BAB VI PEMBIAYAAN ANGGARAN DAN RISIKO FISKAL NK dan RUU APBN 2011... · non-utang dalam periode...

95
Bab VI VI-1 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2011 BAB VI PEMBIAYAAN ANGGARAN DAN RISIKO FISKAL 6.1 Pendahuluan Kebijakan defisit anggaran dalam Rancangan APBN tahun 2011 selain ditujukan untuk mendukung ekspansi fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, di tengah situasi perekonomian global yang tengah dalam proses pemulihan; sekaligus juga dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan fiskal. Pengalaman mengajarkan, bahwa ekspansi fiskal yang besar yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, yang dibiayai dengan utang, telah mengakibatkan beberapa negara Eropa, seperti Portugal, Irlandia, Yunani, dan Spanyol mengalami krisis utang dan defisit fiskal yang berat. Dunia bahkan mencemaskan krisis utang dan fiskal yang terjadi di sebagian kawasan Eropa tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan baru yang dapat mengganggu proses pemulihan perekonomian global yang tengah berlangsung. Sebagai salah satu instrumen utama kebijakan countercyclical, kebijakan ekspansi fiskal yang diambil oleh berbagai negara di dunia dalam mengatasi dampak krisis keuangan global, antara lain melalui pemberian stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dan melakukan konsolidasi fiskal melalui efisiensi jenis belanja tertentu untuk mengurangi tekanan fiskal, dinilai cukup efektif dalam memperpendek lamanya krisis ekonomi. Hal ini antara lain diindikasikan oleh adanya perbaikan sektor keuangan dan pemulihan kegiatan sektor riil. Perbaikan di sektor keuangan, khususnya di Eropa sebagai pusat krisis antara lain terlihat pada meningkatnya peminat lelang obligasi negara yang dilakukan oleh Spanyol, Portugal, Irlandia, dan Yunani. Namun demikian, perbaikan kondisi sektor keuangan negara-negara di kawasan tersebut, masih perlu diwaspadai mengingat belum sepenuhnya kembali ke kondisi sebelum krisis, yang antara lain ditunjukan oleh masih tingginya volatilitas yield obligasi, indikator pasar modal, dan nilai tukar. Sebagaimana dilakukan oleh banyak negara-negara di dunia, kebijakan pemberian stimulus fiskal bagi perekonomian juga dilakukan oleh Indonesia, sebagai respon dalam menyelamatkan perekonomian nasional, dan sekaligus meminimalisasi dampak krisis ekonomi dan keuangan global, terutama terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini dilakukan dengan menerapkan kebijakan anggaran defisit yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sebagaimana tercermin dalam APBN-P tahun 2008 dan 2010. Dibandingkan dengan dengan persentase defisit pada periode sebelum 2007, besarnya defisit APBN-P pada tahun 2008 dan 2009 tersebut relatif lebih tinggi, yaitu berada pada kisaran 2,1 persen dan 2,4 persen terhadap PDB. Namun demikian, peningkatan defisit yang digunakan untuk memberikan stimulus fiskal tidak sepenuhnya dapat terealisasi sebagaimana yang direncanakan. Hal ini ditunjukan melalui realisasi defisit tahun 2008 dan 2009 yang lebih rendah dari yang ditargetkan, yaitu hanya sebesar 0,1 persen dan 1,6 persen terhadap PDB. Hal ini terutama disebabkan oleh beberapa komponen pendapatan negara yang diperkirakan akan mengalami penurunan akibat krisis global justru menunjukan peningkatan, sehingga melampaui target, sementara di sisi belanja negara, beberapa pos pengeluaran tidak dapat diserap seluruhnya sebagaimana yang dianggarkan.

Transcript of BAB VI PEMBIAYAAN ANGGARAN DAN RISIKO FISKAL NK dan RUU APBN 2011... · non-utang dalam periode...

Bab VI

VI-1

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

BAB VI

PEMBIAYAAN ANGGARAN DAN RISIKO FISKAL

6.1 PendahuluanKebijakan defisit anggaran dalam Rancangan APBN tahun 2011 selain ditujukan untukmendukung ekspansi fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, ditengah situasi perekonomian global yang tengah dalam proses pemulihan; sekaligus jugadimaksudkan untuk menjaga kesinambungan fiskal. Pengalaman mengajarkan, bahwaekspansi fiskal yang besar yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, yangdibiayai dengan utang, telah mengakibatkan beberapa negara Eropa, seperti Portugal,Irlandia, Yunani, dan Spanyol mengalami krisis utang dan defisit fiskal yang berat. Duniabahkan mencemaskan krisis utang dan fiskal yang terjadi di sebagian kawasan Eropa tersebutberpotensi menimbulkan permasalahan baru yang dapat mengganggu proses pemulihanperekonomian global yang tengah berlangsung.

Sebagai salah satu instrumen utama kebijakan countercyclical, kebijakan ekspansi fiskalyang diambil oleh berbagai negara di dunia dalam mengatasi dampak krisis keuangan global,antara lain melalui pemberian stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,dan melakukan konsolidasi fiskal melalui efisiensi jenis belanja tertentu untuk mengurangitekanan fiskal, dinilai cukup efektif dalam memperpendek lamanya krisis ekonomi. Hal iniantara lain diindikasikan oleh adanya perbaikan sektor keuangan dan pemulihan kegiatansektor riil. Perbaikan di sektor keuangan, khususnya di Eropa sebagai pusat krisis antaralain terlihat pada meningkatnya peminat lelang obligasi negara yang dilakukan oleh Spanyol,Portugal, Irlandia, dan Yunani. Namun demikian, perbaikan kondisi sektor keuangannegara-negara di kawasan tersebut, masih perlu diwaspadai mengingat belum sepenuhnyakembali ke kondisi sebelum krisis, yang antara lain ditunjukan oleh masih tingginya volatilitasyield obligasi, indikator pasar modal, dan nilai tukar.

Sebagaimana dilakukan oleh banyak negara-negara di dunia, kebijakan pemberian stimulusfiskal bagi perekonomian juga dilakukan oleh Indonesia, sebagai respon dalammenyelamatkan perekonomian nasional, dan sekaligus meminimalisasi dampak krisisekonomi dan keuangan global, terutama terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Halini dilakukan dengan menerapkan kebijakan anggaran defisit yang dimaksudkan untukmendorong pertumbuhan ekonomi, sebagaimana tercermin dalam APBN-P tahun 2008dan 2010. Dibandingkan dengan dengan persentase defisit pada periode sebelum 2007,besarnya defisit APBN-P pada tahun 2008 dan 2009 tersebut relatif lebih tinggi, yaitu beradapada kisaran 2,1 persen dan 2,4 persen terhadap PDB.

Namun demikian, peningkatan defisit yang digunakan untuk memberikan stimulus fiskaltidak sepenuhnya dapat terealisasi sebagaimana yang direncanakan. Hal ini ditunjukanmelalui realisasi defisit tahun 2008 dan 2009 yang lebih rendah dari yang ditargetkan, yaituhanya sebesar 0,1 persen dan 1,6 persen terhadap PDB. Hal ini terutama disebabkan olehbeberapa komponen pendapatan negara yang diperkirakan akan mengalami penurunan akibatkrisis global justru menunjukan peningkatan, sehingga melampaui target, sementara di sisibelanja negara, beberapa pos pengeluaran tidak dapat diserap seluruhnya sebagaimana yangdianggarkan.

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-2

Dalam APBN-P tahun 2010, defisit anggaran direncanakan meningkat dari perkiraan APBN2010 sebesar Rp98,0 triliun (1,6 persen dari PDB) menjadi Rp133,7 triliun (2,1 persen dariPDB). Kenaikan defisit anggaran berkaitan dengan beberapa faktor, diantaranya: (i) naiknyaharga minyak dunia, yang menyebabkan meningkatnya beban subsidi energi yang harusditanggung oleh pemerintah, serta naiknya dana bagi hasil migas yang harus ditransfer kedaerah; (ii) meningkatnya kebutuhan dana investasi pemerintah, penyertaan modal negara,dan dana bergulir pengadaan tanah untuk jalan tol (BPJT); (iii) dibentuknya danapengembangan pendidikan nasional; serta (iv) adanya pemberian pinjaman kepada PT PLN(Persero) dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur kelistrikan. Kenaikan defisitanggaran tersebut akan dibiayai dari tambahan utang sebesar Rp12,8 triliun, dan pembiayaannon-utang sebesar Rp22,9 triliun. Adanya berbagai pilihan sumber-sumber pembiayaananggaran tersebut mendorong perlunya disusun kebijakan pengelolaan dan strategi dalammemanfaatkan sumber pembiayaan secara hati-hati dan terukur, denganmempertimbangkan efisiensi biaya, kemampuan penyediaan dana, dan dampaknya padamasa yang akan datang. Dalam melakukan pemilihan dari berbagai alternatif sumber-sumberpembiayaan tersebut, diupayakan dengan terlebih dahulu mengoptimalkan sumberpembiayaan non-utang. Dengan demikian, sumber pembiayaan yang berasal dari utangdipilih sebagai alternatif terakhir pemenuhan defisit anggaran, mengingat adanya biayadan risiko yang melekat dalam sumber pembiayaan utang.

Selanjutnya, sejalan dengan kebijakan ekspansi fiskal untuk mendukung pertumbuhanekonomi, perluasan kesempatan kerja, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan yangramah lingkungan, dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal, dalam tahun 2011, RAPBNdirencanakan mengalami defisit sebesar Rp115,7 triliun, atau sekitar 1,7 persen terhadapPDB. Selain untuk memenuhi kebutuhan defisit anggaran, pembiayaan anggaran jugadiperlukan untuk membiayai pengeluaran pembiayaan, seperti dana investasi pemerintah,penyertaan modal negara, dana bergulir, dana pengembangan pendidikan nasional, dankewajiban penjaminan.

Dengan semakin terbatasnya sumber-sumber pemenuhan pembiayaan non-utang, makasaat ini sumber pembiayaan defisit yang utama berasal dari utang. Namun demikian, dalampelaksanaannya, pemerintah tetap mengedepankan pertimbangan efisiensi biaya,kemampuan penyediaan dana, dan dampaknya pada masa yang akan datang.

6.2 Realisasi Pembiayaan APBNSejalan dengan kebijakan ekspansi fiskal yang ditempuh oleh pemerintah, baik dalam rangkamendorong pertumbuhan ekonomi (pro-growth), menciptakan lapangan kerja untukmengatasi pengangguran (pro-job), dan mengentaskan kemiskinan (pro-poor), maupunmemberikan stimulus fiskal dalam memperkecil dampak krisis, dan menyelamatkanperekonomian nasional dari krisis perekonomian global sejak tahun 2008, defisit anggarandalam kurun waktu 2005-2009 semula dirancang cenderung meningkat, dari 0,9 persenterhadap PDB menjadi 2,4 persen terhadap PDB. Meskipun demikian, realisasi defisitanggaran dalam kurun waktu 2005-2009 masih berada di bawah target yang ditetapkan.Dalam periode tersebut, realisasi defisit berada pada kisaran 0,1 persen sampai dengan 1,6persen. Sebagai gambaran, target dan realisasi defisit anggaran dalam periode tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Grafik VI.1.

Realisasi defisit anggaran paling rendah dibandingkan dengan target defisit anggaran yangditetapkan dalam APBN-P terjadi pada tahun 2008, yaitu hanya sebesar 0,1 persen terhadap

Bab VI

VI-3

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

PDB jika dibandingkan dengan targetdefisit anggaran dalam APBN-P 2008sekitar 2,1 persen terhadap PDB.Rendahnya realisasi defisit anggarandalam kurun waktu tersebut, terutamadisebabkan oleh realisasi daya serapanggaran belanja negara rata-ratahanya mencapai sekitar 96,3 persendari pagu anggaran belanja negara yangditetapkan dalam APBN-P, sementararealisasi anggaran pendapatan negaradan hibah rata-rata sesuai ataumemenuhi sasaran yang ditetapkandalam APBN-P. Khusus untuk tahun2008, rendahnya realisasi defisit anggaran terutama disebabkan terlampauinya realisasipendapatan negara dan hibah dari sasaran yang ditetapkan dalam APBN-P, sementararealisasi belanja hanya mencapai 99,6 persen dari pagu yang ditetapkan dalam APBN-P.Lebih rendahnya realisasi anggaran belanja negara dari pagu yang ditetapkan dalamAPBN-P terutama disebabkan oleh realisasi anggaran belanja K/L hanya mencapaiRp259,9 triliun atau 89,6 persen dari pagu dalam APBN-P sebesar Rp290,0 triliun. Di lainpihak, realisasi pendapatan negara dan hibah mencapai Rp981,6 triliun atau 9,7 persenmelampaui target yang ditetapkan dalam APBN-P sebesar Rp895,0 triliun. Untuk tahun2009, rendahnya realisasi defisit disebabkan oleh rendahnya realisasi belanja negara yaitusebesar Rp937,4 triliun atau hanya mencapai 93,7 persen dari target APBN-P sebesarRp1.000,8 triliun. Akibat dari rendahnya defisit yang tidak diimbangi dengan penyesuaianpembiayaan adalah bertambahnya dana dalam rekening SAL Pemerintah.

6.2.1 Tren Pembiayaan Anggaran

Kebutuhan pembiayaan APBN dalam kurun waktu tahun 2005-2010 cenderung meningkatseiring dengan meningkatnya defisit anggaran dan makin besarnya kebutuhan pengeluaranpembiayaan. Kebutuhan pembiayaan anggaran tersebut dipenuhi, baik dari sumber-sumberpembiayaan utang maupun pembiayaan non-utang. Mengingat kapasitas sumberpembiayaan yang berasal dari non-utang semakin berkurang, maka dalam periode tersebut,sumber pembiayaan utang masih mendominasi pemenuhan kebutuhan pembiayaananggaran. Faktor yang mempengaruhi semakin terbatasnya kontribusi sumber pembiayaannon-utang dalam periode 2005-2010, selain akibat kebijakan penerimaan privatisasi BadanUsaha Milik Negara (BUMN) yang lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhanrestrukturisasi BUMN bersangkutan, juga karena semakin terbatasnya aset eks restrukturisasiperbankan yang dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan APBN. Sementara itu, sumberpembiayaan dari utang terutama berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN),baik melalui instrumen Surat Utang Negara (SUN) maupun Surat Berharga Syariah Negara(SBSN). Selain SBN, penarikan pinjaman luar negeri terutama pinjaman yang sifatnya tunaimerupakan sumber pembiayaan utang yang juga memberikan kontribusi bagi pemenuhankebutuhan pembiayaan. Secara neto, dalam tahun 2005-2010, pembiayaan yang berasaldari utang memberikan kontribusi rata-rata 75,1 persen dari total pembiayaan yangdiperlukan. Gambaran mengenai perkembangan defisit dan penggunaan sumber-sumberpembiayaan anggaran disajikan sebagaimana terlihat pada Grafik VI.2.

0,9

1,3 1,5

2,1

2,4

2,1

0,5

0,9

1,3

0,1

1,6

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

2005 2006 2007 2008 2009 2010

% thd PDB

GRAFIK VI.1TARGET DAN REALISASI DEFISIT 2005-2009

APBN-P LKPP

Sumber: Kementerian Keuangan

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-4

Apabila dilihat dari komponen pembiayaan secara bruto, struktur pembiayaan terbagi kedalam komponen pengeluaran dan penerimaan pembiayaan, baik yang berasal dari utang

maupun non-utang. Komponen pengeluaran pembiayaan utang mencakup pembayaranpokok utang jatuh tempo, dan pembelian kembali SBN sebelum jatuh tempo. Sementaraitu, komponen pengeluaran pembiayaan non-utang mencakup PMN, investasi pemerintah,dana bergulir, dana pengembangan pendidikan nasional, dan kewajiban-kewajibanpemerintah lainnya sebagai konsekuensi dari kebijakan pemberian jaminan, terutama bagiproyek-proyek infrastruktur. Dengan adanya keperluan untuk pengeluaran pembiayaan,besaran kebutuhan pembiayaan secara total menjadi lebih besar dari pada kebutuhan defisit.Dalam periode tersebut, bagian terbesar pembiayaan dipenuhi melalui penerbitan SBN.

6.2.2 Perkembangan Defisit dan Pembiayaan Anggaran

Pemenuhan pembiayaan defisit anggaran pada dasarnya merupakan bagian integral darikebijakan fiskal sebagai bagian dari kebijakan pengelolaan ekonomi makro secarakeseluruhan. Dalam kurun waktu tahun 2005–2010, pembiayaan defisit anggarandisesuaikan dengan strategi kebijakan fiskal, yang ditetapkan pemerintah dalam meresponperkembangan kondisi perekonomian yang mempengaruhi pada saat itu. Dalamperkembangannya, realisasi besaran defisit dan realisasi besaran pembiayaan tidak selalusama besar nilainya dengan rencana semula, sehingga mendorong timbulnya sisa lebihpembiayaan anggaran (SiLPA) dalam hal terjadi kelebihan pembiayaan atas kebutuhanuntuk menutup defisit, atau sisa kurang pembiayan anggaran (SiKPA) dalam hal terjadikekurangan pembiayaan atas kebutuhan untuk menutup defisit. Mengingat sebagian besarsumber pembiayaan anggaran berasal dari utang, maka pengelolaan dan perencanaan APBNyang tepat dan akurat menjadi hal yang penting, agar pengelolaan APBN bisa semakinefisien, dan tidak membebani anggaran pada masa yang akan datang. Gambaran mengenaiperkembangan realisasi defisit dan pembiayaan anggaran tahun 2005–2010 sebagaimanaTabel VI.1.

Dari tabel tersebut terlihat adanya perbedaan antara besaran realisasi defisit dan besaranrealisasi pembiayaan, sehingga menimbulkan SiLPA dan SiKPA. Dalam periode tersebut,realisasi APBN mengalami SiKPA sebesar Rp3,3 triliun pada tahun 2005, dan sebesar

(2,0)

(1,0)

-

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

7,0

(40)

(20)

-

20

40

60

80

100

120

140

2005 2006 2007 2008 2009 2010*

% thd PDBtriliun rupiah

Catatan :*Angka 2010 merupakan angka APBN-P 2010Sumber: Kementerian Keuangan

GRAFIK VI.2TREND PEMBIAYAAN DEFISIT, 2005-2010

Defisit

Non-Utang Net

SBN- net

Pinjaman LN-net

Defisit thd PDB

Bab VI

VI-5

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Rp7,4 triliun pada tahun 2007. Sebaliknya, pada tahun 2006 realisasi APBN mengalamiSilPA sebesar Rp0,3 triliun, tahun 2008 realisasi APBN mengalami SilPA sebesarRp80,0 triliun, dan tahun 2009 mengalami SiLPA sebesar Rp24,0 triliun, yang dapatdigunakan untuk membiayai defisit anggaran pada tahun-tahun berikutnya.

Terjadinya SiKPA pada tahun 2005, disebabkan oleh realisasi pembiayaan lebih rendahdibandingkan dengan realisasi defisit APBN. Rendahnya realisasi pembiayaan dalam tahuntersebut terutama karena realisasi pembiayaan non-utang mengalami negatif sebesarRp1,2 triliun, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan target pembiayaan non-utangsebesar Rp7,7 triliun. Sementara itu, realisasi pembiayaan utang turun menjadi sebesarRp12,3 triliun dari target sebesar Rp17,2 triliun. Sementara itu, terjadinya SiLPA pada tahun2006, terutama karena realisasi pembiayaan lebih rendah dibandingkan dengan target,namun disisi lain realisasi defisit juga masih dibawah target yang ditetapkan. Berbeda dengantahun sebelumnya, realisasi pembiayaan non-utang mencapai Rp20,0 triliun, lebih besardibanding dengan target yang ditetapkan sebesar Rp19,5 triliun. Sementara itu, realisasiutang menurun menjadi sebesar Rp9,4 triliun dari target sebesar Rp20,5 triliun.

Pada tahun 2007, kembali terjadi SiKPA sebagai akibat adanya kenaikan belanja negaraberkaitan dengan naiknya harga komoditas, yang berimbas pada naiknya beban subsidi.Sedangkan terjadinya SiLPA sebesar Rp80,0 triliun pada tahun 2008, terutama disebabkanrendahnya realisasi defisit anggaran, berkaitan dengan realisasi pendapatan negara yangjauh melampai target yang ditetapkan, sementara realisasi anggaran belanja negaramendekati pagu yang direncanakan. Di lain pihak, realisasi pembiayaan anggaran mendekatitarget yang ditetapkan.

Pada tahun 2009, terjadinya SiLPA disebabkan realisasi pembiayaan anggaran lebih tinggidibandingkan realisasi defisit. Rendahnya realisasi defisit terutama berkaitan dengan realisasibelanja negara hanya mencapai sebesar Rp937,4 triliun, lebih rendah Rp63,4 triliun biladibandingkan dengan pagu belanja negara yang direncanakan pada APBN-P 2009 sebesarRp1.000,8 triliun. Sementara itu, realisasi pembiayaan anggaran, terutama pembiayaan

A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH 540,1 495,2 659,1 638,0 694,1 707,8 895,0 981,6 871,0 848,8 949,7 992,4

B. BELANJA NEGARA 565,1 509,6 699,1 667,1 752,4 757,6 989,5 985,7 1.000,8 937,4 1.047,7 1.126,1

C. SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN (A - B) (24,9) (14,4) (40,0) (29,1) (58,3) (49,8) (94,5) 4,1 (129,8) (88,6) (98,0) (133,7)

% defisit thd PDB (0,9) (0,5) (1,3) (0,9) (1,5) (1,3) (2,1) 0,1 (2,4) (1,6) (1,6) (2,1)

D. PEMBIAYAAN 24,9 11,1 40,0 29,4 58,3 42,5 94,5 84,1 129,8 112,6 98,0 133,7

I. NON-UTANG 7,7 (1,2) 19,5 20,0 12,3 11,9 (10,2) 16,6 43,3 28,7 2,5 25,41. Perbankan dalam negeri 4,3 (2,6) 17,9 18,9 10,6 11,1 (11,7) 16,2 56,6 41,1 7,1 45,52. Privatisasi (1,7) (5,2) 1,0 0,4 2,0 0,3 0,5 0,1 0,0 0,0 0,0 1,23. Hasil pengelolaan aset 5,1 6,6 2,6 2,7 1,7 2,4 3,9 2,8 (0,2) (0,3) 1,2 1,24. Dana Investasi Pemerintah dan PMN 0,0 0,0 (2,0) (2,0) (2,0) (2,0) (2,8) (2,5) (12,1) (12,1) (3,9) (12,9)5. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 (1,0)6. Kewajiban Penjaminan 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 (1,0) 0,0 (1,0) (1,1)7. Pinjaman Kepada PT PLN (Persero) 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 (7,5)

II. UTANG 17,2 12,3 20,5 9,4 46,0 30,6 104,7 67,5 86,5 83,9 95,5 108,31. Surat Berharga Negara (neto) 22,1 22,6 35,8 36,0 58,5 57,2 117,8 85,9 99,3 99,5 104,4 107,52. Pinjaman (4,8) (10,3) (15,3) (26,6) (12,5) (26,6) (13,1) (18,4) (12,7) (15,5) (8,9) 0,8

i. Pinjaman Luar Negeri (4,8) (10,3) (15,3) (26,6) (12,5) (26,6) (13,1) (18,4) (12,7) (15,5) (9,9) (0,2)-. Penarikan Pinjaman LN (bruto) 43,0 29,1 37,6 29,7 42,2 34,1 48,1 50,2 69,3 58,7 57,6 70,8

a. Pinjaman Program 11,3 12,3 12,1 13,6 19,0 19,6 26,4 30,1 30,3 28,9 24,4 29,4b. Pinjaman Proyek 31,7 16,8 25,5 16,1 23,2 14,5 21,8 20,1 39,0 29,7 33,2 41,4

-. Penerusan Pinjaman (7,4) (2,2) 0,0 (3,6) 0,0 (2,7) 0,0 (5,2) (13,0) (6,2) (8,6) (16,8)-. Pembyr. Cicilan Pokok Utang LN (40,4) (37,1) (52,8) (52,7) (54,8) (57,9) (61,3) (63,4) 69,0 (68,0) (58,8) (54,1)

ii. Pinjaman Dalam Negeri 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1,0 1,0

3. Tambahan Pembiayaan Utang 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

KELEBIHAN/KEKURANGAN PEMBIAYAAN 0,0 (3,3) (0,0) 0,3 0,0 (7,4) 0,0 80,0 0,0 24,0 (0,0) 0,0

Sumber : Kementerian Keuangan

APBN-PAPBN-P LKPP APBN-P LKPPAPBN-P II LKPP APBN-P LKPP

TABEL VI.1PERKEMBANGAN REALISASI DEFISIT DAN PEMBIAYAAN ANGGARAN, 2005-2010

(triliun rupiah)

2005 2006 2007 2008

LKPP APBN APBN-P

20102009

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-6

melalui utang mencapai Rp83,9 triliun, atau sekitar 97,0 persen dari target pembiayaanutang yang ditetapkan dalam APBN-P 2009 sebesar Rp86,5 triliun.

Perbedaan antara target dan realisasi pada sebagian besar sumber pembiayaan, baik non-utang maupun utang, dan hal-hal yang mempengaruhi terjadinya perbedaan antara targetdan realisasi pembiayaan, dijabarkan sebagai berikut.

6.2.2.1 Pembiayaan Non-utang

Kebutuhan pembiayaan non-utang dalam APBN selalu dipenuhi dari berbagai sumberdengan jenis dan proporsi yang berbeda setiap tahunnya. Pemilihan sumber dan besaranpembiayaan non-utang tersebut, selain ditentukan oleh ketersediaan sumber pemenuhannya,juga ditentukan berdasarkan kemampuan penyediaan dana, manfaat, serta keuntunganyang diperoleh. Perkembangan pembiayaan non-utang dapat dilihat pada Tabel VI.2.

A. Penggunaan saldo rekening Pemerintah

Pembiayaan dari saldo rekening Pemerintah adalah penerimaan atau pengeluaranpembiayaan yang terkait dengan penerimaan dan pengembalian dari rekening-rekeningPemerintah lainnya yang dikelola atau dikuasai oleh Menteri Keuangan selaku BendaharaUmum Negara (BUN). Penggunaan saldo rekening Pemerintah yang berada di perbankandalam negeri menjadi salah satu alternatif sumber pembiayaan yang digunakan untukmembiayai APBN. Saldo rekening Pemerintah tersebut bersumber dari penerimaan RekeningDana Investasi (RDI)/Rekening Pembangunan Daerah (RPD), Rekening PembangunanHutan (RPH), Saldo Anggaran Lebih (SAL), dan rekening lainnya. Penggunaan saldo rekeningPemerintah dalam setiap tahun anggaran dipengaruhi oleh jumlah akumulasi uang tunai/

2005 2006 2007 2008 2009

A. Perbankan Dalam Negeri (2,6) 18,9 11,1 16,2 41,1 45,5 1. Rekening Pemerintah - 11,6 4,8 16,2 41,1 6,1 a.l - Rekening Dana Investasi - 2,0 4,0 0,3 3,7 5,5

- Rekening Pembangunan Hutan - - - - 0,6 0,6 - Saldo Anggaran Lebih - - 0,3 - 51,9 39,3 - Rekening Pemerintah Lainnya - 9,6 0,5 15,9 (15,1) -

2. Eks. Moratorium NAD dan Nias, Sumut - 7,4 6,3 - - - B. Non Perbankan Dalam Negeri 1,4 1,1 0,7 0,4 (12,4) (20,1)

1. Privatisasi (neto) (5,2) 0,4 0,3 0,1 - 1,2 2. Hasil Pengelolaan Aset 6,6 2,7 2,4 2,8 (0,3) 1,2 3. Dana Investasi Pemerintah dan PMN - (2,0) (2,0) (2,5) (12,1) (12,9) a.l i. Investasi Pemerintah - (2,0) (2,0) - (0,5) (3,6)

ii. Penyertaan Modal Negara - - - (2,5) (10,7) (6,0) iii. Dana Bergulir - - - - (0,9) (3,3)

4. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional - - - - - (1,0) 5. Kewajiban Penjaminan - - - - - (1,1) 6. Pemberian Pinjaman kepada PT PLN - - - - - (7,5)

(1,2) 20,0 11,9 16,6 28,7 25,4

Sumber: Kementerian Keuangan

Jumlah

TABEL VI.2PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN NON-UTANG, 2005-2010

(triliun rupiah)

UraianRealisasi APBN-P

2010

Bab VI

VI-7

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

saldo yang ada di rekening Pemerintah sebagai hasil operasional penerimaan dikurangidengan pengeluaran dalam APBN tahun-tahun sebelumnya.

Tren penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam tahun 2005–2010 cenderung mengalamipeningkatan, kecuali tahun 2007 yang menunjukkan penurunan sebesar Rp6,8 triliun atau58,5 persen dibandingkan dengan tahun 2006. Tren peningkatan penggunaan saldo rekeningPemerintah dalam tahun 2006–2010 disebabkan meningkatnya kontribusi RDI/RPD danSAL.

Dalam tahun 2006, penggunaan saldo rekening Pemerintah sebesar Rp11,6 triliun ataumeningkat sebesar Rp14,1 triliun (553,2 persen) jika dibandingkan dengan tahun 2005.Peningkatan ini disebabkan adanya setoran RDI sebesar Rp2,0 triliun dan rekening lain-lain sebesar Rp9,6 triliun. Sedangkan tingginya jumlah saldo rekening lain-lain yang diterimadalam tahun 2006 karena adanya penerimaan dari hasil penutupan rekening Pemerintahdi berbagai K/L yang mencapai Rp5,5 triliun. Penutupan rekening ini dilaksanakan dalamrangka penertiban rekening-rekening yang kategorikan ke dalam rekening nonbudjeter.

Kemudian dalam tahun 2007, penggunaan saldo rekening Pemerintah sebesar Rp4,8 triliunatau turun Rp6,7 triliun. Penurunan sebesar 58,5 persen ini disebabkan menurunnyapenerimaan yang berasal dari penutupan rekening Pemerintah di K/L, meskipun penerimaanRDI meningkat cukup signifikan hingga mencapai 100 persen bila dibandingkan denganpenerimaannya dalam tahun sebelumnya.

Sementara itu, penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam tahun 2008 sebesarRp16,2 triliun atau meningkat Rp11,4 triliun (236,6 persen) bila dibandingkan dengan tahun2007. Peningkatan ini disebabkan adanya penyesuaian penambahan dan penurunan saldoRekening Khusus (Reksus) akibat selisih kurs sebesar Rp15,9 triliun.

Dalam tahun 2009 penggunaan saldo rekening Pemerintah untuk menutup kebutuhanpembiayaan APBN melonjak cukup tinggi hingga mencapai Rp41,2 triliun. Peningkatanpenggunaan saldo rekening Pemerintah mencapai Rp24,9 triliun atau 154,1 persen biladibandingkan dengan tahun 2008. Hal ini sebagai akibat meningkatnya penerimaan RDIsebesar Rp3,4 triliun (1.135,0 persen), RPH sebesar Rp621,0 miliar (100,0 persen), dan SALsebesar Rp51,9 triliun. Penggunaan SAL yang cukup signifikan dalam tahun 2009 berkenaandengan adanya SiLPA 2008 yang cukup besar. SiLPA tersebut disebabkan karena realisasipendapatan negara yang melebihi dari target yang ditetapkan dan realisasi belanja negarayang lebih rendah dari pagu yangditetapkan, khususnya belanja subsidikarena realisasi harga minyak mentah(ICP) lebih rendah dari perkiraan semula.

Dalam APBN-P 2010, direncanakanpenggunaan saldo rekening Pemerintahmencapai Rp45,5 triliun atau meningkatRp4,4 triliun (10,8 persen) dibandingkantahun 2009. Peningkatan ini dikarenakanmeningkatnya penerimaan RDI sebesarRp1,8 triliun atau 48,6 persen biladibandingkan dengan tahun 2009. Selainitu juga dikarenakan dalam tahun 2009

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

7,0

8,0

2005 2006 2007 2008 2009 2010 *

GRAFIK VI.3PENGGUNAAN SALDO REKENING PEMERINTAH TAHUN

2005–2010(triliun rupiah)

* APBN-P 2010Sumber: Kementerian Keuangan

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-8

terdapat pengeluaran dari rekening Pemerintah terkait adanya penyesuaian penambahandan penurunan saldo Reksus akibat selisih kurs hingga mencapai Rp15,1 triliun. Dari segipenggunaan SAL, dalam tahun 2010 direncanakan Pemerintah akan menggunakan SALuntuk membiayai APBN sebesar Rp39,3 triliun atau turun Rp12,5 triliun (24,1 persen) biladibandingkan dengan tahun sebelumnya. Lebih rendahnya penggunaan SAL dalam tahun2010 dikarenakan lebih rendahnya SiLPA tahun 2009 jika dibandingkan dengan SiLPA tahun2008. Perkembangan penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam tahun 2005-2010 dapatdilihat pada Grafik VI.3.

B. Privatisasi BUMN

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara,privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihaklain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat baginegara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat.

Privatisasi sebagai salah satu bentuk restrukturisasi BUMN, dilakukan bukan hanya dalamrangka memperolah dana segar, melainkan juga untuk menumbuhkan budaya korporasidan profesionalisme, antara lain melalui pembenahan manajemen dan pengawasanberdasarkan prinsip-prinsip tatakelola perusahaan yang baik. Privatisasi saat ini tidak lagidiartikan secara sempit sebagai penjualan saham Pemerintah semata ke pihaknonPemerintah, tetapi dilakukan sebagai upaya untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus,termasuk di dalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikanstruktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif,pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebarankepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domestik (privatisasi diupayakandilakukan melalui metode initial public offering/IPO).

Dari program privatisasi tersebut, kemudian sebagian dana yang diperoleh dapat digunakansebagai salah satu sumber pembiayaan APBN dan sebagian lainnya masuk kas perusahaanyang dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas perusahaan. Penerimaan pembiayaanmelalui privatisasi cenderung mengalami peningkatan terutama selama periode 2006-2007,dan selanjutnya semakin menurun, sejalan dengan kebijakan Pemerintah yang tidak lagimengandalkan hasil privatisasi sebagai salah satu sumber penerimaan pembiayaan.

Dalam periode 2005-2009, upaya privatisasi BUMN telah menghasilkan Rp5,5 triliun yangdilakukan melalui IPO, strategic sales (SS), private placement, secondary offering (SO),dan employee management buy out (EMBO). Sementara itu dalam tahun 2010, penerimaanprivatisasi diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun.

Pada tahun 2005, tidak ada penerimaan pembiayaan yang berasal dari privatisasi, tahun2006 sebesar Rp2,4 triliun yang berasal dari privatisasi PT Perusahaan Gas Negara(PT PGN), tahun 2007 sebesar Rp3,0 triliun yang berasal dari privatisasi Bank BNI.

Sementara itu, pada tahun 2008 Pemerintah menyetujui program privatisasi terhadap 44BUMN, yang antara lain bergerak pada sektor pekerjaan umum, perkebunan, industri dankeuangan. Dari jumlah ini, sebanyak 38 perusahaan dengan kepemilikan negara mayoritasdan 6 perusahaan dengan kepemilikan negara minoritas. Namun, karena kondisi pasarkeuangan yang tidak kondusif, program privatisasi pada tahun 2008 tidak dapatdilaksanakan. Realisasi penerimaan privatisasi pada tahun 2008 sebesar Rp82,3 miliar yangberasal dari penutupan saldo privatisasi Bank BNI tahun 2007.

Bab VI

VI-9

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pada tahun 2009, Pemerintah tidakmenargetkan pembiayaan dariprivatisasi. Hal tersebut terkait dengankebijakan Pemerintah dalam pengelolaanBUMN dan faktor-faktor eksternal, antaralain krisis keuangan global yang belummengalami perbaikan, fluktuasi hargakomoditi yang sulit diperkirakan, danfaktor geopolitik yang tidak pasti.

Sementara itu, pada tahun 2010Pemerintah menargetkan penerimaandari privatisasi BUMN sebesarRp1,2 triliun. Setoran privatisasi dalamAPBN-P tersebut direncanakan berasaldari hasil penjualan saham greenshoe Bank BNI sebesar 3,1 persen atau setara dengan473.895.270 lembar saham. Penjualan saham greenshoe Bank BNI tersebut dimaksudkanuntuk menstabilkan harga saham di secondary market pasca pelaksanaan privatisasi26,9 persen saham Bank BNI yang telah dilakukan pada tanggal 13 Agustus 2007.

Perkembangan penerimaan privatisasi pada periode 2005-2010 dapat dilihat dalam GrafikVI.4.

C. Hasil Pengelolaan Aset

Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.06/2006 tentang Pengelolaan KekayaanNegara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional oleh PT PerusahaanPengelola Aset (Persero), Hasil Pengelolaan Aset (HPA) adalah setiap penerimaan tunaiyang berasal dari restrukturisasi, kerjasama dengan pihak lain, penagihan piutang, penjualan,penyewaan, dividen, kupon/bunga dan/atau penerimaan lain yang berasal dari aset yangdikelola dari transaksi yang sudah selesai. Oleh karena itu, di samping pembiayaan daripenggunaan dana tunai yang ada di rekening Pemerintah, pembiayaan tunai non-utangdalam APBN juga dibiayai dari HPA milik Pemerintah. Dalam periode 2005–2010 aset yangdikelola Pemerintah dan dapat digunakan untuk pembiayaan APBN adalah aset yang dikelolaoleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan dan aset yangdikelola oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA).

Aset yang dikelola DJKN meliputi aset eks Bank Dalam Likuidasi (BDL), aset eks kelolaanPT PPA dan aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Aset yang dikelolaDJKN tersebut dapat berupa aset kredit, aset properti, dan aset saham, yang dikelola dengancara: (1) penagihan, melalui Panitia Urusan Piutang Negara (terhadap aset kredit),(2) penjualan (terhadap aset properti dan saham), (3) pemanfaatan (terhadap aset properti),(4) penetapan status penggunaan (terhadap aset properti) kepada K/L, dan (5) pelepasanhak dengan pembayaran kompensasi terhadap aset properti yang dipergunakan untukkepentingan umum.

Sementara itu, PT PPA melaksanakan pengelolaan aset berdasarkan penugasan yang diterimadari Kementerian Keuangan. Aset yang dikelola oleh PT PPA meliputi aset saham bank, asetsaham nonbank, aset kredit/hak tagih, serta aset saham dan kredit. Hasil pengelolaan asetoleh PT PPA setiap tahun akan dievaluasi oleh Kementerian Keuangan, dan selanjutnya

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

2005 2006 2007 2008 2009 2010

GRAFIK VI.4PENERIMAAN PRIVATISASI BUMN, 2005 - 2010

(triliun rupiah)

APBN-P RealisasiSumber: Kementerian Keuangan

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-10

akan dilakukan perjanjian pengelolaanaset setiap tahunnya antara KementerianKeuangan dan PT PPA untukmenentukan jenis dan jumlah aset yangakan dikelola oleh PT PPA. Pada tahun2005 dan 2006, kontribusi pengelolaanaset dalam penerimaan pembiayaanadalah masing-masing sebesar Rp6,6 triliun dan Rp2,7 triliun.Sementara itu, pada kurun waktu tahun2007-2009, pengelolaan asetmemberikan kontibusi masing-masingsebesar Rp2,4 triliun, Rp2,8 triliun, dansebesar negatif Rp309,7 miliar. HPA padatahun 2009 yang bernilai negatif

Rp309,7 miliar tersebut terdiri dari hasil penjualan aset sebesar Rp690,3 miliar dikurangidengan PMN untuk restrukturisasi BUMN sebesar Rp1,0 triliun. Sedangkan pada APBN-Ptahun 2010, hasil pengelolaan aset diharapkan memberikan kontribusi sebesar Rp1,2 triliun.Kontribusi pengelolaan aset yang cenderung menurun tersebut sejalan dengan makinberkurangnya jumlah aset yang dikelola, baik oleh DJKN maupun oleh PT PPA (persero).Perkembangan hasil pengelolaan aset pada periode 2005-2010 dapat dilihat pada GrafikVI.5.

D. Dana Investasi Pemerintah danPenyertaan Modal Negara

Dana Investasi Pemerintah dan PenyertaanModal Negara (PMN) terdiri atas berbagaikomponen, yaitu: (1) Investasi Pemerintah, (2)PMN, dan (3) dana bergulir. Pada setiap tahunanggaran, tidak semua jenis alokasi ini adapada dana investasi Pemerintah dan PMN.Dana Investasi Pemerintah dan PMNmerupakan pengeluaran pembiayaan yangtidak dilakukan secara reguler, namunmerupakan kebijakan yang bersifat ad-hoc tergantung kepada kebutuhan atau kebijakanPemerintah dalam satu tahun anggaran seperti dukungan Pemerintah terhadappembangunan infrastruktur dan pendirian sebuah BUMN untuk menjalankan kebijakanPemerintah. Perkembangan dana Investasi Pemerintah dan PMN selama periode 2005-2010 dapat dilihat pada Grafik VI.6.

Investasi Pemerintah

Dana Investasi Pemerintah merupakan dana yang dialokasikan oleh Pemerintah dalam APBNyang peruntukannya mengacu kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentangPerbendaharaan Negara, juncto Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentangInvestasi Pemerintah, yaitu untuk meningkatkan nilai tambah dan memperoleh manfaatekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Investasi Pemerintah tersebut dapat dilakukandalam bentuk pembelian saham, surat utang maupun investasi langsung. Dalam mencapaitujuan investasi Pemerintah dimaksud, arah kebijakan dana investasi Pemerintah

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

12,0

14,0

2005 2006 2007 2008 2009 2010*

Investasi Pemerintah PMN Dana Bergulir* APBN-P 2010Sumber: Kementerian Keuangan

GRAFIK VI.6REALISASI DANA INVESTASI PEMERINTAH DAN PMN, 2005-2010

(triliun rupiah)

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

7,0

2005 2006 2007 2008 2009 2010

GRAFIK VI.5HASIL PENGELOLAAN ASET 2005-2010

(triliun Rupiah)

APBN-P RealisasiSumber: Kementerian Keuangan

Bab VI

VI-11

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

dititikberatkan pada bidang infrastruktur.

Pemerintah pada tahun 2005 belum menganggarkan dana investasi Pemerintah. Alokasidana investasi Pemerintah pada tahun anggaran 2006 dan 2007 masing-masing sebesarRp2,0 triliun. Pada tahun anggaran 2008, Pemerintah tidak menganggarkan Dana InvestasiPemerintah. Namun pada tahun anggaran 2009 Pemerintah telah mengalokasikan kembaliDana Investasi Pemerintah sebesar Rp500 miliar. Sementara itu, pada tahun 2010 Pemerintahtelah mengalokasikan dana untuk investasi Pemerintah sebesar Rp3,6 triliun, yang terdiridari: (1) Dana Investasi Pemerintah (reguler) Rp927,5 miliar, dan (2) Fasilitas LikuiditasPembiayaan Perumahan Rp2,7 triliun.

Alokasi dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) pada APBN-P 2010 tersebutberasal dari realokasi dana subsidi kredit kepemilikan rumah sederhana sehat (KPRSh) yangdirencanakan untuk menjalankan kebijakan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan. Haltersebut berkenaan dengan perubahan skema subsidi untuk KPRSh menjadi kebijakan fasilitaslikuiditas pembiayaan perumahan, yang menyediakan dana murah jangka panjang untukdipadukan dengan dana bank pelaksana pemberi KPRSh.

Penyertaan Modal Negara (PMN)

Pengertian PMN menurut PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyertaan danPenatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan PerseroanTerbatas (PT) adalah pengalihan kepemilikan barang milik negara/daerah yang semulamerupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untukdiperhitungkan sebagai modal/saham negara atau daerah pada BUMN, BUMD, atau badanhukum lainnya yang dimiliki negara.

Dalam upaya mewujudkan salah satu tujuan bernegara, yaitu meningkatkan kesejahteraanumum, maka Pemerintah berkewajiban untuk menciptakan perkembangan perekonomiannegara, antara lain dengan cara menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggidan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Kewajiban tersebut dapatdilakukan sendiri oleh Pemerintah, baik melalui instansi Pemerintah maupun badan usahayang dibentuk oleh Pemerintah, dan dapat pula dilakukan oleh masyarakat.

Untuk mewujudkan kesejahteraan umum melalui badan usaha, maka Pemerintah dapatmelakukan PMN untuk mendirikan BUMN. Sementara itu, untuk menyelamatkanperekonomian nasional, Pemerintah dapat pula melakukan PMN ke dalam perusahaan yangdi dalamnya belum terdapat saham milik negara. Untuk memperbaiki struktur permodalandan meningkatkan kapasitas usaha BUMN dan Perseroan Terbatas, Pemerintah dapat pulamelakukan penambahan PMN.

Besarnya alokasi dana PMN dalam periode 2005-2010 adalah sebagai berikut: (1) Tahun2005 sebesar Rp5,2 triliun antara lain untuk PT Sarana Multigriya Financial dan LembagaPenjaminan Simpanan, (2) Tahun 2006 sebesar Rp2,0 triliun antara lain untuk PT GarudaIndonesia, PT Merpati Nusantara Airlines, dan PT Kertas Kraft Aceh, (3) Tahun 2007 sebesarRp2,7 triliun antara lain untuk PT Sarana Pengembangan Usaha, PT Asuransi KreditIndonesia, dan PT Pusri, (4) Tahun 2008 sebesar Rp2,5 triliun untuk PT PPA dalam rangkarestrukturisasi BUMN sebesar Rp1,5 triliun, dan perusahaan perseroan di bidang pembiayaaninfrastruktur (PT Sarana Multi Infrastruktur/SMI) sebesar Rp1,0 triliun, (5) Tahun 2009sebesar Rp10,7 triliun antara lain untuk PT Perkebunan Nusantara II, PT Penjaminan

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-12

Infrastruktur Indonesia (PT PII), dan PT Pertamina, (6) Tahun 2010 sebesar Rp6,0 triliunantara lain untuk LPEI, PT PII, PT Askrindo dan Perum Jamkrindo, PT SMI, PerusahaanPenerbit SBSN II dan III, PT Askrindo dan PT BPUI yang berasal dari hibah saham BankIndonesia.

Tidak semua PMN yang dialokasikan oleh Pemerintah dalam kurun waktu 2005-2010 berupafresh money. Beberapa PMN kepada BUMN dialokasikan sebagai bentuk konversi utangpokok (utang RDI dan PNBP), maupun hibah saham dari pihak lain (bersifat in-out). Sebagaicontoh adalah PMN kepada PT Pertamina tahun 2009 yang terkait dengan hasil rekonsiliasiutang piutang (PNBP) Pertamina dan Pemerintah sebagai dasar penetapan neraca awalPertamina tahun 2003. Selain itu, PMN kepada PT Askrindo dan PT BPUI pada tahun 2010berasal dari hibah saham Bank Indonesia.

Sementara itu, sejak tahun 2009 Pemerintah tidak lagi mengalokasikan PMN kepada BUMNtertentu yang bertujuan untuk merestrukturisasi BUMN. Hal tersebut terkait dengan terbitnyaPeraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan PemerintahNomor 10 Tahun 2004 tentang Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di BidangPengelolaan Aset, yang memberikan penugasan kepada PT PPA untuk melakukanrestrukturisasi dan revitalisasi BUMN. Dengan demikian, PMN diberikan kepada PT PPA,dan selanjutnya BUMN dapat mengajukan permintaan restrukturisasi/revitalisasi kepadaPT PPA.

PMN yang berupa fresh money saat ini lebih banyak ditujukan untuk mendukung kebijakanPemerintah dalam bidang tertentu, seperti PMN kepada PT PII dan PT SMI yang ditujukanuntuk mendukung pembangunan infrastruktur, serta PMN kepada PT Askrindo dan PerumJamkrindo yang ditujukan untuk mendukung perluasan program KUR.

Dana Bergulir

Dana bergulir adalah dana yang dipinjamkan untuk dikelola dan digulirkan kepadamasyarakat oleh pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran yang bertujuanmeningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya. Jenis dana bergulir yang dialokasikanPemerintah dalam setiap tahun anggaran tidak sama, tergantung pada kebutuhan penyediaandana yang akan digulirkan kepada masyarakat.

Suatu dana dikategorikan sebagai dana bergulir jika memenuhi karakteristik (1) merupakanbagian dari keuangan negara, (2) dicantumkan dalam APBN dan/atau laporan keuangannegara, (3) dimiliki, dikuasai, dan/atau dikendalikan oleh Pengguna Anggaran (PA)/KuasaPengguna Anggaran (KPA), (4) disalurkan/dipinjamkan kepada masyarakat/kelompokmasyarakat, ditagih kembali dengan atau tanpa nilai tambah, dan digulirkan kembali kepadamasyarakat/kelompok masyarakat (revolving fund), (5) ditujukan untuk perkuatan modalkoperasi, usaha mikro, kecil, menengah dan usaha lainnya, dan (6) dapat ditarik kembalipada suatu saat.

Sebelum tahun 2009, dana bergulir diklasifikasikan ke dalam belanja negara, baik belanjabantuan sosial (bansos), subsidi, belanja hibah, maupun belanja modal nonfisik lainnya.Dalam perkembangannya Pemerintah memandang dana bergulir tidak tepat diklasifikasikanke dalam belanja negara karena tidak sesuai dengan karakteristik dan sifat dana bergulir.Kemudian berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2007 tentang Kebijakan PercepatanPengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah danInstruksi Presiden Nomor 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun

Bab VI

VI-13

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

2008-2009, Menteri Keuangan menerbitkan PMK Nomor 99 Tahun 2008 tentang PedomanPengelolaan Dana Bergulir pada Kementerian Negara/Lembaga tanggal 7 Juli 2008. Barukemudian dalam tahun 2009, Pemerintah mengalokasikan dana bergulir ke dalampembiayaan anggaran. Hal ini sesuai dengan pasal 12 ayat (1) PMK Nomor 99 Tahun 2008yang menyatakan bahwa pengeluaran dana bergulir yang bersumber dari rupiah murnidialokasikan sebagai pengeluaran pembiayaan dalam APBN.

Dalam tahun 2009, Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk dana bergulir sebesarRp915,0 miliar yang digunakan untuk membiayai dana bergulir di bidang koperasi danusaha mikro, kecil dan menengah (KUMKM) sebesar Rp290,0 miliar dan bidang kehutanansebesar Rp625,0 miliar. Realisasinya sampai dengan akhir tahun mencapai Rp911,0 miliaratau 99,6 persen dibandingkan dengan alokasi anggarannya, yang terdiri dari realisasi danabergulir KUMKM sebesar Rp290,0 miliar (100,0 persen) dan realisasi dana bergulirkehutanan sebesar Rp621,0 miliar (99,4 persen).

Dana bergulir di bidang koperasi dikelola oleh Badan Layanan Umum Lembaga PengelolaDana Bergulir KUMKM (BLU LPDB KUMKM) yang merupakan satker di bawahKementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Pengalokasian anggarandana bergulir KUMKM ditujukan untuk (1) membantu perkuatan modal usaha gunamengembangkan koperasi, usaha mikro, kecil, menengah, dan usaha lainnya dalam upayapenanggulangan kemiskinan, pengangguran, dan pengembangan ekonomi nasional,(2) mengembangkan dan menyediakan akses pembiayaan bagi usaha KUMKM melalui poladana bergulir, dan (3) memperkuat pendanaan lembaga keuangan dalam rangkamemberdayakan lembaga keuangan dimaksud agar dapat memberikan layanan pembiayaansecara mandiri bagi KUMKM yang belum memenuhi kriteria kelayakan perbankan umum(not bankable).

Mekanisme penyaluran dana bergulir KUMKM dapat dilaksanakan melalui perantara atautanpa perantara. Mekanisme penyaluran dengan perantara yaitu apabila BLU pengeloladana bergulir memberikan dana bergulir kepada pihak pengguna dana (end user) melaluilembaga perantara. Lembaga perantara dimaksud dapat berupa lembaga keuangan bank(LKB) atau lembaga keuangan bukan bank (LKBB) seperti koperasi primer, koperasi sekunder,perusahaan modal ventura, dan lain-lain. Sedangkan mekanisme penyaluran dana bergulirtanpa perantara yaitu apabila BLU pengelola dana bergulir menyalurkan dana bergulir kepadapihak pengguna dana (end user) secara langsung tanpa melalui lembaga perantara.

Realisasi anggaran dana bergulir KUMKM tahun 2009 mencapai 100,0 persen.Penyalurannya dilaksanakan melalui 6 koperasi sekunder, 33 koperasi primer, 22 perusahaanmodal ventura, dan 6 perbankan.

Beberapa kendala dalam penyaluran dana bergulir KUMKM tahun 2009 yaitu, (1) terbatasnyajumlah tenaga account officer (AO) yang dimiliki BLU LPDB KUMKM, (2) tarif skimpinjaman/pembiayaan masih dalam proses persetujuan Menteri Keuangan sehingga danabergulir yang ada belum bisa disalurkan sesuai dengan kelayakan dan kebutuhan KUMKM,(3) informasi tentang keberadaan BLU LPDB KUMKM belum tersebar luas, (4) ketidaksiapanlembaga perantara sebagai penyalur pinjaman kepada koperasi-koperasi, (5) pemberianpersetujuan pinjaman/pembiayaan dilakukan secara koligial direksi pada rapat komitepinjaman, dan (6) kelemahan database koperasi yang layak untuk mendapatkan pinjaman.

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-14

Sementara itu, dana bergulir kehutanan merupakan dana yang bersumber dari alokasi APBNdan sumber dana lainnya, yang dipinjamkan kepada pemegang ijin usaha pemanfaatanhasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat (IUPHHK-HTR) dan ijin usaha pemanfaatanhasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) untuk pembangunan hutantanaman dengan suku bunga tertentu, yang harus digulirkan ke pemegang IUPHHK-HTRdan IUPHHK-HTI lainnya jika jangka waktu pinjamannya berakhir atau diberhentikan.Dana bergulir di bidang kehutanan dikelola oleh Badan Layanan Umum Pusat PembiayaanPembangunan Hutan (BLU P3H) yang merupakan satker di bawah KementerianKehutanan.

Pengalokasian anggaran dana bergulir kehutanan ditujukan untuk menyediakan dana bagimembiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan melalui skema pinjamandan bergulir kepada badan usaha berbadan hukum, koperasi, dan kelompok tani hutan.

Sumber pembiayaan dana bergulir kehutanan bersumber dari RPH, yang merupakanrekening penampungan dana reboisasi untuk membiayai kegiatan rehabilitasi hutan danlahan menggunakan sistem pinjaman dan dikelola dengan sistem dana bergulir. Sedangkansumber dana RPH berasal dari (1) dana reboisasi, (2) sisa dana reboisasi setiap tahun daribagian Pemerintah Pusat setelah dikurangi alokasi ke Kementerian Kehutanan, (3) danareboisasi dari penerimaan pembayaran kembali pinjaman/kredit beserta bunganya dari paradebitur, hasil divestasi, dividen, dan pungutan kayu sitaan, (4) dana reboisasi yang beradadi pihak ketiga, (5) bunga dan/atau jasa giro yang berasal dari RPH, dan (6) surplus (return)bagian Pemerintah yang berasal dari BLU P3H.

Dalam APBN-P 2010, alokasi dana bergulir meningkat sebesar Rp2,4 triliun atau259,5 persen dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 2009. Peningkatan yang cukupsignifikan ini disebabkan oleh kenaikan alokasi dana bergulir KUMKM dari semulaRp290,0 miliar dalam tahun 2009 menjadi Rp350,0 miliar dan adanya alokasi dana bergulirbaru untuk pengadaan tanah sebesar Rp2,3 triliun. Sedangkan dana bergulir kehutanandalam APBN-P 2010, alokasi anggarannya tetap sama seperti yang dialokasikan dalam tahun2009 sebesar Rp625,0 miliar.

Tujuan pengalokasian dana bergulir KUMKM dan kehutanan dalam tahun 2010 samadengan tahun sebelumnya karena pada prinsipnya kebijakan pemberian dana bergulirKUMKM dan kehutanan dalam tahun 2010 merupakan kelanjutan dari tahun 2009.

Sedangkan alokasi dana bergulirpengadaan tanah ditujukanuntuk dana talangan dalamrangka mempercepat prosespenyelesaian pengadaan tanahuntuk pembangunan 22 ruasjalan tol. Dana bergulir ini dikelolaoleh Badan Layanan UmumBadan Pengatur Jalan Tol (BLUBPJT) yang merupakan satker dibawah Kementerian PekerjaanUmum.-

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

3,5

2009 2010 *

GRAFIK VI.7DANA BERGULIR 2009 - 2010

(triliun rupiah)

KUMKM

Kehutanan

Pengadaan Tanah

Total

* APBN-P 2010Sumber: Kementerian Keuangan

Bab VI

VI-15

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Sebagian anggaran yang digunakan untuk dana bergulir pengadaan tanah berasal darirealokasi cadangan pembiayaan 2010 yang telah dianggarkan dalam APBN 2010 sebesarRp914,3 miliar. Sedangkan sisanya sebesar Rp1,4 triliun merupakan tambahan anggaranbaru. Pemerintah memroyeksikan pembangunan 22 ruas jalan tol akan dapat diselesaikanpaling lambat tahun 2013 dalam upaya memenuhi target pembangunan infrastruktur jalanberdasarkan program prioritas Pemerintah. Perkembangan realisasi dana bergulir tahun2009 dan 2010 dapat dilihat pada Grafik VI.7.

E. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional

Dana pengembangan pendidikan nasional adalah anggaran pendidikan yang dialokasikanuntuk pembentukan endowment fund yang bertujuan untuk menjamin keberlangsunganprogram pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawabanantargenerasi (intergenerational equity) yang pengelolaannya menggunakan mekanismedana bergulir dan dilakukan oleh Badan Layanan Umum (BLU) di bidang pendidikan untukmengantisipasi keperluan rehabilitasi fasilitias pendidikan yang rusak akibat bencana alam.

Pemerintah baru mengalokasikan dana pengembangan pendidikan nasional melaluipembiayaan anggaran sebesar Rp1,0 triliun dalam APBN-P 2010. Sedangkan dalam tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah belum mengalokasikan anggaran untuk keperluan ini.

F. Kewajiban Penjaminan Untuk PT PLN (Persero) dan PDAM

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 86Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2007tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2006 tentang PemberianJaminan Pemerintah Untuk Percepatan Pembangkit Tenaga Listrik Yang MenggunakanBatubara, Pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk jaminan penuh terhadappembayaran kewajiban PT PLN (Persero) kepada kreditur perbankan yang menyediakanpendanaan/kredit untuk proyek-proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000MW. Penjaminan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kelayakan PT PLN (Persero) dalammemperoleh kredit yang diharapkan dapat menurunkan biaya modal proyek. Denganpenjaminan tersebut diharapkan dapat membantu mempercepat penyelesaian ProyekPercepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW dalam rangka mengatasikekurangan pasokan listrik nasional.

Sebagai konsekuensi pemberian jaminan ini, ketika PT PLN (Persero) tidak mampumemenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu, maka Pemerintah wajib memenuhikewajiban tersebut. Pembayaran yang dilakukan oleh Pemerintah kepada kreditor ini akandiperhitungkan sebagai utang PT PLN (Persero) kepada Pemerintah. Terhadap utang ini,PT PLN (Persero) wajib melakukan pelunasan pada kesempatan pertama setelah dilakukanpenagihan atau langsung dilakukan pemotongan dari hak PLN atas subsidi harga listrikyang dibayar Pemerintah. Dana kewajiban penjaminan mulai dianggarkan pada APBNtahun 2007, tetapi sampai dengan akhir tahun 2009, realisasi dana kontijensi untukPT PLN (Persero) masih nihil. Hal ini dikarenakan PT PLN (Persero) masih mampumembayar kewajibannya kepada kreditur dengan baik. Selanjutnya pada APBN-P 2010,dana kewajiban penjaminan untuk PT PLN (Persero) kembali dialokasikan sebesarRp1,0 triliun.

Sementara itu, Pemerintah juga melakukan penjaminan terhadap kemungkinan gagal bayardari proyek PDAM sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 tentang

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-16

Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat Dalam Rangka PercepatanPenyediaan Air Minum. Selain itu, kewajiban penjaminan untuk PDAM dialokasikan dalamrangka percepatan penyediaan air minum yang merupakan salah satu kebutuhan dasarpenduduk yang perlu diupayakan agar senantiasa tersedia dalam jumlah yang cukup meratadan mutu yang baik dalam rangka pencapaian millenium development goals (MDG’s),sehingga perlu diberikan akses pembiayaan bagi PDAM untuk memperoleh kredit investasidari perbankan nasional. Dana kewajiban penjaminan untuk PDAM mulai dianggarkanpada tahun 2010. Pada APBN-P 2010, Pemerintah mengalokasikan dana kewajibanpenjaminan untuk PDAM sebesar Rp50,0 miliar.

G. Pinjaman kepada PT PLN (Persero)

Dalam rangka mendukung percepatan pembangunan infrastruktur di bidang kelistrikan,selain memberikan penjaminan kepada PT PLN (Persero) sebesar Rp1,0 triliun, Pemerintahjuga mengalokasikan anggaran untuk pinjaman kepada PT PLN (Persero) sebesar Rp7,5triliun dalam APBN-P 2010. Dalam tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah tidakmengalokasikan anggaran untuk pinjaman kepada PT PLN (Persero).

Pinjaman ini merupakan pinjaman lunak dengan masa pengembalian antara 10 sampaidengan 15 tahun dengan masa tenggang maksimal 5 tahun, jika dibayarkan secaraamortisasi. Selain itu, tingkat suku bunga yang dikenakan atas pinjaman ini juga rendahguna mempertimbangkan pemenuhan covenant utang-utang PT PLN (Persero). Rencanapemberian pinjaman tersebut akan digunakan PT PLN (Persero) untuk menutup financinggap PT PLN (Persero) sebagai akibat dari pengadaan dan penggantian trafo, penguataninstalasi transmisi dan distribusi serta investasi lainnya.

Untuk penyalurannya, Pemerintah memberikan penugasan kepada Badan Layanan UmumPusat Investasi Pemerintah (BLU PIP) untuk melaksanakan pemberian pinjaman denganpenerbitan Peraturan Presiden. Pemberian pinjaman kepada PT PLN (Persero) juga mengikutiketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah.

6.2.2.2 Pembiayaan Utang

Utang merupakan instrumen pembiayaan yang hampir selalu digunakan oleh berbagainegara di dunia untuk menutup defisit pembiayaannya. Hal ini disebabkan karena sumberini relatif tersedia baik dalam bentuk pinjaman maupun surat berharga. Pinjaman tersebutdapat diberikan oleh lembaga pemberi pinjaman sebagai perantara (intermediaries) sepertiBank Dunia atau bank pembangunan kawasan misalnya Asian Development Bank untukkawasan Asia Pasifik, African Development Bank untuk kawasan Afrika, EuropeanDevelopment Bank untuk kawasan Eropa, atau Inter American Development Bank untukkawasan Amerika Selatan, maupun diberikan oleh negara atau lembaga keuangan yangmewakili sebuah negara. Di negara-negara yang telah maju industri keuangan dan pasarmodalnya, pembiayaan utang lebih banyak bersumber dari pasar atau investor pasarkeuangan melalui penerbitan surat berharga.

Pemerintah Indonesia menggunakan dua instrumen utang tersebut dalam memenuhipembiayaannya baik instrumen pinjaman maupun instrumen surat berharga. Secara brutopembiayaan utang meningkat dari Rp76,5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp249,8 triliunpada tahun 2010 atau meningkat lebih dari 3 kali. Seiring dengan peningkatan pembiayaanutang¸ penarikan pinjaman juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Penarikan

Bab VI

VI-17

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

pinjaman pada tahun 2005 sebesar Rp29,1 triliun meningkat menjadi Rp70,8 triliun padatahun 2010 untuk memanfaatkan pinjaman program dalam memenuhi kebutuhanpembiayaan utang tunai. Hal ini dilakukan karena penggunaan dana pinjaman programtidak terikat pada kegiatan tertentu atau lebih fleksibel, sehingga pemanfaatannya akanlebih optimal sesuai dengan kebutuhan belanja Pemerintah. Namun demikian, kenaikanpenarikan pinjaman ini tidak sebanding dengan meningkatnya penerbitan SBN. PenerbitanSBN pada tahun 2010 meningkat lebih dari 4 kali lipat dibandingkan tahun 2005, yaitu dariRp47,4 triliun ke Rp178,0 triliun. Peningkatan yang cukup besar tersebut lebih banyakdipenuhi melalui penerbitan SBN domestik, hal ini dilakukan karena untuk meningkatkanlikuiditas dan kedalaman pasar dalam negeri serta untuk mengurangi risiko perubahan matauang. Perkembangan pembiayaan utang tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Grafik.VI.8.

A. Penerbitan SBN neto

Sepanjang periode 2005–2009, perkembangan realisasi pembiayaan khususnya yangbersumber dari penerbitan SBN cenderung semakin meningkat. Faktor utama yangberkontribusi bagi peningkatan penerbitan SBN ini adalah (i) adanya kebijakan untukmemprioritaskan pendanaan dari sumber pembiayaan domestik dan mengurangiketergantungan pada sumber pembiayaan luar negeri, (ii) adanya kebutuhan pembiayaankembali dan reprofiling utang.

Dalam upaya memenuhi target pembiayaan yang terus meningkat tersebut, penerbitan SBNmenghadapi berbagai tantangan yang cukup berat mengingat kondisi pasar SBN masihperlu untuk terus dikembangkan dan masih cukup rentan apabila terjadi krisis.

Pada tahun 2005, target penerbitan SBN neto dalam APBN-P ditetapkan sebesar Rp22,1

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Total Utang 76,5  123,9  150,9  182,9  207,2  249,8 

Penerbitan SBN 47,4  94,2  116,9  132,7  148,5  178,0 

Penarikan PLN 29,1  29,7  34,1  50,2  58,7  70,8 

Penarikan PDN ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 1,0 

50,0 

100,0 

150,0 

200,0 

250,0 

300,0 

triliun

 rupiah

GRAFIK VI.8PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN UTANG

TAHUN 2005-2010

Sumber: Kementerian Keuangan

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-18

triliun atau secara gross sebesar Rp43,3 triliun. Pada tahun ini kondisi pasar keuangan kurangmendukung program penerbitan SBN akibat adanya krisis reksa dana. Dalam realisasinya,penerbitan gross SBN pada tahun 2005 adalah sebesar Rp47,4 triliun yang digunakan untukmembiayai defisit sebesar Rp22,6 triliun dan untuk pembiayaan kembali SBN jatuh temposebesar Rp24,8 triliun. SBN yang diterbitkan meliputi ON seri FR sebesar Rp22,5 triliundengan tenor rata-rata 9,2 tahun dan ON valas sebesar Rp24,8 triliun dengan tenor rata-rata 15,0 tahun Walaupun kondisi pasar keuangan kurang mendukung, minat investor untukberinvestasi pada SBN masih cukup tinggi yang ditunjukkan oleh bid to cover ratio sebesar2,16 kali.

Pada tahun 2006 dan 2007, target penerbitan SBN neto dalam APBN-P meningkat cukupsignifikan menjadi sebesar Rp35,8 triliun dan Rp58,5 triliun atau secara gross Rp90,5 triliundan Rp99,3 triliun. Peningkatan target penerbitan tersebut dapat dipenuhi dengan biayayang relatif rendah karena adanya upaya pengembangan instrumen SUN dan perluasanbasis investor yang didukung kondisi pasar keuangan yang sudah pulih dari krisis reksadanadan kondisi makro ekonomi yang stabil. Hal ini terlihat dari tingginya likuiditas di pasarkeuangan yang tercermin pada indikator bid to cover ratio sebesar 2,32 kali di tahun 2006dan 2,22 kali di tahun 2007. Realisasi penerbitan gross SBN pada tahun 2006 adalah sebesarRp94,2 triliun yang terdiri dari ON seri FR sebesar Rp42,6 triliun dengan tenor rata-rata11,6 tahun dan ON valas sebesar Rp20,0 triliun dengan tenor rata-rata 20,3 tahun yangdigunakan untuk membiayai defisit sebesar Rp36,0 triliun dan pembiayaan kembali SBNjatuh tempo sebesar Rp58,3 triliun. Sedangkan pada tahun 2007, realisasi penerbitan grossSBN adalah sebesar Rp116,9 triliun yang terdiri dari ON seri FR sebesar Rp71,7 triliun dengantenor 14,1 tahun, ON seri SPN sebesar Rp4,2 triliun dengan tenor rata-rata 1,0 tahun, ONseri ZCB sebesar Rp10,5 triliun dengan tenor rata-rata 2 tahun dan ON valas sebesar Rp13,6triliun dengan tenor 30 tahun yang digunakan untuk membiayai defisit sebesar Rp57, 2triliun dan pembiayaan kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp59,7 triliun. Pada paruh keduatahun 2007, pasar keuangan global diguncang oleh krisis keuangan yang dipicu oleh krisissubprime mortgage di Amerika, namun dampak dari krisis global ini belum secara signifikanmempengaruhi pasar SBN dalam negeri.

Pada tahun 2008, target penerbitan SBN neto dalam APBN-P meningkat menjadi sebesarRp117,8 triliun atau secara gross sebesar Rp157,0 triliun. Pada tahun ini, dampak krisissubprime morgage yang melanda Amerika Serikat mulai dirasakan oleh pasar keuangan

-100,0

-50,0

0,0

50,0

100,0

150,0

200,0

2005 2006 2007 2008 2009 2010*

SBN (neto) Penerbitan Pokok Jatuh TempoSumber: KementerianKeuangan

GRAFIK VI.9REALISASI PEMBIAYAAN MELALUI PENERBITAN SBN

(triliun rupiah)

* APBN-P 2010

Bab VI

VI-19

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

domestik dan mencapai puncaknya pada paruh kedua tahun 2008. Dalam kondisi pasarkeuangan yang memburuk tersebut, mengingat pasar obligasi tidak dapat dipisahkan dengankondisi pasar keuangan pada umumnya, maka Pemerintah mengambil tindakan antaralain dengan (i) menghentikan penerbitan SUN untuk menjaga kepercayaan investor danmengurangi kekhawatiran atas oversupply SUN dan (ii) melakukan program debt switchdan buyback. Dengan demikian, realisasi penerbitan gross SBN hanya sebesar Rp132,7 triliunyang diarahkan untuk membiayai defisit anggaran sebesar Rp86,0 triliun dan pembiayaankembali SBN jatuh tempo sebesar Rp46,8 triliun. SBN yang diterbitkan meliputi ON seri FRsebesar Rp62,4 triliun dengan tenor rata-rata 9,6 tahun, ON seri VR sebesar Rp5,0 triliundengan tenor rata-rata 3 tahun, ON seri SPN sebesar Rp10,0 triliun dengan tenor rata-rata0,9 tahun, ON seri ZCB sebesar Rp9,6 triliun dengan tenor rata-rata 3 tahun dan ON valassebesar Rp39,3 triliun dengan tenor rata-rata 18,1 tahun.

Dalam rangka mengatasi dampak krisis yang semakin memburuk pada perekonomiannasional, Pemerintah mengambil kebijakan dengan memberikan stimulus fiskal dalam APBN2009. Hal ini berimplikasi kepada kenaikan target penerbitan SBN neto dari semula Rp54,7triliun dalam APBN 2009 menjadi Rp99,3 triliun dalam APBN-P 2009 atau secara grosssebesar Rp99,6 triliun menjadi Rp144,8 triliun. Menyadari bahwa kondisi pasar keuangandunia masih belum kondusif, pemenuhan target pembiayaan melalui penerbitan SBN tersebutdikhawatirkan tidak dapat dilakukan secara optimal. Beberapa faktor yang dinilai dapatmempengaruhi tidak optimalnya penerbitan SBN pada saat itu antara lain adalah(i) terbatasnya permintaan dari investor akibat perlambatan ekonomi yang berimbas padapenurunan kapasitas investasi dan keterbatasan likuiditas, (ii) semakin banyaknya negara-negara di dunia yang melakukan penambahan utang untuk menutup kebutuhanpenyelamatan perekonomian dan fiskal stimulus, dan (iii) potensi terjadinya crowding outeffect, yang dapat berakibat pada sulitnya mencari pembiayaan dari pasar dan makinmahalnya biaya yang harus ditanggung.

Sebagai respon terhadap tingginya target pembiayaan tahun 2009 di tengah kondisi pasaryang kurang kondusif, Pemerintah melakukan pembicaraan secara intensif dengan pemberipinjaman konvensional baik multilateral maupun bilateral, mengenai kemungkinan untukmemberikan fasilitas pinjaman siaga (contingency loan) dalam hal penerbitan SBN tidakdapat dilakukan secara optimal. Tindak lanjut dari inisiatif ini, Pemerintah melakukanpenandatanganan perjanjian dengan empat development partners yaitu Bank Dunia, ADB,Pemerintah Jepang melalui JBIC, dan Pemerintah Australia. Adapun masa laku daripinjaman siaga ini adalah selama 2 (dua) tahun, terhitung dari tahun 2009–2010. Pinjamanini bukan merupakan pinjaman yang bersifat stand-by sebagaimana halnya commited creditline, yang dapat ditarik sewaktu-waktu dalam hal diperlukan dan dapat menjadi substitusidari alternatif pembiayaan yang telah ada. Bentuk dukungan pinjaman siaga dapat berupapemberian pinjaman, yang hanya dapat ditarik dalam hal 2 (dua) kondisi yang disepakatiantara Pemerintah dengan development partners secara simultan terpenuhi yaitu (i) targetpembiayaan Pemerintah dalam satu triwulan tertentu tidak dapat dipenuhi dan (ii) yieldobligasi Pemerintah yang diterbitkan melampaui threshold tertentu yang disepakati. Untukfasilitas dalam bentuk pinjaman ini tercakup dalam kerangka Public Expenditure SupportFacility (PESF) yang dalam pelaksanaannya memperoleh dukungan dari Bank Dunia, ADB,dan Pemerintah Australia. Selain itu, pinjaman siaga dapat berupa pemberian jaminan(guarantee) melalui kerangka Market Access Support Facility (MASF) yang diberikan olehPemerintah Jepang. Dalam skema ini Pemerintah dapat melakukan penerbitan surat

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-20

berharga di pasar internasional, terutama pasar keuangan Jepang dengan mendapatkanjaminan dari Pemerintah Jepang melalui JBIC. Sampai dengan pertengahan tahun 2009,pinjaman siaga tersebut baru dimanfaatkan sebesar JPY35 miliar melalui penerbitan JBICguaranteed samurai bonds (shibosai) di pasar keuangan Jepang. Sedangkan pinjaman siagadalam kerangka PESF sampai saat ini belum dimanfaatkan. Hal ini disebabkan karena kondisipasar keuangan yang cenderung mengalami perbaikan sejak awal tahun 2009 sampai dengansaat ini, sehingga 2 (dua) syarat dalam rangka penarikan pinjaman ini belum terlampaui.

Dalam realisasinya, penerbitan gross SBN pada tahun 2009 adalah sebesar Rp148,5 triliunyang digunakan untuk membiayai defisit sebesar Rp99,5 triliun dan untuk pembiayaankembali SBN jatuh tempo sebesar Rp 49,1 triliun. SBN yang diterbitkan meliputi ON seri FRsebesar Rp66,1 triliun dengan tenor rata-rata 10,7 tahun, ON seri VR sebesar Rp6,5 triliundengan tenor rata-rata 4,5 tahun ON seri SPN sebesar Rp25,2 triliun dengan tenor rata-rata0,5 tahun dan ON valas sebesar Rp46,8 triliun dengan tenor rata-rata 8 tahun.

Sebagai salah satu respon terhadap kecenderungan meningkatnya target penerbitan SBN,dan mempertimbangkan tingginya likuiditas pasar keuangan pada awal tahun, Pemerintahdalam melakukan penerbitan SBN menerapkan kebijakan front loading. Melalui kebijakanini, porsi jumlah penerbitan diatur sedemikian rupa sehingga jumlah penerbitan pada semesterI relatif lebih besar dari pada jumlah penerbitan semester II. Pertimbangan dilaksanakannyakebijakan front loading ini antara lain adalah sebagai berikut:

1. Memanfaatkan kondisi pasar yang relatif bullish pada awal tahun.

2. Memberikan rasa aman bagi para pelaku pasar bahwa target penerbitan SBNPemerintah relatif akan dapat dicapai.

3. Tambahan biaya yang harus ditanggung Pemerintah untuk setiap peningkatan bidyang diterima pada saat lelang pada semester I umumnya lebih kecil daripada semesterII.

4. Praktik front loading merupakan praktik yang umum dilakukan oleh Debt ManagementOffice (DMO) di banyak negara.

5. Penerapan strategi front loading dalam pengelolaan utang yang prudent cenderungmemberikan kontribusi positif pada stabilitas fiskal dan pasar keuangan dan diapresiasioleh rating agencies.

Namun, pelaksanaan kebijakan ini dilakukan secara hati-hati dan terukur denganmempertimbangkan kondisi kas negara, kondisi pasar keuangan, dan rencana kebijakanfiskal yang ditempuh sehingga kebijakan front loading yang dilakukan dapat mendorongpengembangan pasar obligasi domestik. Dalam periode 2005-2009 gambaran hasilpelaksanaan kebijakan ini dapat dilihat dalam Tabel VI.3.

Seiring dengan meningkatnya target pembiayaan defisit anggaran melalui penerbitan SBN,diperlukan kondisi pasar SBN yang aktif, dalam, dan likuid. Dalam rangka meningkatkanlikuiditas dan kedalaman pasar SBN, upaya yang dilakukan Pemerintah adalah melaluipengembangan instrumen SBN, baik SBN domestik maupun SBN Valas. Pengembanganinstrumen SBN domestik yang telah dilakukan sepanjang tahun 2005-2010 diantaranyaadalah pengembangan obligasi ritel, pengembangan SBSN, sukuk ritel, SPN, obligasi tanpakupon (zero coupon bond–esZCB), dan sukuk dana haji Indonesia (SDHI). Produk obligasinegara ritel yang lebih dikenal ORI diperkenalkan pada tahun 2006, yang ditujukan bagi

Bab VI

VI-21

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

investor individu. Untuk itu, terms and condition produk obligasi ritel ini disesuaikan dengankebutuhan investor individu, diantaranya tingkat bunga yang lebih tinggi dibandingkandengan tingkat bunga tabungan, maupun deposito dan pembayaran bunga yang dilakukansecara bulanan. Selanjutnya pada tahun 2007, Pemerintah memperkenalkan instrumen ZCByang diarahkan untuk menyesuaikan pola investasi dari perusahaan asuransi dan danapensiun. Selanjutnya untuk mengisi kebutuhan pasar akan instrumen jangka pendek,Pemerintah menerbitkan surat perbendaharaan negara (SPN) yang terutama ditujukan bagikalangan perbankan sebagai instrumen untuk menyelaraskan durasi. Pada awalnya SPNdan ZCB kurang diminati oleh pasar karena adanya perlakuan pajak yang dinilai memberatkaninvestor. Menanggapi hal tersebut, Pemerintah mengkaji kembali perlakuan pajak atas keduainstrumen tersebut dan melakukan penyesuaian sehingga instrumen tersebut menjadi lebihmenarik. Dampak dari kebijakan ini telah dirasakan secara nyata dengan tingginya minatinvestor setelah perlakuan pajak yang baru terhadap kedua instrumen tersebut terutamaSPN ditetapkan. Memasuki tahun 2008, setelah ditetapkannya UU tentang Surat BerhargaSyariah Negara (SBSN), Pemerintah melakukan penerbitan SBSN dengan tenor 7 dan 10tahun di pasar domestik dan internasional. Penerbitan ini mendapat sambutan yang cukupbaik dengan terpenuhinya target penerbitan SBSN bahkan penawaran yang masuk lebihtinggi dari target yang ditetapkan.

Berkenaan dengan mata uang SBN yang diterbitkan, sejak tahun 2004 Pemerintah mulaimenerbitkan SBN dalam denominasi valas dalam mata uang USD, sedangkan dalam matauang JPY baru dimulai pada tahun 2009. Tujuan penerbitan SBN valas adalah untukmemenuhi pembiayaan dan untuk mengelola portofolio utang Pemerintah. Penerbitan SBNdalam mata uang USD pada awalnya menggunakan program stand alone dengan formatreg S/144A, namun sejak tahun 2009 Pemerintah menerbitkan SBN Valas dengan formatGMTN (Global Medium Term Note). Penerbitan dengan format Reg S/144A memerlukan

Tahun Semester I Semester II Total

29.072.000,0 18.225.000,0 47.297.000,0

61,5% 38,5%

44.054.000,0 18.533.650,0 62.587.650,0

70,4% 29,6%

57.508.200,0 42.446.495,0 99.954.695,0

57,5% 42,5%

95.668.565,0 25.876.875,0 121.545.440,0

78,7% 21,3%

84.925.000,0 43.082.156,0 128.007.156,0

66,3% 33,7%

Catatan: Penerbitan SBN termasuk dengan lelang dan private placement , tetapi belum termasuk SBSN

Sumber: Kementerian Keuangan

2008

2009

TABEL VI.3REKAPITULASI PENERBITAN SBN PER SEMESTER, 2005-2009

2005

2006

2007

(juta rupiah)

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-22

waktu yang cukup panjang sehingga terbuka peluang untuk diprediksi oleh pasar yang padaakhirnya cenderung mendorong yield ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan format GMTNPemerintah dapat melakukan penerbitan sampai dengan jumlah yang didaftarkan padaprogram GMTN tersebut dan realisasi penerbitan dapat dilaksanakan setiap saat dalamperiode yang telah ditentukan, sesuai dengan kebutuhan pembiayaan. Dengan demikianPemerintah memiliki fleksibilitas dalam memilih waktu yang tepat untuk penerbitan yangpada akhirnya dapat mengurangi noise di pasar keuangan. Pada tahun 2009 Pemerintahmencoba menjajaki pasar Jepang dengan menerbitkan shibosai sebesar JPY 35 miliar yangmemanfaatkan fasilitas Market Access Support Facility (MASF) yang diberikan olehPemerintah Jepang melalui JBIC. Penerbitan shibosai ini menggunakan mekanisme privateplacement kepada investor Jepang yang potensial. Pada tahun 2010 direncanakan untukmelakukan penerbitan shibosai pada semester II 2010, penerbitan ini ditujukan untukmenambah likuiditas shibosai dengan menambah jumlah outstanding.

SBN valas juga diterbitkan dengan basis syariah (sukuk valas). Penerbitan pertama kalidilakukan pada bulan April 2009 sebesar USD650 juta dengan akad Ijarah sale and leaseback. Penerbitan tersebut merupakan penerbitan straight sukuk terbesar di luar negara telukdan merupakan benchmark pertama kali sukuk valas di Asia sejak tahun 2007. Minat investorterhadap instrumen ini cukup tinggi tercermin dari tingginya jumlah penawaran yang masuk(over subscription) sebanyak 7,3 kali dari jumlah penerbitan.

Selain itu, Pemerintah berupaya untuk terus melakukan pengembangan pasar perdanamelalui peningkatan kualitas pengelolaan SBN salah satunya dengan meningkatkan aspekcertainty dan predictability bagi para investor. Melalui kedua aspek ini maka diharapkankualitas pengelolaan SBN dapat ditingkatkan. Salah satu initiatif yang telah dilakukan padatahun 2007, Pemerintah mengimplementasikan primary dealership system yangmemungkinkan terjadinya market making dalam pasar SBN. Kemudian tahun 2010,pengembangan pasar antara lain dilakukan dengan menyusun jadwal pelaksanaan lelangper triwulan yang meliputi indikasi waktu, jenis instrumen per tenor, dan rencana penerbitantriwulanan. Meskipun jadwal ini sifatnya masih tentative, namun setidaknya dapatmemberikan gambaran bagi investor terhadap penyusunan rencana investasi di SBNsepanjang tahun. Sedangkan dalam pengembangan pasar sekunder, telah ditetapkan crisismanagement protocol sebagai mekanisme early warning dan prosedur dalama pengelolaanjika terjadi krisis di pasar sekunder. Kemudian diperkenalkan metode securities lending andborrowing bagi primary dealers, dan Pemerintah dapat melakukan stabilisasi pasar dengantransaksi langsung melalui dealing room.

Dalam pengelolaan portofolio dan risiko utang, Pemerintah juga telah mengembangkanberbagai operasi untuk memperbaiki struktur portofolio dan mengendalikan risiko yangterkandung dalam utang. Sebagai salah satu contoh dalam pengendalian risiko refinancing,Pemerintah telah melakukan operasi pasar melalui program cash buyback dan programpenukaran utang (debt switching). Konsep dasar kedua program tersebut adalah sama, yaitumenukar utang yang jatuh tempo dalam jangka waktu pendek dengan utang yang memilikijangka waktu yang lebih panjang, atau dapat dilakukan dengan menerbitkan obligasi yangdapat menjadi benchmark dan aktif ditransaksikan (on the run) untuk menggantikan obligasiyang tidak aktif (off the run).

B. Penarikan Pinjaman

Meskipun secara neto besaran penarikan pinjaman luar negeri ditetapkan negatif dan

Bab VI

VI-23

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

perannya sebagai sumber pembiayaan sejak tahun 2004 sudah tidak lagi dominan, namunpembiayaan defisit anggaran yang bersumber dari pinjaman luar negeri masih dipertahankansampai saat ini. Hal tersebut didasari oleh masih adanya kebutuhan untuk mendukungpembiayaan kegiatan yang terkait langsung dengan belanja negara dan penerusan pinjaman,maupun dalam bentuk pinjaman luar negeri tunai yang berfungsi sebagai budget support.Dalam upaya mengurangi risiko nilai tukar yang melekat pada instrumen pinjaman luarnegeri serta mempertimbangkan ketersediaan sumber dalam negeri, Pemerintahmengembangkan instrumen pembiayaan dari pinjaman yang bersumber dari dalam negeri.Seiring dengan telah dipenuhinya kerangka infrastruktur peraturan perundangan maupunperaturan operasional, pinjaman dalam negeri mulai digunakan sebagai instrumenpembiayaan pada tahun 2010.Sesuai dengan peruntukkannya,pinjaman dalam negeri hanyadiarahkan untuk pembiayaankegiatan. Dengan demikian,terhitung mulai tahun 2010 dalamrangka pembiayaan defisitanggaran, Pemerintah mempunyaidua instrumen pinjaman yaitupinjaman luar negeri dan pinjamandalam negeri.

Pinjaman Luar Negeri

Dalam periode 2005-2010,penarikan pinjaman luar negeridilakukan atas pinjaman proyek dan pinjaman tunai. Pinjaman proyek merupakan pinjamanyang berkaitan langsung dengan pelaksanaan kegiatan tertentu yang dilaksanakan oleh K/L sehingga tercakup dalam belanja K/L atau yang diteruspinjamkan kepada PemerintahDaerah atau BUMN. Sedangkan pinjaman tunai yang lebih dikenal dengan sebutan pinjamanprogram merupakan pinjaman yang digunakan untuk pembiayaan defisit (budget support)yang syarat pencairannya adalah melalui pemenuhan policy matrix atau terlaksananyasebuah kegiatan tertentu. Pada tahun 2005 – 2009, terdapat kecenderungan peningkatanjumlah total penarikan pinjaman. Apabila dilihat secara rinci, perkembangan penarikanpinjaman program mulai meningkat sejak tahun 2007 seiring dengan meningkatnyakebutuhan pembiayaan utang tunai. Sedangkan penarikan pinjaman proyek dari tahun 2005-2007 cenderung menurun, namun kembali meningkat pada tahun 2008 dan 2009.Perkembangan pinjaman luar negeri tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Grafik VI.10.

Sebagaimana disebutkan di atas, realisasi penarikan pinjaman proyek dalam periode 2005-2007 cenderung menurun, dan kemudian cenderung meningkat pada tahun 2008-2009.Namun, apabila dibandingkan antara besaran realisasi dengan target yang ditetapkan dalamAPBN/APBN-P, realisasi penarikan pinjaman proyek pada periode 2005-2009 masih beradadi bawah target yaitu rata-rata hanya mencapai angka 72,9 persen. Relatif rendahnya realisasipenarikan pinjaman proyek tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain (1) adanyakendala permasalahan di lapangan, misalnya kesulitan dalam pembebasan tanah dan/atautidak diperolehnya perijinan penggunaan lahan, (2) belum siapnya pelaksanaan kegiatan ditahun pertama yang ditunjukkan dengan belum disediakannya dana pendamping/uangmuka, atau belum lengkapnya organ pelaksana kegiatan, (3) penyelesaian pengadaan yang

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

35,0

40,0

45,0

2005 2006 2007 2008 2009 2010*

12,313,6

19,6

30,1 28,9 29,4

16,8 16,1 14,5

20,1

29,7

41,4

Pinjaman Program Pinjaman Proyek* APBN-P 2010

Sumber: KementerianKeuangan

GRAFIK VI.10PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI, 2005-2010

(triliun rupiah)

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-24

tertunda akibat adanya persyaratantertentu dari pemberi pinjaman(lender) atau karena barang yangdiadakan memiliki karakteristiksangat spesifik, (4) penyusunanbesaran rencana penarikan yangterlalu optimis, (5) adanyapersyaratan administratif yangbelum dipenuhi oleh pelaksanakegiatan sehingga mengakibatkandana diblokir, dan lain-lain.Perkembangan target dan realisasipenarikan pinjaman proyek tahun2005-2009 dapat dilihat pada

Grafik VI.11.

Dalam kurun waktu tahun 2005-2009, khususnya mulai tahun 2007 terdapatkecenderungan peningkatan kebutuhan pemenuhan pembiayaan dari pinjaman tunai.Besaran realisasi penarikan pinjaman tunai tersebut meningkat dua kali lipat yaitu padatahun 2005-2006 dibandingkan dengan 2008-2009. Hal ini dapat dipahami, mengingatsumber pembiayaan dari pinjaman tunai luar negeri yang merupakan non market baseinstrument diharapkan dapat mendukung pemenuhan kebutuhan pembiayaan pada saatterjadi krisis global.

Salah satu pertimbangan dimanfaatkannya pinjaman tunai ini adalah sifat penarikannyayang single disbursement dan tidak earmark dengan belanja tertentu (khususnya bagipinjaman tunai di luar mekanisme refinancing modality), sehingga relatif fleksibel dalampemanfaatannya. Namun demikian, perlu dipertimbangkan bahwa pinjaman tunai memilikisyarat pencairan yaitu policy matrix (untuk pinjaman program reguler) atau terlaksananyasebuah kegiatan (dalam konteks refinancing modality). Selain itu, mengingat sifatnya yangsingle disbursement, pinjaman tunai berpotensi mengurangi country limit/ single countryceiling yang diterapkan oleh masing-masing lender. Hal ini akan mengurangi ruang dankapasitas negara peminjam untuk melakukan pinjaman baru, ataupun jika batasan ini dapatdilampaui maka biaya pinjaman dapat berpotensi naik.

Sepanjang tahun 2005-2010, tidak semua pemberi pinjaman bersedia atau memiliki produkyang menyediakan fasilitas pinjaman tunai ini. Selama periode tersebut hanya empat pemberipinjaman yang secara konsisten menyediakan fasilitasnya yaitu Bank Dunia, ADB, JapanInternational Cooperation Agency (JICA) dan Agence Française de Développement (AFD,Perancis). Sebenarnya, tidak tertutup kemungkinan adanya lender lain yang menyediakanfasilitas pinjaman tunai, namun terdapat potensi bahwa dana tunai yang disediakan memilikikonsekuensi biaya yang relatif mahal.

Adapun dari sisi fokus program yang akan diterjemahkan dalam matriks kebijakan (policymatrix) sebagai syarat penarikan, terdapat beberapa program yang secara generik dapatmenggambarkan pinjaman tunai dimaksud, antara lain kebijakan di bidang programpembangunan, infrastruktur, dan climate change. Dalam pemenuhan policy matrix tersebut,diperlukan upaya penyusunan berbagai kebijakan, baik yang berbentuk penetapan aturanperundangan maupun aturan operasional, serta studi-studi yang mengarah pada reformasi

0,0

10,0

20,0

30,0

40,0

AP

BN

-P

Re

ali

sasi

AP

BN

-P

Re

ali

sasi

AP

BN

-P

Re

ali

sasi

AP

BN

-P

Re

ali

sasi

AP

BN

-P

Re

ali

sasi

2005 2006 2007 2008 2009

Sumber: KementerianKeuangan

GRAFIK VI.11PERKEMBANGAN PENARIKAN PINJAMAN PROYEK, 2005-2010

(triliun rupiah)

Bab VI

VI-25

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

kebijakan. Mengingat reformasi kebijakan tersebut dilakukan di segala bidang, maka dalampemenuhan syarat penarikan tersebut sangat diperlukan keterlibatan aktif setiap K/L yangterkait langsung dengan masing-masing fokus area tersebut.

Kebijakan di bidang program pembangunan tercakup dalam Development Policy Loan (DPL)yang merupakan produk pinjaman tunai dari Bank Dunia dan Development Policy SupportProgram (DPSP), dengan ADB sebagai lender. JICA melakukan cofinancing dengan BankDunia untuk program ini. Terdapat 3 area kebijakan publik yang menjadi perhatianPemerintah untuk pelaksanaan program ini yaitu perbaikan iklim investasi, penguatanpengelolaan keuangan publik, dan pengentasan kemiskinan. Trigger Policy sesuaikarakteristik masing-masing area kebijakan publik tersebut, yaitu (i) perbaikan iklim investasi,fokus kebijakan Pemerintah pada penyelesaian studi dalam pengurangan beban pajak bagiwajib pajak tertentu, operasionalisasi sistem pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) besertaregulasi teknisnya dan pembenahan daftar negatif investasi (DNI), yang diikuti denganmendirikan sistem lisensi operasional investasi online (SPIPISE) dan pembentukan staf help-desk untuk Indonesia National Single Window (INSW), (ii) penguatan pengelolaan keuanganpublik, diwujudkan dengan melakukan pengembangan kapasitas SDM untuk meningkatkanfungsi procurement dalam Pemerintahan sehingga dapat meningkatkan kecepatan danefektifitas dalam melakukan procurement, kemudian menyempurnakan mekanisme untukmeningkatkan kualitas K/L dalam melakukan cash and budget forecasting agar efisiensipengelolaan uang negara meningkat, dan pembentukan komite teknologi dan informasi sertapemberlakuan pemakaian standar kebijakan dalam penggunaan teknologi informasiPemerintah; dan (iii) pengentasan kemiskinan, antara lain melalui pelaksanaan sensus secaranasional untuk melakukan pemetaan terhadap kemiskinan yang dilanjutkan denganpelaksanaan kegiatan pengentasan kemiskinan di tahun 2011. Sejak tahun 2005–2009, totalpenarikan pinjaman program di bidang program pembangunan yang telah dilakukan adalahsebesar USD4.693 juta yang terdiri dari Bank Dunia sebesar USD3.100 juta, ADB sebesarUSD1.000 juta dan JICA sebesar equivalen USD593 juta.

Program pembangunan infrastruktur melalui Infrastructure Development Policy Loan(IDPL) dengan lender dari Bank Dunia dan Infrastructure Reform Sector DevelopmentProgram (IRSDP) dengan ADB yang melakukan cofinancing dengan JICA sebagai lender.Dalam program ini area utama kebijakan infrastruktur berfokus pada kebijakan untukmempertahankan alokasi dana APBN 2010 di bidang infrastruktur dan penyediaan listrikyang stabil, efektif, dan berkesinambungan. Fokus kebijakan infrastruktur lainnya adalahPublic Private Partnership (PPP), yaitu upaya untuk mengutamakan peningkatan kerjasamaantara Pemerintah dan pihak swasta. Pinjaman program untuk program pembangunaninfrastruktur baru dimulai pada tahun 2006 dengan penarikan pinjaman dari ADB sebesarUSD400 juta. Sepanjang tahun 2006–2009, jumlah penarikan pinjaman program untukprogram pembangunan infrastruktur yang telah ditarik dari 3 lender ini adalah USD1,530juta.

Program perubahan iklim melalui Climate Change Program Loan (CCPL) didukungpembiayaannya oleh JICA dan AFD, Perancis. Program loan ini dimulai pada tahun 2008dengan fokus sektor meliputi sektor kehutanan dengan target outcome mencegahpengurangan luas hutan dan meningkatkan tingkat penyerapan CO2, sektor energi dengantarget outcome mengurangi emisi CO2 dan mendorong penggunaan energi terbarukan,sektor sumber daya dan energi dan beberapa sektor lainnya. Untuk sektor kehutanan yangmenjadi perhatian utama adalah program Reducing Emissions from Deforestation and

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-26

Degradation (REDD) untuk meminimalisasi emisi karbon melalui penguatan regulasi dibidang perkayuan termasuk penguatan monitoring dan evaluasi terhadap implementasiregulasinya. Sektor berikutnya yang menjadi perhatian adalah sektor sumber daya dan energimelalui kebijakan peningkatan penggunaan sumber-sumber energi terbarukan. Dalam sektortransportasi fokus kebijakan meliputi upaya untuk menurunkan emisi karbon di udara, yangdiwujudkan dengan kebijakan untuk meningkatkan transportasi umum, perbaikan fasilitasbagi pejalan kaki dan pengendara sepeda di kota-kota besar di Indonesia, dan pemanfaatanconverter kit untuk transportasi umum di kota-kota besar untuk menurunkan emisi gasbuang kendaraan. Di bandingkan dua fokus area lainnya, climate change merupakan fokusarea yang relatif baru dan dimulai pada tahun 2008 melalui JICA dan AFD sebesar equivalenUSD500 juta. Pada tahun 2009, AFD meningkatkan besaran komitmennya dari semulaUSD200 juta menjadi USD300 juta, sehingga jumlah total penarikan pinjaman programclimate change AFD pada tahun 2009 bersama dengan JICA adalah USD600 juta.

Pada tahun 2008, Bank Dunia memberikan fasilitas pinjaman tunai berbasis kegiatan. Dalamskema pinjaman ini, syarat pencairan pinjaman tidak menggunakan policy matrix, namunpelaksanaan sebuah kegiatan yang dinilai berkualitas dan dapat disepakati bersama antaraPemerintah dengan pemberi pinjaman (refinancing modality). Pada tahap awal, kegiatanyang diajukan kepada pemberi pinjaman (dalam hal ini Bank Dunia) dan kemudian disepakatiuntuk dijadikan syarat pencairan adalah pelaksanaan kegiatan Bantuan Operasional Sekolah(BOS) untuk kemudian menjadi program BOS-KITA (Bantuan Operasional Sekolah–Knowledge Improvement for Transparancy and Accountability). Pinjaman dibagi menjadidua tahap, yaitu tahap pertama dengan komitmen sebesar USD600 juta memiliki rentangwaktu dua tahun yaitu tahun 2008 dan 2009 dengan realisasi masing-masing sebesar USD47juta dan USD553 juta, sedangkan tahap kedua sebesar USD500 juta akan ditarik pada tahun2010 dan 2011. Pada tahun 2010, selain BOS KITA terdapat pinjaman tunai lainnya yangjuga menggunakan skema refinancing modality yaitu PNPM refinancing. Faktor utamayang membedakan skema refinancing modality dengan pinjaman program regular padaumumnya adalah mekanisme pencairan dananya. Pinjaman program melalui mekanismerefinancing modality ini terkait langsung dengan kegiatan yang dibiayai, sehingga mekanismepencairan dananya juga terkait dengan kemajuan pelaksanaan kegiatan tersebut. Realisasipenarikan pinjaman program tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel VI.4.

Pada Semester I tahun 2010, pencairan pinjaman program telah dapat dilakukan bagi empatpinjaman program dari tiga lender yaitu ADB, Jepang melalui JICA, dan Perancis. Pinjamanprogram dari ADB yang tercakup dalam program countercyclical support facility (CSF)sebesar USD500 juta, dari JICA tercakup dalam program development policy loan sebesarUSD100 juta dan climate change program loan sebesar USD300 juta dari JICA, dan dariPerancis yaitu climate change program loan sebesar USD300 juta. Belum ditariknyapinjaman program yang lain disebabkan oleh siklus pendanaan lender, mekanismepengadaan pinjaman dan pemenuhan syarat pencairannya.

Selanjutnya berdasarkan data realisasi tahun 2005-2009, besarnya pembayaran cicilan pokokpinjaman luar negeri meningkat drastis sejak tahun 2006 dibandingkan dengan posisi tahun2005. Peningkatan tersebut disebabkan oleh dua faktor utama yaitu (i) adanya penguatannilai tukar beberapa valuta asing (original currency) khususnya JPY dan USD pada kurun

Bab VI

VI-27

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

waktu tahun 2007-2009 dan (ii) jatuh tempo pembayaran pinjaman yang dijadwalkankembali (rescheduling) melalui forum Paris Club.

Berdasarkan jenis mata uang, terdapat 3 mata uang utama yang memiliki porsi cukup besardalam pembayaran cicilan pokok ini yaitu USD, JPY, dan EUR. Dengan demikian, penguatansalah satu atau beberapa mata uang tersebut terhadap mata uang rupiah akan memiliki

pengaruh yang cukup besar dalam pembayaran cicilan pokok. Hal ini tercermin daripergerakan nilai rupiah yang cenderung melemah sepanjang kurun waktu 2007-2009 baikterhadap USD maupun terhadap JPY. Selain karena adanya pelemahan rupiah, peningkatanpembayaran cicilan pokok juga disebabkan telah jatuh temponya pembayaran cicilan yangdijadwal ulang (rescheduling) melalui forum Paris Club I, II, dan III dengan uraian(i) Paris Club I tahun 1998 periode pembayarannya adalah tahun 2002-2019, (ii) Paris Club

No Lender Program 2005 2006 2007 2008 2009 Total

1. Development Policy Loan (DPL) 1 s.d 7 400 600 600 750 750 3.100 2. Infrastructure Development Policy Loan (IDPL) 1 s.d. 4 400 250 650 3. BOS-KITA Refinancing 47 553 600

Sub Total WB 400 600 600 1.197 1.553 4.350 1. State Audit Reform Sector Development 2. Development Policy Support Program (DPSP) 1 s.d. 6 200 200 200 200 200 1.000 3. Local Government Finance Reform Sector Development 1 & 2 300 300 4. Infrastructure Reform Sector Development 1 & 2 400 280 680 5. Capital Market Development Cluster 1 &2 300 300 600 6. Poverty Reduction and MDG Acceleration 400 400 7. Local Government Finance 350 350 8. Countercyclical Support Facility (CSF)

Sub Total ADB 500 600 900 830 500 3.330 1. Development Policy Loan (cofinancing dengan WB) 1 s.d.6 93 100 100 200 100 593 2. Infrastructure Reform Sector Development 1 & 2 100 100 200 3. Indonesia Disaster Recovery and Management 200 200 4. Climate Change Program Loan 1 s.d 3 300 300 600 5. Economic Stimulus and Budget Support Loan 100 100 6. Development Policy Loan (cofinancing dengan WB) 7 -

Sub Total JBIC/ JICA 93 100 400 500 600 1.693 4. France Climate Change Program Loan 1 s.d. 3 200 300 500

Sub Total France 200 300 500

993 1.300 1.900 2.727 2.953 9.873

Sum ber: Kem enterian Keuangan

3. JICA

Total

TABEL VI.4PERKEMBANGAN PENARIKAN PINJAMAN PROGRAM, 2005-2009

(juta dolar AS)

1. WB

2. ADB

2005 2006 2007 2008 2009

I. Penarikan Pinjaman Luar Negeri 29,1 29,7 34,1 50,2 58,7 70,8

a. Pinjaman Program 12,3 13,6 19,6 30,1 28,9 29,4

b. Pinjaman Proyek 16,8 16,1 14,5 20,1 29,7 41,4

II. Penerusan Pinjaman (2,2) (3,6) (2,7) (5,2) (6,2) (16,8)

III. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri (37,1) (52,7) (57,9) (63,4) (68,0) (54,1)

(10,3) (26,6) (26,6) (18,4) (15,5) (0,16)

Sumber : Kementerian Keuangan

Jumlah

TABEL VI.5

REALISASI PEMBIAYAAN LUAR NEGERI (NETO), 2005-2010

(triliun rupiah)

UraianRealisasi APBN-P

2010

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-28

II tahun 2000 periode pembayarannya tahun 2004-2021, (iii) Paris Club III tahun 2002periode pembayarannya tahun 2008-2023; dan (iv) moratorium tahun 2005 periodepembayarannya tahun 2006-2009. Realisasi pembiayaan luar negeri (neto) tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel VI.5.

BOX VI.1Pinjaman Program Refinancing Modality

Pinjaman luar negeri sebagai salah satu instrumen pembiayaan utang APBN terdiri dari(i) Pinjaman Proyek (Project Loan) dan (ii) Pinjaman Program/Tunai (Program Loan). Berbedadengan pinjaman proyek, dimana penggunaan pinjaman attached dengan kegiatan yangdibiayai sebagai underlying, pinjaman program yang diterima Pemerintah langsung disetorke Kas Negara menjadi general funds.

Dalam perjalanannya pinjaman program telah berevolusi, yang semula pinjaman programselalu dikaitkan dengan pemenuhan policy matrix, sejak tahun 2008 bekerjasama denganBank Dunia telah diperkenalkan pinjaman program dengan refinancing modality. Pinjamanrefinancing modality merupakan pinjaman yang dicairkan secara tunai sebagai refinancing(reimbursement) atas suatu kegiatan yang telah dilaksanakan sebelumnya. Untuk pertamakalinya pinjaman ini diberikan sebagai refinancing atas kegiatan/program Bantuan OperasionalSekolah–Knowledge Improvement for Transparency and Accountability (BOS-KITA).

Dalam implementasi BOS-KITA, pinjaman yang bersumber dari Bank Dunia digunakanuntuk me-refinance + 60 persen Bantuan Operasional Sekolah yang dikeluarkan Pemerintah.Jumlah refinance dari Bank Dunia selanjutnya akan masuk ke Kas Negara. Persyaratanpencairan yang disepakati Pemerintah dan Bank Dunia adalah keberhasilan penyaluran danabantuan yang ditunjukkan oleh hasil audit pelaksanaan BOS dan adanya perbaikan terhadapoperations manual pelaksanaan BOS.

Dengan mekanisme tersebut di atas, maka pencairan dan pelaksanaan proyek/kegiatanyang dibiayai pinjaman luar negeri tersebut di atas telah sepenuhnya mengikuti sistem,mekanisme dan aturan yang berlaku di Indonesia. Penerapan pinjaman refinancing modalityini sejalan dengan Jakarta Commitment tahun 2009 yang memandatkan dimanfaatkannyabantuan luar negeri mengikuti sistem dan aturan yang berlaku di negara penerima (peminjam).

Pinjaman BOS-KITA sebesar USD600 juta yang pencairannya telah dilaksanakan dalamtahun 2008 dan 2009, akan dilanjutkan dengan BOS-KITA II sebesar USD500 juta yangpencairannya dilaksanakan tahun 2010 dan 2011. Adapun terms and conditions perjanjianini adalah: (1) suku bunga: LIBOR + Variable Spread Loan (VSL), dimana pada bulan Juni2010, LIBOR sebesar 0,75 persen dan VSL sebesar 0,24 persen, (2) jangka waktu pembayaranselama 24,5 tahun dengan masa tenggang (grace period) 9 tahun, serta (4) front end fee sebesar0,25 persen dari total pinjaman.

Selanjutnya, dalam tahun 2010 refinancing modality telah direplikasi untuk pelaksanaanProgram Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), khususnya untuk Bantuan LangsungMasyarakat (BLM). Berbeda dengan BOS-KITA, dimana program ini sejak awal dibiayaimenggunakan rupiah murni, maka pada PNPM Pemerintah akan memberikan dana talanganterlebih dahulu untuk pelaksanaan BLM. Kemudian setelah dana talangan tersebut memperolehrefinancing melalui pinjaman Bank Dunia, selanjutnya dana refinancing akan disetorkan keKas Negara.

Dengan mekanisme tersebut penyaluran BLM ke masyarakat dapat dilakukan secara lebihcepat, karena penyaluran BLM yang telah tercantum dalam dokumen anggaran sebagai rupiahmurni dapat dilakukan sebelum pinjaman efektif. Hal ini dimungkinkan karena telah adanya

Bab VI

VI-29

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

0,02,04,06,08,0

10,012,014,016,018,0

2005 2006 2007 2008 2009 2010 *

* APBN-P 2010Sumber: Kementerian Keuangan

GRAFIK VI.12 REALISASI PENERUSAN PINJAMAN, 2005–2010

(triliun rupiah)

kesepakatan dengan Bank Dunia tentang pemberlakuan retroactive financing terhadap BLMyang telah ditalangi Pemerintah. Adapun jumlah pinjaman PNPM refinancing modalitydirencanakan sebesar USD629,18 juta untuk PNPM Perdesaaan dan sebesar USD115,76 jutauntuk PNPM Perkotaan.

Penerusan Pinjaman

Penerusan pinjaman adalah pinjaman luar negeri atau pinjaman dalam negeri yang diterimaoleh Pemerintah pusat yang diteruspinjamkan kepada pemerintah daerah (Pemda) atauBUMN yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.

Penerusan pinjaman merupakan fasilitas yang diberikan Pemerintah kepada Pemda atauBUMN untuk memperoleh pinjaman, khususnya pinjaman dalam bentuk pembiayaan bagikegiatan tertentu. Melalui penerusan pinjaman, lender tidak memperhitungkan kondisiPemda atau BUMN yang bersangkutan, namun yang diperhitungkan adalah Pemerintahsebagai ultimate borrower. Untuk itu, dalam mekanisme penerusan pinjaman ini, prosespengadaan pinjamannya tetap harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat (i) penarikannyameskipun sifatnya in-out dalam APBN, namun tetap memberikan potensi peningkatanoutstanding pinjaman, (ii) lender tetap memperhitungkan pinjaman tersebut sebagaipinjaman Pemerintah, (iii) terdapat potensi terjadi mismatch antara penerimaan pembayarankewajiban dari penerima penerusan pinjaman dengan pembayaran kewajiban ke lender,dan (iv) seperti halnya pinjaman proyek, rendahnya penyerapan pinjaman berpotensimenambah biaya pinjaman.

Pemberian pinjaman kegiatan atau proyek kepada Pemda atau BUMN denganmenggunakan mekanisme penerusan pinjaman dikarenakan Pemda atau BUMN berbedaentitas akuntansi dengan Pemerintah Pusat. Selain itu, berdasarkan pada PeraturanPemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atauPenerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri, KementerianNegara/Lembaga/Pemda dilarang melakukan perikatan dalam bentuk apapun secaralangsung dengan pihak kreditur asing yang dapat menimbulkan kewajiban tertentudikemudian hari.

Dalam perkembangannya, realisasi penerusan pinjaman dalam kurun waktu tahun 2005—2010 cenderung mengalami peningkatan, kecuali tahun 2007 yang mengalami penurunanRp834,6 miliar atau 23,5 persendibandingkan dengan realisasitahun sebelumnya. Apabiladalam tahun 2005 realisasipenerusan pinjaman mencapaiRp2,3 triliun maka dalam tahun2009 realisasinya mencapaiRp6,2 triliun. Hal ini berarti rata-rata peningkatan pertahunnyamencapai sekitar 36 persen.

Peningkatan realisasi penerusanpinjaman dalam periode 2005–2010 sejalan denganmeningkatnya kebutuhan

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-30

pembiayaan investasi untuk proyek-proyek vital yang dilaksanakan baik oleh Pemda maupunBUMN. Perkembangan realisasi penerusan pinjaman tahun 2005–2010 dapat diikuti padaGrafik VI.12.

Apabila dilihat dari komposisi pengguna penerusan pinjaman dalam periode 2005–2010,BUMN adalah lembaga peminjam terbesar, baru kemudian sisanya merupakan pinjamanPemda. Pinjaman BUMN rata-rata pertahunnya mencapai sekitar 99 persen dan hanyasekitar 1 persen yang menjadi pinjaman Pemda. Diantara BUMN-BUMN yang meminjamdana dengan mekanisme penerusan pinjaman, PT PLN (Persero) merupakan BUMNpeminjam terbesar dibandingkan dengan BUMN yang lainnya.

Dalam APBN-P 2010, penerusan pinjaman kepada PT PLN (Persero) mencapai Rp12,2 triliunatau 72,5 persen dari total penerusan pinjaman sebesar Rp16,8 triliun. Hal ini menunjukkanpeningkatan 62,5 persen dibandingkan rencana alokasi penerusan pinjaman kepada PT PLN(Persero) tahun 2009. Besarnya jumlah penerusan pinjaman kepada PT PLN (Persero)mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut sedang membutuhkan dana jumlah yang besaruntuk membiayai proyek-proyek pembangunan infrastruktur listrik seperti pembangunanpembangkit listrik baru, pemeliharaan dan pengadaan travo, pembangunan jaringantransmisi, dan lain sebagainya. Selain PT PLN (Persero), beberapa BUMN lainnya yangjuga menerima penerusan pinjaman antara lain PT PGN, PT Sarana Multi Infrastruktur(PT SMI), Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), PT Merpati Nusantara Airlines(Persero), dan lain-lain.

Sedangkan penerusan pinjaman kepada Pemda, umumnya untuk membiayai proyek-proyekurban water supply and sanitation project (UWSSP), urban sector development reformproject (USDRP), danJakarta emergencydredging initiative (JEDI),yang sumber pendanaannyaberasal dari pinjaman BankDunia. Beberapa daerahyang menerima penerusanpinjaman untukpembiayaan proyek UWSSPatau USDRP antara lainPemkab Palopo, PemkotPalangkaraya, Pemkot Pare-Pare, Pemkab Barru,Pemkab Bogor, PemkabMuara Enim, Pemprop DKIJakarta, dan lain-lain.Perkembangan realisasi penerusan pinjaman berdasarkan BUMN dan Pemda tahun 2005–2010 dapat diikuti pada Grafik VI.13.

Pinjaman Dalam Negeri

Instrumen pinjaman dalam negeri pada dasarnya hanya digunakan untuk pembiayaankegiatan tertentu, antara lain dalam rangka pemberdayaan industri dalam negeri danpelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur. Instrumen ini dikembangkan sebagai

-

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

12,0

14,0

16,0

18,0

2005 2006 2007 2008 2009 2010 *

BUMN Pemda* APBN-P 2010Sumber: Kementerian Keuangan

GRAFIK VI.13REALISASI PENERUSAN PINJAMAN KEPADA BUMN DAN PEMDA, 2005–2010

(triliun rupiah)

Bab VI

VI-31

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman komersial luarnegeri serta dalam rangka mendukung pengembangan produk-produk yang dihasilkan olehindustri dalam negeri. Dalam tahap awal pemanfaatan instrument ini, Pemerintah masihmemfokuskan kepada pelaksanaan kegiatan dalam di 2 K/L yaitu Kementerian Pertahanandan Kepolisian Negara. Selain itu, besaran angka yang ditetapkan menjadi target penarikannyapun masih belum signifikan dibandingkan dengan sumber pembiayaan utang lainnya, yaituRp1,0 triliun.

Berbeda dengan mekanisme dalam pengadaan pinjaman komersial luar negeri, dalampinjaman dalam negeri terdapat dua proses yang dilakukan secara paralel yaitu prosespengadaan barang yang dilaksanakan di K/L dan proses pengadaan pinjaman dilaksanakandi Kementerian Keuangan. Dua proses tersebut dilakukan secara terpisah dalam rangkamempercepat pelaksanaan kegiatan. Meskipun dilakukan secara terpisah, namun diharapkantidak mengurangi kualitas dari eksekusi atas kegiatan yang direncanakan. Untuk itu, dalampelaksanaannya diperlukan komunikasi yang cair dan koordinasi yang solid antarakementerian negara/lembaga dengan Kementerian Keuangan.

Dalam pelaksanaannya, sepanjang Semester I 2010 pinjaman dalam negeri masih dalamtahap penyelesaian administrasi di lingkungan K/L. Pengadaan pinjaman oleh KementerianKeuangan dapat dilaksanakan apabila sudah ada konfirmasi kesiapan dari K/L. Adapunsampai saat ini lender yang berpotensi menyediakan fasilitas pinjamannya terutama darikalangan perbankan dalam negeri.

Perkembangan Portofolio Utang Pemerintah

Perkembangan pemenuhan kebutuhan pembiayaan melalui utang sepanjang periode 2005–2010 memberikan gambaran bahwa terdapat kecenderungan peningkatan kebutuhanpembiayaan APBN melalui utang, bahkan pada tahun 2008 peningkatan kebutuhanpembiayaan dari utang neto mencapai lebih dari 100 persen apabila dibandingkan dengantahun 2007. Peningkatan realisasi pembiayaan utang pada akhirnya akan memberikandampak pada semakin meningkatnya outstanding utang Pemerintah secara keseluruhan.Dengan melihat kecenderungan yang ada terutama pada periode 2007–2010, pengendalianutang akan menghadapi tantangan besar jika tidak disertai dengan konsistensi kebijakan.Sebagai salah satu contoh, dalam periode 2005–2009, kebijakan untuk mengurangi pinjamanluar negeri telah dicanangkan. Namun, apabila mempertimbangkan kecenderungan realisasiatas penarikan pinjaman luar negeri neto, terdapat fenomena bahwa besarannya semakinmeningkat khususnya pada realisasi tahun 2008 dibandingkan dengan tahun 2009 danAPBN-P 2010. Apabila dilihat secara rinci, maka salah satu sebabnya adalah jumlah penarikanpinjaman tunai dalam bentuk pinjaman program yang semakin besar dari waktu ke waktuterutama pada tahun 2008.

Konsekuensi pertambahan utang adalah meningkatnya outstanding utang Pemerintahsebagaimana digambarkan pada Grafik VI.14. Meskipun demikian, pertambahan nominalutang tersebut cenderung lebih lambat jika dibandingkan pertambahan nominal PDB.Pertambahan nominal utang per Juni 2010 jika dibandingkan dengan akhir tahun 2005mencapai Rp300 triliun sementara pertambahan PDB nominal per Juni 2010 denganmengikuti asumsi APBN-P jika dibandingkan dengan akhir tahun 2005 mencapaiRp3.480 triliun.

Peningkatan kebutuhan utang dari tahun ke tahun tentunya menimbulkan risiko bagi

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-32

Pemerintah mengingatportofolio utang Pemerintahkhususnya yang berasal daripinjaman terdiri dariberagam mata uang. Risikotersebut antara lain risikotingkat bunga dan risikomata uang. Risiko yangterlihat dampaknya adalahrisiko nilai tukar yang terusmengalami fluktuasi seiringdengan perubahan kondisiekonomi suatu negara dankondisi perekonomianglobal. Fluktuasi kurs akan

menyebabkan outstanding utang Pemerintah terus berubah-ubah meskipun tidak ada cashflow utang. Upaya untuk mengurangi dampak fluktuasi kurs terhadap outstanding utangPemerintah ini adalah dengan mengadakan utang dalam mata uang rupiah antara lainmelalui penerbitan SBN dan penarikan pinjaman dalam negeri. Perkembangan portofolioutang Pemerintah menurut kurs tahun 2005 sampai dengan Juni 2010 yang dapatmempengaruhi besaran outstanding setiap tahun dapat dilihat pada Tabel VI.6 .

IDR [triliun] 658,7 693,1 737,1 783,9 836,3 879,3

USD [miliar] 26,4 27,5 28,4 32,8 37,1 39,1

Pinjaman 22,9 22,0 21,4 21,6 22,2 22,0

SBN 3,5 5,5 7,0 11,2 14,9 16,9

JPY [miliar] 3.184,4 3.066,0 2.941,9 2.820,5 2.713,8 2.668,3

Pinjaman 3.184,4 3.066,0 2.941,9 2.820,5 2.678,8 2.633,3

SBN - - - - 35,0 35,0

EUR [miliar] 8,1 7,8 7,2 6,7 6,0 5,8

Other currencies

Total 133,6 144,4 147,5 149,5 169,2 178,2

Ekuivalen dalam triliun rupiah

IDR 658,7 693,1 737,1 783,9 836,3 879,3

USD 259,9 248,1 267,1 358,6 348,6 355,3

JPY 265,6 232,4 244,4 341,9 276,0 273,7

EUR 94,4 92,1 98,9 104,2 80,7 64,4

Other Currencies 34,7 36,4 41,9 48,2 49,1 45,8

Total 1.313,3 1.302,2 1.389,4 1.636,7 1.590,7 1.618,5 Exchange Rate Assumption USD/IDR 9.830 9.020 9.419 10.950 9.400 9.083

Sumber: Kementerian Keuangan

------------------------- Multiple Currencies --------------------------

TABEL VI.6OUTSTANDING UTANG BERDASARKAN CURRENCY

(juta dolar AS)

Dalam Mata Uang Asli 2005 2006 2007 2008 2009 Jun-10

77%

67%61%

57%47%

39% 35% 33%28,3% 27,8%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

120%

0

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010*

[ triliun Rupiah]

Outstanding PDB Rasio Utang thd PDB (RHS)

GRAFIK VI.14PERKEMBANGAN RASIO UTANG TERHADAP PDB

TAHUN 2000-2010

* APBN-P 2010

Sumber: Kementerian Keuangan

Bab VI

VI-33

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

6.3 Pembiayaan APBN Tahun 2011Dalam RAPBN tahun 2011, defisit anggaran direncanakan sebesar Rp115,7 triliun atau1,7 persen terhadap PDB. Pembiayaan defisit anggaran ini akan dipenuhi melalui sumber-sumber pembiayaan utang dan sumber-sumber pembiayaan nonutang. Pembiayaan darisumber non-utang (secara neto) dalam tahun 2011 direncanakan sebesar negatifRp7,8 triliun, atau 0,1 persen terhadap PDB, sedangkan pembiayaan anggaran yangbersumber dari utang (secara neto) direncanakan mencapai Rp123,5 triliun atau 1,8 persenterhadap PDB. Dengan demikian, dalam tahun 2011 pembiayaan utang masih menjadisumber utama pembiayaan APBN.

Pembiayaan melalui utang merupakan konsekuensi dari kebijakan anggaran defisit, meskipundalam kebijakan anggaran berimbang atau surplus, pembiayaan utang tetap dilakukan,antara lain untuk: (a) membiayai pengeluaran pembiayaan, termasuk utang yang jatuhtempo; (b) menciptakan benchmark risk free asset di pasar keuangan dan pengelolaanportofolio utang pemerintah; (c) melaksanakan perikatan perjanjian pinjaman dengan lender,dan kemungkinan masih berlangsung masa penarikannya, terutama untuk multi yearsproject, baik untuk proyek K/L maupun penerusan pinjaman Pemerintah kepada BUMNdan/atau Pemda.

Dalam RAPBN tahun 2011 ini, kebutuhan pengeluaran pembiayaan yang harus dipenuhidiperkirakan mencapai Rp160,4 triliun (2,3 persen terhadap PDB), yang meliputi pembayaranpokok SBN yang jatuh tempo sebesar Rp84,0 triliun, penerusan pinjaman Rp12,0 triliun,pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp 48,1 triliun, dan kebutuhanpengeluaran pembiayaan nonutang yang diperkirakan mencapai sebesar Rp16,3 triliun.Apabila ditambahkan dengan kebutuhan pembiayaan defisit anggaran sebesar Rp115,7triliun, maka seluruh kebutuhan penerimaan pembiayaan (bruto) yang diperlukan dalamtahun 2011 akan mencapai Rp276,1 triliun. Walaupun Pemerintah berupayamemaksimalkan sumber penerimaan pembiayaan bruto melalui sumber-sumber non-utang,namun diperkirakan hanya mampu memenuhi sekitar 3,1 persen dari seluruh kebutuhanpenerimaan pembiayaan bruto, karena keterbatasan sumber dan jumlahnya. Penerimaanpembiayaan yang berasal dari utang secara bruto dalam tahun 2011 direncanakan mencapaisebesar Rp267,6 triliun (1,8 persen terhadap PDB). Jumlah ini meliputi penerbitan SBNsebesar Rp209,5 triliun, penarikan pinjaman dalam negeri sebesar Rp1,o triliun, dan penarikanpinjaman luar negeri sebesar Rp57,1 triliun. Pinjaman luar negeri tersebut terdiri ataspinjaman program sebesar Rp17,7 triliun dan penarikan pinjaman proyek sebesar Rp39,4triliun. Dari jumlah rencana penarikan pinjaman proyek tersebut, sebesar Rp12,0 triliundiantaranya akan diteruspinjamkan kepada BUMN dan/atau pemerintah daerah.

Pembiayaan utang yang bersumber dari penarikan pinjaman proyek, baik luar negeri maupundalam negeri yang sedang berjalan akan mendapat prioritas utama untuk direalisasikanpada tahun 2011. Prioritas selanjutnya, akan diberikan pada pinjaman yang saat ini telahatau hampir selesai dinegosiasikan, yang penarikannya akan dimulai pada tahun 2011.Kebijakan ini dilakukan, mengingat pengeluaran pinjaman proyek akan di-earmark denganbelanja K/L dan BUMN/Pemda melalui penerusan pinjaman.

Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan pembiayaan melalui utang yang bersumber dari SBN,akan mengutamakan penerbitan di pasar domestik, dengan tetap memperhitungkan dayaserap pasar keuangan domestik agar tidak menimbulkan terjadinya crowding out effect.

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-34

Selanjutnya, apabila masih terdapat kekurangan pembiayaan, maka Pemerintah akanmelakukan penerbitan SBN Valas di pasar keuangan internasional, dengan tetapmemperhitungkan kondisi portofolio dan risiko utang secara keseluruhan.

6.3.1 Kebijakan Pembiayaan Non-utang

Pembiayaan anggaran yang bersumber dari non-utang dalam tahun anggaran 2011 secaraumum terdiri atas dua sumber, yaitu: (1) perbankan dalam negeri, yang berasal daripenerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman serta RKUN untuk pembiayaan kreditinvestasi pemerintah; dan (2) nonperbankan dalam negeri, yang berasal dari penerimaanprivatisasi, penerimaan hasil pengelolaan aset, serta dana investasi pemerintah dan penyertaanmodal negara (PMN).

Sumber pembiayaan non-utang pada tahun 2011 tersebut sedikit berbeda dibandingkandengan sumber pembiayaan non-utang tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2011,pemerintah tidak menargetkan pembiayaan perbankan dalam negeri yang bersumber dariSAL, dengan pertimbangan besarnya kebutuhan penggunaan SAL untuk kebutuhan kaspada awal tahun, serta penggunaan dana SAL yang cukup besar pada tahun 2010.

Pembiayaan anggaran yang bersumber dari non-utang dalam RAPBN tahun 2011direncanakan sebesar negatif Rp7,8 triliun, yang berarti menurun sebesar Rp33,2 triliunapabila dibandingkan dengan targetnya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp25,4 triliun.Jumlah pembiayaan non-utang yang bersifat negatif tersebut, menunjukan bahwapengeluaran pembiayaan lebih besar dari penerimaan pembiayaan. Hal ini terutamadisebabkan tidak dipergunakannya SAL sebagai sumber pembiayaan non-utang 2011.

Pembiayaan anggaran non-utangdalam RAPBN tahun 2011, terdiri dari:(1) perbankan dalam negeri melaluipenerimaan pengembalian penerusanpinjaman sebesar Rp6,8 triliun; (2)RKUN untuk pembiayaan kreditinvestasi pemerintah sebesarRp853,9 miliar; (3) penerimaanprivatisasi sebesar Rp340,0 miliar; (4)penerimaan hasil pengelolaan asetsebesar Rp533,1 miliar; (5) danainvestasi pemerintah dan PMN sebesarnegatif Rp12,8 triliun; (6) dana

pengembangan pendidikan nasional sebesar negatif Rp2,5 trildan(7) kewajiban penjaminan sebesar negatif Rp1,0 triliun. Perbandingan pembiayaan anggaranmelalui non-utang dalam APBN-P tahun 2010 dengan RAPBN tahun 2011 dapat dilihat dalamTabel VI.7.

6.3.1.1 Penerimaan Cicilan Pengembalian Penerusan Pinjaman

Kontribusi penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman terhadap APBN padatahun-tahun sebelumnya diklasifikasikan ke dalam penerimaan pembiayaan dari RDI.Perubahan klasifikasi penerimaan jenis ini dalam RAPBN tahun 2011, dimaksudkan untukperbaikan sistem dan penertiban rekening yang dikelola oleh pemerintah, khususnya yang

1. Perbankan dalam negeri 45,5 7,7

a. Penerimaan Cicilan Pengembalian Penerusan Pinjaman (RDI) 5,5 6,8

b. Rekening Pembangunan Hutan 0,6 -

c. Sisa Anggaran Lebih (SAL) 39,3 -

d. Rekening KUN untuk Pembiayaan Kredit Investasi - 0,9

2. Penerimaan Privatisasi 1,2 0,3

3. Hasil Pengelolaan Aset 1,2 0,5

4. Dana Investasi Pemerintah dan PMN (12,9) (12,8)

5. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (1,0) (2,5)

6. Kewajiban Penjaminan (1,1) (1,0)

7. Pinjaman Kepada PT PLN (7,5) -

Jumlah 25,4 (7,8)

Sumber: Kementerian Keuangan

TABEL VI.7

PEMBIAYAAN NON UTANG 2010 dan 2011

(triliun rupiah)

Uraian APBN-P

2010 RAPBN

2011

Bab VI

VI-35

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

dikelola oleh Menteri Keuangan selaku BUN. Karena itu, mulai tahun 2011 pengembaliandari debitur tidak lagi melalui rekening RDI, akan tetapi langsung disetorkan kepada RekeningKas Umum Negara (RKUN).

Setoran dari penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman untuk pembiayaananggaran dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp6,8 triliun. Bila dibandingkandengan targetnya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp5,5 triliun, maka setoran daripenerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman dalam RAPBN tahun 2011 tersebutberarti menunjukkan peningkatan sebesar Rp1.299,2 miliar, atau 23,6 persen. Peningkatansetoran yang berasal dari penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman dalamRAPBN tahun 2011 tersebut disebabkan memperhitungkan adanya konversi piutangpenerusan pinjaman pada PT Pupuk Iskandar Muda (PT PIM) sebesar Rp1,3 triliun, yangakan dilaksanakan dalam tahun anggaran 2011.

6.3.1.2 Penerimaan Privatisasi

Penerimaan privatisasi yang akan digunakan untuk pembiayaan anggaran dalam RAPBNtahun 2011 direncanakan sebesar Rp340,0 miliar, atau menurun 71,6 pesen apabiladibandingkan dengan targetnya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp1,2 triliun. Penurunanpenerimaan privatisasi dalam tahun 2011 tersebut sejalan dengan kebijakan Pemerintahsaat ini yang tidak lagi menjadikan privatisasi sebagai sumber pembiayaan APBN, namunprivatisasi lebih ditujukan untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus bagi BUMN yangdiprivatisasi, antara lain untuk peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikanstruktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif,serta perkembangan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global.

Penerimaan privatisasi dalam RAPBN 2011 direncanakan berasal dari PT Inti (Persero)sebesar Rp200,0 miliar, PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) Rp135,0 miliar, danPT Rekayasa Industri sebesar Rp5,0 miliar.

Pada PT Inti (Persero) dan PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) yang sebelumprivatisasi saham negara masih mencapai 100 persen, penjualan saham negara akandilaksanakan maksimal masing-masing sebesar 49 persen dan 40 persen. Sementara itu,PT Rekayasa Industri berencana akan melakukan IPO, dengan mengeluarkan saham barusebesar 20 persen sampai 30 persen. Dengan demikian, saham negara akan terdilusi denganadanya pengeluaran saham baru tersebut, sehingga saham negara yang tersisa diPT Rekayasa Industri sebesar 4,97 persen akan didivestasi bersama dengan IPO.

6.3.1.3 Hasil Pengelolaan Aset

Target penerimaan hasil pengelolaan aset yang akan digunakan untuk pembiayaan anggarandalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp533,1 miliar, atau 0,46 persen dari totalpembiayaan anggaran yang direncanakan dalam APBN tahun 2011. Target tersebutdirencanakan berasal dari hasil pengelolaan aset oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara(DJKN) Kementerian Keuangan sebesar Rp372,0 miliar (69,8 persen), dan PT PPA sebesarRp161,1 miliar (30,2 persen). Apabila dibandingkan dengan target hasil pengelolaan asetyang ditetapkan dalam APBN-P 2010 sebesar Rp1,2 triliun, maka target hasil pengelolaanasset dalam tahun 2011 tersebut, berarti menurun sebesar Rp666,9 miliar atau sebesar120,0 persen. Penurunan target hasil pengelolaan aset dalam tahun 2011 tersebut, terutamadisebabkan oleh semakin terbatasnya jumlah aset yang dikelola.

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-36

Hasil pengelolaan aset oleh DJKN pada tahun 2011 diperkirakan berasal dari aset eks bankdalam likuidasi (BDL) sebesar Rp75,0 miliar, aset eks PT PPA sebesar Rp80,0 miliar, aseteks BPPN sebesar Rp90,0 miliar, dan HPA yang berasal dari penyelesaian hak tagih terhadapPT DI (sebagai akibat dari konversi utang menjadi PMN) sebesar Rp127,0 miliar. Sementaraitu, hasil pengelolaan aset yang dilakukan PT PPA sebesar Rp161,1 miliar, diperkirakan berasaldari percepatan pelunasan Multi Years Bond (MYB) PT Tuban Petrochemical Industries(PT TPI).

6.3.1.4 Dana Investasi Pemerintah dan Penyertaan Modal Negara

Pembiayaan dalam bentuk dana investasi Pemerintah dan PMN bersifat cash outflow, yangberarti pengeluaran pembiayaan. Pengeluaran dana untuk investasi pemerintah dan PMNdalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp12,8 triliun, atau menurun 7,8 persenbila dibandingkan dengan alokasinya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp12,2 triliun.Alokasi dana investasi Pemerintah dan PMN dalam RAPBN tahun 2011 tersebut akandigunakan untuk: (a) investasi Pemerintah sebesar Rp1,9 triliun; (b) PMN kepada BUMNsebesar Rp6,4 triliun; (c) PMN kepada organisasi/lembaga keuangan internasional sebesarRp721,5 miliar; dan (d) dana bergulir sebesar Rp3,8 triliun.

A. Investasi Pemerintah

Dalam RAPBN tahun anggaran 2011, Pemerintah merencanakan alokasi anggaran untukinvestasi Pemerintah sebesar Rp1,9 triliun, atau menurun 47,2 persen bila dibandingkanalokasinya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp3,6 triliun. Penurunan dana investasiPemerintah tersebut terutama disebabkan oleh adanya realokasi dana fasilitas likuiditaspembiayaan perumahan (FLPP) ke dana bergulir. Alokasi dana investasi Pemerintah terdiridari: (1) dana investasi Pemerintah (reguler) sebesar Rp1,0 triliun; dan (2) pembiayaankredit investasi Pemerintah sebesar Rp853,9 miliar.

Investasi Pemerintah (Reguler)

Sesuai dengan pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara junctoPP Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah, kepada Pemerintah diamanatkanuntuk dapat melakukan investasi jangka panjang, dengan tujuan untuk memperoleh manfaatekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Alokasi anggaran untuk investasi Pemerintah(reguler) saat ini dikelola oleh Pusat Investasi Pemerintah, yang merupakan instansiPemerintah pada Kementerian Keuangan yang menerapkan Pola Pengelolaan KeuanganBadan Layanan Umum (PPK-BLU) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yangberlaku.

Pada prinsipnya, kebijakan dana investasi Pemerintah diarahkan untuk menggerakkan sektorriil dalam rangka pengembangan investasi di Indonesia. Penempatan dana investasiPemerintah dilaksanakan melalui investasi langsung (direct investment) dengan carapenyertaan modal dan pemberian pinjaman untuk infrastruktur, transportasi pelabuhan,energi, perumahan, dan bidang lainnya. Melalui pelaksanaan kebijakan investasi dimaksud,diharapkan dapat dicapai tujuan pelaksanaan investasi Pemerintah, yaitu untuk mendapatkanmanfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.

Proyeksi kebutuhan dana investasi Pemerintah untuk tahun 2011 adalah sebesar Rp1,0 triliun,dengan total dana investasi selama tahun 2006 s.d. 2011 diperkirakan sebesar Rp7,4 triliun,dengan rincian: (a) saldo awal dana investasi Pemerintah sebesar Rp6,1 triliun; (b) perkiraan

Bab VI

VI-37

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

keuntungan terdahulu (2010) sebesar Rp300,0 miliar; dan (c) alokasi RAPBN 2011 sebesarRp1,0 triliun.

Dana investasi Pemerintah tersebut direncanakan pada kegiatan-kegiatan yang mengacupada program Pemerintah terkait dengan percepatan pembangunan infrastruktur danbidang-bidang lainnya, seperti energi, transportasi, jalan tol, pelabuhan, dan pertambangan.Pada dasarnya alokasi dana investasi Pemerintah (reguler) tersebut pada tahun 2011 masihakan menitikberatkan pada bidang infrastruktur (60 persen dari total portofolio) disampinguntuk pendirian SPV (anak perusahaan) dan bidang investasi low carbon dalam rangkapenanggulangan Climate Change.

Pembiayaan Kredit Investasi Pemerintah

Kegiatan pembiayaan kredit investasi Pemerintah dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesarRp853,9 miliar, yang akan digunakan untuk membiayai: (1) kredit pengendalian polusiuntuk usaha kecil dan menengah Rp16,0 miliar; (2) kredit perkebunan swasta nasionalRp117,9 miliar; serta (3) kredit usaha mikro kecil dan menengah Surat Utang Pemerintah(SUP) 005 Rp720,0 miliar. Sumber pendanaan pembiayaan kredit investasi Pemerintah iniberasal dari RKUN yang secara khusus diperuntukkan bagi pembiayaan kredit investasipemerintah.

B. Penyertaan Modal Negara Kepada BUMN

Dalam RAPBN tahun 2011, Pemerintah merencanakan alokasi dana untuk PMN kepadaBUMN sebesar Rp6,4 triliun, atau lebih tinggi Rp370,1 miliar atau 6,1 persen dari alokasidana PMN dalam APBN-P 2010 yang direncanakan sebesar Rp6,0 triliun. PMN tersebutakan dialokasikan untuk PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII) sebesarRp1,5 triliun, PT Askrindo dan Perum Jamkrindo (KUR) sebesar Rp2,0 triliun, PT DirgantaraIndonesia (Persero) sebesar Rp127,0 miliar, PT Pupuk Iskandar Muda (Persero) sebesarRp1,3 triliun, Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia IV sebesar Rp0,1 miliar, PerusahaanPenerbit SBSN Indonesia V sebesar Rp0,1 miliar, PT Sarana Multigriya Finansial (Persero)sebesar Rp1,0 triliun, dan PT Geo Dipa Energi sebesar Rp443,5 miliar.

PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia

Pendirian PT PII oleh pemerintah dimaksudkan untuk: (1) memberikan penjaminan padaproyek kerjasama pemerintah dan badan usaha/swasta (KPS) di bidang infrastruktur;(2) meningkatkan creditworthiness atas proyek-proyek KPS infrastruktur melalui pemberianpenjaminan atas risiko politik yang kredibel; dan (3) meningkatkan governance ataspemberian penjaminan atas risiko politik.

Sesuai dengan Anggaran Dasar PT PII, modal dasar perseroan ditetapkan sebesarRp4,0 triliun, dan penambahan PMN sebesar Rp1,0 triliun pada tahun 2011 dimaksudkanuntuk memenuhi kebutuhan modal dasar perseroan secara bertahap, setelah pada tahun2010 PT PII mendapatkan PMN sebesar Rp1,0 triliun.

Disamping untuk meningkatkan kecukupan modal sesuai anggaran dasar perseroan,penambahan PMN kepada PT PII diharapkan akan dapat meningkatkan kredibilitaspenjaminan dan leverage kemampuan keuangan perseroan untuk memperoleh dukungandan melakukan kerjasama keuangan/pendanaan dengan multilateral agencies (World Bank,ADB, dll) dan institusi finansial lainnya. Selain itu, tambahan PMN kepada PT PII diharapkanjuga akan memberikan persepsi positif bagi investor, mengingat kesiapan penjaminan akan

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-38

menjadi lebih pasti, dengan pengalokasian risiko yang lebih transparan, sehingga investasiproyek-proyek infrastruktur dapat memadai dan terlaksana sesuai dengan jadwal.

PT Askrindo dan Perum Jamkrindo (KUR)

PMN kepada PT Askrindo dan Perum Jamkrindo sebesar Rp2,0 triliun dialokasikan untukmeningkatkan kapasitas usaha, dan memperkuat struktur permodalan PT Askrindo danPerum Jamkrindo, dalam rangka pelaksanaan penjaminan kredit usaha rakyat (KUR) bagikelangsungan dan perkembangan kegiatan sektor riil oleh usaha mikro, kecil, dan menengah(UMKM).

Sebagaimana diamanatkan dalam Inpres 6 tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan SektorRiil dan Pemberdayaan UMKM, guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia,pelaksanaan program KUR ditujukan untuk mempercepat pengembangan sektor riil danpemberdayaan UMKM guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Penambahan PMN kepada PT Askrindo dan Perum Jamkrindo dilakukan sebagai upayapemerintah untuk melanjutkan revitalisasi program KUR, yang telah mulai dilaksanakanpada tahun 2010. Revitalisasi program KUR ini penting, mengingat besarnya kontribusiUMKM dalam perekonomian nasional. Sementara itu, di sisi lain kendala utamapengembangan UMKM adalah akses permodalan dan pemasaran. Dengan revitalisasiprogram KUR melalui ekspansi penyaluran KUR, diharapkan dapat meningkatkan aksespermodalan UMKM sehingga dapat meningkatkan secara signifikan jumlah penerima fasilitasKUR.

Dengan perkiraan gearing ratio sebesar 10 kali, maka tambahan PMN tersebut akanmeningkatkan kemampuan PT Askrindo dan Perum Jamkrindo untuk melakukanpenjaminan KUR sebesar Rp20,0 triliun. Peningkatan kemampuan penjaminan tersebutdiharapkan dapat mendukung program pemerintah untuk melakukan ekspansi KUR sebesarRp20,0 triliun per tahun mulai tahun 2010 sampai dengan 2014. Ekspansi program KURtersebut diharapkan dapat menjangkau hingga 13,22 juta pengusaha UMKM, dan mampumenyerap tenaga kerja sampai dengan 30,82 juta orang, dan akan mampu memberikehidupan kepada 176 juta penduduk Indonesia (diasumsikan 13,2 juta pengusaha dan 30,8juta tenaga kerja memiliki 1 istri/suami dan 2 anak).

PT Dirgantara Indonesia (PT DI)

PMN kepada PT DI sebesar Rp127,0 miliar merupakan konversi dari dana talangan (utang)yang diterima PT DI dari eks BPPN. Pada tahun 2000, BPPN telah melaksanakanrestrukturisasi utang PT DI menjadi penyertaan modal sementara (PMS), sesuai denganpersetujuan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Nomor Kep.03/K.KKSK/11/2000tanggal 10 November 2000. Penetapan perubahan status PMS menjadi PMN kepada PT DItersebut diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi Pemerintah, sehinggaPemerintah berhak atas dividen dari penambahan PMN tersebut. Dengan demikian, PMNuntuk PT DI yang berasal dari pelunasan pinjaman kepada eks BPPN bersifat in-out (HasilPengelolaan Aset dan PMN) dalam pembiayaan.

PT Pupuk Iskandar Muda (PT PIM)

PMN kepada PT PIM sebesar Rp1,3 triliun berasal konversi utang pokok SLA sebesarUSD151,6 juta, sebagai bagian dari restrukturisasi utang yang telah mendapat rekomendasiKomite Kebijakan, sebagaimana termuat dalam Berita Acara Pembahasan (BAP) Nomor

Bab VI

VI-39

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

BA-02/KOMITE/2009 tanggal 6 Maret 2009, dan sesuai surat persetujuan Menteri KeuanganNomor S-716/MK.05/2009. Sama dengan PMN kepada PT DI, PMN untuk PT PIM yangberasal dari pelunasan utang pokok SLA bersifat in-out (penerimaan cicilan pengembalianpenerusan pinjaman dan PMN) dalam pembiayaan.

Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia IV dan V

Sementara itu, pada tahun 2011 Pemerintah juga merencanakan untuk mengalokasikanPMN kepada Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia IV, dan Perusahaan Penerbit SBSNIndonesia V untuk mendukung penerbitan SBSN dalam valuta asing di pasar perdanainternasional dalam tahun 2011, dan untuk mengantisipasi penerbitan SBSN valas di awaltahun 2012.

Perusahaan Penerbit SBSN adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan ketentuanUndang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara untukmelaksanakan kegiatan penerbitan SBSN. Untuk memenuhi persyaratan pendirian sebagaibadan hukum, Perusahaan Penerbit harus memiliki modal. Sesuai dengan ketentuanperundang-undangan, modal pendirian tersebut berasal dari APBN dan merupakankekayaan negara yang dipisahkan. Adapun besar modal Perusahaan Penerbit SBSN yangdidirikan Pemerintah adalah sebesar Rp100 juta untuk setiap Perusahaan Penerbit.

PT Sarana Multigriya Finansial (PT SMF)

PT SMF adalah perusahaan yang ditugaskan pemerintah untuk mengupayakan terbentuknyamekanisme pasar pembiayaan sekunder perumahan yang efisien, yang secara bertahapdiharapkan mampu mendorong turunnya tingkat bunga KPR. Pembentukan mekanismepasar dimaksud, dilakukan dengan mengalirkan dana dari pasar modal ke sektor perumahanmelalui penyediaan fasilitas pinjaman dan sekuritisasi. Penambahan PMN kepada PT SMFsebesar Rp1,0 triliun diperlukan untuk memperkuat struktur modal perseroan, sehinggasecara bertahap perseroan dapat mulai berperan sebagai guarantor terhadap efek berbasisKPR. Penambahan PMN kepada PT SMF diharapkan akan memberikan beberapa manfaat,yaitu: (1) menggerakkan perekonomian melalui sektor perumahan; (2) membangun sistempembiayaan perumahan yang efisien serta berorientasi pasar; (3) mengembangkan pasarmodal; dan (4) memperluas pilihan investasi investor.

PT Geo Dipa Energi

PT Geo Dipa Energi merupakan anak usaha PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero)yang berdiri sejak tahun 2002, dan bergerak dalam bidang usaha pembangkit listrik tenagapanas bumi, yang saat ini mengelola proyek PLTP di Dieng dan Patuha. Saat ini, PT Pertamina(Persero) memiliki 67 persen saham PT Geo Dipa Energi, dan sisanya dimiliki PT PLN(Persero). Seiring dengan perkembangannya, maka dalam rangka untuk lebih menfokuskandiri pada pengembangan panas bumi di Indonesia, PT Geo Dipa Energi direncanakan akandiubah menjadi sebuah BUMN. Terkait dengan hal tersebut, maka dalam RAPBN tahun2011 pemerintah merencanakan akan mengalokasikan PMN kepada PT Geo Dipa Energisebesar Rp443,5 miliar. Pengalokasian PMN tersebut dilakukan dalam rangka rencanapengalihan PT Geo Dipa Energi menjadi BUMN dengan pengalihan saham PT PLN (Persero)dan PT Pertamina (Persero) pada PT Geo Dipa Energi senilai Rp443,5 miliar. PMN tersebuttidak bersifat tunai, karena berasal dari hibah saham PT PLN (Persero) dan PT Pertamina(Persero) kepada Pemerintah.

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-40

C. Penyertaan Modal Negara Untuk Organisasi/Lembaga KeuanganInternasional (LKI)

Selain kepada beberapa BUMN, Pemerintah juga berencana mengalokasikan PMN kepadabeberapa organisasi/lembaga keuangan internasional (LKI) sebesar Rp721,5 miliar, yaituuntuk (1) Islamic Development Bank (IDB) sebesar Rp117,5 miliar; (2) The IslamicCorporation for the Development of Private Sector sebesar Rp28,5 miliar; (3) AsianDevelopment Bank (ADB) sebesar Rp371,9 miliar; (4) International Bank for Reconstructionand Development (IBRD) sebesar Rp40,0 miliar; (5) International Finance Corporation(IFC) sebesar Rp8,6 miliar; (6) International Fund for Agricultural Development (IFAD)sebesar Rp15,0 miliar; serta (7) Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF) sebesarRp140,0 miliar. Adapun alokasi PMN kepada organisasi/LKI ke dalam pembiayaan barudilakukan dalam RAPBN tahun 2011, setelah sebelumnya dialokasikan melalui belanja lain-lain. Realokasi dari belanja lain-lain ke pembiayaan tersebut, sesuai dengan rekomendasiBadan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Islamic Development Bank (IDB)

IDB didirikan tahun 1975 dalam agreement yang ditandatangani oleh 22 negara, dan saatini jumlah anggota sudah mencapai 57 negara yang tergabung dalam Organisasi KonferensiIslam (OKI). Kantor Pusat IDB di Jeddah, Saudi Arabia dan Regional di Maroko, Malaysiadan Kazakhstan, serta memiliki Field Representative di setiap negara anggota, termasuk diIndonesia. Berkenaan dengan keanggotaan Indonesia pada IDB, Indonesia mempunyaikewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, diantaranya adalah penyetoran modal IDB.Sampai dengan akhir tahun 2008, total penyertaan Indonesia (paid-in) di IDB adalah sebesarSpecial Drawing Right (SDR) 107,6 juta atau equivalen dengan Rp1,6 triliun.

Pada sidang tahunan Dewan Gubernur IDB ke-31 di Kuwait pada tanggal 31 Mei 2006,Dewan Gubernur (Board of Governor/BOG) menyepakati untuk melaksanakan pencairan70 persen callable capital (jumlah modal yang belum dibayar) dari 2nd General Increase(penambahan modal) IDB melalui resolusi BOG Nomor BG/6-427, yang meminta kepadamasing-masing negara anggota IDB untuk melunasi komitmen atas 2nd General IncreaseIDB dengan pembayaran setiap 6 bulan sekali selama 5 tahun (10 kali pembayaran). The2nd general increase IDB telah disetujui BOG pada 4 Juli 1992 melalui pengesahan resolusiNomor BG/(SM)3-423. Subskripsi Indonesia adalah sebesar Islamic Dinar (ID) 61.161 yangmana sebesar 30 persennya telah lunas dibayar dalam 10 kali cicilan sejak tahun 1992 sampaitahun 2002.

Sesuai dengan resolusi Nomor BG/6-427 diatas, Indonesia harus melunasi 70 persen darisubskripsi (bagian dari saham yang diambil) 2nd General Increase IDB atau sebesar ID42,8juta (Islamic Dinar) harus dilunasi dalam 10 kali pembayaran dalam lima tahun atau setiapenam bulan membayar masing-masing sebesar ID4,3 juta.

Pada tahun 2011 Indonesia akan membayar cicilan yang ke-10, yaitu ID4,3 juta yang akanjatuh tempo pada tanggal 31 Mei 2011. Selain itu, karena kekeliruan administrasi, padatahun 2009, Indonesia hanya merealisasikan pembayaran sebesar Rp80,7 miliar, atau setaradengan ID5,3 juta, sehingga terjadi kekurangan pembayaran ID3,2 juta. Dengan demikian,total pembayaran tahun 2011 adalah sebesar ID7,5 juta, atau setara dengan Rp117,5 miliar(kurs SDR1=USD0,637881, per 31 Desember 2009).

Bab VI

VI-41

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

The Islamic Corporation for the Development of Private Sector (ICD)

ICD adalah salah satu institusi di bawah IDB Group yang mempunyai peran meningkatkanpembangunan ekonomi sektor swasta di negara anggota. Pada General Assembly (SidangUmum) yang ke-9 di Ashgabat, Turkmenistan pada tahun 2009, telah disetujui kenaikanmodal ICD, yaitu kenaikan authorized capital dari USD1,0 miliar menjadi USD2,0 miliar,dan subscribed capital dari USD500,0 juta menjadi USD1,0 miliar. Sesuai dengan articleagreement ICD, Indonesia berkesempatan untuk melakukan subscribed sebanyak 475 share,atau senilai USD4,75 juta, yang dapat dicicil selama 5 kali cicilan, atau masing-masingsebesar USD950 ribu mulai tahun 2009. Menteri Keuangan melalui Surat Nomor S-739/MK.011/2009 tanggal 2 Desember 2009 telah menyetujui untuk ikut serta dalam kenaikanmodal IDB dimaksud. Berkenaan dengan hal tersebut, Indonesia mempunyai kewajibanuntuk membayar cicilan pertama pada tahun 2009. Namun, karena Pemerintah Indonesiabelum mengalokasikan pembayaran subscribed tersebut pada APBN tahun 2009 dan 2010,maka pembayaran tahun 2009-2011 akan dilakukan sekaligus pada tahun 2011 sebesarRp28,5 miliar.

Asian Development Bank (ADB)

ADB merupakan lembaga keuangan terbesar setelah Bank Dunia. Total aset ADB adalahsebesar USD70,5 miliar, dan total pinjaman ADB, yaitu sebesar USD30,3 miliar. Pemegangsaham terbesar ADB adalah Jepang dan AS masing-masing sebesar 15,57 persen. Kemudiandiikuti China, India, Australia, dan Indonesia masing-masing sebesar 6,4 persen, 6,3 persen,5,7 persen, dan 5,4 persen. Sisanya sebesar 54,9 persen dibagi ke 61 negara anggota lainnya.Sebagai pemegang saham besar, Indonesia juga menerima manfaat dari keberadaan ADB.

Sementara itu, berkenaan dengan terjadinya krisis global, berdasarkan keputusan DewanGubernur pada sidang tahunan ADB ke-42 di Bali, BOG menyetujui kenaikan capital increase(general capital increase/GCI) sebesar 200 persen, di mana atas kenaikan tersebut, sebesar4 persen dibayar tunai (paid-in). Indonesia berkewajiban untuk menambah setoran modalsebesar USD185,97 juta, atau equivalen dengan Rp1,9 triliun, yang akan dicicil selama 5tahun mulai 1 April 2010, sehingga setiap tahunnya Pemerintah perlu menyediakan danasebesar Rp371,9 miliar. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 2011, Pemerintahmengalokasikan PMN sebagai kewajiban untuk melakukan pembayaran cicilan ke-2 GCIke-5 ADB yaitu sebesar Rp371,9 miliar.

International Bank for Reconstruction and Development (IBRD)

IBRD, atau Bank Dunia untuk pembangunan dan pemulihan adalah badan internasionalyang bergerak di bidang perbankan untuk pembangunan dan kemajuan negara-negaraberkembang. IBRD berdiri pada tanggal 27 Desember 1945, yang berkedudukan diWashington DC, Amerika Serikat. Badan ini bertujuan memberikan bantuan, baik yangbersifat jangka panjang maupun jangka pendek kepada negara-negara yang sedangberkembang. Pengoperasian Bank Dunia yang berasal dari kontribusi negara anggota melaluipenyetoran modal diatur piagam pendirian IBRD. Penyetoran modal pada IBRD dilakukandalam dua bentuk, yaitu tunai (cash) dan penerbitan promissory note. Pada akhir tahun2008, total penyertaan Indonesia (paid-in) di IBRD adalah sebesar USD110,2 juta atauequivalen dengan Rp1,2 triliun.

Pada tahun 2010, terdapat penerbitan promissory note baru sebesar Rp75,9 miliar untukkeperluan maintenance of value share Indonesia per 30 Juni 2009. Atas promissory note

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-42

tersebut, sudah disepakati oleh alternate executive director (direktur eksekutif pengganti)untuk Indonesia di Washington DC agar dibayar dalam 2 kali cicilan, yaitu sebesarRp40,0 miliar pada tahun 2011, dan sisanya akan dilunasi pada tahun 2012. Sehubungandengan itu, pada tahun 2011, Pemerintah merencanakan mengalokasikan PMN kepada IBRDsebesar Rp40,0 miliar

International Finance Corporation (IFC)

IFC adalah sebuah lembaga di bawah Group Bank Dunia yang didirikan pada tahun 1956,dengan tujuan untuk memajukan pembangunan ekonomi dengan mendorongperkembangan perusahaan swasta yang produktif dalam negara-negara anggota, terutamadi daerah tertinggal.

IFC adalah lembaga multilateral terbesar yang menyediakan dana pinjaman dan pembiayaanuntuk sektor swasta di negara-negara berkembang. IFC mendorong pengembanganberkelanjutan sektor swasta melalui:

1. Pembiayaan proyek dan perusahaan di negara-negara berkembang.

2. Membantu perusahaan swasta di negara-negara berkembang dan memobilisasipembiayaan dari pasar uang internasional.

3. Memberikan masukan dan bantuan teknik untuk kalangan bisnis dan Pemerintah.

Di Indonesia, IFC mempunyai 3 obyek utama, yaitu: mengurangi dampak perubahan iklim,meningkatkan pendapatan perdesaan, dan mendorong urbanisasi yang berkelanjutan. MarkasIFC berpusat di Washington DC, USA. Dengan modal awal USD100 juta, IFC saat iniberanggotakan 182 negara (masing-masing negara menunjuk 1 Governor dan 1 AlternateGovernor), dan mempunyai share capital sebesar USD2,4 milyar. Di Indonesia, IFC mulaiaktif sejak tahun 1968.

Berdasarkan pertemuan Development Committee pada tanggal 18-19 Februari 2010, diperolehaklamasi kesetaraan saham IFC dengan IBRD (47 persen di phase ke 2) di kemudian hari,dengan kenaikan saham DTCs bertahap dari 33 persen menjadi 42,5 persen melalui increasebasic vote (penambahan hak suara dasar) menjadi 5,5 persen, dan sisanya sekitar 8 persenmelalui selective capital increase (SCI) USD300,0 juta dengan penawaran ke DTCs(Developing and Transition countries) yang berminat (preferensi diberikan ke DTCs underrepresented atau negara berkembang dan transisi yang keterwakilannya kurang). SahamIndonesia di IFC adalah sebesar 1,2 persen, atau sebesar USD28,5 juta atau sekitarRp259,2 miliar (kurs USD1 = Rp9.083). Dengan kesepakatan di atas, saham Indonesiaberpotensi menurun menjadi 1,04 persen. Untuk menghindari terdilusinya saham Indonesiadi IFC, Indonesia perlu berkontribusi sebesar USD4,29 juta, yang dapat dicicil selama 5tahun. Dengan demikian, pembayaran penyertaan modal negara untuk IFC pada tahun2011 adalah USD858 ribu atau equivalen Rp8,6 miliar.

International Fund for Agricultural Development (IFAD)

IFAD adalah lembaga khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan sebagaisebuah lembaga keuangan pada tahun 1977. IFAD adalah salah satu hasil dari KonferensiPangan Internasional tahun 1974, dimana konferensi tersebut merupakan tanggapan ataskrisis pangan yang terutama melanda negara di Afrika di awal tahun 1970-an. Konferensitersebut sepakat untuk mendirikan sebuah lembaga keuangan internasional yang berfungsisebagai badan untuk mendanai pembangunan pertanian.

Bab VI

VI-43

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Sebagai negara anggota, Indonesia mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan,yang diantaranya adalah penyertaan modal pada IFAD. Total penyertaan modal negaraIndonesia di IFAD sejak awal hingga replenishment VII adalah sebesar USD46,96 juta.Pada sidang tahunan Dewan Gubernur ke-31 di Roma, Italia pada tanggal 18-19 Februari2009, para Gubernur menyetujui usulan manajemen IFAD untuk melakukan replenishment(penambahan modal) ke-8 IFAD dalam rangka meningkatkan peranan IFAD dalam upayapenanganan kemiskinan, perubahan iklim, dan kenaikan harga pangan. Pemerintah RItelah berkomitmen untuk berpartisipasi pada replenishment ke-8, di mana Pemerintahmemberikan kontribusi sebesar USD5,0 juta, yang akan dicicil selama tiga kali, yaitu sebesarUSD1,5 juta pada tahun 2010 dan 2011, dan sebesar USD2,0 juta pada tahun 2013. Dengandemikian, pada tahun 2011 Pemerintah mengalokasikan PMN kepada IFAD sebesarRp15,0 miliar.

Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF)

Pada pertemuan para Menteri Keuangan ASEAN+3 (Negara ASEAN dan Jepang, Korea,China) yang ke-12 di Bali, tanggal 3 Mei 2009, para Menteri sepakat untuk membentukCredit Guarantee and Investment Mechanism (CGIM), yang kemudian berubah namamenjadi Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF). CGIF adalah sebuah trust fundyang ditujukan untuk: (i) mendorong penerbitan obligasi swasta bermata uang lokal;(ii) meningkatkan akses pasar bagi issuer dengan rating minimal investment grade; dan(iii) memberikan jaminan dengan biaya rendah. Modal awal yang disepakati adalah sebesarUSD500,0 juta, yang diperoleh dari kontribusi negara-negara ASEAN+3, dan ADB selakupengelola trust fund tersebut.

Dari modal awal yang disepakati, Jepang dan Cina masing-masing telah berkomitmen untukberkontribusi sebesar USD200,0 juta, sedangkan Korea berkontribusi sebesar USD100,0 juta.Mengingat modal awal yang semula disepakati telah tercukupi oleh negara-negara plussthree, ADB dan negara-negara ASEAN berkomitmen untuk juga berkontribusi pada CGIF.Dalam hal ini, ADB akan berkontribusi sebesar USD130,0 juta, sedangkan negara-negaraASEAN sepakat untuk berkontribusi secara kolektif dengan jumlah minimal 10 persen daritotal modal awal yang diperkirakan menjadi USD700,0 juta. Dengan demikian, kontribusiASEAN secara kolektif sebesar USD70,0 juta. Dari jumlah tersebut, mengingat potensipengguna di negara ASEAN adalah negara-negara ASEAN 5 (Indonesia, Malaysia, Philipina,Thailand, dan Singapura), maka akan diupayakan untuk ditanggung secara bersama oleh

ASEAN5 secara equalsharing. Dengan demikian,masing-masing negara akanberkontribusi sebesarUSD14,0 juta. Karena itu,pada tahun 2011,Pemerintah mengalokasikanPMN untuk CGIF sebesarRp140,0 miliar. AdapunRincian PMN kepadaorganisasi/LKI pada tahun2011 dapat dilihat padaTabel VI.8.

1 Islamic Development Bank (IDB) 117,5

2 The Islamic Corporation for the Development of Private Sector (ICD) 28,5

3 Asian Development Bank (ADB) 371,9

4 International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) 40,0

5 International Finance Corporation (IFC) 8,6

6 International Fund for Agricultural Development (IFAD) 15,0

7 Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF) 140,0

721,5

Sumber: Kementerian Keuangan

Jumlah

TABEL VI.8PMN KEPADA ORGANISASI/LKI TAHUN 2011

(miliar rupiah)

No Nama Organisasi/LKI Jumlah

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-44

D. Dana Bergulir

Pemerintah merencanakan mengalokasikan anggaran untuk dana bergulir dalam RAPBN2011 sebesar Rp3,8 triliun. Jumlah ini menunjukkan kenaikan sebesar Rp546,6 miliar atau16,7 persen bila dibandingkan dengan alokasinya dalam APBN-P tahun 2010 sebesarRp3,3 triliun. Kenaikan anggaran dana bergulir dalam RAPBN 2011 tersebut terutamadisebabkan oleh adanya realokasi dana FLPP dari dana investasi Pemerintah ke dalam danabergulir.

Dana bergulir KUMKM

Alokasi dana bergulir untuk KUMKM dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesarRp250,0 miliar, atau lebih rendah Rp100,0 miliar (28,6 persen) bila dibandingkan denganpagunya dalam APBN-P 2010. Dana bergulir KUMKM tersebut akan digunakan untukmemberikan stimulus bagi koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, berupa penguatanmodal. Dalam pelaksanannya, BLU LPDB KUMKM merencanakan akan menyalurkan danabergulir kepada 15.217 unit KUMKM serta 21 LKB dan LKBB.

Dana bergulir FLPP

Alokasi dana bergulir untuk FLPP dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesar Rp3,6 triliunatau meningkat Rp888,6 miliar (31,0 persen) dibandingkan dengan pagunya dalamAPBN-P 2010.

Dalam APBN-P 2010, dana FLPP semula diklasifikasikan sebagai dana investasi pemerintah,mengingat saat itu Kementerian Perumahan Rakyat belum mempunyai satker BadanLayanan Umum yang akan mengelola dana FLPP. Dengan demikian, dana FLPP semuladirencanakan akan disalurkan kepada masyarakat melalui Pusat Investasi PemerintahKementerian Keuangan. Namun dalam perkembangannya, saat ini telah diterbitkanKeputusan Menteri Keuangan Nomor 290/KMK.01/2010 tentang Penetapan PusatPembiayaan Perumahan (PPP) pada Kementerian Perumahan Rakyat, sebagai instansiPemerintah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU.

Selain itu, saat ini telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.05/2010tentang Tata Cara Peyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana FLPP. Satker BLUKementerian Perumahan Rakyat tersebut telah ditetapkan sebagai Kuasa PenggunaAnggaran (KPA) dana FLPP. Demikian juga, dana FLPP yang telah dikembalikan masyarakatkepada PPP akan digulirkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan.

Dana bergulir untuk FLPP tahun 2011 merupakan perubahan dari skema subsidi untukkredit kepemilikan rumah sederhana sehat (KPRSh) untuk mendukung pembangunan rumahsederhana sehat bagi masyarakat yang berpendapatan rendah (MBR). Perubahan skemayang telah mulai dilaksanakan pada APBN-P 2010 tersebut, sejalan dengan Undang-UndangNomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun2005-2025, yang mengatur bahwa untuk memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat,dan mewujudkan kota tanpa permukinan kumuh, antara lain dilakukan dengan:(a) menyempurnakan pola subsidi sektor perumahan yang tepat sasaran, transparan,akuntabel, dan pasti, khususnya subsidi bagi MBR; dan (b) melakukan penguatan swadayamasyarakat dalam pembangunan rumah melalui pemberian fasilitas kredit mikroperumahan, fasilitasi untuk pemberdayaan masyarakat, dan bantuan teknis kepadakelompok masyarakat yang berswadaya dalam pembangunan rumah.

Bab VI

VI-45

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Perubahan skema KPRSh dari subsidi menjadi pembiayaan, diharapkan dapat memberikanmanfaat yang lebih besar, baik bagi masyarakat maupun bagi keberlangsungan programKPRSh dalam jangka panjang. Dengan skema baru tersebut, masyarakat dapat menikmatibunga cicilan KPRSh yang rendah sepanjang masa peminjaman, diharapkan tidak melebihisatu digit. Sementara itu, dalam jangka panjang, melalui fasilitas pembiayaan, diharapkandana yang sudah dikembalikan masyarakat dapat dipergunakan lagi oleh masyarakat yanglain, sehingga dapat mengurangi beban APBN di masa-masa yang akan datang.

E. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional

Dana pengembangan pendidikan nasional adalah anggaran pendidikan yang dialokasikanuntuk pembentukan endowment fund yang bertujuan untuk menjamin keberlangsunganprogram pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawabanantargenerasi (intergenerational equity) yang pengelolaannya menggunakan mekanismedana bergulir dan dilakukan oleh Badan Layanan Umum (BLU) di bidang pendidikan untukmengantisipasi keperluan rehabilitasi fasilitias pendidikan yang rusak akibat bencana alam.

Dalam RAPBN 2011, alokasi anggaran untuk dana pengembangan pendidikan nasionaldirencanakan sebesar Rp2,5 triliun. Jumlah alokasi ini berarti meningkat Rp1,5 triliun atau150,0 persen bila dibandingkan dengan alokasinya dalam APBN-P 2010 sebesar Rp1,0 triliun.Peningkatan alokasi dana pengembangan pendidikan nasional dalam RAPBN 2011 sejalandengan meningkatnya alokasi anggaran pendidikan secara keseluruhan.

F. Kewajiban Penjaminan

Dalam RAPBN tahun 2011, Pemerintah mengalokasikan kewajiban penjaminan sebesarRp1,0 triliun, yang akan dialokasikan untuk PT PLN (Persero) sebesar Rp889,0 miliar, danPDAM sebesar Rp147,0 miliar. Kewajiban penjaminan untuk PT PLN (Persero) tersebutdialokasikan dalam rangka memberikan dukungan percepatan pembangunan pembangkittenaga listrik yang menggunakan batubara. Bentuk dukungan dalam dana kewajibanpenjaminan adalah Pemerintah memberikan jaminan penuh (full guarantee) terhadapPT PLN (Persero) atas pembayaran kreditur perbankan yang menyediakan pendanaan/kredituntuk proyek-proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik (10.000 MW), apabila terjadigagal bayar pada saat jatuh tempo. Kebijakan tersebut didukung dengan Peraturan PresidenNomor 71 Tahun 2006 tentang Penugasan Kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang MenggunakanBatubara dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah olehPeraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2007.

Sementara itu, dana kewajiban penjaminan untuk PDAM dalam RAPBN tahun 2011direncanakan sebesar Rp147,0 miliar, yang diperuntukkan dalam rangka percepatanpenyediaan air minum bagi masyarakat. Dana penjaminan tersebut dimaksudkan untukmendorong perbankan nasional dalam memberikan kredit investasi kepada PDAM.Sementara itu, PDAM juga diberikan subsidi bunga oleh Pemerintah Pusat atas kewajibanpembayaran kredit investasi PDAM kepada bank.

Kebijakan tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 tentangPemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka PercepatanPenyediaan Air Minum serta aturan pelaksanaannya dalam Peraturan Menteri KeuanganNomor 229/PMK.01/2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Jaminan dan SubsidiBunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum. Dana

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-46

penjaminan kepada PDAM akan diberikan dalam hal PDAM gagal membayar atas sebagianatau seluruh kewajiban yang telah jatuh tempo. Pemerintah pusat akan menanggung sebesar70 persen, dan sisanya sebesar 30 persen menjadi risiko bank yang memberikan kreditinvestasi. Dari dana penjaminan sebesar 70 persen tersebut, realisasi pembayaran penjaminanoleh Pemerintah akan diperhitungkan sebagai pinjaman kepada PDAM sebesar 40 persen,dan sisanya sebesar 30 persen sebagai beban pemerintah daerah.

6.3.2 Kebijakan Pembiayaan Utang

Kebutuhan Pembiayaan pada tahun 2011 sebagian besar akan dipenuhi dari pembiayaanutang yang dapat dikelompokkan menjadi utang yang bersumber dari SBN dan pinjamanbaik dalam negeri maupun luar negeri. Pembiayaan utang ditargetkan sebesar Rp123,5triliun yang terdiri dari SBN neto sebesar Rp125,5 triliun, pinjaman luar negeri neto sebesarnegatif Rp3,0 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp1,0 triliun. Dengan adanyakebutuhan pembiayaan melalui utang, tambahan utang pada akhir tahun 2011 akanmempengaruhi jumlah utang secara keseluruhan.

6.3.2.1 Gambaran Umum

Pemenuhan kebutuhan pembiayaan melalui utang dilakukan dengan memanfaatkaninstrumen utang yang telah ada melalui berbagai kombinasi komposisi mata uang, tenor,jenis bunga, basis investor, dan lain lain yang bertujuan mengendalikan biaya dan risikoutang. Hal ini searah dengan kebijakan pengelolaan utang yang tercantum dalam strategipengelolaan utang jangka menengah yang mengedepankan efisiensi terhadap biaya utangdan efektifitas pemanfaatan utang dengan tetap memperhatikan risiko yang terkandungdalam utang.

Untuk mencapai tujuan tersebut, kebijakan pembiayaan utang yang ditempuh perlumempertimbangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kebijakan pengadaan/penerbitan utang, antara lain (i) biaya dan risiko yang melekat dalam portofolio utang, (ii)perkembangan kondisi pasar keuangan yang dapat mempengaruhi biaya utang, (iii) kapasitasdaya serap pasar keuangan domestik dan country ceiling/single country limit untukpengadaan pinjaman, dan (iv) sisa komitmen pinjaman yang telah ditandatangani. Selainitu juga mempertimbangkan pengembangan pasar SBN, pengelolaan kas yang mencakupproyeksi kebutuhan kas baik rupiah maupun valas, posisi cadangan devisa, dan pengelolaanassets liabilities Pemerintah dan BI.

Biaya dan risiko utang yang harus ditanggung merupakan konsekuensi dari pemilihanalternatif pembiayaan melalui utang. Biaya utang meliputi bunga atas outstanding utangdan biaya lain seperti biaya penerbitan SBN yang tercermin dari diskon pada SBN regular,biaya penerbitan yang diberikan kepada agen penjual SBN ritel dan valas, biaya komitmen,serta management fee atas pinjaman. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi biayabunga, antara lain karakteristik pemberi pinjaman/investor, jenis instrumen utang yangditerbitkan/diadakan, dan kondisi pasar keuangan termasuk nilai tukar rupiah terhadapmata uang asing, serta pergerakan tingkat bunga. Pada umumnya dalam portofolio utangPemerintah, pinjaman luar negeri memiliki tingkat bunga yang lebih rendah jikadibandingkan dengan utang dalam bentuk surat berharga, khususnya pinjaman yang bersifatlunak (concessional). Seiring berkurangnya pinjaman lunak tersebut dan semakinbertambahnya porsi SBN, akan berpotensi meningkatkan biaya utang. Selain itu untukpenerbitan SPN dan obligasi tanpa bunga akan memberikan dampak biaya yang relatif

Bab VI

VI-47

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

lebih besar pada tahun penerbitan yang disebabkan seluruh biaya kedua instrumen tersebutdibebankan langsung pada saat penerbitan.

Seiring dengan perkembangan pasar keuangan global yang baru pulih dari kondisi krisis,pengelolaan utang menghadapi tantangan terkait dengan pengelolaan risiko pasar, beruparisiko perubahan tingkat bunga dan risiko nilai tukar. Selain itu, utang-utang jatuh tempodalam jangka pendek juga menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan dalampengelolaan risiko pembiayaan kembali. Sampai dengan bulan Juni 2010, risiko potensialyang mungkin terjadi adalah risiko nilai tukar dan risiko pembiayaan kembali (refinancingrisk). Risiko nilai tukar dapat diketahui dengan melihat proporsi utang dengan mata uangasing terhadap outstanding. Semakin tinggi proporsinya semakin besar risiko yang dihadapi.Proporsi utang dalam mata uang asing saat ini masih di atas 40 persen dari total outstanding,sehingga apabila terjadi pelemahan mata uang rupiah maka akan terjadi peningkatanoutstanding utang yang diikuti pula oleh meningkatnya kewajiban utang baik pembayaranpokok jatuh tempo maupun bunga dan biaya utang lainnya.

Sedangkan refinancing risk diukur berdasarkan durasi utang dan profil jatuh tempo utang.Dalam tiga tahun kedepan refinancing risk portofolio utang Pemerintah cukup tinggiterutama disebabkan oleh tingginya utang yang jatuh tempo pada periode tersebut. Denganmemperhitungkan penerbitan SBN yang dilakukan pada tahun 201o dan penarikan pinjamantahun 2010, maka pokok jatuh tempo pada periode tersebut akan semakin besar sehinggarefinancing risk berpotensi semakin tinggi. Pada tahun 2011, pokok utang yang jatuh tempodiperkirakan sebesar Rp132,1 triliun miliar yang terdiri dari SBN sebesar Rp84,0 triliun danpinjaman sebesar Rp48,1 triliun. Perkiraan jatuh tempo SBN telah memperhitungkan rencanaoperasi pasar dalam program debt switch dan penerbitan SPN pada Semester II 2010.

Selain faktor tersebut di atas, perlu dipertimbangkan pula daya serap pasar SBN untukmenentukan jumlah target penerbitan SBN oleh Pemerintah yang wajar agar biaya danrisiko utang dapat optimal. Daya serap pasar SBN, antara lain ditentukan oleh kondisi makroekonomi, likuiditas pasar keuangan, aliran dana asing, perkembangan suku bunga,perkembangan nilai tukar, pertumbuhan aset kelolaan investor institusi, dan ketersediaaninstrumen yang sesuai dengan keinginan investor. Terkait dengan hal tersebut, alternatifjenis instrumen yang diterbitkan dan jenis/tipe investor yang menjadi sasaran serta tenoryang dipilih menjadi sangat penting. Untuk instrumen pinjaman yang perlu diperhatikanadalah fasilitas yang masih dapat disediakan oleh lender dimana negara debitur dapatmelakukan pengadaan/penarikan pinjaman atau biasa dikenal sebagai single country limit.Besaran fasilitas yang tersedia tersebut merupakan batas maksimum pengadaan pinjaman/komitmen yang tidak dapat dilampaui. Apabila single country limit terlampaui makakonsekuensinya lender akan mengenakan kenaikan biaya sebagai wujud dari kenaikan risikonegara tersebut.

Selanjutnya sisa komitmen pinjaman perlu dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakanpengadaan utang karena mempengaruhi prioritas penarikan pinjaman yang sedang berjalan.Sisa komitmen merupakan bagian dari fasilitas pinjaman yang sudah disepakati, namunbelum ditarik untuk pembiayaan kegiatan. Sisa komitmen yang belum dimanfaatkan akibatrendahnya kemampuan penyerapan berpotensi menambah biaya utang dan meningkatkanopportunity cost. Untuk itu diperlukan pemanfaatan sisa komitmen pinjaman secara tepatwaktu melalui peningkatan kualitas usulan dan perencanaan kegiatan misalnya peningkatan

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-48

BOX VI. 2Penerbitan Sukuk Negara Dengan Underlying Proyek

Menurut Undang-Undang SBSN, Sukuk Negara dapat diterbitkan dengan berbagai akad,antara lain Ijarah, Mudharabah, Musyarakah, Istishna’, dan akad lainnya sepanjang tidakbertentangan dengan prinsip syariah, atau kombinasi dua atau lebih akad-akad tersebut.Sampai dengan saat ini, penerbitan SBSN sebagian besar menggunakan akad Ijarah, terutamaIjarah Sale and Lease Back yang menggunakan underlying Barang Milik Negara selain IjarahAl Khadamat menggunakan jasa-jasa (services) pelayanan haji atau Sukuk Dana Haji Indonesia(SDHI) dan dari sisi pemanfaatan hasil penerbitan tersebut seluruhnya digunakan untukkeperluan pembiayaan umum APBN (general financing).

Mekanisme penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying penerbitan SukukNegara (Ijarah Sale and Lease Back), antara lain adalah : (i) BMN yang digunakan sebagaiunderlying merupakan BMN yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis yang dapat diukur,berupa tanah, dan/atau bangunan atau selain tanah dan/atau bangunan. BMN yang akandigunakan harus telah mendapat persetujuan dari DPR, (ii) Jenis, nilai, dan spesifikasi BMNditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku pengelola kekayaan negara, (iii) Penggunaannyadengan cara disewakan, dijual, atau cara lain yang sesuai dengan prinsip syariah; (iv) Padasaat jatuh tempo SBSN, underlying asset akan dibeli kembali oleh Pemerintah sebesar nilainominal SBSN; (v) Menteri sebagai Pengelola BMN akan meminta persetujuan DPR, pada saatpenyusunan RAPBN, (vi) diterbitkannya notification letter terhadap BMN yang sedangdigunakan oleh instansi pengguna, dan (vii) Penjualan BMN, hanya berupa hak manfaatnya(beneficial title) tanpa disertai pemindahtanganan fisik dan perubahan status kepemilikan(legal title).

Mekanisme penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN dimaksudkan bahwainstansi pengguna BMN, masih menggunakan BMN tersebut dalam rangka penyelenggaraantugas pokok dan fungsi instansinya. Penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSNini, akan mendorong tertibnya administrasi dalam pengelolaan aset Negara. Selain itu, padaBMN yang telah menjadi underlying penerbitan SBSN tidak akan terjadi peralihan kepemilikanaset negara kepada pihak lain. Di lain pihak, konsekuensi dari usulan penggunaan BMN sebagaiunderlying penerbitan SBSN tidak menyebabkan BMN dijaminkan/digadaikan oleh pihaktertentu karena tetap dalam penguasaan negara.

Sebagai upaya diversifikasi jenis dan struktur Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atauSukuk Negara, saat ini Pemerintah sedang mengkaji kemungkinan untuk penerbitan SBSNdengan underlying asset berupa proyek. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun2008 tentang SBSN, proyek yang dapat dibiayai melalui penerbitan SBSN adalah proyek yangtelah mendapat alokasi dalam APBN. Pembiayaan proyek melalui penerbitan SBSN tersebutselaras dengan tujuan RPJM, yaitu antara lain dalam rangka (i) percepatan pembangunaninfrastruktur, (ii) peningkatan pelayanan umum, (iii) pemberdayaan industri dalam negeri,dan/atau (iv) kegiatan investasi Pemerintah.

Sukuk berbasis proyek (project based sukuk) telah diterbitkan oleh beberapa negara(sovereign) dan korporasi, terutama negara-negara di Timur Tengah. Untuk merealisasikanpenerbitan SBSN proyek, Pemerintah saat ini sedang menyiapkan penyusunan infrastrukturhukum (Peraturan Pemerintah dan beberapa peraturan pelaksananya), dan fatwa DewanSyariah Nasional MUI, termasuk desain instrumen yang akan digunakan.

kualitas penyusunan feasibility study, dan kesiapan serta peningkatan kualitas pelaksanaankegiatan.

Bab VI

VI-49

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

BOX VI. 3Perbaikan Struktur Portofolio Utang

Upaya perbaikan struktur utang atau yang seringkali dikenal pula dengan upayarestrukturisasi dilakukan dengan tujuan, antara lain untuk mengurangi risiko yang dihadapipengelola utang seperti risiko refinancing, risiko nilai tukar, dan risiko tingkat bunga. Upayatersebut dapat dilakukan terhadap utang, baik yang berasal dari instrumen SBN maupunpinjaman.

Restrukturisasi yang dilakukan terhadap SBN relatif lebih mudah dilakukan karena SBNmerupakan instrumen pasar keuangan yang sifatnya fleksibel. Upaya-upaya yang telahdilakukan selama ini dalam melakukan restrukturisasi instrumen SBN antara lain melaluipembelian kembali sebelum jatuh tempo (buyback) maupun penukaran instrumen utang (debtswitch). Pembelian kembali atau buyback merupakan transaksi yang dilakukan untuk melunasiSBN sebelum waktu jatuh tempo. Transaksi ini dapat digunakan untuk (i) mengurangi risikorefinancing, yang dilakukan dengan membeli kembali surat utang yang jatuh tempo dalamjangka pendek, (ii) mengurangi risiko tingkat bunga, terutama apabila buyback diarahkanuntuk membeli kembali surat utang yang memiliki tingkat bunga yang relatif tinggi, (iii)pengembangan pasar, yang dilakukan dengan membeli kembali surat utang yang tidakditransaksikan (off the run), dan (iv) untuk tujuan stabilitas pasar bila terjadi market instabilitymisalnya harga SBN yang volatile atau cenderung turun tajam dalam waktu yang singkat karenaberbagai sebab. Dalam pelaksanaannya, sampai saat ini Pemerintah lebih mengedepankanbuyback yang digunakan untuk tujuan mengurangi risiko refinancing dan untuk tujuan stabilitaspasar.

Debt switch merupakan transaksi simultan antara pembelian kembali (buyback) danpenerbitan SUN baru kepada investor yang sama, sehingga sifatnya lebih kepada voluntarybasis. Sebagaimana mekanisme buyback, debt switch dapat digunakan untuk (i) mengurangirisiko refinancing, dengan menarik surat utang yang akan jatuh tempo dalam jangka pendekdan menggantikannya dengan surat utang yang memiliki jatuh tempo lebih panjang, (ii)mengurangi risiko tingkat bunga dengan menukar surat utang dengan tingkat bungamengambang dengan surat utang dengan tingkat bunga tetap, (iii) pengembangan pasar,misalnya dengan menukar off the run bond dengan on the run bond. Upaya Pemerintah untukmelaksanakan debt switch selama 2008-2009 dalam rangka mengurangi risiko refinancingtelah memperpanjang rata-rata jatuh tempo utang pemerintah dari 3,79 tahun dan 2,77 tahunmenjadi 13,69 dan 20,35 tahun.

Upaya untuk memperbaiki struktur pinjaman luar negeri juga dapat dilakukan akan tetapicenderung lebih sulit karena sering adanya restriksi dalam perjanjian pinjaman terutamapinjaman lunak dan dalam pelaksanaannya membutuhkan waktu yang relatif lebih lama. Selamaini, upaya perbaikan struktur portofolio utang khususnya bagi instrumen pinjaman masihdilakukan dalam koridor transaksi bilateral (lender by lender). Upaya tersebut dilakukan salahsatunya dengan perubahan terms and conditions perjanjian pinjaman yang difokuskan untukmengubah tingkat bunga referensi dan mata uang, dalam hal terbuka kesempatan. Bagiperubahan struktur pembayaran bunga, restrukturisasi dilakukan dengan melakukanamendment atas perjanjian pinjaman dari tingkat bunga mengambang menjadi tingkat bungatetap ketika kondisi suku bunga secara umum dinilai berada pada titik terendah. Perubahanterms and conditions ini dilakukan dengan pertimbangan untuk mengurangi ketidakpastianpembayaran bunga di masa yang akan datang sebagai konsekuensi dari naik turunnya tingkatbunga mengikuti situasi pasar keuangan. Selain itu, Pemerintah berpotensi melakukanpenghematan pembayaran bunga utang seandainya tingkat bunga di masa yang akan datangnaik menjadi lebih tinggi dibandingkan saat ini. Perubahan struktur biaya juga dapat dilakukan

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-50

dengan mengubah metode pembayaran dari multi-currency menjadi single currency. Hal inidilakukan untuk mencegah terjadinya cash mismatch karena pengeluaran dalam mata uangasing tertentu yang tidak seimbang dengan pemasukannya pada satu periode.

Pengurangan outstanding sebagai bagian dari perbaikan struktur portofolio pinjamanluar negeri dapat dilakukan antara lain dengan melakukan debt swap. Debt swap ini dinilaimenguntungkan karena Pemerintah yang sebelumnya telah mengalokasikan dana sejumlahtertentu untuk pembayaran cicilan pokok utang, dapat merealokasi anggaran tersebut menjadiprogram-program pembangunan sesuai kesepakatan dengan lender misalnya melakukanrehabilitasi hutan atau kegiatan pendidikan. Selain itu, debt swap yang dilakukan denganunderlying mata uang Rupiah tidak akan mengganggu stabilitas nilai tukar. Selama iniPemerintah telah melakukan upaya-upaya restrukturisasi melalui debt swap meskipun harusdiakui nilainya masih relatif kecil. Di luar kelebihan fasilitas debt swap yang telah diuraikantersebut, debt swap juga memunculkan tantangan yang harus diperhatikan dengan cermatdalam setiap rencana pelaksanaannya. Tantangan-tantangan tersebut antara lain (i) adanyapotensi tambahan dana sebagai akibat pengeluaran yang lebih besar dibandingkan jumlahutang yang dikonversi, (ii) perlunya penyamaan persepsi antar pihak-pihak yangberkepentingan terkait alokasi dana hasil swap dan penetapan kegiatan, dan (iii) pendekatankepada negara-negara yang berpotensi memberikan fasilitas debt swap terutama negara-negara kreditor besar.

Restrukturisasi utang dapat juga berdasarkan permintaan debitor antara lain melaluimekanisme reschedulling melalui forum Paris Club dan debt forgiveness (penghapusan utang).Untuk dapat memanfaatkan fasilitas Paris Club, umumnya negara yang mengajukan proposaldipersyaratkan berada dalam program asistensi dengan IMF. Sedangkan untuk dapatmemanfaatkan penghapusan utang, sebuah negara tidak boleh memiliki PDB per kapita melebihiUSD650 per tahun. Terkait dengan persyaratan ini, Indonesia sudah tidak eligible lagimengingat Pemerintah justru berupaya menghindari program asistensi IMF. Untuk itupemanfaatan fasilitas dengan menggunakan mekanisme rescheduling maupun debt forgivenesstersebut sulit untuk dapat dilakukan oleh Pemerintah, mengingat posisi Indonesia saat iniyang berada pada kelompok negara berpendapatan menengah dan tidak berada pada programasistensi IMF. Jika opsi ini hendak dilaksanakan, Pemerintah menghadapi konsekuensipenurunan sovereign credit rating dan peningkatan country risk classification. Dari sisi biaya,penurunan rating kurang menguntungkan mengingat terjadinya penurunan satu notch akanmenyebabkan yield SBN valas Pemerintah naik sekitar 75-115bps. Peningkatan satu tingkatcountry risk classification berdampak pada naiknya biaya pinjaman terutama yang berasaldari negara-negara anggota OECD sebesar 130-150bps.

6.3.2.2 Strategi dan Kebijakan Pengelolaan Utang 2011

Dalam memenuhi target pembiayaan defisit tahun 2011, Pemerintah berupayamengoptimalkan sumber pembiayaan dari utang baik SBN maupun pinjaman. Untukpenerbitan SBN dilakukan dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisiperekonomian global yang belum stabil sebagai dampak dari kebijakan negara maju untukmelakukan bailout yang dibiayai dari utang. Selain itu, Pemerintah tetap mempertimbangkankapasitas daya serap pasar SBN domestik sehingga diharapkan penerbitan SBN tidakmenimbulkan crowding out effect.

Selanjutnya, pengadaan pinjaman dilakukan dalam rangka budget support dan/atau hanyauntuk pembiayaan kegiatan prioritas. Pinjaman yang dilakukan dalam rangka budget supportdapat berbentuk pinjaman program/refinancing modality yang syarat penarikannya sesuai

Bab VI

VI-51

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

dengan program Pemerintah. Sedangkan pinjaman kegiatan diutamakan bagi pinjamanyang telah ditandatangani perjanjiannya dengan mendorong upaya penarikan secara tepatwaktu. Meskipun sumber pembiayaan dari pinjaman ini masih tetap menggunakan lenderbaik multilateral, bilateral maupun lembaga keuangan komersial, prioritas pengadaan utangtetap diarahkan bagi (i) lender yang memberikan terms and condition yang favorable (wajar),(ii) tidak adanya agenda politik tertentu, dan (iii) ketersediaan sumber pinjaman yangdisesuaikan dengan karakteristik kegiatannya.

6.3.2.3 Kebijakan pengelolaan SBN

Target penerbitan SBN neto dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesar Rp125,5 triliun denganprioritas penerbitan SBN rupiah di pasar domestik yang meliputi obligasi negara reguler,obligasi negara ritel, SPN, sukuk reguler, sukuk ritel, dan lain-lain. Pemilihan instrumendilakukan dengan mempertimbangkan antara lain preferensi investor, kondisi pasar keuangandomestik, kebutuhan untuk melakukan benchmarking, dan pengelolaan portofolio sertarisiko utang. Terkait dengan penerbitan SBSN, untuk menghindari ketergantungan terhadapBarang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset penerbitan SBSN, dilakukan penerbitanSDHI dan pengembangan instrumen SBSN dengan underlying proyek.

Untuk menjaga stabilitas pasar keuangan domestik dan menghindari crowding out akibattingginya target penerbitan SBN, pemenuhan pembiayaan melalui SBN juga dilakukan dipasar global melalui penerbitan SBN valas. Penerbitan ini juga ditujukan untuk membuatbenchmark di pasar keuangan global dan dapat pula digunakan untuk menambah cadangandevisa. Namun, penerbitan tersebut dilakukan dengan jumlah yang terukur agar porsi utangvalas tetap terjaga pada kisaran di bawah 50 persen dari total utang. Penerbitan SBN valasdirencanakan terdiri dari obligasi negara valas dalam mata uang USD dan mata uang Yen,serta sukuk valas dalam mata uang USD dengan tenor menengah panjang yangmempertimbangkan pembentukan yield curve dalam rangka benchmarking. Namun dalamrealisasinya, jumlah, jenis mata uang, dan tenor SBN valas yang diterbitkan akan disesuaikandengan kondisi pasar keuangan dan kebutuhan valas untuk mendukung kondisi makroekonomi pada saat pelaksanaan.

Sedangkan untuk mendukung penerbitan SBN rupiah di pasar domestik, perlu dilakukankebijakan diversifikasi instrumen dan metode penerbitan SBN melalui penerbitan benchmarkseries, penerbitan instrumen baru, dan memperluas penggunaan metode penerbitan sehinggadapat memberikan pilihan instrumen yang lebih bervariasi dan sesuai dengan preferensiinvestor. Upaya ini antara lain dilakukan melalui peningkatan frekuensi dan kualitas lelangpenerbitan, segmentasi investor, serta perluasan target investor. Sedangkan pengembanganinstrumen yang masih dilakukan untuk mendukung diversifikasi tersebut antara lain adalahpenerbitan sukuk proyek dan penerbitan Islamic T-Bills.

Kebijakan lain yang dilakukan untuk mendukung penerbitan SBN rupiah di pasar domestikadalah melalui kebijakan pengembangan infrastruktur pasar dan sosialisasi SBN untukmeningkatkan awareness masyarakat/investor. Upaya yang dilakukan antara lain adalahmeningkatkan fungsi market making oleh primary dealer, pengembangan pasar repo SBNdengan memperluas jenis underlying dan akses repo window, dan memperluas wilayahserta target sosialisasi SBN.

Selanjutnya dengan memanfaatkan kondisi pasar keuangan yang membaik, penerbitan SBNdiupayakan memiliki tenor menengah sampai panjang. Namun, apabila kondisi pasar

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-52

keuangan cenderung memburuk, pilihan penerbitan SBN jangka pendek dapatdipertimbangkan untuk dilakukan dalam jumlah yang terukur agar risiko refinancing utangmasih dalam tingkat yang terkendali.

6.3.2.4 Kebijakan Pengelolaan Pinjaman

Dalam RAPBN 2011, jumlah pinjaman yang akan ditarik terdiri dari penarikan pinjamanluar negeri bruto sebesar Rp57,1 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp1,0 triliun.Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, penarikan pinjaman luar negeri ini mencakuprencana penarikan pinjaman proyek sebesar Rp39,4 triliun dan penarikan pinjaman tunaidalam bentuk pinjaman program reguler sebesar Rp10,2 triliun dan refinancing modalitysebesar Rp7,5 triliun. Apabila dibandingkan dengan jumlah penarikan pinjaman pada tahun2009 dan 2010, rencana penarikan pinjaman pada tahun 2011 relatif jauh lebih rendahyang terutama dikontribusi oleh penurunan rencana penarikan pinjaman program dengancukup signifikan. Penurunan rencana penarikan pinjaman program ini merupakan akibatdari semakin berkurangnya komitmen yang disediakan lender dan sebagai konsekuensi daripengendalian besarnya penarikan pinjaman luar negeri yang ditetapkan dalam strategipengelolaan utang.

Berdasarkan sumbernya, pinjaman program pada tahun 2011 direncanakan berasal dariBank Dunia, ADB, dan Jepang melalui JICA. Dalam pelaksanaannya, pinjaman programyang berasal dari JICA pada umumnya merupakan co-financing dengan Bank Dunia dan/atau ADB, sehingga memiliki fokus kebijakan yang sama dengan syarat pencairan berupapolicy matrix yang sama. Adapun secara tentatif, sasaran uraian pinjaman program tahun2011 antara lain adalah Development Policy Loan (DPL), Infrastructure Development PolicyLoan (IDPL), dan Local Government Finance and Government Reform (LGFGR). Dalamrangka penarikannya, diperlukan penyusunan berbagai kebijakan terkait reformasi di bidangPemerintahan sesuai dengan masing-masing fokus area sebagaimana yang disepakati antaralender dengan Pemerintah. Mengingat fokus area tersebut meliputi berbagai bidang, dalampenyusunan policy matrix membutuhkan peran aktif dari K/L sesuai dengan tugas pokokdan fungsi masing-masing K/L. Apabila policy matrix tersebut mencakup beberapa bidangmaka pelaksanaannya dapat dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator bidangPerekonomian dan/atau Bappenas.

Sebagai kelanjutan dari tahun sebelumnya, pada tahun 2011 pinjaman tunai dengan skemarefinancing modality dari Bank Dunia yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat(PNPM) Perdesaan dan Perkotaan akan tetap dilanjutkan. Kebutuhan penyediaan dana untukrefinancing modality pada tahun 2011 ditargetkan sebesar Rp7,5 triliun. Mengingat skemarefinancing modality ini menggunakan underlying pelaksanaan kegiatan, maka besarnyadana pinjaman tunai yang dapat ditarik ditentukan oleh realisasi kemajuan pelaksanaankegiatan. Untuk itu, progress pelaksanaan kegiatan oleh K/L selaku Executing Agency dankecepatan penyusunan kelengkapan administrasi yang akan diajukan kepada lender menjadifaktor yang cukup penting.

Berkenaan dengan pinjaman kegiatan, rencana penarikan pinjaman untuk tahun 2011 dapatdirinci menjadi besaran pinjaman luar negeri yang akan ditarik oleh Pemerintah Pusat melaluiK/L sebesar Rp27,4 triliun dan penerusan pinjaman sebesar Rp12,0 triliun.

Berikut ini beberapa kegiatan yang dibiayai dari pinjaman luar negeri dan akan ditarik padatahun 2011 yaitu (i) Indonesian Vocational Education Strengthening Project (INVEST)

Bab VI

VI-53

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

sebesar SDR50,6 juta. Pinjaman ini bersifat pinjaman lunak yang ditandatangani denganADB pada tanggal 26 Mei 2008 dengan masa laku sampai dengan 30 November 2013. Sebagaipelaksana kegiatan adalah Kementerian Pendidikan Nasional. Kegiatan yang tercakup dalamINVEST secara umum diarahkan kepada upaya untuk memperluas akses lulusan sekolahmenengah kejuruan ke pasar tenaga kerja melalui peningkatan keahlian yang pada akhirnyadapat menunjang pembangunan ekonomi dan industri. Dalam kegiatan ini ditekankanadanya model pengembangan yang diambil dengan menggunakan jejaring nasional darisekolah menengah kejuruan unggulan yang nantinya berperan sebagai sekolah model, dan(ii) Project for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR) bertujuan untukmeningkatkan kepatuhan pembayar pajak dan memperbaiki tata kelola administrasiperpajakan. Komponen proyek antara lain meliputi peningkatan efisiensi pengumpulan danpengelolaan data, pengelolaan dan pengembangan SDM, penguatan operasional pengelolaankepatuhan melalui reformasi audit perpajakan dan penarikan tunggakan pajak. Proyek inimulai berlaku efektif sejak 7 Agustus 2009 bersumber dari pendanaan semi-concessionalBank Dunia dengan total komitmen sebesar USD110 juta yang dilaksanakan oleh DitjenPajak dengan batas akhir penarikan sampai dengan 31 Desember 2015. Hingga akhirDesember 2009 total penarikan pinjaman terkait program ini berjumlah USD275 ribu atau0,25 persen dari total komitmen.

Salah satu topik yang sering muncul dan didiskusikan dalam penarikan pinjaman ini adalahkemampuan daya serap kegiatan yang masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Upayapeningkatan daya serap kegiatan yang dibiayai dari pinjaman telah dilakukan sejak tahapperencanaan dengan pemberlakukan readiness criteria sampai tahap pelaksanaan melaluikegiatan monitoring. Namun demikian, masih diperlukan berbagai upaya tambahan untukdapat mengurai dan memetakan berbagai faktor potensial yang menjadi penghambat. Tidakterlaksananya kegiatan secara tepat waktu akan berpotensi menambah biaya utang danhasil dari kegiatan tersebut tidak segera dapat memberikan efek positif bagi perekonomian.

Terkait dengan biaya pinjaman, seiring dengan semakin terbatasnya ketersediaan pinjamanmurah, kiranya perlu dilakukan reformulasi dan penajaman kebijakan yang ada saat ini.Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti antara lain, adalah (i) pemanfaatan pinjaman agarlebih diarahkan bagi kegiatan yang memberikan dampak yang besar bagi perekonomiandan bagi kegiatan dengan tingkat urgensi tinggi, (ii) dilakukan perbaikan berkesinambungandalam perencanaan dan persiapan kegiatan sehingga keterlambatan pelaksanaan kegiatandari jadwal yang disusun dapat dihindarkan, (iii) penerapan disbursement plan yang lebihketat sebagai referensi dalam pelaksanaan kegiatan yang dapat digunakan sebagai saranapemberian reward and punishment dan evaluasi terhadap pengusul dan/atau pengelolakegiatan sehingga project ownership dan responsibility dapat ditingkatkan, dan(iv) penyusunan kebijakan perencanaan pinjaman secara lebih komprehensif dan prudentsehingga dapat menghindari pinjaman yang sifatnya lender driven dan tied loan.

Penerusan pinjaman dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesar Rp12,0 triliun atau turun28,6 persen jika dibandingkan dengan alokasinya dalam APBN-P 2010 sebesar Rp16,8 triliun.Penurunan penerusan pinjaman dalam RAPBN 2011 terutama disebabkan alokasi penerusanpinjaman dalam RAPBN 2011 murni menampung usulan baru yang akan dilaksanakandalam tahun anggaran 2011. Sedangkan alokasi penerusan pinjaman dalam APBN-P 2010menampung juga luncuran penerusan pinjaman tahun anggaran 2009 sebesar Rp4,3 triliun.Sekitar 95 persen dari total alokasi penerusan pinjaman akan digunakan untuk membiayaiberbagai proyek yang dilaksanakan oleh BUMN. Sedangkan sisanya, sekitar 5 persen

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-54

diperuntukkan bagi proyek-proyek yang dilaksanakan oleh Pemda.

Seperti halnya dalam tahun 2010, BUMN pengguna dana penerusan pinjaman terbesar dalamtahun 2011 adalah PT PLN (Persero). Alokasi untuk PT PLN (Persero) mencapai Rp9,6 triliunatau 80,2 persen dibandingkan dengan total keseluruhan penerusan pinjaman. Alokasipenerusan pinjaman untuk PT PLN (Persero) rencananya akan digunakan untuk membiayaiproyek-proyek vital dibidang infrastruktur listrik seperti pembangunan PLTGU Muara Karang720 MW dan 225 MW, Java Bali power sector restructuring and strengthening project,renewable energy development sector project, power transmission improvement sectorproject, dan lain-lain. Proyek-proyek tersebut umumnya merupakan proyek-proyekmultiyears sehingga pelaksanaan proyek dalam tahun 2011 merupakan kelanjutan dari tahun-tahun sebelumnya. Selain PT PLN (Persero), beberapa BUMN yang direncanakan akanmendapatkan alokasi penerusan pinjaman yaitu PT PGN, PT KAI, PT SMI, PT Pelindo II,dan LPEI.

Sedangkan Pemda yang akan menerima penerusan pinjaman dalam tahun 2011 yaitu PemkotBogor, Pemkab Muara Enim, dan Pemkab Kuala Kapuas, yang akan digunakan untukmembiayai proyek-proyek UWSSP. Proyek UWSSP adalah proyek yang bertujuan untukmembangun instalasi penyediaan air bersih yang dilaksanakan oleh Perusahaan Daerah AirMinum (PDAM) setempat.

Selain ketiga kota tersebut, Pemkot Sawah Lunto, Pemkab Konawe Selatan, Pemkab SolokSelatan, Pemkot Palembang, Pemkab Morowali, dan Pemkot Banda Aceh direncanakanmendapatkan alokasi penerusan pinjaman dalam tahun 2011 untuk membiayai proyek-proyekUSDRP. Proyek USDRP ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah dalampenyelenggaraan pembangunan kawasan perkotaan yang layak huni, berkeadilan sosial,berbudaya, produktif, dan berkelanjutan serta saling memperkuat dalam mendukungkeseimbangan pengembangan wilayah.

Selain proyek-proyek UWSSP dan USDRP, Pemerintah juga berencana mengalokasikanpenerusan pinjaman untuk Pemprop DKI Jakarta dalam tahun 2011 untuk membiayai proyekJEDI. Proyek JEDI ini merupakan kelanjutan dari yang telah dilaksanakan tahun 2010karena bersifat multiyears. Proyek JEDI merupakan proyek penanggulangan banjir di wilayahDKI Jakarta yang akan dilaksanakan dengan merehabilitasi dan mengeruk saluran air atausungai yang sudah ada.

Untuk pinjaman dalam negeri, arah pemanfaatan pinjaman masih difokuskan kepadapembiayaan kegiatan dalam rangka mendorong peningkatan produksi dalam negeri. Saatini pinjaman dalam negeri diprioritaskan untuk dua K/L yaitu Kementerian Pertahanan danPolri dengan alokasi sebesar Rp1,0 triliun yang direncanakan bersumber dari perbankandalam negeri. Mekanisme pengadaan pinjaman dalam negeri menyelaraskan antaraperencanaan kegiatan dan perencanaan pinjaman dengan perencanaan anggaran. Untukitu, dalam rangka menghindari kelambatan penarikan pinjaman, setiap usulan kegiatanyang diajukan merupakan kegiatan yang sudah pasti (firm) dan menjadi prioritas K/L.

BOX VI. 4

Monitoring Pinjaman Luar Negeri

Pasal 24 ayat (1), Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara PengadaanPinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri,mengamanatkan Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri

Bab VI

VI-55

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

34,6%29,8%

25,2%21,4%

17,1% 13,9%6,2% 6,0% 5,4% 5,3% 5,8% 5,3% 5,6%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

120%

0

50

100

150

200

250

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

[ mili

ar U

SD]

Net Commitment Disbursement Undisbursed % Undisbursed (RHS)

GRAFIK VI.15PEMANFAATAN PINJAMAN LUAR NEGERI 1998 – 31 MEI 2010

Sumber: Kementerian Keuangan

pada Kementerian Negara/Lembaga untuk melaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasipinjaman luar negeri secara triwulanan. Selanjutnya dalam pasal 24 ayat (3), ditegaskan bahwaMenteri Keuangan mengeluarkan Laporan Realisasi Penyerapan pinjaman dan/atau hibahluar negeri secara triwulanan atas pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari pinjaman/hibahluar negeri. Sebagai penjabaran dari ketentuan tersebut di atas, dan untuk memperkuat fungsimonitoring pinjaman luar negeri telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 33/PMK.08/2010 tanggal 12 Februari 2010 tentang Monitoring, Evaluasi, Pelaporan, Publikasi,dan Dokumentasi Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.

Monitoring terhadap pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari pinjaman luar negerimerupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan dan pengendalian utang.Monitoring terutama ditujukan untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan kegiatan berjalansesuai rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Apabila diketahui adanya kendala ataupermasalahan dalam pelaksanaannya dapat segera diantisipasi penyelesaiannya secara lebihdini.

Saat ini, kegiatan monitoring pinjaman luar negeri masih difokuskan pada realisasipenyerapan pinjaman luar negeri, yaitu untuk mengatur rasio atau tingkat penyerapan(disbursement) terhadap waktu yang tersedia untuk penarikan pinjaman tersebut. Penarikanpinjaman luar negeri yang lambat, mengindikasikan adanya masalah yang pada umumnyadiakibatkan oleh kelambatan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Implikasi yang timbulatas keterlambatan penarikan pinjaman luar negeri adalah meningkatnya beban biaya pinjamanterutama biaya commitment fee yang pengenaannya dihitung berdasarkan persentase terhadapjumlah pinjaman yang belum ditarik (undisbursed loan amount). Commitment fee akan relatifkecil dan tidak membebani dalam hal kecepatan absorbsi pinjaman yang besar. Fee ini dalambeberapa hal sulit dihindarkan mengingat pemberi pinjaman sudah harus menyediakan/mencadangkan jumlah dana tertentu yang akan digunakan oleh peminjam selama waktupenarikan (avalability period) sesuai syarat yang disepakati.

Berdasarkan data historis pemanfaatan pinjaman luar negeri dalam kurun waktu lebihdari satu dasawarsa, jumlah penyerapan pinjaman luar negeri mengalami trend yang cenderungmeningkat.

Untuk meningkatkan kapasitas dan peranan dalam pelaksanaan kegiatan monitoringpinjaman luar negeri, saat ini sedang dikembangkan mekanisme penerapan result basemonitoring system, dimana kinerja kegiatan yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri harusdapat diukur dari hasil yang dicapai dengan cara mengukur dan membandingkan antara inputdengan output, outcome, dan dampaknya serta tingkat efektivitas dan efisiensinya. Sehinggadiharapkan efektivitas dan efisiensi pemanfaatan pinjaman luar negeri oleh pengguna dapatmeningkat.

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-56

S & P Fitch Moody 's CRC

1999 CCC+ B- B3 6

2000 B- B- B3 6

2001 CCC B- B3 6

2002 CCC+ B B3 6

2003 B- B+ B3 6

2004 B+ B+ B2 6

2005 B+ BB- B2 5

2006 B+ BB- B2 5

2007 BB- BB- B1 5

2008 BB- BB Ba3 5

2009 BB- BB Ba3 5

2010 BB BB+ Ba2 4

Su m ber : Kem en ter ia n Keu a n g a n

T ABEL VI.9PERKEMBANGAN SCR DAN CRC INDONESIA

RatingTahun

BOX VI.5

Sovereign Credit Rating dan Country Risk Classification

Sovereign Credit Rating (SCR) dan Country Risk Classification (CRC) merupakan indikatortingkat risiko suatu negara, dengan implikasi terhadap biaya pengadaan utang. Indikator tingkatrisiko dimaksud memberikan gambaran kemampuan suatu negara dalam memenuhi kewajibanutang yang jatuh tempo secara penuh dan tepat waktu. Sedangkan implikasi terhadap biayapengadaan utang, SCR akan secara langsung mempengaruhi biaya penerbitan obligasi maupunpergerakan yield obligasi dan CRC mempengaruhi premi risiko pinjaman komersial .

Penetapan level SCR dan CRC dilakukan oleh para pemeringkat melalui analisis terhadapbeberapa variabel ekonomi dan non-ekonomi. Variabel ekonomi meliputi penilaian terhadaprisiko keuangan (penilaian kemampuan Pemerintah untuk memenuhi kewajibannya), dan risikoekonomi (penilaian terhadap pertumbuhan ekonomi, PDB per kapita, tingkat inflasi, angkapengangguran). Variabel non ekonomi menitikberatkan antara lain kepada risiko politik,infrastruktur, konflik dalam negeri, dan lain-lain.

Level peringkat dari masing-masing lembaga pemeringkat berbeda antara satu denganyang lain. S & P dan Fitch menetapkan klasifikasi level rating mulai dari SD (selective default)sampai AAA+, dimana level investment grade akan dimulai sejak level BBB-). Moodymenetapkan klasifikasi level rating mulai dari C sampai Aaa1, dimana level investment gradedimulai sejak level Baa3. OECD menetapkan klasifikasi level CRC mulai dari 0 sampai 7, dimanasemakin rendah pengklasifikasian, mengindikasikan semakin rendahnya risiko gagal bayar

suatu negara yang akan berimbas pada makin turunnya premi risiko pinjaman.

Perkembangan level SCR Pemerintah Indonesia tertinggi (kategori investment grade)dicapai pada periode sebelum krisis ekonomi tahun 1998 (level BBB oleh S & P, BBB- oleh Fitchdan Baa3 oleh Moody). Pada tahun 1998, rating Indonesia turun 8 notches dan masuk dalamkategori non investment grade. Bahkan pada saat restrukturisasi pinjaman luar negeri melalui

Bab VI

VI-57

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

6.3.2.6 Isu-isu Terkait Dengan Pengelolaan Utang

6.3.2.3.1 Dampak Krisis Eropa Terhadap Pengelolaan SBN

Krisis utang di Eropa ini bermula dari permasalahan Pemerintah Yunani yang gagal dalammengelola anggarannya sejak beberapa tahun yang lalu. Yunani yang awalnya memilikiPDB sebesar USD350 miliar atau 2 persen dari total PDB Eropa terus meningkatkan defisitanggarannya sehingga melebihi batas maksimal yang ditetapkan Uni Eropa (UE) yaitu3 persen dari PDB. Kondisi tersebut mencapai titik tertinggi yang mencapai angka 13,6 persendari PDB dan pada saat bersamaan, defisit tersebut dibiayai melalui penerbitan surat utang.Akibat penyusunan kebijakan pembiayaan defisit melalui penerbitan utang yang tidakdilandasi dengan prinsip kehati-hatian tersebut, Yunani dinyatakan default (gagal bayar).

Kondisi tersebut memicu kekhawatiran negara-negara yang tergabung dalam UE terhadappotensi contagion effect yang dapat mengakibatkan runtuhnya perekonomian Eropa. Untukmenghindari effect ini, maka Dana Moneter internasional (IMF) dan UE sepakat untukmembantu Yunani dengan mengeluarkan bantuan dana awal sebesar USD145,0 miliar.Namun krisis tersebut pada akhirnya menjalar pula ke negara-negara Eropa lainnya, sepertiSpanyol, Portugal, Irlandia, dan Italia dengan permasalahan krisis fiskal yang cukup berat.Untuk itu, IMF dan UE kembali sepakat untuk memberikan dana bailout sebesar USD1,0triliun. Langkah ini juga diikuti dengan pengelolaan fiskal yang efisien seperti pembatasanpengeluaran Pemerintah atau pemangkasan gaji para pegawai.

Merebaknya krisis yang melanda beberapa negara Eropa tersebut membawa kekhawatiranyang mendalam terutama di kalangan investor global. Para investor cenderung menghindariuntuk membeli instrumen berisiko tinggi seperti surat utang di emerging market. Hal initerjadi karena masih tingginya ketidakpastian terhadap penanganan atas krisis Eropa.Investor global cenderung memilih safety asset seperti emas, mata uang dolar AS, maupunsurat utang Pemerintah AS.

Sebagai suatu sistem keuangan yang terhubung satu sama lain, dampak dari krisis yangterjadi di Eropa juga sedikit banyak berpengaruh pada Indonesia. Walaupun waktu transmisicukup panjang dan magnitude yang relatif kecil dibanding krisis global, namun terjadi aksirisk aversion di pasar keuangan domestik dengan pelemahan nilai tukar rupiah sebesar1,04 persen pada tanggal 6 Mei 2010, karena investor mulai melepas kepemilikan suratberharga di pasar domestik Indonesia. Nilai imbal hasil (yield) SBN untuk seri benchmarkmengalami kenaikan rata-rata hampir 50 bps pada penutupan perdagangan tanggal 6 Mei2010. Indeks SUN juga menunjukkan penurunan sebesar 1,64 poin pada tanggal yang sama.

Forum Paris Club pada tahun 1999, 2000, dan 2002, S&P menurunkan credit rating Indonesiamenjadi SD yang merupakan level dengan risiko tertinggi. Kemudian mulai tahun 2004, secarabertahap terjadi peningkatan level SCR Indonesia, hingga akhirnya pada tahun 2010 beradapada level BB+ dengan outlook stabil (Fitch), BB dengan outlook positif (S & P), dan Ba2 (Moody).Sebaliknya untuk perkembangan level CRC Indonesia relatif lamban, dimulai tahun 1999 yangberada pada level 6, kemudian berubah menjadi level 5 pada tahun 2005, dan terakhir berubahmenjadi level 4 pada tahun 2010.

Faktor penentu perbaikan SCR dan CRC pada periode tersebut disebabkan antara lainketahanan perekonomian Indonesia dalam menghadapi krisis global 2007-2008, kestabilanpolitik dan perbaikan law enforcement, serta pengelolaan utang pemerintah yang prudent(penurunan rasio utang terhadap PDB, ketepatan waktu pembayaran kewajiban utang, danmeningkatnya kepercayaan investor/kreditor).

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-58

Selain berdampak pada pasar obligasi, dampak krisis juga berpengaruh pada pasar modaldengan adanya pihak asing melakukan aksi jual saham besar-besaran sehingga menurunkanindeks harga saham hingga lebih dari 15 persen.

Namun, pelemahan pasar keuangan domestik terlihat sementara dan tidak berlangsunglama karena hanya dalam beberapa hari kondisi pasar SBN terlihat memiliki tren yangmenguat. Para investor asing yang sebelumnya mengurangi porsi kepemilikan terlihatkembali membeli SBN di pasar domestik. Hal-hal yang menjadi faktor pendorong pemulihankondisi pasar keuangan domestik antara lain:

1. Kondisi fundamental ekonomi yang cukup solid seperti inflasi yang cukup terkendalidan pertumbuhan ekonomi yang berjalan dengan baik yang diprediksi di kisaran 5,8persen sampai dengan akhir tahun 2010, termasuk utang yang relatif terkendali yangditunjukkan oleh Debt to GDP ratio yang memiliki tren menurun sehingga mencapaikisaran 28 persen, jauh lebih kecil dibanding debt to GDP ratio negara-negara maju.

2. Yield SBN domestik yang cukup menarik dibanding dengan peer countries seiring denganrelatif stabilnya nilai tukar rupiah dan terkendalinya tekanan inflasi.

Selain berdampak pada pasar domestik, krisis Eropa juga berdampak pada instrumen obligasiglobal Indonesia. Ketidakpastian penanganan krisis Eropa mendorong pelemahan terhadapobligasi global Indonesia. Pada tanggal 6 Mei 2010 yield obligasi global Indonesia bertenor10 tahun meningkat 18 bps ke level 5,64. Sedangkan untuk obligasi global yang bertenor 30

tahun mengalami kenaikan sebesar14 bps. Persepsi risiko investor atascredit default swap Indonesia juganaik sebesar 43,87 bps dibandinghari sebelumnya. Hal inimencerminkan kekhawatiraninvestor terutama terhadap asetberisiko seperti aset emergingmarket.

Seperti halnya pasar domestik, riskappetite investor global juga cepatpulih yang terlihat dari turunnyayield obligasi global Indonesia baiktenor 10 maupun 30 tahun dalambeberapa hari. Investor global menilaipengaruh krisis Eropa terhadapIndonesia tidak signifikan karenanegara-negara UE bukan merupakantujuan utama ekspor Indonesia disamping kondisi fundamentalekonomi Indonesia yang cukup baik.Pengaruh krisis Eropa terhadap yieldSBN Domestik dan SBN GlobalIndonesia dapat dillhat pada GrafikVI.16 dan Grafik VI.17.

150

170

190

210

230

250

270

290

1/13/2

010

1/22/2

010

2/2/20

10

2/11/2

010

2/22/2

010

3/3/20

10

3/15/2

010

3/24/2

010

4/2/20

10

4/13/2

010

4/22/2

010

5/3/20

10

5/12/2

010

5/21/2

010

6/1/20

10

6/10/2

010

2

3

4

5

6

7

8

CDS 10YINDON10YINDON30Y

Tanggal 6 Mei 2010:▲yield INDON10Y = naik 18 bps▲yield INDON30Y = naik 14 bps▲CDS 10Y = naik 43,87 bps

Sumber: Kementerian Keuangan

GRAFIK VI.17PENGARUH KRISIS EROPA TERHADAP YIELD SBN GLOBAL

7

7.5

8

8.5

9

9.5

10

10.5

1/1/20

10

1/12/2

010

1/21/2

010

2/1/20

10

2/10/2

010

2/19/2

010

3/2/20

10

3/11/2

010

3/23/2

010

4/1/20

10

4/12/2

010

4/21/2

010

4/30/2

010

5/11/2

010

5/20/2

010

5/31/2

010

6/9/20

108800

8900

9000

9100

9200

9300

9400

9500

Kurs RupiahFR0027 (5 tahun)FR0031 (10 tahun)

Tanggal 6 Mei:▲yield FR0027 = naik 42 bps▲yield FR0031 = naik 50 bps▲kurs rupiah = melemah Rp 95 (1,04%)

Sumber: Kementerian Keuangan

GRAFIK VI.16PENGARUH KRISIS EROPA TERHADAP YIELD SBN DOMESTIK

Bab VI

VI-59

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

BOX VI. 6

SBN Ritel: Prospek dan Manfaatnya

Penerbitan SBN Ritel ini tidak terlepas dari tujuan Pemerintah untuk memperluas basisinvestor SBN melalui penerbitan instrumen dengan karakteristik yang sesuai dengankarakteristik investor individu. Dengan menerbitkan SBN Ritel, selain memperoleh sumberpembiayaan APBN, Pemerintah juga menunjukkan komitmen yang kuat untuk mengembangkanpasar ritel yang telah dibangun sejak tahun 2006. Tumbuhnya retail instrument telahmendorong investor untuk tidak lagi hanya berperan dominan sebagai saving society, namundapat berperan lebih jauh sebagai investment society. Bagi investor, selain memberikan imbalhasil yang relatif lebih tinggi dari deposito, juga memperoleh instrumen investasi yang aman,sekaligus berkontribusi dalam pembangunan negara. Instrumen SBN Ritel yang saat iniditerbitkan oleh pemerintah terdiri dari Obligasi Negara Ritel (ORI) yang telah mencapai 7seri dan Sukuk Negara Ritel (Sukri) yang hingga tahun 2010 mencapai 2 seri.

Saat ini SBN Ritel telah menjadi alternatif yang cukup menarik bagi investor individu disamping instrumen lain seperti deposito, saham, obligasi korporasi, reksadana, unit link, danberbagai macam produk perbankan lainnya, sehingga memberikan kesempatan kepada warganegara Indonesia untuk ikut serta berkontribusi secara langsung dalam pembiayaanpembangunan dengan berinvestasi melalui SBN Ritel.

Perkembangan penerbitan SBN Ritel mulai tahun 2006 hingga saat ini, selalu terdapatpenambahan jumlah investor yang berinvestasi dalam SBN Ritel. Hal ini menunjukkan bahwaprogram sosialisasi yang dilakukan pemerintah berhasil mengubah pola pikir masyarakat darisaving oriented menjadi investment oriented. Investor SBN Ritel sampai tahun awal 2010telah mencapai 112.484 investor, yang tersebar di 32 provinsi di Indonesia. Sedangkankepemilikan SBN Ritel sebagian besar masih didominasi oleh perseorangan, hal ini menandakanbahwa investor SBN Ritel cenderung berinvestasi dengan pola hold to maturity. Dalamperjalanan waktu, SBN Ritel mampu menyerap 2,32 persen dari Dana Pihak Ketiga yang terdapatdi perbankan. Melihat hal tersebut, masih besar kemungkinan terjadinya pengalihan danadari tabungan ke SBN Ritel, atau munculnya kesadaran masyarakat untuk melakukan investasidi surat berharga selain produk tabungan yang ada.

Manfaat dari penerbitan SBN Ritel, antara lain memperluas basis sumber pembiayaananggaran negara, memperkaya instrumen pembiayaan fiskal, memperluas dan mendiversifikasibasis investor SBN, mendorong pertumbuhan dan pengembangan alternatif instrumeninvestasi di pasar keuangan, termasuk menciptakan benchmark di pasar keuangan baikkonvensional maupun syariah.

Keterangan 2006 2007 2008 2009

Dana Pihak Ketiga di Perbankan/DPK (miliar rupiah) 1.287,0 1.510,7 1.753,3 1.973,0

Outstanding SBN Ritel (miliar rupiah) 3,3 18,9 34,6 45,7

Rasio DPK terhadap Outstanding SBN Ritel 0,25% 1,25% 1,98% 2,32%

Su m ber : Kem en ter ia n Keu a n g a n

TABEL VI.10RASIO DANA PIHAK KETIGA (DPK)

6.3.2.3.3 Profil Kepemilikan SBN Domestik

Sebagai instrumen keuangan yang bebas risiko yang ditransaksikan secara over the counterdi dalam sistem devisa bebas, maka SBN Domestik diminati tidak hanya oleh investordomestik namun juga investor asing. Secara garis besar investor domestik terbagi dalam

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-60

Des-05 Mei-05 Des-05 Mei-10

I. Bank 289,7 236,4 72,4 38,8 (18,4)

a. Bank BUMN Rekap 154,5 137,8 38,6 22,6 (10,9)

b. Bank Swasta rekap 85,4 55,2 21,4 9,0 (35,4)

c. Bank Non Rekap 45,8 38,7 11,5 6,3 (15,5)

d. BPD Rekap 4,0 2,3 1,0 0,4 (41,7)

e. Bank Syariah - 2,6 - 0,4 -

II. Institusi Pemerintah 10,5 21,1 2,6 3,5 100,3

a. Bank Indonesia 10,5 21,1 2,6 3,5 100,3

b. Kementerian Keuangan - - - - -

III. Non-Bank 99,7 352,2 24,9 57,8 253,3

a. Reksadana 9,1 47,3 2,3 7,8 418,6

b. Asuransi 32,3 77,2 8,1 12,7 139,1

c. Asing 31,1 144,1 7,8 23,6 363,5

d. Dana Pensiun 22,0 37,5 5,5 6,2 70,4

e. Sekuritas 0,5 0,3 0,1 0,0 (45,7)

f. Lain-lain 4,7 45,8 1,2 7,5 878,0

399,8 609,7 100 100,0 52,5

* SBN tradable berdenominasi Rupiah

Sumber: Kementerian Keuangan

Total

TABEL VI.11

KEPEMILIKAN SBN BERDASARKAN INVESTOR SBN DOMESTIK*

(akhir Desember 2005 dan akhir Mei 2010)

Nominal PersentaseKelompok Industri Growth (%)

(triliun rupiah)

tiga kelompok besar, yaitu Bank, Institusi Pemerintah, dan Non-Bank. Kelompok Bank terdiridari bank BUMN Rekap, Bank Swasta Rekap, Bank Non Rekap, BPD Rekap, dan BankSyariah. Kelompok Institusi Pemerintah terdiri dari Bank Indonesia, Kementerian Keuangan,termasuk Lembaga Penjamin Simpanan. Sedangkan kelompok Non-Bank meliputi dariReksadana, Asuransi, Dana Pensiun, Sekuritas, dan Lain-Lain yang terdiri dari Korporasi,Lembaga Keuangan, Perorangan, Yayasan dan Investor lain yang tidak termasuk dalamkelompok yang telah disebutkan.

Pada awal lahirnya obligasi negara pada akhir dekade 90-an, seluruh obligasi hanya dimilikioleh Bank Rekap. Sejak mulai diperdagangkan pada akhir tahun 2000 dan setelah adanyaUndang-Undang tentang Surat Utang Negara di akhir tahun 2002, kepemilikan obligasiPemerintah makin tersebar. Dari ilustrasi dalam Tabel VI.11, dalam 5 tahun terakhirnominal SBN tradable berdenominasi rupiah untuk periode tersebut mengalami kenaikanyang cukup signifikan, yaitu sebesar Rp209,84 triliun (52 persen), sejalan dengan semakinpentingnya peran SBN sebagai instrumen fiskal dan keuangan. Dari ketiga kelompokkepemilikan SBN, kepemilikan bank mengalami penurunan sebesar Rp53,60 triliun atau18,37 persen dari akhir tahun 2005 sampai bulan Mei 2010. Sebaliknya, kepemilikan InstitusiPemerintah dan Non Bank mengalami kenaikan masing-masing sebesar Rp10,55 triliunatau 100,26 persen dan Rp252,49 triliun atau 253,32 persen dari akhir tahun 2005 sampaibulan Mei 2010. Untuk kepemilikan lain-lain tercatat kenaikan jumlah kepemilikan SBN

Bab VI

VI-61

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

yaitu dari Rp4,68 triliun pada akhir tahun 2005 menjadi Rp45,77 triliun pada bulan Mei2010 atau naik sebesar 878,78 persen yang didorong terutama oleh meningkatnyakepemilikan SBN oleh investor individu melalui obligasi negara ritel.

Perkembangan kepemilikan SBN tradable berdenominasi rupiah dapat dijelaskan sebagaiberikut:

1. Perbankan

Pada awalnya, SBN yang diterbitkan hanya untuk perbankan yang masuk dalam programrekapitalisasi perbankan dalam rangka pemulihan sektor perbankan pada saat terjadi krisisekonomi tahun 1998. Namun, seiring dengan perbaikan kondisi makro ekonomi, kepemilikanSBN oleh perbankan khususnya bank rekap mengalami penurunan yang signifikan karenasebagian dari aset bank yang sebelumnya dalam bentuk SBN telah diperjualbelikan sejakakhir tahun 2000 agar bank rekap dapat memainkan fungsi intermediaries dalammenyalurkan kredit. Hampir semua kelompok industri perbankan mencatat penurunanjumlah kepemilikan SBN, kecuali Bank Syariah yang naik Rp2,55 triliun atau 0,42 persensetelah diperkenalkannya surat utang berbasis syariah.

2. Institusi Pemerintah

Dalam kelompok institusi Pemerintah, Bank Indonesia merupakan salah satu investor.Kepemilikan SBN oleh Bank Indonesia digunakan sebagai instrumen pengendali moneterdan pengembangan stabilitas sistem keuangan yang berkesinambungan.

3. Non-Bank

Minat investor terhadap SBN semakin meningkat seiring dengan membaiknya perekonomianIndonesia. Institusi seperti asuransi dan dana pensiun terutama life insurance, memerlukanpenempatan dana kelolaannya pada instrumen yang stabil, bebas risiko, dan mampumemenuhi asset against liabilities matching. Dalam kondisi perekonomian yang membaik,pertumbuhan aset institusi seperti dana pensiun dan asuransi akan menunjukkankecenderungan yang searah perkembangan kondisi perekonomian. Di masa lalu dalamketiadaan instrumen, asuransi dan dana pensiun akan cenderung menempatkan danakelolaannya pada instrumen tabungan terutama dalam bentuk deposito. Seiring denganmakin kayanya instrumen, pemahaman pada investasi yang makin baik, dan transaksi pasarsekunder yang makin likuid yang diimbangi dengan infrastruktur peraturan yangmendukung, telah mendorong asuransi dan dana pensiun untuk menempatkan danakelolaannya pada SBN. Dari data yang ada, hingga akhir 2009, sekitar 26 persen dana kelolaandari industri dana pensiun ditempatkan pada SBN. Sementara untuk asuransi pada waktuyang sama sekitar 28 persen dialokasikan penempatannya pada SBN. Asuransi dan danapensiun telah menjadikan SBN sebagai tempat penempatan sesuai profil liabilitiesnya denganjumlah kepemilikan SBN bertenor panjang (lebih dari 10 tahun). Data akhir Mei 2010menunjukkan, asuransi dan dana pensiun menempatkan masing-masing sebesar Rp51,78triliun (67 persen) dan Rp18,05 triliun (48 persen) pada instrumen jangka panjang.

Kelompok industri reksadana, asuransi dan dana pensiun menunjukkan minat yang besarterhadap SBN. Berdasarkan data per Desember 2009, total dana yang diinvestasikan kelompokindustri reksadana, asuransi, dan dana pensiun dalam bentuk SBN masing-masing sebesarRp35,2 triliun (35 persen), Rp78,3 triliun (28 persen), dan Rp28,5 triliun (26 persen) daritotal aset yang dimiliki.

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-62

Industri reksadana dan investor perseorangan yang termasuk ke dalam kelompok industrilain-lain menunjukkan persentase pertumbuhan yang paling tinggi yaitu 574,42 persen.Kenaikan yang signifikan ini berasal dari penerbitan ORI yang dilakukan Pemerintah sejaktahun 2006. Jumlah investor perseorangan dan unit penyertaan yang berbasis obligasi negaradalam industri reksadana juga akan terus bertambah seiring dengan penerbitan ORI yangakan terus dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan basis investor di dalam negeri.Berbeda dengan kelompok industri asuransi dan dana pensiun, kelompok industri lain-lainlebih banyak berinvestasi pada SBN yang bertenor pendek.

Rating Indonesia yang secara bertahap meningkat dalam enam tahun terakhir telahmendorong investor asing masuk ke Indonesia. Bahkan kelompok industri asing menjadiyang paling dominan meskipun pada awal penerbitan SBN tahun 2002, jumlah kepemilikanAsing atas SBN hanya sebesar Rp1,91 triliun atau 0,48 persen saja, yang secara bertahapterus menunjukkan peningkatan hingga lebih dari 20 persen dari total outstanding yangdiperdagangkan pada pertengahan tahun 2008. Pada saat terjadi krisis global bulan Oktober2008, investor asing menarik dananya di SBN secara bertahap hingga mencapai titikterendahnya pada kuartal pertama 2009. Efek dari krisis global tersebut tidak berlangsunglama karena kuatnya fundamental perekonomian domestik dan masih cukup menariknyayield yang diberikan. Memasuki kuartal kedua 2009, investor asing kembali masuk ke pasarmodal dan membeli SBN. Berdasarkan data kepemilikan SBN Domestik bulan Mei 2010,jumlah kepemilikan investor asing atas SBN mencapai Rp144,09 triliun atau 23,63 persendari total jumlah SBN tradable.

Meningkatnya jumlah SBN yang dipegang investor asing perlu dicermati dengan seksama,karena sebagian besar investor domestik masih bertindak mengikuti langkah-langkah yangdilakukan investor asing, misalnya jika investor asing melepas SBN, investor domestik punakan ikut melepas SBN. Hal ini tentu saja akan sangat berpengaruh kepada kestabilan hargaSBN domestik di pasar sekunder. Berkaitan dengan semakin meningkatnya porsi kepemilikanSBN domestik oleh investor asing, maka Pemerintah terus berusaha untuk meningkatkanbasis investor di dalam negeri dan salah satu upaya yang dilakukan adalah denganmenerbitkan SBN Ritel sejak tahun 2006.

BOX VI.7

Deklarasi Paris tentang Aid Effectiveness 2005,Accra Agenda for Action (AAA) 2008 dan Jakarta Commitment 2009

Sebagai tindak lanjut dari Deklarasi Harmonisasi pada High Level Forum (HLF) I di Romapada tahun 2003, lebih dari 120 negara dan 30 organisasi internasional telah mendeklarasikan5 (lima) prinsip peningkatan Aid Effectiveness, pada HLF II di Paris 2005. Kelima prinsiptersebut dikenal menjadi Deklarasi Paris 2005, terdiri dari: (1) ownership; (2) harmonization,(3) alignment, (4) mutual accountability, dan (5) development result.

Evaluasi atas pelaksanaan lima prinsip dimaksud, menunjukkan bahwa Deklarasi Paris,telah memberikan pengaruh nyata dalam: a) mendorong negara berkembang melakukanperubahan dalam pengelolaan keuangan negara, dan b) mendorong negara maju untukmeningkatkan koordinasinya. Namun perubahan tersebut terjadi relatif lambat dan tanpaaksi konkrit, sehingga komitmen untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan aid effectivenessakan sulit terpenuhi. Dalam rangka menjawab tantangan ke depan guna meningkatan akselerasipelaksanaan 5 (lima) prinsip Aid Effectiveness, ketika kegiatan HLF III di Accra 2008, telahdisepakati untuk memfokuskan upaya pada:

Bab VI

VI-63

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

1. Peningkatan country ownership sebagai kunci utama, antara lain melalui:

a. Komitmen negara berkembang dengan dukungan aktor pembangunan (Parlemen;Pemerintah Daerah; Lembaga Swadaya Masyarakat) untuk (i) meningkatkankapasitasnya guna memimpin penetapan kebijakan dan tujuan pembangunan nasional,(ii) memonitor pelaksanaan pembangunan nasional yang mencakup peningkatankesejahteraan dengan pengentasan kemiskinan, HAM, isu gender, lingkungan, sertaikut serta menciptakan perdamaian, guna mempercepat pencapaian MDG’s.

b. Komitmen negara donor untuk meningkatkan kapasitasnya guna merespon kebutuhannegara berkembang, mengadopsi pendekatan demand driven guna meningkatkanownership untuk mendukung (i) penetapan prioritas dan pencapaian tujuanpembangunan, (ii) peningkatan kapasitas aktor pembangunan, (iii) penguatankelembagaan melalui partisipasi di dalam proses penetapan kebijakan pembangunan, (iv) peningkatan penggunaan sistem lokal (alignment), dan lain-lain.

2. Pembangunan hubungan kemitraan yang sejajar melalui :

a. Komitmen negara donor dan negara berkembang untuk mengurangi aid fragmentationdengan memperbaiki duplikasi dan efektifitas divison of labour among donor(harmonization) tanpa berpengaruh pada pengurangan alokasi bantuan.

b. Komitmen negara donor dan negara berkembang untuk meningkatkan value for moneyatas aid melalui pengurangan tied aid dengan cara antara lain penggunaan sistempelelangan lokal sepanjang transparan dan memberi kesempatan bagi perusahaan lokaldan regional untuk ikut bersaing.

c . Negara donor dan negara berkembang sepakat untuk bekerjasama dengan aktorpembangunan serta meningkatkan peran global fund dalam mendukung kebijakan danpenguatan kelembagaan di sektor pembangunan yang berhubungan dengan isu-isulingkungan.

3. Mewujudkan prinsip akuntabilitas untuk pembangunan yang berorientasi pada hasilsebagai road map peningkatan aid effectiveness melalui :

a. Komitmen negara berkembang dan donor bahwa kegiatan pembangunan akanmembawa dampak positif terhadap standar hidup sesuai yang diharapkan masyarakat;

b. Negara berkembang dan donor akan saling transparan dan akuntabel, memonitordan evaluasi atas pencapaian komitmen yang ditetapkan dalam (5) lima prinsip AidEffectiveness dalam Deklarasi Paris 2005.

Sejalan dengan semangat Deklarasi Paris 2005, dan sebagai amanat Accra Agenda forAction (AAA) 2008, pada tanggal 12 Januari 2008 Pemerintah RI dengan 25 mitrapembangunan, telah menandatangani the Jakarta Commitment: Road Map of AidDevelopment Effectiveness. Sekalipun merupakan suatu Memorandum of Understanding yangsifatnya morally binding, the Jakarta Commitment telah memberikan dampak positipterhadap perubahan sikap negara donor dalam pengadaan pinjaman dan bantuan luar negeri. Tantangan terbesar dari pelaksanaan dan pencapaian target yang tertuang di dalam theJakarta Commitment datang dari perubahan paradigma manajemen pembangunan. Dalamkonteks terkini, foreign aid seringkali hanya dipahami secara sempit dalam perannya sebagaipengisi kekurangan sumber daya keuangan. Sementara itu, dalam perspektif yang lebih luas,foreign aid adalah transfer sumber daya beserta intangible aspects lainnya yang dapatberperan untuk merubah existing resources di negara penerima menjadi sumber daya baruyang memang berkesesuaian dengan tujuan pembangunan. Di samping itu, foreign aid dapatdipandang sebagai pelengkap penguatan institusi yang menjadi tumpuan pencapaian tujuan-

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-64

6.3.2.3.4 Pembiayaan Alat Utama Sistem Persenjataan Melalui Pinjaman

Pengadaan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) TNI dan Alut POLRI selain dibiayaidengan rupiah murni APBN, juga dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Oleh karenapinjaman lunak pada umumnya terbatas untuk kegiatan di luar sektor pertahanan dankeamanan (infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan lain-lain), maka sumber pembiayaanpengadaan Alutsista dan Alut POLRI didapatkan melalui Fasilitas Kredit Ekspor (FKE) danpinjaman komersial.

Sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006,pembiayaan alutsista dan alut POLRI diutamakan dengan memanfaatkan FKE resmi yangdisediakan oleh lembaga penjamin kredit ekspor dari negara-negara yang tergabung dalamOrganization for Economic Cooperation and Development’s (OECD’s) Arrangement.Pinjaman dimaksud mengandung subsidi dari negara yang bersangkutan guna mendukungkegiatan ekspornya. Dalam skema FKE resmi, negara-negara pengekspor memberikankompensasi kepada bank pemberi kredit atas perbedaan interest rate yang diberikan kepadanegara importirnya/peminjam dan interest rate yang berlaku di pasar. Dengan demikian,pinjaman kepada negara importirnya memiliki biaya (cost of borrowing) yang relatif lebihmurah dibandingkan pinjaman komersial di pasar keuangan.

Namun, dalam hal tidak diperolehnya sumber pembiayaan dari FKE resmi, maka pengadaanAlutsista dapat dibiayai dengan pinjaman komersial. Pinjaman komersial berasal dari bankkomersial terkemuka dan bertaraf internasional. Faktor yang menyebabkan tidakdiperolehnya pembiayaan melalui FKE resmi adalah bahwa tidak semua negara terdaftardalam keanggotaan OECD’s Arrangement dan konsensus OECD’s Arrangement, FKE resmitidak boleh diberikan untuk pembelian peralatan militer yang bersifat lethal/combatant(seperti rudal, peluru, dan sejenisnya).

Dari sisi biaya, FKE resmi dan pinjaman komersial mempunyai cost of borrowing yangrelatif lebih mahal dibandingkan sumber pembiayaan multilateral dan bilateral. Oleh karenaitu, Pemerintah hanya memanfaatkan pinjaman tersebut untuk membiayai pengadaanAlutsista dan Alut POLRI yang menjadi prioritas utama. Sebagai alternatif pembiayaan selaindari FKE resmi dan pinjaman komersial, telah diupayakan sumber pembiayaan yang berasaldari dalam negeri, yaitu pinjaman dalam negeri dari bank-bank BUMN sesuai kebijaksanaanPemerintah yang diatur dalam dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2008. Sumberpembiayaan ini disamping diharapkan dapat meningkatkan mutu serta kapasitas produkAlutsista dan Alut POLRI di dalam negeri, juga diharapkan dapat meningkatkan fleksibilitasdalam pengelolaan utang serta mengurangi risiko mata uang utang Pemerintah.

6.3.2.3.5 Akselerasi Pembayaran Pinjaman IDA

Salah satu instrumen pinjaman dari World Bank yang dimanfaatkan oleh Pemerintah adalahInternational Development Association (IDA) Credit. IDA Credit (pinjaman IDA) merupakanpinjaman dengan concessional terms yang ditujukan khususnya bagi negara dengan GrossNational Product (GNP) per capita rendah (Low Income Country). Dalam portofolio utangPemerintah per akhir Juni 2010, terdapat pinjaman IDA sebesar USD2,19 miliar atau sekitar1,1persen dari total outstanding utang Pemerintah.

tujuan pembangunan yang pada gilirannya memungkinkan pembaharuan strategipembangunan serta menumbuhkan inovasi yang relevan dan dapat diterapkan dalam kontekslokal.

Bab VI

VI-65

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Sejak tahun 2008 Indonesia sudah tidak lagi mendapat pinjaman IDA karena telahdigolongkan ke dalam Middle Income Country dan hanya berhak memperoleh pinjamanInternational Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dengan semi-concessionalterms. Dalam loan agreement pinjaman IDA yang ditandatangani sesudah tahun 1987terdapat klausul bahwa World Bank mempunyai hak untuk meminta dilakukannya akselerasipelunasan pinjaman IDA kepada debitur apabila GNP per capita-nya telah melebihi thresholdUSD1.135 selama tiga tahun berturut-turut (threshold tahun 2010) serta memenuhi kriteriasebagai debitur IBRD. Indonesia dalam hal ini telah memenuhi kondisi dimaksud sejaktahun 2009.

Terkait dengan ketentuan dalam loan agreement tersebut, terdapat dua pilihan akselerasipinjaman IDA yang dapat dilakukan debitur, yakni (1) Principal option yang mengubahtenor pinjaman menjadi lebih pendek dengan meningkatkan pembayaran pokok dua kalilipat pembayaran dengan skedul normal; atau (2) Interest option yang mengubah ketentuansuku bunga pinjaman, dimana debitur melakukan tambahan pembayaran beban bungaagar Net Present Value (NPV) dari cashflow pembayaran pokok dan bunga pada skedul opsiini sama dengan NPV skedul Principle option. Dari jumlah pinjaman IDA yang dimilikiPemerintah, sekitar USD1,51 milar (69 persen) memiliki ketentuan dilakukannya akselerasidimaksud.

Dengan adanya akselerasi dimaksud, diharapkan akan meningkatkan ketersediaan danapinjaman IDA yang dapat dipinjamkan World Bank kepada negara miskin dan negaraberkembang yang membutuhkan.

6.4 Risiko Fiskal

6.4.1 Analisis Sensitivitas

6.4.1.1 Sensitivitas Defisit APBN terhadap Perubahan AsumsiEkonomi Makro

Dalam penyusunan APBN, indikator-indikator ekonomi makro yang digunakan sebagaidasar penyusunan adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, suku bunga Sertifikat BankIndonesia (SBI) 3 bulan, nilai tukar rupiah, harga minyak mentah Indonesia (IndonesiaCrude Oil Price/ICP), dan lifting minyak. Indikator-indikator tersebut merupakan asumsidasar yang menjadi acuan penghitungan besaran-besaran pendapatan, belanja, danpembiayaan dalam APBN. Apabila realisasi variabel-variabel tersebut berbeda denganasumsinya, maka besaran-besaran pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam APBN jugaakan berubah. Oleh karena itu, variasi-variasi ketidakpastian dari indikator ekonomi makromerupakan faktor risiko yang akan memengaruhi APBN.

Tabel VI.12 menunjukkan selisih antara perkiraan awal besaran asumsi makro yangdigunakan dalam penyusunan APBN dan realisasinya untuk tahun 2005-2009. Selisihtersebut mengakibatkan terjadinya perbedaan antara target defisit dengan realisasinya.Apabila realisasi defisit melebihi target defisit yang ditetapkan dalam APBN maka hal tersebutmerupakan risiko fiskal yang harus dicarikan sumber pembiayaannya.

Risiko fiskal akibat variasi asumsi ekonomi makro dapat digambarkan dalam bentuk analisissensitivitas parsial terhadap angka baseline defisit dalam APBN. Analisis sensitivitas parsial

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-66

digunakan untuk melihat dampak perubahan atas satu variabel asumsi ekonomi makro,dengan mengasumsikan variabel asumsi ekonomi makro yang lain tidak berubah (ceterisparibus).

Pertumbuhan ekonomi memengaruhi besaran APBN, baik pada sisi pendapatan maupunbelanja negara. Pada sisi pendapatan negara, pertumbuhan ekonomi antara lainmemengaruhi penerimaan pajak, terutama PPh dan PPN. Pada sisi belanja negara,pertumbuhan ekonomi antara lain memengaruhi besaran nilai dana perimbangan dalamanggaran transfer ke daerah sebagai akibat perubahan pada penerimaan pajak. Pada tahunanggaran 2011, apabila pencapaian pertumbuhan ekonomi lebih rendah 1 persen dari angkayang diasumsikan, maka tambahan defisit pada RAPBN 2011 diperkirakan akan beradapada kisaran Rp4,4 triliun sampai dengan Rp4,9 triliun.

Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat memiliki dampak pada semuasisi APBN, baik pendapatan, belanja, maupun pembiayaan. Pada sisi pendapatan negara,depresiasi nilai tukar rupiah antara lain akan memengaruhi penerimaan minyak dan gasbumi (migas) dalam denominasi dolar Amerika Serikat serta PPh migas dan PPN. Pada sisibelanja negara, yang akan terpengaruh antara lain (1) belanja dalam mata uang asing;(2) pembayaran bunga utang luar negeri; (3) subsidi BBM dan listrik; dan (4) transfer kedaerah dalam bentuk dana bagi hasil migas. Sedangkan pada sisi pembiayaan, yang akanterkena dampaknya adalah (1) pinjaman luar negeri baik pinjaman program maupunpinjaman proyek; (2) pembayaran cicilan pokok utang luar negeri; dan (3) privatisasi danpenjualan aset program restrukturisasi perbankan yang dilakukan dalam mata uang asing.Pada tahun anggaran 2011, apabila nilai tukar rupiah rata-rata per tahun terdepresiasi sebesarRp100,0 dari angka yang diasumsikan, maka tambahan defisit pada RAPBN 2011diperkirakan akan berada pada kisaran Rp0,38 triliun sampai dengan Rp0,42 triliun.

Tingkat suku bunga yang digunakan sebagai asumsi penyusunan APBN adalah tingkat sukubunga SBI 3 bulan. Perubahan tingkat suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan hanya akanberdampak pada sisi belanja. Dalam hal ini, peningkatan tingkat suku bunga SBI 3 bulanakan berakibat pada peningkatan pembayaran bunga utang domestik. Pada tahun anggaran2011, apabila tingkat suku bunga SBI 3 bulan lebih tinggi 0,25 persen dari angka yangdiasumsikan, maka tambahan defisit pada RAPBN 2011 diperkirakan akan berada padakisaran Rp0,3 triliun sampai dengan Rp0,5 triliun.

Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010**

Pertumbuhan ekonomi (%) 0,2 -0,32 0 -0,2 0,2 0

Inflasi (%) 11 ,6 -1 ,4 0,6 4,9 -1 ,7 -0,3

Tingkat suku bunga SBI 3 bulan (%) 2,6 -0,3 0 1,8 0,1 0,1

Nilai tukar (Rp/USD) 12,85 -237 90 591,1 -92 -7

ICP (USD/barel) 27 ,8 -0,2 9,7 1 ,8 0,6 -2

Produksi miny ak (juta barel per hari) -0,1 -0,04 -0,05 0 -0,08 -0,006

posit if m en u n ju kka n depr esia si.

TABEL VI.12

* A n g ka posit if m en u n ju kka n r ea lisa si lebih t in g g i da r ipa da a su m si a n g g a r a n . Un tu k n ila i t u ka r , a n g ka

** Mer u pa ka n selisih a n ta r a A PBN-P 2 01 0 da n r ea lisa si s.d. A kh ir Ju n i 2 01 0

Su m ber : Kem en ter ian Keu a n g a n .

SELISIH ANTARA ASUMSI EKONOMI MAKRO DAN REALISASINYA*

Bab VI

VI-67

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Harga minyak mentah Indonesia (ICP) memengaruhi APBN pada sisi pendapatan danbelanja negara. Pada sisi pendapatan negara, kenaikan ICP antara lain akan mengakibatkankenaikan pendapatan dari kontrak production sharing (KPS) minyak dan gas dalam bentukPNBP. Peningkatan harga minyak dunia juga akan meningkatkan pendapatan daripenerimaan PPh migas dan penerimaan migas lainnya. Pada sisi belanja negara, peningkatanICP antara lain akan meningkatkan belanja subsidi BBM dan dana bagi hasil ke daerah.Pada tahun anggaran 2011, apabila rata-rata ICP lebih tinggi USD1 per barel dari angkayang diasumsikan, maka tambahan defisit pada RAPBN 2011 diperkirakan akan beradapada kisaran Rp0,0 triliun sampai dengan negatif Rp0,3 triliun (surplus).

Penurunan lifting minyak domestik juga akan memengaruhi APBN pada sisi pendapatandan belanja negara. Pada sisi pendapatan, penurunan lifting minyak domestik akanmenurunkan PPh migas dan PNBP migas. Sementara pada sisi belanja negara penurunanlifting minyak domestik akan menurunkan dana bagi hasil ke daerah. Pada tahun anggaran2011, apabila realisasi lifting minyak domestik lebih rendah 10.000 barel per hari dari yangdiasumsikan, maka tambahan defisit pada RAPBN 2011 diperkirakan akan berada padakisaran Rp3,0 triliun sampai dengan Rp3,34 triliun.

Variabel lain yang berpengaruh terhadap besaran defisit adalah volume konsumsi BBMdomestik. Peningkatan konsumsi BBM domestik sebesar 0,5 juta kiloliter berpotensimenambah defisit RAPBN 2011 pada kisaran Rp1,14 triliun sampai dengan Rp1,25 triliun.

Dari analisis sensitivitas di atas maka besaran risiko fiskal berupa tambahan defisit yangberpotensi muncul dari variasi asumsi-asumsi variabel ekonomi makro yang digunakanuntuk menyusun RAPBN 2011 dapat digambarkan dalam Tabel VI.13.

6.4.1.2 Sensitivitas Risiko Fiskal Badan Usaha Milik Negara AkibatPerubahan Variabel Ekonomi Makro

Risiko fiskal yang bersumber dari BUMN terdiri dari: (i) kontribusi bersih BUMN; (ii) nilaiutang bersih BUMN; dan (iii) kebutuhan pembiayaan bruto BUMN. Risiko-risiko tersebutdapat dibedakan sebagai risiko yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Risiko yang

1 Pertumbuhan ekonomi (%) -1 6,3 4,4 s.d. 4,9

2 Tingkat inflasi (%) 0,1 5,3 Tidak langsung

3 Rata-rata nilai Tukar Rupiah (Rp/USD) 100 9.300 0,38 s.d. 0,42

4 Suku bunga SBI-3 bulan (%) 0,25 6,5 0,3 s.d o,5

5 ICP (USD/barel) 1 80 0,0 s.d. 0,3

6 Lifting minyak (ribu barel/hari) -10 970 3,00 s.d. 3,34

7 Konsumsi BBM domestik (juta kiloliter) 0,5 36,8 1,14 s.d. 1,25*) Defisit RAPBN Tahun 2011 adalah Rp115,7 triliun.

Sumber: Kementerian Keuangan.

Satuan Perubahan

AsumsiPotensi Tambahan Defisit

(triliun rupiah)

TABEL VI.13SENSITIVITAS DEFISIT APBN 2011 TERHADAP PERUBAHAN

No. Uraian

2011*

Asumsi

ASUMSI EKONOMI MAKRO

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-68

bersifat langsung berupa kontribusi bersih BUMN terhadap APBN, dimana setiap perubahankinerja BUMN dapat mempengaruhi postur besaran APBN. Sedangkan yang bersifat tidaklangsung berupa kemampuan BUMN untuk memenuhi seluruh kewajibannya yang diukurdari nilai utang bersih BUMN dan kapasitas untuk mendapatkan sumber-sumber pembiayaanguna mendanai investasi dalam rangka pengembangan usahanya yang diukur dari kebutuhanpembiayaan bruto.

Kontribusi bersih BUMN, merupakanselisih antara penerimaan negara dari BUMN(seperti pendapatan pajak, pendapatan bukanpajak, dan privatisasi) dibandingkan denganpengeluaran negara kepada BUMN (sepertipenyertaan modal negara, kompensasi PSO/subsidi, dan pinjaman kepada BUMN).Perkembangan kontribusi bersih BUMNselama periode tahun 2005 sampai dengan2010 menunjukkan selisih negatif danberfluktuasi dapat dilihat pada Grafik VI.18.

Nilai utang bersih BUMN, merupakantotal kewajiban BUMN dikurangi denganketersediaan kas dan aset lancar. Nilai utangbersih ini tidak berpengaruh langsung keAPBN, tetapi dapat menjadi kewajibankontinjensi Pemerintah apabila terdapatBUMN yang gagal bayar dalam memenuhikewajibannya. Perkembangan total utangbersih BUMN tahun 2005-2010 dapat dilihatpada Grafik VI.19.

Kebutuhan pembiayaan bruto BUMN,merupakan kebutuhan pendanaan untukmendanai aset akibat sumber-sumberpendanaan yang telah tersedia tidak dapatmemenuhi. Untuk itu BUMN perlumenerbitkan surat utang atau pun sahambaru. Hal ini juga tidak berpengaruh langsungkepada Pemerintah, kecuali perusahaanmemiliki investasi yang wajib dilakukannamun tidak memiliki akses sumberpembiayaan yang memadai seperti programpercepatan pembangunan pembangkittenaga listrik batubara 10.000 MW oleh PTPLN (Persero). Proyek percepatan tersebutmembutuhkan dukungan Pemerintah untuk

mendapatkan pinjaman dari pihak ketiga. Perkembangan kebutuhan pembiayaan brutoBUMN tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Grafik VI.20.

Perubahan besaran risiko fiskal dari BUMN dipengaruhi oleh pergerakan variabel asumsiekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, dan harga minyak. Pergerakan

Sumber: Kementerian Ne gara BUMN (data diolah)

GRAFIK VI.19PERKEMBANGAN NILAI UTANG BERSIH BUMN, 2005-2009

(triliun rupiah)

-250

-200

-150

-100

-50

0

50

100

150

2005 2006 2007 2008 2009 APBN-P 2010

Pajak deviden Privatisasi PSO PMN Pinjaman Kontribusi Bersih BUMN

Sumber: Kementerian Keuangan dan Kementerian Negara BUMN (data diolah)

GRAFIK VI.18PERKEMBANGAN KONTRIBUSI BERSIH BUMN, 2005 – 2010

(triliun rupiah)

Sumber: Kementerian Negara BUMN (data diolah)

GRAFIK VI.20PERKEMBANGAN KEBUTUHAN PEMBIAYAAN BRUTO BUMN

(CAPITAL EXPENDITURE), 2005 – 2010

Bab VI

VI-69

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

variabel-variabel ekonomi makro tersebut akan menimbulkan dampak pada kinerjakeuangan BUMN yang pada akhirnya dapat memengaruhi besaran indikator risiko fiskaldari BUMN.

Untuk mengetahui sampai seberapa jauh perubahan tersebut Pemerintah telah melakukanpengujian sensitivitas atau macro stress test dengan menggunakan beberapa indikator risikofiskal yang meliputi: (i) kontribusi bersih BUMN; (ii) nilai utang bersih BUMN; dan (iii)kebutuhan pembiayaan bruto BUMN. Pengujian sensitivitas ini akan memberikan gambarantentang (i) magnitude risiko dari BUMN yang memengaruhi APBN, (ii) informasi dini risikofiskal, dan (iii) gambaran risiko sektoral, sehingga dapat diambil tindakan dini dan antisipasiterhadap gejala risiko fiskal.

Sejak tahun 2009 simulasi macro stress test dilakukan dengan menggunakan sampel 22BUMN dari berbagai sektor dengan kriteria (i) BUMN penghasil laba terbesar, (ii) BUMNpenyebab rugi terbesar, (iii) BUMN penerima PSO/subsidi terbesar, dan (iv) BUMN yangmewakili sektor dalam perekonomian Indonesia. Perubahan atas 22 BUMN ini diharapkandapat mencerminkan perubahan total BUMN yang berjumlah 141 BUMN. Dengan demikianhasilnya diharapkan dapat lebih mewakili eksposur risiko fiskal yang berasal dari BUMN.

Model macrostress test risiko fiskal BUMN menyajikan dua hasil utama yaitu analisisskenario dan stress test. Analisis skenario menggambarkan tingkat ketidakpastian indikatorrisiko fiskal masing-masing BUMN maupun agregasinya pada tiga skenario yakni (i) baseline,(ii) optimistis, dan (iii) pesimistis. Sedangkan stress test menyajikan perubahan relatif atasindikator risiko fiskal BUMN jika terjadi goncangan atau tekanan faktor risiko.

Skenario baseline, menggambarkan kondisi ekonomi makro sesuai dengan asumsi APBN,seperti pertumbuhan ekonomi tahun 2011 sebesar 6,3 persen, harga ICP USD80 per bareldan nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar Rp9.300. Pada skenario ini, kontribusi bersihBUMN terhadap RAPBN 2011 menunjukkan nilai negatif sebesar Rp65,9 triliun.

Skenario optimistis, variabel-variabel ekonomi makro diasumsikan berada pada posisioptimal yang paling mungkin terjadi, seperti pertumbuhan ekonomi tahun 2011 sebesar 6,5persen, harga ICP relatif rendah pada USD60 per barel dan nilai tukar rupiah terhadapdolar diasumsikan pada kisaran Rp9.400. Pada kondisi makro yang kondusif ini, tekananrisiko fiskal dari BUMN akan berkurang yang ditandai dengan kontribusi bersih BUMNterhadap APBN sebesar Rp15,5 triliun.

Skenario pesimistis, menunjukkan kondisi ekonomi makro berada pada posisi buruk yangpaling mungkin terjadi, seperti untuk tahun 2011, pertumbuhan ekonomi sebesar 6,0 persen,tingginya harga ICP sebesar USD95 per barel dan depresiasi rupiah terhadap dolar yangsangat tinggi hingga mencapai Rp10.000. Pada skenario ini, tekanan risiko fiskal dari BUMNakan meningkat yang ditandai dengan kontribusi bersih BUMN terhadap APBN sebesarnegatif Rp115,9 triliun. Kondisi ini akan memberikan tekanan terhadap belanja APBNkhususnya kenaikan besaran PSO/subsidi yang dibayarkan Pemerintah melalui BUMN.Selain itu, biaya produksi operasional BUMN akan mengalami kenaikan sehingga akanmengurangi kontribusi BUMN terhadap APBN melalui penerimaan pajak dan setorandividen. Risiko fiskal juga muncul sebagai akibat peningkatan nilai utang bersih BUMNkarena sebagian besar biaya operasional dan komposisi utang BUMN dalam bentuk matauang asing.

Hasil analisis skenario risiko fiskal BUMN agregasi seperti pada Grafik VI.21 dan TabelVI.14.

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-70

Sumber: Kementerian Keuangan (data diolah)

GRAFIK VI.21ANALISIS SKENARIO FISKAL BUMN AGREGASI

(200,00)

(150,00)

(100,00)

(50,00)

-

50,00

2010 2011 2012 2013

Tri

liun

ru

piah

Kontribusi Bersih terhadap APBN

Baseline Optimistis Pesimistis

-

200,00

400,00

600,00

800,00

1.000,00

1.200,00

1.400,00

2010 2011 2012 2013

Tri

lun

ru

piah

Nilai Utang Bersih BUMN

Baseline Optimistis Pesimistis

-

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

120,00

140,00

160,00

2010 2011 2012 2013

Tri

liun

ru

piah

Kebutuhan Pembiayaan Bruto

Baseline Optimistis Pesimistis

2010 2011 2012 2013

1 Pajak dibay ar Tunai 7 1 .503 17 1 .581 94.820 17 0.823

a. PPH Badan 35.418 129.145 46.7 88 115.064

b. PPN 82.109 87 .7 14 101 .107 105.585

c. Roy alti / iuran 43.954 44.102 51 .047 47 .630

d. Pajak lainny a 1 .324 1 .611 1 .7 48 1 .899

2 Subsidi dibay ar Tunai 204.151 201.349 241.955 27 0.866

3 Div iden kepada Pemerintah (tunai) 27 .969 31 .254 37 .832 41 .804

4 Transfer dari Pemerintah non-Subsidi 433 456 483 509

5 Bunga atas Hutang dari Pemerintah 47 7 429 37 9 329

6 Posisi Pinjaman Pemerintah 19.480 (67 .363) 25.625 (42.7 38)

(85.155) (65.904) (83.7 82) (101.156) Posisi akhir

TABEL VI.14

No UraianSkenario baseline

KONTRIBUSI BERSIH TERHADAP APBN(miliar rupiah)

Sumber: Kementerian Keuangan (data diolah)

Bab VI

VI-71

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Stress test beberapa variabel utama ekonomi makro terhadap risiko fiskal BUMN agregatdilakukan secara parsial, yaitu melihat dampak atas perubahan satu variabel ekonomi makroterhadap indikator risiko fiskal BUMN, dengan mengasumsikan variabel ekonomi makrolainnya tidak berubah (ceteris paribus). Dengan cara ini juga akan dapat diketahui variabelekonomi makro yang mempunyai dampak paling besar dan signifikan terhadap risiko fiskalBUMN.

Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sebesar 20 persenmempunyai dampak sangat signifikan terhadap besaran subisidi/PSO, kinerja operasionaldan neraca keuangan BUMN agregat. Kerentanan yang sangat besar ini disebabkan formulaperhitungan subsidi/PSO memakai mata uang asing dan komposisi biaya operasional sertautang dalam mata uang asing yang sangat besar. Ini terlihat dengan bertambahnya nilaiutang bersih BUMN sebesar Rp17,38 triliun pada tahun 2011 dan terus meningkat padatahun berikutnya. Dengan meningkatnya nilai utang bersih tersebut, berarti kemampuanaktiva lancar BUMN dalam menanggung total kewajiban semakin menurun. Kondisi iniberpotensi terjadinya kemungkinan BUMN default dan tidak mampu membayar kewajibanutangnya.

Selain itu depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga akan meningkatkankebutuhan pembiayaan bruto BUMN, yang ditunjukkan pada tahun 2011 kebutuhanpembiayaan bruto BUMN bertambah sebesar Rp7,61 triliun agar BUMN tetap tumbuh.Terkait dengan hal ini terdapat BUMN yang mengalami kesulitan dalam mencari sumber-sumber pembiayaan jika tanpa disertai dengan dukungan Pemerintah. Dampak yangdirasakan oleh BUMN ini pada akhirnya akan mengurangi kontribusi bersih BUMN terhadapAPBN, yang ditunjukkan dengan penurunan kontribusi BUMN sebesar Rp69,48 triliun padatahun 2011.

Kenaikan harga minyak dunia sebesar USD25 per barel akan mendorong secara signifikankenaikan biaya produksi, terutama pada BUMN di bidang energi, transportasi dan pupuk,serta bertambahnya besaran subsidi dari Pemerintah sehingga kontribusi bersih terhadapAPBN semakin negatif. Dampak stress test ini mengakibatkan kontribusi bersih BUMNterhadap APBN pada tahun 2011 semakin negatif sebesar Rp80,99 triliun, sehingga tekananterhadap fiskal semakin berat. Kenaikan subsidi/PSO ini terutama disebabkan olehbertambahnya subsidi minyak dan listrik yang diberikan melalui PT Pertamina dan PT PLN.

Kenaikan suku bunga sebesar 3 persen juga berdampak kepada fiskal walaupun tidaksebesar dampak dari depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan kenaikan hargaminyak. Kenaikan suku bunga berdampak pada bertambahnya biaya yang ditanggung olehBUMN sehingga akan mengurangi kontribusi bersih BUMN. Kenaikan suku bunga padatahun 2011 akan menambah negatif kontribusi bersih BUMN sebesar Rp3,49 triliun begitupula pada tahun berikutnya jika kenaikan masih terjadi.

Penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen juga berdampak penurunan jumlahpenjualan yang dapat diraih oleh BUMN, yang selanjutnya akan mengurangi kontribusibersih BUMN sebesar Rp1,68 triliun. Adapun gambaran stress test perubahan pertumbuhanekonomi, nilai tukar, harga minyak, dan tingkat bunga terhadap risiko BUMN dapat dilihatpada Tabel VI.15.

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-72

Stress test depresiasi Rupiah terhadap dolar sebesar 20 persen(m iliar Rupiah)

2010 2011 2012 2013

1 Kontribusi bersih terhadap APBN (64.215) (69.47 6) (7 4.640) (7 7 .025)

2 Nilai Utang bersih BUMN 24.422 17 .37 9 18.251 9.415

3 Kebutuhan pembiayaan bruto 25.242 (7 .612) (7 1) (9.347 )

4 Subsidi 7 2.7 81 7 8.060 84.098 86.281

Stress test kenaikan harga minyak sebesar USD25 per barel(m iliar Rupiah)

2010 2011 2012 2013

1 Kontribusi bersih terhadap APBN (82.910) (80.995) (92.188) (90.630)

2 Nilai Utang bersih BUMN 4.7 24 2.386 1 .189 1 .469

3 Kebutuhan pembiayaan bruto 7 .87 9 (1 .7 64) (1 .817 ) (1 .847 )

4 Subsidi 95.060 93.527 104.563 102.498

Stress test kenaikan suku bunga sebesar 3 persen(m iliar Rupiah)

2010 2011 2012 2013

1 Kontribusi bersih terhadap APBN (2.17 4) (3.498) (5.303) (6.264)

2 Nilai Utang bersih BUMN 521 7 44 945 1 .030

3 Kebutuhan pembiayaan bruto 33 (135) (53) (40)

4 Subsidi 2.149 3.57 1 5.403 6.421

Stress test pertumbuhan ekonomi turun sebesar 1 persen(m iliar Rupiah)

2009 2010 2011 2012

1 Kontribusi bersih terhadap APBN (221) (1 .67 5) (4.27 3) (6.603)

2 Nilai Utang bersih BUMN 969 2.825 5.104 5.7 82

3 Kebutuhan pembiayaan bruto (17 3) 254 340 43

4 Subsidi (543) (32) 1 .153 1 .627

Sum ber: Kem enterian Negara BUMN (data diolah)

STRESS TEST PERUBAHAN PERTUMBUHAN EKONOMI, NILAI TUKAR, HARGA MINYAK, DAN TINGKAT BUNGA TERHADAP RISIKO FISKAL

TABEL VI.15

No Variabel ShockDampak

No Variabel ShockDampak

No Variabel ShockDampak

No Variabel ShockDampak

Bab VI

VI-73

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

BOKS VI. 8PT PERTAMINA (Persero)

Kinerja keuangan PT Pertamina (Persero) tahun 2009 mengalami penurunan dibandingkandengan tahun-tahun sebelumnya yang terus meningkat. Rasio utang dan modal juga mengalamikenaikan, yang berarti bahwa peningkatan aktiva lebih banyak bersumber dari utang daripadamodal sendiri. Walaupun demikian, PT Pertamina (Persero) merupakan salah satu BUMNpenyumbang pajak dan dividen terbesar.

Risiko terbesar pada PT Pertamina (Persero) adalah sangat sensitif terhadap perubahanharga minyak dan nilai tukar terutama terkait dengan pengadaan BBM disamping volumepermintaan BBM dalam negeri yang terus meningkat.

PT Pertamina (Persero) mengemban penugasan dari Pemerintah untuk menyediakan danmendistribusikan BBM bersubsidi kepada masyarakat. Sehubungan dengan PSO tersebut, PTPertamina (Persero) menerima subsidi dari Pemerintah sebagai pengganti selisih antara hargajual BBM PSO dengan harga keekonomiannya.

Uji Macrostress test beberapa variabel ekonomi makro terhadap subsidi BBM pada PTPertamina menunjukkan dampak sebagai berikut:

(triliun rupiah)Keterangan 2007 2008 2009

Total Aktiva 254,2 294,4 315,9

Total Kewajiban 133,7 144,2 175,8

Hak Minoritas 1,7 1,1 0,7

Total Ekuitas 118,8 149,1 139,4

Laba Bersih 19,51 30,2 15,79

Return on investment (%) 7,68 10,26 5,00

Debt to Equity Ratio (%) 112,54 96,71 126,11

Su m ber : Kem en ter ia n Neg a r a BUMN,(da ta diola h )

(triliun rupiah)Tahun Subsidi Keterangan

2006 64,2 LKPP

2007 83,8 LKPP

2008 139,1 LKPP

2009 45,0 LKPP

2010 88,9 APBN-P

Su m ber : Kem en ter ia n Keu a n g an , (da ta diolah )

Variabel Shock 2010 2011 2012 2013

Depresiasi Rupiah terhadap dolar (20 %) 47.198 49.367 54.359 56.351

Harga minyak naik USD25 per barel 62.634 64.720 68.917 71.346

Kenaikan suku bunga 3 % - - - -

Pertumbuhan ekonomi turun 1 % - (1.064) (1.301) (1.352)

(miliar rupiah)

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-74

BOKS VI. 9PT PLN (Persero)

Tahun 2009, kinerja keuangan PT PLN Persero (PLN) telah membukukan laba setelahpada tahun-tahun sebelumnya mengalami kerugian. Membaiknya kondisi tersebut antara lainterkait dengan penetapan besaran margin sebesar 5 persen dalam komponen perhitungansubsidi.

Jumlah utang PLN hingga tahun 2009 terus meningkat yang terlihat dari kenaikan debt toequity ratio, yang sebagian besar digunakan untuk pendanaan proyek investasi PLN yangbesar seperti proyek percepatan pembangunan PLTU 10.000 MW. Beberapa risiko yangdihadapi oleh PLN antara lain fluktuasi nilai tukar, suku bunga, harga energi primer dan risikoproyek.

Kebijakan Pemerintah dalam menguatkan kondisi keuangan PLN untuk mendukungpelaksanaan Proyek 10.000 MW pada tahun 2010 antara lain berupa penambahan besaranmargin dalam komponen perhitungan subsidi, pemberian pinjaman dengan persyaratan lunakdan penyesuaian tarif dasar listrik (TDL).

Dalam kerangka PSO, PLN mengemban penugasan Pemerintah untuk menyediakan tenagalistrik dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat umum. Sehubungan dengan PSO tersebut,PLN menerima subsidi dari Pemerintah sebagai pengganti selisih antara harga jual listrik PSOdengan BPP listrik.

Uji Macrostress test beberapa variabel ekonomi makro terhadap subsidi BBM pada PTPLN (Persero) menunjukkan dampak sebagai berikut:

Keterangan 2007 2008 2009

Total Aktiva 273,5 290,7 333,7

Total Kewajiban 137,1 163,7 192,5

Hak Minoritas - - -

Total Ekuitas 136,4 127 141,2

Laba Bersih -5,7 -12,3 10,4

Return on investment (%) (2,07) (4,23) 3,10

Debt to Equity Ratio (%) 100,48 128,93 136,35 Sum ber: Kem enterian Negara BUMN (data diolah)

(triliun rupiah)

Tahun Subsidi Keterangan2006 30,4 LKPP

2007 33,1 LKPP

2008 83,9 LKPP

2009 53,7 LKPP

2010 55,1 APBN-P

Sum ber: Kementerian Keuangan (data diolah)

(triliun rupiah)

Variabel Shock 2010 2011 2012 2013

Depresiasi Rupiah terhadap dolar (20 %) 24.446 29.004 28.582 30.307

Harga minyak naik USD25 per barel 27 .005 29.130 29.927 31.489

Kenaikan suku bunga 3 % 2.146 3.569 5.401 6.419

Pertumbuhan ekonomi turun 1 % (67 5) 891 2.301 2.815

(miliar rupiah)

Bab VI

VI-75

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

BOKS VI. 10PT Askrindo dan Perum Jamkrindo dalamProgram Penjaminan Kredit Usaha Rakyat

Program penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan tindak lanjut Inpres Nomor6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan PemberdayaanUsaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKMK). KUR disalurkan oleh bank-bankpelaksana yang dijamin oleh PT Askrindo dan Perum Jamkrindo.

Realisasi penjaminan KUR per 31 Desember 2009 adalah sebagai berikut:

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan PrioritasPembangunan Nasional Tahun 2010 menginstruksikan penerbitan Peraturan Pemerintah

tentang Penyertaan Modal Negara kepada PT Askrindo dan Perum Jamkrindo. Pada tahun2010 telah dilakukan penambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT Askrindo danPerum Jamkrindo sebesar sebesar Rp1.800,0 miliar. Penambahan PMN tersebut dilakukanuntuk meningkatkan kapasitas perusahaan penjamin, sehingga akan menaikkan tingkatpenyaluran KUR kepada debitur usaha mikro. Dengan gearing ratio sebesar 10 kali, makatambahan PMN tersebut akan meningkatkan kemampuan PT Askrindo dan Perum Jamkrindountuk melakukan penjaminan KUR dari Rp19.500,0 miliar pada tahun 2009 menjadiRp37.500,0 miliar pada tahun 2010. Peningkatan kemampuan penjaminan tersebutdiharapkan dapat mendukung program Pemerintah untuk melakukan ekspansi KUR mulaitahun 2010 sampai dengan 2014. Selain itu, pada tahun 2010 Pemerintah juga melakukanpenyesuaian besaran Imbal Jasa Penjaminan (IJP).

Risiko terbesar program KUR adalah kemungkinan peningkatan Non Performing Guarantee(NPG) sebagai dampak krisis keuangan global, yang akan berpengaruh pada kinerja PT Askrindodan Perum Jamkrindo dan penurunan nilai PMN pada kedua BUMN tersebut.

Secara umum kinerja keuangan PT Askrindo adalah sebagai berikut:

Uraian PT AskrindoPerum

JamkrindoTotal

Pokok kredit (miliar Rp) 12.752,16 3.905,51 16.657,67

Gearing ratio (x) 13,01 4,59 17,6

Jumlah UMKMK (unit) 1.846.283 335.551 2.181.834

Jumlah tenaga kerja 4.610.257 476.256 5.086.513

Jumlah klaim (miliar rupiah) 265,6 30,92 296,53

Non Performing Guarantee (%) 2,08 0,79 2,78

Keterangan 2006 2007 2008 2009

Total Aktiva 907,2 1793,3 1962,3 2195,7

Total Kewajiban 55,2 65,5 207,1 278,1

Total Ekuitas 852,0 1727,9 1755,3 1916,7

Laba Bersih 87,3 48,7 36,7 (110,7)

Return on Equity (%) 10,25 2,82 2,09 (5,78)

Debt to Equity Ratio (%) 6,48 3,79 11,80 14,51

(miliar rupiah)

Sumber: PT Askrindo (data diolah)

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-76

Sedangkan kinerja keuangan Perum Jamkrindo adalah sebagai berikut

Keterangan 2006 2007 2008 2009

Total Aktiva 442,0 1126,0 1267,2 1661,5

Total Kewajiban 147 180,4 209 227,5

Total Ekuitas 295,0 945,6 1058,2 1434,0

Laba Bersih 33,6 58,6 133,8 113,2

Return on equity (%) 11,39 6,20 12,64 7,89

Debt to equity ratio (%) 49,83 19,08 19,75 15,86

Sumber: Perum Jamkrindo (data diolah)

(miliar rupiah)

Terkait dengan uraian tersebut di atas, berikut ini disajikan profil kinerja Keuangan beberapaBUMN yang mempunyai potensi risiko fiskal sangat besar yang terkait dengan penugasankhusus Pemerintah (PSO) di bidang energi pada Boks VI.8 dan Boks VI.9. Untuk risikofiskal BUMN terkait dengan PMN disajikan BUMN yang terlibat dalam Program PenjaminanKredit Usaha Rakyat (KUR) pada Boks VI.10.

6.4.2 Risiko Utang Pemerintah Pusat

Risiko utang Pemerintah merupakan salah satu bentuk risiko fiskal yang sangat pentingdan memerlukan pengelolaan yang baik, sebab sangat mempengaruhi kesinambungan fiskalPemerintah pada tahun berjalan dan masa yang akan datang. Dalam hal ini, pengelolaanrisiko utang Pemerintah akan berpengaruh terhadap besarnya beban yang akan ditanggungPemerintah.

Secara umum, risiko utang Pemerintah dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis yaiturisiko tingkat bunga (interest rate risk), risiko pembiayaan kembali (refinancing risk), danrisiko nilai tukar (exchange rate risk). Parameter-parameter tersebut digunakan untukmenentukan optimal atau tidaknya pengelolaan portofolio utang Pemerintah dari sisikeuangan. Selain itu, terdapat pula risiko yang ditimbulkan dari lingkungan internalorganisasi yakni risiko operasional yang terjadi dalam kaitannya dengan pelaksanaan kegiatanpengelolaan utang.

Kondisi risiko keuangan portofolio utang Pemerintah selama 2010 semakin membaikdibandingkan pada tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan semakin kondusifnya pasarkeuangan khususnya di pasar domestik, sehingga para investor semakin tertarik untukmenginvestasikan modalnya di pasar domestik. Dengan kondisi ini telah memengaruhi jugapasar obligasi, antara lain turunnya yield SBN dan meningkatnya biding yang masuk dalamlelang SBN.

Selama semester I 2010 telah berjalan sesuai dengan target yang ditetapkan dan didukungdengan pasar yang semakin kondusif. Realisasi penerbitan SBN telah mencapai 61,81 persendari total target, dimana penerbitan tersebut didominasi oleh SBN domestik dengan rata-rata tenor diatas 10 tahun dan memiliki tingkat bunga tetap. Sehingga realisasi dari komposisipenerbitan SBN tersebut mempengaruhi kondisi risiko portofolio utang Pemerinta secarasignifikan.

Secara spesifik perubahan yang terjadi pada indikator risiko portofolio utang dapat dilihatpada Tabel VI.16.

Bab VI

VI-77

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Outstanding (triliun rupiah)

SBN 7 44,2 803,1 906,5 97 9,5 1 .07 7 ,1 1 .197 ,1

PLN 559,4 586,4 7 30,3 610,3 611 ,2 610,4

T otal 1.303,6 1.389,4 1.636,8 1.589,8 1.688,3 1.807 ,5

Interest Rate Risk

Rasio Variabel Rate (%) 28,7 26,7 22,9 22,1 1 9,7 17 ,5

Refixing Rate (%) 32,4 30,2 28,2 28,2 27 ,7 24,0

Average Time to Refix (tahun) 8,4 8,4 8,3 8,2 8,2 7 ,8

Exchange Rate Risk

Rasio Utang FX-PDB (%) 1 8,2 16,5 17 ,2 13,4 12,3 11 ,6

Rasio Utang FX-Total Utang (%) 46,8 47 ,0 52,1 47 ,4 45,5 46,2

Kom posisi Currency Utang (%) 100,0 100,0 100,0 100,0 100,1 100,0

IDR 53,2 53,1 47 ,9 52,6 54,6 53,8

USD 16,7 19,0 21 ,9 21 ,9 21 ,9 22,7

JPY 17 ,8 17 ,6 20,9 17 ,4 16,8 17 ,2

EURO 7 ,0 7 ,1 6,4 5,0 3,9 2,5

Others 5,2 3,3 2,9 3,1 2,9 3,8

Refinancing Risk (%)

Porsi Utang Jatuh Tempo <1 th 5,7 6,8 6,4 7 ,6 7 ,7 7 ,9

Porsi Utang Jatuh Tempo <3 th 1 8,3 19,4 18,6 20,3 21 ,4 21 ,8

Porsi Utang Jatuh Tempo <5 th 29,9 30,6 31 ,1 33,2 34,9 35,4

Av erage T im e Maturuty (AT M) (tahun)

SBN 1 2,8 12,4 12,0 11 ,0 1 0,2 9,6

PLN 7 ,6 7 ,6 7 ,4 8,0 8,8 9,1

T otal 10,6 10,4 10,0 9,8 9,7 9,4

Ca ta ta n :

*) a n g ka 2 01 0 pr oy eksi u n tu k a kh ir ta h u n 2 01 0 ber da sa r ka n rea lisa si sem ester I 2 01 0

**) a n g ka 2 01 1 a da la h pr oy eksi ber da sa r ka n tr en y a n g ter ja di sela m a 2 006 s.d 2 01 0

Su m ber : Kem en ter ia n Keu a n g a n

TABEL VI.16INDIKATOR RISIKO PORTOFOLIO UTANG TAHUN 2006-2011

Uraian

Interest Rate Risk

Risiko tingkat bunga (interest rate risk) adalah potensi tambahan beban anggaran akibatperubahan tingkat bunga di pasar yang meningkatkan biaya pemenuhan kewajiban utangPemerintah. Indikator risiko tingkat bunga terdiri dari rasio variable rate (VR) dan refixingrate terhadap total utang, serta Average Time to Refix (ATR).

Pada Tabel VI.16 terlihat bahwa rasio variable rate (VR) dan refixing rate terhadap totalutang lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Rasio-rasio tersebut secara trendterus mengalami penurunan akibat adanya kebijakan dalam menetapkan strategipembiayaan yang mengutamakan penerbitan SBN dan pengadaan pinjaman luar negeriyang memiliki bunga tetap. Penyebab lain turunnya rasio VR terhadap total utang adalahadanya restrukturisasi pinjaman World Bank yang memiliki tingkat bunga mengambangdikonversi menjadi tingkat bunga tetap (tahun 2009), dan adanya pembatalan atas penerbitanSBN dengan suku bunga mengambang (floating) di tahun 2010.

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-78

Konversi tingkat bunga World Bank tahun 2009 merupakan konversi kedua, yang mengubahpinjaman World Bank sebesar USD4,17 miliar. Konversi yang dilakukan saat kondisi tingkatbunga berada pada historically low-level ini, berdampak mengurangi risiko tingkat bungautang Pemerintah sebesar 2,12 persen. Selain mengurangi risiko, konversi saat kondisi tingkatbunga rendah juga berpotensi menurunkan beban bunga karena konvesi dilakukan saatsuku bunga sedang rendah.

Sementara itu, ATR utang Pemerintah menunjukkan kondisi penurunan, yangmenggambarkan semakin meningkatnya risiko pembayaran kembali, karena rata-rata waktuyang dibutuhkan portofolio dalam mengeset kembali suku bunganya semakin pendek.

Exchange Rate Risk

Risiko nilai tukar (exchange rate risk) adalah potensi peningkatan beban kewajibanPemerintah dalam memenuhi kewajiban utang akibat peningkatan kurs nilai tukar valutaasing terhadap mata uang rupiah.

Dalam dekade terakhir ini risiko nilai tukar utang Pemerintah cenderung semakin membaiksejalan dengan kecenderungan menguatnya nilai tukar Rupiah. Membaiknya risiko nilaitukar utang ditunjukkan oleh penurunan rasio utang dalam denominasi valas (utang FX)terhadap besaran Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan semakin rendahnya rasio inimenunjukkan semakin berkurangnya risiko nilai tukar secara relatif terhadap perekonomian.Penurunan rasio tersebut disebabkan kurs nilai tukar rupiah pada semester I tahun 2010stabil dan cenderung mengalami penguatan, serta adanya pengurangan target penerbitanSBN valas sekitar Rp13,05 triliun. Rasio utang FX terhadap total utang diperkirakan akanterkoreksi hingga 45,50 persen pada akhir tahun 2010. Hal ini mengalami penurunan yangsangat jauh dibandingkan dengan tahun 2008 yang pada saat itu mengalami krisis finansialglobal.

Refinancing Risk

Risiko refinancing adalah potensi naiknya tingkat biaya utang pada saat melakukanpembiayaan kembali (refinancing), atau bahkan tidak dapat dilakukan refinancing samasekali yang akan meningkatkan beban Pemerintah dan/atau mengakibatkan tidakterpenuhinya kebutuhan pembiayaan Pemerintah.

Average Time to Maturity (ATM) merupakan salah satu indikator refinancing risk, yangpada 2010 kondisinya sekitar 9,69 tahun. Kondisi tersebut mengalami penurunandibandingkan tahun sebelumnya, yana mana menunjukkan bahwa tenor utang Pemerintahsemakin pendek. Indikator lain dari refinancing risk adalah porsi utang yang jatuh tempopada 1, 3, dan 5 tahun yang akan datang. Sejalan dengan makinpendeknya ATM, ketigaporsi utang yang jatuh tempo tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahunsebelumnya. Hal ini kedepannya dapat diantisipasi dengan melakukan pembelian kembali(buyback) dan penukaran (switching) terhadap utang yang jatuh tempo kurang dari 3 tahun.

Pada tahun 2011, diproyeksikan jumlah outstanding utang akan mencapai Rp1.807,45 triliunyang terdiri dari SBN sebesar Rp1.197,09 triliun dan Pinjaman sebesar Rp610,38 triliun.Proyeksi tersebut diperkirakan akan berdampak pada kondisi risiko portofolio utang yangsemakin baik, yaitu risiko tingkat bunga yang akan terus membaik dengan menurunnyaproyeksi rasio utang variabel rate dan refixing rate. Perbaikan tingkat risiko utang jugaakan terjadi pada risiko nilai tukar dengan menurunnya rasio utang valas terhadap PDB.

Bab VI

VI-79

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Walaupun rasio utang valas terhadap total utang sedikit meningkat, rasionya masih terjagadalam interval kurang dari 49 persen (berdasarkan strategi pembiayaan jangka menengah).Sementara itu untuk risiko refinancing diperkirakan akan sedikit memburuk karena adanyapeningkatan porsi utang yang jatuh tempo dalam jangka pendek, serta memendeknya tenorutang Pemerintah secara keseluruhan.

Upaya perbaikan tingkat risiko portofolio utang di atas dapat dicapai dengan penerapanstrategi sebagai berikut:

a. Mengutamakan penerbitan/penarikan utang yang memiliki suku bunga tetap (FixedRate) dan melakukan konversi utang yang memiliki bunga mengambang atau variabelmenjadi bunga tetap untuk mengurangi risiko tingkat bunga.

b. Mengutamakan penerbitan surat utang di pasar domestik dengan mata uang rupiahuntuk mengurangi risiko nilai tukar.

c. Memilih jenis mata uang valas yang memiliki volatilitas rendah terhadap mata uangRupiah dalam penerbitan/penarikan utang.

d. Mengupayakan penarikan utang baru dengan terms and conditions yang lebih favorable,antara lain dengan mengurangi/ menghilangkan pengenaan commitment fee untukkomitmen utang yang belum dicairkan.

e. Melakukan operasi pembelian kembali (buyback) dan penukaran (switching) yangberkesinambungan dalam rangka pengelolaan portofolio dan risiko Surat BerhargaNegara dengan tujuan mengurangi risiko refinancing.

f. Melakukan monitoring penarikan utang yang efektif, sehingga komitmen utang yangtidak efisien untuk diteruskan dapat segera ditutup.

g. Menyusun peraturan pelaksanaan terkait penggunaan instrumen financial derivativedalam rangka hedging.

Dari sisi operasional pengelolaan utang, juga dilakukan pengendalian risiko yang mungkinterjadi selama kegiatan pengelolaan utang dilaksanakan. Upaya yang dilakukan Pemerintahantara lain dengan: (a) mengembangkan dan melaksanakan standar prosedur pengelolaanutang, baik untuk internal unit pengelola utang maupun terkait dengan hubungan antaraunit pengelola utang dengan stakeholders; (b) menegakkan kode etik pegawai unit pengelolautang; (c) meningkatkan kompetensi pegawai unit pengelola utang; (d) mengembangkansistem teknologi informasi yang mendukung pelaksanaan kegiatan pengelolaan utang secaraefektif, efisien, aman, transparan, dan akuntabel; (e) menyusun dan menyempurnakanperaturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan utang, sebagai landasan hukumuntuk melaksanakan pengelolaan utang secara trasparan, aman, akuntabel, dan bertanggungjawab; (f) serta melaksanakan penerapan manajemen risiko, yang terdiri dari : identifikasirisiko, analisis risiko, evaluasi risiko, rencana penanganan (mitigasi) risiko, melakukanmonitoring atas risiko dalam pengelolaan utang.

6.4.3 Kewajiban Kontinjensi Pemerintah Pusat

6.4.3.1 Proyek Pembangunan Infrastruktur

Risiko fiskal yang terkait dengan proyek pembangunan infrastruktur, seperti yang berasaldari dukungan dan/atau jaminan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap beberapa proyek,

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-80

yaitu proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW tahap I danII, proyek pembangunan jalan tol, percepatan penyediaan air minum (PDAM) dan proyekmodel Kerja sama Pemerintah-Swasta (KPS) Independent Power Producer (IPP) PLTU JawaTengah. Pemberian jaminan ini membawa konsekuensi fiskal bagi Pemerintah dalam bentukpeningkatan kewajiban kontinjen Pemerintah. Ketika risiko-risiko yang dijamin Pemerintahtersebut terjadi dan Pemerintah harus menyelesaikan kewajiban kontinjen dimaksud, makakondisi ini kemudian dapat menjadi tambahan beban bagi APBN.

Untuk meningkatkan daya saing ekonomi, Indonesia perlu meningkatkan pembangunaninfrastruktur. Dengan fakta bahwa kemampuan keuangan negara dalam penyediaaninfrastruktur relatif terbatas, maka peran swasta dalam penyediaan infrastruktur di masadepan menjadi semakin penting. Sehubungan dengan hal ini, Pemerintah dapat memberikanpenjaminan atas partisipasi pendanaan pihak swasta yang digunakan untuk membanguninfrastruktur. Yang dijamin dalam hal ini adalah kemungkinan kerugian/return yangmenurun karena terjadinya risiko-risiko yang bersumber dari Pemerintah (sovereign risks).

Penjaminan yang telah diberikan selama ini tertuang untuk proyek yang merupakanpenugasan dari Pemerintah untuk penyelenggaraan infrastruktur dan proyek infrastrukturyang dilaksanakan dengan skema KPS. Di sektor kelistrikan, Pemerintah telah memberikanjaminan kredit penuh untuk Proyek 10.000 MW Tahap I terkait penugasan kepada PT PLN(Persero) dalam penyediaan listrik. Sementara itu, untuk penyediaan air minum Pemerintahmenyediakan jaminan kredit sebagian bagi PDAM yang memenuhi syarat yang telahditentukan. Terkait dengan proyek KPS, Pemerintah memberikan jaminan atas perjanjiankerjasama antara penanggung jawab proyek kerjasama dan badan usaha sehubungandengan risiko-risiko yang bersumber dari Pemerintah.

Di samping kebijakan penjaminan bagi proyek infrastruktur, Pemerintah juga telahmenetapkan kebijakan untuk membantu pengadaan tanah yang sering menjadi kendaladalam pembangunan infrastruktur. Selanjutnya dari sisi penjaminan proyek, Pemerintahtelah mendirikan sebuah badan usaha untuk menjamin proyek-proyek infrastruktur yangmenggunakan skema KPS. Sementara itu, dari sisi pendanaan Pemerintah juga telahmenyiapkan badan usaha yang fokus pada penggalangan dana domestik untuk penyediaaninfrastruktur.

Dalam rangka pengembangan green energy, Pemerintah telah menetapkan dukungankepada badan usaha terkait untuk mengembangkan proyek-proyek pembangkit listrik panasbumi (geothermal). Dengan pengembangan pembangkit ini maka diharapkan di masa depankesinambungan keuangan negara dari akibat negatif gejolak harga minyak dan batubaradapat lebih terjaga.

a. Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000MW Tahap I

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 86Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2007,Pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk jaminan penuh terhadap pembayarankewajiban PT PLN (Persero) kepada kreditur perbankan yang menyediakan pendanaan/kredit untuk proyek-proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik (10.000 MW).Penjaminan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kelayakan PT PLN (persero) dalammemperoleh kredit (creditworthiness) dan sekaligus menurunkan biaya modal proyek.

Bab VI

VI-81

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Dengan demikian diharapkan akanmempercepat penyelesaian proyek percepatanpembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000MW tahap sehingga masalah kekuranganpasokan listrik dapat teratasi.

Proyek ini dibiayai dari anggaran PT PLN danpembiayaan dari perbankan. Porsi pembiayaanperbankan sekitar 85 persen dari total kebutuhandana proyek pembangkit dan transmisi. Hingga31 Desember 2009, sumber pembiayaan yangtelah diperoleh (ditandatangani dan ditetapkanpemenang lelang) dapat dilihat pada TabelVI.17.

Risiko fiskal dengan adanya jaminanPemerintah (full guarantee) ialah ketika PLNtidak mampu memenuhi kewajiban kepadakreditur secara tepat waktu, dan oleh karenanyaPemerintah wajib memenuhi kewajibantersebut. Pemenuhan kewajiban Pemerintahtersebut dilaksanakan melalui mekanismeAPBN. Beberapa faktor risiko yang dapatmengurangi kemampuan PT PLN (Persero)dalam memenuhi kewajiban kepada kreditursecara tepat waktu antara lain pertumbuhanpenjualan energi listrik yang tinggi, kebijakantarif, fluktuasi nilai tukar, kenaikan harga BBM,serta kekurangan pasokan batubara.

Kewajiban PLN kepada kreditur pada tahun 2011 sudah memasuki periode kewajibanpembayaran bunga dan pokok atas pinjaman. Mengingat 90 persen kebutuhan pembiayaantelah diperoleh pada tahun 2009 maka Pemerintah pada RAPBN 2011 perlu mengalokasikananggaran guna mengantisipasi risiko fiskal atas kewajiban PLN dalam pembayaran pokokdan bunga kredit tersebut sebesar Rp889,0 miliar.

b. Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MWTahap II

Komitmen Pemerintah Indonesia atas hasil pertemuan G20 dalam hal pengurangan emisikarbon serta dalam rangka mengurangi dampak gejolak harga minyak bumi terhadapbesaran subsidi listrik di masa yang akan datang Pemerintah menerbitkan Peraturan PresidenNomor 4 tahun 2010 tentang Penugasan Kepada PT PLN (Persero) untuk MelakukanPercepatan Pembangunan Pembangkit Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan,Batubara, dan Gas. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2010 sebagai landasan dan dasarhukum dalam memberikan dukungan dalam bentuk penjaminan kelayakan usaha PT PLN(Persero) dalam rangka pelaksanaan pembangunan pembangkit tenaga listrik yangmenggunakan energi terbarukan, batu bara dan gas. Adapun nama-nama proyek yang akanmendapat penjaminan tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun

1 Suralay a 1 x 625 7 35,4 284,29

2 Paiton 1 x 660 600,6 330,83

3 Rembang 2 x 315 1.911 ,50 261,8

4 Labuan 2 x 315 1.1 88,60 288,56

5 Indramay u 3 x 330 1 .27 2,90 592,22

6 Pacitan 2 x 315 1 .045,90 293,23

7 Teluk Naga 3 x 315 1 .606,60 454,97

8 Pelabuhan Ratu 3 x 350 1 .87 4,30 481,94

9 Lampung 2 x 100 459,9 11 9,21

10 Sumatera Utara 2 x 200 7 80,8 209,26

1 1 NTB 2 x 25 27 3,8 23,7 9

12 Gorontalo 2 x 25 264,8 25,84

13 Sulawesi Utara 2 x 25 304,5 27 ,31

14 Kepulauan Riau 2 x 7 7 1 ,2 7 ,01

15 NTT 2 x 7 7 3,2 7 ,89

16 Sulawesi Tenggara 2 x 10 97 ,1 10,28

17 Kalimantan Tengah 2 x 60 41 3,9 62,06

18 Tanjung Awar-Awar 2 x 350 1.1 55,40 37 1,5

19 Sulawesi Selatan 2 x 50 37 9,9 52,35

20 3 Bangka Belitung 2 x 30 31 6,9 22,95

21 2 Papua 2 x 10 1 40,8 1 3,66

22 Kalimantan Selatan 2 x 65 31 3,4 83,94

23 Aceh 2 x 110 61 4,3 1 24,26

24 2 NTT 2 x 1 6,5 134,5 23,42

25 1 NTB 2 x 10 1 20,5 23,7 9

26 Sumatera Barat 2 x 112 521 ,4 1 38,34

27 2 Kalimantan Barat 2 x 27 ,5 17 2 30,7 7

28 4 Bangka Belitung 2 x 1 6,5 142,2 23,9

29 Maluku Utara 2 x 7 100,4 9,87

30 Adipala 1 x 660 50 57 5,26

31 1 Riau 2 x 10 132,4 8,43

32 2 Riau 2 x 7 111 ,3 9,27

33 1 Kalimantan Barat 2 x 50 392,1 62,47

34 3 Paket Transmisi - 4.87 0,27 -

T otal 9.27 9 22.642,7 7 5.054,67

Su m ber : Kem en ter ia n Keu a n ga n .

Kapasitas (MW) Porsi Rupiah

(m iliar)Porsi USD

(juta)

T ABEL VI.17

PEROLEHAN PEMBIAYAAN PROYEK PEMBANGKIT T ENAGA LIST RIK 10.000 MW T AHAP I

(per 31 Desem ber 2009)

No. PLT UNilai Pinjam an

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-82

2010 tentang Daftar Proyek-proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrikyang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas serta Transmisi Terkait.

c. Proyek Pembangunan Jalan Tol

Risiko Fiskal pada proyek pembangunan jalan tol berasal dari dukungan Pemerintah dalammenanggung sebagian dari kelebihan biaya pengadaan tanah (land capping) sebagai akibatadanya kenaikan harga pada saat pembebasan lahan. Dukungan Pemerintah dimaksuddiberikan untuk 28 proyek jalan tol.

Pemberian dukungan Pemerintah atas kenaikan biaya pengadaan lahan pada 28 ruas jalantol dimaksudkan untuk mendorong percepatan pembangunan jalan tol yang tersendat. Haltersebut disebabkan oleh permasalahan kenaikan harga dalam pembebasan tanah yangakan digunakan dalam pembangunan jalan tol. Di samping itu, dukungan juga dimaksudkanuntuk menjaga tingkat kelayakan financial dari proyek jalan tol sehingga diharapkan investorsegera menyelesaikan pembangunannya.

Dana dukungan Pemerintah atas kenaikan biaya pengadaan lahan (land capping) tersediasebesar Rp4,89 triliun sejak tahun 2008. Dari jumlah tersebut, Rp890,2 miliar akandialokasikan pada APBN Tahun 2011. Pelaksanaan penggunaan dana pada akhir tahun2010 dan pada awal tahun 2011 akan digunakan sebagai bahan evaluasi kebijakan dukunganPemerintah dalam menetapkan kelanjutan kebijakan land capping di tahun 2012 danselanjutnya.

d. Percepatan Penyediaan Air Minum

Dalam rangka percepatan penyediaan air minum bagi penduduk dan untuk mencapai MDG’s,Pemerintah memandang perlu untuk mendorong peningkatan investasi PDAM. Hal tersebutdilakukan dengan cara meningkatkan akses PDAM untuk memperoleh kredit investasi dariperbankan nasional, melalui kebijakan pemberian jaminan dan subsidi bunga olehPemerintah Pusat.

Kebijakan dimaksud dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 tentangPemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka PercepatanPenyediaan Air Minum serta aturan pelaksanaannya dalam Peraturan Menteri KeuanganNomor 229/PMK.01/2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Jaminan dan SubsidiBunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum. JaminanPemerintah Pusat adalah sebesar 70 persen dari jumlah kewajiban pembayaran kembalikredit investasi PDAM yang telah jatuh tempo, sedangkan sisanya sebesar 30 persen menjadirisiko bank yang memberikan kredit investasi. Sedangkan tingkat bunga kredit investasiyang disalurkan bank kepada PDAM ditetapkan sebesar BI rate ditambah paling tinggi 5persen, dengan ketentuan tingkat bunga sebesar BI rate ditanggung PDAM, dan selisih bungadi atas BI rate paling tinggi sebesar 5 persen menjadi subsidi yang ditanggung PemerintahPusat.

Jaminan atas kewajiban PDAM serta subsidi bunga tersebut akan dibayarkan Pemerintahmelalui skema APBN. Jaminan tersebut selanjutnya akan menjadi kewajiban PDAM danPemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat.

Risiko fiskal yang mungkin terjadi dari penjaminan ini adalah ketidakmampuan PDAMuntuk membayar kewajibannya yang jatuh tempo kepada perbankan. Untuk itu Pemerintahakan memenuhi 70 persen dari kewajiban PDAM tersebut. Faktor-faktor yang dapat memicu

Bab VI

VI-83

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

terjadinya hal itu di antaranya adalah tingkat kehilangan air (non water revenue/NWR)yang tinggi, manajemen internal PDAM yang kurang handal, serta penetapan tarif air minum(oleh Pemda/Kepala Daerah) yang berada di bawah harga keekonomian.

Kewajiban PDAM kepada bank dalam tahun 2011 meliputi kewajiban pembayaran bungadan pembayaran pokok atas pinjaman. Untuk itu dalam RAPBN 2011, Pemerintah akanmengalokasikan anggaran sebesar Rp147,0 miliar guna mengantisipasi risiko fiskal ataskewajiban PDAM dalam pembayaran kredit perbankan.

e. Operasionalisasi PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero)dalam Penjaminan Infrastruktur

Sebagai bentuk komitmen Pemerintah untuk mendorong keterlibatan sektor swasta danupaya memenuhi kebutuhan pembiayaan dalam penyediaan infrastruktur, Pemerintah telahmendirikan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero)/PT PII pada tanggal 30Desember 2010. PT PII merupakan implementasi dari Indonesia Infrastructure GuaranteeFund dan bertindak sebagai instrumen fiskal dalam pemberian jaminan untuk meningkatkankelayakan kredit (creditworthiness) proyek infrastruktur. PT PII ditugaskan menjamin risiko-risiko yang dialokasikan pada Pemerintah dalam proyek infrastruktur sebagaimana diaturdalam Peraturan Presiden Nomor 67 tahun 2005 yang telah diubah dalam Peraturan PresidenNomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden nomor 67 tauhn 2005tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

Pemerintah menerapkan kebijakan satu pintu/single window policy dimana usulanpenjaminan disampaikan kepada PT PII, kemudian PT PII akan melakukan tinjauan danpenilaian atas usulan tersebut. Keputusan penjaminan PT PII didasarkan pada kemampuanmodalnya dan untuk memenuhi kebutuhan penjaminan, PT PII dimungkinkan melakukankerjasama dengan pihak lain dan/atau melakukan penjaminan bersama Pemerintah.Berdasarkan hal di atas, keberadaan PT PII akan mendorong pengelolaan yang lebihtransparan dan akuntabel atas kewajiban kontinjen guna menjaga kesinambungan APBNdari kewajiban-kewajiban mendadak yang timbul akibat pemberian jaminan.

PT PII merupakan sebuah BUMN yang dimiliki 100 persen oleh Pemerintah. Pemerintahberkomitmen untuk mencukupi kebutuhan modal PT PII sesuai kebutuhan penjaminan.Berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2009 tentang PenyertaanModal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) diBidang Penjaminan Infrastruktur Indonesia, Pemerintah telah menanamkan modal awalsebesar Rp1,0 trilliun dan telah melakukan penambahan modal melalui APBN-P 2010 sebesarRp1,0 trilliun. Seiring kebutuhan pembangunan proyek infrastruktur dan sebagai upayameningkatkan kepercayaan pihak swasta, Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp1,5trilliun kepada PT PII sebagai tambahan Penyertaan Modal Negara dalam RAPBN 2011.

f. Dukungan Pemerintah untuk Proyek Model KPS Independent PowerProducer (IPP) PLTU Jawa Tengah

Dalam Semester I tahun 2009, Pemerintah telah menerima proposal permintaan dukunganPemerintah yang diajukan oleh PT PLN (Persero) untuk model IPP PLTU Jawa Tengah.Proyek ini merupakan satu dari sepuluh proyek yang dinyatakan Pemerintah dalam IndonesiaInfrastructure Conference and Exhibition (IICE) 2006 sebagai model proyek yang akandijalankan dengan skema Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)/Public Private Partnership

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-84

Box VI. 11Pengelolaan Kewajiban Kontinjensi

Kewajiban Kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibatadanya peristiwa masa lalu dan menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatuperistiwa (event), yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali Pemerintah. Dengan demikian,terdapat risiko fiskal bagi Pemerintah untuk memenuhi kewajiban kontinjensi yang timbul,meskipun risiko tersebut sangat tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Untuk memberikan kepastian agar beban kewajiban kontinjensi Pemerintah yang timbultidak mengganggu keberlangsungan fiskal dalam tahun anggaran berkenaan, maka diperlukanadanya pengelolaan kewajiban kontinjensi oleh Pemerintah sehingga dapat meminimalkanbiaya dan risiko fiskal dalam APBN. Pengelolaan kewajiban kontinjensi dapat berupa analisisrisiko terhadap usulan kegiatan baru yang berpotensi menimbulkan kewajiban kontinjensi,sehingga kebijakan yang diambil atas usulan kegiatan baru dimaksud telah memperhitungkanportofolio dan risiko beban kewajiban kontinjensi bagi Pemerintah. Di samping itu, terhadapkewajiban kontinjensi yang telah ada (existing) perlu dilakukan pemantauan, sekaligusrekomendasi mitigasi risiko atas potensi timbulnya suatu kewajiban kontinjensi.

Berdasarkan jenisnya, terdapat 2 jenis kewajiban kontinjensi yaitu (i) kewajiban kontinjensiyang bersifat Eksplisit, yaitu kewajiban yang timbul dan harus dibayar berdasarkan ketentuanperundang-undangan dan/atau perjanjian, dan (ii) kewajiban kontinjensi yang bersifat Implisit,yaitu kewajiban yang sebelumnya tidak secara resmi/sah diakui oleh Pemerintah, tetapiterdapat kebijakan Pemerintah untuk mengambil-alih tanggung jawab kewajibannya.

Kewajiban kontinjensi yang bersifat eksplisit berdasarkan peraturan perundang-undangan,meliputi : (i) Penambahan modal kepada Lembaga Penjamin Simpanan untuk menjaga modalminimum (Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan), (ii)Penambahan modal kepada Bank Indonesia untuk menjaga modal minimum (Undang-UndangNo.23 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia), (iii)Penyediaan dana Fasilitas Pembiayaan Darurat kepada bank yang mengalami kesulitanlikuiditas (Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentangPerbankan), (iv) Pembayaran iuran program jaminan sosial nasional oleh Pemerintah kepadapeserta fakir miskin dan tidak mampu (Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang SistemJaminan Sosial Nasional), (v) Penyediaan dana untuk program jaminan sosial nasional, kepadaBadan Penyelenggara Jaminan Sosial yaitu Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes (Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional), (vi) Penyediaan danaPSO kepada BUMN (Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN).

Kewajiban kontinjensi yang bersifat eksplisit berdasarkan perjanjian, baik perjanjianbilateral maupun multilateral dimana Pemerintah membuat suatu perjanjian dengan Negaralain, kreditur, investor, dan lembaga internasional yang berpotensi menimbulkan dampakkeuangan yang harus dibayarkan oleh Pemerintah, misalnya : (i) Perjanjian mengenai pendirianThe Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) sebagaimana disahkan dalam KeppresNo. 31 tahun 1986 tanggal 18 Juli 1986 tentang Pengesahan Convention Establising TheMultilateral Investment Guarantee Agency, (ii) Keanggotaan Indonesia dalam lembagakeuangan multilateral yaitu IMF, dimana terdapat kewajiban penambahan modal bagi setiapanggota, (iii) Perjanjian mengenai Persetujuan Dukungan Penanaman Modal antara PemerintahIndonesia dengan Amerika Serikat, dimana Pemerintah Indonesia mengakui kewajiban kepadaOverseas Private Investment Corporation (suatu badan Amerika) apabila sendiri dan/ataudengan Koasuradur melakukan pembayaran kepada seseorang atau entitas, atau menggunakanhak-haknya sebagai kreditur atau pemegang hak subrogasi terkait dengan setiap dukunganpenanaman modal di Indonesia.

Bab VI

VI-85

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

(PPP) sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 dan peraturanperubahannya, yakni Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010. Untuk tahun 2010diperkirakan belum ada risiko fiskal terkait proyek dimaksud, mengingat konstruksi baruakan dimulai pada akhir tahun 2011 dan pengoperasian pada Semester I tahun 2015.

6.4.3.2 Program Pensiun dan Tunjangan Hari Tua (THT) PegawaiNegeri Sipil (PNS)

Risiko fiskal yang berasal dari Program Pensiun PNS terutama berasal dari peningkatanjumlah pembayaran manfaat pensiun dari tahun ke tahun karena sejak tahun anggaran2009 pendanaan pensiun PNS seluruhnya (100 persen) menjadi beban APBN. Beberapafaktor yang mempengaruhi besaran kenaikan pembayaran manfaat pensiun diantaranya,

Kewajiban kontinjensi yang bersifat eksplisit berdasarkan jaminan, dimana Pemerintahmemberikan jaminan atas kewajiban pembayaran kredit pihak lain kepada krediturnya, ataujaminan kelayakan usaha untuk menjamin kemampuan pembayaran pihak lain sesuai perjanjianusaha, misalnya : (i) Jaminan Pemerintah atas kewajiban pembayaran kredit PT PLN (Persero)dalam proyek 10.000 MW Tahap I, sesuai Perpres nomor 86 tahun 2006 jo. Perpres 91 tahun2007 tentang Pemberian Jaminan Untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit YangMenggunakan Batubara. Per Juli 2010, Pemerintah telah mengeluarkan sebanyak 33 SuratJaminan dengan nilai kredit yang dijamin sebesar Rp70,6 triliun (asumsi kurs USD 1 = Rp9.200)baik untuk pembangkit maupun transmisi. Dalam APBN 2010, Pemerintah mengalokasikandana jaminan dimaksud sebesar Rp1 triliun, (ii) Jaminan Pemerintah atas kewajibanpembayaran kredit PDAM dalam rangka percepatan penyediaan air minum, sesuai Perpresnomor 29 tahun 2009 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga Oleh Pemerintah PusatDalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum. Pemerintah belum mengeluarkan SuratJaminan mengingat saat ini PDAM dan calon kreditur masih dalam proses negosiasi pinjaman,sehingga PDAM belum mengajukan permintaan untuk memperoleh jaminan dan subsidi secararesmi kepada Pemerintah dengan melampirkan dokumen yang dipersyaratkan. Namundemikian, dalam TA 2010 Pemerintah telah mengalokasikan dana jaminan Pemerintah dalamAPBN sebesar Rp50 miliar, (iii) Jaminan Pemerintah atas kelayakan usaha PT PLN (Persero)dalam proyek 10.000 MW Tahap II, sesuai Perpres nomor 4 tahun 2010 tentang Penugasankepada PT PLN (Persero) Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit TenagaListrik Yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas, dimana saat ini Pemerintahbelum mengeluarkan surat jaminan kelayakan usaha.

Kewajiban kontinjensi yang bersifat eksplisit berdasarkan litigasi, dimana Pemerintahberkewajiban melakukan pembayaran atas tuntutan hukum masyarakat yang dikabulkan olehlembaga peradilan.

Sedangkan kewajiban kontinjensi yang bersifat implisit antara lain yaitu dana penangananbencana alam seperti gempa bumi dan banjir, mengakibatkan Pemerintah perlumemperhitungkan secara cermat potensi risikonya dan mengalokasikan dananya jika bencanaalam tersebut benar-benar terjadi di kemudian hari.

Kewajiban kontinjensi yang bersifat eksplisit berdasarkan litigasi, dimana Pemerintahberkewajiban melakukan pembayaran atas tuntutan hukum masyarakat yang dikabulkan olehlembaga peradilan.

Sedangkan kewajiban kontinjensi yang bersifat implisit antara lain dana penangananbencana alam seperti gempa bumi dan banjir, mengakibatkan Pemerintah perlumemperhitungkan secara cermat potensi risikonya dan mengalokasikan dananya jika bencanaalam tersebut benar-benar terjadi di kemudian hari.

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-86

jumlah PNS yang mencapai batas usia pensiun, meningkatnya gaji pokok PNS, meningkatnyapensiun pokok PNS serta adanya pembayaran Dana Kehormatan sesuai dengan PP Nomor24 Tahun 2008 tentang Dana Kehormatan Veteran Republik Indonesia. Berdasarkan asumsikenaikan pensiun pokok sebesar 5 persen setiap tahun, jumlah dana APBN yang diperlukanuntuk membayar manfaat pensiun diperkirakan akan terus mengalami peningkatan yaknisebesar Rp44,6 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp51,2 triliun pada tahun 2011.

Sementara itu, risiko fiskal yang berasal dari Progam Tunjangan Hari Tua PNS terutamaberasal dari unfunded liability. PT Taspen mencatat adanya akumulasi unfunded liabilityyang timbul akibat kebijakan Pemerintah menaikan gaji pokok PNS sejak tahun 2007 sampaidengan 2010. Untuk menyelesaikan masalah ini, Kementerian Keuangan telah membentukTim Penyusun Desain Ke Depan Program Pensiun PNS untuk mengkaji secara mendalamdan menyeluruh Program Pensiun dan THT PNS baik dari sisi peraturan dan kebijakanmaupun dari sisi fiskal.

6.4.3.3 Sektor Keuangan

Kewajiban kontinjensi Pemerintah pada sektor keuangan terutama berasal dari kewajibanPemerintah untuk menambah modal lembaga keuangan (Bank Indonesia, LembagaPenjamin Simpanan, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia) jika modal lembagakeuangan tersebut di bawah modal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

a. Bank Indonesia

Sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (1) Undang-undang tentang BI, untuk melaksanakantugas tersebut modal Bank Indonesia ditetapkan berjumlah sekurang-kurangnya Rp2 triliun.Dalam hal terjadi risiko atas pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia yangmengakibatkan modal tersebut menjadi kurang dari Rp2,0 triliun (pasal 62), makaPemerintah wajib menutup kekurangan dimaksud yang dilaksanakan setelah mendapatpersetujuan DPR.

Selain dari ketentuan perundang-undangan di atas, mengenai permodalan Bank Indonesiajuga diatur dalam pasal 3 ayat 2 butir (f) Kesepakatan Bersama Antara Pemerintah danBank Indonesia Mengenai Penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sertaHubungan Keuangan Pemerintah dan Bank Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 1Agustus 2003, menyatakan bahwa dalam hal rasio modal terhadap kewajiban moneter Bank

Indonesia kurang dari 3 persen disepakatibahwa Pemerintah membayar charge kepadaBank Indonesia sebesar kekurangan yangdiperlukan. Namun sebaliknya apabila rasiomodal terhadap kewajiban moneter BankIndonesia mencapai di atas 10 persen, makaBI akan memberikan bagian kepadaPemerintah atas surplus BI sebagaimanadiatur dalam ketentuan perundangan tentangBI.

Pada tahun 2009 rasio modal BI mengalamipenurunan menjadi sebesar 8,79 persenSumber: Bank Indonesia

Keterangan: Batas m inimum rasio modal terhadap kewajiban moneter (3%)

GRAFIK VI.22 RASIO MODAL TERHADAP

KEWAJIBAN MONETER BANK IDONESIA

0,0%

2,0%

4,0%

6,0%

8,0%

10,0%

12,0%

14,0%

2005 2006 2007 2008 2009 2010(Est.) 2011 (Est.)

10,3%

12,4%

8,0%

10,4%

8,8%

5,5%

3,8%

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-88

c. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Indonesia Eximbank)

Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Indonesia Eximbank) didirikan oleh PemerintahIndonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang LembagaPembiayaan Ekspor Indonesia yang bertujuan untuk menunjang kebijakan Pemerintahdalam rangka mendorong program ekspor Nasional.

Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sebelumnya bernama PT Bank EksporIndonesia (Persero), adalah lembaga keuangan nonbank yang berfungsi mendukungprogram ekspor nasional melalui penyediaan pembiayaan, penjaminan, asuransi dan jasakonsultasi bagi para eksportir.

LPEI mempunyai ruang gerak pembiayaan yang relatif lebih fleksibel dibandingkan denganBank pada umumnya, sehingga dapat menutupi gap yang selama ini dihadapi oleh eksportir,yang pada gilirannya mampu mengakselerasi ekspor nasional.

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun2009 tentang Lembaga Pembiayaan EksporIndonesia, modal awal LPEI ditetapkan palingsedikit Rp4,0 triliun. Dalam hal modal LPEImenjadi berkurang dari Rp4,0 triliun,Pemerintah menutup kekurangan tersebut daridana APBN berdasarkan mekanisme yangberlaku. Perkembangan posisi permodalan LPEIuntuk tahun 2008 hingga tahun 2011 dapatdilihat pada Grafik VI.24.

Pada tahun 2011, ekuitas LPEI diperkirakanakan mencapai Rp6,98 triliun dengan asumsi

rencana Penambahan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 2 triliun pada tahun 2010 terealisir.Modal tersebut diperkirakan cukup untuk mendukung pemberian pembiayaan ekspor sebesarRp19,83 triliun, garansi dan penjaminan sebesar Rp2,97 triliun serta asuransi ekspor sebesarRp569,4 miliar. Berdasarkan proyeksi kondisi keuangan LPEI di atas, Pemerintah tidakperlu menganggarkan dana tambahan modal untuk LPEI pada RAPBN 2011.

6.4.3.4 Tuntutan Hukum kepada Pemerintah

Potensi risiko fiskal timbul dari beberapa gugatan perdata yang ditujukan kepada beberapakementerian negara/lembaga. Berdasarkan data yang terkumpul di Kementerian Keuangan,gugatan tersebut terjadi antara tahun 2001-2009, yang ditujukan kepada 12 Kementeriandan 1 Lembaga Pemerintah, yaitu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).Risiko fiskal yang timbul berupa potensi pengeluaran negara dari APBN maupun potensihilangnya kepemilikan aset tanah dan bangunan karena kepemilikannya dipersengketakan.

Gugatan yang ditujukan kepada Kementerian dan Lembaga tersebut menimbulkan risikofiskal berupa pengeluaran negara kurang lebih sebesar Rp22.254,7 miliar dan USD2,1 miliar.Namun dari nilai tersebut tidak seluruhnya akan menjadi beban Pemerintah karena beberapagugatan ditujukan secara tanggung renteng dengan tergugat lainnya. Gugatan tanggungrenteng tersebut ditujukan pada BPKP, Kementerian Perindustrian, Kementerian NegaraBUMN, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Kementerian Keuangan.

GRAFIK VI.24KEGIATAN PEMBIAYAAN EKSPOR DAN POSISI PERMODALAN LEMBAGA

PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA, 2008-2011(miliar rupiah)

Sumber: Kementerian Keuangan

-

5.000,00

10.000,00

15.000,00

20.000,00

25.000,00

2008 (Audited) 2009 (Audited) 2010 (Proj) 2011 (Proj)

Total Aktiva Pembiayaan Ekspor Garansi dan Penjaminan Asuransi Ekuitas

Bab VI

VI-89

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

6.4.3.5 Keanggotaan pada Organisasi dan Lembaga KeuanganInternasional

Keanggotaan Indonesia pada organisasi dan lembaga keuangan internasional dapatmenimbulkan risiko fiskal terkait dengan:

1. Adanya komitmen Pemerintah untuk memberikan kontribusi dan penyertaan modalkepada organisasi atau lembaga keuangan internasional tersebut.

2. Adanya keterlambatan penerbitan peraturan perundang-undangan dalam halpembayaran kontribusi dan penyertaan modal kepada organisasi atau lembaga keuanganinternasional tersebut.

Untuk tahun 2011, diperkirakan jumlah dana yang harus dipersiapkan oleh Pemerintah untukmembayar kontribusi dan penyertaan modal pada organisasi dan lembaga keuanganinternasional sebesar Rp1.036,76 milyar. Kontribusi kepada organisasi internasional disalurkanmelalui DIPA Departemen Luar Negeri sebagaimana diatur dalam Keppres No. 64 Tahun1999 dengan jumlah kurang lebih Rp300,0 miliar. Sementara kontribusi, penyertaan modaldan trust fund pada organisasi dan lembaga keuangan internasional dialokasikan pada DIPADepartemen Keuangan sebesar Rp736,76 miliar. Dari total Rp736,76 miliar, pada RAPBN2011 akan dialokasikan penyertaan modal kepada organisasi dan lembaga keuanganinternasional sebesar Rp721,52 miliar.

Kontribusi dan penyertaan modal Pemerintah pada ornganisasi dan lembaga keuanganinternasional tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel VI.18.

Equivalen (miliar Rp) 300,0

Kontribusi 300,0

736,8

a. Penyertaan Modal Negara 721,5

1 Islamic Development Bank (IDB) ID* 7.494.994,09 117,5

2 The Islamic Corporation for the Development of Private Sector USD 2.850.000,00 28,5

3 Asian Delopment Bank (ADB) 371,9

4 International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) 40,0

5 International Finance Corporation USD 858.000,00 8,6

6 International Fund for Agricultural Development (IFAD) USD 1.500.000,00 15,0

7 Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF) USD 14.000.000,00 140,0

b. Trust Fund 12,8

8 ASEAN Science Fund USD 283.275,80 2,8

9 USAID Trust Fund 10,0

c. Kontribusi 2,4

10 ASEAN+3 Finance Cooperation Fund (AFCF) USD 2.000,00 0,0

11 ASEAN Finance Minister Investor Seminar (AFMIS) 0,2

12 Macroeconomic Finance and Surveillance Office (MFSO) USD 181.571,26 1,8 13 OECD Development Centre EUR 31.500,00 0,4

1.036,8 Catatan: *) ID adalah Islamic Dinar yang besarnya sama dengan Special Drawing Right (SDR) IMFSumber: Kementerian Keuangan

Total

Jumlah

Mata Uang AsingOrganisasi dan Lembaga Keuangan Internasional

TABEL VI.18

KONTRIBUSI DAN PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH PADA ORGANISASI DAN LEMBAGA KEUANGAN INTERNASIONAL TAHUN 2011

No

Kementerian Luar Negeri

Kementerian Keuangan

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-90

6.4.3.6 Bencana Alam

Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak pada salah satu titik rawan bencanapaling aktif di muka bumi, dengan sering terjadinya gempa bumi, tsunami, letusan gunungberapi, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan. Data Bencana Indonesiayang ada di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa antaratahun 2004 sampai dengan 2009 terjadi 4.408 bencana alam di Indonesia, antara lain banjir(43,5 persen), kekeringan (24,6 persen), badai (13,2 persen) dan tanah longsor (10,6 persen).Jumlah peristiwa bencana di Indonesia selama periode 2004 sampai dengan 2005 dapatdilihat pada Tabel VI.19.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah meletakkantanggung jawab pada pundak Pemerintah untuk penyelenggaraan penanggulangan bencanadiantaranya perlindungan masyarakat dari dampak bencana, pemulihan kondisi dari dampakbencana dan pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam APBN. Anggarantersebut diperuntukkan untuk kegiatan-kegiatan tahap pra bencana, saat tanggap daruratbencana, dan pasca bencana.

Biaya rehabilitasi atau pemulihan infrastruktur publik dan rumah tangga, yang sebagianbesar tidak memiliki perlindungan keuangan, memberikan beban besar pada pengeluaranpublik. Sebagai contoh, bencana Tsunami Aceh/Nias tahun 2004 menimbulkan kerusakandan kerugian lebih dari Rp40,0 triliun, sedangkan kerugian untuk gempa bumi Yogyakartatahun 2006 lebih dari Rp29,0 triliun. Pemerintah menghabiskan anggaran rekonstruksisenilai lebih dari Rp37,0 triliun untuk Aceh dan Nias serta sekitar Rp1,6 triliun untukYogyakarta.

Pada RAPBN Tahun 2011, Pemerintah merencanakan kembali untuk mengalokasikan danakontinjensi bencana alam sebesar Rp4,0 triliun. Besaran alokasi ini didasarkan pada

No Bencana Alam 2004 2005 2006 2007 2008 2009Total Per Bencana

1 Gempa Bumi 11 9 20 13 10 8 71

2 Gempa Bumi dan Tsunami 1 - 1 - - - 2

3 Letusan Gunung Berapi 5 2 5 4 8 - 24

4 Tanah Longsor 54 50 73 104 112 76 469

5 Banjir dan Tanah Longsor 9 13 31 52 39 14 158

6 Banjir 285 248 328 339 495 221 1.916

7 Kekeringan 327 222 184 152 198 - 1.083

8 Angin Topan 65 47 84 122 166 96 580

9 Gelombang Pasang 8 6 14 30 34 13 105

765 597 740 816 1.062 428 4.408

Su m ber : BNPB (2 01 0)

TABEL VI.19JUMLAH PERISTIWA BENCANA DI INDONESIA, 2004-2009

Total

Bab VI

VI-91

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

pengalaman historis kebutuhan bantuanPemerintah untuk daerah-daerah yangmengalami bencana alam yang seringterjadi namun dengan skala yang relatifkecil (seperti banjir, gempa bumiberkekuatan relatif kecil atau tanahlongsor). Pengalaman dari bencana besaryang terjadi selama beberapa tahunterakhir ini juga menunjukan pembiayaanrehabilitasi dan rekonstruksi atas bencana-bencana besar makin meningkat sehinggatidak dapat dipenuhi hanya dari anggarandana cadangan bencana alam. Perkembangan dana cadangan bencana alam tahun 2007-2010 dapat dilihat pada Grafik VI.25.

Pada tahun 2001, belanja negara yang dibutuhkan untuk penanggulangan bencana tersebutmeliputi 0,25 persen dari belanja Pemerintah pusat. Pada tahun 2007, dimana Indonesiaharus membiayai rekonstruksi dari bencana relatif besar pada saat bersamaan yaitu TsunamiAceh, serta gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, rasio belanja untukpenanggulangan bencana terhadap total belanja Pemerintah pusat naik menjadi 2,24 persen.Walaupun di tahun 2009, belanja ini dianggarkan hanya 0,5 persen dari total belanjaPemerintah pusat, namun rekonstruksi di Jawa Barat dan Sumatera Barat diperkirakanakan meningkatkan persentase ini di tahun-tahun ke depan.

Dengan pola pembiayaan yang ada sekarang ini, dimana APBN menjadi tumpuan utama,bencana alam berpotensi memberikan tekanan pada kesinambungan APBN pada saat setiapterjadi bencana. Sehingga ke depan perlu dilakukan diversifikasi pembiayaan risiko bencanabaik dari segi sumber, maupun pola pengalokasiannya. Dengan mempertimbangkan naiknyaprobabilitas kejadian bencana serta meningkatnya nilai kerusakan dan kerugian akibatvulnerabilitas dan perubahan iklim serta laju urbanisasi yang cepat, perlu dipertimbangkanuntuk meningkatkan keragaman dalam pilihan-pilihan pembiayaan risiko bencana.Pembiayaan risiko bencana yang merupakan kombinasi yang optimal antara risiko yangdiretensi (ditanggung langsung) dan yang ditransfer agar kesinambungan fiskal terjaga.Yang menggabungkan antara pengalokasian dana kontinjensi bencana alam, seperti yangdilakukan saat ini, dengan pinjaman siaga dan asuransi untuk menutup risiko bencanayang berbeda tingkat dampak dan frekwensi kejadiannya. Gabungan pembiayaan tersebutdiharapkan dapat memberikan ketahanan yang lebih tinggi bagi kesinambungan APBN.Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Pemerintah telah merumuskan Rencana NasionalPenanggulangan Bencana 2010-2014 yang salah satu programnya adalah peningkatankapasitas dan partisipasi masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya dalampengelolaan risiko bencana. Kegiatan yang menjadi salah satu fokus dari program tersebutadalah pembentukan mekanisme pendanaan risiko bencana (asuransi bencana).

6.4.4 Desentralisasi Fiskal

Dalam rangka mengoptimalkan efektivitas pelaksanaan pembangunan daerah,penyelenggaraan pembangunan daerah diharapkan harus benar-benar sesuai denganaspirasi, kebutuhan dan prioritas daerah. Oleh karena itu Pemerintah mengimplementasikankebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dengan otonomi daerah dan desentralisasi

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

3,5

4,0

2007 2008 2009 2010* 2011**

Pagu Realisasi

GRAFIK VI.25DANA CADANGAN BENCANA ALAM 2007 - 2011

Keterangan:*APBN‐P Tahun 2010** Pagu RAPBN Tahun 2011  Sumber: Kementerian Keuangan

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-92

fiskal, Pemerintah daerah, sebagai tingkatan Pemerintahan yang paling dekat denganmasyarakat, diharapkan dapat menjadi motor penggerak pembangunan. Namun demikian,dalam implementasinya terdapat beberapa kebijakan yang berpotensi menjadi sumber risikofiskal.

a. Kebijakan Pemekaran Daerah

Pemekaran daerah pada hakikatnya merupakan salah satu alat dalam mempercepattercapainya tujuan yang diinginkan dalam penerapan kebijakan desentralisasi. Rentangkendali yang lebih ramping diharapkan dapat membuat pelayanan publik jauh lebih efektifdan efisien. Pemikiran luhur tersebut dalam penerapannya mengalami banyak kendala danjika tidak dikelola dengan baik berpotensi menambah beban fiskal.

Sejak mulai diberlakukannya kebijakan desentralisasi tahun 1999 sampai dengan tahun 2010jumlah daerah otonom sudah mencapai 524 daerah yang terdiri dari 33 provinsi, 398

kabupaten, dan 93 kota. Tren ini telahdisikapi Pemerintah denganmengeluarkan Peraturan PemerintahNomor 78 Tahun 2007 tentang TatacaraPembentukan, Penghapusan, danPenggabungan Daerah dimana syaratuntuk pembentukan daerah barudiperketat. PP tersebut diharapkan dapatmenjadi penyaring utama gunamewujudkan pemekaran yang efektif.Perkembangan jumlah daerah otonombaru dapat dilihat pada Grafik VI.26.

Risiko fiskal yang berasal dari kebijakan pemekaran daerah ditransmisikan melalui beberapahal, yaitu pengurangan alokasi DAU, peningkatan penyediaan DAK bidang prasaranaPemerintahan, dan peningkatan alokasi dana untuk pembangunan instansi vertikal.Dampak pemekaran terhadap DAU dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu, (1) dampakterhadap DAU daerah induk yang berkurang secara proporsional berdasarkan jumlahpenduduk, luas wilayah, dan belanja PNSD (netralitas fiskal), dan (2) dampak terhadapseluruh daerah karena porsi pembagian daerah pemekaran secara relatif mengurangi porsidaerah lainnya. Pada tahun 2008, dengan jumlah kabupaten/kota sebanyak 451 daerah,rata-rata penerimaan DAU adalah sebesar Rp358,22 miliar atau mengalami kenaikan sebesar16,49 persen dibandingkan tahun 2007. Sedangkan pada tahun 2009 dengan jumlahkabupaten/kota sebanyak 477 daerah, rata-rata penerimaan DAU adalah sebesar Rp351,71miliar atau mengalami penurunan sebesar 6,50 persen dibandingkan tahun 2008. Dengankenaikan pagu DAU Nasional tahun 2009 yang hanya sebesar 3,85 persen dibandingkantahun 2008, dan dengan bertambahnya jumlah daerah otonom sebanyak 17 daerah yangperhitungan DAU-nya dilakukan secara mandiri, maka pada tahun 2009 terdapat beberapadaerah yang mengalami penurunan DAU. Kenaikan pagu DAU Nasional pada tahun 2010sebesar 9,16 persen dibandingkan tahun 2009 - dengan tidak ada pemekaran daerah baru -maka pada tahun 2010 rata-rata penerimaan DAU adalah sebesar Rp383,93 miliar ataunaik mengalami kenaikan sebesar 32,21 persen dibandingkan tahun 2009 sebagaimanaterlihat pada Tabel VI.20.

GRAFIK VI.26PERKEMBANGAN JUMLAH DAERAH OTONOM BARU, 1999 - 2009

Sumber: Kementerian Keuangan

Bab VI

VI-93

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Untuk membantu penyediaan saranadan prasarana Pemerintahan didaerah otonom baru, mulai tahun2003 telah dialokasikan DAK bidangprasarana Pemerintahan, yangdigunakan untuk mendukungkelancaran penyelenggaraanPemerintahan daerah pemekaran dandaerah yang terkena dampakpemekaran. Alokasi DAK bidangprasarana Pemerintahan mengalamipeningkatan yang relatif cukupsignifikan, dari sebesar Rp88,0 miliaruntuk 22 daerah pada tahun 2003menjadi Rp386,0 miliar untuk 123daerah pada tahun 2010,sebagaimana terlihat pada GrafikVI.27.

Konsekuensi lain dari pemekarandaerah terhadap keuangan negaraadalah penambahan kantor-kantorvertikal yang melaksanakankewenangan Pemerintah yang tidakdidesentralisasikan melaluipenyediaan sarana dan prasaranakantor. Jumlah dana APBN yangdialokasikan kepada daerah otonom

baru naik sebesar 63,78 persen, dari Rp8.714,0 miliar pada tahun 2005 menjadi sebesarRp10.693,0 miliar pada tahun 2010, dapat dilihat pada Grafik VI.28.

Rata-Rata Penerimaan

DAU

Kenaikan (Penurunan)

Rata-Rata

(miliar rupiah) (miliar rupiah)

2001 60.345,8 54.311,2 - 336 - 161,6 -

2002 69.159,4 62.243,5 14,6 348 3,6 178,9 17,2

2003 76.977,9 69.280,1 11,3 370 6,3 187,2 8,4

2004 82.130,9 73.917,8 6,7 410 10,8 180,3 (7,0)

2005 88.765,4 79.888,9 8,1 434 5,9 184,1 3,8

2006 145.651,9 131.086,7 64,1 434 - 302,0 118,0

2007 164.787,4 148.308,7 13,1 434 - 341,7 39,7

2008 179.507,2 161.556,4 8,9 451 3,9 358,2 16,5

2009 186.414,1 167.772,7 3,8 477 5,8 351,7 (6,5)

2010 203.485,2 183.136,7 9,2 477 - 383,9 32,3 Sumber: Kementerian Keuangan

TABEL VI.20TABEL PENGARUH PEMEKARAN TERHADAP DAU KABUPATEN/KOTA, 2001-2010

TahunDAU

Nasional

DAU Kab/Kota (90% DAU Nasional)

Kenaikan DAU (%)

Jumlah Kab/Kota Penerima

DAU

Kenaikan Jumlah

Daerah (%)

Sumber: Kementerian Keuangan

GRAFIK VI.27PENGARUH PEMEKARAN TERHADAP ALOKASI DAK KE DAERAH

2003 - 2010

GRAFIK VI.28PENGARUH PEMEKARAN TERHADAP ALOKASI DANA VERTIKAL KE DAERAH, 2005 - 2010

(miliar rupiah)

Sumber: Kementerian Keuangan

Pembiayaan Anggaran dan Risiko FiskalBab VI

Nota Keuangan dan RAPBN 2011VI-94

b. Pinjaman Daerah

Dalam rangka percepatan pembangunan ekonomi daerah dan penyediaan layanan publik,Pemda membutuhkan dana yang relatif besar. Pemerintah telah mengambil kebijakandengan membuka kesempatan bagi Pemda untuk melakukan pinjaman sebagai salah satualternatif sumber pembiayaan. Salah satu sumber pinjaman daerah berasal dari PenerusanPinjaman Luar Negeri (Subsidiary Loan Agreement/SLA) dan RPD. Risiko fiskal yang berasaldari penerusan pinjaman dan RPD terutama berasal dari tunggakan Pemerintah daerahatas pembayaran kembali pinjaman. jumlah pinjaman yang telah dilakukan dan kinerjapembayaran kembali pinjaman dapat dilihat pada Grafik VI.29. Jika dibandingkan dengan

data pada tahun 2007, tunggakan yang dilakukan oleh Pemerintah propinsi dan kabupatenmengalami penurunan di tahun 2008. Namun keadaan sebaliknya terjadi pada tunggakanpinjaman Pemerintah kota yang mengalami kenaikan sekitar 5,0 persen. Begitu juga padatahun berikutnya, tunggakan yang dilakukan oleh Pemerintah propinsi dan kabupatenmengalami penurunan di tahun 2009. Namun keadaan sebaliknya terjadi pada tunggakanpinjaman Pemerintah kota yang mengalami kenaikan sekitar 1 persen.

Untuk estimasi tahun 2010 dan 2011, tunggakan yang dilakukan oleh Pemerintah propinsi,kabupaten dan Pemerintah kota mengalami tren kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya.Pada tahun 2010, rata-rata kenaikan ketiganya sebesar 29 persen (kenaikan tertinggi terjadipada tunggakan Pemerintah kabupaten sekitar 43 persen). Dan untuk tahun 2011, rata-rata kenaikan ketiganya sebesar 16 persen (kenaikan tertinggi terjadi pada tunggakanPemerintah kabupaten sekitar 31 persen).

c. Pengalihan Pajak Pusat Menjadi Pajak Daerah

Untuk meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah juga perlu adanyapenambahan jenis pajak dan retribusi baru bagi daerah. Penambahan jenis pajak dan retribusi

0

100

200

300

400

500

600

700

2007 2008 2009 2010* 2011**

117,6 107,8 96,2 121,6 128,2

488,4 513,7 518,2

600,3

667,1

136,1 115,8 107,3 153,8

201,4

Provinsi Kota Kabupaten

Catatan :* Perkiraan tahun 2010** Perkiraan tahun 2011Sumber: Kementerian Keuangan

GRAFIK VI.29TUNGGAKAN PINJAMAN PEMERINTAH DAERAH PER AKHIR, 2007 – 2011

(miliar rupiah)

Bab VI

VI-95

Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

3.184,5

5.953,4

5.573,1 6.464,50

7.155,5

-

1.000,0

2.000,0

3.000,0

4.000,0

5.000,0

6.000,0

7.000,0

8.000,0

2006 2007 2008 2009 2010 (APBN-P)

GRAFIK VI.30PENERIMAAN BPHTB, 2006 - 2011

(miliar rupiah)

Sumber: Kementerian Keuangan

baru dilakukan dengan memperhatikan kriteria pajak daerah dan retribusi daerah yangbaik dan secara teori dan praktik telah teruji. Pajak baru tersebut, antara lain, Pajak Bumidan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah. Duajenis pajak ini sebelumnya merupakan jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat.Dampak risiko fiskal yang terjadi adalah penurunan penerimaan pajak pusat dengan adanyapengalihan BPHTB dan PBB-P2 menjadi pajak daerah. Pemungutan PBB-P2 dilakukanpaling lambat 31 Desember 2013, sementara itu, BPHTB sepenuhnya diserahkan kepadadaerah pada 1 Januari 2011.

Penerimaan BPHTB tahun2006-2010 menunjukkan trenkenaikan rata-rata 20,0 persen,dimana kenaikan tertinggiterjadi pada tahun 2007 sebesar87,0 persen dibandingkan tahunsebelumnya. Perkembanganpenerimaan BPHTB dapatdilihat pada Grafik VI.30.Dalam periode tersebut,disamping dipengaruhi olehperkembangan kondisiperekonomian yang sangat

berpengaruh positif terhadap perkembangan sektor konstruksi dan transaksi jual beli tanahdan bangunan, juga berkaitan dengan berbagai langkah kebijakan peningkatan efektifitasdan efisiensi dalam pemungutan BPHTB.