bab2(3)
-
Upload
sylvia-febriana -
Category
Documents
-
view
32 -
download
2
description
Transcript of bab2(3)
-
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Teori Terkait
Dalam memberikan arahan pada penelitian ini maka peneliti akan menguraikan
landasan teori atau konsep terkait serta penelitian terkait tentang hubungan
pendidikan kesehatan dan pengetahuan tentang ISPA pada masyarakat dengan
perilaku pencegahan ISPA pada balita di RW 06 kelurahan Krukut kecamatan Limo
kota Depok tahun 2009.
1. Konsep Pendidikan kesehatan
a. Definisi
Pendidikan kesehatan merupakan salah satu kompetensi yang dituntut dari
tenaga keperawatan, karena merupakan salah satu peranan yang harus
dilaksanakan dalam setiap memberikan asuhan keperawatan dimana saja ia
bertugas, apakah itu terhadap individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.
(Nasrul Effendy, 1998).
Pendidikan kesehatan pada hakekatnya adalah suatu kegiatan atau usaha
untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau
individu. Dengan harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut, masyarakat,
kelompok atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang
lebih baik. Akhirnya pengetahuan tersebut diharapkan dapat berpengaruh
terhadap perilakunya. ( Depkes RI,2008).
Menurut Wood (1926), pendidikan kesehatan adalah sejumlah pengalaman
yang berpengaruh secara menguntungkan terhadap kebiasaan, sikap dan
-
pengetahuan yang ada hubungannya dengan kesehatan individu, masyarakat dan
bangsa. Kesemuanya ini dipersiapkan dalam rangka mempermudah diterimanya
secara sukarela perilaku yang akan meningkatkan atau memelihara kesehatan
(Uha Suliha, 2002)
Stuart (1968), dalam definisi yang dikemukakan, dikutip leh staf jurusan
PK-IP FKM UI 1984) mengatakan bahwa pendidikan kesehatan adalah
komponen program kesehatan dan kedokteran yang terdiri atas upaya terencana
untuk mengubah perilaku individu, kelompok maupun masyarakat yang
merupakan perubahan cara berfikir, bersikap, dan berbuat dengan tujuan
membantu pengobatan, rehabilitasi, pencegahan penyakit, dan promosi hidup
sehat (Uha Suliha, 2002).
Menurut steward dalam buku Nasrul effendi (1998), pendidikan kesehatan
merupakan unsur program kesehatan yang didalamnya terkandung rencana
untuk merubah perilaku perorangan dan masyarakat, dimana hasil yang
diharapkan dari pendidikan kesehatan adalah terjadinya perubahan sikap dan
perilaku dari individu, keluarga dan masyarakat untuk dapat menanamkan
prinsip-prinsip hidup sehat dalam kehidupan sehari-hariuntuk mencapai derajat
kesehatan yang optimal (Nasrul effendi, 1998)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan
menekankan pada aspek perubahan perilaku individu dan masyarakat dalam
bidang kesehatan.
b. Tujuan Pendidikan Kesehatan
-
Tujuan pendidikan kesehatan yang paling pokok menurut (WHO, 1954) yang
dikutip oleh Notoatmodjo (1997) adalah:
1) Tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam
membina dan memelihara perilaku sehat dan lingkungan sehat, serta berperan
aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
2) Terbentuknya perilaku sehat pada individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik fisik, mental dan
social sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian.
3) Tujuan penyuluhan kesehatan adalah untuk merubah perilaku perorangan dan
atau masyarakat dalam bidang kesehatan.
c.Ruang lingkup pendidikan kesehatan
Ruang lingkup pendidikan kesehatan meliputi 3 aspek yaitu :
1) Sasaran pendidikan kesehatan
Sasaran pendidikan kesehatan adalah individu, keluarga dan kelompok
dan masyarakat yang dijadikan subyek dan obyek perubahan perilaku,
sehingga diharapkan dapat memahami, menghayati dan mengaplikasikan
cara-cara hidup sehat dalam kehidupan sehari-harinya. Banyak faktor yang
perlu diperhatikan terhadap sasaran dalam keberhasilan pendidikan
kesehatan, diantaranya adalah :
(a)Tingkat pendidikan
(b) Tingkat sosial ekonomi
-
(c)Adat istiadat
(d) Kepercayaan masyarakat
(e)Ketersediaan waktu dari masyarakat
Sasaran penelitian ini adalah kelompok ibu-ibu yang memiliki anak
balita (0-5 tahun) yang sudah pernah mendapatkan pendidikan kesehatan
tentang penyakit ISPA.
2) Materi/pesan
Materi atau pesan yang akan disampaikan kepada masyarakat hendaknya
disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan dan keperawatan dari individu,
keluarga, kelompok, dan masyarakat sehingga materi yang disampaikan
dapat dirasakan langsung manfaatnya. Materi yang disampaikan sebaiknya:
(a)Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dalam bahasa
kesehariannya
(b) Materi yang disampaikan tidak terlalu sulit
(c)Dalam penyampaian materi sebaiknya menggunakan alat peraga untuk
mempermudah pemahaman dan untuk menarik perhatian sasaran
(d) Materi atau pesan yang disampaikan merupakan kebutuhan sasaran dalam
masalah kesehatan dan keperawatan yang mereka hadapi.
3) Metode pembelajaran
-
Metode adalah teknik pengajaran yang menggunakan berbagai
pendekatan disesuaikan dengan karakteristik sasaran (S.Setiawati, 2008).
Metode dalam proses pembelajaran memiliki beberapa kedudukan sebagai
berikut:
(a)Metode sebagai alat motivasi ekstrinsik, menurut Sardiman A.M. metode
ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi sebagai
perangsang. Metode dalam proses pembelajaran dijadikan sebagai bagian
dari motivasi agar peserta didik dengan cepat menerima informasi baru,
ide, gagasan, pendapat dan hasil temuan dari pembicara.
(b) Metode sebagai strategi pengajaran, menurut Rostiyah N.K mengatakan
bahwa seorang pengajar harus memiliki strategi pengajaran supaya
peserta didik bisa belajar dengan efektif dan efisien.
(c)Metode sebagai alat untuk mencapai tujuan, pembelajaran membutuhkan
tujuan yang jelas. Pencapaian tujuan pembelajaran dipengaruhi oleh
factor pengajar dan peserta didik.
Menurut Drs. syaiful Bahri, dalam buku strategi belajar mengajar
karangan S.Setiawati, 2008, metode pembejaran terdiri atas; ceramah,tugas,
eksperimen, diskusi, sosiodrama, demonstrasi, Tanya jawab, simulasi, dan
lain-lain.
Metode yang paling tepat digunakan saat pendidikan kesehatan di
masyarakat adalah dengan metode ceramah karena banyak orang yang dapat
mendengar atau memperoleh pengetahuan di bidang kesehatan, dpat diterima
-
oleh sasaran yang tidak dapat membaca, mudah dilaksanakan, mudah
mempersiapkannya dan mudah mengorganisasi.
Penyuluhan kesehatan di masyarakat dapat dilakukan melalui
pendekatan edukatif terhadap keluarga dan masyarakat binaan secara
menyeluruh dan terorganisasi sesuai dengan masalah kesehatan dan
keperawatan yang dihadapi oleh masyarakat. agar penyuluhan di masyarakat
dapat mencapai hasil yang diharapkan diperlukan perencanaan yang matang
dan terarah sesuai dengan tujuan program penyuluhan kesehatan masyarakat
berdasarkan kebutuhan kesehatan masyarakat setempat. Penyuluhan
kesehatan masyarakat di masyarakat biasanya berkaitan dengan pembinaan
wilayah binaan puskesmas atau oleh karena kejadian yang luar biasa seperti
wabah dan lain sebagainya.
d. Media pembelajaran dalam pendidikan kesehatan
Menurut Gerlach & Elly (1971), media diartikan sebagai segala bentuk dan
saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan informasi.
Fleming (1987), menyatakan bahwa media adalah bagian yang ikut dalam
interaksi antara peserta didik dan pengajar sehingga pesan yang disampaikan
dapat diterima.
Heinich (1982), mengemukakan bahwa media adalah perantara yang
mengantar informasi antara sumber ke penerima.
-
Gagne & Briggs (1975), mengatakan bahwa media pembelajaran meliputi
alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran.
Pesan, ide, gagasan atau informasi yang isampaikan pengajar atau
pembicara akan mudah diterima apabila diberikan dengan metode dan media
yang benar dan baik (S.Setiawati,2008)
2. Konsep Pengetahuan
a. Pengertian
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga.
Menurut Notoatmodjo (1993), pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt
behaviour). Karena itu dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan. Menurut pendapat Rogers (1974) bahwa sebelum
orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) di dalam diri orang tersebut
terjadi proses yang berurutan, yakni (Notoatmodjo, 2000):
1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek)
-
2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap
subjek sudah mulai terbentuk
3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi
4) Trial, dimana subyek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh stimulus
5) Adoption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa
perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut di atas.
b. Faktor faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Menurut Lukman (2009), Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pengetahuan yaitu:
1) Umur
Makin tua umur seseorang maka proses-proses perkembangan
mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur tertentu, bertambahnya
proses perkembangan mental ini tidak secepat seperti ketika berumur
belasan tahun. Selain itu, daya ingat seseorang itu salah satunya dipengaruhi
oleh umur. Dari uraian ini maka dapat disimpulkan bahwa bertambahnya
umur seseorang dapat berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang
diperolehnya, akan tetapi pada umur-umur tertentu atau menjelang usia
-
lanjut kemampuan penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan akan
berkurang.
2) Intelegensi
Intelegensi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk belajar dan
berfikir abstrak guna menyesuaikan diri secara mental dalam situasi baru.
Intelegensi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil dari
proses belajar. Intelegensi bagi seseorang merupakan salah satu modal untuk
berpikir dan mengolah berbagai informasi secara terarah sehingga ia mampu
menguasai lingkungan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
perbedaan intelegensi dari seseorang akan berpengaruh pula terhadap
tingkat pengetahuan.
3) Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pengetahuan seseorang. Lingkungan memberikan pengaruh pertama bagi
seseorang, dimana seseorang dapat mempelajari hal-hal yang baik dan juga
hal-hal yang buruk tergantung pada sifat kelompoknya. Dalam lingkungan
seseorang akan memperoleh pengalaman yang akan berpengaruh pada pada
cara berfikir seseorang.
4) Sosial budaya
Sosial budaya mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang.
Seseorang memperoleh suatu kebudayaan dalam hubungannya dengan orang
-
lain, karena hubungan ini seseorang mengalami suatu proses belajar dan
memperoleh suatu pengetahuan.
5) Pendidikan
Menurut Notoadmojo (1997) pendidikan adalah suatu kegiatan atau
proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan
kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri.
Menurut Wied Hary A.(1996), menyebutkan bahwa tingkat pendidikan turut
pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami
pengetahuan yang mereka peroleh, pada umumnya semakin tinggi
pendidikan seseorang makin semakin baik pula pengetahuanya.
6) Informasi
Informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang.
Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah tetapi jika ia
mendapatkan informasi yang baik dari berbagai media misalnya TV, radio
atau surat kabar maka hal itu akan dapat meningkatkan pengetahuan
seseorang.
7) Pengalaman
Pengalaman merupakan guru yang terbaik, pepatah tersebut dapat
diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau
pengalaman itu suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh
sebab itu, pengalaman pribadipun dapat digunakan sebagai upaya untuk
memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang
-
kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang
dihadapi pada masa lalu. (Notoadmojo 1997: 13)
c.Kategori pengetahuan
Menurut (Arikunto, 1998) mengemukakan bahwa untuk mengetahui
secara kualitas tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dapat dibagi
menjadi empat tingkat yaitu:
1) Tingkat pengetahuan baik bila skor atau nilai 76-100 %
2) Tingkat pengetahuan cukup bila skor atau nilai 56-75 %
3) Tingkat pengetahuan kurang bila skor atau nilai 40-55 %
4) Tingkat pengetahuan buruk bila skor atau nilai < 40 %
d. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2000) ada enam tingkat pengetahuan, yaitu:
1) Mengenal (recognition) dan mengingat kembali (recall) diartikan sebagai
kemampuan untuk mengingat kembali suatu yang pernah diketahui sehingga
bisa memilih satu dari dua ata lebih jawaban.
2) Pemahaman (comprehention) diartikan sebagai kemampuan untuk
memahami suatu materi atau objek yang diketahui.
-
3) Penerapan (application) diartikan sebagai kemampuan untuk menerapkan
secara benar mengenai sesuatu hal yang diketahui dalam situasi yang
sebenarnya.
4) Analisis (analysis) diartikan sebagai kemampuan menjabarkan materi atau
objek ke dalam suatu struktur dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5) Sintesis (synthesis) diartkan sebagai kemampuan meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan penyusunan formulasi.
6) Evaluasi (evaluation) diartikan sebagai kemampuan melakukan penilaian
terhadap suatu obyek atau materi.
3. Konsep Perilaku
a. Definisi Perilaku
Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi atau
reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru
terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni
yang disebut rangsangan.
Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau
aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya
adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku
manusia itu mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan,
berbicara, bereaksi, berpakaian, dan sebagainya. Bahkan kegiatan internal
-
(internal activity) seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku
manusia. Untuk kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa perilaku
adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara
langsung atau secara tidak langsung. (Sunaryo.2004)
b. Determinan perilaku
1) Teori Lawrence Green (1991)
Green (1991) menjelaskan secara umum bahwa kualitas hidup
dipengaruhi oleh kesehatan, sedangkan kesehatan dipengaruhi oleh perilaku
dan gaya hidup serta lingkungan. Green mencoba menganalisa perilaku
manusia dari tingkat kesehatan, dimana kesehatan dipengaruhi oleh dua
faktor pokok yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar
perilaku (non behavior causes). Perilaku dan gaya hidup dipengaruhi oleh
ketiga faktor:
a) Faktor perdisposisi (predisposing factors), yang mencakup pengetahuan,
sikap (suatu kecenderungan jiwa atau perasaan yang relative tetap
terhadap kategori tertentu dari objek, orang atau situasi), keyakinan,
nilai, dan persepsi
b) Faktor pemungkin/pendukung (enabling factors), yang mencakup
lingkungan fisik, ketersediaan sumber daya kesehatan, keterjangkauan
sumber daya kesehatan, prioritas dan komitmen masyarakat atau
pemerintah terhadap kesehatan, ketrampilan yang berkaitan dengan
kesehatan. Menyangkut juga keterjangkauan berbagai sumber daya,
-
biaya, jarak, ketresediaan transportasi, jam buka, dan ketrampilan
petugas.
c) Faktor penguat (reinforcing factor), yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok
referensi perilaku masyarakat.
2) Teori Snehandu B. Kar (1983)
Karl mencoba menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik
tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari:
a) Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau
perawatan kesehatan (behavior intention)
b) Dukungan social dari masyarakat sekitarnya (social support)
c) Ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan
(accessibility of information)
d) Otonomi pribadi yang bersangkutan, dalam hal ini mengambil tindakan
sendiri atau keputusan (personal autonomy)
e) Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak
(action situation)
3) Teori WHO (1984)
Tim kerja dari WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan
seseorang itu berperilaku karena 4 alasan pokok:
-
a) Pemikiran dan perasaan (thoughts and felling) yakni dalam bentuk;
pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman
orang lain; kepercayaan yang sering atau diperoleh dari orang tua,
kakek, dan nenek. seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan
keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu; sikap yang
menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek, yang
diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain.
b) Orang penting sebagai referensi ( personal reference)
c) Sumber-sumber daya (resources)
d) Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber-sumber
di dalam suatu masyarakat akan mengahasilkan suatu pola hidup (way of
life) yang pada umumnya disebut kebudayaan (culture)
c. Bentuk Perilaku
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respons organisme
atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut.
Respons ini berbentuk 2 macam, yakni
1) Bentuk pasif adalah respons internal yaitu yang terjadi didalam diri
manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya
berpikir, tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan. Misalnya seorang
ibu tahu bahwa imunisasi itu dapat mencegah suatu penyakit tertentu
meskipun ibu tersebut tidak membawa anaknya ke puskesmas untuk
diimunisasi.
-
2) Bentuk aktif yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara
langsung. Misalnya ibu sudah membawa anaknya ke puskesmas atau
fasilitas kesehatan lain untuk imunisasi.
d. Perilaku Kesehatan
Becker (1979) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan (health related behavior) sebagai berikut:
a. Perilaku kesehatan (health behavior) yaitu hal-hal yang berkaitan dengan
tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan
kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah
penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan
sebagainya.
b. Perilaku sakit (illness behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang
dilakukan seorang individu yang merasa sakit untuk merasakan dan
mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit. Termasuk disini
kemampuan atau pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit,
penyebab penyakit serta usaha-usaha mencegah penyakit tersebut.
c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) yakni segala tindakan atau
kegiatan yang dilakukan individu yang sedang sakit untuk memperoleh
kesembuhan. Perilaku ini disamping berpengaruh terhadap kesehatan /
kesakitannya sendiri, juga berpengaruh terhadap orang lain terutama
kepada anak-anak yang belum mempunyai kesadaran dan tanggung jawab
terhadap kesehatannya.
-
e. Teori perubahan Perilaku
1) Teori Stimulus-Organisme-Respons (SOR) diajukan oleh Skinner (1938),
didasarkan pada asumsi penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung
kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan
organisme. Kualitas dari sumber komunikasi (sources) misalnya
kredibilitas, kepemimpinan, gaya berbicara sangat menentukan
keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok atau masyarakat.
2) Teori Festinger (Dissonance Theory) (1957), mengatakan teori ini
sebenarnya sama prinsipnya dengan konsep tidak seimbang imbalance.
Ketidakseimbangan (dissonance) terjadi karena dalam diri individu terdapat
2 elemen kognisi yang saling bertentangan yaitu antara pengetahuan,
pendapat, atau keyakinan. Apabila individu menghadapi suatu stimulus
atau objek dan stimulus tersebut menimbulkan pendapat atau keyakinan
yang berbeda / bertentangan didalam diri individu sendiri maka terjadilah
dissonance. Contoh: Seorang ibu rumah tangga yang bekerja di kantor. Di
satu pihak, dengan bekerja ia dapat tambahan pendapatan bagi keluarganya
yang akhirnya dapat memenuhi kebutuhan bagi keluarga dan anak-
anaknya, termasuk kebutuhan makanan yang bergizi. Apabila ia tidak
bekerja, jelas tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Di pihak
yang lain, apabila ia bekerja, ia kuatir terhadap perawatan terhadap anak-
anaknya akan menimbulkan masalah. Kedua elemen (argumentasi) ini
sama-sama pentingnya, yakni rasa tanggung jawabnya sebagai ibu rumah
tangga yang baik.
-
3) Teori Fungsi berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu itu
tergantung kepada kebutuhan. Menurut Katz (1960) perilaku
dilatarbelakangi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan; dapat
berfungsi dan memberikan pelayanan terhadap kebutuhan (Misalnya orang
mau membuat jamban apabila jamban tersebut benar-benar menjadi
kebutuhannya), sebagai defence mecanism dalam menghadapi
lingkungannya (misalnya orang dapat menghindari penyakit demam
berdarah karena penyakit tersebut merupakan ancaman bagi dirinya),
penerima objek dan memberikan arti (misalnya bila seseorang merasa sakit
kepala maka secara cepat tanpa berpikir lama ia akan bertindak untuk
mengatasi rasa sakit tersebut dengan membeli obat di warung dan
meminumnya, atau tindakan-tindakan lain), dan sebagai nilai ekspresif dari
diri seseorang dalam menjawab suatu situasi (misalnya orang yang sedang
marah, senang, gusar, dan sebagainya dapat dilihat dari perilaku atau
tindakannya).
4) Teori Kurt Lewin (1970), berpendapat bahwa perilaku manusia adalah
suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong
(driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining forces).
Perilaku ini dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua
kekuatan tersebut didalam diri seseorang.
f. Bentuk-Bentuk Perubahan Perilaku
-
Menurut WHO, perubahan perilaku itu dikelompokkan menjadi perubahan
alamiah (natural change), perubahan rencana (planned change), dan kesediaan
untuk berubah (readiness to change). Pada perilaku kesehatan menurut skinner,
dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu; perilaku pemeliharaan
kesehatan (health maintenance), perilaku pencarian dan penggunaan system
atau fasilitas pelayanan kesehatan (health seeking behavior), dan perilaku
kesehatan lingkungan.
g. Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)
Perilaku hidup bersih dan sehat adalah upaya untuk memberikan
pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga,
kelompok dan masyarakat, dengan membuka jalur komunikasi, memberikan
informasi dan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku,
sehingga membantu masyarakat mengenali dan mengatasi masalahnya sendiri,
dalam tatanan rumah tangga, agar dapat menerapkan cara-cara hidup sehat
dalam rangka menjaga, memelihara dan meningkatkan kesehatan. Upaya yang
dilakukan melalui pendekatan pimpinan (advokasi), bina suasana (social
support), dan pemberdayaan masyarakat (empowerment).
PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota
rumah tangga agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih
dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat.
1) Manfaat PHBS
a) Setiap rumah tangga meningkat kesehatannya dan tidak mudah sakit.
-
b) Rumah tangga sehat dapat meningkat produktivitas kerja anggota
keluarga
c) Dengan meningkatnya kesehatan anggota rumah tangga maka biaya
yang tadinya dialokasikan untuk kesehatan dapat dialihkan untuk biaya
investasi seperti biaya pendidikan dan usaha lain yang dapat
meningkatkan kesejahteraan anggota rumah tangga
d) Salah satu indikator menilai keberhasilan Pemerintah Daerah Kabupaten
/Kota dibidang kesehatan
e) Meningkatnya citra pemerintah daerah dalam bidang kesehatan dan
dapat menjadi percontohan rumah tangga sehat bagi daerah lain.
2) Indikator PHBS
a) Indikator PHBS Tatanan Rumah Tangga
Indikator PHBS adalah suatu alat ukur untuk menilai keadaan atau
permasalahan kesehatan di rumah tangga. Indikator mengacu pada
Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan. Ada 10 indikator
PHBS yang terdiri dari 6 indikator perilaku dan 4 indikator lingkungan.
Dengan rincian sebagai berikut:
(1) Ibu bersalin ditolong oleh tenaga kesehatan
(2) Ibu hanya memberikan ASI kepada bayinya
(3) Keluarga mempunyai Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPKM)
(4) Anggota keluarga tidak merokok
(5) Olah raga atau melakukan aktifitas fisik secara teratur
-
(6) Makan dengan menu gizi seimbang (makan sayur dan buah setiap
hari)
(7) Tersedia air bersih
(8) Tersedia Jamban
(9) Kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni
(10) Lantai rumah bukan dari tanah
4. Konsep Masyarakat
a. Pengertian Masyarakat
Menurut (koentjaraningrat 1994) masyarakat adalah kesatuan hidup
manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang
bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas yang sama.
Soerdjono Soekanto (1982), menyatakan bahwa masyarakat adalah
menunjuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah
(dalam arti geografis) dengan batas-batas tertentu, dimana yang menjadi
dasarnya adlah interaksi yang lebih besar dari anggota-anggotanya
dibandingkan dengan penduduk di luar batas wilayahnya.
Mac Laver (1957), menyatakan bahwa masyarakat adalah sekelompok
manusia yang mendiami territorial tertentu dan adanya sifat-sifat yang saling
tergantung, adanya pembagian kerja dan kebudayaan bersama.
Menurut (Ralph Linton 1968) masyarakat adalah setiap kelompok
manusia yang hidup dan bekerja sama dalam waktu yang relatif lama dan
-
mampu membuat keteraturan dalam kehidupan bersama dan mereka
menganggap sebagai satu kesatuan sosial. Ada beberapa komponen masyarakat
diantaranya:
1) Populasi dengan aspek-aspek genetik dan demografik
2) Kebudayaan sebagai produk dari aktivitas cipta rasa, karsa dan karya
manusia. Isi kebudayaan meliputi beberapa sistem nilai, yaitu sistem
peralatan (teknologi), ekonomi, organisasi, ilmu pengetahuan, kesenian, dan
kepercayaan sistem bahasa.
b. Unsur-unsur suatu masyarakat
1) Harus ada perkumpulan manusia dan harus banyak
2) Telah bertempat tinggal dalam waktu lama disuatu daerah tertentu.
3) Adanya aturan atau undang-undang yang mengatur masyarakat untuk
menuju kepada kepentingan dan tujuan bersama.
5. Tinjauan Umum Tentang Balita
a. Pengetahuan Tentang Balita
Balita yaitu anak yang berusia di bawah 5 tahun merupakan generasi yang
perlu mendapat perhatian, karena balita merupakan generasi penerus dan modal
dasar untuk kelangsungan hidup bangsa, balita amat peka terhadap penyakit,
tingkat kematian balita masih tinggi (Anonim,2002) .
-
Balita diharapkan tumbuh dan berkembang dalam keadaan sehat jasmani,
sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit dan kelemahan. Masalah kesehatan
balita merupakan masalah nasional, menginggat angka kesakitan dan angka
kematian pada balita masih cukup tinggi. Angka kesakitan mencerminkan
keadaan yang sesungguhnya karena penyebab utamanya berhubungan dengan
faktor lingkungan antara lain; asap dapur, penyakit infeksi dan pelayanan
kesehatan.
Salah satu faktor penyebab kematian maupun yang berperan dalam proses
tumbuh kembang balita yaitu ISPA, penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Untuk itu kegiatan yang dilakukan terhadap balita antara
pemeriksaan perkembangan dan pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan
perkembangan kecerdasan, pemeriksaan penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan
gizi dan pendidikan kesehatan pada orang tua (Lamusa, 2006).
b. Pertumbuhan Dan Perkembangan Balita
Usia emas dalam perkembangan motorik adalah middle childhood atau
masa anak-anak, seperti yang diungkapkan Petterson (1996). Pada usia ini,
kesehatan fisik anak mulai stabil. Motorik merupakan perkembangan
pengendalian gerakan tubuh melalui kegiatan yang terkoordinir antara susunan
saraf, otot, otak, dan spinal cord. Perkembangan motorik meliputi motorik kasar
dan halus. Motorik kasar adalah gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot
besar atau sebagian besar atau seluruh anggota tubuh yang dipengaruhi oleh
-
kematangan anak itu sendiri. Contohnya kemampuan duduk, menendang,
berlari, naik-turun tangga dan sebagainya. Sedangkan motorik halus adalah
gerakan yang menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota tubuh
tertentu, yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan berlatih.
Misalnya, kemampuan memindahkan benda dari tangan, mencoret-coret,
menyusun balok, menggunting, menulis dan sebagainya. Kedua kemampuan
tersebut sangat penting agar anak bisa berkembang dengan optimal.
Apabila anak menderita penyakit ISPA maka akan berdampak terhadap
proses perkembangan motoriknya karena anak tidak dapat melakukan aktivitas
bermain yang pada usia balita sangat diperlukan untuk proses belajar baik
secara motorik maupun intelektual dan akan berdampak saat anak dewasa.
Teori yang menjelaskan secara detail tentang sistematika motorik anak
adalah Dynamic System Theory yang dikembangkan Thelen & whiteneyerr.
Teori tersebut mengungkapkan bahwa untuk membangun kemampuan motorik
anak harus mempersepsikan sesuatu di lingkungannya yang memotivasi mereka
untuk melakukan sesuatu dan menggunakan persepsi mereka tersebut untuk
bergerak. Kemampuan motorik merepresentasikan keinginan anak. Misalnnya
ketika anak melihat mainan dengan beraneka ragam, anak mempersepsikan
dalam otaknnya bahwa dia ingin memainkannya. Persepsi tersebut memotivasi
anak untuk melakukan sesuatu, yaitu bergerak untuk mengambilnya. Akibat
gerakan tersebut, anak berhasil mendapatkan apa yang di tujunya yaitu
mengambil mainan yang menarik baginya.
-
Selain berkaitan erat dengan fisik dan intelektual anak, kemampuan
motorik pun berhubungan dengan aspek psikologis anak. Damon & Hart, 1982
(Petterson 1996) menyatakan bahwa kemampuan fisik berkaitan erat dengan
self-image anak. Anak yang memiliki kemampuan fisik yang lebih baik di
bidang olah raga akan menyebabkan dia dihargai teman-temannya. Hal tersebut
juga seiring dengan hasil penelitian yang dilakukan Ellerman, 1980 (Peterson,
1996) bahwa kemampuan motorik yang baik berhubungan erat dengan self-
esteem.
6. Konsep Penyakit ISPA
a. Definisi
ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut, istilah ini
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI).
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut,
dengan pengertian sebagai berikut (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2005):
1) Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisma ke dalam tubuh
manusia dan berkembangbiak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2) Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran
pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa
-
saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam
saluran pernafasan (respiratory tract)
3) Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas
14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung
lebih dari 14 hari.
Infeksi saluran pernapasan akut adalah penyakit yang menyerang saluran
pernapasan terutama paru-paru, termasuk penyakit tenggorokan dan telinga.
Infeksi saluran pernapasan akut diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu
infeksi saluran pernapasan akut berat (pneumonia berat) ditandai dengan tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam pada saat inspirasi, infeksi saluran
pernapasan akut sedang (pneumonia) ditandai dengan frekuensi pernapasan
cepat yaitu umur di bawah 1 tahun; 50 kali/menit atau lebih cepat dan umur 1-4
tahun; 40 kali/menit atau lebih. Sedangkan infeksi saluran pernapasan akut
ringan (bukan pneumonia) ditandai dengan batuk pilek tanpa napas cepat dan
tanpa tarikan dinding dada (Depkes RI, 1990).
b. Etiologi
Menurut Ditjen PPM & PL Depkes RI (2005), menyebutkan bahwa etiologi
infeksi saluran pernapasan akut terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan
ricketsia. Bakteri penyebab antara lain genus streptokokus, stafilokokus,
pneumokokus, hemofilus, bordetella dan korinebakterium. Virus penyebab
-
antara lain golongan miksovirus, adnevirus, koronovirus, dan pikornavirus.
c.Faktor Resiko
Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor
lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.
1) Faktor lingkungan
a) Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak
dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahan paru
sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada
rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam
rumah bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita
bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih
lama berada di rumah bersama-sama ibunya sehingga dosis pencemaran
tentunya akan lebih tinggi.
Hasil penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi
udara, diantaranya ada peningkatan resiko bronchitis, pneumonia pada
anak-anak yang tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi
pada kelompok umur 9 bulan dan 6 10 tahun.
b) Ventilasi rumah
-
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke
atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari
ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut :
(1) Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen
yang optimum bagi pernapasan.
(2) Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan
zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara.
(3) Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.
(4) Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan.
(5) Mengeluakan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi
tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal.
(6) Mendisfungsikan suhu udara secara merata.
c) Kepadatan hunian rumah
Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri
kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan
kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah 8m.
Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit
dan melancarkan aktivitas.
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor
polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada
hubungan bermakna antara kepadatan dan kematian dari
bronkopneumonia pada bayi, tetapi disebutkan bahwa polusi udara,
-
tingkat sosial, dan pendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor
ini.
d) Status sosioekonomi
Telah diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat
sosioekonomi yang rendah mempunyai hubungan yang erat dengan
kesehatan masyarakat. Tetapi status keseluruhan tidak ada hubungan
antara status ekonomi dengan insiden ISPA, akan tetapi didapatkan
korelasi yang bermakna antara kejadian ISPA berat dengan rendahnya
status sosioekonomi (Darmawan,1995).
e) Kebiasaan merokok
Pada keluarga yang merokok, secara statistik anaknya mempunyai
kemungkinan terkena ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan anak dari
keluarga yang tidak merokok. Selain itu dari penelitian lain didapat
bahwa episode ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua merokok
(Koch, 2003)
2) Faktor individu anak
a) Umur anak
Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak
usia dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa anak pada usia muda akan lebih sering
-
menderita ISPA daripada usia yang lebih lanjut. Hal ini disebabkan
karena pembentukan antibody pada anak yang berusia di bawah lima
tahun belum sempurna sehingga lebih rentan untuk terinfeksi virus atau
bakteri (Koch, 2003).
b) Jenis kelamin
Meskipun secara keseluruhan di negara yang sedang berkembang
seperti Indonesia masalah ini tidak terlalu diperhatikan, namun banyak
penelitian yang menunjukkan adanya perbedaan prevelensi penyakit
ISPA terhadap jenis kelamin tertentu.
Angka kesakitan ISPA sering terjadi pada usia kurang dari 2 tahun,
dimana angka kesakitan ISPA anak perempuan lebih tinggi daripada laki-
laki di negara Denmark (Koch, 2003)
c) Berat badan lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik
dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan
dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama
kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna
sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan
sakit saluran pernapasan lainnya.
-
Penelitian menunjukkan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram
dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi saluran
pernafasan dan hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted
terhadap status pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data ini
mengingatkan bahwa anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah
tidak mengalami rate lebih tinggi terhadap penyakit saluran pernapasan,
tetapi mengalami lebih berat infeksinya.
d) Status gizi
Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan dan
perkembangan anak dipengaruhi oleh: umur, keadaan fisik, kondisi
kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan
dan aktivitas dari si anak itu sendiri. Penilaian status gizi dapat dilakukan
antara lain berdasarkan antopometri: berat badan lahir, panjang badan,
tinggi badan, lingkar lengan atas.
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting
untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang
adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak
yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Disamping itu, adanya
hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat
lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi.
-
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA
dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh
yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak
mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada
keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan
serangannya lebih lama.
e) Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan kapsul
200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat
tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit
maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai resiko
terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5%
pada kelompok kontrol.
Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi
akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan
tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang
ditujukan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang
tidak berbahaya, niscaya dapatlah diharapkan adanya perlindungan
terhadap bibit penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak
terlalu singkat. Karena itu usaha massal pemberian vitamin A dan
imunisasi secara berkala terhadap anak-anak prasekolah seharusnya tidak
dilihat sebagai dua kegiatan terpisah. Keduanya haruslah dipandang
-
dalam suatu kesatuan yang utuh, yaitu meningkatkan daya tahan tubuh
dan perlindungan terhadap anak Indonesia sehingga mereka dapat
tumbuh, berkembang dan berangkat dewasa dalam keadaan yang sebaik-
baiknya.
f) Pemberian air susu ibu (ASI)
ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi terutama pada
bulan-bulan pertama kehidupannya. ASI bukan hanya merupakan sumber
nutrisi bagi bayi tetapi juga sebagai sumber zat antimikroorganisme yang
kuat, karena adanya beberapa faktor yang bekerja secara sinergis
membentuk sistem biologis.
ASI dapat memberikan imunisasi pasif melalui penyampaian
antibodi dan sel-sel imunokompeten ke permukaan saluran pernafasan
atas (William and Phelan, 1994).
g) Status Imunisasi
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan
mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi
campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang
berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti
difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan
berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi
faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi
-
lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila
menderita ISPA dapat diharapkan perkenbangan penyakitnya tidak akan
menjadi lebih berat.
Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian
imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang
efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah dan dengan
imunisasi pertusis (DPT) 6% lematian pneumonia dapat dicegah.
3) Faktor perilaku
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA
pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di
keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya.
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan
tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung
dan berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai
masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga
lainnya.
Peran aktif keluarga/masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting
karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam
masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu mendapat perhatian serius oleh kita
semua karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga ibu balita dan
-
anggota keluarga yang sebagian besar dekat dengan balita mengetahui dan
terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit.
Keluarga perlu mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini
pneumonia dan kapan mencari pertolongan dan rujukan pada sistem
pelayanan kesehatan agar penyakit anak balitanya tidak menjadi lebih berat.
Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa peran keluarga
dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting,
sebab bila praktek penanganan ISPA tingkat keluarga yang kurang/buruk
akan berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi
bertambah berat.
Dalam penanganan ISPA tingkat keluarga keseluruhannya dapat
digolongkan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu: perawatan penunjang oleh ibu
balita; tindakan yang segera dan pengamatan tentang perkembangan
penyakit balita; pencarian pertolongan pada pelayanan kesehatan.
d. Tanda Dan Gejala ISPA
Gejala umum yang sering terjadi pada penyakit ISPA yaitu : batuk, sesak
nafas, nyeri dada, suara serak, influenza dan kadang disertai demam (Sarwono
Waspadji, 1990).
Sebagian besar anak dengan infeksi saluran nafas bagian atas memberikan
gejala yang sangat penting yaitu batuk. Infeksi saluran nafas
bagian bawah memberikan beberapa tanda lainnya seperti nafas yang cepat dan
retraksi dada. Semua ibu dapat mengenali batuk tetapi mungkin
-
tidak mengenal tanda-tanda lainnya dengan mudah (Harsono dkk., 1994).
Selain batuk gejala ISPA pada anak juga dapat dikenali yaitu flu, demam dan
suhu tubuh anak meningkat lebih dari 38,5 0 Celcius dan disertai sesak nafas
(PD PERSI, 2002).
Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga
golongan yaitu (Suyudi, 2002):
1) ISPA ringan bukan pneumonia
2) ISPA sedang, pneumonia
3) ISPA berat, pneumonia berat
Khusus untuk bayi di bawah dua bulan, hanya dikenal ISPA berat dan
ISPA ringan (tidak ada ISPA sedang). Batasan ISPA berat untuk bayi kurang
dari dua bulan adalah bila frekuensi nafasnya cepat (60 kali per menit atau
lebih) atau adanya tarikan dinding dada yang kuat. Pada dasarnya ISPA ringan
dapat berkembang menjadi ISPA sedang atau ISPA berat jika keadaan
memungkinkan misalnya pasien kurang mendapatkan perawatan atau daya
tahan tubuh pasien sangat kurang. Gejala ISPA ringan dapat dengan mudah
diketahui orang awam sedangkan ISPA sedang dan berat memerlukan beberapa
pengamatan sederhana.
1) Gejala ISPA ringan
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala
sebagai berikut:
a) Batuk.
-
b) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara
(misalnya pada waktu berbicara atau menangis).
c) Pilek yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung.
d) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370C atau jika dahi anak
diraba dengan punggung tangan terasa panas.
Jika anak menderita ISPA ringan maka perawatan cukup dilakukan di
rumah tidak perlu dibawa ke dokter atau Puskesmas. Di rumah dapat diberi
obat penurun panas yang dijual bebas di toko-toko atau Apotik tetapi jika
dalam dua hari gejala belum hilang, anak harus segera di bawa ke dokter
atau Puskesmas terdekat.
2) Gejala ISPA sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika di jumpai gejala
ISPA ringan dengan disertai gejala sebagai berikut :
a) Pernapasan lebih dari 50 kali /menit pada anak umur kurang dari satu
tahun atau lebih dari 40 kali/menit pada anak satu tahun atau lebih.
b) Suhu lebih dari 390C.
c) Tenggorokan berwarna merah.
d) Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak
e) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
f)Pernafasan berbunyi seperti mendengkur.
g) Pernafasan berbunyi seperti mencuit-cuit.
-
Dari gejala ISPA sedang ini, orangtua perlu hati-hati karena jika anak
menderita ISPA ringan, sedangkan bila badan anak panas lebih dari 390C,
gizinya kurang, umurnya empat bulan atau kurang maka anak tersebut
menderita ISPA sedang dan harus mendapat pertolongan petugas kesehatan.
3) Gejala ISPA berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala ISPA
ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut:
a) Bibir atau kulit membiru
b) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu
bernapas
c) Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun
d) Pernafasan berbunyi mengorok dan anak tampak gelisah
e) Pernafasan menciut dan anak tampak gelisah
f)Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernapas
g) Pernafasan lebh dari 60 x/menit dan nadi tidak teraba
h) Tenggorokan berwarna merah
Pasien ISPA berat harus dirawat di rumah sakit atau puskesmas karena
perlu mendapat perawatan dengan peralatan khusus seperti oksigen dan
infus.
e.Patofisiologi
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus
dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan
menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas
-
mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus
oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan
lapisan mukosa saluran pernafasan (Kending dan Chernick, 1983).
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk
kering (Jeliffe, 1974). Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan
menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada
dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang
melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan
gejala batuk (Kending and Chernick, 1983). Sehingga pada tahap awal gejala
ISPA yang paling menonjol adalah batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder
bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris
yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap
infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat
pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus
influenza dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut (Kending
dan Chernick, 1983). Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus
bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak
nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini
dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi.
Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan
-
infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada
bayi dan anak (Tyrell, 1980).
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat
yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga
bisa menyebar ke saluran nafas bawah (Tyrell, 1980). Dampak infeksi sekunder
bakteripun bisa menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang
biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya
infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia
bakteri (Shann, 1985).
Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan
aspek imunologis saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di
saluran nafas yang sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem
imun sistemik pada umumnya. Sistem imun saluran nafas yang terdiri dari
folikel dan jaringan limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas system imun
mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan pada
saluran nafas atas sedangkan IgG pada saluran nafas bawah. Diketahui pula
bahwa sekretori IgA (sIgA) sangat berperan dalam mempertahankan integritas
mukosa saluran nafas (Siregar, 1994).
Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi
menjadi empat tahap, yaitu:
-
1) Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum
menunjukkan reaksi apa-apa.
2) Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh
menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya
memang sudah rendah.
3) Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala
demam dan batuk.
4) Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna,
sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat
pneumonia.
f. Klasifikasi Penyakit ISPA
Menurut Rasmaliah (2004), penyakit ISPA terbagi dalam 2 golongan yaitu:
1) Pneumonia (infeksi saluran pernapasan bawah)
Infeksi saluran pernapasan bawah adalah nama lain dari pneumonia. Terdiri
dari beberapa macam yaitu:
a) Pneumonia Viral
Pneumonia yang disebabkan virus biasanya ditandai oleh batuk-batuk
kering. Keluhan lain yang sering mengganggu adalah sakit kepala, sakit
di otot-otot atau di sendi dan kadang-kadang pilek. Pneumonia viral
potensial berbahaya oleh karena dapat menyebabkan kegagalan
pernafasan serta mungkin terdapat gangguan jangka panjang pada
saluran napas sesudah sembuh.
b) Pneumonia Bakterialis
-
Pneumonia bakterialis adalah suatu peradangan parenkhim paru dengan
eksudasi dan konsolidasi, disebabkan oleh mikroorganisme. Ditinjau
dari jenis bakteri yang menjadi penyebab infeksi pasien, pneumonia
bakterialis terbagi atas 2 macam yaitu:
(1) Pneumonia sebab kuman gram positif
Kuman gram positif penyebab pneumonia yaitu : bakteri.
(2) Pneumonia sebab kuman gram negatif
Kuman gram negatif penyebab pneumonia yaitu : bakteri klebsiela,
bakteri hemofilus influenza, dan bakteri pseudomonas (Sarwono
Waspadji, 1990).
2) Bukan Pneumonia (infeksi saluran pernapasan atas)
Infeksi saluran pernapasan atas digolongkan ke dalam penyakit bukan
pneumonia (Lidianti, 2007), yang terdiri antara lain:
a) Rhinitis
Rhinitis dapat di sebabkan oleh bakteri ataupun virus, tapi lebih banyak
rhinitis dikarenakan adanya suatu alergin yang kemudian dapat di ikuti
dengan bakteri atau rhinitis allergy atau pilek alergi adalah gejala alergi
yang terjadi pada bagian hidung. Umumnya timbul penyakit ini pada
musim penghujan karena cuaca dingin.
Diagnosa penyakit ini seperti : hidung pilek/beringus, badan panas atau
merasa tidak enak badan disertai pusing kepala. Penyebab pilek alergi
atau rhinitis allergy ini ada bermacam-macam, antara lain: karena tubuh
tidak kuat di udara dingin, debu di lingkungan sekitar (rumah), polusi
-
udara dan serbuk sari bunga.
b) Faringitis
Faringitis (dalam bahasa Latin; pharyngitis), adalah suatu penyakit
peradangan yang menyerang tenggorok atau faring. Kadang juga disebut
sebagai radang tenggorok. Infeksi saluran napas atas akut seperti
faringitis merupakan infeksi rongga mulut yang paling sering dijumpai.
Radang ini bisa disebabkan oleh virus atau kuman, disebabkan daya
tahan yang lemah. Dan penyebab tersering adalah virus sehingga
pengobatan antibiotik tidak diperlukan.
c) Laringitis
Laringitis adalah peradangan pada laring (pangkal tenggorok). Laring
terletak di puncak saluran udara yang menuju ke paru-paru (trakea) dan
mengandung pita suara. Laringitis juga bisa menyertai bronkitis,
pneumonia, influenza, pertusis, campak dan difteri. Laringitis bisa
terjadi akibat :
(1) Penggunaan suara yang berlebihan
(2) Reaksi alergi
(3) Menghirup iritan (misalnya asap rokok).
Laringitis juga dapat disebabkan oleh penyakit lain, seperti demam, flu,
dan pneumonia. Sementara, penyebab umum laringitis kronik termasuk
iritasi yang berkelanjutan, seperti konsumsi alkohol, perokok berat, dan
bakteri gastroesophageal reflux. Gejala umum dari laringitis adalah
suara serak, iritasi di tenggorokan, demam, batuk, dan tenggorokan
-
terasa buntu.
g. Pencegahan ISPA
Keadaan gizi dan keadaan lingkungan merupakan hal yang penting bagi
pencegahan ISPA. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah ISPA
adalah:
1) Mengusahakan agar anak mempunyai gizi yang baik
a) Bayi harus disusui sampai usia dua tahun karena ASI adalah makanan
yang paling baik untuk bayi.
b) Beri bayi makanan padat sesuai dengan umurnya.
c) Pada bayi dan anak, makanan harus mengandung gizi cukup yaitu
mengandung cukup protein (zat putih telur), karbohidrat, lemak, vitamin
dan mineral.
d) Makanan yang bergizi tidak berarti makanan yang mahal. Protein
misalnya dapat di peroleh dari tempe dan tahu, karbohidrat dari nasi atau
jagung, lemak dari kelapa atau minyak sedangkan vitamin dan mineral
dari sayuran,dan buah-buahan.
e) Bayi dan balita hendaknya secara teratur ditimbang untuk mengetahui
apakah beratnya sesuai dengan umurnya dan perlu diperiksa apakah ada
penyakit yang menghambat pertumbuhan.Dinkes DKI (2005)
2) Mengusahakan kekebalan anak dengan imunisasi
Agar anak memperoleh kekebalan dalam tubuhnya anak perlu
-
mendapatkan imunisasi yaitu DPT (Depkes RI, 2002). Imunisasi DPT salah
satunya dimaksudkan untuk mencegah penyakit Pertusis yang salah satu
gejalanya adalah infeksi saluran nafas (Gloria Cyber Ministries, 2001).
3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan
Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi
pencegahan penyakit ISPA, sebaliknya perilaku yang tidak
mencerminkan hidup sehat akan menimbulkan berbagai penyakit. Perilaku
ini dapat dilakukan melalui upaya memperhatikan rumah sehat, desa sehat
dan lingkungan sehat (Suyudi, 2002).
4) Pengobatan segera
Apabila anak sudah positif terserang ISPA, sebaiknya orang tua tidak
memberikan makanan yang dapat merangsang rasa sakit pada tenggorokan,
misalnya minuman dingin, makanan yang mengandung vetsin atau rasa
gurih, bahan pewarna, pengawet dan makanan yang terlalu manis. Anak
yang terserang ISPA, harus segera dibawa ke dokter (PD PERSI, 2002).
5) Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.
h. Penatalaksanaan
1) Perawatan ISPA dirumah
Untuk perawatan ISPA dirumah ada beberapa hal yang perlu dikerjakan
seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA.
a) Mengatasi panas (demam)
-
Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun demam diatasi dengan
memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan
dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6
jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan
dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres,
dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
b) Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional
yaitu jeruk nipis 1/2 sendok teh dicampur dengan kecap atau madu 1/2
sendok teh , diberikan tiga kali sehari.
c) Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-
ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah.
Pemberian ASI pada bayi yang menyusui tetap diteruskan. Nafsu makan
yang memburuk mungkin dapat dicoba diatasi dengan makanan
kesukaannya, harus memperbaiki gizi yang baik seperti :
(1) makanan yang mengandung kalori :nasi, jagung, sagu
(2) makanan yang mengandung protein :putih telur, tempe, tahu, ikan,
makanan tersebut berguna agar tidak menjadi lemah.
d) Pemberian minuman
Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya)
lebih banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak,
-
kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.
e) Lain-lain
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu
tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika pilek,
bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan
menghindari komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan tempat
tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap.
Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka
dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan. Untuk
penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas usahakan
agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama 5 hari
penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan antibiotik, usahakan agar
setelah 2 hari anak dibawa kembali kepetugas kesehatan untuk
pemeriksaan ulang
2) Pengobatan pada ISPA
a) Pneumonia berat: dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik melalui
jalur infus , di beri oksigen dan sebagainya.
b) Pneumonia: diberi obat antibiotik melalui mulut. Pilihan obatnya
Kotrimoksasol, jika terjadi alergi / tidak cocok dapat diberikan
Amoksilin, Ampisilin dan antibiotik lain yang cocok.
c) Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan
perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional
atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan.
-
Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita
dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat
adanya bercak nanah disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher,
dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan
harus diberi antibiotik selama 10 hari.
3) Pemberantasan ISPA
Pemberantasan ISPA yang dilakukan adalah:
a) Penyuluhan kesehatan yang terutama di tujukan pada para ibu.
b) Pengelolaan kasus yang disempurnakan.
c) Immunisasi
B. Penelitian Terkait
1. Yulita Riza (2003), penelitiannya berjudul Factor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian ISPA pada balita di kabupaten bekasi tahun 2003
Penelitian ini menggunakan desain analisis data sekunder dan pendekatan
crossektional dengan Jumlah sampel 220 orang. Hasil penelitian bahwa terdapat
hubungan antara pengetahuan dengan kejadian ISPA dimana semakin tinggi
pengetahuan tentang penyakit ispa maka pencegahan dan upaya perawatan semakin
-
meningkat. dalam penelitian ini pengetahuan merupakan salah satu pendorong
seseorang untuk merubah perilaku. diharapkan semakin tinggi pengetahuan
seseorang tentang penyakit ISPA dan bahaya yang ditimbulkan maka partisipasi
masyarakat tinggi dalam upaya pengendalian penyakit ISPA. Hasil penelitian ini
tidak membuktikan adanya hubungan antara umur balita dengan kejadian ISPA ( p
value = 0,587). Tidak membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara
tingkat pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita (p >0,05). selain itu,
penelitian ini juga membuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara status
pekerjaan ibu dengan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,505).
2. Siti Nur Ayu (1997), penelitiannya berjudul Faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian ISPA (analisis data sekunder SDKI 1994.
Penelitian ini menggunakan desain analisis data sekunder dan pendekatan
crossektional. Hasil penelitian ini yaitu berdasarkan hasil survey, penyebaran umur
ibu-ibu yang mempunyai bayi dimulai dari umur 15 tahun-49 tahun tertua. situasi
angka kesakitan pneumonia menurut golongan umur yang telah dikelompokkan
maka terlihat bahwa umur 15-35 tahun adalah 36,94% (95% CI : 34,67-39,21)
sedangkan angka kesakitan pada kelompok umur 36-49 tahun 40,52% ( 95% CI :
34,14-46,91). Ratio odds ibu bayi yang berumur 15-35 untuk sakit pneumonia
bayinya, dibandingkan dengan ibu bayi yang berumur 36-49 tahun untuk sakit
pneumonia bayinya sebesar 0,860 (95% CI: 0,65-1,14) dari data ini dapat
disimpulkan bahwa resiko bayi untuk terkena penyakit pneumonia pada kelompok
ibu-ibu yang berumur 36-49 tahun 1,16 kali lebih besar dibanding dengan resiko
pada kelompok ibu-ibu yang berumur antara 15-35 tahun.
-
Menurut pekerjaan ibu, pada penelitian ini berdasarkan uji 2 x 2 maka
didapatkan bahwa angka kesakitan pneumonia pada bayi yang ibunya bekerja
adalah 40,27% (95% CI : 36,88-43,66), sedangkan angka kesakitan pada bayi yang
ibunya tidak bekerja sebesar 35,34% (95% CI : 32,59-38,09). OR antara ibu bekerja
dengan tidak bekerja 1,234 (95% CI : 1,02-1,48). Kesimpulannya bahwa resiko bayi
terkena sakit pneumonia yng ibunya bekerja 1,234 kali lebih besar dibandingkan
dengan ibu tidak bekerja.
Menurut tingkat pendidikan ibu didapatkan hail bahwa balita yang memiliki
ibu berpendidikan rendah (SLTP ke bawah) mempunyai resiko untuk menderita
ISPA lebih besar dibandingkan dengan balita yang pendidikan ibunya tinggi.
3. Mampuni hapsari (2008), penelitiannya berjudul analisis pengetahuan dan
perilaku warga sekitar Bantar gebang desa Ciketing udik terhadap gejala ISPA
ringan tahun 2008.
Penelitian ini menggunakan desain analisis data sekunder dan pendekatan
crossektional dengan Jumlah sampel 34 orang. Cara pengambilan sampel dengan
simple random sampling dengan kriteria warga yang jarak tinggalnya tidak lebih
dari 150 meter dari lokasi TPA Bantar gebang. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan warga dengan
perilaku ( p value = 0,300). OR 3,8 (95% CI: 0,580-24,8), Hasil ini diperoleh
melalui uji fisher exact test karena terdapat hasil nilai harapan kurang dari 5. dari
hasil tersebut diketahui bahwa ada sebanyak 19 orang yang memiliki pengetahuan
kurang dan memiliki perilaku buruk, sedangkan responden yang memilikikualitas
pengetahuan baik dan memiliki perilaku buruk sebanyak 3 orang. penyuluhan yang
-
kurang, kegiatan sosial yang hampir tidak pernah ada menjadi salah satu indikator
penilaian. warga kurang mendapat pengetahuan tentang bahaya di lingkungannya
dan perilaku pencegahan yang baik agar kesehatan tetap terjaga walaupun mereka
tinggal di daerah yang mempunyai bahaya lingkungan dan resiko terhadap berbagai
macam penyakit yang akan timbul dari lingkungan.
4. Puguh heri Saputro (2006), penelitiannya berjudul faktor-faktor yang
berhubungan dengan gejala ISPA bukan pneumonia pada petugas kebersihan pasar
induk Kramat jati Jaktim bulan desember tahun 2005
Penelitian ini menggunakan desain analisis data sekunder dan pendekatan
crossektional dengan Jumlah sampel 96 orang. Cara pengambilan sampel dengan
purposive sampling. Hasil penelitian tetang peyuluhan tentang lingkungan bersih
dan rumah sehat didapatkan hasil yaitu persentasi proporsi terbesar terkena gejala
ISPA bukan pneumonia terjadi pada petugas kebersihan yang belum pernah
mendapatkan penyuluhan tentang lingkungan bersih dan rumah sehat yakni 79,3%
dari 43 orang. Hasil perhitungan survey dengan menggunakan perhitungan statistik
menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara penyuluhan
tentang lingkungan bersih dan rumah sehat dengan gejala ISPA bukan pneumonia
pada petugas kebersihan pasar induk Kramat jati.
5. Muhammad Ali (2003), penelitiannya berjudul pengetahuan, sikap dan
perilaku ibu bekerja dan ibu tidak bekerja tentang imunisasi di PT. Olagafood
Industri, Tanjung Morawa, Medan, tahun 2002.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dan pendekatan crossektional.
Dilakukan wawancara dengan suatu kuisioner terancang. Populasi penelitian adalah
-
wanita pekerja di pabrik mi instan Alhami dan istri karyawan pria yang tidak
melakukan pekerjaan di luar rumah. Besar sampel untuk masing-masing kelompok
adalah sebesar 38 orang. Hasil penelitian menunjukkan Karakteristik responden
terlihat dari 38 orang ibu yang bekerja didapati distribusi usia 19-43 tahun ( mean
25,82; SD 5,82) dan pada ibu yang tidak bekerja distribusi usianya 20-42 tahun (
mean 26,84; SD 5,13). Proporsi kelompok usia terbesar untuk kedua kelompok ini
adalah kelompok usia 20-35 tahun (89%). Pengetahuan ibu tentang imunisasi
terlihat pada tabel 2. Tidak dijumpai perbedaan pengetahuan tentang imunisasi
antara ibu bekerja dan ibu tidak bekerja ( p > 0,05). Tingkat pendidikan terbanyak
untuk kedua kelompok adalah SMA (47%), dan distribusi usia balita terbanyak
untuk kedua kelompok usia 12-59 bulan (59%). Tidak dijumpai perbedaan
bermakna untuk distibusi usia responden, tingkat pendidikan, dan usia anak pada
kedua kelompok (p > 0,05). Pengetahuan baik tentang imunisasi pada ibu bekerja
26% dan pada ibu tidak bekerja 21%. Perilaku ibu tentang imunisasi terlihat
perbedaan yang bermakna pada perilaku tentang imunisasi antara ibu bekerja dan
ibu tidak bekerja ( p < 0,05). Perilaku baik, kurang, dan buruk tentang imunisasi
pada ibu bekerja didapati berturut-turut 32%, 42%, dan 26%, sedang pada ibu tidak
bekerja didapati 66%, 21%, dan 13%.
Kesimpulannya penelitian ini mendapatkan tidak ada hubungan antara
pengetahuan, sikap dan perilaku tentang imunisasi dengan tingkat pendidikan
responden (p > 0, 05). Penggabungan kedua kelompok responden berdasarkan
tingkat pendidikan dan hubungannya dengan pengetahuan, sikap, dan perilaku
tentang imunisasi terlihat pada tabel 5. Sedangkan hubungan antara pengetahuan,
-
sikap, dan perilaku ibu tentang imunisasi dengan usia ternyata dari penelitian ini
didapati bahwa usia ibu berhubungan dengan pengetahuan dan perilaku mereka
terhadap imunisasi (p < 0,05), namun usia ibu tidak berhubungan dengan sikap
terhadap imunisasi (p > 0,05). Hubungan ini terlihat pada tabel 6
6. Ika Setianingsih (2008), penelitiannya berjudul hubungan karakteristik sosial
dengan pengetahuan ibu tentang penyakit pneumonia pada balita di RW 01
kelurahan pasir gunung selatan depok tahun 2008
Penelitian ini menggunakan desain deskriftif korelatif bersifat kuantitatif
dengan metode cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
karakteristk sosial dengan pemgetahuan ibu yang memiliki balita mengenai
penyakit pneumonia yang menyerang balita. kesimpulan dari penelitian ini adalah
ada hubungan antara usia ibu dengan pengetahuan tentang penyakit ISPA pada
balita, terdapat hubungan anatara tingkat pendidikan ibu dengan pengetahuan
tentang penyakit pneumonia pada balita dan ada hubungan antara jumlah anak
dengan pengetahuan tentang penyakit pneumonia pada balita.
7. Penelitian Niluh M.Y. Sherlywiyanti (2003), Hubungan antara pengetahuan
dan sikap ibu dalam upaya pencegahan ISPA pada balitadi wilayah kerja Puskesmas
Melati I Sleman. Jenis penelitian dengan pendekatan cross sectional, variabel
dependent: upaya pencegahan ISPA, variabel independent: pengetahuan dan sikap.
Subyek penelitian adalah ibu-ibu yang memiliki balita berumur 1 - 4 tahun, jumlah
97 orang dengan metode pengambilan sample kombinasi cluster sampling dan
sistimatik sampling. Dilaksanakan bulan Oktober Nopember 2003. Hasil penelitian
menunjukkan tingkat pengetahuan responden tentang ISPA sebagian besar pada
-
tingkat sedang dan rendah, sikap responden terhadap ISPA sebagian besar pada
tingkat sedang dan baik, upaya pencegahan terhadap ISPA sebagian besar pada
tingkat kadang-kadang dan tidak melakukan, terdapat hubungan antara pengetahuan
responden dengan upaya pencegahan ISPA pada balita, antara sikap responden
dengan upaya pencegahan ISPA tidak memiliki hubungan yang bermakna
-
C. Kerangka Teori
Bagan 2.1
Kerangka Teori
Faktor Predisposisi
- Karakteristik responden
(umur, tingkat
pendidikan, pekerjaan)
- Pengetahuan
- Sikap
Perilaku
Pencegahan ISPA
Pada Balita
Faktor Penguat
- Sikap dan perilaku
petugas kesehatan
- Dukungan keluarga
- Kebijakan pemerintah
Faktor Pemungkin
- Ketersediaan pelayanan
kesehatan
- Keterjangkauan sarana
kesehatan
- Keterpaparan media
- Pendidikan Kesehatan
-
Kerangka teori diatas adalah hasil dari modifikasi dari teori Green (1980).
Green menyatakan bahwa sebelum tercetusnya sebuah perilaku, terdapat 3 faktor
yang mempengaruhi terjadinya perilaku kesehatan. Faktor predisposisi yaitu faktor
internal dalam diri manusia seperti adanya niat, pengetahuan, sikap dan persepsi.
Faktor pemungkin (enabling faktor) adalah faktor dukungan lingkungan fisik sekitar
perilaku. Faktor pendorong adalah berhubungan dengan penyediaan faktor
kesehatan.
Kerangka teori diatas menjelaskan bahwa faktor predisposisi meliputi
karakteritik individu (umur, tingkat pendidikan, pekerjaan), pengetahuan dan sikap.
Faktor pemungkin meliputi ketersediaan pelayanan kesehatan, keterjangkauan sarana
kesehatan, keterpaparan media dan pendidikan kesehatan. Faktor Penguat meliputi
sikap dan perilaku petugas kesehatan, dukungan keluarga dan kebijakan pemerintah