BAB VI PENGARUH KINERJA PELAYANAN PUBLIK … · dilihat bagaimana perkembangan indikator utama yang...
Transcript of BAB VI PENGARUH KINERJA PELAYANAN PUBLIK … · dilihat bagaimana perkembangan indikator utama yang...
82
BAB VI
PENGARUH KINERJA PELAYANAN PUBLIK TERHADAP
KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA
Dalam mekanisme pemerintahan suatu negara atau wilayah, pemerintah
memiliki kewenangan sekaligus kewajiban untuk memberikan pelayanan publik
kepada seluruh masyarakat yang ada dalam lingkup negara atau wilayahnya.
Untuk konteks negara Indonesia, pemerintah melalui UU No. 34 Tahun 2004
memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya
secara otonomi, dalam hal ini lebih familiar dikenal dengan otonomi daerah.
Hipotesa utama dengan pemberlakuan undang-undang ini bertujuan untuk
mempercepat proses pemerataan pembangunan. Melalui desentraliasasi tersebut,
Pemerintah daerah dianggap mampu untuk mengelola daerahnya dan memberikan
pelayanan publik yang lebih baik ketimbang saat pemerintahan masih
menggunakan sisitem sentralisasi.
Pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah pada dasarnya
ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kualitas masyarakatnya. Pelayanan
publik yang prima dan memenuhi aturan standar pelayanan minimal selanjutnya
harus mampu dinikmati secara nyata oleh masyarakat. Dalam pembahasan
penelitian yang dilakukan di Kabupaten Lebak ini, secara spesifik akan dibahas
bagaimana pelayanan publik memberikan pengaruh terhadap kualitas masyarakat
atau sumberdaya manusia. Dugaan yang dibangun adalah adalah hubungan yang
tegak lurus antara kinerja pelayanan publik dengan kualitas sumberdaya manusia
suatu wilayah.
Pelayanan publik yang prima akan memberikan dampak positif terhadap
kualitas sumberdaya manusia, sedangkan pelayanan publik yang jauh dari standar
minimal akan berdampak kurang baik terhadap perkembangan kualitas
sumberdaya manusia yang ada. Karena berhubungan dengan kualitas sumberdaya
manusia, maka pelayanan publik yang dikupas akan condong dibatasi pada
pelayanan di sektor pendidikan dan kesehatan. Dampak lanjutannya akan dapat
dilihat bagaimana perkembangan indikator utama yang paling banyak digunakan
83
dalam menilai kualitas sumberdaya manusia, yakni Indeks Pembangunan Manusia
atau dapat disingkat dengan IPM.
6.1 Kinerja Pelayanan Publik Sektor Pendidikan
Dalam proses pembangunan yang integral, pendidikan merupakan salah
satu bagian yang tidak terpisahkan. Karena pendidikan adalah salah satu penentu
kualias sumberdaya manusia atau human resources suatu wilayah atau daerah.
Tingkat pendidikan akan menunjukan bagaimana tingkat kualitas sumberdaya
manusia. Pemerintah daerah sebagai stabilisator pembangunan daerah tentu saja
berkewajiban memberikan pelayanan prima pendidikan demi meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia daerahnya.
Kinerja pelayanan publik sektor pendidikan dapat ditunjukan sejauh mana
pemerintah daerah dalam hal ini Kabupaten Lebak memenuhi pelayanannya
sesuai dengan standar pelayanan minimal yang telah ditentukan oleh Kementrian
Pendidikan Nasional. Dengan adanya aturan berupa standar pelayanan minimal
pendidikan, diharapkan tiap pemerintah daerah mampu melaksanakan
kewajibannya dalam rangka pelaksanaan pendidikan nasional untuk masyarakat
yang berada dalam lingkup kepemerintahannya. Pelayanan dasar yang harus
diberikan pemerintah daerah secara umum dibagi menjadi dua bagian, yakni
fasilitas dan tenaga pendidikan. Fasilitas pendidikan yang diberikan berupa
ketersediaan gedung sekolah tiap satuan pendidikan, sedangkan tenaga
kependidikan adalah jumlah guru yang tersedia di Kabupaten Lebak.
6.1.1 Fasilitas dan Tenaga Pendidikan
Tingkat pelayanan publik di sektor pendidikan dapat terlihat dari kondisi
bangunan sekolah dan juga perbandingan jumlah tenaga pengajar dengan siswa
tiap satuan pendidikan yang ada di Kabupaten Lebak. Kondisi bangunan ini
mencitrakan bagaimana pelayanan infrastruktur publik bidang pendidikan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah. Jumlah tenaga pengajar juga akan menjelaskan
bagaimana pemenuhan pelayanan ketersediaan sumberdaya pengajar. Karena guru
ini adalah faktor pertama dalam proses transfer materi pengajaran kepada siswa
untuk tiap satuan pendidikan di Kabupaten Lebak. Kondisi bangunan tiap satuan
84
pendidikan hingga tahun 2009 secara umum dapat diperlihatkan pada tabel di
bawah sebagai berikut.
Tabel 21 Keadaan kondisi ruang belajar tingkat SD, SMP, dan SMA di Kabupaten Lebak tahun 2009
JENJANG PENDIDIKAN
BAIK RUSAK RINGAN RUSAK BERAT Jumlah
Jml % Jml % Jml % Jml % SD 3,576 79.64 664 14.79 250 5.57 4,490 100 MI 324 46.82 170 24.57 198 28.61 692 100
SMP 925 76.89 170 14.13 108 8.98 1,203 100 MTs. 244 47.10 144 27.80 130 25.10 518 100 SMA 316 85.64 42 11.38 11 2.98 369 100 SMK 107 95.54 5 4.46 0 0.00 112 100 MA 233 65.63 93 26.20 29 8.17 355 100
JUMLAH 5,725 1,288 726 7,739
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak, Tahun 2010
Berdasarkan tabel di atas, kondisi bangunan di Kabupaten Lebak dapat
dikatakan cukup baik untuk beberapa tingkat pendidikan. Dimana kondisi
bangunan yang baik untuk SD, SMP, SMA dan SMA berturut-turut sebesar 79,64
persen, 76,89 persen, 85,64 persen, dan 95,54 persen. Sedangkan kondisi yang
kurang memuaskan terjadi pada MI, MTs dan MA dimana kondisi bangunan
yang bagus hanya sebesar 46,82 persen, 47,10 persen dan 65,63 persen. Dinas
Pendidikan Kabupaten Lebak memiliki kesulitan dalam melakukan pemerataan
pembangunan untuk MI, MTs dan MA karena ketiga satuan pendidikan tersebut
berada langsung di bawah Kemeterian Agama. Dimana selama ini sering terjadi
miss-koordinasi dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan di
sektor pendidikan.
Sebagian besar sekolah yang memiliki kondisi bangunan yang rusak
adalah sekolah di daerah-daerah yang sulit terjangkau atau terpencil.
Keterpencilan tersebut menyebabkan pemerintah kurang memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan dasar utama seperti fasilitas gedung sekolah. Walaupun
tidak menampik kemungkinan, sekolah yang berada di pusat pemerintahan pun
ada yang mengalami kerusakan dan belum diperbaiki. Kendala anggaran akhirnya
menjadi akar utama kenapa banyak bangunan yang belum memenuhi standar
pelayanan minimal di sektor pendidikan.
Sesuai dengan rujukan derajat pelayanan publik pendidikan, maka
pelayanan dasar pendidikan akan diterjemahkan oleh rasio jumlah sekolah dengan
jumlah penduduk usia sekolah dan rasio guru dengan penduduk usia sekolah.
85
Rasio jumlah bangunan dan penduduk di tiap kecamatan secara terperinci dapat
dijelaskan melalui Gambar 12 di bawah ini.
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
Gambar 11 Jumlah Rasio Bangunan sekolah dengan Penduduk Usia Sekolah di Kabupaten Lebak Tahun 2009
Berdasarkan data rasio bangunan tiap satuan pendidikan dengan penduduk,
maka kecamatan yang memiliki rasio bangunan SD dengan penduduk cukup
tinggi adalah Kecamatan Bayah, Cibeber, Banjarsari, Cileles, Warunggunung,
Sobang, Sajira, Cimarga, Warunggunung dan Rangkasbitung. Kecamatan yang
memiliki rasio bangunan SD dengan penduduk paling rendah adalah Kecamatan
Bojongmanik dan Lebak Gedong. Kecamatan dengan rasio bangunan SMP
dengan penduduk cukup tinggi adalah Kecamatan Bayah, Panggarangan, Cibeber,
Cileles, Cimarga dan Warunggunung, sedangkan kecamatan dengan angka rasio
cukup rendah adalah Bojongmanik, Kalang Anyar dan Lebak Gedong. Untuk
kecamatan dengan rasio bangunan SMA dengan penduduk cukup tinggi adalah
Kecamatan Rangkasbitung, Cileles dan Warunggunung, sedangkan yang rendah
adalah Sobang, Kalang Anyar, Cirinten, Cigemblong dan Cihara.
Indikator pelayanan publik kedua yang dapat dilihat adalah seberapa
banyak jumlah guru yang disiapkan untuk bisa memberikan pengajaran kepada
0
0,001
0,002
0,003
0,004
0,005
0,006
0,007
0,008
0,009
0,01
Rasio bangunan SD-Penduduk Usia SD
Rasio Bangunan SMP-Penduduk Usia SMP
Rasio Bangunan SMA/SMK-Penduduk
Usia SMA
MalingpingWanasalamPanggaranganBayahCilograngCibeberCijakuBanjarsariCilelesGunung KencanaBojongmanikLeuwidamarMuncangSobangCipanasSajiraCimargaCikulurWarunggunungCibadakRangkasbitungMajaCurugbitungKalang AnyarLebak GedongCirintenCigemblongCihara
86
siswa. Jumlah guru tersebut akan dibandingkan dengan jumlah penduduk usia
sekolah yang ada di tiap kecamatan Kabupaten Lebak. Secara umum,
perbandingan antara guru dengan murid yang ada di Kabupaten Lebak adalah 1 :
24 (SD), 1 : 30 (SMP) dan 1 : 27 (SMA). Akan tetapi, angka tersebut bukan
berarti memberikan kabar gembira yang mutlak, karena untuk wilayah yang maju
sudah memiliki guru yang cukup, sedangkan untuk wilayah tertinggal masih
membutuhkan tambahan guru. Secara spesifik, jumlah guru dan murid di
Kabupaten Lebak Tahun 2009 dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
Gambar 12. Jumlah Rasio Guru dengan Penduduk Usia Sekolah di Kabupaten Lebak Tahun 2009
Berdasarkan informasi yang didapatkan oleh Gambar 13, maka kecamatan
yang memiliki rasio cukup tinggi antara guru dan murid SD adalah Bayah,
Cilograng, Cibeber, Banjarsari, Warunggunung dan Rangkasbitung, sedangkan
kecamatan yang rendah rasionya adalah Wanasalam, Maja, Lebak Gedong dan
Cigemblong. Untuk rasio guru dengan siswa tingkat SMP, maka kecamatan yang
memiliki rasio cukup tinggi adalah Panggarangan, Cijaku, Muncang, Cikulur dan
Kalang Anyar, sedangkan kecamatan yang memiliki rasio rendah adalah Cileles,
Gunung Kencana, Cibadak, Maja dan Cigemblong. Rasio guru dengan murid
cukup tinggi di tingkat SMA diduduki oleh beberapa kecamatan seperti
Panggarangan, Bojongmanik, Sajira dan Cikulur, sedangkan kecamatan yang
0
0,02
0,04
0,06
0,08
0,1
0,12
Rasio Jumlah Guru SD - Penduduk Usia SD
Rasio Guru SMP -Penduduk Usia SMP
Rasio Guru SMA-Penduduk Usia SMA
MalingpingWanasalamPanggaranganBayahCilograngCibeberCijakuBanjarsariCilelesGunung KencanaBojongmanikLeuwidamarMuncangSobangCipanasSajiraCimargaCikulurWarunggunungCibadakRangkasbitungMajaCurugbitungKalang AnyarLebak GedongCirintenCigemblongCihara
87
memiliki rasio sangat rendah adalah Kecamatan Sobang, Kalang Anyar, Cirinten,
Cigemblong dan Cihara.
Kondisi rasio perbandingan antara jumlah bangunan dan penduduk, serta
jumlah guru dengan murid memiliki kesamaan kondisi. Sebagian besar kecamatan
yang memiliki kondisi rasio cukup tinggi adalah kecamatan yang secara
transportasi darat lebih mudah diakses seperti Rangkasbitung, Cibeber,
Panggarangan, Warunggunung dan Banjarsari. Lain halnya dengan kecamatan
yang relatif lebih sulit diakses, kecamatan tersebut memiliki rasio yang lebih
rendah, contohnya seperti Cigemblong, Lebak Gedong, Maja, Sobang, Cirinten
dan Cihara.
6.1.2 Analisis Penilaian Sikap Masyarakat terhadap Kinerja Pelayanan
Publik Sektor Pendidikan
Hasil analisis penilaian sikap masyarakat terhadap kinerja pelayanan
publik pendidikan Pemkab Lebak pada wilayah tertinggal dapat dilihat pada Tabel
29. Berdasarkan Tabel 29 terlihat bahwa penilaian sikap masyarakat terhadap
kinerja pelayanan publik bidang pendidikan Pemkab Lebak pada wilayah
tertinggal adalah buruk dengan nilai 2.667. Atribut standar pelayanan pendidikan
dasar dan menengah pada manajerial Pemkab Lebak dinilai masih buruk. Hal ini
dapat dilihat dari hasil penilaian evaluasi dan kepercayaan responden terhadap
yang masih ada di bawah rata-rata dan menilai biasa atau sedang.
Atribut-atribut produk pelayanan publik pendidikan Pemkab Lebak akan
dibagi ke dalam empat kuadran yang mencerminkan kondisi kepentingan dan
kinerja dari masing-masing atribut tersebut. Empat kuadran tersebut terdiri dari :
Pertama, kuadran I (prioritas utama) dengan tingkat kepentingan tinggi dan
kinerja atribut rendah. Kedua, kuadran II (pertahankan prestasi) dengan tingkat
kepentingan dan kinerja atribut tinggi. Ketiga, kuadran III (prioritas rendah)
dengan tingkat kepentingan dan kinerja rendah. Keempat, kuadran IV (berlebihan)
dengan tingkat kepentingan rendah tetapi kinerja tinggi.
88
Tabel 22 Analisis Penilaian Sikap Masyarakat Terhadap Kinerja Pelayanan Publik Pendidikan Pemkab Lebak pada Wilayah Tertinggal
Atribut bi e(Y)
i b(X) i - e i Interpretasi Kuadran
1. Ketersediaan jumlah satuan pendidikan 2. Standar jumlah rombongan belajar dan ketersediaan ruang kelas 3. Ketersediaan ruang laboratorium IPA dan peralatan eksperimen 4. Ketersesiaan ruang guru, tenaga kependidikan dan kepala sekolah 5. Ketersediaan kuantitas rasio guru dengan murid/peserta didik 6. Katersediaan guru per mata pelajaran 7. Guru berkualifikasi S1 8. Guru bersertifikat 9. Sertifikasi guru untuk masing-masing mata pelajaran 10. Kepala Sekolah bersertifikat dan S1 untuk sekolah dasar 11. Kepala Sekolah bersertifikat dan S1 untuk sekolah menengah 12. Pengawas bersertifikat dan kualifikasi S1 13. Rencana pengembangan kurikulum pembelajaran efektif 14. Kunjungan pengawas ke sekolah tiap bulan selama 3 jam 15. Buku teks bersertifikat 16. Pemenuhan buku teks sesuai jumlah SPM per jumlah sekolah 17. Penyediaan satu set peraga IPA 18. Ketersediaan buku pengayaan dan referensi 19. Guru mengajar 35 jam per minggu 20. Proses pembelajaran selama 34 minggu per tahun 21. Penerapan kurikulum sesuai tingkat satuan pendidikan 22. Penerapan rencana pelaksanaan pembelajaran pada guru 23. penerapan program penilaian pembelajaran 24. Supervisi kepala sekolah ke dalam kelas 25. penyampaian oleh guru laporan evaluasi prestasi belajar 26. Penyampaian laporan hasil ujian oleh kepala sekolah 27. Penerapan pronsip manajemen berbasis sekolah
4,90 4,78 4,83 4,85 4,85 4,33 4,55 4,75 4,65 4,28 4,30 4,73 4,70 4,73 4,53 4,15 4,80 4,63 4,45 4,45 4,25 4,38 4,25 4,30 4,05 4,30 4,15
3,00 2,28 2,75 2,33 2,20 2,15 2,20 3,08 2,63 2,65 2,95 2,48 2,98 2,65 2,30 2,00 2,03 2,13 2,40 2,40 2,78 2,83 2,55 2,63 2,13 2,03 2,38
1,90 2,20 2,55 2,53 2,65 2,18 2,35 1,68 2,03 1,63 1,35 2,25 1,73 2,08 2,23 2,15 2,78 2,50 2,05 2,05 1,48 1,55 1,70 1,68 1,93 2,28 1,78
Biasa Biasa Biasa Biasa Biasa Buruk Buruk Biasa Biasa Biasa Biasa Biasa Biasa Biasa Buruk Buruk Buruk Buruk Biasa Biasa Biasa Biasa Biasa Biasa Buruk Buruk Buruk
II I II I I
III I II II IV IV II II I
III III I I
III III IV IV IV IV III III III
4,53 2,47
Total Skor ∑ ei 2.667 (40 x 27) Interpretasi Penilaian Buruk
Sumber: Hasil Perhitungan, Tahun 2010
Kuadran-kuadran ini dipisahkan oleh garis pembagi yang merupakan nilai
total rata-rata dari tingkat kepentingan (Y) dan nilai total rata-rata dari tingkat
kinerja (X) dari atribut kinerja pelayanan publik Pemkab Lebak. Tabel 29
menggambarkan skor rata-rata tingkat kepentingan dan kinerja pelayanan publik
bidang pendidikan di wilayah khusus atau tertinggal secara keseluruhan.
Pada Gambar 31 dapat dilihat posisi penempatan masing-masing atribut di
dalam diagram kartesius. Diagram kartesius dibagi ke dalam empat kuadran
dengan garis tengah pembagi berdasarkan nilai total rata-rata tingkat kepentingan
(Y) yaitu sebesar 4,53 dan nilai total rata-rata tingkat kinerja (X) yaitu sebesar
2,47. Hasil ringkasan matriks posisi kuadran IPA, terdapat tujuh atribut yang
menjadi prioritas utama yakni standar jumlah rombongan belajar dengan ruangan,
ketersediaan ruang tenaga kependidikan, rasio guru dengan peserta didik, guru
berkualifikasi S1, kunjungan pengawas sekolah, penyediaan peraga IPA serta
ketersediaan buku pengayaan dan referensi. Terdapat enam atribut yang perlu
dipertahankan prestasinya atau berada di kuadran II yakni ketersediaan jumlah
89
satuan pendidikan, ruang lab dan peralatan eksperimen, guru bersertifikat,
sertifikasi guru masing-masing mata pelajaran, pengawas berkualifikasi S1 dan
bersertifikat dan kurikulum pembelajaran efektif.
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
Gambar 13 Matriks Posisi Kuadran IPA Pelayanan Publik Bidang Pendidikan Kabupaten lebak Di Wilayah Tertinggal
Kuadran III atau prioritas rendah terdiri dari delapan atribut yakni
ketersediaan guru per mata pelajaran, buku teks bersertifikat, pemenuhan
kuantitas jumlah buku tiap sekolah, guru mengajar 35 jam per minggu, proses
pembelajaran 34 minggu per tahun, laporan evaluasi prestasi belajar oleh guru,
laporan hasil ujian oleh kepala sekolah, penerapan manajemen berbasis sekolah.
Sedangkan terdapat enam atribut yang masuk ke dalam kuadran IV yakni kepala
sekolah kualifikasi S1 dan bersertifikat untuk sekolah dasar, kepala sekolah
kualifikasi S1 dan bersertifikat untuk sekolah menengah, kurikulum sesuai tingkat
satuan pendidikan, rencana pelaksanaan pembelajaran oleh guru, program
penialain pembelajaran, supervisi kepala sekolah ke dalam kelas.
0
1
2
3
4
5
6
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5
Ting
kat K
epen
ting
an
Kinerja Pelayana Publik
90
Tabel 23 Ringkasan Matriks Posisi Kuadran IPA Pelayanan Publik Bidang Pendidikan Kabupaten lebak Di Wilayah Tertinggal
Kuadran I (Prioritas Utama) 1. Standar jumlah rombongan belajar dengan ruangan 2. Ketersediaan ruang tenaga kependidikan 3. Rasio guru dengan peserta didik 4. Guru berkualifikasi S1 5. Kunjungan pengawas sekolah 6. Penyediaan peraga IPA 7. Ketersediaan buku pengayaan dan referensi
Kuadran II (Pertahankan Prestasi) 1. Ketersediaan jumlah satuan pendidikan 2. Ruang Lab dan peralatan eksperimen 3. Guru bersertifikat 4. Sertifikasi guru masing-masing mata pelajaran 5. Pengawas berkualifikasi S1 dan bersertifikat 6. Kurikulum pembelajaran efektif
Kuadran III (Prioritas Rendah) 1. Ketersediaan guru per mata pelajaran 2. Buku teks bersertifikat 3. Pemenuhan kuantitas jumlah buku tiap sekolah 4. Guru mengajar 35 jam per minggu 5. Proses pembelajaran 34 minggu per tahun 6. Laporan evaluasi prestasi belajar oleh guru 7. Laporan hasil ujian oleh kepala sekolah 8. Penerapan manajemen berbasis sekolah
Kuadran IV (Berlebihan) 1. Kepala sekolah kualifikasi S1 dan bersertifikat untuk
sekolah dasar 2. Kepala sekolah kualifikasi S1 dan bersertifikat untuk
sekolah menengah 3. Kurikulum sesuai tingkat satuan pendidikan 4. Rencana pelaksanaan pembelajaran oleh guru 5. Program penilaian pembelajaran 6. Supervisi kepala sekolah ke dalam kelas
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
6.1.2.1 Kuadran I (Prioritas Utama)
Kuadran I diagram kartesius Important Performance Analysis (IPA)
berarti tingkat kepentingan dari suatu atribut pelayanan publik dianggap oleh
masyarakat adalah sangat penting, tetapi kinerja dari atribut ini biasa saja. Dengan
demikian atribut ini harus menjadi prioritas utama bagi Pemkab Lebak untuk
meningkatkan kepuasan masyarakat.
6.1.2.1.1 Standar Jumlah Rombongan Belajar dengan Ruangan
Atribut standar jumlah rombongan belajar dengan ruangan mendapat skor
evaluasi kurang memuaskan dengan nilai 2,28. Sedangkan skor kepercayaan
sebesar 4,78 dengan selisih cukup besar yakni 2,20. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat masih menilai kinerja pelayanan publik pendidikan Pemkab Lebak di
wilayah tertinggal lebih buruk atau di bawah standar dibandingkan dengan
harapan yang masyarakat inginkan.
Masih terdapat banyak sekolah yang perserta didiknya belum memenuhi
syarat maksimal 32 untuk sekolah dasar dan maksimal 36 orang untuk sekolah
menengah. Selain itu, sebagian besar sekolah di wilayah tertinggal masih
kekurangan ruangan, sehingga perlu pergiliran penggunaan ruangan untuk belajar.
Oleh karena itu, pemerintah daerah harus meningkatkan kinerja karena standar
jumlah rombongan belajar dan ketersediaan ruangan merupakan prioritas utama
pilihan masyarakat di wilayah khusus.
91
6.1.2.1.2 Ketersediaan Ruang Tenaga Kependidikan
Atribut ketersediaan ruang tenaga kependidikan mendapat skor evaluasi
kurang memuaskan dengan nilai 2,33. Sedangkan skor kepercayaan sebesar 4,85
dengan selisih cukup besar yakni 2,53. Kondisi ketersediaan ruang tenaga
kependidikan pada beberapa sekolah khususnya sekolah dasar di daerah atau
wilayah tertinggal masih belum memenuhi standar pelayanan minimal pendidikan.
Dimana belum tersedia satu ruangan guru yang dilengkapi dengan meja dan kursi
untuk setiap guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan lainnya. Sedangkan
penyediaan ruang kepala sekolah yang terpisah dari ruang guru pada sekolah
menengah belum terpenuhi semua.
6.1.2.1.3 Rasio Guru dengan Peserta Didik
Atribut rasio guru dengan peserta didik mendapat skor evaluasi kinerja
kurang memuaskan dengan nilai 2,20. Sedangkan skor kepercayaan atau tingkat
kepentingan sebesar 4,85 dengan selisih cukup besar yakni 2,65. Rasio guru
dengan peserta didik pada beberapa sekolah baik pada sekolah dasar maupun
menengah di daerah atau wilayah tertinggal masih belum memenuhi standar
pelayanan minimal pendidikan. Belum seluruh SD/MI menyediakan satu orang
guru untuk setiap 32 peserta didik dan 6 orang guru untuk setiap satuan
pendidikan. Rasio guru dengan murid ini tentu saja menjadi salah satu faktor yang
sangat mempengaruhi pelayanan pendidikan dan juga perkembangan pendidikan
anak didik. Karena guru adalah fasilitator utama dalam penyampaian materi-
materi pembelajaran di sekolah.
6.1.2.1.4 Guru Berkualifikasi S1 (Sarjana)
Atribut guru berkualifikasi S1 (Sarjana) mendapat skor evaluasi kinerja
kurang memuaskan dengan nilai 2,20. Sedangkan skor kepercayaan atau tingkat
kepentingan sebesar 4,55 dengan selisih 2,35. Ketersediaan guru yang
berkualifikasi S1 atau sarjana pada beberapa sekolah baik pada sekolah dasar
maupun menengah di daerah atau wilayah tertinggal masih belum memenuhi
standar pelayanan minimal pendidikan. SD/MI dan SMP/SMA seharusnya
mampu menyediakan dua orang guru yang memenuhi kualifikasi standar
92
akademik S1 atau sarjana. Standar pelayanan minimal berupa sarjana S1 ini
mengacu pada standar pelayanan pendidikan yang mengharuskan seluruh tenaga
pengajar memiliki kemampuan terhadap keilmuannya.
6.1.2.1.5 Kunjungan Pengawas Sekolah
Atribut kunjungan pengawas sekolah mendapat skor evaluasi kinerja
kurang memuaskan dengan nilai 2,65. Sedangkan skor kepercayaan atau tingkat
kepentingan sebesar 4,73 dengan selisih 2,08. Kunjungan pengawas ke seluruh
satuan pendidikan dilakukan satu kali setiap bulan dan setiap kunjungan dilakukan
selama 3 jam untuk melakukan supervisi dan pembinaan. Supervisi dan
pembinaan ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja dan memberikan evaluasi
program pendidikan sehingga dapat dilakukan perbaikan demi kemajuan proses
pembelajaran peserta didik.
6.1.2.1.6 Penyediaan Peraga IPA
Atribut penyediaan peraga IPA mendapat skor evaluasi kinerja kurang
memuaskan dengan nilai 2,03. Sedangkan skor kepercayaan atau tingkat
kepentingan sebesar 4,80 dengan selisih 2,78. Penyediaan peraga IPA yang
dimaksud adalah satu set peraga IPA dan bahan yang terdiri dari kerangka
manusia, model tubuh manusia, bola dunia (globe), contoh peralatan optik, kit
IPA untuk eksperimen dasar dan poster IPA. Peraga IPA ini tentu saja sangat
substansial untuk menyokong pelajaran teks dengan praktek langsung.
6.1.2.1.7 Ketersediaan Buku Pengayaan dan Referensi
Atribut ketersediaan buku pengayaan dan referensi mendapat skor evaluasi
kinerja kurang memuaskan dengan nilai 2,13. Sedangkan skor kepercayaan atau
tingkat kepentingan sebesar 4,63 dengan selisih 2,13. Untuk tingkat sekolah dasar,
SD/MI minimal harus memiliki 100 judul buku pengayaan dan 10 buku referensi.
Sedangkan pada tingkat sekolah menengah harus memiliki 200 judul buku
pengayaan dan 20 buku referensi. Buku pengayaan tersebut merupakan salah satu
gerbang dalam membuka khasanah ilmu pengetahun. Sehingga peserta didik
dalam hal ini pelajar akan memiliki tambahan pengetahuan yang mungkin tidak
93
didapat di dalam kelas. Sama halnya dengan buku referensi yang juga menjadi alat
pendukung dalam proses belajar.
6.1.2.2 Kuadran II (Pertahankan Prestasi)
Kuadran II diagram kartesius Important Performance Analysis (IPA)
berarti tingkat kepentingan suatu atribut produk kebijakan publik dianggap oleh
masyarakat adalah sangat penting dan kinerja atribut ini dianggap sudah baik.
Dengan demikian atribut tersebut harus dipertahankan oleh Pemkab Lebak dalam
memberikan pelayanan publik kepada masyarakat sehingga masyarakat merasa
puas dan loyal kepada pemerintah. Tingkat kepuasan dan loyalitas masyarakat ini
secara langsung tentu akan mendukung program pembangunan baik dalam tingkat
lokal atau daerah maupun nasional.
6.1.2.2.1 Ketersediaan Jumlah Satuan Pendidikan
Atribut ketersediaan jumlah satuan pendidikan mendapatkan skor evaluasi
yang cukup baik dengan skor 3,00. Sedangkan skor kepercayaan adalah 4,90
dengan selisih sebesar 1,90. Masyarakat telah menilai bahwa ketersediaan jumlah
satuan pendidikan sudah cukup memenuhi kebutuhan dasar dalam melayani
masyarakat. Ketersediaan ini berupa tersedianya satuan pendidikan pada
pemukiman padat penduduk di atas 1.000 orang. Untuk sekolah dasar, jarak
maksimal yang mampu diakses penduduk adalah 3 km, sekolah menengah
pertama jarak maksimalnya adalah 6 km, dan sekolah menengah atas adalah 10
km.
6.1.2.2.2 Ruang Lab dan Peralatan Eksperimen
Atribut ruang laboratorium dan peralatan eksperimen mendapatkan skor
evaluasi yang cukup baik di atas rata-rata dengan skor 2,75. Sedangkan skor
kepercayaan adalah 4,83 dengan selisih sebesar 2,55. Ketersediaan laboratorium
ini berupa adanya satu ruangan khusus yang digunakan untuk laboratorium IPA
yang dilengkapi dengan meja dan kursi untuk 36 peserta didik. Selain itu juga,
perlu disediakannya satu set peralatan praktek IPA untuk demonstrasi dan
eksperimen. Laboratorium dan peralatan eksperimen ini akan menjadi wahana
94
bagi peserta didik dalam memacu kreativitas dan inovasi dalam bidang ilmu alam
serta menstimulus rasa keingintahuan.
6.1.2.2.3 Guru Bersertifikat
Atribut guru bersertifikat mendapatkan skor evaluasi yang cukup baik di
atas rata-rata dengan skor 3,08. Sedangkan skor kepercayaan adalah 4,75 dengan
selisih sebesar 1,68. Pada tingkat sekolah dasar, minimal tersedia dua orang guru
yang telah memiliki sertifikat pendidik. Sedangkan untuk tingkat sekolah
menengah, minimal telah tersedia 20 persen dari keseluruhan jumlah guru.
Sertifikasi ini merupakan salah satu program departemen pendidikan nasional
dalam meningkatkan kualitas tenaga pengajar secara menyeluruh untuk seluruh
daerah. Kualitas tenaga pengajar harus memenuhi empat kriteria utama berupa
kemampuan pedagogik, kepribadian, profesional dan juga sosial.
6.1.2.2.4 Sertifikasi Guru Masing-masing Mata Pelajaran
Atribut sertifikasi guru pada masing-masing mata pelajaran mendapatkan
skor evaluasi yang cukup baik di atas rata-rata dengan skor 2,63. Sedangkan skor
kepercayaan adalah 4,65 dengan selisih sebesar 2,03. Sertifikasi guru ini berupa
adalanya masing-masing satu orang untuk mata pelajaran matematika, IPA,
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Sertifikasi guru pada masing-masing mata
pelajaran ini tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan mutu tenaga pengajar
dan juga meningkatkan prestasi akademik peserta didik. Masyarakat menilai
bahwa pelayanan pemerintah dalam hal ketersediaan sertifikasi guru masing-
masing mata pelajaran ini sudah cukup baik sehingga minimal perlu
dipertahankan performansinya.
6.1.2.2.5 Pengawas berkualifikasi S1 dan bersertifikat
Atribut pengawas berkualifikasi S1 dan juga bersertifikat mendapatkan
skor evaluasi yang cukup baik di atas rata-rata dengan skor 2,48. Sedangkan skor
kepercayaan adalah 4,73 dengan selisih sebesar 2,25. Kabupaten minimal harus
memiliki pengawas sekolah yang telah berkualifikasi S1 dan juga telah memiliki
sertifikat pendidik. Sertifikasi ini telah menjadi hal yang mutlak dilaksanakan
95
karena terkait dengan profesionalitas seorang pengawas dalam menjalankan
tugasnya untuk pengawasan sekolah.
6.1.2.2.6 Kurikulum Pembelajaran Efektif
Atribut kurikulum pembelajaran yang efektif mendapatkan skor evaluasi
yang cukup baik di atas rata-rata dengan skor 2,98. Sedangkan skor kepercayaan
adalah 4,70 dengan selisih sebesar 1,73. Pemerintah kabupaten perlu memiliki
rencana dan melaksanakan kegiatan untuk membantu satuan pendidikan dalam
mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran yang efektif. Pembelajaran
yang efektif ini erat hubungannya dengan sistem pembelajaran yang interaktif,
inspiratif, partisipatif, prakarsa, kreatif, mengembangkan bakat, minat, fisik dan
psikis peserta didik dalam proses pembelajaran.
6.1.2.3 Kuadran III (Prioritas Rendah)
Kuadran III diagram kartesius Important Performance Analysis (IPA)
berarti tingkat kepentingan dan tingkat kinerja dari suatu atribut produk dianggap
rendah oleh masyarakat. Sehingga atribut ini harus diperbaiki kinerjanya setelah
pihak Pemkab Lebak memperbaiki kinerja atribut yang terdapat pada kuadran I
dan mampu mempertahankan kinerja yang baik pada kuadran II.
6.1.2.3.1 Ketersediaan Guru per Mata Pelajaran
Atribut guru per mata pelajaran mendapatkan skor evaluasi yang kurang
memuaskan di bawah rata-rata dengan skor 2,15. Sedangkan skor kepercayaan
adalah 4,33 dengan selisih sebesar 2,18. Ketersediaan guru pada tiap mata
pelajaran pada sekolah menengah ini ditunjukkan dengan menyediakan satu orang
guru untuk setiap mata pelajaran. Karena biar bagaimanapun, spesifikasi tenaga
pendidikan ini sangat menentukan dalam proses pembelajaran dalam sekolah
menengah. Proses pembelajaran yang efektif perlu ditunjang oleh ketersediaan
guru yang sesuai dengan tiap mata pelajaran sekolah tingkat menengah.
96
6.1.2.3.2 Buku Teks Bersertifikat
Atribut buku teks bersertifikat mendapatkan skor evaluasi yang kurang
memuaskan di bawah rata-rata dengan skor 2,30. Sedangkan skor kepercayaan
adalah 4,53 dengan selisih sebesar 2,23. SD/MI harus mampu menyediakan buku
teks yang sudah disertifikasi oleh pemerintah, mencakup mata pelajaran Bahasa
Indonesia, Matematika, IPA dan IPS dengan perbandingan satu set untuk setiap
peserta didik. Sedangkan untuk sekolah menengah, mampu menyediakan buku
teks yang sudah disertifikasi oleh pemerintah mencakup semua mata pelajaran
dengan perbandingan satu set untuk setiap peserta didik.
6.1.2.3.3 Pemenuhan Kuantitas Jumlah Buku Tiap Sekolah
Atribut pemenuhan kuantitas jumlah buku tiap sekolah mendapatkan skor
evaluasi yang kurang memuaskan di bawah rata-rata dengan skor 2,00. Sedangkan
skor kepercayaan adalah 4,15 dengan selisih sebesar 2,15. Pemenuhan kuantitas
ini terkait dengan sudah terpenuhinya sesuai dengan standar pelayanan minimum
per jumlah sekolah di wilayah kabupaten atau kota. Kurang puasnya masyarakat
ini disebabkan oleh belum teredianya buku teks sesuai standar pelayanan minimal
di tiap sekolah. Sehingga pemerintah harus segera melakukan langkah strategis
dengan memenuhi kuantitas minimal jumlah buku teks tiap sekolah di Kabupaten
Lebak.
6.1.2.3.4 Guru Mengajar 35 Jam per Minggu
Atribut guru mengajar selama 35 jam per minggu mendapatkan skor
evaluasi yang kurang memuaskan di bawah rata-rata dengan skor 2,40. Sedangkan
skor kepercayaan adalah 4,45 dengan selisih sebesar 2,05. Standar pelayanan
minimal ini mendeskripsikan bahwa setiap guru tetap bekerja selama 35 jam per
minggu di setiap satuan pendidikan. Rincian mengajar ini termasuk melakukan
tatap muka dikelas, merencanakan pembelajaran, membimbing peserta didik dan
melaksanakan tugas tambahan lainnya.
97
6.1.2.3.5 Proses Pembelajaran 34 Minggu per Tahun
Atribut proses pembelajaran 34 minggu per tahun mendapatkan skor
evaluasi yang kurang memuaskan di bawah rata-rata dengan skor 2,40. Sedangkan
skor kepercayaan adalah 4,45 dengan selisih sebesar 2,05. Standar pelayanan
minimal pendidikan menjelaskan bahwa setiap satuan pendidikan wajib
menyelenggarakan proses pembelajaran selama 24 minggu per tahun. Kegiatan
tatap muka terdiri dari kela I-II selama 18 jam per minggu, kelas III selama 24
jam per minggu, IV-VI selama 27 jam per minggu dan kelas VII-IX selama 27
jam per minggu.
6.1.2.3.6 Laporan evaluasi prestasi belajar oleh guru
Atribut laporan evaluasi prestasi belajar oleh guru mendapatkan skor
evaluasi yang kurang memuaskan di bawah rata-rata dengan skor 2,13. Sedangkan
skor kepercayaan adalah 4,05 dengan selisih sebesar 1,93. Dalam proses belajar
mengajar, setiap guru menyampaikan laporan hasil evaluasi mata pelajaran serta
hasil evaluasi peserta didik kepada kepala sekolah pada akhir semester. Laporan
tersebut dalam bentuk laporan prestasi belajar peserta didik.
6.1.2.3.7 Laporan Hasil Ujian oleh Kepala Sekolah
Atribut laporan hasil ujian oleh kepala sekolah mendapatkan skor evaluasi
yang kurang memuaskan di bawah rata-rata dengan skor 2,03. Sedangkan skor
kepercayaan adalah 4,30 dengan selisih sebesar 2,38. Setiap kepala sekolah dalam
satuan pendidikan wajib menyampaikan laporan akhir ulangan akhir semester
(UAS) dan ulangan kenaikan kelas (UKK) serta yang terakhir adalah ujian akhir
sekolah atau ujian nasional (UN) kepada orang tua/wali peserta didik pada setiap
akhir semester.
6.1.2.3.8 Penerapan manajemen berbasis sekolah
Atribut penerapan manajeman berbasis sekolah mendapatkan skor evaluasi
yang kurang memuaskan di bawah rata-rata dengan skor 2,38. Sedangkan skor
kepercayaan adalah 4,15 dengan selisih sebesar 1,78. Berdasarkan undang-undang
sistem pendidikan nasional dan standar pelayanan pendidikan, maka setiap satuan
98
pendidikan wajib menerapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah
(MBS). Manajemen berbasis sekolah tersebut meliputi rencana kerja tahunan,
laporan tahunan dan komite sekolah yang berfungsi dengan baik.
6.1.2.4 Kuadran IV (Berlebihan)
Kuadran IV diagram kartesius Important Performance Analysis (IPA)
berarti tingkat kepentingan rendah dan tingkat kinerja dari suatu atribut produk
dianggap tinggi oleh masyarakat. Dengan demikian terjadi kesalahan prioritas
dalam pengalokasian sumber daya. Sehingga pemerintah perlu melakukan
perbaikan strategi kebijakan dan program pembangunan yang akan
diimplementasikan pada periode selanjutnya. Dengan perbaikan kebijakan
tersebut diharapkan mampu meningkatkan efektifitas penyerapan dan disiplin
penggunaan anggaran belanja daerah yang tepat guna.
6.1.2.4.1 Kepala Sekolah Kualifikasi S1 dan Bersertifikat Untuk Sekolah
Dasar
Atribut kepala sekolah berkualifikasi S1 dan bersertifikat pendidik untuk
sekolah dasar mendapatkan skor evaluasi yang cukup memuaskan di bawah rata-
rata dengan skor 2,65. Namun tingkat kepercayaan dan harapan masyarakat di atas
rata-rata dengan skor kepercayaannya adalah 4,28 dengan selisih sebesar 1,63.
Standar pelayanan minimal ini menunjukkan agar kabupaten atau kota telah
memiliki kepala SD/MI berkualifikasi akademik S1 dan juga telah memiliki
sertifikat pendidik. Pelayanan atribut ini dinilai telah cukup baik oleh masyarakat,
akan tetapi tingkat kepercayaan masyarakat di bawah rata-rata. Artinya
masyarakat lebih menghendaki atribut lain sebagai prioritas pembangunan di
sektor pendidikan.
6.1.2.4.2 Kepala Sekolah Kualifikasi S1 dan Bersertifikat Untuk Sekolah
Menengah
Atribut kepala sekolah berkualifikasi S1 dan bersertifikat pendidik untuk
sekolah menengah mendapatkan skor evaluasi yang cukup memuaskan di atas
rata-rata dengan skor 2,95. Namun tingkat kepercayaan dan harapan masyarakat
99
di bawah rata-rata dengan skor kepercayaannya adalah 4,30 dengan selisih sebesar
1,35. Standar pelayanan minimal ini menunjuk agar kabupaten atau kota telah
memiliki kepala SMP/SMA berkualifikasi akademik S1 dan juga telah memiliki
sertifikat pendidik. Pelayanan atribut ini dinilai telah cukup baik oleh masyarakat,
akan tetapi tingkat kepercayaan masyarakat di bawah rata-rata dimana masyarakat
lebih menginginkan atribut lain sebagai prioritas pembangunan dalam sektor
pendidikan.
6.1.2.4.3 Kurikulum Sesuai Tingkat Satuan Pendidikan
Atribut kurikulum sesuai dengan tingkat satuan pendidikan mendapatkan
skor evaluasi yang cukup memuaskan di atas rata-rata dengan skor 2,78. Namun
tingkat kepercayaan dan harapan masyarakat di bawah rata-rata dengan skor
kepercayaanya adalah 4,25 dengan selisih sebesar 1,48. Untuk penerapan standar
pelayanan minimal ini, setiap satuan pendidikan menerapkan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dalam hal ini
standar pelayanan pendidikan nasional yang mengatur kurikulum sesuai dengan
tingkat satuan pendidikan.
6.1.2.4.4 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Oleh Guru
Atribut rencana pelaksanaan pembelajaran oleh guru mendapatkan skor
evaluasi yang cukup memuaskan di atas rata-rata dengan skor 2,83. Namun
tingkat kepercayaan dan harapan masyarakat di bawah rata-rata dengan skor
kepercayaannya adalah 4,38 dengan selisih sebesar 1,55. Setiap guru harus
menerapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun berdasarkan
silabus untuk setiap mata pelajaran yang dipegangnya. Rencana pelaksanaan
pembelajaran ini diharapkan mampu meningkatkan efektifitas temu tatap muka di
kelas dan juga sistem penugasan di rumah.
6.1.2.4.5 Program Penilaian Pembelajaran
Atribut program penilaian pembelajaran mendapatkan skor evaluasi yang
cukup memuaskan di atas rata-rata dengan skor 2,55. Namun tingkat kepercayaan
dan harapan masyarakat di bawah rata-rata dengan skor kepercayaanya adalah
100
4,25 dengan selisih sebesar 1,70. Setiap guru harus mengembangkan dan
menerapkan program penilaian untuk membantu meningkatkan kemampuan
belajar peserta didik. Penilaian pembelajaran ini juga menjadi salah satu tolak
ukur yang dilakukan untuk melihat perkembangan belajar peserta didik dalam satu
masa belajar semester.
6.1.2.4.6 Supervisi Kepala Sekolah Ke Dalam Kelas
Atribut supervisi kepala sekolah ke dalam kelas mendapatkan skor
evaluasi yang cukup memuaskan di atas rata-rata dengan skor 2,63. Namun
tingkat kepercayaan dan harapan masyarakat di bawah rata-rata dengan skor
kepercayaannya adalah 4,30 dengan selisih sebesar 1,68. Setiap kepala sekolah
untuk seluruh satuan pendidikan harus memenuhi syarat melakukan supervisi
kelas dan memberikan umpan balik kepada guru dua kali dalam setiap semester.
Supervisi kepala sekolah juga diharapkan memberikan inspirasi kepada peserta
untuk mampu belajar dengan baik dan juga menemukan cara belajar yang kreatif,
menyenangkan, menantang, partisipatif dan juga mampu menumbuhkembangkan
bakat-bakat serta minat belajar di dalam maupun luar kelas.
6.2 Kinerja Pelayanan Publik Sektor Kesehatan
Kesehatan merupakan kunci kedua dalam pembangunan modal manusia
baik pada tingkat negara maupun pada level daerah dalam hal ini kabupaten.
Kesehatan dan pendidikan menjadi dua kunci utama dalam pembangunan modal
manusia yang kelak akan mempengaruhi tingkat ekonomi atau kesejahteraan
masyarakat. Karena kesehatan, pendidikan dan ekonomi merupan tiga pilar yang
saling berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam membentuk kualitas penduduk
atau sumberdaya manusia. Tanpa kesehatan yang baik, pendidikan sulit untuk
berjalan dengan baik, dan bila kesehatan dan pendidikan tidak baik, maka
mustahil ekonomi keluarga/masyarakat dapat ikut membaik.
Sama halnya dengan pelayanan sektor pendidikan yang telah dibahas
sebelumnya, maka indikator kinerja pelayanan kesehatan di Kabupaten Lebak
akan dilihat dari dua perspektif, yakni dari segi ketersediaan fasilitas dan dari hal
tenaga kesehatan serta persebarannya di tiap kecamatan. Fasilitas kesehatan yang
101
ditinjau adalah ketersediaan fasilitas dasar pelayanan kesehatan seperti Puskesmas
dan Puskesmas Pembantu (Pustu). Tenaga kesehatan yang coba diteliti adalah
dokter, bidan dan perawat. Kedua hal tersebut akan dilihat rasio perbandingannya
dengan masing-masing jumlah penduduk kecamatan.
6.2.1 Fasilitas dan Tenaga Kesehatan
Harapan utama pembangunan infrastruktur yang selama ini dilaksanakan
adalah mampu mempengaruhi tingkat ekonomi. Selain itu juga lambat laun akan
mempengaruhi tingkat kesehatan dan pendidikan di Kabupaten Lebak terutama
terkait dengan aksesibilitas ke fasilitas kesehatan dan pendidikan. Berikut ini
disajikan bagaimana kondisi umum fasilitas kesehatan yang ada di Kabupaten
Lebak pada tahun 2009.
Tabel 24 Jumlah Fasilitas Kesehatan yang Tersedia Tiap Kecamatan tahun 2009 No. Kecamatan PUSKESMAS PUSTU/
WAHANA Poliklinik/ Balai
Pengobatan Praktek Dokter Praktek Bidan
1 Malingping 1 3 4 7 21 2 Wanasalam 2 3 1 1 13 3 Panggarangan 1 6 0 1 2 4 Cihara 1 2 0 0 2 5 B a y a h 1 6 2 3 10 6 Cilograng 1 3 10 1 10 7 Cibeber 2 3 0 1 4 8 Cijaku 1 1 1 0 9 9 Cigemblong 1 0 0 0 0 10 Banjarsari 2 3 0 0 11 11 Cileles 2 3 0 0 2 12 Gunung Kencana 1 4 1 1 6 13 Bojongmanik 1 1 0 0 3 14 Cirinten 1 2 0 0 1 15 Leuwidamar 2 5 0 0 5 16 Muncang 1 3 5 2 7 17 Sobang 1 3 0 0 3 18 Cipanas 1 3 3 2 8 19 Lebak Gedong 1 1 0 0 4 20 Sajira 2 0 1 0 9 21 Cimarga 4 2 1 1 10 22 Cikulur 1 1 0 0 10 23 Warunggunung 2 2 2 1 9 24 Cibadak 1 1 0 0 3 25 Rangkasbitung 5 3 8 21 32 26 Kalanganyar 1 2 0 0 7 27 M a j a 1 1 5 1 3 28 Curugbitung 1 4 1
1 5
Kab. Lebak 42 71 45 44 209
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak, Tahun 2010
Kondisi umum pelayanan publik kesehatan di Kabupaten Lebak terlihat
masih jauh dari harapan. Jumlah Puskesmas yang ada masih belum cukup untuk
memberikan pelayanan kepada seluruh penduduk di tiap kecamatan. Untuk
pelayanan kesehatan di wilayah selatan, keberadaan rumah sakit di Kecamatan
102
Malingping belum bisa sepenuhnya memberikan solusi pemerataan pelayanan
kesehatan. Karena dari sisi kelengkapan peralatan pendukung dan sumberdaya
dokter masih kekurangan, sehingga jika membutuhkan pelayanan rawat inap,
sebagian besar penduduk lebih memilih untuk pergi ke Kabupaten Sukabumi yang
memiliki peralatan rumah sakit lebih lengkap dan pelayanannya lebih baik.
Pemerintah Kabupaten Lebak masih kesulitan untuk mendapatkan
sumberdaya tenaga kesehatan. Karena kendala utama masih berkutat pada
kesediaan calon tenaga kesehatan yang akan ditempatkan di tepat terpencil.
Keterpencilan masih menjadi alasan utama tenaga kesehatan untuk bisa ikut
membangunan. Selain itu juga dilengkapi dengan buruknya akses transportasi
darat yang membuat siapapun enggan untuk ditempatkan di wilayah Lebak
selatan. Namun di balik itu semua, pemerintah tetap berusaha meningkatkan
derajat kesehatan manusia, secara terperinci di Kabupaten Lebak telah tersedia
berbagai sumber daya kesehatan sebagai berikut :
a). 3 (tiga) unit Rumah Sakit, yaitu RSUD Adjidarmo, RSU Misi, dan RSUD
Malingping
b). 36 unit Puskesmas (kondisi baik 26 dan kondisi rusak ringan 10), termasuk
11 Puskesmas DTP (kondisi baik 10 dan kondisi rusak ringan 1).
c). 73 unit Puskesmas Pembantu dengan kondisi baik 16 Pustu, kondisi rusak
ringan 11 Pustu, kondisi rusak berat 46 Pustu.
d). 27 unit Puskesmas Keliling (Puskesling) termasuk 3 Puskesling Lengkap
dengan kondisi baik 3 Puskesling Lengkap dan 15 Puskesling, kondisi laik
jalan (rusak ringan) 9 Puskesling.
e). 39 Balai Pengobatan, 7 unit Apotik, 20 Toko Obat Berijin.
f). 508 Tenaga Medis/Paramedis, yang terdiri dari Dokter Umum 57 orang,
Dokter Gigi 19 orang, Bidan 199 orang, Perawat Umum 185 orang, Perawat
Gigi 10 orang, Tenaga Kesehatan lainnya 38 orang. Ratio antara jumlah
penduduk dengan Tenaga Medis/Paramedis adalah 4,51 : 10.000. 203
Mantri Keliling (Manling).
Pelayanan publik dasar kesehatan dalam penelitian ini akan menggunakan
rasio fasilitas kesehatan dan rasio jumlah tenaga kesehatan dengan jumlah
penduduk. Dengan data rasio tersebut, maka akan terlihat bagaimana kuantitas
103
pelayanan publik pemerintah dari segi fasilitas fisik dan ketersediaan serta
pemerataan pembangunan di sektor kesehatan. Kekurangan terbesar dalam tenaga
kesehatan adalah tenaga dokter, dimana untuk mengatasi hal tersebut, Pemkab
Lebak memberikan stimulus berupa beasiswa bagi mahasiswa yang mampu
masuk seleksi kedokteran di universitas negeri dan kelak bersedia dikontrak
selama 10 tahun untuk ditempatkan di Kabupaten Lebak. Ketersedian dokter
spesialis lebih memprihatinkan, dimana tidak tersedia satu pun dokter spesialias di
Kabupaten Lebak.
Rasio antara fasilitas kesehatan puskesmas dan puskesmas pembantu
dengan penduduk di Kabupaten Lebak rata-rata adalah 0,00005. Secara jelas akan
dirinci pada Gambar 15 di bawah ini.
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
Gambar 14 Grafik Rasio Fasilitas Kesehatan dengan Jumlah Penduduk Masing-masing Kecamatan di Kabupaten Lebak
Berdasarkan data di atas, maka kecamatan yang memiliki rasio Puskesmas
dengan penduduk cukup tinggi adalah Kecamatan Banjarsari, Cileles, Cibeber
Leuwidamar, Sajira, Cimarga, Warunggunung dan Rangkasbitung, sedangkan
kecamatan dengan rasio cukup rendah adalah Malingping, Gunung Kencana,
Cipanas dan Lebak Gedong. Kecamatan dengan rasio puskesmas pembantu dan
penduduk cukup tinggi adalah Panggarangan, Bayah, Cileles, Leuwidamar, dan
Muncang, sedangkan kecamatan dengan rasio cukup rendah adalah Cigemblong,
Lebak Gedong, Maja, Cibadak, Cikulur, Sajira, Cijaku dan Bojongmanik.
0
0,00005
0,0001
0,00015
0,0002
0,00025
Rasio Puskesmas- Penduduk Rasio Puskesmas Pustu-penduduk
MalingpingWanasalamPanggaranganBayahCilograngCibeberCijakuBanjarsariCilelesGunung KencanaBojongmanikLeuwidamarMuncangSobangCipanasSajiraCimargaCikulurWarunggunungCibadakRangkasbitungMajaCurugbitungKalang AnyarLebak GedongCirintenCigemblongCihara
104
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
Gambar 15 Grafik Rasio Tenaga Kesehatan dengan Jumlah Penduduk Masing-masing Kecamatan di Kabupaten Lebak
Rasio tenaga kesehatan dokter dengan penduduk di Kabupaten Lebak
masih sangatlah kurang. Dimana hanya ada dua kecamatan yang memiliki angka
rasio cukup tinggi yakni Kecamatan Rangkasbitung dan Warunggunung. Hal
tersebut sangat wajar karena dua kecamatan tersebut termasuk dalam wilayah kota
padat penduduk dan pusat kegiatan ekonomi dan juga pemerintahan. Namun
kecamatan lainnya masih kekurangan dokter umum, bahkan ada beberapa
kecamatan yang tidak memiliki sama sekali dokter yakni Cihara, Cikulur, Sajira,
Sobang, Leuwidamar dan Cijaku.
Rasio perawat dengan penduduk masih lebih baik daripada dokter, dimana
hampir di tiap kecamatan sudah terdapat perawat, walau dengan jumlah yang
masih kurang memadai. Tercatat bahwa kecamatan yang memiliki rasio perawat
dengan penduduk cukup tinggi adalah Rangkasbitung, Warunggunung, Cimarga,
Sajira, Muncang dan Banjarsari. Angka perawat tersebut cukup menggembirakan,
karena di daerah-daerah pelosok, perawat tersebut cukup efektif dalam
menggantikan peran dokter untuk pengobatan-pengobatan penyakit umum seperti
batuk, flu, demam dan sakit kepala, serta penyakit lainnya yang relatif mudah
diobati oleh perawat atau mantri.
0
0,0002
0,0004
0,0006
0,0008
0,001
0,0012
Rasio Dokter-Penduduk
Rasio Perawat-Penduduk
Rasio Bidan-Penduduk
MalingpingWanasalamPanggaranganBayahCilograngCibeberCijakuBanjarsariCilelesGunung KencanaBojongmanikLeuwidamarMuncangSobangCipanasSajiraCimargaCikulurWarunggunungCibadakRangkasbitungMajaCurugbitungKalang AnyarLebak GedongCirintenCigemblongCihara
105
Jumlah bidan di Kabupaten Lebak tidak jauh berbeda kondisinya dengan
perawat. Dimana rasio bidan dengan penduduk dianggap sudah cukup tersebar
walau dengan jumlah yang masih jauh dari memadai. Terdapat empat kecamatan
yang memiliki jumlah rasio cukup tinggi, yakni Rangkasbitung, Sajira, Muncang
dan Cijaku. Namun masih terdapat beberapa kecamatan dengan jumlah bidang
sangat sedikit yang terlihat dari rendahnya rasio bidan dengan penduduk seperti
Kecamatan Cikulur, Bojongmanik, Cijaku dan Lebak Gedong. Posisi bidan ini
sangat vital perannya dalam kehidupan bermasyarakat dan proses peningkatan
kualitas kesehatan. Karena bidan adalah palang pintu proses persalinan penduduk
perempuan yang menghadapi proses kelahiran anaknya.
6.2.2 Analisis Penilaian Sikap Masyarakat terhadap Kinerja Pelayanan
Publik Sektor Kesehatan
Hasil analisis penilaian sikap masyarakat terhadap kinerja pelayanan
publik kesehatan Pemkab Lebak pada wilayah tertinggal dapat dilihat pada Tabel
32. Berdasarkan data pada Tabel 32 terlihat bahwa interpretasi penilaian sikap
masyarakat terhadap kinerja pelayanan publik bidang kesehatan Pemkab Lebak
pada wilayah tertinggal adalah sangat buruk dengan nilai total 1.631.
Tabel 25 Analisis Penilaian Sikap Masyarakat Terhadap Kinerja Pelayanan Publik Kesehatan Pemkab Lebak pada Wilayah Tertinggal
Atribut bi e(Y)
i b(X)
i - e i Interpretasi Kuadran
1. Pelayanan kunjungan ibu hamil k4 2. Pelayanan komplikasi kebidanan 3. Pelayanan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan kebidanan 4. Pelayanan nifas 5. Penanganan neonatus dengan komplikasi 6. Pelayanan kunjungan bayi 7. Pelayanan imunisasi anak tingkat desa/kelurahan 8. Pelayanan anak balita 9. Makanan pendamping asi anak usia 6-24 bulan keluarga miskin 10. Pelayanan perawatan balita gizi buruk 11. Pelayanan penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat 12. Pelayanan peserta KB 13. Pelayanan penemuan dan penanganan penderita penyakit 14. Pelayanan dasar kesehatana masyarakat miskin 15. Pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin 16. Pelayanan gawat darurat level 1 sarana kesehatan (rumah sakit) 17. Pelayanan penyelidikan epidemiologi 18. Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat desa siaga
4,38 4,25 4,30 4,05 4,30 4,15 4,50 4,60 4,65 4,73 4,33 3,75 4,45 4,68 4,58 4,48 4,23 4,35
2,60 2,28 2,10 1,93 1,85 2,25 3,28 3,03 2,05 2,58 2,33 2,75 1,93 1,85 1,98 2,15 2,00 1,88
1,78 1,98 2,20 2,13 2,45 1,90 1,23 1,58 2,60 2,15 2,00 1,00 2,53 2,83 2,60 2,33 2,23 2,48
Biasa Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Biasa Biasa Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk
II IV III III III III II II I II IV II I I I I
III III
Rata-rata 4,37 2,27 Total Skor ∑ ei 1.631 (40 x 27)
Interpretasi Penilaian Sangat Buruk
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
106
Atribut-atribut standar pelayanan minimal kesehatan yang terdapat dalam
sistem manajerial Pemkab Lebak dinilai masih buruk oleh masyarakat yang
bertempat tinggal di wilayah yang cenderung tertinggal. Hal ini dapat dilihat dari
hasil penilaian evaluasi dan kepercayaan responden terhadap masing-masing
atribut yang sebagian besar di bawah rata-rata dengan penilaian buruk dan
beberapa atribut saja yang dinilai biasa atau sedang.
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010 Gambar 16 Matriks Posisi Kuadran IPA Pelayanan Publik Bidang Kesehatan
Kabupaten lebak Di Wilayah Tertinggal
Pada Gambar 17 dapat dilihat posisi penempatan masing-masing atribut
pelayanan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan minimal kesehatan di dalam
diagram kartesius. Diagram kartesius dibagi ke dalam empat kuadran dengan garis
tengah pembagi berdasarkan nilai total rata-rata tingkat kepentingan (Y) yaitu
sebesar 4,37 dan nilai total rata-rata tingkat kinerja (X) yaitu sebesar 2,27. Hasil
ringkasan matriks posisi kuadran IPA, terdapat lima atribut yang menjadi prioritas
utama yakni makanan pendamping asi keluarga miskin, pelayanan
penemuan/penanganan penderita penyakit, pelayanan dasar kesehatan masyarakat
miskin, pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin dan pelayanan
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
5
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5
Ting
kat K
epen
ting
an
Kinerja Pelayanan Publik
107
darurat level 1 rumah sakit. Terdapat lima atribut yang perlu dipertahankan
prestasinya atau berada di kuadran II yakni pelayanan kunjungan ibu hamil,
pelayanan imunisasi anak tingkat desa/kelurahan, pelayanan anak balita,
pelayanan perawatan balita gizi buruk dan pelayanan peserta KB.
Tabel 26 Ringkasan Matriks Posisi Kuadran IPA Pelayanan Publik Bidang Pendidikan Kabupaten Lebak Di Wilayah Tertinggal
Kuadran I (Prioritas Utama) 1. Makanan pendamping asi keluarga miskin 2. Pelayanan penemuan/penanganan penderita penyakit 3. Pelayanan dasar kesehatan masyarakat miskin 4. Pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin 5. Pelayanan darurat level 1 rumah sakit
Kuadran II (Pertahankan Prestasi) 1. Pelayanan kunjungan ibu hamil 2. Pelayanan imunisasi anak tingkat desa/kelurahan 3. Pelayanan anak balita 4. Pelayanan perawatan balita gizi buruk 5. Pelayanan peserta KB
Kuadran III (Prioritas Rendah) 1. Pelayanan pertolongan oleh nakes kebidanan 2. Pelayanan nifas 3. Penanganan neonatus dengan komplikasi 4. Pelayanan kunjungan bayi 5. Pelayanan penyelidikan epidemiologi 6. Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyaraka desa
siaga
Kuadran IV (Berlebihan) 1. Pelayanan komplikasi kebidanan 2. Pelayanan penjaringan kesehatan siswa Sekolah dasar
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
Kuadran III atau prioritas rendah terdiri dari enam atribut yakni pelayanan
pertolongan oleh nakes kebidanan, pelayanan nifas, penanganan neonatus dengan
komplikasi, pelayanan kunjungan bayi, pelayanan penyelidikan epidemiologi serta
promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat desa siaga. Sedangkan terdapat
dua atribut yang masuk ke dalam kuadran IV yakni pelayanan komplikasi
kebidanan dan pelayanan penjaringan kesehatan sisiwa sekolah dasar.
6.2.2.1 Kuadran I (Prioritas Utama)
6.2.2.1.1 Makanan Pendamping Asi Keluarga Miskin
Atribut makanan pendamping asi keluarga miskin mendapat skor evaluasi
kurang memuaskan dengan nilai 2,05. Sedangkan skor kepercayaan sebesar 4,65
dengan selisih cukup besar yakni 2,60. Makanan pendamping asi ini khusus untuk
diberikan kepada anak usis 6-24 bulan. Masyarakat menilai jika makanan
pendaming asi sangat penting untuk diperhatikan oleh Pemkab Lebak. Karena
tidak bisa dipungkiri hingga tahun 2009 angka kemiskinan di Kabupaten Lebak
masih sangat tinggi. Permasalahan utama keluarga miskin dari tahun ke tahun
adalah kurang diperhatikannya kesehatan bayi-bayi keluarga miskin. Oleh karena
itu tidak sedikit ditemukan kasus bayi kekurangan gizi atau gizi buruk. Oleh
karena itu, kebijakan publik di bidang kesehatan yang harus menjadi prioritas
108
Pemkab lebak adalah meningkatkan kinerja dalam pelayanan makanan
pendamping asi keluarga miskin.
6.2.2.1.2 Pelayanan Penemuan/Penanganan Penderita Penyakit
Atribut pelayanan penemuan atau penanganan penderita penyakit
mendapat skor evaluasi kurang memuaskan dengan nilai 1,93. Sedangkan skor
kepercayaan sebesar 4,45 dengan selisih cukup besar yakni 2,53. Pelayanan dalam
penemuan dan penanganan berbagai macam penyakit ini tentu menjadi prioritas
utama oleh masyarakat baik penyakit menular atau tidak menular. Hal itu menjadi
begitu penting saat makin maraknya penyebaran penyakit yang disebabkan oleh
virus hewan. Penanganan dini terhadap suatu penyakit akan menjadi faktor
penentu tingkat kesehatan suatu wilayah.
6.2.2.1.3 Pelayanan Dasar Kesehatan Masyarakat Miskin
Atribut pelayanan dasar kesehatan masyarakat miskin mendapat skor
evaluasi kurang memuaskan dengan nilai 1,85. Sedangkan skor kepercayaan
sebesar 4,68 dengan selisih cukup besar yakni 2,83. Pelayanan dasar kesehatan
masyarakat miskin ini telah dijamin dengan asuransi kesehatan masyarakat miskin
(Askeskin). Dengan Askeskin ini masyarakat miskin memiliki jaminan untuk
mendapatkan pelayanan dasar kesehatan baik untuk level Puskesmas maupun
tingkat rumah sakit sekalipun. Namun yang terjadi sat ini, walaupun masyarakat
miskin tersebut mendapatkan pelayanan, tetapi tidak mendapatkan pelayanan yang
prima, bahkan ada sebagian yang ditelantarkan.
6.2.2.1.4 Pelayanan Kesehatan Rujukan Pasien Masyarakat Miskin
Atribut pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin mendapat
skor evaluasi kurang memuaskan dengan nilai 1,98. Sedangkan skor kepercayaan
sebesar 4,58 dengan selisih cukup besar yakni 2,60. Sesuai dengan petunjuk teknis
standar pelayanan minimal kesehatan, maka setiap pasien masyarakat miskin
berhak pelayanan kesehatan rujukan pasien. Pelayanan ini dikhususkan pasien
masyarakat miskin yang mendapatkan rujukan pasien di rumah sakit. Diharapkan
109
melalui kebijakan pelayanan minimal tersebut, tingkat kesehatan masyarakat
miskin mampu ditingkatkan.
6.2.2.1.5 Pelayanan Darurat Level 1 Rumah Sakit
Atribut pelayanan darurat level satu rumah sakit mendapat skor evaluasi
kurang memuaskan dengan nilai 2,15. Sedangkan skor kepercayaan sebesar 4,48
dengan selisih cukup besar yakni 2,15. Kebijakan pelayanan minimum ini
memberikan jaminan kepada seluruh masyarakat umum untuk mendapatkan
pelayanan darurat level satu pada rumah sakit. Karena sebelumnya sebagian besar
rumah sakit memerlukan dana awal untuk mengurus pasien yang memerlukan
pelayanan darurat level 1. Sehingga masyarakat pun memberikan harapan yang
lebih terhadap kebijakan salah satu pelayanan dasar di rumah sakit.
6.2.2.2 Kuadran II (Pertahankan Prestasi)
6.2.2.2.1 Pelayanan Kunjungan Ibu Hamil
Atribut pelayanan kunjungan ibu hamil mendapatkan skor evaluasi yang
cukup baik di atas rata-rata dengan skor 2,60. Sedangkan skor kepercayaan adalah
4,38 dengan selisih sebesar 1,78. Masyarakat di wilayah tertinggal sudah cukup
puas dengan pelayanan kunjungan pemeriksaan ibu hamil. Tingkat kepuasan ini
juga mendekati harapan yang menjadi ekspektasi masyarakat. Selain itu,
pelayanan kunjungan ibu hamil ini secara tidak langsung akan sangat menentukan
proses persalinan dan tingkat kesehatan ibu melahirkan dengan bayi.
6.2.2.2.2 Pelayanan Imunisasi Anak Tingkat Desa/Kelurahan
Atribut pelayanan imunikasi anak tingkat desa/kelurahan mendapatkan
skor evaluasi yang cukup baik di atas rata-rata dengan skor 3,28. Sedangkan skor
kepercayaan adalah 4,50 dengan selisih sebesar 1,23. Pelayanan imunisasi anak
tingkat desa atau kelurahan ini menjadi salah satu program yang cukup baik
kinerjanya. Imunisasi ini menjadi hal yang sangat wajib dilaksanakan demi
kesehatan secara jangka panjang anak-anak di Kabupaten Lebak. Program
110
imunisasi ini dilakukan pada dua tempat, yakni di puskesmas dan juga pada
kegiatan tingkat RW yakni Posyandu.
6.2.2.2.3 Pelayanan Anak Balita
Atribut pelayanan anak balita mendapatkan skor evaluasi yang cukup baik
di atas rata-rata dengan skor 3,03. Sedangkan skor kepercayaan adalah 4,60
dengan selisih sebesar 1,58. Pelayanan yang telah diberikan Pemerintah Daerah
Kabupaten Lebak terhadap anak balita dianggap cukup baik kinerjanya. Pelayanan
ini dapat berupa pemeriksaan kesehatan, gigi, berat badan, kondisi gizi dan juga
kelengkapan imunisasi. Masyarakat menilai kinerja pelayanan pemerintah
terhadap anak balita sudah cukup baik sehingga perlu dipertahankan atau bahkan
dapat juga ditingkatkan kualitasnya.
6.2.2.2.4 Pelayanan Perawatan Balita Gizi Buruk
Atribut pelayanan perawatan balita gizi buruk mendapatkan skor evaluasi
yang cukup baik di atas rata-rata dengan skor 2,58. Sedangkan skor kepercayaan
adalah 4,73 dengan selisih sebesar 2,15. Pelayanan perawatan gizi buruk ini
diberikan kepada anak-anak yang termasuk ke dalam gizi buruk. Anak-anak yang
termasuk gizi buruk akan mendapatkan pelayanan perawatan dan juga suplemen
serta makanan tambahan agar beratnya kembali normal.
6.2.2.2.5 Pelayanan Peserta Keluarga Berencana
Atribut pelayanan peserta Keluarga Berencana (KB) mendapatkan skor
evaluasi yang cukup baik di atas rata-rata dengan skor 2,75. Sedangkan skor
kepercayaan adalah 4,75 dengan selisih sebesar 1,00. Peserta Keluarga Berencana
akan mendapatkan layanan berupa penyediaan alat kontrasepsi kepada keluarga
untuk merencanakan jumlah anak. Kebijakan pelayanan ini kembali menjadi
prioritas utama pemerintah dalam menekan pertumbuhan jumlah penduduk yang
sempat meningkat cukup tajam selama sepuluh tahun terakhir. Dengan adanya
111
program keluarga berencana ini diharapkan pertumbuhan penduduk dapat ditekan
dan keluarga yang dibentuk pun menjadi keluarga sejahtera.
6.2.2.3 Kuadran III (Prioritas Rendah)
6.2.2.3.1 Pelayanan Pertolongan oleh Tenaga Kesehatan Kebidanan
Atribut pelayanan pertolongan oleh tenaga kesehatan kebidanan
mendapatkan skor evaluasi yang kurang memuaskan di bawah rata-rata dengan
skor 2,10. Sama halnya dengan skor kepercayaan yang juga di bawah rata-rata
yakni 4,30 dengan selisih sebesar 2,20. Rendahnya pelayanan pertolongan oleh
tenaga kesehatan kebidanan ini disebabkan oleh minimnya tenaga kesehatan di
wilayah tertinggal. Sehingga masyarakat masih kesulitan untuk bisa mengakses
pelayanan bidan. Selain itu, ditambah dengan perilaku masyarakat yang lebih
memilih pelayanan paraji atau dukun beranak dalam proses pra dan pasca
kelahiran bayi.
6.2.2.3.2 Pelayanan Nifas
Atribut pelayanan nifas mendapatkan skor evaluasi yang kurang
memuaskan di bawah rata-rata dengan skor 1,93. Sama halnya dengan skor
kepercayaan yang juga di bawah rata-rata yakni 4,05 dengan selisih sebesar 2,13.
Pelayanan ini didapatkan untuk ibu melahirkan yang masih menjalani masa nifas
selama 40 hari. Masyarakat belum menganggap atribut ini penting untuk dijadikan
prioritas. Kinerja pelayanan yang telah diberikan pun masih dianggap belum
memuaskan dan memenuhi harapan masyarakat.
6.2.2.3.3 Penanganan Neonatus dengan Komplikasi
Atribut penanganan neonatus dengan komplikasi mendapatkan skor
evaluasi yang kurang memuaskan di bawah rata-rata dengan skor 1,85. Sama
halnya dengan skor kepercayaan yang juga di bawah rata-rata yakni 4,30 dengan
selisih sebesar 2,45. Penanganan neonatus ini adalah penanganan kelahiran yang
112
terdapat komplikasi dimana proses persalinan tidak berjalan dengan lancar.
Komplikasi neonatus ini cukup beragam penyebabnya, ada yang berupa kasus
bayi sungsang, pendarahan, jalan lahir terhalang ari-ari, tidak ada kontraksi dan
lain sebagainya. Tidak sedikit dari kasus ini menjadi salah satu penyebab
kematian ibu dan bayi saat persalinan.
6.2.2.3.4 Pelayanan Kunjungan Bayi
Atribut pelayanan kunjungan bayi mendapatkan skor evaluasi yang kurang
memuaskan di bawah rata-rata dengan skor 2,25. Sama halnya dengan skor
kepercayaan yang juga di bawah rata-rata yakni 4,15 dengan selisih sebesar 1,90.
Pelayanan kunjungan bayi merupakan salah satu pelayanan dasar kesehatan yang
perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah. Pelayanan kunjungan bayi ini terdiri
dari berbagai macam, diantaranya adalah pelayanan imunisasi, konsultasi
perkembangan anak, konsultasi gizi dan konsultasi kesehatan anak. Pelayanan
bayi ini bisa jadi sebagai faktor penentu dalam menurunkan angka kematian bayi.
Karena dengan optimalnya pelayanan bayi, maka orang tua yang tengah
mengasuh bayi akan lebih antispatif dalam mengurus dan membesarkan dan
menjaga kesehatan bayinya.
6.2.2.3.5 Pelayanan Penyelidikan Epidemiologi
Atribut pelayanan penyelidkan epidemiologi mendapatkan skor evaluasi
yang kurang memuaskan di bawah rata-rata dengan skor 2,00. Sama halnya
dengan skor kepercayaan yang juga di bawah rata-rata yakni 4,23 dengan selisih
sebesar 2,48. Pelayanan penyelidikan epidemiologi adalah penyelidikan terhadap
frekuensi, distribusi dan determinasi penyakit. Penyelidikan epidemiologi ini
dilakukan pada desa atau kelurahan yang mengalami kasus penyakit luar biasa.
Dengan adanya penyelidikan epidemiologi ini, maka pihak pemerintah dalam hal
ini dinas kesehatan akan mampu memberikan kebijakan yang tepat dalam
menangani penyakit.
6.2.2.3.6 Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Siaga
113
Atribut promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat desa siaga
mendapatkan skor evaluasi yang kurang memuaskan di bawah rata-rata dengan
skor 1,88. Sama halnya dengan skor kepercayaan yang juga di bawah rata-rata
yakni 4,35 dengan selisih sebesar 2,48. Masyarakat menilai jika kinerja
pemerintah daerah dalam memberikan promosi kesehatan dan pemberdayaan
belum berjalan sesuai dengan harapan. Seharusnya, apabila promosi kesehatan
dapat berjalan dengan baik, maka kesadaran masyarakat terhadap pentingnya
kesehatan akan meningkat. Promosi kesehatan ini akan berjalan beriringan dengan
pemberdayaan masyarakat dalam membentuk desa siaga. Dimana desa siaga ini
adalah desa yang mampu memberdayakan masyarakatnya bahu-membahu dalam
mensukseskan berbagai macam program-program pemerintah terkait dengan
kesehatan.
6.2.2.4 Kuadran IV (Berlebihan)
6.2.2.4.1 Pelayanan Komplikasi Kebidanan
Atribut pelayanan komplikasi kebidanan mendapatkan skor evaluasi yang
cukup memuaskan di bawah rata-rata dengan skor 2,60. Namun tingkat
kepercayaan dan harapan masyarakat di atas rata-rata dengan skor
kepercayaannya adalah 4,38 dengan selisih sebesar 1,78. Pelayanan komplikasi
kebidanan ini terjadi cukup banyak di berbagai wilayah di Kabupaten Lebak.
Sehingga pelayanan komplikasi kebidanan merupakan salah satu program yang
menjadi fokus utama dalam meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat. Namun,
yang terjadi pada wilayah tertinggal adalah bahwa masyarakat masih belum
mengerti dan sadar untuk memanfaatkan keberadaan bidan desa dalam menangani
komplikasi kebidanan. Karena sebagian besar masih memegang teguh budaya
tradisional dalam proses persalinan dan lebih percaya kepada dukun beranak atau
paraji.
6.2.2.4.2 Pelayanan Penjaringan Kesehatan Siswa Sekolah Dasar
Atribut pelayanan penjaringan kesehatan siswa sekolah dasar mendapatkan
skor evaluasi yang cukup memuaskan di bawah rata-rata dengan skor 2,33.
Namun tingkat kepercayaan dan harapan masyarakat di atas rata-rata dengan skor
114
kepercayaanya adalah 4,33 dengan selisih sebesar 2,00. Pendidikan tingkat
sekolah dasar merupakan tingkat pendidikan yang mencoba untuk menanamkan
perilaku dan kebiasaan. Oleh karena itu, penjaringan kesehatan kepada siswa
sekolah dasar untuk membiasakan diri hidup sehat tentu saja sangat penting.
Ketika kebiasaan hidup sehat dan bersih sudah tertanam, maka pembentukan
konsep masyarakat peduli kesehatan dan kebersihan akan terbentuk lebih mudah
dan dalam jangka waktu relatif lebih singkat.
Pelayanan publik pendidikan dan kesehatan di Kabupaten Lebak dinilai
buruk oleh masyarakat di wilayah tertinggal. Hal tersebut dapat ditunjukan dengan
belum terpenuhinya berbagai indikator yang menjadi standar pelayanan minimum
baik dalam hal kesehatan dan pendidikan. Rendahnya rasio belanja publik
infrastruktur untuk bidang pendidikan memberikan pengaruh kurang baik
terhadap pelayanan pendidikan. Banyak sekolah-sekolah yang berada dalam
kondisi rusak, sehingga murid tidak mendapatkan kenyamanan dalam belajar.
Sama halnya dengan kesehatan, rendahny rasio belanja infrastruktur kesehatan
berimplikasi negatif terhadapa pelayanan kesehatan. Masyarakat menilai bahwa,
tingkat pelayanan kesehatan, baik pada tataran puskesmas, puskesmas pembantu
maupun rumah sakit masih jauh dari memuaskan. Sehingga, hal tersebut harus
segera menjadi bahan pekerjaan rumah untuk Pemerintah Daerah Kabupaten
Lebak agar bisa meningkatkan kinerja pelayanan sesuai dengan juknis standar
pelayanan minimal yang telah ditetapkan.
6.3 Disparitas Pembangunan SDM antara Wilayah Utara dengan Selatan
Penilaian sikap masyarakat terhadap buruknya kinerja pelayanan publik di
wilayah tertinggal memberikan indikasi terjadinya disparitas pembangunan antara
wilayah utara dengan selatan. Kriteria pembagian wilayah ini berdasarkan
karakteristik geografis dan kondisi infrastuktur khususnya jalan. Wilayah
pembangunan di bagian utara adalah wilayah yang secara geografis berada di
Lebak bagian utara dan disokong oleh infrastruktur yang cukup baik. Infrastruktur
tersebut berupa sekolah, puskesmas, rumah sakit dan jalan darat. Akses antara
satu kecamatan dengan kecamatan lain relatif lebih mudah untuk dijangkau. Pada
sisi lainnya, wilayah pembangunan di bagian selatan adalah wilayah
115
pembangunan yang menggabungkan tiga wilayah pembangunan yakni tengah,
barat dan timur. Penggabungan tersebut sengaja dilakukan untuk mempermudah
analisis dan ketiga wilayah tersebut memiliki karakateristik infrastruktur yang
tidak jauh berbeda. Karakteristik dari wilayah selatan ini memiliki kondisi
infrastruktur yang kurang baik dan belum mencukupi standar pelayanan minimal.
Akses antara satu kecamatan dengan lainnya cukup sulit ditempuh karena kondisi
jalan yang sebagian besar masih rusak. Pembagian wilayah pembangunan antara
utara dengan selatan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 27 Pembagian Wilayah Pembangunan Utara dan Selatan Pembagian Wilayah Pembangunan (Kecamatan)
No. Wilayah Utara Jumlah Penduduk No. Wilayah selatan Jumlah
Penduduk 1 Cipanas 51.840 1 Malingping 63.282 2 Cimarga 28.444 2 Wanasalam 53.936 3 Warunggunung 21.198 3 Panggarangan 35.729 4 Cibadak 47.292 4 Bayah 29.964 5 Rangkasbitung 63.372 5 Cilograng 38.895 6 Kalang Anyar 57.666 6 Cibeber 32.178
7 Cijaku 55.086
8 Banjarsari 27.126
9 Cileles 22.002
10 Gunung Kencana 66.335
11 Bojongmanik 48.749
12 Leuwidamar 35.160
13 Muncang 21.713
14 Sobang 24.752
15 Sajira 32.957
16 Cikulur 48.297
17 Maja 49.822
18 Curugbitung 52.064
19 Lebak Gedong 112.781
20 Cirinten 31.074
21 Cigemblong 50.127
22 Cihara 32.618 Sumber : Bappada Kabupaten Lebak, Tahun 2010
Berdasarkan informasi yang ditunjukan pada Tabel 36 di atas dapat
diketahui bahwa telah terjadi disparitas pengembangan infrastruktur dan
sumberdaya aparatur untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Disparitas ini terjadi
antara dua wilayah, yakni wilayah bagian utara dengan wilayah di bagian selatan.
Secara rasio, wilayah bagian utara memiliki rasio infrastruktur dan aparatur
116
sumberdaya yang telah mencapai angka standar pelayanan minimal, bahkan bisa
dikatakan di atas rata-rata atau lebih dari cukup. Akan tetapi hal tersebut bertolak
belakang dengan kondisi infrastruktur di wilayah selatan yang masih jauh di
bawah standar pelayanan minimal.
Tabel 28 Perbandingan Pembangunan Fisik dan Tenaga Sektor Pendidikan dan Kesehatan antara Wilayah Utara dan Selatan Tahun 2009
No Indikator Pembangunan Wilayah Pembangunan Rasio ideal Utara Selatan
1 Penduduk Usia SD - Bangunan SD 287 377 250 2 Penduduk Usia SMP - Bangunan SMP 1.287 1390 800 3 Penduduk Usia SMA - Bangunan SMA 1.552 3111 1.200 4 Penduduk Usia SD - Guru SD 24 42 32 5 Penduduk Usia SMP - Guru SMP 58 91 36 6 Penduduk Usia SMA - Guru SMA 59 140 36 7 Penduduk - Puskesmas 10.128 40.790 30.000 8 Penduduk - Puskesmas Pembantu 15.315 26.346 15.000 9 Penduduk - Dokter Umum 4.260 27.857 5.000 10 Penduduk - Perawat 1.219 4.140 833 11 Penduduk - Bidan 1.807 8.899 1.000
Sumber : Bappeda Kabupaten Lebak, Tahun 2010
Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak masih memberikan porsi yang lebih
besar pembangunan pada wilayah utara, hal tersebut terlihat dalam pengembangan
infrastruktur. Ketimpangan pembangunan antara wilayah utara dan selatan ini
secara tidak langsung menjadi jurang pemisah ketimpangan kualitas sumberdaya
manusia. Selain itu, wilayah-wilayah yang cenderung memiliki rasio mendekati
ideal adalah wilayah yang secara geografis merupakan wilayah yang mudah
diakses, sebagian besar adalah wilayah di bagian utara, walaupun tidak sedikit
wilayah selatan yang maju dengan catatan kondisi aksesibilitas transportasi cukup
baik. Beberapa wilayah selatan yang cukup baik di antaranya adalah Kecamatan
Banjarsari, Malingping, Bayah, Wanasalam dan Cipanas. Kelima kecamatan
tersebut merupakan kecamatan yang memiliki infrastruktur transportasi darat yang
cukup baik dan relatif lebih mudah untuk di akses, walaupun secara jarak bisa
dianggap sangat jauh. Jadi jarak tempuh bukan faktor utama penyebab
ketimpangan, namun lebih besar disebabkan oleh kualitas dari jalan itu sendiri.
117
Kerusakan infrastruktur utama jalan, baik jalan nasional, provinsi maupun
kabupaten disebabkan oleh dua faktor. Pertama adalah faktor alam, dimana
sebagian besar jalan rusak karena intensitas air yang sangat tinggi mengguyur
jalan di saat musim penghujan jalan. Kedua, faktor teknis, dimana proses
pembangunan jalan tidak sesuai dengan standar pembuatan jalan yang baik. Hal
tersebut terlihat dari buruknya drainase jalan, dimana ketika hujan besar turun, air
tidak mengalir ke drainase namun tergenang, sehingga menyebabkan percepatan
kerusakan jalan. Penyebab lainnya adalah tidak seimbangnya kapasitas jalan
dengan kendaraan yang melewatinya. Saat ini Lebak Selatan merupakan pemasok
utama bahan-bahan galian C di Provinsi Banten. Kendaraan-kendaraan yang
membawa bahan galian tersebut merupakan kendaraan dengan beban yang sangat
tinggi di atas 20 ton. Pada sisi lain, kapasitas sebagain besar jalan berkisat antara
5-10 ton, sehingga kerusakan jalan yang sangat parah akan semakin sulit
dihindari. Proses penggalian-penggalian di wilayah selatan sebetulnya telah lama
menjadi industri yang kontraproduktif atau menghadapi sebuah paradoks.
Menurut penuturan salah satu ahli perencanaan wilayah di Bappeda Lebak, pajak
yang diterima dari hasil-hasil penggalian tersebut ternyata tidak sebanding dengan
kerusakan-kerusakan yang didapatkan, diantaranya adalah kerusakan jalan akibat
ketidak seimbangan beban dengan kapasitas jalan.
6.4 Kualitas Sumberdaya Manusia
Kualitas sumberdaya manusia secara implisit akan terlihat dari tingkat
pendidikan dan juga kesehatannya. Oleh karena itu, sebagain besar negara-negara,
baik maju maupun berkembang banyak menggunakan Human Development
Indeks (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai indikator untuk
menilai kualitas sumberdaya manusia di suatu wilayah. IPM menjadi begitu
populer di kalangan ekonomi sumberdaya karena kemampuannya dalam melihat
kualitas manusia dari sisi pendidikan, kesehatan dan juga ekonomi.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator gabungan dari
beberapa indikator (komposit), yaitu indikator kesehatan (Indeks Lama Hidup),
Indikator Pendidikan (Indeks Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah), dan
indikator ekonomi yang ditunjukan dengan Tingkat Daya Beli Penduduk
118
(Purchasing Power Parity). Gabungan ketiga indikator tersebut diharapkan mampu
mengukur tingkat kesejahteraan dan keberhasilan pembangunan manusia di suatu
wilayah.
Dibandingkan dengan indeks komposit lain, IPM dinilai sebagai indikator
yang cukup baik karena mencakup tiga sektor pembangunan yang dominan dan
memiliki sumbangan yang cukup besar dalam membentuk kualitas sumberdaya
manusia. Jika ketiga sektor tersebut mengalami peningkatan yang cukup berarti,
maka secara langsung sumberdaya manusia yang dihasilkan akan menjadi lebih
berkualitas. Namun hal tersebut bukanlah perkara yang mudah begitu saja dicapai,
perlu kerja keras dari berbagai pihak untuk bisa merealisasikannya. Sama halnya
dengan Kabupaten Lebak yang masih menjadi juru kunci IPM di Provinsi Banten,
peningkatan IPM terbentur oleh berbagai macam faktor, mulai dari kendala
anggaran, faktor akses transportasi, hingga etos budaya masyarakat itu sendiri
yang pada akhirnya menjadi palang pintu terakhir peningkatan pembangunan
manusia
6.4.1 Indeks Kelangsungan Hidup
Angka Harapan Hidup (AHH) menggambarkan tingkat kesehatan rata-rata
yang telah dicapai suatu kelompok masyarakat. Angka harapan hidup berkaitan
erat dengan derajat kesehatan masyarakat. Semakin tinggi angka harapan hidup,
maka dapat diasosiasikan dengan tingginya derajat kesehatan masyarakat. Angka
harapan hidup penduduk Kabupaten Lebak pada tahun 2008 adalah 63,1 tahun,
yang dapat diartikan bahwa rata-rata masa hidup penduduk Kabupaten Lebak
mulai dari lahir hingga meninggal adalah sekitar 63 tahun 1 bulan. AHH tahun
2008 tidak mengalami perubahan dibandingkan AHH tahun 2007.
Angka Kelangsungan Hidup yang tidak berubah dari tahun sebelumnya
dapat juga berarti bahwa perbaikan kualitas kesehatan penduduk sebagai implikasi
dari program pembangunan kesehatan tidak berpengaruh secara signifikan.
Pembangunan yang dilakukan sepanjang tahun 2007-2008 tidak memberikan
dampak yang cukup berarti terhadap kualitas sumberdaya manusia, karena AHH
penduduk di Kabupaten Lebak jalan di tempat, atau dengan kata lain tidak
mengalami peningkatan. Seharusnya banyak hal yang dapat dilakukan untuk
119
perbaikan kesehatan, diantaranya adalah mempermudah penduduk untuk
mengakses fasilitas kesehatan. Semua itu dapat dilakukan dengan meningkatkan
jumlah dan penyebaran tenaga paramedis dan dokter, dalam hal ini lebih sering
disebut dengan tenaga kesehatan, sehingga rasio antara jumlah penduduk dengan
tenaga kesehatan akan semakin mengecil. Selain itu, optimalisasi peran posyandu
sebagai ujung tombak keberhasilan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat di
wilayah-wilayah yang sulit terjangkau, terutama untuk peningkatan kualitas
kesehatan penduduk usia muda. Peningkatan kualitas Paraji (dukun beranak)
diharapkan cukup signifikan menekan angka kematian bayi dan ibu melahirkan.
Sumber : Bappeda Kab Lebak, Tahun 2009
Gambar 17 Tren Angka Harapan Hidup Lebak dan Rata-rata Provinsi Banten Periode Tahun 2000-2008
Bercermin dari daerah lain, jika dilihat perbandingan rata-rata angka
harapan hidup, terlihat bahwa Kabupaten Lebak masih di bawah rata-rata
provinsi. Gambar di atas menunjukan gap yang semakin lebar dari tahun ke tahun
selama sembilan tahun terakhir (2000-2008). Hal tersebut menunjukan bahwa
daerah lain mengalami percepatan angka harapan hidup yang lebih tinggi. Pada
tahun 2003 perbandingan antara harapan hidup Kabupaten Lebak dengan Provinsi
Banten masih 62,3 tahun berbanding 62,6 tahun, kemudian di tahun 2008
62,50
63,10
61,90
62,30 62,40 62,60
63,00 63,11 63,1262,4062,85
62,4062,60
63,8064,00
64,3064,45
64,60
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
AHH Kab. Lebak AHH Prov. Banten
120
perbandingannya semakin menjauh, dimana 63,1 tahun untuk Kabupaten Lebak
berbanding 64,60 untuk Provinsi banten.
Indeks Kelangsungan Hidup merupakan konversi Angka Harapan Hidup
dalam persen terhadap rentang angka harapan hidup yang dapat dicapai di
Indonsia. Tahun 2008, angka harapan hidup sebesar 63,1 tahun setara dengan
63,60 persen pencapaian indeks. Hal ini mengindikasikan bahwa Angka Harapan
Hidup Kabupaten Lebak masih terbuka lebar untuk dapat ditingkatkan. Namun
meningkatkan angka harapan hidup bukanlah program yang dapat secara langsung
dirasakan hasilnya, tetapi program peningkatan AHH adalah program yang
membutuhkan investasi yang sangat besar khususnya dalam hal pembiayaan
program dan waktu yang juga cukup panjang. Karena angka harapan hidup
berhubungan dengan komposisi dan struktur umur penduduk serta jumlah
penduduk yang menjadi sasaran program kesehatan.
Tabel 29 Perkembangan Angka Harapan Hidup dan Indeks Kelangsungan Hidup Kabupaten Lebak dan Rata-Rata Provinsi Banten, Tahun 2000-2008
Tahun Angka Harapan Hidup Indeks Kelangsungan Hidup
Kab. Lebak Prov. Banten Kab. Lebak Prov. Banten 2000 62.50 62.40 62.50 62.33 2001 62.85 63.10 63.08 63.50 2002 61.90 62.40 61.50 62.33 2003 62.30 62.60 62.17 62.67 2004 62.40 63.80 62.33 64.67 2005 62.60 64.00 62.67 65.00 2006 63.00 64.30 63.33 65.50 2007 63.11 64.45 63.52 65.55 2008 63.12 64.60 63.60 66.60
Sumber : Bappeda Kabupaten Lebak, Tahun 2010
6.4.2 Indeks Melek Huruf dan Indeks Lama Sekolah
Angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah adalah dua indikator yang
digunakan untuk menggambarkan hasil pembangunan di bidang pendidikan.
Kedua indikator tersebut dipandang cukup untuk mewakili beberapa indikator
pendidikan lainnya.
Hasil SUSENAS tahun 2008 menunjukan bahwa persentase penduduk usia
10 tahun ke atas yang mampu membaca dan menulis adalah sebesar 84,1 persen,
sehingga yang buta huruf sebanyak 5,9 persen, angka ini tidak jauh berbeda
121
dengan keadaan beberapa tahun sebelumnya. Khusus di Kabupaten Lebak,
penduduk buta aksara selain dipengaruhi oleh jumlah penduduk tua, dipengaruhi
juga oleh keberadaan suku Baduy terutama Baduy Dalam yang masih menabukan
penduduknya untuk mengenyam pendidikan formal. Apabila peraturan adat
tersebut tidak dapat dirubah, maka pencapaian Angka Melek Huruf di Kabupaten
Lebak tidak akan pernah mencapai 100 persen.
Angka melek huruf di Kabupaten Lebak masih dikategorikan kecil bila
dibandingkan rata-rata angka melek huruf Provinsi Banten yang pada tahun 2008
mencapai 95,6 persen. Indikator rata-rata lama sekolah di Kabupaten lebak tahun
2008 lebih rendah dari angka rata-rata Provinsi banten yang sebesar 8,1 tahun,
yakni hanya 6,2 tahun, atau baru setara dengan lulusan sekolah dasar. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa angka melek huruf di kabupaten Lebak lebih rendah bila
dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten.
Tabel 30 Perkembangan Angka Melek Huruf dan Rata-Rata Lamanya Sekolah Kabupaten Lebak dan Rata-Rata Provinsi Banten, Tahun 2002-2008
Tahun Angka Melek Huruf (%) Rata-rata Lama sekolah (Tahun)
Kab. Lebak Prov. Banten Kab. Lebak Prov. Banten 2002 90.19 93.84 5.30 7.90 2003 91.40 94.20 5.50 8.10 2004 93.90 94.70 6.10 8.50 2005 94.10 95.60 6.20 8.00 2006 94.10 95.60 6.20 8.10 2007 94.10 95.60 6.20 8.10 2008 94.10 95.60 6.20 8.10
Sumber : Bappeda Kab. Lebak, Tahun 2010
Nilai indeks melek huruf sama dengan angka melek huruf karena capaian
maksimal angka melek huruf adalah 100 persen, sehingga konversi juga tidak
memerlukan formula khusus. Indeks lama sekolah tahun 2008 masih sama dengan
tahun 2007, yaitu sebesar 41,33 persen, yang mempresentasikan rendahnya rata-
rata lama sekolah yang hanya 6,2 tahun. Capaian 41,33 persen juga hanya dapat
ditingkatkan dalam jangka panjang melalui cakupan partisipasi sekolah.
Tabel 31 Perkembangan Indeks Pengetahuan Kabupaten Lebak dan Rata-Rata Provinsi Banten, Tahun 2002 - 2008
Tahun Indeks Melek Huruf
Indeks Lama Sekolah
Indeks Pengetahuan Kab. Lebak Prov. Banten
2002 90.19 35.33 71.90 80.12
122
2003 91.4 36.67 73.16 80.80 2004 93.9 40.67 76.16 82.02 2005 94.1 41.33 76.51 81.51 2006 94.1 41.33 76.51 81.73 2007 94.1 41.33 76.51 81.73 2008 94.1 41.33 76.51 81.73
Sumber : Bappeda Kab. Lebak, Tahun 2009
Indikator yang dapat menunjukan pembangunan pendidikan digambarkan
dengan menghitung indeks pengetahuan sebagai rata-rata dari indeks melek huruf
dan rata-rata lam sekolah. Tahun 2007 indeks pengetahuan Kabupaten Lebak
adalah 76,51, hal tersebut dapat dikatak bahwa pencapaian pembangunan bidang
pendidikan jika dilihat dari sisi outputnya adalah 76,51 persen. Angka ini
merupakan peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2002 yang hanya
mencapai angka 71,9.
Sumber : Bappeda Kab. Lebak, 2009
Gambar 18 Tren Indeks Pengetahuan Kabupaten Lebak dan Provinsi Banten Tahun 2003-2008
Penyumbang terbesar dari indeks komponen pendidikan berasal dari
indeks AMH yang mencapai 94,10, sedangkan indeks RLS hanya sebesar 41,33.
Data tersebut memberikan pemahaman bahwa penduduk (terutama usia tua)
kurang memberi perhatian yang labih pada pentingnya jenjang pendidikan formal
dan merasa cukup puas bila sudah dapat membaca dan menulis, terkadang
pemahan tersebut dipraktekan pada sejauh mana pendidikan yang harus ditempuh
71,973,16
76,16 76,51 76,51 76,51 76,51
80,1280,8
82,02 81,51 81,73 81,73 81,73
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Kab. Lebak Prov. Banten
123
oleh keturunan-keturunan mereka, dengan landasan anggapan bahwa hanya
dengan membaca dan menulis saja sudah cukup bekal untuk mencari penghasilan.
Penomena ini kebanyak terjadi di daerah pedesaan yang penduduknya banyak
bekerja di sektor agraris atau sektor primer lainnya yang tidak memerlukan
keahlian khusus yang didapat dari pendidikan formal. Namun, keyakinan tersebut
sedikit demi sedikit mulai terkikis.
Berbeda dengan indeks kelangsungan hidup dimana terdapat kesenjangan
yang makin lebar antara angka Kabupaten Lebak dengan Provinsi Banten, pada
indeks pengetahuan tidak terlihat adanya pola kesenjangan yang semakin melebar.
Bahkan sejak tahun 2002, terdapat pola yang menyempit, sehingga hal tersebut
menunjukan bahwa telah terjadi percepatan indeks pengetahuan, walau secara
skala masih jauh dari harapan.
6.4.3 Indeks Tingkat Daya Beli
Untuk mengukur standar hidup layak, data PDRB per kapita buknlah
ukuran yang peka untuk mengukur tingkat daya beli (Purchasing Power
Parity/PPP) penduduk, sehingga tidak dapat digunakan. Pada perhitungan IPM
digunakan konsumsi riil perkapita yang telah disesuaikan, sehingga angkanya
diharapkan lebih mendekati untuk mengukur kemampuan daya beli penduduk.
Nilai indeks tingkat daya beli menggambarkan besar kecilnya kemampuan
daya beli penduduk. Diharapkan dengan semakin besarnya tingkat daya beli maka
kesejahteraan penduduk semakin membaik. Indeks daya beli penduduk (PPP) atau
konsumsi riil perkapita penduduk Kabupaten Lebak tahun 2008 sebesar 61,30
yang berarti tingkat daya beli penduduk Lebak 61,30 persen dari daya beli
maksimal di Indonesia. Dalam nilai uang, nilai tersebut setara dengan Rp. 625.100
pada tahun 2008.
Nilai indeks daya beli Kabupaten Lebak pada tahun 2008 sama dengan
nilai indeks daya beli Provinsi banten pada tahun yang sama. Indikasinya adalah
bahwa kemampuan daya beli yang sama antara penduduk Lebak dengan
penduduk kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten. Tentu saja hal ini
menunjukan bahwa ada peluang untuk perbaikan di bidang investasi human
capital karena secara ekonomi memiliki kemampuan yang tidak jauh berbeda
124
dengan daerah lain. Angka yang relatif sama pada tingkat daya beli namun
memiliki perbedaan jauh dalam bidang pengetahuan dan kesehatan dibandingkan
kabupaten/kota lain di Provinsi Banten memberikan gambaran bahwa sebagian
besar pendapatan yang dihasilkan hanya digunakan untuk keperluan konsumsi.
Tabel 32 Perkembangan Pengeluaran Riil Per Kapita dan Indeks Daya Beli Kabupaten Lebak dan Rata-Rata Provinsi Banten, Tahun 2002-2008
Tahun Pengeluaran Riil/Kapita (000) Indeks daya beli Kab. Lebak Prov Banten Kab. Lebak Prov. Banten
2002 581.9 608.7 51.28 57.47 2003 586 611.7 52.23 58.17 2004 615.4 621.3 59.02 60.39 2005 618.6 619.2 59.76 59.9 2006 620.13 619.99 60.12 60.08 2007 620.4 621 60.18 60.32 2008 625.1 625.3 61.3 61.3
Sumber : Bappeda Kab. Lebak, Tahun 2009
Apabila dilihat perkembangan dari tahun sebelumnya, pengeluaran riil per
kapita mengalami kenaikan yang cukup berarti, yaitu Rp. 620.400 pada tahun
2007 menjadi Rp. 625.100, naik sebesar 0,76 persen. Meskipun peningkatan ini
tampaknya diakibatkan oleh tingkat kesejahteraan masyarakat yang makin
membaik namun ada kekhawatiran bahwa kenaikan daya beli penduduk
dipengaruhi oleh inflasi, terutama inflasi di sektor perdagangan yang naik dari
tahun sebelumnya yaitu sebesar 11,50 persen pada tahun 2008 dibandingkan 7,27
persen pada tahun 2007. Sehingga kenaikan daya beli di Kabupaten Lebak
sebagian besar hanya digunakan untuk pemenuhan konsumsi primer saja, belum
memiliki kesadaran tinggi terhadap pentingnya pendidikan dan kesehatan.
6.4.4 Indeks Pembangunan Manusia
IPM merupakan indeks komposit nilai rata-rata dari gabungan tiga
komponen penilaian kualitas sumberdaya manusia, digunakan untuk mengukur
pencapaian keberhasilan pembangunan manusia di suatu wilayah. Jika ketiga
komponen tersebut memiliki kualitas yang baik, maka secara otomatis
sumberdaya manusianya pun memiliki kualitas yang baik pula. Masing-masing
125
indeks dari komponen IPM memperlihatkan seberapa besar tingkat pencapaian
yang telah dilakukan selama ini di bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi.
Secara internasional, nilai IPM dibagi menjadi tiga kelompok yakni tingkat
pembangunan manusia yang rendah (0,0 hingga 0,499), tingkat pembangunan
manusia menengah (0,50 hingga 0,799) dan tingkat pembangunan manusia yang
tinggi (0,80 hingga 1,0).
Tabel 33 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Lebak Menurut Komponen IPM Tahun 2002-2008
Tahun Indeks Kelangsungan
Hidup
Indeks Pengetahuan
Indeks Daya Beli
IPM Kabupaten
Lebak
IPM Provinsi Banten
2002 2003 2004
61,50 62,17 62,33
71,90 73,16 76,16
51,28 52,23 59,02
61,56 62,52 65,84
66,64 67,21 69,02
2005 62,67 76,51 59,76 66,31 68,80 2006 63,33 76,51 60,12 66,65 69,11 2007 63,52 76,51 60,18 66,74 69,27 2008 63.60 76,51 61,30 67,10 69,70
Sumber : Bappeda, IPM Kabupaten Lebak, Tahun 2009
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Lebak pada tahun 2008
mencapai 67,10 yang merupakan rata-rata dari pencapaian indeks kelangsungan
hidup/kesehatan (63,60), indeks pengetahuan (76,51) dan indeks daya beli
(61,30). Hal tersebut berarti pencapaian pembangunan manusia di Kabupaten
lebak saat ini telah mencapai 67,10 persen dari nilai maksimal. Dari tiga
komponen penyusun IPM, terlihat jelas bahwa pencapaian tertinggi didapat dari
indeks pengetahuan. Indeks daya beli yang merefleksikan kemampuan ekonomi
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya memiliki pencapaian yang
paling rendah. Namun rendahnya nilai indeks daya beli ini memang secara umum
juga terjadi di Provinsi Banten.
Dibandingkan pencapaian daerah-daerah lain di Provinsi Banten, IPM
Kabupaten Lebak dapat dikatakan masih tertinggal. IPM Provinsi Banten berada
pada level 69,70 yang berarti kabupaten/kota lain ada yang mencapai IPM di atas
angka 70%. Oleh karena itu masih banyak hal yang perlu dilakukan agar
pencapaian pembangunan manusia di Kabupaten Lebak dapat setara dengan
daerah lain di Provinsi Banten.
Bidang pendidikan atau pengetahuan yang terdiri dari angka melek huruf
dan rata-rata lama sekolah mempunyai nilai sebesar 76,51 yang berarti pencapaian
126
pembangunan bidang pendidikan pada tahun 2008 mencapai 76,51 persen dari
pencapaian yang diharapkan. Sumbangan terbesar indeks komponen pendidikan
berasal dari AMH yang mencapai 94,10 sedangkan indeks RLS hanya sebesar
41,33. Untuk sektor kesehatan yang diwakili indeks kelangsungan hidup,
Kabupaten Lebak baru mampu mencapai angka 63,60.
Sumber : Bappeda Kab. Lebak, Tahun 2009
Gambar 19 Grafik Perkembangan IPM dan Elemen Penyusunnya Kabupaten Lebak Tahun 2002-2008
Terdapat kenaikan signifikan jika melihat pola tren IPM Kabupaten Lebak
pada rentang tahun 2002 hingga 2008. Pada periode 2005 sampai 2007
peningkatannya tidak cukup nyata yakni hanya 0,2 persen. Namun perkembangan
yang cukup menggembirakan terjadi pada tahun 2008 dimana persentase
kenaikkan IPM lebih besar yakni 0,5 persen dibandingkan pada tahun 2007. Hal
tersebut mengindikasikan terdapat perbaikan dalam percepatan pembangunan
manusia di Kabupaten Lebak. Kenaikan IPM yang cukup besar terutama
disumbangkan oleh indeks daya beli, sehingga memberikan sinyal bahwa
pembangunan yang selama ini dilaksanakan terutama di bidang infrastruktur
sudah memberikan hasil yang cukup berarti.
Diharapkan bahwa pembangunan infrastruktur yang selama ini
dilaksanakan selain mempengaruhi tingkat ekonomi juga lambat laun akan
mempengaruhi tingkat kesehatan dan pendidikan di Kabupaten Lebak terutama
berkaitan dengan aksesibilitas ke fasilitas pendidikan dan kesehatan. Karena
61,56 62,52 65,84 66,31 66,65 66,74 67,1
0102030405060708090
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Indeks Kelangsungan Hidup Indeks Pengetahuan
Indeks Daya Beli IPM Kabupaten Lebak
127
kesehatan, pendidikan dan ekonomi merupakan pilar yang saling berinteraksi dan
berinter-relasi satu dengan yang lainnya dalam membentuk kualitas penduduk
(sumberdaya manusia). Tanpa kesehatan yang baik, pendidikan sulit untuk dapat
berjalan dengan baik, dan bila kesehatan dan pendidikan tidak baik maka mustahil
ekonomi keluarga/masyarakat dapat membaik.
6.5 Analisis Pengaruh Kinerja Pelayanan Publik Terhadap Kualitas
Sumberdaya Manusia
Pelayanan publik suatu wilayah akan mempengaruhi kualitas sumberdaya
manusia pada wilayah tersebut. Sama halnya dengan yang ada di Kabupaten
Lebak, pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan yang ditunjukan
dengan kinerja pelayanan berupa fasilitas dan tenaga pelayanan akan
mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia yang ditunjukan oleh tingkat Indeks
Pembangunan Manusia di Kabupaten Lebak.
Dalam hal kinerja, secara fasilitas dan tenaga sumberdaya manusia,
Kabupaten Lebak masih berada pada titik kekurangan. Jumlah fasilitas yang ada
masih belum bisa mencukupi, kualitas yang diberikan pun masih jauh dari
harapan. Rasio antara fasilitas bangunan baik pendidikan dan kesehatan dengan
penduduk masih sangat rendah. Selain itu, rasio antara tenaga pendidik dengan
penduduk usia sekolah dan tenaga kesehatan dengan penduduk pun sama, masih
terlalu rendah.
Pada satu wilayah yang cukup bisa diakses dengan relatif mudah, fasilitas
dan tenaga pendukungnya relatif baik, sehingga kualitasnya cenderung lebih baik.
Namun untuk beberapa wilayah yang sulit diakses memiliki fasilitas dan tenaga
pendukung di bawah rata-rata, dan akibatnya kualitas yang ada pun menjadi jauh
tertinggal dari wilayah lainnya dalam lingkup Kabupaten Lebak.
Berdasarkan deskripsi dan analisa terkait dengan kinerja pelayanan publik
dan kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten Lebak, maka selanjutkanya akan
coba diteliti bagaimana pengaruh yang diberikan oleh kinerja pelayanan publik
terhadap kualitas sumberdaya manusia yang ada. Pengaruh yang diberikan akan
memberikan dampak yang berbeda, ada yang berpengaruh positif dan ada juga
yang berpengaruh negatif. Hasil keterkaitan pengaruh tersebut nantinya akan
dijadikan dasar atau landasan dalam menentukan kebijakan pembangunan
128
selanjutnya. Harapan utamanya tentu saja adalah untuk bisa meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten lebak secara simultan dan
berkelanjutan serta sinergis antara pemerintah dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam estimasi data berikut ini akan dibahas mengenai analisis statistik
dan ekonomi dari hasil persamaan regresi pengaruh pelayanan publik di bidang
pendidikan dan kesehatan terhadap tingkat kualitas sumberdaya manusia.
Indikator pelayanan publik pendidikan adalah rasio faslitas berupa rasio bangunan
sekolah menurut satuan jenjang pendidikan dengan jumlah penduduk dan rasio
guru dan murid tiap satuan pendidikan Kabupaten Lebak. Sedangkan indikator
pelayanan publik kesehatan adalah rasio fasilitas kesehatan berupa puskesmas,
puskesmas pembantu (pustu), rumah sakit, dokter, perawat dan bidan dengan
jumlah penduduk di Kabupaten Lebak. Kualitas sumberdaya manusia itu sendiri
akan menggunakan indikator Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Lebak.
Setelah dilakukan tabulasi data hasil penelitian, maka dilakukan
pembentukan model untuk melihat pengaruh pelayanan publik di bidang
pendidikan dan kesehatan terhadap kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten
Lebak. Data yang digunakan adalah data cross section tingkat kecamatan pada
tahun 2009.
Pemodelan ekonometrik untuk melihat pengaruh pelayanan publik
pendidikan dan kesehatan memiliki model yang terpisah. Hal ini dimaksudkan
untuk melihat pengaruh kedua variabel tersebut secara khusus terhadap tingkat
kualitas sumberdaya manusia yang diwakili oleh Indeks Pembangunan Manusia
(IPM). Data diolah dengan menggunakan Software Minitab 13.
6.5.1 Estimasi Pengaruh Pelayanan Publik Pendidikan terhadap Kualitas
Sumberdaya Manusia (IPM)
Setelah dilakukan tabulasi data hasil penelitian, maka dilakukan
pembentukan model untuk melihat faktor-faktor pelayanan publik bidang
pendidikan yang diduga mempunyai pengaruh terhadap kualitas sumberdaya
manusia (IPM) di Kabupaten Lebak. Faktor-faktor pelayanan publik tersebut
adalah rasio bangunan SD dengan penduduk usia SD (RBSD), rasio bangunan
SMP dengan penduduk usia SMP (RBSMP), rasio bangunan SMA dengan
129
penduduk usia SMA (RBSMA), rasio guru SD dengan penduduk usia SD
(RGSD), rasio guru SMP dengan penduduk usia SMP (RGSMP) dan rasio guru
SMA dengan penduduk usia SMA (RGSMA). Pada sisi lainnya, faktor yang
menjadi indikator kualitas pelayanan publik adalah Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) di Kabupaten Lebak. Hasil estimasi model ekonometrika yang digunakan
adalah sebagai berikut :
ln IPMit = 63,26 + 1,03 ln RBSDit + 1,25 ln RBSMPit + 1,59 ln RBSMAit
- 0,18 ln RGSDit + 0,01 ln RGSMPit + 0,37 ln RGSMAit + eit
Keterangan : IPMit = Variabel dependent, yaitu Tingkat Kualitas Sumberdaya Manusia (Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Lebak di Kecamatan ke-i Pada Tahun ke-t) β0 = Konstanta β1,… β9 = Koefisien variabel independent RBSDit = Rasio bangunan SD dengan penduduk usia SD Kabupaten Lebak di
Kecamatan ke-i Tahun ke-t RBSMPit = Rasio bangunan SMP dengan penduduk usia SMP Kabupaten Lebak
di Kecamatan ke-i Tahun ke-t RBSMAit = Rasio bangunan SMA dengan penduduk usia SMA Kabupaten Lebak
di Kecamatan ke-i Tahun ke-t RGSDit = Rasio guru SD dengan penduduk usia SD Kabupaten Lebak di
Kecamatan ke-i Tahun ke-t RGSMPit = Rasio guru SD dengan penduduk usia SMP Kabupaten Lebak di
Kecamatan ke-i Tahun ke-t RGSMAit = Rasio guru SD dengan penduduk usia SMA Kabupaten Lebak di
Kecamatan ke-i Tahun ke-t ei
Variabel
= Error Tabel 34 Analisis Ekonometrika Regresi Berganda Pengaruh Pelayanan Publik
Pendidikan terhadap IPM di Kabupaten Lebak Koefisien t-stat Prob (t-stat)
Constant 63,26 185,21 0,000 RBSD 1,03 3,33 0,000
RBSMP 1,25 3,07 0,000 RBSMA 1,59 5,80 0,000 RGSD - 0,18 - 4,76 0,000
RGSMP 0,01 6,29 0,000 RGSMA 0,37 4,54 0,000
R2 92,6 F-stat 106,75
Prob (F-stat) 0.000
130
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
Berdasarkan hasil pengolahan data di atas, diperoleh bahwa nilai F-hitung
untuk model pengaruh pelayanan publik pendidikan terhadap IPM adalah 106,75.
Jika dibandingkan dengan F-tabel pada tingkat signifikansi 5 persen (α = 0,05)
sebesar 3,81 maka nilai F-hitung yang diperoleh untuk model tersebut lebih besar
dari ketiga tingkat signifikansi tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pelayanan publik pendidikan di Kabupaten Lebak secara simultan sangat
signifikan mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia (IPM).
Setelah diketahui bahwa terdapat variabel independen yang berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel dependen, maka dilakukan penyelidikan lebih
lanjut untuk mengetahui secara spesifik variabel manakah yang berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel dependen. Untuk pekerluan tersebut, dilakukan
pengujian koefisien regresi secara individual (testing individual coefficient).
Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel model ekonometrika, maka nilai thitung
dari seluruh varibel independent pelayanan publik lebih besar dari ttabel (t0,025)
sebesar 2,048 sehingga berpengaruh secara siginifikan terhadap IPM.
Pada perhitungan model dapat diketahui bahwa variabel rasio bangunan
SMA (RBSMA) memberikan pengaruh paling besar terhadap IPM, yakni 1,59.
Karena model menggunakan ln, maka hal tersebut mempunyai arti bahwa apabila
terjadi peningkatan RBSMA pada tingkat kecamatan sebesar 1 persen, maka IPM
di kecamatan akan meningkat sebesar 1,59. Variabel independent lainnya yang
juga mempengaruhi peningkatan IPM secara berturut-turut adalah RBSMP (1,25),
RBSD (1,03), RGSMA (0,37), RGSD (-0,18) dan RGMP (0,01). Rasio guru SD
terhadap penduduk usia SD memiliki nilai minus berarti apabila terjadi
peningkatan 1 persen pada rasio guru SD, maka IPM menurun sebesar 0,18.
Menurunnya angka IPM ini bukan hal yang kontraproduktif, namun
mengindikasikan bahwa jumlah guru SD di Kabupaten Lebak sudah dianggap
cukup dan tidak perlu ditambah jumlahnya, sehingga kebijakan yang lebih
kontributif untuk dilakukan adalah meningkatkan kapasitas guru untuk tingkat
pendidikan sekolah dasar.
131
Analisis Pengaruh Pelayanan Publik Pendidikan terhadap Indeks
Pembangunan Manusia (IPM)
Hasil perhitungan dengan menggunakan analisis regresi berganda model ln
menunjukan bahwa pelayanan publik mampu mempengaruhi IPM di Kabupaten
Lebak. Peningkatan persentase rasio bangunan sekolah baik pada tingkat SD,
SMP maupun SMA mampu meningkatkan secara signifikan angka IPM. Rasio
bangunan SMA dengan jumlah penduduk usia SMA menjadi variabel yang paling
mempengaruhi angka IPM. Berdasarkan data yang diperoleh dari pihak terkait,
kondisi rasio bangunan SMA memang memiliki angka yang sangat rendah yakni
rata-rata kabupaten sebesar 0,00038. Angka ini sangatlah rendah khususnya di
wilayah bagian selatan yang memiliki angka rasio lebih kecil karena jumlah
bangunan SMA masih belum seimbang dengan jumlah penduduk usia SMA.
Tantangan lainnya dalam meningkatkan angka IPM di Lebak adalah dalam
hal partisipasi sekolah. Rata-rata untuk SD sudah cukup besar yakni 95,17 persen,
namun lain halnya dengan SMP dan SMA yang masih sangat rendah yakni
berturut-turut sebesar 68,79 persen dan 22,61 persen. Oleh karena itu, dalam
pemodelan sangatlah wajar apabila rasio bangunan SMU ternyata memberikan
pengaruh yang paling tinggi, karena selain jumlah SMA yang kurang juga
ditambah dengan rendahnya angka partisipasi murni siswa SMU. Penyebab
rendahnya partisipasi murni SMA ini karena jumlah sekolah yang memang masih
sangat minim, khususnya di wilayah selatan. Apabila jarak terjauh siswa mampu
dikurangi, tentu peluang penduduk usia SMA untuk melanjutkan sekolah akan
semakin meningkat.
Variabel lain yang juga cukup tinggi mempengaruhi IPM adalah rasio
bangunan SMP dan SD, besaran rasio untuk SMP sebesar 0,0012 dan SD sebesar
0,0025. Bangunan sekolah untuk SMP dan SD jmasih dianggap belum memenuhi
standar minimal perbandingan antara jumlah penduduk usia SD dan SMP dengan
bangunan sekolah itu sendiri. Rasio jumlah SD dan SMP di wilayah utara
cenderung sudah sangat baik, bahkan sudah sama dengan rasio ideal yang
diperlukan, selain itu dari sisi partisipasi juga sudah hampir 100 persen untuk SD
dan 80 persen untuk SMP. Namun hal tersebut tidak sama dengan kondisi di
132
wilayah selatan yang secara kuantitas masih dianggap kurang, angka partisipasi
murni 80 persen untuk SD dan 50 persen untuk SMP.
Indikator pelayanan publik lainnya yang juga ikut mempengaruhi IPM
adalah tenaga pendidikan dalam hal ini khususnya guru. Rasio guru yang paling
tinggi memberikan pengaruh adalah rasio guru SMA kemudian disusul oleh rasio
guru SMP, hal tersebut menunjukan jika jumlah guru SMA di Kabupaten Lebak
masih kurang, sehingga apabila rasio guru mampu ditingkatkan maka IPM secara
otomatisasi akan ikut meningkat. Dalam pemodelan, peningkatan guru SD tidak
memberikan hasil positif, namun justru peningkatan guru SD akan menurunkan
angka IPM. Hal tersebut sangatlah wajar, karena jumlah guru SD baik di wilayah
utara maupun selatan sudah memenuhi kuota minimal jumlah guru.
Peningkatan jumlah bangunan sekolah dan tenaga pengajar bukan hanya
difokuskan pada kuantitas saja, namun lebih dari itu, kualitas tidak boleh
ditinggalkan. Bangunan sekolah yang ada tidak hanya memenuhi jumlah minimal,
tapi kualitas bangunan harus diperhatikan baik dari sisi kelayakan, posisi yang
strategis, keamanan, kelangkapan hingga kebersihan lingkungan. Kapasitas tenaga
pengajar seperti guru juga tetap menjadi sorotan utama dalam pelayanan publik.
Selain harus menguasai materi pelajaran, guru juga dituntut untuk bisa menguasai
teknik-teknik pengajaran yang mampu menstimulus siswa menjadi lebih aktif,
kreatif, berprestasi dan suasana belajar menjadi semakin menyenangkan.
6.5.2 Estimasi Pengaruh Pelayanan Publik Kesehatan terhadap Kualitas
Sumberdaya Manusia (IPM)
Pelayanan publik di bidang kesehatan merupakan salah satu indikator
pembangunan manusia. Dalam pemodelan, pelayanan kesehatan ini diduga
memeliki pengaruh kuat dalam pembentukan angka IPM di Kabupaten Lebak,
dalam hal ini dilihat dari IPM kecamatan. Adapun variabel yang pelayanan publik
bidang kesehatan yang menjadi variabel independent dalam pemodelan adalah
rasio puskesmas terhadap penduduk, rasio puskesmas pembantu terhadap
penduduk, rasio rumah sakit terhadap penduduk, rasio dokter terhadap penduduk,
rasio perawat terhadap penduduk dan rasio bidan terhadap penduduk. Secara
matematis, pemodelan tersebut dapat dilihat di bawah ini.
133
ln IPMit = 63,6 + 0,77 ln RPUSit - 0,434 ln RPSTit + 1,04 ln RRSit + 1,6 ln
RDOKit
+ 0,55 ln RPERit + β5 0,68 RBIDit + eit
Keterangan : IPMit = Variabel dependent, yaitu Tingkat Kualitas Sumberdaya Manusia (Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Lebak di Kecamatan ke-i Pada Tahun ke-t) β0 = Konstanta β1,… β9 = Koefisien variabel independent RPUSit = Rasio puskesmas dengan penduduk Kabupaten Lebak di Kecamatan
ke-i Tahun ke-t RPSTit = Rasio puskesmas pembantu dengan penduduk Kabupaten Lebak di
Kecamatan ke-i Tahun ke-t RRSit = Rasio rumah sakit dengan jumlah penduduk Kabupaten Lebak di
Kecamatan ke-i Tahun ke-t RDOKit = Rasio dokter dengan jumlah penduduk Kabupaten Lebak di
Kecamatan ke-i Tahun ke-t RPERit = Rasio perawat dengan jumlah penduduk Kabupaten Lebak di
Kecamatan ke-i Tahun ke-t RBIDit = Rasio bidan Pembantu dengan jumlah penduduk Kabupaten Lebak di
Kecamatan ke-i Tahun ke-t eit
Variabel
= Error
Tabel 35 Analisis Ekonometrik Regresi Berganda Pengaruh Pelayanan Publik
Kesehatan terhadap IPM di Kabupaten Lebak Koefisien t-stat Prob (t-stat)
Constant 63,60 12.68 0,000 RPUS 0,77 6,06 0,001
RPUSTU - 0,43 -4,40 0,000 RSS 1,04 8,23 0,000
RDOK 1,60 4,43 0,000 RPER 0,55 -3,29 0,000 RBID 0,68 7,09 0,000
R2 91,60 F-stat 68,54
Prob (F-stat) 0,000 Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
Hasil pengolahan data di atas, diperoleh bahwa nilai F-hitung untuk model
pengaruh pelayanan publik kesehatan terhadap IPM adalah 68,54. Jika
134
dibandingkan dengan F-tabel pada tingkat signifikansi 5 persen (α = 0,05) sebesar
3,81 maka nilai F-hitung yang diperoleh untuk model tersebut lebih besar dari
ketiga tingkat signifikansi tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pelayanan
publik kesehatan di Kabupaten Lebak secara simultan sangat signifikan
mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia (IPM).
Setelah diketahui bahwa terdapat variabel independen yang berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel dependen, maka dilakukan penyelidikan lebih
lanjut untuk mengetahui secara spesifik variabel manakah yang berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel dependen. Untuk pekerluan tersebut, dilakukan
pengujian koefisien regresi secara individual (testing individual coefficient).
Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel model ekonometrika, maka nilai thitung
dari seluruh varibel independent pelayanan publik lebih besar dari ttabel (t0,025
Hasil perhitungan dari model ekonometrika terlihat bahwa rasio
infrastruktur kesehatan cukup berpengaruh dalam meningkatkan IPM di
)
sebesar 2,048 sehingga berpengaruh secara siginifikan terhadap IPM.
Variabel pelayanan publik yang paling besar pengaruhnya terhadap
pertumbuhan IPM adalah rasio dokter terhadap penduduk sebesar 1,6. Hal
tersebut memiliki arti bahwa apabila terjadi peningkatan sebesar 1 persen pada
rasio dokter di kecamatan, maka IPM kecamatan akan meningkat sebesar 1,6.
Variabel pelayanan publik kesehatan lainnya yang juga mempengaruhi IPM
secaqra berturut-turut peringkatnya adalah rasio rumah sakit (1,04), rasio
puskesmas (0,77), rasio bidan (0,68), rasio perawat (0,55) dan rasio puskesmas
pembantu (-0,43). Pada pemodela ekonometrika terdapat satu variabel yang
bernilai negatif yakni rasio puskesmas pembantu yang bernilai -0,43, artinya
bahwa jika terjadi peningkatan sebesar 1 persen pada rasio puskesmas pembantu
maka IPM akan menurun sebesar 0,43. Hal tersebut menandakan bahwa
Pemerintah Kabupaten Lebak tidak memerlukan usaha lebih untuk meningkatkan
kuantitas jumlah puskesmas pembantu, namun lebih kepada peningkatan kualitas
pelayanan dari puskesmas pembantu.
Analisis Pengaruh Pelayanan Publik Kesehatan terhadap Indeks
Pembangunan Manusia (IPM)
135
Kabupaten Lebak. Rasio infrastruktur yang paling berpengaruh adalah rasio
rumah sakit dan puskesmas. Untuk konteks rumah sakit, pelayanan rumah sakit di
Kabupaten Lebak selama satu dekade terakhir menjadi sorotan utama masyarakat.
Secara kuantitatif, ketersediaan rumah sakit di Lebak masih jauh dari harapan,
apalagi melihat posisi letak rumah sakit yang hanya ada di wilayah utara. Namun
di tahun 2008 Lebak telah berhasil mendirikan satu rumah sakit di wilayah selatan
tepatnya di Kecamatan Malingping. Hal tersebut cukup menggembirkan
masyarakat di wilayah Lebak selatan. Namun hal tersebut dianggap masih belum
cukup, karena di wilayah tengah sama sekali belum tersedia rumah sakit, sehingga
penambahan satu rumah sakit untuk melayani masyarakat di Lebak tengah
merupakah satu hal yang perlu menjadi prioritas Pemkab lebak. Dengan adanya
ketersediaan rumah sakit tersebut, maka akan mampu memotong jauhnya akses
masyarakat Lebak tengah terhadap rumah sakit.
Rasio infrastruktur puskesmas juga telah menjadi faktor yang sangat
penting dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat pada suatu wilayah.
Karena puskesmas akan menjadi ujung tombak terdepan dalam pelayanan
kesehatan. Terjadi ketimpangan jumlah puskesmas antara wilayah utara dengan
selatan. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah untuk menyeimbangkan jumlah
puskesmas dengan kapasitas pelayanan khususnya di wilayah selatan (tertinggal)
merupakan hal yang sangat wajar dilakukan. Terlebih angka harapan hidup di
Lebak masih cukup rendah, yakni 63,6 pada tahun 2008. Penemuan kasus-kasus
gizi buruk dan penyakit-penyakit menular seperti kaki gajah, malaria dan TBC
pun lebih banyak ditemukan pada wilayah-wilayah Lebak bagian selatan.
Selanjutnya puskesmas ini akan menjadi pendeteksi dini segala macam penemuan
kasus gangguan kesehatan, sehingga ke depannya puskesmas ini akan menjadi
penyangga utama peningkatan kualitas hidup masyarakat. Karena bukan tidak
mungkin jika Kabupaten Lebak akan memiliki pelayanan puskesmas yang
dilengkapi oleh layanan-layanan prima seperti darurat level 1 atau setingkat
dengan rumah sakit dilengkapi perangkat yang dibutuhkan.
Pelayanan insfrastruktur lainnya adalah puskesmas pembantu (pustu) yang
berfungsi membantu puskesmas utama apabila secara geografis masih belum bisa
didirikan puskesmas baru untuk melayani masyarakat. Puskesmas pembantu
136
adalah unit sederhana yang membantu melaksanakan kegiatan pelayanan yang
dilakukan puskesmas dalam wilayah kerja yang lebih kecil. Meski
penyelenggaraan pelayanan di puskesmas pembantu menjadi kunci dalam
memperluas jangkauan pelayanan dasar, jarang mendapat perhatian kebijakan di
tingkat lokal maupun kabupaten. Koordinasi menjadi kunci keberhasilan upaya
kesehatan antara pemerintah dan masyarakat, sehingga puskesmas pembantu ini
menjadi salah satu kunci kesuksesan pelayanan kesehatan di suatu wilayah tak
terkecuali di Kabupaten Lebak, sehingga dengan peningkatan jumlah bangunan
puskesmas pembantu secara jangka panjang akan ikut meningkatkan kualitas
hidup yang selanjutnya meningkatkan IPM Kabupaten Lebak. Akan tetapi dalam
pemodelan, penambahan jumlah puskesmas pembantu justru akan menurunkan
angka IPM, hal tersebut disebabkan oleh preferensi masyarakat yang lebih
memilih puskesmas utama dan rumah sakit dalam hal pelayanan publik karena
puskesmas utama dan rumah sakit memiliki kelengkapan fasilitas yang lebih baik.
Rasio pelayanan publik tenaga kesehatan juga memberikan sumbangan
cukup besar terhadap perkembangan IPM di Lebak, khususnya peran dokter.
Seperti telah diketahui bahwa dokter merupakan salah satu instrumen utama
tenaga kesehatan. Dokter bertugas memeriksa kesehatan dokter, memberikan
stimulan-stimulan agar pasien memiliki harapan untuk kembali pulih, dan
memberikan resep obat apabila diperlukan. Keterbatasan jumlah tenaga kesehatan
dokter ini menjadi salah satu kendala dalam meningkatkan kualitas hidup manusia
di Kabupaten Lebak. Seharusnya tiap puskesmas minimal memiliki satu orang
dokter yang membuka praktek, tetapi pada kenyataannya ada beberapa kecamatan
yang sama sekali tidak tersedia dokter umum. Kebijakan peningkatan penyebaran
jumlah dokter merupakan salah satu hal mutlak yang perlu dilakukan agar mampu
meningkatkan kualitas hidup. Salah satu cara yang telah ditempuh adalah dengan
memberikan beasiswa khusus putra daerah yang berhasil kuliah menjadi
mahasiswa kedokteran di universitas negeri.
Perawat memiliki peranan yang cukup penting dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Rasio perawat untuk wilayah utara terlihat sudah
cukup ideal, namun wilayah selatan masih kekurangan cukup banyak. Menurut
hasil dari analisis pemodelan ekonometrika, penambahan jumlah perawat akan
137
meningkatkan angka IPM, sehinga jumlah perawat secara perlahan harus tetap
diseimbangkan sesuai dengan rasio ideal, khususnya untuk wilayah selatan yang
masih kekurangan banyak perawat di Puskesmas.
Bidan memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat. Secara sederhana, bidan dapat dikatakan sebagai
perpanjang dari dokter, karena memiliki wewenang yang hampir sama dengan
dokter seperti memberikan resep pengobatan, pengecekan kesehatan dasar dan
membantu persalinan. Peran bidan yang sangat sentral adalah dalam hal
membantu proses persalinan dan memantau perkembangan kesehatan balita.
Kabupaten Lebak merupakan salah satu kabupaten yang memiliki angka
kematian ibu dan bayi saat melahirkan. Sebagian besar disebabkan oleh salah
penanganan oleh paraji atau dukun beranak. Proses persalinan kurang steril dan
bersih, peralatan yang digunakan pun masih tradisional dan sangat memungkinkan
terjadinya resiko kematian ibu dan bayi. Untuk meminimalisir hal tersebut,
kebijakan yang diambil adalah dengan menambah bidan desa yang bertugas untuk
menemani proses persalinan oleh paraji dan memberikan pelatihan khusus kepada
paraji tradisional. Karena walau bagaimanapun, tradisi orang di persdesaan tentu
lebih memilih dukun beranak daripada bidan. Alasannya cukup banyak, mulai dari
tradisi yang turun temurun, hingga ongkos ekonomi yang lebih murah dimana
paraji bisa dibayar tanpa dengan uang melainkan bisa juga dengan bahan makanan
sebagai upahnya.
Analisis Keterkaitan Pelayanan Pendidikan dan Kesehatan terhadap IPM
Dalam pemodelan ekonometrika terkait pengaruh kinerja pelayanan publik
bidang pendidikan terhadap kualitas sumberdaya manusia yang ditunjukan oleh
IPM terdapat beberapa kesimpulan. Pertama, variabel yang berpengaruh positif
ikut meningkatkan IPM adalah rasio gedung SD, rasio gedung SMP, rasio gedung
SMA dan rasio guru SMP dan rasio guru SMA. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa apabila Pemkab Lebak memfokuskan alokasi dana pembangunan kepada
gedung SD, SMP dan SMA serta kuantitas guru SMP dan guru SMA, maka secara
signifikan akan meningkatkan IPM pada tingkat kecamatan yang selanjutnya
meningkatkan IPM kabuipaten. Secara spesifik alokasi pengembangan akan
138
memberikan hasil lebih baiak apabila diberikan kepada kecamatan-kecamatan
yang memang secara infrastruktur dan tenaga pendidikan cenderung rendah.
Hingga tahun 2008, IPM Kabupaten Lebak memang masih berkutat pada
juru kunci di Provinsi Banten yakni 67,1 dan rata-rata lama sekolah hanya 6,2
tahun atau setingkat dengan lulusan sekolah dasar. Kondisi bangunan SD dan
SMP atau yang setingkat di Kabupaten Lebak sekitar 30 persen mengalami
kerusakan yang cukup berat. Selain itu, menurut penuturan Kepala Bidang
Perencanaan Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak, hingga tahun 2010 Lebak
secara keseluruhan masih kekurangan 5.000 guru sekolah dasar. Oleh karena itu,
optimalisasi, perbaikan juga penambahan bangunan SD dan SMP serta
sumberdaya pengajar guru SD dalam fokus pembangunan manusia di Kabupaten
Lebak akan menjadi salah satu faktor penentu dalam peningkatan kualitas
sumberdaya manusia secara simultan dan berkelanjutan selama lima tahun ke
depan.
Kesimpulan kedua, terdapat satu faktor yang menurunkan IPM Kabupaten
Lebak, yakni rasio guru SD. Dampak dari hasil pemodelan ekonometrika tersebut
bukan berarti mengesampingkan faktor tersebut dalam pembangunan bidang
pendidikan. Namun yang perlu diperhatikan bahwa hingga saat ini rata-rata lama
sekolah di Lebak baru 6,2 tahun, sehingga perlu memfokuskan diri dalam
pembangunan pendidikan dasar setingkat SD dan SMP. Selain itu juga, rasio SD
di kecamatan-kecamatan Kabupaten Lebak masih dianggap cukup untuk bisa
memberikan pelayanan terhadap jumlah penduduk di masing-masing kecamatan,
sehingga kebijakan penting yang perlu dipertimbangkan adalah kebijakan
peningkatan kapasitas guru SD.
Terdapat kendala yang cukup memberatkan proses pembangunan
khususnya di daerah-daerah terpencil dan sulit diakses yakni terkait dengan
budaya dan kebiasan masyarakat lokal. Sebagian besar masyarakat lokal belum
sepenuhnya sadar akan pentingnya pendidikan bagi generasi muda. Masyarakat
masih menganggap pendidikan hanya untuk belajar membaca, menulis dan
berhitung saja. Jadi apabila seorang anak sudah bisa membaca, menulis dan
berhitung maka hal itu sudah dianggap cukup. Karena pekerjaan di ladang dan
sawah tidak membutuhkan ijazah sekolah tinggi. Apabila memiliki anak
139
perempuan, maka para orang tua lebih bersedia mengeluarkan uang besar untuk
segera menikahkan putrinya daripada menyekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Akibatnya, pertumbuhan tingkat IPM di Kabupaten Lebak khususnya dalam hal
lama sekolah berjalan lambat dan cukup sulit untuk ditingkatkan.
Pemodelan ekonometrika terkait dengan pengaruh pelayanan publik
kesehatan terhadap kualitas sumberdaya manusia (IPM) memiliki beberapa
indikasi. Pertama, terdapat lima faktor yang berpengaruh signifikan dan
berdampak positif meningkatkan IPM khususnya dalam hal rata-rata lama hidup.
Variabel yang berpengaruh positif tersebut adalah rasio jumlah puskesmas, rasio
rumah sakit, rasio dokter, rasio perawat dan rasio bidan. Di tahun 2008, rata-rata
lama hidup Kabupaten Lebak masih cukup rendah dan di bawah rata-rata, yakni
63,12 tahun. Kondisi ini menjelaskan bahwa kondisi kesehatan masyarakat Lebak
masih rendah karena rendahnya rata-rata lama hidup. Bahkan jumlah gizi buruk di
tahun 2009 hampir menginjak angka 5.000 anak.
Rasio Puskesmas memiliki dampak positif yang cukup besar karena
Puskesmas memiliki peran yang sangat strategis dalam pelayanan kesehatan dasar
di kecamatan. Secara kuantitas, sebenarnya Lebak masih kekurangan Puskesmas.
Dinas Kesehatan Kab. Lebak mengalami kesulitan dalam penambahan jumlah
puskesmas karena penyebaran penduduk yang masih belum merata khususnya di
daerah terpencil, selain itu juga terkendala dengan pegawai tenaga kesehatan yang
memang masih juga kekurangan. Namun Puskesmas yang ada cukup memberikan
hasil yang positif dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, khususnya
dalam hal pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Selain puskesmas, faktor pelayanan kesehatan yang sangat menentukan
lainnya adalah rasio jumlah rumah sakit. Pembangunan rumah sakit di Kecamatan
Malingping di tahun 2008 berdampak sangat besar terhadap tingkat kesehatan
masyarakat. Masyarakat wilayah Lebak Selatan yang membutuhkan pelayanan
gawat darurat dan rawat inap tidak lagi harus menempuh jarak hingga lebih dari
100 km menuju rumah sakit umum daerah di Rangkasbitung.
Faktor ketiga dan keempat yang juga berpengaruh positif lainnya adalah
rasio dokter, perawat dan bidan. Posisi dokter jelas sangat diperlukan oleh
masyarakat di Lebak, khususnya wilayah di luar Rangkasbitung. Jumlah dokter di
140
daerah-daerah yang ada masih sangat minim dan perlu tamban yang tidak sedikit.
Padahal praktek dokter umum sangat diperlukan dalam hal peningkatan kesehatan
dan pelayanan penduduk yang menderita penyakit. Selain itu, hal yang cukup
mengagetkan adalaah ternyata di Lebak sama sekali tidak ada dokter spesialis.
Sebagian dokter spesialis yang mengisi praktek di rumah sakit Lebak bukan
berasal dari Lebak, namun daerah luar seperti Serang, Cilegon dan Tangerang.
Selain dokter, faktor yang sangat berpengaruh dalam peningkatan kualitas
keesehatan masyarakat adalah kedudukan bidan. Posisi bidan sangat sentral
perannya dalam proses persalinan dan pasca persalinan. Program anak sehat pun
kini lebih banyak dipegang oleh bidan, mulai dari imunisasi hingga
pendampingan kesehatan serta gizi balita, sehingga bidan memegang peran yang
sangat penting dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten
Lebak.
Variabel yang berpengaruh menurunkan kualitas sumberdaya manusia di
Lebak adalah keberadaan Puskesmas Pembantu (Pustu). Saat ini masyarakat lebih
memilih pelayanan puskesmas dibandingkan puskesmas pembantu. Hal ini
disebabkan oleh kelangkapan peralatan dan tenaga kesehatan yang ada di
Puskesmas. Oleh karena itu, inti dari kesimpulan dalam hal pengembangan
kualitas kesehatan, pemerintah sebaiknya mampu memberikan fokus
pembangunan dalam hal ketersediaan dan juga kualitas pelayanan puskesmas dan
rumah sakit. Dalam hal tenaga kesehatan pemerintah perlu memberikan perhatian
khusus pada posisi dokter, perawat dan bidan yang akan memberikan pelayanan
prima kepada masyarakat.
Apabila sesuai dengan pemodelan ekonometrika, maka kebijakan yang
cukup efektif dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (IPM) adalah
dengan cara meningkatkan rasio belanja untuk dialokasikan pada pembangunan
insfrastruktur pendidikan dan kesehatan. Selain itu, faktor lain yang juga sangat
menentukan adalah peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga pendidikan dan
kesehatan. Agar pembangunan dan pelayanan publik berjalan secara adil dan
pertumbuhan menjadi lebih merata, maka alokasi pembangunan sebaikanya
diberikan kepada kecamatan-kecamatan yang memiliki jumlah fasilitas dan tenaga
pendidikan –kesehatan rendah, sehingga peningkatan IPM akan dimulai dengan
141
peningkatan kualitas sumberdaya manusia dari pemerataan IPM kecamatan-
kecamatan yang ada di Kabupaten Lebak.
142
BAB VII
PENGARUH KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA TERHADAP
STRUKTUR EKONOMI DAN DISPARITAS WILAYAH
Kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten Lebak menjadi sorotan utama
dalam pembangunan wilayah di era otonomi daerah. Apabila ditinjau
menggunakan indikator IPM, maka kualitas sumberdaya manusia di Lebak masih
tergolong rendah dan di bawah rata-rata Provinsi Banten. Kualitas sumberdaya
manusia ini akan menjadi faktor yang cukup mempengaruhi struktur ekonomi
wilayah di Lebak. Selain struktur ekonomi, pengaruh yang bisa dicoba untuk
diteliti adalah dampaknya terhadap tingkat disparitas wilayah Lebak.
Pengaruh kualitas SDM terhadap struktur ekonomi akan dilihat dari sejauh
mana perkembangan PDRB Kabupaten, pendapatan per kapita dan laju
pertumbuhan ekonomi. Untuk bisa melihat struktur ekonomi secara detail,
khususnya melihat sektor yang menjadi basis ekonomi, maka akan dilakukan
analisis location quotient (LQ), sehingga akan bisa ditemukan sektor mana yang
menjadi basis dan non-basis. Selain itu, penelitian ini juga akan mencoba
menganalisis sejauh mana perkembangan wilayah menggunakan Tipologi
Klassen. Melalui Tipologi Klassen ini akan dilihat perkembangan ekonomi tiap
kecamatan, nantinya akan diketahui kecamatan mana yang memiliki pertumbuhan
cepat atau lambat dan penghasilan tinggi atau rendah.
Setelah dilihat bagaimana kondisi umum struktur ekonomi di Kabupaten
Lebak hingga tingkat kecamatan, maka selanjutnya akan coba dilihat tingkat
disparitas pembangunan. Disparitas ini akan ditinjau dari indeks kemiskinan, yaitu
bertujuan untuk melihat disparitas dari jumlah penduduk miskin. Analisis
disparitas kedua akan menggunakan Indeks Williamson yang dapat
memperlihatkan tingkat disparitas wilayah dari penyebaran PDRB di Lebak.
Selanjutnya akan dianalisis faktor-faktor mana saja yang menyebabkan atau
menjadi sumber disparitas pembangunan di Kabupaten Lebak. Beberapa faktor
yang diestimasi menjadi faktor penyebab disparitas adalah laju pertumbuhan
PDRB, indeks pembangunan manusia, rasio belanja infrastruktur umum, rasio
belanja infrastruktur pendidikan dan rasio belanja infrastruktur kesehatan.
143
7.1 Struktur Ekonomi
Dengan melihat struktur ekonomi suatu wilayah, maka secara eksplisit
akan terlihat keragaan umum perkembangan penduduk secara ekonomi. Melalui
strukutur ekonomi ini juga akan terlihat secara deskriptif struktur pencarian
nafkan penduduk dan juga kondisi maju atau tertinggalnya wilayah berdasarkan
PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi. Perkembangan ekonomi di Lebak juga
seyogyanya mampu meningkatkan mobilitas serta penggerakan potensi dan
sumberdaya domestik atau lokal. Selain itu, pembangunan ekonomi yang ada
harus memberikan ruang yang cukup bagi partisipasi masyarakat luas sehingga
lebih familiar disebut dengan perencanaan pembangunan yang partisipatif untuk
membangun kapasitas sosial dan juga kelembagaan masyarakat. Hal tersebut
diperlukan agar mampu meningkatkan standar hidup minimum masyarakat
Kabupaten Lebak dan demi mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan.
Pembahasan struktur ekonomi dalam penelitian tesis ini akan
menggunakan beberapa indikator yakni PDRB tingkat Kabupaten Lebak,
pendapatan per kapita, laju pertumbuhan ekonomi. PDRB akan menjelaskan
bagaimana ukuran produktivitas wilayah yang merupakan total produksi kotor
dari suatu wilayah, yakni total nilai tambah dari semua barang dan jasa yang
diproduksi oleh Kabupaten Lebak dalam periode satu tahun. Indikator kedua
pembangunan yang dibahas adalah pendapatan per kapita. Pendapatan ini akan
menerangkan pendapatan rata-rata yang didapat tiap penduduk per tahunnya. Nilai
pendapatan per kapita ini didapat dengan membagi PDRB Kabupaten Lebak
dengan jumlah penduduk yang ada di Kabupaten Lebak pada periode satu tahun.
Indikator pertumbuhan ekonomi umumnya didasarkan atas dasar pertumbuhan
PDRB untuk melihat perubahan perekonomian.
Untuk melihat sektor basis dan non basis akan digunakan analisis Location
Quotient (LQ). Selain itu, agar pembahasan lebih komprehensif terkait
ketertinggalan wilayah, maka akan digunakan analisis Tipologi Klassen. Dimana
dengan Tipologi Klassen ini selanjutnya akan ditemukan struktur perekonomian
tingkat kecamatan, sehingga status maju dan tertinggalnya suatu kecamatan akan
ditemukan dari perspektif pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita.
144
7.1.1 PDRB Kabupaten Lebak Tingkat pendapatan (local income) dan jumlah produksi (product accounts) adalah
metode penghitungan yang digunakan untuk menentukan aktivitas perekonomian secara
keseluruhan. Untuk menentukan banyaknya produksi secara keseluruhan (aggregate
output) dalam penghitungan pendapatan di daerah dapat menggunakan metode
perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Secara garis besar, pertumbuhan PDRB Kabupaten Lebak Tahun 2005- 2009
menunjukan pertumbuhan positif. Pertumbuhan tersebut cukup menggembirakan bagi
Lebak yang tengah berbenah agar segera keluar dari statusnya sebagai kabupaten
tertinggal di Indonesia. Secara lebih jelas, kondisi PDRB Kabupaten Lebak atas harga
berlaku dapat dilihat pada Gambar 21 berikut ini.
Sumber : BPS Kabupaten Lebak, Tahun 2010 Gambar 20 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di Kabupaten Lebak Tahun 2005 –
2009 (Jutaan Rupiah)
Perekonomian di Kabupaten Lebak dalam kurun waktu 2005-2009
mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini didorong oleh peningkatan
produktivitas sektor pertanian sebagai sektor dominan dalam perekonomian di
Kabupaten Lebak. Kemudian disusul sektor perdagangan, hotel dan restoran serta
sektor jasa-jasa.
1.869.235 2.001.375 2.192.697 2.381.827 2.506.145
66.44270.314
86.12190.149
95.169
460.063522.676
589.329644.493
673.476
26.96932.755
35.67138.311
41.005
188.336217.252
253.696282.803
294.639
1.105.975
1.239.495
1.398.841
1.630.5221.844.291
397.987
505.813
546.891
645.434
721.927
227.499
252.721
280.442
304.388
326.403
526.671
592.672
645.698
732.009
770.885
4.869.177
5.437.900
6.029.385
6.749.934
7.273.939
0
1.000.000
2.000.000
3.000.000
4.000.000
5.000.000
6.000.000
7.000.000
8.000.000
2005 2006 2007 2008 2009
Pertanian
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan Air Bersih
Bangunan dan Kontruksi
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan, Persewaan dan jasa PerusahaanJasa-jasa
Jumlah Total PDRB
145
Untuk melihat struktur perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari
distribusi persentase Nilai Tambah Bruto (NTB) sektoral terhadap PDRB atas
dasar harga berlaku. Dalam kurun waktu 2005-2009 struktur perekonomian
Kabupaten Lebak masih didominasi oleh sektor pertanian dengan kontribusinya
yang berkisar 34%-35%, sedangkan peranan terkecil dipegang oleh sektor listrik,
gas dan air bersih dengan kontribusinya yang hanya berkisar 0,56%-0,57%. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 22.
Sumber : BPS Kabupaten Lebak, Tahun 2010 Gambar 21 Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Kabupaten Lebak Tahun
2005-2009 (Persentase) Dari tabel di atas terlihat bahwa struktur perokonomian Kabupaten Lebak
pada kurun waktu 2005-2009 tidak banyak mengalami pergeseran, masih
didominasi oleh tiga sektor utama yaitu dimulai dari sektor pertanian,
perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor jasa-jasa. Dari ketiga sektor utama
tersebut, sektor pertanian terus mengalami penurunan kontribusi terhadap total
PDRB yang mengindikasikan bahwa di Kabupaten Lebak perlahan namun pasti
telah terjadi pergeseran struktur ekonomi, dimana peran sektor primer mulai
diambil oleh sektor tersier. Hal ini dibuktikan oleh sektor perdagangan, hotel dan
38,39 36,8 36,58 35,29 34,45
1,36 1,35 1,49 1,34 1,31
9,45 9,61 9,76 9,55 9,26
0,55 0,6 0,65 0,57 0,56
3,87 4 4,2 4,19 4,05
22,71 22,79 23,13 24,16 25,35
8,17 9,3 8,89 9,56 9,924,67 4,65 4,6 4,51 4,49
10,82 10,9 10,7 10,84 10,6
0
50
100
150
2005 2006 2007 2008 2009
Pertanian
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan Air Bersih
Bangunan dan Kontruksi
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan, Persewaan dan jasa Perusahaan
Jasa-jasa
146
restoran, pengangkutan dan komunikasi, serta jasa-jasa yang mengalami trend
kenaikan kontribusi terhadap total PDRB dalam lima tahun terakhir.
Sumber : BPS Kabupaten Lebak, Tahun 2010
Gambar 22 PDRB Kecamatan atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2005-2009 (Jutaan Rupiah)
Kondisi yang cukup berbeda ditunjukan oleh PDRB Kecamatan pada
rentang tahun 2005-2009. Sebagian besar kecamatan atau sekitar 27 kecamatan
memiliki PDRB berkisar pada angka yang merata antara Rp 100.000.000.000 –
Rp. 300.000.000.000. Akan tetapi terjadi anomali pada satu kecamatan, yakni
Kecamatan Rangkasbitung yang berbeda sendiri dengan memiliki PDRB selama
lima tahun terakhir sebesar Rp. 800.000.000.000 – Rp. 1000.000.000.000.
Perbedaan tingkat PDRB tersebut menunjukan adanya disparitas yang
sangat mencolok antara satu wilayah yang menjadi pusat atau kutub pertumbuhan
dengan wilayah lain dalam satu kabupaten. Walau terjadi disparitas, secara umum
pertumbuhan angka PDRB menunjukan angka yang positif dan terus menaik
dengan sekali mengalami penurunan pada tahun 2008. Penyebab disparitas ini
sebagian besar terjadi penyedotan sumberdaya dari kecamatan-kecamatan
penghasil produk pertanian primer kepada kecamatan yang menjadi tempat
pengolahan atau penjualan. Sehingga nilai tambah dari penjualan produk banyak
terjadi di Kecamatan Rangkasbitung. Pada sisi lainnya, kecamatan penghasil
justru tidak mendapatkan nilai tambah yang besar dalam meningkatkan PDRB
pada level kecamatan.
0,00
200.000,00
400.000,00
600.000,00
800.000,00
1.000.000,00
1.200.000,00
2005 2006 2007 2008 2009
Malingping
Wanasalam
Panggarangan
Bayah
Cilograng
Cibeber
Cijaku
Banjarsari
Cileles
Gunung Kencana
Bojongmanik
Leuwidamar
Muncang
Sobang
Cipanas
Sajira
Cimarga
Cikulur
Warunggunung
Cibadak
Rangkasbitung
Maja
Curugbitung
147
7.1.2 Tenaga Kerja
Pada tahun 2009, jumlah total penduduk di atas 10 tahun yang telah
bekerja adalah sebanyak 473.846 jiwa. Angka ini adalah sepertiga dari jumlah
penduduk total Kabupaten Lebak. Jumlah pengangguran terbuka di tahun 2009
masih cukup tinggi, yakni berkisar pada angka 15 persen. Pengangguran ini lebih
banyak disebabkan oleh pekerjaan tak tetap masyarakat yang tinggal di perdesaan.
Sebagian besar bekerja sebagai buruh tani tak tetap yang menunggu musim tanam
dan panen.
Secara umum, sektor yang menyerap tenaga kerja terbanyak adalah sektor
pertanian. Hal ini sangatlah wajar karena lebih dari 70 persen penduduk masih
tinggal di wilayah perdesaan yang lapangan kerja utama penduduknya berada
pada sektor pertanian dan perikanan. Persentase ini dari tahun ke tahun semakin
menurun proporsinya seiring dengan makin berkembangnya sektor-sektor lain di
luar pertanian.
Sektor utama lainnya yang memberikan kontribusi cukup besar adalah
sektor perdagangan, hotel dan restoran yakni sebesar 16,08. Komoditas yang
mayoritas menjadi bahan dagangan adalah bahan-bahan primer pertanian,
perkebunan dan perikanan. Karena sebagian bahan tersebut masih primer dan
belum mampu diolah semuanya, maka nilai tambah yang diterima pun cenderung
tidak terlalu tinggi, sehingga cukup sulit untuk meningkatkan pendapatan secara
signifikan.
Tabel 36 Jumlah Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2009
Lapangan Pekerjaan Utama Jumlah Total Persentase Pertanian 254.880 53,68 Pertambangan dan Penggalian 12.518 2,64 Industri Pengolahan 26.147 5,51 Listrik, gas dan air minum 1.339 0,28 Bangunan/konstruksi 21.473 4,52 Perdagangan, hotel dan restoran 76.376 16.08 Angkutan dan Komunikasi 34.697 7,31 Bank dan lembaga keuangan 2.577 0,54 Jasa-jasa 44.839 9,44 Lainnya - - Jumlah Total 473.846 100
Sumber : BPS Kab. Lebak, Tahun 2010
148
7.1.3 Pendapatan per Kapita
Secara garis besar pertumbuhan PDRB Kabupaten Lebak tahun 2005-2009
menunjukan pertumbuhan positif, PDRB perkapita penduduk Lebak pada tahun
2008 mencapai angka 3,01 juta (ADHK) dan 5,78 juta (ADHB), dimana angka ini
terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Hal ini mengindikasikan adanya
perubahan peningkatan kesejahteraan penduduk. Idealnya peningkatan PDRB
perkapita selalu di atas nilai inflasi. Adapun nilai PDRB perkapita selama kurun
waktu 5 tahun terakhir dapat dilihat pada gambar berikut.
Sumber : BPS Kabupaten Lebak, Tahun 2010 Gambar 23 PDRB Per Kapita atas Dasar Harga Berlaku Kabupaten Lebak Tahun
2005 – 2009
Sama halnya dengan pendapatan per kapita kecamatan yang berada di
Kabupaten Lebak, dalam kurun lima tahun terakhir mengalami peningkatan yang
cukup signifikan. Pada kecamatan yang berada di level bawah di tahun 2005
masih memiliki pendapatan per kapita sekitar Rp. 3.000.000 namun lima tahun
kemudian telah meningkat menjadi hampir menyentuh angka Rp 4.000.000.
Pada level kecamatan tingkat menengah, pendapatan perkapita meningkat
dari Rp. 4.000.000 di tahun 2005 menjadi Rp. 6.000.000 pada tahun 2009.
Peningkatan ini dapat dikatakan cukup baik karena tingkat kesejahteraan
masyarakat pun mengalami peningkatan tajam. Sedangkan untuk kecamatan
dengan tingkat ekonomi tinggi juga mengalami peningkatan yang tidak jauh
berbeda. Dimana pada tahun 2005 sebesar Rp. 6.000.000 menjadi Rp. 8.000.000
lima tahun kemudian (tahun 2009).
4.151.754 4.543.3204.987.323
5.467.9305.778.044
0
1000000
2000000
3000000
4000000
5000000
6000000
7000000
2005 2006 2007 2008 2009
149
Sumber : BPS Kabupaten Lebak, Tahun 2010
Gambar 24 PDRB per Kapita Kecamatan atas Dasar Harga Berlaku 2005-2009 (Rupiah)
7.1.4 Laju Pertumbuhan Ekonomi
Secara terminologis, pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu
ukuran kuantitatif yang menggambarkan suatu perekonomian dalam tahun tertentu
apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Mengingat kondisi
perekonomian pasca krisis global yang memicu kondisi perekonomian baik
perekonomian regional, nasional maupun internasional, Pemerintah Kabupaten
Lebak berupaya untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam jangka
panjang secara mapan (steady economic growth).
Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Lebak Tahun 2005-2009
berada pada kondisi yang fluktuatif akibat dampak negatif yang ditimbulkan oleh
krisis global pada pertengahan tahun 2008. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten
Lebak mengalami fluktuasi yang ternyata mengarah secara negatif. Selama lima
tahun terakhir, kenaikkan laju pertumbuhan tidak sebanding dengan penurunan
yang terjadi pada tahun sebelumnya. Artinya bahwa kenaikan laju pertumbuhan
ekonomi lebih rendah daripada penurunan laju.
Dari beberapa lapangan usaha, terdapat tiga sektor yang mengalami
penurunan laju selama lima tahun terakhir, yakni sektor listrik, gas dan air bersih,
sektor industri pengolahan dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.
0
1.000.000
2.000.000
3.000.000
4.000.000
5.000.000
6.000.000
7.000.000
8.000.000
9.000.000
1 2 3 4 5
Malingping
Wanasalam
Panggarangan
Bayah
Cilograng
Cibeber
Cijaku
Banjarsari
Cileles
Gunung Kencana
Bojongmanik
Leuwidamar
Muncang
Sobang
Cipanas
Sajira
Cimarga
Cikulur
Warunggunung
Cibadak
Rangkasbitung
Maja
Curugbitung
150
Penurunan ini memiliki beberapa alasan yang cukup mendasar yakni imbas dari
krisis global sehingga mayoritas masyarakat menurunkan daya beli dan konsumsi.
Sedangkan dari sisi pengusaha pun ikut menurunkan kapasitas produksinya.
Secara lebih lengkap perkembangan LPE Kabupaten Lebak periode Tahun 2005 –
2009 dapat dilihat pada tabel dan grafik di bawah ini.
Sumber : BPS Kabupaten Lebak, Tahun 2010
Gambar 25 Laju Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan Harga Berlaku Kabupaten Lebak Tahun 2005-2009 (Persentase)
Pada tingkat kecamatan, laju pertumbuhan ekonomi pun mengalami
perkembangan yang fluktuatif. Pada tahun 2005, terdapat beberapa kecamatan
yang mengalami laju pertumbuhan negatif, kecamatan tersebut sebagian besar
adalah kecamatan yang berada di wilayah selatan dan utara Kabupaten Lebak
seperti Panggarangan, Cibeber, Cijaku, Banjarsari, Sajira dan Maja. Di tahun
2006, laju pertumbuhan perekonomian pun masih ada yang negatif yakni Bayah,
Cibeber, Banjarsari, Gunung Kencana, Sajira, Cikulur dan Warunggunung.
Pertumbuhan ekonomi tiap kecamatan secara umum mengalami
pertumbuhan yang konstan, yakni berkisar pada angka 3-5 persen. Namun terjadi
penurunan yang sangat besar di tahun 2008 pada beberapa Kecamatan, yakni
Bojongmanik, Panggarangan, Cijaku, Cipanas dan Rangkasbitung. Keempat
kecamatan di luar Rangkasbitung tersebut mengalami penurunan yang cukup
tinggi karena kecamatan tersebut hanya mengandalkan pertanian primer sebagai
0
5
10
15
20
25
30
35
2005 2006 2007 2008 2009
Pertanian
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan Air Bersih
Bangunan dan Kontruksi
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan, Persewaan dan jasa Perusahaan
Jasa-jasa
LPE Kabupaten Lebak
151
sumber PDRB-nya, sehingga pada saat ada imbas ekonomi global, pertumbuhan
kecamatan-kecamatan tersebut mengalami penurunan yang sangat drastis.
Sumber : BPS Kabupaten Lebak, Tahun 2010
Gambar 26 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kecamatan atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2005-2009 (Persentase)
Penurunan pertumbuhan ekonomi karena krisis global ini memang
sangatlah wajar. Karena sangat terkait dengan perdagangan internasional, baik
ekpor maupun impor. Terlebih cukup banyak bahan-bahan baik mentah maupun
jadi yang ada di Indonesia termasuk Lebak berasal dari impor kepada negara luar.
Sedangkan untuk penurunan Kecamatan Rangkasbitung, disebabkan oleh
penurunan kecamatan-kecamatan lain yang menyuplai berbagai sumberdaya
ekonomi. Selain itu juga, karena kondisi politik yang di tahun 2008 tengah terjadi
pergulatan politik pemilihan kepala daerah, sehingga kegiatan perekonomian dan
pembangunan banyak yang tertunda akibat terkonsentrasi pada pesta demokrasi
lokal di Kabupaten Lebak.
7.1.5 Analisis Location Quotient (LQ)
Location Quotient (LQ) adalah suatu metode untuk menghitung
perbandingan relatif sumbangan nilai tambah sebuah sektor di Kabupaten Lebak
terhadap sumbangan nilai tambah sektor yang bersangkutan dalam skala Provinsi
Banten. Dengan kata lain, melalui LQ dapat menghitung perbandingan antara
-60
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
2005 2006 2007 2008 2009
MalingpingWanasalamPanggaranganBayahCilograngCibeberCijakuBanjarsariCilelesGunung KencanaBojongmanikLeuwidamarMuncangSobangCipanasSajiraCimargaCikulurWarunggunungCibadakRangkasbitungMajaCurugbitungKalang AnyarLebak GedongCirintenCigemblongCihara
152
share output sektor-i di kota/kabupaten dan share output sektor-i di provinsi.
Analisis Location Quotient (LQ) di Kabupaten Lebak akan menggunakan data
PDRB Kabupaten Lebak dan Provinsi Banten tiap sektor atas dasar harga berlaku
tahun 2009. Sehingga akan membandingkan jumlah tenaga kerja per sektor pada
kabupaten dengan provinsi. Secara terperinci, tabulasi data dapat dilihat pada
tabel berikut ini.
Tabel 37 Perhitungan Location Quotient (LQ) Kabupaten Lebak Tahun 2009 Berdasarkan PDRB atas Dasar Harga Berlaku per Sektor (Miliar)
No. Jenis Lapangan Usaha Kab Lebak Prov. Banten LQ Peringkat 1 Pertanian 2,506.14 2,553.99 4.73 1 2 Pertambangan dan Penggalian 95.16 438.40 1.04 6 3 Industri Pengolahan 673.47 15,031.25 0.21 8 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 41.00 1,371.85 0.14 9 5 Bangunan dan Kontruksi 294.63 1,232.64 1.15 4 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 1,844.29 7,316.08 1.21 3 7 Pengangkutan dan Komunikasi 721.92 3,544.35 0.98 7
8 Keuangan, Persewaan dan jasa Perusahaan 326.40 1,464.15 1.07 5
9 Jasa-jasa 770.88 2,161.15 1.72 2 Jumlah Total PDRB 7,273.93 35,113.86
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010 7.1.5.1 Analisis Sektor Basis
Berdasarkan hasil perhitungan LQ, maka di Kabupaten Lebak terdapat
enam sektor yang menjadi unggulan atau menjadi sektor basis karena angka LQ
lebih besar dari satu (LQ>1). Hal tersebut menunjukan bahwa Kabupaten Lebak
sebetulnya memiliki potensi besar untuk bisa menjadi kabupaten yang mandiri
secara ekonomi dan finansial, secara spesifik sektor tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Pertanian
Berdasarkan hasil perhitungan LQ PDRB tahun 2009, Kabupaten Lebak
memiliki enam sektor yang menjadi sektor basis. Terlihat bahwa Kabupaten
Lebak masih bergantung banyak pada sektor primer pertanian. Hingga tahun
2009, pertanian merupakan sektor yang paling banyak memberikan kontribusi
terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Dilihat dari struktur
perekonomian Kabupaten Lebak, persentase nilai sektor ini sebesar 38 persen,
153
sebagian besar disumbangkan oleh subsektor bahan makanan yang terdiri dari
komoditas padi, palwija dan hortikulura.
Komoditas sektor pertanian terdiri dari tanaman bahan utama atau pangan,
tanaman perkebunan, peternakan dan kehutanan dan perikanan. Tanaman pangan
utama banyak tersebar di hampir seluruh kecamatan di Lebak, hampir 70 persen
sawah yang ada telah dialiri oleh irigasi teknis dan mampu menghasilkan panen
tiga kali dalam setahun. Pada tahun 2009, jumlah produksi padi di Kabupaten
Lebak sebesar 428.524 ton, yang terbagi atas padi sawah sebanyak 401.524 ton
dan padi gogo sebanyak 27.278 ton. Total produksi padi sebanyak 428.524 ton
tersebut setara dengan beras sebanyak 231.402,96 ton, cukup memenuhi
kebutuhan pangan untuk 1.233.905 penduduk Kabupaten Lebak selama 20 bulan
dengan asumsi beras tidak dijual ke luar daerah.
Sedangkan untuk komoditas palawija, yang terdiri dari jagung kedelai
kacang tanah, kacang hijau dan ubi kayu serta ubi jalar, produksi yang tertinggi
ada pada ubi kayu dengan total produksi sebanyak 30.749 Ton. Jagung merupakan
komoditas palawija dengan hasil produksi terbesar kedua dengan total produksi
sebesar 12.286 Ton. Untuk komoditas hortikultura, tiga hasil produksi tertinggi
ada pada tanaman pisang sebesar 112.545,8 Ton, disusul oleh rambutan sebesar
5.276,765 Ton dan durian sebesar 3.319,596 Ton.
Pada tahun 2009 produksi ayam ras pedaging sebanyak 3.476.499 Kg, atau
55% dari total produksi daging Kabupaten Lebak. Produksi tertinggi kedua adalah
ayam buras yaitu sebesar 1.508.408 kg. Untuk produksi telur, pada tahun 2004-
2009 mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 5,7%. Telur ayam buras
memberikan konstribusi terbesar pada tahun 2009 yaitu sebanyak 1.453.715 Kg.
Potensi perikanan di Kabupaten Lebak terdiri atas Perikanan Tangkap dan
Perikanan Budidaya. Perikanan tangkap terbagi atas perikanan tangkap laut dan
perairan umum. Untuk perikanan budidaya dikelompokan menjadi budidaya air
tawar dan budidaya air payau. Pada Tahun 2009 produksi jenis ikan tangkap laut
sebagian besar jenis ikan Cakalang dan Tongkol dengan masing-masing produksi
sebesar 305.455 kg dan 284.810 Kg. Untuk ikan tangkap diperairan umum
produksi terbesar pada jenis ikan tawes sebanyak 10.900 Kg. Sedangkan produksi
154
budidaya ikan pada tahun 2009 produksi terbesar pada jenis ikan mas sebanyak
1.118.436 Kg.
Luas kawasan hutan di Kabupaten Lebak adalah 95.922 Ha atau 31,55 %
dari luas wilayah Kabupaten Lebak. Adapun luas lahan kritis yang masih harus
ditangani seluas 22.206,88 ha. Komoditas kehutanan yang memiliki prospek pasar
yang baik adalah bambu. Luas tanaman bambu pada tahun 2009 tercatat sebesar
2.046,00 ha atau setara dengan 197.858 rumpun/11.169.665 batang. Sedangkan
produksinya sebesar 2.139.800 btg/tahun. Sentra areal bambu terutama terdapat di
kecamatan Cimarga, Sajira dan Cikulur.
Untuk bidang perkebunan, luas areal perkebunan yang ada di wilayah
Kabupaten Lebak adalah 66.783,10 Ha atau 22. 09 % dari luas Kabupaten Lebak,
terdiri dari perkebunan rakyat seluas 51.117,55 ha, perkebunan besar negar seluas
8.879,50 ha dan perkebunan besar swasta seluas 6.786,05 ha. Komoditas
perkebunan yang diusahakan di Kabupaten Lebak sebanyak 15 jenis tanaman,
diantaranya 10 komoditas unggulan utama yaitu : kelapa (12.651,30 ton), karet
(3.870,20 ton), kelapa sawit (2.777,11 ton), kakao (1.527,36 ton), cengkeh
(725,70 ton), kopi (494,20 ton), aren (1.331,80 ton), lada (21,40 ton), pandan
(83,40 ton), kelapa hibrida (44,00 ton), vanili (2,7 ton), jambu mete (2,4 ton), teh
(4,70 ton), kapuk (14,20 ton) dan jarak pagar (123,60).
b. Jasa-jasa
Sektor jasa termasuk ke dalam sektor basis di Kabupaten Lebak yang
memberikan konstribusi cukup besar terhadap PDRB yakni sebesar 2.161,15
miliar rupiah. Secara terperinci sektor jasa-jasa terdiri dari dua sub sektor yakni
sektor pemerintahan umum dan sub sektor swasta. Dalam subsektor swasta itu
sendiri terbagi menjadi tiga bagian, yakni sosial kemasyarakatan, hiburan dan
rekreasi serta perseorangan dan rumah tangga. Jumlah tenaga kerja yang disedot
untuk sektor jasa ini pun termasuk cukup banyak yakni 44.839 pekerja. Untuk
jumlah usaha tiap subsektor terdiri dari sektor jasa pendidikan terdiri dari 1.520
unit usaha, jasa kesehatan dan kegiatan sosial 624 unit usaha, jasa kemasyarakatan
(sosial budaya) 5.692 unit usaha dan jasa perorangan melayani rumah tangga 221
unit usaha.
155
Pemasukan sektor jasa-jasa juga banyak disumbangkan oleh subsektor
swasta pariwisata. Hal tersebut sangat wajar karena pariwisata merupakan salah
satu sektor yang terus dikembangkan di Kabupaten Lebak. Hal ini wajar
mengingat keindahan alam, baik pantai maupun tempat-tempat wisata yang ada di
Kabupaten Lebak cukup banyak dan menarik. Penataan obyek wisata terus
dilakukan guna meningkatkan kenyamanan pengunjung yang datang untuk
menikmati keindahan alam di Kabupaten Lebak.
c. Perdagangan, hotel dan restoran
Sektor perdagangan, hotel dan restoran terdiri dari tiga subsektor yakni
perdagangan besar dan eceran, hotel dan restoran. Distribusi sektor perdagangan
ini cukup memberikan dampak yang positif terhadap pembangunan dan menjadi
sektor basis hingga tahun 2009. Jumlah badan usaha yang teredapat di kabupaten
lebak cukup banya dan beragam, diantaranya yakni PT sebanyak 55, 71 koperasi,
140 CV dan 748 PO.
Usaha hotel dan penginapan di Kabupaten Lebak dapat dikatakan sedang
dalam proses berkembang. Hal tersebut dapat terlihat dari jumlah wisatawan baik
domestik maupun mancanegara yang pada tahun 2009 berjumlah total sebanyak
220.733 wisatawan dan jumlah tamu yang menginap sejumlah 27.901 orang.
Dimana jumlah hotel yang ada di Kabupaten Lebak secara keseluruhan berjumlah
24 buah. Jumlah restoran yang ada menjadi penyokong pariwisata serta perhotelan
ada sejumlah 253 buah restoran.
d. Bangunan dan konstruksi
Sektor bangunan dan konstruksi di Kabupaten Lebak terdiri dari proyek
pembangunan gedung-gedung dan konstruksi jembatan. Pembangunan
infrastruktur gedung pada rentang waktu lima tahu terakhir (2005-2009) sangat
gencar. Pembangunan yang cukup besar adalah pembangunan gedung baru rumah
sakit umum daerah Ajidarmo di Rangkasbitung dan juga rumah sakit umum
daerah di wilayah selatan yakni Malingping. Selain itu, pembangunan jembatan-
jembatan yang menghubungkan desa pun cukup banyak, sehingga interaksi antar
spasial wilayah tiap kecamatan cukup baik walau belum bisa dikatakan sempurna.
Dengan besaran distribusi terhadap PDRB sejumlah 294,63 miiar rupiah,
sektor bangunan dan konstruksi ini memberikan cukup banyak tempat dalam hal
156
tenaga kerja yang diberdayakan. Pada tahun 2009 saja tercatat tenaga kerja yang
diberdayakan untuk sektor bangunan dan konstruksi ini sebanyak 21.473 pekerja.
Dengan LQ yang lebih dari satu untuk tingkat Provinsi Banten, sektor bangunan
dan konstruksi ini menjadi sektor basis dan sangat potensial untuk lebih
dikembangkan, terlebih kondisi ruang wilayah Lebak yang masih sangat luas
untuk dilaksanakan pengembangan-pengembangan khususnya dalam
pembangunan bangunan dan konstruksi.
e. Keuangan, persewaan dan jasa-jasa perusahaan
Sektor keuangan, persewaan dan jasa-jasa perusahaan menjadi sektor
kelima yang menjadi sektor basis di Kabupaten Lebak. Sektor ini terbagi menjadi
empat subsektor yakni sub sektor bank, lembaga keuangan lainnya, sewa
bangunan dan jasa perusahaan. Di tahun 2009, sumbangan sektor-sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan terhadap PDRB Kabupaten Lebak
cukup besar yakni sejumlah 326,40 miiar rupiah.
Perputaran uang di sektor keuangan ini cukup memberikan multiplier
effect terhadap pembangunan. Tidak sedikit perusahaan baik besar atau UKM
yang mendapatkan kucuran dana pinjaman keuangan dari lembaga-lembaga
keuangan daerah. Potensi lembaga keuangan ini mampu menggerakkan sektor riil
yang ada di Kabupaten Lebak, sehingga pada akhirnya mampu menggerakan roda
ekonomi serta meningkatkan pertumbuhan perekonomian.
f. Pertambangan dan penggalian
Sektor pertambangan dan penggalian terbagi menjadi tiga sub sektor yakni
pertambangan migas, pertambangan tanpa migas dan penggalian. Pada tahun
2009, sektor pertambangan dan penggalian memberikan kontribusi terhadap
PDRB cukup tinggi yakni sebesar 95,16 miliar rupiah.
Sektor pertambangan dan penggalian Lebak saat ini banyak didominasi
oleh bahan galian A dan C yang sebagian besar terdiri dari batu kapur, bentonit,
feldspar, pasir, pasir kuarsa, tanah liat, zeolit dan batubara. Wilayah yang
memiliki banyak potensi pertambangan sebagian besar berada di wilayah bagian
selatan, karena memiliki batuan yang cenderung sudah tua, sehingga menjadi
bahan utama galian. Pada satu hampir tiga dekade ke belakang, Lebak sempat
terkenal sebagai penghasil emas utama di Jawa Barat (sebelum memisahkan diri
157
menjadi Provinsi Banten). Wilayah yang terkenal sebagai penghasil emas adalah
daerah Cikotok, namun dalam tiga tahun terkahir, yakni di tahun 2007 sudah
ditutup. Wilayah itu sebelumnya menjadi donor terbesar pterhadap PAD dan
PDRB dalam sektor penggalian dan pertambangan di Lebak. Karena dalam satu
tahun bisa menghasilkan emas seberat 270 kg dan perak 450 kg.
7.1.5.2 Analisis Sektor non-Basis
Sektor non basis adalah sektor yang secara ekonomi lebih cenderung untuk
melakukan impor dari wilayah luar dalam proses pemenuhan kebutuhannya. Hal
tersebut sangat wajar karena setiap wilayah memilki keberagaman sumberdaya
dan potensi. Sektor yang bukan unggulan terdiri dari tiga sektor karena angka LQ
lebih kecil dari satu (LQ<1), yakni :
a. Pengangkutan dan komunikasi
Sektor pengangkutan dan komunikasi terbagi menjadi dua subsektor yakni
pengangkutan yang terdiri dari angkutan rel, angkutan jalan raya, angkutan laut,
angkutan sungai dan penyeberangan, angkutan udara dan jasa penunjang
angkutan, sedangkan sub sektor kedua adalah komunikasi. Kontribusi sektor
pengangkutan dan komunikasi terhadap PDRB cukup tinggi yakni sebesar 721.92
miliar rupiah. Angka ini cukup tinggi namun menjadi sektor non basis karena
jumlah sumbangan PDRB dari wilayah lain di Provinsi Banten jauh lebih besar.
Jasa pengangkutan dan komunikasi di Lebak memang masih cukup
terbatas. Pengembangan sistem transportasi di Kabupaten Lebak ditekankan pada
pengembangan sistem transportasi darat. Sistem transportasi darat mencakup
sarana dan prasarana jaringan jalan, terminal, angkutan umum dan kereta api.
Untuk udara, laut dan sungai penyeberang hampir tidak tersedia. Sama halnya
dengan komunikasi, masih banyak wilayah yang belum tersentuh oleh sinyal
telepon kabel maupun telpon non kabel (telepon genggam). Wilayah yang belum
terjamah oleh sinyal komunikasi lebih banyak terdapat di wilayah selatan. Untuk
bisa berkomunikasi dengan sanak saudara atau rekan kerja, masyarakat perlu
mencari perbukitan yang agak tinggi agar bisa mendapatkan sinyal komunikasi.
Kesulitan dalam komunikasi ini bisa saja mempengaruhi ketertarikan investor
dalam menginvestasikan dananya untuk proses pembangunan di Lebak selatan,
158
selain itu bisa juga menghambat informasi terkait harga-harga komoditas seperti
pertanian dan komoditas lainnya.
b. Industri pengolahan
Sektor industri pengolahan terbagi menjadi sektor industri migas yang
terdiri dari pengilangan minyak bumi dan gas alam cair, dan sub sektor industri
non-migas. di Kabupaten Lebak belum menjadi sektor unggulan yang mampu
meningkatkan secara signifikan proses pemerataan pembangunan dan juga
pertumbuhan ekonomi. Namun, bukan berarti industri pengolahan tidak bisa
ditingkatkan, justru merupakan potensi yang sangat besar untuk dikembangkan.
Di tahun 2009, sektor ini memberikan distribusi terhadap PDRB sebesar 673.47
miliar rupiah.
Potensi industri di Kabupaten Lebak secara keseluruhan pada tahun 2009
sebanyak 14.636 unit usaha, yang terdiri dari industri kecil sebanyak 14.617 unit
usaha dan industri menengah/besar sebanyak 19 unit usaha. Jumlah tenaga kerja
yang terserap dalam kegiatan industri tersebut sebanyak 31.188 orang dengan total
nilai investasi sebesar Rp. 115.247.331.000,-. Dari potensi industri kecil
sebagaimana tersebut di atas, maka yang merupakan komoditas unggulan atau
yang menjadi andalan pada umumnya sebanyak 10 industri kecil. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 46.
Permasalahan yang kerap dihadapi oleh para pengusaha/pengrajin industri
kecil antara lain adalah keterbatasan pengetahuan/keterampilan dalam teknik
produksi dan manajemen usaha. Potensi sumber daya alam di Kabupaten Lebak
belum dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai akibat keterbatasan teknologi
dan modal usaha serta jaringan pemasaran yang belum meluas. Jumlah investasi
swasta di Kabupaten Lebak yang berskala kecil/menengah/besar selama empat
tahun terakhir menunjukan adanya peningkatan yang bergerak pada bidang
industri, pertanian, perkebunan, pertambangan, pariwisata dan perdagangan, yang
terdiri dari :
1. Perusahaan PMDN pada tahun 2004 sebanyak 1 perusahaan dan tahun 2009
menjadi 5 perusahaan,
2. Perusahaan PMA pada tahun 2004 sebanyak 2 perusahaan dan tahun 2009
menjadi 19 perusahaan,
159
3. Perusahaan non fasilitas pada tahun 2004 sebanyak 34 perusahaan dan tahun
2009 menjadi 1.017 perusahaan.
Tabel 38 Sentra Industri Kecil di Kabupaten Lebak Tahun 2009 No. Industri Jumlah Unit
Usaha Lokasi / Kecamatan
1. Gula Merah Aren 2.752 Muncang, Leuwidamar, Bojongmanik, Sajira, Cijaku, Panggarangan, Malingping, Cibeber, Gunung Kencana, Bayah dan Cipanas
2. Bata/Genteng 585 Cimarga, Rangkasbitung, Sajira, Malingping dan Warunggunung
3. Tenun Baduy 90 Leuwidamar 4. Tempurung Kelapa 40 Leuwidamar 5. Pandai Besi 60 Bojongmanik, Cibeber dan
Rangkasbitung 6. Konveksi 10 Rangkasbitung dan Cimarga 7. Anyaman Pandan 3.848 Cikulur, Cileles, Banjarsari,
Cijaku, Malingping dan Bojongmanik
8. Anyaman Bambu 2.746 Sajira, Cibeber, Rangkasbitung dan Cibadak
9. Emping Melinjo 281 Warunggunung, Cikulur dan Gunungkencana
10. Sale/Keripik Pisang 2.786 Bayah Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lebak, Tahun 2010
c. Listrik, gas dan air bersih
Sektor listrik, gas dan air bersih terdiri dari tiga sub sektor, yakni sub
sektor listrik, gas kota dan air bersih. Pada tahun 2009, sektor ini memberikan
distribus terhadap PDRB sebesar 41 miliar rupiah. Angka tersebut relatif rendah
apabila dibandingkan dengan kedelapan sektor lainnya yang menjadi sektor utama
pembangunan.
Kondisi terbaru di tahun 2009 tercatat bahwa masih terdapat 45 persen
wilayah yang belum dialiri oleh ketenagalistikan, dengan kata lain baru 55 persen
wilayah yang mampu dialiri listrik. Untuk gas kota, saat ini Lebak belum
menerapkan hal tersebut, karena masih terkendala permasalan teknis dan
penduduk lebih memilih enegi minyak tanah dan kayu bakar. Pelayanan untuk air
bersih masih terbatas wilayah yang berada pada lingkaran Rangkasbitung, baru
ada lima kecamatan yang mampu dilayani oleh PDAM yakni Rangkasbitung,
Cimarga, Cibadak, Kalanganyar dan Warunggunung.
160
7.1.6 Analisis Tipologi Klassen
Tipologi Klassen adalah suatu cara untuk mengetahui gambaran mengenai
pola dan struktur pertumbuhan ekonomi dari masing-masing daerah. Tipologi
Klassen menggunakan data terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan PDRB per
kapita, sehingga dapat dijelaskan struktur ekonomi suatu wilayah berdasarkan
daerah referensinya.
Tabel 39 PDRB dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Lebak Tahun 2005-2009
Indikator Pembangunan Jumlah LPE Kabupaten Tahun 2005 15,97 % PDRB Kabupaten Tahun 2005 Rp. 4.869.177.000.000 LPE Kabupaten Tahun 2009 7,77 % PDRB Kabupaten Tahun 2009 Rp. 7.273.939.000.000 LPE Rata-rata Kabupaten Tahun 2005-2009 11,672 % PDRB rata-rata Kabupaten Tahun 2005-2009 Rp. 6.072.067.000.000
Sumber : BPS Kabupaten Lebak, Tahun 2010
Berdasarkan informasi yang diberikan oleh Tabel 47, laju pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Lebak cukup tinggi pada tahun 2005, yakni 15.97 persen,
kemudian turun menjadi 7.77 persen di tahun 2009. Secara rata-rata selama lima
tahun terakhir, laju pertumbuhan ekonomi berada pada angka 11.672 persen.
Angka ini menunjukan trend pertumbuhan ekonomi ke arah negatif. Untuk tingkat
kecamatan, secara umum seluruh kecamatan mengalami pertumbuhan ekonomi
yang sangat fluktuatif.
Pada tahun 2005, terdapat dua kecamatan yang laju pertumbuhan ekonomi
dan PDRB-nya di atas rata-rata kabupaten (daerah cepat maju dan cepat tumbuh)
yakni Kecamatan Bayah dan Kecamatan Cileles. Kemudian, Kecamatan Cikulur
adalah kecamatan yang berkembang pesat. Terdapat dua kecamatan maju tapi
tertekan yakni Rangkasbitung dan Wanasalam. Sedangkan 23 kecamatan lainnya
adalah kecamatan yang relatif tertinggal karena memiliki angka laju pertumbuhan
ekonomi dan PDRB kecamatan di bawah rata-rata Kabupaten Lebak. Ilustrasi
persebaran Matriks Klassen kecamatan di Kabupaten Lebak secara jelas dapat
dilihat pada Gambar 28.
161
Tabel 40 PDRB dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Kecamatan di Kabupaten Lebak tahun 2005-2009
No. Nama Kecamatan
LPE Kecamatan Tahun 2005
(%)
LPE Kecamatan
Tahun 2009 (%)
LPE Rata-rata
Kecamatan Tahun
2005-2009 (%)
PDRB Kecamatan Tahun 2005
PDRB Kecamatan Tahun 2009
PDRB Rata-rata
Kecamatan Tahun2005-
2009
1 Malingping 3.33 5.73 2.86 4,692,340 6,231,752 5,426,432 2 Wanasalam 7.94 2.62 3.084 5,253,890 6,999,367 6,105,802 3 Panggarangan -5.36 2.57 -6.882 3,597,241 5,339,121 4,419,415 4 Bayah 17.39 3.19 4.494 4,950,201 6,366,471 5,542,955 5 Cilograng 10.24 2.03 5.722 4,105,052 6,154,197 5,199,943 6 Cibeber -0.47 6.35 3.088 4,843,053 6,301,753 5,552,416 7 Cijaku -4.89 4.69 -7.366 4,622,437 6,064,796 5,450,304 8 Banjarsari -1.44 3.43 0.944 4,572,454 5,947,938 5,214,329 9 Cileles 22 3.27 6 5,013,113 5,826,545 5,515,602
10 Gunung Kencana 12.93 3.97 3.838 4,419,763 5,600,252 4,880,737 11 Bojongmanik 0.4 3.32 -8.048 3,134,037 5,001,081 3,890,488 12 Leuwidamar 8.7 4.83 3.772 3,644,373 4,786,642 4,171,513 13 Muncang 4.36 4.55 5.062 2,775,127 4,498,654 3,561,610 14 Sobang 6.25 5.3 5.362 2,687,971 4,196,169 3,423,039 15 Cipanas 4.25 4.23 -2.19 3,827,946 5,459,732 4,657,477 16 Sajira -12.34 4.3 -1.204 3,906,912 4,814,269 4,296,329 17 Cimarga -6.73 4.31 2.37 2,900,458 4,022,203 3,524,888 18 Cikulur 18.95 5.35 5.462 3,421,979 4,489,416 3,875,760 19 Warunggunung 12.96 6.12 5.058 3,565,700 4,917,800 4,182,139 20 Cibadak 6.44 4.37 3.994 3,852,785 5,029,622 4,516,722 21 Rangkasbitung 3.75 3.85 0.906 5,699,750 8,489,861 7,231,485 22 Maja -5.04 0.22 2.2 2,964,049 4,356,473 3,691,703 23 Curugbitung 5.58 3.32 7.054 3,381,457 5,737,104 4,620,497 24 Kalang Anyar 0 2.88 0.576 0 8,398,530 3,247,105 25 Lebak Gedong 0 3.66 0.732 0 5,449,567 2,043,000 26 Cirinten 0 2.53 1 0 4,910,629 1,792,315 27 Cigemblong 0 2.38 0 0 6,056,528 2,300,898 28 Cihara 0 2.03 0 0 4,212,621 1,633,292
Sumber : BPS Kabupaten Lebak , Tahun 2010
Penyebab ketertinggalan sebagian besar kecamatan di Kabupaten Lebak
disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adalah faktor geografis, dimana
sebagian besar kecamatan berada di wilayah selatan kabupaten yang sulit
terjangkau. Kedua, adalah faktor dominasi pertanian sebagai mata pencaharian
dan sumber pendapatan masyarakat, sehingga nilai tambahnya cukup rendah.
Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di sektor pertanian primer yang
secara nilai tambah sangatlah rendah. Ketiga, adalah faktor aksesibilitas
transportasi yang tidak didukung oleh jalan yang layak, sebagian besar jalan
utama menuju kecamatan rusak sehingga menghambat investasi. Untuk bisa
mengakses wilayah paling selatan atau terjauh di Lebak apabila diukur melalui
Rangkabitung memerlukan waktu tempuh kurang lebih 8 jam dengan kondisi
jalan yang rusak sangat parah. Pada akhirnya, proses pembangunan pun berjalan
lambat dan wilayah semakin tertinggal karena perkembangan investasi di Lebak
masih jauh dari harapan.
162
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
Gambar 27 Matriks Tipologi Klassen Kabupaten Lebak Tahun 2005
Berbagai macam penyebab ketertinggalan di atas, seharusnya dapat
menjadi titik tolak Lebak untuk menjadi lebih maju. Karena di balik segala
kekurangan dan hambatan, sebetulnya terdapat peluang baik dalam hal geografis,
dan dominasi sektor pertanian dalam struktur perekonomiam maupun dari
buruknya aksesibilitas. Apabila Pemkab Lebak segera menjadikan pertanian
sebagai ujung tombang pembangunan yang mengarah kepada agroindustri dari
hulu hingga hilir serta didukung dengan perbaikan aksesibilitas tentu akan
memberikan sumbangan terbesar dalam pertumbuhan ekonomi.
Struktur ekonomi berdasarkan matrik Tipologi Klassen di tahun 2009
mengalami perubahan yang cukup drastis menuju ke arah negatif atau memburuk.
Hal tersebut disebabkan oleh depresi dan goncangan ekonomi pada tahun periode
tahun 2007-2008, sehingga sebagian besar kecamatan mengalami laju
pertumbuhan ekonomi yang negatif. Hal tersebut terlihat dari laju pertumbuhan
ekonomi dan PDRB tiap kecamatan dan tercatat bawah hanya ada dua kecamatan
yang dianggap maju namun tertekan, yakni Kecamatan Rangkasbitung dan
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
0 1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000 5.000.000 6.000.000
Laju
Per
tum
buha
n Ek
onom
i (%
)
PDRB per Kapita (Rupiah)
Low Growth, Low Income
High Growth, Low Income
Low Growth, High Income
High Growth, High Income
163
Kalang Anyar. Kecamatan-kecamatan lainnya masih berada pada kuadran III dari
Tipologi Klassen.
Tabel 41 Ringkasan Matriks Tipologi Daerah Klassen Kabupaten Lebak Tahun
2005 PDRB per kapita (y) Laju Pertumbuhan (r)
(yi
(y < y) i > y)
(ri
HGLI (High growth but low income/
daerah berkembang cepat)
> r)
1. Cikulur
HGHI (High growth and high income/
daerah cepat maju dan cepat tumbuh)
1. Bayah 2. Cileles
(ri
LGLI (Low growth and low income/
daerah relatif tertinggal)
< r)
LGHI (High income but low growth/
daerah maju tapi tertekan)
1. Rangkasbitung 2. Wanasalam
1. Malingping 2. Panggarangan 3. Cilograng 4. Cibeber 5. Cijaku 6. Banjarsari 7. Gunung Kencana 8. Bojongmanik 9. Leuwidamar 10. Muncang 11. Sobang
12. Cipanas 13. Sajira 14. Cimarga 15. Warunggunung 16. Cibadak 17. Maja 18. Curugbitung 19. Kalang Anyar 20. Lebak Gedong 21. Cirinten 22. Cigemblong 23. Cihara
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
Kecamatan Kalang Anyar sebelumnya adalah kecamatan hasil pemekaran
dari kecamatan Rangkasbitung, sehingga sangat wajar jika kecamatan ini
termasuk sebagai daerah yang maju tapi tertekan. Sebanyak 26 kecamatan lainnya
di tahun 2009 termasuk pada kuadran III Tipologi Klassen atau masih terjebak ke
dalam bagian dari daerah-daerah yang relatif tertinggal, karena memiliki laju
pertumbuhan ekonomi dan PDRB kecamatan di bawah rata-rata kabupaten.
Secara terperinci, struktur penyebaran ekonomi kecamatan tahun 2009 menurut
Tipologi Klassen dapat dilihat pada Gambar 28.
164
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
Gambar 28 Matriks Tipologi Klassen Kabupaten Lebak Tahun 2009
Secara rata-rata, dalam rentang tahun 2005-2009, pertumbuhan ekonomi
Kabupaten Lebak berdasarkan Tipologi Klassen masih berada di tingkat bawah.
Dimana hampir 90 persen kecamatan yang ada di Lebak merupakan kecamatan
yang relatif tertinggal. Hanya kecamatan Rangkasbitung dan Wanasalam saja
yang berada pada level lebih baik, dimana dapat dikatakan sebagai daerah maju
tetapi tertekan karena memiliki pendapatan tinggi tapi pertumbuhan yang rendah.
Kecamatan di Kabupaten Lebak yang berada pada posisi tertinggal terlihat
kesulitan untuk mampu keluar dari lingkaran ketertinggalan. Hal tersebut
menunjukan strategi yang digunakan dalam pengembangan wilayah masih belum
menemukan titik paling strategis dalam mempengaruhi pembangunan di
sekitarnya.
Kecamatan Rangkasbitung merupakan kecamatan yang menjadi pusat
pemerintahan Kabupaten Lebak, sehingga tentu sangat wajar jika termasuk
sebagai kecamatan yang dianggap maju. Karena sebagian besar transaksi
perdagangan, jasa dan perputaran uang terjadi di Rangkasbitung. Untuk
Kecamatan Wanasalam, terbilang maju karena di kecamatan ini memiliki struktur
sumber PDRB yang lebih variatif. Dimana sumber pendapatan kecamatan ini
selain pertanian juga didukung oleh sektor lainnya seperti perikanan dan industri
pengolahan ikan, kopra dan perdagangan yang langsung dikirim ke wilayah lain,
sehingga nilai tambah pendapatan cenderung lebih tinggi.
0
1
2
3
4
5
6
7
0 2.000.000 4.000.000 6.000.000 8.000.000 10.000.000
Laju
Per
tum
buha
n Ek
onom
i (%
)
PDRB per Kapita (Rupiah)
Low Growth, Low Income Low Growth, High Income
165
Tabel 42 Ringkasan Matriks Tipologi Daerah Klassen Kabupaten Lebak Tahun 2009
PDRB per kapita (y) Laju Pertumbuhan (r)
(yi
(y < y) i > y)
(ri
HGLI (High growth but low income/
daerah berkembang cepat)
> r)
HGHI (High growth and high income/
daerah cepat maju dan cepat tumbuh)
(ri
LGLI (Low growth and low income/
daerah relatif tertinggal)
< r)
LGHI (High income but low growth/
daerah maju tapi tertekan)
1. Rangkasbitung 2. Kalang Anyar
1. Malingping 2. Panggarangan 3. Cilograng 4. Cibeber 5. Cijaku 6. Banjarsari 7. Gunung
Kencana 8. Bojongmanik 9. Leuwidamar 10. Muncang 11. Sobang 12. Cipanas 13. Sajira
14. Cimarga 15. Warunggunung 16. Cibadak 17. Maja 18. Curugbitung 19. Lebak Gedong 20. Cirinten 21. Cigemblong 22. Cihara 23. Cikulur 24. Bayah 25. Cileles 26. Wanasalam
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
Kondisi ketertinggalan tersebut menunjukan bahwa pembangunan selama
lima tahun terakhir pasca pemberlakuan otonomi daerah di Kabupaten Lebak
belum berjalan dengan baik. Konsep desentralisasi ini tanpa disadari telah menjadi
konsep yang kontraproduktif. Pada satu sisi, demokratisasi memberikan ruang
yang cukup lapang dalam mengembangkan pembangunan yang aspiratif. Namun,
menjadi kontraproduktif terhadap pembangunan wilayah di perdesaan, karena
terbukti selama lima tahun berjalannya pemerintahan, pembangunan cenderung
lamban dan sebagian besar kecamatan berada pada titik ktitis ketertinggalan.
Seharusnya realita ini mampu memberikan dorongan kepada pemerintah untuk
bisa menyelesaikan permasalahan dengan strategi dan kebijakan pembangunan
wilayah yang tepat guna tanpa mengurangi pembangunan yang aspiratif.
Berdasarkan data PDRB kabupaten, maka Kabupaten Lebak masih
didominasi oleh sektor-sektor primer, yakni pertanian. Dimana terlihat bahwa
hingga tahun 2009 sektor pertanian masih memberikan sumbangan terbesar dalam
perekoniman yakni sebesar 34,45 persen dari total PDRB. Sama halnya dengan
analisis LQ, pertanian hingga tahun 2009 masih menjadi sektor basis atau
unggulan, kemudian diikuti oleh sektor pertambangan dan penggalian, sektor jasa-
jasa serta listrik, gas dan air bersih.
166
Namun dominasi sektor pertanian tersebut tidak diikuti oleh
perkembangan perekonomian kecamatan-kecamatan yang sebagian besar atau
sekitar 90 persen berada pada kuadran wilayah tertinggal sesuai dengan Tipologi
Klassen. Ketertinggalan tersebut bisa jadi disebabkan oleh ketergantungan
wilayah terhadap distribusi sektor pertanian primer seperti pertanian. Karena
seperti telah diketahui bahwa sektor primer pertanian tersebut memiliki nilai
tambah yang rendah, sehingga perekonomian cenderung lambat berkembang dan
akhirnya pendapatan masyarakat secara umum pun menjadi rendah. Oleh karena
itu, pembangunan ke depan seharusnya berorientasi pada pembangunan industri
berbasis padat karya. Secara pendapatan mampu meningkatkan penghasilan
daerah, namun tetapi mampu menyerap banyak tenaga kerja.
7.2 Disparitas Pembangunan Wilayah
Disparitas pembangunan adalah tingkat ketimpangan pembangunan suatu
wilayah. Angka disparitas ini akan menggambarkan kondisi keberimbangan suatu
wilayah. Semakin tinggi disparitas, maka semakin tidak berimbangan
pembangunan suatu wilayah, artinya ada satu wilayah yang maju namun ada
wilayah lain yang tertinggal. Salah satu ciri penting dalam pembangunan wilayah
itu sendiri adalah upaya untuk mencapai keberimbangan. Pembangunan yang
berimbang yang dimaksudkan ini adalah terpenuhinya potensi-potensi
pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap wilayah/daerah yang
jelas-jelas beragam. Dalam penelitian ini, diambil dua indikator yang diasumsikan
mampu menggambarkan tingkat disparitas pembangunan wilayah, yakni Indeks
Kemiskinan Manusia dan Indeks Williamson.
7.2.1 Indeks Kemiskinan Manusia
Untuk mengukur tingkat kemiskinan di daerah, maka dapat digunakan
suatu garis yang disebut sebagai garis kemiskinan. Garis kemiskinan ini terdiri
dari garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non-makanan
(GKMN). Tabel 51 akan menunjukan bagaimana perkembangan jumlah,
persentase penduduk miskin dan juga angka garis kemiskinan Kabupaten Lebak
dalam rentang tahun 2005-2008.
167
Tabel 43 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin serta Garis Kemiskinan Tahun 2005-2008
Tahun Jumlah Persen (%) Garis Kemiskinan (Rp.) 2005 141.000 12,29 119,757 2006 172.440 14,55 125,277 2007 181.070 14,43 129,911 2008 156.940 12,05 160,190
Sumber : Bappeda Kabupaten Lebak, Tahun 2009
Pada Tabel 51, diperlihatkan bagaimana garis kemiskinan penduduk
Kabupaten Lebak pada tahun 2008 sebesar Rp. 160.190 per kapita per bulan.
Angka ini menunjukan suatu peningkatan yang cukup signifikan dari tahun
sebelumnya yang hanya Rp. 129.911. Sejak tahun 2005, garis kemiskinan di
Kabupaten Lebak cenderung mengalami kenaikan, sama halnya dengan angka
jumlah penduduk miskin yang juga menurun di tahun 2008, walaupun ada
kenaikan dari tahun 2005 hingga 2007. Secara grafis dapat dilihat pada Gambar
30, 31 dan 32.
Terjadinya peningkatan garis kemiskinan tersebut disebabkan oleh
melonjaknya harga komoditi kebutuhan dasar di tingkat produsen yang relatif
cukup tinggi. Hal itu terlihat dengan meningkatnya angka inflasi Kabupaten
Lebak di tahun 2008 menjadi sebesar 7,58 persen dari tahun sebelumnya yang
hanya 5,70 persen.
Sumber : Bappeda Kabupaten Lebak, Tahun 2009
Gambar 29 Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten Lebak Tahun 2005-2008
Inflasi tertinggi terjadi pada sektor angkutan dan telekomunikasi sebesar
12,63 pada tahun 2008 dibandingkan tahun 2007 yang hanya sebesar 2,48 persen.
141.000 172.440 181.070 156.940
0
50000
100000
150000
200000
2005 2006 2007 2008
168
Setelah itu, diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu 11,50 persen
dibandingkan pada tahu sebelumnya (2007) yang hanya 7,27 persen.
Tingginya inflasi ini tidak terlepas oleh pengaruh dari kenaikkan harga
bahan bakar minyak (BBM), baik yang bersubsidi maupun tidak bersubsidi.
Kenaikkan harga BBM tentu saja diikuti oleh sektor yang sebagian besar
menggunakan BBM dalam proses produksinya. Sehingga dampak turunan tidak
langsung tersebut menjadi pemicu meningkatnya angka inflasi di tahun 2008.
Selain itu, penyebab inflasi ini juga bisa saja disebabkan oleh dampak dari krisis
ekonomi global terutama berkaitan dengan harga barang-barang impor atau
barang yang bahan dasar atau suku cadangnya berasal dari impor.
Sumber : Bappeda Kab. Lebak, Tahun 2009 Gambar 30 Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Lebak Tahun 2005-2008
Setelah mengetahui besarnya perkiraan batas garis kemiskinan, maka
langkah selanjutnya adalah dapat menghitung jumlah dan persentase penduduk
miskin di Kabupaten lebak, hal tersebut dapat ditunjukkan pada tabel 31. Tabel
tersebut bagaimana menjelaskan perkembangan jumlah penduduk dan persentase
penduduk miskin di Kabupaten Lebak pada rentang tahun 2005-2008.
Pada jangka waktu tahun 2006-2008, penduduk miskin di Kabupaten
Lebak menunjukan penurunan, baik dalam jumlah maupun persentasenya. Bahkan
di tahun 2008 jumlah penduduk miskin mendekati jumlah pada tahun 2005 yang
kemudian kembali mengalami peningkatan pada tahun 2006 karena kenaikan
harga bahan bakar minyak yang cukup tinggi.
12,29
14,55 14,4312,05
02468
10121416
2005 2006 2007 2008
169
Sumber : Bappeda Kab. Lebak, Tahun 2009
Gambar 31 Angka Garis Kemiskinan Manusia Kabupaten Lebak Tahun 2005-2008
Berbagai usaha pembangunan telah dilakukan oleh Kabupaten Lebak
dalam empat tahun terakhir baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sehingga angka kemiskinan telah menunjukan angka yang semakin menurun. Hal
tersebut terlihat pada tahun 2008 penduduk miskin telah berkurang sebanyak
13,33 persen, dari sebanyak 181.070 menjadi 156.940 penduduk.
Namun demikian, hal yang kini menjadi sorotan utama Kabupaten Lebak
adalah kondisi seluruh kecamatan yang masih berada pada kuadran daerah
tertinggal jika berdasarkan Tipologi Klassen. Menurunnya angka kemiskinan ini
belum tentu menjadi indikator utama meningkatnya kinerja pelayanan publik
pemerintah daerah, tetapi bisa menjadi bumerang bagi pemerintah daerah,
khususnya pembangunan modal manusia yakni pendidikan dan kesehatan. Karena
modal manusia ini adalah suatu pembangunan yang bersifat jangka panjang,
investasi yang baru akan terasa dampaknya setelah 10-20 tahun diberlakukannya
kebijakan.
UNDP (United Nations Development Programme) membentuk Indeks
Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index) sebagai tanggapan atas
ketidakpuasan ukuran kemiskinan dengan pendekatan besarnya pendapatan per
hari. Menurut pandangan UNDP, kemiskinan manusia harus diukur dalam satuan
hilangnya tiga hal utama, yakni kehidupan (lebih dari 30 persen penduduk negara-
negara yang paling miskin cenderung hidup kurang dari 40 tahun), pendidikan
dasar (diukur oleh persentase penduduk dewasa yang buta huruf) dan keseluruhan
ketetapan ekonomi (diukur oleh persentase penduduk yang tidak memiliki akses
119.757 125.277 129.911160.190
0
50.000
100.000
150.000
200.000
2005 2006 2007 2008
170
terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih ditambah persentase anak-anak
dibawah umur 5 tahun yang kekurangan berat badan).
Angka IKM menunjukan proporsi penduduk yang secara luas dipengaruhi
oleh hilangnya tiga hal utama yakni daya hidup, ilmu pengetahuan dan ketetapan
ekonomi. Angka IKM yang rendah berarti menunjukan hal yang baik. Rendahnya
IKM, berarti hal itu menunjukan sedikitnya persentase penduduk yang mengalami
kehilangan tiga hal mendasar dalam kehidupan. Sementara sebaliknya, IKM yang
tinggi menunjukan keadaan sebaliknya karena proporsi kehilangan lebih besar.
Indeks ini berlandaskan pada konsep derivasi, dimana kemiskinan dipandang
sebagai akibat tidak tersedianya kesempatan dan pilihan dalam kehidupan.
Pengukuran kemiskinan dari sudut pandang IKM seringkali lebih relevan
dibandingkan dengan kemiskinan dari sudut pandang pendapatan. Sehingga
mampu memberikan perhatian yang lebih fokus pada penyebab kemiskinan dan
secara langsung terkait dengan strategi pemberdayaan dan upaya-upaya lainnya
untuk meningkatkan kesempatan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Kemiskinan dari sudut pandang pendapatan yang dinyatakan dengan
dalam bentuk proporsi penduduk yang hidup di bwah garis kemiskinan (angka
kemiskinan) mengukur derivasi relatif pada standar kehidupan yang sudah
tercapai. Sedangkan IKM mengukur derivasi-derivasi yang dapat menghambat
kesempatan yang dimiliki penduduk untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Oleh karena itu, penggabungan antara kedua ukuran ini akan menghasilkan
gambaran menarik tentang kondisi kemiskinan.
Tabel 52 telah menyajikan komponen IKM Kabupaten Lebak tahun 2002
dan 2008 serta hasil perhitungannya. Berdasarkan hasil perhitungan terlihat bahwa
IKM Kabupaten Lebak tahun 2008 mengalami penurunan dari tahun 2002, yaitu
32,43 persen pada tahun 2002 menjadi 27,09 persen pada tahun 2008. Penurunan
angka IKM ini mengindikasikan meningkatnya kesejahteraan penduduk
Kabupaten Lebak pada beberapa tahun terakhir.
171
Tabel 44 IKM dan Komponennya Kabupaten lebak Tahun 2002 dan 2008 No. Komponen Ikm Tahun
2002 2008 1 % penduduk < 40 tahun 22.8 20.1 2 Angka Harapan Hidup 61.9 63.1 3 % Buta Huruf Dewasa 9.8 5.9 4 % Penduduk tanpa akses ke air bersih 65.2 54.9 5 % Penduduk tanpa akses ke Fasilitas Kesehatan 52.5 45.6 6 Balita Kurang Gizi 16.5 11
Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) 32.43 27.09 Sumber : Bappeda Kabupaten Lebak, Tahun 2009
Apabila diperhatikan masing-masing indikator pembentuk indeks
komposit IKM, tampak bahwa standar hidup layak masyarakat yang diukur
melalui tiga jenis variabel masih relatif rendah. Hal tersebut ditunjukan dengan
masih tingginya persentase penduduk yang berusia pendek yang meninggal
sebelum usia 40 tahun sebesar 20,1 persen, banyaknya penduduk yang belum
memiliki akses ke fasilitas air bersih sebesar lebih dari setengah penduduk
Kabupaten Lebak (54,9 persen) dan persentase penduduk yang jarak ke fasilitas
kesehatan lebih dari 5 kilometer (km) sebesar 45,6 persen. Namun trend
perkembangan tiap komponen pembentuk IKM dari tahun 2002 dan 2008
memperlihatkan perkembangan yang cukup baik dan menggembirakan, dimana
menandakan pesatnya perkembangan pembangunan di Kabupaten Lebak
berpengaruh terhadap tingkat kesejahteran penduduknya.
7.2.2 Indeks Williamson
Melalui pengunaan nilai PDRB per kapita, maka dapat diketahui kondisi
ketimpangan atau disparitas dalam suatu wilayah. Nilai PDRB per kapita dapat
digunakan untuk mendeskripsikan ketimpangan wilayah melalui alat berupa
Indeks Williamson. Kriteria pengukuran adalah : semakin besar nilai indeks yang
menunjukan variasi produksi antar wilayah, semakin besar pula tingkat perbedaan
ekonomi dari masing-masing wilayah dengan rata-ratanya, sebaliknya semakin
kecil nilai ini maka menunjukan kemerataan antar wilayah yang baik.
172
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010 Gambar 32 Perkembangan Indeks Williamson Kabupaten Lebak
Tahun 2005-2009
Berdasarkan perhitungan Indeks Williamson, disparitas pembangunan di
Kabupaten Lebak hingga tahun 2009 masih relatif tinggi. Saat terjadi krisis di
tahun 2008, angka disparitas di Kabupaten meningkat sangat tajam, yakni 0,711.
Hal ini disebabkan oleh ketidaksiapan kondisi wialayah dalam hal ini kecamatan
dalam menanggapi terjadinya krisis akibat dari ketergantungan yang sangat tinggi
terhadap sektor primer pertanian.
Tingginya angka disparitas Indeks Williamson ini konsisten dengan
kondisi umum wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten lebak. Dimana
pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita kecamatan-kecamatan sebagian besar
jauh di bawah rata-rata kecamatan. Hal itu mengindikasikan terjadinya disparitas
antar wilayah yang cukup mencolok, dimana satu kecamatan jauh tinggi
sedangkan kecamatan lainnya tetap tertinggal di belakang.
Angka disparitas yang tinggi ini dapat dikatakan sangat wajar bagi
kabupaten seperti Kabupaten Lebak. Karena secara geografis, Lebak memiliki
wilayah luas dengan tingkat keragaman wilayah yang sangat variatif. Setiap
wilayah kecamatan dikaruniai sumberdaya berbeda satu dengan lainnya, ada yang
berlimpah sumberdaya baik sumberdaya alami maupun buatan, sedangkan ada
wilayah lainnya yang kekurangan sumberdaya. Luasnya wilayah Lebak menjadi
kendala utama dalam proses pemerataan pembangunan. Kendala ini juga
ditambah dengan rendahnya aksesibilitas, sehingga mesin-mesin pertumbuhan
0,683 0,686
0,695
0,771
0,690
0,62
0,64
0,66
0,68
0,7
0,72
0,74
0,76
0,78
1 2 3 4 52009 2008 2007 2006 2005
173
seperti pemberdayaan masyarakat dalam mengolah sumberdaya pertanian yang
menjadi potensi utama terhambat karena sulitnya transportasi. Akibatnya, biaya
ekonomi dalam proses produksi menjadi sangat tinggi dan mengurangi
keuntungan. Kendala aksesibilitas dan luasnya wilayah ini juga menyebabkan
terbengkalainya wilayah-wilayah yang jaraknya sangat jauh dari ibukota
kabupaten sehingga beberapa wilayah di selatan kurang diperhatikan dan
pertumbuhan pun berjalan lambat.
Faktor lain penyebab disparitas adalah terjadinya pemusatan aktivitas
ekonomi di Rangkasbitung sebagai pusat pemerintahan dimana sektor industri dan
jasa berkembang pesat. Akibatnya terjadi mobilisasi sumberdaya alam maupun
sumberdaya manusia secara besar-besaran dari luar Rangkasbitung menuju
Rangkasbitung.
Penyebab disparitas pembangunan wilayah di Kabupaten Lebak tidak
terlepas oleh pengaruh yang besar dari faktor sosial ekonomi. Faktor sosial seperti
keterampilan, tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat yang rendah di luar
Kecamatan Rangkasbitung mengakibatkan rendahnya tingkat pendapatan.
Kemudian rendahnya pendapatan ini menurunkan kualitas kesejahteraan
masyarakat. Pada akhirnya ketiga hal tersebut selamanya menjadi lingkaran setan
yang membuat sebagian besar wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten Lebak
semakin tertinggal dan terbelakang.
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini menjadi perhatian yang
sangat khusus, baik sebagai objek utama penelitian maupun fokus kebijakan
Pemkab Lebak. Dari sisi kualitas kesehatan, di tahun 2008, angka harapan hidup
sebesar 63,12 tahun, masih di bawah rata-rata Banten yang telah mencapai 64,60
tahun. Indeks kelangsungan hidup pun masuh di bawah rata-rata Banten yang
telah mencapai 66,60, Kabupaten Lebak baru mencapai 63,60.
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia atau human resources
Kabupaten Lebak ini pun dilengkapi dengan rendahnya kualitas pendidikan
masyarakat yang diindikasikan dengan angka melek huruf dan rata-rata lama
sekolah. Angka melek huruf Kabupaten Lebak tahun 2008 adalah 94,10,
sedangkan pada tingkat Provinsi Banten sudah mencapai 95,60. Untuk rata-rata
lama sekolah, Kabupaten Lebak masih jauh di bawah rata-rata yakni 6,20 tahun,
174
sedangkan Provinsin Banten sudah mencapai 8,10 tahun. Tingginya angka rata-
rata lama sekolah Provinsi Banten ini tidak terlepas dari masukan angka yang
tinggi dari kabupaten dan kota yang telah maju seperti Kabupaten dan Kota
Tangerang serta Kota Serang dan Kota Cilegon.
Akibat dari rendahnya tingkat kelangsungan hidup, angka melek huruf dan
rata-rata lama sekolah yang di bawah rata-rata, maka IPM Kabupaten Lebak pun
masih di bahwa banten yakni 67,10 sedangkan Banten itu sendiri sebesar 69,70.
Ketertinggalan IPM pada tingkat kabupaten pun diturunkan pada tingkat
kecamatan, dimana tingkat kualitas kesehatan dan pendidikan kecamatan di luar
Rangkasbitung masih di bawah rata-rata. Pada akhirnya, tingkat sumberdaya
manusia ini kembali mempengaruhi pendapatan per kapita tiap kecamatan dan
tentu saja angka disparitas wilayah di Kabupaten Lebak yang ditunjukan dengan
Indeks Williamson yang tinggi selama lima tahun terakhir (2005-2009).
Tingginya angka Indeks Williamson juga dilengkapi dengan masih
tingginya indeks kemiskinan manusia. Jumlah penduduk miskin suatu wilayah
secara sederhana dapat menjelaskan terjadinya disparitas pada wilayah tersebut.
Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Lebak Tahun 2009 sebesar 12 persen,
kemudian angka disparitas sesuai dengan Indeks Williamson adalah 0,69.
7.2.3 Analisis Sumber Disparitas
Analisis sumber disparitas di Kabupaten Lebak memiliki beberapa faktor
yang diduga berpengaruh. Pertama adalah pertumbuhan PDRB yang merupakan
indikator tumbuh kembangnya suatu perekonomian. Kedua adalah IPM, dimana
IPM ini menjadi indikator tinggi atau rendahnya kualitas sumberdaya manusia.
Ketiga adalah rasio belanja infrastruktur umum, rasio ini menunjukan bagaimana
sikap pemerintah dalam mengalokasikan dananya untuk pembangunan
infrastruktur umum seperti jalan, jembatan, irigasi, sumberdaya air dan listrik.
Keempat adalah rasio belanja infrastruktur pendidikan yang menunjukan tingkat
belanja pemerintah dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur di bidang
pendidikan seperti gedung-gedung sekolah dan sarana pendukung infrastruktur
pendidikan lainnya. Kelima adalah rasio belanja infrastruktur kesehatan berupa
belanja pembangunan puskesmas, rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.
175
7.2.3.1 Pertumbuhan PDRB
Pertumbuhan PDRB diduga menjadi salah satu sumber disparitas
pembangunan wilayah di Kabupaten Lebak. Selama kurun waktu tujuh tahun,
pertumbuhan PDRB mengalami angka yang cukup flusktuatif. Angka
pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 2005, yakni mencapai angka 15,97,
sedangkan angka paling rendah didapat pada tahun 2009, yakni hanya mencapai
77,7 persen. Secara terperinci perkembangan dari tahun ke tahun dapat dilihat
pada gambar di bawah ini.
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
Gambar 33 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Lebak Tahun 2003-2009 (Persentase)
7.2.4 Pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia
Indeks Pembangunan Manusia merupakan alat untuk mengukur
pencapaian keberhasilan pembangunan manusia di suatu wilayah. Indeks
Pembangunan Manusia adalah indeks komposit yang merupakan rata-rata
gabungan tiga komponen penilai kualitas sumber daya manusia. Jika ketiga
komponen tersebut memiliki kualitas yang baik, maka secara otomatis sumber
daya manusianya memiliki kualitas yang baik pula. Masing-masing indeks dari
komponen IPM memperlihatkan seberapa besar tingkat pencapaian yang telah
dilakukan selama ini di bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Indeks
Pembangunan Manusia dianggap menjadi salah satu penyebab disparitas karena
dianggap mencerminkan kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten Lebak.
11,61
9,51
15,97
11,61
10,95
11,957,77
02468
1012141618
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
176
Sumberdaya manusia itu sendiri secara jangka panjang menjadi faktor yang
mempengaruhi tingkat kesejahteraan manusia di suatu wilayah.
IPM Kabupaten Lebak pada tahun 2008 mencapai 67,10 yang merupakan
rata-rata dari pencapaian indeks kelangsungan hidup/kesehatan (63,60), indeks
pengetahuan (76,51) dan indeks daya beli (61,30). Hal tersebut berarti pencapaian
pembangunan manusia di Kabupaten Lebak saat ini telah mencapai 67,10 persen
dari nilai maksimal. Dari tiga komponen penyusun IPM, terlihat jelas bahwa
pencapaian tertinggi didapat dari indeks pengetahuan. Indeks daya beli yang
merefleksikan kemampuan ekonomi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
konsumsinya memiliki pencapaian yang paling rendah. Namun rendahnya nilai
indeks daya beli ini memang secara umum juga terjadi di Provinsi Banten.
Dibandingkan pencapaian daerah-daerah lain di Provinsi Banten, IPM
Kabupaten Lebak dapat dikatakan masih tertinggal. IPM Provinsi Banten berada
pada level 69,70 yang berarti kabupaten/kota lain ada yang mencapai IPM di atas
angka 70%. Oleh karena itu masih banyak hal yang perlu dilakukan agar
pencapaian pembangunan manusia di Kabupaten Lebak dapat setara dengan
daerah lain di Provinsi Banten.
Sumber : Bappeda Kab. Lebak, Tahun 2010
Gambar 34 Grafik Pertumbuhan IPM Kabupaten Lebak Tahun 2002-2008
Bidang pendidikan atau pengetahuan yang terdiri dari angka melek huruf
dan rata-rata lama sekolah mempunyai nilai sebesar 76,51 yang berarti pencapaian
pembangunan bidang pendidikan pada tahun 2008 mencapai 76,51 persen dari
pencapaian yang diharapkan. Sumbangan terbesar indeks komponen pendidikan
0,12
-1,3
0,64 0,660,34
0,090,36
-1,5
-1
-0,5
0
0,5
1
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
177
berasal dari AMH yang mencapai 94,10 sedangkan indeks RLS hanya sebesar
41,33. Untuk sektor kesehatan yang diwakili indeks kelangsungan hidup,
Kabupaten Lebak baru mampu mencapai angka 63,60.
Selama kurun waktu tujuh tahun, perkembangan IPM di Kabupaten Lebak
mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. Angka terendah didapat pada tahun 2004
yakni turun sebesar -1,3 poin dari tahun sebelumnya. Namun meningkat kembali
pada tahun 2005 sebesar 0,64. Pada tahun-tahun berikutnya yakni tahun 2005
hingga 2008 IPM Lebak mengalami peningkatan yang cukup baik yakni berturut-
turut sebesar 0,66, 0,34, 0.09 dan 0,36.
7.2.5 Rasio Belanja Infrastruktur Umum
Rasio belanja insfrastruktur umum selama enam tahun terakhir cukup
fluktuatif, namun persentasenya beskisar tidak jauh dari angka 10 persen atau
rasio sebesar 0,1. Jumlah belanja infrastruktur umum pada tahun 2009 yang
tercantum dalam APBD adalah sejumlah Rp. 12.407.069.640 dari total APBD
sebesar Rp. 891.424.808.045. Sehingga rasio belanja infrastruktur umum tahun
2009 sebesar 0,113. Secara terperinci, perkembangan rasio belanja infrastruktur
umum Kabupaten Lebak selama kurun waktu 2003-2009 dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
Gambar 35 Grafik Perkembangan Rasio Belanja Infrastruktur Umum Kabupaten Lebak Tahun 2003-2009 (Persentase)
12,412,3
11,2
12,3
11,2
11,411,3
10,5
11,0
11,5
12,0
12,5
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
178
7.2.6 Rasio Belanja Infrastuktur Pendidikan
Rasio belanja infrastruktur pendidikan Pemerintah Kabupaten Lebak
masih belum memberikan belanja yang cukup dalam memenuhi kebutuhan
bangunan pendidikan, dimana pada tahun 2009 saja pemerintah hanya
memberikan 0,4 persen untuk keperluan belanja infrastruktur pendidikan. Hal
tersebut secara terperinci ditunjukan pada gambar di bawah ini yang menerangkan
perkembangan rasio belanja bidang pendidikan Kabupaten Lebak selama kurun
tahun 2003 sampai 2009.
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
Gambar 36 Grafik Perkembangan Rasio Belanja Infrastruktur Pendidikan Kabupaten Lebak Tahun 2003-2009 (Persentase)
7.2.7 Rasio Belanja Infrastruktur Kesehatan
Fasilitas kesehatan di Kabupaten Lebak dapat terbilang masih belum
mencukupi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Karena secara
ideal jarak terjauh masyarakat dalam menempuh fasilitas kesehatan adalah 5 km.
selain itu juga ditambah dengan rasio fasilitas kesehatan dan penduduk yang
belum mencapai titik minimum atau memenuhi standar pelayanan minimum.
0,25
0,28 0,31
0,22
0,3
0,38
0,49
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
179
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
Gambar 37 Grafik Perkembangan Rasio Belanja Infrastruktur Kesehatan Kabupaten Lebak Tahun 2003-2009 (Persentase)
Belum mencukupinya pelayanan tersebut tentu saja berkorelasi positif
dengan jumlah belanja yang dianggarkan pemerintah daerah. Dimana pada tahun
2009 saja rasio belanja untuk infrastruktur pelayanan kesehatan hanya 0,6 persen
dari tital APBD. Perkembangan rasio belanja infrastruktur kesehatan dalam tujuh
tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 38.
7.2.8 Estimasi Sumber-sumber Disparitas Pembangunan wilayah
Dalam pemodelan ekonometrika, terdapat beberapa faktor yang dianggap
menjadi sumber disparitas. Variabel-variabel yang diduga menjadi sumber
disparitas pembangunan wilayah adalah pertumbuhan PDRB (Y), pertumbuhan
IPM, rasio belanja insfrastuktur umum (RBIU), rasio belanja infrastruktur umum,
rasio belanja infrastuktur pendidikan (RBIP) dan rasio belanja infrastuktur
kesehatan (RBIK). Disparitas pembangunan wilayah akan menggunakan indikator
Indeks Williamson yang menunjukan disparitas atau ketimpangan dari sisi
pendapatan penduduk tiap kecamatan di Kabupaten Lebak. Adapun estimasi
pemodelan secara matematis dapat dilihat di bawah ini.
ln Iw = 1,30 – 0,00242 Yt – 0,00468 IPMt – 0,0225 RBIUt – 0,124 RBIPt + 0,0135 RBIKt
0,47 0,48
0,43
0,46 0,49
0,52
0,59
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
180
Keterangan : IWt : Indeks Williamson di Kabupaten Lebak pada Tahun ke-t Yt : Pertumbuhan PDRB di Kabupaten Lebak pada Tahun ke-t IPMt : Pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Lebak pada Tahun ke-t RBIUt : Rasio Belanja Infrastruktur Umum di Kab. Lebak pada Tahun ke-t RBIPt : Rasio Belanja Infrastruktur Pendidikan di Lebak pada Tahun ke-t RBIKt
Variabel
: Rasio Belanja Infrastruktur Kesehatan di Kab. Lebak pada Tahun ke-t Tabel 45 Analisis Ekonometrik Regresi Berganda Sumber Disparitas
Pembangunan Wilayah di Kabupaten Lebak Koefisien t-stat Prob (t-stat)
Constant 1,301 17,64 0,000 Laju PDRB - 0,00242 - 2,90 0.004
IPM - 0,00467 - 4,74 0.000 RBIU - 0,0225 - 6,26 0.000 RBIP - 0,124 - 3,29 0.001 RBIK 0,0135 1,06 0.291
R2 72,3 F-stat 158,05
Prob (F-stat) 0,000 Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2011
Berdasarkan hasil pengolahan data di atas, diperoleh bahwa nilai F-hitung
untuk model sumber disparitas pembangunan adalah 158,05. Jika dibandingkan
dengan nilai F-tabel pada tingkat signifikansi 5 persen (2,90), nilai F-hitung yang
diperoleh untuk model tersebut lebih besar dari ketiga tingkat signifikansi
tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan PDRB, IPM, rasio
belanja infrastruktur umum, rasio belanja infrastruktur pendidikan dan rasio
belanja infrastruktur kesehatan secara signifikan berpengaruh terhadap tingkat
disparitas yang dinilai melalui Indeks Williamson di Kabupaten Lebak.
Setelah diketahui bahwa terdapat variabel independen yang berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel dependen, maka dilakukan penyelidikan lebih
lanjut untuk mengetahui secara spesifik variabel manakah yang berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel dependen. Untuk pekerluan tersebut, dilakukan
pengujian koefisien regresi secara individual (testing individual coefficient).
Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel model ekonometrika, maka nilai thitung
dari pertumbuhan PDRB, pertumbuhan IPM, rasio belanja infrastruktur umum
dan rasio belanja infrastuktur pendidik lebih besar dari ttabel (t0,025) sebesar 2,571
sehingga berpengaruh secara siginifikan terhadap disparitas pembangunan
181
wilayah. Rasio belanja infrastruktur kesehatan tidak menjadi salah satu sumber
disparitas karena nilai thitung lebih kecil dari ttabel (t0,025
Rasio belanja infrasruktur umum menjadi salah satu sumber utama
terjadinya disparitas pembangunan wilayah. Infrastruktur umum yang dimaksud
adalah berupa jalan, jembatan, listrik, saluran irigasi dan sumberdaya air bersih.
).
Pada perhitungan model dapat diketahui bahwa variabel rasio belanja
infrastruktur pendidikan (RBIP) memberikan pengaruh paling besar terhadap
menurunnya angka disparitas, yakni 0,125. Karena model menggunakan ln, maka
hal tersebut mempunyai arti bahwa apabila terjadi peningkatan RBIP pada tingkat
kabupaten sebesar 1 persen, maka Indeks Williamson akan menurun sebesar
0,125. Variabel independent lainnya yang juga mempengaruhi penurunan Indeks
Williamson secara berturut-turut adalah RBIU (0,0225), pertumbuhan IPM
(0,00467) dan pertumbuhan PDRB (0,00242).
Analisis Sumber-sumber Disparitas Pembangunan wilayah
Pertumbuhan PDRB Kabupaten Lebak secara sisitematis akan ikut
menurunkan tingkat disparitas pembangunan wilayah (Indeks Williamson).
Ketimpangan proporsional pada PDRB per kapita secara signifikan menjadi salah
satu sumber ketimpangan pembangunan yang diukur dengan Indeks Williamson
di Kabupaten Lebak. Oleh karena itu, agar tingkat ketimpangan pembangunan
mampu ditekan sekecil mungkin, maka tidak ada langkah lain kecuali dengan
meningkatkan pertumbuhan PDRB dan juga memperkecil tingkat proporsional
pada PDRB per kapita tiap-tiap kecamatan di Kabupaten Lebak.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah dengan meningkatnya IPM
Kabupaten Lebak maka secara sisitematis akan menurunkan tingkat disparitas
pembangunan wilayah (Indeks Williamson). Pertumbuhan IPM ini secara
signifikan menjadi salah satu sumber terjadinya ketimpangan di Kabupaten
Lebak. Rendahnya angka IPM di Lebak menyebabkan tingginya tingkat disparitas
pembangunan wilayah. Oleh karena itu, agar angka disparitas menurun maka
langkah yang bisa diambil oleh Pemkab Lebak adalah dengan cara meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia yang dihitung melalui IPM. Bukan hanya kualitas
saja, namun penyebaran yang lebih merata kualitas manusia yang berdaya di
masing-masing kecamatan pun harus tetap diperhatikan.
182
Hubungan sebab akibat yang didapat adalah dengan adanya peningkatan rasio
belanja dalam infrastruktur umum, maka secara sisitematis akan menurunkan
tingkat disparitas pembangunan wilayah (Indeks Williamson). Dengan
pembangunan infrastruktur utama seperti jalan yang menghubungkan satu wilayah
dengan wilayah lainnya dalam lingkup Kabupaten Lebak akan menjadi stimulus
tak langsung proses pembangunan lokal. Membaiknya akses transportasi akan
memberikan dampak yang cukup baik terhadap perkembangan investasi di Lebak
khususnya di bagian selatan yang selama ini sulit dicapai. Tumbuhnya investasi
ini akan menjadi dorongan kuat dalam peningkatan kapasitas ekonomi lokal yang
selanjutnya mampu meningkatkan PDRB per kapita kecamatan.
Rasio belanja infrastruktur pendidikan (RBIP) Kabupaten Lebak menjadi
salah satu sumber utama terjadinya ketimpangan pembangunan. Dalam penjelasan
pada bab pelayanan publik pendidikan dapat terlihat bahwa terjadi rasio
perbandingan infrastruktur sekolah antara wilayah utara dengan selatan. Sehingga
agar mampu menekan tingkat disparitas, maka salah satu kebijakan yang dapat
dijalankan adalah dengan cara meningkatkan belanja di bidang infrastrktur
pendidikan di wilayah-wilayah yang hingga saat ini benar-benar memerlukan
bantuan dan tambahan bangunan sekolah.
Rsio belanja infrastruktur kesehatan tidak berpengaruh nyata terhadap
tingkat diaparitas pembangunan wilayah yang diukur dengan Indeks Williamson
tingkat Kabupaten Lebak, sehingga rasio belanja infrastruktur di bidang kesehatan
merupakan bukan sumber utama terjadinya ketimpangan pembangunan di
Kabupaten Lebak.
Pada hasil perhitungan dari pemodelan sumber-sumber disparitas terlihat
bahwa rasio belanja infrastruktur umum dan pendidikan mampu menurunkan
angka disparitas. Hasil ini berhubungan erat dengan pembahasan sebelumnya
terkait dengan pengaruh pelayanan publik terhadap IPM. Hubungan yang terlihat
adalah dengan meningkatkan rasio bangunan sekolah pada pemodelan maka akan
meningkatkan rasio belanja infrastruktur, selanjutnya peningkatan insfrastruktur
ini akan menurunkan tingkat disparitas. Alokasi anggaran yang lebih tepat
seharusnya dapat diberikan kepada kecamatan-kecamatan dengan IPM rendah dan
rasio infrastruktur rendah.
183
7.3 Keterkaitan Kualitas Sumberdaya Manusia, Struktur Ekonomi dan
Disparitas Pembangunan Wilayah
Pelayanan publik di Kabupaten Lebak memiliki keterkaitan yang sangat
erat dengan kualitas sumberdaya manusia yang ada. Kenyataan yang terjadi
menerangkan bahwa pelayanan publik dalam bidang pendidikan dan kesehatan
masih di bawah rata-rata. Masih banyak kekurangan dalam hal insfrastruktur dan
juga tenaga pelayan baik tenaga pendidik maupun tenaga kesehatan. Selain itu,
apabila ditinjau dari sisi penilaian sikap masyarakat, kinerja pelayanan publik
pendidikan dan kesehatan masih kurang memuaskan. Akibatnya, IPM Lebak
hingga tahun 2008 masih di bawah rata-rata Provinsi Banten, yakni 67,10 dengan
usia harapan hidup 63 tahun dan rata-rata lama sekolah 6,2 tahun atau setingkat
sekolah dasar. Setelah dianalisis dengan pemodelan ekonometrika, kualitas
sumberdaya manusia yang ditunjukan oleh IPM ini dipengaruhi oleh rasio
bangunan dan guru SD, SMP dan SMA. Dari keenam faktor tersebut, terdapat tiga
faktor yang secara positif ikut meningkatkan IPM yakni rasio bangunan SD dan
SMP serta rasio guru SD. IPM tersebut juga dipengaruhi oleh pelayanan
kesehatan berupa rasio bangunan puskesmas, puskesmas pembantu, rumah sakit,
dokter, perawat dan bidan, namun faktor yang secara positif meningkatkan IPM di
Kabupaten Lebak adalah rasio puskesmas, rumah sakit, dokter dan bidan.
Keterkaitan selanjutnya dalam penelitan adalah antara kualitas sumberdaya
manusia itu sendiri terhadap struktur perekonomian dan tingkat disparitas di
Kabupaten Lebak. Kondisi umum sumberdaya manusia yang dirujuk berdasarkan
angka IPM ini memberikan warna tersendiri yang cukup khas terhadap struktur
ekonomi wilayah. Hingga tahun 2009, PDRB Kabupaten Lebak sebesar 7,3 triliun
rupiah dengan rata-rata per kapita 5,8 juta per tahun. Angka PDRB per kapita
Lebak termasuk di bawah rata-rata apabila dibandingkan denga standar
penghasilan menurut World Bank yang mengharuskan seorang berpenghasilan
sebesar Rp. 20.000 per hari atau setara dengan 7,2 juta per tahun. Rendahnya
penghasilan penduduk Lebak sangatlah wajar, karena hal tersebut disebabkan oleh
rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Rendahnya tingkat pendidikan akan
menyebabkan penduduk sulit untuk mencari pekerjaan yang ber-salary tinggi,
pilihan untuk mencapai penghidupan yang layak pun mau tak mau ikut terbatas.
184
Sama halnya dengan tingkat kesehatan yang rendah, ikut menyumbangkan
produktivitas pekerja yang kurang optimal. Alhasil, pendapatan per kapita
penduduk pun masih di bawah rata-rata standar internasional. Selain itu, kondisi
PDRB tersebut ikut mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi, dimana dalam
lima tahun terakhir, laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lebak mengalami tren
pertumbuhan yang negatif, di tahun 2009 LPE lebak sebesar 7,7 persen.
Dengan kondisi sumberdaya manusia yang secara pendidikan setingkat
dengan sekolah dasar, maka hal tersebut cukup mempengaruhi sebaran tenaga
kerja yang ada di Lebak. Tenaga kerja yang ada sebagian besar menempati sektor-
sektor primer. Hal tersebut terlihat dari analisis Location Quotient yang
menerangkan bahwa terdapat enam sektor yang menjadi basis seperti pertanian,
jasa-jasa, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan dan konstruksi, keungan,
sewa dan jasa perusahaan, serta pertambangan dan penggalian. Di antara beberapa
sektor basis tersebut yang masih paling dominan adalah pertanian primer. Hal ini
menunjukan bahwa ciri-ciri karakteristik penduduk Lebak yang masih memiliki
level pendidikan cukup rendah, sehingga sektor yang paling banyak memberikan
sumbangan adalah pertanian primer, dimana menyumbangankan angka 38 persen
terhadap PDRB Lebak di tahun 2009.
Kaitan lainnya antara kualitas sumberdaya manusia dengan struktur
ekonomi dapat dilihat pada keragaan struktur perekonomian yang dianalisis
menggunakan Tipologi Klassen. Dengan tingkat sumberdaya manusia Kabupaten
Lebak yang ada saat ini, berdasarkan hasil dari analisis Tipologi Klassen dapat
dijelaskan bahwa hampir 80-90 persen kecamatan di Lebak termasuk dalam
daerah yang relatif tertinggal. Pada tahun 2009, sebanyak 26 kecamatan dari total
28 kecamatan termasuk ke dalam daerah yang relatif tertinggal. Hanya ada dua
kecamatan yang cukup baik, itu pun termasuk ke dalam daerah yang relatif
tertekan karena memiliki pendapatan tinggi namun pertumbuhan rendah, yakni
Kecamatan Rangkasbitung dan Kalang Anyar. Khusus Kalang Anyar, walaupun
termasuk ke dalam wilayah dengan pendapatan tinggi namun pertumbuhan
rendah, namun pada hakikatnya kecamatan ini sebelumnya adalah bagian dari
Rangkasbitung sebelum memekarkan diri pada tahun 2007. Status ketertinggalan
185
wilayah ini menandakan bahwa sebagian besar wilayah di Lebak memiliki angka
pendapatan yang relatif rendah dengan pertumbuhan yang rendah pula.
Kualitas sumberdaya manusia juga selanjutnya akan mempengaruhi
tingkat kesejahteraan melalui Indeks Kemiskinan Manusia. Jumlah penduduk
miskin Kabupaten Lebak pada tahun 2008 masih tergolong sangat tinggi yakni
sebanyak 156.940 jiwa atau setara dengan 12,05 persen dari total penduduk.
Angka penduduk miskin di Lebak ini disebabkan oleh sebagian besar penduduk
yang masih memiliki tingkat pendidikan rendah, akibatnya mereka kesulitan
untuk bisa mendapatakan pekerjaan yang layak. Dengan pekerjaan yang kurang
layak seperti buruh kasar atau buruh tani, maka penghasilan mereka pun cukup
rendah. Dengan rendahnya penghasilan mereka akan kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan sebagian besar penghasilan tersebut hanya bisa digunakan
untuk kebutuhan-kebutuhan dasar saja. Garis kemiskinan penduduk Lebak di
tahun 2009 telah mencapai angka Rp. 160.190. Angka tersebut dapat
diterjemahkan bahwa penduduk yang memiliki penghasilan per bulan lebih kecil
dari Rp. 160.190 akan termasuk ke dalam penduduk miskin.
Keterkaitan terakhir adalah hubungan antara pengaruh kualitas
sumberdaya manusia yang dilihat dari IPM terhadap angka Indeks Williamson.
Selama lima tahun terakhir, Indeks Williamson mengalami angka yang fluktuatif,
namun apabila diambil garis regresi, angka tersebut cenderung mengalami
peningkatan. Di tahun 2009 angka disparitas masih sangat tinggi yakni 0,69,
sedangkan pada tahun 2008 angka tersebut jauh lebih tinggi yakni 0,77 karena
dampak dari krisis ekonomi global yang berimbas pada perekonomian daerah.
Berdasarkan perhitungan dari analisis regresi berganda, didapatkan bahwa angka
perkembangan IPM signifikan menjadi sumber disparitas di Lebak. Meningkatnya
IPM akan menurunkan angka disparitas pembangunan wilayah (Indeks
Williamson) di Kabupaten Lebak. Beberapa faktor lain yang juga ternyata
menjadi sumber disparitas dan apabila meningkat akan menurunkan menurunkan
angka disparitas adalah pertumbuhan PDRB, rasio belanja infrastruktur umum,
dan pendidikan.
Pengaruh negatif dari faktor-faktor indikator pembangunan yang
seharusnya diprediksi mampu menurunkan angka disparitas adalah fenomena
186
yang sangat wajar. Hal tersebut disebabkan karena proses pembangunan yang
telah dilaksanakan selama ini masih belum merata. Dimana wilayah yang lebih
banyak mendapatkan perhatian adalah wilayah utara, sedangkan wilayah di
selatan masih belum mendapatkan porsi yang seharusnya. Akibatnya,
pembangunan yang dilaksanakan justru hanya akan memperlebar jurang pemisah
antara wilayah utara dengan selatan, atau dengan kata lain angka disparitas akan
semakin meningkat. Oleh karena itu, agar mampu menurunkan angka disparitas
pembangunan, maka langkah utama yang harus dijalankan adalah segera
mengimplemetasikan pemerataan pembangunan. Wilayah utara dan selatan harus
dibanguan sebagaimana porsinya.
Dengan diketahuinya peran IPM terhadap perkembangan perekonomian
Lebak seharusnya pemerintah segara melakukan langkah-langkah strategis untuk
meningkatkan IPM. Tentu saja, meningkatnya kualitas sumberdaya manusia
tersebut akan memberikan dampak turunan atau lebih popular disebut dengan
multiplier effect terhadap perkembangan pembangunan daerah, khususnya di
Kabupaten Lebak yang tengah berbenah dan berhias diri agar mampu bangkit dari
keterpurukan.
187
BAB VIII
STRATEGI ALTERNATIF KEBIJAKAN
Strategi alternatif kebijakan terbagi dalam tiga tahap, yakni tahap input,
tahap pemaduan dan tahap keputusan. Pertama, tahap input merupakan tahap awal
dalam kerangka kerja perumusan strategi. Pada tahap ini, hasil audit lingkungan
internal dan eksternal Kabupaten Lebak dikembangkan untuk menyusun matriks
IFE dan EFE. Kedua, tahap pemaduan menggunakan informasi yang diturunkan
dari tahap input untuk mencocokan peluang dan ancaman eksternal dengan
kekuatan dan kelemahan internal. Pemaduan faktor-faktor strategis ini merupakan
kunci untuk menghasilkan alternatif strategi yang layak dan kelak memberikan
perkembangan positif dalam pembangunan wilayah yang terdesentralisir di
Kabupaten Lebak. Tahapan ini akan menggunakan analisis yang sering disebut
dengan analisis SWOT.
Langkah selanjutnya dalam perumusan strategi alternatif adalah tahap
keputusan dengan analisis QSPM. Dengan QSPM ini akan ditentukan peringkat
strategi sebagai acuan prioritas strategi yang akan diimplementasikan. Penentuan
peringkat ini merupakan tahapan akhir dalam perumusan strategi alternatif
kebijakan pembangunan. Penentuan peringkat ini dilakukan dengan pemberian
daya tarik relatif strategi-strategi yang telah dihasilkan oleh analisis SWOT
dengan menggunakan analisa Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM).
Dengan adanya pembobotan nilai sesuai dengan penilaian stakeholder tersebut
diharapkan kebijakan alternatif yang didapat pun memiliki tingkat efektifitas lebih
baik dalam melakukan perbaikan pembangunan.
8.1 Analisis Matriks IFE (Internal Factor Evaluation )
Analisis matriks IFE dan EFE dilakukan untuk mengkuantifikasi secara
subjektif faktor-faktor strategis internal dan eksternal. Faktor-faktor strategis
tersebut kemudian diberi rating dan bobot oleh responden yang dianggap memiliki
banyak pengetahuan tentang kondisi pelayanan publik pendidikan dan kesehatan
di Kabupaten Lebak, sehingga alternatif kebijakan diharapkan akan lebih tajam
dan mengenai terhadap permasalahan utama di Kabupaten Lebak.
188
Total skor IFE menurut perhitungan adalah sebesar 2,079. Angka ini
menunjukan bahwa Kabupaten Lebak memiliki kondisi dan kemampuan internal
yang rata-rata dalam memanfaatkan kekuatan dan mengatasi kelemahan. Dengan
kondisi ini Lebak sebetulnya mempunyai potensi yang cukup besar untuk bisa
mengatasi segala kendala yang ada baik dalam hal pengembangan sumberdaya
manusia sesuai dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki.
Berdasarkan hasil pengolahan kuesioner dan wawancara yang dilakukan
terhadap stakeholder, maka dapat diketahui beberapa faktor-faktor strategis
internal utama yang berpengaruh di Kabupaten Lebak. Tiga kekuatan utama yang
memiliki nilai tertinggi adalah Kabupaten Lebak memiliki potensi yang cukup
besar dalam sektor pertanian, perikanan dan perkebunan (0,243), terdapat enam
sektor utama yang menjadi sektor basis di Kabupaten Lebak (0,238) dan industri
pengolahan dan perdagangan mulai meningkat aktivitas dan distribusinya
terhadap PDRB (0,191). Pada sisi lainnya, terdapat tiga faktor kelamahan utama
yakni baru terpenuhinya 60 persen wilayah yang telah tersedia energi listrik PLN
(0,148) lalu kemudian disusul oleh tingginya angak disparitas pembangunan
wilayah yang ditunjukan oleh Indeks Wiliamson dan hampir 90 persen wilayah
termasuk ke dalam daerah yang relatif tertinggal (0,137), dan aksesibilitas
transportasi terkendala dengan rusaknya jalan utama (0,122).
Kekuatan internal mengenai Kabupaten Lebak memiliki potensi yang
cukup besar dalam sektor pertanian, perikanan dan perkebunan mendapatkan skor
yang cukup besar sangatlah wajar. Karena hingga tahun 2009, distribusi sektor
pertanian terhadap PDRB masih sangat tinggi, yakni 38 persen. Secara geografis,
kondisi tanah Lebak sangat cocok untuk berbagai pengembangan komoditas
pertanian unggulan, mulai dari tanaman utama, hortikultura hingga tanaman
perkebunan. Selain itu, dalam RPJMD Lebak, pertanian memang telah dijadikan
sebagai salah satu platform pembangunan.
189
Tabel 46 Matriks IFE Pembangunan Wilayah Sumberdaya Manusia Kabupaten Lebak Tahun 2010
No Faktor Strategis Internal
Bobot (A)
Rating (B)
Skor (AxB)
Kekuatan
1 Kabupaten lebak memiliki potensi yang cukup besar dalam sektor pertanian, perikanan dan perkebunan
0.064 3.8 0.2432
2 Adanya beasiswa khusus bagi mahasiswa berprestasi, khususnya mahasiswa kedokteran di universitas negeri
0.069 2.4 0.1656
3 Industri pengolahan dan perdagangan mulai meningkat aktivitas dan distribusinya terhadap PDRB
0.053 3.6 0.1908
4
Terdapat enam sektor utama yang menjadi sektor basis di kabupaten lebak, yakni pertanian, jasa-jasa, perdagangan, bangunan/konstruksi, keuangan, dan pertambangan/penggalian
0.068 3.5 0.238
5 Fokus utama Pemerintah daerah Kabupaten Lebak dalam bidang pendidikan dan kesehatan tercantum dalam RPJMD
0.058 2.3 0.1334
Kelemahan
1 IPM Kabupaten Lebak masih di bawah rata-rata Provinsi Banten 0.052 2 0.104
2
Kualitas dan kuantitas tenaga kependidikan dan kesehatan yang belum memenuhi standar pelayanan minimal seperti guru, dokter, bidan dan perawat
0.057 1.8 0.1026
3 Fasilitas Bangunan sektor pendidikan dan kesehatan belum memberikan pelayanan yang optimal
0.064 1.6 0.1024
4 Belum terpenuhinya sarana-prasarana pendukung kegiatan belajar dan pelayanan kesehatan
0.078 1.3 0.1014
5 Aksesibilitas transportasi terkendala dengan rusaknya jalan utama 0.061 2 0.122
6 Baru 60 persen wilayah yang telah tersedia energi listrik (PLN) 0.087 1.7 0.1479
7
Tingginya angka disparitas Pembangunan wilayah yang ditunjukan oleh Indeks Williamson dan 90 persen wilayah termasuk ke dalam daerah yang relatif tertinggal
0.076 1.8 0.1368
8 Tingginya angka kemiskinan yang ditunjukan oleh Indeks Kemiskinan Manusia 0.065 1.2 0.078
9 Rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap performance pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan
0.063 1.9 0.1197
10 Rendahnya pendapatan per kapita penduduk dan laju pertumbuhan ekonomi 0.085 1.1 0.0935
Total Keseluruhan 1 2.0793 Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
190
Dalam perhitungan IFE ini, Lebak memiliki paling banyak kelemahan,
dimana yang sebetulnya menjadi dalah satu permasalah yang cukup pelik adalah
rendahnya angka IPM Lebak. Dari tahun ke tahun IPM Lebak selalu tertinggal
dan hampir dipastikan menempati posisi juru kunci apabila dibandingkan dengan
kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten. Rendahnya IPM ini pun menempati
posisi kelima dalam perhitungan matriks IFE, hal tersebut menunjukan bahwa
pembangunan sumberdaya manusia di Lebak memang belum berjalan
sebagaimana mestinya. Pelayanan baik dari sisi fasilitas bangunan maupun
aparatur publik yang memberikan pelayanan masih belum memberikan pelayanan
yang optimal, sehingga kualitas sumberdaya manusia di Lebak cenderung
tertinggal dari wilayah lain.
Kondisi yang cukup memprihatinkan tentu saja tingginya angka
kemiskinan yang ditunjukan oleh Indeks Kemiskinan Manusia. Hingga tahun
2008, jumlah penduduk miskin masih di atas 10 persen. Penilaian kuesioner pun
menempatkan faktor ini sebagai kelemahan yang menempati posisi terakhir. Hal
ini menunjukan bahwa pemerintah masih belum serius dalam menangani
permasalahan penduduk miskin. Selain itu, kondisi ini juga mencitrakan bahwa
pendapatan masyarakat masih cukup rendah dan belum tersedianya lapangan
pekerjaan baru yang mampu menyerap banyak tenaga kerja, sehingga pada
akhirnya akan mampu menekan jumlah penduduk miskin.
Kekuatan internal yang memiliki skor terkecil menurut matriks IFE adalah
fokus utama Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dalam bidang pendidikan dan
kesehatan. Kekuatan internal ini pada dasarnya merupakan kekuatan utama karena
terkait dengan kebijakan pemerintah yang mendukung program peningkatan
kualitas sumberdaya manusia. Oleh karena itu pemerintah daerah seharusnya
kembali mefokuskan diri dalam mengembangkan sumberdaya manusia agar
secara jangka panjang akan meningkatkan tingkat kesejahteraan. Implemetasi
kebijakan dalam RPJMD tentu saja akan menjadi solusi konstruktif dalam
peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang terlihat dalam IPM Kabupaten
Lebak.
191
8.2 Analisis Matriks EFE (External Factor Evaluation)
Total skor IFE menurut perhitungan adalah sebesar 2,392. Angka ini
menunjukan bahwa Kabupaten Lebak memiliki kondisi dan kemampuan internal
yang sedang dalam memanfaatkan peluang dan mengatasi ancaman. Keadaan
yang ditunjukan oleh mastriks IFE tentu saja memberikan banyak peluang bagi
Lebak agar bisa meningkatkan secara signifikan kualitas sumberdaya manusia
yang adal. Begitu pula dengan ancaman yang ada masih bersifat klasik dan hampir
terjadi pada seluruh wilayah lainnya di luar Lebak, seharusnya Lebak bisa lebih
banyak belajar dari tempat lain agar mampu mengatasi ancaman tersebut.
Tabel 47 Matriks IFE Pembangunan Wilayah Sumberdaya Manusia Kabupaten Lebak Tahun 2010
No Faktor Strategis Eksternal
Bobot (A)
Rating (B)
Skor (AxB)
Peluang
1 Adanya program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 0.083 3.6 0.2988
2 Jaminan kesehatan masyarakat miskin 0.092 3.9 0.3588
3 Peluang block grand pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan dari pemerintah pusat 0.091 3.2 0.2912
4 Kerjasama dengan pihak swasta/investor dalam mengambangkan industri pengolahan 0.088 2.9 0.2552
5 Program bantuan pengentasan masyarakat miskin 0.099 2.6 0.2574
6 Tingginya permintaan terhadap komoditas pertanian dan hasil olahannya 0.081 3.4 0.2754
Ancaman 1 Dampak perekonomian global 0.097 1.7 0.1649
2
Diskoordinasi program perencanaan pembangunan dengan kabupaten yang berhubungan erat secara spasial dengan Kabupaten Lebak
0.094 1.2 0.1128
3 Bencana alam potensial (tsunami, gempa bumi, banjir, longsor, dll) 0.089 1.1 0.0979
4 persaingan antar daerah dalam menghasilkan komoditas pertanian maupun bahan olahan 0.092 1.4 0.1288
5 Kendala investasi yang masih rendah 0.094 1.6 0.1504 Total Keseluruhan 1 2.3916
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010
Berdasarkan hasil pengolahan kuesioner dan wawancara yang dilakukan
terhadap stakeholder, maka dapat diketahui beberapa faktor-faktor strategis
internal utama yang berpengaruh di Kabupaten Lebak. Lebak memiliki tiga
peluang utama yang memiliki nilai tertinggi adalah jaminan kesehatan masyarakat
miskin (0,3588), adanya program bantuan operasional sekolah (0,299) dan
192
banyaknya peluang block grand pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan
dari pemerintah pusat (0,291). Pada sisi lainnya, terdapat tiga faktor ancaman
utama yakni dampak perekonomian global (0,165), kendala investasi yang masih
rendah (0,150) dan adanya persaingan antar daerah dalam menghasilkan
komoditas pertanian maupun bahan olahan (0,123).
Peluang utama dari faktor strategis berupa jaminan kesehatan masyarakat
miskin merupakan faktor yang sangat tepat dalam meningkatkan tingkat kesehatan
masyarakat. Dampak lanjutannya tentu akan meningkatkan IPM kabupaten secara
jangka panjang. Dengan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin ini akan
sangat bermanfaat bagi masyarakat level bawah. Karena justru masalah utama dari
masyarakat menengah ke bawah ini adalah akses mereka terhadap pelayanan
kesehatan. Sudah diketahui bersama bahwa biaya untuk bisa mendapatkan
pelayanan kesehatan sangat tinggi dan akhirnya sulit diakses oleh masyarakat
yang kurang mampu.
Sama halnya dengan peluang adanya program bantuan operasional sekolah
yang memberikan banyak manfaat. Bantuan operasional sekolah ini khusus
diberikan untuk sekolah dasar dan menengah pertama. Dimana dengan adanya
BOS, sekolah dasar dan sekolah menengah pertama akan diberikan pelayanan
secara gratis kepada seluruh masyarakat. Program ini tentu akan mampu
menstimulus jumlah peserta didik. Karena masyarakat yang sebelumnya kesulitan
untuk mengkases layanan pendidikan akan dipermudah karena akan dibebaskan
biaya pendidikan hingga sekolah menengah pertama. Selanjutnya, apabila
program ini berjalan dengan sukses, tentu akan ikut meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia yang terlihat pada angka IPM Kabupaten Lebak.
Kendala ancaman yang selama ini dihadapi oleh Kabupaten Lebak adalah
dampak dari perekonomian global. Sistem perekonomian global ini menjadi
momok ancaman yang sangat meresahkan masyarakat. Karena naik turunnya
perekonomian dunia akan berpengaruh langsung padi tingkat harga baik harga
ongkos produksi maupun harga jual komoditas. Kejadian menurun laju
perekonomian secara drastis pada beberapa kecamatan di tahun 2008 bukan lain
disebabkan oleh menurunnya perekonomian global atau saat itu terjadi depresi
ekonomi secara internasional. Akibatnya wilayah yang menggantungkan hidupnya
193
pada sektor-sektor pimer mengalami dampak negatif yang luar biasa. Akibatnya,
laju pertumbuhan ekonomi turun secara drastis dengan angka minus di atas 20
persen dan angka disparitas semakin meningkat hampir mencapai angka 0,8.
Pada konteks lainnya, Lebak bukan berarti sama sekali tertutup peluang
untuk bisa menghadapai segala macam ancaman yang menyulitkan. Kenyataanya,
Kabupaten Lebak memiliki satu peluang yang sangat bagus dan dalam
perhitungan EFE mendapatkan angka yang paling kecil, yakni peluang dalam
kerjasama dengan pihak swasta/investor dalam pengembangan industri
pengolahan. Kerjasama dalam pengembangan industri pengolahan berbasis
kearifan lokal ini akan menjadi faktor yang cukup besar dalam meningkatkan
perekonomian daerah. Dalam satu hal akan meningkatkan nilai tambah dan pada
hal lainnya akan menyerap tenaga kerja daerah.
8.2.1 Analisis Matriks I-E (Internal-External)
Hasil analisis matriks IE diperoleh dari pemetaan skor total IFE dan skor
total EFE pada matriks IE. Total skor IFE yang diperoleh adalah sebesar 2,078
dan skor total untuk EFE sebesar 2,392. Total skor IFE diletakan pada sumbu x
(horizontal) dan total skor EFE pada sumbu y (vertikal). Hasil pemetaan kedua
skor tersebut menghasilkan infornasi penting berupa posisi Kabupaten Lebak ada
pada sel (kuadran) ke V. Arti penting berupa posisi di sel ke V tersebut
menunjukan bahwa Kabupaten Lebak ada pada posisi jaga dan pertahankan (hold
dan maintain). Segala kekuatan dan kelemahan pada internal serta peluang dan
ancaman pada eksternal harus disikapi dengan seksama dan mampu menjaga itu
semua. Tujuan utamanya tentu saja agar mampu mempercepat proses
desentralisasi pembangunan dimana akan meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia dan akhirnya meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat
Kabupaten Lebak itu sendiri. Adapun hasil dari analisis matriks IE dapat dilihat
pada gambar di bawah ini.
194
Total Rata-rata Tertimbang IFE
Kuat (3,00-4,0) Rata-rata (2,0-2,99) Lemah (1,0-1,99)
4,0 2,0 3,0 1,0
Tota
l Rat
a-ra
ta T
ertim
bang
EFE
Tinggi (3,00-4,0)
4,0
I II
II
Sedang (2,0-2,99)
2,0
IV V VI
Lemah (1,0-1,99)
3,0
VII VIII IX
1,0
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010 Gambar 38 Hasil Analisis Matriks Internal-Eksternal (I-E) Pembangunan
Sumberdaya Manusia di Kabupaten lebak
Berdasarkan hasil analisis di atas, formasi kondisi pembangunan
sumberdaya manusia berada pada sel ke V, artinya juga Kabupaten Lebak berada
pada kondisi internal rata-rata dan respon terhadap faktor-faktor eksternal yang
dihadapi tergolong sedang. Pemerintah Kabupaten Lebak diharapkan semakin
sensitif dan proaktif dalam memberikan respon terhadap faktor-faktor strategis
eksternal dan semakin berupaya memperkuat potensi kekuatan internalnya.
Strategi dan kebijakan yang sedang dijalankan harus bisa terus dievaluasi dan
diperbaiki sehingga mampu mengekstraksi kebijakan yang tepat guna dan
mengakselerasi proses desentralisasi pembangunan di Kabupaten Lebak. Di saat
yang akan mendatang, diharapkan posisi Kabupaten Lebak dapat terus bergerak
menuju ke sel II, IV dan kemudian puncaknya pada sel ke-I, yang berarti faktor-
faktor strategis internal maupun eksternal sama-sama dalam kondisi kuat.
8.2.2 Analisis SWOT
Strategi alternatif pengembangan human resources atau sumberdaya
manusia wilayah tertinggal di Kabupaten Lebak akan menggunakan analisis
SWOT. Melalui analisis SWOT ini, akan dianalisis beberapa akar utama
permasalahan yang terjadi dan solusi penyelesaian. Dimana pada intinya, SWOT
195
ini menganalisis faktor internal dan eksternal, baik yang positif maupun negatif
dalam proses pembangunan wilayah.
Berdasarkan analisis SWOT, maka akan mengevaluasi secara kualitatif
berdasarkan data yang tersedia berupa Strengths (kekuatan), Weaknesses
(kelemahan), Opportunities (kesempatan) dan Threats (peluang) pembangunan
sumberdaya manusia di Kabupaten Lebak. Analisis SWOT tersebut dibentuk
berdasarkan pertimbangan atas matriks IFE dan EFE yang terdiri dari empat
strategi yakni S-O (Strengths-Opportunities), W-O (Weaknesses-Opprtunities),
S-T (Strengths-Threats) dan yang keempat adalah strategi W-T (Weaknesses-
Threats).
8.2.2.1 Strategi Strengths-Opportunities (S-O)
Strategi S-O bagi Kabupaten Lebak dirumuskan dengan memperhitungkan
kekuatan internal seperti terdapat pada hasil analisis IFE untuk memanfaatkan
peluang eksternal yang terdapat pada hasil analisis EFE. Adapun hasil alternatif
strategi adalah sebagai berikut :
1. Perancangan program agroindustri agar mampu meningkatkan nilai tambah
produksi komoditas pertanian, perikanan dan perkebunan dengan sinergisasi
investasi yang saling menguntungkan.
2. Pembinaan siswa dan mahasiswa berprestasi agar diarahkan untuk mengenyam
pendidikan yang erat hubungannya dengan tenaga pendidik dan kesehatan
3. Lebak seharusnya memiliki komoditas unggulan yang bisa menjadi icon dan
pondasi utama pembangunan ekonomi.
4. Implementasi dan evaluasi RPJMD khususnya yang berfokus pada
pembangunan pendidikan dan kesehatan
8.2.2.2 Strategi Weaknesses-Opportunities (W-O)
Berbagai kelemahan internal Kabupaten Lebak dapat ditangani dengan
memanfaatkan peluang eksternal yang telah tersedia, sehingga akan tercipta
strategi dalam menangani kelemahan tersebut agar wilayah mampu berkembang
lebih cepat. Kelemahan internal Kabupaten merupakan suatu faktor bahan
evaluasi untuk kemudian bisa diperbaiki ke depannya, walaupun dengan proses
196
yang terbilang tidak mudah, namun tetap mungkin untuk dilakukan. Hal tersebut
dapat diwujudkan melalui strategi berikut ini :
1. Optimalisasi bantuan operasioanal sekolah agar bisa meningkatkan rata-rata
lama sekolah
2. Pendataan kembali masyarakat miskin agar jaminan kesehatan masyarakat
miskin mampu terdistribusi dengan baik
3. Memberikan dorongan kepada sekolah-sekolah dan dinas kesehatan agar bisa
mendapatkan bantuan block grand fasilitas pendidikan dan kesehatan
4. Menurunkan angka kemiskinan dengan program pembinaan kelompok
mandiri
5. Memperluas jaringan listrik hingga pelosok daerah yang belum terjangkau
6. Memperbaiki aksesibilitas transportasi jalan darat agar mampu meningkatkan
minat investasi dan merangsang aktivitas perekonomian lainnya antar wilayah
di Lebak
7. Melakukan rekrutmen pegawai pendidikan dan kesehatan, khususnya untuk
wilayah-wilayah yang relatif masih kekurangan sumberdaya tenaga pengajar
dan kesehatan
8. Peningkatan kapasitas profesionalisme aparatur guna meningkatkan mutu
pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan
8.2.2.3 Strategi Strengths-Threats (S-T)
Sejumlah ancaman yang dihadapi Kabupaten Lebak dapat dihindari atau
minimal mampu dikurangi dengan upaya memanfaatkan kekuatan internal yang
telah dimiliki. Jadi strategi S-T ini adalah strategi yang memadukan ancaman
eksternal dengan kekuatan internal. Adapun perumusan strateginya adalah terdiri
dari berikut ini :
1. Menjalin kerjasama dengan wilayah sekitar yang menjadi satelit Lebak,
khususnya dalam melaksanakan perencanaan dan penyelesaian masalah
2. Menemukan, mempromosikan dan meningkatkan daya saing komoditi dan
produk lokal sehingga dapat meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian
dan meningkatkan peluang terhadap pasar regional serta global
197
3. Mengembangkan sistem pengelolaan sumberdaya alam ramah lingkungan serta
berkelanjutan dan penerapan deteksi dini bagi bencana alam
8.2.2.4 Strategi Weaknesses-Threats (W-T)
Strategi W-T ditujukan untuk mengurangi kekurangan internal dan
menghindari ancaman eksternal yang dapat menghambat proses pembangunan di
Kabupaten Lebak. Harapannya kekurangan internal dan ancaman eksternal ini
dapat dihilangkan dan menjadi potensi besar dalam pembangunan. Strategi S-T
yang dapat dijalankan adalah sebagai berikut, yakni :
1. Mengembangkan dan mengoptimalkan pasar-pasar kabupaten sebagai sumber
pendapatan daerah dan penyerap tenaga kerja
2. Meningkatkan insentif yang dapat menggairahkan investasi yang berorientasi
pasar guna membangun perekonomian daerah
3. Mendorong daerah (kecamatan) untuk menggali potensi daerah yang memiliki
keunggulan kompetitif dan komparatif sehingga mampu menjadi daerah
mandiri
8.2.3 Analisis QSPM
Langkah terkahir dalam merumuskan strategi alternatif kebijakan adalah
tahap memutuskan kebijakan melalui analisis QSPM. Melalui analisis ini, maka
ditentukanlah peringkat strategi sebagai acuan prioritas strategi yang akan
diimplementasikan. Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam perumusan
strategi. Penentuan peringkat dilakukan dengan pemberian daya tarik relatif
terhadap strategi-strategi yang telah dihasilkan oleh analisis SWOT dengan
menggunakan analisa QSPM. Hasil analisis QSPM yang telah dihitung akan
mengindikasikan urutan alternatif strategi yang terbaik. Matriks QSPM tersebut
menunjukan urutan TAS dari yang tertinggi hingga terendah, hasilnya adalah
seperti yang tertulis di bawah ini :
1. Memberikan dorongan kepada sekolah-sekolah dan dinas kesehatan agar bisa
mendapatkan bantuan block grand fasilitas pendidikan dan kesehatan (6,064).
198
2. Memperbaiki aksesibilitas transportasi jalan darat agar mampu meningkatkan
minat investasi dan merangsang aktivitas perekonomian lainnya antar wilayah
di Lebak (6,021)
3. Melakukan rekrutmen pegawai pendidikan dan kesehatan, khususnya untuk
wilayah-wilayah yang relatif masih kekurangan sumberdaya tenaga pengajar
dan kesehatan (5,852)
4. Optimalisasi bantuan operasional sekolah agar bisa meningkatkan rata-rata
lama sekolah (5,592)
5. Peningkatan kapasitas profesionalisme aparatur guna meningkatkan mutu
pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan (5,194)
6. Pembinaan siswa dan mahasiswa berprestasi agar diarahkan untuk mengenyam
pendidikan yang erat hubungannya dengan tenaga pendidik dan kesehatan
(5,028)
7. Pendataan kembali masyarakat miskin agar jaminan kesehatan masyarakat
miskin mampu terdistribusi dengan baik (5,012)
8. Memperluas jaringan listrik hingga pelosok daerah yang belum terjangkau
(4,993)
9. Lebak seharusnya memiliki komoditas unggulan yang bisa menjadi icon dan
pondasi utama pembangunan ekonomi (4,991)
10. Menemukan, mempromosikan dan meningkatkan daya saing komoditi dan
produk lokal sehingga dapat meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian
dan meningkatkan peluang terhadap pasar regional serta global (4,887)
11. Implementasi dan evaluasi RPJMD khususnya yang berfokus pada
pembangunan pendidikan dan kesehatan (4,830)
12. Perancangan program agroindustri agar mampu meningkatkan nilai tambah
produksi komoditas pertanian, perikanan dan perkebunan dengan sinergisasi
investasi yang saling menguntungkan (4,745)
13. Menurunkan angka kemiskinan dengan program pembinaan kelompok
mandiri (4,619)
14. Mengembangkan dan mengoptimalkan pasar-pasar kabupaten sebagai
sumber pendapatan daerah dan penyerap tenaga kerja (4,448)
199
15. Menjalin kerjasama dengan wilayah sekitar yang menjadi satelit Lebak,
khususnya dalam melaksanakan perencanaan dan penyelesaian masalah
(4,422)
16. Mengembangkan sistem pengelolaan sumberdaya alam ramah lingkungan
serta berkelankutan dan penerapan deteksi dini bagi bencana alam (4,386)
17. Meningkatkan insentif yang dapat menggairahkan investasi yang berorientasi
pasar guna membangun perekonomian daerah (4,279)
18. Mendorong daerah (kecamatan) untuk menggali potensi daerah yang
memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sehingga mampu menjadi
daerah mandiri (4,173)
Berdasarkan informasi yang diberikan oleh matriks QSPM, maka dapat
terlihat bahwa terdapat lima strategi dengan nilai TAS tertinggi dan harus
diprioritaskan agar pembangunan sumberdaya manusia berkembang dengan pesat.
Pertama, memberikan dorongan kepada sekolah-sekolah dan dinas kesehatan agar
bisa mendapatkan bantuan block grant fasilitas pendidikan dan kesehatan. Kedua,
memperbaiki aksesibilitas transportasi jalan darat agar mampu meningkatkan
minat investasi dan merangsang aktivitas perekonomian lainnya antar wilayah di
Lebak. Ketiga, melakukan rekrutmen pegawai pendidikan dan kesehatan,
khususnya untuk wilayah-wilayah yang relatif masih kekurangan sumberdaya
tenaga pengajar dan kesehatan. Keempat, optimalisasi bantuan operasioanal
sekolah agar bisa meningkatkan rata-rata lama sekolah. Kelima, peningkatan
kapasitas profesionalisme aparatur guna meningkatkan mutu pelayanan publik di
bidang pendidikan dan kesehatan.
Hasil pembobotan strategi alternatif berdasarkan analisis QSPM konsisten
dengan kondisi umum sumberdaya manusia dan pembahasan sebelumnya terkait
pengaruh sumberdaya terhadap struktur ekonomi dan disparitas pembangunan
wilayah. Seperti yang ditunjukan prioritas strategi utama QSPM yang
merekomendasikan untuk mendorong kepada sekolah-sekolah dan dinas
kesehatan untuk mendapatkan bantuan berupa block grant fasilitas pendidikan dan
kesehatan. Melalui strategi ini diharapkan mampu meningkatkan meningkatkan
pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu sesuai dengan
pembahasan pada bab pengaruh pelayanan publik terhadap IPM. Dimana rasio
200
bangunan sekolah dan fasilitas kesehatan mampu meningkatkan angka IPM pada
level Kecamatan di kabupaten Lebak
Strategi kedua yang diprioritaskan adalah dengan memperbaiki
aksesibilitas transportasi jalan darat agar mampu meningkatkan minat investasi
dan merangsang aktivitas perekonomian lainnya antar wilayah di Lebak. Dampak
seperti ini sebetulnya tidak hanya akan mempengaruhi minat investasi dan
aktivitas ekonomi, namun akan ikut menstimulus aktivitas lainnya. Apabila
aksesibilitas transportasi darat telah diperbaiki, maka proses pembangunan
sumberdaya manusia pun akan berjalan dengan baik. Dari sisi masyarakat, dengan
membaiknya akses akan memberikan kemudahan aktivitas mereka, baik dalam
mencapai fasilitas pelayanan publik pendidikan maupun kesehatan. Dari
perspektif aparat sendiri juga akan menjadi insentif tidak langsung yang menjadi
faktor penarik agar semakin banyak aparat yang bersedia ditempatkan di tempat
terpencil agar pemerataan pembangunan berjalan dengan baik. Pada akhirnya,
profesionalisme pelayanan publik di bidang kesehatan dan pendidikan akan
mencapai titik optimal sesuai standar pelayanan minimal pelayanan publik.
Strategi lainnya yang juga mendapatkan predikat sebagai prioritas adalah
Melakukan rekrutmen pegawai pendidikan dan kesehatan, khususnya untuk
wilayah-wilayah yang relatif masih kekurangan sumberdaya tenaga pengajar dan
kesehatan. Strategi ini sesuai dengan hasil pembahasan pengaruh pelayanan
publik terhadap IPM. Peningkatan tenaga pendidikan seperti guru SMP, guru
SMA, dokter, perawat dan bidan akan memicu peningkatan IPM secara signifikan.
Melalui kebijakan ini diharapkan mampu mempercepat proses peningkatan
kualitas sumberdaya manusia, khususnya untuk kecamatan-kecamatan yang
memiliki angka IPM rendah.
Strategi keempat yang juga menjadi prioritas adalah terkait penggunaan
dana bantuan operasional sekolah (BOS). Penggunaan dana bos yang diberikan
oleh Kemeterian Pendidikan Nasional harus digunakan sesuai dengan kebutuhan.
Karena tujuan digulirkannya program BOS ini tidak lain dan tidak bukan adalah
untuk bisa meningkatkan angka partisipasi sekolah hingga memasuki jenjang
wajib sekolah sembilan tahun. Melalui dana BOS ini, sejak tiga tahun terakhir
pendidikan SD dan SMP digratiskan untuk seluruh sekolah negeri. Apabila angka
201
partisipasi sekolah meningkat, tentu selanjutnya akan meningkatkan rata-rata lama
sekolah dan output akhirnya adalah meningkatnya angka IPM Kabupaten Lebak.
Strategi terakhir atau kelima yang menjadi prioritas adalah
profesionalisme pelayanan publik di bidang kesehatan dan pendidikan akan
mencapai titik optimal sesuai standar pelayanan minimal pelayanan publik.
Dengan meningkatnya pelayanan publik, selanjutnya akan meningkatkan kinerja
dan pasti akan memberikan kepuasan kepada masyarakat. Karena perlu diakui
bahwa permasalahan dalam pembahasan yang cukup pelik salah satunya adalah
terkait buruknya pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan yang
menyebabkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Profesionalisme
pelayanan publik juga menunjukan bagaimana kesuksesan proses manajerial
dalam level pemerintah daerah di era otonomi daerah yang sudah berjalan hampir
satu dekade ini.
Kelima prioritas strategi di atas dianggap sudah cukup tepat dalam
meningkatkan proses pemeratan pembangunan nasional. Selain itu akan mampu
menjawab permasalahan yang menjadi teka teki utama pertanyaan dan
pembahasan dalam penelitian tesis ini yakni keterkaitan tiga pilar dalam
pembangunan yakni pelayanan publik, kualitas sumberdaya manusia dan tingkat
disparitas pembangunan wilayah. Dengan meningkatkan kinerja pelayanan publik
maka kualitas sumberdaya manusia akan baik dan tinggi. Berkualitasnya
sumberdaya manusia di suatu wilayah akan menurunkan tingkat disparitas
pembangunan wilayah yang dihitung dengan indeks Williamson. Apabila tingkat
disparitas di suatu daerah sudah pada angka yang relatif rendah atau bahkan sudah
merata, maka tentu saja sudah bisa dipastikan bahwa pelayanan publik yang
diberikan oleh pemerintah daerah sudah jauh lebih baik dan di atas dari standar
pelayanan minimal pelayanan publik.