdampak saat anak dewasa.

    Teori yang menjelaskan secara detail tentang sistematika motorik anak

    adalah Dynamic System Theory yang dikembangkan Thelen & whiteneyerr.

    Teori tersebut mengungkapkan bahwa untuk membangun kemampuan motorik

    anak harus mempersepsikan sesuatu di lingkungannya yang memotivasi mereka

    untuk melakukan sesuatu dan menggunakan persepsi mereka tersebut untuk

    bergerak. Kemampuan motorik merepresentasikan keinginan anak. Misalnnya

    ketika anak melihat mainan dengan beraneka ragam, anak mempersepsikan

    dalam otaknnya bahwa dia ingin memainkannya. Persepsi tersebut memotivasi

    anak untuk melakukan sesuatu, yaitu bergerak untuk mengambilnya. Akibat

    gerakan tersebut, anak berhasil mendapatkan apa yang di tujunya yaitu

    mengambil mainan yang menarik baginya.

  • Selain berkaitan erat dengan fisik dan intelektual anak, kemampuan

    motorik pun berhubungan dengan aspek psikologis anak. Damon & Hart, 1982

    (Petterson 1996) menyatakan bahwa kemampuan fisik berkaitan erat dengan

    self-image anak. Anak yang memiliki kemampuan fisik yang lebih baik di

    bidang olah raga akan menyebabkan dia dihargai teman-temannya. Hal tersebut

    juga seiring dengan hasil penelitian yang dilakukan Ellerman, 1980 (Peterson,

    1996) bahwa kemampuan motorik yang baik berhubungan erat dengan self-

    esteem.

    6. Konsep Penyakit ISPA

    a. Definisi

    ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut, istilah ini

    diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI).

    Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut,

    dengan pengertian sebagai berikut (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2005):

    1) Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisma ke dalam tubuh

    manusia dan berkembangbiak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

    2) Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta

    organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

    ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran

    pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa

  • saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam

    saluran pernafasan (respiratory tract)

    3) Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas

    14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa

    penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung

    lebih dari 14 hari.

    Infeksi saluran pernapasan akut adalah penyakit yang menyerang saluran

    pernapasan terutama paru-paru, termasuk penyakit tenggorokan dan telinga.

    Infeksi saluran pernapasan akut diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu

    infeksi saluran pernapasan akut berat (pneumonia berat) ditandai dengan tarikan

    dinding dada bagian bawah ke dalam pada saat inspirasi, infeksi saluran

    pernapasan akut sedang (pneumonia) ditandai dengan frekuensi pernapasan

    cepat yaitu umur di bawah 1 tahun; 50 kali/menit atau lebih cepat dan umur 1-4

    tahun; 40 kali/menit atau lebih. Sedangkan infeksi saluran pernapasan akut

    ringan (bukan pneumonia) ditandai dengan batuk pilek tanpa napas cepat dan

    tanpa tarikan dinding dada (Depkes RI, 1990).

    b. Etiologi

    Menurut Ditjen PPM & PL Depkes RI (2005), menyebutkan bahwa etiologi

    infeksi saluran pernapasan akut terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan

    ricketsia. Bakteri penyebab antara lain genus streptokokus, stafilokokus,

    pneumokokus, hemofilus, bordetella dan korinebakterium. Virus penyebab

  • antara lain golongan miksovirus, adnevirus, koronovirus, dan pikornavirus.

    c.Faktor Resiko

    Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor

    lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.

    1) Faktor lingkungan

    a) Pencemaran udara dalam rumah

    Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak

    dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahan paru

    sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada

    rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam

    rumah bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita

    bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih

    lama berada di rumah bersama-sama ibunya sehingga dosis pencemaran

    tentunya akan lebih tinggi.

    Hasil penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi

    udara, diantaranya ada peningkatan resiko bronchitis, pneumonia pada

    anak-anak yang tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi

    pada kelompok umur 9 bulan dan 6 10 tahun.

    b) Ventilasi rumah

  • Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke

    atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari

    ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut :

    (1) Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen

    yang optimum bagi pernapasan.

    (2) Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan

    zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara.

    (3) Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.

    (4) Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan.

    (5) Mengeluakan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi

    tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal.

    (6) Mendisfungsikan suhu udara secara merata.

    c) Kepadatan hunian rumah

    Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri

    kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan

    kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah 8m.

    Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit

    dan melancarkan aktivitas.

    Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor

    polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada

    hubungan bermakna antara kepadatan dan kematian dari

    bronkopneumonia pada bayi, tetapi disebutkan bahwa polusi udara,

  • tingkat sosial, dan pendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor

    ini.

    d) Status sosioekonomi

    Telah diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat

    sosioekonomi yang rendah mempunyai hubungan yang erat dengan

    kesehatan masyarakat. Tetapi status keseluruhan tidak ada hubungan

    antara status ekonomi dengan insiden ISPA, akan tetapi didapatkan

    korelasi yang bermakna antara kejadian ISPA berat dengan rendahnya

    status sosioekonomi (Darmawan,1995).

    e) Kebiasaan merokok

    Pada keluarga yang merokok, secara statistik anaknya mempunyai

    kemungkinan terkena ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan anak dari

    keluarga yang tidak merokok. Selain itu dari penelitian lain didapat

    bahwa episode ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua merokok

    (Koch, 2003)

    2) Faktor individu anak

    a) Umur anak

    Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak

    usia dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa

    penelitian menunjukkan bahwa anak pada usia muda akan lebih sering

  • menderita ISPA daripada usia yang lebih lanjut. Hal ini disebabkan

    karena pembentukan antibody pada anak yang berusia di bawah lima

    tahun belum sempurna sehingga lebih rentan untuk terinfeksi virus atau

    bakteri (Koch, 2003).

    b) Jenis kelamin

    Meskipun secara keseluruhan di negara yang sedang berkembang

    seperti Indonesia masalah ini tidak terlalu diperhatikan, namun banyak

    penelitian yang menunjukkan adanya perbedaan prevelensi penyakit

    ISPA terhadap jenis kelamin tertentu.

    Angka kesakitan ISPA sering terjadi pada usia kurang dari 2 tahun,

    dimana angka kesakitan ISPA anak perempuan lebih tinggi daripada laki-

    laki di negara Denmark (Koch, 2003)

    c) Berat badan lahir

    Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik

    dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah

    (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan

    dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama

    kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna

    sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan

    sakit saluran pernapasan lainnya.

  • Penelitian menunjukkan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram

    dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi saluran

    pernafasan dan hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted

    terhadap status pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data ini

    mengingatkan bahwa anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah

    tidak mengalami rate lebih tinggi terhadap penyakit saluran pernapasan,

    tetapi mengalami lebih berat infeksinya.

    d) Status gizi

    Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan dan

    perkembangan anak dipengaruhi oleh: umur, keadaan fisik, kondisi

    kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan

    dan aktivitas dari si anak itu sendiri. Penilaian status gizi dapat dilakukan

    antara lain berdasarkan antopometri: berat badan lahir, panjang badan,

    tinggi badan, lingkar lengan atas.

    Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting

    untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang

    adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak

    yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Disamping itu, adanya

    hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat

    lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi.

  • Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA

    dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh

    yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak

    mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada

    keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan

    serangannya lebih lama.

    e) Vitamin A

    Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan kapsul

    200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat

    tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit

    maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai resiko

    terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5%

    pada kelompok kontrol.

    Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi

    akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan

    tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang

    ditujukan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang

    tidak berbahaya, niscaya dapatlah diharapkan adanya perlindungan

    terhadap bibit penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak

    terlalu singkat. Karena itu usaha massal pemberian vitamin A dan

    imunisasi secara berkala terhadap anak-anak prasekolah seharusnya tidak

    dilihat sebagai dua kegiatan terpisah. Keduanya haruslah dipandang

  • dalam suatu kesatuan yang utuh, yaitu meningkatkan daya tahan tubuh

    dan perlindungan terhadap anak Indonesia sehingga mereka dapat

    tumbuh, berkembang dan berangkat dewasa dalam keadaan yang sebaik-

    baiknya.

    f) Pemberian air susu ibu (ASI)

    ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi terutama pada

    bulan-bulan pertama kehidupannya. ASI bukan hanya merupakan sumber

    nutrisi bagi bayi tetapi juga sebagai sumber zat antimikroorganisme yang

    kuat, karena adanya beberapa faktor yang bekerja secara sinergis

    membentuk sistem biologis.

    ASI dapat memberikan imunisasi pasif melalui penyampaian

    antibodi dan sel-sel imunokompeten ke permukaan saluran pernafasan

    atas (William and Phelan, 1994).

    g) Status Imunisasi

    Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan

    mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi

    campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang

    berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti

    difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan

    berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi

    faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi

  • lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila

    menderita ISPA dapat diharapkan perkenbangan penyakitnya tidak akan

    menjadi lebih berat.

    Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian

    imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang

    efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah dan dengan

    imunisasi pertusis (DPT) 6% lematian pneumonia dapat dicegah.

    3) Faktor perilaku

    Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA

    pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di

    keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya.

    Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan

    tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung

    dan berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai

    masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga

    lainnya.

    Peran aktif keluarga/masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting

    karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam

    masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu mendapat perhatian serius oleh kita

    semua karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga ibu balita dan

  • anggota keluarga yang sebagian besar dekat dengan balita mengetahui dan

    terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit.

    Keluarga perlu mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini

    pneumonia dan kapan mencari pertolongan dan rujukan pada sistem

    pelayanan kesehatan agar penyakit anak balitanya tidak menjadi lebih berat.

    Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa peran keluarga

    dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting,

    sebab bila praktek penanganan ISPA tingkat keluarga yang kurang/buruk

    akan berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi

    bertambah berat.

    Dalam penanganan ISPA tingkat keluarga keseluruhannya dapat

    digolongkan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu: perawatan penunjang oleh ibu

    balita; tindakan yang segera dan pengamatan tentang perkembangan

    penyakit balita; pencarian pertolongan pada pelayanan kesehatan.

    d. Tanda Dan Gejala ISPA

    Gejala umum yang sering terjadi pada penyakit ISPA yaitu : batuk, sesak

    nafas, nyeri dada, suara serak, influenza dan kadang disertai demam (Sarwono

    Waspadji, 1990).

    Sebagian besar anak dengan infeksi saluran nafas bagian atas memberikan

    gejala yang sangat penting yaitu batuk. Infeksi saluran nafas

    bagian bawah memberikan beberapa tanda lainnya seperti nafas yang cepat dan

    retraksi dada. Semua ibu dapat mengenali batuk tetapi mungkin

  • tidak mengenal tanda-tanda lainnya dengan mudah (Harsono dkk., 1994).

    Selain batuk gejala ISPA pada anak juga dapat dikenali yaitu flu, demam dan

    suhu tubuh anak meningkat lebih dari 38,5 0 Celcius dan disertai sesak nafas

    (PD PERSI, 2002).

    Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga

    golongan yaitu (Suyudi, 2002):

    1) ISPA ringan bukan pneumonia

    2) ISPA sedang, pneumonia

    3) ISPA berat, pneumonia berat

    Khusus untuk bayi di bawah dua bulan, hanya dikenal ISPA berat dan

    ISPA ringan (tidak ada ISPA sedang). Batasan ISPA berat untuk bayi kurang

    dari dua bulan adalah bila frekuensi nafasnya cepat (60 kali per menit atau

    lebih) atau adanya tarikan dinding dada yang kuat. Pada dasarnya ISPA ringan

    dapat berkembang menjadi ISPA sedang atau ISPA berat jika keadaan

    memungkinkan misalnya pasien kurang mendapatkan perawatan atau daya

    tahan tubuh pasien sangat kurang. Gejala ISPA ringan dapat dengan mudah

    diketahui orang awam sedangkan ISPA sedang dan berat memerlukan beberapa

    pengamatan sederhana.

    1) Gejala ISPA ringan

    Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala

    sebagai berikut:

    a) Batuk.

  • b) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara

    (misalnya pada waktu berbicara atau menangis).

    c) Pilek yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung.

    d) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370C atau jika dahi anak

    diraba dengan punggung tangan terasa panas.

    Jika anak menderita ISPA ringan maka perawatan cukup dilakukan di

    rumah tidak perlu dibawa ke dokter atau Puskesmas. Di rumah dapat diberi

    obat penurun panas yang dijual bebas di toko-toko atau Apotik tetapi jika

    dalam dua hari gejala belum hilang, anak harus segera di bawa ke dokter

    atau Puskesmas terdekat.

    2) Gejala ISPA sedang

    Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika di jumpai gejala

    ISPA ringan dengan disertai gejala sebagai berikut :

    a) Pernapasan lebih dari 50 kali /menit pada anak umur kurang dari satu

    tahun atau lebih dari 40 kali/menit pada anak satu tahun atau lebih.

    b) Suhu lebih dari 390C.

    c) Tenggorokan berwarna merah.

    d) Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak

    e) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.

    f)Pernafasan berbunyi seperti mendengkur.

    g) Pernafasan berbunyi seperti mencuit-cuit.

  • Dari gejala ISPA sedang ini, orangtua perlu hati-hati karena jika anak

    menderita ISPA ringan, sedangkan bila badan anak panas lebih dari 390C,

    gizinya kurang, umurnya empat bulan atau kurang maka anak tersebut

    menderita ISPA sedang dan harus mendapat pertolongan petugas kesehatan.

    3) Gejala ISPA berat

    Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala ISPA

    ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut:

    a) Bibir atau kulit membiru

    b) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu

    bernapas

    c) Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun

    d) Pernafasan berbunyi mengorok dan anak tampak gelisah

    e) Pernafasan menciut dan anak tampak gelisah

    f)Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernapas

    g) Pernafasan lebh dari 60 x/menit dan nadi tidak teraba

    h) Tenggorokan berwarna merah

    Pasien ISPA berat harus dirawat di rumah sakit atau puskesmas karena

    perlu mendapat perawatan dengan peralatan khusus seperti oksigen dan

    infus.

    e.Patofisiologi

    Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus

    dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan

    menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas

  • mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus

    oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan

    lapisan mukosa saluran pernafasan (Kending dan Chernick, 1983).

    Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk

    kering (Jeliffe, 1974). Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan

    menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada

    dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang

    melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan

    gejala batuk (Kending and Chernick, 1983). Sehingga pada tahap awal gejala

    ISPA yang paling menonjol adalah batuk.

    Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder

    bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris

    yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap

    infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat

    pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus

    influenza dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut (Kending

    dan Chernick, 1983). Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus

    bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak

    nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini

    dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi.

    Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan

  • infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada

    bayi dan anak (Tyrell, 1980).

    Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat

    yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga

    bisa menyebar ke saluran nafas bawah (Tyrell, 1980). Dampak infeksi sekunder

    bakteripun bisa menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang

    biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya

    infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia

    bakteri (Shann, 1985).

    Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan

    aspek imunologis saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di

    saluran nafas yang sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem

    imun sistemik pada umumnya. Sistem imun saluran nafas yang terdiri dari

    folikel dan jaringan limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas system imun

    mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan pada

    saluran nafas atas sedangkan IgG pada saluran nafas bawah. Diketahui pula

    bahwa sekretori IgA (sIgA) sangat berperan dalam mempertahankan integritas

    mukosa saluran nafas (Siregar, 1994).

    Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi

    menjadi empat tahap, yaitu:

  • 1) Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum

    menunjukkan reaksi apa-apa.

    2) Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh

    menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya

    memang sudah rendah.

    3) Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala

    demam dan batuk.

    4) Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna,

    sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat

    pneumonia.

    f. Klasifikasi Penyakit ISPA

    Menurut Rasmaliah (2004), penyakit ISPA terbagi dalam 2 golongan yaitu:

    1) Pneumonia (infeksi saluran pernapasan bawah)

    Infeksi saluran pernapasan bawah adalah nama lain dari pneumonia. Terdiri

    dari beberapa macam yaitu:

    a) Pneumonia Viral

    Pneumonia yang disebabkan virus biasanya ditandai oleh batuk-batuk

    kering. Keluhan lain yang sering mengganggu adalah sakit kepala, sakit

    di otot-otot atau di sendi dan kadang-kadang pilek. Pneumonia viral

    potensial berbahaya oleh karena dapat menyebabkan kegagalan

    pernafasan serta mungkin terdapat gangguan jangka panjang pada

    saluran napas sesudah sembuh.

    b) Pneumonia Bakterialis

  • Pneumonia bakterialis adalah suatu peradangan parenkhim paru dengan

    eksudasi dan konsolidasi, disebabkan oleh mikroorganisme. Ditinjau

    dari jenis bakteri yang menjadi penyebab infeksi pasien, pneumonia

    bakterialis terbagi atas 2 macam yaitu:

    (1) Pneumonia sebab kuman gram positif

    Kuman gram positif penyebab pneumonia yaitu : bakteri.

    (2) Pneumonia sebab kuman gram negatif

    Kuman gram negatif penyebab pneumonia yaitu : bakteri klebsiela,

    bakteri hemofilus influenza, dan bakteri pseudomonas (Sarwono

    Waspadji, 1990).

    2) Bukan Pneumonia (infeksi saluran pernapasan atas)

    Infeksi saluran pernapasan atas digolongkan ke dalam penyakit bukan

    pneumonia (Lidianti, 2007), yang terdiri antara lain:

    a) Rhinitis

    Rhinitis dapat di sebabkan oleh bakteri ataupun virus, tapi lebih banyak

    rhinitis dikarenakan adanya suatu alergin yang kemudian dapat di ikuti

    dengan bakteri atau rhinitis allergy atau pilek alergi adalah gejala alergi

    yang terjadi pada bagian hidung. Umumnya timbul penyakit ini pada

    musim penghujan karena cuaca dingin.

    Diagnosa penyakit ini seperti : hidung pilek/beringus, badan panas atau

    merasa tidak enak badan disertai pusing kepala. Penyebab pilek alergi

    atau rhinitis allergy ini ada bermacam-macam, antara lain: karena tubuh

    tidak kuat di udara dingin, debu di lingkungan sekitar (rumah), polusi

  • udara dan serbuk sari bunga.

    b) Faringitis

    Faringitis (dalam bahasa Latin; pharyngitis), adalah suatu penyakit

    peradangan yang menyerang tenggorok atau faring. Kadang juga disebut

    sebagai radang tenggorok. Infeksi saluran napas atas akut seperti

    faringitis merupakan infeksi rongga mulut yang paling sering dijumpai.

    Radang ini bisa disebabkan oleh virus atau kuman, disebabkan daya

    tahan yang lemah. Dan penyebab tersering adalah virus sehingga

    pengobatan antibiotik tidak diperlukan.

    c) Laringitis

    Laringitis adalah peradangan pada laring (pangkal tenggorok). Laring

    terletak di puncak saluran udara yang menuju ke paru-paru (trakea) dan

    mengandung pita suara. Laringitis juga bisa menyertai bronkitis,

    pneumonia, influenza, pertusis, campak dan difteri. Laringitis bisa

    terjadi akibat :

    (1) Penggunaan suara yang berlebihan

    (2) Reaksi alergi

    (3) Menghirup iritan (misalnya asap rokok).

    Laringitis juga dapat disebabkan oleh penyakit lain, seperti demam, flu,

    dan pneumonia. Sementara, penyebab umum laringitis kronik termasuk

    iritasi yang berkelanjutan, seperti konsumsi alkohol, perokok berat, dan

    bakteri gastroesophageal reflux. Gejala umum dari laringitis adalah

    suara serak, iritasi di tenggorokan, demam, batuk, dan tenggorokan

  • terasa buntu.

    g. Pencegahan ISPA

    Keadaan gizi dan keadaan lingkungan merupakan hal yang penting bagi

    pencegahan ISPA. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah ISPA

    adalah:

    1) Mengusahakan agar anak mempunyai gizi yang baik

    a) Bayi harus disusui sampai usia dua tahun karena ASI adalah makanan

    yang paling baik untuk bayi.

    b) Beri bayi makanan padat sesuai dengan umurnya.

    c) Pada bayi dan anak, makanan harus mengandung gizi cukup yaitu

    mengandung cukup protein (zat putih telur), karbohidrat, lemak, vitamin

    dan mineral.

    d) Makanan yang bergizi tidak berarti makanan yang mahal. Protein

    misalnya dapat di peroleh dari tempe dan tahu, karbohidrat dari nasi atau

    jagung, lemak dari kelapa atau minyak sedangkan vitamin dan mineral

    dari sayuran,dan buah-buahan.

    e) Bayi dan balita hendaknya secara teratur ditimbang untuk mengetahui

    apakah beratnya sesuai dengan umurnya dan perlu diperiksa apakah ada

    penyakit yang menghambat pertumbuhan.Dinkes DKI (2005)

    2) Mengusahakan kekebalan anak dengan imunisasi

    Agar anak memperoleh kekebalan dalam tubuhnya anak perlu

  • mendapatkan imunisasi yaitu DPT (Depkes RI, 2002). Imunisasi DPT salah

    satunya dimaksudkan untuk mencegah penyakit Pertusis yang salah satu

    gejalanya adalah infeksi saluran nafas (Gloria Cyber Ministries, 2001).

    3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan

    Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi

    pencegahan penyakit ISPA, sebaliknya perilaku yang tidak

    mencerminkan hidup sehat akan menimbulkan berbagai penyakit. Perilaku

    ini dapat dilakukan melalui upaya memperhatikan rumah sehat, desa sehat

    dan lingkungan sehat (Suyudi, 2002).

    4) Pengobatan segera

    Apabila anak sudah positif terserang ISPA, sebaiknya orang tua tidak

    memberikan makanan yang dapat merangsang rasa sakit pada tenggorokan,

    misalnya minuman dingin, makanan yang mengandung vetsin atau rasa

    gurih, bahan pewarna, pengawet dan makanan yang terlalu manis. Anak

    yang terserang ISPA, harus segera dibawa ke dokter (PD PERSI, 2002).

    5) Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.

    h. Penatalaksanaan

    1) Perawatan ISPA dirumah

    Untuk perawatan ISPA dirumah ada beberapa hal yang perlu dikerjakan

    seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA.

    a) Mengatasi panas (demam)

  • Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun demam diatasi dengan

    memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan

    dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6

    jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan

    dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres,

    dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).

    b) Mengatasi batuk

    Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional

    yaitu jeruk nipis 1/2 sendok teh dicampur dengan kecap atau madu 1/2

    sendok teh , diberikan tiga kali sehari.

    c) Pemberian makanan

    Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-

    ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah.

    Pemberian ASI pada bayi yang menyusui tetap diteruskan. Nafsu makan

    yang memburuk mungkin dapat dicoba diatasi dengan makanan

    kesukaannya, harus memperbaiki gizi yang baik seperti :

    (1) makanan yang mengandung kalori :nasi, jagung, sagu

    (2) makanan yang mengandung protein :putih telur, tempe, tahu, ikan,

    makanan tersebut berguna agar tidak menjadi lemah.

    d) Pemberian minuman

    Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya)

    lebih banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak,

  • kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.

    e) Lain-lain

    Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu

    tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika pilek,

    bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan

    menghindari komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan tempat

    tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap.

    Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka

    dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan. Untuk

    penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas usahakan

    agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama 5 hari

    penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan antibiotik, usahakan agar

    setelah 2 hari anak dibawa kembali kepetugas kesehatan untuk

    pemeriksaan ulang

    2) Pengobatan pada ISPA

    a) Pneumonia berat: dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik melalui

    jalur infus , di beri oksigen dan sebagainya.

    b) Pneumonia: diberi obat antibiotik melalui mulut. Pilihan obatnya

    Kotrimoksasol, jika terjadi alergi / tidak cocok dapat diberikan

    Amoksilin, Ampisilin dan antibiotik lain yang cocok.

    c) Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan

    perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional

    atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan.

  • Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita

    dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat

    adanya bercak nanah disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher,

    dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan

    harus diberi antibiotik selama 10 hari.

    3) Pemberantasan ISPA

    Pemberantasan ISPA yang dilakukan adalah:

    a) Penyuluhan kesehatan yang terutama di tujukan pada para ibu.

    b) Pengelolaan kasus yang disempurnakan.

    c) Immunisasi

    B. Penelitian Terkait

    1. Yulita Riza (2003), penelitiannya berjudul Factor-faktor yang berhubungan

    dengan kejadian ISPA pada balita di kabupaten bekasi tahun 2003

    Penelitian ini menggunakan desain analisis data sekunder dan pendekatan

    crossektional dengan Jumlah sampel 220 orang. Hasil penelitian bahwa terdapat

    hubungan antara pengetahuan dengan kejadian ISPA dimana semakin tinggi

    pengetahuan tentang penyakit ispa maka pencegahan dan upaya perawatan semakin

  • meningkat. dalam penelitian ini pengetahuan merupakan salah satu pendorong

    seseorang untuk merubah perilaku. diharapkan semakin tinggi pengetahuan

    seseorang tentang penyakit ISPA dan bahaya yang ditimbulkan maka partisipasi

    masyarakat tinggi dalam upaya pengendalian penyakit ISPA. Hasil penelitian ini

    tidak membuktikan adanya hubungan antara umur balita dengan kejadian ISPA ( p

    value = 0,587). Tidak membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara

    tingkat pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita (p >0,05). selain itu,

    penelitian ini juga membuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara status

    pekerjaan ibu dengan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,505).

    2. Siti Nur Ayu (1997), penelitiannya berjudul Faktor-faktor yang berhubungan

    dengan kejadian ISPA (analisis data sekunder SDKI 1994.

    Penelitian ini menggunakan desain analisis data sekunder dan pendekatan

    crossektional. Hasil penelitian ini yaitu berdasarkan hasil survey, penyebaran umur

    ibu-ibu yang mempunyai bayi dimulai dari umur 15 tahun-49 tahun tertua. situasi

    angka kesakitan pneumonia menurut golongan umur yang telah dikelompokkan

    maka terlihat bahwa umur 15-35 tahun adalah 36,94% (95% CI : 34,67-39,21)

    sedangkan angka kesakitan pada kelompok umur 36-49 tahun 40,52% ( 95% CI :

    34,14-46,91). Ratio odds ibu bayi yang berumur 15-35 untuk sakit pneumonia

    bayinya, dibandingkan dengan ibu bayi yang berumur 36-49 tahun untuk sakit

    pneumonia bayinya sebesar 0,860 (95% CI: 0,65-1,14) dari data ini dapat

    disimpulkan bahwa resiko bayi untuk terkena penyakit pneumonia pada kelompok

    ibu-ibu yang berumur 36-49 tahun 1,16 kali lebih besar dibanding dengan resiko

    pada kelompok ibu-ibu yang berumur antara 15-35 tahun.

  • Menurut pekerjaan ibu, pada penelitian ini berdasarkan uji 2 x 2 maka

    didapatkan bahwa angka kesakitan pneumonia pada bayi yang ibunya bekerja

    adalah 40,27% (95% CI : 36,88-43,66), sedangkan angka kesakitan pada bayi yang

    ibunya tidak bekerja sebesar 35,34% (95% CI : 32,59-38,09). OR antara ibu bekerja

    dengan tidak bekerja 1,234 (95% CI : 1,02-1,48). Kesimpulannya bahwa resiko bayi

    terkena sakit pneumonia yng ibunya bekerja 1,234 kali lebih besar dibandingkan

    dengan ibu tidak bekerja.

    Menurut tingkat pendidikan ibu didapatkan hail bahwa balita yang memiliki

    ibu berpendidikan rendah (SLTP ke bawah) mempunyai resiko untuk menderita

    ISPA lebih besar dibandingkan dengan balita yang pendidikan ibunya tinggi.

    3. Mampuni hapsari (2008), penelitiannya berjudul analisis pengetahuan dan

    perilaku warga sekitar Bantar gebang desa Ciketing udik terhadap gejala ISPA

    ringan tahun 2008.

    Penelitian ini menggunakan desain analisis data sekunder dan pendekatan

    crossektional dengan Jumlah sampel 34 orang. Cara pengambilan sampel dengan

    simple random sampling dengan kriteria warga yang jarak tinggalnya tidak lebih

    dari 150 meter dari lokasi TPA Bantar gebang. Hasil penelitian ini menunjukkan

    bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan warga dengan

    perilaku ( p value = 0,300). OR 3,8 (95% CI: 0,580-24,8), Hasil ini diperoleh

    melalui uji fisher exact test karena terdapat hasil nilai harapan kurang dari 5. dari

    hasil tersebut diketahui bahwa ada sebanyak 19 orang yang memiliki pengetahuan

    kurang dan memiliki perilaku buruk, sedangkan responden yang memilikikualitas

    pengetahuan baik dan memiliki perilaku buruk sebanyak 3 orang. penyuluhan yang

  • kurang, kegiatan sosial yang hampir tidak pernah ada menjadi salah satu indikator

    penilaian. warga kurang mendapat pengetahuan tentang bahaya di lingkungannya

    dan perilaku pencegahan yang baik agar kesehatan tetap terjaga walaupun mereka

    tinggal di daerah yang mempunyai bahaya lingkungan dan resiko terhadap berbagai

    macam penyakit yang akan timbul dari lingkungan.

    4. Puguh heri Saputro (2006), penelitiannya berjudul faktor-faktor yang

    berhubungan dengan gejala ISPA bukan pneumonia pada petugas kebersihan pasar

    induk Kramat jati Jaktim bulan desember tahun 2005

    Penelitian ini menggunakan desain analisis data sekunder dan pendekatan

    crossektional dengan Jumlah sampel 96 orang. Cara pengambilan sampel dengan

    purposive sampling. Hasil penelitian tetang peyuluhan tentang lingkungan bersih

    dan rumah sehat didapatkan hasil yaitu persentasi proporsi terbesar terkena gejala

    ISPA bukan pneumonia terjadi pada petugas kebersihan yang belum pernah

    mendapatkan penyuluhan tentang lingkungan bersih dan rumah sehat yakni 79,3%

    dari 43 orang. Hasil perhitungan survey dengan menggunakan perhitungan statistik

    menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara penyuluhan

    tentang lingkungan bersih dan rumah sehat dengan gejala ISPA bukan pneumonia

    pada petugas kebersihan pasar induk Kramat jati.

    5. Muhammad Ali (2003), penelitiannya berjudul pengetahuan, sikap dan

    perilaku ibu bekerja dan ibu tidak bekerja tentang imunisasi di PT. Olagafood

    Industri, Tanjung Morawa, Medan, tahun 2002.

    Penelitian ini merupakan penelitian analitik dan pendekatan crossektional.

    Dilakukan wawancara dengan suatu kuisioner terancang. Populasi penelitian adalah

  • wanita pekerja di pabrik mi instan Alhami dan istri karyawan pria yang tidak

    melakukan pekerjaan di luar rumah. Besar sampel untuk masing-masing kelompok

    adalah sebesar 38 orang. Hasil penelitian menunjukkan Karakteristik responden

    terlihat dari 38 orang ibu yang bekerja didapati distribusi usia 19-43 tahun ( mean

    25,82; SD 5,82) dan pada ibu yang tidak bekerja distribusi usianya 20-42 tahun (

    mean 26,84; SD 5,13). Proporsi kelompok usia terbesar untuk kedua kelompok ini

    adalah kelompok usia 20-35 tahun (89%). Pengetahuan ibu tentang imunisasi

    terlihat pada tabel 2. Tidak dijumpai perbedaan pengetahuan tentang imunisasi

    antara ibu bekerja dan ibu tidak bekerja ( p > 0,05). Tingkat pendidikan terbanyak

    untuk kedua kelompok adalah SMA (47%), dan distribusi usia balita terbanyak

    untuk kedua kelompok usia 12-59 bulan (59%). Tidak dijumpai perbedaan

    bermakna untuk distibusi usia responden, tingkat pendidikan, dan usia anak pada

    kedua kelompok (p > 0,05). Pengetahuan baik tentang imunisasi pada ibu bekerja

    26% dan pada ibu tidak bekerja 21%. Perilaku ibu tentang imunisasi terlihat

    perbedaan yang bermakna pada perilaku tentang imunisasi antara ibu bekerja dan

    ibu tidak bekerja ( p < 0,05). Perilaku baik, kurang, dan buruk tentang imunisasi

    pada ibu bekerja didapati berturut-turut 32%, 42%, dan 26%, sedang pada ibu tidak

    bekerja didapati 66%, 21%, dan 13%.

    Kesimpulannya penelitian ini mendapatkan tidak ada hubungan antara

    pengetahuan, sikap dan perilaku tentang imunisasi dengan tingkat pendidikan

    responden (p > 0, 05). Penggabungan kedua kelompok responden berdasarkan

    tingkat pendidikan dan hubungannya dengan pengetahuan, sikap, dan perilaku

    tentang imunisasi terlihat pada tabel 5. Sedangkan hubungan antara pengetahuan,

  • sikap, dan perilaku ibu tentang imunisasi dengan usia ternyata dari penelitian ini

    didapati bahwa usia ibu berhubungan dengan pengetahuan dan perilaku mereka

    terhadap imunisasi (p < 0,05), namun usia ibu tidak berhubungan dengan sikap

    terhadap imunisasi (p > 0,05). Hubungan ini terlihat pada tabel 6

    6. Ika Setianingsih (2008), penelitiannya berjudul hubungan karakteristik sosial

    dengan pengetahuan ibu tentang penyakit pneumonia pada balita di RW 01

    kelurahan pasir gunung selatan depok tahun 2008

    Penelitian ini menggunakan desain deskriftif korelatif bersifat kuantitatif

    dengan metode cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan

    karakteristk sosial dengan pemgetahuan ibu yang memiliki balita mengenai

    penyakit pneumonia yang menyerang balita. kesimpulan dari penelitian ini adalah

    ada hubungan antara usia ibu dengan pengetahuan tentang penyakit ISPA pada

    balita, terdapat hubungan anatara tingkat pendidikan ibu dengan pengetahuan

    tentang penyakit pneumonia pada balita dan ada hubungan antara jumlah anak

    dengan pengetahuan tentang penyakit pneumonia pada balita.

    7. Penelitian Niluh M.Y. Sherlywiyanti (2003), Hubungan antara pengetahuan

    dan sikap ibu dalam upaya pencegahan ISPA pada balitadi wilayah kerja Puskesmas

    Melati I Sleman. Jenis penelitian dengan pendekatan cross sectional, variabel

    dependent: upaya pencegahan ISPA, variabel independent: pengetahuan dan sikap.

    Subyek penelitian adalah ibu-ibu yang memiliki balita berumur 1 - 4 tahun, jumlah

    97 orang dengan metode pengambilan sample kombinasi cluster sampling dan

    sistimatik sampling. Dilaksanakan bulan Oktober Nopember 2003. Hasil penelitian

    menunjukkan tingkat pengetahuan responden tentang ISPA sebagian besar pada

  • tingkat sedang dan rendah, sikap responden terhadap ISPA sebagian besar pada

    tingkat sedang dan baik, upaya pencegahan terhadap ISPA sebagian besar pada

    tingkat kadang-kadang dan tidak melakukan, terdapat hubungan antara pengetahuan

    responden dengan upaya pencegahan ISPA pada balita, antara sikap responden

    dengan upaya pencegahan ISPA tidak memiliki hubungan yang bermakna

  • C. Kerangka Teori

    Bagan 2.1

    Kerangka Teori

    Faktor Predisposisi

    - Karakteristik responden

    (umur, tingkat

    pendidikan, pekerjaan)

    - Pengetahuan

    - Sikap

    Perilaku

    Pencegahan ISPA

    Pada Balita

    Faktor Penguat

    - Sikap dan perilaku

    petugas kesehatan

    - Dukungan keluarga

    - Kebijakan pemerintah

    Faktor Pemungkin

    - Ketersediaan pelayanan

    kesehatan

    - Keterjangkauan sarana

    kesehatan

    - Keterpaparan media

    - Pendidikan Kesehatan

  • Kerangka teori diatas adalah hasil dari modifikasi dari teori Green (1980).

    Green menyatakan bahwa sebelum tercetusnya sebuah perilaku, terdapat 3 faktor

    yang mempengaruhi terjadinya perilaku kesehatan. Faktor predisposisi yaitu faktor

    internal dalam diri manusia seperti adanya niat, pengetahuan, sikap dan persepsi.

    Faktor pemungkin (enabling faktor) adalah faktor dukungan lingkungan fisik sekitar

    perilaku. Faktor pendorong adalah berhubungan dengan penyediaan faktor

    kesehatan.

    Kerangka teori diatas menjelaskan bahwa faktor predisposisi meliputi

    karakteritik individu (umur, tingkat pendidikan, pekerjaan), pengetahuan dan sikap.

    Faktor pemungkin meliputi ketersediaan pelayanan kesehatan, keterjangkauan sarana

    kesehatan, keterpaparan media dan pendidikan kesehatan. Faktor Penguat meliputi

    sikap dan perilaku petugas kesehatan, dukungan keluarga dan kebijakan pemerintah